Eksistensi Bulimia Nervosa Pada Remaja Dekade Ini Oleh: Ni Made Karisma Wijayanti Gangguan Makan sebagai Gangguan Kejiwaan Kebutuhan dasar manusia untuk bertahan hidup salah satunya adalah pemenuhan nutrisi terhadap tubuh karena dalam hierarki Maslow kebutuhan fisiologis salah satunya yaitu makan (sandang pangan) merupakan salah satu hal yang harus terpenuhi sebelum kebutuhan-kebutuhan lain seperti aktualisasi diri, kebutuhan dicinta, sayang dan kepemilikan, serta kebutuhan akan rasa aman terpenuhi. Ketika seorang individu memilih untuk membatasi asupan nutrisi ke dalam tubuhnya, kemungkinan besar yang terjadi adalah gangguan kejiwaan pada individu tersebut. Gangguan kejiwaan yang diakibatkan oleh kurangnya asupan nutrisi ke dalam tubuh disebut dengan gangguan makan. Gangguan makan dalam DSM IV disebutkan bahwa penyimpangan perilaku makan individu yang diakibatkan oleh persepsi salah akan suatu bentuk tubuh proposional. Gangguan makan atau yang disebut dengan Eating Disorder diklasifikasikan menjadi dua oleh DSM IV, yaitu Anorexia Nervosa dan Bulimia Nervosa. Anorexia Nervosa didefinisikan sebagai perilaku menolak untuk mempertahankan bentuk tubuh normal, sedangkan Bulimia Nervosa didefinisikan sebagai episode pengulangan dari binge eating atau makan tanpa memperhatikan jumlah, komposisi dan manfaat makanan diikuti
dengan
perilaku
kompensasi
yang
abnormal,
seperti
memuntahkan,
penyalahgunaan obat pencahar, penggunaan zat laxative dan diuretic, puasa, dan olahraga berlebihan. Menurut Syafiq dan Tantiani di Indonesia 34,8 % remaja mengalami perilaku makan menyimpang dengan spesifikasi 11,6% menderita anoreksia nervosa dan 27% menderita bulimia nervosa. Penelitian yang dilakukan oleh Kurnia di salah satu sekolah menengah atas di Jakarta juga meyebutkan sebanyak 88,5% remaja memiliki kecenderungan perilaku makan menyimpang dengan spesifikasi 11,8% cenderung pada anorexia nervosa, 23,3% cenderung pada bulimia nervosa, 5% pada binge eating dan 48,5% pada EDNOS dalam (Hapsari, 2009). Definisi, Dampak, dan Tipe Bulimia Nervosa Kebiasaan makan pada remaja menyatakan remaja mempunyai kecenderungan untuk mengkonsumsi makanan di luar rumah atau sekolah, memilih makanan yang dianggap populer dan meningkatkan rasa percaya diri, serta mempunyai kebiasaan makan tidak
teratur. Kebiasaan makan yang kurang baik seperti makan yang tidak teratur, mengurangi jumlah porsi makan yang sangat ekstrem, melakukan diet dengan cara yang salah pada remaja dikarenakan keinginan untuk terlihat langsing dan memiliki berat badan yang ideal, khususnya pada remaja putri seringkali menimbulkan gangguan makan (eating disorder). Gangguan makan hadir ketika seseorang mengalami gangguan dalam tingkah laku makan, seperti mengurangi jumlah asupan makanan dengan ekstrem atau makan yang berlebihan tanpa memikirkan jumlah dan manfaat makanan yang dimakan. Gangguan makan juga bisa muncul dari perasaan menderita atau keprihatinan tentang berat atau bentuk tubuh yang tidak ideal. Seseorang dengan gangguan makan mungkin berawal dari mengkonsumsi makanan lebih sedikit atau lebih banyak daripada biasa, tetapi pada tahap tertentu, keinginan untuk makan lebih sedikit atau lebih banyak terus menerus di luar keinginan (American Psychiatric Association [APA], 2005). Seperti pada ulasan sebelumnya, gangguan makan tersebut termasuk ke dalam gangguan kejiwaan dimana dalam beberapa kasus gangguan makan akan diiringi dengan gangguan kejiwaan yang lain seperti depresi, ansietas, penyalahgunaan zat, BDD (Body Dismorphic Dissorder). Gangguan makan diklasifikasikan dalam