EFEKTIVITAS PROTOKSIN Bacillus thuringiensis subsp. aizawai, KONIDIA Beauveria bassiana DAN CAMPURANNYA TERHADAP ULAT GRAYAK Spodoptera litura F.
EKA SUKMAWATY G 351090191
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Efektivitas protoksin Bacillus thuringiensis subsp. aizawai, konidia Beauveria bassiana,dan campurannnya terhadap ulat grayak Spodoptera litura F.” merupakan gagasan dan karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Mei 2012
Eka Sukmawaty G351090191
ABSTRACT EKA SUKMAWATY. Effectivity of Bacillus thuringiensis subsp. aizawai Protoxin, Beauveria bassiana Conidia, and Their Mixtures to Spodoptera litura F Armyworm. Supervised by NISA RACHMANIA MUBARIK and LISDAR A MANAF. Armyworm or (Lepidoptera:Noctuidae) is one of main pest in plant crop. This pest might cause damage on the leaves and stems and reduce of crop production. Bacillus thuringiensis subsp. aizawai and Beauveria bassiana have been known as biocontrol agent to this pest. This research was aimed to observe the production time of B. thuringiensis subsp. aizawai toxin, measure the effect of toxin against Be. bassiana conidia, to test the activity of toxin, conidia and their mixture against S. litura. B. thuringiensis subsp. aizawai was grown on specific medium for B. thuringiensis. Toxin production of the isolate was measured every 4 hours up to 48 hours incubation. Be. bassiana was grown on the white rice medium and its conidia was grown on the Potato Dextrose Agar medium containing toxin. The activity test of toxin B. thuringiensis, Be. bassiana conidia, and their mixture was done by spraying them to S. litura larvae. The stasionary phase of B. thuringiensis was obtained at 16 hours incubation and the maximal toxin production at 48 hours. The highest mortality of S. litura larvae caused by toxin activity was 63.3% at 48 hours incubation. The highest mortality caused by conidia infection activity was 80% at the concentration of 108 conida ml-1. The highest mortality caused by their mixture was 96,7%. Key words: Bacillus thuringiensis subsp. aizawai, Beauveria bassiana, toxin, mortality, Spodoptera litura.
RINGKASAN EKA SUKMAWATY. Efektivitas protoksin Bacillus thuringiensis subsp. aizawai, konidia Beauveria bassiana, dan campurannya terhadap larva grayak (Spodoptera litura). Dibimbing oleh NISA RACHMANIA MUBARIK dan LISDAR A MANAF. Salah satu ancaman dalam peningkatan produksi tanaman palawija dan sayuran ialah serangan hama ulat grayak (Spodoptera litura). Bacillus thuringiensisdan Beauveria bassiana telah dikenal sebagai agen bioinsektisida yang ramah lingkungan untuk mengendalikan beberapa jenis hama bahkan untuk mengatasi serangan hama yang lebih kompleks. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahuiwaktu produksi toksin B. thuringiensissubsp. aizawai, dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan konidia Be. Bassiana, serta mengetahui aktivitas toksin, konidia dan campurannya terhadap mortalitas larva ulat grayak. Bacillus thuringiensis ditumbuhkan pada medium selektif dan dilakukan pengukuran absorbansi kurva tumbuh serta konsentrasi toksin (protein Cry) setiap 4 jam dengan metode Bradford. Pengamatan kristal protein dilakukan melalui pewarnaan morfologi kristal dengan larutan Commasie Brilliant Blue G250 menggunakan mikroskop cahaya dan mikroskop fase kontras. Be. bassiana ditumbuhkan pada media kultur beras selama dua minggu. Pengujian toksin B. thuringiensis terhadap konidia Be. bassiana dilakukan dengan menumbuhkan konidia pada media Potato Dextrose Agar yang mengandung toksin. Pengamatan jumlah koloni Be. bassiana yang tumbuh dilakukan setelah 3 hari dan konidia yang dihasilkan dihitung setelah 15 hari perlakuan. Pengujian daya insektisida dilakukan dengan penyemprotan dengan menggunakan masing-masing toksin B. thuringiensis, konidia Be. Bassiana, dan campuran keduanya terhadap larva grayak instar 3. Pertumbuhan B. thuringiensis dengan mengunakan medium selektif memperlihatkan fase logaritmik dimulai pada umur kultur 4 jam sampai 12 jam dengan jumlah sel yang meningkat terus menerus. Pada umur kultur 16 jam sampai 32 jam pertumbuhan menunjukkan fase stasioner, selanjutnya pada umur kultur 36 jam jumlah sel cenderung menurun. Sejalan dengan pembentukan protein Cry, B. thuringiensis membentuk endospora yang diamati pada umur kultur 24 jam. Konsentrasi toksin memperlihatkan peningkatan dari 0,474 mg/ml pada saat umur kultur 24 jam menjadi 1,05 mg/ml pada saat umur kultur 48 jam. Hasil produksi konidia Be. bassiana yang didapatkan setelah masa inkubasi selama dua minggu pada media beras 180 g yaitu 3,6 x 108 konidia/ml. Uji toksin terhadap konidia Be. bassiana menunjukkan bahwa toksin berpengaruh pada jumlah koloni yang tumbuh namun tidak berpengaruh pada jumlah konidia yang dihasilkan dari koloni yang tumbuh tersebut, hasil ini dikuatkan dengan aktivitas toksin terhadap konidia menggunakan metode cakram. Akan tetapi uji antagonisme antara sel B. thuringiensis dan Be. bassiana menunjukkan bahwa miselium Be. bassiana dapat tumbuh menutupi koloni bakteri B. thuringiensis. Mortalitas total yang diamati pada hari ke-7 pada pengujian masingmasing toksin B. thuringiensis dan konidia Be. bassiana yang dilakukan menggunakan larva S. litura instar 3 menunjukkan bahwa perlakuan konidia Be.
bassiana menyebabkan kematian yang lebih tinggi sebesar 80% dibandingkan dengan perlakuan toksin B. thuringiensis sebesar 63,3%. Sedangkan perlakuan campuran toksin B. thuringiensis dan konidia Be. bassiana menunjukkan bahwa mortalitas tertinggi didapatkan pada campuran toksin yang diproduksi pada umur kultur 48 jam dan jumlah konidia 108 konidia/ml sebesar 96,7%. Jadi jumlah larva yang mati pada perlakuan campuran toksin dan konidia lebih banyak dibandingkanmasing-masing perlakuan walaupun perlakuan toksin memberikan waktu kematian yang lebih cepat.
Kata kunci: Bacillus thuringiensissubsp. aizawai, Beauveria bassiana, Spodoptera litura, mortalitas.
@Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2012 Hak cipta Dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencamtumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
EFEKTIVITAS PROTOKSIN Bacillus thuringiensis subsp. aizawai, KONIDIA Beauveria bassiana DAN CAMPURANNYA TERHADAP ULAT GRAYAK Spodoptera litura F.
EKA SUKMAWATY G 351090191
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Mikrobiologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr.Ir.Teguh Santoso, DEA.
Judul Tesis
: Efektivitas Protoksin Bacillus thuringiensis subsp. aizawai, Konidia Beauveria bassiana, dan Campurannya terhadap Ulat Grayak Spodoptera litura F.
Nama
: Eka Sukmawaty
NIM
: G351090191
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Nisa Rachmania Mubarik, M.Si. Ketua
Dr. Lisdar A. Manaf Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Mikrobiologi
Dr. Gayuh Rahayu
Tanggal Ujian: 21 Mei 2012
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini berjudul “Efektivitas protoksin Bacillus thuringiensis subsp. aizawai, konidia Beauveria bassiana, dan campurannnya terhadap ulat grayak Spodoptera litura F.”. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Nisa Rachmania Mubarik, M.Si dan Dr. Lisdar A Manaf selaku pembimbing atas kesabarannya dalam memberikan saran, bimbingan, dukungan, serta kesempatan dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini. Penulis juga berterimahkasih kepada Dr. Teguh Santoso, DEA sebagai penguji luar komisi dan Dr. Gayuh Rahayu sebagai penjamin mutu di Program Studi Mikrobiologi atas saran dan koreksi yang diberikan. Demikianpula penulis menyampaikan terimakasih kepada seluruh laboran Departemen Biologi, teman-teman yang bekerja di Laboratorium Mikrobiologi dan Mikologi atas kesabarannya membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian di laboratorium. Teman-teman Mikrobiologi serta semua pihak yang telah yang senantiasa siap membantu dan memberi semangat untuk berjuang menjadi lebih baik yang kesemuanya tidak dapat penulis sebutkan satupersatu, penulis mengucapkan banyak terima kasih. Akhirnya ucapan terima kasih disampaikan kepada orang tua, adik-adik penulis yang senantiasa memberi kasih sayang, semangat, nasehat, motivasi, dan doa untuk penulis dalam menyelesaikan tugas belajar di Sekolah Pascasarjana IPB. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat serta dapat memberikan informasi untuk kepentingan dan perkembangan ilmu pengetahuan.
Bogor,
Mei 2012
Eka Sukmawaty
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Parepare, Provinsi Sulawesi Selatan pada tanggal 16 Juli 1986 sebagai anak pertama dari lima bersaudara dari pasangan Bapak H. Sukardi, S.Pd. dan ibu Hj. Salmah, S.Pd. Tahun 2004 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Soppeng Riaja dan pada tahun yang sama melanjutkan studi di Jurusan Biologi UNHAS dan lulus pada tahun 2009. Selanjutnya, penulis melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana IPB Mayor Mikrobiologi pada tahun 2009. Sebagian hasil penelitian ini telah disampaikan pada presentasi lisan di Seminar Nasional Pendidikan di Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung tanggal 1-2 Juli 2011.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
xv
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................
xvi
PENDAHULUAN Latar Belakang ..................................................................................... Tujuan .................................................................................................. Manfaat ................................................................................................
1 4 4
TINJAUAN PUSTAKA Grayak (Spodoptera litura) .................................................................. Daya Rusak dan Kehilangan Hasil Akibat Ulat Grayak (Spodoptera litura) ............................................................................... Bacillus thuringiensis ........................................................................... Karakteristik B. thuringiensis .............................................................. Toksisitas B. thuringiensis ................................................................... Cendawan Entomopatogen Beauveria bassiana .................................. Proses Infeksi Be. bassiana ..................................................................
5 6 6 7 8 10 12
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian .............................................................. Bahan ................................................................................................... Alat ....................................................................................................... Penentuan Kurva Tumbuh dan Produksi Protoksin B. thuringiensis .................................................................... Pewarnaan Morfologi Kristal ............................................................... Produksi Protoksin B. thuringiensis ..................................................... Penyiapan Isolat Be. bassiana .............................................................. Media Kultur Beras .............................................................................. Produksi Konidia Be. bassiana ............................................................ Pengujian Protoksin B. thuringiensis terhadap konidia Be. Bassiana... Pengujian Daya Insektisida ..................................................................
13 13 13 13 13 14 14 14 14 15 15
HASIL Kurva Tumbuh dan Produksi Toksin ................................................... Produksi Konidia Be. bassiana ............................................................ Pengujian Protoksin B. thuringiensis terhadap Konidia Be. bassiana ........................................................................... Uji Antagonis B. thuringiensis dan Be. Bassiana ............................... Pengujian Protoksin B. thuringiensis dan Konidia Be. Bassiana pada Spodoptera litura .........................................................................
17 18 19 19 20
Pengujian Campuran Protoksin B. thuringiensis dan Konidia Be. bassiana .........................................................................................
22
PEMBAHASAN ..............................................................................................
29
SIMPULAN .....................................................................................................
37
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
39
LAMPIRAN .....................................................................................................
43
DAFTAR TABEL Halaman 1 Tipe dan bentuk kristal B. thuringiensis .......................................................
9
2 Pengaruh protoksin B. thuringiensisyang diproduksi pada umur kultur 24 jam dan umur kultur 48 jam terhadap konidia Be. Bassiana ...................
19
3 Mortalitas lava ulat grayak (S. litura) instar 3 hari ke-1 sampai ke-7 dengan perlakuan tunggal toksin B. thuringiensis dan konidia Be. bassiana............
21
4 Mortalitas lava ulat grayak (S. litura) instar 3 hari ke-1 sampai ke-7 dengan perlakuan campuran protoksin B. thuringiensis dan konidia Be. Bassiana .
