EFEKTIVITAS PENGGUNAAN OBAT ANTIBIOTIK PADA PENYAKIT GASTROENTERITIS AKUT ANAK DI INSTALANSI RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MM. DUNDA LIMBOTO Novita Dehi1, Widysusanti Abdulkadir2, Teti S. Tuloli3*) 1) Mahasiswa, 2) Dosen pembimbing 1, 3) Dosen Pembimbing 2 *) Jurusan Farmasi, Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan dan Keolahragaan Universitas Negeri Gorontalo
Email :
[email protected]
ABSTRAK
Gastroenteritis akut merupakan salah satu penyebab utama morbilitas dan mortilitas anak di negara berkembang dan merupakan penyakit urutan pertama yang menyebabkan pasien rawat inap di rumah sakit di Indonesia. Penyebab gastroenteritis terbesar adalah karena infeksi, untuk itu diperlukan antibiotik dalam proses penyembuhannya. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui efektivitas penggunaan obat antibiotik terhadap penyakit gastroenteritis akut pasien anak di RSUD Dr. MM. Dunda Limboto. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan cross sectional, data yang diambil berupa catatan rekam medik pasien anak gastroenteritis akut yang menggunakan antibiotik. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik purposive sampling (non probabilty sampling) di rekam medik selama bulan Januari Desember 2014, dengan jumlah sampel sebanyak 81 sampel yang telah memenuhi kriteria inklusi. Data diolah dengan analisis univariat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa efektivitas penggunaan obat antibiotik visillin, sefotaksim, dan gentamisin pada pasien anak gastroenteritis akut yang dilihat berdasarkan respon klinik pasien serta respon secara mikrobiologi yaitu 91,4% efektif dan 8,6% kurang efektif. Kata kunci : Gastroenteritis Akut, Antibiotik, Pasien Anak
*) Dr. Widysusanti Abdulkadir, M.Si., Apt, Dr. Teti S. Tuloli, S.Farm., M.Si., Apt 62
PENDAHULUAN Gastroenteritis merupakan peradangan pada lambung dan usus yang ditandai dengan gejala diare dengan atau tanpa disertai muntah, dan sering kali disertai peningkatan suhu tubuh (Suratun, 2010). Menurut WHO (1980) gastroenteritis adalah buang air besar encer atau cair lebih dari tiga kali sehari. Gastroenteritis akut disebabkan oleh 90% adanya infeksi bakteri dan penyebab lainnya antara lain obatobatan, bahan-bahan toksik, iskemik dan sebagainya. Bakteri penyebab diare antara lain Escheria coli, Salmonella typhi, Salmonella paratyphi, Salmonella spp, Shigella dysentriae, Shigella flexneri, Vibrio cholerae, Vibrio cholera non-01, Vibrio parachemolyticus, Clostridium perfringens, Campylobacter (Helicobacter) jejuni, Staphylococcus spp, Streptococcus spp, Yersinia intestinalis, dan Coccidosi (Noerasid, 1988). Gastroenteritis saat ini masih menjadi salah satu masalah kesehatan, jutaan kasus dilaporkan setiap tahun dan diperkirakan sekitar 4-5 juta orang meninggal karena gastroenteritis akut. World Health Organization (WHO)memperkirakan empat milyar kasus terjadi di dunia pada tahun 2000 dan 2,2 juta diantaranya meninggal, sebagian besar anak-anak di bawah umur 5 tahun (Adisasmito, 2007). Salah satu terapi yang digunakan pada gastroenteritis yang disebabkan karena infeksi bakteri adalah pemberian antibiotik. Pemberian antibiotik diindikasikan pada keadaan tertentu seperti