gangguan jiwa karena gangguan makan dapat mengganggu fungsi kehidupan sosial dari individu tersebut. Gangguan makan dalam DSM IV dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar yaitu Anorexia Nervosa dan Bulimia Nervosa. Dampak yang ditimbulkan oleh bulimia nervosa sepertikerusakan enamel gigi dan penurunan kalsium darah membuat bulimia nervosa menarik untuk diulas. Bulimia Nervosa untuk diagnosis pasti dibutuhkan beberapa gejala seperti terdapat preokupasi yang menetap untuk makan, dan ketagihan (craving) terhadap makanan yang tidak bisa dilawan. Dalam perjalanannya, penderita seringkali tidak berdaya terhadap datangnya episode makan yang berlebihan dimana makanan dalam jumlah yang besar dimakan dalam waktu yang singkat. Pasien berusaha melawan efek kegemukan dengan salah satu atau lebih cara seperti merangsang muntah oleh diri sendiri, menggunakan obat pencahar yang berlebihan, puasa berkala, memakai obatobatan seperti penekan nafsu makan, sediaan tiroid atau diuretika. Bulimia nervosa memiliki 2 tipe yaitu purging type dan non purging type. Purging type atau yang disebut dengan tipe pengurasan adalah dimana individu makan dengan jumlah yang sangan besar kemudian memuntahkannya dengan cara memasukkan jari kedalam mulut dan merangsang agar terjadi muntah. Di samping itu, beberapa individu juga biasa menggunakan obat pencahar yang berlebihan. Sedangkan, non purging type
atau yang disebut dengan non pengurasan adalah perilaku kompensasi yang dilakukan individu dengan cara berpuasa (tidak makan) dan olahraga yang berlebihan atau di luar batas kemampuan. Gejala psikopatologinya terdiri dari ketakutan yang luar biasa akan kegemukan dan penderita mengatur sendiri batasan yang ketat dari ambang berat badannya yang justru dapat mengganggu kesehatannya. Meskipun penderita memiliki gejala yang mirip dengan gejala gangguan depresif, namun bulimia nervosa tidak dikelompokkan ke dalam gangguan alam perasaan depresi. Bulimia nervosa merupakan salah satu gangguan makan yang onsetnya dimulai pada masa remaja akhir atau masa dewasa awal, 90% kasusnya adalah perempuan dimana bulimia nervosa ini biasanya terjadi pada seorang remaja yang tergolong obesitas, contohnya hal ini sering terjadi dalam masyarakat ketika dalam lingkungan sehari-hari ukuran pakaian yang wajar adalah 8 maka seorang gadis yang memiliki ukuran pakaian 12 makan gadis tersebut akan merasa berbeda dibanding dengan lingkungan teman sebayanya, hal ini seringkali menjadi pemicu individu untuk melakukan diet. Faktor risiko lain yang terkait dengan gangguan makan adalah ejekan yang berhubungan dengan berat badan yang sangat lazim di kalangan anak remaja. Remaja yang kelebihan berat badan melaporkan derajat frekuensi ejekan yang lebih tinggi berbanding kawan sebaya dengan berat badan sedang (Neumark-Sztainer et al, 2002). Dalam penelitian 19% remaja perempuan dengan berat badan sedang dan 13% remaja laki-laki dengan berat badan yang sedang dilaporkan telah diejek mengenai berat badan mereka sekurang-kurangnya beberapa kali dalam masa setahun, manakala >45% daripada remaja perempuan dan lelaki dengan kelebihan berat badan melaporkan frekuensi ejekan mengenai berat badan mereka dalam masa 24 jam atau lebih dalam beberapa bulan untuk mengurangi berat badan, dan >11% perempuan dan 7% lelaki dilaporkan mengambil pil diet, bubuk, atau cairan dalam beberapa bulan (Grunbaum et al, 2004), 8% perempuan dan hampir 4% lelaki dilaporkan memuntahkan atau mengambil obat pencuci perut (diuretik) dalam beberapa bulan untuk menurunkan berat badan (Grunbaum et al, 2004).
