EKSPEDISI GALATHEA 1950-1952: MENYINGKAP MISTERI KEHIDUPAN DI LAUT-DALAM
P
erang Dunia II di panggung Eropa (1938-1943) telah menyebabkan mengendurnya kegiatan eksplorasi laut, tetapi hasrat untuk meneruskannya tak pernah padam. Pasca perang telah ada beberapa ikhtiar untuk mulai
melanjutkan lagi eksplorasi laut di samudra besar dunia, tetapi tak mudah untuk bangkit kembali. Di Denmark pada bulan Mei 1948 rencana ekspedisi laut mulai kelihatan bentuknya ketika Panitia Persiapan Ekspedisi dibentuk yang diketuai oleh Pangeran Axel (paman Raja Denmark) dengan anggota terdiri dari tokoh-tokoh ilmuwan terkenal, termasuk Professor Niels Bohr (ahli fisika atom peraih Hadiah Nobel tahun 1922). Tiga tokoh kunci dalam implementasi di lapangan telah disepkati yakni Dr. Anton Bruun yang akan bertindak sebagai pimpinan ekspedisi, Kapten Svend Greve sebagai komandan kapal, dan Hakon Mielche sebagai perwira humas (public relation).
Gambar 1. Kiri: Kapal Galathea yang melaksanakan eksepdisi keliling dunia tahun 1950-1952. Kanan: Tiga pemeran utama Ekspedisi Galathea, dari kiri ke kanan: Captain Svend Greve sebagai komandan kapal; Dr. Anton Bruun sebagai pimpinan ekspedisi; Hakon Mielche sebagai periwira humas (hubungan masyarakat). Kapal yang akan digunakan bukanlah kapal baru, tetapi kapal bekas yang dulu dimiliki Angkatan Laut Inggris dengan nama HMS Leith. Kapal yang dibangun di Davenport tahun 1943 itu dalam Perang Dunia II yang lalu terlibat dalam operasi-operasi penyapuan ranjau. Setelah perang usai, kapal itu berpindah tangan ke World Friendship Association, suatu badan yang diasuh oleh Pemerintah Denmark dan diberi nama Friendship. Akhirnya kapal ini 1
diserahkan untuk melaksanakan ekspedisi ilmiah, yang akan dioperasikan oleh Angkatan Laut Denmark. Sekali lagi namanya berubah diresmikan menjadi Galathea, diambil dari nama kapal layar Denmark dengan nama yang sama, yang lebih dari 100 tahun sebelumnya pernah pula melaksanakan ekspedisi ilmiah keliling dunia. Jadi ekspedisi kelautan yang direncanakan ini sebenarnya merupakan merupakan Ekspedisi Galathea II.
Gambar 2. Lintas layar kapal Galathea di perairan Asia Tenggara tahun 1951, dan laut-dalam yang menjadi perhatian khusus ekspedisi (digambar kembali dari Galathea Report) Kapal Galathea (Gambar 1) mempunyai bobot 1.600 ton, panjang 80 m, lebar 11 m, digerakkan dengan dua mesin berkapasitas 2.000 daya kuda. Laboratorium dan berbagai alatalat ilmiah pun disiapkan di kapal. Untuk dapat menurunkan alat-alat penelitian ke dalam lautdalam digunakan mesin derek dengan kabel yang panjangnya sampai mencapai 12.000 meter. Kapal ini dapat menampung sekitar 120 orang termasuk ABK (Anak Buah Kapal) dan para peneliti. Ekspedisi ini tidak hanya diikuti oleh para peneliti Denmark, tetapi juga dari Amerika Serikat dan Swedia. Selain itu juga diikuti oleh wartawan, mahasiswa, dan ilmuwan tamu (visiting scientist) dari berbagai negara yang ikut untuk ruas pelayaran tertentu. Dua peneliti dari Lembaga Penelitian Laut, Pasar Ikan, Jakarta, yakni Dr. Hardenberg dan Veen, ikut serta untuk ruas pelayaran yang melintasi Palung Sunda (Sunda Trench) di Samudra Hindia, di sebelah selatan Jawa. Hubungan masyarakat (humas/ public relation) mendapat perhatian yang sangat penting dalam ekspedisi ini. Belum pernah sebelumnya ada ekspedisi oseanografi di dunia yang khusus 2
mengikut-sertakan dan memfasilitasi para wartawan dan kru (crew) film untuk bisa setiap saat mengirimkan berita, baik untuk konsumsi dalam negeri maupun internasional. Rakyat di Denmark dapat terus mengikuti perkembangan kegiatan dan temuan-temuan ilmiah penting ekspedisi ini langsung dari lapangan, dari berbagai penjuru samudra dunia. Informasi kehumasan ini sangat berhasil menarik perhatian publik. Tak mengherankan ketika ekspedisi ini berakhir di Copenhagen, kapal Galathea disambut sangat meriah, dielu-elukan oleh masyarakat setempat, bagai pahlawan yang baru pulang membawa kemenangan.
