http://www.annida-online.com/artikel-4241-elegi-hati-.html
ELEGI HATI Penulis: Fitriyani
Jakarta, September 2011 Agak ragu kakiku melangkah menuju rumah besar itu, namun ketika aku ingat seseorang di dalam rumah itu yang sangat kurindukan, aku memantapkan hati, mengayunkan langkah menghampiri pintu kayu berukir tersebut. Tas ransel kugendong di bahu, dan oleh–oleh khas Jogja kutenteng di tangan kiri. Aku tak sabar lagi ingin bertemu denganmu, meski aku tidak tahu apa kau masih mengenalku. Kutarik napas panjang ketika pintu kayu besar itu telah berada di hadapanku. Kuangkat tangan kananku untuk mengetuk pintu, dan kuulang hingga tiga kali. Terdengar bunyi engsel pintu bergesekan ketika pintu itu terbuka. Seorang gadis belia muncul di hadapanku dengan membawa tatapan heran penuh tanda tanya, aku langsung tahu bahwa itu adalah kamu. Kau menjelajahkan matamu dari ujung kakiku hingga ujung rambutku, kau terheran–heran melihatku. Sementara aku hanya bisa berdiri terpaku memandangmu, kau sekarang jauh lebih cantik daripada yang kuingat dulu. Wajahmu bersih terawat, tak lusuh dan kumal seperti saat kau masih bersamaku dulu. Kau mengenakan kaos berwarna putih bergambar kelinci, dan celana jeans di bawah lutut, padahal dulu kau selalu memakai rok terusan. Kau agak berbeda dari yang kuingat. “Maaf, Anda cari siapa ya?“ Tanyamu. Aku tersenyum mendengar pertanyaanmu, rupanya kau tak mengenaliku lagi. “Asylah, kau tak mengenaliku?“ Aku balik bertanya. Kau mengerutkan keningmu, tampak mencoba mengingat dengan mengamatiku secara seksama, kemudian kau menggeleng perlahan. Aku pun mengeluarkan sesuatu dari saku bajuku dan memperlihatkannya padamu. Sebuah foto saat kita masih di panti asuhan dulu, bersama Bu Kartini dan teman–teman kita yang lain di panti asuhan Al–Mawaddah. Kau tampak terkejut saat kutunjukkan foto itu padamu, segera kau merenggutnya dariku untuk kau pandangi sepuasnya. Setelah puas dengan foto itu, kau kembali memandangku. “Mbak Naylah?“ Tanyamu lirih, lebih seperti menggumam.
Aku mengangguk pelan. Seketika senyum indah yang selama ini kurindukan hadir di wajahmu yang ayu, dan serta merta kau memelukku. Aku tak menyangka bahwa ternyata kau juga merindukanku. *** Jogja, Mei 2004 Aku tengah asyik membaca majalah bekas yang kubeli di toko kertas kiloan ketika kau berlari–lari menghampiriku dengan membawa selembar kertas di tanganmu. “Kenapa As? kok lari–lari begitu?“ Tanyaku. “Mbak, coba lihat apa yang kutemukan,“ kau memperlihatkan kertas yang kau bawa padaku. Rupanya kertas yang kau bawa itu adalah fotocopy dari akte kelahiranmu, aku tak tahu di mana dan bagaimana kau mendapatkannya. Tapi wajahmu tampak sumringah saat memberitahuku bahwa kini kau tahu siapa orangtua kandungmu, senyuman senang tak pernah lepas dari wajahmu. “Mbak, sekarang aku sudah tahu kemana aku harus mencari orang tuaku,“ katamu di sela nafas yang masih terputus–putus. “Tapi, As , kau mau cari mereka ke mana? Kau kan tidak tahu alamat rumah mereka,“ kataku menyangsikan ucapanmu. “Di akte ini tertulis kalo aku lahir di Jakarta, berarti orangtuaku pasti ada di Jakarta. Aku akan mencari mereka ke sana,“ katamu penuh semangat. “Tapi, As , bagaimana caranya kamu bisa ke sana? Apa kamu punya uang untuk ke Jakarta?“ “Aku akan bekerja, ngamen atau jadi pesuruh di Malioboro. Pokoknya aku akan ngumpulin uang buat ke Jakarta. Aku harus ketemu sama mama dan papaku.“ Aku hanya mampu menggelengkan kepala melihat tekad bulatmu, aku tahu kamu anak yang keras kepala, tak ada yang bisa mencegahmu bila menginginkan sesuatu. “Mbak Naylah mau nggak nemenin aku ke Jakarta, cari orang tuaku?“ Aku mendelik ke arahmu, antara percaya dan tidak mendengarnya. Aku tak habis pikir, bagaimana mungkin anak sembilan tahun punya keinginan sekuat itu, apa kau tidak memikirkan bahaya dan kesulitan yang akan menimpamu jika kau jadi melaksanakan rencanamu mencari orang tua kandungmu? Aku yang empat tahun lebih tua darimu, belum tentu memiliki keberanian seperti itu. *** Kau begitu senang dengan kedatanganku ke rumahmu, aku memang sengaja ingin mengunjungimu sekaligus ingin mengetahui bagaimana kabarmu sekarang setelah tinggal bersama orangtua kandungmu. Kau mengajakku berkeliling melihat isi rumahmu yang besar bak istana, bahkan Panti Asuhan AL–Mawaddah
