ELABORASI TERM PENGUASA POLITIK DALAM AL-QUR’AN
Rosmini 1 Abstrak
إن أهم اال غراض للملك السيا سي اال نسا ين هو إقامة احلياة الطيبة اجلارى (قيم ااجملتمع احملدودة ) املناسبة.... القيم اال نساىن.على لقيم اال نسانية العاملية و , بناء على ذلك. آل حكام هللا على أ نه هو املستخلف الو حيد على اال طالق ,إن امللك السيا سي ال ميكن حصو هلا و إقامتها بناء على إرادة اال نسان فحسب أو بعبارة. آل ن امللك السيا سي قرض من هللا سيحا نه و تعاىل وهو شيئ ال يأ بد بل أنه, ال سبما امللك السيا سي حيصل من أنه نتيجة إ ختيارالر عية, أخرى . جيب أن يقيم على تعاليم هللا ورسو له Key words: Kekuasaan, Term Penguasa dan Al-Qur’an
Pendahuluan Diturunkannya Alquran dalam Bahasa Arab2 bukan merupakan suatu pembatasan atau keterbatasan jangkauannya dalam mengkomunikasikan dirinya dengan lingkungannya. Alquran mampu berbincang dengan siapa saja dan membincang tentang apa saja. Karena keunggulan yang tak terhingga inilah, Alquran layak dan patut menjadi pedoman dan pegangan hidup bagi seluruh umat manusia bahkan untuk seru sekalian alam. Alquran menjadi panutan bagi setiap orang yang mencari petunjuk dan menjadi hujjah bagi setiap orang yang sedang berjalan di atas petunjuk. Untuk membuktikan posisinya sebagai way of life, Alquran mesti dibaca, dikaji, dipahami, dihayati kemudian diamalkan. Pengkajian yang berulang-ulang terhadap Alquran senantiasa melahirkan nuansa baru dalam penafsirannya. Bahkan, penafsiran Dosen tetap Fakultas E-mail:
[email protected]. 1
Dakwah
dan
Komunikasi
UIN
Alauddin
Makassar.
Alquran secara tegas menetapkan bahwa Ia seluruhnya disampaikan dalam Bahasa Arab. Lihat di antaranya ; QS. Yusuf (12):2, QS. Ibrahim (14):4, QS. al-Nahl (16):163, QS. al-Syu’ara (26):195, QS. al-Zumar (39):28. 2
1
yang baru ini kerapkali muncul sebagai antitesa terhadap penafsiran yang ada sebelumnya. Hal ini tidak berarti bahwa terjadi kontradiksi substansial3 dalam lafaz Alquran itu sendiri, tetapi penafsiran dan pemahaman terhadap kandungan Alquran itulah yang selalu berkembang seiring dengan perkembangan dan kemajuan pemikiran manusia.4 Dengan kata lain, tidak akan pernah ada perubahan lafaz Alquran, melainkan penafsiran dan pemahamannya sajalah yang akan mengalami dinamisasi sebagai respon positif terhadap makin meningkatnya tantangan hidup yang dihadapi umat manusia. Meskipun diyakini bahwa Alquran merupakan solusi bagi setiap masalah yang dihadapi, namun untuk membuktikan keyakinan tersebut tidak jarang umat Islam menemui jalan buntu. Hal ini terjadi karena Alquran hanya memberikan petunjukpetunjuk umum dan tidak memberikan rincian-rincian kecuali dalam hal-hal tertentu dan jumlahnya sangat sedikit. Salah satu bagian terpenting dari kandungan Alquran yang sangat “rawan” dalam melahirkan penafsiran beragam adalah persoalan politik. Persoalan ini berpangkal dan berujung pada pembahasan negara ideal dalam Alquran. Kalau dipahami bahwa Alquran minimal secara implisit berbicara tentang idealisasi sebuah negara, maka dapat dipastikan bahwa Alquran mengakui negara secara ontologis (apa itu negara?), epistemologis (bagaimana semestinya wujud sebuah negara?), dan secara aksiologis (apa tujuan terbentuknya sebuah negara?). Dalam tulisan ini akan dibahas dua di antara tiga pilar filosofi negara perspektif Alquran yakni aspek ontologi dan aksiologi (tujuan) negara. Term-Term Penguasa Politik Dalam Alquran 1. Term Malik Term al-malik berakar dari huruf-huruf م ل ك. Dari sudut etimologis, hurufhuruf tersebut mengandung makna kekuatan atas sesuatu dan keadaan yang sah. Dari asal makna ini terbentuk kata malaka insan al-syai-yamlikuhu-malkan yang berarti
3Lihat
di antaranya QS. al-Nisa (4):82.
4Lihat
QS. Yunus (10): 64; QS. al-Ahzab (33):23; QS. al-An’am (6):34, 115; QS. al-Kahfi
(18):27.
2
menguasai dan memiliki.5 Secara leksikologis kata al-malik bermakna penguasa suatu umat atau kabilah atau negara. Al-malik menurut al-Ashfahany adalah seorang yang memiliki kekuasaan memerintah dan melarang dalam suatu pemerintahan. Kata almilk menunjuk dua konotasi makna, yaitu; (1) bermakna memiliki; (2) kekuatan atas sesuatu dalam arti kekuatan yang dengannya digunakan untuk mengatur kehidupan politik.6 Al-Damaqqany mengemukakan beberapa makna kata yang berakar dari huruf-huruf mlk, yaitu; (1) kekuasaan atau kemampuan (al-qudrah), (2) kekayaan (algina atau al-şarwah), (3) kekuasaan politik (imarah atau amir, (4) kenabian (al-nubuwah), (5) menguasai (al-dhabith), (6) perbendaharaan atau harta simpanan (al-khizanah), (7) bermaksud dengan sengaja (al-‘amd), (8) turunnya malaikat (nuz-l al-malaikat), (9) pemilik budak (milk al-yamin), (10) keutamaan atau kedudukan (al-fadh-lah atau almanzilah).7 Kata al-mulk atau al-milk dan segala bentuk derivasinya ditemukan dalam Alquran sebanyak 206 kali8 dengan maknanya yang beragam seperti yang telah dikemukakan al-Damaqqaniy. Namun demikian, makna-makna tersebut dapat dikembalikan kepada makna asal dari kata al-milk, yaitu memiliki dan menguasai. Kata al-milk yang relevan dengan pembahasan di sini yaitu yang memiliki konotasi makna kekuasaan politik. Dalam wacana pemikiran politik kata al-malik atau al-mulk berkonotasi makna kerajaan berbentuk turun-temurun. Dari sekian banyak bentuk derivasi kata al-mlk dalam Alquran, bentuk-bentuk berikut ini mengandung makna kekuasaan politik antara lain, bentuk kata mulk, mulkan, mulkihi, al-malik, malikan. Dari 21 ayat Alquran yang mengemukakan kata almilk dan segala bentuk derivasinya dengan konotasi makna kekuasaan politik ditujukan kepada para Nabi terdahulu dan umat-umat mereka, seperti Nabi Adam as., Nabi Musa as. bersama Bani Israil dan Fir’aun, Nabi Daud as. bersama Raja Thalut dan musuhnya Raja Jalut, Nabi Sulaiman as. dan kerajaan Ratu Balqis, Nabi Yusuf as. 5 Abu al-Husain Ahmad Ibnu Faris Zakariyah ,Mu,jam al-Maqayis fi al-Lughah, jilid V (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), h. 351. 6
Al-Raghib Al-Ashfahany, Mufradat Alfadz al-Qur’an (Damsyik: Dar al-Qalam, 1992), h. 774
