DISERTASI
EFEKTIVITAS PENERAPAN SIMANTRI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI-PETERNAK DI BALI
I GUSTI AGUS MAHA PUTRA SANJAYA
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013
1
DISERTASI
EFEKTIVITAS PENERAPAN SIMANTRI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI-PETERNAK DI BALI
I GUSTI AGUS MAHA PUTRA SANJAYA NIM : 1190571001
PROGRAM DOKTOR PROGRAM STUDI ILMU PETERNAKAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013 2
EFEKTIVITAS PENERAPAN SIMANTRI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI-PETERNAK DI BALI
Disertasi untuk Memperoleh Gelar Doktor Pada Program Doktor, Program Studi Ilmu Peternakan, Program Pascasarjana Universitas Udayana
I GUSTI AGUS MAHA PUTRA SANJAYA NIM : 1190571001
PROGRAM DOKTOR PROGRAM STUDI ILMU PETERNAKAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013 ii
Lembar Pengesahan
DISERTASI INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 11 NOVEMBER 2013
Promotor,
Prof. Dr. Ir. I Nyoman Suparta, MS., MM NIP. 19530319 198003 1002
Kopromotor I,
Kopromotor II,
Prof. Ir. I Gusti Lanang Oka, M.Agr.Sc., Ph.D. Dr. Ir. Ida Bagus Gaga Partama, MS NIP. 19450505 196901 1001 NIP. 19590312 198601 1001
Mengetahui
Ketua Program Doktor, Program Studi Ilmu Peternakan, Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Prof. Ir. I Gusti Lanang Oka, M.Agr.Sc., Ph.D. NIP. 19450505 196901 1001
iii
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S (K) NIP. 19590215 198510 2001
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Nama
: I Gusti Agus Maha Putra Sanjaya
NIM
: 1190571001
Program Studi
: Program Doktor, Program Studi Ilmu Peternakan
Judul Disertasi
: Efektivitas Penerapan Simantri dan Pengaruhnya terhadap Peningkatan Pendapatan Petani-Peternak di Bali
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah disertasi ini bebas plagiat. Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No. 17 tahun 2010 dalam Peraturan Perundang- undangan yang berlaku
Denpasar, 29 November 2013
I Gusti Agus Maha Putra Sanjaya
iv
Disertasi Ini Telah Diuji pada Ujian Tertutup Tanggal 11 November 2013 Panitia Penguji Disertasi Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana No : 2019/UN14.4/HK/2013, Tanggal 7 Oktober 2013
Ketua
: Prof. Dr. Ir. I Wayan Suarna, MS
Anggota
: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Prof. Dr. Ir. I Nyoman Suparta, MS., MM Prof. Ir. I Gusti Lanang Oka, M.Agr.Sc., Ph.D Dr. Ir. Ida Bagus Gaga Partama, MS Prof. Dr. Ir. I Gede Mahardika, MS Prof. Ir. I G.A.A. Ambarawati, M. Ec. Ph. D Dr. Ida Bagus Teddy Prianthara, SE. Ak., M.Si Prof. Dr. I Wayan Windia
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas asung kerta wara nugraha-Nya/karunia-Nya, disertasi ini dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Ir. I Nyoman Suparta, MS., MM selaku promotor yang dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan, dan saran selama penulis mengikuti program doktor, khususnya dalam penyelesaian disertasi ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada Prof. Ir. I Gusti Lanang Oka, M.Agr.Sc., Ph.D dan Dr. Ir. Ida Bagus Gaga Partama, MS selaku kopromotor I dan II yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan, saran, dan semangat kepada penulis. Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. PD-KE atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Doktor di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih ini juga ditujukan kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana yang dijabat oleh Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) atas
kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Doktor pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Ucapan terima kasih juga penulis tujukan kepada Dr. Ir. Ida Bagus Gaga Partama, MS., Dekan Fakultas Peternakan Universitas Udayana atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan program Doktor. Pada kesempatan ini, penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada Prof. Ir. I Gusti Lanang Oka, M.Agr.Sc., Ph.D dan Prof. Dr. Ir. Sentana Putra, MS selaku ketua dan sekretaris Program Studi Doktor Ilmu Peternakan pada Program Pascasarjana Universitas Udayana, serta Bapak/Ibu staf karyawan di Program Doktor
vi
Ilmu Peternakan yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan dorongan moral untuk menyelesaikan studi pada Program Studi Doktor Ilmu Peternakan, Program Pascasarjana Universitas Udayana. Tidak lupa pula penulis ucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. I Wayan Suarna, MS, Prof. Dr. Ir. I Gede Mahardika, MS, Prof. Ir. I. G. A. A. Ambarawati, M. Ec., Ph. D., Dr. Ida Bagus Teddy Prianthara, SE. Ak, M. Si., dan Prof. Dr. I Wayan Windia yang telah memberikan masukan, saran, sanggahan, dan koreksi sehingga disertasi ini dapat terwujud seperti ini. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus disertai penghargaan kepada seluruh guru-guru yang telah membimbing penulis, mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Juga penulis ucapkan terima kasih kepada kedua orang tua penulis tercinta, I Gusti Jaya Wardana, BA., S.Sos dan Ida Ayu Agung Ngurah Indrawati, SS., MM, istri tercinta Kadek Ratna Udayani, BAn.Sc., MM.Agr, serta anakanak tersayang I Gusti Jaya Agung Vania Casimira dan I Gusti Jaya Agung Ranyshia Cliona yang telah memberikan dukungan moral, mental, material, serta doa di dalam penulis menyelesaikan disertasi ini. Tidak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak dan Ibu mertua tercinta, Prof. Dr. Ir. I Nyoman Suparta, MS., MM dan Dra. Ni Wayan Karsini, kakak serta adik ipar tersayang atas motivasi, dukungan serta doa yang diberikan kepada penulis, sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Akhirnya penulis sampaikan terima kasih kepada Bapak I Ketut Ginantra, S.Pd., M.Si, Bapak Drs. I.B. Gd. Darmayasa, M.Si, Bapak Ir. Tjok Gede Oka Susila, MP, Ibu Iriani Setyawati, S.Si, M.Si, Ibu Dra. Ngurah Intan Wiratmini, M.Si, Ibu Budi Rahayu Tanama Putri, S.Pt., MM serta rekan-rekan lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah banyak membantu dan memberikan inspirasi kepada penulis di dalam penyelesaian disertasi ini.
vii
Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan penyelesaian disertasi ini, serta kepada penulis sekeluarga.
Denpasar, 20 Desember 2013 Penulis
viii
ABSTRAK EFEKTIVITAS PENERAPAN SIMANTRI DAN PENGARUHNYA TERHADAPPENINGKATAN PENDAPATAN PETANI-PETERNAK DI BALI Pemda Bali pada tahun 2009 membuat langkah terobosan untuk semakin meningkatkan pemberdayaan sektor pertanian di Bali melalui Simantri (Sistem Pertanian Terintegrasi) yang diadopsi dari model Prima Tani. Program Simantri telah berjalan sekitar empat tahun, namun hingga saat ini pelaksanaan Simantri belum mampu meningkatkan pendapatan para anggotanya secara optimal, masih ditemui sapi induk yang kurus, majir, belum optimalnya penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi, sampai dengan adanya kelompok Simantri yang gagal. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi penerapan Simantri di Bali, menganalisis pengaruh kualitas SDM petani-peternak dan kondisi kelompok Simantri terhadap penerapan usaha peternakan sapi, penerapan usaha tanaman pangan, dan penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi, mengetahui efektivitas penerapan Simantri, menganalisis pengaruh dominan diantara penerapan usaha peternakan sapi, penerapan usaha tanaman pangan, dan penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi terhadap efektivitas penerapan Simantri, serta menganalisis pengaruh efektivitas penerapan Simantri terhadap peningkatan pendapatan petani-peternak. Penelitian dilakukan di delapan Kabupaten dan satu Kotamadya di Bali. Lokasi ini ditentukan berdasarkan purposive. Responden penelitian sebanyak 138 orang yang terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara kelompok dari ke empat puluh enam kelompok Simantri tahun 2009-2010. Pengambilan sampel menggunakan metode sensus. Jenis data yang digunakan adalah data kuantitatif dan kualitatif. Sumber data terdiri atas data primer dan sekunder. Metode pengambilan data adalah wawancara secara langsung dan mendalam, observasi, dokumentasi dan Focus Group Discusion. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) secara rata-rata penerapan Simantri, penerapan usaha peternakan sapi, dan penerapan usaha tanaman pangan tergolong sangat tinggi. Sedangkan, penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi secara rata-rata oleh responden tergolong sedang; (2) kualitas SDM petani-peternak terbukti berpengaruh positif dan signifikan, namun kondisi kelompok Simantri berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap penerapan usaha peternakan sapi, penerapan usaha tanaman pangan, dan penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi; (3) secara rata-rata responden tergolong kurang efektif dalam penerapan Simantri; (4) Penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi terbukti merupakan variabel yang paling dominan berpengaruh terhadap efektivitas penerapan Simantri; (6) efektivitas penerapan Simantri terbukti berpengaruh positif dan signifikan terhadap peningkatan pendapatan petani-peternak. Dari hasil penelitian ini, di sarankan agar petani-peternak anggota kelompok Simantri hendaknya menerapkan pengolahan dan pemanfaatan limbah dari tanaman pangan sebagai pakan ternak sapi dan limbah ternak sapi sebagai pupuk organik dengan lebih maksimal, efektif dan efisien guna menekan biaya produksi dari ketiga unit usaha Simantri yang dikelola.
Kata kunci : pertanian terintegrasi, Simantri, efektivitas, penerapan Simantri, peningkatan pendapatan petani-peternak.
ix
ABSTRACT EFFECTIVENESS OF SIMANTRI APPLICATION AND IT’S INFLUENCE ON IMPROVEMENT OF FARMER’S INCOME IN BALI Bali Regional Government created a new step to improve agriculture sector in 2009 through integrated farming system (Simantri) which was adopted from the model of “Prima Tani.” Simantri program has been running about four years in Bali, there still seems to be a gap betwen intent and objectives with the application of this program by Simantri participants. The purposes of this study were (1) to determine the application level of Simantri in Bali; (2) to analyze the influence of human resources quality and the conditions of Simantri group towards the application of cattle business, food crops business, and cattle waste processing business; (3) to determine the effectiveness of Simantri application; (4) to analyze the dominant influence between the application of cattle business, food crops business, and cattle waste processing business towards the effectiveness of Simantri application; and (5) to analyze the effectiveness of Simantri application in increasing farmer’s income. The research was conducted in eight regencies and city in Bali. The groups of Simantri were determined using purposive sampling method. Total respondents were 138 consisting of chairmans, secretaries, treasurers of forty-six groups of Simantri from 2009-2010. Source of data consisted of primary and secondary data. The qualitative and quantitative data were collected directly and depth interview, observation, and documentation. The results of the research showed that: (1) the Simantri application level meanly pertained very high. When viewed from three business units, the application level of cattle waste processing business meanly pertained on middle level; (2) human resources quality proven have positive effect to the application of cattle business, food crops business, and cattle waste processing business, but the conditions of Simantri group statistically have positive effect but not significant to the third its; (3) effectiveness of Simantri application meanly pertained less effective, only 8.70 % of respondents were very effective; (4) the application of cattle business, food crops business, and cattle waste processing business proven have positive effect to the effectiveness of Simantri application. The most dominant variables that influence the effectiveness of Simantri application was cattle waste processing business; (5) the effectiveness of Simantri application was significantly proved in increasing the farmer’s income; (6) most of the respondents (67,38%) are getting an increasing income >25-50%, only 12 respondents (8,70%) were getting an increasing income over than 100% because purchase a portion of the manure input from outside, 9 respondents (6,52%) >75100%, 12 respondents (8,70%) >50-75%, and 9 other respondents (6,52%) are getting an increasing income 1-25%. From the above result of this research it can be suggested, in order to getting an increasing income doubled in 4-5 years therefore, Simantri farmer’s must obey to impound their heifers every day in the Simantri colony cage, processing and utilization of food crops waste as cattle feed and cattle waste as organic fertilizer maximally, if it is posible to purchase the cattle manure and other materials from outside, and improving business diversification through the addition of new business units based on local potential Key words : Simantri, the level of application, effectiveness, improvement income.
x
DAFTAR ISI
Halaman SAMPUL DALAM ........................................................................................................ PRASYARAT GELAR .................................................................................................. LEMBAR PERSETUJUAN ........................................................................................... PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT .............................................................................. PENETAPAN PANITIA PENGUJI ............................................................................... UCAPAN TERIMAKASIH ........................................................................................... ABSTRAK .................................................................................................................... ABSTRACT .................................................................................................................. DAFTAR ISI ................................................................................................................. DAFTAR TABEL .......................................................................................................... DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................................
i ii iii iv v vi ix x xi xv xvii xviii
BAB I 1.1 1.2 1.3 1.4
PENDAHULUAN ...................................................................................... Latar Belakang ........................................................................................... Rumusan Masalah ...................................................................................... Tujuan Penelitian ....................................................................................... Manfaat Penelitian......................................................................................
1 1 9 9 10
BAB II 2.1 2.2
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. Adopsi Inovasi ........................................................................................... Faktor-faktor yang Berhubungan denganTingkat Penerapan Inovasi ........... 2.2.1 Umur ............................................................................................. 2.2.2 Pendidikan formal .......................................................................... 2.2.3 Pendidikan non formal ................................................................... 2.2.4 Pengetahuan ................................................................................... 2.2.5 Sikap.............................................................................................. 2.2.6 Keterampilan ................................................................................. 2.2.7 Pengalaman.................................................................................... 2.2.8 Jarak tempat tinggal ....................................................................... 2.2.9 Budaya lokal .................................................................................. 2.2.10Interaksi sosial .................................................................................. Konsep Integrasi Tanaman-Ternak ............................................................. 2.3.1 Crop-Livestock System (CLS) ........................................................ 2.3.2 Zero waste ..................................................................................... 2.3.3 LEIAS (Low External Input Agriculture Syastem) .......................... Simantri (Sistem Pertanian Terintegrasi) ..................................................... 2.4.1 Indikator keberhasilan Simantri ...................................................... 2.4.2 Paket kegiatan utama Simantri .......................................................
11 11 20 20 21 23 24 25 27 29 30 32 34 35 35 38 39 39 41 42
2.3
2.4
xi
2.4.3 2.5
Lokasi dan pembiayaan kegiatan Simantri tahun2009-2012 ............................................................................. Efektivitas. .................................................................................................
43 45
2.6 2.7
Pendapatan Petani-Peternak ........................................................................ Penelitian Terdahulu ...................................................................................
48 50
KERANGKA BERPIKIR, KONSEPDAN HIPOTESIS PENELITIAN ............................................................................................ Kerangka Berpikir ...................................................................................... Kerangka Konsep ....................................................................................... Hipotesis ....................................................................................................
55 55 63 65
BAB III 3.1 3.2 3.3 BAB IV 4.1 4.2 4.3 4.4
4.5 4.6
4.7 4.8
BAB V 5.1 5.2 5.3 5.4
5.5
METODE PENELITIAN ........................................................................... Rancangan Penelitian ................................................................................. Lokasi dan Waktu Penelitian ...................................................................... Populasi dan Sampel Penelitian .................................................................. Variabel Penelitian ..................................................................................... 4.4.1 Definisi operasional variabel .......................................................... 4.4.2 Pengukuran variabel penelitian ....................................................... Instrumen Penelitian ................................................................................... Pengumpulan Data ..................................................................................... 4.6.1 Jenis dan sumber data..................................................................... 4.6.2 Teknik pengumpulan data .............................................................. Pengukuran Data ........................................................................................ Pengolahan dan Analisis Data..................................................................... 4.8.1 Analisis pengaruh variabel bebas terhadap variabel tidak bebas.............................................................................................. 4.8.2 Analisis efektivitas Simantri ........................................................... 4.8.3 Analisis pendapatan petani-peternak Simantri.................................
66 66 66 67 68 68 72 77 78 78 79 80 83
HASIL PENELITIAN ................................................................................ Gambaran Umum Lokasi Penelitian............................................................ Gambaran Umum Kegiatan Simantri Tahun 2009–2012 ............................. Uji Validitas dan Reliabilitas ...................................................................... Kualitas SDM Petani-Peternak ................................................................... 5.4.1 Umur ............................................................................................. 5.4.2 Pendidikan formal .......................................................................... 5.4.3 Pendidikan non formal ................................................................... 5.4.4 Pengetahuan tentang Simantri ........................................................ 5.4.5 Sikap tentang Simantri ................................................................... 5.4.6 Keterampilan tentang Simantri ....................................................... 5.4.7 Pengalaman.................................................................................... Kondisi Kelompok Simantri .......................................................................
94 94 96 98 99 99 100 101 102 103 104 105 106
xii
84 90 92
5.6 5.7 5.8
5.9 BAB VI 6.1
6.2
6.3 6.4 6.5
6.6 6.7 6.8
5.5.1 Jarak tempat tinggal ....................................................................... 5.5.2 Budayalokal ................................................................................... 5.5.3 Interaksi sosial ............................................................................... Kondisi Penerapan Simantri di Bali Saat mi ................................................ Efektivitas Penerapan Simantri ................................................................... Hasil Analisis Pengaruh Variabel Bebas terhadap Variabel Tidak Bebas ......................................................................................................... 5.8.1 Evaluasi model pengukuran (outer model) ...................................... 5.8.2 Evaluasi model struktural (inner model) ......................................... 5.8.3 Hasil pengujian hipotesis ................................................................ 5.8.4 Hasil pengujian efek langsung terhadap variabel diluar hipotesis. ........................................................................................ Hasil Analisis Peningkatan Pendapatan Petani-Peternak .............................
106 107 108 109 114
PEMBAHASAN ........................................................................................ Kualitas SDM Petani-Peternak ................................................................... 6.1.1 Umur ............................................................................................. 6.1.2 Pendidikan formal .......................................................................... 6.1.3 Pendidikan non formal ................................................................... 6.1.4 Pengetahuan tentang Simantri ........................................................ 6.1.5 Sikap tentang Simantri ................................................................... 6.1.6 Keterampilan tentang Simantri ....................................................... 6.1.7 Pengalaman.................................................................................... Kondisi Kelompok Simantri ....................................................................... 6.2.1 Jarak tempat tinggal ....................................................................... 6.2.2 Budayalokal ................................................................................... 6.2.3 Interaksi sosial ............................................................................... Kondisi Penerapan Simantri di Bali Saat Ini................................................ Efektivitas Penerapan Simantri ................................................................... Analisis Pengaruh Variabel Bebas terhadap Variabel Tidak Bebas .............. 6.5.1 Profil variabel penelitian ................................................................ 6.5.1.1 Profil kualitas SDM petani-peternak ................................ 6.5.1.2 Profil kondisi kelompok Simantri .................................... 6.5.1.3 Profil penerapan usaha petemakan sapi ............................ 6.5.1.4 Profil penerapan usaha tanaman pangan........................... 6.5.1.5 Profil penerapan usaha pengolahan limbah temak sapi ................................................................................. 6.5.1.6 Profil efektivitas penerapan Simantri ............................... 6.5.1.7 Profil peningkatan pendapatan petani-peternak ................ 6.5.2 Pembahasan hasil pengujian hipotesis ............................................ 6.5.3 Pengujian efek langsung terhadap variabel diluar hipotesis ............. Analisis Pendapatan Petani-Peternak .......................................................... Ciri-Ciri Spesifik Yang Membedakan Gapoktan Simantri ........................... Temuan Baru (Novelty) ..............................................................................
140 140 140 141 142 142 144 145 147 149 149 151 153 154 159 165 165 166 169 171 173
xiii
122 122 129 130 135 137
175 177 178 179 188 192 195 198
BAB VII 7.1 7.2
SIMPULAN DAN SARAN ........................................................................ Simpulan .................................................................................................... Saran ..........................................................................................................
199 199 200
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS ....................................................................... LAMPIRAN-LAMPIRAN .............................................................................................
203 212 214
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6 4.7 4.8 5.1 5.2 5.3 5.4 5.5 5.6 5.7 5.8
5.9 5.10 5.11 5.12 5.13 5.14 5.15
5.16
5.17
5.18
Halaman Indikator dan Parameter Sumber Daya Manusia (SDM) Petani-Peternak ............................................................................................... Indikator dan Parameter Kondisi Kelompok Simantri ...................................... Indikator dan Parameter Penerapan Usaha Peternakan Sapi Bali ...................... Indikator dan Parameter Penerapan Usaha Tanaman Pangan ............................ Indikator dan Parameter Penerapan Usaha Pengolahan Limbah Ternak Sapi ........................................................................................ Indikator dan Parameter Efektivitas Penerapan Simantri .................................. Kategori Pencapaian Skor Variabel Terkait Penelitian ..................................... Kategori Pencapaian Skor Variabel Efektivitas penerapan Simantri ................. Reliabilitas Instrumen...................................................................................... Sebaran Responden Berdasarkan Umur ........................................................... Sebaran Responden Berdasarkan Pendidikan Formal ....................................... Sebaran Responden Berdasarkan Pendidikan Non Formal................................ Sebaran Responden Berdasarkan Pengetahuan Tentang Simantri ..................... Sebaran Responden Berdasarkan Sikap Tentang Simantri ................................ Sebaran Responden Berdasarkan Keterampilan Tentang Simantri .................... Sebaran Responden Berdasarkan Pengalaman Tentang Beternak Sapi Bali, Bertani/Berkebun, dan Mengolah Limbah Ternak Sapi Menjadi Pupuk Organik Padat dan Cair ......................................................................... Sebaran Responden Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal ................................... Sebaran Responden Berdasarkan Budaya Lokal ............................................... Sebaran Responden Berdasarkan Interaksi Sosial ............................................. Sebaran Responden Berdasarkan Penerapan Simantri ...................................... Sebaran Responden Berdasarkan Efektivitas Penerapan Simantri ..................... Ratting Indikator Keberhasilan Simantri Secara Keseluruhan ........................... Ratting Indikator Keberhasilan Simantri Oleh Gapoktan Yang Memperoleh Peningkatan Pendapatan Lebih Dari 100% Setelah Mengikuti Simantri ......................................................................................... Ratting Indikator Keberhasilan Simantri Oleh Gapoktan Yang Memperoleh Peningkatan Pendapatan Lebih Dari 75-100% Setelah Mengikuti Simantri ......................................................................................... Ratting Indikator Keberhasilan Simantri Oleh Gapoktan Yang Memperoleh Peningkatan Pendapatan Lebih Dari 50-75% Setelah Mengikuti Simantri ......................................................................................... Ratting Indikator Keberhasilan Simantri Oleh Gapoktan Yang Memperoleh Peningkatan Pendapatan Lebih Dari 25-50% Setelah Mengikuti Simantri .........................................................................................
xv
73 74 75 75 76 77 83 92 99 100 101 101 102 103 104
105 106 107 108 112 115 116
117
118
119
120
5.19
5.20 5.21 5.22 5.23 5.24 5.25 5.26 5.27 6.1 6.2 6.3 6.4 6.5 6.6 6.7 6.8
Ratting Indikator Keberhasilan Simantri Oleh Gapoktan Yang Memperoleh Peningkatan Pendapatan Lebih Dari 1-25% Setelah Mengikuti Simantri ......................................................................................... Evaluasi Model Pengukuran (Outer Model) ..................................................... Evaluasi Model Pengukuran (Outer Model) ..................................................... Pemeriksaan Validitas Diskriminan ................................................................. Nilai Reliabilitas Gabungan ............................................................................. Hasil Evaluasi Kesesuaian Model (Goodness of Fit Model) ............................. Hasil Pengujian Efek Langsung ....................................................................... Hasil Pengujian Efek Langsung Terhadap Variabel Diluar Hipotesis ............... Sebaran Responden Berdasarkan Peningkatan Pendapatan Setelah Mengikuti Simantri ............................................................................. Bobot Faktor Variabel Kualitas SDM Petani-Peternak ..................................... Bobot Faktor Variabel Kondisi Kelompok Simantri ......................................... Bobot Faktor Variabel Penerapan Usaha Peternakan Sapi ................................ Bobot Faktor Variabel Penerapan Usaha Tanaman Pangan .............................. Bobot Faktor Variabel Penerapan Usaha Pengolahan Limbah Ternak Sapi................................................................................................................. Bobot Faktor Variabel Efektivitas Penerapan Simantri ..................................... Bobot Faktor Variabel Peningkatan Pendapatan Petani-Peternak...................... Ciri-Ciri Spesifik Yang Membedakan Gapoktan Simantri Berdasarkan Besaran Peningkatan Pendapatan Yang Diperoleh Setelah Mengikuti Simantri ..........................................................................................................
xvi
121 123 124 128 128 129 131 135 138 166 169 172 174 176 177 179
195
DAFTAR GAMBAR Gambar
2.1 2.2 2.3 2.4 3.1.
4.1 5.1 5.2
Halaman
Unsur-Unsur Pada Difusi Inovasi dan Persamaan Model Komunikasi S-M-C-R-E ................................................................................................... Paradigma Inovasi dan Pengambilan Keputusan ............................................ Unsur-Unsur Utama Dalam Integrasi Crop-Livestock System (CLS) .............. Konsep Simantri (Sistem Pertanian Terintegrasi)........................................... Kerangka Konsep Penelitian Efektifitas Penerapan Simantri dan Pengaruhnya terhadap Peningkatan Pendapatan Petani-Peternak di Bali............................................................................................................... Model Empirik Penelitian ............................................................................. Lokasi Unit Simantri di Bali Tahun 2009–2012............................................. Diagram Jalur Hasil Uji Hipotesis .................................................................
xvii
14 19 35 40
64 87 97 135
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
1 2 3 4
Halaman
Validitas.......................................................................................................... Reliabilitas ...................................................................................................... Hasil Analisis Dengan Menggunakan PLS (Partial Least Square) ................... Kuesioner ........................................................................................................
xviii
214 219 225 229
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Sektor pertanian dan peternakan merupakan satu kesatuan terintegrasi yang keduanya tidak bisa dilepaskan, bahkan saling melengkapi. Pembangunan kedua sektor ini bertujuan untuk meningkatkan produksi pangan, memperluas lapangan kerja, menunjang sektor industri dan ekspor, serta diharapkan dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani-peternak. Pembangunan sektor pertanian dalam arti luas tidak dapat dilepaskan dari program ketahanan pangan nasional. Kebijakan pembangunan ketahanan pangan yang dilaksanakan Badan Ketahanan Pangan mengacu pada arah kebijakan pembangunan pertanian Kementerian Pertanian tahun 2010-2014 yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 15/Permentan/Rc.110/1/2010. Arah pembangunan ketahanan pangan juga mengacu pada hasil KTT Pangan 2009, yang antara lain menyepakati untuk menjamin pelaksanaan langkah-langkah yang mendesak pada tingkat nasional, regional dan global untuk merealisasikan secara penuh komitmen Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2000 dan Deklarasi World Food Summit (WFS) 1996, untuk mengurangi penduduk dunia yang menderita lapar dan malnutrisi hingga setengahnya pada tahun 2015. Terdapat tiga dimensi yang secara implisit terkandung di dalam ketahanan pangan, yaitu : ketersediaan pangan (food availability), stabilitas pangan (food stability), dan keterjangkauan pangan (food accessibility).
1
2
Revolusi hijau telah berjalan selama tiga dekade, disatu sisi memang membawa dampak positif yaitu telah membuat terjadinya peningkatan pada aspek produksi dan ekonomi di sektor pertanian Indonesia. Namun, disisi lain malah membuat petani ketergantungan terhadap komponen revolusi hijau (pupuk kimia, pestisida, dan benih unggul), terjadi degradasi lingkungan pertanian dan keragaman hayati serta adanya degradasi kearifan-kearifan lokal pada diri petani. Untuk mengatasi dampak negatif yang ditimbulkan dari revolusi hijau, maka muncullah sistem pertanian organik yang merupakan bagian dari sistem pertanian berkelanjutan. Untuk memaksimalkan produksi pertanian organik dan peternakan secara simultan maka dibutuhkan adopsi sistem pertanian terintegrasi. Sistem ini mengintegrasikan ternak dengan tanaman dalam satu areal untuk mengoptimalkan pemanfaatan lahan yang terbatas. Langkah ini diperlukan mengingat semakin menyusutnya lahan pertanian akibat dari meningkatnya alih fungsi lahan di Indonesia pada umumnya dan di Bali pada khususnya. Usaha tani terintegrasi antara tanaman dan ternak sudah sejak lama dilakukan oleh petani di Indonesia, begitu pun di Bali. Usaha tani ini merupakan solusi dari ketergantungan pada input dari luar karena sifatnya yang saling mengisi. Tujuan dari penerapan usaha tani dalam satu kesatuan usaha rumah tangga petani adalah untuk mengurangi risiko kegagalan panen serta memaksimalkan penerimaan. Alasan lain petani melakukan usaha tani campuran adalah karena kebiasaan (tradisi), untuk memaksimalkan penerimaan dari sumberdaya yang terbatas, dan meningkatkan manfaat keterkaitan dan keberlanjutan antar cabang usaha.
3
Keberlanjutan usaha
pertanian
dalam arti
luas
akan
tercapai apabila
memperhatikan efektivitas dan efisiensi penggunaan sumber daya dalam proses produksi. Terdapat tiga fungsi pokok yang diemban oleh model integrasi tanamanternak, yaitu : (a) memperbaiki kesejahteraan masyarakat dan mendorong pertumbuhan ekonomi, (b) memperkuat ketahanan pangan lokal, dan (c) memelihara keberlanjutan lingkungan (Sudaratmaja, 2009). Sistem integrasi tanaman pangan dengan sapi merupakan penerapan usaha tani terpadu melalui pendekatan konsep low external input. Sistem ini sangat menguntungkan karena ternak sapi selain menghasilkan kotoran sebagai pupuk organik untuk meningkatkan kesuburan tanah, juga dapat memanfaatkan rumput dan hijauan pakan yang tumbuh liar, jerami atau limbah pertanian sebagai pakan ternak. Sistem ini juga dapat menambah pendapatan rumah tangga dengan mengolah kotoran sapi menjadi kompos. Pupuk kompos selanjutnya dapat dijual kepada petani lain atau masyarakat yang membutuhkannya. Sistem integrasi tanaman-ternak sapi telah terbukti dapat meningkatkan pendapatan petani (Sariubang et al., 2003; Suwandi, 2005; Priyanti, 2007). Dengan segala keterbatasan yang dimiliki oleh pulau Bali, pengembangan sektor pertanian dan peternakan di lahan sempit dimasa mendatang harus menerapkan sistem pertanian terintegrasi. Penerapan sistem ini harus dilakukan secara lebih serius dan berkesinambungan, dengan sentuhan iptek yang dilakukan secara efektif dan efisien dalam menerapkan teknologi dari budidaya sampai pasca panen. Hal ini bertujuan untuk mengatasi alih fungsi lahan pertanian, peningkatan pendapatan petani-peternak, peningkatan populasi sapi bali dan
4
sumber hijauan pakan ternak, serta menuju ke pertanian organik yang ramah lingkungan. Langkah-langkah terobosan mulai dilakukan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Bali untuk semakin meningkatkan pemberdayaan sektor pertanian di Bali. Sesuai dengan visinya yakni Bali Mandara (Maju, Aman, Damai dan Sejahtera) maka Pemerintah Daerah Provinsi Bali mulai tahun 2009 mengadopsi model Prima Tani sebagai upaya untuk mencapai visi tersebut dalam bidang pertanian. Adopsi model Prima Tani dalam program sistem sertanian terintegrasi (Simantri) ditindaklanjuti dengan nota kesepahaman (MoU) antara Badan Litbang Pertanian dengan Pemerintah Daerah Provinsi Bali No:075/12/KB/B.PEM/2009 dan No:680/HM.240/I.10/09 pada tanggal 28 Oktober 2009 dengan tindak lanjut pengembangan model pertanian terintegrasi secara berkelanjutan. Untuk meningkatkan dukungan Pemerintah Daerah Tingkat II ditindaklanjuti dengan MoU antara gubernur dengan bupati se-Bali, sehingga dalam pembangunan pertanian diharapkan dapat bersinergi (BPTP Bali, 2011). Simantri diarahkan pada model percontohan dengan dana kurang lebih 200 juta rupiah dalam bentuk bansos di setiap lokasi Simantri. Alokasi dana sebagian besar untuk pengadaan ternak sapi bali betina (masing-masing 20 ekor), kandang koloni, rumah pengolahan kompos, instalasi biourine, biogas dan rumah pakan (gudang awetan pakan), sedangkan sebagian kecil dana dimanfaatkan untuk pengadaan benih atau bibit tanaman pangan, perkebunan serta pada beberapa lokasi yang memiliki potensi perikanan, selain itu dana juga dimanfaatkan untuk pembuatan kolam dan pembelian benih ikan. Kegiatan awal yang dilakukan yaitu
5
kegiatan budidaya (ternak sapi tanaman sesuai potensi daerah), pengolahan limbah tanaman untuk pakan ternak, pengolahan limbah ternak menjadi pupuk organik (kompos) dan biogas serta pemanfaatannya, menuju kepada kelompok yang mandiri pangan, pakan, pupuk organik dan energi (biogas). Dengan tumbuhnya kegiatan produktif juga diharapkan akan mampu menumbuhkan simpul agribisnis (AIP) serta berkembangnya kelembagaan keuangan mikro (koperasi) (Dinas Pertanian Tanaman Pangan, 2010). Maksud
dan
tujuan
kegiatan
Simantri
adalah
:
(1)
mendukung
berkembangnya diversifikasi usaha pertanian secara terpadu dan berwawasan agribisnis; (2) sebagai salah satu upaya pengentasan kemiskinan, pengurangan pengangguran, mendukung pembangunan ramah lingkungan, Bali bersih dan hijau (clean and green) serta program Bali Organik menuju“Bali Mandara”; (3) mengintegrasikan tanaman dan ternak dengan kelengkapan : unit pengolah kompos, pengolah pakan, instalasi bio urine dan biogas; (4) dilaksanakan secara bertahap dan berkelanjutan dengan target peningkatan pendapatan petani pelaksana, minimal dua kali lipat dalam 4-5 tahun ke depan. Kemiskinan petani-peternak dicirikan dengan rendahnya kepemilikan lahan garapan yakni rata-rata seluas 0,34 ha (Budiasa, 2011). Kemiskinan menyebabkan rendahnya tingkat pendidikan petani-peternak yang berpengaruh terhadap tingkat adopsi inovasi, serta penguasaan iptek dalam bidang pertanian dalam arti luas. Hanya dengan ipteklah maka efisiensi usaha pertanian atau peternakan dapat dilakukan. Disisi lain keterbatasan modal, kurang berwawasan agribisnis, serta tatalaksana pemeliharaan yang masih tradisional merupakan penyebab rendahnya
6
produktivitas dan diversifikasi usaha tani (Utomo et al., 1999). Berdasarkan hasil survei sosial ekonomi nasional yang dilakukan pada bulan maret 2013 diperoleh jumlah penduduk miskin di Provinsi Bali sebesar 162.500 jiwa atau 3,95% (BPS, 2013). Pengadaan sapi bali betina pada program Simantri diharapkan akan mampu meningkatkan populasi sapi bali. Selama ini kontinuitas penyediaan sapi potong dari Bali belum dapat dipertahankan, hal ini disebabkan masih rendahnya usaha dibidang perbibitan sapi bali di Bali yang mengakibatkan perkembangan populasi sapi bali di Bali setiap tahunnya terus mengalami fluktuasi. Populasi sapi bali di Bali pada tahun 2009 tercatat 675.419 ekor, dalam empat tahun terakhir meningkat rata-rata 3,475 persen setiap tahunnya. Sedangkan peningkatan sapi Bali dari tahun 2009 ke tahun 2010 adalah sebesar 1,24 persen yaitu tercatat 683.800 ekor akan tetapi berdasarkan hasil sensus ternak tahun 2011 populasi pada tahun 2011 menjadi 637.473 ekor atau berkurang sekitar 6, 77 persen (BPS Provinsi Bali, 2012). Pada tahun 2009, awal terbentuknya Simantri baru terdapat 10 unit Simantri, selanjutnya tahun 2010 terdapat penambahan 40 unit, 2011 bertambah 150 unit, 2012 ditambah lagi 125 unit, sehingga total hingga tahun 2012 terdapat 325 unit Simantri di seluruh Bali. Sasaran akhir program Simantri adalah alih teknologi kepada petani sehingga tercipta petani yang tangguh dan mandiri melalui tumbuhnya usahatani produktif (Dinas Pertanian Tanaman Pangan, 2010). Tingkat penerapan Simantri oleh petani-peternak akan baik apabila, program tersebut memang dibutuhkan oleh petani-peternak di Bali untuk memecahkan masalah
7
yang sedang mereka hadapi. Selain kemampuan inovasi, tingkat penerapan suatu inovasi pertanian-peternakan akan dipengaruhi pula oleh sikap petani itu sendiri. Sikap petani terhadap suatu inovasi teknologi dipengaruhi oleh faktor internal individu (karakteristik kepribadian individu) dan faktor eksternal (faktor-faktor di luar diri individu) (Mar’at, 1984). Lebih lanjut dikatakan, faktor-faktor eksternal seperti : norma-norma, kebiasaan, komunikasi sosial, interaksi sosial, dan belajar sosial individu petani dalam sistem sosial lebih dominan mempengaruhi sikap dan keputusan petani terhadap suatu inovasi. Faktor utama yang paling menentukan dan menimbulkan semangat petanipeternak dalam menerapkan inovasi adalah adanya peningkatan pendapatan. Bunch (2001) mengatakan bahwa teknologi yang pertama kali dianjurkan program harus dapat meningkatkan penghasilan petani sebesar 50%-150%. Kecepatan adopsi inovasi akan berjalan lebih cepat, apabila teknologi baru tersebut memberikan keuntungan yang relatif lebih besar dari nilai yang dihasilkan teknologi lama. Hal ini senada dengan Budiasa (2011) yang mengatakan bahwa secara ekonomi rasional teknologi baru akan diadopsi oleh petani, jika teknologi tersebut memberikan tingkat keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan teknologi sebelumnya. Untuk mempercepat laju alih teknologi pertanianpeternakan oleh pemerintah kepada petani-peternak di pedesaan, maka sistem pendampingan dan interakasi komunikasi antar anggota kelompok harus berjalan secara efektif. Efektivitas pelaksanaan program Simantri yang didalamnya terdapat efisiensi usaha diharapkan mampu memberikan hasil nyata terhadap peningkatan pendapatan petani-peternak.
8
Program Simantri telah berjalan sekitar empat tahun, dan telah sepenuhnya diserahterimakan kepada petani-peternak anggota Gapoktan Simantri. Fakta dilapangan menunjukkan, masih banyak ditemui masalah dalam penerapan program ini. Terdapat ketimpangan antara maksud dan tujuan kegiatan Simantri dengan kenyataan kondisi Gapoktan Simantri saat ini. Masih ditemui sapi induk yang kurus, majir, pengolahan limbah ternak sapi menjadi pupuk organik padat dan cair yang belum optimal, sampai dengan kegagalan Gapoktan Simantri dalam menjaga
eksistensinya.
Peningkatan
pendapatan
petani-peternak
anggota
Gapoktan Simantri nampaknya dipengaruhi oleh efektivitas penerapan program ini. Bercermin dari permasalahan pada penerapan program ini di lapangan, menarik kiranya bagi penulis untuk mengamati lebih jauh bagaimana tingkat penerapan
Simantri
oleh
petani-peternak
beserta
faktor-faktor
yang
mempengaruhinya serta pengaruh tingkat penerapan terhadap efektivitas pelaksanaan program ini dalam meningkatkan pendapatan petani-peternak di Bali. Mengingat adopsi inovasi dalam program Simantri bersifat intervensi dari Pemprov Bali selaku pengelola kepada anggota Gapoktan Simantri sebagai pelaksana program ini.
9
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian yang telah disampaikan diatas, maka masalah yang dapat dirumuskan adalah : 1. Bagaimana kondisi tingkat penerapan Simantri di Bali saat ini ? 2. Bagaimana pengaruh kualitas SDM petani-peternak dan kondisi Gapoktan Simantri terhadap penerapan usaha peternakan sapi, penerapan usaha tanaman pangan, dan penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi ? 3. Bagaimana efektivitas penerapan Simantri ? 4. Faktor mana yang berpengaruh paling dominan diantara penerapan usaha peternakan sapi, penerapan usaha tanaman pangan, dan penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi terhadap efektivitas penerapan Simantri ? 5. Bagaimana pengaruh efektivitas penerapan Simantri terhadap pendapatan petani-peternak ?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan penelitian, maka dirumuskan tujuan penelitian sebagai berikut : 1
Mengetahui kondisi tingkat penerapan Simantri di Bali.
2
Menganalisis pengaruh kualitas SDM petani-peternak dan kondisi Gapoktan Simantri terhadap penerapan usaha peternakan sapi, penerapan usaha tanaman pangan, dan penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi.
3
Mengetahui efektivitas penerapan Simantri.
10
4
Menganalisis pengaruh yang paling dominan diantara penerapan usaha peternakan sapi, penerapan usaha tanaman pangan, dan penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi terhadap efektivitas penerapan Simantri.
5
Menganalisis pengaruh efektivitas penerapan Simantri terhadap pendapatan petani-peternak.
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu memberikan berbagai manfaat sebagai berikut : 1. Bagi petani, diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan penting untuk lebih meningkatkan efisiensi usahanya dalam meningkatkan pendapatannya di masa yang akan datang khususnya
dalam bidang
pertanian terintegrasi (integrated farming). 2. Bagi perkembangan ilmu pengetahuan bidang sosial ekonomi, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan dalam melakukan kajian lebih lanjut mengenai efektivitas pelaksanaan program Simantri dalam upaya meningkatkan pendapatan petani-peternak di Bali . 3. Bagi pembuat keputusan dalam hal ini Pemerintah Daerah Provinsi Bali,
diharapkan dapat memberikan masukan mengenai perbaikan yang dapat dilakukan dimasa mendatang agar program Simantri dapat lebih bernilai dan tepat sasaran seperti yang telah direncanakan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Adopsi Inovasi Penerapan teknologi di lapang sangat ditentukan oleh pengetahuan dan keterampilan peternak. Kebiasaan peternak dalam tata laksana atau manajemen pemeliharaan sapi Bali yang dilakukan secara turun-temurun menyebabkan lambatnya penyerapan teknologi baru yang dianjurkan. Beda halnya dengan penggunaan kompos oleh petani dalam sistem integrasi ternak sapi-tanaman. Menurut
Priyanti
(2007),
penggunaan
kompos
oleh
petani
cenderung
mempengaruhi keputusan mereka untuk mengadopsi sistem integrasi ternak sapitanaman. Hal ini karena petani menyadari pentingnya pupuk kompos dalam memperbaiki struktur tanah sehingga hasil padi meningkat. Penyuluhan pertanian akan selalu mengutamakan teknologi baru yang tepat guna, dan teknologi baru ini dikembangkan kepada para petani sesuai dengan kebutuhan para petani, guna meningkatkan produktivitas usahataninya. Peran penyuluh sebagai mata rantai yang menghubungkan antara penelitian dan petani. Sama halnya dengan program Simantri di Bali peranan tenaga pendamping berperan besar dalam membantu petani-peternak anggota Gapoktan Simantri dalam menerapkan inovasi dari program ini. Inovasi sering berkembang dari penelitian dan juga dari petani. Pengalaman menunjukkan bahwa inovasiinovasi dan pengetahuan yang dikembangkan secara lokal tidak dapat dipindahkan melalui pendekatan alih teknologi konvensional, lebih baik dilakukan dengan “peningkatan skala” inovasi yang khusus dibuat untuk konteks-konteks berbeda,
11
12
dan harus selalu dimasukkan elemen-elemen desain ulang, yang mencakup proses-proses pembelajaran dan negosiasi baru sehingga tidak harus dilihat semata-mata sebagai “diseminasi” (Leeuwis, 2009). Adopsi merupakan hasil dari kegiatan penyampaian pesan penyuluhan yang berupa inovasi, sehingga proses adopsi tersebut dapat digambarkan sebagai suatu proses komunikasi yang diawali dengan penyampaian inovasi sampai terjadinya perubahan perilaku (Mardikanto, 1988). Penerimaan inovasi oleh seseorang atau individu mengandung arti tidak sekedar tahu, tetapi sampai benar-benar dapat melaksanakan atau menerapkannya dalam kehidupan dan usaha taninya (Mardikanto, 1988). Sedangkan, Kartasapoetra (1987) menyatakan bahwa adopsi dalam proses penyuluhan pada hakekatnya dapat diartikan sebagai proses perubahan perilaku pada diri seseorang baik yang berupa cara berpikir, cara kerja, pengetahuan, dan sikap mentalnya yang lebih terarah dan lebih menguntungkan, baik bagi dirinya beserta keluarga maupun lingkungannya. Disisi lain, Lionberger dan Gwin (1982) mengartikan inovasi tidak sekedar sebagai sesuatu yang baru, tetapi lebih luas daripada itu, yakni sesuatu yang dinilai baru atau dapat mendorong terjadinya pembaharuan dalam masyarakat atau pada lokalitas tertentu. Pengertian “baru” di sini, mengandung makna bukan sekedar “baru diketahui” oleh pikiran (kognitif), akan tetapi juga baru karena belum dapat diterima secara luas oleh seluruh warga masyarakat dalam arti sikap, dan juga baru dalam pengertian belum diterima dan dilaksanakan atau diterapkan oleh seluruh warga masyarakat setempat.
13
Pengertian inovasi tidak hanya terbatas pada benda atau barang hasil produksi saja, tetapi mencakup ideologi, kepercayaan, sikap hidup, informasi, perilaku atau gerakan-gerakan kepada perubahan di dalam segala bentuk kehidupan masyarakat. Mardikanto (1988) mengemukakan pengertian inovasi secara luas dapat diartikan sebagai suatu ide, perilaku, produk, informasi dan praktek-praktek baru yang belum banyak diketahui, diterima, digunakan, diterapkan atau dilaksanakan oleh sebagian besar masyarakat dalam suatu lokalitas tertentu, yang dapat digunakan atau mendorong terjadinya perubahan-perubahan di segala aspek kehidupan masyarakat, demi selalu terwujudnya perbaikan mutu kehidupan setiap individu dan seluruh warga masyarakat bersangkutan. Kenyataan dilapangan, seseorang biasanya tidak menerima begitu saja ide-ide atau teknologi baru pada saat pertama kali mendengarnya sering terjadi adanya waktu penundaan yang lama antara saat pertama kali petani mendengar suatu inovasi dengan periode melakukan adopsi. Kecepatan adopsi juga dipengaruhi oleh aktivitas yang dilakukan penyuluh untuk mempromosikan inovasinya. Semakin rajin penyuluh menawarkan inovasi, proses adopsi akan semakin cepat pula. Tetapi sebelum inovasi diterima dan diterapkan oleh masyarakat secara keseluruhan, terlebih dahulu anggota masyarakat akan mengalami penyesuaian yang kemudian dapat meyakini bahwa inovasi yang diterima dan diterapkan adalah inovasi yang sesuai dengan keinginan penerimanya. Dikatakan pula suatu inovasi akan diterima dan membawa perubahan sikap pada suatu masyarakat, bila inovasi tersebut sesuai dengan kebutuhan pada saat itu. Inovasi yang telah tersebar dimasyarakat dapat dikatakan sebagai proses difusi inovasi. Rogers dan
14
Shoemaker (1971) menyebutkan bahwa difusi merupakan proses penyebaran inovasi ke anggota dari sistem sosial. Sumber dan saluran informasi jarang dibedakan dalam riset tentang difusi. Unsur-unsur dari saluran komunikasi yang sejenis dalam riset tentang difusi, seperti sumber dan saluran informasi umumnya menggunakan model S-M-C-R-E (Rogers dan Shoemaker, 1971). Lebih lanjut dikatakan unsur-unsur pada difusi inovasi dan persamaan model komunikasi S-MC-R-E dapat digambarkan seperti pada Gambar 2.1 dibawah ini.
Gambar 2.1 Unsur-Unsur Pada Difusi Inovasi dan Persamaan Model Komunikasi S-M-C-R-E Unsur- unsur pada Model S-M-C-R-E
Sumber (Source)
Pesan (Massage)
Saluran (Channel)
Penerima (Receiver)
Unsur- unsur pada Difusi Inovasi
Pencipta, Ilmuwan, Agen Perubah, Pendapat Pemimpin
Inovasi dengan atribut: Keuntungan relatif, Kompatabilitas, dll
Saluran Anggota dari Komunikasi sistem sosial (Media massa, Hubungan antar pribadi)
Dampak (Effects)
Konsekuensi dari waktu ke waktu 1. Pengetahuan 2. Perubahan sikap (Persuasi) 3. Perubahan perilaku (menerima atau menolak
Sumber : Roger dan Shoemaker (1971) Dalam usaha penyebaran inovasi, peran agen pembaru dan pemuka pendapat sangatlah penting dalam mempengaruhi sikap dan tingkah laku orang lain dan bertindak dalam cara tertentu sampai pada tahap pengambilan keputusan. Tentunya dibutuhkan pengetahuan yang lebih terhadap sebuah inovasi dibanding hanya kesadaran tentang inovasi. Tingkat pengetahuan seseorang sangat penting
15
sebagai basis untuk pengambilan keputusan yang efektif, baik ia menerima atau menolak sebuah inovasi (Rogers dan Shoemaker, 1971). Adopsi merupakan tujuan akhir dari komunikasi, sehingga proses adopsi juga berlangsung bertahap sesuai dengan tahapan komunikasinya. Van Den Ban dan Howkins (1999) serta Roger dan Shoemaker (1971) mengatakan bahwa sesuai dengan model pengambilan keputusan normatif tahap-tahap berikut ini sering digunakan untuk menganalisis proses difusi inovasi : 1. Kesadaran (Awareness), merupakan tahap saat seseorang untuk pertama kalinya tahu atau sadar tentang sesuatu yag baru (inovasi). 2. Minat (Interest), merupakan tahap seseorang mulai mengembangkan minatnya serta mencari informasi lebih lanjut untuk melaksanakan adopsi inovasi. 3. Evaluasi (Evaluation), merupakan tahap seseorang mengevaluasi atau telah mendapatkan informasi dan bukti yang telah dikumpulkan pada tahapan-tahapan sebelumnya, menimbang manfaat dan kekurangan penggunaan inovasi untuk menentukan apakah ide tersebut akan diadopsi atau tidak. 4. Mencoba (Trial), yaitu tahap seseorang mulai menuangkan buah pikirannya tentang minat dan evaluasi tentang ide baru dalam suatu kenyataan yang dilakukan dengan mencoba sendiri inovasi pada skala kecil. 5. Adopsi (Adoption), merupakan tahap seseorang telah memutuskan bahwa ide baru yang dipelajari cukup baik untuk diterapkan dalam skala yang
16
lebih
luas
atau
menerapkan
inovasi
pada
skala
besar
setelah
membandingkan dengan metode lama. Tidak terdapat cukup fakta yang membuktikan adanya tahap-tahap ini dijalankan
secara utuh dalam
seseorang
mengambil keputusan,
dalam
kenyataanya, keputusan sering dibuat kurang rasional dan sistematis. Tahap-tahap adopsi inovasi program Simantri oleh petani-peternak anggota Simantri di Bali cenderung hanya melalui tahap kesadaran (awareness), minat (interest), dan adopsi (adoption). Rogers dan Shoemaker (1971) menyimpulkan bahwa dalam proses adopsi hanya dua tahap yang dianggap paling penting yaitu kesadaran (awareness) dan adopsi (adoption). Tahap kesadaran akan suatu inovasi akan selalu terjadi sebelum adanya tahap adopsi. Setiap orang tidak mengadopsi inovasi pada tingkat yang sama, ada orang yang melakukannya bahkan setelah bertahun-tahun. Seorang petani dalam proses pengambilan keputusan untuk mengadopsi suatu teknologi baru yang sesuai dengan kebutuhan usaha taninya akan dipengaruhi oleh intelektulitas pribadinya serta pengaruh dari pihak atau orang lain. Hasil penelitian Priyanti (2007) menunjukkan keikutsertaan anggota keluarga dalam organisasi pertanian mempengaruhi petani-peternak untuk mengadopsi sistem integrasi sapi-tanaman. Pembentukan kelompok tani memberikan peluang bagi petani-peternak untuk merespons inovasi usaha tani integrasi. Selain itu, usaha ternak sapi dengan berkelompok akan memperkuat posisi tawar petani-peternak dalam penjualan ternak (Fagi et al., 2004; Fagi dan Kartaatmadja, 2004).
17
Proses adopsi inovasi sebenarnya menyangkut pengambilan keputusan yang dipengaruhi oleh banyak faktor (Soekartawi, 1988). Selanjutnya Roger dan Shoemaker (1971) dan Samsudin (1987) menyatakan bahwa adopsi inovasi adalah suatu proses mental yang terjadi pada diri individu dari saat dia mengetahui sesuatu yang baru (inovasi) sampai dia menerapkan inovasi tersebut. Van Den Ban dan Howkins (1999) mengatakan pengadopsian biasanya dibagi menjadi lima kategori adopter menurut angka yang diperoleh dari perhitungan indeks adopsi, yaitu : 1. Kelompok pelopor (innovator)
: 2,5 %
2. Kelompok penerap awal (early adopter)
: 13,5%
3. Kelompok penganut dini (early majority)
: 34,0 %
4. Kelompok penganut lambat (late majority)
: 34,0%
5. Kelompok penolak (laggard)
: 16,0%
Adopsi inovasi pola Simantri di Bali oleh petani-peternak anggota Simantri sebenarnya tidak dapat di kategorikan seperti lima kategori adopter seperti diatas. Kebijakan Simantri yang dikeluarkan oleh Pemda Bali pada tahun 2009 lebih bersifat intervensi inovasi kepada Gapoktan yang ada di Bali untuk membuat Gapoktan pelaksana kegiatan Simantri dan melaksanakan program ini. Agar cepat terjadinya alih tehnologi atau adopsi inovasi Simantri Pemda Bali mengemas program ini dalam bentuk bansos (bantuan sosial). Leeuwis (2009) mengatakan kategorisasi petani seperti “pertanian pemula”, “pengikut”, “pengadopsi awal”, “pengadopsi belakangan” dan “mereka yang terlambat mengadopsi” (Roger, 1983) mencerminkan bahwa setiap orang bergerak
18
ke arah yang sama, bahkan sejumlah orang mungkin dapat melakukannya dengan lebih cepat dibandingkan yang lain. Selanjutnya dikatakan pada tahun-tahun belakangan ini, banyak studi yang mengindikasikan bahwa gagasan ini keliru. Van Den Ban dan Howkins (1999) serta Roger dan Shoemaker (1971) menyampaikan bahwa model adopsi yang lebih sempurna dengan menyatakan bahwa ada empat fungsi atau tahapan adopsi yang merupakan proses pengambilan keputusan mengenai inovasi yaitu : 1.
