Daftar Isi Jurnal Demokrasi & HAM
Vol. 4, No. 1, 2004
EDITORIAL Pemilu 2004: Semakin Terkonsolidasikah Demokrasi Kita?
3
ANALISIS Topo Santoso Pelanggaran Pemilu 2004 dan Penanganannya
9
Asep Ridwan Memahami Perilaku Pemilih pada Pemilu 2004 di Indonesia
30
Airlangga Pribadi Darwinisme Partai Politik pada Pemilu 2004
53
Intantri Kusmawarni dan Wenny Pahlemy Media Bicara Soal Capres dan Cawapres
77
TELAAH BUKU Andrinof A. Chaniago Jangan Gegabah Mengawinkan Demokrasi dan Ekonomi Pasar
92
DISKUSI Diskusi Praktik-Praktik Politik Uang Menjelang Pemilihan Presiden
BIODATA PENULIS
102
131
JURNAL DEMOKRASI & HAM Terbit sejak 20 Mei 2000 ISSN: 1441-4631 Penanggung Jawab Redaksi: A. Watik Pratiknya Dewan Redaksi: Muladi (Ketua) Indria Samego Dewi Fortuna Anwar Umar Juoro Andrinof A. Chaniago Ade Armando Pimpinan Redaksi: Andi Makmur Makka Redaktur Pelaksana: Irman G. Lanti Redaktur: Taftazani Rudi M. Rizki Sekretaris: Fitri Indah Kuwaratiwi Produksi: Ghazali H. Moesa Usaha: Fetty Fajriati Achmad Amal Della Emilia Rahmanita Layout dan Desain M. Ilyas Thaha Alamat Penerbit dan Redaksi: Jl. Kemang Selatan No. 98, Jakarta 12560 - Indonesia Telp.: (021) 7817211, Fax: (021)7817212 Website: http://www.habibiecenter.or.id E-mail:
[email protected] Gambar-gambar pada sampul diambil dari: http://www.detik.com
editorial PEMILU 2004: SEMAKIN TERKONSOLIDASIKAH DEMOKRASI KITA? Pemilu dan Demokrasi Pemilihan umum adalah salah satu pilar utama dari sebuah demokrasi, kalau tidak dapat disebut yang terutama. Sentralitas dari posisi pemilihan umum dalam membedakan sistem politik yang demokratis dan bukan tampak jelas dari beberapa definisi demokrasi yang diajukan oleh para sarjana. Salah satu konsepsi modern awal mengenai demokrasi yang diajukan oleh Joseph Schumpeter dan kemudian dikenal sebagai mazhab Schumpeterian malahan menempatkan penyelenggaraan pemilihan umum yang bebas dan berkala sebagai kriteria utama bagi sebuah sistem politik untuk dapat disebut sebagai sebuah demokrasi.1 Dalam khazanah demokrasi kontemporer posisi pemilihan umum memperoleh penguatan. Kajian akademis mengenai demokrasi mengenal dua kategorisasi pemaknaan besar, yaitu konsepsi minimalis dan maksimalis.2 Demokrasi minimalis atau dalam wacana di Indonesia lebih dikenal dengan peristilahan demokrasi prosedural dikenakan kepada sistem-sistem politik yang melaksanakan perubahan kepemimpinan secara reguler melalui suatu mekanisme pemilihan yang berlangsung bebas, terbuka, dan melibatkan massa pemilih yang universal (tanpa pembedaan ras, agama, suku, dan gender). Bagi konsepsi maksimalis pelaksanaan pemilihan umum saja tidaklah cukup bagi suatu sistem politik untuk mendapatkan gelar demokrasi, karena konsepsi ini (yang di Indonesia lebih dikenal dengan peristilahan demokrasi substantif) mensyaratkan penghormatan terhadap hak-hak sipil yang lebih luas dan penghargaan terhadap kaidah-kaidah pluralisme yang mendasar. Bila ditilik lebih jauh, kedua konsepsi tersebut menjadikan pemilihan umum sebagai prasyarat bagi demokrasi. Karenanya, sebuah rezim yang 1 Lihat Joseph Schumpeter (1947) Capitalism, Socialism, and Democracy, New York: Harper. Untuk argumentasi serupa dalam khazanah keilmuan yang lebih kontemporer, lihat Samuel P. Huntington (1993) The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, Norman: Oklahoma University Press. 2 Banyak sarjana menulis tentang kategorisasi ini. Untuk contohnya lihat Larry Diamond (1999) Developing Democracy: Toward Consolidation, Baltimore: The Johns Hopkins University Press.
4
Demokrasi & HAM,Vol.4, No. 1, 2004
menjamin pluralitas dan hak-hak sipil tapi tidak melakukan pergantian kekuasaan secara reguler melalui pemilihan umum tidak dapat mengklaim dirinya sebagai sebuah demokrasi. Walaupun akhir-akhir ini terdapat serangkaian kritik terhadap pendapat yang mengedepankan prosedur demokrasi ini,3 posisi pemilihan umum tetaplah dipandang sentral dalam wacana demokrasi. Wacana konsolidasi kemudian menjadi pokok baru yang menarik dikaji. Bila digambarkan sebagai sebuah spektrum, konsolidasi akan mengentalkan warna demokrasi dari kategori minimalis yang berwarna muda menuju ke arah maksimalis yang berwarna lebih pekat. Kepentingan konsolidasi biasanya kerap diterakan pada negara-negara yang baru saja meninggalkan otoritarianisme menuju ke demokrasi.4 Tatkala negara-negara ini menempuh jalan panjang ke arah demokrasi, langkah pertama yang lazim ditempuh adalah langkah-langkah minimalis, seperti menyelenggarakan pemilihan umum yang terbuka, bebas dan adil, dan pemberian hak-hak politik dasar kepada seluruh warganegara tanpa perkecualian yang didasarkan pada ras, agama, dan gender. Untuk menuju ke arah demokrasi maksimalis, konsolidasi demokrasilah jalannya. Penerapan konsolidasi hanya pada negaranegara demokrasi baru sebenarnya agak salah kaprah karena demokrasi sesungguhnya adalah sebuah proses yang tak henti. Sebuah politas yang demokrasinya dipandang telah terkonsolidasi dapat saja mengalami arus balik yang membahayakan posisi si demokrasi itu sendiri. Pemilu 2004 dalam Perspektif Sejarah Pemilu 2004 adalah pemilu kesembilan yang telah diselenggarakan di republik ini. Walaupun salah satu program dari salah satu kabinet pertama yang dibentuk oleh pemerintahan Republik Indonesia, yaitu kabinet Hatta, adalah melaksanakan pemilu, kekisruhan yang terjadi sepanjang perang revolusi kemerdekaan di paruh kedua dasawarsa 1940an dan ketidakpastian bentuk pemerintahan setelah terbentuknya Republik Indonesia Serikat menunda pelaksanaan pemilu tersebut. Pemilu pertama baru dilangsungkan pada 1955, terbagi dalam dua tahap. Pemilu untuk memilih anggota DPR dilaksanakan pada September dan untuk 3 Lihat antara lain Fareed Zakaria (2003) The Future of Freedom: Illiberal Democracy at Home and Abroad, New York: W.W. Norton. 4 Lihat kumpulan artikel dalam Larry Diamond, Marc F. Plattner, Yun-han Chu and Hung-mao Tien, eds. (1997) Consolidating the Third Wave Democracies, Baltimore: The Johns Hopkins University Press.
Editorial
5
memilih anggota Dewan Konstituante pada Desember. Pemilu yang diikuti oleh lebih dari 30 partai politik dan lebih dari seratus calon perorangan ini kerap digambarkan sebagai salah satu contoh pemilu yang terbuka dan bebas. Pemilu tersebut menghasilkan empat partai besar yang dipercaya pemilih baik di DPR maupun Konstituante, yaitu PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Namun alih-alih terkonsolidasi, demokrasi Indonesia pasca Pemilu ini malahan mengalami arus balik. Kondisi instabilitas yang diakibatkan oleh terciptanya posisi kunci mati (deadlock) dalam pembahasan undangundang dasar terutama yang menyangkut isu dasar negara antara pendukung negara Islam dan negara Pancasila ditambah dengan pemberontakan-pemberontakan di daerah telah mendorong Presiden Sukarno untuk mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang pada intinya menamatkan “eksperimentasi” bangsa Indonesia dengan demokrasi. Sepanjang masa Demokrasi Terpimpin, pemilu tidak pernah sekalipun dilaksanakan. Yang berlaku malahan adalah kekuasaan mutlak dari presiden, yang membubarkan DPR hasil Pemilu 1955 dan menunjuk sendiri anggota-anggota DPR-Gotong Royong yang dibentuknya pada 1960. Karenanya ketika Presiden Sukarno terguling dan digantikan oleh Jenderal Suharto, tuntutan untuk menyelenggarakan pemilu sangat kuat dilancarkan oleh partai-partai politik. Akhirnya pada 1971, setelah absen 16 tahun pemilu kembali dilaksanakan. Namun kali ini, pemilu yang diselenggarakan nampak sudah tidak lagi memenuhi kriteria keterbukaan dan kebebasan seperti pada pemilu sebelumnya. Walaupun partai-partai politik masih diberikan peluang untuk bertarung dalam pemilu yang diikuti oleh 10 kontestan itu, nampak kentara bahwa kontestan pemilu baru yang didukung oleh pemerintah Orde Baru, Golongan Karya (Golkar) mendapatkan berbagai keistimewaan. Ini nampak pula dari hasil pemilu tersebut di mana Golkar menguasai lebih dari 60% kursi DPR kala itu. Setelah diterapkannya kebijakan penyederhanaan struktur kepartaian pada 1973, yang mengelompokkan partai-partai politik ke dalam dua partai baru, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), sangat jelas terlihat bahwa pemilu akhirnya hanya menjadi wahana legitimasi bagi kelangsungan kekuasaan rezim Orde Baru. Pemilu-pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan terakhir pada 1997
6
Demokrasi & HAM,Vol.4, No. 1, 2004
tidak dapat dikategorikan sebagai pemilu yang terbuka dan bebas, sehingga tidak bisa menvalidasi klaim demokrasi yang dulu kerap diajukan oleh rezim ini, bahkan dalam pengertian minimal sekalipun. Baru pada era sesudah kejatuhan rezim Orde Baru, pemilu bisa berjalan dengan lebih terbuka, adil, dan bebas. Pemilu 1999 menunjukkan ciri-ciri yang mirip dengan Pemilu 1955, yaitu diikuti oleh banyak kontestan, namun hanya segelintir saja yang mampu meraih suara dan kursi dalam jumlah signifikan di DPR. Hasil pemilu ini dinilai cukup mampu untuk mengkonsolidasikan institusi-institusi demokrasi di Indonesia. Sejak 1999 telah dilakukan empat kali amandemen UUD 1945 yang berupaya menampilkan check and balances antar lembaga-lembaga kenegaraan sebagai ciri utama dari sistem politik kita. Selain itu, setidaknya secara legal-formal, perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, hak-hak sipil dan politik telah termaktub dalam konstitusi kita. Namun dalam sebuah sistem terbuka sangat lazim bila terdapat pengharapan yang kunjung meningkat terus menerus, dan bukan merupakan keanehan bila sistem pemerintahan transisi, bahkan dalam berbagai kasus di dunia, tidak mampu berlari lebih cepat untuk memenuhi pengharapan tersebut. Sehingga pemerintahan era Reformasi banyak dipandang gagal dalam memenuhi tujuan-tujuan awalnya. Pandangan ini bukan hanya ditujukan pada rendahnya pencapaian pemerintah dalam memenuhi hajat hidup orang banyak setelah didera oleh krisis ekonomi pada 1997/1998, namun juga berlaku bagi kegagalan negara untuk menghargai pluralisme bagi seluruh warganya. Yang sangat kelihatan adalah kelemahan pemerintah pada era ini dalam menerapkan prinsip “hukum sebagai panglima” pada berbagai aspek. Tidak kunjung berkurangnya kasus-kasus korupsi dan penyalahgunaan wewenang menjadi salah satu indikator nyata dari kelemahan ini. Pemilu 2004: Konsolidasi atau Potensi Dekonsolidasi? Dalam kondisi seperti inilah kita memasuki Pemilu 2004. Seperti halnya pada Pemilu 1955, Pemilu 2004 juga dilaksanakan dalam beberapa kali pemungutan suara, yaitu pada 5 April untuk memilih anggota badan legislatif nasional maupun lokal dan anggota sebuah badan perwakilan baru bernama Dewan Perwakilan Daerah (DPD), 5 Juli untuk memilih secara langsung presiden dan wakil presiden pada putaran pertama, dan 20 September untuk pemilihan presiden dan wakil presiden pada putaran kedua. Calon presiden dan wakil presiden yang berhak maju untuk terus
Editorial
7
berkompetisi pada putaran kedua adalah dua pasangan yang mendapatkan suara terbanyak pada tahap pertama, dengan catatan tidak ada pasangan calon yang mampu meraih suara mayoritas mutlak (lebih dari 50% suara pemilih dengan distribusi yang relatif merata di berbagai wilayah pemilihan) pada putaran pertama. Pada satu sisi, format pemilu yang sama sekali berbeda dengan yang pernah dijalankan sebelumnya menunjukkan kemajuan dalam demokrasi kita. Selama ini yang terjadi adalah aspirasi politik rakyat pemilih tak mesti berbanding lurus dengan hasil dari proses politik yang dimainkan oleh para elit. Benar bahwa fenomena semacam bukan hanya khas Indonesia melainkan menjadi salah satu ciri tetap dari sebuah demokrasi perwakilan. Namun dalam konteks Indonesia, di mana akuntabilitas pejabat-pejabat publik terhadap konstituennya masih cenderung dipandang sebagai sesuatu yang asing, distorsi antara aspirasi dan realitas proses politik kerap sangat lebar. Sehingga setiap upaya untuk merapatkan jurang yang lebar ini tentunya akan berkorelasi positif dengan upaya konsolidasi demokrasi kita. Dalam konteks demikian, Pemilu 2004 yang memilih langsung pejabat-pejabat publik yang akan duduk di DPR dan DPD, dan di lembaga kepresidenan menjadi penting maknanya. Selain itu, hasil dari pemilu kali ini juga dapat dipandang positif bagi konsolidasi dari sisi seleksi alamiah kepartaian. Artikel Airlangga Pribadi dalam Jurnal Demokrasi dan HAM edisi ini mendiskusikan mengenai proses adaptasi dari partai-partai politik dalam merespons lingkungan politik yang dinamis dan terus menerus berubah. Menerapkan perspektif teoretis yang dikembangkan oleh aliran Darwinisme Sosial, Airlangga menelaah perilaku politik beberapa partai besar dalam Pemilu 2004. Ia kemudian menyimpulkan bahwa partai-partai politik adalah tak ubahnya makhluk hidup, di mana hanya mereka yang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan dan mampu menanggapi perubahan-perubahan dengan tepat dan efektif lah yang akan mampu bertahan. Namun di sisi lain, pemilu kali ini adalah pemilu yang sangat banyak diterpa oleh permasalahan. Sebagian permasalahan menyangkut sisi logistik, seperti pendaftaran pemilih yang bermasalah sehingga mengakibatkan banyak sekali calon pemilih yang tidak dapat menggunakan haknya, keterlambatan penyampaian surat suara ke berbagai tempat pemungutan suara, tinta yang tidak seragam tingkat kepekatan dan kemelekatannya, dan pemanfaatan teknologi informatika
8
Demokrasi & HAM,Vol.4, No. 1, 2004
yang sangat kontroversial. Apabila kita secara apologetik menafikan dan memaafkan kelemahan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam permasalahan logistik penyelenggaraan pemilu ini, permasalahan pelanggaran-pelanggaran UU Pemilu tetap tak melekangkan citra pemilu kali ini sebagai pemilu yang bermasalah. Pelanggaran-pelanggaran tersebut (sebatas pemilu legislatif 5 April lalu) dideskripsikan oleh Topo Santoso, anggota Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) dalam tulisannya di jurnal ini. Masih dalam konteks serupa, laporan diskusi yang diselenggarakan di the Habibie Center menjelang pemilihan presiden - wakil presiden putaran pertama juga bercerita mengenai praktek-praktek pelanggaran pemilu. Menilik maraknya pelanggaran-pelanggaran tersebut secara sepintas saja telah terbetik suatu keprihatinan bahwa di dalam suatu setting pemilu yang bebas, terbuka, dan telah dua kali diselenggarakan setelah Pemilu 1999, perilaku aktor-aktor politik tetap tak banyak beralih dari perilaku yang kerap ditunjukkan pada masa-masa sebelumnya. Keraguan bahwa pemilu kali ini mengkonsolidasikan demokrasi di Indonesia juga diperkuat oleh perilaku pemilih yang semakin menunjukkan pola sinisisme dan skeptisisme. Analisis Asep Ridwan berbicara mengenai fenomena ini. Menilik hasil-hasil jajak pendapat yang dikeluarkan oleh berbagai institusi menjelang pemilu kemarin, tulisan ini menggambarkan suatu potret yang tidak terlalu cerah mengenai apa yang dipikirkan oleh para pemilih memasuki masa pemilihan. Nampak agak jelas kelelahan rakyat pemilih terhadap tak kunjung rampungnya agenda-agenda reformasi. Dalam banyak hal, kecenderungan sebagian pemilih malahan menunjukkan kerinduan pada kondisi-kondisi stabilitas dan kemajuan perekonomian yang menjadi ciri khas dari rezim sebelumnya. Secara keseluruhan, artikel-artikel dalam Jurnal Demokrasi dan HAM edisi ini mencoba menangkap kedua kecenderungan yang tengah berlaku dalam politik elektoral, khususnya yang berkaitan dengan arah konsolidasi atau dekonsolidasi demokrasi kita. Sebagai warganegara, kehirauan kita akan masa depan demokrasi yang telah susah payah diperjuangkan ini menjadi kritikal karenanya. Arah konsolidasi demokrasi mesti dipertegas. Namun penegasan ini harus diiringi dengan pembuktian bahwa demokrasi adalah suatu sistem kenegaraan yang efektif dan bekerja dengan baik, melalui mana pemenuhan hajat hidup orang banyak dapat tercapai. Irman G. Lanti
analisis PELANGGARAN PEMILU 2004 DAN PENANGANANNYA Topo Santoso
1. Pengantar Angka pelanggaran pemilu semenjak masa pra kampanye hingga masa pemungutan suara pada Pemilu legislatif 2004 ternyata sangat jauh melampaui angka pelanggaran pada Pemilu tahun 1999. Hingga bulan Maret 2004 atau bisa disebut masa pra-kampanye, Panwas Pemilu mencatat jumlah pelanggaran sebanyak lebih dari 4200 kasus (baik administrative maupun pidana). Pada masa kampanye saja (11 Maret sampai 1 April) Panwas juga memproses lebih dari 4000 kasus, sementara pada tahapan pemungutan suara lebih dari 2000 kasus penyimpangan. Total pelanggaran (tidak termasuk sengketa) hingga tahapan rekapitulasi suara untuk seluruh Indonesia mencapai lebih dari 11.147 kasus1. Sebagai perbandingan, pada pemilu tahun 1999, Panwas pemilu mencatat lebih kurang 4800-an kasus, sekitar 800 diantaranya merupakan perkara pidana (termasuk di dalamnya money politics). Dari jumlah tersebut lebih dari 200 kasus diserahkan Panwaslu ke pihak kepolisian. Fakta menunjukkan hanya 5 kasus saja yang berakhir di pengadilan dan mendapat putusan. Empat kasus diputus bersalah dan satu kasus bebas. Empat kasus sudah mencapai kekuatan tetap, sementara satu kasus masih di tingkat kasasi, yang berarti untuk kelima kasus ini hampir lima tahun lamanya belum ada penyelesaian. Tulisan ini akan mencoba membahas pelanggaran pemilu pada pemilu legislatif 2004 dan berbagai aspek yang mempengaruhinya. Salah
1 Pada pemilu 1999 Panwaslu mencatat hanya ada sekitar 4800 kasus saja dan hanya 5 kasus yang mendapat putusan pengadilan.
10
Demokrasi & HAM,Vol.4, No. 1, 2004
satu pertimbangan penulis membatasi pembahasan pada pemilu legislatif tadi adalah karena sampai saat tulisan ini disiapkan (Juni 2004) tahapan pemilu presiden dan wakil presiden baru memasuki tahapan kampanye putaran pertama. 2. Pelanggaran/sengketa pemilu : Sebenarnya, ketika kita berbicara tentang apa itu pelanggaran pemilu, maka kita bisa dihadapkan pada sejumlah pengertian yang berbeda. Misalnya, ada yang mengartikan bahwa pelanggaran pemilu itu adalah setiap pelanggaran yang terjadi selama masa pemilu. Sebagian yang lain mengartikan sebagai pelanggaran terhadap undang-undang pemilu saja, sehingga pelanggaran yang terjadi selama masa pemilu tetapi tidak diatur dalam undang-undang pemilu maka tidak tergolong dalam pelanggaran pemilu. Masalah definisi itu perlu diperjelas terlebih dahulu sebelum kita membahas lebih jauh tentang pelanggaran pemilu. Penulis ingin mengartikan pelanggaran pemilu di sini secara khusus yang meliputi juga sengketa pemilu yang tidak hanya diatur oleh undangundang tetapu juga oleh peraturan lainnya, seperti Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU), meskipun keputusan tersebut hanya bersifat mengatur bukan yang bersifat penetapan. Masalah ini penting diperjelas karena pada gilirannya akan berkorelasi dengan tugas dan kewenangan penyelenggara pemilu mulai dari tingkat pusat yaitu KPU hingga KPU Provinsi, KPU Kabupaten/ Kota hingga panitia di bawahnya yakni Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS). Di samping itu juga nanti akan sangat terkait dengan tugas dan wewenang dari pengawas pemilu dari tingkat pusat hingga kecamatan. Beranjak dari pembatasan di atas, penulis ingin membatasi pelanggaran/sengketa pemilu dalam tulisan ini sebagai pelanggaran/ sengketa yang terjadi pada tahapan-tahapan pemilu yang berhubungan dengan peraturan perundang-undangan pemilu, baik yang diatur dalam undang-undang pemilu maupun dalam keputusan KPU yang bersifat mengatur. Pembatasan ini perlu karena, jika diartikan terlampau luas maka sangat menyulitkan dalam memfokuskan pengawasan pemilu, misalnya pelanggaran lalu lintas pada masa kampanye, ini bukanlah pelanggaran kampanye karena merupakan pelanggaran atas perundangundangan umum. Sama halnya jika penyelenggara pemilu dituduh melakukan korupsi maka tentu ini menyangkut undang-undang korupsi
Topo Santoso, Pelanggaran Pemilu 2004
11
bukan perundang-undangan pemilu. Sesuai dengan ketentuan-ketentuan pada Bab XIV Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum anggota DPR, DPD, dan DPRD maka kita dapat mengkategorikan pelanggaran/sengketa menjadi tiga kelompok yaitu: tindak pidana pemilu, pelanggaran administrative, dan sengketa pada penyelenggaraan pemilu.2 Yang terakhir ini sebenarnya masih dapat dibagi ke dalam dua jenis sengketa, yaitu sengketa pada penyelenggaraan pemilu (yang menjadi wewenang Pengawas Pemilu) dan sengketa hasil pemilu (yang menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi). 3. Tindak Pidana Pemilu Untuk menjamin pemilihan umum yang bebas dan adil diperlukan perlindungan bagi para pemilih, bagi para pihak yang mengikuti pemilu, maupun bagi rakyat umumnya dari segala ketakutan, intimidasi, penyupan, penipuan, dan praktek-praktek curang lainnya, yang akan mempengaruhi kemurnian hasil pemilihan umum. Jika pemilihan dimenangkan melalui cara-cara curang (malpractices), maka sulit dikatakan bahwa para pemimpin atau para legislator yang terpilih di parlemen merupakan wakil-wakil rakyat. Guna melindungi kemurnian pemilihan umum yang sangat penting bagi demokrasi itulah para pembuat undang-undang telah menjadikan sejumlah perbuatan curang dalam pemilihan umum sebagai suatu tindak pidana. Dengan demikian undangundang tentang pemilu di samping mengatur tentang bagaimana pemilu dilaksanakan juga melarang sejumlah perbuatan yang dapat menghancurkan hakekat free and fair election itu serta mengancam pelakunya dengan hukuman. Ketentuan tentang tindak pidana pemilu itu telah dimuat baik dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, undang-undang Pemilu, ataupun dalam Undang-undang Khusus tentang Tindak Pidana Pemilu. Sejak awal abad 19 di Inggris, misalnya telah ada the Corrupt and Illegal Practices Prevention Act, 1883. Undang-
2 Pengkategorian ini didasarkan pada ketentuan pada Pasal 128 ayat (4) UU No. 12 Tahun 2003 yang menyatakan : “ Laporan yang bersifat sengketa dan tidak mengandung unsure pidana diselesaikan oleh pengawas pemilu”; Pasal 128 (5) UU No. 12 Tahun 2003 Laporan yang mengandung unsure pidana diteruskan kepada penyidik; Pasal 130 UU No. 12 Tahun 2003 “ Pengawas Pemilu meneruskan temuan yang merupakan pelanggaran administrasi kepada KPU dan pelanggaran yang mengandung unsure pidana kepada penyidik.
12
Demokrasi & HAM,Vol.4, No. 1, 2004
undang itu mencakup tindakan-tindakan bribery, treating, undue influence, personation dan unauthorised expenditure dan menyebutnya sebagai corrupt practices. Sementara di AS juga terdapat Corrupt Practices Act, 1925 dan the Hatch Political Activity Act, 1940. Pengertian tindak pidana pemilu perlu diperjelas yaitu semua tindak pidana yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu yang diatur di dalam UU Pemilu. Dengan demikian tindak pidana yang terjadi pada masa pemilu tetapi tidak diatur dalam UU Pemilu, tidak bisa digolongkan sebagai tindak pemilu, sebagai contoh tindak pidana yang diatur dalam UU Partai Politik atau di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Begitu juga tindak pidana yang bisa jadi berkaitan dengan pemilu, tetapi tidak diatur dalam UU Pemilu juga tidak masuk dalam pengertian Tindak Pidana Pemilu (seperti penyimpangan keuangan dalam pengadaan surat-surat pemilihan atau tindak pidana yang diatur dalam UU Partai Politik). Siapakah subyek atau pelaku tindak pidana pemilu? Sepanjang sejarah pemilu di Indonesia yang dapat menjadi subyek tindak pidana pemilu adalah manusia selaku pribadi kodrati. Dengan kata lain, korporasi atau badan hukum dan partai politik bukanlah subyek tindak pidana pemilu. Bagaimana dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2003? Menurut undang-undang ini pun hanya manusia yang bisa menjadi subyek tindak pidana. Ini perlu dikemukakan sebab pada Pemilu 1999, Panwas serta KPU masih menyebut adanya tindak pidana pemilu yang dilakukan oleh korporasi non parpol dan partai politik. Dilihat dari sudut politik hukum (khususnya politik hukum pidana), kita melihat terjadinya perkembangan dalam melihat tindak pidana pemilu. Perkembangan itu mencakup semakin luasnya cakupan tindak pidana pemilu, peningkatan jenis tindak pidana, dan peningkatan sanksi pidana. Dari segi cakupan kita melihat perkembangan dari lima tindak pidana pemilu yang ada di dalam KUHP menjadi 15 tindak pidana pemilu pada UU No. 3 Tahun 1999, dan melonjak menjadi 26 tindak pidana pemilu pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003. Perkembangan yang cukup drastis di dalam undang-undang pemilu terbaru ini adalah terdapatnya ancaman minimal pada setiap tindak pidana pemilu serta dimuatnya ancaman denda yang bisa dijatuhkan sekaligus dengan sanksi penjara. Dengan demikian dari segi politik hukum, sejak di dalam KUHP, para pembuat undang-undang telah melihat adanya sejumlah perbuatan
Topo Santoso, Pelanggaran Pemilu 2004
13
yang berkaitan dengan pemilihan umum yang berbahaya bagi pencapaian tujuan pemilihan sehingga harus dilarang dan diancam dengan pidana. Terlihat kecenderungan peningkatan cakupan dan peningkatan ancaman pidana dalam beberapa undang-undang pemilu yang pernah ada di Indonesia. Ini dapat dipahami sebagai suatu politik hukum pembuat undang-undang guna mencegah terjadinya tindak pidana ini. Dari segi hukum acara juga terdapat perkembangan politik hukum yaitu ditentukannya penyelesaian tindak pidana pemilu yang singkat, mulai dari penyidikan, hingga pemeriksaan di sidang pengadilan yang membagi tindak pidana pemilu menjadi dua kelompok, satu kelompok langsung selesai di tingkat Pengadilan Negeri, sedang kelompok lainnya mengenal pengadilan terakhir yaitu di Pengadilan Tinggi. Secara singkat dapat dikatakan bahwa tindak pidana pemilu dipandang sebagai sesuatu tindakan terlarang yang serius sifatnya dan harus diselesaikan dalam waktu singkat agar dapat tercapai tujuan mengadakan ketentuan pidana itu untuk melindungi proses demokrasi melalui Pemilu. Meskipun ketentuan mengenai tindak pidana pemilu sudah ada sejak awal kemerdekaan yaitu di dalam KUHP ( UU No. 1 Tahun 1946) yang selanjutnya telah diatur pula di dalam undang-undang pemilu 1953, undang-undang pemilu Orde Baru, dan UU No. 3 Tahun 1999, tetapi sampai undang-undang pemilu terakhir tadi belum ada mekanisme khusus untuk menyelesaikan tindak pidana pemilu. Dengan kata lain tindak pidana pemilu di Indonesia diselesaikan sebagaimana tindak pidana lainnya. Seperti telah diuraikan di atas, di dalam beberapa peraturan perundangan-undangan itu ternyata hanya tindak pidana pemilu saja yang diatur, sementara bagaimana penyelesaiannya tidak diungkap. Undang-undang No. 3 Tahun 1999 agak berkembang sedikit karena sudah menyinggung masalah penyelesaian tindak pidana pemilu meski lagilagi masih juga mengembalikan penyelesaiannya pada proses yang sama seperti tindak pidana lainnya. Undang-undang Nomor 12 tahun 2003 membawa perubahan ke arah penyelesaian tindak pidana pemilu yang lebih cepat. Penyelesaian tindak pidana pemilu pada pemilu 1999 dilakukan sebagaimana penyelesaian tindak pidana lainnya seperti diatuer dalam KUHAP. Dengan demikian dapat disimpulkan pula bahwa penyelesaian
14
Demokrasi & HAM,Vol.4, No. 1, 2004
tindak pidana pemilu menurut peraturan perundang-undangan yang ada dilakukan oleh sistem peradilan pidana yang dimulai dari instansi kepolisian yang bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan, selanjutnya kejaksaaan yang bertugas melakukan penuntutan perkara ke depan pengadilan, dan selanjutnya hakim yang bertugas memeriksa suatu perkara di pengadilan. Bagaimana dengan penyelesaian tindak pidana pemilu pada Pemilu 2004 ? Pada prinsipnya penyelesaian tindak pidana pemilu sesuai UU No. 12 Tahun 2003 juga hampir sama dengan penyelesaian tindak pidana pemilu sebagaimana Pemilu 1999 yang lalu, tentu saja dengan sejumlah perkembangan baru. Persamaan pokoknya adalah bahwa penyelesaian tindak pidana pemilu pada pemilu 2004 juga dilakukan oleh sistem peradilan pidana. Dengan demikian Komisi Pemilihan Umum maupun Panitia Pengawas Pemilu untuk pemilu 2004 juga tidak memiliki wewenang dalam menyelesaikan tindak pidana pemilu. Sementara perkembangan baru yang paling penting adalah penyelesaian tindak pidana pemilu nantinya akan lebih cepat dibandingkan penyelesaian tindak pidana pemilu 1999 yang harus melewati proses sebagaimana tindak pidana umum tanpa ada pembedaan dalam soal waktu maupun tahapannya. Perkembangan itu menyangkut paling tidak empat hal : 1) diatur tata cara pelaporan; 2) waktu penyelidikan/penyidikan, penuntutan, serta pemeriksaan di pengadilan lebih cepat; 3) tindakan kepolisian bagi anggota MPR/DPR; dan 4) pembagian dua jenis penyelesaian di sidang pengadilan yaitu ada yang selesai satu tahap saja dan ada yang dua tahap. Meskipun ada perkembangan dalam UU Pemilu No. 12 Tahun 2003, baik berupa peningkatan tindak pidana pemilu maupun mekanisme penyelesaian tindak pidana pemilu yang lebih singkat, masih ada satu pertanyaan besar yang perlu dijawab para penegak hukum, mulai dari polisi, jaksa, hingga hakim, yaitu apakah mereka semua mempunyai persepsi yang sama dengan politik hukum dari pembuat UU Pemilu yang memandang bahwa tindak pidana pemilu merupakan perbuatan yang serius dan mengancam demokrasi sehingga pelakunya pantas diganjar sanksi yang sepadan? Pertanyaan ini penting dijawab sebab ada gejala tumbuhnya persepsi pada sebagian penegak hukum yang memandang bahwa tindak pidana pemilu tidak merugikan rakyat banyak, hanya merugikan partai politik yang saling bersaing saja.
Topo Santoso, Pelanggaran Pemilu 2004
15
4. Pelanggaran Administrasi Undang-undang pemilu memberi penjelasan Pelanggaran Administrasi sebagai pelanggaran terhadap ketentuan dan persyaratan menurut undang-undang pemilu.3 Ketentuan dan persyaratan menurut undang-undang pemilu tentu saja bisa berupa ketentuan-ketentuan dan persyaratan-persyaratan yang diatur baik dalam undang-undang pemilu maupun dalam Keputusan-keputusan KPU yang bersifat mengatur sebagai aturan pelaksanaan dari undang-undang pemilu. Mengacu kepada pemahaman seperti ini, maka tentu saja jumlah dari pelanggaran administrasi ini sangat banyak. Sebagai contoh, dari ketentuan menurut undang-undang pemilu sebagaimana tercantum dalam Pasal 14 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2003 dinyatakan bahwa : “Untuk dapat menggunakan hak memilih, warga negara Republik Indonesia harus terdaftar sebagai pemilih.” Dengan ketentuan seperti ini, maka apabila ada orang yang tidak terdaftar sebagai pemilih ikut memilih pada hari pemungutan suara maka telah terjadi pelanggaran administrasi. Contoh lain adalah mengenai persyaratan menurut undang-undang pemilu yang terdapat pada Pasal 63 UU No. 12 Tahun 2003. Di sini dinyatakan, “ Calon anggota DPD selain harus memenuhi syarat calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, juga harus memenuhi syarat : a. berdomisili di provinsi yang bersangkutan sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun secara berturut-turut yang dihitung sampai dengan tnggal pengajuan calon atau pernah berdomisili selama 10 (sepuluh) tahun sejak berusia 17 (tujuh belas) tahun di provinsi yang bersangkutan; dan b. tidak menjadi pengurus partai politik sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon.” Dengan demikian pelanggaran administrasi atas persyaratan ini misalnya seorang yang baru tinggal 1 tahun di suatu provinsi ternyata termasuk dalam calon anggota DPD. Ketentuan dan persyaratan juga banyak dijumpai dalam keputusan KPU, misalnya mengenai kampanye pemilu sesuai Keputusan KPU No. 701 Tahun 2003 dan Keputusan KPU No. 7 Tahun 2004. Berdasarkan ketentuan ini maka telah terdapat banyak pelanggaran administrasi, antara lain menyangkut tempat-tempat pemasangan atribut kampanye, larangan membawa anak-anak di bawah 7 tahun, larangan berkonvoi lintas daerah, dan sebagainya.
3
Penjelasan Pasal 130 UU No. 12 Tahun 2003.
16
Demokrasi & HAM,Vol.4, No. 1, 2004
Berbeda dengan penyelesaian tindak pidana pemilu di mana undangundang memberi aturan atau mekanisme mulai dari pelaporannya, penyidikan, penuntutan, hingga peradilannya (paling tidak ditentukan batasan waktunya), serta penyelesaian tindak pidana pemilu yang juga memberi aturan mengenai batasan waktu, bahkan juga tahapan penyelesaian sengketanya, pada pelanggaran administrasi ini undangundang pemilu hanya menyatakan bahwa laporan yang merupakan pelanggaran administrasi diserahkan kepada KPU. Jadi tidak jelas bagaimana KPU menyelesaiakan pelanggaran administrasi ini serta berapa lama KPU dapat menyelesaikannya. 5. Penyelesaian Sengketa Pemilu Sebagaimana telah disinggung di atas, sengketa pemilu ini dapat dibedakan atas dua jenis, yakni sengketa pada penyelenggaraan pemilu (yang menjadi wewenang pengawas pemilu) dan sengketa hasil pemilu (yang menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi). Potensi sengketa pemilu pada setiap tahapan pemilu sebenarnya cukup banyak tetapi dari seluruh tahapan pemilu maka tahapan kampanye dan tahapan pemungutan dan penghitungan suara menempati tahapan paling rawan dengan sengketa. Meskipun setiap kali pemilu selalu ada masalah sengketa, tetapi pengaturan tentang sengketa masih sangat minim dalam undang-undang. Undang-Undang No. 3 Tahun 1999 sebagai contoh hanya mengatur hal ini di satu pasal yakni tentang wewenang pengawas pemilu, sementara pada Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 menyebut kata penyelesaian sengketa pada tiga pasal. 4 Undang-Undang yang terakhir ini juga mengatur tahapan penyelesaian sengketa.5 serta mengatur batasan waktu penyelesaiang sengketa pemilu.6 Meski demikian, sebenarnya aturan
4 Lihat Pasal 122, Pasal 128 ayat (4) dan Pasal 129 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003. 5 Pasal 129 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 menyatakan bahwa penyelesaian sengketa dilakukan melalui tahapan-tahapan : a. mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa untuk musyawarah dan mufakat; b. apabila tidak tercapai kesepakatan, pengawas pemilu menawarkan alternatif penyelesaian kepada pihak-pihak yang bersengketa; dan c. apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf b tidak diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa, dengan mempertimbangkan keberatan yang diajukan oleh pihak yang bersengketa, pengawas pemilu membuat keputusan final dan mengikat. 6 Pasal 129 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 menyatakan bahwa penyelesaian persengketaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 14 (empat belas) hari sejak pihak-pihak yang bersengketa dipertemukan.
Topo Santoso, Pelanggaran Pemilu 2004
17
dalam undang-undang ini masih belum memadai mengingat tidak dijelaskan siapa saja pihak-pihak dalam sengketa pada penyelenggaraan pemilu, tidak jelas apa itu sengketa pemilu, sengketa seperti apa yang dapat diselesaiakan dan yang tidak dapat diselesaikan oleh pengawas pemilu, apa bentuk putusan pengawas pemilu dalam penyelesaian sengketanya, dan sebagainya. Meskipun sifat dari penyelesaian sengketa dari pengawas pemilu adalah Final dan Mengikat sebagaimana disebut dalam Pasal 129 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 yang berarti bisa langsung dilaksanakan dan mengikat para pihak serta membawa akibat bagi para pihak, nyatanya ini sukar dilaksanakan, terutama apabila penyelenggara pemilu (KPU pusat dan daerah) tidak bersedia melaksanakan putusan penyelesaian sengketa ini. Pelaksanaan tersebut makin sukar lagi apabila undang-undang pemilu sama sekali tidak menyebut apa implikasi atau akibat bagi penyelenggara yang tidak mau mematuhi putusan pengawas pemilu. Sebagai contoh dari kasus seperti ini terjadi antara lain terhadap putusan Panwas Pemilu Kota Tangerang dan Panwas Pemilu Kota Semarang yang menyelesaikan sengketa terkait pendaftaran calon anggota legislative. Mengingat aturan dalam undang-undang tentang sengketa pemilu ini (padahal inilah masalah dalam pemilu yang dapat diselesaikan oleh pengawas pemilu) maka Panitia Pengawas Pemilu kemudian membuat satu Keputusan mengenai Mekanisme Penyelesaian Sengketa.7 Dimana di dalamnya diatur mulai dari pengertian sengketa pemilu, ruang lingkup sengketa pemilu yang dapat diselesaikan pengawas pemilu, pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa pemilu, pembagian kompetensi pengawas pemilu di tiap tingkatan, proses penyelesaian sengketa pemilu, dan sebagainya. Mengenai pengertian sengketa pemilu dan sengketa pemilu yang dapat diselesaiakan pengawas pemilu, Keputusan ini menyatakan bahwa: “Sengketa pemilu adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang ditimbulkan oleh karena adanya: perbedaan penafsiran antara para pihak; atau suatu ketidaksepakatan tertentu; yang berhubungan dengan fakta kegiatan dan peristiwa; atau, kebijakan dimana suatu pengakuan atau pendapat dari salah satu pihak mendapatkan penolakan, pengakuan yang
7 Surat Keputusan Panitia Pengawas Pemilihan Umum Nomor 13 Tahun 2003 tentang Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pemilu.
