<strong>EKSEKUTIF REVIEW TERHADAP PERATURAN DAERAH
<strong>PASCA UU NOMOR 12 TAHUN 2011
<strong>Oleh : R. Septyarto Priandono, SH.
�
<strong>A. <strong>Pendahuluan
Eksekutif review merupakan� istilah yang digunakan oleh pakar-pakar hukum untuk menyebut kewenangan pejabat atau badan administratif negara untuk melakukan hak uji �(toetsingsrecht) terhadap peraturan perundang-undangan.� Di dalam literatur, terdapat 3 (tiga) kategori pengujian peraturan perundang-undangan (dan perbuatan administrasi negara), yaitu[1]:
1.������ Pengujian oleh badan peradilan (judicial review);
2.������ Pengujian oleh badan yang sifatnya politik (political review); dan
3.������ pengujian oleh pejabat atau badan administrasi negara (eksekutive review).
Jimly Asshdiqie menyatakan pengujian peraturan perundang-undangan dari segi subjeknya terdiri atas[2]:
B.����� Pengujian oleh lembaga eksekutif yang dapat disebut executive review;
C.����� Pengujian oleh lembaga legislatif dapat disebut legislative review; dan
D.����� Pengujian oleh lembaga peradilan disebut judicial review.
Adapun hak uji tersebut terdiri dari 2 (dua) macam, yaitu[3] :
1.��� hak menguji formil (formele toetsingsrecht),
2.��� hak menguji materiil (materiele toetsingrecht).
Di Indonesia, eksekutif review diwujudkan dalam bentuk pengujian terhadap Peraturan Daerah yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri terhadap Peraturan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota, serta Pemerintah Provinsi terhadap Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Eksekutif review merupakan bagian dari sistem pengawasan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, khususnya pengawasan terhadap produk legislasi daerah. Pengawasan terhadap produk legislasi daerah (Peraturan Daerah) dilakukan agar materi muatan sebuah Peraturan Daerah tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dan tidak bertentangan dengan kepentingan umum[4].
Pengawasan terhadap produk legislasi daerah tersebut diatur dalam beberapa Peraturan Perundang-undangan, antara lain:
3.��� Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah.
Selain Undang-Undang yang disebutkan diatas, pengawasan terhadap Peraturan Daerah juga termuat di dalam berbagai Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri.
Pada dasarnya pengawasan yang dilakukan tersebut terbagi menjadi dua yaitu pengawasan preventif dan represif. Pengawasan preventif dilakukan pada saat produk legislasi masih berbentuk Rancangan Peraturan Daerah, sedangkan pengawasan represif dilakukan pada saat produk legislasi telah ditetapkan sebagai Peraturan Daerah.
Khusus di dalam pengawasan represif, proses pengawasan dapat berujung pada pembatalan Peraturan Daerah yang ditetapkan oleh Peraturan Presiden (Pasal 145 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Pada perkembangannya, pembatalan Peraturan Daerah tersebut justru tidak dilakukan melalui Peraturan Presiden melainkan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri.
Eksekutif review yang berujung pada pembatalan Peraturan Daerah melalui Peraturan Presiden (yang akhirnya menjadi Keputusan Menteri Dalam Negeri) sebenarnya telah menjadi perdebatan di kalangan politisi, praktisi, dan akademisi.� Hal tersebut dinilai tidak sejalan dengan penafsiran argumentum a contrario (a
1/5
EKSEKUTIF REVIEW TERHADAP PERATURAN DAERAH PASCA UU NOMOR 12 TAHUN 2011 Kamis, 29 September 2011 13:49 - Terakhir Diupdate Selasa, 04 Oktober 2011 08:47
contrario), yaitu penafsiran atau penjelasan undang-undang yang didasarkan pada pengertian sebaliknya dari suatu peristiwa konkrit yang dihadapi dengan suatu peristiwa konkrit yang telah diatur dalam undang-undang. Di dalam argumentum a contrario ditafsirkan bahwa pembatalan sebuah keputusan hanya dapat dilakukan oleh pejabat/lembaga yang membentuk keputusan tersebut.
