APLIKASI BAKTERI PENAMBAT NITROGEN DENGAN MEDIA TANAH GAMBUT TERBAKAR DAN TIDAK TERBAKAR PADA SEMAI Acacia crassicarpa Cunn. Ex-Benth
MELISDA HOTMA IDA MANALU
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
RINGKASAN MELISDA HOTMA IDA MANALU. Aplikasi Bakteri Penambat Nitrogen dengan Media Tanah Gambut Terbakar dan Tidak Terbakar pada Semai Acacia crassicarpa (Cunn. Ex-Benth). Dibimbing oleh: LAILAN SYAUFINA dan NISA RACHMANIA MUBARIK. Gambut adalah jenis tanah yang terdiri atas timbunan bahan-bahan organik yang berasal dari sisa-sisa tumbuhan yang sedang atau sudah mengalami proses dekomposisi. Kegiatan pembukaan lahan gambut dengan membakar telah memberikan dampak yang buruk terhadap sifat-sifat gambut (sifat fisik, sifat kimia, dan sifat biologi). Pemulihan lahan gambut yang rusak telah banyak dilakukan oleh berbagai pihak. Penelitian bertujuan untuk membantu memperbaiki salah satu sifat gambut dengan mengaplikasikan bakteri penambat nitrogen dalam membantu pertumbuhan tanaman Acacia crassicarpa yang tumbuh di lahan gambut terbakar dan tidak terbakar. Penelitian ini menggunakan bakteri penambat nitrogen Bradyrhizobium japonicum BJ 11, Bradyrhizobium S1, dan Rhizobium DD pada penanaman semai Acacia crassicarpa. Penggunaan pupuk urea dosis 46% digunakan sebagai pembanding pada aplikasi tersebut. Ada dua jenis media tanam yang digunakan dalam penelitian ini yaitu gambut bekas terbakar dan tidak terbakar yang diberikan perlakuan tanpa sterilisasi dan dengan sterilisasi. Perlakuan dengan menggunakan bakteri Bradyrhizobium BJ 11 dan S1 mampu memperbaiki pertumbuhan Acacia crassicarpa di lahan lahan gambut bekas terbakar. Perlakuan dengan Rhizobium DD tidak memberikan pengaruh yang signifikan di lahan gambut yang bekas terbakar. Penggunaan bakteri penambat nitrogen untuk membantu pertumbuhan akasia selama masa semai dapat mengurangi penggunaan pupuk urea.
Kata kunci: Acacia crassicarpa, gambut, kebakaran gambut, bakteri penambat nitrogen, pupuk kimia.
ABSTRACT Melisda Hotma Ida Manalu. Application of Nitrogen-Fixing Bacteria with Burned and Unburned Peat Soil Media on Acaciacrassicarpa Cunn. Ex-Benth Seedling. Under supervisory of Lailan Syaufina, and Nisa Rachmania Mubarik. Peat is a soil type that consists of organic materials from plant debris by decomposition process. Activities of burning peat land cause bad impacts on the peat properties (physical, chemical, and biological properties). The restoration of damaged peat lands have been carried out by various parties. The research was aimed to improve one of the peat properties by applying nitrogen-fixing bacteria to assist the growth of Acacia crassicarpa in the burned and unburned peat media. This research used nitrogen-fixing bacteria Bradyrhizobium japonicum BJ 11, Bradyrhizobium S1, and Rhizobium DD in Acacia crassicarpa seedling. Urea doze of 46% treatment was used as comparison in the application. There were two types of growing media that used in this research, burned and unburned peat, of which both sterilized and unsterilized. The treatment that using Bradyrhizobium BJ 11 and S1 isolates were able to improve the growth of Acacia crassicarpa in burned peat. Treatment with Rhizobium DD in burned peat had no significant effect. Using nitrogen-fixing bacteria to help the growth of Acacia crassicarpa during seedling can reduce the use of urea fertilizer.
Keywords: Acacia crassicarpa, burned peat, nitrogen-fixing bacteria, chemistry fertilizer.
APLIKASI BAKTERI PENAMBAT NITROGEN DENGAN MEDIA TANAH GAMBUT TERBAKAR DAN TIDAK TERBAKAR PADA SEMAI Acacia crassicarpa Cunn. Ex-Benth
MELISDA HOTMA IDA MANALU E44061200
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Aplikasi Bakteri Penambat Nitrogen dengan Media Tanah Gambut Terbakar dan Tidak Terbakar pada Semai Acacia crassicarpa (Cunn. Ex-Benth.)” adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2011
Melisda Hotma Ida Manalu E44061200
Judul Skripsi
: Aplikasi Bakteri Penambat Nitrogen dengan Media Tanah Gambut Terbakar dan Tidak Terbakar pada Semai Acacia crassicarpa Cunn. Ex. Benth
Nama
: Melisda Hotma Ida Manalu
NIM
: E44061200
Menyetujui : Pembimbing I,
Pembimbing II,
Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc.
Dr. Nisa Rachmania Mubarik, M.Si.
NIP. 19640613 198903 2 001
NIP. 19671127 199302 2 001
Mengetahui : Plh Ketua Departemen Silvikultur,
Dr. Ir Noor Farikhah Haneda, M.Si. NIP 19660921 199003 2 001
Tanggal Lulus:
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yesus Kristus karena atas kasih setia dan penyertaanNya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Aplikasi Bakteri Penambat Nitrogen dengan Media Tanah Gambut Terbakar dan Tidak Terbakar pada Semai Acacia crassicarpa (Cunn. ExBenth)”. Penelitian ini bertujuan mengaplikasikan bakteri penambat nitrogen untuk membantu pertumbuhan tanaman semai Acacia crassicarpa yang tumbuh di lahan gambut. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi, FMIPA dan Rumah kaca Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, IPB. Pengisolatan bakteri dilakukan selama 4 bulan dan pengamatan respon pertumbuhan tanaman dilakukan selama 3 bulan. Selama proses penelitian ini penulis dibimbing oleh Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc. dan Dr. Nisa Rachmania Mubarik, M.Si. Penulis meyakini bahwa penelitian aplikasi bakteri pada penanaman tanaman hutan dengan menggunakan media tanah gamut terbakar masih belum banyak dilakukan. Oleh karena itu, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi dunia pendidikan khususnya di bidang kehutanan.
Bogor, Agustus 2011
Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 3 Desember 1987 di Sibolga, Sumatera Utara, anak ketujuh dari delapan bersaudara pasangan Bapak Sotan Manalu dan Ibu Rosintan Marbun. Penulis memulai jenjang pendidikan pada tahun 1994 di Sekolah Dasar Swasta RK 2 Sibolga, kemudian penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SLTP Fatima Sibolga dan lulus pada tahun 2003. Selanjutnya pada tahun yang sama penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Umum Negeri 1 Tualang Riau dan lulus pada tahun 2006. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan Program Sarjana di Fakultas Kehutanan, Departemen Silvikultur Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) Kabupaten Siak. Selama masa kuliah di IPB, penulis tergabung dalam sejumlah organisasi yaitu PMK-IPB (Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB), Himpunan Profesi Tree Grower Community (TGC), OMDA (Organisasi Mahasiswa Daerah) IKPMR (Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Riau) di tahun 2006-2008. Penulis aktif sebagai asisten mata kuliah Agama Kristen T/A 2007-2008 dan 2009-2010, penulis juga pernah menjadi peserta Pekan Seni Mahasiswa Tingkat Nasional di tahun 2008 serta aktif dalam berbagai kepanitiaan lainnya. Penulis telah mengikuti Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan di KPH Baturraden dan Cilacap Jawa Tengah, Praktek Pembinaan Hutan di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi. Kegiatan Praktek Kerja Profesi (PKP) dilakukan di Hutan Rakyat Sukadamai Bogor pada bulan Juni sampai dengan Agustus 2010. Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Aplikasi Bakteri Penambat Nitrogen dengan Media Tanah Gambut Terbakar dan Tidak Terbakar pada Semai Acacia crassicarpa Cunn. Ex-Benth dibimbing oleh Dr.Ir. Lailan Syaufina, M.Sc. dan Dr. Nisa Rachmania Mubarik, M.Si..
UCAPAN TERMA KASIH Terimakasih penulis ucapkan kepada berbagai pihak yang telah mendukung penulis selama ini sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik, yaitu antara lain: 1. Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc. dan Dr. Nisa Rachmania Mubarik, M.Si. selaku dosen pembimbing atas semua bimbingan, nasehat, pengertian dan ketulusan yang telah diberikan, 2. Orang tua penulis (Sotan Manalu dan Rosintan Marbun), saudara penulis (Kak Sorta, Kak Imel, Kak Roy, Bang Saud, Bang Very, Kak Vita, dan Adik Daniel) atas semua doa, nasehat, dana dan dukungan yang diberikan, 3. Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr. selaku Dekan Fakultas Kehutanan IPB, 4. Dr. Ir. Noor Farikhah Haneda, M.Si. selaku Plh. Ketua Departemen Silvikultur, 5. Bapak Irdika selaku pembimbing akademik atas semua dukungan dan bimbingan yang diberikan, 6. Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc atas kesediaan sebagai dosen penguji, Dr. Ir. Ahmad, M.S atas kesedian sebagai ketua sidang, dan Dadan Mulyana, S.Hut, M.Si. atas kesediaan sebagai moderator seminar, 7. Seluruh staff KPAP Silvikutur (Bu Aliyah Mas Saepul) dan seluruh Laboran Mikrobiologi atas segala bantuannya, 8. Teman-teman Silvikultur 43 (Asep, Dewi, Fiona, Dita, Laila, Nunu, dan semuanya) 9. Teman satu kosan “Gladys” (Yuli, Gladis, Widya, Ochi, Diana, Rara, Gloria, Kristy, Ria, Ester, Helen, dan Vivin), teman-teman seperjuangan (Hilla, Anita, Dea, Cristina, dan Desra), teman-teman kelompok kecil (Kak Maria, Rara, Mellisa, Priskila, Erlinda, Masta, Jeni, Nella, dan Murni), dan teman-teman PMKB (Kak Frida dan Kak Nova) atas semua dukungan, doa dan semangat yang diberikan, dan 10. Sahabat terbaik penulis, Christ Ferdian atas dukungan, doa, dana, tenaga, pikiran dan kesediaannya selama ini.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ................................................................................................. iv DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ v DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... vi BAB I
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang............................................................................... 1 1.2. Tujuan Penelitian ........................................................................... 2 1.3. Hipotesis ........................................................................................ 3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Acacia crassicarpa ....................................................................... 4 2.2. Gambut .......................................................................................... 5 2.3 Bakteri Penambat Nitrogen ............................................................ 9
BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu .................................................................................. 12 3.2. Bahan dan Alat ........................................................................................ 12 3.3. Metode Penelitian ................................................................................... 12 3.3.1. Penyiapan Benih Akasia .................................................................... 12 3.3.2. Penyiapan Media Tanam .......................................................... 13 3.3.3. Pembuatan Media YMA dan YMB .......................................... 14 3.3.4. Peremajaan Isolat ..................................................................... 15 3.3.5. Penanaman Akasia ................................................................... 15 3.3.6. Pemeliharaan ............................................................................ 15 3.3.7. Pengamatan Parameter ............................................................. 15 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil ............................................................................................... 19 4.1.1. Karakteristik Tanah Gambut untuk Media Tanam ............................ 19 4.1.2. Peremajaan Isolat ............................................................................... 20 4.1.3. Pengaruh Perlakuan terhadap Pertumbuhan Semai Akasia ............... 22 4.1.3.1. Tinggi Semai ......................................................... 21 4.1.3.2. Jumlah Daun Asli dan Daun Semu ....................... 28 4.1.3.3. Jumlah Bintil......................................................... 29
4.1.3.4. Warna Daun .......................................................... 30 4.1.3.5. Biomassa Tanaman ............................................... 31 4.2. Pembahasan ............................................................................................. 32 BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan ............................................................................................. 39 5.2. Saran ....................................................................................................... 39 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 40 LAMPIRAN .......................................................................................................... 42
DAFTAR TABEL Halaman 1
Analisis kandungan hara pada media tanam .................................................. 20
2
Kriteria penilaian sifat kimia gambut............................................................. 20
3
Hasil analisis sidik ragam terhadap parameter tinggi tanaman ...................... 22
4
Hasil analisis sidik ragam media G0S0 terhadap perlakuan .......................... 23
5
Hasil analisis Duncan perbandingan pemberian bakteri dengan urea pada media G0S0 ........................................................................................... 24
6
Hasil analisis sidik ragam media G1S1 terhadap perlakuan .......................... 26
7
Hasil analisis Duncan perbandingan pemberian bakteri dengan urea pada media G1S1 ........................................................................................... 26
8
Tinggi rata-rata semai akasia umur 10 minggu pada semua media tanam .............................................................................................................. 27
9
Rata-rata pertambahan tinggi tanaman pada berbagai perlakuan dan media tanam (cm)........................................................................................... 27
10 Hasil analisis sidik ragam faktor-faktor terhadap bintil akar ......................... 29
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Media tanah gambut asal Riau tanah gambut terbakar dan tanah gambut tidak terbakar ................................................................................................. 19
2
Isolat bakteri BJ, S1, dan DD pada media YMB 7 hari ................................. 21
3
Bakteri S1 pada mikroskop perbesaran 400x ................................................. 22
4
Rata-rata tinggi semai akasia selama 10 minggu pada media gambut tidak terbakar dan tidak steril ......................................................................... 23
