Ekspektasi yang Sirna Laporan Penegakan Hak Asasi Manusia Tahun 2005

Laporan Penegakan HAM 2005 - ELSAM

“Ekspektasi yang Sirna” Laporan Penegakan Hak Asasi Manusia Tahun 2005

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................... 2 A. Tujuan dan cakupan......................................................................................... 4 B. Metode dan sistematika laporan ....................................................................... 4 BAB II TITIK TERENDAH PELAKSANAAN PERLINDUNGAN KEBEBASAN SIPIL ............................................................................................................................... 5 A. Kondisi Umum Jaminan atas Kebebasan Sipil....................................................... 5 1. Ancaman atas Kebebasan Beragama dan Kepercayaan .................................... 6 2. Ancaman Terhadap Wartawan - Ancaman atas Kebebasan menjalankan Profesi ........................................................................................................................... 7 3. Ancaman kebebasan aktivitas pribadi warga sipil yang dinilai menyimpang nilai atu simbol agama .............................................................................................. 8 B. Respond dan Tanggungjawab Negara .................................................................... 9 BAB III PEMENUHAN HAK ATAS PENDIDIKAN DAN HAK ATAS KESEHATAN14 A. Situasi Pemenuhan Hak Atas Pendidikan Dan Hak Atas Kesehatan ................... 15 1. Hak Atas Pendidikan ....................................................................................... 15 2. Memburuknya kualitas kesehatan masyarakat ................................................ 20 B. Respon Pemerintah Menghadapi Persoalan Pemenuhan Hak Atas Pendidikan dan Hak atas Kesehatan ..................................................................................................... 23 1. Hak Atas Pendidikan ....................................................................................... 23 2. Hak Atas Kesehatan ........................................................................................ 27 BAB IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI......................................................... 32


BAB I PENDAHULUAN Tahun 2005 merupakan tahun yang penting dalam penegakan hak asasi. Pertama, tahun ini merupakan tahun ujian bagi pemerintah baru yang terbentuk melalui proses pemilihan langsung, proses yang banyak dirujuk sebagai salah satu kemajuan paling signifikan dalam yang meletakkan sistem yang demokratis semenjak transisi politik dimulai di tahun 1998. Secara khusus ujian ini mencakup ekspektasi akan perbaikan yang signifikan atas kondisi hak asasi manusia, yang selalu menorehkan raport merah pada pemerintahan sebelumnya. Seperti dilansir dalam laporan ELSAM di tahun 2004, pemerintah saat ini dihadapkan pada pekerjaan rumah yang besar untuk mewujudkan agenda pembangunan nasional dan penegakan hak asasi. Rumusan penegakan ham yang didasarkan pada pengalaman hidup para korban menghadapi berbagai hambatan besar dalam realisasinya, termasuk rendahnya dukungan politik dalam melakukan reformasi dalam tubuh aparatus represif negara, serta rendahnya kinerja administrasi keadilan dalam penyelesaian pelanggaran ham di masa lalu. Kedua, setelah tujuh tahun berjalan, kontestasi berbagai norma baru yang berlangsung dalam upaya mengkonsolidasi demokrasi yang belum matang harus berhadapan dengan kecenderungan konservatisme dan radikalisme kelompok-kelompok masyarakat. Dalam situasi ini, konsolidasi politik pemerintah yang belum matang berimplikasi pada lumpuhnya berbagai instrumen mulai dari perangkat dan institusi hukum serta perangkat birokrasi, dua hal instrumen penting dalam penegakan hak asasi. Beberapa langkah positif sebenarnya telah dilakukan di tahun 2005, seperti ratifikasi dua kovenan utama hak asasi manusia, yaitu Kovenan Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Hak Ekonomi Sosial dan Budaya. Ratifikasi ini akhirnya disetujui oleh DPR pada bulan September setelah hampir lima tahun dipersiapkan. Namun demikian langkah ini masih jauh dari memadai, lantaran realisasi dari jaminan atas hak asasi tak dapat dilakukan hanya dengan menetapkannya secara tekstual dalam aturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila dirunut, jaminan tekstual ini sebenarnya telah mulai diserap dalam berbagai perundangundangan jauh sebelum ratifikasi dimulai, seperti dalam amandemen kedua UUD 1945, dan UU No 39/199 tentang hak asasi. Namun sampai saat ini perangkat operasional untuk memenuhi jaminan tersebut masih jauh dari harapan. Akibatnya, tahun 2005 kembali menggoreskan sengkarut kekerasan pada wajah hak asasi manusia. Tahun ini menjadi tahun yang penting, dimana ekspektasi yang sangat besar dari masyarakat akan perubahan harus berhadapan dengan ketidakberdayaan pemerintahan saat ini dalam mengatasi dampak-dampak kebijakan di masa lalu. Sebaliknya masyarakat harus berhadapan dengan semakin tak terbendungnya kekerasan yang dilakukan oleh kelompokkelompok sipil yang mengancam rasa ketentraman dan hak-hak sipil (civil liberties). Kekerasan dan amuk massa menjadi instrumen efektif dalam pelanggaran hak-hak sipil. Masyarakat seperti dihadapkan secara diametral pada ancaman atas hak-hak sipil yang dilakukan melalui serangkaian kekerasan yang dilakukan oleh kelompok sipil. Lebih jauh, penggunaan kekerasan dilihat sebagai sesuatu yang ‘biasa’ dan bukan sebagai satu bentuk tindakan kriminal. Dalam situasi ini, instrume negara seperti polisi, perangkat judisial, serta perangkat hukum justru absen seperti kehilangan gigi. Padahal, penegakan ham mengandaikan peran negara melalui instrumen-instrumen yang efektif, seperti hukum, sistem politik dan politik anggaran.

2


Penegakan hak asasi menghadapi tantangan baru. Apabila dahulu aparatus represif negara merupakan satu-satunya ancaman terberat dalam penegakan hak asasi, kini, pola kekerasan yang sama telah mereproduksi diri dalam satuan-satuan kecil kelompok masyarakat. Tak melulu pada kelompok sipil terorganisir, kekerasan juga menjadi bahasa kekecewaan dan ketidaksepahaman. Sayangnya masyarakat juga mengafirmasi dan mentolelir penggunaan kekerasan. Situasi ini mendudukkan posisi hak asasi dalam titik yang rawan. Berbagai catatan praktek penyerangan dan kekerasan pada masyarakat, baik yang berkaitan dengan isu keagamaan, maupun yang berkaitan dengan kebebasan menjalankan profesi, seperti kekerasan pada pekerja pers baik media massa ataupun media elektronik. Kekerasan ini tak melulu merebak di kota-kota besar seperti Jakarta, namun tersebar di berbagai kota di Jawa, Medan, Palu, Lombok dan beberapa daerah lain. Selain itu, catatan kekerasan yang mengatasnamakan moral susila juga mewarnai tahun 2005, secara khusus hal ini menempatkan perempuan sebagai kelompok rentan terhadap pelanggaran hak-hak sipil. Beberapa catatan dari daerah menunjuk mulai berlaku efektifnya perda-perda yang secara langsung membatasi ruang gerak dan hak-hak sipil perempuan seperti diuraikan dalam bagian lain laporan ini. Pada saat yang sama tidak terjadi peningkatan kinerja pemerintah dalam pemenuhan hak-hak dasar. Proses transisi politik yang dimulai semenjak tahun 1998 meninggalkan banyak pekerjaan rumah bagi pemerintah saat ini untuk membuktikan komitmennya pada peningkatan kondisi hak-hak dasar, khususnya pendidikan dan kesehatan. Pmerintah disibukkan dengan urusan cicilan utang, dan tekanan liberalisasi yang lebih jauh di sektor publik sebagai konsekuensi komitmen pada para kreditur. Sementara secara internal, kapasitas birokrasi pemerintah mencapai titik nadir akibat praktek korupsi yang semakin tak terbendung. Hampir di semua institusi pemerintah ditemukan korupsi yang melibatkan para pejabat negara yang masih aktif menjabat saat ini. Tak hanya birokrasi, institusi-institusi yang penting dalam mewujudkan cita demokrasi tak luput dari sasaran. DPR yang pada awal reformasi memperoleh simpati publik untuk mengakhiri kekuasaan eksesif eksekutif juga tak luput dari persoalan. Selain korupsi, lemahnya kinerja di tingkat legislasi menorehkan catatan atas buruknya kinerja wakil rakyat yang pada gilirannya menggerogoti kepercayaan publik. Semua ini mencapai kulminasi dengan terungkapnya praktek korupsi di Mahkamah agung, institusi yang diharapkan menjadi pintu terakhir untuk tegaknya negara hukum, prasyarat pencapaian demokrasi dan penegakan hak asasi. Laporan ELSAM ini memfokuskan perhatiannya pada kedua hak dasar ini, lantaran memburuknya kondisi kedua hak tersebut berakibat langsung pada modalitas sosial, dan stabilitas sosial, yang menjadi faktor penting untuk mendukung keberhasilan transisi politik. Warisan kebijakan pembangunan masa lalu menggerogoti kapasitas pemerintah untuk secara otonom menentukan arah kebijakan publik, satu instrumen penting untuk merealisasikan hakhak dasar. Akibatnya, percepatan liberalisasi menjadi ancaman serius implementasi hak-hak dasar seperti pendidikan dan kesehatan. Potret ini merupakan gambaran umum akan kecenderungan liberalisasi sektor publik di Indonesia. Dalam laporan ini, ELSAM memaparkan observasi atas penurunan kualitas hak asasi sepanjang tahun 2005, dan implikasinya pada tahun ini. Observasi ini menunjukkan beberapa persoalan mendasar yang menghadang pemenuhan dan perlindungan hak asasi, khususnya berkaitan dengan merebaknya penggunaan kekerasan oleh kelompok sipil. Kekerasan yang mengatasnamakan berbagai norma dan keprihatinan ini merupakan ancaman

3


bagi konsolidasi politik yang belum menunjukkan perkembangan berarti dari pemerintah saat ini. Selain membuka ruang pada berlakunya tirani baru yang mengatasnamakan kepentingan sipil, praktek kekerasan ini apabila terus ditoleransi akan meruntuhkan validitas jaminan konstitusional atas hak asasi manusia yang dilakukan melalui perangkat hukum dan birokrasi pemerintahan. A. Tujuan dan cakupan Laporan hak asasi ini bertujuan untuk secara kritis melihat kinerja penegakan hak asasi sepanjang tahun 2005. Secara khusus laporan mengambil fokus pada kinerja penegakan ham dalam perlindungan hak-hak sipil dan hak-hak kesehatan dan pendidikan masyarakat. Dengan demikian, laporan ini mencakup berbagai peristiwa kekerasan yang ditujukan pada kelompok-kelompok sipil, kinerja birokrasi serta institusi judisial dalam pemenuhan dan perlindungan hak. Selain itu, laporan ini juga mencakup kajian kritis atas initiatif-initiatif kebijakan publik yang telah ditempuh pemerintah dalam upaya peningkatan kinerja pemenuhan hak ekonomi sosial dan budaya, khususnya hak kesehatan dan pendidikan. Dalam kedua aspek tersebut, juga tercakup implikasinya pada pelanggaran hak asasi perempuan, seperti tersingkirnya perempuan dari akses pada hak-hak dasar, maupun kontrol atas perempuan dalam berbagai ketentuan yang implementatif di tingkat daerah. B. Metode dan sistematika laporan Laporan ini disusun dengan mengandalkan pada berbagai kumpulan wawancara, surat elektronik, dan dokumentasi media ELSAM dalam waktu satu tahun. Selain itu, beberapa laporan-laporan dari berbagai organisasi hak asasi manusia dan organisasi PBB dipergunakan untuk mendukung kelengkapan penulisan laporan. Laporan ini disusun dalam tiga bab, masing-masing bab I yang berisi pendahuluan, merupakan uraian singkat yang memberikan potret keseluruhan atas laporan, sekaligus menjelaskan mengenai tujuan dan metode laporan. Bab II menguraikan mengenai kondisi hak asasi khususnya berbagai ancaman atas civil liberties, dan analisis atas kecenderungan ini. Bab terakhir memaparkan mengenai memburuknya kualitas kinerja negara dalam pemenuhan dan perlindungan hak-hak dasar, khususnya hak kesehatan dan pendidikan. Dua tema ini secara umum menggambarkan lemahnya komitmen dan kinerja birokrasi dan menentukan strategi pemenuhan hak. Selain itu, bagian ini juga menunjuk himpitan percepatan liberalisasi dan warisan utang luar negeri sebagai dua faktor yang memperparah kondisi hak–hak dasar masyarakat. Bab IV berisi rekomendasi-rekomendasi berdasarkan atas analisis terhadap situasi yang ada. Rekomendasi ini ditujukan pada beberapa pihak dan institusi pemerintah untuk mendorong peningkatan kinerja pemenuhan hak asasi di tahun ini.

4


BAB II TITIK TERENDAH PELAKSANAAN PERLINDUNGAN KEBEBASAN SIPIL Selama tahun 2005 kondisi umum perlindungan hak-hak sipil menurun hingga titik terendah. Berbagai praktek-praktek pembatasan dan pelarangan hak-hak sipil terus menjalar ke sejumlah daerah dan bahkan di beberapa tempat telah memasuki ranah-ranah yang paling privat di masyarakat. Utamanya lagi, para aktor dari tindakan ini tidak hanya negara, akan tetapi juga melibatkan kelompok sipil terorganisir berbasis agama, suku, etnis maupun afiliasi politik tertentu. Dan bahkan dalam tahun ini aksi-aksi pembatasan yang melibatkan kelompok sipil terorganisir menjadi sangat dominan ketimbang negara sehingga pelaksanaan kebebasan hak-hak warga negara sebagaimana yang diakui dalam konstitusi dan regulasi hak asasi manusia. Negara pun terlihat absen untuk melindungi aksi-aksi pembatasan hak-hak sipil para organisasi sipil terorganisir ini, sehingga aktivitas sejumlah organisasi ini mengancam pelaksanaan hak-hak sipil para warga negara. Elsam menilai praktek-prakek pembatasan dan pengurangan hak-hak sipil yang dilakukan oleh kelompok sipil teroganisir ini terkait erat dengan praktek-praktek pembatasan dan pelarangan negara dengan berbagai dalih, seperti mengatasnamakan percepatan agenda pemulihan roda ekonomi nasional, pelaksanaan otonomi daerah yang semakin menguatkan peran dominan atas kelompok mayoritas dalam menguasai otoritas ekonomi politik suatu daerah, maupun kampanye para pejabat pemerintah dalam hal pembubaran organisasi keagaaman dan kepercayaan yang dikategorikan sesat dan atau telah melakukan pelecehan simbol-simbol agama, pemberantasan bisnis atau prilaku sosial yang dikategorikan sebagai tindakan maksiat, yakni, perjudian, perdagang minuman kerasan dan obat terlarang, prostitusi, pornografi atau porno aksi. Buruknya lagi, kebijakan-kebijakan tersebut, baik secara sengaja atau pun tidak, kembali menguatkan sistem kontrol tidak resmi atas tindak tanduk perempuan seperti yang pernah terjadi di masa lalu. Hampir sebagian besar laporan organisasi hak asasi manusia di daerah menyebutkan bahwa praktek-praktek pelarangan hakhak sipil ini berimplikasi pada menguatanya pratek-praktek pembatasan dan penguarangan hak-hak sipil perempuan di wilayah ekonomi, sosial, politik dan keluarganya. Bagian ini akan menguraikan tentang praktek-praktek pembatasan dan pelarangan hak-hak sipil warga negara oleh kelompok sipil terorganisir sepanjang 2005 dan sekaligus memaparkan problem-problem ditataran kebijakan dan institusi negara yang mengakibatkan perlindungan kebebasan sipil mencapai titik terendahnya tahun ini .