Fungsi pengetahuan; merupakan tahapan adopsi yang memberikan penambahan pengetahuan seseorang tentang adanya inovasi.
2.
Fungsi persuasif atau penghimbauan; komunikan melakukan renungan dalam dirinya sendiri guna menentukan sikapnya terhadap inovasi tersebut (pembentukan dan pengubahan sikap).
3.
Fungsi pengambilan keputusan atau implementasi; komunikan akan menerima atau menolak inovasi berdasarkan sikapnya mendukung atau tidak.
4.
Fungsi konfirmasi; seseorang menilai kembali keputusannya untuk menerima inovasi yang telah ditetapkan pada tahap sebelumnya. Kemungkinan yang terjadi adalah ia tidak melanjutkan atau terus melanjutkan penerimaan atas inovasi tersebut.
Adapun empat fungsi atau tahapan adopsi yang merupakan proses dari pengambilan keputusan mengenai inovasi akan diuraikan secara lebih pada Gambar 2.2 berikut ini.
19
Gambar 2.2. Paradigma Inovasi dan Pengambilan Keputusan Permulaan (Antecedents)
Proses (Process)
Konsekuensi (Consequences) Adopsi Berlanjut Adopsi Adopsi Tidak Berlanjut
Sumber Komunikasi
Variabel Penerima 1. Karakteristik Pribadi 2. Karakteristik Sosial
1. Penggantian 2. Kekecewaan Pengetahuan I
Bujukan/Persuasi II
Keputusan III
Konfirmasi IV
3. Kebutuhan Terhadap Inovasi 4. Dan lain-lain Variabel Sistem Sosial 1. Norma Sistem Sosial 2. Toleransi 3. Komunikasi yang Terintegrasi 4. Dan lain-lain
Karakteristik Inovasi 1. Keuntungan Relatif 2. Kecocokan 3. Kompleksitas 4. Trialabilitas 5. Mudah Diamati
Adopsi Kemudian Penolakan Penolakan Berlanjut
Waktu (Time)
Sumber : Roger dan Shoemaker (1971) Ada berbagai faktor yang mempengaruhi cepat lambatnya proses adopsi inovasi yaitu : sifat inovasi, jenis keputusan inovasi, saluran komunikasi, ciri-ciri sistem sosial dan gencarnya agen pembaru dalam mempromosikan inovasi (Rogers dan Shoemaker, 1971). Ditinjau dari sifat-sifat inovasi, ada lima macam sifat inovasi yang mempengaruhi kecepatan adopsi suatu inovasi, yaitu: 1) keuntungan relatif, adalah tingkatan yang menunjukkan suatu ide baru dianggap suatu yang lebih baik daripada ide-ide yang ada sebelumnya. Tingkat keuntungan relatif seringkali dinyatakan dengan atau dalam bentuk keuntungan ekonomis; 2) kompabilitas (keterhubungan inovasi dengan situasi klien), adalah sejauh mana
20
suatu inovasi dianggap konsisten dengan nilai-nilai yang ada, pengalaman masa lalu dan kebutuhan penerima. Ide yang tidak kompatibel dengan ciri-ciri sistem sosial yang menonjol akan tidak diadopsi secepat ide yang kompatibel; 3) kompleksitas (kerumitan inovasi), adalah tingkat di mana suatu inovasi dianggap relatif sulit untuk dimengerti dan digunakan, 4) triabilitas (dapat dicobanya suatu inovasi), adalah suatu tingkat di mana suatu inovasi dapat dicoba dengan skala kecil, 5) observabilitas (dapat diamatinya suatu inovasi), adalah tingkat di mana hasil-hasil suatu inovasi dapat dilihat oleh orang lain (Rogers, 2003).
2.2 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Penerapan Inovasi Ada beberapa faktor yang berhubungan dengan tingkat penerapan inovasi, seperti halnya tingkat penerapan Simantri di Bali. Faktor-faktor itu dijelaskan berikut ini : 2.2.1 Umur Lionberger dan Gwin (1982) dan Mardikanto (1993) menyatakan semakin tua umur seseorang, ia semakin lambat untuk mengadopsi inovasi dan cenderung melaksanakan kegiatan-kegiatan yang sudah biasa diterapkan oleh masyarakat setempat. Robbins dan Judge (2008) mengatakan bahwa ada sejumlah kualitas positif yang dibawa para pekerja lebih tua pada pekerjaan mereka khususnya : pengalaman, pertimbangan, etika kerja yang kuat, dan komitmen terhadap mutu. tetapi para pekerja lebih tua juga dipandang kurang memiliki fleksibelitas dan sering menolak teknologi baru.
21
Lebih lanjut Soekartawi (1988) menyatakan makin muda petani, biasanya mereka akan makin mudah menerapkan inovasi, karena mereka mempunyai semangat untuk ingin tahu apa yang belum mereka ketahui untuk mengadakan perubahan dalam usaha tani. Pendapat ini diperkuat oleh Rogers dan Shoemaker (1971) yang menyatakan bahwa petani yang muda akan semakin cepat mengadopsi inovasi, karena mereka lebih berani menanggung risiko. Faktor umur dan usia kerja juga sangat berpengaruh terhadap penerimaan teknologi baru. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa petani yang lebih tua mempunyai masalah yang berbeda daripada yang berusia setengah tua dan yang lebih muda (Soekartawi, 1988). Namun perlu diingat ada suatu keyakinan bahwa produktivitas merosot dengan makin tuanya seseorang. Sering diandaikan keterampilan seorang individu terutama kecepatan, kecekatan, kekuatan, dan koordinasi menurun dengan berjalannya waktu, dan bahwa kebosanan pekerjaan yang berlarut-larut dan kurangnya rangsangan intelektual semuanya menyumbang pada berkurangnya produktivitas (Wahjono, 2010). Selanjutnya dikatakan pula, bagaimanapun juga jika pekerja yang lebih tua kecil kemungkinan untuk berhenti kerja, serta mereka menunjukkan kemantapan yang lebih tinggi dengan bekerja secara lebih teratur.
2.2.2 Pendidikan formal Pengembangan usaha ternak sapi sebagai usaha keluarga dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling terkait, antara lain pendidikan, penggunaan input, pemasaran, kredit, kebijakan, perencanaan, penyuluhan, dan penelitian (Pambudy
22
1999). Pendidikan merupakan faktor penting untuk mempercepat proses perkembangan inovasi. Pendidikan formal adalah pendidikan yang sifatnya melembaga, yang pelaksanaannya sesuai dengan perkembangan seseorang (Gerungan, 1980). Petani yang tingkat pendidikannya relatif lebih tinggi dan relatif lebih muda, akan lebih dinamis dan lebih mudah untuk mempertimbangkan hal-hal baru. Pendidikan formal berhubungan erat dengan kemampuan intelektual. Wahjono (2010) mengatakan bahwa kemampuan intelektual adalah kemampuan yang diperlukan untuk menjalankan kegiatan mental. Tujuh dimensi yang paling sering dikutip yang membentuk kemampuan intelektual adalah kemahiran berhitung, pemahaman (comprehension) verbal, kecepatan perceptual, penalaran induktif, penalaran deduktif, visualisasi ruang, dan ingatan (memori). Soekartawi (1988) mengemukakan bahwa mereka yang berpendidikan lebih tinggi akan relatif lebih cepat menerapkan inovasi, begitu pula sebaliknya, mereka yang berpendidikan lebih rendah agak sulit untuk menerapkan inovasi ini dengan cepat. Berdasarkan hasil penelitian Yudiani (1996) didapatkan bahwa tingkat penerapan inovasi oleh petani berhubungan sangat nyata dengan pendidikan formalnya. Gapener, 1964 (dalam Nuraini, 1984) menyatakan bahwa pendidikan merupakan faktor penting untuk mempercepat proses penerapan inovasi. Pendidikan anggota rumah tangga petani-peternak dapat mempengaruhi keputusan produksi. Chavas et al. (2005) dalam penelitiannya memasukkan pendidikan dalam menganalisis karakteristik rumah tangga dan usaha tani. Makin tinggi tingkat pendidikan, makin mudah anggota keluarga mengadopsi teknologi
23
sehingga mereka dapat meningkatkan produksi secara rasional untuk mencapai keuntungan yang maksimum. Gould dan Saupe (1989) menganalisis umur, pendidikan, dan pelatihan sebagai variabel yang mempengaruhi produktivitas tenaga kerja dalam off-farm, pekerjaan usaha tani dan rumah tangga. Pelatihan termasuk pula penyuluhan bertujuan mengubah perilaku sumber daya petanipeternak ke arah yang lebih baik.
2.2.3 Pendidikan non formal Pendidikan non formal adalah jalur pendidikan di luar jalur pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Suhardiyono (1992) mengatakan bahwa pendidikan non formal adalah pengajaran sistematis yang diorganisir di luar sistem pendidikan formal bagi sekelompok orang untuk memenuhi keperluan khusus. Pendidikan non formal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah atau pelengkap pendidikan formal. Pendidikan non formal yang diterima petani-peternak biasanya berupa penyuluhan oleh tenaga penyuluh lapangan. Kartasapoetra (1987) menyatakan bahwa penyuluhan merupakan suatu sistem pendidikan yang bersifat non formal atau suatu sistem pendidikan di luar sistem persekolahan yang biasa. Penyuluhan pertanian berfungsi untuk mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian professional.
24
Pada program Simantri petani-peternak anggota Gapoktan Simantri diberikan pendidikan non formal secara berkala melalui program bintek (bimbingan teknis) serta pendampingan dari SKPD terkait yang berfungsi sebagai penyuluh lapangan.
2.2.4 Pengetahuan Setiap orang mempunyai kekuatan dan kelemahan dalam hal kemampuan yang membuatnya relatif unggul atau rendah dibandingkan orang-orang lain dalam melakukan tugas atau kegiatan tertentu. Jahi (1989) menyatakan bahwa pengetahuan menekankan pada usaha untuk membuat seseorang yang belum mengetahui adanya sesuatu menjadi mengetahuinya, sedangkan Wahyu (1986) menyatakan bahwa pengetahuan merupakan produk dari kegiatan berpikir manusia. Sutrisna dan Nuraini (1987) menyatakan bahwa pengetahuan seseorang tentang suatu inovasi serta sikapnya terhadap inovasi tersebut menentukan kesiapannya untuk melaksanakan inovasi tersebut, serta dengan sikap yang positif lebih bisa diharapkan dari seseorang untuk menerapkan suatu inovasi. Lebih lanjut Supriyanto (1978) menyebutkan bahwa pengetahuan petani juga sangat menunjang kelancaran petani dalam mengadopsi suatu inovasi maupun kelanggengan usahataninya. Rogers dan Shoemaker (1971) membagi tiga tipe pengetahuan dalam tahap pengenalan suatu inovasi, yaitu :
25
a. Pengetahuan kesadaran akan adanya inovasi yang dapat menyebabkan timbulnya kebutuhan, sehingga dengan adanya pengetahuan ini akan dapat menumbuhkan motivasi mereka untuk mengadopsinya. b. Pengetahuan teknis meliputi informasi yang diperlukan mengenai cara penggunaan dan pelaksanaan suatu inovasi. c. Pengetahuan prinsip adalah pengetahuan yang berkenaan dengan prinsipprinsip berfungsinya suatu inovasi, sehingga petani akan lebih mudah mengadopsi inovasi karena petani mampu meramal kegunaan dari inovasi tersebut dalam jangka panjang.
2.2.5 Sikap Sikap (attitude) adalah salah satu faktor yang mempengaruhi pembentukan perilaku (Wursanto, 2002). Sikap berhubungan dengan keadaan mental seseorang dalam menghadapi objek tertentu (orang dan lingkungan) yang mempunyai pengaruh tertentu atas tanggapan seseorang, yang disertai dengan kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan pandangan atau tanggapan terhadap objek tertentu tadi. Beberapa ciri dari sikap adalah : Sikap tidak dibawa sejak lahir, melainkan dibentuk melalui pengalaman, pelajaran yang diperoleh sepanjang hidup; Sikap tidak hanya berkenaan dengan berbagai objek; Sikap dapat berubah-ubah, karena sikap dapat dipelajari. Sebelum seseorang mengadopsi inovasi, terlebih dahulu harus mengalami tahap-tahapan seperti menyadari, meminati, menilai dan mencoba inovasi tersebut. Sarwono dan Meinarno (2009) mengatakan bahwa sikap adalah konsep
26
yang dibentuk oleh tiga komponen, yaitu kognitif, afektif, dan konatif. Komponen kognitif berisi semua pemikiran serta ide-ide yang berkenaan dengan objek sikap, dapat berupa tanggapan atau keyakinan, kesan, atribusi, dan penilaian tentang objek sikap tadi; komponen afektif merupakan pernyataan perasaan mengenai sesuatu apabila dihadapkan pada obyek sikap; dan komponen konatif merupakan kecenderungan untuk berbuat yang merupakan pernyataan intensi perilaku (Sarwono dan Meinarno, 2009). Van Den Ban dan Howkins (1999) mengatakan
bahwa sikap dapat di
definisikan sebagai perasaan, pikiran, dan kecenderungan seseorang yang lebih bersifat
permanen
mengenai
aspek-aspek
tertentu
dalam
lingkunannya.
Komponen-komponen sikap adalah pengalaman, perasaan, dan kecenderungan untuk bertindak. Lebih mudahnya, sikap adalah kecondongan evaluatif terhadap suatu objek atau subjek yang memiliki konsekuensi yakni bagaimana seseorang bereaksi secara emosi terhadap subjek tertentu. Sedangkan Winardi (2004) lebih menekankan pada keadaan siap mental, yang dipelajari dan diorganisasi menurut pengalaman, dan menyebabkan timbulnya pengaruh khusus atas reaksi seseorang terhadap orang-orang, objekobjek, dan situasi-situasi dengan siapa ia berhubungan. Selanjutnya dijelaskan dari difinisi tentang sikap diatas akan menimbulkan implikasi-implikasi yaitu : (1) Sikap dipelajari, (2) Sikap menentukan predisposisi seseorang terhadap aspekaspek tertentu, (3) Sikap memberikan landasan emosional dari hubunganhubungan antar pribadi seseorang, (4) Sikap erat sekali dengan inti kepribadian.
27
Selanjutnya Soedijanto (1980) menyatakan bahwa sikap sebenarnya merupakan fungsi dari kepentingan, artinya sikap seseorang sangat ditentukan oleh kepentingan-kepentingan yang dirasakan. Kegiatan penyuluhan pertanian merupakan salah satu dari kegiatan untuk mengubah sikap petani agar menerapkan
inovasi
yang
dapat
menaikkan
produktivitas
usahataninya
(Lionberger dan Gwin, 1982). Effendi dan Praja (1984) menyatakan sikap seseorang terhadap inovasi pada umumnya digunakan untuk memprediksi perilaku berkenaan dengan inovasi tersebut. Selanjutnya Soekartawi (1988) menyatakan bahwa petani kecil lamban mengubah sikapnya dalam menerapkan inovasi, sebab mereka khawatir terhadap kegagalan.
2.2.6 Keterampilan Keterampilan merupakan salah satu unsur perilaku yang dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung dengan indra manusia yang akan diubah didalam pelaksanaan penyuluhan pertanian. Mardikanto (1993) mengatakan bahwa keterampilan adalah kemampuan melaksanakan pola-pola tingkah laku yang kompleks dan tersusun rapi secara meluas dan sesuai dengan keadaan untuk mencapai hasil tertentu. Samsudin (1987) mengatakan bahwa petani dikatakan mempunyai kemampuan jika mempunyai keterampilan yang meliputi kecakapan atau terampil dalam melaksanakan pekerjaan badaniah dan kecakapan berpikir untuk menyelesaikan persoalan-persoalan sehari-hari. Keterampilan seseorang terhadap suatu pekerjaan erat kaitannya dengan pengalamannya dalam bidang tersebut. Manulang (1984) mendifinisiikan
28
keterampilan sebagai hasil dari proses pengalaman kerja seseorang tentang metode suatu pekerjaan karena keterlibatan karyawan tersebut dalam pelaksanaan tugas pekerjaan. Selanjutnya, Handoko, (1999) menyatakan keterampilan adalah kemampuan kerja yang telah diketahui dan dikuasai seseorang yang akibat dari perbuatan atau pekerjaan yang telah dilakukan selama beberapa waktu tertentu. Wiriaatmadja (1986) mengatakan bahwa keterampilan dapat dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu : 1) Peniruan Orang berbuat sekedar meniru apa yang dilihat, dipercontohkan atau didengar. 2) Pengendalian Orang telah dapat berbuat atas dasar pengetahuan dan pengalaman yang didapat walaupun masih ragu-ragu. 3) Otomatisasi Orang dapat bekerja sendiri tanpa berpikir terlalu banyak. Keterampilan petani-peternak Simantri dalam melakukan usaha peternakan sapi, usaha tanaman pangan dan usaha pengolahan limbah ternak sapi sangat dipengaruhi oleh pengetahuan dan berapa lama pengalamannya melakukan hal tersebut. Semakin lama pengalamannya dalam bidang tersebut maka akan semakin banyak trial and error yang terjadi, dimana hal ini akan semakin meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya. Keinginan yang besar dari seorang petani-peternak untuk mampu menguasai dan terampil mengerjakan pola-
29
pola pertanian modern yang berbasiskan teknologi akan membuat petani-peternak tersebut semakin efisien dan sukses.
2.2.7 Pengalaman Pengalaman merupakan salah satu unsur dari karakteristik biografis seseorang. Pengalaman seseorang dalam melaksanakan pekerjaan dapat diartikan sebagai masa kerja atau pun senioritas. Robbins (2003) mendifinisikan senioritas sebagai masa seseorang menjalankan pekerjaan tertentu. Lebih lanjut dikatakan, studi paling baru menunjukkan bahwa adanya hubungan positif antara senioritas dan produktivitas pekerjaan. Dengan demikian, masa kerja yang diekspresikan sebagai pengalaman kerja dapat menjadi peramal yang baik terhadap produktivitas kerja seseorang. Secara konsisten studi-studi menunjukkan bahwa senioritas berkaitan negatif dengan kemangkiran (Robbins, 2003). Disisi lain, Sunuharyo (1997) mengatakan bahwa pengalaman adalah banyaknya jenis pekerjaan atau jabatan yang pernah diemban oleh seseorang, serta lamanya mereka bekerja pada masing-masing pekerjaan. Semakin banyak pengalaman kerja seseorang maka akan semakin banyak manfaat yang berdampak pada luasnya wawasan pengetahuan di bidang pekerjaannya serta semakin meningkatkan
keterampilan
orang
tersebut.
Pengalaman
kerja
akan
mempengaruhi keterampilan seseorang dalam melaksanakan tugas dan juga membuat kerja lebih efisien (Cahyono, 1995). Foster (2001) menyebutkan bahwa pengalaman kerja adalah sebagai suatu ukuran tentang lama waktu atau masa kerjanya yang telah ditempuh seseorang dalam memahami tugas-tugas suatu
30
pekerjaan dan telah melaksanakannya dengan baik. Lebih lanjut dikatakan ada beberapa hal juga untuk menentukan berpengalaman tidaknya seorang karyawan yang sekaligus sebagai indikator pengalaman kerja yaitu : a. Lama waktu atau masa kerja. Ukuran tentang lama waktu atau masa kerja yang telah ditempuh seseorang dapat memahami tugas-tugas suatu pekerjaan dan telah melaksanakan dengan baik. b. Tingkat pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki. Pengetahuan merujuk pada konsep, prinsip, prosedur, kebijakan atau informasi lain yang dibutuhkan oleh karyawan. Pengetahuan juga mencakup kemampuan untuk memahami dan menerapkan informasi pada tanggung jawab pekerjaan. Sedangkan keterampilan merujuk pada kemampuan fisik yang dibutuhkan untuk mencapai atau menjalankan suatu tugas atau pekerjaan. c. Penguasaan terhadap pekerjaan dan peralatan. Tingkat penguasaan seseorang dalam pelaksanaan aspek-aspek tehnik peralatan dan tehnik pekerjaan.
2.2.8 Jarak tempat tinggal Jarak rumah petani dengan lahan garapannya akan sangat mempengaruhi produktivitas lahan serta ternak yang dipelihara, dan juga akan mempengaruhi kinerja dari petani itu sendiri. Hasil penelitian Mahananto et al. (2009) menunjukkan bahwa, secara simultan faktor-faktor luas lahan garapan, jumlah tenaga kerja efektif, jumlah pupuk, jumlah pestisida, pengalaman petani dalam
31
berusahatani, jarak rumah petani dengan lahan garapan, dan sistem irigasi berpengaruh sangat nyata terhadap peningkatan produksi padi sawah. Lebih lanjut dikatakan jarak lahan garapan dengan rumah tempat tinggal petani berpengaruh terhadap peningkatan produksi padi sawah. Jarak lahan garapan dengan rumah petani menunjukkan hubungan yang negatif yang berarti semakin jauh jarak lahan garapan dengan rumah petani akan mengakibatkan penurunan produksi. Pengaruh jarak ini adalah melalui pengelolaan usahatani, semakin jauh maka petani akan membutuhkan waktu dan tenaga yang lebih banyak untuk mencapai tempat kerjanya (lahan garapannya). Hal ini akan mengakibatkan
intensitas
pengelolaan
usahtaninya
seperti
:
mengikuti
pertumbuhan tanaman, menjaga tanaman dari serangan hama dan penyakit, dan juga mengurusi irigasi menjadi turun sehingga secara langsung semakin jauh jarak lahan garapan dengan rumah petani akan mampu menurunkan produktivitas tanaman padi sawah. Selanjutnya Ruswendi (2011) mengatakan bahwa aksesibilitas lokasi usaha ternak ke jalan raya dengan jarak ± 1 km dengan keragaman masih kurang dari 6 km dianggap masih cukup kondusif, sehingga memudahkan pengangkutan input dan output hasil usaha tani/usaha ternak. Lebih lanjut dikatakan aksesibilitas lokasi yang cukup dekat ini bisa menekan pengeluaran biaya pengangkutan sehingga akan dapat meningkatkan efisiensi biaya.
32
2.2.9 Budaya lokal Manusia dalam kehidupannya tidak bisa dilepaskan dari budaya, karena melekat dalam kehidupan sehari-hari. Budaya bermakna sebagai prilaku yang dianggap baik oleh masyarakatnya dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Bila kejadiannya spesifik dilokal tertentu, maka disebut dengan budaya lokal yang membedakan dengan lokasi lainnya. Budaya lokal sering berpengaruh terhadap adopsi tentang inovasi tertentu. Koentjaraningrat (2000) mengatakan bahwa konsep kebudayaan dapat dibagi menjadi tujuh unsur-unsur universal, yakni: (1) sistem religi dan upacara keagamaa, (2) sistem dan organisasi kemasyarakatan, (3) sistem pengetahuan, (4) bahasa, (5) kesenian, (6) sistem mata pencaharian, (7) sistem teknologi dan peralatan. Dalam budaya Bali sistem religi dan upacara keagamaan serta sistem dan organisasi kemasyarakatan
sangat
kental mempengaruhi kehidupan
masyarakat khususnya petani yang tinggal didesa. Hal ini senada dengan pernyataan Koentjaraningrat (2000) yang menyebutkan dalam tata-urut ketujuh unsur-unsur universal itu terlihat bahwa unsur-unsur yang berada di bagian atas dari deretan, merupakan unsur-unsur yang lebih sukar berubah daripada unsurunsur yang tersebut kemudian. Bahkan pada beberapa desa adat yang ada di Bali pada waktu-waktu tertentu sistem religi dan upacara keagamaan, serta sistem dan organisasi kemasyarakatan sangat padat dan seringkali mempengaruhi kinerja para petani-peternak dalam penggarapan lahan dan pemeliharaan ternak. Mentalitas petani mempunyai persepsi waktu yang terbatas. Irama waktu ditentukan oleh cara-cara adat untuk memperhitungkan tahap-tahap aktivitas
33
pertanian dalam lingkaran waktu (Koentjaraningrat, 2000). Selanjutnya Soetomo (2008) mengatakan bahwa sesuai karakteristiknya, institusi lokal dan tradisional memang efektif sebagai sarana mendorong aktivitas bersama akan tetapi kurang efisien apabila dilihat dari alokasi sumber daya. Untuk semakin meningkatkan efisiensi dari penggarapan lahan, pemeliharaan ternak maupun usaha petani lainnya kedepannya memang diperlukan suatu perubahan budaya kearah yang lebih baik tanpa meningggalkan konsep-konsep kearifan lokal yang telah ada. Suatu nilai budaya yang perlu dimiliki oleh lebih banyak manusia Indonesia dari semua lapisan masyarakat adalah nilai budaya yang berorientasi ke masa depan (Koentjaraningrat, 2000). Selanjutnya, Soetomo (2008) mengatakan bahwa dilihat pada saat proses perubahan menuju kondisi yang lebih baik dan lebih sejahtera, maka masalah sosial dapat berposisi sebagai hambatan yang dialami dalam proses tersebut. Selain masalah keterikatan budaya lokal ataupun adat setempat, petani juga cenderung memiliki pola pikir yang telah menjadi budaya dalam bertani yaitu petani berusaha mengindari kegagalan yang akan menghancurkan kehidupan mereka dan bukan berusaha memperoleh keuntungan besar dengan cara berani mengambil resiko. Oleh sebab itu dalam memilih jenis bibit dan cara-cara bertanam mereka lebih suka meminimumkan kemungkinan terjadinya suatu bencana daripada memaksimumkan penghasilan rata-ratanya (Damsar, 2002). Selanjutnya untuk dapat menangani masalah-masalah budaya lokal maupun adat yang dialami petani maka diperlukan kemampuan petani dalam menangani
34
berbagai masalah sosial yang terjadi, yang tujuannya untuk mempercepat laju proses perubahan itu sendiri ke arah yang lebih baik.
2.2.10 Interaksi sosial Bentuk umum dari proses sosial adalah interaksi sosial (yang juga dapat dinamakan proses sosial), karena interaksi sosial merupakan syarat umum terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Soekanto (2012) mengatakan bahwa interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia. Lebih lanjut dikatakan suatu interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat yaitu : (1) adanya kontak sosial (social-contact), dan (2) adanya komunikasi. Disisi lain, Walgito (2011) menyebutkan bahwa interaksi sosial merupakan hubungan sosial antara individu yang satu dengan yang lainnya. Dalam interaksi sosial akan terdapat perilaku individu yang satu dengan individu lain yang saling berinteraksi. Interaksi sosial sebenarnya telah mencakup bagaimana seseorang saling mempengaruhi, termasuk situasinya (Taylor et al. dalam Walgito, 2011). Dengan adanya interaksi sosial diantara para petani-peternak, maka akan terjadi pertukaran informasi tentang pengetahuan dan keterampilan bertani-beternak diantara mereka. Selain interaksi dengan sesama petani, interaksi dengan petugas pendamping atau penyuluh pertanian berguna bagi seorang petani dalam mendapatkan informasi dan pengetahuan tentang cara bertani yang baik dan
35
benar. Informasi dan pengetahuan ini berguna dalam mengkaji dan menerapkan suatu sistem pertanian, agar didapat produktivitas hasil pertanian yang meningkat.
2. 3 Konsep Integrasi Tanaman-Ternak 2.3.1 Crop-Livestock System (CLS) Konsep pertanian terpadu yang melibatkan tanaman dan ternak sebenarnya telah lama diterapkan oleh petani di Indonesia. Konsep pertanian terpadu antara tanaman dan ternak oleh Lembaga Pusat Penelitian Pertanian (LP3) disebut dengan nama " Sistem Tanaman-Ternak " yang merupakan terjemahan dari CropLivestock System (CLS). Teknologi usahatani Crop-Livestock System (CLS), merupakan alternatif yang tepat sejalan dengan konsep pertanian berkelanjutan. Teknologi ini mengutamakan hubungan saling komplementer antar sub sistem usahatani. Pada sistem ini dikenal prinsip return to the nature law atau kembali kehukum alam. Secara umum unsur-unsur utama dalam Crop-Livestock System (CLS) dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2.3 Unsur-unsur Utama Dalam Integrasi Crop-Livestock System (CLS)
36
CLS di Indonesia lebih mengarah pada integrasi antara padi dengan ternak umumnya adalah sapi potong, program ini dikenal dengan nama SIPT (Sistem Integrasi Padi-Ternak). Tujuan program SIPT ini adalah pengembangan penggemukan ternak sapi potong berbasis tanaman pangan. Program ini pada intinya mengupayakan peningkatan produksi daging ternak sapi potong dan sekaligus upaya peningkatan produksi pangan melalui kegiatan pemeliharaan sapi pada areal lahan tanaman pangan beririgasi (Muslim, 2006). Haryanto (2002) menambahkan
program
SIPT
merupakan
salah
satu
alternatif
dalam
meningkatkan produksi padi, daging, susu, dan sekaligus meningkatkan pendpatan petani. Lebih lanjut dikatakan, ada tiga komponen teknologi utama dalam SIPT yaitu : (a) teknologi budidaya ternak, (b) teknologi budidaya padi, dan (c) teknologi pengolahan jerami dan kompos. Selain sebagai sumber daging, ternak sapi berfungsi sebagai penghasil pupuk atau kompos yang dapat meningkatkan produksi tanaman pangan. Kotoran ternak dapat pula digunakan sebagai sumber biogas (Hasnudi, 1991). Hal ini mengindikasikan, integrasi sapi-tanaman dapat memberi manfaat yang besar bagi ternak dan tanaman. Menurut Bamualim et al. (2004), keuntungan langsung integrasi ternak sapi-tanaman pangan adalah meningkatnya pendapatan petanipeternak dari hasil penjualan sapi dan tanaman pangan. Keuntungan tidak langsung adalah membaiknya kualitas tanah akibat pemberian pupuk kandang. Pertanian terintegrasi (integrasi tanaman-ternak) adalah suatu sistem pertanian yang dicirikan oleh keterkaitan yang erat antara komponen tanaman dan ternak dalam suatu usahatani atau dalam suatu wilayah (Sudaratmaja, 2009).
37
Keterkaitan tersebut merupakan suatu faktor pemicu dalam mendorong pertumbuhan pendapatan petani dan pertumbuhan ekonomi wilayah secara berkelanjutan. Sistem integrasi tanaman ternak dalam sistem usaha pertanian di suatu wilayah merupakan ilmu rancang bangun dan rekayasa sumberdaya pertanian yang tuntas. Adapun ciri keterkaitan tersebut antara lain: adanya penggunaan sumberdaya yang beragam seperti hijauan, residu tanaman dan pupuk organik yang dihasilkan ternak dalam suatu proses produksi dan dalam suatu siklus hara. Hal yang terpenting juga yang perlu dipahami dari konsep integrasi tanaman-ternak di mana hal ini diharapkan dapat menghentikan dan membalik arah spiral yang menurun sebagai akibat dari praktek-praktek pertanian yang merusak sumber daya lahan dan menurunkan produktivitas pertanian. Melalui proses pembalikan arah, diharapkan petani yang tinggal di daerah marginal, dapat secara perlahan keluar dari jerat kemiskinan (Sudaratmaja, 2009). Selain itu Muslim (2006) mendefinisikan pertanian terpadu adalah merupakan suatu sistem berkesinambungan dan tidak berdiri sendiri serta menganut prinsip segala sesuatu yang dihasilkan akan kembali ke alam. Ini berarti limbah yang dihasilkan akan dimanfaatkan kembali menjadi sumber daya yang dapat menghasilkan. Secara garis besar integrasi terkait dengan sistem produksi ternak dibagi menjadi dua sistem yaitu : (1) sistem produksi berbasis ternak (solely livestock production system) yaitu sekitar 90% bahan pakan dihasilkan dari on-farm-nya, sedangkan penghasilan kegiatan non peternakan kurang dari 10%; (2) sistem
38
campuran (mix farming system) yaitu ternak memanfaatkan pakan dari hasil sisa tanaman (Direktorat Jenderal Peternakan, 2009). Dengan adanya integrasi tanaman-ternak maka akan tercipta sentra pertumbuhan peternakan baru dimana komoditi ternak dapat saja menjadi unggulan (solely) atau komoditi ternak hanya sebagai penunjang (mix faming). Tetapi bisa saja terjadi, ternak yang tadinya sebagai unsur penunjang kemudian secara bertahap menjadi unsur utama atau sebalikya.
2.3.2 Zero waste Direktorat Jenderal Peternakan (2010) menyebutkan bahwa model integrasi tanaman ternak yang dikembangkan di lokasi beberapa daerah dan negara berorientasi pada konsep ”zero waste production system” yaitu seluruh limbah dari ternak dan tanaman didaur ulang dan dimanfaatkan kembali ke dalam siklus produksi. Komponen usahatani dalam model ini meliputi usaha ternak sapi potong, tanaman pangan (padi atau jagung), hortikultura (sayuran), perkebunan, (tebu) dan perikanan (lele, gurami, nila). Limbah ternak (kotoran sapi) diproses menjadi kompos dan pupuk organik granuler, biourine serta biogas; limbah pertanian (jerami padi, batang dan daun jagung, pucuk tebu, jerami kedelai dan kacang tanah) diproses menjadi pakan. Gas-bio dimanfaatkan untuk keperluan memasak, sedangkan limbah biogas (sludge) yang berupa padatan dimanfaatkan menjadi kompos dan bahan campuran pakan sapi dan ikan, dan yang berupa cairan (biourine) dimanfaatkan menjadi pupuk cair untuk tanaman sayuran dan ikan.
39
2.3.3 LEIAS (Low External Input Agriculture System) Perpaduan sistem integrasi tanaman dengan ternak, dicirikan dengan adanya saling ketergantungan antara kegiatan tanaman dan ternak (resource driven) dengan tujuan daur ulang optimal dari sumberdaya nutrisi lokal yang tersedia (Low External Input Agriculture System atau LEIAS). Kebalikan dari LEIAS yaitu sistem kurang terpadu yang dicirikan dengan kegiatan tanaman dan ternak yang saling memanfaatkan, tetapi tidak tergantung satu sama lain (demand driven) karena didukung oleh input eksternal (High External Input Agriculture System atau HEIAS) (Direktorat Jenderal Peternakan, 2009). Dengan adanya pengurangan biaya input pertanian dan peternakan dari luar sistem usaha tani akan menyebabkan keberlanjutan dari usaha tersebut atau yang dikenal dengan LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture). LEISA merupakan suatu sistem pertanian yang berkelanjutan yang mampu menekan sekecil mungkin pengaruh dari luar. Dengan pendekatan LEISA sistim usahatani ternak secara empiris telah membuktikan kemampuannya menciptakan lapangan kerja, yang bersumber pada usaha dengan memanfaatkan sumberdaya lokal secara lebih efisien.
2.4 Sistem Pertanian Terintegrasi (Simantri) Sistem Pertanian Terintegrasi (Simantri) adalah upaya terobosan dalam mempercepat adopsi teknologi pertanian, karena merupakan pengembangan model percontohan dalam percepatan alih teknologi kepada masyarakat pedesaan. Simantri mengintegrasikan kegiatan sektor pertanian dengan sektor pendukungnya
40
baik secara vertikal maupun horizontal sesuai potensi masing-masing wilayah dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal yang ada (Dinas Pertanian Tanaman Pangan, 2010). Inovasi teknologi yang diintroduksikan berorientasi untuk menghasilkan produk pertanian organik dengan pendekatan “pertanian tekno ekologis”. Kegiatan integrasi yang dilaksanakan juga berorientasi pada usaha pertanian tanpa limbah (zero waste) dan menghasilkan 4 F (food, feed, fertilizer dan fuel). Kegiatan utama adalah mengintegrasikan usaha budidaya tanaman dan ternak, dimana limbah tanaman diolah untuk pakan ternak dan cadangan pakan pada musim kemarau dan limbah ternak (faeces, urine) diolah menjadi bio gas, bio urine, pupuk organik dan bio pestisida. Sapta usaha peternakan dapat digunakan dalam menunjang suksesnya beternak sapi yang ditunjang juga oleh pemasaran dan analisa usaha tani yang cermat.
Gambar.2.4 Konsep Simantri (Sistem Pertanian Terintegrasi)
41
Kelancaran kegiatan agribisnis mulai dari tahap budi daya, panen, pascapanen hingga pengolahan hasil dan pemasaran ditentukan oleh kemampuan individu dalam satuan manajemen usaha yang dilakukan. Pengetahuan manajemen usaha untuk semua komoditas perlu mendapatkan perhatian khusus untuk membuka peluang diversifikasi usaha, agar pengembangan program Simantri dapat mencakup kawasan yang lebih luas. Diversifikasi vertikal untuk masing-masing komoditas juga akan memberikan nilai tambah ekonomis bagi petani. Pewilayahan usaha dan kelancaran distribusi dan pemasaran akan membawa petani pada tingkat kesejahteraan yang lebih baik. Kriteria lokasi kegiatan Simantri yakni : (1) desa yang memiliki potensi pertanian dan memiliki komoditi unggulan sebagai titik ungkit, (2) terdapat Gapoktan yang mau dan mampu melaksanakan kegiatan terintegrasi, (3) dilaksanakan pada desa dengan rumah tangga miskin (RTM) yang memiliki SDM dan potensi untuk pengembangan agribisnis.
2.4.1 Indikator keberhasilan Simantri Beberapa indikator keberhasilan Simantri menurut Dinas Pertanian Tanaman Pangan (2010) yang diharapkan dapat terwujud dalam jangka pendek (4-5 tahun) antara lain : (1) Peningkatan luas tanam, peningkatan kuantitas dan kualitas hasil pertanian, peternakan dan perikanan; (2) Tersedianya pakan ternak yang berkualitas sepanjang tahun; (3) Berkembangnya kelembagaan dan SDM baik petugas pertanian maupun petani; (4) Terciptanya lapangan kerja melalui pengembangan diversifikasi usaha pertanian dan industri rumah tangga; (5)
42
Berkembangnya intensifikasi dan ekstensifikasi usaha tani; (6) Meningkatnya insentif berusaha tani melalui peningkatan produksi dan efisiensi usaha tani (pupuk, pakan, biogas, bio urine, bio pestisida diproduksi sendiri = in situ); (7) Tercipta dan berkembangnya pertanian organik (green economic); (8) Berkembangnya lembaga usaha ekonomi di perdesaan; (9) Peningkatan pendapatan petani
(minimal 2 kali lipat); (10) Berkembangnya infrastruktur
perdesaan.
2.4.2 Paket kegiatan utama Simantri Paket kegiatan
utama
Simantri
pada
tahap
awal
meliputi : (1)
Pengembangan komoditi tanaman pangan, peternakan, perikanan dan intensifikasi perkebunan sesuai potensi wilayah; (2) Pengembangan ternak sapi atau kambing dan kandang koloni (20 ekor); (3) Bangunan instalasi bio gas sebanyak 3 unit ; kapasitas 11 m3 sebanyak 1 unit dan kapasitas 5 m3 masing-masing 1 unit dilengkapi dengan kompor gas khusus sebanyak 5 unit; (4) Bangunan instalasi bio urine sebanyak 1 unit; (5) Bangunan pengolah kompos dan pengolah pakan masing-masing sebanyak 1 unit; (6) Pengembangan tanaman kehutanan sesuai kondisi dan potensi masing-masing wilayah (Dinas Pertanian Tanaman Pangan, 2010). Dinas Pertanian Tanaman Pangan (2010) menyebutkan paket utama Simantri dibiayai dari dana Bantuan Sosial (Bansos) APBD Provinsi. Untuk kegiatan penunjang termasuk dalam pengembangan infrastruktur perdesaan dibiayai dari kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait sesuai ketersediaan dana
43
dan kegiatan masing-masing. Dalam jangka panjang juga diharapkan peran swasta dalam bentuk Coorperate Social Responsibility (CSR). Dukungan pembinaan teknis dan pembiayaan juga dilaksanakan oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali.
2.4.3 Lokasi dan pembiayaan kegiatan Simantri tahun 2009-2012 Simantri dicanangkan sejak tahun 2009 sebagai salah satu program prioritas dalam mewujudkan BALI MANDARA (Maju, Aman, Damai dan Sejahtera). Simantri memadukan pengembangan sektor pertanian dalam arti luas di pulau Bali diarahkan menjadi pusat pembibitan ternak sapi bali yang merupakan salah satu ternak unggulan nasional. Dengan adanya pusat pembibitan sapi yang tersebar di delapan kabupaten dan satu kota ini diharapkan sapi Bali tetap dapat dilestarikan dan dikembangkan di daerah ini (Dinas Pertanian Tanaman Pangan, 2010). Kegiatan Simantri dilaksanakan sejak tahun 2009 sebanyak 10 unit dan dilanjutkan tahun 2010 sebanyak 40 unit, 150 unit pada tahun 2011 serta 125 unit lagi pada tahun 2012 (Dinas Pertanian Tanaman Pangan, 2010). Program ini direncanakan akan dilaksanakan atau dikembangkan setiap tahun secara berkelanjutan. Adapun penyebarannya adalah sebagai berikut : a.
Kegiatan Simantri tahun 2009. Dilaksanakan pada 10 lokasi Desa / Gapoktan di 7 Kabupaten (kecuali Denpasar dan Klungkung); di Kabupaten Buleleng (Musi, Telaga, Tajun dan Ambengan), Kabupaten Jembrana (Pengeragoan), Tabanan (Tunjuk), Badung
44
(Pangsan), Gianyar (Buahan Kaja), Bangli (Belantih) dan Karangasem (Tulamben). Pembiayaan dari dana bantuan sosial (Bansos) anggaran perubahan APBD Provinsi tahun 2009 sebesar Rp. 2.000.000.000,- (dua milyar rupiah). b.
Kegiatan Simantri tahun 2010 Dilaksanakan pada 40 lokasi Desa / Gapoktan di 9 Kab./Kota; Buleleng (Pendawa, Tigawasa, Bungkulan, Jagaraga, Sawan, Pejarakan, Subuk, Sumberkima, Tunjung, Tamblang, Kalianget, Lokapaksa), Jembrana (Melaya, Banyubiru), Tabanan (Antap, Munduk Temu, Kelating, Mangesta), Badung (Pelaga), Denpasar (Kesiman), Gianyar (Taro, Blahbatuh), Bangli (Truyan, Songan A, Songan B, Jehem, Yang Api, Peninjoan), Klungkung (Batu Kandik, Gunaksa, Tusan), Karangasem (Datah, Ababi, Bebandem, Jungutan, Buana Giri, Sibetan, Tianyar Timur, Tianyar Barat, Ban). Pembiayaan dari dana Bantuan Sosial (Bansos) APBD Provinsi tahun 2010 sebesar Rp. 8.000.000.000,- (delapan milyar rupiah).
c.
Kegiatan Simantri tahun 2011 Pada anggaran perubahan tahun 2011, Pemprov Bali menambah 100 paket lagi, sehingga jumlahnya genap 150 buah. Program ini bertujuan membangkitkan kembali sektor pertanian dan juga mendukung program Bali Green Province.
d.
Kegiatan Simantri tahun 2012 Pada tahun 2012, Pemprov Bali menambah lagi 125 paket Simantri, sehingga jumlah totalnya menjadi 325 unit Simantri di seluruh Bali.
45
Oleh Pemerintah provinsi Bali, Simantri diarahkan menjadi pusat pembibitan sapi Bali, sehingga nantinya kebutuhan peternak akan bibit sapi Bali yang bermutu dapat dipenuhi dengan baik. Dari sapi betina yang diberikan pada Simantri, ratusan ekor telah dalam keadaan bunting dan melahirkan, dengan harapan mampu memenuhi kebutuhan bibit untuk pengembangan ternak sapi di sekitar kawasan Simantri. Dalam sistem integrasi tanaman-ternak, pemanfaatan limbah tanaman sebagai pakan, serta limbah ternak menjadi pupuk dan sumber energi alternatif merupakan potensi yang perlu dikembangkan. Inovasi teknologi program Simantri dalam Sistem Integrasi Tanaman-Ternak Bebas Limbah (SITT-BL) memberikan peluang yang menggembirakan menuju green and clean agricultural development. Pengembangan usaha tani tanaman dan ternak secara bersama-sama menambah pendapatan petani (Dinas Pertanian Tanaman Pangan, 2010).
2.5
Efektivitas Kinerja sebuah program ditentukan oleh tingkat efektivitas dan efisiensi
pelaksanaan program dalam mencapai tujuan atau sasaran. Dalam mengukur efektifitas pelaksanaan sebuah program atau kegiatan kerja tidak dapat dilepaskan dari efisiensi. Indikator efektivitas dan efisiensi pelaksanaan program antara lain mencakup kesesuaian jenis kegiatan, biaya unit kegiatan, dan hasil kegiatan. Pengukuran efektivitas sangat penting dilakukan dalam pelaksanaan suatu program atau kegiatan kerja. Tanpa dilakukannya pengukuran efektivitas tersebut akan sulit diketahui apakah tujuan dari suatu program dapat dicapai atau tidak.
46
Efektivitas lebih mengarah ke pencapaian sasaran atau tujuan sesuai dengan kebutuhan yang direncanakan. Efektif mengandung pula pengertian kualitatif. Efektivitas berasal dari kata efektif yang berarti tercapainya keberhasilan yang telah ditetapkan. Sedangkan efisien lebih mengacu pada biaya, dimana dengan penggunaan input yang relatif sedikit akan dihasilkan output yang lebih banyak. Yusuf (2004) mengemukakan efektivitas adalah suatu keadaan yang menunjukkan tingkat keberhasilan kegiatan manajemen, dalam mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan lebih dahulu dan perlu pula ukuran efisiensinya. Djunaedi (2003) menyatakan bahwa prinsip efektif itu adalah kemampuan mencapai sasaran dan tujuan akhir melalui kerjasama orang-orang dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada dengan seefisien mungkin. Efektivitas itu paling baik dapat dimengerti jika dilihat dari sudut pandang sejauhmana suatu organisasi berhasil mendapatkan dan memanfaatkan sumber daya dalam usahanya mengejar tujuan organisasi (Wijaya, 1992). Teori efektivitas menurut Gibson (2000) menyebutkan bahwa kajian efektivitas organisasi harus dimulai dari yang paling mendasar yaitu terletak pada: a. Efektivitas individu yaitu tingkat pencapaian hasil pada kerja individu organisasi. b. Efektivitas kelompok yaitu tingkat pencapaian hasil kerja yang dilakukan oleh sekelompok anggota organisasi. c. Efektivitas organisasi yaitu merupakan kontribusi hasil kerja dari tiap-tiap efektivitas individu dan efektivitas kelompok, atau tim yang saling sinergis.
47
Selanjutnya efektivitas harus dinilai atas tujuan yang bisa dilaksanakan dan bukan atas konsep tujuan maksimum. Jadi efektivitas menurut ukuran seberapa jauh organisasi berhasil mencapai tujuan yang layak dicapai (Steers, 1995). Handoko (1999) mengemukakan bahwa efektivitas adalah kemampuan untuk memilih tujuan yang tepat atau peralatan yang tepat untuk pencapaian tujuan yang telah ditetapkan, menyangkut bagaimana melakukan pekerjaan yang benar. Yamit (1998) mendefinisikan efektivitas sebagai suatu ukuran yang memberikan gambaran seberapa jauh target dapat tercapai, baik secara kualitas maupun waktu, orientasinya adalah pada keluaran (output) yang dihasilkan. Sedangkan efektivitas menurut Halim (2004), adalah suatu keadaan yang terjadi sebagai akibat yang dikehendaki. Kalau seseorang melakukan suatu perbuatan dengan maksud tertentu dan memang dikehendakinya, maka orang itu dikatakan efektif bila menimbulkan akibat atau mempunyai maksud sebagaimana yang dikehendakinya. Selanjutnya, Siagian (2002) mendefinisikan efektivitas sebagai pemanfaatan sumber daya, sarana, dan prasarana dalam jumlah tertentu yang secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk menghasilkan sejumlah barang atas jasa kegiatan yang dijalankannya. Efektivitas menunjukkan keberhasilan dari segi tercapai tidaknya sasaran yang telah ditetapkan. Jika hasil kegiatan semakin mendekati sasaran, berarti makin tinggi efektivitasnya. Dari pengertian-pengertian efektivitas tersebut dapat disimpulkan bahwa efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kualitas, kuantitas, dan waktu) yang telah dicapai oleh manajemen, yang mana target tersebut telah ditentukan terlebih dahulu.
48
Dalam setiap pembahasan mengenai efektivitas, maka tidak akan dilepaskan dari efisiensi. Efisiensi adalah ukuran yang menunjukkan bagaimana baiknya sumberdaya ekonomi digunakan dalam proses produksi untuk menghasilkan output (Gaspersz, 2000). Menurut Soekartawi (2003) efisiensi adalah suatu istilah yang secara umum berarti adanya perbandingan antara keluaran (output) dan masukan (input) atau antara kemampuan kerja efektif dengan input modal tetap atau upaya untuk penggunaan input sekecil-kecilnya untuk mendapatkan output (produksi) yang sebesar-besarnya. Efisiensi merupakan karakteristik proses yang mengukur performans aktual dari sumberdaya relatif terhadap standar yang ditetapkan. Peningkatan efisiensi dalam suatu proses produksi akan menurunkan biaya per-unit output.
2.6 Pendapatan Petani-Peternak Dalam usaha pertanian, menurut Prawirokusumo (1990) ada beberapa pembagian pendapatan yaitu : (1) Pendapatan kotor (Gross income) adalah pendapatan usahatani yang belum dikurangi biaya-biaya, (2) Pendapatan bersih (net income) adalah pendapatan setelah dikurangi biaya, (3) Pendapatan pengelola (management income) adalah pendapatan yang merupakan hasil pengurangan dari total output dengan total input. Input–input produksi atau biaya–biaya produksi adalah biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi serta menjadi barang tertentu atau menjadi produk akhir, dan termasuk didalamnya adalah barang yang dibeli dan jasa yang dibayar.
49
Ada beberapa konsep biaya dalam ekonomi yaitu 1) Biaya tetap (FC), 2) Biaya total tetap (TFC), 3) Biaya Variabel (VC) dan 4) Biaya total variabel (TVC) serta Biaya tunai dan tidak tunai (Prawirokusumo, 1990). Lebih lanjut dikatakan biaya tetap (FC) yaitu biaya yang masa penggunaannya tidak berubah walaupun jumlah produksi berubah (selalu sama) atau tidak terpengaruh oleh besar kecilnya produksi karena tetap dan tidak tergantung kepada besar kecilnya usaha maka bila diukur per unit produksi biaya tetap makin lama makin kecil (turun), yang termasuk biaya tetap dalam usahatani sayuran antara lain tanah, bunga modal, pajak, dan peralatan. Biaya Variabel (VC) yaitu biaya yang selalu berubah tergantung besar kecilnya produksi. Yang termasuk biaya ini adalah : biaya sarana produksi, biaya pemeliharaan, biaya panen, biaya pasca panen, biaya pengolahan dan biaya pemasaran serta biaya tenaga kerja dan biaya operasional. Biaya tunai meliputi biaya yang diberikan berupa uang tunai seperti biaya pembelian pupuk, benih/bibit, obat obatan, dan biaya tidak tunai adalah biaya– biaya yang tidak diberikan sebagai uang tunai tetapi tidak diperhitungkan seperti biaya tenaga kerja keluarga (Prawirokusumo, 1990). Pendapatan kotor adalah sejumlah uang yang diperoleh setelah dikurangi semua biaya tetap dan biaya variabel, sedangkan pendapatan bersih dihitung dari pendatan kotor dikurangi pajak penghasilan. Dalam penelitian ini pendapatan yang diamati peningkatannya adalah pendapatan usaha tani. Pendapatan usaha tani adalah besarnya manfaat atau hasil yang diterima oleh petani yang dihitung berdasarkan dari nilai produksi dikurangi semua jenis pengeluaran yang digunakan untuk produksi. Untuk itu pendapatan usaha tani sangat dipengaruhi oleh besarnya biaya sarana produksi,
50
biaya pemeliharaan, biaya pasca panen, pengolahan dan distribusi serta nilai produksi (Prawirokusumo, 1990).
