○
○
○
○
Edisi Oktober, 2010 zzz 1
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Warta Konservasi Lahan Basah
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Warta Konservasi Lahan Basah (WKLB) diterbitkan atas kerjasama antara Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen. PHKA), Dephut dengan Wetlands International - Indonesia Programme (WI-IP), dalam rangka pengelolaan dan pelestarian sumberdaya lahan basah di Indonesia.
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Penerbitan Warta Konservasi Lahan Basah ini dimaksudkan untuk meningkatkan perhatian dan kesadaran masyarakat akan manfaat dan fungsi lahan basah, guna mendukung terwujudnya lahan basah lestari melalui pola-pola pengelolaan dan pemanfaatan yang bijaksana serta berkelanjutan, bagi kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang.
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Pendapat dan isi yang terdapat dalam WKLB adalah sematamata pendapat para penulis yang bersangkutan.
○
○
○
○
Ucapan Terima Kasih dan Undangan
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Secara khusus redaksi mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggitingginya kepada seluruh penulis yang telah berperan aktif dalam terselenggaranya majalah ini. Sumbangsih tulisan berharga tersebut, sangat mendukung bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan pelestarian lingkungan khususnya lahan basah di republik tercinta ini.
Foto sampul muka: Penyekatan parit di lahan gambut, Sumatera (Foto: I Nyoman N. S.)
Semua bahan-bahan tersebut termasuk kritik/saran dapat dikirimkan kepada: Triana - Divisi Publikasi dan Informasi Wetlands International - Indonesia Programme Jl. A. Yani No. 53 Bogor 16161, PO Box 254/BOO Bogor 16002 tel: (0251) 831-2189; fax./tel.: (0251) 832-5755 e-mail:
[email protected]
DEWAN REDAKSI:
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Kami juga mengundang pihak-pihak lain atau siapapun yang berminat untuk menyumbangkan bahan-bahan berupa artikel, hasil pengamatan, kliping, gambar dan foto, untuk dimuat pada majalah ini. Tulisan diharapkan sudah dalam bentuk soft copy, diketik dengan huruf Arial 10 spasi 1,5 dan hendaknya tidak lebih dari 2 halaman A4 (sudah berikut foto-foto).
○
○
○
○
2 zzz Wart a Konserv asi L ahan Basah arta Konservasi Lahan
Penasehat: Direktur Jenderal PHKA; Penanggung Jawab: Sekretaris Ditjen. PHKA dan Direktur Program WI-IP; Pemimpin Redaksi: I Nyoman N. Suryadiputra; Anggota Redaksi: Triana, Hutabarat, Juss Rustandi, Sofian Iskandar, dan Suwarno
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
○
○
Masih seputar pergambutan, edisi kali ini juga menyajikan gambaran tentang keseriusan pemerintah untuk menekan laju emisi gas rumah kaca, diantaranya dengan ditandatanganinya LoI antara pemerintah RI dengan pemerintah Kerajaan Norway dimana dalam dua tahun kedepan pemberian ijin pembukaan lahan gambut dan hutan alam dihentikan. Lalu bagaimana kaitannya dengan perkebunan sawit di lahan gambut? Simak beritanya pada kolom konservasi lahan basah, serta berita-berita lainnya pada kolom-kolom selanjutnya.
○
○
Untuk mencegah kerusakan yang lebih parah di kawasan HRGMK dan mengembalikan fungsi-fungsi ekologi serta ekonomi di dalamnya, maka diperlukan suatu strategi terpadu dan realistis dalam pengelolaannya. Sudah saatnya, pemulihan dan rehabilitasi ekosistem HRGMK menjadi prioritas para pengambil kebijakan sebelum semuanya hancur sama sekali dan menyisakan penyesalan.
○
○
Selamat bersua kembali para pembaca setia kami. Seperti biasa, Warta Konservasi Lahan Basah (WKLB) menyuguhkan beragam informasi seputar perlahanbasahan kuhsusnya di Indonesia. Fokus kali ini mengetengahkan profil kawasan Hutan Rawa Gambut Merang Kepayang (HRGMK) yang berada di Kab. Musi Banyuasin, Prop. Sumatera Selatan. Data menyebutkan HRGMK menyimpan sekitar 1,5 juta ha lahan gambut dari 7,2 juta ha lahan gambut yang terdapat di Sumatera. Hampir seluruh lahan gambut di Sumatera tersebut sudah tidak lagi berhutan. Lebih dari 500.000 ha dari hutan rawa gambut yang terdapat di Kab. OKI telah rusak dan dikonversi menjadi HTI (Hutan Tanaman Industri) ataupun perkebunan monokultur. Besarnya tekanan akibat penebangan hutan alam, alih guna lahan, serta kebakaran hutan dan lahan di wilayah Sumatera Selatan, telah menimbulkan keraguan besar apakah hutan rawa gambut alami masih dapat dijumpai di propinsi ini selain di HRGMK.
○
○
○
○
Dari Redaksi
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
○
○
Daftar Isi
○
○
○
○
○
○
○
Selamat membaca
○ ○ ○
4
○
Hutan Rawa Gambut Merang Kepayang (HRGMK), Banyuasin, Sumatera Selatan
○
Fokus Lahan Basah
○ ○ ○
6
○
Penurunan Gas Emisi GRK 26% vs Perluasan Perkebunan Kelapa Sawit
○
Konservasi Lahan Basah
○
○
Berita Kegiatan 8
Sebaran Ramin di Kalimantan dan Strategi Pelestariannya
10
○
○
○
○
○
○
○
KEMITRAAN Konservasi Burung Air Bermigrasi dan Pemanfaatan Habitat secara Berkelanjutan di Jalur Terbang Asia Timur-Australasia
○
16
○
Fenomena Gagang Bayam Bertelur di Pesisir Sumatera Utara
○
12
○
Penelitian Migrasi Burung dan Usaha Konservasi di Pantai Cemara, Jambi
○
○
○
Berita dari Lapang
Dokumentasi Perpustakaan
24
○
18
○
○
○
○
Jenis-jenis Tumbuhan yang Tersimpan di Kawasan Hutan MALINAU, Kalimantan Timur
○
○
○
Flora dan Fauna Lahan Basah
○ ○ ○
○
○
○
○
○
○
○
24
○
○
○
Edisi Oktober, 2010 zzz 3 ○
Eceng Gondok, gulma yang bisa menjadi sumber devisa? Sekaligus berperan penting dalam meredam perubahan iklim?
○
○
○
Tahukah Kita
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Hutan Rawa Gambut Merang Kepayang, Musi Banyuasin Sumatera Selatan
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Fokus Lahan Basah
K
awasan Hutan Rawa Gambut Merang Kepayang (HRGMK) berdasarkan penyebaran vegetasi hutan rawa gambutnya terletak antara 01o45’-02o03’ LS dan 103o51’-104o17’ BT. HRGMK merupakan bagian dari Hutan Produksi Lalan, yang secara administratif masuk dalam wilayah Desa Muara Merang dan Muara Medak, Kec. Bayung Lincir, Kab. Musi Banyuasin (MUBA), Prop. Sumatera Selatan. Kawasan HRGMK dialiri dua sungai utama yaitu Sungai Merang dan Sungai Kepahiyang, yang merupakan anak Sungai Lalan yang bermuara di Semenanjung Banyuasin. Sejumlah sungai di pesisir TN. Sembilang berhulu pada kawasan HRGMK. HRGMK juga berperan sebagai jalur pergerakan satwa (koridor) antara TN Berbak dan TN Sembilang.
KONDISI GAMBUT DI SUMATERA SELATAN Dari data yang tersedia menyebutkan kira-kira 7,2 juta ha lahan gambut masih terdapat di Sumatera, dimana sekitar 1,5 juta ha-nya berada di
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Oleh: Irwansyah Reza Lubis*
○
○
○
○
4 zzz Wart a Konserv asi L ahan Basah arta Konservasi Lahan
Sumatera Selatan. Namun demikian, hampir seluruh lahan gambut tersebut tidak lagi berhutan. Lebih dari 500.000 ha dari hutan rawa gambut yang terdapat di Kab. OKI telah rusak dan dikonversi menjadi HTI (Hutan Tanaman Industri) ataupun perkebunan dengan pola monokultur. Besarnya tekanan akibat kegiatan penebangan hutan alam, alih guna lahan, serta kebakaran hutan dan lahan di wilayah Sumatera Selatan, maka terdapat keraguan besar bahwa kawasan-kawasan hutan rawa gambut alami masih dapat dijumpai di propinsi ini selain di HRGMK.
FUNGSI DAN PERAN HRGMK HRGMK berperan penting sebagai habitat bagi satwa yang dilindungi dan terancam punah, seperti: Buaya senyulong (Tomonistoma schlegelii), Harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), Gajah (Elephas maximus), Beruang madu (Helarctos malayanus), Bangau storm (Ciconia stormii), dll. Selain itu, beberapa fauna langka dengan daya jelajah luas menggunakan HRGMK sebagai koridor pergerakkan antara TN. Berbak dan TN. Sembilang.
HRGMK juga dapat memberikan jasa lingkungan seperti penyimpan air tanah/ peredam banjir, penjaga iklim mikro, penyimpan karbon, dan penyedia sumber daya alam dan plasma nutfah bagi kesejahteraan manusia.
GANGGUAN DAN TEKANAN TERHADAP HRGMK Pada saat ini HRGMK mengalami degradasi dan tekanan cukup besar. Hal ini terutama dipicu oleh berbagai aktifitas manusia di dalamnya yang tidak memperhatikan aspek kelestarian dan keberlanjutan pemanfaatannya, seperti: pengambilan kayu oleh pemilik HPH yang tidak melakukan rehabilitasi (sejak awal tahun 80-an sampai 2001), menjamurnya penebangan liar (paska konsesi HPH sampai sekarang), konversi lahan menjadi perkebunan yang tidak memperhatikan aspek ekologi kawasan (beberapa perusahaan telah mengantongi izin untuk konversi kawasan), serta kebakaran hutan dan lahan di dalam kawasan. Dari berbagai macam tekanan di atas, apabila dibiarkan terus berlangsung akan menyebabkan hilangnya fungsi ekologis bahkan nilai ekonomis kawasan HRGMK.
Fokus Lahan Basah ○
○
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
STRATEGI PENGELOLAAN HRGMK
○
○
○
○
Terwujudnya peranserta multipihak dalam pengelolaan kawasan juga akan memberikan jaminan kelestarian kawasan. Sementara itu status HRGMK yang sebagian adalah Hutan Produksi, sebenarnya tidak tepat dengan ditemukannya kawasan gambut dengan kedalaman lebih dari 3 meter. Dimana sesuai dengan Keppres No. 32/1990 kawasan gambut lebih dari 3 meter wajib digolongkan sebagai kawasan lindung.
