EKSPLORASI BAKTERI POTENSIAL SEBAGAI PUPUK HAYATI PADA LAHAN GAMBUT BEKAS TERBAKAR DAN LAHAN GAMBUT TIDAK TERBAKAR DARI RIAU
ADE WIRATAMA E 14203017
1420301
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
EKSPLORASI BAKTERI POTENSIAL SEBAGAI PUPUK HAYATI PADA LAHAN GAMBUT BEKAS TERBAKAR DAN LAHAN GAMBUT TIDAK TERBAKAR DARI RIAU
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan Pada Fakultas Kehutanan InstitutPertanian Bogor
ADE WIRATAMA E 14203017
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Eksplorasi Bakteri Potensial Sebagai Pupuk Hayati pada Lahan Gambut Bekas Terbakar dan Lahan Gambut Tidak Terbakar dari Riau adalah benar-benar karya saya sendiri dengan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi maupun lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan di dalam teks dan dicantumkan di dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, April 2010
Ade Wiratama NRP E14203017
Eksplorasi Bakteri yang Berpotensi sebagai Pupuk Hayati pada Lahan Gambut Bekas Terbakar dan Lahan Gambut Tidak Terbakar dari Riau. Oleh : Ade Wiratama, Lailan Syaufina, dan Nisa Rachmania Mubarik Pendahuluan. Gambut adalah tanah yang mengandung bahan organik lebih dari 30 %. Gambut terbentuk dari hasil dekomposisi bahan-bahan organik seperti daun, ranting, dan semak belukar, yang berlangsung dalam kecepatan lambat dan dalam suasana anaerob. Kebakaran lahan gambut menyebabkan kematian bakteri sehingga menimbulkan berkurangnya penurunan populasi bakteri. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengidentifikasi keragaman bakteri yang berpotensi sebagai pupuk hayati untuk tanaman hutan yang dapat dikulturkan pada tanah gambut bekas terbakar dan tanah gambut tidak terbakar. Bahan dan Metode. Proses pengayaaan dan pertumbuhan bakteri dilakukan dengan mencampur 5 gram tanah gambut ke dalam erlenmeyer yang berisi 50 ml media NB (perbandingan 1 : 10), kemudian digoyang dalam inkobator goyang dengan kecepatan 100 rpm, penghitungan jumlah sel bakteri dilakukan dengan pengenceran serial dengan menggunakan tekhnik penghitungan cawan. Identifikasi bakteri dilakukan dengan pewarnaan Gram kemudian dilakukan pewarnaan endospora untuk mengetahui kemampuan bakteri membentuk endospora Hasil dan Pembahasan. Dari penelitian didapatkan jumlah sel bakteri pada tanah gambut tidak terbakar sebanyak 1,4 x 109 sel/g dan pada tanah gambut bekas terbakar sebanyak 1,8 x 108 sel/g. Pada tanah gambut tidak terbakar ditemukan bakteri pelarut fosfat sebanyak 3600 sel/g, bakteri Lactobacillus sebanyak 25100 sel/g dan bakteri Rhizobium sebanyak 4075 sel/g. Sedangkan pada tanah gambut bekas terbakar terdapat bakteri pelarut fosfat 8650 sel/g, bakteri Lactobacillus sebanyak 6350 sel/g dan bakteri Rhizobium sebanyak 1250 sel/g. Kesimpulan. Terjadi penurunan jumlah total sel bakteri setelah terjadinya kebakaran gambut, penurunan jumlah sel bakteri Rhizobium, bakteri Lactobacillus dan terjadi kenaikan jumlah sel bakteri pelarut fosfat. Kata Kunci : Bakteri, Pupuk Hayati, Gambut.
Exploration of Potential Bacteria as Biofertilizer Used On Burned and Unburned Peat Soil from Riau. By : Ade Wiratama, Lailan Syaufina and Nisa Rachmania Mubarik
Introduction. Peat is a soil type that contain organic material more than 30%. Peat is formed from decomposition of organic materials like leaves, twigs, and shrubs, which took place in a slow speed and in the anaerobic condition. Peat fire caused the death of the bacteria that cause less reduction in bacterial populations. The purpose of this research was to identify the potential diversity of bacteria as biofertilizer for forest crops that could be cultured on burned and unburned peat soils. Research Method. Enrichment process and the growth of bacteria was done by mixing 5 grams of peat soil in erlenmeyer containing 50 ml NB medium (ratio 1: 10), and then stirred on stirring incubator at 100 rpm, bacterial cell count was done by using serial dilutions with plate-count technique. Identification of bacteria was done by Gram staining technique and then endospore staining was performed to determine the ability of bacteria to form endospore. Result and discussion. The result showed that the total of bacterial cell in unburned peat soil was 1.4 x 109 cell/g and in burned peat soil was 1.8 x 108 cell/g. In unburned peat soil there were 3600 cell/g of phosphate dissolving bacteria, 25100 cell/g of Lactobacillus and 4075 cell/g of Rhizobium. While in burned peat soil there were 8650 cell/g of phosphate dissolving bacteria, 6350 cell/g of Lactobacillus and 1250 cell/g of Rhizobium. Conclusion: There was a reduction in total bacterial cell of Rizhobium and Lactobacillus at burned peat soil compared to unburned peat soil. On the contrary, cell total of phosphate dissolving bacteria showed increase in unburned peat soil. Key word : Bacteria, Biological Fertilizer, Peat
LEMBAR PENGESAHAN Judul Penelitian :
Nama mahasiswa : Nomor pokok :
Eksplorasi Bakteri Potensial sebagai Pupuk Hayati pada Lahan Gambut Bekas Terbakar dan Lahan Gambut Tidak Terbakar dari Riau Ade Wiratama E 14203017
Menyetujui : Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc. NIP. 196406131989032001
Dr. Nisa Rachmania Mubarik, M.Si. NIP. 196711271993022001
Mengetahui : Dekan Fakultas Kehutanan IPB
Dr. Ir. Hendrayanto, M. Agr. NIP. 196111261986011001
Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Allah SWT atas kesempatan dan rahmat yang diberikan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan menyusun skripsi ini dengan baik. Shalawat beserta salam semoga tetap tercurah kepada junjungan kita semua Rasulullah Muhammad SAW. Skripsi ini merupakan laporan akhir dari penelitian penulis yang berjudul ”Eksplorasi Bakteri Potensial sebagai Pupuk Hayati pada Lahan Gambut Bekas Terbakar dan Lahan Gambut Tidak Terbakar dari Riau”. Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB selama bulan Februari sampai Mei 2008. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Pada Kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1.
Ibu Dr. Ir Lailan Syaufina, M. Sc selaku dosen pembimbing pertama dan Ibu Dr. Nisa Rachmania Mubarik, M. Si selaku dosen pembimbing kedua, yang senantiasa membimbing, memberikan petunjuk, nasehat, dan arahan demi terselesaikannya skripsi ini.
2.
Ibu Istie Sekartining Rahayu, S. Hut. M.Si selaku dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan dan Bapak Ir. Rahmad Hermawan, M.Sc selaku dosen penguji dari Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata.
3.
Kedua orang tuaku tercinta, Ayahanda Syafrizal dan Ibunda Surya Ningsih, adikku Diky Suryanto dan Diah Rodiah yang senatiasa memberikan dukungan, perhatian, motivasi dan doa kepada penulis.
4.
Keluarga besar di Muara Labuh, Surian, Padang Pariaman, Jakarta dan Karawang yang senatiasa memberikan dukungan, perhatian, motivasi dan doa kepada penulis
5.
Laboratorium mikrobiologi, Departemen Biologi Institut Pertanian Bogor serta seluruh Pegawainya.
6.
Teman- teman satu penelitian di laboratorium mikrobiologi (Angel, Niko, Desi Encah, Joni, Yayo, Deni, Vina, Kiky, Neta, Laila, Nurul, Irni, Winda, dan Syamsul) atas segala bantuannya.
7.
Teman-teman di laboratorium kebakaran hutan dan lahan (Mita, Lukman, Bagus, Sofa, Icha dan Eka).
8.
Keluarga besar Asrama Sylvasari atas persaudaraan, bantuan dan dukungan yang diberikan.
9.
Semua teman-teman di Program Studi Budi Daya Hutan angkatan 40.
10. Pak Wardana, Bu Aliyah dan Pak Ismail atas segala bantuannya. 11. Dan semua pihak yang namanya tidak bisa dicantumkan satu-persatu yang telah membantu penulis.
