Edisi Oktober 2014
Diterbitkan oleh
DINAS PENERANGAN ANGKATAN UDARA
ii
ANGKASA CENDEKIA
ANGKASA CENDEKIA Pelindung
: Marsekal TNI Ida Bagus Putu Dunia Kepala Staf Angkatan Udara
Penanggungjawab : Marsekal Pertama TNI Hadi Tjahjanto, S.IP Kepala Dinas Penerangan Angkatan Udara Dewan Redaksi
: Kolonel Sus Sri Gustiningsih Kolonel Adm. Aminto Senisuka, ST.M.Eng Kolonel Pnb R Agung Sasongkojati Kolonel Sus Drs. Sudarno Letkol Sus Dra. Lia Kuswelia
Pemimpin Redaksi : Kolonel Sus Basuki Mindarwono Wakil : Letkol Sus Dra. Maylina Saragih Letkol Sus Drs. Ernes DJ Fambrene Staf Redaksi
: Mayor Sus A. Muchsin Sertu Rineu Octaviani PNS IV/a Dra. Sri Hatmini PNS IV/a Amri Susdariyanti
Desain Grafis
: DDS
Alamat Redaksi
: Dispenau, Cilangkap Jakarta Timur Telp. (021) 8709154, 8709259 Fax. (021) 8714181 E-mail:
[email protected]
Angkasa Cendekia/Dinas Penerangan Angkatan Udara Jakarta: Dinas Penerangan Angkatan Udara, 2014 113 hal.; 23.5 x 15.5 cm ISBN 979-95490-0-2 1. Angkatan Udara
iii
I. Judul
ANGKASA CENDEKIA
DAFTAR ISI Daftar Isi ....................................................................................
iv
Kata Pengantar ..........................................................................
1
Cyberspace Operations as Multiplier Power In ASYMMETRIC CONFLICT .................................................... Kolonel Lek Dr. Arwin D. W. Sumari, S.T., M.T., S.R.Eng. Kepala Program Studi Ekonomi Pertahanan Fakultas Manajemen Pertahanan Universitas Pertahanan Indonesia
[email protected],
[email protected]
2
Penilaian Mandiri Program Reformasi Birokrasi (PMPRB)
Tentara Nasional Indonesia .................................................. Oleh Letkol Adm Dayatmoko, S.IP.,MM. (Pabandya-3 Reformasi Birokrasi-Paban II/ Jemen Srenum TNI)
iv
22
ANGKASA CENDEKIA
Mengawal Keoptimisan Indonesia Menuju Negara Maju (Kajian Kritis Perspektif Ekonomi Pertahanan terhadap Proyeksi
MGI 2012) ............................................................................ Oleh Mayor Tek Novky Asmoro, S.T., M.Si (Han) (Pamen Kohanudnas) Prospek Pengembangan Teknologi Peluru Kendali Permukaan ke Udara di Indonesia .................. Oleh Kapten Tek Y. H. Yogaswara (Pama Dislitbangau, Kandidat Doktor Aerospace Engineering, KAIST - Korea Selatan)
56
74
Adakah Matra Udara Kekuatan Penentu “Richard Nixon benar-benar Pemimpin yang punya nyali, beda banget dengan Tokoh lawan Partainya. US Navy Captain John S McCain ................................ 94
Oleh Analisis Subagyo Sayogya (Wartawan Senior/Pemerhati Hankam dan Politik)
Redaksi menerima tulisan naskah dengan ukuran kertas kwarto, 2 spasi, dan minimal 10 lembar
v
vi
Kata Pengantar Pembaca yang budiman, media baca kita, buku Angkasa Cendekia, untuk semester dua yang biasanya terbit bulan Juli, mulai semester dua tahun ini terbit bulan Oktober. Perubahan ini untuk lebih banyak lagi mewadahi/mengakomodir ide, gagasan, dan pendapat-pendapat para perwira Angkatan Udara yang dituangkan dalam bentuk tulisan. Edisi kali ini, kami menyajikan beberapa topik tulisan dari para penulis yang sudah tidak asing lagi. Kolonel Lek Dr. Arwin D. W. Sumari membahas perang asimetris yang terkait dengan cyberspace operations. Bagaimana teori-teori perang asimetris yang dapat menyukseskan cyberspace operations, simak dalam tulisan yang berjudul Cyberspace Operations as Multiplier Power in Asymmetric Conflict. Bergulirnya era Reformasi yang diikuti reformasi di berbagai sektor termasuk reformasi di lembaga pemerintah dan kementerian (reformasi birokrasi) saat ini terus berjalan. TNI merupakan salah satu dari sembilan kementerian dan lembaga yang melaksanakan program Reformasi Birokrasi pada gelombang dua. Pelaksanaan RB TNI yang dimulai tahun 2010 ini sudah saatnya untuk dilakukan evaluasi. Evaluasi selengkapnya disajikan oleh Letkol Adm Dayatmoko dalam tulisannya yang berjudul Program Penilaian Mandiri Reformasi Birokrasi (PMPRB) Tentara Nasional Indonesia. Mayor Tek Novky Asmoro, S.T., M.Si (Han) menyatakan keoptimisannya bahwa Indonesia bakal menjadi negara maju dari perspektif ekonomi pertahanan. Setidaknya hal ini akan terwujud pada tahun 2030. Posisi ekonomi Indonesia begitu tinggi ditandai dengan berbagai variabel. Bagaimana semua bisa terjadi, jawabannya ada di sini. Beralih dari ekonomi pertahanan menuju Indonesia yang unggul dalam sistem pertahanan udara. Perkembangan terpenting dalam sejarah peperangan abad 21 adalah munculnya senjata presisi (precision weapon). Ciri khas senjata presisi adalah adanya sistem pemandu dan kendali yang memungkinkan senjata tersebut memanipulasi trayektorinya menuju sasaran yang telah ditentukan. Oleh karena kekhasannya tersebut, senjata presisi ini dikenal juga dengan istilah senjata berpemandu (guided weapon). Peluru kendali (missile) merupakan salah satu jenis senjata pemandu berpropulsi mandiri dengan berbagai platform peluncuran dan sasaran. Penggelaran peluru kendali pertahanan udara di daerah perbatasan dan lokasi strategis pada akhirnya akan meningkatkan kemampuan pertahanan negara dari ancaman yang ada.Kandidat Doktor, Kapten Tek Yogasawara membahasnya lengkap. Last but not least, wartawan senior Subagyo Sayogya membahas matra udara sebagai penentu kekuatan dalam peperangan. Hal ini terbukti bahkan sejak Perang Dunia II. Akhirnya selamat membaca dan Dirgahayu TNI. Jakarta,
Edisi Oktober 2014
Oktober 2014
1
Cyberspace Operations as Multiplier Power In ASYMMETRIC CONFLICT1 Kolonel Lek Dr. Arwin D. W. Sumari, S.T., M.T., S.R.Eng. Kepala Program Studi Ekonomi Pertahanan Fakultas Manajemen Pertahanan Universitas Pertahanan Indonesia
[email protected],
[email protected] Firman Munthaha, S.Kom., M.Si.(Han) Alumni Program Studi Peperangan Asimetris Fakultas Strategi Pertahanan Universitas Pertahanan Indonesia
[email protected] Abstract his paper applies the existing theories of asymmetric conflict warfareto answer the question why cyberspaceoperations in dynamics of asymmetric warfare conflict can be successful. Analysing how cyberspace operation in asymmetric conflict; the assessment of the winner could not be viewed from the position of the weak or the strong. These dynamics of asymmetric conflict are compatible with the actors in cyberspace operations war whether state actors or non-state actors. Relative power and realist international relations theory state from Thucydides, "the strong do what they will, and the weak suffer what they must". In war,
T
1 Makalah ilmiah ini telah dipublikasikan dalam Proceedings of the 9th International Conference on Cyber Warfare and Security (ICCWS-2014), Purdue University, West Lafayette, Indiana, Amerika Serikat, 24-25 Maret, halaman 324-331, dan merupakan satu-satunya makalah ilmiah dari Indonesia yang diterima dalam forum bergengsi bidang Cyber Warfare and Security tersebut.
2
Edisi Oktobrt 2014
ANGKASA CENDEKIA
generally strong actors have the ability to act according to what they need, but in fact the results could be different in practice. The broad spectrum of asymmetric warfare, as Thorton states "sometimes the weak can avoid doing what they must, and the powerful cannot always do what they will". Recent cyber war cases show that state actor has a role, which certainly also has cyber power. The use of cyberspace in asymmetric conflict also makes cyber war have differentexpected effect. In the past Arreguin-Toft has proposed strategic interaction theory which have expected effect model for predict asymmetric conflict outcomes. In this paper, the model will developed for predict cyber war outcomes. This research will explore the influence of cyberspaceoperations to asymmetric conflict outcomes. Cyberspace operations as part of informationoperation (IO) support in this paper identified as multiplier power, where IO has concept existed before as force multiplier.The success of Russia’s massive cyber attack on Estonia in 2007 and Georgia in 2008 are some examples of operations shown by "the strong". Even though these operations were not comprehensive, but it they could provide a systemic impact to the target states and brought successfully to the mission carried out by the attacker state. In conclusion, this paper proposess a new model from the influence of cyberspaceoperations to asymmetric conflict called FDAFirman-Dadang-Arwin model, which was developed fromon the strategic interaction theory proposed by Ivan Arreguin-Toft. Keywords: asymmetric conflict, cyberspace operations, asymmetric conflict, cyber war, FDA model, strategic interaction theory Fog of war in cyber warfare gives the options to prepare for something that is not definite or uncertain. “Cyber Warfare is the art and science of fighting without fighting; of defeating an opponent without spilling their blood”(Carr, 2012). According to Aslanoglu and Tekir (2012), Ffour major events cyber warfare, Estonia (2007), Georgia (2008), Operation Aurora (2009), and Stuxnet Worm (2010) are a result of political dynamics(Aslanoglu Edisi Oktober 2014
3
ANGKASA CENDEKIA
and Tekir, 2012), which indirectly involves state-actors. Recent cyber war shows that asymmetry conflict occurs in cyberspace domain involving not only state-actors but also non-state actors. Those cases also draw explain how cyberspace really can be used as a domain of war in asymmetric conflict. By exploiting cyberspace, "the master of the internet" America could attack infrastructure owned by Iran with Stuxnet worm. However, apparently the United States (U.S.) can'not completely prevent the attack as well with the equal example shown by China Aurora Operation. Use of Ccyberspace like cyberspaceoperationsis indirectly making it increasingly asymmetric uncertainty in widespread conflict. The interesting side aspect in asymmetric conflict (asymmetric conflict) that utilize this cyberspace, is that are both have it has inherent uncertainties. “There are many different ways for a person to participate in a cyberconflict” (Ottis, 2011). Cyberspace operations as the manifestation of the use of cyberspace to achieve the interests or objectives that represented by state forces or government institutions as well which gives advantages for two actors, the strong and the weak. The cyberspace domain itself is unique because humans create it. In cyber war, the weak actor is more benefited indirectly, because of its dependence on cyberspace is relatively low, in contrast with the strong actor. Therefore the strong actor is more vulnerable and has the higher potential of failure. The interesting side in asymmetric conflict is that it utilizes cyberspace domain as an uncertainty is where we do not knowuncertainty who would win the conflict, or whether it may deliver the weak actor to gain strength advantage strength or vice versa. This strength advantage strength of cyberspaceoperations will be discussed in this paper as a multiplier power. To focus the discussion, the power in this paper is meant "material power", namely state's population and armed forces. In the recent publication, Joint Publication2 (JP)3-13(2012) about Information Operations (IO) statesU.S. Air Force Doctrine Document 3-12(AFDD 3-12) states that IO is the force multiplier. 2 Joint Publication (JP) and Air Force Doctrine Document (AFDD) are doctrines that are published by U.S. Joint Chiefs of Staff and U.S. Air Force in succession. The consideration why we use
4
Edisi Oktober 2014
ANGKASA CENDEKIA
“IO is not about ownership of individual capabilities but rather the use of those capabilities as force multipliers to create a desired effect”(Air Force Doctrine DocumentJP 3-123, 20112). In this research we will show that cyberspaceoperations as a part of IO support can become the multiplier power in asymmetric conflict. “Cyber though information and information technology, can considerably increase the likelihood of success in stable operations”(Kramer, 2009). sNow The publicationexplanationabout regarding Cyberspace Operations is just published by can only be found in U.S. with Air Force Doctrine Document (AFDD) 3-12 (2011) where the last JP 3-13(2012) still about IOis still about information operations. Cyber though information and information technology, can considerably increase the likelihood of success in stable operations(Kramer, 2009). The diffusion of power in the cyber domain is represented by the vast number of actors, and relative reduction of power differentials among them (Nye Jr, 2010). There are two complementing explanations of cyberspace operations that can be a multiplier power in asymmetric conflict: (1) the dynamics of asymmetric conflict; (2) the unique cyberspace itself as a cyber war domain. This research will explore how cyberspaceoperationscan be a force multiplier power operation in asymmetric conflict. The aim is to look for a common ground between cyber war and asymmetric conflict in particular the theory of strategic interaction from Arreguin-Toft. From that those studiesied, we will make create new model formulation of asymmetric conflict outcomes for cyber war. To focus the discussion in this study, some restrictions are given, i.e. cyberspaceoperations is “the employment of cyberspace capabilities where the primary purpose is to achieve military objectives or effects in or through cyberspace”(JP 3-0). Furthermore this paper also studiesd the recent case of cyber war that involvesing state-actors while maintaining that cyber war can be done by either state-actors or non-state actors. For analogy weak and strong analogy, we follow the term used by Arreguin-Toft which is "weak" and "strong" only have meaning in particular conflict dyads. Edisi Oktober 2014
5
ANGKASA CENDEKIA
This paper begins by introducing the dynamics of asymmetric conflict, cyber war, and the relation between them then and continued by the description of state-of-the-art asymmetric conflict theories and the use of cyberspaceoperations in this type of conflict. The Third part draws the influence of cyberspaceoperations. The Fourth part draws the relationship between cyberspaceoperations with asymmetric conflict theories and the formulation based on the facts of recent cyber conflicts. The final section concludes and indicates directions for future research. Dynamics of Asymmetric Conflict The terms asymmetric conflict and asymmetric warfare seem to look different, but actually they have similar actors and stories, namely the "strong" against the "weak". We follow simple definition from David Grange who said, "Asymmetric warfare is best understood as a strategy, tactic, or method of warfare and conflict" (Thornton, 2007). Asymmetrical warfare is referred as the not balanced war between the strong against the weak. Practices during this period could occur in the area of land, sea, air, space, and also cyber space. The extents of the threats of asymmetric warfare, making each country needs to be vigilant to the threats of attack from a variety of fields. Therefore to face an asymmetric warfare, ideally all elements of national power and resources need to be deployed and prepared long before the warfare occurs. There are two complementing explanations of Cyberspace Operations can be a multiplier power in asymmetric conflict: (1) the dynamics of asymmetric conflict; (2) the unique cyberspace itself as a cyber war domain. The phenomenon of asymmetric threats has traits and characteristics that distinguish it from the threats of other kinds of war. Asymmetric warfare threat is non-conventional and non-kinetic, and these two properties are not yet covered in the whole nature of the threats of war. On the other hand, these doctrines as references is because military has specific definitions on terms which cannot be found in non-military references. Information Operations and Cyberspace Operations are two terms that are devised and defined by U.S. military.
6
Edisi Oktober 2014
ANGKASA CENDEKIA
the phenomenon of asymmetric warfare is not new. Asymmetric tactics have been known for a long time, as seen from Daud vs. Goliath and Parthian vs. Alexander the Great. In the context of actors, asymmetric conflict could involve state actors and nonstate actors. While there are factors that make some unbalanced positions, including strength, ability, expertise, equipment, and human resources. The phenomenon of asymmetric warfare threat has its natures and characteristics. According to Anggoro (2011),the threat of asymmetric warfare has the properties of nonconventional and non-kinetic, and both of these properties have not yet covered the whole nature of the asymmetric warfare threat. On the other hand, the phenomenon of asymmetric warfare is not a new thing. Asymmetric warfare tactics have been known since ancient times, as it is known in the history of the battle of Daud vs. Goliath. In the context of actors, asymmetric conflicts involving state actors and non-state actors. Although there are several factors that make a balance position, including the strength, capabilities, expertise, equipment and human resources The dynamics of cyberspace environment in asymmetric conflict clearly benefit the weak, and endanger the strong. The cyber operations targeted against state-level and their disruptive effects on the functioning of government and financial systems, as in the case of Estonia, Georgia, and South Korea, demonstrate vulnerabilities that can no longer be tackled within the confines of the state (Radu, 2012). The security hole that can be exploited by means of cyberspace cannot be entirely eliminated. As Thorton states that "the weak can sometimes avoid doing what they must, and the powerful can't always do what they will". This difference creates flexibility for the parties "weak" or "strong hand" to take advantage through this realm. Asymmetric warfare is broad church (Thornton, 2007) The dynamics of cyberspace environment in asymmetric conflict can be profitable for actors who are predominantly weak and endanger strong actors. According to Radu (2012) the state of cyber operations as a target and the impact of the disturbance Edisi Oktober 2014
7
ANGKASA CENDEKIA
to the functioning of government and the financial system, as in the case of Estonia, Georgia, and South Korea, shows the vulnerability that can no longer be handled within the confines of the state. This happens also because of vulnerabilities that can be exploited through cyberspace can not be completely eliminated. This condition is in accordance with the opinion of Thorton (2007), “"the weak can sometimes avoid doing what they must, and the powerful can't always do what they will". This difference creates flexibility for the "weak" or "strong hand" to take advantages through this field. Asymmetric Conflict Theories Arreguin-Toft argues that in asymmetric conflicts there are four explanations for the failures of the strong actor as follows. • The nature of the actor Regime type and military effectiveness • Arm Diffusion Trend toward increasing strong actor failures after World War II • Interest Asymmetry Andrew J.R. Mack's Model explains three elements how weak states win wars: (1) relative power explains relative interest; (2) relative interest explains relative political vulnerability; (3) relative vulnerability explains why strong actors lose. • Democratic Social squeamishness Democratic strong actors cannot win small wars because the state is constrained by society to avoid the sacrifice necessary to win. From those four explanations, he continues proposed strategic interaction theory which is the strategic approach that taken by the actor. “Strategic interaction theory explain not only how the weak win wars, but also how the strong lose peace”(Arreguin-Toft, 2005). Arreguin-Toft explains his theory further by dividing the theory into two groups, same approach (direct-direct) and opposite approach (direct-indirect). 8
Edisi Oktober 2014
ANGKASA CENDEKIA
•
•
Offense strategies (strong actor): conventional attack barbarism Defense strategies (weak actor): conventional defense guerrilla warfare strategy (GWS)
As stressed by Arreguin-Toft (2005), the first step reason why the weak wins can be described by Mack's model of strategic interaction in asymmetric conflict. This model states that relative power determines relative interest and results in a conflict in which the weak actor is systematically more motivated to fight than the strong one. Relative interests determine relative political vulnerabilities. Because the weak actors are necessarily more motivated to fight and win than against strong ones. They can defend in long term to achieve their political and military goals. However, the strong will get internal political pressure in both democratic or regimes. We argue, in this case the influence from relative interest and long term in conventional warfare is similar to the condition of cyber war. The weak will exploit the weakness sides of vulnerable from the strong. Attacks with the targets like that will give massive loss to the strong actors. Table 1:Expected effects of strategic interaction on conflict outcomes
Weak actor strategic approach
Ivan Arreguin-ToftStrategic Interaction Model
Direct
Indirect
Direct
strong actor
weak actor
Indirect
weak actor
strong actor
Strong actor strategic approach
Edisi Oktober 2014
9
ANGKASA CENDEKIA
CYBERSPACE OPERATIONS AND ASYMMETRIC CONFLICT In the previous parts, we have talked about asymmetric conflict theories from Arreguin-Toft that analysing war from past century. In here we explore the use of Cyberspace Operations in the asymmetric conflict. Cyberspace itself as domain has dozen definition, but we used general definition to with linkage Cyberspace Operations. "Cyberspace is a global domain within the information environment consisting of the interdependent network of information technology infrastructures, including the Internet, telecommunications networks, computer systems, and embedded processors and controllers" (JP1-02, ). Cyberspace Operations in the general term can be referred as Computer Network Operation (CNO) which comprises Computer Network Exploitation (CNE), Computer Network Attack (CNA), and Computer Network Defense (CND). Then there is also a term namely cyberspace superiority, which is defined as "the operational advantage in, through, and from cyberspace to conduct operations at a given time and in a given domain without prohibitive interference" (AFDD 3-12). “Cyberspace Operations are the employment of cyberspace capabilities where the primary purpose is to achieve objectives in or through cyberspace”(JointPublication 3-13, 2012) The influence of Cyberspace Operations impacts several areas most noticeably the countries strength. This paper will describe the reasons and impacts of Cyberspace Operations to a country’s strength. Cyberspace has become a new area of war outside of four elements (land, sea, air, and space). The interest from cyberspace as domain warfare is everything can become an actor. “There is a requirement to balance defensive cyberspace actions within cyberspace with their impact on ongoing air, space, and Cyberspace Operations”(Air Force Doctrine Document 3-12, 2011). Cyberspace Operations as Center of Gravity Clautsewitzian interpretsCenterof Gravity (CoG) as the backbone of force. However, the effect of the fog of war and friction of war in asymmetric conflicts makes a shift in conventional understanding. As the reality of asymmetric threats in the world 10
Edisi Oktober 2014
ANGKASA CENDEKIA
that cause composite asymmetry by automatically change. China which has cyber capabilities,become the intentions of the U.S., but China also has intentions towards Tibet. If Tibet hasqualified cyber capabilities, does Tibet have the same intention as China? This picture shows that the disparity of power (in this case cyber capabilities) creates natural composite asymmetry. Cyberspace operations in CoGcan be positioned as the backbone of the force, but still has the potential to be a source of weakness as well. Great dependence on the cyberspace clearly has advantages and disadvantages. On one side, it supports a network centric military, but on the other one this dependency can become a target of enemy attacks. Cyberspace Operations as Multiplier Power We used the term from Arreguin Toft, "technology is presented as a power multiplier or divider, not an increment of power" (Arreguin-Toft, 2005). In this research, the use of technology is analogous to the use of cyberspace to conduct Cyberspace Operations. "The form of cyber war is the total war: hard to defend oneself from and one likely to inflict massive damage" (Hanska, 2013). With that analogous, so therefore the impacts for the two actors are: Weak actor can: • Equal its capability to the strong actor and able to launch cyber attack, cyber espionage, and cyber network exploitation • Also steal information without the strong actor knows in close time Strong actors gain: • Relatively high dependence with cyberspace so have weak value in dependence • Inability to cover all the security holes in the system and a computer network used Edisi Oktober 2014
11
ANGKASA CENDEKIA
● Aspect :Power, Capability, Resources, equipments ● Actor : State Actor & Non-State actor
Cyberspace Operations ● CNE ● CAN ● CND
● Center of Gravity ● More Efficient and Effective Attack ● Low Cost ● High Impact ● Relative Short Term
Asymmetric Conflict : The Strong vs The Weak
Multiplier Power
Figure 1.The scheme of the use of Cyberspace Operations as multiplier power in asymmetric conflict
Variables that Influence FDA Model In this part we will elaborate variables from asymmetric conflict and cyberspaceoperations that can influence and determine as a multiplier power. In AFDD (2011) explained that cyberspaceoperations are not synonymous with IO, which operations in cyberspace can directly support IO and non-cyber based IO can affect cyberspaceoperations. From these variables then we will map the relationship between it and linkage it to power. Begin from cyber war, we find that cyber war strength is bias and hard to measure. Richard A. Clarke (2010) from his book “Cyber War” has tried to make simple chart to measure cyber war strength for several countries. Besides assessing the offense, he said "realistic measurement of cyber war strength need to include assessment of two factors: defence and dependence" (Clarke and Knake, 2010). In addition we include another variable that need to be assessed are aspect and impact. Table 2. Results of cyber attacks(Bhatia, 2011) Impact Physical Impact Social Impact Political Impact Financial Impact 12
Strength Very Limited Very High High Very High Edisi Oktober 2014
ANGKASA CENDEKIA
From the asymmetric conflict theories we find several indicators that deliver influence to asymmetric conflict outcomes. In case of cyber war, the approach used is also almost the same. Indirect attack approach is like a cyber attack from strong actor, example is massive cyber attack by Russian state as links to Estonia in 2007 and Georgia in 2008. While direct approach is like Stuxnet worm that done by the U.S. to Iran nuclear facility. For simplifying the discussion, we follow some definition from Arreguin-Toft (2005), strategy as defined here, is an actor’s plan for using armed forces to achieve military or political goals. “Tactics generally refer to the art of fighting battles and of using the various arms of the military — for example, infantry, armor, and artillery — on terrain and in positions that are favorable to them” (Arreguin-Toft, 2005). Meanwhile in here tactics mean the art of fighting in cyber war, which the weapon used is cyber weapon. Because the term and the practice in conventional warfare tactics and cyber war is not the same, then tried to approach from the other side. Researchers do not propose to make a similar tactic of strategic interaction theory for cyber war. With the discovery of this resistance, we tried to do with the analysis of data in the case of cyber war from 2007-2010 in the following table. Table 3. Analysis cyber war cases from 2007-2010 Event
Time
Estonia
27 April - 18 Maya 2007
Tactic
Very High
Physical, Social, DDoS Political, Financial
Strong Actor
Very High
Physical, Social, DDoS Political, Financial
Weak Actor
High
Social, Political, Financial
July 2009a
Weak Actor
High
Social, Political, DDoS Financial
2010
Strong Actor
High
Physical, Political
Aurora 2009 Operation
Stuxnet
Impact Level Aspect
Strong Actor
Georgia 5 - 27 August 2008a
South Korea
Attacker
Cyber Espionage
Worm
a.(Radu, 2012) Edisi Oktober 2014
13
ANGKASA CENDEKIA
From table 3, we found that cyber attacks have tacticalpatterns that are almost identical. The pattern of the tactic is needed to identify the strategic approach in developing the theory of strategic interaction. These patternsare then grouped into cyber maneuver. The “cyber maneuver” term ischosen because it has almost similar characteristic with the strategy approach, that is,in every conflict there must be a maneuverthat is used. In here we use cyber maneuver categories proposed by Scott D. Applegate. Table 4. Map of the strategy approach with form of cyber manoeuvre for FDA Model Variables Maneuver Name
Maneuver Type
Approach
Exploitive Maneuver Positional Maneuver Influencing Maneuver Perimeter Defense and Defense in Depth Moving Target Defense Counter Attack
Offense Maneuver Offense Maneuver Offense Maneuver
Direct Direct Indirect
Defense Maneuver DefenseManeuver DefenseManeuver
Deceptive Defense
DefenseManeuver
Direct Indirect Direct and Indirect Indirect
By using cyber manoeuvre as strategy that has direct or indirect approach,it is expected to provide a balance comparison of the tactics in the strategic approach to the theory of strategic interaction from Arreguin-Toft. Table 5.Variables comparison between strategic interaction model and FDA model Model Name
Direct Approach
Indirect Approach
Offense
Defense
Offense
Strategic Interaction Model
Conventional Attack
Conventional Defense
Barbarism
FDA Model
• Exploitive Maneuver • Positional Maneuver
• Perimeter Defense & Defense in Depth • Counter Attack
14
Influencing Maneuver
Defense Guerilla Warfare System • MovingTarget Defense • Counter Attack • Deceptive Defense Edisi Oktober 2014
ANGKASA CENDEKIA
The Relationship of Hypothesis between Models This part will elaborate the correlationof FDA model from the hypothesis of strategic interaction theory Table 6. The linkage of hypothesis Strategic Interaction TheoryHypothesis(in Non Cyber War)
Category
Vulnerability 1. Strong actors will and strong actor more often lose asymmetric conflicts defeat that are protracted Direct offense vs. Direct defense
2. When strong actors attack using a direct strategic approach, and weak actors defend using a direct strategic approach, all other things being equal, strong actors should win quickly and decisively
Direct offense 3. When strong actors attack with a direct vs. Indirect defense strategic approach and weak actors defend using an indirect approach, all other things being equal, weak actors should win.