2.7
Penelitian Terdahulu Hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini adalah, hasil
penelitian Susanti et al. (2007) mengenai pengintegrasian antara tanaman dengan ternak dengan judul ”Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengambilan Keputusan Petani dalam Penerapan Pertanian Padi Organik di Desa Sukorejo, Kecamatan Sambirejo, Kabupaten Sragen.” Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengambilan keputusan petani responden dalam penerapan pertanian padi organik di Desa Sukorejo Kecamatan Sambirejo Kabupaten Sragen adalah sebagai berikut: a) Tahap Pengenalan masuk dalam kategori tinggi, b) Tahap Persuasi masuk dalam kategori sedang, c) Tahap Keputusan masuk dalam kategori tinggi, d) Tahap Konfirmasi masuk dalam kategori sedang. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan petani responden dalam penerapan pertanian padi organik yaitu : umur, pendidikan, luas usahatani, tingkat pendapatan, lingkungan ekonomi, lingkungan sosial, sifat inovasi. Hubungan antara faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan petani dengan pengambilan keputusan petani dalam penerapan pertanian padi organik petani responden adalah : hubungan umur petani, luas usahatani, tingkat pendapatan petani, dan sifat inovasi dengan keputusan petani adalah tidak signifikan. Hubungan antara lingkungan ekonomi petani dengan keputusan petani
51
adalah signifikan. Selanjutnya, hubungan pendidikan petani dan lingkungan sosial petani dengan keputusan petani adalah sangat signifikan. Penelitian serupa yang dilakukan oleh Yusuf et al. (2001) di Provinsi NTT mendapatkan bahwa : (1) faktor teknis, sosial dan ekonomi sangat mempengaruhi petani peternak dalam memutuskan untuk mengadopsi atau tidak suatu teknologi; (2) adopsi teknologi penggemukan sapi potong secara keseluruhan dikategorikan adopsi sedang. Parameter teknologi yang dapat diadopsi dengan baik adalah penanaman pakan ternak dan pemberian pakan. Sedangkan yang dapat diadopsi sedang adalah penambahan probiotik, pemanfaatan limbah, pembuatan hay rumput alam dan jerami padi. Selanjutnya parameter teknologi perkandangan dikategorikan dalam pencapaian adopsi yang rendah. Terdapat beberapa persamaan indikator yang digunakan dalam penelitian ini dengan penelitian Susanti et al. (2007) antara lain : umur, pendidikan, dan lingkungan sosial. Perbedaan yang jelas terlihat antara penelitian ini dengan penelitian Susanti et al. (2007) adalah pada digunakannya pengetahuan, sikap, keterampilan, dan pengalaman dari petani-peternak sebagai indikator penyusun variabel kualitas SDM petani-peternak. Selain itu, pada variabel kondisi Gapoktan Simantri digunakan indikator jarak tempat tinggal, budaya lokal, serta interaksi sosial sebagai indikator penyusunnya. Dalam penelitian ini juga akan dinilai apakah indikator penyusun dari setiap variabel cukup kuat untuk merefleksikan variabel tersebut. Selanjutnya, baru akan dilihat pengaruh dari masing-masing variabel bebas terhadap variabel terikat dengan menggunakan analisis PLS (Parrtial Least Square). Perbedaan lain dari penelitian ini dengan dua penelitian
52
terdahulu adalah, dalam penelitian ini tidak terhenti pada tingkat penerapan dari masing-masing variabel seperti peternakan sapi, tanaman pangan, dan pengolahan limbah tanaman dan ternak sapi, tetapi juga akan melihat pengaruh dari ketiga unit usaha ini terhadap efektivitas penerapan Simantri oleh petani-peternak anggota Gapoktan Simantri. Disisi lain, Suryanti (2011) melaporkan bahwa penerapan teknologi berbagai komponen sistem integrasi menunjukan hasil yang bervariasi. Adopsi teknologi yang cenderung baik adalah pada teknologi budidaya tanaman dan ternak, sedangkan adopsi teknologi pengolahan limbah masih rendah. Hal ini mengindikasikan sistem integrasi yang diterapkan belum mampu secara maksimal memanfaatkan limbah tanaman dan limbah ternak sebagai sumber input internal dalam usaha tani. Dalam penerapan sistem integrasi tanaman ternak keberadaan kelompok tani secara umum baru difungsikan sebagai wadah pembelajaran. Fungsi kelompok tani sebagai media kerjasama, pengembangan unit usaha dan penunjang akses terhadap lembaga lain masih lemah. Penerapan sistem integrasi tanaman ternak membutuhkan penyuluhan pertanian dalam hal transfer teknologi budidaya tanaman berkaitan dengan pemangkasan dan pengendalian hama, untuk teknologi budidaya ternak berkaitan dengan penggunaan bibit dan pemberian pakan, sedangkan dalam pengolahan limbah berkaitan dengan pengolahan limbah dengan proses fermentasi. Selain itu juga dibutuhkan pengembangan kelompok tani agar dapat menjalankan fungsi kerjasama, unit usaha dan penunjang akses terhadap lembaga lain. Hasil penelitian Suryanti (2011) cukup kuat untuk dijadikan sebagai bahan referensi, karena dalam penelitian yang akan dilakukan
53
diduga penerapan teknologi dalam pengolahan limbah dari ternak sapi memiliki pengaruh yang besar dalam efektivitas penerapan program Simantri. Selanjutnya, penelitian mengenai pengembangan usaha ternak sapi dengan pola integrasi sapi-tanaman serta dampaknya pada peningkatan pendapatan petani maupun pemerintah, memperbaiki kesuburan tanah, menyediakan sekaligus meningkatkan produktivitas pakan dilaporkan oleh Elly et al. (2008). Penelitian ini berjudul ”Pengembangan Usaha Ternak Sapi Rakyat Melalui Integrasi SapiTanaman Di Sulawesi Utara” yang dilakukan di Provinsi Sulawesi Utara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa usaha ternak sapi di Sulawesi Utara masih bersifat tradisional dan merupakan usaha sambilan. Sistem integrasi tanaman-ternak memberikan keuntungan kepada petani-peternak karena: 1) pupuk kompos dari kotoran ternak sapi dapat meningkatkan kesuburan tanah dan sebagai sumber pendapatan, 2) ternak dapat dimanfaatkan sebagai tenaga kerja dan juga sumber pendapatan bila disewa oleh petani lain yang tidak memiliki ternak sapi, 3) limbah jagung bermanfaat sebagai pakan sehingga mengurangi biaya penyediaan pakan, dan 4) lahan di antara pohon kelapa dapat ditanami hijauan berupa rumput Brachiaria brizanta dan leguminosa Arachis pintoi untuk meningkatkan kesuburan tanah, sumber pakan yang berkualitas, dan sumber pendapatan bila dijual. Hasil penelitian Elly et al. (2008) ini dapat dijadikan sebuah acuan untuk penelitian yang akan dilakukan, dimana penerapan sistem pertanian terintegrasi terbukti memberikan banyak dampak positif salah satunya adalah peningkatan pendapatan petani.
54
Dari beberapa hasil penelitian terdahulu yang telah dipaparkan diatas diharapkan akan dapat menjadi bahan pembanding dari temuan yang akan diperoleh dalam penelitian ini, sehingga diharapkan hasil penelitian ini akan menambah khasanah ilmu pengetahuan di bidang pertanian terintegrasi.
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir Pembangunan ekonomi berbasis pertanian dan perdesaan secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak pada pengurangan penduduk miskin. Konsep pembangunan agribisnis perdesaan selama ini terjadi di Bali masih bersifat parsial, tidak fokus dan tak terjaga kontinyuitasnya. Seringkali inovasi yang ditawarkan kepada petani-peternak bersifat coba-coba, politis, sesaat dan tidak berkelanjutan. Kondisi ini membuat petani-peternak selalu menjadi pihak yang selalu dirugikan, sehingga peningkatan pendapatannya sulit untuk dicapai. Permasalahan
yang
dihadapi
oleh
petani-peternak
di
Bali
dalam
mengembangkan usaha taninya sebagian besar dipengaruhi oleh faktor kemiskinan. Berdasarkan hasil survei sosial ekonomi nasional yang dilakukan pada bulan maret 2013 diperoleh jumlah penduduk miskin di Provinsi Bali sebesar 162.500 jiwa atau 3,95% (BPS, 2013). Selain itu, kurangnya akses terhadap sumber permodalan, teknologi dan pasar juga merupakan faktor penghambat pengembangan sektor pertanian dalam arti luas di Bali. Permasalahan khusus dalam pengembangan usaha pertanian di pedesaan adalah : (1) pemanfaatan lahan untuk kegiatan usaha tani belum optimal dimana intensitas tanam tanaman pangan rata-rata dibawah 200%, hal ini dikarenakan keterbatasan irigasi dan juga permodalan usahatani; (2) kegiatan usahatani belum dilaksanakan secara intensif, sehingga produktivitas masih relatif rendah (belum optimal sesuai potensi hasil); (3) keterbatasan kemampuan SDM karena belum intensifnya 55
56
pembinaan dan pendampingan; (4) budidaya ternak masih konvensional dan dalam skala kecil, serta pemberian pakan belum proporsional sehingga produksi ternak belum optimal; (5) limbah ternak (padat dan cair) belum dikelola atau diproses dengan baik untuk menjadi pupuk yang bermutu dan juga untuk biogas; (6) limbah tanaman yang dapat dipergunakan sebagai pakan ternak juga belum dikelola atau diproses dengan baik menjadi pakan bermutu dan tahan simpan untuk kebutuhan pada musim kemarau; (7) terbatasnya infrastruktur khususnya jalan usahatani, bangunan konservasi air dan infrastruktur lainnya; (8) belum berkembangnya kegiatan pengolahan hasil pertanian dan kendala dalam pemasaran hasil khususnya pada musim panen raya (Dinas Pertanian Tanaman Pangan, 2010). Untuk mewujudkan visi Bali Mandara (Maju, Aman, Damai, dan Sejahtera) dalam bidang pertanian, pada tahun 2009 Pemda Bali membuat suatu program yang disebut Simantri (Sistem Pertanian Terintegrasi). Guna mendapatkan dukungan inovasi dan juga anggaran APBD Provinsi dan Kabupaten secara berkelanjutan, Gubernur Bali telah menandatangani MoU dengan Badan Litbang Pertanian yang ditindaklanjuti dengan MoU serupa antara Gubernur Bali dengan Bupati/Walikota se-Bali. Simantri telah berjalan dari tahun 2009 sampai saat ini, dimana program ini telah banyak menghasilkan Gapoktan Simantri yang dinyatakan berhasil dalam penerapan program serta dalam peningkatan pendapatan anggotanya (Biro Humas Pemerintah Provinsi Bali, 2011). Walaupun telah ada beberapa Gapoktan yang menjadi juara Simantri, tetapi tidak sedikit pula Gapoktan Simantri yang belum
57
mampu mencapai itu semua. Menurut Roger dan Shoemaker (1971) dan Samsudin (1987) adopsi inovasi adalah suatu proses mental yang terjadi pada diri individu dari saat dia mengetahui sesuatu yang baru (inovasi) sampai dia menerapkan inovasi tersebut. Proses adopsi inovasi sebenarnya menyangkut pengambilan keputusan yang dipengaruhi oleh banyak faktor (Soekartawi, 1988). Pada proses adopsi akan terjadi perubahan-perubahan dalam perilaku sasaran umumnya akan menentukan suatu jarak waktu tertentu. Cepat lambatnya proses adopsi akan tergantung dari sifat dinamika sasaran. Masih banyak ditemui kendala dalam hal penerapan Simantri di lapangan, terutama dalam tata kelola dan proses pengolahan limbah ternak sapi (padat dan cair) menjadi pupuk. Pengolahan limbah padat dan cair dari ternak sapi mempunyai peranan yang besar dalam meningkatkan pendapatan bulanan petanipeternak. Tidak diolahnya limbah padat dan cair ini terjadi karena banyak faktor yang menghambat tingkat penerapan petani-peternak dalam pengolahan limbah ternak di lapangan. Yusuf et al. (2001) melaporkan hasil penelitiannya menunjukkan bahwa : (1) faktor teknis, sosial dan ekonomi sangat mempengaruhi petani peternak dalam memutuskan untuk mengadopsi atau tidak suatu teknologi; (2) adopsi teknologi pengemukan sapi potong secara keseluruhan dikategorikan adopsi sedang. Parameter teknologi yang dapat diadopsi dengan baik adalah penanaman pakan ternak dan pemberian pakan. Sedangkan yang dapat diadopsi sedang adalah penambahan probiotik, pemanfaatan limbah, pembuatan hay rumput alam dan jerami padi. Selanjutnya parameter teknologi perkandangan dikategorikan dalam pencapaian adopsi yang rendah.
58
Tingkat penerapan Simantri oleh para anggota Gapoktan Simantri seharusnya baik, karena Gapoktan Simantri yang tergabung didalam program ini memperoleh dukungan penuh dari pemerintah daerah beserta instansi yang terkait meliputi pendanaan yang bersumber dari bansos APBD Provinsi Bali, tenaga penyuluh dan pendamping yang berasal dari petugas BPTP Bali dan petugas teknis lingkup pertanian provinsi (in sourching) beserta SKPD terkait di Provinsi dan Kabupaten sebagai motivator program Simantri. Alih teknologi Simantri dilakukan melalui proses interaksi yang aktif antara penyuluh atau pendamping Simantri dengan petani-peternak anggota Gapoktan Simantri. Tujuan dari adanya pendampingan ini agar terbangun proses perubahan perilaku (behaviour) yang merupakan perwujudan dari: pengetahuan, sikap, dan ketrampilan seseorang yang dapat diamati oleh orang/pihak lain, baik secara langsung (berupa : ucapan, tindakan, bahasa-tubuh, dan lain-lain) maupun tidak langsung (melalui kinerja dan atau hasil kerjanya). Margono (1995) mengungkapkan bahwa pada umumnya profil populasi petani Indonesia telah berubah secara positif. Secara makro populasi petani telah menjadi lebih kecil jumlahnya secara persentil tetapi lebih tinggi kualitasnya, yang ditandai oleh lebih baiknya tingkat pendidikan mereka, lebih mengenal kemajuan, kebutuhan dan harapan-harapannya meningkat, dan pengetahuan serta keterampilan bertaninya juga jauh lebih baik. Secara personal petani sudah mampu mengadopsi inovasi yang berkembang saat ini baik mereka mencoba secara pribadi maupun inovasi yang dikenalkan oleh pemerintah dengan sedikit intervensi serta bersifat top down. Lionberger dan Gwin (1992) mengemukakan
59
bahwa peubah personal yang mempengaruhi proses perubahan perilaku petani baik perubahan sikap, pengetahuan ataupun keterampilannya, yaitu : pendidikan, kemampuan manajerial, jarak tempat tinggal, pekerjaan, kesehatan, umur, dan sikap. Terjadinya kegagalan penerapan teknologi antara lain disebabkan teknologi terlalu rumit, sarana pendukung penerapan teknologi kurang tersedia bahkan teknologi tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Integrasi antara sapi bali dan tanaman pangan sudah sejak lama dilakukan di Bali dengan cara tradisional. Melalui program Simantri cara ini tetap dipertahankan, serta ditambahkan metode serta teknologi baru dalam penggunaan gulma serta limbah hasil pertanian sebagai pakan ternak alternatif serta pengolahan limbah padat dan cair dari ternak sapi untuk menjadi pupuk kompos, biourine dan biogas. Dengan cara tradisional limbah pertanian maupun kotoran ternak sering dibuang ataupun digunakan tanpa adanya sentuhan teknologi yang dapat meningkatkan nilai tambah dari limbah tersebut. Suwandi (2005) melaporkan bahwa penerapan pola usaha tani terintegrasi antara padi sawah dengan sapi potong dapat meningkatkan produksi dan keuntungan bagi petani di lahan sempit. Selain sebagai sumber daging, ternak sapi berfungsi sebagai penghasil pupuk atau kompos untuk mencapai produksi tanaman pangan. Kotoran ternak dapat pula digunakan sebagai sumber biogas (Hasnudi, 1991). Hal ini mengindikasikan, integrasi sapi-tanaman dapat memberi manfaat yang besar bagi ternak dan tanaman. Menurut Bamualim et al. (2004), keuntungan langsung integrasi ternak sapitanaman adalah meningkatnya pendapatan petani-peternak dari hasil penjualan
60
sapi dan hasil tanaman. Keuntungan tidak langsung adalah membaiknya kualitas tanah akibat pemberian pupuk kandang. Kariyasa dan Kasryno (2004) menyebutkan bahwa, usaha ternak sapi akan efektif dan efisien jika manajemen pemeliharaan diintegrasikan dengan tanaman sebagai sumber pakan bagi ternak itu sendiri. Ternak sapi menghasilkan pupuk untuk mencapai produksi tanaman, sedangkan tanaman dapat menyediakan pakan hijauan bagi ternak. Keberhasilan program Simantri sangat ditentukan oleh tingkat efektivitas dan efisiensi pelaksanaan program dalam mencapai tujuan atau sasaran. Dari beberapa permasalahan yang muncul dilapangan, nampaknya masih terdapat kesenjangan antara maksud dan tujuan Simantri dengan pelaksanaan Simantri dan pencapaian indikator keberhasilan Simantri oleh petani-peternak anggota Gapoktan Simantri. Djunaedi (2003) menyatakan bahwa prinsip efektif itu adalah kemampuan mencapai sasaran dan tujuan akhir melalui kerjasama orang-orang dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada dengan seefisien mungkin. Efektivitas dan efisiensi pelaksanaan program Simantri akan bermuara pada peningkatan pendapatan, akibat dari adanya penurunan biaya produksi atau peningkatan hasil produksi dengan jumlah input dan metode yang sama. Ditinjau dari perspektif pengurangan kemiskinan, Leeuwis (2009) mengatakan bahwa pertanian yang mengandalkan banyak sekali input
eksternal
bukan
merupakan
model
pembangunan yang paling layak bagi banyak penduduk desa yang miskin, karena sangat sulit bagi mereka mendapatkan input yang diperlukan. Efektivitas dan efisiensi petani-peternak dalam menerapkan program Simantri dalam hal usaha peternakan sapi, usaha tanaman pangan serta usaha pengolahan
61
limbah ternak sapi sangat berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan mereka. Semakin efektif petani-peternak menerapkan program Simantri, secara otomatis akan terjadi efisiensi biaya, dimana hal ini akan dapat mengurangi pengeluaran biaya usaha dalam pemeliharaan ternak sapi, usaha tanaman pangan serta usaha pengolahan limbah ternak sapinya. Biaya usaha rendah yang berasal dari luar sistem usaha tani (low eksternal input cost) ini akan dapat meningkatkan pendapatan petani-peternak dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Program Simantri yang mengadopsi model Prima Tani diharapkan dapat meningkatkan
pendapatan
petani-peternak
anggota
Gapoktan
Simantri,
peningkatan pendapatan petani pelaksana, minimal 2 (dua) kali lipat dalam 4-5 tahun ke depan dari awal mereka menerapkan program Simantri (Dinas Pertanian Tanaman Pangan, 2010). Hal ini cukup beralasan dikarenakan model Prima Tani ternyata mampu memberikan dampak ekonomi secara signifikan. Di Desa Sepang Buleleng, dengan pola integrasi kopi-kambing, pendapatan awal petani Rp 5.721.700,- tahun 2005, meningkat menjadi Rp14.189.200,- tahun 2008 atau meningkat 148% (Guntoro et al., 2009). Demikian juga di Desa Sanggalangit Buleleng, pada kawasan lahan marginal dengan pola integrasi jagung/hortikulturasapi yang didukung irigasi embung, dapat meningkatkan pendapatan dari Rp 4.094.000,- tahun 2005 menjadi Rp 9.696.300,- tahun 2008, meningkat 136,84 % (Adijaya et al., 2009). Sebagai informasi tambahan, dapat dikemukakan bahwa hasil studi serupa oleh Tim Anjak Badan Libang Pertanian tahun 2005 di Bali, bahwa usahatani padi-sapi yang dikelola secara parsial memberi keuntungan total
62
Rp 3.492.000,- sedangkan yang dikolola secara terpadu (integrasi) sebesar Rp 4.430.000,-per musim, sehingga ada peningkatan pendapatan 29,29%. Suwandi (2005) melaporkan bahwa integrasi sapi potong-padi di Kabupaten Sragen
meningkatkan
pendapatan
petani
dan
kesuburan
tanah
akibat
bertambahnya unsur hara dari kompos. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan hasil gabah per musim (Rp145.000/ha). Selain itu, produktivitas pakan meningkat (dihitung dari nilai penghematan konsentrat Rp1,5 juta/tahun), serta kesempatan kerja bertambah melalui pengelolaan limbah, mencapai 100 HOK atau Rp1 juta/tahun (Suwandi 2005). Bunch (2001) mengatakan bahwa teknologi yang pertama kali yang dianjurkan program harus dapat meningkatkan penghasilan petani sebesar 50%-150%. Kecepatan adopsi inovasi akan berjalan lebih cepat, apabila teknologi baru tersebut memberikan keuntungan yang relatif lebih besar dari nilai yang dihasilkan teknologi lama. Program Simantri akan berdampak positif apabila tujuan program ini dapat tercapai dan perubahan perilaku khalayak sasaran sebagai tujuan akhir dapat diamati dan diukur. Pencapaian tujuan tersebut, menurut Hubies et al. (1995) harus dicirikan dengan : (1) timbulnya kesadaran masyarakat untuk memahami manfaat inovasi, (2) perwujudan tindakan kongkret masyarakat dalam bentuk mengadopsi inovasi tersebut, dan (3) timbulnya sumberdaya manusia yang berkualitas sebagai akibat adopsi inovasi.
63
3.2 Kerangka Konsep Fokus penelitian ini hanya akan membahas bagaimana tingkat efektivitas penerapan Simantri oleh anggota Gapoktan Simantri, sejauhmana pengaruh kualitas SDM petani-peternak (X1) dan kondisi Gapoktan Simantri (X2) terhadap penerapan usaha peternakan sapi (X3), penerapan usaha tanaman pangan (X4), dan penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi (X5); sejauhmana pengaruh penerapan usaha peternakan sapi (X3), penerapan usaha tanaman pangan (X4), dan penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi (X5) terhadap efektivitas penerapan Simantri (Y); serta hal yang terpenting adalah sejauhmana pengaruh efektivitas penerapan Simantri (Y) terhadap peningkatan pendapatan petanipeternak. Keterkaitan antar variabel yang berpengaruh terhadap tingkat penerapan kebijakan Simantri di Bali, kualitas SDM petani-peternak, kondisi Gapoktan Simantri, kemampuan penerapan usaha peternakan sapi, kemampuan penerapan usaha tanaman pangan, kemampuan penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi, serta pengaruh efektivitas penerapan Simantri terhadap peningkatan pendapatan petani-peternak digambarkan dalam model penelitian (Gambar 3.1).
64
Kebijakan Simantri di Bali
Kualitas SDM Petani-Peternak (X1) Kondisi Gapoktan Simantri (X2) 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)
Umur (X11) Pendidikan formal (X12) Pendidikan non formal (X13) Pengetahuan tentang Simantri (X14) Sikap tentang Simantri (X15) Keterampilan tentang Simantri (X16) Pengalaman (X17)
Penerapan Usaha Peternakan Sapi (X3) 1. Penggunaan bibit yang baik (X31) 2. Penyediaan kandang yang baik (X32) 3. Penyediaan dan pemberian pakan yang baik (X33) 4. Pemeliharaan yang baik (X34) 5. Pengendalian penyakit (X35) 6. Pemahaman reproduksi (X36)
1) Jarak tempat tinggal (X21) 2) Budaya lokal (X22) 3) Interaksi sosial (X23)
Penerapan Usaha Tanaman Pangan (X4)
Penerapan Usaha Pengolahan Limbah Ternak Sapi (X5)
1. Produk utama tanaman (X41)
1. Biogas (X51)
2. Produk limbah tanaman (X42)
2. Kompos (X52) 3. Biourine (X53)
Efektivitas Penerapan Simantri (Y)
Peningkatan Pendapatan Petani-Peternak
Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian Efektivitas Penerapan Simantri dan Pengaruhnya terhadap Peningkatan Pendapatan Petani-Peternak di Bali
65
3.2 Hipotesis Sebagai dasar analisis, maka dalam penelitian ini dapat diajukan hipotesis sebagai berikut: 1. Tingkat penerapan Simantri tergolong sedang. 2. Kualitas
SDM
petani-peternak
dan
kondisi
Gapoktan
Simantri
berpengaruh positif terhadap penerapan usaha peternakan sapi, penerapan usaha tanaman pangan, dan penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi. 3. Efektivitas penerapan Simantri di Bali tergolong kurang efektif. 4. Penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi berpengaruh paling dominan terhadap efektivitas penerapan Simantri 5. Efektivitas penerapan Simantri berpengaruh positif terhadap peningkatan pendapatan petani-peternak.
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian survai yang dirancang sebagai penelitian penjelasan (explanatory research design) karena bermaksud untuk menjelaskan hubungan antara peubah bebas (independent variables) dengan peubah tidak bebas (dependent variables) melalui pengujian hipotesa (Singarimbun dan Effendi, 2006 dan Kerlinger, 2000). Penelitian ini juga berusaha menggambarkan kondisi tingkat penerapan Simantri oleh petani-peternak, efektivitas Simantri, serta menjelaskan alasan-alasan di balik hubungan antar variabel tersebut terhadap peningkatan pendapatan petani-peternak anggota Gapoktan Simantri sehingga disebut Explanatory Descriptive Studies.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di delapan Kabupaten dan satu Kotamadya di Bali. Lokasi ini ditentukan berdasarkan purposive, karena kegiatan Simantri telah tersebar di delapan Kabupaten dan satu Kotamadya yang ada di Bali. Terdapat 16 kelompok Simantri di Kabupaten Buleleng, masing-masing 3 kelompok Simantri di kabupaten Jembrana, Tabanan, Badung, dan Gianyar, 2 kelompok Simantri di Kabupaten Klungkung, 7 kelompok Simantri di Kabupaten Bangli, 8 kelompok Simantri di Kabupaten Karangasem, serta 1 kelompok Simantri di Kota Denpasar. Penelitian ini dilakukan dari bulan Desember 2012 sampai dengan bulan Februari 2013. Informasi tentang lokasi kegiatan Simantri diperoleh dari data Dinas
66
67
Pertanian Tanaman Pangan, Provinsi Bali, sedangkan untuk nama peternak diperoleh langsung dari Gapoktan peserta Simantri.
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian Populasi merupakan keseluruhan responden pengamatan yang menjadi perhatian dalam penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah semua Gapoktan Simantri yang mengintegrasikan sapi bali-tanaman yang tersebar di delapan Kabupaten dan satu Kotamadya di Bali. Sedangkan, populasi sasarannya adalah Gapoktan Simantri yang sudah mengikuti program Simantri minimal dua tahun. Sampel adalah bagian dari populasi yang ciri-cirinya telah ditentukan. Jenis unit analisis dalam penelitian ini adalah kelompok, yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah populasi seluruh Gapoktan yang mengikuti Simantri dari tahun 2009-2010 yang berjumlah 46 kelompok, yang anggotanya bermata pencaharian sebagai petani-peternak. Responden yang mewakili kelompok ditentukan secara purposive yang terdiri atas ketua, sekretaris, bendahara kelompok. Metode yang digunakan dalam pengambilan sampel ini adalah metode sensus mengingat jumlah responden yang tidak terlalu banyak serta agar lebih diperoleh hasil penelitian yang lebih akurat. Metode sensus menurut Singarimbun dan Effendi (2006) adalah suatu cara pengambilan responden dengan mengambil semua unit analisis dari suatu populasi. Prosedur pengambilan data responden adalah sebagai berikut :
68
(1) Mencatat lokasi kegiatan Simantri di delapan kabupaten dan satu kotamadya di Bali yang diperoleh dari data Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Provinsi Bali. (2) Membuat daftar nama petani-peternak dari setiap Gapoktan Simantri yang terpilih. (3) Responden penelitian diambil secara purposive dari populasi sasaran yang sudah diklasifikasikan.
4.4 Variabel Penelitian 4.4.1 Definisi operasional variabel Definisi operasional variabel merupakan penjelasan variabel yang dapat dioperasikan langsung sesuai maksud penelitian untuk dapat diamati dan diukur. Dalam penelitian ini definisi operasional variabel yang dimaksud adalah : 1.
Kualitas SDM petani-peternak adalah kondisi atau kemampuan yang dimiliki petani-peternak untuk menerapkan Simantri, yang dinilai dari internal individu.
2.
Umur adalah jumlah lamanya waktu kelahiran petani-peternak anggota Simantri hingga saat ini.
3.
Pendidikan formal, yaitu tingkat pendidikan yang dicapai petani-peternak anggota Gapoktan Simantri pada bangku sekolah atau lembaga pendidikan formal.
4.
Pendidikan non formal, yaitu pendidikan di luar sekolah dalam hal ini frekuensi mengikuti kegiatan kursus/pelatihan/sekolah lapang.
69
5.
Pengetahuan adalah segala sesuatu tentang konsep dan penerapan Simantri yang diketahui oleh petani-peternak anggota Gapoktan Simantri yang berhubungan dengan teknik bertani, beternak, dan mengolah kotoran sapi menjadi pupuk padat dan cair.
6.
Sikap adalah suatu posisi setuju tidak setuju, atau senang tidak senang terhadap berbagai hal yang berhubungan dengan konsep-konsep penerapan Simantri.
7.
Pengalaman adalah lamanya waktu dari seorang petani-peternak anggota Gapoktan Simantri dalam melakukan kegiatan bertani/berkebun maupun beternak sapi bali.
8.
Kondisi Gapoktan Simantri adalah keadaan anggota dalam Gapoktan Simantri yang dapat dilihat dari jarak tempat tinggal, budaya lokal dan interaksinya.
9.
Jarak tempat tinggal adalah jarak antara tempat tinggal petani-peternak anggota Gapoktan Simantri dengan lokasi Simantri yang dinyatakan dalam kilometer.
10. Budaya lokal adalah nilai, norma, kekhasan, prilaku yang melekat pada diri petani-peternak anggota Gapoktan Simantri yang dianggap baik dan diterapkan di lokasi tersebut dalam kehidupan sehari-hari. 11. Interaksi adalah hubungan komunikatif intern antar petani-peternak anggota Gapoktan Simantri dan hubungan komunikatif petani-peternak anggota Gapoktan Simantri dengan tenaga pendamping Simantri yang bertujuan untuk semakin memantapkan penerapan program Simantri.
70
12. Penerapan usaha peternakan sapi adalah suatu cara atau teknik pemeliharaan sapi Bali induk sampai dengan menghasilkan anak yang siap untuk dijual sebagai bibit. 13. Penggunaan bibit yang baik adalah cara pemilihan bibit ternak sapi Bali yang berkualitas unggul yang akan digunakan untuk calon induk. 14. Penyediaan kandang yang baik adalah menyiapkan kandang yang baik sesuai dengan sapi induk yang dipelihara, meliputi desain dan konstruksi kandang. 15. Penyediaan dan pemberian pakan yang baik adalah suatu cara untuk menyediakan pakan dengan kualitas yang baik dan pemberian pakan sesuai dengan stadia fisiologis dari ternak sapi yang dipelihara. 16. Pemeliharaan yang baik adalah suatu cara pemeliharaan yang memenuhi kaidah-kaidah pemeliharaan ternak sapi yang baik sehingga diperoleh hasil maksimal. 17. Pengendalian penyakit adalah segala cara yang perlu dilakukan petanipeternak untuk mencegah terserangnya ternak sapi dari penyakit. 18. Pemahaman reproduksi adalah pengetahuan petani-peternak mengenai prinsip-prinsip dasar sistem reproduksi sapi Bali betina yang meliputi siklus birahi, pengenalan tanda-tanda birahi, saat yang tepat untuk kawin suntik, sampai dengan hal-hal yang menyebabkan sapi Bali betina tidak birahi.
71
19. Penerapan usaha tanaman pangan adalah semua jenis tanaman yang mungkin ditanam dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan pasar atau konsumen. 20. Produk utama tanaman adalah hasil tanaman pangan yang ditanam di lahan petani dan menjadi andalan bagi usaha tani petani-peternak. 21. Produk limbah tanaman adalah gulma yang menggangu pertumbuhan tanaman pangan, sisa tanaman holtikultura atau perkebunan, serta jerami dari tanaman pangan yang masih dapat digunakan sebagai pakan ternak sapi. 22. Penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi adalah cara atau teknik yang digunakan untuk mengolah kotoran sapi baik yang padat maupun cair menjadi pupuk organik serta energi alternatif (biogas). 23. Biogas adalah gas yang dihasilkan oleh aktivitas bakteri anaerob atau fermentasi dari bahan-bahan limbah organik seperti kotoran dan kencing sapi. 24. Kompos adalah pupuk organik padat yang didapat dari proses penguraian parsial atau tidak lengkap atas campuran bahan-bahan limbah organik (kotoran sapi) yang dipercepat secara artifisial oleh populasi mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat dan lembab. 25. Biourine adalah pupuk organik cair yang terbuat dari kencing sapi yang diolah melalui proses fermentasi dengan fermentor bakteri tertentu.
72
26. Efektivitas penerapan Simantri adalah suatu keadaan yang menunjukkan tingkat capaian maksimum dari tujuan program Simantri oleh Gapoktan Simantri. 27. Keberhasilan
penerapan
Simantri
adalah
suatu
keadaan
yang
menggambarkan sejauh mana Gapoktan Simantri telah berhasil mencapai tujuan atau harapan pelaksanaan program Simantri, yang diukur berdasarkan indikator tertentu. 28. Efisiensi Simantri adalah suatu ukuran yang menunjukkan sejauhmana sudah terjadi pengurangan input dengan hasil yang tetap atau lebih (low eksternal input), atau terjadinya peningkatan jumlah output dengan jumlah input yang tetap atau lebih kecil.
4.4.2 Pengukuran variabel penelitian Pengukuran variabel penelitian dilakukan berdasarkan indikator dan parameter. Pengukuran adalah pemberian angka pada obyek atau kejadian berdasarkan kaidah-kaidah tertentu (Kerlinger, 2000), dan pemberian nilai dalam bentuk angka pada suatu obyek (Cohen dan Nagel, 1984). Mengukur obyek, dilakukan melalui mengukur indikasi atau ciri-ciri obyek pengamatan, berdasarkan hal-hal yang diduga merupakan indikasi sifat-sifat obyek yang diamati tersebut (Kerlinger, 2000).
73
Pengukuran dilakukan terhadap beberapa variabel sebagai berikut : (1) Kualitas SDM Petani-Peternak (X1) Peubah kualitas SDM petani-peternak diukur berdasarkan indikator dan parameter peubah seperti terlihat pada Tabel 4.1. Berdasarkan telaah pustaka terdapat tujuh indikator dan dua puluh dua parameter.
Tabel 4.1 Indikator dan Parameter Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Petani-Peternak Variabel Indikator Sumber 1) Umur (X11) Daya Manusia (SDM) 2) Tingkat Pendidikan PetaniFormal (X12) Peternak (X1) 3) Tingkat Pendidikan Non Formal (X13)
4) Pengetahuan tentang Simantri (X14) 5) Sikap tentang Simantri (X15)
6) Keterampilan tentang Simantri (X16) 7) Pengalaman (X17)
Parameter Umur petani-peternak anggota Gapoktan Simantri saat penelitian (1) SD (2) SMP (3) SMU (4) Akademi (5) Sarjana (1) Jumlah keikutsertaan dalam pelatihan beternak sapi induk (2) Jumlah keikutsertaan dalam pelatihan bertani tanaman pangan (3) Jumlah keikutsertaan dalam pelatihan pengolahan limbah ternak sapi (1) Peternakan sapi (2) Pertanian tanaman pangan (3) Pengolahan limbah ternak sapi (1) Konsep Simantri (2) Peternakan sapi (3) Pertanian tanaman pangan (4) Pengolahan limbah ternak sapi (1) Peternakan sapi (2) Pertanian tanaman pangan (3) Pengolahan limbah ternak sapi (1) Peternakan sapi (2) Pertanian tanaman pangan (3) Pengolahan limbah ternak sapi
74
(4) Kondisi Gapoktan Simantri (X2) Peubah kondisi Gapoktan Simantri diukur berdasarkan indikator dan parameter peubah seperti terlihat pada Tabel 4.2. Berdasarkan telaah pustaka terdapat tiga indikator dan enam parameter.
Tabel 4.2. Indikator dan Parameter Kondisi Gapoktan Simantri Variabel Indikator Parameter Kondisi Gapoktan Simantri (X2)
1) Jarak Tempat Tinggal (X21) 2) Budaya Lokal (X22)
3) Interaksi Sosial (X23)
(1) Rumah dengan lokasi Simantri (2) Rumah dengan lahan garapan (1) Keterikatan kegiatan adat dan keagamaan di desa (2) Pengaruh kegiatan adat dan keagamaan di desa terhadap kinerja (1) Petani dengan petani (2) Petani dengan tenaga pendamping
(5) Penerapan Usaha Peternakan Sapi Bali (X3) Peubah penerapan usaha peternakan sapi bali diukur berdasarkan indikator dan parameter peubah seperti terlihat pada Tabel 4.3. Berdasarkan telaah pustaka terdapat enam indikator dan dua belas parameter. Pengukuran penerapan usaha peternakan sapi Bali dilakukan dengan cara memberi nilai 5 bila melakukan keempat item pernyataan, nilai 4 bila melakukan tiga item pernyataan, nilai 3 bila melakukan dua item pernyataan, nilai 2 bila melakukan hanya satu item pernyataan, dan nilai 1 bila tidak melakukan sama sekali.
75
Tabel 4.3. Indikator dan Parameter Penerapan Usaha Peternakan Sapi Bali Variabel Indikator Parameter Penerapan 1. Penggunaan bibit (1) Tujuan pemilihan bibit yang baik Usaha yang baik (X21) (2) Ciri fisik yang diperhatikan dalam Peternakan pemilihan bibit Sapi Bali 2. Penyediaan (1) Desain kandang sesuai dengan konsep (X2) kandang yang Simantri baik (X22) (2) Syarat kandang yang baik 3. Penyediaan dan (1) Cara penyediaan dan pemberian pakan pemberian pakan yang baik dari segi jumlah (kuantitas) yang baik (X23) (2) Cara penyediaan dan pemberian pakan yang baik dari segi nutrien (kualitas) 4. Pemeliharaan (1) Recording/pencatatan yang baik yang baik (X24) (2) Menyediakan kebutuhan ternak sapi yang dipelihara sesuai dengan stadia fisiologisnya 5. Pengendalian (1) Pencegahan dan pengendalian penyakit penyakit (X25) (2) Pemeriksaan kesehatan sapi secara rutin 6. Pemahaman (1) Pemahaman tentang siklus birahi reproduksi (X26) (2) Pemahaman tentang efisiensi reproduksi
(4) Penerapan Usaha Tanaman Pangan (X4) Peubah penerapan usaha tanaman pangan terdiri atas dua indikator yang masing-masing diukur berdasarkan parameter seperti pada Tabel 4.4. Berdasarkan telaah pustaka terdapat dua indikator dengan tujuh parameter. Tabel 4.4. Indikator dan Parameter Penerapan Usaha Tanaman Pangan Variabel Penerapan Usaha Tanaman Pangan (X3)
Indikator 1. Produk utama tanaman (X31)
2. Produk limbah tanaman (X32)
(1) (2) (3) (4) (5) (1) (2)
Parameter Pemilihan bibit unggul Melakukan penanaman Pemupukan Jumlah produksi Penanganan pasca panen Penggunaan limbah tanaman untuk pakan ternak Jumlah yang tersedia untuk makanan ternak
76
(5) Penerapan Usaha Pengolahan Limbah Ternak Sapi (X5) Peubah penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi diukur berdasarkan indikator dan parameter peubah seperti terlihat pada Tabel 4.5. Berdasarkan telaah pustaka terdapat tiga indikator dan masing-masing indikator terdiri atas dua parameter. Tabel 4.5. Indikator dan Parameter Penerapan Usaha Pengolahan Limbah Ternak Sapi Variabel Penerapan Usaha Pengolahan Limbah Ternak Sapi (X4)
Indikator 1. Biogas (X41) 2. Kompos (X42) 3. Biourine (X43)
Parameter (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Produksi biogas Penggunaan biogas Produksi kompos Penggunaan kompos Produksi biourine Penggunaan biourine
(6) Efektivitas Penerapan Simantri (Y) Pengukuran variabel efektivitas penerapan Simantri diukur berdasarkan indikator dan parameter seperti terlihat pada Tabel 4.6. Variabel efektivitas penerapan Simantri terdiri atas dua indikator dan dua parameter. Pengukuran keberhasilan penerapan Simantri dilakukan dengan cara membagi menjadi tiga kategori, yaitu nilai 3 untuk kategori efektif, nilai 2 untuk kategori kurang efektif, dan nilai 1 untuk kategori tidak efektif. Cara yang sama juga dilakukan pada pengukuran efisiensi Simantri, yaitu nilai 3 untuk kategori efisien, nilai 2 untuk kategori kurang efisien, dan nilai 1 untuk kategori tidak efisien.
77
Tabel 4.6 Indikator dan Parameter Efektivitas Penerapan Simantri Variabel
Indikator
Parameter
Efektivitas Penerapan Simantri (Y)
1. Keberhasilan pencapaian tujuan Simantri (Y1) 2. Efisiensi Simantri (Y2)
Tercapainya tujuan program Simantri sesuai dengan indikator keberhasilan Simantri Terjadinya pengurangan input yang berasal dari luar sistem usaha tani (low eksternal input) serta terjadinya peningkatan jumlah output
4.5 Instrumen Penelitian Instrumen atau alat ukur merupakan hal yang sangat penting di dalam kegiatan penelitian, sebab hanya dengan instrumen atau alat ukur yang baik akan diperoleh data atau informasi yang relevan dengan tujuan penelitian. Oleh sebab itu, alat ukur penelitian harus memiliki validitas dan reliabilitas yang tinggi. Instrumen atau alat ukur yang dipergunakan sebagai pedoman wawancara untuk membantu memperoleh jawaban dari responden adalah kuesioner terstruktur dan tertutup yang dilengkapi dengan pertanyaan terbuka. Responden memberikan jawaban berdasarkan atas pertanyaan yang diajukan atau memilih alternatif jawaban yang sudah tersedia pada kuesioner. Penjelasan-penjelasan tambahan tertentu yang bersifat kualitatif dan mendalam yang belum tercakup dalam kuesioner tetapi berkaitan erat dengan masalah penelitian, ditanyakan dengan menggunakan pertanyaan terbuka sebagai pedoman wawancara, dan hasilnya dicatat dalam lampiran tersendiri. Sebelum melakukan penelitian, terlebih dahulu kuesioner diuji cobakan pada 30 orang responden yang merupakan anggota Gapoktan Simantri tahun 2009-
78
2010 yang bukan merupakan sampel sasaran instrumen penelitian terlebih dahulu diuji validitas dan reliabilitasnya (Singarimbun dan Effendi, 2006). Uji validitas dilakukan untuk mendapatkan instrumen yang mampu mengukur apa yang sebenarnya ingin diukur secara tepat. Pengujian validitas instrumen ini menggunakan validitas kriteria yang dihitung dengan analisis korelasi bivariate pearson product moment. Instrumen penelitian dikatakan valid apabila memiliki koefesien korelasi di atas 0,30. Uji reliabilitas dilakukan untuk mendapatkan instrumen dengan keterandalan yang tinggi dalam pengukuran variabel penelitian. Keterandalan instrumen akan terlihat dari konsistensinya dalam mengukur gejala yang sama bila dilakukan pengukuran ulang atau bila digunakan lebih dari satu kali pada tempat yang berbeda. Pengujian reliabilitas menggunakan metode one shot atau dilakukan satu kali saja, yang diukur menggunakan Cronbach Alpha (α). Suatu variabel dikatakan reliabel jika memberikan nilai Cronbach Alpha (α) diatas 0,60. 4.6 Pengumpulan Data 4.6.1 Jenis dan sumber data Dilihat dari jenis dan sumber data, maka data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang didapat langsung dari responden, sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh melalui catatan atau laporan yang ada di Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Provinsi Bali atau sumber lain yang dapat dipercaya. Pengumpulan data primer dilakukan dengan menggunakan metode survai yaitu suatu metode pengumpulan data dengan cara mendatangi dan mewawancarai
79
responden secara langsung, mendalam (depth interview) dan terstruktur dengan mempergunakan daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan (Singarimbun dan Effendi, 2006). Data primer bersumber dari para petani-peternak anggota Gapoktan Simantri pemelihara sapi Bali sebagai responden penelitian yang sudah ditetapkan dengan cara purposive. Data primer terdiri atas data kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif adalah data dalam bentuk angka atau data kualitatif yang diangkakan melalui teknik scoring. Data kualitatif adalah data yang tidak dapat diangkakan. Data sekunder merupakan data primer yang telah diolah dan tersajikan oleh pihak lain. Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari instansi terkait yaitu Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Bali, Dinas Peternakan Provinsi Bali, Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, dan publikasi pendukung lainnya yang ada kaitannya dengan penelitian ini.
4.6.2 Teknik pengumpulan data Pengumpulan data dilakukan dengan beberapa metode, yaitu : (1) Wawancara langsung kepada para petani-peternak yang menjadi sampel penelitian dengan menggunakan kuesioner terstruktur yang telah dipersiapkan sebelumnya. Wawancara dilakukan dengan cara mendatangi semua responden ke lokasi peternak, kemudian melakukan wawancara langsung secara terinci, terurut, dan mendalam sesuai daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan.
80
(2) Observasi yaitu pengumpulan data yang dilakukan dengan melakukan pengamatan langsung ke lokasi kelompok atau Gapoktan Simantri untuk mengamati kondisi petani-peternak dan kegiatan usaha yang dijalankan secara langsung. Hal ini bertujuan selain untuk mengetahui kondisi dari objek penelitian, juga untuk memperoleh informasi yang lebih jelas mengenai kinerja para petani-peternak responden. (3) Dokumentasi adalah metode pengumpulan data dengan cara meneliti dokumen-dokumen yang ada untuk dapat digunakan menurut kehendak peneliti, dapat dilakukan dengan cara mengambil data sekunder dari catatan atau buku yang ada pada instansi Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Pemerintah Provinsi Bali, Dinas Peternakan Provinsi Bali, Badan Pusat Statistik Provinsi Bali dan lainnya seperti lokasi kegiatan Simantri, jumlah peternak, keadaan umum daerah penelitian dan lain-lain.
4.7 Pengukuran Data Untuk mengambil suatu kesimpulan dari data yang diperoleh, digunakan metode deskriptif dan analisa statistika. Metode deskriptif merupakan metode yang digunakan untuk memperoleh gambaran atau deskripsi seperti : gambaran kondisi penerapan Simantri di Bali saat ini serta efektivitas penerapan Simantri, sedangkan metode analisis statistika adalah suatu metode yang digunakan untuk menguji kebenaran hipotesis dari suatu penelitian untuk mencapai tujuan penelitian (Mubyarto dan Suratno, 1981).
81
Variabel kualitas SDM petani-peternak (X1), kondisi Gapoktan Simantri (X2), penerapan usaha peternakan sapi (X3), penerapan usaha tanaman pangan (X4), penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi (X5) dan efektivitas penerapan Simantri (Y) ditabulasi. Untuk mengukur semua indikator dari variabel (X1), (X2), (X3), (X4), (X5), dan (Y) digunakan skala jenjang lima (1,2,3,4, dan 5). Berikutnya, untuk memudahkan pembahasan hasil dalam penelitian ini, hasil akhir diklasifikasikan menjadi lima kategori yaitu sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah dan sangat rendah. Untuk pernyataan positif, respon selalu dan sangat baik diberi skor 5, sedangkan respon tidak pernah dan buruk diberi skor 1. Demikian juga sebaliknya, untuk pernyataan negatif, respon tidak pernah dan buruk diberi skor 5, sedangkan respon selalu dan sangat baik diberi skor 1 (Singarimbun dan Effendi, 2006). Perolehan total skor (nilai) untuk (X1), (X2), (X3), (X4), (X5), dan (Y) disajikan dalam bentuk persen (%) yang didasarkan atas skor maksimum ideal (Singarimbun dan Effendi, 2006), dengan rumus sebagai berikut : X x
100%
SMI Keterangan : X
= perolehan skor
SMI = skor maksimum ideal Penentuan kategori variabel dilakukan berdasarkan skor yang dicapai oleh responden dengan menggunakan rumus ”interval class” yaitu membagi selisih nilai tertinggi dan terendah dengan banyaknya kategori (Dajan, 1986). Dengan
82
menggunakan rumus interval kelas tersebut maka dapat diketahui nilai kategori untuk setiap variabel. Rumusnya adalah sebagai berikut :
Jarak kelas IK= Jumlah kategori
Keterangan: IK
= interval kelas
Jarak kelas
= nilai data tertinggi dikurangi nilai data terendah (skor maksimum – skor minimum)
Jumlah kelas = jumlah kategori yang ditentukan Perolehan total skor variabel didasarkan atas jumlah pertanyaan dalam kuesioner (tidak dalam bentuk %), sedangkan proporsi atau rata-rata perolehan skor variabel adalah perolehan total skor dibagi dengan jumlah pertanyaan sebagai berikut (Singarimbun dan Effendi, 2006) :
Perolehan total skor Proporsi skor = Jumlah pertanyaan
Untuk variabel (X1), (X2), (X3), (X4), (X5), dan (Y) diklasifikasikan berdasarkan kriteria sebagai berikut :
83
Tabel 4.7 Kategori Pencapaian Skor Variabel Terkait Penelitian No
Pencapaian skor
Kualitas SDM PetaniPeternak (X1)
Kondisi Gapoktan Simantri (X2)
1
> 4,2 – 5
2 3 4 5
> 3,4 – 4,2 > 2,6 – 3,4 > 1,8 – 2,6 1 – 1,8
Sangat tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat rendah
Sangat baik Baik Sedang Buruk Sangat buruk
Katagori Variabel Penerapan Penerapan Usaha Usaha Peternakan Tanaman Sapi Pangan (X3) (X4) Sangat tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat rendah
Sangat tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat rendah
Penerapan Usaha Pengolahan Limbah Ternak Sapi (X5) Sangat tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat rendah
Efektivitas Penerapan Simantri (Y)
Sangat efektif Efektif Kurang efektif Tidak efektif Sangat tidak efektif
4.8 Pengolahan dan Analisis Data Kegiatan pengolahan data dilakukan dengan prosedur sebagai berikut (Koentjaraningrat, 1989) : 1. Mengedit data, yaitu data yang telah dikumpulkan perlu dibaca kembali dan dikoreksi jika masih terdapat hal-hal yang salah atau masih meragukan. 2. Mengelompokkan kuesioner sesuai klasifikasi yang telah ditentukan. 3. Mengkode data sesuai dengan buku kode yang telah dipersiapkan. 4. Mentabulasi data, yaitu memasukkan data ke dalam tabel Smart PLS versi 2.0. Data yang telah terkumpul dianalisis dengan cara analisis kuantitatif dan kualitatif. Data yang diperoleh dari hasil wawancara atau dari kuesioner ditransformasikan menjadi angka (skor), sehingga memungkinkan untuk dianalisis dengan cara kuantitatif.
84
4.8.1 Analisis pengaruh variabel bebas terhadap variabel tidak bebas Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model persamaan struktural (Structural Equation Modelling-SEM) berbasis variance atau component based SEM, yang dikenal dengan Partial Least Square (PLS). PLS merupakan metode analisis yang powerful karena dapat diterapkan pada semua skala data, tidak membutuhkan banyak asumsi dan ukuran sampel tidak harus besar (Ghozali, 2011). Dalam penelitian ini analisis PLS digunakan untuk menganalisis pengaruh variabel kualitas SDM petani-peternak terhadap penerapan usaha peternakan sapi, penerapan usaha tanaman pangan, dan penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi. Begitupun halnya dengan pengaruh kondisi Gapoktan Simantri terhadap penerapan usaha peternakan sapi, penerapan usaha tanaman pangan, dan penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi. Analisis yang sama juga digunakan untuk menganalisis pengaruh penerapan usaha peternakan sapi, penerapan usaha tanaman pangan, dan penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi terhadap efektivitas penerapan Simantri. Selain itu analisis PLS juga digunakan untuk menganalisis pengaruh efektivitas penerapan Simantri terhadap peningkatan pendapatan petani-peternak. Adapun alasan mengapa PLS dinilai cocok diterapkan pada penelitian ini, adalah sebagai berikut : 1) Analisis PLS digunakan karena seluruh variabel yang digunakan dalam penelitian ini merupakan variabel laten yang tidak bisa diukur secara langsung. PLS juga memungkinkan analisis sekaligus atas variabel laten
85
dengan beberapa indikator. PLS merupakan metode umum untuk mengestimasi path model yang menggunakan variabel laten dengan multiple indicator. Hal ini sesuai dengan model empirik dalam penelitian ini (Gambar 4.1). Dengan model empirik tersebut ada tiga langkah pengujian yang dilakukan, antara lain : a) Pemeriksaan validitas dan reliabilitas indikator pengukuran variabel laten (analisis faktor konfirmatori - CFA). b) Pengujian model hubungan antar variabel laten (analisis path). c) Mendapatkan model yang bermanfaat untuk estimasi (model struktural atau model regresi). Dengan menggunakan PLS memungkinkan untuk melakukan pengujian rangkaian hubungan yang relatif kompleks secara sekaligus. Model analisis jalur untuk semua variabel dalam PLS terdiri dari tiga rangkaian hubungan, yaitu : 1) inner model yang menspesifikasikan hubungan antar variabel laten (structural model), 2) outer model yang menspesifikasikan hubungan antar variabel laten dengan indikator (measurement model), 3) weight relation dimana nilai kasus dari variabel laten dapat diestimasi. Tanpa kehilangan generalisasi, dapat diasumsikan bahwa variabel laten dan indikator atau manifest variabel diskala zero means dan unit variance (nilai standardised) sehingga parameter lokasi (parameter konstanta) dapat dihilangkan dalam model (Ghozali, 2011). 2) PLS dapat menganalisis sekaligus konstruk yang dibentuk dengan indikator refleksif dan indikator formatif PLS yang mana hal ini tidak mungkin
86
dijalankan dalam SEM karena akan terjadi unidentified model, bahkan konstruk dengan item (indikator) tunggal (Ghozali, 2011). Dalam penelitian ini, model struktural yang dianalisis memenuhi model rekursif dan semua indikator dari variabel penelitian ini yaitu : kualitas SDM petani-peternak (X1), kondisi Gapoktan Simantri (X2), penerapan usaha peternakan sapi (X3), penerapan usaha tanaman pangan (X4), penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi (X5), efektivitas penerapan Simantri (Y), dan peningkatan pendapatan petani-peternak menggunakan indikator reflektif. 3) Metode PLS mempunyai keunggulan tersendiri diantaranya : data tidak harus berdistribusi normal multivariate (indikator dengan skala kategori, ordinal, interval sampai rasio dapat digunakan pada model yang sama) dan ukuran sampel tidak harus besar. Walaupun PLS digunakan untuk menkonfirmasi teori, tetapi dapat juga digunakan untuk menjelaskan ada atau tidaknya hubungan antara variabel laten. 4) PLS merupakan motode analisis untuk causal-predictive analysis dalam situasi kompleksitas yang tinggi dan dukungan teori yang rendah. Pada PLS, perancangan model bisa berbasis teori, hasil penelitian empiris, analogi, normatif dan rasional (Ghozali, 2011). Selanjutnya dikatakan fokus dalam PLS adalah mendapatkan model prediktif yang merupakan hubungan antar variabel yang sebelumnya tidak diketahui, berguna untuk tujuan eksplorasi. Oleh sebab itu, analisis PLS memungkinkan melakukan eksplorasi hubungan antar variabel laten, sehingga sebagai perancangan model struktural bisa berupa proposisi.
87
Berdasarkan kerangka konseptual penelitian yang dibangun atas dasar teori dan kajian-kajian penelitian terdahulu, maka dapat digambarkan model empirik penelitian pada Gambar 4.1. Model empirik dalam penelitian ini dibagi menjadi dua model yaitu: 1) Model struktural (Inner model) yang menspesifikasikan hubungan antar variabel laten. Pada penelitian ini, model struktural adalah kualitas SDM petani-peternak (X1), kondisi Gapoktan Simantri (X2), penerapan usaha peternakan sapi (X3), penerapan usaha tanaman pangan (X4), penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi (X5), efektivitas penerapan Simantri (Y), dan peningkatan pendapatan petani-peternak; 2) Model pengukuran (outer model) menspesifikasikan hubungan blok indikator/butir pertanyaan dengan variabel latennya.