5
Rata-rata tinggi semai akasia selama 10 minggu pada media tanah gambut terbakar dan tidak steril ..................................................................... 24
6
Rata-rata tinggi semai akasia selama 10 minggu pada media tanah gambut tidak terbakar dan steril ..................................................................... 25
7
Rata-rata tinggi semai akasia selama 10 minggu pada media tanah gambut terbakar dan steril .............................................................................. 25
8
Pertambahan jumlah daun tanaman akasia pada 2 mst, 3 mst, 4 mst, dan 5 mst ........................................................................................................ 28
9
Daun semu tumbuh dari tangkai daun mulai membesar pada umur 4 mst dan daun semu tumbuh dari pucuk daun akasia ................................................... 28
10 Bintil akar pada tanaman akasia media G0S0 perlakuan B1 dan perlakuan B3 .................................................................................................. 30 11 Bintil akar pada tanaman akasia media G1S0 perlakuan B1 dan perlakuan B2 ................................................................................................................... 30 12 Perubahan warna daun akasia yang masih sehat umur dan daun akasia umur 6 mst mulai berubah warna tampak ada bercak kuning........................ 31 13 Perubahan warna daun akasia pada media G0S1 daun mengkerut dan menguning, daun keracunan pirit pada bagian tepi daun seperti karat .......... 31 14 Biomassa tajuk dan akar pada tanaman akasia umur 10 minggu ................... 32
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Daftar kombinasi perlakuan yang diujicobakan............................................. 43
2
Rata-rata pertumbuhan tinggi tanaman pada media S0G0............................. 44
3
Rata-rata pertumbuhan tinggi tanaman pada media S0G1............................. 44
4
Rata-rata pertumbuhan tinggi tanaman pada media S1G0............................. 44
5
Rata-rata pertumbuhan tinggi tanaman pada media S1G1............................. 44
6
Hasil analisis sidik ragam parameter tinggi pada media G1S0 dan G0S1 terhadap perlakuan ......................................................................................... 45
7
Selisih pertambahan tinggi semai akasia ....................................................... 45
8
Jumlah daun asli dan daun semu akasia pada minggu ke-10 ......................... 46
9
Hasil analasis sidik ragam jumlah daun ......................................................... 46
10 Jumlah bintil pada akar tanaman Akasia umur 10 mst .................................. 47 11 Hasil analisis sidik ragam jumlah bintil pada perlakuan ............................... 47 12 Hasil analisis sidik ragam jumlah bintil pada gambut G0 dan G1 ................. 47 13 Hasil analisis sidik ragam jumlah bintil pada media S1 dan S0 .................... 47 14 Nilai biomassa pucuk dan akar pada tanaman akasia umur 10mst ................ 48
15 Tanda-tanda umum pada bagian tanaman akibat kekurangan unsur hara ..... 49
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Gambut merupakan tanah yang terbentuk dari bahan organik pada fisiografi cekungan atau rawa, akumulasi bahan organik pada kondisi jenuh air, kondisi anaerob yang menyebabkan proses perombakan bahan organik berjalan sangat lambat, sehingga terjadi akumulasi bahan organik yang membentuk tanah gambut (Muslihat 2003). Gambut memiliki sifat khas yang jarang diketahui oleh masyarakat awam, yaitu tidak dapat kembali ke bentuk semula dan seperti spons yang dapat menyerap air sebanyak mungkin namun jika sudah kering kemampuan itu akan hilang. Menurut Adinugroho et al (2005) tanah gambut terbentuk dari akumulasi sisa-sisa tanaman purba yang mati dan sebagian mengalami perombakan, mengandung minimal 12-18% C-Organik dengan ketebalan minimal 50 cm. Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar 21 juta ha, yang tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua (BB Litbang SDLP 2008). Setiap tahunnya luas gambut ini mengalami penurunan karena pembukaan lahan untuk kebutuhan manusia. Kondisi lahan gambut di Indonesia telah banyak yang rusak. Kerusakan tersebut umumnya karena kebakaran pada lahan gambut itu sendiri. Kebakaran lahan hutan gambut 99,9% disebabkan oleh manusia, baik disengaja maupun akibat kelalaiannya. Penyebab kebakaran karena manusia antara lain konversi lahan seperti pembukaan lahan untuk areal perkebunan, pertanian, dan pembangunan jembatan. Kebakaran pada lahan gambut tidak hanya menghilangkan sifat-sifat khas gambut, tetapi juga menyebabkan semakin banyaknya karbon yang dilepas ke udara. Selain itu kebakaran lahan gambut ini pun menyebabkan hilangnya keanekaragaman mikroorganisme tanah serta kesuburannya. Dampak dari kerusakan lahan gambut ini sangat meresahkan masyarakat dan juga pemerintah. Namun walaupun demikian, perhatian terhadap pemulihan lahan gambut masih sangat kurang. Beberapa teknologi yang telah digunakan untuk memperbaiki
lahan gambut justru menyebabkan semakin rusaknya lahan gambut tersebut, karena teknologi sering tidak memperhatikan dampak ekologi yang dihasilkan. Secara alamiah lahan gambut memiliki tingkat kesuburan rendah karena kandungan unsur haranya rendah dan mengandung beragam asam-asam organik yang sebagian bersifat racun bagi tanaman. Lahan gambut umumnya mempunyai tingkat kemasaman yang relatif tinggi dengan kisaran pH 3 – 5. Kondisi ini membuat lahan gambut sulit untuk diolah dan menghasilkan produktivitas yang rendah. Jenis tanaman yang tumbuh di gambut sangat spesifik, yang paling sering dijumpai ialah ramin, jelutung, sengon dan beberapa jenis akasia. Akasia adalah jenis tanaman kehutanan yang mampu tumbuh di berbagai kondisi tanah dan tidak memerlukan syarat tumbuh yang spesifik. Akasia memiliki umur masak tebang yang relatif cepat atau disebut juga fast growing dan nilai kayunya cukup tinggi. Pertumbuhan akasia pada tanah gambut relatif lambat, dan pada dasarnya tumbuhan di tanah gambut memiliki tingkat pertumbuhan yang rendah karena rendahnya unsur hara dalam tanah. Kayu dari akasia sangat bagus untuk pembuatan kertas dengan kualitas terbaik. Mengingat permasalahan yang ada di atas, perlu adanya penelitian tentang cara untuk meningkatkan produktivitas di lahan gambut. Peneliti sebelumnya telah menemukan bakteri baik yang mampu hidup di lahan gambut bekas terbakar yaitu bakteri pelarut fospat (BPF) dan Rhizobium. Penelitian ini akan mengaplikasikan bakteri Rhizobium tersebut pada akasia dengan media tanah gambut. Penelitian ini sangat penting dilakukan guna meningkatkan produktivitas lahan gambut tanpa menggunakan teknologi yang mahal dan berdampak negatif yang besar.
1.2. Tujuan penelitian Tujuan penelitian ini ialah mengaplikasikan bakteri penambat nitrogen yaitu isolat Rhizobium galur DD asal tanah gambut Riau, isolat Bradyrhizobium japonicum galur 11 dan galur S1 sebagai pupuk hayati pada tanaman Acaia crassicarpa dan mengurangi konsumsi pupuk kimia oleh tanah. Harapan dari hasil penelitian ini pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan anakan akasia di
lahan gambut serta mengamati pertumbuhan tanaman yang diberikan perlakuan bakteri dan pupuk kimia.
1.3. Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah: 1. Pemberian bakteri Bradyrhizobium japonicum BJ 11, Bradyrhizobium S1, dan Rhizobium DD berpengaruh terhadap pertumbuhan semai akasia (Acacia crassicarpa). 2. Pemberian bakteri Bradyrhizobium japonicum BJ 11, Bradyrhizobium S1, dan Rhizobium DD mempunyai petumbuhan lebih baik dari pemberian pupuk urea. 3. Pemberian urea mempunyai tingkat pertumbuhan lebih baik dari kontrol.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Acacia crassicarpa 2.1.1. Klasifikasi dan Penyebaran Acacia crassicarpa atau sinonimnya Racosperma crassicarpum (A. Cunn. ex Benth) adalah jenis tanaman yang cepat tumbuh dan tidak memerlukan syarat tumbuh yang spesifik. Adapun klasifikasi taksonomi jenis Acacia crassicarpa ini adalah sebagai berikut : Divisi
:
Magnoliophyta
Klas
:
Magnoliopsida
Ordo
:
Fabales
Famili
:
Fabaceae
Subfamili :
Mimosoideae
Genus
:
Acacia
Spesies
:
Acacia crassicarpa
Umumnya tumbuh di daerah tropik dan subtropik yang secara geografis terletak pada 8°LS-20°LS dengan ketinggian tempat berkisar pada 0 – 450 mdpl dan curah hujan tahunan berkisar antara 500 – 3500 mm. Tempat tumbuh jenis ini memiliki rata-rata suhu udara minimum berkisar pada 15-22°C dan suhu udara maksimum adalah 31-34°C. Acacia crassicarpa dapat tumbuh pada berbagai tipe tanah (tanah berpasir, tanah podsolik merah kuning, aluvial). Di Papua New Guinea dan Papua, Acacia crassicarpa ditemukan tumbuh pada tanah lapang yang bergelombang, pada tempat-tempat dengan pengairan yang baik dan tanah dengan kadar asam tinggi. Jenis eksotis dari Australia, Papua New Guinea, dan Indonesia dan salah satu jenis tanaman cepat tumbuh atau fast growing. Dapat tumbuh hingga mencapai tinggi 25 m dan diameter 0,6 m. Syarat tumbuhnya sama seperti Acacia mangium dan A. auriculiformis. Berbunga pada bulan Juli-September dan berbuah pada bulan Januari-April. Biji-biji Acacia crassicarpa memiliki viabilitas biji yang lama, dan perlakuan pemanasan atau penggosokan kulit luar biji dapat dilakukan untuk memecah dormansinya. Pencelupan biji-biji Acacia crassicarpa ke dalam air
panas selama 1 menit adalah perlakuan yang tepat. Selain itu pemecahan dormansi biji Acacia crassicarpa juga dapat dilakukan dengan merendam biji dalam larutan asam sulfat absolut selama 20 detik. Selanjutnya biji dicuci di bawah air mengalir sampai bersih kemudian direndam dalam air dingin selama 24 jam. Setelah direndam selanjutnya benih ditebar di atas zeolit steril yang dijaga kelembabannya. Setelah bibit berkecambah selanjutnya disapih pada media tanah yang telah disterilkan dengan fumigan berbahan aktif Dazomet 97%.
2.1.2. Keunggulan Jenis-jenis tanaman yang banyak dipilih sebagai tanaman revegetasi umumnya kelompok akasia. Hal ini karena sebagian besar spesies akasia memiliki banyak keunggulan, yaitu cepat tumbuh, toleran pada kondisi yang buruk, dapat mengkonservasi tanah dan tidak ditemukan bahan beracun pada daun dan eksudat akar. Salah satu jenis akasia yang memiliki adaptabilitas dan pertumbuhan yang baik pada kondisi lahan kritis ialah Acacia crassicarpa. Spesies Acacia crassicarpa menunjukkan pertumbuhan yang sangat cepat dan mampu tumbuh pada kondisi lahan yang sangat masam (pH 3-5) serta mempunyai ketahanan terhadap kondisi lingkungan yang kurang baik (Widyati 2007).
2.1.3. Pemanfaatan Kayu Acacia crassicarpa merupakan sumber bahan kayu bakar, konstruksi, furnitur, pembuat lantai, dan pembuat kapal. Pohonnya memberikan naungan dan mengendalikan pertumbuhan gulma, selain itu merupakan jenis yang efektif untuk rehabilitasi lahan yang diserang Imperata cylindrica (L.) Raeuschel. Di Papua New Guinea, dilaporkan bahwa jenis ini merupakan koloni yang kuat untuk tumbuh pada lahan-lahan yang terdegradasi akibat perladangan berpindah.
2.2. Gambut Gambut adalah jenis tanah yang terdiri atas timbunan bahan-bahan organik yang berasal dari sisa-sisa tumbuhan yang sedang atau sudah mengalami proses dekomposisi. Bahan penyusun gambut terdiri atas empat komponen yaitu bahan organik, bahan mineral, air dan udara. Menurut Soekardi dan Hidayat (1988)
penyebaran gambut di Indonesia meliputi areal seluas 18.480 ribu hektar, tersebar pada pulau-pulau besar Kalimantan, Sumatera, Papua serta beberapa pulau kecil. Dengan penyebaran seluas sekitar 18 juta ha maka luas lahan gambut Indonesia menempati urutan ke-4 dari luas gambut dunia setelah Kanada; Uni Sovyet dan Amerika Serikat. Lahan gambut merupakan ekosistem dan bersifat unik dan tidak dapat ditemukan pada ekosistem lain. Lahan gambut berperilaku seperti spons saat musim hujan dapat menyerap kelebihan air hujan sehingga tidak terjadi banjir. Sebaliknya pada musim kemarau lahan gambut mengeluarkan air ke udara dan mengalirkannya ke tempat yang lain sehingga tidak terjadi kekeringan (Syaufina 2008). Jenis pohon kehutanan yang banyak dijumpai di lahan gambut antara lain Jelutung (Dyera cystukata), Ramin (Gonystylus bancanus), Meranti (Shorea spp), Kempass (Kompassia malaccensis), Punak (Tetramerista glabra), Perepat (Combretocarpus royundatus), Pulai Rawa (Alstonia pneumatophor), Terentang (Campnospherma spp), Bungur (Lagestroemia spesiosa), dan Nyatoh (Palaquium spp).
2.2.1. Sifat Fisik Menurut Hardjowigeno (1996) sifat-sifat fisik tanah gambut yang penting ialah tingkat dekomposisinya, kerapatan limbak (Bulk density, irreversibilitas terhadap pengeringan, serta kemungkinan terjadinya subsidence (penyusutan). Berdasarkan atas tingkat dekomposisisnya tanah gambut dibedakan menjadi (Andriesse 1988 dalam Wahyunto 2003) : 1. Gambut kasar (fibrist) yaitu gambut dengan lebih dari 2/3 bahan organik kasar. 2. Gambut sedang (hemist) yaitu gambut dengan lebih dari 1/3 sampai 2/3 bahan organik kasar. 3. Gambut halus (saprist) yaitu gambut dengan bahan organik kasar kurang dari 1/3. Gambut kasar mempunyai porositas yang tinggi, daya memegang air tinggi, namun unsur hara masih dalam bentuk organik dan sulit tersedia bagi
tanaman. Gambut kasar mudah mengalami penyusutan yang besar jika tanah direklamasi. Gambut halus memiliki ketersediaan unsur hara yang lebih tinggi memiliki kerapatan lindak yang lebih besar dari gambut kasar (Hardjowigeno 1996). Tanah gambut mempunyai kerapatan limbak yang rendah yaitu kurang dari 0,1 g/cc untuk gambut kasar (fibrist), dan sekitar 0,2 g/cc untuk gambut halus (saprist). Dibandingkan dengan tanah-tanah mineral yang umumnya mempunyai kerapatan limbak sekitar 0,2 maka kerapatan limbak tanah gambut persatuan volume ialah sangat rendah. Sifat fisik lain yang penting pada tanah gambut ialah sifat kering irreversible bila terjadi pengeringan yang berlebihan. Sifat ini menunujukkan bila gambut menjadi terlalu kering, maka tidak akan dapat lagi menjadi basah, karena gambut tidak mampu menyerap air kembali. Ini berarti bahwa gambut sulit diusahakan untuk pertanian bila terjadi kekeringan yang berlebihan. Gambut juga mempunyai sifat yang terus menerus menyusut (subsidence) bila perbaikan drainase dilakukan. Hal ini disebabkan proses dehidrasi (kehilangan air) maupun proses dekomposisi bahan organik yang terus-menerus berjalan.