Lalu bagaimana bentuk eksekutif review pasca diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 khususnya terhadap Pasal 145 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004?
�
<strong>B. <strong>Pengawasan Preventif dan Pengawasan Represif Terhadap Peraturan Daerah.
Pengawasan preventif dilakukan melalui evaluasi oleh Menteri Dalam Negeri terhadap Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan oleh Gubernur terhadap Rancangan Peraturan Daerah �Kabupaten/Kota tentang:
a.��� Pajak daerah;
b.��� Retribusi Daerah;
c.��� Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
d.��� Rencana Umum Tata Ruang; dan
Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah pajak dan retribusi daerah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 157 sampai dengan Pasal 159. Yaitu, Rancangan Peraturan Daerah provinsi tentang Pajak dan Retribusi yang telah disetujui bersama oleh gubernur dan DPRD provinsi sebelum ditetapkan disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal persetujuan dimaksud. Sedangkan Rancangan Peraturan Daerah kabupaten/kota tentang Pajak dan Retribusi yang telah disetujui bersama oleh bupati/walikota dan DPRD kabupaten/kota sebelum ditetapkan disampaikan kepada gubernur dan Menteri Keuangan paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal persetujuan dimaksud.
Selanjutnya Menteri Dalam Negeri dan Gubernur sesuai kewenangannya melakukan evaluasi terhadap Rancangan Peraturan Daerah untuk menguji kesesuaian Rancangan Peraturan Daerah dengan kepentingan umum, dan/atau peraturan perundangundangan lain yang lebih tinggi. �Evaluasi tersebut dilakukan berkoordinasi dengan Menteri Keuangan yang hasilnya dapat berupa persetujuan atau penolakan. Kemudian hasil� evaluasi disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri kepada gubernur untuk Rancangan Peraturan Daerah provinsi dan oleh gubernur kepada bupati/walikota untuk Rancangan Peraturan Daerah kabupaten/kota dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak diterimanya Rancangan Peraturan Daerah dimaksud.
Hasil evaluasi berupa penolakan disampaikan dengan disertai alasan penolakan. Sedangkan dalam hal hasil evaluasi berupa persetujuan, Rancangan Peraturan Daerah dimaksud dapat langsung ditetapkan. Dalam hal hasil evaluasi berupa penolakan, Rancangan Peraturan Daerah dimaksud dapat diperbaiki oleh gubernur, bupati/walikota bersama DPRD yang bersangkutan, untuk kemudian disampaikan kembali kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan untuk Rancangan Peraturan Daerah provinsi dan kepada gubernur dan Menteri Keuangan untuk Rancangan Peraturan Daerah kabupaten/kota.
Pengawasan Represif terhadap Peraturan Daerah tentang Pajak dan Retribusi diatur dalam Pasal 158 Undang-Undang Nomor 28 tahun 2004, yang mana Peraturan Daerah telah ditetapkan oleh gubernur/bupati/walikota disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah ditetapkan. Dalam hal Peraturan Daerah bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundangundangan yang lebih tinggi, Menteri Keuangan merekomendasikan pembatalan Peraturan Daerah dimaksud kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. Penyampaian rekomendasi pembatalan oleh Menteri Keuangan kepada Menteri Dalam Negeri dilakukan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal diterimanya Peraturan Daerah. Berdasarkan rekomendasi pembatalan yang disampaikan oleh Menteri Keuangan, Menteri
2/5
EKSEKUTIF REVIEW TERHADAP PERATURAN DAERAH PASCA UU NOMOR 12 TAHUN 2011 Kamis, 29 September 2011 13:49 - Terakhir Diupdate Selasa, 04 Oktober 2011 08:47
Dalam Negeri mengajukan permohonan pembatalan Peraturan Daerah dimaksud kepada Presiden.
Keputusan pembatalan Peraturan Daerah ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak diterimanya Peraturan Daerah. Paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah keputusan pembatalan, Kepala Daerah harus memberhentikan pelaksanaan Peraturan Daerah dan selanjutnya DPRD bersama Kepala Daerah mencabut Peraturan Daerah dimaksud. Jika provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Peraturan Daerah dengan alasan-alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, Kepala Daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung. Jika keberatan dikabulkan sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Jika Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Peraturan Daerah, Peraturan Daerah dimaksud dinyatakan berlaku.