○
Terbatasnya modal menjadi pembatas berkembangnya produktivitas dan taraf hidup masyarakat sehingga mudah diperdaya pihak bermodal kuat. Lemahnya kelembagaan desa juga berpengaruh kepada tidak tersalurkannya aspirasi masyarakat dalam pembangunan desa. Minimnya pengetahuan teknis akan teknologi baru yang ramah lingkungan dan berkelanjutan dalam memanfaatkann sumberdaya alam juga menjadi kendala yang patut dipecahkan.
Penyekatan parit bersama masyarakat, upaya mencegah kekeringan lahan gambut (Photo: WI-IP)
○
Ketidakpastian masyarakat dalam menyikapi perubahan, ditunjang oleh tidak adanya organisasi dan kelembagaan pengelolaan sumberdaya alam yang baik di tingkat masyarakat, memicu terjadinya ekstraksi sumberdaya alam yang tidak terkendali.
○
○
○
○
○
○
○
○
Mengingat masalah-masalah yang timbul di kawasan HRGMK sangat kompleks dan melibatkan banyak pihak, maka diperlukan suatu strategi terpadu dan realistis dalam USAHA-USAHA YANG PERLU pengelolaannya agar langkah-langkah DAN TELAH DILAKUKAN kegiatan pembangunan yang diambil SELAMA INI memiliki suatu acuan. Pengelolaan Dalam mendukung pelestarian dan kawasan harus diawali dan dituangkan keberlanjutan pemanfaatan HRGMK, dalam suatu Rencana Tata Ruang banyak pihak telah melakukan (RTR), sedangkan penentuan zonasi berbagai kegiatan di dan sekitar ruang didasarkan kepada kondisi kawasan, seperti: pemberantasan ekologis dan sosial ekonomi dari lokasi penebangan liar, pembentukan tersebut. Dalam setiap zonasi akan rencana pengelolaan HRGMK ditetapkan batasan-batasan kegiatan sebagai kawasan perlindungan yang dapat dilakukan dan yang tidak khusus, melakukan penutupan parit/ dapat dilakukan. zz kanal. Selain itu telah pula dilakukan * Staff teknis WI-IP pola usaha pemberdayaan E-mail:
[email protected] masyarakat di desa-desa sekitarnya.
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
○
○
Edisi Oktober, 2010 zzz 5 ○
Kebakaran hutan gambut yang sering terjadi, menimbulkan kerugian dan ancaman yang sangat besar. Pemadaman kebakaran di hutan/ lahan gambut sangat sulit dilakukan, untuk itu usaha pencegahan merupakan langkah yang terbaik. Pencegahan yang paling efektif adalah menjaga agar hutan rawa gambut tetap basah sehingga tidak mudah terbakar, salah satu caranya dapat dilakukan dengan menutup parit-parit yang ada.
○
○
Di lokasi HRGMK, dijumpai paling tidak sekitar 113 kanal di sepanjang Sungai Merang, belum termasuk pada anak-anak sungai dan sungaisungai lain yang berada disekitarnya. Kanal-kanal uumnya dibuat oleh para penebang liar untuk membantu mengeluarkan kayu dari hutan rawa gambut. Selain mempengaruhi drainase, parit-parit tersebut menyebabkan banyak materi galian parit (seperti lumpur tanah mineral, serasah tanaman yang masih segar maupun gambut) masuk ke dalam sungai, termasuk unsur hara yang sebelumnya tersimpan dalam tanah gambut. Kondisi demikian menyebabkan terjadinya perubahan terhadap morphology (misal kedalaman) sungai maupun kualitas air sungai yang bersangkutan.
Selama kurang lebih 20 tahun masyarakat di sekitar HRGMK tidak terlibat dalam pengelolaan dan pemanfaatan kawasan secara langsung. Ketika daerah ini dikelola oleh perusahaan HPH, masyarakat hanya bisa menjadi penonton. Banyaknya perusahaan swasta di sekitar Desa Muara Merang, masih belum dirasakan manfaatnya oleh sebagian besar penduduk.
○
Kegiatan pembuatan parit/kanal baik secara legal maupun illegal, paling berpotensi meningkatkan laju degradasi fungsi gambut. Sistem pembuatan kanal menyebabkan terganggunya sistem hidrologi kawasan hutan dan lahan gambut, karena kanal-kanal yang dibangun menyebabkan air yang ada di lahan gambut secara cepat keluar dan daya tampung air tanah menjadi kecil. Akibatnya muka air di lahan gambut mengalami penurunan yang sangat drastis. Kondisi ini menyebabkan hutan dan lahan gambut pada musim kemarau menjadi kering dan sangat rentan terhadap bahaya kebakaran.
Kurangnya peranserta masyarakat setempat dalam pengelolaan kawasan
○
Keberadaan parit-parit liar
Konservasi Lahan Basah ○
○
○
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
○
○
○
○
○
○
○
○
Penurunan Emisi GRK 26% vs Perluasan Perkebunan Kelapa Sawit ○
○
○
Oleh :
U
ntuk meningkatkan perolehan devisa dan penciptaan lapangan kerja, Indonesia sebagai Negara berkembang, masih terus menerus memperluas areal perkebunan sawitnya (tidak saja berlokasi di tanah mineral tapi juga di lahan gambut). Meskipun dalam upaya pengembangan sawit (terutama yang dikembangkan di lahan gambut), Indonesia banyak menerima tekanan-tekanan dan kecaman dari berbagai LSM lingkungan (nasional maupun internasional) serta para pihak Negara pembeli (terutama di Eropa). Data resmi terbaru yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian pada tahun 2008 indonesia mempunyai luas kebun sawit seluas 7,363,847 ha dengan rincian Perkebunan Rakyat seluas 2.881.898 ha, Perkebunan Besar Negara seluas 602.963 ha dan Perkebunan Besar Swasta seluas 3.878.986 ha dengan jumlah produksi CPO sebesar 18,640,881 ton. Pada tahun 2010, Indonesia diprediksi akan mampu memproduksi CPO hingga 23,2 juta ton dan bahkan pada tahun 2020 akan ditargetkan sebesar 40 juta ton CPO. Konsekwensi dari adanya rencana peningkatan produksi CPO dari tahun ke tahun adalah akan semakin banyaknya lahan yang dibutuhkan untuk dijadikan perkebunan sawit. Pertanyaannya adalah: Dimana lokasi perkebunan sawit ini akan
dikembangkan ? apakah di lahan mineral ? atau di lahan gambut ?? Jawaban yang paling memungkinkan adalah di lahan gambut ! Mengapa di lahan gambut ? : “karena status kepemilikan dan perolehan lahan tidak serumit permasalahan di lahan mineral, selain itu lahan gambut hampir tidak berpenduduk sehingga hampir tidak perlu biaya ganti rugi untuk memindahkan mereka ke lokasi lain”. Sedangkan di tanah mineral selain memiliki peluang konflik yang tinggi dengan masyarakat, juga saat ini sudah sulit memperoleh lahan mineral yang cocok bagi tanaman sawit dalam jumlah besar. Namun demikian, issue utama pengembangan sawit di lahan gambut bukan hanya pada pengadaan lahannya, tapi juga dihadapkan pada berbagai kebijakan pemerintah, diantaranya adalah: (a) Keputusan Presiden (Keppres No. 32/1990; yang membatasi hanya gambut dengan ketebalan yang kurang dari 3 meter boleh dibuka. (b) Peraturan Menteri Pertanian /Permentan No 14/2009, yang menetapkan bahwa jika dalam suatu konsesi terdapat lahan gambut dengan ketebalan > 3 meter dengan luasan > 30% dari keseluruhan luas konsesi maka seluruh konsesi tersebut tidak boleh dibuka. (c) terkait Letter of Intent antara Pemerintah Indonesia
dengan Norwegia (disepakati tangal 26 May 2010)1, dimana dalam LoI ini dinyatakan bahwa Indonesia akan melakukan penundaan/suspension terhadap pemberian ijin baru bagi pembangunan di lahan gambut dan hutan alam untuk sekurangnya 2 tahun ke depan (2011-2012). Selain dibatasi oleh aspek kebijakan di atas, pembukaan lahan gambut untuk perkebunan sawit juga dibatasi oleh issue emisi GHG yang menyebabkan perubahan iklim global. Karena perkebunan sawit membutuhkan drainase air tanah gambut sekitar 60 – 80 cm, padahal dengan diturunkannya air tanah tersebut, materi gambut akan teroksidasi dan melepaskan gas rumah kaca CO2 dalam jumlah besar. Hasil penelitian oleh Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan (Sumatera Utara), pada tahun 20092 mendapatkan bahwa setiap ha perkebunan sawit di lahan gambut yang air tanahnya diturunkan sekitar 40 – 70 cm, akan mengemisikan 2545 t CO2/ha/year, bahkan jika air tanah diturunkan hingga 80 cm akan dapat mengemisikan CO2 sebesar 51 ton CO2/ha/tahun (atau sekitar
1 Letter of Intent between the Government of the Republic Indonesia and the Government of Kingdom of Norway on “Cooperation on reducing greenhouse gas emissions from deforestation and forest degradation” 2 Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan. 2009. CO2 Emission on Oil Palm Plantation: Field Observation. Paper presented during the INDONESIAN PALM OIL CONFERENCE AND PRICE OUTLOOK 2010. Bali International Convention Center - The Westin Resort, Nusa Dua, Bali 1 - 4 December 2009
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
I Nyoman N. Suryadiputra* dan Lili Muslihat**
○
○
○
○
6 zzz Wart a Konserv asi L ahan Basah arta Konservasi Lahan
Konservasi Lahan Basah
○ ○
Ketebalan gambut
(%)
Kalimantan Barat
1,729,980
694,340
< 3m 466,461
> 3m 227,879
40.14
Kalimantan Tengah
3,010,640
754,674
461,665
293,009
25.07
Kalimantan Timur
696,997
247,827
104,366
143,461
35.56
Kalimantan Selatan
331,629
65,453
27,939
37,514
19.74
5,769,246
1,762,294
1,060,431 701,863
30.55
○
Luas sawit di gambut (ha)
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Jika aspek kebijakan nasional (misal Keppres No 32/1990), seperti telah diuraikan di atas, diterapkan pada kondisi pengembangan perkebunan sawit
○
Dari tabel tersebut terlihat bahwa sekitar 30% (atau 1,76 juta ha) dari luas total lahan gambut (5,77 juta ha) di Kalimantan telah dan atau sedang ditanami kelapa sawit. Sekitar 40% (702 ribu ha) dari sawit yang ditanam di Kalimantan berlokasi di lahan gambut dengan ketebalan > 3 meter, sedangkan sisanya 60% (1,06 juta ha) berada di lahan gambut dengan ketebalan < 3 m. Sedangkan dari persebarannya, ternyata Kalimantan Tengah memiliki luas perkebunan sawit terbesar (754,674 ha), lalu diikuti Kalimantan Barat (694,340 ha), Kalimantan Timur (247,827 ha) dan Kalimantan Selatan (65,453 ha).
