1
EKSPRESI GEN PENYANDI Farnesoic Acid O-Methyl Transferase (FAmeT) PADA ORGAN MANDIBULAR KEPITING Scylla olivacea FASE INTERMOLT DAN PREMOLT
SUNARTI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
2
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Ekspresi Gen Penyandi Farnesoic Acid O-Methyl Transferase (FAmeT) pada Organ Mandibular Kepiting Scylla olivacea Fase Intermolt dan Premolt adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2016
Sunarti NIM P051120021
3
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2016 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
4
RINGKASAN
SUNARTI. Ekspresi Gen Penyandi Farnesoic Acid O-Methyl Transferase (FAmeT) pada Organ Mandibular Kepiting Scylla olivacea Fase Intermolt dan Premolt. Dibimbing oleh Prof. Dr. Drh. Retno Damayanti Soejoedono, MS dan Dr. Drh. Ni Luh Putu Ika Mayasari. Farnesoic Acid O-Methyl Transferase (FAmeT) merupakan enzim untuk mengkonversi Asam Farnesoat (AF) menjadi Metil Farnesoat (MF) sebagai salah satu hormon yang berperan dalam proses metamorfosis dan reproduksi pada krustasea. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat ekspresi gen penyandi FAmeT pada fase sebelum molting yaitu intermolt dan premolt serta mengetahui urutan oligonukleotida parsial cDNA penyandi FAmeT kepiting Scylla olivacea. Analisis tingkat ekspresi gen dilakukan dengan melakukan ekstraksi RNA organ mandibular kepiting bakau pada masing-masing fase dan dilanjutkan dengan reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR). Produk PCR diukur konsentrasinya dengan spektrofotometer dan pendaran RNA pada gel diukur ketebalannya dengan software UN-SCAN IT. Produk PCR yang dihasilkan kemudian dipurifikasi dan dilakukan pengurutan oligonukleotida. Hasil pengurutan oligonukleotida digunakan untuk mengetahui tingkat kesamaan urutan oligonukleotida cDNA penyandi FAmeT Scylla olivacea dengan urutan oligonukleotida cDNA penyandi FameT Scylla serrata, Scylla paramamosain dan Portunus. Hasil penelitian menunjukan bahwa konsentrasi produk PCR cDNA penyandi FAmeT pada organ mandibular kepiting fase premolt lebih tinggi dibanding pada fase intermolt walaupun perbedaannya tidak begitu signifikan. Hasil kuantifikasi konsentrasi produk PCR cDNA penyandi FAmeT menggunakan spektrofotometer menunjukkan rata-rata konsentrasi produk PCR pada fase intermolt adalah 765.4 ng/µl ±9.2, sementara pada fase premolt adalah 790.3 ng/µl ±15.1. Nilai rata-rata hasil kuantifikasi konsentrasi ekspresi berdasarkan ketebalan pendaran pita cDNA penyandi FAmeT pada gel adalah 412.1 ng/µl ±143.3 pada fase intermolt dan fase premolt adalah 442.5 ng/µl ±137.2. Hasil pengurutan oligonukleotida cDNA penyandi FAmeT Scylla olivacea menunjukkan urutan oligonukleotida yang hampir identik dengan 2 jenis Scylla lainnya yaitu Scylla serrata dan Scylla paramamosain yang sebelumnya telah dilaporkan dan didaftarkan di GenBank. Kata kunci: Scylla olivacea, enzim, FAmeT, ekspresi gen
5
SUMMARY SUNARTI, Expression of Farnesoic Acid O-methyl Transferase (FAmeT) in Mandibular Organ of Intermolt and Premolt Mud Crabs Scylla olivacea. Supervised by RETNO D. SOEJODONO and NI LUH PUTU IKA MAYASARI. Farnesoic Acid O-methyl Transferase (FAmeT) is an important enzyme for converting Farnesoic Acid (FA) in to Methyl Farnesoate (MF). Methyl Farnesoate has a significant role in metamorphosis and reproduction of crustacean. The aims of this research are to determine the expression level of FAmeT gene in intermolt and premolt stage and to characterize the partial sequence of FAmeT cDNA in Scylla olivacea. The gene expression analysis was carried out through RNA extraction of mandibular organ than followed by RT-PCR, purification of PCR product and sequencing. The concentration of PCR product measured by spectrophotometer and the thickness of RNA’s gelatinous bands were measured by UN-SCAN IT software. PCR product then purified and sequenced, and oligonucleotides sequence were used to determine of similarity between species of mud crabs, i.e. S. olivacea, S. serrata, S. paramamosain, and Portunus. The study showed concentration of PCR product in premolt stage higher than intermolt stage. The quantification of PCR product showed the average of concentration in intermolt stage was 765.4 ng/µl ±9.2 and premolt stage was 790.3 ng/µl ±15.1. The thickness of bands in intermolt stage was 412.1 ng/µl ±143.3, and in premolt stage was 442.5 ng/µl ±137.2. The FAmeT cDNA sequence were similar with S. serrata and S. paramamosain, which were previously reported and registered in GenBank. Keywords: Scylla olivacea, enzyme, FAmeT, gen expression
6
EKSPRESI GEN PENYANDI Farnesoic Acid O-Methyl Transferase (FAmeT) PADA ORGAN MANDIBULAR KEPITING Scylla olivacea FASE INTERMOLT DAN PREMOLT
SUNARTI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Bioteknologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
7
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Utut Widyastuti, M.Si
8
Judul Tesis : Ekspresi Gen Penyandi Farnesoic Acid O-Methyl Transferase (FAmeT) pada Organ Mandibular Kepiting Scylla olivacea Fase Intermolt dan Premolt Nama : Sunarti NRP : P051120021
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Drh. Retno D. Soejoedono, MS. Ketua
Dr. Drh. Ni Luh Putu Ika Mayasari Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Bioteknologi
Prof. Dr. Ir. Suharsono, DEA
Tanggal Ujian: 27 Januari 2016
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.
Tanggal Lulus: 4 April 2016
9
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penulisan tesis dalam rangka memperoleh gelar magister sains ini dapat diselesaikan dengan baik. Salam dan shalawat kepada Rasulullah SAW, keluarga beserta para sahabat yang telah menjadi tauladan dalam berbagai aspek kehidupan bagi kita semua. Tema penelitian ini adalah hormon pertumbuhan pada krustase khususnya kepiting bakau, dengan judul “Ekspresi Gen Penyandi Farnesoic Acid O-Methyl Transferase pada Organ Mandibular Kepiting Scylla olivacea Fase Intermolt dan Premolt”. Penelitian ini merupakan tahapan paling awal dari suatu rangkaian panjang penelitian untuk membuktikan bahwa ekstrak organ mandibular kepiting dapat menstimulasi molting kepiting. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Drh. Retno D. Soejoedono, MS dan Dr. Drh. Ni Luh Putu Ika Mayasari selaku pembimbing dalam penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih banyak kepada laboran Lab. Imunologi FKH IPB, dosen, staf pegawai dan teman-teman di mayor Bioteknologi 2012. Tulisan ini saya persembahkan kepada kedua orang tua MUH. Yusuf Empo dan Hj. Tahira Tanang, saudara dan keluarga tercinta yang telah banyak memberi do’a, dukungan serta pengorbanan demi kelancaran studi penulis. Kepada suami Akbar Marzuki Tahya yang telah banyak memberi masukan, ide dan dukungan kepada penulis. Tidak lupa juga kepada putra kami Imalabbiri Al-Rashid Tahya yang hadir memberi kegembiraan dan kehangatan serta hiburan kepada penulis. Akhir kata, penulis sangat berharap tulisan ini dapat bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya dan dapat berkontribusi dalam kemajuan ilmu pengetahuan serta menjadi referensi untuk penelitian yang berkaitan. Terima kasih dan Wassalam.
