EKSPEDISI SNELLIUS II (1984-1985): EKSPEDISI OSEANOGRAFI TERBESAR DALAM KERJASAMA INDONESIA-BELANDA
E
kspedisi Snellius (1929-1930) (selanjutnya disebut Ekspedisi Snellius I) merupakan ekspedisi yang dilaksanakan oleh Belanda yang telah berhasil mengungkapkan berbagai informasi penting tentang oseanografi fisika, kimia
dan geologi di kawasan timur Indonesia. Namun capaian ekspedisi ini justru telah menimbulkan segudang pertanyaan ilmiah lanjutan yang tak kalah menantangnya untuk diungkapkan.
Gambar 1. Kapal riset yang menjadi tulang punggung utama Ekspedisi Snellius II (1984-1985) adalah Tyro (dioperasikan oleh NIOZ, Belanda), didukung oleh kapal riset Samudera (LIPI) dan Jalanidhi (TNI-AL). Dua kapal pendukung lainnya (tidak ditunjukan dalam gambar) adalah Tenggiri (Balai Penelitian Perikanan Laut) dan Hatiga (Pusat Penelitian Geologi Laut).
1
Ekspedisi Snellius I (1929-1930) misalnya hanya memberikan gambaran situasi semusim, padahal kemudian diketahui bahwa perairan Nusantara sangat kuat dipengaruhi oleh musim (monsoon) yang terdiri dari musim barat dan musim timur yang sangat berbeda. Dinamika ekosistem pelagis di kawasan ini di bawah pengaruh musim belum banyak dipahami. Berbagai perkembangan ilmu pengetahuan lebih baru telah terjadi pula pasca ekspedisi Snellius I. Perkembangan ilmu kebumian mengenai tektonika lempeng (plate tectonics), yang dapat menerangkan berbagai dinamika geofisika dan geologi misalnya, baru berkembang sejak dekade 1960-an. Nusantara
Dalam perjalanan waktu, banyak pertanyaan mengenai oseanografi laut
yang menantikan pengungkapannya
dengan pendekatan ilmu pengetahuan yang baru. Pada tahun 1980, atau sekitar 50 tahun setelah usainya Ekspedisi Snellius I,
UNESCO
Division of Marine Science melontarkan gagasan untuk mengulangi ekspedisi oseanografi di perairan bagian timur Indonesia dengan pendekatan baru sesuai dengan perkembangan iptek yang mutakhir. Gagasan ini mendapat sambutan yang antusias dari berbagai
pihak.
Pemerintah
Pemerintah
Belanda
keinginannya mengorganisasikan
Indonesia
kemudian untuk
ekspedisi
dan
menyatakan bekerjasama
itu
yang
akan
Gambar 2. Logo Ekspedisi Snellius II (1984-1985)
dituangkan dalam Program Ekspedisi Snellius II. Program ini diorganisasikan di Indonesia oleh LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) sedangkan di Belanda oleh Netherlands Council for Oceanic Research yang berada di bawah Netherlands Organization for the Advancement of Science. Panitia Perencana Gabungan (Joint Planning Committee) pun segera disiapkan yang terdiri dari anggota-anggota dari Panitia Nasional masing-masing, yang akan bertanggung jawab atas pelaksanaan Program Ekspedisi Snellius II ini. Panitia Nasional Belanda diketuai Rear Admiral (Retired) J.C. Kreffer, sedangkan Panitia Nasional Indonesia diketuai oleh Prof. Didin Sastrapradja. Program Snellius II ini direncanakan dalam tiga tahap:
2
a. Tahap Persiapan (Juni 1982 – Juni 1984), yang menggabungkan rencana yang diusulkan oleh pihak Belanda dan pihak Indonesia hingga dapat merupakan rencana terpadu yang kongkrit; b. Tahap Pelaksanaan (Juni 1984 – Oktober 1985), yang merupakan pelaksanaan ekspedisi yang nyata di lapangan; c. Tahap elaborasi (Novmber 1985 – November 1987), yang mencakup pengolahan data dan penulisan hasilnya, diakhiri dengan penyampaian hasilnya dalam Seminar Snellius II yang akan dilaksanakan di Jakarta pada akhir November 1987. Progran Ekspedisi Snellius II ini mendapatkan payung MoU (Memorandum of Understanding) yang ditandatangani pada tanggal 7 Juni 1983 oleh Menteri Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan Belanda, W. J. Deetman, dan Menteri Riset dan Teknologi Indonesia, Prof. B. J. Habibie. MoU ini mencakup hal-hal yang menyangkut partisipasi, konsekuensi pendanaan, dan tanggung jawab kedua pihak. Sesuai dengan rencana, Ekspedisi Snellius II ini terdiri atas lima tema penelitian yakni: 1. Geologi dan geofisika; 2. Ventilasi lubuk-lubuk laut-dalam; 3. Sistem pelagis; 4. Terumbu karang; 5. Dampak sungai terhadap lingkungan laut.