Edisi Oktober 2014
FDA Model as the Conjecture of Strategic Interaction Theory applied in Cyber War Yes, Cost can leaking easily
Yes, Strong actor can attack effectively and combine with use of real weapon
In cyber war, first attack like nuclear war, it can harm everything or give big loss impact. The other things can't be equal, because the strong have bigger opportunity immobilize the weak, but they usually always taken aback with cyber attack from the weak. So already evident from recent cases, weak actors should win
15
ANGKASA CENDEKIA
Indirect offense 4. When a strong actor attacks with an indirect vs. Direct defense strategic approach against a weak actor defending with a direct approach, all other things being equal, strong actor should lose.
Yes, weak actor often has limit capabilities to defeat strong actor in cyber war.
Indirect offense 5. When strong actors employ barbarism to vs. Indirect defense attack weak actors defending with a GWS, all other things being equal, strong actors should win
but strong actor can use excess of power and capability to make inevitable attack to the weak. In real world, "Prism" operations can be an example
Alternative Hypothesis
16
6. Strong actors are more likely to win same-approach interactions and lose opposite approach interaction s.
Not relevant
7. The better armed a weak actor is, the more likely it is that a strong actor will lose an asymmetric conflict
Yes, cyberspace domain also dynamics. Everyone can use for everything.
7a. Relative material power explains relative interests in the outcome of an asymmetric conflict
Not relevant
9. Authoritarian and democratic strong actors share roughly equal political vulnerability in a prolonged asymmetric conflict
Not relevant
Edisi Oktober 2014
ANGKASA CENDEKIA
Proposed Model Based on the strategic interaction theory we try to provide this theory in the cyber war. Outcome of this improved table model called FDA (Firman-Dadang-Arwin) model that cannot separated from Cyberspace Operations as a part of IO. Table 7. Firman-Dadang-Arwin(FDA) Model Weak actor strategic approach
FDA Model Strong actor strategic approach
Direct
Indirect
strong actor
weak actor
Indirect strong actor
strong actor
Direct
In our model as shown in Table 7, in cyber war realm strong actors have bigger opportunity to win than the weak ones. On the contrary, in some cases the opportunity of the strong onesis sealed because of various factors that make them generally have a weakness because of their dependence on cyberspace. In this case, the cyber war preparations greatly affect how the strength of the cyber war itself. Therefore, it is good to create defensive cyber as asymmetry like the China does. China not only has a national command system that could dictate to its infrastructure, but also they has a defensive plan (Clarke and Knake, 2010). Finally,cyber attack could not bring a systemic impact or causes large losses. The analogy of it is they will not be able to make damages to strong actors through cyber attack. Meanwhile the weak actors though have a smaller chance of winning the cyber warfare they have a greater chance to attack. It is the same with parable in conventional warfare, where the weak actor has the desire and motivation to win the war than the strong one. In the context of cyber war, weak actors can attack many targets belonged to the strong ones, but on the contrary the strong ones only havelimited choice of targets belonged to the weak ones. To calculate mathematically, the weak actor only has a chance to win by 1:4 against the strong ones. The powerful Edisi Oktober 2014
17
ANGKASA CENDEKIA
actors indirectly own 75% of winthe war with three possible scenarios, as described in Table 7. That is way there isa difference in prediction results in a model of asymmetric conflict between FDA model and strategic interaction model as much as 25%. From the studies have been elaborated above, with the dynamic conditions of asymmetric conflict, the strong actor and the weak one can fight even with just one man. Therefore the authors found indications of difference with the character who conducts the cyber warfareand the results obtained from the cyber warfare in asymmetric arena. Based on this study, the weak actor only has opportunity to win the battle if they useindirect approach, meanwhile the opposite uses direct approach. On the other hand, the strong one has 75% opportunity and maybe more in reality, to win the battle in cyberspace. The bigger opportunity of the strong ones can only be achieved if they apply Cyberspace Operations as the multiplier power for cyber attack to the weak ones’ CoG. This research also tries to formulate a new model as the implementation of strategic interaction theory which is originally comes from International Relationship domain and brings it with a necessary suitability, for predicting the results of cyber warfare. This model is called FDA (Firman-Dadang-Arwin) modelwhich is developed based on strategic interaction theory proposed by Arreguin-Toft. In conclusion, by using this model we can predict the results of cyber warfare in asymmetric conflict especially when Cyberspace Operations is applied as the multiplier power. The proposed model is still in its growing state and the researchs on it is a wide open area. ACKNOWLEDGEMENT The authors would like to deliver great appreciation to Prof.Dr.Ir. Dadang Gunawan, M.Eng., Expert Staff for Minister of Defense of the Republic of Indonesia for helping the authors perfecting the content of the paper. As the appreciation, the authors use his initial name for our proposed FDA (Firman-DadangArwin) model. 18
Edisi Oktober 2014
ANGKASA CENDEKIA
References Air Force Doctrine Document 3-12, (2011)., Cyberspace Operations. Secretary of the Air Force. Andress, J., & Winterfeld, S. (2011). Cyber Warfare, Tehniques, Tactics and Tools for Security Practitioners. Watham, MA, USA: Elsevier Anggoro, K. (2011). Perang Asimetris: global, regional dan nasional, inSeminar “Menjawab Tantangan Perkembangan Asymetric Warfare di Kawasan nasional, regional dan internasional”, Indonesia Defense University. Jakarta Arreguin-Toft, I., (2005). How The Weak Win The Wars: A Theory of Asymmetric Conflict, 1st ed. Cambridge University Press, Cambridge. Applegate, S. D. (2012). The Principle of Maneuver in Cyber Operations. In C. Czosseck, R. Ottis, & K. Ziolkowski (Eds.),. Presented at the 2012 4th International Conference on Cyber Conflict, Tallinn: NATO CCD COE. Aslanoglu, R., Tekir, S., (2012). Recent Cyberwar Spectrum and Its Analysis, in: Proceedings of the 11th European Conference on Information Warfare and Security. Presented at the European Conference on Information Warfare and Security, Academic Publishing International Limited, Laval, France. Bhatia, M.S., (2011). World War III: The Cyber War. Int. J. Cyber Warf. Terror. 1, 59–69. Carr, J., (2012). Inside Cyber Warfare, Second Edition. ed. O’Reilly Media, 1005 Gravenstein Highway North, Sebastopol, CA 95472.
Edisi Oktober 2014
19
ANGKASA CENDEKIA
Clarke, R.A., Knake, R.K., (2010). Cyber War, The Next Threat to National Security and What To Do About It, 1st ed. HarperCollins, New York. Czosseck, C., G. (2012, November 19). An Evaluation Of StateLevel Strategies Against Botnets In The Context Of Cyber Conflicts. Estonian Business School, Estonia. Hanska, J., (2013). The Emperor’s Digital Clothes: Cyberwar and the Application of Classical Theories of War, in: Rantapelkonen, J., Salminen, M. (Eds.), THE FOG OF CYBER DEFENCE, 2. National Defence University/Department of Leadership and Military Pedagogy, Helsinki, pp. 169–190. Joint Publication 3-13, (2012). , Information Operations. US Joint Chiefs of Staff. Kramer, F.D., (2009). Cyberpower and National Security: Policy Recommendations for a Strategic Framework, in: Kramer, F.D., Starr, S.H., Wentz, L.K. (Eds.), Cyberpower and National Security. National Defense University Press, Washington, D.C, pp. 3–23. Nye Jr, J.S., (2010). Cyber power. Harvard Univ, Belfer Center For Science And International Affairs, Cambridge MA. Ottis, R. (2011). A Systematic Approach to Offensive Volunteer Cyber Militia (Disertation). Tallinn University Of Technology, Tallinn, Estonia. Radu, R.G., (2012). The Monopoly of Violence in the Cyber Space: Challenges of Cyber Security, in: Fels, E., Kremer, J.-F., Kronenberg, K. (Eds.), Power in the 21st Century, Global Power Shift. Springer Berlin Heidelberg, pp. 137–150. Srena Mabesau. (2013). Kajian Cyberspace Operations: Membangun Pengganda Kekuatan Operasi-Operasi 20
Edisi Oktober 2014
ANGKASA CENDEKIA
Informasi. Staf Perencanaan dan Anggaran Markas Besar Angkatan Udara. Indonesia Thornton, R., (2007). Asymmetric Warfare. Polity Press, UK. Wentz, L. K., Barry, C. L., dan Starr, S. H. (2009). Military Perspectives on Cyberpower. Washington, DC.: the National Defense University Center for Technology and National Security Policy.
Edisi Oktober 2014
21
Penilaian Mandiri Program Reformasi Birokrasi (PMPRB) Tentara Nasional Indonesia1 Oleh Letkol Adm Dayatmoko, S.IP.,MM. (Pabandya-3 Reformasi Birokrasi-Paban II/ Jemen Srenum TNI)
R
eformasi birokrasi (RB) TNI telah berjalan hampir lima tahun, sesuai dengan road map 2010-2014. TNI merupakan sa l a h sat u dari sembilan kementerian dan lembaga yang ikut program reformasi birokrasi pada gelombang dua. Gelombang pertama pelaksanaan merupakan instansi-instansi percontohan sebagai model, yang terdiri atas Mahkamah Agung, Kementerian Keuangan (Depkeu saat itu) dan Badan Pemeriksaan Keuangan. Ketiga instansi tersebut memulai program RB tahun 2007. Sedangkan RB TNI dimulai tahun 2010. Pelaksanaan yang hampir lima tahun sudah saatnya untuk dilakukan evaluasi. Evaluasi diperlukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan sembilan program yang dijalankan dengan delapan area perubahan. Hasil evaluasi akan menjadi masukan untuk perbaikan pada penyusunan road map 2014-2019. Evaluasi pelaksanaan RB TNI, sesuai dengan ketentuan dari Kementerian PAN dan RB dilakukan secara mandiri (PMPRB). 1
Artikel ini diolah dari draf Laporan pelaksanaan PMPRB TNI.
22
Edisi Oktober 2014
ANGKASA CENDEKIA
Penilaian mandiri ini sebagai sarana untuk evaluasi internal, sekaligus memberikan gambaran tentang dampak dari program atau outcome-nya. Penilaian sebagai evaluasi internal dilakukan terhadap “komponen proses” pelaksanaan reformasi birokrasi. Sedangkan untuk mengetahui dampak keberhasilan dilakukan penilaian terhadap “komponen hasil”. Pada “komponen proses” yang diukur adalah berbagai kegiatan pelaksanaan RB TNI. Sementara pada “komponen hasil”, dilakukan melalui survei baik internal maupun eksternal. Survei internal dilakukan untuk mengetahui besarnya dukungan personel terhadap pelaksanaan reformasi birokrasi. Sedangkan survei eksternal dapat dilakukan terhadap dua hal yaitu tentang indeks kepuasan masyarakat dan indeks persepsi korupsi. PMPRB Pelaksanaan PMPRB merupakan keharusan bagi seluruh instansi pemerintah yang telah mengikuti program reformasi birokrasi berdasarkan pada Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 14 tahun 2014 tentang Pedoman Evaluasi Reformasi Birokrasi Instansi Pemerintah. Ada dua aspek yang dinilai, yaitu komponen pengungkit (proses) dan komponen hasil. Komponen pengungkit merupakan program perubahan delapan bidang yaitu manajemen perubahan, penataan peraturan perundang-undangan, penataan dan penguatan organsiasi, penataan tata laksana, penataan SDM, penguatan akuntabilitas, penguatan pengawasan, dan peningkatan pelayanan publik. Komponen ini, penilaian dilakukan secara internal oleh tim yang dibentuk sendiri, kemudian hasilnya akan diverifikasi oleh tim Kementerian PAN dan RB. Sedangkan komponen hasil dinilai oleh tim eksternal yang meliputi kapasitas dan akuntabilitas kinerja organisasi, pemerintah yang bersih dan bebas KKN serta kualitas pelayanan publik. Indikator Penilaian Penilaian pelaksanaan program reformasi birokrasi berdasarkan pada dua komponen, yaitu pengungkit/proses dan hasil. Komponen pengungkit merupakan aspek penilaian dengan Edisi Oktober 2014
23
ANGKASA CENDEKIA
mendasarkan pada berbagai peranti lunak dan kegiatan yang telah dilakukan dalam rangka RB, yang diisi oleh tim assessor sendiri. Sedangkan komponen hasil merupakan hasil penilaian dari institusi lain dan hasil survei berdasarkan program yang telah dilaksanakan. a. Komponen pengungkit/proses. Komponen pengungkit yang terdiri atas delapan area perubahan dinilai dari indikator-indikator sebagai berikut:2 1) Manajemen perubahan dinilai dari empat indikator yaitu terbentuknya tim reformasi birokrasi, road map, pemantauan dan evaluasi serta perubahan pola pikir dan budaya kinerja. 2) Penataan peraturan perundang-undangan dengan indikator harmonisasi dan sistem pengendalian dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. 3) Penataan dan penguatan organisasi dengan indikator evaluasi dan penataan. 4) Penataan tatalaksana dengan indikator proses bisnis dan prosedur operasional tetap (SOP), E-government dan keterbukaan informasi publik. 5) Penataan sistem manajemen SDM aparatur dengan indikator perencanaan kebutuhan pegawai, proses penerimaan pegawai, pengembangan pegawai berbasis kompetensi, promosi jabatan, penetapan kinerja individu, penegakan aturan disiplin, pelaksanaan evaluasi jabatan dan sistem informasi kepegawaian. 6) Penguatan pengawasan dengan indikator gratifikasi, penerapan SPIP, pengaduan masyarakat, whistle-blowing system, penanganan benturan kepentingan, pembangunan zona integritas dan APIP. 7) Penguatan akuntabilitas kinerja dengan indikator keterlibatan pimpinan dan pengelolaan akuntabilitas kinerja. 2 Diolah dari Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 14 tahun 2014 tentang Pedoman Evaluasi Reformasi Birokrasi Instansi Pemerintah.
24
Edisi Oktober 2014
ANGKASA CENDEKIA
8) Peningkatan kualitas pelayanan publik dengan indikator standar pelayanan, budaya pelayanan prima, pengelolaan pengaduan, penilaian kepuasan terhadap pelayanan dan pemanfataan teknologi informasi. b. Komponen hasil. Komponen hasil dinilai oleh tim eksternal yang berdasarkan tiga indikator, yaitu: 1) Terwujudnya pemerintahan yang bersih dan bebas KKN. 2) Terwujudnya peningkatan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat. 3) Meningkatnya kapasitasnya dan akuntabilitas kinerja birokrasi. Bobot Penilaian Bobot penilaian pada dua aspek tidak sama. Komponen pengungkit (proses) diberikan bobot sebesar 60 dan komponen hasil diberikan bobot sebesar 40. Bobot yang berbeda juga diberikan setiap indikator pada tiap komponen. Berikut ini bobot penilaian tiap item sesuai tabel berikut:
A. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. B. 1. 2. 3. 3
TABEL 1 Bobot Nilai Evaluasi Reformasi Birokrasi TNI3 PROSES (60) Skor Manajemen Perubahan 5 Penataan Perundang-undangan 5 Penataan dan Penguatan Organisasi 6 Penataan Tata Laksana 5 Penataan SDM 15 Penguatan Akuntabilitas 6 Penguatan Pengawasan 12 Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik 6 HASIL (40) Kapasitas dan Akuntabilitas Kinerja 20 Pemerintahan yang bersih dan Bebas KKN 10 Kualitas Pelayanan Publik 10
Ibid Edisi Oktober 2014
25
ANGKASA CENDEKIA
Kategori Hasil Penilaian Hasil penilaian dengan dua komponen kemudian diakumulasikan sehingga menghasilkan skor antara 0 sampai 100. Skor ini menunjukkan tingkat keberhasilan pelaksanaan Reformasi Birokrasi dengan kategori sebagaimana tabel berikut: Tabel 24 Kategori Penilaian NO KATEGORI 1 AA 2 A 3 BB 4 B
NIL ANGKA > 90-100 >80-90 >70-80 >60-70
5
CC
>50-60
6
C
>30-50
7
D
0-30
INTERPRETASI ISTIMEWA MEMUASKAN SANGAT BAIK BAIK, PERLU SEDIKIT PERBAIKAN CUKUP, (MEMADAI) PERLU BANYAK PERBAIKAN YANG TIDAK MENDASAR KURANG, PERLU BANYAK PERBAIKAN TERMASUK PERUBAHAN YG MENDASAR SANGAT KURANG, PERLU BYK SEKALI PERBAIKAN & PERUBAHAN YG SGT MENDASAR
Hasil Penilaian Mandiri TNI a. Komponen Proses. Komponen proses dinilai berdasarkan delapan area perubahan yang telah dilakukan secara internal oleh TNI, berdasarkan parameter dalam bentuk kuesioner yang disusun oleh Kementerian PAN dan RB. Area perubahan yang dinilai adalah 2
Ibid.