2.2.2. Sifat Kimia Sifat kimia tanah gambut sangat dipengaruhi oleh jenis vegetasi penyusunnya dan tingkat dekomposisinya. Gambut tropik berasal dari pohonpohonan sehingga banyak mengandung lignin dan relatif tidak subur. Kandungan lignin bisa mencapai >60% dan kandungan selulosa <30%. Kandungan bahan organik gambut sangat tinggi, dimana C-organik dapat mencapai 48-60% dan kandungan N bisa mencapai 0,50-4,17% (Syaufina 2008). Kesuburan gambut sangat bervariasi dari sangat subur sampai sangat miskin. Gambut tipis yang terbentuk di atas endapan liat atau lempung marin umumnya lebih subur dari gambut dalam (Widjaja Adhi, 1988). Atas dasar kesuburannya gambut dibedakan menjadi gambut subur (eutropik), gambut sedang (mesotropik) dan gambut miskin (oligotropik). Secara umum kemasaman tanah gambut berkisar antara 3-5 dan semakin tebal bahan organik maka kemasaman gambut meningkat. Gambut pantai memiliki kemasaman lebih rendah dari gambut pedalaman. Kondisi tanah gambut yang sangat masam akan menyebabkan kekahatan hara N, P, K, Ca, Mg, Bo dan
Mo. Unsur hara Cu, Bo dan Zn merupakan unsur mikro yang seringkali sangat kurang (Wong 1986, dalam Mutalib 1991). Tanah gambut ombrogen dengan kubah gambut yang tebal umumnya memiliki kesuburan yang rendah dengan pH sekitar 3,3 namun pada gambut tipis di kawasan dekat tepi sungai gambut semakin subur dan pH berkisar 4,3 (Andriesse, 1988). Kemasaman tanah gambut disebabkan oleh kandungan asam asam organik yang terdapat pada koloid gambut. Dekomposisi bahan organik pada kondisi anaerob menyebabkan terbentuknya senyawa fenolat dan karboksilat yang menyebabkan tingginya kemasaman gambut. Selain itu terbentuknya senyawa fenolat dan karboksilat dapat meracuni tanaman. Mengingat sifat-sifat fisik tanah gambut saling berhubungan maka pembahasan sifat fisik dari tanah gambut tidak dapat dilakukan secara terpisah. Pemahaman akan sifat-sifat fisik akan sangat bermanfaat dalam menentukan strategi pemanfaatan gambut. Rajaguguk dan Setiadi (1989) menyatakan kesuburan lahan gambut sangat tergantung pada ketebalan gambut, gambut tipis memiliki kesuburan yang lebih baik dari gambut tebal.
2.2.3. Kebakaran Lahan Gambut Kebakaran pada lahan gambut umumnya bertipe kebakaran bawah atau grown fire yaitu kebakaran yang membakar bahan organik dibawah permukaan lahan, pada umumnya berupa serasah, humus dan gambut kering. Peristiwanya biasanya diawali dengan kebakaran permukaan yang kemudian menyebar secara perlahan ke seluruh bagian bawah lapisan permukaan (tanah) dan ini akan sangat sulit dikendalikan. Biasanya kebakaran bawah tidak diketahui karena api yang membakar gambut tidak menyala (smoldering) hanya asap yang berwarna putih saja yang muncul dipermukaan. Dampak kebakaran hutan/lahan gambut yaitu terdegradasinya kondisi lingkungan (Adinogroho et al 2005), maksudnya: 1. Penurunan kualitas fisik gambut, diantaranya kerusakan struktur tanah, penurunan porositas total, kerusakan struktur tanah, penurunan kadar air, akar tanaman tidak berkembang dan aliran permukaan meningkat. Selain itu
tanah kehilangan sifat mengembang dan mengkerutnya serta kehilangan sifat plastisnya. 2. Perubahan sifat kimia, diantaranya penurunan kesuburan tanah karena turunnya kadar kandungan hara seperti C-organik, N dan amonia. Meningkatnya nitrat, dan kadar P tersedia yang menyebabkan keracunan pada tanah. 3. Terganggunya proses dekomposisi tanah gambut karena mikroorganisme banyak yang mati akibat terbakar. 4. Rusaknya siklus hirdrologi.
2.3 Bakteri Penambat Nitrogen 2.3.1. Jenis Bakteri Penambat Nitrogen Pertumbuhan semua organisme tergantung pada ketersediaan nitrogen misalnya asam amino. Nitrogen dalam bentuk dinitrogen (N2) menyusun 80% dari udara yang kita hirup, tetapi bentuk ini tidak dapat digunakan karena ikatan yang sangat kuat (N=N). Agar bakteri dapat digunakan untuk pertumbuhan, harus difiksasi terlebih dahulu dalam bentuk ion, ammonium (NH4), atau nitrat. Beberapa jenis bakteri yang dapat menambat nitrogen menjadi bentuk yang tersedia untuk mahluk hidup adalah Azotobacter, Azospirillum, dan Rhizobium. Azotobacter ialah bakteri penambat nitrogen yang hidup bebas, tidak bersimbiosis namun dapat menggunakan sumber N yang lain seperti ammonia, urea dan nitrat. Azotobacter menghasilkan sejumlah bahan yang dapat merangsang pertumbuhan tanaman (growth promoting subtances) seperti thiamine, prydoxin, ribotiavin, cyanocobalamine, nicotine, gibberelins, IAA, dan bahan anti fungi. Azospirillum ialah bakteri penambat nitrogen yang sering dijumpai di tanah tropika yang banyak mengandung bahan organik. Berbentuk batang yang melengkung (setengah spriral) dan gram negatif. Rhizobium ialah kelompok bakteri yang penambat nitrogen yang hidup bebas dan berkemampuan sebagai penyedia hara bagi tanaman merupakan Gram negatif berbentuk batang. Bila bersimbiosis terhadap tanaman legum, bakteri ini akan menginfeksi akar tanaman dan membentuk bintil akar di dalamnya. Rhizobium hanya dapat memfiksasi nitrogen atmosfer bila berada di dalam bintil
akar dari mitranya legum. Peranan Rhizobium terhadap pertumbuhan tanaman khususnya berkaitan dengan masalah ketersediaan nitrogen bagi tanaman inangnya (Rahmawati 2005).
2.3.2. Proses Penambatan Nitrogen Persediaan atau kandungan nitrogen di udara yaitu sekitar 76,5%, sementara pasokan nitrogen di dalam tanah terbatas yang umumnya bertingkatan dari sekitar 0,1% ke 0,2% dan lebih tinggi pada keadaan-keadaan yang eksepsional. Batasan penambat nitrogen dalam tanah yaitu bahwa penambat nitrogen ialah proses pertukaran nitrogen udara menjadi nitrogen dalam tanah oleh jasad renik tanah yang simbiotik dan non simbiotik. Kapasitas bakteria non simbiotik mengikat nitrogen atmosferik dan sejumlah nitrogen tertentu sebagaian besar adalah tergantung pada tanah dan konsentrasi tersedianya energi.
2.3.4. Pemanfaatan Bakteri Penelitian pada tanah gambut di kawasan HTI RAPP Pelalawan, Pangkalan Kerinci, Riau menggunakan isolat Rhizobium hasil dari isolasi bintil akar Acacia crassicarpa berumur 4 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa diperoleh 3 isolat Rizobium dari 10 isolat yang diuji sangat nyata meningkatkan pertumbuhan Acaia crassicarpa (tinggi dan bobot kering tanaman) dan kadar N serta serapan N dan K (Sihono 2005). Penelitian pada tanah lahan bekas tambang batubara PT. Bukit Asam di Sumatra Selatan menggunakan isolat hasil seleksi yang teridentifikasi dari genus Rhizobium, BPF dari genus Bacillus dan MA dari genus Glomus yang ketiganya diisolasi dari lahan bekas tambang batu bara (Widyati, 2006). Hasil pengukuran pertumbuhan bibit menunjukkan bahwa bibit yang diberi perlakuan dengan BPF saja atau Rhizobium saja ternyata mempunyai pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa BPF dan Rhizobium yang diinokulasikan cenderung memberikan dampak negatif sehingga dapat mengganggu pertumbuhan bibit. Menurut Bolton (1992) ketika mikrob diinokulasikan ke dalam rhizosfir mereka dapat memberikan dampak positif
(mutualisme atau komensalisme), dampak negatif (parasitisme, kompetisi ataua mensalisme) atau tidak memberikan pengaruh apa-apa (netralisme). Menurut Nautiyal (1999), BPF dan rhizobia memerlukan karbohidrat dan protein untuk pertumbuhannya yang diambil dari hasil fotosintesa tanaman inangnya. Bagi mikrob tersebut, karbohidrat dan protein digunakan sebagai sumber C, sumber energi dan sumber N (Nautiyal 1999). Bakteri pelarut fospat BPF dan Rhizobium yang diinokulasikan mengambil hasil fotosintat, tetapi mereka tidak mampu membantu tanaman dalam mendapatkan unsur hara yang diperlukan. Hal ini terbukti dari serapan unsur hara (N, P dan K) yang lebih rendah dibanding perlakuan kontrol. Dengan demikian, keberadaan mereka pada rhizosfir dan akar bibit bahkan dapat menjadi parasit yang merugikan tanaman (Widyati 2007).
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi, Depertemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, IPB dan rumah kaca Laboratorium Silvikultur, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, IPB pada bulan November 2010 sampai Mei 2011.
3.2. Bahan dan Alat Bahan–bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu benih Acacia crassicarpa, sampel tanah gambut utuh bekas terbakar dan belum terbakar, pupuk hayati yang terdiri atas isolat bakteri Bradyrhizobium japonicum galur BJ 11 (B1), Rhizobium DD1 dari tanah gambut Riau (B2) (Wiratama 2010), dan isolat bakteri Bradyrhizobium japonicum galur S1 dari sengon (B3), pupuk urea 46% dosis 1 gram (B4) dan dosis 0,5 gram (B5). Bahan untuk isolat bakteri ialah media yeast mannitol agar (YMA) + merah kongo, dan YMB untuk media produksi. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas erlenmeyer, pipet, tabung reaksi, laminar flow, autoklaf, inkubator, cawan petri, polibag, mistar, spektrofotometer, dan peralatan laboratorium lainnya.
3.3. Metode Penelitian 3.3.1. Penyiapan Benih Akasia Penyiapan benih diawali dengan seleksi secara fisik. Benih yang dipilih adalah benih yang memiliki ciri-ciri fisik yang baik yaitu dari segi ukuran, warna dan berat benih. Tujuan dari seleksi benih ini diharapkan dapat mengurangi pengaruh internal dari benih yang menyebabkan perbedaan pertumbuhan benih. Benih yang telah dipilih dibersihkan dengan menggunakan aquades, alkohol 70%, dan H2SO4 5%. Tiap benih diberi perlakuan yang sama yaitu direndam dengan air hangat 80°C selama 5 menit, kemudian ujungnya digunting dan direndam dengan air dingin selama 12 jam. Tujuan perlakuan ini untuk mematahkan kondisi
dorman dari benih. Benih yang telah diberi perlakuan dikecambahkan pada cawan petri hingga kecambahnya muncul dan ditanam pada media.
3.3.2. Penyiapan Media Tanam Tanah dikelompokkan ke dalam dua bagian utama yaitu tanah gambut bekas terbakar dan tanah gambut tidak terbakar. Tiap tanah ini ada yang disteril dan ada yang tidak. Sterilisasi dilakukan selama 1 jam dengan mengunakan autoklaf. Kemudian setiap jenis tanah ini dimasukkan ke dalam polibag ukuran diameter = 10 cm sebanyak 210 gram/polibag. Kegiatan terakhir yang dilakukan adalah analisis kandungan unsur hara masing-masing jenis tanah yaitu N, P, K, KTK, dan pH. Jenis media yang digunakan terbagi dalam 4 kelompok yaitu: 1. Tanah gambut tidak steril dan tidak terbakar 2. Tanah gambut tidak steril dan terbakar 3. Tanah gambut steril dan tidak terbakar 4. Tanah gambut steril dan terbakar
Setiap media diberikan perlakuan yang sama, ada sebanyak 6 perlakuan dan masing-masing perlakuan mempunyai 5 ulangan. Perlakuan yang diberikan adalah: 1. diberi bakteri Bradyrhizobium japonicum BJ 11 (koleksi IPBCC) sebanyak 2 ml pada tiap polibag, 2. diberi bakteri Rhizobium asal tanah gambut Riau kode DD sebanyak 2 ml pada tiap polibag, 3. diberi bakteri Bradyrhizobium dari tanaman sengon kode S1 sebanyak 2 ml pada tiap polibag, 4. diberi pupuk NPK 46% sebanyak 0,5 gram dalam 1 liter air sebanyak 2 ml pada tiap polibag, 5. diberi NPK 46% sebanyak 1 gram dalam 1 liter air sebanyak 2 ml pada tiap polibag, dan 6. kontrol tanpa diberikan perlakuan.
