EKSPOR
PROGRAM DOKTOR BIDANG KEAHLIAN TEKNIK SISTEM DAN PENGENDALIAN KELAUTAN
DISERTASI MT143305
MODEL COLD CHAIN SYSTEM PENINGKATAN KUALITAS EKSPOR TONGKOL, CAKALANG (TTC).
UNTUK TUNA,
GRASIANO WARAKANO LAILOSSA NRP. 4109 301 001
DOSEN PEMBIMBING 1. Prof. Dr. Ketut Buda Artana, ST, M.Sc (Promotor) 2. Prof. Dr. Ir. Nyoman Pujawan, M.Eng (Co Promotor) 3. A.A.B. Dinariyana DP,ST, MES, Ph.D (Co Promotor)
PROGRAM DOKTOR BIDANG KEAHLIAN TEKNIK SISTEM DAN PENGENDALIAN KELAUTAN FAKULTAS TEKNOLOGI KELAUTAN INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2017
Model Cold Chain System Untuk Peningkatan Kualitas Ekspor Tuna, Tongkol, Cakalang (TTC). Nama NRP Pembimbing Co-Pembimbing
: Grasiano Warakano Lailossa : 4109301001 : Prof.Dr.Ketut Buda Artana, ST, MS.c : Prof.Dr. Ir. Nyoman Pujawan, M.Eng A.A.B. Dinariyana DP,ST,MES, Ph.D
ABSTRAK Ada dua dimensi penting dalam perdagangan perikanan Tuna Tongkol dan Cakalang (TTC) dunia, yaitu dimensi kualitas, bagaimana strategi untuk memenuhi standar kualitas ekspor TTC dan dimensi daya saing, bagaimana strategi agar produk TTC memiliki daya saing dan tetap eksis dalam perdagangan TTC dunia. Dari aspek kualitas, ikan memiliki karakteristik mudah rusak/busuk. (perishable) sehingga life cycle produknya menjadi pendek. Good Handling Practices (GHdP) menjadi unsur yang sangat penting. cold chain system adalah faktor kunci yang mampu menjamin kualitas TTC sejak ditangkap hingga diekspor. Kualitas TTC ekspor harus memenuhi standar internasional, standar regional (negara pengimpor) dan standar nasional Indonesia (SNI). Secara Internasional, Codex Alimentarius Commission mengeluarkan codex khusus yaitu : Code of Practise for Fish and Fishery Products tentang standarisasi praktis untuk produk ikan mulai dari handling, production, storage, distribution, export, import and sale. (Food and Agriculture Organization dan World Health Organization, 2009). Dari aspek ekonomi, sistem rantai pasok yang efisien akan mengurangi biaya produksi. Adanya pelarangan transhipment hasil tangkapan ikan dilaut, membuat sistem rantai pasok TTC mengalami perubahan, menjadi berbasis pada pelabuhan perikanan, artinya hasil tangkapan harus didaratkan di tempat pendaratan ikan dan diekspor dari pelabuhan perikanan. Hal ini berdampak pada sistem rantai pasok ekspor TTC di Maluku, dimana Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) sebagai tempat pengumpul hasil tangkapan nelayan dan Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) sebagai tempat ekspor. Penelitian ini bertujuan melakukan pendekatan integrasi cold chain system TTC di Maluku berdasarkan, pendekatan kualitas TTC (fuzzy expert system) dan efisiensi biaya operasi cold chain system sebagai akibat, dari pemilihan rantai distribusi terpendek pada rantai pasok TTC (genetic algorithm) di Maluku. Pendekatan pertama, metode yang digunakan Fuzzy Expert System, dimana basis pengetahuan (knowledge base) dari para pakar TTC (expert system) dipakai sebagai standar ideal. Disisi lain 11 kriteria/variabel dari standar proses masingmasing, diberi pembobotan Hasil pembobotan preferensi dari tiap kriteria/variabel setelah diberi atribut akan dijadikan sebagai rule based fuzzy, kemudian hasil simulasi
berupa output quality akan dijadikan sebagai strategi peningkatan kualitas TTC agar mencapai grade ekspor (grade A dan grade B). Pendekatan kedua, dilakukan melalui dua tahap, tahap pertama, pemilihan jalur distribusi terpendek dari kapal penangkap ikan nelayan ke Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI/PPN) terdekat, dengan mencari titik koordinat jarak terdekat. Tahap kedua, pemilihan jalur distribusi terpendek ke Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) ke PPI dan kembali ke PPN untuk diekspor, dengan pendekatan Genetic Algorithm (GA). Hasil dari pendekatan pertama dengan fuzzy expert system, diperoleh bahwa permasalahan kualitas TTC, 51,40% dipengaruhi oleh task problem (task crucial) dan 48,60% dipengaruhi oleh quality problem. Dari 51,40% task crucial diperoleh, bahwa cara mematikan ikan merupakan task crucial yang paling berpengaruh terhadap proses kualitas TTC yaitu sebesar 11.00%. Hasil dari pendekatan kedua (genetic algorithm) adalah usulan jarak distribusi terpendek TTC di Maluku. Hasil kedua pendekatan ini, dijadikan masukan bagi cold chain management TTC di Maluku. Kata kunci : Cold Chain Systems, Kualitas Tuna Tongkol Cakalang, Maluku, Fuzzy Expert System, Genetic Algorithm (GA)
Model of Cold Chain System To Improve the Export Quality of Tuna and Other’s species (Tuna,Tongkol, Cakalang ). Nama Student ID Supervisor Co-Supervisor
: Grasiano Warakano Lailossa : 4109301001 : Prof.Dr.Ketut Buda Artana, ST, MS.c : Prof.Dr. Ir. Nyoman Pujawan, M.Eng A.A.B. Dinariyana DP,ST,MES, Ph.D
ABSTRACT There are two important dimensions in commercial fisheries of tuna and other species; namely quality, which is about the strategy to fulfill the standard of export quality; and competitiveness, regarding the strategy to maintain the competitiveness of TTC and its existence in worldwide trade. In quality aspect, fish is perishable and this condition cause short life cycle for its product. Good Handling Practices (GHdP) has become an important aspect. The key factor of GHdP is cold chain system which coud be used to guarantee the quality of tuna and other species since it being caught to be exported. The export quality of tuna and other species should fulfill international standard (Codex Alimentarius Commission published specific codex: Code of Practice for Fish and Fishery Products about the standardized practice of fish products which include handling, production, storage, distribution, export, import and sale. (Food and Agriculture Organization dan World Health Organization, 2009), regional standard (importer country) and Indonesian National Standard (SNI). In economic aspect, an efficient supply chain system will decrease production cost. The cause of prohibition against transhipment of fish catchment will change the tuna and other species supply chain system be fishing port based. Meaning, that the catchment should be landed in fishing vessel’s port and exported from archipelago fishing port. The aims of the study were to conduct an integrated approach of cold chain system based on TTC (fuzzy expert system) and the efficiency of operational cost of cold chain system as a consequence of shortest distribution in supply chain of TTC (genetic algortihm) in Maluku. The first approach is Fuzzy Expert System. The Fuzzy Expert System is knowledge based of TTC expert wich used as ideal standard. In addition there were 11 criteria / variables from each standard processed measured. The results of each measurement is attributed and will be used as rule bassed fuzzy. Then, the results of simulation as output quality will be used as a strategy to increase TTC quality to meet export grades ( grade A and grade B). The second approach is conducted on two stages. First, choosing the shortest distribution route from fishing vessels to the nearest fishing vessel’s port. Secondly, choosing the shortest distribution route from
archipelago fishing port to fishing vessel’s port to take fishers catchment and back to archipelago fishing port for export by using Genetic Algorithm (GA) approach. The result of the first approach using fuzzy expert system shows that the TTC quality problems are 51,40% affected by task problem (task crucial) and 48,60% affected by quality problem. From the 51,40% of task crucial, it was obtained that the way to kill the fish is the most influencing task crucial on the process of TCC quality of 11.00%. The result of the second approach (genetic algorithm) was the proposed of shortest distribution distance of TTC in Maluku. Therefore, the result of two methods approach are recomended for cold chain management of TTC in Maluku. Kata kunci :Cold Chain Systems, Quality of Tuna and Other’s Species, Maluku, Fuzzy Expert System, Genetic Algorithm (GA)
KATA PENGANTAR Hanya atas dasar Tuntunan dan Berkat Tuhan Yang Maha Kuasa, disertasi ini boleh rampung. Ada banyak motivasi, bantuan dan pengorbanan yang diberikan bagi penulis, karena itu dengan penuh kerendahan hati dan ketulusan ijinkanlah Penulis, mengucapkan terima kasih kepada Yth : 1. Prof Dr Ketut Buda Artana, ST, M.Sc, selaku Promotor yang telah memberi motivasi, membimbing dan dengan kebaikan hati, selalu memberikan kesempatan bagi penulis untuk menyelesaikan disertasi ini. 2. Prof Dr Ir Nyoman Pujawan, M.Eng dan A.A.B Dinariyana DP.ST, MES, Ph.D selaku co Promotor, atas semua pengertian dan kebaikan hatinya. 3. Prof. Dr. Ir. Udisubakti Ciptomulyo, M.Eng,Sc dan Dr. Ir. A.A Masroeri, M.Eng selaku Penguji Internal ITS, atas semua pengertian dan kebaikan hatinya. 4. Prof. Dr. Ir. Eddy S Siradj, M.Eng,Sc, selaku Penguji Eksternal, atas Kesediaanya menjadi penguji eksternal dengan kebaikan hatinya 5. Direktur Pasca Sarjana ITS beserta staf yang telah mendukung seluruh proses studi di ITS 6. Dekan Fakultas Teknologi Kelautan beserta staf dan Pimpinan Program Pasca Sarjana Teknologi Kelautan (PPSTK) ITS beserta staf yang telah mendukung seluruh proses studi di ITS 7. Rekan-rekan mahasiswa pasca sarjana, Dr Hozairi, dan semua pihak yang telah membantu penulis, yang tak disebutkan disini 8. Secara khusus, dengan kerendahan hati dan ketulusan hati penulis sampaikan terima kasih yang paling dalam kepada kedua almarhum orangtua terkasih dan Ibu mertua terkasih, serta isteriku tercinta Dr. Charlotha.I.Tupan, M.Si dan kedua anak terkasih Lordwino Lailossa dan Deogifta. G. Lailossa atas seluruh pengorbanan dan Doanya. Kiranya Disertasi ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu dan teknologi dan bisa dimplementasikan bagi kepentingan orang banyak.
Surabaya, Pebuari 2017 Penulis
DAFTAR ISI
Hal Halaman Judul…………………………………………….……………...…….
i
Lembaran Pengesahan……………………………………………………….…
ii
Abstrak…………………………………………………………………………. iii Abstrac…………………………………………………………………………. v Kata Pengantar…………………………………………………………………. vii Daftar Isi………………………………………………………………………..
ix
Daftar Gambar………………………………………………………………….
xiii
Daftar Tabel…………………………………………………………………….
xvii
BAB 1 Pendahuluan……………………………………………………………
1
1.1 Latar Belakang…………………………………………………..…
1
1.2 Perumusan Masalah………………………………………………... 9 1.3 Batasan Masalah…………………………………………………… 10 1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian………………………………..…...
11
1.4.1 Tujuan penelitian...............................................................................
11
1.4.2 Manfaat penelitian.............................................................................
12
1.5 Kontribusi Penelitian………………………………………………. 12 1.6 Kebaruan Penelitian.………………………………………………
13
BAB 2 Kajian Pustaka dan Dasar Teori………………………………………..
15
2.1
Posisi Indonesia Dalam Perikanan Tuna Global…………………...
15
2.2
Gambaran Umum Propinsi Maluku dan Potensi Tuna,Tongkol dan Cakalang……………………………………….
17
2.3 2.4
Deskripsi Tuna, Tongkol dan Cakalang dan Perdagangannya……………………………………………..… 18 Wilayah Pengelolaan Perikanan RI (WPPNRI) dan Potensi Tuna, Tongkol dan Cakalang (TTC) di Maluku…………... 20
ix
2.5
Komposisi Produksi dan estimasi produksi Tongkol Secara Nasional Tahun 2005-2012.……………………………………….. 22 2.6 komposisi Produksi dan estimasi produksi Tongkol Secara Nasional………………………………………...... 24 2.7 Pelabuhan Perikanan di Maluku…………………………………… 25 Standarisasi Kualitas Ikan………………………………………….
27
2.8.1. Standar Internasional........................................................................
27
2.8
2.8.1.1 CODEX........................................................................................... 27 2.8.2 Standart Regional Negara Pengimport..............................................
28
2.8.3 Standart Nasional Indonesia (SNI)....................................................
28
2.9 2.10
Standarisasi Mutu dan Proses Pengolahan Tuna Cakalang dan Tongkol…………………………………..…... 29 Rantai Pasok TTC di Maluku……………………………………… 31
2.11
Kualitas dan HACCP Tuna, Cakalang dan Tongkol……………..
31
2.12
Cold Chain Systems………………………………………………..
32
2.13
Logika Fuzzy………………………………………………………. 36
2.14
Fuzzy Expert System………………………………………………. 39
2.15
Ship Routine Problem Dan Genetic Alghortim (GA)……………..
40
2.16 Hasil Review Penelitian Sebelumnya……………………………...
42
BAB 3 Metode Penelitian……………………………………………………… 49 3.1
Tahap 1 : Standarisasi & kriteria TTC kualitas ekspor ..…………
50
3.2
Tahap 2 : Standarisasi proses penanganan TTC..............................
50
3.3
Tahap 3 : Sistem rantai pasok TTC..................................................
50
3.4
Tahap 4 : Penentuan task crucial....................................................... 50
3.5
Tahap 5 : Pendekatan 1 (Peningkatan Kualitas TTC).......................
50
3.6
Tahap 6 : Task Crucial dan Solusi Peningkatan Kualitas Ikan……
53
3.7
Tahap 7 : Pendekatan Model 2 (rute terbaik distribusi TTC)……… 53
3.8
Tahap 8 : Cold chain system TTC hasil pendekatan 1 dan 2………
54
x
3.9
Tahap 9 : Model rekomendasi Cold Chain System TTC…………..
55
BAB 4 Hasil dan Pembahasan............................................................................. 59 4.1 Standarisasi Kriteria dan Proses penanganan TTC kualitas Ekspor……………………………………………………………… 59 4.2 Penentuan Kualitas TTC dengan Fuzzy Expert Systems (FES)......... 58 4.2.1 Penentuan Himpunan Fuzy................................................................ 60 4.2.2 Penentuan Kriteria Kualitas Ikan Tuna, Tongkol dan Cakalang (TTC)................................................................................................
64
4.2.2.1 Pembentukan fungsi keanggotaan.................................................
65
4.2.2.2 Pembentukan Aturan Fuzzy............................................................ 68 4.2.2.3 Pengujian Kualitas Ikan TTC.........................................................
69
4.2.2.4 Strategi Peningkatan Kualitas Ikan TTC........................................
72
4.2.3 Penentuan Kualitas Proses ikan TTC................................................
73
4.2.3.1 Pembentukan fungsi keanggotaan..................................................
75
4.2.3.2 Pembentukan Aturan Fuzzy............................................................ 79 4.2.3.3 Pengujian Kualitas Proses Pengolahan Ikan TTC..........................
79
4.2.3.4 Strategi Peningkatan Kualitas Proses Pengolahan Ikan TTC.........
83
4.2.3.5 Form Isian Penentuan Kualitas Ikan dan Proses............................. 85 4.2.3.6 Analisa Hasil 1000 Percobaan Kualitas Ikan & Proses..................
91
4.2.3.7 Analisa Hasil Penilaian Kualitas Ikan dari Nelayan....................... 95 4.3 Sistem Rantai Pasok Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.56/2014, tentang larangan transhipment di tengah laut............................................................... 97 4.4 Optimasi Distribusi Kapal ke PPI dan PPN dengan Metode Genetic Algorithms (GA)..................................................... 107 4.4.1 Pendefinisian Individu....................................................................... 108 4.4.2 Optimasi dengan 20 Populasi dan 100 iterasi.................................... 109 4.4.3 Optimasi dengan 50 Populasi dan 100 iterasi.................................... 110
xi
4.4.4 Optimasi dengan 100 Populasi dan 100 iterasi.................................. 111 4.4.5 Optimasi dengan 20 Populasi dan 200 iterasi.................................... 113 4.4.6 Optimasi dengan 50 Populasi dan 200 iterasi.................................... 114 4.4.7 Optimasi dengan 100 Populasi dan 200 iterasi.................................
115
4.5
Usulan Jalur Distribusi Terpendek TTC…………………………...
117
4.6 Analisa hasil………………………………………………………..
118
4.6.1 Analisa Hasil Kualitas dan Task Crucial……………………...…… 118 4.6.2 Analisa Regulasi dan Penerapannya.................................................
119
4.7 Model cold chain system Management (CCSM)…………………..
122
4.7.1 Penentuan Critical Crisis Point (CCP)/Task Crucial, Saat di Kapal, PPI dan PPN..............................................................
123
4.7.2 Teknik Penanganan Task Crucial…………………………….……. 127 BAB 5 Kesimpulan dan Saran............................................................................. 129 5.1 Kesimpulan........................................................................................ 129 5.2 Saran.................................................................................................. 130 Daftar Pustaka………………………..………………………………………… 135 Lampiran 1…………………………..…………………………………………. 143 Lampiran 2……………………………………………………………………... 147 Lampiran 3 …………………………………………………………………….. 159 Biografi Penulis………………………………………………………………...
161
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Hal
Gambar 1.1
Sebelas Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) RI……………
2
Gambar 1.2
Cold Chain Management………………………………………..
4
Gambar 2.1
Grafik Perkembangan Komoditas Utama Perikanan Tangkap Tahun 2009-2013.……………..…………….......................…… 16
.Gambar 2.2
Peta Wilayah Propinsi Maluku………………………………….
Gambar 2.3
Peta Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPPNRI)
17
dan Potensinya………………………………………………….
21
Gambar 2.4
Lokasi Pelabuhan Perikanan di Maluku………………………...
26
Gambar 2.5
Diagram alir proses ikan beku (sumber: SNI 4110:2014)………
30
Gambar 2.6
Pola sederhanan Rantai Pasok TTC di Maluku…………………
31
Gambar 2.7
Elemen Cold Chain……………………………………..………. 33
Gambar 2.8
Ruang Lingkup Cold chain systems Di Maluku berdasarkan Rantai Pasok TTC………………………………....
34
Gambar 2.9
Konsep Cold chain Sytems TTC di Maluku……………………. 35
Gambar 2.10
Representasi Nilai Naik……………………………….………...
38
Gambar 2.11
Kurva Segitiga…………………………………………….…….
39
Gambar 2.12
Blok diagram Genetic Algorithm..……………...………………
41
Gambar 2.13
Flowchart Genetic Algorithm ………………………………….
42
Gambar 3.1
Diagram Tahapan Penelitian……………………………………. 47
Gambar 3.2
Blok diagram system penentuan kualitas ikan TTC…………….
48
Gambar 3.3
Tahapan penentuan kualitas ikan beku TTC …………………...
49
Gambar 3.4
Tahapan penentuan kualitas proses TTC…………………..…… 49
Gambar 3.5
Skema Skenario Rute terbaik distribusi TTC…………………...
Gambar 3.6
Komponen Model Rekomendasi TTC………………………….. 53
Gambar 4.1
Blok diagram tahapan penentuan kualitas ikan TTC.................... 58
Gambar 4.2
Tahapan penentuan kualitas ikan beku TTC................................
58
Gambar 4.3
Tahapan penentuan kualitas proses..............................................
59
Gambar 4.4
Menu utama program aplikasi cold chain systems (CCS) untuk peningkatan kualitas ekspor TTC………………………...
52
60
xiii
Gambar 4.5
Variabel kualitas ikan TTC........................................................... 60
Gambar 4.6
Variabel proses kualitas ikan TTC...............................................
62
Gambar 4.7
Blok diagram Input penentuan kriteria kualitas ikan TTC...........
64
Gambar 4.8
Representasi kurva segitiga..........................................................
66
Gambar 4.9
Fungsi keanggotaan pada variable kualitas ikan TTC..................
66
Gambar 4.10
Hasil pengujian kualitas ikan TTC dengan Fuzzy........................
69
Gambar 4.11
Blok diagram Input penentuan kualitas proses ikan TTC............
74
Gambar 4.12
Representasi kurva segitiga..........................................................
76
Gambar 4.13
Fungsi keanggotaan pada variable kualitas ikan TTC..................
77
Gambar 4.14
Hasil pengujian kualitas ikan TTC dengan Fuzzy........................
80
Gambar 4.15
Koordinat posisi nelayan dengan kapasitas tonase kapal.............
99
Gambar 4.16
Hasil perhitungan jarak terpendek kapal nelayan ke PPI/PPN...................................................................................
Gambar 4.17
100
Hasil penentuan jarak terdekat kapal ke PPI dan total tonase....................................................................................
104
Gambar 4.18
Model graph distribusi kapal nelayan ke PPI...............................
106
Gambar 4.19
Siklus Genetic Algorithms (GA)..................................................
107
Gambar 4.20
Individu untuk optimasi rute kapal PPN....................................... 108
Gambar 4.21
Hasil optimasi rute dengan 20 populasidan 100 iterasi.......................... 109
Gambar 4.22
Kandidat solusi dengan 20 populasi dan 100 iterasi......................... 109
Gambar 4.23
Hasil rute terbaik dari PPN ke PPI dengan 20 populasi dan 100 iterasi...............................................................................................
110
Gambar 4.24
Hasil optimasi rute dengan 50 populasi dan 100 iterasi......................... 110
Gambar 4.25
Kandidat solusi dengan 50 populasi dan 100 iterasi......................... 111
Gambar 4.26
Hasil rute terbaik dari PPN ke PPI dengan 50 populasi dan 100 iterasi...............................................................................................
111
Gambar 4.27
Hasil optimasi rute dengan 100 populasi dan 100 iterasi......................
112
Gambar 4.28
Kandidat solusi dengan 100 populasi dan 100 iterasi....................... 112
Gambar 4.29
Hasil rute terbaik dari PPN ke PPIdan 100 iterasi............................
Gambar 4.30
Hasil optimasi rute dengan 20 populasi dan 200 iterasi......................... 113
Gambar 4.31
Distribusi kapal di 26 PPI dengan 20 populasi dan
112
200 iterasi...................................................................................... 113
xiv
Gambar 4.32
Hasil rute terbaik dari PPN ke PPI dengan 20 populasi dan 200 iterasi...................................................................................... 114
Gambar 4.33
Hasil optimasi rute dengan 50 populasi dan 200 iterasi......................... 114
Gambar 4.34
Distribusi kapal di 26 PPI dengan 50 populasi dan 200 iterasi...................................................................................... 115
Gambar 4.35
Hasil rute terbaik dari PPN ke PPI dengan 50 populasi dan 200 iterasi...................................................................................... 115
Gambar 4.36
Hasil optimasi rute dengan 100 populasi dan 200 iterasi....................... 116
Gambar 4.37
Distribusi kapal di 26 PPI dengan 100 populasi dan 200 iterasi...................................................................................... 116
Gambar 4.38
Hasil rute terbaik dari PPN ke PPI dengan 100 populasi dan 200 iterasi...............................................................................................
Gambar 4.39
116
Skema Cold Chain System Management TTC…………..……... 123
xv
……………..Halaman ini sengaja dikosongkan……………..
xvi
DAFTAR TABEL Tabel Tabel 2.1
Hal Tabel Produksi Perikanan Tangkap Laut Menurut Komoditas Utama………………………...………….
Tabel 2.2
15
Jumah kasus Penolakan Produk Perikanan RI, Tahun 1999-2005………………………………………...…....
16
Tabel 2.3
Statistik perikanan Tangkap Maluku 2009-2013……………...
18
Tabel 2.4
Jenis Tuna, Cakalang dan Tongkol……………………………
19
Tabel 2.5
Komposisi Produksi Tuna dan Cakalang secara Nasional(11 WPPNRI)………………………………………...
22
Tabel 2.6
Estimasi Produksi Tuna,Cakalang dan Tahun 2005-2012…….
23
Tabel 2.7
Komposisi produksi tuna dan cakalang di WPPNRI 713, WPPNRI 714 dan WPPNRI 715………………………………
Tabel 2.8
Estimasi Produksi Tuna dan Cakalang di WPNRI 713, 714 dan 715 Tahun 2005-2012………………….
Tabel 2.9
23
24
Komposisi Produksi Tongkol Secara Nasional (11 WPPNRI)………………………………………..
24
Tabel 2.10
Estimasi Produksi Tongkol Tahun 2005-2012………………...
25
Tabel 2.11
Jenis dan Jumlah.Pelabuhan Perikanan di Maluku……………
26
Tabel 2.12
Persyaratan mutu dan keamanan pangan ikan beku…………...
30
Tabel 2.13
Posisi Penelitian berdasarkan Objek Penelitian, Domain Problem,Aplication Area dan Metode……………….
43
Tabel 3.1
Tabel contoh output quality………………………………..….
52
Tabel 4.1
Persyaratan mutu dan keamanan pangan ikan beku...................
57
Tabel 4.2
Variabel himpunan fuzzy...........................................................
65
Tabel 4.3
Nilai domain variable kualitas ikan TTC...................................
65
Tabel 4.4
Hasil perhitungan 10 rule pengujian kualitas ikan TTC............
70
Tabel 4.5
Hasil perhitungan antara bobot dan nilai kualitas.....................
70
Tabel 4.6
Hasil strategi peningkatan kualitas ikan TTC............................
73
Tabel 4.7
Solusi Strategi Peningkatan Kualitas.........................................
73
Tabel 4.8
Variabel himpunan fuzzy kualitas proses...................................
75
Tabel 4.9
Nilai domain variable kualitas proses pengolahan ikan TTC.....
76
xvii
Tabel 4.10
Hasil perhitungan 10 rule pengujian kualitas proses..................
80
Tabel 4.11
Hasil perhitungan antara bobot dan nilai kualitas proses..........
81
Tabel 4.12
Hasil strategi peningkatan kualitas proses ikan TTC.................
84
Tabel 4.13
Solusi Strategi Peningkatan Kualitas Proses Pengolahan Ikan TTC..................................................................
84
Tabel 4.14
Percobaan 1 dengan output quality 28.8 = Sangat Jelek.............
86
Tabel 4.15
Percobaan 2 dengan output quality 35.9 = Jelek.........................
86
Tabel 4.16
Percobaan 3 dengan output quality 48.85 = Cukup...................
86
Tabel 4.17
Percobaan 4 dengan output quality 62.80 = Baik.......................
87
Tabel 4.18
Percobaan 5 dengan output quality 82.65 = Sangat Baik...........
87
Tabel 4.19
Percobaan 1 dengan output quality task 31.00 = Sangat Jelek…………………………………………………………….. 88
Tabel 4.20
Percobaan 2 dengan output quality task 43.65 = Jelek...............
89
Tabel 4.21
Percobaan 3 dengan output quality task 51.15 = Cukup............. 89
Tabel 4.22
Percobaan 4 dengan output quality task 63.05 = Baik................
90
Tabel 4.23
Percobaan 5 dengan output quality task 63.05 = Baik................
90
Tabel 4.24
Hasil 1000 Simulasi Percobaan Kualitas Ikan TTC..................... 91
Tabel 4.25
Hasil Persentase Permasalahan Kualitas Ikan.............................
93
Tabel 4.26
Hasil Pengelompokan kualitas ikan.............................................
93
Tabel 4.27
Hasil Pengelompokan Problem Task...........................................
94
Tabel 4.28
Hasil Pengelompokan Problem Quality.......................................
95
Tabel 4.29
Simulasi Hasil Penilaian Kualitas setelah di lakukan strategi peningkatan Kualitas TTC............................................... 96
Tabel 4.30
Lokasi PPI dan PPN.....................................................................
97
Tabel 4.31
Matrik jarak antara PPI ke PPN...................................................
98
Tabel 4.32
Koordinat PPI dan PPN................................................................ 99
Tabel 4.33
Solusi Kapal ke PPI/PPN.............................................................
103
Tabel 4.34
Hasil simulasi penentuan jarak kapal ke PPI...............................
105
Tabel 4.35
Solusi Kapal ke PPI/PPN.............................................................
106
Tabel 4.36
Usulan jalur terpendek dari kapal nelayan ke PPI dan PPN…...
117
xviii
BAB 1 PENDAHULUAN 2.1
Latar Belakang Kompetisi
sektor perikanan akhir ini telah menjadi primadona
khususnya bagi negara yang berbasis pada sumber daya kelautan, ini mendorong terjadinya kompetisi untuk menciptakan peluang dalam segala keterbatasan, berusaha untuk menghasilkan pendapatan yang sebesar-besarnya. Indonesia sebagai salah satu penghasil produk perikanan terbesar di dunia, sangat berpeluang menjadi salah satu kompetitor dengan daya saing yang tinggi dalam perikanan regional maupun global, di tahun 2006 Indonesia menduduki peringkat 10 dengan pasar ekspor utama adalah Amerika, Uni Eropa dan Jepang. Pertumbuhan ekspor produk perikanan Indonesia selama 5 (lima) tahun terakhir (2003 – 2007) menunjukkan trend naik, yaitu mencapai rata-rata sebesar 8,28 %. Dari tahun 2011 -2014 produksi sektor perikanan Indonesia terus meningkat ratarata 17,39 ton/tahun dan nilai ekspor produk perikanan Indonesia(US$ miliar) terus meningkat rata-rata sebesar 4,29 % (diolah dari data KKP , 2015), Tuna merupakan salah satu primadona dan sektor unggulan perikanan Indonesia, pertumbuhan nilai eksportnya sangat signifikan, volume ekpor tuna Indonesia terus meningkat, tetapi di 2010 mengalami penurunan 7%. Hampir 60 % ekspor ikan tuna Indonesia, dalam bentuk segar dan beku, volume ekspor ikan Tuna triwulan 1, tahun 2014 sebesar 32.86 ribu ton, meningkat cukup signifikan 11,36%, di triwulan 1, tahun 2015 menjadi 36.56 ribu ton. Industri tuna Asia Tenggara juga menjadi salah satu pilar utama perdagangan tuna dunia dengan pasar utamanya adalah Jepang, Uni Eropa dan Amerika Serikat. Lima negara penghasil tuna kaleng terbesar di dunia didominasi oleh negara-negara ASEAN yaitu Thailand, Vietnam, Filipina, dan Indonesia. Keempat negara tersebut bersama Ekuador menguasai 97,53 % pangsa pasar tuna kaleng dunia (Aquafind, 2010). Sesuai Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.01/MEN/2009, tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan-Republik Indonesia (WPPNRI) ada sebelas WPPNRI di Indonesia. Gambar 1.1 menunjukan kesebelas WPPNRI 1
beserta potensinya, tingkat eksploitasinya dan jumlah serta kelas Pelabuhan Perikanan Samudra (PPS) dan Pangkalan PN) yang dimilikinya.
Gambar 1.1 sebelas WPPNRI, (KKP,2010) Maluku memiliki luas administratif 712.479,65 km2 , dengan prosentase luas laut adalah 92,4% atau 658.294,69 km2 dibanding dengan luas daratan yang hanya 7,6% atau 54.185 km2 serta memiliki 1.340 pulau, tentulah
sangat
berpotensi pada sektor perikanan Tuna, Tongkol dan cakalang_(TTC). Sesuai gambar 1.1, dari 11 WPPNRI tersebut, Maluku berada dalam tiga WPPNRI yaitu : WPPNRI 714, Laut Banda, dengani potensi 278.400 ton/tahun, WPP-RI 715, Laut Seram dan Teluk Tomini, dengan potensi 595.500 ton/tahun dan WPPNRI 718, Laut Arafura dan Laut Timor, dengan potensi 855.600 ton/tahun. Ini berarti ketiga WPPNRI (714,715 dan 718) di Maluku, memiliki total potensi perikanan sebesar 1.729.100 ton/tahun, atau sebesar 26,52% dari total potensi sumber daya ikan secara nasional (11 WPPNRI) yang ada, tetapi yang baru dimanfaatkan baru 21% atau sekitar 341,966 ton, angka tersebut tidak termasuk potensi produksi budidaya ikan. Potensi ini membuat Maluku sangat potensial dijadikan Lumbung Ikan Nasional (MLIN) dan menjadi bagian dari strategi Sistem Logistik Ikan Nasional (SLIN). FAO memperkirakan total permintaan dunia akan ikan dan produk perikanan akan meningkat hampir 50 juta ton, dari 133 juta ton tahun 1999/2001 ke 183 juta ton di tahun 2015. Permintaan makanan laut per kapita per tahun
2
diperkirakan meningkat dari rata-rata 16,1 kilogram pada tahun 1999-2001 menjadi 18,4 kilogram pada tahun 2010 dan 19,1 kilogram pada tahun 2015. Tercatat 70% dari nilai tersebut dikonsumsi untuk pangan. Namun, FAO justru melihat, kebutuhan ikan segar/beku dunia mengalami kenaikan besar hingga 45% setiap tahun. Sayangnya, dari jumlah tersebut di atas, market share Indonesia baru 4,7%. Ini berarti peluang peningkatan ekspor TTC Indonesia masih sangat besar. Disisi lain hasil data menunjukan bahwa selama tahun 2002-2010 Indonesia mengalami 2608 kasus penolakan produk pangan di Amerika Serikat, khusus produk ikan yang di reject 1300 kasus, hal ini terjadi karena kualitas TTC Indonesia tidak memenuhi standar, sebagian besar penolakan adalah akibat tidak dipenuhinya standar operasional persyaratan jaminan kesehatan, mutu dan keamanan hasil perikanan (health, quality and safety assurance), yang mengacu pada konsepsi Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP), melalui penerapan Good Handling Practices (GHP), Good Manufacturing Practices (GMP), Sanitary System Operation Procedur (SSOP), serta prinsip ketertelusuran (traceability) sebagai instrumen pengendalian perdagangan dan persyaratan lainnya yang harus terintegrasi, pada seluruh proses, dari hulu hingga hilir. Hal ini kemudian menjadi sebuah dialektika berupa gap yang harus di jawab, disatu sisi Globalisasi transportasi dan perdagangan dunia mendorong semakin meningkatnya arus lalu lintas dan menurunnya secara bertahap hambatan tariff (tariff barrier) dalam perdagangan hasil perikanan antar negara, tetapi disisi lain peningkatan kegiatan lalu lintas komoditas perikanan, memperbesar konsekuensi meningkatnya resiko masuk dan tersebarnya, hama dan penyakit ikan berbahaya melalui produk hasil perikanan, yang tidak memenuhi persyaratan mutu, ke dalam atau keluar dari wilayah sebuah negara. Keadaan ini memicu kesadaran masing-masing negara, termasuk negara mitra dagang seperti ; Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang, China, Rusia, Canada dan beberapa negara lain, semakin memperketat persyaratan kualitas TTC yang masuk ke negaranya. Jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan telah berubah dari paradigma lama yaitu End Proces Inspection (EPI) menjadi In-Process Inspection (IPI), artinya inspeksi mutu produk perikanan bukan lagi ditekankan
3
pada kualitas diakhir proses (end process), tetapi bersifat integral dan sistemik, pada seluruh proses yang terjadi, mulai dari saat panen hingga di konsumsi Untuk menjawab ini, faktor kuncinya adalah bagaimana merumuskan sebuah cold chain system management yang terintegrasi mulai dari, saat ditangkap hingga dikonsumsi. Dengan kata lain, cold chain system harus menjamin terpenuhinya standart kualitas ekspor Tuna, Tongkol dan Cakalang, yang bersifat utuh dan terintegrasi mulai dari, saat ditangkap/palkanisasi di kapal perikanan, pembongkaran, pengolahan/produksi, hingga penyimpanan dan saat distribusi (Lailossa, 2010), prinsip cold chain management dapat dilihat pada Gambar 1.2
Gambar 1.2. Cold Chain Management (http://www.iaph.uni-bonn.de/Coldchain/)
Cold chain system yang baik, dapat menganalisa titik-titik kritis yang bisa menjadi potensi bahaya terhadap kualitas TTC pada setiap lintasan rantai dingin (cold chain tracking), dengan mengetahui titik control krisis (critical crisis point) pada setiap tahapan sejak TTC ditangkap, saat palkanisasi di kapal, saat disimpan dan diolah di tempat pendaratan ikan dan pelabuhan perikanan maka dapat dilakukan antisipasi lebih awal dan strategi penanganan yang tepat terhadap kualitas TTC. Dari aspek kualitas, Ikan TTC, memiliki karakteristik yang mudah rusak/busuk. (perishable) sehingga life cycle produknya menjadi pendek, karena itu kecepatan dan ketepatan penanganan menjadi unsur yang sangat penting untuk mempertahankan kualitas TTC. Lintasan rantai dingin (cold chain tracking) yang dilalui TTC sangat bergantung pada pola rantai pasok TTC, semakin panjang rantai distribusi TTC, maka semakin lama waktu pendinginan/pembekuan.
4
Biaya
cold
chain
system
juga
tergantung
dari
lama
pendinginan/pembekuan, karena itu semakin pendek lintasan rantai dingin (cold chain tracking) akan semakin kecil biaya operasional cold chain system (Rodriguel, dkk, 2006), semakin kecil biaya produksi, maka harga produk ikan bisa ditekan. Semakin pendek cold chain tracking akan lebih baik bagi kualitas kesegaran ikan (Ababouch, 2006) Salah satu ancaman terbesar bagi sumber daya perikanan Indonesia adalah praktek Ilegal, Unreported and Unregulated (IUU) fishing. Untuk mengatasinya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : 56/PERMEN-KP/2014, tanggal 3 November 2014, tentang Penghentian Sementara (Moratorium) Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di WPPNRI. dan Permen KP Nomor: 57/PERMEN-KP/2014 tentang Pelarangan Pendaratan Ikan Hasil Tangkapan dari Kapal Penangkap Ikan yang Melalui Alih Muatan di Laut (transhipment), tujuannya untuk mencegah kapal bisa mengirim langsung ikan keluar negeri dengan cara legal. Larangan ini juga mendorong agar kapal-kapal harus bersandar dahulu di pelabuhan Indonesia sebelum melakukan ekspor, di pelabuhan para kapal harus membayar berbagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) hingga retribusi dan lainnya. Pelarangan transhipment hasil tangkapan ikan di laut, membuat paradigma system rantai pasok TTC mengalami perubahan, dimana sebelumnya hasil tangkapan TTC dari
kapal penangkap nelayan, bisa dikumpulkan dan
langsung diekspor dari kapal pengumpul (collecting ship), kini harus didaratkan di tempat pendaratan ikan dan di ekspor dari pelabuhan perikanan. Artinya ikan TTC hasil tangkapan nelayan harus dibawa ke pelabuhan pendaratan ikan, kemudian bila akan diekspor, harus diolah dan diekspor dari Pelabuhan Perikanan atau unit Pengolahan Ikan, yang telah memenuhi syarat Hal ini akan berdampak pada rantai pasok ekspor TTC di Maluku, yang tentunya juga, harus berbasis pada pelabuhan perikanan, dimana Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) sebagai tempat pengumpul hasil tangkapan nelayan dan Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) sebagai tempat pengolahan TTC kualitas dan diekspor.
5
Dengan berubahnya pola rantai pasok TTC akibat pelarangan transhipment, maka salah satu strategi penghematan biaya operasi cold chain system adalah dengan memperpendek jalur distribusi TTC, dengan cara mencari jalur distribusi kapal penangkap ikan yang optimal berdasarkan rute terpendek, dari posisi kapal dan jarak tempuh ke Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) kemudian ke Pelabuhan Perikanan Nasional (PPN) untuk diekspor. Dari uraian di atas pokok permasalahan ekspor TTC di Maluku adalah bagaimana membangun sebuah model cold chain system TTC di Maluku sebagai strategi peningkatan ekspor TTC yang ekonomis berdasarkan pola rantai pasok yang berbasis pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) dan Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) akibat pelarangan transhipment di tengah laut Secara substansi untuk menjawab dua sisi pendekatan di atas, pendekatan cold chain system harus dilakukan dengan pendekatan integrasi dari dua sisi di maksud, sisi yang pertama adalah bagaimana strategi peningkatan mutu ekpor ikan TTC agar memenuhi standart international dan standart negara tujuan ekpor. Kedua dari sisi ekonomi, adalah bagaimana solusi rute terpendek distribusi TTC atau memperpendek lintasan rantai dingin (cold chain tracking) dari produk TTC sejak ditangkap hingga saat di ekspor, semakin pendek rute yang ditempuh cold chain tracking, semakin berkurang biaya opersional cold chain system dan semakin baik untuk kualitas ikan Untuk pendekatan pertama persoalannya adalah bagaimana cold chain system mampu meningkatan grade kualitas ekpor ikan TTC sesuai dengan Standar Internasional maupun Standar Nasional Indonesia (SNI). .Metode yang digunakan adalah Fuzzy Expert System. ` Fuzzy secara bahasa dapat diartikan samar, dengan kata lain logika fuzzy adalah logika yang samar. Dimana pada logika fuzzy suatu nilai dapat bernilai „true‟ dan „false‟ secara bersamaan. Tingkat „true‟ atau „false‟ nilai dalam logika fuzzy tergantung pada bobot keanggotaan yang dimilikinya. Logika fuzzy memiliki derajat keanggotaan rentang antara 0 hingga 1, berbeda dengan logika digital yang hanya memiliki dua keanggotaan 0 atau 1 saja pada satu waktu. Logika fuzzy sering digunakan untuk mengekspresikan suatu nilai yang diterjemahkan dalam
6
bahasa (linguistic), misalnya untuk mengekspresikan suhu dalam ruangan apakah ruangan tersebut dingin, hangat, atau panas. Tidak seperti logika boolean atau logika digital yang hanya bernilai 0 atau 1, logika fuzzy ini bernilai antara 0 dan 1. Fuzzy logic digunakan untuk menangani fuzziness (kesamaran) dengan cara merepresentasikan nilai yang bersifat linguistik. Misalnya besar, kecil, sedang, pelan, agak cepat, cepat dan sebagainya. Permasalahan yang tidak dapat dilihat sebagai „hitam‟ atau „putih‟ seperti ini lebih sering terjadi di dunia nyata. Terdapat hal abu-abu yang jika diperhitungkan dapat membuat kita menentukan
keputusan yang lebih adil.
