EFEKTIVITAS BANTUAN BIAYA OPERASIONAL PENDIDIKAN EFFECTIVENESS OF EDUCATION OPERATIONAL COST SUPPORT Malem Sendah Sembiring Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan e-mail:
[email protected]
ABSTRAK Studi ini dimaksudkan untuk melihat efektivitas bantuan dana pemerintah berupa Bantuan Operasional Sekolah (BOS) ke sekolah. Efektivitas pendanaan ditinjau dari beberapa aspek, seperti kinerja sekolah, komposisi pendanaan, dan mekanisme pengalokasian dana. Untuk mendapatkan data yang diperlukan dilakukan wawancara di 20 Dinas Pendidikan/Bappeda dan 40 kepala sekolah serta mengumpulkan dokumen yang relevan. Analisis diskriptif kuantitatif-kualitatif dilakukan untuk melihat efektivitas pendanaan di sekolah kategori besar, sedang dan kecil serta di daerah perkotaan dan pedesaan. Hasil studi menunjukkan masih terdapat sebagian kecil siswa dan guru kurang disiplin, sebagian kecil guru tidak menyusun sendiri rencana pembelajaran, dan tidak terdapat perbedaan berarti antar katagori sekolah maupun antar lokasi. Prestasi siswa di sekolah besar relatif lebih baik walaupun tidak ada perbedaan nyata prestasi siswa di kota dan di kabupaten (pedesaan). Besarnya dana yang diterima sekolah tampaknya tidak terkait langsung dengan kedisiplinan guru, keaktifan guru dalam persiapan pembelajaran, dan lokasi sekolah. Mekanisme pengalokasian dana ke sekolah tidak terlalu panjang namun perlu pendataan dan pengawasan lebih seksama. Kata kunci: efektivitas, biaya pendidikan, mekanisme pembiayaan, biaya operasional, dan sumber dana ABSTRACT This study is intended to look at the effectiveness of government funding in the form of the School Operational Assistance (BOS) to school. The effectiveness of funding in terms of several aspects, such as school performance, composition and financing and funding allocation mechanisms. To obtain the necessary data an interview is conducted at the 20 Department of Education / Bapeda , 40 principals and collect the relevant documents. Quantitative-qualitative descriptive analysis was done to see the effectiveness of school funding in the categories of large, medium and small as well as in urban and rural areas. The study shows there is
still a small portion of students and teachers' lack of discipline, a minority of teachers do not prepare their own lesson plans, and there is no significant difference between the category of school and between locations. Student achievement in large schools is relatively better, but there was no significant difference in student achievement in the city and district (rural). The amount of funds were apparently not directly related to the discipline of teachers, increase activities of teachers, and school location.
Mechanism of funds allocation to school not too long but need more thorough data collection and monitoring. Keywords: effectiveness, education costs, financing mechanisms, operating costs, and funding sources 1
PENDAHULUAN Latar Belakang Ketercukupan dana pendidikan untuk satuan pendidikan menentukan keberhasilan penyelenggarannya. Dana pendidikan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dikelola dan disalurkan ke sekolah-sekolah melalui lembaga pemerintah yang menangani pendidikan di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Dana tersebut disalurkan melalui berbagai jenis program dan kegiatan di masing-masing tingkat pemerintahan. Sistem pengalokasian dana selama ini sangat beragam dengan rumusan yang kurang jelas. Koordinasi yang jelas antar tingkat pemerintahan dalam pendanaan pendidikan serta mekanisme penyaluran dan rumus yang tepat sangat menentukan efektivitas pendanaan pendidikan. Dana yang sudah dialokasikan dalam jumlah yang sangat besar selama ini harus dipastikan dapat memberikan manfaat individu (private benefit) maupun manfaat sosial (social benefit). Untuk itu, mekanisme dan pengalokasian pendanaan pendidikan di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan sekolah/madrasah haruslah tepat. Hasil studi ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang efektivitas pemanfaatan dana pendidikan yang bersumber dari pemerintah dan masyarakat. Selain itu, studi juga dimaksudkan untuk melihat implementasi Renstra Kemendiknas 2010-2014 untuk Program Pendidikan Dasar, Program Pendidikan Menengah, dan Program Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dalam rangka mendukung tujuan strategis, yaitu: 1) terjaminnya layanan pendidikan dasar bermutu dan berkesetaraan di semua provinsi, kabupaten dan kota, 2) tersedia dan terjangkaunya layanan pendidikan menengah yang bermutu, relevan, dan berkesetaraan di seluruh Indonesia. Pentingnya kajian terhadap pendanaan pendidikan tercermin dari: 1. Tuntutan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU. Sisdiknas No. 20 Tahun 2003), khususnya Bab XIII, Pasal 46 tentang Tanggung Jawab Pendanaan, Pasal 47 tentang Sumber Pendanaan Pendidikan, Pasal 48 tentang Pengelolaan Dana Pendidikan, Pasal 49 tentang Pengalokasian Dana Pendidikan dan Bab IX Pasal 62 tentang Standar Pembiayaan; 2. Ketentuan Peraturan Pemerintah 2
(PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan;
3. Peraturan
Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan yang menyebutkan bahwa dana pendidikan adalah sumber daya keuangan untuk menyelenggarakan dan mengelola pendidikan; 4. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 69 Tahun 2009 tentang Standar Biaya Operasi Nonpersonalia untuk SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK, SDLB, SMPLB, dan SMALB.