○
Dari hasil kajian tersebut diperoleh informasi seperti tercantum pada Tabel 1 di atas.
di Kalimantan (seperti tertera pada Tabel di atas) maka sekitar 40% (702 ribu ha) keberadaan sawit tersebut telah menyimpang dari kebijakan yang berlaku. Angka penyimpangan ini diduga akan menjadi lebih besar jika Permentan No 14/2009 yang menjadi acuan. Jika semua perkebunan sawit yang terdapat di lahan gambut Kalimantan (seluas 1,76 juta ha) melakukan drainase air tanah sedalam 70 cm dan emisi CO2 adalah 45 ton CO2/ha/tahun (mengacu data PPKS 2009), maka kegiatan ini berpotensi mengemisikan sekitar 79,303,230 ton CO2/tahun atau sekitar 790 juta tons CO2 pada tahun 2020 (angka ini akan menjadi lebih besar lagi, jika semua emisi GHG dari perkebunan sawit yang terdapat di lahan gambut seluruh Indonesia diperhitungkan). Kondisi ini akan menjadi tantangan besar bagi upaya Pemerintah RI, karena di sisi lain telah menyepakati penurunan emisi GHG sebesar 26% (atau sekitar 770 juta ton CO2 pada tahun 2020; Agus Sari, 2010 in http://iklimkarbon.com/ 2010/02/24/komitmen-penurunanemisi-indonesia-2020%E2%80%A826-%E2%80%93-41-di-bawah-bau/) seperti yang telah diumumkan pada pertemuan G20 di Pittsburgh US, juga pada pertemuan UNFCCCCoP 15 di Copenhagen in 2009.
○
kajian terhadap sebaran dan luas perkebunan kelapa sawit di masing-masing propinsi yang terdapat di Kalimantan. Hasil kajian ini kemudian di ‘overlay’ pada atlas sebaran gambut Kalimantan yang telah diterbitkan oleh WIIP pada tahun 20043.
○
○
○
(Sumber: Wetlands International - Indonesia Programme 2010, belum di publikasikan. Catatan: data di atas tidak memasukkan lokasi sawit di tanah mineral)
○
○
Jumlah
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Luas Gambut (ha)
○
○
○
Baru-baru ini, Wetlands International – Indonesia Programme telah melakukan suatu
Provinsi
○
SEBARAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI LAHAN GAMBUT KALIMANTAN
Tabel 1. Sebaran dan luas perkebunan sawit yang terdapat di lahan gambut Kalimantan
○
14 gr CO2/m2/hari). Semakin dalam air tanah gambut di drainase, semakin besar tingkat emisi CO2-nya. Issue ini cenderung semakin kompleks ketika berbagai jenis vegetasi di atas lahan gambut harus ditebang digantikan dengan sawit. Karena hal demikian, akan menyebabkan hilangnya habitat berbagai satwa liar termasuk berbagai jenis tanaman yang ada di atasnya. Selain itu, kelompok kerja gas rumah kaca/GHG-WG dari RSPO sementara ini mengusulkan (belum disepakati) bahwa nilai stok karbon pada lahan yang akan dibuka untuk perkebunan kelapa sawit tidak boleh melampaui 35 ton carbon/ha (nilai ini setara dengan kandungan karbon di lahan gambut setebal 13 cm seluas 1 ha). Nilai ini belum/tidak memperoleh kesepakatan oleh para pengusaha sawit/planters, karena jika diterapkan, selain akan menimbulkan antagonism kebijakan di tingkat nasional/ Indonesia (dimana larangan pembukaan sawit pada gambut dengan ketebalan > 3m) Vs internasional (misal RSPO, dimana diusulkan dibatasi pada lahan gambut dengan < 35 ton C atau ketebalan gambut < 13 cm) dan tentunya akan membingungkan para pengusaha. Tapi bagaimanapun juga, jika produk CPO akan dijual ke pasaran Internasional, terutama Eropa, maka pihak pengusaha sawit akan dihadapkan pada kebijakan yang berlaku di tingkat Internasional.
○
○
○
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Wahyunto, S. Ritung dan H. Subagjo (2004). Peta Sebaran Lahan Gambut, Luas dan Kandungan Karbon di Kalimantan / Map of Peatland Distribution Area and Carbon Content in Kalimantan, 2000 – 2002. Wetlands International - Indonesia Programme & Wildlife Habitat Canada (WHC).
○
○
○
○
.....bersambung ke hal 14
○
○
○
○
3
○
○
○
○
Edisi Oktober, 2010 zzz 7
Berita Kegiatan ○
○
○
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
KEMITRAAN Konservasi Burung Air Bermigrasi dan Pemanfaatan Habitatnya secara Berkelanjutan di Jalur Terbang Asia Timur - Australasia
KEMITRAAN JALUR TERBANG ASIA TIMUR AUSTRALASIA (JTATA)
D
iluncurkan pada bulan November 2006. Kemitraan JTATA ini merupakan inisiatif informal dan sukarela dari para Mitra yang ditujukan untuk melestarikan burung air migran, habitatnya dan kehidupan masyarakat sekitarnya. Saat ini tercatat 22 mitra yang meliputi 10 negara, 3 lembaga antar-pemerintah, dan 9 organisasi internasional non pemerintah. Kemitraan menyediakan kerangka kerja bagi kerjasama internasional, mencakup:
LATAR BELAKANG JTATA adalah satu dari delapan jalur terbang burung air migran utama di bumi. Jalur terbang ini membentang dari Russia timur jauh dan Alaska ke arah selatan melalui Asia Timur dan Asia Tenggara hingga Australia dan New Zealand, melewati 22 negara. Burung air migran membagi jalur terbang mereka dengan 45% populasi penduduk dunia. Kawasan ini dihuni oleh sedikitnya 50 juta burung air migran termasuk Burung Pantai, Anatidae (bebek, angsa, itik) dan Burung Jenjang (cranes) - dari 250 jenis berbeda, dimana 28 jenis diantaranya terancam secara global.
PERTEMUAN MITRA Pertemuan Flyway (Meeting of the Parties/ MoP) merupakan forum pertemuan tahunan yang dilaksanakan guna membahas berbagai persoalan konservasi burung air migran dan pemanfaatan habitatnya secara berkelanjutan. Pertemuan pertama sekaligus peresmian Kemitraan ini dilaksanakan di Bogor (November 2006).
• Mengembangkan Jaringan Kerja
Jalur Terbang dari lokasi yang memiliki kepentingan internasional bagi pelestarian burung air migran.
• Kegiatan kolaborasi untuk
meningkatkan pengetahuan dan membangun kepedulian terhadap burung air migran di sepanjang jalur terbang.
Saat ini terdapat 700 lokasi yang secara internasional penting bagi burung air migran di sepanjang jalur terbangnya, sebagian besar lokasi tersebut berdampingan dengan pemukiman penduduk dan sangat rawan terhadap tekanan laju pembangunan sosial dan ekonomi.
Wakil Mitra pada Pertemuan Mitra ke-4, Pebruari 2010. © 2010 Partnership for EAAF.
kapasitas dalam pengelolaan berkelanjutan dan konservasi habitat burung air migran sepanjang jalur terbang.
○ ○ ○ ○ ○ ○
○
○
8 zzz Wart a Konserv asi L ahan Basah arta Konservasi Lahan ○
JARINGAN KERJA LOKASI JALUR TERBANG
• Membangun
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Oleh : Tim Kemitraan JTATA
Lokasi Penting Burung Air (biru) dan Lokasi Jaringan Kerja Kemitraan (merah) pada EAAF. Ilustrasi: Maki Koyama © 2008 Partnership for EAAF.
Jumlah lokasi yang telah ditetapkan/ dinominasikan sebagai Jaringan Kerja Lokasi Jalur Terbang wilayah Asia Timur-Australasia (East AsianAustralasian Flyway Site Network) hingga saat ini tercatat sebanyak 98 lokasi dimana untuk Indonesia hanya memiliki satu lokasi, yaitu TN Wasur.
Berita Kegiatan ○
○
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
○
○
○
○
12. International Crane Foundation (2006)
○
○
13. Wetlands International (2006)
○
○
14. WWF (2006)
○
○
15. IUCN (2006)
○
16. BirdLife International (2006)
○
Pada tahun-tahun mendatang diharapkan masing-masing mitra dapat menominasikan lebih banyak lokasi sehingga seluruh tempat-tempat penting yang memiliki nilai penting bagi perlindungan burung migran dapat diselamatkan.
○ ○ ○
○
○
○
○
○
19. People's Republic of China (2008)
○
Mallards in flight. @ 2006 Available Light Images
○
BURUNG AIR BERMIGRASI
11. Kelompok Studi Australasian Wader (Australasian Wader Studies Group) (2006)
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
10. Sekretariat Konvensi Ramsar (2006)
○
9. Convention on Migratory Species Sec. (2006)
○
8. Amerika Serikat (2006)
8. Penyadartahuan mengenai pelestarian Kegiatan-kegiatan yang telah burung air untuk dilakukan oleh para anggota mitra di masyarakat Indonesia, antara lain: khususnya pelajar 1. Lokakarya Nasional Konservasi 9. Pembuatan materiBurung-Pantai Migran (13-14 materi publikasi Oktober 2003) tentang burung 2. Pelatihan Survey Burung-Pantai air. zz di JAWA (Maret-April 2005) dan SUMATRA (April 2006)
○
7. Singapura (2006)
○
4. Filipina (2006)
○
3. Jepang (2006)
Edisi Oktober, 2010 zzz 9 ○
2. Indonesia (2006)
○
1. Australia (2006)
○
Mitra saat ini:
○
Kemitraan Jalur Terbang Asia TimurAustralasia terdiri dari unsur pemerintah, organisasi internasional non-pemerintah (NGOs) dan organisasi antar-pemeritnah yang mengakui isi text dan mendukung tujuan dan aksi kemitraan. Keanggotaannya terus terbuka termasuk bagi penggiat sektor bisnis internasional.
