E-CANG PANCANG: UPAYA MEMPERTAHANKAN JALUR KEKERABATAN DAN MUNCULNYA KONFLIK KELUARGA KIAI PRAJJAN
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh HISOL NIM 03210070
FAKULTAS SYARI AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MALANG 2008
E-CANG PANCANG: UPAYA MEMPERTAHANKAN JALUR KEKERABATAN DAN MUNCULNYA KONFLIK KELUARGA KIAI PRAJJAN
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh HISOL NIM 03210070
FAKULTAS SYARI AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MALANG 2008
MOTTO
Seorang janda itu lebih berhak atas dirinya daripada walinya. Sedangkan seorang gadis harus dimintai izin atas dirinya, dan izinnya adalah diamnya. (Diriwayatkan oleh Jama ah Kecuali Bukhari)
Buppa Babbu, Ghuru, Rato (Falsafah Madura) Artinya Bapak-Ibu, Guru, Ratu Ungkapan ini mencerminkan hierarki penghormatan di kalangan masyarakat Madura yang dimulai dari kedua orang tua, selanjutnya penghormatan diberikan kepada guru, kemudian penghormatan yang terakhir diberikan kepada penguasa atau pemerintah (Andang Subaharianto, dkk., Tantangan Industrialisasi Mudura: Membentur Kultur, Menjunjung Leluhur. Malang: Bayumedia Publishing, 2004, 54).
HALAMAN PERSEMBAHAN
Bismillahirrohmanirrohiim...... Terukir do'a dan terucap Syukur dari lubuk hati yang teramat dalam Serta ke ta dhziman senantiasa mengarungi buah karya ini Saya persembahkan Kepada: Abah & Ibu Tercinta (Abd. Karim dan Siti Romlah Roufah) Yang telah banyak mengenalkan berbagai dinamika kehidupan, mengasihi setulus hati sebening cinta dan karena beliau ber-2 pulalah penulis mampu menapaki kerikil-kerikil tajam kehidupan dengan selamat. Beliau merupakan penasehat spiritual, teman diskusi, sekaligus pembimbing hidup buat penulis. Sembah sujud penulis berikan kepada Abah dan Ibu tercinta.
Kaka'2ku dan Adik2ku tercinta, Serta keponakanku tersayang (M. Hasan, Mba' Aisyah, Mba' Mas'udah (Fadzoh, Syukron, Ikhlas) Yang masih menempuh cita-citanya Ghiyats dan Firda) Bersama kalian aku bisa terhibur dan tersenyum.
Seseorang yang Terkasih (Insirohul Mas udah, S.Hi) Yang kehadirannya telah menghantarkan-ku menyongsong lembaran baru sejarah hidup Yang selalu setia Menemani & Membantu-ku hingga terselesainya skripsi ini
Sahabat Terbaikku: Blok-M (Ahmed, Iye', Syaiful, Aiman, Helman, Thoriq, Najih) Serta sahabat-sahabatku di Syariah-03. Buat mas Khomar & Hasyim thank's atas penyemangatnya, dan teman-temanku dikost-an, dzereh Dadank, Sizka, Kephet, GBoexthank's atas motifasi dan bantuannya hingga selesainya skripsi ini.
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Demi Allah, Dengan kesadaran dan rasa tanggung jawab terhadap pengembangan keilmuan, penulis menyatakan bahwa skripsi dengan judul: E-CANG PANCANG: UPAYA MEMPERTAHANKAN JALUR KEKERABATAN DAN MUNCULNYA KONFLIK KELUARGA KIAI PRAJJAN
benar-benar merupakan karya ilmiah yang disusun sendiri, bukan duplikat atau memindah data milik orang lain. Jika dikemudian hari terbukti bahwa skripsi ini ada kesamaan, baik isi, logika maupun datanya, secara keseluruhan atau sebagian, maka skripsi dan gelar sarjana yang diperoleh karenanya secara otomatis batal demi hukum.
Malang, 03 Januari 2008 Penulis,
Hisol NIM 03210070
HALAMAN PERSETUJUAN
E-CANG PANCANG: UPAYA MEMPERTAHANKAN JALUR KEKERABATAN DAN MUNCULNYA KONFLIK KELUARGA KIAI PRAJJAN
SKRIPSI oleh: HISOL NIM 03210070
Telah diperiksa dan disetujui untuk diujikan, Oleh Dosen Pembimbing:
Drs. M. Fauzan Zenrif, M.Ag NIP 150 303 047
Mengetahui, Dekan Fakultas Syari ah
Drs. H. Dahlan Tamrin, M.Ag NIP. 150 216 425
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Pembimbing penulisan skripsi saudara Hisol, NIM 03210070, mahasiswa Fakultas Syari ah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, setelah membaca, mengamati kembali berbagai data yang ada di dalamnya, dan mengoreksi, maka skripsi yang bersangkutan dengan judul: E-CANG PANCANG: UPAYA MEMPERTAHANKAN JALUR KEKERABATAN DAN MUNCULNYA KONFLIK KELUARGA KIAI PRAJJAN telah dianggap memenuhi syarat-syarat ilmiah untuk disetujui dan diajukan pada majelis dewan penguji.
Malang, 03 Januari 2008 Pembimbing,
Drs. M. Fauzan Zenrif, M.Ag NIP 150 303 047
PENGESAHAN SKRIPSI
Dewan penguji skripsi saudara Hisol, NIM 03210070, Mahasiswa Fakultas Syari ah angkatan tahun 2003, dengan judul
E-CANG PANCANG: UPAYA MEMPERTAHANKAN JALUR KEKERABATAN DAN MUNCULNYA KONFLIK KELUARGA KIAI PRAJJAN Telah dinyatakan LULUS dan berhak menyandang Gelar Sarjana Hukum Islam (S.HI)
Dengan Penguji:
1. Drs. Fadil Sj, M.Ag NIP. 150 252 758
(________________________) (Penguji Utama)
2. Drs. Badruddin, M.H.I NIP 150 302 562
(________________________) (Ketua)
3. Drs. M. Fauzan Zenrif, M. Ag NIP. 150 303 047
(________________________) (Sekretaris)
Malang, 03 Januari 2008 Dekan,
Drs. H. Dahlan Tamrin, M.Ag NIP. 150 216 425
KATA PENGANTAR
Puji syukur terpanjatkan kehadirat Allah SWT., Tuhan Penguasa Alam, yang ada dalam dimensi ruang dan waktu, yang atas rahmat dan inayah-Nya sehingga penulisan skripsi yang berjudul E-Cang Pancang: Upaya Mempertahankan Jalur Kekerabatan dan Munculya Konflik Keluarga Kiai Prajjan, di Desa Prajjan Kecamatan Camplong Kabupaten Sampang, dapat diselesaikan dengan curahan cinta kasih-Nya, penuh kedamaian dan ketenangan. Shalawat dan salam senantiasa penulis haturkan kepada Baginda kita Nabi Muhammad SAW. yang telah mengentaskan umat manusia dari jurang kejahiliyyahan dengan kesejukan ajaran beliau yaitu agama Islam. Mudah-mudahan pada hari kiamat kelak kita mendapat Syafa at dari beliau, Amien...3x. Sudah sepatutnya bagi penulis untuk menyampaikan banyak terima kasih tiada tara kepada semua pihak yang telah membantu serta mendukung penyelesaian skripsi ini, terutama secara khusus penulis haturkan kepada: 1. Kedua orang tua tercinta yang telah rela mengorbankan segala yang ada padanya dan tak henti-hentinya bermunajat kepada Allah SWT demi putera-puterinya, khususnya kepada penulis demi terselesainya tugas akhir ini, serta telah menjadi sumber motivasi dan inspirasi kuat bagi penulis selama proses penyelesaian skripsi ini.
2. Prof. Dr. H. Imam Suprayogo, selaku Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. 3. Drs. H. Dahlan Tamrin, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. 4. Roibin, M.Hi, selaku dosen wali penulis selama kuliah di Fakultas Syari ah UIN Malang. 5. Drs. M. Fauzan Zenrif, M.Ag selaku dosen pembimbing skripsi yang senantiasa meluangkan waktu serta dengan sabar mengoreksi dan tidak pernah lelah dalam memberikan arahan serta bimbingan demi kebaikan penulisan skripsi ini. 6. Segenap dosen Fakultas Syari'ah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang yang telah membimbing dan mencurahkan ilmunya kepada kami. 7. Para kiai dan tokoh masyarakat Desa Prajjan yang telah sudi memberikan sumbangan pemikiran dan informasi tentang dampak e-cang pancang: upaya mempertahankan jalur kekerabatan dan munculya konflik keluarga kiai Prajjan yang dapat membantu proses pengumpulan data penulisan skripsi ini, Utamanya KH. Imam Ghazali, KH. Moh. Jailani, K.H. Muzakki, KH. Ihya', KH. Mustajib, KH. Hamdan Badri, KH. Alief Madani, H. Badrut Tamam selaku Kepala Desa Prajjan, dan semua kiai serta tokoh masyarakat yang tidak mungkin disebutkan satu persatu. Keikhlasan dalam berjuang telah menyadarkan penulis yang pernah hilang dalam pencarian jati diri untuk berproses menjadi insan cita. 8. Semua keluargaku terutama kakak-kakakku, adik-adikku dan keponakanku yang telah memberikan motifasi pada kami. 9. Seorang yang terkasih I.M. Nawal, yang selalu senantiasa menemani dan membantu penulis.
10. Seluruh anggota jama ah sholawat Al-Muhibbin , terima kasih atas do a-do a kalian, semoga kita semua dapat meraih syafa at Rosululah SAW! 11. Mas Khomar dan Hasyim, yang dengan kesabarannya telah banyak membantu dan menjadi penyemangat dalam penyelesaian skripsi ini. 12. Segenap sahabat karibku, H. Ahmed AO. S.Hi., H. Aiman M. S.Hi., Syaiful Bahri S.Hi., Insirohul M. S.Hi, Lyna S.Hi, yang selalu setia menghiburku dan selalu berbagi cerita denganku. 13. Segenap sahabat-sahabatku di Joyo Suko 41E, dhereh Da dhank, Chonk Sizka, Khepet dan Gaboex yang selalu setia bersamaku dalam suka dan duka. Akhirnya dengan keterbatasan kemampuan dan kami sadar bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, karena itu saran dan kritik konstruktif dari semua pihak sangat kami harapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat dan menambah ilmu pengetahuan bagi penulis khususnya serta bagi pembaca pada umumnya.
Malang, 03 Januari 2008
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i HALAMAN MOTTO ............................................................................................. ii HALAMAN PERSEMBAHAN.............................................................................. iii HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ........................................... iv HALAMAN PERSETUJUAN ................................................................................ v HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................... vi HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... vii KATA PENGANTAR .......................................................................................... viii DAFTAR ISI .......................................................................................................... xi ABSTRAK ........................................................................................................... xiv
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .............................................................................. 1 B. Rumusan Masalah ....................................................................................... 4 C. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 4 D. Manfaat Penelitian ....................................................................................... 4 E. Definisi Operasional .................................................................................... 5 F. Sistematika Pembahasan ............................................................................. 6
BAB II : SISTEM KEKERABATAN DAN TEORI KONFLIK A. Penelitian Terdahulu .................................................................................... 8 B. Khitbah dalam Perspektif Fiqh .................................................................. 13 C. Sistem Kekerabatan ................................................................................... 15
D. Teori-teori Konflik .................................................................................... 16 E. Kiai di Masyarakat Madura ....................................................................... 26
BAB III : METODE PENELITIAN A. Gambaran Kondisi Objek Penelitian ......................................................... 32 1. Kondisi Geografis ................................................................................ 32 2. Kondisi Sosial-Keagamaan ................................................................. 34 3. Kondisi Pendidikan ............................................................................. 36 4. Kondisi Ekonomi ................................................................................. 38 5. Stratifikasi Sosial ................................................................................. 39 B. Paradigma Penelitian ................................................................................. 41 C. Pendekatan dan Jenis Penelitian ................................................................ 42 D. Sumber Data .............................................................................................. 43 E. Metode Pengumpulan Data ....................................................................... 48 F. Metode Pengolahan Data ........................................................................... 50 G. Metode Analisis Data ................................................................................ 52
BAB IV : PAPARAN DAN ANALISIS DATA A. Deskripsi E-Cang-Pancang ....................................................................... 54 B. Realitas Kegagalan E-Cang Pancang pada Keluarga Kiai ....................... 58 C. Dampak Kegagalan E-Cang Pancang terhadap Ikatan Keluarga Kiai ..... 68 a. Dampak Hubungan Sosial ..................................................................... 68 b. Dampak Hubungan Ekonomi ................................................................ 70 D. Proses Sosiologis Dampak Kegagalan E-Cang Pancang Terhadap Ikatan
Keluarga Kiai ............................................................................................ 72 E. Proses Harmonisasi Pasca Kegagalan E-Cang Pancang .......................... 75
BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................................................ 80 B. Saran-saran ................................................................................................ 82
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
ABSTRAK
Hisol, 03210070, 2008, E-Cang Pancang: Upaya Mempertahankan Jalur Kekerabatan dan Munculnya Konflik Keluarga Kiai Prajjan, Skripsi, Jurusan AlAhwal As-Syakhsiyah, Fakultas Syari ah, Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. Dosen Pembimbing: Drs. M. Fauzan Zenrif, M.Ag Kata Kunci: E-Cang Pancang, Kekerabatan, Konflik, Kiai E-cang Pancang adalah perjodohan yang dilakukan antar orang tua terhadap anak-anaknya yang masih berusia dini, balita atau bahkan usia pranatal, dengan tujuan untuk mempererat ikatan persaudaraan (sa taretanan) dan kekerabatan (sa bh l n) dari masing-masing keluarga tersebut. Fenomena E-cang pancang sampai saat ini masih dapat ditemukan pada beberapa keluarga di Madura untuk mempertahankan kualitas keturunan dan masa depan sebuah keluarga. Fenomena ini tidak saja membawa manfaat bagi penganutnya, lebih dari pada itu juga meninggalkan berbagai jenis konflik akibat adanya kegagalan dalam proses e-cang pancang. Penelitian ini mengkaji permasalahan 1) Bagaimana kegagalan e-cang pancang dapat berdampak terhadap keretakan ikatan keluarga kiai? 2) Bagaimana bentukbentuk konflik pasca kegagalan e-cang pancang? 3) Bagaimana keluarga kiai memperbaiki keretakan keluarga pasca kegagalan e-cang pancang? Untuk menjawab permasalahan tersebut peneliti menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologis dan paradigma sosiologis. Adapun dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan metode observasi dan interview. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegagalan e-cang pancang memiliki dampak negatif bagi ikatan keluarga kiai Prajjan. Dampak-dampak yang ditimbulkannya antara lain adalah adanya kemungkinan dikucilkan oleh keluarga yang lain, dan juga adanya hubungan yang tidak harmonis diantara keluarga yang terlibat dalam rencana pernikahan melalui proses e-cang pancang. Kemudian bentuk-bentuk konflik akibat adanya kegagalan proses e-cang pancang seperti apabila bertemu di jalan, diantara yang berkonflik enggan untuk bertegur sapa, apabila berada dalam satu forum pertemuan diantara yang berkonflik cenderung untuk saling menghindari, apabila diantara mereka mengadakan sebuah acara, masing-masing cenderung tidak hadir dalam acara tersebut. Kegagalan e-cang pancang diperbaiki melalui proses, antara lain: a) adanya saling menyadari dan memahami diantara yang berkonflik b) adanya peningkatan dalam hal silaturrahmi antar keluarga, utamanya bagi yang berkonflik c) adanya peranan para sesepuh yang termasuk dalam satu ikatan keluarga d) apabila e-cang pancang gagal karena alasan seorang anak tidak mau dinikahkan atas dasar pilihan orang tuanya, maka orang tua bisa menggantikannya dengan anak yang lain yang masih satu keluarga.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Keluarga keyae (Indonesia: kiai) di Madura memiliki kebiasaan yang berbeda dengan kebanyakan masyarakat Madura lainnya, kebiasaan yang dibangun terkesan atas dasar pemahaman keagamaan yang kental dan cenderung Arab sentris. Diantara hal tersebut ialah sikap keluarga kiai yang kuat dalam menjaga, mempertahankan dan memprotek nasab keluarga. Dalam hal ini, keluarga kiai di Desa Prajjan Kecamatan Camplong Kabupaten Sampang memiliki kecenderungan yang kuat dalam mempertahankan nasab dari nenek moyang (bengaseppo: bahasa Madura) keluarga mereka, sehingga keluarga kiai kemudian dikenal dengan keluarga besar.1 Dalam rangka mempertahankan nasab, keluarga kiai di Desa Prajjan Kecamatan Camplong Kabupaten Sampang melakukan kebiasaan e-cang pancang antar sesama 1
KH. Moh. Jailani, wawancara (Prajjan, 27 Juli 2007).