tempat kita tinggal dulu, tak sebesar dan semegah rumah orang tuamu. Kau pun memerintahkan pembantumu untuk menghidangkan makanan super mewah untuk menyambut kedatanganku, hingga meja makan di rumahmu penuh dengan berbagai macam makanan lezat, yang selama ini hanya bisa kulihat di televisi dengan porsi yang tidak sedikit. Kau seperti hendak menjamu orang sekampung saja. “Ayo, Mbak, kita makan,” katamu riang. “Apa kita tidak menunggu orangtuamu dulu, As?“ Tanyaku. “Nggak usah, biasanya juga mereka makan di luar,” kutemukan senyum yang memudar di wajahmu. Aku mengerutkan kening, namun kau tak memberiku waktu untuk menuntaskan keherananku ataupun memberikan penjelasan atas rasa penasaranku akan keberadaan orangtuamu. Kau segera meyuruhku duduk dan mengambilkan makanan untukku. "Gimana kabar Bu Kar dan panti asuhan kita, Mbak?“ Tanyamu di sela makan. “Bulan kemarin, Panti Asuhan baru saja direnovasi, karena ada beberapa bagiannya yang sudah rusak. Sebenarnya sudah sejak lama Bu Kar ingin merenovasi panti, tapi terkendala oleh dana. Baru sekarang beliau bisa mewujudkan keinginannya, setelah menabung cukup lama.“ “Aku jadi kangen sama Bu Kar, nanti kapan–kapan aku mau main ke sana. Kira– kira Bu Kar masih inget aku nggak ya, Mbak?“ Tanyamu lagi. “Tentu saja, Bu Kar masih sering menanyakannmu. Katanya semenjak kamu pergi nggak ada lagi anak keras kepala yang selalu buat kejutan di hari ulang tahun Bu Kar, sehingga membuat beliau menangis terharu. Untungnya tak ada yang mengikuti kebiasaan burukmu suka mencuri buah mangga di rumah Pak Tejo, sampai beliau berkali–kali datang ke Panti untuk melabrak Bu Kar.“ Kau tertawa mendengar ucapanku, mungkin kau teringat kenangan masa kecil kita di Panti Asuhan. Kau masih tetap manis seperti dulu kalau kau sedang tertawa, As. “Kalau kabar teman–teman di panti, gimana, Mbak? Siti, Susilo, Danang, dan yang lainnya.“ “Siti sekarang sudah jadi istri pengusaha batik yang kaya di Kotagede, Susilo jadi ketua Pemuda Masjid di Giwangan, kalau Danang dia sudah jadi pengusaha bakpia yang sukses. Tapi kami tak ada yang seberuntung dirimu, As. Bisa bertemu dan tinggal bersama kedua orang tua kandungmu.“ Kau diam mendengar perkataanku, tiba–tiba saja air mukamu berubah keruh. Kau melahap makananmu dengan cepat, lalu dengan mulut masih penuh dengan makanan kau bertanya lagi padaku. “Kalau Mbak Naylah sekarang sibuk apa?“ “Aku masih tetap tinggal di Panti Asuhan, membantu Bu Kar mengurusi anak–
anak. Beliau sudah semakin tua sekarang, aku tak tega meninggalkannya sendirian mengurus puluhan ana–anak di Panti Asuhan. Untuk menambah pemasukan, Bu Kar membuka laundry kiloan. Lumayanlah, hasilnya bisa buat jajan anak–anak di Panti asuhan.“ *** Aku tak pernah tahu, dari mana datangnya keberanianku sehingga aku bisa memutuskan untuk menemanimu pergi ke Jakarta mencari orangtua kandungmu. Tapi yang jelas, aku tak ingin membiarkanmu sendirian berkeliaran di Jakarta mencari orangtua kandungmu. Setelah tiga bulan, kau menabung untuk biaya perjalanan ke Jakarta, yang kau kumpulkan dari berbagai macam pekerjaan yang kau lakoni, mulai dari menjaga wc di pasar, pesuruh di Malioboro, hingga penjaja makanan dari rumah ke rumah. Keinginanmu begitu kuat untuk mencari orangtuamu, aku pun akhirnya ikut bekerja untuk mengumpulkan biaya ke Jakarta. Pada hari yang