○
KEGIATAN
MITRA
○
6. Rusia (2006)
Anatidae (Bebek-bebekan) Avian Inluenza Burung Jenjang (Cranes) Burung Laut (Sea bird) Burung Pantai (Shore bird)
○
5. Korea Selatan (2006)
Burung air migran didefinisikan sebagai burung migran yang secara ekologis tergantung pada lahan basah. Dalam kemitraan ini, burung Black-necked Crane in Flight. air migran mencakup populasi @ 2007 Available Light Images Burung Pantai, Anatidae (bebek, angsa dan itik), Burung Jenjang (cranes) dan Burung Laut (contoh: 3. Lokakarya Pengembangan Divers, Cormorants, Gulls, Kemitraan Nasional Pengelolaan Shearwaters, Auks) serta beberapa Burung Air Bermigrasi dan kelompok lainnya yang secara teratur Habitatnya secara Berkelanjutan siklusnya dan dapat diprediksi (13-14 Mei 2008) menyeberangi satu atau lebih 4. Asian Waterbird Census in perbatasan jurisdiksi nasional. Indonesia (AWC) Selama melakukan migrasi, burung (sejak 1987 hingga saat ini) air sangat bergantung pada habitat 5. Penandaan burung air migran/ lahan basah untuk beristirahat, pantai (sejak tahun 2006) makan dan mengumpulkan enerji untuk melanjutkan perjalanannya. 6. Monitoring Burung Pantai Oleh karena itu, kerjasama Indonesia (MoBuPI) internasional sepanjang jalur migrasi (sejak 2007 s/d sekarang) mereka sangat penting, untuk melestarikan dan melindungi burung 7. Dukungan terhadap Komnas Penanganan Flu Burung terkait air migran dan habitat dimana hubungan antara Flu Burung mereka sangat bergantung. dengan Burung Liar (2008)
• • • • •
○
○
Kelompok Kerja memberikan arahan dan dukungan dalam implementasi Kemitraan Jalur Terbang. Tiap kelompok kerja mempunyai Ketua yang ditunjuk oleh anggota kelompok kerja. Terdapat lima kelompok kerja:
18. Royal Government of Cambodia (2007)
○
KELOMPOK KERJA
○
○
○
17. Wild Bird Society of Japan (2007)
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
○
○
○
Berita Kegiatan
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Sebaran RAMIN di Kalimantan dan Strategi Pelestariannya
MENGENAL RAMIN LEBIH DEKAT
S
ecara taksonomi, ramin merupakan anggota dari genus Gonystylus, Family Thymeliaceae. Dalam dunia perdagangan kayu internasional, kayu ramin merupakan salah satu komoditas primadona dengan julukan “an attractive, high class utility hardwood” karena memiliki tekstur sangat halus dan memiliki kualitas yang tinggi. Jenis-jenis pohon yang termasuk kedalam genus Gonystylus mencapai 30 jenis, dimana salah satunya adalah Gonystylus bancanus Kurz. yang habitat alaminya di Hutan Rawa Gambut (HRG). Dalam artikel ini, ramin mengacu pada jenis ini, yaitu Gonystylus bancanus Kurz. Di Indonesia, tegakan ramin dapat dijumpai di lima propinsi yaitu Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat. Dalam habitat alaminya di Hutan Rawa Gambut, pohon ramin mampu mencapai tinggi 50 m dengan diameter hingga 120 cm. Pohon dewasa memiliki batang berbentuk silindris, lurus, dan tidak berbanir. Semenjak diberlakukannya sistem HPH (Hak Pengusahaan Hutan) di Indonesia, populasi tegakan ramin di alam menurun tajam akibat over eksploitasi hingga mencapai batas yang sangat menguatirkan. Kondisi ini telah mengundang
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Oleh : Iwan Tri Cahyo Wibisono*
○
○
○
○
10 zzz Wart a Konserv asi L ahan Basah arta Konservasi Lahan
perhatian berbagai kalangan untuk berusaha menyelamatkan dan melestarikan jenis ini. Pada tahun 2001, CITES memasukkan kayu ramin ke dalam appendix III, yang kemudian diikuti oleh pemerintah Indonesia dengan mengeluarkan Kepmenhut No.127 tahun 2001 yang melarang penebangan pohon ramin. Pada tahun 2004, IUCN kemudian menaikkan statusnya ke dalam appendix II. Saat ini, berbagai upaya sedang ditempuh oleh berbagai pihak untuk menyelamatkan dan melestarikan jenis ini. POTENSI DAN SEBARAN RAMIN DI KALIMANTAN Di Propinsi Kalimantan Tengah, tegakan ramin dapat dijumpai di Taman Nasional Tanjung Puting, DAS Sebangau dan DAS Mentaya. Sementara di Propinsi Kalimantan Barat, tegakan ramin Ramin dapat dijumpai di Kabupaten Sambas, Cagar Alam Mandor, Cagar Alam Muasra Kaman, Taman Buru Gunung Nyiut, Suaka Margasatwa Pleihari Martapura, Taman Nasional Danau Sentarum dan Taman Nasional Gunung Palung serta sekitarnya. Terdapat kemungkinan bahwa jenis pohon ini dapat ditemukan di beberapa daerah lahan basah lainnya (Forest Watch Indonesia.
Tim Studi Perdagangan Domestik dan Internasional Kayu Ramin FWI (2002) memperkirakan bahwa tegakan ramin (standing stock) di Propinsi Kalimantan Tengah sekitar 23.11 juta m3. Dari volume tersebut, 8.9 juta m3 berada di Hutan Rawa Primer dan 14.21 juta m3 di Hutan Rawa Sekunder. Berdasarkan analisis dari data potensi tahun 2002-2004, tim terpadu studi ramin ITTO-Dephut menyimpulkan bahwa potensi kayu ramin di hutan sekunder jauh lebih besar dibandingkan hutan primer. Di Kalimantan Barat, diperkirakan total volume ramin yang tersisa sekitar 3.879.966 m3, dimana 3.362.659 m3 berada di hutan sekunder dan 517.306 m3 berada di hutan primer. Sementara di Kalimantan Tengah, total volume ramin yang ada diperkirakan mencapai 7.128.312 m3, dimana 6.623.833 m3 berada di HRG sekunder dan 504.974 m3 berada di HRG primer. Lebih lanjut dalam analisisnya, tim melakukan kajian terhadap potensi tegakan ramin pada enam kawasan konservasi di Indonesia, termasuk di Kalimantan Tengah dan Barat. Asumsi yang digunakan dalam analsis ini adalah bahwa 80% kawasan konservasi memiliki tegakan ramin, dimana 10% nya telah di tebang secara illegal. Hasil dari kajian ini terangkum dalam tabel 1 berikut ini.
Berita Kegiatan
Luas
Potensi (individu)
Volume(m3)
Kalimantan Tengah
Tanjung Puting NP Sebangau NP Nyaru Menteng Arboretum
414,000 589,000 65
697,505 510,892 57
624,804 373,287 41
Kalimantan Barat
Mandor Nature Reserve Muara Kendawangan Nature Reserve Danau Sentarum
3,080 150,000 80,000
10,491 510,948 272,506
16,757 816,100 434,253
○ ○
Areal Konservasi
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
○
.....bersambung ke hal 23
○
○
○
Tujuan utama dari restorasi adalah memulihkan kondisi hutan rawa gambut sehingga mampu manjalankan fungsi ekologisnya secara optimal. Restorasi hidrologi melalui penutupan kanal dapat dilakukan untuk mengatasi hutan/ lahan gambut yang sistem hidrologinya mengalami kerusakan. Di areal eks PLG (Kalimantan Tengah), WI-IP melalui proyek CCFPI dan CKPP telah melakukan penutupan kanal di 18 titik. Berdasarkan pengamatan lapangan, langkah ini secara signifikan mampu mengurangi resiko kebakaran dan mempercepat laju suksesi dan regenerasi alami terutama disepanjang kanal yang ditutup.
○
Langkah lain yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah dengan memberikan kemudahan, kesempatan atau bahkan insentif
C. Restorasi hutan rawa gambut
○
Dalam melestarikan ramin, langkah terpenting yang harus segera dilakukan adalah melindungi dan mengamankan Hutan Rawa Gambut yang merupakan habitat alami ramin. Pemantapan kawasan merupakan langkah awal mendasar yang harus dilakukan oleh pemerintah misalnya pemberian status kawasan lindung terhadap Hutan Rawa Gambut. Sebaliknya, pemerintah harus menghentikan pemberian ijin HPH, HTI dan Perkebunan di lahan gambut. Dengan langkah ini, secara status kawasan, hutan rawa gambut akan aman dari intervensi kegiatan komersial.
Edisi Oktober, 2010 zzz 11 ○
B. Perlindungan dan pengamanan habitat ramin
Namun demikian, langkah di atas tidak serta merta menyelesaikan permasalahan di lapangan. Langkah konkret perlindungan dan pengamanan di tingkat lapangan harus dilakukan antara lain program pencegahan dan pengendalian kebakaran, pemberantasan illegal logging, monitoring kawasan dll.
○
Pelestarian jenis ramin sebaiknya dilakukan dengan pendekatan yang tepat dan intergal. Perlu juga dipahami bahwa melestarikan ramin tidak hanya terfokus pada kayu ramin saja, melainkan juga harus melihat habitat secara ekologis. Tanpa langkah demikian, maka upaya pelestarian ramin akan berjalan tidak efektif dan sia-sia. Di bawah ini adalah beberapa langkah yang direkomendasikan dalam rangka melestarikan jenis ramin.
Langkah mendesak yang harus dilakukan saat ini adalah dengan melindungi tegakan sisa ramin yang saat ini masih ada di lapangan. Lebih jauh lagi, tegakan sisa ini harus dibina dan dipelihara sehingga dapat dimanfaatkan untuk keperluan rehabilitasi misalnya sebagai pohon induk, sumber anakan alam, sumber bahan kultur jaringan dan lain-lain.
bagi para pihak yang ingin mengelola lahan gambut dengan skema Restorasi Ekosistem (RE). Melalui skema pengelolaan ini maka HRG yang mengalami telah terdegradasi diharapkan dapat dipulihkan kembali sehingga mampu menjalankan fungsi dan manfaatnya secara optimal.
