Penanggungjawab Th. Sumartana Pemimpin Program Elga Sarapung Pemimpin Redaksi Noegroho Agoeng Redaksi Wiwin St. Aminah, Samuel A. Bless Zuli Qodir, Haryandi Desain/Layout Ryo Emanuel Keuangan Eko Putro Sekretaris Wiwin Siti Aminah Distributor Wayan Suweta, Sarnuji Newsletter ini diterbitkan oleh: Institut DIAN/Interfidei dalam kerjasama dengan The Asia Foundation (TAF) Jl. Banteng Utama 59, Perum. Banteng Baru Jogjakarta, 55581 - Indonesia, Ph./Fax. : 0274-880149, E-mail:
[email protected]
Edisi Seotember 2001 E d i t o r i a l Pendidikan Pluralis
Pluralistic Education
Pendidikan merupakan kebu-tuhan primer manusia. Kebanyakan anak bangsa semakin merasakan pentingnya mendapatkan pendidikan yang memadai, dalam arti sesungguhnya : pendidikan yang mendidik manusia merdeka. Pendidikan menjanjikan pada anak bangsa ini pengembangan proses interaksi antara realita dan cita-cita menuju manusia yang berjiwa empatik, inklusif, memiliki pengetahuan yang luas, kreatif, kritis dan produktif. Di tengah masyarakat yang sangat plural ini, ada pekerjaan besar bagi setiap lembaga yang ingin mencerdaskan anak bangsa ini untuk mengembangkan pendidikan yang bernuansa pluralis, inklusif. Pendidikan yang memungkinkan terbangunnya suatu masyarakat yang mampu menghargai
Education is one primary need of human being. More children of the nation feel the importance of having sufficient education, in its real meaning, education that educates freewilled human being. This sort of education promises people the development of interaction process between reality and the aim toward human being with e mp at h y , in c lu s iv is m, t h e broadening of knowledge, creative, critical and productive. In the middle of this very pluralistic society, apparently there is a big work for each and every institution that is willing to sharpen the mind of the nation to develop pluralistic and inclusive education. The education that will open the opportunity for the development of a society that is
Fokus / Focus Pentingnya Komunikasi Antariman dalam Pendidikan Agama : Alternatif Pendidikan Agama dalam Masyarakat Majemuk / The Importance of Inter-faith Communication in Religious Education : An Alternative for Religious Education within Pluralistic Society.
Opini / Opinion Mengapa Sulut Sulit Disulut? (Pengalaman Sulawesi Utara) / Why is North Sulawesi Hard to Ignite? (An Experience with North Sulawesi).
Profil / Profiles Forum Komunikasi Antar Iman Isen Mulang / Inter-faith Communication Forum Isen Mulang
Edisi September 2001
1
interfidei newsletter
Fokus kepelbagaian, mempunyai kepedulian terhadap kebutuhan masyarakat, dan kepentingan bersama. Karena di sanalah setiap pribadi dipanggil untuk mengembangkan sikap memberi dan menerima, menghargai dan dihargai sebagai manusia seutuhnya. Untuk itu, Newsletter edisi kali ini menyajikan tulisan-tulisan yang menggambarkan usaha-usaha pendidikan yang bernuansa pluralis. Profil kali ini memperkenalkan kelompok lintas agama dari Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Untuk kronik, kami menyajikan kegiatan di beberapa daerah : Ende, Palangkaraya, Papua, serta kegiatan dari teman-teman di Banjarmasin. Selamat membaca.(nasp)
capable of appreciating variety, having concerns toward people's needs, and having a common interest. For this is the place where every individual is called to develop the acts of giving and receiving, giving respect and being respected as a whole human being. Thus, this edition of newsletter would present to you the writings depicting efforts for pluralistic education. The profile section would introduce to you one inter-religion group from Palangkaraya, Central Borneo. For cronic, we present our activities in some regions : Ende, Palangkaraya, Papua, as well from our friends in Banjarmasin. Have a nice reading! (nasp).
Pentingnya Komunikasi Antariman dalam Pendidikan Agama: Alternatif Pendidikan Agama dalam Masyarakat Majemuk Oleh: Samuel A. Bless
The Importance of Inter-faith Communication in Religious Education: An Alternative for Religious Education within Pluralistic Society By : Samuel A. Bless
Ada tiga hal utama dalam pendidikan, yaitu aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Tiga hal ini akan terwujud di dalam tugas utama sistem pendidikan, yaitu mendidik, mengajar dan melatih. Dalam aspek kognisi, siswa dan mahasiswa dituntut mengisi sejumlah pengetahuan yang memadai sesuai dengan minat utama masing-masing. Ilmu dan pengetahuan yang memadai akan memungkinkan seorang siswa dan mahasiswa mampu menilai segala sesuatu secara rasional, secara akal sehat akan menerima segala pendirian yang bersifat aksioma, sekaligus membentuk sikap yang baik. Adalah sebuah kenyataan bahwa kita hidup dalam masyarakat majemuk. Di kiri-kanan kita banyak yang berbeda. Perbedaan itu meliputi perbedaan agama, ideologi, politik, kebudayaan, tingkat kesejahteraan dan sebagainya. Salah satu indikasi perbedaan itu adalah, kenyataan adanya pendidikan yang berbasis keagamaan secara eksklusif yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat heterogen. Pendidikan semacam ini biasanya diselenggarakan oleh sekolah-sekolah swasta. Pendidikan yang diselenggarakan oleh swasta dapat dipilah dalam tiga bagian yaitu pendidikan berbasis keagamaan tertentu secara eksklusif (eg. Seminari, Pesantren, Ashram), berbasis keagamaan tetapi
There are three main points in education, i.e. the cognitive, affective, and psycho-motoric aspects. These three main points will take form in the main task of education system, i.e. educating, teaching, and training. In the cognitive aspect, pupils and college students are demanded to fill themselves with sufficient level of education according to one's main interest. Adequate science and knowledge gained will make one possible to assess everything rationally; with common sense, he/she will accept all axiomatic convictions, as well as to be able to have good manners. It is a reality that we live in a pluralistic society. We find differences surrounding us. These differences include ones of religion, ideology, politics, education, level of welfare , etc. One indication of these differences is the reality of the existence of exclusively one religion-based education that develops in the middle of a heterogeneous society. Such education is usually held by private institutions. It could be classified into three, i.e. exclusive education based on a certain religion (e.g. Seminary, pesantren, Ashram), education based on religion, yet opened
2
Edisi September 2001
