EFEKTIVITAS PENERAPAN PERATURAN DAERAH PENANGGULANGAN HIV & AIDS Laporan Akhir Penelitian
Oleh: Simplexius Asa, dkk.
KERJASAMA TIM PENELITI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NUSA CENDANA & KOMISI PENANGGULANGAN AIDS NASIONAL
KUPANG 2009
1
Tim Peneliti Koordinator Peneliti: Simplexius Asa, SH. Peneliti: Dr. Kotan Y. Stefanus, SH.,M.Hum. Dr. Yohanes G. Tuba Helan, SH.,MH. Drs. Primus Lake Pengolah data dan Administrasi/keuangan: Tuan Yohanes, SH.,M.Hum. Pembantu Lapangan: Yules Lata Lede, SH.
2
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Sesuai spirit desentralisasi yang dihembuskan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah daerah memiliki ruang kebijakan yang luas untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi masyarakat dan aspirasi yang berkembang. Salah satu masalah yang harus mendapatkan perhatian serius saat ini adalah masalah kesehatan. Perhatian terhadap masalah kesehatan dianggap sangat serius karena saat ini terlihat betapa rendahnya derajat kesehatan masyarakat. Kondisi ini tergambar dalam rendahnya kesadaran masyarakat tentang pola hidup sehat, belum meratanya pelayanan kesehatan, belum memadainya sarana dan prasarana kesehatan, menyebar dan berkembangnya penyakit menular (seperti HIV dan AIDS, Malaria, Filariasis, Diare, ISPA,TBC dan lain-lain), daerah rawan bencana, masalah Kesehatan Ibu dan Anak, dan kondisi gizi buruk yang diderita masyarakat. Oleh karenanya, Pemerintah daerah sedang berupaya untuk mengatasi berbagai masalah tersebut dengan dukungan berbagai pihak baik internal maupun eksternal. Salah satu masalah yang serius mengancam kehidupan dan kesehatan masyarakat di daerah adalah menyebar dan berkembang biaknya HIV dan AIDS. Menurut Data Ditjen PPM dan PL Departemen Kesehatan RI tangal 8 Mei 2009, secara kumulatif pengidap HIV dan kasus AIDS di Indonesia dihitung dari tangal 1 Januari 1987 sampai dengan 31 Maret 2009 terdiri dari HIV : 6.668 orang dan AIDS : 16.964 orang. Dengan demikian jumlah orang dengan HIV dan AIDS adalah 23.632 orang dan semuanya tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Kondisi yang demikian justeru sangat mengancam kehidupan masyarakat apabila tidak dilakukan langkah-langkah memutuskan mata rantai penularan penyakit ini. Sejalan dengan perkembangan epidemi dunia pada umumnya dan Indonesia khususnya maka sejak tahun 1994, Pemerintah Republik Indonesia melalui Presiden Soeharto telah menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 36 Tahun 1994 tanggal 30 Mei 1994 tentang Komisi Penanggulangan AIDS. Berdasarkan Keppres tersebut, dibentuklah Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) yang bertujuan untuk: a. Melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan AIDS berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau strategi global pencegahan dan penanggulangan AIDS yang dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa; b. Meningkatkan kewaspadaan masyarakat terhadap bahaya AIDS dan meningkatkan penceggahan dan/atau penanggulangan AIDS secara lintas sektor, menyeluruh, terpadu dan terkoordinasi.
3
Untuk mengejawantahkan tujuan Keppres 36 Tahun 1994 maka Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat yang ditunjuk sebagai Ketua Komisi Penanggulangan AIDS, menerbitkan Keputusan Nomor: 9/KEP/MENKO/KESRA/VI/1994 tanggal 16 Juni 1994 tentang Strategi Nasional (STRANAS) Penanggulangan AIDS di Indonesia. Tujuan yang diusung STRANAS dalam penanggulangan HIV dan AIDS adalah: 1. Mencegah penularan virus HIV dan AIDS. 2. Mengurangi sebanyak mungkin penderitaan perorangan serta dampak sosial dan ekonomis dari HIV dan AIDS di seluruh Indonesia. 3. Menghimpun dan menyatukan upaya-upaya nasional untuk penanggulangan HIV dan AIDS. Seiring pergerakan dan kecendrungan epidemi HIV dan AIDS maka pada tahun 2003, Komisi Penanggulangan AIDS menerbitkan STRANAS Pencegahan dan Penangggulangan HIV tahun 2003 – 2007 yang dirancang untuk sedapat mungkin mengakomodir seluruh perkembangan yang ada di dunia, terutama perkembangan dalam pertemuan Sidang Umum PBB, dikenal dengan Unitetd Nation General Assembly Special Session (UNGASS) yaitu satu pertemuan negara-negara anggota PBB dalam rangka membahas upaya global pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS, tanggal 25 – 27 Juni tahun 2001. Hasil dari pertemuan tersebut didokumentasikan sebagai Deklarasi Komitmen Sidang Umum PBB tentang HIV dan AIDS dan Pemerintah Indonesia ikut menandatanganinya. Segera setelah itu, pada bulan Maret tahun 2002, dilaksanakan Rapat Kabinet yang khusus membahas laju perkembangan epidemi HIV dan AIDS di dunia umumnya dan di Indonesia khususnya sekaligus merekomendasikan langkah-langkah strategis yang harus dilaksanakan dalam rangka menekan laju epidemi global ini. Langkah-langkah strategis sebagaimana dimaksud di atas, dituangkan dalam STRANAS 2003 – 2007. Strategi Nasional 2003-2007 disusun dengan memperhatikan kecenderungan epidemi HIV dan AIDS, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tentang pengobatan, dan perubahan sistem pemerintahan ke arah desentralisasi. Secara umum Strategi Nasional yang baru telah menggambarkan secara komprehensif segala hal yang diperlukan demi suksesnya upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia. Hal ini terlihat jelas dalam penetapan area prioritas yang meliputi: (1) Pencegahan HIV dan AIDS, (2) Perawatan, Pengobatan dan Dukungan terhadap ODHA, (3) Surveilans HIV dan AIDS dan IMS, (4) Penelitian, (5) Lingkungan Kondusif, (6) Koordinasi Multipihak dan (7) Kesinambungan Penanggulangan. Dekade ini, perkembangan yang paling bermakna untuk dicatat dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS adalah perubahan dan perkembangan sistem pemerintahan negara Indonesia menuju era desentralisasi dan otonomi daerah. Semangat desentralisasi dan otonomi daerah adalah momentum yang baik bagi terlaksananya upaya pencegahan
4
dan penanggulangan yang menyeluruh, serentak, terfokus dan terkoordinasi karena melalui otonomi daerah, pemerintah daerah diberi kewenangan dan tangggung jawab untuk mengambil peran dalam urusan pemerintah yang bersifat pilihan, baik di tingkat propinsi maupun di kabupaten/kota meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi daerah yang bersangkutan. (Bdk: Pasal 13 UU Nomor 32 Tahun 2004 yang telah diperbaharui dengan UU Nomor 12 Tahun 2008). Tanggung jawab pemerintah daerah, didukung pula dengan kewenangan untuk membentuk dan menetapkan Peraturan Daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah di Provinsi/ Kabupaten dan Kota dan tugas pembantuan. (Bdk: Pasal 136 ayat (2) UU Nomor 32 Tahun 2004 yang telah diperbaharui dengan UU Nomor 12 Tahun 2008). Lebih lanjut dikatakan bahwa materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang – undangan yang lebih tinggi. (Bdk: Pasal 12 Undang Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan) Bersamaan dengan semangat desentralisasi dan otonomi daerah, pada tanggal 17 – 19 Januari 2004 bertempat di Hotel Sentani – Jayapura Provinsi Papua, dilaksanakan Pertemuan Gubernur / Kepala Daerah dan Ketua DPRD dari 6 Provinsi dengan epidemi HIV dan AIDS yang melaporkan paling banyak kasus, masing-masing (1) Provinsi DKI, (2) Provinsi Papua, (3) Provinsi Jawa Timur, (4) Propvinsi Jawa Barat, (5) Provinsi Riau, dan (6) Provinsi Bali. Pertemuan yang dipimpin langsung oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla itu, melahirkan sebuah dokumen penting yang dikenal dengan nama Komitmen Sentani” tertanggal 19 Januari 2004. Salah satu dari enam butir penting dalam komitmen tersebut ialah bahwa pemerintah daerah mengupayakan pembuatan Peraturan Daerah sebagai instrumen dan payung hukum guna mencegah dan menangggulangi HIV dan AIDS di daerah pada khususnya dan di Indonesia pada umumnya. Sampai sejauh ini, Propinsi dan Kabupaten Kota yang telah memiliki Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS adalah sebagai berikut:
5
Tabel 1 Propinsi & Kabupaten / Kota yang sudah memiliki Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS
Propinsi Jawa Timur
Daerah Kabupaten / Kota Kabupaten Banyuwangi Kabupaten Malang
Bali Kabupaten Badung DKI Jakarta NTT Riau Papua
Peraturan Daerah Perda Nomor 05 Tahun 2004 Perda Nomor 06 Tahun 2007 Perda Nomor 14 Tahun 2008 Perda Nomor 03 Tahun 2005 Perda Nomor 00 Tahun 2008 Perda Nomor 05 Tahun 2008 Perda Nomor 03 Tahun 2007 Perda Nomor 00 Tahun 2006
Kabupaten Jayapura Perda Nomor 20 Tahun 2003 Kabupaten Biak Perda Nomor 00 Tahun 2006 Kabupaten Nabire Perda Nomor 18 Tahun 2003 Kabupaten Merauke Perda Nomor 05 Tahun 2003 Kota Sorong Perda Nomor 41 Tahun 2006 Kabupaten Mimika Perda Nomor 00 Tahun 2007 Sumber: Komisi Penanggulangan AIDS Nasional Berbarengan dengan perkembangan dan perubahan arah epidemi di satu pihak, dimana sejak tahun 2000 laju epidemi HIV dan AIDS meningkat secara dramatis di kalangan pengguna NAPZA Suntik ; Di pihak lain sistem pemerintahan negara Indonesia dengan paradigma otonomi daerah telah memberi ruang bagi pemerintah daerah untuk berpartisipasi secara otonomous maka respon pemerintah Indonesia dalam upaya pencegahan dan penangggulangan HIV dan AIDS mulai diarahkan untuk semakin terfokus, intensif, terintegrasi, terkoordinasi dan bekesinambungan. Pada beberapa daerah yang telah membentuk Peraturan Daerah (Perda) tentang penanggulangan HIV dan AIDS diharapkan dapat mengubah perilaku “menyimpang”1 berbagai pihak (lembaga pelaksana dan kelompok
1Lihat
Rival Gulam Ahmad, dkk. (Penyunting), Manual Rancangan Peraturan Untuk Transformasi Sosial, PSHK, Jakarta, 2005, hlm. 18. Terminologi perilaku menyimpang atau juga disebut perilaku bermasalah lazimnya digunakan dalam legislative drafting untuk menunjukkan perilaku apa dan siapa pelakunya (Whose and what behaviour) yang turut menimbulkan masalah sosial. Perilaku bermasalah atau perilaku menyimpang dalam legislative drafting dikelompokkan atas pihak-pihak terkait, yaitu: a. Aktor ( Role Occupant ) Aktor adalah pihak-pihak (individu, kelompok individu, atau organisasi) yang perilakunya bermasalah sehingga turut menimbulkan masalah sosial. b. Pelaksana Peraturan (Implemeting Agent)
6
kunci) dalam mencegah dan menanggulangi HIV dan AIDS, namun terlihat sederetan fenomena masih menyertai penerapan Perda tersebut. Fenomena dimaksud antara lain materi muatan Perda yang tidak dapat dilaksanakan karena tidak sinkron dengan peraturan lainnya dan belum ditetapkan peraturan pelaksanaannya, rendahnya komitmen dan kapabilitas aparatur pelaksana, terbatasnya jaminan pembiayaan dan fasilitas atas kegiatan penanggulangaan HIV dan AIDS yang bersumber dari APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/ Kota, masyarakat dan kelompok kunci mengabaikan pengaturan Perda, tumpang tindih kegiatan dan sebaliknya sikap saling menunggu antara pemerintah kabupaten/kota dengan pemerintah provinsi dalam mencegah dan menanggulangi HIV dan AIDS. Atas dasar pemikiran yang telah dipaparkan di atas, maka penelitian ini penting dilakukan agar dapat diungkapkan realitas penerapan Peraturan Daerah Penanggulangan HIV dan AIDS untuk mendukung kebijakan intensifikasi penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia. Penerapan Perda yang efektif akan berkontribusi terhadap perubahan perilaku menyimpang “berkaitan dengan HIV dan AIDS”. B. Permasalahan Kondisi di atas, pada ghalibnya sampai pada pertanyaan/masalah pokok: “Efektifkah penerapan Perda tentang Penanggulangan HIV dan AIDS untuk menanggulangi HIV dan AIDS?” Masalah pokok tersebut dapat dirinci lebih jauh dalam beberapa pertanyaan berikut: Materi Peraturan Daerah 1. Apakah materi muatan Peraturan Daerah tentang Penanggulangan HIV dan AIDS memenuhi kualifikasi sebagai peraturan yang baik untuk menanggulangi HIV dan AIDS? 2. Bagaimanakah pengaturan Peraturan Daerah tentang Penanggulangan HIV dan AIDS sehubungan dengan kewenangan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten Kota dalam menanggulangi HIV dan AIDS? 3. Apakah pengaturan tentang lembaga pelaksana dan kelompok kunci dalam Peraturan Daerah berkaitan dengan Penanggulangan HIV dan AIDS dapat efektif diterapkan? Penerapan Peraturan Daerah 4. Bagaimanakah respons lembaga pelaksana dan kelompok kunci terhadap Peraturan Daerah tentang Penanggulangan HIV dan AIDS? 5. Apa sajakah faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan Peraturan Daerah tentang Penanggulangan HIV dan AIDS?