○
STRATEGI PELESTARIAN JENIS RAMIN
A. Mempertahankan dan memelihara tegakan ramin yang tersisa
○
Di Desa Lahei (Kec. Mentangai, Kab. Kapuas, Kalimantan Tengah), terdapat suatu kawasan seluas 200 hektar yang memiliki potensi ramin tinggi yaitu 24.9 individu/hektar. Sesuai dengan permohonan desa, lokasi ini ditunjuk sebagai kawasan konservasi Hutan Ramin pada tahun 2003 berdasarkan SK Bupati Kapuas No. 705/2003. Selain itu, kawasan ini juga telah mendapatkan sertifikasi sebagai sumber benih tanaman hutan ramin dengan klasifikasi tegakan benih teridentifikasi dari BPTH Kalimantan Selatan Nomor: 021/ V-BPTH.KAL-2/SFTK/2004.
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Propinsi
○
○
Tabel 1. Estimasi potensi ramin di kawasan konservasi di Propinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat
○
○
○
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
○
○
○
Berita dari Lapang
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Penelitian Migrasi Burung & Usaha Konservasi di Pantai Cemara, Jambi
P
antai Cemara, Jambi yang berlokasi di Pantai Timur Jambi memiliki keunikan tersendiri. Pasang surut air yang tidak sama setiap harinya membentuk pola dataran pasir berlumpur yang berbeda setiap hari, tidak seperti pantai lain pada umumnya. Tidak hanya itu, setiap tahunnya, burung pantai migran yang bermigrasi sepanjang Jalur Asia Timur Australasia (dari Artik/Asia timur barat hingga Australia) menggunakan pantai ini sebagai salah satu tujuan migrasi. Selama musim migrasi ini, ribuan burung pantai datang ke Pantai Cemara untuk beristirahat dan mencari makan. Alasan inilah, semenjak tahun 1986, Pantai Cemara merupakan salah satu lokasi yang sering dikunjungi para peneliti asing mengenai burung. Tidak hanya burung, hewan lain yang ada di lokasi ini juga menarik, dari jenis serangga hingga mamalia – sebagai contoh, WCS menemukan jejak dari Harimau, Panthera tigris Sumatranae di lokasi ini pada tahun 2009. Wildlife Conservation Society (WCS) mulai datang ke Pantai Cemara tahun 2007 untuk tujuan penelitian mengenai virus flu burung sebagai salah satu cara deteksi dini keberadaan virus tersebut. Selain penelitian mengenai flu burung, WCS juga berpartisipasi dalam studi mengenai migrasi burung pantai secara international dengan melakukan penandaan berupa bendera warna dan cincin pada burung yang tertangkap dan melepaskannya kembali ke alam.
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Oleh : Fransisca Noni*
○
○
○
○
12 zzz Wart a Konserv asi L ahan Basah arta Konservasi Lahan
Adapun bendera warna yang dipasang di Sumatra berwarna orange dan hitam. Pemberian warna dari bendera ini berdasarkan kesepakatan AWSG (Austaralasian Waders Study Group) dan Wetland Oceania, sedangkan cincin yang digunakan bekerjasama dengan LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dan Lab ornithology, Universitas St. Petersburg, Rusia. Penandaan ini berguna bagi para pengamat burung dalam melaporkan dan membagi informasi data, serta mempelajari jalur migrasi dari burung pantai. Penelitian WCS berfokus pada burung air, namun juga menangkap dan memberikan cincin pada burung paserin. Terhitung dari tahun 2007 hingga 2010, jumlah jenis burung yang tertangkap sekitar 3000-an individu dari 65 jenis burung. Diantaranya terdapat 11 jenis burung pantai, dara laut dan paserin yang dilindungi oleh Undang-undang di Indonesia dan 5 jenis burung pantai dan paserin yang dilindungi berdasarkan IUCN.
BURUNG TERANCAM PUNAH Banyak hal yang membuat burungburung di Indonesia menjadi terancam. Penurunan kualitas, modifikasi, hilangnya habitat dan perdagangan dari jenis burung endemik dan migrasi merupakan ancaman serius bagi jenis-jenis burung (Shannaz, J., P. Jepson dan
Rudyanto, 1995). Peraturan perundangan RI, diantaranya PP. No. 7 tahun 1999, mengatur tentang perlindungan suatu jenis hewan dan tumbuhan yang memiliki populasi dalam jumlah kecil, adanya penurunan tajam pada jumlah individu di alam serta distribusi wilayah terbatas (endemik). Status perlindungan bisa berbeda dengan status yang diberikan secara internasional. Secara international, IUCN menggunakan beberapa kriteria untuk menerangkan status dari suatu jenis di alam liar: Punah Extinct (EX), jika tidak ada keraguan lagi bahwa individu terakhir telah mati; Punah di alam Extinct in the wild (EW), jika dengan pasti diketahui bahwa jenis tersebut hanya hidup di penangkaran atau hidup kembali di luar sebaran aslinya; Kritis Critically Endangered (CR), jika jenis tersebut menghadapi resiko kepunahan sangat tinggi di alam; Rentan Vulnerable (VU), jika jenis tersebut tidak termasuk dalam kategori krisis atau genting tetapi menghadapi resiko kepunahan tinggi di alam; Genting Endangered (EN), jika jenis tersebut tidak termasuk dalam kategori krisis dan menghadapi resiko kepunahan sangat tinggi di alam dalam waktu dekat; Hampir terancam Near Threatened (NT), jika taxon yang mungkin berada dalam keadaan terancam dengan kepunahan cukup mendekati, meski tidak masuk ke dalam status terancam; Resiko rendah Least Concern (LC), jika suatu jenis yang telah dievaluasi dan tidak masuk ke dalam kategori
Berita dari Lapang
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
○
○
○
.....bersambung ke hal 22
○
○
○
Cerek mua-putih (Foto: WCS)
○
Usaha-usaha konservasi melalui Pendidikan Lingkungan bagi siswa-siswi sekolah dasar. (Foto: WCS)
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
WCS juga melakukan aktivitas pendidikan lingkungan kepada anakanak yang ada di sekitar Pantai Cemara, agar mereka lebih memahami dan menyadari untuk tidak merusak alam, seperti memburu burung dan membuang sampah sembarangan. Usaha konservasi telah dilakukan oleh LSM lokal yang pertama kali datang ke desa ini yaitu Gita Buana. Dalam usahanya Gita Buana dan WCS telah memberikan informasi mengenai pentingnya habitat di sekitar Desa Cemara. Selain itu kedua organisasi ini bersama-sama dengan masyarakat Desa Cemara menanam pohon, seperti Pohon Apiapi dan Bakau. Pendidikan lingkungan di Pantai Cemara telah menghasilkan dampak yang nyata pada pantai semenjak tahun 2007, lingkungan menjadi lebih hijau dan semakin banyak burung-burung yang datang mencari makan atau bertengger di pohon-pohon tersebut.
Edisi Oktober, 2010 zzz 13 ○
Trinil-lumpur Asia Limnodromus semipalmatus. Memiliki ukuran 2535 cm, memiliki paruh yang
WCS juga mendapatkan jenis yang sudah lama tidak ditemukan kembali. Cerek muka-putih Charadrius leschenaultii dealbatus, dijelaskan oleh Robert Swinhoe pada tahun 1870 sebagai jenis yang berbeda dengan Cerek tilil, meskipun terlihat mirip. Jenis ini memiliki ukuran seperti Cerek tilil namun sedikit agak besar. Pada bagian kepala lebih besar dari Cerek tilil, pada bagian penutup sayap (kecuali penutup bulu primer) berwarna lebih pucat dari bulu Cerek tilil dan memberikan warna yang kontras dengan warna alula yang berwarna hitam, penutup bulu primer dan pada bagian luar bulu primer dari warna cerek tilil. Pada
USAHA KONSERVASI
○
Trinil Nordman Tringa guttifer, merupakan jenis yang termasuk Genting (EN) yang memiliki ukuran medium pada jenis Sandpiper, yaitu antara 29-32 cm. Jenis ini sangat sulit dibedakan dengan jenis Trinil kaki hijau Tringa nebularia yang juga memiliki warna bulu abu-abu, namun masih dapat dibedakan dari warna kakinya yang lebih kuning dibanding jenis Trinil Kaki hijau yang memiliki kaki berwarna hijau. Jenis yang merupakan suku dari Scolopacidae ini berbiak di Rusia Timur sepanjang selatan-barat dan pantai utara Laut Okhotsk dan di Pulau Sakhalin. Di dunia jumlah jenis ini antara 500-1000 di seluruh dunia. Antara tahun 2007 dan 2010, WCS telah menangkap 5 individu burung yang telah dipasangi benera dan cincin.
Biru-laut ekor-blorok (Foto: WCS)
warna bulu tidak berbiak, Cerek muka-putih memperlihatkan warna abu pada bagian atas daripada Cerek tilil. Jenis ini tercatat China, Vietnam, Malaysia, Singapura dan Indonesia. Di Indonesia sendiri telah dua kali menangkap dan diberikan bendera warna dan cincin.
○
Di Pantai Cemara, WCS mendapatkan beberapa jenis yang dilindungi oleh PP No. 7 Tahun 1999: Burung-madu kelapa, Daralaut Benggala, Dara-laut biasa, Dara-laut jambul, Dara-laut kaspia, Dara-laut kecil, Dara-laut kumis, Gajahan pengala, Gajahan timur, Trinil Nordman and Trinil lumpurAsia. Trinil Nordman dan Trinil lumpur-Asia juga termasuk dalam resiko yang tinggi pada status IUCN (EN dan NT), sedangkan yang lain termasuk dalam status Resiko rendah (LC). Sebagai tambahan, beberapa jenis yang termasuk dalam resiko tinggi pada status IUCN, namun tidak dilindungi oleh PP No. 7 Tahun 1999: Biru-laut ekor- hitam, Paok bakau dan Pemandu lebah-Asia.
panjang, lurus, berwarna hitam dengan warna kebiruan pada bagian pangkal bawah; berwarna merah muda pada individu muda. Sering makan bersama dengan kelompok Biru- laut ekor-blorok. Di alam jumlah jenis ini 23.000 individu. Jenis ini berbiak di Siberia bagian selatan (tidak banyak), Mongolia bagian utara dan China tenggara. Antara tahun 2007 dan 2010, WCS telah menangkap 58 individu.
○
manapun; Kurang Data Data Deficient ((DD), jika informasi suatu jenis tidak memadai dalam hal distribusi atau status; Tidak Dievaluasi Not Evaluated (NE), jika suatu jenis tidak dinilai berdasarkan kriteria di atas.