ditentukan, jam 12 malam kau dan aku mengendap–endap keluar dari panti, kita sungguh menjaga langkah kakiagar tak sampai membangunkan penghuni panti yang lain , terutama Bu Kar. Kita hanya meninggalkan sebuah surat di atas tempat tidur kita sebagai tanda pamit pada pemilik panti asuhan yang baik hati itu. Ketika kita telah berhasil melewati gerbang panti, kau dan aku bersorak gembira. Dan berlari menuju stasiun kereta, sepanjang perjalanan kau tidak tidur sama sekali. Katamu kau terlalu bahagia karena akan segera bertemu orang tuamu di Jakarta, sehingga tak bisa memejamkan mata. Kau membangunkanku saat kereta berhenti di stasiun Senen, kau bilang kita sudah sampai di Jakarta. Dengan sumringah kita keluar dari kereta dan menghirup udara Jakarta yang baru pertama kali ini kita kunjungi, kau terlihat begitu senang. Di pelataran depan stasiun, kita melihat banyak sekali anak seusia kita yang berkeliaran, menadahkan tangan kepada setiap pengunjung. Kau dan aku hanya bisa terheran–heran, apakah nasib mereka juga sama seperti kita yang tidak punya orangtua? Tapi selama ini, Bu Kar tidak pernah menyuruh kita untuk menadahkan tangan kepada siapapun. Bu Kar mengajarkan kita untuk hidup mandiri, tidak bergantung pada siapapun. Bu Kar mengajari kita untuk bekerja, apa saja yang penting halal dan tidak merugikan orang lain. Dan uangnya pun untuk kita simpan sendiri, Bu Kar tidak pernah meminta sepeserpun dari hasil keringat kita. Namun kita tak ingin berlama–lama memperhatikan anak jalanan itu, kita harus segera melaksanakan rencana kita untuk mencari orangtua kandungmu. Kau dan aku bertanya pada setiap orang yang ada di stasiun, apakah mereka mengenal orangtuamu, tapi sayang tak ada satu pun dari mereka yang kita tanyai mengaku mengenal orangtuamu. Namun kau tidak putus asa, kau mengajakku keluar dari stasiun dan mulai bertanya di mana orangtuamu tinggal pada siapa saja yang kau temui di jalan. Meski hasilnya nihil, tetapi kau tidak menyerah sama sekali. ***
“Mbak nginep di sini aja yah, ada banyak kamar kosong kok,“ tawarmu kepadaku. “Nggak usah, As. Aku bisa nginep di motel kok, nanti malah merepotkanmu.“ “Mbak Naylah tidak usah sungkan, anggap aja rumah sendiri. Daripada nginep di motel, mending di sini. Besok aku ajak Mbak Naylah jalan–jalan keliling Jakarta.“ Lalu kau menyuruh pembantumu untuk menyiapkan sebuah kamar untukku, aku tak bisa lagi menolaknya. Kamar yang kau sediakan sangat mewah untukku, tempat tidurnya besar dan ada pendingin ruangannya juga. Aku yang sudah kelelahan selama perjalanan, langsung terlelap di ranjang empuk tersebut. Paginya, aku bangun dengan segar. Rasa pegal di badanku sudah menghilang, setelah mandi dan berganti pakaian aku keluar menuju teras. Dan aku mendapatimu sedang mengikat tali sepatu, kau tersenyum melihat kehadiranku. “Ayo, Mbak , kita berangkat,“ ajakmu. “Emang kita mau kemana?“ “Udah ikut aja.“ Kau menarik tanganku masuk ke dalam mobil yang terparkir di garasi . Lalu kau mulai mengemudikan mobil itu membelah jalanan ibukota, aku sungguh takjub dibuat olehmu. Gadis enam belas tahun sudah bisa mengendarai mobil sendiri, sedangkan aku mengendarai motor pun belum lancar. Hari itu kau mengajakku berkeliling kota Jakarta, gedung–gedung tinggi berjejer di sepanjang jalan, dan ada patung di tengah–tengah jalan yang sedang mengangkat tangannya untuk memberi hormat. Kau bilang itu patung Jenderal Sudirman, salah seorang pejuang kemerdekaan. Entahlah, aku tidak pernah sekolah, jadi aku tak tahu sejarah. Setelah seharian berkeliling kota Jakarta, dan mencicipi makanan di sebuah restoran mewah, kau mengajakku pulang setelah sebelumnya membelikanku beberapa potong pakaian di sebuah pusat perbelanjaan. Sesampainya di rumahmu, ada seorang pemuda berseragam sekolah sedang duduk di ruang tamu menunggumu. Wajahnya merengut melihatku pulang bersamamu. “Kamu dari mana aja, Syl? Ditelponin nggak bisa, disms nggak dibales. Aku tuh kuatir sama kamu, kenapa kamu nggak masuk sekolah hari ini?