keluarga dekat mereka, dengan harapan bahwa anak cucu mereka kelak memperoleh jodoh yang senasab dan sekufu'.2 Oleh sebab itu, di Desa Prajjan Kecamatan Camplong Kabupaten Sampang hampir 55 % keluarga kiai melaksanakan e-cang pancang.3 Kenyataan itu pada akhirnya membuat mereka sangat ketat dan kaku dalam mempertahankan kebiasaan e-cang pancang yang merupakan "wasiat" dari nenek moyang mereka dulu.4 Oleh karena itu, apabila ada salah satu keluarga yang anaknya e-cang
pancang
kemudian
digagalkan
dengan
beragam
persoalan
yang
melatarbelakanginya, maka akan menyebabkan rusaknya ikatan keluarga besar. Di antara fenomena tersebut seperti keluarga KH. Ach. Zaini yang putera sulungnya bernama Aminulloh, sejak tahun 1982 telah e-cang pancang (dijodohkan sejak berusia 5 tahun) dengan salah seorang puteri KH. Abd. Latief, bernama Siti Fathimah (3 tahun). Selama perjodohan ini hubungan antar kedua keluarga dan keluarga kerabat lainnya (keluarga besar) berjalan harmonis, masing-masing keluarga saling menghormati, menghargai dan memahami antara satu dengan lainnya, seperti apabila salah satu diantara mereka mengadakan sebuah acara, walaupun tanpa diminta, maka mereka dengan sendirinya datang (kompak) untuk memberikan bantuan (baik berupa tenaga maupun materi) demi kesuksesan acara tersebut. Hal ini dilakukan sebagai bentuk solidaritas atas eratnya hubungan kekerabatan dan kekeluargaan mereka. Namun, pada saat perjodohan (e-cang pancang) yang telah dilakukan oleh kedua pihak keluarga ini pada akhirnya gagal (tidak diteruskan), karena disaat Aminulloh menginjak usia dewasa (17 tahun) menolak keras perjodohan yang telah dilakukan
2
KH. Hamdan Badri, wawancara (Prajjan, 26 Juli 2007). KH. Mustajib, wawancara (Prajjan, 25 Juli 2007). 4 Ny. Roufah, wawancara (Prajjan, 28 Juli 2007). 3
oleh kedua orang tuanya tersebut. Gagalnya perjodohan (e-cang pancang) tersebut, pada akhirnya menjadi penyebab rusaknya ikatan persaudaraan kedua keluarga kiai tersebut, dan di samping itu juga berimbas pada retaknya hubungan persaudaraan sanak kerabat lainnya. Hubungan mereka yang pada awalnya harmonis sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, kemudian menjadi retak dan tidak harmonis lagi, seperti yang terlihat ketika keluarga KH. Abd. Latief diundang untuk menghadiri acara yang diadakan oleh keluarga KH. Ach. Zaini, beliau tidak berkenan hadir dengan berbagai macam alasan, jika berjumpa di jalan mereka tidak lagi saling menyapa, dan apabila mereka bertemu dalam satu forum pertemuan, mereka saling menghindar dan lain sebagainya. 5 Dari apa yang dialami oleh keluarga kiai di atas, maka benarlah apa yang telah dijelaskan oleh Dean G. Pruitt dan Jeffrey bahwa walaupun pertalian (sosial/kekeluargaan) cenderung membatasi eskalasi konflik (meningkatnya konflik), tetapi tidak ada jaminan yang mutlak untuk mencegah terjadinya eskalasi tersebut. Bahkan pertalian yang kuat sekalipun tidak dapat melindungi suatu hubungan, bila konflik kepentingan itu begitu beragam dan kuat. Ketika kontroversi mengalami eskalasi, maka pertalian cenderung mengalami disintegrasi. Hubungan menjadi rusak, cinta berubah menjadi benci, orang memindahkan ketergantungannya kepada orang lain dan lain sebagainya,6 seperti yang telah dialami oleh kedua keluarga kiai di atas. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk mengkaji lebih mendalam tentang ecang pancang sebagai upaya mempertahankan jalur kekerabatan dan munculya konflik keluarga kiai di Desa Prajjan Kecamatan Camplong Kabupaten Sampang. 5
KH. Alief Madani, wawancara (Prajjan, 25 Juli 2007). Dean G. Pruitt and Jeffrey Z. Rubin, Social Conflict: Escalation, Stalemate, and Settlement , diterjemahkan Helly P. Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto, Teori Konflik Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 163. 6
B. Rumusan Masalah Rumusan masalah penelitian ini adalah: 1. Bagaimana kegagalan e-cang pancang dapat berdampak terhadap keretakan ikatan keluarga kiai? 2. Bagaimana bentuk-bentuk konflik pasca kegagalan e-cang pancang? 3. Bagaimana keluarga kiai memperbaiki keretakan keluarga pasca kegagalan ecang pancang?
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Memberikan penjelasan fenomena tentang dampak kegagalan e-cang pancang terhadap keretakan ikatan keluarga kiai. 2. Memberikan penjelasan tentang bentuk-bentuk konflik pasca kegagalan e-cang pancang. 3. Memberikan penjelasan tentang bagaimana keluarga kiai memperbaiki keretakan keluarga pasca kegagalan e-cang pancang.
D. Manfaat Penelitian 1. Secara Teoritis Hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran dalam pengembangan khazanah keilmuan yang berkaitan dengan kajian budaya di tanah air. 2. Secara Praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan informasi bagi masyarakat Islam di wilayah Kabupaten Sampang khususnya masyarakat Desa Prajjan terhadap kemungkinan timbulnya dampak positif dan negatif dari e-cang pancang. b. Agar masyarakat Kabupaten Sampang khususnya masyarakat Desa Prajjan memahami dan mengetahui kebiasaan e-cang pancang ini dalam pandangan hukum Islam..
E. Definisi Operasional Untuk menghindari kesalahpahaman dalam memahami judul di atas, maka perlu dijelaskan makna dan maksud dari masing-masing istilah yang ada pada judul skripsi ini, diantaranya: 1. E-cang pancang: Perjodohan yang dilakukan oleh antar orang tua (antar oreng toah) terhadap anak-anaknya yang masih berusia dini, balita atau bahkan usia pranatal, dengan tujuan untuk mempererat ikatan persaudaraan (sa taretanan) dan kekerabatan (sa bh l
n) dari masing-masing keluarga tersebut. Hal ini
berlaku pada golongan masyarakat Madura tertentu, yakni pada mayoritas golongan kiai (keyae).7 2. Konflik: Pertentangan antara dua kekuatan yang disebabkan oleh keinginan yang saling bertentangan untuk menguasai diri sehingga mempengaruhi tingkah laku yang diwujudkan dengan tindakan konflik, seperti saling menghindar, diam, ejekan, rasa tidak suka, dan lain-lain.8
7
KH. Imam Ghazali, wawancara (Prajjan, 20 Nopember 2006). Kartini Kartono, Hygiene Mental dan Kesehatan Mental Dalam Islam (Bandung: Mandar Maju, 1989), 68. 8
3. Keluarga: Kumpulan dari kaum kerabat, termasuk sanak saudara, kakek-nenek, paman-bibi, sepupu-sepupu dan lain-lain yang masih mempunyai ikatan darah (nasab) atau yang tidak tetapi telah diangkat sebagai anggota keluarga.9 4. Kiai (keyae): Orang-orang yang dikenal sebagai pemuka agama atau ulama karena menguasai ilmu agama (Islam).10 Dalam penelitian ini, yang dimaksud kiai (keyae) adalah mereka para pemuka agama atau ulama di Desa Prajjan Kecamatan Camplong Kabupaten Sampang yang memiliki kebiasaan e-cang pancang cukup kuat. 5. Prajjan: Nama salah satu desa dari 14 (empat belas) desa yang terletak di Kecamatan Camplong Kabupaten Sampang. Desa Prajjan merupakan desa yang dikenal dengan desanya para kiai (keyae), karena mayoritas (± 60 %) penduduknya adalah keluarga para kiai.11
F. Sistematika Pembahasan Penyusunan skripsi ini, dibagi atas beberapa bab. Pada tiap-tiap bab dibagi atas beberapa sub-bab yang mana isinya antara yang satu dengan yang lain saling berkaitan, dengan maksud agar mudah dipahami. Adapun sistematika pembahasan skripsi ini adalah sebagai berikut: Bab I Pendahuluan, yang meliputi: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi operasional, dan sistematika
9
Jalaluddin Rakhmat dan Mukhtar Gandaatmaja, Keluarga Muslim dalam Masyarakat Modern (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), 20. 10 A. Latief Wiyata, Carok Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura (Yogyakarta: LKiS, 2006), 49. 11 KH. Mustajib, wawancara (Prajjan, 25 Juli 2007).
pembahasan. Bab ini mendeskripsikan fenomena yang muncul dan bagaimana fenomena tersebut diteliti. Bab II Kajian Pustaka, yang meliputi: penelitian terdahulu, teori-teori konflik dan tentang kiai di masyarakat Madura. Kajian pustaka diletakkan pada bab ini, agar dapat dijadikan bekal bagi peneliti untuk menguji dan mengukur kebenaran teori dengan realitas yang ada di masyarakat. Bab III Metodologi Penelitian, yang meliputi: gambaran kondisi objek penelitian, kondisi geografis, kondisi sosial-keagamaan, kondisi pendidikan, kondisi ekonomi, stratifikasi sosial, paradigma, pendekatan dan jenis penelitian, sumber data, metode pengumpulan data, teknik pengolahan data, dan analisis data. Hal ini bertujuan untuk dijadikan pedoman dalam melakukan penelitian, karena peran metode penelitian sangat penting guna manghasilkan hasil yang akurat serta pemaparan data yang rinci dan jelas dan mengantarkan pada bab berikutnya. Bab IV Paparan dan Analisis Data, merupakan laporan hasil penelitian yang meliputi: deskripsi umum tentang e-cang pancang meliputi profil subjek penelitian (informan), definisi e-cang pancang serta sejarah e-cang pancang, realitas kegagalan e-cang pancang pada keluarga kiai, dampak kegagalan e-cang pancang terhadap ikatan keluarga kiai, proses sosiologis dampak kegagalan e-cang pancang terhadap ikatan keluarga kiai, dan proses harmonisasi pasca kegagalan e-cang pancang. Bab V Penutup, merupakan bab terakhir, yang meliputi: kesimpulan hasil penelitian dan saran bagi berbagai pihak yang bersangkutan dengan penelitian ini.
BAB II SISTEM KEKERABATAN DAN TEORI KONFLIK
A. Penelitian Terdahulu Dalam rangka untuk mengetahui bahwasanya fokus kajian penelitian yang dilakukan ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, maka perlu kiranya hasil penelitian-penelitian terdahulu tersebut dipaparkan. Diantara hasil penelitian yang dimaksud ialah sebagai berikut: 1. Penelitian skripsi yang dilakukan oleh Naily Rahmah pada tahun 2003 mahasiswa Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surabaya, dengan judul: Peran Bimbingan dan Konseling Agama Dalam Menanggulangi Penyimpangan Perilaku Orang Tua Akibat Tradisi Perjodohan Anak-Anak Usia Dini
(Studi Kasus di Omben Kecamatan Omben Kabupaten Sampang).