A. Kondisi Umum Jaminan atas Kebebasan Sipil Setidaknya terdapat lima bentuk dan motif kekerasan kelompok sipil terorganisir. Pertama, kekerasan yang ditujukan untuk membatasan kebebasan beragama dan mengikuti aliran kepercayaan Kedua kekerasan yang ditujukan untuk mengancam kebebasan untuk menjalankan profesi. Ketiga kekerasan yang ditujukan untuk melawan atau menolak proses hukum yang sedang berjalan. Keempat kekerasan yang ditujukan untuk melakukan penertiban moral dan kontrol prilaku sosial yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai 5


lima agama yang diakui di Indonesia. Dan kelima, kekerasan yang ditujukan untuk mendukung perebutan aset-aset ekonomi wilayah yang terpisah karena proses otonomi daerah. Namun dari keempat kategori kekerasan yang terjadi, dua bentuk kekerasan yang berbasiskan agama dan yang mengancam kebebasan berpendapat merupakan peristiwa yang paling menonjol dalam tahun ini. Berikut ini adalah rekaman ELSAM atas tindak kekerasan kelompok sipil teroganisir yang mengancam pelaksanaan kebebasan sipil sepanjang 2005: 1. Ancaman atas Kebebasan Beragama dan Kepercayaan Pembubaran, pelarangan dan pembatasan terhadap hak untuk beragama dan menjalankan aktifitas keagamaan adalah aksi-aksi yang menonjol sepanjang 2005. Aksi-aksi pengepungan dan penyerangan atas kelompok-kelompok agama dan kepercayaan oleh kelompok sipil terorganisir adalah aksi-aksi yang paling dominan dan menyebabkan sejumlah komunitas keagamaan dan keyakinan tidak dapat menjalankan aktivitas keagamaannya dengan bebas. Bahkan selanjutnya, para pemimpin dari komunitas ini harus berurusan dengan pihak penegak hukum karena dituduh telah menyebarkan aliran sesat dan menghina agama tertentu. Dari aksi-aksi tersebut, para anggota komunitas-komunitas tersebut, terpaksa meninggalkan tempat-tempat ibadahnya untuk menghindar aksi-aksi kekerasan kelompok sipil terorganisir. Setidaknya ada empat komunitas agama dan aliran kepercayaan yang menjadi sasaran pembubaran yang disertai dengan tindak kekerasan dan pengerusakan fasilitas yang dimiliki oleh komunitas tersebut. Di awali dengan kasus penyerangan Padepokan Nurut Taubah milik Yayasan Kanker dan Narkoba Cahaya Alam (YKNCA) di Probolinggo-Jawa Timur. Diawali dengan penetapan Jamaah Ngaji Lelaku di kawasan Sumberwaras, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang, Jatim sebagai kelompok aliran sesat oleh MUI, selanjutnya sejumlah orang yang mengaku dari organisasi-organisasi keagamaan di Malang menuntut pembubaran kelompok tersebut. Dari aksi protes tersebut, pimpinan jamaah tersebut, Muhamad Yusman Roy ditangkap dan selanjutnya diadili di pengadilan dengan tuduhan mengajarkan aliran sesat.1 Hal serupa kembali terjadi di Probolinggo, dimana pasca penetapan YKNCA sebagai aliran sesat oleh MUI-Probolinggo, 1000 orang yang mengaku berasal dari Pasuruan, Probolinggo dan Lumajang mendatangi dan menyerang Padepokan Nurut dan menuntut yayasan tersebut segera menghentikan aktivitasnya. Selanjutnya, pimpinan padepokan tersebut ditangkap polisi dan diadili di pengadilan setempat dengan tuduhan melakukan pelecehan nilai-nilai keagamaan.2 Penyerangan atas komunitas keagamaan lainnya adalah, kasus penyerangan organisasi keagaman terhadap komunitas Ahamadiyah di sejumlah daerah. Diawali 9 juli 2005, sekelompok orang terorganisir mendatangi komunitas Ahmadiyah di daerah Parung Jawa Barat untuk menuntut penghentian aktivitas Komunitas Ahmadiyah yang telah dinyatakan sebagai aliran sesat oleh Majelis Ulama Indonesia. 3 Dalam peristiwa tersebut terjadi bentrokan dan mengakibatkan beberapa orang luka-luka. Adanya perlawanan dari jamaah Ahmadiyah, 15 Agustus massa dari organisasi keagamaan dalam jumlah yang lebih besar dan mengusung tuntutan yang sama kembali mendatangi komunitas Ahmadiyah di Parung. Meskipun dalam kejadian tersebut pihak kepolisian melakukan penjagaan, namun demikian, pada akhirnya pihak kepolisian mengambil keputusan mengevakuasi para warga jamaan Ahmadiyah dengan alasan untuk menghindari jatuhnya korban lebih besar. Pasca kejadian ini 1

“ Pondok Itikaf Ngaji Lelaku Sepi,” www.liputan6.com, 8 Mei 2005 “ Padepokan Aliran Sesat di Probolinggo Dihancurkan Massa,” Koran Tempo, 30 Mei 2005

2 3

Pikiran Rakyat, 9 Juli 2005.

6


upaya dari organisasi keagamaan ini untuk menutup pondok pesantren jamaah Ahmadiyah dan melarang aktivitas dari kelompok tersebut terus berlanjut dan meluas hingga ke berbagai daerah seperti Cianjur, Cibeber, Kuningan, dan Lombok. Dari Aksi-aksi penyerangan tersebut diduga mengakibatkan ribuan pengikut jamaah Ahmadiyah diungsikan secara paksa dan selanjutnya tidak dapat menjalankan aktivitas keagamaan dan sosial secara bebas. Empat orang juga dilaporkan mengalami luka-luka, sedikitnya 73 rumah, enam masjid, delapan mushola rusak, dan dua kendaraan roda empat hangus terbakar dari aksi-aksi kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah.4 Hingga saat ini tidak ada penyelidikan yang serius berkaitan dengan tindak kekerasan yang dilakukan oleh kelompok sipil terorganisir tersebut. Sementara, di Kalimantan selatan puluhan orang melakukan perusakan dan pembakaran rumah milik Ibram seorang warga Desa Sumber Rahayu, Kecamatan Wana Raya, Kabupaten Barito Kuala, karena dijadikan tempat pertemuan dan ibadah sekitar 50 warga yang bergabung dalam Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII).5 Selain kasus ancaman terhadap aliran yang dianggap sesat, serangkaian penutupan Gereja atau rumah ibadah selama tahun 2005 terus terjadi dan dilakukan dalam kurun waktu yang bersamaan. Sepanjang Juli-Agustus 2005 terjadi penutupan terhadap 11 gereja di Jawa Barat oleh organisasi-organisasi massa Islam, 8 (delapan) pada bulan juli dan 3 pada bulan Agustus.6 Bulan September sebanyak 500-an orang yang tergabung dalam sembilan organisasi massa (ormas), mendatangi lahan proyek pembangunan gereja Graha Bintang Timur di kawasan Jababeka, Cikarang, Bekasi dan menolak pendirian gereja tersebut. Sementara menurut Laporan radio 68H menyatakan bahwa dalam beberapa pekan sebelum bulan September setidaknya 25 tempat ibadat di Jawa Barat, Banten dan Semarang ditutup dengan paksa oleh sejumlah organisasi massa Islamdengan alasan pendirian tempat ibadat tersebut melanggar Surat Keputusan Bersama dua menteri mengenai pendirian tempat ibadat. Selama periode April--Agustus 2005, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) mencatat sebanyak 19 gereja ditutup menyusul adanya protes dari kalangan umat Islam. Jumlah gereja yang ditutup itu lebih banyak dibandingkan tahun sebelumnya yang tercatat 12 rumah ibadah7. Bulan Oktober, tempat Ibadah yang juga rumah seorang penduduk di jalan Pallantikang, Kecamatan Patalassang, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, dirusak massa. 2. Ancaman Terhadap Wartawan - Ancaman atas Kebebasan menjalankan Profesi Kekerasan kelompok sipil terorganisir juga diarahkan terhadap kebebasan menjalankan profes, yakni kalangan wartawan. Kekerasan ini bukan hanya terjadi kepada wartawan yang 4

Para penyerangan Bersenjatakan kayu dan batu dengan cara melempari serta merusak rumah atau tempat ibadah di Kampung Neglasar, Kampung Rawaekek Desa Sukadana, Kampung Penyairan, Desa Cempaka di Kecamatan Cempaka. Jawa Pos, 21 September 2005.

5

“ Tempat Pertemuan LDII Dibakar Massa, Kompas, 5 Desember 2005 “ Gus Dur, Hentikan Aksi Penutupan Gereja” Sinar Harapan, 23 Agustus 2005

6 7

Selama periode dua tahun itu, sebagian besar rumah ibadah yang ditutup berada di daerah Jawa Barat. Dari 19 rumah ibadah umat Kristiani yang ditutup pada 2005, tujuh gereja berada di Kompleks Permata Cimahi, Bandung. Tujuh di gereja yang ditutup pada 31 Juli 2005 adalah Gereja Sidang Jemaat Allah (GSJA), Gereja Kristen Pasundan (GKP), Gereja Anglikan, Gereka Pantekosta Filadelfia I, Gereja Pantekosta Filadelfia II, Gereja Pantekosta Indonesia, Gereja Bethel Indonesia. Sedangkan pada tahun sebelumnya, 11 dari 12 gereja yang ditutup pada tanggal 3 September 2004 terletak di Kecamatan Rancaekek, Bandung. Yaitu, Gereja HKBP Bethani, Gereja Batak Karo Protestan, Gereka Kristen Indonesia, Gereja Pantekosta, Gereja Katolik, 2 Gereja Kema Injil, Gereja Kristen Oikoumene, Gereja Pantekosta Tabernakel, Gereja Pantekosta Indonesia, dan Gereja Kristen Jawa.

7


sedang meliput berita tetapi juga diarahkan pada kantor-kantor redaksi media massa. Tercatat 11 kasus yang mengancam wartawan di beberapa daerah diantaranya di Cilegon, Makassar, Medan, Palu, Bekasi dan beberapa daerah lainnya. Kasus kekerasan terhadap wartawan ini dilakukan oleh masyarakat terkait dengan pemberitaan yang dilakukan. Kekerasan yang terjadi mulai dari pengancaman pembunuhan, pengusiran, dan pemukulan. Akibat dari serangkaian kekerasan yang terjadi, sejumlah wartawan terpaksa dilarikan ke Rumah Sakit dan megalami luka-luka, perampasan alat-alat kerja wartawan sampai dengan tidak terbitnya sebuah harian selama 3 hari ancaman dari masyarakat.8 Berikut ini adalah rekaman kasuskasus kekerasan sipil teroganisir yang diarahkan untuk membatasi kebebasan pers: Pada pertengahan Januari 2005 seorang wartawan radio HotFM dilarikan kerumah sakit karena dianiaya di kantor pemerintahan Kota Cilegon oleh sekelompok orang karena terkait dengan pemberitaan mengenai salah satu kegiatan Pemerintah Kota Cilegon.9 Selanjutnya, sekelompok orang juga melakukan penyerangan dan pengerusakan terhadap kantor redaksi Palopo Pos dan harian Fajar di Makassar yang disertai dengan pemukulan terhadap wartawan.10 16 April 2005 sekelompok preman melakukan pemukulan dan perusakan kamera terhadap wartawan yang meliput sebuah kebun binatang di Medan. Pada bulan Mei tiga wartawan Indopos dianiaya dan seorang wartawan Radio dakta dilaporkan diancam oleh sekelompok orang yang terkait dengan pengamanan perjudian di kota Bekasi.11 Memasuki Juli aksi kekerasan kelompok sipil terorganisir belum berhenti, wartawan Radar Bogor Ahmad Junaedi dianiaya sekelompok orang yang tak dikenal dan mengakibatkan korban terpaksa dibawa ke rumah sakit karena kepalanya bocor.12 Sementara pada akhir tahun penyerbuan yang terjadi di kantor redaksi Harian Indopos oleh sekolompok massa sipil menyebabkan lima wartawan harian tersebut luka-luka.13 3. Ancaman kebebasan aktivitas pribadi warga sipil yang dinilai menyimpang nilai atau simbol agama Aksi-aksi kelompok sipil terorganisir dalam hal melakukian protes dan ancaman penyerangan terhadap karya-karya seni dan aktivitas pribadi warga sipil juga menjadi sorotan dalam tahun ini. Dengan dalih melakukan pelurusan nilai-nilai keagamaan dan moral, sejumlah organisasi keagamaan melakukan aksi-aksi penutupan tempat-tempat usaha yang diduga melakukan bisnis maksiat yang meliputi perjudian, prostitusi, penjualan minuman beralkohol, tempat peredaran obat-obat terlarang, dan pelarangan perempuan keluar rumah malam. Kekerasan ini pun tidak terjadi secara spontan, akan tetapi merupakan bagian dari pelaksanaan atas kebijakan pemerintah daerah (perda) yang sulit diterapkan karena ketidakpercayaan masyarakat dan kampanye para pejabat negara melawan maksiat. Selain itu, praktek-praktek kekerasan dan pelecehan dengan motif pembersihan praktek “zina” di lingkungan masyarakat oleh kelompok sipil terorganisir kembali menonjol. Praktek-praktek ini kerap diwarnai dengan aksi-aksi penyiksaan yang tidak manusiawi dan bahkan dalam beberapa kasus terjadi 8

Di Palu, Selompok massa yang tersinggung dengan atikel yang ditulis oleh salah seorang Dosen dari Universitas Muhamadiyah Palu juga melakukan protes dan pengancaman ke Redaksi Harian radar Sulteng yang mengakibatkan harian tersebut tidak terbit selama 3 hari.

9

Kompas, 19 Januari 2005.

10

http://fajar.co.id/news.php?newsid=2311.

11

Koran tempo, 6 Mei 2005.