Bogor, April 2010
Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Surian, Sumatera Barat, pada tanggal 31 Desember 1984 sebagai anak pertama dari dua bersaudara dari Bapak Syafrizal dan Ibu Surya Ningsih. Pendidikan formal penulis dimulai di SD Negeri 43 Kampung Palak Pasir Solok Selatan pada tahun 1991 – 1997. Kemudian dilanjutkan di SLTP Negeri 2 Sungai Pagu Solok Selatan pada tahun 1997 -2000. Pada tahun 2000 penulis melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 1 Sungai Pagu Solok Selatan dan lulus pada tahun 2003. Pada tahun 2003, penulis diterima menjadi mahasiswa pada Program Studi Budi Daya Hutan, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor melalui Jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama menempuh pendidikan di Fakultas Kehutanan IPB, penulis melaksanakan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan pada tahun 2006 di Cagar Alam dan Taman Wisata Kamojang dan Cagar Alam Leuweung Sancang serta KPH Purwakarta Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. Pada tahun 2007 penulis mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Sukadamai, Kecamatan Dramaga. Bogor. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan IPB, penulis melakukan penelitian yang dilanjutkan dengan menyusun skripsi yang berjudul ”Eksplorasi Bakteri Potensial Sebagai Pupuk Hayati pada Lahan Gambut Bekas Terbakar dan Lahan Gambut Tidak Terbakar dari Riau” di bawah bimbingan Dr. Ir. Lailan Syaufina, M. Sc. dan Dr. Nisa Rachmania Mubarik, M. Si.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI .............................................................................................. ix DAFTAR GAMBAR................................................................................... x DAFTAR LAMPIRAN............................................................................ .. xi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang .............................................................................. 1 1.2. Tujuan ........................................................................................... 2 1.3. Manfaat Penelitian ........................................................................ 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebakaran Hutan ........................................................................... 3 2.1.1. Definisi ................................................................................ 3 2.1.2. Bahan Bakar Hutan .............................................................. 3 2.1.3. Fase Pembakaran ................................................................. 3 2.1.4. Dampak Kebakaran Hutan................................................... 5 2.2. Gambut .......................................................................................... 7 2.2.1. Definisi ................................................................................ 6 2.2.2. Klasifikasi Tanah Gambut ................................................... 7 2.2.3. Sifat-Sifat Tanah Gambut .................................................... 8 2.3. Pupuk Hayati ................................................................................ 11 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ...................................................... 12 3.2. Bahan dan Alat Penelitian............................................................. 12 3.3. Metode Penelitian.......................................................................... 12 3.3.1. Pengambilan Sampel ........................................................... 12 3.3.2. Pengayaan – Pertumbuhan Bakteri ..................................... 12 3.3.3. Penghitungan Jumlah Sel Bakteri ...................................... 13 3.3.4 Pertumbuhan Bakteri pada Media Selektif .......................... 13 3.3.5. Identifikasi Bakteri dengan Pewarnaan Gram..................... 13 3.3.6. Identifikasi Bakteri Pembentuk Endospora .......................... 13 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sampel Tanah Gambut .................................................................. 15
4.2. Jumlah Sel Bakteri ....................................................................... 15 4.3. Keragaman Bakteri yang Diuji pada Media Selektif .................... 17 4.3.1. Isolasi Bakteri Pelarut Fosfat ............................................... 17 4.3.2. Isolasi Bakteri Lactobacillus ................................................ 18 4.3.3. Isolasi Bakteri Rhizobium .................................................... 20 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ................................................................................... 22 5.2. Saran .............................................................................................. 22 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 23
DAFTAR GAMBAR
No.
Halaman
1.
Jumlah Total Sel Bakteri Pelarut Fosfat.........................................
17
2.
Jumlah Total Sel Bakteri Lactobacillus ........................................
19
3.
Jumlah Total Sel Bakteri Rhizobium..............................................
20
DAFTAR LAMPIRAN No.
Halaman
1. Sifat Fisik, Kimia Dan Biologi Tanah Gambut Fibrik............................. 26 2. Hasil Penghitungan Jumlah Sel Bakteri Tanah Gambut Tidak Terbakar ............................................................ 26 3. Hasil Penghitungan Jumlah Sel Bakteri Tanah Gambut Bekas Terbakar ........................................................ ............................ 26 4. Lampiran I Peratuan Pemerintah No 4 Tahun 2001............................... 27 5. Hasil Pewarnaan Gram Tanah Gambut Bekas Terbakar dari Riau Media NA. ............................................................................. 28 6. Hasil Pewarnaan Gram Tanah Gambut Tidak Terbakar dari Riau Media NA. ............................................................................ 28 7. Hasil Pewarnaan Gram dan Pewarnaan Endospora Bakteri Pelarut Fosfat .......................................................................... 29 8. Hasil Pewarnaan Gram dan Pewarnaan Endospora Bakteri Lactobacillus .......................................................... 29 9. Hasil Pewarnaan Gram dan Pewarnaan Endospora Bakteri Rhizobium ................................................................................ 30
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Gambut adalah tanah yang mengandung bahan organik lebih dari 30 %. Gambut terbentuk dari hasil dekomposisi bahan-bahan organik seperti daun, ranting, dan semak belukar, yang berlangsung dalam kecepatan lambat dan dalam suasana anaerob. Tanah gambut umumnya memiliki pH rendah, kapasitas tukar kation (KTK) tinggi, kejenuhan basa rendah, kandungan K, Ca, Mg, P rendah dan kandungan unsur mikro (Cu, Zn, Mn, dan B) rendah. Lahan gambut di Indonesia diperkirakan seluas 20,1 juta ha. Cadangan gambut yang ada di Indonesia tersebut terdapat di Pulau Sumatera 7,14 juta Ha, Pulau Kalimantan 4,30 juta Ha dan Pulau Papua 8,40 juta Ha (Dwiyono & Rahman 1996 dalam Syaufina 2008) Kebakaran lahan gambut mempunyai ciri tersendri berbeda dengan kebakaran di areal tanah mineral. Kebakaran lahan gambut tidak berada di atas permukaan yang pemadamannya relatif lebih mudah untuk dikelola. Meskipun sumber pertama api tetap dari permukaan melalui sistem pembukaan lahan dengan cara membakar namun penyebaran api pada lahan gambut berada di bawah permukaan (ground fire). Api membakar bahan organik pembentuk gambut melalui pori-pori gambut secara tidak menyala (smoldering) sehingga yang terlihat ke permukaan hanya kumpulan asap putih. Berdasarkan karakteristik ini maka pemadaman api akan sangat sulit karena harus dilakukan dari dalam gambut itu sendiri dan dari atas karena penyebaran api di lahan gambut dapat secara horizontal dan vertikal (WWF 2006). Kebakaran lahan gambut menyebabkan kematian bakteri sehingga menimbulkan berkurangnya penurunan populasi bakteri. Bakteri memainkan peranan penting dalam dekomposisi dan mineralisasi bahan organik, karena proses ini paling banyak berperan dalam penyusutan gambut setelah dilakukan reklamasi dan drainase (Andriesse 1988). Kebakaran gambut menyebabkan hilangnya biomasa dan keanekaragaman hayati, hilangnya sumberdaya gambut, terjadinya proses subsiden, dan hilangnya fungsi penyerapan karbon (Syaufina
2008). Penelitian tentang keragaman bakteri yang terdapat pada tanah gambut bekas terbakar dan tanah gambut tidak terbakar sampai saat ini masih jarang dilakukan. Mengingat peran penting bakteri dalam proses pembentukan tanah gambut maka penelitian ini sangat diperlukan. . 1.2. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini ialah untuk mengidentifikasi keragaman bakteri yang berpotensi sebagai pupuk hayati bagi tanaman hutan yang dapat dikulturkan pada tanah gambut bekas terbakar dan tanah gambut tidak terbakar.