23
5 Gejala Perhari yang ditimbulkan protoksin B. thuringiensis, konidia Be. bassiana, dan campurannya .......................................................
25
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Morfologi grayak ....................................................................................
6
2 Sel Bacillus thuringiensis dan endosporanya..........................................
7
3 Miselia Beauveria bassiana ....................................................................
11
4 Beauveria bassiana pada larva................................................................
12
5 Kurva tumbuh dan produksi protoksin B. thuringiensis subsp. Aizawai
17
6 Sel B. thuringiensis subsp. aizawai .........................................................
18
7 Isolat Be. Bassiana ..................................................................................
18
8 Uji antagonis ...........................................................................................
20
9 Jumlah kumulatif larva yang mati dari hari-1 sampai ke-7....................
22
10 Perlakuan protoksin B. thuringiensis dan Konidia Be. bassiana pada ulat grayak (S. litura) ............................................................................
27
11 Proses infeksi protoksin Cry pada membran usus serangga .................
33
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Jumlah sel Bacillus thuringiensis subsp. aizawai pada pengukuran kurva tumbuh……………………………………………………………
43
2 Konsentrasi protoksin Bacillus thuringiensis subsp. aizawai…………….
43
PENDAHULUAN
Latar Belakang Serangan hama merupakan salah satu faktor penghambat dalam usaha peningkatan produksi pertanian baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Grayak (Spodoptera litura) merupakan salah satu jenis hama penting yang menyerang tanaman palawija dan sayur-sayuran. Grayak bersifat polifag dan menyebabkan defoliasi daun tanaman (Rao et al. 1993). Hama ini menyerang berbagai macam tanaman penting yang bersifat ekonomis seperti beras, kentang, tembakau, tomat, jagung, cabai, kubis, padi, tebu, buncis, jeruk, bawang merah, terung, kacangkacangan (kedelai, kacang tanah), kangkung, bayam, pisang, tanaman hias juga gulma Limnocharis sp., Passiflora foetida, Ageratum sp., Cleome sp., Clibadium sp., dan Trema sp. (Dirjen Perlindungan Tanaman Pangan 2012). Selain di Indonesia, grayak ditemukan di India, Pakistan, Banglades, Sri Lanka, China, Australia, Kepulauan Pasifik, Hawaii, dan Fiji (Hill 1993). Hama S. litura menyerang tanaman budidaya pada fase vegetatif dan generatif. Pada fase vegetatif larva memakan daun tanaman yang muda sehingga tinggal tulang daun saja dan fase generatif dengan memakan polong-polong muda. Serangan S. litura menyebabkan kerusakan sekitar 12,5% dan lebih dari 20% pada tanaman umur lebih dari 20 hari setelah tanam. Serangan berat akan menyebabkan tanaman mati (Hennie et al. 2003). Usaha pengendalian oleh petani selama ini ialah dengan menggunakan insektisida
kimia.
Pengendalian
hama
dengan
insektisida
kimia
dapat
menimbulkan banyak masalah lingkungan antara lain resistensi hama terhadap insektisida kimia meningkat, ledakan populasi serangga hama sekunder, resiko keracunan pada manusia dan hewan ternak, air tanah terkontaminasi, biodiversitas menurun dan bahaya lain yang berkaitan dengan lingkungan (Soetopo & Indrayani 2007). Masalah-masalah yang tersebut memicu penemuan alternatif penanggulangan hama yang ramah lingkungan sehingga kerusakan lingkungan secara umum dapat dihindari sehingga konsep pertanian ekologi atau pertanian berkelanjutan dapat diwujudkan.
2
Hingga saat ini telah diketahui terdapat tiga sumber insektisida alami yang memiliki prospek baik untuk dikembangkan yaitu tumbuhan, mikroorganisme tanah, dan mikroorganisme laut. Jenis tumbuhan yang diketahui potensial sebagai insektisida nabati diantaranya yaitu tembelekan (Lantanna camara). Penggunaan ekstrak tumbuhan ini dengan konsentrasi 5 sampai 40% dapat menyebabkan kematian sebesar lebih dari 55% pada Spodoptera litura (Deshmukhe et al. 2011). Balfas dan Wilis (2009) juga melaporkan bahwa minyak dari tumbuhan babadotan
berpotensi
menjadi
bioinsektisida.
Minyak
babadotan
dapat
mengakibatkan kematian sebesar 100% pada grayak namun kendalanya pada konsentrasi ini mengakibatkan fitotoksik pada tanaman. Kendala lain dari penggunaan insektisida nabati yaitu masih membutuhkan upaya perbaikan bahan dan cara penyulingan serta dukungan pemulia tanaman. Salah satu bioinsektisida asal mikroorganisme yang telah digunakan di beberapa negara yaitu Bacillus thuringiensis. Bakteri ini termasuk bakteri Gram positif yang menghasilkan kristal inklusi pada saat bersporulasi yang terdiri atas satu atau lebih protein insektisidal yang dikenal sebagai δ-toksin atau protein Cry (Boncheva et al. 2006). Protein Cry mempunyai kisaran spektrum yang sempit dan spesifik pada serangga dari ordo Lepidoptera, Coleoptera, Diptera, dan Hymenoptera (Schenepf et al. 1998). Berbagai penelitian telah dilakukan untuk melihat keefektifan B. thuringiensis sebagai bioinsektisida. Protein Cry B. thuringiensis efektif digunakan dalam pengendalian larva Cydia Pomonella (Lepidoptera: Totricidae) (Boncheva et al. 2006).
Huang et al. (2007)
melaporkan B. thuringiensis digunakan untuk mengendalikan hama lepidoptera di Cina seperti: Helicoverpa armigera, Cnaphalocrocis medinalis, Parnara guttata cabbage worm, Pieris rapae, Plutella xylostella, Homona coffearia dan Adoxophyes orana. Penggunaan B. thuringiensis dalam pengendalian hama mempunyai beberapa keuntungan di antaranya meningkatkan hasil pertanian, mengurangi biaya produksi, hanya selektif dan spesifik pada serangga target, menjaga keragaman hayati dan tidak membahayakan lingkungan dan kesehatan manusia (Nester et al. 2002; James 2002 dalam Anna et al. 2003). Salah satu alternatif pengendalian hama yang cukup potensial ialah menggunakan patogen serangga seperti cendawan Beauveria bassiana yang
3
merupakan fase anamorf dari Cordyceps bassiana. Cendawan ini memiliki kisaran inang serangga yang sangat luas, meliputi ordo Lepidoptera, Coleoptera, dan Hemiptera. Selain itu, infeksinya juga sering ditemukan pada serangga-serangga Diptera maupun Hymenoptera (Soetopo & Inrayani 2007). Miselium Be. bassiana mampu menembus kutikula serangga dan memasuki hemocoel kemudian tumbuh dan menghasilkan senyawa toksik seperti beauverisin, bassianolide, dan oosporein (Vey & Fargues 1977 dalam Ma et al. 2008) . Penggunaan Be. bassiana di Cina telah dirintis sejak tahun 1990 untuk mengendalikan serangga (Feng et al. 2004). Todorova et al. (2003) membuktikan bahwa isolat-isolat Be. bassiana sangat efektif membunuh hama penggulung daun Choristoneura rosaceana (Lepidoptera: Totricidae). Kematian pada larva dan pupa mencapai lebih dari 85% pada dosis 107 konidia/ml hingga 60 hari setelah perlakuan. Be. bassiana juga memperlihatkan patogenitasnya pada Scirpophaga incertulas (Lepidoptera: Pyralidae) dengan konsentrasi 105 sampai 109 spora/ml (Dhuyo & Naheed 2008). Hasil-hasil penelitian Be. bassiana di Indonesia juga telah dipublikasikan untuk mengendalikan serangga hama kedelai, walang sangit pada padi, Plutella xylostella pada sayuran, hama bubuk buah kopi Helopeltis antoni, dan penggerek buah kakao Hypothenemus hampei (Soetopo & Indrayani 2007). Kombinasi B. thuringiensis dan cendawan insektisida seperti Be. bassiana dapat dijadikan strategi untuk mengatasi masalah hama yang lebih kompleks dan meningkatkan aktivitas insektisida baik secara langsung maupun tidak langsung (Navon 2003). Kerja sinergis keduanya dapat menekan populasi Colarado potato bettle pada tanaman tomat, Ostrinia nubilalis, dan serangga Lepidoptera (Lewis et al. 1996; Wright & Ramos 2005; Rukmini et al. 2000 dalam Ma et al. 2008). Penelitian ini akan mempelajari daya insektisida dari B. thuringiensis, Be. bassiana, serta campuran B.thuringiensis dan Be. bassiana.
4
Tujuan Tujuan penelitian ini ialah: 1. Mengamati waktu produksi toksin B. thuringiensis subsp. aizawai. 2. Mengetahui pengaruh toksin B. thuringiensis subsp. aizawai terhadap pertumbuhan konidia Be. bassiana. 3. Menghitung efektivitas toksin B. thuringiensis subsp. aizawai, konidia Be. bassiana, dan campurannya terhadap ulat grayak (Spodoptera litura F).
Manfaat Manfaat penelitian ini ialah mendapatkan informasi awal formulasi bioinsektisida dalam pengendalian hama grayak (Spodoptera litura F.) secara hayati dengan menggunakan mikroorganisme.
5
TINJAUAN PUSTAKA
Grayak (Spodoptera litura) Grayak teramasuk dalam ordo Lepidoptera, famili Noctuidae. Sayap ngengat bagian depan berwarna coklat atau keperakan, dan sayap belakang berwarna keputihan dengan bercak hitam. Telur berbentuk hampir bulat dengan bagian dasar melekat pada daun, berwarna coklat kekuningan, diletakkan berkelompok masing-masing 25-500 butir. Telur diletakkan pada bagian daun atau bagian tanaman lainnya. Kelompok telur tertutup bulu seperti beludru yang berasal dari bulu-bulu tubuh bagian ujung ngengat betina, berwarna kuning kecoklatan. Larva mempunyai warna yang bervariasi, memiliki kalung berwana hitam pada segmen abdomen keempat dan kesepuluh. Pada sisi lateral dorsal terdapat garis kuning. Ulat yang baru menetas berwarna hijau muda, bagian sisi coklat tua atau hitam kecoklatan dan hidup berkelompok (Gambar 1) (Marwoto & Suharsono 2008).
Gambar 1 Morfologi grayak. a) Kelompok telur, b) ulat instar 3, c) imago ulat grayak (Spodoptera litura) (www.pustaka-deptan.go.id 4 Januari 2010). Setiap ekor ngengat betina dapat menghasilkan telur hingga 3.000 butir yang terdiri atas 11 kelompok dengan 350 butir tiap kelompok telur. Setelah telur menetas, ulat tinggal untuk sementara waktu di tempat telur diletakkan, kemudian beberapa hari setelah itu ulat berpencar. Stadium ulat terdiri atas lima instar dan berlangsung selama 13-17 hari (Marwoto & Suharsono 2008). Ulat grayak tersebar luas di beberapa negara seperti Jepang, Cina, Mesir, India, Srilanka, Filipina, Thailand, dan Indonesia. Daerah penyebaran hama ini di
6
Indonesia meliputi Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Selatan (Marwoto et al. 2005). Kisaran tanaman inang ulat grayak sangat beragam meliputi cabai, kubis, padi, jagung, tomat, tebu, buncis, jeruk, tembakau, bawang merah, terung, kentang, kacang-kacangan (kedelai, kacang tanah), kangkung, bayam, pisang, dan tanaman hias. Hama ini juga menyerang berbagai gulma seperti Limnocharis sp., Cleome sp., Clibadium sp., Passiflora foetida, Ageratum sp., dan Trema sp. (Marwoto & Suharsono 2008).
Daya Rusak dan Kehilangan Hasil Akibat Ulat Grayak (S. litura) Kerusakan akibat ulat grayak ditentukan oleh beberapa faktor, di antaranya populasi hama, fase perkembangan serangga, fase pertumbuhan tanaman, dan varietas kedelai. Serangan pada varietas rentan menyebabkan kerugian yang sangat besar. Kerusakan yang diakibatkan lebih besar jika defoliasi daun karena serangan ulat grayak terjadi pada saat pembungaan dan pada saat tanaman mulai membentuk polong daripada serangan pada saat polong berisi dan saat pertumbuhan biji penuh. Dirjen Perlindungan Tanaman pangan (2011) melaporkan bahwa serangan ulat grayak di Indonesia mencapai 1.330 ha dan pertambahan luas lahan yang terserang mencapai 343 ha.