Pemerintah juga memberikan sanksi bagi Pemerintah Daerah yang melanggar ketentuan di dalam Pasal 157 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 158 ayat (1) dan ayat (6) oleh Daerah dikenakan sanksi berupa penundaan atau pemotongan Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil atau restitusi.
Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD diatur di dalam Pasal 185 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Yaitu, Untuk Rancangan Peraturan Daerah provinsi tentang APBD yang telah disetujui bersama dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh Gubernur paling lambat 3 (tiga) hari disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk dievaluasi.
Hasil evaluasi disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri kepada Gubernur paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak diterimanya rancangan dimaksud. Apabila Menteri Dalam Negeri menyatakan hasil evaluasi rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD sudah sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi, Gubernur menetapkan rancangan dimaksud menjadi Peraturan Daerah dan Peraturan Gubernur.
Jika Menteri Dalam Negeri menyatakan hasil evaluasi rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Gubernur bersama DPRD melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak diterimanya hasil evaluasi. Jika hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh Gubernur dan DPRD, dan Gubernur tetap menetapkan rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD menjadi Peraturan Daerah dan Peraturan Gubernur, Menteri Dalam Negeri rnembatalkan Peraturan Daerah dan Peraturan Gubernur dimaksud sekaligus menyatakan berlakunya pagu APBD tahun sebelumnya[5].� Disini Justru Menteri Dalam Negerilah yang menjalankan kewenangan pengawasan represif untuk membatalkan Peraturan Daerah bukan lagi melalui Peraturan Presiden.
Terhadap Rancangan Peraturan Daerah kabupaten/kota tentang APBD yang telah disetujui bersama dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh Bupati/Walikota paling lama 3 (tiga) hari disampaikan kepada Gubernur untuk dievaluasi. �Tahapan evaluasi tersebut berlaku dengan mekanisme waktu yang sama seperti Peraturan Daerah Provinsi.
Sedangkan pengawasan represif dilakukan jika hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh Bupati/Walikota dan DPRD, dan Bupati/Walikota tetap menetapkan rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang penjabaran APBD menjadi Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati/Walikota, Gubernur membatalkan Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati/Walikota dimaksud sekaligus menyatakan berlakunya pagu APBD tahun sebelumnya.
Untuk Evaluasi Rancangan
3/5
EKSEKUTIF REVIEW TERHADAP PERATURAN DAERAH PASCA UU NOMOR 12 TAHUN 2011 Kamis, 29 September 2011 13:49 - Terakhir Diupdate Selasa, 04 Oktober 2011 08:47
Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang dan Wilayah berlaku mekanisme yang sama dengan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD.
�
<strong>C. <strong>Eksekutif Review di Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Pengundangan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menjadikan keberadaan eksekutif review digugat kembali, khususnya terhadap mekanisme pembatalan Peraturan Daerah oleh Presiden.� Hal ini disebabkan rumusan Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang berbunyi:
<em>Pasal 9
<em>(1) <em>Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-undang Dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.
(2)� <em>Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Di dalam hierarkhi peraturan perundang-undangan, Peraturan Daerah merupakan salah satu peraturan perundang-undangan yang tata urutannya di bawah Undang-Undang.
Sebagaimana ditafsirkan bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai satu-satunya lembaga yang dapat melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, maka Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 seharusnya juga dimaknai sama.� Itu artinya pengujian terhadap Peraturan Daerah yang diduga bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi atau kepentingan umum, baik itu secara formil maupun materiil, hanya dapat dilakukan di Mahkamah Agung.
Dengan demikian dapat dikatakan Pemerintah Pusat sudah tidak memiliki lagi apa yang dinamakan pengawasan represif, karena Pasal 9 ayat (2) tersebut berlaku umum dan tidak membedakan subjek penduga, maka jika Pemerintah Pusat atau Pemerintah Provinsi menilai sebuah Peraturan Daerah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau kepentingan umum maka juga harus meminta pengujian di Mahkamah Agung. Dengan kata lain, Pemerintah hanya dapat melakukan pengawasan preventif yaitu pada saat produk legislasi daerah masih berbentuk Rancangan Peraturan Daerah.