Permasalahan di dunia nyata kebanyakan bukan biner dan bersifat non linier sehingga fuzzy logic cocok digunakan karena menggunakan nilai linguistik yang tidak linier. Pemakaian fungsi keanggotaan memungkinkan fuzzy logic untuk melakukan observasi obyektif
terhadap nilai-nilai yang bersifat subyektif.
Selanjutnya fungsi keanggotaan ini dapat dikombinasikan untuk membuat pengungkapan konsep yang lebih jelas. Dalam penelitian ini mengapa logika Fuzzy dipakai untuk menyelesaikan kualitas ikan, karena terkadang kualitas TTC tidak bisa dilihat sebagai hitam atau putih atau diterima atau ditolak, tetapi kualitas ikan telah memiliki standar dan kriteria yang berbeda pada beberapa grade kualitas, antara grade D yang dianggap jelek, grade C dianggap cukup, grade B dianggap baik dan Grade A dianggap sangat baik. Dimana grade dari level jelek hingga sangat baik akan menjadi derajat keanggotaan dengan domain dan nilai atribut quality sesuai yang ditetapkan. Kualitas ikan sangat tergantung dari dua hal yaitu, kriteria kualitas ikan itu sendiri dan kualitas proses penanganan ikan, sejak ditangkap sampai dengan saat dikemas untuk di ekspor. Kedua hal ini kemudian menjadi variabel input, semua variabel input akan memiliki derajat nilai keanggotaan yang sama sesuai domain atribut quality yang ditetapkan, kemudian akan ditetapkan rule based dengan pola IF – THEN maka akan diperoleh output quality TTC sebagai hasil sesuai nilai atribut quality yang telah ditetapkan. Disisi lain sangat diperlukan penyesuaian kriteria dan proses penanganan ikan agar dapat ditentukan strategi peningkatan kualitas ikan yang tepat. Untuk
7
penelitian kualitas ikan TTC yang paling cocok adalah menggunakan metode Fuzzy Logic, alasan yang paling utama adalah, untuk menentukan kualitas ikan TTC bisa didetailkan dengan memperhatikan fungsi keanggotaan dan himpunan fuzzy untuk masing-masing input yang akan digunakan untuk menilai kualitas ikan TTC. Dengan Fuzzy Expert System masing-masing input dan output dapat dibagi kedalam himpunan fuzzy, dimana setiap kriteria yang menjadi input memiliki derajat keanggotaan yang berbeda dalam fungsi keanggotaan fuzzy. Derajat keanggotaan dan domainnya dapat disesuaikan dengan tingkat grade TTC dari grade D (jelek) hingga grade A (sangat baik). Output yang dihasilkan dari rule base fuzzy dan fuzzy inferensi system yang dikombinasikan dengan pembobotan oleh pakar akan di peroleh output quality yang dapat dipakai untuk peningkatan grade ikan sesuai hasil simulasi FES. Sistem (knowledge
pakar (expert system) menggunakan basis base)
dari para pakar TTC sebagai
dasar
pengetahuan pemikirannya
selanjutnya. Penentuan strategi peningkatan kualitas ikan TTC adalah dengan cara membandingkan hasil kualitas TTC yang ada dengan knowledge based berupa system pakar TTC dan dengan fuzzy weight product diberikan bobot pada masing-masing kriteria/variabel kualitas, kemudian dimasukan sebagai rule based fuzzy, output dari metode ini berupa saran dan strategi peningkatan kualitas Tuna, Tongkol dan Cakalang, khususnya dalam memenuhi grade ekspor (grade A dan grade B) Untuk pendekatan kedua yaitu, bagaimana menentukan sistem rantai distribusi (cold chain tracking/refrigerated transport) TTC yang terpendek sesuai karakteristik cold chain tracking yang yang ada, persoalannya adalah bagaimana menentukan jalur distribusi kapal penangkap ikan yang optimal berdasarkan rute terpendek, dari posisi kapal dan jarak tempuh, ke Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) kemudian ke Pelabuhan Perikanan Nasional (PPN) untuk diekspor. Rute ini dipilih sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.56/2014, tentang larangan transhipment hasil tangkapan ikan di tengah laut, hal ini menyebabkan hasil tangkapan ikan tidak bisa ditransaksi di tengah laut, sehingga pola distribusi hasil tangkapan ikan nelayan secara ideal harus didaratkan di Pelabuhan perikanan untuk diolah di Unit Pengolahan ikan (UPI), yang ada
8
untuk diekspor. Ada dua tahap, tahap pertama menghitung rute terpendek dari kapal penangkap nelayan ke PPI yang terdekat, metode yang digunakan adalah Euclidian distance untuk mencari koordinat titik jarak terdekat. Tahap kedua, mencari rute terpendek dari PPI ke PPN terdekat untuk TTC yang akan diekspor, metode yang dipakai adalah genetic algorithm (GA), dimana kapal sebagai gen, PPI dan PPN sebagai kromosomnya. Diharapkan optimalisasi Cold Chain Systems akan dicapai dengan integrasi pendekatan kedua metode di atas dan output akhir dari penelitian ini adalah rekomendasi model cold chain system TTC di Maluku yang mampu menjawab dua dimensi persoalan yaitu : dari sisi kualitas, cold chain system memenuhi standart grade kualitas TTC ekspor dan dari sisi ekonomis, cold chain system, memiliki efisiensi biaya opersional, karena lama waktu pendinginan dan pembekuan akan efisien akibat pemilihan jarak rute distribusi TTC terpendek. Atau dengan kata lain akibat dari jarak dikurangi maka variabel waktu pendinginan menjadi rendah dan biaya operasional menjadi berkurang Untuk menjawab tantangan ini peneliti tertarik melakukan penelitian disertasi dengan topik: “Model Cold Chain System Untuk Peningkatan Kualitas Produk Ekspor Tuna, Tongkol dan Cakalang (TTC). Hasil dari penelitian ini secara umum diharapkan akan memberikan manfaat dan kontribusi bagi strategi pengembangan program nasional kelautan seperti, Sistem Logistik Ikan Nasional (SLIN) sesuai Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan RI Nomor: 05/Permen-Kp/2014 dan khususnya Persiapan Maluku sebagai Lumbung Ikan Nasional (MLIN). Secara khusus diharapkan melalui optimalisasi cold chain system, akan terjadi peningkatan grade ekspor Tuna, Tongkol dan Cakalang dari Maluku, sehingga mengurangi ikan yang direject oleh negara pengimpor. Disisi lain mampu menurunkan biaya produksi akibat efisiensi cold chain system akibat rute distribusi terpendek TTC di Maluku. 2.2
Rumusan Masalah Dengan memperhatikan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan
masalah penelitian sebagai berikut:
9
1. Bagaimana strategi peningkatan grade kualitas ekspor ikan TTC di Maluku, yang berbasis pada cold chain system, agar TTC di Maluku memenuhi standar internasional, regional (negara pengimpor) dan Standar Nasional Indonesia (SNI) ? 2. Bagaimana melakukan pemilihan jarak rute terpendek distribusi TTC di Maluku (dari kapal penangkap ikan nelayan ke Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) dan selanjutnya dari PPI ke Pelabuhan Perikanan Nasional (PPN) untuk diolah dan diekspor.)? 3. Bagaimana merumuskan cold chain system management TTC di Maluku, berdasarkan hasil integrasi dari strategi peningkatan kualitas grade ekspor ikan (hasil point 1 diatas) dan hasil dari pemilihan rute terpendek distribusi TTC (hasil point 2 diatas)? 2.3
Batasan Masalah Untuk menyelesaikan masalah yang telah dirumuskan di atas peneliti
memberikan batasan penelitian sebagai berikut: 1. Sesuai Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI, NOMOR PER.08/MEN/2012, tentang kepelabuhanan perikanan, dan Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan RI, Nomor 45/Kepmen-KP/2014, tentang Rencana Induk Pelabuhan Perikanan Nasional, terdapat 26 Pelabuhan Perikanan di Maluku, dengan perincian ada 24 PPI dan 2 PPN yang akan dipakai dalam penelitian ini. 2. Sesuai
Peraturan
Menteri
Kelautan
dan
Perikanan,
NOMOR
PER.08/MEN/2012, tentang kepelabuhanan perikanan, khususnya tentang kriteria teknis dan kriteria operasional pelabuhan perikanan, maka yang memenuhi syarat untuk sebagai Unit Pengolahan Ikan (UPI) adalah di PPN , untuk itu ekspor hanya berlangsung dari PPN Ambon dan PPN Tual. 3. Sesuai Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.56/2014, tentang larangan transhipment hasil tangkapan ikan di tengah laut, diasumsikan pola jaringan rantai pasok TTC adalah dari kapal nelayan ke PPI atau PPN terdekat sebagai tempat pengumpul dan kemudian ke Unit Pengolahan 10
Ikan (UPI) dan atau di PPN untuk diekspor dengan metode genetic algorithm (GA), 4. Strategi peningkatan kualitas TTC yang dimaksudkan adalah bagaimana mengidentifikasi tahapan proses yang berpotensi bahaya dan berpengaruh terhadap proses kualitas TTC (task crucial) saat di kapal, PPI dan PPN (hasil dari fuzzy expert system) dan bagaimana proses penanganannya dilakukan pada cold chain system, agar kualitas TTC dapat ditingkatkan 5. Model cold chain system (CCS) yang dimaksud adalah, rekomendasi cold chain system management TTC di Maluku berdasarkan pendekatan dari hasil penentuan strategi perlakuan perbaikan kualitas ikan grade mutu ekspor pada ( point 4 di atas) dan usulan pola jaringan distribusi TTC terpendek (point 3 diatas).
2.4
Tujuan dan Manfaat Peneltian
2.4.1 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah dan batasan masalah tersebut, maka tujuan penelitian dan manfaat penelitian dapat disusun sebagai berikut: 1. Melakukan identifikasi terhadap tahapan proses yang berpotensi bahaya dan yang paling berpengaruh (task crucial) terhadap proses kualitas TTC saat di kapal, PPI dan PPN (hasil pendekatan fuzzy expert system) dan bagaimana proses penanganannya dilakukan pada cold chain system, agar kualitas TTC dapat ditingkatkan 2. Melakukan pemilihan solusi jarak rute terpendek distribusi TTC di Maluku (dari kapal penangkap ikan nelayan ke Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) dan selanjutnya dari PPI ke Pelabuhan Perikanan Nasional (PPN) untuk diolah dan diekspor.) dengan metode Genetic Algorithm (GA), 3. Merumuskan cold chain system management (CCSM) TTC berdasarkan hasil integrasi dari strategi peningkatan kualitas grade ekspor ikan (hasil point 1 di atas) dan pemilihan rute terpendek distribusi (hasil point 2 di atas)
11
2.4.2
Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat memberi manfaat pada nelayan,pihak
pelaku ekspor TTC dan Pemerintah selaku compotent authorithy (CA) dan seluruh stack holder, sebagai berikut: Memberikan informasi tentang cara penanganan kualitas ikan pada setiap cold chain tracking yang dilalui dan melakukan antisipasi lebih awal terhadap tahapan yang paling kritis (task crucial), yang dapat menurunkan kualitas ekspor TTC Dengan adanya optimalisasi rute distribusi TTC terpendek atau paling efisien maka nelayan dan perusahaan dapat merencanakan proses penangkapan dan fishing ground lebih ekonomis, sehingga biaya eksploitasi kapal lebih murah. Melalui rekomendasi cold chain system management TTC, nelayan, pemerintah, pelaku ekspor TTC dapat meminimaliser TTC yang direject, dengan melakukan penyempurnaan cold chain system secara integral , mulai dari saat tangkap di kapal, saat di tempat Pendaratan ikan dan proses pengolahan Ikan di UPI/PPN hingga siap diekspor Memberikan kontribusi akademik, berupa pendekatan baru cold chain systems berdasarkan pendekatan dari kualitas TTC (dengan metode fuzzy expert) dan rute terpendek ekspor TTC di Maluku (dengan genetic algoritihm) 2.5
Kontribusi Penelitian Penelitian ini akan memberikan kontribusi kepada stack holder diantaranya: 1. Memberi masukan tentang tahapan proses yang berpotensi bahaya dan yang paling berpengaruh (task crucial) terhadap proses kualitas TTC, baik dari sisi kualitas ikan itu sendiri, maupun dari sisi kualitas proses penanganan TTC saat di kapal, PPI dan PPN 2. Memberi masukan tentang bagaimana proses penanganan potensi bahaya dan task crucial dilakukan pada cold chain system, khususnya di kapal, PPI dan PPN, agar kualitas TTC dapat ditingkatkan 3. Memberikan informasi kontekstual Maluku kepada Pemerintah, dalam pengembangan program kelautan secara nasional, seperti :
12
Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor: 05/Permen-Kp/2014 tentang Sistem Logistik Ikan Nasional (SLIN) Beberapa program pemerintah dibidang kelautan yang berbasis di Maluku, khususnya Persiapan Maluku sebagai Lumbung Ikan Nasional (MLIN). 2.6
Kebaruan Penelitian Kebaruan penelitian bertujuan untuk menentukan keterbaruan penelitian
dibandingkan dengan posisi penelitian sebelumnya yang telah dilakukan. Untuk menentukan originalitas penelitian ini ada 2 (dua) pendekatan yang diambil, yaitu: obyek penelitian dan metode yang digunakan. Hasil review dapat dilihat pada tabel 2.15 diakhir Bab 2. Dari hasil review ada beberapa catatan penting yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk menentukan orsinilitas dari penelitian ini yaitu : Dari hasil review terlihat penelitian Cold chain system lebih cenderung pada pendekatan dari aspek masing-masing problem domain, yaitu pada aspek kualitas ikan itu sendiri atau aspek proses penanganannya. Penelitian menggunakan pendekatan dengan menggabungkan variabel kualitas ikan dan variabel proses penanganannya secara utuh guna mendapatkan task crucial. Kemudian task crucial ini akan dipakai sebagai input untuk melakukan perbaikan kualitas pada cold chain system management TTC. Integrasi ini belum banyak ditemukan, disisi lain dari aspek metode, penggunaan fuzzy expert system sebagai tools guna mendukung keputusan dalam cold chain system, belum banyak dilakukan dalam penelitian sebelumnya. Dalam penelitian ini juga mencoba untuk mengusulkan rantai distribusi terpendek TTC setelah diberlakukannya larangan transhipment di tengah laut. Secara teori lama waktu pendinginan/pembekuan tergantung dari jarak yang ditempuh, jika jarak yang ditempuh semakin pendek maka secara teori biaya operasional cold chin system bisa lebih efisien. Selain itu dari hasil review terlihat bahwa penerapan sebuah rantai dingin (cold chain system) pada beberapa negara seperti : Ruwanda (Friend, dkk,
13
2000), Eropa, Houghton, dkk, (2008) dan Canada, Jol, dkk, (2006), ternyata dipengaruhi oleh, karakteristik kewilayahan, kondisi sosial ekonomi dan karakteristik habitat produk ikan pada
masing-masing negara (Ababouch,
2006), ini berarti penelitian TTC dengan lokus penelitian di Maluku, tentunya akan memiliki pendekatan kebaruan yang berbeda dari penelitian sebelumnya dari segi karakteristik kewilayahan dan sosial ekonomi, dan karakteristik kimia dan fisik laut sebagai habitat ikan, Kesimpulannya, kebaruan dari penelitian ini adalah : cold chain management TTC di Maluku : 1. Menggunakan pendekatan dengan menggabungkan variabel kualitas ikan dan variabel proses penanganannya secara utuh guna mendapatkan task crucial. Kemudian task crucial ini akan dipakai sebagai input untuk melakukan perbaikan kualitas pada cold chain system management TTC. Dari aspek metode, penggunaan fuzzy expert system sebagai tools guna mendukung keputusan dalam cold chain system, dapat dianggap sebagai sebuah kebaruan. 2. Mengusulkan rantai distribusi terpendek TTC, berdasarkan variabel jarak terpendek, berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.56/2014, tentang larangan transhipment hasil tangkapan ikan di tengah laut. Secara teori lama waktu pendinginan/pembekuan tergantung dari jarak yang ditempuh, jika jarak yang ditempuh semakin pendek maka secara teori biaya operasional cold chain system bisa lebih efisien.
14
BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.7
Posisi Indonesia Dalam Perikanan Tuna Global Peran industri Tuna Indonesia dari waktu ke waktu semakin penting dan
strategis terutama dalam menopang perekonomian bangsa. di tahun 2006 Indonesia menduduki peringkat 10 dengan pasar ekspor utama adalah Amerika, Uni Eropa dan Jepang. Pertumbuhan ekspor produk perikanan Indonesia selama 5 (lima) tahun terakhir (2003 – 2007) menunjukkan trend naik, yaitu mencapai ratarata sebesar 8,28 %. Dari tahun 2011 -2014 produksi sektor perikanan Indonesia terus meningkat rata-rata 17,39 ton/tahun dan nilai ekspor produk perikanan Indonesia(US$ miliar) terus meningkat rata-rata sebesar 4,29 % (diolah dari data KKP , 2015), Dalam lima tahun terakhir, Indonesia menjadi negara penghasil tuna terbesar kedua di dunia dengan memasok lebih dari 16 persen total produksi tuna dunia (FAO, 2014). Adapun data total ekspor kuartal I, 2015 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat produk perikanan terjadi surplus dalam perdagangan sektor perikanan. Tuna menjadi penyumbang terbesar nilai ekspor perikanan Indonesia setelah udang, yakni mencapai 89,41 juta dolar AS. Tuna Cakalang dan Tongkol ternyata menjadi menjadi komoditas utama perikananan tangkap Indonesia, , untuk jenis spesies ikan sejak tahun 2009-2014, kenaikan rata-rata tahun 2009-2014, yang paling tertinggi adalah Tuna 14,66%, dikuti Cakalang 6,585% dan Tongkol 1,52%, secara terperinci dapat di lihat pada Tabel 2.1 di bawah ini Tabel 2.1. Tabel Produksi Perikanan Tangkap Laut Menurut Komoditas Utama
Sumber : DJPT, KKP, 2014 15
Dari sisi jumlah jumlah tangkapan tahun 2009-2014 (ton), khusus TTC, Cakalang yang terbesar dan diikuti oleh Tongkol dan Tuna (gambar 2.1)
Gambar 2.1 Grafik Perkembangan Komoditas Utama Perikanan Tangkap Tahun 2009-2013 (statistik KKP, 2014) Disisi lain hasil data menunjukan bahwa selama tahun 2002-2010 Indonesia mengalami 2608 kasus penolakan produk pangan di Amerika Serikat, khusus ikan 1300 kasus, dan sebanyak 327 kasus produk pangan bermasalah di Eropa ,khusus ikan 12 kasus yang mengalami penolakan (Saputra,2011) dan Tuna merupakan jumlah presentase terbesar (62%) jenis produk ikan yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011).dapat dilihat pada Tabel 2.2 dan Gambar 2.2 Tabel 2.2. Jumah Kasus Penolakan Produk Perikanan RI, Tahun 1999-2005
Sumber : Ababouch, 2006 Penyebab reject produk ikan khususya Tuna,Tongkol dan Cakalang adalah persoalan Kualitas baik dari sisi hygiene/sanitasi, histamine, tercemar, baik saat di kapal, pendaratan ikan, Unit Pengolahan Ikan (UPI) ataupun pelabuhan Perikanan, untuk itu persoalan integrasi sistem rantai dingin (cold chain system) menjadi sangat penting peningkatan kualitas menjadi sangat penting
16
2.8
Gambaran Umum Propinsi Maluku dan Potensi Tuna, Tongkol dan Cakalang Provinsi Maluku dengan Ibukota Ambon, secara astronomis terletak
antara 2° 30‟ – 8° 30‟ LS dan 124° 00‟ – 135° 30‟ BT , Maluku memiliki luas wilayah 712.480 km2, terdiri dari sekitar 92,4% lautan atau 658.294,69 km2 dan 7,6% daratan , dengan jumlah pulau yang mencapai 1.412 buah pulau dan panjang garis pantai 10.662 km.
memiliki 9 kabupaten dan 2 kota. tentulah sangat
berpotensi sebagai kompetitor di sektor perikanan Tuna, Tongkol dan cakalang_(TTC), peta wilayah Propinsi Maluku dapat dilihat pada Gambar 2.3.
Gambar 2.2 Peta Wilayah Propinsi Maluku (BAPPEDA, Maluku,2010)
Rata-rata produksi Perikanan tangkap propinsi Maluku 2009-2013 adalah 466.195 ton/tahun (DJPT, KKP , 2014) khusus untuk potensi Tuna Tongkol dan Cakalang Maluku dapat dilihat pada Tabel 2.3
17
Tabel 2.3 Statistik Perikanan Tangkap Maluku Tahun, 2009-2013
Sumber : KKP, 2014
Trend meningkat 10 tahun terakhir (tahun 2003-2013) sebesar 17 %, komoditi perikanan TTC Maluku yang terbesar di tahun 2012 adalah cakalang (51.319 ton) dan tongkol komo (34.289 ton) , total produksi Tuna Tongkol dan cakalang Maluku pada tahun 2012 sebesar 1.061.282 ton
2.9
Deskripsi Tuna,Tongkol dan Cakalang dan Perdagangannya Ikan tuna termasuk dalam keluarga Scombroidae, tubuhnya seperti
cerutu. mempunyai dua sirip pungung, sirip depan yang biasanya pendek dan terpisah dari sirip belakang. Ikan tuna termasuk spesies ikan perenang cepat (high migratory species) dan terkuat di antara ikan-ikan yang berangka tulang keras.. Ikan tuna termasuk dalam jenis ikan yang suka bergerombol (schooling). Ikan tuna besar bisa mencapai umur 20 tahun, dan jenis tuna kecil bisa hidup 12-15 tahun. Ukuran tuna besar berkisar 225 Cm, dan tuna kecil sekitar 100 Cm. Ikan tuna mulai bertelur saat berumur 3-5 tahun dengan ukuran tubuh 100-145 Cm untuk tuna besar dan sekitar 50-90 Cm untuk tuna kecil. Lokasi
18
sekitar perairan laut ekuator/khatulistiwa yang bersuhu hangat (lebih dari 24OC) merupakan lokasi bertelur ikan tuna sepanjang musim panas. Ikan tuna dapat dibagi dalam 2 kelompok yaitu ikan tuna besar dan ikan tuna kecil. Ikan tuna besar terdiri dari: 1. Thunnus albacores (Yellowfin Tuna/Madidahang) 2. Thunnus obesus (Big eye Tuna/Tuna Mata Besar) 3. Thunnus macoyii (Southtern Bluefin Tuna/Tuna Sirip Biru Selatan) 4. Thunnus alalunga (Albacore) Sedangkan ikan tuna kecil terdiri dari: 1. Katsuwonis pelamis ( Skipjack Tuna / Cakalang ) 2. Euthynnus sp dan Auxis spp ( Small Tuna / Tongkol ) Jenis ikan Tuna Tongkol dan Cakalang yang terdapat di perairan Indonesia dapat dilihat pada tabel 2.7 di bawah ini: Tabel 2.4. Jenis Tuna, Cakalang dan Tongkol
(sumber : KKP, 2014) Dalam perdagangan internasional, jenis utama dari produk ikan tuna diperdagangkan dalam bentuk segar (fresh/chilled), beku (frozen), dan olahan baik dalam bentuk olahan (preserved) maupun dalam wadah vakum (airlight container). Produk Tuna di beri kode secara internasional oleh FAO yang di kenal dengan Harmonized System (HS), ikan dan produk perikanan tuna terbagi dalam dua kelompok besar yaitu ikan (HS 03) dan produk olahan (HS 16). Dalam kelompok HS 03 terdiri dari dua kelompok, yaitu ikan segar (Fish Fresh HS 0302) dan ikan beku (Fish Frozen, HS 0303). Produk ikan segar (Fish Fresh HS 0302)
19
terdiri dari tuna Albacore (HS 030231), Tuna Yellowfin (HS 030232), Tuna Skipjack (HS 030233) dan Tuna Lainnya, termasuk tuna Bigeye (HS 030239). Sementara itu untuk produk tuna beku (Fish Frozen, HS 0303), terdiri dari tuna Albacore (HS 030331), Tuna Yellowfin (HS 030332), Tuna Skipjack (HS 030333) dan Tuna Lainnya, termasuk tuna Bigeye (HS 030339). Produk olahan (HS 16) ikan tuna hanya terdiri dari satu kelompok, yaitu ikan yang diolah atau diawetkan (HS 1604) dan ikan tuna cakalang (skipjack) dalam kemasan kedap udara (kaleng) (HS 160414). Ikan tuna dalam perdagangannya dikelompokkan menurut standar atau kualitas daging yang terbagi menjadi empat tingkat mutu yaitug grade A, B, C,dan D,
2.10 Wilayah Pengelolaan Perikanan RI (WPPNRI) dan Potensi Ikan Tuna, Tongkol dan Cakalang (TTC) di Maluku Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.01/MEN/2009 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPPNRI). Telah ditetapkan sebelas WPPNRI yaitu: 1. WPPNRI 571 meliputi perairan Selat Malaka dan Laut Andaman; 2. WPPNRI 572 meliputi perairan Samudera Hindia sebelah Barat Sumatera dan Selat Sunda; 3. WPPNRI 573 meliputi perairan Samudera Hindia sebelah Selatan Jawa hingga sebelah Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian Barat; 4. WPPNRI 711 meliputi perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut China Selatan; 5. WPPNRI 712 meliputi perairan Laut Jawa; 6. WPPNRI 713 meliputi perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali; 7. WPPNRI 714 Meliputi perairan Teluk Tolo dan Laut Banda; 8. WPPNRI 715 meliputi perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram dan Teluk Berau; 9. WPPNRI 716 meliputi perairan Laut Sulawesi dan sebelah Utara Pulau Halmahera;
20
10. WPPNRI 717 meliputi perairan Teluk Cenderawasih dan Samudera Pasifik; 11. WPPNRI 718 meliputi perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian Timur. Sebelas WPPNRI dan potensinya dapat dilihat pada Gambar 2.4.
Gambar 2.3 Peta Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPPNRI) dan Potensinya (sumber: KKP,2012) Berdasarkan 11 wilayah WPPNRI di atas, Maluku berada dalam 3 WPPNRI yaitu WPPNRI 714 Laut Banda, memiliki potensi 278.000 ton/tahun, WPPNRI 715 Laut Seram dan Teluk Tomini, memiliki potensi 595.500 ton/tahun dan WPPNRI 718 Laut Arafura dan Laut Timor, memiliki potensi 855.600 ton/tahun, total potesi ketiga WPPNRI di Maluku ini adalah 1.729.100 ton/tahun atau sebesar 26,5% dari total sebelas WPPNRI yang ada tetapi potensi ketiga WPPNRI di Maluku ini, yang baru dimanfaatkan baru 21% atau sekitar 341,966 ton, dengan
21
demikian masih sangat berprospek untuk dikembangkan sebagai komoditas unggulan sektor perikanan Maluku
2.11Komposisi produksi dan estimasi Produksi Tuna dan cakalang secara Nasional Tahun 2005-2012 Secara nasional komposisi produksi Tuna cakalang dan Tongkol, berturut-turut didominasi oleh cakalang (64,83%), madidihang (25,40%), tuna mata besar (7,35%), tuna albakora (2,23%) dan tuna sirip biru selatan (0.20%). Secara terperinci dapat dilihat pada Tabel 2.5
Tabel 2.5 Komposisi Produksi Tuna dan Cakalang secara Nasional (11 WPPNRI)
Sumber : Statistik Perikanan Tangkap, KKP, 2013 (data diolah) Dari sisi estimasi produksi tuna, cakalang dan tongkol Indonesia pada tahun 2005-2012 diperkirakan rata-rata sebanyak 1.033.211 ton/tahun, terdiri dari tuna dan cakalang rata-rata sebanyak 480.760 ton/tahun serta tongkol sebanyak 552.452 ton/tahun, dan dari sisi jumlah didominasi secara berturut-turut oleh tongkol (552.451 ton/tahun), cakalang (311.659 ton/tahun), madidihang (122.098 ton/tahun), tuna mata besar (35.317 ton/tahun), albakora (10.738 ton/tahun) dan tuna sirip biru selatan (947 ton/tahun). dengan rincian sebagaimana tersebut pada Tabel 2.6 Tabel 2.6 Estimasi Produksi Tuna,Cakalang dan Tahun 2005-2012
22
Sumber : Statistik Perikanan Tangkap, KKP, 2014 (data diolah)
Sementara komposisi produksi tuna dan cakalang di WPPNRI 713, WPPNRI 714 dan WPPNRI 715 berturut-turut didominasi oleh cakalang (75,00%), madidihang (21,59%), tuna mata besar (3,41%). dapat dilihat pada Tabel 2.7
Tabel 2.7 Komposisi Produksi Tuna dan Cakalang di WPPNRI 713, WPPNRI 714 dan WPPNRI 715
Sumber : Workshop Catch Estimate WCPFC, 2014 Estimasi Produksi Tuna dan Cakalang di WPNRI 713, WPPNRI 714 dan WPPNRI 715 Tahun 2005-2012, khusus produksi tuna mata besar, madidihang, dan cakalang tahun 2005-2012 rata-rata sebesar 251.300 ton/tahun, dengan rincian sebagaimana tersebut pada Tabel 2.8. Berdasarkan estimasi produksi di atas, dapat diketahui bahwa produksi rata-rata tahun 2005-2012 untuk tuna mata besar, madidihang dan cakalang berfluktuasi, dan dari sisi jumlah didominasi secara berturut-turut oleh cakalang (188.239 ton/tahun), madidihang (54.223 ton/tahun) dan tuna mata besar (8.829 ton/tahun) 23
Tabel 2.8 Estimasi Produksi Tuna dan Cakalang di WPNRI 713, 714 dan 715 Tahun 2005-2012
Sumber : Statistik Perikanan Tangkap, KKP, 2013 (data di olah)
2.12Komposisi Produksi dan estimasi produksi Tongkol Secara Nasional Secara Nasional hasil komposisi produksi Tongkol berturut-turut didominasi oleh tongkol komo (26,0%), tongkol krai (24,8%), tenggiri (23,2%), tongkol abuabu (20,9%), tenggiri papan (4,2%) dan lisong (0,9%). Sebagaimana terinci pada Tabel 2.9 Tabel 2.9 Komposisi Produksi Tongkol Secara Nasional (11 WPPNRI)
Sumber : Statistik Perikanan Tangkap, KKP, 2013, (data diolah) Adapun estimasi jumlah produksi Tongkol Nasional tahun 2005-2012 rata-rata sebesar 552.451 ton/tahun, didominasi secara berturut-turut oleh tongkol komo (143.781 ton/tahun), tongkol krai (137.196 ton/tahun), tenggiri (127.923 ton/tahun), tongkol abu-abu (115.686 ton/tahun), tenggiri papan (22.977 ton/tahun) dan lisong (4.888 ton/tahun). dengan rincian sebagaimana pada Tabel 2.10 24
Tabel 2.10 Estimasi Produksi Tongkol Tahun 2005-2012
Sumber : Statistik Perikanan Tangkap, KKP, 2013 (data di olah)
2.13 Pelabuhan Perikanan di Maluku Sesuai Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, Nomor.
PER.08/MEN/2012,
tentang
:
Kepelabuhanan
perikanan,
yang
dimaksudkan dengan, Pelabuhan perikanan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang digunakan sebagai tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh, dan/atau bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang perikanan. Klasifikasi Pelabuhan Perikanan menurut PER.08/MEN/2012, adalah : Pelabuhan Perikanan kelas A, disebut Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS); Pelabuhan Perikanan kelas B, disebut Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN); Pelabuhan Perikanan kelas C, disebut Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP); dan Pelabuhan Perikanan kelas D, disebut Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI). Sesuai Keputusan Menteri KKP NOMOR 45/KEPMEN-KP/2014 tentang Rencana Induk Pelabuhan Perikanan Nasional, di propinsi Maluku, terdapat 26 Pelabuhan Perikanan (PP) terdiri dari : dua Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) di Ambon dan Tual dan 24 Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI), seperti pada Tabel 2.11 dan lokasinya pada Gambar 2.4
25
Tabel 2.11 Jenis dan Jumlah.Pelabuhan Perikanan di Maluku No
Jenis Pelabuhan Perikanan Lokasi Kabupaten/Kota PPN PPI Kota Ambon Kota Ambon PP. Ambon 1 Kota Ambon Kota Ambon PP. Eri 2 Leihitu ,P ambon, Maluku Tengah PP. Leihitu 3 Waai , P ambon Maluku Tengah PP. Salahutu 4 Tulehu,P ambon Maluku Tengah PP.Tulehu 5 Maluku Tengah PP. Haria Haria, Saparua 6 Maluku Tengah PP. Amahai Amahai 7 Kota masohi Maluku Tengah PP. Masohi 8 Kec Amahai Maluku Tengah PP. Tehoru 9 Banda Neira Maluku Tengah PP. Banda 10 Kota Piru Seram Bagian Barat PP. Piru 11 Wahai Maluku Tengah PP. Opin 12 Geser Seram Bagian Timur PP. Geser 13 Seram Bagian Timur PP. Tamher Timur P Kesui 14 Masarete Buru PP. Masarete 15 Kota Tual PP Tual Kota Tual 16 PP. Kelvik Taar Desa Taar Kota Tual 17 PP. Lairgangas Kei Kecil Maluku Tenggara 18 Kota dobo, kepulauan Aru PP. Dobo 19 kepulauan Aru PP benjina Benjina 20 Kepulauan Aru PP. kalar-kalar Kalar-kalar 21 PP. Warabal Pulau penambulai kepulauan Aru 22 Maluku Tenggara Barat PP. Ukurlarang Desa Lauran,Saumlaki 23 Maluku Tenggara Barat PP. Penambungan Namtabung 24 Wetar Maluku Barat Daya PP. Klishatu 25 Kara, Wetar Maluku Barat Daya PP.Wetar 26 Sumber : Kepmen KKP, No. 45/KEPMEN-KP/2014 tentang Rencana Induk Pelabuhan Perikanan Nasional
Gambar 2.4 Lokasi Pelabuhan Perikanan di Maluku (diolah dengan Google Maps) 26
Sesuai Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, Nomor. PER.08/MEN/2012, tentang : Kepelabuhanan perikanan, kategori Pelabuhan Perikanan yang bisa melakukan ekspor ikan adalah kategori Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) dan Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN), yang telah memperoleh sertifikat sebagai Unit Pengolahan Ikan untuk ekspor dengan demikian di Maluku hanya PPN Ambon dan PPN Tual yang bisa melakukan kegiatan ekspor ikan,
2.14 Standarisasi Kualitas Ikan Ada dua standar utama yang harus di penuhi oleh sebuah produk makanan yaitu standar international dan standar regional atau sering di sebut juga private standar, yang disesuaikan dengan persyaratan masing-masing negara pengimpor 2.14.1 Standar Internasional 2.14.1.1 CODEX Secara internasional persyaratan sebuah produk ekspor ikan, harus memenuhi persyaratan World Health Organization (WHO) dan Food Agriculture Organization (FAO) yang terangkum dalam CODEX yaitu, prinsip umum dalam praktek kesehatan dan keamanan pangan, untuk itu dibentuk sebuah lembaga yang diberi nama Codex Alimentarius Commission , yang diberi wewenang oleh, FAO dan WHO untuk membuat/ mengembangkan standar, panduan dan rekomendasi termasuk audit dan akreditasi tentang keamanan pangan dunia, yang bertujuan untuk melindungi kesehatan konsumen dan menjamin terjadinya perdagangan yang adil, selain berkoordinasi dengan institusi standarisasi lainnya untuk mengkampanyekan pentingnya keamanan pangan atau food safety (WHO dan FAO, 2009). Khusus untuk Ikan dan produk perikanan Codex Alimentarius Commission mengeluarkan codex khusus yaitu : Code of Practise for Fish and Fishery Products tentang
standarisasi praktis untuk produk ikan mulai dari
handling, production , storage, distribution, export, import and sale. (FAO dan WHO, 2009),
27
2.14.2 Standar Regional Negara Pengimport Selain Standar Internasional ada juga standar khusus yang ditentukan oleh negara pengimpor seperti : Food Standards Australia and New Zealand (FSANZ),
European
Commission
(EC),
United
State
Food
Safety
InspectionService (FSIS) , Agriculture and Agri-Food Canada (AAFC), Japan Frozen Foods Inspection Corporation (JFFIC), dan lain lain
2.14.3 Standar Nasional Indonesia (SNI) Di Indonesia standar kualitas Tuna, Tongkol dan cakalang juga telah di standarisai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI), Kelebihan dari Standar Nasional Indonesia (SNI) adalah standar yang digunakan sudah dilakukan harmonisasi dengan dengan cara mengakomodir standar internasional
dan
maupun standar beberapa Negara yang selama ini menjadi tujuan ekspor Tuna, Tongkol dan Cakalang Indonesia, SNI untuk kualitas TTC dapat dibagi dalam dua golongan besar yaitu : A. Pertama SNI tentang kriteria antara lain, pengujian organoleptic dan sensori, batas maksimum cemaran kimia dan mikroba, batas logam berat, kualitas Es dan standart proses HACCP yang diatur dalam : SNI 2346 : 2011
: Petunjuk pengujian organoleptik dan atau sensori pada produk perikanan
SNI 7501 : 2009
: Batas maksimum cemaran kimia
SNI 7388 : 2009
: Batas maksimum cemaran mikroba dalam pangan
SNI 7387 : 2009
: Batas logam berat
SNI 4872 : 2015
: Es untuk Penanganan dan Pengolahan Ikan
SNI 01-4852-1998 : Sistem analisa bahaya dan pengendalian titik kritis (HACCP) serta pedoman penerapannya B. Kedua SNI yang berhubungan dengan proses penanganan ikan sejak ditangkap di kapal hingga penyimpanan ikan dan pengolahan ikan di darat : SNI 4104 : 2015
: Tuna Lion Beku (revisi SNI 4104.2006)
SNI 4110 : 2014
: Ikan beku (revisi SNI 4110.2006)
SNI 8087 : 2014
: Penanganan ikan cara penanganan ikan yang baik di atas kapal
28
SNI 8088 : 2014
: Penanganan ikan Pembongkaran ikan segar dari kapal perikanan di pelabuhan
SNI 8089 : 2014
: Penanganan ikan, pembongkaran ikan beku dari kapal perikanan di pelabuhan
SNI 8090 : 2014
: Penanganan ikan di atas kapal fasilitas palka ikan segar
SNI 8091 : 2014
: Penanganan ikan di atas kapal fasilitas palka beku
SNI 8188 : 2015
: Penangkapan Ikan, Manajemen Operasional Penangkapan Ikan pada Kapal Perikanan
SNI 8193 : 2015
: Penangkapan Ikan,, Pemeriksaan Dokumen dan Fisik Kapal Perikanan
Selain itu ada beberapa peraturan Menteri dan Dirjen Kelautan dan Perikanan yang menjadi dasar dalam proses penanganan dan mutu ikan, yaitu : Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia No. 1/Kepmen-KP/2007 Tentang Persyaratan Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Pada Proses Produksi, Pengolahan dan Distribusi Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia No. 8/Kepmen-KP/2014 Tentang Pemberlakuan Penerapan Standar Nasional Indonesia pada Produk Perikanan Peraturan DIRJEN Perikanan Tangkap No. 84/PER-DJPT/2013, Tentang Sertifikasi Cara Penanganan Ikan yang Baik pada Kapal Penangkap Ikan dan/atau Kapal Pengangangkut Ikan
2.15 Standarisasi Mutu dan Proses Pengolahan Tuna Cakalang dan Tongkol Secara Umum produk ekspor Tuna Cakalang dan Tongkol harus memenuhi dua syarat utama yaitu standar kriteria kualitas dan standar proses kualitas, standar-standar ini telah di atur dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) yang telah di jelaskan pada point 2.6 di atas, menurut SNI 4110:2014 tentang ikan beku ada ada beberapa parameter uji yag harus dipenuhi oleh produk ikan beku, seperti pada tabel 2.12
29
Tabel 2.12 Persyaratan Mutu dan Keamanan Pangan Ikan Beku
Sumber : SNI.20144110:2014 (BSNI,2014) Secara garis besar diagram tahapan ekspor ikan beku dapat dilihat pada gambar 2.5
Gambar 2.5. Diagram Alir Proses Ikan Beku (sumber: SNI 4110:2014)
30
2.16 Rantai Pasok TTC di Maluku Secara umum system Rantai Pasok Tuna Cakalang dan Tongkol di Maluku dapat dilihat pada gambar 2.6.
