SPIRAKEL, Vol.8 No. 2, Bulan Desember Tahun 2016: 1-8 DOI : 10.22435/spirakel.v8i2.6162.1-8
Efek Larvasida Metabolit … (Dyah dan Isya)
EFEK LARVASIDA METABOLIT SEKUNDER Beauveria bassiana TERHADAP KEMATIAN LARVA Aedes aegypti Dyah Widiastuti1*, Isya Fikria Kalimah1 1
Balai Litbang P2B2 Banjarnegara, Jalan Selamanik No16A Banjarnegara
Abstract Aedes aegypti is a major vector of Dengue, a deadly disease causing death of millions of people in developing countries both in urban and rural populations. Ae. aegypti control using chemical insecticide was always done and lead to a widespread insecticide resistance. So, mosquito biological control was needed to replace the usage of chemical insecticide. An experimental study using completely Randomized Design was conducted during March-April 2016 at Balai Litbang P2B2 Banjarnegara. A biolarvicide formula was made from Beauveria bassiana secondary metabolite which propagated by The Bacteriology Laboratory of Balai Litbang P2B2 Banjarnegara. In the experimental method, four concentrations of biolarvacide formula (2%, 4%, 8% and16%) were exposed to 3rd instar of Ae.aegypti larvae for eight days. The result showed that exposure of biolarvacide formula causing larval mortality which started on the 1st day exposure. This result showed that secondary metabolite of B. bassiana contains some larvacidal compounds. Keywords: Beauveria bassiana, secondary metabolite, Aedes aegypti
LARVICIDAL EFFECT OF Beauveria bassiana SECONDARY METABOLITE AGAINST Aedes aegypti LARVAE Abstrak Aedes aegypti merupakan vektor utama Dengue, penyakit yang menyebabkan kematian jutaan orang di negara-negara berkembang, baik pada populasi perkotaan dan pedesaan. Pengendalian Ae. aegypti menggunakan insektisida kimia selalu dilakukan dan menyebabkan resistensi insektisida secara luas. Oleh karena itu, pengendalian nyamuk secara biologis diperlukan untuk menggantikan penggunaan insektisida kimia. Penelitian eksperimental dengan disain rancangan acak lengkap dilaksanakan pada bulan Maret-April 2016 di Balai Litbang P2B2 Banjarnegara. Formula insektisida hayati dibuat dari metabolit sekunder jamur Beauveria bassiana. Metode eksperimen, menggunakan empat konsentrasi formula larvasida hayati (2%, 4%, 8% dan 16%) dipaparkan pada larva Ae.aegypti selama delapan hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa formula larvasida hayati menyebabkan kematian larva instar III Ae.aegypti. Kematian larva uji dimulai pada hari pertama. Hasil tersebut menunjukkan bahwa dalam metabolit sekunder jamur B. bassiana terdapat senyawa yang memiliki efek larvasida. Kata Kunci: Beauveria bassiana, metabolit sekunder, Aedes aegypti Naskah masuk: tanggal 27 September 2016; Review I: tanggal 3 November 2016 ; Review II: tanggal 21 November 2016; Layak Terbit: tanggal 9 Desember 2016
*
Alamat korespondensi penulis pertama: e-mail:
[email protected]
1
SPIRAKEL, Vol.8 No. 2, Bulan Desember Tahun 2016: 1-8 DOI : 10.22435/spirakel.v8i2.6162.1-8
PENDAHULUAN Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus Dengue. Penyakit DBD masih menjadi masalah kesehatan penting di negara-negara tropis dan sub tropis, karena perjalanan penyakit ini sangat cepat, sehingga jika tidak segera ditangani dapat berakibat fatal. Virus Dengue yang merupakan penyebab penyakit DBD ini masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus. Dengan membawa virus ini, nyamuk Aedes sp dapat menularkan virus Dengue kepada siapa saja sepanjang siklus hidupnya melalui gigitan sewaktu menghisap darah manusia.1 Prevalensi global infeksi Dengue telah meningkat dengan dramatis pada beberapa dekade terakhir. Infeksi Dengue saat ini telah menjadi endemis di lebih dari 112 negara di Afrika, Amerika, bagian timur Mediterania, Asia Tenggara