Penelitian ini, mengkaji dan membahas tentang apakah proses pelaksanaan
bimbingan dan konseling agama dalam menanggulangi penyimpangan perilaku orang tua terhadap anak akibat adanya tradisi perjodohan anak usia dini di Desa Omben sesuai dengan dengan teori Bimbingan Konseling Agama (BKA) dan bagaimana hasil akhir pelaksanaan Bimbingan Konseling Agama (BKA) dalam menanggulangi penyimpangan perilaku orang tua terhadap anak akibat adanya tradisi perjodohan anak usia dini di Desa Omben. Dengan menggunakan pendekatan terapi realitas yang bersifat deskriptif komparatif dan data diperoleh melalui observasi dan wawancara, Naily Rahmah menyimpulkan bahwa proses pelaksanaan BKA yang telah dilakukan oleh konselornya dalam menanggulangi penyimpangan perilaku orang tua terhadap anak akibat adanya tradisi perjodohan anak usia dini telah ada kesesuaian dengan teori BKA dan hasil akhir pelaksanaan BKA yang telah dilakukan oleh konselor masuk kategori berhasil, hal tersebut ditandai dengan munculnya perubahan kekuatan emosional yang lebih baik, yaitu berupa kesadaran klien dalam menghadapi kenyataan yang ada serta banyaknya perilaku yang dilaksanakan setelah mendapat BKA.12 2. Penelitian skripsi yang dilakukan oleh Holilur Rahman pada tahun 2006 mahasiswa Fakultas Syari ah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, dengan judul: Peminangan Dini dalam Perspektif Islam (Studi Kasus di Desa Arok Kecamatan Burneh Kabupaten Bangkalan). Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini Islamic Construktivism World View, yaitu dengan mengkorelasikan antara paradigma barat dan paradigma Islam. Penelitian ini berusaha menjelaskan
12
Naily Rahmah, Peran Bimbingan dan Konseling Agama dalam menanggulangi Penyimpangan Perilaku Orang Tua Akibat Tradisi Perjodohan Anak-anak Usia Dini (Studi Kasus di Desa Omben Kecamatan Omben Kabupaten Sampang), Skripsi (Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2003).
faktor-faktor
yang
melatarbelakangi
pelaksanaan
peminangan
dini
dan
bagaimana prosesi yang melingkupi pelaksanaan peminangan dini ditinjau dari perspektif Islam. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dimana faktor-faktor yang melatarbelakangi pelaksanaan peminangan dini ditinjau dari perspekti Islam di Desa Arok Kecamatan Burneh Kabupaten Bangkalan antara lain: a) adat kebiasaan nenek moyang, b) dominasi orang tua, c) kepercayaan kepada tokoh masyarakat yang berlebihan, d) sterotip negatif, e) ekonomi, dan f) mitos (kelahiran bayi dalam waktu yang sama). Jadi, dapat disimpulkan bahwa semua faktor-faktor tersebut tidak sesuai dengan prinsip dasar dalam ajaran Islam. Adapun prosesi yang melingkupi pelaksanaan peminangan dini di Desa Arok Kecamatan Burneh Kabupaten Bangkalan tidak bertentangan dengan ajaran Islam, akan tetapi ada satu hal sedikit bersinggungan, yaitu ketika mencari pasangan pertama yang diprioritaskan adalah yang dekat hubungan darahnya, hal ini bertolak belakang dengan prinsip ajaran Islam, dimana mencari pasangan dianjurkan yang jauh hubungan darahnya.13 3. Penelitian skripsi yang dilakukan oleh Rohela pada tahun 2003 mahasiswa Fakultas Syari ah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, dengan judul: Perkawinan Di bawah Umur Sebagai Hambatan Pembentukan Keluarga Sakinah (Studi Kasus di Kecamatan Tlanakan Kabupaten Pamekasan-Madura). Penelitian ini mengkaji dan membahas tentang faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya perkawinan di bawah umur dan pengaruh perkawinan di bawah umur terhadap pembentukan keluarga sakinah dan juga bagaimana upaya yang
13
Holilur Rahman, Peminangan Dini Dalam Perspektif Islam (Studi Kasus di Desa Arok Kecamatan Burneh Kabupaten Bangkalan), Skripsi (Malang: UIN Malang, 2006).
dilakukan
oleh
KUA
Kecamatan
Tlanakan
Pamekasan-Madura
untuk
mengurangi terjadinya perkawinan di bawah umur. Dengan menggunakan metode kualitatif dan teknik pengambilan datanya interview, dokumentasi dan observasi, secara umum Rohela menggambarkan bahwa Kecamatan Tlanakan terletak dipesisir pantai yang memiliki tingkat perekonomian yang relatif rendah dan sebagian besar masyarakatnya beragama Islam. Hal tersebut menyebabkan masyarakat cenderung melaksanakan perkawinan di bawah umur. Selain itu, faktor lain yang mendukung terjadinya perkawinan di bawah umur adalah kurang mengerti dan memahami arti dan maksud perkawinan baik hukum perkawinan nasional maupun hukum perkawinan Islam. Sehingga hasil akhir dari penelitiannya menunjukkan bahwa perkawinan di bawah umur tersebut sangat berpengaruh terhadap pembentukan keluarga sakinah dan mempunyai akibat negatif terhadap kesehatan sang ibu maupun anak yang dilahirkan.14 4. Penelitian skripsi yang dilakukan oleh Achmad Fauzi pada tahun 2006 mahasiswa Fakultas Syari ah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, dengan judul:
Perkawinan Endogami Di Kabupaten Pamekasan . Penelitian ini,
memfokuskan pada alasan utama tentang perkawinan endogami dan bagaimana dampak serta akibat yang timbul dari pelaksanaan perkawinan endogami tersebut. Dengan menggunakan pendekatan sosiologis-empiris dan dengan jenis penelitian studi kasus (case study), hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perkawinan memiliki dua sistem, yaitu sistem perkawinan endogami dan sistem
14
Rohela, Perkawinan Dibawah Umur Sebagai Hambatan Pembentukan Keluarga Sakinah (Studi Kasus di Kecamatan Tlanakan Kabupaten Pamekasan-Madura), Skripsi (Malang: UIN Malang, 2003).
perkawinan eksogami. Perkawinan endogami adalah sistem perkawinan dimana anggota masyarakat hanya memperbolehkan mengawini atau menikah dengan anggota masyarakat lain yang masih dalam satu marga. Sedangkan sistem perkawinan eksogami adalah perkawinan yang dilakukan oleh anggota masyarakat di luar marga atau kelompoknya sendiri. Perkawinan eksogami dalam ajaran Islam sangat dianjurkan dengan tujuan untuk memperluas tali silaturrahim dan menghindari kemungkinan kawin atau menikah dengan saudara sesusuan. Namun Islam sendiri tidak melarang adanya perkawinan endogami dan sistem perkawinan ini, banyak juga kita jumpai di masyarakat dengan berbagai alasan dan berbagai faktor, diantaranya faktor budaya, menjaga dan mempertahankan status sosial, dan menjaga harta warisan. Faktor tersebut juga menjadi alasan pasangan kawin endogami di Desa Palengaan Laok Kecamatan Palengaan Kabupaten Pamekasan. Melakukan suatu perkawinan dengan eksogami ataupun endogami keduanya sama-sama diperbolehkan oleh Islam dan semuanya bisa diterima oleh masyarakat, hal yang terpenting dalam suatu perkawinan adalah bagaimana hubungan perkawinan tersebut bisa dijaga keutuhannya.15 Dari keempat penelitian terdahulu tersebut, dapat diketahui bahwa penelitian dengan judul
E-CANG PANCANG: UPAYA MEMPERTAHANKAN JALUR
KEKERABATAN DAN MUNCULYA KONFLIK KELUARGA KIAI PRAJJAN yang dilakukan ini ternyata belum pernah diteliti, meskipun objek penelitiannya sama, yakni pada masyarakat Madura, akan tetapi fokus kajian penelitiannya berbeda
15
Achmad Fauzi, Perkawinan Endogami di Kabupaten Pamekasan, Skripsi (Malang: UIN Malang, 2003).
dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Naily Rahmah, Holilur Rahman, Rohela dan Achmad Fauzi sebagaimana yang telah dipaparkan di atas. Penelitian ini memfokuskan pada bagaimana e-cang pancang sebagai upaya mempertahankan jalur kekerabatan dan munculya konflik keluarga kiai di Desa Prajjan Kecamatan Camplong Kabupaten Sampang.
B. Khitbah dalam Perspektif Fiqh Satu langkah awal untuk dari suatu pernikahan adalah melalui proses khitbah . Hal ini telah disyari atkan oleh Allah Subhanahu wa Ta ala sebelum diadakannya akad nikah antara suami isteri. Dengan maksud, supaya masing-masing pihak mengetahui pasangan yang akan menjadi pendamping hidupnya. Khitbah menurut bahasa berasal dari kata
yang artinya meminang.16 Menurut Sayyid Sabiq
dalam fiqhus sunnahnya, khitbah adalah seorang laki-laki meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi isterinya, dengan cara-cara yang sudah umum berlaku di tengah-tengah masyarakat.17 Sedangkan menurut Mukhtar Kamal cara-cara khitbah tidak hanya dapat dilakukan oleh laki-laki secara langsung, tetapi dapat juga dilakukan melalui perantaraan pihak lain yang dipercayainya.18 Sehingga dari beberapa definisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa khitbah merupakan suatu langkah awal yang harus dilakukan oleh seorang laki-laki yang ingin menikah dengan menanyakan terlebih dahulu apakah perempuan tersebut bersedia atau tidak menjadi isterinya dan perempuan tersebut dapat menerima atau menolaknya.
16
Syarif Al-Qusyairi, Kamus Akbar Arab-Indonesia (Surabaya: Karya Ilmu, t.th.), 117. Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah , diterjemahkan M. Ali, Fikih Sunnah 6 (Bandung: Al-Ma arif, 1987), 35. 18 Muchtar Kamal, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), 33. 17
Mengenai lafadz khitbah, ulama fiqih membagi dalam dua bentuk, yaitu:19 1. As-Sharih (jelas), yaitu tidak mengandung pengertian lain selain meminang. 2. Kinayah (sindiran), seperti seorang laki-laki mengatakan kepada seorang perempuan saya ingin menikahi seorang wanita . Ulama fiqih sepakat bahwa apabila peminangan dilakukan dengan lafal al-kinayah maka harus disertai dengan niat. Dalam meminang, seorang muslim dianjurkan untuk memperhatikan beberapa sifat yang ada pada wanita yang akan dipinang, diantaranya:20 1. Wanita itu disunnahkan seorang yang penuh cinta kasih. Maksudnya, ia harus selalu menjaga kecintaan terhadap suaminya, sementara sang suami pun memiliki kecenderungan dan rasa cinta padanya. 2. Disunnahkan pula agar wanita yang akan dipinang itu seorang yang banyak memberikan keturunan, karena ketenangan, kebahagiaan dan keharmonisan keluarga akan terwujud dengan lahirnya anak-anak yang menjadi harapan setiap pasangan suami-isteri. 3. Hendaklah wanita yang akan dinikahi itu seorang yang masih gadis dan masih muda. Hal itu sebagaimana yang ditegaskan dalam kitab Shahihain dan juga kitab-kitab lainnya. 4. Dianjurkan untuk tidak menikahi wanita yang masih termasuk keluarga dekat, karena Imam Syafi i pernah mengatakan, jika seseorang menikahi wanita dari keluarganya sendiri, maka kemungkinan besar anaknya mempunyai daya pikir yang lemah.
19
Dalam ilmu dan teknologi ditetapkan bahwa di antara sebab
Hafidz Dasuki dkk, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999), 928. Syaikh Hasan Ayyub, Fiqh Al-Usratul Muslimah , diterjemahkan oleh M. Abdul Ghoffar, Fikih Keluarga (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), 12-15. 20
musnahnya etnis adalah pembatasan hubungan (menikah) dalam satu kelompok saja, karena hal itu dapat mengakibatkan rusaknya silsilah dan lemahnya keturunan. 5. Disunnahkan bagi seorang muslim untuk menikahi wanita yang mempunyai silsilah keturunan yang jelas dan terhormat, karena hal itu akan berpengaruh pada dirinya dan juga anak keturunannya. 6. Hendaklah wanita yang akan dinikahi itu taat beragama dan berakhlak mulia. Karena ketaatan menjalankan agama dan akhlaknya yang mulia akan menjadikannya pembantu bagi suaminya dalam menjalankan agamanya, sekaligus akan menjadi pendidik bagi anak-anaknya, akan dapat bergaul dengan keluarga suaminya dengan baik. 7. Selain itu, hendaklah wanita yang akan dinikahi adalah seorang yang cantik, karena kecantikan akan menjadi dambaan setiap insan dan selalu diinginkan oleh setiap orang yang akan menikah, dan kecantikan itu pula yang akan membantu manjaga kesucian dan kehormatan.kecantikan itu bersifat relatif. Setiap orang mempunyai gambaran tersendiri tentang kecantikan ini sesuai dengan selera dan keinginannya.
C. Sistem Kekerabatan Keluarga Kiai Sistem kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting dalam struktur sosial. M. Fortes mengemukakan bahwa sistem kekerabatan suatu masyarakat dapat dipergunakan untuk menggambarkan struktur sosial dari masyarakat yang bersangkutan. Kekerabatan adalah unit-unit sosial yang terdiri dari beberapa keluarga yang memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan. Anggota kekerabatan
terdiri atas ayah, ibu, anak, menantu, cucu, kakak, adik, paman, bibi, kakek, nenek dan seterusnya. Dalam kajian sosiologi-antropologi, ada beberapa macam kelompok kekerabatan dari yang jumlahnya relatif kecil hingga besar seperti keluarga ambilineal, klan, fatri, dan paroh masyarakat. Di masyarakat umum kita juga mengenal kelompok kekerabatan lain seperti keluarga inti, keluarga luas, keluarga bilateral, dan keluarga unilateral. Dalam tradisi kehidupan para kiai, jaringan kekerabatan di antara mereka sangat ketat. Cara praktis yang ditempuh untuk mempererat jalur kekerabatan kiai antara lain adalah dengan mengembangkan suatu jaringan perkawinan endogamous di antara keluarga kiai. Kaitan pesantren satu sama lainnya diperkuat oleh hubungan kekerabatan serta dipererat dengan kaitan perkawinan antara putra-putri kiai satu dengan lainnya.