7 Al-Husain Ibn Muhammad Al-Dhamaqqany, Qamus al-Qur’an (Beirut: Dar al-‘Ilm li alMalayin, 1980), h. 441-442.
Muhammad Fuad Abd al-Baqy, Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur’an al-Karim (Beirut: Dar alFikr, 1987), h. 673-676. 8
3
dan raja yang berkuasa di masanya, musuh Nabi Ibrahim yaitu raja Namrud dari Babilonia dan Nabi Muhammad saw. 2 . Term Sulthan Kata ini berakar dari huruf-huruf س ل ط. Secara etimologis, huruf-huruf ini mengandung makna pokok kekuatan dan paksaan.9 Dalam beberapa kamus Bahasa Arab kata yang berakar dari ketiga huruf tersebut memiliki arti lebih dari satu, yaitu; (1) kekuataan; (2) panjang lisan; (3) menguasai atau mengusahakan; (4) mengalahkan; (5) dalil atau hujjah; (6) keterangan, bukti dan burhan; (7) penguasa atau pemerintahan.10 Al-Ashfahany mengartikan kata sulthan dengan makna orang yang memiliki kekuasaan, kedudukan dan pengaruh.11 Al-Damaqqany mengartikan kata sulthan dalam dua makna, yaitu; (1) dalil atau hujjah, seperti dalam Q.S. Ghafir (40):23 dan (2) memiliki kekuasaan, seperti Q.S. Ibrahim (14):22.12 Keberagaman makna kata yang lahir dari huruf salatha sebagaimana telah dikemukakan melahirkan suatu kesimpulan bahwa kata sulthan berkonotasi makna kekuasaan politik. Dalam wacana politik Islam kata sulthan telah digunakan untuk menunjuk kepada pemegang kekuasaan politik.13 Kata sulthan dan segala bentuk derivasinya ditemukan dalam Alquran sebanyak 39 kali. 37 kali dalam bentuk kata benda, 9 di antaranya tergolong ayat-ayat madaniyat dan selebihnya termasuk kelompok ayat-ayat makkiyah. 2 kali dalam bentuk kata kerja dan keduanya termasuk kelompok ayat madaniyat.
9 Ibnu Faris, op. cit., jilid III, h. 95. Kekuatan dan paksaan dalam konteks politik dapat diartikan bahwa pemegang kekuasaan memiliki kekuatan untuk memaksakan rakyatnya untuk mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkannya. Ketaatan rakyat mengikuti peraturan kadang-kadang karena keterpaksaan politik yakni karena mendapat tekanan-tekanan politik. Ketaatan Dalam konteks ini bersifat ketaatan fisikal dan lebih banyak dijumpai dalam sistem pemerintahan otoriter. Ketaatan rakyat dalam model lain dapat bersifat intelektual yakni ketika ketaatan politik berdasar kepada kesadaran berpolitik rakyat. Ketaatan seperti ini lebih banyak dijumpai dalam pemerintahan demokrasi. 10
Ibrahim Anis, Al-Mu’jam al-Wasith, Juz I (Theheran: Al-Maktabat al-‘Ilmiyat, t. th.), h.
11
Al-Ashfahany, op. cit., h. 420.
12
Al-Damaqqany, op. cit., h. 242.
443.
13 Istilah sulthan telah digunakan dalam wacana politik Islam ketika kekuasaan khalifah telah hancur. Yakni ketika kekuasaan dipegang oleh para pemimpin wilayah propinsi. Para pemimpin di wilayah propinsi memperoleh hak otonomi dan terlepas dari kontrol pemerintahan pusat. Para pemimpin inilah kemudian disebut dengan sultan. Meskipun demikian secara nominal para sulthan tetap mengakui khalifah di pusat. Periode ini dikenal dalam sejarah dengan nama periode kesultanan.
4
Kata sulthan yang memiliki konotasi kekuasaan politik, lebih jelas dapat dilihat pada Q.S. al-Isra’ (17):33 dan 80. Kandungan ayat 33 terkait dengan masalah pembunuhan secara zalim. Allah memberikan kekuasaan kepada ahli waris si korban untuk menuntut pihak pembunuh. Dengan kata lain, ayat ini terkait langsung dengan penetapan hukum dan pelaksanaan hukum terhadap pihak pembunuh oleh ahli waris atau diserahkan kepada penguasa untuk menuntut dan melaksanakan hukum qishash dan hukum diat terhadap pihak pembunuh. Dengan demikian, ayat ini sangat relevan dengan pengaturan kehidupan bermasyarakat sehingga kata sulthan dalam ayat ini berkonotasi makna kekuasaan politik. 3. Term Imam Kata imam berakar dari huruf-huruf أ م. Dengan demikian, akar kata imam sama dengan kata ummah.14 Dalam kitab Mu’jam al-Wasith dikemukakan beberapa pengertian kata imam, yaitu; (1) setiap orang yang menjadi ikutan manusia, misalnya para pemimpin dan selainnya, seperti imam shalat; (2) khalifah; (3) panglima tentara; (4) Alquran adalah imam kaum muslimin; (5) denah (petunjuk jalan) yakni imam bagi orang-orang bepergian; (6) penggiring unta adalah imam bagi unta; (7) jalan yang luas dan jelas; (8) tali atau potongan kayu yang digunakan tukang bangunan untuk meratakan dan menyamakan bangunan; (9) contoh.15 Sedang al-Ashfahaniy mengartikan imam dengan makna yang diikuti baik manusia maupun kitab, baik ia membenarkan atau membatalkan. Selain itu, ia juga mengartikan imam dengan makna Lauh al-Mahfuzd.16Dari kata imam terbentuk kata imamah yang berarti kepemimpinan kaum muslimin dan kata imamiyah yang konotasi maknanya dinisbahkan kepada kata imam atau imamah. Dari sini dapat disimpulkan bahwa kata imam berkonotasi makna segala sesuatu yang menjadi ikutan sebagai petunjuk dan pedoman yang diperpegangi.
Secara etimologis, kedua kata ini mengandung 4 makna pokok yang saling berdekatan, yaitu; (1) bermakna asal; (2) tempat kembali; (3) kelompok atau kumpulan; (4) agama. Tiga makna yang disebut terakhir mengandung arti kumpulan orang, masa dan maksud. Lebih lanjut lihat Ibnu Faris menjelaskan bahwa kata imam memiliki dua pengertian, yaitu; (1) setiap orang yang diikuti dan (2) setiap orang yang didahulukan urusannya. Lihat Ibnu Faris, op. cit., h.45-49. 14
15
Ibrahim Anis, op. cit., h. 27
16
Al-Ashfahaniy, op. cit., h. 87.