Masalah Adapun permasalahan yang perlu dijawab melalui studi ini adalah sebagai berikut: 1) Bagaimana kemampuan pendanaan pendidikan yang digunakan dapat meningkatkan kinerja sekolah dilihat dari aspek: a) Tingkat kehadiran siswa; b) Tingkat kehadiran guru; c) Jam belajar efektif (time on task); d) Pembuatan rencana pembelajaran; e) Pemberian program remedial atau pengayaan; dan f) Capaian hasil belajar siswa (ulangan harian, semesteran, dan UN)? 2) Bagaimana Komposisi Dana Pendidikan tahun 2010 dilihat dari besar, sumber, dan pemanfaatan pendanaan pendidikan? 3) Bagaimana mekanisme pengalokasian dana pendidikan yang bersumber dari pemerintah? Tujuan Tujuan studi terkait dengan efektivitas BOS dimaksudkan untuk mengetahui halhal berikut: 1) Dampak perolehan dana pendidikan meningkatkan kinerja sekolah dalam aspek: a) Kedisiplinan (kehadiran siswa dan guru); b) Jam belajar efektif (time on task); c) Pembuatan rencana pembelajaran; d) Pemberian program remedial atau pengayaan; e) Pencapaian hasil belajar siswa. 2) Komposisi dana pendidikan dilihat dari besar, sumber, dan pemanfaatan pendanaan pendidikan. 3) Mekanisme pengalokasian dana pendidikan. Perlunya Pendanaan Pendidikan Menurut Suryadi (1999), Indonesia mempunyai rasio investasi modal fisik yang cukup baik, namun dari segi investasi sumberdaya manusia (SDM) rasio investasi Indonesia adalah yang terendah di negera-negara Asia Tenggara dan Timur. Kenyataan ini menunjukkan bahwa investasi modal fisik yang besar ternyata belum didukung investasi SDM dalam jumlah dan mutu yang memadai. Sehingga tidak mengherankan 3
Indonesia harus mendatangkan tenaga kerja terampil dari luar negeri dalam beberapa dekade ini. Pengalaman di sejumlah negara membuktikan bahwa investasi fisik bukanlah satusatunya penentu keberhasilan pembangunan. Berbagai penelitian justru menyimpulkan bahwa investasi SDM melalui pendidikan memiliki dampak yang paling besar terhadap kemajuan negara-negara industri baru, dibandingakn investasi fisik (Suryadi, 1999). Investasi sumberdaya manusia bahkan dipandang sebagai faktor yang paling menentukan terhadap keberhasilan pertumbuhan ekonomi. Individu yang berpendidikan lebih tinggi relatif lebih mudah mendapat pekerjaan dan meningakatkan kesejahteraannya yang pada gilirannya
akan
berdampak
pada
tingkat
kesejahteraan
ekonomi
negara.
(OECD/UNESCO, 2003). Besar kecilnya investasi di bidang SDM mempengaruhi mutu dan relevansi pendidikan. Besaran investasi SDM terlihat dari besaran anggaran pendidikan
yang
disediakan
pemerintah
dan
sumber-sumber
lainnya,
yang
memungkinkan suatu sistem pendidikan berkembang sesuai kebutuhan masyarakat. Terdapat dua pandangan ekstrim mengenai siapa yang paling bertanggung jawab untuk menyediakan pendanaan pendidikan. Pertama, pendidikan dianggap merupakan urusan negara, sehingga negaralah yang paling bertanggungjawab untuk menyediakan pendanaan pendidikan. Kedua, pendidikan dianggap menjadi urusan masyarakat, sehingga masyarakat harus ikut bertanggung jawab menyediakan dana bagi pendidikan. Untuk jenjang pendidikan dasar, pandangan yang paling dominan di banyak negara sejak tahun 1940-an adalah bebas biaya (Bray, 2002). Dengan kata lain, pemerintah harus membiayai sepenuhnya pendidikan di tingkat dasar. Pandangan ini antara lain terlihat pada Artikel 26 United Nation Declaration of Human Rights yang menyatakan: “Everyone has the right to education. Education shall be free, at least in the elementary and fundamental stages.” Pendidikan tingkat dasar dianggap sebagai salah satu hak asasi warga negara dan setiap warga negara harus mendapatkan hak pendidikan tanpa melihat mampu-tidaknya untuk membiayainya. Pandangan seperti ini bertahan sampai beberapa dekade kemudian. Misalnya Declaration on the Rights of the Child (1959) dan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (1966), mengharuskan pendidikan di tingkat dasar dibiayai oleh negara.