Bogor, Maret 2016 Sunarti
10
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1
2
3
4
Halaman ix x xi
PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Hipotesis Penelitian Manfaat Penelitian
1 2 2 2
TINJAUAN PUSTAKA Biologi Kepiting Molting dan Pertumbuhan Metil Farnesoat Farnesoic Acid O-methyltransferase (FAmeT) Ekspresi RNA Penyandi FAmeT Urutan Oligonukleotida cDNA Penyandi FAmeT
3 4 5 6 6 7
METODE Waktu dan Tempat Penelitian Hewan Uji Koleksi Organ Madibular Ekstraksi DNA Uji Kualitas DNA Hasil Ekstraksi Amplifikasi DNA Penyandi FAmeT Ekstraksi RNA Uji Kualitas RNA Hasil Ekstraksi Amplifikasi RNA Penyandi FAmeT Ekspresi RNA Penyandi FAmeT Ektraksi cDNA dari Gel Agarose untuk Pengurutan Oligonukleotida Konfirmasi Hasil Elusi Gel Pengurutan Oligonukleotida Analisis Urutan Oligonukleotida cDNA Penyandi FAmeT Analisis Statistik HASIL DAN PEMBAHASAN Konfirmasi Hasil Ekstraksi DNA dan RNA Organ Mandibular Kepiting Bakau S. olivacea Amplifikasi Gen Penyandi FAmeT Ekspresi RNA Penyandi FAmeT Analisis Urutan Oligonukleotida cDNA Penyandi FAmeT Pembahasan
8 8 8 8 9 9 10 10 10 11 11 12 12 12 12
13 14 15 17 20
11
5
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
22 22
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
23 25 30
DAFTAR TABEL 1 2
Analisis kesamaan urutan oligonukleotida cDNA penyandi FAmeT S. olivacea dengan beberapa krustasea lain Perbedaan basa nukleotida cDNA penyandi FAmeT S. olivacea, S. serrata, dan S. paramamosain
18 19
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Perbedaan morfologi beberapa spesies kepiting bakau Struktur kimia metil farnesoat pada krustasea dan juvenil hormon III pada insekta Skema posisi primer FAmeTG1 dan FAmeTG2, FAmeTQ1 dan FAmeTQ2 pada gen penyandi FAmeT S. paramamosain Skema posisi primer β-actin pada gen S. paramamosain Amplifikasi DNA OM S. olivacea menggunakan primer β-actin Amplifikasi cDNA OM S. olivacea menggunakan primer β-actin Amplifikasi DNA penyandi FAmeT S. olivacea fase intermolt dan premolt menggunakan primer FAmeTG1 dan FAmeTG2 Amplifikasi cDNA penyandi FAmeT S. olivacea fase intermolt dan premolt menggunakan primer FAmeTQ1 dan FAmeTQ2 Urutan basa nukleotida hasil pengurutan oligonukleotida cDNA penyandi FAmeT kepiting bakau S. olivacea Posisi dan lokasi perbedaan basa nukleotida cDNA penyandi FAmeT S. olivacea terhadap S. serrata dan S. paramamosain
4 5
9 9 13 14 15 16 17 19
12
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Konsentrasi ekspresi RNA β-actin berdasarkan ketebalan pendaran pita gel Konsentrasi dan tingkat kemurnian DNA hasil ekstraksi dengan spektrofotometer Konsentrasi dan tingkat kemurnian RNA hasil ekstraksi dengan spektrofotometer Konsentrasi produk PCR DNA penyandi FAmeT fase intermolt dan premolt dengan spektrofotometer Konsentrasi produk PCR cDNA penyandi FAmeT fase intermolt dan premolt dengan spektrofotometer Analisis statistik perbedaan konsentrasi produk PCR cDNA penyandi FAmeT pada fase intermolt dan premolt Konsentrasi ketebalan pendaran gel cDNA β-actin dan cDNA penyandi FAmeT fase intermolt dan premolt Analisis statistik perbedaan konsentrasi ketebalan pendaran gel cDNA penyandi FAmeT fase intermolt dan premolt Visualisasi elektropherogram cDNA penyandi FAmeT kepiting bakau S. olivacea Urutan basa nukleotida hasil pengurutan oligonukleotida pendaran cDNA sepanjang 191 basa Visualisasi elektropherogram cDNA sepanjang 191 basa
25 25 26 26 26 27 27 27 28 28 29
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kepiting merupakan salah satu komoditas perikanan Indonesia yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan tersebar di seluruh perairan payau Indonesia. Empat spesies kepiting bakau yaitu Scylla serrata, Scylla paramamosain, Scylla olivacea dan Scylla transquebarica juga berada di Indonesia. Kepiting memiliki nilai ekonomi tinggi baik di pasar domestik maupun internasional. Kepiting diekspor dalam bentuk utuh segar, cangkang lunak (soka) maupun daging beku. Semester pertama tahun 2013 ekspor kepiting mencapai 19.000 ton senilai Rp 2.25 triliun yang mengalami peningkatan 7.82% dari tahun 2012. Permintaan pasar tersebut diperkirakan akan terus mengalami peningkatan melihat pola kenaikan yang terjadi di tiap tahunnya (Tempo 2013). Oleh karena itu, banyak nelayan yang menjadikan kepiting sebagai sumber penghasilan. Hampir seluruh permintaan pasar dipenuhi dari hasil tangkap nelayan di alam, sehingga ketersediaan kepiting di alam menjadi berkurang. Sementara untuk produksi kepiting cangkang lunak (soka), saat ini petani memproduksi kepiting soka dengan cara mutilasi atau mematahkan seluruh kaki kepiting. Padahal cara tersebut dianggap sangat tidak memperhatikan kesejahteraan hewan, sehingga beberapa negara menolak produk tersebut. Selain itu, bobot tubuh kepiting akan berkurang 30% bila dibandingkan dengan kepiting molting tanpa mutilasi (Fujaya et al. 2010). Oleh karena itu, dibutuhkan solusi untuk mencari cara meningkatkan produksi kepiting dan cara memproduksi kepiting cangkang lunak yang baik. Pendekatan yang saat ini banyak dilakukan oleh para ahli adalah pendekatan secara hormonal, yaitu mengkaji kemungkinan pemanfaatan hormonhormon yang berperan di dalam pertumbuhan dan reproduksi krustase. Salah satu hormon yang penting untuk pertumbuhan dan reproduksi adalah Metil Farnesoat (MF). Metil Farnesoat diketahui sebagai salah satu hormon pertumbuhan yang disintesis dan diekskresikan oleh organ mandibular (OM) pada beberapa krustase (Borst et al. 2001; Nagaraju 2007). Metil Farnesoat memiliki peran dalam mengontrol perkembangan, morfogenesis dan reproduksi (Holford et al. 2004), dapat menstimulasi perkembangan gonad dan produksi ekdisteroid di gonad, hepatopankreas, organ-Y, otak dan ganglia thorak (Nagaraju et al. 2011). Sintesis MF dikatalisis oleh enzim farnesoic acid O-methyl transferase (FAmeT) yang merupakan enzim utama yang bekerja mengkonversi Asam Farnesoat (AF) menjadi MF pada tahap akhir sintesis (Borst et al. 2001; Liu et al. 2010). Pada beberapa krustase seperti udang Metapenaeus ensis dan American lobster Homarus americanus, FAmeT digunakan untuk mendeteksi keberadaan MF (Gunawardene et al. 2002; Holford et al. 2004). Metil Farnesoat diekskresikan dan ditransportasikan melalui hemolim dengan bantuan sinyal peptida menuju organ Y (Nagaraju 2007). Pada organ Y, MF akan menstimulasi sintesis hormon ekdisteroid yang selanjutnya diekskresikan ke dalam hemolim. Peningkatan konsentrasi hormon eksditeroid akan menstimulasi reproduksi dan molting pada krustasea. Injeksi MF ke organ Y krustasea dapat menstimulasi sintesis ekdisteroid dan pada beberapa kajian telah
2
menguji secara langsung ekstrak kasar organ mandibular secara in vitro (Tamone dan Chang 2002). Konsentrasi MF di dalam OM memiliki korelasi positif dengan fase molting (Laufer et al. 2002; Nagaraju et al. 2004). Pemanfaatan OM dalam menstimulasi molting kepiting merupakan sebuah metode baru yang diharapkan dapat menjadi solusi dalam memproduksi kepiting cangkang lunak yang ramah organisme. Pada aplikasinya, dibutuhkan OM kepiting yang akan dijadikan sebagai organ donor untuk diinjeksikan pada kepiting. Terdapat dua fase kepiting yang organ mandibularnya berpotensi untuk digunakan sebagai organ donor yaitu fase intermolt dan premolt. Untuk menentukan fase mana yang terbaik sebagai organ donor, dibutuhkan informasi terkait kandungan MF pada organ mandibular kepiting. Namun, informasi kandungan MF pada kepiting S. olivacea belum tersedia. Oleh karena itu, penelitian ini sangat penting untuk memperoleh informasi terkait hormon MF melalui pendekatan molekuler terhadap ekspresi RNA penyandi FAmeT pada organ mandibular kepiting yang nantinya akan digunakan sebagai informasi dasar dalam menentukan organ mandibular yang tepat yang akan digunakan sebagai organ donor dalam menstimulasi molting kepiting. Tujuan Penelitian Analisis ekspresi gen penyandi FAmeT pada organ mandibular kepiting bakau (Scylla olivacea) bertujuan untuk mengetahui tingkat ekspresi gen penyandi FAmeT kepiting bakau fase intermolt dan premolt dan mengkarakterisasi urutan oligonukleotida parsial gen penyandi FAmeT. Hipotesis Penelitian Hipotesis yang mendasari penelitian ini adalah tingkat ekspresi gen penyandi FAmeT pada organ mandibular berfluktuasi seiring perubahan fase molting dan urutan oligonukleotida gen penyandi FAmeT memiliki kemiripan dengan urutan oligonukleotida gen penyandi FAmeT pada spesies Scylla lainnya. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan berguna untuk mempercepat molting dan reproduksi pada kepiting dan kerabatnya serta mendapatkan informasi urutan oligonukleotida parsial gen penyandi FAmeT pada kepiting bakau Scylla olivacea.
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
Biologi Kepiting Keenan et al. (1998) menyatakan bahwa kepiting bakau terdiri atas 4 spesies yaitu Scylla paramamosain yang ditemukan oleh Estampador pada tahun 1949, Scylla serrata oleh Forskal pada tahun 1775, Scylla olivacea oleh Herbst pada tahun 1796 dan Scylla transquebarica oleh Fabricius pada tahun 1798. Perbedaan diantara spesies kepiting tersebut terlihat dari ciri morfologi seperti warna, capit dan duri pada dahi, sedangkan perbedaan kelamin jantan dan betina terlihat pada bagian appron dan capitnya. Kepiting jantan memiliki appron berbentuk agak lancip menyerupai segitiga sama kaki, sedangkan kepiting betina dewasa berbentuk bulat dan melebar. Kepiting jantan dewasa memiliki ukuran capit lebih besar dibandingkan dengan betina untuk umur yang sama (Rangka 2007). Scylla serrata memiliki duri yang relatif lebih pendek, berwarna kemerahan hingga orange terutama pada bagian kaki dan capitnya. Duri pada dahi tinggi, sempit, dan agak kasar serta cekungan diantara dua duri berbentuk bulat. Sementara S. tranquebarica memiliki duri pada dahi agak tinggi, tumpul, dan cekungan antara dua duri berbentuk bulat. Kaki renang berwarna kehijauan sampai kehitaman dengan sedikit garis-garis berwarna kecoklatan. S. paramamosain memiliki duri pada dahi yang tinggi, berbentuk segitiga dan bagian tepi bergaris lurus serta cekungan antara dua duri berbentuk siku (2 duri tengah lebih tinggi). S. olivacea memiliki duri berbentuk bulat pada dahi dengan cekungan antara dua duri yang dangkal. Seluruh tubuhnya memiliki warna kehijauan dan terdapat garis-garis biru coklat kecuali pada bagian perut (Gambar 1). Secara umum S. olivacea dan S. transquebarica memiliki ukuran lebih besar dari S. serrata untuk umur yang sama (Keenan et al. 1998). Pada kondisi lingkungan yang baik, kepiting dapat bertahan hidup sampai mencapai umur 3–4 tahun. Kepiting yang berumur 12–14 bulan sudah dianggap kepiting dewasa dan dapat dipijahkan. Dalam satu kali memijah, kepiting betina mampu menyimpan sperma jantan dan dapat melakukan pemijahan hingga tiga kali tanpa melakukan perkawinan lagi. Kepiting dapat menghasilkan jutaan telur tergantung ukuran induk (Rangka 2007). Siklus hidup kepiting dimulai dari zoea menjadi megalopa, selanjutnya menjadi kepiting muda dan akhirnya menjadi kepiting dewasa. Selama masa pertumbuhan menjadi kepiting dewasa, kepiting akan mengalami pergantian kulit (molting) sebanyak 17–20 kali. Proses molting pada zoea berlangsung lebih cepat yaitu sekitar 3–4 hari, sedangkan pada fase megalopa, pergantian kulit berlangsung relatif lebih lama yaitu 7 hari (Rangka 2007).