5
Kata imam yang bentuk jamaknya aimmah ditemukan dalam Alquran sebanyak 12 kali dalam 11 surah. Dari 12 kali penyebutan imam dalam Alquran, 3 di antaranya termasuk dalam kelompok ayat-ayat madaniyah dan 9 lainnya tergolong ayat-ayat makkiyat. Al-Damaqqaniy mengemukakan 5 makna kata imam dalam Alquran, yaitu; (1) pemimpin dalam kebajikan, seperti ditemukan dalam Q.S. al-Baqarah (2):124; (2) kitab Bani Adam, seperti dalam Q.S. al-Isra’ (17):71; (3) al-lauh al-mahfuzd, seperti dalam Q.S. Yasin (36):12; (4) Taurat, seperti dalam Q.S. Hud (11):17; (5) jalan yang terang dan jelas, seperti dalam Q.S. al-Hijr (15):7917 Lima pengertian imam yang dikemukakan oleh al-Damaqqaniy belum mewakili seluruh penggunaan kata imam dalam Alquran, karena kata imam dan aimmah dalam Alquran yang bermakna pemimpin tidak saja menunjuk pemimpin dalam kebaikan tetapi juga menunjuk kepada pemimpin yang mengajak kepada kebatilan, seperti ditemukan dalam Q.S. al-Taubah (9):12 dan Q.S. al-Qashash (28):41. Kata aimmah pada kedua ayat tersebut menunjuk makna pemimpin-pemimpin yang menyeru kepada kebatilan dan kerusakan. Kata aimmah dalam ayat pertama berkonotasi makna pemimpin-pemimpin orang kafir dan dalam ayat kedua menunjuk kepada pemimpin-pemimpin yang menyeru ke neraka. Ayat lain yang menunjuk kepada makna kepemimpinan ganda dari kata imam adalah Q.S. al-Isra’ (17):71. Kata imam dalam ayat ini berkonotasi makna pemimpin baik dalam kebajikan maupun dalam kebatilan. Al-Damaqqaniy sendiri tidak mengartikan kata imam dalam ayat ini dengan makna pemimpin tetapi dengan makna kitab Bani Adam. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa kata imam dan aimmah yang berkonotasi makna pemimpin meliputi pemimpin kebajikan dan juga pemimpin kebatilan. Dari paparan di atas, dapat ditarik titik simpul bahwa dari sudut kebahasaan dan penggunaannya dalam Alquran, kata imam memiliki makna lebih dari satu. Walaupun demikian, makna-makna tersebut dapat dikembalikan kepada makna asal dari imam, sesuatu yang diikuti atau diteladani atau dituju. Adanya hubungan timbal balik yang sangat erat antara imam dan ummah, yang satu tergantung kepada yang Makna imam dan aimmah yang tidak dikemukakan oleh al-Damaqqaniy yaitu; (1) makna “pedoman” , seperti yang ditemukan dalam Q.S. Hud (11):17 dan Q.S. al-Ahqaq (46):12; (2) makna teladan, seperti yang ditemukan dalam Q.S. al-Baqarah (2):124. 17
6
lainnya, merupakan kesimpulan lain yang lahir dari pembahasan tentang term imam ini. 4. Term Ulul al-Amr Ul- al-amr terdiri dari dua kata, yaitu kata Ulul dan al-amr. Kata pertama berarti pemilik. Kata ulul- atau ulil ditemukan dalam Alquran sebanyak 43 kali. Sedangkan alamr merupakan salah satu kata yang sering mengikutinya atau kata sandarannya. Kata al-amr berakar dari huruf-huruf أ م ر. Secara etimologis, kata yang berakar pada ketiga huruf tersebut mengandung 5 makna pokok, yaitu; (1) urusan; (2) perintah; (3) pertumbuhan dan berkat; (4) tanda petunjuk dan; (5) keanehan. Secara leksikologis, kata yang berakar pada huruf-huruf di atas memiliki banyak makna sesuai dengan kata jadiannya, misalnya kata amara-ya’muru bermakna memerintahkan; kata amira-ya’muru atau amura-ya’muru, keduanya bermakna menjadi amir atau pemimpin. Dari kedua kata kerja yang disebut terakhir terbentuk dua kata jadian yang berkonotasi makna kekuasaan. Yakni kata amir bermakna penguasa dan kata imarah atau amarah yang bermakna kekuasaan. Kata al-amr sendiri antara lain bermakna urusan, keadaan, sesuatu yang diperintahkan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa cakupan makna kata al-amr sangat luas, meliputi segala urusan kehidupan manusia baik dalam skala besar maupun dalam skala kecil. Dengan kata lain, konotasi makna kata al-amr mencakup segala aspek atau bidang kehidupan manusia, termasuk urusan sosial politik. Kata al-amr dengan segala bentuk jadiannya ditemukan sebanyak 257 kali. Sedang kata al-amr sendiri, baik yang diikuti dengan dhamir muttashil maupun yang tidak diikuti ditemukan sebanyak 176 kali.18Al-Damaqqaniy mengemukakan bahwa kata al-amr dalam Alquran menunjuk 16 makna, yaitu berarti agama, perkataan, azab, Isa as., peperangan di Badar, peperangan dengan Bani Quraidhah, penaklukkan Mekkah, kiamat, keputusan, wahyu, perintah (urusan), dosa, pertolongan, keadaan, tenggelam, mengerjakan, dan ingkar.19 Dari sini dapat dipahami bahwa kata ul- al-amr bermakna pemilik perintah atau pemilik kekuasaan yang dapat menuntut orang lain agar melaksanakan suatu 18
Fuad Abd al-Baqiy, op. cit., h. 76-79.
19
Al-Dmaqqaniy, op. cit., h. 38-41.
7
urusan. Urusan yang dimaksud meliputi segala perkara dan bidang kehidupan baik itu dalam skala besar, maupun dalam skala kecil. Dengan begitu kepala rumah tangga dapat disebut amir, karena ia memiliki kekuasaan untuk memerintah anggota rumah tangganya melaksanakan suatu urusan tertentu. Panglima perang disebut amir karena ia berkuasa memerintahkan prajuritnya malaksanakan urusan ketentaraan. Seorang hakim disebut amir karena ia memiliki kekuasaan untuk memutuskan suatu perkara. Ulama dapat disebut amir, karena memiliki kredibilitas dalam urusan ilmiah. Kepala pemerintahan disebut amir, karena ia memiliki kekuasaan mengatur kehidupan masyarakatnya. Dengan kata lain, kepala pemerintahan adalah pemilik kekuasaan politik. Di dalam Alquran kata ul- al-amr ditemukan sebanyak 2 kali, yaitu dalam Q.S. al-Nisa (4):59 dan 83. Kandungan ayat 59 mengemukakan 4 buah perintah Alquran yang ditujukan kepada orang-orang yang beriman. Pertama adalah perintah mentaaati Allah. Kedua adalah perintah mentaati Rasul-Nya. Ketiga adalah perintah mentaati ulal-amr dari kalangan orang-orang beriman. Keempat adalah perintah menjadikan Alquran dan hadist sebagai kitab rujukan dalam menyelesaikan masalah yang diperselisihkan. Ketaatan kepada keempat perintah tersebut, di satu sisi merupakan bukti nyata dari kebenaran iman orang-orang yang mengaku beriman. Di sisi lain ketaatan
kepada
keempatnya
membuahkan
keutamaan
dan
akibat
yang
menyenangkan. Sedang ayat 83 surah al-Nisa mengemukakan bahwa rasul dan ul- alamr merupakan marja’ yang dapat menunjukkan kebenaran dan memutuskan atau menyelesaikan segala masalah kehidupan (seperti masalah keamanan dan ketakutan) yang dihadapi manusia dengan baik dan benar. Sesungguhnya keberadaan rasul dan ul- al-amr sebagai marja’ kebajikan merupakan rahmat Allah bagi umat manusia. Dengan mengikuti marja’ ini, manusia tidak mengikuti syetan yang menyesatkan. Kandungan perintah dalam ayat 59 di atas yang relevan dengan pembahasan adalah perintah mentaati ul al-amr. Perintah taat kepada ul al-amr digandengkan dengan perintah taat kepada Rasul Allah dan taat kepada Allah. Dari sisi ini dapat dipahami bahwa; (1) ketaatan kepada perintah -l- al-amr dapat dibenarkan selama -l- alamr itu taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan kata lain, ketaatan itu ada kalau perintah -l- al-amr sesuai dengan ketetapan Allah dan Rasul-Nya; (2) sebaliknya ketaatan kepada ul al-amr gugur dengan sendirinya, kalau perintah ul al-amr
8
bertentangan dengan ketetapan Allah dan Rasul-Nya; (3) berdasarkan point 1 dan 2, maka dapat dikatakan bahwa ketaatan kepada ul al-amr bersifat mutlak, karena itu merupakan perintah Allah, sebagaimana ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya bersifat mutlak; (4) ketaatan kepada ul al-amr yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya merupakan bukti ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya; (5) dari keempat point sebelumnya, dapat ditegaskan bahwa tugas ul- al-amr merupakan tugas estafet (perpanjangan tangan) dari Rasul Allah. Dengan kata lain, ul al-amr adalah pelaksana tugas kerasulan yang mencakup tugas keagamaan dan tugas sosial politik. 20 Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa penggunaan kata ul al-amr dalam Alquran lebih berkonotasi pemilik atau pemegang kekuasaan politik. Tugas -l- al-amr dalam hal ini meneruskan tugas-tugas kerasulan yang mencakup tugas spiritual keagamaan dan sosial politik. 5. Term Khalifah Kata khalifah berakar dari huruf-huruf خ ل ف. Secara etimologis, huruf-huruf tersebut mengandung 3 makna pokok, yaitu: (1) sesuatu yang datang kemudian menggantikan tempat sesuatu yang terdahulu;21 (2) belakang lawan dari depan dan 3) perubahan.22 Ketiga makna tersebut memiliki keterkaitan makna yang sangat erat, yaitu dengan mengatakan bahwa yang mengganti datang di belakang dan penggantian tersebut dimaksudkan untuk menciptakan perubahan ke arah yang positif atau yang lebih positif. Secara leksikologis, kata khalifah bermakna penguasa yang agung (alsulthan al-a’zham).23 Al-Ashfahaniy mengemukakan bahwa kata khilafah bermakna menggantikan yang lain, baik karena yang digantikan itu tidak ada di tempat, kematian, sudah tidak memiliki kemampuan atau sudah lemah, suatu penghormatan yang diberikan kepada si pengganti. Dalam makna yang terakhir inilah Tuhan mengangkat manusia sebagai khalifah di muka bumi.