Gambar 3. Beberapa jenis biota dari dasar Palung Banda yang semuanya buta, tak bermata. a) Nymphon femorale (dari kedalaman 6.490-6.650 m); b) Leptanthura hendili (dari kedalaman 6.580 m); c) Microstylis hadalis (dari kedalaman 7.280 m); d) Macellicephala hadalis (dari kedalaman 7.250-7290 m). (Galathea Report) Ekspedisi Galatahea dimulai saat kapal ini bertolak dari pelabuhan Langelinie, Copenhagen, tanggal 15 Oktober 1950. Tujuan utamanya adalah meneliti lubuk-lubuk (basin) dan palung-palung (trench) laut-dalam di dunia, terutama dari aspek biologinya. Pada kala itu orang masih mempertanyakan apakah di dasar palung-palung laut terdalam di dunia ada hewan yang bisa hidup mengingat lingkungannya yang sangat ekstrim. Selain itu dilakukan pula penelitian tentang plankton, hidrografi, dan sedimen. Kajian khusus dilakukan pula untuk 3
magnetisme, sedangkan di beberapa pulau yang sangat terpencil dilakukan pula penelitian etnologi. Beberapa palung yang mempunyai kedalaman lebih dari 6.000 m mendapat perhatian khusus antara lain Palung Mindanao (Filipina), Palung Jawa/ Sunda di Samudra Hindia sebelah selatan Jawa, Palung Banda (Maluku), dan Lubuk Sulawesi (Gambar 2).
Gambar 4. Beberapa jenis teripang dari dasar laut-dalam. a) Periamna naresi (dari Palung Sunda, 7.160 m; b) Paroriza grevei (dari Palung Banda, 7.280 m); c) Elpidia sundensis (dari Palung Sunda, 6.900-7.160 m). (Galathea Report) Banyak peristiwa menarik yang ditemukan selama Ekspedisi Galathea. Salah satu peristiwa yang sangat menggemparkan adalah ketika pada bulan Juni 1951 untuk pertama kalinya berhasil dikoleksi hewan hidup dari dasar Palung Mindanao (Filipina), dari kedalaman 10.190 m, yang merupakan rekor temuan hewan dari dasar palung terdalam di dunia. Ini 4
membuktikan bahwa hewan-hewan laut itu dapat hidup dalam lingkungan yang sangat ekstrim, yakni dengan tekanan hidrostatik lebih dari 1.000 atmosfer, atau sekitar 1 ton/cm 2 (dapat diibaratkan seberat satu mobil kijang yang bertumpu pada ujung jari telunjuk) dan dalam lingkungan yang gelap gulita serta dengan suhu yang sangat dingin pula (sekitar 1 oC). Berbagai jenis hewan tertangkap dengan pukat dasar antara lain teripang, kerang, amphipod, anemun laut, cacing. Sebagian besar di antaranya merupakan jenis-jenis baru bagi ilmu pengetahuan, yang belum pernah dilihat sebelumnya oleh manusia.
Gambar 5. Ikan Typhlonus dengan kepala yang membulat besar, tak mempunyai mata, dengan organ mulut yang dapat dijulurkan bagai sekop untuk mencari makan di dasar laut. Tertangkap di Laut Sulawesi, pada kedalaman 5.090 m (Galathea Report) Dari dasar Luat Sulawesi sedalam 5.400 m dapat ditangkap pula sejenis ikan yang bentuknya aneh dari marga Typhlonus (Gambar 5). Kepalanya membulat besar tetapi lunak, tak punya mata, dan mulutnya yang berbentuk tapal kuda dapat dijulurkan bagai sekop ke dalam lumpur di dasar laut untuk mencaari makan. Ikan dengan tampilan aneh ini kemudian diberi julukan “the faceless fish” (ikan tanpa wajah).