1.3. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini yaitu dapat memberikan masukan dan informasi dalam pengelolaan lahan gambut sehingga diharapkan dapat menciptakan hutan gambut yang lestari.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebakaran Hutan 2.1.1 Definisi Kebakaran hutan didefinisikan sebagai suatu kejadian dimana api melalap bahan bakar bervegetasi yang terjadi di dalam kawasan hutan yang menjalar secara bebas dan tidak terkendali, sedangkan kebakaran lahan terjadi di kawasan bukan hutan (Syaufina 2008). 2.1.2. Bahan Bakar Pada dasarnya, sifat bahan bakar dapat dikelopokkan ke dalam dua kategori, yaitu sifat dasar (intrinsic) bahan bakar yang meliputi kimia bahan bakar, kerapatan, kapasitas panas, kandungan ether ekstraktif dan abu bebas silika; dan sifat luaran (extrinsic) bahan bakar, yang meliputi muatan bahan bakar, distribusi ukuran bahan bakar, perbandingan bahan bakar hidup dan mati, susunan bahan bakar, kesinambungan bahan bakar dan kekompakan bahan bakar. Sifat bahan bakar bervariasi menurut ruang dan waktu, gambut tropika merupakan bahan bakar yang baik karena mengandung nilai kalor yang tinggi (Syaufina 2008). 2.1.3. Fase Pembakaran Menurut Saharjo (2003) kebakaran hutan terdiri atas tiga fase pembakaran, yaitu : a. Pemanasan (preheating) yaitu fase ketika bahan bakar yang berada di dalam nyala api, dikeringkan, dan secara parsial disuling. b. Penyulingan (distilasi) dari bahan-bahan gas berkelanjutan tetapi dibarengi dengan pembakaran. c. Penyalaan (ignition) sebagai hubungan antar fase pertama dan fase kedua. Penyalaan dapat juga dilihat sebagai awal dari bagian pembakaran ketika oksidasi terjadi.
Tahapan proses dalam pembakaran hutan menurut De Bano et al. (1998) sebagai berikut: a. Pre – ignition Pada tahapan ini bahan bakar mulai terpanaskan, terdehidrasi, dan mulai terjadi proses pirolisasi. Proses pirolisasi yaitu terjadinya pelepasan uap air, CO2 dan gas – gas yang mudah terbakar termasuk metan, metanol, dan hidrogen. Dalam proses pirolisasi terjadi perubahan reaksi dari exothermic menjadi endothermic, dimana bahan bakar menyerap panas sampai mencapai titik bakar. b. Flaming (combustion) Reaksi exothermic pada fase ini dapat menaikkan suhu dari 300 – 500 oC hingga 1400 oC. Peningkatan suhu ini disertai penguapan air dan hancurnya molekul pada jaringan pohon dan lepasnya gas – gas yang mudah menguap. Oksidasi yang tinggi dari bahan organik yang dapat terbakar dan gas - gas lain dapat menghasilkan masa yang paling besar dari produk pembakaran seperti air, CO2, SO2, N2, dan NO(x). c. Smoldering Smoldering adalah fase combustion permulaan dalam tipe bahan bakar ini. Dua zona yang menjadi karakteristik fase smoldering dari pembakaran adalah zona pirolisis dengan berkembangnya hasil – hasil pembakaran dan zona arang dengan pelepasan hasil – hasil pembakaran tidak tampak. Smoldering biasanya terjadi pada fuels beds dengan bahan bakar yang tersusun baik dan aliran oksigen terbatas seperti duff, kayu yang membusuk, dan tanah organik (gambut). d. Glowing Fase glowing adalah bagian akhir dari proses smoldering. Bila suatu kebakaran mencapai fase glowing, sebagian besar dari gas – gas mudah menguap yang hilang dan oksigen mengadakan kontak langsung dengan permukaan dari bahan bakar yang mengarang. Pada fase ini suhu puncak dari pembakaran berkisar antara 300 – 600 oC dan sedikit atau tidak sama sekali menghasilkan asap. Hasil dari fase glowing terutama ialah CO, CO2, dan abu sisa pembakaran.
e.
Extinction Suatu kebakaran akhirnya terhenti bila semua bahan bakar yang tersedia dikonsumsi, atau ketika panas yang dihasilkan melalui oksidasi baik dalam fase smoldering maupun glowing tidak cukup untuk menguapkan air yang dibutuhkan berasal dari bahan bakar yang basah (kadar air tinggi). Panas yang diserap oleh bahan bakar yang lembab, udara sekitar atau mineral organik mengurangi jumlah panas yang tersedia dari pembakaran dan mempercepat proses pemadaman api.
2.1.4. Dampak Kebakaran Hutan De Bano et al. (1998) mengemukakan bahwa penilaian dampak kebakaran hutan dan lahan dapat didekati melalui beberapa cara dengan pendekatan respon ekosistem terhadap api yang dikenal dengan istilah fire severity. Terdapat beberapa klasifikasi fire severity antara lain berdasarkan klasifikasi tanah, kondisi vegetasi dan luas lahan terbakar. a. Berdasarkan Kondisi Tanah 1. Low fire severity Pemanasan tanah rendah, pengarangan bagian bawah yang ringan, serasah
terbakar habis atai mengarang, tetapi lapisan duff (serasah,
fermentasi, humus) masih banyak tersisa. Tanah mineral tidak berubah, permukaan tanah didominasi oleh warna hitam. Suhu tanah pada kedalaman 1 cm kurang dari 50 oC. Suhu kematian untuk organisme tanah terjadi sampai kedalaman 1 cm. 2. Moderate fire severity Pemanasan tanah sedang, pengarangan bawah sedang, serasah terbakar habis dan lapisan duff mengarang atau terbakar habis, lapisan tanah mineral tidak berubah. warna abu lebih terang. Suhu pada kedalaman 1 cm mencapai 100 – 200 oC. Suhu kematian pada organisme tanah terjadi pada kedalaman 3 – 5 cm. 3. High fire severity Pemanasan tanah tinggi, pengarangan bagian bawah dalam, lapisan duff terbakar habis dan lapisan tanah mineral terlihat kemerahan akibat terbakar. Permukaan tanah didominasi oleh warna abu yang putih. Suhu
tanah pada kedalaman 1 cm lebih besar dari 250 oC. Suhu kematian organisme terjadi pada kedalaman 9 – 16 cm. b. Berdasarkan Kondisi Vegetasi 1.
Low fire severity Sekurang-kurangnya 50% pohon tidak menunjukkan kerusakan, sisa pohon lainnya tajuk hangus, pucuk terbakar tetapi masih bertunas, akar mati, lebih dari,80 % pohon yang terbakar dapat bertahan hidup.
2.
Moderate fire severity Antara 20 – 50 % pohon tidak menunjukkan kerusakan, dengan sisa pohon lainnya rusak, 40 – 80 % pohon yang terbakar dapat bertahan hidup.
3.
High fire severity Kurang dari 20 % pohon tidak menunjukkan kerusakan, sisa pohon lainnya rusak terutama akibat mati akar. Kurang dari 40 % pohon yang rusak dapat bertahan hidup.
c. Berdasarkan Luas Lahan yang Terbakar 1.
Low severity burn Kurang dari 2 % lahan terbakar berat, kurang dari lahan 15 % terbakar sedang, dan sisanya terbakar ringan.
2.
Moderate severity burn Kurang dari 10 % lahan terbakar berat, kurang dari lahan 15 % terbakar sedang, dan sisanya terbakar ringan.
3. High severity burn Lebih dari 10 persen spot terbakar berat, lebih dari 80 % terbakar sedang dan sisanya terbakar ringan.
2.2. Gambut 2.2.1. Definisi Secara tradisional gambut didefinisikan sama dengan turf
yang
merupakan jaringan tanaman yang terkarbonisasi sebagian dan terbentuk pada kondisi basah, melalui proses dekomposisi tumbuhan dan lumut-lumutan (Andiesse 1988). Sedangkan menurut Hardjowigeno (1996) tanah gambut dalam taksonomi tanah didefinisikan sebagai tanah yang mengandung bahan organik
lebih dari 20 persen (bila tanah tidak mengandung liat) atau lebih dari 30 persen (bila tanah mengandung liat 60 % atau lebih dan tebalnya lebih dari 40 cm. 2.2.2. Klasifikasi Tanah Gambut Sistem Klasifikasi Tanah (Soil Taxonomy) yang sering dijadikan acuan dalam tata nama tanah-tanah tropik adalah yang dikembangkan oleh Amerika Serikat. Menurut Soepardi (1983) dalam Iswanto (2005), tanah organik diidentifikasikan sebagai golongan histosol berdasarkan sistem klasifikasi komprehensif. Menurut Noor (2001), berdasarkan bahan asal atau penyusunnya, gambut dibedakan menjadi: a. Gambut lumutan (sedimentairy/sedge peat) adalah gambut yang terdiri atas campuran tanaman air (Famili Liliceae) termasuk plankton dan sejenisnya. b. Gambut seratan (fibrous/sedge peat) adalah gambut yang terdiri atas campuran tanaman sphagnum dan rumputan. c. Gambut kayuan (woody peat) adalah gambut yang berasal dari jenis pohon-pohonan (hutan tiang) beserta tanaman semak (paku-pakuan) di bawahnya. Noor (2001), membagi gambut ke dalam 3 (tiga) kelompok berdasarkan sifat kematangannya, yaitu: a. Gambut fibrik adalah bahan tanah gambut yang masih tergolong mentah yang dicirikan dengan tingginya kandungan bahan-bahan jaringan tanaman atau sisa-sisa tanaman yang masih dapat dilihat keadaan aslinya dengan ukuran beragam, dengan diameter antara 0,15 mm hingga 2,00 cm. b. Gambut hemik adalah bahan tanah gambut yang sudah mengalami perombakan dan bersifat separuh matang. c. Gambut saprik adalah bahan gambut yang sudah mengalami perombakan sangat lanjut dan bersifat matang hingga sangat matang.