18
Demokrasi & HAM,Vol.4, No. 1, 2004
berbeda; penghindaran dari pihak lain, yang terjadi di dalam penyelenggaraan pemilu.” Panwas Pemilu juga menyatakan bahwa ruang lingkup sengketa yang dapat diselesaikan oleh Pengawas Pemilu adalah: “Setiap sengketa pemilu yang timbul dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilu dimulai dari tahap pendaftaran pemilih sampai dengan pengucapan sumpah/janji anggota DPR, DPD, dan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota , kecuali sengketa tentang hasil pemilu yang merupakan wewenang Mahkamah Konstitusi.”8 6. Data-data Pelanggaran/Sengketa Pemilu 2004 A. Pelanggaran per tahapan (1) Pendaftaran Pemilih Meskipun undang-undang menyatakan bahwa pengawas pemilu terbentuk sebelum tahapan pendaftaran pemilu dilaksanakan, pada kenyataanya pendaftaran pemilih telah lebih dulu dilakukan oleh KPU bekerjasama dengan Biro Pusat Statistik (BPS) yang disebut dengan P4B. Masalah pendaftaran ini pada saat pelaksanaan hanya dikritik kurang sosialisasi, tetapi dampak sesungguhnya dari kekurangan P4B ini justru baru memunculkan reaksi sangat keras pada menjelang hari H pemungutan suara (khususnya ketika banyak orang menyadari bahwa mereka tidak mendapat Kartu Peserta pemilu). Setelah hari H pencoblosan yakni tanggal 5 April 2004 baru terungkap ada jutaan orang belum terdaftar. Di Jakarta saja mencapai 2 juta warga yang sebenarnya berhak memilih tapi tidak dapat menggunakan hak pilih baik karena tidak terdaftar ataupun karena sebab lainnya. (2) Penetapan Daerah Pemilihan Berbeda dengan pemilu 1999 dimana Daerah Pemilihan (DP) berbasis di Provinsi dengan ketentuan bahwa kabupaten/Kota sedikitnya 8 Pasal 134 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 menyatakan bahwa : “ Dalam hal terjadi perselisihan tentang hasil Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104, diperiksa dan diputuskan untuk tingkat pertama dan terakhir oleh Mahkamah Konstitusi.” Tidak semua sengketa yang berkaitan dengan pemilihan umum berada dalam kewenangan Mahkamah Konstitusi. Hanya sengketa hasil pemilihan umum yang diumumkan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang mempengaruhi pemilihan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), penentuan pasangan calon yang akan bersaing pada tahap kedua pemilu presiden dan wakil presiden, penentuan pasangan calon yang dipilih untuk menjadi presiden dan wakil presiden, dan kursi yang dimenangkan dalam sebuah daerah pemilihan oleh satu partai politik yang bersaing. Lihat dalam Pasal 74 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2003; Pasal 4 Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 04/PMK/2004 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum.
Topo Santoso, Pelanggaran Pemilu 2004
19
mendapat 1 kursi. Pada Pemilu 2004 Daerah Pemilihan ditentukan dengan ketentuan sebagaimana diatur pada Pasal 46 sampai Pasal 52 Undang-Undang No. 12 Tahun 2003. Pasal 46 (1) menyatakan bahwa: “Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota masing-masing ditetapkan Daerah Pemilihan sebagai berikut: a. Daerah Pemilihan anggota DPR adalah Provinsi atau bagianbagian Provinsi. b. Daerah Pemilihan anggota DPRD Provinsi adalah kabupaten/Kota atau gabungan Kabupaten/Kota sebagai daerah pemilihan; c. Daerah Pemilihan angggota DPRD Kabupaten/Kota adalah kecamatan atau gabungan kecamatan sebagai daerah pemilihan. Satu daerah pemilihan di atas memiliki jumlah wakil antara 3 hingga 12 kursi9 yang didasarkan pada jumlah penduduk dengan memperhatikan perimbangan yang wajar.10 Penetapan Daerah Pemilihan ini sempat berlarut-larut mengingat KPU “terpaksa” melanggar ketentuan batas kursi per DP sebagaimana ditentukan di atas mengingat adanya ketentuan perimbangan yang wajar yang dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 48 ayat (1) UU No. 12 tahun 2003. Hal ini sempat menimbulkan pertanyaan anggota DPR yang mengingatkan KPU pada “sejarah terbentuknya ketentuan itu”, namun KPU tetap pada pendiriannya mengingat penetapan itu sudah memperhitungkan semua ketentuan lainnya, dan justru jika tidak dilakukan “pengecualian” maka jumlah kursi yang harus dibagi menjadi kurang, sehingga muncul alternatif lain yakni amandemen UU Pemilu dengan menambah jumlah kursi DPR yang “sudah dipatok” sebanyak 550 kursi.11 Memang akhirnya amandemen itu tidak jadi dilaksanakan dan KPU tetap membagi Daerah Pemilihan untuk anggota DPR sebanyak 69 DP, Daerah Pemilihan untuk anggota DPRD Provinsi sebanyak 211 DP, dan Daerah Pemilihan untuk anggota DPRD Kabupaten/Kota sebanyak 1.745 DP.12 Selama tahapan penetapan DP ini tidak ada laporan Pelanggaran Administrasi, Tindak Pidana pemilu, maupun sengketa pemilu. Meski demikian, seharusnya undangundang pemilu ke depan harus diperbaiki dalam hal penentuan daerah pemilihan ini sehingga tidak terjadi perbedaan pendapat yang berlarutlarut dan bahkan dapat memunculkan isu-isu akan ada partai yang Pasal 46 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2003. Pasal 48 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2003. 11 Lihat Pasal 47 UU No. 12 Tahun 2003. 12 Penetapan Daerah Pemilihan untuk DPD jauh lebih mudah karena UU menegaskan bahwa Daerah Pemilihan untuk anggota DPD adalah provinsi, jumlah anggota DPD untuk setiap provinsi ditetapkan 4 (empat) orang, Pasal 51 dan Pasal 52 UU No. 12 Tahun 2003. 9
10
20
Demokrasi & HAM,Vol.4, No. 1, 2004
memboikot pemilu atau bahkan ada provinsi yang ingin melepaskan diri jika tidak diakomodir jumlah kursinya di DPR. (3) Penelitian dan Penetapan Peserta Pemilu Partai politik yang telah sah berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 2003 mesti memenuhi sejumlah persyaratan untuk dapat menjadi peserta pemilu, seperti tertuang dalam Pasal 7 hingga Pasal 10 UndangUndang No. 12 Tahun 2003. Sementara peserta pemilu perseorangan calon anggota DPD mesti memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 11 hingga Pasal 12 Undang-Undang No. 12 Tahun 2003. Pada tahapan ini KPU telah melakukan penelitian administrative maupun faktual terhadap partai politik dan calon anggota DPD sesuai dengan persyaratan yang ditentukan dalam undang-undang. Hasilnya hanya ada 24 partai politik yang dinyatakan memenuhi syarat dan berhak mengikuti pemilu 2004. Sementara jumlah peserta pemilihan umum anggota DPD sebanyak lebih dari 900 orang. Sedikitnya ada 14 partai politik yang mengajukan keberatan atas putusan KPU menyangkut penetapan partai politik peserta pemilu. Meskipun laporan ini tidak dapat ditindaklanjuti, baik karena tidak memenuhi persyaratan selaku pelapor13, maupun karena sebagian besar laporan tersebut diberikan sudah melampaui waktu14. Meski demikian Panitia Pengawas Pemilu tetap melakukan pengumpulan informasi terjadinya penyimpangan pada tahapan ini dan hasilnya memang membuktikan ada sejumlah kekurangan pada saat verifikasi faktual.15
13 Sesuai Pasal 127 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2003 laporan dapat diajukan oleh : a. warga negara yang mempunyai hak pilih; b. pemantau pemilu; dan c. peserta pemilu. Laporan yang diberikan oleh partai politik di atas tidak memenuhi kedudukan selaku pelapor khususnya karena bukan sebagai peserta pemilu. 14 Sesuai Pasal 127 ayat (4) UU No. 12 Tahun 2003 maka laporan harus diajukan kepada pengawas pemilu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak terjadi pelanggaran. 15 Sebenarnya sebelum adanya laporan dari partai-partai politik ini pengawas pemilu juga mencatat dan memproses adanya penyimpangan yang dilakukan oleh KPU ketika KPU menyatakan bahwa Partai Demokrasi Kasih Bangsa (PDKB) Indonesia memenuhi penelitian administrative, menurut Panwas Pemilu PDKB Indonesia seharusnya tidak lolos penelitian administrative karena merupakan partai peserta pemilu 1999 yang tidak lolos Electoral Treshold sehingga KPU harus menerapkan ketentuan terhadap peserta pemilu 1999 yang tidak lolos electoral treshold, dan tidak memperlakukan PDKB Indonesia sebagai partai baru. Hal ini karena ketika mendaftar ulang di Departemen Kehakiman dan HAM, partai ini tetap mendaftar dengan nama yang sama yaitu PDKB, dan baru berubah sebelum mendaftar ke KPU. Dalam hal ini pendirian Panwas Pemilu sama dengan pendiria Menteri Kehakiman dan HAM , Prof. Yuzril Ihza Mahendra.
Topo Santoso, Pelanggaran Pemilu 2004
21
Kekurangan yang terjadi pada tahapan ini misalnya terjadinya inkonsistensi beberapa KPU Provinsi seperti KPU Sulawesi Utara dan KPU Provinsi Bengkulu yang telah mengeluarkan surat yang menyatakan bahwa partai PPP Reformasi lolos penelitian factual, ternyata surat ini kemudian diralat karena tidak didasarkan penelitian factual dan tidak dilakukan rapat pleno. (4). Penelitian dan Penetapan Calon Anggota Legislatif dan DPD Pengawasan pada tahapan ini dilakukan baik secara aktif maupun berdasarkan laporan dari masyarakat dan pemantau pemilu. Kasus pelanggaran terbanyak pada tahapan ini adalah berkaitan dengan pemalsuan surat16 dan penggunaan surat palsu (seperti pemalsuan dan penggunaan ijazah palsu)17 dan pemberian keterangan tidak benar18. Di luar kedua macam pelanggaran pidana di atas, pada masa pra-kampanye ini yang sebenarnya belum boleh dilakukan kegiatan kampanye, nyatanya banyak partai politik telah melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat pengerahan massa serta menyebarkan atribut kampanye sehingga pelanggaran pidana yang berupa kampanye di luar jadwal juga telah terjadi pada tahapan ini.19 Pada tahapan ini jumlah kasus yang diduga 16 Pasal 137 ayat (3) UU No. 12 Tahun 2003 menyatakan bahwa : “ Setiap orang yang dengan sengaja memalsukan surat yang menurut suatu aturan dalam undang-undang ini diperlukan untuk menjalankan suatu perbuatan dalam pemilu, dengan maksud untuk digunakan sendiri atau orang lain sebagai seolah-olah surat sah atau tidak dipalsukan , diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 18 (delapan belas) bulan dan/ atau denda paling sedikit Rp. 600.000 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp. 6.000.000 (enam juta rupiah). 17 Pasal 137 ayat (4) UU No. 12 Tahun 2003 menyatakan bahwa : “ Setiap orang yang dengan sengaja dan mengetahui bahwa suatu surat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah tidak sah atau dipalsukan, menggunakannya, atau menyuruh orang lain menggunakannya sebagai surat sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 18 (delapan belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000 (enam ratus ribu) atau paling banyak Rp. 6.000.000 (enam juta rupiah). 18 Pasal 137 ayat (7) UU No. 12 Tahun 2003 menyatakan bahwa : “ Setiap orang yang dengan sengaja memberi keterangan yang tidak benar atau menggunakan surat palsu seolaholah sebagai surat yang sah tentang suatu hal yang diperlukan bagi persyaratan untuk menjadi peserta pemilu, diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 18 (delapan belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp. 6.000.000 (enam juta rupiah). 19 Pasal 138 ayat (3) UU No. 12 Tahun 2003 menyatakan bahwa : “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kampanye di luar jadwal waktu yang telah ditentukan oleh KPU untuk masing-masing peserta pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3), diancam dengan pidana penjara paling singkat 15 (lima belas) hari atau paling lama 3 (tiga) bulan dan/ atau denda paling sedikit Rp. 100.000 (seratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah).
22
Demokrasi & HAM,Vol.4, No. 1, 2004
memenuhi unsure tindak pidana pemilu dan diteruskan ke penyidik sedikitnya 811 kasus, sedangkan pelanggaran administrasi tercatat sebanyak 876 kasus. Jumlah laporan pelanggaran yang ditemukan Pengawas pemilu dan dilaporkan oleh masyarakat pada tahapan ini, jauh lebih banyak dari kasus yang dapat diteruskan ke penyidik Polri dan ke KPU. Tidak semua kasus dapat diteruskan karena tidak cukup data dari pelapor. Upaya melakukan penyelidikan sangat sulit, berhubung KPUD di daerah-daerah sangat menutup diri terhadap Panwas Pemilu . (5) Kampanye Secara umum kampanye berjalan dengan lancar dan aman di seluruh Indonesia. Jika pada kampanye pemilu-pemilu sebelumnya selalu saja ada perkelahian, bentrok, adu fisik, bahkan hingga menyebabkan timbulnya korban jiwa, pada kampanye pemilu 2004 ini justru di awalawal berlangsung tidak begitu semarak. Barulah pada minggu kedua, mulai semarak. Pelanggaran yang paling banyak terjadi adalah kampanye di luar jadwal20, pemasangan atribut partai tidak pada tempat yang ditentukan21, memberikan dan menjanjikan uang atau materi lainnya22, pelibatan anak-anak di bawah umur 7 tahun23, serta kampanye di luar daerah pemilihannya24. Selama masa kampanye yang berlangsung pada 11 Maret hingga 1 April 2004 ini tercatat sebanyak 3.728 kasus dugaan pelanggaran administrasi, 330 kasus tindak pidana pemilu, dan 69 kasus sengketa pemilu. Pada tahapan ini laporan dan temuan pelanggaran paling banyak dilakukan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI P) yaitu sebanyak 557 kasus, Partai Golkar (479 kasus), Partai Persatuan Pembangunan (395 kasus), Partai Amanat Nasional (352 kasus), Partai Keadilan Sejahtera (273 kasus), Partai Bulan Bintang (176
20 Jika pelanggaran ini dilakukan sebelum masa kampanye orang sering menyebutnya dengan istilah yang sangat terkenal “ curi start kampanye”. 21 KPU melarang pemasangan atribut kampanye di jalan tol, jalan protocol, tempat ibadah, tempat pendidikan, fasilitas pemerintah, dan sebagainya. 22 Pelanggaran ini dikenal luas sebagai money politics dan merupakan tindak pidana pemilu, calon anggota DPR, DPD, dan DPRD yang terbukti melakukan tindak pidana ini dapat dibatalkan pencalonannya setelah ada putusan pengadilan berkekuatan tetap. 23 Ini merupakan suatu pelanggaran administrasi sesuai SK KPU No. 701 Tahun 2003 tapi bukan merupakan suatu pelanggaran menurut UU No. 12 Tahun 2003. 24 Pelanggaran ini banyak dilakukan karena adanya usaha masing-masing partai politik peserta pemilu untuk menunjukkan kekuatan massanya sehingga ada upaya untuk memobilisasi massa, termasuk yang berasal dari luar daerah pemilihannya.
Topo Santoso, Pelanggaran Pemilu 2004
23
kasus), Partai Demokrat (170 kasus), dan Partai Bintang Reformasi (154 kasus). (6) Pemungutan dan Penghitungan Suara a. Pemungutan Suara Proses pendistribusian kelengkapan pemilu yang menjadi tanggung jawab KPU ternyata tidak dapat dicapai. Menurut aturan, dalam waktu 10 hari sebelum Hari H pelaksanaan pemungutan suara maka surat suara beserta kelengkapannya harus sudah sampai di PPS dan PPLN. 25 Mengantisipasi keadaan tersebut, Rapat Pelno Panwas Pemilu memutuskan untuk mengirim surat kepada Presiden agar mengeluarkan Peraturan Pemerintan Pengganti Undang-Undang (PERPU), dengan tembusan kepada pimpinan DPR dan KPU. Di sejumlah daerah surat suara mengalami keterlambatan, bahkan ada yang hingga hari H belum menerima. Di daerah lainnya surat suara tertukar lintas daerah pemilihan (bahkan ada yang lintas provinsi) sehingga mengakibatkan kesemrawutan di berbagai TPS. Surat suara khususnya untuk pemilihan calon DPRD yang tertukar ini seharusnya tidak dapat digunakan di daerah yang bukan tujuannya karena surat suara itu mesti memuat nama-nama calon DPRD yang akan dipilih rakyat pemilih. Nyatanya dengan tertukarnya surat suara ini, KPU Pusat melalui Surat Edaran No. 650/19/III/2004 menyatakan bahwa sepanjang ada kesepakatan antara partai politik dan KPPS di TPS yang bersangkutan maka dianggap sah dan suaranya hanya untuk partai politik26. Terhadap tindakan KPU ini Panwas Pemilu telah berkirim surat kepada KPU untuk mengubah kebijakannya tersebut dan menginstriksikan kepada Panwas Pemilu didaerah agar meminta dilakukannya pemungutan ulang di TPS-TPS yang surat suaranya tertukar. Akibat pendistribusian surat suara beserta kelengkapan yang tidak tepat waktu, sosialiasi petugas-petugas di TPS yang kurang (khususnya dalam melakukan penghitungan dan rekapitulasi serta pengisian beberapa form) mengakibatkan banyak persoalan. Hal itu masih diiringi dengan banyak beredarnya kartu pemilih yang diperjual belikan, banyak kartu pemilih yang tidak jelas pemiliknya, dan sebagainya. Sesuai ketentuan Pasal 45 ayat (3) UU No. 12 Tahun 2003. Tentu saja surat edaran ini telah menyimpang dari prinsip proporsional dengan daftar calon terbuka dimana para pemilih dijamin haknya untuk memilih secara langsung siapa calon legislative yang dia inginkan. 25 26
24
Demokrasi & HAM,Vol.4, No. 1, 2004
b. Penghitungan Suara Pelaksanaan pemilu legislative dan DPD telah memasuki tahap-tahap akhir dengan ditetapkannya jumlah perolehan suara dan perolehan kursi pada tanggal 5 Mei 2004. Pengumuman atas penetapan dari KPU itu dapat diajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi. Dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi memperlihatkan bahwa partaipartai politik yang mengajukan permohonan kesulitan mengajukan buktibukti karena memang banyak saksi-saksi yang tidak diberikan salinan berita acara dari KPPS. Pada tahapan pemungutan dan penghitungan suara terjadi di berbagai jenis pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu. Akibat pelanggaran itu, Panitia Pengawas Pemilu meminta dilakukan pemungutan suara ulang di 815 TPS. Hingga tanggal 23 April 2004 pemungutan suara ulang tersebut telah dilakukan di 421 TPS. Pelanggaran juga terjadi pada proses penghitungan suara. Dalam konteks ini Panwas Pemilu meminta agar dilakukan penghitungan suara ulang di 1.046 TPS, 365 PPS, dan 598 PPK. Namun, hingga saat ini penghitungan suara ulang baru dilakukan di 836 TPS, 299 PPS, dan 444 PPK. Dari hasil pengawasan pada tahapan pemungutan dan penghitungan suara , hingga saat tulisan ini dibuat (Juni 2004), ditemukan adanya indikasi pelanggaran pidana yang dilakukan oleh 85 lembaga penyelenggara pemilu (KPU Daerah, PPK, PPS, KPPS). Sebanyak 53 lembaga diantaranya sudah dilaporkan ke penyidik Polri (data sementara). B. Pelanggaran dan Penanganannya Secara keseluhan jumlah kasus pelanggaran, baik pidana maupun administrasi yang dilaporkan oleh masyarakat dan hasil temuan pengawas pemilu tercatat sebanyak 11.147 kasus. Sedangkan kasus sengketa pemilu yang disampaikan kepada pengawas pemilu sebanyak 442 kasus. Dari jumlah kasus tersebut, sebanyak 1.776 kasus pelanggaran pidana telah diteruskan pengawas pemilu kepada penyidik Polri. Hingga saat ini, kasus tindak pidana pemilu yang telah mendapat putusan pengadilan sebanyak lebih dari 280 kasus. Sementara pelanggaran administrasi yang sudah diteruskan kepada KPU pusat dan daerah adalah sebanyak 876 kasus. Sayangnya, sejauh ini KPU Pusat dan Daerah tidak menginformasikan kepada pengawas pemilu berapa banyak kasus tersebut yang sudah
Topo Santoso, Pelanggaran Pemilu 2004
25
terselesaikan. 7. Penutup Pelaksanaan pengawasan dan penegakan atas pelanggaran pemilu pada pemilu 2004 menampakkan kemajuan dibandingkan pada pemilupemilu sebelumnya. Terjadi peningkatan catatan pelanggaran serta jumlah kasus yang diputus di pengadilan dibanding pada pemilu 1999, antara lain dipengaruhi oleh semakin banyaknya jumlah ketentuan dan persyaratan khususnya bagi calon DPR dan DPRD serta calon anggota DPD. Ketentuan yang berkaitan dengan kampanye juga semakin banyak. Tetapi, faktor lain yang ikut berpengaruh adalah masalah komposisi pengawas pemilu, yang kini berunsur polisi, jaksa, pers, akademisi, dan tokoh masyarakat. Keterlibatan polisi dan jaksa dari pusat hingga kabupaten/kota, dan polisi hingga tingkat kecamatan mampu meningkatkan kualitas pengawasan dan juga menyeleksian kasus-kasus. Efektivitas pengawasan antara lain berakibat semakin tingginya daya pencegahan serta banyaknya pihak-pihak yang semula berniat melakukan pelanggaran surut dari aksinya. Pengawas pemilu telah mencegah ratusan calon-calon anggota DPR, DPRD dan DPD yang tidak punya ijasah SMA atau berijasah palsu untuk menjadi wakil rakyat. Suasana kampanye pun dapat dikendalikan mengingat karena ketegasan pengawas yang seringkali “menyemprit” dan tidak segan-segan memproses, bahkan hingga ke pengadilan.
1 2 3 4 5 6 7 8 9
11 Maret - 1 April 2004
No Waktu Provinsi Urut Kejadian
Jenis Pelanggaran Administrasi Tindak Jumlah Pidana Pemilu NAD 73 75 148 SUMUT 20 3 23 SUMBAR 78 7 85 RIAU 84 15 99 JAMBI 66 4 70 BENGKULU 22 0 22 SUMSEL 85 7 92 LAMPUNG 106 9 115 BABEL 22 1 23
Sengketa
0 0 0 2 0 0 1 0 0
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Demokrasi & HAM,Vol.4, No. 1, 2004
11 Maret - 1 April
26
BANTEN JABAR DKI JATENG1 DIY JATIM BALI NTB NTT KALBAR KALTENG KALSEL KALTIM SULSEL SULTENG SULTRA GORONTALO SULUT MALUKU MLK UTR PAPUA JUMLAH
102 567 399 250 170 895 79 91 56 84 114 71 101 246 34 91 79 17 38 3 21 4064
8 38 16 93 6 76 4 6 8 13 3 2 6 15 5 1 4 1 6 0 6 438
110 605 415 343 176 971 83 97 64 97 117 73 107 261 39 92 83 18 44 3 27 4502
1 4 0 13 0 45 0 0 0 5 0 9 0 4 0 0 1 0 0 0 0 85
Catatan: 1. Data Provinsi Jawa Tengah Per 23 Maret 2004 2. 446 kasus administrasi, 339 kasus tindak pidana pemilu, dan 62 sengketa pemilu dari Jawa Tengah belum dapat dibreak-down dalam format partai politik, disampaikan dalam bentuk rekapitulasi keseluruhan tahapan kampanye pemilu pada 1 April 2004. 3. Rekapitulasi Provinsi Maluku per 1 April 2004 baru diterima 2 April 2004, belum dapat dimasukkan dalam Rekapitulasi Nasional.
Bulan
Bulan
total
4281
26
758
Februari’04 1639
534
1831
908
Januari’04
Maret’04
1666
0
Laporan Laporan
Masuk
Sisa
s/dDes’03
Indonesia
Seluruh
Pemilu
Pengawas
560
1236
2739
1666
811
0
293
273
876
14
97
445
373
1
121
156
95
Pemilu)
Pemilu) 320
Sengketa
Pidana
245
(Kasus
Kab/
garan Kota/Kec
Prov/
Pelang
53
3
26
12
12
465
0
165
214
86
kan)
(Dihenti
Panwaslu Instansi
(Diduga Lain
Dilanjuti
Tidak
Diteruskan Diselesai Dikirim Ke KPU kan Ke
Pelanggaran Adminis trasi) Tindak
(Disangka
Ke Jumlah Penyidik Laporan Polri
Diteruskan
Diselesaikan
Data Pelanggaran Peraturan Pemilu Maret 2004 SeIndonesia
2578
18
702
1100
758
Jumlah
Keterangan
1703
542
dijumlah
Sisa 1639 Laporan 534 Tidak
908
Sisa
Topo Santoso, Pelanggaran Pemilu 2004 27
28
Demokrasi & HAM,Vol.4, No. 1, 2004
Keterangan *) Data ini tidak termasuk pelanggaran pada tahapan Kampanye, Pemungutan dan Penghitungan Suara. Catatan: 1. Data yang disajikan ini merupakan data sementara (s/d 31 Maret 2004) karena sejumlah Panwas Pemilu Provinsi belum mengirimkan laporannya, terutama laporan bulan Februari dan Maret 2004). Untuk Desember 2003 Panwas Prov yang belum menyampaikan (menguraikan) laporan: Jambi, DKI Jakarta, NTB, Kalbar, Kalteng Untuk Januari 2004 Panwas Prov yang belum menyampaikan (menguraikan) laporan: Sumsel, Banten, DIY,J atim, Gorontalo, Sulut, Papua. Untuk Februari 2004 baru 15 Panwas Provinsi yg sudah mengirim laporan Data pelanggaran bulan Maret hanya yang masuk ke Panwas Pemilu (pusat) sedangkan laporan daerah masuk laporan pelanggaran pada tahapan kampanye. 2. Jumlah laporan pelanggaran pemilu seluruh Indonesia yang masuk hingga 31 Maret 2004 tercatat sebanyak 4281 kasus, yg terdiri dari: Laporan tindak pidana Pemilu hingga 31 Maret 2004 sebanyak 811 kasus. - Laporan pelanggaran administrasi hingga 31 Maret 2004 sebanyak 876 kasus. Laporan sengketa hingga 31 Maret 2004 sebanyak 373 kasus 3. Kasus yang sedang atau belum tertangani sehingga belum diketahui jenis pelanggarannya sebanyak 1703 kasus. 4. Kasus yang dihentikan karena data kurang lengkap dan atau kasus yang dilaporkan bukan kewenangan Panwas sebanyak 465 kasus. 5. Kasus pelanggaran pidana pemilu yang sudah diputus Pengadilan Negeri hingga tanggal 31 Maret 2004 sebanyak 121 kasus (170 kasus per 30 April 2004).
Topo Santoso, Pelanggaran Pemilu 2004
29
6. Kasus pidana Pemilu paling banyak adalah mengenai Caleg yang memberikan keterangan tidak benar (ijazah palsu), melakukan kampanye di luar jadwal, dan menjanjikan/memberikan sesuatu kepada seseorang untuk mendapat dukungan.
analisis MEMAHAMI PERILAKU PEMILIH PADA PEMILU 2004 DI INDONESIA Asep Ridwan
1. Pengantar Ada suatu fenomena yang menarik di seputar Pemilu 2004 ini yang cukup berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, terutama dengan pemilu pada era Orde Baru, yaitu banyaknya studi-studi tentang perilaku pemilih yang dilakukan oleh lembaga-lembaga penelitian seperti Lembaga Survey Indonesia (LSI), Lembaga Penelitian, Pendidikan, Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), International Foundation of Electoral System (IFES), International Republican Institute (IRI), Soegeng Sarjadi Syndicated (SSS), dan lain-lain. Selain itu, ada juga lembaga yang menjaring suara publik yang non-ilmiah seperti yang dilakukan oleh beberapa stasiun televisi melalui fasilitas pesan singkat (SMS) atau internet dan sejenisnya. Dikatakan non-ilmiah karena ia hanya menjaring data sebanyak mungkin tanpa disertai metodologi yang ketat, akurat, dan proporsional, sehingga tidak aneh bila hasilnya pun kerap tidak sesuai dengan realitas sesungguhnya. Sebab jumlah penduduk
1 Sebagai contoh, menjelang Pemilu 2004 biasanya dalam setiap jajak pendapat lewat SMS yang dilakukan SCTV seringkali menempatkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebagai parpol yang paling banyak mendapatkan suara, akan tetapi pada kenyataannya dalam Pemilu 2004 berdasarkan hasil resmi KPU untuk pemilu legislatif PKS hanya menempati urutan ke6 dan hanya memperoleh suara 7,34% suara. Presiden PKS Nur Hidayat Wahid juga pernah mendapatkan julukan sebagai “Presiden SMS” karena selalu mendapatkan suara terbanyak dalam setiap jajak pendapat melalui fasilitas SMS pada beberapa televisi swasta. Lihat “Akurasi Jajak Pendapat, Pengaruh Kampanye dan Prospek Pemilu Presiden 5 Juli 2004, Analisis Temuan Survei LSI ke-4, 11 Mei 2004, hal. 8-9. Lihat juga tulisan Denny J.A, “Jajak Pendapat untuk Capres”, Suara Pembaharuan, 7 Juni 2004.
Asep Ridwan, Perilaku Pemilih Pada Pemilu
31
Indonesia yang mempunyai alat telekomunikasi tersebut hanya sekitar 10%, sehingga ia tidak mampu merekam 90% suara lainnya yang tidak mempunyai fasilitas tersebut.1 Pada Pemilu 1999 sebenarnya studi-studi tentang perilaku pemilih tersebut sudah ikut mewarnai dinamika pemilu saat itu, namun tidak sesemarak seperti pada Pemilu 2004. Hal ini karena disebabkan dua hal. Pertama, studi-studi tentang perilaku pemilih semakin mendapat tempat dan mempunyai peran penting dalam merekam opini publik, termasuk kecendrungan perilaku pemilih. Bahkan di negara-negara maju, lembaga jajak pendapat justru dijadikan sebagai sokoguru demokrasi kelima, di samping lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif dan pers.2 Kedua, pemilu saat ini lebih menarik karena menempatkan rakyat sebagai “hakim tertinggi” dalam menentukan calon presiden dan wakil presiden secara langsung. Berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya yang dipegang oleh MPR, saat ini massa pemilih mempunyai kesempatan untuk secara langsung dan penuh dalam memilih capres dan cawapres yang dikehendakinya. Tentunya banyak kalangan yang ingin mengetahui bahkan berkepentingan mengetahui kecenderungan arah suara pemilih dalam pemilu tersebut, terutama aktor-aktor politik yang ikut bermain. Sedangkan pada era Orde Baru studi-studi tentang perilaku pemilih dalam pemilu kurang mendapatkan ruang sama sekali, dan kalaupun ada kurang bisa memberi arti yang otentik dalam merekam opini atau keinginan pemilih secara bebas. Seperti yang dikemukakan oleh William Liddle dan Saiful Mujani, meskipun analitis tentang perilaku pemilih sudah berkembang sejak tahun 1960an, tetapi perkembangannya hampir tidak ada relevansinya dengan konteks pemilu di Indonesia karena pemilu-pemilu yang diselenggarakan pada era Orde Baru tidak berjalan demokratis.3 Hanya dalam suasana pemilu yang bebas, jujur dan adillah suara pemilih dapat direkam dengan akurat, jelas dan murni. Meski demikian, pada Pemilu 2004 ini keberadaan lembaga-lembaga jajak pendapat itupun tidak terlepas dari kritik dan kecurigaan sebagian kalangan masyarakat. Ada juga kalangan masyarakat yang mencurigai lembaga tersebut “bermain-main” dengan opini publik, mencari popularitas atau bahkan sengaja melakukan rekayasa terhadap opini
Saiful Mujani, “Survei dan Perilaku Pemilih,” Kompas, 14 Juni 2004. William Liddle dan Saiful Mujani, “Politik Aliran Memudar, Kepemimpinan Nasional Menentukan Pilihan Partai Politik,” Kompas, 1 September 2000. 2 3
32
Demokrasi & HAM,Vol.4, No. 1, 2004
publik pada Pemilu 2004 ini dalam rangka mempengaruhi sikap pemilih terhadap partai atau kandidat tertentu. Pada sebuah masyarakat yang mempunyai tingkat saling percaya yang rendah (low trust society) seperti bangsa Indonesia ini adanya kecurigaan seperti itu merupakan sesuatu yang mudah dan sering terjadi, apalagi dalam sebuah pemilu di mana ada pihak kurang diuntungkan atau terganggu dengan adanya hasil jajak pendapat tersebut. Saat ini Pemilu 2004 untuk pemilihan calon anggota badan legislatif sudah selesai. Berdasarkan hasil penghitungan resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU), terdapat tujuh partai politik yang mendapatkan suara terbanyak dan mampu melewati ambang elektoral (electoral threshold), yaitu Partai Golkar yang mendapatkan suara terbanyak sebesar 21,58 % suara. Kemudian secara berturut-turut diikuti Partai Demokrasi Indonesia - Perjuangan (PDI-P) sebesar 18,53%, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebesar 10,57%, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebesar 8,15% Partai Demokrat (PD) sebesar 7,45%, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebesar 7,34% dan Partai Amanat Nasional (6,44%). Sedangkan partai-partai politik lainnya tidak mampu melewati ambang yang ditetapkan oleh KPU sebesar 3% suara pemilih secara nasional tersebut. Tabel Urutan Perolehan Suara Partai Politik pada Pemilu 2004 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Nama Partai Politik Jumlah Suara Partai Golkar 24,480,757 Partai Demokrasi Indonesia 21,026,629 Partai Kebangkitan Bangsa 11,989,564 Perjuangan Partai Persatuan Pembangunan 9,248,764 Partai Demokrat 8,455,225 Partai Keadilan Sejahtera 8,325,020 Partai Amanat Nasional 7,303,324 Partai Bulan Bintang 2,970,487 Partai Bintang Reformasi 2,764,998 Partai Damai Sejahtera 2,414,254 Partai Karya Peduli Bangsa 2,399,290 Partai Keadilan dan Persatuan 1,424,240 Indonesia Partai Persatuan Demokrasi 1,313,654 Kebangsaan Partai Nasional Banteng 1,230,455 Kemerdekaan Partai Patriot Pancasila 1,073,139
Persentase 21,58% 18,53% 10,57% 8,15% 7,45% 7,34% 6,44% 2,62% 2,44% 2,13% 2,11% 1,26% 1,16% 1,08% 0,95%
Asep Ridwan, Perilaku Pemilih Pada Pemilu
16 17 18 19 20 21 22 23 24
PNI Marhaenisme Partai Persatuan Nahdatu Ummah Indonesia Partai Pelopor Partai Penegak Demokrasi Indonesia Partai Merdeka Partai Sarikat Indonesia Partai Perhimpunan Indonesia Baru Partai Persatuan Daerah Partai Buruh Sosial Demokrat Total
923,159 l 895,610
0,81% 0,79%
878,932 855,811
0,77% 0,75%
842,541 679,296 672,952
0,74% 0,60% 0,59%
657,916 636,397 113,462,414
0,58% 0,56% 100%
33
Sumber : KPU
Berdasarkan hasil perolehan suara tersebut, muncul beberapa pertanyaan dalam konteks studi perilaku pemilih: mengapa Partai Golkar masih mendapatkan tempat yang paling dominan di mata pemilih sementara PDI-P banyak ditinggal oleh pemilihnya hingga mengalami penurunan drastis dibanding dengan perolehan suaranya pada Pemilu 1999? Mengapa PKB relatif konstan sedangkan PPP dan PAN mengalami sedikit penurunan? Apa makna perolehan suara yang cukup mengejutkan yang diperoleh Partai Demokrat dan PKS? Mengapa partai-partai politik baru lainnya kurang mampu meraih simpati pemilih? Selain itu, mengapa partai-partai politik yang berasaskan Islam tidak memperoleh suara yang signifikan ditengah-tengah mayoritas pemilih muslim? Inti dari beberapa pertanyaan di atas adalah seperti apakah sebenarnya perilaku pemilih kita pada Pemilu 2004? Faktor-faktor apa saja yang melatar-belakangi kecenderungan perilaku pemilih tersebut? Studi-studi tentang perilaku pemilih pada dasarnya masih merupakan persoalan baru dalam konteks politik di Indonesia. Di Amerika Serikat sendiri, kajian tentang perilaku pemilih dalam bidang ilmu politik baru muncul tahun 1937 yang ditandai dengan terbitnya buku “Political Behavior: Studies in Election Statistics” karya Herbert Tingsten. Sebab, sebelumnya banyak ilmuwan politik di Amerika yang memfokuskan dan lebih puas dengan metode penelitian ilmu politik tradisional, seperti analisis tekstual filsafat politik, proses pembuatan kebijakan legislatif, deskripsi-deskripsi tentang lembaga-lembaga politik, dan semacamnya. Oleh karenanya, dalam konteks ini, munculnya penelitian-penelitian tentang perilaku pemilih dalam kajian ilmu politik merupakan reaksi atau pemberontakan atas ketidakpuasan terhadap penelitian-penelitian
34
Demokrasi & HAM,Vol.4, No. 1, 2004
tradisional tersebut. 2. Pendekatan Sosiologis Secara teoretis, terdapat tiga pendekatan utama dalam memahami perilaku pemilih, yaitu pendekatan sosiologis, psikologis dan rasional. Pendekatan sosiologis, yang sering disebut Mazhab Columbia (The Columbia School of Electoral Behavior), merupakan pendekatan yang menekankan pada peranan faktor-faktor sosiologis dalam membentuk perilaku politik seseorang. Pendekatan ini menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan-pengelompokan sosial seperti umur (tua-muda), jenis kelamin (pria-wanita), agama dan semacamnya dianggap mempunyai peranan yang cukup menentukan dalam membentuk perilaku pemilih. Untuk itu, pemahaman terhadap pengelompokan sosial baik secara formal (seperti keanggotaan seseorang dalam organisasi-organisasi keagamaan, organisasi profesi, dan sebagainya) maupun secara informal (seperti keluarga, pertemanan ataupun kelompok kecil lainnya) merupakan faktor yang sangat penting dalam memahami perilaku pemilih, karena kelompok-kelompok tersebut mempunyai peranan besar dalam membentuk sikap, persepsi, dan orientasi seseorang.4 Gerald Pomper5 memperinci pengaruh pengelompokan sosial tersebut dalam kajian voting behavior ke dalam dua variabel, yaitu variabel predisposisi sosial-ekonomi pemilih dan keluarga pemilih. Menurutnya, kedua variabel tersebut mempunyai hubungan yang signifikan dengan perilaku pemilih. Preferensi-preferensi politik keluarga, apakah preferensi politik ayah atau ibu, berpengaruh terhadap preferensi politik anakanaknya. Preferensi sosial-ekonomi, bisa berupa kelas sosial, agama, tempat tinggal, karakteristik demografis dan sejenisnya juga berpengaruh terhadap pilihan politik seseorang. Dalam studi-studi perilaku pemilih di negara-negara demokrasi, agama tetap merupakan faktor sosiologis yang sangat kuat dalam mempengaruhi sikap pemilih terhadap partai politik atau kandidat. Dalam hal ini, agama bisa diukur dari afiliasi pemilih terhadap agama tertentu seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha. Asumsinya 4 Lihat Muhammad Asfar, “Beberapa Pendekatan dalam Memahami Perilaku Pemilih”, Jurnal Ilmu Ilmu Politik, 16. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, hal. 47. 5 Gerald Pomper, “Voter’s Choice: Varieties of American Electoral Behavior”, dalam op.cit., hal 48.
Asep Ridwan, Perilaku Pemilih Pada Pemilu
35
bahwa para pemilih yang beragama Islam akan cenderung memilih partaipartai Islam, yang beragama Kristen akan memilih partai Kristen, dan seterusnya.6 Jenis kelamin juga merupakan variabel sosiologis yang mempunyai pengaruh dalam menentukan pilihan politik seseorang. Kajian tentang voting behavior di Eropa pada dekade 1970an menunjukkan bahwa wanita lebih suka mendukung partai borjuis daripada sosialis, setuju dengan birokrasi, menghindari pemihakan terhadap ekstrem kanan dan kiri, tidak suka perang dan cenderung memilih partai moderat. Aspek geografis juga mempunyai hubungan dengan perilaku pemilih. Adanya rasa kedaerahan mempengaruhi dukungan seseorang terhadap partai politik atau kontestan tertentu. Di beberapa negara, setiap wilayah biasanya mempunyai loyalitas terhadap partai tertentu yang mampu bertahan sampai berabad-abad. Dari berbagai ragam perbedaan dalam struktur sosial, faktor kelas sosial merupakan unsur yang juga berpengaruh terhadap pilihan politik seseorang, terutama di hampir semua negara-negara industri. Di Eropa, kelompok berpenghasilan rendah dan kelas pekerja cenderung memberikan suara kepada partai sosialis atau komunis, sedangkan kelas menengah dan atas biasanya menjadi pendukung partai konservatif. Di Amerika Serikat, meskipun kurang tergambar secara jelas, kelas tetap menjadi basis sosial dari partai politik. Masyarakat kelas bawah dan buruh biasanya cenderung mendukung Partai Demokrat, sedangkan kelas menengah dan atas cenderung menjadi pendukung Partai Republik. 3. Pendekatan Psikologis Berbeda dengan pendekatan sosiologis, pendekatan psikologis, yang sering disebut Mazhab Michigan (The Michigan Survey Reseach Center) lebih menekankan pada pengaruh faktor psikologis seseorang dalam menentukan perilaku atau pilihan politik. Pendekatan yang berkembang dan merupakan fenomena di Amerika Serikat ini merupakan reaksi atas ketidakpuasan terhadap pendekatan sosiologis yang berkembang di Eropa. Menurut penganut pendekatan psikologis, secara metodologis pendekatan sosiologis dianggap sulit diukur, seperti bagaimana mengukur secara tepat sejumlah indikator kelas sosial, tingkat pendidikan, agama, dan
6
Liddle dan Mujani, op.cit., Kompas, 1 September 2000.