12

http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=203985&kat_id=89&kat_id1=&kat_id2=

13

Kompas Cyber media, 22 Desember 2005

8


praktek-praktek perampasan harta benda dari penduduk yang tertangkap dalam razia tersebut. Bahayanya, praktek-praktek ini justru mensasar para perempuan dimana di beberapa tempat membuat kontrol perempuan oleh keluarga semakin menguat dan membatasi hak-hak mereka untuk beraktifitas di malam hari. Pertengahan tahun 2005 sebuah organisasi massa berjumlah 100 orang merusak warung remang-remang di kawasan eks Bandar Udara Kemayoran, Jakarta Pusat yang mengakibatkan ratusan pengunjung dan puluhan pemilik warung lari ketakutan. Di Solo, ribuan anggota organisasi keagamaan melakukan aksi penyerangan terhadap kawasan hiburan malam di daerah Gilingan, Alun-alun Kidul dan Monumen 45 karena dianggap sebagai daerah maksiat.14 Di Kabupaten Purwakarta, sebuah organisasi keagamaan melakukan razia minuman keras serta para pekerja seks komersial di wilayah perkotaan Purwakarta, 20 Oktober 2005. Dalam razia itu, kelompok tersebut berhasil merampas 153 botol miras berbagai jenis di sejumlah warung dan kios jamu. Organisasi tersebut juga menangkap empat orang anak baru gede (ABG) yang sedang nongkrong di Alun-alun Kiansantang Pemda Purwakarta di atas pukul 23.00 WIB dan seorang orang pemuda yang kedapatan sedang meminum miras di Taman Situ Buleud serta Alun-alun pemda.15 Selain itu beberapa kasus yang mengancam kebebasan individu dengan adanya sejumlah kasus penggrebekan massa terhadap warga yang lain. Pada bulan Februari 2005 warga Tembok Gede Surabaya melakukan penggrebekan terhadap sepasang pria dan wanita yang dianggap berbuat mesum di tempat tinggalnya dan langsung menangkan pasangan tersebut16. Pada bulan Juli 2005, sepasang kekasih diarak dalam keadaan bugil dan dipukuli massa karena dituduh melakukan tindakan asusila yang dianggap mencemari kampung.17 Di Jakarta, seorang laki-laki dan perempuan diarak bugil keliling kampung dan dipukuli oleh massa karena diduga sedang melakukan zina.18

B. Respon dan Tanggungjawab Negara Konstitusi Indonesia secara tegas telah menjamin adanya hak-hak sipil dalam Undangundang Dasar (UUD) 1945. Amandemen kedua UUD 1945 semakin menegaskan bahwa hakhak sipil dan politik warga negara telah menjadi hak-hak konstitusional yang menjadikan adanya keharusan bagi negara untuk melindungi hak-hak tersebut. Bab XA UUD 1945 tentang Hak Asasi Manusia, menyatakan dengan tegas tentang jaminan berbagai hak asasi baik hak-hak sipil politik maupun hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.19 Regulasi yang memperkuat jaminan atas perlindungan terhadap hak-hak sipil dan politik tersebut tertuang dalam Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Pengadilan HAM. UU ini dapat dikatakan merupakan undang-undang payung dari semua regulasi yang mengatur tentang hak asasi 14 15

“Massa Razia Café dan Diskotik di Solo, Tempo Interaktif, 18 Oktober 2005 “Diakui Sebagai Tindakan Konkret Berantas PekatMassa FPI Purwakarta Razia Miras dan PSK,” Pikiran Rakyat, 27 Oktober 2005

16

Jawa Pos, 20 Februari 2005.

17

www.seketika.com. 28 Juli 2005.

18

“ Sepasang Kekasih Diarak dan Dipukuli Massa,” Kompas, 28 Juli 2004

19

Dalam bab XA ini juga, pasal 28 I angka 4 dinyatakan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Sementara angka pasal 28I angka 5 menyatakan bahwa untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.

9


manusia di Indonesia. Selain mengatur tentang berbagai macam hak dasar warga negara, UU No. 39 tahun 1999 juga menegaskan tentang kewajiban dan tanggung jawab pemerintah20. Dari kedua regulasi diatas, baik UUD 1945 maupun UU No. 39 tahun 1999 menunjukkan keterkaitan antara jaminan atas hak-hak asasi dan kewajiban atas pemenuhannya. Hal ini menjadikan negara, terutama pemerintah, untuk berkewajiban untuk melakukan serangkaian tindakan yang menjamin atas implementasi yang efektif dalam berbagai bidang diantaranya dalam peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan hak asasi manusia dan langkahlangkah lainnya dalam segala bidang. Kasus-kasus yang terjadi dalam tahun 2005 justru sebaliknya dimana negara, dalam hal ini, lebih banyak absen dari tanggung jawabnya untuk memenuhi dan melindungi hak-hak sipil warga negaranya. Absennya Negara ini terlihat dari berbagai kondisi yang mendasari dan tindakan negara, termasuk aparatnya dalam menjamin kebebasan sipil. Setidaknya ada 3 faktor kondisi yang menyebabkan negara gagal dalam menjamin kebebasan sipil yang justru muncul dari masyarakat sipil diantaranya adalah ketertundukan komitmen penegakan hak asasi manusia dengan konsensus politik, yang lebih banyak di dorong oleh kelompok massa yang terorganisir, karena lemahnya aparat hukum. Faktor lainnya adalah regulasi di tingkat operasional yang ternyata dalam kenyataannya masih merupakan warisan regulasi masa lalu yang belum disesuaikan dengan perkembangan saat ini. Salah satu problem mendasar dari munculnya kasus-kasus kekerasan oleh masyarakat adalah menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat atas institusi-institusi hukum yang ada, termasuk instrumen hukum itu sendiri. Reformasi terhadap instrumen hukum yang telah dilakukan pada level konstitusi dan beberapa produk perundang-undangan belum menyentuh perubahan regulasi di tingkat yang lebih rendah. Kasus pelarangan Jamaah Ahmadiyah dan penutupan rumah ibadah, yang terjadi pada masa Orde baru, malah terus dilestarikan dan malah menjadi acuan yang terus digunakan dalam menyelesaikan sengketa. Pelarangan Jamaah Ahmadiyah pada masa Orde Baru merupakan bentuk kemunduran dalam tataran implementasi atas hak kebebasan beragama jika dibandingkan dengan masa Orde Lama. Jamaah Ahmadiyah (Aliran Lahore maupun Qadian) yang merupakan organisasi legal sejak jaman kolonial dan pada pemerintah masa Orde lama justru memberikan status badan hukum21. Demikian juga dengan pendirian rumah ibadah yang dalam penyelesaianya masih menggunakan ketentuan SKB yang diterbitkan pada masa Orde Baru yang meskipun ada wacana untuk dicabut dan direvisi ternyata sampai saat ini belum ada pencabutan atau revisi atas SKB tersebut.

`20 Dalam pasal 72 dinyatakan bahwa pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia. Sementara pasal 72 menyatakan bahwa kewajiban dan tanggung jawab pemerintah sebagaimana diatur pasal 71, meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan negara, dan bidang lain. 21

Berdasarkan SK Menteri Kehakiman No. JA 5/23/13 dan diakui sebagai organisasi kemasyarakatan melalui surat Direktorat Hubungan Kelembagaan Politik No. 75/D.I./VI/2005. Pengakuan legal ini mendasarkan pada pasal 29 ayat 1 dan 2 UUD 1945 bahwa “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Masa Esa” dan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu”.M. Dawam Raharjo, Teror atas Ahmadiyah dan Problem Kebebasan Beragama, 18 Juli 2005.

10


Dalam kasus Jamaah Ahmadiyah, pernyataan Menteri Agama Maftuh Basyuni justru menjadikan perlindungan terhadap kelompok agama yang berbeda aliran ini semakin melemah dengan menyatakan bahwa bahwa Pemerintah tetap melarang penyebaran ajaran Ahmadiyah di Indonesia karena dianggap sesat. Sikap ini melanjutkan sikap Departemen Agama yang melarang penyebaran Ajaran Ahmadiyah.22 Bahkan Presiden Yudhoyono juga menyatakan bahwa aliran Ahmadiyah sebenarnya sudah lama dilarang di Indonesia. Presiden menyatakan telah meminta Departemen Agama, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Kejaksaan untuk segera memberi penjelasan apa yang telah diputuskan oleh pemerintahan yang dulu tentang ajaran Ahmadiyah. Sementara Fatwa MUI pada tahun 2005 juga kembali menegaskan tentang Aliran Ahmadiyah yang sesat. Kejaksaan Agung sendiri berdasar rekomendasi MUI (Majelis Ulama Indonesia) di era 1980an pernah mengeluarkan larangan penyebaran ajaran Ahmadiyah di Indonesia. Kejaksaan Agung, berdasarkan keterangan Kapuspenkum Soehandoyo, saat ini mengambil sikap jalan tengah yakni menyerahkan pelarangan Jemaat Ahmadiyah ke pemerintah daerah setempat. Soehandoyo menambahkan bahwa jika ada keganjilan yang memicu kontroversi di balik aktivitas tersebut, aparat muspida harus secepatnya melapor ke Kejagung atau minimal Kejaksaan setempat.23 Berdasarkan kondisi ini, Pemerintah Daerah setempat dimana terjadi kasus-kasus yang berkaitan dengan Jamaah Ahmadiyah kemudian melakukan langkah pelarangan terhadap keberadaan Jamaah Ahmadiyah.24 Kondisi yang sama terjadi berkaitan dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang pendirian tempat ibadah yang masih digunakan sebagai landasan dalam menyelesaian kasus pendirian tempat ibadah. Menkopolkam Widodo AS menyatakan bahwa kasus penutupan gereja ini perlu dilakukan beberapa hal diantaranya adalah penyelesaian harus mengacu pada ketentuan yang ada diantaranya SKB dua Menteri, mengembangkan Toleransi, dan menghindari anarkisme.25 Sementara Presiden SBY sendiri menyatakan bahwa tidak harus terburu-buru mencabut SKB dan perlu dilihat kembali ketentuan dalam SKB tersebut, sementara disisi lain presiden menyatakan bahwa yang diperlukan sebuah pengaturan yang menjamin kebebasan beragama dan beribadah dan pengaturan yang tidak menimbulkan benturan antar umat beragama.26 22

Departemen Agama pada tanggal 20 September 1984 mengeluarkan surat edaran yang ditujukan kepada kantor-kantor wilayah Departemen Agama, khususnya kepala bidang penerangan Agama Islam di seluruh Indonesia, yang antara lain menyatakan aliran-aliran Ahmadiyah sesat, karena aliran tersebut memercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi.

23

Kejagung mempunyai tim PAKEM (Pengawasan Aliran Kepercayaan di Masyarakat) di bawah struktur JAM Intelijen, yang bakal menampung pengaduan masyarakat terkait perkembangan aliran yang ditengarai meresahkan masyarakat.

24

Sejalan dengan argumentasi menteri Agama, Pemerintah Daerah Bogor melakukan hal yang sama dengan melarang semua kegiatan jamaah Ahmadiyah di wilayahnya. Pelarangan ini berdasarkan atas surat pernyataan bersama Bupati Bogor, Ketua DPRD Kabupaten Bogor, Dandim 0621 Bogor, Kapolres Bogor, Kajari Cibinong, Kepala Pengadilan Negeri Cibinong, Dan Lanud Atang Sanjaya (ATS), Kepala Kantor Depag (Kakandepag) Kabupaten Bogor, dan MUI Kabupaten Bogor. Pemkab Kuningan juga menutup tempat peribadahan milik jemaat Ahmadiyah di Desa Manis Lor, Kecamatan Jalaksana. Penutupan ini sebagai tindak lanjut dari Surat Keputusan Bersama (SKB) antara bupati, kepala Kejaksaan Negeri, dan Kapolres Kuningan pada 20 Desember 2004. Penutupan dilakukan terhadap Masjid An Nur dan tujuh mushala, yang biasa digunakan jemaat Ahmadiyah untuk melakukan aktifitas ibadah. Penutupan juga dilakukan terhadap gedung Fadhal Umar yang merupakan balai pertemuan Ahmadiyah.

25

Kompas, 30 Agusustus 2005.

26

Suara Pembaruan, 5 September 2005.

11


Persoalan regulasi dalam kasus aliran sesat dan izin mendirikan tempat ibadah, adalah regulasi masa Orde Baru yang kembeli menjadi kontroversi setelah kasus-kasus yang muncul setelah adanya kekerasan yang berbasis agama. Beberapa kelompok massa yang selama ini aktif melakukan penutupan gereja selalu berdalih bahwa pemerintah tidak tegas dalam mengimplementaskan regulasi tentang pendirian gereja dan adanya kecurigaan atas isu kristenisasi. Tudingan atas aktivitas penutupan sejumlah gereja dijawab oleh kelompok massa ini bahwa yang mereka tutup bukan gereja tetapi rumah liar yang dijadikan yang dijadikan gereja sebagai upaya pemurtadan. Kegiatan ini dinilai melanggar Surat Keputusan Bersama (SKB) sehingga harus dikembalikan pada fungsinya semula.27 Koordinator AGAP menambahkan bahwa sebelum penutupan telah ada dialog dengan pengurus gereja namun karena pengurus gereja tidak bisa membuktikan data dan fakta perizinan pendirian gereja maka penutupan itu dilakukan28. Kondisi ini membuka kembali gugatan tentang peraturan yang mengatur tentang ijin mendirikan tempat ibadah dan persoalan penyebaran ibadah.29 Dengan landasan argumentatif mengenai SKB yang tak kunjung selesai, cerita selanjutnya adalah ketidakberdayaan aparat negara dalam membendung keinginan massa untuk melakukan penutupan atas sejumlah tempat ibadah. Pemerintah Daerah di beberapa tempat terjadinya penutupan gereja juga cendrung tidak mempunyai sikap yang tegas tentang implementasi regulasi atas pendirian rumah ibadah dan bahkan pasca terjadinya penutupan oleh massa, pemerintah daerah akhirnya melakukan tindakan penutupan. Beberapa kasus menunjukkan bahwa pemerintah, dalam hal ini aparat daerah setempat, memfasilitasi adanya dialog antara pihak yang menuntut penutupan dengan pihak yang mempertahankan keberadaan rumah ibadah tersebut.30 Namun dialog tersebut lebih banyak berujung pada penutupan rumah-rumah ibadah tersebut31.

27

Suara pembaruan, 26 Agustus 2005.

28

http://www.christianpost.co.id/dbase.php?cat=missions&id=130

29

Setidaknya terdapat dua regulasi yang sangat populer yaitu SKB Menteri Agama dan Mendagri No. 1 tahun 1969, tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-pemeluknya dan SK Menteri Agama No. 70 tahun 1978 yang mengatur tentang Pedoman Penyiaran Agama.

30

Dalam kasus kasus penutupan gereja Jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Getsemane di Jalan Melati Raya Ujung RT 18/11, Jatimulya, Tambun Selatan, Bekasi misalnya telah terjaid dialog antara warga. Dialog untuk menyelesaikan perselisihan antara warga dan jemaat Kristen terus dilakukan sampai akhirnya dicapai kesepakatan damai pada hari Ahad, 30 Oktober 2005. Kesepakatan yang berlangsung di Jababeka itu, turut ditandatangani Kapolda Metro Jaya Irjen Firman Gani, Anggota DPR Effendi Simbolon, serta perwakilan tokoh muslim dan nasrani. Ada empat poin kesepakatan yang dicapai pada pertemuan yang juga disaksikan Wakil Bupati Bekasi Solihin Sari. Pertama, pelaksanaan surat perintah pembongkaran rumah ibadah ditunda untuk menghindari dampak negatif terhadap opini masyarakat. Kedua, jemaat HKBP Getsemanie tidak lagi menggunakan rumah yang selama ini dipakai sebagai tempat ibadah. Ketiga, jemaat kristiani tidak lagi melakukan ibadah di pinggir jalan. Keempat, Pemkab Bekasi memfasilitasi pencarian tempat baru untuk mendirikan gereja. Untuk sementara, menurut Solihin, jemaat HKBP bisa menggunakan Gedung Departemen Sosial Bekasi di Jalan Joyo Martono, Bulak Kapal, Bekasi Timur, untuk melakukan ibadah.