Gambar 4.1. Model Empirik Penelitian Pengolahan serta analisis data dalam penelitian ini menggunakan bantuan software Smart PLS versi 2.0 karena dapat dikontraksi menggunakan diagram jalur. Software ini digunakan karena memiliki tampilan output dan diagram jalur
88
yang baik. Evaluasi model dalam PLS terdiri atas tiga bagian, yaitu evaluasi model pengukuran, evaluasi model struktural dan pengujian hipotesis. Penjelasan lebih lanjut dipaparkan sebagai berikut : 1) Evaluasi Model Pengukuran atau Outer Model Model pengukuran atau outer model dengan indikator reflektif dievaluasi berdasarkan hasil convergent dan discriminant validity dari indikator dan composite reliability untuk blok indikator. Model pengukuran dengan indikator formatif dievaluasi dengan membandingkan besarnya relative weight dan melihat signifikansi dari ukuran weight tersebut (Ghozali, 2011). Dalam penelitian ini semua variabel merupakan variabel laten dengan indikator reflektif, sehingga evaluasi model pengukuran adalah sebagai berikut : a. Convergent validity Convergent validity merupakan bagian pertama dari pengujian model pengukuran. Indikator dianggap valid apabila memiliki nilai bobot pengukuran diatas 0.4 dan nilai T-Statistik diatas 1.96 (pada derajat bebas besar atau n = 500, statistik mendekati Z. Sementara, α = 0.05 nilai kritisnya 1.96 (Ferdinand, 2002)). b. Discriminant validity Pengujian discriminant validity dapat dilakukan dengan memeriksa cross loading dengan variabel latennya atau dengan membandingkan nilai square root of average variance extracted (AVE) setiap variabel laten dengan korelasi antar variabel laten dalam model. Apabila nilai cross loading setiap indikator pada variabel bersangkutan nilainya
89
terbesar dibandingkan dengan cross loading pada variabel laten lainnya, maka dapat dikatakan valid. Atau dengan cara lain yaitu jika akar kuadrat AVE variabel laten lebih besar dari korelasi seluruh variabel latennya maka dikatakan memiliki diskriminant validity yang baik. Direkomendasikan nilai AVE harus lebih besar dari 0.50. c. Reliabilitas gabungan (Composite reliability (pc)) Pengujian terakhir pada model pengukuran adalah menguji reliabilitas gabungan, yaitu menguji nilai reliabilitas antar blok indikator dari konstruk yang membentuknya. Kelompok indikator yang mengukur sebuah variabel memiliki reliabilitas komposit yang baik jika memiliki nilai composite reliability diatas 0.60 (pc ≥ 0.60) 2) Evaluasi Model Struktural atau Inner Model Goodness Of Fit Model diukur dengan menggunakan R-square predictive relevance untuk model struktural. Q-square predictive relevance untuk model struktural, digunakan untuk mengukur seberapa baik nilai observasi yang dihasilkan oleh model dan juga estimasi parameternya. Nilai Q² > 0 menunjukkan model memiliki predictive relevance, sebaliknya jika nilai Q² ≤ 0 menunjukkan model kurang memiliki predictive relevance. Besarnya Q² memiliki nilai dengan rentang 0 < Q² < 1. Q² yang semakin mendekati nilai 1 berarti menunjukkan bahwa model semakin baik. 3) Pengujian Hipotesis Pengujian hipotesis dilakukan dengan uji statistik t (t-test). Apabila di dalam pengujian diperoleh p-value < 0,05 (alpha 5%), berarti dalam pengujian
90
signifikan, dan sebaliknya kalau p-value > 0,05 (alpha 5%), berarti tidak signifikan. Bilamana hasil pengujian hipotesis pada model pengukuran signifikan, berarti indikator dipandang dapat digunakan sebagai instrument pengukuran variabel laten. Sementara , apabila hasil pengujian pada model struktural adalah signifikan, maka dapat diartikan terdapat pengaruh yang bermakna dari variabel laten yang satu terhadap variabel laten lainnya.
4.8.2 Analisis efektivitas simantri Untuk mengukur efektivitas penerapan program Simantri, dilakukan dengan analisis efektivitas yang didasarkan pada observasi secara langsung dan hasil wawancara secara mendalam pada pengurus kelompok. Hasil observasi dan wawancara ini kemudian dibandingkan dengan tujuan atau sasaran yang ingin dicapai dari penerapan program Simantri ini di Bali yang bersumber pada indikator keberhasilan Simantri. Adapun indikator keberhasilan Simantri antara lain : (1) peningkatan luas tanam, peningkatan kuantitas dan kualitas hasil pertanian, peternakan dan perikanan; (2) tersedianya pakan ternak yang berkualitas sepanjang tahun; (3) berkembangnya kelembagaan dan SDM baik petugas pertanian maupun petani; (4) terciptanya lapangan kerja melalui pengembangan diversifikasi usaha pertanian dan industri rumah tangga; (5) berkembangnya intensifikasi dan ekstensifikasi usaha tani; (6) meningkatnya insentif berusaha tani melalui peningkatan produksi dan efisiensi usaha tani (pupuk, pakan, biogas, bio urine, bio pestisida diproduksi sendiri = in situ); (7) tercipta
dan
berkembangnya
pertanian
organik
(green
economic);
(8)
91
berkembangnya lembaga usaha ekonomi di perdesaan; (9) peningkatan pendapatan petani
(minimal 2 kali lipat); (10) berkembangnya infrastruktur
perdesaan; (11) terjadinya alih teknologi khususnya untuk pertanian terintegrasi dengan pola Simantri dari penyelenggara Simantri kepada petani-peternak; (12) terjadinya peningkatan populasi sapi Bali dan meminimalkan angka kematian sapi; (13) terjadinya pengurangan biaya produksi pada sistem usaha tani yang berasal dari luar sistem; (14) terciptanya konsep pertanian tanpa limbah (zero waste); (15) terserapnya produk hasil peternakan, pertanian dan pengolahan limbah ternak sapi di pasaran. Hasil analisis efektifitas ini disajikan dalam bentuk deskriptif. Selain mengukur keberhasilan pencapaian tujuan Simantri oleh Gapoktan Simantri, didalam analisis efektivitas Simantri juga mengukur pencapaian efisiensi Simantri oleh Gapoktan Simantri. Efisiensi Simantri diukur berdasarkan pada observasi secara langsung dan hasil wawancara secara mendalam pada pengurus kelompok mengenai pencapaian pengurangan input produksi yang berasal dari luar sistem usaha tani (low external input) serta terjadinya peningkatan jumlah output. Pendekatan analisis mengenai efisiensi Simantri didasarkan atas pernyataan Soekartawi (2003) yang menyatakan pengukuran efisiensi dapat dilakukan dengan membandingkan antara keluaran (output) dan masukan (input) atau antara kemampuan kerja efektif dengan input modal tetap atau upaya untuk penggunaan input sekecil-kecilnya untuk mendapatkan output (produksi) yang sebesar-besarnya.
92
Skor dari analisis efektivitas Simantri didapat dengan menjumlahkan pencapaian skor rata-rata dari keberhasilan pencapaian tujuan Simantri dan pencapaian skor rata-rata efisiensi Simantri dari responden kemudian di bagi dua. Selain itu, pencapaian skor rata-rata juga digunakan untuk merating kelima belas indikator keberhasilan Simantri dari yang sangat berhasil dicapai sampai dengan gagal dicapai oleh responden baik secara keseluruhan maupun secara kelompok berdasarkan peningkatan pendapatan yang diperoleh setelah mengikuti Simantri. Adapun kategori pencapaian skor untuk ketiganya adalah sebagai berikut :
No
1 2 3 4 5
Tabel 4.8 Kategori Pencapaian Skor Variabel Efektivitas Penerapan Simantri Pencapaian Katagori Variabel skor Keberhasilan Efisiensi Efektivitas Pencapaian Tujuan Simantri Penerapan Simantri Simantri > 4,2 – 5 Sangat berhasil Sangat efisien Sangat efektif > 3,4 – 4,2 Berhasil Efisien Efektif > 2,6 – 3,4 Kurang berhasil Kurang efisien Kurang efektif > 1,8 – 2,6 Tidak berhasil Tidak efisien Tidak efektif 1 – 1,8 Gagal Sangat tidak Sangat tidak efisien efektif/Gagal
4.8.3 Analisis pendapatan petani-peternak Simantri Analisis pendapatan petani-peternak Simantri dilakukan untuk mengukur seberapa besar telah terjadi peningkatan pendapatan petani-peternak anggota Gapoktan Simantri sebelum dan setelah mereka mengikuti program Simantri ini. Perhitungan peningkatan pendapatan petani-peternak Simantri dilakukan dengan membandingkan besarnya pendapatan petani-peternak anggota Gapoktan Simantri
93
setelah mengikuti program Simantri dengan pendapatan mereka sebelum mengikuti program ini, dengan rumus sebagai berikut : TPSTS PPP
=
X 100 % PSBS
Keterangan : PPP
=
peningkatan pendapatan petani-peternak
TPSTS
=
tambahan pendapatan setelah mengikuti Simantri
PSBS
=
pendapatan sebelum mengikuti Simantri
BAB V HASIL PENELITIAN
5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang dikenal dengan sebutan Pulau Dewata (The Island Of God). Bali terletak di antara Pulau Jawa dan Pulau Lombok. Ibukota provinsinya adalah Denpasar, yang terletak di bagian selatan pulau ini. Pulau Bali adalah bagian dari kepulauan Sunda Kecil dengan panjang 153 km dan lebar 112 km. Luas wilayah Provinsi Bali secara keseluruhan sebesar 5.636,66 km² atau sebesar 0,29% dari luas kepulauan Indonesia (BPS Provinsi Bali, 2012). Provinsi Bali terdiri dari beberapa pulau, yakni Pulau Nusa Penida, Pulau Nusa Ceningan, Pulau Nusa Lembongan, Pulau Serangan (terletak di sekitar kaki Pulau Bali), serta Pulau Menjangan yang terletak di bagian barat Pulau Bali. Secara astronomis, Provinsi Bali terletak pada posisi titik koordinat 08º03’40”- 08º50’48” Lintang Selatan dan 114º25’53”- 115º42’40” Bujur Timur. Adapun batas-batas wilayah Provinsi Bali adalah sebagai berikut : (a) Batas utara dengan Laut Bali, (b) Batas selatan dengan Samudera Indonesia, (c) Batas barat dengan Selat Bali, dan (d) Batas timur dengan Selat Lombok (BPS Provinsi Bali, 2012). Daerah kepemerintahan Provinsi Bali saat ini terbagi menjadi delapan Kabupaten dan satu Kota, yakni Jembrana, Tabanan, Badung, Gianyar, Klungkung, Bangli, Buleleng, Karangasem dan Denpasar. Diantara kesembilan kabupaten/kota tersebut, Kabupaten Buleleng memiliki luas terbesar 1.365,88 km² (24,23%) dari luas provinsi, diikuti oleh Jembrana 841,80 km² (14,93%), Karangasem 839,54 km² (14,89%), dan Tabanan 839,33 km² (14,89%). Sisanya
94
95
berturut-turut adalah Bangli 520,81 km², Badung 418,52 km², Gianyar 368,00 km², Klungkung 315,00 km², dan Kota Denpasar 127,78 km² (BPS Provinsi Bali, 2012). Berdasarkan relief dan topografi, di tengah-tengah Pulau Bali terbentang pegunungan yang memanjang dari barat ke timur dan di antara pegunungan tersebut terdapat gugusan gunung berapi dan gunung yang tidak berapi. Adanya pegunungan tersebut menyebabkan daerah Bali secara geografis terbagi menjadi dua bagian yang tidak sama, yakni Bali Utara dengan dataran rendah yang sempit dan kurang landai, serta Bali Selatan dengan dataran rendah yang luas dan landai. Kemiringan lahan Pulau Bali terdiri dari lahan datar (0-2%) seluas 122.652 ha, lahan bergelombang (2-15%) seluas 118.339 ha, lahan curam (15-40%) seluas 190.489 ha (BPS Provinsi Bali, 2012). Wilayah Bali secara umum beriklim laut tropis, yang dipengaruhi oleh angin musiman. Terdapat musim kemarau dan musim hujan yang diselingi oleh musim pancaroba. Suhu/temperatur udara tertinggi di wilayah Bali terjadi di Kabupaten Buleleng dan Kota Denpasar yaitu mencapai 27,2 ºC dengan kelembaban udara 76 dan 81 %. Sebaliknya, suhu terendah terjadi di Kabupaten Tabanan yang mencapai 19,0 ºC dengan tingkat kelembaban udara tertinggi yakni sebesar 89 % (BPS Provinsi Bali, 2012). Jumlah penduduk pulau Bali pada tahun 2011 tercatat sebanyak 3.572.831 jiwa, dengan kepadatan penduduk 634 jiwa/km². Sebanyak 556.615 jiwa (25,24%) penduduk usia kerja (15 tahun keatas) dari total 2.952.545 jiwa bekerja pada sektor pertanian, perkebunan, kehutanan dan perikanan (25,24%). Jumlah
96
penduduk miskin pada tahun 2012 tercatat berjumlah 4,18% dari total penduduk pulau Bali, dimana sebagian besar bekerja pada sektor pertanian, perkebunan, kehutanan dan perikanan. Pada tahun 2012 jumlah penduduk miskin tercatat sebanyak 168,8 ribu orang (BPS Provinsi Bali, 2012).
5.2 Gambaran Umum Kegiatan Simantri Tahun 2009 – 2012 Simantri adalah sebuah proyek unggulan Pemerintah Provinsi Bali dalam rangka mempercepat adopsi teknologi pertanian yang merupakan pengembangan model percontohan dalam rangka alih teknologi kepada masyarakat pedesaan. Kegiatan integrasi dilaksanakan berorintasi pada usaha pertanian tanpa limbah (Zero Waste) dan mampu manghasilkan 4 F Yakni : Food, Feed, Fertilizer, dan Fuel. Kegiatan utamanya adalah mengintegrasikan budidaya tanaman dan ternak, dimana limbah tanaman diolah manjadi pakan ternak, dan limbah ternak diolah menjadi Biogas, Biourine, Pupuk organiak baik padat maupun Cair, serta Bio Pestisida (Dinas Pertanian Tanaman Pangan, 2010). Kegiatan Simantri di Bali dilaksanakan sejak tahun 2009 sebanyak 10 unit dan dilanjutkan tahun 2010 sebanyak 40 unit, 150 unit pada tahun 2011 serta 125 unit lagi pada tahun 2012 sehingga jumlah totalnya menjadi 325 unit Simantri di seluruh Bali. Lokasi unit Simantri di Bali dari Tahun 2009-2011 dapat dilihat lebih lengkap pada Gambar 5.1 dibawah ini.
97
Gambar 5.1 Lokasi Unit Simantri di Bali Tahun 2009 – 2011
Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Bali, 2011 Sesuai dengan penentuan sumber data dalam penelitian ini, maka digunakan seluruh populasi (Gapoktan Simantri) yang mengikuti program Simantri dari tahun 2009-2010 yang berjumlah 50 kelompok. Sesuai dengan hasil penelitian di lapangan yang telah berjalan, ditemukan hanya 46 Gapoktan Simantri yang memenuhi kriteria dalam penelitian ini. Terdapat dua Gapoktan Simantri yang gagal dalam mempertahankan eksistensi usahanya dalam mengintegrasikan sapi bali-tanaman yaitu Simantri 33 dengan pelaksananya Gapoktan Gunung Sari yang berlokasi di Desa Gunaksa, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung serta Simantri 42 dengan pelaksananya Gapoktan Segara Amerta yang berlokasi di Desa Ababi, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem. Sedangkan dua
98
Gapoktan Simantri lain yang tidak masuk dalam penelitian ini karena dalam usahanya mengintegrasikan kambing-tanaman, yaitu Simantri 26 dengan pelaksananya Gapoktan Batur Ibu yang berlokasi di Desa Munduk Temu, Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan serta Simantri 46 dengan pelaksananya Gapoktan Uma Hyang Gangga yang berlokasi di Desa Sibetan, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem namun mengalami kegagalan dalam mempertahankan eksistensi usahanya. Sehingga dari fakta dilapangan terdapat tiga Gapoktan Simantri dari tahun 2009-2010 yang gagal dalam mempertahankan eksistensi atau keberadaan usahanya.
5.3 Uji Validitas dan Reliabilitas Sebelum digunakan untuk mengukur apa yang sebenarnya ingin diukur secara tepat, instrumen penelitian haruslah berkualitas baik dan sudah distandarkan sesuai dengan kriteria teknik pengujian validitas dan reliabilitas. Adapun pengujian validitas dan reliabilitas dalam penelitian ini dijelaskan sebagai berikut: 1.
Uji Validitas Dalam uji validitas, instrumen penelitian dikatakan valid dan dapat digunakan dalam penelitian apabila memiliki koefisisen korelasi (rhitung) > 0.344 (rtabel). Dari hasil uji validitas yang telah dilakukan, didapatkan bahwa semua pertanyaan yang digunakan dalam penelitian ini memiliki nilai koefisien korelasi item-total yang lebih besar dari (rtabel). Hal ini berarti semua pertanyaan dalam instrumen penelitian adalah valid (lampiran 1).
99
2.
Uji reliabilitas Uji reliabilitas dilakukan untuk mendapatkan instrumen dengan keterandalan
yang tinggi dalam pengukuran variabel penelitian. Pengujian reliabilitas pada penelitian ini menggunakan metode one shot atau dilakukan satu kali saja. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.1 dibawah ini. Tabel 5.1 Reliabilitas Instrumen Reliability Statistic
Cronbach’s Alpha .804
N of Items 7
Kondisi Gapoktan Simantri (X2)
.784
3
Penerapan Usaha Peternakan Sapi (X3)
.773
6
Penerapan Usaha Tanaman Pangan (X4)
.649
2
Penerapan Usaha Pengolahan Limbah Ternak Sapi (X5)
.965
3
Efektivitas Penerapan Simantri (Y)
.923
2
Kualitas SDM Petani-Peternak (X1)
Berdasarkan Tabel 5.1, dapat dilihat bahwa semua variabel yang digunakan dalam penelitian ini memiliki nilai rhitung yang lebih besar dari rtabel = 0,60. Oleh sebab itu, instrumen yang digunakan dalam penelitian ini setelah dianalisis dengan metode varians alpha-cronbach adalah reliabel.
5.4 Kualitas SDM Petani-Peternak 5.4.1 Umur Umur merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan produktivitas petani-peternak dalam menjalankan usahanya. Umur dapat mempengaruhi kemampuan fisik dalam bekerja, cara berfikir serta kemampuan untuk menerima
100
inovasi baru dalam mengelola usahanya. Sebaran reponden berdasarkan umur dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 5.2 berikut ini.
Nomor 1 2 3 4 5
Tabel 5.2 Sebaran Responden Berdasarkan Umur Kisaran Umur Jumlah (Orang) Persentase (%) < 20 tahun 0 0 > 20 – 35 tahun 0 0 > 35 – 50 tahun 120 86,95 > 50 – 65 tahun 18 13,05 > 65 tahun 0 0 Total 138 100
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh, sebesar 86,95% responden berada pada kisaran umur > 35-50 tahun. Umur pengurus Gapoktan Simantri termuda adalah 37 tahun dan yang tertua 64 tahun. Disini terlihat bahwa semua (100%) responden berada pada kisaran umur yang produktif.
5.4.2 Pendidikan formal Pendidikan formal merupakan salah satu aspek penting dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia. Pendidikan formal dihitung berdasarkan sistem pendidikan sekolah yang telah berhasil ditamatkan oleh petani-peternak. Semakin tinggi tingkat pendidikan formal seseorang biasanya akan dibarengi pula oleh peningkatan pengetahuan, daya nalar, wawasan serta analisisnya dalam berbagai hal. Berdasarkan hasil penelitian, pendidikan formal para pengurus Gapoktan Simantri dapat dilihat pada Tabel 5.3 dibawah ini.
101
Nomor 1 2 3 4 5
Tabel 5.3 Sebaran Responden Berdasarkan Pendidikan Formal Lama Pendidikan (Tahun) Jumlah (Orang) Persentase (%) 0 - 6 tahun 29 21,01 > 6 - 9 tahun 22 15,94 > 9 - 12 tahun 77 55,80 > 12 - 15 tahun 2 1,45 > 15 tahun 8 5,80 Total 138 100
Pada Tabel 5.3, dapat diketahui bahwa sebagian besar (55,80%) pengurus Gapoktan Simantri tahun 2009-2010 berpendidikan SMU. Dari hasil ini dapat dikatakan bahwa sebagian besar responden menunjukkan pengetahuan, daya nalar, serta daya analisis yang cukup untuk berbagai hal termasuk dalam penerapan Simantri.
5.4.3 Pendidikan non formal Pendidikan non formal lebih mengarah pada pendidikan di luar dari aturan formal. Pada umumnya pendidikan non formal petani-peternak bersumber dari pelatihan-pelatihan yang diperoleh dari dinas terkait mengenai cara bertani dan beternak. Berdasarkan hasil penelitian, pendidikan non formal para pengurus Gapoktan Simantri dapat dilihat pada Tabel 5.4 dibawah ini.
Nomor 1 2 3 4 5
Tabel 5.4 Sebaran Responden Berdasarkan Pendidikan Non Formal Jumlah Pelatihan Jumlah (Orang) Persentase (%) < 2 kali 0 0 2 – 3 kali 0 0 4 – 5 kali 44 31,89 6 – 7 kali 68 49,27 > 7 kali 26 18,84 Total 138 100
102
Dari hasil penelitian diperoleh, sebagian besar responden (49,27%) telah mengikuti pendidikan non formal/pelatihan dalam bidang peternakan sapi bali induk, pertanian/perkebunan/holtikultura, pengolahan limbah ternak sapi melalui bimbingan teknis (bintek) Simantri sebanyak 6-7 kali. Hasil ini menggambarkan bahwa para pengurus Gapoktan Simantri 2009-2010 telah memperoleh pelatihan dalam jumlah yang cukup untuk menerapkan inovasi Simantri lebih lanjut di kelompoknya.
5.4.4 Pengetahuan tentang Simantri Pengetahuan yang cukup dari petani-peternak dalam menjalankan usaha merupakan modal penting untuk menghindarkannya dari kerugian yang besar selama proses produksi. Pengetahuan responden tentang Simantri meliputi : pengetahuan tentang usaha beternak sapi bali induk, tanaman pangan, serta pengolahan limbah cair dan padat dari ternak sapi yang dipeliharanya. Untuk lebih lengkapnya pengetahuan para pengurus Gapoktan Simantri dapat dilihat pada Tabel 5.5 dibawah ini. Tabel 5.5 Sebaran Responden Berdasarkan Pengetahuan Tentang Simantri No Pencapaian Skor Kategori Variabel Jumlah (Orang) Persentase (%) 1 > 4,2 – 5 Sangat tinggi 138 100 2 > 3,4 – 4,2 Tinggi 0 0 3 > 2,6 – 3,4 Sedang 0 0 4 > 1,8 – 2,6 Rendah 0 0 5 1 – 1,8 Sangat rendah 0 0 Total 138 100
103
Dari hasil penelitian diperoleh pencapaian skor rata-rata untuk pengetahuan responden tentang Simantri adalah sebesar 4,72. Semua (100%) responden memiliki pengetahuan yang sangat tinggi tentang Simantri. Pencapaian skor dari responden berkisar antara 4,44 sampai 4,94. Hal ini sangat dimungkinkan karena responden secara berkala selalu mengikuti bintek (bimbingan teknik) tentang Simantri yang diberikan oleh Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Bali.
5.4.5 Sikap Sikap merupakan faktor yang ikut mempengaruhi pandangan dan perilaku petani-peternak didalam menerima suatu inovasi. Berdasarkan hasil penelitian, sikap para pengurus Gapoktan Simantri dapat dilihat pada Tabel 5.6 dibawah ini. Tabel 5.6 Sebaran Responden Berdasarkan Sikap Tentang Simantri No Pencapaian Skor Kategori Variabel Jumlah (Orang) Persentase (%) > 4,2 – 5 1 Sangat positif 138 100 > 3,4 – 4,2 2 Positif 0 0 > 2,6 – 3,4 3 Ragu-ragu 0 0 > 1,8 – 2,6 4 Negatif 0 0 1 – 1,8 5 Sangat negatif 0 0 Total 138 100 Dari hasil penelitian diperoleh pencapaian skor rata-rata untuk sikap responden tentang Simantri adalah sebesar 4,83. Semua (100%) responden memiliki sikap yang sangat positif tentang Simantri. Pencapaian skor terendah dari responden adalah 4,26 dan 4,93 untuk pencapaian skor tertinggi. Sikap sangat positif yang ditunjukkan oleh responden lebih disebabkan oleh adanya tenaga pendamping Simantri yang berperan dalam menyampaikan inovasi Simantri dan memecahkan masalah yang dihadapi oleh anggota kelompok yang didampinginya.
104
5.4.6 Keterampilan Keterampilan merupakan aspek perilaku yang berhubungan dengan kemampuan menggerakkan otot atau fisik yang pada akhirnya merupakan pelaksanaan pekerjaan badaniah. Keterampilan yang dimiliki oleh responden berkaitan dengan Simantri antara lain : keterampilan dalam beternak sapi bali betina, bertani/berkebun, serta mengolah limbah ternak sapi menjadi pupuk padat dan cair. Berdasarkan hasil penelitian, keterampilan para pengurus Gapoktan Simantri dapat dilihat pada Tabel 5.7 dibawah ini. Tabel 5.7 Sebaran Responden Berdasarkan Keterampilan Tentang Simantri No Pencapaian Skor Kategori Variabel Jumlah (Orang) Persentase (%) > 4,2 – 5 1 Sangat terampil 132 95,65 > 3,4 – 4,2 2 Terampil 6 4,35 > 2,6 – 3,4 3 Sedang 0 0 > 1,8 – 2,6 4 Tidak terampil 0 0 1 – 1,8 5 Sangat tidak terampil 0 0 Total 138 100 Sumber : Diolah dari data primer (2013) Hasil penelitian menunjukkan, hampir semua reponden (95,65%) sangat terampil dalam beternak sapi bali betina, bertani/berkebun, serta mengolah limbah ternak sapi menjadi pupuk padat dan cair. Para pengurus Gapoktan Simantri ini memiliki keterampilan yang baik lebih disebabkan oleh karena seringnya mereka mengikuti bintek (bimbingan teknis) tentang Simantri dan kunjungan lapangan ke lokasi Simantri terdekat maupun Simantri juara.
5.4.7 Pengalaman Pengalaman kerja merupakan suatu ukuran tentang lama waktu atau masa kerja yang telah ditempuh seseorang dalam memahami tugas-tugas suatu
105
pekerjaan dan telah melaksanakannya dengan baik. Pengalaman responden tentang Simantri adalah lamanya responden dalam mengusahakan usaha peternakan sapi bali, usaha tanaman pangan serta usaha pengolahan limbah padat dan cair ternak sapi (tahun). Berdasarkan hasil penelitian, pengalaman para pengurus Gapoktan Simantri dapat dilihat pada Tabel 5.8 dibawah ini. Tabel 5.8 Sebaran Responden Berdasarkan Pengalaman Tentang Beternak Sapi Bali, Bertani/Berkebun, Dan Mengolah Limbah Ternak Sapi Menjadi Pupuk Organik Padat dan Cair No Jenis Pengalaman Lama (Tahun) Jumlah (Orang) Persentase (%) 1 Beternak sapi bali 1 – 2 tahun 0 0 2 – 3 tahun 0 0 3 – 4 tahun 0 0 4 – 5 tahun 0 0 > 5 tahun 138 100 2
3
Total Bertani/berkebun
Total Mengolah limbah ternak sapi menjadi pupuk organik padat dan cair Total
1 – 2 tahun 2 – 3 tahun 3 – 4 tahun 4 – 5 tahun > 5 tahun 0 – 0,5 tahun 0,5 – 1 tahun 1 – 1,5 tahun 1,5 – 2 tahun > 2 tahun
138 0 0 0 0 138
100 0 0 0 0 100
138 0 6 6 18 108 138
100 0 4,35 4,35 13,04 78,26 100
Pada Tabel 5.8, dapat dilihat bahwa semua (100%) responden memiliki pengalaman lebih dari 5 tahun dalam beternak sapi bali dan bertani/berkebun. Bahkan sebagian besar dari mereka mengaku telah memulai beternak sapi bali dan bertani/beternak semenjak duduk di bangku sekolah dasar. Sedangkan untuk pengalaman responden dalam mengolah limbah ternak sapi menunjukkan, sebagian besar responden (78,26%) memiliki pengalaman lebih dari 2 tahun
106
dalam mengolah limbah ternak sapi menjadi pupuk padat dan cair. Hal ini menunjukkan bahwa para pengurus Gapoktan Simantri telah memiliki pengalaman yang cukup dalam beternak sapi bali, bertani/berkebun, serta mengolah limbah ternak sapi menjadi pupuk padat dan cair.
5.5 Kondisi Gapoktan Simantri 5.5.1 Jarak tempat tinggal Jarak rumah petani-peternak Simantri dengan lahan garapannya maupun lokasi kandang Simantri akan sangat mempengaruhi produktivitas lahan serta ternak yang dipelihara, dan juga akan mempengaruhi kinerja dari petani itu sendiri. Untuk lebih lengkapnya jarak tempat tinggal responden dapat dilihat pada Tabel 5.9 dibawah ini.
No 1
2
Tabel 5.9 Sebaran Responden Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal Parameter Jarak (km) Jumlah (Orang) Persentase (%) Jarak Tempat < 0,5 km 114 82,60 Tinggal dengan 0,5 km - < 1km 19 13,77 Lokasi Simantri 1 km - < 1,5 km 4 2,90 1,5 km - < 2 km 0 0 > 2 km 1 0,73 Total 138 100 Jarak Tempat < 0,5 km 129 93,48 Tinggal dengan 0,5 km - < 1km 9 6,52 Lahan Garapan 1 km - < 1,5 km 0 0 1,5 km - < 2 km 0 0 > 2 km 0 0 Total 138 100 Dari Tabel 5.9 dapat dilihat bahwa, sebagian besar responden (82,60%) jarak
tempat tinggalnya dengan lokasi Simantri adalah kurang dari 0,5 km. Selanjutnya, jarak tempat tinggal sebagian besar responden (93,48%) dengan lahan garapan
107
adalah kurang dari 0,5 km. Dari hasil ini dapat dilihat bahwa sebagian besar jarak tempat tinggal para pengurus Simantri dengan lahan garapannya masih lebih dekat dibandingkan dengan ke lokasi Simantri. Secara keseluruhan jarak tempat tinggal para pengurus Simantri ke lokasi Simantri dan ke lahan garapannya masingmasing masih tergolong relatif dekat.
5.5.2 Budaya lokal Budaya bermakna sebagai prilaku yang dianggap baik oleh masyarakatnya dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Budaya lokal dari seorang petanipeternak akan berdampak besar terhadap kinerja untuk mencapai kesuksesan berusahataninya. Berdasarkan hasil penelitian, pengaruh budaya lokal terhadap para pengurus Gapoktan Simantri dapat dilihat pada Tabel 5.10 dibawah ini.
No 1
2
Tabel 5.10 Sebaran Responden Berdasarkan Budaya Lokal Parameter Kategori Variabel Jumlah (Orang) Persentase (%) Keterikatan Sangat mengikat 0 0 Adat dan Mengikat 0 0 Agama di Desa Sedang 6 4,35 Kurang mengikat 5 3,63 Tidak mengikat/bebas 127 92,02 Total 138 100 Pengaruh Sangat menunjang 135 97,83 Kegiatan Adat Menunjang 3 2,17 dan Agama Sedang 0 0 terhadap Tidak menunjang 0 0 Kinerja Sangat tidak menunjang 0 0 Total 138 100 Hasil penelitian menunjukkan bahwa, hampir seluruh responden (92,02%)
adat setempatnya tidak mengikat. Hal ini menunjukkan bahwa adat dan agama setempat masing-masing responden tidak terlalu mengikat, khususnya dalam hal
108
waktu. Selanjutnya, hampir seluruh responden (97,83%) menyatakan bahwa kegiatan adat dan agama di desanya sangat menunjang kinerja mereka. Dari penelitian ini dapat dilihat bahwa kinerja responden tidak dibatasi oleh karena adanya kegiatan adat dan agama di desa setempat. Jadi secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa budaya lokal setempat responden menunjang keberhasilan dan kelangsungan usaha tani, ternak dan pengolahan limbah ternak sapi.
5.5.3 Interaksi sosial Interaksi sosial merupakan hubungan sosial antara individu yang satu dengan yang lainnya. Dalam interaksi sosial akan terdapat perilaku individu yang satu dengan individu lain yang saling berinteraksi. Interaksi sosial para pengurus Gapoktan Simantri meliputi : interaksi intern dengan anggota kelompok, Gapoktan Simantri lain dan dengan petugas pendamping Simantri. Berdasarkan hasil penelitian, interaksi sosial para pengurus Gapoktan Simantri dapat dilihat pada Tabel 5.11 dibawah ini. Tabel 5.11 Sebaran Responden Berdasarkan Interaksi Sosial No Pencapaian Skor Kategori Variabel Jumlah (Orang) Persentase (%) 1 > 4,2 – 5 Sangat baik 132 95,65 2 > 3,4 – 4,2 Baik 6 4,35 3 > 2,6 – 3,4 Sedang 0 0 4 > 1,8 – 2,6 Tidak baik 0 0 5 1 – 1,8 Sangat tidak baik 0 0 Total 138 100 Dari hasil penelitian diperoleh, hampir seluruh responden (95,65%) memiliki interaksi sosial yang sangat baik dengan pencapaian skor rata-rata sebesar 4,84. Hasil ini menunjukkan bahwa telah terbina hubungan komunikasi interpersonal yang baik antara para pengurus Gapoktan Simantri dengan para anggotanya,
109
dengan anggota Gapoktan Simantri lainnya, serta dengan petugas pendamping Simantri tersebut.
5.6 Kondisi Penerapan Simantri di Bali Saat Ini Pada dasarnya program Simantri merupakan program yang mengintegrasikan sektor pertanian dan peternakan dengan konsep zero waste. Dengan konsep ini diharapkan polutan yang berasal dari kedua sektor ini akan berkurang serta akan berkembangnya pertanian organik di Bali. Dinamika Gapoktan Simantri tahun 2009-2010 yang termasuk dalam kriteria penelitian ini dengan jumlah 46 kelompok sangatlah beragam. Keberagaman ini ditunjang pula oleh telah diserahterimakannya paket program Simantri ini seluruhnya dari Pemerintah Provinsi Bali melalui Dinas Pertanian Tanaman Pangan kepada para petanipeternak anggota Gapoktan Simantri. Pemprov Bali secara periodik selalu melakukan lomba Simantri untuk merangsang dan menumbuhkan kreativitas anggota Gapoktan Simantri dalam mengembangkan usaha, pemasaran produk serta penerapan program Simantri ini secara baik dan benar. Dari keempat puluh enam kelompok dalam penelitian ini, terdapat sembilan Gapoktan Simantri yang termasuk dalam kategori juara, dalam lomba Simantri yang dilaksanakan Pemprov Bali pada tahun 2010 dan 2011. Terdapat lima Gapoktan Simantri yang masuk dalam juara 1-3. Gapoktan Simantri 021 dengan pelaksananya Gapoktan Wira Rahayu yang berlokasi di Desa Kalianget, kecamatan Seririt, Kabupaten Buleleng meraih juara I pada tahun 2010, kemudian disusul oleh Gapoktan Simantri 039 dengan
110
pelaksananya Gapoktan Catur Satya Bina Lestari yang berlokasi di Desa Yangapi, Kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli sebagai juara II, serta Gapoktan Simantri 031 dengan pelaksananya Gapoktan Sari Tani yang berlokasi di Desa Blahbatuh, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar sebagai juara III. Juara I Simantri tahun 2011 diraih oleh Gapoktan Simantri 030 dengan pelaksananya Gapoktan Sarwa Ada yang berlokasi di Desa Taro, Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar, kemudian disusul dengan Gapoktan Simantri 027 dengan pelaksananya Gapoktan Timan Agung yang berlokasi di Desa Kelating, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan sebagai juara II. Sedangkan, empat Gapoktan Simantri lainnya masuk dalam juara harapan 1-3 antara lain juara harapan I pada tahun 2010 diraih oleh Gapoktan Simantri 010 dengan pelaksananya Gapoktan yang berlokasi di Desa Tulamben, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, kemudian Gapoktan Simantri 032 dengan pelaksananya Gapoktan Buana Tirta Ning yang berlokasi di Desa Batu Kandik, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung sebagai juara harapan II, serta juara harapan III ditempati oleh Gapoktan Simantri 025 dengan pelaksananya Gapoktan Antap Tani Makmur yang berlokasi di Desa Antap, Kecamatan Selemadeg, Kabupaten Tabanan. Selanjutnya, pada lomba Simantri tahun 2011 juara harapan I diraih oleh
Gapoktan Simantri 044 dengan pelaksananya
Gapoktan Sari Tirta Kusuma yang berlokasi di Desa Jungutan, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem. Dari keempat puluh enam Gapoktan Simantri yang tersebar di delapan Kabupaten dan satu Kotamadya di Bali, terdapat tiga puluh satu Gapoktan yang
111
berada pada lahan basah dan lima belas Gapoktan yang berada pada lahan kering. Kelima Gapoktan Simantri yang menjadi juara 1-3 pada lomba Simantri tahun 2010 dan 2011 semuanya berada pada lahan basah, dengan komoditi tanaman pangan andalannya yakni : padi, jagung dan kacang-kacangan, sedangkan komoditi holtikultura yang ditanam sebagian besar berupa tanaman buah-buahan. Keempat Gapoktan lainnya yang menjadi juara harapan 1-3 pada lomba Simantri tahun 2010 dan 2011, tiga Gapoktan berada pada lahan kering dengan mengandalkan komoditi perkebunan berupa : kelapa, kakao, cengkeh, jambu mete, lontar, kapuk, tembakau, dan kopi. Hanya satu Gapoktan saja yang berada pada lahan basah yakni Gapoktan Antap Tani Makmur yang berlokasi di Desa Antap, Kecamatan Selemadeg, Kabupaten Tabanan dengan komoditi tanaman pangan andalannya adalah padi. Selain padi juga diusahakan tanaman perkebunan berupa kelapa. Penerapan Simantri oleh para pengurus Gapoktan Simantri dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga yaitu : penerapan usaha peternakan sapi, penerapan usaha tanaman pangan dan penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi. Berdasarkan hasil penelitian, penerapan Simantri oleh para responden dapat dilihat pada Tabel 5.12 dibawah ini.
112
No 1
2
3
4
Tabel 5.12 Sebaran Responden Berdasarkan Penerapan Simantri Variabel Pencapaian Kategori Jumlah Skor Variabel (Orang) Penerapan Simantri > 4,2 – 5 Sangat tinggi 90 > 3,4 – 4,2 Tinggi 45 > 2,6 – 3,4 Sedang 3 > 1,8 – 2,6 Rendah 0 1 – 1,8 Sangat rendah 0 Total 138 Penerapan Usaha > 4,2 – 5 Sangat tinggi 120 Peternakan Sapi > 3,4 – 4,2 Tinggi 18 > 2,6 – 3,4 Sedang 0 > 1,8 – 2,6 Rendah 0 1 – 1,8 Sangat rendah 0 Total 138 Penerapan Usaha > 4,2 – 5 Sangat tinggi 138 Tanaman Pangan > 3,4 – 4,2 Tinggi 0 > 2,6 – 3,4 Sedang 0 > 1,8 – 2,6 Rendah 0 1 – 1,8 Sangat rendah 0 Total 138 Penerapan Usaha > 4,2 – 5 Sangat tinggi 21 Pengolahan Limbah > 3,4 – 4,2 Tinggi 51 Ternak Sapi > 2,6 – 3,4 Sedang 45 > 1,8 – 2,6 Rendah 6 1 – 1,8 Sangat rendah 15 Total 138
Persentase (%) 65,22 32,60 2,18 0 0 100 86,95 13,05 0 0 0 100 100 0 0 0 0 100 15,22 36,96 32,60 4,36 10,86 100
Dari hasil penelitian diperoleh, sebagian besar responden (65,22%) tingkat penerapan Simantrinya sangat tinggi dengan pencapaian skor rata-rata sebesar 4,325. Angka ini menunjukkan bahwa tingkat penerapan Simantri oleh responden dalam penelitian tergolong sangat tinggi. Ditinjau dari penerapan ketiga unit usaha Simantri, terlihat bahwa sebagian besar responden memiliki tingkat penerapan yang sangat tinggi pada usaha peternakan sapi serta usaha tanaman pangan, dan tingkap penerapan yang tinggi pada usaha pengolahan limbah ternak sapi. Pencapaian skor rata-rata untuk penerapan usaha peternakan sapi, penerapan
113
usaha tanaman pangan dan penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi dari responden berturut-turut adalah sebesar 4,625, 4,746, dan 3,135. Dari hasil penelitian dilapangan didapatkan 11 Gapoktan Simantri yang kegiatan usaha peternakan sapi, usaha tanaman pangan dan usaha pengolahan limbah ternak sapinya terintegrasi secara baik dan benar. Artinya, adanya pemanfaatan dan pengolahan limbah atau gulma tanaman pangan sebagai pakan ternak sapi, terjadinya pengolahan limbah padat dan cair ternak sapi menjadi pupuk kompos, bio urine dan bio pestisida sehingga tidak ada limbah bersifat polutan yang terbuang dari sektor pertanian dan peternakan dan terwujudnya pertanian organik pada Gapoktan Simantri tersebut. Bahkan dari kesebelas Gapoktan tersebut terdapat empat Gapoktan yang mampu memproduksi pupuk kompos dengan kapasitas mencapai 120 ton/bulan. Keempat Gapoktan ini juga merupakan Gapoktan juara pada lomba Simantri tahun 2010 dan 2011. Hanya satu Gapoktan saja yang kapasitas produksi pupuk komposnya berada pada kisaran 1020 ton/bulan. Keenam Gapoktan lainnya hanya mengolah seluruh kotoran ternak sapi yang ada di kandang dengan kisaran produksi sekitar 6-8 ton/bulan. Terdapat sebanyak 35 Gapoktan Simantri yang usahanya tidak terintegrasi secara baik dan benar. Terdapat 31 Gapoktan Simantri yang tidak selalu mengandangkan sapinya di kandang koloni Simantri namun usaha pengolahan limbah ternak sapinya tetap berjalan walaupun tidak maksimal, terdapat satu Gapoktan Simantri yang selalu mengandangkan sapinya dikandang tetapi usaha pengolahan limbah padat dan cair dari ternak sapinya tidak berjalan karena kesulitan mencari fermentor dan kompor biogasnya telah lama rusak, dan
114
sebanyak tiga Gapoktan Simantri tidak selalu mengandangkan sapinya di kandang koloni Simantri serta usaha pengolahan limbah padat dan cair dari ternak sapinya tidak berjalan.
5.7
Efektivitas Penerapan Simantri Efektivitas merupakan suatu keadaan yang menggambarkan tingkat
keberhasilan sebuah kegiatan manajemen, dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan lebih dahulu serta didukung pula oleh ukuran efisiensinya. Kinerja sebuah program ditentukan oleh tingkat efektivitas, didalam efektivitas terkandung keberhasilan dalam mencapai tujuan atau sasaran dan efisiensi pelaksanaan program. Sama halnya dengan pengukuran efektivitas penerapan Simantri, dalam penelitian ini juga digunakan keberhasilan penerapan Simantri dan efisiensi Simantri sebagai indikator yang dapat menggambarkan variabel ini. Untuk lebih lengkapnya efektivitas penerapan Simantri oleh para responden dapat dilihat pada Tabel 5.13 dibawah ini.
115
Tabel 5.13 Sebaran Responden Berdasarkan Efektivitas Penerapan Simantri No 1
2
3
Variabel
Pencapaian Kategori Variabel Skor Efektivitas > 4,2 – 5 Sangat efektif Penerapan > 3,4 – 4,2 Efektif Simantri > 2,6 – 3,4 Kurang efektif > 1,8 – 2,6 Tidak efektif 1 – 1,8 Sangat tidak efektif Total Keberhasilan > 4,2 – 5 Sangat berhasil Penerapan > 3,4 – 4,2 Berhasil Simantri > 2,6 – 3,4 Kurang berhasil > 1,8 – 2,6 Tidak berhasil 1 – 1,8 Sangat tidak berhasil Total Efisiensi > 4,2 – 5 Sangat efisien Simantri > 3,4 – 4,2 Efisien > 2,6 – 3,4 Kurang efisien > 1,8 – 2,6 Tidak efisien 1 – 1,8 Sangat tidak efisien Total
Jumlah (Orang) 12 21 105 0 0 138 12 21 105 0 0 138 12 21 105 0 0 138
Persentase (%) 8,70 15,22 76,08 0 0 100 8,70 15,22 76,08 0 0 100 8,70 15,22 76,08 0 0 100
Dari hasil penelitian diperoleh, sebanyak 12 responden (8,70%) atau empat Gapoktan sangat efektif, sangat berhasil, dan sangat efisien dalam menerapkan Simantri. Dua puluh satu responden (15,22%) atau tujuh Gapoktan yang efektif, berhasil, dan efisien. Namun, sebagian besar responden (76,08%) masih kurang efektif, kurang berhasil dan kurang efisien dalam menerapkan Simantri. Hasil ini mengindikasikan bahwa secara rata-rata kelima belas indikator keberhasilan Simantri dan pengurangan biaya yang bersumber dari luar usaha tani pada pelaksanaan Simantri di Bali (tahun 2009-2010) masih belum dapat dicapai secara maksimal. Selanjutnya, akan ditampilkan hasil ratting dari indikator keberhasilan Simantri baik secara keseluruhan maupun per kelompok berdasarkan peningkatan pendapatan yang mereka peroleh setelah mengikuti program ini. Untuk melihat
116
secara lebih jelas hasil ratting dari kelima belas indikator keberhasilan Simantri mana saja yang sangat berhasil sampai gagal dicapai oleh responden baik secara keseluruhan maupun per kelompok dapat dilihat pada Tabel 5.14 sampai dengan Tabel 5.19, Tabel dibawah ini. Tabel 5.14 Rating Indikator Keberhasilan Simantri Secara Keseluruhan Rating
Indikator Keberhasilan Simantri
1.
Terjadinya alih teknologi khususnya untuk pertanian terintegrasi dengan pola Simantri dari penyelenggara Simantri kepada petani-peternak Terjadinya peningkatan populasi sapi Bali dan meminimalkan angka kematian sapi Berkembangnya lembaga usaha ekonomi di perdesaan Terserapnya produk hasil peternakan, pertanian dan pengolahan limbah ternak sapi di pasaran Pemaksimalan luas tanam, peningkatan kuantitas dan kualitas hasil pertanian dan peternakan Meningkatnya insentif berusaha tani melalui peningkatan produksi dan efisiensi usaha tani (pupuk, pakan, biogas, dan biourine diproduksi sendiri = in situ) Terjadinya pengurangan biaya produksi pada sistem usaha tani yang berasal dari luar sistem Berkembangnya infrastruktur perdesaan Berkembangnya kelembagaan dan meningkatnya kualitas SDM baik petugas pertanian maupun petani-peternak Tersedianya pakan ternak yang berkualitas sepanjang tahun Berkembangnya intensifikasi usaha tani Tercipta dan berkembangnya pertanian organik menuju green economic Terwujudnya konsep pertanian tanpa limbah (zero waste) Peningkatan pendapatan petani (minimal 2 kali lipat) Terciptanya lapangan kerja melalui pengembangan diversifikasi usaha pertanian dan industri rumah tangga
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Skor RataRata 3.797 3.760 3.715 3.711 3.539 3.497 3.490 3.328 3.292 3.281 3.263 3.121 3.115 2.964 2.683
Dari hasil ratting indikator keberhasilan Simantri pada tabel 5.14 dapat dilihat bahwa terjadinya alih teknologi khususnya untuk pertanian terintegrasi dengan pola Simantri dari penyelenggara Simantri kepada petani-peternak (Y11) merupakan indikator yang berhasil dicapai dengan skor rata-rata sebesar 3.797. Sedangkan, terciptanya lapangan kerja melalui pengembangan diversifikasi usaha pertanian dan industri rumah tangga (Y4) merupakan indikator yang kurang
117
berhasil dicapai oleh responden dalam pelaksanaan program Simantri dengan skor rata-rata sebesar 2.683. Tabel 5.15 Rating Indikator Keberhasilan Simantri Oleh Gapoktan Yang Memperoleh Peningkatan Pendapatan Lebih Dari 100% Setelah Mengikuti Simantri Rating
Indikator Keberhasilan Simantri
1.
Terserapnya produk hasil peternakan, pertanian dan pengolahan limbah ternak sapi di pasaran Terjadinya alih teknologi khususnya untuk pertanian terintegrasi dengan pola Simantri dari penyelenggara Simantri kepada petani-peternak Meningkatnya insentif berusaha tani melalui peningkatan produksi dan efisiensi usaha tani (pupuk, pakan, biogas, dan biourine diproduksi sendiri = in situ) Terjadinya pengurangan biaya produksi pada sistem usaha tani yang berasal dari luar sistem Peningkatan pendapatan petani (minimal 2 kali lipat) Berkembangnya lembaga usaha ekonomi di perdesaan Tercipta dan berkembangnya pertanian organik menuju green economic Terwujudnya konsep pertanian tanpa limbah (zero waste) Pemaksimalan luas tanam, peningkatan kuantitas dan kualitas hasil pertanian dan peternakan Terjadinya peningkatan populasi sapi Bali dan meminimalkan angka kematian sapi Tersedianya pakan ternak yang berkualitas sepanjang tahun Berkembangnya intensifikasi usaha tani Berkembangnya kelembagaan dan meningkatnya kualitas SDM baik petugas pertanian maupun petani-peternak Terciptanya lapangan kerja melalui pengembangan diversifikasi usaha pertanian dan industri rumah tangga Berkembangnya infrastruktur perdesaan
2. 3.
4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Skor RataRata 4.933 4.858
4.883 4.766 4.750 4.633 4.541 4.433 4.416 4.358 4.016 3.916 3.750 3.583 2.991
Sesuai Tabel 5.15 di atas diketahui bahwa terserapnya produk hasil peternakan, pertanian dan pengolahan limbah ternak sapi di pasaran (Y15) merupakan indikator
yang sangat berhasil dicapai dengan skor rata-rata sebesar 4.933. Sedangkan, berkembangnya infrastruktur perdesaan (Y10) merupakan indikator yang kurang berhasil dicapai oleh responden dengan skor rata-rata sebesar 2.991.
118
Tabel 5.16 Rating Indikator Keberhasilan Simantri Oleh Gapoktan Yang Memperoleh Peningkatan Pendapatan Lebih Dari 75-100% Setelah Mengikuti Simantri Rating
Indikator Keberhasilan Simantri
1.
Terjadinya alih teknologi khususnya untuk pertanian terintegrasi dengan pola Simantri dari penyelenggara Simantri kepada petani-peternak Terserapnya produk hasil peternakan, pertanian dan pengolahan limbah ternak sapi di pasaran Berkembangnya lembaga usaha ekonomi di perdesaan Meningkatnya insentif berusaha tani melalui peningkatan produksi dan efisiensi usaha tani (pupuk, pakan, biogas, dan biourine diproduksi sendiri = in situ) Terjadinya pengurangan biaya produksi pada sistem usaha tani yang berasal dari luar sistem Pemaksimalan luas tanam, peningkatan kuantitas dan kualitas hasil pertanian dan peternakan Tercipta dan berkembangnya pertanian organik menuju green economic Terwujudnya konsep pertanian tanpa limbah (zero waste) Berkembangnya intensifikasi usaha tani Berkembangnya infrastruktur perdesaan Berkembangnya kelembagaan dan meningkatnya kualitas SDM baik petugas pertanian maupun petani-peternak Terjadinya peningkatan populasi sapi Bali dan meminimalkan angka kematian sapi Peningkatan pendapatan petani (minimal 2 kali lipat) Tersedianya pakan ternak yang berkualitas sepanjang tahun Terciptanya lapangan kerja melalui pengembangan diversifikasi usaha pertanian dan industri rumah tangga
2. 3. 4.
5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Skor RataRata 4.922 4.755 4.677
4.566 4.455 4.333 4.222 4.133 3.811 3.577 3.448 3.388 3.066 2.882 2.755
Pada Tabel 5.16 di atas didapatkan bahwa terjadinya alih teknologi khususnya
untuk pertanian terintegrasi dengan pola Simantri dari penyelenggara Simantri kepada petani-peternak (Y11) merupakan indikator yang sangat berhasil dicapai dengan skor rata-rata sebesar 4.922. Sedangkan, terciptanya lapangan kerja melalui pengembangan diversifikasi usaha pertanian dan industri rumah tangga (Y4)
merupakan indikator yang kurang berhasil dicapai oleh responden dengan skor rata-rata sebesar 2.755.
119
Tabel 5.17 Rating Indikator Keberhasilan Simantri Oleh Gapoktan Yang Memperoleh Peningkatan Pendapatan Lebih Dari 50-75% Setelah Mengikuti Simantri Rating
Indikator Keberhasilan Simantri
1. 2.
Berkembangnya lembaga usaha ekonomi di perdesaan Terserapnya produk hasil peternakan, pertanian dan pengolahan limbah ternak sapi di pasaran Terjadinya alih teknologi khususnya untuk pertanian terintegrasi dengan pola Simantri dari penyelenggara Simantri kepada petani-peternak Tercipta dan berkembangnya pertanian organik menuju green economic Terwujudnya konsep pertanian tanpa limbah (zero waste) Terjadinya pengurangan biaya produksi pada sistem usaha tani yang berasal dari luar sistem Meningkatnya insentif berusaha tani melalui peningkatan produksi dan efisiensi usaha tani (pupuk, pakan, biogas, dan biourine diproduksi sendiri = in situ) Pemaksimalan luas tanam, peningkatan kuantitas dan kualitas hasil pertanian dan peternakan Berkembangnya kelembagaan dan meningkatnya kualitas SDM baik petugas pertanian maupun petani-peternak Berkembangnya intensifikasi usaha tani Terjadinya peningkatan populasi sapi Bali dan meminimalkan angka kematian sapi Tersedianya pakan ternak yang berkualitas sepanjang tahun Berkembangnya infrastruktur perdesaan Peningkatan pendapatan petani (minimal 2 kali lipat) Terciptanya lapangan kerja melalui pengembangan diversifikasi usaha pertanian dan industri rumah tangga
3. 4. 5. 6. 7.
8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Skor RataRata 4.250 4.183 4.008 3.916 3.825 3.791
3.666 3.583 3.525 3.491 3.416 3.333 3.075 2.875 2.791
Pada Tabel 5.17 diketahui bahwa berkembangnya lembaga usaha ekonomi di perdesaan (Y8) merupakan indikator yang sangat berhasil dicapai dengan skor rata-rata
sebesar
4.250.
Sedangkan,
terciptanya
lapangan
kerja
melalui
pengembangan diversifikasi usaha pertanian dan industri rumah tangga (Y4)
merupakan indikator yang kurang berhasil dicapai oleh responden dengan skor rata-rata sebesar 2.791.
120
Tabel 5.18 Rating Indikator Keberhasilan Simantri Oleh Gapoktan Yang Memperoleh Peningkatan Pendapatan Lebih Dari 25-50% Setelah Mengikuti Simantri Rating
Indikator Keberhasilan Simantri
1.