Bacillus thuringiensis Bacillus thuringiensis telah dikenal sebagai agen biokontrol sejak tahun 1950-an. Bakteri ini tersebar di hampir seluruh penjuru dunia. B. thuringiensis pertama kali ditemukan di Jepang yang membunuh ulat sutera di tempat pemeliharaan. Sepuluh tahun kemudian di Jerman ditemukan galur baru pada larva yang menyerang serelia di gudang penyimpanan di Provinsi Thuringien sehingga bakteri ini disebut B. thuringiensis. Bakteri ini pada awalnya hanya diketahui menyerang larva dari serangga Lepidoptera kemudian ditemukan bahwa bakteri ini juga menyerang Diptera dan Coleoptera (Bahagiawati 2002). Zayed (2004) melaporkan bahwa B. thuringiensis dapat menyebabkan kematian sebesar 84% pada larva Cullex pipiens (Diptera: Culicidae) dan memperlihatkan efek signifikan pada pupa. Lima et al. (2005) melaporkan toksisitas B. thuringiensis
7
pada ordo yang sama pada spesies Aedes aegypti mengakibatkan 95% kematian setelah 45 hari setelah perlakuan. Penelitian lainnya menyebutkan bahwa kristal protein B. thuringiensis toksik terhadap Leptinotrasa decemlineata, Chyrsomela scripta, Antomous grandis dari ordo Coleoptera (Frankenhuyzen 2009), Macroshipum euphorbiae dari ordo Himeptera (Walters & English 1995), dan Solenopsis invicta dari ordo Hymenoptera (Bulla et al. 2004).
Karakteristik B. thuringiensis B. thuringiensis adalah bakteri yang mempunyai sel vegetatif berbentuk batang dengan panjang 3 – 5 µm dan lebar 1,0 – 1,2 µm, mempunyai flagella dan membentuk endospora. Sifat-sifat bakteri ini ialah Gram positif, aerob tetapi umumnya anaerob fakultatif. Endospora B. thuringiensis berbentuk oval, letaknya subterminal, berwarna hijau kebiruan dan berukuran 1,0 – 1,3 μm. Pembentukan endospora terjadi dengan cepat pada suhu 35 - 37 °C. Endospora tersebut relatif tahan terhadap pengaruh fisik dan kimia (Bulla et al. 1977) (Gambar 2).
Gambar 2 Sel Bacillus thuringiensis subsp. aizawai. Keterangan: (c) protein kristal dan (e) endospora (Bobrowski et al. 2002). Perbedaan B. thuringiensis dengan spesies Bacillus lainnya yaitu produksi protein kristalin yang bersifat toksik pada berbagai invertebrata khususnya pada serangga. Protein ini sering disebut δ - endotoksin merupakan protoksin yang jika larut dalam usus serangga akan berubah menjadi polipeptida yang lebih pendek dengan berat molekul berkisar dari 25 sampai 140 kDa (Bobrowski et al. 2002).
8
Morfologi, ukuran dan jumlah protein kristal berbeda-beda di antara galur B. thuringiensis. Gen protein insektisida ini telah diidentifikasi dan dibagi menjadi dua jenis, gen cry untuk kristal dan gen cyt untuk sitolitik (Hofte & Whitely 1989). Lereclus et al. (1993) mengusulkan suatu sistem tata nama dan klasifikasi δ - endotoksin berdasarkan sifat insektisidalnya serta hubungan molekulernya menjadi empat kelas utama δ - endotoksin (Cry I, II, III dan IV) serta sitolisin (Cyt). Secara umum protein-protein tersebut bersifat toksik pada jenis serangga tertentu. Cry I toksik terhadap Lepidoptera, Cry II toksik terhadap Lepidoptera dan Diptera, Cry III toksik terhadap Coleoptera, Cry IV toksik terhadap Diptera dan Cyt sitolitik terhadap serangga. Secara morfologi, protein Cry dikelompokkan menjadi lima yaitu bentuk bipiramid ditemukan pada protein Cry I, kuboid ditemukan pada protein Cry II, amorfus komposit pada protein Cry IV dan Cyt dan bentuk batang ditemukan pada protein Cry III (Lopez & Ibarra 1996) (Tabel 1). Beberapa subspesies B. thuringiensis telah ditemukan di antaranya kurstaki, aizawai, sotto, entomocidus, berliner, san diego, tenebroid, morrisoni dan israelensis. Masing-masing subspesies memiliki ciri endospora yang berbeda (Tabel 1). Bobrowski et al (2002) menemukan dengan transmisi elektron bahwa protein kristal B. thuringiensis subsp. kurstaki berbentuk kuboid dan B. thuringiensis subsp. aizawai berbentuk bipiramid. Kristal berbentuk bipiramidal diduga berhubungan dengan keberadaan protein Cry1 dan kristal kuboid berkaitan dengan protein Cry2 yang menunjukkan aktivitas toksik pada Lepidoptera dan Diptera (Silva et al. 2004).
Toksisitas B. thuringiensis Mekanisme kerja insektisidal B. thuringiensis yaitu dengan cara menginfeksi inang melalui mulut, setelah sampai di usus endosporanya akan pecah dan menembus dinding sel. Endospora akan menembus hemosel dan berkembang dalam hemolimfa dan tersebar ke seluruh tubuh inang. Daya toksin B. thuringiensis disebabkan oleh larutnya elemen toksik yang terdapat di dalam kristal. Proses pelarutan ini berlangsung di dalam mesentron (usus tengah) dengan melibatkan enzim proteolitik. Pengaruh enzim proteolitik dan pH usus
9
yang alkalis menyebabkan kristal-kristal akan lepas dan mengeluarkan toksiknya. Toksik ini meyebabkan terjadinya pembengkakan sel-sel epitel usus tengah. Kerusakan struktur dan fungsi usus tengah ini menyebabkan keseimbangan pH dan ion di dalam hemolimfe terganggu, akibatnya terjadi kelumpuhan yang mengakibatkan kematian (Li et al. 2004). Tabel 1 Tipe dan bentuk kristal B. thuringiensis Tipe Kristal Protein CryI
Subsp B. thuringiensis kurstaki HD-1
Bentuk Kristal
Kisaran Inang
Bipiramid
Lepidoptera
Aizawai Sotto Entomocidus berliner CryII
kurstaki HD-263 Kuboid
Lepidoptera
kurstaki HD-1
Bipiramid
Diptera
CryIII
san diego
Flat
Coleoptera
CryIV
Israelensis Morissoni
Sperikal
Diptera
Referensi Hofte & Whiteley (1989) Bobrowsky et al. (2002)
Hofte & Whiteley (1989) Bobrowsky et al. (2002) Hofte & Whiteley (1989) Hofte & Whiteley (1989)
Chilcot et al. (1990) melaporkan bahwa infeksi toksin pada ultrastruktur sel usus tengah serangga menyebabkan kerusakan setelah satu jam. Hal ini diikuti dengan membengkaknya organel epitel. Jaringan usus tengah serangga juga terganggu yang ditunjukkan dengan pembengkakan dan terpisahnya jaringan. Enam jam setelah perlakuan dinding sel akan rusak dan membrane peritrofik pecah. Kerusakan pada usus tengah serangga ini akan diikuti oleh berhentinya kemampuan makan serangga tersebut. Proses toksisitas sangat bervariasi tergantung pada spesies serangga serta galur bakteri. Bohorova et al. (1997) menyebutkan bahwa protein Cry1Ab yang dihasilkan oleh galur HD-1 lebih toksik pada S. frugiperda dibandingkan protein Cry1Aa. Protein Cry1Aa bersifat paling toksik pada S. cosmioides sedangkan
10
Cry2Aa paling toksik pada S. eridania. Efektivitas toksin sangat bergantung pada kelarutan badan inklusi, proses proteolisis serta afinitas reseptor. Proses toksisitas B. thuringiensis terhadap serangga tergantung dua faktor yaitu kespesifikan bakteri serta kepekaan serangga yang terinfeksi (Bianchi et al. 2009). Aktivitas toksin juga dipengaruhi oleh instristik dalam usus serangga serta adanya endospora yang ikut tercerna oleh usus serangga bersama dengan Kristal (Bianchi et al. 2009). Jika serangga tidak rentan pada aksi secara langsung delta-endotoksin maka kematian akan dimulai setelah pertumbuhan vegetatif B. thuringiensis di dalam pencernaan serangga. Endospora akan berkecambah setelah membran pencernaan serangga tersebut rusak kemudian bereproduksi dan menghasilkan endospora yang lebih banyak. Perluasan infeksi ini seringkali menyebabkan kematian pada serangga (Swadener 1994).
Cendawan Entomopatogen Beauveria bassiana Secara taksonomi Beauveria bassiana termasuk
dalam filum
Deuteromycota, kelas Hypomycetes, ordo Moniliales dari family Clavicipitaceae (U.S Environmental Protection Agency 2006). Cendawan patogen penyebab penyakit pada serangga ini pertama kali ditemukan oleh Agostino bassi di Beauce Perancis yang kemudian mengujinya pada ulat sutera (Bombix mori). Penelitian tersebut bukan hanya yang pertama pada serangga, tetapi juga pertama untuk binatang, sebagai penghormatan kepada Agostino Bassi, cendawan ini diberi nama Beauveria bassiana (Soetopo & Indrayani 2007). Cendawan Be. bassiana juga dikenal sebagai white muscardine karena miselia dan konidia (spora) yang dihasilkan berwarna putih, bentuknya oval dan tumbuh secara zig zag pada konidiofornya (Gambar 3). Cendawan ini mempunyai kisaran inang serangga yang sangat luas meliputi ordo Lepidoptera, Coleoptera dan Hemiptera.
Infeksi cendawan ini ditemukan pada serangga-
serangga Diptera maupun Hymenoptera (Soetopo & Indrayani 2007).
11
Gambar
3 Miselia dan konidia Be. bassiana (www.uoguelph.ca/gbarron/MISCELLANEOUS/nov01.htm 4 Januari 2010).
Beauveria bassiana dapat diisolasi dari bangkai serangga maupun tanah karena tanah merupakan tempat terbaik untuk propagul infektif dan bertahan hidup dalam bentuk kondia atau hifa saprofit. Cendawan ini akan melakukan dormansi jika kondisi lingkungan tidak menguntungkan dan aktif apabila mendapatkan inang yang cocok untuk diinfeksi (Dhuyo & Naheed 2008). Serangga inang utama Be. bassiana antara lain kutu pengisap (aphid), kutu putih (Whitefly), belalang, hama pengisap, lalat, kumbang, ulat, thrips, tungau dan beberapa spesies uret. Habitat tanamannya mulai dari kedelai, sayurasayuran, kapas, jeruk, buah-buahan, tanaman hias, hingga tanaman hutan (Soetopo & Indrayani 2007). Perkembangan konidia memerlukan sumber karbon, seperti glukosa, glukosamin, kitin, ragi serta sumber nitrogen untuk pertumbuhan hifa. Perkembangan konidia dapat terjadi pada integumen serangga dengan melakukan penempelan dan perkecambahan kutikula, kemudian melakukan penetrasi ke dalam hemosel dan berkembang dalam tubuh serangga sehingga menyebabkan kematian (Tanada & Kaya 1993).
Proses Infeksi Be. bassiana Be. bassiana memproduksi toksin beauvericin yang menyebabkan gangguan pada fungsi hemolimfa dan nukleus serangga. Spesies Be. bassiana juga dapat menginfeksi serangga melalui inokulasi atau kontaminasi pangan (Soetopo & Indrayani 2007). Konidia yang telah berkecambah membentuk tabung kecambah dengan mengambil makanan dari integumen serangga, setelah
12
itu menembus integument dan masuk ke dalam hemosel. Cendawan membentuk tubuh hifa yang kemudian ikut beredar dalam hemolimpfa dan membentuk hifa sekunder untuk menerang jaringan lain seperti jaringan lemak, sistem syaraf, trakea dan saluran pencernaan. Konidia berkembang dalam saluran penceranaan dalam waktu 72 jam, setelah itu hifa melakukan penetrasi pada dinding usus sekitar 60-72 jam. Kerusakan saluran pencernaan terjadi dengan hancurnya pencernaan, kemudian masuk ke hemosel dan mengubah pH hemolimfa, setelah itu serangga akan kehabisan nutrisi dan mati (Tanada & Kaya 1993). Tubuh serangga yang terbunuh akan berwarna putih karena ditumbuhi konidia (Gambar 4). Jumlah konidia yang dihasilkan oleh satu serangga ditentukan oleh besar kecilnya ukuran serangga tersebut. Setiap serangga terinfeksi akan efektif menjadi sumber infeksi bagi serangga sehat di sekitarnya (Cheung & Grula 1982).
