BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Islam adalah agama samawiyah yang diturunkan Tuhan ke muka bumi ini untuk rahmat kepada seluruh alam semesta (rahmatan lil alamin). Islam awalnya dibawa oleh Nabi Muhammad SAW., di Jazirah Arab, pada abad ketujuh Masehi kemudian menyebar hingga ke Persia, India, Eropa (Barat dan Timur), Asia Tengah, Asia Tenggara, dan kini ke seluruh penjuru dunia. Pada masa sekarang umat Islam di seluruh dunia berjumlah sekitar 1,4 milyar jiwa yang tersebar di semua negara dan benua. Islam yang datang ke berbagai penjuru dunia ini, mengalami pembumian dengan budaya setempat. Artinya ada hal-hal yang sifatnya universal dalam Islam dikelola dan diberdayakan dengan unsur-unsur kebudayaan setempat. Misalnya di Turki penutup kepala yang ber-identitas Islam disebut turbus, di Afrika gendang yang selalu digunakan mengiringi nyanyian keagamaan disebut dengan tar, di China huruf Arab dibuat komposisinya dengan kaligrafi China (mengikuti ornamentasi huruf Kanji), di Nusantara ini ada juga kopiah, baju teluk belanga, beduk, ketupat, dan lainlainnya yang merupakan ikon, indeks, maupun lambang dari agama Islam di Nusantara. Nusantara adalah sebuah kesatuan budaya yang merujuk kepada budaya masyarakat rumpun Melayu di kawasan ini. Istilah Nusantara secara historis diperkenalkan oleh Patih Gadjah Mada dari Kerajaan Majapahit di abad ke-12 ketika ia mengucapkan Sumpah Palapa, yang menyatakan bahwa ia tidak akan makan buah palapa sebelum seluruh Nusantara berada di wilayah kekuasaan politik Majapahit, yang berpusat di Jawa Timur.
Universitas Sumatera Utara
Selain itu istilah yang merujuk kepada makna Nusantara adalah Indonesia. Secara harfiah, Indonesia berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu dari akar kata Indo yang artinya Hindia dan nesos yang artinya pulau-pulau. Jadi Indonesia maksudnya adalah pulau-pulau Hindia (jajahan Belanda). Dalam sejarah ilmu pengetahuan sosial, pencipta awal istilah Indonesia adalah James Richadson Logan tahun 1850, ketika ia menerbitkan jurnal yang berjudul Journal of the India Archipelago and Eastern Asia, di Pulau Pinang, Malaya. Jurnal ini terbit dari tahun 1847 sampai 1859. Selain beliau, tercatat juga dalam sejarah, yang menggunakan istilah ini adalah seorang Inggris yang bernama Sir William Edward Maxwell tahun 1897. Ia adalah seorang ahli hukum, pegawai pamongpraja, sekretaris jendral Straits Settlements, kemudian menjabat sebagai Gubernur Pantai Emas (Goudkust). Ia menggunakan istilah Indonesia dalam bukunya dengan sebutan The Islands of Indonesia. Orang yang paling membuat terkenalnya istilah Indonesia adalah Adolf Bastian, seorang pakar etnologi yang ternama. Dalam bukunya yang bertajuk Indonesian order die Inseln des Malayeschen Archipels (1884-1849), ia menegaskan arti kepulauan ini. Dalam tulisan ini ia menyatakan bahwa kepulauan Indonesia yang meliputi suatu daerah yang sangat luas, termasuk Madagaskar di Barat sampai Formosa di Timur, sementara Nusantara adalah pusatnya, yang keseluruhannya adalah sebagai satu kesatuan wilayah budaya. Pengertian istilah ini juga digunakan oleh William Marsden (1754-1836), seorang gewestelijk secretaris Bengkulen. Sementara itu, Gubernur Jenderal Jawa di zaman pendudukan Inggris (1811-1816), Sir Stanford Raffles (17811826) dalam bukunya yang bertajuk The History of Indonesia, dengan pengertian yang sama.
Java, menyebut juga istilah
Kesatuan kepulauan itu disebut dan
Universitas Sumatera Utara
dijelaskan pula oleh John Crawfurd (1783-1868), seorang pembantu Raffles (Takari 2008). Di antara wilayah Indonesia atau Nusantara adalah Nanggroe Aceh Darussalam. Kemudian di dalam wilayah Nanggroe Aceh Darussalam terdapat kawasan Gayo dan Alas, yang didiami oleh suku Gayo dan Alas. Suku Gayo ini memiliki keseniannya yang khas yang memberikan identitas kebudayaan Gayo. Kesenian-kesenian Gayo dihasilkan dari proses inovasi yang berada dalam kebudayaan Gayo itu sendiri dan akulturasinya dengan kebudayaan luar, terutama peradaban Islam. Suku Gayo menurut daerah kediaman dan tempat tinggalnya dapat dibagi dalam 4 daerah yaitu: (1) Gayo Laut, atau disebut dengan Gayo Laut Tawar, yang mendiami sekitar Danau Laut Tawar. (2) Gayo Deret atau Gayo Linge, yang mendiami daerah sekitar Linge-Isaq, (3) Gayo Lues yang mendiami daerah sekitar Gayo Lues, dan (4) Gayo Serbejadi, yang mendiami daerah sekitar Serbejadi–Sembuang Luk. Kawasan ini pada umumnya termasuk ke dalam daerah Aceh Timur. Sedangkan suku Alas berdiam di daerah Alas yang berbatasan dengan daerah Gayo Lues. Suku Gayo mempunyai kebudayaan sendiri yang berbeda dengan kebudayaan Aceh lainnya. Mereka mempunyai bahasa sendiri, bahasa Gayo. Begitu juga kesehariannya, pada umumnya mereka memakai bahasa Gayo, meskipun terkadang mereka juga ada yang memakai bahasa Indonesia. Mereka juga mempunyai adatistiadat tersendiri, yang berbeda dengan bahasa dan adat-istiadat Aceh, Karo, Batak, dan Melayu. Hubungan suku Gayo dengan suku-suku lainnya di Aceh rapat sekali, karena suku Gayo masih berada dalam suku daerah yang pernah bernaung di bawah lingkungan kerajaan Islam, dan kini juga masih satu provinsi. Oleh karena kerajaan
Universitas Sumatera Utara
Aceh adalah bercorak kerajaan Islam, sedangkan suku Aceh dan suku Gayo adalah pemeluk agama Islam pula, sehingga percampuran kedua suku ini rapat sekali. Hal ini bukan hanya terbatas karena mereka masih dalam satu kerajaan, tetapi lebih karena hubungan sebagai satu agama. Jadi kehidupan keislaman mereka begitu kuat. Mereka juga saling mempengaruhi dalam perkembangan kebudayaan masing-masing antara kedua belah pihak cukup besar, adat-istiadat, dan lain-lain. Namun begitu, penduduk Aceh lebih besar jumlahnya dibandingkan dengan penduduk Gayo, sehingga hal itulah yang membuat pengaruh kebudayaan Aceh lebih besar terhadap suku Gayo, daripada sebaliknya. Di samping pengaruh Aceh yang sangat kuat pada suku Gayo, pengaruh suku Melayu juga sangat kuat, terutama dalam bahasa, karena penyebaran, pengembangan dan pendidikan agama Islam, naskah-naskah buku, tulisan tangan, surat-menyurat, dan lain-lain, sebahagian besar diberikan dan dilakukan dalam bahasa Arab-Melayu, di samping dalam bahasa Aceh dan Gayo sendiri. Secara umum, sejak masuknya agama Islam ke Aceh, kebudayaan Aceh maupun kebudayaan Gayo lebih cenderung mengarah kepada kebudayaan yang bernafaskan Islam. Namun demikian, kebudayaan Gayo mempunyai ciri-ciri tersendiri yang berbeda dengan kebudayaan Aceh umumnya. Selain itu hubungan suku Gayo dengan Karo dan Batak 1 lainnya, dapat dilihat dari persamaan dalam bahasa dan adat-istiadat, terutama sekali dengan suku Karo. 1
Suku atau etnik Batak kini wilayah budayanya berada di Provinsi Sumatera Utara. Masyarakat Batak ini, biasanya dibagi lagi ke dalam subnya yaitu: Batak Toba, Karo, Simalungun, Pakpak-Dairi, dan Mandailing-Angkola. Dalam berbagai tulisan, seperti yang dilakukan Vergouwen (1980) dan Batara Sangti (1979) menyatakan bahwa kesemuanya itu disebut dengan Batak. Namun ada pula yang langsung menyatakan masing-masing sebagai kelompok etnik tersendiri, seperti yang ditulis Wara Sinuhaji (2007) dan juga Z. Pangaduan Lubis (1998). Bagaimanapun masyarakat Batak ini memiliki persamaan dan perbedaan kebudayaan. Persamaan universal di antara mereka adalah pengkategorian manusia berdasarkan hubungan darah dan perkawinan yang disebut dengan dalihan natolu, daliken sitelu, rakut sitelu, yang terdiri dari saudara satu klen yang ditarik dari garis keturunan ayah, kemudian kelompok
Universitas Sumatera Utara
Persamaan antara suku Gayo dan suku Karo dapat di lihat dari pembagian belah-belah dalam susunan masyarakat Gayo yang terdapat di wilayah Raja Cik Bebesan di daerah Gayo Laut. Susunan masyarakat di wilayah Raja Cik Bebesan dibagi dalam Belahbelah Cebere, Melala, Munte, Linge, dan Belah Tebe. Selain itu terdapat pula persamaan di bidang kesenian, seperti seni tari, seni suara, seni musik, dan lain-lain. Nama-nama belah di wilayah Raja Cik Bebesan mempunyai persamaan dengan namanama marga di tanah Karo. Asal-usul suku Gayo sampai sekarang masih terus menjadi wacana budaya yang tiada hentinya. Belum pernah diadakan penelitian yang mendalam dan sungguhsungguh oleh para ahli, tentang asal-usul suku Gayo ini. Seorang sarjana Belanda C. Snouck Hurgronje pernah meneliti asal-usul suku Gayo. Namun penelitian itu oleh para ilmuwan dan masyarakat Gayo sendiri dipandang agak bias. Sejauh penelitian penulis, sampai saat ini masih belum jelas asal-usul dari suku Gayo tersebut. Tulisan Snouck ini tidak terlepas dari maksud pemerintah Belanda ini, walaupun demikian tulisan Snouck ini memberikan gambaran yang luas tentang tanah dan penduduk suku Gayo. Masih sedikit bahan-bahan tertulis mengenai suku Gayo. Belum pula diketemukan benda-benda bersejarah peninggalan nenek moyang yang bernilai dan berarti yang dapat dijadikan sebagai bahan bukti sejarah yang meyakinkan tentang asalusul suku Gayo. Untuk menelusurinya diperlukan penelitian para ahli untuk membuka tabir sejarah asal-usul suku Gayo.
kedua adalah pihak pemberi isteri yang disebut hula-hula, mora, dan kalimbubu; dan kelompok ketiga adalah pihak penerima isteri yang disebut pihak boru atau beru, atau anak boru. Secara linguistik pula ada persamaan bahasa antara Batak Toba, Mandailing, dan Angkola. Kemudian juga antara Karo dan Pakpak-Dairi. Simalungun berada di antara dua budaya linguistik tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Di daerah Gayo dan Alas telah berdiri pemerintahan kejurun 2 yang dibagi dalam 8 (delapan) daerah kejurun, yaitu 6 (enam) kejurun di daerah tanah Gayo dan 2 (dua) kejurun di daerah Tanah Alas. Di daerah Gayo lebih dahulu berdiri 4 (empat) kejurun yaitu: (1) Kejurun Bukit yang mula-mula berkedudukan di Bebesan, kemudian dipindahkan ke Kebayakan yang tidak jauh dari Bebesan. (2) Selanjutnya terbentuk Kejurun Linge yang berkedudukan di daerah Gayo Linge, (3) Kejurun Siah Utama yang berkedudukan di kampung Nosar di pinggir Danau Laut Tawar; dan (4) berdiri Kejurun Petiamang yang berkedudukan di Gayo Lues. Lama kemudian setelah berdirinya keempat kejurun di atas, baru berdiri pula kejurun kelima yaitu Kejurun Bebesan yang berkedudukan di Bebesan di tempat kedudukan Kejurun Bukit semula. Keenam berdiri Kejurun Abuk di daerah Serbejadi. Di daerah Tanah Alas berdiri 2 kejurun yaitu Kejurun Batu Mbulen yang berkedudukan di Batu Mbulen dan kedua Kejurun Bambel yang berkedudukan di Bambel. Kempat kejurun di daerah Gayo Laut, Gayo Linge, dan Gayo Lues yaitu Kejurun Bukit, Kejurun Linge, Kejurun Siah Utama, dan Kejurun Patiamang mendapatkan pengesahan dari Sultan Aceh. Demikian juga halnya dengan 2 kejurun di Tanah Alas, kedua-duanya mendapat pengesahan dari Sultan Aceh, tetapi Kejurun Bebebsan dan Kejurun Abuk tidak mendapatkan pengesahan dari Sultan Aceh. Berdirinya Kejurun Bebebsan seperti yang diterangkan di atas, adalah akibat dari kedatangan orang-orang Batak Karo ke-27 ke Tanah Gayo. Antara Kejurun Bukit dengan Batak Karo 27 terjadi suatu perselisihan, yang mengakibatkan terjadinya
2
Kejurun, adalah sebuah terminologi atau sebutan nama untuk daerah di daerah Gayo, yang memiliki wilayah-wilayah tertentu yang terdiri dari empat desa tradisional Gayo. Selain masyarakat Gayo, istilah ini juga digunakan oleh kesultanan-kesultanan Melayu di Sumatera Timur untuk menentukan hal yang sama. Bagaimanapun istilah ini terdapat dalam masyarakat Karo dan Gayo.