Konsumen
Nelayan
Pengumpul/ TPI/PPI
DN
Perusahaan/ PPN
Eksportir/ Buyer
Konsumen
LN
Gambar 2.6 Pola sederhana Rantai Pasok TTC di Maluku (sumber : hasil olahan)
Secara pola perdagangan TTC di Maluku sederhana dapat digambarkan sebagai berikut, TTC dari nelayan dibawa ke pengumpul atau ke Tempat Pendaratan Ikan/PPI terdekat setelah itu dibawa ke Perusahaan/PPN yang telah memiliki ada Unit Pengolahan Ikan yang bersertifikasi dan terakreditasi untuk diolah dan selajutnya diekspor Sebelum adanya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.56/2014, tentang larangan transhipment hasil tangkapan ikan di tengah laut, diperbolehkan melakukan transaksi tangkapan ikan di tengah laut, atinya nelayan bisa langsung menjual ikan tangkapannya ke kapal pengumpul yang ada di tengah laut, tetapi setelah dikeluarkan Permen ini maka pola distribusi hasil tangkapan ikan nelayan secara ideal harus di daratkan di Pelabuhan perikanan (PPI/PPN), baru di lelang/di jual sedangkan untuk TTC yang akan di ekspor harus dibawa Pelabuhan Perikanan yang memiliki Unit Pengolahan ikan (UPI)
tersertifikasi dan
terakreditasi untuk diolah sebagai produk ekspor.
2.17 Kualitas dan HACCP Tuna,Cakalang dan Tongkol Tujuan utama dari cold chain systems adalah menjamin kualitas ikan selama seluruh proses berlangsung. Proses capaian kualitas sesuai standar dan HACCP adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan, kualitas yang diinginkan sangat tergantung dari penerapan Risk analysis dan HACCP, HAACP adalah
31
salah satu tools yang di gunakan untuk menganalisis seluruh proses dalam cold chain khususnya dalam menidentifikasi critical control point (CCP) sesuai tingkat potensi bahaya yang akan timbul, jadi HAACP dipakai untuk menjamin Safety, quality dan realilibility dari cold chain system. Menurut
SNI
01-4852-1998
tentang
HAACP
dan
Pedoman
Pelaksanaannya, Sistem HACCP terdiri dari tujuh prinsip sebagai berikut : 1 Melaksanakan analisa bahaya, 2. Menentukan Titik Kendali Kritis (CCP), 3. Menetapkan batas kritis, 4.Menetapkan sistem untuk memantau pengendalian TKK (CCP), 5. Menetapkan tindakan perbaikan yang akan dilakukan jika hasil pemantauan menunjukkan bahwa suatu titik kendali kritis tertentu tidak dalam kendali. 6. Menetapkan prosedur verifikasi untuk memastikan bahwa sistem HACCP bekerja secara efektif, 7. Menetapkan dokumentasi mengenai semua prosedur dan catatan yang sesuai dengan prinsip-prinsip sistem HACCP dan penerapannya. Dalam Grasiano, (2015b), diperoleh ada tiga CCP (crisis control point) atau titik control krisis pada pengolahan Yellow fin tuna beku di Maluku, yaitu titik-titik dimana diprediksikan sebagai titik kritis yang harus diantisipasi resiko bahayanya.CCP pertama adalah tuna loin yang diterima dari kapal dalam styro box dengan es, harus memliki suhu tetap 00C – 4,40C, CCP kedua adalah pada saat proses injeksi karbon monooksida (CO), dimana ikan diinjeksi gas CO dan tempatkan dalam kantong plastik dan CCP (crisis control point) ketiga adalah pada saat berada dalam chiller proses
2.18 Cold Chain Ssytems Sistem rantai dingin (cold chain system) adalah salah satu cara untuk mempertahankan standart quality dan safety dari produk makanan. Sistem rantai dingin (cold chain system)
atau sering juga disebut dengan cold chain
management adalah sebuah system rantai dingin yang dirancang untuk menjamin bahwa seluruh proses mulai dari proses penangkapan/panen, pengolahan sampai dengan distribusi produk sampai dengan dikonsumsi, akan berlangsung secara utuh dan fungsional sesuai standart yang diinginkan, ada tiga standart dasar yaitu : Quality, Safety dan Traceability.
32
Keunggulan system ini adalah proses penjaminan mutu produk dilakukan sejak produk ditangkap hingga tiba dikonsumen (from sea to consumption). Menurut Jean-Paul Rodrigue,dkk (2006), pada gambar 2.7 dapat dilihat bahwa ada tiga elemen utama, yang secara fungsional terintegrasi dalam cold chain management yaitu :Product, Distributin dan Origin/destination.
Gambar 2.7. Elemen Cold Chain (Rodrigue, dkk, 2006) Product: Pengetahuan yang komprehensif tentang spesifikasi dan karakteristik (sifat kimia, biologi dan fisik) produk yang akan didinginkan (chilling) atau dibekukan (frozen), sangat penting dalam menentukan karakter suhu yang dibutuhkan dan tipe cold chain system yang sesuai. Origin/Destination : Pengetahuan yang komprehensif dari jarak,waktu dan lingkungan yang akan ditempuh produk sejak tempat asal sampai ke tujuan sangat penting. Pengetahuan ini penting agar dapat dianalisa faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas dan kemananan produk selama berada dalam cold chain Tracking. Distribution: dengan memahami karakter jaringan distribusi cold chain Tracking yang akan dilalui produk, dapat diidentifikasi dan menentukan lintasan kritis yang memiliki ancaman terhadap, kualitas dan keamanan produk, agar dapat dilakukan antisipasi lebih awal terhadap kerusakan produk. Selain tiga elemen utama di atas, terdapat tiga elemen yang secara fungsional merupakan hasil interseksi dari tiga elemen utama di atas, yaitu :
33
Conditional demand : Setiap permintaan konsumen terhadap sebuah produk pasti memiliki standarisasi dan kualitas produk yang terukur. Untuk itu seluruh proses dalam cold chain system harus mampu mempertahankan dan memenuhi standarisasi dan kualitas produk yang diinginkan, agar produknya akan di tolak Load integrity. Pengetahuan tentang integritas beban pendingin, berapa beban pendingin yang dibutuhkan agar memperoleh suhu pendinginan/pembekuan yang ditetapkan. Integritas suhu pendinginan/pembekuan harus terpenuhi dalam seluruh proses cold chain system, bukan secara parsial pada titik tertentu saja, agar standarisasi dan kualitas produk produk tetap terjaga. Transport integrity. Pengetahuan tentang integritas transport adalah Teknik dan cara yang di gunakan untuk mempertahankan integritas suhu produk selama proses transport dingin (refrigerated transport) akibat pengaruh lingkungan luar terhadap kestabilan suhu. Untuk menjamin mutu TTC dalam seluruh cold chain tracking dalam rantai pasok TTC, mulai dari saat ditangkap di palka kapal, kemudian di tempat Pendaratan ikan/TPI atau Pelabuhan Prikanan (PPI) dan saat proses pengolahan di Unit pengolahan Ikan (UPI) / di Pelabuhan Perikanan untuk diekpor (PPN), skema ruang lingkup dari model cold chain system TTC di Maluku dapat digambarkan seperti pada gambar 2.8
Konsumen
Nelayan
Pengumpul/ TPI/PPI
Perusahaan/ PPN
Eksportir/ Buyer
Konsumen
LN
Cold Chain System TTC di Maluku
Gambar 2.8 : Ruang Lingkup Cold Chain Systems di Maluku Berdasarkan Rantai Pasok TTC (sumber : hasil olahan) 34
Sesuai dengan pola rantai pasok sederhana TTC di Maluku maka ada tiga area penting yang perlu diperhatikan yaitu , saat di kapal, saat di tempat pengumpul/TPI/PPI dan di Unit Pengolahan Ikan UPI atau di PPN sebelum di ekspor. Secara skema dapat digambarkan konsep Cold chain System TTC di Maluku, seperti pada Gambar 2.9. Penerapan cold chain systems harus utuh dan terintegrasi pada seluruh proses mulai dari penangkapan sampai dikonsumsi (from sea to table), bukan secara parsial pada titik tertentu saja, Cold chain systems management harus mampu mempertahankan suhu yang telah ditetapkan pada setiap lintasan dingin produk
Gambar 2.9 Konsep Cold chain Sytems TTC di Maluku (sumber : hasil olahan) Cold Chain Management System adalah sistem menajemen dari seluruh aktivitas dalam sistem rantai dingin (cold chain system) agar berjalan secara efektif dan efisien baik secara teknis maupun dari sisi proses penanganan pada tiap tahapan proses baik saat di kapal, PPI dan saat diekpor dari PPN. Rekomendasi model Cold Chain System management untuk TTC, selain mengacu pada prinsip cold chain management menurut Jean-Paul Rodrigue, dkk 35
(2006), juga mengacu pada prinsip PPP yaitu : Produk (Product), Proses (Process) dan Pengemasan (Package) dan prinsip Time Temperature Tolerance(TTT) yaitu : tempratur yang ditetapkan untuk menjaga kesegaran produk Ikan selama seluruh proses secara terintegrasi dan bila terjadi pengaruh lingkungan luar suhu produk tidak boleh melebihi batas toleransi yang telah ditetapkan Komponen variabel teknis dari sebuah Cold Chain Syatem secara garis besar adalah : Kapasitas pendingin yang dibutuhkan : beban Pendingin , beban kalor produk, beban kemasan produk, beban Kalor akibat energi panas (lampu , orang, motor listrik, dll), beban kalor akibat infiltrasi (buka tutup pintu , proses bongkar muat, dll) dan beban kalor konstruksi (atap, dinding, dll) Penentuan teknik refrigerasi yang akan dipakai Teknik pendinginan (Chilling) dan teknik pembekuan (freezing) Penentuan Media Pendingin (refrigerant) Komponen utama mesin refrigerasi: Kompresor, Kondensor, Evaporator dan Katup Ekspansi Penempatan evaporator dan blower Teknologi proses penanganan tiap tahapan di Kapal, PPI dan PPN Pemilihan model dan tipe cold chain systems harus sesuai dengan karakteristik produk dan karakteristik lintasan dingin (cold chain tracking), khususnya lintasan-lintasan kritis yang merupakan titik kendali kritis. Rekam jejak (traceability) kestabilan suhu suhu yang telah ditetapkan pada Cold chain systems harus terintegrasi dan dapat dipantau pada semua titik lintasan dingin, sehingga bila terjadi penyimpangan dapat segera diatasi dan direkam untuk penanganan dan evaluasi nanti Saat proses di Unit Pengolahan Ikan (UPI)/Pelabuhan Perikanan ( PPI dan PPN) yang harus di perhatikan adalah HACCP, penerapan Good Handling Practices (GHdP) dan Standard Sanitation Operating Procedure (SSOP) . 2.19 Logika Fuzzy Fuzzy secara bahasa diartikan sebagai kabur atau samar-samar. Suatu nilai dapat bernilai benar atau salah secara bersamaan. Dalam fuzzy dikenal derajat keanggotaan yang memiliki rentang nilai 0 (nol) hingga 1 (satu). Berbeda 36
dengan himpunan tegas yang memiliki nilai 1 atau 0 (ya atau tidak). Logika Fuzzy merupakan
seuatu logika yang memiliki nilai kekaburan
atau kesamaran (fuzzyness) antara benar atau salah. Dalam teori logika fuzzy suatu nilai bisa bernilai benar atau salah secara bersama. Namun berapa besar keberadaan dan kesalahan suatu tergantung pada bobot keanggotaan
yang
dimilikinya. Logika fuzzy memiliki derajat keanggotaan dalam rentang 0 hingga 1. Berbeda dengan logika digital yang hanya memiliki dua nilai 1 atau 0. Logika fuzzy digunakan untuk menterjemahkan
suatu besaran yang diekspresikan
menggunakan bahasa (linguistic), misalkan besaran kecepatan laju kendaraan yang diekspresikan dengan pelan, agak cepat, cepat, dan sangat cepat. Dan logika fuzzy menunjukan sejauhmana suatu nilai itu benar dan sejauhmana suatu nilai itu salah. Tidak seperti logika klasik (scrisp) tegas, suatu nilai hanya mempunyai 2 kemungkinan
yaitu merupakan suatu anggota himpunan atau tidak. Derajat
keanggotaan 0 (nol) artinya nilai bukan merupakan anggota himpunan dan 1 (satu) berarti nilai tersebut adalah anggota himpunan. Logika fuzzy adalah suatu cara yang tepat untuk memetakan suatu ruang input kedalam suatu ruang output, mempunyai nilai kontinyu. Fuzzy dinyatakan dalam derajat dari suatu keanggotaan dan derajat dari kebenaran. Oleh sebab itu sesuatu dapat dikatakan sebagian benar dan yang
sebagian salah pada waktu
sama (Kusumadewi, dkk, 2004). Logika Fuzzy memungkinkan
keanggotaan
nilai
antara 0 dan 1, tingkat keabuan dan juga hitam dan putih, dan
dalam bentuk linguistik, konsep tidak pasti seperti "sedikit", "lumayan" dan "sangat," Ada beberapa alasan mengapa orang menggunakan logika fuzzy, lain: 1. Konsep logika fuzzy mudah dimengerti. Konsep matematis yang mendasari penalaran fuzzy sangat sederhana , mudah dimengerti, fleksibel memiliki toleransi terhadap data-data yang tidak tepat. 2. Mampu memodelkan fungsi-fungsi nonlinear yang sangat kompleks. 3. Dapat membangun dan mengaplikasikan pengalaman pengalaman para pakar secara langsung tanpa harus melalui proses pelatihan. Dan dapat bekerjasama dengan teknik-teknik kendali secara konvensional. didasarkan pada bahasa alami. 37
Fungsi Keanggotaan Fungsi Keanggotaan (membership function) adalah suatu kurva yang menunjukkan pemetaan titik-titik input data ke dalam nilai keanggotaannya (sering juga disebut dengan derajat keanggotaan) yang memiliki interval antara 0 sampai 1. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mendapatkan nilai keanggotaan adalah dengan melalui pendekatan fungsi, antara lain : a. Representasi Linier Pada representasi linear, pemetaan input kederajat keanggotannya digambarkan sebagai suatu garis lurus. Bentuk ini paling sederhana dan menjadi pilihan yang baik untuk mendekati suatu konsep yang kurang jelas. Ada 2 keadaan himpunan fuzzy yang linear. Pertama, kenaikan himpunan dimulai pada nilai domain yang memiliki derajat keanggotaan nol [0] bergerak ke kanan menuju ke nilai domain yang memiliki derajat keanggotaan lebih tinggi (gambar 2.10)
1
0,2derajat keanggotaan µ [x]
0
0
domain
0
Gambar 2.10. Representasi Nilai Naik (sumber : Sri Yulianto,dkk,2008))
b. Representasi Kurva Segitiga Kurva Segitiga pada dasarnya merupakan gabungan antara 2 garis (linear) seperti terlihat pada Gambar 2.11.
38
1 derajat keanggotaan µ [x]
0
a
b
c
Gambar 2.11 Kurva Segitiga (sumber : Sri Yulianto,dkk,2008))
2.20 Fuzzy Expert System Sistem pakar (expert system) adalah suatu sistem berbasis komputer yang mengadopsi pengetahuan seorang pakar ahli ke dalam sistem berbasis komputer sehingga bisa digunakan untuk menyelesaikan permasalahan seperti yang dilakukan oleh seorang pakar/ ahli. Dalam sistem pakar ini, komputer akan berpikir seperti layaknya jalan pemikiran seorang ahli dalam mengambil kesimpulan, sehingga masalah yang ada dapat diatasi. Masalah yang muncul pada penggunaan sistem pakar terletak pada seberapa akurat kesimpulan yang didapat dari program tersebut. Sistem pakar (expert system) menggunakan basis pengetahuan base)
sebagai
dasar
pemikirannya. Knowledge base
(knowledge terdiri
dari
sejumlah rule-rule yang tersusun secara sistematis dan spesifik, juga relasi antara data dan rule
dalam pengambilan kesimpulan. Knowledge
base
tersimpan dalam sebuah basis data pada suatu tempat penyimpanan data. Sedangkan
sebagai
otak
atau
pusat
pemrosesannya adalah
inference engine , yaitu suatu rancangan aplikasi yang berfungsi untuk memberikan pertanyaan dan menerima input dari user, kemudian melakukan proses
logika
selanjutnya
sesuai
dengan
menghasilkan
knowledge
base yang
tersedia,
untuk
output berupa suatu kesimpulan atau keputusan 39
sebagai hasil akhir konsultasi. Dengan demikian Fuzzy Expert System adalah Suatu sistem pakar yang menggunakan perhitungan fuzzy dalam mengolah knowledge untuk menghasilkan premis dan konklusi, sehingga menghasilkan informasi yang memiliki keakuratan kepada user. 2.21 Ship Routine Problem dan Genetic Alghortim (GA) Vehicle Routing Problem (VRP) didefinisikan sebagai sebuah pencarian atas cara penggunaan yang efisien dari sejumlah vehicle yang harus melakukan perjalanan untuk mengunjungi sejumlah tempat untuk mengantar dan/atau menjemput orang/barang. Istilah customer digunakan untuk menunjukkan pemberhentian untuk mengantar dan/atau menjemput orang/barang. Setiap customer harus dilayani oleh satu vehicle saja. Penentuan pasangan vehiclecustomer ini dilakukan dengan mempertimbangkan kapasitas vehicle dalam satu kali angkut, untuk meminimalkan biaya yang diperlukan. Biasanya, penentuan biaya minimal erat kaitannya dengan jarak yang minimal. Metode VRP adalah kombinasi dari dua permasalahan optimasi yaitu Bin Packing Problem (BPP) dan Travelling Salesman Problem (TSP). Inti permasalahan metode BPP dan TSP adalah untuk menemukan jalur terpendek melalui semua kota yang ada. Hubungan dua metode tersebut dengan VRP adalah, vehicle dapat dihubungkan dengan customer menggunakan BPP, dan urutan kunjungan vehicle terhadap tiap customer diselesaikan menggunakan TSP. Permasalahan VRP pada praktiknya sangatlah luas (dalam hal banyaknya jumlah pelanggan), sehingga metode eksak tidak dapat digunakan untuk menyelesaikannya. Pendekatan penyelesaian permasalahan optimasi tersebut akhirnya lebih ditekankan pada metaheuristic. Beberapa eksperimen telah membuktikan kehebatan Genetic Algorithm (GA) untuk menyelesaikan VRP, yang membuatnya menjadi kandidat kuat untuk menjadi salah satu alternatif solusi yang terbaik untuk mencari optimasi VRP. Algoritma ini banyak dipakai dalam penyelesaian masalah kombinatorial seperti TSP, VRP, Crew Scheduling untuk airline hingga permasalahan control. GA termasuk pelopor dalam pendekatan
Metaheuristik.
Banyak
algoritma
yang
belakangan
muncul
mengadopsi beberapa langkah dari GA.
40
Proses utama dalam algoritma GA adalah memodelkan proses berkembang biak (crossover) untuk menghasilkan keturunan (offspring) dan mutasi genetik (mutation). Setelah melalui proses-proses tersebut, maka proses selanjutnya adalah seleksi alam (natural selection), dimana anggota-anggota populasi yang sifatnya jelek akan tersingkir dari populasi.
Populasi Awal
Seleksi (Evaluasi Fitness)
Populasi Baru
Reproduksi (Crossover & Mutasi)
Elitism
Seleksi Individu Baru
Gambar 2.12. Blok diagram Algoritma Genetika Dengan prosedur tertentu seperti mutasi, seleksi dan crossover ahirnya didapatkan solusi akhir dari problem optimasi yang dihadapi. GA termasuk temuan penting dalam bidang optimasi, dimana suatu algoritma diciptakan dengan meniru mekanisme evolusi dalam perkembangan makhluk hidup. Dalam GA procedure pencarian hanya didasarkan pada nilai fungsi tujuan, tidak ada pemakaian gradient atau teknik kalkulus. Beberapa tahapan yang harus dilakukan untuk mendesain dan merancang aplikasi metode GA adalah sebagai berikut: 1.
Mendefinisikan individu, dimana individu menyatakan salah satu solusi (penyelesaian) yang mungkin dari permasalahan yang diangkat.
2.
Mendifinisikan nilai fitness, yang merupakan ukuran baik-tidaknya sebuah individu atau baik-tidaknya solusi yang didapatkan.
3.
Menentukan proses pembangkitan populasi awal. Hal ini biasanya dilakukan dengan menggunakan pembangkitan acak seperti random-walk.
4.
Menentukan proses seleksi yang akan digunakan.
5.
Menentukan proses perkawinan silang (cross-over) dan mutasi gen yang akan digunakan. Flow chart Genetic Algorithm seperti pada gambar 2.13,
41
Bangkitkan Populasi Awal
Elitism
Bangkitkan Populasi Baru
Evaluasi Nilai Fitness
Mutasi
Rekombinasi
Seleksi
No
Apakah Nilai Fitness Tercapai?
Yes
Kumpulan Individu terbaik
Solusi Optimal
Gambar 2.13. Flowchart Genetic Algorithm 2.16 Hasil Review Literatur Penelitian Sebelumnya Dalam rangka menemukan kebaruan ada sejumlah paper reiew sebagai penentu posisi penelitian posisi penelitian berdasarkan objek penelitian, domain problem, apllication area dan metode. Di sisi lain hasil review ini juga di pakai sebagai rujukan daftar pustaka dan landaan teori berdasarkan hasil penelitian sebelumnya. Dari hasil review terlihat penelitian cold chain system lebih cenderung pada pendekatan dari aspek masing-masing problem domain , tetapi penelitian yang menggunakan pendekatan dengan identifikasi task crucial sebagai input untuk melakukan perbaikan kualitas pada cold chain system management TTC belum banyak ditemukan, disisi lain dari aspek metode, menggunakan fuzzy expert system sebagai pendukung keputusan dalam belum banyak dilakukan. Dalam penelitian ini juga mengusulkan rantai distribusi terpendek TTC, karena secara teori lama waktu pendinginan/pembekuan tergantung dari jarak yang ditempuh, jika jarak yang ditempuh semakin pendek maka secara teori biaya operasional cold chin system bisa lebih efisien. Secara terperinci hasil review dapat dilihat pada tabel 2.13
42
Tabel 2.13 Posisi Penelitian berdasarkan Objek Penelitian,Domain Problem,Aplication Area dan Metode NO
Problem Domain
Aplication Area
Metode
Author
Fish and sea food quality 1.
Food Quality Management Frame work of food risk Fish Quality & Safety
The quality of food risk management in Europe
risk management, FRM
J.R.Houghton,dkk(2008)
Chain custody as an organizing frame work in sea food risk reduction Assuring fish safety and quality in international fish trade
chain of custody
Tomahide Yasuda(2006)
frame work for fish safety and quality
Lahsen Ababouch(2006)
Cold chain database development and application as a tool for the cold chain management and food quality evaluation, HACCP and the Risk Assessment of Coldchain,
The Cold Chain Predictor (CCP) software
E. Gogou, dkk (2015)
5.
CCS management Quality CCS HAACP
Critical Control Point analysis
6. 7.
CCS HAACP CCS HAACP
HACCP CCP/HACP
8.
CCS Fuzzy
Fuzzy expert system
Lailossa, dkk(2016)
9. 10.
Cold chain
Mathematical/numerical model
11.
CCS Model
Preminary studi
Amir Shabani(2012) Pankaj Singh Rawat,(2015) Lailossa(2009)
12.
CCS Review
Review state of the
S.A. Tassou ,dkk(2010)
13.
CCS Review
The cold chain,one link in canada‟s food safety initiatives Preliminary Study, Risk Analysis and HACCP in Cold Chain System, Model of strategy quality improvement of Tuna and other‟s species in the cold chain systems (fuzzy expert system approach) A new benchmarking approach in Cold Chain Cold Chain , Scope and Concerns with reference to Uttarakhand Studi Awal Design Model Sistem Rantai Dingin (Cold Chain System) Komoditas Unggulan Ekspor Sektor Perikanan Maluku (Ikan Beku/Frozen Fish) A review of emerging technologies for food refrigeration applications Cold Chain System (Future Research Prespective)
Zhang Qing Ying, dkk(2011) Simon jol, dkk(2006) Lailossa(2015)
State of he art/ paper review
Lailossa(2010)
2. 3.
Cold Chain System(CCS) 4.
43
Wiesław Zwierzyckia,dkk(2011) Stephen W.T. Spencea(2004) S.J.James,dkk(2006) Saiqi Liu (2008)
14.
CCS Transport
Thermal damage to the load in cold chain transport
heat exchange simulation
15.
CCS Transport
thermodynamic design analysis,
16. 17.
CCS Transport CCS Transport
18.
CCS Transport
Design, construction and testing of an air-cycle refrigeration System for road transpor Modeling of food transport system Analyzing the level of service and cost trade-offs in cold chain transport,2008 Thermal damage to the load in cold chain transport
19.
CCS Transport
20.
CCS Transport
Improved quality analytical models for aquatic products at the transportation in the cold chain, Cold chain tracking a managerial perspective
21.
CCS monitoring
Applying CS and WSN methods for improving efficiency of frozen and chilled aquatic products monitoring system in cold chain logistics
22. 23.
CCS Controlling CCS Logistic
24.
CCS Logistic
25.
CCS Performance CCS Performance
Effectiveness of the cold chain control procedure in the retail sector in Southern Spain The Cold Chain Logistics for Perishable Agricultural Products in China, The new paradigm of cold chain management systems and it‟s logistics on Tuna fishery sector in Indonesia Performance Evaluation on Aquatic Product Cold-Chain Logistics Cold chain maintaining in food trade
Temprature model by mathematical modeling Eularian approach dan Lagrangian approach Temperature Monitoring System for Frozen and Chilled Aquatic Products (MSFCAP) based on WSN integrated with Compressed Sending (CS) using predictive microbiology tool,
26.
27.
CCS Performance
Perbandingan Teknis Modified Cold Strorage dengan Mesin Pembeku Kombinasi Untuk Pembekuan Ikan Patin
Review Multiple-linear-regression heat exchange simulation
integrated logistics chain to minimize costs, Review Paper dan lapangan(observasi langsung)
studi
ANP-Fuzzy method and system dynamic model Penggambungan metode ATC(Air temperature control), ATM(air temperature measurement) dan NcTM non-contact temperature measurement Modifikasi cold storaga dengan pembekuan lempeng beku dan hembusan udara(konveksi paksa)
Wiesław Zwierzyckia (2011) Jun Yue(2011) R.Montanari(2008) Xinqing Xiao,(2016)
Bernardino Baldera Zubeldia,(2016) Hou Yanfang,(2015) Lailossa(2015)
Wenbing Wu,(2015) K.Likar dan M.Jevsnik(2004)
Sholahuddin (2004)
44
28.
CCS with FUZZY
29.
TTC HACCP Tuna di kapal 30. TTC Handling Tuna di kapal 31. TTC, Mutu Tuna di kapal 32. TTC, Mutu Tuna di kapal 33. \ TTC, CCP di pelabuhan perikanan 34. TTC, Efisiensi waktu handling tuna 35. TTC ,Rantai Pasok 36. TTC, Daya Saing 37. TTC, Daya Saing 38. 39.
TTC, Daya Saing TTC,
Pengendalian Suhu dan Pengukuran Oksigen Pada Peti Simulasi pengendalian suhu pada Kemas Transportasi Sistem Kering Udang dan Ikan rancangan peti kemas dengan Fuzzy Logic dengan Kendali Fuzzy Control Tuna Tongkol Cakalang(TTC) Indonesia dan Maluku Kelayakan Dasar Penerapan Haccp Di Kapal Fresh Tuna Wawancara,observasi langsung,HACCP Longline
Anda Suryani,(2003)
Analisis Permasalahan Penanganan Ikan Tuna Di Atas Kapal
Analisisis fishbone dan SWOT serta uji banding berpasangan
Normawati Kandar Mboto(2015)
Pengendalian Mutu Ikan Laut Segar Unggulan Utama Yang Didaratkan Di Pelabuhan Perikanan
Perbaikan penanganan mutu tuna dan cakalang di PPS
Mukhlis Adi Putra Hasibuan(2011)
Penerapan teknik produksi bersih pada usaha perikanan tuna (studi kasus kapal longline di pps cilacap)
teknik produk bersih dengan diagram pareto, peta kendali mutu, diagram sebab akibat Observasi langsung, decision tree,CCP
Andikha pratama putra,2015
Efisiensi Waktu Penanganan Tuna Dari Pembongkaran Sampai Pengemasan Pada Industri Tuna
Critical Path Method (CPM).
Arrahmy Febrina(2012)
Deskripsi rantai pasok ikan tuna di pelabuhan perikanan samudera Analisis strategi bisnis ekspor pembekuan ikan pelabuhan perikanan nusantara (ppn) Disain Peningkatan Daya Saing Industri Pengolahan Ikan Berbasis Perbaikan Kinerja Mutu Dalam Rantai Pasokan Ikan Laut Pengembangan strategi keamanan produk perikanan untuk ekspor ke amerika serikat Analisis daya saing ikan tuna indonesia
purposive sampling.Analisis data
Jannah Fajar Maulida (2014) Listia nur isma(2012)
Penentuan titik-titik pengendalian kritis penanganan ikan tuna di pelabuhan perikanan
SWOT dan arsitektur strategik
Tri Wiji Nurani, dkk(2011)
Nurhidayah Ningsih(2013)
Berdasarkan GHdP, GMP,SSOP & HACCP, diagram ishikawa
Dwi Lestari Rahayu(2009)
Decision tree standar ISO 19011:2010, dan “gap analysis Herfindahl Index (HI), Concertation Ratio
Lely Rahmawaty,(2013) Indry Nilam Cahya
45
Daya Saing
Di pasar internasional
42.
TTC Daya Saing TTC Daya Saing TTC Maluku
43.
TTC Maluku
44.
TTC Maluku
45.
TTC Maluku
Indonesia tuna fisheries development and future strategy,2014 An Economic Analysis Of The Thailand Tuna Fish Industry Kajian Pengembangan Perikanan Tuna Berbasis Masyarakat di Kota Ambon Strategi Peningkatan Kinerja Operasional Pelabuhan Perikanan Nusantara Tual Provinsi Maluku Sistem Rantai Pasok dan Penanganan Tuna Loin di Perairan Maluku,2014 Rantai Pasok Tuna di Maluku
46.
TTC Maluku
40. 41.
Pemanfaatan Berkelanjutan Sumberdaya Perikanan Cakalang (katsuwonus pelamis) di Laut Banda dan Sekitarnya Provinsi Maluku
(CR) , Revealed Comparative Advantage (RCA), SWOT. Review ARIMA Model, The Structure Conduct Performance (SCP) dan RCA regresi linear, SWOT dan AHP AHP SWOT analisis Location Quotient (LQ), bivariate correlation, Economic Order Quantity (EOQ), SWOT, dan Structural Equation Modelling (SEM). Pemodelan system dinamik
(2010) Rahmadi Sunoko, dkk(2014) Kulapa Supongpan Kuldilok(2009) Selfi Sangadji,(2014) Yuliana Anastasia Ngamel (2014) Arinto Kuncoro Jati.(2014) Ateng Supriyatna(2014)
Waelaruny,(2015)
46
Berdasarkan Tabel 2.13, Secara garis besar hasil para peneliti sebelumnya adalah : Cold Chain Systems(CCS), adalah sebuah siklus yang bersifat sistemik Tomahide, (2006), Likar, dkk, (2004), Montanari, (2008), Shabani, (2012), Lailossa, (2010), Wu, (2015) dan Rawat, (2015). HAACP CCS metode yang di pakai adalah : Critical Control Point , Ying, dkk, (2011); Jol, dkk, (2006) ; Lailossa, (2015b). Model CCS, metode yang dipakai : Mathematical model, Shab ani, (2012), Rawat,(2015), Preminary studi, Lailossa, (2009).; Review CCS : Tassou , dkk, (2010), Lailossa, (2010). Transport CCS : heat exchange simulation , Zwierzyckia, dkk, (2011); Multiple-linear-regression, Saiqi, (2008), mathematical modeling, Jun, (2011), Eularian dan Lagrangian approach, Montanari, (2008). Monitoring & controlling CCS: predictive microbiology tool, Bernardino Zubeldia, dkk, (2016), MS-FCAP,WSN dan CS, Xiao, dkk, (2016). Logistic CCS: Preminaliry studi Lailossa, (20015a), integrated logistics chain to minimize costs, Yanfang, (2015). Performance CCS : ATC, ATM dan NcTM, Likar,dkk, (2004), Konveksi paksa, Sholahuddin, (2004). CCS with Fuzzy : ANP-Fuzzy dan system dynamic model, Wu, dkk, (2015), Fuzzy Logic Control, Anda Suryani, (2003), Lailossa,dkk (2016) Mutu TTC di Kapal : HACCP , Nurani, dkk, (2011), dan analisa SWOT , Mboto, (2015). Mutu TTC di Pelabuhan Perikanan : Critical Control Point(CCP) dengan decision tree, Ningsih, (2013), Uji organoleptik, diagram pareto, purposive sampling, Hasibuan, (2011), Critical Path Metode, Febrina, (2012), purposive sampling., Jannah, (2014) dan Critical Control Point, Lailossa, (2015a). Daya saing TTC : SWOT, (Listia, (2012), GHdP, GMP,SSOP & HACCP, diagram ishikawa, Dwi, (2009), Decision tree standar , ISO 19011:2010 dan gap analysis, Rahmawaty, (2013), Herfindahl Index (HI), Concertation Ratio (CR) , Revealed Comparative Advantage (RCA), dan SWOT, Indry, (2010), ARIMA dan RCA, Kulapa, (2009) dan paper review (Sunoko, dkk, (2014); Lailossa, (2015b).
47
Tuna Tongkol Cakalang (TTC) di Maluku : Kajian Pengembangan Perikanan Tuna Berbasis Masyarakat di Kota Ambon dengan metode regresi linear, SWOT dan AHP, Sangadji, (2014), Sistem Rantai Pasok dan Penanganan Tuna Loin di Perairan Maluku dengan metode SWOT, Jati, (2014), dan Sistem rantai Pasok Tuna di Maluku, dengan metode LQ, EOQ, SWOT
dan
SEM,
Supriyatna,
(2014)
dan
Pengelolaan
Cakalang
berkelanjutan di Laut Banda dan sekitarnya dengan pemodelan system dinamik, Waelaruny, (2014).
48
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN Sesuai output akhir dari penelitian ini adalah merumuskan sebuah cold chain managementt TTC, penelitian menggunakan dua pendekatan yaitu pertama, pendekatan dengan identifikasi task crucial sebagai input untuk melakukan perbaikan kualitas pada cold chain system management TTC dengan metode fuzzy expert system untuk mendapatkan task crucial. Kedua adalah mengusulkan rantai
distribusi
terpendek
TTC,
karena
secara
teori
lama
waktu
pendinginan/pembekuan tergantung dari jarak yang ditempuh, jika jarak yang ditempuh semakin pendek maka secara teori biaya operasional cold chain system bisa lebih efisien. Berdasarkan dua pendekatan tadi, metodologi penelitian ini disusun dalam 10 tahapan penelitian seperti pada Gambar 3.1.
.Gambar 3.1. Diagram tahapan penelitian 49
Metodologi yang digunakan dalam disertasi ini dibagi dalam sepuluh tahapan seperti terlihat pada gambar 3.1. Penjelasan tiap tahapan sebagai berikut: Tahap 1 : Standarisasi & kriteria TTC kualitas ekspor Menentukan kriteria dan standar TTC kualitas ekspor yang akan di pakai sesuai standar internasional dan Standar Nasional Indonesia (SNI). Tahap 2 : Standarisasi proses penanganan TTC Standar proses penanganan TTC sejak di kapal, PPI dan PPN sesuai Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP), GMP (Good Manufacturing Practices), GHdP (Good Handling Practices), GDP (Good Distribution Practices), SSOP (Standard Sanitation Operating Procedure) Tahap 3 : Sistem rantai pasok Berdasarkan Peraturan Menteri kelautan dan Perikanan No.56/2014, tentang larangan transhipment di tengah laut, ini berarti TTC dari kapal nelayan harus dibawa ke PPI dn PPN sebelum diekspor Tahap 4 : Penentuan Critical Crisis Point (CCP) atau task crucial Menentukan titik kendali kritis pada tiap tahapan proses tahapan sehingga bisa diidentifikasi potensi bahaya yang ada dan dapat dilakukan antisipasi awal untuk mengurangi ancaman bahaya tersebut, titik task crucial ini juga akan menjadi masukan dalam menentukan strategi perbaikan proses untuk peningkatan kualitas TTC pada tahap 5 nanti. Tahap 5 : Pendekatan 1 (Peningkatan Kualitas TTC) Proses penentuan kualitas ikan beku TTC dilakukan 2 tahapan input yaitu: penentuan kriteria kualitas ikan (input 1)
dan penentuan kualitas proses
pengolahan ikan beku (input 2), seperti terlihat digambar 3.2.
Gambar 3.2. Blok Diagram Sistem Penentuan Kualitas Ikan TTC
50
Input 1. Penentuan kriteria kualitas ikan TTC, Ada 6 variabel kriteria kualitas TTC yang digunakan, seperti pada, Gambar 3.3 Weight Product (WP) Pemberian bobot oleh pakar untuk masing-masing kriteria.
Fisika Cemaran Logam
FUZZY INFERENCE SYSTEMS (FIS)
Cemaran Mikroba
DEFUZIFIKASI
Kimia
FUZZIFIKASI
Sensori
GRADE IKAN TTC
Aturan IF THEN
Cemaran Fisik
Gambar 3.3. Tahapan penentuan kualitas ikan beku TTC Input 2 : Penentuan Kualitas Proses Ikan TTC Ada 11 variabel proses yang di jadikan task, pada penentuan kualitas proses , seperti pada, Gambar 3.4. Weight Product (WP) Pemberian bobot oleh pakar untuk masingmasing kriteria.
