EFEKTIVITAS PENGGUNAAN BACILLUS THURINGIENSIS BERL. DAN BEAUVERIA BASSIANA BASS. TERHADAP KEMATIAN BEBERAPA JENIS BINATANG PERUSAK TANAMAN Effectiveness of Bacillus thuringiensis Berl. and Beauveria bassiana Bass. on the Death of Some Species of Plant Destroyer Animals Sumiyati Sudono1), Djumali Mardji2) dan Chandradewana Boer3) Abstract. The purpose of this research were to determine the animals symptoms after treated with microorganisms, the virulence of Bacillus thuringiensis bacterium and Beauveria bassiana fungus on five species of experimental animals and the influence of concentrate differences of Bac. thuringiensis and Bea. bassiana on the animals death. This research was conducted at the office of the Class 1 Plant Quarantine Station in Samarinda from June to August 2005. This research revealed that infection symptoms occurred in the animals after treated with Bac. thuringiensis were decreasing in activities, where the animals were no longer active moving, irregular of moving balance, having low appetite, flabby body, change of body color and emitted bad odor. The infection by Bea. bassiana resulted in stiffening of the animals body, change of body color because the fungus hyphae were growing on it, but there was no odor emitted from the infected body. Bac. thuringiensis var. Aizawai and Kurstaki with the concentration of 2 g/l of water and Bea. bassiana with the concentration of 16 g/l of water were the best concentrations to bring fastest death of the treated animals. The virulence of the third microorganisms applied in this experiment were same in killing locusts, crickets and termites with the death frequency were 100 % in the period of 30 days of the experiment, while the death frequency of snails treated with Bac. thuringiensis var. Aizawai were 60 %. The death frequency of snails and bamboo worms treated with Bea. bassiana were 2040 % and 3360 %, respectively. Based on the period of death of all species of animals caused by those three microorganisms, snail was the most resistant followed by bamboo worm, cricket and locust, while the most susceptible was termite. Kata kunci: gejala, kematian, virulensi, konsentrasi, ketahanan
Penggunaan insektisida untuk penanggulangan serangga dengan bahan kimia sampai saat ini hasilnya cukup memuaskan namun seringkali menimbulkan sifat resisten pada serangga itu sendiri dan mempunyai efek samping yang cukup ___________________________________________________________________ 1) Stasiun Karantina Tumbuhan Kelas I di Samarinda 2) Laboratorium Perlindungan Hutan Fak. Kehutanan Unmul, Samarinda 3) Laboratorium Satwa Liar Fak. Kehutanan Unmul, Samarinda
77
78
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 3 (1), APRIL 2007
membayakan bagi lingkungan. Hal ini disebabkan karena musuh-musuh alami menjadi musnah karena pemakaian pestisida dan berbagai jenis makhluk hidup lainnya yang bukan sasarannya seperti serangga penyerbuk, saprofit, pengurai tanah dan sebagainya ikut mati, selain itu juga terjadi pencemaran terhadap air, tanah dan udara (Djafaruddin, 2000). Salah satu jenis hama yang diketahui dapat menimbulkan kerusakan yang sangat berarti adalah jenis serangga. Menurut Anderson (1960), selain Mollusca ada beberapa bangsa (ordo) dari serangga yang banyak menimbulkan kerusakan pada pohon hutan dan hasil hutan, di antaranya Orthoptera, Isoptera dan Lepidoptera. Selanjutnya menurut Soeyamto dan Mardji (1986), beberapa jenis hama juga ditemukan di areal HTI PT ITCI di Kenangan pada semai Acacia mangium, antara lain hama belalang dari jenis Attactomorpha crenulata, Trilopidia cristella dan Euparatettrix serta penggerek lainnya. Berdasarkan penelitian Winada (1996) di PT Kiani Hutan Lestari Batu Ampar, Kabupaten Kutai, jenis-jenis hama yang menyerang daun muda Shorea sp. adalah dari bangsa Orthoptera seperti belalang (Valanga sp.), Locusta sp. dan jangkrik (Gryllus sp.). Jangkrik yang hidup di alam bebas seperti di sawah, ladang, kebun dan tempat pembibitan merusak