D. Teori-teori Konflik 1. Deskripsi Teori Konflik Teori konflik merupakan sebuah teori yang beranggapan bahwa seluruh kehidupan sosio budaya yang ditentukan oleh pertentangan antara dua kelas sosial yang terlibat dalam proses produksi, yaitu kaum industri yang mengontrol alat-alat produksi, dan kaum proletar.21 Dalam pandangan ini, konflik memberikan kontribusi terhadap pemersatu suatu komunitas. Di samping itu, konflik dianggap sebagai perselisihan mengenai nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan berkenaan dengan status, kuasa, dan sumber-sumber kekayaan 21
M. F. Zenrif, Realitas dan Metode Penelitian Sosial Dalam Perspektif Al-Qur'an Teori dan Praktik (Malang: UIN Malang Press, 2006), 45.
yang persediaannya tidak mencukupi. Sekalipun memojokkan, merugikan atau menghancurkan lawannya, konflik disebut sebagai unsur interaksi yang penting, dan baik. Konflik memberikan banyak kontribusi terhadap kelestarian kelompok dan mempererat hubungan antara anggotanya. Pada sisi lain, teori konflik membedakan dengan jelas antara perasaan-perasaan subjektif, seperti amarah, kebencian, antipati, keinginan akan balas dendam, dengan relasi-relasi pertentangan yang objektif dan struktural.22 Teori konflik berasal dari berbagai sumber seperti teori Marx dan pemikiran konflik sosial dari Simmel.23 Dalam teorinya, Marx menekankan pentingnya kondisikondisi material yang melandasi konflik, terutama konflik kelas yang didasari hubungan-hubungan kepemilikan. Para teori konflik lainnya seperti Simmel adalah sosiolog klasik yang memusatkan perhatiannya untuk mempelajari berbagai bentuk dan konsekuensi konflik. Minat untuk mempelajari konflik mulai bangkit kembali, paling tidak di negara-negara yang berbahasa Inggris, pada tahun 1960- an. Para teori konflik memberi penekanan yang berbeda-beda dan hal ini memperkaya khazanah pemikiran mengenai konflik. Banyak diantaranya yang berpedoman pada pemikiran Marx, meskipun mereka sendiri memiliki pemikiran yang saling berlainan terhadap pemikiran Marx itu sendiri. Sebagai contoh, Gramsci (1971) menekankan pentingnya hegemoni kultural kelas penguasa sebagai bentuk dominasi. Sedangkan Dahrendorf (1959) berpendapat bahwa hubungan-hubungan kekuasaanlah, bukan hubungan kepemilikan, yang melandasi konflik sosial.24
22
Ibid., 46. George Ritzer and Douglas J. Goodman, Modern Sociological Theory , diterjemahkan Alimandan, Teori Sosiologi Modern (Jakarta: Kencana, 2004), 153. 24 Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Cet. 1 (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000), 156. 23
Dahrendorf adalah tokoh utama yang berpendirian bahwa masyarakat mempunyai dua wajah (konflik dan konsensus) dan karena itu teori sosiologi harus dibagi menjadi dua bagian: teori konflik dan teori konsensus. Teoritisi konsensus harus menguji nilai integrasi dalam masyarakat dan teoritisi konflik harus menguji konflik kepentingan dan penggunaan kekerasan yang mengikat masyarakat bersama dihadapan tekanan itu. Dahrendorf mengakui bahwa masyarakat tidak akan ada tanpa konsensus dan konflik yang menjadi persyaratan satu sama lain. Jadi, kita tidak akan punya konflik kecuali ada konsensus sebelumnya.25 Contoh, keluarga KH. Ach. Zaini sangat tidak mungkin berkonflik dengan keluarga KH. Abd. Latief, karena tidak ada kontak antara mereka, tidak ada integrasi sebelumnya yang menyediakan basis untuk konflik. Menurut Jandt dalam bukunya Robby I Chandra yang berjudul Konflik Dalam Kehidupan Sehari-hari , berpendapat bahwa konflik terjadi apabila pihak-pihak yang terlibat melihat kehadiran sikap/tindakan di dalam hubungan mereka yang bisa dianggap sebagai tindakan konflik. Tindakan konflik ini ada yang diwujudkan secara lisan atau isyarat. Dalam tingkat antar pribadi bisa juga disampaikan secara lisan yaitu saling menghindar atau saling diam.26 Adapun pengertian konflik itu sendiri, menurut Webster (1966), istilah conflict di dalam bahasa aslinya berarti suatu perkelahian, peperangan, atau perjuangan , yaitu berupa konfrontasi fisik antara beberapa pihak. Tetapi arti kata itu kemudian berkembang dengan masuknya ketidaksepakatan yang tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan, ide, dan lain-lain. Dengan kata lain, istilah tersebut sekarang
25 26
George Ritzer and Douglas J. Goodman, Op. Cit., 154. Robby I Chandra, Konflik Dalam Kehidupan Sehari-hari (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 30.
juga menyentuh aspek psikologis di balik konfrontasi fisik yang terjadi, selain konfrontasi fisik itu sendiri. Secara singkat, istilah conflik menjadi begitu meluas sehingga berisiko kehilangan statusnya sebagai sebuah konsep tunggal.27 Konflik
menggambarkan
sebuah
situasi
dimana
masing-masing
pihak
menginginkan sesuatu yang tidak ingin diberikan oleh pihak yang lain. Konflik sering dirasakan sebagai kemelut, apakah kemelut itu muncul dari dalam (individu), pada hubungan dua orang, pada sebuah kelompok keluarga kecil, atau pada sebuah organisasi. Namun, konflik juga memberikan kesempatan untuk berkembang, hidup baru, dan pada saat yang sama itu juga potensial juga menghasilkan kehancuran, kematian dan stagnasi.28 Sejalan dengan pendapat di atas, banyak para ahli manajemen konflik memberikan arti dari konflik itu sendiri, yakni tindakan perlawanan atas suatu pertentangan, (pertentangan kepentingan, tujuan, opini, mental) pertarungan, benturan yang terjadi dalam kelompok, antara individu atau pribadi.29 Di tengah-tengah perkembangan masyarakat Indonesia, banyak pendapat umum yang salah mengartikan konflik antara lain sebagai berikut: a. Selalu tidak menyenangkan jika menghadapi seseorang yang bermasalah; b. Konflik jika diabaikan akan selesai dengan sendirinya; c. Kemarahan dan emosi merupakan faktor negatif yang merusak.30
2. Aliran Teori Konflik 27
Dean G. Pruitt and Jeffrey Z. Rubin, Social Conflict: Escalation, Stalemate, and Settlement , diterjemahkan Helly P. Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto, Teori Konflik Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 9. 28 Joyce L. Hocker and William W. Wilmot, Interpersonal Conflik, Third Edition (Oubjuque, Lowa: Wm. C. Brown Publisher, 1991), 4. 29 Susul Tetrabuana Soeryo, Manajemen Konflik Sosial (Jakarta: Restu Agung, 2005), 3. 30 Ibid., 6.
Pendekatan
dini
terhadap
konflik
yang
diungkapkan
oleh
Robbins,
mengandaikan bahwa semua konflik itu buruk. Konflik dipandang sebagai hal yang negatif dan disinonimkan dengan istilah seperti kekerasan, deskruktif, dan irasional demi memperkuat konotasi negatifnya.31 Seiring dengan perkembangan, konflik tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang berkonotasi negatif hingga memunculkan tiga aliran konflik, yaitu: a. Aliran Tradisional Aliran tradisonal ini adalah aliran yang paling tua dan selalu beranggapan bahwa konflik itu buruk. Konflik akan merugikan, oleh karena itu sedapat mungkin harus dihindari. Aliran ini melihat konflik sebagai suatu hasil disfungsional akibat komunikasi yang buruk, kurangnya keterbukaan dan kepercayaan satu sama lain. Oleh aliran ini, konflik dipandang negatif dan disamakan dengan segala bentuk pengrusakan, demonstrasi, penghancuran dan pemaksaan negatif lainnya. b. Aliran Hubungan antar Manusia Aliran ini beranggapan bahwa konflik itu terjadi secara alami dan keberadaannya tidak terelakkan, sehingga mau atau tidak mau konflik pasti ada dalam komunitas tertentu, karena konflik tidak dapat dihindari. Maka keberadaan konflik dalam suatu komunitas harus diakui dan konflik tidak dapat disingkirkan, bahkan adakalanya konflik dapat bermanfaat pada kinerja kelompok. c. Aliran Interaksionis
31
S. P. Robbins, Perilaku Organisasi: Konsep, Kontroversi, dan Aplikasi (Jakarta: PT. Prenhallindo, 1996), 125.
Jika pada aliran tradisional diupayakan menghindarkan diri dari konflik, maka pada aliran hubungan antar manusia keberadaan konflik diterima sedangkan pada aliran interaksionis ini malah konflik sebaiknya didorong keberadaannya dan sebisa mungkin konflik diciptakan. Aliran ini mendorong konflik atas dasar kelompok yang kooperatif, tenang, damai dan serasi cenderung menjadi statis, apatis dan tidak tanggap pada kebutuhan akan perubahan dan inovasi. Kontribusi utama dalam aliran ini adalah mendorong para pemimpin kelompok untuk tetap mempertahankan tingkat konflik minimum sehingga menghasilkan titik diri dan terciptanya proses kreatif.32 Aliran ini sangat mendukung ketidaksamaan dengan membuka kritik dan pertanyaan yang ditujukan pada pihak-pihak lain sehingga akan memberikan bantuan atau masukan bagi kinerja yang baik.
3. Klasifikasi Konflik Menurut Newtrom dan Davis konflik terbagi menjadi tiga jenis, yaitu:33 a. Konflik Intrapersonal Konflik yang terjadi dalam diri individu yang dapat berupa konflik peran atau ambiguitas peran. Konflik ini bisa mengakibatkan seseorang mengalami stres atau gangguan emosional yang tinggi dan juga pikiran dan perilakunya tidak terkontrol sehingga akan mempengaruhi prestasi individu. Konflik intrapersonal ini sering dialami ketika kita menghadapi pilihan untuk melakukan atau menolak
32
Suherman, Pengantar Managemen (Konseptual dan Perilaku) (Malang: Unibraw, 1999), 315-316. K. Davis & J. W. Newstrom, Perilaku Dalam Organisasi, (Terjemahan), Alih Bahasa Oleh Agus Dharma, (Jakarta: Erlangga, 1993), 201. 33
mengerjakan sesuatu. Dalam kondisi seperti ini, kita dapat saja menyalahkan dan membenci, bahkan menyakiti dan membunuh diri sendiri.34 b. Konflik Interpersonal Konflik interpersonal atau antar pribadi merupakan masalah yang serius bagi banyak orang karena konflik tersebut sangat mempengaruhi emosi seseorang. Ada kebutuhan untuk melindungi citra diri dan harga diri dari tindakan orang lain yang merusaknya. Apabila konsep diri terancam, timbul kekecewaan yang serius dan hubungan dapat terganggu. Konflik antar pribadi ini juga dapat berkembang dari kegagalan atau perbedaan persepsi. Konflik intrapersonal ini dapat berbentuk individu-individu, antar individu dalam keluarga,35 antar individu yang terjalin dengan komitmen persahabatan, antaretnis atau komunitas masyarakat yang diikat dengan komitmen, baik komitmen kebangsaan atau kenegaraan, maupun keagamaan.36 c. Konflik Antar Kelompok Konflik antar kelompok yang terjadi diantara departemen yang berbeda juga dapat menimbulkan masalah. Konflik ini terjadi dari hal-hal seperti pertentangan pendapat loyalitas kelompok dan persaingan memperebutkan sumber daya. Konflik yang terjadi karena memperebutkan sesuatu yang mengandung nilai materi. Hampir semua kelompok merasa bahwa mereka memerlukan lebih banyak dari pada yang mereka peroleh, jadi sebenarnya ada benih konflik antar kelompok apabila sumber daya yang tersedia terbatas.
34
M. F. Zenrif, Op. Cit., 52. Keluarga yang dimaksudkan, baik bentukan keluarga yang didasarkan atas pertalian keturunan maupun keluarga yang didasarkan atas pertalian adopsi. 36 M. F. Zenrif, Loc. Cit. 35
Beberapa asumsi yang dapat digunakan dalam memahami konflik dari yang negatif sampai yang positif . a) Konflik merupakan kenyataan adanya penyimpangan dalam masyarakat, akibat tidak patuhnya aturan atau pranata yang ada. b) Konflik merupakan peristiwa yang tidak produktif, dan cenderung membawa kerusakan, oleh sebab itu harus dihindari dengan segala macam cara. c) Konflik merupakan bagian dari kehidupan manusia. Konflik adalah hal yang wajar dalam kehidupan manusia-bukan cela, tetapi bukan hal yang diharapkan. d) Konflik memuat dua sisi sekaligus: ancaman dan peluang. Konflik merupakan energi perubahan sosial. Dengan demikian konflik dipandang sebagai kekuatan yang justru mendorong keberlangsungan proses perubahan sosial.37
4. Tanda-tanda atau Gejala-gejala Konflik Konflik tidak selalu digambarkan dalam bentuk nyata seperti pertentangan antara beberapa orang secara terbuka, seperti berteriak atau saling dorong mendorong badan, atau saling pukul memukul, atau bahkan tanda-tanda lain yang secara fisik mudah dilihat dengan panca indera kita. Konflik juga dapat dikenali melalui intuisi. Intuisi anda akan memberi tahu anda tentang sesuatu yang tidak beres, jadi dalam diri seseorang kadang terdapat suatu konflik, tetapi orang tersebut mampu meredam perasaan konflik tersebut, tetapi efek perilaku dalam sebuah komunitas keluarga misalnya dapat dilihat dari sisi tingkah
37
Amir Mulkhan, Palagan Konflik (Yogyakarta: Forum LSM DIY, 2001), 40.
lakunya maupun cara pandang, sehingga konflik dapat diekspresikan secara pasif maupun agresif.38 Tanda-tanda atau gejala-gejala konflik dapat diperlihatkan sesuai dengan gambar 1 dibawah ini:
JELAS Kuadran IV Kuadran I PASIF
AGRESIF
Kuadran III Kuadran II TERSEMBUNYI Gambar. 1
Kuadran I (kombinasi jelas dan agresif) adalah tanda yang jelas dari konflik yang ditunjukkan secara agresif. Contohnya adalah: teriakan, celaan, ejekan dan kekerasan, dll. Kuadran II (kombinasi dari agresif dan tersembunyi) adalah tanda tersembunyi dari konflik yang ditunjukkan secara agresif, contohnya komentar-komentar yang merendahkan, pelecehan, penghinaan, selalu mengkritik dan mencari-cari kesalahan, kebencian untuk mencoreng orang lain dll. Kuadran III adalah tanda tersembunyi dari konflik yang ditunjukkan secara pasif, misalnya tidak mau cooperatif, menderita atas suatu penyakit. Misalnya dalam sebuah acara perkawinan, terdapat seseorang yang tidak mau hadir dalam acara
38
Susun Tertabuana Soeryo, Manajemen Konflik Sosial (Jakarta: Restu Agung, 2005), 12-13.
tersebut dengan alasan bepergian luar kota, hal ini dilakukan secara terbuka karena dia tidak menyukai keluarga tersebut. Kuadran IV adalah tanda yang jelas nampak yang ditunjukkan secara jelas dalam kejadian konflik secara pasif,39 misalnya mengirim surat telegram yang salah, lalu dikirim kepada atasannya, hanya berkata
Siap
kepada komandan, tidak mau
berbicara terhadap komandannya dan lain-lain.