Pelaksana peraturan ( Implementing Agent). Pelaksana aturan adalah pihak-pihak yang diberi kewenangan oleh peraturan untuk memastikan bahwa aktor berperilaku seperti peraturan.
7
6.
Bagaimanakah dampak penegakan sanksi-sanksi terhadap pelanggaran Peraturan Daerah tentang Penanggulangan HIV dan AIDS?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ini diarahkan untuk mengukur efektivitas penerapan dan penegakan Perda penanggulangan HIV dan AIDS. Penerapan, terarah pada implementasi keseluruhan isi Perda sedangkan penegakan terarah pada proses penjatuhan sanksi dalam rangka memberi efek jera bagi pelaku pelanggaran. Oleh karenanya, penelitian ini bertujuan untuk menganalis kualitas materi muatan Peraturan Daerah yang berkaitan dengan Penanggulangan HIV dan AIDS dan mengidentifikasi penerapan Peraturan Daerah dalam kaitannya dengan perubahan perilaku lembaga pelaksana dan kelompok kunci. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, penelitian terfokus pada beberapa aspek sebagai berikut: 1. materi muatan Peraturan Daerah tentang Penanggulangan HIV dan AIDS; 2. pengaturan tentang kewenangan provinsi dan kabupaten/ kota dalam Peraturan Daerah tentang Penanggulangan HIV dan AIDS; 3. pengaturan tentang lembaga pelaksana dan pemegang peran dalam Peraturan Daerah tentang Penanggulangan HIV dan AIDS dan efektivitas penerapannya; 4. respons lembaga pelaksana dan kelompok kunci terhadap Peraturan Daerah tentang Penanggulangan HIV dan AIDS; 5. faktor-faktor ang mempengaruhi implementasi Peraturan Daerah tentang Penanggulangan HIV dan AIDS; 6. dampak penegakan sanksi-sanksi terhadap pelanggaran Peraturan Daerah tentang Penanggulangan HIV dan AIDS. Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi untuk KPAN, KPAP, KPAK/K dan Pemerintah Daerah dalam rangka mengintensifkan penanggungulangan HIV dan AIDS melalui pembenahan sistem hukum daerah yang berkaitan dengan penanggulangan HIV dan AIDS.
8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Peraturan Perundang-undangan yang baik Dalam ilmu perundang-undangan, dikenal tiga dasar agar hukum mempunyai kekuatan berlaku secara baik yaitu mempunyai dasar yuridis, sosiologis dan filosofis. Ketiga dasar tersebut sangat penting untuk mengukuhkan kaidah yang tercantum dalam peraturan perundangan menjadi sah secara hukum (legal validity) dan berlaku efektif karena dapat diterima masyarakat secara wajar dan berlaku untuk jangka waktu yang panjang.2 Menurut Manan, dasar yuridis dimaksud sangat penting dalam pembuatan peraturan perundang-undangan karena akan menunjukkan:3 Pertama, keharusan adanya kewenangan dari pembuat peraturan perundang-undangan. Setiap peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh badan atau pejabat yang berwenang. Kalau tidak, peraturan perundangundangan itu batal demi hukum (van rechtswegenietig). Dianggap tidak pernah ada dan segala akibatnya batal secara hukum. Misalnya, Peraturan Daerah dibuat oleh DPRD dan Kepala Daerah. Setiap Peraturan Daerah yang tidak merupakan produk bersama DPRD dan Kepala Daerah adalah batal demi hukum. Kedua, keharusan adanya kesesuaian bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan dengan materi yang diatur, terutama kalau diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi atau sederajat. Ketidaksesuaian bentuk ini dapat menjadi alasan untuk membatalkan peraturan perundang-undangan tersebut. Misalnya, kalau UUD 1945 atau undang Undang terdahulu menyatakan bahwa sesuatu diatur dengan Undang Undang, maka hanya dengan bentuk Undang Undang hal itu diatur. Kalau hal tersebut diatur dengan bentuk lain misalnya dengan Peraturan Daerah, maka Peraturan Daerah tersebut dapat dibatalkan (vernietigbaar). Hal mana sejalan dengan pendapat W. Zevenbergen bahwa setiap kaidah hukum harus memenuhi syarat-syarat pembentukannya ((op de vereischte wijze is not stand gekomen). Ketiga, keharusan mengikuti tata cara tertentu. Apabila tata cara tersebut tidak diikuti, peraturan perundang-undangan mungkin batal demi hukum atau tidak/belum mempunyai kekuatan hukum mengikat. Peraturan daerah dibuat oleh DPRD dengan persetujuan Kepala Daerah. Kalau ada Peraturan Daerah tanpa (mencantumkan) persetujuan Kepala Daerah, maka batal demi hukum. Kalau Peraturan Daerah disyaratkan untuk dimuat dalam 2 3
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Russell and Ruseell, New York. 1973, p. 29. Manan, Bagir, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, Penerbit IND-HILL.CO, Jakarta, 1992, hlm. 14-15.
9
lembaran daerah sebagai syarat mempunyai kekuatan mengikat, maka Peraturan Daerah tersebut hanya mempunyai kekuatan mengikat kalau telah dimuat dalam Lembaran Daerah. Keempat, keharusan tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi tingkatannya. Suatu Undang Undang tidak boleh mengandung kaidah yang bertentangan dengan UUD. Begitu pula seterusnya sampai pada peraturan perundang-undangan yang tingkat lebih bawah.4 Dasar berlaku secara sosiologis artinya mencerminkan kenyataan hidup dalam masyarakat. Dalam suatu masyarakat industri, hukumnya harus sesuai dengan kenyataan-kenyataan yang ada dalam masyarakat industri tersebut. Kenyataan itu dapat berupa kebutuhan atau tuntutan atau masalah-masalah yang dihadapi seperti masalah perburuhan, hubungan majikan dan buruh, dan sebagainya. Dasar sosiologis ini diharapkan peraturan perundang-undangan yang dibuat akan diterima secara wajar bahkan spontan. Dengan itu suatu peraturan perundang-undangan mempunyai daya berlaku efektif dan tidak banyak memerlukan pengerahan institusional untuk melaksanakannya. Kenyataan yang hidup dalam masyarakat termasuk pula kecenderungan dan harapan-harapan masyarakat. Tanpa kedua faktor tersebut, peraturan perundang-undangan hanya sekedar merekam keadaan seketika (sekedar moment opname). Keadaan seperti ini akan menyebabkan kelumpuhan peranan hukum. Hukum akan tertinggal dari dinamika masyarakat. Bahkan peraturan perundang-undangan akan menjadi konservatif karena seolah-olah mengukuhkan kenyataan yang ada. Hal ini bertentangan dengan sisi lain dari peraturan perundang-undangan yang diharapkan mengarahkan perkembangan masyarakat. Bagaimanakah berlakunya peraturan perundang-undangan dengan dasar filosofis? Setiap masyarakat selalu mempunyai “rechtsidee” yaitu apa yang mereka harapkan dari hukum, misalnya untuk menjamin keadilan, ketertiban, kesejahteraan, dan sebagainya. Rechtsidee atau cita hukum tersebut tumbuh dari sistem nilai mereka mengenai baik dan buruk, pandangan mereka mengenai hubungan individual dan kemasyarakatan, tentang kebendaan, tentang kedudukan wanita, tentang dunia gaib dan lain sebagainya. Semuanya itu bersifat filosofis, artinya menyangkut pandangan mengenai inti atau hakekat sesuai. Hukum diharapkan mencerminkan sistem nilai tersebut baik sebagai sarana yang melindungi nilai-nilai maupun sebagai sarana mewujudkannya dalam tingkah laku masyarakat. Nilai-nilai ini ada yang dibiarkan dalam masyarakat sehingga setiap pembentukan hukum atau peraturan perundang-undangan harus dapat menangkapnya setiap kali akan membentuk hukum atau peraturan perundang-undangan. Tetapi ada kalanya sistem nilai tersebut telah terangkum secara sistimatik 4
Hans Kelsen, Op Cit., hlm. 39.
10
dalam suatu rangkuman baik berupa teori-teori filsafat maupun dalam doktrin-doktrin filsafat resmi seperti Pancasila. Dengan demikian, setiap pembentukan hukum atau peraturan perundang-undangan sudah semestinya memperhatikan sungguh-sungguh “rechtsidee” yang terkandung dalam Pancasila. Selain ketiga dasar tersebut, terkadang juga suatu peraturan perundang-undangan yang telah memenuhi ketiga dasar tersebut masih mengandung masalah, yaitu perumusan yang tidak jelas dan menimbulkan makna yang ambiguitas atau rumusannya dimaknakan dengan beragam penafsiran, inkonsistensi penggunaan istilah, sistimatika yang tidak baik, bahasa yang berbelit-belit sehingga sulit dipahami, dan sebagainnya. Persoalan ini bekaitan dengan teknik perancangan suatu peraturan perundang-undangan. Hal itu berarti bahwa teknik perancangan peraturan perundang-undangan juga menjadi faktor penting bagi berlakumya suatu peraturan perundang-undangan. Perancangan suatu peraturan perundang-undangan harus memperhatikan secara cermat, keempat unsur (dasar yuridis, sosiologis dan filosofis, dan teknik perancangan) tersebut. Keempat unsur tersebut terbagi dalam dua kelompok utama dan sekaligus sebagai tahapan perancangan peraturan perundang-undangan, yaitu: 1) tahap penyusunan Naskah Akademik; dan 2) tahap perancangan, mencakup aspek-aspek prosedural dan kemahiran penulisan rancangan. Kedua hal tersebut akan dijelaskan tersendiri agar dapat dipahami secara baik. B.
Konsepsi Efektivitas Hukum Dalam Masyarakat Kata efektivitas berasal dari kata dasar efektif dalam bahasa Latin “efficere” yang mengandung arti menimbulkan, mencapai hasil. Efektivitas lebih mengarah pada nuansa hasil (hasil guna, doeltreffendheid). Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, efektivitas diartikan sebagai hasil akibat, dalam keadaan berhasil atau sesuatu yang dapat menghasilkan atau membuahkan, mengakibatkan.5 Dengan demikian efektivitas dimaknakan sebagai suatu usaha dilakukan untuk mencapai hasil sebesar-besarnya, dengan menggunakan waktu, enerji, serta sumberdaya yang sekecil-kecilnya.6 Efektivitas hukum dapat diartikan sebagai keberhasilgunaan hukum, dalam hal ini berkenaan dengan keberhasilan pelaksanaan hukum itu sendiri. Para pakar hukum dan sosiologi hukum memberikan pendekatan tentang makna efektivitas sebuah hukum beragam, bergantung pada sudut pandang yang dibidiknya. Soerjono Soekanto berbicara mengenai derajat efektivitas suatu hukum ditentukan antara lain oleh taraf kepatuhan warga masyarakat terhadap hukum, termasuk para penegak hukumnya. Sehingga dikenal suatu asumsi, bahwa:“Taraf kepatuhan hukum yang tinggi 5
W.J.S.Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1975, hlm. 16. Soetoprawiro, Fungsi Hukum Administrasi Dalam Pencegahan Masalah Kemiskinan, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 1998, hlm. 19.
