EFEKTIVITAS PENYIDIKAN TERHADAP TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH OKNUM POLISI (STUDI KASUS POLDA GORONTALO) Refli Djafar Kilo, Fence M. Wantu, Dian Ekawati Ismail 1 Lembaga yang sudah ada dan dapat diandalkan untuk menindak perkara pidana adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Fungsi utama dari polisi adalah menegakkan hukum dan melayani kepentingan masyarakat umum. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas penyidikan terhadap tindak pidana yang dilakukan oknum polisi. Penelitian ini bersifat deskriptif sedangkan jenis data penelitian yang digunakan adalah Penelitian Empirik. Lokasi Penelitian di Polda Gorontalo. Data yang dipakai meliputi data primer dan data sekunder, teknik pengumpulan datanya dilakukan dengan cara wawancara, observasi, dan instrumen kusioner yang dibagikan kepada anggota Polda Gorontalo. Berdasarkan hasil penelitian, penulis memperoleh jawaban bahwa penyidikan kurang efektif akibat kendala beban moril yang dipikul oknum polisi saat proses penyidikan. Sedangkan beberapa faktor yang menghambat penyidikan, yakni faktor pengambilan saksi, faktor pengambilan bukti, dan faktor emosional.
Kata Kunci: Efektivitas, Penyidikan, Tindak Pidana, Oknum Polisi.
1
Refli Djafar Kilo, Fence M. Wantu, Dian Ekawati Ismail. Program Studi Sarjana Hukum, Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Gorontalo.
PENDAHULUAN Berbicara mengenai perkembangan dunia hukum tentu tidak akan ada habisnya. Dunia hukum saat ini menjadi perbincangan bahkan perdebatan baik di kalangan aparat maupun masyarakat. Perkara pidana saat ini masih berada di peringkat pertama, dimana pidana menjadi sorotan tajam dalam perkembangan dunia hukum. Lembaga yang sudah ada dan dapat diandalkan untuk menindak perkara pidana adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai salah satu lembaga penyelenggaraan tugas dan fungsi pemerintahan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya juga harus berdasarkan legitimasi hukum yang berlaku. Dimana fungsi utama dari polisi adalah menegakkan hukum dan melayani kepentingan masyarakat umum. Sehingga dapat dikatakan bahwa tugas polisi adalah melakukan pencegahan terhadap kejahatan dan memberikan perlindungan kepada masyarakat.2 Hal tersebut bertolak belakang dengan fenomena yang sudah sering terjadi. Perkara pidana tidak hanya dilakukan oleh masyarakat, namun juga oleh aparat dari kepolisian. Proses menindak perkara dilakukan dengan melakukan penyidikan. Kepolisian Negara Republik Indonesia. Anggota ketika sudah melakukan perbuatan pidana tidak hanya diproses dalam penyidikan tetapi juga disertai dengan pemeriksaan oleh Ankum yang menangani pelanggaran disiplin.3 Contoh kasus yang terjadi di Provinsi Gorontalo yaitu “Seorang yang berinisial BGA warga Gorontalo menjadi korban pemerkosaan sembilan oknum polisi sehingga harus di rawat di salah satu rumah sakit di Gorontalo karena kondisi tubuh yang memburuk dan trauma. Orang tua korban mengaku jika aksi pemerkosaan di lakukan sejak juli, awalnya BGA di jemput seseorang anggota polisi seusai pulang sekolah dan membawa ke rumahnya, di rumah anggota polisi tersebut korban yang masih umur 16 tahun diperkosa dan dipaksa melayani delapan rekan angota polisi. Dan aksi ini kembali terulang 1 oktober oleh salah satu anggota polisi dan diperkosa di salah satu markas polsek, korban mengaku dari sejumlah anggota polisi yang memerkosanya, dia hanya mengingat dua nama.”4 Kasus ini merupakan gambaran pemerkosaan yang dilakukan oleh anggota Polisi terhadap anak di bawah umur. Kasus pemerkosaan tersebut merupakan tindak pidana. Penyidik dapat melakukan penyidikan terhadap tindak pidana anggota Polisi tersebut dan harus bertindak tegas untuk mencapai suatu keadilan tanpa memandang statusnya sebagai anggota Polisi. Menurut Undang-Undang Pasal 1 UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia bahwa kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Disamping itu fungsi Kepolisian dijelaskan pula pada Pasal 2, dimana
2
fungsi kepolisian sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang
Mahmud Mulyadi, Kepolisian dalam sistem peradilan pidana, USU press, Medan,2009,halaman 40 Donna Febryna Sidauruk, Obyektivitas Penyidikan Terhadap Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia Sebagai Tersangka, Yogyakarta: Skripsi, 2012, hlm. 1 4 Marta Waty, Pihak Keluarga, Wawancara, 22 April 2014. 3
pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur dalam Pasal 13 UU No 2 Tahun 2002, yaitu: a) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, b) menegakkan hukum, dan c) memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Penjelasan dari Pasal 13 dijelaskan dalam Pasal 14 ayat 1, dimana dalam melaksanakan tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas: a.
Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;
b.
Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan;
c.
Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;
d.
Turut serta dalam pembinaan hukum nasional;
e.
Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;
f.
Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;
g.
Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;
h.
Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian; Terdapat dua istilah yang memiliki perbedaan mendasar dalam Peraturan Pemerintah No. 2
Tahun 2003, yakni penjatuhan hukuman disiplin dan penjatuhan tindakan disiplin. Penjatuhan Hukuman Disiplin diputus melalui sidang disiplin dan merupakan kewenangan Ankum dan atau Atasan Ankum yang dalam lingkungan Polri secara berjenjang meliputi Ankum berwenag penuh, Ankum berwenang terbatas, Ankum berwenang sangat terbatas. Jika Penjatuhan disiplin dilaksanakan seketika dan langsung pada saat diketahuinya pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh Anggota Polri, dan merupakan kewenangan atasan langsung, atasan tidak langsung dan anggota Provos Polri sesuai dengan lingkup tugas dan kewenangannya. Jenis sanksi hukuman yang dijatuhkan dalam penjatuhan tindakan disiplin berupa teguran lisan dan tindakan fisik, dimana tindakan disiplin dimaksud tidak menghapus kewenangan Ankum untuk menjatuhkan hukuman disiplin. Beberapa perbuatan anggota polri yang mengandung sanksi disiplin, yakni pelanggaran atas kewajiban dan larangan yang diatur dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Displin Anggota Polri.
5
Hukuman (Punishment) adalah
merupakan hukuman bagi anggota polri yang melakukan pelanggran hukum. Berdasarkan sifat,
5
Sadjijono, Memahami Hukum Kepolisian, 2010, Yogyakarta: Laskbang Pressindo, hlm. 102-106
bentuk, jenis dan sistem penjatuhan sanksi, pelanggaran hukum bagi Anggota Polri diklasifikasikan menjadi tiga jenis, antara lain: 1.
Pelangaran Disiplin
2.
Pelanggaran Kode Etik Profesi Polri
3.
Pelanggaran/Perbuatan Pidana.6 Hukum pidana secara sederhana dapat diartikan sebagai hukum yang memuat peraturan yang
mengandung keharusan dan larangan terhadap pelanggarnya yang diancam hukuman siksa badan. Pengertian tersebut jelas menyebutkan hukum pidana berisikan peraturan tentang keharusan sekaligus larangan. Tidak hanya itu, bagi orang yang melanggar, keharusan atau larangan tersebut diancam siksa badan. Berikut contohnya:7 1.
Pertama, tentang peraturan-peraturan. Peraturan atau lebih tepatnya undang-undang sebagai dasar setiap tindakan hukum seseorang. Untuk itulah kedudukan undang-undang sangat penting. aturan-aturan pidana tersebut diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dikenal dan disingkat KUHP.
2.
Kedua, tentang keharusan dan larangan. Keharusan mengandung arti bahwa seorang harus mengikuti setiap aturan hukum yang telah ditetapkan dalam hukum pidana. Sedangkan larangan bahwa setiap subjek hukum dilarang melanggar hal-hal yang telah dilarang dalam undangundang.