gastroenteritis yang terindikasi infeksi patogen serta gastroenteritis pada bayi dan anak dengan keadaan immunocompro-mised. Antibiotik adalah obat atau zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama fungi, yang dapat menghambat mikroba lain (jasad renik/bakteri), khususnya mikroba yang merugikan manusia (FKUI, 2007). Berdasarkan Penelitian yang dilakukan oleh Cakrawardi et al. (2011), menyatakan bahwa ampisilin merupakan antibiotik pilihan utama pada pasien anak dengan gastroenteritis, yang dirawat inap di BLU rumah sakit dr. Wahidin Sudirohusodo sebagai seri pengobatan tunggal 39,30%, sedangkan antibiotik lainnya adalah amoksisilin 9,52%, kotrimoksazol 5,95%, metronidazol 4,76%, kloramfenikol 2,38%, dan cefotaksim 1,19%, serta penggunaan kombinasi obat yaitu 36,90% yang memungkinkan terjadinya interaksi obat. Penelitian lain yang dilakukan oleh Arifani et al. (2014), menghasilkan bahwa pengobatan gastroenteritis dengan menggunakan antibiotik sefalosporin 97,62%, penisilin 2,38%, ringer laktat 93,48%, dekstrosa 13,04%, CRO (cairan rehidrasi oral) 10,87%, zink 65,22%, antiemetik 58,69%, antipiretik 54,35%, antasida 2,17%, ranitidin 23,91%, probiotik 21,74%, sinbiotik 34,78%. Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik adalah obat yang paling banyak digunakan yaitu antibiotik sefalosporin sebanyak 97,62%. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo yaitu penderita
63
gastroenteritis akut sebanyak 25.451 orang. Hal ini didukung oleh data yang menyatakan bahwa daerah Gorontalo menerapkan urutan peringkat terendah provinsi yang menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), Standar PHBS yaitu sebesar 38,7 %. Di rumah sakit Dr. MM. Dunda Limboto itu sendiri penyakit gastroenteritis akut menempati penyakit urutan pertama pasien rawat inap selama tahun 2014 dengan jumlah kasus sebanyak 839 kasus. Bedasarkan hal tersebut, maka dilakukan penelitian tentang efektivitas penggunaan obat antibiotik pada penyakit gastroenteritis akut anak di instalansi rawat inap rumah sakit Dr. MM. Dunda Limboto. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. M.M Dunda Limboto. Waktu penelitian dilakukan pada tanggal 120 Juni 2015. Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Data yang diambil berupa catatan rekam medis pasien anak gastroenteritis akut yang menggunakan antibiotik. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini yaitu berupa teknik purposive sampling (non probabilty sampling) yakni teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel diantara populasi sesuai dengan yang dikehendaki dan berdasarkan suatu pertimbangan peneliti yaitu di mana sampel yang diambil dianggap baik dan sesuai untuk dijadikan sampel penelitian
(Notoadmojo, 2010). Sampel penelitian ditentukan berdasarkan perhitungan jumlah sampel menggunakan rumus Slovin. Dari hasil perhitungan diperoleh besar sampel sebanyak 81 sampel penelitian. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data rekam medik pasien anak gastroenteritis akut umur 1-14 tahun yang dirawat inap dan yang menerima antibiotik selama bulan Januari - Desember 2014, Catatan rekam medik yang lengkap dan terbaca dengan jelas, serta data rekam medik pasien anak gastroenteritis akut tanpa penyakit penyerta. Analisis data yang dilakukan yaitu analisis univariat. Analisis univariat (analisis deskriptif) bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik variabel penelitian. Dalam analisis ini akan menghasilkan distribusi frekuensi dan persentase dari variabel penelitian. Analisa deskriptif dilakukan dengan menguraikan data yang didapatkan dari catatan rekam medik berupa data klinis pasien dan data laboratorium (leukosit pada feses) untuk melihat efektifitas dari antibiotik. Serta datadata lain seperti jenis antibiotik yang digunakan, data demografi (umur, jenis kelamin pasien) dan lama perawatan pasien. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian berdasarkan usia menunjukkan bahwa pasien anak dengan kelompok usia 1-5 tahun adalah kelompok usia yang paling banyak menderita penyakit gastroenteritis akut yaitu sebanyak 69 pasien dengan persentase 85,2 %.