4
Karapas
Capit
A
B
C
D
Gambar 1
Perbedaan morfologi beberapa spesies kepiting bakau. (A) S. serrata, (B) S. transquebarica, (C) S. paramamosain, (D) S. olivacea (Keenan et al. 1998) Molting dan Pertumbuhan
Secara morfologi, kepiting bakau memiliki cangkang keras (karapas) yang menutupi seluruh bagian tubuhnya. Cangkang tersebut bersifat kaku dan keras sehingga membatasi pertumbuhan daging dan organ-organ yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, semua krustase melakukan pergantian cangkang dengan cangkang baru yang memiliki ukuran lebih besar melalui suatu proses yang disebut molting. Setiap periode molting, cangkang akan menjadi lebih besar hingga mencapai 20–30% dari ukuran sebelumnya (Kuntiyo et al. 1994) Molting terdiri atas beberapa tahapan yang diawali dengan fase intermolt yaitu masa aktif mencari makan dan mengumpulkan nutrisi. Desakan pertumbuhan daging atau sinyal hormon untuk reproduksi menyebabkan lapisan hipoepidermis terpisah dari rangka (kutikula) dan menghasilkan epikutikula baru. Tahapan ini disebut dengan premolt. Tahapan selanjutnya adalah molt (ekdisis) yaitu ketika kepiting akan mengeluarkan cangkang lamanya dan membentuk cangkang baru. Sesaat setelah molting, cangkang baru masih sangat lunak (pada tahap postmolt) dan akan berangsur-angsur menjadi keras (Suwignyo et al. 2005). Molting tidak hanya dilakukan kepiting untuk proses pertumbuhan semata. Molting juga dilakukan untuk proses reproduksi, mempertahankan diri dari kondisi lingkungan yang tidak optimal serta regenerasi bagian tubuh yang hilang.
5
Kehilangan bagian tubuh kepiting menyebabkan produksi hormon pertumbuhan meningkat dan akan memacu pembentukan kembali anggota badan yang hilang (Rangka et al. 2007). Metil Farnesoat Metil Farnesoat (MF) merupakan hormon krustase yang memiliki struktur kimia seskuiterpenoid (Borst et al. 2001; Li et al. 2010) dan merupakan keluarga Juvenil Hormon (JH) pada insekta (Gambar 2) (Borst et al. 2001; Holford et al. 2004). Struktur MF tersebut memiliki kemiripan dengan JH III pada insekta (Holford et al. 2004) yang berperan mengatur perkembangan dan reproduksi. MF diproduksi dan dilepaskan oleh organ mandibular (OM) krustase (Laufer et al. 1997). MF memiliki peran penting dalam mengatur perkembangan, morfogenesis, dan reproduksi krustase (Holford et al. 2004). Pada beberapa krustase, biosintesis dan konsentrasi MF memperlihatkan korelasi positif dengan pematangan gonad (Gunawardene et al. 2002) .
Gambar 2 Struktur kimia metil farnesoat pada krustase dan juvenil hormon III pada insekta (Borst et al. 2001) Produksi MF di dalam organ mandibular pada beberapa hasil penelitian yang telah dilaporkan sebelumnya menunjukkan tingkat konsentrasi MF berbeda pada berbagai fase molting. Laufer et al. (2002) menunjukkan bahwa kepiting spider crab Libinia emarginata yang telah diablasi tangkai matanya mengalami peningkatan konsentrasi MF di dalam hemolim. Peningkatan terjadi dari hari ke30 sebelum molting (<0.3 ng/ml) sampai hari ke-7 sebelum molting (1.5 ng/ml). Pernyataan tersebut sejalan dengan hasil yang dikemukakan oleh Fujaya dan Trijuno (2007) bahwa konsentrasi hormon molting di dalam hemolim bervariasi selama siklus molting dimana konsentrasi hormon pertumbuhan meningkat drastis pada fase premolt dan menurun drastis pada fase postmolt. Nagaraju et al. (2004) juga menemukan bahwa ukuran organ mandibular pada kepiting Oziotelphusa senex senex berkorelasi positif dengan kandungan MF. Organ mandibular meningkat signifikan selama reproduksi (fase intermolt, premolt, dan molt), sementara pada fase postmolt memiliki organ mandibular yang lebih kecil. Metil Farnesoat diekskresikan dan ditransportasikan melalui hemolim menuju organ Y (Nagaraju 2007). Pada organ Y, MF akan menstimulasi sintesis hormon ekdisteroid yang selanjutnya diekskresikan ke dalam hemolim. Di dalam hemolim, ekdisteroid akan dikonversi menjadi hormon aktif 20-hidroksiekdison oleh aktivitas enzim 20-hidroksilase yang terdapat pada bagian organ epidermis dan jaringan tubuh lainnya (Gunamalai et al. 2003). Hormon aktif 20-
6
hidroksiekdison secara langsung dapat memicu reproduksi dan molting pada krustase. Farnesoic Acid O-methyltransferase (FAmeT) Farnesoic acid O-methyltransferase (FAmeT) merupakan enzim yang mengkatalisis Asam Farnesoat menjadi Metil Farnesoat pada tahap akhir biosintesis. mRNA penyandi FAmeT diekspresikan sepanjang siklus molting pada tangkai mata dan saraf depan pada udang Metapenaeus ensis. Distribusi RNA penyandi FAmeT menunjukkan bahwa enzim ini berkaitan dengan proses fisiologis sebagai tambahan untuk pematangan telur, perkembangan dan metamorfosis pada udang Metapenaeus ensis (Gunawardene et al. 2002). Antara insekta dan krustase, FAmeT memainkan peran dalam mengatur sintesis MF dan metamorfosis melalui MF. Pada udang Metapenaeus ensis, mRNA penyandi FAmeT diekspresikan sepanjang pematangan gonad pada saraf dan tangkai mata. Kuballa et al. (2007) menemukan bahwa urutan oligonukleotida RNA penyandi FAmeT pada rajungan dan kepiting bakau Scylla serrata memiliki 3 bentuk, yaitu bentuk urutan oligonukleotida long, intermediate dan short. Pada udang Penaeus monodon, Fenneropenaeus merguiensis, lobster Thenus orientalis dan lobster Parastacid cherax quadricarinatus RNA penyandi FAmeT memiliki 2 bentuk urutan oligonukleotida yaitu long dan short. Hal tersebut mengindikasikan bahwa gen penyandi FAmeT pada beberapa krustase merupakan kelompok multigen. Total cDNA penyandi FAmeT pada insekta Nilaparvata lugens mengkode 299 asam amino (Liu et al. 2010), 275 asam amino pada kepiting Cancer pagurus betina (Ruddell et al. 2003), dan 276 asam amino pada lobster Homarus americanus (Holford et al. 2004). Estimasi berat molekul FAmeT pada lobster Homarus americanus adalah 38 KDa (Holford et al. 2004). Ekspresi RNA Penyandi FAmeT Ekspresi RNA penyandi FAmeT dapat ditemukan selama fase intermolt, premolt, dan postmolt pada jaringan tangkai mata udang kecil dan udang dewasa. Sejalan dengan itu, RNA penyandi FAmeT juga terekspresi pada saraf depan udang kecil dan udang dewasa selama siklus molting walaupun tidak ada perbedaan berarti pada tingkat ekspresi RNA penyandi FAmeT (Gunawardene et al. 2002). Ekspresi RNA penyandi FAmeT terlihat pada berbagai organ kepiting S. paramamosain seperti hati, otot, otak, ganglion thorak, tangkai mata, perut, ovarium, hepatopankreas dan insang (Yang et al. 2012). Tiga bentuk RNA penyandi FAmeT (long, intermediet dan short) juga ditemukan terekspresi pada otak, tangkai mata, epidermis, organ mandibular, otot dan organ-Y pada juvenil rajungan Portunus pelagicus jantan selama fase intermolt, premolt, molt dan posmolt (Kuballa et al. 2007). Tingkat ekspresi RNA penyandi FAmeT tinggi pada semua organ kecuali pada otot (Yang et al. 2012). Sementara pada kepiting Cancer pangurus, selama pertengahan hingga akhir perkembangan ovarium, tingkat ekspresi RNA penyandi FAmeT pada organ mandibular mengalami fluktuasi, meskipun belum dapat diidentifikasi dengan pasti (Ruddel et al. 2003).
7
Urutan Oligonukleotida cDNA Penyandi FAmeT Tiga bentuk cDNA penyandi FAmeT telah diisolasi pada rajungan Portunus pelagicus dan kepiting bakau S. serrata. Tiga bentuk cDNA penyandi FAmeT pada kepiting bakau S. serrata terdiri atas long (703 basa), intermediate (697 basa) dengan 6 delesi dari bentuk long, dan short (688 basa) dengan 15 bp delesi dari bentuk long (Kuballa et al. 2007). Hasil penelitian tersebut sejalan dengan hasil yang ditemukan oleh Yang et al. (2012) yang juga menemukan 3 bentuk cDNA penyandi FAmeT pada kepiting bakau S. paramamosain yaitu long (1215 basa), intermediate (1209 basa) dan short (1200 basa). Keberadaan bentuk cDNA penyandi FAmeT tersebut terlihat sebagai hasil dari kelompok multi gen. Perbedaan tersebut tidak terlihat seperti hasil alternative splicing atau modifikasi pasca transkripsi, pada urutan oligonukleotida cDNA penyandi FAmeT juga tidak ditemukan intron (Kuballa et al. 2007; Yang et al. 2012). Analisis kesejajaran urutan oligonukleotida cDNA penyandi FAmeT S. olivacea dengan spesies lainnya dilakukan dengan program BLAST (Basic Local Alignment Search Tool) pada NCBI. BLAST adalah program berbasis bioinformatik dengan tujuan untuk mencari kesejajaran dari bagian urutan basa nukleotida atau asam amino (local alignment) yang memiliki nilai yang paling tinggi. BLAST dapat digunakan sebagai alat untuk menentukan identitas suatu fragmen DNA yang belum diketahui berdasarkan tingkat homologi dengan gen atau fragmen DNA yang telah diketahui di GenBank (Mount 2001).