Gambar 3. Pengambilan sampel plankton dengan jaring plankton (kiri) dan sampel air dengan rosette sampler (kanan). (Foto: A. Nontji) 3
Sekitar 450 peneliti dan teknisi dari Indonesia dan Belanda yang terlibat dalam Ekspedisi Snellius II ini, yang terdiri dari 250 orang dari pihak Indonesia dan 200 orang dari pihak Belanda. Di samping itu beberapa peneliti dari berbagai negara lainnya pun ikut berpartisipasi misalnya dari Belgia, Jerman, Amerika Serikat dan Inggeris. Bila dilihat dari lembaga riset dan universitas yang ikut serta dalam ekspedisi ini, jumlahnya puluhan. Tema 1 (geologi dan geofisika) saja misalnya, melibatkan 25 lembaga riset dan universitas dari Indonesia, Belanda dan negara lainnya. Dalam Tahap Persiapan, banyak peneliti dan teknisi Indonesia mendapat pelatihan terlebih dahulu di Belanda. Demikian pula seusai pelaksanaan ekspedisi, dalam tahap elaborasi, sejumlah peneliti Indonesia mendapat kesempatan untuk mengolah dan menganalisis data bersama rekan-rekan mereka di Belanda, baik di lembaga-lembaga riset maupun di universitas disana. Bahkan beberapa orang mendapat kesempatan untuk mengambil pendidikan doktoral (S-3) di berbagai universitas di Eropa, dengan penelitian beradasarkan materi yang dihimpun dalam Ekspedisi Snellius II.
Gambar 4. Pengoperasian alat Avanaut untuk pengambilan sampel plankton permukaan (kiri) dan box corer untuk sampel biota dasar laut (kanan). (Foto: A. Nontji) Dalam Tahap Pelaksanaan, yang berlangsung dari tahun 1984-1985, dilibatkan lima kapal riset terdiri dari satu kapal riset Belanda, Tyro, dan empat kapal riset Indonesia, masingmasing Jalanidhi (dioperasikan oleh TNI-AL), Samudera (dioperasikan oleh Lembaga Oseanologi Nasional LIPI), Tenggiri (dioperasikan oleh Balai Penelitian Perikanan Laut), dan Hatiga (dioperasikan oleh Pusat Penelitian Geologi Laut). Di samping itu untuk penelitian dampak aliran Sungai Brantas dan Bengawan Solo di Jawa Timur, dikerahkan pula satu helikopter TNI-AL, dan satu pesawat ringan kecil sewaan untuk penginderaan dari udara, untuk melengkapi penginderaan dengan satelit. Dengan pengerahan sumberdaya manusia dan sarana4
sarana pendukugnya yang demikian besar dan dengan pelaksanaan ekspedisi di lapangan yang berlanjut selama setahun, maka dapat dikatakan bahwa Ekspedisi Snellius II ini merupakan ekspedisi oseanografi yang terbesar yang pernah dioperasikan bersama Indonesia-Belanda. Adapun yang menjadi tulang punggung pelaksanaan ekspedisi ini adalah kapal Tyro yang dioperasikan oleh NIOZ (Netherlands Institute for Sea Research) yang dinakodai oleh Kapten de Jong. Kapal Tyro adalah kapal arung samudra berukuran besar karena kapal ini dulunya adalah kapal pengangkut ternak yang kemudian diubah fungsinya menjadi kapal riset modern. Oleh karena itu di geladak kapal ini masih dapat ditemukan ruang-ruang terbuka luas tanpa sekat yang dulu untuk ternak, tetapi kini untuk diisi kontainer-kontainer. Keunikan kapal riset ini memang pada sistem kontainerisasi laboratoriumnya. Di kapal ini terdapat puluhan kontainer yang dapat difungsikan atau digudangkan sesuai kebutuhan. Masing-masing kontainer berupa laboratorium khusus untuk fungsi tertentu. Dalam suatu ruas pelayaran, kontainer laboratoium tertentu saja yang difungsikan, sedangkan yang tidak dipakai dapat di disimpan, atau ditumpuk di geladak atas.