Jika berpegang pada teori lex posteriore derogate lex priore maka seharusnya Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 secara otomatis menghapus atau menghilangkan daya guna ketentuan Pasal 145 dan Pasal 185 ayat (5) �Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sehingga kewenangan untuk melakukan pengawasan represif terhadap Peraturan Daerah tidak secara absolut dapat dilakukan oleh Pemerintah, melainkan harus melalui Mahkamah Agung.
Jika berpegang pada teori Lex Specialis derogate lex generalis maka seharusnya ketentuan Pasal 145 dan Pasal 185 ayat (5) di Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menjadi tidak berlaku karena Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 merupakan pengaturan umum tentang pemerintahan daerah yang sebagian kecil di dalamnya memuat aturan tentang pembentukan peraturan perundang-undangan yang secara khusus di atur kemudian di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
�
D.�� Eksekutif Review Pasca Undang-Undang Nomor 12� Tahun 2011.
Tidak mudah bagi Pemerintah untuk dapat menerima kenyataan bahwa sebenarnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 hanya menganut sistem Judicial Review di dalam pengujian peraturan perundang-undangan.� Akan banyak alasan-alasan yang akan diajukan untuk mengingkari hal tersebut sehingga pembatalan Peraturan Daerah tetap dapat dilakukan oleh Pemerintah Pusat sehingga Pemerintah Pusat tetap memiliki kontrol terhadap Daerah.
Tetapi sudah seharusnya Pemerintah
4/5
EKSEKUTIF REVIEW TERHADAP PERATURAN DAERAH PASCA UU NOMOR 12 TAHUN 2011 Kamis, 29 September 2011 13:49 - Terakhir Diupdate Selasa, 04 Oktober 2011 08:47
memberi contoh kepada masyarakat dalam hal ketaatan hukum. Ketaatan hukum memang dipengaruhi oleh budaya hukum dari suatu masyarakat. Rendahnya ketaatan hukum di tingkat aparat pemerintah akan mencerminkan juga tingkat ketaatan masyarakat.
Semua pihak harus menyadari bahwa eksekutif review berupa pengawasan represif yaitu melalui pembatalan Peraturan Daerah oleh Presiden dan Menteri Dalam Negeri sudah tidak dapat lagi dilakukan, sehingga jika Pemerintah atau Pemerintah Provinsi hendak melakukan pengujian atas Peraturan Daerah harus melakukannya melalui Mahkamah Agung.� Untuk pelaksanaannya mungkin harus segera ditetapkan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai prosedur Pengujian Peraturan Daerah di Mahkamah Agung yang diajukan oleh Pemerintah atau Pemerintah Provinsi.
Kemudian untuk menjaga agar produk legislasi daerah tetap dalam kerangka sistem hukum nasional maka pengawasan preventif harus lebih dioptimalkan. Perubahan Undang-Undang 32 Tahun 2004 juga harus segera dilakukan agar pengawasan preventif produk legislasi daerah tidak hanya terbatas pada Rancangan Peraturan Daerah tentang Pajak, Retribusi, APBD, dan RTRW, tetapi juga untuk semua Rancangan Peraturan Daerah dengan materi yang lain.
�
<strong>*Penulis adalah Perancang perundang-undangan pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Daerah Istimewa Yogyakarta
�
[1] H.R. Sri Soemantri M. Hak Uji Material di Indonesia, (Bandung : Alumni, 1997), hal. 11.
[2] Jimly Assyiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, (PT.Bhuana Ilmu Populer, Jakarta 2007), hal. 590.
[3] Henry P. Panggabean, Fungsi Mahkamah Agung Dalam Praktik Sehari-hari. Upaya Penanggulangan tunggakan perkara dan pemberdayaan fungsi pengawasan Mahkamah Agung (Jakarta : PT.Pustaka Sinar Harapan, 2001), hal. 127.
[4] Pasal 218 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
[5] Pasal 185 ayat (5) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.