8
3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini mulai dilaksanakan pada Desember 2013 hingga November 2015 di Laboratorium Pendidikan dan Layanan, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Hewan Uji Hewan uji yang digunakan adalah kepiting bakau jenis Scylla olivacea pada fase intermolt dan premolt. Kepiting yang diuji diseragamkan bobot tubuhnya yaitu ±100g/ekor. Koleksi Organ Madibular Enam puluh miligram organ mandibular diperoleh dari 10 ekor kepiting bakau pada masing-masing fase molting yang telah ditentukan. Sebelum isolasi organ mandibular, kepiting dilemahkan menggunakan air dingin. Kepiting dibedah dan diambil organ mandibularnya kemudian ditimbang dan segera dibekukan dengan dimasukkan ke dalam pendingin -80°C. Ekstraksi DNA Ekstraksi DNA total organ mandibular kepiting dilakukan menggunakan kit NucleoSpin Tissue (Macherey Nagel) sesuai petunjuk perusahaan. Sebanyak 25 mg organ mandibular dimasukkan ke dalam tabung mikro 1.5 ml kemudian ditambahkan 180 μl Buffer T1 dan 25 μl Proteinase K, selanjutnya dihomogenkan dengan vortex. Larutan organ kemudian diinkubasi pada suhu 56°C selama 3 jam dan selama proses inkubasi, larutan dihomogenkan setiap 15 menit untuk mempercepat lisis pada organ. Setelah organ larut sempurna, sebanyak 200 μl Buffer B3 ditambahkan. Larutan dihomogenkan dan selanjutnya diinkubasi pada suhu 70°C selama 10 menit. Larutan disentrifugasi 11000×g pada suhu 25°C selama 5 menit, kemudian larutan yang berisi ekstrak organ mandibular dipindahkan ke tabung mikro 1.5 μl baru. Sebanyak 210 μl ethanol 100% ditambahkan ke dalam tabung mikro kemudian dihomogenkan dengan vortex dan selanjutnya dimasukkan ke dalam NucleoSpin Column. Larutan kemudian disentrifugasi 11000×g selama 1 menit pada suhu 25°C. Sebanyak 500 μl Buffer BW ditambahkan ke dalam NucleoSpin Column kemudian disentrifugasi pada kecepatan 11000×g pada suhu 25°C selama 1 menit untuk menghilangkan residu etanol yang masih tersisa pada membran NucleoSpin Column. Sebanyak 600 μl Buffer B5 ditambahkan ke dalam NucleoSpin Column kemudian disentrifugasi pada kecepatan 11000×g pada suhu 25°C selama 1 menit. Spin Column kemudian ditempatkan pada tabung mikro 1.5 ml lalu ditambahkan buffer BE sebanyak 100 μl yang sebelumnya dihangatkan pada suhu 70°C. Selanjutnya larutan diinkubasi pada suhu ruang selama 1 menit, kemudian disentrifugasi
9
kecepatan 11000×g pada suhu 25°C selama 1 menit. Cairan yang tertampung pada tabung mikro merupakan DNA total dari hasil ekstraksi organ mandibular. Uji Kualitas DNA Hasil Ekstraksi Kualitas hasil ekstraksi DNA diuji secara kuantitatif untuk mengetahui tingkat konsentrasi dan kemurniannya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 260 nm dan 280 nm. DNA dengan tingkat kemurnian baik ditunjukkan oleh rasio A260/280 1.8–2.0 (Sambrook et al. 1989). Selain itu, kualitas DNA hasil ekstraksi juga diuji secara kualitatif dengan PCR menggunakan primer βactin. Amplifikasi DNA Penyandi FAmeT Amplifikasi DNA penyandi FAmeT kepiting dilakukan dengan menggunakan kit PCR Master Mix i-Taq (Intron) sesuai petunjuk perusahaan. Primer spesifik gen penyandi FAmeT yang digunakan adalah primer forward FAmeTG1 5′-CTGGCACGGACGAGAACA-3′ dan reverse FAmeTG2 5′-GCGACGCTGAAGGAGATGG-3′ dengan panjang amplifikasi 550 bp (Gambar 3) (Yang et al. 2012). Kondisi PCR yang digunakan yaitu 94°C selama 5 menit, 30× (94°C selama 30 detik, 50°C selama 3 menit, 72°C selama 1 menit), dan 72°C selama 10 menit. Primer β-actin yang digunakan adalah primer fordward β-actinF 5′-GAGCGAGAAATCGTTCGTGAC-3′ dan primer reverse β-actinR 5′-GGAAGGAAGGCTGGAAGAGAG-3′ (Zeng et al. 2013) dengan posisi primer seperti pada Gambar 4. Kondisi PCR untuk β-actinF dan β-actinR (202 bp) yaitu pre-denaturasi 95°C selama 30 detik, 50× (95°C selama 10 detik, 60°C selama 30 detik, 72°C selama 20 detik), dan 72°C selama 10 menit (Zeng et al. 2013). Visualisasi hasil PCR menggunakan gel agarose 1.5% untuk DNA penyandi FAmeT dan 2% untuk β-actin dalam buffer TAE 1× dengan menggunakan pewarna ethidium bromide 0.5 µg/ml.
Gambar 3 Skema posisi primer FAmeTG1 dan FAmeTG2, FAmeTQ1 dan FAmeTQ2 pada cDNA FAmeT S. paramamosain (Yang et al. 2012)
10
Gambar 4 Skema posisi primer β-actin pada gen S. paramamosain (Zeng et al. 2013) Ekstraksi RNA Total RNA kepiting bakau Scylla olivacea diperoleh menggunakan RNeasy Mini Kit (Qiagen), sesuai petunjuk perusahaan. Sebanyak 30 mg organ mandibular kepiting dihaluskan menggunakan mortar dingin dan ditambahkan dengan 600 µl buffer RLT. Larutan dimasukkan ke dalam tabung mikro 1.5 ml bebas RNase kemudian dihomogenisasi dengan syringe dan needle 20 gauge sebanyak 5 kali dan selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 14000 rpm selama 3 menit pada suhu 20°C. Supernatan dipindahkan ke dalam tabung mikro 1.5 ml yang baru kemudian ditambahkan 1 kali volume ethanol 70% dan dihomogenkan. Sebanyak 700 µl sampel dipindahkan ke dalam spin column volume 2 ml bebas RNase kemudian disentrifugasi 15 detik pada suhu 20°C dengan kecepatan 14000 rpm. Proses pencucian menggunakan 700 µl buffer RW 1 dan disentrifugasi selama 15 detik pada suhu 20°C dengan kecepatan 14000 rpm. Larutan pencuci pada tabung dibuang dan ditambahkan 500 µl buffer RPE ke dalam spin column kemudian disentrifugasi selama 15 detik pada suhu 20°C dengan kecepatan 14000 rpm. Pencucian dengan buffer RPE dilakukan sebanyak 2 kali dan selanjutnya spin column disentrifugasi selama 1 menit pada suhu 20°C dengan kecepatan 14000 rpm untuk memastikan tidak ada buffer RPE yang tersisa di spin column. Spin column RNeasy dipindahkan ke dalam tabung mikro bebas RNase volume 1.5 µl kemudian ditambahkan 50 µl air bebas RNase ke dalam spin column dan disentrifugasi selama 1 menit pada kecepatan 14000 rpm. Larutan yang diperoleh pada tabung mikro merupakan RNA hasil ekstraksi. Uji Kualitas RNA Hasil Ekstraksi Kualitas hasil ekstraksi RNA diuji secara kuantitatif dan kualitatif. Uji kuantitatif untuk mengetahui konsentrasi RNA dan tingkat kemurniannya menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 260 nm dan 280 nm. Uji kualitatif dengan PCR menggunakan primer β-actin. Amplifikasi RNA Penyandi FAmeT Amplifikasi RNA penyandi FAmeT menggunakan kit SuperScript III OneStep RT-PCR with Platinum Taq Polimerase (Invitrogen) sesuai petunjuk perusahaan. Primer spesifik FAmeT yang digunakan adalah FAmeTQ1 5′GGCACGGACGAGAACAA-3′ dan FAmeTQ2 5′-GCGACGCTGAAGGAGAT3′ dengan panjang amplifikasi 450 bp (Gambar 3). Kondisi PCR untuk FAmeTQ1
11
dan FAmeTQ2 (modifikasi dari Yang et al. 2012) yaitu sintesis cDNA 45°C selama 30 menit, pre-denaturasi 94°C selama 2 menit, 35× (94°C selama 30 detik, 50°C selama 1 menit, 72°C selama 30 detik), dan 72°C selama 10 menit. Kondisi PCR untuk β-actinF dan β-actinR (202 bp) yaitu sintesis cDNA 45°C selama 30 menit, pre-denaturasi 95°C selama 30 detik, 50× (95°C selama 10 detik, 60°C selama 30 detik, 72°C selama 20 detik), dan 72°C selama 10 menit (Zeng et al. 2013). Hasil Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RTPCR) selanjutnya divisualisasi menggunakan gel agarose 1.5% untuk RNA FAmeT dan 2% untuk β-actin dalam buffer TAE 1× dengan menggunakan pewarna ethidium bromide 0.5 µg/ml. Ekspresi RNA Penyandi FAmeT Ekspresi RNA penyandi FAmeT organ mandibular kepiting bakau S. olivacea ditentukan dengan mengukur ketebalan pendaran pita RNA penyandi FAmeT dan β-actin menggunakan software UN SCAN-IT. Untuk menyeragamkan konsentrasi sampel yang digunakan, ekspresi RNA β-actin digunakan sebagai pembanding dalam menentukan nilai ekspresi RNA penyandi FAmeT. Nilai ekspresi RNA β-actin yang digunakan sebagai patokan adalah nilai ekspresi yang paling rendah. Sehingga sampel yang memiliki konsentrasi ekspresi RNA β-actin yang lebih tinggi, akan dikonversi setara dengan nilai ekspresi RNA β-actin yang menjadi patokan. Ektraksi cDNA dari Gel Agarose untuk Pengurutan Oligonukleotida Ektraksi cDNA dari gel agarose dilakukan untuk memperoleh cDNA murni sesuai target. Isolasi cDNA pada gel dilakukan dengan cara memotong gel pada bagian yang terdapat pita cDNA kemudian dielusi menggunakan kit NucleoSpin® Gel and PCR Clean-up (Macherey-Nagel) sesuai petunjuk perusahaan. Potongan gel dimasukkan ke dalam tabung mikro 1.5 ml kemudian ditimbang untuk mengetahui bobotnya. Selanjutnya, dimasukkan buffer NTI sebanyak 2 kali volume gel dan diinkubasi pada suhu 50°C selama 10 menit. Setiap 2 menit, gel dihomogenkan agar proses pelarutan gel lebih cepat. Setelah gel larut sempurna, sebanyak 700 µl larutan dipindahkan ke dalam nucleospin column dan selanjutnya disentrifugasi 11000×g pada suhu 25°C selama 30 detik pada suhu ruang. Proses pencucian dilakukan dengan menambahkan 700 µl buffer NT3 ke dalam nucleospin column, kemudian disentrifugasi pada kecepatan 11000×g selama 30 detik pada suhu 25°C. Proses pencucian dengan buffer NT3 dilakukan sebanyak dua kali dengan prosedur yang sama. Untuk menghilangkan residu etanol pada membran, nucleospin column diinkubasi pada suhu 70°C selama 1 menit. Selanjutnya nucleospin column ditempatkan pada tabung mikro 1.5 ml bebas RNase. Sebanyak 30 µl buffer elusi ditambahkan kemudian diinkubasi pada suhu ruang selama 1 menit. Larutan kemudian disentrifugasi 11000×g selama 1 menit pada suhu 25°C. Cairan bening yang tertampung pada tabung mikro merupakan RNA hasil elusi.