6Koerniatmanto
11
merupakan suatu indikator berfungsinya suatu sistem hukum. Dan berfungsinya hukum merupakan pertanda bahwa hukum tersebut telah mencapai tujuan hukum, yaitu berusaha untuk mempertahankan dan melindungi masyarakat dalam pergaulan hidup”.7 Dalam ilmu sosial antara lain dalam sosiologi hukum, masalah kepatuhan atau ketaatan hukum atau kepatuhan terhadap kaidah-kaidah hukum pada umumnya telah menjadi faktor yang pokok dalam menakar efektif tidaknya sesuatu yang ditetapkan dalam hal ini hukum.8 Yang dimaksud dengan efektivitas adalah segala upaya yang dilakukan agar hukum yang ada dalam masyarakat benar-benar hidup dalam masyasrakat, artinya hukum tersebut benar-benar berlaku secara yuridis, sosiologis dan filosofis (penjelasan tentang Life of Law lengkap pada sub-bab selanjutnya). Dalam kehidupan masyarakat akan selalu terdapat hubungan atau interaksi sosial. Dalam hubungan tersebut, ada suatu aturan sebagai pedoman yang dipatuhi/ditaati yang mengatur hubungan atau pergaulan unsur-unsur sosial yang ada dalam struktur masyarakat dengan bertujuan untuk mencapai kedamaian hidup antar pribadi, yang meliputi ketertiban, keserasian dan ketentraman hidup. Warga masyarakat tidak akan mungkin hidup teratur tanpa hukum, karena norma-norma berfungsi untuk memenuhi kebutuhan manusia akan keteraturan dan ketentraman secara tuntas.9 Hal tersebut terutama dalam masyarakat yang mejemuk: berbeda agama, berbeda suku bangsa, berbeda golongan, berlapis-lapis dan sebagainya. Masing-masing kelompok dapat dimungkinkan saling mempengaruhi dan memperjuangkan nilai, aspirasi politik, dan lain-lain hal yang menurut mereka patut dijalankan dan dipatuhi. Dalam hubungannya dengan kaedah hukum, dikenal adanya pola interaksi sosial sebagai berikut: a. Pola tradisional integrated group: interaksi sosial terjadi apabila wargawarga masyarakat berperilaku atas dasar kaedah-kaedah dan nilainilai yang sama sebagaimana diajarkan oleh warga masyarakat lainnya. Interaksi ini tampak (terutama pada masyarakat sederhana) dimana para warga berperilaku menurut adat-istiadatnya. Dalam hal ini karena kaedah hukum yang berlaku sudah melembaga dalam masyarakat, kaedah-kaedah tersebut mempermudah interaksi diantaranya. b. Pola public: interaksi sosial terjadi apabila warga-warga masyarakat berperilaku atas dasar pengertian-pengertian yang sama yang diperoleh dari komunikasi langsung. Peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh penguasa, berlaku bagi seluruh masyarakat dalam wilayah negara. Soejono Soekanto, Sosiologi ; Suatu Pengantar, Rajawali Pres, Bandung, 1996, hlm. 62. Id., hlm. 20. 9 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perihal Kaedah Hukum, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 86-87. 7 8
12
c. Pola audience: interaksi sosial terjadi apabila warga-warga masyarakat berperilaku atas dasar pengertian-pengertian yang sama yang diajarkan oleh suatu sumber secara individual, yang disebut sebagai “propagandist”. Kaedah-kaedah yang berlaku dalam suatu golongan politik sosial tertentu. d. Pola crowd: interaksi sosial terjadi apabila warga-warga masyarakat berperilaku atas dasar perasaan yang sama dan keadaan fisik yang sama. Perilaku yang terjadi (misalnya perkelahian pelajar) pada suatu kerumunan dan dalam waktu tertentu. Rahardjo menyatakan dengan tegas bahwa bekerjanya hukum dalam masyarakat tidak serta merta dan terjadi begitu saja --- “… hukum bukanlah hasil karya pabrik, yang begitu keluar langsung dapat bekerja, melainkan memerlukan beberapa langkah yang memungkinkan ketentuan (hukum) tersebut dijalankan atau bekerja.10 Selanjutnya, langkah yang harus dipenuhi untuk mengupayakan hukum atau aturan/ketentuan dapat bekerja dan berfungsi (secara efektif) adalah: a. Adanya pejabat/aparat penegak hukum sebagaimana ditentukan dalam peraturan hukum tersebut; b. Adanya orang (individu/masyarakat) yang melakukan perbuatan hukum, baik yang mematuhi atau melanggar hukum; c. Orang-orang tersebut mengetahui adanya peraturan; d. Orang-orang tersebut sebagai subjek maupun objek hukum bersedia untuk berbuat sesuai hukum, namun yang menjadi faktor inti/utama bagi bekerjanya hukum adalah manusia, karena hukum diciptakan dan dilaksanakan manusia.11 Dalam teori-teori hukum tentang berlakunya hukum sebagai kaidah biasanya dibedakan menjadi tiga macam hal. Hal berlakunya kaidah hukum biasanya disebut “gelding” (bahasa Belanda) “geltung” (bahasa Jerman). Tentang hal berlakunya kaidah hukum, dikenal tiga dasar agar hukum mempunyai kekuatan berlaku secara baik yaitu mempunyai dasar yuridis, sosiologis dan filosofis. Ketiga dasar tersebut sangat penting untuk mengukuhkan kaidah yang tercantum dalam peraturan perundangan menjadi sah secara hukum (legal validity) dan berlaku efektif karena dapat diterima masyarakat secara wajar dan berlaku untuk jangka waktu yang panjang.12 Jika dikaji pemikiran yang dikemukakan di atas, maka dapatlah katakan bahwa agar suatu hukum dapat berfungsi atau hukum itu benarbenar hidup dan bekerja dalam masyarakat, maka suatu hukum atau kaidah
Soejono Soekanto, Op Cit., hlm. 49. Sucipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm.70. 12 Kelsen, Hans, Op Cit., p. 29. 10 11
13
hukum harus memenuhi ketiga macam unsur tersebut di atas. Hal tersebut karena: a. Jika hukum hanya berlaku secara yuridis maka kaidah itu merupakan kaidah mati (dode regel); b. Jika hukum hanya berlaku secara sosiologis --- dalam arti teori kekuasaan, maka kaidah - kaidah tersebut menjadi aturan pemaksa (dwaangmatreegel); c. Jika hukum hanya berlaku secara filosofis --- maka kaidah tersebut merupakan hukum yang dicita-citakan (ius constituendum). Oleh karenanya, lazimnya telah menjadi sebuah postulat atau asumsi yang pasti bahwa hukum akan berfungsi dan bekerja serta hidup dalam masyarakat jika dalam hukum (baik materi atau kaidahnya) dapat belaku secara yuridis, sosiologis dan filosofis, hal tersebut dalam ilmu hukum dikenal dengan “Laws of Life”. Dalam ulasan terdahulu telah dijelaskan mengenai definisi baik secara etimologi maupun terminologi dan telah menjadi sebuah postulat hukum bahwa berfungsinya sebuah hukum merupakan pertanda bahwa hukum tersebut telah mencapai tujuan hukum, yaitu berusaha untuk mempertahankan dan melindungi masyarakat dalam pergaulan hidup. Agar hukum dapat berfungsi dalam masyarakat secara benar-benar, harus memenuhi tiga unsur law of life, yakni berlaku secara yuridis, sosiologis dan filosofis. Kendatipun demikian, dalam realisasinya tidak semudah itu, karena untuk mengejar berfungsinya hukum yang benar-benar merefleksi dalam kehidupan masyarakat sangat bergantung pada usaha-usaha menanamkan hukum, reaksi masyarakat dan jangka waktu menanamkan ketentuan hukum tersebut secara efektif. Terkait dengan efektivitas hukum dalam masyarakat, Ronny Hanintijo Soemitro mengutip Metzger bahwa efektif tidaknya suatu sistem hukum ditentukan oleh 5 (lima) syarat, yaitu: a. mudah-tidaknya makna atau isi aturan-aturan hukum itu ditangkap atau dipahami; b. luas-tidaknya kalangan dalam masyarakat yang mengetahui isi aturan-aturan hukum yang bersangkutan; c. efisien dan efektif – tidaknya mobilisasi aturan-aturan hukum yang dicapai dengan bantuan aparat administrasi dan warga masyarakat yang harus berpartisipasi dalam memobilisasi hukum; d. tersedianya mekanisme penyelesaian sengketa yang mudah dihubungi dan dimasuki warga masyarakat serta efektif untuk menyelesaikan sengketa itu;
14
e. adanya anggapan dan pengakuan yang merata di kalangan anggotaanggota masyarakat bahwa aturan-aturan dan pranata-pranata hukum memang memiliki daya kemampuan yang efektif.13 Soerjono Soekanto14 menyebut lima hal yang berpengaruh dalam penegakan hukum: a. Faktor hukumnya sendiri b. Faktor penegak hukum c. Faktor sarana atau fasilitas d. Faktor masyarakat e. Faktor kebudayaan Lawrence Friedman,15 menyebut tiga aspek dalam (penegakan) hukum yaitu: (1) Content of Law, (2) Structure of Law dan (3) Culture of Law. Dalam mengukur efektifas suatu peraturan, ketiga aspek ini perlu dianalisis secara komprehensif. Ann Seidman, et all,16 mengemukakan teori ROCCIPI untuk mengevaluasi efektivitas suatu peraturan. ROCCIPI terdiri 7 kategori yakni: Rule (Peraturan), Opportunity (Kesempatan), Capacity (Kemampuan), Communication (Komunikasi), Interest (Kepentingan), Process (Process) dan Ideology (Ideologi). Dalam mengevaluasi efektivitas Perda penanggulangan HIV dan AIDS, teori ROCCIPI dapat digunakan sebagai berikut: a. Rule-Peraturan menyangkut apakah pengaturan tentang penanggulangan HIV dan AIDS sudah jelas dan lengkap? Adakah konflik norma dalam pengaturan tersebut? b. Opportunity-Kesempatan menguraikan lingkungan dan kondisi sosial yang mempengaruhi penularan dan pencegahan HIV. Melalui analisis tentang kesempatan dapat diketahui, apakah Perda tentang pencegahan dan penanggulangan HIV sudah urgen untuk dibuat, ataukah sudah terlambat? c. Capacity-Kemampuan, menyangkut ketersediaan dan penggunaan sumber daya yang menjadi penyebab tumbuh-kembangnya HIV atau penyebab berhasil-tidaknya penanggulangan HIV, seperti: dana, obatobatan dan tenaga kesehatan. d. Communication-Komunikasi adalah menyangkut sosialisasi tentang faktor pemicu, faktor penyebab dan/atau faktor penghambat tumbuhkembang dan penanggulangan HIV, baik sebelum, selama maupun setelah Perda dibentuk.
Ronny Hanitijo Soemitro, Studi Hukum dan Kemiskinan, Penerbit Tugu Muda, Semarang, 1989, hlm. 46. 14) Soerjono Soekanto, SH, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, CV. Rajawali - Jakarta, 1983, hal. 5. 15) Id., hal 45. 16) Ana Seidman, et all., Penyusunan Rancangan Undang-Undang Dalam Perubahan Masyarakat yang Demokratis, Edisi Terjemahan, ELIPS II, 2001, hlm. 105-153. 13
15
e. Interest-Kepentingan untuk menguraikan tentang kepentingan dan manfaat jika membentuk Perda. Suatu peraturan akan didukung dan dipatuhi jika masyarakat berkepentingan dan mendapatkan manfaat. Misalnya, disatu sisi hasil penelitian menyimpulan bahwa pelacuran, baik langsung maupun tidak langsung adalah penyebab tumbuhkembangnya HIV tetapi solusi yang ditawarkan tidak memperhatikan kepentingan para pelaku peran, seperti pekerjaan dan penghasilan penjaja seks. f. Process-Proses menguraikan tentang bagaimana Perda dibuat. Bagaimana mekanisme kelembagaan dan koordinasi antar instansi yang mendorong atau menghambat penanggulangan HIV. g. Ideology-Ideologi, dapat menjadi penyebab tumbuh-kembangnya HIV tetapi juga dapat menghambat penularan HIV, misalnya perilaku seks tidak aman dan pandangan tentang hubungan seks berisiko dengan menggunakan kondom. Dalam (penyusunan) Perda, mesti ada solusi terhadap perilaku tersebut. C. Penanggulangan HIV dan AIDS Memperhatikan laju epidemi yang meningkat tajam dalam lima tahun terkahir, perkembangan sistem pemerintahan dan komitmen dunia internasional maka pemerintah Indonesia melalui KPA Nasional menetapkan Strategi Nasional (STRANAS) Penanggulangan HIV dan AIDS periode tahun 2007 – 2010. Dalam STRANAS ini, ditetapkan 7 (tujuh) area prioritas yang berpotensi memberi daya ungkit signifikan pada upaya pencegahan dan penangggulangan HIV dan AIDS di Indonesia selama kurun waktu 4 tahun kedepan, yakni:17 1. Pencegahan IMS, HIV dan AIDS; 2. Perawatan, Pengobatan dan Dukungan kepada ODHA 3. Surveilans HIV dan AIDS serta Infeksi Menular Seksual; 4. Penelitian dan riset operasional; 5. Lingkungan Kondusif; 6. Koordinasi dan harmonisasi multipihak; 7. Kesinambungan penanggulangan Disamping STRANAS, dicanangkan pula Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia, periode 2007 – 2010. Rencana aksi ini dilaksanakan sebagai akselerasi program penanggulangan HIV dan AIDS dengan mempertimbangkan tiga hal penting:18 1. Bahwa program diarahkan terutama untuk menjangkau sub-populasi penasun dan penjaja seks sekaligus sub-populasi pasangan penasun dan pasangan penjaja seks. Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, Strategi Penanggulangan HIV dan AIDS 2007 – 2010, hlm. 21. 18Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 2007 – 2010, hlm. iii. 17
16