3.
Ketiga, bagi pelanggarannya diancam dengan sanksi. Sanksi dalam hukum pidana adalah ancaman badan yang dalam konteks Indonesia adalah pidana kurungan atau penjara. Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan dimana
disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi siapapun yang melanggar larangan tersebut.8 Istilah pidana diangkat dari kata Strafbaarfeit, bahasa Belanda.Istilah ini kemudian diterjemahkan oleh beberapa sarjana dan digunakan dalam undang-undang, antara lain. 1.
Peristiwa pidana, antara lain digunakan dalam Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) tahun 1950 khusunya Pasal 14.
2.
Perbuatan pidana, istilah ini digunakan dalam undang-undang nomor1 tahun 1951 tentang tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara pengadilan pengadilan sipil.
3.
Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, istilah ini digunakan dalam undang-undang darurat nomor tahun 1951 tentang perubahan ordonantie tijdelijke byzodere strafbepaligen.
6
Ibid. Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana, 2011, Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, hlm. 9-10. 8 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, 2009, Jakarta: Rineka Cipta, hlm. 40. 7
4.
Hal yang diancam dengan hukum istilah ini digunakan dalam undang-undang darurat nomor 16 tahun 951 tentang penyelesaian persilisihan dalam perburuhan.
5.
Tindak pidana, istilah ini digunakan dalam berbagai undang-undang misalnya: a. Undang-undang darurat nomor 7 tahun 1953 tentang pemilihan umum. b. Undang-undang darurat nomor7 tahun 1953 tentang pengusutan penuntutan dan peradilan tindak pidana ekonomi. c. Penetapan Presiden nomor 4 tahun 1953 tentang kewajiban kerja bakti dalam ranka permasyarakatan bagi terpidana karena melakukan tindak pidana yang merupakan kejahatan. 9 Unsur-unsur tindak pidana dapat ditinjau dari dua segi, yaitu 1) segi subjektif yang berkaitan
dengan tindakan atau perbuatan yang melawan hukum yang sedang berlaku, akibat perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman, 2) segi objektif perbuatan yang dilakukan seseorang secara salah atau sengaja karena perbuatan yang dilakukan timbul dari niat dan kehendak pelaku. 10 Menurut R. Soesilo dalam bukunya Taktik Dan Teknik Penyidikan Perkara Kriminal, mengemukakan mengenai penyidik sebagai berikut. “Penyidik adalah orang atau pejabat yang oleh Undang-Undang ditunjuk atau ditugaskan untuk melaksanakan penyidikan perkara pidana. Dalam lembaga kepolisian khususnya dalam bidang reserse kriminal, Pejabat itu disebut juga sebagai seorang reserse.” 11 Pengertian penyidik itu sendiri dengan tegas dijelaskan dalam isi Ketentuan Pasal 1 butir (1) KUHAP jo Pasal 1 butir (10) dan butir (11) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang menyatakan bahwa Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukan penyidikan.12 Menurut Soerjono Soekanto (1988) efektif adalah taraf sejauh mana suatu kelompok dapat mencapai tujuannya. Hukum dapat dikatakan efektif jika terdapat dampak hukum yang positif, pada saat itu hukum mencapai sasarannya dalam membimbing ataupun merubah perilaku manusia sehingga menjadi perilaku hukum.13 Menurut Soerjono Soekanto, faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas hukum tersebut ada lima, yaitu:
9
Ibid, hlm. 40-41 Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia, 2004, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 63. 11 R. Soesilo dalam Yesmil Anwal, dan Adang, Sistem Peradilan Pidana, 2011, Bandung: Widya Padjadjaran, hlm. 137-138. 12 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik, dan Permasalahannya, 2007, Bandung: PT Alumni, hlm.54. 13 Soerjono Soekanto dalam Amaliah Aminah Pratiwi Tahir, Said Karim, Slamet Sampurno, Efektivitas Penerapan Sanksi Atas Pelanggaran Disiplin Terhadap Anggota Polri Dalam Upaya Penegakan Hukum, 2012, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, hlm. 2. 10
1.