5. Tahap-tahap Penyelesaian Konflik Ada beberapa strategi yang dapat digunakan dalam menghindari dan menyelesaikan konflik diantaranya adalah: a. Contending (bertanding), yaitu mencoba menerapkan solusi yang lebih disukai oleh salah satu pihak atas pihak lain. b. Yielding (mengalah), yaitu menurunkan aspirasi sendiri dan bersedia menerima kurang dari sebetulnya dengan apa yang diinginkan. Masingmasing pihak bersedia menerima kekurangan dari yang sebetulnya mereka inginkan untuk mencapai kesepakatan yang dapat diterima kedua belah pihak. Yielding memang menciptakan solusi, tetapi bukan berarti solusi yang berkualitas tinggi. c. Problem Solving (pemecahan masalah), yaitu mencari alternatif yang memuaskan aspirasi kedua belah pihak. d. With Drawing (menarik diri), yaitu memilih meninggalkan situasi konflik, baik secara fisik maupun psikologis. With drawing melibatkan pengabaian
39
Ibid., 14.
terhadap kontroversi, sedangkan di dalam ketiga strategi yang lain terkandung upaya mengatasi konflik yang berbeda satu sama lain. e. Inaction (diam), yaitu tidak melakukan apapun. Masing-masing pihak saling menunggu langkah berikut dari pihak lainnya, entah sampai kapan. Tetapi pada akhirnya usaha mengatasi jalan buntu itu justru berhasil karena keduanya tidak melakukan apapun.40
E. Kiai di Masyarakat Madura Sebutan kiai di Madura, biasanya diberikan kepada orang yang memiliki atau memimpin sebuah pondok pesantren. Akan tetapi sebutan kiai atau ulama juga berlaku bagi orang yang memiliki darah keturunan seorang kiai. Sampai saat ini, unsur keturunan itu merupakan faktor penentu penyebutan terhadap seorang sebagai kiai. Apalagi jika faktor keturunan tersebut berkaitan dengan seorang kiai yang kharismatik, maka anak-anaknya secara otomatis mereka juga akan disebut sebagai kiai oleh masyarakatnya, sekalipun mereka tidak memiliki kelebihan apa-apa. Lebihlebih bagi mereka yang memiliki kemampuan lebih dibandingkan dengan kiai yang lain, seperti alim di bidang ilmu agamanya atau sakti (memiliki ilmu ghaib) dan lainlain.41 Sejalan dengan pendapat di atas, hasil penelitian Sunyoto Usman di Kabupaten Pamekasan yang mengemukakan adanya tiga istilah kiai dalam masyarakat Madura sebagaimana dikutip oleh Muthmainnah sebagai berikut:
40
Dean G. Pruitt and Jeffrey Z. Rubin, Op. Cit., 4-6. Samheri, Kompetensi Kiai Sebagai Wali Hakim Dalam Pernikahan Bawah Tangan (Kasus di Desa Bujur Tengah Kecamatan Batumarmar Kabupaten Pamekasan), Skripsi (Malang: UIN Malang, 2005). 41
1. Kiai diartikan sebagai figur pemimpin pondok pesantren. Status ini didapat karena keturunan (ascribed status). Penyandangnya adalah seorang keturunan kiai (anak, saudara kandung, ipar, menantu) yang mempunyai keahlian dalam ilmu agama dan menjadi tokoh masyarakat serta fatwa-fatwanya selalu diperhatikan. 2. Kiai diartikan sebagai tokoh masyarakat berpengetahuan keagamaan. Kiai tipe ini tidak menjadi pemimpin namun seringkali mengadakan pertemuan dengan kiai pemimpin pondok pesantren. Kebanyakan dari mereka adalah alumni pondok pesantren itu atau ada beberapa diantaranya yang merupakan keturunan kiai. Sama halnya dengan kiai tipe 1, mereka menjadi panutan masyarakat dan ide - idenya seringkali menjadi keputusan desa. Kedudukan ini diperoleh dengan usaha (achieved status). 3. Kiai diartikan sebagai guru mengaji di surau (langghar: Mushalla). Sebetulnya, mereka bukan selalu tokoh masyarakat yang dimintai pendapat, tetapi hanyalah orang yang mempunyai beberapa santri untuk belajar mengaji al-Qur an. Disamping itu, mereka juga berfungsi sebagai imam di surau (masjid) setempat.42 Ulama atau kiai memiliki tempat yang spesifik dalam masyarakat Madura, tidak hanya karena proses penyebaran agama yang merata diberbagai wilayah. Akan tetapi, didukung oleh kondisi-kondisi ekologi (tegal) dan struktur pemukiman penduduk yang ada. Ulama merupakan perekat solidaritas dan kegiatan-kegiatan keagamaan, membangun sentimen kolektif keagamaan, dan penyatuan elemen sosial
42
Muthmainnah, Jembatan SURAMADU: Respon Ulama Terhadap Industrialisasi (Yogyakarta: LKPSM, 1998), 43-44.
atau kelompok kekerabatan yang tersebar karena faktor ekologis dan struktur pemukiman tersebut.43 Oleh karena itu, tidak heran jika ulama dan kiai dijadikan sebagai pemegang otoritas keagamaan yang memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan orang Madura lebih-lebih masyarakat pedesaan, sehingga dalam kedudukan dan peranannya yang diposisikan sebagai pemimpin sosial keagamaan, kadang-kadang pengaruhnya tidak terbatas pada batas geografis lingkungan masyarakatnya. Masyarakat Madura memiliki kepatuhan dan ketundukan yang sangat tinggi terhadap kiai atau ulamanya. Hal itu dapat terlihat dari ungkapan Buppa , Babbu, Guru, ban Rato , yang artinya Ayah, Ibu, Guru, dan Pemimpin pemerintahan Ungkapan tersebut mencerminkan hierarki kepatuhan dikalangan masyarakat Madura.44 Dengan demikian, dapat dipahami bahwa masyarakat Prajjan dalam memberikan kepatuhan hierarkinya dimulai dari kedua orang tua, kemudian guru dan selanjutnya kepatuhan diberikan kepada ratu pemimpin atau pemerintah. Tidak ada kosa kata yang tepat untuk menyebut istilah lainnya kecuali ketundukan, ketaatan, dan kepasrahan kepada keempat figur tersebut. Kepatuhan atau ketaatan kepada ayah dan ibu (Buppa ban Babbu ) sebagai orang tua kandung atau nasabiyah sudah jelas, tegas, dan diakui keniscayaannya. Secara kultural ketaatan dan ketundukan seseorang kepada kedua orang tuanya adalah mutlak. Jika tidak, ucapan atau sebutan kedurhakaanlah ditimpakan kepadanya oleh lingkungan sosiokultural masyarakatnya. Bahkan, dalam konteks budaya mana pun kepatuhan anak kepada kedua orang tuanya menjadi kemestian
43
Andang Subaharianto, dkk., Tantangan Industrialisasi Mudura: Membentur Kultur, Menjunjung Leluhur (Malang: Bayumedia Publishing, 2004), 53. 44 Ibid., 54.
secara mutlak, tidak dapat dinegosiasikan, maupun diganggu gugat. Kepatuhan mutlak itu tidak terkendala oleh apa pun, sebagai kelaziman yang ditopang oleh faktor genealogis.45 Konsekuensi lanjutannya relatif dapat dipastikan bahwa jika pada saat ini seseorang (anak) patuh kepada orang tuanya maka pada saatnya nanti dia ketika menjadi orang tua akan ditaati pula oleh anak-anaknya. Selanjutnya, penggunaan dan penyebutan istilah guru menunjuk dan menekankan pada pengertian kiai-pengasuh pondok pesantren atau sekurangkurangnya ustadz pada sekolah-sekolah keagamaan. Kepatuhan kultural orang Madura kepada guru (kiai/ustadz) karena peran dan jasa mereka itu dipandang bermanfaat dan bermakna bagi survivalitas entitas etnik Madura. Guru berjasa dalam mencerahkan pola pikir dan perilaku komunal murid untuk memperoleh kesejahteraan hidup di dunia dan keselamatan mendiami negeri akhirat kelak. Kontribusi mereka dipandang sangat bermakna dan berjasa besar karena telah memberi bekal untuk survivalitas hidup di alam dunia dan keselamatan akhirat pasca kehidupan dunia. Kepatuhan orang Madura kepada figur Rato (pemimpin pemerintahan) menempati posisi hierarkis keempat. Figur Rato dicapai oleh seseorang dari mana pun etnik asalnya, bukan karena faktor genealogis melainkan karena keberhasilan prestasi dalam meraih status. Figur Rato dipandang berjasa dalam mengatur ketertiban kehidupan publik melalui penyediaan iklim dan kesempatan bekerja, mengembangkan
kesempatan
bidang
ekonomik,
mengakomodasi
kebebasan
beribadat, memelihara suasana aman, dan membangun kebersamaan atau
45
Taufiqurrahman, "Islam dan Budaya Madura," http://www.ditpertais.net/annualconference/ancon, (diakses pada 11 Desember 2007), 3.
keberdayaan secara partisipatif. Dalam dimensi religiusitas, sebutan figur Rato dalam perspektif etnik Madura dipersamakan dengan istilah ulil amri yang sama-sama wajib untuk dipatuhi.46 Dengan demikian kepatuhan orang-orang Madura kepada empat figur tersebut, sesungguhnya dapat dirunut standar referensinya pada sisi religiusitas budayanya. Sebagai pulau yang berpenghuni mayoritas (+ 97-99%) muslim,47 Madura menampakkan ciri khas keberislamannya, khususnya dalam aktualisasi ketaatan kepada ajaran normatif agamanya. Dalam kehidupan masyarakat Madura, khususnya yang berada di daerah pedesaan, kedudukan dan peranan kiai sangatlah besar. Pengaruhnya melampaui batas pengaruh institusi-institusi kepemimpinan yang lain, termasuk kepemimpinan dalam birokrasi pemerintahan, sehingga tidak berlebihan kiranya bila masyarakat Prajjan merasa lebih bangga dihadiri para kiai dari pada dihadiri Bupatinya ketika mereka mengadakan suatu acara. Dalam berbagai urusan kehidupan sehari-hari, kiai menjadi tempat mengadu. Berbagai urusan warga masyarakat, seperti masalah perjodohan, pengobatan penyakit, mencari rezeki, mendirikan rumah, mencari pekerjaan dan karir sering diadukan kepada kiai. Nasehat-nasehatnya akan diperhatikan dan dilaksanakan oleh warga masyarakat tersebut. Bahkan kadang-kadang masyarakat yang fanatik terhadap kiai melaksanakannya tanpa memperhitungkan apakah hal itu baik atau tidak.48 Bahkan hampir semua masyarakat Desa Prajjan rela mengabdi, bekerja dilahan milik kiai tanpa imbalan materi apapun. Bahkan tidak jarang diantara mereka 46
Ibid., 4-6. A. Latief Wiyata, Carok Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura (Yogyakarta: LKiS, 2006), 42. 48 Ibid., 55. 47
berkorban dan rela mati demi membela dan membatu kiai yang dipercaya, dihormati, dan diikutinya (kharismatik). Dengan demikian, dapat dijelaskan pula bahwa masyarakat Madura pada umumnya, masyarakat Sampang pada khususnya, utamanya masyarakat Desa Prajjan dalam memberikan penghormatan dan kepercayaan kepada ulama atau kiai melebihi penghormatan dan kepercayaan yang diberikan kepada orang-orang yang menduduki jabatan di instansi pemerintahan, seperti halnya pegawai Depag atau KUA dan lain sebagainya.
BAB III METODE PENELITIAN
A. Gambaran Kondisi Obyek Penelitian 1. Kondisi Geografis Desa Prajjan merupakan salah satu desa dari 14 (empat belas) desa yang berada di wilayah Kecamatan Camplong. Adapun pemilihan lokasi tersebut adalah berdasarkan tinjauan deskriptif, dimana daerah tersebut dikenal dengan desanya para kiai, karena mayoritas (± 60 %) penduduknya adalah keluarga para kiai. Sehingga kebiasaan e-cang pancang masih sangat kental di desa ini. Desa ini memiliki dua dusun yakni: Dusun Prajjan Dajah dan Dusun Prajjan Lao', terbagi menjadi 16 komplek,49 yaitu:
49
H. Moh. Badrut Tamam, wawancara, (Prajjan, 10 Oktober 2007).
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Langgar Genteng Langgar Tana Langgar Temor Langgar Laok Temor Songai Langgar Seppo Congkop Temor Congkop Bere'
9. Langgar Bungso 10. Accem Manis 11. Langgar Tete Tana 12. Burneh 13. Langgar Somber 14. Masaran 15. Somber Oloh 16. Ge' Onggeen
Desa Prajjan mempunyai batas-batas wilayah antara lain: a. Sebelah Utara
: Desa Banjar Tabulu
b. Sebelah Selatan
: Desa Tambaan
c. Sebelah Barat
: Desa Banjar Tabulu
d. Sebelah Timur
: Desa Dharma Camplong
Berikut nama-nama desa di Kecamatan Camplong: 1. Dharma Camplong
8. Taddan
2. Prajjan
9. Pamolaan
3. Banjar Talelah
10. Rabasan
4. Banjar Tabulu
11. Anggersek
5. Sejati
12. Tambaan
6. Tanjung
13. Plampaan
7. Batu Karang
14. Madupat
Desa Prajjan terletak di sebelah timur kota Kabupaten Sampang yang berjarak ± 8 km dan dari pusat Kecamatan berjarak ± 2,5 km, dengan luas wilayah 4.600, 000 Ha. Adapun jumlah penduduk Desa Prajjan sampai dengan Desember 2006 tercatat
2.900 jiwa, terdiri dari: Laki-laki 1.353 jiwa, perempuan 1.547 jiwa, dan terdapat 620 kepala keluarga.50
2. Kondisi Sosial Keagamaan Berbicara mengenai sosial keagamaan (religiusitas) yang ada di Madura pada umumnya, termasuk di dalamnya Desa Prajjan Kecamatan Camplong khususnya yang menjadi obyek dan kajian dalam penelitian ini. Adanya keadaan sosial yang cukup kental dan homogen di dalamnya menjadi fenomena yang tidak asing lagi bagi orang lain, khususnya orang luar Madura. Hal ini terbukti tidak adanya tempat peribadatan agama-agama lain di luar Islam, jadi semua penduduknya 100% murni beragama Islam dengan madzhab yang diyakini yakni madzhab Syafi'i.51 Oleh karena itu proses dan aktivitas keberagamaan dapat berjalan dengan lancar, yang di dalamnya terdapat semangat dan minat masyarakat untuk menuntut dan mendalami ilmu agama. Masyarakat Desa Prajjan tergolong masyarakat yang berbakti terhadap orang tua dan juga fanatik terhadap kiai yang diyakini dan ditaati. Bentuk bakti terhadap orang tua, terbukti dengan adanya kebiasaan e-cang pancang yang sudah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Desa Prajjan. Adapun bentuk penghormatan terhadap orang yang diyakini dan ditaati (kiai) yaitu dengan mematuhi dan melaksanakan apa yang diucapkan dan disukai dalam kesehariannya. Hal itu terjadi karena masyarakat Madura mempunyai sebuah falsafah hidup Buppa , Babbu, Guru, Rato (Ayah, Ibu, Guru, dan Ratu (Pemimpin pemerintahan))52, ungkapan ini mencerminkan hierarki
50
Sistem Pendataan Profil Desa dan Kelurahan Kecamatan Camplong Kabupaten Sampag 2006. KH. Mustajib, wawancara, (Prajjan, 21 Oktober 2007). 52 Andang Subaharianto, dkk., Tantangan Industrialisasi Madura:Membentur Kultur, Menjunjung Leluhur, (Malang: Bayumedia,2004), 54. 51
penghormatan dikalangan masyarakat Madura, bahwa penghormatan yang paling utama harus diberikan kepada kedua orang tua, selanjutnya penghormatan diberikan kepada guru, pengertian guru lebih terfokus kepada kiai, kemudian penghormatan yang terakhir diberikan kepada penguasa atau pemerintah. Kedudukan dan peranan seorang kiai di desa ini sangat besar pengaruhnya terhadap kegiatan sosial kemasyarakatan dan sosial keagamaan dibanding kedudukan dan peranan pemerintah setempat. Hal ini terbukti bahwa kiai mendominasi jumlah penduduk Desa Prajjan yakni 60% adalah golongan kiai dan 40% masyarakat biasa, dan hampir 40 % golongan kiai tersebut memiliki pondok pesantren (Ponpes) tersendiri. Akan tetapi yang eksis hanya 17 lembaga pondok pesantren yang merupakan ponpes terbesar diantara ponpes-ponpes lainnya. 53 Faktor lain yang sangat berpengaruh terhadap identitas keagamaan yang kuat (agama Islam) masyarakat Desa Prajjan, antara lain: a. Situasi dan kondisi lingkungan wilayah Kecamatan Camplong yang merupakan daerah dekat pesisir, yang secara historis proses dakwah Islam melalui daerah-daerah tersebut, sehingga sampai saat ini kehidupan masyarakat setempat cukup kokoh dalam menjalankan berbagai aktifitas keagamaan. Selain itu proses pewarisan nilai-nilai ajaran Islam tersebut sudah turun-temurun dari generasi ke generasi. b. Banyaknya
kegiatan-kegiatan
sosial
keagamaan,
seperti:
molotan,
sholawatan, gambus, imtihan, yasinan dan tahlilan, khotmil qur'an, kompolan dan acara keagamaan lainnya.