tanaman dengan cara mengkonsumsi daun-daunan dan biji-bijian (Soenanto, 1999). Kalshoven (1951) mengemukakan, bahwa pada tanaman karet (Hevea brasiliensis) juga ditemukan bekicot (Mollusca), jenis bekicot yang banyak ditemukan yaitu Achatina fulica yang menyerang tanaman-tanaman muda, belalang Valanga sp. yang menyerang daun-daun di pembibitan dan rayap (Isoptera) dari spesies Microtermes inspiratus, rayap juga menyerang tanaman kopi (Coffea sp.), coklat (Theobroma cacao) dan tanaman lainnya dengan cara merusak kulit batang tanaman. Salah satu hama tanaman bambu adalah ulat/larva yang memakan bagian dalam batang bambu yang mengakibatkan batangnya rusak, sehingga kekuatannya menurun dan tidak dapat digunakan. Di Thailand ulat ini dimanfaatkan untuk konsumsi masyarakat yang sangat disukai. Selain itu, ulat ini dibudidayakan orang untuk makanan burung. Bacillus thuringiensis telah banyak digunakan untuk pengendalian serangga secara biologis, namun belum ada yang mencoba menggunakan insektisida mikroba dari bakteri Bac. thuringiensis dan jamur entomopatogen Beauveria bassiana terhadap ke lima jenis binatang tersebut, yaitu bekicot (Achatina fulica) (Mollusca), belalang (Valanga sp.) (Orthoptera), jangkrik (Gryllus testaceus) (Orthoptera), rayap (Macrotermes sp.) (Isoptera) dan ulat bambu (Lepidoptera). Menurut Untung (2001), insektisida mikrobial berbeda dengan insektisida sintetik organik, yang mana insektisida mikrobial mempunyai keuntungan yaitu berspektrum sempit atau khas inang dan aman terhadap lingkungan hidup. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: gejala binatang setelah diperlakukan dengan mikroorganisme, virulensi (keganasan) bakteri Bac. thuringiensis dan jamur Bea. bassiana terhadap beberapa jenis binatang percobaan dan pengaruh perbedaan konsentrasi dari kedua jenis bakteri Bac. thuringiensis dan jamur Bea. bassiana terhadap kematian binatang. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan informasi tentang pengaruh pemberian bakteri Bac. thuringiensis dan jamur Bea. bassiana
Sudono dkk. (2007). Efektivitas Penggunaan Bacillus thuringiensis
79
dengan konsentrasi yang paling efektif terhadap binatang, sebagai pengendalian terhadap serangan binatang yang dapat merusak tanaman. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di kantor Stasiun Karantina Tumbuhan Kelas 1 Samarinda yang lokasinya di Sempaja Kecamatan Samarinda Utara, sedangkan identifikasi bakteri dan jamur dilakukan di Laboratorium Perlindungan Hutan Fakultas Kehutanan Unmul. Pelaksanaan penelitian meliputi kegiatan persiapan dan pelaksanaan pengamatan yang dilaksanakan dari bulan Juni sampai Agustus 2005. Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut: binatang percobaan yang terdiri dari bekicot (Achatina fulica) (Mollusca), belalang (Valanga sp.) (Orthoptera), jangkrik (Gryllus testaceus) (Orthoptera), rayap (Macrotermes sp.) (Isoptera), ulat bambu (Lepidoptera), bakteri Bacillus thuringiensis varietas Aizawai, bakteri Bacillus thuringiensis varietas Kurstaki dan jamur entamopatogen Beauveria bassiana. Masing-masing binatang yang diperlukan setiap ulangan sebanyak 5 ekor dan 10 ekor untuk rayap. Jumlah ulangan sebanyak 3 kali, sehingga jumlah seluruh binatang yang diperlukan adalah 4 jenis binatang x 3 konsentrasi x 5 ekor x 3 ulangan (3 kali percobaan) = 180 ekor, sedangkan rayap 1 jenis x 3 konsentrasi x 10 ekor x 3 ulangan (3 kali percobaan) = 90 ekor. Bakteri yang digunakan berbentuk tepung yang di dalam penggunaannya harus dilarutkan terlebih dahulu dengan air. Jamur entomopatogen Bea. bassiana didapat dari laboratorium UPTD P3TP (Pengkajian Pengembangan Perlindungan Tanaman Perkebunan) Samarinda yang sudah ditumbuhkan di media beras, sehingga dapat langsung digunakan. Untuk mengetahui kebenaran bakteri Bac. thuringiensis pada kemasan dan jamur Bea. bassiana, maka dilakukan identifikasi di laboratorium Perlindungan Hutan Fakultas Kehutanan Unmul. Penelitian ini menggunakan pola