26
Edisi Oktober 2014
ANGKASA CENDEKIA
manajemen perubahan, penataan peraturan perundang-undangan, penataan dan penguatan organisasi, penataan tata laksana, penataan sistem manajemen SDM, penguatan akuntabilitas, penguatan pengawasan serta peningkatan kualitas pelayanan publik. 1) Manajemen Perubahan. Keberhasilan manajemen perubahan dalam melakukan reformasi internal diukur dari empat indikator, yaitu pembentukan tim reformasi birokrasi, road map, permantaun dan evaluasi, serta perubahan pola pikir dan budaya kinerja. Berikut ini hasil penilaian masing-masing indikator: a) Tim reformasi birokrasi. Indikator tim reformasi birokrasi memiliki tiga sub indikator yaitu: (1) Tim reformasi birokrasi telah dibentuk. Pada subindikator tim reformasi birokrasi telah dibentuk tim assessor PMPRB sepakat bahwa telah terbentuk tim sesuai kebutuhan organisasi masuk dalam kategori “A”. (2) Tim reformasi birokrasi telah melaksanakan tugas sesuai rencana kerja tim reformasi birokrasi. Pada subindikator ini, tim assessor sepakat bahwa “Sebagian besar tugas telah dilaksanakan oleh tim reformasi birokrasi sesuai dengan rencana kerja (kategori “B”).” (3) Tim reformasi birokrasi telah melakukan monitoring dan evaluasi rencana kerja, dan hasil evaluasi telah ditindaklanjuti. Pada subindikator ini, tim assessor sepakat bahwa,”Sebagian besar rencana kerja telah dimonitoring dan di evaluasi, dan hasil evaluasi telah ditindaklanjuti (kategori “B”).” b) Road map reformasi birokrasi. Indikator road map dibagi dalam lima subindikator sebagai berikut: (1) Road map telah disusun dan diformalkan. Pada subindikator ini tim sepakat bahwa road map yang telah disusun sudah memenuhi kriteria Edisi Oktober 2014
27
ANGKASA CENDEKIA
dengan adanya pengesahan dari pimpinan, sehingga memilih jawaban “Ya”. (2) Road map telah mencakup delapan area perubahan. Pada subindikator cakupan road map, tim sepakat bahwa dokumen telah mencakup lebih dari empat kriteria, sehingga sepakat untuk memberikan penilaian “A”. (3) Road map telah mencakup “quick win”. Naskah road map selain memuat tentang delapan area juga memuat tentang quick win, untuk memacu percepatan reformasi birokrasi. TNI telah menyusun program quick win” meskipun belum sepenuhnya sesuai ekspektasi sehingga memberikan nilai “B”. Belum maksimalnya quick win kerena keberhasilan TNI sangat abstrak, sehingga PPRC sulit diukur keberhasilannya karena Negara dalam kondisi damai. (4) Penyusunan road map telah melibatkan seluruh unit organisasi. Pada subindikator ini, tim penilaian sepakat bahwa penyusunan naskah telah melibatkan seluruh unit organisasi, dibuktikan dengan telah adanya paraf pada setiap kolom (5) Telah terdapat sosialisasi/internalisasi road map kepada anggota organisasi. Proses RB TNI telah berjalan meskipun banyak kendala, dan kegiatan sosialisasi/internalisasi terus dilaksanakan sehingga sebagian besar personel telah paham dengan program reformasi biorkrasi. c) Pemantauan dan evaluasi reformasi birokrasi. Indikator pada pemantau dan evaluasi memiliki tujuh subindikator yaitu: (1) PMPRB telah direncanakan dan diorganisasikan dengan baik. Pada subindikator ini tim assessor sepakat bahwa sebagian besar telah direncanakan “B”. 28
Edisi Oktober 2014
ANGKASA CENDEKIA
(2) Aktivitas PMPRB telah dikomunikasikan pada masing-masing unit kerja. Pada subindikator ini tim sepakat bahwa, “sebagian besar aktivitas PMPRB telah dikomunikasikan pada masing-masing unit organisasi (kategori “B”)”. (3) Telah dilakukan pelatihan yang cukup bagi tim assessor PMPRB. Tim assessor berpendapat bahwa,”sebagian kecil tim assessor PMPRB telah mendapatkan pelatihan (kategori “C”),” karena tim di angkatan belum diberikan pelatihan, baru tim di Mabes TNI. (4) Pelaksanaan PMPRB dilakukan oleh assessor sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Penilaian melibatkan pejabat di TNI dan angkatan serta, staf dari masing-masing pejabat yang menjadi assessor sehingga tim berpendapat bahwa, ”terdapat penunjukan keikutsertaan pejabat struktural lapis kedua sebagai assessor PMPRB, tetapi partisipasinya tidak meliputi seluruh proses PMPRB (Kategori “B”).” (5) Apakah koordinator assessor PMPRB melakukan review terhadap kertas kerja assessor sebelum menyusun kertas kerja instansi? Untuk akurasi hasil penilaian koordinator assessor telah melakukan review terhadap sebagian kertas kerja sebelum menyusun kertas kerja instansi, sehingga layak masuk dalam kategori “B”, untuk subindikator ini. (6) Apakah para assessor mencapai konsensus atas pengisian kertas kerja sebelum menetapkan nilai PMPRB instansi? Jawaban dari pertanyaan ini adalah, ”mayoritas koordinator assessor mencapai konsensus dan seluruh kriteria dibahas (kategori “A”).” Edisi Oktober 2014
29
ANGKASA CENDEKIA
(7) Rencana aksi tindak lanjut (RATL) telah dikomunikasikan dan dilaksanakan. Tim berpendapat bahwa, “terdapat rencana aksi dan tindak lanjut (RATL) yang telah dikomunikasikan dan dilaksanakan.” d) Perubahan pola pikir dan budaya kinerja, memiliki tiga subindikator, yaitu: (1) Terdapat keterlibatan pimpinan tertinggi secara aktif dan berkelanjutan dalam pelaksanaan reformasi birokrasi. Pada subindikator ini, tim sepakat bahwa, ”sebagian besar pimpinan tertinggi terlibat secara aktif dan berkelanjutan dalam pelaksanaan reformasi birokrasi “B”.” (2) Terdapat media komunikasi secara reguler untuk menyosialisasikan tentang reformasi birokrasi yang sedang dan akan dilakukan. Berbagai sarana komunikasi seperti web, situs, jaring komunikasi, jurnal, majalah dan lainlain telah digunakan untuk mengomunikasikan program RB, sehingga tim sepakat bahwa, “ada media komunikasi yang cakupannya menjangkau seluruh pegawai dan pemangku kepentingan terkait.” (3) Terdapat upaya untuk menggerakkan organisasi dalam melakukan perubahan melalui pembentukan agent of change ataupun role model. Agent of change telah diupayakan untuk dibentuk, sehingga tim hanya memberikan nilai “C”. 2) Penataan Peraturan Perundang-Undangan. Penataan peraturan perundang-undangan dilihat dari dua indikator yaitu harmonisasi dan sistem pengendalian dalam penyusunan peraturan. Penilaian terhadap dua indikator tersebut dibagi dalam subindikator sebagai berikut: 30
Edisi Oktober 2014
ANGKASA CENDEKIA
a) Harmonisasi. Indikator harmonisasi dinilai dari dua subindikator, yaitu: (1) Telah dilakukan identifikasi, analisis, dan pemetaan terhadap peraturan perundangundangan yang tidak harmonis/sinkron. Terhadap subindikator. Pada subindikator ini tim assessor sepakat bahwa TNI, ”telah dilakukan identifikasi, analisis, dan pemetaan terhadap sebagian peraturan perundang-undangan yang tidak harmonis/sinkron (kategori “B”).” Sebagian kecil peraturan perundang-undangan belum dilakukan analisa yang mendalam. (2) Telah dilakukan revisi peraturan perundangundangan yang tidak harmonis / tidak sinkron. Terhadap revisi peraturan, TNI telah melakukan berbagai revisi namun belum selesai sehingga masih dalam kategori “B”. b) Sistem pengendalian dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Indikator ini dinilai dari subindikator sebagai berikut: (1) Adanya sistem pengendalian penyusunan peraturan perundangan yang mensyaratkan adanya rapat koordinasi, naskah akademis/kajian/ policy paper, dan paraf koordinasi. Terhadap item ini, ”ada persyaratan tersebut namun baru sebagian diimplementasikan (kategori “B”).” (2) Telah dilakukan evaluasi atas pelaksanaan sistem pengendalian penyusunan peraturan perundang-undangan. Terhadap subindikator ini tim sepakat bahwa, ”evaluasi atas pelaksanaan sistem pengendalian penyusunan peraturan perundang-undangan dilakukan secara berkala (kategori “A”).”
Edisi Oktober 2014
31
ANGKASA CENDEKIA
3) Penataan dan Penguatan Organisasi. Penataan dan penguatan organisasi dilihat dari dua indikator, yaitu evaluasi dan penataan. Berikut ini perincian masing-masing indikator: a) Evaluasi. Indikator evaluasi dinilai dari subindikator sebagai berikut: (1) Telah dilakukan evaluasi yang bertujuan untuk menilai ketepatan fungsi dan ketepatan ukuran organisasi. Terhadap sub indikator ini tim assessor berpendapat bahwa, “telah dilakukan evaluasi untuk menilai ketepatan fungsi dan ketepatan ukuran organisasi kepada sebagian unit organisasi (kategori “B”),” karena masih ada sebagian kecil organisasi yang belum dilakukan evaluasi. (2) Telah dilakukan evaluasi yang mengukur jenjang organisasi. Terhadap subindikator evaluasi tim assessor berpendapat bahwa, “telah dilakukan evaluasi yang mengukur jenjang organisasi kepada sebagian unit organisasi (kategori “B”), sebagian kecil organisasi belum dilakukan evaluasi. (3) Telah dilakukan evaluasi yang menganalisis kemungkinan duplikasi fungsi. Pada item ini tim berpendapat bahwa, “telah dilakukan evaluasi yang menganalisis kemungkinan duplikasi fungsi kepada seluruh unit kerja (kategori “A”).” Evaluasi dilakukan melalui berbagai naskah akademis, kajian, tanggapan, analisa beban kerja dan lain-lain. (4) Telah dilakukan evaluasi yang menganalisis satuan organisasi yang berbeda tujuan namun ditempatkan dalam satu kelompok. Terhadap satuan yang berbeda tujuan namun ditempatkan satu kelompok tim berpendapat bahwa, “telah dilakukan evaluasi yang menganalisis satuan organisasi yang berbeda tujuan namun ditempatkan dalam satu kelompok kepada sebagian unit kerja 32
Edisi Oktober 2014
ANGKASA CENDEKIA
(kategori “B”),” masih ada sebagian kecil unit kerja yang belum dilakukan evaluasi. (5) Telah dilakukan evaluasi yang menganalisis kemungkinan adanya pejabat yang melapor kepada lebih dari seorang atasan. Subindikator ini tim sepakat bahwa, “telah dilakukan evaluasi yang menganalisis kemungkinan adanya pejabat yang melapor kepada lebih dari seorang atasan kepada sebagian unit kerja (kategori “B”).” (6) Telah dilakukan evaluasi yang menganalisis kesesuaian struktur organisasi dengan kinerja yang akan dihasilkan. Sebagian telah dilakukan evaluasi, maka tim sepakat bahwa, “telah dilakukan evaluasi yang menganalisis kesesuaian struktur organisasi dengan kinerja yang akan dihasilkan kepada sebagian unit kerja (kategori “B”).” (7) Telah dilakukan evaluasi atas kesesuaian struktur organisasi dengan mandat. TNI telah melakukan evaluasi terhadap seluruh struktur organisasi kategori “A”. (8) Telah dilakukan evaluasi yang menganalisis kemungkinan tumpang tindih fungsi dengan instansi lain. Untuk penyataan ini Tim Sepakat menjawab “YA”. (9) Telah dilakukan evaluasi yang menganalisis kemampuan struktur organisasi untuk adaptif terhadap perubahan lingkungan strategis. Untuk pernyataan ini tim sepakat menjawab “YA”. b) Penataan: Hasil evaluasi telah ditindaklanjuti dengan mengajukan perubahan organisasi. Terhadap variabel penataan tim sepakat menjawab “YA”. 4) Penataan Tata Laksana. Penataan tata laksana dinilai dari indikator sebagai berikut:
Edisi Oktober 2014
33
ANGKASA CENDEKIA
a) Proses bisnis dan prosedur operasional tetap (SOP) kegiatan utama. SOP dijabarkan lagi dalam sub-sub indikator yaitu: (1) Telah memiliki peta proses bisnis yang sesuai dengan tugas dan fungsi. TNI saat ini sedang menyusun peta proses bisnis sehingga tim berpendapat bahwa, “seluruh unit organisasi telah memiliki peta proses bisnis yang sesuai dengan tugas dan fungsi (kategori “A”).” (2) Peta proses bisnis sudah dijabarkan ke dalam prosedur operasional tetap (SOP). Sebagai tindak lanjut dari penyusunan peta bisnis proses saat ini, “sebagian besar peta proses bisnis telah dijabarkan dalam SOP (kategori “A”).” Sedangkan sebagian yang lain sedang menyusun SOP. (3) Prosedur operasional tetap (SOP) telah diterapkan. Terhadap implementasi SOP, tim menilaian bahwa, “sebagian besar unit organisasi telah menerapkan prosedur operasional tetap (SOP).” Sedangkan yang lain masih menyelesaikan penyusunan SOP. (4) Peta proses bisnis dan prosedur operasional telah dievaluasi dan disesuaikan dengan perkembangan tuntutan efisiensi, dan efektivitas birokrasi. Telah dilakukan evaluasi namun belum menganalisis efisiensi dan efektivitas peta proses bisnis dan SOP, sehingga baru dalam kategori “C”. b) E-Government, dijabarkan dalam empat subindikator sebagai berikut: (1) Sudah memiliki rencana pengembangan e-government di lingkungan instansi. TNI sudah memiliki e-government, sehingga tim sepakat menjawab “YA”. (2) Sudah
dilakukan
pengembangan
e-government di lingkungan internal dalam 34
Edisi Oktober 2014
ANGKASA CENDEKIA
rangka mendukung proses birokrasi (misal intranet, sistem perencanaan dan penganggaran, sistem data base SDM, dll). E-government telah dikembangkan di TNI, namun menurut tim penilai, “sudah dilakukan implementasi pengembangan e-government namun belum terintegrasi (kategori “B”).” ( 3) Suda h dilakukan pengembangan e-government untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat (misal website untuk penyediaan informasi kepada masyarakat, sistem pengaduan). E-government untuk pelayanan informasi telah dikembangkan di TNI, namun menurut tim penilai, belum terintegrasi (kategori “B”). (4) Sudah dilakukan pengembangan e-government untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat dalam tingkatan transaksional (masyarakat dapat mengajukan perijinan melalui website, melakukan pembayaran, dll). E-government dalam tingkatan transaksional telah dikembangkan di TNI, namun menurut tim penilai, belum terintegrasi (kategori “B”). c) Keterbukaan informasi publik. Indikator keterbukaan informasi dijabarkan dalam subindikator sebagai berikut: (1) Adanya kebijakan pimpinan tentang keterbukaan informasi publik (identifikasi informasi yang dapat diketahui oleh publik dan mekanisme penyampaian). Sudah ada kebijakan pimpinan tentang keterbukaan informasi publik jadi tim menilai “YA”. (2) Menerapkan kebijakan keterbukaan informasi publik. Sebagian besar informasi publik telah dapat diakses melalui web atau situs TNI sehingga dalam kategori “B”. Edisi Oktober 2014
35
ANGKASA CENDEKIA
(3) Melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan keterbukaan informasi publik. Terhadap item ini tim berpendapat bahwa, “monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan keterbukaan informasi publik dilakukan tidak berkala (kategori “B”).” Sifat monitoring masih insidentil. 5) Penataan sistem manajemen SDM. Penataan SDM memiliki skor yang paling tinggi dalam komponen proses dengan 16 poin. Penataan SDM dinilai dari indikator sebagai berikut: a) Perencanaan kebutuhan pegawai sesuai dengan kebutuhan organisasi. Perencanaan kebutuhan pegawai dijabarkan menjadi: (1) Analisis jabatan dan analisis beban kerja telah dilakukan. Berdasarkan hasil penelusuran tim penilai bahwa, “analisis jabatan dan analisis beban kerja telah dilakukan kepada sebagian besar jabatan (“B”).” Sebagian kecil yang lain analisa beban kerja masih dalam proses. (2) Perhitungan kebutuhan pegawai telah dilakukan. TNI telah memiliki perencanaan kebutuhan personel dalam jangka panjang, sedang dan pendek (tahunan), sehingga tim menyimpulkan bahwa, “perhitungan kebutuhan pegawai telah dilakukan kepada sebagian besar unit organisasi (“B”).” (3) Rencana redistribusi pegawai telah disusun dan diformalkan. TNI telah memiliki mekanisme yang baku dalam redistribusi pegawai sesuai dengan kebutuhan organisasi dan kepentingan personel, sehingga untuk permasalahan ini dijawab “YA”. (4) Proyeksi kebutuhan lima tahun telah disusun dan diformalkan. TNI telah memiliki perencanaan kebutuhan personel dalam jangka panjang, sedang dan pendek (tahunan), sehingga tim menyimpulkan jawaban, “YA”. 36
Edisi Oktober 2014
ANGKASA CENDEKIA
(5) Perhitungan formasi jabatan yang menunjang kinerja utama instansi telah dihitung dan diformalkan. Formasi jabatan telah dilakukan secara formal sehingga tim menyimpulkan bahwa, “perhitungan formasi jabatan yang menunjang kinerja utama instansi telah dihitung dan diformalkan pada seluruh unit organisasi (“A”).” b) Proses penerimaan pegawai transparan, objektif, akuntabel dan bebas KKN: (1) Pengumuman penerimaan diinformasikan secara luas kepada masyarakat. Setiap penerimaan prajurit dan PNS TNI selalu diumumkan secara terbuka melalui masa media dan website, sehingga tim menyimpulkan pilihan jawaban, “pengumuman penerimaan disebarluaskan melalui berbagai media (misal website, jejaring sosial, dsb) (“A”).” (2) Pendaftaran dapat dilakukan dengan mudah, cepat dan pasti (online). Pendaftaran secara online dilakukan dengan mudah sehingga tim assessor “YA” untuk permasalahan kemudahan mendaftar secara online. (3) Persyaratan jelas, tidak diskriminatif. Persyaratan pendaftaran menjadi anggota TNI atau PNS TNI tidak ada diskriminasi sehingga tim menjawab, “YA” (4) Proses seleksi transparan, objektif, adil, akuntabel dan bebas KKN. Untuk menjawab proses seleksi yang transparan, objektif, adil, akuntabel dan bebas KKN Tim sepakat menjawab, “YA”. (5) Pengumuman hasil seleksi diinformasikan secara terbuka. Menjawab pertanyaan apakah “pengumuman hasil seleksi dinformasikan secara terbuka, tim assessor menjawab, “YA”.”
Edisi Oktober 2014
37
ANGKASA CENDEKIA
c) Pengembangan pegawai berbasis kompetensi. Pengembangan pegawai dinilai dari: (1) Telah ada standar kompetensi jabatan. TNI telah memiliki standar kompetensi jabatan sehingga tim sepakat menjawab, “YA” (2) Telah dilakukan asessment pegawai. Seluruh anggota militer dan PNS sebelum penempatan, “telah dilakukan asessment kepada seluruh pegawai (“A”).” (3) Telah diidentifikasi kebutuhan pengembangan kompetensi. Telah diidentifikasi kebutuhan pengembangan kompetensi kepada sebagian besar pegawai (B). (4) Telah dilakukan pengembangan pegawai berbasis kompetensi sesuai dengan rencana dan kebutuhan pengembangan kompetensi. Berkaitan dengan pengembangan pegawai berbasis kompetensi, tim assessor berpendapat, “telah disusun rencana pengembangan kompetensi sebagian besar pegawai dengan dukungan anggaran yang mencukupi (“B”).” (5) Telah dilakukan monitoring dan evaluasi pengembangan pegawai berbasis kompetensi secara berkala. Telah dilakukan pengembangan berbasis kompetensi kepada sebagian besar pegawai sesuai dengan rencana dan kebutuhan pengembangan kompetensi (B). (6) Telah dilakukan monitoring dan evaluasi pengembangan pegawai berbasis kompetensi secara berkala. Monitoring dan evaluasi pengembangan pegawai menurut tim assessor, “telah dilakukan monitoring dan evaluasi pengembangan pegawai berbasis kompetensi secara berkala (“A”).”
38
Edisi Oktober 2014
ANGKASA CENDEKIA
d) Promosi jabatan dilakukan secara terbuka. Ukuran promosi jabatan secara terbuka dilihat dari: (1) Kebijakan promosi terbuka telah ditetapkan. Promosi jabatan dilakukan secara terbuka, sehingga tim menjawab, “YA”. (2) Promosi terbuka pengisian jabatan pimpinan tinggi telah dilaksanakan. Pengisian jabatan pimpinan tinggi TNI sangat terbuka sehingga tim assessor memilih jawaban, “pengisian jabatan pimpinan tinggi (utama, madya dan pratama) telah dilakukan melalui promosi terbuka secara nasional (“A”).” (3) Promosi terbuka dilakukan secara kompetitif dan obyektif. Permasalahan promosi dilakukan secara terbuka dan kompetitif, tim menjawab,”YA”. (4) Promosi terbuka dilakukan oleh panitia seleksi yang independen. TNI telah memiliki mekanisme Wanjak untuk seleksi penempatan jabatan, sehingga dijawab, “YA”. (5) Hasil setiap tahapan seleksi diumumkan secara terbuka. Hasil seleksi untuk penempatan jabatan selalu diumumkan terbuka kepada seluruh personel TNI, sehingga tim menjawab, “YA”. e) Penetapan kinerja individu. Penetapan kinerja individu dilihat dari subindikator: (1) Penerapan penetapan kinerja individu. TNI dalam hal kinerja individu menurut tim, “Penerapan penetapan kinerja individu telah dilakukan terhadap sebagian besar pegawai (“B”).” Sementara untuk sebagian kecil pegawai yang lain menyusul. (2) Terdapat penilaian kinerja individu yang terkait dengan kinerja organisasi. TNI telah melakukan penilaian kinerja individu terhadap, “sebagian besar pegawai telah melakukan Edisi Oktober 2014
39
ANGKASA CENDEKIA
penilaian kinerja individu yang terkait dengan kinerja organisasi (“B”).” Sebagian yang lain dalam proses. (3) Ukuran kinerja individu telah memiliki kesesuaian dengan indikator kinerja individu level diatasnya. Kuesioner yang disusun dalam melakukan penilaian kinerja individu menurut tim, “sebagian besar pegawai telah memiliki ukuran kinerja individu yang sesuai dengan indikator kinerja individu di atasnya (“B”).” (4) Pengukuran kinerja individu dilakukan secara periodik. Penilaian telah dilakukan secara periodik setiap semester, sehingga tim memilih jawaban, “pengukuran kinerja individu dilakukan secara semesteran (“B”).” (5) Telah dilakukan monitoring dan evaluasi (monev) atas pencapaian kinerja individu. Untuk meningkatkan kinerja, “telah dilakukan monev atas pencapaian kinerja individu secara berkala (“A”).” (6) Hasil penilaian kinerja individu telah dijadikan dasar untuk pengembangan karir individu. Penilaian kinerja individu telah dijadikan dasar dalam pembinaan karir, sehingga tim memilih jawaban, “hasil penilaian kinerja individu telah dijadikan dasar untuk pengembangan karir individu terhadap seluruh pegawai (“A”).” (7) Capaian kinerja individu telah dijadikan dasar untuk pemberian tunjangan kinerja (tunkin). Capaian kinerja telah dijadikan acuan dalam pemberian tunjangan kinerja, dimana pegawai harus mencapai nilai minimal “C”, untuk mendapatkan tunkin. Sedangkan apabila kategori penilaian dapat “K” atau “KS” dicabut tunjangannya, maka tim menjawab, “Capaian 40
Edisi Oktober 2014
ANGKASA CENDEKIA
kinerja individu telah dijadikan dasar untuk pemberian tunjangan kinerja kepada sebagian besar pegawai (“B”).” f) Penegakan aturan disiplin/kode etik/kode perilaku pegawai. Penegakan disiplin pegawai dilihat dari: (1) Aturan disiplin/kode etik/kode perilaku instansi telah ditetapkan. Aturan disiplin pegawai telah ditetapkan sehingga tim menjawab, “YA”. (2) Aturan disiplin/kode etik/kode perilaku instansi telah diimplementasikan. Aturan disiplin telah diimplementasikan sehingga tim menjawab, “aturan disiplin/kode etik/kode perilaku instansi telah diimplementasikan kepada seluruh unit organisasi (“A”).” (3) Adanya monitoring dan evaluasi atas pelaksanaan aturan disiplin/kode etik/kode perilaku instansi. Pelaksanaan kode etik selalu dimonitor, sehingga tim memilih jawaban, “adanya monev atas pelaksanaan aturan disiplin/kode etik/kode perilaku instansi secara berkala (“A”).” (4) Adanya pemberian sanksi dan imbalan (reward). TNI telah memiliki sistem tentang reward dan punishment sehingga tim memilih jawaban, “Adanya pemberian sanksi dan imbalan (reward) kepada seluruh unit organisasi (“A”).” g) Pelaksanaan evaluasi jabatan. Evaluasi jabatan dinilai dari: (1) Informasi faktor jabatan telah disusun. TNI telah memiliki informasi jabatan sehingga Tim menjawab,”YA”. (2) Peta jabatan telah ditetapkan. Tentang peta jabatan, tim berpendapat bahwa, “Seluruh unit organisasi telah menetapkan peta jabatan (“A”).” Edisi Oktober 2014
41
ANGKASA CENDEKIA
(3) Kelas jabatan telah ditetapkan. Setiap penerbitan POP atau struktur organisasi telah dilengkapi dengan kelas jabatan, sehingga tim menyimpulkan bahwa, “seluruh unit organisasi telah menetapkan kelas jabatan (“A”).” h) Sistem informasi kepegawaian. Sistem informasi kepegawaian dinilai dari: (1) Sistem informasi kepegawaian telah dibangun sesuai kebutuhan. Untuk sistem informasi kepegawai tim menjawab, “YA”. (2) Sistem informasi kepegawaian dapat diakses oleh pegawai. Sistem informasi dapat diakses seluruh pegawai sehingga Tim menjawab, “YA”. (3) Sistem informasi kepegawaian terus dimutakhirkan. Setiap terjadi perubahan selalu dilakukan up date data sehingga, tim memilih jawaban, “sebagian besar unit organisasi terus memutakhirkan sistem informasi kepegawaian (“B”).” (4) Sistem informasi kepegawaian digunakan sebagai pendukung pengambilan kebijakan manajemen SDM. Sisinfopers telah digunakan sebagai dasar dalam kebijakan manajemen SDM, sehingga tim menjawab, “YA”. 6)
Penguatan Akuntabilitas. a)
42
Keterlibatan pimpinan (1) Apakah pimpinan terlibat secara langsung pada saat penyusunan Renstra. Keterlibatan pimpinan dalam penguatan akuntabilitas menurut tim, “sebagian besar pimpinan terlibat secara langsung pada saat penyusunan Renstra (“B”).” (2) Apakah pimpinan terlibat secara langsung pada saat penyusunan penetapan kinerja. Edisi Oktober 2014
ANGKASA CENDEKIA
Menurut tim, “seluruh pimpinan terlibat secara langsung pada saat penyusunan penetapan kinerja (“A”).” (3) Apakah pimpinan memantau pencapaian kinerja secara berkala. Pimpinan secara aktif melakukan pemantauan sehingga tim memilih jawaban, “seluruh pimpinan memantau pencapaian kinerja secara berkala (“A”).” b) Pengelolaan akuntabilitas kinerja. Pengelolaan akuntabilitas kinerja diukur dari: (1) Apakah terdapat upaya peningkatan kapasitas SDM yang menangani akuntabilitas kinerja. Peningkatan kapasitas SDM menurut tim telah, “sebagian besar unit organisasi berupaya meningkatkan kapasitas SDM yang menangani akuntabilitas kinerja (“B”).” (2) Apakah pedoman akuntabilitas kinerja telah disusun. Pedoman akuntabilitas kinerja telah disusun dijawab, “YA” (3) Sistem pengukuran kinerja telah dirancang berbasis elektronik. Sedangkan untuk pengukuran berbasis kinerja tim memilih jawaban, “sistem pengukuran kinerja berbasis elektronik dalam pengembangan tetapi belum implementasi “C”.” (4) Sistem pengukuran kinerja dapat diakses oleh seluruh unit. Sesuai dengan jawaban item “c)”, maka tim menjawab, “sistem pengukuran kinerja belum dapat diakses oleh unit organisasi (“D”).” (5) Pemutakhiran data kinerja dilakukan secara berkala. Hasil data kinerja menurut tim telah dilakukan, ”pemutakhiran data kinerja dilakukan secara triwulanan (“B”).”