Gambar 4 Konidia putih pada berbagai stadium larva Helicoverpa armigera (kiri) dan miselia putih pada larva H. armigera (kanan) (Soetopo & Indrayani 2007). Inglish et al. (1994) menambahkan bahwa selain akibat kehabisan nutrisi, kematian serangga juga dapat diakibatkan oleh tekanan fisik akibat masuknya hifa pada jaringan serangga, peracunan oleh mikotoksin Be. bassiana, serta aksi kombinasi ketiganya.
13
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan bulan September 2010 hinggaOktober 2011 di Laboratorium Mikrobiologidan Laboratorium Mikologi, Departemen Biologi, FMIPA, Institut Pertanian Bogor (IPB)
Bahan Mikroorganisme yang digunakan ialah B. thuringiensis subsp. aizawai dengan kode isolat IPBCC.B.90 296 koleksi IPBCC, Institut Pertanian Bogor.Cendawan Be. Bassiana diperoleh dari koleksi Laboratorium Bioteknologi tanaman, Universitas Hasanuddin Makassar.Larva larva grayak dikumpulkan dari kebun talas yang terserang larva tersebut
Alat Alat yang digunakan berupa inkubator bergoyang, otoklaf, mikroskop, spektrofotometer, haemositometer,dan peralatan laboratorium lainnya.
Penentuan Kurva Tumbuh dan Produksi Kristal ProtoksinB. thuringiensis Isolat B. thuringiensis diinkubasi pada 250 ml medium pertumbuhan B. thuringiensis (Atlas 1997) yang mengandung glukosa 3 g, (NH 4 ) 2 SO 4 2 g, ekstrak khamir 2 g, K 2 HPO 4 .3H 2 O 0,5 g, Mg 2 SO 4 .7H 2 O 0,2 g, CaCl 2 .2H 2 O 0,08 g, MnSO 4 .4H 2 O 0,05, pH 7,3 dalam 1000 ml akuades pada suhu 37 °C sambil dikocok dengan kecepatan 120 rpm. Setiap 4 jam dilakukan pengambilan kultur sebanyak 10 ml untuk dilakukan pengukuran absorbansi sel pada panjang gelombang 600 nm yang berlangsung sampai 48 jam.
Pewarnaan Morfologi Kristal (Fadel et al. 1988) Biakan bakteri dibuat preparat dengan cara mengoleskan satu ose biakan pada objek gelas dan diwarnai dengan larutan Commasie Briliant Blue(0,25% Commasie Briliant Blue, 50% ethanol, dan 7% asam asetat) selama tiga menit,
14
kemudian dibilas dengan air mengalir, dan diamati dibawah mikroskop cahaya dengan minyak emersi tanpa gelas penutup.
Produksi ProtoksinBacillus thuringiensis (Ma et al. 2008) Koloni B. thuringiensis diinokulasi ke dalam media pertumbuhan dan diinkubasi pada suhu 28 °C selama waktu optimum pembentukan protoksin kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 8000 g 4 0C selama 10 menit. Supernatan dibuang dan pelet dicuci empat kali dengan akuades steril. Pelet disimpan dalam bufer alkalin (bufer Glisin - NaOH, pH 10,5) pada suhu 28 °C selama 1 jam sampai protein kristal terlarut kemudian disentrifugasi 8000 g selama 15 menit. Supernatan dikumpulkan dan pH diatur menjadi 5-6 dengan penambahan 1 M HCl dan disimpan selama semalam pada suhu 4 °C untuk mengendapkan
protoksin.
Protoksin
yang
telah
mengendap
kemudian
dikumpulkan dengan sentrifugasi dan dicuci tiga kali dengan akuades. Protoksin yang dipakai untuk pengujian diproduksi pada jam ke-24 dan-48. Kadar protoksin diukur dengan metode Bradford dan menggunakan bovine serum albumin sebagai standar (Bobrowski et al. 2002).
Penyiapan Isolat Be. bassiana Cendawan Be. bassiana ditumbuhkan pada media Potato Dextrose Agar(PDA) yang mengandung kloramfenikol dengan konsentrasi 250 mg dalam 500 ml media dan diinkubasi selama 14 hari pada suhu ruang untuk bersporulasi.
Media Kultur Beras Media kultur beras (MKB) disiapkan dengan cara merendam beras yang telah dicuci selama 6 jam, ditiriskan kemudian dimasukkan dalam kantong plastik dan ditutup dengan sumbat kapas. Selanjutnya, MKB disterilisasi selama 15 menit.
Produksi Konidia Be. bassiana Inokulum cendawan ditambahkan ke dalam MKB yang telah disiapkan. Selanjutnya MKB diinkubasi selama 14 hari pada suhu ruang untuk memproduksi
15
konidia. Inokulum diperiksa setiap dua hari sekali sambil diaduk-aduk dengan menggoyang-goyangkannya. Suspensi konidia dibuat dengan mengambil konidia dari permukaan media dengan cara digoyang dengan pelan dalam larutan Tween 80 0,2% dalam akuades steril dan dihomogenkan. Suspensi konidia dibuat berseri 107 dan 108 konidia ml-1 (Hasyim et al. 2005).
Pengujian ProtoksinB. thuringiensis terhadap Konida Be. bassiana. Pengujian
protoksin
mencampurkan 1 ml
terhadap
konidia
dilakukan
dengan
dengan
protoksin kedalam 20 ml PDA yang mengandung
kloramfenikol dengan konsentrasi 250 mg dalam 500 ml PDA.Kemudian sebanyak 1 ml suspensi cendawan Be. bassianadiinokulasikan di atas media tersebut. Perhitungan
jumlah koloni dan konidia yang dihasilkan dilakukan
setelah 15 hari perlakuan.
Uji Antagonis B. thuringiensisdan Protoksin terhadap Be. bassiana Uji antagonis B. thuringiensis terhadap Be. bassiana dilakukan dengan uji antagonis koloni B. thuringiensis terhadap koloni Be. Bassiana. Uji protoksin dengan metode difusi cakram kertas terhadap koloni Be. bassiana. Uji antagonis koloni tunggal dilakukan dengan menggoreskan isolat B. thuringiensis pada cawan yang berisi media PDA. Kemudian inokulum Be. bassiana diinokulasikan disamping goresan isolat B. thuringiensis dengan jarak 1 cm. Pengamatan antagonisme dilakukan setelah masa inkubasi 2 minggu. Uji difusi cakram kertas dilakukan dengan meneteskan protoksin sebanyak 0,1 ml pada kertas cakram kosong dan ditunggu sampai kering. Kemudian kertas cakram diletakkan diatas media PDA yang telah diinokulasikan 0,1 ml konidia Be. bassiana. Pengamatan dilakukan setelah 2 minggu masa inkubasi.
Pengujian Efektivitas Insektisida Efektivitas insektisida dari isolat B. thuringiensis, Be. bassiana dan kombinasi B. thuringiensis dan Be. bassiana terhadap larva grayak dilakukan dengan cara pengamatan langsung. Aplikasi insektisida dalam bentuk cair dilakukan pada larva grayak instar 3 dengan cara penyemprotan pada pakan
16
berupa daun talas dan pada ulat yang dilakukan setiap hari. Sebanyak 10 ekor larva grayak dimasukkan dalam wadah yang berbeda kemudian disemprotkan dengan protoksin B. thuringiensis yang diproduksi pada jam ke-24 dan 48 dan konidia Be. bassiana dengan jumlah konidia 107 dan 108 konidia/ml serta akuades sebagai kontrol. Insektisida kombinasi B. thuringiensis dan Be. bassiana dibuat dengan perbandingan yang sama, yaitu 50 ml protoksin dicampurkan dengan 50 ml suspensi Be. bassiana. Setiap insektisida disemprotkan sebanyak 5 kali semprot untuk setiap larva. Perlakuan dibagi menjadi 7 kelompok. Masing-masing kelompok terdiri atas 3 wadah berisi 10 larva. Kelompok pertama disemprotkan dengan protoksinB. thuringiensis. Kelompok kedua disemprotkan dengan konidia B. bassiana. Kelompok
ketiga disemprotkan dengan campuran insektisida
protoksin B.
Thuringiensis yang diproduksi pada jam 24 dan konidia Be. bassiana 107. Kelompok keempat disemprotkan dengan campuran insektisida
protoksin B.
Thuringiensis yang diproduksi pada jam 48dan konidia Be. bassiana 107, Kelompok kelima disemprotkan dengan campuran insektisida
protoksin B.
Thuringiensis yang diproduksi pada jam 24dan konidia Be. bassiana 108, Kelompok keenam disemprotkan dengan campuran insektisida
protoksin B.
Thuringiensis yang diproduksi pada jam 48dan konidia Be. bassiana 108, kelompok ketujuh sebagai kontrol dan disemprot dengan akuades. Efektivitas kedua bioinsektisida tersebut dilihat dari waktu yang diperlukan untuk menyebabkan mortalitas serta banyaknya mortalitas yang ditimbulkan pada larva grayak.
27
HASIL Pertumbuhan dan Produksi Protoksin B. thuringiensis subsp. aizawai. Ciri-ciri morfologi Bacillus thuringiensis subsp. aizawai berdasarkan hasil pengamatan mikroskop yaitu berbentuk basil dengan panjang sekitar 5 μm, membentuk endospora yang terletak subterminal, kristal protein terletak berdampingan dengan endospora dan berukuran lebih kecil dari endospora (Gambar 5). a
b 3 2 3 2 10µm
1 10µm
Gambar 5 Sel B. thuringiensis subsp. aizawai. (a) Pengamatan dengan pewarnaan kristal, (b) pengamatan dengan mikroskop fase kontras dengan perbesaran 1000 x. Keterangan: (1) endospora yang terlepas, (2) endospora dalam sel, dan (3) kristal protein. Kurva pertumbuhan B. thuringiensis dengan mengunakan medium selektif memperlihatkan fase logaritmik mulai pada umur kultur 4 jam sampai jam 12 jam dengan jumlah sel yang meningkat terus menerus. Memasuki umur kultur 16 jam sampai 32 jam kurva pertumbuhan menunjukkan fase stasioner selanjutnya pada umur kultur 36 jam jumlah sel cenderung menurun hingga umur kultur 48 jam pengamatan. Pembentukan protein protoksin memperlihatkan peningkatan pada umur kultur 48 jam pengamatan sebesar 1,05 mg/ml (Gambar 6).
18
4.5 5
4 3.5
4
log sel
3
3
2.5 2
2
1.5 1
1
0.5 0
0 0
4
8
12
16
20
24
28
32
36
40
44
48
waktu (jam) log sel
konsentrasi toksin
Gambar 6 Kurva tumbuh dan produksi protoksin B. thuringiensis subsp. aizawai.
Produksi Konidia Be. bassiana Produksi konidia Be. bassiana dilakukan pada media beras yang telah disterilisasi setelah ditumbuhkan pada media PDA selama dua minggu (Gambar 7). Hasil produksi konidia yang didapatkan setelah masa inkubasi selama dua a minggu dengan berat media 180 g yaitu 3,6 x 108 konidia/ml. a
b
Gambar 7 (a) Isolat Be. bassiana pada media PDA (b) spora dan hifa Be. bassiana pada perbesaran 1000 x.
konsentrasi toksin (mg/ml)
5
6
19 27
Pengujian Protoksin B. thuringiensis terhadap Konida Be. bassiana Hasil uji protoksin terhadap konidia Be. bassiana menunjukkan bahwa protoksin menghambat pertumbuhan konidia Be. bassiana. Koloni yang tumbuh pada medium yang mengandung protoksin yang diproduksi pada umur kultur 24 jam lebih sedikit dibandingkan dengan koloni yang tumbuh pada pada medium yang mengandung protoksin yang diproduksi pada umur kultur 48 jam. Dari konidia yang dihasilkan terlihat bahwa protoksin tidak berpengaruh pada spora yang diproduksi, tetapi ada kecenderungan jumlah spora Be. Bassiana meningkat dengan protoksin yang dipakai pada umur kultur 48 jam (Tabel 2). Tabel 2 Pengaruh protoksin B. thuringiensis yang diproduksi pada umur kultur 24 jam dan umur kultur 48 jam terhadap konidia Be. bassiana Produksi protoksin
Jumlah koloni Be. bassiana (koloni/ml)
B. thuringiensis jam ke
Jumlah spora Be. bassiana (spora/ml)
24 48
9 21
2,4 x 107 4,5 x 107
Kontrol Negatif
45
3,2 x 107
Uji Antagonis B. thuringiensis dan Protoksin terhadap Be. bassiana Hasil uji antagonis koloni B. thuringiensis terhadap koloni Be. bassiana menunjukkan bahwa miselium Be. bassiana dapat tumbuh menutupi koloni bakteri B. thuringiensis setelah masa inkubasi selama 2 minggu. Hal yang berbeda ditunjukkan pada uji cakram kertas yang menunjukkan bahwa protoksin B. thuringiensis
mengurangi
jumlah
konidia
dibandingkan dengan kontrol (Gambar 8).