interfidei newsletter terbuka untuk umum serta anonim agama atau para penyelenggara pendidikan datang dari elemen yang berbeda. Lembaga pendidikan yang berbasis keagamaan secara eksklusif itu biasanya tidak menimbulkan konflik antar-iman, karena siswa dan mahasiswanya homogen, dari satu agama tertentu. Lembaga pendidikan berbasis keagamaan tetapi terbuka dalam menerima siswa atau mahasiswa dari luar basis agama penyelenggara itulah yang sering memungkinkan terjadinya konflik. Memang sangat dilematis, karena ingin mempertahankan identitas keagamaannya, tetapi di sisi lain ada kesan dari luar bahwa ada usaha merekrut para siswa atau mahasiswa masuk menjadi penganut agama penyelenggara pendidikan. Persoalannya mengapa penyelenggara pendidikan berbasis keagamaan tertentu tidak mempertimbangkan faktor minoritas dalam suatu komunitas sosial, sehingga menawarkan lembaga pendidikan yang konsumennya orang dari luar basis keagamaan penyelenggara. Apakah ada kebijakan yang mempertimbangkan diberikannya pelajaran agama sesuai dengan yang dianut oleh siswa atau mahasiswa? Jika diberikan mata pelajaran tersebut tidak menghilangkan kekhasan lembaga penyelenggara pendidikan berbasis keagamaan tersebut? Atau mungkinkah disediakan suatu pelajaran agama bersifat pluralis, artinya semua untuk semua karena pelajaran agama yang diberikan di sekolah atau universitas lebih menempatkan agama sebagai ilmu pengetahuan, bukan pendoktrinan tentang Tuhan, nabi dsb. secara absolut? Atau pendidikan di sekolah atau universitas lebih memberikan budi pekerti atau etika seorang beriman daripada pelajaran agama tertentu? Lembaga pendidikan pada hakikatnya menginderakan segala fenomena dengan akal, termasuk agama. Sejauh melihatnya dalam kacamata pengetahuan, kita boleh memperdebatkan, mempertanyakan segala macam ajaran yang dikembangkan. Pengetahuan yang memadai akan menumbuhkan nalar yang sehat, sehingga segala fenomena akan dikaji dengan nalar, bukan dengan doktrin yang diperkuat oleh rasa otoritas 'mahatahu' sang guru atau dosen. Dengan demikian 'yang suci', pencipta, penyelenggara kehidupan akan dilihat secara interperspektif dengan basis bertanya-tanya dan mencari-cari. Kelemahan di Indonesia, menurut penginderaan penulis, lembaga pendidikan berbasis keagamaan tertentu lebih banyak menekankan doktrin serta tradisi keagamaan, sehingga pengisian ilmu pengetahuan secara rasional kognitif dan
Fokus for public, and education with religion anonymity or the people organizing the education are from different elements. Exclusively one religion-based educational institution usually does not inflict inter-faith conflicts, for the pupils are homogeneous, of one certain religion. It is the religion-based educational institution that is open for pupils of different religion basis of the education organizer that often inflicts conflicts. It is truly dilemmatic, since on one side it would like to maintain its religion identity, but on the other side there is an impression from the outside that there is an effort to recruit the pupils to embrace the religion of the educational institution. The problem is why a certain religion-based educational institution does not consider the factor of minority in the social community, so that it seeks consumers of different religion basis. Is there any policy that considers the teaching subjects of other religions embraced by the pupils ? Does the teaching of religion subject not eliminate the specialty of the religion-based education organizer ? Is it possible to provide one pluralistic religion subject, meaning all for all since the religion subjects given at schools or universities place religion as a science, instead of absolute indoctrination of God, prophets, etc ? Or does the education system at schools or universities teach more about morals or ethics of a man of faith than certain religion subjects ? Educational institutions are, in essence, sense all sorts of phenomena with reason, including religion. As far as we see it through the eyes of science, we are allowed to debate, to question all sorts of teachings that are developed. Sufficient knowledge will grow healthy logical reasoning, causing all phenomena to be studied by logic, not by the doctrines strengthened by the authority feeling of "omniscient" from the teacher or lecturer. Thus, the "sacred one", the Creator, the Caretaker of life will be seen inter-perspectively with the basis of questioning and seeking. The weakness of Indonesia, according to the sense of the writer, is that certain religion-based educational institutions emphasize more on doctrines as well as religious traditions, causing the filling of science cognitive-rationally and affectively weak. This will in turn reflect in the Edisi September 2001
3
Kronik
interfidei newsletter
afektif menjadi lemah. Hal tersebut akan tercermin dalam aspek psikomotorik setiap siswa dan mahasiswa. Sebaliknya ada juga lembaga pendidikan berbasis keagamaan yang menekankan aspek kognitif dan afektif sehingga siswa atau mahasiswa menggunakan akal sehat mengkaji segala fenomena kehidupan secara rasional pula. Aspek psikomotorik yang anarkis, brutal dan ekstrim akan menguat jika dua aspek lain, kognitif dan afektif lemah dan tidak seimbang. Sebagai contoh, dalam sistem pendidikan agama Katolik di sekolah-sekolah juga diberikan mata pelajaran atau matakuliah agama-agama. Di sana ditekankan aspek aksi, refleksi dan aksi, sehingga teks yang ada direlevansikan dengan konteks yang sedang berkembang. Agama menjadi salah satu fenomena kehidupan yang mungkin dikaji secara rasional. Sementara ada ketimpangan, ada juga penyelenggara pendidikan yang tidak menanamkan tiga aspek di atas sekaligus. Situasi ini memungkinkan terjadinya konflik identitas, bukan konflik iman (=baca agama. red)seperti yang selama ini diributkan. Dengan demikian penyelenggara pendidikan berbasis keagaaman dapat menanamkan tiga hal, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik agar siswa dapat berkembang secara seimbang, termasuk dalam pengembangan imannya. Semoga.
aspect of psychomotoric of every pupil. On the contrary, there are also religion-based educational institutions that emphasize the cognitive and affective aspects that would make pupils use their common sense in studying all life phenomena rationally as well. The anarchic, brutal, and extreme psychomotoric aspect will strengthen if the other two aspects, cognitive and affective ones, are weak and not in balance. As an example, in Catholic religious education system at schools, religion subjects are also taught. There the aspects of action and reflection are emphasized, causing the existing text relevant with the developing context. Religion becomes one phenomenon of life that could be studied rationally. While there is imbalance, there are also education organizers that do not install the three aspects above all at once. This sort of situation could cause some identity conflict, not faith (read : religion. ed.)conflict as what have been made fuss about. Therefore the religion-based education organizer could install three aspects, i.e. cognitive, affective, and psychomotoric aspects to make the pupils develop in balance, including in the development of faith. Hopefully.