dan bagian barat Pasifik. World Health Organization (WHO) memperkirakan 40 % populasi dunia atau 2,5 milyar orang yang tinggal di daerah tropis dan subtropis mempunyai risiko untuk terjangkit infeksi Dengue.2,3 Seluruh wilayah di Indonesia mempunyai risiko untuk terjangkit penyakit DBD sebab baik virus penyebab maupun nyamuk penularnya sudah tersebar luas di seluruh Indonesia. Pengendalian populasi nyamuk Ae. aegypti sangat penting dalam rangka pengendalian penyakit DBD. Berbagai tindakan telah dilakukan dalam upaya pengendalian DBD antara lain melalui pengasapan (fogging), gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) maupun abatisasi. Namun demikian, sampai saat ini permasalahan DBD belum juga dapat teratasi. Bahkan muncul permasalahan baru berupa meluasnya fenomena resistensi nyamuk terhadap berbagai jenis insektisida. Beberapa penelitian telah melaporkan adanya resistensi nyamuk Ae. aegypti terhadap berbagai insektisida.4,5,6
Efek Larvasida Metabolit … (Dyah dan Isya)
Pengendalian nyamuk dapat dilakukan pada tahap larva. Pengendalian larva nyamuk yang selama ini sering digunakan adalah pengendalian secara kimiawi. Hal ini dapat menekan populasi vektor secara cepat. Namun, pengendalian dengan cara ini bila dilakukan secara berulang-ulang kurang efektif karena dapat menyebabkan resistensi bagi larva, kematian bagi hewan predator larva dan pencemaran lingkungan.7 Resistensi larva Ae.aegypti terhadap larvasida temephos telah dilaporkan di beberapa penelitian di berbagai tempat.4,5,6 Untuk itu diperlukan alternatif metode pengendalian nyamuk Ae.aegypti dengan metode yang ramah lingkungan yaitu pengendalian hayati menggunakan musuh alami nyamuk tersebut.8 Beauveria bassiana merupakan jamur yang mempunyai manfaat dalam membunuh serangga baik di pertanian (serangga hama pertanian) maupun kesehatan (serangga penular penyakit). Jamur ini dilaporkan aman untuk manusia. Infeksi yang paling berat dari jamur B. bassiana pada manusia pernah dipublikasikan oleh Henke dan Tucker yang melaporkan adanya infeksi B. bassiana pada penderita leukemia dengan kondisi imunokompromis. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum B. bassiana tidak bersifat patogen untuk manusia. 9 Ikawati melaporkan bahwa penggunaan isolat B. bassiana sebagai larvasida hayati terhadap larva An. maculatus menunjukkan efek larvasida yang bekerja secara lambat karena nilai LC50 dicapai pada konsentrasi 1x107 dengan waktu pengamatan selama 11 hari.10 Penelitian yang dilakukan oleh Putri dkk melaporkan bahwa rata-rata kerapatan spora jamur B. bassiana yang dapat mematikan 50% larva Ae. aegypti instar III selama pendedahan 24 jam sebesar 49,0×109 spora/mL, sedangkan pada waktu pendedahan 48 jam jumlah rata-rata kerapatan spora jamur B. bassiana yang dapat mematikan 50% larva Ae. aegypti instar III sebesar 19,0×108 spora/mL.11
2
SPIRAKEL, Vol.8 No. 2, Bulan Desember Tahun 2016: 1-8 DOI : 10.22435/spirakel.v8i2.6162.1-8
Fungi B. bassiana memiliki produk berupa konidia dan metabolit. Singh dan Prakash melaporkan bahwa penggunaan metabolit jamur B. bassiana dapat menjadi metode alternatif yang murah dan ramah lingkungan dalam pengendalian larva nyamuk Anopheles.12 Potensi pemanfaatan metabolit jamur Beauveria bassiana sebagai agen pengendali hayati nyamuk Ae. aegypti memerlukan penelitian awal. Pada penelitian ini dilakukan uji larvasida menggunakan formula yang terbuat dari metabolit B.bassiana terhadap larva Ae.aegypti. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efek larvasida dari metabolit B.bassiana terhadap larva Ae.aegypti. Apabila dalam metabolit B. bassiana terkandung senyawa yang memiliki efek larvasida maka dimungkinkan untuk dilakukan isolasi senyawa tersebut sebagai kandidat biolarvasida.