Be.
bassiana
yang
tumbuh
20
a
b 1
b 2
Gambar 8 Uji antagonis (a) koloni B. thuringiensis terhadap koloni Be. bassiana dan (b1) uji antagonis B. thuringiensis terhadap Be. Bassiana dengan metode cakram kertas (b2) kontrol untuk metode cakram kertas.
Pengujian Masing-Masing Protoksin B. thuringiensis dan Konidia Be. bassiana pada Spodoptera litura Pengujian protoksin B. thuringiensis dan konidia Be.bassiana dilakukan menggunakan larva S. litura instar 3. Sejalan dengan pertambahan waktu larva instar 3 berkembang ke instar 4 dan instar 5. Hasil pengujian menunjukkan adanya pengaruh protoksin yang mengakibatkan kematian pada larva. Aplikasi protoksin setelah jam ke-24 dengan cara penyemprotan pada pakan terjadi penurunan aktivitas makan dan bergerak dan mengalami kematian pada hari ketiga. Protoksin yang diproduksi pada umur kultur 24 jam dengan kadar protoksin 0,4395 mg/ml menyebabkan kematian grayak 50 % dan protoksin yang diproduksi pada umur kultur 48 jam dengan kadar protoksin 1,05 mg/ml menyebabkan kematian 63,3% . Konidia Be. bassiana 107
menyebabkan
kematian total sebesar 76,6% dan Be. bassiana 108 menyebabkan kematian sebesar 80%. Mortalitas total yang diamati pada hari ke-7 menunjukkan bahwa perlakuan konidia Be. bassiana menyebabkan kematian yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan protoksin B. thuringiensis (Tabel 3).
27
0
0
0
0
Protoksin Bt 24 jam
Protoksin Bt 48 jam
Konidia Bb 107
Konidia Bb 108
Kontrol akuades
0
0
0
0
2 0
0
3 (10%)
2 (6,6%)
19 (63,3%)
3 15 (50%)
Instar 3
Keterangan: Ulat yang digunakan sebanyak 30 ekor
1 0
Perlakuan
0
0
0
0
0
11 (36,6%)
10 (33,30%)
0
Instar 5
0
10(33,30%)
6 (20%)
0
Jumlah larva mati (% mortalitas) Instar 4 Hari ke4 5 6 0 0 0
0
0
5 (16,6%)
0
7 0
0
24 (80%)
23(76,60%)
19 (63,30%)
larva mati 15 (50%)
Jumlah total
Tabel 3 Mortalitas larva ulat grayak (S. litura) instar 3 hari ke-1 sampai ke-7 dengan perlakuan tunggal masing-masing protoksin B. thuringiensis dan konidia Be. bassiana
21
22
Pengujian Campuran Protoksin B. thuringiensis dan konidia Be. bassiana Hasil uji pengujian daya insektisida kombinasi keduanya B. thuringiensis dan konidia Be. bassiana menunjukkan bahwa campuran protoksin dan konidia menyebabkan kematian pada larva S. litura instar 3. Aplikasi campuran protoksin dan konidia pada pakan setelah 24 jam menunjukkan terjadinya penurunan aktivitas makan dan bergerak. Pada perlakuan Bt 24 + Bb 107 dan Bt 48 + Bb 107 belum memperlihatkan terjadinya kematian pada hari pertama dan hari ke-2, sementara pada perlakuan Bt 24 + Bb 108 dan Bt 48 + Bb 108 kematian sudah mulai terjadi pada hari ke-2. Kematian total yang diamati pada hari ke-7 yang disebabkan perlakuan Bt 24 + Bb 107 sebesar 76,7%, perlakuan Bt 48 + Bb 107 menyebabkan kematian total sebesar 80%,
perlakuan Bt 24 + Bb 108
menyebabkan kematian total sebesar 86,7%, dan perlakuan Bt 48 + Bb 108 menyebabkan kematian ulat grayak paling banyak dibandingkan dengan perlakuan yang lain sebesar 96,7% (Tabel 4, Gambar 9).
120
Persentasi larva mati
100 80
Bt 24 + Bb 107 Bt 48 + Bb 107
60
Bt 24 + Bb 108 40
Bt 48 + Bb 108
20 0 1
2
3
4
5
6
7
Hari keGambar 9 Jumlah kumulatif larva yang mati dari hari-1 sampai ke-7
27
7
0
0
Bt 24 + Bb 108
Bt 48 + Bb 108
4 (13,3%)
4 (13,3%)
0
0
2
Instar 3
6 (20%)
0
6 (20%)
1 (3,3%)
3
Kontrol akuades 0 0 0 Keterangan: Ulat yang digunakan sebanyak 30 ekor
0
0
1
Bt 48 + Bb 107
Bt 24 + Bb 10
Perlakuan
0
8 (26,6%)
12 (40%)
4 (13,3 %)
11 (36,3%)
4
0
7 (23,3%)
6 (20%)
3 (10%)
4 (13,3%)
Hari ke5
Jumlah larva mati (% mortalitas) Instar 4
0
3 (10%)
4 (13,3%)
7 (23,3%)
4 (13,3%)
6
0
4 (13,3)
3 (10%)
7
0
1 (3,3%)
Instar 5
0 (0%)
29 (96,7%)
26 (86,7%)
24 (80%)
larva mati 23 (76,7%)
Jumlah total
Tabel 4 Mortalitas larva ulat grayak (S. litura) instar 3 hari ke-1 sampai ke-7 dengan perlakuan campuran protoksin B. thuringiensis dan konidia Be. bassiana
23
24
Gejala yang ditimbulkan protoksin B. thuringiensis dan konidia Be. bassiana dan perlakuan kombinasinya terlihat berbeda setiap harinya (Tabel 5, Gambar 10). Pada perlakuan tunggal protoksin gejala kematian yan ditimbulkan yaitu tubuh mengeras, menyusut, mengering dan mengeluarkan bau menyengat, pada perlakuan tunggal konidia gejala kematian yaitu tubuh larva bengkak, bagian ventral berwarna coklat dan mengeras, sedangkan pada perlakuan campuran protoksin dan konidia terlihat bahwa pada larva yang mati bagian ventral berwarna coklat dan bagian tengah perut berwarna hitam.
24
Larva yang masih memasuki instar 4.
4
hidup Larva yang masih hidup Larva yang masih hidup memasuki instar 4. Aktivitas memasuki instar 4. Aktivitas makan dan bergerak menurun. larva yang masih hidup menurun.
Larva menjadi instar 4. Larva aktif makan dan bergerak (Gambar 10c).
Aktivitas semakin menurun. Larva aktif makan dan Bagian ventral berwarna bergerak. Larva memasuki coklat, bagian tengah instar 4. berwarna hitam dan melembek. Larva yang mati mengeluarkan bau menyengat.
Larva mati. Tubuh mengeras, menyusut dan mengering serta mengeluarkan bau menyengat (Gambar 10b).
3
Aktivitas makan tetap berkurang, sebagian larva mati, larva yang hidup berkembang ke instar 4.
Larva terlihat tidak bergerak Aktivitas bergerak terlihat Bagian ventral larva berwarna Larva sangat aktif makan dan mencret. menurun, tubuh bagian ventral coklat. Aktivitas lambat. dan bergerak. berwarna cokat
2
1
Perlakuan Protoksin Bt tunggal Konidia Bb tunggal Protoksin Bt dan Konidia Bb Kontrol akuades Aktivitas makan dan bergerak Belum terlihat tanda sporulasi Aktivitas makan dan bergerak Larva sangat aktif makan terlihat menurun. cendawan di permukaan tubuh menurun. Sebagian larva dan bergerak (gambar 10a). larva, aktivitas larva masih menggulung. aktif.
Hari ke
Tabel 5 Gejala perhari yang ditimbulkan protoksin B. thuringiensis, konidia Be. Bassiana, dan kombinasinya.
25
7
6
5
Larva yang aktivitasnya berkurang mati dengan gejala ventral berwarna coklat dan mengeras (Gambar 10d).
Larva memasuki instar 5. Sebagian larva mati dan sebagian berhenti makan.
Sebagian larva masih hidup, berhenti makan dan bersiap memasuki tahap pupa (Gambar 10g). Pupa terbentuk setelah sekitar 2 minggu dari instar 5 akhir (Gambar 10h). Ciri-ciri pupa yang gagal mencapai tahap imago yaitu warna hitam kusam, tidak mengkilap, ringan dan berbau (Gambar 10i).
Larva instar 4 aktivitasnya melambat.
Larva memasuki instar 5. Aktivitasnya melambat.
Larva berhenti makan dan bersiap memasuki tahap pupa (Gambar 10g). Pupa terbentuk setelah sekitar 2 minggu dari instar 5 akhir (Gambar 10h). Ciri-ciri pupa yang gagal mencapai tahap imago yaitu warna hitam kusam, tidak mengkilap, ringan dan berbau.
Larva yang masih hidup, berhenti makan dan bersiap memasuki tahap pupa (Gambar 10g). Pupa terbentuk setelah sekitar 2 minggu dari instar 5 akhir (Gambar 10h). Ciri-ciri pupa yang gagal mencapai tahap imago yaitu warna hitam kusam, tidak mengkilap, ringan dan berbau (Gambar 10i).
Larva memasuki instar 5. Sebagian larva mati dan sebagian berhenti makan.
Aktivitas larva berkurang, gejala warna coklat di bagian ventral dan bagian tengah melembek dan menghitam (Gambar 10e).
Aktivitas makan berkurang. Lebih banyak berdiam dan memasuki tahap pupa (Gambar 10g). Pupa terbentuk setelah 2 minggu (gambar 10h)
Larva masuk instar 5. Aktivitas makan berkurang (Gambar 10f).
Larva aktif makan dan bergerak.
27
26
27
a
b
d
e
g
h
c
f
i
Gambar 10 Perlakuan protoksin B. thuringiensis, konidia B. bassiana, dan kombinasinya pada ulat grayak (S. litura). Keterangan: (a) larva S. litura instar 3, (b) larva yang mati akibat protoksin, (c) larva instar 4 tanpa perlakuan, (d) larva yang mati akibat B. bassiana, (e) larva yang mati akibat kombinasi protoksin B. thuringiensis dan konidia B. bassiana, (f) larva instar 5 tanpa perlakuan, (g) larva memasuki tahap pupa, (h) pupa, (i) pupa yang gagal menjadi imago.