percobaan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 2 faktor yaitu: a. Faktor mikroorganisme Az = bakteri Bac. thuringiensis varietas Aizawai konsentrasi 2 g/l air; 0,5 g/l air dan kontrol; Kr = bakteri Bac. thuringiensis varietas Kurstaki konsentrasi 2 g/l air; 0,5 g/l air dan kontrol; Bs = jamur Bea. bassiana konsentrasi 16 g/l air; 4 g/l air dan kontrol. Sebagai kontrol digunakan makanan yang hanya disemprot dengan air ledeng dari PAM. b. Faktor binatang Bk = bekicot, Bl = belalang, Ja = jangkrik, Ra = rayap dan Ul = ulat bambu. Selanjutnya kedua faktor tersebut dikombinasikan yaitu AzBk, AzBl, AzJa, AzRa, AzUl; KrBk, KrBl, KrJa, KrRa, KrUl dan BsBk, BsBl, BsJa, BsRa, BsUl. Jumlah ulangan adalah sebanyak tiga kali, sehingga jumlah satuan percobaan adalah 3 mikroorganisme (2 bakteri + 1 jamur) x 3 (konsentrasi) x 5 jenis binatang x 3 ulangan = 135 satuan percobaan. Perlakuan terhadap bekicot, belalang, jangkrik, rayap dan ulat menggunakan konsentrasi larutan bakteri Bac. thuringiensis dan jamur Bea. bassiana dengan menyemprot makanan yang diberikan kepada masing-masing binatang percobaan.
80
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 3 (1), APRIL 2007
Bekicot diberi makan daun Acacia mangium dan dimasukan ke dalam sungkup kasa, sedangkan ulat bambu tetap ditempatkan di dalam bambu yang kemudian diletakkan dalam sungkup kasa. Belalang, jangkrik dan rayap ditempatkan di dalam kotak kasa kemudian diletakkan dalam sungkup kasa, untuk belalang diberi makan daun A. mangium dan daun keladi, jangkrik diberi makan kangkung dan sawi, rayap diberi makan kayu. Data pengamatan yang diambil adalah timbulnya gejala pada binatang, waktu letal (waktu kematian) binatang setelah diperlakuan bakteri Bac. thuringiensis dan jamur Bea. bassiana yang diamati setiap hari dan jumlah kematian binatang di akhir percobaan sampai hari ke 30. Persentase kematian bekicot, belalang, jangkrik, rayap dan ulat bambu dihitung dengan menggunakan rumus Loetsch dkk. (1973) sebagai berikut: P = A/N x 100 %, yang mana P = persentase kematian binatang, A = jumlah binatang mati dan N = jumlah binatang seluruhnya. Sebelum diuji dengan uji F persentase kematian terlebih dahulu ditransformasi ke dalam arcsin menggunakan tabel arcsin menurut Hanafiah (1993). Menurut Gomez dan Gomez (1984) dalam Hanafiah (1993) data dalam bentuk persen perlu ditransformasi terlebih dahulu sebelum dianalisis secara statistik. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan yang diberikan kepada binatang, maka dilakukan pengujian ststistik berupa analisis sidik ragam (uji F). HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Kondisi Lingkungan Lokasi Penelitian Faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan binatang antara lain kelembapan dan suhu udara. Selama percobaan berlangsung, curah hujan di lokasi penelitian adalah 108,6–271,0 mm, kelembapan udara 81,2–85,9 % dan temperatur udara 26,2–26,9º C. Menurut Mohr (1960) dalam Kartasapoetra (1993), kondisi tersebut adalah kategori bulan basah, yaitu suatu bulan yang curah hujannya melebihi 100 mm. Penyemprotan larutan mikroorganisme kepada makanan binatang dilakukan pada waktu tidak turun hujan agar supaya larutan tersebut tidak tercuci oleh air hujan. Gejala Serangan Bakteri Bacillus thuringiensis Varietas Aizawai dan Varietas Kurstaki pada Binatang Pemberian larutan bakteri kepada makanan binatang percobaan bertujuan agar supaya bakteri tersebut masuk ke dalam tubuh binatang bila memakannya. Dari pengamatan terhadap ke lima jenis binatang akibat diperlakukan dengan Bac. thuringiensis varietas Aizawai dan Kurstaki terdapat banyak kesamaan, binatang yang diperlakukan dengan bakteri tersebut terjadi penurunan aktivitas. Pada penelitian ini setelah diperlakukan dengan bakteri Bac. thuringiensis, seluruh badan bekicot masuk ke dalam cangkang dan mengeluarkan bau yang menyengat dan terjadi pengeringan lendir atau pengerasan pada dasar tubuhnya, sehingga bekicot tidak mengadakan aktivitas apapun dan akhirnya mati.