4
Disisi lain, membebaskan biaya pendidikan tinggi malah dianggap memberikan subsidi terhadap kelompok kaya, sebab mereka yang masuk ke jenjang pendidikan tinggi lebih banyak berasal dari kelompok kaya dibandingkan dari kelompok miskin. Sedangkan pada jenjang pendidikan menengah, argumen keadilan dan mobilitas sosial dianggap hanya tepat sebagian. Sebab proporsi siswa dari kelompk kaya dan miskin pada jenjang pendidikan menengah biasanya relatif seimbang (Bray, 2002). Seiring dengan makin berkurangnya kemampuan negara dalam menyediakan pelayanan sosial, pandangan umum mengenai pembiayaan pendidikan dasar juga mengalami pergeseran. Bray (2002) mengutip Convention on the Rights of the Child tahun 1989 dan World Conference on Education for All (WCEFA) tahun 1990 yang tidak lagi “mengharuskan” pendidikan dasar disediakan secara gratis oleh pemerintah. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat. Peran pemerintah dalam investasi pendidikan mencakup pembangunan dan pemeliharaan gedung-gedung sekolah dan ruang kelas, penyediaan peralatan sekolah, pembayaran gaji guru, program peningkatan kualitas guru, dan lainnya. Anggaran untuk pendidikan dapat dipandang sebagai pelaksanaan fungsi pemerintah untuk menyediakan sarana pelayanan umum yang bersifat nonprofit. Sumber–sumber Dana Pendidikan Sumber dana pendidikan adalah lembaga atau pihak-pihak yang memberikan dana, baik berupa natura atau uang untuk keperluan penyelenggaraan pendidikan. Di banyak negara, pemerintah masih merupakan sumber pendanaan terpenting bagi sektor pendidikan. Bahkan di negera-negara maju yang tingkat kesejahteraan masyarakatnya sudah cukup tinggi, kontribusi pemerintah terhadap pendanaan pendidikan masih cukup besar. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa sumber dana pendidikan berasal dari pemerintah, masyarakat dan orangtua siswa. UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, pasal 31 ayat (4) juga mengatur agar Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab menyediakan anggaran pendidikan. Dana pendidikan yang bersumber dari pemerintah berasal dari 5
pemerintah pusat, pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan bantuan asing. Dana pendidikan yang berasal dari Pemerintah Pusat dialokasikan melalui Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, yang kemudian diteruskan ke lembaga pendidikan. Sedangkan dana pendidikan yang berasal dari Pemerintah Daerah dialokasikan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Besarnya alokasi dana yang diberikan ke sekolah dari APBD antara daerah bervariasi tergantung pada besar kecilnya Pendapatan Asli Daerah (PAD), serta perhatian pemerintah setempat terhadap sektor pendidikan. Sumber dana pendidikan dari masyarakat atau orang tua siswa merupakan sumber dana pendidikan yang tidak kalah pentingnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab besar terhadap pembiayaan pendidikan, terutama pendidikan dasar. Namun di beberapa negara, masyarakat masih terlibat secara signifikan dalam pembiayaan pendidikan. Keterlibatan masyarakat bahkan terlihat sangat menonjol manakala pemerintah tidak cukup mampu untuk membiayai kegiatan pendidikan (Bray, 1996b). Lebih lanjut Bray, 1996 memberi memberi beberapa contoh pembiayaan pendidikan oleh masyarakat. Di di China tahun 1990 sekitar 41 persen guru tetap di sekolah dasar dan 10 persen guru tetap di sekolah menegah dibayar oleh masyarakat. Di Nepal, tahun 1991 tercatat sebanyak 18 persen sekolah menengah diselenggarakan oleh masyarakat, tanpa bantuan dari pemerintah. Di Bhutan, masyarakat terlibat dalam pembangunan dan penyelenggaraan sekolah, dari tingkat dasar sampai menengah. Meski dalam skala yang berbeda, keterlibatan masyarakat dalam pembiayaan pendidikan juga terdapat di El Salvador dan Bolivia. Keefektifan Biaya Menurut Woodhall (1987), cost-effectiveness analysis adalah suatu teknik untuk mengukur hubungan antara total input atau biaya-biaya dari suatu proyek atau kegiatan dengan hasil (output). Cost dan effectiveness, keduanya harus diukur secara kuantitatif, namun tidak perlu dihitung dalam bentuk uang (monetary terms). Oleh karena itu, analisis cost-effectiveness perlu dibedakan dengan analisis cost-benefit yang mengukur
6
biaya dan manfaat suatu proyek dalam satuan uang (monetary terms) untuk mengetahui tingkat balikan (rate of return). Mengacu pada pengertian analisis cost-effectiveness tersebut, maka biaya efektif adalah biaya penyelenggaraan pendidikan terutama ditujukan untuk menyiapkan lulusan agar dapat bekerja di lapangan usaha sesuai dengan bekal kemampuan yang telah diperoleh. Dengan asumsi lulusan yang memiliki kompetensi tinggi akan mudah diterima di lapangan kerja, maka dalam studi ini pengertian output didekati dari aspek kompetensi dengan indikator hasil ujian kompetensi. Tinggi rendahnya kompetensi siswa akan terkait dengan berbagai komponen input yang tersedia dan proses pembelajaran yang diukur secara kuantitatif. Berdasarkan uraian di atas maka efektivitas dapat didefenisikan sebagai tingkat ketercapaian tujuan yang dicanangkan. Cara yang ditempuh untuk mendayagunakan berbagai sumber yang ada dalam mencapai tujuan tersebut perlu dilihat secara seksama. Adapun yang dimaksudkan dengan efektivitas pembiayaan pendidikan dalam studi ini adalah pencapaian tujuan program pendidikan dengan pemanfaatan sumber daya yang tersedia secara optimal.