64
Urutan kedua yaitu kelompok usia 69 tahun sebanyak 10 pasien dengan persentase 12,3 %, dan yang terakhir adalah kelompok usia >10 tahun sebanyak 2 pasien dengan persentase 2,5 %. Menurut Wulandari (2012) bahwa kelompok usia 1- 5 tahun adalah kelompok anak yang mulai aktif bermain dan rentan terkena infeksi penyakit terutama diare. Anak pada kelompok umur ini dapat terkena infeksi bakteri penyebab diare pada saat bermain di lingkungan yang kotor serta melalui cara hidup yang kurang bersih. Begitu juga dengan hasil penelitian Mendrofa (2006), didapatkan proporsi terbesar balita pasien diare berumur 1- <3 tahun (46,8%) dan proporsi terendah pada umur 3- <5 tahun (19%). Umur ada kaitannya dengan daya tahan tubuh. Pada umumnya daya tahan tubuh dewasa jauh lebih tinggi dari pada daya tahan tubuh bayi dan anak. Angka kesakitan pada bayi dan anak berhubungan dengan daya tahan tubuhnya sehingga anak memiliki risiko yang lebih besar untuk menderita diare dan dehidrasi dibandingkan orang dewasa. Selain itu menurut Kemenkes (2011), pasien diare tersebar di semua kelompok umur dengan prevalensi tertinggi terdeteksi pada anak balita umur 1–4 tahun. Tabel 1. Profil Subyek Penelitian Berdasarkan Usia Jumlah Usia (Tahun) N % 1-5 69 85,2% 6-9 10 12,3% >10 2 2,5% 81 100% Total
Sumber : Data sekunder yang diolah, 2015 Tabel 2. Profil Subyek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin Jumlah Jenis Kelamin
N % Laki -laki 50 61,7 % Perempuan 31 38,3 % 81 100 % Total Sumber : Data sekunder yang diolah, 2015 Berdasarkan karakteristik jenis kelamin, diperoleh bahwa penderita penyakit gastroenteritis akut lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan. Pada tabel 2 terlihat bahwa pasien gatroenteritis akut yang berjenis kelamin laki-laki yaitu berjumlah 50 pasien dengan persentase 61,7% dan perempuan hanya berjumlah 31 pasien dengan persentase 38,3%. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Santoso (2005), yang menyatakan bahwa resiko kesakitan diare pada balita perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki dengan perbandingan 1 : 1,2 kemungkinan terjadinya hal tersebut dikarenakan pada anak laki-laki lebih aktif dan lebih banyak bermain dilingkungan luar rumah, sehingga mudah terpapar dengan agen penyebab diare. Aktifitas fisik yang banyak pada laki-laki dapat membuat kondisi fisik tubuh cepat mengalami penurunan termasuk penurunan sistem kekebalan tubuh, sehingga lebih beresiko terkena penyakit termasuk diare akut (Pudjiadi et al., 2010). Akan tetapi secara khusus belum ada penelitian atau teori yang menunjukkan adanya hubungan
65
antara jenis kelamin dengan penyakit diare. Diare terjadi pada anak sebagian besar disebabkan oleh makanan yang terinfeksi kuman atau bakteri. Makanan yang terinfeksi ini bisa saja disebabkan karena lingkungan yang kotor atau dipegang oleh tangan yang kotor. Keadaan ini yang biasanya terjadi pada anak laki-laki (Tjay dan Rahardja, 2002). Tabel 3. Distribusi Frekuensi Gejala Gastroenteritis Akut Tidak Ada ada Gejala N % N % Demam
53 65,4 28
34,6
Mual/Muntah 79 97,5 2 2,5 Diare 81 100 0 0 Nyeri Perut 17 21 64 79 Sumber : Data sekunder yang diolah, 2015 Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 3 terlihat bahwa gejala penyakit gastroenteritis akut anak yang paling banyak terjadi yaitu gejala diare yang terdapat pada semua pasien yaitu sebanyak 81 pasien dengan persentase 100 %. Gejala terbanyak kedua adalah mual atau muntah yang terjadi pada 79 pasien dengan persentase 97,5 %. Selanjutnya yaitu gejala demam tejadi pada 53 pasien dengan persentase 65,4%, dan gejala yang paling sedikit dialami pasien yaitu gejala nyeri perut yaitu hanya terjadi pada 17 pasien dengan persentase 21 %. Hal ini didukung oleh penelitian Rahmawati (2013) yang menyatakan bahwa gejala atau keluhan penyakit yang banyak dialami oleh pasien