36
Demokrasi & HAM,Vol.4, No. 1, 2004
sebagainya. Di samping itu, secara materi patut dipersoalkan apakah benar variabel-variabel sosiologis seperti status sosial-ekonomi keluarga, kelompok-kelompok primer dan lainnya, memberi sumbangan yang berarti pada perilaku pemilih. Tidakkah variabel-variabel tersebut baru dapat dihubungkan dengan perilaku pemilih kalau ada proses sosialisasi? Oleh karena itu, faktor sosialisasi-lah yang sebenarnya sangat menentukan kecenderungan perilaku pemilih tersebut, bukan karakteristik sosiologis. Pendekatan psikologi ini mengembangkan konsep psikologi, khususnya konsep sikap dan sosialisasi dalam menjelaskan perilaku seseorang. Menurut pendekatan ini, para pemilih di AS menentukan pilihan karena pengaruh kekuatan psikologis yang berkembang dalam dirinya sebagai produk dari proses sosialisasi. Mereka menjelaskan bahwa sikap seseorang – sebagai refleksi dari kepribadian seseorang – merupakan variabel yang menentukan dalam mempengaruhi perilaku pemilih. Mengapa pendekatan psikologis ini menganggap sikap sebagai variabel sentral dalam menjelaskan perilaku pemilih? Hal ini disebabkan oleh fungsi sikap itu sendiri, yang menurut Greenstein ada tiga.7 Pertama, sikap merupakan fungsi kepentingan. Artinya, penilaian terhadap suatu obyek diberikan berdasarkan motivasi, minat dan kepentingan orang tersebut. Kedua, sikap merupakan fungsi penyesuaian diri. Artinya, seseorang bersikap tertentu sesuai dengan keinginan orang itu untuk sama atau tidak sama dengan tokoh atau kelompok yang dikaguminya. Ketiga, sikap merupakan fungsi eksternalisasi dan pertahanan diri. Artinya, sikap seseorang itu merupakan upaya untuk mengatasi koflik batin atau tekanan psikis, yang mungkin berujud mekanisme pertahanan (defense mechanism). Namun, sikap bukankah sesuatu yang bersifat begitu saja terjadi, melainkan melalui proses sosialisasi yang berkembang menjadi ikatan psikologis yang kuat antara seseorang dengan partai politik atau kandidat tertentu. Ikatan psikologis karena adanya proses sosialisasi inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan identifikasi partai (party identification). Dengan demikian, konsep identifikasi partai merupakan variabel sentral dalam menjelaskan perilaku pemilih dalam pendekatan psikologis ini. Dalam hal ini, hubungan pengaruh antara identifikasi partai dengan
7
Greenstein, “Personal and Politics”, dalam M. Asfar, op.cit., hal. 50
Asep Ridwan, Perilaku Pemilih Pada Pemilu
37
perilaku pemilih sudah menjadi aksioma. Identifikasi partai merupakan dorongan untuk menjadi identik atau sama dengan orang lain tanpa disadari. Identifikasi partai dilakukan orang kepada seorang kandidat atau partai politik yang dianggapnya ideal di mata pemilih.8 Meskipun begitu, bukan berarti pendekatan psikologi ini lepas dari kritik. Para pengkritik mempersoalkan hubungan antara sikap dengan perilaku. Apakah benar sikap seseorang mempengaruhi perilakunya? Sebab, belum tentu orang yang menyukai partai atau kandidat tertentu dalam pemilu nanti akan memilih sesuai posisi sikapnya. Dalam banyak kasus, mereka yang tidak mendukung rasisme dalam kenyataannya berperilaku rasis. Di samping itu, benarkah variabel-variabel yang dipakai oleh para ahli psikologi dalam menjelaskan perilaku seseorang itu dapat dihubungkan dengan secara langsung dengan perilaku pemilih? Itulah beberapa persoalan dalam pendekatan psikologis dalam pandangan para pengkritiknya. 4. Pendekatan Rasional Dua pendekatan terdahulu menempatkan pemilih pada waktu dan ruang kosong baik secara implisit maupun eksplisit. Pemilih ibarat wayang yang tidak mempunyai kehendak bebas kecuali atas kemauan dalangnya. Pemilih seakan-akan pion catur yang mudah ditebak langkahlangkahnya. Mereka beranggapan bahwa perilaku pemilih bukanlah keputusan yang dibuat pada saat menjelang atau ketika ada di bilik suara, tetapi sudah ditentukan jauh sebelumnya, bahkan jauh sebelum kampanye dimulai. Karakteristik sosiologis, latar belakang keluarga, pembelahan kultural atau identifikasi partai melalui proses sosialisasi dan pengalaman hidup, merupakan variabel yang secara sendiri-sendiri maupun komplementer mempengaruhi perilaku atau pilihan politik seseorang. Tetapi pada kenyataannya, ada sebagian pemilih yang mengubah pilihan politiknya dari satu pemilu ke pemilu lainnya. Ini disebabkan oleh ketergantungan pada peristiwa-peristiwa politik tertentu yang bisa saja mengubah preferensi pilihan politik seseorang.9 Hal ini berarti menunjukkan bahwa ada variabel-variabel lain yang ikut menentukan dalam mempengaruhi perilaku politik seseorang. Ada faktor-faktor 8 Lihat Adman Nursal, Political Marketing: Strategi Memenangkan Pemilu, Jakarta : PT. Gramedia, 2003. Hal. 60-61. 9 Lihat ibid., hal. 62
38
Demokrasi & HAM,Vol.4, No. 1, 2004
situasional yang ikut berperan dalam mempengaruhi pilihan politik seseorang dalam pemilu. Dengan begitu, pemilih bukan hanya pasif, melainkan juga individu yang aktif. Ia tidak terbelenggu oleh karakteristik sosiologis, melainkan bebas bertindak. Faktor-faktor situasional, bisa berupa isu-isu politik atau kandidat yang dicalonkan, mempunyai peranan yang penting dalam menentukan pilihan politik seseorang. Oleh karena itu, dalam pendekatan rasional ini penilaian terhadap isu-isu politik dan kandidat merupakan faktor yang sangat penting dalam menjelaskan pilihan politik seseorang. Di sinilah para pemilih dapat menentukan pilihannya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional. 10 Dalam pendekatan rasional terdapat dua orientasi yang menjadi daya tarik pemilih, yaitu orientasi isu dan orientasi kandidat. Orientasi isu berpusat pada pertanyaan: apa yang seharusnya dilakukan dalam memecahkan persoalan-persoalan yang sedang dihadapi masyarakat, bangsa dan negara? Sementara orientasi kandidat mengacu pada sikap seseorang terhadap pribadi kandidat tanpa memperdulikan label partainya. Meski demikian, ketertarikan para pemilih terhadap isu-isu yang ditawarkan oleh partai ataupun kandidat bersifat situasional. Sehingga dengan sendirinya ketertarikan pemilih pada keduanya tidak permanen, melainkan berubah-ubah. Pengaruh terhadap isu dan kandidat tersebut berkaitan erat dengan peristiwa-peristiwa sosial, ekonomi, politik, hukum atau suatu peristiwa tertentu yang kontekstual dan dramatis. Dampak peristiwa tertentu, pengaruh isu dan kandidat yang ditawarkan terhadap perubahan situasional perilaku pemilih membuat beberapa pakar melirik model peristiwa konsumen produk bisnis sebagai salah satu pendekatan dalam memahami perilaku pemilih. Bahwa perilaku pemilih, menurut Him Melweit, merupakan pengambilan keputusan cepat dan pengambilan keputusan tersebut tergantung situasi sosial politik tertentu yang tidak berbeda dengan pengambilan keputusan lainnya. Sedangkan dalam menilai kandidat, terdapat dua variabel yang perlu dipunyai oleh seorang kandidat. Pertama, kualitas instrumental, yakni tindakan yang diyakini pemilih akan direalisasikan oleh kandidat bila kelak menang pemilu. Kedua, kualitas simbolis, yakni kualitas kepribadian seseorang yang berkaitan dengan integritas diri, ketegasan, kejujuran, ketaatan pada norma dan aturan, kebaikan, sikap merakyat
10
M. Asfar, op.cit., hal. 51-52.
Asep Ridwan, Perilaku Pemilih Pada Pemilu
39
dan lain sebagainya. Pendekatan rasional mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa para pemilih benar-benar rasional. Para pemilih melakukan penilaian yang valid terhadap visi, misi dan program kerja partai dan kandidat. Pemilih rasional memiliki motivasi, prinsip, pengetahuan, dan informasi yang cukup. Tindakan mereka bukanlah karena faktor kebetulan atau kebiasaan, dan tidak semata-mata untuk kepentingan diri sendiri, melainkan juga untuk kepentingan umum, menurut pikiran dan pertimbangannya yang logis. Perbedaan antara pendekatan rasional dengan lainnya bahwa pemilih rasional adalah pemberi suara yang responsif dan tidak permanen. Pilihan politiknya bisa berubah-ubah seiring dengan bergulirnya waktu, isu dan perubahan peristiwa politik. Sehingga dapat dikatakan bahwa ia merupakan pemilih yang pragmatis yang berorientasi pada visi, misi dan program partai atau kandidat. Namun muncul pertanyaan terhadap pendekatan rasional ini: sejauh manakah sebenarnya para pemilih sudah mendapatkan informasi yang valid tentang kandidat dan isu yang ditawarkannya? Untuk menjawab hal ini perlu dirujuk pendapat Popkin yang mengatakan para pemilih memang menyerap informasi seputar isu yang ditawarkan oleh para kandidat sekaligus profil kandidat tersebut. Akan tetapi ia tidak mengolahnya secara aktif. Umumnya mereka mendapatkan informasi sebagai produk sampingan dari berbagai aktivitas sehari-hari. Dengan kata lain, umumnya mereka kurang mendapatkan informasi yang cukup. Mereka juga tidak mempunyai waktu untuk memeriksa akurasi informasi yang diserapnya. Fenomena inilah yang dipostulatkan oleh Popkin sebagai hukum low information rationality (rasionalitas berdasarkan informasi terbatas).11 5. Perilaku Pemilih Sebelum Pemilu 2004 Sampai menjelang Pemilu 2004 ini sebenarnya kita sudah mempunyai pengalaman delapan kali menyelenggarakan pemilu. Berdasarkan pengalaman pemilu-pemilu lalu tersebut, seharusnya kita telah mempunyai banyak referensi penting dan berguna dalam memahami perilaku pemilih pada Pemilu 2004 ini. Sayangnya tidak banyak studistudi tentang perilaku pemilih yang kita dapatkan dari pemilu-pemilu
11 S.L. Popkin, “The Reasoning Voter Comunication and Persuasion in Presidential Campaign,” dalam Adman Nursal, op.cit., hal. 68-69
40
Demokrasi & HAM,Vol.4, No. 1, 2004
lalu tersebut. Hal ini disebabkan karena sekalipun kita sudah delapan kali punya pengalaman mengadakan pemilu, tetapi kebanyakannya berlangsung tidak demokratis. Padahal hanya pada pemilu yang demokratis otentisitas studi tentang perilaku pemilih dapat diungkap dengan baik. Sedangkan pemilu-pemilu yang terjadi pada masa Orde Baru tidak dapat dijadikan sebagai rujukan yang berarti karena jalannya pemilu berlangsung semu, tidak demokratis, penuh rekayasa, tekanan dan intimidasi. pemilu Orde Baru merupakan pemilu yang semu sebab sudah hampir diketahui hasilnya sebelum pemilu diselenggarakan. Pemilu bukan merupakan sarana untuk rotasi kekuasaan secara demokratis. Tujuan pemilu hanya untuk memperoleh legitimasi formal bagi kelompok yang berkuasa dalam melanggengkan kekuasaannya. Meski demikian, kita mempunyai dua pengalaman pemilu yang demokratis, yaitu Pemilu 1955 dan Pemilu 1999. Namun pada pemilu 1955, sekalipun Herbert Feith12 menyebutnya sebagai pemilu yang paling luber dan jurdil, tetapi tidak ada studi yang sistematik dengan metodologi yang ketat hingga generalisasi yang realistis yang dapat ditarik dari pemilu tersebut. Karakteristik studi pada pemilu 1955 lebih bersifat deskriptif daripada analitis. Munculnya era Reformasi pada 1998 melahirkan kembali suatu pemilu yang demokratis pada 1999 yang lalu sehingga memberikan kesempatan bagi dimulainya studi analitis tentang perilaku pemilih secara lebih sistematis. Studi tersebut bukan saja dapat memberi sumbangan yang berarti untuk kebutuhan-kebutuhan praktis saat itu, tetapi juga dapat membantu memperkirakan perilaku pemilih pada pemilu-pemilu demokratis selanjutnya. Dalam studi tentang perilaku pemilih pada Pemilu 1999, William Liddle dan Saiful Mujani menemukan dua kesimpulan penting dalam memahami perilaku pemilih pada pemilu tersebut.13 Pertama, semakin memudarnya politik aliran di tingkat massa pemilih. Massa pemilih cenderung sudah kurang lagi memperdulikan aliran dari masing-masing partai politik. Massa pemilih dari kalangan santripun sudah cukup toleran dan mampu membedakan wilayah politik dan wilayah keagamaan, dua wilayah yang sering dikaburkan oleh elit politik dalam memobilisasi dukungan massa. Kedua, ketokohan tetap menjadi variabel yang sangat penting dalam menarik dukungan massa pemilih. Para pemilih memilih 12
Herbert Feith, Pemilihan Umum 1955 di Indonesia, Jakarta : PT. Gramedia, 1999. Hal.
13
Liddle dan Mujani, op.cit.
ix-x
Asep Ridwan, Perilaku Pemilih Pada Pemilu
41
partai tertentu bukan karena daya tarik terhadap partai dan programnya, melainkan lebih karena ketertarikan terhadap tokoh yang ada di partai tersebut. Oleh karenanya hanya partai politik yang mempunyai tokoh terkemuka saja yang mendapatkan suara signifikan pada pemilu tersebut. Para pemilih memilih Golkar, PDI-P, PKB, atau PAN bukan karena daya terarik terhadap visi, misi dan program kerja partai-partai tersebut, melainkan lebih karena adanya tokoh-tokoh nasional yang terlibat dalam partai politik tersebut.14 6. Potret Buram Pemilih Menjelang Pemilu 2004 Sebelum menganalisis karakteristik perilaku pemilih pada Pemilu 2004, ada baiknya terlebih dahulu kita memotret dinamika sosial yang berkembang menjelang pelaksanaan Pemilu 2004, khususnya mengenai dinamika sosio-psikologis massa pemilih menjelang pemilu anggota badan legislatif maupun pemilu presiden dan wakil presiden. Berdasarkan survei LSI, 15 setidaknya terdapat dua temuan yang cukup mengkhawatirkan menjelang Pemilu 2004. Disebut mengkhawatirkan karena temuan-temuan tersebut dinilai bisa menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas pemilu yang akan dihasilkan pada Pemilu 2004 ini. Pertama, ternyata alasan keikutsertaan mayoritas pemilih pada Pemilu 2004 lebih didasarkan karena faktor kewajiban daripada hak maupun alasan dalam rangka mencari pemimpin dan kehidupan yang lebih baik. Berdasarkan temuan LSI pada bulan Januari 2004 tersebut, sekitar 46,5 % pemilih akan ikut memilih pada Pemilu 2004 karena memandangnya sebagai ritual yang wajib diikuti, sedangkan yang memandangnya sebagai hak sekitar 20,6%. Yang cukup mengkhawatirkan ternyata hanya sekitar 15,5% pemilih saja yang akan ikut pemilu karena alasan ingin mencari pemimpin yang lebih baik dan 4% lainnya ingin kehidupan sehari-hari yang lebih baik. Lebih lengkapnya temuan tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Lihat Liddle dan Mujani, op.cit. Potret Buram pemilih dan Peran Civil Society Menjelang Pemilu 2004: Analisa Temuan Survey LSI, Januari 2004. Dapat dilihat di www.lsi.or.id. 14 15
42
Demokrasi & HAM,Vol.4, No. 1, 2004
Jika Ibu/Bapak akan ikut memilih, Jelaskan kenapa ikut memilih? Lain-lain
1.4
Disuruh oleh pimpinan/atasan
1.4
Ikut Orang Lain/Masyarakat
4.4 6.2
Ingin Negara Aman Ingin Hidup Sehari-hari lebih baik
4 15.5
Ingin punya Pemimpin yang lebih baik Hak Warga Negara
20.6 46.5
Kewajiban Warge Negara 0
10
20
30
40
50
(Sumber : Lembaga Survey Indonesia (LSI))
Berdasarkan survei tersebut, kita menemukan makna bahwa ternyata tingginya tingkat partisipasi dalam pemilu di Indonesia tidak terkait secara langsung dengan tingginya tingkat kualitas pemilu itu sendiri. Sebab, keikutsertaan mayoritas pemilih dalam pemilu lebih disebabkan karena kewajiban daripada menjadikan pemilu sebagai momentum atau sarana untuk melakukan perubahan sosial dalam rangka mencari pemimpin dan kondisi yang lebih baik. Tujuan pemilu bagi mayoritas masyarakat Indonesia adalah partisipasi pemilu itu sendiri. Kedua, lambannya usaha perbaikan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah saat ini di satu sisi, serta adanya ketidaksabaran masyarakat dalam menunggu hasil perbaikan tersebut di sisi lain, membuat mayoritas pemilih cenderung memandang situasi dan kondisi pada era Orde Baru dinilai lebih baik dibandingkan dengan situasi dan kondisi di era Reformasi saat ini. Adanya romantisme dan kerinduan sebagian pemilih terhadap era Orde Baru tersebut dipandang sebagai sesuatu yang mengkhawatirkan karena dapat membangkitkan kembali kekuatan lama yang tidak sejalan dengan agenda reformasi yang telah digulirkan sejak tahun 1998. Tokoh-tokoh masa lalu yang pandai memanfaatkan sentimen pemilih ini tentunya akan mempunyai peluang maju kembali ke pentas politik nasional.
Asep Ridwan, Perilaku Pemilih Pada Pemilu
43
(Sumber : Lembaga Survey Indonesia (LSI))
Pertanyaan yang muncul kemudian, mengapa lima tahun Reformasi tersebut justru menghasilkan potret buram pemilih? Jawabannya ini merupakan gabungan dari banyak kegagalan. Mulai dari kegagalan Penilaian terhadap Orde Baru/Reform asi [Pertanyaan: pemerintah dalam janji-janji reformasi, kegagalan komunikasi Secara um um , apakah Ibu/Bapak m erasamemenuhi lebih baik berada di baw ah sistem pem erintahan dem okrasi sekarang atau politik dalam menjelaskan kesulitan yang ada, sampai kegagalan partai m erasa lebih baik berada dibaw ah sistem pem erintahan Orde Baru Presiden politik dalam Soeharto?] melakukan pendidikan politik.16 7. Perilaku Pemilih Pada Pemilu 2004 Tidak Tahu Satu 15% bulan menjelang Pemilu Legislatif 2004, LSI mengadakan survei tentang alasan para pemilih dalam menjatuhkan pilihannya pada Pemilu Legislatif 2004 dengan melibatkan responden secara nasional Orde Reformasi Orde Baru 25% yang mencerminkan miniatur masyarakat Indonesia seperti yang terdapat 60% dalam data BPS tahun 2000. Dalam survei tersebut ditawarkan beberapa alasan pemilih dalam menjatuhkan pilihan politiknya pada pemilu legislatif, baik alasan-alasan yang mewakili pendekatan sosiologis (seperti aliran politik, pengaruh keluarga, teman, dll), psikologis (seperti kebiasaan memilih, ketokohan, dll) maupun rasional (seperti berdasarkan visi/misi dan program parpol). Adapun hasil temuan survei tersebut seperti tergambar dalam grafik di bawah ini.
16
Ibid
44
Demokrasi & HAM,Vol.4, No. 1, 2004
(Sumber : Lembaga Survey Indonesia (LSI))
Berdasarkan temuan sepereti yang tergambar pada grafik di atas, ternyata unsur psikologis merupakan unsur yang paling dominan yang mendasari pemilih dalam menjatuhkan pilihan politiknya pada Pemilu Legislatif 2004. Hal itu terlihat dengan dominannya alasan kebiasaan (23,5%) yang melatarbelakangi pilihan politik para pemilih. Selain itu, ditambah pula dengan alasan ketokohan yang mencapai 21,4% dan alasan karena yakin partai tersebut akan menang, sebesar 3,3%. Dengan demikian, jika ketiga alasan tersebut digabungkan maka akan terdapat sekitar 48,2% pemilih akan menjatuhkan pilihan politiknya pada Pemilu 2004 berdasarkan unsur psikologis. Namun, ternyata alasan rasional cenderung menempati alasan kedua yang mendasari pemilih dalam menjatuhkan pilihan politiknya pada pemilu legislatif. Bila kecenderungan dalam survei ini tidak berubah, maka pada Pemilu Legislatif 2004 ada sekitar 22,1% pemilih yang telah memilih partai berdasarkan alasan kesukaannya terhadap visi, misi dan programnya. Sekalipun kecendrungan alasan rasional tersebut lebih kecil dibanding alasan psikologis, namun hal itu merupakan perkembangan yang menarik sekaligus menggembirakan di tengah-tengah adanya keraguan pada unsur rasional dalam Pemilu 2004 ini. Sedangkan di sisi lain, ternyata hanya sekitar 19,6% pemilih saja yang cenderung akan menjatuhkan pilihan politiknya berdasarkan unsur sosiologis, yaitu gabungan dari sekitar 9,1% dari yang akan memilih partai Islam, sekitar 4,0% karena ikut keluarga, sekitar 3,5% karena ikut orang lain, dan sekitar 3,0% karena partai nasionalis. Kecilnya kecenderungan unsur sosiologis yang mendasari pemilih tersebut tentunya cukup mengherankan bila dikaitkan dengan
Asep Ridwan, Perilaku Pemilih Pada Pemilu
45
banyaknya para pengamat politik yang memperkirakan masih dominannya politik aliran dalam Pemilu Legislatif 2004. Namun kenyataannya berdasarkan survei tersebut kecenderungan berkembangnya politik aliran sangat kecil. Pertanyaannya sekarang, bila kecenderungan unsur rasional cukup signifikan dibanding unsur sosiologis dalam pemilu 2004, visi dan program apa saja yang cenderung disukai mayoritas pemilih? Berdasarkan survei menjelang Pemilu Legislatif 2004, ditemukan bahwa mayoritas pemilih (68%) cenderung memilih masalah ekonomi (seperti sulitnya mencari lapangan kerja, mahalnya harga sembako, dll) sebagai isu yang paling menarik dibandingkan dengan isu-isu lainnya. Besarnya perhatian mayoritas pemilih terhadap isu ekonomi tersebut dilatarbelakangi oleh adanya kekecewaan masyarakat terhadap pemulihan ekonomi yang sampai saat ini belum dapat dirasakan oleh banyak kalangan. Krisis ekonomi yang berkepanjangan sejak tahun 1997 sampai saat ini secara langsung telah membuat pemilih cenderung menempatkan isu tersebut sebagai isu yang sangat dominan dan segala-galanya. Menurut Ibu/Bapak, Kira-kira apa masalah PALING PENTING yang sedang dihadapi bangsa kita sekarang ini?
Ekonomi
68.0%
Korupsi
5.0%
Penegakan Hukum
5.2%
Terorisme
1.4%
Lain-lain
Tidak Tahu
0.0%
17.4%
2.0%
10.0%
20.0%
30.0%
40.0%
50.0%
60.0%
70.0%
80.0%
(Sumber : Lembaga Survey Indonesia (LSI))
Adanya obsesi yang berlebihan terhadap isu ekonomi tersebut membuat mayoritas pemilih cenderung meminggirkan isu lain yang sebenarnya juga tidak kalah pentingnya, bahkan sudah menjadi penyakit kronis bangsa Indonesia sekaligus sebagai faktor yang mempunyai andil besar dalam menyebabkan krisis ekonomi, seperti isu korupsi dan penegakan hukum. Berdasarkan temuan survei tersebut, ternyata hanya sekitar 5% dan 5,2% pemilih saja yang menempatkan isu korupsi dan
46
Demokrasi & HAM,Vol.4, No. 1, 2004
penegakan hukum sebagai isu utama. Padahal kedua isu tersebut merupakan isu yang sangat penting, baik dalam memberantas penyakit kronis bangsa Indonesia maupun dalam membangun sebuah fondasi negara modern pada masa mendatang yang bebas dari unsur KKN. Bila kecenderungan-kecenderungan temuan tersebut kita sesuaikan dengan hasil pemilu legislatif yang belum lama ini diumumkan oleh KPU, terdapat kecocokan yang melandasi mengapa Partai Golkar meraih suara lebih banyak dibanding partai politik lainnya, termasuk PDI-P. Kemungkinan besar hal ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, masih kuatnya unsur kebiasaan pada pemilih dalam menjatuhkan pilihan politiknya pada Pemilu 2004. Hal ini wajar jika terjadi pada Partai Golkar yang sudah lama berkiprah dan mengakar sampai ke pedesaan. Adanya kecenderungan romantisme pada era Orde Baru memberikan keuntungan tersendiri terhadap partai tersebut. Di sisi lain, penurunan yang sangat drastis pada PDI-P disebabkan karena banyaknya kekecewaan masyarakat terhadap kinerja partai tersebut, khususnya terhadap pemerintahan Megawati dalam bidang ekonomi. Berdasarkan survei LSI pada April 2004, sekalipun secara makro ekonomi terlihat adanya peningkatan, akan tetapi sekitar 44,7% pemilih memandang “buruk” terhadap kondisi ekonomi nasional pada pemerintahan saat ini, sedangkan sekitar 27,2% memberikan nilai “sedang”, 16,0% lainnya memberikan nilai “sangat buruk”, dan hanya sekitar 7,3% saja yang memberikan nilai “baik”. Dari hasil survei tersebut terlihat gambaran kekecewaan terhadap partai politik yang berkuasa saat ini dan memberikan hukumannya pada pemilu legislatif yang lalu. Dalam survei yang dilakukan oleh LP3ES, FRI, YAPPIKA dan NDI terdapat analisa temuan mengenai ke mana larinya para pemilih PDI-P dalam Pemilu 2004 ini. Dalam survei tersebut terdapat temuan bahwa turunnya suara PDI-P pada Pemilu 5 April 2004 karena banyaknya pemilih yang lari ke partai lain, yaitu sebesar 8% pemilih lari ke Partai Demokrat dan 7% beralih ke partai Golkar. Dalam survei tersebut juga ditemukan keterangan bahwa naiknya suara PKS merupakan hasil pengalihan suara pemilih partai berbasis Islam lainnya di luar PKB, yaitu sebesar 9% dari yang memilih PPP dan sekitar 16% dari yang memilih PAN pada Pemilu 1999 sebelumnya.17 Selain itu, jargon “bersih dan lebih peduli” serta kampanye simpatik yang dibangun oleh PKS selama
17
Lihat di www.lp3es.or.id
Asep Ridwan, Perilaku Pemilih Pada Pemilu
47
ini ternyata mampu menarik simpati banyak kalangan, khususnya di kalangan perkotaan. Faktor lain yang mampu mendongkrak perolehan suara PKS adalah karena tingginya loyalitas pemilih PKS pada Pemilu 1999 untuk tetap memilih partai tersebut.18 Sedangkan perolehan suara yang signifikan pada Partai Demokrat, sekalipun merupakan partai baru, merupakan dampak ketokohan Susilo Bambang Yudhoyono yang semakin lama semakin popular di kalangan para pemilih. Peristiwa dramatis yang membuat SBY ke luar dari Kabinet Megawati merupakan titik tolak munculnya simpati dan dukungan yang luar biasa dari banyak kalangan di masyarakat. Dalam konteks inilah unsur psikologis banyak bermain, dan SBY mampu memanfaatkan momentum tersebut. Pertanyaan yang muncul kemudian, berbeda dengan fenomena Partai Demokrat dan PKS, mengapa partai politik yang baru lainnya tidak mendapatkan suara signifikan bahkan tidak mampu melewati electoral threshold. Jawabannya dapat mengacu pada temuan-temuan survei di atas yang mengatakan dominannya faktor kebiasaan dalam memilih partai serta pentingnya unsur ketokohan dalam partai politik membuat partai politik baru kurang dikenal oleh para pemilih. Partai baru umumnya tidak mempunyai tokoh nasional yang benar-benar sudah dikenal secara luas. Selain itu, adanya pembatasan kampanye hanya beberapa minggu sebelum pemilihan sangat merugikan partai-partai baru tersebut. Sebab, mereka tidak punya waktu dan sarana untuk mengenalkan partainya terhadap masyarakat selain hanya pada saat masa kampanye, sedangkan partai-partai besar secara tidak langsung sering melakukan kampanye terselubung. Tidak jauh berbeda dengan unsur yang dominan pada pemilu legislatif, perilaku pemilih dalam pemilu presiden juga cenderung lebih didominasi oleh unsur psikologis, dibandingkan unsur rasional maupun sosiologis. Berdasarkan survei LSI menjelang pemilu presiden dan wakil presiden pada 5 Juli 2004,19 ternyata alasan “kepribadian” merupakan alasan yang disukai mayoritas pemilih dalam menjatuhkan pilihannya pada pasangan capres dan cawapres, yaitu sebesar 33%. Sedangkan alasan kemampuan dalam mengatasi masalah keamanan dipilih oleh sekitar 18 Lihat survei kerjasama antara LP3ES, FRI, YAPPIKA dan NDI, “Pemilih PDI-P beralih ke Partai Demokrat, Suara PPP dan PAN bocor memilih PKS.” 19 Lihat “Pemenangan Pemilu Presiden Putaran Pertama 5 Juli 2004”, Analisis Temuan Survei tentang Pemilih Indonesia LSI ke-5, 2 Juni 2004, hal. 11-12.
48
Demokrasi & HAM,Vol.4, No. 1, 2004
17,8% dan alasan kemampuan dalam mengatasi masalah ekonomi dipilih sekitar 17,5%. Tidak jauh berbeda dengan pemilu legislatif, alasan kemampuan dalam memberantas korupsi hanya mendapatkan dukungan dari sekitar 6,3% saja, dan hanya sekitar 4,7% saja yang menghendaki dari kalangan tokoh Islam sekalipun mayoritas pemilih adalah Muslim.
(Sumber : Lembaga Survey Indonesia (LSI))
Secara lebih spesifik, keperibadian yang dipersepsikan oleh mayoritas pemilih adalah kandidat yang mempunyai kewibawaan, perhatian pada rakyat dan jujur. Di antara kelima kandidat presiden yang berkompetisi dalam pemilu kali ini, Susilo Bambang Yudhoyono merupakan kandidat yang dipandang mempunyai kepribadian paling baik dibandingkan dengan capres lainnya oleh mayoritas pemilih. Kualitas kepribadian SBY tersebut terekspos dan diekspos secara luas di berbagai media massa sebelum dan pada saat pemilu. Selain itu, besarnya perhatian pemilih terhadap isu keamanan dan ekonomi membuat SBY semakin populer di masyarakat pemilih dibandingkan dengan kandidat lainnya. 8. Pemilih Muslim yang Semakin Moderat Pemilu 2004, selain menunjukan besarnya unsur psikologis pada perilaku pemilih, juga menunjukan semakin surutnya popularitas partaipartai yang berlandaskan agama, khususnya partai-partai Islam. Besarnya jumlah pemilih yang beragama Islam (89%) ternyata tidak membuat perolehan suara partai-partai Islam menjadi dominan, bahkan sebaliknya. Yang dimaksud partai-partai Islam disini adalah partai politik yang secara
Asep Ridwan, Perilaku Pemilih Pada Pemilu
49
eksplisit dan formal menyatakan diri berasaskan Islam. Partai yang masuk ke dalam kategori ini adalah PPP, PKS, PBB, PBR, PPNUI dan PSI. Selain keenam partai Islam formal tersebut, ada pula partai yang secara sosiologis bias digolongkan ke dalam partai Islam karena berakar dan berbasiskan kepada organisasi sosial Islam seperti NU dan Muhammadiyah, yaitu PKB dan PAN. Sekalipun kedua partai tersebut menyatakan diri sebagai partai terbuka untuk semua jenis agama dan golongan, dan secara formal tidak menyatakan diri sebagai partai Islam, tetapi kuatnya peranan dan pengaruh kedua ormas Islam tersebut membuat secara sosiologis kedua partai tersebut dapat disebut sebagai partai Islam. Tidak jauh berbeda dengan Pemilu 1999, pada Pemilu 2004 perolehan suara partai-partai Islam berada jauh di bawah perolehan suara partaipartai kebangsaan seperti Partai Golkar dan PDI-P sekalipun mayoritas pemilih beragama Islam. Sekalipun perolehan suara partai-partai Islam tersebut digabungkan, tetap tidak mampu mengungguli perolehan gabungan suara kedua partai kebangsaan tersebut, apalagi jika ditambah dengan partai kebangsaan lainnya seperti Partai Demokrat, dll. Sebab, jumlah total perolehan suara partai-partai Islam hanya mencapai 22,44% yang berasal dari PPP (8,15%), PKS (7,34%), PBB (2,62%), PBR (2,44%), PPNUI (0,79%) dan PSI (0,60%). Dibandingkan dengan hasil Pemilu 1955, nampak sekali terjadi penurunan yang cukup signifikan. Pada Pemilu 1955 gabungan perolehan suara partai Islam mencapai 43,5%, yang berasal dari Masyumi (20,9%), NU (18,4%), PSII (2,9%) dan Perti (1,3%). Sekalipun suara partai Islam formal tersebut ditambah partai Islam sosiologis seperti PKB dan PAN, tetap saja mereka tidak mampu mengungguli gabungan perolehan suara partai-partai kebangsaan yang mencapai 58,42% suara. Kecilnya perolehan suara partai-partai Islam tersebut membuktikan bahwa unsur sosiologis keagamaan mempunyai pengaruh yang kurang signifikan. Hal ini sekaligus menunjukan bahwa politik aliran yang berdasarkan agama tidak mendapatkan tempat pada mayoritas pemilih. Besarnya perolehan suara PPP bukan karena keIslamannya, melainkan karena adanya unsur “kebiasaan memilih” pada sebagian pemilih sehubungan partai tersebut sudah lama keberadaanya. Sedangkan besarnya perolehan suara PKS juga bukan karena partai tersebut sematamata partai yang berasaskan Islam, melainkan akibat kampanye dengan jargon “bersih dan lebih peduli” yang banyak menarik perhatian pemilih.
50
Demokrasi & HAM,Vol.4, No. 1, 2004
Sedangkan perolehan suara partai-partai Islam yang lebih sering memainkan sentimen Islam — seperti PBB, PBR, PPNUI — justru memperoleh suara yang sangat kecil bahkan tidak lolos electoral threshold yang ditetapkan KPU. Sedangkan perolehan suara partai-partai yang tidak memainkan sentimen Islam — yaitu partai-partai yang berasaskan Pancasila seperti Golkar, PDI-P, Partai Demokrat, juga PKB dan PAN — justru lebih mendapatkan tempat di mata pemilih, bahkan juga mungkin di kalangan pemilih muslim yang religius. Kecenderungan pada pemilu legislatif tersebut juga terjadi pada pemilu presiden. Calon presiden yang murni berasal dari kalangan Islam, dan terutama yang sering memainkan sentimen Islam tidak begitu populer. Mereka kalah populer dibandingkan kandidat-kandidat yang jarang atau tidak pernah memainkan sentimen agama seperti Susilo Bambang Yudhoyono. Setidaknya terdapat tiga faktor penyebab semakin moderatnya pemilih Muslim yang mengakibatkan semakin tidak populernya partaipartai Islam tersebut. Pertama, budaya politik Orde Baru yang sangat represif terhadap politik syariat Islam di wilayah publik telah bekerja secara efektif. Penerapan asas tunggal Pancasila pada tahun 1985 membuat syariat Islam mengalami marginalisasi bahkan di kalangan pemilh Muslim yang religius sekalipun. Kedua, terjadinya moderasi dan pluralisasi di kalangan dua organisasi besar Islam sendiri, NU dan Muhammdiyah. Kalangan elit dari kedua ormas tersebut sudah sering mempararelkan ajaran Islam dengan demokrasi. Akibatnya, wacana negara Islam dan Piagam Jakarta pun menjadi semakin tidak populer dan tidak relevan. Ketiga, peran cendekiawan Muslim sendiri yang menanamkan kesadaran pluralisme dalam Islam banyak mempengaruhi warga Muslim perkotaan seperti yang sering dilakukan oleh Nurcholis Madjid atau Jaringan Islam Liberal di kalangan kaum muda.20 Selain faktor-faktor di atas, kegagalan partai-partai Islam tersebut juga disebabkan oleh karena kinerja dan program partai Islam itu sendiri yang tidak populis, melainkan lebih sering bergerak dalam tataran ideologi dan bahkan cenderung normatif. Sedangkan isu-isu nyata yang berdampak langsung pada masyarakat, seperti isu ekonomi, seringkali kurang mendapatkan perhatian. Akibatnya, partai-partai Islam semakin
20 Analisa Temuan Survei LSI, “Perilaku Pemilih Muslim: Isu Presiden, Partai dan Demokrasi, November 2003. hal. 17-18.
Asep Ridwan, Perilaku Pemilih Pada Pemilu
51
jauh dan terasing dari habitatnya sendiri yang bergulat dengan susah payah untuk memenuhi berbagai kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa krisis multidimensional yang sudah terjadi di Indonesia sedikit banyak membawa dampak positif berupa mulai munculnya rasionalitas dan sikap pragmatis pada perilaku pemilih di Indonesia, sekalipun pada awal-awal menjelang pemilu terdapat hal-hal yang mengkhawatirkan. Hal ini ditunjukkan dengan semakin menguatnya kecenderungan para pemilih menjatuhkan pilihan politiknya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional dalam memperbaiki keadaan. Meskipun demikian unsur psikologis masih tetap merupakan unsur yang paling dominan pada perilaku pemilih pada Pemilu 2004 ini. Yang cukup menarik, ternyata politik aliran atau unsurunsur sosiologis dalam perilaku pemilih jumlahnya tidak signifikan dibandingkan dengan persepsi yang selama ini dikhawatirkan oleh sebagian pengamat politik. Sedangkan yang cukup menggembirakan sekaligus menyedihkan adalah fenomena yang terjadi pada pemilih Muslim. Disebut menggembirakan karena dengan semakin lemahnya kecenderungan politik aliran pada pemilih dalam menjatuhkan pilihan politiknya, pemilih Muslim bertindak semakin pragmatis dan nonideologis. Sedangkan disebut menyedihkan sehubungan kecilnya perolehan suara partai-partai Islam di tengah-tengah pemilih yang justru mayoritas beragama Islam. Partai-partai Islam semakin tidak populer justru di kandangnya atau di habitatnya itu sendiri. Kenyataan tersebut seharusnya harus benar-benar mendapatkan perhatian tokoh-tokoh partai politik yang berasaskan Islam bila ingin tetap eksis dan berkiprah pada pemilu-pemilu selanjutnya. Sebab, mereka tidak akan lagi mampu memainkan sentimen agama hanya demi meraih kekuasaan dan jabatan. Daftar Bacaan Asfar, Muhammad, “Beberapa Pendekatan dalam Memahami Perilaku Pemilih”, Jurnal Ilmu-Ilmu Politik, Vo. 16, Jakarta : PT. Gramedia, 1989. Feith, Herbert, “Pemilihan Umum 1955 di Indonesia”, Jakarta : PT. Gramedia, 1999. JA, Denny, “Jajak Pendapat untuk Capres”, Suara Pembaharuan, 7 Juni 2004. Lembaga Survey Indonesia, “Potret Buram Pemilih dan peran Civil
52
Demokrasi & HAM,Vol.4, No. 1, 2004
Society Menjelang Pemilu 2004”, Analisa Temuan Survey LSI, Januari 2004. ————————————————, Pemenang pemilu Presiden Putaran Pertama 5 Juli 2004”, Analisa Temuan Survey LSI Tentang Pemilih Indonesia ke-5, 2 Juni 2004. ————————————————, Perilaku Pemilih Muslim : Isu Presiden, Partai dan Demokrasi”, Analisa Temuan Survey LSI, November 2003. ————————————————, “Efek Kampanye dan Kemungkinan Perubahan Kekuasaan Melalui Pemilu 2004. Analisa Temuan Survei LSI, 7 April 2004 ————————————————, “Akurasi Jajak Pendapat, Pengaruh Kampanye dan Prospek Pemilu Presiden 5 Juli 2004. Analisa Temuan Survei LSI ke-4, 11 Mei 2004 Liddle, William dan Saiful Mujani, “Politik Aliran Memudar, Kepemimpinan Nasional Menentukan Pilihan Partai Politik”, Kompas, 1 September 2000. Mujani, Saiful, “Survei dan Perilaku Pemilih”, Kompas, 14 Juni 2004. Nursal, Adman, “Political Marketing : Strategi Memenangkan Pemilu”, Jakarta : PT Gramedia, 2003. Survey LP3ES, FRI, YAPPIKA dan NDI, “Pemilih PDIP Beralih ke Partai Demokrat, Suara PPP dan PAN Bocor Memilih PKS” di www.lp3es.or.id
analisis DARWINISME PARTAI POLITIK DALAM PEMILU 2004 Airlangga Pribadi
1. Pendahuluan Eksistensi setiap jenis makhluk untuk bertahan hidup dalam rentangan masa yang panjang sangat tergantung dengan kemampuan yang mereka miliki untuk beradaptasi dengan lingkungan yang terus berubah. Demikianlah bunyi diktum utama teori evolusi kehidupan yang diperkenalkan oleh Charles Darwin. Seperti halnya yang berlangsung dalam pertarungan kompetitif setiap spesies makhluk hidup, realpolitik khususnya bertalian dengan fenomena partai politik berjalan dengan hukum alam yang sama. Sebagai binatang politik (political animal), keberadaan setiap partai politik dan peningkatan maupun kemerosotan mereka sangat dipengaruhi oleh kemampuan mereka merespons lingkungan politik, sosial, dan ekonomi yang terus berubah. Ketika suatu partai secara tangguh mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan yang berlangsung, keberhasilan tersebut berimbas pada peningkatan performa mereka. Demikian pula sebaliknya, ketidakmampuan partai politik untuk menanggapi lingkungan politik yang terus berubah akan menurunkan performa mereka. Ketika partai politik kehilangan kelenturan untuk beradaptasi dengan lingkungan yang dinamis, maka sangat besar kemungkinan partai-politik tersebut akan musnah atau bila disesuaikan dengan konteks politik Indonesia: tidak mampu melewati ambang elektoral (electoral threshold)*. * Penggunaan pendekatan teori evolusi Darwinisme dalam kajian politik ini salah satunya diperkenalkan oleh Michael Coppedge intelektual asal University of Notre Dame dan direktur kelompok kerja Quality of Democracy di Helen Kellog Institute for International Studies. Melalui beberapa buku dan makalahnya seperti Strong Parties and Lame Ducks: Presidential Partyarchy and Factionalism in Venezuela pada tahun 1994 maupun makalahnya Political
54
Demokrasi & HAM,Vol.4, No. 1, 2004
Tulisan ini mencoba memperlihatkan, fenomena politik Indonesia kontemporer merupakan salah satu contoh bagaimana para pemilih tidak memberi penilaian yang sama terhadap setiap partai politik yang berkontestasi. Kepercayaan yang diberikan publik terhadap partai politik yang diwujudkan dengan peningkatan maupun penurunan perolehan partai politik dalan Pemilihan Umum 2004 lalu, sangat dipengaruhi oleh tingkat fleksibilitas dari partai politik beradaptasi dengan lingkungan politik yang berubah. Ibarat perjalanan para musisi di dunia musik, realitas politik kepartaian di Indonesia memperlihatkan adanya partai yang selalu berada pada tangga teratas, ada pula partai yang melesat dengan luar biasa menjadi the phenomenon dalam persaingan politik. Namun di sisi lain terdapat partai-partai politik yang tidak mampu mempertahankan performanya, sehingga merosot secara drastis, akibat ketidakmampuan mereka merespons secara positif lingkungan sosial-politik yang bergerak cepat. Beberapa partai-politik seperti Partai Golongan Karya dengan perolehan suara tetap stabil dengan perolehan lebih kurang 21,5% sedikit turun dari perolehan pemilu sebelumnya sebesar 22,45% dan sang phenomenon Partai Keadilan Sejahtera (sebagai bentuk metamorfosis dari Partai Keadilan pada tahun 1999) merupakan partai yang tergolong sangat berhasil merespons dinamika lingkungan transisional di era reformasi dengan keberhasilan mereka memperoleh 7,34% dari suara pemilih, yang merupakan peningkatan fenomenal apabila dibandingkan dengan perolehan yang diraih PK (Partai Keadilan) pada Pemilu 1999 dengan 1,36% suara. Fenomena lain yang menarik berkaitan adalah perolehan suara PD (Partai Demokrat) sebagai partai baru yang mengusung nama Susilo Bambang Yudhoyono yang langsung merebut perhatian sang pemilih dalam Pemilu 2004 lalu dengan perolehan sebesar 7,45% dari pemilih. Ini berbeda dengan perolehan suara partai-partai baru yang rata-rata tidak lolos electoral threshold 3% dari keseluruhan suara pemilih. Sebaliknya beberapa partai politik lainnya tidak mampu
Darwinism in Latin America’s Lost Decade tahun 2001 dalam buku yang diedit oleh Larry Diamond dan Richard Gunther judul Political Parties and Democracy. Michael Coppedge menggunakan pendekatan Political Darwinism untuk menganalisis perkembangan partai-politik terutama di negara-negara Amerika Latin pada masa transisional fase 1980-an.