Universitas Sumatera Utara
peperangan antar kedua belah pihak. Peperangan berakhir dengan kemenangan di pihak Batak 27 dan kekalahan Kejurun Bukit. Dalam suatu perundingan damai, akhirnya kedudukan Kejurun Bukit terpaksa dipindahkan dari Bebebsan ke Kampung Kebayakan. Sedang di Bebebsan didirikan Raja Cik Bebebsan yang berkedudukan di Bebebsan yang dipimpin oleh Lebe Kader yaitu pemimpin pasukan Batak Karo 27, yang menguasai daerah dengan dibagi dua seluruh daerah Kejurun Bukit. Setengah untuk Kejurun Bukit dan separuh untuk Raja Cik (pengulu) Bebesan. Raja Cik Bebebsan inilah yang kemudian berkembang dan menjadi Kejurun Bebesan sampai kedatangan Belanda tahun 1904 (M.H. Gayo 1990:25). Sistem pemerintahan yang dimaksud di sini ialah sistem pemerintahan Tanah Gayo dan Alas di zaman setelah masuknya agama Islam, dan terutama sekali setelah Tanah Gayo dan Alas menjadi wilayah kerajaan Islam Aceh. Meskipun sistem pemerintahan dari kerajaan Islam Aceh, mempunyai pola umum yang sama untuk seluruh wilayahnya, tetapi sistem pemerintahan di Tanah Gayo mempunyai ciri-ciri tersendiri. Sistem pemerintahan di Tanah Gayo adalah suatu sistem yang berdasarkan hukum adat 3. Kemudian lebih jauh, hukum adat bersumber dan berlandaskan hukum Islam. Hukum Islam atau syariah, syra’i, atau syarak, berdasar kepada Al-Qur’an dan Hadits. Hukum adat tidak tertulis, tetapi hukum Islam adalah hukum tertulis, berdasarkan Qur’an dan Hadits Jadi meskipun hukum adat tidak tertulis, tetapi sumber dan landasannya adalah hukum tertulis yaitu Qur’an dan Hadits. 3
Adat dalam konsep budaya Gayo adalah merupakan keseluruhan norma, tata krama, peraturan, adab, yang menjadi konsensus bersama antara warga yang terjadi di masyarakat Gayo. Adat inilah yang menjadi pemecahan sosial dan budaya jika terjadi permasalah di tengah-tengah masyarakat. Adat juga mengatur semua hal yang berkaitan dengan kebudayaan masyarakat seperti masalah waris, hak ulayat, pertanahan, tanaman, tata busana, kepemimpinan, dan semua yang berkait dengan adat
Universitas Sumatera Utara
Dalam konteks budaya Gayo, jika terjadi perselisihan (pertentangan) antara hukum adat dengan hukum Islam, maka setelah mendengarkan pendapat imam agama Islam, hukum adat harus runduk mengikut hukum Islam. Hukum Islam menjadi dasar hukum adat dalam pelaksanaan hukum di Tanah Gayo. 4 Hubungan antara kedua hukum adat dan hukum agama ini adalah jalin-berjalin yang sangat erat, sebagaimana dilukiskan dalam kata-kata adat Gayo: hukum ikanung edet, edet ikanung agama (setiap hukum mengandung adat, dan setiap adat mengandung agama). Hukum adat adalah “anak kandung” dari hukum agama. Dengan perkataan lain, hukum adat di dalam pemerintahan tradisional Tanah Gayo pada hakikatnya adalah merupakan pancaran dari hukum Islam. Daerah Nanggroe Aceh Darusalam dihuni oleh beberapa sub etnik, dan masingmasing sub etnik memiliki kekhasan sendiri di bidang kebudayaan. Melihat beragamnya kebudayaan daerah Aceh, maka keadaan itu juga selaras dengan keberagaman budaya suku-suku bangsa di Indonesia.
Daerah Nanggroe Aceh
Darusalam merupakan salah satu provinsi yang mempunyai beragam bentuk tari tradisional. Salah satu bentuk tari tradisional tersebut adalah tari saman. Tari saman adalah tari yang hidup, berkembang pada kebudayaan suku Gayo. Suku Gayo sendiri yakni salah satu etnik yang terdapat pada wilayah daerah Aceh, sebahagaian besar wilayahnya berada di Kabupaten Aceh Timur, khususnya Kecamatan Lokop, yang lazim disebut dengan Gayo Lut 5, dan wilayah Kabupaten
4
Wawancara dengan Pak Syaukani, 13 Desember 2010. Gayo Lut adalah sebuah istilah yang lazim digunakan untuk menyebutkan salah satu nama suku (etnik) yang terdapat di daerah Lokop, Aceh Timur, Nanggroe Aceh Darussalam. Sebagai sebuah kelompok etnik, mereka ini memiliki bahasa, peradaban, dan kebudayaan yang khas yang membedakannya dengan suku-suku lainnya di Nanggroe Aceh Darussalam, seperti suku Simeuleu, Aneuk Jamee, Tamiang, Aceh Rayeuk, dan lain-lainnya. 5
Universitas Sumatera Utara
Aceh Tenggara, khususnya wilayah Blangkejeren, 6 yang lazim di sebut Gayo Lues. 7 Namun demikian, tari saman lebih merakyat dan berkembang di Kabupaten Aceh Tenggara khususnya pada etnik Gayo Lues di Blangkejeren dan Aceh Tengah (Takengon). Kedua kawasan ini mayoritas merupakan wilayah budaya suku Gayo. Tari saman berdasarkan fungsinya dapat digolongkan ke dalam jenis tari hiburan, guna merayakan suatu upacara yang bersifat keramaian. Biasanya tari saman diadakan pada acara Maulid Nabi Besar Muhammad SAW., perayaan hari Raya Idul Fitri (halal bilhalal), Hari Raya Idul Adha, perayaan pesta perkawinan, sunatan Rasul 8, atau penabalan nama anak. Selain perayaan di atas, sering juga tari saman dipertunjukkan pada saat selepas panen padi, sebagai ungkapan kegembiaraan atas hasil panen berlimpah, sesuai dengan harapan penduduk desa, maka desa tersebut akan mengundang grup dari desa atau kampung lain untuk menari saman bersama-sama. Hampir di tiap desa dan kampung yang ada di wilayah Blangkejeren kita jumpai tari saman. Tari saman telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakatnya. Penampilan tari saman pada lazimnya dalam bentuk jalu 9 (bertanding)
6
Blangkejeren. nama salah satu wilayah kabupaten yang terdapat di Aceh Tenggara, tempat dilakukannya penelitian tari saman ini. Menurut para informan dan masyarakat pendukungnya, tari saman asal-usulnya memang berasal dari daerah Blangkejeren ini. Kemudian menyebar ke seluruh wilayah Aceh secara difusi, karena wilayah provinsi yang sama, dan sama-sama di bawah pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam di abad pertengahan. 7 Gayo Lues adalah salah satu nama dan kelompok etnik (suku) yang terdapat di daerah Blangkejeren, Aceh Tenggara. Sementara di daerah Nanggroe Aceh Darussalam sendiri terdapat berbagai suku setempat seperti Simeuleu, Aceh Rayeuk, Tamiang, Pidie, Aneuk Jamee, dan lainnya. 8
Sunatan Rasul atau biasa disebut khitanan, khatan, atau sirkumsisi adalah sebuah ritus seseorang lelaki atau perempuan yang disunat untuk menandakan seorang muslim. Untuk laki-laki yang dipotong adalah bahagian kulip kulup atau glans penis. Untuk wanita yang dipotong adalah sebahagian prepatoriumnya. Selain umat Islam, yang memiliki tradisi berkhitan adalah umat Yahudi, begitu juga dengan etnik Nias di Sumatera Utara. 9 Jalu adalah sebutan untuk pertunjukan Saman yang dilakukan dalam konteks “pertandingan” atau “perlombaan.” Adapun unsur yang dinilai oleh dewan juri (ketua adat) adalah unsur estetika gerak tari, pantun atau syair, dan melodi lagu yang disajikannya. Dalam konteks budaya masyarakat Gayo,
Universitas Sumatera Utara
antara dua grup atau lebih dari desa atau kampung yang berlainan, yang berlangsung sehari semalam, bahkan kadang bisa dalam beberapa hari dan beberapa malam. Selain dalam bentuk jalu, tari saman dapat juga ditampilkan dalam bentuk tunggal (tanpa lawan). Bagi masyarakat luas, selain etnik Gayo, tarian bentuk tunggal ini lebih dikenal karena bentuk show biasa, yang sering di
gelar di luar wilayah asalnya, seperti
pergelaran di ibu kota, acara negara, bahkan show ke luar negri (Amerika Serikat, KIAS, dan lain-lainnya). Seperti telah diuraikan di atas, dahulunya tari saman difungsikan sebagai media dakwah 10 untuk pengembangan agama Islam, media peraturan adat istiadat, yang perlu diketahui dan dipatuhi oleh masyarakatnya, sebagai bagian dari tata pergaulan kehidupan masyarakat. Karena itu pada awalnya latihan tari saman diadakan di kolong meunasah, 11 yakni tempat beribadah masyarakat Aceh yang berada di kampungkampung atau desa-desa di Aceh. Dengan demikian mereka melakukan latihan tari saman pada saat setelah mereka selesai melakukan shalat ataupun sebelum mereka melakukan shalat. Perkembangan
selanjutnya,
tari
saman
difungsikan
dalam
kegiatan
kemasyarakatan, sebagai pertunjukan hiburan dan tontonan pada acara perkawinan,
dalam jalu saman ini yang terpenting adalah pelestarian budaya dan penguatan identitas, bukan sematamata menang atau kalahnya kelompok-kelompok saman. 10
Dakwah adalah penyampaian ajaran-ajaran Islam dalam berbagai teknik dan metode. Misalnya ceramah, tausyiyah, memutar kaset dakwah di radio, siaran televisi, penyebaran kaset-kaset vcd atau dvd yang berisi ajaran agama. Dalam ajaran Islam, setiap muslim sebenarnya adalah pendakwah, yakni wajib menyampaikan ayat Allah, walau hanya satu ayat saja. 11 Meunasah adalah terminologi dalam bahasa Aceh yang artinya adalah rumah ibadah umat Islam, yang besar dan jumlah pengunjungnya di bawah mesjid. Dalam bahasa Indonesia sepadan dengan kata langgar atau mushollah. Bedanya dengan mesjid adalah biasanya mesjid dapat menyelenggarakan shalat Jumat, karena ada badan kenaziran mesjid, yang sifatnya organisasional, sedangkan meunasah tidak menyelenggarakan shalat Jumat.
Universitas Sumatera Utara
sunatan Rasul, kekahan 12 anak, perayaan hari-hari besar Islam, yang biasanya berlangsung sampai 2 hari 2 malam, bahkan ada yang sampai 3 hari 3 malam dengan cara bertanding (saman jalu). Perayaan hari Raya Idul Fitri, hari Raya Idul Idha, menyambut tamu-tamu negara atau tamu penting daerah, dan kegiatan-kegiatan lain yang bersifat menyemarakkan kegiatan acara tersebut. Fungsi lain dari tari saman tersebut adalah terjalinnya tali persaudaraan antar grup-grup penari Saman dari kampung dan desa seberang. Perkembangan selanjutnya, tari saman telah berfungsi atau difungsikan dalam kegiatan kemasyarakatan, sebagai pertunjukan hiburan dan tontonan pada acara perkawinan, maupun sunatan. Setiap grup tari saman didukung oleh sejumlah penari saman yang relatif banyak jumlahnya, yaitu antara 15 (lima belas) sampai 30 (tiga puluh) orang penari. Tari saman akan lebih semarak, bagus dan menarik untuk ditonton jika jumlah pemainnya cukiup banyak jumlahnya. Namun untuk keperluan yang sifatnya menekankan kepada pertunjukan saja, yaitu tari saman biasa (tanpa tanding) seperti untuk mengisi acara-acara hiburan biasa atau show yang biasa di lakukan di luar negeri, dimana waktu akan dibatasi hanya beberapa menit, maka penari saman akan berjumlah relatif sedikit. Dalam hal ini penari saman hanya terdiri dari 11 (sebelas) atau 13 (tiga belas) penari, akan tetapi sebenarnya satu grup penari saman yang baik seharusnya berjumlah 15 (lima belas) sampai dengan 17 (tujuh belas) penari. Tari saman sebagai suatu tari tradisional yang pada mulanya terbatas hanya dimiliki oleh suku Gayo yang berada pada daratan tinggi Gayo Lues, Blang Kejeren 12
Kekahan atau akikah adalah pemberian nama pada anak yang baru dilahirkan, sekaligus menyukur rambut anak tersebut, dengan diiringi penyembelihan binatang qurban yang berupa kambing atau domba). Akikah ini adalah salah satu ajaran nabi Muhammad kepada umatnya, agar dalam menyukuri nikmat allah, yaitu dengan diberi-Nya keturunan maka ibu dan ayah sang bayi menyembelih hewan kurban untuk dibagikan kepada fakir miskin, sebagai bentuk solidaritas sosial dalam Islam.
Universitas Sumatera Utara
(Aceh Tenggara), Takengon, sebahagian Aceh Tengah, dan daerah Lokop (Aceh Timur). Tari ini pada awalnya kurang mendapat perhatian dari masyarakat luas, dikarenakan terbatasnya komunikasi dan informasi dengan dunia luar. Namun setelah tari tersebut ditampilkan dalam Pekan Kebudayan Aceh (PKA) II dan peresmian pembukaan Taman Mini Indonesia Indah di Jakarta, maka dunia tari Indonesia menjadi terkejut dengan kehadiran tari saman ini. Karena gerakan-gerakan tari yang di tampilkan sangat menarik perhatian para penonton, apalagi tari tersebut diiringi hanya dengan kehadiran dukungan suara yang menurut mereka seperti mengandung magis. Akibat dari pada kehadiran tari saman tersebut, maka banyak pihak-pihak seniman lain yang ingin mengetahui lebih dalam lagi tentang keaslian tari saman tersebut. Malah banyak dari para pakar-pakar tari tanah air yang ingin belajar menarikan tari saman tersebut. Selain dari unsur tari, pertunjukan saman juga didukung oleh unsur gerak, syair, melodi, dan ritme yang khas. Syairnya berakar dari tradisi pantun di kawasan Gayo, yang juga terdiri dari unsur bait, baris, sampiran, dan isi. Selain itu, tema teks saman ini dapat disesuaikan dengan konteks upacara atau kegiatan yang ingin diiringinya. Misalnya kalau saman ditampilkan saat hari raya Idul Fitri, maka tema pantunnya adalah saling maaf memaafkan. Jika digunakan untuk mengiringi upacara khitanan tentu saja tema teksnya adalah tentang ajaran-ajaran Islam. Begitu juga jika untuk konteks pertandingan (jalu), maka unsur-unsur keindahan, gaya bahasa, diksi, rima, dan lain-lainnya menjadi tumpuan utama. Semua ini dilatar belakangi oleh kebudayaan Gayo dan Aceh yang Islami secara keseluruhan. Aspek teks atau syair saman ini juga akan menjadi kajian penulis dalam penelitian ini.
Universitas Sumatera Utara
Selain itu, seni saman juga menggunakan bentuk-bentuk melodi tertentu untuk mengiringi gerak tarinya. Melodi-melodi ini menurut pengamatan awal penulis merupakan paduan dari unsur-unsur tangga nada khas Gayo, maqam dari Timur Tengah, dan juga tangga nada mayor dan minor Barat. Aspek melodi ini juga menjadi satu kesatuan dalam pertunjukan saman di dalam kebudayaan Gayo. Melodi yang disertai dengan pukulan gendang, menjadi intens dan integratif dengan gerak-gerak tari. Gerak, tari, syair, dan melodi dalam pertunjukan saman pada dasarnya juga mengekspresikan sistem kepemimpinan dalam agama Islam. Pemimpin syair yang disebut syeikh akan memulai lagu dan kemudian disahuti oleh para penari yang juga bertindak sebagai penyanyi khorus sekaligus. Kemudian setiap lagu memiliki breakbreak (istirahat untuk peralihan) di tempat-tempat tertentu, terutama sesuai dengan pertukaran lagu dan gerak tarinya. Dengan demikian, secara etnomusikologis, penyajian seni saman dilandasi oleh sistem kepemimpinan dalam pertunjukan dengan menggunakan gaya call and response atau responsorial. Artinya seorang penyanyi diikuti oleh sekelompok penyanyi lainnya (lihat Malm 1977). 13 Inilah hal-hal yang menarik penulis untuk melakukan kajian terhadap eksistensi saman di Blengkejeren Aceh. Untuk menjaga kelestarian seni tari saman tersebut di kemudian hari, akibat dari perkembangan zaman dan juga untuk menggalakkan adanya usaha-usaha untuk penyesuaian dengan selera pasar dan keinginan para penari untuk memperkaya gerakan-gerakan tari saman, maka perlu untuk dilakukan studi terhadap tari saman ini.