Semiloka Pluralisme, Konflik dan Perdamaian
The Workshops on Pluralism, Conflict, and Peace
Sebagai masyarakat majemuk, konflik sebenarnya menjadi bagian tak terpisahkan, hanya saja perlu pengelolaan sehingga tidak bersifat merusak (destruktif), tetapi positif dan membangun. Salah satu upaya yang dapat membantu ke arah itu adalah, perlunya sosialisasi gagasan tentang pluralisme, konflik dan perdamaian ke semua lapisan masyarakat. Untuk itu, Institut DIAN/Interfidei, bekerjasama dengan jaringan yang ada di daerahdaerah, seperti di Ende, Palangkaraya, Papua, Medan, dan Bengkulu, melakukan kegiatan seminar dan lokakarya tentang "pluralisme, konflik dan perdamaian", masing-masing 6 hari. Tujuan dari semiloka ini, pertama, dari segi wacana, bagaimana menggali potensi pengetahuan, pemahaman serta kesadaran masyarakat lokal, khususnya yang berhubungan dengan pengalaman pluralisme,
As a pluralistic society, conflicts have actually been an inseparable part, it is just that it needs some sort of management so that these conflicts are not destructive, but be positive and developing. For that reason, the idea of pluralism, conflict, and peace has to be socialized to all levels of society. To support this idea, Interfidei cooperating with its networks in Ende, Palangkaraya, Papua, Medan, and Bengkulu, conducted a series of seminar and workshop on "pluralism, conflict, and peace" for 6 days each. The aims of the seminar and workshop are: first, from the discourse angle, how to discover the potential of knowledge, understanding, as well as awareness of the local society, especially that of the experience of pluralism, conflict, and peace in everyday life. Second, from the practical angle, how this potential could be managed so that the society
4
Edisi September 2001
interfidei newsletter
konflik dan perdamaian dalam kehidupan seharihari. Kedua, dari segi praksis, bagaimana potensi tersebut dikelola sehingga masyarakat mampu mengatakannya sendiri, menghadapi serta mengelolanya secara mandiri.
Ende Semiloka di Ende, sebuah kota di Nusa Tenggara Timur, berlangsung pada tanggal 15-20 Mei 2001. Semiloka ini diikuti oleh 24 peserta yang datang dari semua kabupaten se-Flores. Mereka berasal dari berbagai unsur Lembaga Swadaya Masyarakat, perguruan tinggi, partai politik, pegawai pemda, mahasiswa dan pengusaha. Dilihat dari segi etnis mereka berasal dari etnis se-Flores dan Jawa, sedangkan dari segi agama mereka beragama Islam, Protestan, Katolik dan Hindu. Salah satu bagian dari rangkaian semiloka ini adalah seminar. Seminar itu diikuti oleh 75 orang dengan narasumber Dr. Th. Sumartana (Interfidei), Dr. Faruk (Sastra UGM, Jogjakarta), Dr. Mochtar Mas'oed (FISIPOL-UGM, Jogakarta), Dr. Dominong (sekretaris keusukupan Ende) dan Dr. Darius Dubut (dosen STT-GKE, Banjarmasin). (salah satu pembicara yang diharapkan ketika itu adalah Komandan Kodim setempat, tetapi karena suasana di Jakarta dan seluruh daerah sedang siaga I, maka beliau tidak bisa mengisi seminar tersebut sebagai pembicara, tetapi hadir penuh selama Sesi I sebagai peserta aktif red)*. Menurut narasumber, kemajemukan yang ada akan menjadi sumber konflik ketika dimanipulasi untuk kepentingankepentingan politik tertentu, tetapi akan menjadi perekat ketika dihargai sebagai hak-hak dasar yang dimiliki setiap manusia. (zul)
Kronik
could say it by themselves, face it, and manage it independently.
Ende The workshop in Ende, a town in East Nusa Tenggara was conducted on May 15-20 2001. It was followed by 24 participants of all regencies and second level regions of Flores. They were of various elements of NGO, universities, political parties, local government officials, college students, and business people. They were of the ethnic of Flores and Java, and from the religions of Islam, Protestant, Catholic, and Hindu. One part of this series of workshops was a seminar. This seminar was followed by 75 participants, and the sources were Dr. Th. Sumartana (Interfidei), Dr. Faruk (Lecturer at Linguistic Faculty -Gajah Mada University, Jogkarta), Dr. Mochtar Mas'oed (Lecturer at Social-Politic Faculty, Gajah Mada University, Jogjakarta), Dr. Dominong (Secretary of bishopric, Ende), and Dr. Darius Dubut (Lecturer at Theological Seminary-GKE in Banjarmasin). (One of the sources expected was the commander of the local District Military Command, but as the state of Jakarta and all regions were in first alert, he was not able to be the source of the seminar, but he did attend the first session as an active participant-ed.). According to the sources, the existing plurality will be a source of conflict when it is manipulated for certain political interests, but it will be a unifying power when appreciated as the basic rights owned by each and every human being. (zul)