24
Dengan demikian
kekhalifahan merupakan penghormatan yang diberikan Allah kepada manusia. Al20 Lihat tugas ganda kerasulan dalam Abd. Muin Salim, Fiqh Siyasah : Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Alquran Cet. I; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1994),h.196-197. 21
Seperti dalam Q.S. al-A’raf (7):169 dan Q.S. Maryam (19):59
22
Ibnu Faris, jilid II, op. cit., h. 200.
23
Ibrahim Anis, op. cit., h. 251.
24
Al-Ashfahaniy, op. cit., h. 294.
9
Damaqqaniy mengemukakan 3 makna khalifah, yaitu; (1) bermakna nabi seperti dalam Q.S. Shad (38):26; (2) pengganti yang telah lalu (lewat) seperti dalam Q.S. al-Baqarah (2):30; (3) menempati atau menghuni atau menjadi penduduk, seperti dalam Q.S. alA’raf (7):129. Kata yang berakar dari huruf-huruf خ ل فdan segala bentuk derivasinya ditemukan dalam Alquran sebanyak 27 kali. Kata khalifah sendiri ditemukan sebanyak 2 kali, yaitu dalam Q.S. al-Baqarah (2):30 dan Q.S. Shad (38):26. Dalam bentuk jamak ditemukan sebanyak dua bentuk, yaitu bentuk kata khalaif dan khulafa. Kata pertama merupakan bentuk jamak dari kata khalifah dan kata kedua merupakan bentuk jamak dari kata khalif. Kata khalaif ditemukan dalam Alquran sebanyak 4 kali, yaitu; Q.S. alAn’am (6):165; Q.S. Yunus (10):14, 17; Q.S. Fathir (35):39. Kata khulafa ditemukan sebanyak 3 kali, yaitu dalam Q.S. al-A’raf (7):69, 74; Q.S. al-Naml (27):62. Kata khalifah dalam dalam Q.S. al-Baqarah (2):30 berkaitan dengan pembicaraan tentang Nabi Adam as. Ayat ini berisi informasi bahwa Allah akan menjadikan manusia (Adam as.) sebagai khalifah di bumi. Dari penggunaan kata khalifah dalam ayat ini, dapat dirumuskan bahwa dalam kekhalifahan terdapat 4 unsur yang memiliki keterkaitan yang erat; yaitu: Pertama, Allah sebagai pemberi amanah kekhalifahan atau mustakhlif. Kedua, Manusia sebagai penerima amanah kekhalifahan. Dengan demikian, manusia dalam malaksanakan amanah kekhalifahan mesti sesuai dengan ketetapan-ketetapan Allah sebagai pemberi Amanah. Ketiga, Bumi sebagai tempat pelaksanaan atau obyek kekhalifahan., sekaligus menjadi batas wilayah kekhalifahan manusia. Bumi dan segala isinya termasuk manusianya diciptakan untuk dikelola oleh manusia (Q.S. al-Baqarah (2):29). Dengan demikian, manusia sebagai khalifah dengan alam semesta dan segala isinya termasuk manusia sebagai tempat dan obyek kekhalifahan memiliki hubungan yang erat dan tidak terpisahkan. Dengan perkataan lain, khalifah dan alam semesta memiliki ketergantungan satu sama lain. Karena itu, manusia sebagai khalifah harus memelihara dengan sebaik-baiknya, tidak bertindak aniaya, sewenang-wenang terhadap tempat dan obyek kekhalifahannya. Tegasnya, seorang khalifah mesti menyadari benar-benar tugas kekhalifahannya. Sebaliknya, manusia sebagai bagian dari alam yang menjadi obyek kekhalifahn harus tunduk dan patuh kepada khalifah selama khalifah tetap berada pada rel-rel kekhalifahan yang ditetapkan oleh mustakhlif.
10
Dikhususkan manusia karena alam semesta dan segala isinya (di luar manusia) dengan sendirinya telah ditundukkan oleh mustakhlif kepada manusia. Keempat, Materi tugas kekhalifahan. Sekalipun kandungan ayat 30 di atas secara eksplisit tidak mengemukakan materi tugas kekhalifahan. Namun demikian dari perpautan klausa ‘Inni ja’ilun fi al-ardhi khalifah” dengan klausa “qala ataj’alu fiha man yufsidu fiha wa yasfiku al-dimaa wa nahnu nusabbihu bihamdika wa nuqaddisu laka” dapat dipahami secara eksplisit materi tugas kekhalifahan. Klausa ini berisi bantahan para malaikat berkenaan dengan kandungan klausa pertama yaitu rencana Allah menjadikan manusia sebagai Khalifah Allah di bumi. Malaikat menganggap manusia tidak mampu memikul amanah kekhalifahan, sebab mereka senantiasa melakukan kerusakan dan pertumpahan darah. Amanah kekhalifahan hanya dapat diemban oleh mereka yang senantiasan bertasbih, memuji dan mensucikan Allah, seperti yang dilakukan para malaikat. Mungkin menurut malaikat yang pantas jadi khalifah di bumi adalah para malaikat. Materi tugas yang dipahami dari perpautan tersebut adalah manusia sebagai khalifah, di satu sisi bertugas memakmurkan bumi dan membangun kehidupan damai sebagai bayangan kehidupan surgawi. Di sisi lain, manusia bertugas menghindarkan bumi dari kerusakan dan pertumpahan darah dengan cara tidak mengikuti hawa nafsunya. Kandungan Q.S. Shad (38):26 menjelaskan bahwa Daud as. dijadikan sebagai khalifah oleh Allah di muka bumi. Sebagai khalifah Daud as. ditugaskan untuk menegakkan hukum-hukum Allah dengan benar, menegakkan kebenaran, dan membimbing masyarakat menuju jalan yang lurus. Untuk menyukseskan peran kekhalifahannya, Daud as. dicegah mengikuti hawa nafsu, sebab mengikuti hawa nafsu mengakibatkan penyesatan atau penyelewengan dari hukum-hukum Tuhan atau keluar dari kebenaran dan jalan yang lurus. Sedangkan kesesatan seperti diancam dengan azab yang pedih. Dalam konteks inilah, Daud as. dan seluruh khalifah lainnya dalam menjalankan kekhalifahannya selain harus sesuai dengan aturan-aturan Tuhan juga harus memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan yang universal dan kehendak masyarakat lokal yang ada dalam wilayah kekuasaannya. Sedang yang bertindak sebagai mustakhlif dalam pengangkatan Adam as. sebagai khalifah adalah Allah tanpa keterlibatan pihak lain. Hal ini dimungkinkan karena ketika itu tidak ada pihak lain
11
bersama Allah. Di sisi lain, pengangkatan Adam as. baru berupa perencanaan Tuhan, namun demikian perencanaan Tuhan bersifat pasti dan mutlak. Untuk kesuksesan tugas kekhalifahan, selain harus mentaati ketetapanketetapan mustakhlif dan memelihara diri dari amukan hawa nafsu, maka pemegang kekuasaan politik mesti memiliki kemampuan spiritual, intelektual, dan kemampuan fisikal. Ketiga kemampuan ini dapat dipahami dari informasi-informasi yang terkandung dalam ayat-ayat Alquran yang memiliki perpautan langsung dengan Q.S. al-Baqarah (2):30 dan Q.S. Shad (38):26. Misalnya Q.S. al-Baqarah (2):31-33 dan 3739. Kandungan ayat-ayat ini menjelaskan bahwa sebelum Adam as. diangkat sebagai khalifah, Allah membekalinya dengan kemampuan-kemampuan tertentu. Misalnya, (1) Adam diberi kemampuan untuk mengetahui sifat, fungsi dan kegunaan bendabenda; (2) Adam as. dibekali oleh Allah beberapa kalimat dan petunjuk kyang terkait dengan aspek-aspek kekuatan spiritual. Q.S. Shad (38):17-25 menjelaskan beberapa kemampuan Daud as. sebelum diangkat menjadi khalifah. Kemampuan-kemampuan yang dimaksud adalah (1) Daud memiliki kekuatan fisik dan dia sangat taat kepada Allah swt; (2) Dia senantiasa bertasbih kepada Allah bersama makhluk lainnya, seperti gunung-gunung dan burung-burung, mereka amat tunduk kepada Allah; (3) Dia memiliki kerajaan yang kuat; (4) Dia diberi oleh Allah al-hikmah dan kemampuan berlaku bijaksana. Dengan demikian, Adam as. dan Daud as. sebagai khalifah di muka bumi telah dibekali oleh Allah dengan kemampuan spiritual, intelektual dan fisikal.25 Telah dikemukakan sebelumnya bahwa bentuk jamak dari kata khalifah ada dua yaitu khalaif dan khulafa. Penggunaan bentuk pertama ditemukan dalam 4 ayat yang tersebar dalam 3 surah. Dalam hal ini kata khalaif menunjuk kapada umat-umat yang datang kemudian menggantikan kekuasaan politik umat-umat sebelumnya yang kafir dan telah dibinasakan. Dengan kata lain, bentuk kata khalaif dipergunakan dalam konteks kekuasaan politik dari orang-orang kafir yang dibinasakan kepada orangorang beriman yang datang kemudian. 25 Ketiga kemampuan tersebut dapat pula dipahami dari kenabian atau kerasulan Adam as. dan Daud as. Tugas kenabian dan kerasulan bukanlah sesuatu yang mudah dan ringan, karena sesungguhnya kedua tugas tersebut meliputi aspek spiritual, intelektual dan sosial-politik. Dengan begitu, pelaksanaan tugas kenabian dan kerasulan membutuhkan kemampuan spiritual, intelektual dan fisikal.