2. Bahwa program diarahkan untuk mengutamakan komponen pencegahan transmisi melalui jarum dan/atau alat suntik dan transmisi seksual, untuk mencegah laju pertumbuhan infeksi baru. 3. Bahwa program mengutamakan cakupan wilayah di 19 provinsi dengan estimasi jumlah populasi berisiko yang mencapai 80% di seluruh wilayah Indonesia. Sejak kasus AIDS diketemukan pertama kali di Indonesia pada tahun 1987 (kendatipun ada kasus sebelum tahun 1987 di DKI tapi tidak dilaporkan), pemerintah Indonesia sudah menyadari bahwa aspek hukum menjadi urgen dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS. Akan tetapi proses legislasi untuk mendapatkan suatu peraturan perundangan, bukanlah jalan yang sederhana dan mudah. Oleh karena itu, upaya mendapatkan peraturan tentang HIV dan AIDS mulai digagas melalui pertemuan dan diskusi-diskusi non formal guna mengidentifikasi pelbagai peraturan perundangan yang berhubungan dengan kegiatan pencegahan yang sedang dilakukan oleh para aktivis dengan kelompok berisiko yang didampingi. Beberapa hal yang mengemuka dalam diskusi tersebut antara lain, aspek kerahasiaan ketika seseorang memutuskan untuk menjalani test HIV, suami dan/atau isteri yang salah satunya tertular HIV, perlindungan hukum dan Hak Azasi Manusia bagi seorang tenaga kerja/karyawan yang mengidap HIV, kondom sebagai alat pencegahan, pemberangusan tempat-tempat transaksi seks, perlindungan bagi tenaga kesehatan yang mungkin tertular HIV ketika melakukan pekerjaan, universal precautions, dan lain sebagainya. Suatu hal yang pasti ialah bahwa HIV adalah virus yang dapat menular karena itu penceghan dan penanggulangannya harus patuh dan tunduk pada peraturan tentang pencegahan dan penangggulangan penyakit menular. Khusus tentang pencegahan penyakit menular, Indonesia telah memiliki satu gugusan peraturan perundangan yakni : 1. Undang-Undang Nomor : 04 Tahun 1984 tentang wabah penyakit menular. 2. Peraturan Pemerintah RI Nomor : 40 Tahun 1991 tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular. 3. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor : 560 / Menkes / VII/ 1989 tentang Jenis penyakit tertentu yang dapat menimbulkan wabah. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor: 560/ Menkes / VII/ 1989 khususnya Pasal 2 ayat (1) telah ditetapkan penyakit tertentu yang dapat menimbulkan wabah yakni : (a) kholera, (b) demam kuning, (c) tifus bercak wabah, (d) pes, (e) demam bolak-balik, (f) demam berdarah dengue, (g) campak, (h) polio, (i) difteri, (j) pertusis, (k) rabies, (l) malaria, (m) influensa, (n) hepatitis, (o) tifus perut, (p) meningitis, (q) Encephalitis ; dan (r) antrax. Selanjutnya, dalam Pasal 3 UU Nomor 04 Tahun 1984 tentang wabah penyakit menular, pembuat undang-undang memberi wewenang kepada
17
Menteri Kesehatan untuk menetapkan penyakit yang digolongkan sebagai wabah penyakit menular. Dalam gugusan peraturan tersebut di atas, ternyata IMS pada umumnya dan HIV dan AIDS khususnya, belum ditetapkan secara limitatif sebagai penyakit menular yang mewabah. Hal ini mungkin disebabkan oleh sifat penularan dan pencegahannya yang memerlukan tindakan dan pendekatan khusus. Diakui bahwa walaupun HIV adalah virus / penyakit yang dapat menular, tetapi HIV bukanlah virus / penyakit yang mudah menular, dan karena itu tidak dapat digolongkan sebagai penyakit yang dapat menimbulkan wabah. Maksudnya, HIV memang mengandung virus yang dapat menular, tetapi penularannya sangat tergantung pada perilaku anggota masyarakat itu sendiri dalam hubungannya dengan para pelaku berisiko, karena virus HIV ada dalam tubuh manusia seumur hidup. Atau dengan perkataan lain, penularan HIV hanya mungkin terjadi bilamana perilaku yang ditampilkan anggota masyarakat sendiri terhadap pelakupelaku berisiko. Oleh karenanya, penularan HIV tidak seperti penularan virus lainnya. Sampai sejauh itu, pembicaraan tentang perlu tidaknya IMS dan HIV dan AIDS diatur dalam peraturan perundangan, masih merupakan wacana yang mengedepankan dua pendapat: 1. Apakah Menteri Kesehatan perlu menetapkan IMS dan HIV dan AIDS sebagai penyakit menular yang serta merta tunduk pada ketentuan perundangan tentang wabah penyakit menular (UU. Nomor : 4 Tahun 1984) ; 2. Ataukah, karena sifat penularan dan pencegahannya yang memerlukan tindakan dan pendekatan khusus maka dibutuhkan suatu peraturan perundangan khusus tentang IMS dan HIV dan AIDS ? Satu hal penting yang harus dipertimbangkan secara memadai ialah bahwa jika IMS dan HIV dan AIDS ditetapkan sebagai penyakit menular berdasarkan wewenang yang ada pada Menteri Kesehatan maka secara langsung upaya pemberantasan IMS dan HIV dan AIDS akan tunduk dan taat pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Darat. Dua ketentuan perundangan yang disebut terakhir ini membolehkan tindakan isolasi dan larangan bepergian baik dengan transportasi darat maupun laut bagi barangsiapa yang ditetapkan sebagai pengidap wabah penyakit menular. Sambil menunggu proses legislasi yang panjang, para aktivis berharap bahwa kepentingan perlindungan hukum dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV diharapkan akan terakomodasi dalam UU Kesehatan yang segera akan diundangkan oleh pemerintah RI, pada saat kasus AIDS menjadi fenomena yang mulai meluas di Indonesia. Ternyata, UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Kesehatan yang diundangkan pada tanggal 17 Sepetember 1992 khususnya dalam Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 30 hanya
18
menyebutkan bahwa pemberantasan penyakit menular atau penyakit yang dapat menimbulkan angka kesakitan dan atau angka kematian yang tinggi harus dilaksanakan sedini mungkin, antara lain dengan menghilangkan sumber dan perantara penyakit. Bahkan kata-kata HIV dan AIDS yang pada waktu itu menjadi fenomena kesehatan yang penting, justeru sama sekali tidak disebutkan sebagai salah satu penyakit menular yang membutuhkan penanganan istimewa dalam undang-undang ini. Pada pertengahan tahun 2004, Indonesian Forum of Parliamentarians on Population and Development (IFPPD) menggagas dan mempersiapkan draft Rancangan Undang-Undang Penanggulangan HIV dan AIDS sebagai peraturan yang diharapkan mampu mengakomodir semua hal berhubungan dengan pencegahan dan penangggulangan HIV dan AIDS. Akan tetapi bertepatan dengan dibahasnya draft RUU tersebut, terjadi perkembangan baru dalam penanganangan penyakit menular, dimana mulai muncul penyakit-penyakit lain seperti SARS dan Avian Influenza yang penanganannya juga memerlukan tindakan yang istimewa. Kenyataan ini, menyebabkan Tim Perumus draft RUU tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS mengubah judul RUU tersebut menjadi RUU tentang Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Berbahaya, sekedar supaya dapat mengakomodir pelbagai penyakit menular/berbahaya lainnya, yang mungkin akan timbul di kemudian hari. Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa untuk mendorong upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS maka dapat dibentuk Peraturan Daerah, yang berfungsi sebagai upaya menangkap dan menyalurkan aspirasi masyarakat di daerah dalam rangka menampung kondisi khusus daerah. Selain itu, pembentukan Paraturan Daerah dimaksudkan sebagai alat transformasi perubahan di daerah. Peraturan Daerah diharapkan dapat ikut menentukan keberhasilan pemerintahan dan pembangunan di daerah dalam hal ini keberhasilan dalam pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS sehingga kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan.
19
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis penelitian dan pendekatan Oleh karena fokus utama penelitian ini ditujukan pada penerapan Perda penanggulangan HIV dan AIDS sehingga termasuk dalam penelitian yuridis sosiologis (socio legal research). Pada tahap pertama penelitian ini mengungkapkan tentang aturan-aturan normatif yang mengatur tentang penanggulangan HIV dan AIDS. Tahap kedua adalah penelitian untuk mengungkapkan data yang ada di lapangan (empiris) berkaitan dengan penerapan aturan-aturan yang diungkapkan pada tahap pertama. B. Lokasi Penelitian Penelitian ini (empiric) dilakukan di Provinsi Papua dan Jawa Timur, dengan pertimbangan bahwa pada kedua provinsi tersebut telah diatur Perda Penanggulangan HIV dan AIDS. Di Propinsi Jawa Timur telah ditetapkan Perda Provinsi dan sejumlah Perda Kabupaten/Kota, sedangkan di Papua telah ditetapkan sejumlah Perda Kabupaten/Kota, namun belum ditetapkan Perda HIV dan AIDS di tingkat Provinsi. Pemilihan kedua provinsi dimaksud juga searah dengan kebijakan KPA Nasional untuk memfokuskan perhatian pada daerah-daerah di pulau Jawa dan Papua. Di lain pihak, penelitian yuridis normatif dilakukan selain terhadap Perda-Perda yang telah ditetapkan pada kedua provinsi tersebut di atas, namun juga penelitian terhadap Perda HIV dan AIDS Provinsi Riau, DKI Jakarta, Bali, dan NTT. Pemilihan Perda-Perda dimaksud untuk memperkaya hasil penelitian berkaitan dengan tampilan Perda yang bervariasi dan melihat lebih jauh karakteristik materi muatan pada daerah lain di luar Jawa dan Papua. C. Jenis dan Sumber data Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari sumber pertama (informan) yakni data tentang penerapan Perda penanggulangan HIV dan AIDS. Data primer diperoleh dari para PSK di lokalisasi. IDUs, pasangan IDUs, tokoh masyarakat, aparat penegak hukum (Pol PP). Adapun sumber data penelitian ini sebagai berikut: 1. Lokalisasi Tanjung Elmo dengan 22 informan terdiri dari POKJA 4 orang, petugas PKBI 7 orang, petugas lapangan 3 orang, dan penghuni lokalisasi 8 orang. 2. Yayasan Bethesda dengan 20 informan terdiri dari staf yayasan 13 orang, pengurus gereja 7 orang. 3. Ketua Pelaksana Harian KPAP Papua dan stafnya, serta Koordinator Pokja PMTS (6 informan).
20
4. Lokalisasi Doli dan Jarak (Surabaya) sebanyak 20 penghuni lokalisasi. 5. Lokalisasi Gempol Porong (Banyuwangi) dengan 20 informan terdiri dari POKJA 3 orang, Ketua RT & Wakil Ketua RT 2 orang, penghuni lokalisasi 12 orang, dan 3 orang pengurus lokalisasi dan petugas LSM pendamping. 6. Kepala Dinas Kesehatan Banyuwangi dan stafnya, LSM Pendamping dan petugas KPAK Banyuwangi dengan 6 informan. 7. Kelompok IDUs (Surabaya), 20 informan. 8. Kepala Dinas Kesehatan Kota Surabaya dan Stafnya, 8 informan. 9. Sekretaris KPAP Jawa Timur. 10. Sekretaris KPAK Malang dan LSM Pendamping (3 orang). 11. Email dengan Dr. D.N. Wirawan Data sekunder diperoleh dari Biro/Bagian Hukum pada Kantor Gubernur/Kabupaten/Kota, Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi dan Kabupaten/ Kota, Dinas Sosial, Sekretariat DPRD, Dinas Kesehatan, LSM, dan sebagainya.19 Penelitian lapangan dilaksanakan di Provinsi Papua dan Jawa Timur, sedangkan di 4 Provinsi lainnya pengumpulan data dilakukan melalui telepon dan media lainnya yang dapat dipercaya untuk mengungkapkan data sesungguhnya. D. Teknik Pengumpulan data Data primer diperoleh dengan teknik wawancara mendalam (in-depth interview) dengan para informan, dan Focus Group Discussion (FGD). Teknik wawancara ditujukan pada pejabat-pejabat di lingkungan Sekretariat Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota, Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi dan Kabupaten/ Kota, Dinas Kesehatan, LSM, sedangkan FGD ditujukan pada para PSK di lokalisasi dan para pelanggan/pengunjung, IDUs, pasangan IDUs, tokoh masyarakat, aparat penegak hukum (Pol PP). Data sekunder diperoleh melalui studi dokumen, dengan menggunakan sistem kartu (cards system). E.
Analisis data Analisis data dilakukan melalui tahap-tahap:
Data sekunder yang dibutuhkan dari Biro Hukum/Bagian Hukum adalah Perda tentang HIV dan AIDS, draft akademik, dan pandangan Kepala Biro/Kepala Bagian Hukum serta perangkatnya terhadap Penerapan Perda HIV dan AIDS. Dari Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi dan Kabupaten/ Kota untuk memperoleh data HIV dan AIDS, upaya-upaya penanggulangan yang telah dilakukan, serta pandangan tentang penerapan Perda HIV dan AIDS. Dari Dinas Sosial hendak diperoleh data tentang pekerja beresiko upaya-upaya penanggulangan yang dilakukan berkenan dengan penerapan Perda HIV dan AIDS. Pada Sekretariat DPRD akan diperoleh risalah sidang berkaitan dengan pembahasan Rancangan Perda HIV dan AIDS. Pada Dinas Kesehatan akan diperoleh data tentang penanganan penderita HIV dan AIDS. Dari Kantor Statistik akan diperoleh data sekunder lainnya, sedangkan pada LSM yang menaruh perhatian pada HIV dan AIDS akan diperoleh data tentang pandangan terhadap penerapan Perda HIV dan AIDS serta dampaknya. 19
21
a. Reduksi data b. Penyajian data c. Penarikan kesimpulan Reduksi data, dengan cara mengelompokan data ke dalam masingmasing permasalahan dan unsur-unsur yang terdapat di dalamnya. Kemudian data disajikan dengan menggunakan alat bantu tabel, matriks, diagram dan bagan. Analisis dilakukan sejak pengumpulan data, tanpa harus menunggu banyaknya data terkumpul. Selanjutnya analisis dilakukan dengan menafsirkan data yang diperoleh secara induktif dan membandingkan dengan teori yang sudah ada. Pembandingan ini dimaksudkan untuk mengkaitkan teori yang mengkaji hal-hal yang menjadi fokus permasalahan penelitian.