Airlangga Pribadi, Darwinisme Partai Politik
menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan. Ini antara lain ditunjukkan oleh kemerosotan suara yang dialami oleh PDI-P (Partai Demokrasi Indonesia – Perjuangan) yang turun perolehan suaranya sampai 13% dari perolehan Pemilu 1999 sebesar 33,75% dan hanya memperoleh dukungan sebesar 18,53% perolehan suara pada Pemilu 2004. Sementara itu PBB (Partai Bulan Bintang) tidak berhasil mengaktivasikan mesin politiknya pada Pemilu 2004 kali ini, sehingga harus puas dengan perolehan sebesar 2,62% walaupun sedikit naik daripada Pemilu 1999 dengan perolehan 2% dan tidak melewati electoral threshold, sehingga harus terlempar pada Pemilu 2009. Sementara itu perolehan suara yang dialami oleh PAN dengan perolehan sebesar 6,44% sedikit turun dari perolehan pada 1999 lalu sebesar 7,4% suara, selanjutnya perolehan PPP sebesar 8,15% sedikit turun dari perolehan pada tahun 1999 sebesar 10,72% suara, dan perolehan PKB yang juga menurun sedikit dibanding Pemilu 1999 dari 12,61% merosot menjadi 10,57%. Bertahan, melejit maupun turunnya peringkat partai-partai politik dalam Pemilu 2004 kali ini sangat berhubungan dengan performa politik yang mereka tunjukkan selama kurun waktu fase transisi politik sejak Pemilu 1999 sampai saat ini.
35% 30%
Persentase Perolehan Suara Partai Politik pada Pemilu 1999-2004:
25% 20% 15% 10%
PBB
PAN
2004
PK-PKS
PKB
1999
P-Demokrat
PPP
PDI-P
P-Golkar
5% 0%
55
56
Demokrasi & HAM,Vol.4, No. 1, 2004
Realitas perolehan suara beberapa partai politik pada Pemilu 2004 lalu ini menarik ketika ditelusuri lebih jauh. Apabila menggunakan model pembelahan dua sungai budaya aliran politik di Indonesia antara kelompok Nasionalis dan Islam. Partai-partai berbasis nasionalis (Partai Golkar, Partai Demokrat, PDI-P) menunjukkan perbedaan pola yang menarik diamati. Partai Golkar sebagai partai yang selama ini direpresentasikan sebagai wujud dari kekuatan lama yang berhadaphadapan dengan kekuatan reformis, justru pada pemilihan umum 2004 mampu mempertahankan performanya dan berada pada peringkat pertama. Partai Demokrat yang menampilkan tokoh Soesilo Bambang Yudhoyono dengan mesin politik yang secara efektif berjalan belum berusia satu tahun mampu memperoleh suara pemilih sebesar 8,45 juta. PDI-P dengan pemimpinnya Megawati Soekarnoputri yang selama ini dikenal sebagai partainya “wong cilik”, representasi kaum marjinal dan symbol oposisi terhadap rezim Orde Baru, justru pada Pemilu 2004 lalu merosot dengan tajam. Sementara pada sungai budaya politik Islam, kita justru melihat pola politik yang berbeda. PKS yang berbasis kultural kekuatan dakwah tarbiyah dan mengusung identitas Islam revivalis, merupakan satusatunya partai berbasis Islam dengan perolehan suara yang cukup besar dan peningkatan performa politik yang sangat berarti daripada performa partai tersebut ketika masih menggunakan nama Partai Keadilan pada Pemilihan Umum 1999. Stagnasi terjadi pada partai berbasis Islam lainnya seperti PPP yang terang-terangan menyatakan diri berasas Islam maupun PAN dan PKB walaupun kedua partai tersebut memperlihatkan komitmen mereka sebagai partai pluralis, inklusif dan terbuka terhadap berbagai kelompok tidak begitu saja menaikkan legitimasi partai tersebut di hadapan para pemilih. Selain itu, stagnasi perolehan suara yang diperoleh PBB dalam pemilihan umum kali ini memperlihatkan ketidakmampuan mereka mengantisipasi tantangan politik dan lingkungan yang terus bergerak. 2. Lingkungan Ekonomi-Politik Transisional Setiap kemungkinan dapat terjadi dalam arena politik demokrasi. Realpolitik fase transisi demokrasi di Indonesia yang ditandai oleh keruntuhan rezim otoritarian Soeharto tidaklah serta merta diikuti oleh replacement politik yang menempatkan kekuatan politik baru dalam arus utama kekuasaan. Apabila meminjam istilah dari pemikir-aktivis politik
Airlangga Pribadi, Darwinisme Partai Politik
57
Italia Antonio Gramsci dalam karyanya The Prison Notebooks, lingkungan politik Indonesia pada fase transisional berada pada posisi limbo, ketika tatanan lama telah runtuh namun konfigurasi baru tidaklah kunjung tiba. Transisi demokrasi di Indonesia lebih merupakan open signifier (ruang penanda yang terbuka), tidak stabil, dan tidak mudah terprediksi daripada suatu lokomotif bagi gagasan politik baru, ketika proses perubahan politik yang berlangsung tidak serta merta menghadirkan kekuatan-kekuatan politik baru yang menggantikan kekuatan politik lama (Antonio Gramsci, 1987). Arena demokrasi menjadi ruangan bebas ketika konfigurasi struktur baru belum terbangun, dan arena politik menjadi ruang kontestasi dari berbagai kekuatan politik yang bertarung. Survival dari setiap aktor politik (khususnya partai politik) dalam tatanan politik demokrasi tidak mudah ditentukan oleh klaim yang mereka tampilkan sebagai elemen politik reformis-demokratik, namun ketahanan politik mereka sepenuhnya ditentukan oleh kemampuan yang mereka miliki untuk merespons setiap kondisi dan lingkungan politik yang terus berubah. Proses transisi demokrasi di Indonesia merupakan satu dari banyak kasus dimana proses perubahan politik yang tengah berlangsung terjadi bersamaan dengan krisis sosial ekonomi yang begitu dalam. Pengalaman transisi politik di Indonesia memiliki banyak kesamaan dengan beberapa proses transisi demokrasi yang berlangsung di negaranegara Eropa Timur maupun Amerika Latin (Larry Diamond 1994, Jack Snyder 2001, Michael Coppedge 2001). Proses perubahan rezim yang berlangsung di Indonesia harus menghadapi berbagai masalah krusial. Setidaknya terdapat empat masalah utama dalam gejolak turbulensi politik saat ini yang berhubungan erat dengan tingkat adaptasi dari partai politik dengan lingkungan yang berubah. Masalah-masalah tersebut adalah: Pertama, permasalahan korupsi dan permainan politik uang yang begitu akut terjadi di seluruh lini, baik di tingkat partai politik, parlemen, dan birokrasi pemerintahan, Kedua, krisis lapangan pekerjaan yang tak kunjung terselesaikan sebagai salah satu turunan dari krisis ekonomi nasional. Ketiga, ketimpangan sosial ekonomi yang begitu dalam di antara kelas-kelas sosial di masyarakat. Keempat, penerapan kebijakan neo-liberalisme secara frontal sebagai tuntutan lembaga keuangan internasional di tengah melemahnya otoritas negara dalam menangani permasalahan publik. Kelima, gejolak politik identitas etnoreligius di
58
Demokrasi & HAM,Vol.4, No. 1, 2004
tengah ledakan partisipasi politik di era demokratisasi. Kompleksitas masalah yang dihadapi bangsa ini di tengah perubahan politik aktual menjadi tantangan bagi setiap kekuatan politik bangsa untuk membangun masa depan Indonesia. Indonesia masa lalu seringkali dianggap menjadi belenggu yang menghambat perjalanan masa depan. Keruntuhan Orde Baru, tidak identik dengan perubahan transformasi struktural ekonomi politik Indonesia menuju ke arah yang lebih demokratik. Seperti halnya sindroma khas negara-negara dunia ketiga, di Indonesia kehendak untuk membunuh masa lalu seringkali gagal. Perjuangan yang tersulit dan menentukan bagi negara transisional seperti Indonesia—meminjam istilah sastrawan Milan Kundera— adalah perjuangan melawan lupa, ketika secara sadar maupun tidak sadar struktur kekuasaan yang baru mereplikasi kembali spirit masa lalu dengan bentuk yang lebih halus dan canggih. Suksesi kepemimpinan nasional dan pergantian sistem politik menuju era demokrasi setelah pemerintahan Soeharto tidaklah menghancurkan kekuatan-kekuatan patronase yang telah dibangun sedemikian lama selama puluhan tahun. Tumbangnya payung politik pemerintahan Soeharto dan terbangunnya nomenklatur baru bernama demokrasi justru memberikan kesempatan bagi tiap ikatan-ikatan patronase ekonomi politik yang ada untuk beradaptasi dengan suasana politik yang baru dan membangun aliansi-aliansi yang berumahkan partai politik (Vedi R. Hadiz, 2003). Pada masa Orde Baru persaingan yang berlangsung di dalam porosporos patronase ekonomi politik yang ada berpusat pada organisasiorganisasi bentukan korporatisme negara, karena sistem kepartaian tidaklah bebas dan malahan terbonsai. Pada era reformasi ketika organisasi-organisasi bentukan negara tersebut semakin layu, partai politik menjadi rumah baru bagi berkembangnya patronase-patronase tersebut untuk eksis dan bekerja. Kenyataannya partai politik menjadi instrumen modus operandi baru penyalahgunaan pengelolaan negara dan saranasarana publik. Apabila pada masa lalu jaringan-jaringan patronase politik terbangun secara sentralistis dari atas ke bawah, maka pada era reformasi gugus-gugus patronase demikian tersebar, saling berkontestasi, cair dan tidak memunculkan kekuatan sentral yang berperan hegemonik. Jaringan patronase yang begitu tersebar ini mengubah pola ekonomi politik Indonesia dari model sentralisasi korupsi menuju desentralisasi korupsi.
Airlangga Pribadi, Darwinisme Partai Politik
59
Sementara itu ketika realitas politik mutakhir menunjukkan kenyataan eksisnya patronase-patronase politik lama yang berumah di dalam partai politik, problema politik lain muncul, yaitu berupa lemahnya pengorganisasian politik grass-roots akibat penerapan model korporatisme negara pada masa lalu. Sehingga di tengah gelombang perubahan, kita menghadapi masalah lemahnya kekuatan-kekuatan politik kewargaan yang terorganisir dengan baik dan tersebar. Resikonya, tanpa terbangunnya mesin politik kekuatan kewargaan yang berfungsi efektif melakukan kontrol untuk mengepung political society, baik itu partaipolitik, parlemen, maupun lembaga eksekutif maka pemantauan oleh civil society terhadap partai, parlemen dan pemerintahan sebagai saluransaluran baru bagi beroperasinya penggunaan politik uang dan penyalahgunaan kekuasaan tidak dapat terselenggara dengan baik. Seperti diutarakan dengan baik oleh Vedi R. Hadiz (2003) sebagai akibat dari ketakberdayaan civil society, wahana politik di Indonesia yaitu lembaga parlemen dari tingkat pusat sampai daerah menjadi panggung bagi para makelar politik, preman dan bandit-bandit yang menjadi aktor-aktor politik di parlemen, partai politik dan birokrasi yang mengoperasikan politik uang dan berkontestasi dalam setiap wilayah kekuasaan. Ketika gerakan-gerakan kewargaan seperti agenda pemberantasan korupsi sebagian besar belum mampu memberikan tekanan signifikan pada pergulatan pada wilayah arena politik baik di parlemen maupun pemerintahan, maka proses-proses politik sehari-hari secara umum masih belum tersentuh agenda substansial demokrasi dan masih berjalan sesuai dengan praktek-praktek korupsi politik. Fakta mengenai penjarahan besar-besaran terhadap aset-aset publik maupun korupsi dalam lembaga birokrasi, parlemen dan segenap institusi pemerintahan ini nampak dari laporan lembaga-lembaga internasional. Pada tahun 2003, Transparency International yang memantau permasalahan korupsi di berbagai negara menunjukkan bahwa Indonesia bersama Kenya berada pada posisi ke-6 sebagai negara terkorup di dunia. Sementara dalam negara-negara kawasan Asia, Indonesia berada pada urutan tiga besar bersama dengan Bangladesh dan Myanmar. Pada level ASEAN, Indonesia berada pada peringkat kedua teratas masalah korupsi. Di tengah tingkat korupsi yang begitu tinggi dan beroperasinya jaringan-jaringan patronase politik dengan mengambil keuntungan melalui permainan politik uang dalam proses-proses politik yang
60
Demokrasi & HAM,Vol.4, No. 1, 2004
berlangsung baik di partai politik, parlemen, dan pemerintahan, bangsa kita menghadapi problema yang parah sehubungan dengan krisis lapangan kerja. Ledakan partisipasi politik seiring dengan transisi politik menuju demokrasi sejak tahun 1998 diikuti oleh ledakan pengangguran yang sangat tinggi. Imbas krisis ekonomi semenjak tahun 1997, telah meningkatkan angka pengangguran pada tahun 1998 sebesar 5,1 juta orang atau 5,46% dari jumlah angkatan kerja (Indonesia Dalam Krisis: 1997-2002, KOMPAS 2002). Angka pengangguran pada tahun 2003 memperlihatkan tidak adanya peningkatan kinerja serius dari pemerintah untuk menanggulangi permasalahan pengangguran. Tercatat pada tahun 2003 angka pengangguran di Indonesia sebesar 5,1 juta jiwa atau sekitar 5,46% dari angkatan kerja yang berjumlah 92,7 juta jiwa dan jumlah 40 juta jiwa pengangguran terselubung. Realitas ini menunjukkan begitu timpangnya realitas ekonomi politik kita. Pada satu sisi begitu banyak uang yang terhambur dalam arena politik, begitu tingginya political cost terbuang di negeri ini, sementara di sisi lain pemerintahan tidak mampu mengelola urusan publik dan memberikan lapangan kerja yang layak bagi warganya, dan sebagian besar rakyat hidup dengan standar kehidupan yang jauh dari kelayakan. Problema ekonomi politik yang harus dihadapi oleh Indonesia pada masa transisional ini berkaitan dengan komitmen yang harus dijalani oleh Indonesia sebagai resiko atas perjanjian yang telah ditandatangani oleh Indonesia dengan IMF. Sejak reformasi sampai akhir tahun 2003, Indonesia terikat letter of intent dengan IMF dan rekomendasi dari Bank Dunia. Sebagai akibatnya Indonesia harus menjalankan reformasi ekonomi dengan arahan-arahan neo-liberalisme yang bersifat ekspansif. Berbagai kebijakan ekonomi dilakukan seperti penutupan bank-bank nasional privatisasi melalui penjualan aset-aset berharga nasional, rencana komersialisasi terhadap barang-barang publik seperti penyediaan air dan listrik. Kesemua rencana ekonomi neo-liberal tersebut tentunya memunculkan gelombang protes di tingkat arus bawah dan melemahkan popularitas dari pemerintahan saat ini. Selain berbagai problema carut-marutnya struktur ekonomi-politik Indonesia yang sangat memprihatinkan, fenomena politik yang tidak dapat dikesampingkan dalam lingkungan politik transisional adalah maraknya gelombang politik identitas yang sejalan dengan antusiasme ledakan partisipasi politik di tengah arus perubahan politik terkini. In-
Airlangga Pribadi, Darwinisme Partai Politik
61
donesia menjadi salah satu contoh dari perkembangan realitas politik global, ketika era demokratisasi berjalan seiring dengan gerakan revitalisasi agama dalam ruang politik. Seiring dengan lingkungan politik yang berubah, di mana keterbukaan dan liberalisasi menjadi nomenklatur baru yang menggantikan ketertutupan politik yang terkondisikan oleh politik sentralisasi negara dalam kancah politik, isu-isu berbasis identitas etnoreligius masuk dalam wilayah publik dan mengalami geliat politisasi besar-besaran (Robert W. Hefner, 2000). Geliat ethnoreligious politics di Indonesia ini membawa masa depan Indonesia ke berbagai kemungkinan di masa depan. Pada satu sisi maraknya politik agama (khususnya politik Islam) yang berjalan seiring dengan gelombang demokrasi dapat membawa Indonesia menuju masa depan yang lebih demokratik, liberal sekaligus religius; sementara pada sisi lain kecenderungan politik agama ini dapat memancing kemunculan semangat parokhialisme dan anarki politik, ketika kehadiran politik identitas tidak terkelola dalam ruang politik yang demokratis. Di Indonesia manifestasi dari kemunculan politik identitas etno-religius ini dapat berbentuk kemunculan partai politik dengan simbol Islam maupun berbasis konstituen Islam (PBB, PK/PKS, PAN, PKB, PPP) yang hadir sejak era reformasi tahun 1998, maupun dalam bentuk gerakan sosial keagamaan dengan tensi politik yang begitu kuat seperti FPI, Laskar Jihad, maupun Hizbut Tahrir dan gerakan dakwah Tarbiyatul Islam. Kenyataan di atas menunjukkan kondisi obyektif lingkungan politik Indonesia. Seiring arus perubahan politik menuju era reformasi, problema korupsi, dan penyalahgunaan kepercayaan publik oleh pengelola kekuasaan masih tidak tertanggulangi bahkan semakin tersebar di berbagai lini. Realitas lingkungan politik yang begitu rentan dan rapuh inilah yang dihadapi oleh partai-partai politik di Indonesia selama era reformasi berlangsung. Pada konteks adaptasi dengan lingkungan politik transisional, bentuk tanggapan dan adaptasi dari partai-partai politik selanjutnya akan mempengaruhi performa politik dan eksistensi mereka untuk bertahan dalam turbulensi politik yang begitu cepat dan terus bergerak. Ternyata tatanan politik kelembagaan demokrasi di Indonesia saat ini berdiri di atas fondasi struktur ekonomi politik yang rapuh dan retak, sehingga apabila tidak segera dicari jalan keluarnya fondasi tersebut akan runtuh dan menghancurkan tatanan politik yang terbangun, atau setidaknya tatanan demokrasi prosedural yang terbangun tidak lebih dari konfigurasi demokrasi setengah hati.
62
Demokrasi & HAM,Vol.4, No. 1, 2004
3. Adaptasi Partai Politik terhadap Lingkungan Politik yang Berubah Pemilih memiliki perilaku politik yang khusus dan partikular berkaitan dengan partai politik yang akan dipilihnya. Dalam karnyanya yang mengkaji perbandingan performa partai-partai politik di negara Amerika Latin, Michael Coppedge (2001) mengklasifikasikan respons partai-partai politik terhadap lingkungan yang berubah ke dalam dua hal yaitu: pertama, soliditas hubungan antara partai politik dan pemilih, dan kedua, posisi dari partai politik tersebut dalam struktur politik, apakah partai tersebut merupakan partai politik yang berada di kekuasaan atau sebagai oposisi. Berkaitan dengan soliditas partai, dapat dibagi atas dua jenis. Pertama, sebagian kalangan pemilih tidak terlalu mempertimbangkan apakah partai-politik yang dipilih mengidentifikasikan diri dengan segenap permasalahan bangsa yang tengah dihadapi. Hal ini terjadi karena ada faktor-faktor lain yang lebih berpengaruh seperti keterkaitan identitas politik dan ideologi, maupun tingkat kharisma dari figur pemimpin partai. Kedua, selain kategori pertama terdapat lapisan kalangan pemilih lain, yaitu mereka yang peka terhadap identifikasi partai politik terhadap berbagai permasalahan yang ada. Secara rasional mereka akan memberikan imbalan kepada partai politik ketika mereka melakukan tindakan aktif untuk menyelesaikan berbagai masalah yang ada dengan memilih partai tersebut dalam pemilu. Sebaliknya pemilih akan menghukum partai tersebut dengan cara meninggalkan partai tersebut dan memilih partai politik lainnya bila partai politik yang sebelumnya dipilihnya tidak dipandang berfungsi dengan baik. Pada kasus pertama, kita dapat mengidentifikasikan jenis hubungan antara partai politik dengan pemilihnya sebagai partai politik dengan dukungan massa yang solid. Sementara pada jenis yang terakhir, ketika hubungan antara partaipolitik dan pemilih sangat tergantung dengan identifikasi partai politik dengan masalah-masalah aktual, maka kita dapat mengkategorisasikannya sebagai partai dengan dukungan massa yang cair. Indikator yang harus diperhatikan sehubungan dengan performa partai-partai politik dan respons mereka terhadap lingkungan politiknya, juga sangat ditentukan oleh posisi dari masing-masing partai politik tersebut. Apakah mereka berada pada posisi sebagai partai yang memerintah, ataukah mereka berada pada posisi sebagai partai oposisi.
Airlangga Pribadi, Darwinisme Partai Politik
63
Kinerja partai politik yang memerintah lebih rentan terhadap reaksi dari para pemilih. Pemilih akan lebih memberikan pengamatan intensif terhadap produk-produk kebijakan dan performa dari partai politik yang berkuasa. Apabila mereka mampu membangun kinerja pemerintahan yang baik, atau sesuai dengan ekspektasi dari para pemilih maka mereka akan dapat mempertahankan dukungan dari para pemilih, bahkan dukungan tersebut dapat terus meningkat. Sementara pemerintah pada saat ini dihadapkan dengan pilihan yang tidak banyak. Interdependensi Indonesia dengan tatanan pasar bebas dan komitmen Indonesia kepada lembaga keuangan internasional seperti letter of intent dengan IMF telah menuntut pemerintah untuk mengambil kebijakan yang cenderung ke arah afirmasi terhadap gagasan neo-liberalisme. Resiko dari pilihan untuk mengambil langkah pro-market daripada kebijakan yang lebih populis bermuara pada hilangnya basis konstituen terutama dari kalangan masyarakat miskin kota dari partai politik yang memerintah. Sementara kondisinya berbeda dengan partai politik yang berada di tempat oposisi. Partai oposisi relatif tidak dapat dipersalahkan dengan kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Sementara, apabila mereka dapat menampilkan fungsi kontrol politik maupun kritiknya—sebagai bagian dari oposisi—terhadap pemerintahan, serta mampu menunjukkan kepeduliannya untuk mengatasi masalah-masalah yang ada di masyarakat dalam lingkungan politik yang dinamis, partai oposisi dapat mempertahankan dukungan konstituen atau bahkan menjadi semakin meningkatkan dukungan terhadap partai tersebut. Hubungan antara performa kebijakan ekonomi politik dengan posisi partai politik, baik di pemerintahan maupun di oposisi memiliki pengaruh signifikan. Selain faktor tersebut, indikator penting lainnya yang perlu diperhatikan untuk menganalisis adaptasi partai politik dengan lingkungan politik yang berubah dalam kasus Indonesia ditentukan oleh identifikasi partai-politik tersebut dengan isu-isu politik identitas. Variabel adaptasi partai-politik dengan gelombang religio-politik ini tidak bergantung dengan posisi mereka baik di pemerintahan maupun di oposisi. Adaptasi partai-politik dengan gelombang politik identitas ini dipengaruhi oleh seberapa cerdas partai politik tersebut mampu mengambil posisi di tengah tarikan arus religio-politik. Kecerdasan partai politik merespons tarikan arus religio-politik merupakan indikator yang harus diperhitungkan. Hal ini mengingat karakter budaya politik di In-
64
Demokrasi & HAM,Vol.4, No. 1, 2004
donesia yang bersifat paradoksal. Di satu sisi budaya politik Indonesia memang dikejutkan oleh gelombang besar etno-religiusitas dalam kancah politik. Namun demikian mayoritas umat Islam di Indonesia berkarakter moderat walupun tidak banyak tampil ke permukaan (silent moderate Muslims). Paradoks budaya politik masyarakat muslim di Indonesia inilah yang harus dicermati oleh kalangan partai politik untuk bertindak secara cerdas. Indikator terakhir yang amat menentukan terhadap ketahanan partai politik untuk beradaptasi dengan kondisi politik yang ada sangat dipengaruhi oleh kemampuan partai politik untuk mengelola friksi elit politik di tingkat lingkungan internal partai dengan baik. Kemampuan untuk mengelola partai sehingga tidak menimbulkan perpecahan di tingkat elit sangat mempengaruhi daya tahan partai politik. Untuk negara yang baru saja melewati fase awal transisi demokrasi, konflik internal partai politik menjadi sesuatu hal yang sering terjadi, selain disebabkan oleh kontestasi memperebutkan pengaruh di tingkat elit politik, juga oleh tarik menarik antara berbagai faksi yang menempatkan partai politik sebagai arena persaingan mereka dan terkadang ditingkahi oleh munculnya politik uang. 4. Performa Empat Partai Politik di Indonesia Dari analisis diatas, kita dapat menginventarisasi sedikitnya empat indikator yang mempengaruhi adaptasi partai politik terhadap lingkungan politik yang berubah, dan pengaruh interaksi tersebut dengan performa partai politik di hadapan pemilih. Pertama, tingkat soliditas hubungan antara elit politik partai dengan basis konstituen mereka. Kedua, Posisi partai politik apakah menjadi bagian dari partai yang memerintah atau berada pada posisi oposisi. Ketiga, respons dari partai politik tersebut dengan gelombang politik identitas yang berjalan seiring dengan gelombang demokratisasi. Keempat, kemampuan partai politik untuk mengelola konflik internal antara elit-elit dalam partai politik. Keempat indikator di atas menjadi unit analisis penting untuk melihat performa partai politik di Indonesia. Untuk kepentingan komparasi dipilih empat partai politik, yaitu PDI-P, Partai Golkar, PKS, dan PAN. Keempat partai politik tersebut merupakan contoh kasus yang menarik untuk melihat keberhasilan dan kegagalan partai politik beradaptasi dengan lingkungan politik transisional.