Faktor hukumnya sendiri Dalam hal ini dibatasi pada undang-undang saja.Undang-undang dalam arti material adalah
peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh penguasa Pusat maupun Daerah yang sah. Mengenai berlakunya undang-undang tersebut terdapat beberapa asas yang tujuannya adalah agar undang-undang mempunyai dampak yang positif. 14 Asas-asas tersebut antara lain: a. Undang-undang tidak berlaku surut b. Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi c. Mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula d. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat umum apabila pembuatnya sama e. Undang-undang yang berlaku belakangan, membatalkan undang-undang yang berlaku terdahulu f.
Undang-undang tidak dapat diganggu gugat
g. Undang-undang merupakan suatu sarana untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan material bagi masyarakat maupun pribadi, melalui pelestarian ataupun pembaharuan (inovasi).15 2.
Penegak Hukum Mencakup mereka yang bertugas di bidang kehakiman, kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan,
dan kemasyarakatan.16 Penegak hukum yang dimaksud merupakan golongan panutan dalam masyarakat yang harus dapat berkomunikasi dan mampu menjalankan peranan yang dapat diterima oleh mereka. Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian sehingga dipandang dari sudut tertentu. Maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut. 3.
Faktor Sarana atau Fasilitas Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan
berjalan dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain: a. Tenaga Manusia Yang Berpendidikan dan Terampil. b. Organisasi yang Baik. c. Peralatan yang Memadai. d. Keuangan yang Cukup.17 4.
Faktor Masyarakat Masyarakat Indonesia mempunyai kecenderungan yang besar untuk mengartikan hukum dan
bahkan mengidentifikasikannya dengan petugas (dalam hal ini penegak hukum sebagai pribadi), 14
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, 2004, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, hlm. 11 15 Ibid, hlm. 12. 16 Ibid, hlm. 19. 17 Ibid, hlm. 37.
sehingga berakibat baik buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan pola prilaku penegak hukum tersebut.18 5.
Faktor Kebudayaan Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang
berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Kebudayaan atau sistem hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik dan buruk.19 METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini penulis mengunakan jenis penelitian empirik. Sumber data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Lokasi penelitian yang dipilih adalah Polda Gorontalo. Pengambilan lokasi ini dipilih karena observasi pra penelitian yang peneliti lakukan menunjukan bahwa Polda Gorontalo adalah pusat dari segala penyelesaian kasus yang menjadi sasaran peneliti. Khususnya di Bagian Propam yang merupakan unsur pengawas dan pembantu pimpinan. Populasi dalam penelitian ini di antaranya Propam Polda Gorontalo dan Reskrim umum Polda Gorontalo. Adapun yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Dari pihak Propam berjumlah 5(lima) orang yaitu terdiri dari Kabid propam dan 4 (empat) anggotanya.
2.
Dari pihak Reskrim umum berjumlah 5 (lima) orang yaitu terdiri dari wadir reskrim umum dan 4 (empat) anggotanya. Untuk memudahkan pengumpulan data, baik primer maupun sekunder, penulis mengunakan
teknik 1) Studi Dokumen, 2) Pengamatan (Observation), 3) Wawancara (interview), dan 3) Daftar Pertanyaan (Questionnaire). Sedangkan analisis data dalam penelitian hukum memiliki sifat Deskriptif. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Lokasi yang dipilih untuk mendukung penelitian ini adalah Polda Gorontalo. Kepolisian Daerah Gorontalo atau Polda Gorontalo adalah pelaksana tugas Kepolisian RI di wilayah ProvinsiGorontalo. Adapun visi dari Polda Gorontalo, yaitu memberikan perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat wilayah Polda Gorontalo dengan mewujudkan tampilan polisi yang terampil cepat professional serta kuat dan dipercaya masyarakat melalui giat pengelolaan permasalahan dan
18 19
Ibid, hlm. 46. Ibid.