gastroenteritis di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit “X” adalah diare sebanyak 100%, mual muntah 68%, demam 54%, serta nyeri perut 16%. Tabel 4. Distribusi Lama Rawat Inap Pasien Gastroenteritis Akut Jumlah Lama Rawat Inap (Hari) N % 2-3 59 72,8% 4-5 16 19,8% 6-8 6 7,4% 81 100% Total Sumber : Data sekunder yang diolah, 2015 Dari hasil penelitian yang terdapat pada tabel 4 terlihat bahwa lama rawat inap pasien gastroenteritis akut anak yang paling banyak yaitu 2-3 hari sebanyak 59 pasien dengan persentase 72,8 %. Urutan kedua yaitu 4-5 hari sebanyak 16 pasien dengan persentase 19,8 %, dan lama rawat inap 6-8 hari hanya terdapat pada 6 pasien dengan persentase 7,4 %. Hal ini sesuai dengan penelitian Sekar et al (2011), yang menyatakan bahwa waktu perawatan yang dibutuhkan untuk proses perawatan dan pengobatan penyakit gastroenteritis anak di SUD Banyumas paling banyak adalah selama 3 hari (25,16%), paling banyak kedua adalah yang membutuhkan waktu 2 hari (22,01%), ketiga adalah yang membutuhkan waktu 4 hari (19,50%), selanjutnya adalah yang membutuhkan waktu 5 hari (8,80%), kemudian membutuhkan waktu selama 6 hari (7,55%), dan paling sedikit adalah yang membutuhkan waktu ≥ 7 hari (6,29%). Apabila dibuat rata-rata maka waktu yang
66
dibutuhkan untuk merawat sakit diare adalah berkisar 2 sampai 5 hari. Penyakit diare merupakan penyakit yang dapat berlangsung selama 3-7 hari (Zein et al., 2004). Pada pasien yang dirawat lebih dari 5 hari adalah pada pasien yang menderita diare cair akut dehidrasi berat sehingga membutuhkan perawatan yang lama untuk menyembuhkan diarenya. Tabel 5. Distribusi Frekuensi Penggunaan Terapi Antibiotik. Jumlah Jenis Antibiotik N % Visillin 71 87,7% Sefotaksim 8 9,9% Gentamisin 2 2,5% 81 100% Total Sumber : Data sekunder yang diolah, 2015 Dari hasil penelitian yang terdapat pada tabel 5 dapat dilihat bahwa pasien gastroenteritis akut paling banyak menggunakan antibiotik visillin yaitu sebanyak 74 pasien dengan persentase 91,4 %. Visillin merupakan antibiotik yang mengandung ampisillin natrium yang di indikasikan untuk pengobatan disentri basil dan diare pada anak. Sediaan ampisilin tersedia dalam bentuk trihidrat untuk sediaan oral dan garam natrium untuk sediaan injeksi (IAI, 2014). Penelitian oleh Cakrawardi et al (2011), menyatakan bahwa ampisilin merupakan antibiotik pilihan utama pada pasien anak dengan gastroenteritis, yang dirawat inap di BLU rumah sakit dr. Wahidin Sudirohusodo sebagai seri pengobatan tunggal 39,30%. Hal ini dikarenakan visillin mengandung ampisillin yang merupakan antibiotik
berspektrum luas yang bekerja dengan cara menghambat sintesis dinding sel mikroba. Visillin efektif terhadap bakteri penyebab diare seperti E.coli, dan Salmonella. Obat ini banyak digunakan untuk mengatasi penyakit infeksi antara lain infeksi saluran nafas, infeksi saluran cerna dan infeksi saluran kemih (Tjay dan Rahardja, 2007). Selanjutnya jenis antibiotik yang digunakan setelah visillin yaitu sefotaksim dengan jumlah 8 pasien (9,9 %). Hal ini di dukung oleh penelitian Rahmawati (2013) yang menyatakan bahwa antibiotik golongan sefalosporin yang digunakan pada penyakit gastroenteritis adalah sefotaksim sebanyak 6 peresepan (10,71%). sefotaksim merupakan antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga yang memiliki spektrum kerja yang luas dan meliputi banyak kuman Gram-positif dan Gramnegatif, termasuk E.coli, Klebsiella dan Proteus. Berkhasiat bakterisid dalam fase pertumbuhan kuman, dan bekerja dengan cara menghambat sintesa peptidoglikan yang diperlukan kuman untuk ketangguhan dindingnya. Kepekaan terhadap beta-laktamase lebih rendah daripada penisilin (Tjay dan Rahardja, 2007). Berdasarkan penelitian oleh Febiana (2012) bahwa penggunaan sefotaksim dan generasi ketiga sefalosporin lainnya ditemukan cukup tinggi di bangsal anak terutama pada kelas 2. Penggunaan sefotaksim dan antibiotik generasi ketiga sefalosporin lainnya perlu mendapat perhatian khusus karena terdapat kejadian resistensi antibiotik tersebut terhadap bakteri yang memproduksi