METODE PENELITIAN Pendekatan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) pendidikan dasar merupakan salah satu program bantuan pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan untuk semua sekolah yang memenuhi syarat. Perhitungan pemberian dana adalah per siswa dan besarnya dana per siswa di kota relatif lebih besar sehingga besarnya dana yang diterima suatu sekolah tergantung jumlah siswa dan lokasi sekolah (kota atau kabupaten). Sekolah yang jumlah siswanya banyak memperoleh dana BOS lebih besar dibanding sekolah yang jumlah siswanya sedikit. Untuk keperluan analisis maka secara relatif sekolah dikategorikan menjadi sekolah besar, sedang dan kecil dengan kriteria pengkategorian sebagai berikut:
7
Tabel 1. Jumlah Sekolah Sampel berdasarkan Kategori Sekolah dan Kriteria Jumlah siswa Kategori sekolah Kecil
Kriteria jumlah siswa SD
Sedang Besar
151 s.d. 400 siswa > 400 siswa
≤ 150 siswa
Jumlah sekolah 8 14 13
Kriteria jumlah siswa SMP < 300 siswa 301 s.d. 759 siswa > 759 siswa
Jumlah sekolah 7 18 10
Studi dilakukan dengan pendekatan kuantitatif melalui metode survey untuk mengeksplorasi variabel-variabel terkait efektivitas pembiayan dan dilengkapi dengan mengumpulkan data/informasi yang bersifat kualitatif. Kunjungan ke beberapa sekolah sampel dilakukan untuk wawancara dengan dinas pendidikan provinsi dan kabupaten/kota serta meminta dan mempelajari dokumen-dokumen yang relevan. Populasi dan Sampel Sasaran studi adalah satuan pendidikan dasar, yaitu SD dan SMP negeri. Selanjutnya wilayah Indonesia dibagi menjadi 5 wilayah secara geografis, yaitu Wilayah Sumatera, Wilayah Jawa dan Bali, Wilayah Kalimantan, Wilayah Sulawesi, dan Wilayah Nusa Tenggara, dan Maluku, Dari kelima wilayah tersebut dipilih 10 provinsi, dan di setiap provinsi dipilih 2 kabupaten/kota, sehingga total sampel 20 kabupaten/kota. Sampel sekolah ditentukan dengan menggunakan metode kombinasi dari cluster sampling (berdasarkan IPM kabupaten/kota) dan stratified sampling (berdasarkan nilai UN). Berdasarkan daftar IPM dan nilai rata-rata UN sekolah, dipilih sekolah secara acak 2 SD dan 2 SMP negeri di setiap kabupaten/kota, sehingga total sampel seluruhnya adalah 40 SD negeri dan 40 SMP negeri. Responden Responden dalam studi ini terdiri dari kepala sekolah, guru, siswa, pihak dinas kabupaten/kota, dan kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) kabupatenupaten/kota. Responden kepala sekolah adalah semua kepala sekoah dari 8
sekolah sampel, sedangkan responden guru SD terdiri dari satu orang guru kelas rendah dan satu orang guru kelas tinggi serta responden guru SMP masing-masing satu orang wali kelas VII dan satu orang wali kelas IX. Responden siswa SD diwakili oleh satu rombongan belajar siswa kelas V, sedangkan untuk SMP satu rombongan belajar siswa kelas VII yang masing-masing ditentukan oleh pihak sekolah bila terdapat kelas paralel di sekolah tersebut. Responden dinas kabupaten/kota dipilih pejabat yang memiliki informasi tentang pendanaan pendidikan dan mekanisme pengalokasian dana. Responden di Bappeda, yaitu pejabat yang memiliki informasi tentang alokasi dan mekanisme pendanaan pendidikan. Prosedur Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan teknik pengisian kuesioner yang diwawancarakan, dan studi dokumen. Instrumen dikembangkan melalui proses uji coba untuk melihat keterbacaan dan keterisian data (validitas dan reliabilitas), Pengisian kuesioner dilakukan oleh petugas pengumpul data dengan mewawancari kepala sekolah, guru, dan dinas pendidikan dan Bappeda. Sedangkan siswa diminta mengisi kuesioner dengan bimbingan petugas pengumpul data. Analisis Data Data dari kepala sekolah, guru, dan siswa dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif
kuantitatif dan dilengkapi dengan metode deskriptif kualitatif.