22
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Materi Peraturan Daerah dan Analisis Normatif 1. Urgensi Perda Setiap Perda memiliki pertimbangan sendiri, ada yang sama dan ada yang berbeda. Berdasarkan hasil kajian terhadap semua Perda dari lokasi penelitian, dapat dirangkum beberapa pertimbangan untuk mengatur masalah penanggulangan HIV dan AIDS dalam peraturan daerah, sebagai berikut : a. HIV dan AIDS merupakan virus yang merusak sistem kekebalan tubuh manusia, penularannya sulit dipantau sehingga sangat mengancam derajat kesehatan masyarakat. b. Kebijakan pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS perlu dilaksanakan secara terpadu melalui upaya peningkatan perilaku hidup sehat, pencegahan penularan, pengobatan, perawatan, dan dukungan untuk pemberdayaan orang dengan HIV dan AIDS serta keluarganya. c. Penularan HIV dan AIDS mempunyai implikasi terhadap kesehatan, politik, ekonomi, sosial budaya, etika, agama dan hukum, sehingga memerlukan penanggulangan secara melembaga, sistematis, menyeluruh, terpadu, partisipatif, dan berkesinambungan. Pertimbangan-pertimbangan tersebut, ada yang bersifat umum dan yang lainnya bersifat khusus dan benar-benar merupakan alasan perlunya Perda Penanggulangan HIV dan AIDS. 2. Isi Perda a. Judul Perda sangat bervariasi, ada yang sama dan yang lainnya berbeda. Dari hasil kajian terhadap semua Perda, dapat dipaparkan judul-judul sebagai berikut : 1). Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS 2). Penanggulangan HIV/AIDS 3). Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS 4). Penanggulangan HIV dan AIDS 5). Pemakaian kondom 100% di tempat-tempat hiburan 6). Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS dan Infeksi Menular Seksual 7). Pencegahan dan Penanggulangan Infeksi Menular Seksual dan HIV/AIDS Terjadi perbedaan judul Perda, diduga karena perbedaan pemahaman dan prioritas penanganan masalah HIV dan AIDS. Pemahaman :
23
1) Pencegahan dan penanggulangan adalah dua hal yang berbeda, sehingga pada judul kedua istilah tersebut digunakan secara bersama; 2) Pencegahan merupakan salah satu tahap dari penanggulangan, sehingga pada judul tidak mencantumkan pencegahan. Di dalam penanggulangan sudah termasuk pencegahan. 3) HIV dan AIDS merupakan dua hal yang berbeda dan dapat dipisahkan, sehingga penyebutannya menggunakan kata sambung “dan” di antara HIV dan AIDS; 4) HIV dan AIDS merupakan dua hal yang berbeda tetapi tidak dapat dipisahkan, sehingga penyebutannya menggunakan tanda garis miring ( / ); 5) Penanggulangan HIV dan AIDS hanya dengan menggunakan kondom seolah-olah penyebaran HIV dan AIDS hanya melalui hubungan seks. Pada hal, sesungguhnya masih ada cara lain untuk menularkan HIV dan AIDS, misalnya melalui jarum suntik, penggunaan narkoba suntik, transfusi darah, semen, donor organ tubuh dari orang yang terinfeksi, dan sebagainya. Prioritas 1) Sebagian daerah menempatkan prioritas penanggulangan HIV dan AIDS bersama infeksi menular seksual yang lain; 2) Daerah lain menempatkan IMS menjadi prioritas utama, sedangkan HIV dan AIDS hanya merupakan salah satu bagian dari penanggulangan. Apabila dihubungkan antara judul dan isi Perda, judul sudah mencerminkan isi Perda, kecuali Perda Nabire, judulnya sempit (Pemakaian Kondom 100% di Tempat-tempat Hiburan), isinya luas karena tidak hanya mengatur pemakaian kondom 100 %. b. Tujuan Perda Beberapa Perda tidak memiliki tujuan yang jelas, karena tidak mencantumkan tujuan yang hendak dicapai. Perda-Perda dimaksud adalah Perda Jayapura, Perda Riau, Perda Jatim, dan Perda Merauke. Sedangkan Perda lain yang mencantumkan tujuannya sangat bervariasi, di antaranya : 1). Melindungi masyarakat dari bahaya HIV dan AIDS; 2). Mencegah dan membatasi penularan IMS , HIV dan AIDS; 3). Meningkatkan kualitas hidup penderita HIV dan AIDS; 4). Mengurangi dampak sosial ekonomi akibat HIV dan AIDS; 5). Mengupayakan pengurangan risiko IMS, HIV dan AIDS pada tingkat yang minimal; 6). Mencegah penularan heteroseksual HIV antara penjaja seks dan pelanggan; 7). Melindungi masyarakat dan memutus mata rantai penularan HIV dan AIDS;
24
8). Meningkatkan derajad kesehatan masyarakat sehingga mampu menanggulangi penularan HIV dan AIDS; 9). Memenuhi kebutuhan masyarakat akan informasi dan pelayanan kesehatan yang cukup, aman, bermutu, dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, sehingga mampu menanggulangi penularan HIV dan AIDS; 10). Melindungi masyarakat terhadap segala kemungkinan kejadian yang dapat menimbulkan penularan HIV dan AIDS; 11). Memberikan kemudahan dalam rangka menunjang peningkatan upaya penanggulangan HIV dan AIDS; 12). Meningkatkan mutu SDM dalam penanggulangan HIV dan AIDS. Dilihat dari berbagai tujuan Perda tersebut, ada yang menetapkan tujuan secara umum (lebih luas), dan yang lainnya menetapkan tujuan yang lebih khusus dalam rangka melindungi masyarakat dari bahaya penularan HIV dan AIDS. Menjadi pertanyaan, mengapa pengaturan satu obyek yang sama tetapi tujuan yang ingin dicapai itu berbeda. Pada hal tujuan Perda dijadikan sebagai pegangan dalam bertindak dan dapat diukur hasilnya setelah suatu tindakan dilakukan. Dengan demikian, jika tujuan berbeda maka hasil yang akan dicapai juga berbeda antara satu Perda dengan Perda lain. Pada hal, obyek pengaturannya sama. Memang dilihat dari kejelasan tujuan, maka tujuan Perda yang ada sangat jelas dan mudah diukur pencapaiannya. c. Konsiderans Menimbang Konsiderans menimbang telah memuat pokok-pokok pikiran yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatan Perda, serta mengandung unsur filosofis, yuridis, dan sosiologis. Unsur filosofis, terdapat nilai bahwa HIV dan AIDS akan mengancam kehidupan manusia sehingga harus ditanggulangi. Dengan adanya Perda penanggulangan HIV dan AIDS diharapkan mencerminkan sistem nilai tersebut sebagai sarana mewujudkannya dalam tingkah laku masyarakat. Unsur yuridis, yakni telah menunjuk dasar kewenangan baik formal maupun materil pembentukan Perda. Kewenangan formal yakni Perda dibentuk oleh DPRD bersama Kepala Daerah. Selain itu, kesesuaian bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan dengan materi yang diatur walaupun peraturan perundangundangan lebih tinggi tidak memberikan perintah pengaturan penanggulangan HIV dan AIDS, namun dilihat luas ruang lingkup dan sasarannya maka sangat tepat materi ini diatur dengan peraturan daerah. Demikian halnya, dengan tata cara dan keharusan tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. Pembentukan Perda telah mengikuti
25
tata cara yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, terutama Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dan berbagai peraturan pelaksanaannya. Hal kesesuaian Perda dengan peraturan perundang-undangan lain, secara umum Perda yang ada telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan lain yang sederjat maupun yang lebih tinggi. Unsur sosiologis, bahwa Perda Penanggulangan HIV dan AIDS telah mencerminkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Kenyataan berupa kebutuhan atau tuntutan akan masalah-masalah yang dihadapi yaitu masalah penanggulangan HIV dan AIDS perlu segera ditanggulangi karena penularannya sangat meresahkan masyarakat. d. Dasar Kewenangan Pembentukan Perda Peraturan perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar hukum, telah memenuhi ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, yakni hanya peraturan perundang-undangan yang setingkat atau lebih tinggi. Namun, apabila dilihat dari jumlah peraturan perundangundangan yang digunakan sebagai dasar hukum, sebagian besar peraturan perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar hukum tidak berhubungan langsung dengan dasar kewenangan formal dan dasar kewenangan materil. Dasar kewenangan formal, berkaitan dengan pemberian kewenangan kepada badan/lembaga untuk menetapkan peraturan daerah. Sedangkan, dasar kewenangan materil menyangkut perintah pengaturan suatu hal (materi) dalam hal ini penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam Peraturan Daerah. Peraturan perundang-undangan lain, yang sesungguhnya hanya dilihat segi sinkronisasinya dalam pengaturan, juga dicantumkan sebagai dasar hukum. Seharusnya peraturan perundang-undangan yang disebutkan kemudian ini, diteliti ketika melakukan kajian yuridis untuk menjamin agar tidak terjadi tumpang tindih pengaturan. Peraturan perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar kewenangan pembuatan Perda, yakni Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Selanjutnya, mengenai perintah pembentukan Perda HIV dan AIDS, peraturan perundangundangan yang digunakan sebagai dasar hukum, tidak memerintahkan secara langsung kepada daerah untuk mengatur HIV dan AIDS dalam peraturan daerah. Namun demikian, apabila
26
dikaitkan dengan kewenangan pemerintahan yang menjadi urusan wajib, salah satunya adalah “penanganan bidang kesehatan”. Oleh karena urusan bidang kesehatan ini telah diserahkan menjadi urusan rumah tangga daerah, maka daerah berhak mengaturnya dalam peraturan daerah. Selain itu juga, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, salah satu kewenangan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota adalah “penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan penyakit menular” skala provinsi menjadi kewenangan pemerintah provinsi, dan skala kabupaten/kota menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Mungkin menjadi pertanyaan, apakah penanggulangan HIV dan AIDS tepatnya diatur dengan Perda provinsi ataukah Perda kabupaten/kota. Jawaban atas pertanyaan tersebut sangat penting untuk memberikan kepastian dan menghindari terjadinya tumpang tindih kewenangan antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, serta mengurangi terjadinya pemborosan biaya. e. Isi ketentuan Umum Ketentuan umum memuat berbagai istilah yang digunakan berulang-ulang di dalam pasal-pasal selanjutnya. Selain itu, beberapa istilah khusus yang perlu didefinisikan karena diperlukan pengertiannya untuk suatu bab, bagian, paragraf. Ada kecenderungan setiap Perda, memberikan definisi atau pengertian secara berbeda terhadap satu istilah atau kata yang sama. Istilah-istilah yang digunaka oleh setiap Perda dapat adalah : pelanggan, seks komersial, pekerja seks, kondom, IMS, HIV, AIDS, perilaku berisiko, kelompok berisiko, pencegahan, penanggulangan, ODHA, KPA, mucikari, kelompok rawan, skrining, VCT, perilaku seksual, diskriminasi, ARV (Anti Retro Viral) f. Sistematika Perda Dilihat dari sistematika pengaturan Perda, ternyata terdapat perbedaan antara satu Perda dengan Perda lain. Keadaan ini disebabkan oleh setiap daerah sangat tergantung pada situasi yang dihadapi dalam menangani kasus HIV dan AIDS. Dengan demikian yang selalu ada dalam setiap Perda, hanya ketentuan umum dan ketentuan penutup. Untuk jelasnya dapat dipaparkan sistematika Perda yang diteliti : Perda Jawa Timur : Ketentuan Umum, Sasaran, Pencegahan dan Penanggulangan, Ketentuan Pidana, Ketentuan Penyidikan, Ketentuan Penutup.