67
extended-spectrum β-lactamase (ESBL). Antibiotik yang paling sedikit digunakan berdasakan hasil penelitian yaitu gentamisin sebanyak 2 pasien dengan persentase 2,5 %. Hal ini didukung oleh Penelitian yang dilakukan Korompis et al (2013), yang menyatakan bahwa penggunaan antibiotik di RSUP Prof. DR. R. D. Kandou Manado masih digunakan sebanyak 16 % untuk mengobati diare akut yang disebabkan oleh adanya infeksi bakteri. Salah satu antibiotik yang
paling banyak digunakan yaitu injeksi gentamisin sebanyak 5,95%. Hal ini dikarenakan gentamisin merupakan antibiotik golongan aminoglikosida yang memiliki spektrum kerja yang luas dan meliputi terutama banyak basil gramnegatif, antara lain Escheria coli, Enterobacter, Salmonella dan Shigella, dimana bakteri-bakteri tersebut merupakan bakteri penyebab gastroenteritis (Tjay dan Rahardja, 2007).
Tabel 6. Efektivitas Antibiotik pada Pasien Gastroenteritis Akut Anak Jumlah No Respon Parameter Ket. . Pasien N % Tidak ada temuan infeksi pada akhir 1. pengobatan, menghilangnya gejala Sembuh 74 91,4% Efektif klinis seperti keadaan semula Berkurangnya gejala klinis selama periode pengobatan, tetapi Kurang 2. Perbaikan 7 8,6% kesembuhan tidak komplit dari efektif infeksi Tidak ada perbaikan selama Tidak ada Tidak 3. 0 0% pengobatan respon efektif Sumber : Data sekunder yang diolah, 2015 Efektifitas antibiotik dapat dilihat dari keadaan klinis pasien dan data penunjang seperti data laboratorium (Depkes RI, 2014). Gambaran klinis gastroenteritis akut yang disebabkan infeksi dapat disertai dengan diare, muntah, demam, nyeri perut sampai kram (Triadmodjo, 1993). Sedangkan pemeriksaan laboratorium yang dilakukan yaitu pemeriksaan feses rutin. Spesimen tinja harus diperiksa untuk adanya mukus, darah, dan leukosit. Leukosit tinja dihasilkan sebagai respon terhadap bakteri yang
menginvasi mukosa kolon secara difusi. Pemeriksaan leukosit tinja yang positif menunjukkan adanya organisme invasif atau organisme penghasil sitotoksin seperti Shigella, Salmonella, Campylobacter jejuni, Escheria colli invasif, Escheria colli enterohemorhagik, Clostridium difficile, Yersinia enterocolitica, Vibrio parahaemolyticus, dan mungkin spesies Aeromonas atau Plesiomonas shigelloides (Wahab, 2000). Berdasarkan hasil penelitian yang terdapat pada tabel 4.6 dapat
68
dilihat bahwa efektivitas antibiotik pada pasien gastroenteritis akut anak yaitu sebanyak 91,4 % efektif dengan jumlah pasien sebanyak 74 pasien. Antibiotik yang digunakan dikatakan efektif apabila pasien sembuh dengan keadaan tidak ada temuan infeksi pada akhir pengobatan, dan menghilangnya gejala klinis seperti keadaan semula. Hal ini dikarenakan terapi antibiotik diberikan secara tepat pada pasien gastroenteritis akut yang terinfeksi bakteri. Penggunaan antibiotik berdasarkan indikasi adalah penggunaan antibiotik yang mempunyai manfaat bagi pasien dengan pemberian secara terapeutik. Pemberian antibiotik secara terapeutik apabila antibiotik digunakan pada keadaan infeksi. Pemberian antibiotik secara terapeutik, dapat dilakukan secara empiris dan definitif (Thompson dan Wrigt, 1998). Pada terapi secara empiris, pemberian antibiotik diberikan pada kasus infeksi yang belum diketahui jenis kumannya seperti pada kasus gawat. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa gastroenteritis akut merupakan diare yang terjadi secara mendadak dan berlangsung kurang dari tujuh hari pada bayi dan anak yang sebelumnya sehat (Mansjoer, 2000). Oleh karena itu, pengobatan penyakit ini harus dilakukan sesegera mungkin terutama untuk gastroenteritis akut yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Bila ada tanda dan gejala diare akut karena infeksi bakteri dapat diberikan terapi antibiotik secara empirik, yang kemudian dapat dilanjutkan dengan terapi spesifik sesuai dengan hasil kultur.