53
KH. Moh. Jailani, wawancara, (Prajjan, 22 Oktober 2007).
c. Adanya kondisi lingkungan yang potensial, yang mana pada daerah tersebut kondisi tanahnya cukup subur, selain itu masyarakatnya juga mudah dalam kebutuhan air. Kondisi inilah yang menyebabkan para santri senang melakukan aktifitas belajar di daerah ini. d. Tidak cepat terpengaruh oleh adanya budaya-budaya yang datang dari luar yang sifatnya bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam.54
3. Kondisi Pendidikan Secara umum, masyarakat Madura lebih mengenal pondok pesantren daripada sekolah formal, begitu juga halnya masyarakat Desa Prajjan, seperti apa yang sudah penulis paparkan di atas, menunjukkan banyaknya lembaga-lembaga pondok pesantren merupakan sebuah bukti bahwa dalam hal pendidikan masyarakatnya lebih mengutamakan pendidikan agama dibandingkan pendidikan umum. Gambaran proyektif kondisi pendidikan formal di Desa Prajjan antara lain: Taman Kanak-Kanak (TK), Sekolah Dasar Negeri (SDN), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah Swasta (MAS). Sedangkan pendidikan non formal, seperti: Taman Pendidikan Al-Qur'an (TPA), Madrasah Diniyah (MD), Pondok Pesantren (Ponpes). Mereka yang menempuh pendidikan non formal di pondok-pondok pesantren tersebut dengan cara nyolok55 maupun bermukim di asrama pondok pesantren (monduk). Orang yang sedang menempuh jalur pendidikan semacam ini disebut santri (santreh) dan yang telah selesai
54
H. Moh. Anwar Fajri, wawancara, (Prajjan, 24 Oktober 2007). Nyolok adalah istilah yang digunakan untuk santri yang belajar dan mengikuti kegiatan di pondok pesantren namun tidak menetap (mukim) di asrama pondok pesantren tersebut (pulang-pergi). 55
menempuhnya biasanya disebut bhindhereh.56 Para santri yang masuk ke pondok pesantren tersebut bukan hanya berasal dari masyarakat desa setempat, melainkan banyak juga yang berasal dari desa tetangga, luar kota maupun luar jawa seperti, Kalimantan, Sulawesi dan lain sebagainya.
Tabel 1. Sarana Pendidikan Formal/Non Formal Desa Prajjan Kecamatan Camplong No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Jenis Prasarana Taman Kanak-Kanak (TK) Taman Pendidikan Al-Qur'an (TPA) Sekolah Dasar Negeri (SDN) Madrasah Ibtidaiyah (MI) Madrasah Diniyah (MD) Madrasah Tsanawiyah (MTs) Madrasah Aliyah Swasta (MAS) Pondok Pesantren (Ponpes)
Jumlah 2 12 1 5 3 1 1 17
Namun perlu ditegaskan disini, berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan Kepala Desa setempat, bahwa ternyata jumlah Ponpes di Desa Prajjan ini mencapai 27 Ponpes, hasil observasi peneliti dan wawancara menunjukkan bahwa dari 27 Ponpes yang ada, hanya 17 yang aktif atau memenuhi standart pelaksanaan pendidikan, sedangkan yang 10 dalam prosesnya tidak memenuhi standart pelaksanaan pendidikan pesantren.57 Data tersebut seperti pada tabel di atas.
Nama-nama Pondok Pesantren Yang Ada Di Desa Prajjan No. 1. 2. 3. 4. 5. 56
Nama Pesantren PP. Nazhatut Thullab PP. Fatihul Ulum PP. Al- Furjani PP. As- Salafi PP. Langgar Genteng
Pengasuh Alm. KH. Ach. Muafi Alif Zaini KH. Moh. Nasir Syuja'i KH. Yahya Hamiduddin KH. Mufahhom K. Muhammad
Bhindhereh adalah orang yang kemampuan religiusitasnya berada di bawah kemampuan kiai, namun sudah melampaui para santri. 57 H. Badrut Tamam, wawancara, (Prajjan, 10 Oktober 2007).
6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
PP. Langgar Temor PP. Langgar Laok PP. Temor Sungai PP. Langgar Seppo PP. Congkop Barat PP. Langgar Bungsoh PP. Accem Manis PP. Langgar Tete Tana PP. Burneh PP. Langgar Somber PP. Masaran PP. Somber Oloh
KH. Halim KH. Kholil Munir KH. Syakur KH. Tohe KH. Sumawan KH. Mujelis KH. Husein KH. Mabrur KH. Abd. Wasi' KH. Tajussalam KH. Alfawi KH. Abdullah Sattar58
Data di atas menunjukkan bahwa untuk Ponpes nomor urut 1 s/d 4 nama pesantren berasal dari adanya proses manajemen pendidikan yang ada di dalamnya, sedangkan untuk nomor urut 5 s/d 17 nama pesantren diambil dari nama gedung atau komplek yang ada. Perbedaannya terletak pada kurikulum, untuk pesantren nomor urut 1 s/d 4 di dalamnya terdapat kurikulum agama dan umum, sedangkan untuk pesantren nomor urut 5 s/d 17 hanya memprioritaskan pada kurikulum agama.
4. Kondisi Ekonomi Adanya perekonomian merupakan cara/usaha untuk memenuhi kebutuhan manusia. Perekonomian terjadi jika ada manusia saling membutuhkan, begitu juga keadaan perekonomian masyarakat Desa Prajjan yang diramaikan oleh masyarakat dengan aktifitas petani. Aktifitas-aktifitas bidang pertanian ini tidak dapat berlangsung sepanjang tahun. Aktifitas menanam tembakau (bhekoh) hanya dapat dilakukan pada musim kemarau (nemor) sedangkan pada musim penghujan (nambhere ), lahan sawah biasanya ditanami jagung, ketela pohon, umbi-umbian, kedelai, kacang-kacangan. Di samping itu, ada sekitar 13,241 % dari keseluruhan jumlah penduduk yang berprofesi sebagai petani, 8,586 % berprofesi di bidang 58
KH. Abd. Harits Muhobir, wawancara, (Prajjan, 13 Desember 2007).
jasa/perdagangan, 0,448 % berprofesi di bidang PNS, 0,275 % berprofesi sebagai pegawai desa, 2,068 % berprofesi sebagai nelayan, 3,344 % merupakan pertukangan, 1,241 % berprofesi sebagai penambang batu bata, 0,310 % bekerja di bidang ABRI/TNI, dan sekitar 70,482 % berstatus sebagai pengangguran atau tidak memiliki pekerjaan (tetap).
Tabel 2. Jenis Pekejaan/Mata Pencaharian Penduduk59 No. 01. 02. 03. 04. 05. 06. 07. 08. 09. 10.
Mata Pencaharian Petani Jasa/Perdagangan PNS Pegawai Desa Nelayan Pertukangan Penambang Batu Bata ABRI/TNI Pengangguran Lain-lain Jumlah
Jumlah 384 jiwa 249 jiwa 13 jiwa 8 jiwa 60 jiwa 97 jiwa 36 jiwa 9 jiwa 712 jiwa 1.332 jiwa 2.900 jiwa
Keterangan 13,241 % 8,586 % 0,448 % 0,275 % 2,068 % 3,344 % 1,241 % 0,310 % 24,551 % 45,931 % 100 %
5. Stratifikasi Sosial Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu mengalami perubahan dan membentuk lapisan-lapisan dalam kehidupan masyarakat. Lapisan masyarakat berarti jenjang status dan peranan yang relatif permanen yang terdapat dalam sistem sosial (dari kelompok kecil sampai ke masyarakat) dalam hal pembedaan hak, pengaruh dan kekuasaan. Secara garis besar, stratifikasi atau pelapisan sosial masyarakat Desa Prajjan sama halnya dengan stratifikasi sosial masyarakat Madura pada umumnya yang meliputi 3 (tiga) lapis, yaitu oreng kene atau disebut juga oreng dume sebagai lapis 59
Sistem Pendataan Profil Desa dan Kelurahan Kecamatan Camplong Kabupaten Sampag 2006.
terbawah; pongghabeh sebagai lapis menengah; dan parjaji (Jawa: priayi) sebagai lapis paling atas. Sedangkan menurut Abdurrahman, jika stratifikasi sosial ini dilihat dari dimensi agama hanya terdiri dari dua lapisan, yaitu santreh (santri) dan banne santreh (bukan santri).60 Namun demikian, Islam tidak membeda-bedakan umatnya satu dengan yang lain, laki-laki dan perempuan dianggap sederajat dalam hak-hak keagamaan, etika dan sipil serta tugas-tugas dan kewajibannya, karena ajaran Islam hanya membedakan kualitas ketaqwaannya saja. Oreng kene atau orang dume (orang kecil) adalah kelompok masyarakat biasa atau kebanyakan yang menempati lapisan sosial paling bawah. Profesi mereka biasanya adalah sebagai petani, nelayan, pengrajin dan sebagainya; bahkan orangorang yang tidak mempunyai pekerjaan tetap atau pengangguran juga termasuk dalam kelompok ini. Kemudian lapisan sosial menengah atau pongghabeh meliputi para pegawai, terutama yang bekerja sebagai birokrat, mulai dari tingkatan bawah hingga tinggi. Sedangkan lapisan sosial paling atas adalah para bangsawan (parjaji), yang tidak saja secara genealogis merupakan keturunan langsung raja-raja di Madura ketika Madura berada dalam pengaruh atau menjadi bagian dari kerajaan-kerajaan besar di Jawa. Akan tetapi, seiring dengan perkembangan zaman, akhir-akhir ini pencantuman gelar kebangsawanan sudah tidak populer lagi karena gelar-gelar itu sebagai lambang feodalisme. Ironisnya, gelar-gelar kesarjanaan dari berbagai disiplin ilmu justru menggantikan gelar-gelar kebangsawanan.61
60
A. Latief Wiyata, Carok Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura (Yogyakarta: LKiS, 2006), 47. 61 Helman Fajri, Sal p Tarjhâ: Antara Normatifitas, Mitos, dan Realitas, Skripsi (Malang: UIN Malang, 2007), 38.
Selanjutnya, pelapisan sosial yang mengacu pada dimensi agama yaitu santreh (santri) dan banne santreh (bukan santri), dalam kenyataannya tidak harus diartikan bahwa kelompok santreh identik dengan parjaji dan kelompok banne santreh dengan oreng kene , atau sebaliknya. Sebab, kelompok santreh bisa terdiri dari parjaji dan oreng kene , begitu pula halnya dengan kelompok banne santreh. Dalam konteks ini, kiai (keyae) merupakan kelompok masyarakat yang berada di lapisan sosial atas, sedangkan santreh di lapisan bawah. Adapun bhindereh dianggap sebagai kelompok masyarakat yang berada di lapisan menengah.62 Namun perlu ditegaskan disini, bahwa Al-Qur'an sama sekali tidak melihat stratifikasi sosial tersebut sebagai satu pola khusus dalam sebuah komunitas sosial yang kemudian mendapatkan keistimewaan tertentu. Di samping itu juga, Islam tidak membedakan stratifikasi sosial berdasarkan jenis kelamin (laki-laki dan perempuan), karena setiap individu dalam Islam mempunyai kesempatan yang sama dalam memperoleh posisinya masing-masing.63
B. Paradigma Penelitian Dalam sebuah penelitian, paradigma menjadi hal yang penting untuk ditentukan terlebih dahulu karena setiap penelitian senantiasa berlandaskan pada suatu paradigma tertentu. Penelitian ini, berupaya untuk mempelajari dan memahami peristiwa kultural yang terjadi di tengah-tengah masyarakat Madura dengan menyajikan pandangan hidup subyek yang menjadi obyek studi.64
62
Ibid., 49. M. F. Zenrif, Realitas dan Metode Penelitian Sosial Dalam Perspektif Al-Qur'an Teori dan Praktik (Malang: UIN Malang Press, 2006), 33. 64 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996), 94. 63
Adapun paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma sosiologis, yang mana salah satu tugas dari paradigma sosiologis ini adalah mengungkapkan sebab-musabab ketimpangan antara tata tertib masyarakat yang di cita-citakan dengan tertib masyarakat dalam kenyataannya.65 Dengan demikian penelitian ini akan memfokuskan pada hubungan timbal balik antara kegagalan ecang pancang dengan gejala-gejala sosial yang terjadi dikalangan keluarga kiai (keyae).
C. Pendekatan dan Jenis Penelitian Sesuai dengan permasalahan yang akan dikaji, penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologis. Metode kualitatif yaitu jenis metode penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai (diperoleh) dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik atau cara-cara lain dari pengukuran. Penelitian ini dapat menunjukkan pada penelitian tentang kehidupan masyarakat, sejarah, tingkah laku, juga tentang fungsionalisasi, organisasi, pergerakan-pergerakan sosial atau hubungan kekerabatan.66 Pemilihan pendekatan fenomenologis bertujuan untuk memahami arti peristiwa dan kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi tertentu. Penekanannya adalah aspek subyektif dari perilaku seseorang. Peneliti fenomenologi tidak berasumsi bahwa peneliti mengetahui arti sesuatu bagi orang-orang yang sedang diteliti. Mereka berusaha untuk masuk kedalam dunia dunia konseptual para subyek yang ditelitinya sedemikian rupa sehingga mereka mengerti apa dan bagaimana suatu 65
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), 196. 66 Anselm Strauss, Basic Of Qualitative Research . diterjemahkan oleh Djunaidi Ghony, Penelitian Kualitatif (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1997), 11.
pengertian yang dikembangkan oleh mereka dan sekitar peristiwa dalam kehidupan sehari-hari. Pengertian subyek penelitian yaitu melihatnya dari segi pandangan mereka .67 Oleh karena itu, peneliti akan melihat mayarakat sebagai subyek penelitian guna mengetahui pandangan mereka tentang suatu permasalahan. Dilihat dari jenisnya, penelitian ini termasuk jenis penelitian field research (penelitian lapangan), yang mana penelitian ini lebih menitik beratkan pada hasil pengumpulan data mengurangi kesalahan dan kekurangan data dalam penelitian serta untuk meningkatkan kualitas data.