○
○
○
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
○
○
Konservasi Lahan Basah
○
○
○
..... Sambungan dari halaman 7
Kegiatan berkebun sawit di Kalimantan (baik ditanah mineral maupun gambut) memang relatif masih sangat baru (pada umumnya kurang dari 10 tahun), dibandingkan dengan Sumatera yang telah melakukannya (di tanah mineral) sejak jaman penjajahan Belanda (misal oleh Maskapai Oliepalmen Cultuur, Maskapai Huilleries de Sumatra dan oleh Palmbomen Cultuur Mij). Pengalamanpengalaman/pembelajaran yang diperoleh dari berkebun sawit di lahan gambut Sumatera (apalagi Kalimantan) pada umumnya masih terbatas; yaitu belum mencapai siklus peremajaan, yang biasanya dilakukan setelah sawit berumur > 20 tahun. Dari laporan oleh Winarna, 2007 dalam PPKS 2009, yang meneliti produktivitas sawit di lahan gambut, dilaporkan bahwa semakin dalam ketebalan gambutnya, semakin menurun produksi tandan buah segar (fresh fruit bunch) sawit (berumur 610 tahun); yaitu dari 23 ton FFB/ha/th atau 4 ton CPO/ha/th (ketebalan gambut sapric 48 cm) menjadi 14,8 ton FFB/ha/th atau 2,5 ton CPO/ha/th pada gambut fibric dengan kedalaman 4,5 m. Dari beberapa kunjungan lapangan yang dilakukan team survey WIIP ke perkebunan sawit di Sumatera dan Kalimantan belakangan ini, diketahui banyak permasalahan yang dihadapi, diantaranya; kebanjiran dimusim hujan dan terbakarnya lahan dimusim kemarau, ambelasnya/subsidensi gambut yang akhirnya menyebabkan pohon sawit doyong dan matinya tanaman sawit akibat teroksidasinya pirit pada tanah gambut yang menyebabkan munculnya asam sulfat yang meracuni tanaman. Kedua issue yang disebutkan terakhir belum banyak mendapat perhatian oleh para pengambil kebijakan, para pengembang maupun para peneliti.
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Penurunan Emisi GRK 26% vs ...........
○
○
○
○
14 zzz Wart a Konserv asi L ahan Basah arta Konservasi Lahan
Doyongnya pohon-pohon sawit (bahkan hingga mencapai 60% dari total tanaman sawit yang ditanam oleh perkebunan sawit swasta di Riau, Sumsel, Jambi dan Lampung) dan layunya daun-daun sawit di desa Mesuji Lampung (diduga oleh keracunan pirit yang telah teroksidasi menjadi asam sulfat) belum pernah dikaji. Jika kedua kondisi ini dibiarkan tetap berlangsung, maka kerugian financial (produktivitas buah sawit menurun) maupun kondisi lingkungan akan menurun. [catatan sebagai pembanding: saat booming bisnis udang di Indonesia pada awal 1970-an, banyak hutan mangrove ditebang dijadikan tambak udang, akhirnya bisnis ini runtuh akibat udangnya terserang virus ‘white spot’ dan akhirnya banyak tambak kini terlantar atau ditinggalkan, dan kondisi hutan mangrove nya jadi merana / rusak. Kondisi serupa juga dikawatirkan terjadi pada lahan /rawa gambut yang ditanami sawit, dimana hutan rawa gambut terlanjur dibuka untuk perkebunan sawit dan akhirnya diabaikan karena lahan gambut gagal menghasilkan buah sawit]. Sebagai contoh, saat ini sekitar 300 ribu hektar perkebunan sawit di Kalimantan Tengah terdapat pada lahan gambut yang mempunyai kedalaman gambut lebih dari 3 meter, memiliki substratum pasir dan berpontensi munculnya sulfat masam (pirit). Kunjungan lapang yang dilakukakan oleh team WIIP di Kalimantan Tengah bulan Juli dan Agustus 2010 yang lalu mendapatkan sekitar 20,000 ha perkebunan sawit di Kecamatan Kahayan Tengah, Kabupaten Pulang Pisau, berada pada lahan gambut dengan substratum pasir kuarsa. Substrat semacam ini tidak dapat mengikat atau memegang unsurunsur hara yang diperlukan oleh
tanaman disebabkan karena sifat fisik pasir yang lepas (loose) dan tidak dapat menyimpan air untuk menjaga kelembaban tanah, sehingga kesuburan tanah menjadi sangat rendah dan pertumbuhan tanaman akan terhambat/mengalami kekerdilan Lokasi seperti ini seharusnya ditetapkan sebagai kawasan konservasi karena apabila lapisan tanah gambutnya hilang oleh erosi, maka akan mengakibatkan lahan menjadi hamparan pasir yang kering dan akan menyebabkan terjadinya banjir karena lahan sudah tidak dapat menyerap kelebihan air hujan. Terkait dengan semua uraian di atas, terutama terkait dengan komitment pemerintah dalam mereduksi emisi GHG sebesar 26% maka segala bentuk kegiatan di lahan gambut yang melakukan drainase air tanah gambut, sebaiknya dilarang. Hal ini juga relevan dengan LoI yang telah ditandatangani antara pemerintah RI dengan pemerintah Kerajaan Norway dimana dalam dua tahun kedepan pemberian ijin pembukaan lahan gambut dan hutan alam dihentikan. Untuk menanggulangi kebutuhan lahan untuk perkebunan sawit, sudah saatnya pemerintah melakukan pemetaan lahan secara comprehensif di seluruh wilayah Indonesia. Pemetaan tidak saja mencakup aspek kelayakan lahan bagi tanaman sawit, tapi juga status kepemilikan lahan, potensi konflik, tumpang tindih (tata ruang) dengan penggunaan lahan untuk tujuan produksi pangan (misal padi) dll. Dari hasil pemetaan ini selanjutnya dapat digunakan membuat kebijakan pengembangan sawit yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan. zz *Wetlands International - IP ** Center of Soil Research and Agro Climate, Bogor
Konservasi Lahan Basah
○
○
○
○
○
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Dokumentasi Foto-foto
Foto 2. Tanaman Kelapa Sawit berumur 6-7 tahun yang tumbuh miring di Mesuji, Lampung
Foto 3. Tanaman Kelapa Sawit yang daunnya layu akibat berada pada lahan gambut bersulfat masam (Foto lokasi Mesuji, Lampung)
Foto 4. Tanaman sawit (berumur < 1 tahun) berada pada lahan gambut dengan substratum bawah berupa pasir kuarsa (Foto lokasi Kahayan Tengah, Kalteng)
○ ○ ○
○
○
○
○
○
○
○
Foto 5. Bekas areal tambang timah yang ditanami kelapa sawit di Bangka, Sumatera
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Foto 1. Contoh Kebun sawit dilahan gambut dalam di Kota Bangun, Kalimantan Timur
○
○
○
○
Edisi Oktober, 2010 zzz 15
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
○
○
○
○
Berita dari Lapang
○
○
○
Fenomena Gagang Bayam Bertelur ○
○
○
○
○
○
di Pesisir Sumatera Utara
P
esisir timur Sumatera Utara, sudah sangat dikenal sebagai habitat bagi kelompok burung air, termasuk burung air bermigrasi. Selama ini kawasan pesisir Bagan Percut merupakan tempat favorit bagi pengamat burung yang ada di kota Medan dan sekitarnya untuk melihat kawanan burung pantai migran (waders) yang biasa mencari makan di hamparan lumpurnya. Namun, dari hasil pengamatan yang saya dan beberapa rekan mahasiswa Biologi USU lakukan, ternyata ada daerah lain yang menjadi habitat dan tempat mencari makan bahkan tempat bertelur bagi burung-burung air ini. Lokasi temuan tersebut tepatnya di pesisir Desa Sei Tuan Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang, yang berjarak sekitar 28 km dari pusat kota Medan. Dari pengamatan yang dilakukan sejak bulan Mei hingga Juli 2010 ini, di pesisir ini tim berhasil menemukan tidak kurang dari 50 ekor gagang bayam (Gagang bayam belang/ Himantopus himantopus dan Gagang-bayam timur/ Himantopus leucocephalus) 3 ekor diantaranya terlihat masih dalam fase remaja, serta 12 sarang. Dari 7 sarang yang berhasil didekati terdapat sebanyak 24 butir telur dimana dalam satu sarang terdapat sekitar 2-5 butir telur. Kemungkinan masih banyak lagi sarang-sarang lain yang tidak teramati mengingat masih luasnya areal pengamatan yang belum disinggahi. Sarang-sarang tersebut dibangun dari rerumputan kering yang disusun sedemikian rupa membentuk gundukan setinggi ± 14 cm dengan diameter puncak sarang sekitar 11 cm dan diameter dasar sarang sekitar 23 cm.
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Oleh: Hasri Abdillah*
○
○
○
○
16 zzz Wart a Konserv asi L ahan Basah arta Konservasi Lahan
Gagang bayam yang ditemukan sedang mengerami telur-telurnya (atas); dan telur-telur burung gagang bayam dalam sarang (bawah) (Foto: Hasri Abdillah)
Berita dari Lapang
○
○
Sarang burung gagang bayam juga ditemukan di areal kebun sawit (Foto: Hasri Abdillah)
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
○
○
○
○
○
*Sumatra Rainforest Institute/SRI Email:
[email protected]
Edisi Oktober, 2010 zzz 17 ○
Saat ini, areal perkebunan sawit ini memang masih dapat dimanfaatkan oleh gagang bayam sebagai lokasi berbiak sebab tanaman sawit yang ada masih rendah dengan tinggi sekitar 1 m.
○
Di sekitar lokasi berbiak tersebut, kami juga menemukan Terik asia (Glareola maldivarum), Bangau bluwok (Mycteria cinerea), Kuntul besar (Casmerodius albus), Kuntul kecil (Egretta garzetta) dan Kokokan laut (Butorides striatus).
Namun kedepannya, disaat tanaman sawit sudah semakin tinggi dimana kanopinyapun semakin rapat dan tanah disekitarnya semakin kering, apakah si burung berkaki panjang nan indah ini masih bisa berbiak dan bertelur di lokasi ini, atau akan berpindah ke lokasi lain yang lebih sesuai baginya untuk berkembang biak dan mencari makan? Konversi hutan mangrove menjadi perkebunan sawit merupakan ancaman yang sangat besar bagi kelangsungan keberadaan gagang bayam dan burung air lainnya. Ditambah lagi maraknya aksi perburuan dan pengambilan telur serta pemangsa alaminya merupakan ancaman lain bagi kehidupan gagang bayam beserta telurnya. Oleh sebab itu, diperlukan sebuah aksi bersama dengan melibatkan seluruh stake holder untuk melakukan pelestarian dan penyelamatan wilayah pesisir serta hutan mangrove sebagai pelindung daratan dan habitat berbagai jenis burung air, khususnya di Sumatera Utara. zz
○
Namun, sampai saat ini belum terlihat satupun telur yang berhasil menetas, pada setiap minggu pengamatan selalu saja ada telur yang hilang dari sarangnya, dugaan kami telur tersebut dimangsa biawak ataupun telah diambil masyarakat sekitarnya yang telah mengetahui keberadaan telur tersebut. Kami belum mengetahui mengapa burung air yang merupakan burung migran ini bertelur di pesisir Sumatera Utara. Apakah karena habitatnya cocok atau memang telah terjadi perubahan tingkah laku burung ini? Namun yang pasti, ini merupakan temuan yang sangat berharga bagi perkembangan dunia perburungan, khususnya di Indonesia.