Pemberian antibiotik pada anak tanpa pemeriksaan mikrobiologis disebabkan karena untuk melakukan pemeriksaan mikrobiologis dibutuhkan waktu sedikit lama untuk mengetahui kultur penyebab infeksi sehingga paling banyak dilakukan terapi empiris berdasarkan gejala atau kondisi pasien untuk mencegah penyebaran infeksi penyakit (Mansjoer, 2000). Selanjutnya untuk kategori kurang efektif dinilai berdasarkan keadaan pasien yaitu berkurangnya gejala, tetapi masih ada temuan infeksi pada akhir pengobatan. Kategori kurang efektif yaitu sebanyak 8,6% dengan jumlah pasien sebanyak 7 pasien. Kurangnya efektivitas dari antibiotik ini disebabkan oleh kurangnya respon dari pasien, baik respon secara klinik maupun secara mikrobiologi. Ratarata pasien gastroenteritis akut di Rumah Sakit Dr. MM Dunda Limboto membaik dengan keadaan klinis seperti demam, mual/muntah, diare ataupun nyeri perut telah berkurang, tetapi masih terdapat infeksi bakteri yang ditandai dengan adanya leukosit pada feses. hal ini disebabkan oleh perbedaan respon fisiologi anak terhadap antibiotik yang digunakan. pada anak-anak fungsi organnya masih belum berfungsi dengan maksimal. Perubahan dan belum maksimalnya fungsi organ inilah yang menyebabkan adanya perbedaan pada profil farmakokinetik seperti absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi, Sehingga respon terapi juga berbeda (Chavez dan Stull, 2009). Penggunaan antibiotik yang tidak tepat dalam hal indikasi, maupun cara pemberian dapat
69
merugikan penderita dan mudah terjadi resistensi terhadap antibiotik serta menimbulkan efek samping. Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah dosis obat yang tepat bagi anak-anak, cara pemberian, indikasi, kepatuhan, waktu penggunaan obat, frekuensi pemberian obat yang tepat dan dengan memperhatikan keadaan patofisiologi pasien secara tepat, diharapkan dapat memperkecil efek samping yang akan terjadi (Rhudolph, 2003). Untuk kategori tidak efektif dinilai bedasarkan keadaan pasien yaitu pasien tidak mengalami perbaikan selama pengobatan artinya pasien tidak mengalami perbaikan secara klinis yaitu tidak hilangnya gejala-gejala yang timbul akibat adanya penyakit gastroenteritis akut seperti demam, mual/muntah, diare serta nyeri perut, dan tidak mengalami perbaikan secara mikrobiologis yang ditandai dengan menghilangnya leukosit pada feses. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa kategori tidak efektif atau pasien yang tidak memberikan respon selama pemberian antibiotik adalah 0 % artinya semua antibiotik yang digunakan memberikan respon sembuh atau membaik terhadap pasien gastroenteritis akut.
serta respon secara mikrobiologi yaitu 91,4 % efektif, dan 8,6 % kurang efektif.