31

Hal ini setidaknya dilakukan oleh Camat Bungursai kabupaten Purwakarta, yang oleh desakan kelompok masyarakat, menutup Gereja Kristen Kemah Daud (GKKD) yang sudah berdiri pada tahun 1995 di Kampung Warung Mekar, Ds. Bungursari RT 6 /RW 3, Kec. Bungursari, Kab. Purwakarta. Di Bandung, Kecamatan Rancaekek, pada tanggal 3 september 2005 Wakil Bupati Bandung Eliyadi Agraharja mengeluarkan Surat Edaran Nomor 452.2/ 829/Kesbang. Surat itu memerintahkan untuk menghentikan aktivitas 12 gereja di rumah tinggal dan rumah toko (ruko) di wilayah administrasinya. Pada bulan September 2005 Pemda Bekasi diwakili oleh Ka. Satpol PP, Dedeng Hermawan atas desakan sejumlah

12


Ketidaktegasan dalam implementasi regulasi juga terjadi dalam kasus pembangunan rumah ibadah, misalnya dalam kasus jemaat Gereja Graha Bintang Timur yang tidak dapat mewujudkan pembangunan tempat ibadah meski sudah memiliki surat rekomendasi dari Pemda Bekasi32. Berdasarkan kondisi ini membuktikan bahwa problem hukum bukan semata-mata berkaitan dengan reformasi regulasi tetapi juga berkaitan dengan implementasi regulasi yang tak bisa diterapkan karena adanya protes dari masyarakat. Kasus yang sama terjadi dalam penyelesaian kasus-kasus agama dan kepercayaan yang dianggap sesat, sebagaimana dalam kasus penyerangan Jamaah Ahmadiyah di Cianjur sebagaimana diakui oleh para penyerang, merupakan kesalahan semua pihak terutama pemerintah, Majelis Ulama dan masyarakat itu sendiri karena penegakan hukum yang tidak jelas sehingga menyebabkan masyarakat bertindak sendiri-sendiri.33 Sementara kasus-kasus yang berkaitan dengan kekerasan massa terhadap pihak lainnya yang bukan berdasarkan kepentingan agama, lebih banyak disebabkan karena kompetensi penegak hukum yang tidak juga melakukan proses reformasi diri.

ormas Islam di Jababeka juga telah menyegel lahan proyek pembangunan gereja Graha Bintang Timur di kawasan Jababeka, Cikarang, Bekasi. 32

33

Ketika itu, sekitar 400 orang mendatangi lokasi pembangunan gereja dan menyegel lahan seluas 6.635 meter persegi di Jababeka. Kemudian, massa menuju kantor Bupati Bekasi dan perwakilan mereka diterima Sekda Herry Koesaeri. Mereka minta pemerintah mencabut rekomendasi dan menghentikan pembangunan gereja itu. Rekomendasi ini adalah Surat bernomor 452.2/180/Sosial, tertanggal 3 Februari 2005 dan ditandatangani Bupati Drs H.M. Saleh Manaf, telah memberikan ijin kepada umat kristiani untuk mendirikan gereja di kawasan industri Jababeka, Cikarang. Gagalnya pembangunan gereja itu karena ada protes sekelompok massa dari berbagai organisasi seperti Front Pembela Islam (FPI), Anshor, dan Ikatan Putra Daerah Republika, 23 September 2005.

13


BAB III PEMENUHAN HAK ATAS PENDIDIKAN DAN HAK ATAS KESEHATAN Harapan peningkatan pemenuhan hak-hak dasar sepanjang tahun 2005 masih meninggalkan banyak pekerjaan rumah. Sebagaimana di catat dalam laporan human development report di tahun 2004, beberapa langkah perbaikan yang ada masih jauh dari mengesankan apabila dilihat dengan standar universal penegakan hak-hak dasar yang telah diakui di dunia.34 Hak-hak dasar yang mencakup hak kesehatan., termasuk hak atas pangan, dan hak atas pendidikan merupakan tiga titik krusial yang menentukan keberhasilan ataupun kegagalan proses transisi yang telah dimulai semenjak tahun 1998. Dalam himpitan berbagai persoalan yang menyertai proses transisi, berbagai keterbatasan negara sering dirujuk sebagai alasan adanya ketidakmampuan negara untuk mencapai peningkatan progressif atas pemenuhan hak dasar warga negara Oleh sebab itu, penting untuk membedakan antara ketidakmampuan dari ketidakmauan, artinya, menguji apakah negara pengabaian akan hak-hak dasar lebih merupakan bentuk ketidakmauan, daripada ketidakmampuan. Untuk menilai secara kritis kondisi tersebut, laporan ini mencoba menilai kinerja kewajiban negara berdasarkan kovenan hak ekosob yang telah diratifikasi pada bulan September 2005 yang lalu. Kovenan hak Ekosob sesungguhnya mengakomodasi kondisi yang berbeda dari tiap negara dengan menerapkan pemenuhan hak secara bertahap atau progresif. Artinya, pencapaian yang paling maksimal disadari membutuhkan waktu dan tidak mungkin dapat dipenuhi dalam waktu yang singkat Namun demikian, pemerintah terikat pada beberapa kewajiban dasar yang tidak dapat ditunda (immediate realisation), seperti, pengurangan angka kelahiran dan kematian bayi, pencegahan dan penanggulangan epidemic, endemik, serta peningkatan kondisi yang dapat menjamin terjangkaunya sarana medis bagi penderita penyakit.35 Beberapa inisiatif yang telah diambil oleh pemerintah seperti ratifikasi kovenan hak ekosob, pelaksanaan program PIN (Pekan Imunisasi Nasional) tahun 2005 memang menjadi catatan positif atas langkah pemajuan hak- hak dasar. Meskipun demikian, bukan berarti pelanggaran atas hak dasar tidak terjadi. Langkah yang diambil pemerintah tersebut tidak mengelakkan pemerintah dari kecenderungan untuk melakukan pengabaian atas hak. Pengabaian ini terjadi karena pemerintah gagal mengambil langkah-langkah yang sesuai untuk mencapai pemenuhan hak dasar, termasuk di dalamnya kegagalan menjamin adanya prasarana kesehatan yang dapat terjangkau oleh berbagai lapisan khususnya lapisan masyarakat yang terbawah. Dan yang lebih mendasar adalah kegagalan untuk menjadikan hak kesehatan, sebagaimana hak dasar lainnya yang telah menjadi hak konstitusional menjadi hak yang secara operasional dapat dinikmati. Harapan pemenuhan atas hak-hak dasar terhimpit diantara tiga persoalan mendasar yang belum dapat diatasi sampai laporan ini ditulis. Ketiga persoalan tersebut adalah, (1) melemahnya kekuatan negara dalam fungsi pelayanan publik dan semakin besarnya peran swasta dalam penyediaan layanan kesehatan. (2) Lemahnya kapasitas pemerintah dalam 34

Lihat human development report 2004, pp30

35

Lihat, kovenan hak ekosob, pasal 12 ayat 2.

14


memformulasikan strategi kebijakan serta pembenahan penegakan hukum, sehingga hak-hak dasar yang secara tekstual telah menjadi hak-hak konstitusional sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang dasar tidak dapat dirasakan realisasinya. Kelemahan ini mencakup penyediaan instrumen kebijakan yang dapat di implementasikan secara operasional serta menyangkut pula koordinasi antar institusi pemerintah yang terkait dalam pemenuhan hakhak dasar. (3) Semakin meningkatnya kemiskinan karena pilihan stratregi pembangunan

A. Situasi Pemenuhan Hak Atas Pendidikan Dan Hak Atas Kesehatan 1. Hak Atas Pendidikan Situasi pemenuhan hak atas pendidikan sepanjang tahun 2005 masih jauh dari harapan masyarakat yang notabene berharap banyak terhadap pemerintahan baru. Meskipun buruknya pemenuhan hak atas pendidikan tahun ini adalah tak lepas dari tumpukan persoalan pada masa pemerintahan-pemerintahan sebelumnya, namun demikian persoalan-persoalan mendasar seperti akses terhadap pendidikan, pengurangan siswa putus sekolah, penguatan dan support atas institusi-institusi pendidikan dasar umum dan khusus (untuk anak-anak cacat) yang sudah ada dan penanganan akses pendidikan di wilayah terpencil belum tertanggulangi secara nyata. Kondisi ini nampak terlihat jelas dalam laporan-laporan media massa di tahun 2005 yang masih menyoroti dalam pemberitaan mereka tentang jumlah angka anak tidak sekolah dan anak putus sekolah dari kalangan penduduk miskin yang terus merangkak naik.36 Disamping itu, pemberitaan media tentang runtuhnya bangunnan sekolah serta ketidakmampuan sekolah menampung jumlah siswa yang membengkak adalah fakta bahwa upaya penguatan dan support atas institusi pendidikan dasar umum dan untuk anak-anak cacat oleh pemerintah terus menurun, termasuk juga disini buruknya mekanisme perlindungan anak-anak dari tindak kekerasan dan praktek diskriminasi oleh institusi pendidikan dasar, menengah dan atas. Hal lain yang juga penting untuk dijadikan patokan dalam melihat minimnya pemenuhan hak atas pendidikan, adalah belum tersentuhnya akses pendidikan bagi anak-anak di wilayah terpencil dan pulau-pulau kecil yang selama ini belum tersentuh pembangunan nasional atau pun daerah. Meskipun di beberapa level nampak terlihat adanya upaya-upaya pemerintah untuk menangani persoalan-persoalan tersebut, namun demikian langkah-langkah penanganan merupakan bagian dari upaya meredam kritik masyarakat ataupun meredam protes masyarakat luas atas penerapan kebijakan ekonomi baru yang mengganggu kehidupan perekonomian masyarakat, seperti dalam kasus pemberian DANA BOS sebagai bagian dari kompensasi kenaikan harga BBM. Pelimpahan kewenangan penyelenggaraan pendidikan dari pemerintah nasional ke pemerintah daerah sebagai jawaban pemerataan dan efektifitas pelaksanaan pendidikan juga tidak dengan sendirinya membuat pemenuhan hak atas pendidikan dapat dipenuhi secara minimal. Sebaliknya, pelimpahan kewenangan ini justru berakibat pada pemunduran kualitas pendidikan sebab tidak semua pemerintahan daerah memiliki kemampuan, baik dari sisi kapasitas personel dan anggaran, yang merata. Akibatnya banyak sekali laporan tentang robohnya gedung sekolan dan fasilitas sekolah yang jauh dari 36

Hingga saat ini belum ada data akurat berkaitan dengan jumlah anak tidak sekolah dan anak putus sekolah. Sejumlah pihak meragukan data-data yang selama ini dikeluarkan oleh institusi pemerintah karena angka yang mereka keluarkan jauh dari kondisi sebenarnya. Namun demikian diperkirakan lebih dari 4 juta anakanak usia sekolah hingga saat ini belum sekolah dan atau terpaksa putus sekolah.

15


kebutuhan menunjang proses belajar mengajar, termasuk juga minimnya jumlah guru tetap yang mesti dimiliki oleh setiap institusi pendidikan dasar. a. Anak tidak sekolah dan anak putus sekolah Berdasarkan data Depdiknas, sampai dengan tahun 2005 masih banyak anak usia sekolah yang tidak dapat mengikuti pendidikan, terutama anak sekolah dasar dan sekoah menengah pertama. Dari tahun ke tahun, jumlah anak sekolah masih cukup tinggi. Pada tahun 2002/2003 terdapat 560.323 siswa SD yang tidak mampu melanjutkan sekolah, pada tahun 2003/2004 terdapat 542 258, tahun 2004/2005 angkanya masih cukup tinggi, yaitu sebesar 495.261. Jumlah anak putus sekolah di tingkat sekolah menengah juga mengalami peningkatan. Data MTs menunjukkan bahwa pada tahun 2002/2003 terdapat 88.809 siswa putus sekolah, tahun 2003/2004 melonjak menjadi 91.905 dan terus melonjak lagi 2004/2005 menjadi 92 417 siswa.37 Data Anak Putus Sekolah Di Beberapa Kabupaten No 1.

Lokasi Kota Bekasi

2

Kabupaten Majalengka, Jawa Barat

3 4 5

Kabupaten Lebak, Banten Kabupaten dan Kota Bogor Aceh

6 7.