D. Sumber Data Sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data-data diperoleh.68 Adapun mengenai sumber data ini dibedakan atas dua jenis yaitu: a. Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumbernya, yang diamati dan dicatat untuk pertama kalinya.69 Dalam penelitian ini, data primer diperoleh dari pelaku e-cang pancang dan pihak-pihak yang terkait langsung dengannya, baik anak yang dijodohkan dan orang tua yang menjodohkan. b. Data Sekunder Data sekunder adalah data primer yang telah diolah lebih lanjut kemudian disajikan, baik oleh pihak pengumpul data primer atau oleh pihak lain.70 Adapun data sekunder dalam penelitian ini dapat diperoleh dari beberapa orang yang tidak terkait 67
Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2002), 3. Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), 107. 69 Marzuki, Metodologi Riset (Yogyakarta: Fakultas Ekonomi UII, 1983), 55. 70 Husein Umar, Metode Penelitian Untuk skripsi dan Tesis Bisnis (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), 42-43. 68
langsung, akan tetapi mengerti dan paham tentang e-cang pancang di Desa Prajjan, misalnya: tokoh adat/sesepuh, masyarakat setempat, Kepala Desa dan lain sebagainya.
F. Profil Subjek Penelitian (Informan) 1. Tokoh Masyarakat (Sesepuh Desa) a. KH. Abd. Harits Muhobir (umur 57) Beliau adalah sesepuh Desa Prajjan, peneliti pilih sebagai informan dengan alasan bahwa yang bersangkutan dipandang oleh masyarakat sebagai orang yang terhormat dan memiliki kharismatik. Observasi peneliti menunjukkan bahwa beliau juga memiliki pengetahuan dan pengalaman tentang sejarah Desa Prajjan. Selain disebut sebagai sesepuh, beliau juga sebagai orang yang dianggap memiliki kedalaman dalam spritual, hal tersebut terbukti dengan banyaknya masyarakat setempat yang sering meminta bantuannya dalam hal keagamaan (masalah ubudiyyah), misalnya urusan pernikahan, penentuan hari baik, kematian, serta berbagai hal yang terkait dengan pemahaman masyarakat setempat. b.
KH. Mustajib (umur 52)
Selain sesepuh di atas KH. Mustajib juga termasuk deretan orang yang dianggap memiliki kelebihan di Desa Prajjan, baik dalam hal keagamaan maupun hal-hal yang terkait dengan masalah kehidupan sosial di Desa Prajjan. Dalam kehidupannya, KH. Mustajib juga sebagai seseorang yang dijadikan rujukan oleh masyarakat sekitar dalam berbagai masalah agama maupun masalah sosial.
c. Ny. Roufah (umur 73) Dari kalangan wanita terdapat Ny. Roufah. Beliau adalah salah satu sesepuh Desa Prajjan dari kalangan wanita yang memiliki pengetahuan serta pengalaman dalam berbagai masalah agama dan sosial. Utamanya beliau mengetahui persis tata tingkah laku masyarakat setempat secara historis. Ny Roufah dalam hal ketokohan juga termasuk orang yang disegani oleh masyarakat setempat. Dasar tersebut menjadi alasan peneliti untuk memilihnya sebagai informan. d. Bpk. H. Nasir (umur 40) Berikutnya yang termasuk dalam kategori tokoh masyarakat adalah Bapak. Moh Nasir, berbeda dengan informan di atas, untuk Bapak Nasir beliau sebagai masyarakat biasa, namun kapasitas sserta kompetensinya terhadap pemahaman karakter dan corak masyarakat di Desa Prajjan, beliau cukup faham, dasar inilah yang dijadikan peneliti untuk menggali data. e. Bpk. H. Syaiful Amin (umur 45) Selain Moh. Nasir salah satu tokoh masyarakat yang lain adalah Bpk Syaiful Amin, peneliti menjadikannnya sebagai informan dengan alasan beliau memiliki pemahaman dan pengalaman yang terkait dengan karakter dan corak kehidupan masyarakat Desa Prajjan, selain itu karena kedekatannya dengan para keluarga kiai, menjadikan beliau memiliki pemahaman yang tinggi dalam hal agama. Yang terpenting lagi Bapak Syaiful Amin juga memiliki intelektualitas dalam hal kehidupan sosial utamanya terkait dengan masyarakat di Desa Prajjan.
2. Kalangan Ustadz Beliau adalah H. Moh. Anwar Fajri (umur 39) yang di Desa Prajjan merupakan orang yang di anggap memiliki kelebihan dalam hal agama, secara rutin informan yang satu ini beraktivitas sebagai pengajar agama di beberapa pesantren setempat. Selain sebagai ustadz, beliau juga termasuk dalam kategori sosok yang disegani di daerah setempat, sehingga beliau juga paham tentang berbagai corak dan kebiasaan masyarakat setempat.
3. Pelaku (Orang Tua) a. KH. Imam Ghazali (umur 51), Selain sebagai orang terpandang karena kelimuannya, beliau juga sebagai orang tua yang pernah menikahkan anaknya dalam konteks kebiasaan e-cang pancang. Informan ini memiliki kompetensi terkait dengan masalah e-cang pancang, dasar inilah yang menjadikan peneliti memilihnya sebagai informan. b. KH. Hamdan Badri (umur 46) Informan kedua adalah KH. Hamdan Badri, selain sebagai tokoh agama yang juga memiliki kharismatik dan dijadikan sebagai sesepuh desa setempat, beliau juga merupakan orang tua dari anak yang dinikahkan melalui e-cang pancang.
c. KH. Alif Madani (umur 43) Yang termasuk dalam kategori orang tua adalah KH. Alif Madani, selain sebagai tokoh agama di desa setempat, beliau juga merupakan orang tua dari anak yang telah dinikahkan melalui proses e-cang pancang. Masyarakat menganggap KH. Alif Madani sebagai sosok yang terhormat dan mulia di Desa Prajjan.
d. Ny. Rumhana (umur 51) Kalangan keempat yang termasuk dalam kategori orang tua dari kalangan wanita adalah Ny. Rumhana. Beliau memiliki posisi yang cukup diperhitungkan di masyarakat, karena pemahaman dan pengalamannnya dalam hal agama maupun sosial. Masyarakat menyebutnya sebagai Bu Nyai.
4. Pelaku (Anak) a. KH. Muzakki (umur 42) Beliau merupakan salah satu anak yang pernah melakukan pernikahan melalui ecang pancang. Selain sebagai pelaku dari e-cang pancang, beliau adalah termasuk sosok yang memiliiki ilmu pengetahuan agama yang cukup tinggi, khususnya dalam bidang kajian kitab kuning. Yang terpenting lagi beliau adalah termasuk pengurus salah satu madrasah di desa setempat. b. KH. Moh. Jailani (umur 41) Selain KH. Muzakki, terdapat KH. Moh. Jailani yang juga salah satu anak yang pernah melakukan proses pernikahan melalui e-cang pancang. Selain sebagai seorang anak yang pernah melakukan proses pernikahan melalui e-cang pancang, beliau juga sebagai guru agama di Sekolah Dasar (SD). Yang lebih penting lagi, beliau diamanati oleh Alm. orang tuanya sebagai pemimpin rumah tangga dan juga diamanati untuk mengurusi taman kanak-kanak (TK). Sama halnya dengan KH. Muzakki beliau juga memiliki kompetensi dalam hal membaca dan mengkaji kitab kuning, yang mana kemampuannya beliau ajarkan pada santrinya di pesantren Nurul Iman.
c. KH. Moh. Ihya' (umur 43) Seperti KH. Jailani, KH. Moh Ihya juga merupakan pelaku dari adanya kebiasaan e-cang pancang. KH. Moh Ihya ini adalah seseorang yang memiliki kemampuan dalam memimpin calon jamaah haji. Eksistensinya di masyarakat sebagai seorang tokoh yang cukup kharismatik dan disegani.
5. Kepala Desa Beliau adalah KH. Badrut Tamam (umur 38). Jabatannya sebagai PJs. Kepala Desa (sewaktu penelitian ini dilakukan) menjadikan beliau sangat faham dan memiliki pengalaman terhadap berbagai corak dan karakter masyarakat setempat.
E. Metode Pengumpulan Data Untuk memperoleh data yang valid sesuai dengan pokok pembahasan dalam penelitian ini, maka peneliti menggunakan metode sebagai berikut: a.
Metode Observasi Observasi atau disebut juga dengan pengamatan meliputi kegiatan pemusatan
perhatian terhadap suatu objek dengan menggunakan segala indra.71 Sedangkan S. Margono mengemukakan bahwa observasi adalah pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian.72 Berdasarkan definisi di atas, maka yang dimaksud metode observasi adalah suatu cara pengumpulan data melalui pengamatan panca indra yang kemudian diadakan pencatatan-pencatatan. Peneliti menggunakan metode ini untuk mengamati secara langsung dilapangan tentang kondisi objektif masyarakat Desa Prajjan
71 72
Suharsimi Arikunto, Op. Cit., 158. S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), 158.
Kecamatan Camplong Kabupaten Sampang dan berbagai aktifitasnya terutama yang berkaitan dengan e-cang pancang ini. b. Metode Interview Interview atau wawancara adalah alat pengumpulan informasi dengan cara mengajukan sebuah pertanyaan secara lisan untuk dijawab secara lisan pula.73 Sebagaimana dikemukakan Spradley, menjalin keakraban (rapport) dengan informan dan komunitas yang diteliti merupakan prasyarat penting dalam kegiatan penelitian karena memungkinkan didapat keterangan yang jujur dan terbuka.74 Dalam hal ini, wawancara dilakukan kepada 14 orang (informan), yakni dengan pelaku e-cang pancang dan pihak-pihak yang terkait langsung dengannya, baik orang tua yang menjodohkan maupun anak yang dijodohkan serta orang-orang yang mengerti dan memahami e-cang pancang, seperti: tokoh adat/sesepuh, masyarakat setempat, Kepala Desa. Adapun perinciannya adalah sebagai berikut: No. Data 1. Definisi e-cang pancang
2.
Sejarah e-cang pancang
3.
Realitas kegagalan e-cang pancang pada keluarga kiai (keyae)
73
IPD
Subyek/Informan 1.KH. Imam Ghazali 2.KH. Hamdan Badri Interview 3.KH. Moh. Jailani 4.KH. Moh. Ihya' 1.Ny. Roufah 2.KH.Mustajib idem 3.KH.Abd. Harits M. 4.KH.Hamdan Badri 1.KH. Mustajib 2.Ny. Rumhana 3.KH.Alif Madani 4.KH.Muzakki idem 5.KH.Moh.Jailani 6.H.Moh.Anwar F. 7.Bpk. H. Nasir
Umur 51 th 46 th 41 th 43 th 73 th 52 th 57 th 46 th 52 th 51 th 43 th 42 th 41 th 39 th 40 th
Keterangan Pelaku (ortu) idem Pelaku (anak) idem Sesepuh idem idem Pelaku (ortu) Sesepuh Pelaku (ortu) idem Pelaku (anak) idem Ustadz Masyarakat setempat
Ibid,165. Andang Subaharianto, dkk., Tantangan Industrialisasi Madura: Membentur Kultur, Menjunjung Leluhur (Malang: Bayumedia Publishing, 2004), 11. 74
4.
5.
6.
Dampak kegagalan e-cang pancang terhadap ikatan keluarga kiai (keyae) Proses sosiologis dampak kegagalan e-cang pancang terhadap ikatan keluarga kiai (keyae) Proses harmonisasi pasca kegagalan e-cang pancang
idem
1.KH. Mustajib 2.KH. Alif Madani 3.Bpk. H. Badrut T.
52 th 43 th 38 th
Sesepuh Pelaku (ortu) Kepala Desa
1.Bpk. H. Syaiful A.
45 th
2.Bpk. H. Nasir
40 th
Masyarakat setempat idem
idem
idem
1.KH. Hamdan Badri 46 th 2.KH. Moh. Jailani 41 th
Pelaku (ortu) Pelaku (anak)
Materi wawancara disampaikan kepada seluruh informan, namun terdapat beberapa materi wawancara yang difokuskan pada beberapa informan yang dianggap memiliki kompetensi oleh peneliti, sebagaimana dalam tabel di atas.
F. Metode Pengolahan Data Setelah data yang terkumpul, baik dari hasil observasi maupun dari hasil interview, dilakukan proses pengolahan data mencakup: a. Editing Langkah pertama, Peneliti melakukan penelitian kembali catatan yang diperoleh dari data untuk mengetahui apakah catatan tersebut sudah cukup baik berkaitan dengan e-cang pancang, terutama pada aspek kelengkapan data, kejelasan makna, kesesuaian serta relevansinya dengan kelompok data yang lain, dengan tujuan apakah data-data tentang e-cang pancang tersebut sudah mencukupi untuk memecahkan permasalahan yang sedang diteliti atau belum, dan untuk mengurangi kesalahan serta
kekurangan data dalam penelitian, dan berusaha meningkatkan kualitas data penelitian. b. Classifying Langkah kedua, dimana seluruh data baik yang berasal dari wawancara, observasi dan lain-lain, hendaknya dibaca, diteliti secara mendalam kemudian mengklasifikasikan sesuai dengan kebutuhan,75 karena dari beberapa informan penelitian tentunya tidak sama (berbeda-beda) dalam memberikan informasi. Dari sinilah kemudian peneliti mengumpulkan data-data yang telah diperoleh dengan cara memilih mana data yang akan dipakai sesuai dengan kebutuhan. c. Verifying Langkah ketiga, dalam hal ini proses dan kegiatan yang dilakukan peneliti untuk memperoleh data dan informasi dari lapangan berkaitan dengan e-cang pancang ini harus di cross-check kembali agar validitasnya dapat diakui.76 d. Analisying Langkah keempat, merupakan proses penyederhanaan kata ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan. Dalam analisa ini akan digunakan teori-teori yang relevan.77 Dimana teori yang peneliti gunakan adalah teori-teori sosial. Kemudian, data hasil penelitian yang telah diperoleh dari lapangan disusun oleh peneliti secara sistematis dengan menarik dari sumber data primer dan data sekunder, agar nantinya akan saling melengkapi sehingga diperoleh gambaran yang jelas mengenai e-cang pancang.