24
PEMBAHASAN
Siklus hidup spesies Bacillus terdiri atas dua tahap utama yaitu tahap vegetatif dan tahap sporulasi.Tahap vegetatif ditandai dengan pertumbuhan sel yang aktif sementara tahap sporulasi ditandai dengan pertumbuhan sel yang melambat dan terbentuk endospora. Kedua tahapan ini meliputi perubahan morfologi dan biokimia dalam sel (Rivera 1999). Bacillus thuringiensis subsp. aizawai yang ditumbuhkan pada medium selektif menunjukkan jumlah sel tertinggi mulai umur kultur 16 jam dan mulai turun pada umur kultur 36 jam. Waktu pertumbuhan ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang menjelaskan bahwa jumlah sel tertinggi mulai setelah 3 hari masa inkubasi dengan menggunakan media NB (Wiwat et al. 2000).Perbedaan waktu stasioner dan waktu pembentukan endospora B. thuringiensis diakibatkan pada perbedaan nutrisi pada media yang digunakan. Media yang digunakan mengandung garam-garam organik yang diperlukan untuk menstimulasi pertumbuhan dan pembentukan endospora B. thuringiensis. Nutrisi minimal yang diperlukan untuk pertumbuhan B. thuringiensis diantaranya garam-garam dasar (KH2PO4, (NH4)2HPO4, MgSO4, CaCl2, MnSO4, FeSO4, dan ammonium molibdata) (Rivera 1999). Menurut Yussof et al. (2003) penambahan (NH4)2SO4 sebagai sumber nitrogen anorganik pada medium mampu meningkatkan persentase pembentukan spora B. thuringiensis subsp. aizawai. Keberadaan ion amonium NH4+ dan beberapa ion sulfat SO42- ke dalam medium dilaporkan dapat menstimulasi pembentukan endospora. Medium yang mengandung amonium sulfat juga dilaporkan meningkatkan produksi biomassa dan endoprotoksin dibandingkan dengan sumber nitrogen lainnya seperti pepton (Zuoari et al. 1990). Faktor lainnya yang diperlukan untuk pertumbuhan B. thuringiensis yaitu oksigen terlarut, pH dan suhu.Scherrer et al. (1973) menjelaskan ukuran dan kespesifikan inklusi parasporal dipengaruhi oleh suplai oksigen.Selanjutnya Sikdar et al. (1993) menyatakan bahwa produksi delta-endotoksin bertambah dengan distribusi udara di dalam media. Pengamatan mikroskop dengan mikroskop fase kontras dan pewarna Commasie Briliant Blue pada umur kultur 24 jam menunjukkan terbentuknya
30
kristal protein. Berdasarkan kurva tumbuh yang diperoleh waktu ini masih merupakan fase stasioner dari pertumbuhan B. thuringiensis. Pada pengamatan ini kristal protein hanya terlihat sebagai bulatan dengan ukuran yang lebih kecil dibandingkan dengan ukuran endospora B. thuringiensis dan tidak bisa terlihat bentuk morfologinya. Namun, dari penelitian Avisar et al. (2009) dapat diketahui bahwa berdasarkan sekuens asam aminonya kristal protein yang dihasilkan B. thuringiensis subsp. aizawai termasuk dalam kelas Cry1Ca. Secara umum protein Cry1 berbentuk bipiramid dan bersifat toksik terhadap serangga Lepidoptera (Bobrowsky et al. 2002). Karakteristik lain dari Cry1 yaitu toksin berukuran 130 kDa dan ukuran protoksin yang aktif secara enzimatik yaitu 66 kDa (Koller et al. 1994). Protein Cry1C mempunyai satu N terminal dengan tiga struktur domain (disebut sebagai protoksin aktif) dan terminal C yang bertanggung jawab pada pembentukan struktur kristal parasporal selama sporulasi (Maagd et al. 2001). Pengukuran protoksin memperlihatkan peningkatan konsentrasi pada umur kultur 48 jam yang diperoleh dari pengukuran absorbansi protein. Peningkatan terus menerus ini diasumsikan akibat protein lain selain protein Cry yang disekresikan oleh Bacillus thuringiensis juga ikut terukur pada panjang gelombang 595 nm dengan menggunakan reagen Commasie Briliant BlueG-250 (Bradford 1976). Namun pada jam ke-32 terlihat produksi protoksin menurun. Hal ini mungkin disebabkan karena B. thuringiensis juga memproduksi enzim protease alkalin.Vu et al. (2009) menyebutkan bahwa Bacillus thuringiensis memproduksi protease alkalin dan produksi protease tersebut meningkat setalah 24 jam. Produksi protease alkalin pada jam tersebut kemungkinan menyebabkan protoksin yang dihasilkan menjadi terdegradasi. Produksi protoksin mengacu pada metode Ma et al. (2008). Penambahan bufer dengan pH alkali dimaksudkan untuk melarutkan kristal protein dengan keadaan pH yang serupa dengan pH pencernaan serangga. Du et al. (1994) menjelaskan bahwa kristal terlarut pada pH 9 -10 yang seperti keadaan pada pencernaan serangga Lepidoptera dan nyamuk. Pada pH alkalin ikatan disulfida yang mempertahankan ikatan kristal akan terlarut (Koller et al. 1994). Sebelum terlarut, kristal hanya merupakan protoksin. Protoksin ini akan berubah menjadi
31
toksin aktif jika terpecah menjadi polipeptida yang lebih pendek dengan ukuran berkisar 27-149 kDa (Bahagiawati 2002). Beras dipilih menjadi media perbanyakan Be. bassianadalam penelitian ini berdasarkan hasil penelitian Nelson dan Glare (1996) yang menyebutkan bahwa dari penggunaan tiga macam media perbanyakan yaitu beras, gandum dan barley diperoleh hasil bahwa beras merupakan media yang paling sesuai untuk perkembangan Be. bassianadengan produktivitas konidia mencapai 4,38 x109 konidia/g beras. Hasil produksi konidia yang didapatkan setelah masa inkubasi selama dua minggu dengan berat media 180 g yaitu 3,6 x 108 konidia/ml. Hasyim & Azwana (2005) menyebutkan Be. bassiana memerlukan karbohidrat sebagai sumber
karbon
dalam
pertumbuhannya
dan
mendorong
pertumbuhan
vegetatifnya. Pada penelitian ini Be. bassiana diinkubasi pada suhu ruang dan pada ruang gelap yang dimaksudkan untuk mendapatkan konidia yang lebih besar. Penelitian terdahulu membuktikan bahwa Be. Bassiana yang diproduksi di lingkungan tanpa cahaya konidianya cenderung berukuran lebih besar dibanding yang diproduksi pada tempat terang (Humphreys et al. 1989). Hasil uji protoksin terhadap konidia Be. Bassiana menunjukkan bahwa protoksin berpengaruh pada jumlah koloni konidia Be. Bassiana yang tumbuh pada media yang mengandung protoksin B. thuringiensis, namun protoksin tidak berpengaruh pada jumlah konidia yang diproduksi dari koloni yang tumbuh tersebut. Hasil ini dikuatkan dengan hasil yang diperoleh dari metode cakram kertas. Pertumbuhan koloni Be. bassiana tidak dapat menutupi cawan setelah masa inkubasi 15 hari. Tidak adanya pengaruh protoksin terhadap jumlah konidia diakibatkan protoksin yang ada telah ternetralisir sehingga Be. Bassiana masih dapat menghasilkan konidia yang baik seperti pada kontrol. Hasil
uji
antagonis
sel
B.
koloni
Be.
bassianamampu
bassianamenujukkan
thuringiensis
dengan
koloni
Be.
melewati
koloni
dan
menghambat pertumbuhan B. thuringiensis. Kemampuan Be. Bassiana dalam menghambat pertumbuhan B. thuringiensis karena Be. Bassiana menghasilkan senyawa metabolit sekunder yang bersifat antimikrob seperti beauverisin dan bassianolida. Beauverisin telah dilaporkan mampu menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif dan Gram negatif di antaranya Bacillus spp, Staphylococcus
32
haemolyticus, Escherichia coli, dan Mycobacterium tuberculosis (Wang & Xu 2012). Juan et al. (2005) melaporkan bahwa bassianolona yang dihasilkan Be. bassiana mampu menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif seperti B. megaterium dan Staphylococcus aureus, bakteri Gram negatif seperti Escherichia coli dan Pseudomonass aeruginosa, serta mampu menghambat pertumbuhan Candida albicans. Hasil pengujian pada Spodoptera litura instar tiga menunjukkan adanya pengaruh protoksin yang mengakibatkan kematian pada ulat. Pada jam ke-24 setelah aplikasi protoksin dengan cara penyemprotan pada pakan terjadi penurunan aktivitas makan dan bergerak kemudian menyebabkan kematian pada jam ke-48. Penurunan aktivitas ini karenaprotoksin yang masuk ke dalam usus tengah serangga berinteraksi dengan sel-sel epitel usus tengah, menyebabkan terbentuk pori di sel membran saluran pencernaan dan mengganggu keseimbangan osmotik terganggu, sel menjadi bengkak dan pecah (Bahagiawati 2002). Chilcot et al. (1990) melaporkan bahwa infeksi protoksin pada ultrastruktur sel usus tengah serangga menyebabkan kerusakan setelah satu jam. Hal ini diikuti dengan pembengkakan organel epitel. Jaringan usus tengah serangga juga terganggu yang ditunjukkan dengan pembengkakan dan pemisahan jaringan. Enam jam setelah perlakuan dinding sel akan rusak dan membran peritrofik pecah. Kerusakan pada usus tengah serangga ini akan diikuti oleh berhentinya kemampuan makan serangga tersebut. Protein Cry terlepas dari kristal dan terinsersi pada membran dan menyebabkan lisis sel. Aktivasi protoksin melibatkan pelepasan proteolitik N terminal dari protein. Protoksin yang aktif kemudian mengikat pada reseptor CLPs (cadherin like proteindi tepi sel kolumnar sebelum masuk ke dalam membran (Bravo et al. 2005). Interaksi protoksin dan CLPs ini mengubah konformasi protoksin dan memfasilitasi pemecahan terminal N oleh protease yang melekat pada membran usus serangga.Protoksin kemudian dioligomerisasi menjadi struktur tetramer yang mengikat pada reseptor aminopeptidase N. Aminopeptidase N dan alkalin fosfatase kemudian membawa struktur tetramer ini menuju ikatan lipid pada membran tempat terjadinya insersi dan menyebabkan pori pada membran (Gambar 11). Reseptor aminopeptidase N untuk Cry1 telah
33
dideteksi terdapat pada tepi membran usus S. litura, S. exigua, S. frugiperda dan M. sexta. Kristal Pelarutan protein
Pemecahan αAktivasi Pengikatan protoksin pada reseptor heliks dan oligomerasi CLPs
Pengikatan pada reseptor APN
Pembentukan pori
Gambar 11 Proses infeksi protoksin Cry pada membran usus serangga (Soberon & Bravo 2008). Toksisitas B. thuringiensis subsp. aizawai sebelumnya telah dilaporkan oleh Bohorova et al. (1997) pada S. cosmoides. Toksisitas B. thuringiensis subsp. aizawai pada S. frugiperda lebih rendah dibandingkan dengan B. thuringiensis subsp kurstaki.Toksisitas ini dipengaruhi oleh tipe protein Cry yang dimiliki oleh kedua galur. Protein Cry B. thuringiensis subsp. aizawai bertipe Cry1Ca sedangkan B. thuringiensis subsp kurstaki Cry1Ac. Namun Avisar et al (2009) menuliskan bahwa Cry1Ca bersifat toksik dengan terhadap Spodoptera spp, Harmigera
virescens,
Mamestra
configurata,Phthorimaea
operculella,
Pectinophora gossypiella dan Plutella xylostella yang tidak mampu dikontrol dengan baik oleh Cry1A. Bianchi et al (2009) menambahkan bahwa efektivitas protoksin sangat bergantung pada kelarutan badan inklusi, proses proteolisis serta afinitas reseptor. Proses toksisitas B. thuringiensis terhadap serangga tergantung dua faktor yaitu kespesifikan bakteri serta kepekaan serangga yang terinfeksi. Tidak semua ulat yang dipakai dalam setiap perlakuan mati dan terus berkembang ke instar selanjutnya sampai mencapai tahap pupa, namun pupa yang terbentuk tidak berhasil menjadi imago. Resistensi beberapa ulat ini pada protoksin dipengaruhi beberapa faktor. Gangguan interaksi antara toksin Cry1 dan reseptor usus serangga merupakan mekanisme yang umum
terjadi pada
resistensi toksin terhadap serangga Lepidoptera (Ibiza-Palacios et al. 2008). Oppert et al. (1997) menyebutkan bahwa pengurangan afinitas toksin pada sel
34
reseptor epitel menyebabkan resistensi terhadap toksin B. thuringiensis. Rajagopal et al. (2002) lebih lanjut menjelaskan bahwa resistensi pada S. litura disebabkan karena salah satu gen pada APN yaitu slapn tidak diekspresikan. Hal ini menyebabkan afinitas pengikatan toksin Cry pada membran usus serangga menurun
lima
kali
lipat,sehingga
kerentanan
serangga
berkurang
dan
menyebabkan resistensi pada toksin Cry (Herrero et al. 2005). Faktor yang lain dapat disebabkan perubahan fisiologi membran usus ulat pada saat protoksin masuk melalui membran peritrofik dan saat terjadi pelekatan toksin pada membran epitel sel usus tengah ulat (Li et al. 2004). Forcada et al. (1996) menyebutkan bahwa enzim proteinase memproses protoksin menjadi toksin lebih lama dan setelah toksin terbentuk terjadi degradasi yang cepat juga mengakibatkan resistensi serangga pada toksin Cry. Resistensi yang ditemukan pada S. exigua dan Leptinotarsa decemlineata diakibatkan oleh penurunan pengikatan toksinCry pada reseptor membran usus serangga tersebut (Moar et al. 1995, Loseva et al. 2005). Resistensi dapat disebabkan pula oleh perubahan proteinase yang merupakan faktor penting untuk pelarutan dan aktivasi proprotoksin (Forcada et al. 1996). Oppert et al. (1997) melaporkan resistensi yang terjadi pada P. interpunctella pada B. thuringiensis subsp. entomocidus disebabkan kekurangan proteinase yang terlibat pada aktivasi protoksin sedangkan pada S. littoralis resistensi diakibatkan oleh peningkatan aktivitas spesifik enzim proteinase yang menyebabkan peningkatan degradasi toksin aktif (Keller et al. 1996). Pengamatan terhadap ulat yang mati dengan perlakuan konidia Be. bassianamenunjukkan gejala warna berubah menjadi coklat di bagian ventral sebagai akibat aktivitas beauverisin, tubuh mengeras dan terdapat bercak kehitaman pada tubuh ulat sebagai tempat penetrasi pertama dari konidia. Kematian baru terjadi pada hari ke-5. Waktu kematian ini lebih lambat dibandingkan dengan waktu kematian yang ditimbulkan oleh protoksin B. thuringiensis. Kematian yang lebih lambat ini disebabkan karena infeksi Be. bassiana memerlukan tahap penetrasi ke dalam tubuh serangga terlebih dahulu kemudian membentuk blastopora dan berkecambah serta menghasilkan toksin.