Kabupaten Sukabumi Kuningan

Jumlah 170.000

7.715

11.422 27.000 154.746

20.000 3.000

Keterangan Tidak dapat dan belum melanjutkan pendidikan sekolah. Lemahnya ekonomi keluarga Perhatian daerah kurang maksimal Telah diterbitkan 5000 kartu bebas biasa SPP, 1000 siswa SD, 3000 SMP, 1000 SMA dengan anggaran 2 milyar, Orang tua kurang mampu Keluarga tidak mampu SD= 36.794; SMP= 51.838, SMA= 66.114 Karena kurang biaya Ekonomi keluarga lemah Siswa SD yang tidak bisa melanjutkan pendidikannya

393883 Sumber: Diolah dari Dokumentasi ELSAM-Hak Atas Pendidikan tahun 2005

Sebagian besar penyebab utama kasus anak putus sekolah adalah karena ongkos pendidikan yang terus merangkak mahal. Dalam pengamatan lapangan elsam di lapangan38, besarnya pungutan yang diterapkan sekolah, mulai dari uang LKS dan Buku paket, SPP/Komite tiap bulan, pendaftaran masuk sekolah, uang bangunan, uang ujian, biaya praktikum, study tour, olah raga, hingga uang ekstrakurikuler menjadi penyebab tingginya anak tidak sekolah dan putus sekolah. Dalam sebuah wawancara ELSAM dan Suara Ibu Peduli awal 2005, diketahui bahwa kebanyakan para orang tua mengatakan bahwa mereka terpaksa tidak menyekolahkan anaknya atau mengeluarkan anaknya dari sekolah karena mereka harus mengeluarkan dana pendidikan lebih dari Rp 300 ribu per orang per bulan. Padahal jumlah itu adalah jumlah penghasilan mereka per bulan. Dalam beberapa soal mereka mencoba untuk mensiasati dengan meminta keringanan pembayaran dan mencicil proses pembayaran, namun demikian

37

Nanning Mardiniah, et al, op.cit. hlm 66-67. Mengutip dari data yang dipaparkan Fasli Jalal, Dirjen Dknas dalam Seminar tentang Konsep Pendidikan Gratis Bagi Semua Orang, diselenggarakan LP3ES, di Jakarta pada tanggal 22 Februari 2005

38

Kumpulan dokumentasi wawancara pemantauan hak atas pendidikan ELSAM dan Suara Ibu Peduli, tahun 2003-2005

16


upaya tersebut tidak bisa dijalani oleh banyak keluarga karena jumlah anak yang harus mereka tanggung bukan hanya satu orang. Dilain sisi, strategi keluarga untuk mensiasati pendidikan bagi anak-anak mereka ini pada akhirnya semakin menguatkan praktek-praktek pembatasan terhadap anak-anak perempuan mereka untuk bersekolah, terutama para perempuan yang tinggal di wilayah pedesaan. Dengan kembali mempergunakan nilai-nilai lama atau keyakinan di komunitasnya, mereka kembali melarang anak-anak perempuan untuk melanjutkan sekolah, dan mendesak mereka untuk segera menikah, agar beban keluarga sedikit berkurang. Di beberapa daerah dalam beberapa kesempatan kunjungan lapangan selama tahun 2005, ELSAM banyak sekali mendengar komentar para penduduk yang menyebutkan bahwa mereka lebih mengutamakan anak laki-laki untuk mendapatkan pendidikan tinggi ketimbang perempuan, karena anak lakilaki dapat diharapkan menjadi tulang punggung keluarga ketimbang perempuan, yang pada akhirnya akan keluar dari keluarga karena harus mengikuti suaminya kelak. b. Menurunnya upaya perawatan dan penguatan institusi pendidikan dasar umum dan khusus anak-anak cacat oleh pemerintah Potret memburuknya pemenuhan hak atas pendidikan ini semakin diperparah dengan munculnya laporan tentang kualitas dan kuantitas bangunan sekolah yang terus menyusut karena banyak sekali bangunan sekolah yang ambruk atau sudah tidak bisa dipergunakan akibat dimakan usia. Dilaporkan 801.216 ruang kelas SD yang ada, 168.655 atau hampir 21% mengalami rusak berat, dan secara bertahap mulai roboh.39 Sementara data Depdiknas menunjukkan bahwa ruang kelas SD yang rusak mencapai 489.573, atau hampir 60 persen dari total 877.772 ruang ruang kelas SD di Tanah Air. Ini belum termasuk kerusakan bangunan di tingkat SLTP dan SLTA.40 Angka-angka itu akan terus bertambah mengingat hampir sebagian besar bangunan sekolah yang terlalu tua atau kualitasnya yang buruk karena pembangunannya yang tidak sesuai dengan bestek. Di Maluku, dan Kalimantan Barat sebagian besar bangunan sekolah di wilayah tersebut dibangun pada tahun 1970-an.41

Disamping kondisi bangunan sekolah umum yang tidak layak pakai, sorotan terhadap upaya untuk membangun dan memperkuat sekolah-sekolah khusus untuk anak-anak cacat juga belum terlihat. Meskipun ELSAM belum memiliki data akurat tentang pembangunan dan penguatan institusi sekolah khusus bagi anak-anak cacat tahun 2005 ini, namun demikian jika melihat fakta menurunnya upaya pemerintah untuk membangun dan merawat gedung sekolah umum , sudah bakal dipastikan pembangunan gedung sekolah luar biasa untuk anak cacat pasti terabaikan. Sebuah keluarga di bilangan Cilandak Jakarta mengaku anaknya yang cacat mental terpaksa ia sekolahkan di sekolah umum—meski akhirnya si anak dikeluarkan oleh pihak sekolah—karena untuk menyekolahkan anaknya di sekolah luar biasa sangat mahal ketimbang sekolah umum dan tempatnya pun juga cukup jauh.42

39

Naning Mardiniah, et al, op.cit. hlm 61.

40

Kompas, Selasa, 27 Desember 2005, Masih Terseok dalam Keterbatasan

41

Kompas, Selasa, 05 April 2005 Ratusan SD Rusak Berat, Proses Belajar Mengajar Terganggu., lih., juga Kompas, Senin 21 Mar. 05, Sekolah-sekolah Itu Roboh Satu Per Satu

42

Wawancara dengan Ibu Astuti (bukan nama sebenarnya) di Cilandak, Pertengahan 2005

17


Tabel bangunan Sekolah Ambruk No 1

Lokasi Lampung Way Kanan

2

Provinsi Lampung

3

Jawa tengah

4

Jakarta Barat

5

Sumatera Selatan

6

DKI Jakarta

7 8

Provinsi Maluku Kabupaten Sukabumi

9

Kota Makassar

Jumlah Sekitar 498 gedung SMP dan SMA rusak diperkirakan 50 persen dari 4.568 sekolah dasar di provinsi itu pun rusak. sekitar 30.600 ruang dari 52.107 ruang kelas sekolah yang terdapat di berada dalam keadaan rusak. SD sekitar 14.488 ruang dari 31.642 ruang yang ada. 27.495 dari 123.817 ruang kelas SD rusak berat MI: 4.359 rusak dari 21.981 ruang SMP: 676 dari 29.585 ruang MTs: 522dari 8.806 ruang SMA: 128 dari 9.923 ruang MA: , dari 2.486 ruang 10% dari 275 gedung SD di Jakarta Barat dalam kondisi tidak layak pakai lagi. Sekitar 1.000 dari 6.336 ruang kelas mengalami kerusakan parah Sekitar 59 % gedung SDN dan SLTPN mengalami kerusakan sekitar 1.002 dari 1.699 gedung SD di Jakarta tidak layak digunakan. 286 SLTP di seluruh wilayah DKI Jakarta rusak. 425 SD rusak berat 40 persen dari 1.170 bangunan sekolah dasar rusak parah Sebanyak 200 dari 336 bangunan sekolah saat ini dalam keadaan rusak dengan tingkat kerusakan yang beragam

Sumber: Dokumentasi pemenuhan hak atas pendidikan ELSAM tahun 2005

c. Buruknya mekanisme perlindungan anak-anak dari tindak kekerasan dan praktek diskriminasi Hal ini semakin diperparah dengan fasilitas penunjang belajar yang tidak memadai atau bahkan tidak ada sama sekali, sehingga tak jarang proses belajar mengajar berjalan dengan apa adanya atau kembali membebani para orang tua siswa untuk mengatas keterbatasan tersebut. Sejumlah orang tua murid mengaku terpaksa mengajak orang tua siswa yang lain untuk membiayai perbaikan fasilitas kamar mandi sekolah anaknya, khususnya kamar mandi siswa perempuan yang kondisi kamar mandinya sangat tidak sehat dan rentan dari tindakkan pelecehan seksual dari kawan laki-lakinya, karena tidak pihak sekolah tidak mampu membiayai perbaikan tersebut.43 Beberapa hal yang juga patut untuk disorot pada pemenuhan hak atas pendidikan adalah minimnya tindakkan kekerasan dan praktek diskriminasi terhadap siswa oleh institusi sekolah, termasuk disini para guru. Sejumlah laporan media massa menyebutkan adanya tindakan penganiayaan para siswa oleh para guru termasuk disini proses mempermalukan para siswa yang belum membayar biaya pendidikan dihadapan siswa yang lain. Di jakarta pertengahan tahun lalu dilaporkan sejumlah siswa sebuah SMP negeri di bilangan Jakarta Selatan karena belum melunasi uang ujian, tidak diperkenankan mengikuti ujian di dalam kelas. Kasus lainnya adalah, pelarangan para siswa yang belum melunasi biaya ujian untuk memperoleh rapor mereka, sehingga tak jarang orang tua siswa tidak mengetahui prestasi belajar anaknya. Bahkan di sebuah sekolah di Cilandak, seorang siswa terpaksa tidak naik kelas, meski ia naik kelas, karena belum melunasi uang SPP dan ujian. Bentuk-bentuk 43

Wawancara dengan ibu puji (bukan nama sebenarnya) di Jakarta, Pertengahan Mei 2005.

18


mempermalukan para siswa yang belum melunai biaya sekolah juga terlihat dari kasus-kasus bunuh diri siswa sekolah tahun ini. Kasus-kasus itu antara lain, dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel Kasus Siswa Bunuh Diri Atau Percobaan Bunuh Karena Kemiskinan No 1

Nama Korban Eko Haryanto (15)

Lokbasi siswa kelas VI SD Kepunduhan 01, Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal

Keterangan Pertengahan April 2005

2

Bunyamin (17)

siswa kelas II Logam 1 SMK Negeri 2 Adiwerna, Kabupaten Tegal

7 April 2005

3

Elfi Mamora (15)

siswi kelas III sebuah SMP Negeri di Tangerang

4

Femilia Umami (13)

5

Awang Aditya

6

Muhammad Firdaus

7

Romdoni bin Husen (15)

siswa kelas I SMP Al Falah di Kampung Salimah, Sukamanah Jambe, Tangerang, Banten, siswi kelas empat sekolah dasar tewas gantung diri di Dusun Siyono Kidul, Desa Logandeng, Gunung Kidul, Yogyakarta. siswa kelas VI sekolah dasar di Kecamatan Jabung, Malang seorang pelajar SMA swasta di Tigaraksa, Kabupaten Tangerang

Jumat, 03 Juni 2005

Kamis (15/12).

Sumber: Diolah dari data Indok ELSAM

d. Terabaikannya pemenuhan hak atas pendidikan di wilayah terpencil dan pulaupulau kecil Sorotan lain dalam pemenuhan hak atas pendidikan pada tahun 2005 ini adalah tidak adanya penanganan atas persoalan terbatasnya penyediaan dan penyelenggaraan pendidikan di daerah terpencil dan pulau-pulau kecil, termasuk disini masyarakat adat yang tinggal diatas gunung. Laporan tentang adanya sekolah yang tidak berfungsi karena tidak ada tenaga pengajar di wilayah pedalaman atau tidak adanya aktifitas sekolah di sebuah pulau terpencil masih kerap ditemui. Bahkan untuk masyarakat adat yang tinggal di daerah-daerah terpencil, hingga saat ini masih belum bisa mengakses pendidikan, dan kalaupun ada, mereka dipaksa untuk mengikuti system pendidikan umum yang jauh dari konteks budaya yang mereka jalani selama ini. Di Pulau Bakau NTT, di pulau tersebut tidak ditemukan gedung sekolah dan aktifitas proses belajar mengajar, sehingga banyak sekali anak tidak sekolah di pulau tersebut.44 Di kepulauan Seribu, juga pernah di laporkan banyak sekolah yang tidak memiliki guru yang memadai 44

Laporan aktivis kemanusian asal NTT tentang proses relokasi masyarakat nelayan di pulau Bakau, Oktober 2005. Dalam laporannya disebutkan bahwa di pulau tersebut tidak ada fasilitas pendidikan. Celakanya alasan ini yang kemudian dijadikan oleh pemerintah daerah setempat untuk merelokasi penduduk setempat, agar proses pembangunan pulau tersebut sebagai kawasan wisata segera terealisasi.

19


karena banyak para guru yang beralih profesi karena seringnya keterlambatan penerimaan gaji mereka. Demikian pula dengan pendidikan bagi masyarakat adat, hingga saat ini belum tersedia bangunan sekolah dan system pendidikan yang bisa diikuti oleh anak-anak di Masyarakat Adat Anak Dalam, Badui, Osing, Pakafah, dan masyarakat adat di pegunungan Jayawijaya. Kebanyakan dari anak-anak pada komunitas khusus tersebut hingga saat ini masih belum bisa membaca, menulis dan berhitung, dengan dalih mereka masih sangat kolot dan tradisional sehingga sulit untuk dimajukan. 2. Memburuknya kualitas kesehatan masyarakat Tahun 2005 merupakan tahun yang memprihatinkan bagi pemenuhan hak-hak dasar masyarakat khususnya hak atas kesehatan. Alih-alih mengalami kemajuan, tahun ini diwarnai dengan berbagai indikasi melemahnya kualitas kesehatan masyarakat. Secara umum, terdapat dua jenis persoalan yang berkaitan dengan turunnya kualitas kesehatan ini, yaitu, masalah kesehatan yang bersifat luar biasa dan temporer namun memiliki dampak yang besar, seperti flu burung. Jenis lain adalah ancaman kesehatan yang sebenarnya merupakan kejadian yang berpotensi berulang setiap tahun, namun mengalami peningkatan baik kuantitas dan kualitas di tahun 2005. Persoalan dalam kelompok ini mencakup wabah demam Berdarah, polio, serta penyakit yang berkaitan dengan gizi, baik yang berupa gizi buruk, kelaparan, dan busung lapar. Kasus-kasus penyakit yang berkaitan dengan gizi ini, meskipun secara kuantitas banyak terjadi di wilayah Indonesia Barat. Namun secara kualitas, apabila diperbandingkan dengan prosentase jumlah penduduk di masing-masing wilayah, prevalensi kasus yang terjadi di wilayah timur Indonesia, seperti Papua, Nusa Tenggara, dan Sulawesi lebih tinggi disbanding di wilayah lain. Wilayah ini pada umumnya memiliki infra struktur yang sangat minim, tingkat kesejahteraan yang rendah serta jumlah prosentasi keluarga miskin diatas 30%.45 Kasus busung lapar yang dilaporkan di wilayah Indonesia bagian timur terutama menimpa wilayah dimana prosentase produksi beras dibandingkan dengan kebutuhan pangan tidak memadai, seperti di wilayah Gorontalo ( 1022 kasus), Papua (1155 kasus). Selain itu tingginya prevalensi busung lapar juga berkaitan dengan tingginya prosentase keluarga miskin, seperti di wilayah NTT yang prosentase keluarga miskinnya mencapai lebih dari 60% sementara kemampuan produksi pangan (beras) juga rendah dibandingkan dengan tingkat kebutuhan pangan di wilayah ini46. Diawali dengan dampak Tsunami di Aceh, berbagai permasalahan terus menjalar dari provinsi paling barat ini, seperti bahaya epidemic flu burung, menjangkitnya kembali wabah polio dan merebaknya berbagai kasus busung lapar dan gizi buruk. Kembalinya prevalensi polio merupakan penanda awal kegagalan pemerintah untuk mempertahankan kualitas pemenuhan standar kesehatan dasar bagi masyarakat. Dalam tahun 2005, Departemen Kesehatan melaporkan setidaknya tercatat 71 815 kasus gizi buruk pada balita, 232 diantaranya meninggal dunia.47 Permasalahan gizi buruk ini mencapai puncaknya dengan 45

Secara umum, prosentase keluarga miskin berdasarkan hasil Susenas tahun 2005 tercatat sebanyak 39,12%, Suara Pembaharuan 22/9/05; Hasil akhir Susenas sendiri baru akan dipublikasikan sekitar bulan Mei tahun 2006

46

Tim Kewaspadaan Pangan dan Gizi Pusat, 2005, “Situasi Pangan dan Gizi Indonesia”. Jakarta.