27
Perda Banyuwangi : Ketentuan Umum, Tujuan dan Sasaran, Pembentukan dan Kegiatan KPA, Susunan Kepatiaan KPA, Pencegahan dan Penanggulangan IMS dan HIV/AIDS, Diagnosis dan Pengobatan, Perlindungan dan Rahasia Pasien, Ketentuan Pidana, Ketentuan Penyidikan, Ketentuan Penutup. Perda Jayapura : Ketentuan Umum, Obyek dan Subyek, Penularan dan Pencegahan HIV/AIDS, Program Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS, Kewajiban dan Larangan, Penyidikan, Ketentuan sanksi, Ketentuan Penutup. Perda Sorong : Ketentuan Umum, Ruang Lingkup, Tujuan Penanggulangan, Kebijakan penanggulangan IMS dan HIV/AIDS, Penggunaan Kondom bagi Para pelanggan Wanita Penjaja seks, Pembinaan, Peranserta Masyarakat, Penyidikan, Ketentuan Sanksi, Ketentuan Pidana, Ketentuan Penutup. Perda Merauke : Ketentuan Umum, Ruang Lingkup dan Sasaran, Pembinaan dan Pengawasan, Ketentuan Penyidikan, Ketentuan Pidana, Ketentuan Penutup. Perda Naibire : Ketentuan Umum, Ijin Pendirian Tempat Hiburan, Pelaksanaan Program Pemakaian Kondom 100 % di tempat hiburan, Ketersediaan dan promosi kondom, Ketersediaan Layanan IMS, Komunikasi Informasi dan Edukasi, Panitia Pemantau, Indikator Evaluasi, Ketentuan sanksi, Ketentuan Penutup. g. Pengaturan mengenai kaidah perilaku (perintah, larangan, dan kebolehan) bagi masyarakat dan bagi pemerintah Kaidah perintah, larangan, dan kebolehan ada daerah yang memisahkan menurut subyek, sedangkan yang lainnya mengatur secara umum saja. Beberapa kaidah perilaku yang diatur secara umum dapat dikemukakan: Kewajiban : 1) Melakukan program komunikasi, informasi dan edukasi, pencegahan infeksi HIVyang benar, jelas, dan lengkap melalui media masa, organisasi masyarakat, dunia usaha, lembaga pendidikan, LSM yang bergerak di bidang kesehatan secara periodik; 2) Melakukan pendidikan keterampilan hidup dengan tenaga yang kompeten untuk menghindari infeksi HIV dan penggunaan NAPZA melalui sekolah maupun luar sekolah mulai tingkat dasar sampai perguruan tinggi; 3) Melaksanakan Penanggulangan penyakit menular seksual (PMS) secara terpadu dan berkala, di tempat-tempat perilaku berisiko tinggi, termasuk penggunaan kondom 100%; 4) Mendorong dan melaksanakan test dan konseling HIV secara sukarela terutama bagi kelompok rawan;
28
5) Mengadakan obat anti retroviral dan obat anti infeksi opportunistik yang efektif dan umum digunakan secara murah dan terjangkau; 6) Memberikan layanan kesehatan yang spesifik di pelayanan kesehatan dasar, rujukan dan penunjang milik pemerintah maupun swasta; 7) Melaksanakan kewaspadaan Umum; 8) Melaksanakan skrining; 9) Melaksanakan surveilans epidemilogi HIV, AIDS, IMS, dan Surveilans perilaku; 10) Wajib merahasiakan status HIV seseorang kecuali ada persetujuan tertulis dari yang bersangkutan/orang tua/wali, keputusan hakim, ada kepentingan rujukan medis. Pemda berkewajiban melindungi orang dengan status HIV dan AIDS. Larangan ditujukan kepada orang yang telah mengetahui dirinya terinfeksi HIV dan AIDS, yaitu: 1) Melakukan hubungan seksual dengan orang lain, kecuali bila pasangannya telah diberitahukan tentang status HIVnya dan secara sukarela menerima risiko tersebut. Pengaturan seperti ini tidak menunjang penanggulangan HIV dan AIDS, karena membuka peluang bagi mereka yang tertular HIV dan AIDS menularkan kepada pihak lain melalui hubungan seks. Hal ini tidak akan memutuskan penyebaran HIV dan AIDS di Indonesia. Larangan yang demikian sangat diskriminatif dan melanggar hak asasi manusia dan sangat sulit ditegakkan karena tidak bisa dimonitor. Pengaturan yang baik, semestinya mereka yang sudah tertular HIV dan AIDS diharuskan menggunakan kondom dalam melakukan hubungan seksual. 2) Menggunakan secara bersama-sama alat suntik, alat medis atau alat lain yang patut diketahui dapat menularkan HIV kepada orang lain; 3) Mendonasikan darah, semen, atau organ/jaringan kepada orang lain; 4) Melakukan tindakan apa saja yang patut diketahui dapat menularkan atau dapat menyebarkan infeksi HIV kepada orang lain baik dengan bujuk, rayu, atau kekerasan; Hak ODHA, memperoleh pelayanan, pengobatan dan perawatan serta dukungan tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun. Pengaturan mengenai kaidah perilaku dengan memisahkan menurut subyek yaitu: PSK wajib: - wanita mengharuskan pelanggannya menggunakan kondom pada saat melakukan kontak seksual;
29
- laki-laki dan waria wajib menggunakan kondom pada setiap kontak seksual; - menolak melakukan hubungan seks dengan setiap lelaki yang tidak mau menggunakan kondom; - memeriksakan diri secara berkala terhadap penyakit IMS; - bila mengetahui dirinya telah terinfeksi IMS atau HIV, segera berobat dan bertanggung jawab tidak menularkan kepada orang lain PSK dilarang: - menjajakan diri di jalanan atau tempat yang tidak memperoleh ijin; - melakukan kegiatan seksual komersial di tempat selain tempat yang diijinkan oleh pemerintah Kewajiban sektor kesehatan: - menggunakan alat suntik steril; - pelayanan tanpa diskriminasi; - memberikan pelayanan IMS serta konseling dan testing HIV secara sukarela; - setiap pemeriksaan untuk mendiagnosa HIV dan AIDS harus didahului dengan penjelasan yang benar dan mendapat persetujuan yang bersangkutan; - hasil pemeriksaan wajib dirahasiakan; - memberikan informasi dan pendidikan kesehatan bagi kelompok sasaran; - menyediakan kondom; - melakukan pendataan tentang penderita IMS, HIV dan pemakaian kondom; - melaporkan tempat kegiatan transaksi seksual yang tidak mau bekerja sama dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS kepada pihak yang berwajib Mucikari wajib: - menandatangani pernyataan tertulis untuk mengikuti pelatihan dan bersedia mengikuti program pemakaian kondom 100 % dengan sungguh-sungguh; - memiliki ijin untuk kegiatan transaksi seks komersial sesuai ketentuan pemerintah, dan terdaftar serta melaporkan setiap PSK yang menjadi asuhannya kepada bupati melalui dinas kesehatan; - memberikan pembinaan kepada PSK tentang penggunaan kondom dan pemeriksaan kesehatan; - mengistirahatkan dan membantu pengobatan bagi PSK yang menderita IMS atau HIV dan AIDS - memberikan perlindungan kepada PSK dan melaporkan pelanggan yang memaksakan kehendaknya untuk melakukan kontak seksual tanpa menggunakan kondom;
30
- menyediakan dan mengharuskan pelanggan menggunakan kondom pada saat melakukan kontak seks; - melaporkan setiap PSK yang menjadi asuhannya kepada pemerintah daerah; Mucikari dilarang: - mempekerjakan PSK di bawah umur (kurang dari 18 tahun); - mempekerjakan PSK/pramuria dengan paksa (tidak sukarela) dan dengan sengaja melanggar hak asasi manusia; - memungut uang sewa kamar dan beban biaya lainnya kepada PSK yang pelanggannya menolak menggunakan kondom Pelanggan wajib: - menggunakan kondom saat melakukan hubungan seksual - Setiap orang yang mengetahui bahwa dirinya telah terinfeksi HIV wajib untuk melakukan upaya pencegahan agar tidak menularkan kepada orang lain. Pada dasarnya setiap Perda mengatur bahwa penanggulangan HIV dan AIDS, tetap menghormati harkat dan martabat manusia (pengidap HIV dan AIDS). Selain itu juga, ditegaskan bahwa penanggulangan HIV dan AIDS menjadi tanggung jawab seluruh elemen masyarakat dan pemerintah. h. Pengaturan mengenai Sanksi Sanksi dalam rangka penegakkan Perda hanya diatur tentang sanksi administrasi dan sanksi pidana. Sedangkan sanksi perdata tidak diatur. Sesungguhnya sanksi perdata sangat penting diatur, misalnya tindakan yang membawa kerugian secara perdata dapat dikenakan sanksi perdata misalnya masalah ganti rugi, kompensasi dan sebagainya. 3. Sinkronisasi Perda dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tidak mengatur penanggulangan HIV & AIDS secara khusus, sehingga sulit diketahui tingkat sinkronisasinya. Mungkin saja peristilahan teknis yang digunakan dalam Perda agak berbeda dengan yang digunakan dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Oleh karena penelitian ini lebih ditekankan pada penelitian hukum empiris, maka hal tersebut tidak diteliti secara lengkap. 4. Pembagian Kewenangan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota Peraturan perundang-undangan yang ada tidak membagi kewenagan penanggulangan HIV dan AIDS antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Hanya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 diatur bahwa pemerintah provinsi memiliki kewenangan penanggulangan penyakit menular skala provinsi, dan kabupaten/kota berwenang menanggulangi penyakit menular skala kabupaten/kota.
31
Pertanyaannya, penularan HIV dan AIDS termasuk dalam skala provinsi atau skala kabupaten/kota, ataukah ada aspek tertentu berskala provinsi dan aspek lainnya berskala kabupaten/kota. Jika hal ini tidak diketahui secara pasti, maka bukan tidak mungkin akan terjadi tumpang tindih pengaturan antara provinsi dan kabupaten/kota. Setelah meneliti Perda Provinsi Jawa Timur dan Perda Kabupaten Banywangi dalam Provinsi Jawa Timur, sulit mengetahui batas kewenangan yang jelas antara provinsi dan kabupaten kota dalam menanggulangi HIV dan AIDS. Terhadap hal-hal yang sama diatur dalam Perda provinsi dan juga diatur dalam Perda kabupaten. Padahal stakeholder dari Perda provinsi dan Perda kabupaten sama, walaupun Perda provinsi mempunyai jangkauan yang lebih luas, yakni meliputi seluruh kabupaten/kota yang ada dalam wilayah provinsi. 5. Pengaturan mengenai kelompok sasaran: ada Perda yang mengatur kelompok sasaran adalah masyarakat secara umum, sedangkan yang lain mengatur secara spesifik bagi kelompok sasaran tertentu, seperti: - kelompok dengan mobilitas tinggi; - kelompok muda/mudi dan remaja; - kelompok wanita hamil dan penerima transfusi darah; - kelompok marginal orang miskin, anak jalanan, pengemis, tuna wisma, dan lain-lain; - kelompok berperilaku risiko tinggi tertular IMS dan HIV. Pada dasarnya, penanggulangan HIV dan AIDS menyentuh hal-hal yang bersifat pribadi, yang tidak dengan mudah diintervensi oleh pihak luar baik yang terkait maupun yang tidak terkait, termasuk pemerintah. Beberapa hal yang sulit diintervensi yakni: kewajiban menggunakan kondom dalam melakukan hubungan seks; sudah mengetahui dirinya telah terinfeksi HIV dan AIDS maka tidak boleh melakukan hubungan seks dengan orang lain. Ketentuan-ketentuan tersebut sulit dipantau, kecuali perlu kesadaran dari yang bersangkutan. Oleh karena prinsip mencegah lebih baik dari pada mengobati, maka cara pencegahan yang paling efektif adalah dengan memasukan materi HIV dan AIDS dalam kurikulum pendidikan minimal mulai dari tingkat sekolah menengah pertama sampai dengan perguruan tinggi. Peraturan daerah yang ada telah mengatur secara lengkap berbagai aspek tentang penanggulangan HIV dan AIDS. Namun, apakah ketentuan yang ada telah diimplementasikan dengan baik. Hal ini akan dijawab melalui penelitian hukum empiris yakni meneliti perilaku manusia (kelompok sasaran) dalam menerapkan ketentuan Perda. Implementasi Perda penanggulangan HIV dan AIDS sangat berguna bagi kehidupan manusia terutama melindungi masyarakat dari bahaya HIV dan AIDS. Bervariasinya pengaturan, merupakan kendala bagi upaya penanggulangan HIV dan AIDS. Oleh karena itu, masing-masing Perda ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksanaannya yang disesuaikan dengan
32
situasi dan kondisi masing-masing daerah. Atau dengan kata lain perlu adanya penjabaran lebih lanjut dari masing-masing Perda (baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota), terutama menyangkut hal-hal teknis sesuai dengan situasi dan kondisi di setiap daerah. Sedangkan daerah-daerah lain (terutama kabupaten/kota yang belum menetapkan regulasi berkaitan dengan penanggulangan HIV dan AIDS agar senantiasa terus dipacu untuk menetapkan regulasi sesuai dengan situasi dan kondisi riil yang ditemukan di daerah masing-masing. Langkah ini dianggap cukup efektif apabila dibandingkan dengan menunggu pengaturan yang bersifat nasional dalam bentuk Undang-Undang yang belum tentu sesuai dengan situasi dan kondisi di daerah. B. Efektivitas Penerapan Peraturan Daerah tentang HIV dan AIDS 1. Respons Lembaga Pelaksana dan kelompok Kunci Terhadap Perda Penelitian lapangan di Jawa Timur dan Papua, serta di Bali (melalui email) berusaha mengungkapkan seberapa jauh diterapkannya PerdaPerda Propinsi dan Perda-Perda Kabupaten/Kota yang mengatur tentang Penanggulangan HIV dan AIDS. Penerapan Perda-Perda dimaksud tentunya berawal dengan sosialisasi Perda-Perda agar dapat dipahami dan pada saatnya dipatuhi/ditaati/dilaksanakan lembaga pelaksana dan kelompok kunci. Bentuk sosialisasi Perda HIV dan AIDS yang dilakukan pemerintah daerah sebagaimana dikemukakan aparat Pemda dan Petugas KPAD adalah sebagai berikut: Tabel 2 Bentuk sosialisasi Perda HIV dan AIDS yang dilakukan Pemerintah Daerah No. Urut 1. 2.
Pemda Jawa Timur
3.
Kabupaten Malang Banyuwangi
4.
Papua
5.