3.3.3. Pembuatan Media YMA dan YMB Media tumbuh bakteri yang digunakan adalah YMA, berikut komposisi media YMA dalam 100 ml aquades: -Agar
2 gram
-Manitol
1 gram
-K2HPO2
0,05 gram
-MgSO4.7H20
0,04 gram
-NaCl
0,02 gram
-Yeast extract
0,1 gram
Semua bahan dimasukkan ke dalam erlenmeyer berisi 100 ml aquades. Proses pembuatan media YMA dilakukan dengan memasak media hingga mendidih. Media yang telah mendidih ini disterilisasi di dalam autoklaf selama kurang lebih 1 jam. Media yang telah steril dicampur dengan merah kongo sebanyak 1 ml untuk 100 ml media, setelah merah kongo tercampur rata, media YMA dituang ke dalam cawan petri steril sebanyak kurang lebih 12 ml. Setelah media mulai membeku, cawan ditutup dengan plastik dan disimpan terbalik. Proses ini dilakukan di dalam laminar flow untuk menjaga kondisi tetap steril. Pembuatan YMB tidak menggunakan agar, sehingga saat semua bahan telah dicampurkan dalam aquades, bahan diaduk di atas pemanas hingga semua terlarut menjadi satu. Setelah semua bahan terlarut sempurna, media YMB dipindahkan ke erlenmeyer sebanyak yang dibutuhkan. Mulut erlenmeyer ditutup dengan kapas dan dilapisi plastik kemudian disterilisasi seperti halnya media YMA.
3.3.4. Peremajaan Isolat Isolat semua bakteri ditumbuhkan pada media Yeast Mannitol Agar (YMA). Inkubasi dilakukan selama 7-8 hari. Inokulan dibuat dengan memindahkan isolat hasil peremajaan ke erlenmeyer yang berisi Yeast Mannitol Broth (YMB) dan diinkubasi selama 5 hari pada inkubator bergoyang dengan kecepatan 125 rpm. Setelah bakteri diremajakan, bakteri dibiakkan pada media YMA selama 5 hari untuk nantinya diproduksi pada media cair.
Isolat masing-masing bakteri dimurnikan pada media YMA dengan menggunakan merah kongo (congo red)dan pengamatan pada mikroskop dengan metode pewarnaan Gram. Bakteri yang telah murni diproduksi pada media cair YMB sebanyak 100 ml hingga mencapai OD (optical density) 0,8. Untuk mengetahui bakteri telah mencapai OD 0,8 dilakukan dengan cara uji spektrofotometer dengan panjang gelombang 600 nm.
3.3.5. Penanaman Akasia Biji akasia yang telah mendapat perlakuan dikecambahkan pada cawan petri selama 4 hari atau hingga kecambahnya muncul. Benih yang kecambahnya telah muncul ditanam ke polibag berisi tanah gambut. Tiap polibag diisi satu kecambah Acacia crassicarpa. Setelah semua kecambah dipindahkan ke dalam polibag maka tanaman diberikan perlakuan seperti uraian di atas.
3.3.6. Pemeliharaan Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan meliputi penyiraman tanaman dengan air setiap pagi dan sore, mencabut gulma dan mencegah terserang hama ulat. Pengendalian hama dan gulma dilakukan secara manual.
3.3.7. Pengamatan Parameter 3.3.7.1.Tinggi Bibit Pengukuran tinggi bibit dilakukan setiap 1 minggu sekali selama 10 minggu dengan menggunakan mistar. Tinggi bibit diukur mulai dari titik bekas kotiledon sampai titik tumbuh tunas yang paling muda/titik tertinggi (meristem apikal) pada batang. Nilai tersebut dinyatakan dalam satuan sentimeter (cm).
3.3.7.2. Jumlah Daun Pengukuran jumlah daun dilakukan setiap 1 minggu sekali dalam 10 minggu. Jumlah daun yang dihitung adalah daun awal yang telah melebar dan daun semu yang telah membesar. Daun semu dihitung diakhir pengamatan yaitu saat umur 10 minggu setelah tanam.
3.3.7.3. Jumlah Bintil Pengukuran jumlah bintil dilakukan diakhir pengamatan yaitu setelah tanaman berurumur 10 minggu. Pengukuran dilakukan dengan menjumlahkan seluruh bintil yang ditemukan dalam setiap ulangan untuk setiap jenis perlakuan. Bintil yang telah dipanen dibelah dan diamati warnanya. Apabila berwarna merah artinya bintil efektif dan apabila warnanya semakin pucat artinya bintil semakin tidak efektif.
3.3.7.4. Warna Daun Pengamatan warna daun dilakukan setiap hari selama 10 minggu dengan cara
mendokumentasikan
setiap
perubahan
warna
yang
terjadi
dan
membandingkan dengan literarur tanda-tanda kekurangan unsur hara pada tanaman.
3.3.7.5.Biomassa Tanaman Pengukuran biomassa tanaman dilakukan saat pemanenan yaitu dengan mengukur berat kering akar dan pucuk. Pengukuran berat kering dilakukan dengan memisahkan bagian antara akar dan pucuknya (daun dan batang) kemudian dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 80°C dalam waktu 48 jam. Setelah di oven maka berat kering akar dan pucuk ditimbang. Nilai tersebut dinyatakan dalam satuan gram. Rasio pucuk akar didapatkan dengan perbandingan antara berat kering bagian pucuk dengan bagian akar tanaman.
3.3.8. Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial 3 Faktor dengan 24 perlakuan masing-masing perlakuan diulang sebanyak 5 kali dengan demikian jumlah total polibag pengamatan berjumlah 120 polibag. Adapun faktor-faktor yang digunakan ialah pertama media gambut yang terdiri dari 2 taraf yaitu: Faktor G G0
= Tanah Gambut = Tanah gambut tidak terbakar
G1
= Tanah gambut terbakar
Faktor kedua sterilisasi tanah yang terdiri dari 2 taraf yaitu: Faktor S
= Sterilisasi tanah
S0
= Tidak steril
S1
= Steril
Faktor ketiga pemberian bakteri atau urea 46% (B) yang terdiri dari 6 taraf yaitu: Faktor
B
= Bakteri dan Urea 46%
B0
= Kontrol
B1
= Bakteri Bradyrhizobium asal Malang
B2
= Bakteri Rhizobium asal Riau
B3
= Bakteri Bradyrhizobium dari tanaman sengon
B4
= Pupuk NPK 46% sebanyak 0,5 gram
B5
= Pupuk NPK 46% sebanyak 1 gram
Kombinasi perlakuan yang diujicobakan dapat dilihat pada lampiran 1. Model rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Yijkl = µ + Ai + Bj + Ck + ABij + ACik + BCjk + ABCijk + eijkl Keterangan : Yijkl
= Nilai dari pengamatan yang memperoleh i faktor gambut terbakar, j faktor sterilisasi gambut, taraf k faktor pemberian bakteri atau urea pada ulangan ke-l
μ
= Nilai rata-rata umum
Ai
= Nilai pengaruh taraf ke-i faktor gambut
Bj
= Nilai pengaruh taraf ke-j faktor sterilisasi
Ck
= Nilai pengaruh taraf ke-k faktor pemberian bakteri atau urea
ABij
= Nilai interaksi gambut ke-i dan sterilisasi ke-j
ACik
= Nilai interaksi gambut ke-i dan pemberian bakteri atau urea ke-k
BCjk
= Nilai interaksi sterilisasi ke-i dan pemberian bakteri atau urea ke-k
ABCijk = Nilai interaksi gambut ke-i, sterilisasi ke-j dan pemberian bakteri atau urea ke-k = Nilai alat dari unit percobaan yang diberikan taraf i faktor tanah eijkl gambut, taraf j faktor sterilisasi gambut dan taraf k faktor pemberian bakteri atau urea pada ulangan ke-l.
Untuk mengetahui pengaruh perlakuan yang diberikan terhadap peubah yang diamati, dilakukan analisis keragaman yang diperoleh dari pengolahan data dengan menggunakan program SAS. Kemudian bila pengaruh yang diberikan menunjukan perbedaan yang nyata maka dilakukan uji lanjut Duncan.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil 4.1.1. Karakteristik Tanah Gambut untuk Media Tanam Media tanam yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanah gambut yang berasal dari Perawang, Kabupaten Siak, Riau. Tanah gambut ini terdiri dari tanah gambut biasa yang berasal dari gambut tidak terbakar (Gambar 1.a) dan tanah gambut yang berasal dari areal kebakaran (Gambar 1.b). Hasil pengamatan menunjukkan, tanah gambut yang telah terbakar memiliki warna yang lebih terang, berat lebih ringan dan ukuran lebih halus dari tanah gambut tidak terbakar. Berdasarkan tingkat kematangan gambut atau tingkat dekomposisinya maka gambut yang digunakan tergolong gambut halus (saprist) yaitu gambut dengan bahan organik kasar kurang dari 1/3 bagian.
a) b) Gambar 1 Media tanah gambut asal Riau, a) tanah gambut terbakar; b) tanah gambut tidak terbakar. Keterangan: tanah gambut terbakar berwarna lebih terang dari pada tanah gambut yang tidak terbakar, selain itu gambut terbakar juga lebih ringan dan halus.
Tanah gambut yang digunakan sebagai media tanam dianalisis kandungan haranya untuk mengetahui perbandingan unsur hara pada tanah gambut tidak terbakar dan tanah gambut yang telah terbakar. Gambut terbakar umumnya memiliki unsur hara lebih rendah dibandingkan yang tidak terbakar karena kebakaran menyebabkan kerusakan sifat kimia tanah dan hilangnya kesuburan tanah (Adinogroho 2005). Hal ini terlihat dari hasil analisis tanah yang dilakukan di Laboratorium Ilmu Tanah IPB (Tabel 1). Hasil ini menunjukkan nilai dari kadar C-Organik, P, dan KTK tanah gambut tidak terbakar lebih tinggi dari tanah gambut yang terbakar, sedangkan nilai kandungan N lebih rendah. Namun jika dibandingkan dengan kriteria penilaian sifat kimia gambut (Tabel 2) maka kadar
P, dan rasio C/N pada gambut tidak terbakar termasuk tinggi, kadar N sedang dan KTK tanah rendah. Pada tanah gambut terbakar kadar N, P dan rasio C/N-nya termasuk kriteria sedang dan kadar KTK termasuk kriteria rendah. Rendahnya KTK pada tanah gambut menyebabkan tanah sulit menahan air dan juga unsur hara yang diberkan. Tabel 1 Analisis kandungan hara pada media tanam
Gambut Tidak Terbakar
C-organik (%) 41,95
N-Total (%) 1,08
P (ppm) 66,66
K (me/100g) 2,13
Gambut Terbakar
30,06
1,2
23,21
1,23
Jenis Tanah
KTK 95,22 58,21
Tabel 2 Kriteria penilaian sifat kimia gambut (Staff PPT, 1983) Sifat Tanah N-Total (%) C/N P-Bray (ppm) KTK (me/100g)
Rendah < 1,00 < 15 < 20 < 100
Sedang 1,00 - 2,50 15 - 30 20 - 40 100 - 160
Tinggi > 2,5 > 30 > 40 > 160
Sumber Fleishcher
pH
< 4,0
4,0 - 5,0
>5
Staf PPT 1983 konversi BI
Tim IPB 1976 Staf PPT 1983 konversi BI
4.1.2. Peremajaan Isolat Bakteri penambat nitrogen yang digunakan dalam penelitian ini ialah Bradyrhizobium BJ 11 (B1) dari koleksi IPBCC Departemen Biologi, FMIPA IPB, Bradyrhizobium S1 dari tanaman sengon (B3), dan Rhizobium DD dari tanah gambut Riau (B2). Setiap bakteri diisolat dengan cara yang sama menggunakan media YMA dan YMB. Hasil pengamatan pertumbuhan melalui media cair YMB (Gambar 2), pertumbuhan Bradyrhizobium S1 lebih cepat dari pada bakteri penambat N yang lain, bakteri S1 mulai tumbuh pada hari kedua terlihat dari warna media YMB semakin keruh yang artinya bakteri mulai tumbuh. Semakin keruh media YMB maka semakin banyak bakteri yang tumbuh. Bakteri Rhizobium DD mulai tumbuh pada hari kedua namun warnanya tidak sepekat media B3. Bradyrhizobium BJ 11 mempunyai pertumbuhan lebih lama, bakteri mulai tumbuh pada hari ketiga (Gambar 2). Pada hasil pengamatan bakteri di media agar YMA menunjukkan hal yang sama dengan media cair YMB,
pertumbuhan bakteri
Bradyrhizobium S1 lebih cepat, kemudian bakteri
Rhizobium DD, dan bakteri Bradyrhizobium BJ 11.
Gambar 2 Isolat bakteri BJ 11, S1, dan DD pada media YMB 7 hari.
Bakteri DD yang tumbuh pada media mempunyai warna putih agak kuning sedangkan bakteri BJ dan S1 berwarna putih susu. Saat ditumbuhkan di media cair warna larutan media yang ditumbuhi DD menjadi kuning. Sedangkan bakteri BJ dan S1 warna berwarna putih susu. Penanda bahwa ketiga bakteri tersebut termasuk penambat nitrogen atau kelompok Rhizobium yaitu bakteri tersebut tidak menyerap warna merah kongo yang dicampurkan pada media YMA. Seperti yang dikatakan oleh Soekartadiredja (1992) bahwa salah satu ciri khas bakteri Rhizobium adalah tidak menyerap warna merah pada media yang mengandung merah kongo. Selain itu Bradyrhizobium menghasilkan lendir (eksopolisakarida) pada media. Setelah diperoleh isolat bakteri yang diinginkan maka dilakukan pemurnian bakteri. Tujuan pemurnian ini adalah agar diperoleh bakteri yang diinginkan dan bebas kontaminasi dari bakteri jenis lain. Cara mengetahui bakteri telah murni adalah dengan pengamatan di bawah mikroskop. Untuk dapat melihat bakteri yang diinginkan dilakukan pewarnaan Gram pada preparat yang diperoleh dari isolat umur 1 hari yang sudah dimurnikan. Jika isolat sudah murni maka hasil sel yang diperoleh adalah bakteri seluruhnya berwarna merah (Gram negatif) (Gambar 3). Bakteri yang telah murni diproduksi pada media cair YMB sebanyak yang dibutuhkan. Bakteri ditumbuhkan dan digoyang pada mesin penggoyang dengan kecepatan 125 rpm hingga mencapai kerapatan 108 sel/ml. Nilai 108 sel/ml ini adalah nilai optimum kerapatan bakteri yang biasanya digunakan untuk mampu bertahan di lingkungan tanah dan mampu bersaing dengan bakteri yang telah ada di dalam tanah. Untuk mengetahui kerapatan bakteri dilakukan dengan
cara mengukur OD (optical density) bakteri dengan spektrofotometer. Pengujian ini dilakukan mulai dari hari pertama hingga diperoleh nilai OD 0,8. Penelitian yang dilakukan menggunakan bakteri dengan kerapatan sel yaitu, Bradyrhizobium BJ 11 sebanyak 7x108 sel/ml, Bradyrhizobium S1 sebanyak 8,5x108 sel/ml, dan Rhizobium DD sebanyak 13,5x108 sel/ml.