Efek Larvasida Metabolit … (Dyah dan Isya)
uji yang terpisah lalu ditambahkan aquadest hingga 200 mL. Masing-masing konsentrasi dari formula larvasida dibuat pengulangan sebanyak 3 kali. Sebanyak 10 ekor larva Ae.aegypti instar tiga awal dimasukkan ke masing-masing wadah dan diamati jumlah larva yang mati serta proses perkembangan stadium selama 8 hari pengamatan. Sebagai kontrol digunakan 10 ekor larva Ae.aegypti instar tiga awal yang dimasukan dalam wadah berisi 200 mL aquadest dengan pengulangan sebanyak 3 kali. Jumlah larva dan pupa yang mati pada masing-masing perlakuan dan kontrol dihitung persentasenya pada 24 jam (hari1), 48 jam (hari-2), 72 jam (hari-3), 96 jam (hari-4), 120 jam (hari-5), 144 jam (hari-6), 168 jam (hari-7) dan 192 jam (hari-8) setelah pemaparan, lalu hasilnya ditabulasi.
HASIL METODE Penelitian ini dilakukan di Instalasi Bakteriologi dan Entomologi Balai Litbang P2B2 Banjarnegara pada bulan Maret 2016. Dengan menggunakan: isolat B. bassiana, medium Potato Dextrose Broth (PDB), larva nyamuk Ae.aegypti instar 3 (koleksi Balai Litbang P2B2 Banjarnegara). Isolat B. bassiana dibiakkan dengan cara suspensi spora dalam 1 ml aquadest sampai tingkat pengenceran mencapai 1x108. Penghitungan spora dilakukan menggunakan Improved Haemocytometer Neubauer di bawah mikroskop binokuler dengan perbesaran 400 kali. Spora yang diperoleh kemudian diinokulasikan secara aseptis ke dalam 200 mL media PDB lalu diinkubasi di atas shaker dengan kecepatan 200 rpm pada suhu ruang selama 8 hari. Setelah itu isolat disaring menggunakan kertas Whatman no 42 sehingga diperoleh metabolit sekunder B. bassiana. Untuk melihat efek larvasida dilakukan uji larvasida dengan rancangan acak lengkap menggunakan 4 ml (2%), 8 ml (4%), 16 ml (8%) dan 32 ml (16%) formula larvasida yang berupa metabolit sekunder. B. bassiana dimasukkan ke dalam wadah
Paparan kedua jenis formula larvasida dengan konsentrasi 2%, 4%, 8% dan 16% pada larva Ae.aegypti instar ketiga menyebabkan kematian larva. Persentase kematian larva akibat paparan kedua jenis formula biolarvasida ditampilkan pada Tabel 1. Hasil pengamatan selama penelitian menunjukkan bahwa secara umum kematian larva Aedes aegypti pada masingmasing konsentrasi sudah dimulai pada hari pertama kecuali pada konsentrasi 8% yang baru terjadi pada hari kedua. Secara umum, rata–rata kematian larva Ae. aegypti semakin meningkat pada dosis larvasida hayati yang meningkat kecuali pada konsentrasi 16%. Rata-rata kematian pada hari kedelapan pada dosis 16% lebih rendah dibanding dosis 8% dan 4%. Selain jumlah larva mati, perkembangan larva uji menjadi pupa dan nyamuk dewasa selama masa paparan juga diamati dan ditampilkan dalam Tabel 2.