Sudono dkk. (2007). Efektivitas Penggunaan Bacillus thuringiensis
81
Gejala yang ditimbulkan pada belalang adalah tubuhnya bergetar, nafsu makan berkurang dari mulutnya mengeluarkan cairan putih yang kental, lalu tubuhnya menjadi lunak, setelah mati tubuhnya berwarna coklat tua. Gejala pada jangkrik yang telah terserang bakteri Bac. thuringiensis adalah tubuhnya bergetar, nafsu makan berkurang dan aktivitas gerakannya menjadi lambat, dari mulutnya mengeluarkan cairan putih yang kental dan tubuhnya menjadi lunak, setelah mati warna kulit menjadi lebih hitam dan tubuhnya mengeluarkan bau amis. Gejala serangan bakteri pada ulat bambu adalah ulat tersebut jatuh dari bambu dan lebih banyak berdiam diri dengan tidak melakukan aktivitas di bambu, kemudian tubuhnya menjadi lebih lembek dan mati, setelah beberapa hari ulat bambu menjadi berwarna hitam dan kering. Dari kelima jenis binatang yang dicoba, rayap adalah yang paling cepat mati. Sebelum mati tidak terlihat gejala serangan bakteri. Adanya kematian pada binatang-binatang tersebut disebabkan bakteri yang digunakan pada percobaan ini merupakan hasil sintesis protein Bac. thuringiensis yang cara masuknya ke dalam tubuh binatang adalah melalui makanan dengan cara menyemprotkan larutan bakteri yang mengandung spora dan kristal protein pada permukaan daun atau makanan, akibatnya cairan dalam usus yang telah bercampur dengan spora Bac. thuringiensis memenuhi seluruh rongga dan jaringan tubuh binatang, sehingga proses makan berhenti karena binatang sudah tidak mempunyai kemampuan untuk memakan lagi (Anonim, 2001). Gejala Serangan Jamur Beauveria bassiana pada Binatang Bekicot yang terinfeksi jamur ini mengalami pengeringan lendir pada dasar tubuhnya, sehingga terjadi pengerasan seperti kertas, namun tiga atau empat hari kemudian kertas tersebut terlepas dan bekicot bergerak lagi, namun gerakannya menjadi lambat dan nafsu makannya berkurang, hal itu terulang lagi sampai akhirnya kertas itu tidak bisa terlepas lagi dan bekicot mati. Gejala serangan jamur terhadap belalang dan jangkrik adalah aktivitas makan berkurang, tubuh binatang ditumbuhi hifa dari jamur Bea. bassiana, setelah mati tubuhnya menjadi kaku atau kering dan terjadi perubahan warna keputihan seperti kapur. Gejala serangan jamur terhadap ulat bambu adalah tubuhnya menjadi lembek dan lebih panjang dari keadaan yang sehat, terjadi perubahan warna tubuh menjadi kemerahan karena ditumbuhi hifa dari jamur Bea. bassiana dan setelah beberapa hari akhirnya mati. Dari kelima jenis binatang yang dicoba, rayap adalah yang paling cepat mati. Sebelum mati tidak terlihat gejala serangan jamur. Binatang terinfeksi oleh jamur Bea. bassiana melalui dua cara, yaitu kontak langsung antara spora jamur dengan tubuh binatang kemudian menginfeksi melalui kulit dan melalui mulut yaitu masuknya jamur ke dalam tubuh binatang melalui makanan yang telah disemprot larutan jamur. Bea. bassiana menghasilkan toksin seperti beauverin, beauvereoides dan asam oksalat yang dalam mekanisme penetrasinya dimulai dengan perkecambahan spora pada kultikula, selanjutnya hifa