Pengangkatan ikan ke atas kapal (T1) Mematikan ikan (T2) Pembuangan darah,insang dan isi perut (T3)
Pembongkaran & pemindahan ikan ke TLC (T6)
Sortasi (T7)
SISTEM INFERENSI SYSTEM (FIS)
DEFUZIFIKASI
Penyimpanan di Pelabuhan PPI dan PPN (T5)
FUZZIFIKASI
Pembersihan dan pencucian I (T4)
GRADE IKAN TTC
Pembersihan dan pencucian II (T8) Penimbangan (T9)
Aturan IF THEN
Penyimpanan dalam bak penampung (T10) Pengemasan (T11)
Gambar 3.4. Tahapan penentuan kualitas proses TTC
51
Tahap simulasi quality dengan fuzzy expert system melalui pembobotan pakar dengan fuzzy weight product Selanjutnya untuk langkah proses simulasi, kedua input adalah sama, menggunakan Fuzzy Weight Product dan Fuzzy logic (gambar 3.2), yang berbeda hanya pada input, dimana input pertama variabelnya adalah kriteria kualitas ikan TTC (ada enam kriteria kualitas) dan input kedua variabelnya adalah kriteria kualitas proses ikan TTC (ada 11 kriteria proses kualitas) Sebelum dilakukan proses perhitungan fuzzy, 6 kriteria/variabel kualitas ikan dan 11 kriteria/variabel kualitas proses tersebut akan dinilai oleh beberapa pakar sebagai sistem pakar (expert system), untuk diberikan bobot dengan menggunakan metode weight product (WP). Metode WP menggunakan perkalian untuk menghubungkan rating atribut, dimana rating setiap atribut harus dipangkatkan dulu dengan bobot atribut. Proses ini sama halnya dengan proses normalisasi. Preferensi untuk alternative diberikan pada persamaan sebagai berikut:
∏
dengan i = 1,2,….,m …...(1)
Tahapan proses dari perhitungan 6 kriteria/variabel kualitas ikan dan 11 kriteria kualitas proses ikan TTC dan dengan Fuzzy Weight Produst (F-WP) adalah sama dengan dengan tahapan sebagai berikut : 1. Menentukan
variable-variabel
yang
akan
dijadikan
acuan
dalam
pengambilan keputusan, input 1 ada 6 variabel dan input 2 ada 11 variabel 2. Menentukan bobot preferensi setiap variabel oleh pakar (expert), kemudian ditentukan bilangan atribut fuzzy untuk bobot dengan range penilaian. 3. Menentukan nilai minimum dan maksimum untuk semua variable sebagai dasar pembuatan rule based pada fuzzy, misalnya Tabel 3.1. Tabel contoh output quality OUTPUT QUALITY MIN Jelek 15 Cukup 41 Bagus 61 Sangat bagus 81
MAX 40 60 80 100
52
4. Pembuatan Rule Based Fuzzy , Setelah diperoleh hubungan variebel input dan variebel output maka dilanjutkan dengan membuat aturan (Ruled Based) dengan menggunakan pola IF <premise> Then
. Aturan yang akan dibuat sesuai dengan jumlah variable dipangkatkan dengan atribut yang ada, untuk penentuan kualitas ikan TTC (input 1) mempunyai 6 variabel dan 4 atribut, sehingga jumlah aturan yang harus dibuat 64 = 1.296 aturan. Sedangkan penentuan kualitas proses ikan TTC (input 2) adalah 114 = 14.641 aturan 5. Simulasi Hasil Uji Coba, Dari hasil quality atribut (contoh, jelek, cukup, bagus dan sangat bagus) nilai output quality (contoh, jelek = 1, cukup = 2, bagus = 3, dan sangat bagus = 4), pembobotan dari tiap atribut, dan nilai penjumlahannya akan di rubah ke dalam nilai penjumlahan fuzzy, sehingga diperoleh output qualitynya, sesuai yang telah ditetapkan pada tabel 3.1, di atas, misalnya jika nilainya, 30 = jelek, 70 = bagus, dll Tahap 6 : Task Crucial dan Solusi Peningkatan Kualitas Ikan Dari hasil simulasi jika output qualitynya, telah mencapai grade ekspor (grade A dan B), berarti tidak akan di lakukan strategi perbaikan kualitas, tetapi bila output qualitynya berada dibawah grade ekspor. maka akan dilakukan perbaikan kualitas. Dari hasil simulasi fuzzy expert system juga dapat diperoleh task crucial, artinya task mana yang menjadi titik crucial, sehingga menyebabkan output kualitasnya di bawah standar ekspor. Task atau proses crucial inilah yang akan jadi inputan untuk dilakukan strategi perbaikan kualitas di cold chain system nanti, sehingga grade ikan TTC bisa ditingkatkan menjadi grade kualitas ekspor (grade A dan B) Tahap 7 : Pendekatan Model 2 (rute terbaik distribusi TTC) Untuk permasalahan distribusi TTC pada penelitian ini, dibagi dua tahapan skenario, yaitu: Pertama : Penentuan jarak koordinat terdekat atau rute terpendek, dari kapal nelayan (tergantung fishing ground dan posisi kapal mereka), menuju ke PPI
53
mana yang terdekat atau bisa langsung ke PPN terdekat untuk mendaratkan hasil tangkapan ikan TTC mereka. Jadi output dari tahap ini adalah usulan rute terpendek, kapal nelayan ke PPI atau langsung ke PPN terdekat, dengan menggunakan mencari jarak kordinat terdekat. Kedua : Penentuan optimalisasi kapal dari PPN menuju ke PPI guna mengambil TTC yang dianggap memenuhi syarat untuk diproses lebih lanjut di PPN guna diekspor. Output dari tahap ini adalah usulan rute paling optimal kapal dari PPN ke PPI dan kembali ke PPN dengan menggunakan Ship Routing problem (SRP), dan Genetic Algorithm, skema skenario rute dari kedua tahap dapat dilihat pada gambar 3.6.
Kapal Nelayan
PPI
PPN
Ekspor
Keterangan : : Jalur terdekat 1 (kapal nelayan ke PPI atau langsung ke PPN terdekat (metode Euclidian distance) : Jalur Optimasi 2 (kapal dari PPN ke PPI dan kembali ke PPN untuk ekspor (GA) Gambar 3.5. Skema Skenario Rute terbaik distribusi TTC Tahap 8 : Cold chain system TTC hasil pendekatan 1 dan 2 Hasil dari strategi peningkatan kualitas sebagai output dari pemodelan 1 dan solusi terbaik distribusi TTC di Maluku, sebagai output dari pemodelan 2, akan diintegrasikan sebagai strategi cold chain system TTC di Maluku. Dari hasil integrasi diharapkan adanya cold chain system management TTC di Maluku, yang berbasis pada strategi peningkatan kualitas TTC grade ekspor dan efisiensi biaya operasional
cold chain system, sebagai akibat dari
pemilihan rantai distribusi terpendek pada rantai pasok TTC di Maluku.
54
Tahap 9 : Model rekomendasi Cold Chain System TTC Penentuan Cold Chain System management (CCSM) sebagai hasil dari integrasi : strategi peningkatan kualitas TTC dengan fuzzy expert system (hasil tahap 5) dan optimalisasi distribusi TTC dengan Genetic Algorithm (hasil tahap 7), lihat Gambar 3.7
Hasil Pendekatan 1. (FES) Identifikasi task crucial yang paling berpengaruh pada proses pengolahan TTC
Memperbaiki task crucial, dan meningkatkan grade ekspor TTC di Maluku
Hasil Pendekatan 2. (GA) Rute distribusi TTC terpendek, (kapal nelayan, PPI dan PPN)
Memiliki efisiensi biaya operasi, karena lama waktu pendinginan/ pembekuan berkurang, akibat skenario jalur distribusi TTC terpendek
Cold chain system management TTC di Maluku Kapal Nelayan
Teknik penangkapan dan perlakuan TTC di kapal Sanitasi dan higiene peralatan,air dan es yang di gunakan di kapal Teknik Palkanisasi yang benar PPI Teknik pembongkaran dan pemindahan ikan Teknik sortasi, pencucan, penimbangan Suhu dan teknik Penyimpanan di cold storage PPN Teknik penyimpanan dan pengolahan yang benar Teknik packaging yang benar
Gambar 3.6. Komponen Rekomendasi Cold Chain System Management TTC
55
……………………….. Halaman ini sengaja dikosongkan……………………….
56
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan tujuan penelitian output yang akan dihasilkan dari penelitian ini adalah rekomendasi cold chain management TTC. Ada dua pendekatan yang digunakan yaitu, pendekatan pertama adalah dengan menggunakan Fuzzy Expert System (FES) untuk peningkatan kualitas ikan, dengan cara memperbaiki task crucial yang diperoleh pada seluruh cold chain tracking, mulai dari saat di kapal hingga di PPI dan PPN untuk diekspor. Pendekatan kedua dengan menggunakan Genetic Algorithm untuk mendapatkan solusi rute terpendek distribusi TTC. 4.1.Standarisasi Kriteria dan Proses Penanganan TTC Kualitas Ekspor Secara global standarisasi TTC kualitas ekspor berdasarkan standar internasional dan standar negara tujuan ekspor. Di Indonesia standart kualitas TTC juga telah distandarisasi dengan Standar Nasional Indonesia (SNI), yang di tetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional Indonesia (BSNI). Kelebihan dari SNI adalah standar yang di gunakan sudah dilakukan harmonisasi dengan dengan cara mengakomodir standar internasional dan maupun standart beberapa negara yang selama ini menjadi tujuan ekspor TTC Indonesia. Untuk itu dalam penelitian ini standar yang di pakai adalah SNI. Menurut SNI 4110:2014 tentang ikan beku ada ada beberapa parameter uji yang harus dipenuhi oleh produk ikan beku, termasuk Tuna Tongkol dan Cakalang, seperti pada gambar 4.1. Tabel 4.1. Persyaratan mutu dan keamanan pangan ikan beku
Sumber : SNI 4110:2014,
57
4.2. Penentuan Kualitas Ikan TTC dengan Fuzzy Expert Systems (FES) Proses penentuan kualitas ikan beku TTC dilakukan 2 tahapan input yaitu: penentuan grade kualitas ikan (input 1) dan penentuan kualitas proses pengolahan ikan beku itu sendiri (input 2), seperti terlihat di gambar 4.1
Gambar 4.1. Blok diagram tahapan penentuan kualitas ikan TTC
Input 1. Penentuan kriteria kualitas ikan TTC, Ada 6 (enam) variabel kriteria kualitas TTC yang digunakan, pada penentuan kriteria kualitas TTC, seperti terlihat pada, Gambar 4.2 Weight Product (WP) Pemberian bobot oleh pakar untuk masing-masing kriteria.
Fisika Cemaran Logam
FUZZY INFERENCE SYSTEMS (FIS)
Cemaran Mikroba Cemaran Fisik
DEFUZIFIKASI
Kimia
FUZZIFIKASI
Sensori
GRADE IKAN TTC
Aturan IF THEN
Gambar 4.2. Tahapan penentuan kualitas ikan beku TTC Input 2 : Penentuan Kualitas Proses Ikan TTC Berdasarkan SNI, ada 11(sebelas) variabel proses penanganan TTC (T1-T11) yang dijadikan sebagai task, pada proses kualitas TTC , seperti terlihat pada, Gambar 4.3.
58
Weight Product (WP) Pemberian bobot oleh pakar untuk masingmasing kriteria.
Pengangkatan ikan ke atas kapal (T1) Mematikan ikan (T2) Pembuangan darah,insang dan isi perut (T3)
Pembongkaran & pemindahan ikan ke TLC (T6)
Sortasi (T7)
SISTEM INFERENSI SYSTEM (FIS)
DEFUZIFIKASI
Penyimpanan di Pelabuhan PPI dan PPN (T5)
FUZZIFIKASI
Pembersihan dan pencucian I (T4)
GRADE IKAN TTC
Pembersihan dan pencucian II (T8) Penimbangan (T9)
Aturan IF THEN
Penyimpanan dalam bak penampung (T10) Pengemasan (T11)
Gambar 4.3. Tahapan penentuan kualitas proses Gambar 4.3 menjelaskan tentang tahapan proses penentuan kualitas TTC saat di kapal dan di PPI/PPN, dimana ada 11 task yang dianggap berpengaruh terhadap poses penanganan TTC. 11 task ini yang menjadi input dari kualitas proses. Gambar 4.3 juga menjelaskan bahwa proses penentuan kualitas TTC pada disertasi ini menggunakan metode Fuzzy Expert Systems (FES) yang diwakili oleh Fuzzy Weight Product (F-WP), karena merupakan turunan dari Fuzzy Expert Systems. Secara umum Fuzzy bisa dikembangkan dengan beberapa metode kecerdasan buatan lainya yaitu Expert System, Genetic Algorithm (GA), Neural Network (NN), Simple Additive Weighting (SAW), Weighted Product (WP), Analytic Hierarcy Process (AHP) dan Technique for Order Preference by similitary to Ideal Solution (TOPSIS) sehingga Fuzzy Weight Product adalah bagian dari pengembangan Multi Atribute Decision Making (MCDM). Kombinasi metode Weighted Product (WP) dengan Fuzzy Logic adalah metode yang saling melengkapi dari kekurangan masing-masing, Weighted Product digunakan untuk melakukan proses pembobotan oleh seorang pakar terhadap kriteria kualitas ikan dan kualitas proses, sedangkan Fuzzy Logic digunakan untuk menyelesaikan permasalahan ketidakpastian terhadap output dari kualitas TTC.
59
Tampilan menu utama program aplikasi yang dipakai sebagai pendukung keputusan bagi cold chain management TTC dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 4.4
Gambar 4.4. Menu utama program aplikasi cold chain systems (CCS) untuk peningkatan kualitas ekspor TTC Pembahasan proses penentuan kriteria kualitas TTC (input 1) dan penentuan kualitas proses TTC (input 2), pada dasarnya urutan prosesnya sama cuma berbeda pada variabel inputannya, Input 1 adalah kriteria kualitas TTC sedangkan input 2 adalah proses kualitas TTC 4.2.1 Penentuan Himpunan Fuzzy Teori himpunan fuzzy merupakan kerangka matematis yang digunakan untuk merepresentasikan ketidakpastian, ketidakjelasan, ketidaktepatan dan kekurangan
informasi.
Ketidakjelasan
juga
dapat
digunakan
untuk
mendeskripsikan sesuatu yang berhubungan dengan ketidakpastian yang diberikan dalam bentuk informasi linguistic atau instuisi.
Gambar 4.5. Variabel kualitas ikan TTC Untuk penelitian kualitas ikan TTC yang paling cocok adalah menggunakan metode Fuzzy Logic, alasan yang paling utama untuk menentukan 60
kualitas ikan TTC bisa mendetailkan dengan memperhatikan fungsi keanggotaan dan himpunan fuzzy untuk masing-masing input yang akan digunakan untuk menilai kualitas ikan TTC. Gambar 4.5. menjelaskan tentang variable penentuan penilaian kualitas ikan TTC berdasarkan SNI ada 6 variabel yang menentukan kualitas ikan TTC yaitu: Q1 = Sensory Q2 = Kimia Q3 = Fisika Q4 = Cemaran Logam Q5 = Cemaran Mikroba Q6 = Cemaran Fisik Semua variable tersebut sangat berpengaruh terhadap kualitas ikan, akan tetapi berdasarkan SNI dan beberapa penilaian pakar, maka masing-masing variabel tersebut dipersentasekan berdasarkan bobot pengaruh terhadap kualitas ikan TTC oleh pakar, dengan hasil sebagai berikut: Q1 = Sensori
(20%)
Q2 = Kimia
(20%)
Q3 = Fisika
(15%)
Q4 = Cemaran Logam
(15%)
Q5 = Cemaran Mikroba
(15%)
Q6 = Cemaran Fisik
(15%)
Dengan menggunakan rumus pembobotan maka setiap variable memiliki faktor pengali sesuai pengalaman para ahli yang memiliki pengalaman ≥ 5 tahun, cara yang digunakan untuk menghitung bobot sebagai berikut: 𝑊𝑖𝑗
=
𝑊𝑖 𝑊𝑖𝑗
61
Bobot tersebut akan menjadi faktor pengali terhadap hasil penilaian terhadap kondisi kualitas ikan. Hasil akhir dari perkalian nilai kualitas dan bobot akan dijadikan inputan akhir terhadap fungsi keanggotaan fuzzy.
Gambar 4.6. Variabel proses kualitas ikan TTC Gambar 4.6. menjelaskan tentang variable proses pengolahan ikan TTC di PPI/PPN berdasarkan SNI ada sebelas variabel (T1-T11), yang menentukan proses kualitas ikan TTC yaitu: T1 = Pengangkatan ikan keatas kapal T2 = Proses mematikan ikan T3 = Pembuangan ingsang, darah dan isi perut T4 = Pembersihan dan pencucian tahap 1 T5 = Penyimpanan di PPI/PPN T6 = Pembongkaran dan pemindahan ikan ke TLC T7 = Proses sortasi T8 = Proses pembersihan dan pencucian II T9 = Proses penimbangan T10 = Proses penyimpanan dalam bak penampung T11 = Proses pengemasan
62
Kesebelas variable tersebut diberi bobot oleh pakar , sebagai berikut: T1 = Pengangkatan ikan keatas kapal
(15%)
T2 = Proses mematikan ikan
(15%)
T3 = Pembuangan ingsang, darah dan isi perut
(10%)
T4 = Pembersihan dan pencucian tahap 1
(10%)
T5 = Penyimpanan di PPI/PPN
(10%)
T6 = Pembongkaran dan Pemindahan ikan ke TLC
(10%)
T7 = Proses sortasi
(5%)
T8 = Proses pembersihan dan pencucian II
(10%)
T9 = Proses penimbangan
(5%)
T10 = Proses penyimpanan dalam bak penampung
(5%)
T11 = Proses pengemasan
(5%)
Dengan menggunakan rumus pembobotan maka setiap variable memiliki faktor pengali sesuai pengalaman para ahli yang memiliki pengalaman ≥ 5 tahun, cara yang digunakan untuk menghitung bobot sebagai berikut: 𝑊𝑖𝑗
=
𝑊𝑖 𝑊𝑖𝑗
63
Bobot tersebut akan menjadi faktor pengali terhadap hasil penilaian terhadap kondisi proses pengolahan ikan. Hasil akhir dari perkalian nilai kualitas proses dan bobot akan dijadikan inputan akhir terhadap fungsi keanggotaan fuzzy.
4.2.2 Penentuan Kriteria Kualitas Tuna, Tongkol dan Cakalang (TTC) Penilaian kualitas ikan beku Tuna, Tongkol dan Cakalang (TTC) dilakukan dengan menggabungkan seluruh penilaian dimensi kualitas sehingga diperoleh penilaian terhadap kualitas ikan beku Tuna, Tongkol dan Cakalang (TTC). Dalam penilaian ini, penentuan kualitas ikan beku TTC diwakili oleh kriteria yang terdiri dari 6 (enam), yaitu: sensori, kimia, fisika, cemaran logam, cemaran mikroba dan cemaran fisik. Weight Product (WP) Pemberian bobot oleh pakar untuk masing-masing kriteria.
Fisika Cemaran Logam
FUZZY INFERENCE SYSTEMS (FIS)
Cemaran Mikroba Cemaran Fisik
DEFUZIFIKASI
Kimia
FUZZIFIKASI
Sensori
GRADE IKAN TTC
Aturan IF THEN
Gambar 4.7. Blok diagram input penentuan kriteria kualitas ikan TTC Gambar 4.7. menjelaskan bahwa untuk menentukan kriteria kualitas ikan ditentukan oleh 6 variabel/kriteria, sebelum dilakukan proses perhitungan fuzzy 6 kriteria tersebut akan dinilai oleh beberapa pakar (expert) untuk diberikan bobot dengan menggunakan metode weight product (WP). Tahap Fuzzifikasi merupakan tahapan awal dimana terjadi proses memetakan suatu nilai crisp dalam himpunan fuzzy. Dengan kata lain membuat suatu nilai crisp menjadi suatu nilai yang berkisar antara 0 hingga 1 dalam himpunan himpunan fuzzy yang tersedia. Nilai keanggotaan suatu item x dalam suatu himpunan A sering ditulis menjadi µA(x) memiliki 2 kemungkinan, yaitu: Satu (1), yang berarti bahwa suatu item menjadi anggota dalam suatu himpunan dan Nol (0), yang berarti bahwa suatu item tidak menjadi anggota dalam suatu 64
himpunan. Tahap selanjutnya ialah defuzzification, berbeda dengan fuzzification, pada tahap ini proses memetakan suatu nilai ruang fuzzy ke dalam nilai crisp. Dengan kata lain untuk mengubah nilai fuzzy menjadi nilai crisp. Nilai crisp inilah yang nantinya akan digunakan dalam implementasi dan analisis akhirnya. Berikut adalah tahapan perhitungan penentuan kualitas ikan TTC dengan menggunakan Fuzzy Weight Product (F-WP). 4.2.2.1 Pembentukan fungsi keanggotaan Tabel 4.2. menjelaskan tentang fungsi input variable kualitas ikan TTC dengan semesta pembicaraan [15,100], semesta pembicaraan adalah keseluruhan nilai yang diperbolehkan untuk dioperasikan dalam suatu variable fuzzy. Untuk studi kasus penelitian ini maka semesta pembicaraan adalah [15 100]. . Tabel 4.2. Variabel himpunan fuzzy
Selanjutnya adalah membentuk domain dalam semesta pembicaraan pada masingmasing variable. Secara detail domain semesta pembicaraan kualitas ikan TTC dapat terlihat pada Tabel 4.3. Tabel 4.3. Nilai domain variable kualitas ikan TTC Q#
VARIABEL
QUALITY Weight
QUALITY ATTRIBUTE SJ
J
C
B
SB
Q1
SENSORI
20%
15-35 25-45 40-60
55-80
75-100
Q2
KIMIA
20%
15-35 25-45 40-60
55-80
75-100
Q3
FISIKA
15%
15-35 25-45 40-60
55-80
75-100
Q4
CEMARAN LOGAM
15%
15-35 25-45 40-60
55-80
75-100
Q5
CEMARAN MIKROBA
15%
15-35 25-45 40-60
55-80
75-100
Q6
CEMARAN FISIK
15%
15-35 25-45 40-60
55-80
75-100
65
Tabel 4.3. menjelaskan bahwa nilai yang diizinkan dalam semesta pembicaraan dan boleh dioperasikan dalam suatu himpunan fuzzy adalah
Sangat Jelek (SJ)
= [15 – 35]
Jelek (J)
= [25 – 45]
Cukup (C)
= [40 – 60]
Baik (B)
= [55 – 80]
Sangat Baik (SB)
= [75 – 100]
Nilai domain semesta pembicaraan tersebut akan dimasukkan dalam fungsi keanggotaan dalam himpunan fuzzy dengan merepresentasikan kurva segitiga yang pada dasarnya adalah penggabungan antara 2 garis linier seperti gambar 4.8.
1 Derajat keanggotaan µ(x) 0 a
b
c
Gambar 4.8. Representasi kurva segitiga
Fungsi keanggotaan: x ≤ a atau x ≥ c a≤x≤b
{
b≤x≤c
Sehingga akan diperoleh fungsi keanggotaan pada himpunan fuzzy pada variable sensori (Q1), kimia (Q2), fisika (Q3), cemaran logam (Q4), cemaran mikroba (Q5), cemaran fisik (Q6).
Gambar 4.9. Fungsi keanggotaan pada variable kualitas ikan TTC 66
x ≤ 15 atau x ≥ 35 15 ≤ x ≤ 25
{
25 ≤ x ≤ 35
Himpunan fuzzy SANGAT JELEK akan memiliki domain [15,35], dengan derajat keanggotaan SANGAT JELEK tertinggi (=1) terletak pada nilai 25. Apabila kualitas ikan semakin kurang dari 25 dan mendekati 15, maka kondisi kualitas ikan mendekati SANGAT JELEK SEKALI dan keluar dari semesta pembicaraan dari data penelitian, namun apabila nilai kualitas ikan semakin melebihi 25, maka kondisi kualitas ikan sudah mendekati JELEK. Himpunan fuzzy SANGAT JELEK direpresentasikan dengan fungsi keanggotaan segitiga. x ≤ 25 atau x ≥ 45 25 ≤ x ≤ 35
{
35 ≤ x ≤ 45
Himpunan fuzzy JELEK akan memiliki domain [25,45], dengan derajat keanggotaan JELEK tertinggi (=1) terletak pada nilai 35. Apabila kualitas ikan semakin kurang dari 35 dan mendekati 25, maka kondisi kualitas ikan mendekati SANGAT JELEK dan keluar dari semesta pembicaraan dari data penelitian, namun apabila nilai kualitas ikan semakin melebihi 35, maka kondisi kualitas ikan sudah mendekati CUKUP. Himpunan fuzzy JELEK direpresentasikan dengan fungsi keanggotaan segitiga. x ≤ 40 atau x ≥ 60 40 ≤ x ≤ 50
{
50 ≤ x ≤ 60
Himpunan fuzzy CUKUP akan memiliki domain [40,60], dengan derajat keanggotaan CUKUP tertinggi (=1) terletak pada nilai 50. Apabila kualitas ikan semakin kurang dari 50 dan mendekati 40, maka kondisi kualitas ikan mendekati JELEK dan keluar dari semesta pembicaraan dari data penelitian, namun apabila nilai kualitas ikan semakin melebihi 50, maka kondisi kualitas ikan
sudah
mendekati BAIK. Himpunan fuzzy CUKUP direpresentasikan dengan fungsi keanggotaan segitiga.
67
x ≤ 55 atau x ≥ 80 55 ≤ x ≤ 67,5
{
67,5 ≤ x ≤ 80
Himpunan fuzzy BAIK akan memiliki domain [55,80], dengan derajat keanggotaan BAIK tertinggi (=1) terletak pada nilai 67,5. Apabila kualitas ikan semakin kurang dari 67,5 dan mendekati 55, maka kondisi kualitas ikan mendekati BAIK dan keluar dari semesta pembicaraan dari data penelitian, namun apabila nilai kualitas ikan semakin melebihi 67,5, maka kondisi kualitas ikan sudah mendekati SANGAT BAIK. Himpunan fuzzy BAIK direpresentasikan dengan fungsi keanggotaan segitiga. x ≤ 75 atau x ≥ 100 75 ≤ x ≤ 87,5
{
87,5 ≤ x ≤ 100
Himpunan fuzzy SANGAT BAIK akan memiliki domain [75,100], dengan derajat keanggotaan SANGAT BAIK tertinggi (=1) terletak pada nilai 100. Apabila kualitas ikan semakin kurang dari 87,5 dan mendekati 75, maka kondisi kualitas ikan mendekati BAIK dan keluar dari semesta pembicaraan dari data penelitian, namun apabila nilai kualitas ikan semakin melebihi 87,5, maka kondisi kualitas ikan sudah mendekati SANGAT BAIK SEKALI. Himpunan fuzzy SANGAT BAIK direpresentasikan dengan fungsi keanggotaan segitiga. Seluruh variable pada kualitas ikan TTC memiliki fungsi keanggotaan yang sama, baik variable sensori (Q1), kimia (Q2), fisika (Q3), cemaran logam (Q4), cemaran mikroba (Q5), cemaran fisik (Q6) seluruh variable mempunyai himpunan fuzzy yang sama, yaitu: SANGAT JELEK [15, 35], JELEK [25, 45], CUKUP [40, 60], BAIK [55, 80] dan SANGAT BAIK [75,100]. 4.2.2.2 Pembentukan Aturan Fuzzy Setelah diperoleh hubungan variebel input dan variebel output maka dilanjutkan dengan membuat aturan (Ruled Based) dengan menggunakan pola IF <premise> Then . Aturan yang akan dibuat sesuai dengan jumlah variable dikalikan atribut yang ada, untuk penentuan kualitas ikan mempunyai 6 variabel dan 5 atribut, maka jumlah aturan yang harus dibuat 65 = 7.776 aturan.
68
Pada metode ini, anteseden direpresentasikan dengan proposisi dalam himpunan fuzzy, sedangkan konsekuen direpresentasikan dengan sebuah konstanta. Detail aturan fuzzy dapat dijelaskan seperti dibawah ini: [R1]
IF Sensori SANGAT BAIK and Kimia SANGAT BAIK and Fisika SANGAT BAIK and Cemaran Logam CUKUP and Cemaran Mikroba SANGAT BAIK and Cemaran Fisik SANGAT BAIK THEN Rata-rata kualitas ikan TTC = 83,6 5. (SANGAT BAIK). Atau IF (Q1=83) and (Q2=78) and (Q3=95) and (Q4=68) and (Q5=93) and (Q6=87). THEN Rata-rata kualitas ikan TTC = 83,65. (SANGAT BAIK).
[R2]
IF Sensori SANGAT BAIK and Kimia SANGAT BAIK and Fisika SANGAT JELEK and Cemaran Logam CUKUP and Cemaran Mikroba BAIK and Cemaran Fisik SANGAT BAIK THEN Rata-rata kualitas ikan TTC = 75,30. (BAIK). Atau IF (Q1=84) and (Q2=96) and (Q3=37) and (Q4=67) and (Q5=71) and (Q6=87). THEN Rata-rata kualitas ikan TTC = 75,30. (BAIK).
4.2.2.3 Pengujian Kualitas Ikan TTC Tampilan hasil running program aplikasi dapat dilihat pada gambar 4.10 dan hasil 10 rule pengujian kualitas TTC, dapat dilihat pada Tabel 4.4.
Gambar 4.10. Hasil Pengujian Kualitas Ikan TTC dengan Fuzzy
69
Tabel 4.4. Hasil Perhitungan 10 Rute Pengujian Kualitas Ikan TTC Q1
Q2
Q3
Q4
Q5
Q6
20%
20%
15%
15%
15%
15%
1
83
78
95
68
93
87
2
84
96
37
67
71
3
71
76
96
78
46
4
79
21
90
69
5
46
48
100
6
51
95
7
82
8
RULE
RESULT
OUTPUT
83.65
SANGAT BAGUS
87
75.3
BAGUS
95
76.65
BAGUS
67
46
60.8
BAGUS
74
100
47
66.95
BAGUS
40
72
74
47
64.15
BAGUS
71
86
74
76
82
78.3
BAGUS
81
81
94
88
66
62
78.9
BAGUS
9
82
69
22
73
78
80
68.15
BAGUS
10
68
44
79
46
81
20
56.3
CUKUP
Tabel 4.4. menjelaskan tentang nilai masing-masing variable yang harus dikalikan dengan nilai bobot persentase yang diberikan oleh seorang pakar bidang kualitas ikan TTC. Sebelum dilakukan inferensi perlu dicari terlebih dahulu derajat keanggotaan nilai tiap variable dalam setiap himpunan. Secara detail proses perhitungan antara nilai dan bobot yang diberikan pakar seperti Tabel 4.5.
Tabel 4.5. Hasil perhitungan antara bobot dan nilai kualitas Rule
(
)
(
)
(
)
Nilai
Rule 1
(83*0,2) + (78*0.2) + (95*0,15) + (68*0,15) + (93*0,15) + (87*0,15)
83,65
Rule 2
(84*0,2) + (96*0.2) + (37*0,15) + (67*0,15) + (71*0,15) + (87*0,15)
75,30
Rule 3
(71*0,2) + (76*0.2) + (96*0,15) + (78*0,15) + (46*0,15) + (95*0,15)
76,65
Rule 4
(79*0,2) + (21*0.2) + (90*0,15) + (69*0,15) + (67*0,15) + (46*0,15)
60,80
Rule 5
(46*0,2) + (48*0.2) + (100*0,15) + (74*0,15) +(100*0,15) + (47*0,15)
66,95
Rule 6
(51*0,2) + (95*0.2) + (40*0,15) + (72*0,15) + (74*0,15) + (47*0,15)
64,15
Rule 7
(82*0,2) + (71*0.2) + (86*0,15) + (74*0,15) + (76*0,15) + (82*0,15)
78,30
Rule 8
(81*0,2) + (81*0.2) + (94*0,15) + (88*0,15) + (66*0,15) + (62*0,15)
78,90
Rule 9
(82*0,2) + (69*0.2) + (22*0,15) + (73*0,15) + (78*0,15) + (80*0,15)
68,15
Rule 10
(68*0,2) + (44*0.2) + (79*0,15) + (46*0,15) + (81*0,15) + (20*0,15)
56,30
Kemudian dicarai α-predikat (fire strength) untuk setiap aturan, sebagai berikut: [R1]
IF Sensori SANGAT BAIK and Kimia SANGAT BAIK and Fisika SANGAT BAIK and Cemaran Logam BAIK and Cemaran Mikroba SANGAT BAIK and Cemaran Fisik SANGAT BAIK THEN Rata-rata kualitas ikan TTC = 83,65; (SANGAT BAIK)
70
[R2]
IF Sensori SANGAT BAIK and Kimia SANGAT BAIK and Fisika SANGAT JELEK and Cemaran Logam BAIK and Cemaran Mikroba BAIK and Cemaran Fisik SANGAT BAIK THEN Rata-rata kualitas ikan TTC = 75,30; (BAIK)
[R3]
IF Sensori BAIK and Kimia SANGAT BAIK and Fisika SANGAT BAIK and Cemaran Logam SANGAT BAIK and Cemaran Mikroba JELEK and Cemaran Fisik SANGAT BAIK THEN Rata-rata kualitas ikan TTC = 76,65; (BAIK)
[R4]
IF Sensori BAIK and Kimia SANGAT JELEK and Fisika SANGAT BAIK and Cemaran Logam
BAIK and Cemaran Mikroba
BAIK and Cemaran Fisik
JELEK THEN Rata-rata kualitas ikan TTC = 60,80; (BAIK) [R5]
IF Sensori CUKUP and Kimia CUKUP and Fisika
SANGAT BAIK and
Cemaran Logam BAIK and Cemaran Mikroba SANGAT BAIK and Cemaran Fisik CUKUP. THEN Rata-rata kualitas ikan TTC = 66,95; (BAIK) [R6]
IF Sensori CUKUP and Kimia SANGAT BAIK and Fisika JELEK and Cemaran Logam BAIK and Cemaran Mikroba BAIK and Cemaran Fisik CUKUP THEN Rata-rata kualitas ikan TTC = 64,15; (BAIK)
[R7]
IF Sensori SANGAT BAIK and Kimia BAIK and Fisika SANGAT BAIK and Cemaran Logam
BAIK and Cemaran Mikroba
BAIK and Cemaran Fisik
SANGAT BAIK THEN Rata-rata kualitas ikan TTC = 78,30; (BAIK) [R8]
IF Sensori SANGAT BAIK and Kimia SANGAT BAIK and Fisika SANGAT BAIK and Cemaran Logam SANGAT BAIK and Cemaran Mikroba BAIK and Cemaran Fisik BAIK THEN Rata-rata kualitas ikan TTC = 78,90; (BAIK)
[R9]
IF Sensori SANGAT BAIK and Kimia BAIK and Fisika SANGAT JELEK and Cemaran Logam BAIK and Cemaran Mikroba SANGAT BAIK and Cemaran Fisik SANGAT BAIK THEN Rata-rata kualitas ikan TTC = 68,15; (BAIK)
[R10]
IF Sensori BAIK and Kimia CUKUP and Fisika BAIK and Cemaran Logam CUKUP and Cemaran Mikroba SANGAT BAIK and Cemaran Fisik SANGAT JELEK THEN Rata-rata kualitas ikan TTC = 56,30; (CUKUP)
71
Dengan menggunakan metode defuzy weighted average, maka rata-rata kualitas ikan TTC adalah:
Sehingga dalam proses pengujian kualitas ikan TTC dengan menggunakan metode Fuzzy Weight Product telah mampu menentukan kualitas ikan secara detail satu persatu, dari 10 percobaan tersebut diperoleh hasil rata-rata nilai kualitas adalah 68.90 ~ BAIK. 4.2.2.4 Strategi Peningkatan Kualitas Ikan TTC Setelah diperoleh kualitas ikan TTC seperti Tabel 4.4, maka selanjutnya adalah menentukan task crucial
dan kemudian task crucial tersebut akan dianggap
sebagai titik kritis di cold chain agar menjadi perhatian untuk dilakukan penanganan. Peningkatan grade TTC hanya dilakukan dengan cara meningkatkan grade TTC satu level :
Jika output quality = SANGAT BAIK (SB), maka solusinya adalah PERTAHANKAN;
Jika
output
quality
=
BAIK
(B),
maka
solusinya
adalah
MENINGKATKAN KUALITAS IKAN MENJADI SANGAT BAIK;
Jika
output
quality
=
CUKUP
(C),
maka
solusinya
adalah
MENINGKATKAN KUALITAS IKAN MENJADI BAIK;
Jika
output
quality
=
JELEK
(J),
maka
solusinya
adalah
MENINGKATKAN KUALITAS IKAN MENJADI CUKUP. Peningkatan kualitas ikan dilakukan dengan cara memperbaiki task crucial pada setiap cold chain tracking baik di kapal maupun di PPI dan PPN. Dari
72
hasil simulasi pada tabel 4.6 berdasarkan Tabel 4.4 diperoleh nilai yang paling minimum yang dianggap sebagai task crucial, yang ditandai dengan kotak merah.
Tabel 4.6. Hasil Strategi Peningkatan Kualitas Ikan TTC RULE 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Q1
Q2
Q3
Q4
Q5
Q6
20% 83 84 71 79 46 51 82 81 82 68
20% 78 96 76 21 48 95 71 81 69 44
15% 95 37 96 90 100 40 86 94 22 79
15% 68 67 78 69 74 72 74 88 73 46
15% 93 71 46 67 100 74 76 66 78 81
15% 87 87 95 46 47 47 82 62 80 20
RESULT 83.65 75.3 76.65 60.8 66.95 64.15 78.3 78.9 68.15 56.3
TASK CRUCIAL
OUTPUT
STRATEGI QUALITY
CEMARAN LOGAM FISIKA CEMARAN MIKROBA KIMIA SENSORI FISIKA KIMIA CEMARAN FISIK FISIKA CEMARAN FISIK
SANGAT BAGUS BAGUS BAGUS BAGUS BAGUS BAGUS BAGUS BAGUS BAGUS CUKUP
PERTAHANKAN UPGRADE KE SB UPGRADE KE SB UPGRADE KE SB UPGRADE KE SB UPGRADE KE SB UPGRADE KE SB UPGRADE KE SB UPGRADE KE SB UPGRADE KE B
MIN RESULT 68 37 46 21 46 40 71 62 22 20
Q4 Q3 Q5 Q2 Q1 Q3 Q2 Q6 Q3 Q6
Nilai variabel yang paling kritis (nilai yang paling minimum) akan menjadi task crucial untuk direkomendasikan dilakukan perlakuan perbaikan proses
kualitas.
Dengan
cara
tersebut
maka
rule
based
fuzzy
akan
merekomendasikan perlakuan terhadap TTC tersebut seperi pada tabel 4.7. Tabel 4.7. Solusi Strategi Peningkatan Kualitas Rule
Output Quality
Task Crucial
Strategy Quality
1
Sangat BAIK (SB)
Cemaran Logam
Pertahankan
2
BAIK (B)
Fisika
Upgrade ke SB
3
BAIK (B)
Cemaran Mikroba
Upgrade ke SB
4
BAIK (B)
Kimia
Upgrade ke SB
5
BAIK (B)
Sensori
Upgrade ke SB
6
BAIK (B)
Fisika
Upgrade ke SB
7
BAIK (B)
Kimia
Upgrade ke SB
8
BAIK (B)
Cemaran Fisik
Upgrade ke SB
9
BAIK (B)
Fisika
Upgrade ke SB
10
Cukup (C)
Cemaran Fisik
Upgrade ke B
4.2.3
Penentuan Kualitas Proses ikan TTC Proses yang sama seperti pada penentuan Kriteria Kualitas TTC, tetapi
perbedaannya adalah input kriteria kualitas TTC ada 6 variabel sedangkan pada penilaian kualitas proses TTC ada 11 kriteria proses TTC yang akan dijadikan input dilakukan dengan 11 kriteria proses TTC, seperti pada Gambar 4.11
73
Weight Product (WP) Pemberian bobot oleh pakar untuk masingmasing kriteria.
Pengangkatan ikan ke atas kapal (T1) Mematikan ikan (T2) Pembuangan darah,insang dan isi perut (T3)
Pembongkaran & pemindahan ikan ke TLC (T6)
Sortasi (T7)
SISTEM INFERENSI SYSTEM (FIS)
DEFUZIFIKASI
Penyimpanan di Pelabuhan PPI dan PPN (T5)
FUZZIFIKASI
Pembersihan dan pencucian I (T4)
GRADE IKAN TTC
Pembersihan dan pencucian II (T8) Penimbangan (T9)
Aturan IF THEN
Penyimpanan dalam bak penampung (T10) Pengemasan (T11)
Gambar 4.11. Blok diagram Input penentuan kualitas proses ikan TTC Gambar 4.11. menjelaskan bahwa untuk menentukan kualitas proses pengolahan ikan ditentukan oleh 11 variabel/kriteria, sebelum dilakukan proses perhitungan fuzzy 11 kriteria tersebut akan dinilai oleh beberapa pakar (expert) untuk diberikan bobot dengan menggunakan metode weight product (WP). Tahap Fuzzifikasi merupakan tahapan awal dimana terjadi proses memetakan suatu nilai crisp dalam himpunan fuzzy. Dengan kata lain membuat suatu nilai crisp menjadi suatu nilai yang berkisar antara 0 hingga 1 dalam himpunan himpunan fuzzy yang tersedia. Nilai keanggotaan suatu item x dalam suatu himpunan A sering ditulis menjadi µA(x) memiliki 2 kemungkinan, yaitu:
Satu (1), yang berarti bahwa suatu item menjadi anggota dalam suatu himpunan.