Edisi Oktober 2014
43
ANGKASA CENDEKIA
7)
Penguatan Pengawasan a)
Gratifikasi. Subindikator gratifikasi diukur dari: (1) Telah terdapat kebijakan penanganan gratifikasi. Tentang gratifikasi menurut tim telah dilakukan penanganan sehingga dijawab, “YA” (2) Telah dilakukan public campaign. Kampanye tentang gratifikasi selalu dilakukan sehingga tim, memilih jawaban, “public campaign telah dilakukan secara berkala (“A”).” (3) Penanganan gratifikasi telah diimplementasikan. Telah ada penanganan gratifikasi sehingga tim menjawab, “YA”. (4) Telah dilakukan evaluasi atas kebijakan penanganan gratifikasi. Evaluasi belum dilakukan sehingga tim menjawab, “TIDAK”. (5) Hasil evaluasi atas penanganan gratifikasi telah ditindaklanjuti. Sesuai dengan jawaban pada item “d)”, maka jawaban atas hasil evaluasi adalah, “TIDAK”.
b) Penerapan SPIP. Penerapan sistem pengendalian internal pemerintah (SPIP) keberhasilannya diukur dari: (1) Telah terdapat peraturan pimpinan organisasi tentang SPIP. Telah ada peraturan tentang SPIP sehingga dijawab, “YA”. (2) Telah dibangun lingkungan pengendalian. Lingkungan pengendalian telah dibangun di seluruh satker sehingga dijawab, “seluruh organisasi telah membangun lingkungan pengendalian (“A”).” (3) Telah dilakukan penilaian risiko atas organisasi. Penilaian risiko baru dilakukan di sebagian kecil sehingga dijawab, “sebagian kecil organisasi telah melaksanakan penilaian risiko (“C”).” (4) Telah dilakukan kegiatan pengendalian untuk meminimalisir risiko yang telah diidentifikasi. 44
Edisi Oktober 2014
ANGKASA CENDEKIA
Tim assessor untuk kegiatan pengendalian memilih jawaban, “sebagian besar organisasi telah melakukan kegiatan pengendalian untuk meminimalisir risiko yang telah diidentifikasi (“B”).” Sebagian kecil yang lain segera akan dilaksanakan. (5) SPI telah diinformasikan dan dikomunikasikan kepada seluruh pihak terkait. Penyelenggaraan SPI telah dipahami oleh semua satuan kerja, sehingga tim menjawab, “SPI telah diinformasikan dan dikomunikasikan kepada seluruh pihak terkait (“A”).” (6) Telah dilakukan pemantauan pengendalian intern. Pemantauan pengendalian intern belum dilakukan secara berkala sehingga tim menjawab, “sistem pengendalian intern dimonitoring dan evaluasi tidak secara berkala (“B”).” c) Pengaduan masyarakat. Ukuran pengaduan masyarakat dapat dilihat dari item-item sebagai berikut: (1) Telah disusun kebijakan pengaduan masyarakat. TNI telah memiliki program pengaduan masyarakat sehingga menjawab, “YA”. (2) Penanganan pengaduan masyarakat diimplementasikan. Menurut tim assessor hasil penanganan pengaduan masyarakat telah banyak diimplementasikan sehingga memilih, “sebagian besar unit organisasi mengimplementasikan penanganan pengaduan masyarakat (“B”).” (3) Hasil penanganan pengaduan masyarakat telah ditindaklanjuti. Hasil pengaduan telah ditindaklanjuti sehingga tim memilih jawaban, “seluruh hasil penanganan pengaduan masyarakat ditindaklanjuti (“A”).” (4) Telah dilakukan evaluasi atas penanganan pengaduan masyarakat. Program pengaduan Edisi Oktober 2014
45
ANGKASA CENDEKIA
masyarakat telah dilakukan monitoring sehingga, tim memilih jawaban, “penanganan pengaduan masyarakat dimonitoring dan evaluasi secara berkala (“A”).” (5) Hasil evaluasi atas penanganan pengaduan masyarakat telah ditindaklanjuti. Evaluasi pengaduan juga telah dilakukan evaluasi sehingga dijawab, “YA” d) Whistle-blowing system. Whistle-blowing system kegiatannya diukur dari: (1) Telah terdapat whistle blowing system. TNI telah memiliki whistle blowing system sehingga dijawab “YA”. (2) Whistle blowing system telah disosialisasikan. Telah ada sosialisasi tapi belum menyeluruh, sehingga dijawab, “whistle blowing system belum disosialisasikan ke seluruh organisasi (“D”).” (3) Whistle blowing system telah diimplementasikan. Telah diimplementasikan sehingga tim sepakat memilih jawaban “YA” (4) Telah dilakukan evaluasi atas whistle blowing system. Meskipun telah diimplementasikan, namun ada monitoring sehingga tim memilih jawaban, “belum ada monitoring dan evaluasi whistle blowing system (“C”).” (5) Hasil evaluasi atas whistle blowing system telah ditindaklanjuti. Sesuai jawaban item sebelumnya maka jawaban tim untuk permasalahan ini adalah “seluruh hasil evaluasi atas whistle blowing system belum ditindaklanjuti (“D”).” e) Penanganan benturan kepentingan. Subindikator ini terdiri atas: (1) Telah terdapat penanganan benturan kepentingan. Telah ada penanganan benturan kepentingan sehingga dijawab, “YA”. 46
Edisi Oktober 2014
ANGKASA CENDEKIA
(2) Penanganan benturan kepentingan telah disosialisasikan ke seluruh satuan kerja sehingga tim berpendapat bahwa, “penanganan benturan kepentingan disosialiasikan ke seluruh unit organisasi (“A”).” (3) Penanganan benturan kepentingan telah diimplementasikan. Penanganan benturan kepentingan telah ada sehingga dijawab, “YA”. (4) Telah dilakukan evaluasi atas penanganan benturan kepentingan. Tindakan evaluasi telah dilakukan tetapi tidak secara berkala sehingga tim menjawab, “penanganan benturan kepentingan dimonitoring dan evaluasi tidak secara berkala (“B”).” (5) Hasil evaluasi atas penanganan benturan kepentingan telah ditindaklanjuti. Hasil evaluasi sebagian besar telah ditangani sehingga tim memilih jawab, “sebagian besar hasil evaluasi atas penanganan benturan kepentingan telah ditindaklanjuti (“B”).” f) Pembangunan zona integritas. Zona integritas diukur dari subindikator sebagai berikut: (1) Telah dilakukan pencanangan zona integritas. Zona integritas telah dicanangkan sehingga tim menjawab,”YA”. (2) Telah ditetapkan unit yang akan dikembangkan menjadi zona integritas (ZI). Unit yang dikembangkan telah ditetapkan sehingga jawaban tim adalah, “YA”. (3) Telah dilakukan pembangunan zona integritas. Pencangan ZI belum lama dilakukan sehingga belum intensif, tim memilih jawaban, “pembangunan zona integritas dilakukan tidak secara intensif (“B”).” (4) Telah dilakukan evaluasi atas zona integritas yang telah ditentukan. ZI belum dilakukan evaluasi Edisi Oktober 2014
47
ANGKASA CENDEKIA
sehingga tim memilih jawaban, “zona integritas yang telah ditentukan belum dimonitoring dan evaluasi (“C”).” (5) Telah terdapat unit kerja yang ditetapkan sebagai “menuju WBK/WBBM”. Untuk WBK/ WBBM belum ada penetapan sehingga dipilih jawaban, “belum terdapat unit kerja yang berpredikat menuju WBK (“C”).” g) Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP). APIP diukur dari: (1) Rekomendasi APIP didukung dengan komitmen pimpinan. Pimpinan telah memiliki komitmen sehingga tim memilih jawaban, ”seluruh rekomendasi yang memerlukan komitmen pimpinan telah ditindaklanjuti dalam dua tahun terakhir (“A”).” (2) APIP didukung dengan SDM yang memadai secara kualitas dan kuantitas. APIP menurut tim telah berfungsi sehingga menjawab, ”seluruh fungsi pengawasan internal tertangani oleh SDM yang kompeten baik secara kuantitas maupun kualitas (“A”).” (3) APIP didukung dengan anggaran yang memadai. Dukungan anggaran belum sepenuhnya sehingga tim memilih jawaban, “Sebagian besar kebutuhan didukung oleh anggaran (“B”).” (4) APIP berfokus pada client dan audit berbasis risiko. APIP telah memiliki fokus sehingga tim memilih jawaban, “seluruh fungsi pengawasan internal berfokus pada client dan audit berbasis risiko (“A”).” 8) Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik. Pelayanan publik dinilai dari indikator sebagai berikut: a) Standar pelayanan 48
Edisi Oktober 2014
ANGKASA CENDEKIA
(1) Terdapat kebijakan standar pelayanan. Standar pelayanan telah dibuat sehingga dijawab, “YA” (2) Standar pelayanan telah dimaklumatkan. Standar pelayanan telah diumumkan sehingga dipilih jawaban, ”standar pelayanan telah dimaklumatkan pada sebagian besar jenis pelayanan (“A”).” (3) Terdapat SOP bagi pelaksanaan standar pelayanan. Sebagian besar telah memiliki SOP sehingga tim menjawab, ”terdapat SOP bagi pelaksanaan standar pelayanan pada sebagian besar jenis pelayanan (“B”).” (4) Dilakukan review dan perbaikan atas standar pelayanan. Telah dilakukan review sehingga Tim memilih jawaban, “Dilakukan review dan perbaikan atas standar pelayanan secara tidak berkala dan/atau tidak dengan melibatkan stakeholders (“B”).” (5) Dilakukan review dan perbaikan atas SOP. Review telah dilakukan meskipun tidak secara berkala sehingga menjawab, “Dilakukan review dan SOP secara tidak berkala (“B”).” b) Budaya pelayanan prima. Keberhasilan pelayanan prima dinilai dari item-item sebagai berikut: (1) Telah dilakukan sosialisasi/pelatihan dalam upaya penerapan budaya pelayanan prima (contoh kode etik, estetika, capacity building, pelayanan prima). Sosialisasi budaya prima telah dilakukan sehingga tim memilih jawaban, “sebagian besar sosialisasi/pelatihan telah dilakukan dalam upaya penerapan budaya pelayanan prima (“B”).” (2) Informasi tentang pelayanan mudah diakses melalui berbagai media. Informasi pelayanan mudah diakses sehingga memilih jawaban Edisi Oktober 2014
49
ANGKASA CENDEKIA
“informasi pelayanan dapat diakses melalui beberapa media (misal papan pengumuman, selebaran, dsb) (“B”).” (3) Telah terdapat sistem punishment (sanksi)/reward bagi pelaksana layanan serta pemberian kompensasi kepada penerima layanan bila layanan tidak sesuai standar. Pemberian kompensasi telah berjalan dengan baik sehingga tim menjawab, “telah terdapat sistem sanksi/reward bagi pelaksana layanan serta pemberian kompensasi kepada penerima layanan bila layanan tidak sesuai standar ada namun belum diimplementasikan (“B”).” (4) Telah terdapat sarana layanan terpadu/ terintegrasi. Pelayanan kesehatan telah terselenggara secara terpadu sehingga tim menjawab, “apabila sebagian besar pelayanan sudah dilakukan secara terpadu (“B”).” (5) Terdapat inovasi pelayanan. Berbagai inovasi telah dilakukan sehingga memilih jawaban, “YA”. c) Pengelolaan pengaduan. Pengelolaan pengaduan masyarakat dinilai dari: (1) Terdapat media pengaduan pelayanan. Telah terdapat media pengaduan pelayanan, sehingga menjawab, “YA”. (2) Terdapat SOP pengaduan pelayanan. Meskipun belum seluruhnya tapi telah ada SOP pengaduan sehingga jawaban yang tepat adalah “terdapat SOP pengaduan pelayanan namun belum seluruhnya (“B”).” (3) Terdapat unit yang mengelola pengaduan pelayanan. Unit pengelola pengaduan telah dibentuk sehingga dijawab, “YA”.
50
Edisi Oktober 2014
ANGKASA CENDEKIA
(4) Telah dilakukan tindak lanjut atas seluruh pengaduan pelayanan untuk perbaikan kualitas pelayanan. Tindak lanjut pengaduan telah dilaksanakan sehingga tim menjawab, “telah dilakukan tindak lanjut atas seluruh pengaduan pelayanan untuk perbaikan kualitas pelayanan (“A”).” (5) Telah dilakukan evaluasi atas penanganan keluhan/masukan. Evaluasi penanganan telah dilakukan meskipun belum secara rutin, pilihan yang tepat yaitu, “evaluasi atas penanganan keluhan/masukan dilakukan tidak berkala (“B”).” d)
Penilaian kepuasan terhadap pelayanan: (1) Dilakukan survei kepuasan masyarakat terhadap pelayanan. Telah dilakukan survei meskipun tidak secara berkala sehingga pilihannya adalah “survei kepuasan masyarakat terhadap pelayanan tidak berkala (“B”).” (2) Hasil survei kepuasan masyarakat dapat diakses secara terbuka. Hasil survei dapat diakses secara online sehingga dijawab, “YA”. (3) Dilakukan tindak lanjut atas hasil survei kepuasan masyarakat. Hasil survei telah ditindaklanjuti meskipun belum semua, sehingga dipilih jawaban “dilakukan tindak lanjut atas sebagian besar hasil survei kepuasan masyarakat (“B”).”
e)
Pemanfaatan teknologi informasi. (1) Telah memiliki rencana penerapan teknologi informasi dalam pemberian pelayanan. Teknologi informasi telah dimanfaatkan dalam memberikan pelayanan sehingga dijawab, “YA”. (2) Telah menerapkan teknologi informasi dalam memberikan pelayanan. Penerapan telah dilakukan sebagian besar sehingga dijawab,
Edisi Oktober 2014
51
ANGKASA CENDEKIA
“sebagian besar pelayanan telah menerapkan teknologi informasi dalam memberikan pelayanan (“B”).” (3) Telah dilakukan perbaikan secara terus menerus. Perbaikan terus dilakukan sehingga tim memilih jawaban, “perbaikan dilakukan tidak secara terus menerus (“B”).” b.
Komponen hasil 1)
Kapasitas dan akuntabilitas kinerja organisasi. a) Nilai akuntabilitas kinerja (nilai SAKIP). Penilaian diberikan oleh Kementerian PAN dan RB. b) Nilai kapasitas organisasi (survei internal). Survei internal telah dilakukan terhadap personel militer dan PNS di Mabes TNI, TNI AD, TNI AL dan TNI AU. 2) Pemerintahan yang bersih dan bebas KKN. a) Nilai persepsi korupsi. Persepsi korupsi menggunakan data dari lembaga survei Indonesia. b) Opini BPK. Opini yang diberikan BPK tahun 2014 TNI mendapatkan predikat wajar tanpa pengecualian. 3) Kualitas pelayanan publik (nilai persepsi kualitas pelayanan). Survei secara on line terhadap pelayanan publik di Puspen TNI. Berdasarkan pada penilaian di atas skor yang diperoleh oleh TNI adalah 77,02 atau dalam kategori “Baik Sekali” Simpulan a.
52
Proses 1) Manajemen perubahan. Bidang manajemen perubahan mendapatkan skor 3,58 dari kemungkinan 5 atau 71,60%, dengan skor tertinggi pada item dokumen road map yang mencapai skor 83,4%,
Edisi Oktober 2014
ANGKASA CENDEKIA
sedangkan yang terendah adalah pola perubahan pola pikir dan budaya kinerja. Hal ini berarti program sosialisasi dan komunikasi program reformasi birokrasi masih perlu ditingkatkan. 2) Penataan peraturan perundang-undangan. Bidang ini mendapatkan skor 3,34 (66,75%) dari kemungkinan 5, dengan nilai tertinggi pada item “sistem pengendalian peraturan” dan terendah “harmonisasi”, yang berarti sinkronisasi peraturan masih kurang. 3) Penataan dan penguatan organisasi. Penataaan organisasi mendapatkan nilai 4,18 (69,61%) dari kemungkinan 6, dengan nilai yang relatif merata sehingga semuanya masih dapat ditingkatkan lagi. 4) Penataan tata laksana. Penataan tata laksana mendapatkan skor 3,59 (71,83%) dari kemungkinan 5, dengan nilai tertinggi pada “e-government” (75,25%) dan nilai terendah “SOP” (66,75%). 5) Penataan sistem manajemen SDM. Penataan SDM dengan skor tertinggi pada komponen proses mendapatkan nilai 12,9 (86%) dari kemungkinan 15, merupakan prosentase tertinggi. Nilai tertinggi 100% sedangkan terendah 74% pada item “penilaian kinerja individu”. 6) Penguatan akuntabilitas. Penguatan akuntabilitas mendapatkan nilai 3,98 (66,33%) dari kemungkinan 6. Nilai tertinggi diperoleh pada item “keterlibatan pimpinan” dengan sebesar 89% dan terendah item “pengelolaan akuntabilitas kinerja” baru mencapai 55%. 7) Penguatan pengawasan. Penguatan pengawasan mendapatkan nilai 8,66 (72,14%) dari kemungkinan 12. Nilai tertinggi diperoleh pada item “pengaduan masyarakat” yang sudah mencapai 93,40% dan terendah item “pembangunan zona integritas” yang baru mencapai 50%. Edisi Oktober 2014
53
ANGKASA CENDEKIA
8) Peningkatan kualitas pelayanan publik. Peningkatan kualitas pelayanan publik mendapatkan nilai 3,93 (65,45%) dari kemungkinan 6. Nilai tertinggi item “pengelolaan pengaduan” yang sudah mencapai 80% dan terendah item “penilaian kepuasan terhadap pelayanan” yang baru mencapai 44,50%. b.
Hasil 1) Kapasitas dan akuntabilitas kinerja organisasi a) Nilai akuntabilitas kinerja (Nilai SAKIP). Nilai akuntabilitas tahun 2013 sebesar 60,83 (CC) dari kemungkinan 100, sedangkan nilai tahun 2014 belum diterbitkan. b) Nilai kapasitas organisasi (survei internal). Survei internal terhadap personel militer dan PNS di Mabes TNI, TNI AD, TNI AL dan TNI AU menunjukkan dukungan personel terhadap program reformasi birokrasi TNI. 2)
Pemerintahan yang bersih dan bebas KKN. a) Nilai persepsi korupsi. Persepsi korupsi TNI berdasarkan data dari hasil survey Lembaga Survei Indonesia (LSI) persepsi masyarakat terhadap anti korupsi di TNI sebesar 57,2% b) Opini BPK. Opini yang diberikan BPK tahun 2014 TNI mendapatkan predikat wajar tanpa pengecualian.
3) Kualitas pelayanan publik (nilai persepsi kualitas pelayanan). Survei baru secara on line belum dilakukan secara manual (tatap muka) dengan responden.
54
Edisi Oktober 2014
ANGKASA CENDEKIA
REFERENSI Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 14 tahun 2014 tentang Pedoman Evaluasi Reformasi Birokrasi Instansi Pemerintah. Laporan Pelaksanaan PMRRB Mabes TNI. Laporan Pelaksanaan PMRRB TNI AD. Laporan Pelaksanaan PMRRB TNI AL. Laporan Pelaksanaan PMRRB TNI AU. Sekretaris Negara, Undang-Undang nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Edisi Oktober 2014
55
Mengawal Keoptimisan Indonesia Menuju Negara Maju (Kajian Kritis Perspektif Ekonomi Pertahanan terhadap Proyeksi MGI 2012) Oleh Mayor Tek Novky Asmoro, S.T., M.Si (Han) (Pamen Kohanudnas)
A
bstrak-Memproyeksikan perkembangan kondisi sebuah negara ibarat menempatkan beragam ukuran dan parameter lingkungan strategis terutama aspek ekonomi pada sebuah konteks yang bersifat dinamis. Mengambil salah satu variabel pertumbuhan ekonomi negara yakni gross domestic product (GDP), trend economic growth Indonesia yang berada di urutan nomer dua dunia (6,3 %) pada tahun 2013 diyakini telah membawa bangsa ini pada “jalur” yang tepat sebagai negara maju. Pada perspektif ekonomi pertahanan, mewujudkan negara maju tidak hanya sebatas kemampuan memanfaatkan keterbatasan sumber daya untuk halhal terkait sistem pertahanan negara. Negara dituntut mampu mewujudkan pencapaian taraf modernisasi Alutsista, kemandirian industri pertahanan nasional dan menciptakan keamanan guna menstimulasi pertumbuhan ekonomi yang tidak hanya di dalam negeri namun hingga ke kawasan internasional. Keywords: lingkungan strategis, pertumbuhan ekonomi, ekonomi pertahanan, industri pertahanan 56
Edisi Oktobrt 2014
ANGKASA CENDEKIA
Berbagai skenario tentang proyeksi masa depan Indonesia telah menempatkan negara ini dalam konsistensi yang cukup membuat seluruh bangsa percaya diri akan perbaikan kondisi di masa mendatang. Salah satu prediksi empirik tentang proyeksi Indonesia hingga 2030 dibuat berdasarkan laporan McKinsey Global Institute (MGI) yang dirilis pada September 2012. Indonesia pada tahun 2030 diperkirakan akan mampu mencapai pertumbuhan ekonomi yang konsisten hingga menempatkan negara ini di posisi tujuh besar dunia. Selain menempatkan posisi ekonomi Indonesia yang begitu terhormat, prediksi-prediksi yang dibuat juga menempatkan beberapa variabel lain diantaranya peningkatan jumlah masyarakat kelas menengah (consuming class), komposisi penduduk kota dalam menyumbangkan GDP nasional, bertambahnya secara signifikan para pekerja berkeahlian (skilled workers) hingga pertumbuhan kesempatan usaha terutama di bidang perikanan, pelayanan, pertanian, sumber daya dan pendidikan.
Proyeksi Indonesia hingga 2030 oleh McKinsey Global Institute Sumber : MGI, The archipelago economy: Unleashing Indonesia’s Potential, 2012
Edisi Oktober 2014
57
ANGKASA CENDEKIA
Menyikapi hal di atas, alangkah bijaksananya jika bangsa Indonesia cukup menilai itu semua sebagai target-target realistis yang perlu diupayakan pencapaiannya. Dibalik segala kemungkinannya, sesungguhnya kerawanan terhadap antitesis faktor-faktor tersebut juga perlu diantisipasi terutama dalam menyiapkan struktur ekonomi pertahanan negara yang mampu bertahan dari segala unintended results yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Laju Pertumbuhan Ekonomi yang Diikuti Ketimpangan Distribusi Pendapatan Tren peningkatan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang positif hingga sempat mencapai 6,5% merupakan sebuah prestasi tersendiri bagi negara ini. Posisi ini mendongkrak Indonesia sebagai 16 besar dunia yang diyakini terus melaju hingga 7 besar dunia dengan GDP 18.000 US dolar di tahun 2030 (Oberman, 2012). Meskipun memasuki tahun 2014 terjadi fluktuasi GDP Indonesia yang cenderung menurun namun dengan angka 5,21% masih dinilai sebagai negara tertinggi laju pertumbuhan ekonominya.
Grafik GDP Indonesia Sumber : www.tradingecomimcs.com, 2014
58
Edisi Oktober 2014
ANGKASA CENDEKIA
Namun apakah ini sebuah realita yang benar-benar menunjukkan kesejahteraan bangsa ataukah hanya angkaangka yang nampak indah di statistik tapi jauh dari realita yang ada. Sebuah kenyataan terpampang di hadapan kita bahwa pertumbuhan ekonomi ini ternyata tidak sampai dirasakan seluruh lapisan masyarakat atau dengan kata lain semakin melebarnya jurang ketimpangan distribusi pendapatan (income inequality). Angka statistik pertumbuhan ekonomi ini diikuti melebarnya tingkat ketimpangan yang diindikasikan dengan koefisien Gini Indonesia 0,38% di tahun 2010 hingga terus melebar mencapai 0,41% di tahun 2012. (www.bps.go.id, 2012).