82
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 3 (1), APRIL 2007
mengeluarkan enzim kitinase, lipase dan proteinase yang dapat menguraikan kultikula binatang, selanjutnya di dalam tubuh binatang hifa Bea. bassiana berkembang akibatnya dari keseluruhan proses di atas berakhir dengan kematian binatang (Anonim, 2004). Persentase Kematian Binatang Persentase kematian binatang dihitung pada akhir percobaan sampai hari ke 30. Pengaruh konsentrasi larutan bakteri Bac. thuringiensis varietas Aizawai, varietas Kurstaki dan jamur Bea. bassiana terhadap persentase kematian binatang dapat dilihat pada Tabel 1. Persentase kematian terbanyak 100 % terjadi pada belalang, jangkrik dan rayap, yang mana persentase kematian dari ketiga jenis binatang ini tidak saling berbeda signifikan, sedangkan persentase kematian yang sedikit terjadi pada bekicot dan ulat bambu, yang mana persentase kematian dari kedua jenis binatang ini tidak saling berbeda signifikan. Hal ini berarti bahwa belalang, jangkrik dan rayap sama rentannya, sedangkan bekicot dan ulat bambu sama-sama agak resisten terhadap Bac. thuringiensis varietas Aizawai, Kurstaki dan jamur Bea. bassiana. Menurut pendapat Untung (2001), bahwa untuk mengendalikan hama-hama terbang seperti belalang, jangkrik, kumbang dan lainnya, penggunaan insektisida racun kontak (di antaranya diklorfos dan pirimifos metil) kurang efektif jika dilakukan dengan cara penyemprotan biasa di darat karena hama akan terbang, insektisida yang diperlukan untuk menyemprot hama adalah insektisida yang mengandung racun perut (Bac. thuringiensis), dengan demikian bila hama tersebut kembali dan makan tanaman yang sudah disemprot akan mati. Tabel 1. Persentase Kematian Binatang Akibat Bakteri dan Jamur terhadap Binatang Percobaan Mikroorganisme
Binatang
% kematian pada konsentrasi ... 2 g/l air 0,5 g/l air Kontrol Bacillus bekicot 100 60 0 thuringiensis belalang 100 100 100 var. Aizawai jangkrik 100 100 100 rayap 100 100 100 ulat 100 100 20 Bacillus bekicot 100 93,3 0 thuringiensis belalang 100 100 100 var. Kurstaki jangkrik 100 100 100 rayap 100 100 100 ulat 100 100 33,3 16 g/l air 4 g/l air Kontrol Beauveria bekicot 40 20 0 bassiana belalang 100 100 100 jangkrik 100 100 100 rayap 100 100 100 ulat 60 33,3 20 Keterangan: setiap angka pada kolom ulangan adalah rata-rata dari 5 ekor untuk bekicot, belalang, jangkrik dan ulat serta 10 ekor untuk rayap.