35
Menurut Tanada dan Kaya (1993) waktu yang diperlukan konidia berkembang dalam saluran pencernaan yaitu 72 jam. Kematian diakibatkan karena kerusakan jaringan secara menyeluruh atau protoksin yang diproduksi. Beberapa toksin yang dihasilkan oleh Be. bassianayaitubeauverisin, beauverolit, bassianolit, isorolit, dan asam oksalit. Toksin tersebut menyebabkan serangga kehilangan kesadaran setelah invasi pada sistem hemolimfa (Technical Bulletin 2007). Pada pengamatan ini tidak terlihat tubuh ulat yang ditutupi miselium putih.Menurut Soetopo & Indrayani (2007) serangga yang mati tidak selalu disertai dengan gejala pertumbuhan spora. Jika keadaan lingkungan tidak mendukung, spora tidak tumbuh ke luar tubuh serangga tetapi hanya akan berkecambah di dalam tubuh serangga dan menghasilkan toksin. Keadaan lingkungan yang tidak mendukung pertumbuhan spora diantaranya suhu yang tinggi serta cahaya matahari yang menginaktifkan spora (Mwamburi et al. 2009). Hasil aplikasi menunjukkan tidak semua ulat mengalami kematian. Faktor yang mempengaruhi ketahanan larva antara lain: umur (instar), semakin bertambahnya umur (instar) maka semakin sulit bagi cendawan melakukan infeksi karena struktur jaringan. Selain perubahan instar terdapat faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap ketahanan larva yaitu faktor genetik, dan perilaku (Surtikanti & Yasin 2009). Asal dan jenis isolat juga mempengaruhi keefektifan Be. bassiana Faktor lain yang dapat mempengaruhi keefektifan cendawan ialah kerapatan spora, kualitas media tumbuh cendawan, jenis hama yang dikendalikan, umur stadia hama, waktu aplikasi, frekuensi aplikasi, dan lingkungan yang meliputi sinar ultra violet, curah hujan, kelembaban, dan suhu (Surtikanti & Yasin 2009). Jumlah larva yang mati pada perlakuan campuranprotoksinB. thuringiensis dan konidia Be. Bassiana yang ditunjukkan pada Tabel 4 lebih banyak dibanding perlakuan lain namun perlakuan protoksin tunggal memberikan waktu kematian yang lebih cepat. Jumlah kematian yang tinggi ini diduga karena kerja kombinasi protoksin B. thuringiensis dan konidia Be. bassiana. Kerja kombinasi antara protoksin B. thuringiensis dan konidia Be. Bassiana dapat dilihat dari gejala yang ditimbulkan. Pada perlakuan kombinasi ini larva yang mati memperlihatkan
36
gabungan gejala kematian oleh protoksin dan konidia. Bagian ventral dari larva berwarna coklat seperti yang ditimbulkan oleh perlakuan tunggal konidia Be. bassiana tapi dibagian tengah berwarna hitam seperti gejala yang ditimbulkan pada perlakuan tunggal protoksin B. thuringiensis. Lewis et al. (1996) melaporkan aplikasi B. thuringiensis meningkatkan supresi Be. bassiana pada hama penggerek jagung. Furlong dan Groden (2003) menyebutkan bahwa pada kumbang Colorado terjadi peningkatan kerentanan terhadap infeksi Be. bassiana yang diakibatkan oleh infeksi awalB. thuringiensis. Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa pada perlakuan campuran protoksin yang diproduksi pada jam ke-24 dan konidia Be. bassiana 108 tidak terjadi kematian pada hari ke-3. Berbeda dengan hasil perlakuan tunggal yang menunjukkan bahwa pada hari tersebut terdapat kematian.Hal ini mungkin terjadi karena terjadinya resistensi yang diakibatkan perubahan fisiologi dari serangga pada hari tersebut.Namun pada hari berikutnya terjadi kematian karena dilakukan perlakuan lagi sehingga dapat menambah kerentanan pada larva kembali. Perlakuan campuran protoksin B. thuringiensis dan konidia Be. Bassiana memperlihatkan gejala yang berbeda dengan yang ditimbulkan perlakuan tunggal. Ulat yang mati menunjukkan gejala berwarna coklat akibat kerja dari beauverisin tapi tidak mengeras seperti pada perlakuan konidia tunggal.Tubuh ulat mengkerut dan berwarna hitam di bagian tengah yang diduga akibat kerja protoksinBacillus thuringiensis yang menyebabkan lisis pada usus serangga serangga. Ma et al. (2008) yang menyebutkan bahwa antara toksin CryAc dan Be. Bassiana bekerja secara antagonis atau aditif.
Interaksi aditif dapat dijelaskan berdasarkan gejala
perhari yang ditimbulkan terlihat bahwa gejala yang ditimbulkan oleh protoksin B.
thuringiensis konidia Be. Bassiana tidak muncul bersamaan. Hal ini diduga
karena jalur infeksi keduanya berbeda dan terpisah di dalam tubuh larva. Konidia Be. Bassiana menginfeksi dari kutikula dan memasuki hemosel dan mengeluarkan beberapa senyawa protoksin seperti beauverisin, bassianolide dan oosporein sedangkan toksin B. thuringiensis menginfeksi melalui pencernaan dan mengikat pada reseptror glikoprotein epitel usus serangga, mengganggu membran sitoplasmik dan menyebabkan lisis. Penelitian lainnya dilakukan oleh Costa et al. (2008) bahwa antara Cry1Ac dan Be. Bassiana bekerja secara sendiri-sendiri.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Pembentukan toksin memperlihatkan peningkatan dari 0,474 mg/ml pada umur kultur 4 jam menjadi 1,05 mg/ml pada saat umur kultur 48 jam. Toksin B. thuringiensis subsp. aizawai memperlihatkan pengaruh pada pertumbuhan konidia Be. bassiana. Protoksin yang diproduksi pada umur kultur 48 jam paling efektif menyebabkan kematian grayak (Spodoptera litura F.) dibandingkan perlakuan yang lain dengan jumlah kematian 63,3% sedangkan protoksin yang diproduksi pada umur kultur 24 jam menyebabkan kematian 50 %. Konidia Be. bassiana dengan konsentrasi 107 konidia/ml menyebabkan kematian total sebesar 76,6% dan B. bassiana dengan konsentrasi 108 konidia/ml menyebabkan kematian sebesar 80%. Perlakuan daya insektisida campuran protoksin B. thuringiensis dan konidia B. bassiana dengan campuran toksin yang diproduksi pada umur kultur 48 jam dan konidia dengan konsentrasi 108 konidia cenderung mematikan S. litura lebih banyak dibandingkan perlakuan yang lain dengan mortalitas sebanyak 96,7%.
DAFTAR PUSTAKA Anna E, Escriche B, Ferre J. 2003. Interaction of Bacillus thuringiensis toxins with larval midgut binding sites of Helicoverpa armigera (Lepidoptera: Noctuidae). Appl Environ Microbiol 70: 1378–1384. Atlas RM, Parks LC , editor. 1997. Handbook of microbiological media. Ed ke-2. Florida: Crc press. Avisar D et al. 2009. The Bacillus thuringiensis delta-toksin CryIC as a potential bioinsectiside in plants. Plant Sci 176:315-324. Bahagiawati. 2002. Penggunaan Bacillus thuringiensis sebagai bioinsektisida. Bull Agro Bio 5: 21-28. Balfas R, Wilis M. 2009. Pengaruh ekstrak tanaman obat terhadap mortalitas dan kelangsungan hidup Spodoptera litura F (Lepidoptera, Noctuidae). Bul Littro 20: 148-156. Baliadi Y, Tengkano W, Marwoto. 2008. Penggerek polong kedelai, Etiella zinckenella Treitschke (Lepidoptera: Pyralide), dan strategi pengendaliannya di Indonesia. J Lit Pertan 27: 113-123. Bianchi K et al. 2009. Selection and characterization of the Bacillus thringiensis strains toxic to Spodoptera fruigiperda (Smith) (Lepidoptera; Noctuidae). Biol Control 50:157-163. Bobrowski VL, Pasquali G, Bodanese-Zanettini MH, Pinto LM, Fiuza LM. 2002. Characterization of two Bacillus thuringiensis isolate from South Brazil and their toxicity against Anticarsia gemmitalis (Lepidoptera: Noctuidae). Biol Control 25:129-135. Bohorova NE, caberra M, Abarca C, Quintero R, Maciel AM, Brito R M, Hoisington D A, Bravo a. Susceptible of four tropical lepidopteran maiz pest to Bacillus thuringiensis Cry tipe I insectisidal toxin. J Enthomol 90: 412-415. Boncheva R, Dukiandjiev S, Minkov I, Ruud A. Naimov S. 2006. Activity of Bacillus thuringiensis δ-endotoxin againt codling moth (Cydis pomonella L) larvae. J Invert Pathol 92:84-87. Bradford MM. 1976. A rapid and sensitive method for the quantification of microgram quantities of protein utilizing the principle of protein dye binding. Anal Biochem 72: 248–254. Bulla LA, Kramer KJ, Davidson LI. 1977. Characterization of the entomocidal parasporal crystal of Bacillus thuringiensis. J Bacteriol 130:375-383.