12
Misalnya Q.S. Yunus (10):14 mengemukakan bahwa Allah swt. Akan mengangkat generasi baru sebagai khalifah-Nya di muka bumi yang menggantikan kekuasaan politik generasi terdahulu yang dihancurkan karena pengingkaran dan kezhaliman mereka (Q.S. Yunus (10):13). Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa khalifah-khalifah yang mendapat legalisasi Allah adalah mereka yang menjalankan dan menegakkan kekuasaan politik selaras dengan ketetapan-ketetapan hukum Tuhan dalam mengatur masyarakat dan mereka terhindar dari tindak kezaliman dan sikap otoriter. Sebaliknya pemegang kekuasaan politik yang mengingkari dan mengabaikan aturan-aturan Tuhan dalam mengatur kehidupan masyarakat, tidak memperoleh legalisasi dari Tuhan bahkan mereka akan dihancurkan. Penggunaan kata khulafa yang ditemukan sebanyak 3 kali dalam Alquran dan tersebar dalam 2 surah menunjuk kepada orang-orang yang beriman yang datang kemudian menggantikan orang-orang beriman yang telah berkuasa sebelumnya. Dengan kata lain, bentuk kata khulafa digunakan dalam konteks pewarisan tugas keagamaan secara umum (termasuk tugas kekuasaan politik) dari generasi yang beriman terdahulu kepada generasi yang beriman yang datang kemudian.26 Menyoal tentang kata khalaif dan khalifah, Muin Salim mengemukakan bahwa kedua kata tersebut memiliki perbedaan. Kata khalaif menunjuk manusia secara umum (Q.S. alAn’am (6):165 dan Q.S. Fathir (35):39) dan umat Islam secara khusus (Q.S. Yunus (10): 14, 73). Sedangkan kata khulafa dipergunakan dalam konteks pembicaraan orang-orang kafir dengan Tuhan (Q.S. al-A’raf (7):69 dan 74; dan Q.S. al-Naml (27):62). Kata khulafa pada kedua ayat dalam surah al-A’raf menunjuk kepada makna penggantian generasi dan kata khulafa dalam ayat 62 pada surah al-Naml menunjuk kekuasaan politik di bumi.27 Menurut Quraish Shihab, khulafa mengesankan adanya kekuasaan politik, sedang kata khalaif tidak mengesankan demikian, melainkan lebih bermakna sejumlah
Secara khusus pewarisan kekuasaan politik dapat dipahami dari penggunaan kata khulafa dalam Q.S. al-Naml (27):62. Dalam ayat ini dikemukakan bahwa salah satu ni’mat Allah yang patut disyukuri oleh manusia pada umumnya dan khususnya umat Muhammad saw. adalah dijadikannya mereka menjadi khalifah (pemegang kekuasaan politik) di muka bumi. Hal ini juga tertera dalam Q.S. al-Baqarah (2):30 dan Q.S al-N-r (24):55. 26
27
Abd. Muin Salim, op. cit., h. 111.
13
orang yang tidak memiliki kekuasaan politik.28 Persoalan lain yang menarik untuk dikemukakan adalah penggunaan bentuk kata al-ard yang mengikuti kata khalaif dan kata khulafa. Di satu sisi kata al-ard didahului oleh partikel fi dan di sisi lain tanpa partikel fi. Dalam kaitan ini, Muin Salim berpendapat bahwa kedua bentuk tersebut mengandung perbedaan konsepsi. Pertama, kata khalaif fi al-ard berkonotasi makna bumi sebagai wilayah kekuasaan kekhalifahan manusia. Alasannya adalah partekel fi bermakna tempat. Kedua, kata khalaif al-ard atau khulafa al-ard berkonotasi makna bumi sebagai obyek kekuasaan manusia sebagai khalifah, sebab bentuk kata khalaif alard atau khulafa al-ard adalah bentuk kata idhafah lafzdhiyah (kata majemuk). Bentuk kata istakhlafa dan yastakhlifannakum yang bermakna khalifah ditemukan dalam Q.S. al-Nur (24):55 dan kata yastakhlifakum ditemukan dalam Q.S. al-A’raf (7):129. Q.S. al-A’raf (7):129 berisi informasi tentang Bani Israil yang mengadu kepada Musa as. atas penindasan Fir’aun. Musa as. pun menjawab bahwa semoga Fir’aun dan pengikutnya dibinasakan Tuhan dan kemudian menjadikan Bani Israil sebagai khalifah di muka bumi. Namun demikian, Allah akan melihat bagaimana perbuatan Bani Israil. Kandungan Q.S. al-Nur (24):55 berisi tiga janji Allah kepada orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, yaitu; (1) mereka akan dijadikan sebagai khalifah sebagaimana umat-umat terdahulu yang menerima risalat para rasul Allah sebagai khalifah; (2) agama mereka akan dikokohkan; (3) mereka dihidupkan dalam keadaan aman dan dijauhkan dari rasa khawatir dan takut. Kandungan lain adalah informasi bahwa mereka yang beriman itu senantiasa menyembah Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Siapa yang kafir setelah itu, mereka adalah orang-orang fasik.29 Ketiga janji Allah kepada orang-orang yang beriman, pada prinsipnya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dikatakan demikian, sebab kokohnya agama dan adanya kedamaian adalah konsekuensi logis dari kekuasaan 28
Muhammad Quraish Shihab, Membumikan Alquran (Bandung: Mizan, 1992), h. 157.
Kandungan ayat ini menegaskan bahwa syarat utama memperoleh kekuasaan politik adalah keimanan dan amal shaleh. Karena sesungguhnya kekuasaan politik (dan kedua janji laiinya) adalah buah dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ini dipahami dari perpautan ayat 55 dan ayat 54 dalam surah yang sama. Sebaliknya kekuasaan politik dan kedua janji lainnya tidak diperuntukkan bagi mereka yang kafir, munafik dan fasik, sebab penolakan mereka terhadap risalat Rasul Allah. Bagi mereka adalah kebinasaan di dunia dan azab yang pedih di akhirat. Ini juga dipahami dari perpautan ayat 55 dengan ayat 47-53 dan ayat 57. 29
14
politik yang dimiliki oleh mereka yang beriman. Dengan kata lain, membumikan agama dan menciptakan kemakmuran dan kedamaian merupakan tugas utama kekhalifahan. Dalam kata istakhlafa, kata yastakhlifannakum dan kata yastakhlifakum ditemukan frase fi al-ard yang ikut pada keta ketiga kata tersebut. Dari sisi ini dapat dipahami bahwa kata fi al-ard yang ikut pada kata istakhlafa dan derivasi lainnya merupakan indikasi bahwa bentuk-bentuk kata itu berkonotasi makna kekuasaan politik. Sedang kata istakhlafa yang tidak diikuti frase fi al-ard, tidak mengandung makna kekuasaan politik tetapi lebih berkonotasi makna pergantian generasi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kata khalifah dan segala derivasinya yang diikuti dengan frase fi al-ard atau al-ard mengandung makna kekuasaan politik. Sebaliknya bentuk derivasi dari kata khalifah yang tidak diikuti kata al-ard datau frase fi al-ard tidak mengandung makna kekuasaan politik, tetapi lebih berkonotasi makna pergantian generasi, seperti kata yastakhlif fi pada Q.S. al-An’am (6):133 dan Q.S. Hud (11):57. Melihat makna khalifah baik dari sudut kebahasaan maupun dari penggunaannya dalam Alquran baik dalam bentuknya yang mufrad, jamak, maupun dalam bentuk kata kerja yang menunjuk kepada pengangkatan khalifah, maka dapat ditarik titik simpul bahwa kehidupan manusia di dunia membutuhkan kekhalifahan secara mutlak, baik kekhalifahan individual maupun kekhalifahan kolektif (kekhalifahan dalam bentuk suatu sistem). Tugas utama kekhalifahan manusia adalah menegakkan kehidupan yang thayyibah berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan universal dan lokal (nilai-nilai masyarakat tertentu) yang sesuai dengan ketetapan Tuhan sebagai mustakhlif mutlak.