Bali
Bentuk Sosialisasi Menyebarkan leaftlet dan buku saku Pertemuan-pertemuan dan leaflet Pertemuan-pertemuan antara legislatif dan eksekutif, menyampaikan secara garis besar kepada komunitas pekerja berisiko Pertemuan (2x)
Pelaku KPAP POKJA Paramita Aparat Pemda & Pegiat LSM
Anggota KPAP Koran, radio, pertemu- Aparat an-pertemuan dan TV Pemda &
33
Pegiat LSM Bentuk sosialisasi yang dilakukan pemerintah daerah dan KPAD ini tentunya melibatkan berbagai kalangan yang terkait dengan penularan HIV dan AIDS terutama para pekerja berisiko. Dengan sosialisasi diharapkan kelompok sasaran/kelompok kunci dapat memahami norma-norma hukum dalam Perda dan pada gilirannya para pekerja berisiko dan masyarakat luas dapat terhindar dari penularan HIV dan AIDS. Dampak negatif dari terbatasnya sosialisasi Perda Penanggulangan HIV dan AIDS, antara lain: a. Kurangnya partisipasi aktif pemerintah, komunitas, implementor program dan masyarakat dalam melaksanakan perda tersebut. b. Keberadaan Perda HIV dan AIDS hanya dipandang sebagai salah satu alat untuk pendapatkan legitimasi pendanaan program baik dari APBD maupun dari lembaga donor (nasional dan internasional) c. Implementasi program berjalan tidak terarah karena dinilai tidak terpayungi secara hukum, karena Perda HIV dan AIDS hanya diakui secara de facto tidak secara de yure d. Terdapat beberapa pasal dan ayat yang belum mengakomodir kebutuhan dan permasalahan komunitas, maupun teknis pelaksanaan. e. Tumpang tindih antara program dan kebijakan di tingkatan provincial dan tingkatan dibawahnya (kabupaten/kota) f. Program tidak berjalan efektif, terkait teknis pelaksanaan dan pendanaan program. g. Susahnya akses: pendanaan dan program dalam lingkup lintas sector, dikarenakan ego sector.20 Terhadap sosialisasi yang dilakukan Pemerintah Daerah dan KPAD dimaksud mendapat respons dari para pekerja berisiko bahwa mereka telah mengetahui adanya Perda tentang Penanggulangan HIV dan AIDS, yang antara lain mewajibkan mereka menggunakan kondom dalam interaksi seks, namun mereka belum sempat membaca sendiri Perda tersebut, bahkan belum sempat melihat Perda itu. Informasi tentang adanya Perda itu diperoleh ketika mengikuti pertemuanpertemuan dengan petugas kesehatan dan pegiat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).21
20 21
Hasil Focus Group Discussion (FGD) dengan Kelompok IDUS di Surabaya, 20 Juli 2009. FGD dengan Kelompok IDUs di Surabya, 20 Juli 2009, FGD dengan Pekerja Seks Kompleks Doli dan Jarak Surabaya, 21 Juli 2009. Hal yang sama juga disampaikan dalam FGD dengan komunitas Gempol Porong, Banyuwangi, 23 Juli 2009. FGD dengan komunitas Lokalisasi Tanjung Elmo, Papua, 27 Agustus 2009.
34
Data lapangan yang dipaparkan di atas menggambarkan bahwa sosialisasi terhadap Perda Propinsi dan Kabupaten/Kota tentang Penanggulangan HIV dan AIDS masih sangat terbatas dan tidak menggunakan bentuk/metode sosialisasi yang tepat, sehingga para kelompok kunci/pekerja berisiko belum memahami secara baik norma-norma hukum yang diatur dalam Perda Penanggulangan HIV dan AIDS. Untuk itu, sosialisasi dalam bentuk tatap muka secara berkala dengan kelompok berisiko perlu ditetapkan dan direncanakan dengan baik sebagai upaya menghentikan penyebaran virus HIV dan pada gilirannya akan mengefektifkan implementasi Perda yang telah ditetapkan. Kendatipun demikian, semua kelompok kunci pada lokalisasi Doli dan Jarak, Gempol Porong, dan Tanjung Elmo merespons positif kehadiran Perda-Perda Penanggulangan HIV dan AIDS karena mereka merasa hak-haknya terlindungi dan mendapatkan jaminan kesehatan dan terhindari dari penularan penyakit yang ditularkan lewat hubungan seksual termasuk HIV dan AIDS. Hal ini terkait dengan kewajiban interaksi seks di tempat-tempat berisko menggunakan kondom. Di lain pihak, penelitian ini mengungkapkan respons lembaga pelaksana (Pemerintah Daerah setempat dan KPAD) terhadap Perda Penanggulangan HIV dan AIDS yang telah dilaksanakan. Respons Lembaga Pelaksana terungkap dalam tabel sebagai berikut: Tabel 3 Respons Lembaga Pelaksana No. Urut 1.
Pemda Jawa Timur
2.
Kabupaten Malang
3.
Banyuwangi
4.
Jayapura
Respons Perda sulit ditegakkan karena interaksi seks bersifat privasi dan sulit dikontrol Perda dianggap bermuatan politis karena inisiatif DPRD
Informan Sekretaris KPAP
Sekretaris KPAK & POKJA Paramita Sejarah lahirnya Perda Kadis sangat controversial, Kesehatan sehingga materinya sekedar jalan tengah dan saat ini harus direvisi Ada banyak masalah Anggota dalam materi Perda, KPAP sehingga tidak dapat
35
diterapkan efektif.
secara
Data yang terungkap menjelaskan bahwa di kalangan lembaga pelaksana (Pemerintah Daerah, Dinas kesehatan dan KPAD masih mengkuatirkan keefektifan Perda Penanggulangan HIV dan AIDS sebagai instrumen untuk menanggulangi HIV dan AIDS. Kekuatiran ini disebabkan oleh kelemahan-kelemahan yang terkandung dalam Perda-Perda Penanggulangan HIV dan AIDS dan juga aspek politis yang senantiasa menyertai proses pembentukan Perda. 2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Implementasi Perda Perda-Perda Penanggulangan HIV dan AIDS harus diimplementasikan sedemikian rupa agar dapat menjelmakan tujuantujuan Perda itu sendiri, namun dalam kenyataan yang diketemukan di lapangan Perda-Perda dimaksud belum diterapkan secara efektif. Belum diterapkan Perda-Perda dimaksud antara lain terlihat dalam beberapa kondisi sebagai berikut: a. Sebagaimana telah dipaparkan dalam sub bab sebelumnya, bahwa terbatasnya sosialisasi yang dilakukan aparat pemerintah daerah dan KPAD terhadap Perda-Perda yang telah ditetapkan. Terbatasnya sosialisasi ini terungkap jelas dari pernyataan para pekerja seks pada semua lokalisasi bahwa mereka memang telah mengetahui/mendengar tentang adanya Perda Penanggulangan HIV dan AIDS melalui petugas kesehatan atau sukarelawan LSM, namun mereka belum sempat melihat dan membaca sendiri Perda dimaksud. Bahkan mereka juga belum pernah mengikuti pertemuan-pertemuan yang membicarakam tentang Perda Penanggulangan HIV dan AIDS. Yang menarik dari pengakuan para pekerja berisiko bahwa kendatipun mereka belum membaca dan mendengar penjelasan tentang isi/materi Perda Penanggulangan HIV dan AIDS, namun tentang bahaya penyebaran HIV dan AIDS dan resiko mereka melakukan hubungan seks tanpa menggunakan kondom telah mereka ketahui melalui pengampu (papi/mami), petugas kesehatan dan juga relawan LSM yang bekerja di sekitar lokalisasi. b. Kecenderungan yang diungkapkan para pekerja seks bahwa para pelanggan masih cukup banyak yang enggan/tidak mau menggunakan kondom ketika melakukan hubungan seks dengan pekerja seks (berisiko). Hal ini menggambarkan bahwa belum meluasnya kalangan masyarakat yang mengetahui tentang Perda Penanggulangan HIV dan AIDS, sehingga belum memiliki kesadaran untuk menghindar dari kontak seks dengan para pekerja seks atau ketika melakukan kontak seks dengan pekerja seks selalu
36
menggunakan kondom. Kecenderungan ini juga disebabkan oleh tidak ditegakkannya Perda ketika ada pelanggaran. Apabila yang melanggar Perda dikenakan sanksi atau dipublikasikan melalui media massa maka pada gilirannya masyarakat akan tahu. c. Informasi tentang Perda Penanggulangan HIV dan AIDS ternyata hanya menjadi konsumsi kalangan tertentu saja yaitu mereka yang memiliki pekerjaan bersentuhan dengan masalah HIV dan AIDS, sedangkan kalangan yang lebih luas tidak memiliki akses untuk membaca dan ikut menyebarluaskan Perda Penanggulangan HIV & AIDS. Hal ini terlihat dari metode penyebarluasan Perda Penanggulangan HIV dan AIDS dengan menggunakan media masa (Koran, TV dan radio) hanya dilakukan di Bali, sedangkan metode ini belum dilakukan di daerah lain (lokasi penelitian ini). Kondisi yang menggambarkan belum efektifnya penerapan Perda Penanggulangan HIV dan AIDS dipengaruhi oleh beberapa faktor atau dengan perkataan lain terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi implementasi Perda-Perda Penanggulangan HIV dan AIDS. Adapun faktor-faktor dimaksud, antara lain: a. Faktor sikap Gubernur/Wakil Gubernur atau Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/Wakil Walikota. Bilamana komitmen/sikap mereka negatif terhadap masalah HIV dan AIDS, maka tidak terlihat dampak yang signifikan terhadap implementasi Perda Penanggulangan HIV dan AIDS. Sebaliknya bilamana gubernur/wakil gubernur atau bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota memiliki komitmen positif, maka dukungan terhadap upaya penanggulangan HIV dan AIDS (implementasi Perda) akan berjalan positif.22 Penelitian menunjukkan bahwa di Kabupaten Malang dan Banyuwangi, Wakil Bupati Malang memiliki komitmen yang kuat dalam mendukung penanggulangan HIV dan AIDS, sehingga dukungan fasilitas untuk penerapan Perda cukup baik. Demikian pula dukungan dana untuk upaya penanggulangan HIV dan AIDS (termasuk implementasi Perda) semakin meningkat dari tahun ke tahun sebagaimana ditetapkan dalam APBD. Dalam APBD sebelumnya (2008), alokasi anggaran untuk penanggulangan HIV dan AIDS sebesar Rp. 100.000.000;-, namun dalam tahun anggaran 2009 (setelah Perda Penanggulangan HIV & AIDS ditetapkan), alokasi anggaran meningkat menjadi Rp. 250.000.000.
22
Hasil Wawancara melalui electronic email dengan Dr. D.N.Wirawan, terkirim 16 Agustus 2009, Pukul 7.45 AM.
37
b.
c.
23
Di Kabupaten Banyuwangi juga terlihat kecenderungan meningkatnya alokasi anggaran untuk KPA Kabupaten Banyuwangi, yaitu 2005 : Rp. 15.000.000;- 2006: Rp. 91.000.000;2007: Rp. 91.000.000;- dan 2008: Rp. 81.000.000;Faktor attitude para pekerja berisiko dan pelanggannya yang sulit dikontrol. Dari penelitian lapangan terungkap bahwa semua penghuni lokalisasi (pekerja berisiko) telah memahami dan menyadari bahwa pekerjaan yang mereka lakukan dalam melayani pelanggan sangat berisiko terhadap penularan HIV dan AIDS, sehingga mereka harus menggunakan kondom dalam melakukan interaksi seks dengan pelanggannya. Oleh karenanya, mereka selalu menawarkan kondom kepada pelanggan sebelum interaksi seks. Ada sebagian pelanggan memang mau menggunakan kondom, namun sebagian lainnya tidak mau menggunakan kondom karena kondom dianggap mengurangi kenikmatan dalam interaksi seks. Menghadapi sikap pelanggan seperti ini, para pekerja berisiko itu berusaha merayu secara santun agar pelanggan mau menggunakan kondom, bahkan ada pekerja berisiko itu telah dilatih menggunakan mulut untuk memasang kondom pada alat kelamin pelanggan. Bilamana strategi yang digunakan itu tidak berhasil meluluhkan kemauan pelanggan, maka mereka terpaksa melayani pelanggan tanpa menggunakan kondom. Sikap terakhir dari pekerja berisiko ini karena mereka kuatir kehilangan rezeki yang telah mereka nantikan.23 Sikap dan perilaku para pekerja berisiko dan pelanggan tersebut tidak dapat dikontrol dalam rangka penegakan Perda Penanggulangan HIV dan AIDS karena terjadi tersembunyi dalam kamar tidur dan hanya diketahui oleh kedua pelaku tersebut. Terbatasnya dukungan dana APBD Untuk mengimplementasikan Perda Penanggulangan HIV dan AIDS tentunya membutuhkan dukungan dana dan fasilitas yang memadai. Selain dana yang mungkin saja berasal dari sumber lain, namun sebagai pihak yang paling bertanggungjawab atas implementasi Perda Penanggulangan HIV dan AIDS, sumber dana andalan utama adalah yang dialokasikan dalam APBD. Dari temuan di lapangan, justeru masih sangat rendahnya alokasi dana dalam APBD untuk mengimplementasikan Perda yang telah ditetapkan, kecuali di Kabupaten Malang dan Banyuwangi
Hasil Focus Group Discussion dengan Pekerja Berisiko di Doli dan Jarak, 21 Juli 2009, FGD dengan Pekerja Beresiko di gempol Porong (Banyuwangi, 23 Juli 2009, dan FGD dengan Pekerja Berisiko di Lokalisasi Tanjung Elmo, Papua, 27 Agustus 2009
38
d.
