السالم عليكم ورمحة اهلل و بركا ته Ekonomi, Keuangan & Perbankan Syariah: Rahmatan Lil „Aalamiin (Berdayaguna Bagi Semesta Alam) Oleh: Muhammad Gunawan Yasni, SE Ak., MM
Muhammad Gunawan Yasni, SE.Ak., MM, CIFA, FIIS, CRP Born on September 17, 1969, Gunawan Yasni is member of National Sharia Board – Indonesian Council of Ulemas (MUI) and member of sharia supervisory / advisory board in several financial institutions. He has actively promoted sharia venture capital and sharia commercial papers in relations to reksa dana, in his previous post at Bahana Group. Iwan is active as consultant and senior lecturer in economics and sharia finance for several financial institutions, as well as educational institutions (Post Graduate). He has Investment Manager, Underwriter & Broker-Dealer Licences. He is also a frequently quoted source in national media, both print and broadcast, as well as a published writer of topics related to economics and sharia finance. Several print and broadcast medias which have published, interviewed and / or made him regular contributor include Harian Republika, Harian Bisnis Indonesia, Harian Investor, Majalah Modal, Majalah Swa, Majalah Az Zikra, Metro TV, SCTV, TVRI and others. He has been co host of Sharia Economics Dialogue TVRI as well as host of Spiritual CEO TV One and Spiritual Executive 1 Metro TV. He has also been in many local as well as international conferences and trainings as speakers as well as trainers. Gunawan graduated in Accounting from University of Indonesia, and obtained his Master Degree (Magister Management) in Finance from Prasetiya Mulya. He also obtained certification as Certified Islamic Financial Analyst from the Graduate Program in Middle East and Islamic Studies, University of Indonesia. At present, he is member of senior lecture staff at the same institution, where he teaches sharia economics and finance. His sharia bilingual pocket book titled Sharia Economics & Finance: A Short Treatise & Its Application has been published. His 2nd book is Ekonomi Sufistik. Sharia Investment is his 3rd book. His 4th book Brief Thought on Islamic Finance is a trilingual book (English-IndonesianArabic).He is a Fellow of Islamic Insurance Society (FIIS) and holder of Advanced Level (Level IV) Banking Risk Management Certification. Muhammad Gunawan Yasni, SE.Ak., MM, CIFA, FIIS, CRP Lahir pada 17 September 1969, Gunawan Yasni adalah anggota Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan anggota Dewan Pengawas / Penasehat Syariah di beberapa lembaga keuangan. Aktif mempromosikan modal ventura syariah dan instrumen keuangan komersial syariah dalam kaitannya dengan reksa dana, pada saat bekerja di Bahana Group. Iwan aktif sebagai konsultan dan pengajar senior dalam ekonomi dan keuangan syariah untuk beberapa institusi keuangan, sebagaimana untuk institusi pendidikan (Pasca Sarjana). Memiliki izin Bapepam sebagai Investment Manager, Underwriter & Broker-Dealer. Sering menjadi narasumber dalam media nasional, cetak maupun elektronik sebagaimana penulis yang cukup dikenal untuk topik-topik berkaitan dengan ekonomi dan keuangan syariah. Beberapa media cetak dan elektronik yang telah mempublikasikan, menginterview dan / atau menjadikannya kontributor tetap antara lain Harian Republika, Harian Bisnis Indonesia, Harian Investor, Majalah Modal, Majalah Swa, Majalah Az Zikra, Metro TV, SCTV, TVRI dan lainnya. Dia adalah co host untuk Dialog Ekonomi Syariah TVRI dan host untuk Spiritual CEO TV One maupun Spiritual Executive 1 Metro TV. Dia adalah juga pembicara dan instruktur dalam banyak seminar dan pelatihan lokal maupun internasional. Gunawan lulus dari Fakultas Ekonomi dan menyandang predikat Akuntan dari Universitas Indonesia, dan memperoleh gelar Magister Management Keuangan dari Prasetiya Mulya. Dia juga memiliki sertifikasi sebagai Certified Islamic Financial Analyst dari Pasca Sarjana Kajian Timur Tengah & Islam Universitas Indonesia. Dia adalah dosen senior di institusi yang sama, mengajar ekonomi dan keuangan syariah. Buku dua bahasanya (Indonesia & Inggris) berjudul Ekonomi dan Keuangan Syariah: Pemahaman Singkat dan Penerapan Ringkas sudah diterbitkan. Buku keduanya adalah Ekonomi Sufistik. Investasi Syariah adalah buku ketiganya. Buku keempatnya Pemikiran Ringkas Keuangan Islam adalah buku tiga bahasa (Inggris-Indonesia-Arab). Dia adalah seorang Fellow di Islamic Insurance Society (FIIS) dan pemegang Sertifikasi Level Lanjutan (Level IV) Manajemen Risiko Perbankan.