13
Selain istilah responsorial dalam disiplin etnomusikologi digunakan juga istilah antiphonal (diindonesiakan antifonal) yaitu sebuah terminologi yang dipergunakan untuk mendeskripsikan pertunjukan musik yang dilakukan sekelompok pemusik (penyanyi) disahuti oleh sekelompok pemusik (penyanyi lain). Jadi dalam hal ini ada dua grup yang saling sahut menyahut dalam pertunjukan musik.
Universitas Sumatera Utara
Seperti yang penulis lakukan saat ini, sehingga baik gerak dan syair lagu serta urutanurutan penampilannya hendaknya mempunyai ketentuan yang jelas dan baku. Penentuan tari Saman untuk di angkat kedalam satu topik tulisan yang berjudul Pertunjukan Saman di Blangkejeren Aceh: Analisis Makna Gerak Tari dan Teks, Fungsi Sosiobudaya, serta Struktur Musik, merupakan salah satu usaha pelestarian tari saman tersebut dan juga pada beberapa pertimbangan lainnya, antara lain adalah sebagai berikut. 1. Bahwa tari saman telah dikenal di tingkat nasional maupun Internasional. 2. Pertunjukan tari saman sangat dinamis, magis, serta menuntut gerakangerakan yang energik dengan stamina yang baik. 3. Bahwa tari saman dapat ditarikan dalam suatu tempat yang tidak memerlukan tempat yang begitu luas, sehingga tidak begitu menyusahkan bagi bagi para pelaksana untuk menyebarluaskan tarian ini di kalangan masyarakat, dan lebih mudah untuk pengembangannya. 4. Pola lantai pada tari saman sangat sederhana, mudah diikuti oleh siapapun, tidak rumit, karena kurang banyak bergerak, hanya memakai pola lantai di tempat. 5. Tari saman mengandung beberapa unsur seni yang dirangkum menjadi satu gerak suara vokal dan sastra serta seni rupa berupa perangkat pakaian yang serasi dan mendukung secara keseluruhan penampilan tari ini. 6. Tari saman ini tidak hanya terbatas pada etnik Gayo yang tersebar di Aceh Tengah atau di sebahagian Aceh Tenggara (Gayo Lues-Blangkejeren) dan juga di sebahagian Aceh Timur (Lokop), tetapi sekarang malah telah
Universitas Sumatera Utara
berkembang luas di tingkat propinsi lainnya, bahkan di luar Nanggroe Aceh Darusalam (NAD), Nasional dan Internasional. 7. Sesuai dengan program dan kebijaksanaan dalam rangka pelestarian tari saman maka perlu direncanakan pelatihan untuk tingkat siswa-siswi tingkat Sekolah Dasar, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SMP) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SMA). Secara kesejarahan, tari saman berasal dari nama seorang ulama, bernama Syekh 14 Saman, tarian ini sebagai sarana untuk menanamkan tauhid 15 dan hal-hal yang berhubungan dengan ketakwaan kepada Allah SWT. Versi lain, kata saman berasal dari Bahasa Arab,
meusaman 16
yang berarti delapan. Namun demikian, pada
kenyataannya, saat ini, tari saman ini di mainkan oleh penari laki-laki yang berjumlah antara 15 sampai 30 orang penari. Sebab tari saman akan lebih semarak dan menarik untuk ditonton, jika jumlah penarinya banyak. Akan tetapi tari saman ini akan berbeda jumlah pemainnya, jika tari tersebut ditarikan hanya sebagai pengisi acara-acara tertentu atau show biasa, jumlah penari saman bisa hanya terdiri dari 15 sampai 17 penari saja. Tari saman termasuk kesenian ratoh duek 17 karena ditarikan dalam posisi duduk.
14
Syekh adalah sebutan untuk pemain utama pada tari saman. Beliau adalah yang memimpin jalannya pertunjukan saman sambil memimpin membawakan lagu, yang digunakan dalam tari saman. 15 Tauhid adalah istilah yang berasal dari bahasa Arab, artinya secara umum mengakui kebesaran atau ke-Esaan Allah. Atau sering juga dipadankan dengan kata keimanan. Dalam agama Islam, ada enam yang wajib diimani oleh umat Islam, yaitu iman kepada Allah, Malaikat, Kitab Suci Al-Qur’an, NabiNabi, qadha dan qadhar, dan hari kiamat. 16 Meusaman adalah kata dalam bahasa Gayo yang artinya merujuk kepada angka delapan. 17 Ratoh Duek adalah sebuah istilah dalam saman yang artinya merujuk kepada tari yang ditarikan pada Posisi duduk
Universitas Sumatera Utara
Tari saman merupakan sebuah tarian yang mengungkapkan semangat untuk mengajarkan dan menanamkan aqidah 18 dan syariah Islam kepada masyarakat, yang di ungkapkan melalui gerak dan syair-syair yang indah. Tari ini selain bertujuan sebagai media dakwah, juga bertujuan untuk menghindari kejenuhan dalam belajar. Dalam menyusuri asal-usul tari saman, berdasarkan sumber tertulis yang jumlahnya sangat terbatas dan dari informasi beberapa informan, diungkapkan bahwa asal-usul tari saman berasal dari suatu jenis permainan rakyat yang bernama pok-ane 19, yakni sejenis permainan yang mengandalkan tepuk tangan kepaha sambil bernyanyi. Seorang ulama Aceh yang bernama Syekh Saman, dengan cerdik memanfaatkan kesenian yang “sederhana” ini untuk menanamkan tauhid dan hal-hal yang berhubungan dengan ketakwaan 20 kepada Allah SWT. Ucapan kalimat tauhid “La illaha illalahu“ diucapkan dengan khidmad, dengan meletakkan tangan di antara paha, maupun menempel pada dada, secara berangsur-angsur cepat. Ditambah dengan unsur gerak kepala (meratip 21), dari badan, dengan tempo yang berangsur-angsur cepat, sehingga mencapai tempo dengan kecepatan tinggi (Diskripsi Tari Saman, 1991:5). Tari saman lazimnya ditampilkan dalam bentuk satu grup, dua grup, atau lebih, dahulunya tari saman hanya ditampilkan pada upacara-upacara peringatan hari-hari besar Islam atau bersejarah pada tingkat kecamatan atau kabupaten atau hanya sebagai seni pertunjukan hiburan saja, seperti pada upacara adat perkawinan, sunatan Rasul,
18
Aqidah adalah mengakui suatu kebenaran atau keyakinan, ajaran yang harus dijalankan. Pok-ane.permainan rakyat yang mengandalkan dan menumpukan gerak tepuk tangan ke paha sambil bernyanyi. 20 Takwa artinya taat pada Tuhan, yaitu dengan mematuhi dan menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala yang dilarang oleh Allah. Dalam ajaran Islam ukuran dari orang yang takwa adalah menjaihi segala yang dilarang Allah dan mengerjakan semua yang diperintahkan Allah. 21 Meratip adalah gerak kepala ke kiri dan ke kanan. 19
Universitas Sumatera Utara
dan acara-acara hiburan lainnya. Tari saman yang di tampilkan dalam bentuk satu group ( tanpa lawan) sering di gelar diluar wilayah asalnya, maupun di luar negri, salah satunya di Negara Amerika tahun 1990 dan tahun 1991 (Kesuma, 1991-1992:8) dan di negara lainnya. Sedangkan di Daerah Nanggro Aceh Darusalam, tari saman sudah membudaya di masyarakat. Tari saman ini di samping sebagai sarana hiburan, juga dapat menjadi sarana pesan kepada anak-anak yang masih dalam pendidikan. Pada perkembangannya, tari saman disajikan oleh kaum pria, dan pada saat sekarang sudah dapat dimainkan oleh anak-anak muda remaja atau anak-anak pelajar, bahkan sudah menjadi bahan pembelajaran kesenian di sekolah-sekolah umum. Syairnya banyak mengisahkan tentang negara dan tentang hiburan rakyat. Berbeda dengan tari saman zaman dahulu yang syairnya banyak mengisahkan tentang keagamaan, karena pada masa itu, orang-orang lebih mendalami tentang agama, sedangkan masalah budaya kurang diperhatikan, akan tetapi untuk pertunjukan yang lebih baik dan sempurna haruslah pemain yang berusia dewasa. Apalagi untuk penampilan saman jalu (bertanding) yang berlangsung dalam rentang waktu yang sangat lama, otomatis sangat memerlukan kesiapan fisik dan stamina yang kuat dan prima. Setiap anggota penari saman umumnya bisa mengaji Al-Qur’an dan menjadi tengku 22. Dalam hal ini tengku juga ulama 23, artinya orang alim yang menguasai ilmu, khususnya pengetahuan tentang agama Islam. Dengan demikian istilah tengku adalah 22
Tengku, sebutan nama untuk seorang muslim yang menekuni agama (khususnya di Aceh), ada juga Tengku yang merupakan nama gelar kebangsawanan. 23 Ulama adalah sebutan untuk seorang tokoh keagamaan, yang juga merujuk kepada orangorang yang menguasai ilmu-ilmu keagamaan. Ulama juga adalah disebut sebagai pewaris Nabi, karena ilmu-ilmu agama Islam diwariskan melalui kaum ulama ini. Di Pulau Jawa golongan kaum ulama disebut dengan istilah santri, berasal dari akar kata kepesantrenan, yaitu tempat kegiatan pendidikan agama, seperti di Tebu Ireng dan lain-lainnya.
Universitas Sumatera Utara
suatu institusi lembaga yang di dalamnya terdiri atas beberapa tingkatan sesuai dengan tingkat kealiman yang dimilikinya. Oleh karena itu saman termasuk seni tari yang bernafaskan Islam. Namun pemain atau anggota penari saman di daerah Nanggro Aceh Darusalam sekarang bukan lagi para tengku. Perkembangan selanjutnya, tari saman telah berfungsi atau difungsikan dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan, misalnya pada acara hiburan atau pada upacara keagamaan yang bersifat keramaian. Contoh tari saman yang diadakan pada perayaan agama adalah acara Maulid Nabi Besar Muhamad SAW., (biasanya berlangsung sampai dua hari dan dua malam), perayaan Hari Raya Idul Fitri, Hari Raya Idul Adha dan perayaan perkawinan, sunatan Rasul, syukuran penabalan nama anak, menyambut tamu-tamu penting, dan lain-lain. Selain perayaan di atas, sering juga tari saman ditarikan oleh masyarakat pada acara selepas panen padi, sebagai ucapan syukuran dan kegembiraan yang diadakan dengan mengundang grup dari desa atau kampung lain. Secara umum urutan penyajian tari saman secara berurut adalah sebagai berikut. a.
Pesalaman (persalaman), yang terdiri dari regnum dan saleum 24.
Rengum adalah suara bergumam dari seluruh penari. Tidak jelas kata yang di kumandangkan, akan tetapi sebenarnya mereka memuji dan membesarkan nama Allah SWT, dengan lafas mmmm – “illallaahuo”, adalah sambungan dari ucapan “Lailla haillalhu 25” dan seterusnya. Gerak tari sangat tebatas dan sederhana, kepala menunduk, 24
Peusalaman adalah bermakna sebagai tanda awal mau masuknya lagu pada sebuah pertunjukan saman di kawasan yang penulis teliti. Kemudian istilah regnum maknanya secara etnomusikologis adalah suara bergumam dari para penari. Kemudian istilah saleum adalah salam kepada penonton, sebagai tanda dibukanya acara. 25 Laillahaillalah.Tiada Tuhan selain Allah. Kata ini selalu juga disebut dengan tahlil, dan merupakan bahagian dari zikir (mengingat Allah) dalam ajaran Islam. Selain tahlil ada juga tahmid, takbir, dan tasbih. Dalam aktivitas tahmid diucapkan kata alhamdulillah (artinya terima kasih Allah), kemudian dalam takbir diucapkan kata Allahu Akbar (artinya Allah Maha Besar), serta dalam tasbih diucapkan kata subhanallah (artinya Maha Suci Allah).
Universitas Sumatera Utara
tangan menghaturkan sembah. Makna dari gerakan Regnum ini apabila kita kaji adalah penyerahan diri kepada Allah SWT, konsentrasi penuh dan penyamaan vokal yang serempak. Selesai Rengum, secara langsung memasuki saleum, dengan ucapan Assalamualaikum–salam pertama kepada penonton sebagai pembuka pertunjukan acara tari saman tersebut, kepada pihak-pihak tertentu yang patut dihormati dan di mohon keizinannya mereka menari Saman (adab dan etika). Pada babakan saleum, gerak mulai berkembang, gerak tangan, gerak badan, disertai suara nyanyian yang dikumandangkan pengangkat. Dering, 26 jangin, 27 redet 28 dan saur, 29 silih berganti dalam tempo lambat dan sedang. b.
Ulu Ni 30 Lagu. Secara garis besarnya ulu ni lagu berarti kepala lagu.
Lagu di sini bukan berarti irama atau lagu dari seni musik vokal maupun instrumental. Lagu diartikan sebagai gerak tari atau lebih tepatnya ragam-ragam gerak tari, walaupun gerak tari tidak terlepas dari irama lagu, dengan kata lain terjalin persenyawaan yang kuat antara irama lagu dan gerak tari. Pada babakan ulu ni lagu, gerakan tari Saman telah mulai bervariasi, kesenyawaan antara gerak tangan, tepukan di dada, dan gerakan badan serta kepala sudah mulai kelihatan di sini. Akan tetapi gerakan tari saman masih lambat dan khidmad. Pada saat gerakan akan memasuki tempo cepat, maka seorang pengangkat (pemain utama) dengan suara melengking memberi aba-aba dengan ucapan 26
Dering, maknanya secara estetis dalam pertunjukan saman adalah regnum yang segera diikuti oleh semua penari. 27 Jangin adalah suatu istilah pertunjukan saman untuk menyebutkan pengangkat. 28 Redet adalah satu terminologi yang maknanya merujuk kepada lagu singkat dengan suara pendek yang dinyanyikan oleh penari pada bahagian tengah. 29 Saur adalah sebuah istilah yang maknanya merujuk kepada lagu yang diulang-ulang bersama penari setelah dinyanyikan oleh penari solo. Dalam kajian etnomusikologis, teknik penyajian pertunjukan seni seperti ini disebut dengan responsorial atau call and response, maknanya seorang penyanyi diikuti secara khorus oleh sekumpulan penyanyi lainnya. Sebaliknya jika sekelompok penyanyi diikuti oleh sekelompok penyanyi lainnya maka disebut dengan antifonal. 30 Uluni lagu maknanya secara estetik pertunjukan adalah kepala lagu.
Universitas Sumatera Utara
syair (inget-inget pongku – male I guncangan 31 artinya ingat – teman-teman akan diguncang ). Gerakan pada sat ini sudah mulai cepat dan bahkan sangat cepat sekali. c.