******
****** Palangkaraya
Palangkaraya Semiloka di Palangkaraya, berlangsung pada tanggal 26 Juni sd. 1 Juli 2001. Peserta yang terlibat
The workshop in Palangkaraya was conducted on June 26 July 1 2001. The participants actively involved in this workshop were 24 people. The Edisi September 2001
5
interfidei newsletter
Kronik
aktif dalam lokakarya ini sebanyak 24 orang, dari hampir semua kabupaten yang ada di Kalimantan Tengah, kecuali Pangkalan Bun. Unsurunsur yang terlibat mirip dengan yang ada di Ende. Namun dari segi agama dan etnis, di sini lebih bervariasi. Dari segi etnis diwakili oleh etnis Dayak, Jawa dan Cina, sedangkan dari segi agama meliputi Islam, Hindu, Protestan, Katolik, dan Kaharingan. Seminar dihadiri oleh kurang lebih 80 orang. Narasumber yang membantu diskusi adalah Dr. Th. Sumartana (Interfidei), Dr. Machasin (IAIN-Sunan Kalijaga, Jogjakarta), Lubis (Komunitas Kaharingan-Palangkaraya), Dr. Arlina Latief (Psikologi UNHAS-Makassar) dan Prof. Dr. Ahmadi Isa (STAIN-Panglangkaraya). Salah satu point penting dalam pengelolaan konflik adalah terjadinya kolaborasi seluruh unsur yang ada dalam masyarakat. (goeng)
******
elements involved were like the ones in Ende. However, there was a slight difference : there were the ethnic of Dayak, Java, and China, while from the religion side there were Islam, Hindu, Protestant, Catholic, and Kaharingan. The seminar was attended by more and less 80 people. The sources assisting the discussions were Dr. Th. Sumartana (Interfidei), Dr. Machasin (Lecturer at State Islamic Institute, Sunan Kalijaga, Jogjakarta), …..Lubis (Kaharingan Community, Palangkaraya), Dr. Arlina Latief (Lecturer at postgraduate study, Hasannudin University, Makassar), and Prof. Dr. Ahmadi Isa (Lecturer at State High School of Islamic Study). One of the important points in conflict management to be the developing milestone of the society is the possibility of the occurrence of collaboration of all elements existing in the society. (goeng)
******
Papua Papua Di Papua, kegiatan yang sama berlangsung dari tanggal 7-12 Agustus di Biara Maranatha, Waena, Jayapura. Ada 10 orang peserta lokakarya, dengan latarbelakang etnis yang berbeda, yaitu : Jawa, Flores, Ambon dan Papua, dengan agama yang berbeda pula, yaitu : Islam, Protestan dan Katolik. Ada dari Departemen Agama, organisasi kepemudaan yang berbasis agama, serta dari gereja (Protestan dan Katolik). Tanggal 9 Agustus diadakan seminar sehari, dengan pembicara, masing-masing : Dr. Benny Giay (STT-Walter Post, Sentani-Jayapura), Dr. Yong Ohoitimur (Rektor UNIKA De la Sale-Manado), Dr. A. Munir Mulkhan (IAIN-Sunan Kalijaga, Jogjakarta), Drs. August Alua, M.A (Dosen STFT-Abepura), Dr. Samsu Rizal Panggabean, MSc. (FISIPOL-UGM, Jogjakarta), Dr. Th. Sumartana (Interfidei). Dr. Benny Giay, dalam pengantar diskusinya memperkenalkan sebuah proyek tentang Papua baru. papua yang independen dan merdeka dari
6
Edisi September 2001
In Papua, a similar activity was conducted from August 7-12 2001, in the convent of Maranatha, Waena, Jayapura. There were 10 participants of different ethnic : Javanese, Flores, Ambonese, and Papuan, with different religions as well : Islam, Protestant, and Catholic. There were few from the Department of Religion, religion-based youth organizations, and churches (catholic and protestant). In the seminar conducted on August 9 2001, the sources were : Dr. Benny Giay (Lecturer at Theological Seminary, Walter Post, Sentani-Jayapura), Dr. A. Munir Mulkhan (Lecturer at State Islamic InstituteSunan Kalijaga, Jogjakarta), Dr. Yong Ohoitimur (Head of Catholic University De la Sale, Manado), Dr. August Alua, M.A. (Lecturer at Philosophy High School, Abepura), Drs. Samsu Rizal Panggabean, M.Sc. (Lecturer at Social-Politics Faculty, Gajah Mada University, Jogjakarta), Dr, Th.Sumartana (Interfidei). Dr. Benny Giay, in his introduction, offered a project of a New Papua, the independent and free-of the spirits of militerism, the mentality of collusion,
interfidei newsletter
militerisme, dan mental kolusi, korupsi dan nepotisme. Papua yang bebas dari semangat eksploitasi dan merampok yang dibangun oleh budaya Indonesia. Apa yang dibutuhkan oleh Papua adalah bagaimana menghilangkan apa yang disebut memoria passionis (ingatan tentang penderitaan kolektif ) dari orang-orang Papua terhadap penindasan dan eksploitasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Pada kesempatan yang lain, Drs. August Alua, M.A. menekankan pada soal potensi konflik yang ada di masyarakat Papua. Bila tidak diantisipasi, maka akan mengakibatkan konflik terbuka. Konflik ini, baik yang sifatnya horizontal maupun vertikal, selalu bisa terjadi. Misalnya, konflik antara orangorang Papua yang ingin independen dengan orangorang Papua yang ingin berintegrasi dengan pemerintah Indonesia. (sam.)