pengelolan kepolisian yang terprogram dan sistematissehingga dapat mewujudkan situasi wilayah Polda Gorontalo yang aman dan dinamis.20 Berdasakan hasil wawancara yang di lakukan oleh peneliti mengenai tentang efektivitas, adapun beberapa pendapat di antaranya: Iwan Eka berpendapat Efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh kualitas, kuantitas dan waktu telah tercapai, makin besar presentase target yang kita capai makin tinggi efektivtasnya.21 Zainudin Abdul Muis berpedapat Efektivitas adalah suatu lembaga atau seseorang yang mempunyai tugas atau tujuan dengan cara memperoleh hasil atau pencapaian yang maksimal.22 Arief Rahman berpendapat Efektivitas adalah salah satu cara penyelesaian yang dilakukan oleh sekelompok atau perorangan dalam penyelesaian suatu masalah (pencapaian yang maksimal).23 Suleman Abdulah berpendapat Efektivitas adalah suatu usaha untuk mencapai ketepatgunaan demi tercapainya suatu tujuan.24 Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat di simpulkan bahwa Efektivitas adalah suatu ukuran pencapaian suatu target yang dimana mecapai suatu tujuan yang bisa dikatan maksimal dan tepat guna. Efektivitas itu sendiri dapat mencerminkan nilai guna bagi yang mencapai suatu tujuan sehingga bisa menjadi prioritas utama dalam struktur organisasi kepolisian. Berbicara efektivitas hukum soerjono soekanto berpendapat tentang pengaruh hukum “salah satu fungsi hukum baik sebagai kaidah maupun sebagai sikap tindak atau perilaku teratur adalah membimbing perilaku manusia, masalah pengaruh hukum tidak hanya terbatas pada timbulnya ketaatan atau kepatuhan pada hukum tapi mencakup efek total dari hukum terhadap sikap tindak atau perilaku baik yang bersifat positif maupun negatif”.25 Adapun hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti mengenai bagaimana Efektivitas Penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh oknum polisi, berikut beberapa pendapat dari oknum polisi: Mahmur berpendapat efektivitas penyidikan terhadap tindak pidana yang di lakukan oleh oknum polisi yakni sudah sesuai peraturan yang berlaku dan saya rasa penyidikan yang dilakukan sudah sebaik baiknya kami lakukan atau kami kerjakan, dan tidak ada tebang pilih siapa yang bersalah pasti akan kami hakimi secara prosudural.26
20
Cinta Bhayangkara, Profil Polda, http://profilpolda.blogspot.com/2011/10/polda-gorontalo.html, diakses 28 Juni 2014, jam 19.30 wita. 21 Iwan Eka, Wakil Direktur (Reskrim umum) Polda Gorontalo, Wawancara, 11 Juni 2014 22 Zainudin Abdul Muis, Anggota Polri (Reskrim umum) Polda Gorontalo, Wawacara, I9 Juni 2014 23 Arief Rahman, Anggota Polri (Reskrim umum)Polda Gorontalo, Wawancara, 19 juni 2014 24 Suleman Abdulah, Anggota Polri (Reskrim umum) Pplda Gorontalo, Wawancara, 19 Juni 2014 25 Chintami Puspita devi Teori Efektivitas Hukum, 2012, http://chintamipuspitadevy.wordpress.com/2012/12/20/teori-efktivitas-hukum, diakses pada 24 Juni 2014. 26 Mahmur, Kepala bidang (Propam) Polda Gorontalo, Wawancara, 3 Juni 2014
Usman Kilo berpendapat Efektivitas penyidikan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh oknum polsi itu sesuai prosedur dan ketentuan-ketentuan yang berlaku, meski pembuktianya memakan waktu yang cukup lama.27 Firman Ismail berpendapat Efektivitas penyidikan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh oknum polisi itu sudah efektif, meski pada saat pemriksaan terhadap sesama anggota polri timbul rasa kekerabatan maupun rasa segan.28 Dhyan Wulandari berpendapat Efektivitas penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh oknum polisi itu sama halnya dengan penyelsaian tindak pidana perkara yang di lakukan oleh masyarakat