Analisis
difokuskan pada segi manfaat (benefit) dana pendidikan dengan indikator tingkat kehadiran siswa dan guru, kualitas pembelajaran, jam belajar efektif, dan prestasi akademik siswa. Data dari Bappeda dan Dinas Pendidikan dianalisis untuk mengetahui besarnya dana pendidikan dari sumber APBN dan APBD serta mekanisme penyalurannya.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil dan pembahasan studi berdasarkan lokasi sekolah dan kuantitas siswa atau besar sekolah dilihat dari berbagai aspek pendidikan yang diperkirakan dipengaruhi langsung atau tidak langsung oleh besarnya dana operasioanal sekolah. Dampak Pendanaan Pendidikan dalam Meningkatkan Kinerja Sekolah 9
Kehadiran Siswa dan Guru Berdasarkan data kehadiran siswa pada bulan Agustus hingga bulan Nopember 2010 terlihat rata-rata tingkat kehadiran siswa cukup tinggi (diatas 95%) atau dengan kata lain tingkat ketidakhadiran peserta didik cukup rendah, yaitu berkisar antara 0,88 hingga 4,88 persen per bulan. Tingkat ketidakhadiran siswa SD di kota dan di kabupaten tidak terdapat perbedaan yang mencolok walaupun terjadi fluktuasi kehadiran siswa antar waktu. Tingkat kehadiran siswa SD terlihat relatif
lebih tinggi dibandingkan tingkat
kehadiran siswa SMP terutama di kabupaten dan menjelang akhir semeser. Peningkatan kehadiran siswa menjelang akhir semester tersebut tampaknya karena menjelang ujian akhir semester. Tingkat kehadiran
siswa SMP di kabupaten relatif
lebih
rendah
dibanding di kota, yang penyebabnya diperkirakan transportasi ke sekolah relatif sulit dan mahal serta apresiasi orangtua terhadap pendidikan di kabupaten yang lebih rendah. Tabel 2. Persentase ketidakhadiran siswa bulan Agustus hingga November 2010 Satuan pendidikan SD SMP Total
Lokasi sekolah Kota Kabupaten Kota Kabupaten Kota Kabupaten
Agustus 2010 2,82 2,31 2,13 4,88 2,49 3,59
Waktu September Oktober 2010 2010 2,64 1,84 2,67 2,14 2,08 1,88 2,69 4,32 2,37 1,86 2,68 3,23
November 2010 2,06 0,88 1,24 1,94 1,67 1,41
Secara keseluruhan tingkat ketidakhadiran siswa SD dan SMP tidak sampai lima persen dan cenderung menurun dalam kurun waktu empat bulan pengamatan. Rata-rata persentase ketidakhadiran siswa, dalam kurun waktu pengamatan tersebut, di sekolah kategori kecil relatif lebih tinggi dibanding sekolah kategori lainnya baik di SD maupun di SMP atau pun antar lokasi. Lebih lanjut terlihat ketidakhadiran siswa SMP kategori kecil di kabupaten jauh lebih tinggi dibanding SMP di kota maupun SD di semua lokasi maupun kategori sekolah. Gambar berikut ini memperlihatkan kondisi ketidakhadiran siswa SD dan SMP di kabupaten/kota menurut kategori sekolah.
10
Gambar 1. Persentase ketidakhadiran siswa menurut jenis, lokasi dan besar sekolah Gambar di atas mengindikasikan bahwa semakin banyak siswa suatu sekolah semakin kecil proporsi siswa yang tidak hadir baik di SD maupun di SMP. Sumber dana yang lebih besar memungkinkan sekolah dapat meningkatkan kualitas sarana prasarana maupun SDMnya. Lebih jauh terlihat bahwa ketidakhadiran siswa dari waktu ke waktu berubah secara fluktuatif dan cenderung menurun baik di SD maupun di SMP. Hal ini diperkirakan sebagai dampak tidak langsung dari kecilnya dana operasional sekolah atau pengaruh faktor lainnya yang perlu dielaborasi lebih lanjut.
Gambar 2. Persentase ketidakhadiran siswa SD dan SMP menurut kategori sekolah Tingkat ketidakhadiran guru SD berkisar antara dua hingga enam persen per bulan dan guru SMP antara tiga hingga delapan persen perbulan. Tingkat kehadiran guru SD maupun guru SMP di kota relatif lebih tinggi dibanding di kabupaten (Tabel 3). Tingkat ketidakhadiran guru pada bulan November 2010 cenderung meningkat yang disebabkan antara lain karena guru harus menyelesaikan administrasi sekolah atau mengerjakan urusan keluarga. 11
Tabel 3. Persentase ketidakhadiran Guru bulan Agustus hingga November Tahun 2010 Satuan pendidikan SD SMP Total
Lokasi sekolah Kota Kabupaten Kota Kabupaten Kota Kabupaten
Agustus 2010 2,64 5,04 4,11 4,49 3,83 4,09
Waktu September Oktober 2010 2010 1,68 1,96 5,32 3,08 3,91 2,64 3,52 4,25 2,05 3,90 2,62 4,03
November 2010 3,24 6,17 5,03 8,19 4,79 6,12
Berdasarkan kategori sekolah terlihat perbedaan persentase kehadiran guru, yaitu ketidakhadiran guru SD relatif tinggi, namun terjadi sebaliknya di SMP. Fenomena terjadinya persentase ketidakhadiran guru SD di sekolah besar lebih tinggi tampaknya terkait dengan jumlah guru di sekolah besar relatif lebih banyak sehingga memungkinkan guru yang tidak hadir dapat digantikan oleh guru lain. Dilihat secara keseluruhan ketidakhadiran guru SMP dan SD relatif tinggi, namun ditinjau dari satuan pendidikan, lokasi sekolah, dan besar sekolah, tidak terlihat pola ketidakhadiran guru yang jelas pada kurun waktu pengamatan. Berdasarkan hal itu dapat dikatakan bahwa ketidakhadiran guru tidak terkait langsung dengan banyaknya jumlah siswa di suatu sekolah baik di SD maupun di SMP.