KESIMPULAN
Arifani, S., Ketut, W., Sagung, C. 2014. Profil Terapi Obat Pada Pasien Rawat Inap Dengan Diare Akut Pada Anak Di Rumah Sakit Umum Negara. Universitas Udayana: Bukit Jimbaran
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. MM. Dunda Limboto dapat disimpulkan bahwa efektivitas penggunaan obat antibiotik visillin, sefotaksim, dan gentamisin pada pasien anak gastroenteritis akut yang dilihat berdasarkan respon klinik pasien
SARAN Berdasarkan hasil penelitian di atas maka penulis memberikan saran sebagai berikut: 1. Bagi pihak rekam medik RSUD Dr. MM. Dunda Limboto Kabupaten Gorontalo disarankan agar dapat melengkapi data rekam medik dan dapat menyusunnya dengan jelas dan teratur. 2. Untuk peneliti lain disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut berkaitan dengan perbandingan efektifitas obat antibiotik yang digunakan pada penyakit gastroenteritis akut anak. DAFTAR PUSTAKA Adisasmito, W. 2007. Faktor Risiko Diare pada Bayi dan Balita di Indonesia: Systematic Review Penelitian Akademik Bidang Kesehatan Masyarakat. Jurnal Kesehatan
Cakrawardi, Elly, W., Bachtiar, S. 2011. Pola Penggunaan Antibiotik Pada Gastroenteritis Berdampak 70
Diare Akut Pasien Anak Rawat Inap Di Badan Layanan Umum Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar Selama Tahun 2009. Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin: Makassar Chavez, S., Stull, T. 2009. Antibacterial agents in pediatrics, Infectious disease clinics of North America, Elsevier Ltd: North America Depkes RI. 2014. Keputusan Menkes RI 2406/MENKES/PER/12/2011 tentang pedoman umum penggunaan antibiotik Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo. 2014. Data Prevalensi Diare. Gorontalo Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007. Farmakologi dan terapi Edisi 5. Balai Penerbit FKUI: Jakarta Febiana Tia. 2012. Kajian Rasionalitas Penggunaan Antiboitik di Bangsal Anak RSUP Dr. Kariadi Semarang Periode Agustus-Desember 2011. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Ikatan Apoteker Indonesia. 2014. Informasi Spesialite Obat indonesia Volume 48. PT. ISFI Penerbitan: Jakarta Kementrian Kesehatan RI. 2011. Buletin Jendela Data dan
Informasi Kesehatan Situasi Diare di Indonesia: Jakarta. Mandel G. L., Douglas R. G., Bennet J. E., Dolin R. 1995. Principles and Practice Of Infectious Disease : Antimicrobial Therapy Churchill. Livingstone Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga. FKUI: Jakarta Mendrofa K. 2006. Karakteristik balita penderita diare yang berobat di Puskesmas Tetehosi Foa Kecamatan Gido Kabupaten Niasa tahun 2005. Skripsi. Universitas Sumatera Utara: Medan. Noerasid, H.S. 1988. Gastroenteritis (Diare) Akut. Dalam: Buku Gastroenterologi Anak Praktis. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta Notoadmojo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta: Jakarta Pudjiadi Antonius, H., Hegar Badriul. 2010. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. IDAI: Jakarta Rahmawati, Y. 2013. Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Gastroenteritis Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit “X” Periode Januari71
Juni 2013. Universitas Muhammadiyah Surakarta: Surakarta
Neonatus dan Anak Dalam Cermin Dunia Kedokteran: Jakarta
Rhudolph. 2003. Rudolph’s Pediatrics. 21st ed. McGrawHill: New york
Wahab, S. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Edisi 15 Volume 2. EGC: Jakarta
Santoso. 2005. Karakteristik Jenis Kelamin Anak. Dalam Tesis Analisis Faktor Resiko Kejadian Diare pada Anak usia dibawah 2 tahun di RSUD Kota Jakarta. Fakultas Ilmu Keperawatan: Depok
Wulandari, A. 2012. Penanganan Diare di Rumah Tangga Merupakan Upaya Menekan Angka Kesakitan Diare pada Balita. Universitas Negeri Gorontalo: Gorontalo
Sekar, D., Kusuma, A., dan Hapsari. 2011. Evaluasi Penggunaan Obat Antidiare pada Pasien Anak di Instalasi Rawat Inap RSUD Banyumas Tahun 2009. Pharmacy.
Zein, U., Huda, K., Gin ting. 2004. Diare Akut Disebabkan Bakteri. Fakultas Kedokteran: Universitas Sumatera Utara
Suratun, Lusianah. 2010. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Gastrointestinal. CV Trans Info M: Jakarta Thompson RL, Wrigt AJ. 1998. General principles of antimicrobial therapy. Mayo Clin Proc Tjay, T. H., Raharja, K. 2002. Obatobat Penting : Khasiat, Penggunaan dan Efek-efek Sampingnya. PT. Gramedia: Jakarta Tjay, T. H., Raharja, K. 2007. Obatobat Penting. Elex Media Komputindo: Jakarta. Triadmodjo. 1993. Pola Kuman Penyebab Diare Akut Pada 72