12
Konfirmasi Hasil Elusi Gel Konfirmasi hasil elusi gel dilakukan untuk memastikan cDNA pada gel berhasil diekstrak. Konfirmasi hasil elusi dilakukan melalui proses PCR menggunakan primer FAmeTQ1 dan FAmeTQ2 sesuai prosedur yang dilakukan pada amplifikasi RNA penyandi FAmeT. Hasil PCR divisualisasi menggunakan gel agarose 1% dengan pewarna ethidium bromide 0.5 µg/ml. Pengurutan Oligonukleotida Proses pengurutan oligonukleotida (sequencing) dilakukan oleh PT. Genetika Science Jakarta dan 1 st Base Malaysia. Urutan oligonukleotida cDNA penyandi FAmeT yang diperoleh selanjutnya dianalisis untuk mengetahui tingkat kemiripannya dengan urutan oligonukleotida penyandi FAmeT pada spesies krustase lainnya. Analisis Urutan Oligonukleotida cDNA Penyandi FAmeT Urutan oligonukleotida cDNA penyandi FAmeT kepiting bakau S. olivacea dibandingkan dengan urutan oligonukleotida cDNA penyandi FAmeT kepiting bakau spesies yang lain dan beberapa krustasea lainnya yang memiliki kesamaan dengan S. olivacea. Tingkat kemiripan urutan oligonukleotida cDNA penyandi FAmeT S. olivacea dengan spesies lain dianalisis dengan menggunakan program BLAST (Basic Local Alignment Search Tool). Urutan oligonukleotida cDNA penyandi FAmeT spesies lainnya diperoleh dari NCBI (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/), sedangkan untuk mengetahui letak perbedaan urutan oligonukleotida cDNA penyandi FAmeT S. olivacea dengan Scylla yang lain, dilakukan dengan multiple alignment ClustalW pada program Bioedit.
Analisis Statistik Perbedaan konsentrasi produk PCR dan ketebalan pendaran pita gel cDNA penyandi FAmeT pada fase intermolt dan premolt dianalisis dengan menggunakan SPSS 15.0.
13
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Konfirmasi Hasil Ekstraksi DNA dan RNA Organ Mandibular Kepiting Bakau S. olivacea β-actin digunakan sebagai indikator keberhasilan proses ekstraksi DNA dan RNA karena fungsi gen β-actin yang dibutuhkan untuk menjaga fungsi sel sehingga diekspresikan secara terus menerus pada semua sel organisme (Lin dan Redies 2012). Tingkat ekspresi gen β-actin juga memiliki nilai yang sama pada semua sel, sehingga ekpresi gen β-actin digunakan sebagai pembanding dalam menentukan keseragaman konsentrasi RNA pada semua sampel baik pada sampel intermolt maupun premolt. Hasil PCR menggunakan primer β-actin memperlihatkan amplikon sepanjang 202 bp yang jelas terlihat pada semua sampel baik pada fase intermolt maupun premolt (Gambar 5 dan 6). Hasil tersebut menunjukkan bahwa ekstraksi DNA dan RNA dari organ mandibular kepiting bakau S. olivacea berhasil dilakukan. Sementara pengukuran konsentrasi ekspresi gen β-actin berdasarkan ketebalan pendaran pada gel memperlihatkan nilai yang cukup bervariasi pada semua sampel. Oleh karena itu, nilai ekspresi gen β-actin yang digunakan sebagai patokan untuk menyeragamkan nilai ekpresi adalah nilai yang paling rendah yaitu 222 ng/µl (Lampiran 1). Selain uji kualitatif dengan β-actin, hasil ekstraksi juga diuji secara kuantitatif untuk mengetahui konsentrasi DNA dan RNA yang berhasil diisolasi menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 260 nm dan 280 nm. Panjang gelombang 260 nm merupakan serapan maksimum untuk asam nukleat sedangkan panjang gelombang 280 nm merupakan serapan maksimum untuk protein (Sambrook et al. 1989). Nilai kemurnian DNA dan RNA ditentukan melalui perbandingan nilai absorbansi 260 nm dengan 280 nm.
Gambar 5 Amplifikasi DNA OM S. olivacea menggunakan primer βactin. M ; marker 100 bp, I.1–I.5; OM fase intermolt, P.1– P.5; OM fase premolt
14
Gambar 6 Amplifikasi cDNA OM S. olivacea menggunakan primer β-actin. M ; marker 100 bp, I.1–I.3; OM fase intermolt, P.1–P.3; OM fase premolt Konsentrasi DNA dan RNA yang diperoleh bervariasi pada masingmasing sampel. Konsentrasi hasil ekstraksi DNA tertinggi pada sampel premolt P.2 yaitu sebesar 121.3 µg/µl dan terendah pada sampel intermolt I.3 sebesar 48.2 µg/ µl dengan tingkat kemurnian yang sangat baik yaitu pada nilai terendah 1.89 (Lampiran 2). Konsentrasi hasil ekstraksi RNA tertinggi pada sampel premolt P.2 sebesar 190 µg/µl dan terendah pada sampel intermolt I.2 sebesar 59.8 µg/µl dengan tingkat kemurnian yang sangat baik yaitu diatas nilai 2 pada semua sampel (Lampiran 3). Amplifikasi Gen Penyandi FAmeT Amplifikasi gen penyandi FAmeT pada level DNA merupakan awal untuk mendeteksi keberadaan gen penyandi FAmeT organ mandibular S. olivacea sebelum melakukan isolasi dan amplifikasi RNA penyandi FAmeT.
15
bp
M
I.1
I.2
I.3
I.4
I.5
P.1
P.2
P.3
P.4
P.5
Gambar 7 Amplifikasi DNA penyandi FAmeT S. olivacea fase intermolt dan premolt menggunakan primer FAmeTG1 dan FAmeTG2. M; marker 100 bp, I.1–I.5; OM fase intermolt, P.1–P.5; OM fase premolt Visualisasi pada gel elektroforesis memperlihatkan pita DNA sepanjang 550 bp dan 820 bp (Gambar 7). Hal tersebut belum bisa dikatakan sebagai multikopi dari DNA penyandi FAmeT pada S. olivacea karena primer yang digunakan tidak mengamplifikasi daerah yang berbeda pada bentuk long, intermediate dan short seperti yang terdapat pada S. serrata (Kuballa et al. 2007) dan S. paramamosain (Yang et al. 2012). Yang et al. (2012) menemukan bahwa urutan oligonukleotida dari tiga bentuk DNA penyandi FAmeT (long, intermediate dan short) juga sangat mirip dengan tiga bentuk RNA penyandi FAmeT (long, intermediate dan short). Hal ini menunjukkan bahwa tiga bentuk RNA penyandi FAmeT tersebut bukan berasal dari proses alternatif splicing atau modifikasi pasca transkripsi sehingga dapat dikatakan bahwa 3 bentuk RNA penyandi FAmeT berasal dari DNA yang berbeda. Ekspresi RNA Penyandi FAmeT Hasil visualisasi produk RT-PCR RNA penyandi FAmeT S. olivacea memperlihatkan amplikon sepanjang 450 bp sesuai target (Gambar 8). Selain RNA target, terdapat juga pendaran pita pada semua sampel dengan ukuran yang lebih pendek yaitu 191 bp (Gambar 8). Hasil pegurutan oligonukleotida pendaran pita sepanjang 191 bp ini memperlihatkan susunan basa yang sangat berbeda dengan susunan basa cDNA penyandi FAmeT (Lampiran 10). Hal tersebut diduga sebagai daerah tidak spesifik yang ikut teramplifikasi pada saat PCR.