”Di Amerika, Bank milik orang Yahudi aja bikin produk jasa syariah, masak kita yang Muslim tidak?” ”Yang katanya bencana terorisme justru lucunya membuat Amerika jadi lebih religius!”
Bangkitnya Syariah Secara Global Sebuah kubah masjid besar berwarna putih serta menaranya menjulang di tengah ladang jagung di luar kota Toledo, Ohio. Masjid ini akan terlihat jelas apabila melewati jalan antar negara bagian. Jika lebih ke timur laut, kita akan melintasi Devon Bank. Sebuah lembaga keuangan di daerah sub urban Chicago, Illinois. Bank yang dimiliki secara turun temurun oleh keluarga Yahudi ini menyediakan produk simpanan dan memberikan pembiayaan non riba‟ serta telah memperoleh kepercayaan dari masyarakat Amerika anglosaxon dan Yahudi maupun pendatang muslim dari Arab dan Asia. Kebangkitan sistim ekonomi syariah di dunia, secara nyata dimulai sejak berdirinya Bank Pembangunan Islam (Islamic Development Bank – IDB) tahun 1975. Di Amerika sendiri, keberadaan individu-individu non muslim yang dapat dikategorikan sebagai pakar ekonomi syariah pun semakin bertambah. Misalnya Prof. Samuel L. Hayes III dari Harvard University dan praktisi hukum Michael McMillen sebagai bagian dari King & Spalding Law Firm yang telah banyak membantu proyek pembiayaan dengan skema syariah di banyak belahan dunia. Jenis surat berharga negara yang berprinsip syariah pun telah dikeluarkan oleh pemerintah daerah di Jerman dan Thailand yang penduduknya mayoritas non muslim. Underwriters kelas dunia yang melakukan proses penjaminan pelaksanaan emisinya adalah para underwriters semacam HSBC atau Standard Chartered yang berasal dari negara berpenduduk mayoritas non muslim. Mengapa mereka berkontribusi dalam hal ini? Tentunya karena mereka melihat kemaslahatannya yang tidak diperuntukkan hanya bagi kalangan muslim semata. Di mata dunia, sistim ekonomi syariah dipandang sebagai sesuatu yang mengutamakan keadilan dan etika yang sangat tinggi. Bahwa produknya banyak diminati, itu disebabkan karena pemrakarsanya berkomitmen tidak hanya untuk memperoleh keuntungan dunia, tapi juga kedamaian dunia akhirat. Meminjam istilah Michael McMillen, yang mereka lakukan adalah memadukan antara the profit yang menjadi incaran perusahaan dengan panduan the prophet Muhammad SAW yang menjadi panutan umat Islam.