Gambar 3 Bakteri S1 pada mikroskop perbesaran 400x. 4.1.3. Pengaruh Perlakuan terhadap Pertumbuhan Semai Akasia Beberapa parameter yang diukur dan diamati dalam pertumbuhan semai akasia ialah tinggi tanaman dan besar pertambahan tinggi setiap minggu, pertambahan jumlah daun awal dan daun semu, jumlah bintil akar yang efektif, warna daun, dan biomassa tanaman. 4.1.3.1. Tinggi Semai Hasil analisis sidik ragam pada akhir pengamatan diketahui bahwa faktor G (gambut terbakar dan tidak terbakar) dan S (steril dan tidak steril) memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap pertumbuhan semai pada taraf 0,05 sedangkan faktor B (perlakuan) tidak berbeda nyata pada taraf 0,05. Namun antar faktor G dengan faktor S dan atau faktor B tidak terjadi interaksi, uji lanjut Duncan tidak dapat dilakukan (Tabel 3). Tabel 3 Hasil analisis sidik ragam terhadap parameter tinggi tanaman Sumber Keragaman F Nilai Pr > F G (gambut) 7.54 0.0085** S (steril/tidak) 11.85 0.0012** B (bakteri atau urea) 2.31 0.0582 tn G*S 0.43 0.5139tn G*B 1.32 0.2725 tn S*B 1.29 0.2819 tn G*S*B 0.23 0.9480 tn Keterangan: **)berbeda nyata pada taraf 0,05 ; tn) tidak berbeda nyata
Parameter tinggi semai akasia diukur setiap satu minggu sekali selama 10 minggu setalah tanam (mst). Pada media G0S0 (tanah gambut tidak terbakar tanpa sterilisasi) tingkat pertumbuhan terbaik adalah perlakuan B1 16,56 cm (bakteri BJ), B3 17,76 cm (bakteri S1) dan B5 17,28 cm (urea 100%) dibandingkan dengan B0 14,28 cm (kontrol). Hal ini berarti pemberian bakteri BJ dan S1 cukup efektif dilakukan pada media G0S0. Namun perlakuan B2 memiliki rata-rata tinggi yang kecil setiap minggu dan nilai tingginya tidak berbeda jauh dengan kontrol (Lampiran 2). Hal ini berarti pemberian bakteri B2 (G0S0B2) tidak efektif
tinggi (cm)
diaplikasikan pada media G0S0 (Gambar 4). 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
S0G0B1 S0G0B2 S0G0B3 S0G0B4 S0G0B5 S0G0B0 2
3
4 5 6 7 umur (minggu setelah tanam)
8
10
Gambar 4 Rata-rata tinggi semai akasia selama 10 minggu pada media gambut tidak terbakar dan tidak steril. Keterangan: G0S0= gambut tidak steril dan tidak terbakar; B1=bakteri BJ 11; B2=bakteri DD; B3=bakteri S1; B4=urea 0,5 gram; B5=urea 1 gram; B0=kontrol.
Hasil analisis sidik ragam dari nilai pengukuran minggu terakhir pada media G0S0 (Tabel 4) dapat dilihat bahwa pemberian perlakuan berbeda nyata pada taraf 0,05. Berdasarkan hasil analisis Duncan perlakuan pemberian bakteri S1 (B3) menghasilkan pertumbuhan tinggi semai yang lebih baik dibandingkan dengan pemberian bakteri lain dan pemberian urea 50%. Persen peningkatan pertumbuhan B3 terhadap B4 (urea 50%) adalah 18,01% (Tabel 5). Persen peningkatan terhadap urea 100% tidak ada karena pertumbuhan antara pemberian bakteri dan urea 100% tidak berbeda jauh. Tabel 4 Hasil analisis sidik ragam media G0S0 terhadap perlakuan Sumber Keragaman
DF
F Nilai
Pr > F
Perlakuan
5
3.11
0.0496**
Keterangan: **) menunjukkan berpengaruh nyata pada taraf 0,05.
Tabel 5 Hasil analisis Duncan perbandingan pemberian bakteri dengan urea pada media G0S0 % Peningkatan terhadap N Perlakuan Nilai Tengah urea 50% bc B4 3 0 16.467 B1
18.800ab
3
9,30%
B2
17,100ab
3
3,84%
B3
19.433a
3
18,01%
Keterangan : Huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh berbeda nyata pada taraf 0,05.
Pada media gambut terbakar dan tidak steril (G1S0), pemberian bakteri S1 mempunyai tingkat pertumbuhan tinggi yang terbaik yaitu 17,98 cm (Lampiran 3). Perlakuan lain yang nilai pertumbuhannya tidak jauh berbeda adalah pemberian bakteri BJ (16,62 cm), bakteri DD (17,5 cm) dan urea 50% (17,48 cm) (Gambar 5). Hal ini karena pada media ini ditemukan bintil akar yang bersimbiosis dengan akar tanaman. Nilai pengukuran tinggi yang lebih rendah pada media ini ialah pemberian urea 100% (B5) hal ini diduga karena tidak ditemukan bintil yang bersimbiosis dengan akar tanaman seperti pada perlakuan lain. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian perlakuan pada
media G1S0 tidak berpengaruh signifikan terhadap tinggi
tinggi (cm)
tanaman (Lampiran 6). 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
S0G1B1 S0G1B2 S0G1B3 S0G1B4 S0G1B5 S0G1B0 2
3
4 5 6 7 umur (minggu setelah tanam)
8
10
Gambar 5 Rata-rata tinggi semai akasia selama 10 minggu pada media tanah gambut terbakar dan tidak steril. Keterangan: G1S0= gambut tidak steril dan terbakar; B1=bakteri BJ 11; B2=bakteri DD; B3=bakteri S1; B4=urea 0,5 gram; B5=urea 1 gram; B0=kontrol.
Pada media G0S1 (gambut tidak terbakar steril) diketahui bahwa perlakuan B1 memiliki tingkat pertumbuhan tinggi yang terbaik yaitu 17,78 cm. Bakteri Bradyrhizobium japonicum BJ 11 yang diberikan pada tanaman ini mempunyai
tinggi tanaman tertinggi setiap minggu dan jauh di atas rata-rata (Lampiran 4). Perlakuan yang memiliki pertumbuhan paling rendah ialah B0 atau kontrol (13,9 cm). Namun perlakuan lainnya (B2, B3, B4, dan B5) memperlihatkan tingkat pertumbuhan tinggi yang tidak jauh berbeda dengan kontrol (Gambar 6). Berdasarkan hasil analisis sidik ragam diketahui bahwa perlakuan pada media
tinggi (cm)
G0S1 tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 (Lampiran 9). 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
S1G0B1 S1G0B2 S1G0B3 S1G0B4 S1G0B5 S1G0B0 2
3
4 5 6 7 umur (minggu setelah tanam)
8
10
Gambar 6 Rata-rata tinggi semai akasia selama 10 minggu pada media tanah gambut tidak terbakar dan steril. Keterangan:
G1S1= gambut steril tidak terbakar; B1=bakteri BJ 11; B2=bakteri DD; B3=bakteri S1; B4=urea 0,5 gram; B5=urea 1 gram; B0=kontrol.
Pada media G1S1 yaitu tanah gambut terbakar dan steril tampak bahwa pemberian bakteri BJ 11 dan DD mempunyai tingkat pertumbuhan terbaik secara bergantian (20,43cm dan 18,93 cm) (Gambar 7). Berbeda dengan hasil pengukuran pada media lain, perlakuan pemberian bakteri S1 (B3) mempunyai pertumbuhan yang rendah, bahkan di akhir pengukuran, tinggi tanaman pada perlakuan ini lebih rendah dari kontrol (Lampiran 5) diduga karena bakteri S1
tinggi (cm)
tidak dapat tumbuh baik pada tanah gambut terbakar dan steril. 21 18 15 12 9 6 3 0
S1G1B1 S1G1B2 S1G1B3 S1G1B4 S1G1B5 S1G1B0 2
3
4 5 6 7 umur (minggu setelah tanam)
8
10
Gambar 7 Rata-rata tinggi semai akasia selama 10 minggu pada media tanah gambut terbakar dan steril. Keterangan: G1S1= gambut steril terbakar; B1=bakteri BJ 11; B2=bakteri DD; B3=bakteri S1; B4=urea 0,5 gram; B5=urea 1 gram; B0=kontrol.
Hasil analisis sidik ragam pada media G1S1 menunjukkan perlakuan memberikan pengaruh yang signifikan atau berbeda nyata pada taraf 0,05 (Tabel 6). Pemberian bakteri BJ mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman sebesar 42,2% dari urea dosis 100%, bakteri DD mampu meningkatkan pertumbuhan akasia sebesar 31,78% dari urea 100% (Tabel 7). Tabel 6 Hasil analisis sidik ragam media G1S1 terhadap perlakuan Sumber Keragaman
F Nilai
Pr > F
perlakuan
3.75
0.0282
Tabel 7 Hasil analisis Duncan perbandingan pemberian bakteri dengan urea pada media G1S1 % Peningkatan Perlakuan Rata-rata N terhadap urea 100% 0,00% B5 (Urea 100%) 3 14.367c B1 (BJ 11)
20.433a
3
42,22%
B2 (DD) B3 (S1)
18.933ab
3
31,78%
15,433bc
3
7,42%
Hasil perbandingan perlakuan antara pemberian bakteri dengan pemberian urea (50% dan 100%) diperoleh perlakuan B3 (bakteri S1) yang diaplikasikan pada media G0S0 dan G1S0 mempunyai tingkat pertumbuhan tertinggi dari perlakuan B4 dan B5 yaitu pemberian urea 50% dan 100% (Gambar 8). Hal ini berarti pemberian bakteri B3 memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan semai akasia. Perlakuan B1 yang diaplikasikan pada media G0S1 dan G1S1 mempunyai tingkat pertumbuhan yang lebih besar dari perlakuan B4 dan B5 yaitu pemberian urea 50% dan 100%. Perlakuan B2 yang diaplikasikan pada media G1S0 dan G1S1 mempunyai tingkat pertumbuhan semai lebih baik dari kontrol dan pemberian urea (Tabel 8).
Tabel 8 Tinggi rata-rata semai akasia umur 10 minggu pada semua media tanam Perlakuan B1 B2 B3 B4 B5 B0
G0S0 16,56 14,36 17,76 14,66 17,28 14,28
Media G1S0 16,62 17,5 17,98 17,48 15,23 16,44
G0S1 17,8 14,87 14,67 15,43 14,8 13,9
G1S1 20,43 18,93 15,43 17 14,37 16,87
Pertambahan tinggi tanaman adalah selisih rata-rata tinggi tanaman pada minggu pertama dengan rata-rata tinggi tanaman pada minggu ke nol. Pada media G0S0 masing-masing perlakuan mempunyai nilai pertambahan tinggi yang tidak jauh berbeda (Lampiran 6). Selisih pertambahan tinggi yang terbesar pada media ini ialah pemberian bakteri S1 (B3) dan urea (50% dan 100%) dan pertambahan tinggi terkecil adalah kontrol (B0). Pada media G1S0, pertambahan selisih tinggi yang terbesar ialah pemberian bakteri DD, urea 50%, dan bakteri S1. Pertambahan selisih tinggi terkecil adalah pemberian bakteri BJ hal ini karena dipengaruhi oleh keefektifan bakteri dalam menambat nitrogen. Pada media G0S1, rata-rata pertambahan tinggi terbesar ialah pemberian bakteri BJ (B1) dan terkecil adalah kontrol (B0). Pada media G1S1, rata-rata pertambahan selisih tinggi terbaik adalah pemberian BJ (B1) dan terrendah ialah kontrol (B0) (Tabel 9). Dari semua perlakuan selisih pertambahan tinggi terbesar ialah perlakuan dengan kombinasi S1G1B1 (1,92 cm). Tabel 9
Rata-rata pertambahan tinggi tanaman pada berbagai perlakuan dan media tanam (cm) Media Nilai Media Nilai Media Nilai Media Nilai
S0G0B1
1,28
G1S0B1 1,26
S1G0B1 1,4
S1G1B1 1,92
S0G0B2
0,99
G1S0B2 1,47
S1G0B2 1,08
S1G1B2 1,53
S0G0B3
1,46
G1S0B3 1,41
S1G0B3 1,03
S1G1B3 1,32
S0G0B4
1,4
G1S0B4 1,42
S1G0B4 1,27
S1G1B4 1,71
S0G0B5
1,45
G1S0B5 1,29
S1G0B5 1,13
S1G1B5 1,32
S0G0B0
0,91
G1S0B0 1,31
S1G0B0 1
S1G1B0 1,67
4.1.3.2. Jumlah Daun Asli dan Daun Semu Pengukuran jumlah daun asli pada tanaman akasia dilakukan setiap satu kali dalam seminggu hingga umur 10 mst. Hasil pengukuran jumlah daun mingguan menunjukkan bahwa pertambahan daun setiap minggu adalah 2 daun/minggu (Gambar 8). Total daun terbanyak adalah pada media G0S1 dengan perlakuan B1 sebanyak 35 daun pada 5 (Lampiran 8). Berdasarkan hasil analisis ragam jumlah daun asli akasia menunjukan nilai yang tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 (Lampiran 9).
a.
b.
c.
d.