Kronik
corruption, and nepotism Papua, as well as free of the spirits of exploiting and scraping others built by the culture of Indonesia. What is needed by the people of Papua is the cure for memoria passionis (a memory of collective suffering) of the people of Papua over the actions of repression and exploitation done by the government of Indonesia. In another occasion, Dr. August Alua, M.A. emphasized on the potentials of conflicts existing in the society of Papua. If not anticipated, an open conflict could be inflicted. These conflicts, either horizontally or vertically, could always happen, e.g. the conflict between the people of Papua who want to be independent with their fellow Papuans who are in favor of integration with the government of Indonesia. (sam)
******
****** Banjarmasin
Banjarmasin Kanwil Depag Kal-Sel bekerjasama dengan Forum Dialog Kalimantan Selatan melaksanakan kegiatan "Lokakarya Pengembangan Forum Kerukunan Pelajar dan Mahasiswa Antar Agama" pada tanggal 7-9 Agustus 2001, di hotel Biuti Banjarmasin. Lokakarya ini dihadiri oleh 27 peserta dari organisasi kepemudaan, lembaga keagamaan, perguruan tinggi yang ada di Banjarmasin, Remaja (masjid, gereja, pura, vihara serta klenteng). Tema kegiatan adalah "Pluralisme, Konflik dan Perdamaian". Narasumber pada acara ini adalah Bikkhu Sadaviro, Darius Dubut, Fadhly Mansoer dan Sauki Sam. Fasilitatornya adalah Noorhalis Majid, Darius Dubut dan Gazali Rahman. Harapan dari kegiatan ini adalah 1). Terbangunnya pemahaman nilai-nilai pluralisme dalam kehidupan bermasyarakat, 2). Terbangunnya kesadaran tentang konflik dan akar konflik yang terjadi, 3). Terbangunnya komunitas yang
The district office of Department of Religious Affair of South Kalimantan, collaborating with the Dialogue Forum of South Kalimantan conducted "Workshop on the Development of the Harmony of Inter-faith Students and College Students Forum" on August 7-9 2001, in Biutu Hotel, Banjarmasin. This workshop was attended by 27 participants of youth organizations, universities in Banjarmasin, as well as teens (of mosques, churches, shrines, Buddhist monasteries, and temples). The topic was "Pluralism, Conflict, and Peace". The sources were Bhikkhu Sadaviro, Darius Dubut, Fadhly Mansoer, and Sauki Sam. The facilitators were Noorhalis Majid, Darius Dubut, and Gazali Rahman. The expectations of this workshop were : ! The developing of the understanding of pluralistic values in the life of the society. ! The developing of awareness of conflicts and the roots of conflicts. ! The developing of a community that has the commitment to build the spirit of togetherness.(Gazali
Edisi September 2001
7
interfidei newsletter
Opini Mengapa Sulut Sulit Disulut? (Pengalaman Sulawesi Utara)
Why is North Sulawesi Hard to Ignite ? (An Experience with North Sulawesi)
Yong Ohoitimur, MSC
Yong Ohoitimur, MSC
Pada tanggal 20 Februari 2001, TVRI Program Nasional Jakarta menyiarkan dialog interaktif "Indonesia Baru" langsung dari Manado. Pertanyaan pokok yang didiskusikan adalah "mengapa masyarakat Sulawesi Utara (Sulut) bisa tetap hidup rukun sementara banyak daerah lain di tanah air masih terus didera kerusuhan berbau SARA?" Tema ini segera menarik perhatian karena dinilai mencerminkan inti dinamika masyarakat Sulut. Masyarakat Sulut bukannya tidak majemuk. Dari segi budaya, Sulut terdiri dari paling kurang lima etnik induk: Minahasa, Bolang-Mangondow, Sangihe, Talaud dan Gorontalo. Dari segi agama terdiri dari Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha dan Kong Hu Chu. Di samping itu sekarang ini Sulut kedatangan pengungsi dari Maluku Utara, Ambon dan Poso yang memuat berbagai macam etnis. Dalam situasi seperti itu, konflik horizontal dan kerusuhan yang bermuatan SARA belum (dan harap tidak!) menjadi pengalaman masyarakat Sulut. Memang ada pertikaian antarwarga masyarakat. Misalnya, pertikaian antarkampung di Dumoga, Kakas dan Tomohon, kaum buruh dengan aparat di Gorontalo, pertikaian antarpreman di Manado, perlakuan diskriminatif agama dalam perekrutan pegawai di instansi pemerintah. Namun semua itu tidak berkembang ke arah konflik yang bermuatan SARA. Apabila "kerukunan" dimengerti sebagai kehidupan bersama warga suatu masyarakat majemuk di mana perbedaan-perbedaan tidak menjadi alasan konflik horizontal dan bisa hidup bersama tanpa merasa terancam, maka harus diakui bahwa selama ini masyarakat Sulut memang menghidupi kerukunan. Terkenallah perkataan, "Sulut memang sulit disulut". Beberapa faktor boleh disebut sebagai tiang penyangga kerukunan tersebut. Pertama, kekuatan spiritual. Siapapun yang tinggal di Sulut akan segera merasakan betapa kehidupan masyarakat di sana sarat dengan kegiatan-kegiatan keagamaan. Bahkan, ketika kerusuhan melanda banyak daerah di tanah air, nyaring terdengar doa-doa agar dendam dan amarah padam dari hati mereka yang bertikai dan agar kerusuhan tersebut jangan sampai menjalar masuk ke daerah Sulut. Secara rohani bisa dikatakan bahwa doa-doa tersebut membersihkan hati umat beragama dan sekaligus menjadi daya perekat yang mempersatukan. Kedua, faktor budaya. Menurut pengamatan terbatas saya, salah satu kekuatan pokok kerukunan di Sulut terletak pada daya akomodatif dan inovatif masyarakat secara cultural. Kultur masyarakat
On February 20 2001, the National Program of TVRI Jakarta broadcast an interactive dialogue program, "Indonesia Baru", live from Manado. The main question discussed was " How could the people of North Sulawesi live in harmony while many other regions in our land are lashed by riots caused by ethnic, religions, and races ?" This theme attracts the attention at once for it is judged as reflecting the essence of the dynamics of the people of North Sulawesi. The society of North Sulawesi is not exactly homogeneous. From the cultural side, North Sulawesi consists of five main ethnic : Minahasa, BolangMangondow, Sangihe, Talaut, and Gorontalo. From the religion side, there are : Islam, Protestant, Catholic, Hindu, Buddhist, and Confucianism. Apart from that, at the moment there are many refugees of various ethnic coming to North Sulawesi from North Maluku, Ambon and Poso. In such situation, horizontal conflicts and riots caused by ethnic, religions, and races have not (and hopefully never !) been an experience of the people of North Sulawesi. Indeed, there are also fights among the members of the society. For example, the fights among the people of the kampongs of Dumoga, Kakas, and Tomohon, the fight between the labor and the officials in Gorontalo, the fight among the hoodlums in Manado, discriminative treatment of religion in the recruitment of employees in government institutions. Nevertheless, all of the cases do not develop toward conflicts of ethnic, religions, and races. If "harmony" is understood as a collective life of the members of a pluralistic society in which differences are not the reasons of horizontal conflicts and in which people could live together without feeling threatened, then it should be admitted than so far the society of North Sulawesi has really been living harmoniously. There is a saying "North Sulawesi is hard to ignite". A number of factors could be said as the supporting pillars of the harmony. First, the spiritual strength. Whoever lives in North Sulawesi will soon feel how the life of the society there is full of religious activities. Even, when riots overwhelmed a number of regions in our land, prayers could be heard loud that vengeance and anger be suppressed in the hearts of those fighting and that the riots not spread to the region of North Sulawesi. Spiritually it could be said that those prayers purified the hearts of religious people and be the power of unification. Second, the factor of culture. According to my limited observation, one of the main powers of the harmony in North Sulawesi lies in the accomodative and innovative powers of the society culturally. The