Terserapnya produk hasil peternakan, pertanian dan pengolahan limbah ternak sapi di pasaran Pemaksimalan luas tanam, peningkatan kuantitas dan kualitas hasil pertanian dan peternakan Berkembangnya lembaga usaha ekonomi di perdesaan Terjadinya alih teknologi khususnya untuk pertanian terintegrasi dengan pola Simantri dari penyelenggara Simantri kepada petani-peternak Berkembangnya kelembagaan dan meningkatnya kualitas SDM baik petugas pertanian maupun petani-peternak Tersedianya pakan ternak yang berkualitas sepanjang tahun Terjadinya peningkatan populasi sapi Bali dan meminimalkan angka kematian sapi Berkembangnya intensifikasi usaha tani Berkembangnya infrastruktur perdesaan Meningkatnya insentif berusaha tani melalui peningkatan produksi dan efisiensi usaha tani (pupuk, pakan, biogas, dan biourine diproduksi sendiri = in situ) Terjadinya pengurangan biaya produksi pada sistem usaha tani yang berasal dari luar sistem Tercipta dan berkembangnya pertanian organik menuju green economic Terwujudnya konsep pertanian tanpa limbah (zero waste) Peningkatan pendapatan petani (minimal 2 kali lipat) Terciptanya lapangan kerja melalui pengembangan diversifikasi usaha pertanian dan industri rumah tangga
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
11. 12. 13. 14. 15.
Skor RataRata 3.870 3.559 3.516 3.473 3.451 3.397 3.365 3.344 3.311
3.161 3.139 2.935 2.838 2.806 2.666
Sesuai Tabel 5.18 di atas diketahui bahwa terserapnya produk hasil peternakan, pertanian dan pengolahan limbah ternak sapi di pasaran (Y15) merupakan indikator
yang berhasil dicapai dengan skor rata-rata sebesar 3.870. Sedangkan, terciptanya lapangan kerja melalui pengembangan diversifikasi usaha pertanian dan industri rumah tangga (Y4) merupakan indikator yang kurang berhasil dicapai oleh
responden dengan skor rata-rata sebesar 2.666.
121
Tabel 5.19 Rating Indikator Keberhasilan Simantri Oleh Gapoktan Yang Memperoleh Peningkatan Pendapatan Lebih Dari 1-25% Setelah Mengikuti Simantri Rating
Indikator Keberhasilan Simantri
1.
Terserapnya produk hasil peternakan, pertanian dan pengolahan limbah ternak sapi di pasaran Pemaksimalan luas tanam, peningkatan kuantitas dan kualitas hasil pertanian dan peternakan Berkembangnya kelembagaan dan meningkatnya kualitas SDM baik petugas pertanian maupun petani-peternak Berkembangnya lembaga usaha ekonomi di perdesaan Terjadinya peningkatan populasi sapi Bali dan meminimalkan angka kematian sapi Terjadinya alih teknologi khususnya untuk pertanian terintegrasi dengan pola Simantri dari penyelenggara Simantri kepada petani-peternak Berkembangnya intensifikasi usaha tani Berkembangnya infrastruktur perdesaan Terciptanya lapangan kerja melalui pengembangan diversifikasi usaha pertanian dan industri rumah tangga Tersedianya pakan ternak yang berkualitas sepanjang tahun Tercipta dan berkembangnya pertanian organik menuju green economic Terwujudnya konsep pertanian tanpa limbah (zero waste) Terjadinya pengurangan biaya produksi pada sistem usaha tani yang berasal dari luar sistem Peningkatan pendapatan petani (minimal 2 kali lipat) Meningkatnya insentif berusaha tani melalui peningkatan produksi dan efisiensi usaha tani (pupuk, pakan, biogas, dan biourine diproduksi sendiri = in situ)
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Skor RataRata 3.666 3.533 3.475 3.425 3.358 3.108 2.925 2.775 2.666 2.608 2.525 2.467 2.158 1.416
1.000
Sesuai dengan Tabel 5.19 diketahui bahwa terserapnya produk hasil peternakan, pertanian dan pengolahan limbah ternak sapi di pasaran (Y15) merupakan indikator
yang berhasil dicapai dengan skor rata-rata sebesar 3.666. Sedangkan, meningkatnya insentif berusaha tani melalui peningkatan produksi dan efisiensi usaha tani (pupuk, pakan, biogas, dan biourine diproduksi sendiri = in situ) (Y6) merupakan indikator yang gagal dicapai oleh responden dengan skor rata-rata sebesar 1.000.
122
5.8
Hasil Analisis Pengaruh Variabel Bebas dengan Variabel Tidak Bebas
5.8.1 Evaluasi model pengukuran (outer model) Berdasarkan pengolahan data dengan menggunakan PLS, hasil pengolahan data selanjutnya dievaluasi model persamaan strukturalnya. Dalam tahapan ini, terdapat dua evaluasi mendasar yaitu : 1) evaluasi model pengukuran (outer model) untuk mengetahui validitas dan reliabilitas indikator-indikator yang mengukur variabel laten, dan 2) evaluasi model struktural (inner model) untuk mengetahui ketepatan model. Sebelum evaluasi model dilakukan, dapat ditegaskan kembali bahwa instrumen penelitian yaitu kuesioner sebagai alat pengumpul data adalah merupakan instrumen yang valid dan reliabel. Hasil pengujian instrumen penelitian (kuesioner) selengkapnya telah diuraikan pada bab sebelumnya. Dalam penelitian ini ke-tujuh variabel laten yaitu : kualitas SDM petanipeternak (X1), kondisi Gapoktan Simantri (X2), penerapan usaha peternakan sapi (X3), penerapan usaha tanaman pangan (X4), penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi (X5), efektivitas penerapan Simantri (Y), dan peningkatan pendapatan petani-peternak merupakan model pengukuran dengan indikator reflektif, sehingga dalam evaluasi model pengukuran dilakukan dengan memeriksa convergent dan discriminant validity dari indikator dan composite reliability untuk blok indikator. 1) Pemeriksaan validitas konvergen bertujuan untuk mengukur validitas indikator sebagai pengukur konstruk yang dapat dilihat pada bobot pengukuran (output Smart PLS). Indikator dianggap valid apabila memiliki nilai bobot pengukuran
123
diatas 0.40 dan atau nilai t-statistik diatas 1.96. Indikator yang tidak memenuhi persyaratan akan dikeluarkan dari model sebelum melakukan pengolahan data lebih lanjut. Nilai bobot pengukuran dapat digunakan untuk mengetahui kontribusi setiap indikator/item terhadap variabel laten/konstruknya. Bobot pengukuran suatu indikator dengan nilai paling tinggi menunjukkan indikator tersebut merupakan pengukur terkuat atau merupakan indikator paling penting dalam variabel latennya. Untuk lebih lengkapnya pemeriksaan model pengukuran dapat dilihat pada Tabel 5.20 dibawah ini. Tabel 5.20 Evaluasi Model Pengukuran (Outer Model) Variabel Kualitas SDM Petani-Peternak (X1)
Kondisi Gapoktan Simantri (X2) Penerapan Usaha Peternakan Sapi (X3)
Penerapan Usaha Tanaman Pangan (X4) Penerapan Usaha Pengolahan Limbah Ternak Sapi (X5) Efektivitas Penerapan Simantri (Y) Peningkatan Pendapatan Petani-Peternak
Indikator/Item
Bobot t-statistik Pengukuran Umur (X11) 0.026 0.208 Pendidikan formal (X12) 0.768 13.571 Pendidikan non formal (X13) 0.816 27.426 Pengetahuan tentang Simantri (X14) 0.525 5.644 Sikap tentang Simantri (X15) 0.235 2.448 Keterampilan tentang Simantri (X16) 0.872 32.792 Pengalaman tentang Simantri (X17) 0.751 12.085 Jarak tempat tinggal (X21) 0.831 7.804 Budaya lokal (X22) 0.893 16.310 Interaksi sosial (X23) 0.804 12.329 Penggunaan bibit yang baik (X31) 0.744 18.216 Penyediaan kandang yang baik (X32) 0.680 14.597 Penyediaan dan pemberian pakan yang baik (X33) 0.901 47.005 Pemeliharaan yang baik (X34) 0.797 22.091 Pengendalian penyakit (X35) 0.662 9.267 Pemahaman reproduksi (X36) 0.716 11.200 Produk utama tanaman (X41) 0.450 2.291 Produk limbah tanaman (X42) 0.954 20.688 Biogas (X51) Kompos (X52) Biourine (X53)
0.983 0.971 0.976
278.875 152.155 166.873
Keberhasilan pencapaian tujuan Simantri (Y1) Efisiensi Simantri (Y2)
0.968 0.968
141.680 148.519
Peningkatan pendapatan petani-peternak Simantri
1.000
124
Hasil pemeriksaan model pengukuran yang tersaji pada Tabel 5.20 menunjukkan bahwa hanya indikator umur (X11) dan sikap tentang Simantri (X15) yang memiliki nilai bobot pengukuran lebih kecil dari 0.40. Hal ini berarti, umur (X11) dan sikap tentang Simantri (X15) bukan merupakan indikator yang valid atau tidak cocok digunakan untuk merefleksikan variabel kualitas SDM petani-peternak (X1) karena nilai bobot pengukurannya rendah. Sesuai ketentuan, maka kedua indikator ini harus dikeluarkan dari model sebelum melakukan pengolahan data lebih lanjut. Selanjutnya, pemeriksaan model pengukuran setelah mengeluarkan indikator umur (X11) dan sikap tentang Simantri (X15) dapat dilihat pada Tabel 5.21 dibawah ini : Tabel 5.21 Evaluasi Model Pengukuran (Outer Model) Variabel Indikator/Item Bobot Pengukuran Kualitas SDM Pendidikan formal (X12) 0.766 Petani-Peternak (X1) Pendidikan non formal (X13) 0.822 Pengetahuan tentang Simantri (X14) 0.528 Keterampilan tentang Simantri (X16) 0.872 Pengalaman tentang Simantri (X17) 0.751 Kondisi Gapoktan Jarak tempat tinggal (X21) 0.831 Simantri (X2) Budaya lokal (X22) 0.893 Interaksi sosial (X23) 0.804 Penerapan Usaha Penggunaan bibit yang baik (X31) 0.743 Peternakan Sapi (X3) Penyediaan kandang yang baik (X32) 0.678 Penyediaan dan pemberian pakan yang baik (X33) 0.902 Pemeliharaan yang baik (X34) 0.798 Pengendalian penyakit (X35) 0.663 Pemahaman reproduksi (X36) 0.716 Penerapan Usaha Produk utama tanaman (X41) 0.457 Tanaman Pangan Produk limbah tanaman (X42) 0.952 (X4) Penerapan Usaha Biogas (X51) 0.983 Pengolahan Limbah Kompos (X52) 0.971 Ternak Sapi (X5) Biourine (X53) 0.976 Efektivitas Penerapan Keberhasilan pencapaian tujuan Simantri (Y1) 0.968 Simantri (Y) Efisiensi Simantri (Y2) 0.968 Peningkatan Peningkatan pendapatan petani-peternak Simantri 1.000 Pendapatan PetaniPeternak
tstatistik 16.005 31.280 5.298 34.644 13.115 8.996 19.582 13.274 16.586 12.294 50.397 22.991 9.194 11.012 2.299 19.666 346.032 170.917 207.306 156.350 165.833
125
Hasil pemeriksaan model pengukuran yang tersaji dalam Tabel 5.21 menunjukkan bahwa kelima indikator yang mengukur variabel kualitas SDM petani-peternak (X1) memiliki bobot pengukuran lebih besar dari 0.40 dengan tstatistik diatas 1.96. Hal ini berarti, pendidikan formal (X12), pendidikan non formal (X13), pengetahuan tentang Simantri (X14), keterampilan tentang Simantri (X16) dan pengalaman tentang Simantri (X17) merupakan indikator yang valid sebagai pengukur variabel kualitas SDM petani-peternak (X1). Indikator keterampilan tentang Simantri (X16) merupakan indikator terkuat untuk merefleksikan variabel kualitas SDM petani-peternak (X1) karena memiliki nilai bobot pengukuran paling besar (0.872). Hasil evaluasi variabel kondisi Gapoktan Simantri (X2), menunjukkan ketiga indikator memiliki nilai bobot pengukuran lebih besar dari 0.40 dengan t-statistik diatas 1.96. Hasil ini menunjukkan bahwa jarak tempat tinggal (X21), budaya lokal (X22), dan interaksi sosial (X23) merupakan indikator yang valid untuk merefleksikan variabel kondisi Gapoktan Simantri (X2). Selain itu, hasil evaluasi mengindikasikan budaya lokal (X22) merupakan indikator terkuat untuk merefleksikan kondisi Gapoktan Simantri dengan nilai bobot pengukuran sebesar 0.893. Pada evaluasi penerapan usaha peternakan sapi (X3), menunjukkan keenam indikator memiliki nilai bobot pengukuran lebih besar dari 0.40 dengan t-statistik berada jauh diatas 1.96. Hasil ini memberi petunjuk bahwa penggunaan bibit yang baik (X31), penyediaan kandang yang baik (X32), penyediaan dan pemberian pakan yang baik (X33), pemeliharaan yang baik (X34), pengendalian penyakit
126
(X35), pemahaman reproduksi (X36) merupakan indikator yang valid dari variabel penerapan usaha peternakan sapi (X3). Disamping itu, hasil analisis menunjukkan indikator penyediaan dan pemberian pakan yang baik (X33) paling kuat dalam merefleksikan penerapan usaha peternakan sapi dengan nilai bobot pengukuran sebesar 0.902. Hasil pemeriksaan variabel penerapan usaha tanaman pangan (X4), menunjukkan kesemua indikator memiliki nilai bobot pengukuran lebih besar dari 0.40 dengan t-statistik diatas 1.96. Oleh sebab itu, produk utama tanaman (X41) dan produk limbah tanaman (X42) merupakan indikator yang valid dari variabel penerapan usaha tanaman pangan (X4). Lebih lanjut disampaikan, produk limbah tanaman (X42) adalah reflektor terkuat dalam variabel penerapan usaha tanaman pangan dengan nilai bobot pengukuran sebesar 0.952. Hasil evaluasi variabel penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi (X5), menunjukkan bahwa ketiga indikator memiliki nilai bobot pengukuran lebih besar dari 0.40 dengan t-statistik jauh berada diatas 1.96. Hasil ini menunjukkan bahwa biogas (X51), kompos (X52), dan biourine (X53) merupakan indikator yang valid untuk merefleksikan variabel penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi (X5). Selain itu, hasil evaluasi mengindikasikan bahwa biogas (X51) merupakan indikator paling kuat dalam merefleksikan penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi dengan nilai bobot pengukuran sebesar 0.983 Hasil evaluasi variabel efektivitas penerapan Simantri (Y) menunjukkan bahwa kesemua indikator memiliki nilai bobot pengukuran lebih besar dari 0.40 dengan t-statistik berada jauh diatas 1.96. Oleh sebab itu, keberhasilan pencapaian
127
tujuan Simantri (Y1) dan efisiensi Simantri (Y2) merupakan indikator yang valid untuk merefleksikan variabel efektivitas penerapan Simantri (Y). Lebih lanjut disampaikan bahwa, baik keberhasilan pencapaian tujuan Simantri (Y1) maupun efisiensi Simantri (Y2) adalah reflektor yang sama kuatnya untuk merefleksikan variabel efektivitas penerapan Simantri (Y) dengan nilai bobot pengukuran sebesar 0.968.
2) Validitas
diskriminan,
merupakan
evaluasi
yang
dilakukan
dengan
membandingkan nilai square root of average variance extracted (AVE) setiap variabel laten dengan korelasi antar variabel laten lainnya dalam model. Dengan ketentuan, apabila square root of average variance extracted (√AVE) variabel
laten
lebih
besar
dari
koefesien
korelasi
variabel
laten
mengindikasikan indikator-indikator variabel memiliki validitas diskriminan yang baik. Nilai AVE yang direkomendasikan adalah lebih besar dari 0.50. Hasil pemeriksaan validitas diskriminan dalam penelitian ini seperti yang tersaji pada Tabel 5.22 dibawah ini mengindikasikan bahwa ketujuh variabel memiliki nilai AVE diatas 0.50. Selanjutnya, diperoleh nilai akar AVE (√AVE) untuk setiap variabel laten yang ada lebih besar dari koefesien korelasi variabel laten. Dari hasil ini mengindikasikan bahwa model memiliki validitas diskriminan yang baik.
128
Tabel 5.22 Pemeriksaan Validitas Diskriminan Variabel
AVE √AVE
Y ppp Efektivitas Penerapan Simantri (Y) 0.937 0.968 1.000 Peningkatan Pendapatan Petani1.000 1.000 0.821 1.000 Peternak (PPP) Kualitas SDM Petani-Peternak 0.573 0.757 0.898 0.712 (X1) Kondisi Gapoktan Simantri (X2) 0.712 0.844 0.530 0.340 Penerapan Usaha Peternakan Sapi 0.569 0.754 0.781 0.558 (X3) Penerapan Usaha Tanaman Pangan 0.558 0.747 0.387 0.252 (X4) Penerapan Usaha Pengolahan 0.954 0.977 0.922 0.773 Limbah Ternak Sapi (X5)
x1
Korelasi x2 x3
x4
x5
1.000 0.635 1.000 0.862 0.639 1.000 0.432 0.335 0.374 1.000 0.846 0.513 0.703 0.284 1.000
3) Reliabilitas gabungan (Composite reliability) bertujuan untuk mengevaluasi nilai reliabilitas antara blok indikator dari konstruk yang membentuknya. Nilai reliabilitas gabungan dikatakan baik apabila berada di atas 0.60. Untuk lebih lengkapnya nilai reliabilitas gabungan dari ketujuh variabel laten dapat dilihat pada Tabel 5.23 Tabel 5.23 Nilai Reliabilitas Gabungan Variabel Reliabilitas Gabungan Kualitas SDM Petani-Peternak (X1) Kondisi Gapoktan Simantri (X2) Penerapan Usaha Peternakan Sapi (X3) Penerapan Usaha Tanaman Pangan (X4) Penerapan Usaha Pengolahan Limbah Ternak Sapi (X5) Efektivitas Penerapan Simantri (Y) Peningkatan Pendapatan Petani-Peternak (PPP)
0.867 0.881 0.887 0.692
0.984 0.967 1.000
Hasil evaluasi reliabilitas gabungan yang tersaji pada Tabel 5.23 diatas, diperoleh informasi bahwa ketujuh variabel laten yang digunakan dalam penelitian ini telah berada diatas 0.60. Sehingga dapat dinyatakan bahwa blok indikator reliabel atau handal mengukur variabel-variabel penelitian. Berdasarkan hasil evaluasi konvergen dan validitas diskriminan masing-masing indikator serta
129
reliabilitas gabungan untuk blok indikator, maka dapat disimpulkan bahwa indikator-indikator variabel laten merupakan pengukur yang valid dan reliabel. Langkah selanjutnya, dilakukan analisis model struktural (inner model) untuk mengetahui kesesuaian model (goodness of fit model) pada model penelitian ini.
5.8.2 Evaluasi model struktural (inner model) Model struktural dievaluasi dengan memperhatikan Q² predictive relevance model yang mengukur seberapa baik nilai observasi dihasilkan oleh model. Q² didasarkan pada koefesien determinasi seluruh variabel dependen. Q² memiliki nilai dengan rentang 0 < Q² < 1, semakin mendekati nilai 1 berarti model struktural dari suatu penelitian semakin baik. Dalam model struktural ini terdapat lima variabel endogenus (dependen) yaitu: penerapan usaha peternakan sapi (X3), penerapan usaha tanaman pangan (X4), penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi (X5), efektivitas penerapan Simantri (Y), dan peningkatan pendapatan petani-peternak. Untuk mengetahui lebih lengkap mengenai hasil evaluasi kesesuaian model (goodness of fit model) dapat dilihat di Tabel 5.24. Tabel 5.24 Hasil Evaluasi Kesesuaian Model (Goodness of Fit Model) Model Struktural Variabel Endogenus R-Square 1 Penerapan usaha peternakan sapi (X3) 0.758 2 Penerapan usaha tanaman pangan (X4) 0.214 3 Penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi (X5) 0.717 4 Efektivitas penerapan Simantri (Y) 0.893 5 Peningkatan pendapatan petani-peternak 0.675 Kalkulasi : Q² = 1 – (1 - R1²) (1 - R2²) (1 - R3²) (1 - R4²) (1 - R5²) Q² = 1 – (1-0.758) (1-0.214 ) (1-0.717) (1-0.893) (1-0.675) Q² = 0.998
130
Hasil evaluasi model struktural mendapatkan nilai Q² pada model penelitian ini adalah sebesar 0.998 (mendekati angka 1). Dengan demikian, hasil evaluasi ini membuktikan bahwa model struktural memiliki kesesuaian (goodness of fit model) yang baik. Hasil ini dapat dimaknai bahwa informasi yang terkandung dalam data 99,8 persen dapat dijelaskan oleh model, sedangkan sisanya 0,2 persen dijelaskan oleh error dan variabel lain yang belum terdapat dalam model. Dengan melihat nilai R-Square yang ada pada Tabel 5.24 diketahui bahwa variabel endogenus (dependen) penerapan usaha peternakan sapi (X3), Penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi (X5), efektivitas penerapan Simantri (Y), dan peningkatan pendapatan petani-peternak merupakan variabel laten endogen yang baik dalam model struktural dengan nilai R2 > 0.67. Sedangkan, penerapan usaha tanaman pangan (X4) diindikasikan sebagai variabel laten endogen yang lemah dalam model struktural dengan nilai R2 > 0.19.
5.8.3 Hasil pengujian hipotesis Pengujian hipotesis dilakukan dengan t-test pada masing-masing jalur pengaruh langsung secara parsial. Hasil uji validasi koefisien jalur pada setiap jalur untuk pengaruh langsung dapat dilihat pada Tabel 5.25.
131
Tabel 5.25 Hasil Pengujian Efek Langsung No
Hubungan Antar Variabel
1
Koefisien Jalur t-statistik (Bootsrapping) 0.769 12.512
Kualitas SDM petani-peternak (X1) Penerapan usaha peternakan sapi (X3) 2 Kualitas SDM petani-peternak (X1) Penerapan usaha tanaman pangan (X4) 3 Kualitas SDM petani-peternak (X1) Penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi (X5) 4 Kondisi Gapoktan Simantri (X2) Penerapan usaha peternakan sapi (X3) 5 Kondisi Gapoktan Simantri (X2) Penerapan usaha tanaman pangan (X4) 6 Kondisi Gapoktan Simantri (X2) Penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi (X5) 7 Penerapan usaha peternakan sapi (X3) Efektivitas penerapan Simantri (Y) 8 Penerapan usaha tanaman pangan (X4) Efektivitas penerapan Simantri (Y) 9 Penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi (X5) Efektivitas penerapan Simantri (Y) 10 Efektivitas penerapan Simantri (Y) Peningkatan pendapatan petani-peternak
Keterangan Signifikan
0.609
3.678
Signifikan
0.871
15.359
Signifikan
0.153
1.955
Tidak Signifikan
0.090
0.626
Tidak Signifikan
0.039
0.571
Tidak Signifikan
0.231
4.115
Signifikan
0.092
2.992
Signifikan
0.733
16.869
Signifikan
0.821
23.337
Signifikan
Sumber : Hasil Penelitian, 2013 Dari hasil uji validasi koefisien jalur pada setiap jalur untuk pengaruh langsung dan efek dalam Tabel 5.25 diatas, maka dapat ditentukan hasil pengujian hipotesis yang dipaparkan pada uraian berikut ini : 1) Kualitas SDM petani-peternak (X1) terbukti berpengaruh positif dan signifikan terhadap penerapan usaha peternakan sapi (X3). Hasil ini ditunjukkan oleh koefisien jalur yang bernilai positif sebesar 0.769 dengan tstatistik sebesar 12.512 (t-statistik > 1.96), sehingga hipotesis kualitas SDM petani-peternak berpengaruh positif terhadap penerapan usaha peternakan sapi dapat dibuktikan atau diterima. Sesuai hasil yang diperoleh dapat
132
dinyatakan bahwa kualitas SDM petani-peternak anggota Simantri yang semakin baik akan mampu meningkatkan penerapan usaha peternakan sapi. 2) Kualitas SDM petani-peternak (X1) terbukti berpengaruh positif dan signifikan terhadap penerapan usaha tanaman pangan (X4). Hasil ini ditunjukkan oleh koefisien jalur yang bernilai positif sebesar 0.609 dengan tstatistik sebesar 3.678 (t-statistik > 1.96), sehingga hipotesis kualitas SDM petani-peternak berpengaruh positif terhadap penerapan usaha tanaman pangan dapat dibuktikan atau diterima. Berdasarkan hasil tersebut dapat dinyatakan bahwa semakin baik kualitas SDM petani-peternak anggota Simantri, maka penerapan usaha tanaman pangan akan semakin meningkat. 3) Kualitas SDM petani-peternak (X1) terbukti berpengaruh positif dan signifikan terhadap penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi (X5). Hasil ini ditunjukkan oleh koefisien jalur yang bernilai positif sebesar 0.871 dengan t-statistik sebesar 15.359 (t-statistik > 1.96), sehingga hipotesis kualitas SDM petani-peternak berpengaruh positif terhadap penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi dapat dibuktikan atau diterima. Berdasarkan hasil tersebut dapat dinyatakan bahwa semakin baik kualitas SDM petanipeternak anggota Simantri, maka penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi akan semakin meningkat. 4) Kondisi Gapoktan Simantri (X2) secara statistik terbukti berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap penerapan usaha peternakan sapi (X3). Hasil ini ditunjukkan oleh koefisien jalur yang bernilai positif sebesar 0.153 dengan t-statistik sebesar 1.955 (t-statistik < 1.96), sehingga hipotesis kondisi
133
Gapoktan Simantri berpengaruh positif terhadap penerapan usaha peternakan sapi ditolak. Berdasarkan hasil tersebut dapat dinyatakan bahwa baik tidaknya kondisi Gapoktan Simantri tidak berdampak pada penerapan usaha peternakan sapi. 5) Kondisi Gapoktan Simantri (X2) secara statistik terbukti berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap penerapan usaha tanaman pangan (X4). Hasil ini ditunjukkan oleh koefisien jalur yang bernilai positif sebesar 0.090 dengan t-statistik sebesar 0.626 (t-statistik < 1.96), sehingga hipotesis kondisi Gapoktan Simantri berpengaruh positif terhadap penerapan usaha tanaman pangan ditolak. Berdasarkan hasil tersebut dapat dinyatakan bahwa yang kondusif atau tidaknya kondisi Gapoktan Simantri tidak mempengaruhi penerapan usaha tanaman pangan. 6) Kondisi Gapoktan Simantri (X2) secara statistik terbukti berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi (X5). Hasil ini ditunjukkan oleh koefisien jalur yang bernilai negatif sebesar 0.039 dengan t-statistik sebesar 0.571 (t-statistik < 1.96), sehingga hipotesis kondisi Gapoktan Simantri berpengaruh positif terhadap penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi ditolak. Berdasarkan hasil tersebut dapat dinyatakan
bahwa semakin
baik kondisi
Gapoktan Simantri tidak
memberikan dampak pada peningkatan penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi. 7) Penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi (X5) terbukti berpengaruh positif dan signifikan dan berpengaruh paling dominan terhadap efektivitas
134
penerapan Simantri (Y). Hasil ini ditunjukkan oleh koefisien jalur yang bernilai positif sebesar 0.733. Berdasarkan hasil ini, maka hipotesis penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi berpengaruh paling dominan terhadap efektivitas penerapan Simantri dapat dibuktikan atau diterima. Berdasarkan hasil tersebut dapat dinyatakan bahwa semakin baik dan sempurnanya penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi yang dilakukan oleh petani-peternak anggota Simantri, maka efektivitas penerapan Simantri akan semakin meningkat. 8) Efektivitas penerapan Simantri (Y) terbukti berpengaruh positif dan signifikan terhadap peningkatan pendapatan petani-peternak. Hasil ini ditunjukkan oleh koefisien jalur yang bernilai positif sebesar 0.821 dengan tstatistik sebesar 23.337 (t-statistik > 1.96), sehingga hipotesis efektivitas penerapan Simantri berpengaruh positif terhadap peningkatan pendapatan petani-peternak dapat dibuktikan atau diterima. Berdasarkan hasil tersebut dapat dinyatakan bahwa semakin efektif penerapan Simantri, maka para petani-peternak anggota Simantri akan merasakan adanya peningkatan pendapatan. Sesuai dengan hasil pengujian hipotesis-hipotesis yang telah diuraikan diatas, maka dapat disusun diagram jalur (Gambar 5.2) yang menggambarkan efek langsung dari hubungan antar variabel-variabel dalam penelitian ini.
135
Gambar 5.2 Diagram Jalur Hasil Uji Hipotesis
5.8.4 Hasil pengujian efek langsung terhadap variabel diluar hipotesis Pengujian efek langsung terhadap variabel diluar hipotesis dilakukan dengan t-test pada masing-masing jalur pengaruh langsung secara parsial. Hasil uji validasi koefisien jalur pada setiap jalur untuk pengaruh langsung dapat dilihat pada Tabel 5.26 dibawah ini. Tabel 5.26 Hasil Pengujian Efek Langsung Terhadap Variabel Diluar Hipotesis No 1 2
Hubungan Antar Variabel
Koefisien tKeterangan Jalur statistik (Bootstrapping) Penerapan usaha tanaman pangan (X4) 0.010 0.187 Tidak Penerapan usaha peternakan sapi (X3) Signifikan Penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi 0.278 1.607 Tidak (X5) Penerapan usaha tanaman pangan (X4) Signifikan
136
Pengujian efek langsung dari penerapan usaha peternakan sapi (X3) terhadap penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi (X5) tidak dapat dilakukan, mengingat didalam analisis data menggunakan PLS (Partial Least Square) hal ini tidak dimungkinkan. PLS hanya bisa menganalisis pengaruh satu arah saja dari variabel laten yang satu terhadap variabel laten yang lain (tidak bisa bolak balik). Dari hasil uji validasi koefisien jalur pada setiap jalur untuk pengaruh langsung dan efek dalam Tabel 5.25 diatas, maka dapat ditentukan hasil pengujian efek langsung terhadap variabel-variabel diluar hipotesis yang dipaparkan pada uraian berikut ini : 1) Penerapan usaha tanaman pangan (X4) secara statistik terbukti berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap penerapan usaha peternakan sapi (X3). Hasil ini ditunjukkan oleh koefisien jalur yang bernilai positif sebesar 0.010 dengan t-statistik sebesar 0.187 (t-statistik < 1.96). Berdasarkan hasil ini dapat dinyatakan bahwa belum digunakannya gulma serta limbah dari tanaman pertanian, perkebunan dan holtikultura sebagai pakan ternak sapi secara maksimal, menyebabkan penerapan usaha tanaman pangan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pengurangan biaya pakan. 2) Penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi (X5) secara statistik terbukti berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap penerapan usaha tanaman pangan (X4). Hasil ini ditunjukkan oleh koefisien jalur yang bernilai positif sebesar 0.278 dengan t-statistik sebesar 1.607 (t-statistik < 1.96). Berdasarkan hasil ini dapat dinyatakan bahwa penggunaan pupuk kompos dan biourine pada usaha tanaman pangan oleh responden belum memberikan pengaruh
137
yang signifikan terhadap peningkatan hasil panen atau produktifitas dari tanaman pangan yang ditanam (padi, holtikultura, dan perkebunan).
5.9
Hasil Analisis Pendapatan Petani-Peternak Pendapatan usaha tani adalah besarnya manfaat atau hasil yang diterima oleh
petani yang dihitung berdasarkan dari nilai produksi dikurangi semua jenis pengeluaran yang digunakan untuk produksi. Besarnya tingkat pendapatan dari seorang petani-peternak sangatlah bervariasi tergantung dari jenis dan besarnya usaha tani dan ternak yang dikelola. Sesuai dengan harapan Pemerintah Provinsi Bali, program Simantri diharapkan mampu meningkatkan pendapatan petanipeternak peserta Simantri sampai dua kali lipat pada 4-5 tahun kedepan. Dalam penelitian ini pendapatan dinilai dengan membandingkan pendapatan dari kegiatan mengintegrasikan ketiga unit usaha Simantri yang dilakukan oleh responden dengan pendapatan sebelum mereka mengikuti program ini. Pengklasifikasian responden didasarkan pada seberapa besar (persentase) peningkatan pendapatan yang mereka peroleh setelah mengikuti Simantri. Berdasarkan hasil penelitian, peningkatan pendapatan yang diperoleh oleh para responden dapat dilihat pada Tabel 5.27.
138
139
Dari hasil penelitian diperoleh, hanya Gapoktan yang mampu memproduksi pupuk kompos dengan kapasitas produksi mencapai 120 ton/bulan dengan cara membeli sebagian besar input kotoran sapi dan bahan penyusun lainnya dari luar yang mampu memperoleh peningkatan pendapatan dari program Simantri sebesar lebih dari dua kali lipat (hampir tiga kali lipat). Gapoktan yang menerapkan program ini dengan baik dan benar memperoleh peningkatan pendapatan berkisar antara 60,64% - 79,30%. Sedangkan, Gapoktan yang sapi bali induknya setiap hari tidak selalu berada di kandang koloni Simantri dengan limbah ternak sapi tidak diolah secara maksimal hanya memperoleh peningkatan pendapatan rata-rata sebesar 37,50%. Sedangkan, bagi Gapoktan yang sama sekali tidak mengolah limbah ternak sapinya menjadi pupuk kompos, biourine, dan biogas hanya memperoleh pendapatan rata-rata sebesar 14,47%. Dengan kata lain, peningkatan pendapatan yang diperoleh berasal dari hasil penjualan pedet dan sedikit dari hasil tanaman pangan atau buah-buahan yang berasal dari paket awal kegiatan Simantri. Sesuai dengan Tabel 5.27 diatas, tidak ada pengurus Simantri yang tidak merasakan adanya peningkatan pendapatan setelah mereka mengikuti program Simantri. Hasil ini mengindikasikan bahwa sebagian besar responden (67,38%) merasakan adanya peningkatan pendapatan setelah mengikuti Simantri berkisar antara lebih dari 25% sampai dengan 50% dari pendapatan sebelum mengikuti Simantri.
BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Kualitas SDM Petani-Peternak 6.1.1 Umur Umur seluruh responden tergolong kelompok umur produktif, yaitu antara 37 tahun sampai 64 tahun. Sesuai Undang-Undang Tenaga Kerja No 13 Tahun 2003, batas usia kerja atau usia produktif yang berlaku di Indonesia adalah berumur 15 64 tahun. Sebanyak 120 orang (86,95%) dari 138 orang responden, berada pada kisaran umur diatas 35 sampai 50 tahun (Tabel 5.1). Hal ini berarti pengurus Gapoktan Simantri berpotensi besar sebagai pelopor (innovator) dalam kelompoknya untuk menangkap dan menerapkan berbagai inovasi di bidang pertanian dan peternakan, khususnya inovasi pada program Simantri. Hasil penelitian ini memang bertolak belakang dengan pernyataan Mardikanto (1993), Rogers dan Shoemaker (1971), dan (Soekartawi, 1988) yang menyatakan bahwa semakin muda umur petani, maka akan semakin mudah bagi mereka untuk mengadopsi suatu inovasi teknologi, karena memiliki keingin tahuan yang lebih besar, semangat yang kuat untuk mengadakan perubahan dalam usaha taninya, serta lebih berani dalam menanggung resiko. Kenyataan dilapangan menunjukkan, walaupun umur responden tidak muda namun mereka memiliki kedewasaan dan pengalaman yang cukup dalam pengambilan keputusan normatif tentang program Simantri yang dimulai dari kesadaran (awareness), minat (interest), evaluasi (evaluation), mencoba (trial), adopsi (adoption).
140
141
6.1.2 Pendidikan formal Tingkat pendidikan sangat terkait dengan tingkat kemampuan seseorang dalam mengadopsi teknologi. Tingkat pendidikan sebagian besar (55,80%) pengurus Gapoktan Simantri tahun 2009-2010 adalah berpendidikan SMU (Tabel 5.2). Hal ini mengindikasikan bahwa pengurus Gapoktan Simantri mempunyai pengetahuan, daya nalar, dan wawasan yang baik yang dapat dijadikan modal untuk memobilisasi anggotanya untuk menerapkan inovasi Simantri di dalam kelompoknya. Hal ini senada dengan pendapat Mosher (1967) yang menyatakan bahwa, semakin tinggi pendidikan formal yang dialami oleh seseorang, maka tingkat pengetahuan dan ketrampilannya semakin tinggi, serta sikapnya lebih terbuka terhadap teknologi baru. Suparta (2005) mengatakan tingkat pendidikan sangat menentukan kemampuan seseorang dalam pengambilan keputusan, sehingga mereka memiliki kemampuan menciptakan sesuatu. Selanjutnya dikatakan tingkat pendidikan berpengaruh terhadap keinovativan, kecepatan proses adopsi inovasi dan perilaku seseorang. Mardikanto (1993) menyatakan bahwa, proses perubahan perilaku melalui pendidikan dilatar belakangi oleh pengetahuan, kemauan, dan kemampuan untuk melakukan sesuatu yang diperlukan untuk terjadinya perubahan, sehingga dapat menyebabkan seseorang lebih terbuka dan bersikap lebih mudah untuk menerima teknologi baru. Mereka yang berpendidikan lebih tinggi akan relatif lebih cepat menerapkan inovasi, begitu pula sebaliknya, mereka yang berpendidikan lebih rendah agak sulit untuk menerapkan inovasi ini dengan cepat (Soekartawi, 1988).
142
6.1.3 Pendidikan non formal Kualitas dan kuantitas pendidikan non formal yang pernah diikuti oleh seorang petani-peternak akan sangat berpengaruh terhadap pengetahuan dan keterampilannya dalam bertani dan beternak. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh sebagian besar (49,27%) pengurus Gapoktan Simantri telah mengikuti pelatihan Simantri melalui bintek yang diadakan oleh Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Bali sebanyak 6-7 kali. Dengan kenyataan ini, terlihat bahwa para pengurus Gapoktan Simantri telah cukup banyak menerima penyuluhan dan pelatihan yang tujuannya untuk mempercepat alih teknologi Simantri ke petanipeternak anggota Simantri. Program bintek ini akan dapat membantu responden dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya dalam hal usaha peternakan sapi bali induk, usaha tanaman pangan, serta usaha pengolahan limbah ternak sapi. Kartasapoetra (1987) menyatakan bahwa penyuluhan pertanian berfungsi untuk mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian professional. Semakin banyak pendidikan non formal yang pernah diikuti responden, maka akan semakin meningkatkan pengetahuan serta keterampilannya (Suhardiyono, 1992).
6.1.4 Pengetahuan Pengetahuan dan sikap dari seorang petani terhadap suatu inovasi akan menentukan kesiapannya dalam melaksanakan inovasi tersebut. Pengetahuan petani sangat menunjang kelancaran petani dalam mengadopsi suatu inovasi
143
maupun kelanggengan usaha taninya (Supriyanto, 1978). Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh semua (100%) responden memiliki pengetahuan yang sangat tinggi tentang Simantri, dengan pencapaian skor rata-rata sebesar 4,72. Hal ini mengindikasikan responden memiliki kesiapan dalam melaksanakan inovasi Simantri. Adanya bintek (bimbingan teknis) yang diselenggarakan oleh Dinas Pertanian Tanaman Pangan secara langsung berdampak pada peningkatan pengetahuan petani-peternak anggota Gapoktan Simantri terhadap inovasi teknologi Simantri. Tingkat pengetahuan seseorang sangat penting sebagai basis untuk pengambilan keputusan yang efektif, baik ia menerima atau menolak sebuah inovasi (Rogers dan Shoemaker, 1971). Pengetahuan yang tinggi tentang suatu inovasi memungkinkan responden untuk menerima hal-hal yang baru (inovasi), sehingga inovasi Simantri yang ditawarkan akan dapat diterapkan dengan baik. Sutrisna dan Nuraini (1987) menyatakan bahwa pengetahuan seseorang tentang suatu inovasi serta sikapnya terhadap inovasi tersebut menentukan kesiapannya untuk melaksanakan inovasi tersebut, serta dengan sikap yang positif lebih bisa diharapkan dari seseorang untuk menerapkan suatu inovasi. Pernyataan ini didukung pula oleh Supriyanto (1978) yang mengatakan bahwa pengetahuan sangat menunjang kelancaran petani dalam mengadopsi suatu inovasi untuk kelanggengan usaha taninya. Lebih lanjut dikatakan bahwa responden yang memiliki pengetahuan lebih tinggi akan mampu menerapkan suatu teknologi dengan baik daripada mereka yang mempunyai pengetahuan yang lebih rendah.
144
6.1.5 Sikap Sikap merupakan produk dari proses sosialisasi, yaitu pembentukan sikap sosial pada seseorang karena adanya interaksi manusia atau individu, dimana seseorang bereaksi sesuai dengan rangsangan yang diterima. Sikap merupakan salah satu faktor penting dalam tingkah laku sosial masyarakat berkenaan dengan mau tidaknya seseorang menerapkan inovasi. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh semua (100%) responden memiliki sikap yang sangat positif tentang Simantri, dengan pencapaian skor ratarata sebesar 4,83. Dari hasil ini dapat dilihat bahwa pembentukan sikap responden terhadap program Simantri sangat dipengaruhi oleh kualitas personal tenaga pendamping Simantri. Lionberger dan Gwin, 1982 mengatakan bahwa kegiatan penyuluhan pertanian merupakan salah satu dari kegiatan untuk mengubah sikap petani
agar
menerapkan
inovasi
yang
dapat
menaikkan
produktivitas
usahataninya. Selain itu hubungan komunikasi interpersonal antar petani-peternak dalam satu kelompok, dengan anggota Gapoktan Simantri lainnya dan dengan tenaga pendamping sendiri juga mempengaruhi pembentukan sikap dari responden. Kondisi ini sesuai dengan yang dikatakan Azwar (2002) yang mengatakan bahwa sikap petani terhadap suatu inovasi akan terbentuk dikarenakan adanya interaksi sosial yang dialami oleh individu. Selain dibentuk oleh adanya interaksi sosial, sikap yang sangat postif dari responden tentang Simantri juga dipengaruhi oleh pengetahuannya yang sangat tinggi tentang Simantri. Hal ini senada dengan pendapat Azwar (1988) yang menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah
145
pengetahuan, pengalaman pribaadi, kebudayaan orang lain yang dianggap penting, media massa, lembaga pendidikan serta faktor emosi dalam diri individu. Effendi dan Praja (1984) menyatakan bahwa sikap seseorang terhadap inovasi pada umumnya dapat digunakan untuk memprediksi perilaku berkenaan dengan inovasi tersebut. Dengan kata lain, semakin positif sikap responden terhadap inovasi Simantri, maka semakin baik pula tingkat penerapan mereka mengenai inovasi tersebut.
6.1.6 Keterampilan Keterampilan merupakan salah satu unsur perilaku yang dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung dengan indra manusia yang akan diubah didalam pelaksanaan penyuluhan pertanian. Keterampilan atau kemampuan (kompetensi) diperlukan oleh seseorang untuk berhasil mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan. Petani dikatakan mempunyai kemampuan jika mempunyai keterampilan yang meliputi kecakapan atau terampil dalam melaksanakan pekerjaan badaniah dan kecakapan
berpikir
untuk
menyelesaikan
persoalan-persoalan
sehari-hari
(Samsudin, 1987) Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh sebagian besar dari responden (95,65%) sangat terampil dan 4,35% lainnya terampil dalam beternak sapi bali betina, bertani/berkebun, serta mengolah limbah ternak sapi menjadi pupuk padat dan cair. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa para pengurus Gapoktan Simantri tahun 2009-2010 memiliki keterampilan yang cukup baik untuk melaksanakan program Simantri. Keterampilan yang dimiliki responden dalam
146
berusaha tani dalam arti luas dapat diartikan sebagai keterampilan teknis. Robbins (2003) menyatakan bahwa keterampilan teknis meliputi kemampuan menerapkan pengetahuan khusus atau keahlian spesialisasi.
Lebih
lanjut
dikatakan
keterampilan teknis tidak harus dipelajari di sekolah atau program pelatihan yang formal namun dapat juga melalui pelatihan non formal. Keterampilan seseorang terhadap suatu pekerjaan erat kaitannya dengan pengalamannya dalam bidang tersebut. Keterampilan teknis yang dimiliki oleh responden sebagian besar diperoleh melalui penyuluhan, pelatihan, bimbingan teknis (bintek), dan pelatihan bertani beternak yang diajarkan oleh orang tua secara turun temurun. Kebanyakan responden sangat terampil dalam bertani dan beternak dibandingkan pengolahan limbah ternak sapi limbah ternak sapi menjadi kompos, biogas dan biourine. Para responden menyatakan bahwa keterampilan mereka dalam bertani dan beternak sudah mereka kuasai jauh sebelum adanya Simantri. Hal ini dikarenakan oleh lamanya pengalaman yang dimiliki dalam bertani dan beternak. Kenyataan ini sesuai dengan pendapat Selain itu, pada program Simantri penambahan inovasi teknologi untuk usaha tani dan usaha peternakan sapi bali betina tidak sebanyak penambahan inovasi teknologi untuk usaha pengolahan limbah padat dan cair dari ternak sapi. Setelah mengikuti program Simantri keterampilan mereka bertambah lagi yaitu dalam hal pengolahan limbah ternak sapi menjadi kompos, biogas, biourine dan biopestisida.
147
6.1.7 Pengalaman Pengalaman kerja adalah suatu ukuran tentang lama waktu atau masa kerjanya yang telah ditempuh seseorang dalam memahami tugas-tugas suatu pekerjaan dan telah melaksanakannya dengan baik. Pengalaman seseorang dalam melaksanakan pekerjaan dapat diartikan pula sebagai masa kerja ataupun senioritas. Masa kerja yang diekspresikan sebagai pengalaman kerja dapat menjadi peramal yang baik terhadap produktivitas kerja seseorang. Pengalaman petani-peternak di dalam program Simantri dapat dibagi menjadi tiga, yaitu : pengalaman beternak sapi bali, bertani/berkebun, serta pengolahan limbah ternak sapi menjadi kompos, biogas, dan biourine. Pengalaman petanipeternak anggota Gapoktan Simantri akan sangat mempengaruhi kecepatan mereka dalam adopsi inovasi Simantri. Karena dengan pengalaman yang memadai maka SOP (standard operational procedure) dari Simantri akan dengan cepat dikuasai dan dilaksanakan oleh petani-peternak. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh seluruh responden (100%) memiliki pengalaman dalam beternak sapi bali dan bertani/berkebun diatas lima tahun, bahkan kebanyakan dari mereka mengaku memiliki pengalaman lebih dari lima belas tahun. Hal ini dikarenakan pengalaman mereka dalam beternak dan bertani telah diawali semenjak duduk dibangku sekolah dasar (SD) hingga saat ini. Sedangkan, pengalaman responden dalam mengolah limbah ternak sapi menjadi pupuk padat dan cair tidaklah terlalu lama. Hal ini disebabkan oleh karena gaung dari pertanian terintegrasi yang salah satu kegiatannya adalah
148
pengolahan dan pemanfaatan limbah ternak sapi menjadi pupuk padat dan cair sebagai perwujudan konsep zero waste belum lama dimasyarakatkan di Bali. Konsep pertanian terintegrasi ini lahir kembali setelah petani menyadari dampak negatif dari revolusi hijau yang selama ini mereka lakukan dalam mengolah lahan garapannya. Selain itu, adanya permintaan yang tinggi dari masyarakat terhadap produk-produk pertanian dan peternakan organik sebagai dampak kesadaran masyarakat akan kesehatan dan peningkatan pendapatan masyarakat, membuat para petani-peternak mulai melirik konsep ini untuk meningkatkan pendapatannya. Hanya beberapa orang responden saja yang memiliki pengalaman dalam membuat kompos maupun biourine diatas delapan tahun. Pengalaman yang didapat dikarenakan memang mereka sebelum adanya program Simantri mereka telah memelihara sapi dalam jumlah yang cukup banyak dan mengolah limbahnya sebagai kompos dan biourine untuk dijual. Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan memang membuktikan bahwa petani-peternak yang memiliki pengalaman yang lebih lama dalam hal beternak sapi bali, bertani/berkebun, serta pengolahan limbah ternak sapi menjadi pupuk padat dan cair cenderung lebih efektif dalam adopsi inovasi Simantri dan lebih efisien dalam proses produksinya. Hal ini sesuai dengan Cahyono (1995) yang menyatakan bahwa pengalaman kerja akan mempengaruhi keterampilan seseorang dalam melaksanakan tugas dan juga membuat kerja lebih efisien. Hasil tersebut juga didukung oleh Mardikanto (1992) yang mengemukakan bahwa, dalam mengembangkan usaha peternakannya, seorang peternak untuk jangka waktu yang lebih lama akan mengalami proses belajar yang lebih banyak
149
(baik dengan menggunakan pikiran, perasaan, maupun keterampilannya), serta lebih banyak pengalaman akan lebih memudahkan dalam mengerjakan atau menerapkan inovasi. Dengan kata lain, kesempatan atau waktu untuk mencoba serta memperoleh pengalaman melalui pelaksanaan kegiatan secara nyata akan lebih banyak. Dengan pengalaman yang semakin banyak, maka jiwa kewirausahaan dari seorang peternak akan semakin kuat, yang dapat menuntun peternak menuju keberhasilan usahanya.
6.2 Kondisi Gapoktan Simantri 6.2.1 Jarak tempat tinggal Sesuai dengan karakteristik petani di Indonesia yang hanya memelihara 1-3 ekor sapi, pada umumnya letak kandang ternak tidak jauh dari lahan garapannya bahkan dilokasi yang sama. Jarak tempat tinggal ke lahan garapannya pun tidak terlalu jauh. Gambaran ini sama dengan kondisi para petani-peternak anggota Simantri dalam menjalankan usaha tani mereka. Dalam penelitian ini, jarak tempat tinggal dari responden dibagi menjadi dua yaitu : jarak tempat tinggal ke lokasi Simantri dan ke lahan garapan. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh sebagian besar responden (82,60%) jarak tempat tinggalnya dengan lokasi Simantri adalah kurang dari 0,5 km. Hanya satu orang responden saja (0,73%) jarak tempat tinggalnya dengan lokasi Simantri adalah lebih dari 2 km, sedangkan sisanya berkisar antara 1 sampai 2 km. Selanjutnya, jarak tempat tinggal responden dengan lahan garapan yang kurang dari 0,5 km adalah sebanyak 129 orang (93,48%) dan antara 0,5 km
150
sampai dengan kurang dari 1 km adalah sebanyak 9 orang (6,52%). Secara keseluruhan jarak tempat tinggal para pengurus Simantri ke lokasi Simantri dan ke lahan garapannya masing-masing masih tergolong relatif dekat. Jauh dekatnya lahan garapan maupun lokasi Simantri terhadap tempat tinggal responden akan sangat berpengaruh terhadap tingkat produktivitasnya. Mahananto et al. (2009) menunjukkan bahwa, secara simultan faktor-faktor luas lahan garapan, jumlah tenaga kerja efektif, jumlah pupuk, jumlah pestisida, pengalaman petani dalam berusahatani, jarak rumah petani dengan lahan garapan, dan sistem irigasi berpengaruh sangat nyata terhadap peningkatan produksi padi sawah. Pada dasarnya pemilihan lokasi Simantri akan selalu mempertimbangkan jarak tempat tinggal dan lahan garapan dari petani-peternak anggota Gapoktan Simantri. Sesuai fakta dilapangan, jarak tempat tinggal bukanlah masalah utama petani-peternak dalam menjalankan Program Simantri, karena memang pada umumnya jarak lokasi Simantri ke rumah petani-peternak angggota Gapoktan Simantri tidak lebih dari 6 km. Ruswendi (2011) mengatakan bahwa aksesibilitas lokasi usaha ternak ke jalan raya dengan jarak ± 1 km dengan keragaman masih kurang dari 6 km dianggap masih cukup kondusif, sehingga memudahkan pengangkutan input dan output hasil usaha tani/usaha ternak. Lebih lanjut dikatakan aksesibilitas lokasi yang cukup dekat ini bisa menekan pengeluaran biaya pengangkutan sehingga akan dapat meningkatkan efisiensi biaya. Namun yang menjadi masalah ataupun keluhan dari para responden adalah aksesibilitas ke lokasi Simantri. Kebanyakan infrastruktur jalan desa di lokasi Simantri kurang memadai, masih banyak ditemui jalan yang rusak (berlubang)
151
sehingga menyulitkan petani-peternak dalam membawa pakan ternak sapi ke kandang, menjual ternak sapi (pedet), menjual kompos dan biourine. Hal ini secara tidak langsung akan menambah besarnya pengeluaran (biaya produksi) petani-peternak dalam usaha Simantrinya. Masalah ini sering menimbulkan menurunya minat dan motivasi petani-peternak dalam menjalankan usaha Simantrinya.
6.2.2 Budaya lokal Manusia dalam kehidupannya tidak bisa dilepaskan dari budaya, karena budaya melekat dalam kehidupan sehari-hari. Pada kehidupan masyarakat di pedesaan khususnya petani-peternak di Bali budaya lokal masih sangat kental dipertahankan dan berpegaruh terhadap kinerja mereka. Budaya lokal yang melekat pada diri responden adalah budaya yang berakar dari agama yang dianut oleh para responden yaitu agama Hindu. Budaya lokal setempat dapat menjadi penunjang maupun penghambat keberhasilan seorang petani-peternak dalam menjalankan usaha taninya. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa, sebagian besar responden (92,02%) adat setempat dimana mereka tinggal tidaklah mengikat. Bahkan, sebanyak 135 orang responden (97,83%) menyatakan bahwa pengaruh kegiatan adat dan agama di desanya sangat menunjang kinerja mereka dalam menjalankan usaha dari program Simantri. Dari hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa kinerja para pengurus Gapoktan Simantri tidak dibatasi atau terikat oleh karena adanya kegiatan adat dan agama
152
di desa setempat bahkan sangat menunjang kegiatan usaha dari program Simantri. Hal ini disebabkan karena mereka masih bisa mengurusi usaha peternakan sapi, tanaman pangan, maupun pengolahan limbah ternak sapinya disela-sela kegiatan adat dan keagamaan. Sehingga peran responden sebagai anggota masyarakat yang tunduk pada aturan (awig-awig) desa adat setempat maupun sebagai anggota Gapoktan Simantri tidak pernah bertolak belakang bahkan saling mendukung. Kondisi ini bertentangan dengan pendapat Soetomo (2008) yang mengatakan bahwa dilihat pada saat proses perubahan menuju kondisi yang lebih baik dan lebih sejahtera, maka masalah sosial dapat berposisi sebagai hambatan yang dialami dalam proses tersebut. Keberadaan Simantri di Bali selama ini cukup dapat diterima dimasyarakat. Hal ini terlihat dari adanya dukungan dan perhatian dari para aparat desa dan masyarakat setempat. Dukungan ini membuat para petani-peternak anggota Gapoktan Simantri merasa terbantu untuk meningkatkan kinerja mereka dalam menjalankan usaha dari program Simantri. Kondisi ini sesuai dengan Ahmadi (2009) yang menyatakan bahwa oleh karena anggota masyarakat pedesaan mempunyai kepentingan pokok yang hampir sama, maka mereka selalu bekerjasama untuk mencapai kepentingan-kepentingan mereka. Hal ini cukup beralasan karena para anggota Gapoktan Simantri ini merupakan juga anggota Poktan (kelompok tani), dimana gabungan kelompok tani (Gapoktan) ini menunjuk anggotannya untuk masuk juga sebagai anggota Poktan pelaksana kegiatan Simantri.