نى ْاس ِْاونَي َْون َغ ُْمد ْح َّم َُ
“Mau bersyariah seketika atau bertahap? Itu mah pilihan bukan pertentangan!“
Dualisme Ekonomi Jika kita mencoba mencermati realitas Ekonomi Syariah vs Konvensional, maka secara mendalam dapat dikatakan bahwa apapun yang dilakukan dalam ekonomi konvensional sepanjang tidak melanggar dalil-dalil pelarangan dalam Al Qur‟an dan As-Sunnah dan Ijma‟ para sahabat Rasul dan ulama-ulama sesudahnya, dapat dikatakan ekonomi tersebut mempunyai kesesuaian syariah. Dalildalil pelarangan yang dimaksud antara lain soal riba‟ (bunga berbunga), gharar (mengambil risiko yang berlebihan), dharar (membahayakan diri sendiri atau yang lainnya), maysir (judi), risywah (suap menyuap), bay‟ al ma‟dum (menjual apa yang tidak dimiliki), najsy (melakukan penawaran palsu), ikhtikar (penimbunan), dan dzulum (aniaya dan penghancuran). Sesungguhnya ekonomi syariah berupaya meluruskan jalannya ekonomi konvensional yang masih menjalankan hal-hal yang tercantum dalam dalil-dalil pelarangan tadi. Adalah suatu keniscayaan jika sistim konvensional tidak lagi menjalankan hal-hal yang dilarang, maka sistim tadi telah menjelma berbasis syariah. Distorsi moral dan etika serta keadilan yang ditimbulkan oleh ekonomi konvensional, membuat kita sadar bahwa ada yang salah dengan apa yang sudah terbiasa berlaku selama ini (konvensional). Kondisi ekonomi Indonesia yang pernah mengalami krisis membuktikan, bahwa perkembangan ekonomi yang sangat mengandalkan sistem perbankan dengan bunga, malah menggeser bisnisbisnis yang berbasiskan kerakyatan. Selama masa orde baru, bisnis-bisnis industri besar yang mendukung timbulnya semangat konsumerisme di tengah rakyat justru tumbuh menjamur. Padahal industri yang berbasiskan kerakyatan lebih diperlukan bagi rakyat untuk bisa berswadaya secara ekonomi dalam upaya mencapai tingkat kesejahteraan hidupnya.
نى ْاس ِْاونَي َْون َغ ُْمد ْح َّم َُ
”Sangat lucu melihat sikap negara-negara tetangga Indonesia seperti Singapura yang berambisi menjadi hub keuangan syariah di Asia dengan diplomasi yang menyebutkan bahwa salah satu potensi mereka menjadi hub syariah adalah karena bertetangga dekat dengan Indonesia.”
Diplomasi Ekonomi Syariah Negara dengan jumlah umat muslim terbesar di dunia tak serta merta menjadikan Indonesia memiliki peran besar dalam ekonomi berprinsip syariah. Padahal banyak pihak, terutama dari negara-negara Islam di Timur Tengah dan umat lainnya, berharap Indonesia dapat menjadi penengah dengan kemoderatannya dalam mengatasi berbagai permasalahan yang ada saat ini bila memiliki sistim perekonomian syariah yang kuat . Berkaca dari Malaysia yang pernah mengalami proses pembelajaran panjang dengan berbagai kritik saat pemerintahan Dr. M dan penerusnya yang getol berdiplomasi dalam konteks pembelaannya kepada kaum bumiputera (yang notabene umat muslim) dan kemandirian ekonomi yang didalamnya memiliki pilar berprinsip ekonomi syariah adalah hal yang tak salah. Jiran dengan hanya 50% penduduk muslimnya itu ternyata telah mampu menyuarakan kepentingan yang memenuhi kaidah fathonah (cerdik), tabligh (diplomatis) dan tentu saja istiqomah (berkesinambungan) untuk kepentingan Malaysia sendiri dan umat muslim dunia. Sangat ironis jika melihat sikap negara-negara tetangga Indonesia yang berambisi menjadi hub keuangan syariah di Asia dan dunia. Singapura dalam diplomasi ekonomi syariahnya, pernah menyebutkan bahwa salah satu potensi mereka menjadi hub syariah adalah karena bertetangga dekat dengan Indonesia. Saya jadi membayangkan, jika diberi amanah menjadi salah satu pemimpin negara Indonesia ini, yang tentunya umat Islamnya akan mendukung penuh di semua lini untuk diplomasi ekonomi syariah, maka saya akan mengatakan, “Kami siap segala sesuatunya untuk menjadi pemberdaya keuangan & perbankan syariah saudarasaudara kami dari Asia, Timur Tengah atau belahan dunia manapun termasuk Maroko di Afrika Utara paling Barat …. Dan kami adalah negara dengan umat muslim terbesar di dunia yang kaya dengan berbagai kemampuan pengembangan ekonomi dan keuangan syariah…”
نى ْاس ِْاونَي َْون َغ ُْمد ْح َّم َُ
“Yang lemah … yang kuat … sama aja kalo nggak syariah … jadi sorry ah!” “Mencari nafkah adalah ibadah dalam bentuk melakukan kegiatan ekonomi … jadi harus syariah!”