Lagu pada Tari Saman. Lagu pada tari saman sangat penting sekali,
dimana lagu tersebut menandakan pertukaran gerak pada saman. Pada babakan inilah diperlihatkan kekayaan gerak tari yang terpadu utuh antara kecepatan gerak tangan yang menghentak dada, paha maupun tepukan tangan, gerakan badan keatas dan ke bawah secara serentak maupun bersilang (disebut dengan guncang atas dan guncang rendah, badan miring ke kiri dan miring ke kanan secara serentak, (disebut dengan singkeh kuwen 32/ kiri-kanan-kiri), gerakan kepala menggangguk cepat sambil berputar ke bawah (girik 33), berputar ke kiri dan ke kanan, sambil memetik jari (kertek 34). Pada babakan inilah puncak gerakan tari saman, dimana para penari di sini di tuntut harus berkonsentrasi penuh dan para penari harus mempunyai stamina yang prima. Ini disebabkan selain harus bergerak sangat cepat, harus diselingi oleh suara nyanyian vokal yang lantang dan keras, yang disebut redet. Dari kecepatan yang tinggi dan klimaks, tiba-tiba gerak tersebut diperlambat kembali ke tempo awal yang biasa, yang diawali dari suara vokal pengangkat, yang lambat dan terhenti, seakan-akan pengangkat memberi aba-aba untuk berhenti sejenak. Begitu juga dengan nyanyian vokal yang semangkin lama semangkin lambat. Demikian juga dengan gerakan ini
31
Inget-inget pongku male I guncangan, artinya ingat teman-teman akan diguncang. Singkeh kuwen, artinya gerakan kiri,, kemudian kanan, dan ke kiri lagi. Istilah ini lazim digunakan dalam konteks latihan dan pertunjukan seni saman di Blangkejeren Aceh. 33 Girik adalah sebuah terminologi dalam tari saman di Aceh, yang digunakan untuk mendeskripsikan dan mempraktikkan gerakan kepala menggangguk cepat sambil berputar ke bawah, sejajar dengan dada penari. 34 Kertek artinya adalah istilah tari saman yang digunakan untuk melakukan gerakan badan berputar Sembilan puluh derajat ke kiri dan ke kanan sambil memetik induk jari dan telunjuk jari tangan. 32
Universitas Sumatera Utara
berulang-ulang antara cepat dan berganti lambat, dan bisa tiba-tiba terhenti seketika, namun semua ini tetap diiringi nyanyian vokal. d.
Uak Ni Keumuh 35. Secara harfiah berarti gerak, artinya suatu transisi di
mana pada babak ini kesempatan bagi penari untuk mengendorkan ketegangan dan mengembalikan pernafasan. Iringan nyanyian sederhana dan nada rendah tidak memaksa, posisi badan duduk bersila, tangan bergerak wajar memukul, menghentak dada, tepuk tangan, memukul paha, diiringi oleh suara vokal solo oleh pengangkat yang disebut redet, lalu diikuti oleh penari saman yang lain secara bersama-sama, yang disebut saur. Apabila kondisi penari telah pulih, maka akan dimulai lagi gerakan cepat yang diawali oleh aba-aba dari pengangkat dengan ragam gerak yang lain. Perlu dicatat pada saat gerak menggebu-gebu di puncak (gerakan sangat cepat), iringan vokal berhenti, jadi hanya terlihat gerakan badan, tangan, dan kepala saja. e.
Lagu Penutup. Pada babak ini, gerakan tari saman kembali ke awal
gerakan, yaitu gerakan sederhana, namun pada saat ini dipentingkan sekali syair lagunya. Pada bait-baitnya terdapat kata-kata perpisahan, permohonan maaf jika pada awal pertunjukan saman tadi, ada kata-kata dalam syair pada lagu yang menyinggung perasaan para tamu yang menyaksikan tari tersebut maupun kepada yang punya hajatan, jika memang ada sikap dan kata mereka yang salah. Alasan penulis memilih topik ini adalah, pada umumnya dahulu masyarakat Aceh menikmati pertunjukan tari saman, sebagai penyampaian pesan pada acara-acara keagamaan, seperti dakwah di desa-desa di daerah Aceh maupun sekitarnya, pada acara hari-hari besar Islam seperti, memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW, Isra’ 35
Uak Ni Keumuh, artinya adalah transisi gerak saat para penari mengendorkan ketegangan atau melakukan relaksasi setelah begitu banyak mengeluarkan tenaga pada gerakan-gerakan yang sangat membutuhkan tenaga sebelumnya.
Universitas Sumatera Utara
Mikraj, Tahun Baru Islam (Muharram), dan hari-hari besar Islam lainnya. Namun pada saat ini makna dari tari saman itu sendiri telah berubah fungsi hanya sebagai hiburan yang dapat menghilangkan kejenuhan semata tanpa memperhatikan makna yang terkandung dalam syair-syair yang disampaikan oleh syekh tari saman, baik masalah pendidikan, agama, adat istiadat dan moral lainnya, saat ini tari saman sudah bisa ditampilkan pada acara perkawinan, sunatan, penyambutan tamu, memperingati harihari besar Islam maupun hari-hari besar bangsa Indonesia, seperti hari kemerdekaan Indonesia, hari pendidikan, dan lain-lainnya. Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik mengadakan penelitian tari saman ini. Ada beberapa perbedaan yang mendasar dari kedua bentuk penampilan saman jalu (bertanding) dan show biasa antara lain adalah sebagai berikut. (a)
Pada saman tanpa jalu, pergelaran lebih di utamakan gerak dinamik,
syair lagu dan irama lagu, dengan kata lain penekanannya dititikberatkan pada keindahan gerakan tarinya. Makna gerak pada saman jalu terletak pada setiap gerakangerakannya yang mengandung arti tertentu, yang terletak pada syair lagunya. (b)
Pada saman jalu, diutamakan keragaman gerak dan kekayaan syair lagu,
yang mengandung nasehat, penerangan bahkan sindiran yang halus (semacam berbalas pantun)
yang harus di imbangi pihak lawan. Penyajian tari saman jalu biasanya
ditampilkan pada acara tertentu, seperti Pekan Seni Aceh atau acara lainnya yang sifatnya sangat formal dan protokoler. Karena itu pola penyajian saman harus disesuaikan dengan tuntutan acara tersebut, misalnya ketika grup tersebut akan tampil, yang biasanya membutuhkan waktu yang terbatas, antara 8 sampai 12 menit, demikian pula jumlah penari saman yang tampil, jumlah orangnya relatif sedikit. Penari saman
Universitas Sumatera Utara
tampil hanya dengan satu banjar
atau satu syaf 36, namun begitu, semua penari
pendukung saman harus ada, yakni pengangkat (penari utama), pengapit, penyepit, dan penupang. Mengingat sifatnya yang formal, dan terbatasnya waktu, maka penyajian saman dipadatkan. (c)
Saman jalu adalah pergelaran tari saman yang dipertandingkan antara
satu grup saman dengan grup saman yang lainnya, atau pertandingan dari beberapa grup saman antar kampung, kota dan bahkan antar Provinsi di Nanggro Aceh Darusalam. Karena itu saman jalu biasanya berlangsung sampai dua hari dua malam, atau bahkan bisa sampai tiga hari hingga tiga malam (dalam bahasa Gayo disebut roa lo roa ingi) 37. Umumnya yang bertanding adalah grup saman dari desa/kampung, luar kota atau propinsi lain, yang sengaja diundang oleh yang punya hajat, misalnya dalam perayaan pesta perkawianan, pesta Sunatan Rasul atau perayaan keagamaan, memperingatai Maulid Nabi Besar Muhammad SAW dan lain-lain. Penentuan pemenang ditentukan oleh tim juri yang terdiri dari tokoh-tokoh budayawan setempat yang memahami benar tentang seluk beluk tari saman, tentang adat istiadat, resam 38 dan bahkan tentang agama. Masing-masing grup saman didukung sejumlah 15-25 orang, yang terdiri dari remaja laki-laki. Sementara jika pada saman yang biasa ditampilkan pada show atau dalam konteks hiburan, umumnya pagelaran tari saman lebih diutamakan pada keindahan gerak dinamik, dan irama lagu, dengan kata lain penekanannya dititikberatkan kepada 36
Syaf adalah bahasa Aceh yang maknanya adalah yang digunakan untuk meluruskan barisan. Dalam konteks shalat bersama (berjamaah) istilah bersaf juga merujuk pengertian yang sama yaitu baris secara melintang lurus membentuk garis dan kemudian diikuti saf-saf beriktnya. Imam shalat berada di depan. 37 Rao lo Roa ingi, artinya adalah tiga hari tiga malam. 38 Resam artinya adalah adat istiadat dalam konteks kebudayaan Aceh. Istilah ini merujuk kepada aktivitas-aktivitas upacara tradisi Aceh.
Universitas Sumatera Utara
keindahan gerakan tarinya. Makna gerak pada saman pertunjukan terletak pada setiap gerakan-gerakannya yang mengandung arti tertentu, yang terletak pada kekompakan gerak dan variasi geraknya. Demikian menariknya keberadaan saman di Blangkejeren Nanggroe Aceh Darussalam, baik ditinjau dari aspek sosial, budaya, estetika, dan filsafat yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, secara keilmuan, khususnya melalui kajian seni, saman ini sangat menarik untuk diteliti, didokumentasi, dianalisis, dan tentu saja dipublikasikan keberadaannya.
1.2 Pokok Permasalahan Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini, yaitu: apa makna gerak tari, makna teks, fungsi sosiobudaya, dan struktur musik yang disajikan dalam pertunjukan tari saman? Pokok masalah ini perlu dijelaskan bahwa yang akan dikaji dalam tesis ini adalah empat bidang yaitu: (1) makna gerak tari saman (2) makna teks saman, (3) fungsi sosiobudaya saman, dan (4) struktur musik saman. Lebih jauh diperinci lagi makna gerak tari saman meliputi makna konotatif, denotatif, dan secara keseluruhan mencakup makna budaya yang terkandung dalam gerak-gerik tari saman. Makna ini akan didasarkan pada pemahaman tentang terminologi gerak dan struktur gerak yang menjadi dasar maknanya. Kemudian makna syair (teks) lagu-lagu saman akan dikaji aspek-aspek yang mendukungnya seperti: makna konotatif, makna denotatif, interyeksi, diksi dan gaya bahasa, jumlah baris dan bait, ikon, indeks, simbol, frase, dan hal-hal sejenis.
Fungsi sosiobudaya saman
mencakup sejauh apa seni ini digunakan oleh masyarakatnya seperti untuk menabalkan
Universitas Sumatera Utara
nama anak, pesta khitanan, pesta perkawinan, kegiatan-kegiatan keagamaan Islam, dakwah Islam, dan sejenisnya. Sedangkan fungsi tari saman di antaranya adalah untuk hiburan, integrasi sosiobudaya, pendidikan, pengabsahan upacara, pelestarian budaya Gayo dan Islam, dan lain-lainnya. Selain itu, struktur musik saman yang akan dikaji meliputi aspek dimensi waktu yang mencakup: tempo, tanda birama, rentak, durasi, motif, frase, siklus, tempo, dan sejenisnya. Seterusnya adalah aspek dimensi ruang yang mencakup: tangga nada, wilayah nada, nada dasar, distribusi nada, kantur, formula melodi, distribusi interval, dan sejenisnya. Inilah yang menjadi pokok permasalahan penelitian yang dilakukan ini dalam konteks menyelesaikan salah satu syarat dalam studi magister seni di Program Studi Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Sumatera Utara (USU), Medan.
1.3
Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1
Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
(1) Untuk mengetahui dan memahami makna-makna gerak yang terdapat dalam pertunjukan saman. (2) Untuk mengetahui dan memahami makna syair (teks) yang terdapat dalam pertunjukan saman. (3) Untuk mengetahui fungsi sosiobudaya saman dalam kebudayaan masyarakat pendukungnya,
Universitas Sumatera Utara
(4) Untuk mengetahui struktur musik baik dimensi ruang maupun waktu yang dipergunakan dalam musik saman.
1.3.2 Manfaat Penelitian Manfaat yang di ambil dari penelitian yang diwujudkan dalam laporan penelitian ini adalah sebagai berikut: (1)
Menambah referensi tentang kesenian (khususnya saman) bagi lembaga-lembaga pendidikan (sekolah) sehingga dapat digunakan oleh guru kesenian sebagai bahan pembelajaran.
(2)
Sebagai bahan masukan bagi tim pengajar sendratasik (seni drama, tari, dan musik), untuk menambah wawsasan seni dan kemudian mengajarkannya kepada generasi muda Indonesia, khususnya Aceh.
(3)
Sebagai bahan masukan bagi pembaca khususnya mahasiswa
seni tari dan
musik, agar dapat mengetahui penyajian tari dan musik saman sesungguhnya, termasuk pada konteks hiburan di pesta perkawinan. (4)
Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan yang berkaitan dengan budaya daerah.
(5)
Menambah pengetahuan bagi penulis dan peneliti-peneliti lain, baik mencakup teori maupun uraian tentang bentuk penyajian tari saman.
(6)
Penelitian ini akan bermanfaat untuk pengembangan seni-seni tradisional yang dalam konteks dunia kepariwisataan di Nanggroe Aceh Darussalam pada khususnya dan Indonesia secara umum.
Universitas Sumatera Utara
(7)
Penelitian tentang saman ini akan dapat memberikan manfaat
tentang
bagaimana masyarakat Gayo membumikan ajaran Islam dalam konteks wilayah budaya etnik, yang spesifik dan bijaksana (arif).
1.4
Kerangka Teori Berikut ini akan disajikan beberapa teori yang akan digunakan sebagai alat
untuk membedah berbagai masalah yang berkenaan dengan topik tulisan ini.
1.4.1 Teori Semiotik Untuk mengkaji makna tari dan syair (teks) dalam pertunjukan saman, penulis menggunakan teori semiotik. Selanjutnya teori ini digunakan dalam usaha untuk memahami bagaimana makna diciptakan dan dikomunikasikan melalui sistem simbol yang membangun sebuah peristiwa seni. Dua tokoh perintis semiotik adalah Ferdinand de Saussure seorang ahli bahasa dari Swiss dan Charles Sanders Peirce, seorang filosof dari Amerika Serikat. Saussure melihat bahasa sebagai sistem yang membuat lambang bahasa itu terdiri dari sebuah imaji bunyi (sound image) atau signifier yang berhubungan dengan konsep (signified). Setiap bahasa mempunyai lambang bunyi tersendiri. Peirce juga menginterpretasikan bahasa sebagai sistem lambang, tetapi terdiri dari tiga bagian yang saling berkaitan: (1) representatum, (2) pengamat (interpretant), dan (3) objek. Dalam kajian kesenian berarti kita harus memperhitungkan peranan seniman pelaku dan penonton sebagai pengamat dari lambang-lambang dan usaha kita untuk memahami proses pertunjukan atau proses penciptaan. Peirce membedakan
Universitas Sumatera Utara
lambang-lambang ke dalam tiga kategori: ikon, indeks, dan simbol. Apabila lambang itu menyerupai yang dilambangkan seperti foto, maka disebut ikon. Jika lambang itu menunjukkan akan adanya sesuatu seperti timbulnya asap akan diikuti api, disebut indeks. Jika lambang tidak menyerupai yang dilambangkan, seperti burung garuda melambangkan negara Republik Indonesia, maka disebut dengan simbol. Semiotik atau semiologi adalah kajian teradap tanda-tanda (sign) serta tandatanda yang digunakan dalam perilaku manusia. Definisi yang sama pula dikemukakan oleh salah seorang pendiri teori semiotik, yaitu pakar linguistik dari Swiss Ferdinand de Sausurre.