153
6.2.3 Interaksi sosial Manusia dikatakan sebagai mahluk sosial, dikarenakan adanya dorongan pada diri manusia untuk berhubungan (interaksi) dengan orang lain. Bentuk umum dari proses sosial adalah interaksi sosial. Interaksi sosial merupakan syarat umum terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial yang terjadi pada diri petanipeternak erat hubungannya dengan pembentukan sikap yang dialaminya. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan sebagian besar responden (95,65%) memiliki yang interaksi sosial yang sangat baik dengan intern sesama anggota kelompok, Gapoktan Simantri lain dan dengan petugas pendamping Simantri. Terbinanya hubungan komunikasi interpersonal yang baik antara para pengurus Gapoktan Simantri dengan para anggota kelompoknya, dengan anggota Gapoktan Simantri lainnya, serta dengan petugas pendamping Simantri tersebut adalah merupakan hal yang wajar dan memang sudah sepatutnya dilakukan. Dengan hubungan komunikasi interpersonal yang baik maka akan semakin mudah dalam memobilisasi para anggota kelompok, serta memudahkan proses adopsi inovasi Simantri baik dari Gapoktan Simantri yang dipandang suskes maupun dari petugas pendamping Simantri. Hal ini sesuai dengan pendapat Azwar (2002) yang menyatakan interaksi sosial mengandung arti lebih daripada sekedar adanya kontak sosial dan hubungan antar individu sebagai anggota kelompok sosial. Lebih lanjut dikatakan, dalam interaksi sosial akan terjadi hubungan saling mempengaruhi di antara individu yang satu dengan lainnya, sehingga terjadi hubungan timbal balik yang turut mempengaruhi pola perilaku masing-masing
154
individu sebagai anggota masyarakat. Dengan adanya interaksi sosial diantara para petani-peternak, maka akan terjadi pertukaran informasi tentang pengetahuan dan keterampilan bertani-beternak diantara mereka (Walgito, 2011). Informasi dan pengetahuan ini berguna dalam mengkaji dan menerapkan suatu sistem pertanian, agar didapat produktivitas hasil pertanian yang meningkat.
6.3
Kondisi Penerapan Simantri di Bali Saat Ini Tujuan akhir dari sebuah kegiatan penyuluhan pertanian adalah adanya adopsi
inovasi oleh para petani-peternak. Adopsi merupakan tahap seseorang telah memutuskan bahwa ide baru yang dipelajari cukup baik untuk diterapkan dalam skala yang lebih luas atau menerapkan inovasi pada skala besar setelah membandingkan dengan metode lama. Penerimaan inovasi oleh seseorang atau individu mengandung arti tidak sekedar tahu, tetapi sampai benar-benar dapat melaksanakan atau menerapkannya dalam kehidupan dan usaha taninya (Mardikanto, 1988). Penerapan Simantri oleh responden dalam penelitian ini dapat dibagi menjadi tiga, yaitu : penerapan usaha peternakan sapi, penerapan usaha tanaman pangan, serta penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden (65,22%) memiliki tingkat penerapan Simantri dari tiga unit usaha Simantri yang sangat tinggi. Hanya 3 orang responden (2,18%) saja yang penerapan Simantrinya sedang dari tiga unit usaha yang dijalankan. Dengan pencapaian skor rata-rata sebesar 4,325, mengindikasikan tingkat penerapan Simantri dari tiga unit usaha oleh responden dalam penelitian tergolong sangat tinggi. Apabila disimak lebih
155
jauh, sebanyak 120 orang responden (86,95%) menunjukkan penerapan usaha peternakan sapinya sangat tinggi. Bahkan, pada penerapan usaha tanaman pangan, semua responden (100%) menunjukkan penerapan yang sangat tinggi. Pencapaian skor rata-rata untuk penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi dari responden adalah sebesar 3,135. Nilai ini menunjukkan bahwa secara rata-rata tingkat penerapan responden terhadap usaha pengolahan limbah ternak sapi adalah sedang. Hasil ini senada Suryanti (2011) yang melaporkan bahwa penerapan teknologi berbagai komponen sistem integrasi menunjukan hasil yang bervariasi. Adopsi teknologi yang cenderung baik adalah pada teknologi budidaya tanaman dan ternak, sedangkan adopsi teknologi pengolahan limbah masih rendah. Hal ini mengindikasikan sistem integrasi yang diterapkan belum mampu secara maksimal memanfaatkan limbah tanaman dan limbah ternak sebagai sumber input internal dalam usaha tani. Terjadinya variasi penerapan inovasi dari responden dikarenakan oleh, pada usaha peternakan sapi bali induk dan tanaman pangan tidak banyak mendapat tambahan inovasi teknologi. Teknologi serta metode yang digunakan dalam beternak sapi bali, bertani, dan perkebunan cenderung tidak jauh berbeda dengan apa yang sudah dilaksanakan responden sebelum mengikuti program Simantri. Lain halnya dengan penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi yang sarat akan inovasi teknologi, dimana hal ini mengakibatkan tingkat penerapan dari responden sangat beragam (dari tingkat penerapan sangat tinggi sampai sangat rendah).
156
Tingkat penerapan yang berbeda dari ketiga unit usaha Simantri ini lebih dikarenakan oleh kemauan dan pengalaman responden. Roger dan Shoemaker (1971) menyatakan bahwa mengadopsi suatu inovasi adalah keputusan manusiawi dan keputusan itu didasarkan pada empat hal yaitu : kemauan untuk melakukan sesuatu, tahu yang akan dilakukan, tahu cara melakukannya dan mempunyai sarana untuk melakukannya. Lebih lanjut dikatakan bahwa sebelum inovasi diterima oleh masyarakat secara keseluruhan, terlebih dahulu akan mengalami penyesuaian yang kemudian dapat diyakini bahwa inovasi yang diterima dan diterapkan adalah inovasi yang sesuai dengan kebutuhan penerimanya. Proses adopsi inovasi sebenarnya menyangkut pengambilan keputusan yang dipengaruhi oleh banyak faktor (Soekartawi, 1988). Ada berbagai faktor yang mempengaruhi cepat lambatnya proses adopsi inovasi yaitu : sifat inovasi, jenis keputusan inovasi, saluran komunikasi, ciri-ciri sistem sosial dan gencarnya agen pembaru dalam mempromosikan inovasi (Rogers 2003). Lebih lanjut dikatakan, ditinjau dari sifat-sifat inovasi dijelaskan bahwa kecepatan adopsi ditentukan oleh besar kecilnya keuntungan yang diperoleh dari inovasi (keuntungan relatif), cocok atau tidaknya inovasi dengan situasi dan kondisi setempat yang ada di masyarakat (kompatibilitas), rumit tidaknya suatu inovasi untuk dipahami dan dimengerti serta digunakan (kompleksitas), dapat tidaknya inovasi tersebut dicoba secara kecil-kecilan (trialabilitas), serta mudah tidaknya hasil inovasi dapat dilihat (observabilitas). Observabilitas suatu inovasi menurut anggapan anggota sistem sosial berhubungan positif dengan kecepatan adopsinya.
157
Pernyataan ini sesuai dengan kondisi penerapan Simantri oleh responden saat ini yang ditinjau dari tiga unit usahanya. Walaupun tingkat penerapan usaha peternakan sapi oleh responden secara rata-rata tergolong sangat tinggi, tetapi ketaatan responden dan anggota kelompoknya dalam mengandangkan sapi bali induk dikandang koloni Simantri masih rendah. Sebagian besar dari Gapoktan Simantri tahun 2009-2010 tidak selalu mengandangkan sapi bali induknya dikandang koloni Simantri, dengan berbagai macam faktor penyebabnya. Adapun faktor-faktor penyebab terjadinya keadaan ini adalah : (1) untuk memudahkan petani-peternak dalam mengawasi dan memelihara sapi induk Simantri; (2) adanya kesepakatan di dalam Gapoktan Simantri, bahwa sapi induk dapat dibawa ke rumah petani-peternak pada saat menjelang melahirkan sampai dengan pedet sudah dapat disapih; (3) masih terdapat dibeberapa lokasi Simantri infrastruktur jalan yang susah dilalui karena rusak, sehingga petani-peternak susah membawa pakan ternak ke lokasi kandang Simantri walaupun jaraknya hanya 1-2 km dari lokasi rumah, lahan pertanian ataupun perkebunan; (4) pemilihan lokasi kandang Simantri di beberapa daerah yang kurang cocok atau tidak satu jalan dengan jalan menuju lahan pertanian ataupun perkebunan, sehingga petani-peternak harus mengeluarkan biaya yang lebih banyak untuk transportasi. Pada penerapan usaha tanaman pangan, tingkat penerapan responden sangat baik dalam hal pemilihan bibit, pemeliharaan tanaman sampai pasca panen. Hanya saja yang masih kurang diterapkan dengan baik adalah pengolahan limbah tanaman pangan menjadi pakan ternak sapi. Pemberian gulma tanaman maupun limbah ternak sapi diberikan ke ternak tanpa diolah terlebih dahulu untuk
158
menaikkan nilai nutrisi dan kecernaan pakan. Hal ini disebabkan oleh keengganan petani-peternak anggota Gapoktan Simantri untuk melakukannya, dengan alasan dibutuhkan biaya yang besar untuk melaksanakan proses tersebut. Selain itu, ketersediaan hijauan makanan ternak yang ada dilingkungan sekitar sudah mencukupi untuk keperluan pakan dari ternak sapi yang dipelihara. Sehingga pengolahan limbah tanaman pangan menjadi pakan ternak sapi tidak mendesak untuk dilakukan. Padahal, untuk menghasilkan usaha peternakan sapi yang rendah biaya, efisien, serta adanya kesinambungan usaha dengan menggunakan konsep zero waste, sudah sepantasnya pengolahan limbah tanaman pangan menjadi pakan ternak sapi yang berkualitas wajib dilakukan. Kegiatan operasional untuk pengembangan usaha perbibitan sapi potong yang murah dan efisien dapat dilakukan secara terintegrasi dengan perkebunan, tanaman pangan dan memanfaatkan sumber pakan biomas lokal (Badan Litbang Pertanian, 2005). Lebih lanjut dikatakan, melalui inovasi teknologi limbah dan sisa hasil ikutan agroindustri pertanian dapat dimanfaatkan sebagai sumber pakan sapi yang potensial untuk usaha penggemukan dan pembibitan. Sedangkan, pada penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi, ketidak taatan dari petani-peternak anggota Gapoktan Simantri ini sangat mempengaruhi usaha pengolahan limbah padat dan cair dari ternak sapi yang dipelihara. Dimana, dengan sering tidak lengkapnya jumlah sapi bali induk yang ada di kandang koloni, menyebabkan produksi kompos dan biourine tidak tercapai secara maksimal. Penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi memang paling
159
banyak menemui kendala dalam hal penerapan dilapangan, dibandingkan dengan usaha peternakan sapi dan usaha tanaman pangan. Masalah yang timbul beragam dari susahnya peternak mencari fermentor, kompor biogas banyak yang rusak, tidak efisiennya membawa gas hasil biogas ke rumah masing-masing anggota dengan kantong plastik khusus, sampai dengan tidak lakunya produk pupuk kompos maupun biourinenya untuk dijual ke petani sekitar. Masalah-masalah seperti yang telah disebutkan diatas merupakan faktor yang membuat rendahnya efektifitas dan efisiensi program Simantri oleh responden. Oleh karena itu, teknologi yang dianjurkan seharusnya serasi dengan sistem usahatani secara keseluruhan, baik dari segi teknis budidaya, kepraktisan, ekonomis dan serasi dengan ketersediaan tenaga kerja dan sarana prasarana yang ada di lokasi setempat (Sumarno, 2006).
6.4
Efektivitas Penerapan Simantri Kinerja sebuah program ditentukan oleh tingkat efektivitas dan efisiensi
pelaksanaan program dalam mencapai tujuan atau sasaran. Dalam mengukur efektifitas pelaksanaan sebuah program atau kegiatan kerja tidak dapat dilepaskan dari efisiensi. Tanpa dilakukannya pengukuran efektivitas tersebut akan sulit diketahui apakah tujuan dari suatu program dapat dicapai atau tidak. Efektifitas pelaksanaan Simantri ditentukan oleh integrasi, koordinasi dan sinkronisasi antar unit usaha dalam kegiatan tersebut. Efektivitas penerapan Simantri dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan dua indikator yaitu keberhasilan penerapan Simantri dan efisiensi Simantri. Kedua indikator ini digunakan untuk
160
mengetahui apakah tujuan atau sasaran dalam pelaksanaan Simantri tahun 20092010 tercapai atau tidak. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa sebagian besar responden (76,08%) masih kurang efektif dalam menerapkan Simantri. Hasil ini ditunjang pula oleh pencapaian skor rata-rata untuk efektivitas penerapan Simantri adalah sebesar 3,395. Nilai ini menunjukkan bahwa secara rata-rata penerapan program Simantri di Bali oleh para responden masih kurang efektif. Kurang efektifnya pelaksanaan program Simantri lebih diakibatkan oleh kurang diterapkannya program ini secara optimal yang meliputi tiga unit usaha Simantri disamping faktor pemasaran, infrastruktur dan kegiatan simpan pinjam internal Gapoktan Simantri. Hal ini tercermin dari belum bisa tercapainya secara maksimal unsur-unsur dalam kelima belas indikator keberhasilan Simantri yang digunakan untuk mengukur efektivitas dari sisi keberhasilan penerapan program. Berdasarkan hasil rating kelima belas indikator keberhasilan Simantri secara keseluruhan menunjukkan bahwa terjadinya alih teknologi khususnya untuk pertanian terintegrasi dengan pola Simantri dari penyelenggara Simantri kepada petani-peternak
(Y11),
terjadinya
peningkatan
populasi
sapi
Bali
dan
meminimalkan angka kematian sapi (Y12), berkembangnya lembaga usaha ekonomi di perdesaan (Y8), terserapnya produk hasil peternakan, pertanian dan pengolahan limbah ternak sapi di pasaran (Y15), pemaksimalan luas tanam, peningkatan kuantitas dan kualitas hasil pertanian dan peternakan (Y1), meningkatnya insentif berusaha tani melalui peningkatan produksi dan efisiensi usaha tani (pupuk, pakan, biogas, dan biourine diproduksi sendiri = in situ) (Y6),
161
Selanjutnya, dan terjadinya pengurangan biaya produksi pada sistem usaha tani yang berasal dari luar sistem (Y13), merupakan indikator yang berhasil dicapai oleh responden dengan skor rata-rata berkisar antara 3.797 sampai dengan 3.490. Hal ini menunjukkan kegiatan pendampingan cukup berhasil dilakukan oleh tenaga pendamping Simantri dari sisi menumbuhkan kesadaran sampai dengan adopsi sistem pertanian terintegrasi yang terbatas pada usaha peternakan sapi, usaha tanaman pangan, serta pemasaran hasil usaha anggota Gapoktan Simantri. Kondisi ini sesuai dengan pendapat dari Mardikanto (1988) yang menyatakan bahwa adopsi merupakan hasil dari proses komunikasi yang berupa penyampaian pesan penyuluhan berupa inovasi yang diawali oleh penyampaian inovasi sampai dengan terjadinya perubahan perilaku sasaran. Selanjutnya, berkembangnya infrastruktur perdesaan (Y10), berkembangnya kelembagaan dan meningkatnya kualitas SDM baik petugas pertanian maupun petani-peternak (Y3), tersedianya pakan ternak yang berkualitas sepanjang tahun (Y2), berkembangnya intensifikasi usaha tani (Y5), tercipta dan berkembangnya pertanian organik menuju green economic (Y7), terwujudnya konsep pertanian tanpa limbah (zero waste) (Y14), peningkatan pendapatan petani (minimal 2 kali lipat) (Y9), dan terciptanya lapangan kerja melalui pengembangan diversifikasi usaha pertanian dan industri rumah tangga (Y4) merupakan indikator yang kurang berhasil dicapai oleh responden dengan skor rata-rata berkisar antara 3.328 sampai dengan 2.683. Kurang berhasilnya ke delapan indikator keberhasilan Simantri ini dicapai oleh responden disebabkan karena sebagian besar responden tidak taat dalam mengandangkan sapi bali induknya setiap hari dikandang koloni Simantri;
162
tidak diolahnya limbah dari tanaman pangan sebagai pakan ternak dan limbah dari ternak sapi sebagai pupuk kompos, biogas, dan biourine secara maksimal; masih banyak dijumpai infrastruktur jalan dari dan ke lokasi Simantri yang tidak memadai; sampai dengan masih minimnya diversifikasi usaha yang dilakukan. Hasil ini menunjukkan secara rata-rata penerapan program Simantri oleh responden masih kurang berhasil atau masih jauh dari maksud dan tujuan yang ingin dicapai. Efektivitas menunjukkan keberhasilan dari segi tercapai tidaknya sasaran yang telah ditetapkan. Jika hasil kegiatan semakin mendekati sasaran, berarti makin tinggi efektivitasnya begitu pula sebaliknya (Siagian, 2002). Hasil ratting kelima belas indikator keberhasilan Simantri secara kelompok berdasarkan peningkatan pendapatan yang diperoleh setelah mengikuti Simantri menunjukkan hasil yang bervariasi. Peningkatan luas tanam, peningkatan kuantitas dan kualitas hasil pertanian, peternakan dan perikanan (Y1); berkembangnya kelembagaan dan SDM baik petugas pertanian maupun petani (Y3); berkembangnya lembaga usaha ekonomi di perdesaan (Y8); dan terserapnya produk hasil peternakan, pertanian dan pengolahan limbah ternak sapi di pasaran (Y15) merupakan indikator yang berhasil dicapai oleh seluruh responden. Sedangkan, berkembangnya intensifikasi usaha tani (Y5); meningkatnya insentif berusaha tani melalui peningkatan produksi dan efisiensi usaha tani (pupuk, pakan, biogas, bio urine, bio pestisida diproduksi sendiri = in situ) (Y6); tercipta dan berkembangnya pertanian organik (green economic) (Y7); terjadinya alih teknologi khususnya untuk pertanian terintegrasi dengan pola Simantri dari penyelenggara Simantri kepada petani-peternak (Y11); terjadinya peningkatan
163
populasi sapi Bali dan meminimalkan angka kematian sapi (Y12); terjadinya pengurangan biaya produksi pada sistem usaha tani yang berasal dari luar sistem (Y13); dan terciptanya konsep pertanian tanpa limbah (zero waste) (Y14) merupakan indikator yang sangat berhasil sampai dengan berhasil dicapai hanya pada kelompok Gapoktan yang memperoleh peningkatan pendapatan sebesar >100%, >75-100%, dan >50-75%. Tersedianya pakan ternak yang berkualitas sepanjang tahun (Y2) dan terciptanya lapangan kerja melalui pengembangan diversifikasi usaha pertanian dan industri rumah tangga (Y4) merupakan indikator yang kurang berhasil oleh kelompok Gapoktan yang memperoleh peningkatan pendapatan sebesar >75100%, >50-75%, >25-50%, dan 1-25%. Dari kesemua perbedaan itu, terdapat ciri khas yang membedakan hasil ratting dari setiap klasifikasi kelompok. Pada Gapoktan Simantri yang memperoleh peningkatan pendapatan sebesar >100% jelas terlihat bahwa berkembangnya infrastruktur perdesaan (Y10) merupakan indikator yang kurang berhasil dicapai oleh responden. Hasil ini cukup unik, karena walaupun mereka berada pada lokasi yang infrastruktur jalannya tidak memadai namun mereka mampu menerapkan Simantri dengan baik dan benar, bahkan menjadi juara pada lomba Simantri tahun 2010 dan 2011. Kondisi ini terjadi lebih disebabkan oleh kemampuan ketua kelompok untuk mempengaruhi dan menggerakkan anggotanya untuk menerapkan inovasi teknologi Simantri. Selain itu, adanya motivasi yang kuat untuk mencapai sukses dari ketua Gapoktan Simantri membuat para anggota saling bekerjasama untuk mewujudkan tujuan yang ingin dicapai sesuai dengan yang tertuang dalam AD/ART masing-masing
164
kelompok. Gambaran ini sesuai dengan pernyataan Robbins (2003) yang menyatakan bahwa kecerdasan emosional (EI:emotional intelligence) oleh seorang pemimpin yang terdiri dari kesadaran diri, manajemen diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial merupakan faktor yang dapat membuat efektivitas organisasi semakin meningkat melebihi keahlian IQ. Ciri khas spesifik yang membedakan kelompok Gapoktan yang memperoleh peningkatan pendapatan >100% dengan kelompok Gapoktan lainnya yaitu pada indikator peningkatan pendapatan petani (minimal 2 kali lipat) (Y9). Peningkatan pendapatan petani (minimal 2 kali lipat) (Y9) merupakan indikator yang kurang berhasil dicapai oleh responden pada kelompok Gapoktan yang memperoleh peningkatan pendapatan sebesar >75-100%, >50-75%, dan >25-50% setelah mengikuti program Simantri. Bahkan, pada kelompok Gapoktan yang memperoleh peningkatan pendapatan sebesar 1-25% indikator ini gagal untuk dicapai. Hasil ini cukup beralasan karena paket awal Simantri yang diberikan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Bali sebagai pengelola Simantri tanpa ditunjang adanya diversifikasi usaha oleh anggota Gapoktan Simantri dan peningkatan kapasitas produksi pupuk kompos diatas 60 ton/bulan, maka peningkatan pendapatan petani-peternak minimal dua kali lipat akan sulit untuk dicapai. Berikutnya, ciri khas yang paling membedakan kelompok Gapoktan Simantri yang memperoleh peningkatan pendapatan sebesar 1-25% dengan kelompok
Gapoktan lainnya adalah meningkatnya insentif berusaha tani melalui peningkatan produksi dan efisiensi usaha tani (pupuk, pakan, biogas, dan biourine diproduksi sendiri = in situ) (Y6) merupakan indikator keberhasilan Simantri yang gagal dicapai oleh responden. Walaupun secara jumlah kelompok ini tidak banyak dari
165
total Gapoktan Simantri tahun 2009-2010 yang mengintegrasikan sapi balitanaman, namun keberadaan mereka turut menyumbang kurang berhasilnya kegiatan Simantri pada tahun 2009-2010. Sedangkan, untuk analisis efisiensinya sendiri, kurang efisiennya penerapan Simantri oleh responden lebih disebabkan oleh ketidak taatan petani-peternak anggota Gapoktan Simantri untuk tetap memelihara sapi bali induknya di kandang koloni Simantri yang menyebabkan produksi pupuk kompos dan biourine tidak tercapai secara maksimal. Atau dengan kata lain, hampir sebagian dari kotoran ternak sapi yang dipelihara tidak diolah menjadi pupuk padat dan cair (kompos, biogas, dan biourine). Tujuan pokok dari sistem integrasi tanaman-ternak adalah bagaimana petani mengoptimalkan usahanya untuk menghasilkan kompos yang mampu meningkatkan efisiensi usaha taninya (Haryanto et al., 2002). Kondisi pelaksanaan Simantri 2009-2010 ini bertentangan dengan pendapat Pasandaran et al (2006) yang menyatakan bahwa pengolahan limbah akan efektif apabila dilakukan berkelompok. Soekartawi (2003) mengatakan bahwa efisiensi merupakan karakteristik proses yang mengukur performans aktual dari sumberdaya relatif terhadap standar yang ditetapkan. Peningkatan efisiensi dalam suatu proses produksi akan menurunkan biaya per-unit output.
6.5. Analisis Pengaruh Variabel Bebas terhadap Variabel Tidak Bebas 6.5.1 Profil variabel penelitian Kajian ini dilakukan untuk menganalisis lebih lanjut variabel-variabel yang diteliti berdasarkan atas bobot faktor (factor loading) yang dimiliki oleh masing-
166
masing indikator reflektornya. Adapun sajian profil kualitas SDM petani-peternak (X1), kondisi Gapoktan Simantri (X2), penerapan usaha peternakan sapi (X3), penerapan usaha tanaman pangan (X4), penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi (X5), efektivitas penerapan Simantri (Y), serta efektivitas penerapan Simantri dipaparkan sebagai berikut ini :
6.5.1.1 Profil kualitas SDM petani-peternak Kualitas SDM petani-peternak merupakan kondisi atau kemampuan yang dimiliki petani-peternak untuk menerapkan Simantri, yang dinilai dari internal individu. Kualitas SDM petani-peternak haruslah memenuhi kriteria kualitas fisik dan kesehatan, kualitas intelektual (pengetahuan dan keterampilan), dan kualitas mental (kejuangan). Adapun indikator yang mampu merefleksikan profil kualitas SDM petani-peternak disajikan pada tabel 6.1 berikut ini. Tabel 6.1 Bobot Faktor Variabel Kualitas SDM Petani-Peternak Bobot Faktor Indikator Bobot T-Statistik Pengukuran Umur (X11) 0.026 0.208 Pendidikan formal (X12) 0.768 13.571 Pendidikan non formal (X13) 0.816 27.426 Pengetahuan tentang Simantri (X14) 0.525 5.644 Sikap tentang Simantri (X15) 0.235 2.448 Keterampilan tentang Simantri (X16) 0.872 32.792 Pengalaman tentang Simantri (X17) 0.751 12.085 Sesuai dengan hasil perhitungan bobot faktor yang ditunjukkan pada Tabel 6.1 menunjukkan bahwa hanya lima indikator penyusun variabel kualitas SDM petani-peternak (X1) yang dapat digunakan untuk merefleksikan variabel ini, karena
kelima
indikator
ini
memiliki
bobot
faktor
yang
signifikan
167
(t-statistik > 1.96) dengan bobot pengukuran diatas 0,40. Dari hasil ini nampak bahwa keterampilan tentang Simantri (X16) memperoleh bobot faktor paling besar dengan nilai 0.872, kemudian diikuti oleh pendidikan non formal (X13), Pendidikan formal (X12), dan pengalaman tentang Simantri (X17) dengan nilai bobot faktor masing-masing 0.816, 0.768, dan 0.751. Sedangkan, pengetahuan tentang Simantri (X14) memperoleh bobot faktor paling kecil, yaitu sebesar 0.525. Hasil ini memberikan petunjuk bahwa, keterampilan tentang Simantri (X16) merupakan
cerminan
utama
dari
kualitas
SDM
petani-peternak
(X1).
Keterampilan responden terhadap kegiatan bertani, beternak, dan mengolah limbah ternak sapi menjadi pupuk padat dan cair erat kaitannya dengan seringnya mengikuti pelatihan, pengetahuan, dan pengalamannya dalam bidang tersebut. Manulang (1984) mengatakan bahwa keterampilan merupakan hasil dari proses pengalaman
kerja
seseorang
tentang
metode
suatu
pekerjaan
karena
keterlibatannya dalam pelaksanaan tugas pekerjaan tersebut. Semakin lama pengalaman responden dalam ketiga bidang usaha tersebut diatas, maka akan semakin banyak trial and error yang terjadi, dimana hal ini akan semakin meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya. Dari ketujuh indikator penyusun variabel kualitas SDM petani-peternak (X1), hanya umur (X11) dan sikap tentang Simantri (X15) yang tidak termasuk dalam indikator yang valid dan cocok untuk merefleksikan variabel ini. Hal ini ditunjukkan oleh kecilnya nilai bobot pengukuran dari keduanya (dibawah 0,40). Hal ini dapat dimengerti, mengingat kualitas SDM petani-peternak anggota Gapoktan Simantri memang sepatutnya dinilai dari kelima indikator ini (tingkat
168
pendidikan formal, banyaknya pendidikan formal yang pernah diikuti, pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman) bukan dari umur dan sikap responden tentang Simantri. Umur responden tidak dapat menjadi acuan baik buruknya kualitas SDM responden. Walaupun umur responden telah lanjut tetapi tidak memiliki tingkat pendidikan formal dan non formal yang cukup, pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman yang memadai untuk menjalankan ketiga unit usaha Simantri, maka tidak dapat dikatakan bahwa responden tersebut memiliki kualitas SDM yang baik. Begitu pula halnya dengan sikap responden tentang Simantri. Walaupun responden menunjukkan sikap yang sangat positif tentang Simantri, tetapi hal tersebut belumlah cukup untuk mengatakan responden memiliki kualitas SDM yang baik tanpa ditunjang oleh kelima indikator perefleksi variabel kualitas SDM petani-peternak. Sarwono dan Meinarno (2009) menyatakan bahwa sikap lebih mencerminkan pada kepercayaan atau keyakinan, ide-ide, dan penilaian yang berkenaan dengan objek sikap (kognitif), pernyataan perasaan tentang objek sikap (afektif) serta
kecenderungan bertingkah laku (konatif). Jadi, sikap bukanlah indikator yang cocok untuk mencerminkan kemampuan (capability) individu tentang suatu hal yang nantinya bermuara pada kualitas dari individu tersebut. Hal ini sesuai dengan Todaro (2004) yang mengatakan bahwa kualitas dari sumber daya manusia (SDM)
seseorang dipengaruhi oleh tingkat tingkat keterampilan dan tingkat
pendidikannya.
169
Susanti et al. (2007) melaporkan bahwa hubungan umur petani, luas usahatani, tingkat pendapatan petani, dan sifat inovasi dengan keputusan petani adalah tidak signifikan. Hubungan pendidikan petani, lingkungan sosial petani dengan keputusan petani adalah sangat signifikan. Sedangkan, hubungan antara lingkungan ekonomi petani dengan keputusan petani adalah signifikan.
6.5.1.2 Profil kondisi Gapoktan Simantri Kondisi Gapoktan Simantri merupakan keadaan anggota dalam Gapoktan Simantri yang dapat dilihat dari jarak tempat tinggal responden dengan lokasi Simantri dan lahan garapan, keterikatan dan dukungan dari budaya lokal setempat dan interaksinya dengan sesama anggota kelompok, anggota Gapoktan Simantri lainnya dan petugas pendamping Simantri. Adapun profil kondisi Gapoktan Simantri disajikan pada Tabel 6.2 berikut ini. Tabel 6.2 Bobot Faktor Variabel Kondisi Gapoktan Simantri Bobot Faktor Indikator Bobot T-Statistik Pengukuran Jarak tempat tinggal (X21) 0.831 8.996 Budaya lokal (X22) 0.893 19.582 Interaksi sosial (X23) 0.804 13.274 Berdasarkan Tabel 6.2 diatas, jarak tempat tinggal (X21), budaya lokal (X22), dan
interaksi
sosial
(X23)
merupakan
indikator-indikator
yang
dapat
mencerminkan variabel kondisi Gapoktan Simantri (X2), karena semua indikator memiliki bobot yang signifikan (t-statistik > 1.96) dengan bobot pengukuran diatas 0,40. Budaya lokal (X22) memperoleh nilai bobot faktor yang paling
170
tinggi, yaitu sebesar 0.893, dikuti oleh jarak tempat tinggal (X21), dan interaksi sosial (X23) dengan nilai bobot faktor masing-masing sebesar 0.831, dan 0.804. Hasil ini menunjukkan bahwa, budaya lokal dari para responden merupakan cerminan utama dari kondisi Gapoktan Simantri. Hal ini cukup beralasan karena para responden tinggal dan berusaha (bertani, beternak, mengolah limbah ternak sapi) di daerah pedesaan, dimana para responden dituntut tunduk dan patuh pada adat istiadat serta peraturan adat (awig-awig) desa setempat yang masih kental dijunjung teguh oleh masyarakat. Mentalitas petani mempunyai persepsi waktu yang
terbatas.
Irama
waktu
ditentukan
oleh
cara-cara
adat
untuk
memperhitungkan tahap-tahap aktivitas pertanian dalam lingkaran waktu (Koentjaraningrat, 2000). Susanti (2004) melaporkan hasil penelitiannya di Kabupaten Asahan, Sumatera Utara menunjukkan bahwa ada pengaruh faktor sosial budaya terhadap sikap petani dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Semakin tinggi faktor sosial budaya maka sikap petani dalam menjaga keseimbangan ekosistem akan rendah, terbukti nyata pada Desa Silo Lama dan Pematang Jering, sebaliknya di Desa Rawang Lama tidak terbukti. Secara umum budaya lokal setempat di Bali sangat mendukung kegiatan atau usaha integrasi antara tanaman pangan dengan ternak sapi maupun usaha pengolahan limbah ternak sapi menjadi pupuk. Hal ini terjadi karena memelihara sapi bali telah menjadi budaya di masyarakat pedesaan di Bali. Selain itu, integrasi tanaman-ternak memang bukan hal yang baru untuk diterapkan, hal ini bahkan telah berlangsung lama dan menjadi salah satu kearifan lokal dari masyarakat pedesaan. Dalam hal pengolahan limbah ternak sapi menjadi pupuk
171
cair maupun padat, kegiatan ini tidak terlalu mendapat penentangan yang berarti dari masyarakat sekitar mengingat usaha ini berkonsep zero waste, sehingga hampir tidak ada limbah yang keluar dari lokasi Simantri yang merugikan masyarakat sekitar. Menurut Sutradisastra (2008), norma, adat istiadat dan tata pengaturan sosial lainnya memainkan peran penting dalam proses produksi pertanian. Kelembagaan yang ada di masyarakat dimanifestasikan dalam bentuk pranata dan interaksi sosial verbal (terucapkan) dan interaksi non verbal (tidak terucapkan).
6.5.1.3 Profil penerapan usaha peternakan sapi Penerapan usaha peternakan sapi adalah penerapan suatu cara atau teknik pemeliharaan sapi bali induk sampai dengan menghasilkan anak yang siap untuk dijual sebagai bibit. Pada sajian profil penerapan usaha peternakan sapi dalam Tabel 6.3 dapat disampaikan bahwa penggunaan bibit yang baik (X31), penyediaan kandang yang baik (X32), penyediaan dan pemberian pakan yang baik (X33), pemeliharaan yang baik (X34), pengendalian penyakit (X35), dan pemahaman reproduksi (X36) merupakan indikator yang valid dan mampu merefleksikan variabel penerapan usaha peternakan sapi (X3), karena semua indikator memiliki bobot faktor yang signifikan (t-statistik > 1.96) dengan bobot pengukuran diatas 0,40. Selain itu, Penyediaan dan pemberian pakan yang baik (X33) merupakan indikator terpenting dalam penerapan usaha peternakan sapi (X3), karena memiliki nilai bobot faktor tertinggi dibandingkan kelima indikator lainnya, yaitu sebesar 0.902.
172
Tabel 6.3 Bobot Faktor Variabel Penerapan Usaha Peternakan Sapi Bobot Faktor Indikator Bobot T-Statistik Pengukuran Penggunaan bibit yang baik (X31) 0.743 16.586 Penyediaan kandang yang baik (X32) 0.678 12.294 Penyediaan dan pemberian pakan yang baik (X33) 0.902 50.397 Pemeliharaan yang baik (X34) 0.798 22.991 Pengendalian penyakit (X35) 0.663 9.194 Pemahaman reproduksi (X36) 0.716 11.012 Pada setiap usaha pemeliharaan sapi, baik itu bertujuan untuk penggemukan maupun pembibitan, penyediaan dan pemberian pakan yang baik merupakan syarat utama kelangsungan usaha tersebut. Pakan merupakan komponen biaya produksi tertinggi dalam usaha peternakan sapi, yaitu dengan kisaran 60-70% (Nitis et al., 1992). Sesuai dengan gambaran ini, cukup masuk akal apabila penyediaan dan pemberian pakan yang baik (X33) merupakan indikator yang kuat untuk merefleksikan penerapan usaha peternakan sapi (X3). Tanpa didukung dengan kualitas dan kuantitas pakan yang memadai, akan sulit rasanya untuk memperoleh performans (bobot tubuh dan reproduksi) yang maksimal dari ternak sapi yang dipelihara. Ekowati (2012) melaporkan bahwa, jumlah induk, curahan waktu kerja, service per conception, jumlah pakan hijauan, jumlah pakan tambahan, pengalaman beternak, dan penerapan agribisnis merupakan faktorfaktor yang berpengaruh secara parsial dalam meningkatkan produksi sapi potong. Pemberian pakan untuk sapi bali induk yang selama ini dipelihara oleh responden, sebagian besar berasal dari hijauan (rumput lapangan, rumput gajah, legume, dan daun-daunan) sesuai dengan ketersediaan di daerah masing-masing responden. Sesuai pengamatan dilapangan, tidak banyak Gapoktan Simantri yang
173
mengolah (memfermentasi/amoniasi) gulma tanaman maupun limbah dari tanaman pertanian, perkebunan, dan holtikultura. Petani-peternak sebagian besar memberikannya dalam bentuk segar tanpa bertujuan untuk meningkatkan nilai nutrisi dan kecernaan dari bahan pakan tersebut melalui proses fermentasi. Sesuai dengan konsep zero waste yang digunakan didalam program Simantri, memang gulma tanaman maupun limbah dari tanaman pertanian, perkebunan, dan holtikultura telah digunakan sebagai pakan ternak untuk mengurangi pencemaran lingkungan dan mengurangi biaya pakan dari ternak sapi itu sendiri. Namun, hal ini belumlah sesuai dengan konsep pemeliharaan sapi, yaitu memberikan pakan yang berkualitas pada sapi bali induk yang dipelihara. Soenarjo et al. (1991) mengemukakan bahwa pemberian pakan berkualitas dengan jumlah yang cukup akan mempengaruhi pertambahan bobot badan, dimana pakan berguna untuk mempercepat dan mengoptimalkan laju pertumbuhan ternak.
6.5.1.4 Profil penerapan usaha tanaman pangan Penerapan usaha tanaman pangan adalah penerapan cara atau teknik bercocok tanam untuk semua jenis tanaman yang mungkin ditanam dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan pasar atau konsumen serta pengolahan dan penggunaan gulma tanaman maupun limbah dari tanaman pertanian, perkebunan, dan holtikultura. Pada Tabel 6.4 dibawah ini akan disajikan profil penerapan usaha tanaman pangan.
174
Tabel 6.4 Bobot Faktor Variabel Penerapan Usaha Tanaman Pangan Bobot Faktor Indikator Bobot T-Statistik Pengukuran Produk utama tanaman (X41) 0.457 2.299 Produk limbah tanaman (X42) 0.952 19.666 Berdasarkan pada Tabel 6.4, produk utama tanaman (X41) dan produk limbah tanaman (X42) merupakan indikator-indikator yang dapat mencerminkan variabel penerapan usaha tanaman pangan (X4), hal ini dikarenakan semua indikator memiliki bobot yang signifikan (t-statistik > 1.96) dengan bobot pengukuran diatas 0,40. Produk limbah tanaman (X42) memiliki nilai bobot faktor yang paling tinggi, yaitu sebesar 0.952, diikuti produk utama tanaman (X41) sebesar 0.457. Hasil ini menunjukkan bahwa, produk limbah tanaman (X42) merupakan indikator yang paling kuat untuk merefleksikan variabel penerapan usaha tanaman pangan (X4). Sesuai dengan konsep pertanian terintegrasi yang diusung oleh progam Simantri, wajar kiranya apabila produk limbah tanaman (X42) memiliki nilai bobot faktor yang lebih besar dari produk utama tanaman (X41). Penggunaan gulma tanaman maupun limbah dari tanaman pertanian, perkebunan, dan holtikultura telah terbukti mampu mengurangi biaya produksi suatu usaha peternakan sapi (pembibitan dan penggemukan) khususnya dalam hal biaya pakan. Pendekatan pengurangan biaya pakan dengan pengolahan dan penggunaan limbah tanaman sebagai pakan ternak lebih diarahkan pada penghematan biaya tenaga kerja yang digunakan untuk mencari hijauan makanan ternak setiap harinya. Kariyasa (2005) melaporkan, pemanfaatan limbah pertanian (jerami)
175
pada usaha peternakan ternyata mampu menghemat biaya tenaga kerja sebesar 35, 44 – 44,22 persen, atau sekitar 5,26 – 6,38 persen terhadap total biaya usaha peternakan sapi. Pengolahan limbah tanaman untuk meningkatkan kecernaan dan nilai nutrisinya berperan secara efektif dalam menanggulangi kekurangan pakan ternak sepanjang tahun. Selain menjamin ketersediaan pakan ternak pada musim kering, keuntungan lain dari pemanfaatan limbah tanaman adalah mampu menekan biaya pakan, efisiensi tenaga kerja, sehingga berpeluang meningkatkan skala jumlah kepemilikan ternak (Kariyasa, 2003). Lebih lanjut dikatakan, limbah tanaman dapat menyediakan pakan ternak sekitar 33,3 persen dari total rumput yang dibutuhkan ternak sapi.
6.5.1.5 Profil penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi Penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi merupakan cara atau teknik yang digunakan untuk mengolah kotoran sapi baik yang padat maupun cair menjadi pupuk organik serta energi alternatif (biogas). Pada sajian profil penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi dalam Tabel 6.5 menunjukkan bahwa biogas (X51), kompos (X52), dan biourine (X53) merupakan indikator yang valid dan mampu merefleksikan variabel penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi (X5), karena semua indikator ini memiliki bobot faktor yang signifikan (t-statistik > 1.96) dengan bobot pengukuran diatas 0,40. Selain itu, biogas (X51) merupakan indikator utama yang dapat digunakan untuk mencerminkan variabel penerapan usaha peternakan sapi (X3), karena memiliki
176
nilai bobot faktor tertinggi dibandingkan kedua indikator lainnya, yaitu sebesar 0.983. Tabel 6.5 Bobot Faktor Variabel Penerapan Usaha Pengolahan Limbah Ternak Sapi Bobot Faktor Indikator Bobot T-Statistik Pengukuran Biogas (X51) 0.983 346.032 Kompos (X52) 0.971 170.917 Biourine (X53) 0.976 207.306 Kuatnya kemampuan dari biogas (X51) untuk merefleksikan penerapan usaha peternakan sapi (X3), tidak lepas dari banyaknya manfaat lebih yang diberikan oleh cara pengolahan limbah dari ternak sapi ini. Adapun manfaat biogas antara lain : 1) dapat dijadikan energi alternatif terbarukan (renewable energy) yang murah dan ramah lingkungan sebagai pengganti gas elpiji, minyak tanah maupun kayu bakar serta dapat pula menjadi sumber listrik bagi petani-peternak, 2) ampas biogas (slurry) sebagai hasil sampingan merupakan pupuk organik berkualitas tinggi, 3) merupakan investasi yang murah untuk mengurangi pencemaran lingkungan yang berasal dari usaha peternakan untuk jangka panjang. Senada dengan penjelasan yang dikeluarkan oleh Departemen Pertanian (2009) yang menyatakan bahwa manfaat energi biogas adalah berguna sebagai bahan bakar alternatif atau pengganti khususnya minyak tanah yang dipergunakan masyarakat untuk memasak. Lebih lanjut dijelaskan, pada skala besar biogas dapat digunakan sebagai pembangkit tenaga listrik, selain itu produk sampingan yang berasal dari sisa olahan kotoran ternak (slurry) dapat langsung digunakan sebagai pupuk organik pada tanaman atau budidaya pertanian.
177
Hasil pengkajian secara lebih mendalam dengan menganalisa dampak lingkungan (AMDAL) dari ampas biogas (slurry) yang dikeluarkan oleh digester menunjukkan adanya penurunan COD sebesar 90% dari kondisi bahan awal dengan pebandingan BOD/COD (Biological/Chemical Oxygen Demand) sebesar 0,37 lebih kecil dari kondisi normal limbah cair BOD/COD = 0,5 (Widodo et al., 2006). Lebih lanjut dikatakan, unsur penyusun utama dari biogas berupa N sebesar 1,82%, P=0,73% dan K=0,41% tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dibandingkan pupuk kompos (referensi : N (1,45%), P (1,10%) dan K (1,10%)). Selain itu, ampas biogas (slurry) yang merupakan hasil sampingan biogas mengandung lebih sedikit bakteri patogen sehingga aman untuk digunakan memupuk tanaman buah atau sayuran, terutama tanaman untuk dikonsumsi segar (Widodo et al., 2006).
6.5.1.6 Profil efektivitas penerapan Simantri Efektivitas penerapan Simantri adalah suatu keadaan yang menunjukkan tingkat capaian maksimum dari tujuan program Simantri dan efisiensi biaya produksi usaha tani secara luas oleh Gapoktan Simantri. Pada Tabel 6.6 berikut ini akan disajikan profil efektivitas penerapan Simantri. Tabel 6.6 Bobot Faktor Variabel Efektivitas Penerapan Simantri Bobot Faktor Indikator Bobot T-Statistik Pengukuran Keberhasilan pencapaian tujuan Simantri (Y1) 0.968 156.350 Efisiensi Simantri (Y2) 0.968 165.833
178
Berdasarkan pada Tabel 6.6 diatas, keberhasilan pencapaian tujuan Simantri (Y1) dan efisiensi Simantri (Y2) merupakan indikator-indikator yang dapat mencerminkan dengan baik variabel efektivitas penerapan Simantri (Y), hal ini dikarenakan semua indikator memiliki bobot yang signifikan (t-statistik > 1.96) dengan bobot pengukuran diatas 0,40. Baik keberhasilan pencapaian tujuan Simantri (Y1) maupun efisiensi Simantri (Y2) sama-sama merupakan indikator utama yang dapat digunakan untuk mencerminkan variabel efektivitas penerapan Simantri (Y), karena kedua indikator memiliki nilai bobot faktor yang sama, yaitu sebesar 0.968. Hasil ini menunjukkan bahwa, untuk menilai efektivitas penerapan Simantri oleh responden maka kita tidak bisa membahasnya hanya dengan menilai salah satu indikator saja, melainkan keberhasilan pencapaian tujuan Simantri dan efisiensi Simantri harus dinilai sebagai satu kesatuan yang digunakan untuk menganalisis dan membahas variabel ini. Yusuf (2004) mengatakan bahwa efektivitas suatu program dapat ditunjukkan dari tingkat keberhasilan kegiatan manajemen dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan lebih dahulu tanpa mengabaikan ukuran efisiensinya.
6.5.1.7 Profil peningkatan pendapatan petani-peternak Peningkatan pendapatan petani-peternak merupakan suatu keadaan yang menunjukkan adanya peningkatan pendapatan yang terjadi pada petani-peternak sebelum dan setelah menjadi anggota Gapoktan Simantri. Pada Tabel 6.7 dibawah ini akan disajikan profil peningkatan pendapatan petani-peternak.
179
Tabel 6.7 Bobot Faktor Variabel Peningkatan Pendapatan Petani-Peternak Bobot Faktor Indikator Bobot T-Statistik pengukuran Peningkatan pendapatan petani-peternak Simantri
1.000
Berdasarkan pada Tabel 6.7 diatas, diketahui bahwa peningkatan pendapatan petani-peternak Simantri merupakan satu-satunya indikator yang digunakan untuk merefleksikan variabel peningkatan pendapatan petani-peternak. Peningkatan pendapatan
petani-peternak
Simantri
merupakan
indikator
utama
untuk
menggambarkan variabel peningkatan pendapatan petani-peternak. Hasil evaluasi variabel peningkatatan pendapatan petani-peternak menunjukkan bahwa indikator peningkatan pendapatan petani-peternak Simantri memiliki nilai bobot faktor sebesar
1.000 (bobot pengukuran diatas 0,40) dengan tidak ada penjelasan untuk signifikansinya. Oleh karena hanya direfleksikan oleh satu indikator saja, maka secara teknis dan teori indikator penyusun ini secara otomatis dikatakan signifikan untuk merefleksikan variabel peningkatan pendapatan petani-peternak.
6.5.2 Pembahasan hasil pengujian hipotesis Sesuai dengan hasil yang diperoleh pada pengujian hipotesis yang dilakukan dengan t-test pada masing-masing jalur pengaruh langsung secara parsial, maka dapat dipaparkan pembahasan untuk setiap hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini sebagai berikut :
180
1) Kualitas SDM petani-peternak dan kondisi Gapoktan Simantri berpengaruh positif terhadap penerapan usaha peternakan sapi, penerapan usaha tanaman pangan, dan penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi. Hipotesis ini hanya diterima untuk kualitas SDM petani-peternak berpengaruh postif terhadap penerapan usaha peternakan sapi, penerapan usaha tanaman pangan, dan penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi diterima. Tetapi ditolak untuk hipotesis kondisi Gapoktan Simantri berpengaruh positif terhadap penerapan usaha peternakan sapi, penerapan usaha tanaman pangan, dan penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi. Hasil ini ditunjukkan oleh koefesien jalur yang diperoleh kondisi Gapoktan Simantri (X2) bernilai positif dengan signifikansi (t-statistik < 1.96). Hasil ini cukup logis mengingat kondisi Gapoktan Simantri (X2) yang terdiri dari jarak tempat tinggal (X21), budaya lokal (X22), dan interaksi sosial (X23) sebagai indikator perefleksinya bersifat lebih memberikan dukungan yang positif terhadap penerapan usaha peternakan sapi (X3), penerapan usaha tanaman pangan (X4), dan penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi (X5) dari responden. Hasil ini senada dengan Suparlan (1981) yang menyatakan bahwa syarat terjadinya adopsi inovasi adalah tidak bertentangan dengan pola kebudayaan yang telah ada, struktur sosial masyarakat dan pranata sosial, serta persepsi masyarakat terhadap inovasi. Penerapan (adopsi) inovasi teknologi oleh petani-peternak memang dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Apabila faktor eksternal dari responden terbukti tidak berpengaruh terhadap tingkat penerapan inovasi teknologi seperti hasil yang didapat dalam
181
penelitian ini, maka secara otomatis faktor internal dari petani-peternak yang paling dominan berpengaruh terhadap penerapan suatu inovasi teknologi. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa jarak tempat tinggal responden ke lokasi dan lahan garapan tidak lebih dari enam kilometer. Ruswendi (2011) mengatakan bahwa aksesibilitas lokasi usaha ternak ke jalan raya dengan jarak ± 1 km dengan keragaman masih kurang dari 6 km dianggap masih cukup kondusif, sehingga memudahkan pengangkutan input dan output hasil usaha tani/usaha ternak. Secara umum budaya lokal setempat di Bali sangat mendukung kegiatan atau usaha integrasi antara tanaman pangan dengan ternak sapi maupun usaha pengolahan limbah ternak sapi menjadi pupuk. Sutradisastra (2008) menyatakan bahwa norma, adat istiadat dan tata pengaturan sosial lainnya memainkan peran penting dalam proses produksi pertanian. Selanjutnya, sebagian besar responden (95,65%) memiliki yang interaksi sosial yang sangat baik dengan intern sesama anggota kelompok, Gapoktan Simantri lain dan dengan petugas pendamping Simantri. Walgito (2011) mengatakan bahwa dengan adanya interaksi sosial diantara para petanipeternak, maka akan terjadi pertukaran informasi tentang pengetahuan dan keterampilan bertani-beternak diantara mereka. Sesuai hasil pemeriksaan model pengukuran menunjukkan bahwa, keterampilan tentang Simantri (X16) yang merupakan indikator utama perefleksi variabel kualitas SDM petani-peternak (X1) lalu disusul oleh pendidikan non formal (X13), pendidikan formal (X12), pengalaman tentang Simantri (X17), serta pengetahuan tentang Simantri (X14) berpengaruh besar
182
terhadap penerapan usaha peternakan sapi (X3), penerapan usaha tanaman pangan (X4), dan penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi (X5) dari responden. Keterampilan responden tentang Simantri sangat dipengaruhi oleh banyaknya responden mengikuti pelatihan/bintek tentang Simantri dan pengalamannya dalam beternak sapi bali, bertani/berkebun, serta pengolahan limbah ternak sapi menjadi pupuk padat dan cair. Mardikanto (1993) menyatakan bahwa di dalam penyuluhan pertanian adopsi dapat diartikan sebagai proses perubahan perilaku baik yang berupa pengetahuan, sikap, maupun keterampilan pada diri seseorang setelah menerima “inovasi” yang disampaikan penyuluh kepada sasarannya. Kualitas SDM petani-peternak (X1) memberikan pengaruh yang paling besar pada penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi (X5) dibandingkan terhadap penerapan usaha peternakan sapi (X3) dan penerapan usaha tanaman pangan (X4). Hal ini ditunjukkan oleh nilai koefesien jalur pengaruh X1→X5 sebesar 0.871, X1→X3 dan X1→X4 masing-masing sebesar 0.769 dan 0.609. Hasil ini wajar, mengingat sebagian besar responden tidak memiliki keterampilan yang cukup sebelum mengikuti program Simantri dalam hal pengolahan limbah ternak sapi menjadi pupuk padat dan cair, sedangkan keterampilan dalam memelihara sapi bali induk dan tanaman pangan telah mereka kuasai secara turun temurun yang diajarkan oleh orang tua masingmasing (secara informal) serta ditunjang oleh pengalaman responden yang telah lebih dari sepuluh tahun pada kedua bidang tersebut. Manulang (1984) menyatakan bahwa keterampilan merupakan hasil dari proses pengalaman
183
kerja seseorang tentang metode suatu pekerjaan karena keterlibatannya dalam pelaksanaan tugas pekerjaan. Selain itu, penambahan inovasi teknologi yang dikenalkan/diintrodusir pada program Simantri memang lebih banyak pada penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi (X5), dibandingkan dengan penerapan usaha peternakan sapi (X3) dan penerapan usaha tanaman pangan (X4). Oleh karena itu, dibutuhkan peningkatan keterampilan dari petani-peternak dalam hal pengolahan limbah ternak sapi menjadi pupuk padat dan cair melalui pelatihan langsung dan bintek. Peningkatan keterampilan ini berguna untuk memperoleh pupuk kompos, biogas, dan biourine dengan kualitas yang baik serta terjadinya efektivitas dan efisiensi usaha.
2) Penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi berpengaruh paling dominan terhadap efektivitas penerapan Simantri Sesuai dengan hasil pengujian hipotesis, maka hipotesis penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi berpengaruh paling dominan terhadap efektivitas penerapan Simantri diterima. Didalam pertanian terintegrasi dengan pola Simantri memang sudah sewajarnya apabila penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi (X5) memegang peranan yang sangat besar terhadap efektivitas penerapan Simantri (Y) karena menganut konsep zero waste. Zero waste merupakan aktivitas untuk meniadakan seluruh limbah dari ternak dan tanaman dengan cara didaur ulang dan dimanfaatkan kembali ke dalam siklus produksi (Direktorat Jenderal Peternakan, 2010).