Airlangga Pribadi, Darwinisme Partai Politik
65
4.1.PAN (Partai Amanat Nasional): Stagnasi dan Retaknya Elit Politik Partai Amanat Nasional merupakan partai politik yang sejak deklarasinya pada tanggal 23 Agustus 1998 sampai saat ini dipimpin oleh ketua MPR-RI Muhammad Amien Rais. Kelahiran PAN dibidani oleh aliansi beberapa kalangan berlatar belakang idelogi Islam modernis, sosialis democrat, dan liberal reformis. Setidaknya terdapat 50 tokoh yang ikut terlibat dalam kelahiran PAN melalui organisasi MARA (Majelis Amanat Rakyat) pada tanggal 14 Mei 1998, beberapa hari sebelum jatuhnya rezim Soeharto (Partai-Partai Politik Indonesia: ideology dan Program 2004-2009, Kompas 2004). Partai Amanat Nasional merupakan partai yang memiliki basis politik yang terbelah. Sebagian basis konstituen dari Partai Amanat Nasional merupakan basis yang solid berasal dari kekuatan Islam modernis-urban terutama yang berakar dari organisasi keagamaan Muhammadiyah. Sentralitas figur Amien Rais dalam organisasi Muhammadiyah ikut memberi dukungan dari konstituen Muhammadiyah untuk mengidentifikasi diri mereka secara kolektif kepada PAN. Sementara lapisan pendukung lainnya datang dari basis konstituen PAN berlatar belakang kelas menengah seperti pengusaha, kalangan intelektual dan kaum terdidik yang berbasis di perkotaan. Lapisan pendukung dari kelas menengah ini memiliki karakter cair, cenderung lebih berkarakter rasional, di mana performa partai politik dalam merespons masalah-masalah aktual menjadi tolak ukur orientasi memilih mereka. Walaupun hanya berhasil meraih dukungan sekitar 7,4% suara dengan menempatkan 34 suara di kursi DPR-RI pada Pemilu 1999, PAN memerankan posisi penting dalam pertarungan politik di Indonesia terutama pada fase awal reformasi sampai kurun tahun 2000. Amien Rais dengan koalisi “Poros Tengah”nya berhasil mengumpulkan kekuatan partai politik berbasis Islam untuk membawa Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI. Selanjutnya karena keterpurukan lingkungan politik pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, maka peran PAN melalui Amien Rais sangat menentukan untuk menurunkan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI. Langkah politik yang diambil olehnya terbukti merugikan bagi kepentingan politik strategis PAN, karena ke depan langkah ini terbukti menyulitkan bagi Amien Rais maupun PAN untuk diterima di kalangan Islam tradisionalis/nahdlyin baik di
66
Demokrasi & HAM,Vol.4, No. 1, 2004
tingkat elit maupun massa. Pada Pemilihan Umum 2004, perolehan suara PAN mengalami stagnasi bahkan cenderung menurun dengan hanya memperoleh sekitar 6,4% suara atau turun lebih kurang 0,5% dari Pemilihan Umum 1999 lalu walaupun dari segi kursi menaik dari 35 kursi menjadi 53 kursi. Mengenai penurunan jumlah suara ini, kita dapat melakukan analisis terhadapnya. Salah satu faktor krusial yang menghambat akselerasi mesin politik PAN untuk mendulang suara tidak dapat dilepaskan dari konflik elit politik internal yang berlangsung pada tahun 2001. Konflik internal partai ini salah satunya berhubungan dengan respons PAN untuk beradaptasi dengan suasana menguatnya atmosfer politik identitas religiopolitik di Indonesia. Pilihan untuk memposisikan diri sebagai partai terbuka yang dipilih oleh PAN sejak awal pendeklarasian partai tersebut ternyata masih membawa permasalahan friksi ideologis antara kelompok Islam modernis urban dengan kelompok sosialis-demokrat pada kubu yang saling berseberangan. Secara simbolik ketegangan antar faksi ini tercermin dari ketidakpuasan kalangan sosialis demokrat dalam kubu PAN atas keinginan kaum Islam modernis urban untuk menambahkan kata-kata iman dan taqwa sebagai asas partai tersebut. Walaupun kemudian kebijakan dari pimpinan PAN adalah tidak memberikan kata putus terhadap konflik ini. Namun demikian ketegangan antar faksi dalam tubuh internal elit PAN mencapai klimaksnya dengan keluarnya 16 fungsionaris partai ini terhadap garis kebijakan partai tersebut. Hengkangnya keenam belas nama tersebut, termasuk Faisal Basri dan Bara Hasibuan merupakan kehilangan yang sangat berarti dalam tubuh PAN, mengingat dukungan konstituen terutama yang berkarakter cair terhadap elit politik ini cukup kuat. Selain problema politik identitas, konflik di dalam tubuh PAN terjadi karena kehendak dari sebagian kalangan demokrat-reformis dan sosial demokrat untuk mempengaruhi proses pengambilan kebijakan dalam partai tersebut tidak berhasil. Yang terjadi justru posisi mereka semakin lama semakin terpojok akibat mulai menguatnya kekuatan patronase politik, politik uang dan mesin politik kekuatan-kekuatan lama dalam partai tersebut (Vedi R. Hadiz, 2003). Akibat dari keretakan dalam tubuh PAN, partai ini relatif kehilangan basis simboliknya untuk mencitrakan diri sebagai partai yang inklusif, pluralis, dan terbuka terhadap semua kelompok. Kehendak Amien Rais untuk membawa partai politik ini keluar dari keterbatasan simbol-simbol
Airlangga Pribadi, Darwinisme Partai Politik
67
keagamaan menjadi sedikit terganjal dengan keluarnya beberapa figurfigur pluralis dalam partai ini. Namun demikian dalam perjalanannya selama fase reformasi, Partai Amanat Nasional berjuang untuk konsisten mempertahankan agenda-agenda reformasi dan menampilkan diri sebagai partai yang inklusif dan pluralis walaupun citra ini masih belum begitu meyakinkan akibat mundurnya beberapa pengurus elit partai. Tantangan ke depan untuk PAN adalah membersihkan patronase politik yang menjadikan partai sebagai arena sirkulasi politik uang dan kekuasaan. Sementara secara eksternal adalah pentingnya mendorong keterlibatan aktif dan keperdulian partai terhadap isu-isu di tingkat akar rumput sehingga partai ini bisa memperluas basis massanya tidak hanya pada kalangan kelas menengah dan kaum muslim urban, namun turun ke bawah menjangkau kalangan masyarakat marjinal yang memerlukan komitmen dan advokasi politik dari partai politik. 4.2. Partai Golkar: Bertahan Di Tengah Kecaman Partai Golkar merupakan metamorfosis dari Golongan Karya, partai hegemonik yang dalam masa Orde Baru selalu memenangkan pemilu semenjak tahun 1971-1997 dengan perolehan selalu di atas 50%. Sebagian besar basis massa partai Golkar relatif masih solid, dengan dukungan dari kalangan petani pedesaan yang merasa memiliki taraf hidup lebih baik pada masa pemerintahan Soeharto, lapisan birokrat yang mendapat posisi istimewa pada masa rezim Orde Baru, serta dukungan konstituen cair sebagian kelas menengah seperti kalangan intelektual, pengusaha yang relatif bersifat rasional pragmatis dalam melihat lingkungan politik nasional. Sebagai organisasi politik yang berkembang demikian lama dalam iklim politik Orde Baru tidaklah mengherankan apabila Golkar memiliki basis infrastruktur dan kaderisasi yang kuat sampai saat ini. Runtuhnya rezim Soeharto dan bergulirnya reformasi pada tahun 1998 membawa implikasi politik yang penting dalam tubuh internal partai ini. Sebagai partai yang berada pada posisi di dalam pemerintahan terutama pada masa rezim Soeharto, elit pimpinan dalam tubuh Golkar dianggap bertanggung jawab terhadap lemahnya respons politik terhadap tuntutan lingkungan politik nasional yang telah membawa kejatuhan pemerintahan Soeharto. Fenomena politik ini kemudian memunculkan tuntutan melakukan reformasi internal di dalam tubuh Golkar. Respons terhadap tuntutan internal tersebut adalah
68
Demokrasi & HAM,Vol.4, No. 1, 2004
diselenggarakannya Munaslub (Musyawarah Nasional Luar Biasa) yang membawa Ir Akbar Tanjung mengambil alih kepemimpinan dan menjadi ketua umum Golkar setelah mengalahkan Edi Sudradjat dalam pemilihan internal. Walaupun terjadi ketegangan politik yang berbuah keluarnya kubu Edi Sudradjat dari partai tersebut, namun Golkar berhasil menampilkan wajah baru mempersiapkan diri dalam Pemilu 1999 dengan mengganti namanya menjadi Partai Golkar dan mengusung slogan “Golkar BARU” untuk memberi citra telah terjadi political ruptures antara Partai Golkar dengan masa lalunya. Proses reformasi internal dalam tubuh Partai Golkar dan kehendak politik untuk mengambil jarak dengan masa lalu ini tidaklah membebaskan Golkar dari tekanan-tekanan politik massa terhadap partai tersebut. Di beberapa wilayah terutama di Jawa, tuntutan massa untuk membubarkan Partai Golkar melalui simbol-simbol pembakaran bendera partai tersebut, pembakaran gedung Partai Golkar di Jawa Timur, bahkan sampai mengarah pada politik kekerasan dengan terjadinya bentrok antara pendukung Partai Golkar dan massa yang menuntut pembubaran partai tersebut. Namun demikian di tengah tuntutan reformasi politik dan gelombang penolakan massa yang begitu kuat terhadap eksistensi Partai Golkar, fakta membuktikan bahwa partai ini tetap mendapatkan dukungan dari pemilih yang cukup signifikan pada Pemilu 1999 dengan berada pada posisi kedua dengan perolehan 35,5 juta suara di bawah PDI-P. Selama proses transisi politik sampai tahun 2004, Partai Golkar tidak kunjung selesai menerima serangan baik dari kelompok masyarakat yang menolak eksistensi kekuatan-kekuatan lama dalam arena politik demokrasi saat ini maupun mereka yang secara jeli masih melihat eksisnya patronase-patronase politik masa lalu yang menggunakan partai politik sebagai sarana beroperasinya politik uang. Serangan dari lingkungan eksternal tersebut tidak menghancurkan kekuatan infrastruktur Partai Golkar. Perjalanan Partai Golkar menuju tampuk kekuasaan berlangsung di tengah gencarnya serangan dari kekuatan reformis terhadap bahaya Orde Baru. Sekarang ia hadir kembali melalui mekanisme prosedur demokrasi, ikon yang dulu pernah menghempaskannya dari puncak kekuasaan. Kemenangan Partai Golkar menguasai kursi parlemen bukanlah kemenangan yang diraih secara tiba-tiba. Kemenangan kembali kekuatan Orde Baru saat ini lahir dari sebuah konteks sejarah transisi yang memberi
Airlangga Pribadi, Darwinisme Partai Politik
69
angin terhadap kemunculannya. Apabila direfleksikan secara jernih, keberhasilan kekuatan lama Orde Baru saat ini ditunjang oleh kegagalan kekuatan-kekuatan reformis untuk memerintah dan membangun pengelolaan negara yang bersih, serta mengambangnya kekuatan kaum demokratik (floating democrats) yang hanya memiliki dukungan dari lapisan tipis kalangan kelas menengah urban, dan tidak berakar di tingkatan akar rumput. Pintu pembuka bagi Partai Golkar untuk mendapatkan kembali simpati dari kalangan pemilih dan memperbaiki performanya pada Pemilu 2004 sangat dimungkinkan oleh tidak kredibelnya kinerja rezim pada lima tahun masa transisi. Tidaklah mengherankan apabila di tengah kinerja rezim yang keropos, kepercayaan publik memudar, Partai Golkar mampu membaca melemahnya legitimasi masyarakat terhadap pemerintahan pada era reformasi. Partai Golkar memanfaatkan kondisi tersebut dengan mengingatkan kembali akan memori masa lalu dan kejayaan Partai Golkar melalui kampanye dan janji-janji indah masa lalu akan Indonesia yang makmur, aman dan sejahtera di bawah stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi a la masa Orde Baru. 4.3. Partai Keadilan Sejahtera: Peduli, Modern dan Terorganisir Partai Keadilan Sejahtera (PKS), merupakan partai politik berlandaskan Islam yang dideklarasikan pada tanggal 20 April 2002. Partai ini merupakan metamorfosis Partai Keadilan yang didirikan pada tanggal 20 Juli 1998. Rantai genealogis berdirinya PKS tidak dapat dilepaskan dari perkembangan jaringan gerakan sosial Islam yang mulai tumbuh semenjak awal dasawarsa 1980an. Kehadiran gerakan dakwah tarbiyah tidaklah tumbuh steril dari lingkungan politik nasional maupun global. Pada tingkatan nasional kemunculan jaringan gerakan tarbiyah terutama melalui jalur dakwah di kampus-kampus tidak dapat dilepaskan dari lingkungan politik masa Orde Baru yang memangkas setiap saluransaluran politik yang tumbuh dari akar rumput termasuk anasir religiopolitics identity. Ketika tatanan politik otoritarian menutup setiap ruang publik bagi setiap aspirasi politik alternatif termasuk gerakan politik Islam, maka masjid-masjid khususnya jaringan dakwah di kampus-kampus merupakan sedikit dari ruang perlindungan yang masih tersedia bagi penyebaran dakwah Islam yang memiliki komitmen tinggi terhadap
70
Demokrasi & HAM,Vol.4, No. 1, 2004
wilayah politik. Pada titik ini perjalanan dakwah dari gerakan tarbiyah menginjeksi dan menempa substansi ideologis dari PKS saat ini. Sementara itu perjalanan PKS dari gerakan kultural menjadi gerakan politik kepartaian bukanlah semata-mata fenomena politik yang bersifat lokal maupun nasional saja. Setidaknya secara diskursif kehadiran baik gerakan tarbiyah Islam maupun PKS tidak terlepas dari kecenderungan Islamic global social movement semenjak akhir dasawarsa 1970an. Pada tataran diskursif kemunculan kekuatan dakwah tarbiyah—sebagai embrio dari PKS— memiliki keunikan tersendiri karena mereka melakukan historical detachment dengan komunitas mainstream nasional seperti NU, Muhammadiyah, DDII maupun PERSIS, walaupun banyak anggota mereka berlatar belakang dari komunitas keagamaan tersebut. Sementara gerakan dakwah tarbiyah justru terhubung secara erat dengan gerakan dakwah Islam global Al-Ikhwan Al-Muslimin. Seperti diutarakan oleh Aay Muhammad Furkon (2004), KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Inodonesia) sebagai jaringan kekuatan organik dari PKS, terpengaruh secara hegemonik dari sisi wacana oleh ideologi Al-Ikhwan Al-Muslimin. Kecenderungan serupa juga tampak dari kajian-kajian komunitas PKS yang memiliki basis referensi serupa dengan KAMMI . Ditempa dalam suasana politik otoritarian masa Orde Baru, bergerak dalam jaringan underground di kampus-kampus dan memiliki keterhubungan dengan semesta kesadaran gerakan sosial Islam global, kesemua itu menempa karakter dari gerakan tarbiyah maupun mesin politik PKS dalam arena politik di era reformasi. Berawal dari jaringan dakwah kampus, PKS membangun konstituen yang solid terutama dari kalangan kelas menengah Islam perkotaan. Melalui perencanaan yang modern, disiplin organisasi yang kuat dan tingkat militansi kader yang tinggi, saat ini Partai Keadilan Sejahtera mampu memperluas basis konstituennya dari kelas menengah bergerak menuju ke bawah, melalui program-program praksis di tingkat masyarakat bawah. Walaupun terlibat aktif dalam gemuruh atmosfer politik identitas Islam pasca kepemimpinan Soeharto, hal ini tidak membuat PKS terjebak semata-mata pada politik simbolik, yang berifat eksklusif dan komunalistik. Pengalaman berdialektika dengan kekuasaan represif dan kultur politik yang cenderung menolak sentimen religio-politik, membuat PKS berkreasi dengan menciptakan strategi yang cerdas untuk membangun langkah politik berkeadaban. Alih-alih membatasi diri
Airlangga Pribadi, Darwinisme Partai Politik
71
dengan mengkampanyekan politik simbolik seperti memperjuangkan Piagam Jakarta, PKS ataupun sebelumnya ketika masih bernama Partai Keadilan pada tahun 1999, mementingkan keperdulian terhadap grassroots dan komitmen untuk membangun kultur alternatif politik baru yang bersih dan anti korupsi baik di tingkat parlemen maupun di dalam tubuh partai sendiri sebagai garis perjuangan mereka. Fenomena PKS menjadi salah satu contoh keberhasilan dari pergulatan kelompok Islam politik dunia di arena demokrasi. Seperti diutarakan oleh Dieter Senghass (2002) dalam The Clash within Civilization: Coming to Terms with Cultural Conf lict, bahwa keberhasilan berbagai gerakan politik maupun sosial Islam di arena demokrasi dua dekade terakhir tidak terlepas dari kegagalan program dan orientasi politik Barat baik atas nama sosialisme, nasionalisme, liberalisasi, maupun model-model kenegaraan lainnya sebagai blueprint pengelolaan negara di masyarakat muslim maupun dunia ketiga. Ideal-ideal modernitas seperti kesejahteraan sosial, kebebasan, dan kemakmuran pada kenyataan di masyarakat Muslim berubah menjadi fakta kesenjangan sosial, marjinalisasi masyarakat, alienasi politik dan peminggiran kultur politik Muslim. Perjalanan traumatik masyarakat Muslim terjadi ketika pengalaman bergumul dengan eksperimentasi modernitas barat di negaranegara pasca-kolonial berubah menjadi titik tolak awal marjinalisasi identitas religio-kultural Islam. Pada kondisi yang begitu rapuh di level negara, pengalaman actual dengan tatanan demokrasi dimanfaatkan oleh gerakan sosial politik Islam untuk menawarkan gagasan alternatif di tengah membusuknya otoritas politik negara maupun praktek-praktek patronase politik yang terus berlangsung bahkan sampai saat ini. Kenaikan suara PKS pada Pemilu 2004 secara luar biasa (sekitar 500%) dibanding dengan Pemilu 1999 sewaktu masih menggunakan nama Partai Keadilan menunjukkan penghargaan pemilih terhadap keperdulian PKS terhadap agenda-agenda nyata di tataran grassroots dan keberhasilan mereka menjaga citra sebagai partai politik yang bersih, disertai dengan komitmen penuh terhadap agenda-agenda kerakyatan dan pembelaan terhadap kaum marjinal. Keberhasilan PKS merespons lingkungan politik yang terus berubah ini menjadi tantangan tersendiri bagi partai tersebut. Mampukah ke depan PKS terus mengusung agenda politik kerakyatan dan memposisikan diri sebagai kekuatan oposisi modern seperti yang mereka janjikan. Apabila tidak jeli, maka mereka dapat terjebak dalam arus pragmatisme politik
72
Demokrasi & HAM,Vol.4, No. 1, 2004
dan terseret dalam pola-pola politik uang dan patronase politik seperti halnya yang terjadi pada partai-partai politik lainnya. 4.4. Partai Demokrasi Indonesia - Perjuangan: Kegagalan Memerintah, Berserak dan Merosotnya Perolehan Partai Demokrasi Indonesia - Perjuangan atau disingkat PDI-P merupakan partai politik yang dideklarasikan pada tanggal 14 Februari 1999. Kemunculan PDI-P dalam arena politik nasional memiliki perjalanan historis yang panjang. PDI-P lahir dari proses dialektika politik nasional pada kurun akhir pemerintahan Soeharto. Kelahirannya tidak terlepas dari kehendak dari kekuatan politik PDI Pro Mega—yang sejak tahun 1996 memisahkan diri dari PDI Soerjadi akibat intervensi pemerintah pada masa itu—untuk ikut bertarung dalam arena politik reformasi pada Pemilu 1999. Basis konstituen PDI-P pada dasarnya merupakan basis massa yang solid berbasis lintas kelas yang terdiri atas kelas menengah, akademisi, kaum miskin kota, kalangan petani, lapisan priyayi-birokrasi yang sebagian besar mengidentifikasi diri berideologi nasionalis abangan. Dengan mengusung citra sebagai partai “wong cilik” dan mengidentifikasikan sang pemimpin Megawati sebagai “pengemban suara hati nurani rakyat”, PDI-P menuai keuntungan dari suasana melodramatik masyarakat Indonesia yang begitu terharu dan simpati dengan tekanan politik yang mereka alami pada masa akhir pemerintahan Soeharto. Hasilnya PDI-P pada 1999 memenangkan pemilu dengan perolehan 34 % suara atau mendapat dukungan pemilih sekitar 34 juta suara. Namun demikian langkah Megawati untuk menjadi Presiden RI sempat terhadang ketika keputusan sidang MPR/DPR pada 1999 memilih Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI. Namun demikian di tengah kondisi politik yang tidak menentu pada akhirnya Megawati diangkat melalui sidang istimewa DPR/MPR-RI pada Agustus 2001 untuk menggantikan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI. Perubahan posisi setelah sekian lama menjadi oposisi dan naik menjadi partai penguasa membawa perubahan politik signifikan di dalam performa partai berlambang banteng ini. Performa PDI-P sebagai partai yang pada awalnya terlihat solid dan kokoh ini ternyata tidaklah bebas dari konflik internal dan “gegar politik” akibat perubahan posisi politik mereka. Seperti diutarakan oleh Sophan Sophiaan, kader loyalis PDI-P yang mengundurkan diri dari DPR mewakili partai tersebut, bahwa
Airlangga Pribadi, Darwinisme Partai Politik
73
masuknya sebagian besar kader PDI-P ke kursi parlemen maupun pemerintahan telah menggeser visi idealistik mereka untuk membangun politik ideal berbasis kerakyatan-kebangsaan. Sebagai akibatnya PDI-P ketika menjadi partai penguasa mereproduksi ulang patronase politik, nepotisme, dan permainan politik uang yang pernah berlangsung pada masa pemerintahan rezim Soeharto. Demoralisasi yang dialami oleh PDI-P dan konflik internal di dalam partai tersebut berkonsekuensi terhadap mundurnya beberapa kader militan dan potensial partai seperti Sophan Sophiaan, Haryanto Taslam, Eros Djarot dan lain-lain. Citra PDI-P sebagai partainya “wong cilik” pelan-pelan terkikis seiring naiknya partai ini sebagai partai yang memerintah. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari kondisi state manqué (limbungnya negara) berlangsung pada masa pemerintahan Megawati. Reformasi ekonomi yang berlangsung pada masa pemerintahan Megawati tidak membawa perbaikan substansial bagi sebagian besar rakyat. Data ketenagakerjaan pada tahun 2003, menunjukkan 5,1 juta jiwa atau sekitar 5,46% dari angkatan kerja menganggur dan empat puluh juta jiwa merupakan pengangguran terselubung, hal ini menjadi indikasi bahwa pemerintahan saat ini terbukti gagal mengangkat kesejahteraan rakyat. Sementara salah satu penyakit paling kronis dari masa Orde Baru, yaitu virus korupsi justru semakin parah dan menyebar di masa orde reformasi. Tercatat menurut Transparency International, Indonesia berada pada peringkat ketiga dalam daftar negara-negara terkorup di dunia. Pelan-pelan dukungan massa terhadap PDI-P merosot secara signifikan, kondisi ini juga tidak dapat dilepaskan dari kebijakan ekonomi neoliberal dengan kebijakan privatisasi BUMN yang berlangsung secara radikal. Kebijakan yang cenderung anti kelas pekerja ini menurunkan dukungan PDI-P dari kekuatan kelas pekerja (diskusi dengan aktivis buruh dan ekonom Revrisond Baswir pada Mei 2004). Situasi ekonomi dan kebijakan yang cenderung pro pasar bebas dan kekuatan global, menghancurkan citra PDI-P sebagai partai wong cilik yang memperjuangkan agenda kaum marjinal. Kondisi ini diperparah oleh agenda pengelolaan negara yang tidak peka terhadap isu-isu marjinal kerakyatan. Berbagai kebijakan di tingkat daerah seperti penggusuran terhadap rakyat kecil seperti yang berlangsung di provinsi DKI Jakarta ikut menjatuhkan citra PDI-P dan menjatuhkan perolehan suara sebanyak 18% dari perolehan pada Pemilu 1999. Selain keterkejutan akibat perubahan posisi politik dan performa
74
Demokrasi & HAM,Vol.4, No. 1, 2004
memerintah yang buruk dan terkesan melupakan agenda politik dari kalangan grassroots, hilangnya dukungan basis massa di bawah juga tidak terlepas dari politik sentralistis dari Dewan Pimpinan Pusat partai ini yang tidak mendengar aspirasi dari tingkat daerah maupun bawah dan bertentangannya suara pusat dan aspirasi di tingkat bawah. Hal ini terjadi ketika di beberapa wilayah, kepemimpinan pusat PDI-P menolak aspirasi suara dukungan terhadap kader PDI-P yang mendapat dukungan dari arus bawah untuk menjabat kepala daerah baik di Jawa Tengah maupun di Bali. Kekecewaan massa PDI-P terhadap kepemimpinan pusat, juga distimulusi oleh dukungan Megawati terhadap pencalonan Sutiyoso mantan Pangdam Jaya pada masa insiden 27 Juli 1996 sebagai Gubernur DKI untuk masa jabatan yang kedua pada 2003. Akumulasi konflik internal, ketidakbecusan pengelolaan negara, patronase ekonomi-politik, dan sentalisasi kekuasaan pusat partai tersebut memberikan sumbangan signifikan bagi merosotnya suara PDI-P pada Pemilu 2004. Pengalaman PDI-P sebagai partai yang memerintah dengan kompleksitas masalah yang dihadapi menjadi bukti bahwa performa partai ketika duduk di pemerintahan akan sangat menentukan dukungan pemilih dan loyalitas mereka terhadap partai tersebut ketika pemilu berlangsung. 5. Kesimpulan Lingkungan politik di Indonesia di era transisional menunjukkan bahwa walaupun konsolidasi demokrasi institusional di Indonesia tengah berlangsung, namun fakta memperlihatkan masih belum terlihatnya transformasi struktur politik menuju demokrasi yang sesungguhnya. Kehadiran aktor-aktor politik baru dan partai politik baru di arena politik nasional terlihat masih belum memberi sumbangan signifikan bagi pergeseran struktur politik di Indonesia menjadi lebih demokratik, adil, dan bersih. Pembacaan terhadap perjalanan serta respons dan reaksi empat partai politik (PAN, Partai Golkar, PKS, PDI-P) selama masa reformasi menunjukkan kemampuan partai tersebut untuk menyikapi perubahan politik yang berlangsung sangat menentukan performa mereka dan dukungan pemilih terhadap partai tersebut. Respons cerdas terhadap lingkungan politik yang berubah seperti yang dilakukan oleh PKS terbukti telah memperkuat posisi partai tersebut dan merebut dukungan pemilih secara signifikan pada pemilihan umum. Sementara kelambanan untuk merespons lingkungan politik yang berubah, keterputusan dengan agenda
Airlangga Pribadi, Darwinisme Partai Politik
75
grassroots, dan larutnya partai politik terhadap permainan politik uang dan patronase ekonomi politik akan menjatuhkan dukungan pemilih terhadap partai tersebut seperti ditunjukkan oleh partai politik yang berkuasa PDI-P. Kesiapan untuk merubah citra partai politik sambil merawat basis infrastruktur partai di samping memburuknya kondisi politik di era peralihan telah menguntungkan Partai Golkar sebagai partai yang berkuasa pada masa lalu. Partai Golkar dapat mengambil keuntungan dari limbungnya politik kenegaraan dengan membawa publik untuk melirik kembali masa lalu yang stabil, tertib dan makmur sebagai kondisi yang lebih baik dari hari ini. Sementara itu pengalaman PAN memperlihatkan bahwa citra politik sebagai partai inklusif dan reformis saja tidak cukup untuk meraih dukungan yang signifikan tanpa ketegasan untuk mengelaborasi secara praksis agenda-agenda politik yang mendukung pluralisme dan keterbukaan. Keluarnya sebagian kekuatan liberal-reformis dari partai tersebut terbukti sangat membatasi ruang gerak dari PAN untuk meyakinkan konstituen mengenai citra partainya sebagai partai terbuka. Keterlibatan aktif terhadap suara dan agenda politik grassroots menjadi faktor yang menentukan untuk memperoleh dukungan pemilih secara signifikan. Ke depan partai-partai politik harus cermat dan terbuka terhadap beberapa diskursus politik progresif yang saat ini terlihat tidak mengemuka dalam platform dan perjuangan mereka. Komitmen terhadap beberapa wacana alternatif seperti advokasi terhadap masalah-masalah perempuan, ekologi, perjuangan aspirasi kaum minoritas semestinya menjadi fokus perjuangan partai politik ke depan, bagian yang sampai saat ini sepertinya terkesampingkan akibat larutnya partai politik dalam permainan politik uang, kepentingan politik sesaat, dan terjebaknya mereka terhadap jeratan korupsi yang tidak terselesaikan sampai saat ini.
Daftar Bacaan Coppedge, Michael. 1994, Strong Parties and Lame Ducks: Presidential Partyarchy and Factionalism in Venezuela. Stanford University Press New Jersey. Diamond, Larry and Richard Gunther (edited.). 2001, Political Parties and Democracy, John Hopkins University Press Baltimore and London.
76
Demokrasi & HAM,Vol.4, No. 1, 2004
Furkon, Aay Muhammad. 2004, Partai Keadilan Sejahtera: Ideologi dan Praksis Politik Kaum Muda Muslim Indonesia Kontemporer. Teraju Jakarta. Hoare, Quintin dan Smith, N. Geoffrey. 1987, Selection of the Prison Notebooks of Antonio Gramsci. International New York. Hefner, Robert W. 2000, Civil Islam: Islam and Democratization in Indonesia, Princeton University Press USA. Laclau, Ernesto. 1990, New Reflections on the Revolution of Our Time. Verso London. Priyono, AE, Prasetyo, Stanley Adi, dan Olle Tornquist. 2003. Gerakan Demokrasi di Indonesia Pasca Soeharto. Demos Jakarta. Senghass, Dieter 2002, The Clash within Civilization: Coming to Term with Cultural Conflict. Routledge London. Snyder, Jack. 2001, From Voting to Violence: Democratization and Nationalist Conflict. WW Norton & Company. Inc New York. Tim Kompas, 2002. Indonesia dalam Krisis: 1997-2002, KOMPAS 2002. Tim Kompas, 2004, Partai-Partai Politik di Indonesia: 1999-2004, KOMPAS 2004.
analisis Media Bicara Soal Capres dan Cawapres
Intantri Kusmawarni dan Wenny Pahlemy
Kampanye pemilu calon presiden dan wakil presiden (capres dan cawapres) yang digelar selama bulan Juni 2004 lalu menjadi ajang media massa untuk menginformasikan berita mengenai para kandidat capres dan cawapres. Masing-masing media memiliki gaya dan kecenderungannya masing-masing dalam mengungkap berbagai sisi berita kepada pembaca. Ada yang datar, kritis, bahkan provokatif. Demikian juga dalam pilihan isu. Media memiliki kecenderungannya masing-masing dalam memilih isu untuk diberitakan. Ada media yang gemar memberitakan isu-isu negatif tentang salah seorang kandidat, ada juga yang datar memberitakan janji-janji muluk dari masing-masing kandidat. Kegiatan kampanye kelima kandidat, baik yang positif atau negatif, termasuk bahan yang banyak diangkat oleh media selama bulan Juni kemarin. Namun masing-masing media, yakni: Media Indonesia, Kompas, Republika dan Koran Tempo tampaknya kali ini sama-sama terlihat berusaha kuat menyediakan ruang yang sama kepada tiap capres/ cawapres. Sehingga kecenderungan pemihakan tidak terlalu kentara. Sebut saja Media Indonesia. Harian ini sepertinya mencari posisi netral dan ‘aman’ dalam pemberitaan. Sehingga penggambaran keberpihakan kepada salah satu pihak sangat samar. Kelima capres cenderung diberitakan secara netral. Lain media, lain pula Kompas. Harian ini nampak ada sedikit kecenderungan untuk lebih banyak memberitakan dua orang kandidat, yaitu Megawati dan Wiranto, dibanding kandidat lain. Seperti pada pemberitaan mengenai aktivitas kampanye Mega, Kompas biasanya lebih banyak memuat foto.
78
Demokrasi & HAM,Vol.4, No. 1, 2004
Sedangkan untuk Republika dan Koran Tempo, kedua surat kabar itu terlihat cukup berhati-hati. Sehingga tidak ada kandidat yang mendominasi pemberitaan pada kedua harian ini. Meskipun sedikit kecenderungan pemberitaan positif kepada salah satu kandidat, kerap terlihat juga. Untuk mengetahui jelasnya, kami mengambil sampel pemberitaan di beberapa media cetak antara tanggal 1-28 Juni 2004. Tanggal-tanggal tersebut adalah tanggal-tanggal berlangsungnya kampanye. Dari rentang waktu tersebut, kami kemudian mengambil beberapa edisi dengan jarak tanggal yang sama masing-masingnya, sebagai sampel. Kami menganggap munculnya pemberitaan mengenai salah seorang kandidat pada beberapa edisi tersebut memiliki probabilitas yang sama. Sehingga kami dapat menyimpulkan kecenderungan umum masing-masing media dalam memberikan ruang bagi kandidat capres/cawapres. Berikut temuan kami. Media Indonesia Media Indonesia (MI) berusaha keras menyediakan ruang yang sama untuk kelima pasangan calon presiden dan wakil presiden. Di halaman khusus pemilunya, Presiden 2004, surat kabar ini memuat masing-masing minimal satu berita mengenai kelima pasang kandidat tersebut. Pernah dalam satu edisi kelima berita dilengkapi dengan masing-masing foto kandidat. Namun lebih sering hanya dua atau tiga foto calon presdien saja yang dimuat. MI sepertinya juga ‘mencari aman’ saja. ini terbukti dari beritaberitanya yang sifatnya hanya melaporkan. Siapa berkampanye di mana dan apa saja janji-janji kelima capres dan cawapres. Tentang penegakan pemerintahan yang bersih dan adil, menegakkan hukum, memberantas korupsi dengan penekanan perbaikan mental bangsa Indonesia ke depan Juga hanya memuat puja-puji masing-masing kandidat. Misalnya edisi 10 Juni berisi: “Megawati Mengatakan dirinya dengan cawapresnya, Hasyim Muzadi, merupakan pasangan cocok untuk membangun negeri ini. Kekuatan nasionalis dan agama dikatakan Megawati sangat cocok untuk pembenahan mental bangsa. Bergabungnya dua kekuatan PDIP dan NU bukanlah kekuatan yang hanya akan membuat kekuasaan. Tetapi secara mental juga merupakan kekuatan kebenaran, kejujuran, dan kebersihan…”. Sedikit sekali menyinggung informasi tentang komitmen para kandidat memberantas korupsi misalnya.
Intantri Kusmawarni-Wenny Pahlemy, Media
79
CAPRES yang Pandai Nyanyi MI begitu samar menunjukkan keberpihakannya pada salah satu pasangan kandidat. Kelima kandidat capres dan cawapres cenderung diberitakan secara netral. Hampir semua. Terhadap Susilo Bambang Yudhoyono misalnya. Ia digambarkan sebagai calon presiden yang pandai bernyanyi. Dalam berita edisi 16 Juni, digambarkan SBY adalah seorang demokrat yang tidak mungkin mengarah pada militeristik. Namun pada baris kalimat selanjutnya, disebut-sebut informasi tentang 10 korban 27 Juli, dimana belakangan SBY banyak disorot juga mengenai hal ini. SBY digambarkan lumayan positif oleh MI. Terutama ketika pasangan kandidat ini berkampanye di daerah. Ditulis masyarakat mengelu-elukan dan sangat antusias menyambut SBY-Kalla. Ada memang nada sumbang sedikit dalam berita hari itu, yaitu dua kali menyebutkan bahwa kedatangan SBY di Bali memacetkan ruas jalan di dua tempat yang dikunjungi. Berita-berita tentang SBY memang cenderung netral positif. Banyak memuat bantahan-bantahan Jusuf kalla atau SBY sendiri mengenai isuisu yang beredar mengenai dirinya. Misalnya tentang Partai Demokrat dibekingi kepentingan kristiani internasional. Berita mengenai SBY di MI banyak berisi bantahan terhadap isu yang berhembus. Klarifikasi bahwa SBY seorang haji, beristrikan hajah. Disebutkan juga bahwa isu tersebut hanya strategi tertentu menjatuhkan nama baik SBY. Memang selama masa kampanye legislatif maupun presiden, Partai Demokrat maupun SBY banyak diterpa isu sejenis. Dan MI memuatnya beberapa kali sebut saja pada edisi 10 dan 22 Juni. “…Untuk ke sekian kalinya saya jelaskan lagi bahwa saya menghormati konstitusi, konsensus dan pluralisme”. Disinformasi tersebut, Susilo menilai, sudah masuk dalam tahapan yang luar biasa. Dikalangan kristen dan Katolik muncul kabar bahwa jika SBY menjadi presiden, dirinya akan memasukkan syariat Islam dalam perubahan UUD 45. Justru di kalangan ulama dikatakan bahwa SBY antisyariat Islam”. Hamzah-Agum tidak Siap Berita mengenai pasangan capres dan cawapres Hamzah-Agung cenderung negatif. Misalnya tentang kampanye mereka yang kurang dana (edisi 22 Juni). Atau berita edisi 10 Juni berjudul Di Solo, Hamzah Berpamitan. Berisi cerita tentang pertemuan Hamzah dengan Habib Ali di Solo.
80
Demokrasi & HAM,Vol.4, No. 1, 2004
Dikutip kalimat Hamzah:”Ini merupakan pidato saya yang terakhir dalam acara haul di sini sebagai wakil presiden. Selanjutnya nanti bagaimana wallahua’lam kita tunggu hasilnya”. Lalu ada kalimat miring yang ditulis: “Tidak ada yang mengetahui secara persis apa maksud dari perkataan yang disampaikan Wapres itu. Pencitraan negatif juga terasa karena ditulis juga pada berita tersebut kekecewaan wartawan media cetak maupun elektronik yang menunggu tiga jam di luar Masjid Riyad karena Wapres Hamzah Haz sulit didekati untuk dimintai komentarnya soal pilpres karena ketatnya penjagaan. Bahkan, beberapa di antara wartawan yang kena dorong beberapa paspampres ada yang jatuh, begitu tulis MI. Jarang ada foto Amien Terasa ada diskriminasi terhadap Amien-Siswono. Foto Amien apalagi foto Siswono jarang tampil di berita-berita MI. Pernah ada di edisi 10 Juni. Itupun dalam konteks berita yang negatif. Beritanya bercerita tentang atribut tiga capres yang diturunkan paksa. Tampak dalam foto yang dimuat MI seorang Tim Dinas Ketertiban Kota Yogyakarta di antara atribut-atribut yang diturunkan. Atribut gambar Megawati tampak buram. Justru foto Amien yang besar dan jelas, di bawah foto itu tertulis: Atribut Bermasalah. Berita mengenai kampanye Amien tidak pernah ada di halaman depan koran ini apalagi di headlinenya. Paling banyak mengenai Wiranto, Megawati dan SBY. Lalu berita yang sama diulang kembali di rubrik khususnya Presiden 2004 di halaman dalam. Megawati yang paling Cantik Berita-berita MI mengenai Megawati tentu banyak positifnya. Namun ada beberapa ‘stereotype’ khas Megawati yang cukup banyak dimuat koran ini. Misalnya tentang suaminya Taufik Kiemas. Pada edisi 22 Juni disebut-sebut tentang berkurangnya peran Taufik Kiemas dalam kampanye Presiden. Tersirat koran ini ingin mengingatkan pembaca bahwa berbeda dengan kampanye legislatif dimana Taufik Kiemas banyak mengeluarkan pernyataan yang berdampak negatif bagi PDIP dan Megawati tentunya. Belum lagi misalnya kalimat-kalimat seperti “Istri Taufik Kiemas ini menambahkan”, atau “capres yang juga menjabat Presiden RI itu”, atau “dalam rangkaian kampanye yang dilanjutkan dengan kunjungan kerja itu, Presiden…” pada edisi 19 Juni.
Intantri Kusmawarni-Wenny Pahlemy, Media
81
Pada edisi 28 Juni, MI memuat kalimat Megawati: “…Karena orangnya hanya 10, yang wanita satu. Yang paling cantik hanya satu, maka dengan mudah itu akan dicari, dipilih, tidak perlu lagi dengan melihat, tetapi hanya dengan mimpi pun kita tahu, oh... itu dia yang paling cantik”. Berita 16 Juni yang berjudul “Pak Ud Keberatan Gambar Pendiri NU Dijadikan Media Kampanye Pilpres” jelas-jelas menohok pasangan Megawati-Hasyim. Ceritanya, Pengasuh Ponpes Tebuireng HM Yusuf Hayim tidak mengizinkan pihak mana pun menggunakan gambar pendiri NU dalam kampanye. Hal ini teridentifikasi dalam spanduk pasangan Megawati-hasyim di Jatim dan Jakarta. Menurut Pak Ud ini mengomersialkan NU, menjadikan kuda tunggangan, taksi politik untuk mencari kedudukan. Ia juga menuntut permintaan maaf dari tim kampanye pasangan Megawati-Hasyim. Lalu ada juga berita miring tentang Hasyim. Ditulis di sana pernyataan Gus Dur yang melontarkan pernyataan bahwa Hasyim sering berbuat curang serta suka korupsi. Walaupun dimuat juga jawaban Hasyim bahwa hal itu harus dibuktikan terlebih dahulu (25 Juni). Wiranto Punya Mesin Politik yang Kuat Berita mengenai Wiranto hampir selalu ada di halaman satu walaupun tidak selalu di berita utama. Di halaman dalam kadang beritanya lebih dari satu. Dan selalu positif. Berita-berita itu sering juga dilengkapi dengan berbagai pose Wiranto dan pasangannya Salahuddin. Lihat saja judul-judul beritanya: “Kantung Suara Wiranto Tidak Goyah” (19/6), “ Wiranto akan Lindungi Semua etnis dan ras” dan Visi dan “Misi ekonomi Wiranto Rasional” (22/06), “Pernyataan Gus Dur Dur Darah Segar bagi Wiranto” (25/06), “Peduli Musibah Asap Wiranto bagi Masker” (28/06). Wiranto digambarkan disambut antusias ribuan warga dalam kampanyenya. Wiranto digambarkan juga punya program kerja, modal ketokohan dan mesin politik yang kuat yaitu Golkar dan PKB. Soal isu HAM jarang dimuat. Bahkan mengutip Denny JA (Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia), ditulis pemilih tidak akan banyak terpengaruh isu HAM. Ditulis juga bahwa Wiranto tidak sama dengan militer. Dan sekali lagi memuat kutipan Ketua Ormas Bintang Merdeka Ferdian Andreas Lacony bahwa pasangan ini (Wiranto-Salahuddin) unggul karena secara struktural Golkar memilki kelengkapan organisasi
82
Demokrasi & HAM,Vol.4, No. 1, 2004
sampai ke pedesaan dan telah teruji pada Pemilu legislatif (Media Indonesia edisi 22 Juni). Republika Surat kabar yang berbasis Islam ini cukup menarik untuk dibahas. Utamanya, jika kita melihat bagaimana pembingkaian koran ini terhadap calon presiden dan calon wakil presiden (capres/cawapres) selama masa kampanye berlangsung. Seperti surat kabar lainnya, semangat pemberitaan koran ini pun terasa pada awal-awal bulan Juni 2004. Hal ini terlihat dari judul-judul yang menghiasi halaman muka harian bermoto “Akrab dan Cerdas” ini. Mengawali pemberitaannya di Bulan Juni lalu, Republika sudah mengusik persoalan dana kampanye pemilu presiden dan wakil presiden dengan Headline : “Ada Capres Belum Serahkan Rekening” (1/6). Isinya, dari lima pasangan capres dan cawapres, masih ada yang belum menyerahkan rekening dana kampanye kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU). Di dalam berita ini memang belum ada tanggapan capres/ cawapres yang disebutkan. Dua informasi lain yang juga di halaman muka, namun bukan berita utama adalah; “Prasasti ‘Siap Kalah’ untuk Capres”, dan “Capres yang Kalah Jadilah Oposisi”. Kedua berita itu pun masih belum menunjukkan pembingkaian capres/cawapres. Lalu kita menilik ke halaman dalam, ada halaman khusus yang membahas semua persoalan pemilu namanya; Pemilihan Umum 2004 Presiden & Wakil Presiden. Biasanya halaman ini terdiri dari tiga halaman yang memuat sekitar 512 berita. Kadang ditemukan pula foto-foto salah satu capres/cawapres yang tengah kampanye. Untuk selanjutnya pemberitaan Republika mulai mengarah pada aktivitas dan sosok dari masing-masing kandidat, baik capres/cawapres. Dari mulai harta kekayaan presiden, sampai kampanye yang dilakukan masing-masing pasangan capres/cawapres. Seperti tanggal 4 Juni 2004, harian ini mengangkat headline : “Daftar Kekayaan Calon Presiden”, berita ini berisi pengumuman dari Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK) tentang daftar kekayaan para calon presiden dan calon wakil presiden. Pembingkaian dari berita ini adalah; Megawati terletak pada urutan ketiga, Amien hanya Rp 867.95 juta dan 13.700 dolar AS. Terendah dibanding capres dan cawapres lain. Siswono terkaya kedua setelah Kalla. Sementara Yusuf Kalla kekayaannya Rp122.654 miliar dan 14.928 dolar AS per 2004. SBY per 2001, yakni Rp 121.199 miliar.
Intantri Kusmawarni-Wenny Pahlemy, Media
83
Pasangan ini disebut sebagai pasangan terkaya. Sementara Wiranto dan Hamzah tidak disebut-sebut dalam berita ini. Kemudian judul berita di halaman khusus pemilu seperti : “Amien ke Pasar, SBY Orasi”. Isi berita seputar kunjungan Amien-Siswono ke Pasar Flamboyan, Pontianak sekaligus berdialog dengan para pedagang. Kalau SBY-Kalla menggelar kampanye terbuka di Lapangan Karebosi, Makassar. Selanjutnya berita capres/cawapres seperti, “Mega akan Debat dengan Amien”, “12 Ulama PKB Haramkan Presiden Perempuan”. Dari berita ini Republika juga memberitakan secara netral saja. Jika diamati lebih lanjut pada edisi 16,19,22,25 Juni 2004, semangat Republika dalam menyajikan berita pemilu pada headline dan halaman muka sedikit menyusut. Artinya, berita tentang caleg, capres/cawapres hanya diletakkan di halaman dalam. Baru kemudian tanggal 28 Juni, Republika kembali melecutkan isu di halaman muka berjudul, “Menghentikan Rumor Caleg Non-Muslim”, isi beritanya soal perolehan kursi di DPR. Yakni adanya sejumlah isu negatif yang menerpa capres dari Partai Demokrat (PD). Fokusnya, bahwa PD menjadi kendaraan politik SBY. Dalam berita tersebut diberitakan pula perbandingan data dan prosentase agama dalam partai. Meski demikian tidak tampak adanya klarifikasi atau tanggapan dari para kandidat di sini. Republika = Amien Rais? Dalam benak kita, barangkali Republika tidak lepas dari sosok Amien Rais, sebagai salah seorang kandidat presiden. Di mana tulisannya dahulu kerap mengisi salah satu kolom di harian ini. Namun ternyata, dalam pemberitaan, Republika cukup ‘halus’ dalam memuat Amien Rais. Sebut saja ketika Amien Rais diberitakan menandatangani kontrak politik dengan Badan eksekutif Mahasiswa (BEM). (edisi 10 Juni). Hal yang cukup reformis ini, oleh Republika tidak diletakkan di headline, meski masih di halaman muka. Justru headline-nya adalah : “Kapolda Sponsori Zikir Dukung Mega”, yakni acara perhelatan bertema zikir akbar Badan Pembinaan Potensi Keluarga Besar Banten di Gelora Bung Karno yang menyebut-nyebut Megawati agar terpilih kembali menjadi presiden. Menurut kami, ini tentu agak mengejutkan. Kemudian surat kabar ini juga tidak terlalu antusias mengedepankan visi misi Amien dalam setiap kampanye di halaman muka. Beberapa informasi seputar ‘janji Amien’ justru dimuat di halaman pemilu. Justru, Republika terlihat tak sungkan memuat beberapa berita pelanggaran kampanye yang dilakukan oleh tim sukses Amien Rais.