Menurutnya semiotik adalah kajian mengenai “kehidupan tanda-tanda
dengan masyarakat yang menggunakan tanda-tanda itu.” Meskipun kata-kata ini telah dipergunakan oleh filosof Inggris abad ke-17 yaitu John Locke, gagasan semiotik sebagai sebuah modus interdisiplin ilmu, dengan berbagai contoh fenomena yang berbeda dalam berbagai lapangan studi, baru muncul ke permukaan pada akhir abad ke19 dan awal abad ke-20, ketika munculnya karya-karya Sausurre dan karya-karya seorang filosof Amerika Serikat, Charles Sanders Peirce. Dalam karya awal Peirce di lapangan semiotik ini, ia menumpukan perhatian kepada pragmatisme dan logika.
Ia mendefinisikan tanda sebagai “sesuatu yang
mendukung seseorang untuk sesuatu yang lain.” Salah satu sumbangannya yang besar bagi semiotik adalah pengkategoriannya mengenai tanda-tanda ke dalam tiga tipe, yaitu: (a) ikon, yang disejajarkan dengan referennya (misalnya jalan raya adalah tanda untuk jatuhnya bebatuan); (b) indeks, yang disamakan dengan referennya (asap adalah tanda adanya api) dan (c) simbol, yang berkaitan dengan referentnya dengan cara
Universitas Sumatera Utara
penemuan (seperti dengan kata-kata atau signal trafik). Ketiga aspek tanda ini penulis pergunakan untuk mengkaji syair saman. Untuk membantu kajian makna dalam penelitian ini juga penulis mengkaji fungsi tari saman, dengan menggunakan teori fungsionalisme. Teori fungsionalisme adalah salah satu teori yang dipergunakan pada ilmu sosial, yang menekankan pada saling ketergantungan antara institusi-institusi dan kebiasaan-kebiasaan pada masyarakat tertentu. Analisis fungsi menjelaskan bagaimana susunan sosial didukung oleh fungsi.
Institusi-institusi seperti negara, agama, keluarga, aliran dan pasar
terwujud. Sebagai contoh, pada masyarakat yang kompleks seperti Amerika Serikat, agama dan keluarga mendukung nilai-nilai yang di ungsikan untuk mendukung aktiviti politik demokrasi dan ekonomi pasar.
Dalam masyarakat yang lebih sederhana,
masyarakat tribal, partisipasi dalam upacara keagamaan berfungsi untuk mendukung solidaritas sosial di antara kelompok-kelompok manusia yang berhubungan kekerabatannya. Untuk lebih memperinci teori semiotik ini maka penulis mendeskripsikan empat teori semiotic yang digunakan untuk mengkaji makna tari dan teks saman. Keempat teori semiotik itu adalah: (1) semiotik Peirce, (2) semiotik Saussure, (3) semiotik Barthes, dan (4) semiotik Halliday. Penjabarannya adalah sebagai berikut.
1.4.1.1 Semiotik Charles Sanders Peirce Peirce mengemukakan teori segi tiga makna atau triangle meaning yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda (sign), object, dan interpretant. Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan
Universitas Sumatera Utara
merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri dari simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik), dan indeks (tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda ini disebut objek. Objek atau acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda (Santosa, 1993:10) dan (Pudentia, 2008:323)
Tabel 1.1: Segitiga Makna Objek
Representamen
Interpretan
Menurut Peirce (Santosa,1993:10) pemahaman akan struktur semiosis menjadi dasar yang tidak dapat ditiadakan bagi penafsir dalam upaya mengembangkan
Universitas Sumatera Utara
pragmatisme. Seorang penafsir adalah yang berkedudukan sebagai peneliti, pengamat, dan pengkaji objek yang dipahaminya. Dalam mengkaji objek yang dipahaminya, seorang penafsir yang jeli dan cermat, segala sesuatunya akan dilihat dari tiga jalur logika, yaitu hubungan penalaran dengan jenis penandanya, hubungan kenyataan dengan jenis dasarnya, dan hubungan pikiran dengan jenis petandanya seperti yang tertera dalam bagan 1.2 dan bagan 1.3 berikut.
Tabel 1.2: Pembagian Tanda Ground/ representamen: tanda itu sendiri sebagai perwujudan gejala umum.
Objek/ referent: yaitu apa yang diacu.
Interpretant: tanda-tanda baru yang terjadi dalam batin penerima.
Qualisign: terbentuk oleh suatu kualitas yang merupakan suatu tanda, misalnya: “keras” suara sebagai tanda, warna hijau.
Ikon: tanda yang penanda dan petandanya ada kemiripan. Misalnya: foto, peta.
Rheme: tanda suatu kemungkinan atau konsep, yaitu yang memungkinkan menafsirkan berdasarkan pilihan, misalnya: “mata merah” bisa baru menangis, tapi bisa juga yang lain.
Sinsign/tokens: terbentuk melalui realitas fisik. Misalnya : rambu lalu lintas.
Index: hubungan tanda dan objek karena sebab akibat. Misalnya: asap dan api.
Dicent sign: tanda sebagai fakta/ pernyataan deskriptif eksistensi aktual suatu objek, mis : tanda larangan parkir adalah kenyataan tidak boleh parkir.
Legisign: Hukum atau kaidah yang berupa tanda. Setiap tanda konvensional adalah legisign, misalnya: suara wasit dalam pelanggaran.
Symbol: hubungan tanda dan objek karena kesepakatan / suatu tanda yang penanda atau petandanya arbitrer konvensional. Misalnya: bendera, kata-kata.
Argument: tanda suatu aturan, yang langsung memberikan alasan, mis : gelang akar bahar dengan alasan kesehatan.
Sumber: Erni Yunita (2011).
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1.3: Hubungan Tanda
Sumber: Erni Yunita (2011) Interpretant atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Hal yang terpenting dalam proses semiosis adalah bagaimana makna muncul dari sebuah tanda, ketika tanda itu digunakan orang saat berkomunikasi. Model tanda yang dikemukakan Peirce adalah trikotomis atau triadik, dan tidak memiliki ciri-ciri struktural sama sekali. Prinsip dasarnya adalah bahwa tanda bersifat representatif yaitu tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain. Proses pemaknaan tanda pada Peirce mengikuti hubungan antara tiga titik yaitu Representamen (R), Object (O), dan Interpretant (I). (R) adalah bagian tanda yang dapat dipersepsi secara fisik atau mental, yang merujuk pada sesuatu
Universitas Sumatera Utara
yang diwakili oleh (O), kemudian (I) adalah bagian dari proses yang menafsikan hubungan antara (R) dan (O). Contoh apabila di tepi pantai seseorang melihat bendera merah (R), maka dalam kognisinya ia merujuk pada “larangan untuk berenang” (O), selanjutnya ia menafsirkan bahwa
“adalah berbahaya untuk berenang di situ” (I). Tanda seperti itu disebut
lambang yakni hubungan antara R dan O bersifat konvensional.
1.4.1.2 Semiotik Ferdinand de Saussure Teori semiotik ini dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure (1857-1913). Dalam teori ini semiotik dibagi menjadi dua bagian (dikotomi) yaitu penanda (signifier) dan pertanda (signified). Penanda dilihat sebagai bentuk atau wujud fisik dapat dikenal melalui wujud karya arsitektur atau seni rupa. Sedang pertanda dilihat sebagai makna yang terungkap melalui konsep, fungsi dan/atau nilai-nlai yang terkandung di dalam karya arsitektur. Eksistensi semiotik Saussure adalah relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi, biasa disebut dengan signifikasi. Semiotik signifikasi adalah sistem tanda yang mempelajari relasi elemen tanda dalam sebuah sistem berdasarkan aturan atau konvensi tertentu. Kesepakatan sosial diperlukan untuk dapat memaknai tanda tersebut (Culler, 1996:7). Bagan berikut tentang tanda (sign) yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure (dalam Djajasudarma, 1993:23).
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1.4: Tentang Tanda Signifiant (signifier) “yang menandai” (citra bunyi) misalnya: pohon [p o h o n] Signe
Signifie (signified) “yang ditandai” (pengertian atau kesan makna
yang ada dalam pikiran).
Contoh:
Pohon tangkal
tangkal
Hubungan antara signifiant dan signifie bersifat arbitrer atau sembarang saja. Dengan kata lain, tanda bahasa (signe linguistique atau signe) bersifat arbitrer. Pengertian pohon tidak ada hubungannya dengan urutan bunyi t-a-n-g-k-a-l di dalam bahasa Sunda atau w-i-t di dalam bahasa Jawa. Signifiant bersifat linear, unsurunsurnya membentuk satu rangkaian (unsur yang satu mengikuti unsur lainnya).
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1.5: Tentang Hubungan Tanda
Sign/symbol
Signifier
Signified
---------- signification --------------
Menurut Saussure (Chaer, 2003:348), tanda terdiri dari: (a) bunyi-bunyian dan gambar, yang disebut signifier atau penanda, dan (b) konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut signified. Dalam berkomunikasi, seseorang menggunakan tanda untuk mengirim makna tentang objek dan orang lain akan menginterpretasikan tanda tersebut. Objek bagi Saussure disebut referent. Hampir serupa dengan Peirce yang mengistilahkan interpretant untuk signified dan object untuk signifier, bedanya Saussure memaknai “objek” sebagai referent dan menyebutkannya sebagai unsur tambahan dalam proses penandaan. Contoh, ketika orang menyebut kata “anjing” (signifier) dengan nada mengumpat maka hal tersebut merupakan tanda kesialan (signified). Begitulah, menurut Saussure, “Signifier dan signified merupakan kesatuan, tidak dapat dipisahkan, seperti dua sisi dari sehelai kertas.” Bahasa merupakan sistem tanda, di mana setiap tanda yang ada terdiri dari dua bagian yaitu signifier dan signified. Signifier merupakan konsep, ide, atau gagasan.
Universitas Sumatera Utara
Sementara signified adalah kata-kata atau tulisan yang menyampaikan konsep, ide, atau gagasan tersebut. Kedua unsur ini tidak dapat dipisahkan, suatu signified tanpa signifier tidak memiliki arti apa–apa, sebaliknya suatu signifier tanpa signified tidak mungkin dapat disampaikan. Contohnya manusia yang masih sangat muda yang belum bisa berbicara dan berjalan merupakan sebuah signifier. Untuk menyampaikan gagasan dalam signifier tersebut maka digunakan signified “bayi.”
1.4.1.3 Semiotik Roland Barthes Teori ini dikemukakan oleh Roland Barthes (1915-1980), dalam teorinya tersebut Barthes mengembangkan semiotik menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti (Barthes, 2007:82). Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure, yang tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya. Menurut Saussure (dalam Aminuddin, 1995:168) hubungan antara simbol dan yang disimbolkan tidak bersifat satu arah. Kata bunga misalnya, bukan hanya memiliki hubungan timbal balik dengan gambaran yang disebut bunga, tetapi secara asosiatif juga dapat dihubungkan dengan keindahan, kelembutan, dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
Konsep mental ini kemudian menjadi perhatian Barthes yang mengembangkan konsep tanda Saussure dengan menambahkan konsep “relasi.” Relasi yang dimaksud adalah penghubung penanda (disebut expression “ungkapan” dilambangkan dengan E) dan petanda (disebut contenu/ content “isi” dilambangkan dengan C). Penanda dan petanda dihubungkan dengan relasi (R). Gabungan atau kesatuan tingkatan–tingkatan tersebut dan relasinya itu membentuk satu sistem ERC. Sistem ini terdapat dalam bentuknya sendiri, dan menjadi unsur sederhana dari sistem atau bentuk kedua yang membina bentuk yang lebih luas. Oleh Barthes sistem ini dapat dipilah menjadi dua sudut artikulasi. Konotasi dan denotasi satu sudut, metabahasa dan objek bahasa di sudut lain, seperti bagan berikut ini (Pudentia, 2008:335).
Tabel 1.6: Konotasi dan Metabahasa
Denotasi Objek bahasa
E
\E
C d
d
C d
E
C
E
d C
Konotasi d
d
Metabahasa
Contoh : Tempat jin turun berkecimpung E Denotasi Konotasi
Jin
C makhluk halus Jin
E
berkecimpung
C
Universitas Sumatera Utara
E Jin Jin
E
C bermain air /mandi
Bergembira menerima persembahan
Objek bahasa Metabahasa
C
1.4.1.4 Semiotik Halliday Teori bahasa fungsional sistemik dikembangkan seorang pakar linguistik M.A.K Halliday seorang pakar bahasa yang berasal dari Inggris dan kini tinggal di Australia sebagai guru besar di University of Sydney. Kata sistemik adalah suatu teori yaitu tentang makna. Bahasa merupakan semiotik sistem (Halliday dkk., 1992:4). Semiotik pemakaian bahasa terdiri atas dua jenis yaitu semiotik denotatif dan semiotik konotatif. Semiotik denotatif menunjukkan bahwa arti direalisasikan oleh bentuk yang selanjutnya direalisasikan oleh ekspresi. Berbeda dengan semiotik denotatif, semiotik konotatif hanya memiliki arti tetapi tidak memiliki bentuk. Dalam pemakaian bahasa sistem semiotik konotatif terdapat dalam hubungan bahasa dengan konteks sosial yang terdiri atas ideologi, konteks budaya dan faktor situasi sebagai semiotik konotatif, pemakaian bahasa menunjukkan bahwa ideologi tidak memiliki bentuk. Oleh karena itu, semiotik meminjam budaya sebagai bentuk sehingga ideologi direalisasikan oleh budaya, budaya direalisasikan oleh konteks situasi. Selanjutnya konteks situasi meminjam semiotik yang berada dibawahnya yaitu
Universitas Sumatera Utara
bahasa. Jadi konteks situasi direalisasikan oleh bahasa yang mencakupi semantik, tata bahasa dan fonologi. Bahasa dalam pandangan semiotik sosial menandai jenis pendekatan yang dilakukan oleh Halliday. Dalam pengertian ini bahwa sebagai semiotik, bahasa terjadi dari dua unsur yaitu arti dan ekspresi, berbeda dengan semiotik biasa sebagai semiotik sosial bahasa memiliki unsur lain yaitu bentuk. Dengan demikian bahasa dalam interaksi sosial terdiri dari tiga unsur yaitu arti, bentuk dan ekspresi. Arti (semantic atau discourse semantics) direalisasikan bentuk (grammar atau lexicogrammar) dan bentuk ini seterusnya dikodekan oleh ekspresi atau phonology/graphology (Saragih, 2000:1). Proses semiotik adalah suatu proses pembentukan makna dengan melakukan pemilihan. Semiotik pemakaian bahasa terdiri atas semiotik denotatif dan semiotik konotatif yang memiliki arti dan bentuk. Bahasa merupakan semiotik denotatif dengan pengertian bahwa semantik sebagai arti direalisasikan oleh lexicogrammar sebagai bentuk dan selanjutnya lexicogrammar diekspresikan oleh phonology. Keempat teori tersebut penulis sederhanakan pola-pola atau pokok pikirannya sebagai berikut. (a) Peirce menggunakan segitiga makna yang terdiri dari: tanda (sign), object, dan interpretant. Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) kepada hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri dari simbol, ikon, dan indeks, acuan tanda ini disebut objek (konteks sosial).