47

Menkes RI, 2005, Disampaikan dalam Sarasehan dengan wartawan tentang perkembangan penanggulangan gizi buruk di Indonesia sampai dengan November 2005, 19 Desember 2005

20


tragedi kelaparan di Yahukimo beberapa saat lalu yang menelan tak kurang 57 jiwa, dan lebih dari 112 penduduk dalam kondisi kritis. Hasil amatan ELSAM atas laporan kasus berkaitan dengan gizi dari pemberitaan 7 media masa sepanjang tahun 2005 mencatat sekurangnya sebanyak 1 091 474 orang bermasalah dengan gizi, yang tersebar di 73 kabupaten di seluruh nusantara. Sebaran kasus ini beragam mulai dari kurang gizi, gizi buruk sampai busung lapar. Dari total kasus yang terekam oleh media sepanjang tahun, tercatat beberapa kasus yang berakhir dengan kematian. Sekurangnya 61 orang meninggal dunia dalam berbagai kasus yang tersebar di sekurangnya 73 kabupaten, dengan prevalensi kasus tertinggi di Nusa Tenggara Timur. Penyebaran Gizi Buruk dan Busung Lapar di Propinsi-Propinsi Non Konflik Wilayah

NTT

Angka Balita di bawah lima tahun. 55.543

Penderit a Gizi Buruk

Penderita Busung Lapar.

85.604

12.925

451

50

910

847

21

13.376

34

26

61.805

18.136

140

1

14.338

7.454 643 6.000

175 4 37

13

176 11.000

12

NTB

Jateng

Jabar

Banten Sumut Jatim

Lampung Riau Sumsel Sulsel

DIY Kalbar DKI Jakarta

367

148.120

2928 5

1.700

287 567.545

Sultra Jumlah seluruh

1

2 2

Penyebaran Di Tingkat Kabupaten/Kota

Jumlah Kabup aten

16 Kabupaten: Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan, Sumba Barat, Kupang Lombok Timur, Lombok Barat, Dompu, Lombok Tengah, Mataram Tegal, Semarang, Kota Semarang, Rembang, Boyolali, Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen, Pemalang dan Pekalongan Cirebon, Cianjur, Bogor, Indramayu, Cibinong, Karawang, Bandung Lebak, Serang, Tangerang Gunungsitoli (P.Nias) Kota Surabaya, Kediri, Situbondo, Bangkalan, Wonogiri, Ponorogo, Lamongan, Blitar, Bondowoso

16

Tanggamus Bengkalis

1 1

Kota Makasar, Takalar , Makassar, Pinrang, Maros, Lutra, Selayar, Gowa, Bone, Luwu, Soppeng, Pangkep, Wajo, Rejang Lebong dan Parepare Bantul, Yogyakarta, Sleman, Kodya, Kulonprogo, Gunungkidul Sambas Koja-Jakut, Jakarta Barat, Jakpus

15

4

12

7

3 1 10

1.638 144.075

59

220.006

1000

8.007

8.579

Jambi Bengkulu Kalteng

Korba n Menin ggal

Penderit a Kurang Gizi

105 1.355 272 233

7

173.951

73.644

1 3

Tanjung Jabung Timur, Tanjung Jabung Barat Batanghari,

6

Sukamara, Kotawaringin Timur, Kapuas, Barito Timur, Kota Palangkaraya Kendari

5

5

72

1 1.146.66 9

6

1.705

123

1 93

Meskipun demikian, kasus yang sesungguhnya terjadi di lapangan di perkirakan jauh lebih besar dari apa yang berhasil dicakup oleh pemberitaan media. Sebagai contoh, data malnutrisi yang dipublikasikan oleh badan pangan dunia FAO menyebutkan di tahun 2002 saja, jumlah 21


populasi dengan malnutrisi di Indonesia tercatat sebanyak 6% dari populasi atau sekitar 12 juta jiwa. Angka ini jauh lebih buruk dari beberapa Negara tetangga seperti Malaysia yang mencatat angka kurang dari 12,5%. Data ini tentu bukan merupakan data yang paling akurat, salah satu survey yang dilakukan oleh departemen kesehatan di tahun 2005 misalnya, mencatat tak kurang dari 100 juta masyarakat bermasalah dengan gizi.48 Apabila data ini mendekati kebenaran, setidaknya separuh dari total populasi Indonesia bermasalah dengan gizi. Dengan demikian, berbagai pemberitaan mengenai busung lapar ataupun kurang gizi lebih merupakan puncak gunung es dari persoalan hak atas kesehatan yang sejauh ini seperti tersembunyi di bawah permukaan. Berbagai kasus yang berkaitan dengan gizi buruk terjadi di wilayah yang memiliki karakteristik yang mirip, yaitu, secara umum, daerah dengan prevalensi masalah gizi memiliki tingkat kesejahteraan yang rendah.49 Karakteristik lain berupa tingginya tingkat ketergantungan pada pemerintah pusat, serta tingginya prosentase aktivitas ekonomi di bidang pertanian. Kabupaten Timor Timur Selatan, propinsi NTT misalnya, persentase kegiatan ekonominya digantungkan pada sector pertanian50. Daerah Bantul, di Jawa yang mewakili prevalensi tertinggi kasus-kasus gizi buruk memiliki karakteristik yang serupa. Dengan prosentase kegiatan ekonomi terbesar di sektor pertanian, kabupaten Bantul baru mampu membiayai 6% dari total anggaran pembelanjaan daerahnya. Tingkat ketergantungan pada pusat ditunjukkan dengan besarnya nilai dana alokasi umum yang dikucurkan, yang mencapai lebih dari 70% total anggaran daerah yang dibutuhkan.51 Dua karakteristik ini setidaknya menunjuk dua persoalan mendasar yang berkaitan kemampuan daerah dalam mengalokasikan sumber dana yang memadai untuk memenuhi hak. Sebagai bagian dari pilihan desentralisasi yang dimulai di tahun 1999, alokasi pembiayaan sektor kesehatan dialihkan dari pusat ke daerah. Di satu sisi, kebijakan ini membuka peluang lahirnya kebijakan yang lebih berbasis local dalam memberikan jaminan yang lebih baik terhadap hak kesehatan. Namun di sisi lain juga muncul risiko kegagalan yang lebih besar, khususnya melihat ketiadaan kriteria pemenuhan hak kesehatan minimum yang ditetapkan pemerintah pusat berkaitan dengan alokasi minimum APBD untuk menjamin penyediaan sarana dan pelayanan kesehatan dasar serta hal-hal yang mendukung tercapainya tingkat kesehatan masyarakat yang memadai. Akibatnya muncul disparitas yang tinggi dalam penyediaan layanan dasar kesehatan. Sementara di Sumut pemerintah daerah mampu mengalokasikan sebesar 58 milyar dana kesehatan bagi kelompok miskin, provinsi seperti papua dan Nusa Tenggara Timur jauh tertinggal di belakang. Beberapa langkah jangka pendek dan respon cepat dilakukan oleh pemerintah melalui koordinasi interdepartemen. Namun langkah-langkah tersebut lebih bersifar kuratif, seperti dalam menghadapi penetapan wabah flu burung sebagai kondisi luar biasa. Tindakan lain 48

Lihat Suara pembaharuan 19/2/2005

49

Sebagai contoh proporsi rumah tangga dengan akses sanitasi yang air bersih di wilayah Indonesia Timur lebih buruk di banding Jawa dan Sumatera. Hampir separuh (40%) rumah tangga di wilayah ini tidak memiliki sanitasi yang memadai, Depkes RI, 2004, Analisis Gizi dan kesehatan Masyarakat, hal 25-27

50

Berdasarkan data BPS tahun 2001, prosentase kegiatan ekonomi di bidang pertanian mencapai 62,17% dari total aktivitas ekonomi. Daerah ini semula mengandalkan pada komoditas unggulan seperti apel dan cendana. Namun kedua jenis komoditas pertanian tersebut mulai menghilang dari kabupaten ini semenjak tahun 80-an, Kompas, 2001, Profil daerah kabupaten dan kota jilid I, hal 357-361.

51

Berdasarkan data tahun 2001,dari 201 milyar total APBD, 180 milyar diantara merupakan dana DAU yang dikucurkkan dari pusat, sementara, Kabupaten Timor Tengah Selatan, di NTT,

22


berupa pembentukan tim operasi sadar gizi untuk merespon naiknya angka penderita gizi buruk di NTB, penerapan sistem kewaspadaan dini, perawatan kasus gizi buruk di Puskesmas dan rumah sakit, serta penyediaan sarana dasar seperti bantuan pangan dan penyediaan air bersih.52 Langkah ini diikuti oleh peningkatan alokasi pendanaan untuk perbaikan gizi masyarakat dengan proyeksi kenaikan lebih dari 10kali lipat untuk tahun anggaran 2006.53

B. Respon Pemerintah Menghadapi Persoalan Pemenuhan Hak Atas Pendidikan dan Hak atas Kesehatan 1. Hak Atas Pendidikan a. Kebijakan baru yang tidak menghadapi persoalan pendidikan secara menyeluruh Dalam upaya pemenuhan hak atas pendidikan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) merupakan acuan utama. UU ini mengatur mengenai dasar, fungsi, dan tujuan pendidikan hak dan kewajiban warga negara, orang tua, masyarakat, dan pemerintah; peserta didik; wajib belajar; standar nasional pendidikan; kurikulum; pendidik dan tenaga kependidikan; sarana dan prasarana pendidikan; pendanaan pendidikan; serta ketentuan pidana. Secara substansi, UU Sisdiknas mengatur bahwa pendidikan bukan merupakan tanggung jawab pemerintah semata, melainkan tanggung jawab bersama termasuk masyarakat.54 Baik itu dari penyelenggaraan, memfasilitasi, sampai pendanaan. Dari penyelenggaraan, dengan adanya otonomi daerah, pendidikan diselenggarakan juga oleh pemerintah daerah bakan kepada masyarakat. Hal ini terlihat dari pengaturan UU Sisdiknas yang membagi tanggung jawab pemerintah kepada masyarakat untuk menyelenggarakan dan mendanai pendidikan; (Pasal 6 ayat 255; pasal 7 ayat 2). Bahkan UU Sisdiknas tersebut mewajibkan masyarakat memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan (pasal 9).56 Pendanaan pendidikan tanggung jawabnya dipikul secara bersama-sama antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat(pasal 46 ayat (1)). Sementara Pasal 47 ayat (2) menyebutkan bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat mengerahkan sumber daya yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sayangnya, dengan desentralisasi pembiayaan pendidikan dari pusat ke daerah, pemerintah pusat tidak dapat memastikan kelayakan anggaran-anggaran yang disediakan daerah untuk pendidikan dari total APBD. 52

Menteri Kesehatan RI, bahan Sarasehan dengan wartawan tentang perkembangan penanggulangan gizi buruk di Indonesia sampai dengan November tahun 2005.

53

Dana dekonsentrasi perbaikan gizi masyarakat untuk wilayah NTB di tahun 2005 adalah sebesar 2,03 milyar, menjadi sekitar 22,5 milyar di tahun 2006. Wilayah NTT juga memperoleh tingkat kenaikan anggaran dekonsentrasi yang serupa. Bantuan ini masih diikuti bantuan lain dari Menko kesra sebesar 7 milyar untuk wilayah NTB dan 51 milyar untuk wilayah NTT.

54

Pasal 1 butir 27 UU Sisdiknas menyebutkan bahwa Masyarakat adalah kelompok warga negara Indonesia nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan

55

Pasal 6 ayat (2) UU Sisdiknas menyebutkan bahwa Setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan Bagian Kedua

56

Pasal 9 UU Sisdiknas menyebutkan bahwa Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan

23


Pengalihan tanggung jawab pemenuhan hak atas pendidikan tercermin pula dengan adanaya Surat Keputusan Depdiknas No.044/U/2002 tentang Sistem Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).57 Berdasarkan sistem MBS, pemerintah tidak lagi menentukan berbagai jenis pungutan seperti uang seragam, pakaian olah raga, kegiatan ekstrakurikuler, raport, serta renovasi dan pemeliharaan gedung, termasuk iuran komite sekolah (yang sebelumnya disebut iuran BP3). Pungutan tersebut ditentukan oleh Komite Sekolah, melalui Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS) untuk diajukan oleh guru dan kepala sekolah. Akibatnya besarnya pungutan antara sekolah yang satu dengan yang lainnya tidaklah sama, tergantung pada penilaian masing-masing sekolah. Dalam hal kebijakan, setidaknya ada dua peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh negara, yaitu UU Guru dan Dosen, dan PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. UU Guru dan Dosen yang disahkan pada akhir tahun 2005 oleh pemerintah dan DPR RI ternyata tidak memberikan dasar yang kuat untuk mengangkat profesi guru setara dengan profesi dokter atau insinyur. Selain itu undang-undang tersebut gagal untuk menjawab problem guru secara lebih komprehensif. Di antaranya masalah profesionalisme guru dan kesejahteraan. Peningkatan profesionalisme dan kemampuan akademik dilaksanakan hanya dengan pemberian sertifikat. Pengaturan ini menganggap bahwa persoalan profesionalisme dijawab dengan persyaratan formal saja tanpa ada perbaikan kinerja guru. Pemberian tunjuangan sebesar satu kali gaji pokok PNS hanya diberikan kepada guru yang telah memiliki sertifikat. Pengaturan ini tidak memberikan jaminan kesejahteraan kepada guru, terutama guru-guru honorer. Pada tanggal 16 Mei 2005 pemerintah juga telah mengundangkan PP Standar Nasional Pendidikan. Pada dasarnya PP ini mengatur mengenai Standar Nasional Pendidikan yang meliputi: standar isi; standar proses; standar kompetensi lulusan; standar pendidik dan tenaga kependidikan; standar sarana dan prasarana; standar pengelolaan; standar pembiayaan;dan standar penilaian pendidikan (Pasal 2 ayat 1). Untuk mengembangkan pemantauan, dan pelaporan pencapaian pencapaian standar nasional pendidikan, melalui PP ini dibentuk Badan Standar Nasional Pendidikan (BSPNP).58 Dalam kenyataaannya BSPNP ini dibentuk sebelum PP disahkan sehingga legalitasnya dipertanyakan. Di samping permasalahan-permasalahan lain seputar PP SNP, berkenaan dengan sarana dan prasarana fisik sekolah,59 secara substansi PP ini menyerahkan tanggung jawab pemeliharaannya kepada satuan pendidikan yang bersangkutan.60 Begitu pula mengenai standar pengelolaan, sebagaimana diatur dalam pasal 49 PP SNP yang menyebutkan bahwa 57

Dari segi kelembagaan, MBS dirumuskan melalui pembentukan Dewan Pendidikan di tingkat kabupaten/kota yang bertugas menjalin kerja sama dengan berbagai pelaku pendidikan termasuk pemerintah daerah dan DPRD,serta pembentukan Komite Sekolah di tiap sekolah.

58

PAsal 73 ayat (1) PP Standar Nasional Pendidikan. Tugasnya antara lain (i) mengembangkan Standar Nasional Pendidikan; (ii) menyelenggarakan ujian nasional; (iii) memberikan rekomendasi kepada Pemerintah dan pemerintah daerah dalam penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan; serta (iv) merumuskan kriteria kelulusan dari satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Lihat: Pasal 76 ayat (3) PP Standar Nasional Pendidikan

59

sarana pendidikan meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan. Lihat Pasal 42 sampai 6 PP Standar Nasional Pendidikan.