Gambar 8 Pertambahan jumlah daun tanaman akasia pada, a) 2 mst, b) 3 mst, c) 4 mst, d) 5 mst. Daun semu akasia mulai tumbuh pada umur 4 minggu. Daun semu tumbuh dari perbesaran tangkai daun (Gambar 9.a) yang semakin lama tangkai daun semakin lebar dan menyerupai daun. Daun semu tidak hanya muncul akibat perbesaran tangkai daun, daun semu dapat tumbuh dari pucuk tanaman (Gambar 9.b). Hasil pengamatan pada daun semu akasia menunjukkan bahwa semakin banyak daun semu maka jumlah daun asli semakin berkurang akibat rontok. Pengukuran daun semu dilakukan diakhir pengamatan. Pemberian bakteri tidak berbeda nyata diaplikasikan pada media steril atau tidak steril dan pada media gambut terbakar atau tidak terbakar jika dilihat dari jumlah daun akasia yang tumbuh. Selain itu tidak terjadi interaksi di antara faktor tersebut.
a)
b)
Gambar 9 Daun semu, a) tumbuh dari tangkai daun mulai membesar pada umur 4 mst, b) daun semu tumbuh dari pucuk daun akasia.
4.1.3.3. Jumlah Bintil Bintil akar dihitung pada akhir pengukuran. Setelah pemanenan, dilakukan pengecekan terhadap warna bintil akar dengan cara membelah bintil akar menjadi dua bagian. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan pemberian faktor media terhadap media gambut, sterilisasi dan perlakuan berbeda nyata pada taraf 0,05 namun tidak terjadi interaksi di antara faktor-faktor tersebut (Tabel 10). Tabel 10 Hasil analisis sidik ragam faktor-faktor terhadap bintil akar Sumber keragaman
DF
F Nilai
Pr > F
G (gambut)
1
35.58
<.0001**
S (steril/tidak)
1
62.26
<.0001**
B (bakteri atau urea)
2
3.46
0.0486**
G*S
1
0.03
0.8648tn
G*B
2
0.01
0.9887 tn
S*B
2
3.12
0.0634 tn
G*S*B
2
2.22
0.1312 tn
Keterangan: tn)menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 0,0; **) menunjukkan berpengaruh nyata pada taraf 0,05.
Pada media G0S0, bintil ditemukan pada pemberian bakteri BJ 11 (B1) dan bakteri S1 (B3) dalam kondisi efektif, namun bintil akar tidak ditemukan pada pemberian bakteri DD. Sehingga perlakuan B1 dan B3 mempunyai pertumbuhan lebih baik dari pada perlakuan B2 seperti yang terlihat dari hasil pengukuran tinggi. Pada media G1S0, bintil ditemukan hampir di seluruh perlakuan termasuk kontrol kecuali perlakuan B5 (urea 100%) dalam kondisi efektif. Sehingga pertumbuhan B5 jauh lebih kecil dari perlakuan yang lain. Pada media G0S1 bintil akar ditemukan pada perlakuan pemberian bakteri saja yaitu B1, B2, dan B3. Kondisi bintil akar pada perlakuan B1 (bakteri BJ) yang bersimbiosis dengan tanaman cukup efektif, terlihat dari warna merah pada bintil dan juga perlakuan ini memiliki pertumbuhan yang lebih tinggi dari perlakuan yang lain. Kondisi bintil pada perlakuan B2 dan B3 (bakteri DD dan S1) tidak efektif terlihat dari bintil akar berwarna pucat. Sehingga pertumbuhan tanaman dengan perlakuan ini tidak berbeda jauh dengan kontrol. Pada media G1S1 bintil juga ditemukan pada perlakuan pemberian bakteri yaitu B1, B2, dan B3 dengan kondisi efektif. Ukuran
bintil yang halus menyebabkan kesulitan untuk melihat warna bintil (Gambar 10 dan 11) (Lampiran 10). Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa faktor media tanah dan perlakuan mempunyai nilai berbeda nyata namun tidak ada interaksi antara faktorfaktor tersebut. Dan dari uji lanjut Duncan diketahui bahwa pemberian bakteri S1 (B3) mempunyai total bakteri lebih banyak dari bakteri BJ dan DD. Bakteri mampu tumbuh dengan baik pada media G1S1 atau media dengan gambut terbakar dan steril. Dari hasil analisis sidik ragam diketahui bahwa setiap faktor berbeda nyata pada taraf 0,05 namun tidak terjadi interaksi diantara faktor tersebut (Lampiran 8, 9 dan 10).
a) b) Gambar 10 Bintil akar pada tanaman akasia media G0S0, a) perlakuan B1, b) perlakuan B3
a)
b)
Gambar 11 Bintil akar pada tanaman akasia media G1S0, a) perlakuan B1, b) perlakuan B2. 4.1.3.4.Warna Daun Hasil pengamatan daun akasia dilakukan setiap hari saat penyiraman. Daun akasia mulai berubah warna ketika daun semu mulai tumbuh banyak pada tiap ulangan. Media steril lebih dahulu mengalami perubahan warna (minggu ke-5 mst) ditandai dengan hijau daun mulai memudar, terdapat bintik-bintik kuning, dan akhirnya daun berwarna kuning. Pada media steril juga ditemukan warna daun berubah menjadi kecoklatan (Gambar 12 dan 13). Media tidak steril mulai
mengalami perubahan warna pada minggu ke-6. Ciri-ciri yang sama juga terlihat pada media ini, hanya saja tidak terjadi perubahan warna menjadi kecoklatcoklatan. Menurut Bapak Budi (dosen Departemen Menejemen Sumberdaya Lahan, Faperta IPB, komunikasi pribadi) mengatakan warna bercak coklat pada daun diakibatkan oleh keracunan pirit.
a) b) Gambar 12 Perubahan warna daun akasia, a) daun akasia yang masih sehat umur, b) daun akasia umur 6 mst mulai berubah warna tampak ada bercak kuning.
b) a) Gambar 13 Perubahan warna daun akasia pada media G0S1, a) daun mengkerut dan kuning, b) daun keracunan pirit, pada bagian tepi daun seperti karat.
4.1.3.5. Biomassa Tanaman Berat Biomassa tanaman akasia
baik biomassa akar maupun biomassa
pucuk diukur di akhir pengamatan. Berdasarkan hasil pengukuran pada media G0S0 perlakuan B1 (bakteri BJ) dan B3 (bakteri DD) memberikan respon yang baik terhadap pertumbuhan semai terlihat dari biomassa kontrol lebih kecil dari pada biomassa dengan pemberian bakteri (Gambar 14). Hasil pengukuran biomassa pada media G1S0 diketahui pemberian bakteri tidak memberikan respon apapun terhadap pertumbuhan semai akasia. Terlihat dari nilai biomassa kontrol tidak jauh berbeda dengan pemberian bakteri. Selain itu peberian bakteri B1 pada perlakuan G1S0 memberikan dampak negatif pada pertumbuhan semai akasia. Hasil pengukuran biomassa pada media G0S1 terlihat bakteri yang memberikan
dampak positif pada pertumbuhan tanaman adalah G0S1B1. Namun bakteri DD dan S1 pada perlakuan G0S1B2 dan G0S1B3 memberikan pengaruh negatif pada pertumbuhan semai akasia dan hasil pengkuran biomassa pada media G1S1 terlihat bahwa bakteri perlakuan G1S1B1 dan G1S1B2 memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan semai akasia. Pemberian B3 pada perlakuan G1S1B3 memberikan pengaruh negatif pada pertumbuhan semai akasia. 0,9 0,8
B1
biomassa (g)
0,7
B2
0,6 0,5
B3
0,4
B4
0,3
B5
0,2
B0
0,1 0 akar
tajuk
S0G0
akar
tajuk
akar
S0G1
tajuk
S1G0
akar
tajuk
S1G1
media
Gambar 14 Biomassa tajuk dan akar pada tanaman akasia umur 10 minggu.
4.2. Pembahasan Akasia adalah jenis tanaman yang banyak dipilih sebagai tanaman revegetasi karena sebagian besar spesies akasia memiliki banyak keunggulan, yaitu cepat tumbuh, toleran pada kondisi yang buruk, dapat mengonservasi tanah dan tidak ditemukan bahan beracun pada daun dan eksudat akar. Salah satu jenis akasia yang memiliki adaptabilitas dan pertumbuhan yang baik pada kondisi lahan kritis ialah Acacia crassicarpa. Tanaman ini menunjukkan pertumbuhan yang sangat cepat dan mampu tumbuh pada kondisi lahan yang sangat masam (pH 3-5) serta mempunyai ketahanan terhadap kondisi lingkungan yang kurang baik (Widyati 2007). Dalam penelitian ini bakteri penambat nitrogen digunakan untuk membantu pertumbuhan tanaman akasia di lahan gambut yang miskin hara. Nitrogen adalah salah satu unsur hara makro esensial yang dibutuhkan tanaman untuk membantu pertumbuhan tinggi tanaman. Rhizobia adalah kelompok mikrob yang mampu
menambat N2 dari udara dan mengubahnya menjadi bentuk yang tersedia bagi tanaman ketika bersimbiosis dengan tanaman legum. Secara umum hasil analisis sidik ragam terhadap parameter pertumbuhan akasia tidak berbeda nyata pada taraf 0,05. Namun hasil analisis data tiap media menunjukkan bahwa pemberian bakteri penambat nitrogen memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan tanaman di beberapa jenis media tanam dan juga dapat menggantikan penggunaan pupuk urea 46% selama masa semai. Pemberian bakteri S1 dan BJ sangat efektif diaplikasikan pada media gambut tidak terbakar yang tidak steril (G0S0) (Gambar 4). Pemberian bakteri S1 mampu mengurangi penggunaan pupuk urea dan dapat meningkatkan pertumbuhan semai akasia sebesar 18% dari pertumbuhan semai yang diberikan urea 50%. Hal ini berarti bakteri S1 dapat bersimbiosis dengan baik pada akar tanaman, bakteri dapat membantu menyediakan N2 untuk pertumbuhan tanaman inangnya. Hasil ini dibuktikan dengan ditemukannya bintil akar berwarna merah muda pada beberapa ulangan. Namun pemberian bakteri DD (B2) memberikan pengaruh negatif pada pertumbuhan semai akasia, tinggi semai perlakuan B2 dan B0 (kontrol) tidak jauh berbeda yaitu 14,36 cm dan 14,28 cm. Rata-rata tinggi tanaman pada media gambut terbakar dan tidak steril (G1S0) tidak jauh berbeda (Gambar 5) karena pada media ini banyak ditemukan bintil akar pada akar tanaman di semua perlakuan (kecuali B5), sehingga rata-rata nilai tinggi tanaman tiap perlakuan tidak jauh berbeda. Pada kontrol juga ditemukan bintil akar, padahal kontrol tidak mendapatkan perlakuan apapun. Bakteri yang ada pada kontrol berasal dari tanah gambut yang digunakan. Perlakuan B5 yang tidak memiliki bintil akar mempunyai tinggi rata-rata yang terkecil bahkan dibandingkan dengan kontrol (B0). Kondisi ini berarti keberadaan bintil pada akar tanaman mampu membantu tanaman menyediakan N2 untuk pertumbuhan semai akasia. Hasil pengukuran tinggi media G0S1 menunjukkan pemberian bakteri DD lebih efektif dari pada bakteri S1 (Gambar 6). Hasil ini berbeda dengan hasil pada media tidak steril. Hal ini terjadi karena daun akasia mudah rontok. Berbeda halnya dengan media steril G0S1, tinggi rata-rata semai akasia pada media steril G1S1 jauh lebih baik dari media lainnya. Walaupun terlihat tanda-tanda
keracunan pirit pada daun tanaman, namun bakteri tetap bersimbiosis dengan baik. Terlihat dari ditemukannya bintil akar pada beberapa perlakuan dengan ukuran halus. Jika media tidak steril G0S0 dan G1S0 dibandingkan maka akan diperoleh tingkat pertumbuhan tanaman yang terbaik adalah pada media tanah G1S0 yaitu tanah gambut terbakar dan tidak steril. Seharusnya pertumbuhan terbaik adalah pada media tanah G0S0 yaitu tanah gambut tidak terbakar dan tidak steril karena unsur hara pada tanah G1S0 sangat sedikit dan rusak karena kebakaran. Tingginya tingkat pertumbuhan pada tanah G1S0 disebabkan banyak bintil akar yang ditemukan hampir pada setiap tanaman dan perlakuan. Misalnya saja pada B3 bintil ditemukan pada setiap tanaman walaupun masih sangat kecil namun cukup banyak dan ada 4 bintil yang cukup besar berwarna merah. Banyaknya bintil akar yang ditemukan pada media terbakar G1S0 ini karena tanahnya lebih halus dan diduga kandungan nutrisi lebih baik dari pada media tidak terbakar G0S0. Kemungkinan setelah tanah terbakar, bakteri yang tidak mati dapat beradaptasi lebih baik dari sebelumnya dan dapat menguraikan bahan organik yang ada. Menurut Hardjowigeno (1996) gambut halus memiliki ketersediaan unsur hara yang lebih tinggi dari gambut kasar. Jika media steril G0S1 dan G1S1 dibandingkan maka akan terlihat bahwa pertumbuhan tanaman pada media G1S1 jauh lebih baik dari pada pada media G0S1. Jika media tidak steril dibandingkan maka akan terlihat media G1S0 lebih baik dari pada media G0S0. Dengan kata lain media tanah gambut yang terbakar lebih baik digunakan sebagai media tanam dari pada tanah gambut tidak terbakar. Hal ini bertentangan dengan teori yang menyatakan bahwa tanah gambut terbakar telah rusak sifat fisik, kimia dan biologinya, dan unsur-unsur hara semakin tidak tersedia. Sedangkan pada media tidak steril penyebab gambut terbakar lebih tinggi karena adanya bintil yang bersimbiosis dengan akar. Kondisi media yang diberikan bakteri sangat mempengaruhi pertumbuhan bakteri dalam tanah gambut. Bakteri BJ 11 efektif diberikan pada media steril G1S1 dan G0S1 namun tidak efektif pada media tidak steril G0S0 dan G1S0 (Tabel 8). Bakteri BJ berasal isolat bakteri tanaman kedelai. Hal ini mungkin menyebabkan kemampuan beradaptasi BJ 11 lebih kecil dibandingkan dengan
bakteri indigenus (asal) yang sudah ada pada media gambut tidak steril. Bakteri DD efektif diaplikasikan pada tanah gambut terbakar dan steril. Bakteri S1 efektif diaplikasikan pada media tidak steril G0S0 dan G1S0 namun tidak efektif pada media steril G0S1 dan G1S1. Stowers dan Elkan (1980) menyatakan kemampuan simbiosis yang efektif dan efisien dapat diketahui dari biakan Rhizobium yang diinokulasikan mampu membentuk bintil akar yang berarti pengikatan nitrogennya berjalan dengan baik. Dari semua jenis media tanah, rata-rata perlakuan dengan pemberian bakteri penambat nitrogen memiliki pertumbuhan lebih baik dari pada pemberian pupuk urea 46%. Hal ini berarti bakteri mampu menggantikan pupuk urea dalam memenuhi kebutuhan nitrogen dalam tanah untuk perumbuhan tanaman. Jenis bakteri penambat nitrogen yang lebih baik ialah Bradyrhizobium japonicum BJ 11 pada media steril bakteri ini mampu meningkatkan persen pertumbuhan semai sebesar 42,22% terhadap pemberian urea 100%. Hasil pertumbuhan semai dengan pemberian jenis Rhizobium DD pada media tidak steril cenderung sama dengan pertumbuhan kontrol. Dengan kata lain Rhizobium DD cenderung kurang memberikan pengaruh pada tanaman akasia. Menurut hasil penelitian Bolton (1992), ketika mikrob diinokulasikan ke dalam rhizosfir
mereka
dapat
memberikan
dampak
positif
(mutualisme
atau
komensalisme), dampak negatif (parasitisme, kompetisi ataua mensalisme) atau tidak memberikan pengaruh apa-apa (netralisme). Menurut Nautiyal (1999), rhizobia memerlukan karbohidrat dan protein untuk pertumbuhannya yang diambil dari hasil fotosintat tanaman inangnya. Bagi mikroorganisme tersebut, karbohidrat dan protein digunakan sebagai sumber C, sumber energi dan sumber N (Nautiyal 1999). Rhizobium yang diinokulasikan mengambil hasil fotosintat, tetapi mereka tidak mampu membantu tanaman dalam mendapatkan unsur hara yang diperlukan sehingga pertumbuhan tanaman dengan bakteri DD dan kontrol tidak berbeda jauh. Akan tetapi pemberian bakteri DD pada media steril bekas terbakar dapat menigkatkan persen pertumbuhan semai akasia sebesar 31,78% terhadap pemberian urea. Sehingga bakteri DD efektif diaplikasikan pada media steril bekas terbakar.