Universitas Sumatera Utara
(b) Saussure membagi dua bagian (dikotomi) yaitu penanda (signifier) dan pertanda (signified). Penanda adalah wujud fisik yang dapat dikenal melalui wujud karya arsitektur atau seni rupa. Dalam konteks penelitian ini adalah pakaian, asesori, warna, motif yang dipakai penari saman, dalam pertunjukan. Sedangkan pertanda adalah makna yang terungkap melalui konsep, fungsi atau nilai-nilai yang terkandung di dalam karya arsitektur atau rupa. Eksistensi semiotik Saussure adalah relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi, yang biasa disebut dengan signifikasi. (c) Barthes mengembangkan semiotik menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti. (d) Halliday mengembangkan semiotik di bidang bahasa. Ia membaqgi dua semiotik bahasa, yaitu semiotik denotatif, yang mengkaji tanda-tanda bahasa dalam makna sesungguhnya. Kemudian yang kedua adalah semiotik konotatif yang mengkaji bahasa dalam makna di luar makna sesungguhnya. Keempat teori semiotik ini penulis gunakan dalam mengkaji dan memahami makna yang terdapat di sebalik tarian dan teks pertunjukan saman, khususnya di Blang Kejeren Aceh.Tentu studi tentang tanda atau makna ini akan melibatkan latar belakang budaya Gayo yang menghasilkannya.
Universitas Sumatera Utara
1.4.2 Teori Fungsionalisme Untuk mengkaji fungsi sosiobudaya saman dalam kebudayaan masyarakat Gayo, khususnya di kawasan penelitian, maka penulis menggunakan teori fungsionalisme. Teori fungsionalisme adalah salah satu teori yang dipergunakan dalam ilmu sosial, yang menekankan pada saling ketergantungan antara institusi-institusi (pranata-pranata) dan kebiasaan-kebiasaan pada masyarakat tertentu. Analisis fungsi menjelaskan bagaimana susunan sosial didukung oleh fungsi-institusi-institusi seperti: negara, agama, keluarga, aliran, dan pasar terwujud. Teori fungsionalisme dalam ilmu Antropologi mulai dikembangkan oleh seorang pakar yang sangat penting dalam sejarah teori antropologi, yaitu Bronislaw Malinowski (1884-1942). Ia lahir di Cracow, Polandia, sebagai putera keluarga bangsawan Polandia. Ayahnya adalah guru besar dalam Ilmu Sastra Slavik. Jadi tidak mengherankan
apabila
Malinowski
memproleh
pendidikan
yang
kelak
memberikannnya suatu karier akademik juga. Tahun 1908 ia lulus Fakultas Ilmu Pasti dan Alam dri Universitas Cracow. Yang menarik, selama studinya ia gemar membaca buku mengenai folkor dan dongeng-dongeng rakyat, sehingga ia menjadi tertarik kepada ilmu psikologi. Ia kemudian belajar psikologi kepada Profesor W. Wundt, di Leipzig, Jerman (Koentjaraningrat, 1987:160). Ia kemudian mengembangkan suatu kerangka teori baru untuk menganalisis fungsi kebudayaan manusia, yang disebutnya dengan teori fungsionalisme kebudayaan, atau a functional theory of culture. Ia kemudian mengambil keputusan untuk menetap di Amerika Serikat, ketika ia menjadi guru besar Antropologi di University Yale tahun 1942. Sayang tahun itu ia juga meninggal dunia. Buku mengenai fungsional yang baru
Universitas Sumatera Utara
yang telah ditulisnya, diredaksi oleh muridnya H. Crains dan menerbitkannya dua tahun selepas itu (Malinowski 1944). Bagi Malinowski (T.O. Ihromi 2006), mengajukan sebuah orientasi teori yang dinamakan fungsionalisme, yang beranggapan atau berasumsi bahwa semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat di mana unsur itu terdapat. Dengan kata lain, pandangan fungsionalisme terhadap kebudayaan mempertahankan bahwa setiap pola kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan, setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan dalam suatu masyarakat, memenuhi beberapa fungsi mendasar dalam kebudayaan yang bersangkutan. Menurut Malinowski, fungsi dari satu unsur budaya adalah kemampuannya untuk memenuhi beberapa kebutuhan dasar atau beberapa kebutuhan yang timbul dari kebutuhan dasar yaitu kebutuhan sekunder dari para warga suatu masyarakat. Kebutuhan pokok adalah seperti makanan, reproduksi (melahirkan keturunan), merasa enak badan (bodily comfort), keamanan, kesantaian, gerak dan pertumbuhan. Beberapa aspek dari kebudayaan memenuhi kebutuhankebutuhan dasar itu. Dalam pemenuhan kebutuhan dasar itu, muncul kebutuhan jenis kedua (derived needs), kebutuhan sekunder yang harus juga dipenuhi oleh kebudayaan. Pemikiran Malinowski mengenai syarat-syarat metode geografi berintegrasi secara fungsional yang dikembangkannya dalam kuliah-kuliahnya tentang metodemetode penelitian lapangan dalam masa penulisannya ketiga buku etnografi mengenai kebudayaan Trobriand selanjutnya, menyebabkan bahwa konsepnya mengenai fungsi sosial dari adat, tingkah laku manusia, dan pranata-pranata sosial menjadi mantap juga. Dalam hal itu ia membedakan antara fungsi sosial dalam tiga tongkat abstraksi (Koentjaraningrat, 1987:167), yaitu:
Universitas Sumatera Utara
1.
Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh atau efeknya, terhadap adat, tingkah laku manusia dan pranata sosial yang lain dalam masyarakat;
2.
Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi kedua mengenai pengaruh atau efeknya, terhadap kebutuhan suatu adat atau pranata lain untuk mencapai maksudnya, seperti yang dikonsepsikan oleh warga masyarakat yang bersangkutan;
3.
Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi ketiga mengenai pengaruh atau efeknya, terhadap kebutuhan mutlak untuk berlangsungnya secara integrasi dari suatu sistem sosial yang tertentu. Contohnya unsur kebudayaan yang memenuhi kebutuhan akan makanan
menimbulkan kebutuhuan sekunder yaitu kebutuhan untuk kerja sama dalam pengumpulan makanan atau untuk produksi; untuk ini masyarakat mengadakan bentukbentuk organisasi politik dan pengawasan sosial yang manjamin kelangsungan kewajiban kerja sama tersebut di atas. Jadi menurut pandangan Malinowski tentang kebudayaan, bahwa semua unsur kebudayaan akhirnya dapat dipandang sebagai hal yang memenuhi kebutuhan dasar para warga masyarakat. Seperti Malinowski, Arthur Reginald Radcliffe-Brown (1881-1955), seorang ahli lain dalam antropologi sosial berdasarkan teorinya mengenai prilaku manusia pada konsep fungsionalisme. Tetapi berlainan dengan Malinowski, radcliffe-Brown (Ihromi, 2006), mengatakan, bahwa berbagai aspek perilaku sosial, bukanlah berkembang untuk memuaskan kebutuhan individual, tapi justru timbul untuk mempertahankan struktur
Universitas Sumatera Utara
sosial masyarakat. Struktur sosial dari suatu masyarakat adalah seluruh jaringan dari hubungan-hubungan sosial yang ada. Radcliffe-Brown (Koentjaraningrat, 1987:175) hanya membuat deskripsi mengenai organisasi sosial secara umum, tidak mendetail, dan agak banyak membuat bahan mengenai upacara keagamaan, keyakinan keagamaan, dan mitologi. Dalam mendekripsi etnografi The Andaman Islander, itu merupakan contoh lain dari suatu deskripsi terintegrasi secara fungsional, di mana berbagai upacara agama dikaitkan dengan mitologi atau dongeng-dongeng suci yang bersangkutan, dan di mana pengaruh dan efeknya terhadap struktur hubungan antara warga dalam suatu komunitas desa Andaman yang kecil, menjadi tampak jelas. Metodologi deskripsi tersebut dengan sengaja dan sadar dipergunakannya, dan dapat dirumuskan mengenai upacara (Koentjaraningrat, 1987), sebagai berikut: 1.
Agar suatu masyarakat dapat hidup langsung, maka harus ada suatu sentimen dalam jiwa para warganya yang merangsang mereka untuk berprilaku sosial dengan kebutuhan masyarakat;
2. Tiap unsur dalam sistem sosial dan tiap gejala atau benda yang dengan demikian mempunyai efek pada solidaritas masyarakat, menjadi pokok orientasi dari sentimen tersebut; 3. Sentimen itu dalam pikiran individu dalam pikiran individu warga masyarakat sebagai akibat pengaruh hidup masyarakat; 4. Adat-istiadat upacara adalah wahana dengan apa sentimen-sentimen itu dapat diekspresikan secara kolektif dan berulang-ulang pada saat-saat tertentu;
Universitas Sumatera Utara
5. Ekspresi kolektif dari sentimen memelihara intensitas-intensitas itu dalam jiwa warga masyarakat, dan bertujuan meneruskannya kepada warga-warga dalam generasi berikutnya (1922:233-234). Radcliffe-Brown kemudian menyarankan untuk memakai istilah “fungsi sosial” untuk menyatakan efek dari suatu keyakinan, adat, atau pranata, kepada soladaritas sosial dalam masyarakat itu, dan ia merumuskan bahwa: “… the social function of the ceremonial customs of the Andaman Islanders is to transmit from one generation to another the emotional dispositions on which the society (as it constituted) depends for its existence.” Radcliffe-Brown juga memiliki teori yang sama dengan Malinowski yaitu teori fungsionalisme. Menurut beliau lebih menekankan teori fungsional struktural, ia mengatakan, “… bahwa berbagai aspek perilaku sosial, bukanlah berkembang untuk memuaskan kebutuhan individual, tapi justru timbul untuk mempertahakan struktur sosial masyarakat dan struktur sosial masyarakat adalah seluruh jaringan dari hubungan-hubungan sosial yang ada.” Jadi, menurut penulis, kedua teori fungsional ini memfokuskan fungsi-fungsi sosial budaya pada apa penyebabnya. Bagi Malinowski penyebab fungsi itu adalah pada kebutuhan dasar manusia sebagai individu-individu. Sementara menurut Radcliffe-Brown fungsi itu muncul untuk memenuhi sistem sosial yang telah dibangun berdasarkan kesepakatan bersama. Dalam konteks penelitian ini saman dalam kebudayaan masyarakat Gayo jika dianalisis dari teori fungsionalnya Malinowski bahwa setiap individu orang Gayo perlu mengekspresikan perasaan keindahannya melalui seni saman. Berbagai kegiatan dalam
Universitas Sumatera Utara
budaya Gayo seperti akikah, menambalkan anak, khitanan, perayaan hari besar agama Islam, menyambut tetamu, festival budaya menggunakan seni saman ini. Jadi faktor individulah yang paling dominan menurut teori fungsionalnya Malinowski ini. Kalau menurut teori fungsionalismenya Radcliffe-Brown maka semua aktivitas budaya yang melibatkan penggunaan seni saman adalah karena memenuhi sistem-sistem sosial yang dikendalikan secara bersama oleh masyarakat Gayo. Jadi menurut teori fungsionalisme Radcliffe-Brown, seni saman timbul karena kebutuhan masyarakat secara bersama, bukan karena individu.
1.4.3 Teori Weighted Scale Kemudian untuk mengkaji struktur musik yang digunakan dalam pertunjukan saman ini, penulis menggunakan teori weighted scale (bobot tangga nada), seperti yang ditawarkan oleh Wiliam P. Malm (1977). Teori weighted scale adalah teori yang lazim digunakkan untuk menganalisis atau mendeskripsikan melodi berdasarkan delapan unsur melodis yang terdiri dari delapan unsur, yaitu sebagai berikut: (1) tangga nada; (2) wilayah nada (ambitus); (3) nada dasar (tone center); (4) jumlah nada-nada, (5) distribusi interval, (6) formula melodi, (7) pola-pola kadensa, dan (8) kantur. Demikian kira-kira gambaran umum teori yang akan penulis gunakan nantinya dalam mengkaji makna gerak tari, makna teks, dan struktur musik yang dipertunjukan dalam seni saman di Blang Kejeren, Gayo, Nanggroe Aceh Darussalam.
1.5
Metode Penelitian Metode yang di gunakan dalam penelitian ini adalah metode deskripsi yaitu
dengan menggambarkan atau mengamati fakta-fakta yang sedang berlangsung. Teknik
Universitas Sumatera Utara
pengumpulan data dan penelitian ini adalah observasi dan wawancara. Tekhnik pengolahan dan analisa data di gunakan metode deskripsi kualitatif yaitu, menguraikan bagaimana Makna gerak tari Saman pada suatu pertunjukan. Bentuk gerak tari Saman adalah gerak salawat 39 dengan pola hitungan (4x8), saleum
40
dengan pola hitungan
(2x8), gerak kisah dengan pola hitungan (4x8), gerak ekstra dengan pola hitungan (4x8), gerak penutup dengan pola hitungan (4x8). Dengan demikian, dapat di simpulkan bahwa gerak tari Saman mempunyai hitungan rata-rata 2x lambat 2x cepat (4x8). Tari saman sering di tampilkan pada acara seperti Maulid Nabi Besar SAW, sunat Rasul, Isra Mi’Raj, adat perkawinan, perlombaan dan acara-acara hiburan lainnya. Dengan jumlah penari 15 sampai 17 orang dan 2 orang Syahi 41 (vokal) atau Aneuk Syekh. 42 Sesuai dengan masalah yang di ajukan, maka penulis memakai metode deskriptif, untuk mengumpulkan informasi mengenai tari Saman yang sebenarnya. Ini sesuai dengan yang di katakan Arikunto, (2003:309-310), yaitu penelitian deskriptif merupakan penelitian yang di maksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status, satu gejala yang ada yaitu gejala menurut apa adanya pada saat penelitian di lakukan. Adapun pengertian deskriptif menurut Sukardi (2003:15) adalah metode yang berusaha menggambarkan objek atau subjek yang di teliti sesuai dengan apa adanya. Tujuannya adalah menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik objek yang di teliti secara tepat.