○
Dari pengamatan kami, ada 2 tipe lokasi tempat dibangunnya sarang, yaitu rawa rumput dan areal perkebunan sawit. Sarang-sarang yang ditemukan di rawa sebagian bangunan sarang terendam air, namun pada pengamatan yang kami lakukan di bulan Mei 2010 yang bertepatan dengan musim pasang perbani, kami menemukan beberapa sarang terendam air sehingga telur juga ikut terendam. Mungkinkah ini terjadi karena burung-burung ini belum mengenal kondisi kawasan ini, sehingga “mereka” tidak mengetahui berapa tinggi kenaikan air pada saat pasang perbani ini? Sementara sarang yang terdapat di areal kebun sawit dibangun di permukaan tanah kering dan juga di bagian kebun yang sedikit tergenang. Kondisi sarang di areal kebun ini relatif lebih aman dari kemungkinan terendam air, sebab areal kebun sawit ini terlindung dari pengaruh pasang-surut air laut. Di beberapa sarang terlihat induk gagang bayam sedang mengerami telurnya, sehingga hal ini menambah keyakinan kami bahwa sarang-sarang ini adalah sarang gagang bayam yang sedang bertelur.
○
○
○
○
Rawa berumput, tempat ditemukannya sarang burung gagang bayam (Foto: Hasri Abdillah)
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Flora & Fauna Lahan Basah
○
○
○
○
Jenis-jenis Tumbuhan yang Tersimpan ○
○
○
○
○
○
di Kawasan Hutan MALINAU, Kalimantan Timur
E
kosistem alami yang tersisadi Wilayah Kabupaten Malinau mengalami tekanan yang masif dari kegiatan eksploitasi, konversi, illegal logging dan perambahan (encroachment). Sehingga dikhawatirkan untuk beberapa tahun mendatang kawasan ekosistem alami di wilayah ini tidak mampu lagi mencukupi kebutuhan bagi penghuninya. Masyarakat lokal di beberapa Kecamatan di kawasan ini telah mengalami kondisi dimana mereka sudah kesulitan mendapatkan hasil hutan baik kayu bahan bangunan maupun hasil hutan non kayu. Akibatnya masyarakat lokal harus melakukan strategi adaptasi terhadap perubahan kondisi lingkungan di sekitarnya. Oleh karena itu studi pengetahuan masyarakat Dayak tentang pengelolaan sumberdaya hayati dan aspek kelestariannya ini sebagai salah satu sumbangan untuk membantu memudahkan masyarakat lokal mengembangkan dan mengadaptasikan diri pada perubahan lingkungannya, sehingga mereka mampu untuk bersaing dengan kelompok masyarakat lainnya, khususnya masyarakat pendatang. Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang lebih menitik-beratkan pada upaya eksploitasi untuk kepentingan ekonomi semata, telah menyebabkan terjadinya degradasi kekayaan jenis sumber daya alam. Sebagai akibatnya telah terjadi perubahan kondisi ekosistem yang pada akhirnya telah menyebabkan perubahan-perubahan yang
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Oleh: Dra. Esti Munawaroh*
○
○
○
○
18 zzz Wart a Konserv asi L ahan Basah arta Konservasi Lahan
Flora & Fauna Lahan Basah
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
○
○
○
○
○
Ramuan-ramuan obat tradisional yang dimanfaatkan masyarakat suku Dayak
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Dari hasil hasil observasi banyak jenis-jenis tumbuhan hutan yang dimanfaatkan untuk obat tradisional. Lebih dari seratus jenis tumbuhan obat yang dikenal oleh masyarakat Dayak di Kecamatan Malinau Utara, Malinau Selatan dan Mentarang. Namun sebenarnya pengetahuan
○
Edisi Oktober, 2010 zzz 19 ○
Sesuai dengan prinsip dan konsep strategi konservasi dunia, konservasi memiliki aspek-aspek yang saling terkait, yaitu perlindungan proses ekologis serta pengawetan keanekaragaman jenis dengan maksud untuk menyangga keanekaragaman jenis tidak
Suatu kenyataan bahwa masyarakat Dayak tidak pernah kekurangan bahan pangan, selain bahan pangan tersebut dipenuhi dari hasil usaha taninya juga hasil meramu, berburu dan menangkap ikan. Kekayaan jenis tumbuhan bahan pangan yang dimiliki wilayah ini disatu sisi sangat bermanfaat dan menguntungkan bagi masyarakat, tetapi disisi lain mempunyai pengaruh yang besar terhadap etos kerja masyarakat Dayak dalam mengembangkan
○
memerlukan perlakuan khusus. Beberapa hal yang dirasakan masyarakat di sekitar Malinau pada saat ini adalah sering terjadinya banjir, sumber air menjadi keruh, dan kekeringan pada musim kemarau.
○
Perjalanan lewat sungai menuju pedalaman
Khusus tumbuhan berguna berdasarkan pemanfaatannya mereka mengelompokkannya sebagai berikut : tumbuhan sebagai bahan pangan, bahan sandang, bahan bangunan, bahan alat (rumah tangga, pertanian, perang), kerajinan, kesenian, obatobatan tradisional dan kosmetika, pelengkap upacara adat, kayu bakar dan lain-lainnya.
kekayaan sumber daya tumbuhan berguna yang dimilikinya. Masyarakat merasa semua telah tersedia di alam mengapa harus susah-susah membudidayakannya. Kondisi seperti inilah yang sering kita temui di lapangan disaat kita ingin memberdayakan dan mengembangkan sumber daya alam hayati yang ada di kawasan ini. Seperti yang terjadi pada saat ini misalnya, kekayaan sumber daya tumbuhan berguna tersebut menjadi semakin berkurang bahkan sebagian telah sulit ditemukan akibat dari konversi lahan dan eksploitasi hasil hutan berlebihan. Sehingga kita perlu mulai mengembangkan jenis-jenis tumbuhan berguna dan berpotensi tersebut agar tidak punah dan demi untuk kepentingan ekonomi masyarakat. Permasalahannya adalah bagaimana kita menumbuhkan pandangan bahwa ketersediaan bahan pangan tidak selamanya tersedia akibat dari perubahan kondisi ekosistem dan perubahan kebutuhan hidup.
○
punah. Pengawetan merupakan suatu usaha dan tindakan konservasi untuk menjamin keanekaragaman jenis, meliputi penjagaan agar unsur-unsur tersebut tidak punah, agar masingmasing unsur dapat berfungsi dalam alam dan agar senantiasa siap untuk sewaktu-waktu dimanfaatkan bagi kesejahteraan manusia.
○
○
○
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
pemanfaatan keanekaragaman jenis tumbuhan untuk ramuan obat hanya diketahui oleh beberapa orang saja yang memiliki keahlian khusus dalam pengobatan yang sering disebut “belian”. Sedangkan untuk masyarakat umum hanya mengetahui sebagian kecil saja jenis tumbuhan yang bermanfaat sebagai bahan obat.
Ada beberapa jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai buah, baik itu yang merupakan buah yang telah dibudidaya atau buah liar yang tumbuh dikawasan hutan Malinau. Buah tersebut diantaranya adalah jenis Durio kutejensis (Hassk.) Becc. (Paken (pnm), ruat (ldy), pakeing (mrp), lezing bala (kul), Durio oxleyanus
Griff. (Tungen (pnm), kari tungon (ldy), yang laung (mrp), lezing da’eng (kul), Durio zibethinus Murr. (Doso (pnm), derian (ldy), yang (mrp), lezing talang (kul). Nephelium sp.( Seletti (kul), bua mate (mrp), kelemati (ldy), lemati (pnm), Artocarpus rigidus., Baccaurea motleyana M.A, Garcinia mangostana L.
Jenis-jenis rotan yang dimanfaatkan oleh suku Dayak dan masyarakat sekitar hutan antara lain: Jenis rotan sega (Calamus caesius Bl.), rotan lilin (Calamus javensis), Rotan merah (Korthalsia echinometra), rotan sabut (Daemonorps sabut). Jenis rotan merah
Jenis rotan lilin
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Flora & Fauna Lahan Basah
○
○
○
○
20 zzz Wart a Konserv asi L ahan Basah arta Konservasi Lahan
Jenis rotan sabut
Flora & Fauna Lahan Basah
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
○
○
○
○
Jenis rotan sega
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Kawasan hutan Malinau juga menyimpan berbagai jenis tumbuhan berkayu yang sering dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, bahan obat, aromatik dan lain-lain, yaitu jenis Aquilaria beccariana (Gaharu), Eusideroxylon zwageri (kayu Ulin), dan Shorea beccariana (Tengkawang burung).
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Jenis pohon gaha
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
○
○
○
○
○
*Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor Email:
[email protected]
○
○
○
Edisi Oktober, 2010 zzz 21 ○
Jenis pohon tengkawang
○
○
Kiranya, sekelumit tulisan tersebut di atas dapat menjadi motivasi bagi kita semua untuk turut serta dalam pelestarian tumbuhtumbuhan yang sudah mulai langka di alam ini akibat eksploitasi yang terus menerus tanpa memperhatikan keberlangsungannya. Semoga perjalanan panjang menuju kawasan Hutan Malinau dapat menambah wawasan para pembaca, terutama yang memang suka dengan keanekaragam hayati. zz
○
○
○
Jenis pohon ulin
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
○
○
Berita dari Lapang
○
○
○
..... Sambungan dari halaman 13
Diharapkan, apa yang telah masyarakat dapat dari WCS untuk menyelamatkan burung dan habitatnya dapat terwujud dan setiap tahunnya lokasi ini tetap menjadi tempat persinggahan burung pantai, sehingga dapat mengurangi keterancaman burung baik di dunia atau di Indonesia.