16
bp
M
I.1
I.2
I.3
P.1
P.2
P.3
Gambar 8 Amplifikasi cDNA penyandi FAmeT S. olivacea fase intermolt dan premolt menggunakan primer FAmeTQ1 dan FAmeTQ2. M ; marker 100 bp, I.1–I.3; OM fase intermolt, P.1–P.3; OM fase premolt Pengukuran konsentrasi dengan spektrofotometer menunjukkan perbedaan konsentrasi produk PCR antara fase intermolt dengan premolt. Nilai rata-rata konsentrasi produk PCR cDNA penyandi FAmeT pada fase intermolt adalah 765.4 ng/µl ±9.2, sementara pada fase premolt 790.3 ng/µl ±15.1 (Lampiran 5). Pengukuran konsentrasi produk PCR cDNA penyandi FAmeT menggunakan spektrofotometer tersebut sejalan dengan hasil pengukuran ketebalan pendaran pita cDNA penyandi FAmeT pada gel menggunakan software UN SCAN-IT. Nilai rata-rata konsentrasi ekspresi RNA penyandi FAmeT berdasarkan ketebalan pita pendaran cDNA adalah 412.1 ng/µl ±143.3 pada sampel intermolt, sementara pada sampel premolt adalah 442.5 ng/µl ±137.2 (Lampiran 7). Perubahan konsentrasi produk PCR dan konsentrasi ekspresi RNA berdasarkan ketebalan pendaran pita cDNA penyandi FAmeT pada gel tersebut memberikan gambaran umum pada peningkatan ekspresi RNA penyandi FAmeT pada fase intermolt ke fase premolt, meskipun tidak berbeda nyata (p<0.05) (Lampiran 6 dan 8). Adanya peningkatan nilai konsentrasi produk PCR dan konsentrasi ekspresi berdasarkan pendaran pita cDNA penyandi FAmeT dari fase intermolt ke fase premolt mengindikasikan bahwa ekspresi gen penyandi FAmeT pada S. olivacea mengalami peningkatan saat menjelang molting meskipun peningkatannya tidak begitu signifikan. Hasil yang diperoleh sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Gunawardene et al. (2002) yang menemukan bahwa ekspresi gen penyandi FAmeT diekspresikan pada fase intermolt, premolt dan postmolt dengan variasi tingkat ekspresi yang tidak signifikan selama siklus molting pada sistem saraf tangga tali dan tangkai mata udang juvenil dan udang dewasa.
17
Analisis Urutan Oligonukleotida cDNA Penyandi FAmeT Analisis urutan oligonukleotida cDNA penyandi FAmeT pada S. olivacea memperlihatkan deretan basa nukleotida sepanjang 450 basa (Gambar 9).
Gambar 9
Urutan basa nukleotida hasil pengurutan oligonukleotida cDNA penyandi FAmeT kepiting bakau S. olivacea
Proses pengurutan oligonukleotida yang dilakukan bersifat parsial, akan tetapi beberapa informasi terkait urutan oligonukleotida cDNA penyandi FAmeT sudah dapat diperoleh. Kuballa et al. (2007) dan Yang et al. (2012) membagi urutan oligonukleotida gen penyandi FAmeT kepiting bakau menjadi 3 jenis yaitu long, intermediate dan short. Yang et al. (2012) juga mengungkapkan bahwa perbedaan ketiga bentuk gen penyandi FAmeT tersebut terletak pada beberapa basa nukleotida pada daerah pengkode. Jika dibandingkan dengan urutan oligonukleotida long, terdapat 6 basa yang mengalami delesi pada urutan oligonukleotida intermediate dan 15 basa pada urutan oligonukleotida short. Adanya bentuk gen penyandi FAmeT yang beragam ini mengacu pada kemungkinan mekanisme kontrol untuk mengatur sintesis MF melalui pengaturan ekspresi pengaktifan bentuk enzim yang mengkatalisis tahap akhir konversi Asam Farnesoat (AF) menjadi Metil Farnesoat (Kuballa et al. 2007). Urutan oligonukleotida cDNA penyandi FAmeT S. olivacea pada penelitian ini belum dapat ditentukan jenis urutan oligonukleotidanya termasuk dalam bentuk long, intermediate ataupun short. Selain itu, sifat cDNA penyandi FAmeT juga belum dapat dipastikan termasuk dalam golongan multi kopi atau tidak seperti yang terdapat pada dua jenis Scylla lainnya. Hal tersebut dikarenakan urutan oligonukleotida cDNA penyandi FAmeT yang diperoleh bukan merupakan urutan oligonukleotida yang lengkap, melainkan sebatas urutan oligonukleotida yang diapit oleh sepasang primer spesifik FAmeTQ sepanjang 450 basa pada posisi tengah urutan oligonukleotida gen penyandi FAmeT S. serrata dan S. paramamosain. Akan tetapi, hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa urutan oligonukleotida yang diperoleh dapat ditemukan pada semua urutan oligonukleotida tiga bentuk cDNA penyandi FAmeT (long, intermediate dan short) pada S. serrata dan S. paramamosain. Hasil analisis kesamaan urutan oligonukleotida parsial cDNA penyandi FAmeT S. olivacea dengan S. paramamosain dan S. serrata. memperlihatkan persentasi nilai kesamaan sebesar 99%. Sementara pada rajungan P. trituberculatus yaitu sebesar 95% dan terhadap P. pelagicus sebesar 94% (Tabel 1). Hasil yang diperoleh tersebut menunjukkan bahwa urutan oligonukleotida parsial yang diperoleh tersebut memiliki nilai kesamaan yang tinggi terhadap S.
18
paramamosain dan S. serrata. Sementara pada jenis rajungan Portunus terdapat perbedaan sebesar 4–5%. Tabel 1 Analisis kesamaan urutan oligonukleotida cDNA penyandi FAmeT S. olivacea dengan beberapa krustasea lain
Bentuk cDNA penyandi FAmeT pada Scylla dan Portunus Short Scylla paramamosain Intermediate Scylla paramamosain Long Scylla paramamosain Short Scylla serrata Intermediate Scylla serrata Long Scylla serrata Short Portunus pelagicus Intermediate Portunus pelagicus Long Portunus pelagicus Portunus trituberculatus
Kode akses GenBank HQ587050.2 HM352791.2 HQ587049.2 DQ187989.1 DQ187990.1 DQ187991.1 DQ085280.1 DQ085281.1 DQ085282.1 KC192659.1
Persentase kemiripan dengan Scylla olivacea (%) 99 99 99 99 99 99 94 94 94 95
E value 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
Urutan oligonukleotida cDNA penyandi FAmeT S. olivacea sepanjang 450 basa jika disejajarkan dengan urutan oligonukleotida lengkap cDNA penyandi FAmeT sepanjang 1210 bp pada S. paramamosain dan S. serrata, berada pada posisi basa ke-112 sampai 562 (Gambar 10). Dari 450 basa penyusun cDNA penyandi FAmeT S. olivacea tersebut, terdapat beberapa basa nukleotida yang berbeda dengan urutan oligonukleotida cDNA penyandi FAmeT S. serrata dan S. paramamosain (Tabel 2).