Gambar 6. Bassogigas profundissimus (dari Palung Sunda, 5.600-7.160 m). Rekor ikan terdalam yang tertangkap dalam Ekspedisi Galathea (Galathea Report). 5
Yang paling menghebohkan adalah ketika di Palung Sunda (di selatan Jawa), dengan sekali tarik pukat dari kedalaman 7.160 m berhasil diperoleh ribuan spesimen teripang (Holothuroidea), hewan lunak yang mendominasi dasar palung ini. Temuan ini sungguh luar biasa kaya, yang tak pernah terduga sebelumnya. Selain itu juga tertangkap anemun laut, bintang laut, krustasea, cacing, kerang dan lain-lain hanya dengan satu kali penarikan pukat. Yang tak kalah menariknya adalah karena di samping hewan tingkat rendah (avertebrata) tertangkap pula ikan Bassogigas (Gambar 6). Ini merupakan rekor tersendiri karena sebelumnya belum pernah ada hewan tingkat tinggi (vertebrata) yang bisa tertangkap pada kedalaman seperti itu. Dari dasar Palung Laut Banda juga dapat dikoleksi berbagai jenis teripang, cacing, krustasea, dan sebagainya. Krustasea yang ditemukan dari lingkungan yang gelap gulita itu semua buta, tidak mempunyai mata (Gambar 3). Dari pengalaman Galathea dapat diketahui bahwa teripang (Holothuroidea) merupakan hewan yang paling dominan hidup di dasar laut-dalam. Kelangkaan sumber makanan di dasar laut-dalam memang tak dapat menunjang kehadiran hewan-hewan pemangsa. Hanya hewanhewan pemakan detritus atau partikel-partikel organik di dasar laut seperti teripang yang paling cocok dalam lingkungan dasar laut-dalam,
Gambar 7. Kiri: Claude Zobell, perintis penelitian bakteri laut, merupakan orang pertama yang meneliti bakteri laut di Indonesia. Kanan: salah satu pojok laboratorium di kapal Galathea. (Galathea Report) Keikutsertaan Professor Claude Zobell dari University of California, Amerika Serikat, seorang tokoh besar dalam bidang mikrobiologi laut (marine microbiology) dalam ekspedisi ini, menorehkan sejarah tersendiri. Penelitiannya dalam ekspedisi ini merupakan terobosan (epoch making) dalam kajian bakteri di bawah tekanan tinggi. Ia adalah ilmuwan pertama yang berhasil 6
membiakkan bakteri dalam suatu wadah bertekanan tinggi (high pressure chamber) yang menyamai tekanan seperti pada kedalaman di palung laut-dalam dengan tekanan 1.000 atmosfer. Ia membuktikan adanya bakteri barofilik (yang suka pada tekanan tinggi) yang hidup di dasar palung laut-dalam. Bakteri ini juga merupakan sumber karbon yang penting dalam fungsi ekosistem laut-dalam. Ia juga menemukan bahwa bakteri yang hidup dalam kolom air tidak sekaya dengan yang hidup di sedimen dasar laut-dalam. Dari Ekspedisi Galathea ini, Zobell juga merupakan ilmuwan pertama yang meneliti bakteri di lingkungan laut Indonesia, yang hasilnya dituangkannya dalam tulisannya: Occurennce and importance of bacteria in Indonesian waters, yang diterbitkan tahun 1952 dalam Journal of Scientific Research, Indonesia. Pengambilan sampel fauna dasar laut secara kuantitatif untuk
menunjukkan
kerapatannya (density) bukanlah hal yang mudah dilaksanakan untuk laut yang ribuan meter dalamnya. Para peneliti Ekspedisi Galathea telah mengembangkan alat bottom grab yang merupakan modifikasi dari Pettersen grab untuk dicobakan di laut-dalam. Ternyata Galathea adalah perintis yang pertama kali berhasil melakukan sampling kuantitatif itu pada kedalaman lebih 6.000 m, dan itu dilaksanakan di Laut Banda (Maluku) pada kedalaman 7.280 dan 6.580 m. Terobosan lain dari Ekspedisi Galahea adalah dalam pengukuran produktivitas organik alga fitoplankton di samudra dunia. Steemann Nielsen adalah perintis dalam pengukuran produktivitas
organik
di
laut
dengan
menggunakan metode perunut (tracer) karbon radio aktif (C14) dalam proses fotosintesis. Dengan metode ini kemampuan samudra untuk menghasilkan bahan organik dapat diukur. Metode ini kemudian hari menjadi metode standar yang digunakan di seluruh dunia. Dari pengukuran produktivitas yang dilakukannya keliling dunia dalam Ekspedisi Galathea, Steemann Nielsen mengindikasikan bahwa produksi total alga fitoplankton di seluruh laut
Gambar 8. Pengukuran radiasi sinar matahari di geladak kapal Galathea untuk pengukuran produktivitas organik primer di laut. Ekspedisi Galathea adalah yang pertama melakukan pengukuran produktivitas primer di perairan Indonesia (Galathea Report).