Susah Karena Nggak Syariah Di bidang ekonomi yang erat dengan cara mencari nafkah, ekonomi konvensional yang selama ini lebih dikembangkan terbukti penuh dengan berbagai praktek yang diharamkan syariah seperti riba‟ (bunga berbunga), gharar (tidak jelas secara akad), risywah (suap menyuap), maysir (judi dan tebaktebakan keberuntungan), maksiat (mengarah kepada dosa kecil dan besar), dzulum dan dharar (menganiaya dan membahayakan diri sendiri serta orang lain) dan tentu saja yang selama ini mengungkungi kita yaitu korupsi. Ekonomi konvensional menjadi sesuatu yang sistemik memperkokoh monopoli dan konglomerasi yang jauh dari nilai-nilai keadilan, bahkan semakin memperlebar jurang pemisah antara aghniya (yang kaya) dan dhuafa (yang lemah ekonomi). Selain itu, seperti yang kita pahami bersama, meski negera kita memiliki kekayaan hutan seluas 120 juta hektar dari luas daratannya yang ‟hanya‟180 juta hektar, namun sayangnya yang rusak telah mencapai sekitar lebih dari 59 juta hektar. Celakanya, di era paska reformasi sekarang pun, kerusakan tersebut terus berlanjut sampai sebesar 2,8 juta hektar pertahunnya. Kerusakan tersebut ternyata dilakukan oleh para pengusaha besar yang memiliki ijin Hak Pengelolaan Hutan maupun masyarakat kecil sekitarnya dengan alasan untuk sekedar mempertahankan hidup. Padahal esensinya sama. Yaitu sama-sama mencari nafkah tanpa menenggang kepentingan orang banyak. Petikan surah Huud(11):117 dan Ar Ra‟d(13):22 seharusnya menjadi pertimbangan utama dalam menyikapi teguran-teguran sayang Allah yang ditimpakan kepada kita. “Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan” atau orang-orang yang sabar “Karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rizki yang kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; Orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik)”
نى ْاس ِْاونَي َْون َغ ُْمد ْح َّم َُ
”Setiap ada bencana, ekonom di negara manapun akan nyoba ngitung dampak kerugian dan biaya rehabilitasinya. Tapi, celakanya, hitungan ekonomi konvensional nggak akan pernah mampu ngitung dampak positif dari bencana.”
Ekonomi Syariah Bagi Kaum Dhuafa
Pada saat terjadi bencana, kebanyakan dari kita akan kembali mengingat dan menggaungkan nama Allah SWT. Sesungguhnya ini dapat menjadi modal untuk pembangunan ekonomi pasca bencana yang lebih berketuhanan atau ekonomi sufistik yang lebih dari sekedar pembangunan materiil saja, namun juga secara menyeluruh karena juga melibatkan aspek spiritualnya. Sehingga seharusnya pada masa pasca bencana adalah kesempatan yang baik bagi para pengembang ekonomi umat untuk memberdayakan kaum dhuafa. Contoh paling konkret adalah bangsa Jepang sebagai pihak yang kalah di Perang Dunia ke-2. Walau mereka secara umum penganut ‟Amaterasu Omikami‟ – dewa matahari, semangat mereka membangun perekonomiannya pada era pasca bencana bom atom sampai sekarang masih banyak dicontoh banyak negara lainnya. Adalah merupakan suatu yang nyata bila usaha kecil yang biasanya dikelola oleh kaum dhuafa sesungguhnya merupakan kekuatan ekonomi nasional di banyak negara. Memang, setiap negara memiliki ukuran yang berbeda dalam mengklarifikasi kaum dhuafanya. Namun sesungguhnya orang-orang pada posisi sosial seperti inilah yang banyak membangun perekonomian sebuah negara. Karena karakteristik kelas ekonomi dhuafa adalah: „kerja merupakan suatu keharusan untuk menopang ekonomi rumah tangga‟. Tujuan ekonomi sufistik (syariah) juga sangatlah jelas, yaitu untuk mencapai keadilan sosial, keamanan sosial serta menjaga keseimbangan sosial bagi sebuah