6. Term Wali Kata wali berakar pada huruf-huruf و ل ي. Secara etimologi kata ini bermakna dekat30. Dari sudut leksikologis kata wali menunjuk makna yang beraneka ragam sesuai dengan bentuk derivasinya. Misalnya dalam bentuk kata kerja, yaitu; (1) 30
Ibnu Faris, op. cit., IV, h. 141.
15
kata wali berarti dekat dengan atau mengikuti; 2) kata waliya berarti menguasai sesuatu dan mengurusnya, menolong, mencintai, menguasai dan atau memerintah; (3) kata awla berarti menguasakan atau mempercayakan kepada, berbuat baik, kecelakaan mendekatimu maka berhati-hatilah; (4) kata wala berarti berturut-turut, menolong atau membantu, mencintai; (5) kata walla tanpa huruf jar ‘an bermakna menolong, mengangkat sebagai penguasa, mengurusi, sedang kata walla dengan memakai huruf jar ‘an berarti meninggalkan atau melarikan diri, menjauhi; (6) kata tawalla tanpa ‘an berarti melazimi, menolong, mencintai, menjadikannya sebagai penguasa. Sedang kata tawalla ‘an berarti meninggalkan atau menjauhi.31 Misalnya dalam bentuk kata benda, yaitu; (1) kata al-maula, jamaknya al-mawali memiliki aneka ragam makna antara lain, bermakna Tuhan, pemerintah atau penguasa, setiap orang yang menguasai atau mengurusi sesuatu, yang mencintai, teman atau sahabat, sekutu, tetangga, yang memerdekakan dan atau dimerdekakan, kerabat dekat seperti paman dan anak paman, yang memberi nikmat dan yang diberi nikmat, hamba sahaya; (2) kata al-wali yang bentuk jamaknya auliya, maknanya senada dengan makna kata al-mawla, yaitu setiap orang yang menguasai dan mengurus sesuatu, penolong, pelindung, pengikut, yang memerdekakan, wali anak yatim yakni mengurus keadaannya, wali pengantin wanita, penguasa dan pemerintah; 3) kata alwalayah berkonotasi makna kedekatan, batas geografis, pemerintahan atau kekuasaan, dan negara yang dikuasai oleh seorang penguasa.32 Al-Ashfahany mengemukakan empat aspek kedekatan, yaitu kedekatan dari segi tempat, dari segi keturunan, dari segi agama, dari segi persahabatan, dari segi pertolongan dan keyakinan.33 Berdasarkan bentuk analisis kebahasaan di atas dapat dipahami bahwa semua bentuk derivasi kata w-l-y dapat dikembalikan kepada makna pokoknya, yaitu dekat, kecuali bentuk derivasi kata w-l-y yang diikuti dengan huruf jar’an. Dalam bentuk derivasi yang disebut terakhir berkonotasi makna menjauhi kedekatan. Misalnya bermakna meninggalkan, melarikan diri, membelakangi dan berpaling. Salah satu konotasi makna kata w-l-y adalah kekuasaan politik atau pemerintahan. Konotasi
31
Ibrahim Anis, op. cit, h. 1057-1058.
32
Ibid.
33
Al-Ashfahany, op. cit., h. 885.
16
makna inipun dapat dikembalikan kepada makna dekat. Artinya ada kedekatan antara pemerintah atau penguasa sebagai subyek kekuasaan dengan rakyat sebagai yang dikuasai (obyek kekuasaan). Penggunaan kata wali dan segala bentuk derivasinya di dalam Alquran ditemukan sebanyak 233 kali.34 Al-Damaqqaniy mengemukakan beberapa konotasi makna penggunaan kata w-l-y dan segala kata jadiannya dalam Alquran. Aneka ragam makna tersebut adalah anak, teman atau sahabat, kerabat, Tuhan, penolong, sesembahan, keturunan, penolong dalam agama, yang dimerdekakan, penasehat, meninggalkan, menolak atau menentang, berpaling, melarikan diri, janji buruk (ancaman) dan lebih berhak.35 Menilik sejumlah kata wali dan auliya di dalam Alquran ditemukan beberapa subyek dan obyek al-walayah (perwalian) baik itu benar dan wajar maupun tidak benar dan tidak wajar, yaitu: pertama, Kebanyakan ayat-ayat tentang wali tersebut menunjuk kepada Allah sebagai wali yang mutlak, karena Dialah Rabb yang mencipta, menghidupkan dan mematikan, yang memelihara dan memberi kebajikan, yang mengatur kehidupan alam semesta dan seluruh isinya, yang menetapkan hukum di dunia dan di akhirat. Dengan demikian, Allah memiliki kedekatan dengan alam semesta dan seluruh isinya khusus kepada manusia. Secara umum walayat Allah ditujukan kepada seluruh umat manusia, seperti dikemukakan dalam Q.S. al-Syura (42):9. Dalam konteks ini walayat Allah (Allah sebagai wali) berkonotasi makna Allah sebagai pencipta, yang memberi kehidupan atau memberi rezeki dan yang mematikan, seperti dapat dipahami dalam kandungan ayat 9 tersebut. Secara khusus, walayah Allah ditujukan kepada orang-orang yang beriman, seperti ditemukan dalam Q.S. al-Baqarah (2):257; Q.S. Ali Imran (3):68 dan 122. Dalam konteks ini, selain dalam arti Allah sebagai pencipta, pemberi kehidupan atau rezeki, yang mematikan, juga Dia sebagai pemberi petunjuk menuju keimanan dan meninggalkan kekafiran, Allah sebagai pelindung, sebagai penolong, sebagai pemberi anugerah (nikmat), sebagai yang mencintai, yang memberi kekuatan dan kekuasaan dalam menegakkan kebenaran dan menghancurkan kebatilan. Dengan kata lain, Allah 34
Fuad Abd al-Baqiy, op. cit., h. 765-768.
35
Al-Damaqqaniy, op. cit., h. 496-498.
17
sebagai wali orang yang beriman dalam usaha mereka membumikan dan mengokohkan agamanya di muka bumi dan dalam usaha mereka mewujudkan kehidupan yang thayyibah (bermanfaat, damai dan sejahtera).
Kedua, Rasul Allah sebagai wali, seperti ditemukan dalam Q.S. al-Maidah (5):55. Walayat rasul ditujukan kepada Allah dan kepada orang-orang beriman. Wujud walayah rasul kepada Allah adalah dengan mencintaiNya dan wujud walayah rasul kepada orang-orang yang beriman adalah rasul sebagai pemberi petunjuk kepada keimanan,
sebagai
pelinldung,
penolong,
sebagai
yang
mencintai,
yang
memerdekakan dan sebagai pengatur urusan-urusan orang-orang yang beriman baik dalam aspek kehidupan keagamaan maupun dalam aspek kehidupan sosial politik. Dengan kata lain, wujud walayah atau wilayat rasul tersebut relevan dengan tugas-tugas kerasulan yang mencakup tugas keagamaan dan politik. Kedua aspek tugas ini ditemukan dalam Q.S. al-Nur (24):55 dan Q.S. al-Nahl (16):97. Kedua ayat ini berisi janji Allah kepada orang-orang yang beriman sebagai buah dari iman dan amal shaleh mereka. Janji itu adalah tegaknya kekuasaan kekhalifahan orang-orang yang beriman, kokohnya agama Islam di muka bumi dan terwujudnya kehidupan yang thayyibah.