39
Salawat adalah istilah yang merujuk kepada puji-pujian untuk Nabi atau doa kepada Nabi.Contohnya adalah allahuma shali ala saidina Muhammad wa ala ali saidina Muhammad, kama sholaita ala saidina Ibrohim wa ala ali saidina Ibrohim fil alamina inaka hamidul majid. 40 Saleum,adalah lagu awal pada tari saman, yang menandakan tari tersebut dimulai, juga bermakna sebagai syair lagu awal. 41 Syahi adalah pemain utama dalam tari saman. 42 Aneuk Syekh, pemain utama dalam saman yg memberi aba-aba kepada penari lainnya.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Merriam, dalam etnomusikologi, dikenal istilah teknik lapangan dan metode lapangan. Teknik mengandung arti pengumpulan data-data secara rinci di lapangan. Metode lapangan sebaliknya mempunyai cakupan yang lebih luas, yang meliputi dasar-dasar teoretis yang menjadi acuan bagi teknik penelitian lapangan. Teknik menunjukkan pemecahan
masalah pengumpulan
data hari demi hari,
sedangkan metode mencakupi teknik-teknik dan juga berbagai pemecahan masalah sebagai bingkai kerja dalam penelitian lapangan (Merriam, 1964:39-40). Selain itu dalam penelitian seni dikenal metode penelitian kualitatif dan kuantitatif. Penelitian kualitatif pada hakikatnya bertujuan untuk mencari makna-makna yang terkandung daripada kegiatan atau artefak tertentu. Selanjutnya penelitian kuantitatif biasanya bertujuan untuk mengukur fenomena yang ada berdasarkan rentangan-rentangan kuantiti tertentu. Sejauh pengamatan penulis, kajian seni lebih banyak didekati oleh metode kualitatif. Namun metode kuantitatif juga diperlukan dalam mengkaji seni. Yang perlu difahami adalah kedua metode digunakan sesuai untuk membahas permasalahan apa. Misalnya untuk mengkaji seberapa banyak degradasi jumlah ronggeng Melayu di Sumatera Utara, tentu metode yang sesuai adalah metode kuantitatif. Sebaliknya untuk mengetahui sejauh mana makna semiotik yang ingin dikomunikasikan seniman dalam pertunjukan guro-guro aron, tentulah lebih sesuai didekati dengan metode kualitatif. Dalam konteks penelitian tertentu, bahkan kedua-dua metode diperlukan. Denzin dan Lincoln menyatakan secara eksplisit tentang penelitian kualitatif sebagai berikut.
Universitas Sumatera Utara
QUALITATIVE [sic.] research has a long and distinguished history in human disiplines. In sociology the work of the "Chicago school" in the 1920s and 1930s established the importance of qualitative research for the study of human group life. In anthropology, during the same period, ...charted the outlines of the field work method, where in the observer went to a foreign setting to study customs and habits of another society and culture. ...Qualitative research is a field of inquiry in its own right. It crosscuts disiplines, fields, and subject matter. A complex, interconnected, family of terms, concepts, and assumtions surround the term qualitative research (Denzin dan Lincoln, 1995:1).
Lebih jauh Nelson menjelaskan mengenai apa itu penelitian kualitatif berikut keberadaannya dalam dunia ilmu pengetahuan adalah seperti yang diperturunkan berikut ini. Qualitative research is an interdisiplinary, transdisiplinary, and sometimes counterdisiplinary field. It crosscuts the humanities and the social and physical sciences. Qualitative research is many things at the same time. It is multiparadigmatic in focus. Its practitioners are sensitive to the value of the multimethod approach. They are commited to the naturalistic perspective, and to the interpretive understanding of human experience. At the same time, the field is inherently political and shaped by multiple ethical and political positions (Nelson dan Grossberg 1992:4).
Dari kedua kutipan di atas secara garis besar dapat dinyatakan bahwa penelitian kualitatif umumnya ditujukan untuk mempelajari kehidupan kelompok manusia. Biasanya manusia di luar kumpulan peneliti. Penelitian ini melibatkan berbagai jenis disiplin, baik dari ilmu kemanusiaan, sosial, ataupun ilmu alam. percaya kepada perspektif naturalistik, serta menginterpretasi
Para penelitinya untuk mengetahui
pengalaman manusia, yang oleh karena itu biasanya inheren dan dibentuk oleh berbagai nilai etika posisi politik. Namun demikian, penelitian seni dengan metode kualitatif juga selalu melibatkan data-data yang bersifat kuantitatif dengan melihat kepada pernyataan S. Nasution
Universitas Sumatera Utara
bahwa setiap penelitian (kualitatif dan kuantitatif) harus direncanakan. Untuk itu diperlukan desain penelitian. Desain penelitian merupakan rencana tentang cara pengumpulan dan menganalisis data agar dapat dilaksanakan secara ekonomis serta serasi dengan tujuan penelitian itu. Dalam desain antara lain harus dipikirkan: (a) populasi sasaran, (b) metode sampling, (c) besar sampling, (d) prosedur pengumpulan data, (e) cara-cara menganalisis data setelah terkumpul, (f) perlu tidaknya menggunakan statistik, (g) cara mengambil kesimpulan, dan sebagainya (Nasution, 1982:31). Edi
Sedyawati
juga
mengungkapkan
perlunya
tahapan-tahapan dalam
meneliti seni tari. Penelitian seni tari juga dapat kita bagi ke dalam tiga macam atau tahap, yakni: (1) pengumpulan; (2) penggolongan; dan (3) penganalisisan dan penulisan. Khusus untuk seni tari, ada satu lagi yang dapat kita sebut sebagai tahap nomor empat, yaitu pengolahan atau persembahan (Sedyawati, 1984:116).
1.5.1 Studi Kepustakaan Dalam rangka kerja studi kepustakaan yang berkaitan dengan penulisan tari saman ini, maka sebahagian besar digunakan buku-buku yang secara saintifik dipandang relevan dan berkait dengan pokok masalah penelitian. Di antara buku-buku tersebut adalah sebagai berikut. 1.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan kantor Wilayah Propinsi Derah Istimewa Aceh, yang berjudul Diskripsi Tari Saman Propinsi Daerah istimewa Aceh, tahun 1991/1992, yang di dalamnya terdapat pembahasan tentang sejarah tari saman dan bentuk-bentuk tari saman.
Sejarah tari
Universitas Sumatera Utara
saman yang dibahas mencakup masa kesultanan Aceh, masa penjajahan Belanda,, dan masa kemerdekaan yang mempengaruhi perkembangan tari saman di Aceh. 2. M.H. Gayo yang berjudul Rakyat Gayo di Pedalaman Aceh, yang di dalamnya terdapat uraian tentang kehidupan suku Gayo dan Kejurun daerah di Tanah Gayo dan Alas. Buku ini lebih banyak mengupas sisi daerah geografis dan kebudayaan masyarakat Gayo secara umum. 3. Thantawy R yang berjudul Perkembangan dan Pembinaan Kesenia Gayo, yang di dalamnya terdapat tentang perkembangan saman. Tulisan ini berpandukan kepada aspek sejarah. 4. Azhar Munthasir, dkk. yang berjudul Adat Perkawinan Etnis Alas, yang di dalamnya berisi tentang kebudayaan Aceh dan adat perkawinan etnis Alas. Adat perkawinan pada suku Alas di Nanggroe Aceh Darussalam merupakan hasil akulturasi budaya Alas, Aceh Rayeuk, dan peradaban Islam. 5. Radius dkk. yang berjudul Adat Perkawinan Etnis Singkil, yang berisi tentang adat istiadat perkawinan pada suku etnis Aceh Singkil. Buku ini juga berbentuk deskripsi mendalam tentang rangkaian upacara adat perkawinan masyarakat Aceh di Singkil. 6.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang berjudul Pengetahuan, Keyakinan, Sikap, dan Prilaku Generasi Muda Berkenaan dengan Perkawinan Tradisional, di dalam buku ini berisikan tentang pengetahuan terhadap perkawinan tradisional, dengan beberapa contoh di seluruh Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
7. Muhammad Takari yang berjudul “Mengenal Teori Fungsionalisme” (2009), dalam tulisan ini berisikan tentang teori-teori fungsi. Dalam tulisan ini Takari menguraikan berbagai contoh teori fungsi dalam ilmu linguistic, komunikasi, antropologi, sosiologi, dan etnomusikologi, yang sebenarnya memiliki berbagai kesamaan, namun cukup diwarnai oleh para pakar teori ini di bidang-bidang ilmu tersebut. 8. Salman Yoga, yang berjudul Adat Budaya Gayo dalam Lintasan Sejarah, yang berisikan tentang adat istiadat budaya Gayo. Pengarang buku ini mendeskripsikan secara umum bagaimana kebudayaan Gayo yang mencakup bahasa, struktur sosial, sejarah, dan upacara-upacara adat Gayo di Nanggroe Aceh Darussalam. 9. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan Daerah Istimewa Aceh yang berjudul Dampak Pengembangan Pariwisata terhadap Kehidupan Sosial di Daerah Istimewa Aceh, yang berisikan tentang budaya dan kesenian pariwisata Aceh. 10. Majelis Ulama Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh, yang berjudul “Bagaimana Islam Memandang Kesenian” (1972) yang berisikan tentang bagaiman agama Islam memandang kesenian dari sudut keagamaan. 11. T.Christomy dan Untung Yuwono yang berjudul Semiotik Budaya, yang berisikan tentang semiotik budaya, buku ini doterbitkan pada tahun 2004. 12. Alan P. Merriam menulis buku yang berjudul The Anthropology of Music, yang berisikan tentang ilmu antropologi musik. Di dalam buku ini juga
Universitas Sumatera Utara
dibahas secara mendalam bagaimana guna dan fungsi musik di dalam kebudayaan manusia di dunia ini. 13. Malinowski yang berjudul “Teori Fungsional dan Struktural”, yang berisikan tentang teori-teori fungsional dan struktural. Tulisan ini dimuat dalam buku Teori Antropologi I dengan editor Koentjaraningrat (1991). 14. Mohammad Said menulis buku yang berjudul Aceh Sepanjang Abad (Jilid I) yang diterbitkan tahun 2007. Buku ini berisikan tentang sejarah rakyat Aceh sepanjang abad dan perjuangan Rakyat Aceh dalam memperjuangkan kemerdekaan rakyat Aceh. Pendekatan yang dilakukan Mohammad Said adalah pendekatan sejarah. 15. Mohammad Said menulis buku yang berjudul Aceh Sepanjang Abad (Jilid II), buku ini berisikan tentang sejarah rakyat Aceh sepanjang abad dan perjuangan rakyat Aceh dalam memperjuangkan kemerdekaan rakyat Aceh, diterbitkan tahun 2007. 16. Sugiyono menulis buku yang berjudul Metode Penelitian Kuantitatif & Kualitatif
dan R & D, buku ini berisikan tentang metode penelitian
kuantitatif dan kualitatif. 17. Abdul Hadjat menulis ensiklopedia yang bertajuk Ensiklopledi Musik dan Tari Daerah Propinsi Istimewa Aceh. Banda Aceh : Depdikbud Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. Buku ini berisikan tentang Ensiklopledi Musik dan Tari-tarian yang terdapat di Provinsi Istimewa Aceh, buku ini diterbitkan tahun 1986.
Universitas Sumatera Utara
18. Hanafiah M. Adnan menulis buku yang bertajuk
Cerita Rakyat Tokoh
Utama Mitologi dan Legendaris Daerah Istimewa Aceh. Buku ini diterbitkan di Banda Aceh oleh Depdikbud Pusat dan Penelitian Sejarah Budaya Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, tahun 1978. Buku ini berisikan tentang cerita-cerita rakyat Aceh dan legenda yang berkembang di masyarakat Aceh. 19. Abdullah Adnan. menulis buku yang bertajuk Migrasi dan Kelompok Etnis di Aceh. Diterbitkan di Banda Aceh
oleh Sinar Darussalam No.96/07,
dalam tahun 1996. Buku ini berisikan tentang Migrasi dan kelompokkelompok etnik yang terdapat di Aceh. 20. Abdullah Adnan mengarang sebuah buku yang bertajuk Kebudayaan SukuSuku Bangsa di Daerah Aceh. Banda Aceh: Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat ( LPM ) Universitas Syiah Kuala. Buku ini berisikan tentang Kebudayaan dan suku-suku Bangsa yang terdapat di daerah Aceh. Diterbitkan tahun 1994. 21. Anonim. Kamus Gayo Indonesia, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Buku ini berisikan tentang kamus bahasa Gayo. Diterbitkan tahun 1985. 22. Ahmad Zakaria. Permainan Rakyat Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Banda Aceh: Depdikbud Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. Buku ini berisikan tentang permainan-permainan rakyat yang berkembang di masyarakat Aceh dan terdapat di daerah Aceh, diterbitkan tahun 1980.
Universitas Sumatera Utara
23. Idris. Peralatan Hiburan dan Kesenian Tradisional Propinsi Istimewa Aceh, Banda Aceh: Depdikbud Dirjenbud Dirjaranitra P2NB. Buku ini berisikan tentang tentang perlatam-perlatan hiburan dan kesenian tradisional Aceh yang terdapat di masyarakat Aceh. Diterbitkan pada tahun 1993. 24. Nurdin Fauziah N.M.A. Seni Tari Suara Tradisional Aceh dan Keberadaan dan Masa Kini, yang diterbitkan oleh satuan Kerja BRR (Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi) bidang Revitalisasi dan Pengembangan Kebudayaan Pariwisata Banda Aceh. Buku ini berisikan tentang perkembangan seni tari di Aceh dan upaya pemungsiannya di masa pasca tsunami. Buku ini diterbitkan tahun anggaran 2006/2007. 25. Soedarsono, menulis buku yang berjudul Beberapa Masalah Perkembangan Tari di Indonesia. Diterbitkan di Surakarta tahun 1972. Di dalam buku ini dideskripsikan tentang masalah perkembangan seni tari di Indonesia secara umum, dan banyak mengambil contoh-contoh tari di Jawa dan Bali. 26. Soedarsono, yang juga menulis buku yang bertajuk Tari-tari di Indonesia. Diterbitkan di Jakarta oleh Proyek Pengembangan Media dan Kebudayaan pada tahun 1977. Dalam buku ini dideskripsikan mengenai tari-tari yang terdapat di Indonesia dari wilayah Aceh sampai ke Papua. 27. Lailima S. dan H. Ihsan, menulis buku yang bertajuk Tarian di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Buku ini diterbitkan di Banda Aceh tahun 2004, sebagai dokumentasi oleh Sanggar Tari CutNyak Dhien Meuligoe Nanggroe Aceh Darussalam. Secara umum buku ini berisikan deskripsi
Universitas Sumatera Utara
panjang tentang tari-tarian yang ada di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 28. Yusmidar menulis buku yang berjudul Mengenal Tari Tradisional Aceh, yang kemudian diterbitkan oleh Dinas Pendidikan Banda Aceh, Provinsi Daerah Istimewa Aceh, tahun 1999. Pada dasarnya buku ini berisikan uraian mengenai tari-tarian dan jenis-jenisnya yang terdapat di kawasan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. 29. Ali Hasymy menulis buku yang bertajuk Kebudayaan Aceh dalam Sejarah. Buku ini diterbitkan oleh Penerbit Benua di Jakarta tahun 1983. Adapun isi buku ini secara umum adalah uraian mengenai kebudayaan Aceh, filsafatfilsafatnya, dan sejarah perkembangan kebudayaan Aceh. 30. T.A. Hasan Husein, menulis buku yang bertajuk Upacara Tradisional Daerah Istimewa Aceh. Buku ini diterbitkan di Banda Aceh oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dalam rangka Proyek IDKD Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Buku ini berisikan deskripsi seputar upacara-upacara yang terdapat di daerah Aceh. Inilah sebahagian pustaka penting yang menjadi rujukan penulis dalam rangka mengkaji keberadaan tari saman di Blangkejeren, Nanggroe Aceh Darussalam. Keberadaan sumber tertulis ini menjadi dasar utama keilmuan penulis dalam rangka meneliti dan kemudian menganalisisnya berdasarkan multidisiplin dan interdisiplin ilmu, sebagaimana yang selama ini penulis peroleh dari kuliah di Program Studi Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara Medan. Selanjutnya penulis melakukan penelitian lapangan.