“ Tanya pemuda itu bertubi–tubi padamu. “Bryan, jangan marah gitu dong, aku bolos hari ini karena aku nemenin Mbak Naylah jalan–jalan. Dia baru dateng dari Jogja, kemaren,“ kau merajuk pada pemuda yang kau panggil Bryan itu. Lalu kau pun beralih padaku. “Mbak Naylah, kenalin ini Bryan, dia pacar aku.“ Jujur aku cukup terkejut mendengar bahwa pemuda itu adalah pacarmu, namun tak urung aku tetap bersalaman dengannya. Pemuda itu masih terus melanjutkan omelannya padamu, sementara kau hanya menanggapinya dengan senyuman. Aku menyingkir dari ruang tamu, masuk ke kamar. *** “Mama... Papa...,“ kau terus mengigau, panas badanmu tinggi sekali.
Aku memeras kain yang basah dan kugunakan untuk mengompres kepalamu, aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Kita tak pernah menyangka bahwa mencari orangtuamu begitu sulit, Jakarta terlalu luas untuk tubuh kita yang kecil. Kita sudah mencari kesana kemari, tapi hasilnya nihil. Apalagi kita hanya berbekal nama, sedangkan banyak sekali nama yang mirip dengan nama orangtuamu di Jakarta ini. Sudah seminggu kita di Jakarta, perbekalan kita sudah habis. Uang yang kita kumpulkan selama berbulan–bulan hanya cukup untuk makan beberapa hari, harga makanan di sini sungguh mahal sekali. Terkadang kita hanya mampu membeli sebungkus nasi dengan sepotong tempe goreng, lalu nasi itu kita bagi dua untuk dimakan bersama. Kita pun tidur di sembarang tempat, kadang di kolong jembatan, kadang di emperan toko. Dan kini kau sakit karena kelelahan dan kelaparan, sedangkan kita sudah tak punya apapun lagi yang bisa aku jual untuk membeli obat buatmu. Tiba–tiba aku ingat Bu Kar, pasti beliau sangat mengkhawatirkan kita karena kau dan aku pergi tanpa pamit pada beliau. Ah , mengapa baru sekarang aku menyesal telah menuruti ide gilamu untuk mencari orangtua kandungmu, hanya dengan berbekal selembar fotokopi akte kelahiran. Sekarang kamu sakit, dan aku tak bisa berbuat apa–apa untuk menolongmu . Aku merasa sangat tidak berguna, airmataku menetes. Aku takut kau tidak bisa tertolong, As. Tiba–tiba hujan turun dengan derasnya, aku segera menutupi tubuhmu dengan kain lusuh milikmu agar kau tak kehujanan, atap emperan toko ini tak cukup melindungi kita dari air hujan. Aku melihat di jalan banyak sekali anak–anak seusia kita yang berlarian di tengah hujan, membawa payung namun badan mereka kebasahan. Mereka memberikan payung ke orang–orang yang sedang berteduh di halte atau di emperan toko, mengantarkan orang tersebut ke tempat tujuan lalu mereka diberi uang kecil. Aku jadi tertarik ingin melakukan hal seperti mereka, aku ingat kalau aku membawa payung dari Jogja. Aku mengambil payung di tas cangklongku dan keluar menerobos hujan, terpaksa kutinggalkan dirimu sendirian agar aku bisa dapat uang untuk membeli obat untukmu. Aku tak mempedulikan bajuku yang sudah basah kuyup atau tubuhku yang telah menggigil kedinginan, sampai aku berhasil mengumpulkan cukup uang untuk membeli obatmu. Setengah jam kemudian hujan berhenti, aku menghitung uang yang telah kukumpulkan. Kurasa cukup untuk membeli obat dan makanan, aku berlari ke warung kaki lima. Aku membeli obat penurun panas, air mineral dan dua bungkus roti. Kemudian aku membangunkanmu dan membantumu minum obat, lalu kita sama–sama makan roti yang tadi aku beli. Namun, baru saja kita mengigit roti tersebut, seketika orang–orang berteriak dan berlarian menjauh. “Kamtib...! Kamtib...!“ Lalu ada orang–orang berseragam yang menyeret kita dengan paksa naik ke atas mobil, kau meronta–ronta dan menangis, aku ingin menolongmu tapi tanganku dicengkeram kuat oleh salah satu orang berseragam itu.