8
Edisi September 2001
interfidei newsletter Sulut, khususnya Minahasa, cukup terbuka terhadap nilai dan pengaruh dari luar. Dengan demikian suku dan agama manapun disambut dengan baik sehingga memungkinkan terjadinya pembauran masyarakat pendatang dan penduduk asli. Contohnya, saat tokoh-tokoh revolusioner Islam seperti Kyai Mojo dan kawan-kawannya diasingkan ke Minahasa agar mati punah keturanannya, orang Minahasa menyambut baik dan merelakan anakanak gadis dikawini sehingga mengahasilkan keturunan yang kini disebut "orang Jawa Tondano". Sifat akomodatif dan inovatif ini melahirkan semboyan: "Torang samua Basudara". Ketiga, pendidikan. Sejak jaman penjajahan Belanda, Sulut, khususnya Manado dan Tomohon terkenal sebagai salah satu pusat pendidikan di Indonesia Timur. Satu fakta yang agak mencolok, di Sulut jarang sekali terdengar adanya orang buta huruf. Rata-rata penduduk Sulut pernah belajar secara formal. Hal ini penting karena pendidikan yang baik bisa mengembangkan kekuatan rasional yang perlu untuk mengakui dan menghargai orang lain yang berbeda identitas. Semakin baik dan sehat pendidikan suatu masyarakat, semakin berkembang kehidupan demokratis di mana sentimen-sentimen primordial dapat dikontrol. Keempat, peranan pemerintah. Tak lama sesudah G30S 1965, pemerintah Sulut memprakarsai terbentuknya BKSAUA (Badan Kerjasama Antar Umat ber Agama), suatu lembaga yang mewadahi pertemuan pemuak-pemuka agama dan sering berperan sebagai fasilitator pemerintah untuk mengkoordinasi kebijakan umum bagi masyarakat. Memang pernah ada kritik bahwa badan ini menjadi perpanjangan tangan pemerintah belaka, namun perlu diakui bahwa badan ini menjadi wadah yang efektif untuk menyampaikan pesan-pesan perdamaian. Di samping itu Depag juga mengadakan kegiatan-kegiatan dialog lintas-agama dan pertemuan-pertemuan antarumat beragama. Kelima, dialog lintas-identitas. Suatu fakta yang harus diakui sebagai faktor perekat kerukunan di Sulut adalah banyaknya pengadaan dialog lintasidentitas dan pertemuan-pertemuan silahturahim dalam masyarakat. Di sana disampaikan pesanpesan perdamaian yang menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Keenam, solidaritas sosial. Saat menghadapi banjirnya pengungsi Timor-timur, Ambon, Maluku Utara, Poso ke Manado dan sekitarnya, masyarakat dan pemerintah secara spontan tergerak memberikan bantuan solidaritas. Rasa solidaritas ini juga diwujudkan saat daerah Minahasa terkena banjir pada awal Desember 2000, pada waktu daerah Sangihe mengalami bencana alam di bulan Februari 2001. Hal ini memperlihatkan semangat persaudaraan yang hidup dari masyarakat Sulut. Hal yang akan selalu menjadi tantangan di masa depan ialah, bagaimana kerukunan yang telah ada bisa dipertahankan dan dikembangkan menjadi
Opini culture of the society of North Sulawesi, especially in Minahasa, is quite open toward the values and influence from the outside. Thus, whatever ethnic and religion is welcomed nicely so that it makes the mixing between the new comers and the natives possible. For example, when the Islamic revolutionary figures such as Kyai Mojo and his friends were exiled to Minahasa to end their descendants, the people of Minahasa welcomed them warmly and even let their daughters marry them so that it results in the existence of "Tondano Javanese" now. This accomodative and innovative attitude delivered the motto "Torang Samua Basudara". Third, education. Since the colonization of the Dutch, North Sulawesi, especially Manado and Tomohon have been famous as center of education in the eastern part of Indonesia. One fact that is quite striking is that in North Sulawesi, people who are illiterate are very rare. The average people of North Sulawesi have studied formally. It is very important since good education could develop rational strength that is needed to admit and appreciate people of different identities. The better and the healthier the education of one society, the more developed the life of democracy in which the primordial sentiments could be controlled. Forth, the role of the government. Not long after G30S 1965, the local government of North Sulawesi initiated the founding of BKSAUA (The InterReligious Cooperation Institution), an institution coordinating the meetings of religious figures, and often playing a role as the government's facilitator to coordinate common policies for the society. Indeed, there was a criticism that this institution be merely a means of the government, but it needs to be acknowledged that it is an effective place to convey messages of peace. Besides, the department of religion also held activities of inter-faith dialogues and meetings among religious communities. Fifth, inter-identity dialogues. A fact to be acknowledged as a unifying factor of harmony in North Sulawesi is the number of the organized inter-identity dialogues and friendship meetings within the society. There the messages of peace that touch all levels of society are conveyed. Sixth, social solidarity. When facing the expansion of refugees from East Timor, Ambon, North Maluku, and Poso to Manado and the regions around it, the local people and government were moved to give solidarity aid. This solidarity also took form when there was flood in Minahasa at the beginning of December 2000, and when there was a natural disaster in Sangihe in February 2001. These show the spirit of brotherhood that lives among the people of North Sulawesi. One that will always be the challenge in the future is how to maintain and develop the existing harmony to a real brotherhood, while making the efforts
Edisi September 2001
9
Profil
interfidei newsletter
persaudaraan sejati, sambil berupaya mengeliminasi tindakan-tindakan kejahatan yang masih sering mengancam rasa aman masyarakat. Pertanyaan penting di sini adalah, sampai sejuahmana daya tahan kekuatan lokal masyarakat SULUT yang plural bisa bertahan dalam interaksi yang dinamis. Apakah dinamika pluralisme masyarakat SULUT mampu membangun dan mengembangkan wacana serta kesadaran kualitas yang kritis dan konstruktif?
to eliminate criminal acts that still threatens the peacefulness of the society. The important question here is how far the local resisting power of the pluralistic people of North Sulawesi could stand in such a dynamic interaction. Is their pluralistic dynamics able to build and develop the critical and constructive quality of discourse as well as awareness ?