Ketiga, Orang beriman sebagai wali, seperti ditemukan dalam Q.S. al-Maidah (5):56; Q.S. al-Anfal (8):34 dan Q.S. al-Taubah (9):71. Walayat orang-orang beriman ditujukan kepada Allah, kepada RasulNya dan kepada orang-orang yang beriman lainnya (orang-orang beriman saling memberikan perwalian antara mereka). Arti perwalian orang yang beriman kepada Allah adalah mereka sebagai pencinta Allah. Sedang kepada RasulNya dan kepada orang yang beriman lainnya adalah mereka sebagai pemimpin, penolong, pelindung, pencinta, sahabat, pemberi petunjuk tentang kebenaran dan pemberi kebajikan, pengurus urusan dalam aspek spiritual keagamaan, intelektual dan sosial politik (seluruh aspek hidup dan kehidupan). Dengan kata lain, walayat atau wilayah orang-orang yang beriman mancakup tugas keagamaan dan politik. a) Syetan dan thaghut sebagai wali orang kafir, fasik, zalim, musyrik, al-dhalin dan kelompok kontra Allah, RasulNya dan orang yang beriman, seperti ditunjuk dalam Q.S. al-A’raf (7):27 dan 30; Q.S. al-Baqarah (2):257. Arti syetan dan thag-t sebagai wali atas kelompok kontra Allah, RasulNya dan orang yang beriman adalah
18
syetan dan thagut sebagai pelindung, penolong, sahabat dan teman dalam kesesatan, kekafiran dan kebatilan. b) Kelompok kontra Allah sebagai wali syetan, thagut dan sesama kelompok kontra Allah, seperti ditemukan dalam Q.S. al-Nisa (4):76, 119 dan 138-139; Q.S. alAnfal (8):73; Q.S. al-An’am (6):129; Q.S. al-A’raf (7):30. arti perwalian dalam konteks ini adalah seperti kandungan makna perwalian dalam point 4 di atas. Dengan kata lain, mereka adalah kelompok kontra Allah, RasulNya dan orang-orang yang beriman, yang satu sama lain saling tolong menolong, lindung-melindungi dalam sikap dan tindakan kontra. c) Kaum Yahudi dan Nashara (ahl al-Kitab) sebagai wali sesama kaum mereka dan antara kedua kaum tersebut. Seperti ditemukan dalam Q.S. al-Maidah (5):51, 57, 81. Arti perwalian kelompok ini tidak jauh berbeda atau senada dengan makna perwalian kelompok kontra Allah, yaitu mereka satu sama lain merupakan wali dalam memusuhi dan menghancurkan kelompok Allah, RasulNya dan orang-orang beriman. Namun demikian, dua kelompok yang disebut dalam point ini tidak secara tegas dinyatakan oleh Alquran bahwa keduanya sebagai wali-wali syetan dan thagut atau sebaliknya, tetapi esensi dan subtansi kelompok point 6 dengan kelompok point 4 dan 5 sama sebagai kelompok kontra Allah. d) Bapak (Ibu) dan saudara-saudara (kerabat dalam hubungan darah) sebagai wali atas anak-anaknya dan saudara-saudaranya. Seperti ditemukan dalam Q.S. alTaubah (9):23. Arti Bapak (Ibu) dan saudara-saudara sedarah sebagai wali atas obyek perwaliannya adalah sebagai pelindung, penolong, sahabat atau teman (wali) dalam kekafiran (kebatilan) dan keimanan (kebenaran). Dari tujuh point di atas dapat disimpulkan bahwa Allah adalah subyek dan sekaligus obyek al-walayah atau al-wilayah yang mutlak, benar, dan wajar. Kemudian Allah menganugerahkan dan melegitimasikan al-walayah kepada RasulNya dan kepada orang-orang yang beriman. Dengan demikian, kedudukan Rasul Allah dan orangorang yang beriman sebagai subyek dan sekaligus obyek al-walayah atau al-wilayah (sebagai wali) adalah benar dan wajar. Lain halnya dengan perwalian syetan, thagut, kelompok kontra Allah (seperti kaum kafir, munafik, zalim, Yahudi, Nasrani dan bapak/ibu serta saudara-saudara yang cinta kekafiran dan membenci keimanan). Kedudukan mereka sebagai subyek dan obyek al-walayah atau al-wilayah tidak benar
19
dan tidak wajar. Oleh karena itu, Alquran tidak melegitimasi perwalian mereka dan melarang orang beriman menjadikan mereka sebagai subyek dan obyek al-walayah. Di antara ayat-ayat yang menunjuk pelarangan itu adalah Q.S. Ali Imran (3):28; Q.S. alNisa (4):139, 144 dan 89; Q.S. al-Maidah (5):51 dan 57; Q.S. al-Mumtahanah (60):1. Berdasarkan uraian term wali dan segala bentuk kata jadiannya dari sudut kebahasaan dan penggunaannya dalam Alquran, maka dapat diketahui bahwa ada dua jenis walayah yang saling berlawanan. Pertama walayah Allah, RasulNya dan orangorang yang beriman berlawanan dengan walayah kelompok kontra Allah, RasulNya dan orang-orang yang beriman. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kata wali berkonotasi sosiologis dan politis. Konotasi makna ini akan lebih jelas jika ayat-ayat tentang walayah Rasul Allah dan orang-orang beriman dan ayat-ayat tentang larangan menjadikan kelompok kontra sebagai wali diperhatikan dengan cermat. Ayat-ayat lain yang senada dengan ayat-ayat di atas yang tedapat dalam surah Ali Imran dengan alMumtahanah dapat ditemukan dalam Q.S. al-Nisa (4):89, 139, 144 dan Q.S. alMaidah (5):51, 55, 57. Kandungan pokok keenam ayat ini berisi larangan Allah yang ditujukan kepada orang-orang beriman menjadikan kelompok-kelompok kontra Islam sebagai pemimpin. Menilik kandungan keenam ayat di atas dan perpautannya dengan ayat sebelum dan sesudahnya dalam surahnya masing-masing, maka dapat dikemukakan beberapa hal yang relevan dengan prinsip-prinsip kekuasaan politik Islam. Misalnya 3 ayat dalam surah al-Nisa. Kandungan ketiga ayat ini terkait dengan sikap umat Islam terhadap kelompok kontra Islam khususnya kaum munafik dan kaum kafir. Dalam ayat-ayat ini, kaum munafik tidak dapat dijadikan sebagai pemimpin dan penolong bagi umat Islam, karena mereka senantiasa mengembalikan umat Islam kepada kekafiran sebagaimana mereka kafir dan mereka mengolok-olok Alquran. Bahkan sebaliknya umat Islam diperintah oleh Allah agar membunuh dan melawan kelompok munafik di mana pun mereka berada, kecuali jika mereka berhijrah menuju keimanan (kebenaran) dan meninggalkan kekafiran (ayat 89 dan 148) atau mereka meminta perlindungan kepada umat Islam dan kepada kaum yang ada perjanjian damai (suaka politik) dengan umat Islam atau mereka mengajukan permohonan damai kepada umat Islam (Q.S. al-Nisa (4):90).
20
Dari keterangan di atas dapat diketahui bahwa suaka politik yang dimiliki oleh kaum munafik sebagai kelompok kontra Islam dan adanya perjanjian damai dengan mereka, di satu sisi merupakan alasan nyata untuk tidak memerangi dan menawan mereka dan di sisi lain merupakan alasan nyata untuk dapat menjalin hubungan baik dengan mereka dan berlaku adil kepada mereka (ayat 135). Berdasarkan uraian term wali dan segala bentuk kata jadiannya dari sudut kebahasaan dan penggunaannya dalam Alquran, maka di satu sisi dapat disimpulkan bahwa term wali berkonotasi makna sosiologis dan politik. Pada sisi lain dapat pula dua wujud kepemimpinan, yaitu; (1) kepemimpinan yang benar dan wajar, yaitu kepemimpinan Rasulullah dan orang-orang beriman dan; (2) kepemimpinan yang batil dan tidak wajar, yaitu kepemimpinan syetan, thagut dan kelompok-kelompok kontra. Hal lain yang ditemukan dari pembahasan term wali di atas adalah adanya syarat keimanan yang konsisten bagi seorang pemimpin politik Islam. Tujuan Terbentuknya Kekuasaan Politik Secara ontologis, berdirinya suatu institusi negara dalam mengatur komunitas masyarakat adalah suatu kebutuhan manusiawi yang tidak dapat ditawar-tawar. Alquran telah mengungkapkan indikasi ini dengan termnya yang sangat variatif, di antaranya QS. al-Nisa (4):59.