umum, dalam proses penyidikan terhadap kepolisian meski butuh proses yang lama akan tetapi tetap terselesaikan perkaranya29 Dari hasil penelitian yang penulis peroleh berdasarkan hasil wawancara maupun pengumpulan data – data dari beberapa pihak maka menurut penulis bahwa efektivitas penyidikan terhadap oknum kepolisian kurang efektif yang nampak pada proses penyidikannya. Begitu banyak hal - hal atau masalah yang timbul pada saat proses penyidikan, terutama beban moril yang dipikul ketika melakukan penyidikan kepada sesama anggota polri atau atasan mereka. Sehingga dapat dikatakan bahwa efektivitas penyidikan belum berjalan dengan sesuai ketentuannya, meski dalam hal penyidikan sudah ada standar SOP (standar oprasional prosedur). Akan tetapi pihak kepolisian berusaha mencegah serta menyelsaikan perkara tindak pidana yang di lakukan oleh oknum kepolisian meski butuh cukup waktu yang lama, hal ini bisa kita lihat, berikut grafiknya: 25 20 15
Series 1 Series 2
10
Series 3 5 0
2010
2011
2012
2013
2014
Sumber: Polda Gorontalo Pada tahun 2010 kasus tindak pidana mencapai 20 kasus, pada tahun 2011 menurun 18 kasus, pada tahun 2012 menurun sampai 14 kasus, dan pada tahun 2013 menurun 7 kasus dan pada tahun 2014 naik menjadi 9 kasus, begitu banyak kasus yang terjadi 4 tahun terakhir hal ini menunjukan bahwa kepolisian harus lebih tegas dalam menjatuhkan sanksi terhadap oknum - oknum polisi yang 27
Usman Kilo, Anggota Polri (Reskrim umum) Polda Gorontalo, Wawancara , 11 juni 2014 Firman Ismail, Anggota Polri (Propam) Polda Gorontalo, Wawancara, 13 Juni 2014 29 Dhyan Wulandari, Anggota Polri (Propam) Polda Gorontalo, Wawancara, 13 Juni 2014 28
melakukan kesalahan atau tindak pidana. namun yang menjadi talok ukur disini adalah penjaminan tidak terjadinya tindakan pidana yang dilakukan oleh oknum polisi di Polda Gorontalo. Sebagaimana yang di jelaskan oleh Kabid propam polda gorontalo yakni adapun demi terciptanya efektivitas dalam proses penyidikan, angota kepolisian khusunya para penyidik harus melakukan penyidikan sesuai prosedur atau sesuai yang diatur dalam KUHAP, adapun oknum kepolisian yang melakukan tidak pidana akan di jerat sanksi sesuai ketentuan yang berlaku. Sanksi yang di tetapkan di pidana umum tidak lantas akan menghapuskan sanksi yang akan di kenakan sebagai angota kepolisian tersebut, yakni yang diberikan berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah No.2 tahun 2003 tentang peraturan disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Peraturan Pemerintah No.3 tahun 2003 tentang pelaksanaan teknis institusional peradilan umum bagi anggota Kepolisian Republik Indonesia Berdasarkan pendapat di atas peneliti berkesimpulan bahwa dalam proses penyidikan harus benar – benar tegas dalam penindakan dan harus menjalankan tugasnya sesuai dengan aturan yang ada agar supaya dalam proses penyidikan berjalan dengan baik dan sesuai SOP (standar oprasional prosedur). Seharusnya penyidik harus berladaskan 3 (tiga) asas yakni : Asas proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelengara negara. Asas profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandasan kode etik dan ketentuan peraturan perundang – undangan yang berlaku. Asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan negara harus dapat di pertanggung jawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan perundang – undangan yang berlaku.30 Disisi lain hal yang begitu penting yang perlu kita ketahui bersama yakni kesadaran hukum bagi seluruh lapisan anggota polri dan masyarakat sehingga terciptanya suatu keamanan dan ketertiban, hal ini sesuai dengan tugas polri dan sesuai yang di amanahkan oleh Undang- undang No. 2 Tahun 2002 tentang Polri, sehingga terciptanya keamanan, tentram, tertib, damai serta Tujuan hukum tercapai. Berikut pendapat yang menyangkut tentang keamanan, tentram, tertib, damai, serta tujuan hukum : Menurut Soedjono Dirdjosisworo, ketertiban adalah suasana bebas yang terarah, tertuju keadaan suasana yang didambakan oleh masyarakat yang menjadi tujuan hukum. Ketertiban ini adalah cermin ini adanya sebagai patokan, pedoman dan petunjuk bagi individu di dalam pergaulan hidupnya.31