Sudono dkk. (2007). Efektivitas Penggunaan Bacillus thuringiensis
83
Virulensi Mikroorganisme Virulensi (keganasan) bakteri Bac. thuringiensis varietas Aizawai, Kurstaki dan jamur Bea. bassiana terhadap binatang dapat dilihat dari persentase kematian, yang mana persentase kematiannya terdapat sedikit perbedaan antara masingmasing jenis binatang seperti terlihat Tabel 1. Dilihat dari persentase kematian binatang pada hari ke 30 setelah perlakuan, penggunaan bakteri Bac. thuringiensis varietas Aizawai dan varietas Kurstaki sangat efektif membunuh binatang karena dapat membunuh sampai 100 %, ini disebabkan Bac. thuringiensis merupakan bioinsektisida racun perut dan mempunyai daya bunuh setelah binatang memakan tanaman yang mengandung bakteri tersebut. Menurut Franz dan Krieg (1982), supaya berhasil, bakteri harus masuk ke dalam tubuh binatang, setelah tertelan bakteri membentuk racun kristal endotoxin pada stadium generatif yang merusak dinding usus dan melumpuhkan otot-otot usus. Dengan demikian binatang akan mati dalam waktu singkat atau beberapa hari. Kurangnya virulensi bakteri pada konsentrasi 0,5 g/l air terhadap bekicot disebabkan karena bekicot memiliki ukuran tubuh yang besar, yang mana hal ini menjadi faktor penentu banyaknya konsentrasi yang diperlukan untuk membunuh bekicot. Menurut Schwerdtfeger (1981), kepekaan binatang terhadap bioinsektisida berbeda-beda menurut jenis (species), jenis kelamin, stadium dan umur. Pada hari ke 30 setelah perlakuan, persentase kematian bekicot dan ulat akibat Bea. bassiana sangat sedikit, yaitu masing-masing 4060 % dan 2033,3 %. Ini berarti konsentrasi jamur yang diberikan tidak sesuai, sehingga kurang virulen untuk membunuh bekicot dan ulat bambu. Dengan persentase kematian 100 % pada belalang, jangkrik dan rayap berarti jamur ini cukup virulen untuk membunuh binatang tersebut. Dengan demikian dapat dijelaskan, bahwa jamur Bea. bassiana sangat virulen terhadap binatang dari jenis serangga. Bila dilihat perbandingan bakteri Bac. thuringiensis dan jamur Bea. bassiana terhadap persentase kematian binatang, Bac. thuringiensis lebih virulen. Hal ini disebabkan Bea. bassiana menginfeksi binatang lebih lambat, seperti pendapat Dwidjoseputro (2005), bahwa proses tumbuhnya hifa jamur entomopatogen dalam tubuh binatang memakan waktu lebih lama untuk mematikan binatang tersebut. Pengaruh Konsentrasi Larutan terhadap Waktu Letal Binatang Perbedaan pengaruh konsentrasi larutan mikroorganisme terhadap binatang pada saat perlakuan hingga mengalami kematian (waktu letal), dapat dilihat pada Tabel 2. Rataan waktu letal semua binatang percobaan saling berbeda signifikan, kecuali belalang dan jangkrik tidak berbeda signifikan setelah diperlakukan dengan bakteri Bac. thuringiensis varietas Aizawai, Kurstaki dan jamur Bea. bassiana. Hal ini berarti belalang dan jangkrik sama-sama rentan dan yang paling rentan adalah rayap. Kesamaan kerentanan antara jangkrik dan belalang karena kedua jenis serangga ini memiliki kesamaan organ internal atau saluran pencernaan, sehingga
84
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 3 (1), APRIL 2007
proses penyerangan bakteri yang masuk ke saluran pencernaan juga sama dan mengakibatkan kematian dengan waktu dan jumlah kematian yang tidak jauh berbeda. Tabel 2. Waktu Letal Binatang (dalam Hari) Akibat Bakteri dan Jamur pada Konsentrasi yang Berbeda Mikroorganisme
Binatang
Waktu letal pada konsentrasi ... 2 g/l air 0,5 g/l air Kontrol Bacillus bekicot 12,5 13,8 30,0 thuringiensis belalang 2,1 2,9 7,3 var. Aizawai jangkrik 2,9 3,6 7,2 rayap 1,3 1,5 2,2 ulat 3,8 7,2 25,5 Bacillus bekicot 12,6 15,2 30,0 thuringiensis belalang 3,2 3,3 7,4 var. Kurstaki jangkrik 3,4 3,6 7,7 rayap 1,5 1,6 2,0 ulat 3,3 7,5 25,2 16 g/l air 4 g/l air Kontrol Beauveria bekicot 12,5 20,0 30,0 bassiana belalang 4,9 5,7 6,5 jangkrik 3,7 4,1 7,5 rayap 1,6 1,7 1,9 ulat 5,8 6,0 20,3 Keterangan: setiap angka pada kolom ulangan adalah rata-rata dari 5 ekor untuk bekicot, belalang, jangkrik dan ulat serta 10 ekor untuk rayap.