*** “As , besok aku akan pulang ke Jogja,“ kataku. Kau tampak terkejut mendengarnya. “Kenapa buru–buru sekali, Mbak? Mbak Naylah kan baru sehari di sini” “As, aku tak bisa lama–lama ninggalin Bu Kar sendirian di Panti, beliau pasti kerepotan ngurusin anak–anak.“ Kau tertunduk diam, lalu tanpa berkata apapun kau pergi keluar rumah, padahal ini sudah malam. Aku hanya bisa memandangi mobilmu yang semakin menjauh, apa kau marah padaku, As? Maafkan aku jika mengecewakanmu, aku memang harus pulang. Malam itu aku tidak tidur sama sekali, aku menunggumu. Tapi kau tak kunjung datang, orang tuamu pun sama sekali tak terlihat. Selama sehari semalam di sini, aku belum pernah melihat orang tuamu. Dan kau pun tampak enggan untuk menceritakan tentang mereka. Hari menjelang siang ketika aku berangkat ke stasiun, sebenarnya aku masih ingin menunggumu, tapi kereta akan segera berangkat. Aku tak mau ketinggalan kereta. Saat aku sedang asyik memandangi kesibukan di sekitar stasiun dari balik jendela kereta, tiba–tiba kau datang mengejutkanku seraya menunjukkan tiket di tanganmu padaku. “Aku ingin ikut Mbak pulang ke Jogja dan membantu Bu Kar mengurusi panti,“ ujarmu seraya duduk di sampingku. “Tapi bagaimana dengan orangtuamu dan Bryan?“ tanyaku. Kau tertunduk diam, wajahmu berubah mendung. “Mereka nggak pernah menyayangiku, sekarang aku tahu mengapa dulu mereka menaruhku di panti asuhan, karena mereka tak menginginkan keberadaanku. Aku emang bodoh, Mbak. Harusnya dulu aku tak perlu jauh–jauh ke Jakarta hanya untuk mencari orangtua kandungku, setidaknya aku masih bisa berkhayal tentang orangtua yang menyayangiku. Mama Papaku tak pernah ada di rumah, mereka selalu sibuk di luar. Mereka hanya memberiku uang, tapi tak memberiku perhatian dan kasih sayang. Aku merasa lebih bahagia di Panti, meski kekurangan uang, tapi kita saling memiliki dan menyayangi. Karena itu, aku memutuskan untuk ikut pulang ke Jogja bersama Mbak Naylah,“ kau mengusap bulir bening yang mengalir di pipimu. “Dan Bryan, dia akan baik–baik saja. Dia pasti bisa dapetin cewek yang lebih baik dari aku.“ Aku memandang sayu padamu, aku ingat ketika pertama kalinya kau bertemu orang tuamu. Setelah Polisi melihat akte kelahiranmu dan memeriksa datanya di komputer, mereka menemukan alamat orangtuamu dan mengutus orang untuk mencari alamat mereka. Orangtuamu datang dan memelukmu, serta mengakui kau sebagai anak mereka. Aku kira senyummu hari itu adalah awal dari kebahagiaanmu, namun ternyata aku salah. Semoga di Jogja kau bisa menemukan kebahagiaanmu yang sejati, aku akan selalu bersamamu, menjaga dan melindungimu seperti dulu saat kita mencari orangtuamu.
*** (Sering kali kenyataan tak seindah harapan, yang terhebat adalah saat kita mampu untuk tetap bersyukur dalam segala keadaan...)