masyarakat. Dalam Islam, social justice atau keadilan sosial berarti memperoleh sandang, pangan, papan, alat produksi, pendidikan dan penjagaan harkat martabat yang memadai. Negara atau otoritas juga diharapkan untuk membangun hubungan harmonis antara yang berpunya dan yang dhuafa dengan mengimplementasikan zakat, infaq, shadaqah, serta waqaf. Yang lainnya adalah dengan melakukan sharing productivity atau berbagi produktivitas dalam hal musyarakah, mudharabah untuk suatu Islamic Industrial Relationship berbasis Qur‟an dan Hadits. Untuk Indonesia, apalagi yang akhir-akhir ini banyak dirundung bencana, tidak berlebihan rasanya jika pemberdayaan kaum dhuafa ini oleh para pengikut altruisme dalam ekonomi sufistik dirumuskan dalam kata-kata: “Berpangkal pada tani & desa … berkembang dalam usaha mulia, perdagangan dan industri … berujung dalam masyarakat adil, makmur dan berdaulat … dalam ampunan Allah SWT.”
نى ْاس ِْاونَي َْون َغ ُْمد ْح َّم َُ
”Yang penting rasanya bukan warnanya, jadi pake ilmu Garam bukan ilmu Gincu!”
Syariah Ibarat Garam, Bukan Gincu Firman Allah, “Wa maa arsalnaaka illaa rahmatan lil‟aalamiin – Dan tidaklah Kami utus kamu (ya, Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat / berdaya guna bagi semesta alam” (Al Qur‟an surah Al Anbiya (21) : 107). Ketika Rasulullaah Muhammad SAW ditanya oleh salah seorang sahabat, “Kerja apakah yang terbaik?” Rasulullah menjawab, “Karya seseorang dengan tangannya dan setiap usaha dagang/ekonomi yang baik.”
Mengenai ekonomi syariah, yang sejauh ini pangsanya baru sekitar 2% di Indonesia, namun telah cukup mewarnai kehidupan masyarakat secara kualitatif. Dan diharapkan pula kelak mampu menjadi bagian integral dari keseluruhan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tak hanya sekedar simbol, tapi perekonomian berbasis syariah ini harus maju secara esensial meski negara kita bukan Negara Islam atau Negara Teokrasi. Ibarat garam dalam air, bisa terasa di semua sendi kehidupan meski tak kasat mata. Ekonomi syariah pun tak boleh seperti gincu, yang dalam air tampak menyolok warnanya tapi tanpa rasa dan cita. نى ْاس ِْاونَي َْون َغ ُْمد ْح َّم َُ
“Tantangan yang menyedihkan … hhhmmm (keluh) datang justru muslim yang cuek atas penerapan syariah karena menurut mereka belum kaaffah – menyeluruh.”
Fikrah & Fitrah Ekonomi Pengembangan ekonomi syariah diharapkan menjadi penyeimbang dan pada saatnya nanti menjadi pengganti transaksi keuangan berbasis riba. Tantangan yang cukup melelahkan tidak hanya datang dari pihak lawan, namun juga datang dari pihak yang skeptis atas penerapan syariah yang menurut mereka belum kaaffah – menyeluruh. Tantangan dari pihak yang terakhir disebut ini sesungguhnya jauh lebih menyedihkan bagi para pendukung ekonomi syariah. Sebagai pihak yang menginginkan berkembangnya ekonomi syariah secara significant, sudah sepantasnya kita melakukan self correcting / tazkiyatun nafs – memperbaiki / membersihkan diri atas apa-apa yang telah kita upayakan untuk mengembangkan produk-produk ekonomi & keuangan syariah. Ekonomi syariah dalam istilah konvensional sering disejajarkan dengan transaksi keuangan yang sesuai etika dan tanggung jawab sosial (ethically & socially responsible economy) yang mempunyai esensi seperti interpretasi Al Qur‟an Surat Al Qashash (28) : 77; Mencari dan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat yang secara bisnis bisa dikatakan ma‟ad (profit) fil akhirah wad dunya, berbuat baik terhadap sesama manusia, serta tidak melakukan kerusakan di alam yang diamanahkan Allah SWT kepada kita.