19
Gambar 10 Posisi dan lokasi perbedaan basa nukleotida cDNA penyandi FAmeT S. olivacea terhadap S. serrata dan S. paramamosain dengan program Bioedit. gi110431781; long isoform cDNA penyandi FAmeT S. serrata, gi110431779; intermediet isoform cDNA penyandi FAmeT S. serrata, gi110431777; short isoform cDNA penyandi FAmeT S. serrata, gi396582127; long isoform cDNA penyandi FAmeT S. paramamosain, gi396582126; intermediet isoform cDNA penyandi FAmeT S. paramamosain, gi396582128; short isoform cDNA penyandi FAmeT S. paramamosain, R1 ̶ R3; cDNA penyandi FAmeT S. olivacea Tabel 2
Perbedaan basa nukleotida cDNA penyandi FAmeT S. olivacea, S. serrata, dan S. paramamosain
S. olivacea Sampel I II 117 T T 118 C C 119 G G 120 A A 121 T T 122 C C 370 C C 521 C C 550 C C 551 A A 552 G G 553 TB TB Ket: TB (tidak terbaca)
Urutan Basa
III T A G C T C C C T C A G
S. serrata
S. paramamosain
C A A C C T G T T C A G
C A A C C T G C T C A G
Sampel yang digunakan dalam pengurutan oligonukleotida cDNA penyandi FAmeT S. olivacea sebanyak 3 sampel untuk memudahkan dalam penentuan basa nukleotida bila terjadi perbedaan basa yang bisa disebabkan oleh
20
kesalahan dalam pembacaan. Hasil analisis memperlihatkan beberapa basa nukleotida pada cDNA penyandi FAmeT S. olivacea yang berbeda dengan urutan oligonukleotida cDNA penyandi FAmeT S. serrata dan S. paramamosain (Tabel 2). Pada urutan basa oligonukleotida S. olivacea ke-118, terdapat perbedaan basa pada tiga sampel yaitu dua sampel memiliki basa C dan satu sampel basa A. Dalam penelitian ini, penentuan basa nukleotida S. olivacea berdasarkan jumlah basa yang lebih banyak muncul yaitu basa C. Oleh karena itu, dapat dikatakan basa nukleotida ke-118 berbeda dengan basa nukleotida S. serrata dan S. paramamosain yang memiliki basa A. Demikian halnya dengan basa pada urutan ke-120, 550, 551, dan 552. Berbeda dengan basa pada urutan ke-521 dimana perbedaan basa terletak pada basa nukleotida S. serrata yaitu T sementara basa pada S. olivacea dan S. paramamosain adalah C. Sementara pada basa ke-553 dua sampel S. olivacea tidak terbaca sehingga penentuan basanya mengikuti basa terbaca yaitu basa G yang sama dengan basa S. serrata dan S. paramamosain. Pembahasan FAmeT merupakan enzim pada krustase yang mengkatalisis konversi AF menjadi MF dengan S-adenosyl-methionine sebagai kofaktornya pada tahap akhir sintesis (Liu et al. 2010). Penggunaan 2 primer yaitu primer FAmeTG dan primer FAmeTQ pada amplifikasi DNA penyandi FAmeT bertujuan untuk mendeteksi gen penyandi FAmeT pada tingkat DNA dan RNA. Yang et al. (2012) dan Kuballa et al. (2007) melaporkan bahwa urutan oligonukleotida DNA dan RNA penyandi FAmeT pada S. paramamosain dan S. serrata memiliki susunan basa dan ukuran yang sama. Urutan oligonukleotida RNA penyandi FAmeT tidak memiliki intron sehingga primer FAmeTQ yang mengamplifikasi pada tingkat RNA tidak dapat mendeteksi keberadaan kontaminan DNA pada sampel. Berdasarkan pengukuran hasil ekstraksi DNA organ mandibular dengan spektrofotometer, terlihat nilai konsentrasi DNA yang cukup tinggi pada semua sampel. Pengukuran konsentrasi produk PCR dan ketebalan pendaran pita cDNA penyandi FAmeT juga memperlihatkan hasil yang baik. Nilai konsentrasi produk PCR dan ketebalan pendaran pita cDNA penyandi FAmeT mengalami peningkatan dari fase intermolt ke fase premolt meskipun perubahan tersebut tidak signifikan (P>0.05). Berbeda dengan level konsentrasi produk PCR dan ketebalan pendaran pita cDNA penyandi FAmeT organ mandibular, hasil pengukuran konsentrasi MF pada hemolim kepiting Libinia emarginata jantan justru mengalami peningkatan yang cukup tinggi dari konsentrasi 1 ng/ml pada 23 hari menjelang molting menjadi 1.5 ng/ml pada 7 hari menjelang molting (Laufer et al. 2002). Demikian pula pada juvenil kepiting Libinia emarginata betina yang telah diablasi tangkai matanya, kadungan MF pada hemolim mengalami peningkatan selama fase premolt (Laufer et al. 1997). Perubahan pola ekspresi RNA penyandi FAmeT pada organ mandibular yang tidak signifikan dari fase intermolt ke fase premolt diduga berkaitan dengan distribusi ekspresi RNA penyandi FAmeT pada beberapa organ krustasea seperti tangkai mata, hepatopankreas dan ovarium udang Metapenaeus ensis (Gunawardene et al. 2002), otot, hemolim, mata, epidermis, organ-Y, insang, hati, ovarium, hepatopankreas dan usus kepiting Cancer pagurus (Ruddel et al. 2003),
21
kepala, toraks, perut, otak dan ovarium wereng coklat Nilaparvata lugens (Liu et al, 2010), hati, otak, ganglion torak, tangkai mata, perut, ovarium, hepatopankreas, dan insang kepiting bakau S. paramamosain (Yang et al. 2012). Bahkan pada udang Metapenaeus ensis, ekspresi RNA penyandi FAmeT pada organ mandibular memperlihatkan tingkat ekspresi yang lebih rendah jika dibandingkan dengan organ lainnya sehingga ada kemungkinan bahwa biosintesis akhir MF dikatalisis oleh enzim FAmeT berada di beberapa organ lainnya (Gunawardene et al. 2002), meskipun fungsi enzim FAmeT pada organ selain organ mandibular tersebut masih belum dapat dibuktikan (Laufer et al. 1997). Ekspresi RNA penyandi FAmeT yang ditemukan pada berbagai organ tersebut tidak ada kaitannya dengan ekspresi RNA penyandi FAmeT yang ada pada organ mandibular. Sinyal peptida yang mengatur translokasi protein tidak ditemukan pada RNA penyandi FAmeT organ mandibular kepiting Cancer pagurus (Ruddel et al. 2003) dan S. paramamosain (Yang et al. 2012). Hal tersebut mengindikasikan bahwa RNA penyandi FAmeT yang diekspresikan di dalam organ mandibular tidak diekskresikan dan disirkulasikan ke dalam hemolim menuju organ lainnya. Metil Farnesoat merupakan produk spesifik yang hanya dihasilkan pada OM (Laufer et al. 1997). MF yang dihasilkan kemudian dilepaskan ke hemolim yang selanjutnya akan menstimulasi produksi ekdisteroid pada organ Y. Peningkatan kandungan ekdisteroid di dalam hemolim mengakibatkan terjadinya molting dimana level ekdisteroid dalam hemolim semakin meningkat menjelang fase molting pada kepiting Libinia emarginata (Laufer et al. 2002). Informasi mengenai cDNA penyandi FAmeT pada S. olivacea belum banyak diketahui. Namun, kesamaan urutan oligonukleotida cDNA penyandi FAmeT S. olivacea dengan S. serata dan S. paramamosain merujuk pada kemungkinan tidak adanya intron pada urutan oligonukleotida S. olivacea seperti kedua species Scylla lainnya. Selain itu, hasil uji tingkat kesejajaran urutan oligonukleotida cDNA penyandi FAmeT S. olivacea dengan S. serrata dan S. paramamosain menunjukkan tingkat kemiripan urutan oligonukleotidanya mencapai 99%. Pada jenis rajungan P. trituberculatus sebesar 95% dan P. pelagicus sebesar 94%. Ini menunjukkan bahwa urutan oligonukleotida cDNA penyandi FAmeT pada spesies Scylla dan Portunus memiliki tingkat kemiripan yang cukup tinggi sehingga merujuk pada kemungkinan kesamaan bentuk, fungsi, pola ekspresi dan distribusi ekspresi RNA penyandi FAmeT.
22
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Konsentrasi produk PCR cDNA penyandi FAmeT dan konsentrasi cDNA penyandi FAmeT berdasarkan ketebalan pendaran pita cDNA pada gel elektroforesis meningkat dari fase intermolt ke premolt meskipun tidak berbeda nyata (p<0.05). Nilai tersebut belum menunjukkan nilai konsentrasi ekspresi RNA penyandi FAmeT yang sebenarnya. Akan tetapi nilai konsentrasi produk PCR dan ketebalan pita cDNA penyandi FAmeT yang diperoleh tersebut, telah memberikan gambaran umum terhadap tingkat ekspresi RNA penyandi FAmeT pada organ mandibular S. olivacea. Urutan basa nukleotida parsial cDNA penyandi FAmeT kepiting S. olivacea memiliki tingkat kemiripan 99% dengan urutan oligonukleotida S. serrata dan S. paramamosain. Pada rajungan yaitu P. trituberculatus sebesar 95% dan P. pelagicus sebesar 94%. Saran Konsentrasi PCR dan ketebalan pendaran pita cDNA penyandi FAmeT S. olivacea pada dua fase sebelum molt telah diketahui, namun korelasinya dengan konsentrasi MF belum dapat diungkap, sehingga masih perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengukur konsentrasi MF kepiting S. olivacea fase premolt dan intermolt. Dalam penelitian ini hasil urutan oligonukleotida cDNA penyandi FAmeT masih berupa urutan oligonukleotida parsial sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memperoleh urutan oligonukleotida lengkap cDNA penyandi FAmeT.
23
DAFTAR PUSTAKA