30
Indriyanto Seno Adji, dalam Sadjijono, Memahami Hukum Kepolisian, 2010, Yogyakarta: Laks Bang Pressindo, hlm.17-18 31 Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, 1994, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, hlm.131- 132
Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya kepolisian dapat memberikan rasa aman dan tentram terhadap setiap masyarakat tampa melihat status sosial dari masyrakat tersebut sehingga terciptanya hukum yang baik dan terciptanya pula keadaan yang aman, tertib dan terkendali sesuai dengan sebagaimana tugas dari kepolisian tersebut, dan terwujudnya
pula tujuan hukum. Adapun hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti melalui wawancara mengenai faktor – faktor apa saja yang menghambat proses penyidikan terhadap internal kepolisian di antaranya: Wisnu Mohi berpendapat, faktor - faktor yang menghambat proses penyidikan, dimana saksi takut menjadi saksi karena yang melakukan tindak pidana yakni anggota polri itu sendiri.32 Fredy .M. berpendapat, faktor – faktor yang menghambat proses penyidikan yaitu pada saat pengumpulan bukti – bukti dan kalau anggota polri itu cepat menghilangkan barang bukti.33 Ibrahim Jawas berpendapat, faktor – faktor yang menghambat proses penyidikan yaitu yang pertama faktor emosional antara sesama anggota maupun sebagai patner kerja.34 Kadir tululi berpendapat, faktor – faktor yang menghambat proses penyidikan yaitu timbulnya rasa tega dan rasa segan terhadap sesama anggota polisi, akan tetapi harus melaksanakan tugas dengan baik dan benar35. Berdasarkan uraian di atas, menurut peneliti faktor – faktor penghambat yang timbul dalam proses penyidikan itu yakni : 1. Faktor pengambilan saksi, dalam hal ini ketika seseorang dari angota kepolisian di mintakan menjadi saksi mereka takut menjadi saksi karena yang akan di lakukan pemriksaan adalah anggota polisi. 2. Faktor pengumpulan barang bukti, dalam pengumpulan barang bukti, anggota yang melakukan tindak pidana cepat dan pintar menghilangkan barang bukti, sehingga pada saat proses penyidikan akan sulit di lakukan. 3. Faktor hubungan emosional, timbulnya rasa sayang sebagai sesama anggota polisi dan rasa segan ketika melakukan penyidikan terhadap atasan. Faktor – faktor inilah yang akan berdampak negatif bagi proses penyidikan, hal ini bisa menimbulkan tidak terciptanya hukum yang baik, dan tidak terwujudnya tujuan hukum. penegakan hukum harus lebih terletak pada kegiatan yang lebih ke hubungan nilai – nilai yang terjabarkan di dalam kaidah – kaidah hukum yang mantap demi menciptakan hukum yang baik, memelihara, dan mempertahankan kedamaian. Adapun faktor - faktor yang mempengaruhi penegakan hukum menurut pendapat Soerjono Soekanto :
32
Wisnu Mohi, Kanit riska bin Provos(Propam) Polda Gorotontalo, Wawancara, 17 Juni 2014 Fredy M, Anggota polri (Propam) Polda Gorontalo, Wawancara, 17 Juni 2014 34 Ibrahim jawas, Anggota polri (Propam) Polda Gorontalo, Wawancara, 18 Juni 2014 35 Kadir Tululi, Anggota Kanit riska bid propvos (Propam) polda gorontalo, 18 Juni 2014 33