Grafik Koefisien GINI Indonesia Sumber : BPS, 2014
Walaupun menurut Kusnetz Hypothesis fenomena ini sebenarnya lumrah terjadi untuk negara yang berada dalam tahap ekonominya berkembang dengan income perkapita sedang meningkat. Namun perspektif lain timbul, bahwasannya ada semacam kegagalan kebijakan pemerintah dalam membedakan strategi pengentasan kemiskinan dengan merapatkan kesenjangan.
Edisi Oktober 2014
59
ANGKASA CENDEKIA
< 0,4
tingkat ketimpangan rendah
0,4 - 0,5
tingkat ketimpangan sedang
> 0,5
Income Inequality
Turning Point Income
Nilai Koefisien Distribusi Pendapatan
Developing Economies
Developed Economies
tingkat ketimpangan tinggi Per Capita Income
Hubungan Grafik Kuznetz Hypothesis dan Koefisien Gini untuk menunjukkan hubungan antara ketimpangan (inequality) dengan Per Capita Income
Kebijakan pengentasan kemiskinan dapat dikatakan lebih bersifat short term yakni sekedar membuat masyarakat terangkat taraf ekonominya melewati ambang batas garis kemiskinan. Upaya ini lazim kita kenal saat ini seperti bantuan langsung tunai (BLT) hingga pembagian jatah beras miskin (raskin). Sedangkan upaya merapatkan ketimpangan memiliki sifat jangka panjang karena mengentaskan kemiskinan harus dimulai secara komprehensif mulai dari tingkat individu, kelompok keluarga, komunitas masyarakat hingga penciptaan aktivitas ekonomi (Nazara, 2012). Secara global, kebijakan pengentasan kemiskinan adalah bagian kecil dari strategi merapatkan kesenjangan. Pemerintah dituntut mampu menyediakan berbagai program jaminan sosial, diantaranya pada sektor kesehatan dan pendidikan. Untuk saat ini yang sudah berjalan antara lain BPJS kesehatan ataupun program sekolah gratis. Tentunya apa pun itu, kesenjangan adalah kerawanan yang justru rentan terhadap munculnya dampak-dampak sosial seperti kriminalitas, konflik komunal dan kemiskinan. Peningkatan Masyarakat Kelas Menengah dan Dampak Fenomena Konsumerisme Meningkatnya jumlah kelas menengah di Indonesia yang saat ini berjumlah 45 juta orang diprediksi akan terus meningkat hingga diproyeksikan berada pada kisaran 135 juta pada tahun 2030 (MGI, 2012). Bagi Indonesia sendiri, ada empat kelompok 60
Edisi Oktober 2014
ANGKASA CENDEKIA
penduduk berdasarkan pengeluaran perkapitanya yakni golongan miskin dengan pengeluaran rata-rata Rp. 250.000,- per kapita per bulan (12%), golongan rentan Rp. 370.000,- per kapita per bulan (28%), golongan kelas menengah Rp. 750.000,- per kapita per bulan (40%) dan golongan kaya dengan pengeluaran per kapitanya di atas 750 ribu rupiah per kapita per bulan (20%). Berdasarkan data di bawah, terbukti bahwa golongan kelas menengah paling mendominasi jumlahnya dan akan terus meningkat berdasarkan tingkat kebutuhannya yang juga terus beragam.
Grafi G fikk Laju L j Pertumbuhan P b h Pengeluaran P l Per P K Kapita i (2008-1012) (2008 1012) dan d Bentuk B k Kebijakan Pemerintah di Setiap Golongan Sumber : BPS & TNP2K
Perhitungan gross domestic product yang menyatakan bahwa sifat konsumerisme sebagai variabel consumption dimana dengan peningkatan yang tinggi akan dapat menaikkan GDP sehingga tentunya merupakan hal positif bagi sebuah pertumbuhan ekonomi negara (Parkin, 2010). Namun apakah sifat konsumerisme selalu dapat menguntungkan bagi Indonesia adalah pertanyaan yang perlu dianalisis secara mendalam. Edisi Oktober 2014
61
ANGKASA CENDEKIA
Y = C + 1 +G (X - M) Dimana :
Y C I G X, M
= GDP = Consumption = Investement = Government Spending = Nilai Ekspor Impor
Sesungguhnya konsumerisme bukan merupakan masalah berarti jika dampaknya memiliki keberpihakan pada keberadaan produsen penyedia barang konsumsi produk dalam negeri. Pada persamaan expenditure approach, terlihat bahwa variabel consumption (C) dan ekspor impor sebagai fungsi berbanding lurus dengan GDP (Y), sehingga jika konsumsi meningkat akan meningkatkan GDP. Ditambah lagi peningkatan nilai GDP akan semakin signifikan saat barang-barang produksi dalam negeri mampu menembus pasar luar negeri. Hal ini berarti nilai ekspor (X) pada variabel ekspor-impor (X-M) akan berkontribusi positif jika dibandingkan dengan besaran angka impornya.. Perlu dipahami, jika kenyataannya bahwa penyedia barangbarang konsumsi adalah produk impor maka ini hanya akan meningkatkan posisi pertumbuhan ekonomi negara pengekspor. Situasi meningkatnya kelas menengah perlu diantisipasi dengan memaknainya sebagai peluang bagi perusahaan dalam negeri agar semakin kompetitif dengan perusahaan asing.
Data Neraca Total Nilai Perdagangan Indonesia Tahun 2013 Sumber : BPS, 2014
62
Edisi Oktober 2014
ANGKASA CENDEKIA
Data di atas sangat jelas menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2013 neraca perdagangan Indonesia banyak pada posisi defisit. Secara umum tren nilai impor terus meningkat dan ekspor justru cenderung menurun. Ada tiga aspek produk yang paling dominan sebagai penyebab defisit ini (triple deficit) yakni pangan, manufaktur dan BBM. (Basri, 2014). Jika konsumsi produk-produk impor tersebut tak terkendali sebagai dampak meningkatnya consuming class justru hanya akan membuat Indonesia akan terus terpuruk pada angka defisit neraca perdagangan dan ini adalah sebuah kondisi kerawanan ekonomi yang nyata. Urbanisasi dan Permasalahan Kemiskinan Pengertian urbanisasi pada prinsipnya adalah sebagai proses transformasi kondisi desa menjadi kota, yang bisa berarti daerah pedesaan yang berkembang pada akhirnya menunjukkan ciri-ciri kota. Tetapi rupanya istilah urbanisasi sudah banyak dimengerti masyarakat sebagai porses berpindahnya masyarakat dari desa ke kota atau bisa disebut dengan rural to urban migration (Herlianto, 1996). Tahun 1990 1995 2000 2005 2010 2015 2020
Jumlah Penduduk Total
Urban
Rural
Angka Urbanisasi
180.383.700 195.755.600 210.263.800 223.183.300 235.110.800 245.388.200 253.667.600
51.932.467 63.679.297 76.662.181 90.344.600 104.577.284 118.792.228 132.465.221
128.451.233 132.076.303 133.601.619 132.838.700 130.533.516 126.595.772 121.202.379
28,79 32,53 36,46 40,48 44,48 48,41 52,22
Data Angka dan Proyeksi Urbanisasi Indonesia 1990-2020 Sumber : www.ut.ac.id, 2014
Jika merunut data komposisi penduduk Indonesia antara desa dan kota dari tahun 1990 hingga prediksi tahun 2020, terlihat bahwa angka urbanisasi terus meningkat. Peningkatan ini ada di Edisi Oktober 2014
63
ANGKASA CENDEKIA
angka sekitar 29 persen pada tahun 2020. Perlu dipahami bahwa peningkatan angka urbanisasi ini tidak semata karena laju migrasi dari pedesaan ke perkotaan, tetapi juga karena perubahan status daerah dari pedesaan ke perkotaan dan juga karena pertumbuhan penduduk alamiah (selisih kelahiran dan kematian). Prediksi oleh MGI tentang meningkatnya persentase populasi penduduk kota ke angka 71 % dengan kontribusi GDP nasional hingga 86 % merupakan gejala sosial terjadinya urbanisasi yang terus meningkat. Hubungan ini dapat dibuktikan secara empirik bahwa melalui persamaan GDP dengan income approach bahwa kontribusi populasi penduduk kota cukup signifikan mendorong pemasukan dari upah tenaga kerja atau wages (W) yang selalu diikuti kegiatan transaksi perbankan tingkat rumah tangga yang menyebabkan penerimaan net interest (i). Y = W + R + i + π + Others Dimana
: Y W I R π
= GDP = Compensation of Employees = Net Interest = Rental Income = Corporate Services
Berikutnya fenomena melonjaknya jumlah penduduk kota berdasarkan data dari BPS dimana pada tahun 1961, disebutkan bahwa dari 97 juta penduduk Indonesia hanya 15% yang tinggal di kota-kota. Sensus tahun 1971, dari 119,2 juta penduduk 18 persen diantaranya tinggal di daerah perkotaan. Sensus pada tahun 1980 angka itu telah naik menjadi 22,4 % dari 147,5 juta peduduk. Jika dilihat angkanya pada tahun 1971, penduduk Indonesia yang memadati kota-kota hanya berjumlah 21,5 juta, tetapi ditahun 1980 angka itu naik menjadi 33 juta. Jadi setiap tahun terjadi kenaikan rata-rata penduduk kota di Indonesia sebesar 4,8 %. Data dapat dilihat pada grafik di bawah 64
Edisi Oktober 2014
ANGKASA CENDEKIA
Data Komposisi & Prediksi Penduduk Desa-Kota 1990-2020 Sumber : www.ut.ac.id, 2014
Melihat data di atas maka sebagai negara yang akan menuju sebagai negara maju, Indonesia akan berhadapan dengan realita terjadinya kondisi kemerosotan secara kualitatif terhadap lingkungan kotanya pada taraf yang mengkhawatirkan (Breeze, 1986). Penting diketahui jika urbanisasi sebagai efek sosial tentunya akan secara signifikan membawa pengaruh dampak ikutannya antara lain kerawanan sosial seperti pengangguran, kemiskinan, kriminalitas. Seluruh problema tersebut merupakan indikasi telah terjadinya disharmoni antara aspek populasi dan lingkungan (Tjiptoherijanto, 2013). Pertumbuhan Skilled Workers dan Fenomena Phillips Curve Selain tren positif economic growth yang bergerak naik maka indikasi lain yang patut dicermati adalah pertumbuhan jumlah skilled workers dimana sebagai dampak bertransformasinya perusahaan-perusahaan dari labor intencive menuju ke capitalintencive groups. Sisi menarik sekaligus sebuah kerawanan muncul yakni ketika pertumbuhan capital-intencive groups akan meningkatkan persaingan kesempatan kerja antara tenaga kerja berkeahlian tinggi dengan yang tidak berkeahlian. Dapat dipastikan bahwa perusahaan-perusahaan padat teknologi hanya akan memilih skilled workers dengan jumlah Edisi Oktober 2014
65
ANGKASA CENDEKIA
terbatas dan pekerja tanpa keahlian (non-skilled workers) akan kalah bersaing. Hal ini sangat berpotensi menambah pengangguran atau pekerja di sektor nonformal. Efek yang terjadi tentunya daya beli masyarakat akan menurun dan kondisi demikian sangat berpengaruh pada ekonomi negara terkait dengan kenaikan harga-harga barang (inflasi). Dijelaskan pada grafik teori Philips Curve di bawah bahwa hubungan antara inflasi dengan tingkat pengangguran (unemployment rate) adalah berbanding terbalik (Blanchard, 2010, p. 199).
Grafik Hubungan Inflasi dengan Tingkat Pengangguran Sumber : Blanchard, 2012
Kondisi yang tidak menguntungkan justru terjadi ketika nilai inflasi menurun; ini berarti mengindikasikan jumlah pengangguran yang tinggi. Tingkat pengangguran yang rendah akan mendorong jumlah pekerja yang meningkat akan berkonsumsi secara tinggi dan ini akan meningkatkan angka inflasi. Jadi kenaikan inflasi harus disikapi secara bijak dan positif sebagai indikator pertumbuhan ekonomi negara yang baik. Akan tetapi pemerintah pun perlu mewaspadai, jika inflasi terlalu membumbung tinggi yang justru menjadikan negara memasuki fase depresi atau resesi. 66
Edisi Oktober 2014
ANGKASA CENDEKIA
Grafik Unemployment Rate Indonesia Sumber : www.tradingecomimcs.com, 2014
Saat ini tren meningkatnya jumlah perusahaan padat teknologi yang diikuti penerimaan skilled workers terbatas, akan memiliki kerawanan bagi pertambahan jumlah pengangguran. Untuk saat ini berdasarkan grafik di atas, kita patut bersyukur bahwa peningkatan perusahaan padat modal di Indonesia ternyata tidak membuat tingkat pengangguran di negara ini juga bertambah. Akan tetapi bagaimanapun juga kita perlu mengantisipasi booming perusahaan padat modal dengan mempersiapkan pekerja-pekerja dengan skilled workers yang tinggi. Jika hal tersebut terus terjadi, tentunya kita tidak menginginkan posisi Indonesia sebagai negara dengan tingkat kemapanan ekonomi yang tinggi namun unemployment rate sebagai salah satu indikator makro ekonomi ternyata angkanya terus meningkat. Percepatan Industrialisasi Diikuti Kegagalan Substitusi Impor Industrialisasi adalah sistem produksi yang muncul dari pengembangan penelitian dan penggunaan pengetahuan ilmiah. Situasi ini dilandasi oleh pembagian tenaga kerja dan spesialisasi, menggunakan alat-alat bantu mekanik, kimiawi, Edisi Oktober 2014
67
ANGKASA CENDEKIA
mesin, dan organisasi serta intelektual dalam produksi. Substitusi impor sendiri adalah upaya dari pemerintah untuk memproduksi barang-barang buatan dalam negeri guna menggantikan keberadaan beberapa produk yang selama ini masih diimpor. Substitusi impor dapat dikatakan sebagai starting point untuk memberi efek bagi sebuah negara dalam memasuki fase industrialisasi
Grafik Prospek Ekonomi Indonesia hingga 2015 Sumber : Bank Indonesia, 2012
Pada perkembangannya keterkaitan antara industrialisasi dan upaya substitusi impor merupakan satu kesatuan proses yang saling terkait. Hal tersebut selain sebagai upaya penghematan devisa, juga sebagai usaha untuk menekan laju impor. Bagi Indonesia hal ini sangat penting mengingat proyeksi laju nilai impor negara akan terus meningkat di kisaran 9-11 % hingga tahun 2015 (http://www.bi.go.id, 2012). Pada perkembangannya langkah substitusi impor ini tidak berhasil menciptakan struktur industri yang kompetitif. Artinya fase menuju negara industri pun terhambat. Penyebab kegagalan ini jelas, yakni tidak adanya kebijakan industrialisasi yang terintegrasi dengan kebijakan sektor lain, seperti perdagangan, pengembangan sumber daya manusia, serta usaha penelitian dan pengembangan (litbang).
68
Edisi Oktober 2014
ANGKASA CENDEKIA
Diagram Ilustrasi Fase Transformasi Negara Industri Sumber : Kuntoro-Jakti, 2012
Kegagalan substitusi impor bukanlah hal yang sederhana karena efek yang ditimbulkan cukup kompleks terkait devisa negara yang tergerus akibat angka impor yang terus membumbung naik. Dampak lain yang ditimbulkan adalah terbentuknya sistem proteksi perdagangan yang tinggi, menjamurnya perusahaan asing serta membanjirnya komoditas barang mewah daripada barang-barang yang dibutuhkan sebagian besar masyarakat. Memproyeksikan Struktur Ekonomi Pertahanan Indonesia Jika dalam Mc Kinsey Global Institute telah memproyeksikan wajah Indonesia hingga 2030, kemudian dianalisis berdasarkan anti tesisnya maka dalam perspektif defense economics hal tersebut dapat dijadikan variabel untuk menentukan kondisi Indonesia dalam proyeksi skenario-skenario di masa mendatang. Beberapa skenario yang sekiranya relevan dengan kondisi bangsa saat ini diantaranya adalah : 1. Strategi pembangunan postur TNI masa depan merupakan sebuah konsep dual use untuk menciptakan keselarasan pengembangan pertahanan melalui anggaran yang proporsional dengan upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat. Hal tersebut dapat dicapai melalui pembangunan infrastruktur sosioekonomi seperti rumah sakit tentara, pangkalan udara TNI, Edisi Oktober 2014
69
ANGKASA CENDEKIA
pelabuhan laut TNI dan Alutsista bagi penanggulangan bencana alam serta mendukung operasi-operasi bantuan sosial. Kebijakan ini dinilai sangat tepat dalam menjawab permasalahan yang terkait gejolak sosial akibat kesenjangan, urbanisasi, kemiskinan, penggangguran dan penanggulangan terorisme. 2. Guna mendorong program substitusi impor khususnya pemenuhan kebutuhan Alutsista, industrialisasi di sektor pertahanan, harus mampu mencapai kondisi optimal dalam hal modernisasi Alutsista dengan meninggalkan pola strategi base on policy dan mengubahnya ke paradigma base on investment. Pola ini akan lebih berorientasi pada upaya penguasaan teknologi yang lebih progresif melalui unit atau divisi Litbangnya agar tercapai sustainibilitas produksi pada long run. Untuk proyeksi ke depan, setiap industri pertahanan harus dipacu profitable sehingga memiliki capital accumulation yang tinggi guna memenuhi alokasi penganggaran perusahaan terutama dalam hal pendanaan terhadap kegiatan Litbang. Pembangunan Litbang di perusahaan perlu diikuti dengan alokasi anggaran khusus untuk pengembangan skill dari SDM yang mengawaki alat-alat baru dengan teknologi yang semakin modern. Terwujudnya hal tersebut tentunya akan mendorong pencapaian taraf modernisasi Alutsista dan kemandirian industri pertahanan nasional yang dapat berkontribusi dalam menciptakan kondisi keamanan di dalam negeri sehingga mampu menstimulasi pertumbuhan ekonomi yang tidak hanya di dalam negeri namun hingga ke kawasan internasional. 3. Memproyeksikan kondisi perekonomian negara harus komprehensif tanpa lepas dari bingkai perspektif sistem pertahanan negara. Prediksi MGI meskipun berawal dari pihak “luar” namun sangat relevan dijadikan acuan bagi pemerintah agar bisa memberi sebuah bentuk keselarasan antara proyeksi ekonomi seperti yang tertuang dalam master plan percepatan pembangunan ekonomi Indonesia (MP3EI) dengan rencana pembangunan postur pertahanan negara melalui minimum essential forces (MEF). 70
Edisi Oktober 2014
ANGKASA CENDEKIA
Proyeksi Pencapaian MGI, MP3EI dan MEF
Beberapa proyeksi tersebut hendaknya dapat harmonis sehingga semakin menegaskan bahwa konsep pembangunan sistem pertahanan negara Indonesia memiliki signifikansi terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi rakyatnya. Hal tersebut sekaligus mengikis anggapan paradigma “guns vs butter” dimana pembangunan kekuatan militer sebuah negara tidak linier dengan pertumbuhan ekonominya. Kesimpulan dan Saran Secara keseluruhan pembahasan ini dapat disimpulkan dan direkomendasikan sebagai berikut: (1) Proyeksi Indonesia sebagai negara yang mencapai berbagai kemajuan perlu diantisipasi juga dengan beberapa faktor penghambatnya (antitesis), sehingga (2) Ada upaya yang seimbang dalam mengatasinya trade off yang ditimbulkan seperti halnya pencapaian pertumbuhan ekonomi yang diikuti dampak kesenjangan, pengangguran dan kemiskinan. (3) Meletakkan konsep-konsep industrialisasi agar lebih memihak pada kepentingan sistem pertahanan negara dan mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi negara; serta (4) adanya peran aktif pemerintah dalam menetapkan kebijakan yang jelas dan sistematis terutama penanggulangan dampak Edisi Oktober 2014
71
ANGKASA CENDEKIA
sosial akibat pembangunan yang gencar dilaksanakan jika hal tersebut justru menimbulkan dominasi munculnya berbagai efek negatif untuk dirumuskan atau diimplementasikan oleh seluruh stakeholders dari sektor ekonomi dan pertahanan yang ada di negara ini.
Daftar Referensi Bank Indonesia (2013), Laporan Perekonomian Indonesia, http://www.bi.go.id/, diunduh tanggal 11 Agustus 2014 Basri, Faisal (2014), Pelaku Bisnis tetap Optimis, Justru Pemerintah yang Pesimis, http://swa.co.id/, diunduh tanggal 12 Agustus 2014 Blanchard, Olivier (2009), Macroeconomics : Aggregate Output Massachusetts Institute of Technology, Pearson Education Inc., USA Biro Pusat Statistik (2013), Statistik Ekonomi dan Perdagangan, http://www.bps.go.id/, diunduh tanggal 11 Agustus 2014 Breeze, Gerald (1969), Urbanization in Newly Developing Countries, Prentice Hall, New Delhi Herlianto, M. (1986), Urbanisasi dan Pembangunan Kota, Penerbit Alumni, Bandung, 1986 Kuntoro-Jakti, Dorodjatun (2012), Menerawang Indonesia, Pada Dasawarsa Ketiga Abad ke-21, Pustaka Alvabet, Jakarta Oberman, Raoul, dkk. (2012), Mc Kinsey Global Institute, The archipelago economy: Unleashing Indonesia's potential, http://www.mckinsey.com/insights/asia-pacific/the_ archipelago_economy, diunduh tanggal 3 April 2012
72
Edisi Oktober 2014
ANGKASA CENDEKIA
Parkin, Michael, Economics : Measuring GDP and Economic Growth, Chapter 21, University of Western Ontario, Pearson Education Inc., 2010 Suahasil, Nazara (2013), Materi Perkuliahan Comparative Economic & Perspectives, A Look Into to The Future of Indonesia, Universitas Pertahanan Indonesia Tjiptoherijanto, Prijono (2012), Materi Perkuliahan Economics & National Resilience : Kemiskinan, Universitas Pertahanan Indonesia, Jakarta. Trading Economics (2014), Indonesia-Tingkat Pengangguran, http://id.tradingeconomics.com/indonesia/ unemployment-rate, diunduh tanggal 12 Agustus 2014
Edisi Oktober 2014
73
ANGKASA CENDEKIA
Prospek Pengembangan Teknologi Peluru Kendali Permukaan ke Udara di Indonesia1 Oleh Kapten Tek Y. H. Yogaswara (Pama Dislitbangau, Kandidat Doktor Aerospace Engineering, KAIST - Korea Selatan)
T
idak dapat disangkal lagi bahwa perkembangan terpenting dalam sejarah peperangan pada abad ke-21 adalah munculnya senjata presisi (precision weapon)2. Sebagaimana disampaikan oleh akademisi dan praktisi militer Amerika, Mayor General J. F. C. Fuller, presisi merupakan satu dari lima sifat penting persenjataan lainnya, yaitu jarak jangkau, kekuatan penghancuran, volume penembakan dan pengangkutan (precision, range of action, striking power, volume of fire and portability) (Fuller, 1945). Serangan presisi merupakan suatu serangan yang efektif dan efisien untuk menghancurkan 1
Tulisan ini merupakan bagian yang telah dikurangi dan disesuaikan untuk keperluan publikasi dari naskah lengkap dengan judul “Sintesa Rancangan Peluru Kendali Permukaan-Ke-Udara untuk Sistem Pertahanan Udara Nasional”. Naskah lengkap tersebut dipublikasikan dan mendapat penghargaan sebagai Juara I dalam Lomba Karya Tulis Ilmiah Prajurit/PNS TNI Tahun 2013. 2 Istilah presisi lebih sesuai digunakan daripada akurat dalam menggambarkan kemampuan senjata untuk dapat mengenai sasaran secara konsisten berkelompok pada satu titik.