Gunjingan Lingkungan Memicu Untuk Mengawali Bulimia Nervosa Secara singkat, penderita bulimia nervosa ini biasanya diawali oleh gangguan mental emosional berupa stres dan rangsangan emosi negatif yang dimiliki dalam diri individu. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, terkadang emosi negatif muncul akibat respon yang diberikan oleh lingkungan terhadap penderita. Respon tersebut daoat
berupa ejekan bahkan hinaan yang diterima oleh penderita bulimia terhadap bentuk tubuh yang dimiliki. Hal ini tentunya akan menciptakan konsep diri yang buruk bagi penderita. Maka, timbullah keinginan penderita untuk menurunkan porsi makan seharihari hingga secara tidak disadari penderita telah memasuki gejala purging type dari bulimia nervosa. Adapun gejala-gejala yang muncul dari penderita bulimia nervosa berupa inflamasi kronis dan sakit tenggorokan, pembengkakan kelenjar di leher dan di bawah rahang, robekan enamel gigi dan meningkatnya kepekaan dan kerusakan gigi akibat daripada pemaparan terhadap asam perut, penyakit refluks gastroesofagus, intestinal distress dan iritasi akibat penyalahgunaan obat cuci perut, masalah pada ginjal akibat penyalahgunaan obat diuretik, dan dehidrasi berat karena kekurangan cairan dari tubuh (APA, 2005). Penyebab perilaku makan menyimpan belum dapat diketahui secara pasti karena bukan hanya terkait masalah kesehatan namun juga masalah psikis penderita. Penderita cenderung memiliki rasa kepercayaan diri yang rendah karena merasa mereka tidak memiliki bentuk tubuh yang kurus dan langsing (eating disorder ventures, 2006). Selain itu, perilaku orang tua dapat mempengaruhi timbulnya perilaku makan menyimpang. Faktor genetik, kepercayaan diri yang rendah, pola makan dan citra tubuh juga merupakan sebagian dari faktor penyebab perilaku menyimpang ( treasure dan murphy, 2005 dalam gibney, et al, 2005). Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Louge (1998), Krummel (1996) dan McComb (2001), penyebab perilaku makan menyimpang diantaranya latar belakang etnis informan, pengaruh citra tubuh dan konsep diri, stress, pegaruh media massa, masalah keluarga, pengalaman pelecehan seksual di masa lalu, adanya aggota keluarga lain yang bermasalah dengan berat badan, faktor sosial ekonomi, budaya, genetik, teman sebaya, pekerjaan, ketakutan menjadi dewasa, acuan makanan,tren makanan dan pola asuh keluarga. Dampak Bulimia Nervosa Bulimia Nervosa yang terkadang dianggap remeh ternyata tidak dapat ditanggapi dengan tidak serius. Hal tersebut diakibatkan oleh dampak-dampak fisiologis yang diakibatkan oleh pengurasan isi lambung secara paksa tersebut. Gangguan GI track bisa terjadi pada penderita bulimia, seperti perut kembung, flatulensi, konstipasi, keterlambatan pengosongan lambung (peristaltik menurun) apabila hal ini terjadi terutama pada kaum wanita maka bulimia nervossa bisa dijadikan different diagnosa. Pasien yang mengalami muntah berlebihan biasanya mengalami erosi pada email gigi,
terutama pada permukaan lidah, bagian belakang lidah (karena sering terkena gesekan oleh jari untuk menginduksi muntah), dan sialadenosis (noniflamatory saliva glands enlargement) sekitar 10-66% yang secara medis seharusnya disebabkan oleh kelainan sistemik seperti diabetes mellitus, alakoholik, anoreksia nervosa, dan bullimia nervosa. Tidak seperti anoreksia nervosa, pada bulimia nervosa tidak terjadi gangguan densitas mineral tulang. Hanya saja gangguan densitas tulang ini tergantung pada usia menarche, amenorrhhea, dan berat badan (semakin kurus semakin beresiko). Terapi Psikologis dan Farmakoterapi Mengatasi Bulimia Nervosa Bulimia nervosa yang diakibatkan oleh pengaruh lingkungan maupun gangguan konsep diri penderita tidak dapat diatasi hanya dengan farmakoterapi. Gangguan kejiwaan ini akan menjadi efektif pengatasannya jika diatasi dengan psikoterapi. Salah satu terapi yang dapat digunakan dalam menurunkan tingkat keparahan bulimia nervosa yakni Terapi CBT (Cognitive behavioral therapy). Terapi
CBT (Cognitive behavioral