84
Demokrasi & HAM,Vol.4, No. 1, 2004
Hanya polling SMS (Short Message Service) yang tetap menempatkan pasangan Amien-Siswono pada urutan teratas. Sampel Republika edisi 1 Juni, pasangan Amien-Siswono masih mendapat 5.747 suara, di atas keempat kandidat lainnya. Kemudian tanggal 28 Juni, suara melonjak menjadi 9.601. Tentu saja ada kenaikan bertahap pada tiap-tiap edisi. SBY-Kalla Terbanyak Pembingkaian berita capres/cawapres ini dilakukan terhadap 10 edisi surat kabar Republika selama Bulan Juni 2004. Uniknya, perolehan hasil dari penelitian ini serupa dengan urutan pasangan capres/cawapres dalam urutan pemilu sementara saat ini. Di mana Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla mendapat porsi pembingkaian terbanyak (24.37%), disusul Megawati Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi (23.53%), Wiranto – Solahuddin Wahid (21.85%), Amien Rais dan Siswono (18.49%), terakhir adalah Hamzah Haz dan Agum Gumelar (11.76%). Perbedaan tipis terlihat antara pemberitaan antara SBY-Kalla dan Megawati-Hasyim (sekitar0.84%). Amien Rais juga tidak memperoleh angka yang cukup signifikan jika dikaitkan dengan polling yang diselenggarakan harian ini. Di bawah ini ada tabel pembingkaian capres/cawapres pada 10 edisi harian Republika yang sampelnya diambil berselang dua edisi. Tabel Pembingkaian Capres/Cawapres Surat Kabar Republika Tanggal 1-28 Juni 2004 No. Tanggal
Jumlah Berita (1 SK) 1
%
2
%
3
%
4
Jumlah %
5
%
1
1 Juni 04
3
21.43 4
28.57 2
14.29 3
21.43 2
14.29
14
2
4 Juni 04
3
17.65 4
23.53 3
17.65 5
29.41 2
11.76
17
3
7 Juni 04
3
18.75 4
25.00 3
18.75 3
18.75 3
18.75
16
4
10 Juni 04 6
30.00 5
25.00 3
15.00 5
25.00 1
5.00
20
5
13 Juni 04 1
20.00 1
20.00 1
20.00 1
20.00 1
20.00
5
6
16 Juni 04 1
16.67 1
16.67 2
33.33 1
16.67 1
16.67
6
7
19 Juni 04 3
25.00 2
16.67 4
33.33 3
25.00 0
0.00
12
8
22 Juni 04 2
20.00 1
10.00 1
10.00 4
40.00 2
20.00
10
9
25 Juni 04 2
20.00 2
20.00 2
20.00 2
20.00 2
20.00
10
10
28 Juni 04 2
22.22 4
44.44 1
11.11 2
22.22 0
0.00
9
23.53 2 2
18.49 2 9 24.37 1 4 11.76
Jumlah Total
2 6 21.85 2 8
Penelitian : MWCC
119
Intantri Kusmawarni-Wenny Pahlemy, Media
85
Keterangan : 1. Wiranto – Solahuddin 2. Megawati Soekarnoputri – Hasyim Muzadi 3. Amien Rais – Siswono 4. Susilo Bambang Yudhoyono – Jusuf kalla 5. Hamzah Haz – Agum Gumelar Topik Mengemuka Hasil pengamatan menunjukkan, pola pemberitaan Republika terhadap capres/cawapres juga terkait dengan isu yang tengah menimpa pada masing-masing capres/cawapres tersebut. Apalagi jika isu itu menyinggung persoalan agama. Republika yang sangat kental dengan nuansa Islamnya tak akan mengacuhkan informasi ini. Isu-isu yang menimpa SBY adalah soal bantuan asing dan selebaran kristenisasi. Republika memuat berita ini di dalam beberapa edisi, antara lain edisi 7 (Judul:” Yudhoyono: Saya Bukan Boneka Asing”) , edisi 16 (Judul : “Tim SBY Adukan Black Propaganda”), edisi 19 (“Yudhoyono Bantah Terima Dana Asing”), edisi 25 (“Selebaran Diedarkan”). Meski demikian Republika cukup obyektif dalam memuat informasi tersebut. Sementara itu, pasangan Wiranto dan Gus Solah, lebih sering terkait dengan isu pelnggaran HAM. Beberapa edisi yang memuatnya adalah; edisi 7 Juni (“Ada Capres yang Didukung Cukong”), edisi 10 Juni (“Pam Swakarsa, dari Politik untuk Politik”), edisi 13 Juni (“Wiranto Imbau Pembunuhan Karakter Dihentikan”). Kemudian untuk pasangan Megawati – Hasyim Muzadi, selain diisi dengan isu kampanye Mega, pasangan ini disibukkan pula dalam menampik pelarangan presiden perempuan. Seperti yang dimuat Republika edisi 4 Juni (“12 Ulama PKB Haramkan Presiden Perempuan”), edisi 10 Juni (“Hentikan Aksi Cap Jempol Darah”). Untuk pasangan Hamzah Haz-Agum Gumelar, pemberitaan hanya seputar kampanye dan janji Hamzah jika ia nanti terpilih. Seperti edisi 16 Juni (“Hamzah Akan Hidupkan Deppen”) dan edisi 25 Juni (“Hamzah Akan Bentuk Departemen Baru”). Sedangkan untuk capres Amien Rais, selain di blow up karena dia capres termiskin dan satu-satunya kandidat yang mau menandatangani kontrak politik dengan mahasiswa, pemberitaan soal Amien juga hanya seputar kampanye, visi misi, termasuk janjinya terhadap kasus Aceh. Seperti edisi 13 Juni (“Amien : penyelesaian Aceh Secepatnya”). Jika disimpulkan dari seluruh pemberitaan yang ada, Republika
86
Demokrasi & HAM,Vol.4, No. 1, 2004
cenderung datar-datar saja dalam penyajian berita capres/cawapres. Semua capres/cawapres memang mendapat porsi dalam pemberitaan. Namun Republika cenderung memberi porsi perhatian lebih pada isuisu reformis masing-masing kandidat, atau berkaitan dengan persoalan agama, seperti halal atau haram. Pelanggaran kampanye, juga termasuk yang sering diberitakan Republika. Kompas Selama periode kampanye, harian yang dipunyai Jakob Oetama ini mengangkat tema pemilihan presiden langsung dalam format berita, maupun tulisan khas (feature). Setiap pasangan kandidat diulas Kompas pada halaman khusus pada pekan keempat bulan Juni. Namun demikian, untuk format berita, Kompas memberitakan Megawati dan Wiranto lebih banyak daripada kandidat lain. SBY mendapatkan porsi yang lebih sedikit. Begitu pula Hamzah Haz dan Amin Rais. Pola ini terbaca melalui pengambilan sampel berita secara acak dalam tanggal 1, 4, 7, 10, 13, 16, 19, 22, 25, dan 28 Juni. Selain paling banyak, Megawati juga mendapatkan lebih banyak pemberitaan positif ketimbang para kandidat lain. Ia juga kandidat presiden yang ditampilkan dalam bentuk berita foto. Sebagai contoh, Kompas menempatkan gambar Megawati yang tengah berbincang-bincang dengan Jacob Oetama dengan ukuran sekitar seperdelapan halaman. Pada hari yang sama Kompas juga mempertunjukkan gambar Megawati—dari jarak dekat dengan ukuran tiga perempat badan—mengunjungi pasar di Sambas Kalimantan dan tengah memperhatikan jeruk produksi setempat dengan raut ingin tahu. Megawati. Kegiatan Megawati meresmikan Monumen Bung Karno mendapatkan jepretan sendiri. Dalam foto itu ia bersanding dengan para pejabat pemerintah pusat dan lokal dengan latar belakang papan reklame yang memampang cetak biru monumen dan gambar wajahnya yang berkerudung. Kompas juga memuat kampanye putaran terakhir Megawati di stadion Bung Karno. Megawati terlihat melambaikan tangannya kepada para simpatisannya. Ekspose gambar yang terbesar adalah foto sepertiga halaman tentang kunjungan Megawati melayat almarhum Paku Buwono XII dengan pengambilan setengah badan. Dalam foto itu Megawati terlihat bercakapcakap dengan tokoh keraton, Kanjeng Gusti Pangeran Hangabehi. Pemunculan berita gambar tentang kegiatan Megawati yang sering tersebut bisa jadi disebabkan oleh faktor jabatan Megawati sebagai kepala
Intantri Kusmawarni-Wenny Pahlemy, Media
87
negara. Gambar-gambar itu memberikan kesan bahwa “Megawati, sang Presiden yang sibuk melakukan tugas-tugasnya sebagai kepala pemerintahan maupun pemimpin rakyat yang berinteraksi dengan pelbagai kalangan.” Penggambaran Kompas bahwa Megawati populis itu juga terlihat dari berita harian nasional terbesar tentang kunjungannya ke Pasar Sambas. Menurut Kompas, “Kampanye Megawati disambut ribuan warga yangmengelu-elukan dan menyalaminya.” Megawati juga digambarkan sebagai “pemimpin yang peduli lingkungan” dalam berita berjudul “Megawati Prihatinkan Degradasi Danau Toba.” Berita ini mengutip harapan putri presiden Indonesia pertama itu agar kelestarian alam di Danau Toba terjaga. Delegitimasi terhadap dirinya dalam berita Kompas adalah bahwa “Megawati memanfaatkan gaji ke-13 dalam rangka kampanye agar memberikan kesan bahwa dia peduli pada wong cilik.” Delegitimasi juga ditemukan berita yang membingkai bahwa “Untuk mempertahankan posisinya, Megawati melakukan kampanye negatif terhadap Susilo Bambang Yudhoyono dengan mengungkit-ungkit kembali kasus 27 Juli.” Namun demikian, delegitimasi terbanyak dapat ditemukan pada berita-berita tentang kandidat nomor satu, yaitu Wiranto. Kompas mengangkat pernyataan Kivlan Zein bahwa “pengerahan pamswakarasa merupakan perintah Wiranto.” Pamswakarsa adalah keamanan sipil yang dipersenjatai dengan tujuan “mengamankan Sidang Istimewa MPR 1998.” Kompas juga mengerangkakan bahwa “Wiranto bertanggung jawab terhadap kasus Timor-timur.” Pendek kata, Kompas melalui Zein hendak mengatakan bahwa “Wiranto, kandidat bermasalah, bertanggung jawab terhadap semua peristiwa berdarah yang terjadi pada tahun 1998. Maka tidak heran, ketika Partai Keadilan Sejahtera (PKS) belum memutuskan siapa yang bakal mereka dukung dalam bursa pencalonan kandidat presiden— apakah Wiranto atau Amin Rais—Kompas membingkai bahwa “memilih Wiranto sama saja dengan mengorbankan kredibilitas.” Di sini terlihat bahwa Kompas secara terang-teranngan mendelegitimasi Wiranto dan sepertinya hendak mengarahkan bahwa “Amin Rais hendaknya kandidat yang didukung PKS demi kredibiltas partai ini.” Selain persoalan masa lalu, Wiranto menjadi sasaran peluru antimiliter. Demikian juga kandidat lain, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono. Kedua kandidat ini, oleh kalangan antimiliter yang dikutip
88
Demokrasi & HAM,Vol.4, No. 1, 2004
Kompas, “merupakan unsur Orde Baru yang patut ditolak karena akan mengembalikan domoniasi militer dalam pemerintahan.” Namun demikian, Kompas mengangkat pembelaan diri Susilo Bambang Yudhoyono bahwa “presiden dengan latar belakang militer justru demokratis lantaran latar belakang itu memberikan cakrawala tersendiri baginya.” Memang, untuk SBY, Kompas membingkainya lebih positif ketimbang Wiranto. Harian ini justru memberikan kesan bahwa “Kasus 27 Juli yang hendak diangkat kepolisian memperlihatkan SBY sebagai manusia tertindas.” Adapun dua kandidat lain, yaitu Hamzah Haz dan Amin Rais, lantaran pemberitaan tentang mereka sedikit sekali, bingkai tentang mereka pun menjadi lebih sukar disusun. Koran Tempo Mengawali pemberitaan soal kampanye capres/cawapres pada Bulan Juni 2004 lalu, Panglima TNI Jenderal Endriartono menegaskan soal fasilitas TNI yang tidak boleh dipakai untuk kampanye. Inilah yang dijadikan headline Surat Kabar Koran Tempo (KT) pada 1 Juni. Yakni berjudul : “Prajurit Dilarang Terlibat Kampanye”. Di dalam berita ini juga dimuat suara lima program yang dinamakan “Rekomendasi untuk Rakyat Kecil”, terdiri dari 5 janji pasangan Megawati-Hasyim Muzadi jika dirinya terpilih dalam pemilu ini. Dan untuk menambah keberagaman informasi, KT juga memuat rute kampanye capres/ cawapres, berikut gambar peta dan keterangannya. Artinya, dalam pemberitaan, KT berusaha masuk pada wilayah ‘kedalaman berita’. Sehingga tak jarang ditemukan wawancara dengan para kandidat, meski itu di halaman dalam. Bagusnya, sejak awal KT berusaha menanamkan kepada masyarakat akan terjaminnya keamanan ketika kampanye. Hal ini terbukti dari dimuatnya sikap polisi dalam upaya mengamankan jalannya kampanye di halaman depan, yakni judul ; “16 Ribu Personel Siap Amankan Kampanye”(1/6). Kemudian pada edisi 4 Juni, KT bicara soal kekayaan capres/ cawapres, headline-nya : “Jusuf Kalla Kandidat paling Kaya”. Pembingkaian berita hanya fokus yang terkaya dan termiskin. Jadi hanya SBY-Kalla dan Amien Rais yang mendapat porsi terbesar dalam berita ini. Meski demikian, keterangan ini juga dilengkapi dengan tabel jumlah kekayaan capres/cawapres. Pemberitaan ini juga tidak terlalu tendensius mengarah pada citra negatif salah satu capres.
Intantri Kusmawarni-Wenny Pahlemy, Media
89
Jika diamati lebih lanjut, KT termasuk koran yang cukup semangat dalam memberitakan pemilu capres/cawapres. Dari lima sampel yang diambil dalam penelitian ini. Hanya satu edisi saja (edisi,22/6) yang tidak memuat berita kampanye capres/cawapres menjadi berita utama, namun tetap ditempatkan di halaman muka. Meski demikian, seperti surat kabar lainnya, KT pun menyediakan ruang khusus yang berbicara banyak soal capres/cawapres, halaman ini dinamakan : Pemilihan Presiden 2004. Terdiri dari tiga halaman yang mengupas aktivitas lima pasangan capres/cawapres, kinerja KPU, soal iklan kampanye di media, termasuk analisa dari pengamat. Namun, tak jarang analisa pengamat ini kerap dijumpai pula di halaman 2. Pada edisi pertengahan Bulan Juni (22/6), halaman muka KT membahas soal perpecahan tim sukses masing-masing capres/cawapres, kecuali pasangan Hamzah-Agum. Hawa perpecahan ini kemudian dibahas KT dalam tulisan yang lebih panjang dengan judul; “Retaknya Kaum Bersarung”. Isinya, akibat adanya dua cawapres NU, Solah dan Hasyim, dukungan suara juga terbelah. Masing-masing berusaha memperoleh dukungan dari basisnya. GMNU (Generasi Muda Nadhatul Ulama) menyayangkannya, karena tidak sesuai dengan khittah NU dan menyatakan sikap golput. Kemudian pada edisi Juni akhir, 25&28 Juni, headline-nya mengulas soal sumber dana capres Wiranto dan pembagian kabinet di tubuh Golkar. Dari gambaran di atas dan informasi surat kabar KT yang berhasil direkap, menunjukkan adanya kecenderungan KT berusaha menyediakan porsi/ruang kepada capres/cawapres secara merata. Meskipun ada beberapa edisi yang salah satu capres/cawapresnya mendominasi ruang pemberitaan. Seperti edisi 1 Juni, pembingkaian terhadap pasangan Wiranto-Gus Solah cukup besar. Secara umum hal ini terjadi jika ada kasus atau situasi konflik yang tengah menimpa masing-masing pasangan capres/cawapres tersebut. Wiranto-Gus Solah Terbanyak Pengamatan kami terhadap KT pada edisi awal kampanye dan akhir masa kampanye, ternyata pasangan Wiranto-Solahuddin Wahid (Gus Solah) mendapat kesempatan lebih besar. Sementara itu pasangan AmienRais-Siswono memperoleh pembingkaian sama besar dengan pasangan SBY-Jusuf Kalla. Kemudian disusul pasangan Hamzah-Agum yang pembingkaiannya terendah.
90
Demokrasi & HAM,Vol.4, No. 1, 2004
Isu Utama Seperti diketahui, ada dua capres berasal dari background militer yang hadir dalam kampanye pemilu ini. Hal ini tidak disia-siakan KT dalam membahas isu ini menjadi topik utama. Tak heran ketika awal Bulan Juni suara militer lebih mendominasi. Sebenarnya pada masing-masing capres/cawapres pun memiliki isu yang mengemuka dalam bahasan surat kabar ini. Misalnya pasangan capres/cawapres SBYKalla. Keduanya dihempas isu kampanye negatif dan soal selebaran gelap berisi pendukungnya yang lebih banyak non muslim. Judul, “Yudhoyono Optimistis Peroleh 40 persen Suara” (28/6), “Isu Negatif Kurangi Pendukung Yudhoyono” (25/6). Kemudian Megawati yang terkena isu haramnya presiden perempuan. Salah satu judulnya, “Suara Ulama NU yang Terbelah” (4/6). Wiranto sendiri terkena isu pelanggaran HAM, “Pengakuan Kivlan Zein: Wiranto Perintahkan” (1/6) dan isu dana kampanye, judulnya; “Dana Golkar ke Wiranto Tidak Jelas” (25/ 6). Untuk pasangan Amien-Siswono lebih pada kegiatan kampanye keduanya di berbagai tempat. Isu positif di KT cenderung menyelimuti pasangan ini. Utamanya soal kekayaan Amien dan simpati masyarakat terhadap kampanye yang dilakukan Amien, seperti judul; “Dukungan Persis untuk Amien” (4/6), “Atribut PKS Muncul di Kampanye Amien” (22/6). Sedangkan untuk pasangan Hamzah-Agum, hanya diisi informasi tentang kegiatan kampanye mereka, “Yudhoyono Galang Massa Terbesar di Makassar” (4/6) di mana Hamzah berkunjung dan berdialog dengan pedagang sembako di Pasar Johar Semarang. Hamzah yang dikawal ekstraketat, berjanji menghidupkan Departemen Koperasi. Atau isu pelanggaran yang dilakukan Hamzah, dalam judul : “2 Juni, Megawati dan Hamzah Cuti Bersamaan” (4/6). Isinya ada kutipan Hamzah melanggar ketentuan kampanye karena bersamaan dengan Mega mengambil cuti. Dari keseluruhan pola pemberitaan capres/cawapres, KT termasuk cukup berhati-hati dalam memberitakan aktifitas capres/cawapres. Sebab dalam satu judul kadang memuat pula aktivitas beberapa capres. Sehingga kecenderungan salah-satu capres/cawapres untuk mendominasi memang tidak terlalu tampak. Sekali pun tetap ada, tidak terlalu jauh rentangnya. Pembingkaian ini memang tidak dapat dikatakan sebagai kesimpulan akhir bahwa keberpihakan KT terlihat dari banyaknya ruang pemberitaan yang diberikan kepada salah seorang capres. Yang mungkin adalah pola
Intantri Kusmawarni-Wenny Pahlemy, Media
91
ini setidaknya dapat memperlihatkan antusiasme KT dalam memberitakan peristiwa konflik yang menimpa pasangan capres/ cawapres.
telaah buku Jangan Gegabah Mengawinkan Demokrasi dan Ekonomi Pasar Andrinof A. Chaniago Amy Chua, World on Fire: How Exporting Free-Market Democracy Breeds Ethnic Hatred & Global Instability (London: Random House, 2003) Isu tentang mengawinkan demokrasi dan ekonomi pasar yang dikemukakan di dalam buku Amy Chua ini jelas sangat relevan dengan situasi Indonesia sekarang. Bab dalam buku itu yang menulis data tentang Indonesia, memang hanya beberapa halaman. Bahkan, sebagian kecil data yang dikemukakan masih perlu dikoreksi. Namun, secara keseluruhan isi buku ini menceritakan negara-negara yang menghadapi masalah yang sama dengan Indonesia. Masalah pokok yang dikemukakannya Amy Chua adalah bahaya menggandengkan demokrasi dengan sistem ekonomi pasar bebas di suatu negara yang ekonominya dikuasai oleh sekelompok minoritas di negeri itu. Isi buku Amy Chua ini bukan untuk membuat orang pesismis dan menjadi ragu untuk menerima demokrasi maupun ekonomi pasar sebagai institusi yang bisa membuat kualitas hidup masyarakat menjadi lebih baik. Persoalan yang dilontarkan oleh Amy Chua di dalam bukunya ini adalah bahwa dua hal yang sama-sama penting tadi bisa saling berbenturan dan akhirnya menghalangi pencapaian tujuan masingmasing sistem tersebut karena adanya kondisi tertentu. Pesan inti dari buku Amy Chua ini adalah, jangan gegabah menyandingkan demokrasi dan ekonomi pasar! Menegakkan demokrasi di dalam ekonomi pasar yang dikuasai oleh sekelompok minoritas, bisa berbahaya bagi ekonomi pasar itu sendiri. Demokrasi yang ditegakkan itu bisa menghasilkan kelompok mayoritas sebagai pemenang dalam pemilu, lalu kelompok mayoritas ini menekan dan mengontrol kaum minoritas yang menguasai pasar tadi. Jika hal itu terjadi, dampak lebih jauhnya adalah, kaum minoritas yang menguasai pasar akan pergi bersama modal yang mereka
Andrinof A. Chaniago, Jangan Gegabah
93
miliki, sehingga mengakibatkan perekonomian negara yang menganut ekonomi pasar tersebut ambruk. Perbenturan besar akan terjadi apabila di suatu negara itu terdapat suatu kondisi, yakni perekonomian negara itu dikuasai oleh sekelompok minoritas, sementara politiknya dikuasai oleh kaum mayoritas yang rendah posisinya secara ekonomi. Amy Chua melihat pola benturan seperti itu telah banyak terjadi di negara-negara non Barat yang mempraktekkan kedua sistem tersebut secara bersamaan, baik karena keingin elemen-elemen domestik di negara itu maupun karena desakan pemimpin negara-negara Barat atas mereka untuk menerapkan demokrasi dan sistem ekonomi pasar. Cara negara-negara Barat memasukkan demokrasi dan ekonomi pasar ke negara-negara non Barat itu tentu lebih melalui cara-cara persuasif dengan sejumlah argumen. Dua dekade terakhir, anjuran para pemimpin negara-negara Barat tadi tampak dibuat efektif oleh arus kuat globalisasi. Lewat berbagai instrumen globalisasi, seperti transportasi dan teknologi informasi, sistem demokrasi Barat dan ekonomi pasar yang juga datang dari Barat itu bukan hanya datang ke negara-negara non Barat dalam bentuk wacana, melainkan menyatu di dalam hubungan ekonomi antara negara-negara Barat tadi dengan negara-negara non Barat. Tanda disadari, didalam menjalankan hubungan ekonomi antara negara-negara Barat dan negaranegara non Barat tadi berlangsung pula praktek mengekspor demokrasi dari negara-negara Barat ke negara-negara non Barat. Hubungan antara dua blok negara dalam era globalisasi itulah yang diamati dengan intensif oleh Amy Chua sambil mencermati akibatakibatnya bagi negara yang mendatangkan demokrasi dan pasar bebas itu maupun bagi kawasan dunia secara keseluruhan. Kesimpulan Amy Chua adalah, mengekspor sistem ekonomi pasar dan demokrasi ke negaranegara non Barat yang ekonominya dikuasai oleh sekelompok minoritas bisa menyuburkan kebencian etnis dan ketidakstabilan ekonomi. Isu akademis yang dikemukakan di sini sebetulnya bukanlah tergolong baru sama sekali. Dari sisi riwayat isu yang diperdebatkan, Amy Chua sebetulnya hanya menghidupkan kembali perdebatan lama tentang hubungan antara demokrasi dan kapitalisme, dan tentang demokrasi dan pasar bebas. Namun, baik dari segi substansi maupun kerangka berpikir yang dia gunakan, buku ini tentu saja tetap menarik. Dengan menggunakan konsep market dominant minority (minoritas yang menguasai pasar), ia berhasil menggunakan situasi sosial dan politik di
94
Demokrasi & HAM,Vol.4, No. 1, 2004
banyak negara sebagai contoh untuk membuktikan tesisnya. Contohsontoh itu tidak hanya ada di negara maju, tetapi juga di negara maju seperti Rusia. Tetapi, contoh terbanyak memang negara-negara berkembang, termasuk diantaranya Indonesia. Negara-negara yang menganut pasar dan kaum minoritasnya menguasai perekonomian akan terlihat tidak stabil dan secara ekonomi tertinggal dibandingkan negara-negara yang perekonomiannya berada di tangan mayoritas. Ketidakstabilan dan ketertinggalan itu adalah karena kaum minoritas yang mendominasi pasar tersebut dengan mudah mengamankan kepentingan ekonomi mereka dengan cara menyimpan kekayaan atau memindahkan kekayaan mereka ke negara yang lebih aman ketika demokrasi dijadikan sarana oleh kaum mayoritas untuk menekan mereka. Amy Chua melihat fenomena tersebut adalah bagian dari masalah globalisasi saat ini. Dengan demikian, pandangan Amy Chua jelas berbeda dengan mereka yang melihat serba positif fenomena globalisasi. Jika banyak orang, terutama penganjur pasar bebas, mengagungagungkan globalisasi, Amy Chua malah mengingatkan bahwa globalisasi bisa membuat kehidupan politik, sosial dan pertumbuhan ekonomi di suatu negara yang ekonominya dikuasai oleh sekelompok minoritas namun sistem demokrasinya dikuasai oleh kaum mayoritas, berada dalam keadaan tidak stabil. Isu panas yang ia lontarkan adalah, negara-negara yang perekonomiannya dikendalikan oleh minoritas penguasa pasar menghadapi dilema atau situasi trade off, antara berkawan dengan pasar atau berkawan dengan demokrasi. (Ini bahasa saya sendiri dalam menterjemahkan pemikiran Amy Chua). Seperti ia tegaskan ulang (di halaman 261), “… In societies with a market dominant minority, democracy can pose a grave threat not only to the minority, but to market themselves”. Dan ia mengatakan bahwa di dalam suatu masyarakat yang ekonominya dikuasai oleh minoritas tadi selalu ada ketegangan inheren antara kapitalis pasar dan demokrasi. Isu soal bagaimana membangun demokrasi di tengah formasi sosial tertentu sendiri sudah lama menjadi diskusi serius di kalangan para teoritisi pembangunan politik, seperti Robert Dahl dan Kornhauser. Tetapi, di sisi lain, isu yang diangkat Amy Chua juga masuk ke isu yang paling aktual dan mendunia saat ini, yakni penerapan pasar bebas (market economy). Mungkin karena penekanan isunya yang agak berbeda
Andrinof A. Chaniago, Jangan Gegabah
95
maka Amy Chua tidak menyorot sama sekali karya para teoritisi seperti Dahl dan Kornhausner, tetapi hanya menyitir pemikiran Robert D. Kaplan yang berbicara tentang trade off antara demokrasi dan pasar. Meski Amy Chua menunjukkan ketidaksetujuannya atas gagasan Kaplan tentang bagaimana cara mengatur hubungan antara demokrasi dan pasar, Amy Chua dan Kaplan sama-sama menyadari trade off antara keduanya (lihat hal. 261-264). Kaplan tampak lebih percaya urusan demokratisasi bisa diserahkan kepada kekuatan kapitalisme. Menurutnya, kapitalisme dengan sendirinya akan menciptakan pembangunan sosial dan ekonomi yang akhirnya membuat demokrasi bisa tumbuh stabil. Sementara, bagi Amy Chua sendiri, untuk membangun ekonomi sekaligus membangun demokrasi, negara perlu membuat agenda terencana. Namun masalah yang menjadi perhatian serius para teoritisi tersebut masih terbatas pada pilihan-pilihan model demokrasi atau model pengaturan institusi (institutional arrangement) dalam menegakkan demokrasi karena adanya dua kecenderungan, yakni menuju demokrasi populis atau demokrasi pluralis. Robert Dahl, misalnya, di tahun 1960an telah mengemukakan masalah ketegangan antara kekuasaan mayoritas dan kesetaraan politik di satu pihak, dan kekuasaan minoritas dan pembatasan kedaulatan rakyat banyak di lain pihak.1 Masalah yang sama juga dilihat oleh Kornhauser dengan menggunakan konsep masyarakat massa (mass society) dan masyarakat pluralis (pluralist society). 2 Walapun problem sosio-struktural demokratisasi, pernah menjadi perhatian serius lewat sejumlah studi pada tahun 1960-an, isu ini sempat ditinggalkan karena naiknya pamor variabel negara sebagai isu sentral demokratisasi di negara-negara berkembang, khususnya di Asia dan Amerika Latin selama kurun tahun 1970-an dan 1980-an. Tampilnya sejumlah negara berkembang dengan prestasi ekonomi lumayan baik di bawah sistem otoriter pada tahun 1970-an, telah mendorong para teoritisi demokratisasi untuk mencurahkan perhatian pada variabel negara.3 1 Lihat Paul Cammack, Capitalism and Democracy in The Third World: Doctrine for Political Development, (London: Leicester University Press, 1997), hal 20. 2 Ibid., hal. 23-26. 3 Saya – dan kita sebagai pembaca – mesti berterima kasih kepada Dr. Mohtar Mas’oed yang telah menelusuri perkembangan orientasi studi-studi demokratisasi hingga tahun 1980an ini dalam tulisannya, Negara, Kapital dan Demokrasi, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 1994). Lihat khususnya Bab 1 dan bab 2.
96
Demokrasi & HAM,Vol.4, No. 1, 2004
Namun, setelah sejumlah rejim toriter runtuh di sejumlah negara pada pertengahan tahun 1970-an dan terus terjadi hingga tahun 1980-an, orientasi perhatian para teoritisasi demokratisasi kembali lagi memusatkan perhatiannya kepada variebel masyarakat.4 World on Fire jelas bukan hanya memperkaya bahan bagi mereka yang menaruh perhatian pada agenda-agenda pembangunan politik menuju sistem demokratis, melainkan juga mengajak para teoritisasi demokratisasi untuk memperhatikan secara bersamaan variabel struktur ekonomi nasional dan global serta variabel struktur masyarakat secara bersamaan. Sementara bagi para pembuat kebijakan maupun para aktifis yang terlibat dalam gerakan demokratisasi, buku ini jelas memberi kontribusi tentang bagaimana melakukan pembangunan ekonomi dengan melihat situasi dan kondisi politik di suatu negara. Lewat buku ini, Amy Chua menyodorkan sejumlah fakta baru dan aktual yang patut menjadi agenda kebijakan makro yang sedang dihadapi banyak negara, baik di bidang pembangunan politik maupun pembangunan ekonomi. Amy Chua sendiri menggunakan posisi minoritas-mayoritas yang menguasai pasar untuk membangun suatu hipotesis tentang stabilitas dan keberlanjutan pertumbuhan ekonomi. Dengan menggunakan kata “mungkin”, Amy Chua melihat keberhasilan ekonomi negara-negara macan Asia, seperti Jepang. Korea Selatan. Taiwan, dan Singapura, mencapai pertumbuhan berkelanjutan adalah karena ekonomi mereka berada di tangan mayoritas. Kaum minortas, seperti India dan Melayu di Singapura, etnik Ainu di Jepang, minoritas asli dan China non-Han di Taiwan, tidak berada pada posisi mendominasi perekonomian. Sebaliknya, Amy Chua juga mengajak pembaca untuk memperhatikan mengapa negara-negara dengan minoritas yang menguasai pasar, seperti Indonesia, Burma, Malaysia dan Philipina, tertinggal – atau pernah tertinggal - dan tidak stabil – atau pernah tidak stabil - secara ekonomi. Ia juga mengingatkan bahwa untuk masa depan negara-negara ini bisa terjerat oleh ketidakstabilan politik dan kemandekan ekonomi apabila negara-negara ini menerapkan begitu saja ekonomi pasar dan demokrasi secara bersamaan. Tesis yang dikemukakan Amy Chua ini memang bisa diterapkan dengan melihat sejumlah kejadian yang berulang kali terjadi di Indonesia sendiri. Sebagaimana dikatakan Amy Chua bahwa pembukaan keran
4
Lihat Mohtar Mas’oed, Ibid.
Andrinof A. Chaniago, Jangan Gegabah
97
demokrasi secara tiba-tiba yang memberi tenaga bagi kaum mayoritas yang miskin dan penduduk asli yang frustasi, seringkali berakibat membangkitkan kekuatan etnonasionalis dan tekanan-tekanan antipasar, setidak-tidaknya itu bisa kita lihat dari cara para elit partai politik di Indonesia memperlakukan jabatan politik di parlemen maupun di pemerintahan dan reaksi yang muncul dari kalangan pemilik modal yang terdiri dari kaum minoritas. Didudukinya jabatan menteri oleh seseorang yang bukan memiliki keahlian profesional yang berhubungan dengan fungsi kementrian yang dipegangnya, atau duduknya seorang menteri yang bersikap konfrontatif terhadap konglomerat dengan harapan sikap seperti itu akan mendapatkan dukungan masyarakat luas, terbukti makin membuat kaum minoritas yang menguasai ekonomi semakin enggan kemebali ke Indonesia. Amy Chua tampaknya berusaha keras meyakinkan pembaca tentang risiko berdemokrasi di negara yang ekonomi pasarnya dikuasai kaum minoritas. Usaha keras tadi tampak pada luasnya kasus yang diangkat hingga ke tingkat global. Pemaparannya tentang fakta-fakta yang dipakai untuk mendukung argumennya dimulai dengan memaparkan fenomena minoritas China di beberapa negara Asia Tenggara. Kemudian ia memaparkan secara berurutan situasi di Amerika Latin, Rusia hingga beberapa negara Afrika. Indonesia termasuk negara yang berulang-ulang disebut Amy Chua di dalam buku ini. Namun di halaman 43 hingga 46 ia secara khusus dan padat memaparkan situasi yang terjadi di Indonesia sejak jaman Orde Baru hingga meletusnya huru-hara Mei 1998. Dari cara penulisannya dibagian ini memang tampak sekali penulis buku ini berupaya menunjukkan bahwa dominasi kaum minoritas China di dalam perekonomian Indonesia telah membangkitkan kebencian kalangan mayoritas di Indonesia terhadap kelompok itu. Amy Chua melihat bahwa Peristiwa Mei adalah luapan dari kebencian kaum mayoritas yang telah bertahun-tahun merasa kehidupan mereka jauh tertinggal terhadap kaum minoritas yang hidup makin makmur semenjak berjalannya globalisasi ekonomi. Buku ini jelas memperkuat argumentasi kaum strukturalis maupun Marxist dalam melihat hubungan kapitalisme dan demokrasi. Namun Amy Chua sendiri tampaknya tidak mau masuk menjadi penganut salah satu aliran tersebut. Pendekatan Amy Chua lebih tepat disebut pendekatan public policy untuk level nasional dan level global. Perhatian Amy Chua
98
Demokrasi & HAM,Vol.4, No. 1, 2004
lebih tercurah pada masalah dan bagaimana memecahkan masalah itu daripada berputar-putar pada perdebatan filsafat. Paling tidak sikap itu terlihat dari gaya bahasa buku ini maupun proporsi pemaparan fakta dibanding pembahasan filsafat dan teori. Ketika Amy Chua bicara soal implikasi dari isu terhadap implikasi kebijakan, baik pada level nasional maupun internasional, ketika itulah ia hendak memperingatkan negara seperti Amerika Serikat yang senang mengekspor demokrasinya ke negara-negara berkembang, dan mengingatkan para aktor demokrasi lokal, agar jangan gegabah mengekspor atau mengimpor demokrasi. Oleh karena itu, kalau terlalu berharap pada pencarian posisi akademik Amy Chua dalam pemetaan aliran-aliran pemikiran, dalam membaca karya Amy Chua ini bisa membuat kita terjebak menuduhnya sebagai penganut aliran modernisasi. Sebab, jika kita baca sekilas kita bisa mengartikan dukungan Amy Chua terhadap orang-orang seperti Robert D. Kaplan, Seymour Martin Lipset dan Samuel P. Huntington, penilaian seperti itu bisa muncul. Terlebih lagi ketika membaca bagian dari buku ini yang memuji kebijakan-kebijakan ekonomi dan politik yang diambil oleh sejumlah pemimpin negara seperti Lee Kuan Yiew, Mahatir Muhammad, dan Raja Fahd (Arab Saudi). Kesan keberpihakan Amy Chua pada aliran modernisasi makin diperkuat ketika ia nyaris berhenti pada tahap mengingatkan negara pengekspor demokrasi dan para elit masyrakat sipil yang gandrung mengimpor demokrasi Barat. Jika tidak ada klarifikasi pada aspek lain, sikap seperti ini jelas berbahaya karena akan membuat para pemimpin konservatif menepuk dada bahwa tindakan dan pemikiran mereka mengorbankan demokrasi ada benarnya. Tetapi, sekali lagi haruslah dilihat bahwa tujuan utama dari buku ini jelas bukan untuk secara membantah pendekatan teoritis tertentu atau mendukung pendekatan teoritis tertentu. Pilihan ini tentu saja mengandung konsekuensi berupa kealpaan memposisikan isu dalam pemetaan yang relatif lengkap. Hal ini memang terjadi pada diri Amy Chua yang tidak melihat terlebih dahulu tipe-tipe demokrasi dari basis sosialnya yang sesungguhnya penting sebelum kita mempersoalkan interaksi antara demokrasi dengan ekonomi pasar, ataupun antara demokrasi dan kapitalisme.5 Kita hanya bisa tahu bahwa Amy Chua 5 Pembahasan yang cukup komprehensive tentang tipologi hubungan antara demokrasi dan kapitalisme juga bisa dibaca dalam buku Dietrich Rueschemeyer, Evelyne Huber
Andrinof A. Chaniago, Jangan Gegabah
99
sedang menyorot demokrasi yang tipenya mendekati ke tipe demokrasi massa atau demokrasi populis dari keseluruhan data yang digunakannya. Ia konsisten menunjukkan contoh-contoh negara yang menghadapi masalah dengan demokrasi pasar adalah negara yang demokrasinya memberi peluang politik lebih besar bagi mayoritas yang taraf kesejahteraan ekonominya secara rata-rata rendah. Namun demikian, tesis dan argumentasi yang dikemukakan di dalam buku ini tetap memperkuat gugatan terhadap teori demokratisasi mahzab liberal yang melihat liberalisme ekonomi akan mendorong lahirnya demokrasi. Agumentasi mereka biasanya adalah, bahwa ekonomi pasar yang melahirkan kapitalisme akan melahirkan sistem politik yang demokratis. Lalu, kapitalisme tadi akan melakukan koreksi diri, memunculkan kelas-kelas sosial baru, yang bersama-sama kekuatan politik lama membuat demokrasi, yang tidak lain maksudnya adalah demokrasi liberal yang elitis. Pihak lain yang mestinya terganggu oleh rekomendasi buku ini adalah mereka yang selama ini sudah percaya bahwa demokrasi dan mekanisme pasar adalah dua hal yang sama-sama penting dan samasama dibutuhkan dan bisa diterapkan secara bersamaan. Di Indonesia sendiri, dari pendapat umum kita bisa melihat bahwa banyak orang yang merasa membutuhkan demokrasi sebagai perwujudan kedaulatan rakyat, dan membutuhkan mekanisme pasar yang sempurna agar perekonomian tumbuh tinggi dan efisien. Alasan-alasan bagi masingmasing kebutuhan itu secara normatif maupun logis tidak bisa ditolak. Amy Chua memang seperti merekomendasikan agar kedua hal tadi tidak sertamerta diterapkan secara bersamaan. Tetapi untuk tidak terbawa oleh kesan bahwa Amy Chua adalah penganut pendekatan modernisasi itu, buku ini memang harus dilihat sebagai telaah atas suatu isu yang bersifat multidimensi dan multilevel. Bahasan Amy Chua sesungguhnya masuk ke aspek hukum, tatanan internasional, ekonomi, politik dan sosial. Sorotannya tentang bahaya globalisasi yang membawa pasar bebas dan demokrasi, sesungguhnya bersentuhan erat dengan sorotan yang pernah dibuat oleh mereka yang mengkritisi arah perkembangan kapitalisme yang melahirkan demokrasi liberal yang elitis dan memarginalkan kaum mayoritas.6 Sementara sorotannya atas kekerasanStephens & John D. Stephens, Capitalist Development and Democracy, (Chicago: Chicago University Press, 1992). 6 Lihat kembali Paul Cammack, Op. cit.
100
Demokrasi & HAM,Vol.4, No. 1, 2004
kekerasan massa yang dilandasi oleh kecemburuan ekonomi jelas memperkuat pula teori kekerasan kolektif yang dikemukakan Ted Gurr,7 dan sejumlah teoritisi sosial lainnya. Polariasi sosial dan distribusi untung-rugi di dalam negara-negara yang digambarkan Amy Chua tentu tidak sesederhana yang ia gambarkan. Dalam kenyataannya gap sosial-ekonomi di dalam negara yang ekonominya dikuasai oleh sekelompok minoritas bercirikan etnik tertentu, tidak hanya terjadi antara kelompok mayoritas “pribumi” dan minoritas etnik keturunan pendatang. Gab sosial-ekonomi itu nyatanya juga terjadi di dalam struktur sosial kaum mayoritas itu sendiri. Sebab, sebangkrut-bangkrutnya negara mereka yang ditinggal pergi oleh kaum minoritas yang kaya tadi, kaum elit politik lokal tidak otomatis terbawa bangkrut akibat bangkrutnya perekonomian. Seringkali mereka justeru diuntungkan secara khusus di dalam sistem demokrasi yang tengah mengalami kebangkrutan secara ekonomi itu. Sebagai alit politik yang berkuasa mereka akan membuat berbagai justifikasi atas kebijakan yang menguntungkan dirinya, termasuk justifikasi dalam melakukan korupsi dan mendapatkan prevelege dalam membuat kebijakan-kebijakan tertentu. Dalam situasi seperti ini sebetulnya posisi kaum mayoritas yang miskin tetap sama saja dengan situasi ketika kaum minoritas kaya masih ada di negara itu. Fakta ini sudah saya coba tunjukan dalam sebuah research paper berjudul, “Nasi atau Demokrasi: Pilihan Dilematis Kaum Miskin atau Langkah Paradoks Kaum Elit?”8 Tidak arif juga kita menuntut terlalu banyak dari Amy Chua dari buku pertamanya ini. Adalah tugas para ilmuwan dan peneliti sosial, politik, dan ekonomi politik untuk melengkapi, memperkaya ataupun menyempurnakan tesis yang dikemukakannya. Anatomi terhadap apa yang dilakukan oleh Mahatir di Malaysia, misalnya, penting dan menarik untuk dikembangkan untuk mendapatkan tentang model seperti apa yang bisa diekspor dari Malaysia dan Singapura ke negara seperti Indonesia, Myanmar, atau negara lainnya yang ingin menegakkan demokrasi sekaligus meningkatkan kesejahteraan ekonomi bagi warganegaranya. Sisi lain yang juga bisa ditambahkan – bukan koreksi – tentang syarat-syarat keberhasilan ekonomi pasar adalah, faktor distribusi pusat7 Lihat Ted Robert Gurr, “Deprivasi Relatif dan Kekerasan”, dalam Thomas Santoso, editor, Teori-Teori Kekerasan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), 65. Lihat juga Dipak K. Gupta, The Economics of Political Violence: The Effect of Political Instability on Economic Growth, (New York: Praeger, 1990). 8 Lihat Jurnal Ilmu Politik, No. 19, April 2003, hal. 40-60, diterbitkan oleh Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI).