Aktivitas yang telah dilakukan oleh WCS telah menunjukkan bahwa lokasi ini sangat penting sebagai lokasi migrasi untuk populasi burung yang menggunakan jalur Asia Timur-Australasia. Meskipun lokasi ini berada di sebelah TN. Berbak, namun tidak dilindungi secara nasional. WCS berharap
melalui upaya-upaya penelitian dan konservasi yang telah dilakukan, Pantai Cemara, Jambi di masa yang akan datang dapat diakui oleh pemerintah dan masyarakat sebagai daerah yang dilindungi. zz * Field staff assistant Global Health Project, Wildlife Conservation Society
Tabel 1. Status perlindungan dari Jenis Burung di Pantai Cemara
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Penelitian Migrasi Burung dan Usaha Konservasi ....
PP No. 7 Thn 1999
IUCN RED Data List
V V V V V V V V V -
LC LC LC LC LC NT LC LC LC LC LC LC LC LC LC LC LC LC LC LC LC LC LC LC LC LC LC LC LC LC LC LC
Status Perlindungan No. Jenis
PP No. 7 Thn 1999
IUCN RED Data List
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Bambangan kuning Bambangan merah Berkik ekor-lidi Berkik rawa Biru-laut ekor-blorok Biru-laut ekor-hitam Burung-madu kelapa Cabak kota Cekakak Suci Cekakak sungai Cerek besar Cerek krenyut Cerek muka putih Cerek tilil Cerek-pasir besar Cerek-pasir Mongolia Cikrak kutub Cinenen kelabu Cinenen merah Cipoh kacat Dara laut tiram Dara-laut Benggala Dara-laut biasa Dara-laut jambul Dara-laut kaspia Dara-laut kecil Dara-laut kumis Dara-laut sayap-putih Gajahan pengala Gajahan timur Gelatik-batu kelabu Itik Benjut Kacamata biasa
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Status Perlindungan No. Jenis
○
○
○
○
22 zzz Wart a Konserv asi L ahan Basah arta Konservasi Lahan
34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65
Kareo padi Kecici belalang Kedasi Australia Kedidi besar Kedidi golgol Kedidi leher-merah Kedidi merah Kerak basi ramai Kerak-basi besar Kipasan belang Kirik-kirik laut Kokokan laut Kucica kampung Kucuit hutan Merbah belukar Merbah Cerucuk Paok bakau Pemandu-lebah Asia Perenjak Jawa Sempur-hujan sungai Sikatan emas Trinil bedaran Trinil kaki-merah Trinil Nordman Trinil pantai Trinil rawa Trinil semak Trinil-kaki hijau Trinil-lumpur Asia Walet linchi Walet sarang-hitam Walet Sarang-putih
V V -
LC LC LC LC LC LC LC LC LC LC LC LC LC LC LC NT NT LC LC LC LC LC EN LC LC LC LC NT LC LC LC
Fokus Lahan Basah ○
○
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
○
○
○
..... Sambungan dari halaman 11
Referensi
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
○
○
○
* Staff WI-IP Silviculture & Rehabilitation Specialist
○
○
○
○
Wibisono,I.T.C. 2005. Laporan kegiatan rehabilitasi areal bekas terbakar TNB. Proyek CCFPI.WIIPWHC. Jambi
○
○
Wahyu Catur Adinugroho. Menyelamatkan Ramin dengan Penujukan kawasan Konservasi Ramin (Gonystilus bancanus (Miq) Kurz.).Sumber: wahyuhttp:// wahyukdephut.wordpress.com/ category/konservasi/
○
○
M.Dimbe. 2002. Proposal pengajuan kawasan konservasi ramin, Desa Lahei.
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Forest Watch Indonesia. Ramin oh Ramin. Buletin Intip Hutan; edisi Maret 2003
○
○
○
Among Prawira,R.S. A. Martawijaya, I.Karta Sujana, K.Kadir. 1981. Atlas Kayu Indonesia Jilid 1. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan. Bogor. Indonesia.
○ ○ ○ ○
Gambar 2. Monitoring dan pendataan perlkembangan tanaman ramin (Foto: Iwan TC Wibisono-WIIP) ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Gambar 3. Penanaman bibit ramin pada areal bekas terbakar di TN. Berbak, Jambi (Foto: Jill Heyde)
○
○
○
Edisi Oktober, 2010 zzz 23 ○
Gambar 1. Tanaman ramin berumur 3 tahun (Foto: Iwan TC Wibisono-WIIP)
Bismarck,M. A.Wibowo, T.Kamila. Reny Sawitri. Paper: Current growing Stock of Ramin in Indonesia. Prosiding Prosiding Workshop Nasional. ALternatif Kebijakan dalam Pelestarian dan Pemanfaatan Ramin. Bogor 2006.
○
○
Bismarck,M. A.Wibowo, T.Kamila. Reny Sawitri. Paper: Current growing Stock of Ramin in Indonesia. Prosiding Prosiding Workshop Nasional. ALternatif Kebijakan dalam Pelestarian dan Pemanfaatan Ramin. Bogor 2006.
○
○
Tim Studi FWI 2002 dan Olahan Laporan Hasil Cruising dan Data Penutupan Lahan Dephut, 2000
○
○
Salah satu pengalaman rehabilitasi ramin yang cukup berhasil telah dilakukan di TN Berbak-Propinsi Jambi. Difasilitasi oleh proyek CCFPI, WI-IP bekerjasama dengan TN Berbak, Masyarakat Desa Pematang Raman dan PT Putra Duta Indah Wood melakukan
○
○
Penanaman ramin mutlak harus dilakukan mengingat populasi ramin di alam yang semakin terbatas. Rehabilitasi dapat dilakukan melalui kegiatan penanaman ramin di lokasi terbuka, yang secara biofisik sesuai dengan syarat tumbuh ramin. Untuk hutan yang telah miskin jenis, penanaman pengayaan (enrichment planting) perlu dilakukan dengan menghadirkan kembali tanaman ramin. Untuk lebih mengefektifkan dan mengefisienkan kegiatan, penanaman ramin sebaiknya diintegrasikan dengan programprogram pemerintah yang sedang dilakukan saat ini misalnya program penanaman satu milyar pohon yang dicanangkan oleh Presiden RI.
penanaman beberapa jenis tanaman lokal HRG di areal bekas terbakar di zona inti Taman Nasional. Dalam penanaman seluas 20 hektar ini, ramin dan beberapa jenis tanaman lainnya ditanam di atas gundukan buatan. Berdasarkan monitoring di lapangan, prosentase tumbuh tanaman ramin cukup menjanjikan yaitu sebesar 62%. Dilaporkan juga dari lapangan bahwa pertumbuhan ramin di awal penanaman sangat lambat, namun setelah penanaman berjalan dua tahun dilaporkan pertumbuhannya mengalami peningkatan yang cukup signifikan. zz
○
D. Rehabilitasi dan pengayaan
○
○
○
○
○
○
sebaran RAMIN di Kalimantan ........
Dokumentasi Perpustakaan
Anonim, 2010. Executive Briefing Penerapan Kriteria Baldrige dalam Sistim Manajemen Perhutani (SMPHT) menuju Kinerja Ekselen, Perum Perhutani. Anonim, 2010. Profil Lokasi Calon Kawasan Resorasi Ekosistem Hutan Rawa Gambut Merang Kepayang Propinsi Sumatera Selatan dan Jambi, Wetlands International-IP, 18.
Ilman, M., I.N.N. Suryadiputra, I. Sualia {dkk}. 2010. Peningkatan kapasitas Pengelolaan Ekosistim Danau Tondano untuk Perbaikan Lingkungan dan Mata Pencaharian Masyarakat, Wetlands InternationalIP, 192.
Anonim, 2010. Wetlands and Water, Sanitation and Hygiene (Wash). Understanding the Linkages, Wetlands International, 96. Anonim. 2010. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, Direktorat Jendral Penataan Ruang Kementrian Pekerjaan Umum, 56.
Nellemann, C. and E. Corcoran. 2010. Dead Planet, Living Planet: Biodiversity and Ecosystem Restoration for Sustainable Development, UNEP, 109. Palaniappaan, M., P.H. Gleick, and L. Allen. 2010. Clearing the Waters: A Focus on Water Quality Solution, UNEP.
Sahlan, M., Giyanto, Rohmat dan B. Priyanto. 2010. Kajian Baseline Data Desa-Desa Pantai kabupaten Pemalang, Wetlands International-IP, ii + 35. Spalding, M., M. Kainuma and L. Collins. 2010. World Mangrove Atlas of Mangroves, Earthscan, 259. Suryadiputra, I.N., I. Sualia, Y. Suharnoto {dkk}. 2010. Menyelamatkan Danau Tondano Sebuah Usulan Program Pengelolaan Danau Berdasarkan Kajian Morfometry, Limnologi, Biodiversity dan, Wetlands International-IP, 54.
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Tahukah Kita BANGAU STROM, BANGAU LANGKA YANG TERLUPAKAN
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Bangau strom (Ciconia stormi) merupakan salah satu spesies burung air penetap (resident) yang secara global tersebar dalam populasi-populasi kecil di daerah Semenanjung Malaysia, beberapa daerah di Pulau Kalimantan dan Sumatera. Keberadaannya di Pulau Jawa diperkirakan telah punah (tercatat satu kali ditemukan di Jawa Barat tahun 1920 dimana spesimennya disimpan di Museum Zoologi Bogor).
Populasi bangau ini mengalami penurunan yang sangat drastis, akibat penebangan/pembalakan hutan rawa air tawar dan hutan dataran rendah yang menurunkan kualitas habitat mereka. Di Sumatera spesies ini masih dapat ditemukan di beberapa daerah, beberapa pengamat menyebutkan bahwa TN. Way Kambas merupakan tempat yang baik untuk menemukan jenis ini. Temuan terbaru di wilayah TN. Berbak. Ditemukan satu individu bangau ini di bagian hulu Sungai Keretak (Kepahiang) yang merupakan daerah bagian hulu Sungai Sembilang (WI-IP, 2001), dan pada tahun 2002 tim survey WI-IP juga mendapati satu individu di sekitar muara Sungai Simpang Piatu di Sungai Air Hitam laut. Kedua temuan ini menunjukkan bahwa kawasan Berbak dan Sembilang merupakan daerah yang penting bagi bangau langka ini. zz
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Berbeda dengan kelompok bangau lain yang cenderung menggunakan daerah terbuka di pesisir pantai atau hutan bakau, bangau ini lebih memilih daerah pedalaman, yaitu di bagian hutan rawa yang rapat dan bersarang dalam kelompok.
○
○
○
○
24 zzz Wart a Konserv asi L ahan Basah arta Konservasi Lahan