therapy) merupakan terapi psikologis yang memiliki tujuan menghentikan makanan yang berlebihan yang dapat menyebabkan muntah dan mengubah sikap pasien terhadap makanan. Metode CBT memiliki 3 fase yang memerlukan waktu khusus. Dalam 20 minggu terapi pada fase pertama, pasien diajarkan tentang konsep umum bulimia nervosa seperti faktor-faktor yang menyebabkan penyakit ini. Selain itu, secara singkat juga diajarkan tentang tindakan pengaturan frequensi dan pola makan dengan cara menghindari makan sebanyak-banyaknya serta memberikan pengetahuan tentang purging pada fase terapi ini. Pada fase kedua, pasien diajarkan tentang kebebasan dalam memilih makanan. Dalam fase ini, pasien diberi tambahan waktu untuk memperbaiki makanan disfungsional dalam tubuh dengan mngikuti beberapa pola pikirnya maupun pendapatnya tentang kesehatan gizi makanan yang dia konsumsi. Setelah fase dilewati, dilanjutkan dengan fase ketiga. Pada fase ketiga, tujuan utama yang ingin dicapai adalah adanya maintenance dan mencegah kekambuhan. Pada fase ini, kembali dibutuhkan peran lingkungan sosial seperti keluarga pasien untuk membantu mengawasi terapi pasien. Penelitian menyebutkan bahwa dengan terapi CBT (Cognitive behavioral therapy) ini didapatkan 45 % pasien dinilai mengalami stopped bingeing and purging dan 35 % lainnya tidak lagi memenuhi kriteria bulimia nervosa. Namun, 31 %- 44% pasien mengalami kekambuhan dalam waktu 4 bulan setelah terapi CBT (Cognitive behavioral therapy). Kekambuhan ini diduga diakibatkan oleh
motivasi rendah selama terapi dan makanan yang terlalu khusus yang menyebabkan peningkatan frequensi muntah sebelum terapi. Dalam perjalanannya, biasanya terapi CBT mengalami hambatan. Jika hambatan yang didapat sudah tidak dapat diatasi lagi, maka farmakoterapi bisa dijadikan pilihan selanjutnya. Bulimia nervosa membutuhkan farmakologi obat fluoxetine dengan dosis 60mg per hari. Obat ini mempunyai efek dapat menurukan respon muntah dan memperbaiki gangguan makan. Fluoxetine dilaporkan dapat menurunkan respon muntah dan memperbaiki gangguan makanan dalam 4 minggu dalam terapi. Pada penggunaan terapi fluoxetine selama 1 tahun, dilaporkan dapat menurunkan kekambuhan dan efeknya lebih tinggi daripada placebo dan obat bulimia lainnya. Sampai saat ini, hanya fluoksetin yang merupakan satu-satunya obat yang dibenarkan oleh U.S Food and Drug Administration sebagai terapi Bulimia Nervosa. Pemberian kombinasi CBT dengan obat fluoxetine terbukti lebih unggul dari pada pemberian CBT saja atau obat fluoxetine saja. Apabila kedua pengobatan dikombinasin memiliki efek menurunkan frekuensi dan keparahan muntah serta dapat mengurangi gangguan makan. Pada penelitian terbaru dilaporkan pasien yang sudah diterapi dengan kombinasi CBT dan obat fluoxetine dapat memperbaiki penyesesuaian dalam lingkungan sosial yang lebih baik hingga 10 tahun setelah menerima terapi kombinasi tersebut bila dibandingkan dgn terapi bulimia lainnya. Namun jauh di balik itu semua, tenaga kesehatan seharusnya mampu mempertimbangkan dalam merujuk pasien ke perawatan lebih khusus pada pasien gangguan makanan yang persisten, gangguan psikis, apalagi jika sampai beresiko melakukan perilaku yang merugikan diri sendiri seperti keinginan bunuh diri.
DAFTAR PUSTAKA Goldman H. H. Review of General Psychiatry, 4 thEdition, Prentice Hall International Inc, Baltimore, USA, 1994 ; 360-3. Kaplan H. I, Saddock B. J, Grabb J. A. Sinopsis Psikiatri, Edisi Tujuh, Jilid 2, Penerbit Binarupa Aksara, Jakarta, 1997 ; 187-93. Kaplan H. I, Saddock B. J, Grabb J. A. Sinopsis of Psychiatry, 7 thEdition, Volume 2, Penerbit Binarupa Aksara, Jakarta, 1997 ; 685-8. Kaplan H. I, Saddock B. J. Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat, Penerbit Widya Medika ; 175. Maslim, Rusdi. (2001). Diagnosa Gangguan Jiwa PPDGJ-III.
TUGAS ESAY GANGGUAN JIWA
Oleh:
NI LUH DIAH PRADNYA KERTHIARI NIM. 1302105036
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
2014
TUGAS ESAY GANGGUAN JIWA
Oleh:
NI MADE KARISMA WIJAYANTI NIM. 1302105032
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA 2014