نى ْاس ِْاونَي َْون َغ ُْمد ْح َّم َُ
“Pemerintah bisa aja nggak mengayomi masyarakat yang mau syariah, tapi para ulama, zuama dan cendekiawan bisa!”
Syariah Di Indonesia
Perkembangan kembali Ekonomi Syariah di Indonesia dimulai sejak berdirinya Bank Syariah Muamalat Indonesia atau lebih populer dengan sebutan Bank Muamalat Indonesia (BMI) tahun 1992. Memasuki usia remaja umur perkembangan ekonomi syariah di Indonesia, dapat dicatat bahwa sudah ada belasan bank, belasan perusahaan asuransi, belasan emiten obligasi, beberapa reksa dana, beberapa lembaga bisnis dan sudah ada pula pegadaian, yang baik itu menyeluruh ataupun parsial mengeluarkan produk / layanan dengan kesesuaian syariah yang direkomendasi / disertifikasi oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) dan didampingi serta dikembangkan oleh perpanjangan tangan DSN MUI berbentuk Dewan Pengawas Syariah (DPS) ataupun Tim Ahli DSN MUI. Syariat Islam sesungguhnya telah menjadi landasan kehidupan masyarakat Nusantara jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terbentuk. Bahkan Pancasila sebagai dasar negara memasukkan nilai-nilai Islam dalam substansinya walaupun memang Islam lebih universal dibandingkan Pancasila. Penerapan syariat Islam di dalam masyarakat Negara Kesatuan Republik Indonesia telah menjadi suatu polemik yang berkepanjangan sejak berdirinya NKRI. Terlepas dari didukung tidaknya penerapan syariat Islam di NKRI, gerakan mensyariahkan ekonomi umat Islam di Indonesia terus mengalami penguatan sejak berdirinya BMI, bahkan pasca krisis 1997 / 1998 justru semakin lebih signifikan lagi penguatannya dengan berdirinya Bank Syariah Mandiri (BSM) yang diikuti dengan UnitUnit Usaha Syariah di bank-bank konvensional. Perjalanan dan perlintasan ringkas perkembangan ekonomi syariah di Indonesia merupakan sebuah pembuktian bahwa bahkan dengan tidak terlalu akomodatifnya Pemerintah Indonesia terhadap perkembangan-perkembangan ekonomi syariah apabila dibandingkan dengan negara tetangga serumpun seperti Malaysia, para pendukung ekonomi syariah senantiasa bertambah baik secara individu, institusi, kualitatif dan kuantitatif. Ini berarti Daulah Syariah yang berkembang di dalam qolbu tiap-tiap individu diimplementasikan kepada institusi-institusi tempat mereka berkiprah. Pada saat mereka tidak memperoleh rujukannya dari pemerintah yang seharusnya mengayomi mereka, mereka mencari rujukan yang dibutuhkan dari para ulama, zuama dan praktisi bidang ekonomi syariah yang mengerti dan menjalani hal-hal yang menjadi kiprah mereka.