Borst DW, Ogan JT, Tsukimura B, Claerhout T, Holford KC. 2001. Regulation of the crustacean mandibular organ. Am. Zool. 41(3):430–441. doi: 10.1093/icb/ 41.3.430 Borst DW, Ogan JT, Tsukimura B, Laufer H, Couch EF. 1994. Regional deferences in methyl farnesoat production by the Lobster mandibular organ. Biol. Bull. 186 (1): 9-16. doi: 10.2307/1542032 FujayaY, Aslamyah S, Mallombasang LF, Alam N. 2010. Agribisnis Kepiting Lunak. Makassar (ID): Universitas Hasanuddin press. Fujaya Y, Trijuno DD. 2007. Haemolymph ecdysteroid profile of mud crab during molt and reproductive cycles. Torani. 17(5): 415-421. Gunawardene SYIN. 2002. Molecular characterization, expression, cellular distribution and functional analysis of the shrimp (Metapenaeus ensis) farnesoic acid o-methyltransferase: a novel enzyme in thebiosynthetic pathway of methyl farnesoate [internet]. [diacu 2014 Maret 22]. Tersedia dari: http://sunzi.lib.hku.hk/hkuto/record /B2997902X. Gunamalai V, Kirubagaran, Subramoniam. 2003. Sequestration of ecdysteroid hormon into the ovary of the mole crab, Emerita asiatica. Curr Scien. 85(4):493-496. doi: 012/547/012547724.php Holford KC, Edwards KA, Bendena WG, Tobe SS, Wang Z, Borst DW. 2004. Purification and characterization of a mandibular organ protein from the american lobster, Homarus americanus: a putative farnesoic acid Omethyltransferase. Ins Biochem Mol Biol. 34(8):785–798. doi: doi:10.1016/j. ibmb.2004.04.003 Keenan CP, Davie PJF, Mann DL. 1998. A. Revision of the genus Scylla serrata de haan (Crustacea: Decapoda : Branchyura : Portunidae). Raff Bul Zool. 46 (1) : 217-245 Kuballa AV, Guyatt K, Dixon B, Thaggard H, Ashton AR, Paterson B, Merritt DJ, Elizur A. 2007. Isolation and expression analysis of multiple isoforms of putative farnesoic acid o-methyltransferase in several crustacean species. G Comp Endoc. 150(1):48-58. doi:10.1016/j.ygcen.2006.07.020 Kuntiyo Z, Arifin, Supratomo. 1994. Pedoman budidaya kepiting bakau (Scylla serrata) di tambak. Direktorat jenderal perikanan. Balai budidaya air payau jepara [internet]. [diacu 2013 oktober 20]. Tersedia dari: http:www.sidik.litbang.kkp.go.id/index.Php /searchkatalog/.../179-185.pdf. Laufer H, Ahl J, Rottlant G, Baclaski B. 2002. Evidence that ecdysteroids and methyl farnesoate control allometric growth and differentiation in a crustacean. Ins Biochem Mol Biol. 32(1):205–210. doi:10.1016/S0965-1748 (01)00104-7 Laufer H, Takac P, Ahl JSB, Laufer MR. 1997. Methyl farnesoate and the effect of eyestalk ablation on the morphogenesis of the juvenile female juvenile crab Libinia emerginata. Invert Reprod Develop. 31(1–3):63–68. doi:10.1080/0792 4259.1997.9672564 Li S, Friesen JA, Holford KC, Borst DW. 2010. Methyl farnesoate synthesis in the lobster mandibular organ: the roles of HMG-CoA reductase and farnesoic
24
acid o-methyltransferase. Comp Biochem Physiol A Mol Integr Physiol. 155(1): 49–55. doi:10.1016/j.cbpa.2009.09.016 Lin J, Redies C. 2012. Histological evidence: housekeeping gen beta-actin and GAPDH are of limited value for normalization of gene expression. Dev Gen. 222(6): 69–76. doi: 10.1007/s00427.012.0420. Liu S, Zhang C, Yang B, Gu J, Liu Z. 2010. Cloning and characterization of a putative farnesoic acid o-methyltransferase gene from the brown planthopper, Nilaparvata lugens. J Ins Scien. 10(103):1–11 doi: 10.1673/031.010.10301. Mount DW. 2001. Bioinformatics: sequence and genome analysis. New York (US): Cold Spring Harbor Laboratory. Nagaraju GPC, Reddy PR, Reddy PS. 2004. Mandibular organ: it’s relation to body weight, sex, molt and reproduction in the crab, Oziotelphusa senex senex fabricus (1791). J Aquakul. 232(1–4):603–612. doi:10.1016/S0044-8486(03)0 0519-2 Nagaraju GPC. 2007. Review article: Is methyl farnesoate a crustacean hormone?. Aquaculture. 272 (1–4) 39–54. doi:10.1016/j.aquaculture.2007.05.014 Nagaraju GPC. 2011. Review article: Reproductive regulators in decapod crustaceans: an oveview. Exp Biol. 214(1): 3–16. doi: 10.1242/Jeb.047183. Rangka NA. 2007. Status usaha kepiting bakau ditinjau dari aspek peluang dan prospeknya. Neptunus. 14(1): 90–100. doi: http://puslit2.petra.ac.id/ejournal/ index. Rottlant G, Takac P, Liu L, Scott GL, Laufer H. 2000. Role of ecdysteroids and methyl farnesoate in morphogenesis and terminal moult in polymorphic males of the spider crab Libinia emarginata. Aquaculture. 190(1):103-118. doi: 10.1016/S0044-8486 (00)00388-4 Ruddell CJ, Wainwright G, Geffen A, White MRH, Webster SG, Rees HH. 2003. Cloning, characterization, and developmental expression of a putative farnesoic acid o-methyl transferase in the female edible crab Cancer pagurus. Biol Bull. 205(1): 308–318. doi:10.2307/1543294 Sambrook J, Fritsch EF, Maniatis T. 1989. Molecular Cloning. a Laboratory Manual. New York (US): Cold Spring Harbor Laboratory. Suwignyo SB, Widigdo Y, Wirdiatno, Krisanti M. 2005. Avertebrata Air. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Tamone SL, Chang ES. 2002. Methyl farnesoate stimulates ecdysteroid secretion from crab Y-organs in Vitro. G Comp Endoc. 89(3):425–432. doi:10.1006/ gcen.1993.105 0 Tempo. 2013. Indonesia ekspor Rp 2 triliun kepiting [internet]. [diacu 2013 oktober 20]. Tersedia dari: http://www.tempo.co/read/news/2013/09/18/0925 14527/Indonesia-Ekspor-Rp-2-Triliun-Kepiting. Yang Y, Haihui Y, Huang H, Jin Z, Li S. 2012. Cloning, expression and functional analysis of farnesoic acid O-methyltransferase (FAmeT) in the mud crab, Scylla paramamosain. Marin Freshwat Behav Physiol. 45(3):209–222. doi:10.1080/10236 244.2012.717372 Zeng X, Ye H, Yang Y, Wang G, Huang H. 2013. Molecular cloning and functional analysis of the fatty acid-binding protein (Sp-FABP) gene in the mud crab (Scylla paramamosain). Genet Mol Biol. 36(1):140-7. doi:10.1590/ S1415-4757201300500 0007
25
LAMPIRAN Lampiran 1 Konsentrasi ekspresi RNA β-actin berdasarkan ketebalan pendaran pita gel No. 1 2 3 4 5 6
Sampel I.1 1.2 1.3 P.1 P.2 P.3
konsentrasi ekspresi β-actin (ng/µl) 582.25 487 222 539.5 338.2 328
Lampiran 2 Konsentrasi dan tingkat kemurnian DNA hasil ekstraksi dengan spektrofotometer
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Sampel
Konsentrasi DNA (ng/µl)
I.1 1.2 1.3 1.4 1.5 Rata-rata P.1 P.2 P.3 P.4 P.5 Rata-rata
121.3 55.2 48.2 63.2 106.9 78.96 ±32.9 65.9 243 70.8 93.6 97.5 114.16 ±73.3
Tingkat Kemurnian 260/280 2.05 1.96 1.89 2.08 1.99 2.04 1.98 1.93 1.90 1.98
26
Lampiran 3 Konsentrasi dan tingkat kemurnian RNA hasil ekstraksi dengan spektrofotometer
Sampel
Konsentrasi RNA (ng/µl)
I.1 1.2 1.3 Rata-rata P.1 P.2 P.3 Rata-rata
122.1 59.8 100.5 94.1 ±31.6 61.7 190 104 118.5 ±65.4
No. 1 2 3 4 5 6
Lampiran 4
Tingkat Kemurnian 260/280 2.12 2.16 2.12 2.16 2.11 2.13
Konsentrasi produk PCR DNA penyandi FAmeT fase intermolt dan premolt dengan spektrofotometer No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Sampel I.1 1.2 1.3 I.4 I.5 Rata-rata P.1 P.2 P.3 P.4 P.5 Rata-rata
Konsentrasi Produk DNA (ng/µl) 528.6 554.3 555.9 553.1 546.3 547.6 ±11.2 559.4 555.2 560.7 540.2 539.0 550.9 ±10.5
Lampiran 5 Konsentrasi produk PCR cDNA penyandi FAmeT fase intermolt dan premolt dengan spektrofotometer No. 1 2 3 4 5 6
Sampel I.1 1.2 1.3 Rata-rata P.1 P.2 P.3 Rata-rata
konsentrasi produk PCR (ng/µl) 755.6 766.6 774.0 765.4 ±9.2 800.2 797.7 772.9 790.3 ±15.1
27
Lampiran 6 Analisis statistik perbedaan konsentrasi produk PCR cDNA penyandi FAmeT pada fase intermolt dan premolt Annova Sk
Db
JK
KT
Fhit
Ftab
Finv
Perlakuan
1
927.52666
927.5267
5.917550
0.05
7.7086
Galat
4
626.96666
156.7417
Total
5
1554.4933
310.8987
Fhit
Lampiran 7 Konsentrasi ketebalan pendaran gel cDNA β-actin dan cDNA penyandi FAmeT fase intermolt dan premolt Konsentrasi awal Sampel
I.1 I.2 I.3 P.1 P.2 P.3
Konsentrasi ekspresi β-actin 582.25 487 222 Rata-rata 539.5 338.2 328 Rata-rata
Konsentrasi ekspresi FAmeT 605 515.5 252.5 457.6 ±183.4 617.5 565.2 325.5 502.8 ±155.8
Konsentrasi akhir setelah penyetaraan konsentrasi β-actin Konsentrasi Konsentrasi ekspresi ekspresi β-actin FAmeT 222 529.8 222 453.9 222 252.5 Rata-rata 412.1 ±143.3 222 543.8 222 497.5 222 286.34 Rata-rata 442.5 ±137.2
Lampiran 8 Analisis statistik perbedaan konsentrasi ketebalan pendaran gel cDNA penyandi FAmeT fase intermolt dan premolt Annova Sk Perlakuan Galat Total
db 1 4 5
JK
KT Fhit 1393.546 1393.546 0.070787 78745.32 19686.33 80138.86 16027.77 Fhit
Ftab 0.05
Finv 7.708647
28
Lampiran 9
Visualisasi elektropherogram cDNA penyandi FAmeT kepiting bakau S. olivacea
Lampiran 10 Urutan basa nukleotida hasil pengurutan oligonukleotida pendaran cDNA sepanjang 191 basa
29
Lampiran 11 Visualisasi elektropherogram cDNA sepanjang 191 basa
30
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Takalar, Sulawesi Selatan pada tanggal 6 Mei 1988 sebagai anak ke dua dari tiga bersaudara dari pasangan Muh. Yusuf Empo dan Hj. Tahira Tanang. Pada tahun 2013, penulis menikah dengan Akbar Marzuki Tahya dan dikaruniai seorang putra pada tahun 2014 bernama Imalabbiri AlRashid Tahya. Penulis menempuh pendidikan sekolah dasar hingga menengah atas di Takalar. Tahun 2007, penulis melanjutkan pendidikan strata satu di Universitas Hasanuddin Makassar pada jurusan perikanan, program studi budidaya perairan dan pada tahun 2012, melanjutkan studi magister di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada jurusan Bioteknologi yang disponsori oleh Beasiswa Unggulan Dikti. Dalam menjalani aktifitas sebagai mahasiswa, penulis terlibat dalam kegiatan organisasi kampus seperti organisasi kemahasiswaan Forum Wacana dan Perkumpulan Mahasiswa Sulawesi Selatan. Tugas akhir dalam pendidikan tertinggi diselesaikan dengan menulis karya ilmiah yang berjudul “Ekspresi Gen Penyandi Farnesoic Acid O-Methyl Transferase (FAmeT) pada Organ Mandibular Kepiting Scylla olivacea Fase Intermolt dan Premolt”. Artikel penelitian ini telah dipublikasikan pada jurnal internasional Aquaculture, Aquarium, Conservation & Legislation, Bioflux Society terindeks scopus dengan judul “Expression of Farnesoic Acid O-methyl Transferase in Mandibular Organ of Intermolt and Premolt Mud Crabs Scylla olivacea” volume 9(2):270-275.