Nol (0), yang berarti bahwa suatu item tidak menjadi anggota dalam suatu himpunan. Tahap selanjutnya ialah defuzzification, berbeda dengan fuzzification, pada
tahap ini proses memetakan suatu nilai ruang fuzzy ke dalam nilai crisp. Dengan kata lain untuk mengubah nilai fuzzy menjadi nilai crisp. Nilai crisp inilah yang nantinya akan digunakan dalam implementasi dan analisis akhirnya. Berikut adalah tahapan perhitungan penentuan kualitas ikan TTC dengan menggunakan Fuzzy Weight Product (F-WP):
74
4.2.3.1 Pembentukan fungsi keanggotaan Tabel 4.8. menjelaskan tentang fungsi input variable kualitas proses pengolahan ikan TTC dengan semesta pembicaraan [15,100], semesta pembicaraan adalah keseluruhan nilai yang diperbolehkan untuk dioperasikan dalam suatu variable fuzzy. Untuk studi kasus penelitian ini maka semesta pembicaraan adalah [15 100], selanjutnya adalah membentuk domain dalam semesta pembicaraan pada masing-masing variable, secara detail domain semesta pembicaraan kualitas proses pengolahan ikan TTC. Untuk lebih jelas input dan output dari variabel himpunan fuzzy kualitas proses dapat terlihat pada Tabel 4.8.
Tabel 4.8. Variabel himpunan fuzzy kualitas proses Fungsi
Nama Variabel
INPUT
Pengangkatan ikan keatas kapal Mematikan ikan Pembuangan darah, ingsang dan isi perut Pembersihan dan Pencucian I Penyimpanan di pelabuhan PPI/PPN Pembongkaran dan Pemindahan ikan ke TLC Sortasi Pembersihan dan Pencucian II Penimbangan Penyimpanan dalam bak Penampung Pengemasan
OUTPUT
Kualitas Proses Pengolahan
Semesta Keterangan Pembicaraan [15, 100] [15, 100] [15, 100] [15, 100] Proses [15, 100] Pengolahan [15, 100] Ikan sesuai SNI [15, 100] [15, 100] [15, 100] [15, 100] [15, 100] [15, 100]
Nilai Kualitas Proses
Selanjutnya Tabel 4.9. menjelaskan bahwa nilai yang diizinkan dalam semesta pembicaraan dan boleh dioperasikan dalam suatu himpunan fuzzy adalah sebagai berikut:
Sangat Jelek (SJ)
= [15 – 35]
Jelek (J)
= [25 – 45]
Cukup (C)
= [40 – 60]
Baik (B)
= [55 – 80]
Sangat Baik (SB)
= [75 – 100]
75
Tabel 4.9. Nilai Domain Variable Kualitas Proses Pengolahan ikan TTC T#
QUALITY Quality Weight
VARIABEL
QUALITY ATTRIBUTE SJ
J
C
B
SB
T1
Pengangkatan ikan keatas kapal
15%
Y
15-35 25-45 40-60
55-80 75-100
T2
Mematikan ikan
15%
Y
15-35 25-45 40-60
55-80 75-100
T3
Pembuangan darah, ingsang dan isi perut
10%
Y
15-35 25-45 40-60
55-80 75-100
T4
Pembersihan dan Pencucian I
10%
Y
15-35 25-45 40-60
55-80 75-100
T5
Penyimpanan di pelabuhan PPI/PPN
10%
Y
15-35 25-45 40-60
55-80 75-100
T6
Pembongkaran dan Pemindahan ikan ke TLC
5%
Y
15-35 25-45 40-60
55-80 75-100
T7
Sortasi
5%
N
15-35 25-45 40-60
55-80 75-100
T8
Pembersihan dan Pencucian II
10%
N
15-35 25-45 40-60
55-80 75-100
T9
Penimbangan
5%
N
15-35 25-45 40-60
55-80 75-100
T10 Penyimpanan dalam bak Penampung
5%
N
15-35 25-45 40-60
55-80 75-100
T11 Pengemasan
5%
N
15-35 25-45 40-60
55-80 75-100
Nilai domain semesta pembicaraan tersebut akan dimasukkan dalam fungsi keanggotaan dalam himpunan fuzzy dengan merepresentasikan kurva segitiga yang pada dasarnya adalah penggabungan antara 2 garis linier seperti Gambar 4.12.
1 Derajat keanggotaan µ(x) 0 a
b
c
Gambar 4.12. Representasi kurva segitiga
Fungsi keanggotaan: x ≤ a atau x ≥ c a≤x≤b
{
b≤x≤c
Sehingga akan diperoleh fungsi keanggotaan pada himpunan fuzzy pada variable Proses pengangkatan ikan keatas kapal (T1), Proses mematikan ikan (T2), Proses pembuangan darah, insang dan isi perut (T3), Proses pembersihan dan pencucian I (T4), Proses penyimpanan di PPI & PPN (T5), Proses Pembongkaran & pemindahan ke TLC
(T6), Proses Sortasi (T7), Proses
76
pembersihan dan pencucian II (T8), Proses Penimbangan (T9), Proses Penyimpanan dalam bak penampung (T10) dan Proses Pengemasan (T11).
Gambar 4.13. Fungsi keanggotaan pada variable kualitas ikan TTC x ≤ 15 atau x ≥ 35 15 ≤ x ≤ 25
{
25 ≤ x ≤ 35
Himpunan fuzzy SANGAT JELEK akan memiliki domain [15,35], dengan derajat keanggotaan SANGAT JELEK tertinggi (=1) terletak pada nilai 25. Apabila kualitas ikan semakin kurang dari 25 dan mendekati 15, maka kondisi kualitas ikan mendekati SANGAT JELEK SEKALI dan keluar dari semesta pembicaraan dari data penelitian, namun apabila nilai kualitas ikan semakin melebihi 25, maka kondisi kualitas ikan sudah mendekati JELEK. Himpunan fuzzy SANGAT JELEK direpresentasikan dengan fungsi keanggotaan segitiga. x ≤ 25 atau x ≥ 45 25 ≤ x ≤ 35
{
35 ≤ x ≤ 45
Himpunan fuzzy JELEK akan memiliki domain [25,45], dengan derajat keanggotaan JELEK tertinggi (=1) terletak pada nilai 35. Apabila kualitas ikan semakin kurang dari 35 dan mendekati 25, maka kondisi kualitas ikan mendekati SANGAT JELEK dan keluar dari semesta pembicaraan dari data penelitian, namun apabila nilai kualitas ikan semakin melebihi 35, maka kondisi kualitas ikan sudah mendekati CUKUP. Himpunan fuzzy JELEK direpresentasikan dengan fungsi keanggotaan segitiga.
77
x ≤ 40 atau x ≥ 60 40 ≤ x ≤ 50 50 ≤ x ≤ 60
{
Himpunan fuzzy CUKUP akan memiliki domain [40,60], dengan derajat keanggotaan CUKUP tertinggi (=1) terletak pada nilai 50. Apabila kualitas ikan semakin kurang dari 50 dan mendekati 40, maka kondisi kualitas ikan mendekati JELEK dan keluar dari semesta pembicaraan dari data penelitian, namun apabila nilai kualitas ikan semakin melebihi 50, maka kondisi kualitas ikan
sudah
mendekati BAIK. Himpunan fuzzy CUKUP direpresentasikan dengan fungsi keanggotaan segitiga. x ≤ 55 atau x ≥ 80 55 ≤ x ≤ 67,5 67,5 ≤ x ≤ 80
{
Himpunan fuzzy BAIK akan memiliki domain [55,80], dengan derajat keanggotaan BAIK tertinggi (=1) terletak pada nilai 67,5. Apabila kualitas ikan semakin kurang dari 67,5 dan mendekati 55, maka kondisi kualitas ikan mendekati BAIK dan keluar dari semesta pembicaraan dari data penelitian, namun apabila nilai kualitas ikan semakin melebihi 67,5, maka kondisi kualitas ikan sudah mendekati SANGAT BAIK. Himpunan fuzzy BAIK direpresentasikan dengan fungsi keanggotaan segitiga. x ≤ 75 atau x ≥ 100 75 ≤ x ≤ 87,5
{
87,5 ≤ x ≤ 100
Himpunan fuzzy SANGAT BAIK akan memiliki domain [75,100], dengan derajat keanggotaan SANGAT BAIK tertinggi (=1) terletak pada nilai 100. Apabila kualitas ikan semakin kurang dari 87,5 dan mendekati 75, maka kondisi kualitas ikan mendekati BAIK dan keluar dari semesta pembicaraan dari data penelitian, namun apabila nilai kualitas ikan semakin melebihi 87,5, maka kondisi kualitas ikan sudah mendekati SANGAT BAIK SEKALI. Himpunan fuzzy SANGAT BAIK direpresentasikan dengan fungsi keanggotaan segitiga.
78
Seluruh variable pada kualitas ikan TTC memiliki fungsi keanggotaan yang sama, baik variable sensori (Q1), kimia (Q2), fisika (Q3), cemaran logam (Q4), cemaran mikroba (Q5), cemaran fisik (Q6) seluruh variable mempunyai himpunan fuzzy yang sama, yaitu: SANGAT JELEK [15, 35], JELEK [25, 45], CUKUP [40, 60], BAIK [55, 80] dan SANGAT BAIK [75, 100].
4.2.3.2 Pembentukan Aturan Fuzzy Setelah diperoleh hubungan variabel input dan variabel output maka dilanjutkan dengan membuat aturan (Ruled Based) dengan menggunakan pola IF <premise> Then . Aturan yang akan dibuat sesuai dengan jumlah variable dikalikan atribut yang ada, untuk penentuan kualitas ikan mempunyai 11 variabel dan 5 atribut, sehingga jumlah aturan yang harus dibuat 65 = 161.051 aturan. Pada metode ini, anteseden direpresentasikan dengan proposisi dalam himpunan fuzzy, sedangkan konsekuen direpresentasikan dengan sebuah konstanta. Detail aturan fuzzy dapat dijelaskan seperti dibawah ini: [R1]
IF Proses pengangkatan ikan keatas kapal JELEK And Proses mematikan ikan CUKUP And Proses pembuangan darah, insang dan perut SANGAT BAIK And Proses pembersihan dan pencucian tahap 1 JELEK And Proses penyimpanan di pelabuhan PPI/PPN BAIK And Proses pembongkaran dan pemindahan ikan ke TLC JELEK And proses Sortasi CUKUP And Proses pembersihan dan Pencucian tahap II CUKUP And Proses penimbangan BAIK And Proses Penyimpanan dalam bak penampung SANGAT BAIK And Proses Pengemasan JELEK. THEN Rata-Rata Nilai Kualitas Proses = 62.60, (BAIK)
4.2.3.3 Pengujian Kualitas Proses Pengolahan Ikan TTC Tampilan hasil running program aplikasi untuk pengujian kualitas TTC dapat dilihat pada gambar 4.14.
79
Gambar 4.14. Hasil pengujian kualitas ikan TTC dengan Fuzzy Gambar 4.14, menjelaskan tentang hasil running program aplikasi yang telah dirancang dengan data yang diinputkan, menggunakan himpunan fuzzy yang telah ditetapkan diperoleh hasil seperti Tabel 4.10. Tabel 4.10. Hasil perhitungan 10 rule pengujian kualitas proses T1
T2
T3
T4
T5
T6
0.15
0.15
0.15
0.1
0.1
0.1
1
59
61
83
55
74
34
51
57
68
92
49
62.6
BAGUS
2
25
59
85
44
78
39
23
53
67
85
73
56.5
CUKUP
3
29
28
49
42
59
62
31
91
65
49
46
46.3
CUKUP
4
27
33
81
68
96
35
22
27
100
62
61
54.65
CUKUP
5 6 7 8 9 10
41 61 70 90 39 27
96 96 37 74 62 66
34 26 20 80 21 65
96 80 79 67 68 76
81 95 43 27 56 80
41 49 35 23 60 81
51 96 33 67 59 62
86 73 55 100 98 20
23 94 44 82 74 25
48 26 23 51 85 66
45 86 32 71 74 59
60.1 68.6 44.1 66.85 56.2 59
BAGUS BAGUS JELEK BAGUS CUKUP CUKUP
RULE
T7
T8
0.05 0.05
T9
T10 T11
0.05 0.05 0.05
RESULT
QUALITY PROSES
Tabel 4.10. menjelaskan tentang nilai masing-masing variable yang harus dikalikan dengan nilai bobot persentase yang diberikan pakar bidang kualitas ikan TTC. Sebelum dilakukan inferensi perlu dicari terlebih dahulu derajat keanggotaan nilai tiap variable dalam setiap himpunan. Secara detail proses perhitungan antara nilai dan bobot yang diberikan pakar seperti Tabel 4.11.
80
Tabel 4.11. Hasil perhitungan antara bobot dan nilai kualitas proses (
)
(
Rule
)
(
)
(
)
(
(
)
(
(
)
)
(
( )
) )
(
Nilai )
T1
T2
T3
T4
T5
T6
0.15
0.15
0.15
0.1
0.1
0.1
1
59
61
83
55
74
34
51
57
68
92
49
62.6
2
25
59
85
44
78
39
23
53
67
85
73
56.5
3
29
28
49
42
59
62
31
91
65
49
46
46.3
4
27
33
81
68
96
35
22
27
100
62
61
54.65
5 6 7 8 9 10
41 61 70 90 39 27
96 96 37 74 62 66
34 26 20 80 21 65
96 80 79 67 68 76
81 95 43 27 56 80
41 49 35 23 60 81
51 96 33 67 59 62
86 73 55 100 98 20
23 94 44 82 74 25
48 26 23 51 85 66
45 86 32 71 74 59
60.1 68.6 44.1 66.85 56.2 59
RULE
T7
T8
0.05 0.05
T9
T10
T11
0.05 0.05 0.05
RESULT
Kemudian dicarai α-predikat (fire strength) untuk setiap aturan, sebagai berikut: [R1]
IF T1 = CUKUP and T2 = BAIK and T3 = SANGAT BAIK and T4 = CUKUP and T5 = BAIK and T6 = JELEK and T7 = CUKUP and T8 = CUKUP and T9 = BAIK and T10 = SANGAT BAIK and T11 = JELEK.. THEN Rata-rata kualitas proses pengolahan ikan = 62.60 (BAIK).
[R2]
IF T1 = SANGAT JELEK and T2 = CUKUP and T3 = SANGAT BAIK and T4 = JELEK and T5 = BAIK and T6 = SANGAT JELEK and T7 = SANGAT JELEK and T8 = CUKUP and T9 = BAIK and T10 = SANGAT BAIK and T11 = BAIK. THEN Rata-rata kualitas proses pengolahan ikan = 56.50 (CUKUP).
[R3]
IF T1 = SANGAT JELEK and T2 = SANGAT JELEK and T3 = JELEK and T4 = JELEK and T5 = BAIK and T6 = BAIK and T7 = SANGAT JELEK and T8 = SANGAT BAIK and T9 = BAIK and T10 = JELEK and T11 = JELEK.. THEN Rata-rata kualitas proses pengolahan ikan = 46.30 (CUKUP).
[R4]
IF T1 = SANGAT JELEK and T2 = SANGAT JELEK and T3 = SANGAT BAIK and T4 = BAIK and T5 = SANGAT BAIK and T6 = SANGAT JELEK and T7 = SANGAT JELEK and T8 = SANGAT JELEK and T9 = SANGAT BAIK and T10 = BAIK and T11 = BAIK THEN Rata-rata kualitas proses pengolahan ikan = 54.65 (CUKUP).
81
[R5]
IF T1 = CUKUP and T2 = SANGAT BAIK and T3 = SANGAT JELEK and T4 = SANGAT BAIK and T5 = SANGAT BAIK and T6 = SANGAT BAIK and T7 = CUKUP and T8 = SANGAT BAIK and T9 = SANGAT JELEK and T10 = JELEK and T11 = JELEK. THEN Rata-rata kualitas proses pengolahan ikan = 60.10 (BAIK).
[R6]
IF T1 = BAIK and T2 = SANGAT BAIK and T3 = SANGAT JELEK and T4 = BAIK and T5 = SANGAT BAIK and T6 = CUKUP and T7 = SANGAT BAIK and T8 = BAIK and T9 = SANGAT BAIK and T10 = SANGAT JELEK and T11 = SANGAT BAIK. THEN Rata-rata kualitas proses pengolahan ikan = 68.60 (BAIK).
[R7]
IF T1 = BAIK and T2 = JELEK and T3 = SANGAT JELEK and T4 = BAIK and T5 = CUKUP and T6 = JELEK and T7 = SANGAT JELEK and T8 = CUKUP and T9 = CUKUP and T10 = SANGAT JELEK and T11 = SANGAT JELEK. THEN Rata-rata kualitas proses pengolahan ikan = 44.10 (JELEK).
[R8]
IF T1 = SANGAT BAIK and T2 = BAIK and T3 = BAIK and T4 = BAIK and T5 = SANGAT JELEK and T6 = SANGAT JELEK and T7 = BAIK and T8 = SANGAT BAIK and T9 = SANGAT BAIK and T10 = CUKUP and T11 = BAIK. THEN Rata-rata kualitas proses pengolahan ikan = 66.85 (BAIK).
[R9]
IF T1 = SANGAT JELEK and T2 = BAIK and T3 = SANGAT JELEK and T4 = BAIK and T5 = BAIK and T6 = BAIK and T7 = BAIK and T8 = SANGAT JELEK and T9 = BAIK and T10 = SANGAT BAIK and T11 = BAIK THEN Rata-rata kualitas proses pengolahan ikan = 56.20 (CUKUP).
[R10] IF T1 = SANGAT JELEK and T2 = BAIK and T3 = BAIK and T4 = BAIK and T5 = BAIK and T6 = SANGAT BAIK and T7 = BAIK and T8 = SANGAT JELEK and T9 = SANGAT JELEK and T10 = BAIK and T11 = BAIK THEN Rata-rata kualitas proses pengolahan ikan = 59.00 (CUKUP).
Dengan menggunakan metode defuzy weighted average, maka rata-rata kualitas ikan TTC adalah:
82
Sehingga dalam proses pengujian kualitas pada proses pengolahan ikan TTC dengan menggunakan metode Fuzzy Weight Product telah mampu menentukan kualitas ikan secara detail satu persatu, dari 10 percobaan tersebut diperoleh hasil rata-rata nilai kualitas adalah 59.09 ~ CUKUP.
4.2.3.4 Strategi Peningkatan Kualitas Proses Pengolahan Ikan TTC Setelah diperoleh kualitas ikan TTC seperti Tabel 4.4, maka selanjutnya adalah menentukan task crucial
dan kemudian task crucial tersebut akan dianggap
sebagai titik kritis di cold chain system agar menjadi perhatian untuk dilakukan penanganan. Peningkatan grade TTC hanya dilakukan dengan cara meningkatkan grade TTC satu level :
Jika output quality = SANGAT BAIK (SB), maka solusinya adalah PERTAHANKAN;
Jika
output
quality
=
BAIK
(B),
maka
solusinya
adalah
MENINGKATKAN KUALITAS IKAN MENJADI SANGAT BAIK;
Jika
output
quality
=
CUKUP
(C),
maka
solusinya
adalah
MENINGKATKAN KUALITAS IKAN MENJADI BAIK;
Jika
output
quality
=
JELEK
(J),
maka
solusinya
adalah
MENINGKATKAN KUALITAS IKAN MENJADI CUKUP. Peningkatan kualitas ikan dilakukan dengan cara memperbaiki task crucial pada setiap cold chain tracking baik di kapal maupun di PPI dan PPN.
83
Tabel 4.12. Hasil strategi peningkatan kualitas proses ikan TTC
Tabel 4.12. menjelaskan bahwa penentuan kualitas proses pengolahan ikan TTC sangat dipengaruhi oleh 11 variabel / kriteria, untuk menentukan strategi peningkatan kualitas ikan TTC maka metode yang diterapkan adalah mencari nilai variabel yang paling kritis (nilai yang paling minim) akan di rekomedasikan sebagai task crucial, untuk dilakukan perbaikan proses kualitas. Tabel 4.13. Solusi Strategi Peningkatan Kualitas Proses Pengolahan Ikan TTC Rule
84
Output Quality
Task Crucial
Strategy Quality
1
BAIK (B)
Pembongkaran dan pemindahan ikan ke TLC
Upgrade ke SB
2
CUKUP (C)
Sortasi
Upgrade ke B
3
CUKUP (C)
Mematikan ikan
Upgrade ke B
4
CUKUP (C)
Sortasi
Upgrade ke B
5
BAIK (B)
Penimbangan
Upgrade ke SB
6
BAIK (B)
Pembuangan darah,insang dan isi perut
Upgrade ke SB
7
JELEK (J)
Pembuangan darah,insang dan isi perut
Upgrade ke C
8
BAIK (B)
Pembongkaran dan pemindahan ikan ke TLC
Upgrade ke SB
9
CUKUP (C)
Pembuangan darah,insang dan isi perut
Upgrade ke B
10
CUKUP (C)
Pembersihan dan pencucian II
Upgrade ke B
4.2.3.5 Form Isian Penentuan Kualitas Ikan dan Proses Untuk memudahkan proses penilaian dilapangan, maka dalam penelitian ini perlu dibuat form isian terhadap masing-masing variable secara umum, yaitu: [1]. Form Penilaian kriteria Kualitas Ikan TTC; [2]. Form Penilaian Kualitas Standard Proses Ikan TTC. Masing-masing variable tersebut harus diisi oleh bagian cheker di PPI atau PPN untuk memudahkan proses penilaian kualitas ikan beku tersebut. 1.
Form Penilaian Kualitas Ikan TTC a. Quality Atribut (QA):
Sangat Jelek
=1
Jelek
=2
Cukup
=3
Baik
=4
Sangat Baik
=5
b. VAL adalah Nilai Range Output Quality:
Sangat Jelek
= [15, 35]
Jelek
= [25, 45]
Cukup
= [40, 60]
Baik
= [55, 80]
Sangat Baik
= [75, 100]
c. W adalah Bobot masing-masing atribut yang diberikan oleh pakar; d. W*VAL adalah Hasil perhitungan fuzzy dan perkalian bobot masingmasing atribut. e. Jumlah adalah hasil penjumlahan nilai W* VAL pada masing-masing atribut. f. Output Quality adalah keterangan dari nilai penjumlahan yang dirubah kedalam fuzzy. Contoh percobaan dapat dilihat pada percobaan 1 - 5, pada tabel 4.14 sampai dengan tabel 4.18.
85
Tabel 4.14. Percobaan 1 dengan output quality 28.8 = Sangat Jelek Q#
QUALITY
QA
VAL
W
W*VAL
0.2
3.4 5
Q1
SENSORI
1
17
Q2
KIMIA
1
25
0.2
Q3
FISIKA
2
40
0.15
6
Q4
CEMARAN LOGAM
2
5.4
Q5 Q6
CEMARAN MIKROBA CEMARAN FISIK
1 2
36 15 45
0.15 0.15 0.15
2.25 6.75
TOTAL 28.8 OUTPUT QUALITY SANGAT JELEK
Tabel 4.14. menjelaskan Jika [Sensori = Sangat Jelek] dan [Kimia = Sangat Jelek] dan [Fisika = Jelek] dan [Cemaran Logam = Jelek] dan [Cemaran Mikroba = Sangat Jelek] dan [Cemaran Fisik = Jelek] maka OUTPUT QUALITY = Sangat Jelek. Tabel 4.15. Percobaan 2 dengan output quality 35.9 = Jelek Q#
QUALITY
QA
VAL
W
W*VAL 8
Q1
SENSORI
2
40
0.2
Q2
KIMIA
2
30
0.2
6
Q3
FISIKA
3
45
0.15
6.75
Q4
CEMARAN LOGAM
2
5.4
CEMARAN MIKROBA CEMARAN FISIK
2 1
36 40
0.15
Q5
0.15
25
0.15
6 3.75
Q6
TOTAL OUTPUT QUALITY
35.9 JELEK
Tabel 4.15. menjelaskan Jika [Sensori = Sangat Jelek] dan [Kimia = Sangat Jelek] dan [Fisika = Jelek] dan [Cemaran Logam = Jelek] dan [Cemaran Mikroba = Jelek] dan [Cemaran Fisik = Sangat Jelek] maka OUTPUT QUALITY = Jelek. Tabel 4.16. Percobaan 3 dengan output quality 48.85 = Cukup Q#
QUALITY
QA
VAL
W
W*VAL
Q1
SENSORI
3
58
0.2
11.6
Q2
KIMIA
4
79
0.2
15.8
Q3
FISIKA
3
57
0.15
8.55
Q4
CEMARAN LOGAM
2
4.8
CEMARAN MIKROBA CEMARAN FISIK
2 1
32 35 19
0.15
Q5 Q6
0.15 0.15
5.25 2.85
TOTAL OUTPUT QUALITY
48.85 CUKUP
Tabel 4.16. menjelaskan Jika [Sensori = Cukup] dan [Kimia = Baik] dan [Fisika = Cukup] dan [Cemaran Logam = Sangat Jelek] dan [Cemaran Mikroba = Sangat Jelek] dan [Cemaran Fisik = Sangat Jelek] maka OUTPUT QUALITY = Cukup.
86
Tabel 4.17. Percobaan 4 dengan output quality 62.80 = Baik Q#
QUALITY
QA
VAL
W
W*VAL
Q1
SENSORI
4
80
0.2
16
Q2
KIMIA
4
63
0.2
12.6
Q3
FISIKA
3
60
0.15
9
Q4
CEMARAN LOGAM
4
11.25
Q5 Q6
CEMARAN MIKROBA CEMARAN FISIK
3 2
75 52 41
0.15 0.15 0.15
7.8 6.15
TOTAL OUTPUT QUALITY
62.8 BAIK
Tabel 4.17. menjelaskan Jika [Sensori = Baik] dan [Kimia = Cukup] dan [Fisika = Cukup] dan [Cemaran Logam = Baik] dan [Cemaran Mikroba = Jelek] dan [Cemaran Fisik = Jelek] maka OUTPUT QUALITY = Baik. Tabel 4.18. Percobaan 5 dengan output quality 82.65 = Sangat Baik Q#
QUALITY
QA
VAL
W
W*VAL 12.2
Q1
SENSORI
4
61
0.2
Q2
KIMIA
4
77
0.2
15.4
Q3
FISIKA
5
99
0.15
14.85
Q4
CEMARAN LOGAM
5
14.1
CEMARAN MIKROBA CEMARAN FISIK
5
94 85 89
0.15
Q5
0.15
12.75
0.15
13.35
Q6
5
TOTAL OUTPUT QUALITY
2.
82.65 SANGAT BAIK
Form Penilaian Kualitas Proses Pengolahan Ikan TTC a. Quality Atribut (QA):
Sangat Jelek
=1
Jelek
=2
Cukup
=3
Baik
=4
Sangat Baik
=5
b. VAL adalah Nilai Range Output Quality:
Sangat Jelek
= [15, 35]
Jelek
= [25, 45]
Cukup
= [40, 60]
Baik
= [55, 80]
Sangat Baik
= [75, 100]
c. W adalah Bobot masing-masing atribut yang diberikan oleh pakar; d. W*VAL adalah Hasil perhitungan fuzzy dan perkalian bobot masingmasing atribut. 87
e. Jumlah adalah hasil penjumlahan nilai W* VAL pada masing-masing atribut. f. Output Quality adalah keterangan dari nilai penjumlahan yang dirubah kedalam fuzzy. Contoh percobaan dapat dilihat pada percobaan 1 - 5, pada tabel 4.19 sampai dengan tabel 4.23. Tabel 4.19. menjelaskan Jika [Pengangkatan ikan keatas kapal = Sangat Jelek] dan [Mematikan ikan = Sangat Jelek] dan [Pembuangan darah, insang dan perut = Sangat Jelek] dan [Pembersihan dan pencucian tahap 1 = Jelek] dan
[Penyimpanan di pelabuhan PPI dan PPN =Sangat Jelek] dan
[Pembongkaran dan pemindahan ikan ke TLC = Jelek] dan [Sortasi = Sangat Jelek] dan [Pembersihan dan Pencucian tahap II = Sangat Jelek] dan [Penimbangan = Baik] dan [Penyimpanan dalam bak penampung = Baik] dan ]Pengemasan = Baik] Maka Kondisi Ikan = SANGAT JELEK. Tabel 4.19. Percobaan 1 dengan output quality task 31.00 = Sangat Jelek Task#
Task Quality
TA
VAL
W
W*VAL
T1 T2
Pengangkatan ikan ke atas kapal Mematikan ikan
1 1
17 18
0.15 0.15
2.55 2.7
T3
Pembuangan darah,insang dan isi perut
23 40
2.3
Pembersihan dan pencucian I
1 2
0.1
T4
0.1
4
T5
Penyimpanan di Pelabuhan PPI dan PPN
2
31
0.1
3.1
T6
Pembongkaran dan pemindahan ikan ke TLC
2
37
0.1
3.7
T7
Sortasi
2
28
0.05
1.4
T8
Pembersihan dan pencucian II Penimbangan
15 57
1.5
T9
1 4
0.1 0.05
2.85
T10 T11
Penyimpanan dalam bak penampung Pengemasan
4 4
76 62
0.05 0.05
3.8 3.1 TOTAL 31 OUTPUT QUALITY SANGAT JELEK
Tabel 4.20. menjelaskan Jika [Pengangkatan ikan keatas kapal = Sangat Jelek] dan [Mematikan ikan = Sangat Jelek] dan [Pembuangan darah, insang dan perut = Sangat Jelek] dan [Pembersihan dan pencucian tahap 1 = Jelek] dan [Penyimpanan di pelabuhan PPI dan PPN =Sangat Jelek] dan [Pembongkaran dan pemindahan ikan ke TLC = Jelek] dan [Sortasi = Sangat Jelek] dan [Pembersihan dan Pencucian tahap II = Sangat Jelek] dan [Penimbangan = Baik] dan [Penyimpanan dalam bak penampung = Baik] dan ]Pengemasan = Baik] Maka Kondisi Ikan = JELEK.
88
Tabel 4.20 Percobaan 2 dengan output quality task 43.65 = Jelek Task#
Task Quality
TA
VAL
W
W*VAL
T1 T2
Pengangkatan ikan ke atas kapal Mematikan ikan
2 2
26 25
0.15 0.15
3.9 3.75
T3
Pembuangan darah,insang dan isi perut
33 35
3.3
Pembersihan dan pencucian I
1 1
0.1
T4
0.1
3.5
T5
Penyimpanan di Pelabuhan PPI dan PPN
3
46
0.1
4.6
T6
Pembongkaran dan pemindahan ikan ke TLC
3
47
0.1
4.7
T7
Sortasi
4
56
0.05
2.8
T8
Pembersihan dan pencucian II
7.7
Penimbangan
77 68
0.1
T9
4 4
0.05
3.4
T10 T11
Penyimpanan dalam bak penampung Pengemasan
4 4
63 57
0.05 0.05
3.15 2.85 43.65 JELEK
TOTAL OUTPUT QUALITY
Tabel 4.21. menjelaskan Jika [Pengangkatan ikan keatas kapal = Jelek] dan [Mematikan ikan = Cukup] dan [Pembuangan darah, insang dan perut = Sangat Jelek] dan [Pembersihan dan pencucian tahap 1 = Jelek] dan [Penyimpanan di pelabuhan PPI dan PPN = Cukup] dan [Pembongkaran dan pemindahan ikan ke TLC = Baik dan [Sortasi = Baik] dan [Pembersihan dan Pencucian tahap II = Baik] dan [Penimbangan = Baik] dan [Penyimpanan dalam bak penampung = Baik] dan ]Pengemasan = Baik] Maka Kondisi Ikan = CUKUP. Tabel 4.21. Percobaan 3 dengan output quality task 51.15 = Cukup Task#
TA
VAL
W
W*VAL
T1 T2
Pengangkatan ikan ke atas kapal Mematikan ikan
Task Quality
3 3
40 58
0.15 0.15
6 8.7
T3
Pembuangan darah,insang dan isi perut
39 40
3.9
Pembersihan dan pencucian I
2 2
0.1
T4
0.1
4
T5
Penyimpanan di Pelabuhan PPI dan PPN
3
50
0.1
5
T6
Pembongkaran dan pemindahan ikan ke TLC
3
60
0.1
6
T7
Sortasi
4
56
0.05
2.8
T8
Pembersihan dan pencucian II
6.1
Penimbangan
61 59
0.1
T9
4 4
0.05
2.95
T10 T11
Penyimpanan dalam bak penampung Pengemasan
4 4
56 58
0.05 0.05
2.8 2.9 51.15 CUKUP
TOTAL OUTPUT QUALITY
Tabel 4.22. menjelaskan Jika [Pengangkatan ikan keatas kapal = Baik] dan [Mematikan ikan = Baik] dan [Pembuangan darah, insang dan perut = Baik] dan [Pembersihan dan pencucian tahap 1 = Baik] dan [Penyimpanan di pelabuhan PPI dan PPN = Cukup] dan [Pembongkaran dan pemindahan ikan ke TLC = Cukup] dan [Sortasi = Baik] dan [Pembersihan dan Pencucian tahap II = Baik] dan
89
[Penimbangan = Baik] dan [Penyimpanan dalam bak penampung = Baik] dan ]Pengemasan = Baik] Maka Kondisi Ikan = BAIK. Tabel 4.22. Percobaan 4 dengan output quality task 63.05 = Baik Task#
Task Quality
TA
VAL
W
W*VAL
T1 T2
Pengangkatan ikan ke atas kapal Mematikan ikan
4 4
68 58
0.15 0.15
10.2 8.7
T3
Pembuangan darah,insang dan isi perut
77 72
7.7
Pembersihan dan pencucian I
4 4
0.1
T4
0.1
7.2
T5
Penyimpanan di Pelabuhan PPI dan PPN
3
48
0.1
4.8
T6
Pembongkaran dan pemindahan ikan ke TLC
3
43
0.1
4.3
T7
Sortasi
4
60
0.05
3
T8
Pembersihan dan pencucian II Penimbangan
68 67
6.8
T9
4 4
0.1 0.05
3.35
T10 T11
Penyimpanan dalam bak penampung Pengemasan
4 4
77 63
0.05 0.05
3.85 3.15 63.05 BAIK
TOTAL OUTPUT QUALITY
Tabel 4.23. menjelaskan Jika [Pengangkatan ikan keatas kapal = Sangat Baik] dan [Mematikan ikan = Sangat Baik] dan [Pembuangan darah, insang dan perut = Sangat Baik] dan [Pembersihan dan pencucian tahap 1 = Sangat Baik] dan [Penyimpanan di pelabuhan PPI dan PPN = Sangat Baik] dan [Pembongkaran dan pemindahan ikan ke TLC = Sangat Baik] dan
[Sortasi = Baik] dan
[Pembersihan dan Pencucian tahap II = Baik] dan [Penimbangan = Baik] dan [Penyimpanan dalam bak penampung = Baik] dan ]Pengemasan = Baik] Maka Kondisi Ikan = SANGAT BAIK. Tabel 4.23. Percobaan 5 dengan output quality task 63.05 = Baik Task#
Task Quality
TA
VAL
W
W*VAL
T1 T2
Pengangkatan ikan ke atas kapal Mematikan ikan
5 5
87 93
0.15 0.15
13.05 13.95
T3
Pembuangan darah,insang dan isi perut
89 77
8.9
Pembersihan dan pencucian I
5 5
0.1
T4
0.1
7.7
T5
Penyimpanan di Pelabuhan PPI dan PPN
5
94
0.1
9.4
T6
Pembongkaran dan pemindahan ikan ke TLC
5
99
0.1
9.9
T7
Sortasi
4
74
0.05
3.7
T8
Pembersihan dan pencucian II
74 78
7.4
Penimbangan
4 4
0.1
T9
0.05
3.9
T10 T11
Penyimpanan dalam bak penampung Pengemasan
4 4
61 74
0.05 0.05
3.05 3.7 84.65 SANGAT BAIK
TOTAL OUTPUT QUALITY
90
4.2.3.6 Analisa Hasil 1000 Percobaan Kualitas Ikan & Proses Untuk menilai kualitas ikan secara global tidak bisa dipecah secara satupersatu, tetapi menilai kualitas ikan sangat dipengaruhi oleh kualitas ikan itu sendiri dan kualitas proses pengelolaan terhadap ikan (standard proses) ikan. Berikut disajikan 1000 percobaan proses penilaian kualitas ikan (Z1) dan kualitas proses (Z2). Tabel 4.24. Hasil 1000 Simulasi Percobaan Kualitas Ikan TTC
NO
QUALITY TASK (Z1) (Z2)
ATRIBUT Z1 & Z2
PROBLEM
1
0.654
0.696
SANGAT BAGUS
BAGUS
TASK PROBLEM
2
0.188
0.175
BAGUS
CUKUP
QUALITY PROBLEM
3
0.134
0.685
BAGUS
CUKUP
TASK PROBLEM
4
0.768
0.268
BAGUS
CUKUP
QUALITY PROBLEM
5
0.522
0.796
BAGUS
BAGUS
TASK PROBLEM
6
0.634
0.456
BAGUS
BAGUS
QUALITY PROBLEM
7
0.068
0.045
BAGUS
JELEK
QUALITY PROBLEM
8
0.044
0.526
BAGUS
BAGUS
TASK PROBLEM
9
0.474
0.190
BAGUS
CUKUP
QUALITY PROBLEM
10
0.185
0.050
CUKUP
CUKUP
QUALITY PROBLEM
11
0.095
0.613
CUKUP
CUKUP
TASK PROBLEM
12
0.275
0.185
JELEK
CUKUP
QUALITY PROBLEM
13
0.330
0.332
CUKUP
CUKUP
TASK PROBLEM
14
0.490
0.255
CUKUP
CUKUP
QUALITY PROBLEM
15
0.325
0.208
JELEK
CUKUP
QUALITY PROBLEM
16
0.692
0.642
BAGUS
BAGUS
QUALITY PROBLEM
17
0.410
0.208
CUKUP
BAGUS
QUALITY PROBLEM
18
0.055
0.646
JELEK
BAGUS
TASK PROBLEM
19
0.130
0.776
CUKUP
BAGUS
TASK PROBLEM
20
0.355
0.690
CUKUP
BAGUS
TASK PROBLEM
21
0.488
0.420
BAGUS
CUKUP
QUALITY PROBLEM
22
0.138
0.656
BAGUS
BAGUS
TASK PROBLEM
23
0.380
0.400
JELEK
CUKUP
TASK PROBLEM
24
0.275
0.236
JELEK
BAGUS
QUALITY PROBLEM
25
0.242
0.726
BAGUS
BAGUS
TASK PROBLEM
91
26
0.226
0.322
BAGUS
BAGUS
TASK PROBLEM
27
0.268
0.285
CUKUP
CUKUP
TASK PROBLEM
28
0.513
0.348
CUKUP
CUKUP
QUALITY PROBLEM
29
0.676
0.018
BAGUS
CUKUP
QUALITY PROBLEM
30
0.643
0.384
CUKUP
BAGUS
QUALITY PROBLEM
31
0.065
0.774
JELEK
BAGUS
TASK PROBLEM
32
0.584
0.052
BAGUS
BAGUS
QUALITY PROBLEM
33
0.345
0.346
JELEK
BAGUS
TASK PROBLEM
34
0.796
0.426
BAGUS
BAGUS
QUALITY PROBLEM
35
0.280
0.168
CUKUP
CUKUP
QUALITY PROBLEM
36
0.002
0.376
BAGUS
BAGUS
TASK PROBLEM
37
0.125
0.670
CUKUP
BAGUS
TASK PROBLEM
38
0.193
0.548
CUKUP
CUKUP
TASK PROBLEM
39
0.375
0.782
CUKUP
BAGUS
TASK PROBLEM
40
0.493
0.708
JELEK
BAGUS
TASK PROBLEM
41
0.534
0.462
BAGUS
BAGUS
QUALITY PROBLEM
42
0.593
0.604
CUKUP
BAGUS
TASK PROBLEM
43
0.510
0.224
BAGUS
BAGUS
QUALITY PROBLEM
44
0.648
0.792
CUKUP
BAGUS
TASK PROBLEM
45
0.610
0.388
CUKUP
BAGUS
QUALITY PROBLEM
46
0.073
0.618
JELEK
BAGUS
TASK PROBLEM
47
0.506
0.208
BAGUS
CUKUP
QUALITY PROBLEM
48
0.698
0.225
BAGUS
CUKUP
QUALITY PROBLEM
49
0.526
0.728
BAGUS
BAGUS
TASK PROBLEM
50
0.158
0.754
CUKUP
BAGUS
TASK PROBLEM
985
0.045
0.172
CUKUP
CUKUP
TASK PROBLEM
986
0.758
0.760
BAGUS
BAGUS
TASK PROBLEM
987
0.442
0.660
BAGUS
BAGUS
TASK PROBLEM
988
0.493
0.408
CUKUP
CUKUP
QUALITY PROBLEM
989
0.098
0.353
CUKUP
CUKUP
TASK PROBLEM
990
0.300
0.788
BAGUS
BAGUS
TASK PROBLEM
991
0.610
0.494
CUKUP
BAGUS
QUALITY PROBLEM
992
0.705
0.193
CUKUP
CUKUP
QUALITY PROBLEM
993
0.313
0.368
CUKUP
BAGUS
TASK PROBLEM
994
0.017
0.688
JELEK
BAGUS
TASK PROBLEM
995
0.690
0.242
CUKUP
BAGUS
QUALITY PROBLEM
996
0.478
0.455
BAGUS
CUKUP
QUALITY PROBLEM
997
0.260
0.097
CUKUP
JELEK
QUALITY PROBLEM
998
0.440
0.045
CUKUP
CUKUP
QUALITY PROBLEM
999
0.353
0.115
CUKUP
CUKUP
QUALITY PROBLEM
1000
0.642
0.108
BAGUS
CUKUP
QUALITY PROBLEM
92
Berdasarkan hasil 1000 simulasi percobaan terhadap kualitas ikan dan kualitas proses, didapatkan hasil persentase penilaian quality dan task. Untuk persentase permasalahan tersebut dapat terlihat pada Tabel 4.25. Tabel 4.25. Hasil Persentase Permasalahan Kualitas Ikan Item
Jumlah
Persentase
Quality Problem
486
51,40%
Task Problem
514
48,60%
Tabel 4.25 menjelasakan bahwa Task Problem/task crucial memiliki persentase terbesar yaitu 51.40% dan Quality Problem: 48.60%. Artinya kualitas TTC dan proses penanganan TTC sama-sama berpengaruh tidak ada yang dominan pengaruhnya. Dengan kata lain kualitas TTC dan Proses Penanganan TTC saling berpengaruh terhadap kualitas TTC. Berdasarkan hasil simulasi percobaan seperti pada Tabel 4.24 dapat diperoleh kesimpulan pengelompokan kualitas ikan sebagai berikut: Tabel 4.26. Hasil Pengelompokan kualitas ikan SANGAT JELEK JELEK CUKUP BAIK SANGAT BAIK Total Simulasi
TASK PROBLEM 13 101 460 409 17 1000
QUALITY PROBLEM 1 18 462 508 11 1000
Hasil dari Tabel 4.26 menjelaskan hasil pengelompokan kualitas ikan berdasarkan Task Problem dan Quality Problem.