2.2.3. Sifat-Sifat Tanah Gambut a. Sifat-sifat fisik Menurut Hardjowigeno (1996) Sifat-sifat fisik tanah gambut yang penting ialah tingkat dekomposisinya, kerapatan limbak (Bulk density, irreversibilitas
terhadap
pengeringan,
serta
kemungkinan
terjadinya
subsidence (penyusutan). Berdasarkan atas tingkat dekomposisisnya tanah gambut dibedakan menjadi : Gambut kasar (fibrist) yaitu gambut dengan lebih dari 2/3 bahan organik kasar. Gambut sedang (hemist) yaitu gambut dengan lebih dari 1/3 sampai 2/3 bahan organik kasar. Gambut halus (saprist) yaitu gambut dengan bahan organik kasar kurang dari 1/3. Tanah gambut mempunyai kerapatan limbak yang rendah yaitu kurang dari 0,1 g/cc untuk gambut kasar (fibrist), dan sekitar 0,2 g/cc untuk gambut halus (saprist). Dibandingkan dengan tanah-tanah mineral yang umumnya mempunyai kerapatan limbak sekitar 0,2 maka kerapatan limbak tanah gambut persatuan volume ialah sangat rendah. Sifat fisik lain yang penting pada tanah gambut ialah sifat kering irreversible
bila
terjadi
pengeringan
yang
berlebihan.
Sifat
ini
menunujukkan bila gambut menjadi terlalu kering, maka tidak akan dapat lagi menjadi basah, karena gambut tidak mampu menyerap air kembali. Ini berarti bahwa gambut sulit diusahakan untuk pertanian bila terjadi kekeringan yang berlebihan. Gambut juga mempunyai sifat yang terus menerus menyusut (subsidence) bila perbaikan drainase dilakukan. Hal ini disebabkan proses dehidrasi (kehilangan air) maupun proses dekomposisi bahan organik yang terus-menerus berjalan. b. Sifat-sifat kimia Menurut Hardjowigeno (1996) sifat-sifat tanah gambut sangat beragam mulai dari yang sangat subur (kaya akan unsur hara) sampai sangat miskin. Berdasarkan atas tingkat kesuburannya tanah gambut dapat dibedakan
menjadi gambut eutropik (subur), gambut mesotropik (sedang) dan gambut oligotropik (miskin). Gambut pantai yang tidak terlalu tebal umumnya subur karena terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang banyak menyerap unsur hara dari tanah mineral di bawahnya atau pun dari bahan-bahan yang dibawa oleh luapan air sungai. Di daerah yang jauh dari sungai dan gambutnya sudah sangat tebal maka gambut tersebut umumnya miskin karena satu-satunya sumber unsur hara ialah air hujan. Secara umum pH tanah gambut di Indonesia berkisar dari pH 3-5 dan biasanya menurun sesuai dengan kedalaman. Ada kecendrungan bahwa pH gambut pantai lebih tinggi dari gambut pedalaman. Tanah-tanah yang sangat masam menyebabkan kekahatan N, P, K, Ca, Mg, Mo dan Bo. Kapasitas tukar kation tanah gambut umumnya sangat tinggi (90-200 me/100 g) tetapi kejenuhan basa sangat rendah. Keadaan ini menghambat penyediaan hara yang baik bagi tanaman terutama K, Mg, dan Ca. kandungan N total umumnya berkisar antara 2000-4000 kg N/Ha pada lapisan 0-20 cm tetapi yang tersedia bagi tanaman hanya kurang 3 persen dari jumlah tersebut. Nisbah C/N sangat tinggi menyebabkan N dalam gambut tidak mudah tersedia bagi tanaman. Unsur P dalam tanah umumnya terdapat sebagai P organik. Dibandingkan tanah mineral umumnya kapasitas fiksasi P yang rendah, Karena itu ketersediaan P pada tanah gambut dapat lebih baik dari tanah mineral. Pada tanah gambut tanaman sering mengalami kahat unsur mikro terutama Cu. Hal ini karena rendahnya kadar Cu dalam mineral tanah serta kuatnya ikatan kompleks Cu-organik sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Kecuali itu terjadi pula kekahatan unsur mikro lain seperti Fe, B, dan Zn. Tanah gambut umumnya mempunyai kadar abu yang sangat rendah yang menunjukkan bahwa gambut itu sangat miskin. Tanah gambut pantai sering mengandung lapisan sulfat masam yang dapat membahayakan pertumbuhan tanaman bila terdapat dalam daerah perakaran. c. Aktivitas biologi Menurut Andriesse (1998) aktivitas biologi bahan organik berkaitan dengan jenis dan jumlah mikroorganisme yang ada. Mikroorganisme
memainkan peranan penting dalam dekomposisi dan mineralisasi bahan organik, dan karena proses-proses ini paling banyak berperan
dalam
penyusutan gambut setelah dilakukannya reklamasi dan drainase. Walksman (1942) dalam Andriesse (1988) membagi mikroorganisme-mikroorganisme gambut menjadi tiga kelompok : 1. Organisme-organisme yang ada dalam selama tahap awal dekomposisi deposit organik yang segar. Sebagian dari mikroorganisme ini tergolong dalam aktinomiset, jamur dan bakteri yang banyak berperan dalam dekomposisi yang cepat terhadap bahan-bahan yang terakumulasi secara segar di permukaaan. Mereka memainkan peranan penting dalam degradasi, selulosa, hemiselulosa, dan beberapa dari protein-protein tersebut. 2. Organisme-organisme yang berkembang dan tetap ada dalam gambutgambut yang dalam selama sebagian besar periode ketika gambut berada dalam permukaan air tanah. Organisme-organisme ini menyukai kondisikondisi aerobik dan memperoleh oksigen diperlukan untuk proses oksidasi dan dekomposi. Mikroorganisme ini menghasilkan gas-gas yang kaya akan hodrogen dan sulfida. Sebagian besar dari produk-produk limbah tersebut berasal dari dekomposisi selulosa, protein, dan senyawa organik lain. 3. Organisme-organisme yang menjadi aktif ketika gambut tersebut didrainase, dan karena itu teraerasi. Organisme-organisme ini terutama terdiri atas jamur, bakteri aerob, dan aktinomiset yang sama dengan mereka yang ada pada tahap awal yang mendekomposisi bahan organik yang masih ada, yaitu lignin, yang paling resisten terhadap degradasi.
2.3. Pupuk Hayati Pupuk hayati merupakan mikroorganisme hidup yang diberikan ke dalam tanah sebagai inokulan untuk membantu tanaman memfasilitasi atau menyediakan unsur hara tertentu bagi tanaman. Oleh karena itu, pupuk hayati sering juga disebut sebagai pupuk mikrob (Simanungkalit 2006).
Baku mutu pupuk hayati merupakan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh suatu pupuk hayati agar fungsi mikroorganisme yang terkandung dalam pupuk hayati yang bersangkutan dapat memberikan pengaruh positif terhadap tanaman yang diinokulasi (Simanungkalit et al. 2006). Beberapa karakteristik mikroorganisme yang menentukan mutu suatu pupuk hayati antara lain adalah: 1.
Jumlah populasi. Jumlah minimal populasi mikroorganisme yang hidup pada waktu produksi dan sebelum kadaluwarsa yang dapat memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan tanaman.
2.