Andrinof A. Chaniago, Jangan Gegabah
101
pusat kegiatan ekonomi domestik sebagai salah satu syarat dari ekonomi pasar dan demokrasi tumbuh beriring dan berkelanjutan.. Artinya, masalah yang membuat iklim tidak kondusif bagi kedatangan demokrasi Barat maupun ekonomi pasar, bukan hanya terletak pada komposisi etnik dalam kepemilikan ekonomi. Amerika Serikat juga tidak menghadapi masalah minoritas yang menguasai pasar ketika negara itu tumbuh. Bahkan ketika Amerika Serikat atau sebagian wilayahnya dilanda kerusuhan rasial, ekonomi Amerika Serikat tidak seluruhnya terguncang. Amerika Serikat hanya menghadapi guncangan besar dan panjang pada masa depresi besar tahun 1929 hingga 1939 akibat sejumlah negara besar berperang. Depresi besar itu terjadi bukan karena adanya gejolak sosial yang membuat terjadinya pelarian modal dari Amerika Serikat. Depresi besar itu terjadi bukan karena anarki golongan mayoritas miskin yang diwadahi oleh praktek demokrasi. Ketidakstabilan sosial dan ekonomi juga ditentukan oleh model pembangunan antar wilayah di suatu negara. Di sinilah orang sering melupakan pilar lain dari kekuatan ekonomi pasar Amerika Serikat. Kotakota di AS tumbuh secara kompetitif diantara satu sama lainnya. Masingmasing kota menciptakan keunggulannya sendiri. Akibat dari penyebaran kota penggerak perekonomian AS itu, goncangan di satu kota tidak otomatis melumpuhkan ekonomi Amerika Serikat secara keselutuhan. Menara kembar New York luluh lantak setelah diserang dua pesawat teroris pada tanggal 11 September. Tetapi ekonomi Amerika Serikat masih bertahan. Penyebabnya adalah, karena AS masih punya Los Angeles, Chicago, Las Vegas, San Francisco, Oklahoma, Boston, Miami, dan lain-lain. Bandingkan kalau yang terkena serangan seperti menara kembar itu adalah pusat bisnis paling ramai di Jakarta. Dampak ekonomi yang dialami Indonesia pastilah berbeda dengan yang dialami AS. Indonesia hanya punya Batam dan Medan sebagai pilar ekonomi di luar Jawa. Tetapi ukuran ekonomi kedua kota itu masih jauh dari ukuran kota Jakarta dan sekitarnya. Lepas dari semua itu, cara penyajian Amy Chua yang menggunakan bahasa popular, membuat buku yang ditulisnya ini bisa berfungsi sebagai juru bicara bagi tulisan-tulisan terdahulu yang terlalu berat dengan kupasan teori-teori dan filsafat. Dengan gaya popular, dan metode pemaparan yang cenderung deduktif, memberikan keunggulan bagi buku ini untuk mudah membuat banyak pihak tertarik membacanya dan menangkap isu yang dikemukakannya.
diskusi PRAKTIK-PRAKTIK POLITIK UANG MENJELANG PEMILIHAN PRESIDEN Teten Masduki (Indonesian Corruption Watch) Anung Karyadi (Transparency International Indonesia) Topo Susanto (Panwaslu) Moderator: Afdal Makkuraga (The Habibie Center) Anung Karyadi Assalammu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh. Pertama kami mohon maaf, karena kebetulan pada saat yang hampir bersamaan ada acara advokasi ke komisi pemberantas korupsi, sehingga tidak bisa lamalama di sini. Kami sedang mendorong agar Abdullah Puteh jangan sampai lolos. Pak Teten sebenarnya ditunggu di sana, tapi beliau akan tetap disini dan menyerahkan untuk sementara kepada teman-teman. Ini merupakan data hasil pemantauan kedua TII dan ICW, metode pemantauan dana kampanye ini memang baru, tapi sebenarnya kami ingin belajar dari beberapa negara, seperti Argentina, Korea, bahwa mereka bisa menegakkan demokrasi dari sisi transparansi dan akuntabilitas pengumpulan dana publik. Memang agak aneh, ada sinyalemen, dana ini kan dilaporkan, kenapa harus dipantau? Memang idenya sangat sederhana, yang dilaporkan berapa, yang terpantau berapa. Jadi kita hanya ingin mendorong supaya tidak usah kita pantau pun mereka sudah mengumumkan. Dalam UU sudah dikatakan bahwa mereka harus memiliki rekening khusus dana kampanye, di dalam rekening khusus itu ada dana awal/ saldo awal kemudian ditutup dengan saldo akhir. Dari situ akan terlihat bahwa per partai politik maupun kandidat itu berhasil mengumpulkan dana berapa lalu dibelanjakan berapa. Jadi tujuannya sederhana sekali, tidak usah kita pantau mereka sudah mengumumkan. Tapi banyak kandidat yang tidak transparan, karena di dalam UU, dana di atas 5 juta harus dilaporkan, baik identitas maupun asal penyumbang. Yang kami temukan dari laporan rekening
Diskusi, Praktik-Praktik Politik Uang
103
dana khusus dari kandidat ternyata beberapa kandidat ini tidak melaporkan dengan baik. Misalnya partai GOLKAR, dana yang didapat oleh kandidat Presiden dari partai ini adalah transfer dari bendaharawan GOLKAR. Jadi ini sebenarnya tidak masuk ke dalam kriteria UU, di dalam UU yang boleh masuk di sana mestinya hanya sumbangan dari pribadi maupun badan hukum. Dana itu pun dibatasi yakni 100 juta untuk dana individu dan 750 juta untuk dana lembaga. Contoh lain, pada rekening dana kampanye SBY yang dilaporkan ke KPU, kita dapatkan ada satu kelompok masyarakat yang menyumbang 300 juta. Ini sebenarnya tidak memenuhi kaidah pelaporan yang baik, karena disitu seharusnya diperjelas, 300 juta ini dari kelompok masyarakat atau perorangan? Kalau kelompok maka kelompok masyarakat ini siapa, kalau bisa itu dipecah karena seperti kita ketahui dalam UU itu dibatasi hanya 100 juta. Siapa tahu 300 juta ini hasil pengumpulan dari tim sukses yang tidak resmi, berhasil mengkompas satu perusahaan, dapatnya 500 juta, tapi dilaporkan 300 juta. Tim Amien Rais dan Hamzah Haz sangat sederhana, jadi 1 milyar bagi 10 saja, sepuluh tim sukses masing-masing 100. Kalau kita tanya Drajad Wibowo, “Mas Drajad, benar tidak menyumbang 100 juta?”, barangkali Mas Drajad bilang, “Mana mungkin saya punya uang 100 juta”. Dari sisi situ saja sudah terlihat, bahwa transparansi dari dana kampanye ini kurang terbuka. Nah dari sana kita kemudian berpikir, tentu di dalam dana kampanye ini ada apa-apanya. Pak Teten mengatakan ada money laundering kemudian ada juga dana siluman. Wartawan menyebut itu dana dari konglomerat hitam dan sebagainya. Dari sana ternyata kita bisa mendeteksi, bahwa ada uang yang beredar yang sebenarnya tidak diperbolehkan oleh UU Pemilu? Untuk contohnya nanti Pak Topo akan melengkapi. Para kandidatnya tidak boleh memberikan janji, memberikan iming-iming atau memberikan sesuatu, baik dalam rangka mendukung atau tidak mendukung calon tertentu dalam pemilu. Ini kita temukan kasus-kasus umpamanya pada tim sukses SBY, ketika mendatangi sebuah sekolah Islam Perempuan di Sumatera Barat. Ibu Jusuf Kalla menyumbang sebesar lima puluh juta. Itu dinyatakan secara resmi sebagai sumbangan, sehingga ini sudah termasuk ke dalam kategori melanggar pasal tersebut, yaitu bagian dari money politics. Money politics ini penting karena bagian dari transparansi dan akuntabilitas, sehingga uang yang didapat bisa dipertanggung-gugatkan,
104
Demokrasi & HAM,Vol.4, No. 1, 2004
dibelanjakan kemana saja, apakah azas-azas dan peraturan yang berlaku sudah dipenuhi? Kami juga mendapati pasangan Mega-Hasyim di dalam beberapa kali kunjungannya, Pak Kyai Hasyim ini memberikan bantuan bagi pondok pesantren, bahkan di Bali, kebetulan Bali tidak kami pantau, kami mendapatkan info dari media massa tidak tanggung-tanggung di Kabupaten Negara, Kyai Hasyim ini menjanjikan sampai puluhan juta rupiah. Modus-modus Kyai Hasyim, nampaknya seperti itu, mengumpulkan tokoh-tokoh di pondok pesantren kemudian berbicara sesuatu, dan belakangan memberikan janji. Tapi yang kita temukan di Jawa Tengah, kyai-kyai dikumpulkan kemudian tim suksesnya Hasyim di sana, yang kebetulan bupati di daerah itu sendiri, memberikan uang sebesar 250 ribu kepada para kyai di dalam sarung saat mereka akan pulang. Jadi saya kira kasihan sekali pak kyai dihargai sarung dan uang Rp. 250.000. Demikian pula Pak Wiranto, praktek money politics juga kita temukan di beberapa tempat, akan tetapi selalu, tim sukses atau tim kampanye atau team campaign manager, seperti yang dilansir oleh Jawa Pos beberapa minggu yang lalu, semua menolak. Mereka mengatakan ini adalah reimburse uang transportasi. Kalau Pak Jusuf Kalla, kemarin menampik, “Ini kan infaq saya kepada madrasah, saya sudah melakukan ini amal-ibadah, jauh-jauh sebelum saya kampanye”. Tapi ketika dikaitkan dengan momentum kampanye, apalagi motivasinya? Pasangan Hamzah Haz juga tidak kalah penting, meskipun Hamzah Haz underdog, dan juga dananya tidak terlalu besar, tapi Pak Hamzah Haz ini tidak tanggung-tanggung, juga pernah pada satu kunjungan ke Muara Angke, mengucurkan 50 juta rupiah, yang dibagi untuk tiga mesjid, dua sekretariat RW dan SMU Muara Angke. Bahkan SMU ini, karena Pak Hamzah Haz sangat kasihan, ia memberi sumbangan 25 juta rupiah. Jadi, apakah Pak Amien tidak melakukan? Pak Amien ini kebetulan kalau kita catat, mempunyai total dana kampanye yang relatif paling rendah. Kalau Pak Wiranto 36 milyar rupiah, Pak Amien ini hanya 7 milyar rupiah. Ini yang kita catat sampai tanggal 28 Juni kemarin. Tentu ini masih bisa menggelembung, karena kami tidak mencatat alat-alat kampanye, baliho, poster, spanduk, kami hanya mencatat iklan di media cetak, televisi, radio, kemudian kampanye menetap. Kampanye menetap ini juga kami pantau hanya di sekitar 48 kabupaten yang terdiri dari 20 propinsi. Akan tetapi, Pak Amien juga melakukan sedekah, seperti
Diskusi, Praktik-Praktik Politik Uang
105
yang dikatakan Pak Jusuf Kalla, jadi ada juga sumbangan ke Majelis Taklim, sebesar 25 juga rupiah di Rengas Dengklok. Kemudian juga beliau sempat berinfak ke Yogyakarta pada SD Islam terpadu, sebesar 45 juta rupiah, yang mudah-mudahan infak, sedekah, sumbangan ini ikhlas, tanpa ada unsur kampanye. Jadi memang agak susah, apakah ini bagian dari money politics, atau tidak, Pak Topo lah pakarnya, akan tetapi nanti kami catat, karena rentang kegiatannya terjadi di masa kampanye. Kami memiliki ide yang cukup, karena kita juga belajar dari beberapa negara seperti Amerika. Di Amerika untungnya kampanye tidak sebulan, tetapi lebih panjang. Jadi begitu di declare menjadi calon presiden, dia terbuka dan langsung mendaftarkan rekeningnya, sehingga bisa diakses. Sementara disini sembunyi-sembunyi. Maka, kami pun mencoba membuat semacam perhitungan-perhitungan pada pra kampanye, kira-kira dia berapa, kemudian persiapan kampanye dia berapa, dan ketika kampanye dia berapa. Ada kemungkinan uang yang dihamburkan ini besar. Dana yang dipakai untuk kampanye menetap untuk beberapa presiden memang sangat realistis. Jadi dana kampanye menetap itu 10 kali lipat dibanding dana kampanye money politic. Untuk Wiranto dan SBY, ini jumlahnya terbalik. Dana milik SBY ini hampir 10% nya money politics, dibanding dengan kampanye menetap. Ini kami temukan di 16 kota, sampai tanggal 20 Juni kemarin. Jadi ini tidak menggambarkan secara keseluruhan, tapi itulah yang terpantau di 16 kota sampai tanggal 20 Juni yang lalu. Jadi mungkin itu gambaran yang kita dapatkan, data-data ada, fotokopi juga ada. Jadi di sini juga ada chart, yang menggambarkan penggunaan dana kampanye yang kemudian ada juga info-info mengenai indikasi money politic yang ada. Ini merupakan upaya awal dari kami untuk mendorong agar proses pembangunan demokrasi ini benar-benar demokratis; akan tetapi juga lebih dari itu, transparan, accountable dan saya kira yang paling penting mampu memtertanggunggugatkan kepada konstituen penyumbangnya. Jadi mungkin itu poin yang bisa saya sampaikan, kurang lebihnya saya minta maaf. Wassalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh. Moderator Ada sifat yang tiba-tiba muncul dari para kandidat, menjadi pemurah, senang menyumbang, memberi sedekah. Berangkat
106
Demokrasi & HAM,Vol.4, No. 1, 2004
sebelumnya, ya mudah-mudahan memiliki sifat tersebut. Silakan Pak Teten, untuk menganalisanya. Teten Masduki Assalammua’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh, selamat siang, sebenarnya kami melakukan pemantauan dana pemilu atau dana kampanye itu kira-kira tujuannya sama. Jadi kita melakukan ketika juga pemilu legieslatif, dan sekarang pada pemilu presiden. Pada pemilu legislatif, sudah kita olah, pada Pemilu Presiden saya kira belum tuntas. Kita melakukan pemantauan hampir di 8 kota besar, atau sekarang lebih banyak lagi. Yang kita ingin tahu sebenarnya darimana asal-usul dana partai atau juga asal-usul dana kampanye Presiden ini. Supaya kita tahu, sebenarnya siapa yang membeli kandidat ini, karena kita yakin bahwa dana partai maupun Pilpres ini pasti bukan dari anggota partai. Boroboro untuk bayar uang partai, bayar uang televisi saja tidak mampu, jadi pasti ini uang dari atas. Jadi menjadi sangat penting bagi si pemilih untuk tahu Presiden ini kira-kira dibeli oleh siapa, atau candidacy buying. Kemana kecenderungan kepentingan politik atau ekonominya nanti, apakah dia setia pada rakyatnya atau pada yang membeli, kepada donatur itu. Tapi ini agak sulit kita peroleh, karena KPU dan Panwaslu berbeda. Kami, dari Panwaslu, tidak punya akses untuk memeriksa rekeningnya dari mana, segala macam. Yang kami periksa memang adalah pengeluarannya. Jadi pengeluaran-pengeluaran itu nanti kita cocokkan antara pengeluaran dengan pendanaan itu. Walaupun kami dapat laporan sementara partai kepada KPU ternyata memang seperti yang disampaikan oleh Pak Anung, bahwa mereka kelihatan menyembunyikan asal-usul dana itu. Sehingga ada beberapa nama yang manipulatif dan juga ada upaya-upaya untuk mematuhi UU terutama menyangkut soal batasan donasi partai. Yang kedua, yang kita ingin fokus sebenarnya adalah juga adalah uang penggunaan dana pemilu yang tadi kita lihat, satu untuk iklan untuk kampanye; tapi sebenarnya ada juga yang disebut dengan vote buying atau pembelian suara. Saya kira apa yang ditemukan dalam Pilpres tidak jauh beda dengan yang kita temukan pada saat Pemilu legislatif. Pada saat itu Pemilu legislatif, memang ada kecenderungan vote buying itu meningkat. Tahun 1999, itu ada 62 kasus yang direkam oleh media dan dicatat oleh beberapa pemantau. Sampai sekarang dari
Diskusi, Praktik-Praktik Politik Uang
107
8 daerah, ada 144 kasus. Jadi meningkat, dari Pemilu 1999. Modusnya vote buying itu dalam bentuk penyebaran uang, yang pertama adalah bentuk yang paling dominan, yaitu pembagian uang secara langsung kepada massa kampanye rapat akbar atau deklarasi partai politik. Ini hampir 50,87% saya kira di makalah saya agak sederhana, jadi masih cair gagasannya. Lalu kegiatan sosial dan pembagian sembako kira-kira 18%, lalu pembangunan infrastruktur 7,8%, kegiatan keagamaan 7%, pemberian hadiah dan lain sebagainya 7,8%, lain-lain 7,9%. Kelihatan bahwa penyebaran uang itu, menggunakan kegiatan sosial, kegiatan keagamaan dan di masyarakat ini tidak dilihat sebagai suatu kejahatan pemilu; tidak dilihat sebagi korupsi pemilu yang punya dampak terhadap kualitas, karena ini justru di masyarakat bawah malah dianggap sebagai suatu berkah. Berkah pemilu itu sekarang jadi jauh lebih besar, karena 6 bulan pemilu kita. Jadi banyak orang kecil berdoa supaya pemilu ada beberapa kali putaran. Memang yang berhasil kami rekam itu, sebenarnya bentuk vote buying terbuka dan itu kami meyakini hanya sebagian kecil saja, kan hanya recehan saja, tukang ojek dikasih Rp. 50.000,-, mungkin yang begitu-begitu yang kita berhasil. Kami meyakini bahwa yang besar sebenarnya bukan dalam bentuk ini, tapi dalam bentuk pembelian tokohtokoh yang punya pengaruh dan ini saya kira nanti akan ada hubungannya dengan yang kita analisa. Mana yang efektif sebenarnya dari politik uang ini, apakah disebar luaskan seperti pada masa kampanye, atau lewat tokoh berpengaruh. Saya bukan mau mengajarkan cara-cara menyuap pemilih kepada calon presiden atau partai, tapi nanti bisa kita temukan. Faktanya memang kalau kita lihat, apakah politik uang itu punya pengaruh terhadap kemenangan Pemilu, ini penting, karena bagi kita, yang kita khawatirkan dengan pembagian uang ini kira-kira ini merusak kualitas Pemilu atau tidak. Kalau kita bandingkan partai-partai orde baru, misalnya, Golkar, PDIP, kecuali PKB dan PPP. Sebenarnya perolehan suara mereka turun semua. Padahal mereka sekarang bisa dikatakan jauh lebih solid. Jadi kalau dilihat dari mesin politik, termasuk kekuatan uangnya, sekarang barangkali PDIP jauh lebih hebat daripada tahun 1999. Tapi tenyata keok, dari 33% turun menjadi 18%. Yang paling menonjol dari PDIP adalah royal. Yang resmi saja mereka menghabiskan 100,3 milyar, untuk pemilu legislatif. Tapi angkanya turun, begitu juga Golkar turun, PKB turun, PPP turun; ini agak aneh kalau dikatakan mereka melakukan
108
Demokrasi & HAM,Vol.4, No. 1, 2004
vote buying tadi. Sebelas partai, saya kira hampir semua melakukan itu, tapi yang paling besar saya kira Golkar dan PDIP. Tapi kenapa turun? Ini agak menggembirakan sebenarnya bagi saya, karena ternyata yang disebut vote buying terbuka itu tidak banyak pengaruhnya. Kalau banyak orang berpendapat tentang hasil pemilu legislatif yang turun itu, menunjukkan apa yang disebut dengan traditional loyalty pemilihnya. Kira-kira itu kalau kita percaya dengan ini, maka sebenarnya yang disebarluaskan itu tidak efektif, itu hanya efektif untuk mempertahankan pemilih loyalnya saja. Lalu, kenapa politik uang sekarang menonjol? Dan politik uang seperti ini pernah ditemukan pada jaman orde baru. Pada jaman orde baru memang banyak politik uang dalam bentuk misalnya pembangunan infrastruktur, penggunaan dana publik untuk proyek-proyek jalan, dan lain sebagainya. Tapi itu pun barangkali tidak terlalu efektif kalau tidak menggunakan ala-alat represi, seperti kecamatan, kodim, koramil, yang waktu itu yang bisa mempengaruhi pemilih. Saya kira ini ada kaitan dengan penyelenggaraan pemilu yang sekarang. Menurut kami sekarang ini, jauh lebih transparan, jauh lebih terbuka, juga ada kebebasan pers, dan dijalankan oleh satu lembaga yang independen. Dan kedua saya kira tidak ada kekuatan politik termasuk partai yang berkuasa yang cukup punya kekuasaan untuk mengatur atau intervensi terhadap penyelenggaraan pemilu. Ini berbeda dengan yang lalu, dimana kejahatan pemilu lebih banyak dalam manipulasi suara. Ya manipulasi suara, manipulasi pemilih, teror, dan lain sebagainya. Sekarang itu kan tidak mungkin bisa dilakukan dalam sistem yang lebih demokratis, maka beralih menjadi vote buying, politik uang. Di samping mungkin juga tidak punya prestasi yang bisa ditonjolkan untuk menarik pemilih. Tidak ada lagi kecuali janji-janji uang. Kalau dilihat dari modusnya, kelihatan bahwa politik uang itu bekerja di wilayah pemilih miskin, pemilih yang secara sosial ekonomi sebenarnya miskin. Ini agak berbeda dengan politik uang yang terjadi di DPR, justru itu terhadap orang kaya. Kalau ini, di wilayah miskin, ya pembagian sembako, pembangunan mesjid. Kalau kita percaya bahwa 70% pemilih kita itu irrasional, dan 30% yang rasional, maka sebenarnya, kalau mengacu kepada hasil pemilu legislatif, yang akan menjadi pemenang Presiden adalah yang menguasai wilayah pemilih irrasional ini. Itu seputar Golkar, PDIP, PPP, PKB. Kalau SBY atau Amien Rais, barangkali itu di wilayah operasional kota, dan itu sebagian kecil.
Diskusi, Praktik-Praktik Politik Uang
109
Jadi kalau mengacu kepada hasil legislatif barangkali, pada Pemilu nanti, politik uang sebenarnya hanya berpengaruh pada pemilih irrasional ini. Walaupun kalau kita lihat, misalnya kita memang belum punya pengalaman dalam sistim pemilu yang terpisah antara legislatif dan presiden. Apakah pemilih legislatif paralel dengan pemilih Presiden? Kita belum punya pengalaman yang bisa menggambarkan perubahan perilaku pemilih. Tetapi kalau kita lihat dari hasil survey LP3ES, kelihatan bahwa memang banyak perubahan pemilih, jadi tidak berarti pemilih dari partai tertentu akan memilih kandidat dari partai tertentu. Misalnya dengan fenomena SBY yang terus menerus kelihatan bahwa ada perubahan perilaku pemilih. Ada bahaya kalau politik uang ini tidak dipahami secara cermat, sebab seolah-olah ini suatu ancaman bagi sistem pemilihan langsung. Saya kira banyak hal negatif bagi politik uang, sistem pemilihan langsung ini dilihat sebagai suatu bahaya, yaitu antara pemilih rasional yang dihadapkan dengan pemilih irrasional. Dan kemudian soal politik uang, ternyata tidak punya pengaruh. Yang punya pengaruh itu adalah menurut saya, yaitu politik yang untuk mempertahankan struktur partai termasuk membeli tokoh-tokoh yang memiliki pengaruh. Jadi, kalau uang dibagikan begitu saja tanpa ada jaminan si pemilih itu loyal terhadap si penyuap, itu tidak berpengaruh. Karena itu, maka politik uang yang disebarkan begitu saja, itu tidak ada artinya. Tetapi saya berkeyakinan bahwa politik uang itu selain dibagikan kepada pemilih massa kampanye langsung, tapi juga yang paling efektif dengan membeli tokoh yang punya pengaruh kepada pemilih. Karena kalau menggunakan istilah James Scott, pemilih kita itu masih bersifat afiliasi komunal; dia memilih berdasarkan apa yang dipilih community leadernya, sehingga itu yang efektif. Maka Ibu Mega berteriak sekarang, “Jangan melakukan politik uang!”, karena dia belajar dari pengalaman legislatifnya, tidak ada gunanya kalau yang banyak yang tertutup sekarang. Masalahnya apakah sekarang kita belum tahu perilaku, umpamanya para kyai yang sekarang didatangi oleh para capres. Apakah dia punya kesetiaan kepada calon atau bergantung pada besar kecilnya sumbangan? Memang usul dari teman-teman NU, periksa saja doanya, kalau begitu ada capres datang ke situ, doanya cuma Al-Fatihah, berari ya kira-kira sumbangannya kecil, tapi kalau Yasin-an agak besar, kalau istigotshah kubro, wah berarti sudah...
110
Demokrasi & HAM,Vol.4, No. 1, 2004
Nah, itu menurut saya bahayanya pemilihan langsung, bukan pemilih sebenarnya, tapi pemilih itu tidak ada kesetiaan sebenarnya, kecuali dia menggunakannya. Ini adalah dengan para tokoh masyarakat, tokoh agama yang menurut saya menjadi hambatan daripada menjadi perantara di dalam pplitik uang yang untuk pemenangan itu. Barangkali itu saja yang ingin saya sampaikan, ini analisis sederhana, belum dikaitkan dengan perilaku pemilih dan sebagainya, tapi saya hanya ingin menjawab kekhawatiran orang-orang terhadap fenomena politik uang yangi menjadi campaign negatif tentang sistem demokrasi langsung. Tapi saya berkeyakinan bahwa dalam pemilihan lagsung, memang politik uang tidak bisa dihilangkan sama sekali. Tapi jauh lebih sulit, untuk menjamin loyalitas pemilih yang dibeli dan jauh lebih mahal kalau itu dilakukan dengan jumlah pemilih dan wilayah yang sangat besar. Ini berbeda dengan pemilihan langsung dalam kepala desa yang juga memang sudah lumrah terjadi politik uang. Tapi kalau dalam jumlah yang besar skalanya, saya kira agak sulit. Jauh lebih mudah politik uang itu bekerja dalam scope yang kecil, seperti di dalam pemilihan di parlemen. Di parlemen dengan jumlah 500 anggota DPR, kan itu gampang sekali ya untuk menjamin loyalitas pemilihnya. Kalau untuk menyebarkan uangnya, ya gampang saja, tapi menjamin loyalitas si pemilih kepada si penyuap itu yang barangkali agak sulit. Itu saja, Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh. Moderator Ya, jadi kalau menurut Pak Teten, politik uang tidak berpengaruh, yang parahnya ialah kalau melalui community leader, kita akan melihat dari sisi hukumnya, bisa tidak ini dibawa ke pengadilan dengan menggunakan UU yang dipakai sekarang, misalnya dalam UU pemilihan Presiden. Langsung saja Pak Topo Santoso, silakan. Topo Santoso Terima kasih atas kesempatannya. Saya tidak tahu apakah ini diberikan waktu 1 menit, 30 detik seperti tadi malam, soalnya dalam 3 menit, saya bingung juga menyampaikannya. Saya kira Pak Teten dan Pak Anung tadi telah menyempaikan banyak fenomena politik uang, saya sepakat bahwa Panwas selama ini ada di level terbawah, sampai level pusat, untuk melihat laporan-laporan masyarakat. Kita juga pernah mendatangi tokoh-tokoh tertentu yang
Diskusi, Praktik-Praktik Politik Uang
111
diceritakan Pak Anung tadi; opinion leader atau tokoh masyarakat informal leader dan sebagainya, yang coba dibeli. Misalnya, kita sendiri pernah menemui ada pengakuan-pengakuan seperti itu, jadi memang itu adalah fakta yang terjadi dan saya kira saya tidak meragukan apaapa yang disampaikan oleh Pak Anung dan Pak Teten tadi. Memang begitulah, bahwa perjalanan demokratisasi kita dengan pemilu ini masih sangat diwarnai dengan politik uang. Jadi Pak Anung sempat menyinggung-nyinggung tentang beberapa tim sukses kandidat yang merasa terusik kemudian mengklarifikasi atau apa, mengecek silang ke Transparansi Internasional Indonesia, atau ICW. Saya kira itu juga hak dari beliau, memang ketika tim sukses mengatakan kami tidak melanggar ketentuan UU, kami tidak melakukan money politics, saya kira hal ini perlu kita klarifikasi mengenai isitilah money politics itu. Artinya nanti dikaitkan dengan menjawab pertanyaan dari moderator, yaitu apakah kemudian akan bisa dibawa ke pengadilan untuk diadili. Saya ingin menceritakan terlebih dahulu pengalaman pada pemilu 1999, itu dari 200 kasus money politics yang dilaporkan kepada panwas di seluruh Indonesia tahun 1999 itu yang masuk ke pengadilan ada 3, dan keduanya ada di Jawa Tengah, 2 di Boyolali, 1 di Rembang. Dan ketiganya dari 200 kasus yang ada, 3 yang akhirnya diputus ke pengadilan untuk money politics. Dari 3 ini, 2 dihukum dan 1 dibebaskan; yang 1 masih dikasasi MA sampai sekarang belum selesai, itu menyangkut salah satupimpinan DPRD di Rembang, JATENG. Kita bisa melihat bagaimana efektivitas pelaporan temuan money politics ini ternyata begitu mengerucut, kalau dalam pidana itu kasus itu masuk, terus merosot sampai kemudian keluar hanya tetes-tetes begitu. Tahun 2004 ini, kalau kita melihat dari keseluruhan yang tadi diceritakan, oleh Pak Anung dan Pak Teten itu, banyak sekali dan kita kalau laporkan juga banyak. Tapi yang berujung pada laporan yang kemudian punya bukti-bukti dan kemudian bisa kita teruskan samapi di proses sitem peradilan pidana yaitu hanya 31 kasus, selama pemilu legislatif. Jadi kita bisa bayangkan padahal waktu itu yang bergerak adalah para caleg-caleg sendiri, caleg DPRD propinsi, DPRD kabupaten kota, DPR pusat itu bergerak juga. Kemudian bagaimana dengan pemilu presiden yang sekarang ini? Kalau kita lihat bahwa, sebelum sampai ke pemilihan presiden, saya ingin menambahkan semacam kategori dari money politics selain langsung memberikan atau menjanjikan kepada para pemilih, tapi juga
112
Demokrasi & HAM,Vol.4, No. 1, 2004
ada yang terjadi dan saya kira cukup efektif. Kalau tadi Pak Teten cerita korelasinya mungkin agak terputus, antara penyebaran uang itu dengan perolehan suara, tapi yang kali ini, modus yang saya ceritakan cukup efektif, sebagian untuk sementara waktu, sebagian untuk seterusnya, yaitu ketika kalau banyak pemantau saya kira tidak seluruh pemantau, ada pemantau yang melihat proses hari H pemilu itu, lalu beberapa hari kemudian bisa disimpulkan pemilu di Indonesia jujur, adil, fair, dan sebagainya. Tapi sesungguhnya, proses manipulatif itu baru berlangsung ketika itu, bukan pada hari H di mana semua orang bisa melihat bahkan banyak diantara kita melihat sampai dimasukkan ke dalam formulir, dihitung, semua transparan. Tapi justru proses manipulatif terjadi sesudah itu, yaitu ketika di hitung di PPS. Jadi suara dari seluruh TPS naik ke PPS, disitulah terjadi money politics, juga para caleg bergerilya, di daerahdaerah pemilihan dia, untuk menjaimin bahwa dia lolos; dengan cara menyogok kepada petugas PPS, di Tingkat PPK kepada petugas PPK, sementara energi dari para saksi itu sangat terbatas. Dari 24 partai pada pemilu legislatif lalu, 1-2 saja yang bertahan samapi malam, terus sampai paginya terus diikuti 1-2 partai saja. Kerena hanya dibayar Rp. 25.000,/ Rp. 50.000,- untuk menjadi saksi, ya sudah pulang tentu. Tapi justru disitu, banyak terjadi perubahan-perubahan suara yang saya katakan tadi sebagian berhasil, kemudian sebagian tidak, karena yang lain selalu diprotes dimana-mana. Bahkan beberapa saksi parpol sangat agresif, sehingga tidak berani menanggung resiko, lalu mulai bisa dibongkar, kemudian banyak yang dipidana. Bahkan itupun terjadi bukan hanya di tingkat PPS, PPK, tapi juga KPU di kabupaten kota, itu juga ditebari juga uang seperti itu, dari laporan panwas di seluruh Indonesia, sampai sekarang paling tidak ada di atas 45 anggota kabupaten kota yang diindikasi melakukan penggelembungan suara, tentu saja dengan berbagai deal uang, dan sebagainya. Dan sudah beberapa diadili dan beberapa sudah dipecat. Ini kita masih khawatir akan terjadi lagi pada pemilu presiden yang akan datang, sehingga sebetulnya untuk mencegah ini yang saya katakan money politics di tingkat pembelian para officer (para penyelenggara pemilu ini, kami nilai sangat berbahaya ini. Kita sebetulnya ingin panwas diberi akses mendapatkan salinan berita acara dan sertifikat hasil perhitungan suara, kerena kabupaten itu diberikan, panwas kecamatan punya seluruhnya, maka kasus itu tak perlu menumpuk di Mahkamah
Diskusi, Praktik-Praktik Politik Uang
113
Konstitusi seperti sekarang, karena sekarang ini kan tendensinya setiap hal ada perdebatan, ya sudah larikan saja ke Mahkamah Konstitusi. Semuanya dilarikan ke sana. Repotnya adalah banyak saksi partai politik yang tidak mendapat salinan itu dulu pada pemilu legislatif. Untuk presiden, kita minta diberikan akses salinan itu, dengan itu maka kalau ada perbedaan di tingkat bawah, kita sudah bisa menyelesaikan itu. Lalu tampaknya KPU masih berkeberatan dengan usul ini, dengan alasan beberapa hal, misalnya teknis dan sebagainya, tapi kita tetap akan mencoba untuk mencegah itu. Kemudian saya akan kembali ke pokok persoalan money politics, di dalam UU pemilu kita, kita tadi sempat singgung dengan Mas Teten di luar, kita masih sangat terbelakang. UU pemilu kita, meskipun meningkat pada pemilu 1999 dulu, UU pemilu kita memuat ada 16 tindak pidana pemilu. Sekarang ada 26 tindak pidana pemilu, sudah meningkat, tapi jangan dibandingkan dengan Philipina, dengan 100 tindak pidana pemilu, kemudian di Malaysia 65/59 tindak pidana pemilu, kemudian Singapura, Thailand, dan sebagainya. Untuk money politics, di kita money politic s dalam bentuk menyuap, itu hanya satu saja tindak pidana, pasal 90 ayat 2, kalau tidak salah, hanya 1 saja. Kalau untuk rekening dana kampanye itu, 3 ayat dari 1 pasal. Jadi kalau kita fokuskan money politics pada menyuap, memberikan atau menjanjikan, itu hanya satu saja ketentuan dan itu sangat singkat. Kalau kita dibandingkan dengan Malaysia, ada 8 pasal dan itu mengatur secara menjerat, sehingga mau bergerak kemana juga kena, misalnya dengan kata-kata, baik secara langsung atau tidak langsung, memberikan, menjanjikan, menyerahkan, dan sebagainya, baik melalui dirinya atau melalui orang lain, dan seterusnya, itu bisa kena. Sekarang yang terjadi di UU kita banyak orang melalui orang-orang lain, satu contoh kasus di jakarta, satu kasus pada pemilu legislatif, seorang caleg yang melakukan money politics pada orang suruhannya dan itu dilakukan di gereja, kemudian di proses oleh panwas yang diproses sebenarnya calegnya tapi kemudian oleh penegak hukum yang ditarik sebagi terdakwa adalah 4 orang suruhan ini, karena yang terbukti secara langsung mereka ini, tidak mungkin caleg bawa-bawa uang, bagi-bagi kan tidak mungkin. Inilah karena tadi saya katakan, bahwa UU kita sangat tertinggal dan itu dimanfaatkan betul. Saya kira mereka banyak belajar dari proses penegakan aturan selama UU pemilu legislatif itu kan dipelajari betul, banyak yang lolos, dan sebagainya, kemudian
114
Demokrasi & HAM,Vol.4, No. 1, 2004
diterapkan di pemilu presiden. Jadi sebetulnya kendala terbesar kita untuk menanggulangi itu adalah kendala perundang-undangan, satu. Yang ke dua adalah kendala persepsi penegak hukum artinya kita butuh penegak hukum yang progresif, yang mampu menafsirkan itu, tidak secara sangat limitatif, sangat rigid. Satu contoh, pasal 90 ayat 2, dikatakan bahwa yang di pidana itu memberikan atau menjanjikan uang atau barang supaya orang itu memilihnya, atau tidak memilih. Itu kurang lebih jadi ada unsur memberikan atau menjanjikan uang atau barang, atau menjanjikan. Tetapi ada tambahan unsur, yaitu supaya memilih pasangan tertentu atau tidak memilih dan seterusnya. Di sini problem muncul, seperti laporan dari teman-teman ICW dan juga beberapa masyarakat yang kita tindak lanjuti dan juga temuan panwas sendiri pada pemilu legislatif yang lalu, ada beberapa yang kena di pidana. Contohnya, misalnya yang terjadi di Sumatera utara, di Aceh, itu dia menyumbangkan uang tadi dengan dia mengatakan bahwa kalau saya duduk di kursi ini, saya terpilih, maka saya akan sumbangkan gaji saya seluruhnya, ini ada kata-kata kalau saya pilih, misalnya. Contoh kasus yang lain, yang akhirnya dipidana pada pemilu legislatif adalah di pengadilan Grobogan, ada kasus seorang caleg PDIP di Grobogan Jawa Tengah itu di vonis, denda satu juta, yaitu apa? Dia membagikan uang kepada warga PDIP sendiri, sebetulnya uang recehan Rp. 10.000,-, maksudnya bukan uang besar, tetapi dengan mengatakan agar memilih partai ini. Kita lihat dibeberapa putusan pengadilan juga seperti itu, asalkan tadi unsur memberikan uang atau menjanjikan, tapi dengan kata-kata atau dengan gambar atau dengan tulisan apapun yang menunjukka bahwa agar memilih partai itu.Ini memang banyak yang kemudian dipidana, tapi tentu saja itu yang kecil-kecil, Rp. 10.000,-, Rp. 15.000,-, Rp. 50.000,-. Justru jumlah yang besar yang dibagikan di pesantren, di sekolah, di madrasah, universitas, dan itu saya kira menyangkut semuanya. Semua pasangan capres dan cawapres sekarang itu sulit untuk kena, karena apa? Ini perlu diperbaiki, dan sebagainya, tanpa dia mengatakan ini uangnya, tolong jangan lupa pilih saya, atau tahu sama tahu, maksudnya tidak pakai kata-kata itu. Karena demikian, tim suksesnya sudah demikian canggih, ya sumbang saja dan ini jumlahnya sangat banyak. Saya setuju, kalau digambarkan itu, barangkali jumlahnya jauh lebih besar. Dari sisi hukum, kemudian adalah sangat sulit untuk menjerat
Diskusi, Praktik-Praktik Politik Uang
115
itu ke pengadilan, karena apa? Kalau panwas, semua laporan itu kemudian di proses sebagian, yang punya bukti-bukti diteruskan, tapi banyak yang di SP3, karena apa, tadi harus ada bukti bahwa uang itu, atau barang itu dimaksudkan agar dia memilih partai itu, atau pasangan itu, atau calon itu. Ini yang seringkali tidak terpenuhi, barangkali memang kendala ke depan, kalau saya ingin juga membuat suatu rekomendasi dan kita panwas sedang melakukan, kita sedang membuat laporan lengkap, lalu membuat rekomendasi, perbaikan perundang-undangan dan sebagainya. Kita merekomendasikan dalam soal money politics ini, beberapa ketentuan harus ditambah meliputi banyak hal, sebetulnya kalau penegakan hukumnya jalan, pasal-pasal yang singkat, sebetulnya bisa kena, kalau dia progresif, tapi sulit kalau kita, bisa diserang dari sana sini. Oleh karena itu, kita tentu saja akan berusaha terus memproses ini, misalnya satu informasi yang kami dapat baru tadi, ada satu kasus dimana seorang pimpinan pesantren menerima dalam bentuk dolar, sekian ribu dolar. Yang jelas bukan untuk beli sarung, itu memang terjadinya bukan masa kampanye tentang money politics ini jauh-jauh sebelum masa kampanye. Kita sedang memproses itu, walaupun kita juga menyadari bahwa dengan keterbatasan kewenangan nanti akhirnya tentu saja karena panwas hanya sub sistem dari sistem peradilan pidana pemilu. Mungkin akan terhenti di tengah jalan, atau bagaimana, tapi yang jelas, kita harus memproses itu. Barangkali itu sebagai pengantar yang bisa saya sampaikan, mudah-mudahan kita nanti bisa bahas lebih lanjut dalam diskusi. Terima kasih, Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh. Moderator Ya, ketiga pembicara sudah menyampaikan paparannya, saya langsung persilahkan saja kepada floor untuk memberikan tanggapan atau pertanyaan. Sesi Tanya Jawab Tanya: Apakah pengalaman Indonesia yang dengan politik uang, menurut pengetahuan Pak Teten itu lumrah tidak bagi negara yang sedang dalam proses demokrasi? Kalau lumrah, apakah kita on the worse side, atau better side? Dibanding dengan negara-negara lain yang juga dalam proses tersebut dan berkatian dengan itu juga pada level yang rendahan, politik
116
Demokrasi & HAM,Vol.4, No. 1, 2004
uang tidak banyak berpengaruh, kalau begitu, maka kita ingkari saja soal bagi-bagi uang, untuk menolongperekonomian rakyat kecil. Apa betul rakyat tidak begitu percaya pada parpol dan pemimpin yang dia pilih? Kalau begitu, konsekwensinya akan menjadi negatif ? Tanya: Ini berdefinisi saja kita sudah problematik, karena cakupannya itu luas menurut saya, karena apa saja bisa dijangkau dengan logika politik uang ini. Karena itu, seperti disinggung oleh Pak Topo tadi, di Malaysia, ada keharusan untuk memberikan cangkupan yang cukup luas agar bisa menjangkau detail-detail praktek money politics yang begitu rupa. Itu satu, jadi begitu luas cakupannya, sehingga mempunyai implikasi yang sering juga untuk praktek penanganannya, karena begitu luasnya cakupan definisi politk uang itu. Pak Teten, saya lantas untuk konteks Indonesia, upaya yang dilakukan oleh sekelompok orang, umpamanya ICW atau gerakan-gerakan sosial yang berorientasi langsung untuk memerangi prakterk-praktek politik itu hampir-hampir tidak efektif, selain itu dari sudut saya pribadi seperti mengalami disorientasi, karena dilihat dari segi victim, sulit kita untuk merumuskan siapa sebenarnya victim dari praktek politik uang itu, kecuali kepentingan ideal kita. Sebab rakyat diuntungkan seperti anda singgung tadi, di dalam praktek polik uang yang disebarkan secara langsung kepada rakyat, mereka diuntungkan langsung, dalam kasus ini, jadi mereka tidak korban, dan mereka mungkin support habis-habisan agar ii berlangsung lama. Karena panen raya ini menguntungkan mereka, dan dari segi elite lebih luar biasa lagi, karena amplop yang diterima jauh lebih besar. Community Leader yang dulu menjadi pengayom kemudian melindungi masyarakat dalam kasus ini mereka bisa dua-dua diuntungkan. Dan karena itu tidak ada yang harus dia bela dalam kasus money politics ini, karena seorang community leader jauh lebih besar dan bisa kerja sama dengan community nya. Jadi yang mungkin jadi korban adalah pesaing. Tapi pesaing menjadi pelaku juga, semua orang terlibat di dalam praktek kejahatan ini, pertanyaan ideal , kalau mau dilembagakan adanya di hukum, kepentingan ideal seperti soal clean, adanya di hukum. Ini soal besar yang lain lagi, siapa yang bisa lakukan itu, perundang-undangan saja kita sudah tidak mempunyai definisi yang memadai untuk menjangkau itu semua. Belum lagi kita berbicara penegkanya segala
Diskusi, Praktik-Praktik Politik Uang
117
macam, jadi dari segala lini praktek uang ini, dia menjadi keniscayaan yang tidak mungkin bisa kita lawan, saya kira itu. Tanya: Kepada Pak Teten dan Pak Topo, saya setuju statement Pak Topo tadi, dilihat dari pengamatan saya, kendala utama memang dimulai dari UU itu sendiri. Kalau kita lihat, Panwaslu dibentuk KPU, jadi independensi sudah tidak ada. Kalau kita lihat lagi lebih ke bawah, maka cara perhitungan suara pun sudah sangat janggal dan kalau kita ingat, TPS? KPPS itu ada 680 ribu, TPS desa ada 68ribu, kecamatan hambir 5 ribu, siapa yang mampu mengirimkan saksi di sana kecuali partai-partai yang memang kaya atau besar. Saya sudah ingatkan teman-teman tim sukses, kalau pemilihan presiden ini, kalau di KPPS, PPS, PPK, bagi saja 25 ribu itu butuh 50 milyar rupiah. Dan saya kira saya punya keyakinan seperti Pak Topo tadi, kekhawatiran saya menghadapi pemilihan presiden terutama pada ronde ke-2 adalah di bawah, bukan di atas. Karena pada kenyataannya kalau kita baca UU penyelenggara pemilu, dari KPPS maupun PPS, PPK adalah orang yang menganggur. Pegawai negri tidak boleh, kebanyakan orang menganggur, karena ditunjuk oleh lurah, camat, atas rekomendasi mereka dan oleh tokohtokoh masyarakat di tingkat KPPS. Pengalaman pemilihan legislatif kemarin justru money politics itu sentranya ada di bawah. Yang menjadi pertanyaan saya pada Pak Topo mungkin mengapa tidak dicoba untuk bukan diharapkan kepada capres atau tim sukses capter, atau dulu partai, akan tetapi kenapa tidak di minta instansi-instansi untuk membantu pengawasan ini, karena misalnya tadi ada formulir yang harus dikopi, setiap saksi harus dapat kopi dari formulir, kalau di puncak gunung mana ada foto kopi. Jadi ini sebenarnya saya khawatir ada disain dari UU yang titik lemahnya di bwah, orang mengincar di atas. Jadi sebenarnya money politics itu lebih berpengaruh sekali pada hasil pungutan suara pada tingkat PPS, TPS, dan TPK. Kalau kita lihat lagi beberapa pasal di UU 12, tentang pemilu, mangatakan bahwa penyelenggara pemilu itu tidak boleh dari pengurus, berarti boleh menjadi anggota parpol, dan ini tetap berpengaruh pada sekarang ini, karena meskipun tidak langsung, capres ini dipilih oleh parpol, tapi kenyataannya anggota parpol itu sebagian besar masih ada keterikatan dengan capres. Jadi serangan fajar yang dulu diistilahkan untuk memberikan money politics untuk pemilih, ternyata terbukti bahwa tidak, sekarang serangan
118
Demokrasi & HAM,Vol.4, No. 1, 2004
fajar itu memberikan uang pada penyelenggara pemilu. Sebab kalau menjadi anggota DPRD saja dapat suara 30 ribu, masing-masing 10 ribu itu sudah 300 juta, atau 30 juta, sudah tidak mungkin itu bagi anggota DPRD yang tadi saya setuju Pak Topo ataupun Pak Teten kalau orang di luar negeri jadi anggota DPR itu yang sudah kaya, dan sudah punya uang, tapi di sini adalah nyadong ke partai. Jadi ini saya mohon perhatian betul kepada Pak Topo maupun Pak Teten, kalau hanya soal uang tidak masalah, tapi kalau semua disadari masalah kelemahan di bawah ini tidak ditanggulangi, saya khawatir timbul benturan di bawah antar massa karena perjalanan pemilu April lalu, titik lemahnya ada di bawah untuk mendapatkan suara. Jadi ini sebagai saran dan pertanyaan pada Pak Topo apa upaya-upaya ini sebetulnya masih ada beberapa instansi yang mungkin bisa dimintai bantuan, karena atau mungkin para capres ini akan ada money politics tapi ke bawah, bukan kepada tokoh mungkin ada, bukan kepada pemilih, tapi justru pada para penyelenggara pemilu. Ini hal-hal yang sangat menjadi perhatian kita, jadi panwaslu ini seharusnya independen, kalau kita independen, KPU menuntut independen, tapi KPU sendiri tidak mengijinkan Panwaslu Independen. Pak Topo tentu masih terikat oleh KPU, anggarannya dari KPU dan sebagainya. Padahal kita jamannya transparan dan independen, jadi ini tidak konsisten sama sekali UU itu. Saya tidak menuduh, tetapi bukan mustahil bahwa ini dibuat oleh para parpol yang besar. Jadi kalau kecenderungan turun, kemarin saya lihat memang karena hasil pemilu 1999 tinggal 6 partai yang ikut pemilu, yang lain 18. jadi mereka semburat kesaa kemari, seperti halnya pada waktu dulu Golkar 72%, begitu pemilu 1999, tinggal 25%. Karena partainya menjadi 48. Memang terjadi penyebaran suara, jadi tadi Pak Topo saya setuju, bahwa dari 200 kasus hanya 3 pengadilan dan sebagainya. Dalam penutup pertanyaan saya, kalau korupsa saja Pak Teten yang melaksanakan pengawasan, saya mengharapkan tetap konsentrasi sebenarnya, dan bahaya itu pada tatanan ke bawah terima kasih, wass. Wr.wb. Tanya: Selamat sore Pak Teten dan Pak Topo, saya ingin bertanya dari sudut pandang orang awam, mungkin agak sedikit keluar dari konteks, bila Vote Buying dianggap lumrah, apakah itu bukan dianggap pembodohan massal? Jadi bagaimana memberikan pendidikan politik ke masyarakat Indonesia yang pendidikannya masih dibawah standard?