Nilai rata-rata pertambahan tinggi tanaman yang terbaik ialah G1S1B1 dengan pertambahan rata-rata setiap minggunya ialah 1,92 cm. Nilai ini menunjukkan hasil yang sama dengan pengukuran tinggi tanaman yaitu tinggi tanaman terbaik ialah G1S1B1 20,43 cm. Tanaman tertinggi mempunyai pertambahan tinggi yang terbesar. Hasil pengamatan harian menunjukkan daun asli pertama akasia muncul pada hari ke-5 pada media tidak terbakar dan tidak steril (G0S0) perlakuan B1, B2, dan B3 kemudian setelah hari ke-14 semua daun telah tumbuh di setiap media. Hasil pengukuran jumlah daun menunjukkan bahwa pertambahan daun setiap minggu ialah 2 daun/minggu (Gambar 8). Pertambahan daun masih terjadi hingga akhir pengamatan pada minggu ke-10. Namun pertambahan ini diikuti dengan kerontokan daun yang disebabkan oleh serangan hama ulat hijau pemakan daun sehingga perhitungan jumlah daun hanya dilakukan hingga minggu ke-6 setelah tanam. Daun semu pada akasia mulai terlihat saat tanaman berumur 4 minggu, ditandai dengan membesarnya tangkai daun bagian bawah. Semakin lama, tangkai daun yang membesar semakin menyerupai daun dan biasanya saat tangkai daun sudah membesar maka daun yang tumbuh di atasnya mulai mengkerut lalu menguning dan rontok. Hal ini disebabkan nutrisi terhambat di tangkai daun. setelah tangkai daun membesar, daun tanaman menjadi lebih mudah menguning. Namun ada juga yang tetap tumbuh dengan baik dan akhirnya rontok. Daun semu pada tanaman akasia tidak hanya tumbuh dari tangkai daun yang membesar namun dapat juga tumbuh dari pucuk tanaman. Daun semu tumbuh dari pucuk tanaman tumbuh lebih cepat dari pada daun semu perbesaran tangkai daun. Daun akasia yang sudah dewasa sebenarnya bukanlah daun sesungguhnya melainkan daun semu. Bintil akar adalah salah satu bentuk simbiosis mutualisme antara tanaman dan bakteri. Keberadaan bintil pada akar tanaman sangat mempengaruhi tingkat pertumbuhan tanaman. Bintil menunjukkan adanya bakteri yang menambat nitrogen. Hasil panen dari tanaman akasia menunjukkan adanya simbiosis antara bakteri yang diberikan dengan akar tanaman. Hal ini ditunjukkan dengan ditemukannya bintil akar pada banyak ulangan dan media. Pada media G0S0 bakteri ditemukan pada perlakuan B1 dan B3 tetapi tidak ditemukan pada
perlakuan B2. Apabila dibandingkan dengan tinggi tanaman maka akan terlihat bahwa perlakuan yang memiliki bintil memilki pertumbuhan lebih baik dan perlakuan B2 yang tidak memiliki bintil, mempunyai tinggi tidak berbeda jauh dengan kontrol. Bintil akar ditemukan pada pemberian bakteri B1, B2, dan B3 di media G1S0 dan pada perlakuan urea (B4) serta tanpa perlakuan B0 (kontrol). Bintil yang terdapat pada kontrol G1S0B0 dan pemberian urea G1S0B5 diduga berasal dari bakteri penambat nitrogen indigenos yang ada dalam tanah gambut yang digunakan. Keberadaan bintil pada semua perlakuan ini menyebabkan rata-rata tinggi tanaman tidak jauh berbeda dan perlakuan B5 yang tidak memiliki bintil mempunyai tinggi yang terkecil dari semua perlakuan. Pada media G0S1, bintil akar ditemukan pada perlakuan yang diberikan bakteri yaitu B1, B2, dan B3. Namun yang bersimbiosis dengan baik pada akar tanaman hanya perlakuan B1 (bakteri BJ 11). Sehingga pertumbuhannya jauh di atas kontrol dan perlakuan yang lainnya, sedangkan perlakuan B2 dan B3 pada media ini mempunyai pertumbuhan yang sama dengan kontrol karena bakteri yang bersimbiosis tidak efektif. Pada media G1S1 bintil ditemukan pada perlakuan yang diberikan bakteri B1, B2, dan B3. Bintil ini menunjukkan simbiosis bakteri penambat nitrogen dengan akar tanaman akasia. Pertumbuhan tanaman dengan perlakuan ini mempunyai rata-rata tinggi yang besar, kecuali pada B3 pertumbuhannya lebih kecil akibat kerontokan pada daun. Bintil akar lebih banyak ditemukan pada media G1S0 yang merupakan tanah gambut bekas terabakar dari pada media G0S0 yang tidak terbakar. Hal ini bertentangan dengan teori yang menyatakan dampak kebakaran hutan/lahan gambut
yaitu
terganggunya
proses
dekomposisi
tanah
gambut
karena
mikroorganisme banyak yang mati akibat terbakar (Adinogroho 2005). Setelah pengamatan pada media tanah gambut, ternyata ditemukan gambut terbakar lebih halus dari pada gambut tidak terbakar. Menurut Hardjowigeno (1996) gambut halus memiliki ketersediaan unsur hara yang lebih tinggi dari gambut kasar. Warna daun akasia yang tumbuh dengan baik adalah berwarna hijau segar merata pada setiap permukaan. Perubahan warna mulai terlihat saat daun semu mulai melebar. Pengamatan harian pada tanaman dengan media tidak steril G0S0
dan G1S0 menunjukkan tanaman mengalami kekurangan nitrogen, terlihat dari warna daun yang mulai kuning dan mudah rontok. Hasil pengamatan harian pada tanaman dengan media steril G0S1 dan G1S1 menunjukkan tanaman mengalami keracunan pirit dari warna daun tampak seperti berkarat pada bagian tepi, terdapat bercak coklat pada daun, dan mudah rontok dan juga (Gambar 13.b). Media yang tidak steril tidak menunjukkan tanda-tanda ini seperti keracunan pirit. Biomassa merupakan salah satu parameter yang secara langsung mencerminkan efisiensi interaksi proses fisiologis di dalam tanaman dengan lingkungannya. Nilai biomassa akar merupakan berat bagian akar semai akasia yang ditimbang setelah dioven. Biomassa pucuk akasia juga diukur pada akhir pengamatan. Nilai biomassa pucuk merupakan hasil pengukuran dari berat kering bagian pucuk (batang dan daun) semai akasia. Nilai dari pengukuran biomassa (Gambar 14) menunjukkan bahwa bakteri BJ lebih efektif jika diaplikasikan pada tanah gambut bekas terbakar yang disterilkan karena bakteri ini memberikan respon yang baik pada pertumbuhan semai akasia namun kurang efektif jika diaplikasikan pada tanah gambut bekas terbakar yang tidak steril. Pemberian bakteri B2 hanya efektif diaplikasikan pada tanah gambut bekas terbakar dan steril. Pemberian bakteri S1 lebih efektif diaplikasikan pada tanah gambut yang tidak disterilisasi. Berdasarkan tingkat dekomposisi tanah gambut yang digunakan termasuk jenis gambut halus atau saprik karena bahan kasarnya kurang dari 1/3 bagian. Menurut Hardjowigeno (1996) gambut halus memiliki ketersediaan unsur hara yang lebih tinggi dan memiliki kerapatan lindak yang lebih besar dari gambut kasar.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan Bakteri BJ 11 efektif diberikan pada media gambut terbakar steril dan mampu meningkatkan pertumbuhan tinggi tanaman sebesar 41,22% terhadap pemberian urea 100% (1 g/L). Bakteri DD efektif diaplikasikan pada media bekas terbakar steril dan dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi tanaman sebesar 31,78%. Bakteri S1 efektif diaplikasikan pada media tidak steril dan dapat meningkatkan pertumbuhan semai akasia sebesar 18,01% dibandingkan pemberian urea 50% (0,5 g/L). Perlakuan
dengan
menggunakan
bakteri
Bradyrhizobium
mampu
meningkatkan pertumbuhan Acacia crassicarpa di tanah gambut bekas terbakar dan steril. Perlakuan dengan Rhizobium di tanah gambut steril yang terbakar membantu pertumbuhan akasia. Dari hasil pengukuran biomassa dapat menunjukkan pemberian bakteri penambat nitrogen pada tanah gambut dapat memberikan interaksi yang baik dengan tanaman dan dapat memperbaiki kondisi gambut yang rusak akibat terjadinya kebakaran. Selain itu dapat mengurangi penggunaan pupuk urea pada penanaman semai akasia.
5.2. Saran Diharapkan adanya penelitian lanjutan dari aplikasi bakteri penambat nitrogen pada Acacia crassicarpa dengan masa pengamatan pertumbuhan akasia yang lebih lama dan menggunakan dosis konsentrasi yang berbeda. Penelitian ini hanya menggunakan bakteri dari jenis penambat nitrogen, diharapkan adanya penelitian menggunakan bakteri jenis lain seperti jenis bakteri pelarut fospat dan juga penggabungan beberapa jenis bakteri dalam bentuk konsentrasi pada penanaman akasia di tanah gambut.
DAFTAR PUSTAKA Adinogroho WC, Suharjo BH, Labueni S, Surydiputra. 2005. Panduan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut. Bogor. WIIP. Andriesse JP. 1988. Nature and management of tropical peat soils. Soil resources Management and Conservation service FAO Land and Water Development Division. FAO Soils Bulletine 59. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. 2008. Laporan tahunan 2008, Konsorsium penelitian dan pengembangan perubahan iklim pada sektor pertanian. Bogor. BB Libang SDLP. Bolton H, Fredrickson JK, Elliot LF. 1992. Microbial ecology of the rhizosphere. In Soil Microbial Ecology. Metting, B (ed). Marcel and Dekker. New York. Hardjowigeno S. 1996. Pengembangan Lahan Gambut untuk Pertanian Suatu Peluang dan Tantangan. Bogor. Fakultas Pertanian IPB. Muslihat L. 2003. Teknik pengukuran tanah gambut di lapangan dan di laboratorium.Bogor. Buletin Teknik Pertanian. 8:69. Nautiyal CS. 1999. An efficient microbiological growth medium for screening phosphate solubilizing bacteria. FEMS Microbio. Lett. 170:265-270. Rahmawati N. 2005. Pemanfaatan biofertilizer pada pertanian oraganik. Medan. Fakultas Pertanian USU. Rajagukguk B, Setiadi B. 1989. Strategi pemanfaatan gambut di Indonesia kasus pertanian. Medan. Fakultas Pertanian USU. Sihono. 2005. Efektivitas isolat Rhizobium dalam meningkatkan pertumbuhan semai akasia (Acacia crassicarpa A. Cunn. ex Benth) [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Soekardi M, Hidayat A. 1988. Extent and distribution of peatsoils of Indonesia. Third meeting cooperative resarch on problem soils. CRIFC. Bogor. Soekartadiredja EM. 1992. Perubahan inefektivitas dan efektivitas penambatan pada galur Rhizobium setelah perlakuan pasasi in Vivo [Thesis]. Bandung: Universitas Padjadjaran.