Task Problem SANGAT JELEK
= 1.3%
JELEK
= 10.1%
CUKUP
= 46.0%
BAIK
= 40.9%
SANGAT BAIK
= 1.7%
93
Quality Problem SANGAT JELEK
= 0.1 %
JELEK
= 1.8 %
CUKUP
= 46.2 %
BAIK
= 50.8 %
SANGAT BAIK
= 1.1 %
Berdasarkan hasil persentase kriteria pada Tabel 4.26 setelah dilakukan analisa terhadap problem (nilai kritis) pada masing-masing quality didapat hasil sebagai berikut: Tabel 4.27. Hasil Pengelompokan Problem Task (task crucial) KODE T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8 T9 T10 T11
KRITERIA TASK Pengangkatan ikan ke atas kapal Mematikan ikan Pembuangan darah,insang dan isi perut Pembersihan dan pencucian I Penyimpanan di Pelabuhan PPI dan PPN Pembongkaran dan pemindahan ikan ke TLC Sortasi Pembersihan dan pencucian II Penimbangan Penyimpanan dalam bak penampung Pengemasan Total
JML 95 110 94 92 87 90 105 76 72 97 82 1000
PERSEN 9.50% 11.00% 9.40% 9.20% 8.70% 9.00% 10.50% 7.60% 7.20% 9.70% 8.20% 100.00%
Berdasarkan pengelompokan hasil permasalahan yang paling kritis pada Task seperti terlihat pada Tabel 4.27 menjelaskan bahwa dari 1000 percobaan kriteria task yang sering problem pertama ada pada proses T2=Mematikan Ikan dengan jumlah persentase kejadian sebesar 11%, kedua adalah proses T7 = Sortasi dengan jumlah kemunculan sebesar 10.5%, ketiga adalah proses T10 = Penyimpanan dalam bak penampung dengan persentase kejadian 9.7%, keempat adalah proses T1 = Pengangkatan ikan keatas kapal dengan persentasi kejadian sebesar 9.5%, dan kelima adalah proses T3 = Pembuangan darah, ingsang dan isi perut dengan persentase kejadian 9.4% . Hasil tersebut bisa dijadikan acuan untuk proses pengambilan keputusan untuk memperbaiki proses sehingga akan berimbas terhadap kualitas ikan beku
94
TTC secara umum, selanjutnya bisa dilakukan perbaikan proses juga sehingga ikan beku TTC layak untuk diekspor dan cocok sesuai permintaan pasar. Tabel 4.28. Hasil Pengelompokan Problem Quality KODE Q1 Q2 Q3 Q4 Q5 Q6
KRITERIA QUALITY SENSORI KIMIA FISIKA CEMARAN LOGAM CEMARAN MIKROBA CEMARAN FISIK Total
JML 178 176 168 168 161 149 1000
PERSEN 17.80% 17.60% 16.80% 16.80% 16.10% 14.90% 100.00%
Berdasarkan pengelompokan hasil permasalahan yang paling kritis pada Quality seperti terlihat pada Tabel 4.28 menjelaskan bahwa dari 1000 percobaan kriteria quality yang sering problem pertama adalah Q1= Sensori dengan jumlah persentase kejadian sebesar 17.8%, kedua adalah Q2 = Kimia dengan jumlah kemunculan sebesar 17.6%, ketiga adalah Q3 & Q4 = Fisikan & Cemaran Logam dengan persentase kejadian 16.8%, keempat adalah adalah Q5 = Cemaran Mikroba dengan persentase kejadian 16.1% dan kelima adalah proses Q6 = Cemaran Fisik dengan persentasi kejadian sebesar 14.9%. Hasil tersebut bisa dijadikan acuan untuk proses pengambilan keputusan untuk memperbaiki proses sehingga akan berimbas terhadap kualitas ikan beku TTC secara umum, selanjutnya bisa dilakukan perbaikan proses juga sehingga ikan beku TTC layak untuk diekspor dan cocok sesuai permintaan pasar. 4.2.3.7 Analisa Hasil Penilaian Kualitas Ikan dari Nelayan Berdasarkan hasil simulasi sebaran nelayan di masing-masing PPI dan PPN di Maluku, maka masing-masing kapal membawa hasil tangkapanya ke PPI/PPN terdekat berdasarkan Fisingground mereka di laut, masing-masing kapal sudah memiliki kapasitas Tonase (hasil tangkapan). Berdasarkan hasil tangkapan tersebut dan proses penilaian quality (Z1) dan Task (Z2) diperoleh hasil sebagai berikut:
Grade A = Kualitas Sangat Baik
Grade B = Kualitas Baik
Grade C = Kualitas Cukup
95
Tabel 4.29. Simulasi Hasil Penilaian Kualitas setelah di lakukan strategi peningkatan Kualitas TTC Hasil Penilaian Kualitas
Hasil Akhir Kualitas
No
Data Hasil Tangkapan Nelayan Ikan TTC (Ton)
GRADE A (Ton)
GRADE B (Ton)
GRADE C (Ton)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
25 30 23 40 38 44 37 27 33 35
14 17 13 18 25 27 22 13 15 16
8 8 5 15 10 13 12 12 10 10
3 5 5 7 3 4 3 2 8 9
Strategi
Kualitas Grade A dipertahankan, Grade B diupgrade ke Grade A, Grade C diupgrade ke Grade B dan Grade D & E di Reject
Nilai Rata-Rata % Peningkatan Kualitas Ikan TTC
96
% Peningkatan Kualitas
GRADE A (Ton)
GRADE B (Ton)
GRADE C (Ton)
GRADE A (Ton)
GRADE B (Ton)
GRADE C (Ton)
19 22 18 26 30 37 32 20 20 20
5 6 4 12 6 6 5 5 10 10
1 2 1 2 2 1 0 2 3 5
5% 5% 5% 8% 5% 10% 10% 7% 5% 4%
-3% -2% -1% -3% -4% -7% -7% -7% 0% 0%
-2% -3% -4% -5% -1% -3% -3% 0% -5% -4%
6%
-3%
-3%
4.3.
Sistem Rantai Pasok Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.56/2014, tentang larangan transhipment di tengah laut. Dengan adanya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.56/2014,
tentang larangan transhipment di tengah laut, ini berarti TTC dari kapal nelayan harus dibawa ke PPI dn PPN sebelum di ekspor Sesuai Kepmen KKP, No. 5/KEPMEN-KP/2014 Tentang Rencana Induk
Pelabuhan Perikanan Nasional, jumlah dan lokasi PPI dan PPN di Maluku seperti pada Tabel 4.30. Tabel 4.30. Lokasi PPI dan PPN Kode X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10 X11 X12 X13 X14 X15 X16 X17 X18 X19 X20 X21 X22 X23 X24 X25 X26
Nama PPI PP. Ambon PP. Eri PP. Leihitu PP. Salahutu PP.Tulehu PP. Haria PP. Amahai PP. Masohi PP. Tehoru PP. Banda PP. Piru PP. Opin PU. Geser PP. Tamher Timur PP. Masarete PP Tual PP. Kelvik Taar PP. Lairngangas PP. Dobo PP benjina PP. Kalar Kalar PP. Warabal PP. Ukurlarang PP. Penambungan PP. Klishatu PP.Wetar
Lokasi Kota Ambon Kota Ambon Kec Leihitu P ambon, Malteng Waai , P ambon Tulehu,P ambon Kec Saparua,Malteng Kec Amahai Kota masohi Kec Amahai Banda Neira Kota Piru Wahai ,seram utara Geser P kesui Masarete Buru Kota Tual,Malra Desa taar p dulah kei kecil Kei kecil malra, 1 km dr tual Kota dobo, Kep Aru Benjina,Kep aru Kalar2 Kep Aru Pulau penambulai Desa, lauran,Saumlaki Namtabung P selaru wetar Kara, P wetar
Kab/Kota Kota Ambon Kota Ambon Maluku Tengah Maluku Tengah Maluku Tengah Maluku Tengah Maluku Tengah Maluku Tengah Maluku Tengah Maluku Tengah Kab. Seram Bagian Barat Maluku Tengah Seram Bagian Timur Seram Bagian Timur Kab Buru Kota Tual Kota Tual Kab Maluku Tenggara Kab kepulauan Aru Kab kepulauan Aru Kab kepulauan Aru Kab kepulauan Aru Kab Maluku Tenggara Barat Kab Maluku Tenggara Barat Kab Maluku Barat Daya Kab maluku Barat Daya
Sumber: Kepmen KKP, No. 45/KEPMEN-KP/2014 Tentang Rencana Induk Pelabuhan Perikanan Nasional
Obyek penelitian ini memiliki 24 PPI dan 2 PPN, lokasi tersebut akan menjadi acuan sebaran Nelayan untuk menangkap ikan dibeberapa wilayah. Untuk mengetahui posisi sebaran nelayan untuk menjual hasil tangkapan mereka ke PPI atau PPN yang terdekat dengan zona tangkapan mereka, maka perlu dilakukan perhitungan jarak antara PPI ke PPN dan atara PPI ke PPI. Matrik jarak antara PPI ke PPN atau PPI ke PPI dapat dilihat pada Tabel 4.31. 97
Tabel 4.31. Matrik jarak antara PPI ke PPN X1 X1
1
X2
X3
X4
7.2 45.2 64.1
X2
7.2
X3
45.2
21
X4
64.1
29 43.9
X5 70
1 21.2 29.1 35.1 1 43.9 45.4 1 10.7
X5
70
X6
83.3
X7
132 110 123 81.3 77.4
X8
35 45.4 10.7 61
1
76 32.2 32.7
136 115 126 86.1
81
X6
X7
X8
X9 X10 X11 X12 X13 X14 X15 X16 X17 X18 X19 X20 X21 X22
23
24
25
26
83 132 136 210 235 124 280 340 431 145 585 586 626 733 763 781 942 619 597 555 563 61 110 115 170 203
80 188 318 407 120 549 563 554 712 732 736 797 586 573 525 519
76 123 126 185 224
74 198 337 427
32 81.3 86.1 142 187
68 159 294 385 140 531 545 536 693 713 720 779 583 572 550 544
33 77.4 81
141 193
57 154 296 389 137 536 550 541 698 718 725 784 592 581 559 553
1 51.5 58.3 109 164
77 131 263 357 170 505 519 510 666 687 695 753 571 562 572 566
52 58
1 10.9 10.9
1
69 161 72 170
93 89
99 570 584 575 733 753 757 818 605 591 526 520
80 231 331 208 486 500 490 643 665 678 731 581 575 622 615 73
235 336 207 493 507 497 648 671 685 737 591 586 630 624
X9
210 170 185 142 141 109 68.7 72.4
X10
235 203 224 187 193 164 161 170 123
X11
124
X12
280 188 198 159 154 131 79.7 73.3
X13
340 318 337 294 296 263 231 235 164 147 324 205
X14
431 407 427 385 389 357 331 336 265 212 423 311 106
X15
145 120 98.7 140 137 170 208 207 275 323 124 272 433 523
X16
585 549 570 531 536 505 486 493 423 346 576 474 270 164 669
1
X17
586 563 584 545 550 519 500 507 437 360 590 487 283 177 682
14
1
12 155 169 179 235 312 345 819 808
X18
626 554 575 536 541 510 490 497 427 351 580 477 272 166 674
9.3
12
1 161 177 189 243 319 351 818 807
X19
733 712 733 693 698 666 643 648 577 510 734 620 416 312 832 168 155 161
X20
763 732 753 713 718 687 665 671 600 529 756 645 440 335 851 183 169 177 33.9
X21
781 736 757 720 725 695 678 685 615 533 767 666 461 355 856 192 179 189 94.5 64.5
X22
942 797 818 779 784 753 731 737 666 594 822 711 506 401 917 249 235 243 91.2
X23 X24
619 586 605 583 592 571 581 591 544 423 647 611 457 390 692 310 312 319 407 396 348 435 1 41.8 609 597 597 573 591 572 581 562 575 586 542 420 637 611 467 408 674 342 345 351 446 434 389 477 41.8 1 570 558
X25
555 525 526 550 559 572 622 630 654 584 599 700 727 756 524 809 819 818 963 964 933 1.02 609 570
X26
563 519
80
74 67.5 57.1
520
77 92.6 89
544 553 566
1 123 161
69 164 265 275 423 437 427 577 600 615 666 544 542 654 646
1 240 192 147 212 323 346 360 351 510 529 533 594 423 420 584 575
161 240
1 148 324 423 124 576 590 580 734 756 767 822 647 637 599 594
69 192 148
1 205 311 272 474 487 477 620 645 666 711 611 611 700 693 1 106 433 270 283 272 416 440 461 506 457 467 727 718 1 523 164 177 166 312 335 355 401 390 408 756 746 1 669 682 674 832 851 856 917 692 674 524 521 14 9.31 168 183 192 249 310 342 809 800
615 624 646 575 594 693 718 746 521 800 808
807
1 33.9 94.5 91.2 407 446 963 951
951
1 64.5 66
952
66 396 434 964 952
1
88 348 389 933 921
88
1 435 477 1.02 1.01
1
921 1.01 597 558 12.1
Sumber: Hasil Perhitungan
Berdasarkan Tabel 4.31. jarak PPI ke masing-masing PPI bisa dihitung atau jarak antara PPN ke PPI juga bisa dihitung, sehingga mudah untuk mencari jarak terpendek antara masing-masing PPI/PPN dengan menghitung titik kordinatnya. Selanjutnya adalah menentukan koordinat masing-masing PPI dan PPN, tujuanya adalah untuk mengetahui posisi kapal nelayan yang terdekat dengan PPI dan PPN, sehingga bisa dihitung jarak yang terpendek kapal nelayan ke PPI dan PPN. Tabel 4.31. menjelaskan koordinat masing-masing PPI dan PPN, berikut disajikan data beberapa kapal nelayan yang tersebar di beberapa PPI dan PPN, posisi penangkapan ikan mereka diketahui kordinatnya, maka perlu dianalisa dan dhitung sebaiknya mereka menjual ikan hasil tangkapan mereka ke PPI/PPN yang terdekat mana supaya kualitas ikan hasil tangkapanya masih layak untuk di ekspor, masing-masing data kapal dilengkapi dengan jumlah tonase kapal, supaya jumlah tonase pada masing-masing PPI/PPN bisa menjadi batasan dalam menyelesaikan permasalahan kompleksitas penentuan PPI/PPN yang terdekat dengan wilayah tangkapan nelayan.
98
12.1 1
Tabel 4.32. Koordinat PPI dan PPN PPI/PPN P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10 P11 P12 P13 P14 P15 P16 P17 P18 P19 P20 P21 P22 P23 P24 P25 P26
X 22.00 49.88 3.22 36.95 6.65 6.16 29.69 8.10 21.78 50.66 4.07 46.49 52.56 2.72 10.42 53.87 12.53 53.08 55.35 32.58 36.98 51.36 39.47 0.14 55.45 47.57
Y 3.05 50.56 49.62 5.26 51.99 11.98 38.47 22.27 7.63 1.76 27.76 30.79 2.69 20.35 21.75 12.16 40.09 37.08 29.15 44.77 27.46 18.56 34.63 47.60 33.63 14.25
Sumber: Hasil Perhitungan
Gambar 4.15. menjelaskan masing-masing kapal yang terekam titik-titik koordinatnya beserta kapasitas tonase kapal. Data tersebut akan menjadi acuan bagi masing-masing PPI/PPN.
Gambar 4.15. Koordinat posisi nelayan dengan kapasitas tonase kapal
99
Gambar 4.16. Hasil Perhitungan Jarak Terpendek Kapal Nelayan ke PPI/PPN Gambar 4.16 menjelaskan hasil running program jarak antara kapal ke PPI/PPN yaitu: 1. N1 ke PPI1 dengan tonase 31.0, 2. N1 ke PPI2 dengan tonase 50.0, 3. N1 ke PPI3 dengan tonase 44,0, 4. N1 ke PPI4 dengan tonase 44.0, 5. N1 ke PPI5 dengan tonase 21.0, 6. N1 ke PPI6 dengan tonase 90.0, 7. N1 ke PPI7 dengan tonase 77.0, 8. N1 ke PPI8 dengan tonase 59.0, 9. N1 ke PPI9 dengan tonase 22.0, 10. N1 ke PPI10 dengan tonase 75.0, 11. N1 ke PPI11 dengan tonase 34.0, 12. N1 ke PPI12 dengan tonase 36.0, 13. N1 ke PPI13 dengan tonase 22.0, 14. N1 ke PPI14 dengan tonase 32.0, 15. N1 ke PPI15 dengan tonase 67.0, 100
16. N1 ke PPI16 dengan tonase 38.0, 17. N1 ke PPI17 dengan tonase 52.0, 18. N1 ke PPI18 dengan tonase 34.0, 19. N1 ke PPI19 dengan tonase 99.0, 20. N1 ke PPI20 dengan tonase 77.0, 21. N1 ke PPI21 dengan tonase 78.0, 22. N1 ke PPI22 dengan tonase 36.0, 23. N1 ke PPI23 dengan tonase 76.0, 24. N1 ke PPI24 dengan tonase 87.0, 25. N1 ke PPI25 dengan tonase 90.0, 26. N1 ke PPI26 dengan tonase 78.0. Masing-masing kapal akan dihitung jaraknya ke masing-masing PPI/PPN. Jika ada 100 nelayan maka aka nada 100 kapal x 26 PPI = 2600 proses. Kapal nelayan yang tersebar dimasing-masing wilayah akan melakukan proses pelelangan ikan dimasing-masing PPI, maka metode yang digunakan dalam proses perhitungan jarak terpendek antara kapal nelayan dengan PPI/PPN adalah Euclidien Distance. Jarak Euclidean merupakan jarak yang diukur lurus dari pusat fasilitas yang satu kefasilitas yang lain, meskipun cara ini kurang realistis, tetapi pada umumnya sering digunakan karena cara ini mudah dimengerti dan mudah dimodelkan. Aplikasi dari jarak Euclidean pada umumnya bisa dijumpai pada beberapa
model
transportasi
dan
distribusi.
Formulasi
dari
jarak Euclidean sebagai berikut: √[
]
Keterangan: xi = koordinat x untuk fasilitas i yi = koordinat y untuk fasilitas i dij = jarak antar fasilitas I dan j Jarak square Euclidean merupakan jarak dengan cara mengkuadratkan jarak antar dua fasilitas yang akan diukur. [
] 101
Jika kapal nelayan ke-1 memiliki kordinat X=74, Y=63, berdasarkan rumus euclidien distance pada Tabel 4.4. maka akan diperoleh jarak antara kapal dengan PPI sebagai berikut: √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
102
Untuk mencari jarak terpendek antara N1 (kapal ke-1) ke 26 PPI, maka bisa dicari dengan cara mencari jarak yang terpendek antara N1 ke 26 PPI sebagai berikut: terdekat = Min (
1,
2,…..,
26) = 27.14
Sehingga untuk N1 (kapal ke-1) lebih dekat menuju ke PPI 2 dengan jarak 27.14. dengan cara yang sama maka masing2 kapal N2,…N26 akan diperoleh hasil PPI yang terdekat seperti pada Tabel 4.33. Tabel 4.33. Solusi Kapal ke PPI/PPN Kapal X Y DISTANCE N1 74 63 27.14 N2 33 41 9.70 N3 20 100 2318.42 N4 98 3 45.07 N5 11 9 5.68 N6 62 66 19.63 N7 30 1 8.15 N8 73 63 26.25 N9 13 38 2.14 N10 22 73 2.14 N11 3 67 15.45 N12 28 95 48.02 N13 37 75 27.63 N14 43 83 33.16 N15 97 66 49.58 N16 21 42 8.68 N17 32 88 41.49 N18 30 15 18.14 N19 75 70 392.75 N20 54 38 1.77 Sumber: Hasil Perhitungan
PPI P2 P7 P5 P16 P6 P2 P4 P2 P17 P17 P5 P5 P2 P2 P2 P17 P2 P26 P5 P18
Langkah selanjutnya adalah menghitung jarak kapal yang lain dengan PPI/PPN, dengan cara dan metode yang sama akan diperoleh jarak terdekat antara kapal nelayan dengan PPI/PPN seperti terlihat pada Tabel 4.33. Masing-masing kapal yang terdistribusi ke PPI/PPN akan membawa muatan masing-masing (tonase), selanjutnya adalah menghitung total tonase di masing-masing PPI/PPN untuk menentukan jumlah kapal pengangkut yang diperlukan untuk mengambil ikan beku TTC. Secara umum aplikasi ini telah mampu menghitung total tonase di masing-masing PPI/PPN seperti Gambar 4.17. PPI dan total Tonase
103
Gambar 4.17. Hasil penentuan jarak terdekat kapal ke PPI/PPN Untuk hasil simulasi penentuan jarak kapal nelayan ke PPI dan sebaran kapal ke masing-masing PPI, sesuai hasil simulasi dapat dilihat pada tabel 4.34.
104
Tabel 4.34. Hasil simulasi penentuan jarak kapal ke PPI PPI / PPN
X
PP2
PP3
PP4
PP5
PP6
PP7
PP8
PP9
PP10
PP11
PP12
PP13
PP14
PP15
PP16
PP17
PP18
PP19
PP20
P1
22.00
3.05 N1-->P1 60.00
538.53
790.00
72.82
74.72
70.15
84.07
17.67
75.26
93.39
97.81
43.00
88.72
98.07
13.88
35.85
73.53
7632.67
2715.42
1862.39
P2
49.88 50.56 N1-->P2 57.39
643.09
419.48
22.78
55.06
32.55
32.49
44.89
48.66
48.66
64.15
49.90
38.89
42.98
47.70
38.02
54.83
1600.62
64.60
30.68
P3
3.22 49.62 N1-->P3 91.55
564.92
356.67
69.08
96.76
78.26
55.85
32.67
92.35
92.35
50.71
77.40
56.69
77.89
36.34
15.86
96.13
1721.94
30.67
49.92
5.26 N1-->P4 45.10
457.02
686.41
61.67
59.65
56.72
78.52
24.81
60.48
60.48
98.78
28.14
84.03
89.47
22.66
39.98
58.45
7238.61
2505.84
1662.65
P5
6.65 51.99 N1-->P5 89.88
678.78
446.89
65.48
94.31
75.16
51.69
33.62
89.62
89.62
48.07
76.19
52.58
73.74
37.45
15.80
93.73
1533.19
10.71
69.22
P6
6.16 11.98 N1-->P6 76.37
200.33
368.50
79.20
89.12
80.27
82.43
13.48
88.30
88.30
88.06
59.52
85.81
99.91
11.56
27.17
88.05
6175.55
1851.66
1191.02
P7
29.69 38.47 N1-->P7 63.20
175.21
72.50
45.79
68.15
51.37
48.15
22.41
64.17
64.17
64.92
50.05
52.52
64.49
25.81
15.70
67.49
2720.57
297.91
67.00
P8
8.10 22.27 N1-->P8 76.37
15.81
81.11
72.26
86.96
75.27
72.67
9.19
85.09
85.09
77.73
60.08
75.77
90.98
10.89
16.80
86.01
4674.19
1074.32
594.99
P4
36.95
Y
PATH
PP1
P9
21.78
7.63 N1-->P9 60.40
349.36
555.10
69.73
74.10
67.98
79.80
13.26
74.08
74.08
93.25
43.47
84.35
94.25
9.64
31.35
72.96
6858.63
2261.03
1490.75
P10
50.66
1.76 N1-->P10 31.37
628.42
892.85
58.29
47.58
49.61
81.29
38.29
49.81
49.81
106.71
14.40
87.50
88.61
36.55
51.55
46.29
7831.29
2880.55
1968.16 368.65
P11
4.07 27.76 N1-->P11 81.77
9.03
19.43
73.57
91.35
78.06
70.58
15.08
88.93
88.93
72.41
65.77
73.11
90.05
17.48
14.27
90.46
3964.83
742.99
P12
46.49 30.79 N1-->P12 45.09
59.48
33.54
35.86
49.92
35.98
52.23
31.41
46.59
46.59
78.71
33.39
58.26
62.23
33.00
33.28
49.20
3553.77
627.39
237.70
P13
52.56
2.69 N1-->P13 29.44
586.13
841.28
56.75
45.46
47.71
80.44
39.55
47.71
47.71
106.62
12.44
86.74
87.28
37.97
52.29
44.18
7666.27
2784.38
1888.72
P14
2.72 20.35 N1-->P14 81.16
39.15
123.61
77.91
92.29
80.96
77.30
14.28
90.60
90.60
79.89
64.65
80.10
96.11
14.93
20.94
91.31
4942.78
1202.59
694.97
P15
10.42 21.75 N1-->P15 73.99
18.49
88.16
70.46
84.62
73.16
71.86
6.81
82.81
82.81
78.26
57.71
75.17
89.77
8.74
16.64
83.66
4742.78
1111.05
617.69
P16
53.87 12.16 N1-->P16 29.59
235.43
395.84
47.44
41.70
39.60
71.08
37.69
42.22
42.22
98.64
14.42
77.47
77.75
37.07
47.51
40.56
6100.32
1884.20
1159.06
P17
12.53 40.09 N1-->P17 78.75
201.01
83.06
61.56
85.12
68.47
55.67
20.58
81.37
81.37
60.02
64.25
58.16
75.59
24.50
2.55
84.41
2573.65
229.89
62.42
P18
53.08 37.08 N1-->P18 44.70
165.81
77.02
26.76
45.65
28.19
46.20
39.92
40.94
40.94
76.83
36.10
52.71
53.98
41.79
39.09
45.15
2842.63
369.27
92.68
P19
55.35 29.15 N1-->P19 37.34
55.28
45.77
31.59
40.93
28.25
54.35
39.43
37.66
37.66
84.66
27.87
60.92
60.89
40.54
42.29
40.22
3742.25
718.52
299.24
P20
32.58 44.77 N1-->P20 64.71
374.77
209.11
40.99
67.53
48.57
41.23
29.26
62.70
62.70
60.06
52.87
45.68
57.84
32.71
19.77
67.00
2108.46
132.30
8.94
P21
36.98 27.46 N1-->P21 51.24
29.11
36.51
45.18
58.64
46.06
56.62
21.32
56.03
56.03
77.75
37.20
61.94
69.45
23.03
25.28
57.80
3969.23
790.41
346.74
P22
51.36 18.56 N1-->P22 34.37
96.75
193.18
42.76
43.64
37.18
64.53
34.39
42.70
42.70
91.80
20.69
70.83
72.17
34.45
42.11
42.65
5147.72
1374.44
764.47
P23
39.47 34.63 N1-->P23 53.00
103.95
39.65
38.92
57.69
42.01
49.12
26.81
53.94
53.94
72.12
40.65
54.56
61.99
29.19
25.69
57.01
3121.36
449.41
129.81
P24
0.14 47.60 N1-->P24 93.22
476.36
288.38
72.35
99.08
81.13
59.53
32.34
94.91
94.91
53.15
78.72
60.32
81.57
35.82
16.86
98.42
1892.74
59.64
42.42
P25
55.45 33.63 N1-->P25 40.53
103.67
49.37
27.83
42.17
26.59
49.93
40.80
37.97
37.97
81.01
32.08
56.54
56.55
42.30
41.68
41.60
3217.08
507.11
168.46
P26
47.57 14.25 N1-->P26 36.22 Jarak Minimum 29.44
175.66 9.03
315.18 19.43
48.37 22.78
47.67 40.93
42.82 26.59
68.75 32.49
31.11 6.81
47.46 37.66
47.46 37.66
94.03 48.07
20.74 12.44
74.84 38.89
77.38 42.98
30.62 8.74
41.12 2.55
46.58 40.22
5785.70 1533.19
1703.24 10.71
1015.72 8.94
P11
P11
P2
P19
P25
P2
P15
P19
P19
P5
P13
P2
P2
P15
P17
P19
P5
P5
P20
PPI terdekat
P13
Sumber: Hasil Perhitungan
Jika ada 20 kapal nelayan ke masing-masing PPI, maka berdasarkan hasil akhir simulasi seperti terlihat pada Tabel 4.34 diperoleh sebaran kapal ke masing PPI sebagai berikut: PPI1 = 0
PPI2 = 4
PPI3 = 0
PPI4 = 0
PPI5 = 3
PPI6 = 0
PPI7 = 0
PPI8 = 0
PPI9 = 0
PPI10 = 0
PPI11 = 2
PPI12 = 0
PPI13 = 2
PPI14 = 0
PPI15 = 2
PPI16 = 0
PPI17 = 1
PPI18 = 0
PPI19 = 4
PPI20= 1
105
Tabel 4.35. Solusi Kapal ke PPI/PPN Kapal N1 N2 N3 N4 N5 N6 N7 N8 N9 N10 N11 N12 N13 N14 N15 N16 N17 N18 N19 N20
X 82 10 13 72 95 81 48 17 93 85 9 65 44 71 17 14 94 95 5 40
Y 3 26 31 56 19 41 83 20 28 72 100 3 89 88 16 38 18 90 55 46
DISTANCE 29.44 9.03 19.43 22.78 40.93 26.59 32.49 6.81 37.66 37.66 48.07 12.44 38.89 42.98 8.74 2.55 40.22 1533.19 10.71 8.94
PPI P13 P11 P11 P2 P19 P25 P2 P15 P19 P19 P5 P13 P2 P2 P15 P17 P19 P5 P5 P20
Sumber: Hasil Perhitungan
Simulasi posisi kapal nelayan didalam disertasi ini dibuat secara random dan dinamis sesuai kebutuhan, jika diwilayah itu memiliki jumlah kapal nelayan sebanyak 100, maka system akan mampu menjawab bagaimana strategi penugasan dan penempatan masing-masing kapal nelayan ke PPI/PPN sesuai dengan kapasitas tonase masing-masing PPI/PPN.
Gambar 4.18. Model graph distribusi kapal nelayan ke PPI
106
4.4. Optimasi Distribusi Kapal ke PPI dan PPN dengan Metode Genetic Algorithms (GA) Setelah para nelayan menjual hasil tangkapanya dibeberapa PPI/PPN dengan menggunakan metode pencarian jarak terdekat antara nelayan dengan PPI/PPN yang tersebar. Langkah selanjutnya adalah pihak PPN akan mengangkut hasil tangkapan ikan TTC dibeberapa PPI untuk di ekspor, permasalahanya adalah butuh berapa kapal PPN untuk mengangkut ikan yang ada di PPI dan butuh berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengangkut ikan TTC tersebut supaya segera diterima oleh pasar. Permasalahan optimasi distribusi tersebut merupakan masalah yang komplek karena mempunyai multi obyek dan banyak batasanbatasan yang harus dipenuhi, untuk itulah peneliti memilih metode Genetik Algorithm sebagai solusi untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Genetic algorithm (GA) atau algoritma genetika masuk dalam kelompok Evolutionary Algorithm. GA didasarkan pada prinsip-prinsip genetika dan seleksi alam. Elemen-elemen dasar dari gentika alam adalah: reproduksi, crossover dan mutasi seperti Gambar 4.19, yang menunjukkan elemen-elemen yang dipakai dalam tahapan GA. Bangkitkan Populasi Awal
Elitism
Bangkitkan Populasi Baru
Evaluasi Nilai Fitness
Mutasi
Rekombinasi
Seleksi
No
Apakah Nilai Fitness Tercapai?
Yes
Kumpulan Individu terbaik
Solusi Optimal
Gambar 4.19 Siklus Genetic Algorithms (GA)
107
Berdasarkan Gambar 4.19. cara kerja dari algoritma genetika adalah mengevaluasi solusi, proses ini akan mengevaluasi setiap populasi
dengan
menghitung nilai fitness setiap kromosom dan mengevaluasinya sampai terpenuhi kriteria berhenti. Bila kriteria berhenti dan belum terpenuhi maka akan dibentuk lagi generasi baru dengan mengulangi langkah 2. Beberapa kriteria berhenti yang sering digunakan antara lain: Berhenti setelah dalam beberapa generasi berturut-turut didapatkan nilai fitness tertinggi tidak berubah. Berhenti bila dalam n generasi berikut tidak didapatkan nilai fitness yang lebih tinggi. Untuk menyelesaikan permasalahan optimasi kapal PPN ke masing-masing PPI dengan metode Genetic Algorithms (GA), maka ada beberapa tahapan yang perlu dilakukan sebagai berikut: 4.4.1. Pendefinisian Individu
Gambar 4.20. Individu untuk optimasi rute kapal PPN Untuk permasalahan disertasi ini definisi gen menyatakan kumpulan kapal nelayan yang tersebar, kromosom menyatakan kumpulan PPI/PPN dan individu adalah kumpulan kromosom-kromosom. Individu menyatakan salah satu solusi yang mungkin, individu bisa dikatakan sebagai kromosom, yang merupakan kumpulan gen. Gen bisa dalam biner, float dan kombinatorial. Nilai fitness adalah nilai yang menyatakan baik tidaknya suatu solusi (individu). Nilai fitness ini yang dijadikan acuan dalam mencapai nilai optimal dalam algoritma genetika. Algoritma Genetika bertujuan untuk mencari individu dengan nilai fitness yang paling tinggi. Seleksi digunakan untuk memilih individu mana yang akan dipilih untuk proses kawin silang dan mutasi. Seleksi digunakan untuk mencari calon individu ang baik “individu yang baik akan menghasilkan keturunan yang baik”, semakin 108
tinggi nilai fitness satu individu maka semakin besar kemungkinan untuk terpilih. Kawin silang (crossover) adalah operator dari algoritma genetika yang melibatkan dua induk untuk membentuk kromosom yang baru.
4.4.2.
Optimasi dengan 20 Populasi dan 100 iterasi
Ukuran Populasi (Pop_size) = 20;
Peluang Crossover (Pc) < 0,75;
Peluang Mutasi (Pm) < 0,1;
Iterasi = 100;
Gambar 4.21 Hasil optimasi rute dengan 20 populasi dan 100 iterasi
Gambar 4.21. menjelaskan tentang proses pencarian rute terpendek dari PPN menuju ke PPI dengan hasil yang paling optimal sebagai berikut: Kandidat Solusi
: 11001110100100000011011110
PPN 1 (Ambon)
: 1-2-5-6-7-9-12-19-20-22-23-24-25-1
PPN 2 (Tual)
: 16-3-4-8-10-11-13-14-15-17-18-21-26-16
Fitness
: 0.00126
Kandidat solusi 11001110100100000011011110 menjelaskan tentang distribusi kapal ke 26 PPI seperti gambar 4.22. N1 N2 N3 N4 N5 N6 N7 N8 N9 N10 N11 N12 N13 N14 N15 N16 N17 N18 N19 N20 N21 N22 N23 N24 N25 N26 1 1 0 0 1 1 1 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 1 0 1 1 1 1 0
Gambar 4.22. Kandidat solusi dengan 20 populasi dan 100 iterasi Artinya ada beberapa PPI tidak disinggahi oleh kapal nelayan karena jumlah kapalnya lebih sedikit dari jumlah PPI. Selanjutnya tugas PPN1 dan PPN2 untuk
109
mengambil ikan TTC yang sudah ada di PPI tersebut dengan hasil rute yang optimal seperti Gambar 4.23
Kromosom N1 Urutan Kunjungan 1
Kromosom N16 Urutan Kunjungan 1
Solusi Rute PPN 1 (Ambon) N7 N12 N19 N20 N22 N23 N24
N2
N5
N6
2
3
4
N3
N4
N8
N10
2
3
4
5
5
6
7
8
9
10
11
Solusi Rute PPN 2 (Tual) N11 N13 N14 N15 N17 N18 6
7
8
9
10
11
N25
N1
12
13
N21 N26 N16 12
13
14
Gambar 4.23. Hasil rute terbaik dari PPN ke PPI dengan 20 populasi dan 100 iterasi
4.4.3.
Optimasi dengan 50 Populasi dan 100 iterasi
Ukuran Populasi (Pop_size) = 50;
Peluang Crossover (Pc) < 0,75;
Peluang Mutas (Pm) < 0,1;
Iterasi = 100;
Gambar 4.24. Hasil optimasi rute dengan 50 populasi dan 100 iterasi
110
Gambar 4.24. menjelaskan tentang proses pencarian rute terpendek dari PPN menuju ke PPI dengan hasil yang paling optimal sebagai berikut: Kandidat Solusi : 10100111111101101100111111 PPN 1 (Ambon) : 1-3-6-7-8-9-10-11-12-14-15-17-18-21-22-23-24-25-26-1 PPN 2 (Tual)
: 16-2-4-5-13-19-20-16
Fitness
: 0.00168
Kandidat solusi 10100111111101101100111111 menjelaskan tentang distribusi kapal ke 26 PPI seperti gambar 4.25.
N1
N2
N3
N4
N5
N6
N7 N8
1
0
1
0
0
1
1
N9 N10 N11 N12 N13 N14 N15 N16 N17 N18 N19 N20 N21 N22 N23 N24 N25 N26
1
1
1
1
1
0
1
1
0
1
1
0
0
1
1
1
1
1
Gambar 4.25. Kandidat solusi dengan 50 populasi dan 100 iterasi
Artinya ada beberapa PPI tidak disinggahi oleh kapal nelayan karena jumlah kapalnya lebih sedikit dari jumlah PPI. Selanjutnya tugas PPN1 dan PPN2 untuk mengambil ikan TTC yang sudah ada di PPI tersebut dengan hasil rute yang optimal seperti Gambar 4.26
Kromosom N1 N3 Urutan Kunjungan 1 2
Solusi Rute PPN 1 (Ambon) N6 N7 N8 N9 N10 N11 N12 N14 N15 N17 N18 N21 N22 N23 N24 N26 N1 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Kromosom N16 Urutan Kunjungan 1
N2
Solusi Rute PPN 2 (Tual) N4 N5 N13 N19
2
3
4
5
6
N20 N16 7
8
Gambar 4.26. Hasil rute terbaik dari PPN ke PPI dengan 50 populasi dan 100 iterasi
4.4.4. Optimasi dengan 100 Populasi dan 100 iterasi Ukuran Populasi (Pop_size) = 100; Peluang Crossover (Pc) < 0,75; Peluang Mutas (Pm) < 0,1; Iterasi = 100;
111
1
Gambar 4.27. Hasil optimasi rute dengan 100 populasi dan 100 iterasi
Gambar 4.27. menjelaskan tentang proses pencarian rute terpendek dari PPN menuju ke PPI dengan hasil yang paling optimal sebagai berikut: Kandidat Solusi
: 10001111101110001111110100
PPN 1 (Ambon)
: 1-5-6-7-8-9-11-12-13-17-18-19-20-21-22-24-1
PPN 2 (Tual)
: 16-2-3-4-10-14-15-23-25-26-16
Fitness
: 0.00114
Kandidat solusi 10001111101110001111110100 menjelaskan tentang distribusi kapal ke 26 PPI seperti Gambar 4.28. N1
N2
N3
N4
N5
N6
N7 N8
1
0
0
0
1
1
1
1
N9 N10 N11 N12 N13 N14 N15 N16 N17 N18 N19 N20 N21 N22 N23 N24 N25 N26 1
0
1
1
1
0
0
0
1
1
1
1
1
1
0
1
0
0
Gambar 4.28 Kandidat solusi dengan 100 populasi dan 100 iterasi Artinya ada beberapa PPI tidak disinggahi oleh kapal nelayan karena jumlah kapalnya lebih sedikit dari jumlah PPI. Selanjutnya tugas PPN1 dan PPN2 untuk mengambil ikan TTC yang sudah ada di PPI tersebut dengan hasil rute yang optimal seperti Gambar 4.29
Kromosom N1 Urutan Kunjungan 1
N5
N6
N7
N8
N9
2
3
4
5
6
Kromosom N16 Urutan Kunjungan 1
N2
N3
2
3
Solusi Rute PPN 1 (Ambon) N11 N12 N13 N17 N18 N19 N20 N21 N22 N24 N1 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Solusi Rute PPN 2 (Tual) N4 N10 N14 N15 N23 4
5
6
7
8
N25
N26
N16
9
10
11
Gambar 4.29 Hasil rute terbaik dari PPN ke PPI dan 100 iterasi 112
4.4.5.