نى ْاس ِْاونَي َْون َغ ُْمد ْح َّم َُ
Risiko Dalam Perspektif Syariah / Risk In Sharia Perspective • Ibnu Taymiyyah (1328): “Risk falls into two categories, commercial risk where one would buy a commodity in order to sell it for profit, and rely on Allah for that. This risk is necessary for merchants and although one might occasionally lose but this is the nature of commerce. The other type of risk is that of gambling, which is implies eating wealth for nothing ()أكل المال بالباطل. This is what Allah and His Messanger (saw) have prohibited.” •
Ada tiga syarat risiko agar dapat dikategorikan sebagai tolerable risks: 1. Dapat diabaikan (negligible/)الغرر يسير 2. Tidak dapat dihindarkan (inevitable/)ال يمكن التحرزمنه 3. Tidak diinginkan dengan sengaja (unintentional/)غير مقصود
نى ْاس ِْاونَي َْون َغ ُْمد ْح َّم َُ
Risiko Dalam Perspektif Syariah / Risk In Sharia Perspective Syarat pertama (Dapat diabaikan (negligible/)الغرر يسير Untuk suatu tolerable risk maka kemungkinan dari kegagalan haruslah lebih kecil daripada kemungkinan tingkat keberhasilannya. / Possibility of failure is less than possibility to succeed. Syarat kedua (Tidak dapat dihindarkan (inevitable/)ال يمكن التحرزمنه Mengindikasi bahwa tingkat penambahan nilai dari suatu aktivitas transaksi tidak dapat diwujudkan tanpa adanya kesiapan untuk menanggung risiko. / Added value from transaction cannot be achieved without baring the risk. Syarat yang ketiga (Tidak diinginkan dengan sengaja (unintentional/)غيرمقصود Mengisyaratkan bahwa tujuan dari suatu transaksi ekonomi yang normal adalah untuk menciptakan nilai tambah, bukan untuk menanggung risiko. Sehingga risiko bukan merupakan sesuatu yang menjadi keinginan dari suatu transaksi keuangan dan investasi. / Normal economic transaction is to create added value rather than just to bare risk.
نى ْاس ِْاونَي َْون َغ ُْمد ْح َّم َُ
REGULATION (PRODUCTS) / PERATURAN (PRODUK) II.K.1 & 2: Regulation on Criteria and Sharia Securities List / Peraturan tentang Kriteria dan Penerbitan Daftar Efek Syariah yang saat ini mengatur:
Criteria used on determining public companies shares included in sharia securities list: core business & image should be in line with sharia, and financial ratios (Non Halal Income < 10%, Non Halal Debt / Total Asset Ratio < 45%), for sukuk: self declare / Kriteria yang digunakan dalam penelaahan Emiten dan Perusahaan Publik untuk menetapkan Daftar Efek Syariah (DES) => untuk saham: core business & image, serta besaran finansial (Non Halal Income < 10%, Non Halal Debt / Total Asset Ratio < 45%), untuk obligasi: self declare Rules for other parties enabled to make their own sharia securities list other than sharia securities list issued by the regulator / Ketentuan mengenai Pihak yang dapat mengajukan permohonan untuk menerbitkan Daftar Efek Syariah yang tidak dimuat dalam DES yang ditetapkan Bapepam-LK
نى ْاس ِْاونَي َْون َغ ُْمد ْح َّم َُ
Skema Penerbitan Efek Syariah (Sukuk) Ya
SEDERHANA
PENERBITAN EFEK SYARIAH
KOMPLEKS
Memenuhi IX.A.13 & IX.A.14 (automatic approval DSN-MUI) Tidak
Memenuhi IX.A.13 & IX.A.14 + Koordinasi DSN-MUI & OJK Ya
نى ْاس ِْاونَي َْون َغ ُْمد ْح َّم َُ
Efektif OJK
Opini Syariah (optional)
Ya
Revisi Pernyataan Pendaftaran
Tidak
PROSES PENERBITAN
Ya
Efektif OJK
Opini Syariah (optional)
Flow Kerja Yang Terkait dengan Reksa Dana / Mutual Fund’s Flow of Work Tugas Bank Kustodian / Duties of Custodian Bank : • Penyimpanan & Administrasi / Safe Keeping & Administration • Perhitungan NAB (nilai Reksadana per unit) / Calculating NAV (value of mutual fund per unit)
Biaya Kustodian / Custodian Fee
Akte Notaris / Notary
Manajer Investasi / Investment Manager (IM) نى ْاس ِْاونَي َْون َغ ُْمد ْح َّم َُ
KIK / Collective Investment Contract
Biaya Manajemen / Management Fee
Aqad Wakalah bil ujrah
Bank Kustodian / Custodian Bank (CB)
investor
Tugas Manajer Investasi / Duties of Investment Manager : • Mengelola portfolio investasi sesuai dengan kebijakan investasi yang tercantum dalam KIK & Prospektus / Managing portfolios in accordance with investment objectives stated in CIC & Info Memo
Note: “CB has to make sure that IM follows FSA / SEC rules & regulation on Sharia Criteria reviewed every 6 months. Every correction needed has to be made within 10 days.”