Forum Komunikasi Antar Iman Isen Mulang
Inter-faith Communication Forum Isen Mulang
Forum Komunikasi Antar Iman Isen Mulang di Kalimantan Tengah didirikan pada tanggal 01 Juli 2001 di Palangkaraya. Forum ini merupakan salah satu wadah dialog antariman dan tidak bekerja atas kepentingan institusi atau dominasi agama tertentu, namun lebih merupakan forum yang mehargai warisan pemikiran keagamaan dan selalu menjunjung tinggi kepercayaan setiap agama dengan segala kemajemukannya. Forum ini juga tidak berpijak pada pandangan teologi tertentu, kecuali teologi yang bisa menerima dan tidak menolak hubungan dan teologi antariman. Forum ini juga merupakan upaya menjembatani misi agama-agama dalam relasinya dengan persoalan kemanusiaan yang dihadapi masyarakat Kalimantan Tengah. Forum ini dimaksudkan sebagai forum dimana gagasan keimanan tumbuh dalam diskursus, dinamika kemajemukan serta pengalaman kongkrit di masyarakat. Forum Komunikasi antar Iman Isen Mulang merupakan suatu rangkaian nama dari kata "komunikasi", "Iman" dan "Isen Mulang". Komunikasi mengartikan suatu kehendak untuk menjalin hubungan dan ungkapan dari kesediaan untuk saling mendenganr, menghormati dan terbuka. Melalui dialog-dalog yang dilakukan , diharapkan terangkat dasar-dasar kebersamaan untuk menyikapi persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat di Kalimantan Tengah. Namun demikian forum ini tidak akan menghapus perbedaan, tetapi menciptakan suasana yang kondusif bagi hubungan yang jujur, terbuka dan kritis terhadap orang lain dan terutama diri sendiri. Ia mengangkat konflik, yang inheren pada hubungan antar manusia, sekaligus menjanjikan suatu akhir yang lebih dewasa untuk menghadapi dan menyelesaikan konflik. "Iman", mengasumsikan suatu orientasi, keterbukaan serta komitmen yang sifatnya personal eksistensial terhadap kebenaran-kebenaran yang diwahyukan dalam agama-agama dan mewujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Iman adalah ungkapan otentik dari korelasi antar keyakinan dan realitas kehidupan yang bisa dibicarakan bersama dalam
Inter-faith Communication Forum Isen Mulang in Central Kalimantan was established on July 1 2001 in Palangkaraya. This forum is one of the umbrella organizations of inter-faith dialogues and it does not work on the interests or domination of a certain religion, rather it is a forum that appreciates the legacy of religious thoughts and always upholds the trust of every religion along with its all plurality. This forum also does not step on a certain theological point of view, except on the theology that could accept and does not refuse inter-faith relationships and theology. This forum is also an effort to connect the missions of religions in relation with humanity problems faced by the society of Central Kalimantan. This forum is meant as a forum where the idea of faith grows in discourses, pluralistic dynamics, and concrete experiences in the community. Inter-faith Communication Forum Isen Mulang is a series of name of the word "communication", "faith", and "isen mulang". Communication means a will to weave relationships and expressions of the willingness to listen, appreciate, and open to each other. Through the dialogues conducted, togetherness basis was expected to be raised in order to overcome the problems faced by the people in Central Kalimantan. However, this forum does not eliminate differences, rather it creates a conducive situation for an honest, open, and critical relationship toward others, and especially toward one's self. It raises conflicts, that are inherent toward relationships among human beings, as well as promises a more mature ending to face and overcome conflicts. "Faith" assumes an orientation, openness, and commitment that is personal and existential toward the truths revealed in religions and realizes them in daily life. Faith is the authentic expression of interfaith and life reality correlation that could be discussed in an open and independent situation. "Isen Mulang" is the motto of the people of Central Kalimantan. It means never give up. Thus,
10
Edisi September 2001
interfidei newsletter
Warnasari
suasana bebas dan terbuka. "Isen Mulang" adalah semboyan masyarakat Kalimantan Tengah. Artinya, pantang mundur. Maka forum ini menjadi daya dorong untuk memacu semangat dalam menghadapi dan menyelesaikan konflik. Semangat ini bersumber pada Tuhan sendiri. Adapun program kegiatan yang hendak dilakukan meliputi dua hal, yaitu program jangka pendek dan program jangka panjang. Program jangka pendek terdiri dari sosialisai kepada pemerintah daerah propinsi Kalimantan Tengah, kabupatenkabupaten dan kotamadya serta pada agama-agama dan lembaga kemasyarakatan yang ada di Kalimantan Tengah. Sedangkan program jangka panjang meliputi studi agama-agama (supaya orang mau belajar, mengenal agama dan kepercayaan orang lain), studi agama dan masyarakat (supaya orang melihat relevansi hidup beragama dengan kehidupan sehari-hari), diskusi dan seminar, lokakarya dan pelatihan, peneletian, penerbitan bulletin, pengembangan personel. Orang-orang yang terlibat dalam forum ini adalah Bambang Sakti,SH (ketua dan koord. Kodya Palangkaraya), Siti Salhah, HB (sekretaris), Drs. Abrary Pesel (Bendahara), Esly. E Jantan (koord. Kotim), Mibon Hendi (koord. Kapuas), Mirdayanto (koord. Barut) serta Marchony, Suhardi, Lipinus, Kisran Adiy, Yohanes M, Intan, Abdul Hafidz, Muliatie, Harnes, Arnin, Agus Patriadi, Regisman, Willo Friady dan Hiban (anggota). Sekretariat forum ini beralamatkan di Jln. Merpati No. 73 Palangka Raya Kalimantan Tengah 73112. Telp. (0536) 242576.
this forum is a motivation to enhance the spirit in facing and overcoming conflicts. The source of this spirit is God Himself. The programs conducted are classified as longterm and short-term programs. Short-term programs include socialization with the local governments of Central Kalimantan province, regencies, and secondlevel regions as well as religious and social institutions in Central Kalimantan. The long-term programs consist of religion studies (in order to make people willing to learn, and know the religions and faith of others), religion and society studies (in order to make people see the relevance of religious and daily lives), discussions and seminars, workshops and training, researches, bulletin issuance, and personnel development. The personnel involved in this organization are Bambang Sakti, SH (chief and coordinator of Palangkaraya region), Siti Salhah, HB (secretary), Drs. Abrary Pesel (treasurer), Esly E. Jantan (coord. of Kotim), Mibon Hendi (coord. of Kapuas), Mirdayanto (coord. of Barut), and Marchony, Suhardi, Lipinus, Kisran Adiy, Yohanes M., Intan, Abdul Hafidz, Muliatie, Harnes, Arnin, Agus Patriadi, Regisman, Willo Friady, and Hiban (members). The secretariat of this forum is at Jl. Merpati no.73 Palangkaraya, Kalimantan Tengah 73112. Telp. (0536)242576.