Optimasi dengan 20 Populasi dan 200 iterasi
Ukuran Populasi (Pop_size) = 20;
Peluang Crossover (Pc) < 0,75;
Peluang Mutas (Pm) < 0,1;
Iterasi = 200;
Gambar 4.30 Hasil optimasi rute dengan 20 populasi dan 200 iterasi
Gambar 4.30. menjelaskan tentang proses pencarian rute terpendek dari PPN menuju ke PPI dengan hasil yang paling optimal sebagai berikut: Kandidat Solusi
: 10000001010111000111111110
PPN 1 (Ambon)
: 1-8-10-12-13-14-18-19-20-21-22-23-24-25-1
PPN 2 (Tual)
: 16-2-3-4-5-6-7-9-11-15-17-26-16
Fitness
: 0.00124
Kandidat solusi 10000001010111000111111110 menjelaskan tentang distribusi kapal ke 26 PPI seperti gambar 4.31 N1
N2
N3
N4
N5
N6
N7 N8
1
0
0
0
0
0
0
1
N9 N10 N11 N12 N13 N14 N15 N16 N17 N18 N19 N20 N21 N22 N23 N24 N25 N26 0
1
0
1
1
1
0
0
0
1
1
1
1
1
1
1
1
Gambar 4.31 Distribusi kapal di 26 PPI dengan 20 populasi dan 200 iterasi
Artinya ada beberapa PPI tidak disinggahi oleh kapal nelayan karena jumlah kapalnya lebih sedikit dari jumlah PPI. Selanjutnyatugas PPN1 dan PPN2 untuk mengambil ikan TTC yang sudah ada di PPI tersebut dengan hasil rute yang optimal seperti Gambar 4.32
113
0
Kromosom N16 Urutan Kunjungan 1
Kromosom N1 Urutan Kunjungan 1
N2
N3
N4
2
3
4
N8
N10
N12
N13
2
3
4
5
Solusi Rute PPN 2 (Tual) N5 N6 N7 N9 N11 5
6
7
8
9
Solusi Rute PPN 1 (Ambon) N14 N18 N19 N20 N21 6
7
8
9
10
N15
N17
N26
N16
10
11
12
13
N22
N23
11
12
N24 N25 13 14
N1 15
Gambar 4.32. Hasil rute terbaik dari PPN ke PPI dengan 20 populasi dan 200 iterasi 4.4.6.
Optimasi dengan 50 Populasi dan 200 iterasi
Ukuran Populasi (Pop_size) = 50;
Peluang Crossover (Pc) < 0,75;
Peluang Mutas (Pm) < 0,1;
Iterasi = 200;
Gambar 4.33. Hasil optimasi rute dengan 50 populasi dan 200 iterasi
Gambar 4.33. menjelaskan tentang proses pencarian rute terpendek dari PPN menuju ke PPI dengan hasil yang paling optimal sebagai berikut: Kandidat Solusi
: 10101100000011000010001110
PPN 1 (Ambon)
: 1-3-5-6-7-13-14-19-23-24-25-1
PPN 2 (Tual)
: 16-2-4-8-9-10-11-12-15-17-18-20-21-22-26-16
Fitness
: 0.00111 114
Kandidat solusi 10101100000011000010001110 menjelaskan tentang distribusi kapal ke 26 PPI seperti gambar 4.34
N1 N2
N3
N4
N5
N6 N7 N8 N9 N10 N11 N12 N13 N14 N15 N16 N17 N18 N19 N20 N21 N22 N23 N24 N25 N26
1
1
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
0
0
1
0
0
0
1
1
1
0
Gambar 4.34. Distribusi kapal di 26 PPI dengan 50 populasi dan 200 iterasi
Artinya ada beberapa PPI tidak disinggahi oleh kapal nelayan karena jumlah kapalnya lebih sedikit dari jumlah PPI. Selanjutnya tugas PPN1 dan PPN2 untuk mengambil ikan TTC yang sudah ada di PPI tersebut dengan hasil rute yang terpendek seperti Gambar 4.35
Kromosom Urutan Kunjungan Kromosom N16 Urutan Kunjungan 1
N1
N3
N5
N6
1
2
3
4
N2
N4
N8
N9
2
3
4
5
Solusi Rute PPN 1 (Ambon) N7 N13 N14 N19 N23 5
6
7
Solusi Rute PPN 2 (Tual) N10 N11 N12 N15 N17 6
7
8
9
10
8
9
N18
N20
11
12
N24
N25
N1
10
11
12
N21 N22 N26 N16 13 14 15 16
Gambar 4.35. Hasil rute terbaik dari PPN ke PPI dengan 50 populasi dan 200 iterasi
4.4.7. Optimasi dengan 100 Populasi dan 200 iterasi Ukuran Populasi (Pop_size) = 50; Peluang Crossover (Pc) < 0,75; Peluang Mutas (Pm) < 0,1; Iterasi = 200; Gambar 4.36 menjelaskan tentang proses pencarian rute terpendek dari PPN menuju ke PPI dengan hasil yang paling optimal sebagai berikut: Kandidat Solusi
: 10110000001111100001110111
PPN 1 (Ambon)
: 1-3-4-11-12-13-14-15-20-21-22-24-25-26-1
PPN 2 (Tual)
: 16-2-5-6-7-8-9-10-17-18-19-23-16
Fitness
: 0.00105
115
Gambar 4.36. Hasil optimasi rute dengan 100 populasi dan 200 iterasi
Kandidat solusi 10110000001111100001110111 menjelaskan tentang distribusi kapal ke 26 PPI seperti gambar 4.37
N1
N2
N3
N4
N5
N6
N7
N8
1
0
1
1
0
0
0
0
N9 N10 N11 N12 N13 N14 N15 N16 N17 N18 N19 N20 N21 N22 N23 N24 N25 N26 0
1
1
1
1
1
0
0
0
0
0
1
1
1
0
1
1
Gambar 4.37. Distribusi kapal di 26 PPI dengan 100 populasi dan 200 iterasi
Artinya ada beberapa PPI tidak disinggahi oleh kapal nelayan karena jumlah kapalnya lebih sedikit dari jumlah PPI. Selanjutnya tugas PPN1 dan PPN2 untuk mengambil ikan TTC yang sudah ada di PPI tersebut dengan hasil rute yang optimal seperti Gambar 4.38
Kromosom N1 Urutan Kunjungan 1
N3
N4
N11
N12
2
3
4
5
Kromosom N16 Urutan Kunjungan 1
N2
N5
N6
2
3
4
Solusi Rute PPN 1 (Ambon) N13 N14 N15 N20 N21 6
7
8
9
N22
N24
11
12
10
Solusi Rute PPN 2 (Tual) N7 N8 N9 N10 N17 5
6
7
8
9
N25 N26 13 14
N1 15
N18
N19
N23
N16
10
11
12
13
Gambar 4.38. Hasil rute terbaik dari PPN ke PPI dengan 100 populasi dan 200 iterasi
116
1
4.5. Usulan Jalur Distribusi Terpendek TTC Ada dua usulan jalur ditribusi TTC dari hasil simulasi, jalur pertama adalah jarak terpendek kapal nelayan untuk membawa hasil tangkapan TTC ke PPI atau PPN terdekat. Hasil simulasi untuk jalur terdekat dari kapal nelayan ke PPI dan PPN dapat dilihat dari hasil pendekatan dengan euclidian distance di peroleh jalur pada Tabel 4.36 Tabel 4.36. Usulan Jalur Terpendek dari Kapal Nelayan ke PPI dan PPN Kapal Nelayan (N) 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
13
11
11
2
19
25
2
15
19
19
5
13
2
2
15
17
19
5
5
20
PPI dan PPN (P)
Untuk jalur kedua, adalah jalur terpendek kapal dari masing-masing PPN Ambon dan Tual untuk mengambil hasil TTC di PPI dan kembali ke PPN untuk proses ekspor. Dari hasil simulasi dengan Genetic Algorithm (GA) diperoleh rantai distribusi terpendek dengan melakukan beberapa iterasi untuk mendapatkan nilai fitness yang terbaik. Nilai fitness tertinggi 0,00168 diperoleh pada saat 20 populasi dengan 100 iterasi Kandidat Solusi
: 11001110100100000011011110
PPN 1 (Ambon)
: 1-2-5-6-7-9-12-19-20-22-23-24-25-1
PPN 2 (Tual)
: 16-3-4-8-10-11-13-14-15-17-18-21-26-16
Fitness
: 0.00126
Dengan demikian solusi rantai distribusi TTC yang paling baik adalah padai nilai fitness tertinggi 0,00168, yang di peroleh pada saat 20 populasi dengan 100 iterasi : PPN Ambon : PPN1 - PPI2 - PPI5 - PPI6 - PPI7 - PPI9 - PPI12 - PPI19 PPI20 - PPI22 - PPI23 - PPI24 - PPI25 - PPN1 dan PPN Tual : PPN16 - PPI3 - PPI4 - PPI8 - PPI10 - PPI11 - PPI13 - PPI14 PPI15 - PPI17 - PPI18 - PPI21 - PPI26 - PPN16 117
4.6. Analisa Hasil Secara umum analisa hasil dari dua pendekatan yang dilakukan sudah dijelaskan pada hasil simulasi, tetapi ada beberapa hal yang bersifat khusus yang dianggap penting untuk diuraikan lebih lanjut sebagai interpretasi hasil penelitian ini, khususnya hal-hal yang bersifat penting yang akan menjadi catatan bagi rekomendasi cold chain management nanti. 4.6.1 Analisa Hasil Kualitas dan Task Crucial Dari hasil simulasi 1000 percobaan dengan fuzzy expert system (tabel 4.25) diperoleh bahwa dari dua input persoalan kualitas TTC, yaitu input 1 berupa enam Quality Problem dan input 2 berupa sebelas task problem, ternyata diperoleh bahwa permasalahan kualitas TTC ternyata, 51,40% dipengaruhi oleh task problem (task crucial) dan 48,60% dipengaruhi oleh quality problem. Dari hasil di atas, bisa terlihat bahwa, perbedaan nilai antara kualitas TTC 48,50% dan kualitas proses TTC 51.40%, tidak terlalu signifikan hanya terpaut selisih sebesar 2.90%. Ini berarti bahwa dari sisi kualitas TTC, kedua aspek ini (kualitas TTC itu sendiri dan kualitas proses TTC) sama-sama penting berpengaruh terhadap output kualitas TTC, artinya tidak ada salah satu aspek yang mendominasi secara dominan. Kemudian pada tabel 4.27, dari 51,40% task problem diperoleh bahwa cara mematikan ikan merupakan task crucial yang paling berpengaruh terhadap proses kualitas TTC yaitu 11.00%, kemudian diikuti oleh sortasi sebesar 10.50%, penyimpanan dalam bak penampung 9.70%, pengangkatan ikan ke atas kapal 9.50%, pembuangan darah, insang dan isi perut 9.40%, pembersihan dan pencucian I 9.20%, pembongkaran ikan ke TLC 9.00%, penyimpanan di pelabuhan PPI dan PPN 8.70%, pengemasan 8.20%, pembersihan dan pencucian II 7.60%, dan penimbangan 7.20% Dari hasil di atas di peroleh bahwa task crucial yang paling berpengaruh adalah task mematikan ikan sebesar 11%, ini berarti bahwa teknik mematikan ikan sangat penting, Secara teori memang cara mematikan ikan menjadi sangat penting karena dari situ awalnya penentuan kualitas ikan, ikan yang tidak dimatikan secara benar akan langsung menurun kualitasnya. Ikan harus dimatikan secara tepat dan cepat sehingga mengurangi stress dan perlawanan ikan semakin 118
lama ikan melawan akan semakin besar potensi kerusakan fisik karena bobot tuna yang bisa mencapai ratusan kilogram dan bila ikan mengalami strees dan melawan ketika dimatikan akan sangat mempengaruhi kualitas ikan selanjutnya. Kesimpulannya salah penanganan awal saat mematikan tuna akan berpengaruh pada kualitas selanjutnya, walaupun perlakuan selanjutnya benar tetapi bila kualitas ikan telah menurun saat ditangkap dan dimatikan akan sulit diperbaiki kualitasnya, khususnya untuk kualitas eksport. Hal ini akan menjadi catatan rekomendasi untuk cold chain management nanti 4.6.2
Analisa Regulasi dan Penerapannya Dalam proses penelitian ini ada beberapa regulasi yang menjadi penting
khususnya terkait kualitas TTC maupun terkait sistem distribusi TTC . Untuk aspek kualitas yang paling berpengaruh adalah standar yang digunakan oleh importir TTC yaitu standar internasional dan standar regional sesuai negara tujuan impor. Selama ini yang sering dipakai adalah SNI, tapi dari sisi lain SNI belum benar-benar mengakomodir faktor-faktor yang berpengaruh terhadap mutu TTC yang berbasis karakteristik Indonesia, SNI lebih banyak hanya bersifat mengakomodir standar kualitas TTC khususnya dari Eropa dan Amerika. Penerapan persyaratan teknis regulasi jaminan mutu dan keamanan pangan di Indonesia belum berdasarkan risk assesment dan scientific based yang sesuai dengan konteks indonesia, tetapi lebih ditekanan pada aspek kebijakan dan kepentingan perdagangan, lebih banyak hasil kompromi dan bersifat adopsi dari negara lain (USA dan Uni Eropa) yang sering tidak relevan dengan kondisi Indonesia. Faktor lain juga adalah lemahnya penerapan HACCP, Bioterrorism Act, sanitasi , certificate eco labelling , health certificate. Hal ini disebabkan oleh lemahnya jaminan dan keamanan hasil perikanan (quality assurance dan food safety) di Indonesia. Kesimpulannya adalah harus dilakukan harmonisasi antara standarstandar yang merupakan kebutuhan pasar internasional, yang berkembang sangat cepat (kualitas dan keamanan produk sangat diutamakan) dan standar-standar yang dipakai di Indonesia khususnya SNI, agar terjadi sinergisme dan harmonisasi standar yang digunakan di Indonesia
119
Faktor berikut adalah membangun perpesepsi yang sama tentang kualitas TTC pada semua stack holder, khususnya antara Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) selaku compotent authority dengan pelaku ekpor TTC dan nelayan pada basis yang paling bawah. Tanpa persepsi yang sama akan sulit memenuhi standar opersioanal prosesur, disisi lain pengetahuan dan ketrampilan nelayan dan pelaku ekspor TTC sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas ekpor TTC. Aspek yang kedua dari sisi sistim rantai pasok TTC, dengan adanya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.56/2014, tentang larangan transhipment di tengah laut, ini berarti TTC dari kapal nelayan tidak boleh lagi melakukan transhipment di tengah laut, tetapi harus di bawa ke PPI dn PPN sebelum di ekspor. Hal ini tentunya akan menjadi perubahan paradigma yang sudah sekian lama terjadi, ada banyak diskusi tentang aspek larangan transhipment ini, baik yang bersifat pro maupun kontra. Dari sisi konservasi untuk melindungi potensi hasil kelautan Indonesia memang sangat penting tetapi dari sisi Dari sisi bisnis, transhipment sangat menguntungkan. Melalui transhipment, kapal penangkap tidak perlu lagi kembali ke pangkalan setelah muatan ikan dalam palkah penuh. Ia tinggal menunggu kapal pengumpul untuk mengambil ikan hasil tangkapan, dan pada saat itu pula kapal pengumpul menyuplai bahan bakar, bahan makanan, serta kebutuhan lainnya kepada kapal penangkap ikan tersebut. Dari pola seperti diatas, maka jelas bahwa transhipment dapat mengefektifkan operasi penangkapan dan mengefisiensikan biaya operasional penangkapan. Jika tanpa transhipment, maka perbandingan ongkos bahan bakar dengan muatan hasil tangkapan adalah 1:1. Artinya bahwa ketika kapal kembali ke pangkalan, maka kapal tersebut hanya dapat membawa satu paket muatan, yaitu sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya. Sementara melalui transhipment, maka perbandingannya bisa 1:2, 1:3, atau bahkan mungkin lebih jika musim ikan sedang berlangsung. Ini artinya bahwa ketika kapal kembali ke pangkalan, maka sebetulnya dia sudah melakukan 2 hingga 3 kali pendaratan muatan ikan melalui bantuan kapal pengumpul. Dapat dibayangkan, berapa biaya bahan bakar yang dapat dihemat melalui metode transhipment ini. 120
Selanjutnya
dari
sisi
operasi
penangkapan,
maka
transhipment
memungkinkan kapal untuk tidak mengalami kehilangan kesempatan untuk menguasai fishing ground. Misalnya saja pada saat musim ikan tiba, atau kapal mendapatkan fishing ground yang berlimpah, ketika muatan kapal sudah penuh maka kapal tidak perlu meninggalkan tempat berpotensi tersebut. Jika ia kembali ke pangkalan, maka bisa jadi fishing ground ini akan diambil kapal lain. Atas dasar larangan transhipment penelitian ini mencoba melakukan simulasi dengan dengan asusmsi bahwa hasil kapal nelayan hanya boleh dibawa ke pelabuhan perikanan untuk diekspor (PPI dan PPN), cuma dalam penelitian ini variabel yang dilihat masih sangat terbatas hanya ditinjau dari variabel jumlah kapal, kapasitas kapal dan jarak antara nelayan dan PPI dan PPN. Hasil dari penelitian ini adalah usulan rute terpendek distribusi TTC dari nelayan ke PPI dan PPN dan kemudian dari PPN untuk mengambil hasil nelayan di PPI dan kembali lagi ke PPN untuk diekspor, dari sisi pendekatan memang masih sangat terbatas aspek yang ditinjau belum dimasukan aspek supply dan demand dan lain-lain, tetapi minimal dari hasil penelitian ini ada gambaran tentang rute rantai distribus TTC terpendek tanpa melakukan transhipment Rute terpendek dari kapal nelayan ke PPI dapat dilihat pada tabel 4.35 hasil ini diperoleh dengan simulasi 20 kapal, untuk merubah jumlah kapal tinggal disesuaikan pada aplikasi yang telah dibuat. Tabel 4.35. Solusi Kapal ke PPI/PPN Kapal N1 N2 N3 N4 N5 N6 N7 N8 N9 N10 N11 N12 N13 N14 N15 N16 N17 N18 N19 N20
X 82 10 13 72 95 81 48 17 93 85 9 65 44 71 17 14 94 95 5 40
Y 3 26 31 56 19 41 83 20 28 72 100 3 89 88 16 38 18 90 55 46
DISTANCE 29.44 9.03 19.43 22.78 40.93 26.59 32.49 6.81 37.66 37.66 48.07 12.44 38.89 42.98 8.74 2.55 40.22 1533.19 10.71 8.94
PPI P13 P11 P11 P2 P19 P25 P2 P15 P19 P19 P5 P13 P2 P2 P15 P17 P19 P5 P5 P20
121
Dari tabel dapat dilihat bahwa untuk N1 (kapal nelayan pertama) diusulkan menuju ke PPI 13, untuk N2 (kapal nelayan kedua) diusulkan menuju ke PPI 11 dan selanjutnya sampai nelayan ke N20 (kapal nelayan ke 20) Sedangkan rute terpendek dari PPN untuk mengambil hasil nelayan di PPI dan kembali lagi ke PPN untuk diekspor, dibagi dalam dua jalur yaitu dari PPN Ambon dan PPN Tual karena dua PPN ini yang dianggap memenuhi syarat untuk ekapor TTC : PPN Ambon : PPN1 - PPI2 - PPI5 - PPI6 - PPI7 - PPI9 - PPI12 - PPI19 PPI20 - PPI22 - PPI23 - PPI24 - PPI25 - PPN1 dan PPN Tual : PPN16 - PPI3 - PPI4 - PPI8 - PPI10 - PPI11 - PPI13 - PPI14 -PPI15 - PPI17 - PPI18 - PPI21 - PPI26 - PPN16
Hasil ini hanya sebagai gambaran awal tentang rute distribusi TTC jika tidak dilakukan transhipment di tengah laut, hasil ini masih terbatas dan akan dikembangkan dalam penelitian selanjutnya dengan melengkapi variabel-variabel yang lengkap dan riil seperti aspek demand dan supply, aspek fasilitas PPI dan PPN, hasil ini masih diasumsikan bahwa semua PPI dan PPN telah memiliki fasilitas yang sama sesuai standar
4.7. Cold Chain Systems Management (CCSM) Sesuai tujuan penelitian, model akhir yang akan direkomendasikan adalah model Cold Chain System management untuk ekspor TTC, dimana model dimaksud merupakan hasil integrasi dari dua pendekatan. Pendekatan pertama adalah hasil pendekatan strategi peningkatan kualitas TTC dengan Fuzzy Expert System (FES) dan pendekatan kedua adalah hasil pendekatan jalur distribusi yang terpendek dengan menggunakan Euclidian distance dan Genetic Algorithm (GA), Hasil integrasi dari dua pendekatan di atas, disatu sisi secara kualitas akan sangat berguna untuk melakukan perbaikan strategi penanganan terhadap setiap task crucial yang berpotensi sebagai ancaman, dan disisi lain dengan adanya solusi jalur distribusi terpendek akan meningkatkan efisiensi terhadap lama waktu
122
pendinginan di cold chain system yang tentunya akan berdampak pada efisiensi biaya operasional cold chain
Gambar 4.39 Skema Cold Chain System Management TTC
4.7.1
Penentuan Critical Crisis Point (CCP)/Task Crucial, Saat di Kapal, PPI dan PPN Penentuan Critical Crisis Point (CCP) atau task crucial, saat di kapal,
PPI dan PPN berdasarkan diagram keputusan HACCP, salah satu tahap dari HACCP adalah menentukan titik kendali kritis pada tiap tahapan proses tahapan sehingga bisa diidentifikasi potensi bahaya yang ada dan dapat dilakukan antisipasi awal untuk mengurangi ancaman bahaya tersebut, titik kendali kritis ini juga akan menjadi masukan dalam menentukan strategi peningkatan kualitas TTC pada tahap 5 nanti. Penerapan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) bertujuan untuk menjamin keamanan makanan (food safety), kualitas (quality) serta 123
menghindari kemungkinan timbulnya kerugian secara ekonomis (economic losses). HACCP merupakan suatu jaminan mutu yang didasarkan kepada kesadaran atau penghayatan bahwa hazard (bahaya) dapat timbul pada berbagai titik atau tahap produksi tertentu, namun dilakukan penegendalian untuk mengontrol bahaya tersebut. Salah satu tahap dari Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) adalah menentukan Titik Pengendalian Kritis (Critical Control Point-CCP),. Analisis bahaya (hazard analysis) adalah penentuan titiktitik bahaya yang mungkin ada pada alur proses produksi bahan pangan. Penentuan titik pengendalian kritis (critical control point- CCP) perlu dilakukan karena tidak semua titik bahaya yang dijumpai berpengaruh buruk terhadap mutu pangan yang dihasilkan Bertitik tolak pada prinsip-prinsip dan konsep HACCP yang menekankan pada analisis bahaya dan penentuan titik-titik bahaya, maka perlu ada kajian ilmiah
dalam
menganalisis
bahaya
yang
mungkin
timbul
dan
dapat
membahayakan konsumen serta melakukan pengamatan untuk menentukan titiktitik pengendalian kritis dalam tahap penanganan TTC, mulai dari penanganan di atas kapal, saat pembongkaran, saat ikan didaratkan sampai didistribusikan untuk tujuan ekspor. Analisis bahaya adalah tahap awal dari perencanaan sistem hazard analysis critical control point (HACCP). Analisis bahaya merupakan proses pengumpulan dan penilaian informasi mengenai bahaya dan keadaan sampai dapat terjadinya bahaya untuk menentukan mana yang berdampak nyata terhadap keamanan pangan dan harus ditangani. Langkah ini dilakukan dengan mengidentifikasi dan menginventarisasi bahaya-bahaya terhadap keamanan produk yang dapat terjadi dalam proses produksi serta tindakan-tindakan pencegahan yang diperlukan untuk mengendalikan bahaya atau risiko potensial yang membahayakan. The Codex Alimentarius Commission and the FAO/WHO Food Standards Programme (1999) mengelompokan bahaya ke dalam tiga kelompok yaitu bahaya biologi, kimia dan fisik. Proses penangkapan TTC dan cara penanganannya di atas kapal sangat mempengaruhi mutu TTC untuk proses selanjutnya,.Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hasibuan (2011), tahapan proses penanganan ikan tuna dimulai
124
dari penangkapan ikan, penanganan di atas kapal, pendaratan di pelabuhan perikanan sampai dengan pendistribusiaannya.. Identifikasi titik pengendalian kritis dilakukan setelah melalui tahap analisis bahaya. Jika bahaya signifikan, analisis selanjutnya untuk menentukan titik kendali kritis pada tahap penanganan ikan tuna setelah selesai ditangkap, penanganan di atas kapal dan penanganan di pelabuhan dengan menggunakan decision tree (pohon keputusan). Pohon keputusan untuk mengidentifikasi CCP digunakan pada semua tahap penanganan ikan tuna. Namun bahaya signifikan bisa tidak menjadi CCP jika dapat diatasi dengan pelaksanaan GMP atau SSOP yang baik. Diagram pohon keputusan adalah seri pertanyaan logis yang menanyakan setiap bahaya. Jawaban dari setiap pertanyaan secara logis memutuskan apakah CCP atau bukan. Dengan menggunakan diagram ini membawa pola pikir analisis yang terstruktur dan memberikan jaminan pendekatan yang konsisten pada setiap tahap dan setiap bahaya yang teridentifikasi. Untuk membantu menemukan dimana seharusnya CCP yang benar, Codex Alimentarius Commission GL/32 1998, Menurut FDA (2011), sebuah potensi bahaya dapat dikatakan signifikan pada proses pengolahan atau penanganan jika (1) bahaya cukup mungkin diperkenalkan pada tingkat yang tidak aman pada proses pengolahan; atau (2) bahaya cukup mungkin dapat meningkatkan ke yang tidak aman tingkat di proses pengolahan atau (3) itu adalah langkah signifikan pada pengolahan atau penanganan dan dapat dicegah, dihilangkan, atau dikurangi ke tingkat yang dapat diterima di pengolahan saat ini atau proses penanganan. Penanganan ikan segar yang baik harus mengacu pada suatu ketentuan penanganan atau standar yang berlaku agar mutu ikan yang dihasilkan baik. Jika penanganannya kurang tepat, protein yang terkandung dalam ikan akan dimanfaatkan oleh mikroorganisme untuk berkembang biak dan menjadikan kualitas ikan menurun. Ikan tuna merupakan salah satu jenis pangan yang mudah mengalami penurunan mutu. Hasil tangkapan tuna, membutuhkan penanganan khusus untuk menjaga ikan tuna tersebut tetap segar. Penanganan tuna di atas kapal dilakukan mulai dari menaikkan ikan di atas kapal sampai dengan tahap pembongkaran hasil tangkapan. 125
Penanganan hasil tangkapan di kapal merupakan proses yang sangat penting dari seluruh proses perjalanan ikan sampai kekonsumen. Hal ini dikarenakan penanganan ikan di atas kapal merupakan penanganan awal yang sangat menentukan terhadap penanganan dan pengolahan ikan selanjutnya. Penanganan adalah serangkaian atau perlakukan terhadap ikan tanpa mengubah struktur dan bentuk dasar. Salah satu bentuk penanganan adalah dengan menggunakan suhu rendah atau dikenal dengan pendinginan. Proses penanganan ikan tuna segar pasca panen dibagi menjadi dua tahap proses yaitu, proses penananganan ikan tuna di atas kapal dan proses penanganan ikan tuna di pelabuhan/tempat pendaratan tuna. Hasil dari penelitian menunjukan bahwa yang tergolong sebagai titik pengendali kritis atau Critical Crisis Point adalah: 1.
Tahap pengangkatan ikan ke atas kapal,
2.
Tahap mematikan ikan,
3.
Tahap pembuangan darah, insang dan isi perut,
4.
Tahap pembersihan dan pencucian
5.
Tahap penyimpanan dalam palka,
6.
Tahap pembongkaran
7.
Tahap sortasi
8.
Tahap Pembersihan dan pencucian 2
9.
Tahap Penimbangan
10. Tahap penyimpanan dalam bak penampung. 11. Tahap pengemasan Kesebelas titik kendali kritis ini di masukan sebagai standart proses dalam fuzzy expert system sebagai standart kualitas proses, dalam rangka menentukan strategi peningkatan grade kualitas TTC. Kesebelas titik ini juga akan dijadikan catatan pada cold chain system sebagai tahapan proses yang harus diawasi sebagai titik kritis pada cold chain system Dari kesebelas titik kendali kritis di atas pada kapal nelayan adalah 1.
Tahap pengangkatan ikan ke atas kapal,
2.
Tahap mematikan ikan,
3.
Tahap pembuangan darah, insang dan isi perut, 126
4.
Pembersihan dan pencucian
5.
Tahap penyimpanan dalam palka,
Sedangkan titik kendali kritis pada saat di PPI dan PPN adalah : 6.
Tahap pembongkaran Pendistribusian dari kapal ke tempat pendaratan tuna/TLC;
7.
Tahap Sortasi
8.
Tahap Pembersihan dan pencucian 2
9.
Tahap Penimbangan
10. Tahap penyimpanan dalam bak penampung. 11. Tahap Pengemasan
4.7.2 Teknik Penanganan Task Crucial Secara garis besar penanganan Ikan yang baik (Good Handling Practices) adalah semua kegiatan yang dilakukan terhadap ikan sejak ditangkap, di atas kapal, di darat dan pada saat distribusi hingga sampai ke tangan konsumen atau siap untuk diolah. Tujuannya yaitu mempertahankan kesegaran ikan selama mungkin, agar tidak rusak dan tetap bernilai gizi tinggi. Prinsip yang harus dilakukan : Memperlakukan ikan dengan cermat dan hati-hati Segera menurunkan suhu atau mendinginkan ikan mencapai suhu 00C Memperlaukan ikan secara bersih (sanitair) dan higienis (hygiene) Memperhatikan faktor waktu dan kecepatan kerja selama rantai penanganan Perlakuan ikan dan penerapan suhu rendah sangat penting tujuannya menghambat aktivitas bakteri sehingga dapat mengawetkan sifat-sifat asli ikan (rasa/flavor, bau/odor, dll). Prinsipnya yakni menurunkan suhu pusat (thermal) ikan menjadi 00C (pendinginan) atau -18 0C (pembekuan) dan mempertahankan pada suhu tersebut selama penyimpanan dan distribusi. Penanganan Ikan di Kapal merupakan langkah awal yang paling efektif untuk mempertahankan mutu ikan hasil tangkapan. Penanganan dan Penyimpanan ikan secara higienis merupakan persyaratan mutlak untuk menjaga mutu ikan. 127
Bekerja dengan cepat, cermat, cekatan dan produk ikan selama proses harus berada dalam rantai dingin (cold chain system), sesuai standar HACCP untuk menjaga mutu ikan. Secara garis besar keberhasilan Proses Penanganan Ikan di Kapal
sangat tergantung pada
prinsip : Cepat, Cermat, Bersih dan Sehat,
penerapan suhu rendah. Dari hasil penelitian ini diperoleh ada 11 titik kritis yang berpotensi mengancam kualitas TTC, Potensi bahaya penanganan Tuna saat di kapal dan saat di Pelabuhan dapat dilihat pada Tabel 4.36. pada Lampiran 1 Prinsip yang digunakan dalam penanganan ikan saat di atas kapal adalah mempertahankan kesegaran ikan sepanjang mungkin dengan cara memperlakukan ikan secara cermat, hati-hati, bersih, sehat, higienis dan harus segera secara cepat menurunkan suhu atau mendinginkan ikan mencapai suhu sekitar 0ºC - 40 C. Penanganan harus dimulai segera setelah ikan diangkat dari laut dengan perlakuan suhu rendah (Cold Chain System) dan memperhatikan faktor kebersihan dan kesehatan (Sanitasi dan Hygiene).Perlakuan harus dapat mencegah kerusakan fisik, Ikan dilindungi dari sinar matahari. Untuk itu, sebaiknya dipasang tenda atau atap yang melindungi tempat kerja/ palka. Menurut Grasiano, (2015b), dalam Preminilary studi Risk and HACCP in cold chain systems,frozen yellow fin tuna in Moluccas”, diperoleh ada tiga CCP (crisis control point) atau titik control krisis pada pengolahan Yellowfin tuna beku di Maluku, yaitu titik-titik dimana diprediksikan sebagai titik kritis yang harus di antisipasi resiko bahayanya pada cold chain system
CCP pertama adalah tuna loin yang diterima dari kapal dalam styro box dengan es, harus memliki suhu tetap 00C – 4,40C, fase ini sangat penting suhu harus di jaga kalo tidak kualitas ikan akan menurun pada tahap selanjutnya
CCP kedua adalah pada saat proses injeksi karbon monooksida (CO), dimana ikan di tempatkan dalam kantong plastic dan di injeksi gas CO, injeksi gas CO ini tujuannya agar warna ikan TTC tidak pudar tetapi tetap segar kemerahan
CCP ketiga adalah pada saat berada dalam chiller proses, yaitu system penyusunan ikan harus berdasarkan tanggal dimasukan ke chiller karena TTC hanya boleh berada dalam chiller maksimum 48 jam untuk 128
melakukan peneterasi gas karbon monooksida yang di injeksikan sebelumnya. Dari hasil penelitian ini dapat dirangkum beberapa hal pokok yang perlu di perhatikan dalam cold chain system TTC, khususnya teknik penanganan di atas kapal dapat dilihat pada Lampiran 2 Dari hasil penelitian secara garis besar ada beberapa hal yang harus di perhatikan proses penanganan ikan TTC sebagai berikut :
Penerapan cold chain systems harus utuh dan terintegrasi pada seluruh proses mulai dari penangkapan sampai dikonsumsi, bukan secara parsial pada titik tertentu saja. harus berdasarkan studi kajian risk analysis yang terintegrasi pada seluruh proses
Pentingnya kajian mendalam tentang potensi bahaya/ critical crisis point melalui sebuah proses scientific based dengan melakukan Risk analysis terhadap seluruh titik cold chain tracking sepanjang titik pada rantai pasok Tuna, Tongkol dan Cakalang, sehingga strategi peningkatan mutu TTC ekspor lebih akurat dan sesuai permintaan pasar
Perlunya harmonisasi Standart nasional Indonesia dengan standart internasional dan standart regional negara pengimport sangat penting sehingga adanya kesamaan presepsi tentang mutu ekspor TTC
Cold chain systems management harus mampu mempertahankan suhu yang telah di tetapkan pada setiap lintasan dingin (cold chain tacking) produk khususnya pada lintasan-lintasan kritis dan task crucial
Pemilihan model dan tipe cold chain systems harus sesuai dengan karakteristik produk dan karakteristik lintasan dingin (cold chain tracking), dan mampu menjamin kualitas TTC
Rekam jejak (traceability) kestabilan suhu suhu yang telah ditetapkan pada Cold chain systems harus terintegrasi dan dapat dipantau pada semua titik lintasan dingin, sehingga bila terjadi penyimpangan dapat segera diatasi dan direkan untuk penanganan dan evaluasi nanti
Pengawasan mutu masih ditekankan pada produk akhir (end proces inspection) bukan pada seluruh titik proses yang terjadi (in process inspection) 129
Pengatahuan dan komitmen stack holder, mulai dari nelayan, Pemerintah sampai praktisi ekspor akan pentingnya cold chain system dan penyamaan persepsi mutu sangat penting
Pentingnya Pengetahuan nelayan dan Ketrampilan nelayan/pekerja pada tiap proses penanganan ikan (teknik pengangkatan ikan ke kapal, cara membunuh ikan, pembuangan darah, insang dan isi perut yang benar, pencucian, sortasi, penimbangan dll)
Penerapan model cold chain system tidak optimal sesuai karakteristik produk dan cold chain trackingnya, rantai dingin tidak di terapkan secara utuh, khususnya sejak
penangkapan, lebih ditekankan pada saat
penyimpanan dan saat distribusi ke konsumen
Palka kapal ikan harus memiliki konstruksi dan insulasi yang baik dan pemilihan teknik refrigerasi (pendinginan dan pembekuan) yang tepat sesuai ukuran kapal (ALDI, ALREF atau Pengesan langsung)
Pekerja harus menjaga kebersihan dan higienys agar tidak mencemari ikan (memakai pakaian kerja, tidak meludah sembarang dll), Alat dan bahan yang di gunakan harus higienys dan tidak mencemari ikan (air laut , es , peralatan yang di pakai yang bersih tidak tercemar)
Lingkungan kerja harus memenuhi SSOP, geladak kerja bersih dan terlindung dari panas matahari secara langsung, Penanganan selutuh proses di atas kapal harus cepat dan selama proses suhu pusat tuna harus dijaga maksimal 4,4oC.
130
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan Dari hasil pembahasan sesuai tujuan penelitian, dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu : 1.
Dari hasil Pendekatan pertama dengan Fuzzy expert system , bahwa dari dua input persoalan kualitas TTC, yaitu input 1 berupa enam kriteria quality dan input 2 berupa sebelas task problem, ternyata diperoleh bahwa permaslahan kualitas TTC, 51,40% dipengaruhi oleh task problem (task crucial) dan 48.60 % dipengaruhi oleh quality problem.
2.
Dari 51,40% task crucial, diperoleh bahwa cara mematikan ikan merupakan task crucial yang paling berpengaruh pada proses kualitas TTC yaitu sebesar 11,00%, kemudian diikuti oleh sortasi 10,50%, penyimpanan dalam bak penampung 9.70%, pengangkatan ikan ke atas kapal 9.50%, pembuangan darah, insang dan isi perut 9.40%, pembersihan dan pencucian I 9.20%, pembongkaran ikan ke TLC 9.00%, penyimpanan di pelabuhan PPI dan PPN 8.70%, pengemasan 8.20%, pembersihan dan pencucian II 7.60%, dan penimbangan 7.20%
3.
Dari hasil di atas terlihat bahwa task crucial yang paling berpengaruh adalah cara mematikan ikan sebesar 11,00%. Ini berarti bahwa teknik mematikan ikan sangat penting.
4.
Strategi peningkatan (improvement) kualitas TTC akan dituangkan dalam sebuah strategi operasional cold chain system management, yang dilakukan dengan cara memperbaiki kesebelas task crucial dan titik kritis dalam proses pengolahan TTC yaitu,
saat di kapal (teknik penangkapan ikan, cara
mematikan ikan, pembuangan darah, insang dan isi perut, pembersihan dan pencucian ikan) saat di PPI dan PPN (penyimpanan di pelabuhan perikanan, pembongkaran dan pemindahan ke TLC, sortasi, penimbangan, penyimpanan dan pengemasan).
131
5.
Dari hasil pendekatan kedua dengan Genetic Alghortithm(GA), diperoleh usulan alternatif rantai distribusi terpendek dari PPN untuk mengambil ikan nelayan yang ditampung di PPI dan kemudian kembali ke PPN untuk diekspor.
6.
Dengan diperolehnya solusi rantai distribusi TTC terpendek, maka biaya operasional dari cold chain system dapat ditekan karena lama waktu pendinginan/pembekuan di cold chain system akan semakin berkurang akibat efektifnya jarak yang ditempuh.
7.
Program aplikasi yang dihasilkan dari penelitian ini bersifat umum sehingga bisa disimulasikan secara fleksibel sesuai data kondisi riil di lapangan untuk mendapatkan strategi peningkatan kualitas grade TTC ekspor berdasarkan task crucial yang ada
8.