Gambar 3. Persentase ketidakhadiran guru menurut jenis, lokasi dan besar sekolah
12
Keefektifan Pembelajaran Keefektifan pembelajaran dilihat dari dua aspek, yaitu kedisiplinan penggunaan waktu dan pembicaraan menyangkut inti pelajaran. Informasi dari siswa SD memperlihatkan bahwa masih terdapat guru SD yang datang terlambat atau keluar lebih cepat dari kelas yang diajarnya. Keadaan di kota relatif lebih baik dibanding di kabupaten untuk setiap aspek kebiasaan guru yang diamati. Ditinjau dari besar-kecilnya sekolah maka kedisiplinan guru di sekolah kategori besar di kota, sedangkan di kabupaten terjadi hal sebaliknya. Tanggapan siswa SMP terhadap kedisiplinan guru hampir sama dengan pendapat siswa SD, terdapat sekitar satu persen atau kurang guru yang terlambat masuk ke ruang kelas sewaktu memulai pelajaran atau keluar lebih cepat saat pelajaran berakhir dan tidak terlihat perbedaan antara kota dan kabupaten maupun antar guru mata pelajaran (Gambar 4). Hal dapat diartikan bahwa para guru cukup bertanggungjawab dalam melaksanakan tugasnya, walaupun masih terdapat segelintir guru yang kurang disiplin.
Gambar 4. Persentase guru SMP terlambat atau keluar lebih cepat menurut lokasi sekolah menurut pengamatan siswa Frekuensi keterlambatan guru SMP pada awal pembelajaran, khususnya guru matematika, guru bahasa Indonesia, dan guru PKn relatif lebih besar di SMP kategori kecil, namun terjadi hal sebaliknya di SD. Hal ini mengindikasikan bahwa besarnya dana yang diterima sekolah tidak terkait langsung dengan tingkat kedisiplinan guru karena sekolah belum mengalokasikan dana untuk peningkatan kedisiplinan guru.
13
Menurut pandangan siswa, terdapat kebiasaan guru SMP membicarkan hal-hal yang tidak terkait dengan mata pelajaran yang sedang dibahas selama pembelajaran. Sekitar 25 hingga 50 persen siswa menyatakan guru memiliki kebiasaan membicarakan hal-hal diluar konteks pelajaran selama 5 hingga 15 menit. Hal ini dapat berdampak pada keefektifan proses pembelajaran. Guru-guru di kabupaten lebih banyak melakukan kebiasaan tersebut dibanding rekan mereka di kota (Tabel 5). Tabel 5. Rata-rata waktu (menit) digunakan guru membicarakan hal lain diluar pelajar sewaktu mengajar Lokasi Kategori Guru Guru Bahasa Guru Sekolah sekolah Matematika Indonesia Guru PKn Kertakes Kecil 6.4 15.0 Sedang 6.2 7.5 7.3 7.5 Kota Besar 5.6 6.8 5.6 8.9 Total 6.1 7.3 7.1 8.3 Kecil 6.2 7.2 9.3 8.6 Sedang 7.6 8.9 8.1 6.9 Kabupaten Besar 6.5 7.0 10.2 10.2 Total 7.2 8.4 8.7 7.3 Pembuatan Rencana Pembelajaran Menurut kepala sekolah, semua guru telah memiliki Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) oleh semua guru, tetapi hanya beberapa guru yang menyusun sendiri RPP tersebut. Keadaan tersebut hampir sama di kabupaten dan di kota maupun menurut besar kecilnya sekolah. Hal ini mengindikasikan bahwa guru kurang giat dalam mempersiapkan pembelajaran, kemungkinan karena kurangnya pengetahuan guru dan juga kurangnya perhatian kepala sekolah terhadap kegiatan tersebut. Remedial dan Pengayaan Menurut kepala sekolah kegiatan pengayaan dan remedial dilakukan oleh semua sekolah. Adapun sasaran kegiatan tersebut menurut sebagian besar sekolah adalah siswa yang ketinggalan saja, namun ada juga sebagian kecil sekolah yang melakukannya untuk semua siswanya. Terdapat perbedaan kebiasaan pemberian remedial dan pengayaan di kota dan di kabupaten. Sekolah di kota tampaknya lebih fokus memberi remedial bagi siswa yang ketinggalan saja. Namun bila dilihat dari kategori sekolah variasi pemberian remedial terhadap siswa tidak memiliki pola yang jelas. 14
Pencapaian Hasil Belajar Siswa Menurut Lokasi Sekolah Secara umum terlihat bahwa nilai rata-rata siswa pada smester dua, berada pada kisaran tujuh atau sesuai standar kelulusan (SKL) yang diberlakukan di sekolah-sekolah. Sebaran skor dari masing-masing mata pelajaran umumnya mendekati pola distribusi normal dan tidak ada perbedaan nyata
rata-rata nilai ujian akhir dari siswa yang
bersekolah di kota dan di kabupaten baik di SD maupun di SMP. Bila dilihat dari sebaran skor tersebut maka pencapaian sebagian siswa pada mata pelajaran yang diujikan masih dalam kategori rendah yang dapat diartikan bahwa penyelenggaraan sekolah belum sepenuhnya efektif. Ditinjau dari ukuran sekolah maka nilai rata-rata siswa pada ujian akhir semester II untuk mata pelajaran matematika, IPA, dan bahasa Indonesia di sekolah ukuran besar umumnya relatif lebih baik daripada pencapaian siswa di sekolah kecil. Dengan berasumsi kondisi sekolah hampir sama, kecuali besar dana operasional maka diperkirakan salah satu penyebab pencapaian skor di sekolah besar lebih baik adalah dampak dari perolehan dana operasional yang lebih besar. Komposisi Dana Pendidikan Hasil studi menunjukkan sumber dana pendidikan terbesar (± 65%) berasal dari APBD Kabupaten/Kota, disusul oleh APBD Provinsi (±18%) dan dana Dekonsentrasi (±15%).