3
Efek Larvasida Metabolit … (Dyah dan Isya)
SPIRAKEL, Vol.8 No. 2, Bulan Desember Tahun 2016: 1-8 DOI : 10.22435/spirakel.v8i2.6162.1-8
Tabel 1. Persentase kematian larva dan pupa Aedes aegypti yang dipaparkan dengan metabolit B. bassiana
Jenis Formula Kontrol Formula larvasida hayati
Kon sen trasi
Rerata kematian larva dan pupa Aedes aegypti (%)
Rerata jumlah awal larva uji (ekor)
0 2% 4% 8%
Hari1
Hari2
Hari3
Hari4
Hari5
Hari6
Hari7
Hari8
0 3,33 6,67 0 13,33
0 10 16,67 6,67 16,67
0 13,33 33,33 13,33 26,67
0 23,33 33,33 30 43,33
0 36,67 53,33 53,33 46,67
0 43,33 63,33 66,67 56,67
0 56,67 70 73,33 63,33
0 56,67 70 80 63,33
10 10 10 10 10
16%
Rerata jumlah akhir larva dan pupa mati (ekor) 10 5,67 7 8 6,33
Tabel 2. Rerata jumlah larva Aedes aegypti yang menjadi pupa dan nyamuk selama dipaparkan dengan metabolit B. bassiana
Jenis Formula
Kon sen trasi
Kontrol
0 2% 4% 8% 16%
Formula larvasida hayati
Rerata jumlah awal larva uji (ekor) 10 10 10 10 10
Hari-1
Hari-2
Hari-3
Rerata Jumlah Hari-4 Hari-5
Hari-6
Hari-7
Hari-8
P
N
P
N
P
N
P
N
P
N
P
N
P
N
P
N
0 0,3 0,3 0,3 1
0 0 0 0 0
0 0,3 0,3 0,3 1
0 0 0 0 0
0,3 0,3 0,7 0,3 1,7
0 0 0 0 0
0,3 0,7 1,3 1,3 3,3
0 0 0,3 0,3 0
0,7 1,7 2,3 3 4,7
0 0 0,3 0,3 0
1 3,7 3,7 3,7 5,3
0,3 0 0,3 0,7 0,7
1,3 4 3,3 2,7 4,3
0,3 0,3 1 2,7 1,3
2 2,3 2 1,7 3
0,3 2,3 2,3 2,7 3
Keterangan: P= pupa; N= nyamuk
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi larvasida hayati yang dipaparkan, perkembangan larva menajdi pupa semakin cepat. Rerata jumlah larva yang berkembang menjadi pupa dan nyamuk pada hari kedelapan paling banyak ditemukan pada paparan konsentrasi yang paling tinggi (16%) yaitu
(a)
rata-rata sebanyak 3 ekor yang menjadi pupa dan 3 ekor yang menjadi nyamuk. Paparan formula larvasida hayati dengan konsentrasi 2%, 4%, 8% dan 16% menimbulkan kematian larva dan pupa Ae. aegypti. Larva yang mati pada hari pertama pada paparan larvasida hayati dengan konsentrasi 2% secara morfologi berbeda.
(b)
(c)
Gambar 1. Larva Ae.aegypti yang mati pada hari pertama (a) dan hari ketujuh (b) pada konsentrasi 2% serta larva pada kelompok kontrol (c)
4
SPIRAKEL, Vol.8 No. 2, Bulan Desember Tahun 2016: 1-8 DOI : 10.22435/spirakel.v8i2.6162.1-8
dengan larva yang mati pada hari ketujuh dengan konsentrasi yang sama. Larva yang mati pada hari ketujuh mengalami kerusakan eksoskeleton yang lebih parah
(a)
Efek Larvasida Metabolit … (Dyah dan Isya)
dibanding larva yang mati pada hari pertama. Demikian pula pupa yang mati juga menunjukkan adanya kerusakan eksoskeleton pada bagian posterior.