Program aplikasi ini juga bisa dipakai untuk menentukan solusi rantai distribusi terpendek berdasarkan input data riil dari jarak antara kapal nelayan dan Pelabuhan perikanan, kelemahan dari penelitian ini adalah data masih bersifat acak dan random karena terkendala data riil di lapangan.
5.2 Saran Dari hasil penelitian ini, ada beberapa saran untuk pengembangan penelitian ini lebih lanjut, yaitu : 1. Pentingnya penelitian tentang harmonisasi standar-standar, baik standar internasional, standar negara pengimpor dan standar Nasional Indonesia sehingga
ada
sinkronisasi
sinergisme
kebijakan
dan
regulasi
guna
meningkatkan kualitas TTC ekspor Indonesia. 2. Pentingnya kajian mendalam tentang potensi bahaya/ critical crisis point melalui sebuah proses scientific based
dengan melakukan Risk analysis
terhadap seluruh titik cold chain tracking sepanjang titik pada rantai pasok Tuna, Tongkol dan Cakalang, sehingga strategi peningkatan mutu TTC ekspor lebih akurat dan sesuai permintaan pasar. 3. Perlunya dilakukan penelitian yang mendalam soal Supply chain Management Tuna,Tongkol dan Cakalang di WPP 714, WPP 715 dan WPP 718 yang berada
132
dalam wilayah perairan Maluku berdasarkan pemutahiran data terbaru, sehingga nilai keekonomian TTC Indonesia bisa bersaing secara global 4. Perlunya penelitian lanjut yang lebih mendalam tentang aspek teknis cold chain management, khususnya pemilihan model-model alternatif cold chain systems yang sesuai dengan karakterisik kewilayahan, khususnya karateristik pulaupulau kecil dan karakteristik sosio ekologis yang berpengaruh terhadap produk TTC.
133
………………Halaman ini sengaja dikosongkan………………
134
DAFTAR PUSTAKA Aamir Fazil,M. (2005), A primer on risk assessment modelling: focus on seafood products, fisheries technical paper 462, FAO, Rome. Badan Standarisasi Nasional Indonesia. (1998), SNI 01-4852-1998 : Sistem analisa bahaya dan pengendalian titik kritis
(HACCP) serta pedoman
penerapannya, BSNI,Jakarta. Badan Standarisasi Nasional Indonesia (2009), SNI 7501 : 2009,
Batas
maksimum cemaran kimia, BSNI,Jakarta Badan Standarisasi Nasional Indonesia (2009) , SNI 7388 : 2009 : Batas maksimum cemaran mikroba dalam pangan, BSNI, Jakarta Badan Standarisasi Nasional Indonesia (2009), SNI 7387 : 2009 : Batas logam berat, BSNI,Jakarta Badan Standarisasi Nasional Indonesia (2011), SNI 2346 : 2011, Petunjuk pengujian organoleptik dan atau sensori pada produk perikanan,Badan Standart Nasional Indonesia BSNI, Jakarta Badan Standarisasi Nasional Indonesia (2014), SNI 4110 : 2014 , Ikan beku (revisi 4110.2006), BSNI , Jakarta Badan Standarisasi Nasional Indonesia SNI 8087 : 2014, Penanganan ikan cara penanganan ikan yang baik di atas kapal, BSNI, Jakarta Badan Standarisasi Nasional Indonesia SNI 8088 : 2014, Penanganan ikan Pembongkaran ikan segar dari kapal perikanan di pelabuhan, BSNI, Jakarta Badan Standarisasi Nasional Indonesia (2014), SNI 8089 : 2014, Penanganan ikan, pembongkaran ikan beku dari kapal perikanan di pelabuhan, BSNI, Badan Standarisasi Nasional Indonesia (2014), SNI 8090 : 2014, Penanganan ikan di atas kapal fasilitas palka ikan segar, BSNI, Jakarta Badan Standarisasi Nasional Indonesia (2014), SNI 8091 : 2014, Penanganan ikan di atas kapal fasilitas palka beku, BSNI, Jakarta Badan Standarisasi Nasional Indonesia. (2015), SNI 4872 : 2015, Es untuk Penanganan dan Pengolahan Ikan, BSNI, Jakarta
135
Baroso M, (1998), Quality control of frozen fish using rheological techniques, Trends in Food Science & Technology , Vol. 9, pp. 223-229. Bevilacqua. M, (2008), Businenss process reengineering of supply chain and traceability system: A case study,Journal of food engineering Vol. 93, pp. 13-22. Blanc, M., Desurmont, A. and Beverly, S.( 2005), Onboard handling of sashimigrade tuna: a practical guide for crew members. Secretariate of the Pacific Community. Noumea. pp. 24 DIRJEN Perikanan Tangkap,Kementrian Kelautan dan Perikanan (2013), Peraturan DIRJEN Perikanan Tangkap No. 84/PER-DJPT/2013, Tentang Sertifikasi Cara Penanganan Ikan yang Baik pada Kapal Penangkap Ikan dan/atau Kapal Pengangangkut Ikan, Kementrian Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Indonesia, Jakarta Dwi Lestari Rahayu (2009), Disain Peningkatan Daya Saing Industri Pengolahan Ikan Berbasis Perbaikan Kinerja Mutu Dalam Rantai Pasokan Ikan Laut Tangkapan Di Wilayah Utara Jawa Barat,Tesis,Sekolah Pasca Sarjana, IPB, Bogor FAO & WHO (2009), Code of Practice For Fish And Fishery Products, Secretariat of the Codex Alimentarius Commission(Joint Food Standards Programme), FAO ,Rome. Febrina Arrahmy (2012), Efisiensi Waktu Penanganan Tuna Dari Proses Pembongkaran Sampai Pengemasan Pada Industri Tuna Segar Dan Loin Di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman Jakarta, Skripsi, IPB, 2012 Friend Andrew, Ricardo Frohmader (2000), Cold chain for agriculture products in Ruwanda, USAID Project Report, USAID, USA Gogou E, dkk (2015), Cold chain database development and application as a tool for the cold chain management and foodquality evaluation, International journal of refrigeration, Vol. 52, pp.109-121. Guimei Zhang, dkk, (2003) , Improving the structure of deep frozen and chilled food chain with tabu search procedur,Journal of food engineering, Vol.60 pp. 67-69. 136
Hasibuan Mukhlis Adi Putra, (2011), Pengendalian Mutu Ikan Laut Segar Unggulan Utama yang di daratkan Di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman, Jakarta Utara, Skripsi ,IPB, Bogor Houghton .J.R. (2008),”The quality of food risk management in Europe : prespective and priorities”,journal of food policy , Vol. 33, pp. 13-26. Huss H. H. & Gram L., Assessment and Management of Seafood Safety and Quality, FAO, Rome, Indry Nilam Cahya 2010), Analisis Daya Saing Ikan Tuna Indonesia di Pasar Internasional, Skripsi, IPB, Bogor James. S.J. (2006), Modeling of food transport system-a review,International journal of Refrigeration ,Vol. 29, pp. 947-957. Jannah Fajar Maulida (2014), Deskripsi rantai pasok ikan tuna (studi kasus pt awindo international di pelabuhan perikanan samudera nizam zachman jakarta , Sekolah Pasca Sarjana IPB, Bogor Jati Arinto Kuncoro .(2014), Sistem Rantai Pasok dan Penanganan Tuna Loin di Perairan Maluku, Tesis, Sekolah Pasca Sarjana IPB, Bogor Johnston.W.A, (1994),.Freezing and refrigerated storage in fisheries, Technical Paper), FAO, Roma. Jun Yue, Lu Liu, Zhenbo Li, Daoliang Li ,Zetian Fu (2011), “Improved quality analytical models for aquatic products at the transportation in the cold chain”, Mathematical and Computer Modelling, Kulapa Supongpan Kuldilok (2009),” An Economic Analysis Ofthe Thailand Tuna Fish Industry 2009”, Ph.D. Disertation, Agriculture and Engineering Newcastle University, England Kusumadewi, Sri, Hari Purnomo, 2004, Aplikasi Logika Fuzzy Untuk Pendukung Keputusan, Yogyakarta: Graha Ilmu. Lahsen Ababouch, (2006). Assuring fish safety and quality in international fish trade, International Journal Marine pollution Bulletin Vol. 53, pp. 561-568. http://dx.doi.org/10.1016/j.marpolbul.2006.08.011 Lailossa Grasiano Warakano (2009),” Studi Awal Design Model Sistem Rantai Dingin (Cold Chain System) Komoditas Unggulan Ekspor Sektor Perikanan 137
Maluku (Ikan Beku/Frozen Fish)”, Prosiding Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, FTK-ITS, Surabaya Lailossa,Grasiano,Warakano., Artana,Ketut Buda .,Dinariyana,A.A.B.(2010),Cold Chain System (future research prespective), Proceeding 2nd International Seminar on Applied Technology Science and Arts-APTECS ITS, pp.23 ,Surabaya ,ITS. available at, http://aptecs.its.ac.id/2010/paper/Proceeding%20APTECS%202rd%202010. pdf Lailossa,Grasiano.W(2015a), The new paradigm of cold chain management systems and it’s logistics on Tuna fishery sector in Indonesia”, Aquaculture, Aquarium, Conservation & Legislation (AACL) Bioflux, Rumania, Vol. 8, Issue 3, pp. 381-389 Lailossa,Grasiano.Warakano (2015b), Preliminary Study, Risk Analysis and HACCP in Cold Chain System, Frozen Yellow Fin Tuna in Moluccas “, Journal of Agricultural Studies Vol. 3, No. 2, pp. 248-257 Lailossa,Grasiano.W.,
Artana,Ketut
Buda
.,Pujawan
Nyoman.,
Dinariyana,A.A.B.(2016), “.Model of Strategy Quality Improvement of Tuna and Other Species in The Cold Chain System (Fuzzy Expert Systems Approach)”, Aquaculture, Aquarium, Conservation & Legislation (AACL) Bioflux, Rumania, Vol. 9, Issue 5, pp. 1154-1166 Listia nur isma (2012), “ Analisis Strategi Bisnis Ekspor Pembekuan Ikan (Studi Kasus: Pd Sambu Di Komplek Pelabuhan Perikanan Nusantara (Ppn) Kejawanan, Cirebon, Jawa Barat)”, Skripsi, IPB, Bogor Lely Rahmawaty (2013), Pengembangan strategi keamanan produk perikanan untuk ekspor ke amerika serikat, Tesis, Sekolah Pasca Sarjana,IPB, Bogor Likar .K. dan Jevsnik .M., Cold chain maintaining in food trade, food control 17 (2006) 108-113. Mackie .I.M (1986)., Store lives of chilled and frozen fish and fish, International Journal of Refrieration Vol 9, Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia (2007), Kepmen: No. 1/Kepmen-KP/2007 Tentang Persyaratan Jaminan Mutu dan Keamanan 138
Hasil Perikanan Pada Proses Produksi, Pengolahan dan Distribusi, Kementrian Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Indonesia, Jakarta Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia (2014), Kepmen:No. 8/Kepmen-KP/2014 Tentang Pemberlakuan Penerapan Standar Nasional Indonesia Produk Perikanan, Kementrian Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Indonesia, Jakarta Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia(2013), Kepmen: No. 52a/ Kepmen-KP/2013, Tentang Persyaratan Jaminan Mutu Dan Keamanan Hasil Perikanan Pada Proses Produksi, Pengolahan Dan Distribusi, Kementrian Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Indonesia, Jakarta Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia (2013), Permen:No. 56/Permen-KP/2014, Tentang Larangan Transhipment Hasil Tangkapan Ikan di Tengah Laut, ,Kementrian Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia
Indonesia, Jakarta Mboto Normawati Kandar (2015), Analisis Permasalahan Penanganan Ikan Tuna Di Atas Kapal Hand Line,Tesis,Sekolah Pasca Sarjana IPB, Bogor Montanari .R, (2008)., Cold chain tracking a managerial perspective, Trends in Food Science & Technology . Vol.19, pp. 425-431. Ngamel Yuliana Anastasia (2014), Strategi Peningkatan Kinerja Operasional Pelabuhan Perikanan Nusantara Tual Provinsi Maluku, Tesis, Sekolah Pasca sarjana, IPB, Bogor Ningsih Nurhidayah (2013), Penentuan titik-titik pengendalian kritis penanganan ikan tuna di pelabuhan perikanan samudera nizam zachman Jakarta, Skripsi, IPB, Bogor Nurani,Tri Wiji dkk(2011),” Kelayakan Dasar Penerapan Haccp Di Kapal Fresh Tuna Longline”, Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia Vol. XIV, No. 2 , pp. 115-123 Putra Andikha Pratama (2015), Penerapan Teknik Produksi Bersih Padausaha Perikanan Tuna (Studi Kasus Kapal Longline Di PPS Cilacap, Skripsi, IPB ,Bogor Rawat Pankaj Singh, Sudhanshu Joshi, Preeti Rana, Gaurav Srivastav (2015), Cold Chain , Scope and Concerns with reference to Uttarakhand, 139
Conference paper, entry from https://www.researchgate.net/publication/283118501 Rodrigue Jean-Paul, Claude Comtois, Brian Slack (2006), The Geography of Transport Systems, This edition published in the Taylor & Francis e-Library Saiqi Liu, (2008), Analyzing the level of service and cost trade-offs in cold chain transport, Thesis Project, Global supplay chain program manager for sisco system inc, Shanghai,. Sangadji Selfi (2014), Kajian Pengembangan Perikanan Tuna Berbasis Masyarakat di Kota Ambon, Tesis, Sekolah Pasca Sarjana,IPB, Bogor Shabani Amir, Saen Reza Farzipoor , Torabipour Seyed Mohammad Reza (2012), “A new benchmarking approach in Cold Chain”, Applied Mathematical Modelling , Elsevier, vol. 36, pp. 212–24, Sri Yulianto J.P., Indrastanti R.W., Martha Oktriani ( Aplikasi Pendukung Keputusan Dengan Menggunakan Logika Fuzzy (Studi Kasus : Penentuan Spesifikasi Komputer Untuk Suatu Paket Komputer Lengkap), Jurnal Informatika, Vol.4, No. 2, Desember 2008: 159 - 173 Sunoko,Rahmadi Hsiang- Huang (2014),” Indonesia tuna fisheries development and future strategy”, Marine Policy, Elsevier, Vol. 43, pp. 174–183, Supriyatna Ateng (2014),” Model pengembangan rantai suplai Perikanan tuna tongkol cakalang (TTC) Di Indonesia”, Disertasi, Sekolah Pasca Sarjana IPB, Bogor Suryani Anda (2003), Pengendalian Suhu dan Pengukuran Oksigen Pada Peti Kemas Transportasi Sistem Kering Udang dan Ikan dengan Kendali Fuzzy, Tesis ,Sekolah Pasca Sarjana IPB, Bogor Sholahuddin (2004), Perbandingan Teknis Modified Cold Strorage dengan Mesin Pembeku Kombinasi Untuk Pembekuan Ikan Patin, Tesis, Sekolah Pasca Sarjana,IPB, Bogor Spencea Stephen W.T., W. John Doranb, David W. Artta(2004),” Design, construction and testing of an air-cycle refrigeration system for road transport”, International Journal of Refrigeration, Elsevier,Vol. 27 , pp. Sumner.J (2004)., Application Of Risk Assessment In The Fish Industry., FAO, Rome, pp.503–510, 140
Tassou S.A. ,, J.S. Lewis , Y.T. Ge , A. Hadawey , I. Chaer (2010), “A review of emerging technologies for food refrigeration applications”, Applied Thermal Engineering, Vol. 30 , pp. 263–276, Tomahide Yasuda (2006), Chain custody as an organizing frame work in sea fod risk reduction, Marine Polution Bulletin, Vol. 53 pp. 640-649 Waelaruny, (2014), “Pemanfaatan Berkelanjutan Sumberdaya Perikanan Cakalang (katsuwonus pelamis) di Laut Banda dan Sekitarnya Provinsi Malu Wenbing ku”, Sekolah Pasca Sarjana, IPB, Bogor Wu, Yanwei Deng, Mingyu Zhang, Yihua Zhang (2015”, Journal of Industrial Engineering and Management JIEM, ,Vol.
8(5), pp. 1746-1768,
http://dx.doi.org/10.3926/jiem.1784 WHO (1995), Application Of Risk Analysis To Food Standards Issues,. Report of the Joint FAO/WHO Expert Consultation. Xiao Xinqing, Qile He , Zetian Fu , Mark Xu , Xiaoshuan Zhang (2016), “Applying CS and WSN methods for improving efficiency of frozen and chilled aquatic products monitoring system in cold chain logistics”, Food control, Vol;. 60, pp. 656-666. Yanfang Hou, Xie Dong, Wang Jianbo (2015), “The Cold Chain Logistics for Perishable Agricultural Products in China,”, Advance Journal of Food Science and Technology , Vol. 8(11), pp. 802-807. Ying,Zhang Qing Chen Zhimina (2011), “HACCP and the Risk Assessment of Coldchain”, I.J. Wireless and Microwave Technologies, , Vol 1, pp 6771,Published Online February 2011 Availa, DOI: 10.5815/ijwmt.2011.01.10 Zubeldia,Bernardino Baldera María Nieto Jimenez , M Teresa Valenzuela Claros,Jose Luis Mariscal Andres, Piedad Martin-Olmedo (2016), “Effectiveness of the cold chain control procedure in the retail sector in Southern Spain”, Food Control , Vol. 59, pp. 614-618. Zwierzyckia,Wiesław Krzysztof Bieńczaka, Maciej Bieńczaka,, Arkadiusz Stachowiaka ,Przemysław Tyczewskia and Tomasz Rochatkaa (2011),” Thermal damage to the load in cold chain transport”, Procedia Social and Behavioral Sciences , Vol. 20, pp. 761–766. 141
………………………….Halaman ini sengaja dikosongkan………………………….
142
Lampiran 1 Tabel 4.36. Potensi Bahaya dan Tidakan Pencegahan/Perbaikan Pada CCS di Tiap Tahapan Proses TTC No
1
2
3
143
Tahapan
Potensi Bahaya
Penyebab Bahaya
Tindakan Pencegahan/Perbaikan di CCS
Saat di Kapal Biologi Kimia Fisik Pengangkatan ikan Pertumbuhan Histamin Mata Pancing Penyimpangan Penanganan secara cepat dan ke atas kapal dapat sebabkan bakteri pathogen suhu selama proses menjaga suhu kerusakan fisik Kontaminasi alat pusat tuna maksimal 4,4oC. Kontaminasi ikan Peralatan dan pekerja yang bakteri pathogen dan pekerja Salmonellspp. E. melakukan penanganan dan Teknik coli Vibrio lingkungan kapal dalam Penangkapan cholarea keadaan saniter dan higienis. Buruk Teknik Penangkapan/Penanganan ikan di perbaiki Hindari paparan sinar matahari langsung Mematikan ikan sda sda Tertinggalnya Penyimpangan Penanganan secara cepat dan paku di tubuh suhu selama proses menjaga suhu ikan dan Kontaminasi alat pusat tuna maksimal 4,4oC. kerusakan fisik dan pekerja Peralatan dan pekerja yang ikan melakukan penanganan dan Teknik lingkungan kapal dalam mematikan ikan keadaan saniter dan higienis. yang buruk Pembuangan darah, sda sda Kerusakan fisik Penyimpangan Penanganan secara cepat dan insang dan isi perut suhu selama proses menjaga suhu pusat tuna maksimal 4,4oC. Kontaminasi alat dan pekerja Peralatan dan pekerja yang melakukan penanganan dan Teknik yang lingkungan kapal dalam buruk keadaan saniter dan higienis.
4
Pembersihan pencucian
5
144
dan
sda
Penyimpanan dalam palka
sda
sda
sda
sda
sda
Penyimpangan suhu Kontaminasi alat dan pekerja Teknik yang buruk Kualitas air cucian buruk Penyimpangan suhu Kontaminasi alat dan pekerja Kualitas Es jelek Teknik penyusunan ikan di palka kurang baik
Penanganan secara cepat dan selama proses menjaga suhu pusat tuna maksimal 4,4oC. Peralatan dan pekerja yang melakukan penanganan dan lingkungan kapal dalam keadaan saniter dan higienis Penanganan secara cepat dan selama proses menjaga suhu pusat tuna maksimal 4,4oC. Peralatan dan pekerja yang melakukan penanganan dan lingkungan palka kapal dalam keadaan saniter dan higienis Teknik penyusunan ikan di palka yang baik agar ikan tidak rusak
6
Pembongkaran dan sda pemindahan ikan ke Tuna Loading Center (TLC)
sda
sda
Penyimpangan Penanganan secara cepat dan suhu selama proses menjaga suhu pusat tuna maksimal 4,40C. Kontaminasi alat Peralatan dan pekerja yang dan pekerja melakukan penanganan dan Teknik lingkungan PPI/PPN dalam pembongkaran keadaan saniter dan higienis dan pemindahan Hindari paparan sinar matahari kurang baik langsung, melakukan bongkar Paparan sinar muat dan pendaratan dengan matahari cepat.
7
Sortasi
sda
sda
Penyimpangan
sda
Penanganan secara cepat dan
suhu selama proses menjaga suhu pusat tuna maksimal 4,40C. Kontaminasi alat dan pekerja Peralatan dan pekerja yang melakukan penanganan dan Teknik sortasi lingkungan bak penampung kurang baik dalam keadaan saniter dan Paparan sinar higienis matahari Hindari paparan sinar matahari langsung.
145
8
Pembersihan pencucian
dan sda
sda
sda
Penyimpangan suhu Kontaminasi alat dan pekerja Kualitas air kurang baik Paparan sinar matahari Sistem pembuangan air kotor jelek/tergenang
Penanganan secara cepat dan selama proses menjaga suhu pusat tuna maksimal 4,40C. Peralatan dan pekerja yang melakukan penanganan dan lingkungan bak penampung dalam keadaan saniter dan higienis Hindari paparan sinar matahari langsung. Setelah penyiangan dan sortasi, ikan dicuci sampai benar – benar bersih, ditiriskan, baru kemudian siap didinginkan/ dibekukan. Pencucian menggunakan air yang mengalir atau disemprot dengan tekanan yang cukup dan bersuhu rendah
9
Penimbangan
sda
sda
sda
Penyimpangan suhu
Penanganan secara cepat dan selama proses menjaga suhu
146
10
Penyimpanan dalam sda bak penampung
sda
sda
11
Pengemasan
sda
sda
sda
pusat tuna maksimal 4,4oC. Kontaminasi alat Peralatan dan pekerja yang dan pekerja melakukan penanganan dan Teknik lingkungan bak penampung penimbangan dalam keadaan saniter dan kurang baik higienis Paparan sinar Hindari paparan sinar matahari matahari langsung Penyimpangan Penanganan secara cepat dan suhu selama proses menjaga suhu pusat tuna maksimal 4,4oC. Kontaminasi alat Peralatan dan pekerja yang dan pekerja melakukan penanganan dan Teknik lingkungan bak penampung penyimpanan dalam keadaan saniter dan kurang baik higienis Kualitas media pendingin (Es dan Hindari paparan sinar matahari langsung air) kurang baik Sda Penanganan secara cepat dan selama proses menjaga suhu pusat tuna maksimal 4,4oC. Peralatan dan pekerja yang melakukan penanganan dan lingkungan dalam keadaan saniter dan higienis
LAMPIRAN 2 Penanganan Ikan di Atas Kapal Dari hasil FES task crucial yang paling berpengaruh adalah cara mematikan ikan, berikut ini adalah cara mematikan ikan yang benar menurut Blanc et al. (2005) dan Bell (2003) Teknik Pengangkatan Ikan ke Kapal dan Mematikan Ikan Cara mematikan ikan Tuna sangat berpengaruh pada fisik ikan karena berpotensi untuk merusak fisik ikan. Ikan Tuna yang ditangkap harus diperlakukan dengan sangat hati-hati dan menggunakan sarung tangan ketika menanganinya. Agar tidak meninggalkan tanda atau bekas telapak tangan. Disisi lain penggunanaan ganco untuk menarik ikan ke atas kapal harus selalu dilakukan pada bagian kepala dan jangan pernah melakukannya pada bagian badan, tenggorokan, atau jantung. Gunakan dua alat ganco untuk ikan besar dengan memasukkan alat ganco kedua pada bagian mulut (Gambar 1).
Gambar 1. Penggancoan ikan pada bagian kepala (Blanc et al., 2005).
147
Lantai kapal sebaiknya diberi alas busa, karpet, atau matras untuk mencegah cacat fisik ikan, juga untuk mencegah terjadi pelipatan sirip bagian pektoral, pada saat membalik ikan yang dapat menyebabkan sirip menjadi rusak. Untuk Tuna dengan bobot yang besar di atas 25 kg, sebaiknya otak dan sistem saraf pusat dirusak, supaya ikannya tenang, dengan cara ikan dipingsankan oleh pukulan tajam pada bagian atas kepala (antara mata) dengan menggunakan pemukul ikan atau alat tumpul lainnya. Cara lain untuk membuat ikan tenang adalah dengan menutup matanya menggunakan sarung tangan atau lembaran kain.
Gambar 2. Pemingsanan serta pengrusakan otak dan saraf ikan tuna (Blanc et al., 2005).
Desain Dan Konstruksi Kapal Ikan Kapal ikan secara umum harus didesain untuk memenuhi fungsinya utamanya untuk menangani hasil tangkapan ikan agar ikan yang dihasilkan bisa memnuhi syarat mutu
148
yang diinginkan, ada beberapa hal utama yang harus diperhatikan : sebagai kapal penangkap ikan harus didesain agar bisa higienes, Tidak mengandung material berbahaya baik secara biologis maupun kimiawi serta tahan karat karena selalu bersentuhan dengan airlaut, Konstruksi dan desain tidak mengakibatkan kerusakan fisik pada ikan, sistem drainage dirancang tidak mencemari ikan (tidak tercemar oleh air comberan,oli, gemuk dan kotoran lainnya) dan mudah dibersihkan dan disinfeksi, Tata letak di atas kapal memungkinkan penanganan ikan secara cepat dan terlindungi oleh paparan sinar matahari langsung, pengeringan oleh angin,tercemar oleh pembuangan asap/gas mesin, Tempat penampungan dan pengolahan dan penyimpanan ikan tidak berdekatan dengan bagian kapal yang memiliki pengaruh panas yang dapat menaikan suhu ikan. Khusus untuk palka ikan ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan :
Konstruksi palka harus terbuat dari bahan tahan karat, tidak mengandung bahan yang bisa mencemarkan ikan.
Ambang palka, lubang palka dan penutup palka harus diinsulasi dan kedap air (agar air lelehan es tidak menyusup melalui lapisan penutup dan membasahi bahan insulasi dan panas tidak masuk ke dalam palka yang akan cepat melelehkan es dan menaikan suhu ikan yang mengakibatkan ikan cepat busuk),
Konstruksi palka harus sederhana dan
mudah dibongkar pasang (agar
penanganan ikan bisa cepat dan efisien)
Harus memiliki lubang pembuangan palka yang ada pegangan dan alur yang memungkinkan air, lendir dan darah cepat mengalir meninggalkan ikan.
Harus memiliki kolam pembuangan yang dilengkapi pula dengan pompa pembuangan air kotoran yang mempunyai filter agar air lelehan dan buangan dari palka dan tangki cepat mengalir ke dalam kolam pembuangan.
149
Contoh gambar penampang komponen palka berinsulasi dapat dilihat pada gambar Keterangan :
1
4
2
5
3
6
1.
Dinding luar palka
2.
Lapisan penahan uap air
3.
Lapisan insulasi
4.
Lapisan penahan uap air
5.
Dinding dalam palka
6.
Lapisan dinding dalam palka
Salah satu faktor yang paling penting adalah memilih sistem pendingin yang tepat yang akan digunakan pada kapal penangkap ikan, ada beberapa sistem pendigin yang sering digunakan di kapal penangkap ikan : Pendinginan ikan dengan es atau pengesan (Icing), penyimpanan menggunakan palka ikan berinsulasi, banyaknya es yang digunakan untuk mendinginkan ikan sejumlah berat ikan mencapai suhu 00C dengan perbandingan 2 : 1. Cara penyusunan ikan dan es atau cara pengesan disekitar ikan akan menentukan kecepatan pendinginan ikan Pendinginan ikan dengan udara dingin (Chiling in cold air), menggunakan ruagan palka atau kamar dingin (chillrom) yang dilalui oleh lilitan atau gulungan pipa evaporator dari suatu refrigrasi mekanik yang dilengkapi dengan kipas Pendinginan ikan dengan es air laut, pemakaian es yang dibuat dari air laut (sea water ice) atau es air garam (salt water ice) untuk mendinginkan ikan. Es air laut yang mengandung 3% garam natrium clorida harus dibuat proses kilat (cepat)
150
Pendinginan ikan dengan air yang didinginkan (Chiling in water), memanfaatkan air yang didinginkan sebagai medium pendingin guna menurunkan suhu ikan mencapai 00C sampai - 10C selama penyimpanan. Air yang digunakan adalah air tawar atau air asin yang mempunyai mutu kesehatan yang diizinkan yang didinginkan dengan cara penambahan es. Pendinginan ikan dengan es kering, menggunakan es kering yang terbuat dari bahan kimianya adalah karbondioksida CO2, tidak berwarna, titik beku dan leleh berada pada suhu 0 0C dan es dalam bentuk padat Pendinginan ikan dengan teknologi Refrigrasi, Standart Konstruksi Palka kapal Ikan Menurut SNI 8091:2014, Penanganan ikan di atas kapal – Fasilitas palka ikan beku, khususnya untuk kontruksi palka ikan beku berpendinginan harus berdasarkan stadart di bawah ini : 1. Konstruksi palka ikan beku berpendingin Struktur konstruksi palka ikan potensi bahaya : tidak dapat menopang struktur palka tujuan : Mampu menahan beban dalam palka petunjuk : Penggunaan bahan standar: a. Bahan kayu kelas awet minimal III b. Bahan kayu kelas kuat minimal III c. Bahan Fiberglass Reinforced Plastic - marine use/grade harus disertifikasi oleh salah satu lembaga Klasifikasi 2. Insulasi palka ikan potensi bahaya : tidak dapat mempertahankan suhu dalam palka ikan tujuan : mempertahankan suhu yang diinginkan
151
petunjuk : penetrasi panas dari luar maka palka ikan harus dilengkapi insulasi yang cukup, misalnya: a. Bahan polyurethane b. Bahan styrofoam/polysterene c. Bahan karet matras d. Bahan polysterene dicampur polyurethane 3. Lapisan dinding (lining) palka ikan potensi bahaya : rusaknya dinding palka tujuan : mempertahankan dinding palka dan mutu ikan petunjuk : Penggunaan bahan tidak beracun, misalnya: a. Bahan marine plywood b. Bahan logam (non korosif) c. Bahan fiberglass 4. Evaporator potensi bahaya : tidak optimalnya kerja evaporator tujuan : memperoleh kesesuaian dan efektivitas kerja evaporator petunjuk : penempatan evaporator: a. Lilitan (koil) pipa letaknya melekat pada dinding palka b. Lilitan (koil) pipa letaknya melekat pada dinding palka dan rak pipa c. Lilitan (koil) pipa letaknya melekat pada dinding palka dan lilitan pipa tambahan untuk hembusan udara dingin air blast menggantung atau berdiri sendiri. 5. Konstruksi evaporator potensi hazard : tidak terpenuhi persyaratan pendinginan tujuan : mendapatkan kualitas konstruksi dan kapasitas pendinginan
152
petunjuk : Penggunaan ukuran dan jenis pipa Bahan logam anti korosif - marine use/grade harus disertifikasi oleh salah satu lembaga klasifikasi/standar 6.
Fasilitas Palka a) Ambang Palka
Gambar. Ambang Palka (sumber : SNI 8091:2014)
b) Tutup Palka
Gambar. Tutup Palka (sumber : SNI 8091:2014)
c) Tutup Palka Dalam d) Pintu Palka Khusus Sistem Tekan Yang Dapat Dibuka Luar Dalam e) Thermometer f) Lampu
153
g) Lantai kerja berpara-para h) Dinding-Dunage i) Tangga Portable j) Tombol Alarm k) Pipa Evaporator l)
Sekat
Gambar. Sekat Dinding Palka (sumber : SNI 8091:2014)
m) Sekat Bongkar Pasang
Gambar. Sekat Palka (sumber : SNI 8091:2014)
n) Ceruk Palka
154
Gambar. Ceruk Palka (sumber : SNI 8091:2014) o) saringan (strainer) dan saluran pembuangan air limbah p) Pompa Bilga Palka
Gambar Pompa Bilga Palka dan Salurannya (sumber : SNI 8091:2014) q) Blower r) Alat Pencair Es (defrost) s) Tiang Sekat (pen board)
155
Gambar. Tiang Sekat Bongkar Pasang (sumber : SNI 8091:2014)
Gambar Konstruksi Penampang Palka Kapal Ikan Beku (sumber : SNI 8091:2014) Cara Penanganan Ikan yang Baik pada Kapal Penangkap Ikan Menurut Peraturan DIRJEN Perikanan Tangkap No. 84/PER-DJPT/2013, tentang Sertifikasi Cara Penanganan Ikan yang Baik pada Kapal Penangkap Ikan dan/atau Kapal pengangkut Ikan, ada beberapa aspek yang dinilai :
156
A. Good Handling Practices (GHdP)
Lingkungan tempat Pembongkara Ikan
Konstruksi kapal Perikanan
Pembongkaran dan Pengangkutan Ikan
Persyaratan Suhu dan Tempat Penyimpanan Ikan
B. Standard Sanitation Operating Procedure (SSOP)
Air, Es dan BBM
Peralatan dan Perlengkapan yang kontak dengan Produk
Kebersihan Ruangan dan Peralatan
Bahan Kimia dan Bahan berbahaya
Limbah Padat dan Limbah Lainnya
Kebersihan dan Kesehatan ABK
Pest Control
Teknik Pembongkaran Ikan Beku Di Atas Kapal Menurut SNI 8089:2014, Teknik pembongkaran ikan beku di atas kapal, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan : 1) Penyiapan geladak kerja Potensi bahaya : kontaminasi bakteri patogen Tujuan : geladak kerja bersih dan terlindung dari panas matahari Petunjuk : geladak kerja disiram dengan air laut bersih dan disikat sampai bersih. Terpal dipasang diatas geladak kerja untuk melindungi dari panas matahari. 2) Pengecekan suhu ikan Potensi bahaya : kontaminasi bakteri pathogen dan kemunduran mutu Tujuan : mengetahui suhu ikan Petunjuk : ikan sampel diambil dari palka secara acak. Bagian tubuh ikan yang tebal ditusuk sampai bagian tengah dan dimasukan sensor termometer. Setelah beberapa saat dimana indikator termometer setabil, catat suhu yang ditunjukkan. 157
3) Pembongkaran ikan dari palka Potensi bahaya : cacat fisik, kontaminasi bakteri patogen dan penurunan mutu Tujuan : memindahkan ikan dari palka ke gladak kerja Petunjuk : ikan dikeluarkan dari palka dan diletakkan diatas geladak kerja dengan hati-hati. Untuk mengeluarkan ikan besar digunakan tali yang ditarik orang atau dengan katrol tenaga listrik. Untuk mengeluarkan ikan kecil digunakan serok (scope net) yang ditarik dengan katrol tenaga listrik. 4) Memindahkan ikan dari geladak kerja ke alat pengangkut Potensi bahaya : rusak fisik, kontaminasi bakteri patogen dan penurunan mutu Tujuan : memindahkan ikan dari geladak kerja ke alat pengangkut Petunjuk : Ikan dipindahkan dengan atau tanpa keranjang/wadah ke dalam alat pengangkut dengan hati-hati. Untuk memudahkan pemindahan ikan dari kapal ke alat pengangkut dapat digunakan papan peluncur, katrol atau alat lainnya. Alat pengangkut diberi tutup untuk melindungi panas matahari.
158
Lampiran 3. Kriteria Grade TTC Kriteria
Grade A
Grade B
Mata
Bersih, terang, dan menonjol
Bersih, terang, dan menonjol
Kulit
Kulit normal, warna bersih, dan cerah
Kulit normal, warna bersih, dan sedikit lendir
Bau
Bau ikan segar
Bau ikan segar
Tekstur daging
Keras, kenyal, elastis (bigeye), lebih lembut dan elastis (yellow fin), jaringan daging tidak pecah Warna daging merah tua seperti bunga mawar (bigeye), warna daging merah seperti darah segar atau buah semangka (yellow fin), yake tidak ada Penampakan bagus dan utuh, tidak ada kerusakan fisik
Agak kenyal dan elastis, jaringan daging tidak pecah
Warna daging
Kondisi ikan
Grade C
Grade D
Bersih, agak keruh, dan agak tenggelam Kulit sedikit terkelupas, warna bersih, dan berlendir Bau ikan kurang segar dan ada bau lain Agak lunak, kurang elastis, jaringan daging agak sedikit pecah
Mata keruh dan tenggelam
Warna daging merah agak terang, ada sedikit yake
Warna daging kurang merah, ada yake
Warna daging merah pudar agak kecoklatan, ada yake
Penampakan bagus dan utuh, tidak ada kerusakan fisik
Ikan tidak utuh (ada sedikit cacat)
Terjadi kerusakan fisik padaa tubuh ikan (daging sobek)
Kulit mulai tidak normal (terkelupas), dan berlendir Bau ikan tidak segar, dan ada bau lain Lunak, jaringan daging pecah
159
……………..Halaman ini sengaja dikosongkan……………..
160
BIOGRAFI SINGKAT PENULIS
Nama
: Grasiano Warakano Lailossa, ST, MT
Tempat, Tanggal Lahir : Ambon, 14 Desember 1965 Agama
: Kristen
Pekerjaan
: PNS, Dosen Dpk KOPERTIS Wilayah XII
Alamat kantor
: Jalan Kopertis, Karang Panjang, Ambon, 97128
Alamat Rumah
: Jalan Dr Kayadoe, No.10B, Ambon 97116
Alamat email
: [email protected]
Nama Isteri
: Dr Charlotha.I.Tupan/Lailossa
Nama Anak
: 1. Lordwino lailossa 2. Deogifta.G.Lailossa
RIWAYAT PENDIDIKAN
S3 : Institut teknologi Sepuluh Nopember, Teknologi Kelautan, 2017
S2 : Institut teknologi Sepuluh Nopember, Teknologi Kelautan, 2009
S1 : Universitas Pattimura, Teknik Sistim Perkapalan 2004
SMA Negeri 1, Ambon, 1984
SMP Kristen Ambon, 1981
SDN Latihan SPG, Ambon 1977
RIWAYAT PEKERJAAN 2004 hingga sekarang : Dosen Dpk KOPERTIS Wilayah XII 161
DAFTAR PUBLIKASI ILMIAH Jurnal Internasional 1. Lailossa,Grasiano.W, Artana,Ketut Buda, Pujawan Nyoman, Dinariyana, A.A.B. (2016), “.Model of Strategy Quality Improvement of Tuna and Other Species in The Cold Chain System (Fuzzy Expert Systems Approach)”, Aquaculture, Aquarium, Conservation & Legislation (AACL) Bioflux, Rumania, Vol. 9, Issue 5, pp. 1154-1166. 2. Lailossa,Grasiano.Warakano (2015), Preliminary Study, Risk Analysis and HACCP in Cold Chain System, Frozen Yellow Fin Tuna in Moluccas “, Journal of Agricultural Studies Vol. 3, No. 2, pp. 248-257. 3. Lailossa,Grasiano.W(2015), The new paradigm of cold chain management systems and it’s logistics on Tuna fishery sector in Indonesia”, Aquaculture, Aquarium, Conservation & Legislation (AACL) Bioflux, Rumania, Vol. 8, Issue 3, pp. 381-389. Konferensi 1. Lailossa, Grasiano Warakano, Artana,Ketut Buda, Dinariyana, A.A.B. (2010),” Cold Chain System (future research prespective)”, Proceeding 2nd International Seminar on Applied Technology Science and Arts-APTECS ITS, pp.23
,Surabaya
,ITS.
available
at,
http://aptecs.its.ac.id/2010/paper/Proceeding%20APTECS%202rd%202010.p df 2. Grasiano Warakano Lailossa (2009),” Studi Awal Design Model Sistem Rantai Dingin (Cold Chain System) Komoditas Unggulan Ekspor Sektor Perikanan Maluku (Ikan Beku/Frozen Fish)”, Prosiding Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, FTK-ITS, Surabaya. 3. Grasiano W Lailossa (2009) “Analisa Perbandingan Penggunaaan Kompresor
Tunggal dan Tiga kompresor dengan Sistem Individual Expansion Valve untuk Cold Storage Kapasitas 50 ton untuk Pasar Ikan Lokal di Pulau Ambon, Prosiding Seminar Nasional Pasca Sarjana ITS-IX, Surabaya, Agustus 2009.
162