184
Peranan besar yang dimainkan oleh penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi (X5) adalah sebagai penghasil pupuk organik padat maupun cair untuk tanaman pangan. Dengan dihasilkannya pupuk kompos dan biourine secara mandiri, maka biaya pupuk dalam usaha tanaman pangan dapat dikurangi. Devendra (1993) menyatakan bahwa efisiensi penggunaan input produksi yang berasal dari luar sistem usaha tani yang bertujuan untuk mengurangi biaya produksi, ketergantungan energi kimia dan biologi, serta masukan sumber daya lainnya merupakan keuntungan dari penerapan pola CLS (Crop-Livestock System) bagi petani dan peternak kecil di pedesaan. Hal ini sesuai dengan konsep LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture). LEISA merupakan suatu sistem pertanian yang berkelanjutan yang mampu menekan sekecil mungkin pengaruh dari luar (bibit, obat, pupuk, pestisida). Dengan pendekatan LEISA sistem usahatani ternak secara empiris telah membuktikan kemampuannya menciptakan lapangan kerja, yang bersumber pada usaha dengan memanfaatkan sumberdaya lokal secara lebih efisien. Penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi bertujuan pula sebagai sumber pendapatan bulanan bagi petani-peternak serta berguna untuk mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan oleh limbah sektor peternakan terhadap lingkungan. Isu global saat ini menyatakan bahwa sektor peternakan bertanggung jawab atas sedikitnya lima puluh satu persen dari pemanasan global. Emisi metana (CH4) dari hewan ternak juga berperan sebesar 72 kali lebih dalam menyerap panas di atmosfer daripada CO2. Dengan penerapan pola CLS maka akan berkembang rumah tangga petani yang mandiri dalam hal
185
pangan, energi (biogas), dan peningkatan pendapatan secara berkelanjutan (Devendra, 1993). Lebih lanjut dikatakan pula, dengan CLS akan diperoleh sistem ekologi yang lebih lestari serta tidak menimbulkan polusi sehingga ramah terhadap lingkungan. Untuk menciptakan efektivitas dan efisiensi program Simantri sebaiknya dilakukan dengan pendekatan pengolahan limbah ternak sapi. Semakin efektif usaha pengolahan limbah ternak sapi maka akan dihasilkan pupuk padat dan cair dengan kuantitas dan kualitas yang baik. Semakin baik kualitas pupuk yang dihasilkan maka akan semakin meningkatkan hasil panen yang diperoleh. Sedangkan, kuantitas dari pupuk padat dan cair yang dihasilkan akan berpengaruh terhadap tingkat pendapatan petani-peternak anggota Gapoktan Simantri, selain ditunjang pula dengan sistem pemasaran yang memadai. Pernyataan ini sesuai dengan hasil pengamatan dilapangan yang menemukan, terdapat empat Gapoktan Simantri yang mengalami peningkatan pendapatan dua kali lipat bahkan lebih setelah mengikuti program ini. Adanya peningkatan pendapatan dari responden ini dikarenakan mereka terbukti menerapkan Simantri secara efektif dan efesien, terutama dalam hal pengolahan limbah padat dan cair dari ternak sapi menjadi pupuk. Penerapan CLS (Crop-Livestock System) yang terinspirasi dari kearifan tradisional ternyata mampu meningkatkan penghasilan petani hampir dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan pola tanam padi IP-300 tanpa ternak (Diwyanto dan Haryanto, 2002). Lebih lanjut dikatakan, sekitar empat puluh persen dari hasil tersebut berasal dari pupuk organik yang diperoleh dari ternak sapi.
186
3) Efektivitas penerapan Simantri berpengaruh peningkatan pendapatan petani-peternak.
positif
terhadap
Sesuai dengan hasil pengujian hipotesis, maka hipotesis efektifitas penerapan Simantri berpegaruh positif terhadap peningkatan pendapatan petani-peternak diterima. Pengukuran efektivitas penerapan Simantri dalam penelitian ini mengacu pada pencapaian tujuan Simantri itu sendiri yang diukur oleh lima belas indikator keberhasilan Simantri, sedangkan efisiensi mengacu pada pencapaian pengurangan input produksi yang berasal dari luar usaha tani serta terjadinya peningkatan jumlah output. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, secara rata-rata penerapan program Simantri di Bali oleh para responden masih kurang efektif. Hal ini dikarenakan oleh sebagian besar responden belum berhasil melaksanakan Simantri atau belum tercapainya secara maksimal kelima belas poin yang ada pada indikator keberhasilan Simantri. Selain itu, secara rata-rata pelaksanaan Simantri di Bali (tahun 2009-2010) juga masih kurang efisien. Faktor inilah yang menyebabkan peningkatan pendapatan sebesar dua kali lipat oleh sebagian besar responden belum dapat tercapai. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, kurang efektifnya penerapan oleh sebagian besar responden karena sapi bali induk yang merupakan paket program ini tidak selalu dikandangkan oleh petani-peternak anggota Gapoktan Simantri. Kondisi ini menyebabkan tidak bisa maksimalnya jumlah kotoran padat dan cair yang akan diolah menjadi pupuk kompos dan biourine. Secara otomatis kondisi ini sangat berpengaruh pada tingkat pendapatan dari petanipeternak itu sendiri. Selain itu, tidak diolahnya gulma tanaman dan limbah
187
hasil panen dari tanaman pangan oleh sebagian besar responden untuk meningkatkan efisiensi biaya pakan ternak sapi dan meningkatkan nilai gizi serta kecernaan bahan pakan turut menyumbang kurang efektifnya penerapan Simantri di lapangan. Kondisi ini selaras dengan Suryanti (2011) yang melaporkan bahwa adopsi teknologi yang cenderung baik adalah pada teknologi budidaya tanaman dan ternak, sedangkan pada pengolahan limbah masih rendah. Hal ini mengindikasikan sistem integrasi yang diterapkan pada pola Simantri belum mampu secara maksimal memanfaatkan limbah tanaman dan limbah ternak sebagai sumber input internal dalam usaha tani. Mengacu pada pola pertanian terintegrasi dengan konsep zero waste yang digunakan pada program Simantri, maka peningkatan kesadaran dari petanipeternak anggota Simantri sangat diperlukan, khususnya dalam hal pengolahan dan penggunaan limbah yang berasal dari usaha tanaman pangan maupun usaha peternakan sapi. Walaupun paket program Simantri ini telah diserah terimakan seutuhnya pada anggota Gapoktan Simantri, namun penyuluhan dari pendamping harus tetap digalakkan untuk merubah konsep petani-peternak yang salah terhadap program ini. Program Simantri bukan sekedar pemberian sapi induk secara cuma-cuma, tetapi lebih kepada penerapan pola integrasi tanaman-ternak untuk mengatasi masalah-masalah yang mereka hadapi dilapangan selama ini, khususnya untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya. Mardikanto (1993) menyatakan bahwa proses perubahan perilaku berupa pengetahuan (cognitive), sikap (afective) maupun ketrampilan
188
(pikomotorik) pada diri seseorang merupakan bentuk dari adopsi inovasi teknologi setelah sasaran menerima pesan yang disampaikan oleh penyuluh. Dari hasil penelitian ini terlihat jelas bahwa untuk meningkatkan pendapatan petani-peternak anggota Gapoktan Simantri, maka mereka harus menerapkan usaha peternakan sapi, usaha tanaman pangan, serta pengolahan limbah ternak sapi secara efektif. Efektif berarti kelima belas indikator keberhasilan Simantri harus dapat dicapai serta terjadinya pengurangan input produksi yang berasal dari luar usaha tani dan terjadinya peningkatan jumlah output. Untuk semakin memantapkan penerapan Simantri, maka petanipeternak harus senantiasa meningkatkan keterampilannya melalui bintek, pelatihan, dan penyuluhan untuk ketiga unit usaha Simantri yang dikelola.
6.5.3 Pengujian efek langsung terhadap variabel diluar hipotesis Sesuai dengan hasil pengujian efek langsung terhadap variabel diluar hipotesis yang dilakukan dengan t-test pada masing-masing jalur pengaruh langsung secara parsial, maka dapat dijelaskan sebagai berikut : 1) Penerapan usaha tanaman pangan (X4) terbukti berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap penerapan usaha peternakan sapi (X3). Hasil ini cukup beralasan mengingat sebagian besar responden belum secara maksimal mengolah gulma serta limbah dari tanaman pangan dan perkebunan sebagai pakan ternak sapi. Selama ini responden lebih mengandalkan pakan yang berasal dari hijauan (rumput lapangan, rumput gajah, legume, dan daun-daunan) sesuai dengan ketersediaan di daerah masingmasing. Pengolahan gulma serta limbah dari tanaman pertanian, perkebunan,
189
dan holtikultura penting dilakukan guna meningkatkan kecernaan dan nilai nutrisi dari bahan pakan asal limbah tersebut serta menjamin ketersediaan pakan sepanjang tahun. Diwyanto et al. (1996) mengatakan ketersediaan hijauan berlimpah pada musim hujan namun kekurangan pada musim kemarau. Lebih lanjut dikatakan, hijauan pakan yang tersedia di pedesaan umumnya adalah rumput unggul, rumput lapangan, dan leguminosa. Syamsu (2001) melaporkan bahwa pengolahan jerami padi yang difermentasi dengan starbio menunjukkan peningkatan komposisi nutrien, kandungan protein kasar, serta penurunan komposisi serat
dibandingkan dengan jerami yang tidak
difermentasi. Efisiensi biaya pakan seharusnya dapat ditingkatkan apabila petanipeternak anggota Gapoktan Simantri mau mengolah gulma serta limbah dari tanaman pertanian, perkebunan, dan holtikultura secara maksimal. Syamsu (2003) mengungkapkan bahwa rataan pertambahan bobot badan harian sapi bali yang diberi jerami padi fermentasi adalah sebesar 0,37 kg, dibandingkan dengan jerami padi tanpa fermentasi yaitu sebesar 0,25 kg. Lebih lanjut dikatakan, peningkatan palatabilitas pakan menyebabkan peningkatan rataan konsumsi bahan kering sebesar 4.41 kg/ekor/hari, dibandingkan jerami padi tanpa fermentasi yaitu sebesar 3.35 kg/ekor/hari. Kondisi ini menyebabkan penerapan usaha tanaman pangan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pengurangan biaya pakan. Kariyasa (2005) melaporkan, pemanfaatan limbah pertanian (jerami) pada usaha peternakan ternyata mampu menghemat
190
biaya tenaga kerja sebesar 35,44 – 44,22 persen, atau sekitar 5,26 – 6,38 persen terhadap total biaya usaha peternakan sapi.
2) Penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi (X5) terbukti berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap penerapan usaha tanaman pangan (X4). Berdasarkan hasil ini, diperoleh gambaran bahwa penggunaan pupuk kompos dan biourine pada usaha tanaman pangan oleh responden belum memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan hasil panen atau produktifitas dari tanaman pangan yang ditanam (padi, holtikultura, dan perkebunan). Kondisi ini disebabkan oleh karena petani-peternak telah sejak lama menggunakan pupuk dan pestisida kimia dalam mengolah lahan garapannya. Penggunaan pupuk dan pestisida kimia selama ini telah menyebabkan rusaknya sifat fisik, kimia, dan biologis tanah serta lingkungan sebagai dampak dari revolusi hijau. Cepat lambatnya pemulihan (recovery) lahan tergantung dari seberapa parah kerusakan sifat fisik, kimia, dan biologis tanah pada masing-masing lahan garapan petani-peternak. Degradasi sifat fisik, kimia, dan biologis tanah telah menyebabkan produktivitasnya menurun, hal ini berkaitan dengan sangat rendahnya kandungan C-organik dalam tanah, yaitu kurang dari dua persen. Nilai C-organik merupakan pembeda pupuk organik dengan anorganik. Suriadikarta dan Setyorini (2005) mengatakan untuk memperoleh produktivitas yang optimal maka dibutuhkan kandungan C-organik dalam tanah sebesar lebih dari dua setengah persen.
191
Kemampuan dari pupuk organik padat (kompos) dan cair (biourine) yang dihasilkan
oleh
petani-peternak
anggota
Gapoktan
Simantri
dalam
memperbaiki (recovery) sifat fisik, kimia, dan biologis tanah garapan mereka bergantung pada kandungan unsur hara bahan penyusun pupuk organik. Bervariasinya unsur hara pada masing-masing pupuk kompos dan biourine yang dihasilkan oleh Gapoktan Simantri secara umum tergantung pada jumlah dan jenis pakan ternak sapi yang diberikan. Pada program Simantri belum ada pengujian mutu pupuk organik di laboratorium yang terakreditasi atau yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian melalui SK Mentan seperti tertuang dalam Permentan No.2/Pert/Hk.060/2/2006, tentang pupuk organik dan pembenah tanah. Kondisi ini turut menjadi kendala dalam peningkatan produktivitas lahan yang berimplikasi pada peningkatan hasil panen. Nilai C-organik atau bahan organik umum digunakan sebagai indikator pengujian mutu pupuk organik daripada kadar haranya. Apabila kandungan C-organik pada pupuk organik berkisar antara 7–12% maka pupuk organik tersebut sebagai pembenah tanah (Suriadikarta dan Setyorini, 2005). Sehingga analisis kimia untuk menjamin kualitas dari pupuk organik yang dihasilkan perlu dilakukan. Jumlah penggunaan pupuk organik pada lahan garapan secara umum jauh lebih besar daripada pupuk anorganik. Ketidak taatan sebagian besar petanipeternak anggota Gapoktan Simantri turut menyumbang belum maksimalnya produksi pupuk kompos dan biourine kelompok. Kondisi ini besar pengaruhnya dalam menjamin ketersediaan kedua pupuk ini bagi peningkatan produktivitas lahan garapan. Suriadikarta dan Setyorini (2005) mengatakan
192
secara umum pupuk organik bersifat gembur (bulky) dengan kandungan unsur hara mikro dan makro yang rendah, sehingga dalam pengaplikasiannya dibutuhkan dalam jumlah yang banyak.
6.6
Analisis Pendapatan Petani-Peternak Dalam mengelola usahataninya, seorang petani-peternak akan selalu berupaya
agar biaya yang dikeluarkan memperoleh hasil produksi yang maksimal, sehingga secara ekonomis usaha tersebut menguntungkan. Dengan semakin meningkatnya keuntungan, maka secara otomatis pendapatan dan kesejahteraannya akan meningkat. Pendapatan usahatani adalah keuntungan yang diperoleh oleh petani dari selisih antara biaya yang dikeluarkan selama proses produksi dengan penerimaan dari usahatani. Pendapatan petani-peternak yang diperoleh dari usaha integrasi tanaman-ternak tergantung dari seberapa banyak unit usaha yang diintegrasikan didalam usahataninnya. Pada program Simantri secara umum terdapat tiga jenis unit usaha yang diintegrasikan, yaitu : usaha peternakan sapi bali induk, tanaman pangan, serta pengolahan limbah ternak sapi. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa program Simantri terbukti telah mampu meningkatkan pendapatan anggota Gapoktan sebesar > 100% walaupun baru sebanyak 12 orang responden dari empat Gapoktan. Keberhasilan pencapaian ini lebih disebabkan oleh karena mereka mampu memaksimalkan produksi pupuk kompos dari ternak sapi yang ada ditambah lagi dengan adanya pembelian sebagian besar input kotoran sapi dan bahan penyusunnya dari luar hingga total produksi mencapai 120 ton/bulan. Selain itu, keempat kelompok ini juga terbukti mampu mendiversifikasi usahanya
193
melalui pembentukan unit-unit usaha baru yang berbasis pada potensi lokal sesuai dengan lokasi Gapoktan Simantri itu berada. Keempat Gapoktan Simantri tersebut adalah Simantri 025 (Gapoktan Antap Tani Makmur, Tabanan), Simantri 027 (Gapoktan Timan Agung, Tabanan), Simantri 030 (Gapoktan Sarwa Ada, Gianyar), dan Simantri 031 (Gapoktan Sari Tani, Gianyar). Bagi Gapoktan Simantri yang telah menerapkan program ini dengan baik dari segi ketiga unit usaha dan selalu mengandangkan sapi bali induknya di kandang koloni Simantri menunjukkan adanya peningkatan pendapatan dari responden sebesar 60,64% - 79,30% dari pendapatan sebelum mereka mengikuti program ini. Hasil ini membuktikan bahwa dengan paket awal program Simantri yang diberikan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Bali selaku pengelola program tidak akan mampu meningkatkan pendapatan petani-peternak anggota Gapoktan Simantri sampai sebesar 100% tanpa ditunjang oleh penambahan jumlah sapi bali induk yang dipelihara, peningkatan produksi pupuk kompos minimal sebesar 60 ton/bulan dengan cara membeli sebagian besar input kotoran sapi dan bahan penyusunnya dari luar, serta diversifikasi usaha. Sebagian besar responden (67,38%) memperoleh peningkatan pendapatan rata-rata setelah mengikuti Simantri sebesar 37,50% dari pendapatan sebelum mengikuti Simantri. Nilai ini masih dibawah hasil penelitian Sudaratmaja et al. (2004) menyatakan bahwa model CLS yang diterapkan petani di Bali, terbukti mampu menghemat pengeluaran biaya pupuk sebesar 25,2% dan meningkatkan pendapatan petani sebesar 41,4%. Hal ini cukup logis karena sebagian besar responden tidak taat dalam mengandangkan sapi bali induknya dikandang koloni
194
Simantri serta tidak diprosesnya kotoran padat dan cair dari ternak sapi menjadi pupuk kompos, biogas dan biourine. Walaupun demikian, dapat dikatakan secara keseluruhan responden telah memperoleh peningkatan pendapatan dari penerapan program Simantri. Pernyataan ini senada dengan hasil penelitian Diwyanto et al. (2004) menunjukkan bahwa penerapan pola usaha tani terpadu (crop livestock systems/CLS) di Batumarta, Sumatera Selatan, selama tiga tahun dapat meningkatkan
pendapatan
petani
sebesar
US$1.500/KK/tahun,
dengan
kepemilikan lahan dua ha tanaman pangan dan satu ekor sapi, dengan kontribusi hasil ternak terhadap total pendapatan dengan pola CLS sebesar 36%. Disisi lain, Pramono et al. (2001) melaporkan bahwa pola integrasi padi-sapi potong di Kabupaten Banyumas, Purworejo, Boyolali, Pati, dan Grobogan memberikan pendapatan rata-rata Rp 2.455.000/ha, dan pendapatan dari pembibitan sapi dengan pola introduksi mencapai Rp 1.830.000/periode (13 bulan). Bervariasinya peningkatan pendapatan responden dari ketiga unit usaha yang dikelola sangat dipengaruhi oleh kemampuan mereka dalam menerapkan integrasi usaha serta menciptakan efektivitas dan efisiensi produksi. Hal ini sesuai dengan Kariyasa (2005) yang mengatakan bahwa melalui kegiatan integrasi tanaman-ternak, produktivitas tanaman maupun ternak menjadi lebih baik sehingga akan meningkatkan pendapatan petani-peternak. Untuk lebih meningkatkan pendapatan melalui program Simantri, maka petani-peternak anggota Gapoktan Simantri harus berusaha untuk meningkatkan hasil produksi, yaitu dengan memaksimalkan produksi dari ketiga unit Simantri
195
yang dikelola terutamanya usaha pengolahan limbah ternak sapi. Memaksimalkan produksi pupuk organik pada Gapoktan Simantri, dapat dilakukan dengan membeli bahan baku kotoran sapi dan bahan penyusun lainnya dari peternak diluar anggota Gapoktan Simantri. Selain itu, juga diperlukan adanya diversifikasi usaha melalui pembentukan unit-unit usaha baru yang berbasis pada potensi lokal sesuai dengan lokasi dimana Simantri itu berada serta memperluas jalur pemasaran.
6.7
Ciri-Ciri Spesifik Yang Membedakan Gapoktan Simantri Berdasarkan hasil wawancara secara mendalam (depth interview) pada 138
responden dari keempat puluh enam Gapoktan Simantri yang tersebar di delapan Kabupaten dan satu Kota di Bali diperoleh ciri-ciri spesifik yang membedakan antara Gapoktan Simantri yang satu dengan yang lain yang digolongkan berdasarkan besaran peningkatan pendapatan yang diperoleh setelah mengikuti program Simantri. Selengkapnya, akan disajikan pada Tabel 6.8 dibawah ini Tabel 6.8 Ciri-Ciri Spesifik Yang Membedakan Gapoktan Simantri Berdasarkan Besaran Peningkatan Pendapatan Yang Diperoleh Setelah Mengikuti Simantri No
Besaran Ciri-ciri Spesifik Yang Membedakan Peningkatan Pendapatan (%) 1. > 100% 1. Mempunyai alur pekerjaan yang sudah sangat teratur dan terstruktur. 2. Mampu memproduksi pupuk organik padat sampai dengan 120 ton/bulan serta mampu membuat fermentor sendiri. 3. Pengurus dan anggota Gapoktan memiliki motivasi yang sangat tinggi dan misi yang sama untuk mencapai tujuan/visi yang telah ditetapkan, sehingga minim terjadi konflik internal. 4. Memiliki kekompakan kelompok yang sangat baik. 5. Semua sapi induk selalu berada dikandang koloni Simantri. 6. Memiliki jiwa kewirausahaan yang tinggi. 7. Memiliki jaringan kerjasama yang baik dengan pemasok kotoran sapi dan bahan pelengkapnya serta jaringan pemasaran pupuk organik yang luas.
196
Tabel 6.8 Lanjutan
2.
75-100%
3.
50-75%
4.
25-50%
5.
1-25%
8. Memiliki kejelian yang cukup tinggi dalam membaca selera pasar terutama untuk produk pupuk organik dan produk tanaman organik yang dihasilkan. 9. Memiliki pemahaman yang baik tentang manfaat penggunaan pupuk organik bagi tanaman serta kandungan C-organik pada lahan garapan yang dimiliki. 1. Mempunyai alur pekerjaan yang sudah teratur dan terstruktur. 2. Hanya 1 dari 3 Gapoktan yang memproduksi pupuk organik padat lebih dari 10 ton/bulan serta mampu membuat fermentor sendiri. 3. Pengurus dan anggota Gapoktan memiliki motivasi yang tinggi dan misi yang sama untuk mencapai tujuan/visi yang telah ditetapkan. 4. Memiliki kekompakan kelompok yang baik. 5. Semua sapi induk selalu berada dikandang koloni Simantri. 6. Memiliki jaringan pemasaran yang tidak terlalu luas. 7. Memiliki jiwa kewirausahaan yang tinggi. 1. Mempunyai alur pekerjaan yang cukup teratur dan terstruktur. 2. Mampu memproduksi pupuk organik padat sebesar 6-8 ton/bulan 3. Pengurus dan anggota Gapoktan memiliki motivasi yang cukup tinggi dan misi yang sama untuk mencapai tujuan/visi yang telah ditetapkan. 4. Memiliki kekompakan kelompok yang cukup baik. 5. Semua sapi induk selalu berada dikandang koloni Simantri. 6. Pemasaran pupuk organik masih pada lingkungan sekitar lokasi Gapoktan Simantri 7. Memiliki jiwa kewirausahaan yang sedang. 1. Mempunyai alur pekerjaan yang kurang teratur dan terstruktur. 2. Kapasitas produksi pupuk organik padat berkisar antara 1-3 ton/ bulan, sedangkan produksi biourine sebesar 500-1500 liter/bulan. 3. Pengurus dan anggota Gapoktan memiliki motivasi yang sedang dan misi yang sama untuk mencapai tujuan/visi yang telah ditetapkan. 4. Memiliki kekompakan kelompok yang sedang. 5. Tidak semua sapi induk selalu berada di kandang koloni Simantri setiap harinya. 6. Kegiatan usaha lebih besar terfokus pada usaha peternakan sapi dan tanaman pangan, sedangkan pengolahan limbah ternak sapi masih sangat rendah 7. Sebagian besar pupuk organik padat dan cair yang dihasilkan diperuntukkan bagi anggota, dan sisanya dijual keluar. 8. Terdapat aturan dalam Gapoktan yang memperbolehkan anggotanya membawa sapi kerumah pada saat menjelang melahirkan sampai dengan sapih. 9. Memiliki jiwa kewirausahaan yang cukup. 1. Mempunyai alur pekerjaan yang kurang teratur dan terstruktur. 2. Sama sekali tidak mengolah limbah padat dan cair dari ternak sapi menjadi pupuk kompos, biogas, dan biourine karena belum ada kesadaran yang cukup untuk mengolah dan memanfaatkan limbah dari ternak sapi menjadi pupuk organik padat dan cair. 3. Pengurus dan anggota Gapoktan kurang memiliki motivasi yang tinggi dan misi yang sama untuk mencapai tujuan/visi yang telah ditetapkan, sehingga rawan terjadi konflik internal.
197
Tabel 6.8 Lanjutan 4. Memiliki kekompakan kelompok yang kurang baik. 5. Hanya satu Gapoktan yang semua sapi induknya selalu berada dikandang koloni Simantri, sedangkan Gapoktan lainnya 50 % dari total sapi induk yang dimiliki berada di kandang anggota Gapoktan. 6. Tidak memiliki jaringan pemasaran hasil yang luas terutama dalam pemasaran pupuk organik. 7. Anggota Gapoktan memperoleh peningkatan pendapatan yang relatif kecil dari program Simantri karena hanya terfokus pada usaha peternakan sapi dan tanaman pangan dan gagal dalam mewujudkan pertanian terintegrasi dengan konsep zero waste. 8. Memiliki jiwa kewirausahaan yang relatif rendah. 9. Berpotensi besar menjadi golongan Gapoktan yang gagal dalam menerapkan Simantri dan gagal dalam menjaga eksistensi kelompok.
Dari hasil pemaparan di atas diperoleh gambaran bahwa agar dapat menerapkan Simantri dengan baik dan efektif pada penerapannya dalam upaya mencapai peningkatan 100% (dua kali lipat dari pendapatan sebelum mengikuti Simantri), maka setiap Gapoktan harus : (1) mempunyai alur pekerjaan yang sudah sangat teratur dan terstruktur dengan rapi; (2) mampu membuat fermentor sendiri dan mampu untuk memproduksi pupuk kompos minimal 60 ton/bulan; (3) pengurus dan anggota Gapoktan harus kompak, kreatif, memiliki motivasi yang tinggi dan misi yang sama untuk mencapai tujuan/visi yang telah ditetapkan, sehingga minim terjadi konflik internal; (4) semua sapi induk harus selalu berada dikandang koloni Simantri; (5) memiliki jiwa kewirausahaan yang tinggi; (6) memiliki jaringan kerjasama yang baik dengan pemasok kotoran sapi dan bahan pelengkapnya serta jaringan pemasaran pupuk organik yang luas; serta (7) memiliki kejelian yang cukup tinggi dalam membaca selera pasar terutama untuk produk pupuk organik dan produk tanaman organik yang dihasilkan.
198
6.8
Temuan Baru (Novelty) Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat dipaparkan temuan
baru atau pengembangan ilmu baru (novelty) dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Keinovatifan ketua dan motivasi yang tinggi dari pengurus dan anggota
Gapoktan
Simantri
ditambah
dengan
efektif dalam
menerapkan Simantri akan menyebabkan terjadinya peningkatan pendapatan petani-peternak sebesar lebih dari 100%. 2. Ciri-ciri
spesifik
dari
Gapoktan
Simantri
yang
memperoleh
peningkatan pendapatan > 100% adalah : (1) mempunyai alur pekerjaan yang sudah sangat teratur dan terstruktur dengan rapi; (2) mampu membuat fermentor sendiri dan memiliki kapasitas produksi pupuk kompos antara 60-120 ton/bulan; (3) pengurus dan anggota Gapoktan kompak, kreatif, memiliki motivasi yang tinggi dan misi yang sama untuk mencapai tujuan/visi yang telah ditetapkan, sehingga minim terjadi konflik internal ; (4) memiliki jiwa kewirausahaan yang tinggi; (5) memiliki jaringan kerjasama yang baik dengan pemasok kotoran sapi dan bahan pelengkapnya serta jaringan pemasaran pupuk organik yang luas; serta (6) memiliki kejelian yang cukup tinggi dalam membaca selera pasar terutama untuk produk pupuk organik dan produk tanaman organik yang dihasilkan.
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : 1. Tingkat penerapan Simantri secara rata-rata tergolong sangat tinggi. Bila ditinjau dari tiga unit usahanya, ternyata tingkat penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi secara rata-rata tergolong sedang 2. Kualitas SDM petani-peternak terbukti berpengaruh positif dan signifikan terhadap penerapan usaha peternakan sapi, penerapan usaha tanaman pangan, dan penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi. Sedangkan, kondisi Gapoktan Simantri secara statistik berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap ketiganya. 3. Efektivitas penerapan Simantri secara rata-rata tergolong kurang efektif, hanya 8,70% responden yang sangat efektif. 4. Penerapan usaha peternakan sapi, penerapan usaha tanaman pangan, dan penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi terbukti berpengaruh positif dan signifikan terhadap efektivitas penerapan Simantri. Penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi terbukti merupakan variabel yang paling dominan berpengaruh terhadap efektivitas penerapan Simantri. 5. Efektivitas penerapan Simantri terbukti berpengaruh positif dan signifikan terhadap peningkatan pendapatan petani-peternak.
199
200
6. Sebagian besar responden (67,38%) memperoleh peningkatan pendapatan > 25 – 50%, hanya 12 orang responden (8,70%) yang memperoleh peningkatan pendapatan diatas 100% karena membeli sebagian input kotoran sapi dari luar, 9 orang responden (6,52%) > 75 – 100%, 12 orang responden (8,70%) > 50 – 75%, dan 9 orang responden lainnya (6,52%) memperoleh peningkatan pendapatan sebesar 1 – 25%.
7.2 Saran Beberapa saran yang dapat diberikan berdasarkan kesimpulan diatas dan fakta dilapangan terkait hasil penelitian ini, antara lain : 1. Agar tercapainya peningkatan pendapatan sebesar dua kali lipat dalam 4-5 tahun maka, petani-peternak anggota Gapoktan Simantri harus taat dalam mengandangkan ternak sapinya di dalam kandang koloni, menerapkan pengolahan dan pemanfaatan limbah tanaman pangan sebagai pakan ternak sapi serta limbah ternak sapi sebagai pupuk organik secara lebih maksimal, bila dimungkinkan membeli bahan baku kotoran sapi dan bahan penyusun lainnya dari diluar, serta meningkatkan diversifikasi usaha melalui penambahan unit-unit usaha baru yang berbasis pada potensi lokal setempat. 2. Lembaga penyuluhan dan pendampingan sangat diperlukan oleh petanipeternak anggota Gapoktan Simantri sampai dengan mereka sukses atau berhasil mencapai indikator keberhasilan Simantri dan telah berubahnya
201
pola pikir, tindakan, serta kebiasaannya dari bertani atau beternak secara konvensional ke sistem pertanian terintegrasi dengan konsep zero waste. 3. Pemerintah Daerah Provinsi Bali selaku pengelola kegiatan Simantri hendaknya membeli kelebihan pupuk kompos dan biourine yang dihasilkan oleh Gapoktan Simantri, kemudian didistribusikan ke petani non Simantri. 4. Untuk lebih meningkatkan keberhasilan dalam menerapkan program Simantri dan mencapai penghasilan >100%, maka petani-peternak harus : (1) mempunyai alur pekerjaan yang sudah sangat teratur dan terstruktur dengan rapi; (2) mampu membuat fermentor sendiri dan memiliki kapasitas produksi pupuk kompos antara 60-120 ton/bulan; (3) pengurus dan anggota Gapoktan kompak, kreatif, memiliki motivasi yang tinggi dan misi yang sama untuk mencapai tujuan/visi yang telah ditetapkan, sehingga minim terjadi konflik internal ; (4) memiliki jiwa kewirausahaan yang tinggi; (5) memiliki jaringan kerjasama yang baik dengan pemasok kotoran sapi dan bahan pelengkapnya serta jaringan pemasaran pupuk organik yang luas; serta (6) memiliki kejelian yang cukup tinggi dalam membaca selera pasar terutama untuk produk pupuk organik dan produk tanaman organik yang dihasilkan. 5. Demi keberlangsungan Simantri, maka Gapoktan Simantri harus berada dibawah koordinasi subak sehingga program-program pembangunan pertanian dan pemberdayaan petani-peternak menjadi lebih efektif.
202
6. Diperlukan adanya penelitian lebih lanjut mengenai faktor apa sajakah yang dapat mempengaruhi motivasi petani-peternak anggota Gapoktan Simantri dalam melanjutkan penerapan program ini dimasa yang akan datang.
203
DAFTAR PUSTAKA
Adijaya, N., Trisnawati, W., Mahaputra, K., Agus, K. 2009. Laporan Akhir Prima Tani Lahan Kering Dataran Rendah Iklim Kering di Kabupaten Buleleng. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Bali. Ahmadi, H. A. 2009. Ilmu Sosial Dasar. Edisi Revisi, Cetakan Ke-5. Rineka Cipta. Jakarta. Azwar, S. 1988. Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya. PT. Eresco, Jakarta. Azwar, S. 2002. Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya. Edisi Ke-2. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Badan Litbang Pertanian. 2005. Rencana Aksi Ketahanan Pangan 2005-2010. Departemen Pertanian Republik Indonesia. Jakarta. Badan Pusat Statistik, Provinsi Bali. 2012. Bali Dalam Angka. Arysta Jaya, Denpasar. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Bali. 2011. Provinsi Bali Adopsi Program Prima Tani Jadi Simantri. Edisi Khusus Penas XIII, 21 Juni 2011. Badan Litbang Pertanian BPTP, Bali. Bamualim, A., R.B. Wirdahayati, dan M. Boer. 2004. Status dan peranan sapi lokal pesisir di Sumatera Barat. Prosiding Seminar Sistem Kelembagaan Usaha Tani Tanaman-Ternak. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Biro Humas Pemerintah Provinsi Bali. 2011. Gubernur Serahkan Hadiah Simantri 2010. Available from : URL : http:/www.birohumas.baliprov.go.id.htm. Budiasa, I. W. 2011. Pertanian Berkelanjutan, Teori dan Pemodelan. Udayana University Press, Denpasar. Bunch, R. 2001. Dua Tongkol Jagung : Pedoman Pengembangan Pertanian Berpangkal pada Rakyat. Edisi Kedua. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Cahyono. 1995. Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Manusia. IPWI, Jakarta. Chavas, J.P., R. Petrie, and M. Roth. 2005. Farm household production efficiency: Evidence from the Gambia. Am. J. Agric. Econ. Cohen, M.R., dan Nagel, E. 1984. An Introduction to Logic and Scientific Method. Harcout Brace, New York.
204
Dajan, A. 1986. Pengantar Metode Statistik. Jilid II. LP3ES, Jakarta. Damsar, MA. DR. 2002. Sosiologi Ekonomi. Edisi Revisi. PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Departemen Pertanian. 2009. Pemanfaatan Limbah dan Kotoran Ternak Menjadi Energi Biogas. Seri Bioenergi Pedesaaan. Direktorat Jenderal Hasil Pertanian Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Jakarta. Devendra, C. 1993. Sustainable Animal Production From Small Farm Systems In Southeast Asia. FAO Animal Production and Health Paper. FAO, Rome. Dinas Pertanian Tanaman Pangan. 2010. Membangun Desa Secara Berkelanjutan Dengan Simantri (Sistem Manajemen Pertanian Terintegrasi). Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Bali, Bali. Direktorat Jenderal Peternakan. 2009. Kebijakan Pengembangan Sapi Potong di Indonesia. Prosiding Workshop Nasional Dinamika dan Keragaan Sistem Integrasi Ternak – Tanaman: Padi, Sawit, Kakao. (In Press). Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Direktorat Jenderal Peternakan. 2010. Pedoman Teknis Pengembangan Usaha Integrasi Ternak Sapi dan Tanaman. Direktorat Jenderal Peternakan Kementerian Pertanian, Jakarta. Diwyanto K, Priyanti A, Zainuddin D. 1996. Pengembangan Ternak Berwawasan Agribisnis Di Pedesaan Dengan Memanfaatkan Limbah Pertanian Dan Pemilihan Bibit Yang Tepat. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 15(1). Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Diwyanto, K., D. Sitompul, I. Manti, I.W. Mathius, dan Soentoro. 2004. Pengkajian Pengembangan Usaha Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi. Prosiding Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi. Bengkulu, 9−10 September 2003. Departemen Pertanian Bekerjasama Dengan Pemerintah Provinsi Bengkulu dan PT. Agricinal. Djunaedi. 2003. Efektivitas Komunikasi di dalam Program Imbal Swadaya di Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. (tesis). Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor. Effendi, E.U dan Praja, S.P. 1984. Pengantar Psikologi. Angkasa, Bandung. Ekowati, T. 2012. Analisis Usaha Ternak Sapi Potong Dan Optimalisasi Usaha Petrnakan Berbasis Sistem Agribisnis Di Jawa Tengah. (Disertasi). Program Pasca Sarjana, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
205
Elly, F.H. 2008. Dampak Biaya Transaksi terhadap Perilaku Ekonomi Rumah Tangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Sulawesi Utara. (Disertasi). Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Fagi, A.M., A. Djajanegara, K. Kariyasa, dan I G. Ismail. 2004. Keragaman inovasi kelembagaan dan sistem usaha tani tanaman-ternak di beberapa sentra. Prosiding Seminar Sistem Kelembagaan Usaha Tani TanamanTernak. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Fagi, A.M. dan S. Kartaatmadja. 2004. Dinamika kelembagaan sistem usaha tani tanamanternak dan diseminasi teknologi. Prosiding Seminar Sistem Kelembagaan Usaha Tani Tanaman-Ternak. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Foster, B. 2001. Pembinaan untuk Peningkatan Kinerja Karyawan. PPM, Jakarta. Gaspersz, V. 2000. Manajemen Produktivitas Total, Strategi Peningkatan Produktivitas Bisnis Total. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Gerungan, W. A. 1980. Psikologi Sosial Suatu Ringkasan. PT. Eresco, Jakarta. Ghozali, I. 2011. Structural Equation Modelling Metode Alternatif dengan Partial Least Square (PLS). Edisi 3. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang. Gibson, Ivancevich, Donelly. 2000, Perilaku Struktur Proses Organisasi 2, Terjemahan. Penerbit Binarupa Aksara, Jakarta. Gould, B.W. and W.E. Saupe. 1989. Off-farm Labor Market Entry And Exit. Am. J. Agric. Econ. Guntoro, S., Ngurah Badung, A., Gunawan, Sriyanto. 2009. Laporan Akhir Prima Tani Lahan Kering Dataran Tinggi Iklim Basah di Kabupaten Buleleng. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Bali. Halim, A. (2004). Auditing dan Sistem Informasi. UPP-YKPN, Yogyakarta. Hanafi, A. 1987. Memasyarakatkan Ide-Ide Baru. Usaha Nasional. Surabaya. Handoko, T. Hani. 1999. Manajemen. Edisi Kedua. BPFE, Yogyakarta. Haryanto, B. I. Inounu, I. G. M. B. Arsana, K. Diwyanto. 2002. Sistem Integrasi Padi-Ternak. Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Hasnudi. 1991. Analisis Faktor-faktor Lingkungan Sosial Ekonomi yang Mempengaruhi Produktivitas Ternak Sapi “Crash Program Project” (Studi
206
Kasus pada Enam Desa di Sumatera Utara). (Tesis). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hubies, A.V., Prabowo T.J., Wahyudi R. 1995. Penyuluhan Pembangunan di Indonesia Menyongsong Abad XXI. Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara, Jakarta. Jahi, A. 1989. Penyuluhan Pembangunan Peternakan. Fakultas Peternakan IPB, Bogor. Kariyasa, K. 2003. Hasil Laporan Pra Survei Kelembagaan Usaha TanamanTernak Terpadu dalam Sistem dan Usaha Agribisnis. Proyek PAATP. Jakarta. Kariyasa, K. dan F. Kasryno. 2004. Dinamika Pemasaran Dan Prospek Pengembangan Ternak Sapi Di Indonesia. Prosiding Seminar Sistem Kelembagaan Usaha Tani Tanaman-Ternak. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Kariyasa, K. 2005. Sistem Integrasi Tanaman-Ternak Dalam Perspektif Reorientasi Kebijakan Subsidi Pupuk Dan Peningkatan Pendapatan Petani. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 3 No. 1, Maret 2005. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Kartasapoetra, A.G. 1987. Teknologi Pembangunan Peternakan. Fakultas Peternakan, IPB, Bogor. Kerlinger, F.N. 2000. Asas-Asas Penelitian Behavioral. Edisi ke-3. Terjemahan: L.R. Simatupang dan H.J. Koesoemanto. Gajah mada University Press, Yogyakarta. Koentjaraningrat. 1989. Metode-metode Penelitian Masyarakat. PT. Gramedia, Jakarta. Koentjaraningrat. 2000. Kebudayaan Mentalitas Dan Pembangunan. Cetakan Kesembilan Belas. PT. Gramedia, Jakarta. Leeuwis, C. 2009. Komunikasi Untuk Inovasi Pedesaan, Berpikir Kembali tentang Penyuluhan Pertanian. Kanisius, Yogyakarta. Lionberger, H.F dan Gwin, P.H. 1982. Communication Strategic. The Interstate Orienters and Pub. Inc. New York. Mahananto, S. Sutrisno, C. F. Ananda. 2009. Faktor-faktor yang mempengaruhi Produksi Padi, Studi Kasus di Kecamatan Nogosari, Boyolali, Jawa Tengah. WACANA Vol. 12 No.1 Januari 2009 ISSN. 1411-0199. Universitas Brawijaya, Malang.
207
Manulang. 1984. Manajemen Personalia. Ghalia Indonesia , Jakarta. Mar’at. 1984. Suatu Konsep Komunikasi. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Mardikanto, T. 1988. Komunikasi Pembangunan. Sebelas Maret Universitas Press, Surakarta. Mardikanto, T. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Sebelas Maret Universitas Press, Surakarta. Margono, S. 1995. Sumbang Saran Mengenai Pola, Strategi dan Pendekatan Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian pada PJP II. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Maryati, M.C. 2001. Statistik Ekonomi dan Bisnis Plus. Konsep Dasar Aplikasi Bisnis dan Ekonomi Kasus-Kasus. UPP AMP YKPN, Yogyakarta. Mubyarto dan Suratno. 1981. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP2ES, Jakarta. Muslim, C. 2006. Pengembangan Sistem Integrasi Padi Ternak dalam Upaya Pencapaian Swasembada daging di Indonesia : Suatu Tinjauan Evaluasi. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 4 No. 3, September 2006. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Nitis, I.M., K. Lana I.B Sudana dan N. Sutji. 1992. Pengaruh Klasifikasi Wilayah terhadap Komposisi Botani Hijauan yang diberikan pada Kambing di Bali di Waktu Musim Kemarau. Prosiding Seminar Penelitian Peternakan, Bogor. Nuraini, N.K. 1984. Attitudes Of Rural Balinese People Towards Some Social and Agricultute Innovations. An Interpersonal Communication Network Study. (Master Thesis). The University Of Melbourne, Melbourne. Pambudy, R. 1999. Perilaku Komunikasi, Perilaku Wirausaha Peternak, dan Penyuluhan dalam Sistem Agribisnis Peternakan Ayam. (Disertasi). Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Pasandaran, E., A. Djayanegara, K. Kariyasa, F. Kasryno. 2006. Integrasi Tanaman Ternak di Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. Pramono, D., U. Nuschati, B. Utomo, dan J. Susilo. 2001. Pengkajian Terintegrasi Sapi Potong Pembibitan Dan Tanaman Dalam Sistem Usaha Tani Terpadu. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah, Ungaran. Prawirokusumo.S,1990, Ilmu Usahatani. BPIE, Yogyakarta.
208
Priyanti, A. 2007. Dampak Program Sistem Integrasi Tanaman Ternak terhadap Alokasi Waktu Kerja, Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga Petani. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Robbins, S. P. 2003. Perilaku Organisasi. Edisi Indonesia. PT. INDEKS Kelompok Gramedia. Jakarta. Robbins, S.P dan Timothy A. Judge. 2008. Perilaku Organisasi. Buku 1, Edisi 12. Penerbit Salemba Empat, Jakarta Roger, E.M and F.F. Shoemaker. 1971. Communication of Innovations. The Free Press, New York. Roger, E.M. 2003. Diffusion of Innovations. Fifth Edition. The Free Press, New York. Ruswendi, Ir. MP. 2011. Laporan Akhir Pengkajian Kompetitif, Percepatan Adopsi Teknologi Pemanfaatan Limbah Pertanian Sebagai Pakan Sapi dan Pupuk Organik di Bengkulu. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Provinsi Bengkulu. Samsudin, S. U. 1987. Dasar-Dasar Penyuluhan dan Modernisasi Pertanian. Bina Cipta, Bandung. Sariubang, M.A., A. Syam, dan A. Nurhayu. 2003. Sistem Usaha Tani TanamanTernak pada Lahan Kering Dataran Rendah di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan. Sarwono, S.W dan Eko.A. Meinarno. 2009. Psikologi Sosial. Salemba Humanika, Jakarta. Siagian, S.P. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia. Bumi Aksara, Jakarta. Singarimbun, M. dan Effendi, S. 2006. Metode Penelitian Survai. Edisi Revisi LP3ES, Jakarta. Soedijanto, 1980. Beberapa Konsepsi Konsep Belajar dan Implikasinya. Badan Pendidikan Latihan dan Penyuluhan Pertanian, Ciawi-Bogor. Soedjana, T.D. 2007. Sistem Usaha Tani Terintegrasi Tanaman-Ternak Sebagai Respons Petani Terhadap Faktor Resiko. Jurnal Litbang Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Soekartawi. 1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Universitas Indonesia, Jakarta. Soekartawi. 2003. Teori Ekonomi Produksi, Dengan Pokok Bahasan Analisis Fungsi Cobb-Douglas. Penerbit, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
209
Soekanto, S. 2012. Sosiologi Suatu Pengantar. Cetakan Ke-44. PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta. Soetomo. 2008. Masalah Sosial Dan Upaya Pemecahannya. Cetakan 1. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Spencer, M. 1981. Foundations of Modern Sosiology. Prentice-Hill Inc, Englewood Clifts. Steers, R. M, 1995, Efektivitas Organisasi, Edisi Pertama, Erlangga, Jakarta. Sudaratmaja, I.G.A.K., N. Suyasa, I.G.K. Dana Arsana. 2004. Subak dalam Perspektif Sistem Integrasi Padi-Ternak di Bali. Prosiding Lokakarya Sistem dan Kelembagaan Usahatani Tanaman-Ternak. Badan Litbang Pertanian. Jakarta. Sudaratmaja, I.G.A.K. 2009. Strategi Pembangunan Pertanian Terintegrasi. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Bali. Suhardiyono. 1992. Penyuluhan: Petunjuk Bagi Penyuluhan Pertanian. Erlangga, Jakarta. Sumarno. 2006. Peranan Teknologi Dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Prosiding Seminar Revitalisasi Ketahanan Pangan Berbasis Pedesaan. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor. Sunuharyo. 1997. Pengembangan Sumber Daya Manusia sebagai Upaya Peningkatan Kinerja Karyawan. FIA. Unibraw, Malang. Suparlan, I. P. 1981. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan. CV. Rajawali, Jakarta. Suparta,I.N. 2005. Pendekatan Holistik Membangun Agribisnis. Cetakan Pertama. Penerbit CV. Bali Media Adhikarsa, Denpasar. Suparta, I.N. 2011. Wujudkan Pertanian Berkelanjutan, Suara Hati HKTI Provinsi Bali. Cetakan Pertama. Pustaka Nayottama, Bali. Supriyanto, 1978. Adopsi Teknologi Baru di Kalangan Petani Tanaman Hias di Kelurahan Sukabumi Hilir. Jakarta Barat. Agroekonomika, Bogor. Suradisastra, K. 2008. Startegi Pemberdayaan Kelembagaan Petani. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor. Suriadikarta, D.A. dan D. Setyorini. 2005. Laporan Hasil Penelitian Standar Mutu Pupuk Organik. Balai Penelitian Tanah, Bogor.
210
Suryanti, R. 2011. Penerapan Integrasi Usaha Tanaman dan Ternak Serta Kebutuhan Penyuluhan Pertanian (Kasus Integrasi Usaha Kakao dan Sapi di Kecamatan Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota). Program Pasca Sarjana, Universitas Andalas. Padang. Susanti, L.W., Sugihardjo, Suwarto. 2007. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengambilan Keputusan Petani dalam Penerapan Pertanian Padi Organik di Desa Sukorejo, Kecamatan Sambirejo, Kabupaten Sragen. Agritexts No 24, Desember, 2008. Fakultas Pertanian UNS, Surakarta. Susanti, N. 2004. Pengaruh Faktor Sosial Budaya Terhadap Sikap Petani Dalam Menjaga Keseimbangan Ekosistem Di Kabupaten Asahan Sumatera Utara. (Tesis) Program Pasca Sarjana Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Lingkungan, Universitas Sumatera Utara. Sutrisna, I.B dan Nuraini, N.K.1987. Perilaku Petani Dalam Menunjang Swasembada Beras dan Peningkatan Komoditi Ekspor Tanaman Panili. Makalah Seminar Jubelium Perak Universitas Udayana, Denpasar. Suwandi. 2005. Keberlanjutan Usaha Tani Terpadu Pola Padi Sawah-Sapi Potong Terpadu di Kabupaten Sragen: Pendekatan RAP-CLS. (Disertasi). Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Syamsu JA. 2001. Fermentasi Jerami Padi Dengan Probiotik Sebagai Pakan Ternak Ruminansia. Jurnal Agrista 5(3) Syamsu JA, Yusuf M, Hikmah, Abustam E. 2003. Kajian Fermentasi Jerami Padi Dengan Probiotik Sebagai Pakan Sapi Bali Di Sulawesi Selatan. Jurnal Ilmu Ternak 3(2) Todaro, M. P. 2004. Pembangunan Ekonomi Dunia Ke-3. Jilid 1. Edisi 8. Erlangga, Jakarta. Utomo, R., S. Reksohadiprodjo, B.P. Widyobroto, Z. Bachrudin dan B. Suhartanto 1999. Sinkronisasi Degradasi Energi dan Protein dalam Rumen pada Ransum Basal Jerami padi untuk Meningkatkan Efisiensi Kecernaan Nutrien Sapi Potong. Laporan Penelitian Komprehensif HB V. Proyek Pengkajian dan Penelitian Ilmu Pengetahuan Terapan. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Van Den Ban, A.W dan H.S. Hawkins. 1999. Penyuluhan Pertanian. Kanisius, Yogyakarta. Wahjono, S.I. 2010. Perilaku Organisasi. Cetakan Pertama, Edisi Pertama. Graha Ilmu, Yogyakarta. Wahyu. 1986. Wawasan Ilmu Sosial Dasar. Usaha Nasional, Surabaya.
211
Walgito, B. 2011. Teori-teori Psikologi Sosial. ANDI, Yogyakarta. Widodo, T.W., A. Nurhasanah., A. Asari., dan A. Unadi. 2006. Pemanfaatan Energi Biogas untuk Mendukung Agribisnis di Pedesaan. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Wijaya, S. 1992, Beberapa Liberty,Yogyakarta.
Konsep
Untuk
Administrasi
Negara,
Winardi, J. 2004 Manajemen Perilaku Organisasi. Citra Aditya Bhakti, Bandung. Wiriaadmadja, S.1986. Pokok-Pokok Penyuluhan Pertanian. Yasaguna, Jakarta. Wursanto, Ig. 2002. Dasar-Dasar Ilmu Organisasi. ANDI, Yogyakarta Yamit, Z. 1998. Manajemen Produksi dan Operasi. Ekonisia, Yogyakarta. Yudiani, N.W. 1996. Tingkat penerapan Sapta Usaha Ayam Buras Oleh Wanita Tani Serta faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Tingkat Penerapannya. (Skripsi) Sarjana Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Denpasar. Yusuf, B. D. Rosari., J. Nulik. 2001. Studi Adopsi dan Dampak Penerapan Paket Rekomendasi Pertanian di Provinsi NTT. Laporan BPTP NTT. Yusuf H. 2004. Efektivitas Komunikasi Pemuka Pendapat dalam Penyelesaian Konflik Masyarakat di Maluku Utara.(tesis). Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan pedesaan. Sekolah Pasca Sarjana IPB, Bogor.
212
DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS
Nama
: I Gusti Agus Maha Putra Sanjaya S.Pt. MM.
Tempat / Tanggal lahir
: Denpasar, 12 Mei 1982
Alamat
: Jalan Puputan Baru Gang VII, No.14. Denpasar Barat.
Nama Orangtua
: I Gusti Jaya Wardana BA., S. Sos. : Ida Ayu Agung Ngurah Indrawati, SS., MM.
Nama Istri
: Kadek Ratna Udayani, BAn.Sc.
Nama Anak
: I Gusti Jaya Agung Vania Casimira I Gusti Jaya Agung Ranyshia Cliona
Riwayat Pendidikan
:
1. TK Katolik Swastiastu Denpasar (1987-1988) 2. SD Katolik Swastiastu Denpasar (1988-1994) 3. SMPN 1 Denpasar (1994-1997) 4. SMUN 1 Denpasar (1997-2000) 5. Fakultas Peternakan Universitas Udayana (2000-2004) 6. Program Magister Manajemen, Program Pascasarjana, Universitas Udayana (2005-2007)
Pengalaman organisasi
:
1. Panitia Sie Disiplin dalam kegiatan Pengenalan Program Studi (PPS.2002) Fakultas Peternakan Universitas Udayana Denpasar tahun 2002.
213
2. Panitia dalam rangka Seminar Nasional Perspektif Pengembangan Agribisnis Sapi Potong Untuk Menunjang Ekonomi Kerakyatan di Universitas Udayana, Denpasar tahun 2005.