60

PAsal 47 PP SNP

24


Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menerapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas. Pengaturan PP SNP ini mempertegas pengalihan tanggung jawab pendidikan dari pemerintah kepada masyarakat. b. Imbas keterbatasan UU terhadap penyusunan anggaran pendidikan Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 menyebutkan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaran pendidikan nasional. Tetapi realisasi dari kewajiban ini tidak dilaksanakan secara langsung. Berdasarkan kesepakatan Pemerintah dengan DPR pada tanggal 26 Januari 2004, realisasinya akan dilakukan secara bertahap61. Sampai dengan 2009, anggaran pendidikan akan ditingkatkan setiap tahun hingga mencapai 20%. Tahun 2004 sebanyak 16,8 triliun (16,6%), tahun 2005 naik 24,9 triliun (9,3%), tahun 2006 sebesar 33,8 triliun (12%), tahun 2007 sebesar 43,4 triliun (14,7%), tahun 2008 54,0 triliun (17,4%), maka pada tahun 2009 sudah mencapai jumlah ideal 65, 5 triliun (20%).62 Tetapi kenyataannya, realisasi pendidikan untuk tahun 2005 hanya sebesar 21,5 triliun, sementara di tahun 2006 dari sekitar Rp 375,1 triliun anggaran belanja pemerintah pusat, sektor pendidikan hanya kebagian Rp 40,1 triliun, terdiri atas Rp 34,5 triliun melalui Depdiknas dan Rp 5,6 triliun melalui Departemen Agama. Jumlah itu hanya 8-10 persen dari total anggaran belanja pemerintah pusat, berarti masih jauh dari 20% seperti yang diamanatkan konstitusi. Berdasarkan laporan Kompas (29 Desember 2005), di tingkat kabupaten/kota, umumnya, bupati/wali kota menyebut angka 30-40 persen untuk sektor pendidikan dari APBD yang sudah melebihi persyaratan minimal 20 persen. Namun setelah diteliti lebih lanjut, gemuknya anggaran pendidikan yang disebutkan itu tidaklah segemuk nilai riil sesungguhnya. Pemerintah kota cenderung mencampuradukkan dana alokasi umum (DAU) dengan pos belanja sektor pendidikan. Padahal DAU adalah anggaran titipan dari pusat yang dominan berupa gaji PNS, termasuk guru. Berhubung di setiap daerah jumlah guru PNS selalu lebih dari separuh total PNS setempat, otomatis DAU selalu gemuk. Karena gaji guru dikelola dinas pendidikan, diklaimlah anggaran untuk gaji itu sebagai belanja pendidikan.63 Perlu disadari bahwa tingkat PAD masing-masing daerah yang tidak sama besarannya, hal ini menjadi permasalahan tersendiri dalam pemenuhan hak atas pendidikan. Tentu saja kabupaten-kabupaten yang miskin, seperti Lembata, Yahukimo, dan Kabupaten Kawasan Timur lainnya, akan mengalami kesulitan menetapkan alokasi anggaran untuk pendidikan di banding kabupaten/kota seperti Jakarta, Batam dan Kutai Kerta Negara. Akibatnya alokasi anggaran pendidikan menjadi tidak menentu dan berdasarkan tingkat ekonomi dan politik masing-masing daerah. Pemerintah pusat tidak mempunyai kebijakan yang dapat memastikan

61

Hal ini merupakan kesepakatan antara Komisi VI DPR RI dan lima menteri terkait antara lain Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Kwik Kian Gie, Menteri Keuangan Boediono, dan Mendiknas A Malik Fadjar. Menyadari keterbatasan anggaran negara, lahirlah skenario progresif sehingga pemenuhan alokasi 20 persen ditoleransi terwujud tahun 2009, Lihat Kompas, Kamis 29 Desember 2005, Ketika Konstitusi Dilanggar

62

Ninang Mardinah, et al, Meneropong Hak Atas Pendidikan dan Layanan Kesehatan, CESDA-LP3ES, 2005

63

Lihat: Kompas 29 Desember 2005, Ketika Konstitusi Dilanggar

25


terpenuhinya hak atas pendidikan untuk menyikapi situasi tingkat PAD yang berbeda tersebut. c. Pembakuan penggunaan program-program karitatif untuk penanganan persoalan di wilayah pendidikan Dalam pemenuhan hak atas pendidikan sebenarnya pemerintah mempunyai program untuk mengatasi anak putus sekolah dan sekolah ambruk. Salah satunya adalah Bantuan Operasional Sekolah. Selama enam bulan untuk periode Juli-Desember 2005, BOS diberikan kepada siswa SD (atau setara) sebesar Rp 117.500,00 persiswa sementara SMP (atau setara) sebesar Rp 162.250,00 persiswa. BOS ini diberikan dalam satu kali pembayaran yang langsung dikelola sekolah yang dituju. Ini berarti, alokasi yang diberikan kepada siswa sebesar Rp 27.000-an persiswa setiap bulannya. Jumlah ini jauh dari memadai untuk menutup unit cost persiswa yang rata-rata mencapai Rp 80.000 sampai Rp 90.000.64 Pemerintah pun dalam berbagai kesempatan menegaskan bahwa bantuan operasional sekolah hanya mengcover 30 persen dari unit cost siswa.65 Sasaran dan Unit Cost BOS Jenjang Pendidikan BOS-SD/MI BOS-SMP/MTs BOS-Salafiyah setara SD BOS-Salafiyah setara SMP Beasiswa SMA/SMK/MA

Sasaran dan Biaya per Siswa Siswa Rp/Siswa 28,779,709 235.000 / tahun 10,625,816 324.000 / tahun 108,177 235.000 / tahun 114,433 324.000 / tahun 698,458 65.000 / tahun

Sumber: Bahan Sosialisasi PKPS-BBM – Depdiknas dan Depag66

Sesuai dengan nama programnya, kompensasi kenaikan BBM, kebijakan tersebut bukanlah kebijakan yang ditujukan mewujudkan pendidikan gratis dan dapat diakses semua orang. Tetapi sebagai program karitatif untuk memulihkan kekagetan masyarakat atas kenaikan harga BBM. Dari segi dana, biaya yang disediakan tersebut tidaklah cukup untuk membiayai pendidikan. Sementara dalam pelaksanaannya BOS sangat rentan dikorupsi dan tanpa pengawasan yang memadai. Pemberian BOS ini tidak menjamin bahwa setiap orang dapat menikmati pendidikan secara layak. Meskipun dana BOS sudah dialokasikan, tetapi berdasarkan hasil survey ICW, ternyata masih banyak orang tua murid yang mengaku tetap wajib membayar sumbangan yang diminta sekolah. Selain itu, miliaran rupiah dana BOS yang sudah dialokasikan bocor karena minimnya pengawasan. Sekolah juga tak transparan dalam mengelola dana BOS.67 Selama ini ternyata negara juga belum mempunyai strategi besar untuk menyelesaikan persoalan pendidikan di Indonesia. Baik itu dari pendanaan, penyelenggaraan, dan pengelolaan pendidikan, bahkan kurikulum, dan penyediaan sarana dan prasarana. 64

Kompas, Senin 17 Oktober 2005, Memaknai Bantuan Operasional Sekolah

65

Ibid

66

Mengutip ulang dari Survey CRC Sektor Pendidikan – ICW Biaya Operasional Sekolah (BOS)

67

hasil survei Indonesian Corruption Watch (ICW) di empat wilayah (DKI Jakarta, Semarang, Kupang, dan Garut) selama Agustus-September 2005. Empat kota yang jadi sasaran survei itu adalah DKI Jakarta, Semarang, Kupang, dan Garut. Responden terbanyak di Jakarta, yaitu 33,38 persen.

26


Permasalahan-permasalahan seputar pendidikan di Indonesia masih dijawab dengan membentuk peraturan perundang-undangan. Misalnya saja mengenai guru dijawab dengan UU Guru dan Dosen, kemudian standar pendidikan dijawab dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Seolah-olah dengan membentuk peraturan-perundangan maka persoalan akan terjawab. Tetapi kenyataannya, adanya peraturan perundang-undangan itu ternyata telah menimbulkan permasalahan baru. Lihat saja pengaturan UU Guru dan Dosen dan seputar pengaturan standar nasional pendidikan. 2. Hak Atas Kesehatan a. Melemahnya Kekuatan Negara Dalam Fungsi Pelayanan Kesehatan Publik Negara, dalam pemenuhan hak-hak dasar memiliki kedudukan yang vital, khususnya dalam dua fungsi, yaitu menjamin adanya sistem pelayanan publik yang dapat mendorong peningkatan akses masyarakat pada prasarana kesehatan, dan melindungi individu dari pelanggaran hak oleh pihak ketiga, dapat berupa individu, ataupun korporasi melalui penegakan hukum dan sistem kesehatan nasional yang berpihak pada masyarakat. Kedua fungsi tersebut gagal dijalankan oleh negara, karena negara semakin terpuruk pada warisan dan implikasi politik hutang masa lalu. Warisan hutang luar negeri ini, berimplikasi pada penerapan kebijakan liberalisasi sektor kesehatan, serta rendahnya anggaran negara yang dialokasikan untuk meningkatkan akses masyarakat pada sarana kesehatan. Meskipun terdengar klise, namun tunggakan cicilan utang luar negeri terbukti memiliki kontribusi terhadap kemampuan pemerintah dalam pemenuhan hak-hak dasar warga Negara. Dua implikasi penting dari beban utang ini adalah lumpuhnya kekuatan Negara untuk menentukan arah kebijakan publik, serta kemampuan meningkatkan alokasi anggaran yang ditujukan untuk pemenuhan hak-hak dasar masyarakat. Sebagai konsekuensi dari beban tunggakan hutang luar negeri, pemerintah sejak tahun 1997 terikat dengan berbagai persyaratan/conditionalities, terutama berkaitan dengan pencabutan subsidi dan liberalisasi beberapa sektor seperti air dan pelayanan kesehatan. Meskipun pemerintah telah memutuskan hubungan dengan IMF namun prasyarat-prasyarat tersebut masih terus terjadi sampai saat ini. Proses liberalisasi ini juga temasuk dalam upaya harmonisasi kebijakan nasional dengan regulasi internasional sebagai konsekuensi keanggotaan Indonesia dalam WTO. Skema ini juga mendorong semakin besarnya peran pihak ketiga (swasta) sebagai penyedia jasa layanan kesehatan. Lebih jauh, dalam proses ini, pemerintah tidak memberikan pola alternatif mekanisme dan skema liberalisasi yang mampu melindungi kelompok-kelompok miskin dari pelanggaran hak. Sebaliknya, beberapa langkah akselerasi untuk penerapan liberalisasi terus berlangsung, ditengah absennya strategi nasional kesehatan. Padahal Komite Hak Ekosob dalam pendapat umumnya yang berisi panduan pelaksanaan kewajiban pemerintah dalam pemenuhan hak ekosob menegaskan bahwa pemerintah berkewajiban untuk menjamin agar proses privatisasi tidak sampai melanggar hak atas kesehatan. Sebagai gantinya, perhatian ditujukan untuk mengatasi dampak dari liberalisasi itu sendiri, yaitu peningkatan jumlah kemiskinan. Berbagai jenis program dialokasikan secara khusus kepada kelompok miskin, seperti kebijakan askeskin, atau asuransi kesehatan untuk keluarga miskin, kebijakan raskin, atau bahkan dana tunai langsung pengganti subsidi BBM. Sayangnya, program-program ini sebagian besar dilakukan sebagai bagian dari desakan

27


eksternal seperti komitmen pencapaian target MDGs (Millennium Development Goals), serta sebagai bagian dari komitmen bantuan luar negeri. Bergesernya kewajiban penyediaan layanan kesehatan pada pihak swasta dapat secara jelas dilihat dari meningkatnya jumlah rumah sakit swasta di tingkat provinsi. Berdasarkan data terakhir di tahun 200368, tingkat ketersediaan rumah sakit swasta jauh lebih banyak dibandingkan dengan rumah sakit yang dikelola pemerintah. Dengan kenaikan sebesar 10% pertahun, jumlah rumah sakit swasta mencapai 617 buah, atau 45% lebih banyak dari rumah sakit yang dikelola oleh pemerintah. Skema ini diikuti dengan ketiadaan kebijakan dari pemerintah untuk menetapkan batas minimun penyediaan akses pelayanan bagi kelompok miskin yang dikelola oleh rumah sakit swasta. Apabila ada, kebijakan ini muncul sebagai satu inisiatif pemerintah di tingkat daerah, yang lebih merupakan satu diskresi pemerintah di tingkat daerah. Dalam beberapa kasus, justru rumah sakit negeri yang sering menolak pasien dari kelompok miskin. Satu kasus yang menyita banyak perhatian adalah penolakan bayi Zulkifri oleh tujuh rumah sakit yang dikelola oleh pemerintah karena orang tua si anak tidak mampu membayar biaya pengobatan tersebut.69 Bayi berusia kurang dari sebulan yang terserang penyakit kuning parah tersebut akhirnya justru di rawat di salah satu rumah sakit swasta. Padahal Departemen Kesehatan sendiri di bawah program pengentasan kemiskinan telah membuat kerja sama dengan sejumlah rumah sakit negeri di tingkat daerah untuk memberikan pengobatan gratis bagi pasien miskin. Tingginya cicilan utang luar negeri juga menghabiskan hampir lima kali lipat total anggaran belanja negara untuk sektor kesehatan di tahun 2005.70 Alokasi belanja departemen kesehatan berdasarkan APBN tahun 2005 sebesar 11 031 924 193 000 dari total 364 115 018 800 000 anggaran belanja pemerintah pusat. Nilai ini kurang lebih hanya berkisar 3% dari total alokasi anggaran belanja pusat, atau sekitar 2% dari total anggaran belanja negara ditahun 2005. Dari prosentase tersebut, hanya sekitar 2% nya yang dialokasikan untuk program perbaikan gizi masyarakat. Beberapa program penunjang kesehatan seperti pengembangan sistem layanan air minum dan air limbah hanya sebesar 3% dari total alokasi anggaran departemen pekerjaan umum. Melihat tingkat alokasi anggaran ini, kita dapat melihat kapasitas kemampuan pemerintah dalam peningkatan pemenuhan hak-hak dasar, khususnya yang berkaitan dengan hak kesehatan. Anggaran ini akan terasa timpang apabila diperbandingkan dengan alokasi dana yang diperuntukkan bagi institusi pertahanan dan keamanan Total anggaran departemen pertahanan sendiri sudah dua kali lipat anggaran untuk kesehatan. Apabila jumlah beberapa alokasi anggaran ini dikalkulasi bersama anggaran untuk institusi pertahanan lain seperti kepolisian dan lembaga pertahanan negara, maka ketimpangan ini akan semakin meningkat tajam, sebesar tiga ratus persennya. Total anggaran ini tercatat sebesar 6% dari total anggaran negara, yang berarti tiga kali lipat total anggaran untuk kesehatan.

68

Pendataan rumah sakit dan puskesmas dilakukan setiap dua tahun sekali, untuk tahun 2005 dipergunakan hasil pendataan tahun 2003, sementara proses pendataan tahun 2005 baru akan selesai di bulan Mei 2006

69

KCM,27/7/2005

70

berdasarkan rencana anggaran belanjan negara tahun 2005, besar cicilan utang luar negeri mencapai mencapai ….