Rayap paling rentan terhadap bakteri karena tubuhnya paling kecil bila dibandingkan dengan binatang percobaan lainnya, sehingga dengan konsentrasi yang sama, rayap lebih cepat mati. Hal ini menunjukkan, bahwa rayap yang digunakan untuk penelitian ini dalam kondisi yang tidak sehat yang diduga akibat tidak sesuainya kondisi di dalam kotak percobaan. Menurut Nandika dkk. (2003), rayap menyukai tempat-tempat yang lembap dan berhubungan dengan tanah, di mana terdapat sumber makanannya, sedangkan pada penelitian ini, rayap berada di dalam kotak yang terpisah dengan tanah sehingga menyebabkan rayap menjadi stress. Pada bekicot walaupun makannya rakus ternyata waktu letalnya paling lama, hal ini berarti daya tahan bekicot paling tinggi bila dibandingkan dengan binatang percobaan lainnya. Daya tahan yang tinggi tersebut disebabkan karena tubuh bekicot relatif besar dan konsentrasi bakteri yang diberikan belum cukup untuk dapat membunuh bekicot dalam waktu yang lebih cepat. Ulat bambu ternyata waktu letalnya cukup lama, lebih lama daripada belalang, jangkrik dan rayap. Hal ini menunjukkan, bahwa daya tahan ulat bambu cukup tinggi atau jumlah bakteri dan jamur yang tertelan relatif sedikit, karena ulat bambu ini makannya lambat, sehingga baru dapat terbunuh setelah bakteri dan jamur yang masuk ke dalam pencernaan makanannya mencapai jumlah tertentu. Pengaruh konsentrasi bakteri dan jamur terhadap waktu letal kelima jenis binatang menunjukan, bahwa ketiga konsentrasi menunjukan saling berbeda
Sudono dkk. (2007). Efektivitas Penggunaan Bacillus thuringiensis
85
signifikan terhadap waktu letal kelima jenis binatang, yang mana konsentrasi bakteri tercepat yang menyebabkan kematian adalah 2 g/l air, disusul konsentrasi 0,5 g/l air dan yang paling lama waktu letalnya adalah perlakuan kontrol. Semakin tinggi konsentrasi bakteri yang tertelan dalam tubuh binatang, semakin banyak selsel bakteri yang masuk sehingga mempercepat proses kematian binatang. Pada jamur, konsentrasi tercepat yang menyebabkan waktu letal adalah 16 g/l air, disusul konsentrasi 4 g/l air dan yang paling lama waktu letalnya pada perlakuan kontrol. Semakin banyak konsentrasi jamur yang masuk dalam tubuh binatang, maka konidia jamur tersebut semakin banyak tumbuh dan berkecambah serta merusak sel-sel tubuh binatang yang mempercepat proses kematiannya. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Gejala yang terjadi akibat binatang diperlakukan dengan bakteri Bac. thuringiensis, binatang tersebut tidak aktif lagi, nafsu makan berkurang dan keseimbangan gerakan badannya tidak teratur, tubuh menjadi lembek, warna kulit berubah dan mengeluarkan bau yang menyengat. Pada binatang yang terinfeksi jamur Bea. bassiana tubuhnya menjadi kaku, warna tubuhnya berubah karena ditumbuhi hifa dan tidak mengeluarkan bau. Konsentrasi larutan bakteri Bac. thuringiensis varietas Aizawai, Kurstaki 2 g/l air dan jamur Bea. bassiana 16 g/l air adalah yang paling cepat mengakibatkan kematian pada binatang. Bakteri Bac. thuringiensis varietas Aizawai, Kurstaki dan jamur Bea. bassiana sama virulensinya dalam membunuh belalang, jangkrik dan rayap, sedangkan terhadap bekicot dan ulat bambu kurang virulen. Dlihat dari waktu letal kelima jenis binatang terhadap bakteri Bac. thuringiensis varietas Aizawai, Kurstaki dan jamur Bea. bassiana, maka bekicot merupakan binatang yang paling tahan (resisten) disusul dengan ulat bambu, jangkrik, belalang dan yang paling rentan adalah rayap. Saran Disarankan untuk menggunakan bakteri Bac. thuringiensis varietas Aizawai dan Kurstaki konsentrasi 2 g/l air untuk memberantas belalang, jangkrik dan rayap, sedangkan untuk jamur Bea. bassiana konsentrasi yang efektif adalah 16 g/l air. Untuk memberantas bekicot dan ulat bambu disarankan menggunakan konsentrasi bakteri Bac. thuringiensis varietas Aizawai dan Kurstaki serta jamur Bea. bassiana lebih tinggi dari yang digunakan pada penelitian ini. Bila percobaan menggunakan rayap, disarankan menggunakan tempat yang sesuai dengan lingkungan hidupnya yang berhubungan dengan tanah. Perlu dicoba lagi konsentrasi yang digunakan pada penelitian ini terhadap jenis-jenis binatang perusak lainnya, terutama jenis-jenis binatang dari ordo yang sama dengan penelitian ini.