Riwayat Pekerjaan
:
1. Standard Chartered Bank sebagai Direct Selling pada bagian kartu kredit (2005). 2. Bank Danamon sebagai Supervisor pada bagian kartu kredit (2006). 3. Wirausaha, penggemukan ayam broiler (2007-2011) 4. Wirausaha, supplier plastik (2007 - sekarang)
214
Lampiran-Lampiran
215
Lampiran 1. Validitas Correlations X1 Correlations X11 X11
X12
X13
x14
x15
X16
x17
Total_X1
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
1 30 .766** .000 30 .665** .000 30 .482** .007 30 .566** .001 30 .575** .001 30 .467** .009 30 .904** .000 30
X12 .766** .000 30 1 30 .709** .000 30 .453* .012 30 .752** .000 30 .609** .000 30 .482** .007 30 .933** .000 30
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
X13 .665** .000 30 .709** .000 30 1 30 .130 .493 30 .438* .016 30 .372* .043 30 .669** .000 30 .812** .000 30
x14 .482** .007 30 .453* .012 30 .130 .493 30 1 30 .419* .021 30 .287 .124 30 -.024 .900 30 .444* .014 30
x15 .566** .001 30 .752** .000 30 .438* .016 30 .419* .021 30 1 30 .625** .000 30 .438* .016 30 .734** .000 30
X16 .575** .001 30 .609** .000 30 .372* .043 30 .287 .124 30 .625** .000 30 1 30 .619** .000 30 .698** .000 30
x17 Total_X1 .467** .904** .009 .000 30 30 .482** .933** .007 .000 30 30 .669** .812** .000 .000 30 30 -.024 .444* .900 .014 30 30 .438* .734** .016 .000 30 30 .619** .698** .000 .000 30 30 1 .652** .000 30 30 .652** 1 .000 30 30
216
Correlations X2
Correlations x21 x21
x22
x23
Total_X2
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
1 30 .837** .000 30 .556** .001 30 .847** .000 30
x22 .837** .000 30 1 30 .615** .000 30 .877** .000 30
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
x23 Total_X2 .556** .847** .001 .000 30 30 .615** .877** .000 .000 30 30 1 .896** .000 30 30 .896** 1 .000 30 30
217
Correlations X3 Correlations x31 x31
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N x32 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N x33 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N x34 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N x35 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N x36 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Total_X3 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
1 30 .802** .000 30 .356 .053 30 .253 .177 30 .313 .092 30 -.102 .591 30 .583** .001 30
x32 .802** .000 30 1 30 .524** .003 30 .135 .476 30 .146 .440 30 -.218 .247 30 .569** .001 30
x33 .356 .053 30 .524** .003 30 1 30 .541** .002 30 .669** .000 30 .327 .077 30 .863** .000 30
x34 .253 .177 30 .135 .476 30 .541** .002 30 1 30 .772** .000 30 .620** .000 30 .796** .000 30
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Correlations X4 Correlations x41 x41
x42
Total_X4
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
1 30 .519** .003 30 .812** .000 30
x42 Total_X4 .519** .812** .003 .000 30 30 1 .920** .000 30 30 .920** 1 .000 30 30
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
x35 .313 .092 30 .146 .440 30 .669** .000 30 .772** .000 30 1 30 .527** .003 30 .847** .000 30
x36 Total_X3 -.102 .583** .591 .001 30 30 -.218 .569** .247 .001 30 30 .327 .863** .077 .000 30 30 .620** .796** .000 .000 30 30 .527** .847** .003 .000 30 30 1 .471** .009 30 30 .471** 1 .009 30 30
218
Correlations X5 Correlations x51 x51
x52
x53
Total_X5
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
x52 .920** .000 30 1
1 30 .920** .000 30 .907** .000 30 .970** .000 30
30 .895** .000 30 .969** .000 30
x53 .907** .000 30 .895** .000 30 1 30 .966** .000 30
Total_X5 .970** .000 30 .969** .000 30 .966** .000 30 1 30
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Correlations Y Correlations y1 y1
y2
Total_y
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
1 30 .882** .000 30 .977** .000 30
y2 .882** .000 30 1 30 .962** .000 30
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Total_y .977** .000 30 .962** .000 30 1 30
219
Lampiran 2. Reliabilitas Reliabilitas X1
Case Processing Summary N Cases
Valid Excluded Total
% 30 0 30
a
100.0 .0 100.0
a. Listwise deletion based on all variables in the procedure. Reliability Statistics Cronbach's Alpha .804
N of Items 7
Item Statistics X11 X12 X13 x14 x15 X16 x17
Mean ******** ******** ******** ******** ******** ******** ********
Std. Deviation *********** *********** *********** *********** *********** *********** ***********
N 30 30 30 30 30 30 30
Item-Total Statistics
X11 X12 X13 x14 x15 X16 x17
Scale Mean if Item Deleted *********** *********** *********** *********** *********** *********** ***********
Scale Variance if Item Deleted 5.796 5.297 8.523 11.281 10.624 10.249 10.170
Corrected Item-Total Correlation .796 .845 .731 .412 .703 .646 .584
Scale Statistics Mean ********
Variance 11.664
Std. Deviation ***********
N of Items 7
Cronbach's Alpha if Item Deleted .735 .728 .748 .817 .796 .788 .788
220
Reliabilitas X2
Case Processing Summary N Cases
Valid Excludeda Total
30 0 30
% 100.0 .0 100.0
a. Listwise deletion based on all variables in the procedure. Reliability Statistics Cronbach's Alpha .784
N of Items 3 Item Statistics
Mean 4.85 4.88 4.68
x21 x22 x23
Std. Deviation .326 .313 .602
N 30 30 30
Item-Total Statistics
x21 x22 x23
Scale Mean if Item Deleted 9.56 9.53 9.73
Scale Variance if Item Deleted .693 .687 .375
Corrected Item-Total Correlation .717 .776 .610
Scale Statistics Mean 14.41
Variance Std. Deviation N of Items 1.187 1.090 3
Cronbach's Alpha if Item Deleted .670 .635 .911
221
Reliabilitas X3 Case Processing Summary N Cases
Valid Excludeda Total
30 0 30
% 100.0 .0 100.0
a. Listwise deletion based on all variables in the procedure. Reliability Statistics Cronbach's Alpha .773
N of Items 6
Item Statistics Mean 4.800 4.300 4.300 4.750 4.550 4.900
x31 x32 x33 x34 x35 x36
Std. Deviation .1661 .4661 .4661 .4100 .5309 .2034
N 30 30 30 30 30 30
Item-Total Statistics
x31 x32 x33 x34 x35 x36
Scale Mean if Item Deleted 22.800 23.300 23.300 22.850 23.050 22.700
Scale Variance if Item Deleted 2.390 2.028 1.579 1.778 1.489 2.407
Corrected Item-Total Correlation .510 .327 .754 .670 .701 .366
Scale Statistics Mean 27.600
Variance 2.679
Std. Deviation 1.6369
N of Items 6
Cronbach's Alpha if Item Deleted .766 .796 .667 .698 .686 .776
222
Reliabilitas X4
Case Processing Summary N Cases
Valid Excludeda Total
30 0 30
% 100.0 .0 100.0
a. Listwise deletion based on all variables in the procedure. Reliability Statistics Cronbach's Alpha .649
N of Items 2 Item Statistics
Mean ******** ********
x41 x42
Std. Deviation *********** ***********
N 30 30
Item-Total Statistics
x41 x42
Scale Mean if Item Deleted *********** ***********
Scale Variance if Item Deleted .702 .317
Corrected Item-Total Correlation .519 .519
Cronbach's Alpha if Item Deleted .a .a
a. The value is negative due to a negative average covariance among items. This violates reliability model assumptions. You may want to check item codings.
Scale Statistics Mean ********
Variance 1.509
Std. Deviation ***********
N of Items 2
223
Reliabilitas X5 Case Processing Summary N Cases
Valid Excludeda Total
30 0 30
% 100.0 .0 100.0
a. Listwise deletion based on all variables in the procedure. Reliability Statistics Cronbach's Alpha .965
N of Items 3 Item Statistics
Mean 3.417 3.450 3.367
x51 x52 x53
Std. Deviation .9476 1.0533 1.0902
N 30 30 30
Item-Total Statistics
x51 x52 x53
Scale Mean if Item Deleted 6.817 6.783 6.867
Scale Variance if Item Deleted 4.353 3.960 3.844
Corrected Item-Total Correlation .938 .928 .919
Scale Statistics Mean 10.233
Variance 8.961
Std. Deviation 2.9935
N of Items 3
Cronbach's Alpha if Item Deleted .944 .946 .955
224
Reliabilitas Y Case Processing Summary N Cases
Valid Excludeda Total
30 0 30
% 100.0 .0 100.0
a. Listwise deletion based on all variables in the procedure. Reliability Statistics Cronbach's Alpha .923
N of Items 2 Item Statistics
Mean ******** ********
y1 y2
Std. Deviation *********** ***********
N 30 30
Item-Total Statistics
y1 y2
Scale Mean if Item Deleted *********** ***********
Scale Variance if Item Deleted .159 .259
Corrected Item-Total Correlation .882 .882
Cronbach's Alpha if Item Deleted .a .a
a. The value is negative due to a negative average covariance among items. This violates reliability model assumptions. You may want to check item codings.
Scale Statistics Mean ********
Variance .777
Std. Deviation ***********
N of Items 2
225
Lampiran 3. Hasil Analisis Dengan Menggunakan PLS (Partial Least Square)
Quality Criteria Overview AVE
Composite Reliability
R Square
Cronbachs Alpha
Communality Redundancy
0.937708
0.967853
0.893057
0.933572
0.937708
0.289430
ppp 1.000000
1.000000
0.675563
1.000000
1.000000
0.675563
x1
0.573863
0.867898
0.807418
0.573863
x2
0.712340
0.881159
0.798480
0.712340
x3
0.569816
0.887087
0.758591
0.846328
0.569816
0.413347
x4
0.558364
0.692350
0.214915
0.283894
0.558363
0.079592
x5
0.954874
0.984491
0.717125
0.976370
0.954874
0.682080
Y
Latent Variable Correlations Y Y
ppp
x1
x2
x3
x4
x5
1.000000
ppp 0.821927 1.000000 x1 0.898363 0.712945 1.000000 x2 0.530819 0.340761 0.635245 1.000000 x3 0.781715 0.558712 0.862940 0.639059 1.000000 x4 0.387762 0.252638 0.432377 0.335383 0.374418 1.000000 x5 0.922322 0.773055 0.846271 0.513775 0.703106 0.284984 1.000000
226
Outer Loadings 1 (Mean, STDEV, T-Values) Original Sample Sample (O) Mean (M)
Standard Deviation (STDEV)
Standard T Statistics Error (|O/STERR|) (STERR)
X11 <- x1
0.026222
0.029560
0.126042
0.126042
0.208043
X12 <- x1
0.768657
0.760612
0.056637
0.056637
13.571765
X13 <- x1
0.816512
0.814918
0.029771
0.029771
27.426802
X16 <- x1
0.872188
0.870255
0.026598
0.026598
32.792053
x14 <- x1
0.525976
0.530330
0.093190
0.093190
5.644154
x15 <- x1
0.235529
0.237398
0.096202
0.096202
2.448266
x17 <- x1
0.751552
0.744064
0.062185
0.062185
12.085701
x21 <- x2
0.831627
0.812325
0.106557
0.106557
7.804559
x22 <- x2
0.893296
0.889054
0.054767
0.054767
16.310785
x23 <- x2
0.804600
0.811646
0.065260
0.065260
12.329066
x31 <- x3
0.744457
0.745325
0.040867
0.040867
18.216607
x32 <- x3
0.680244
0.682849
0.046599
0.046599
14.597847
x33 <- x3
0.901776
0.898217
0.019184
0.019184
47.005490
x34 <- x3
0.797976
0.797493
0.036122
0.036122
22.091309
x35 <- x3
0.662393
0.650524
0.071475
0.071475
9.267495
x36 <- x3
0.716667
0.714848
0.063983
0.063983
11.200844
x41 <- x4
0.450537
0.434302
0.196633
0.196633
2.291262
x42 <- x4
0.954989
0.947758
0.046160
0.046160
20.688652
x51 <- x5
0.983366
0.983086
0.003526
0.003526
278.875703
x52 <- x5
0.971725
0.971787
0.006386
0.006386
152.155176
x53 <- x5
0.976403
0.976261
0.005851
0.005851
166.873843
y <- ppp
1.000000
1.000000
0.000000
y1 <- Y
0.968641
0.968822
0.006837
0.006837
141.680352
y2 <- Y
0.968066
0.968373
0.006518
0.006518
148.519739
227
Outer Loadings 2 (Mean, STDEV, T-Values) Original Sample Sample (O) Mean (M)
Standard Deviation (STDEV)
Standard T Statistics Error (|O/STERR|) (STERR)
X12 <- x1
0.766920
0.772573
0.047917
0.047917
16.005136
X13 <- x1
0.822098
0.826438
0.026281
0.026281
31.280519
X16 <- x1
0.872697
0.868424
0.025190
0.025190
34.644706
x14 <- x1
0.528381
0.539133
0.099718
0.099718
5.298742
x17 <- x1
0.751342
0.738116
0.057286
0.057286
13.115617
x21 <- x2
0.831727
0.808628
0.092453
0.092453
8.996228
x22 <- x2
0.893352
0.880930
0.045619
0.045619
19.582703
x23 <- x2
0.804471
0.804039
0.060603
0.060603
13.274393
x31 <- x3
0.743367
0.743206
0.044818
0.044818
16.586396
x32 <- x3
0.678923
0.675891
0.055220
0.055220
12.294866
x33 <- x3
0.902133
0.898888
0.017900
0.017900
50.397745
x34 <- x3
0.798657
0.798012
0.034738
0.034738
22.991033
x35 <- x3
0.663444
0.654878
0.072159
0.072159
9.194214
x36 <- x3
0.716594
0.700378
0.065068
0.065068
11.012940
x41 <- x4
0.457100
0.449677
0.198810
0.198810
2.299180
x42 <- x4
0.952778
0.939250
0.048446
0.048446
19.666726
x51 <- x5
0.983393
0.983385
0.002842
0.002842
346.032462
x52 <- x5
0.971689
0.971541
0.005685
0.005685
170.917363
x53 <- x5
0.976413
0.976063
0.004710
0.004710
207.306118
y <- ppp
1.000000
1.000000
0.000000
y1 <- Y
0.968642
0.968185
0.006195
0.006195
156.350053
y2 <- Y
0.968065
0.967866
0.005838
0.005838
165.833967
228
Path Coefficients (Mean, STDEV, T-Values) Original Sample (O)
Sample Mean (M)
Standard Deviation (STDEV)
Y -> ppp
0.821927
0.821929
0.035219
0.035219
23.337680
x1 -> x3
0.769773
0.764060
0.061521
0.061521
12.512404
x1 -> x4
0.609595
0.602309
0.165712
0.165712
3.678650
x1 -> x5
0.871633
0.867733
0.056749
0.056749
15.359341
x2 -> x3
0.153368
0.159897
0.078426
0.078426
1.955590
x2 -> x4
0.090717
0.098466
0.144909
0.144909
0.626029
x2 -> x5
0.039925
0.036996
0.069903
0.069903
0.571150
x3 -> Y
0.231793
0.232540
0.056317
0.056317
4.115856
x4 -> Y
0.092048
0.085498
0.030756
0.030756
2.992832
x4 -> x3
0.009851
0.008589
0.052623
0.052623
0.187191
x5 -> Y
0.733115
0.737407
0.043458
0.043458
16.869335
x5 -> x4
0.277507
0.264865
0.172623
0.172623
1.607586
Standard Error T Statistics (STERR) (|O/STERR|)
229
Diisi oleh Petugas Tabulasi
No. Responden: ………
PENELITIAN
Efektivitas Penerapan Simantri dan Pengaruhnya terhadap Peningkatan Pendapatan Petani-Peternak di Bali
DAFTAR PERTANYAAN
NAMA SURVEYOR
: .......................................................
TANGGAL WAWANCARA
:
WAKTU WAWANCARA
: ......... s.d. ......... WITA
TEMPAT WAWANCARA
: ......................................................
/
/2012
230
I. Kualitas SDM Petani-Peternak (X1) 1. 2. 3. 4.
Nama responden :……………………………………… No. Identitas: Alamat tinggal peternak : ………………………………Kode Lokasi: Umur = ………..tahun (X11) Tingkat pendidikan formal Bapak terakhir dan lama waktu pendidikan? (X12) Jenis pendidikan
1. 2. 3. 4. 5. 6.
SD SMP SMA Diploma S1/Akademi …………………
Tamat/
Lama waktu pendidikan
Tahun
Tidak tamat
(jumlah tahun)
Tamat
……………… ……………… ……………… ……………… ……………… ……………..
………………………………… ………………………………… ………………………………… ………………………………… ………………………………… ………………………………… ………………………………
…………… …………… …………… …………… …………
5. Pendidikan non formal/pelatihan apa saja yang pernah Bapak ikuti? (X13) Nama pendidikan non formal/pelatihan 1. 2. 3. 4. 5. 6.
……………………………………………… ……………………………………………… ……………………………………………… ……………………………………………… ……………………………………………… ………………………………………………
Jenis pelatihan …………………… …………………… …………………… …………………… …………………… ……………………
6. Apakah pekerjaan pokok dan sambilan bapak/Ibu sekarang? No Jenis Pekerjaan Pokok 1.
Petani (sawah/kebun)
2.
Peternak
3.
Nelayan
4.
Buruh tani
5.
Buruh bangunan
6.
Pensiunan
7.
Berdagang
8.
Lainnya.............................................
Lama waktu pelatihan ……………………… ……………………… ……………………… ……………………… ……………………… ………………………
Sambilan
231
Berikan X (tanda silang) pada alternatif jawaban a sampai dengan d, yang secara nyata telah biasa bapak lakukan dalam kegiatan sehari-hari (tindakan nyata). 7.
Pengetahuan petani-peternak (X14) Usaha peternakan sapi : 1. Ciri-ciri sapi betina yang baik untuk dijadikan sebagai induk adalah ? a. Warna bulu tidak harus selalu merah bata b. Kondisi sapi sehat, kuat serta kaki relatif lebih pendek dibandingkan panjang badan c. Ambing besar dan puting susu genap (4 buah) simetris, bila diraba terasa lunak d. Tingkah lakunya aktif (lincah) tetapi jinak, mempunyai sifat induk yang baik e. Warna bulu merah bata, pantat, kaki bagian lutut kebawah dan bibir bagian bawah berwarna putih 2. Bagaimanakah syarat-syarat kandang yang baik ? a. Bersih/rapi, lantai kering tidak becek b. Lantai agak miring agar air kencing sapi dapat mengalir ke got/saluran penampungan pada instalasi biourine c. Atap tidak bocor d. Cukup kena sinar matahari pagi e. Dibuat dari bahan/material kandang yang harganya mahal 3. Faktor-faktor apa sajakah menurut Bapak yang menjadi pertimbangan dalam memberikan suatu formulasi ransum pada sapi induk yang dipelihara ? a. Mutu ransum dan jumlah ransum b. Kemudahan dalam mencari jenis hijauan makanan ternak untuk formulasi ransum c. Harga ransum d. Keamanan formulasi ransum terhadap kesehatan sapi induk yang dipelihara e. Palatabelitas/rasa enak dari ransum tersebut 4. Menurut Bapak apa saja manfaat recording/pencataan bagi sapi induk yang dipelihara ? a. Mencatat pengeluaran biaya dalam pemeliharaan b. Memudahkan dalam vaksinasi c. Mengetahui saat-saat sapi induk tersebut birahi dan memudahkan dalam penentuan kawin suntik d. Mengetahui kesehatan reproduksi dan keberhasilan perkawinan sapi induk tersebut e. Mengetahui kapan kira-kira sapi induk tersebut akan melahirkan apabila berhasil bunting 5. Apa saja yang harus diperhatikan dalam pemeliharaan sapi bunting ? a. Kesehatan ternak sapi induk dan pemeriksaan rutin pada kandungannya b. Pemberian ransum dalam jumlah yang banyak dari awal bunting sampai melahirkan c. Pemberian ransum dalam jumlah yang cukup dengan kualitas yang baik d. Pemberian pakan tambahan (flushing) pada tiga bulan terakhir kebuntingan e. Menjaga kebersihan dan kenyamanan kandang
232
6. Bagaimanakah cara pencegahan penyakit pada ternak sapi yang Bapak lakukan dikandang ? a. Membuat jadwal vaksinasi secara teratur b. Mohon pada dinas peternakan untuk mengadakan vaksinasi c. Sanitasi kandang (membersihkan kandang dan peralatannya) d. Memisahkan (isolasi) sapi yang sakit dengan yang sehat e. Melaksanakan penyemprotan dengan insektisida pada sapi yang sehat 7. Apa saja gejala birahi pada sapi betina ? a. Kurang nafsu makan dan sering kencing b. Sikapnya tenang c. Menaiki temannya d. Alat kelamin membengkak, berwarna kemerahan, dan keluar lendir e. Pangkal ekor sedikit terangkat Usaha tanaman pangan : 8. Mengapa pemilihan bibit tanaman perlu dilakukan ? a. Agar tanaman yang dipelihara tumbuh dengan baik b. Agar cepat panen dan tahan terhadap hama penyakit c. Menghindari gagal panen d. Agar diperoleh hasil panen yang baik dan jumlah yang lebih banyak e. Agar mudah dalam pemanenan 9. Mengapa pemupukan tanaman perlu dilakukan ? a. Untuk menambah unsur makro dan mikro tanah yang dibutuhkan tanaman b. Mempercepat pertumbuhan tanaman c. Menambah tinggi tanaman dan merangsang pertunasan d. Mempercepat waktu panen e. Melipatgandakan hasil panen 10. Hal-hal apa sajakah yang perlu diperhatikan agar hasil panen mempunyai kualitas yang baik dengan jumlah yang lebih banyak ? a. Jenis tanah dan jenis pupuk b. Bibit tanaman c. Ketersediaan air d. Pemeliharaan dan Perawatan e. Memperbanyak jumlah tenaga kerja 11. Mengapa gulma tanaman ataupun limbah hasil pertanian dapat digunakan sebagai pakan ternak sapi ? a. Harganya murah ketersediannya berlimpah pada musim panen b. Mempunyai nutrisi yang baik bagi ternak sapi c. Dapat diolah menjadi pakan ternak yang berkualitas baik setelah diolah lebih lanjut d. Dapat mengurangi polusi/limbah dari sektor pertanian e. Membantu petani-peternak dalam mengurangi biaya yang dikeluarkan untuk pakan ternak sapi 12. Mengapa penanganan hasil pasca panen penting untuk dilakukan ? a. Agar hasil panen tidak cepat rusak b. Mempertahankan kualitas panen sedikit lebih lama c. Meningkatkan harga jual produk d. Agar hasil panen aman untuk dikonsumsi masyarakat e. Mengurangi pencemaran
233
Usaha Pengolahan Limbah Ternak Sapi 13. Apakah manfaat ekonomis yang dihasilkan dari biogas ? a. Mengurangi kebutuhan lahan untuk penimbunan kotoran ternak b. Dapat menjadi sumber energi terbarukan yang murah c. Mengurangi pengeluaran listrik, gas elpigi, kayu bakar, dan minyak tanah pada rumah tangga petani-peternak d. Merupakan sumber pupuk organik bagi tanaman dan ramah lingkungan e. Kelengkapan standar program Simantri 14. Bagaimanakah ciri-ciri dari gas hasil dari pengolahan biogas dikatakan berkualitas baik ? a. Tidak berbau busuk b. Gas yang dihasilkan mudah terbakar dan tidak berwarna c. Nyala api berwarna biru dan tidak berasap d. Menghasilkan panas yang lebih tinggi dibandingkan kayu bakar, minyak tanah, dan arang e. Berbau menyengat 15. Apakah manfaat dari pupuk kompos bagi tanah dan tanaman ? a. Memperbaiki struktur dan kandungan bahan organik tanah b. Agar menjadi produk pertanian organik c. Meningkatkan kemampuan tanah untuk mempertahankan kandungan air tanah d. Meningkatkan aktivitas mikroba tanah e. Menjadikan hasil panen lebih tahan disimpan, lebih berat, lebih segar, dan lebih enak 16. Untuk menghasilkan pupuk kompos yang berkualitas baik, berapa lama waktu yang diperlukan untuk pengomposan ? a. 7 hari b. 14 hari c. 21 hari d. 25 hari sampai 30 hari e. 50 hari 17. Apakah manfaat dari biourine bagi tanah dan tanaman ? a. Meningkatkan produksi/hasil panen b. Mencegah penyakit yang menyerang tanaman c. Meningkatkan pertumbuhan tanaman d. Mengurangi penggunaan pupuk N (urea) e. Meningkatkan pendapatan petani-peternak 18. Bagaimanakah cara pembuatan biourine ? a. Tampung urine (air kencing) ternak sapi di dalam bak penampungan b. Masukkan nutrisi tambahan dan fermentor (RB dan AZBA) kedalam bak penampungan Urine, diaduk dengan aerator selama 3 sampai dengan 4 Jam c. Bak ditutup dengan penutup seperti plastik atau triplek, untuk proses fermentasi, diamkan hingga 7 hari. d. Diaduk selama 15 menit setiap hari sampai hari ke-7 dan pada hari ke-8, urine diputar dengan pompa menuju tangga aerasi selama 6 sampai dengan 7 jam dengan tujuan untuk penipisan, untuk mengurangi kandungan gas ammonia yang berbahaya bagi tanaman e. Disaring dahulu sebelum dikemas
234
13. Sikap petani-peternak (X15) Berikan √ (tanda rumput) pada satu dari alternatif jawaban pertanyaan sikap dibawah ini. Keterangan : SS = Sangat Setuju
No
RR = Ragu-ragu
STS = Sangat Tidak Setuju
PERTANYAAN
SIKAP SS
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
S
RR
Program Simantri sudah Bapak rasakan manfaatnya dapat meningkatkan pendapatan petani-peternak Dalam memilih calon induk pada sapi Bali, Bapak tidak perlu memilih berdasarkan pada ciri-ciri fisik sapi Bagi Bapak, kandang yang baik adalah kandang yang kokoh dalam konstruksi, cukup sinar, memiliki ventilasi dan saluran pembuangan kotoran sapi yang baik Dalam pemberian pakan disamping jumlah, Bapak juga memperhatikan mutu pakan tersebut. Bagi Bapak, recording/pencatatan tidak diperlukan dalam pemeliharaan sapi induk Bapak merasa pemberian pakan tambahan (flushing) pada tiga bulan terakhir kebuntingan diperlukan dalam pemeliharaan sapi induk bunting Bagi Bapak, pencegahan dan pengendalian penyakit tidak diperlukan dalam pemeliharaan sapi induk Bagi Bapak, gejala birahi pada sapi betina adalah alat kelamin membengkak, berwarna kemerahan dan keluar lendir Bapak merasa pemilihan bibit tanaman yang baik/unggul perlu dilakukan untuk memperoleh hasil panen yang baik Bapak merasa pemupukan pada tanaman perlu dilakukan Bagi Bapak, penanganan pasca panen perlu dilakukan untuk meningkatkan harga jual produk pertanian yang dihasilkan Bapak merasa gulma pada tanaman perkebunan dapat dijadikan hijauan makanan ternak Biogas yang kelompok Bapak hasilkan sudah dapat mengurangi biaya gas elpigi/kayu bakar/listrik dari petani-peternak anggota kelompok Simantri Bapak merasa penggunaan pupuk kompos sangat berguna dalam mengurangi biaya pupuk kimia yang harganya semakin mahal belakangan ini Biourine yang kelompok Bapak hasilkan sangat berguna pada pertumbuhan tanaman yang dipelihara petani
14. Keterampilan petani-peternak (X16) 1) Bagaimana cara Bapak dalam memberikan pakan pada sapi induk yang dipelihara? a. Memberikan pakan minimal 2 kali sehari b. Melakukan proses amoniasi pada bahan pakan yang berasal dari gulma tanaman dan limbah pertanian c. Memberikan pakan dalam jumlah yang cukup dengan kualitas yang baik
TS
STS
235
d. Memberikan pakan tambahan (flushing) bagi ternak sapi bunting pada tiga bulan terakhir masa kebuntingan e. Berusaha untuk selalu mencampur berbagai macam jenis hijauan pada pakan ternak sapi Tolong Bapak tunjukkan cara kerja tersebut : ................................................................................................................................... 2) Bagaimana cara yang Bapak lakukan agar sapi induk yang dipelihara sehat dan mampu beranak setiap tahun ? a. Memilih/membeli induk sapi yang sehat dengan tidak ada cacat fisik. b. Menjaga kebersihan dan kenyamanan kandang c. Memberikan pakan dengan mutu dan jumlah yang sesuai dengan stadia fisiologis/kebutuhan dari sapi tersebut d. Melakukan pencegahan dan pengendalian penyakit pada sapi e. Mencatat dan memahami secara benar siklus birahi dari sapi induk untuk menciptakan efisiensi reproduksi Tolong Bapak tunjukkan cara kerja tersebut : ................................................................................................................................... 3) Bagaimana cara yang Bapak lakukan agar anak sapi (pedet) yang dihasilkan sehat dan memiliki kualitas yang Baik ? a. Memberikan pakan tambahan (flushing) pada tiga bulan terakhir kebuntingan sapi induk b. Memeriksa kesehatan pedet dan sapi induk secara rutin c. Memperhatikan mutu dan jumlah pakan sapi induk agar dihasilkan air susu yang banyak dengan tujuan agar pedet dapat tumbuh dengan baik, sehat, dan lebih gemuk d. Pedet dan sapi induk dipelihara dalam satu kandang dan tidak dipisahkan sehingga tidak ada batasan bagi pedet untuk menyusu pada induknya dibawah umur 205 hari e. Mulai memberikan ransum yang sama dengan ransum induknya pada umur 17-25 minggu setelah lahir untuk meningkatkan laju pertumbuhan pedet Tolong Bapak tunjukkan cara kerja tersebut : .................................................................................................................................... 4) Bagaimana cara Bapak melakukan pencegahan penyakit pada ternak sapi induk dan pedet yang dipelihara ? a. Selalu berusaha membuat kandang bersih/rapi dengan lantai kandang yang kering/tidak becek b. Mengurangi jumlah lalat didalam kandang c. Melakukan penyemprotan kandang dengan desinfektan secara rutin d. Melakukan vaksinasi terhadap sapi induk dan pedet yang dipelihara secara teratur e. Memisahkan (isolasi) sapi yang sakit dengan yang sehat Tolong Bapak tunjukkan cara kerja tersebut : ....................................................................................................................................
236
5) Bagaimana cara Bapak agar hasil panen dari tanaman pangan/holtikultura/perkebunan yang Bapak tanam dapat menghasilkan mutu dan jumlah panen yang baik ? a. Memilih bibit tanaman unggul untuk ditanam b. Melakukan proses penyiapan lahan dan melakukan penanaman tanaman dengan baik c. Melakukan pemupukan dan pengairan/penyiraman secara rutin d. Melakukan pencegahan dan pemberantasan hama serta penyakit tanaman e. Melakukan proses pascapanen yang baik dari pemetikan sampai produk pertanian tersebut siap untuk dijual Tolong Bapak tunjukkan cara kerja tersebut : .................................................................................................................................... 6) Bagaimana cara Bapak dalam mempergunakan gulma dan limbah pertanian menjadi pakan sapi ? a. Memberikan secara langsung tanpa diolah b. Diolah menjadi silage c. Diolah menjadi hay d. Dilakukan proses amoniasi untuk meningkatkan mutu pakan dari limbah pertanian tersebut e. Tidak diolah tetapi dicampur dengan hijauan, konsentrat dan tetes tebu Tolong Bapak tunjukkan cara kerja tersebut : .................................................................................................................................... 7) Bagaimana cara Bapak agar biogas yang dihasilkan mempunyai kualitas yang baik ? a. Menampung kotoran padat sapi pada bak penampungan. Tambahkan air dengan perbandingan 1,5:1 bagian dari kotoran padat sapi lalu diaduk hingga rata b. Masukkan isian ke dalam tabung reaktor biogas sampai penuh, lalu tutup rapat reaktor biogas c. Buka kran pada tabung produksi, masukkan air ke dalam tabung penyimpanan yang telah diisi drum kecil sehingga drum tenggelam, lalu tutup kran pembuangan gas d. Setelah 3 minggu, gas yang masih bercampur udara dibuang sampai habis, setelah itu kran kembali ditutup e. Setelah melalui proses diatas gas yang terbentuk sudah dapat digunakan, selanjutnya pengisian dapat dilakukan setiap hari sebanyak 20 liter. Tolong Bapak tunjukkan cara kerja tersebut : .................................................................................................................................... 8) Bagaimana cara Bapak agar pupuk kompos yang dihasilkan mempunyai kualitas yang baik ? a. Kotoran sapi dikumpulkan pada tempat pengolahan kompos Simantri, ditiriskan atau dikering anginkan selama satu minggu agar tidak terlalu basah
237
b. Kotoran sapi tersebut kemudian dipindahkan ke lokasi pembuatan dan diberi kalsit/kapur, ampas gergaji, abu sekam dan decomposer lalu seluruh bahan dicampur merata c. Setelah satu minggu diperam, campuran tadi diaduk/dibalik secara merata. Masukkan telapak tangan ke dalam tumpukan bahan, bila terasa hangat berarti terjadi proses pemeraman. d. Minggu kedua dilakukan pembalikan lagi, demikian seterusnya sampai pada minggu keempat. Pemeraman dilakukan selama 1 bulan, pupuk yang telah matang ditandai dengan warna pupuk coklat kehitaman bertekstur remah dan tidak berbau. e. Pupuk diayak/disaring, sehingga dihasilkan pupuk yang benar-benar berkualitas dan siap digunakan atau dipasarkan Tolong Bapak tunjukkan cara kerja tersebut : .................................................................................................................................... 9) Bagaimana cara yang Bapak lakukan agar diperoleh biourine dengan kualitas yang baik ? a. Menampung urine ternak sapi secara benar untuk mengurangi kemungkinan tercampurnya urine dengan air yang digunakan untuk membersihkan kandang. b. Masukkan nutrisi tambahan dan fermentor (RB dan AZBA) kedalam bak penampungan Urine, diaduk dengan aerator selama 3 sampai dengan 4 Jam. c. Bak ditutup dengan penutup seperti plastik atau triplek, untuk proses fermentasi, diamkan hingga 7 hari. d. Diaduk selama 15 menit setiap hari sampai hari ke-7 dan pada hari ke-8, urine diputar dengan pompa menuju tangga aerasi selama 6-7 jam e. Disaring dahulu sebelum dikemas Tolong Bapak tunjukkan cara kerja tersebut : .................................................................................................................................... Pengalaman petani-peternak (X17) 15. Berapa lama Bapak telah menjadi peternak sapi Bali ? a. 1 – 2 tahun b. 2 – 3 tahun c. 3 – 4 tahun d. 4 – 5 tahun e. > 5 tahun Mohon disebutkan kedudukan Bapak : sebagai……………………………………………………... 16. Berapa lama Bapak telah menjadi petani ? a. 1 – 2 tahun b. 2 – 3 tahun c. 3 – 4 tahun d. 4 – 5 tahun e. > 5 tahun Mohon disebutkan kedudukan Bapak : sebagai…………………………………………………….
238
17. Berapa lama Bapak telah melakukan pengolahan limbah padat dan cair dari ternak
sapi? a. 0 – 6 bulan b. 6 bulan – 1 tahun c. 1 – 1,5 tahun d. 1,5 – 2 tahun e. > 2 tahun Mohon disebutkan kedudukan Bapak : sebagai……………………………………………………..
II. Kondisi Kelompok Simantri (X2)
1. Seberapa jauh jarak rumah tinggal Bapak dengan : (X22) a. Lokasi Simantri : a. < 0,5 km b. < 1 km c. < 1,5 km d. < 2 km e. > 2 km b. Lahan garapan : a. < 0,5 km b. < 1 km c. < 1,5 km d. < 2 km e. > 2 km 2. Seberapa besar keterikatan kegiatan adat dan keagamaan di desa Bapak ? a. Sangat mengikat b. Mengikat c. Sedang d. Kurang mengikat e. Tidak mengikat/bebas 3. Seberapa besar pengaruh kegiatan adat dan keagamaan terhadap kinerja Bapak ? a. Sangat menunjang keberhasilan b. Menunjang keberhasilan c. Cukup menunjang keberhasilan d. Kurang menunjang keberhasilan e. Tidak menunjang keberhasilan 4. Seandainya Bapak menghadapi masalah dalam pelaksanaan Simantri kepada siapa Bapak akan berusaha menanyakan/mencari pemecahan masalah tersebut ? a. Pendamping Simantri b. Anggota kelompok Simantri
239
c. Ketua atau kelompok Simantri terdekat d. Teman sesama petani-peternak diluar Simantri e. Kepala desa 5. Bagaimana kekompakan anggota dalam kelompok Bapak ? a. Sangat kompak b. Kompak c. Cukup kompak d. Kurang kompak e. Sangat tidak kompak 6. Setiap berapa bulan sekali kelompok Bapak mengadakan rapat ? a. 1 bulan sekali b. 3 bulan sekali c. 6 bulan sekali d. 9 bulan sekali e. 1 tahun sekali 7. Selama ini berapa kali tenaga pendamping Simantri datang ke kelompok Bapak ? a. Setiap 1 minggu sekali b. Setiap 2 minggu sekali c. Setiap 1 bulan sekali d. Setiap 3 bulan sekali e. Setiap 6 bulan sekali 8. Mohon disebutkan keterampilan tentang apa saja yang pernah diberikan oleh tenaga pendamping Simantri ? Usaha peternakan sapi : a. ............................................. b. ............................................. c. ............................................. d. ............................................. e. ............................................. Usaha tanaman pangan : a. ............................................. b. ............................................. c. ............................................. d. ............................................. e. .............................................
240
Usaha pengolahan limbah ternak sapi : a. ............................................. b. ............................................. c. ............................................. d. ............................................. e. .............................................
KEMAMPUAN PENERAPAN USAHA PETERNAKAN SAPI BALI (X3) Berikan X (tanda silang) pada alternatif jawaban a sampai dengan e, yang secara nyata telah biasa bapak lakukan dalam kegiatan sehari-hari (tindakan nyata). Jawaban dapat diberikan lebih dari satu pilihan.
1. Dalam pemilihan sapi induk yang akan dipelihara, apakah Bapak melaksanakan seleksi? a. Ya b. Tidak 2. Dalam pemilihan sapi induk di kelompok Bapak siapa yang melakukan kegiatan seleksi/pemilihan ? a. Dilakukan oleh masing-masing anggota kelompok b. Ketua kelompok c. Sekretaris kelompok d. Bendahara kelompok e. Tenaga pendamping Simantri/penyelenggara Simantri 3. Dalam memilih sapi induk, kriteria apa sajakah yang Bapak perhatikan ? a. Bentuk luar b. Umur sapi c. Kesehatan sapi/kemungkinan adanya penyakit d. Silsilah keturunan e. Agresifitas sapi induk tersebut 4. Apakah sapi yang Bapak pelihara dikandangkan ? a. Selalu dikandangkan di kandang Simantri (siang maupun malam) b. Dikandangkan di kandang Simantri pada malam hari, siang hari digembalakan c. Kadang-kadang dikandangkan di kandang Simantri d. Sangat jarang dikandangkan di kandang Simantri e. Dibiarkan di alam terbuka tanpa dikandangkan 5. Perlengkapan apa saja yang Bapak sediakan dikandang sapi Simantri Bapak ? a. Tempat/keranjang makanan b. Tempat air minum c. Tempat penyimpanan alat-alat makanan d. Saluran pembuangan (got) dan tempat penampungan kotoran padat dan cair e. Tempat penyimpanan makanan
241
6. Jenis pakan apa sajakah yang Bapak berikan pada sapi yang dipelihara ? a. Rumput-rumputan b. Daun semak c. Daun pohon d. Jerami/jerami amoniasi e. konsentrat 7. Teknologi pengolahan pakan yang berasal dari limbah pertanian manakah berikut ini yang Bapak pakai untuk menjadikannya sebagai pakan ternak sapi ? a. Pembuatan silase dan hay b. Amoniasi jerami dengan urea dan starbio c. Pemotongan rumput dengan grass chopper d. Pemberian tetes tebu pada pakan e. Pemberian konsentrat 8. Apakah Bapak mencatat/merecording perkembangan sapi induk yang Bapak pelihara ? Ya/tidak Apabila Ya, apa saja yang Bapak catat dalam recording tersebut ? a. Umur sapi b. Siklus birahi dan persentase kebuntingan c. Waktu kawin dan waktu beranak d. Selang waktu beranak kembali e. Kesehatan sapi secara keseluruhan 9. Pada pemeliharaan sapi bunting apa saja perlakuan tambahan yang Bapak berikan ? a. Pemeriksaan kesehatan sapi induk dan kandungannya secara rutin b. Pemberian vitamin tambahan c. Pemberian ransum dalam jumlah yang cukup dengan kualitas yang baik d. Pemberian pakan tambahan (flushing) pada tiga bulan terakhir kebuntingan e. Menjaga kebersihan dan kenyamanan kandang 10. Apakah Bapak melakukan penyemprotan kandang dengan desinfektan ? a. Setiap hari b. Seminggu dua kali c. Seminggu sekali d. Sebulan sekali e. Tidak pernah sama sekali 11. Bagaimanakah cara pencegahan dan pengendalian penyakit yang Bapak lakukan ? a. Membuat jadwal vaksinasi secara teratur b. Mohon pada pendamping Simantri untuk mengadakan vaksinasi c. Melakukan sanitasi kandang (membersihkan kandang dan peralatannya setiap hari) d. Memisahkan (isolasi) sapi yang sakit dengan yang sehat e. Melaksanakan spraying dengan insektisida pada sapi yang sehat 12. Upaya apa sajakah yang Bapak lakukan dalam efisiensi penanganan reproduksi ? a. Penggunaan IB untuk meningkatkan efisiensi pemeliharaan pejantan b. Memperpendek jarak beranak sapi induk c. Memperpendek masa penyapihan anak d. Pemberian flushing pada masa kebuntingan dan sesudah melahirkan
242
e. Betina yang tidak produktif dijual 13. Apabila tanda-tanda birahi tampak pada pagi hari, kapan Bapak mengawinkan sapi induk tersebut ? a. Pagi hari itu juga b. Siang-sore harinya c. Malam harinya d. Esok harinya e. Sesudah esok harinya (lusa)
KEMAMPUAN PENERAPAN USAHA TANAMAN PANGAN (X4) Berikan X (tanda silang) pada alternatif jawaban a sampai dengan e, yang secara nyata telah biasa bapak lakukan dalam kegiatan sehari-hari (tindakan nyata). Jawaban dapat diberikan lebih dari satu pilihan. 1. Untuk memaksimalkan hasil panen dan pendapatan yang diperoleh langkah-langkah apa saja yang Bapak lakukan ? a. Memilih jenis tanaman yang mempunyai nilai ekonomis tinggi untuk ditanam b. Memilih bibit tanaman yang memiliki banyak keunggulan dan sesuai dengan tanah dan keadaan geografis setempat c. Menerapkan pertanian organik d. Melakukan perawatan tanaman dengan benar dan telaten dari penanaman bibit sampai panen e. Mengatur pola tanam 2. Apakah Bapak menggunakan pupuk kompos atau ampas kotoran sapi dari proses biogas (slurry) dalam usaha pertanian yang Bapak kelola ? Ya/Tidak Apabila Ya, berapa komposisi penggunaannya ? a. 100 % menggunakan kompos dan slurry b. 80% kompos dan slurry c. 60% kompos dan slurry d. 40% kompos dan slurry e. 20% pupuk kimia 3. Penanganan pasca panen apa yang biasanya Bapak lakukan pada produk pertanian yang dihasilkan ? a. Melakukan pemetikan tanaman tepat umur dengan teknik pemetikan yang benar b. Mengumpulkan hasil panen dengan baik dan hati-hati c. Menghindarkan hasil panen dari panas matahari langsung maupun tidak langsung d. Mengemas hasil panen e. Mempercepat penjualan hasil panen 4. Apakah limbah pertanian dan gulma pada lahan pertanian yang Bapak miliki diolah menjadi pakan ternak sapi Simantri yang dipelihara ? Ya/Tidak
243
Apabila Ya, cara pengolahan seperti apa yang Bapak lakukan ? a. Memotong limbah pertanian/gulma menjadi ukuran yang lebih kecil-kecil b. Amoniasi c. Hay d. Silage e. Dipotong kecil-kecil kemudian ditambahkan tetes tebu, konsentrat dan hijauan lain 5. Berapa banyak jumlah limbah pertanian yang telah diolah yang Bapak gunakan dalam campuran ransum sapi induk yang dipelihara ? a. Tidak menggunakan sama sekali b. 10 – 30 persen c. 30 – 50 persen d. 50 – 70 persen e. Lebih dari 70 persen
KEMAMPUAN PENERAPAN USAHA PENGOLAHAN LIMBAH TERNAK SAPI (X5) Berikan X (tanda silang) pada alternatif jawaban a sampai dengan e, yang secara nyata telah biasa bapak lakukan dalam kegiatan sehari-hari (tindakan nyata). Jawaban dapat diberikan lebih dari satu pilihan. 1. Apakah instalasi biogas yang ada pada kelompok Simantri Bapak masih dapat beroperasi dengan baik? a. Ya b. Tidak 2. Dampak positif apa yang kelompok Simantri Bapak rasakan dari penerapan instalasi biogas ? a. Menghemat pengeluaran untuk gas elpigi dan kayu bakar kelompok b. Menghemat pengeluaran listrik kelompok c. Memperoleh tambahan pupuk organik padat dari slurry selain dari pembuatan kompos d. Salah satu solusi pengolahan limbah padat e. Turut serta dalam mengurangi pencemaran gas metan di udara 3. Apakah kelompok Simantri Bapak mengolah limbah padat dari sapi menjadi pupuk kompos ? a. Ya b. Tidak Apabila Ya, berapa kapasitas produksi kelompok Simantri Bapak dalam satu bulan ? a. 500 kg - 1 ton b. 1 - 3 ton c. 3 - 5 ton d. 5 - 7 ton e. Diatas 7 ton 4. Apa yang dilakukan oleh para anggota kelompok Bapak pada pupuk kompos yang dihasilkan ? a. Semuanya dijual
244
b. 3/4 bagian dijual c. Sebagian dijual sebagian lainnya digunakan kelompok d. 1/4 bagian dijual e. Seluruhnya digunakan oleh anggota kelompok 5. Apakah instalasi biourine ada pada kelompok Simantri Bapak masih dapat beroperasi dengan baik? a. Ya b. Tidak 6. Apa saja yang biasanya Bapak dan anggota kelompok lainnya lakukan agar memperoleh biourie yang berkualitas baik ? a. Menampung urine (air kencing) ternak sapi di dalam bak penampungan b. Memasukkan nutrisi tambahan, serta memasukkan fermentor kedalam bak penampungan urine, lalu diaduk dengan aerator selama 3 sampai dengan 4 Jam c. Menutup bak penampungan untuk proses fermentasi, dan didiamkan hingga 7 hari. d. Diaduk selama 15 menit setiap hari sampai hari ke-7 e. Pada hari ke-8, urine diputar dengan pompa menuju tangga aerasi selama 6 sampai dengan 7 jam dengan tujuan untuk penipisan, untuk mengurangi kandungan gas ammonia yang berbahaya bagi tanaman
EFEKTIVITAS SIMANTRI (Y) Berikan √ (tanda rumput) pada salah satu dari alternatif jawaban pertanyaan dibawah ini, yang sesuai dengan keadaan nyata yang dirasakan saat ini oleh anda dan kelompok KEBERHASILAN PENERAPAN SIMANTRI (Y1) No INDIKATOR KEBERHASILAN SIMANTRI 1. Pemaksimalan luas tanam, peningkatan kuantitas dan kualitas hasil pertanian dan peternakan 2. Tersedianya pakan ternak yang berkwalitas sepanjang tahun 3. Berkembangnya kelembagaan dan meningkatnya kualitas SDM baik petugas pertanian maupun petani-peternak 4. Terciptanya lapangan kerja melalui pengembangan diversifikasi usaha pertanian dan industri rumah tangga 5. Berkembangnya intensifikasi usaha tani 6. Meningkatnya insentif berusaha tani melalui peningkatan produksi dan efisiensi usaha tani (pupuk, pakan, biogas, dan biourine diproduksi sendiri = in situ) 7. Tercipta dan berkembangnya pertanian organik menuju green economic 8. Berkembangnya lembaga usaha ekonomi di perdesaan 9. Peningkatan pendapatan petani (minimal 2 kali lipat) 10. Berkembangnya infrastruktur perdesaan 11. Terjadinya alih teknologi khususnya untuk pertanian terintegrasi dengan pola Simantri dari penyelenggara Simantri kepada petani-peternak
Ya
Tidak
245
12. Terjadinya peningkatan populasi sapi Bali dan meminimalkan angka kematian sapi 13. Terjadinya pengurangan biaya produksi pada sistem usaha tani yang berasal dari luar sistem 14. Terwujudnya konsep pertanian tanpa limbah (zero waste) 15. Terserapnya produk hasil peternakan, pertanian dan pengolahan limbah ternak sapi di pasaran EFISIENSI SIMANTRI (Y2) Usaha Peternakan Sapi 1. Berapa ekor sapi induk yang Bapak pelihara dalam program Simantri ini ? =.........................ekor 2. Berapa ekor pedet yang telah dihasilkan oleh sapi induk yang Bapak pelihara selama mengikuti program Simantri ini ? =.........................ekor 3. Berapa jumlah tenaga kerja yang Bapak gunakan dalam mengurus sapi induk tersebut? =...............orang 4. Berapa biaya pakan perbulan yang Bapak keluarkan ? Rp....................................... 5. Berapa biaya IB dan obat-obatan yang Bapak keluarkan dalam setahun ? Rp................................. 6. Berapa harga beli sapi induk yang Bapak pelihara ? Rp................................. 7. Berapa penghasilan yang Bapak dapatkan dari penjualan pedet ? Rp................................. Usaha Tanaman Pangan
1. Jenis tanaman pangan apa yang saat ini Bapak tanam? ..................................................................................................................................... ........................................................................................................................................... 2. Berapa jumlah tenaga kerja yang Bapak gunakan untuk menggarap lahan tersebut ? =......................orang 3. Berapa biaya tenaga kerja yang dikeluarkan untuk menggarap lahan yang Bapak miliki? = Rp...................... 4. Mohon disebutkan bibit tanaman pangan apa yang Bapak gunakan ? a. Jenis = ........................................................ b. Jumlah = ........................................................ 5. Berapa biaya yang Bapak keluarkan untuk membeli bibit tanaman ? Rp....................................................................................................................................... 6. Mohon disebutkan jumlah lahan yang bapak kuasai saat ini (Aset usaha dan bukan usaha)
246
Jenis lahan
Status pemilikan
a. Tanah pekarangan
Milik sendiri Bukan milik sendiri
Luas lahan (Are) ……………… ………………
b.Tanah sawah
Milik sendiri Bukan milik sendiri
……………… ………………
………………… …………………
………………………… …………………………
c.Tanah tegalan
Milik sendiri Bukan milik sendiri
……………… ………………
…………………. …………………
………………………… …………………………
7. Pupuk apa yang Bapak gunakan saat ini ? Organik a. Jenis = ................................................. b. Jumlah = ................................................ c. Harga = ................................................ 8. Pestisida apa yang Bapak gunakan saat ini ? Organik a. Jenis = ................................................. b. Jumlah = .............................................. c. Harga = ..................................................
Diusahakan sendiri/tidak ………………… …………………
Tujuan penggunaan/ Pengusahaan ……………………….. ………………………..
Kimia ........................................................ ........................................................ ........................................................
Kimia ........................................................ ........................................................ ........................................................
9. Mohon disebutkan berapa jumlah produksi tanaman pangan Bapak dalam satu kali panen? =.....................ton 10. Berapa harga jual dari tanaman/komoditi yang Bapak tanam ? Rp.................................. 11. Berapa pendapatan yang Bapak terima dalam satu kali panen ? Rp................................ Usaha Pengolahan Limbah Ternak Sapi 1. Berapa jumlah kotoran padat dan cair dari ternak sapi induk yang kelompok Bapak pelihara setiap harinya ? a. Kotoran padat = .................................... kg b. Kotoran cair = .................................... liter 2. Berapa persen kotoran padat dan cair yang diolah ? a. Padat = ............................% b. Cair = .............................% 3. Berapa besar produksi dari pengolahan limbah ternak sapi kelompok Simantri Bapak per bulan ?
247
a. Kompos = ................................. ton b. Biogas = ................................. kg c. Biourine = .................................. liter 4. Berapa banyak tenaga kerja yang digunakan untuk mengolah kotoran padat dan cair dari sapi induk untuk dijadikan sebagai pupuk kompos, bogas, dan biourine? =................................................orang 5. Berapa biaya yang kelompok Bapak keluarkan perbulannya untuk membeli fermentor ? Rp.................................. 6. Berapa besar biaya yang kelompok Bapak keluarkan untuk membeli bahan-bahan pengemas pupuk yang dihasilkan perbulannya ? Jenis Harga a. ................................................... Rp................................................. b. ................................................... Rp................................................. c. ................................................... Rp................................................. d. ................................................... Rp................................................. e. ................................................... Rp................................................. 7. Berapa pendapatan Bapak perbulan dari usaha pengolahan limbah ternak sapi ini ? Rp..............................................
PERKEMBANGAN PENDAPATAN A. Tingkat keuntungan petani-peternak 1. Pendapatan petani-peternak diatur dengan cara ?.................................................... 2. Berapakah pendapatan yang Bapak peroleh sebelum mengikuti program Simantri? Rp ............................................................ 3. Berapakah pendapatan yang Bapak peroleh setelah mengikuti program Simantri ? a. Tanaman pangan Rp ....................................... b. Penjualan pedet Rp ....................................... c. Penjualan pupuk organik Rp ....................................... + Total
Rp..............................................
4. Berapakah pendapatan yang Bapak peroleh diluar Simantri dari usaha pertanian/perkebunan dan peternakan ? Rp................................................ 5. Apakah Bapak ada bekerja pada sektor non pertanian ? a. Ya b. Tidak
248
Apabila ada, berapakah besar pendapatan dari sektor non pertanian yang Bapak peroleh ? Rp............................................................. 6. Sumber pengeluaran usaha peternakan sapi, usaha tanaman pangan, dan usaha pengolahan limbah ternak sapi ? No 1.
Usaha Peternakan Sapi Induk sapi = Rp....................................... Pakan sapi per bulan = Rp......................................
Usaha Tanaman Pangan Bibit tanaman = Rp............................... Pupuk organik = Rp.......................... Pupuk kimia = Rp......................
3.
Biaya IB = Rp........................
4.
Biaya vaksin = Rp....................
Pestisida organik = Rp...................... Pestisida kimia = Rp.......................... Biaya pengairan = Rp........................
5.
Biaya tenaga kerja = Rp......................................... Lain-lain = Rp..........................................
Biaya tenaga kerja = Rp................................................ Lain-lain = Rp..........................................
2.
6.
Usaha Pengolahan Limbah Ternak Sapi Kotoran padat = Rp........................... Kotoran cair = Rp............................... Fermentor kotoran padat = Rp................................. Fermentor kotoran cair = Rp................................. Pengemasan = Rp............................. Biaya listrik + air per bulan = Rp............................................... Biaya tenaga kerja = Rp................................................ Lain-lain = Rp..........................................
B. Perkembangan usaha Aspek penilaian
Kondisi awal mulai usaha ( tahun 2009 )
Jumlah sapi (ekor) Total luas lahan (are) Instalasi pupuk organik -. Instalasi biogas -. Instalasi kompos -. Instalasi biourine
Kondisi saat ini ( 2012 )
Keterangan