di bumi ini kurang lebih setara dengan produksi total tumbuhan di darat. Informasi ini merupakan suatu terobosan baru karena sebelumnya tidak 7
pernah diketahui seberapa besar kemampuan samudra di bumi ini untuk menghasilkan bahan organik. Penelitian perdananya di perairan Indonesia dalam Ekspedisi Galathea merupakan data awal (base line) bagi penelitian lanjutan mengenai produktivitas organik di laut Nusantara yang di kemudian hari dilanjutkan oleh Lembaga Penelitian Laut, Jakarta (sekarang Pusat Penelitian Oseanografi LIPI) dalam kerjasasama dengan University of Hawaii. Tanggal 29 Juni 1952, atau lebih satu setengah tahun sejak Galathea memulai ekspedisinya keliling dunia, ekspedisi ini
pun berakhir. Pelayaran panjang yang telah
ditempuhnya mencatat jarak total 63.700 mil atau 116.500 km, hampir setara dengan tiga kali keliling bumi di garis katulistiwa. Namun sebagaimana ekspedisi-ekspedisi laut lainnya, pekerjaan besar justru menanti setelah pelayaran usai. Hasil akhir pengolahan data dan informasi dilaporkan dalam Galathea Report sebanyak 18 volume, teridiri dari sekitar 100 naskah (kebanyakan berupa monografi), ditulis oleh sekitar 65 spesialis dari Denmark dan dari berbagai negara lainnya. Di samping itu sekitar 300 makalah ilmiah lainnya, yang menggunakan material dari Ekspedisi Galathea, diterbitkan dalam berbagai media lainnya. Selain penerbitan yang sifatnya teknis ilmiah, telah diterbitkan pula berbagai buku populer untuk konsumsi publik, dan untuk bahan pendidikan. Demkian pula dalam berbagai produk berupa film.
PUSTAKA
Bruun, A. F. 1959. General introduction to the reports and list of deep-sea stations. Galathea Report Vol. 1.Scintific Results of the Danish Deep-sea Expedition Round the World 1950-52. Copenhagen 1959. Bruun, A. F., S. Greve & H. Mielche. 1953. The Galathea Deepsea Expedition 1950-1952. George Allen and Darwin, London. Nielsen, E. S. & E. A. Jensen. 1959. Primary oceanic production. The autotrophic production of organic matter in the oceans. Report Vol. 1.Scintific Results of the Danish Deep-sea Expedition Round the World 1950-52. Copenhagen 1959. Nontji,
A. 2005. Laut Nusantara. Cetakan keempat (Edisi Revisi). Penerbit Djambatan, Jakarta: 372 hlm.
Nontji, A. 2009. Penjelajahan dan Penelitian Laut Nusantara dari Masa ke Masa. Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia: 433 hlm. Zobell, C. E. 1952. Occurrence and importance of bacteria in Indonesian waters. Journal of Scientific Research Indonesia, 1: 2-6. 8
Zobell, C. E. & R. Y. Morita. 1959. Deep-sea bacteria. Report Vol. 1.Scientific Results of the Danish Deep-sea Expedition Round the World 1950-52. Copenhagen 1959.
-----
Anugerah Nontji 01/08/2017
9