40
Cheung PYK, Grula EA. 1982. In vivo events associated with entomopathology of Beauveria bassiana for the corn earworm (Heliothis zea). J Invert Pathol 39: 303-313. Chilcott YK, Lam P, Chua YT, Ellar DJ, Drobniweski FA. 1990. Mechanism of action Bacillus thuringiensis israelensis parasporal body. Microbiol Lett 27:221-225. Deshmukhe PV, Holi A A, Holihosur SN. 2001. Effect of Lantana camara (L) on growth, development and survival of tobacco caterpillar (Spodoptera litura fabricus). Karn J Agric Sci 24:137-139. Du C, Martin PAW, Nickerson KW. 1994. Comparison of disulfide contents and solubility at alkaline pH of insecticidal and noninsecticidal Bacillus thuringiensis protein crystal. Appl Environ Microbiol 60:3847-3853. Dhuyo AR, Naheed MS. 2008. Pathonegenity of beauveria bassiana (Deuteromycota:Hypomycetes) against the yellow rice stem borer, Sciicpophaga incertulas (Lepidoptera:Pyrilidae) under laboratory condition. Pakist Entomol 30:37-42. Dirjen Perlindungan Tanaman Pangan. 2011. Serangan ulat grayak di Indonesia MT 2011.http://tanamanpangan.deptan.go.id/doc_upload/kedUG.pdf. [14 Februari 2012] Fadel A, Sharif N, Alaeddinoglu G. 1988. Arapid and simple method for staining of the crystal protein of Bacillus thuringiensis. J Mikrobiol Indones 3: 227-229. Feng MG, Pu XY, Ying SH, Wang YG. 2004. Field trials of an oli-based emulsifiable formulation of Beauveria bassiana and low application rates of imidaclorid for control of false eye leafhopper Empoasca vitis on tea in southern china. Crop Protect 23:489-496. Forcada C, Alcacer E, Garcera MD, Martinez R. 1996. Differences in the midgut proteolytic activity of two Heliothis virescens strains, one susceptible and one resistant to Bacillus thuringiensis. Arch Insect Biochem Physiol 31:257–272. Frankenhuyzen KV. 2009. Insecticidal activity of Bacillus thuringiensis crystal protein. J Invert Pathol 101:1-16 Furlong MJ, Groden E. 2003. Starvation induce stress and susceptibility of the Colarado potato bettle, Leptinotarsa decemlineata to infection by Beauveria bassiana. J Invert Pathol 83: 127-138.
41
Hasyim A, Azwana. 2003. Patogenitas isolat Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin dalam mengendalikan hama penggerek bonggol pisang, Cosmopolites sordidis Germar. J Hort 13:120-130. Hennie J, Puspita F, Hendra. 2003. Kerentanan larva Spodoptera litura terhadap virus nuclear polyhedrosis. J Natur Indones 15:145-151. Herrero S, Gechev T, Bakker PL, William JM, Maagd RA. 2005. Bacilus thuringiensis Cry1Ca-resistant Spodoptera exigua lacks expression of one of four aminopeptidase N genes [catatan penelitian]. BMC Genomic 6:110. Hill DS. 1993. Agricultural insect pests of the tropics and their control. : Cambridge : Cambridge University Press. Hofte H, Whiteley HR. 1989. Insecticidal crystal proteins of Bacillus thuringiensis .Microbiol Rev 53:242–255. Huang FD, Zhang J, Song PF, Lang ZH. 2007. Microbial control and biotechnology research on Bacillus thuringiensis in China. J Invert Pathol 95: 175-180. Humpreys AM, Matewele P, Trinci APJ. 1989. Effect of water activity on morphology, growt and blastopore production of Metharizium anisopliae, Beauveria bassiana, and Paecylomyces farinosus in batch and fed-batch culture. Mycol Res 92:257-264. Ibiza-Palacios MS et al. 2008. Selective inhibition of binding of Bacillus thuringiensis Cry1Ab toxin to cadherinlike and aminopeptidase proteins in brush-border membranes and dissociated epithelial cells from Bombyx mori. J Biochem 409:215–221. Inglish GD, Gottel MS, Jhonson DL. 1993. Persistance of the entomopathogenic fungus on phylloplanes of crested wheatgrass and alfafa. Biol Control 3: 258-270. James C. 2002. Global review of commercialized transgenic crops: 2001feature: Bt cotton. International Service for the Acquisition of Agri-Biotech Applications. Ithaca . New York. Juan L et al. 2005. Bassianolone: an antimicrobial precursor of chepalosproides E and f from entomoparasitic fungus Beauveria bassiana. Org Biomol Chem 3:1172-1173. Keller M et al. 1996. Digestion of δ-endotoxin by gut proteases may explain reduced sensitivity of advanced instar larvae of Spodoptera litoralis to CryIC. Insect Biochem Mol 26:365-373.
42
Koller NC, Bauer LS, Hollingworth RM. 1992. Characterization of the pH mediated solubity of Bacillus thuringiensis var. sandiego native δendotoxin crystal. Biochem Biophys Res 184:692-699. Lewis LC. Berry EC. Obrycki JJ. Bing LA. 1996. Aptness of insecticides (Bacillus thuringiensis and carbofuran) with endophytic Beauveria bassiana in suppressing larval populations of European corn borer. Agric Ecosyst Environ 57: 27–34. Li H, Oppert B, Higgins RA, Huang F, Zhu YK, Buscman L. 2004. Comparative analysis activities of Bacillus thringiensis resistant and susceptible Ostrinia nubilalis (Lepidoptera: Crambidae). Insect Biochem Mol Biol 34:753-762. Lima JB, Melo NV, Valle D. 2005. Residul effect of two Bacillus thuringiensis var. isralensis product assayed against Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) in laboratory and outdors at Rio de jeneiro Brazil. Rev Inst Med Trop 47:125-1230. Lopez MJ, Ibarra JE.1996. Characterization of novel strain of Bacillus thuringiensis. Appl Environ Microbiol 62:1306-1310. Ma X , Liu X, Ning X, Zhang B, Han F, Xiu M, Tang YF. 2008. Effect of Bacillus thuringiensis toxin Cry1Ac and Beauveria bassiana on Asiatic corn borrer (Lepidoptera: Crambidae). J Invert Pathol 9:123-128. Maagd RA, Bravo A, Crickmore N. 2001. How Bacillus thuringiensis has evolved spesific toxin to colonize the insect world. Trens Genet 9:123128. Marwoto, Suharsono. 2008. Strategi dan komponen teknologi pengendalian ulat grayak (Spodoptera litura fabricus) pada tanaman kedelai. J Lit Pertan 27:131-136. Moar WJ et al. 1995. Development of Bacillus thuringiensis CryIC resistance by Spodoptera exigua (Hubner) (Lepidoptera: Noctuidae). Appl Environ Microbiol 61:2086–2092. Navon A. 2003. Bacillus thuringiensis insecticides in crop protection – reality and prospect. Crop Protect 19:669-676. Nelson TL, Glaire TL.1996. Large scale production of New Zealand galurs oof Beauveria and Metharizium. Proceedings 49th Plant Protect conf. Hlm 257-261. Nester EW, Thomashow LS, Metz M, Gordon M. 2002. 100 Years of Bacillus thuringiensis: a Critical Scientific Assessment. Washington D.C.: American Academy of Microbiology.
43
Oppert B, Kramer KJ, Beeman RW, McGaughey WH. 1997. Proteinase— mediated insect resistence to Bacillus thuringiensis toxin. J Biol Chem 272:23473-23476. Rahayuningsih M. 2003.Toksisitas dan perbedaan aktivitas bioinsektisida Bacillus thuringiensis var israelensis tipe liar dan tipe mutan pada berbagai formulasi media dan kondisi kultivasi [disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Rao GVR, Wightman JA, Ranga Rao DV. 1993. World review of the natural enemies and diseases of Spodoptera litura (F.) (Lepidoptera: Noctuidae). Insect Sci Appl 14: 273-284. Rajagopal R, Sivakumar S, Agrawal N, Malhotra P, Bhatnagar RK. 2002. Silencing of midgut aminopeptidase N of Spodoptera litura by doublestranded RNA establishes its role as Bacillus thuringiensis toxin receptor. J Biol Chem 277:46849-46851. Rivera D. 1999. Growth kinetics of Bacillus thuringiensis batch, fed-batch and continous bioareactor culture [disertasi]. London: University of Western Ontario. Rukmini V, Reddy CY, Venkateswerlu G. 2000. Bacillus thuringiensis crystalendotoxin: roles of proteases in the conversion of protoxin to toxin. Biochimie 82:109–116. Schenepf E et al. 1998. Bacillus thuringiensis and its pesticidal cristal protein. Microbiol Mol Biol 62: 705-806. Scherrer, Luthy P, Tnimpi B. 1973. Production of δ-3ndotoxin of Bacillus thuringiensis as a function of glucose consentration. Appl Microbiol 25:644-646. Sikdar DP, Majumdar MK, Majumdar SK. 1993. Optimalization of process for production of delta-endotoxin by Bacillus thuringiensis var. israelensis in 5-liter fermentor. Biochem Arch 9:119-123. Silva et al. 2004. Characterization of novel Brazillian Bacillus thuringiensis against Spodoptera frugiperda and other insect pest. J Appl Entomol 128:1-6. Soberon M, Bravo A. 2008. Avoiding insect resistanceto Cry toxin from Bacillus thuringiensis. http://www.nbiap.vt .edu /news /2008 /artspdf/may0803.pdf [12 April 2012].
44
Soetopo D, Indrayani I. 2007. Status teknologi dan prospek Beauveria bassiana untuk pengendalian serangga hama tanaman perkebunan yang ramah lingkungan. Perpesktif 6:29-46. Surikanti, Yasin. 2009. Keefektifan entomopatogenik Baeauveria bassiana vuill. Dari berbagai media tumbuh terhadap Spodoptera litura (Lepidoptera:Noctuidae) di laboratorium. Di dalam: Inovasi teknologi Serelia Menuju Kenandirian Pangan dan Agroindustri. Prosiding Seminar Nasional Serelia; Maros, 29 Jul 2009. Maros: Perhimpunan Entomologi Indonesia-Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. hlm358-362. Swadener C. 1994. Insecticide Fact sheet Bacillus thuringiensis (B.t). J Pest Reform 14: 13-20. Szymanski N, Patterson RA. 2003. Effective microorganism and wastewater systems. Lanfax Lab Armidale 19:347-354. Tanada Y, Kaya HK. 1993. Insect Pathology. San Diego:Academic Press. Technical Bulletin. 2007. Fungal Diseases. http://msucares.com/ pubs/techbulletins/tb218fungal.htm [12 April 2012]. Todorova SI, Codere C, Vincent C, Cote JC. 2003. Effect of entomopathogenic fungus Beauveria bassiana on the oblique banded leaffroller. Agric Agrifood Can 16:245-249. U.S. Environmental Protection Agency. 2006. Biopesticide regritration action document Beauveria Bassiana HF23. http://ec.europa.eu/food/plant /protection /evaluation/existactive/GHA.pdf. [19 juni 2010]. Vu DK, Yan S, Tyagi RD, Valero JR, Surampali RY. 2009. Induced production of chitinase to enhance entomotoxicity of Bacillus thuringiensis employing starch industry wastewater as a substrate. Biores Tech 100:5260-5269. Walters FS, English LH.1995. Toxicity of Bacillus thuringiensis d-endotoxins toward the potato aphid in an artificial diet bioassay. Entomology 77:211– 216. Wang Q, Xu L. 2012. Beauvericin , a bioactive compound produced by fungy. Molecule 17:2367-2377. Wiwat C, Thaithanum S. Parurwanata S, Bhumirathana A. 2009. Tovicity of chitinase-producing Bacillus thuringiensis ssp. kurstaki HD-1(G) toward Plutella xylostella. J Invert Pathol 76:270-277.
45
Wright SP, Ramos ME. 2005. Synergistic interaction between Beauveria bassiana and Bacillus thuringiensis tenebrionis based biopesticides applied against field populations of colorado potato beetle larvae. J Invert Pathol 90:139–150. Yussof WM, Mazmira MM, Mei CC. 2003. Effect of ammonium sulphate on the sporulation of Bacillus thuringiensis sbsp. aizawai SN2 (a local isolate) during batch fermentation. J Teknol 39:53-60. Zayed ME Bream AS. 2004. Bioassay of some egyptian isolates of Bacillus thuringiensis againts Cullex pipiens (Dipetera: Culicidae). Commun Agric Appl Biol Sci 69: 219-228. Zouari N, Dhouib A, Allouz R, Jaoua S. 1990. Nutritional requirements of a strain of Bacillus thuringiensis subsp. kurstaki and use of gruel hydrolysate for the formulation of a new medium for δ-endotoxin production. Appl Biochem Biotech 69: 41-52.
LAMPIRAN
LAMPIRAN
Lampiran 1 Jumlah sel Bacillus thuringiensis subsp. aizawai kurva tumbuh Umur kultur 4 8 12 16 20 24 28 32 38 40 44 48
pada pengukuran
Log sel 4.15 4.79 5.05 5.15 5.12 5.08 5.08 5.075 5.025 5.01 4.9 4.8
Lampiran 2 Konsentrasi protoksin Bacillus thuringiensis subsp. aizawai Umur Kultur 4
Konsentrasi toksin (mg/ml)
8
0.2791
12
0.3821
16
0.3754
20
0.3328
24
0.4395
28
0.6743
32
0.0575
38
0.306
40
0.5522
44
0.975
48
1.05
0.474