Keefektifan. Mikroorganisme dalam inokulan merupakan mikroorganisme pilihan (unggul) hasil seleksi, pengujian secara sistematis baik di laboratorium, rumah kaca, maupun di lapangan.
3.
Bahan pembawa dapat memberikan lingkungan hidup yang baik bagi mikroorganisme atau campuran berbagai mikroorganisme selama produksi, transportasi, dan penyimpanan sebelum inokulan tersebut digunakan.
4.
Masa kadaluwarsa, menyangkut umur inokulan apakah masih dapat digunakan. Bila masa kadaluarsa ini lewat keefektifan inokulan tidak dijamin, karena jumlah mikroorganisme tidak memenuhi syarat minimal Rhizobia merupakan kelompok penambat nitrogen yang bersimbiotik
dengan tanaman kacang-kacangan. Penambat nitrogen nonsimbiotik merupakan kelompok bakteri hidup bebas dan asosiatif, ada yang aerob, anaerob dan anaerob fakultatif tergantung pada kemampuan mikroorganisme tersebut pada hidup pada kondisi dengan atau tanpa oksigen. Mikroorganisme pelarut fosfat merupakan kelompok mikroorganisme yang dapat merubah fosfat tidak larut dalam tanah menjadi fosfat larut dengan mengsekresikan asam organik seperti asam format, asetat, propionat, laktat, glikolat, fumarat dan suksinat (Rao 1982).
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor dari bulan Februari sampai bulan Mei 2008.
3.2. Bahan dan Alat Bahan–bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu contoh tanah gambut utuh, nutrient broth (NB), Nutrien agar (NA), media Pikovskaya, media De Mann Rogosa Sharpe (MRS), dan media yeast manntitol agar (YMA) + merah kongo, ungu kristal, larutan iodium Gram, alkohol 95 %, safranin, hijau malakit aquades dan bahan-bahan kimia lainnya. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas mikroskop, tabung reaksi, erlenmeyer, pipet, kaca objek, otoklaf, inkubator, cawan petri, dan peralatan laboratorium lainnya.
3.3. Metode Penelitian 3.3.1. Pengambilan Sampel Sampel tanah gambut tidak terbakar dan tanah gambut bekas terbakar didapatkan dari Provinsi Riau masing-masing terdiri dari 2 sampel tanah gambut tidak terbakar (kode AA dan BB) dan tanah gambut bekas terbakar (kode CC dan DD). Sampel yang tanah gambut diambil dari kedalaman 0-10 cm kemudian disimpan di dalam kantong plastik untuk diuji di laboratorium. 3.3.2. Pengayaan – Pertumbuhan Bakteri Sebanyak 5 gram tanah gambut dicampurkan ke dalam erlenmeyer yang berisi 50 ml media NB (perbandingan 1 : 10), kemudian digoyang dalam inkobator goyang dengan kecepatan 100 rpm selama 48 jam.
3.3.3. Penghitungan Jumlah Bakteri Kultur bakteri umur 48 jam dicawankan pada media NA, Pikovskaya, MRS, YMA + merah kongo setelah dilakukan pengenceran serial (Hadioetomo 1993). Tujuan dari pengenceran serial ialah untuk menghitung jumlah bakteri yang tumbuh pada media NA, Pikovskaya, MRS, YMA + merah kongo. 3.3.4. Pertumbuhan Bakteri pada Media Selektif Bakeri yang tumbuh kemudian ditumbuhkan kembali dengan cara menggores pada media NA, Pikovskaya, MRS, YMA + merah kongo . Biakan tunggal disimpan di dalam media agar-agar miring. 3.3.5. Identifikasi Bakteri dengan Pewarnaan Gram Seluruh isolat bakteri yang tumbuh dan sudah dimurnikan diidentifikasi berdasarkan pewarnaan Gram ( Hadioetomo 1993). Pewarnaan Gram dimulai dengan membuat olesan kultur bakteri dari agaragar miring/biakan cair yang berumur 18-24 jam pada kaca obyek, kemudian olesan kultur bakteri tersebut digenangi dengan ungu kristal sebagai zat warna utama selama satu menit, dibilas dengan aquades, digenangi dengan iodium gram, dibilas dengan aquades, ditetesi dengan etanol 95 persen sampai olesan terlihat sebagai cincin ungu, dibilas dengan aquades, olesan digenangi dengan pewarna tandingan safranin selama 45 detik, dibilas dengan aquades. Setelah dikeringkan dengan kertas serap olesan kultur bakteri diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran 400 x dan 1000 x. 3.3.6. Identifikasi Bakteri Pembentuk Endospora Bakteri Gram positif diseleksi lebih lanjut yang memiliki kemampuan membentuk endospora. Isolat yang diuji berumur antara 24 – 36 jam. Pewarnaan endospora menggunakan dua macam zat warna yaitu hijau malakit dan safranin (Hadioetomo 1993). Tahapan dalam pewarnaan endospora dimulai dengan membuat olesan kultur bakteri dari agar miring/biakan cair pada kaca obyek, olesan kultur bakteri digenangi dengan hijau malakit kemudian dipanaskan selama 10 menit, olesan kutur bakteri didinginkan di atas bak pewarna, setelah olesan kultur tersebut dingin olesan dibilas dengan aquades, kemudian olesan kultur
bakteri digenangi dengan safranin selama 1 menit dan dibilas dengan aquades. Setelah dikeringkan dengan kertas serap olesan kultur bakteri diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 400 x dan 1000 x. .
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Karakteristik Tanah Gambut Dilihat dari karakteristik yang terlihat pada sampel tanah gambut, tingkat kematangan gambut termasuk pada tipe hemik. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat kematangan bahan organik pada tanah gambut tersebut telah terdekomposisi sekitar 50 %. Tanah gambut tidak terbakar memiliki warna coklat muda dengan pH 3,86 sedangkan tanah gambut bekas terbakar berwarna hitam keabu-abuan dengan kondisi tanah gambut belum terbakar sempurna, pH tanah gambut bekas terbakar ialah 4,27.
4.2. Jumlah Sel Bakteri Jumlah total sel bakteri yang tumbuh pada media NA pada tanah gambut tidak terbakar sebanyak 1,4 x 10 9sel/g, pada tanah gambut bekas terbakar diperoleh jumlah sel bakteri sebanyak 1,8x 10 8sel/g (Tabel 1). Tabel 1. Jumlah sel bakteri pada tanah gambut bekas terbakar dan tanah gambut tidak terbakar (dalam juta sel/g) No Sampel tanah Jumlah koloni yang Rata-rata tumbuh jumlah sel/g* 1 Tidak terbakar Pengenceran 10-6 AA1 33 AA2 145 BB1 168 BB2 204 1,4 x 109 -5 2 bekas terbakar Pengenceran 10 CC1 108 CC2 107 DD1 217 DD2 292 1,8 x 108 * Rata-rata jumlah sel = rata-rata jumlah koloni : tingkat pengenceran: volume yang disebar di cawan (0,1 ml).