Gambar 5. Wanita peneliti dari Belanda dan Indonesia dalam kontainer laboratorium bakteriologi di kapal Tyro. (Foto: A. Nontji) Tiap kontainer merupakan laboratorium khusus yang mandiri yang di dalamnya sudah dilengkapi peralatan modern sesuai fungsi laboratorium itu. Tiap kontainer laboratorium itu hanya memerlukan sambungan ke sumber listrik dan air, maka jadilah laboratorium yang fungsional. Jadi ada kontainer laboratorium untuk plankton, kontainer laboratorium untuk bakteriologi, hara, produktivitas organik, pencemaran, geologi, dsb. Apabila dalam suatu ruas 5
pelayaran ada kegiatan planktonolgi dan bakteriologi, maka kontainer laboratorium yang terkait saja yang dipasang dan difungsikan, sedangkan kontainer lainnya bisa digudangkan atau ditumpuk di geladak atas. Pada giliran lainnya, kontainer lain lagi yang akan dipasang atau disimpan. Bila ada kegiatan yang memerlukan dukungan laboratorium di pantai, maka kontainer laboratorium yang diperlukan pun dapat diturunkan ke darat. Dalam kasus penelitian pencemaran di depan Sungai Brantas dan Bengawan Solo misalnya, kontainer laboratorium pencemaran diturunkan ke darat. Asal bisa disambungkan ke sumber listrik dan air tawar di darat, maka berfungsilah laboratorium itu. Bila kegiatan telah selesai, maka kontainer laboratrium itu pun dapat dinaikkan kembali ke kapal. Kapal riset Jalanidhi, selain melaksanakan tugas riset di laut, juga sebagai kapal bantu logistik untuk menunjang kegiatan geologi darat di banyak pulau-pulau kecil volkanik yang bertebaran di perairan Busur Banda atau survei geologi di daratan pulau besar. Kapal Samudera yang berukuran lebih kecil, beroperasi di perairan yang relatif dangkal di paparan Sahul di Laut Arafura, untuk meliput kawasan paparan dangkal yang tidak dijangkau oleh Tyro, sedangkan kapal Tenggiri lebih menitik-beratkan kegiatannya pada pendugaan stock assessment perikanan di Laut Banda dengan survei akustik.
Gambar 6. Lokasi stasiun yang dikerjakan oleh kapal Tyro di Laut Banda dan oleh kapal Samudera di Laut Arafura di bulan Februari 1985 untuk Tema 1 (Sistem Pelagis) Ekspedisi Snellius II.
6
Tema 1 (geologi dan geofisika) dalam kegiatannya telah menghimpun amat banyak data dan informasi. Perekaman profil dasar laut dengan pemerum gema (echosounder) telah dilaksanakan dengan total jarak 21.000 km, profil refleksi seismik sepanjang 8.650 km, profil gaya magnetik 6.750 km, dan profil gravimetrik 4.260 km. Pengambilan sampel dasar laut dengan piston-corer dilakukan dari 85 titik stasiun, dan dengan box-corer dari 211 stasiun. Kegiatan Tema 1 ini tidak saja dilakukan di perairan lepas pantai, tetapi juga dengan pendaratan dan pendakian ke pulau-pulau volkanik (13 pulau volkanik, 10 diantaranya aktif), dan pulaupulau kecil yang “duduk” di dasar Laut Banda yang ribuan meter dalamnya. Hasil-hasil kajian Tema 1 ini dapat menjadi bahan informasi penting untuk eksplorasi sumberdaya alam laut dan pengelolaan lingkungan yang penting di Indonesia. Di samping itu juga merupakan kontribusi yang sangat signifikan dalam pengetahuan kita memahmi sistem bumi (earth system). Hasil penelitian ini telah memberikan pemahaman yang lebih jelas tentang pergerakan kerak bumi, geokimia, serta akumulasi minyak dan gas lepas pantai. Demikian pula tentang proses mineralsasi di dasar laut yang sangat penting untuk eksplorasi mineral mendatang. Hasil kajian mengenai kegunungapian (volcanism) juga akan sangat bermanfaat dalam penanganan bencana alam. Tema 2 (ventilasi lubuk-lubuk laut-dalam) meliputi kajian tentang pembilasan (flushing) di dasar lubuk-lubuk laut-dalam, pengangkatan massa air dan waktu transit, dan