74
Edisi EdisiOktober Oktobrt 2014
ANGKASA CENDEKIA
suatu sasaran spesifik dan mengurangi kerusakan selain target yang ditentukan. Ciri khas senjata presisi adalah adanya sistem pemandu dan kendali yang memungkinkan senjata tersebut memanipulasi trayektorinya menuju sasaran yang telah ditentukan. Oleh karena kekhasannya tersebut, senjata presisi ini dikenal juga dengan istilah senjata berpemandu (guided weapon). Peluru kendali (missile) merupakan salah satu jenis senjata pemandu berpropulsi mandiri dengan berbagai platform peluncuran dan sasaran. Peluru kendali permukaan-ke-udara (surface-to-air missile - SAM) merupakan jenis peluru kendali yang diluncurkan dari platform permukaan bumi baik di darat maupun kapal laut atas air dengan sasaran wahana udara dalam penerbangannya. Peluru kendali ini dirancang untuk menghancurkan pesawat maupun peluru kendali peluru musuh yang berada dalam jangkauannya dalam operasi pertahanan udara. Dalam angkatan bersenjata modern, peluru kendali permukaan-ke-udara telah memperkuat bahkan menggantikan fungsi senjata meriam penangkis serangan udara dengan peningkatan kemampuan pertahanan yang signifikan. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia sewajarnya haruslah memiliki sistem pertahanan udara yang unggul. Penggelaran peluru kendali pertahanan udara di daerah perbatasan dan lokasi strategis pada akhirnya akan meningkatkan kemampuan pertahanan negara dari ancaman. Pada sisi yang lain, tingkat kesiapan teknologi (technology readyness level - TRL) bidang peluru kendali di Indonesia masih sangat rendah. Hal ini ditunjukkan dengan masih belum tersentuhnya teknologi kunci dalam pengembangan peluru kendali. Teknologi kunci dalam pengembangan peluru kendali diantaranya adalah teknologi propulsi, pemanduan dan kendali, serta proses perancangan yang terintegrasi. Mengingat semakin pesatnya perkembangan teknologi wahana udara di kawasan regional maupun dunia, peluru kendali permukaan-ke-udara merupakan titik tolak yang penting dalam mengawali peningkatan penguasaan teknologi pertahanan secara umum. Pada akhirnya, penguasaan teknologi peluru kendali akan meningkatkan efek penangkalan, menstabilkan kondisi perekonomian dan politik, serta memperbesar kewibawaan bangsa. Edisi Oktober 2014
75
ANGKASA CENDEKIA
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penelitian dan pengembangan peluru kendali adalah suatu keniscayaan bagi Indonesia, bangsa yang harus memiliki visi sebagai negara unggul di kawasan Asia Pasifik. Kebijakan pemerintah ini diperkuat dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011 – 2025 (MP3EI), dimana alat utama sistem senjata (alutsista) termasuk kedalam 22 kegiatan ekonomi utama. Pengembangan kegiatan alutsista hingga tahun 2025 menekankan pada peningkatan pemenuhan kebutuhan alutsista/ sarana pertahanan TNI dan Almatsus Polri dalam rangka menjaga suasana aman kondusif bagi berkembangnya sektor ekonomi (Menko Perekonomian RI, 2011). Hal tersebut telah didukung oleh Agenda Riset Nasional tahun 2011 – 2014 yang dicanangkan oleh Kementerian Riset dan Teknologi RI dan Dewan Riset Nasional berupa agenda riset bidang teknologi pertahanan dan keamanan dalam topik rancang bangun dan rekayasa roket dan peluru kendali (Menteri Ristek RI, 2010). Namun pada sisi lain, kajian awal terhadap prospek pengembangan teknologi ini sangat dibutuhkan untuk mengukur aspek-aspek kuncinya. Terukurnya aspek-aspek kunci dalam kajian pengembangan teknologi peluru kendali ini selanjutnya dapat dijadikan sebagai landasan dalam eksekusi teknis maupun non-teknis. Landasan Formal Penguasaan wilayah udara bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia mutlak diperlukan untuk kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Untuk dapat mempertahankan wilayah udara nasional, maka secara formal dilaksanakan Operasi Pertahanan Udara yang dilaksanakan secara terus-menerus, baik pada masa damai maupun pada masa perang. Operasi pertahanan udara adalah Operasi Gabungan TNI yang bersifat khusus dengan unsur pertahanan udara TNI AU sebagai kekuatan utama dibantu oleh unsur Angkatan dan instansi sipil yang memiliki kemampuan pertahanan udara serta digunakan secara terpadu (Panglima TNI, 2003). Kondisi media udara sebagai ruang gerak menciptakan karakteristik khas bagi sistem senjata udara yang meliputi 76
Edisi Oktober 2014
ANGKASA CENDEKIA
kecepatan, daya capai dan kekenyalan. Kekhasan ini dapat menimbulkan ancaman bilamana dimanfaatkan oleh musuh untuk mencapai tujuan mereka. Secara umum, ancaman udara adalah seluruh wahana udara asing berawak maupun tidak berawak yang mengancam kedaulatan nasional, melanggar wilayah udara nasional, melanggar ketentuan zona identifikasi pertahanan udara (air defense identification zone - ADIZ) dan melanggar ketentuan penerbangan di wilayah udara nasional. Penanganan terhadap ancaman udara dilaksanakan memalui pola operasi pertahanan udara nasional dalam berbagai pola penanganannya. Pada prinsipnya, segala ancaman udara harus dihancurkan atau dinetralisasi sebelum mampu melaksanakan serangan ke sasaran yang dituju. Agar ancaman udara dapat dihancurkan sebelum mencapai sasaran, maka operasi pertahanan udara harus dapat menjangkau sampai keluar wilayah udara yurisdiksi nasional. Berdasarkan kemampuan alat utama sistem senjata pertahanan udara, maka sistem pertahanan udara disusun sebagai berikut (Kepala Staf Angkatan Udara, 2007): 1) Pertahanan udara area. Pertahanan udara yang dilaksanakan menggunakan unsur pesawat tempur sergap sebagai penindak. Dimensi wilayah pertahanan udara ditentukan oleh aksi radius pesawat tempur sergap yang dioperasikan. Sistem ini mempertimbangkan letak objek vital nasional di suatu wilayah pertahanan udara area. Di dalam suatu wilayah pertahanan udara area dapat dilaksanakan beberapa pertahanan udara terminal. 2) Pertahanan udara terminal. Pertahanan udara yang dilaksanakan menggunakan unsur peluru kendali jarak sedang sebagai alat penghancur. Dimensi wilayah pertahanan udara terminal ditentukan oleh jarak jangkauan efektif peluru kendali jarak sedang yang dioperasikan. Apabila peluru kendali jarak sedang belum berfungsi (belum ada), maka pertahanan udara terminal dapat dilaksanakan dengan menggunakan pesawat tempur sergap. Dengan mempertimbangkan banyaknya objek vital nasional di suatu wilayah pertahanan udara terminal, maka dalam satu wilayah tersebut dapat dilaksanakan beberapa pertahanan udara titik. Edisi Oktober 2014
77
ANGKASA CENDEKIA
3) Pertahanan udara titik. Pertahanan udara yang dilaksanakan menggunakan unsur peluru kendali taktis dan meriam pertahanan udara sebagai alat penghancur. Dimensi wilayah pertahanan udara terminal ditentukan oleh jarak jangkauan efektif peluru kendali taktis dan meriam pertahanan udara yang dioperasikan. Gambaran umum peluru kendali Peluru kendali (missile) adalah sistem senjata berpemandu dengan propulsi mandiri (self-propelled guided weapon system). Fokus pada subjek penelitian ini, peluru kendali permukaanke-udara adalah peluru kendali yang khusus ditujukan untuk menghancurkan ancaman berupa sasaran udara dalam rangka mempertahankan aset permukaan dari serangan udara baik dari pesawat maupun peluru kendali lawan. Peluru kendali ini dirancang untuk memenuhi persyaratan operasional tertentu. Berbagai persyaratan menuntun pada ukuran dan susunan fungsi yang berbeda. Perbedaan-perbedaan antara sistem peluru kendali pada akhirnya menghasilkan variasi dalam implementasi pelacakan (tracking) dan konsep pemanduan. Secara umum, peluru kendali terdiri beberapa subsistem, yaitu: seeker, guidance, autopilot, control, fuzing and arming, hululedak, propulsi dan airframe sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 1. Peluru kendali tertentu tidak mengadopsi seluruh subsistem tersebut menyesuaikan fungsi dan performa yang dibutuhkannya.
Gambar 1. Segmen komponen utama peluru kendali (Strickland, 2011)
78
Edisi Oktober 2014
ANGKASA CENDEKIA
Untuk keperluan pencegat (intercept), sistem pemandu homing biasa digunakan pada peluru kendali permukaan-ke-udara maupun udara-ke-udara. Homing guidance merupakan proses pemanduan yang dapat menentukan parameter posisi dari sasaran relatif terhadap pengejar dan dapat memformulasikan perintah kendali untuk memandu dirinya sendiri menuju sasaran. Pada praktiknya, homing merupakan salah satu metode panduan khusus yang memerlukan pemilihan, identifikasi dan pengejaran sasaran melalui karakteristik khas tertentu dari sasaran. Karakteristik khas yang dapat digunakan untuk identifikasi sasaran diantaranya adalah panas, suara, cahaya atau refleksi sinyal radar dari sasaran yang digunakan sebagai sumber informasi untuk mengarahkan peluru kendali pada sasaran. Homing guidance diklasifikasikan menjadi tiga kelompok utama, yaitu panduan aktif, semiaktif dan pasif sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 2. Panduan aktif merupakan panduan dimana transmiter dan receiver berada dalam peluru kendali. Panduan semiaktif adalah peluru kendali yang memilih dan mengejar sasaran mengikuti energi dari sumber diluar, seperti pantulan sinyal radar. Panduanpasif adalah peluru kendali yang dirancang untuk mendeteksi sasaran berdasarkan radiasi alami yang dipancarkannya seperti gelombang panas, gelombang cahaya dan gelombang suara. Active: Missile carries source of radiation onboard Illuminating signal Return Semi-Active: Missile uses external, controlled source of radiation
Illuminating signal
Passive: Missile uses external, uncontrolled source of radiation
Signature
Gambar 2. Sistem panduan homing (Siouris, 2004) Edisi Oktober 2014
79
ANGKASA CENDEKIA
Teknologi Peluru Kendali Indonesia Saat ini Kekuatan peluru kendali yang dimiliki TNI saat ini masih sangat terbatas dengan mengandalkan peluru kendali hasil pengadaan dari produsen luar negeri. Khusus kekuatan peluru kendali permukaanke-udara, sistem pertahanan udara nasional hanya diperkuat oleh peluru kendali permukaan-ke-udara taktis jarak pendek. Peluru kendali ini hanya untuk sasaran ketinggian rendah dalam pertahanan jarak jangkau terdekat. Peluru kendali permukaan-ke-udara untuk pertahanan udara terminal dengan kemampuan jarak sedang untuk pengamanan wilayah terhadap ancaman pesawat atau peluru kendali lawan pada pada ketinggian 10 km dan jarak 100 km (Asrena Kasau, 2012) hingga saat ini belum dimiliki. Dalam penggelarannya, operasi pertahanan udara terminal dan pertahanan udara area seluruhnya ditanggulangi oleh pesawat tempur sergap. Ditengah keterbatasan jumlah dan kemampuan pesawat tempur dibandingkan luas wilayah yang harus di pertahankan, maka beban pertahanan udara ganda tersebut dapat menurunkan efektivitas dan efisiensi operasi. Peluru kendali permukaan-ke-udara yang dimiliki Indonesia tersebut adalah peluru kendali Grom yang dioperasikan TNI AD, Mistral TNI AL dan QW-3 TNI AU. Tabel 1 menguraikan perbandingan spesifikasi masing-masing peluru kendali tersebut. Tabel 1. Spesifikasi peluru kendali Grom, Mistral dan QW-3 Parameter
PZR Grom (TNI AD)
Sistem Pasif inframerah Pemandu Mekanisme Contact detonasi
Mistral (TNI AL)
QW-3 (TNI AU)
Pasif inframerah
Semiaktif laser Impact - proximity Solid motor rocket
Propelan
Solid motor rocket
Laser proximity or impact Solid motor rocket
Jarak jangkau
5,5 km
6 km
0,8 - 8 km
Ketinggian
3,5 km
4 m - 5 km
Kecepatan
650 m/s
Informasi tidak tersedia 800 m/s
Diameter
72 mm
90 mm
71 mm
Berat total
16,5 kg
18.7 kg
23 kg
Negara Produsen
Polandia
Perancis
China
80
Diatas 750 m/s
Edisi Oktober 2014
ANGKASA CENDEKIA
Usaha Pengembangan Teknologi Peluru Kendali Secara Mandiri Usaha pengembangan teknologi peluru kendali secara mandiri di Indonesia hingga saat ini belum terealisasi secara konkrit serta terbatas pada aspek kajian dan perancangan konsep. Usaha awal pengembangan roket yang dilaksanakan oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) memberi sedikit pembuka untuk dapat dikembangkan menuju peluru kendali. Perkembangan roket Lapan pada prinsipnya merupakan program sipil yang tidak memiliki hubungan dalam pengembangan teknologi militer. Roket itu sendiri dikembangkan dalam rangka mendukung usaha menuju kemandirian wahana peluncur satelit (satellite launch vehicle). Selain pengembangan roket ini, pengembangan subsistem lainnya belum dilaksanakan di Indonesia. Berbagai jenis roket telah dikembangkan oleh Lapan. Roket propelan padat yang dikembangkan dan telah diuji coba tersebut diantaranya adalah RX-100, RX-250, RX 320 dan RX-420. Tahap selanjutnya, Lapan sedang mempersiapan untuk pengembangan dan uji coba RX-520 dan RX-550 untuk roket peluncur satelit (satelitte launch vehicle SLV) (Wikipedia, 2012). Dalam bidang pertahanan itu sendiri, bersama dengan PT Dirgantara Indonesia dan PT Pindad dalam lembaga konsorsium di bawah Kementerian Riset dan Teknologi, Lapan berhasil melaksanakan pengembangan roket D320 tipe RX-1210. Roket ini berhasil diuji coba dan telah diproduksi massal untuk digunakan sebagai motor pendorong untuk roket pertahanan R-Han 122. Roket ini digunakan sebagai roket darat-ke-darat dengan jarak capai hingga 15 km (Wikipedia, 2012). Kemampuan produksi propelan Lapan merupakan modal dasar yang dapat dijadikan batu loncatan menuju teknologi peluru kendali. Ditinjau dari aspek teknis, maka penelitian, pengembangan dan rekayasa peluru kendali permukaan-ke-udara akan memiliki tantangan yang lebih kompleks selain teknologi propulsi. Penguasaan teknologi pemandu dan kendali, seeker, integrasi sistem hingga perang elektronika akan mengantarkan pada pemahaman mendalam tentang peluru kendali. Edisi Oktober 2014
81
ANGKASA CENDEKIA ROKET R-HAN 122 Teknologi Sistem Kendali “Control law” Perangkat lunak Perangkat keras
Teknologi Mekatonik “Intelligent communication system” “Intelligent actuator” “Intelligent sensors”
Teknologi Material
Material khusus Bahan komposit Baja Paduan Teknologi Eksplosif dan Propulsi
Hulu ledak “Propellant” Sistem propulsi
Gambar 3. Roket RX-420 (Lapan, 2012)dan R-Han (Kompas, 2012) dalam uji terbang
Strategi Pengembangan Teknologi Peluru Kendali Pemilihan peluru kendali permukaan-ke-udara jarak menengah sebagai unsur penghancur dalam pertahanan udara terminal sebagai objek penelitian merupakan pilihan yang stategis. Sebagaimana diuraikan di atas, kekosongan alat utama sistem senjata pertahanan udara ada pada unsur peluru kendali permukaan-ke-udara jarak menengah. Wilayah udara nasional saat ini hanya dilindungi oleh unsur meriam pertahanan udara dan peluru kendali permukaan-ke-udara taktis jarak dekat sebagai alat penghancur dalam sistem pertahanan udara titik. Sedangkan unsur pesawat tempur sergap sebagai penindak dalam sistem pertahanan udara area memiliki tugas tambahan dalam pertahanan terminal karena ketiadaan peluru kendali jarak menengah ini. Ditinjau dari kebijakan pimpinan, postur TNI AU tahun 2005 - 2024 mengamanatkan untuk penggelaran peluru kendali jarak sedang. Proyeksi dalam 20 tahun mendatang, peluru kendali jarak 82
Edisi Oktober 2014
ANGKASA CENDEKIA
sedang direncanakan memiliki 11 baterai yang akan ditempatkan di Jakarta, Pekanbaru, Surabaya, Lhokseumawe, Asahan, Bontang, Kupang, Denpasar, Gorontalo, Ranai dan Morotai (Kepala Staf Angkatan Udara, 2009). Terlepas dari rencana tersebut, kebijakan ini menunjukan bahwa peluru kendali jarak sedang merupakan salah satu prioritas peningkatan kemampuan sistem pertahanan udara nasional. Walaupun pada awalnya peluru kendali ini akan diadakan dari produsen luar negeri, penguasaan teknologi peluru kendali ini pada akhirnya dapat diarahkan untuk pemenuhan kebutuhan menjadi lebih mandiri. Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia Sumber daya manusia memegang peranan sentral dalam akuisisi teknologi peluru kendali. Manusia sebagai sumber daya merupakan faktor investasi utama dalam suatu organisasi. Peningkatan kualitas sumber daya manusia dilaksanakan melalui kegiatan pendidikan baik secara formal, non-formal dan informal. Manusia sebagai bagian dari bentuk investasi dengan disertai upaya peningkatan kualitas secara baik mempunyai kecenderungan suatu bangsa dalam pertumbuhan ekonomi dan pembangunan akan maju dan stabil (Dougherty, et al., 1990) (Gunawan, 2011). Dengan dasar tersebut, maka sumber daya manusia yang kompeten dalam bidang terkait merupakan modal utama akuisisi teknologi peluru kendali. Upaya strategis pengembangan teknologi peluru kendali adalah dengan menempatkan personel dengan pendidikan minimal setingkat strata 2 (S2) pada bidang yang sesuai dengan pola full-time researcher. Personel ini bertugas untuk mengawaki program akuisisi teknologi peluru kendali pada tahap penelitian, pengembangan dan rekayasa secara penuh waktu sehingga dapat fokus dalam penelitian tersebut. Pemilihan personel dengan pendidikan minimal S2 sebagai peneliti ini sesuai dengan UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2012, kompetensi iptek bidang penelitian ilmiah baru diberikan kepada peserta didik dalam pendidikan tinggi setingkat S2 sebagaimana diuraikan pada Tabel 2. Edisi Oktober 2014
83
ANGKASA CENDEKIA Tabel 2. Konteks dan kompetensi pendidikan tinggi (UU No 12/2012, 2012) Pendidikan
Konteks
Kompetensi
Diploma Pasal 16 (1)
Keahlian Pendidikan vokasi merupakan Pendidikan terapan Tinggi program diploma yang menyiapkan Mahasiswa untuk pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu sampai program sarjana terapan.
Sarjana (S1) Pasal 18 (1)
Program sarjana merupakan pendidikan akademik yang diperuntukkan bagi lulusan pendidikan menengah atau sederajat sehingga mampu mengamalkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui penalaran ilmiah.