Tabel 1 menunjukkan penurunan jumlah sel bakteri setelah terjadinya kebakaran lahan gambut. Kebakaran lahan gambut menyebabkan kematian mikroorganisme sehingga total mikroorganisme menurun dan keragaman mikroorganisme berkurang (Lampiran 4). Bakteri membutuhkan sejumlah unsur
nutrisi, seperti karbon, nitrogen, belerang, fosfor, natrium, kalium, kalsium, magnesium, mangan, besi, seng, tembaga dan air.untuk pertumbuhannya. Selain kebutuhan akan nutrisi untuk dapat mencapai pertumbuhan optimum bakteri harus mendapatkan kondisi lingkungan yang sesuai, kondisi lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri ialah suhu, oksigen dan karbondioksida, serta kadar kemasaman tanah (pH tanah). Nurhayati (2002) menyatakan penurunan jumlah total mikroorganisme setelah kebakaran gambut disebabkan oleh tingginya suhu permukaan yang dihasilkan selama proses pembakaran berangsung. Di samping itu kebakaran lahan gambut menyebabkan kadar C- organik turun, kadar N total turun, kadar amonium tersedia turun, dan karbon mikroorganisme turun, kadar nitrat naik, kadar fosfor naik, dan meracuni air tanah (Lampiran 4) Gas-gas utama yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri ialah oksigen dan karbondioksida. Pada lahan gambut terdapat senyawa pirit (FeS2) yang terbentuk oleh reduksi sulfat oleh kelompok bakteri Desulfovibrio sp. dan Desulfomaculum sp. yang diikuti pembentukan besi-sulfida dari sulfur terlarut dengan besi (ferro). Besi-sulfida (FeS) selanjutnya bereaksi dengan elemen sulfur. Turunnya permukaan air gambut akibat kegiatan reklamasi, pembuatan kanal dan kebakaran lahan menyebabkan masuknya oksigen ke dalam gambut (kondisi anaerob berubah menjadi kondisi aerob). Seiring dengan meningkatnya kadar keasaman tanah gambut karena oksidasi pirit yang menghasilkan asam sulfat, maka aktivitas bakteri Thiobacillus thiooxidant juga akan meningkat (WWF 2006). Kadar kemasaman (pH) tanah gambut mempengaruhi pertumbuhan bakteri untuk tumbuh. Sumber keasaman atau yang berperan dalam menentukan keasaman pada tanah gambut ialah senyawa pirit (FeS2). Lahan Gambut cenderung mudah terbakar karena memiliki kandungan bahan organik tinggi. Kebakaran pada lahan gambut ini dapat menimbulkan perubahan pH tanah. Menurut Nurhayati (2002) setelah kebakaran di Kabupaten Pelalawan Riau terjadi kenaikan pH tanah gambut dari 3,57 menjadi 4, 30. Chandler et al (1983) dalam
Sugato (2005) menyatakan bahwa abu sisa pembakaran dapat
meningkatkan pertukaran kation sehingga cenderung menaikkan pH tanah.
Namun nilai pH tanah gambut bekas terbakar akan mengalami penurunan mendekati pH normal setelah lima tahun kejadian kebakaran hutan (Iswanto 2005). Penurunan pH tanah gambut tersebut disebabkan oleh adanya reaksi oksidasi senyawa pirit (FeS2) yang terdapat pada tanah gambut. Menurut Anwar (2002) kecepatan oksidasi senyawa pirit sangat ditentukan oleh aktivitas bakteri pengoksidasi pirit yang berasal dari genus Thiobacillus sp. (Thiobacillus ferrooxidans, Thiobacillus thiooxidans pada pH 2-3, dan Thiobacillus acidophilus pada pH 1,4).
4.3. Keragaman Bakteri yang Tumbuh pada Media Selektif 4.3.1. Isolasi Bakteri Pelarut Fosfat Bakteri pelarut fosfat yang tumbuh pada media Pikovskaya terdiri atas dua macam koloni, koloni yang pertama berbentuk batang, Gram negatif sedangkan koloni kedua berbentuk batang berbentuk batang, Gram positif, dan tidak membentuk endoSpora. Jumlah sel bakteri pelarut fosfat pada tanah gambut tidak terbakar yang diisolasi dengan menggunakan media Pikovskaya ialah 3600 sel/g sedangkan pada tanah gambut bekas terbakar jumlah sel bakterinya mencapai 8650 sel/g (Gambar 1). Kenaikan jumlah sel bakteri pelarut fosfat setelah terjadinya kebakaran lahan gambut disebabkan naiknya kadar fosfat di dalam tanah gambut setelah kebakaran gambut terjadi (Lampiran 4). Nurhayati (2002) menyatakan setelah kebakaran gambut kadar fosfat naik dari 12,40 ppm menjadi 42,79 ppm.
Gambar 1. Jumlah bakteri pelarut fosfat pada tanah gambut bekas terbakar dan tanah gambut tidak terbakar (sel/g).
Tanaman menyerap P dalam bentuk ion fosfat terutama ion H2PO4- dan HPO42- yang terdapat dalam larutan tanah. Ion H2PO4- lebih banyak dijumpai pada tanah masam sedangkan pada pH yang lebih tinggi (pH lebih besar dari 7) dalam bentuk HPO42- . Di samping ion-ion tersebut tanaman dapat menyerap P dalam bentuk asam nukleat, fitin dan fosfohumat (Havlin et al., 1999). Pada tanah masam, P bersenyawa dalam bentuk Al–P dan Fe–P. Adanya pengikatan– pengikatan tersebut menyebabkan pemanfaatan P menjadi tidak efisien. Soepardi (1983) mengemukakan peranan P antara lain penting untuk pertumbuhan sel, pembentukan akar halus dan rambut akar, memperkuat jerami agar tanaman tidak mudah rebah, memperbaiki kualitas tanaman, pembentukan bunga, buah dan biji serta memperkuat daya tahan terhadap penyakit. Bakteri pelarut fosfat seperti Bakteri pelarut fosfat (BPF) seperti Bacillus sp. dan Pseudomonas sp. mempunyai peranan yang sangat besar dalam menyediakan unsur hara bagi tanaman karena mampu mengubah hara-hara yang tidak tersedia bagi tanaman menjadi bentuk yang tersedia bagi tanaman. Premono et al (1994) menyatakan bahwa Pseudomonas fluorescens dan Pseudomonas putida mampu meningkatkan P terekstrak pada tanah masam sampai 50 %. 4.3.2. Isolasi Bakteri Lactobacillus Dari hasil isolasi dengan menggunakan media MRS pada tanah gambut tidak terbakar jumlah bakteri Lactobacillus ialah 25100 sel/g sedangkan pada tanah gambut bekas terbakar jumlah bakteri Lactobacillus yang tumbuh ialah 6350 sel/g (Gambar 2). Bakteri Lactobacillus yang tumbuh di tanah gambut mempunyai ciri-ciri morfologi sebagai berikut: warna koloni putih susu atau agak krem, bentuk koloni bulat dengan tepian seperti wol. Sel berbentuk batang dan. Berbentuk batang panjang tapi kadang-kadang hampir bulat, bentuk rantai yang pendek, Gram positif , tidak motil, tidak memiliki endospora.
Gambar 3. Jumlah Bakteri Lactobacillus pada tanah gambut bekas terbakar dan tanah gambut tidak terbakar (sel/g). Jay (2000) menyatakan Lactobacillus merupakan bakteri Gram positif tidak menghasilkan Spora, anaerobic fakutatif, koloninya yang tumbuh pada media agar–agar cawan berukuran 2-5 mm, konfek, sedikit transparan dan tidak berpigmen. Genus ini tumbuh baik pada suhu 30- 40
o
C dan tersebar luas di
lingkungan terutama dalam produk pangan hewan dan sayuran, mesofilik tidak mengubah nitrat menjadi nitrit, melakukan aktivitas proteolitik dan lipolitik yang lemah serta bersifat antagonis terhadap mikroorganisme penyebab kerusakan makanan seperti Staphylococcus aureus dan Salmonella. Senyawa-senyawa organik utama yang terdapat pada tanah gambut antara lain hemiselulosa, selulosa, dan lignin. Selain senyawa tersebut juga terdapat juga senyawa tanin dan resin dalam jumlah yang kecil. Andriesse (1988) menyatakan pada tanah gambut Sumatera terdapat selulosa sebanyak 10,6 % bobot kering, hemiselulosa 2,0 %, dan lignin sebanyak 64 %, sedangkan di tanah gambut Kalimantan terdapat selulosa sebanyak 3,6 %, hemiselulosa 2,0 % dan lignin sebanyak 75,7 %. Banyak mikrob yang diketahui mampu merombak selulosa (selulolitik). Misalnya dari kelompok fungi : Aspergillus, Chaetomium, Fomes, Penicillium, dan Trichoderma. Bakteri perombak selulosa misalnya Cellulomonas,
Celluvibrio,
Cytophaga
dan
Sporocytophaga,
Nocardia,
Streptomyces, Clostridium, Veilonella dan Ruminococcus. Secara umum perombakan pada kondisi anaerobik lebih lambat dibandingkan pada kondisi aerobik. Kondisi inilah yang menyebabkan terbentuknya tanah gambut di kawasan rawa, akibat terjadinya akumulasi bahan organik yang belum terombak sempurna. Schlegel (1994) menyatakan jenis-jenis Lactobacillus yang bisa hidup pada tumbuh-tumbuhan utuh atau tumbuh-tumbuhan yang sedang
membusuk ialah Lactobacillus plantarum, Lactobacillus fermentum, dan Lactobacillus casei. 4.3.3. Isolasi Bakteri Rhizobium Dari hasil isolasi dengan menggunakan media YMA pada tanah gambut tidak terbakar jumlah bakteri Rhizobium ialah 4075 sel/g sedangkan pada tanah gambut bekas terbakar jumlah bakteri Rhizobium yang tumbuh ialah 1250 sel/g (Gambar 3). Koloni bakteri dari famili Rhizobiaceae yang tumbuh pada media yeast mannitol agar memiliki ciri bewarna putih, tidak tembus cahaya, diameter koloni tidak kurang dari 1 mm dan tumbuh mulai dari 3 hari berbentuk batang, Gram negatif dan tidak membentuk endospora.