Penggunaan dana terbesar menurut pihak dinas pendidikan adalah untuk
program PAUD, disusul insentif pendidik dan tenaga kependidikan, serta peningkatan sarana-prasarana. Alokasi dana APBD menurut pihak dinas kabupaten/kota terbesar adalah untuk program peningkatan mutu (49,3%) disusul untuk insentif untuk pendidik dan tenaga kependidikan (31,4%) dan sisanya (19,3%) untuk layanan lainnya. Mekanisme Penyaluran Dana BOS Penyaluran dana ke sekolah seharusnya melalui jalan terpendek tanpa mengabaikan unsur pengawasan. Semakin pendek jalur penyampaian dana ke sekolah akan memberikan keuntungan antara lain adalah dana operasional sekolah akan selalu tersedia, sehingga tidak menghambat pelaksanaan KBM. Prosedur penyaluran dana BOS 15
tampaknya masih melalui jalur yang panjang sehingga terjadi keterlambatan dana sampai kepada penerima. Penyaluran dana BOS ke sekolah dilakukan melalui Provinsi, kemudian Provinsi mentransfer dana tersebut ke rekening sekolah melalui lembaga penyalur yang dipilih melalui proses tender. Lembaga yang ditetapkan sebagai lembaga penyalur dana BOS ke sekolah bervariasi, tergantung kebijakan daerah setempat dan kondisi geografis sekolah, seperti BPD, BNI, BRI, dan Kantor Pos. Data jumlah siswa di sekolah diperoleh Tim Manajemen BOS Provinsi dari dinas pendidikan kabupaten/kota. Pendataan tersebut memerlukan waktu yang cukup panjang, dan menjadi salah satu penyebab terlambatnya dana diterima sekolah. Proses transfer dana BOS ke sekolah umumnya mengalami keterlambatan pada tri wulan pertama tahun ajaran dan tri wulan pertama tahun anggaran. Selain karena proses pendataan, keterlambatan transfer dana juga disebabkan antara lain: (i) Kesalahan nomor rekening karena kepala sekolah berganti, (ii) Pergantian pejabat di provinsi dan (iii) Perubahan nomor rekening sekolah. Pada kasus tertentu, realisasi dana BOS kadang-kadang tidak sesuai dengan jumlah siswa karena beberapa sebab, antara lain: 1) Data dari sekolah terlambat diserahkan; 2) Data sekolah tidak akurat; 3) Data tidak up to date; dan 4) Fluktuasi jumlah siswa antar waktu. Mekanisme Pengalokasian Dana Block Grant Secara umum cara yang ditempuh untuk menyalurkan dana block grant dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu 1) sekolah terlebih dahulu mengajukan proposal ke Kemdiknas melalui Dinas Provinsi, 2) Pemberian block grant dari pusat langsung ke sekolah yang telah didata sebelumnya, dan 3) Melalui dana dekonstrasi di Dinas provinsi ke Kabupaten/kota lalu ke sekolah. Pengawasan yang efektif harus menjadi pertimbangan dalam mekanisme penyaluran dana terebut. Berikut ini beberapa contoh bagan penyaluran dana block grant ke tingkat sekolah.