Stowers MD, Elkan GH. 1980. Criteria for selecting infektive and efficient strains of Rhizobium for use in tropical agriculture. North Caroline Agric Service Techno. Bull.: 264. Syaufina L. 2008. Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia. Malang. Bayumedia Publishing. Wahyunto S. 2003. Sebaran gambut dan kandungan karbon pulau sumatera (peat distributions and carbon contens of sumatera island). Bogor. Puslibtangtanak. Widjaja A. 1988. Physical and chemical characteristic of peat soil of Indonesia. Ind. Agric. Res. Dev. 10:59-64. Widyati, E. 2006. Bioremediasi tanah bekas tambang batubara dengan sludge industri kertas untuk memacu revegetasi lahan [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Widyati E. 2007. Formulasi Inokulum Mikroba: MA, BPF dan Rhizobium Asal Lahan Bekas Tambang Batubara untuk Bibit Acacia Crassicarpa Cunn. Ex-Benth. Bogor . Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Wiratama A. 2010. Eksplorasi bakteri potensial sebagai pupuk hayati pada lahan gambut bekas terbakar dan lahan gambut tidak terbakar dari Riau. [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Daftar kombinasi perlakuan yang diujicobakan Perlakuan S0G0B1 S0G0B2 S0G0B3 S0G0B4 S0G0B5 S0G0B0 S0G1B1 S0G1B2 S0G1B3 S0G1B4 S0G1B5 S0G1B0 S1G0B1 S1G0B2 S1G0B3 S1G0B4 S1G0B5 S1G0B0 S1G1B1 S1G1B2 S1G1B3 S1G1B4 S1G1B5 S1G1B0
Keterangan gambut tidak terbakar tidak steril dengan pemberian bakteri BJ gambut tidak terbakar tidak steril dengan pemberian bakteri DD gambut tidak terbakar tidak steril dengan pemberian bakteri S1 gambut tidak terbakar tidak steril dengan pemberian pupuk urea 0,5 gram dalam 1 liter aquades gambut tidak terbakar tidak steril dengan pemberian pupuk urea 1 gram dalam 1 liter aquades gambut tidak terbakar tidak steril dengan tanpa pemberian apapun gambut terbakar tidak steril dengan pemberian bakteri BJ gambut terbakar tidak steril dengan pemberian bakteri DD gambut terbakar tidak steril dengan pemberian bakteri S1 gambut terbakar tidak steril dengan pemberian pupuk urea 0,5 gram dalam 1 liter aquades gambut terbakar tidak steril dengan pemberian pupuk urea 1gram dalam 1 liter aquades gambut terbakar tidak steril dengan tanpa pemberian apapun gambut tidak terbakar steril dengan pemberian bakteri BJ gambut tidak terbakar steril dengan pemberian bakteri DD gambut tidak terbakar steril dengan pemberian bakteri S1 gambut tidak terbakar steril dengan pemberian pupuk urea 0,5 gram dalam 1 liter aquades gambut tidak terbakar steril dengan pemberian pupuk urea 1 gram dalam 1 liter aquades gambut tidak terbakar steril dengan tanpa pemberian apapun gambut terbakar steril dengan pemberian bakteri BJ gambut terbakar steril dengan pemberian bakteri DD gambut terbakar steril dengan pemberian bakteri S1 gambut terbakar steril dengan pemberian pupuk urea 0,5 gram dalam 1 liter aquades gambut terbakar steril dengan pemberian pupuk urea 1 gram dalam 1 liter aquades gambut terbakar steril dengan tanpa pemberian apapun
Lampiran 2 Rata-rata pertumbuhan tinggi tanaman pada media S0G0 Perlakuan S0G0B1 S0G0B2 S0G0B3 S0G0B4 S0G0B5 S0G0B0
2 7,62 7,44 7,56 5,1 7,16 7,9
3 8,44 8,1 8,5 5,52 7,86 8,5
Minggu Setelah Tanam (cm) 4 5 6 7 9,32 10,1 11,26 12,72 8,86 9,8 10,66 12,44 9,54 10,8 12 14,1 6,08 7,2 10,1 11,96 8,7 9,9 11,9 13,56 8,6 9,36 10,38 11,14
8 14,26 12 14,84 11,6 14,2 12,4
10 16,56 14,36 17,76 14,66 17,28 14,28
Keterangan: Angka yang dicetak tebal menandakan nilai pertumbuhan tertinggi
Lampiran 3 Rata-rata pertumbuhan tinggi tanaman pada media S0G1 Perlakuan S0G1B1 S0G1B2 S0G1B3 S0G1B4 S0G1B5 S0G1B0
2 7,82 7,24 8,1 7,52 6,18 7,3
3 8,1 7,64 8,62 7,84 6,66 7,82
Minggu Setelah Tanam (dalam cm) 4 5 6 7 8,64 9,9 11,5 12,86 8,62 10,1 11,1 13,6 9,74 11 11,8 13,7 8,56 10,2 11,9 12,14 7,22 8,3 10,2 11,46 8,52 9,7 10,2 11,7
8 13,76 14,04 15,2 13,7 13,375 13,24
10 16,62 17,5 17,98 17,48 15,23 16,44
Keterangan: nilai yang lebih tebal menandakan pengukuran tertingg
Lampiran 4 Rata-rata pertumbuhan tinggi tanaman pada media S1G0 Perlakuan S1G0B1 S1G0B2 S1G0B3 S1G0B4 S1G0B5 S1G0B0
2 8,00 7,33 7,43 6,57 6,90 6,93
3 8,40 7,70 8,00 7,07 7,17 7,433
Minggu Setelah Tanam (dalam cm) 4 5 6 7 8 9,60 11,17 12,50 14,83 14,90 8,13 8,67 9,67 11,50 11,93 8,53 9,50 9,67 10,00 9,67 7,50 8,83 10,00 11,67 12,77 7,77 8,17 10,50 10,83 11,17 8,100 8,667 9,833 11,000 11,667
10 17,80 14,87 14,67 15,43 14,80 13,900
Keterangan: Cetak tebal menandakan pengukuran tertinggi.
Lampiran 5 Rata-rata pertumbuhan tinggi tanaman pada media S1G1 Minggu Setelah Tanam (dalam cm) Perlakuan 2 3 4 5 6 7 8 S1G1B1 7,00 7,67 8,37 9,83 12,50 14,93 16,37 S1G1B2 8,23 8,93 9,73 10,83 12,17 14,73 15,50 S1G1B3 6,17 6,67 7,30 7,67 8,83 11,17 11,83 S1G1B4 5,03 5,50 6,07 8,27 10,57 13,20 13,80 S1G1B5 5,13 5,40 5,70 7,33 8,67 10,50 12,17 S1G1B0 5,17 5,60 6,20 6,83 9,67 11,33 12,23 Keterangan: nilai yang lebih tebal menandakan pengukuran tertinggi
10 20,43 18,93 15,43 17,00 14,37 16,87
Lampiran 6 Hasil analisis sidik ragam parameter tinggi pada media G1S0 dan G0S1 terhadap perlakuan G1S0
G0S1
Sumber Keragaman
F Nilai
Pr > F
F Nilai
Pr > F
perlakuan
0.50
0.7736tn
0.55
0.7331 tn
Keterangan: tn) menunjukkan tidak berpengaruh signifikan pada taraf 0,05
Lampiran 7 Selisih pertambahan tinggi semai akasia Perlakuan S0G0B1 S0G0B2 S0G0B3 S0G0B4 S0G0B5 S0G0B0 S0G1B1 S0G1B2 S0G1B3 S0G1B4 S0G1B5 S0G1B0 S1G0B1 S1G0B2 S1G0B3 S1G0B4 S1G0B5 S1G0B0 S1G1B1 S1G1B2 S1G1B3 S1G1B4 S1G1B5 S1G1B0
1 0,8 0,7 0,9 0,4 0,7 0,6 0,3 0,4 0,5 0,3 0,5 0,5 0,4 0,4 0,6 0,5 0,3 0,5 0,7 0,7 0,5 0,5 0,3 0,4
2 0,9 0,8 1,0 0,6 0,8 0,1 0,5 1,0 1,1 0,7 0,6 0,7 1,2 0,4 0,5 0,4 0,6 0,7 0,7 0,8 0,6 0,6 0,3 0,6
Selisih ke- (cm) 3 4 0,8 1,2 0,9 0,9 1,3 1,2 1,1 2,9 1,2 2,0 0,8 1,0 1,3 1,6 1,5 1,0 1,3 0,8 1,6 1,7 1,1 1,9 1,2 0,5 1,6 1,3 0,5 1,0 1,0 0,2 1,3 1,2 0,4 2,3 0,6 1,2 1,5 2,7 1,1 1,3 0,4 1,2 2,2 2,3 1,6 1,3 0,6 2,8
5 1,5 1,8 2,1 1,9 1,7 0,8 1,4 2,5 1,9 0,2 1,3 1,5 2,3 1,8 0,3 1,7 0,3 1,2 2,4 2,6 2,3 2,6 1,8 1,7
6 1,5 -0,4 0,7 -0,4 0,6 1,3 0,9 0,4 1,5 1,6 1,9 1,5 0,1 0,4 -0,3 1,1 0,3 0,7 1,4 0,8 0,7 0,6 1,7 0,9
7 2,3 2,4 2,9 3,1 3,1 1,9 2,9 3,5 2,8 3,8 1,9 3,2 2,9 2,9 5,0 2,7 3,6 2,2 4,1 3,4 3,6 3,2 2,2 4,6
Lampiran 8 Jumlah daun asli dan daun semu akasia pada minggu ke-10 Media
daun asli
daun semu
Media
daun asli
daun semu
G0S0B1
15
5
G1S0B1
24
5
G0S0B2
15
5
G1S0B2
31
3
G0S0B3
13
5
G1S0B3
29
4
G0S0B4
14
4
G1S0B4
24
6
G0S0B5
14
7
G1S0B5
18
7
G0S0B0
9
4
G1S0B0
31
4
G0S1B1
17
4
G1S1B1
15
9
G0S1B2
21
5
G1S1B2
15
7
G0S1B3
9
3
G1S1B3
14
4
G0S1B4
15
4
G1S1B4
15
4
G0S1B5
18
4
G1S1B5
21
4
G0S1B0
15
5
G1S1B0
14
8
Lampiran 9 Hasil analisis sidik ragam parameter jumlah daun Daun Asli
Sumber
Daun Semu
Keragaman
F Nilai
Pr > F
G
1.27
0.2656tn
1.39
0.2440 tn
S
0.06
0.8076 tn
0.00
1.0000 tn
G*S
1.50
0.2268 tn
2.17
0.1469 tn
B
0.45
0.8144 tn
0.87
0.5085 tn
G*B
0.60
0.7037 tn
0.50
0.7715 tn
S*B
0.61
0.6951 tn
2.03
0.0904 tn
G*S*B
0.50
0.7724 tn
0.87
0.5085 tn
Keterangan: tn)menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 0,05
F Nilai
Pr > F
Lampiran 10 Jumlah bintil pada akar tanaman Akasia umur 10 mst Jenis
Jumlah
Ukuran
Warna
Ket.
Jenis
Jumlah
S0G0B1
1
Sedang
Merah
Efektif
S1G0B1
~
1
Kecil
Merah
Efektif
S1G0B2
4
Sedang
Efektif
S1G0B3
2
Kecil
Merah
Efektif
S1G1B1
6
Kecil
Merah
Efektif
S1G1B2
3
Kecil
Merah
Efektif
S1G1B3
9
Kecil
Pucat
S0G0B3
S0G1B1
S0G1B2
S0G1B3
S0G1B4
S0G1B0
Merah pucat
~
~
~
~
~
Ukuran
Warna
Sangat
Merah
halus
muda
Sangat halus
Pucat
Ket. Efektif Tidak Efektif
Sangat
Tidak
Tidak
halus
terlihat
Efektif
Sangat
Merah
halus
muda
Sangat
Merah
halus
muda
Sangat
Merah
halus
muda
Efektif
Efektif
Efektif
Tidak efektif
Lampiran 11 Hasil analisis sidik ragam jumlah bintil pada perlakuan Ujia Duncan
Rata-rata
N
F3
A
5.6667
12
B3
B
4.0909
11
B1
B
4.0833
12
B2
Lampiran 12 Hasil analisis sidik ragam jumlah bintil pada gambut G0 dan G1 Uji Duncan
Rata-rata
N
F3
A
6.2353
17
G1
B
3.1111
18
G0
Lampiran 13 Hasil analisis sidik ragam jumlah bintil pada media S1 dan S0 Uji Duncan
Rata-rata
N
F3
A
6.7059
17
S1
B
2.6667
18
S0
Lampiran 14
Nilai biomassa pucuk dan akar pada tanaman akasia umur 10 minggu
Media
Bagian
B1
B2
B3
B4
B5
B0
G0S0
akar
0,068
0,035
0,070
0,040
0,075
0,073
pucuk
0,484
0,305
0,495
0,303
0,530
0,330
akar
0,051
0,062
0,066
0,066
0,042
0,055
pucuk
0,354
0,485
0,519
0,504
0,334
0,454
akar
0,061
0,052
0,029
0,036
0,050
0,037
pucuk
0,450
0,285
0,180
0,248
0,368
0,257
akar
0,083
0,070
0,052
0,037
0,025
0,058
pucuk
0,777
0,658
0,382
0,363
0,288
0,532
S0G1
G0S1
G1S1
Lampiran 15 Tanda-tanda umum pada bagian tanaman akibat kekurangan unsur hara Gejala kekurangan
Tanda-tanda umum
unsur Nitrogen (N)
Gejala-gejala kelihatan pada seluruh daun tua. Warna daun menjadi hijau muda kemudian berubah menjadi kuning dan jaringannya mati, kemudian menjadi kering dan berwarna merah
cokelat.
Tanaman
kerdil,
pertumbuhan
tinggi
terhambat. Phosporus (P)
Gejala kelihatan pada seluruh bagian yang tua, secara menyeluruh. Warna daun hijau tua, lebih hijau dari biasa, sering kelihatan mengkilap kemerah-merahan. Tangkai daun kelihatan lancip. Daun yang tua tersebut kelihatan klorosis (kuning). Tumbuh kerdil.
Kalium (K)
Gejala kelihatan pada daun yang tua, daun mula-mula mengkerut dan mengkilat. Setelah itu pada ujung daun dan tepi daun mulai kelihatan chlorose yang menjalar diantara tulang-tulang daun. Kemudian terjadi bercak-bercak merah coklat. Bercak coklat itu sering jatuh sehingga daun-daun kelihatan bergigi dan mati.
Calcium (Ca)
Gejala kelihatan pada daun yang muda. Pada ujung dan tepi daun mulai terjadi chlorose dan menjalar diantara tulangtulang kuncup daun. Kekurangan kapur menyebabkan jumlah perakaran menjadi berkurang, pada umumnya tanaman menjadi lemah.
Magnesium
Gejala pada daun tua. Warna kuning mulai terlihat diantara
(Mg)
tulang daun dengan tekstur menjalar, berubah menjadi kuning dan bercak merah coklat. Sedangkan tulang daun tetap hijau. Tanaman menjadi lemah dan mudah terbakar atau daun kering karena teriknya matahari.