Gambar 5. Jumlah bakteri Rhizobium pada tanah gambut bekas terbakar dan tanah gambut tidak terbakar (sel/g). Berdasarkan kemampuan Rhizobium untuk menghasilkan asam atau basa pada media YMA, R phaseoli, R trifolii, R leguminosarum, dan R meliloti yang tumbuh cepat dikelompokkan sebagai penghasil asam sedangkan R japonicum, R lupini, dan R sp. (cowpea) dikelompokkan sebagai penghasil bukan asam. Rhizobum tidak mampu memfiksasi nitrogen atmosfer pada medium biasa tetapi hanya dapat melakukannya di dalam bintil akar dari mitra legumnya. Bakteri ini tidak mampu memanfaatkan bahan-bahan penyusun dinding sel seperti selulosa, lignin atau pektin. Secara umum
Rhizobium
yang tumbuh cepat seperti
R trifolli, R leguminosarum dan R phasoli dapat tumbuh dengan cepat pada semua medium karbohidrat. Sebaliknya Rhizobium yang tumbuh lebih lambat memilki kebutuhan yang lebih khusus dan Rhizobium
ini memanfaatkan
natrium sitrat, xilosa, manitol, arabinosa, galaktosa dan fruktosa (Rao 1994).
Fiksasi N terjadi di bintil akar yang melibatkan enzim nitrogenase. Dalam simbiosis ini tanaman legum menyediakan karbohidrat bagi bakteri sebagai bahan bakar dan menggunakan elektronnya untuk mereduksi nitrogen menjadi amonium. Amonium ini diubah menjadi senyawa-senyawa nitrogen yang dapat dimanfaatkan tanaman. Mekanisme reduksi nitrogen pada enzim nitrogenase berlangsung sebagai berikut : N2 + 6H+ + 6e- + 12 ATP + 12 H2O
2 NH3 + 12 ADP + 12 PA
Seluruh NH3 yang dihasilkan oleh bakteroid (Rhizobium yang hidup di bintil akar diekskresikan ke sel inang kemudian diasimilasikan ke dalam glutamin dan atau senyawa Nitrogen lainnya yang selanjutnya ditranspor dalam xilem. Unsur N berperan sebagai penyusun semua protein (asam-asam amino dan enzim), klorofil, asam nukleat, pembentukan koenzim serta hormon tumbuh seperti sitokinin dan auksin (Hanafiah 2005).
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan 1. Hasil isolasi bakteri pada tanah gambut yang terbakar menunjukkan adanya penurunan jumlah sel bakteri, dibandingkan dengan tanah gambut yang tidak terbakar. 2. Pada tanah gambut tidak terbakar dan tanah gambut bekas terbakar ditemukan bakteri Rhizobium, Lactobacillus, dan bakteri pelarut fosfat. 3. Setelah terjadinya kebakaran gambut terjadi penurunan jumlah sel bakteri Rhizobium dan Lactobacillus, sedangkan pada bakteri pelarut fosfat terjadi kenaikan jumlah sel bakteri.
5.2. Saran 1. Menghindari kegiatan pengelolaan lahan gambut yang dapat menyebabkan penurunan permukaan air pada tanah gambut seperti pembakaran lahan gambut. 2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk meneliti keanekaragaman mikroorganisme jenis lain yang ada di tanah gambut seperti jamur.
BAB VI DAFTAR PUSTAKA Andriesse.1998. Ekologi dan Pengelolaan Tanah Gambut Tropika. Roma: Food and Agriculuture Organizarion of the United Nation. Anwar K. Pengelolaan Tanah Sulfat Masam Melalui Pengendalian Aktivitas Mikroorganisme. http://tumoutou.net/702_05123/khairil_anwar.htm. [30 Juni 2008]. Brown AA, Davis KP. 1973. Forest fire Control and Use. New York: McGrawHill Book Company. De Bano LF, Neary DG, Folliot PF. 1998. Fire Effect on Ecosystems. New York : John Willey and Sons. Hadioetomo RS. 1993. Mikrobiologi Dasar Dalam Praktek. Tekhnik dan Prosedur Dasar laboratorium. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Hanafiah KA. 2005. Dasar – Dasar Ilmu Tanah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Hardjowigeno S.1996. Pengembangan lahan Gambut Untuk Pertanian Suatu Peluang dan Harapan. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Hastuti NAEW. 2008. Pengaruh sifat fisik dan kimia tanah gambut dua tahun setelah terbakar dalam mempengaruhi pertumbuhan Acacia crassicarpa A. Cunn Ex. Benth di Areal IUPHHK-HT PT. Sebangun Bumi Andalas Wood Industries [skripsi]. Bogor : Jurusan Budidaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Havlin JL, Beaton JD, Tisdale SL, Nelson WL. 1999. Soil Fertility and Fertilizers. An Introduction to Nutrient Management. Ed. Ke-6th. New Jersey : Prentice Hall. Iswanto DS. 2005. Perubahan sifat fisik dan kimia gambut pada lahan bekas terbakar di tegakan Acacia crassicarpa PT. Sebangun Bumi Andalas Wood Industries, Propinsi Sumatera Selatan [skripsi]. Bogor: Jurusan Budidaya Hutan Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Jay JM. 2000. Modern Food Microbiology. Ed. ke-6. New York : Van Nostrand Reinhold Company. Noor M. 2001. Pertanian Lahan Gambut. Yogyakarta: Kanisius.
Nurhayati AD. 2002. Respon ekosistem hutan rawa gambut sekunder akibat pembakaran limbah vegetasi di Desa Pelalawan Kabupaten Pelalawan Propinsi Riau [tesis]. Bogor : Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Peraturan pemerintah Nomor 4 Tahun 2001. http//:www.pussisfogan.lapan.go.id/ peraturan_l/Kebakaran Hutan.pdf (30 Januari 2010) Premono EM, Widyastuti R, Anas I. 1992. Pengaruh bakteri pelarut P terhadap serapan kation unsur mikro tanaman jagung pada tanah masam. B a n d u n g , Makalah PIT Permi. 31 Juli-1 Agustus 1992. Rao NS. 1982. Biofertilizers in agriculture. New Delhi : Oxford dan IBH Publishing Co. Rao NS. 1994. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Edisi ke dua. Terjemahan Herawati Susilo. Jakarta : UI Press. Saharjo BH. 2003. Pengetahuan Dasar Kebakaran Hutan. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. Salisbury FB, CW Ross CW. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Terjemahan Lukman DR dan Sumaryono. Bandung : Penerbit ITB. Schlegel HG. Mikrobiologi Umum.1994. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Penerjemah Baskoro RMT. Editor Wattimena JR. Terjemahan Dari : Allgemeine Mikrobiologi. Simanungkalit RDM. 2006. Aplikasi Pupuk Hayati dan Pupuk Kimia : Suatu PendekatanTerpadu.http://www.balittanah.litbang.deptan.go.id/dokumentasi. /pupuk% organik.pdf [9 Maret 2010]. Simanungkalit RDM, Husen E, Saraswati R. 2006. Baku Mutu Pupuk hayati dan system pengawasannya. Di dalam : Simanungkalit RDM, Suriadikarta DA, Saraswati R, Setyorini D, Hartatik W,editor. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Bogor : Balai Besar Penelitian dan Pengembangan sumberdaya Pertanian. Soepardi G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Bogor : IPB. Soeratmo FG, Husaeni EA, Jaya NS. 2003. Pengetahuan Dasar Pengendalian Kebakaran Hutan. Bogor : Fakultas Kehutanan IPB. Sugato IS. 2005. Perubahan sifat fisik dan kimia tanah setelah 1, 2, dan 3 tahun pembakaran di hutan sekunder, Jasinga Bogor [skripsi]. Bogor : Jurusan Budidaya Hutan, Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Tidak diterbitkan.