Jasa Custodian Bank Untuk Reksa Dana Perbandingan Layanan Jasa Administrasi Reksa Dana antara Konvensional dan yang berdasarkan prinsip – prinsip Syariah
Konvensional
Syariah
•
Perhitungan & pengakuan pendapatan bunga atas dasar accrual basis
•
Portfolio investasi bisa syariah dan non-syariah
•
Tidak ada proses penyisihan (cleansing process) porsi non-syariah atas dividen saham – saham
•
atas
Perhitungan & pengakuan pendapatan bagi hasil, margin atau fee atas dasar cash basis dan atau accrual basis RoR Syariah tergantung jenis produk (mudharabah, ijarah dll.)
•
Portfolio investasi atas instrumen syariah
•
Ada proses penyisihan (cleansing process) porsi non-syariah atas dividen saham – saham
•
Menyediakan opsi pembayaran ZIS (Zakat Infaq Shadaqah) yang disetujui oleh Dewan Pengawas Syariah
•
Diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah
instrumen
Tidak ada opsi pembayaran ZIS (Zakat Infaq Shadaqah)
نى ْاس ِْاونَي َْون َغ ُْمد ْح َّم َُ
•
Potential Demand for Sukuk RI / Potensi Permintaan Sukuk RI Domestic Market / Pasar dalam negeri: Largest number of muslims in the world / jumlah penduduk muslim terbesar di dunia; Yet still low number of sharia securities issuers / jumlah emiten yang melakukan penawaran efek syariah masih sedikit; dan Yet still low proportion of market share for sharia products / proporsi (market share) produk syariah relatif masih sangat kecil.
International Market / Pasar internasional: Rocketing growth of sharia financial market asset pertumbuhan aset pasar keuangan syariah (±15% p.a);
/
Pesatnya
Reallocation of Middle East Fund after 9/11 / Repatriasi dana-dana Timur Tengah pasca 9/11; Yet still limited types of sharia financial instruments / Terbatasnya jenis dan jumlah instrumen keuangan syariah; dan The betterment of Indonesia’s credit rating / Terus meningkatnya peringkat kredit Indonesia.
نى ْاس ِْاونَي َْون َغ ُْمد ْح َّم َُ
Perbandingan Bank Syariah & Bank Konvensional Bank Syariah
Bank Konvensional
Melakukan investasi-investasi yang halal saja Berdasarkan prinsip bagi hasil, jual beli, sewa atau prinsip lainnya sesuai syariah Profit dan falah oriented (ma‟ad fiid dunya wal akhirah) Hubungan kemitraan dengan nasabah Penghimpunan dan penyaluran dana harus sesuai dengan fatwa Dewan Syariah Nasional MUI dan diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah Akad-akad syariah memungkinkan fungsi perbankan syariah lebih luas, antara lain sebagai investment manager & venture capital
Investasi yang halal bisa haram bisa Berdasarkan prinsip bunga Profit oriented (sekuler) Hubungan hutang piutang semata Tidak terdapat pengawasan oleh dewan sejenis Dibatasi fungsi perbankan saja menurut hukum positif
”Ekonomi konvensional seperti proses perampokan, sehingga 80% kekayaan ekonomi dunia dinikmati secara maksimum berdasarkan materi oleh 20% penduduk dunia yang kebanyakan berasal dari dunia Barat ... ck .. ck ... ck.”
والسالم عليكم ورمحة اهلل و بركا ته نى ْاس ِْاونَي َْون َغ ُْمد ْح َّم َُ