Mengenal Menumbuhkan Penghargaan
To know is to Appreciate
Rembug seorang guru pramuka. Salah satu muridnya, Rembag, selalu menyapa dia dengan baik, menghormati dia, bertanya beberapa hal tentang agamanya karena kebetulan mereka berbeda agama. Sebetulnya Rembug agak sungkan dengan agama Rembag. Bisa dikatakan anti. Namun kebaikan Rembag pada dirinya membuat Rembug bertanya-tanya, "Mengapa saya tidak mau mengenal agama dia, toh dia sudah begitu baik?" Pertanyaan itu selalu mengusik hatinya. Maka suatu kali ia memberanikan diri untuk menaruh perhatian pada agama Rembag dengan bertanya, sharing. Pokoknya dia juga pingin mengenal. Dalam pertemuan itu ia mulai melihat bahwa ajaran agama Rembag tidak kejam sebagaimana yang dibayangkan sebelum dia mengenalnya. Dari sanalah mulai tumbuh rasa penghargaan Rembug pada agama orang lain dan dia mulai bersahabat dengan orang-orang yang berbeda agama. Ketidakkenalan menumbuhkan prasangka buruk,
Rembug is a Boy Scout teacher. One of his students, Rembag, always greets him nicely, respects him, and asks a number of questions about his religion because they happen to have different religions. Actually Rembug is a little bit reluctant, even resistant to know Rembag's religion. However, Rembag's kindness to him makes him wonder "Why don't I want to know his religion, whereas he has been very nice ?" The question always bothers him. So, one day he musters up his courage to pay attention to Rembag's religion by asking, sharing. The point is that he wants to know. In his discovery, he starts seeing that Rembag's religion teachings are not as cruel as what he has imagined before he starts knowing about it. There, Rembug starts to grow a feeling of appreciation toward others' religions and he starts making friends with people of different religions. Not knowing brings prejudice, knowing causes Edisi September 2001
11
interfidei newsletter
Agenda pengenalan memungkinkan tumbuhnya penghargaan. Tentunya kita bukanlah orang yang takut menghargai orang lain. Maka marilah kita selalu mencoba mengenal mereka yang berbeda, agar pengharggaan itu tumbuh dalam diri dan masyarakat kita.
appreciation. Of course we are not people who are afraid to appreciate others. So, let's always try to know those who are different from us, so that appreciation lives in ourselves as well as in our society.
Zuly Qodir Got Married
Zuly Qodir Menikah Pada tanggal 8 Juli 2001, Zuly Qodir (salah satu staf Interfidei) meninggalkan masa lajangnya dan mempersunting Rofi (aktivis perempuan) di Jogjakarta. Semoga pernikahannya melahirkan anak-anak yang aktif menjadi pendamai, peduli terhadap bangsa dan bermental pluralis dan mampu menghargai perbedaan-perbedaan yang ada dalam masyarakat. Proficiat Zul+Rofi.
On July 8 2001, Zuly Qodir (one of the staffs of Interfidei), left his bachelorhood by his marriage to Rofi (gender activist, Jogjakarta). Hopefully their marriage would deliver active children who could be mediators, who care about our nation, and are able to appreciate the differences existing in the society. Congratulations, Zul+Rofi!
Agenda Interfidei
Interfidei's coming programs :
1. Publikasi. a. Buku :
Merajut Masa Depan Bersama l Pluralisme, Konflik dan Perdamaian. Perspektif Agama-Agama l Pemberdayaan untuk Resolusi Konflik (belajar dari komunitas masyarakat lokal) l Agama, Politik dan Negara b. Newsletter. Edisi khusus 10 tahun Interfidei, 10 Agustus 2001 2. Pertemuan Jaringan, bulan November 2001 di Malino, Makassar, Sulawesi Selatan (dalam kerjasama dengan Forum Dialog, Sulawesi Selatan) 3. Keterlibatan dalam Sidang ke-6 ACRP, 3-7 November 2001 (bekerjasama dengan kelompok-kelompok antar-iman seJogjakarta dalam sebuah kepanitiaan bersama, disebut Jogjakarta Organizing Committee) l
1. Publications. a. Books : l Weaving the Agenda of Common Future l Pluralisme, Conflict and Peace from Religious Perspectives l Empowering for Conflict Resolution (Learning from local communities) l Religion, Politic and State b. Newsletter : special edition for the 10th years of Interfidei, August 10, 2001. 2. Networks meeting held on November 2001 in Malino, Makassar, South Sulawesi (in cooperation with Dialogue Forum, South Sulawesi) 3. Involve in the 6th Assembly of Asian Conference on Religion and Peace (cooperation with all interfaith groups in Jogjakarta in a common Committee, called, Jogjakarta Organizing Committee), 3-7 November 2001.
Yayasan Dian/Interfidei Dian/Interfidei Foundation Ketua/Chairman: Eka Darmaputra, Ph.D., Wakil Ketua/Vice Chairman: Dr. Djohan Effendi, Daniel Dhakidae, PH.D., Sekretaris/Secretary: Dr. Th. Sumartana, Bendahara/treasure: Zulkifli Lubis, Pelaksana Harian/Executive: Dr. Th. Sumartana (Direktur);Elga Sarapung (Sekretaris Program); Zuli Qodir, Wayan Suweta (Diskusi/Seminar); Samuel A. Bless, Noegroho Agoeng, Haryandi, Sarnuji (Penerbitan/Dokumentasi/Perpustakaan); Zuli Qodir (Penelitian); Elga Sarapung (Pelatihan/Lokakarya); Elga Sarapung, Wiwin Siti Aminah (Studi Agama-agama); Eko Putro (Keuangan); Wiwin St. Aminah, Sarnuji, Supriyanto (Sekretaris Administrasi). Alamat/Address: Jl. Banteng Utama 59, Perum. Banteng Baru, Jogjakarta 55581, Indonesia. Ph./Fax. 0274-880149. E-mail:
[email protected]. No. Rek.: Th. Sumartana/Yayasan DIANInterfidei, Bank BNI. Cabang UGM, Capem. Pasar Kolombo, No. 601 034 001. Demi Pengembangan Newsletter ini, kami terbuka terhadap saran dan kritik anda. For the development of this Newsletter, we hope your suggestions and critics.
12
Edisi September 2001