86
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 3 (1), APRIL 2007
DAFTAR PUSTAKA Anderson, R.F. 1960. Forest and Shade Tree Entomology. John Willey and Sons, New York. 428 h. Anonim. 2001. Aplikasi Turex WP terhadap Serangan Hama. Trubus 375 ( XXXII): 24. Anonim. 2004. Penggunaan Beauveria bassiana pada Serangga. Jurnal Penelitian Pengembangan Pertanian 23 (1): 2528. Djafaruddin. 2000. Dasar-dasar Pengendalian Penyakit Tanaman. PT Bumi Aksara, Jakarta. 271 h. Dwidjoseputro, D. 2005. Pengantar Mikologi. Cetakan Ke 16. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 213 h. Franz, J.M. dan A. Krieg. 1982. Biologische Schaedlingsbekaempfung. 3.Auflage. Verlag Paul Parey, Hamburg und Berlin. 252 h. Hanafiah, K.A. 1993. Rancangan Percobaan, Teori dan Aplikasi. Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, Palembang. PT Rajagrafindo Persada, Jakarta. 238 h. Kalshoven, L.G.E. 1951. E Plagen van den Cultur Gewassen in Indonesie. N.V. Uitgeverij W. van Hoeve. S-Gravenhage/Bandoeng. 1065 h. Kartasapoetra, A.G. 1993. Klimatologi, Pengaruh Iklim terhadap Tanah dan Tanaman. Bumi Aksara, Jakarta. 134 h. Loetsch, F.; F. Zohrer and K.E. Haller. 1973. Forest Inventory. Vol. 2. Verlagsgesllschaft GmbH., Muenchen. 469 h. Nandika, D.; Y. Rismayadi dan F. Diba. 2003. Rayap: Biologi dan Pengendaliannya. Muhammadiyah University Press, Surakarta. 216 h. Schwerdtfeger, F. 1981. Die Waldkrankheiten. Verlag Paul Parey, Hamburg und Berlin. 486 h. Soenanto, H. 1999. Kiat Sukses Beternak Jangkrik. Aneka Ilmu, Semarang. 58 h. Soeyamto, Ch. dan D. Mardji. 1986. Hama dan Penyakit pada Persemaian dan Tegakan HTI. Prosiding Seminar Nasional Ancaman terhadap HTI. Kerja Sama antara Departemen Kehutanan dan FMIPA-UI. PT Inhutani I, Jakarta. h 100107. Untung, K. 2001. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Cetakan Ke 4. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 273 h. Winada, E. 1996. Efektivitas Penggunaan Beberapa Konsentrasi Insektisida Diazinon 60 EC dan Tamaron 200 EC terhadap Kematian Serangga Locusta migratoria manilensis Meyen pada Permudaan Shorea sp. di PT KHL Batu Ampar, Kabupaten Kutai. Skripsi Sarjana Fakultas Kehutanan Unmul, Samarinda. 83 h.