juga kajian khusus tenang ventilasi Teluk Kau (Halmahera) yang dasar lautnya bersifat anoksik (tanpa oksigen). Dalam kajian ini telah dikembangkan pula model-model sirkulasi untuk menjelaskan dinamika yang terjadi. Tema 3 (sistem pelagis) menitik beratkan kajiannya pada dampak perubahan musim (monsoon) terhadap sifat-sifat fisika, kimia, dan biologi di Laut Banda dan Arafura. Telah dapat diklarifikasi bahwa pada musim timur (Agustus) terjadi upwelling (penaikan air dari lapisan dalam) di Laut Banda yang menyebabkan terjadinya penyuburan lapisan permukaan yang tercermin dari suhu yang rendah, disertai salinitas yang tinggi, dan produktivitas biologis yang juga sangat tinggi. Sebaliknya pada musim barat (Februari) terjadi penenggelaman air (sinking) hingga lapisan permukaan menjadi miskin. Terjadinya perubahan mencolok yang sifatnya musiman ini tercermin pula pada hampir semua aspek yang diamati, baik fisika, kimia, biologi, maupun dari hasil survei perikanan dengan teknik akustik. Tema 4 (terumbu karang) melaksanakan kajiannya di sembilan daerah yakni di Ambon, Banda, Wakatobi, Sumba, Komodo, Flores, Taka Bonerate, Selayar dan Spermonde. Kajian mengenai terumbu karang ini adalah dalam pengertian yang luas, termasuk padang lamun 7
(seagrass bed), goba (lagoon), terumbu fossil (fossil reefs). Kajian yang dilaksanakan cukup luas, tercermin dari jumlah stasiun yang dikerjakan sebanyak 300. Topik yang diangkat sangat beragam menyangkut taksonmi, biogeografi, ekologi karang dan lamun, palaentologi, biologi ikan, dan aspek-aspek sosial-ekonomi setempat. Tema 5 (dampak sungai terhadap sistem laut) menitik beratkan penelitiannya pada dampak dari aliran Sungai Brantas dan Bengawan Solo ke perairan laut di depan muaranya, yang menyangkut aspek-aspek fisika, kimia, dan biologi. Proses sirkulasi dan sedimentasi mendapat perhatian dengan penginderaan dari udara (dengan pesawat terbang) maupun dengan penginderaan dengan satelit. Pada akhir Tahap Elaborasi (1985-1987) diselenggarakan Simposium Snellius II di Jakarta pada tanggal 23-28 November 1987, yang menandai berakhirnya ekspedisi besar ini. Hasil simposium ini yang mencerminkan capaian-capaian Ekspedisi Snellius II kemudian diterbitkan dalam jurnal ilmiah Netherlands Journal of Sea Research dalam nomor-nomor khusus, dimulai dari tahun 1988 hingga 1990, yang seluruhnya berjumlah 107 makalah. Tetapi selain itu, masih banyak lagi makalah sampingan atau susulan yang terbit di kemudian hari secara terpisah di berbagai jurnal ilmiah internasional lainnya.
PUSTAKA
Baars, M. & G. C. Cadee. 1990. Proceeding of Snellius II Symposium. Theme 3: Pelagic Systems. Introduction. Netherlands Journal of Sea Research, 25 (4): 423-424. Duinker, J. C. 1989. River input into ocean systems, Theme 5 of the Snellius-II Expedition. Netherlands Journal of Sea Research 23(4): 353-357. Gieskes, W. W. C., G. W. Kraay, A. Nontji, D. Setiapermana & Sutomo. 1990. Monsoonal differences in primary production in the eastern Banda Sea (Indonesia). Netherlands Journal of Sea Research, 25 (4) 473-483. Postma, H. 1988. Proceeding of Snellius II Symposium. Theme 2. Ventilation of deep-sea basins. Intoduction. Netherlands Journal of Sea Research, 22 (4): 314. van der Land, J. 1989. Proceeding of Snellius II Symposium. Theme 4: Coral Reefs. Introduction. Netherlands Journal of Sea Research, 23 (2):83-84. van Hinte, J. E. & H. M. S. Hartono. 1989. Proceeding of Snellius II Symposium. Executive summary of Theme 1. Geology and geophysics of the Banda Sea and adjacent areas. Netherlands Journal of Sea Research, 24 (2/3) 95-102. 8
----Anugerah Nontji 15/08/2017
9