Diskusi, Praktik-Praktik Politik Uang
119
Teten Masduki Pertanyaannya sulit, dan saya bukan analisis politik. Tapi mungkin seperti yang saya katakan, sebenarnya 2 hal, soal Candidacy Buying, dari sumber pendanaan, karena kita ingin tahu sebenarnya partai atau presiden itu mewakili siapa? Mewakili donator, atau memperjuangkan rakyat? Yang kedua soal pengar uh money politics, apa ini membahayakan atau tidak. Sehingga juga dilihat seperti pak Hasyim tadi ini belum musimnya sistem demokrasi langsung. Tapi begini, yang pertama tadi soal lumrah politik keuangan atau tidak, saya kira kalau dibilang lumrah mungkin sekarang , kalau kita lihat misalnya sekarang pada tingkat pemilihan kepala desa saja memang sudah biasa, persoalannya ini kenapa? Saya kira ini juga banyak terkait dengan juga bagaimana partai, dan juga kondisi pemilih, tingkat kesadaran pemilih, saya kira dua-duanya ada korelasinya. Umumnya partai didirikan oleh elit dan saya kira sumber pendanaan tidak dari bawah, makanya perlu dana besar mobilisasi dan lain sebagainya. Itu juga bekerja dalam system pemilih yang memang tidak mungkin misalnya partai di dalam pemilih tingkat bawah itu menjual platform, tidak mengerti rakyat itu. Makanya ibu Mega di jawa timur, atau di daerah-daerah itu, pilihlah yang punya tahi lalat, itu sangat sederhana, tidak menjelaskan apa-apa. Jadi saya kira itu soal, saya mau mengatakan apakah kita bisa terima soal politik uang, saya barang kali menolak. Saya hanya berkeyakinan bahwa saya menemukan beberapa kasus yang menarik. Di Jawa misalnya, saya berputar-putar dengan saudara Eep Saefullah di daerah sekitar gunung merbabu-merapi situ, dengan kelompok budaya dan lain sebagainya, bahwa mereka memang terima uang, tapi mereka bilang meyakinkan itu tidak usah, cukup terima uang saja, tapi tidak pilih mereka. Itu benar, ini kan yang waktu itu saya populerkan, waktu politisi busuk, walaupun dikritik oleh saudara Eep, ini sama saja, ini kita mau memerangi politisi busuk, tetapi malah menciptakan penipu-penipu kecil. Tapi itu memang berlaku , jadi apa yang dipilih mereka, kalau mereka mempunyai hubungan dengan pemimpin lokalnya, komunalnya memilih apa, jadi ini tidak terlalu berlaku. Maka saya katakan kalau dalam kenapa korelasinya turun pemenangan pemilu meskipun uang banyak disampaikan, maka kalau tidak bersamaan masyarakatnya dikasih uang, tapi tokoh masyarakatnya tidak dikasih, itu tidak ada gunanya. Jadi memang harus dua-duanya.
120
Demokrasi & HAM,Vol.4, No. 1, 2004
Kalau hanya menyebarkan begitu saja, tanpa ada tokoh yang bisa menjamin bahwa dia akan setia kepada yang menyuapnya, itu tidak ada gunanya. Sama dengan dulu, kan dulu sebenarnya tidak dengan uang, tapi dengan instrument-instrumen repressive, baru orang merasa takut untuk tidak memilih diluar itu. Dan sama sebenarnya, kalau sekarang tidak bisa lagi menggunakan instumen-instrumen represive, sekarang menggunakan tokoh untuk menjamin uang yang untuk membeli pemilihnya itu loyal. Kalau hanya menyebarkan itu, saya kira tidak ada gunanya. Saya kira pengaruh politik uang memang lebih banyak konsolidasi partai. Makanya dulu statement-nya Nurcholish Majid waktu konvensi Golkar, bahwa tidak cukup ideologi, tapi juga gizi. Jadi saya kira memang itu ada betulnya dengan ini. Saya ambil contoh misalnya yang menarik itu di gang Laswi di Bandung, itu cukup padat sekali, itu setiap pemilu pasti membuat proposal ke semua partai. Jadi pada saat kemarin, pada saat kurban, dia bikin proposal ke sembilan partai, yang isinya sama, meminta. Jadi tidak ada kesetiaan. Yang lucunya, kepala suratnya ke PDI-P, terima kasih, kami akan mendukung PAN. Sebenarnya dimasyarakat itu sekarang bukan, kalau dalam penyebaran uang, justru partai banyak diakali sekarang, bukan rakyat yang dibodohi. Dia terima uangnya begitu. Jadi terus, pengaruh politik uang, kalau apakah kita sudah siap berdemokrasi atau tidak, makanya sistim demokrasi, saya kira memang mungkin kita harus mau mengajukan pertanyaan itu karena faktanya ini sudah berdemokrasi, suda multi partai, korupsi malah makin gila. Padahal dulu kita yakin bahwa korupsi itu berbasis pada system yang otoriter. Saya kira ini bukan soal kita siap berdemokrasi atau tidak, tapi mungkin ada dua hal, yang pertama saya kira political behavior kita ini. Saya kira kalau political behavior yang korup, system apapun rusak. Dan itu saya tidak tahu terapinya gimana, tapi kalau yang saya lakukan selama kemarin kampanye adalah pendidikan kepada pemilih menciptakan kekebalan pemilih, dengan terima saja uangnya, tidak pilih mereka, memang menciptakan penipu kecil, tetapi sebenarnya membuat si pemilih itu agak kebal. Tinggal memutus hubungan itunya, dan mudah-mudahan penelitian yang LP3ES itu menarik, karena ternyata ada perubahan perilaku pemilih tidak lagi terikat dengan partainya, saya lihat perkembangan demokrasi yang tidak terlalu buruk. Lalu, betul saya kira politik uang kan, kalau di dalam undang-
Diskusi, Praktik-Praktik Politik Uang
121
undang kan hanya dicover soal vote buying saja, padahal penyuapan terhadap panitia pemilih, ya cuma itu korelasinya dengan perolehan suara, apakah signifikan, tapi saya melihat bahwa itu tidak terlalu menonjol dibandingkan dengan manipulasi atau manipulasi suara, atau dalam pengertian administrative elektroral corruption, tidak terlalu menonjol dibanding pada zaman orde baru. Kalau dulu kan camat, gubernur, bupati, kan karirnya terkait dengan perolehan pemilu. Kakak saya camat di Tanggerang misalnya harus copot dari jabatannya karena golkarnya kalah. Karena dia tidak mau me-mark up suara. Akhirnya dia tidak jadi mengisi karena malu dengan mark up itu, padahal sebelumnya menang 99%, kalau kata dia, saya mark up berapa lagi ini?. Ternyata masak 100%! Akhirnya oleh dia dibiarkan saja. Akhirnya 60% yang golkar di kecamatannya, akhirnya dicopotlah dia jadi camat. Dulu kan menonjol begitu, sekarang memang kita juga tidak menutup mata, bahwa banyak politik uang dalam pengertian penyuapan penyelenggara pemilu. Tapi saya kira tidak terlalu signifikan dalam perolehan suara secara umum. Yang lebih besar yaitu politik uang melalui tokoh-tokoh masyarakat. Kalau mau melakukan pendidikan politik, menurut saya, pak Hasyim sekarang pada tokoh masyarakat itu. Jadi waktu itu saya sempat punya ide bagaimana kalau para kiai itu ketika didatangi para capres itu disodorkan kontrak politik. Boleh dia setor berapa aja, siapa yang setor terima saja. Itu sudah lumrah menurut teman-teman NU. Yang kita khawatirkan kemudian itu tadi, ketika capresnya pulang lalu dia berdoa supaya calon tsb jadi presiden. lalu ditafsirkan oleh ummatnya, kok kiai mendukung ini, tapi tadi ternyata tidak hanya didatangi oleh satu orang, tapi oleh banyak orang. Ukurannya ummatnya tinggal melihat panjang-pendeknya doa untuk calon presiden itu. Politik uang kan juga tidak dilakukan oleh satu partai, atau oleh satu kandidat, dalam wilayah yang sama itu dilakukan oleh banyak calon. Jadi itu juga yang meyakinkan saya itu tidak terlalu banyak gunanya. Jadi tetap politik aliran sepertinyanya masih punya pengaruh tokoh-tokoh masyarakat punya pengaruh terhadap pilihan-pilihan partai, disamping memang bahwa itu tidak sekedar ideology atau aliran tetapi juga perlu gizi. Saya kira itu saja, maaf tidak terlalu sistematis. Terima kasih. Topo Santoso Terima kasih, sebelum sampai pada petanyaan itu ada dia pasal di
122
Demokrasi & HAM,Vol.4, No. 1, 2004
undang-undang pemilu 99 yang sekarang hilang, ini yang satu menguntungkan Pak Teten, yang satu menguntungkan penyelenggara pemilu. Satu pasal yang hilang itu tadi kampanyenya Pak Teten, ambil uangnya, tapi jangan pilih partainya. Tahun 99 itu pidana, jadi itu hilang, ya, Alhamdulillah, kalau tidak itu bisa penggerak pidana itu mas Teten. Itu pasal hilang itu juga menarik. Kalau pasal itu tetap ada, maka banyak orang tidak melaporkan money politics, karena dia menerima, dia kena, maka hampir tidak ada yang melaporkan begitu. Tapi dengan itu hilang, lumayan banyak laporan dan bisa ditindak lanjuti, satu pasal lain yang hilang menguntungkan penyelenggara, karena penyelenggara bisa sembunyi dibalik alasan kita tidak sengaja melakukan kesalahan, misalnya, kemarin hitung-hitungan banyak yang ngawur, dari 7000 kok jadi 17000? Sehingga pemilih di satu kabupaten itu pemilihnya, katakanlah Cuma seratus ribu begitu, tapi hasil pemungutannya seratus lima puluh ribu, karena di-markup beberapa partai. Yang lucu misalnya seperti di Bali, itu persis di sepuluh PPK, itu dua partai jumlahnya sama persis semuanya. 1500, 1200, itu sama, di PPK 1, PPK 2, sampai di PPK 10 itu sama semua. Dan ini sebetulnya menyisakan problem sampai sekarang, kesalahan-kesalahan waktu legislatif itu, walaupun sudah ditengahi oleh mahkamah konstitusi, sudah diputus, ada 15% berhasil, toh masih banyak sekarang daerah-daerah tidak terima dengan putusan itu. Itu karena penyelenggara, mulai dari KPPS, PPS, PPK, KPU, itu tadi, dia melakukan penggelembungan suara, dsb. Kalau didesak, diproses, lalu dia mengatakan Oh kita tidak sengaja, salah tulis, begitu kan. Kalau dulu ini dipidana, kalau menurut undang-undang yang lama, sekarang tidak, sehingga banyak orang yang bersembunyi, walaupun pada sengaja juga, kebanyakan. Dari angkanya ajaib begitu, kalau tidak sengaja, misalnya kalau tidak sengaja itu okelah 11500 misalnya, kemudian tertulis 11050, ya salah catat, tapi ini tidak, angka yang rumit misalnya, 10532 misalnya, kemudian menjadi 200, itu kan salah tulisnya dimana? Itu banyak di berbagai daerah. Saya ingin kembali lagi ke pokok pertanyaan yang ditanyakan oleh bapak-bapak dan ibu-ibu tadi. Soal definisi politik uang memang saya katakan tadi bahwa kita hanya ada satu pasal, di pasal 90 ayat 2 saja, di undang-undang pilpres. Kemudian di begara lain, seperti yang saya contohkan tadi, contoh tetangga-tetangga saja, Malaysia, Fillipina, Thailand, yang saya lihat undang-undang pemilunya itu rata-rata membreakdown tindak pidana money politics itu kedalam 8 macam, dan satu saja
Diskusi, Praktik-Praktik Politik Uang
123
ayat itu sudah cukup mencakup banyak perbuatan. Itu ada 8 ayat mengatur itu, sehingga misalnya memberikan pinjaman gedung, pada masa kampanye, itu bisa dikatakan money politics, memberi pekerjaan, misalnya memberi pekerjaan pada Mas Teten, itu money politics, dan banyak sekali cakupan yang lain. Nah kalau kita banyak sekali yang lepas dari itu. Sehingga menurut saya, memang kedepan perbaikan harus dilakukan dari segi regulasi, sehingga tidak menjadi alasan untuk orang bermain2 disitu. Lalu kemudian, ini saya menghawatirkan soal persepsi, bahwa money politics itu, misalnya katakanlah dianggap tidak merugikan, misalnya, ini persepsi yang saya kira berbahaya, ini hasil, saya coba untuk bertanya wawancara dengan beberapa penegak hukum, setelah pemilu 99 itu, ruparupanya banyak sekali laporan pidana pemilu yang diteruskan oleh panwas, ke polisi, ke jaksa itu mentok di tengah jalan, karena ada persepsi di kalangan penegak hukum bahwa tindak pidana pemilu itu kan tidak ada yang dirugikan, rakyat tidak dirugikan, yang dirugikan kan hanya saingannya saja, begitu, hanya partai yang kalah bersaing, lalu ia melaporkan, kan itu saja. Jadi dalam persepsi penegak hukum di banyak daerah, ya sudah, mengapa diurus terlalu serius, toh nanti juga sudah kita proses sampai pengadilan, tahu-tahu dua orang yang melaporkan dan dilaporkan itu sudah lobi sana lobi sini, berdua kesana kemari. Jadi akhirnya dalam persepsi penegak hukum yang sepeti ini, ya tindak pidana pemilu itu hanya merugikan elit partai saja. Tidak merugikan rakyat. Kalau persepsi ini cukup meluas, saya khawatir bahwa kemudian banyak tindak pidana pemilu, tidak ditegakkan secara serius, apalagi sangsinya sudah merosot semuanya. Dulu 5 tahun, sekarang hanya 2 bulan, sampai 12 bulan, paling tinggi 3 tahun misalnya. Sekarang ini ada trend, bahwa, tindak piidana pemilu itu rata-rata hampir sebagian besar 60%-70% lebih, itu dihukum denda saja. Sangat kecil yang dihukum dengan sanksi yang tegas. Kebanyakan hukum denda. Lalu ke dua yang saya bahas adalah mengenai indpendensi panwas. Memang di undang-undang kita itu panwas pusat dibentuk oleh KPU pusat, tetapi panwas daerah tidak ditentukan oleh KPU sederajat. Itu beda dengan, pada waktu pemilu orde baru, dimana masingmasing level panwas dibentuk oleh penyelenggara pemilu di level itu. Dan sekarang tidak. Memang ada banyak problem dengan panwaslu dibentuk oleh KPU. Tetapi selama ini yang kami jalani adalah kita tidak terpengaruh dengan, bahwa kita dibentuk oleh KPU. Artinya kita tetap
124
Demokrasi & HAM,Vol.4, No. 1, 2004
kritis apapun kebijakan, sikap surat keputusan keputusan KPU sendiri, yang kita anggap bertentangan dengan undang-undang kita juga protes. Jadi kita tidak pernah merasa bahwa kita harus se-ide dengan KPU, kalau itu melanggar undang-undang ya kita proses itu sebagai suatu pelanggaran. Tapi memang idealnya, panwas ini memang dia dibentuk tidak oleh KPU, sehingga tidak terjadi seperti kemarin ketika panwas menyelesaikan satu kasus, itu dibiarkan. Padahal diundang-undang dikatakan putusan panwas itu final dan mengikat. Di beberapa daerah itu tidak dilaksanakan. Jadi sama-sama final dan mengikat, ada yang dilaksanakan, ada yang tidak, tapi yaitulah yang terjadi karena tadi mungkin. Memang di negara lain tidak ada apa-apa , saya kira ya, di Indonesia saya kira ada panwas , tetapi bagaimanapun dari segi efektifitas saya melihat masih penting, kalau tidak ada ratusan anggota legislatif kita itu yang pemalsu dokumen. Karena teman-teman panwas itu tidak ada perintah sebetulnya dalam undang-undang , bahwa mereka harus menelusuri, melakukan penyelidikan , itu tidak ada perintah. Tapi itu teman-teman kalo menerima laporan ijazah palsu, misalnya ini caleg dari Sumedang misalnya, dia mengatakan lulus dari Palangkaraya, itu dikejar sampai kesana. Dan itu baru terbongkar kebanyakan ijazah , bahkan yang sudah tiga kali menjabat di DPRD, DPR, itu kena semua. Kalau ini tidak efektif, itu tentu akan kita akan punya wakil-wakil rakyat yang penipu seperti itu, dan sebetulnya mungkin hanya lulus SD, karena, banyak yang, dan ini lolos oleh penyelenggara, cukup keterangan dari polisi, telah hilang ijazah SD, SMP, SMA-nya, itu lolos. Sudah diprotes berkali-kali oleh panwas, itu tetap lolos juga. Nah itu masih banyak dan yang terpilih itu masih seperti itu. Jadi sebetulnya kedepan itu sebenarnya tergantung nanti bagaimana pembuat undang-undang di DPR apakah fungsi panwas ini mau diperkuat? Atau tidak? Kalau di negara lain memang di komisi pemilihan umum itu fungsi panwas ada di dalamnya sperti di Thailand, di Filipine, atau di Malaysia. Tapi kalau kita lihat seperti ini yang terjadi, saya khawatir kedepan itu lebih banyak, orang-orang yang penipu-penipu ini lolos. Terakhir dari saya soal pelibatan institusi di tingkat bawah kepengawasan. Kalau kita ingin agar fungsi pengawasan, terutama kroscek angka itu lebih berhasil itu KPU, kan tidak ada ruginya, cukup menambah satu saja salinan penghitungas suara, kepada panwascam. Itupun panwas tidak di setiap desa adanya, hanya di kecamatan. Kalau itu diberikan, itu justru bukan mengurangi nilai KPU, tapi menambah bobot kualitas
Diskusi, Praktik-Praktik Politik Uang
125
pemilu, tapi itupun tidak diberikan. Sehingga kita sempat ingin bekerjasama dengan Polri, dan dengan Linmas. Tapi ini problem lagi. Linmas itu dibawah Depdagri, kemudian soal anggaran panwas tidak mampu meng-cover seluruh TPS, dan sebagainya. Sehingga akhirnya, kita kerjasama, koordinasi dengan saksi dari pasangan calon, maupun dengan Polisi yang bertugas mengamankan. Itupun dengan catatan kalau mereka menyiapkan itu dan mau berbagi dengan panwas. Itu telah kita coba pak, terima kasih. Tanya: Saya ingin menambahkan saja apa yang menjadi sebab-sebab money politics itu, isinya kadang-kadang saya masih bingung itu melihat uraianuraiannya. Tadi Pak Topo sempat menyinggung, ini soalnya ada di undang-undang. Saya ingin menegaskan bahwa sumber dari segala sumber money politics itu adalah money politics di sebelum pemilihan presiden, yaitu money politics di lembaga legislatif. Jangan-jangan itu undang-undang lahir dari produk money politics untuk disiapkan menciptakan peluang bagi money politics selanjutnya disaat pemilihan presiden atau legislatif. Jadi biang dari segala biang itu ada sebetulnya di money politics ditingkat legislatif. Dan ini sebetulnya terjadi ketika legislatif misalnya mau menyepakati RAPBN menjadi APBN, sebetulnya disitu juga ada indikasi-indikasi bahwa peluang untuk money politics disiapkan lewat kesepakatan politik, misalnya penyelundupanpenyelundupan. Ini sepertinya bagian agenda dari money politics yang sudah disiapkan oleh pemain-pemain politik di legislative. Saya dari dulu bertanya kenapa tidak ada kenaikan target penerimaan bea cukai dari tahun ke tahun. Walaupun begitu presidennya menjabat, dirjennya langsung diganti, yang terjadi malah meningkat penyelundupanpenyelundupan. Kemudian misalnya kenapa dulu jabatan staff ahli komisaris Pertamina yang orangnya adalah mentri dengan gaji yang sangat tinggi. Apakah bukan ini bagian dari money politc, wilayah money politics yang sebetulnya memang berangkai, antara money politics, dalam mempersiapkan pemerintahan, dengan money politics yang berasal dari biang utamanya tadi. Jadi saya ingin mengatakan bahwa mata rantai dari money politics ini sangat jelas, Cuma kita sekarang sedang terpaku pada wilayah yang ujungnya saja, yaitu pemilihan presiden. Tapi sebetulnya, oleh karena itu, kalau kita bicara agenda penuntasannya ya biangnya dulu
126
Demokrasi & HAM,Vol.4, No. 1, 2004
diselesaikan. Ya ini komentar saya sebetulnya, terima kasih. Tanya: Ass.wr.wb. Bicara tentang praktek money politics, itu kalau saya melihat sebagai seorang pemantau, banyak pengaduan yang masuk, atau temuan2 kami dilapangan mengatakan bahwa itu tidak akan lepas, masih tetap praktek orde baru itu masih ada. Dari keinginan penguasa. Sebagai contoh, daerah yang paling rawan penggelembungan suara adalah tingkat kecamatan , atau tingkat PPS. Nah disitu, seperti pak Topo bilang itu bahwa, kondisi pemantau, kondisi pengawas, kondisi saksi itu udah dalam degradasi yang sangat minim sekali, sehingga mengakibatkan itu bisa terjadi. Ada satu kasus yang menarik, kebetulan salah seorang kawan saya menemukan, iming-iming money politics itu tidak hanya dalam bentuk uang, tapi bisa juga dalam bentuk rekreasi. Itu sebuah temuan baru yang menarik dan bagus. Dalam salah satu kecamatan, dia bilang bahwa disitu dijanjikan, tolong dibantu partai X, saya bicara tentang legislatif, bukan presiden, kita akan pergi ke Bali, dan itu terjadi pada orang-orang yang bekerja, bergerak di belakang layar monitor. Ada kasus temuan juga, bahwa orang-orang yg bergerak di belakang monitor, itu ternyata banyak juga yang menjadi simpatisan partai. Dan, orang yang bergerak di belakang monitor itu pun memiliki ruangan khusus tersendiri, dimana itu menjadi sebuah grey area, atau kadang saya sebut sebagai clean area, wartawan pun mungkin tidak akan bisa dijinkan masuk. Itu pemilihan legislatif, sekarang saya mau minta mungkin bagaimana pandangan anda untuk kemajuan besok, pemilihan presiden itu, kira-kira clean area tadi itu apa udah diatur dalam udang-undang, atau untuk mengantisipasi terjadinya penggelembungan-penggelembungan suara itu kemungkinan besar terjadi kembali itu antisipasi kita seperti apa? Karena banyak sebagai pemantau sendir kita juga kadang tidak bisa masuk. Restricted Area, mungkin seperti itu saja pertanyaan saya, terima kasih. Teten Masduki Saya kira ada betulnya tadi yang disampaikan Pak Andrinof. Saya kira yang paling menonjol sebenarnya dan cukup berhasil politik uang dalam pemenangan pemilu itu yang dilakukan oleh para Caleg sebenarnya. Kita tahu mereka melakukan dalam dua hal. Pertama mereka menyuap partainya dulu untuk masuk dalam urutan Jadi. Nomor2 kecil.
Diskusi, Praktik-Praktik Politik Uang
127
Lalu mereka juga melakukan dalam penelitian kami, menemukan juga mereka langsung sebagai aktor yang menyebarkan uang. Ini seiring saya kira dengan pergeseran pemilu yang partai oriented, ke kandidat oriented. Jadi mereka juga langsung melakukan ini. Tapi faktanya, yang efektif menyuap partai untuk masuk dalam urutan, sebab yang mencapai BPP hanya 2 orang, yaitu Hidayat Nurwahid sama bekas gubernur Riau. Nah yang berhasil sebenarnya adalah candidacy buying. Yaitu membeli nomor urut. Menurut saya ini yang paling mendasar sekarang, dan mungkin ini harus direformasi kedepan, supaya jangan ada lagi BPP untuk penentuan pemenang Caleg, buka lagi nomor urut. Tapi harus berdasarkan, tadi ada Nurul Arifin di daerah Kerawang pemilihannya dia pemenang suara terbesar, tapi kalah, suaranya harus diberikan ke Ade Komarudin. Mestinya itu tidak boleh lagi begitu, mestinya kekuatannya terhadap partai, tetapi ketika penentuan siapa yang akan duduk jadi caleg, bukan nomor urut, tapi harusnya suara terbesar. Saya kira itu bisa, nanti orang kalau itu dihapus, sistim itu, saya kira orang tidak lagi penting berada dalam urutan jadi atau tidak. Sebab yang paling penting dia bisa memperoleh suara terbanyak. Itu saya kira satu rekomendasi yang barangkali kita harus dorong supaya kita ada perbaikan kualitas demokrasi. Saya tidak tahu kalau misalnya candidacy buying juga terjadi di dalam calon presiden, misalnya di konvensi golkar, apakah itu berlaku juga, sebab kalau rasionya, mestinya Akbar Tanjung yang terpilih, karena yang menguasai struktur partai dan lain sebagainya. Tapi ini kok Pak Wiranto?. Nah itu kan menjadi pertanyaan. Padahal banyak dipuji suatu konvensi itu dianggap modern dalam sistim demokrasi. Saya kira politik uang kan bukan hanya itu, betul, saya misalnya mecatat, undang-undang yang berhasil diloloskan oleh komisi 2, itu 80% undang2 ttg pemekaran daerah. Dan saya tanya kenapa? Jawaban beberapa anggota DPR, yaitu karena yang ada uangnya itu. Sementara kita mengusulkan undang-undang kebebasan informasi, undang-undang perlindungan saksi, tidak dibahas kok. Pemekaran daerah, karena memang gampang, tinggal copy-paste, dan banyak uangnya. Dan calon-calon DAU, berkeliaran luar biasa, dan menjadi bagian daripada ini. Saya kira bung Andrinof betul. Politik uang sebenarnya luas, Cuma kita sedang musim pemilu pilpres, jadi kita membahas politik uang untuk membeli suara, yang itu memang hanya diatur dalam undang-undang. dan kita sebenarnya ada kesulitan dari kami segi pemantau, untuk mengefektifkan bagaimana
128
Demokrasi & HAM,Vol.4, No. 1, 2004
peran masyarakat untuk menggunakan pasal itu. Karena diundang2 itu kan sebenarnya tidak perlu cukup bagus misal itu bisa diimplementasikan, karena tidak perlu menemukan politik uang itu dalam bentuk vote buying itu yang besar, kecil, satu kasus pun kan bisa. Ini ada kesulitan ternyata ketika kami mengajak si masyarakat, si tukang ojek, dsb, yang menerima sarung, kemudian ada tulisan haru memilih ini, itu kan jelas vote buying, itu sebenarnya bisa di bawa ke pengadilan, tapi karena si pemilih ini miskin, dan menikmati hasil itu dan ingin digunakan, tidak mau mereka memberikan kesaksian. Dan pragmatis saja. Harus ada LSM kaya, yang menukar hadiah dgn yang lebih, baru orang mau memberikan kesaksian. Karena wilayah yang disuap itu kan wilayah miskin, kalau dikasih 20000, ya sudah cepat dibelikan beras, tidak bisa itu dipakai alat bukti di pengadilan. Sekarang kalau dilihat dari daerahnya, betul saya kira daerah politik uang kan sekarang dengan one person, one vote, saya kira wilayah pemilih itu ada di Sumatera, Jawa Dan Bali. Makanya Presiden mondarmandir disini-sini saja. Kalimantan, kan seluruh Kalimantan itu 15 juta, Jabotabek saja sudah sampai. Wilayah politik uang untuk presiden di sini, di Sumatera, Jawa Dan Bali. Lalu kalo yang tadi yang kira-kira apa yang harus diawasi untuk penggelembungan suara, karena saya berasumsi pemilihan sekarang jauh lebih demokratis, terbuka dari pengawasan umum, tetapi memang kejadian-kejadian tadi, penggelembungan suara segala macam barangkali ini mungkin perlu diteliti yang kita prediksikan paling mungkin adalah di daerah-daerah yang dikuasai oleh salah satu partai yang dominan di situ, misalnya, bahkan mungkin dari partai lain tidak ada, tidak memadai. Itu yang rawan terjadi menurut saya. Karena, katakan saja kalau sekarang menganalogikan, Golkar, PDI, adalah partai yang memerintah, walaupun koalisi, mestinya kalau Golkar dulu dia bisa mengatur perolehan suara secara manipulatif, begitu, sekarang PDI tidak mampu-lah. Kekuatan politiknya kan sudah terdistribusi. Saya kira begitu saja. Topo Santoso Saya sedikit saja, tadi saya kira menarik ide dari Philipine tadi, Pak Teten, hanya repotnya kalo yang sekarang saya lagi mempelajari satu kasus, ini tokoh leader. Itu mendapat, tapi bukan sarung diisi 250.000, tapi yang tadi, dollar tadi. Ini besar ini kan? Sebetulnya, kalau dua bersedia, katakanlah, ini mungkin kalo kesana-sana bukan hanya satu ini, yang didatangi banyak, dia mau itu jadi barang bukti, tapi
Diskusi, Praktik-Praktik Politik Uang
129
kompensasinya sebesar itu, kita sedang berpikir panwas misalnya kalau itu dapat ditelusuri, uangnya siapa itu?. Sebetulnya itu ada , mestinya kita fikirkan dari sekarang karena tidak mustahil bahwa banyak sebetulnya orang siap bersaksi, tapi karena tak punya dan dia butuh?, kan akhirnya dia gunakan juga. Lalu yg kedua yang ingin saya tambahkan soal penggelembungan suara tadi adalah bahwa untuk pilpres sebetulnya kita tinggal dorong partisipasi publik karena nanti untuk pilpres, itu hasil salinan berita acara itu akan ditempel di TPS, setelah pemungutan suara dihitung, di TPS di temple, lalu di PPS di tingkat desa atau kelurahan akan ditempel juga kecamatan dan seterusnya. Artinya kalau kita bisa dorong partisipasi masyarakat untuk ikut mengawasi, memantau, apalagi dia disitu, menerima copy, tapi kalau tidak ada, dia bisa mencatat itu, nah kemudian dia bisa meng-cross cek, yang kita khawatirkan adalah kemampuan dan energi untuk meng-cross cek itu saja dimana dia meng-cross cek rekapitulasi yang dia buat dari seluruh TPS di satu desa, dengan hasil yang sedang dihitung oleh PPS, misalnya. Kalau dia bisa temukan kejanggalan disitu, itu dia bisa protes, misalnya dari saksi pasangan calon. Tetapi yang lagi-lagi kita khawatirkan daerah-daerah terpencil misalnya, dimana saksi pasangan itu sangat minim atau mungkin hanya satu-dua pasang, atau mungkin hanya satu pasangan calon yang punya, kemudian daerah itu anda tidak sah,saya saja yang mencoblos. Itu terjadi, tentu saja dengan kesepakatan,partai ini dapat persen,partai itu dapat berapa persen. Artinya kita juga masih khawatir, karena dareh-daerah tertentu masih dilakukan juga, walaupun sistemnya sudah lebih coba diperbaiki dan ditempel segala macam kan tidak semua, kan kalo persepsi kita Jawa, Bali, Sumatra, mungkin masih jalan, Saya kira ini yang panwas sedang coba antisipasi, dan sedang mempersiapkan, panwas itu tidak punya kaki sampai di desa, panwas hanya sampai kecamatan, itupun hanya 3 orang. Dan kalau 1 kecamatan itu 10 desa dan 1 desa itu 15 TPS, kita bisa bayangkan lebih dari 100 yang harus diawasi oleh 3 orang panwas kecamatan. Kemudian akhirnya kita rekrut relawan, disamping kita kerja sama dengan pemantau, tapi ini tidak untuk semua daerah karena biayanya dari APBD, hanya daerahdaerah tertentu yang mempunyai ini,dan itu kalau sebenarnya dapat bekerja efektif maka dapat mampu mengurangi. Barangkali itu yang dapat saya tambahkan, terima kasih. Wass.wr.wb
130
Demokrasi & HAM,Vol.4, No. 1, 2004
Moderator Terima kasih kepada Pak Topo dan Pak Teten, karena waktunya sudah menunjukkan pukul 16.00 saya pikir waktu kita sudah selesai, tapi ada hal yang menarik, sebagai benang merah diskusi kita sore ini bahwa untuk menyelesaikan kasus money politics perlu ada upaya yang menyeluruh dari legislatif, perbaikan regulasi, sampai kepada ada LSMnya, seperti Bung Teten katakan tadi harus bertindak. Terima kasih atas segala perhatian anda, saya akhiri sampai di sini. Wass.wr.wb.
Topo Santoso, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Anggota Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Pusat), Kandidat Ph.D pada University of Malaya, Pernah mengikuti Orientation in the Common Law System of Australia, di Brisbane (1994), Academy of American and International Law di Dallas, Texas, AS (1995), Special Course on Economic Law di Harvard Law School, AS ( 1996).
Airlangga Pribadi, Sarjana Ilmu Politik pada Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Airlangga pada tahun 2002, Sedang menempuh Pascasarjana Ilmu Politik pada Universitas Indonesia sejak tahun 2002, Head of Department Socio and Religious Affairs pada Soegeng Sarjadi Syndicated- Center Political Studies, Kontributor pada Journal Bussiness and Politics “Paragraph One”, Staf Pengajar Ilmu Politik Universitas Airlangga. Intantri Kusmawarni, Media Analis di Media Watch and Consumer Center (THC), Anggota dari Masyarakat Anti Pornografi, Sarjana Jurnalistik Fakultas Komunikasi Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP), Peserta Workshop Hak Asasi Anak-anak tahun 2004, Panitia Jurnalisme Damai. Wenny Pahlemy, Editor di Media Watch and Consumer Center (THC), Lulusan program Pascasarjana Komunikasi Universitas Indonesia, Sarjana Sastra Perancis Universitas Negeri Jakarta (d/h IKIP Jakarta). Andrinof A. Chaniago, Peneliti Senior The Habibie Center, Pengajar Mata Kuliah Ekonomi Politik pada Program Sarjana dan Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas Indonesia.
a ta u k i r i m k e : J l . K e m a n g S e l a ta n N o . 9 8 , J a k a r ta 12560, Te l p . ( 0 2 1 ) 7 8 1 7 2 11
Asep Ridwan, Peneliti Muda pada The Habibie Center, juga aktif sebagai Konsultan Hukum di Ignatius Andy Law Offices. Sewaktu mahasiswa ia merupakan Juara I Mahasiswa Teladan pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro dan menjadi Juara III Lomba Karya Tulis Ilmiah Tingkat Nasional Bidang IPS pada Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) ke-13 diselenggarakan oleh Dirjen Dikti DEPDIKNAS di Universitas Indonesia pada tahun 2000, dengan judul penelitian “Kekerasan Kolektif, Demokratisasi, dan Karakter Produk Hukum di Indonesia”. Selain itu pernah menjabat sebagai Presiden Badan Eksekutif Mahasiwa Fakultas Hukum Undip (1999-2000) dan Ketua Umum Senat Mahasiswa Universitas Diponegoro (2000-2001).
f a x k e : ( 0 2 1 ) 7 817212
biodata penulis