Universitas Sumatera Utara
1.5.2 Penelitian Lapangan Penelitian lapangan (field work) adalah menjadi focus utama kegiatan penulis dalam rangka penelitian saman di Blangkejeren Nanggroe Aceh Darussalam ini. Hal ini dilakukan mengacu kepada disiplin etnomusikologi dan antropologi yang sangat mementingkan penelitian lapangan. Hal ini selaras dengan yang dikemukakan Bandem dalam konteks kegiatan ilmuwan etnomusikologi di dunia ini. Menurut I Made Bandem, etnomusikologi merupakan sebuah bidang keilmuan yang topiknya menantang dan menyenangkan untuk diwacanakan. Sebagai disiplin ilmu musik yang unik, etnomusikologi mempelajari musik dari sudut pandang sosial dan budaya. Sebagai disiplin yang amat populer saat ini, etnomusikologi merupakan ilmu pengetahuan yang relatif muda umurnya. Kendati umurnya baru sekitar satu abad, namun dalam uraian tentang musik eksotik sudah dijumpai jauh sebelumnya. Uraianraian tersebut ditulis oleh para penjelajah dunia, utusan-utusan agama, orang-orang yang suka berziarah dan para ahli filologi. Pengenalan musik Asia di Dunia Barat, pada awal-awalnya dilakukan oleh Marco Polo, pengenalan musik China oleh Jean-Babtise Halde tahun 1735 dan Josep Amiot tahun 1779. Kemudian musik Arab oleh GuillaumeAndre Villoeau hun 1809. Periode ini dipandang sebagai awal perkembangan etnomusikologi. Masa ini pula diterbitkan Ensiklopedi Musik oleh Jean-Jaques Rousseau, tepatnya tahun 1768, yang memberi semangat tumbuhnya etnomusikologi (Bandem, 2001:1-2) Kerja lapangan yang dilakukan penulis dalam penelitian ini adalah observasi dan wawancara. Observasi adalah pengamatan dengan cara sebagai pengamat yang terlibat dalam kegiatan seni secara langsung. Kemudian wawancara adalah dilakukan
Universitas Sumatera Utara
kepada terutama informan kunci untuk mengetahui makna-makna tari saman dalam konteks kebudayaan Gayo.
1.5.2.1 Observasi Observasi di gunakan untuk memgetahui secara langsung bentuk penyajian tari saman. Tari saman merupakan suatu kegiatan yang dilihat langsung dalam aspek penyajian yaitu gerak, pola lantai, bentuk syair, busana dan tata rias penari saman. Dalam observasi ini penulis mempersaksikan pertunjukan saman di beberapa peristiwa budaya, terutama saman jalu (bertanding) dan saman biasa. Pentingnya melakukan observasi ini adalah untuk melihat langsung pertunjukan dan kemudian melakukan wawancara. Selepas itu penulis akan menganalisisnya dan melakukan penafsiranpenafsiran cultural berdasarkan ilmu dan pengalaman yang penulis peroleh selama ini.
1.5.2.2 Wawancara Wawancara merupakan suatu cara untuk mengumpulkan data atau memperoleh informasi secara langsung bertatap muka dengan informan, sehingga mendapatkan gambaran lengkap tentang objek yang sedang diteliti. Wawancara dilakukan dengan penari, pelatih, dan tokoh tari
di Medan maupun di Daerah Aceh Nanggroe
Darussalam. Wawancara dilakukan sesuai dengan format yang telah penulis siapkan dengan tujuan data-data yang di inginkan akan di uraikan, sehingga mendukung hasil penelitian. Hal-hal yang akan diwawancarai berkaitan dengan empat pokok masalah, yaitu (1) makna tari saman pada suatu pertunjukan, yang mencakup makna gerak, pola lantai, bentuk syair, busana, dan tata rias tari saman di Nanggroe Aceh Darusalam; (2)
Universitas Sumatera Utara
makna teks atau lirik saman yang dinyanyikan oleh syekh maupun penari; (3) fungsi sosial dan budaya saman dalam kebudayaan masyarakatnya; dan (4) struktur musik saman.
1.5.2.3 Kerja Laboratorium Setelah pengumpulan data di laksanakan, data penelitian ini diolah dengan menggunakan pendekatan kualitatif yaitu, dengan mendeskripsikan makna, gerak, pola lantai, bentuk syair, busana, dan tata rias tari saman. Selanjutnya menganalisis makna syair atau teks yang disajikan oleh syeikh dan penari saman. Analisis teks ini mencakup makna denotatif, konotatif, diksi, gaya bahasa, dan sejenisnya. Seterusnya berdasarkan fakta sosial, penulis akan menganalisis guna dan fungsi seni saman dalam kebudayaan masyarakat Gayo di Blangkejeren Nenggroe Aceh Darussalam. Seterusnya, sesuai dengan bidang keilmua penulis yaitu pengkajian seni, maka tidak lupa penulis akan mengkaji struktur musik yang digunakan untuk mengiringi tari saman ini. Kemudian tentu saja penulis harus melakukan deskripsi atau uraian hubungan antara tari dan musik saman. Sebelum menganalisis tari saman terlebih dahulu penulis mendeskripsikannya, dengan menggunakan gambar dalam bentuk foto dan dijelaskan dengan kalimat demi kalimat. Ini dilakukan untuk mempermudah para pembaca mengerti gambaran visual yang terjadi. Demikian pula untuk mengkaji struktur musik, penulis terlebih dahulu mentranskripsikannya dalam bentuk visual, yang merupakan pemindahan dimensi dengar ke dimensi penglihatan. Adapun transkripsi dilakukan dengan pendekatan transkripsi preskriptif, yaitu menuliskan nada-nada utama, tidak serinci mungkin. Hal
Universitas Sumatera Utara
ini dilakukan berdasarkan penelitian bahwa kebudayaan musik Aceh umumnya mengutakan sajian teks atau syair, dengan demikian termasuk budaya musik yang logogenik. 43
1.6 Lokasi Penelitian Dalam tulisan ini akan di bahas hasil penelitian tentang tari saman yang di laksanakan di daerah Blang kejeren, Penetilian ini di laksanakan di Desa Blang Bengkik, kecamatan Sending Jaya Dengan daftar observasi terlampir serta di lengkapi dengan foto-foto mengenai gerak tari saman, hasil penelitian tersebut dapat di paparkan sebagai berikut. Tari saman adalah salah satu bentuk tarian tradisional. Tari saman berasal dari daerah suku Gayo yang berdiam di Aceh Tengah, Suku Alas di Aceh Tenggara (Blang Kejeren). Kemudian berkembang di Kabupaten Gayo Lues. Penduduk Kabupaten Gayo Lues pada umumnya terdiri dari suku Gayo. Semua penduduknya beragama Islam. Letak daerahnya di sekitar pegunungan Blang Kejeren. Masyarakat di desa ini pada umumnya bermata pencahariannya adalah sebagai petani, pedagang, dan sebagai pegawai negri. 43
Yang dimaksud logogenik adalah satu kebudayaan musik etnik atau musik dunia, yang ciri khas utamanya adalah menggunakan dan menumpukan teks yang dikomunikasikan secara verbal. Biasanya menggunakan salah satu atau perpaduan unsur-unsur ritme, melodi, atau harmoni. Dalam kebudayaan musik logogenik ini, unsur sasera dan folklor mendapat peranan penting. Namun agak berbeda dengan bahasa sehari-hari, teks disajikan melalui lagu bukan bahasa sehari-hari. Dengan demikian nyanyian jenis ini selalu menggunakan bahasa yang digayakan dan mengandung unsur-unsur perlambangan. Adakalanya bersifat rahasia seperti yang terdapat pada mantera. Seterusnya, jika sebuah kebudayaan musik mengutamakan aspek melodi atau ritme saja, bukan menekankan kepada teks, maka musik seperti ini dapat dikategorikan sebagai budaya musik melogenik. Musik seperti ini, lebih menumpukan pertunjukan kepada aspek komunikasi bukan lisan terutama menggunakan dimensi waktu dan ruang. Untuk mengkaji makna yang diungkapkan melalui ritme, melodi atau bunyi-bunyia lainnya, diperlukan pemahaman dan penafsiran dengan cara menyelidikinya, terutama apa yang ingin dikomunikasikan pencipta musik atau senimannya, yang bisa ditelusuri melalui pikiran mereka (bandingkan dengan Malm, 1977).
Universitas Sumatera Utara
Penelitian ini penulis lakukan di desa Blang Bengkik di Kecamatan Sending Jaya, Kabupaten Gayo Lues, Komunikasi antara penduduk di sini penulis perhatikan menggunakan bahasa Gayo dan Bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi dan bahasa komunikasi antar etnis mereka. Masyarakat Blang Bengkik tidak mudah menerima adat-adat baru dari pendatang luar, karena pada umumnya mereka masih berpijak kepada adat tradisional daerah mereka. Saat ini upacara-upacara tradisional masih kuat melekat di kalangan mereka dalam acara adat seperti adat perkawinan, sunat Rosul, dan memperingati hari-hari besar. Masyarakat Blang Bengkik tidak hanya menampilkan tari saman, namun berbagai bentuk kesenian lain seperti tari rateeb meuseukat, tari rapa’i saman, tari laweut, tari raneup lampuan, tari likok puloh, tari pho, dan tari lainnya. Tari saman di desa ini merupakan kesenian tradisional yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Blang Bengkik. Tari ini berpatokan kepada tradisi, karena pada umumnya masyarakat Blang Bengkik menampilkan tari saman pada acara tertentu, seperti memperingati hari-hari besar seperti, pada perkawinan, sunat rosul, dan acara hiburan lainnya. Sumber data dalam penelitian ini adalah: (1) para penari dan pemusik tari saman di Blangkejeren, Takengon, Banda Aceh, dan Medan; (2) pelatih tari saman di Blangkejeren, Takengon, Banda Aceh, dan Medan; (3) tokoh-tokoh tari saman di Blangkejren, Takengon , Banda Aceh, dan Medan; dan (4) para narasumber di Blangkejeren, Takengon, Banda Aceh, dan Medan. Dengan kerja yang sedemikian rupa ini maka diharapkan tesis ini akan mengikuti standar penelitian yang
berlaku di
Program Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
Universitas Sumatera Utara
1.7 Sistematika Penulisan Tesis ini ditulis dalam bentuk bab demi bab. Setiap bab secara saintifik dianggap memiliki isi yang dekat. Setiap bab akan dibagi menjadi sub-sub bab. Secara keseluruhan tesis ini di bagi ke dalam tujuh bab, dengan perincian sebagai berikut. Pada Bab I yang merupakan pendahuluan, akan diisi oleh uraian mengenai latar belakang masalah, pokok permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian (dirinci menjadi tujuan penelitian serta manfaat penelitian), kerangka teori (yang diuraikan lagi dengan menggunakan dua teori besar yaitu semiotik dan fungsionalisme--untuk teori semiotik digunakan empat aliran yaitu semiotik Ferdinand de Saussure, Charles Sanders Peirce, Roland Barthes, dan Halliday), teori fungsionalisme, metode penelitian (yang diperinci lagi menjadi studi kepustakaan dan penelitian lapangan yang terdiri dari: observasi dan wawancara serta kerja laboratorium) , lokasi penelitian, Gambaran Umum Lokasi Penelitian dan sistematika penulisn. Bab II adalah etnografi masyarakat Gayo di Balngkejeren. Bab ini terdiri dari lima belas sub bab, yaitu: Nanggroe Aceh Darussalam, masyarakat Aceh, keadaan geografis Blangkejeren, jumlah penduduk suku Ach, suku Gayo, kebudayaan suku Gayo, asal-usul suku Gayo, kejurun di Tanah Gayo dan Alas, sistem pemerintahan di daerah Gayo, tempat pemukiman suku Gayo, unsut-unsur kesenian dalam budaya Gayo, sistem kekerabatan suku Gayo, struktur sosial masyarakat Gayo, upacara tradisional suku Gayo, dan senjata tradisional Gayo. Bab III diberi berisikan tentang : Sejarah Saman dan Makna Gerak Saman. Bab ini terdiri dari sub-sub bab asal usul dan arti saman, keberadaan tari saman di Aceh, penari saman (jumlah penari saman, komposisi penari saman), ragam gerak, tata
Universitas Sumatera Utara
penyajian tari saman, lagu pada tari saman, penyajian tari saman jalu (, teknik bertanding saman jalu, sistem bertanding), tempat pagelaran tari saman, musik iringan tari saman, urutan lagu pada saman, bentuk penyajian tari saman dan maknanya (yang dibagi menjadi gerak, gerak awal, gerak selawat, gerak saleum, gerak kisah Le Laot, gerak kisah Tiwah Ceunangro, gerak kisah Hodoiyan, gerak kisah ekstra kosong tanpa syair, gerak lanie keteupok geudo keu lakeuretah, gerak lanie heuk katijan naten-naten, gerak lanie Nanggroe Aceh Darussalam, gerak lanie terakhir seb ube nyangka, dan gerak salam penutup, pakaian dan properti tari saman. Bab IV adalah berjudul Kajian Makna Teks Lagu-lagu Saman. Bab ini dbangun oleh sub-sub bab keberadaan teks pada lagu saman, logogenik, kata-kata nasehat keketar, syair lagu Muneging, teks pada lagu Salam ke Penonton, teks Uluni Lagu, teka lagu-lagu, dan teks lagu penutup (yang dibagi lagi menjadi teks lagu gerak kisah le laot, teks lagu gerak kisah tiwah kisah ceunangro, teks gerak kisah hodaiyan, teks lagu gerak kisah lane keteupok geudo keu lakeuretek, teks lagu gerak kisah lanie heuk katijan naten-naten, teks lagu gerak kisah Nanggroe Aceh Darussalam, teks lagu gerak kisah lanie terakhir seb ube nyangku, dan teks lagu gerak kisah salam penutup. Bab V diberi judul Fungsi Sosiobudaya Saman, yang terdiri dari pengertian penggunaan dan fungsi saman, penggunaan tari saman, (yang dibagi menjadi upacara pesta kawin, upacara pesta khitan /sunat Rasul), upacara menabalkan nama anak, upacara melepas dan menyambut haji, upacara membuka dan menutup musabaqah tilawatil Qura’an, dan upacara khatam Al-Qur’an), fungsi saman (yang dibagi lagi menjadi integrasi sosiobudaya, kelestarian budaya, hiburan, ibadah agama Islam, ekspresi emosi, dan ekspresi estetika.
Universitas Sumatera Utara
Bab VI Struktur Musik dan Hubungannya dengan Tari dan Teks, yang dibagi lagi menjadi notasi dan transkripsi lagu, proses pentranskripsian, sampel lagu, analisis struktur delapan lagu saman berdasarkan delapan parameter (tangga nada, nada dasar, wilayah nada, jumlah nada, interval, kantur; hubungan dalam dimensi waktu (meter, tempo, dan siklus), dan hubungan dalam dimensi ruang. Bab VII Kesimpulan dan Saran, bab ini dibagi lagi menjadi kesimpulan dan beberapa saran dalam konteks penelitian ini.
Universitas Sumatera Utara