16
Proposal oleh Lembaga Pendidikan (Kepala Sekolah)
Realisasi Dana ke Sekolah
Menguji Proposal (Subag Perencanaan dan diketahi oleh Kepala Dinas Pendidikan)
Persetujuan Komite
MOU (SekolahKemdiknas)
Diajukan ke Kemdiknas
Gambar 5. Perolehan dana melalui pengajuan proposal dari sekolah Pendataan Sekolah oleh Dinas Kab./kota
Pusat
MOU Dinas Provinsi dan Sekolah-sekolah
Dana langsung ke Rekening Sekolah
Gambar 6. Perolehan dana langsung ke sekolah Pendataan sekolah Oleh Dinas Kab./Kota
Analisis Data
Pusat
Seleksi Penyalur dana (lelang)
Dana ke Rekening Sekolah
APBD Provinsi (Dekon) APBD Kab./Kota
Gambar 7. Perolehan dana melalui proses lelang
17
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dana pemerintah untuk sektor pendidikan sudah cukup besar yang terlihat dari besarnya rata-rata alokasi dana pendidikan pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Sumber terbesar pendanaan SMA umumnya berasal dari pemerintah (APBN/APBD). Efektifitas penggunaan dana sekolah tercermin yang dilihat pada beberapa aspek kinerja yang dianggap merupakan dampak langsung dari besarnya dana yang diterima sekolah menunjukkan hasil yang bervariasi namun belum menunjukkan performa tinggi. Kedisiplinan guru dan siswa, yang dilihat dari persentase tingkat kehadiran di sekolah belum sepenuhnya baik. Proses pembelajaran belum sepenuhnya efektif terlihat dari adanya sebagian kecil guru yang memiliki kebiasaan membicarakan hal-hal diluar konteks pelajaran sewaktu mengajar. Guru belum sepenuhnya aktif membuat sendiri RPP dalam rangka persiapan pembelajaran. Kegiatan pengayaan dan remedial umumnya telah dilakukan oleh semua sekolah dengan sasaran siswa yang ketinggalan pelajaran saja, namun ada juga yang melakukan remedial untuk semua siswa terutama sekolah-sekolah di kabupaten. Pencapaian siswa dalam ujian semester akhir untuk beberapa mata pelajaran yang dicermati masih termasuk kategori rendah yang berarti pembelajaran di tingkat kelas belum sepenuhnya efektif. Sumber terbesar dana pendidikan di tingkat kabupaten/kota adalah APBD kabupaten/kota disusul APBD Provinsi atau dana dekonsentrasi. Alokasi dana pendidikan yang bersumber dari APBD Provinsi/dekonsentari dan APBD Kabupaten/Kota yang terbesar secara berturut-turut adalah untuk program PAUD Wajar Dikdas, dan honor dan insentif pegawai. Dana BOS baru sebagian yang digunakan untuk peningkatan mutu, sedangkan sebagian lainnya digunakan untuk insentif pendidik dan tenaga kependidikan. Sistem penyaluran dana hingga ke tingkat sekolah memerlukan data yang akurat dari sekolah serta pengawasan dari pihak terkait yang relevan. Sistem penyaluran dana yang terlihat pada studi ini belum sepenuhnya efektif karena masih melibatkan berbagai pihak dan harus melalui berbagai tahapan pengelolaan.
18
Saran Untuk meningkatkan efektivitas dana yang diperoleh sekolah perlu peningkatan keterampilan pengelolaan keuangan dari pihak sekolah, khususnya kepala sekolah dan bendahara sekolah berupa pelatihan atau magang. Alokasi bantuan dana ke sekolah harus memperhatikan azas keadilan, khusunya untuk sekolah-sekolah yang jumlah siswanya “sedikit” perlu ditetapkan jumlah dana BOS dengan standar minimum per sekolah. Alokasi penggunaan dana pendidikan agar lebih difokuskan pada peningkatan prestasi siswa melalui perbaikan proses pembelajaran, remedial/percepatan, peningkatan sarana prasarana penunjang pembelajaran, serta peningkatan disiplin sekolah (tenaga pendidik, tenaga kependidikan, dan peserta didik). Pada setiap tingkat pengelolaan pendidikan, diperlukan suatu standar pengelolaan dan pengalokasian dana yang lebih konkrit dengan mekanisme/jalur lebih pendek serta standar ukuran keberhasilan menurut jumlah dana yang dikucurkan ke sekolah. Arah kebijakan pendanaan pendidikan lebih ditingkatkan untuk daerah di luar kota (rural area). Pemberian bantuan seharusnya melalui “satu pintu” untuk memudahkan sistem pelaporan dan pengawasan. Perlu sistem pendataan sekolah yang lebih mutahir misalnya menggunakan teknologi informasi agar mekanisme penyaluran dana lebih tepat waktu dan lebih mudah pengawasannya. Pada tingkat sekolah perlu dikembangkan perangkat lunak pengelolaan dana sekolah yang standar.
DAFTAR PUSTAKA Bray, R. 2002. Hardship in Australia: An analysis of financial stress indicators in the 1998-99 Australian Bureau of Statistics. Bray, Mark (1996b): Counting the Full Cost: Parental and Community Financing of Education in ast Asia. Washington DC: The World Bank in collaboration with UNICEF. Declaration of the Rights of the Child G.A. res. 1386 (XIV), 14 U.N. GAOR Supp. (No. 16) at 19, U.N. Doc. A/4354 (1959). (http://www.cirp.org/library/ethics/UN-declaration/).
Suryadi, A. 1999. Pendidikan, Investasi SDM, dan Pembangunan : Isu Teori dan Aplikasi. Pusat Informatika Balitbang Dikbud, Jakarta. 19
UN General Assembly, International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, 16 December 1966, United Nations, Treaty Series, vol. 993, p. 3 (http://www.unhcr.org/refworld/docid/3ae6b36c0.html).
Woodhall, M, 1987, Cost Analysis in Education, Oxford University Press, 1987. _______ Undang Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, ______ Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. ______ Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. ______ Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan. ______ Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 69 Tahun 2009 tentang Standar Biaya Operasi Nonpersonalia. ______ Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 2 Tahun 2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Pendidikan Nasional Tahun 2010-2014.
20