Magister (S2) Program magister merupakan pendidikan Pasal 19 (1) akademik yang diperuntukkan bagi lulusan program sarjana atau sederajat sehingga mampu mengamalkan dan mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi melalui penalaran dan penelitian ilmiah. Doktor (S3) Pasal 20 (1)
Program doktor merupakan pendidikan akademik yang diperuntukkan bagi lulusan program magister atau sederajat sehingga mampu menemukan, menciptakan, dan/ atau memberikan kontribusi kepada pengembangan, serta pengamalan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui penalaran dan penelitian ilmiah
Penalaran ilmiah (kemampuan penelitian ilmiah belum diajarkan) Pengembangan Iptek melalui penalaran dan penelitian ilmiah Kontribusi pada pengembangan Iptek melalui penalaran penelitian ilmiah
Pembangunan Sistem Akuisisi Teknologi Pertahanan Sistem akuisisi teknologi pertahanan secara umum maupun teknologi peluru kendali di Indonesia masih belum dapat terlaksana dengan baik. Salah satu faktor utama yang menghambat akuisisi teknologi pertahanan adalah sistem yang belum mendukung. Teknologi peluru kendali sebagai teknologi pertahanan belum memiliki dasar hukum dan regulasi yang kuat untuk dapat berkembang secara baik. Dasar hukum yang saat ini menaungi teknologi pertahanan adalah Komite Kebijakan Industri Pertahanan disingkat KKIP (Menteri Pertahanan RI, 2010). Komite 84
Edisi Oktober 2014
ANGKASA CENDEKIA
ini adalah badan yang bertugas untuk mengkoordinasikan perumusan, pelaksanaan dan pengendalian kebijakan nasional industri pertahanan. Berdasarkan tugas dan fungsi KKIP, maka dapat terlihat bahwa badan ini hanya berfungsi sebagai lembaga perumus, koordinator dan pemantauan industri pertahanan. Fungsi utama dan sentral dari akuisisi teknologi pertahanan yaitu eksekusi program akuisisi dengan berpedoman pada prinsip-prinsip rekayasa sistem sama sekali tidak dibahas, diatur dan dilembagakan. Sistem akuisisi teknologi pertahanan harus dibangun dan terpusat, dalam hal ini berbentuk lembaga yang langsung di bawah Menteri Pertahanan. Lembaga ini memiliki otoritas dalam penentuan kebijakan-kebijakan akuisisi. Sebagai contoh adalah adanya lembaga Department of Defense Acquisition, Amerika; Defense Acquisition Program Administration (DAPA), Korea Selatan; dan Defense Acquisition Council (DAC), India. Secara spesifik, regulasi akusisi teknologi pertahanan bidang peluru kendali ini harus dapat memenuhi kriteria-kriteria berikut ini: a. Proses akuisisi. Dalam melaksanakan tugas pokoknya, Kementerian Pertahanan maupun TNI membutuhkan barang dan jasa dari kontraktor, pemasok atau sumber lainnya untuk digunakan dalam kegiatan operasi dan latihan. Proses mendapatkan barang dan jasa tersebut disebut sebagai akuisisi. Akusisi itu sendiri memiliki pengertian luas yang tidak hanya membeli barang atau menyewa jasa. Akusisi meliputi perancangan, rekayasa, konstruksi dan manufaktur, uji coba dan evaluasi, penggunaan, perawatan dan penghapusannya (Schwartz, 2013). Bercermin pada sistem akusisi pertahanan (defense acquisition system - DAS) yang berlaku di Amerika, proses akuisisi menggunakan "milestone" (tonggak) untuk mengatur dan menjaga program akuisisi sebagaimana diilustrasikan dalam Gambar 4. Pada setiap milestone, sebuah program harus sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan tertentu sebelum program ini dapat melanjutkan ke tahap berikutnya dalam proses akuisisi. Terdapat tiga milestone dalam proses akuisisi, yaitu: 1) Milestone A : inisiasi pengembangan teknologi. 2) Milestone B : inisiasi pengembangan rekayasa dan manufaktur. 3) Milestone C : inisiasi produksi dan pengiriman. Edisi Oktober 2014
85
ANGKASA CENDEKIA
Secara formal, setiap milestone yang ditentukan dan diputuskan dalam forum yang diselenggarakan lembaga pemerintah yang berwenang. Dalam praktiknya, Departemen Pertahanan Amerika memiliki Milestone Decision Authority (MDA) dalam menentukan setiap acuan dari sistem yang dikembangkannya dan diimplementasikan dalam proses akuisisi sebagai acuan Milestone A, B dan C. ● The Materiel Development Decision precedes entry into any phase of the acquisition management system
User Needs
● Entrance criteria met before entering phase
Technology Opportunities & Resources
A
B
Materiel Solution Technology Analysis Development Materiel Development Decision
(Program Initiation
C
Engineering and Manufacturing Development PostPDR A
Pre-Systems Acquisition = Decision Point
● Evolutionary Acquisition or Single Step to Full Capability
= Milestone Review
PostCDR A
IOC
FOC
Production & Deployment LRIP/IOT&E
Operations & Support
FRP Decision Review
Sustainment
System Acquisition
= Decision Point if PDR is not conducted before Milestone B
Gambar 4. Milestone pada proses akuisisi (Schwartz, 2013)
b. Rekayasa sistem. Rekayasa sistem (system engineering) perlu dijadikan landasan dalam melaksanakan penelitian sehingga proses perancangan, manufaktur dan pengujian dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Rekayasa sistem ini adalah kumpulan konsep, pendekatan dan metodologi, serta alat-alat bantu untuk merancang dan menginstalasi sebuah sistem kompleks. Proses siklus hidup dari suatu sistem (the system life-cycle process) pada dasarnya terdiri dari beberapa rangkaian proses sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 5, yaitu (Blackhard, et al., 1990): 1) Perancangan konsep (conceptual design) 3) Perancangan awal (preliminary design) 4) Perancangan rinci (detail design and development) 86
Edisi Oktober 2014
ANGKASA CENDEKIA
5) Produksi atau konstruksi (Production or construction) 6) Penggunaan dan dukungan (utilization and support) 7) Penghapusan dan penghancuran (phaseout and disposal) Berdasarkan siklus hidup sistem, maka penelitian merupakan proses awal dari seluruh siklus, yaitu perancangan konsep. Pada proses ini dilakukan studi kelayakan (feasibility) dan perencanaan produk tingkat lanjut (advanced product planning). (2)
Definition of Need
Preliminary Design (Advance Development)
(1) System funtional analysis
Conceptual Design ●
●
Feasibility study (a) Needs analysis (b) System operational requipments (c) System maintenance concept
● Functional requirements ● System oprational
functions ● System maintenance functions System analysisidentification of alternative functions and subfunctions
Advance product planning (plans and specifications)
Preliminary synthesis and allocation of design criteria ● Allocation
of performance factors, design factors, and effectivensis requirements ● Allocation of system support requirements
System optimization
System synthesis and definition
● System
and subsystem trade-offs and evaluation of alternatives
● Preliminary
design performance, configuration, and arrangement of chosen system (analyses, data, physical models, testing, (etc) ● Detail specification(s)
● System
and subsystem analyses
System analysis
Feedback loop
Research
(4)
(3)
Detail Design and Development System-prototype develpoment
System-product design ● Detail
design of functional system (prime equipment and software) ● Detail design of system logistic support elements ● Design support functions ● Design data and documentation ● System analysis and evaluation ● Design review
Production and/or Construction
System-prototype test and evaluation
● Development
of system prototype model
●
Development of system logistic support requirements
● Test ●
preparation
Testing of prototype system and equipment
● Test
● System
assessment-analysis and evaluation
●
Modifications for corrective action
(5) Utilization and Support
reporting
● System
analysis and evaluation ● Modifications for corrective action
● System
assessment, analysis and evaluation
●
Modifications for corrective action
(6) Feedback loop
Phasseout and Disposal
Gambar 5. Proses siklus hidup sistem (Blackhard, et al., 1990)
c. Spektrum metode penelitian. Penelitian peluru kendali yang melibatkan proses perancangan sistem sangat ditentukan oleh interaksi dari seluruh subsistem yang membangunnya. Setiap komponen subsistem harus dapat menjalankan fungsinya secara baik serta terintegrasi menjadi satu sistem peluru kendali yang harus seimbang dan ditata untuk performa terbaik. Gambar 6 mengilustrasikan spektrum metode untuk menentukan performa peluru kendali. Edisi Oktober 2014
87
ANGKASA CENDEKIA
Gambar 6. Spektrum metode penentuan performa peluru kendali (Strickland, 2011)
Sumbu horizontal pada gambar tersebut diatas menunjukan semakin tinggi nilai kepercayaan terhadap data yang dihasilkan dan semakin besar anggaran yang diperlukan. Pada teknik analisa sederhana dapat memperkirakan performa karakteristik peluru kendali, seperti jarak maksimum (range) dan waktu terbang (time of flight). Namun metode ini sangat sulit atau tidak mungkin untuk dapat memprediksi interaksi setiap subsistem secara detil dan akurat. Uji terbang merupakan metode paling terpercaya namun membutuhkan anggaran paling besar. Uji laboratorium dapat memberikan informasi yang terpercaya, namun hanya terbatas pada evaluasi subsistem dengan lingkungan yang diasumsikan. Simulasi komputer memegang peranan yang penting dalam mengisi kekosongan antara analisis yang tingkat kepercayaan dan anggarannya rendah dengan uji terbang yang tingkat kepercayaan dan anggarannya tinggi. Kekosongan ini dapat dilaksanakan melalui berbagai macam variasi kecanggihan simulasi peluru kendali bergantung pada bagaimana pengguna menginginkan hasil simulasi ini mendekati hasil analisa atau uji terbang. d. Work breakdown structure. Tidak terlepas dari proses akuisisi dan rekayasa sistem dalam penelitian peluru kendali, kerangka kerja diperlukan dalam mengelola penelitian tersebut. 88
Edisi Oktober 2014
ANGKASA CENDEKIA
Kerangka kerja ini dikenal dengan istilah work breakdown structure (WBS) yang berfungsi sebagai penghubung antara rencana rekayasa sistem yang dibutuhkan untuk dikembangkan sebelum penentuan seluruh milestone pada program akuisisi yang dijalankan. WBS untuk peluru kendali itu sendiri melibatkan sekitar 110 sistem dan subsistem. Keuntungan penggunaan WBS dalam pengembangan peluru kendali adalah sebagai berikut (MIL-STD-881C, 2011): 1) Memisahkan item materiil pertahanan menjadi bagian-bagian komponennya, menjelaskan hubungan antara bagian-bagian dan hubungan antara tugas dan fungsi satu sama lain hingga produk akhir. 2) Memfasilitasi perencanaan yang efektif dan penugasan tanggung jawab manajemen dan teknis. 3) Membantu pelacakan status upaya teknis, risiko, alokasi sumber daya, pengeluaran serta performa anggaran, waktu dan teknis. 4) Membantu memastikan bahwa kontraktor tidak perlu dibatasi dalam memenuhi kebutuhan barang. 5) Menyediakan pemahaman yang sama untuk setiap pihak terkait yang memungkinkan konsistensi dalam pemahaman anggaran dan jadwal. Integrasi Lembaga Penelitian Teknologi Pertahanan Dalam sudut pandang penulis, lembaga penelitian, pengembangan dan rekayasa teknologi pertahanan khususnya peluru kendali, saat ini masih belum mapan secara keorganisasian maupun perencanaan dan eksekusi program. Pada sisi pengorganisasian, lembaga penelitian ini terpisah antara tingkat Kemhan yang dibina dan dilaksanakan oleh Puslitbang Iptekhan Balitbang Kemhan serta tingkat TNI oleh Dislitbang Angkatan. Terpisahnya lembaga penelitian pertahanan ini membuka ruang terhadap terjadinya program ganda bahkan pengulangan program antara satu lembaga dengan lembaga yang lain. Salah satu contoh kasus faktual yang terjadi adalah penelitian pesawat terbang tanpa awak (PTTA/UAV) yang hampir seluruh lembaga melaksanakannya dengan berbagai kegunaan dari mulai misi Edisi Oktober 2014
89
ANGKASA CENDEKIA
target drone hingga surveillance. Kondisi ini pada akhirnya akan menggiring pada pemborosan waktu, biaya dan sumber daya lainnya sehingga kurang mampu memberikan kontribusi nyata dalam pengembangan teknologi pertahanan itu sendiri. Pada sisi perencanaan dan eksekusi program, setiap lembaga penelitian merencanakan dan menetapkan setiap programnya masing-masing dengan pertimbangan kebutuhan operasional dan latihan yang sesuai. Selanjutnya upaya sinkronisasi dan sinergi program penelitian antara Balitbang Kemhan dan Dislitbang Angkatan diwadahi dalam satu rapat koordinasi penyerasian yang terbatas pada aspek koordinasi dan komunikasi antara penentu kebijakan litbang. Upaya ini menjadi kurang berperan karena tidak dilengkapi kewenangan yang bersifat instruksi penyesuain program dan anggaran yang akan dieksekusi. Alih-alih terciptanya program yang sinkron dan sinergi, penyerasian itu hanya berperan sebagai pusat data program penelitian. Pada akhirnya, akuisisi teknologi pertahanan yang mapan tidak dapat dilaksanakan secara fokus dan konsisten yang merupakan syarat mutlak kemajuan. Upaya strategis dalam optimalisasi lembaga penelitian teknologi pertahanan ini adalah terintegrasinya potensi dan sumber daya untuk seluruh matra dalam satu lembaga di bawah Kementerian Pertahanan. Lembaga ini memiliki wewenang untuk merencanakan dan mengeksekusi program-program strategis, bukan hanya sebagai lembaga koordinasi antar lembaga litbang. Hubungan antara lembaga ini dengan Dislitbang Angkatan perlu dikaji lebih mendalam terkait kewenangan pelaksanaan jenisjenis kegiatan penelitian yang terbagi atas: reproduksi, substitusi, modifikasi, reverse engineering atau inovasi baru (Kepala Staf Angkatan Udara, 2007). Hal lain yang tidak kalah penting untuk dikaji adalah penggunaan personel, fasilitas, peralatan dan pendukung penelitian antar lembaga yang dapat dipastikan akan saling beririsan satu sama lain. Melalui lembaga penelitian yang terintegrasi ini, maka program-program unggulan dapat dicanangkan dalam road map penelitian untuk dilaksanakan secara fokus dan konsisten. Dengan diawaki oleh personel dengan kualifikasi yang sesuai, kerjasama perguruan tinggi dan industri, serta tetap dalam koordinasi lembaga akuisisi, maka lembaga ini dapat memberikan kontribusi 90
Edisi Oktober 2014
ANGKASA CENDEKIA
signifikan untuk kemajuan teknologi pertahanan Indonesia khususnya teknologi peluru kendali. Contoh sukses lembaga penelitian teknologi pertahanan yang terintegrasi dengan hasil penelitiannya yang berkualitas tinggi diantaranya adalah lembaga Defense Advanced Research Project Agency (DARPA), Amerika; Defense Science and Technology Organization (DSTO), Australia; Agency for the Defense Development (ADD), Korea Selatan; dan Defense Research and Development Organization (DRDO), India. Kesimpulan Peluru kendali permukaan-ke-udara yang digunakan sebagai alat penghancur dari setiap ancaman memegang peranan strategis dalam operasi pertahanan udara. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, maka peluru kendali permukaan-ke-udara yang diperlukan berbanding lurus dengan luas wilayah udara nasional. Ketiadaan peluru kendali permukaan-ke-udara jarak sedang untuk memenuhi unsur penghancur dalam sistem pertahanan udara terminal menambah urgensi penguasaan teknologi ini. Pada sisi lain, peluru kendali merupakan teknologi canggih yang memerlukan tingkat penguasaan teknologi yang tinggi pula. Tingginya jumlah kebutuhan dan tingkat teknologinya menuntut kemandirian dalam akusisi teknologi peluru kendali dalam waktu secepatnya. Kemandirian akan menghilangkan ketergantungan terhadap negara lain dalam memenuhi kebutuhan pemenuhan peluru kendali melalui program akuisisi teknologi peluru kendali. Akuisisi teknologi peluru kendali memerlukan usaha yang terintegrasi dari seluruh elemen yang terkait. Prospek pengembangan teknologi peluru kendali dapat tercapai dengan tiga strategi utama, yaitu peningkatan kualitas sumber daya manusia,pembangunan sistem akuisisi teknologi pertahanan serta integrasi lembaga penelitian teknologi pertahanan. Ketiga strategi tersebut merupakan syarat utama sehingga setiap program yang direncanakan dapat dilaksanakan dengan fokus dan konsisten. Pada akhirnya, regulasi pemerintah yang berpihak pada kemandirian, sinergi antara lembaga penelitian, perguruan tinggi dan industri terkait akan sangat menentukan keberhasilan penguasaan teknologi peluru kendali secara mandiri. Edisi Oktober 2014
91
ANGKASA CENDEKIA
Daftar Pustaka Asrena Kasau Kajian Peluru Kendali (Rudal) Jarak Sedang/ Menengah [Book]. - Jakarta : Staf Perencanaan dan Anggaran TNI AU, 2012. Blackhard B.S. and Fabrycky W.J. System Engeneering and Process 2ed [Book]. - New Jersey : Pentrice Hall Inc, 1990. Dougherty K and Hammack F Educational and Society [Book]. - New York : Harcourt Barce Yovanovich College Publishing , 1990. Fuller Maj. Gen. J. F. C. Armament and History: A Study of the Influence of Armament on History From the Dawn of Classical Warfare to the Second World War [Book]. - New York : Scribner's Son, 1945. Gunawan Imam Investasi SDM [Online]. - 2011. - http:// masimamgun.blogspot.com/2011/10/investasi-sdm.html. Kepala Staf Angkatan Udara Peraturan Kepala Staf Angkatan Udara Nomor Perkasau/36/IX/2007 tanggal 12 September 2007 tentang Buku Petunjuk Teknis TNI AU Tentang Penelitian, Pengembangan dan Pembuatan Materiil Produk Lokal [Book]. - Jakarta : Mabes TNI AU, 2007. Kepala Staf Angkatan Udara Peraturan Kepala Staf Angkatan Udara Nomor Perkasau/79/XII/2007 tanggal 13 Desember 2007 tentang Buku Petunjuk Pelaksanaan TNI AU Tentang Operasi Pertahanan Udara [Book]. - Jakarta : Mabes TNI AU, 2007. Kepala Staf Angkatan Udara Peraturan Kepala Staf Angkatan Udara Nomor Perkasau/98/XI/2009 tanggal 11 November 2009 tentang Postur TNI AU Tahun 2005 - 2024 (Revisi Tahun 2009) [Book]. - Jakarta : Mabes TNI AU, 2009. Kompas Mandiri dengan R-Han 122 [Online]. - 2012. - http:// edukasi.kompas.com/read/2012/05/31/02420229/ Mandiri. dengan.R-Han.122. Lapan Lapan Luncurkan RX-420 dalam Upaya Mewujudkan Roket Pengorbit Satelit [Online]. - 2012. - http://www.lapan.go.id/ doc_news/rx420.html. Menko Perekonomian RI Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia [Book]. - Jakarta : Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2011. 92
Edisi Oktober 2014
ANGKASA CENDEKIA
Menteri Pertahanan RI Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 12 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Komite Kebijakan Industri Pertahanan [Book]. - Jakarta : Kementerian Pertahanan RI, 2010. Menteri Ristek RI Keputusan Menteri Riset dan Teknologi RI Nomor 193/M/Kp/IV/2010 tanggal 30 April 2010 tentang Agenda Riset Nasional 2010-2014 [Book]. - Jakarta : Kementerian Riset dan Teknologi RI, 2010. MIL-STD-881C Department of Defense Standard Practice: Work Breakdown Structures for Defence Materiel Items [Book]. Washington DC : US Department of Defense, 2011. Panglima TNI Surat Keputusan Panglima TNI Nomor Skep/163/V/2003 tanggal 12 Mei 2003 tentang Operasi Pertahanan Udara [Book]. - Jakarta : Mabes TNI, 2003. Schwartz Moshe Defense Acquisitions: How DOD Acquires Weapon System and Recent Effort to Reform the Process [Book]. Washington DC : Congresional Research Service, 2013. Siouris George M. Missile Guidance and Control Systems [Book]. New York : Springer-Verlag, 2004. - 0-387-00726-1. Strickland Jeffrey Missile Flight Simulation [Book]. - Colorado : Lulu Inc., 2011. UU No 12/2012 Undang-undang RI Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi [Book]. - Jakarta : Sekretariat Negara RI, 2012. Wikipedia Grom (missile) [Online]. - 2012. - http://en.wikipedia. org/wiki/Grom_missile. Wikipedia Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional [Online]. - 2012. - http://id.wikipedia.org/wiki/Lembaga_ Penerbangan_dan_Antariksa_Nasional. Wikipedia Mistral (Missile) [Online]. - 2012. - http://en.wikipedia. org/wiki/Mistral_%28missile%29. Wikipedia QW-1 Vanguard [Online]. - 2012. - http://en.wikipedia. org/wiki/QW-1_Vanguard#QW-3. Wikipedia R-Han 122 [Online]. - 2012. - http://id.wikipedia.org/ wiki/R-Han_122.
Edisi Oktober 2014
93
ANGKASA CENDEKIA
Adakah Matra Udara Kekuatan Penentu “Richard Nixon benar-benar Pemimpin yang punya nyali, beda banget dengan Tokoh lawan-Partainya. US Navy Captain John S McCain1
Oleh Subagyo Sayogya (Wartawan Senior/Pemerhati Hankam dan Politik)
V
on CLAUSEWITZ sungguhsungguh benar, kala mana ia berujar, bahwasanya Perang adalah Wahana Nasional berujunghasil Politik; dan AS, dengan ABAS yang sesungguhnya tak terkalahkan dalam setiap pertempuran di Vietnam, terpaksa mundur dari mandala yang digelutinya nyaris 10 tahun setelah tidak lagi memiliki legalitas-Politik baik di [opini Publik AS] [1] dalam Negeri, maupun dalam [2] tataran-Internasional lantaran AS sudah ‘menyerahkan’-- via Perjanjian Paris 1972 --, upaya Militer dan Politiknya untuk menahan Vietminh/Vietnam-Utara kepada Sekutunya : Vietnam-Hanoi. Tetapi Sekutu yang dibelanya ‘mati-matian’2 itu begitu rapuhnya, sehingga 1 Captain [= Kolonel ALAS] John S. McCain adalah Pilot yang pesawatnya ditembak jatuh di Vietnam Utara, ia cedera-tetap, ditawan dan mengalami sejumlah penyiksaan. Setelah Perdamaian Paris ia dibebaskan, cacat-tetap, di kemudian hari menjadi Senator AS. Ia dikenal dengan kritik-kritiknya yang tajam-obyektif. Ayah dan Kakeknya [John S. McCain Jr & Sr.] adalah Laksamana bintang empat ALAS. McCain adalah Keluarga Militer : dua puteranya juga di ALAS, seorang di Korps Marinir AS. 2 Lebih 50 ribu Perajurit ABAS gugur sungguhan, dalam hampir 10 tahun AS. Sekedar perbandingan, dalam empat tahun Perang Dunia II, 450 ribu lebih Perajurit AS gugur.
94
Edisi EdisiOktober Oktobrt 2014
ANGKASA CENDEKIA
dalam waktu dua tahun setelah masa ‘damai’ singkat Perjanjian ‘Damai’ tersebut, runtuh total di tahun 1975. Pentagon dan Washington sebenarnya mengajukan dipangkalkannya dua Wing AUAS di Viet-Sel, katakanlah sebagai Political-banner dan modal-Militer keberadaan ABAS di sana; akan tetapi Kongres AS menolak usulan itu; Vietnam sudah ‘ditutup buku’ dalam kepentingan AS. Sedangkan daya dan prestasi Militer AUAS, di tangan Kepemimpinan Politik yang berwawasan Politik-brilyan dan teguh sesungguh-sungguhnya [masih] amatefektif dan menentukan. [Para Jenderal AUAS dan ABAS memiliki kedua hal itu : ‘cukup’ brilyan dan teguh, akan tetapi tidak semua atasan Politiknya, terutama Menteri Pertahanan dan Presiden, plus Tokoh-tokoh Kongres, memiliki kedua hal itu.] Beruntung bahwa dalam Perang Akbar Dunia II ABAS memiliki Presiden Roosevelt, kemudian Truman, dan di Perang Vietnam memiliki Nixon yang brilyan dan teguh, walau kemudian kesandung kasus Watergate dan jatuh. Dalam Perang Dunia II Roosevelt ‘menantang’ AUAS3 menggelar seranganberani-dan-tajam, dan lahirlah The Tokyo Raid pimpinan Kol. Doolittle yang amat besar dampak Politiknya, kendatipun hasil Militernya minimalis. Sedangkan Truman mem-fiat gelar Bom Atom dan total-langsung-efektif menyetop Perang Asia-TimurRaya dengan Jepang; dan walaupun begitu pahitnya, dengan begitu menghentikan jatuhnya korban jiwa di kedua belah pihak. Tak semua Kepala Negara memiliki nyali seperti itu dalam mengambil keputusan-keputusan akbar, kritis, teramat penting, yang seringkali kontroversial. Menjelang akhir Perang Dunia II USAAF itu, dan ini berkat dukungan dan persetujuan Roosevelt juga, yang nyaris lumpuh kaki oleh penyakit yang membawanya meninggal; meningkat begitu besar formatnya bagi gelar global, hingga bak Angkatan dalam Angkatan. USAAF membesar dan berkembang begitu cepat, dengan mengambil peran Militer global. Sedangkan, adalah Presiden Richard “Dick”Milhous Nixon yang [1] mengakomodasi Rencana Operasi Linebacker II dan [2] mem-fiat gelarnya, membom Ibukota 3
Waktu itu masih USAAF [= US Army Air Force] bagian ADAS. Pemisahannya menjadi sebuah Angkatan mandiri [dari US Army] dilakukan di tahun 1947. Edisi Oktober 2014
95
ANGKASA CENDEKIA
Hanoi dan Kota Bandar-laut Utama Haiphong, dalam pemboman 24 jam yang hebat, terus-menerus [19 hingga 30 Desember 1972], yang riel membawa dan memaksa Pemerintahan Vietminh balik-ke-dan-menyetujui Perundingan Paris. Langkah berani politiknya [3] mendapat tentangan Lawan-lawan Partai yang mengkhawatirkan pecahnya Perang Dunia III, akibat langkah Strategik ini. Sejumlah Tokoh Dunia yang mengkhawatirkan Perang Dunia III4 meletus sebab aksi itu, mesti menelan kedunguan, ‘salah-hitung’ dan ketakutannya sendiri. Operasi Militer di bawah AUAS“ Linebacker II”, layak dinilai strategik dominan menjadi penentu dalam, politis, memaksa Hanoi kembali ke perundingan. Kendatipun demikian, tetap senantiasa layak untuk : dengan mendasar senantiasa berupaya memahami makna penentu Strategik-tempur daya-matra-udara, dalam Operasi Gabungan Matra Militer. Dalam kebanyakan kasus konflik Militer, Taktis maupun Strategik, menyimak dan menilainya mesti sedapat-dapatnya : cermat, hati-hati dan obyektif, lantaran rasa ‘superioritas’ maupun ‘rivalitas’ Matra tetap menghantui bahkan di Organisasi Militer yang ‘paling’ nsure ional dan maju sekalipun. Dalam “Operasi Neptune Spear” ABAS, adalah : Team Six US Navy SEAL yang digelar sebagai nsure-darat operasi itu, dan bukan Tim Delta ADAS, banyak dibatasi oleh kebutuhan riel, bahwa Unit Angkut-Serbu Helikopter serbuan itu adalah Unit “The Night Stalker” ADAS; seakan-akan agar AD tidak menerima ‘dua kursi peran’ di operasi ybs. AUAS sendiri diberi dan mengambil peran Taktis amat pelik dalam mengamankan jalur udara ratusan kilometer, masuk jauh ke nyaris ke tengah wilayah udara Pakistan, dan lolos via arah ke Samudera Hindia, untuk balik ke basis-operasi di Afghanistan. Cuma USMC, Matra paling kecil di ABAS, yang [mungkin] hanya diberi peran keterlibatan di penugasan Staf.
4
Sebab khawatir : Rusia dan Cina bakal ikut campur.
96
Edisi Oktober 2014
ANGKASA CENDEKIA
Mitchell, Douhet, Trenchard, Linebacker II, Perang Teluk I Adalah khususnya Billy Mitchel, Douhet dan Trenchard, para Penggagas awal Daya Matra Udara, para Bapak Doktriner yang alhasil membawa ke status kemandirian fungsi gelar Matra, dalam makna ; [1] spesifik mandiri dari kebutuhan gelar sebuah Matra lain, tetapi [2] tetap menjadi bagian fungsional Operasi Gabungan Matra-matra. Sedangkan Operasi Linebacker II Strategik dirancang dan digariskan gelarnya, sedemikian Perundingan Paris yang sedang berjalan dan belum berkesimpulan, dihentikan sepihak oleh Delegasi Vietminh di bawah Le Duc Tho. Linebacker II mengerahkan Sekretaris Pers Gedung Putih Ronald Zigler mengatakan, bahwa Linebaker II bakal, atas perintah Presiden/Panglima Tertinggi, dihentikan bilamana [1] seluruh Tahanan Perang AS dibebaskan, dan [2] Perundingan Perdamaian dilanjutkan.