28


Apabila diperbandingkan dengan besarnya cicilan utang luar negeri yang pada tahun 2005 mencapai 58 393,1 miliar, maka total anggaran dana kesehatan bagi masyarakat hanya sebesar 19% dari jumlah total cicilan utang luar negeri yang harus dibayarkan oleh pemerintah di tahun yang sama. Akibatnya sebagaimana telah ditengarai dalam laporan pembangunan manusia UNDP di tahun 2004, akses pada layanan kesehatan dasar banyak dibebankan pada kantong pribadi penderita. Merujuk pada laporan tersebut, sebesar 70% pembiayaan kesehatan diambil dari kantong pribadi dan dilayani oleh sektor swasta. Data ini akan semakin muram apabila disandingkan dengan hasil temuan survey tenaga medis yang dilakukan di akhir tahun 2003 oleh Departemen kesehatan. Dari survey tersebut, dari 337 kabupaten di seluruh Indonesia, hanya tersedia sekitar 22 334 tenaga medis, dari jumlah itu, hampir 52% diantaranya terkonsentrasi di wilayah Jawa dan Bali.71 Konsentrasi ini juga menunjukkan terpusatnya tenaga medis pada wilayah-wilayah dengan daya beli dan aktivitas ekonomi yang cukup tinggi. Kecenderungan ini juga menunjuk semakin dalamnya logika pasar dalam pelayanan kesehatan, semakin tinggi tingkat kemampuan daya beli konsumen atas layanan kesehatan, semakin besar kemungkinan untuk mendapatkan kualitas layanan yang lebih baik, setidaknya semakin banyak pilihan atas jenis-jenis layanan yang dapat dinikmati. Apabila sistem ini dituruti, tidak mengherankan apabila sebagian besar penduduk yang tinggal di wilayah seperti Yahukimo, pedalaman banten, atau wilayah yang tingkat pertumbuhan ekonominya rendah seperti Nusa Tenggara Timur, menjadi wilayah yang rawan terhadap kasus gizi buruk. Sebab gizi buruk tidak melulu di sebabkan oleh ketiadaan akses pada bahan nutrisi dasar yang baik, namun juga pada sarana dan fasilitas layanan kesehatan yang memadai yang dapat memberikan peringatan dini akan bahaya gizi buruk dan bahkan mungkin busung lapar. Dalam situasi ini, menjadi kewajiban dari pemerintah untuk menjamin tetap tersedianya prasarana dan fasilitas pelayanan kesehatan dasar yang memadai, sebab, apabila melulu diserahkan pada hukum pasar, maka wilayah-wilayah yang selama ini terus berpotensi mengalami berbagai masalah dengan gizi akan terus terabaikan. Namun, nampaknya, desakan komodifikasi dan liberalisasi prasarana kesehatan terus menggerus pola kebijakan kesehatan nasional. Sebagai tindak lanjut dari komitmen liberalisasi bidang kesehatan, di bulan Juni tahun 2005 misalnya diadakan pertemuan regional working group sektor layanan kesehatan di Bandar Sri Begawan yang intinya untuk mempercepat proses liberalisasi layanan jasa kesehatan.72 Pemenuhan hak-hak dasar sebagaimana diatur dalam kovenan hak-hak dasar memang mempertimbangkan kemampuan masing-masing Negara, dalam upaya pemenuhan hak dikenal prinsip pemenuhan secara bertahap, atau lebih dikenal sebagai pemenuhan progressif, yang meningkat dari waktu ke waktu. Meskipun demikian, negara terikat pada beberapa kewajiban dasar untuk menjamin setiap individu memperoleh akses pada sarana kesehatan dasar. Namun upaya memenuhi hak atas kesehatan ini, juga sangat tergantung pada kemampuan pemerintah untuk menjamin pemenuhan hak dasar lain, seperti akses pada pangan, dan jaminan untuk terhindar dari kelaparan. Sebab tingkat kesehatan dasar yang memadai tidak mungkin dicapai tanpa adanya hadirnya prasyarat-prasyarat utama, seperti keamanan pangan, serta tersedianya sistem sanitasi dan hygienis dasar yang mencukupi.73 71

Tenaga kesehatan.or.id, 21 September 2004, “ Survey Dokter dan dokter gigi”, http://www.tenagakesehatan.or.id/artikel_detail.php?id=7 dikunjungi pada 3 January 2005

72

Lihat http://www.tenaga-kesehatan.or.id/press_detail.php?id=16 terakhir dikunjungi tgl 4 Januari 2006

73

Lihat general comment no 3/

29


b. Lemahnya strategi penyusunan kebijakan dan kinerja institusional dalam menjamin realisasi hak Strategi kebijakan yang tepat sasaran dan efektif merupakan satu instrumen penting untuk merealisasikan kewajiban negara dalam pemenuhan hak. Strategi ini mencakup baik peraturan perundang-undangannya maupun institusi pelaksananya. Sayangnya sampai saat ini pemerintah belum berhasil memformulasikan struktur yang kohesif antara peraturan perundangan dengan institusi pelaksananya. Akibatnya, jaminan atas hak kesehatan hanya berhenti sebagai satu jaminan tekstual semata. Sebagai contoh, sampai saat ini, undangundang 23/1992 belum diamandemen untuk dapat menjadi ketentuan yang lebih operasional dari jaminan atas hak kesehatan sebagaimana ditetapkan dalam UU 39/1999 mengenai hak asasi manusia. Selain itu, rumusan sanksi baik sanksi administrative ataupun pidana dalam peraturan kesehatan yang telah ada belum dapat dioperasionalkan. Akibatnya efek penjera (detterent effect) atas berbagai pelanggaran atau pun pengabaian terhadap kewajiban pemerintah tidak berfungsi, sehingga kontrol atas pelaksanaan peraturan teknis yang mendukung pencapaian tingkat pemenuhan hak yang lebih baik sangat lemah. Dalam kasus penolakan pasien miskin oleh tujuh rumah sakit di Jakarta, sampai saat ini tidak ada tindakan yang cukup berarti yang diambil oleh departemen kesehatan terhadap rumah sakit-rumah sakit tersebut. Lemahnya fungsi kontrol ini juga terjadi pada kewajiban pemerintah untuk menciptakan prasyarat-prasyarat yang mendukung terpenuhinya hak atas kesehatan. Ini dapat dicermati dari penanganan penyakit-penyakit berbahaya dan wabah tahunan seperti Demam Berdarah74, serta dalam perlindungan atas ketersediaan makanan yang sehat. Kasus maraknya penggunaan formalin dalam berbagai produk makanan memberikan potret yang gamblang mengenai hilangnya kontrol atas peredaran makanan yang sehat. Sebenarnya, perangkat perlindungan ini tidak sepenuhnya absen, beberapa standar makanan sehat ada dan berlaku pada segmen pasar tertentu sebagai bagian dari tuntutan konsumen. Apa yang kemudian terjadi adalah pengalihan beban penyediaan jaminan ini ke tangan konsumen. Artinya biaya jaminan tersebut menjadi bagian dari ongkos produksi; sehingga mempertinggi harga jual barang. Jaminan kesehatan makanan berimplikasi pada meningkatnya biaya produksi yang pada gilirannya meningkatkan harga jual. Dengan Skema ini kelompok masyarakat dengan daya beli terendah merupakan kelompok yang paling rentan, karena sebagian besar penggunaan zat-zat berbahaya dalam makanan dilakukan untuk menekan biaya produksi sehingga dapat menghasilkan produk dengan harga yang kompetitif.75 Dengan demikian seluruh kondisi tersebut menempatkan kelompok miskin sebagai kelompok yang menanggung dampak terbesar.

74

Kasus yang paling menonjol adalah sikap pemerintah yang kurang responsive dalam penanggulangan epidemi flu burung. Inisiatif memperjuangkan lisensi obat agar dapat diproduksi di dalam negeri dan dijual dengan harga yang lebih terjangkau baru ditempuh setelah hampir satu tahun wabah menyebar di Indonesia. Setidaknya 85 orang meninggal dunia akibat epidemi ini ( Kompas,6/10/05). Beberapa tindakan penyemprotan dilakukan di wilayah-wilayah yang dilaporkan mempunyai kasus flu burung. Diluar upaya ini, belum terdapat strategi nasional untuk mencegah penyebarn epidemi agar tidak meluas. Sejauh ini berdasarkan liputan media masa sepanjang tahun 2005, wabah ini tekah menyebar di 9 provinsi di tiga wilayah, Jawa, Sumatera dan Kalimantan.

75

Hal ini terlihat dari kasus penggunaan formalin sebagai bahan pengawet alternatif dalam teri dan ikan asin, atau pun tahu. Motif serupa ditemui dalam penggunaan pewarna pakaian pada makanan dan borax pada bakso.

30


Ketidakmampuan melakukan pengarusutamaan hak kesehatan dan memformulasikan kebijakan yang operasional ini juga dipengaruhi oleh kapasitas aparatur dari institusi pemerintah untuk secara khusus memahami dan mengembangkan standar dan indikator yang akurat.Selain itu, berbagai aturan pelaksanaan yang ada menghadapi persoalan akurasi sasaran. Program pengurangan gizi buruk yang dilakukan melalui pemberian makanan pengganti ASI (MP-ASI) efektifitasnya terbukti hanya sekitar 12,4%.76 Program yang setiap tahunnya menelan biaya sebesar 100-120 milyar ini hanya sekitar 52% yang benar-benar dinikmati oleh mereka yang berasal dari kelompok masyarakat miskin. Dari jumlah ini, hanya sekitar 23,8% yang benar-benar dikonsumsi.

76

Beban Ganda masalah gizi dan implikasinya terhadap pembangunan kesehatan Nasional: Pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Kedokteran UGM- diucapkan pada tanggal 5 Februari 2005

31


BAB IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Secara umum dapat diamati terjadinya ekskalasi kekerasan pada masyarakat sipil di tahun 2005. Kekerasan ini secara langsung merupakan ancaman yang serius terhadap perlindungan civil liberties (hak-hak sipil) masyarakat, meskipun komitmen perlindungan hak asasi telah secara konstitusional telah diintroduksi sejak tahun 1998. Semenjak tahun 1998, sesungguhnya tengah terjadi proses kontestasi berbagai nilai dan norma dalam masyarakat sebagai upaya untuk mengkonsolidasi gagasan mengenai perubahan. Seperti terlihat sepanjang tahun ini, proses konsolidasi politik yang lambat, diikuti dengan melemahnya kapasitas berbagai instrumen pemerintahan, termasuk di dalamnya birokrasi dan perangkat hukum memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kondisi hak asasi manusia, khususnya kebebasan sipil dan hak atas pendidikan serta kesehatan. Selain itu, pada saat yang sama, pemerintah berhadapan dengan implikasi beban kebijakan pembangunan masa lalu seperti tingginya cicilan hutang luar negeri, korupsi yang sistemik dalam tubuh birokrasi dan system politik. Kedua hal sangat mempengaruhi kemampuan pemerintah untuk memperbaiki kondisi hak asasi sepanjang tahun 2005. Dalam perlindungan hak sipil, kekerasan yang semula menjadi monopoli apparatus represif Negara telah secara luas direproduksi oleh kelompok masyarakat dan menjadi ancaman yang serius bagi penegakan ham. Terlebih, pola kekerasan ini seolah menjadi sesuatu yang ‘legitimate’ melucuti keabsahan instrument-instrumen perlindungan hak, serta meninggalkan masyarakat tak terlindungi di tanah tak bertuan. Apabila dibiarkan, situasi ini akan membawa hak asasi pada ancaman tirani baru, dimana negara tak ubahnya seperti lapangan kosong dimana kelompok yang kuat akan memaksakan keyakinan dan nilainilainya pada kelompok yang lebih lemah. Dalam situasi ini, jaminan perlindungan hak asasi tak akan lebih dari catatan-catatan tekstual dalam serangkaian produk-produk perundangan. Cita penghormatan hak asasi sebagai nilai fondasi penciptaan system yang lebih demokratis yang menjadi komitmen transisi politik akan semakin jauh dari jangkauan. Selain itu, kondisi ini juga mengurangi kemampuan pemerintah untuk merumuskan kebijakan publik yang pro hak-hak dasar. Sebaliknya, justru pemerintah gagal mengelakkan diri dari proses akselerasi liberalisasi di sector-sektor pelayanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan. Semestinya, dalam situasi ini, dengan modalitas kapasitas birokrasi dan system politik yang memadai, pemerintah mampu memberikan tawaran alternative kebijakan lain sehingga liberalisasi tidak melanggar hak-hak dasar. Terlebih apabila mengingat bahwa kelompok miskin dan perempuan merupakan strata populasi yang menerima dampak terbesar dari struktur liberalisasi ini. Berdasarkan observasi ini, ELSAM merumuskan beberapa rekomendasi penting yang substansial dalam upaya mendorong perbaikan kinerja negara dalam perlindungan hak asasi di tahun ini. Rekomendasi ini meliputi: a. Peningkatan kinerja perangkat hukum dan peradilan dalam perlindungan hakhak sipil. Perlindungan hak tidak mungkin dilakukan apabila instrumen administrasi keadilan absen, seperti pihak kepolisian, dan proses peradilan. Karena itu penting untuk mengembalikan fungsi administrasi keadilan sebagai 32


perangkat pelindung hak asasi dengan mendasarkan diri pada jaminan konstitusional dalam menilai praktek-praktek kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat sipil. b. Meningkatkan kapasitas aparatur negara dalam pembentukan kebijakan publik yang pro hak-hak dasar. Hal ini sangat penting mengingat pelaksanaan pencapain bertahap atas hak pendidikan dan kebudayaan harus mampu dituangkan dalam strategi nasional yang memadai dengan indicator capaian yang tegas. Ini juga akan memperkecil kesalahan sasaran pada programprogram yang ditujukan pada perbaikan hak-hak dasar. c. Memenuhi komitmen perlindungan hak-hak dasar melalui politik anggaran negara. Alokasi anggaran merupakan instrument penting dalam perbaikan kinerja pemenuhan hak-hak dasar. Tanpa perubahan yang berarti dalam pengalokasian anggaran negara, perbaikan akses masyarakat pada sarana pendidikan dan kesehatan akan semakin sulit untuk dijangkau. Secara khusus melihat keterbatasan kemampuan pemerintah di ditingkat daerah, pelimpahan kewajiban pemerintah dalam pemenuhan hak dasar seperti pendidikan dan kesehatan patut ditinjau kembali. Perlu dirumuskan satu batasan minimal yang harus dipenuhi untuk menjamin terpenuhinya hak-hak dasar. Dalam hal terdapat keterbatasan sumberdaya di tingkat daerah, pemerintah pusat wajib mengembangkan mekanisme yang menjamin tidak terlanggarnya hak dasar masyarakat di daerah, khususnya perempuan dan kelompok miskin.

33

Ekspektasi yang Sirna Laporan Penegakan Hak Asasi Manusia Tahun 2005

Recommend Documents