Sunatmo TI. 2007. Eksperimen Mikrobiologi dalam Laboratorium. Jakarta : Penerbit Ardy Agency. Syaufina L. 2008. Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia. Malang: Bayu Media Publishing. Volk AV, Wheeler MF. Editor AdiSoemarto S. 1988. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Mikrobiologi Dasar.
[WWF] World Wild Foundation. 2006. Overview of the status of natural forests in Kuala Kampar, Riau, Sumatra, Indonesia: proposed expansion of the peninsula’s existing conservation areas . www.wwf.or.id/admin/fileupload/files/FCT1152590979.pdf. [20 Desember 2007].
LAMPIRAN
Lampiran 1. Sifat fisik, kimia dan biologi gambut hemik (Nurhayati 2002) Variabel Sebelum Sesaat Sifat Fisik Gambut Bulk Density (g/cc) 0,22± 0,05 0,20 ± 0,03 Porosits (%) 84,53 ± 3,22 85,48 ± 3,29 Water Holding Capacity 26,68 ± 9,17 16,26 ± 2,29 (%vol) Permeabilitas (cm/jam) 6,57 ± 0,94 6,06 ± 5,09 Sifat kimia gambut pH Tanah 3,37 ± 0,21 4,93 ± 0,15 C-Organik (%) 51,29 ± 1,41 47,11 ± 2,70 Nitrogen (%) 1,28 ± 0,30 1,80 ± 0,32 Fosfor (%) 12,40 ± 7,60 42,79 ± 18,06 Kalsium (me/100mg) 3,96 ± 1,10 9,86 ± 5,21 Magnesium (me/100g) 2,22 ± 0,66 4,75 ± 2,24 Kalium (me/100g) 0,76 ± 0,09 4,39 ± 2,14 Natrium(me/100g) 1,47 ± 0,77 2,20 ± 0,79 Kejenuhan basa (%) 10,83 ± 3,19 24,11 ± 10,52 KTK (me/100g) 82,39 ± 24,33 88,87 ± 3,67 Sifat biologi gambut Total Mikroorganisme (x106 23,92 4,76 SPK/g) Total Fungi (x105 SPK/g 20,61 2,43 Respirasi 6,17 1,20 (mg C-CO2/g/hr) Ket : angka-angka yang tertulis setelah tanda ± adalah standar deviasi Lampiran 2. Hasil penghitungan jumlah sel bakteri tanah gambut tidak terbakar Pengenceran -4 No Jenis Tanah 10 10-5 10-6 1 AA1 689 329 33 2 AA2 673 310 145 3 BB1 TBUD 394 168 4 BB2 TBUD 350 204 Rata - Rata 1,4 x 10-8 Lampiran 3. Hasil penghitungan jumlah sel bakteri tanah gambut bekas terbakar Pengenceran -4 No Jenis Tanah 10 10-5 10-6 1 CC1 TBUD 108 31 2 CC2 TBUD 107 27 3 DD1 TBUD 217 28 4 DD2 TBUD 292 29 Rata - Rata 1,8 x 10-8
Lampiran 4 . Lampiran 1 Peratuan pemerintah No 4 Tahun 2001 Kriteria Umum Baku Kerusakan Tanah Gambut yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan atau Lahan Sifat Fisik Tanah. NO Parameter Kerusakan yang terjadi Metode pengukuran Terjadinya penurunan porositas 1 Porositas (%) Perhitungan dari obot isi Menurunnya infiltrasi dan kadar air kapasitas Meningkatnya aliran permukaan retensi maksimum 2
Bobot isi (g/cm3)
3
Kadar air tersedia (%)
4
Penetrasi tanah (kg/cm2)
5
subsidence
Terjadi Ketersediaan udara dan air untuk tanaman berkurang Terjadi pemadatan Akar tanaman tidak berkembang Ketersediaan udara dan air untuk tanaman berkurang Terjadi penurunan kadar air Kapasitas tanah menahan air berkurang Tanaman kekurangan air Penetrasi tanah menngkat Infiltrasi air turun Akar tanaman tidak berkembang Terjadi penurunan permukaan tanah gambut Kedalaman efektif tanah menurun Umur pakai lahan turun
Sifat Kimia Tanah No Parameter Kerusakan yang terjadi Kadar C organik turun 1 C- organic (%) Kesuburan tanah turun
2
N total (%)
3
p (ppm)
4
pH
5
Daya hantar listrik μS/cm
Kadar N total turun Kesuburan tanah turun Kadar P- tersedia naik Keseimbangan unsur hara terganggu pH naik atau turun Keseimbangan unsur hara terganggu Daya hantar listrik naik Pertumbuhan akar tanaman terganggu Kadar garam naik
Ring plate – gravimetric
Preesure plategravimetric Penetrometer Patok subsidence di lapangan
Metode pengukuran Walkey and Black atau dengan alat CHNS elementary analisis Kjeldahl atau dengan alat CHNS elementary analisis Spectrophotometer atau autoanalisator pH meter konduktometer
Sifat Biologi Tanah No Parameter 1 Carbon mikroorganisme 2
Respirasi
3
Metabolic quotient (qCO2)
4
Total mikroorganisme (SPK/g)
5
Total fungi (SPK/g)
Kerusakan yang terjadi Carbon mikroorganisme turun Banyak mikroorganisme mati Reaksi biokimia tanah terganggu
Metode pengukuran CFE-TOC atau CFE walkley and black
Respirasi turun Reaksi kimia tanah terganggu Keragaman mikroorganisme tanah berkurang Metabolic quotient naik Mikroorganisme tanah stress Keragaman mikroorganisme berkurang Total mikroorganisme turun Keragaman mikroorganisme berkurang
Metode stoples
Total fungi turun Keseimbangan pupulasi mikroorganisme terganggu
Keragaman mikroorganisme berkurang
Perhitungan dari respirasi dan carbon mikroorganisme Keragaman mikroorganisme berkurang
Lampiran 5. Hasil pewarnaan Gram tanah gambut bekas terbakar media NA NO Kode Isolat Morfologi dan Bentuk sel Warna sel Reaksi Gram 1 CC1 Diplokokus ungu positif 2 CC2 Basil merah muda negatif 3 CC3 Basil ungu positif 4 CC4 Stafilokokus merah muda negatif 5 CC5 Stafilokokus merah muda negatif 6 CC6 Stafilokokus ungu positif 7 CC7 Streptobasil ungu positif 8 CC8 Basil ungu positif Lampiran 6. Hasil pewarnaan Gram tanah gambut tidak terbakar media NA NO Kode Isolat Morfologi dan bentuk sel Warna sel Reaksi Gram 1 AA1 Stafilokokus ungu positif 2 AA2 Diplobasil ungu positif 3 AA3 Stafilokokus ungu positif 4 AA4 Basil ungu positif 5 AA5 Kokus ungu positif 6 AA6 Diplobasil ungu positif 7 AA7 Diplokokus ungu positif 8 BB1 Basil ungu positif 9 BB2 Streptobasil ungu positif 10 BB3 Stafilokokus ungu positif
Lampiran 7. Hasil pewarnaan Gram dan pewarnaan endospora bakteri yang ditumbuhkan pada media Pikovskaya NO Jenis tanah Kode isolat Morfologi dan Warna Sel Reaksi Gram Letak gambut bentuk sel endospora 1 Tidak PPA1 diplobasill merah muda negatif terbakar 2 Tidak PPA2 Diplobasil ungu positif terbakar 3 Bekas PPD1 Diplobasil merah muda negatif terbakar
Biakan bakteri pelarut fosfat pada media Pikovskaya Lampiran 8. Hasil pewarnaan Gram dan pewarnaan endospora bakteri yang ditumbuhkan pada media MRS NO Jenis tanah Kode isolat Morfologi dan Warna Sel Reaksi Gram gambut bentuk sel 1 Bekas MRS DD1 streptobasil ungu positif terbakar 2 Bekas MRS DD2 Basil ungu positif terbakar 3 Tidak terbakar MRS AA1 Basil ungu positif
Biakan Lactobacillus pada media MRS
Letak endospora -
Lampiran 9. Hasil pewarnaan Gram dan pewarnaan endospora bakteri yang ditumbuhkan pada media YMA + merah kongo NO Jenis tanah Kode isolat Morfologi dan Warna Sel Reaksi Gram gambut bentuk sel 1 Tidak terbakar YMA AA1 Basil merah muda negatif 2 Bekas terbakar YMA DD1 Basil ungu positif
Biakan Rhizobium pada media YMA + merah kongo
Letak endospora -