(b)
Gambar 2. Pupa Ae.aegypti yang mati pada hari kedelapan pada konsentrasi 2% (a) dan pupa pada kelompok kontrol (b)
BAHASAN Hasil pengamatan menunjukkan bahwa formula larvasida hayati yang berupa metabolit B. bassiana memiliki efek larvasida terhadap larva Ae.aegypti instar III. Hal ini selaras dengan penelitian Singh and Praksh yang telah melaporkan mengenai efek larvasida metabolit sekunder B. bassiana terhadap larva Culex dan Anopheles.12 Hasil uji larvasida menunjukkan bahwa paparan keempat konsentrasi formula larvasida hayati menyebabkan kematian larva mulai hari pertama pengamatan. Kematian 100% tidak ditemukan hingga paparan pada hari kedelapan dari semua konsentrasi yang diberikan. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Ikawati dimana waktu yang dibutuhkan untuk membunuh 50% larva Anopheles sp pada dosis spora 1x10⁷ adalah 11,69 hari.10 Jumlah rerata larva dan pupa yang mati pada hari kedelapan paling tinggi ditemukan pada konsentrasi 8% (8 ekor), dan lebih tinggi dibanding konsentrasi 16% (6,3 ekor). Hal ini dimungkinkan karena
semakin tinggi konsentrasi larvasida hayati yang dipaparkan, perkembangan larva menajdi pupa semakin cepat (Tabel 2). Perkembangan larva menjadi pupa pada paparan larvasida hayati dengan konsentrasi 16% terjadi lebih cepat dibandingkan konsentrasi yang lebih rendah. Pengaruh pemberian metabolit sekunder B. bassiana terhadap percepatan pembentukan pupa Ae. aegypti belum dapat diketahui mekanismenya dalam penelitian ini sehingga memungkinkan untuk dilakukan penelitian lebih lanjut. Kaya et al. menjelaskan bahwa fase pupa memiliki senyawa kitin dengan jumlah yang lebih banyak dibanding pada fase larva.13 Kitin adalah senyawa penyusun kutikula pada eksoskeleton serangga.14 Dengan kandungan kitin yang lebih tinggi kemungkinan pupa menjadi lebih tahan terhadap enzim ataupun toksin yang terkandung dalam metabolit sekunder B. bassiana. Jamur B. bassiana merupakan jamur yang bersifat entomopatogen. Sistem kerjanya yaitu spora jamur B. bassiana masuk ke tubuh serangga inang melalui kulit, saluran pencernaan, spirakel dan lubang lainnya. Selain itu inokulum jamur
5
SPIRAKEL, Vol.8 No. 2, Bulan Desember Tahun 2016: 1-8 DOI : 10.22435/spirakel.v8i2.6162.1-8
yang menempel pada tubuh serangga inang dapat berkecambah dan berkembang membentuk tabung kecambah, kemudian masuk menembus kutikula tubuh serangga. Penembusan dilakukan secara mekanis dan atau kimiawi dengan mengeluarkan enzim atau toksin. Jamur ini selanjutnya akan mengeluarkan racun beauverin yang membuat kerusakan jaringan tubuh serangga. Dalam hitungan hari, serangga akan mati. Setelah itu, miselia jamur akan tumbuh ke seluruh bagian tubuh serangga. Serangga yang terserang jamur B. bassiana akan mati dengan tubuh mengeras dan tertutup oleh benang-benang hifa berwarna putih.10 Hasil pengamatan (Gambar 1) menunjukkan bahwa pada tubuh larva uji yang mati ditemukan adanya koloni jamur B. bassiana khususnya di bagian lateral hair. Ikawati10 menjelaskan bahwa di awal kontak, spora jamur akan menempel pada lateral hair yang ada di tubuh larva. Pada akhirnya spora akan memenuhi seluruh tubuh dan mengganggu gerak larva yang akan menyebabkan kematian. Beauveria bassiana merupakan jamur/cendawan yang dikenal sebagai entomopatogen yang mempunyai distribusi yang luas. Jamur ini banyak ditemukan dari hasil isolasi serangga yang telah mati. Produksi konidia yang baik dan mempunyai infeksi tinggi merupakan ciri khas dari Beauveria. Beauveria mempunyai miselium berwarna putih atau terang dengan konidiospora sendiri-sendiri. Percabangan miselium tertumpu pada suatu tempat dan secara mikroskopis pada media terlihat butiran tepung putih. Konidiospora dapat hidup pada suhu udara 20°C-30°C dengan pH netral. Jamur Beauveria bassiana adalah jamur mikroskopik dengan tubuh berbentuk benang-benang halus (hifa). Kemudian hifa-hifa tadi membentuk koloni yang disebut miselia. Jamur ini tidak dapat memproduksi makanannya sendiri, oleh karena itu ia bersifat parasit terhadap serangga inangnya.10 Formula larvasida hayati yang digunakan dalam penelitian ini tersusun dari metabolit sekunder jamur B. bassiana. Pada