ِ َّ ِ اَّلل وأ ِ ِ ول َوأ …ُوِل أاْل أَم ِرِمأن ُك أم َ الر ُس َّ َط ُيعوا َ ََّ ين ءَ َامنُوا أَط ُيعوا َ يَاأَيُّ َها الذ Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasulullah dan mereka yang berwenang dalam urusanmu.36 Adanya perintah taat kepada ulil amri mengimplikasikan sedikitnya kepada dua hal. Pertama, dalam komunitas masyarakat terdapat dua kelompok yaitu kelompok yang memimpin dan kelompok yang dipimpin. Kedua, sikap taat mesti selalu ada dalam membangun 36
dan membina
hubungan kedua kelompok
tersebut.37
Departemen Agama, Alquran dan Terjemahnya (Semarang: CV: Toha Putra, 1989), h. 128.
37 Menurut Ibnu Taimiyah, ayat tersebut menggunakan kata taatilah hanya dua kali, satu di depan kata “Allah” dan satu lagi di depan kata “Nabi”. Di depan kata “mereka yang berwenang memerintah”, kata tersebut digantikan dengan kata sambung “dan”. Maksudnya adalah bahwa ketaatan kepada penguasa tergantung kepada atau termasuk di dalam ketaatan seseorang kepada Allah Swt. dan Nabi saw. Dengan kata lain, dalam negara Islam, kewajiban politik mestinya dipandang sebagai suatu kewajiban yang bergantung pada kewajiban agama itu sendiri. Selanjutnya lihat Dr. Khalid Ibrahim Jindan, The Islamic Theory of government According to Ibn Taimiyah, diterjemahkan
21
Kepemimpinan kelompok-kelompok tertentu inilah yang memestikan suatu institusi yang dengan peraturan-peraturan yang dimilikinya dapat melindungi dan menegakkan hak dan kewajiban masing-masing pihak (yang dipimpin dan yang memimpin). Negara adalah sebuah peristilahan modern yang menunjuk kepada institusi yang dimaksud. Tujuan terbentuknya negara juga tidak luput dari jangkauan Alquran. Ideologi qur’ani yang tidak memposisikan secara terpisah -apalagi posisi yang berlawanan- kehidupan duniawi dan kehidupan ukhrawi merupakan rambu yang cukup terang tentang cita negara yang diinginkan. Kalau agama merupakan pandangan, pegangan dan tujuan hidup, maka keberadaan negara tidak lain dari alat penegakan aturan-aturan agama (baca:Islam). Hal ini antara lain dapat dilihat dari QS. al-Syuura (42):13.
ِ َصيأنَا بِِه إِ بأ َراِ هيأ َم َوُم أو َسى َو ِعيسى اَ أن أ َّ ك َوَما َو َّ من اّلِدأ ي ِن َما َو َ صىِ ِبه نُ أو ًحا َوالَّذى اَأو َحأيناَ إِلَأي َ َشَر َ ِع لَ ُك أم . .. قِأي ُموا الِّديأ ِن َوالَ تَتََفَّرقُأوا فِ أي ِه Artinya: Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkannya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya…38 Dari ayat tersebut sepintas dapat dipahami bahwa menegakkan agama adalah sebuah kewajiban. Hal ini tercakup dari kata اقـيـمـوا, yang berarti tegakkanlah. Kata tersebut selalu dipergunakan Alquran untuk menegaskan kewajiban atau perintah agama tentang shalat. Kalau perintah menegakkan shalat berarti melaksanakan shalat sesuai dengan rukun-rukunnya yang telah ditetapkan oleh syariat maka menegakkan agama tentu melaksanakan agama itu sesuai dengan rukun-rukun yang telah ditetapkan oleh syariat. Negara adalah sebuah alat yang dapat menjamin dan memelihara rukun-rukun agama tersebut. Karena hanya negaralah yang memiliki peraturan yang mengikat dan memiliki kekuasaan yang legitimate yang dengan kekuasaan dan seperangkat peraturan-peraturan yang dimilikinya dapat mengatur komunitas manusia yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda, baik secara
Masrohin, Teori Politik Islam:Telaah Kritis Ibn Taimiyah tentang Pemerintahan Islam ( Cet. III; Surabaya: Risalah Gusti, 1999), h. 108. 38
Departemen Agama, op. cit., h. 785.
22
ekonomis, kultural, sosiologis, maupun agama. Dengan kata lain, menegakkan agama adalah perjuangan hidup manusia yang tidak berkesudahan dan hanya berakhir dengan berakhirnya kehidupan jasmani manusia. Demikian pula, tujuan terbentuknya Negara dapat dilihat pada kandungan Q.S. Shad (38):26 yang menjelaskan bahwa Daud as. dijadikan sebagai khalifah oleh Allah di muka bumi. Sebagai khalifah Daud as. ditugaskan untuk menegakkan hukum-hukum Allah dengan benar, menegakkan kebenaran, dan membimbing masyarakat menuju jalan yang lurus. Untuk menyukseskan peran kekhalifahannya, Daud as. dicegah mengikuti hawa nafsu, sebab mengikuti hawa nafsu mengakibatkan penyesatan atau penyelewengan dari hukum-hukum Tuhan atau keluar dari kebenaran dan jalan yang lurus. Sedangkan kesesatan seperti diancam dengan azab yang pedih. Penutup Terdapat banyak term dalam Alquran yang secara langsung maupun tidak langsung menunjuk kepada kekuasaan politik (Negara). Penggunaan term-term ini setidaknya dapat dipahami bahwa Alquran tidak menentang eksistensi kepenguasaan politik pada semua tatarannya. Hanya saja Alquran memberikan petunjuk kepada umat manusia khususnya umat Islam untuk senantiasa mentaati rambu-rambu Allah yang telah digariskan dalam menetapkan, menjalankan dan mengawasi kekuasaan politik. Kekuasaan politik perspektif Alquran hanya dapat diakui kalau ditujukan untuk penegakan agama yang di dalamnya terlindungi nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Untuk kesuksesan tugas kekuasaan politik, selain harus mentaati ketetapanketetapan mustakhlif dan memelihara diri dari amukan hawa nafsu, maka pemegang kekuasaan politik mesti memiliki kemampuan spiritual, intelektual, dan kemampuan fisikal. Ketiga kemampuan ini dapat dipahami dari informasi-informasi yang terkandung dalam ayat-ayat Alquran yang memiliki perpautan langsung dengan Q.S. al-Baqarah (2):30 dan Q.S. Shad (38):26.
23
DAFTAR PUSTAKA Al-‘Aridh, Ali Hasan. Tarikh ‘Ilm al-Tafsir wa Manahij al-Mufassirin, diterjemahkan oleh Ahmad Arkom, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Jakarta: Rajawali, 1992. Al-Ashfahany, Al-Raghib. Mufradat Alfadz al-Qur’±n Damsyik: D±r al-Qalam, 1992. Al-Baqi, Muhammad Fuad Abd. Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur’±n al-Karim Beirut: Dar al-Fikr, 1987. Departemen Agama, Alquran dan Terjemahnya. Semarang: CV: Toha Putra, 1989. Al-Dhamaqqany, Al-Husain Ibn Muhammad. Qamus al-Qur’an Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1980 Ibn Mansur, Lisan al ‘Arab, Jilid II Mesir: Dar al-Mishriyah, t. th. Ibrahim, Musthafa. et al. , Al-Mu’jam al-Wasith, Juz I Theheran: Al-Maktabat al‘Ilmiyat, t. th. Jindan, Khalid Ibrahim. The Islamic Theory of government According to Ibn Taimiyah, diterjemahkan Masrohin, Teori Politik Islam:Telaah Kritis Ibn Taimiyah tentang Pemerintahan Islam. Cet. III; Surabaya: Risalah Gusti, 1999. Salim, Abd. Muin. Fiqh Siyasah : Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Alquran Cet. I; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1994. Shihab, Muhammad Quraish. Membumikan Alquran. Bandung: Mizan, 1992. Zakariyah, Abu al-Husain Ahmad Ibnu Faris. Mu,jam al-Maqayis fi al-Lughah Beirut: Dar al-Fikr, 1994.
24