Mendasar baik Mitchell, Douhet maupun Trenchard, menggagas kemandirian dan peran Strategik Matra Udara lantaran dipandang Matra ini dengan begitu : bakal [lebih mampu] berperan sebagai penentu [decisive power]. Suatu hasilan yang Edisi Oktober 2014
97
ANGKASA CENDEKIA Catatan Tabel : Pembom B-52 dirancang-dan-dibuat dtahun 1952-an. Lantas mengalami perbaikan-perawatan Kemudian modifikasi berulang kali, akan tetapi tak lagi diproduksi semenjak itu; sehingga layak apabila sejumlah Jenderal AUAS, khawatir Tugas-gelar di medan Vietnam bakal mengurangi jumlah Pembom B-52, sebagai bagian Triad-Nuklir ABAS yang mesti disiagakan 24 jam penuh menghadapi USSR. PEMBOM B-52 MENJATUHKAN IRON-BOMBS TINGGI DI ATAS SASARAN.
tidak dengan sendirinya terjadi, akan tetapi mesti terukur riel dipertimbangkan [berlandas begitu banyak parameter, a.l. : teknologi Alat-alat Utama Senjata], dirancang-disusun cerdascermat, dalam paradigma5 Operasi Gabungan Matra. Rivalitas6 antar Matra-Angkatan yang ‘alamiah’ terjadi, dapat menjadi penyulit. Akan tetapi AB modern yang professional, dengan Panglima dan Komandan dapat meredam problema ini. Latihan-latihan Gabungan yang dirancang apik dan rutin digelar bisa meraih itu. Daya Matra Udara riel memiliki kekuatan signifikan dalam bagian melaksanakan gelar tempur gabungan : [1] kecepatan gerak, [2] jarak jelajah/jangkau-serbuan, [3] fleksibilitas daya gempur, [4] daya-serbu/firepower dan daya-rusak dan [5] presisiserbuan, menjadikannya Matra mampu, multi-kemampuan dan penting peran-gelarnya. Akan tetapi bagaimanapun, Daya Matra Udara juga memiliki pelbagai keterbatasan, misal : [6] sejumlah upaya anti dari Lawan, Sistem-Jaringan Pertahanan Udara, [7] faktor maupun wujud halangan alam, cuaca dan si-kon geografis 5
Dalam bentuk Rencana Operasi Gabungan Matra. Seperti ‘laten’ bahkan di AB modern, profesional dan yang amat maju teknologinya sekalipun. Loyalitas kepada Sumpah/Kredo yang satu, kepada tujuan Strategik bersama, manajemen yang baik di Komando atas berikut eselon-eselon di bawahnya; mampu mengurangi ekses negatif rivalitas itu, 6
98
Edisi Oktober 2014
ANGKASA CENDEKIA
yang tak bersahabat dan sulit yang bisa [8] dimanfaatkan Lawan, dan menguatkan efek dengan proteksi Pasukan dan kamuflase; bakal mengurangi efektivitas dayanya. Dalam sejumlah pengalaman gelar, Daya Matra cukup tergantung selain kepada [9] kemajuan Teknologi Alat-alat Utama Sistem Senjata, [10] informasi Intelijen yang cepat tetapi akurat, sebuah persyaratan yang memang berat direalisasi, [11] akan tetapi vital dalam Perencanaan Operasi. Di gelar gabungan Matra ABAS “Desert Storm”, dalam gelar AUAS yang cepat dan ‘cukup’ efektif, toh tak semua sasaran Strategik penting mampu dihancurkan, oleh sebab Intelijen [Gabungan] ABAS tidak mampu gelar produktif secepat Operasi-operasi Matra Udara. Malahan terkadang ganjil, bahwasanya evaluasi terhadap efek serbuan udara, juga kadang problematik dan perlu solusi baru. Panglima “Desert Storm” Jenderal Schwarzkopf, yang kesal pada kelambanan Intelijen Gabungan, dalam memoarnya memberi contoh : bahwa pemboman atas jembatan Sungai Eufrat yang menyebabkan sebuah tiang utama hancur dan jembatan miring tak dapat dilewati kendaraan Militer apapun, toh dinilai Intelijen sebagai 25 % berhasil dengan masih membutuhkan serbuan lanjutan. Schwarzkopf mengintervensi : cukup dan tak butuh serbuan lanjutan. Pada dasarnya Sang Panglima berkesimpulan : dengan kesimpulan yang tak tepat, bakal diboroskan sumber daya Militer tanpa perlu, dengan membahayakan jiwa Pilot dan Awak Udara. Supremasi Udara yang seringkali mesti direnggut dengan gelar menghadapi kekuatan Militer gabungan Lawan, bakal membuka peluang Strategis bagi kekuatan gabungan Militer sendiri untuk bertempur di bawah ‘langit cerah’, dengan nyaris sebesar-besarnya membuka peluang untuk menang Strategik secara menentukan [= dhi. decisive]. Sejarah Militer Perang Udara modern memaparkan, bahwa dalam banyak kasus keunggulan Udara Strategik harus diraih dalam [1] pertempuran cepat, [2] terukur dalam daya cukup besar untuk efektif-menentukan, dalam [3] serangan pendadakan. Barangtentu kerahasiaan Rencana Operasi/Renops menjadi keniscayaan. Sebagai rujukan, dan ini nyaris menjadi maxim Militer di mana-mana, Doktrin ADAS menyebut bahwasanya: pengendalian Edisi Oktober 2014
99
ANGKASA CENDEKIA
dan gelar Daya Udara, senantiasa mempengaruhi jalan gelar Operasi Militer; dengan efektivitas gelar Daya Udara pada kenyataannya, dapat menentukan hasil akhir dari sebuah Kampanye Militer dan Pertempuran. Dan bilamana sebuah Negara kehilangan Kekuatan Udaranya di zaman menentukannya Supremasi Udara [dalam si-kon Konflik Militer Nasional], maka Negara itu bakal pula kehilangan kemampuan prerogatifNasionalnya, dan apabila sebuah Negara-modern dengan dayateknologi yang memadai kehilangan Daya Udaranya, maka “ia” rawan terhadap Lawan yang dapat menghantamnya dari Udara nyaris sekehendaknya. Perang Teluk Persia I [tahun 1990-91], dalam mana [ganjil sebagai adanya] AU-Irak ‘diungsikan’ atas perintah Saddam Husein, ke Iran, Negara yang diserbu-dan-Perang dengannya selama delapan tahun. AU-Irak lumpuh total, maka AUAS dan AU-Koalisi pimpinan AS, segera saja menjebol Pertahanan Udara7 dan menghantam semua sasaran Strategik, tanpa terbendung. Kebanyakan Analis Militer sepakat bahwa gempuran hebat Daya Udara ini yang menjadikan gelar Daya Matra Darat Koalisi,[pimpinan Jenderal Schwarzkopf sebagai Panglima Kawasan, dan Jenderal Colin Powell, Ketua Gabungan Kepala Staf ABAS8] cukup lima hari Perang saja. Nyaris serupa, terjadi dalam Perang Enam-Hari Arab-Israel di tahun 1967, yang setelah ‘payung’ Pertahanan jaringan SAM AB-Mesir khususnya bobol oleh serangan berani Unit-unit Komando dan Raiders AD-Israel , AU-Israel9 menyerang cepat dan menentukan di titik-titik pilihan Strategik tepat. Maximnya di kedua Perang itu nyaris sama, bahwa serbuan Strategik meski digelar [1] cepat dan [2] Strategik menentukan. 7
Dengan gelar Satuan Khusus AUAS di bawah Kol. Udara Alfred Gray, yang setelah Perang Teluk usai dipromosikan menjadi Brigadir Jenderal. Walau konsep gelar dan kendalinya di AUAS, Kol. Gray menyertakan sejumlah Unit Heli Tempur ADAS. 8 Keduanya Jenderal ADAS, yang ‘terpengaruh’ oleh pemikiran Strategik yang brilyaninovatif Kol. Udara John Warden, yang ‘terlalu’ brilyan, hingga mesti mengajukan pensiun dini [tetap] sebagai Kolonel . 9 Di bawah Mayjen Ariel ‘Arik’ Sharon, kemudian hari Perdana Menteri Israel, justru menjadi Tokoh Pendekatan dengan Pihak Palestina. Langkahnya terhalangi oleh sakit/ stroke/koma bertahun-tahun sebelum wafat.
100
Edisi Oktober 2014
ANGKASA CENDEKIA
Kendatipun Daya Matra Udara dengan meyakinkan menampilkan kapasitas penentunya baik di : Sinai, HanoiHaiphong, maupun Irak; akan tetapi baik di Sinai maupun Irak, Supremasi Udara diraih dengan bantuan pelibatan Matra-matra lain dalam gelar gabungan. Bahkan juga dalam Linebacker II, melibatkan toh Pesawat Buru-Sergap ALAS, yang bertolak dari Carrier Grup di lepas pantai, sebagai pelindung terhadap MigMig Vietminh; walau sebagian besar pelindung adalah Pesawatpesawat Tempur AUAS sendiri. Unsur Pendadakan, yang alami [seharusnya tetap] dimiliki oleh Daya Matra Udara dengan [3] kecepatan, [4] fleksibilitas/ kelenturan dan [5] kemampuan gelar menghantam sentra gravitas Lawan [6] dalam paradigma Rencana Operasi yang baik, bakal membuat Daya Matra Darat dan Laut bertempur nyaris bebas [bila masih ada] dari gangguan udara Lawan. Tetap butuh langkah-langkah Strategik brilyan Sedangkan konsepsi gelar-Strategik : supremasi di fronfron pertempuran, barangtentu bermakna pula, bahwasanya Home-front tetap terkawal dengan baik; itu tak saja menuntut bahwa Daya Matra Udara cukup, memadai besar-kekuatannya, akan tetapi juga berada dalam tangan-tangan eselon-Komando yang cakap dan ‘cukup’ brilyan, sehingga mampu [1] membagi kekuatan dan [2] mengendalikan gelarnya cukup bagi kebutuhankebutuhan semua kemestian Strategik-esensial tersebut. Akan tetapi kecuali di kasus ‘ekstrem’ Linebacker II, dalam mana ‘hanya’ Daya Matra Udara saja mampu mencapai hasilan Militer Strategiknya dengan terwujudnya Tujuan Politik Nasional AS : memaksa Hanoi kembali berunding, dengan meraih persetujuan bersama di Paris. Dr. PAG Sabin10, seorang cendekiawan Inggris, Pemikir Strategik Air Power, dengan pesimistik, menganalisis bahwa : peran Taktis maupun Strategik seperti ini di hari depan, dipandangnya sebagai tak pasti. Dalam hal SAM-pasif, Pesawatpesawat Siluman, Persenjataan-berlaser, rudal-jelajah dan rudal10
Dalam analisisinya : Airpower in the Joint Warfare, London, 1999.
Edisi Oktober 2014
101
ANGKASA CENDEKIA
rudal balistik antar-benua/jarak-jauh kian tersebar ke pelbagai Negara, utamanya akibat ‘perdagangan-bebas’, pencurian Teknologi Tinggi maupun kian terorganisasi dan majunya black markets. Walaupun barangtentu bukan halangan mutlak, oleh sebab sebuah AU dengan : Perwira Tinggi, Perwira dan para Perajurit profesional yang terlatih baik, pada dasarnya disiapkandan-dilatih untuk mampu menghadapi problema sulit apapun. Itulah sari-pati dari kemampuan berperang awak AU dan AB pada umumnya. Di gelar “Desert Storm”, tahun 1990-91, Jenderal Schwarzkopf dan para Perencana Operasinya-- di awalnya, Kol. John Warden masih terlibat, sampai ia juga ‘friksi’ dengan Letjen “Chuck” Horner, Panglima Udara “Desert Storm”, dan terpaksa mundur --; membalik [dhi., katakanlah : backwarding the Strategical planning], dengan [1] menata gelar Divisi-divisi terbaiknya yang datang dari Eropa maupun AS, sebegitu rupa sehingga [2] Komando Tinggi AB-Irak tersudut, dan Divisi-divisi Tempurnya ditata-gelar justru di posisi yang gampang diserang AUAS-dan-Koalisi, dan [3] penghancuran efektif yang terjadi, alhasil memudahkan penghancuran Strategik-tuntas oleh Daya Matra Darat [plus Marinir AS dan Koalisi], yang cukup menghantam Strategis telak hanya dalam lima hari. [Sementara dalam Perang [Iran-Irak; baik Irak maupun Iran ‘mengaku’ menang Perang setelah pergulatan Strategik delapan tahun.] Historik nampak, baik dari Linebacker II [tahun 1972, yang amat ‘dramatik’] maupun Desert Storm [tahun 1991], sebagaimana The Battle of Brittain [tahun 1940, peran RAF dalam peran Strategik independen, membela Negaranya menjadi : legenda], bahwa Daya Matra Udara [= Airpower], dapat dominan11 , dan tak ‘cuma’ suportif. Kunci Strategisnya adalah : [1] kemampuan mengidentifikasi dengan menyimak keseutuhan paradigma Strategik yang melingkupi dan dihadapi, kemudian [2] dengan brilyan menyimpulkan adakah perannya dirancang untuk : dominan, suportif atau independen itu. 11
Indirect, ada peran Strategik suportif Royal Navy, akan tetapi dapat dinilai cukup kecil, sebab Kriegsmarine [AL-Jerman] telah dilumpuhkan sebelumnya oleh AL-Inggris itu.
102
Edisi Oktober 2014
ANGKASA CENDEKIA
Walau Angkatan lain, idealnya, mampu merekrut dan mendapat Perajurit karir yang brilyan12, AU lebih butuh dan riel mesti lebih mampu menjaga karir Perwira-perwira brilyan, lebih dari Matra lain. Intervensi AS, Bombardemen terhadap ISIS Dalam dua wilayah bergolak Irak dan Suriah, muncul aksiaksi a la ‘Jihadi’, yang konon memperjuangkan pembentukan Islamic State [s] of Iraq and Syria [= ISIS]. Sejumlah ‘SukarelawanJihadi’ asal Indonesia, yang konon berjuang di kedua wilayah tersebut, lantas membawa gagasan itu ke Indonesia; sebuah konsep-politik-global buruk yang dinyatakan salah dan ditolak oleh MUI. Di kedua wilayah itu ISIS memicu problema serius baru, sebab persoalan lamapun. belum usai. Di Irak, ditengah problema Politik Suni dan Syiah [yang mayoritas] yang belum tuntas dan mapan, dalam konteks demokrasi yang cukup rapuh, ISIS13 membawa gagasan yang dipaksakan, yang nampaknyapun sukar diterima kedua golongan Islam itu. Satuan-satuan bersenjata ISIS maju mendekati Baghdad di akhir minggu ke IV Juli 2014. Sedangkan di Suriah, konflik penggulingan rezim otoriter Basir al-Assad, yang dintervensi oleh banyak kepentingan Timur Tengah plus Internasional, dan masih terlibat konflik tajam, diperumit dengan beragam aksi ‘Jihadi’ ISIS, yang malahan mendukung Al-Assad yang represif. Dan ISIS yang dipelopori-dan-dimotori justru oleh ‘Jihadi’Suni14 non-pribumi di kedua Negara tersebut, riel menarik banyak pihak Faksi Keras15 yang terdapat subur di sekitar kawasan itu.
12
Baik dari Alumni AAU, Secapa maupun IDP. Perlu pemikiran ulang Kebijaksanaan Pembinaan Perwira IDP khususnya. 13 Menyebut diri juga sebagai Islamic State of Iraq and the Levant [ISIL, dhi. : Negara Islam Irak dan Suriah-Raya] 14 Di lingkup global, Suni mayoritas. Tetapi di Irak minoritas, sedangkan di Iran, hampir semuanya Pemeluk Syiah. 15 Berdiri tahun 2004, akibat rebutan pengaruh internal yang keras terjadi, ISIS pecah kongsi dengan al-Qaeda Irak di tahun 2014 ini. Akan tetapi bila terjadi ancaman dari ‘musuh bersama’, mungkin bergabung lagi.
Edisi Oktober 2014
103
ANGKASA CENDEKIA
Para ‘Jihadi’ ISIS mengklaim, bahwa [1] Negara Islam yang mereka dirikan berpusat-beribukota di Ar-Raqqah [Suriah], dan bahwasanya [2] seluruh ‘Negara Islam’ di Dunia menjadi bagian Negara Islam yang mereka dirikan dan [3] mengakui Kalifat/ Kepala Negara [kini bergelar : Amir al-Mukminin Caliphat Ibrahim] sebagai ‘Kepala Negara’ [=Kalifah]. Bilamana ISIS menguat, bakal menimbulkan problema global baru lagi. Keberpihakannya kepada Basyir al-Assad yang otoriter-represif seolah mengukuhkannya sebagai Organisasi-Teror-dan-Insurjen yang menggunakan Islam lebih sebagai kedok. AS dan NATO yang mempunyai ‘komitmen’ dan kepentingan terhadap Irak, dan sebagian Negara NATO juga kepada Suriah, agaknya tak akan berdiam diri, dan AS khususnya, terdengar sudah mempertimbangkan pelbagai opsi serbuan udara, membantu Pasukan-pasukan Pemerintah Irak yang diluar Satuan-satuan Insurjen yang telah ada, kini juga menghadapi Unit-unit Terordan-Tempur ISIS. Bakal menjadi konflik yang aspek Politiknya dapat teramat peka dan meruyak-liar bila tidak ditangani dengan Strategi Raya AS-NATO yang tepat-dan-bijak. Hal peka terjadi, e.g. bilamana menimbulkan collateral-damages [dhi. korban Sipil di kasus peka, misal di pasar, hingga korban wanita banyak, juga di tengah kota dengan korban wanita/anak, ‘pesantren’, Masjid] meruyak. [Kiri : bendera ISIS/ISIL.] Posisi & status AS-NATO yang [1] gampang dikafirkan, sungguh tidak menguntungkan, mampu memancing kebencian-dan-simpati [2] yang menjadikan ISIS membesar. Akan tetapi, [3] belajar dari pengalaman, dengan kajian intensif kasus-kasus menghadapi Insurjensi khususnya; AS tak menggelar pemboman dengan resiko mengenai sasaran Sipil sudah 40-an tahun [Linebacker II Hanoi-Haiphong, tahun 1972, 42 tahun silam]. Akan tetapi [4] betapapun Perang Politik dan Opini Publik tidaklah mudah, apalagi menghadapi Lawan-lawan [Timur Tengah khsusunya] yang telah ‘luka’ berkepanjangan dengan AS104
Edisi Oktober 2014
ANGKASA CENDEKIA
Barat [sendiri], maupun pembelaanya terhadap Israel. Apakah Airpower [khususnya dengan pemboman] terhadap Kekuatan Darat ISIS bakal efektif ? Anggaran Militer : AS-NATO sudah mempunyai Skadronskadron Udara di wilayah itu, hingga relatif hemat beaya. Beaya Operasional Operasi Udara terhadap Mu’amar Qadhafi [tahun 2011], yang berhasil melengser Qadhafi, hanya sekitar USD tiga milyar [bagi kurun operasional delapan bulan; murah dalam ukuran AS-Sekutu Baratnya. Kala itu Pesawat-pesawat Pembom harus terbang lebih jauh dari, bila saja ISIS menjadi sasaran. Akankah efektif ? : Dalam Operasi Militer reguler, bukan bertitik-beratkan Perang Gerilya, ISIS lebih lemah ketimbang serangan terhadap Qadhafi, di tengah-tengah AB dan Negaranya. AS-NATO juga memiliki sejumlah Pasukan, membantu Pasukan-pasukan Pemerintah Irak; yang bakal berperan utama dalam menghantam Satuan-satuan ISIS, yang kini, mendekati Baghdad. Bersifat Serangan Udara suportif, efektivitasnya tergantung kepada Batalyon-batalyon yang gelar di darat. Akan tetapi bila ISIS, menghadapi Serangan Udara mengambil Strategi Gerilya; maka Pasukan-pasukan Irak bakal kurang efektif, begitu pula sebagai akibatnya Serangan-serangan Udara, dan Batalyonbatalyon AS-NATO mesti lebih banyak berperan sebab peliknya aksi-aksi Counter Insurgency dengan intensitas Serbuan Udara yang juga menurun. Perubahan Strategi dan info-Intelijen mesti berlandas akurasi Intelijen dan realita lapangan. Bila bertindak segera, dengan dukungan diplomatik kuat dari Negara-negara Kawasan tersebut, efektivitasnya bakalan lebih besar. Model Libya atau Vietnam ? : Dua tokoh pimpinan awal ISIS, Abu Abdullah al-Rashid al-Baghdadi dan Abu Ayub al-Masri tewas oleh Pasukan-pasukan AS dan Pemerintah Baghdad, di tahun 2010, maka bila pimpinan kini Abu Bakar al-Baghdadi [Kalifah] dan Abu Umar al-Shishani [Panglima Perang], merubah Strategi Perangnya, dan ISIS lebih bergerak/mengandalkan Strategi Insurjensi, maka peran Strategis yang lebih besar lagi mesti disandarkan kepada Satuan-satuan Matra Darat AS-NATOdan-AB-Pemerintah Baghdad. [Sebelumnya Tokoh penting alEdisi Oktober 2014
105
ANGKASA CENDEKIA
Qaeda, al-Zarqawi, tewas oleh Drone AUAS bersenjata.] Maka ABAS khususnya, boleh jadi ‘terpaksa’ terus menggelar Doktrin Lawan Insurjensi, yang sudah bertahuntahun dikaji dan diuji-cobanya. Sedangkan AS khususnya, yang : [1] Orang-orang dan Tentara Asing, [2] bercitrakan non-Muslim, yang [3] turun-gelar ke Irak dengan menyerbu sebuah Negara Merdeka [kala itu di bawah Saddam Hussein], bagaimanapun juga menyandang ciri-ciri alami negatif, yang semestinya bisa segera dikompensasi oleh AB-dan-Pemerintahan Baghdad-- dengan Parlemen yang mayoritas Syiah --, yang dipilih demokratis; tetapi yang toh masih-dan-tetap juga lemah. Pemerintahan Syiah ini pula, yang tidak terjadi selama puluhan tahun di Irak, malahan kini mendapati lawan baru sesama Muslim : Sunni ISIS. Tragik : Sunni adalah musuh bebuyutannya ! Butir-butir Notasi : I. Billy Mitchell, Douhet, Trenchard memprediksi, bahwa Daya Matra Udara bakal merevolusionerkan Perang, memacu intensif pelbagai perkembangan baru yang penting, dan alhasil membawa dan membentuk independensi Angkatan-angkatan Udara. Akan tetapi bilamana rangkaian baru paradigma Daya Matra tak diusung-dandiwujudkan optimal, cara-cara Perangnya tak diubah, terkungkung sekedar sebagai pendukung Matra lain, tidak independen [dalam wahana Operasi Gabungan], maka dayanya bakal minimalis; walaupun bisa jadi tetap [minimalis] bermanfaat. II. Kendatipun AS dan ABAS dalam maxim Clausewitz via ‘Jembatan Politik Perundingan Paris’ mundur dari Vietnam; akan tetapi Vietminh yang berniat Politik mengambangkan perjanjian itu, dan dengan begitu tambah tak ada agenda operasional penyelesaian Vietnam [‘monolog’/ sepihak akan diselesaikannya sendiri dalam kehendak dan Strategi Nasional Vietminh sendiri]; kemudian dihajar oleh Daya Matra Udara ABAS, dan kembali berunding menyelesaikan Perjanjian Paris. Serbuan hebat 11 hari itu desisif-efektif. Itu sebuah Strategi Militer, bagian Strategi Nasional AS yang dirancang kuat, dan berada dalam tangan Kepemimpinan Nasional yang kuat pula, di bawah Presiden Nixon. Sang Presiden menunjukkan : ‘spekulasi Politik mencekam-mengerikan’ bahwa pemboman Hanoi-Haiphong [yang a.l. menyebabkan kapal-kapal angkut Soviet dan Cina pasok persenjataan Vietminh, putar-balik ke Negaranya], bakal memicu protes keras bahkan Perang Dunia III, adalah visi kerdil ! III. Walau Presiden Truman, pengganti Roossevelt yang meninggal sebelum
106
Edisi Oktober 2014
ANGKASA CENDEKIA Perang Dunia II usai, seperti kuat-tegar kala memutuskan penjatuhan Bom Atom atas Jepang [keputusan ini dinilai ‘kontroversial-dilematik’ oleh banyak pihak, a.l. : kenapa Jerman-Hitler yang juga tak mau menyerah, tak dibom Atom ?] Ia seperti melemah kala mempertimbangkan pemboman di Utara Sungai Yalu, untuk memaksa Korea Utara mundur. Usulan Jenderal Besar McArthur malah mengakibatkan Sang Jenderal dilengser! Ironik, bahwa tanpa pemboman tersebut, Pasukan RRC malah menyerang Pasukan PBB di Korea; Perang memanjang bertahun-tahun lagi, dan malahan berhenti tanpa Perjanjian Perdamaian. RM Subagyo Sayogya, Wartawan Senior, Pemerhati Hankam & Politik.
Edisi Oktober 2014
107