Efek Larvasida Metabolit … (Dyah dan Isya)
penyiapan metabolit sekunder jamur B. bassiana, koloni yang tumbuh dalam medium cair telah difiltrasi menggunakan kertas saring dengan ukuran pori-pori sebesar 2,5 µm. Namun pada saat diaplikasikan ke kontainer uji, koloni jamur tetap dapat tumbuh (membentuk hifa) dan menginfeksi tubuh larva uji. Hal ini mengindikasikan bahwa ukuran spora strain B. bassiana yang digunakan lebih kecil dari 2,5um. Jeffs et al melaporkan bahwa ada perbedaan ukuran morfologi B. bassiana dari berbagai strain. Salah satu strain yang berasal dari New Zealand memiliki ukuran spora kurang dari 2,5 um.15 Pengamatan menunjukkan bahwa kondisi air dalam kontainer setelah pemberian isolat bakteri kitinolitik mengalami perubahan, terutama pada konsentrasi 16%. Perubahan yang terjadi adalah air menjadi keruh namun tidak berbau. Perubahan air kontainer dalam aplikasi larvasida perlu diperhatikan karena untuk aplikasi larvasida di masyarakat, terutama untuk kontainer yang berisi air konsumsi harus diupayakan tidak menimbulkan perubahan pada air. Larvasida yang merubah kondisi air dalam kontainer akan cenderung tidak disukai oleh masyarakat. Penelitian yang dilakukan Pratiwi16 menyebutkan bahwa penerapan larvasida dalam bak mandi masih dapat ditoleransi oleh responden jika larvasida tersebut tidak menimbulkan perubahan warna dan perubahan bau pada air. Salah satu hal yang menghalangi persepsi masyarakat untuk menerima larvasida adalah karena proses penggunaannya berkaitan dengan penggunaan air bersih untuk keperluan sehari-hari. Sehingga mengurangi minat masyarakat dan lebih cenderung untuk lebih memilih menguras bak mandi daripada menggunakan larvasida.16 Penelitian ini merupakan tahap lanjutan dari pengembangan larvasida hayati sebagai alternatif dalam kegiatan pengendalian vektor. Beberapa kelemahan yang ditemukan dalam aplikasi pemaparan formula larvasida hayati dari metabolit sekunder B. bassiana pada larva Ae.aegypti 6
SPIRAKEL, Vol.8 No. 2, Bulan Desember Tahun 2016: 1-8 DOI : 10.22435/spirakel.v8i2.6162.1-8
Efek Larvasida Metabolit … (Dyah dan Isya)
menunjukkan bahwa formula tersebut sebagai larvasida hayati masih memerlukan proses pengolahan lebih lanjut. Namun demikian, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa formula larvasida hayati dari metabolit sekunder B. bassiana memiliki efek larvasida terhadap larva Ae.aegypti dan berpotensi untuk dikembangkan sebagai biolarvasida.
2. Singhi S, Kisson N, Bansai A. Dengue and dengue hemorrhagic fever: management issue in an intensive care unit. Journal of Pediatrics (Rio J).2007;83:522-535.
KESIMPULAN
4. Sunaryo, Ikawati B, Rahmawati, Widiastuti D. Status resistensi vektor resistensi vektor demam berdarah Dengue (Aedes aegypti) terhadap malathion 0,8% dan permethrin 0,25% di Provinsi Jawa tengah. Jurnal Ekologi Kesehatan. 2014.13(2):146-152.
Formula larvasida hayati yang berasal dari campuran metabolit sekunder jamur B. bassiana memiliki potensi sebagai agen hayati dalam pengendalian vektor DBD karena dapat menyebabkan kematian larva Ae.aegypti. Rerata jumlah larva dan pupa yang mati pada hari kedelapan paling tinggi ditemukan pada paparan konsentrasi 8%.