1. Faktor hukumnya sendiri, yang di dalam tulisan ini akan dibatasi pada undang – undang saja. 2. Faktor pengak hukum, yakni pihak – pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau dapat diterapkan. 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa di dasarkan pada karsa manusia di
dalam pergaulan hidup.36 Peneliti dalam hal ini dapat menarik suatu kesimpulan bahwa masalah pokok pengakan hukum sebenarnya terletak pada faktor – faktor yang mempengaruhinya. Khususnya pada faktor penegak hukum dan faktor hukum itu sendiri. Hal ini memang harus lebih ditegaskan bahwa setiap penegak hukum harus bersifat independen tidak ada diskriminasi dari pihak manapun. Dengan kata lain penegak hukum harus menjalankan tugasnya secara professional karena sesuai fakta dari tugas kepolisian adalah untuk menegakan hukum, melindungi, dan mengayomi masyarakat. Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum ini sejolinya bersifat netral. Faktor tersebut akan berdampak positif ketika penegak hukum menjalankan tugasnya sesuai prosedur. Sebaliknya, ketika penegak hukum tidak menjalankan tugasnya sesuai undang-undang yang berlaku dan kebijakan-kebijakan yang telah dibuat, maka faktor tersebut akan bersifat negatif. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian, peneliti dapat menyimpulkan bahwa efektivitas penyidikan terhadap oknum kepolisian kurang efektif yang nampak dalam proses penyidikannya. Sedangkan faktor yang menghambat penyidikan dan membuat cacat penegakan hukum saat proses penyidikan, adalah 1) Faktor pengambilan saksi, 2) Faktor pengumpulan barang bukti, dan 3) Faktor hubungan emosional. SARAN Adapun saran yang dapat diberikan oleh peneliti sebagai berikut. 1. Sebaiknya oknum polisi melakukan proses penyidikan sesuai prosedur dan kebijakan yang telah dibuat sehingga beban moril yang dirasakan tidak mengganggu penyidikan. 2. Sebaiknya kebijakan-kebijakan yang telah dibuat harus benar-benar dilaksanakan dan disertai pula dengan pengawasan dari tingkat paling atas hingga tingkat paling bawah sehingga tidak membuat cacat penegakan hukum. DAFTAR PUSTAKA Mulyadi, Mahmud. 2009. Kepolisian dalam sistem peradilan pidana. Medan: USU press. Sidauruk, Donna Febryna. 2012. Obyektivitas Penyidikan Terhadap Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia Sebagai Tersangka. Yogyakarta: Skripsi. Sadjijono. 2010. Memahami Hukum Kepolisian/ Yogyakarta: Laskbang Pressindo.
36
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, 2004, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, hlm. 8.
Gunadi, Ismu dan Efendi, Jonaedi. 2011. Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher. Moeljatno. 2009. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta. Masriani, Yulies Tiena. 2004. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Anwal, Yesmil dan Adang. 2011. Sistem Peradilan Pidana. Bandung: Widya Padjadjaran. Mulyadi, Lilik. 2007. Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik, dan Permasalahannya. Bandung: PT Alumni. Tahir, Amaliah Aminah Pratiwi, dkk. 2012. Efektivitas Penerapan Sanksi Atas Pelanggaran Disiplin Terhadap Anggota Polri Dalam Upaya Penegakan Hukum. Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Soekanto, Soerjono. 2004. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Bhayangkara,
Cinta.
2011.
Profil
Polda.
http://profilpolda.blogspot.com/2011/10/polda-
gorontalo.html. Devi, Chintami Puspita. 2012. Teori Efektivitas Hukum.http://chintamipuspitadevy.wordpress.com/2012/12/20/teori-efktivitas-hukum. Sadjijono. 2010. Memahami Hukum Kepolisian. Yogyakarta: Laks Bang Pressindo. Dirdjosisworo, Soedjono. 1994. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Soekanto, Soerjono. 2004. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.