24
cenderung meningkat terkait dengan komitmen Bupati/Wakil Bupatinya. Di Propinsi Jawa Timur, alokasi dana tahun 2008: Rp.0; namun pada tahun 2009 mengalami peningkatan menjadi Rp. 200.000.000;- Jumlah dana yang dialokasikan tahun 2009 terlihat meningkat, namun tidak secara khusus untuk penanggulangan HIV dan AIDS ataupun untuk implementasi Perda Penanggulangan HIV dan AIDS. Besarnya dana tersebut dialokasikan dalam pos anggaran Dinas Kesehatan, sehingga dana tersebut dimanfaatkan juga kegiatan pemberantasan penyakit menular lainnya. Dalam wawancara dengan Sekretaris KPA Propinsi Jawa Timur, Bapak Otto Bambang ditegaskan bahwa: “kendatipun alokasi dana dalam APBD masih sangat terbatas untuk penanggulangan HIV dan AIDS, namun kegiatan-kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS masih tetap berjalan dengan dukungan dana yang bersumber dari Global Funds, Family Health International (FHI) dan HCPI.”.24 Peraturan Pelaksanaan dan Aparat Penegak Hukum. Hampir semua Perda Penanggulangan HIV dan AIDS mendelegasikan kewenangan pengaturan lebih lanjut tentang pelaksanaan Perda dengan produk hukum yang lebih rendah tingkatannya, namun daerah yang telah menetapkan peraturan pelaksanaan adalah Jawa Timur, yaitu Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 48 Tahun 2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Jawa Timur Nomor 5 Tahun 2004 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS di Jawa Timur. Dengan Keputusan Gubernur Jawa Timur tersebut membuka ruang untuk menerapkan berbagai norma hukum dalam Perda dimaksud. Sementara itu, pada daerah-daerah lain (lokasi penelitian) belum ditetapkan peraturan pelaksanaannya, sehingga praktis Perda Penanggulangan HIV dan AIDS tidak dapat diimplementasikan. Kondisi Perda-Perda semacam ini ibarat norma hukum yang tidak berbisa. Berkaitan dengan aparat penegak hukum yang bertugas menegakkan norma-norma hukum dalam Perda-Perda Penanggulangan HIV dan AIDS harus dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang diangkat khusus untuk itu, namun hasil penelitian menunjukkan bahwa pada semua daerah (lokasi penelitian) belum diangkat PPNS yang bertugas menegakkan Perda Penanggulangan HIV dan AIDS. Realitas ini
Hasil Wawancara dengan Sekretaris KPA Propinsi Jawa Timur, Bapak Otto Bambang, di Sekreatariat KPA Jawa Timur, pada 21 Juli 2008.
39
menjadi pemicu bagi tidak dapat dimplementasikan norma-norma hukum yang diatur dalam Perda-Perda Penanggulangan HIV dan AIDS. Kondisi ini terjadi pada semua daerah yang telah menetapkan Perda Penanggulangan HIV dan AIDS dan belum ada kemauan politik untuk segera mengupayakan pengisian lowongan PPNS diamksud, sehingga kalau ada pelanggaran terhadap norma-norma hukum dalam Perda Penanggulangan HIV dan AIDS, maka tidak mungkin dilakukan penegakan hukum karena aparatur yang berkompeten untuk itu tidak tersedia. 3. Dampak Penegakan Sanksi-sanksi Perda HIV dan AIDS terhadap Perilaku Aktor-aktor Yang Berperilaku Berisiko Sebagaimana telah diungkapkan di atas, dalam hal penegakkan hukum oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang diberikan tugas untuk itu, sampai saat ini belum ditetapkan PPNS yang ditugaskan khusus untuk itu. Oleh karenanya, sanksi-sanksi hukum yang diatur dalam Perda belum dapat diterapkan (terutama penggunaan kondom). Selain itu, tidak dapat diterapkan sanksi-sanksi hukum karena transaksi dan aktivitas seks dilakukan dalam ruangan tertutup (kamar), sehingga tidak bisa dideteksi. Evaluasi dan monitoring pelaksanaan Perda HIV dan AIDS juga sulit dilakukan karena perilaku seks sangat bersifat individual. Hal ini juga menambah deretan faktor yang mempengaruhi efektivitas penerapan Perda Penanggulangan HIV dan AIDS. Kendatipun sanksi-sanksi hukum dalam Perda Penanggulangan HIV & AIDS belum dapat diterapkan secara efektif, namun sebagai akibat diaturnya hal-hal tersebut dalam Perda membawa dampak sebagai berikut: a. Pekerja seks semakin berani menolak pelanggan yang tidak mau menggunakan kondom. Hal ini dikemukakan beberapa pekerja seks dalam FGD yang dilakukan di Doli dan Jarak (Surabaya, Gempol Porong (Banyuwangi), dan Lokalisasi Tanjung Elmo (Papua). Penolakan terpaksa dilakukan karena mereka kuatir akan tertular HIV dan AIDS. b. Melalui VCT diketemukan bahwa trend data pengidap HIV dan AIDS semakin meningkat menunjukkan bahwa kinerja yang cukup baik dari Pemda dan KPAD. Sebagai contoh di Jawa Timur, perkiraan 3000 kasus HIV pada Maret 2009, namun pada Juni 2009 jumlah semakin meningkat; Hal ini menunjukkan bahwa komitmen Pemerintah Daerah dan KPAD dalam menanggulangi dan memberantasi HIV dan AIDS semakin baik, namun masih menghadapi banyak kendala.
40
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan 1. Pada prinsipnya materi mutan Perda Penanggulangan HIV dan AIDS belum memenuhi kualifikasi sebagai peraturan yang baik. Hal ini ditandai dengan belum terwujudnya sinkronisasi pengaturan antara Perda Penanggulangan HIV dan AIDS dengan peraturan yang lainnya, ada Perda yang belum merumuskan tujuannya secara jelas dan juga pengaturan kewajiban dan larangan bagi kelompok kunci yang cenderung diskriminatif dan sulit dipantau atau dimonotor untuk kepentingan penegakkan Perda. 2. Pembagian kewenangan penanggulangan HIV dan AIDS antara kabupaten/kota dan provinsi belum jelas. Kenyataannya, materi yang sama dari penanggulangan HIV dan AIDS diatur oleh kabupaten/kota dan diatur juga oleh provinsi. Hal ini disebabkan tidak adanya arahan yang jelas dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kepada provinsi dan kabupaten/kota untuk mengatur penanggulangan HIV dan AIDS di daerah masing-masing. 3. Pengaturan tentang lembaga pelaksana dan kelompok kunci dalam peraturan daerah berkaitan dengan penanggulangan HIV dan AIDS, ada rumusan yang efektif diterapkan dan ada rumusan yang tidak efektif diterapkan. Hal ini ditandai dengan pengaturan kewajiban menggunakan kondom dalam melakukan hubungan seks atau larangan bagi orang yang terinfeksi HIV dan AIDS untuk melakukan hubungan seks dengan orang lain. Kewajiban dan larangan tersebut tidk efektif karena penanggulangan HIV dan AIDS menyentuh hal-hal yang bersifat pribadi yang tidak mudah diintervensi dan juga sulit untuk dipantau atau dimonitor yang pada gilirannnya Perda tidak dapat ditegakkan. 4. Kelompok pekerja berisiko merespons positif kehadiran Perda-Perda Penanggulangan HIV dan AIDS karena mereka merasa hak-haknya terlindungi dan mendapatkan jaminan kesehatan dan terhindari dari penularan penyakit-penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) termasuk HIV dan AIDS. Sementara itu, di kalangan lembaga pelaksana (Pemerintah Daerah, Dinas Kesehatan dan KPAD) masih mengkuatirkan keefektivan Perda Penanggulangan HIV dan AIDS sebagai instrumen untuk menanggulangi HIV dan AIDS. Kekuatiran ini disebabkan oleh kelemahan-kelemahan yang terkandung dalam Perda-Perda Penanggulangan HIV dan AIDS dan juga aspek politis yang senantiasa menyertai proses pembentukan Perda. 5. Perda-Perda Penaggulangan HIV dan AIDS belum efektif diterapkan karena lemahnya sosialisasi, lemahnya komitment kepala
41
daerah/wakil Kepala Daerah, perilaku pekerja berisiko dan pelanggannya yang sulit dikontrol, terbatasnya dukungan dana dan fasilitas pendukung, serta belum dibuatkan peraturan pelaksanaan dan belum tersedianya aparat khusus untuk penegakan Perda HIV dan AIDS. 6. Sampai saat ini Pemerintah Propinsi dan Kabupaten belum metetapkan PPNS yang ditugaskan khusus untuk melakukan penegakkan Perda-Perda Penanggulangan HIV dan AIDS, sehingga sanksi-sanksi hukum yang diatur dalam Perda belum dapat diterapkan (terutama penggunaan kondom). Selain itu, tidak dapat diterapkan sanksi-sanksi hukum karena transaksi dan aktivitas seks dilakukan dalam ruang tertutup (kamar), sehingga tidak bisa dideteksi. Evaluasi dan monitoring pelaksanaan Perda HIV dan AIDS juga sulit dilakukan karena perilaku seks sangat bersifat individual. B. Saran Beranjak dari kesimpulan yang telah dirumuskan, maka ditawarkan beberapa saran sebagai berikut: 1. Pembenahan kembali Perda HIV dan AIDS; Materi muatan Perda penanggulangan HIV dan AIDS pada umumnya memiliki kesamaan materi muatan, walaupun masih terdapat perbedaan dari aspek tertentu. Untuk itu, sebaiknya demi efisiensi dan efektivitas penanggulangan HIV dan AIDS di daerah maka setiap daerah yang telah memiliki Perda penanggulangan HIV dan AIDS perlu dijabarkan melalui peraturan pelaksanaan yang sesuai dengan situasi dan kondisi di daerah masing-masing. Bagi kabupaten/kota yang belum memiliki regulasi tentang hal ini kiranya terus difasilitasi untuk menetapkan regulasi sesuai dengan kondisi daerah masingmasing. 2. Untuk menghindari tumpang tindih kewenangan, perlu adanya pembagian kewenangan yang jelas tentang penanggulangan HIV dan AIDS antara kabupaten/kota dan provinsi. Hal ini hanya dapat dilakukan melalui arahan yang jelas dari peraturan perundangundangan yang lebih tinggi kepada provinsi dan kabupaten/kota untuk merevisi Perda Provinsi dan Kabupaten Kota agar ada batasan kewenangan yang jelas antara Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota.. 3. Perlu dilakukan revisi terhadap Perda yang berkaitan dengan hak, kewajiban, larangan dan kebolehan bagi lembaga pelaksana dan kelompok kunci agar dapat efektif diterapkan dan mundah dipantau. 4. Perlu Penguatan Kapasitas Aparat Penegak Hukum (PPNS) yang bertugas menegakkan Perda Penanggulangan HIV dan AIDS; 5. Perlu dilakukan advokasi penyusunan APBN dan APBD yang berpihak pada upaya penanggulangan HIV dan AIDS.
42
6. Dalam rangka mengefektifkan penerapan Perda-Perda Penaggulangan HIV dan AIDS maka perlu dilakukan sosialisasi secara berencana dan berkala kepada perilaku pekerja berisiko, mendorong komitmen kepala daerah/wakil Kepala Daerah untuk menyediakan dukungan dana dan fasilitas pendukung lainnya, termasuk penetapan peraturan pelaksanaan Perda sesuai situasi dan kondisi setempat. Untuk kebutuhan jangka panjang sebagai upaya menghentikan penyebaran HIV dan AIDS maka langkah preventif yang lebih efektif jika dilakukan melalui pemberian pengetahuan dan pemahaman akan bahaya HIV dan AIDS kepada anak-anak sejak dini. Untuk itu, perlu dipertimbangkan memasukan materi HIV dan AIDS dalam kurikulum sekolah minimal mulai dari sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP). Dengan demikian, diharapkan anak-anak telah mengetahui dan memahami bahaya HIV dan AIDS sejak dini dan mampu membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik untuk dilakukan. 7. Perlu penelitian lanjutan tentang perlindungan hukum terhadap hakhak para pengidap HIV dan AIDS, kebijakan pemerintah daerah dan kesiapan institusi lokal dalam mendukung penanggulangan HIV dan AIDS.
DAFTAR PUSTAKA Ahmad, Rival Gulam, dkk. (Penyunting), Manual Rancangan Peraturan Untuk Transformasi Sosial, PSHK, Jakarta, 2005. Kelsen, Hans, General Theory of Law and State, Russell and Ruseell, New York, 1973. Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, Strategi Penanggulangan HIV dan AIDS 2007 – 2010. -------, Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 2007 – 2010. Manan, Bagir, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, Penerbit INDILL.CO, Jakarta, 1992. Poerwadarminta, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1975 Purbacaraka, Purnadi dan Soerjono Soekamto, Perihal Kaedah Hukum, Alumni, Bandung, 1986.
43
Rahardjo, Sucipto, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000. Soemitro, Ronny Hanitijo, Studi Hukum dan Kemiskinan, Penerbit Tugu Muda, Semarang, 1989 Seidman, Ann, et all., Penyusunan Rancangan Undang-Undang Dalam Perubahan Masyarakat yang Demokratis, Edisi Terjemahan, ELIPS II, 2001 Soekanto, Soerjono, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, CV. Rajawali - Jakarta, 1983. -------, Sosiologi ; Suatu Pengantar, Rajawali Pres, Bandung, 1996. Soetoprawiro, Koerniatmanto, Fungsi Hukum Administrasi Dalam Pencegahan Masalah Kemiskinan, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 1998.
44