SARAN Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui toksisitas formula larvasida hayati tersebut terhadap organisme non target, serta mengisolasi toksin spesifiknya sebagai upaya mencari bahan aktif insektisida nabati yang lebih efektif.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Balai Litbang P2B2 Banjarnegara atas ijin dan dukungannya hingga penelitian ini dapat dilaksanakan dengan baik, serta rekan-rekan teknis di Instalasi Bakteriologi dan Entomologi Balai Litbang P2B2 Banjarnegara atas bantuannya selama pelaksanaan penelitian.
DAFTAR PUSTAKA 1. Sustainable Development Networking Programme. Dengue the deadly killer. [internet]. [Disitasi tanggal 15 Agustus 2015]. Diakses dari: http://www.sdnbd.org/denguefever.htm.
3. World Health Organization. Dengue and severe Dengue. [internet] 2013. [disitasi tanggal 15 Agustus 2015]. Diakses dari: www.who.int/media centre/factsheets/fs117/en/.
5. Ikawati B, Sunaryo, Widiastuti D. Peta status kerentanan Aedes aegypti (Linn.) terhadap insektisida cypermethrin dan malathion di Jawa Tengah. Aspirator.2015;7(1):23-28 6. Sunaryo. Pemetaan Status Kerentanan Aedes aegypti terhadap Insektisida di Indonesia. Laporan Penelitian. Balai Litbang P2B2 Banjarnegara. 2015. 7. Yunita EA, Suprapti NH, Hidayat JW. Pengaruh ekstrak daun teklan (Eupatorium riparium) terhadap mortalitas dan perkembangan larva Aedes aegypti. Jurnal Bioma. 2009;11:11-17. 8. Axtell RC dan Guzman DR. Encapsulation of the mosquito fungal pathogen Lagenidium giganteum (Oomycetes: Lagenidiales) in calcium alginate. Journal of American Mosquito Control Association. 1987;3(3):450-459. 9. Langle T. Beauveria bassiana (Bals.Criv.) Vuill. – A biocontrol agent with more than 100 years of history of safe use. [internet] [disitasi 8 November 2016]. Diakses dari: http://www.rebecanet.de/downloads/Beauveria%20bassia na.pdf. 10. Ikawati B. Studi efek Beauveria bassiana pada Anopheles maculatus fase akuatik di laboratorium. Balai
7
SPIRAKEL, Vol.8 No. 2, Bulan Desember Tahun 2016: 1-8 DOI : 10.22435/spirakel.v8i2.6162.1-8
Efek Larvasida Metabolit … (Dyah dan Isya)
Litbang P2B2 Banjarnegara. Laporan Penelitian. 2015. 11. Putri. Jamur entomopatogen Beauveria bassiana (Balsamo, 1912) sebagai agen pengendali hayati nyamuk Aedes aegypti (Linaeus, 1762). Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia. 2015.1(6):1472-1477. 12. Singh G, Prakash S. Fungi Beauveria bassiana (Balsamo) Metabolites for controlling malaria and filaria in tropical countries; Advances in biomedical research. United Kingdom: Cambridge Press. 2010. ISSN: 1790-5125 ISBN: 978-960-474-164-9,. 13. Kaya M, Sofi K, Sargin I, Mujtaba M. Changes in physicochemical properties of chitin at developmental stages (larvae, pupa and adult) of Vespa crabro (wasp). Carbohydrat Polymers. 2016.10(145):64-70. 14. Bayoumi AE, Balaña-Fouce R, Sobeiha AK, Hussein EMK. The biochemical influences of some chitin synthesis inhibitors against the cotton leafworm Spodoptera littoralis (Boisd.). Bol. San. Veg. Plagas, 1997.23:583-593. 15. Jeffs LB, Xavier IJ, Matai RE, Khachatourians GG. Relationships between fungal spore morphologies and surface properties for entomopathogenic members of the genera Beauveria, Metarhizium, Paecilomyces, Tolypocladium, and Verticillium. Journal of Microbiology. 1999;45:936–948. 16. Pratiwi A. Studi Deskriptif penerimaan masyarakat terhadap larvasida alami. Skripsi. Universitas Negeri Semarang; 2014.
8