75
Lexy J Moleong, Op. Cit., 104-105. Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi, Metode Penelitian Survai (Jakarta: LP3ES, 1987), 263. 77 Nana Sudjana dan Ahwal Kusumah, Proposal Penelitian: di Perguruan Tinggi (Bandung: Sinar Baru Algasindo, 2000), 89. 76
e. Concluding Merupakan langkah terakhir, dimana peneliti sudah dapat menghasilkan jawaban-jawaban dari hasil penelitian yang dilakukan. Peneliti pada tahap ini membuat kesimpulan-kesimpulan menarik poin-poin penting yang kemudian menghasilkan gambaran secara ringkas, jelas dan mudah dipahami tentang e-cang pancang di masyarakat Madura khususnya di Desa Prajjan.
G. Metode Analisis Data Pada dasarnya, analisis data merupakan proses mengatur urutan data, mengorganisasikan ke dalam suatu pola, kategori dan satuan urutan dasar.78 Maka penelitian yang akan dilakukan ini, data yang belum tertata, yang didapat dari lapangan tempat penelitian dilakukan, baik itu berupa catatan hasil wawancara, maupun observasi. Data-data ini akan dikelompokkan sesuai dengan tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini data yang digali adalah data kualitatif, oleh karena itu analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif dengan menggunakan alur deskriptif analisis, yaitu metode penelitian untuk membuat gambaran seperti situasi dan kejadian, sehingga metode ini berkehendak mengadakan akumulasi data dasar belaka yang bertujuan untuk menggambarkan gejala sosial, politik ekonomi, budaya, dan gejala keagamaan.79 Sesuai dengan analisis data yang digunakan, tahapan dalam proses teknis analisis data terkait e-cang pancang ini dilakukan melalui beberapa tahapan yang
78 79
Lexy J Moleong, Op. Cit., 3. Sayuti Ali, Metode Penelitian Agama (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), 22.
telah ditentukan, yaitu identifikasi klasifikasi dan selanjutnya diinterpretasikan dengan cara menjelaskan secara deskriptif.
BAB IV PAPARAN DAN ANALISIS DATA
A. Deskripsi Tentang E-Cang-Pancang Kebiasaan e-cang pancang di Desa Prajjan Kecamatan Camplong Kabupaten. Sampang sudah ada sejak zaman nenek moyang Desa Prajjan yang bernama K. Abdul Allam. Menurut informasi yang peneliti peroleh bahwa K. Abdul 'Allam ini hidup di Desa Prajjan sekitar awal tahun 1770 selama ±30 tahun.80 Beliau berwasiat kepada anak-anaknya dan semua keturunannya untuk memilih jodoh dari kalangan keluarga sendiri atau masih sama-sama keturunan K. Abdul
Allam.81 Hasil
penelusuran dari beberapa informan, ditemukan adanya 2 (dua) versi yang memberikan penjelasan berkaitan dengan wasiat K. Abdul Allam. Pertama, versi 80 81
KH. Abd. Harits Muhobir, wawancara, (Prajjan, 13 Desember 2007). KH. Mustajib, wawancara, (Prajjan, 31 Oktober 2007).
yang mengatakan bahwa K. Abdul Allam pernah berwasiat kepada putera-puteranya dengan sebuah redaksi wasiat yang sharih sebagai berikut: Senga cong j abinih kaloar ma le ad ddiagi emas pa lekor, settong tolang settong d ging .82 (Awas cong83 jangan sampai beristeri keluar (beristeri dari keturunan nasab yang berbeda), supaya menjadi emas 24 (dua puluh empat) karat (bibit unggul), satu tulang satu daging). Menurut versi yang pertama ini, dapat dipahami bahwa K. Abdul Allam berwasiat dengan terang-terangan kepada putera-puteranya agar menikah dengan keluarga yang masih senasab. Wasiat tersebut semata-mata bertujuan untuk memelihara keutuhan ikatan tali persaudaraan (nyambungah bh l h) antar keluarga atau untuk memelihara nasab mereka. Apabila ada putera-putera atau keturunan K. Abdul Allam yang menikah bukan dari keturunannya, maka hal itu dianggap merusak dan mengganggu kebiasaan e-cang pancang yang sudah mendarah daging. Mereka masih memegang teguh prinsip bahwa kewajiban dalam mencarikan jodoh bagi putera-puteranya adalah menjadi tanggung jawab orang tua, walaupun mereka sudah dewasa. Kalaupun ada anak-anak mereka yang menikah diluar keturunan, maka akan dikucilkan oleh keluarga yang lain. Sedangkan menurut versi yang kedua, K. Abdul Allam pernah berwasiat kepada semua keturunannya untuk menikah dengan keluarga yang masih senasab, akan tetapi dalam hal ini wasiat tersebut tidak dalam redaksi yang sharih84 seperti halnya versi pertama.
82
Ny. Roufah, wawancara, (Prajjan, 16 Oktober 2007). Cong itu berasal dari kata kacong yang merupakan kata sapaan/panggilan bagi anak-anak atau para pemuda di Madura dari orang yang lebih tua/sepuh. 84 KH. Hamdan Badri, wawancara, (Prajjan, 15 Oktober 2007). 83
Dalam perjalanan sejarah perkembangan Desa Prajjan, wasiat itu sampai sekarang masih dipegang teguh dan seolah-olah harus dilaksanakan oleh semua keturunannya, sehingga kebiasaan e-cang pancang ini mengakar kuat di Desa Prajjan. Setelah peneliti mengetahui sejarah e-cang pancang yang terdapat di Desa Prajjan, selanjutnya peneliti menelusuri dan mempertanyakan tentang definisi dari ecang pancang itu sendiri, yang kemudian para informan menerangkan dan menjelaskan kepada kami bahwa yang dimaksud dengan e-cang pancang adalah Perjodohan yang dilakukan oleh antar orang tua (antar oreng toah) terhadap anakanaknya yang masih berusia dini, balita atau bahkan usia pranatal, dengan tujuan untuk mempererat ikatan persaudaraan (sa taretanan) dan kekerabatan (sa bh l
n)
dari masing-masing keluarga tersebut. Hal ini berlaku pada golongan masyarakat madura tertentu, yakni pada mayoritas golongan kiai (keyae).85 KH. Moh. Ihya salah seorang anak pelaku e-cang pancang di desa Prajjan, beliau berkata: e-cang pancang areah le', anak see edu-juduagi gi keni moso oreng toanah polanah la ngarteh dh asal usullah keluarga calon (keturunnah) bisannah.86 (Yang dimaksud dengan e-cang pancang itu le',87 anak yang dijodohjodohkan sejak kecil oleh orang tuanya karena sudah mengerti dan mengenal asal usul keluarga calon (keturunannya) besannya. Senada dengan apa yang telah dikatakan oleh KH. Moh. Ihya', KH. Hamdan Badri yang juga merupakan salah seorang orang tua masyarakat Desa Prajjan ini
85
KH. Imam Ghazali, wawancara, (Prajjan, 20 Nopember 2006). KH. Moh. Ihya', wawancara, (Prajjan, 27 Oktober 2007). 87 Le' itu berasal dari kata ale' (dalam bahasa Indonesia Adik) yang merupakan kata sapaan/panggilan di Madura bagi mereka yang usianya lebih muda. 86
dengan penuh antusias menjelaskan apa yang dimaksud dengan e-cang pancang, yakni: ejuduagi otab h edu-juduagi otabeh esang pasangih gi keni moso oreng toanah. 88 (e-cang pancang ini adalah dijodohkan atau dijodoh-jodohkankan atau dipasang-pasangkan sejak kecil oleh orang tuanya). Berbeda dengan penjelasan dari kedua informan di atas, dalam hal ini KH. Moh. Jailani dengan panjang lebar dan juga dengan antusiasnya, beliau mengatakan bahwa yang dimaksud e-cang pancang adalah: "duw oreng toah sepakat majuduh anaknah se gi b dh h edh l m kandungan, kalab n oca lamon tang anak bini b n anaknah b na lake otab h sab ligg makah ejuduaginah. Enga' lamb ' Abdul Waris ana'nah KH. Syaifuddin, epapolong moso ana'nah KH. Kusairi se anyamah Mukarromah, se Mukarromah g ll ' gi' b dh h edh l m kandungan.89 (dua orang tua yang sepakat menjodohkan anaknya yang masih dalam kandungan, dengan ucapan "kalau anak saya perempuan sedangkan anakmu laki-laki atau sebaliknya, maka akan saya jodohkan." Seperti halnya dahulu Abdul Waris anaknya KH. Syaifuddin, dijodohkan dengan anaknya KH. Kusairi yang bernama Mukarromah, dimana Mukarromah tersebut masih berada dalam kandungan). Temuan peneliti tersebut di atas menunjukkan bahwa e-cang pancang secara historis menjadi kebiasaan keluarga kiai Prajjan. Dalam beberapa wawancara peneliti bersama beberapa sesepuh yang lain, menunjukkan bahwa e-cang pancang merupakan
warisan
nilai
yang
dianggap
sangat
baik
sebagi
alternatif
mempertahankan keutuhan keluarga besar kiai Prajjan. Namun ketika peneliti singgung mengenai apakah kebiasaan e-cang pancang tersebut akan bertahan, sebagian dari sesepuh optimis bahwa kebiasaan e-cang pancang akan bertahan
88 89
KH. Hamdan Badri, wawancara, (Prajjan, 15 Oktober 2007). KH. Moh. Jailani, wawancara, (Prajjan, 22 Oktober 2007).
dengan syarat masing-masing anggota keluarga masih teguh mempertahankan kebiasaan tersebut. Sebagian sesepuh yang lain tidak optimis bahwa e-cang pancang pada keluarga kiai prajjan akan bertahan, sebagian sesepuh tersebut mendasarkan statemennya pada adanya perubahan dan perjalanan waktu yang cenderung mambawa pada perubahan. Selain itu, faktor pendidikan dan ilmu pengetahuan yang diperoleh generasi yang akan datang cenderung menjadi faktor perubahan kebiasaan e-cang pancang. Hasil wawancara peneliti tersebut menjadi temuan penting, sebagai sebuah dasar dalam melakukan kajian yang lebih mendalam tentang kebiasaan e-cang-pancang dan kegagalannya.
B. Realitas Kegagalan E-Cang Pancang pada Keluarga Kiai Dalam temuan peneliti, yang dilakukan melalui proses observasi, terdapat fenomena bahwa e-cang pancang merupakan salah satu kebiasaan masyarakat yang cukup kental di kalangan kiai Prajjan dalam rangka memperkokoh ikatan kekerabatan dan menjaga jurang pemisah dalam ikatan hubungan tersebut. Dapat dikatakan bahwa e-cang pancang merupakan kebiasaan mutlak dalam menjaga dan memperkokoh kekerabatan. Proses e-cang pancang tersebut sebagaimana hasil observasi peneliti menunjukkan pada berbagai model dan bentuk yang cukup bervariasi, model-model tersebut sebagaimana hasil observasi peneliti antara lain: 1. Pertama, model e-cang pancang dengan cara antar orang tua melakukan perencanaan, apabila diantara mereka nantinya punya anak yang berbeda jenis kelamin, maka keduanya akan dijodohkan.
2. Kedua, model e-cang pancang dengan cara adanya perjanjian antara orang tua dalam ikatan keluarga kiai, yang salah satunya sedang hamil, sedangkan orang tua yang lain sudah memiliki bayi laki-laki, maka mereka melakukan perjanjian apabila nanti lahir bayi perempuan, maka keduanya akan dikawinkan. 3. Ketiga, model e-cang pancang yang dilakukan antar orang tua yang sama-sama memiliki anak di usia balita atau usia belum baligh, antar orang tua sudah melakukan proses perjanjian, bahwa keduanya nantinya akan dikawinkan. Paparan data tersebut di atas peneliti pertegas melalui hasil wawancara dengan salah satu orang tua yang merupakan keluarga besar kiai Prajjan, yaitu Ny. Rumhana. Beliau mengungkapkan bahwa e-cang pancang merupakan warisan para sesepuh (bengaseppo), yang mana kebiasaan tersebut memiliki nilai yang sangat luhur dalam upaya mempertahankan ikatan kekeluargaan (sa bh l
n). Sebagaimana dalam
kutipan berikut : "B dh nah e-cang pancang areah penting dh l m keluarga besar. Polanah b dh nah e-cang pancang areah keluarga besar Prajjan bisa kokoh sampe' sateyah..."90 (Keberadaan e-cang pancang ini penting dalam keluarga besar (Prajjan). Karena adanya e-cang pancang inilah keluarga besar ini kokoh sampai saat ini...). Selanjutnya, Ny. Rumhana juga mengungkapkan bahwa banyak model atau bentuk e-cang pancang yang dilakukan dalam satu keluarga besar tersebut, sebagaimana telah peneliti paparkan dalam hasil observasi tersebut diatas. Selanjutnya Kutipan hasil wawancara tersebut sebagai berikut :
90
Ny. Rumhana, wawancara, (Prajjan, 20 Oktober 2007).
"e-cang pancang b nnya' macemmah carah se elakoneh; settong, rencana antar oreng s ppo se gi' ta' andhi' ana' potoh, dhuw ', antar dhuwe' oreng seppo se para' andhi' h ana' (bininah la ngandhung), tello', antar dhuw ' oreng s ppo se la andhi' ana' kene' (gi ta' b lligh)...."91 (....Banyak macam cara e-cang pancang yang dilakukan, yaitu pertama, rencana antar orang tua yang belum sama sekali memiliki anak, kedua, antar orang tua yang keduanya akan mempunyai anak (sudah sama-sama hamil), ketiga, antar kedua orang tua yang sudah jelas memiliki anak diusia dini atau belum baligh.....). Temuan-temuan peneliti tersebut diatas menjadi dasar penting bahwa fenomena e-cang pancang pada keluarga kiai Prajjan merupakan sesuatu yang memiliki nilai signifikan bagi perjalanan keluarga besar kiai Prajjan. Untuk membuktikan hal ini peneliti melakukan wawancara dengan salah satu tokoh masyarakat Desa Prajjan. Dalam wawancara ini peneliti berusaha mengungkap sejauh mana pentingnya e-cang pancang itu sendiri dari generasi ke generasi. Adapun tokoh masyarakat yang dimaksud adalah Bapak H. Nasir, dia mengungkapkan bahwa e-cang pancang merupakan bagian penting dalam keluarga besar kiai Prajjan, agar keluarga kiai Prajjan dapat berkembang sesuai harapan keluarga besar, maka penting bagi para anggota keluarga yang memiliki keturunan melewati proses e-cang pancang. H. Nasir berargumen bahwa pentingnya e-cang pancang didasarkan pada tujuan dari keluaga besar kiai Prajjan, yaitu: a. Pertama, adanya ikatan keluarga yang selalu kokoh dan harmonis. b. Kedua, dihasilkannya keturunan-keturunan yang berkualitas karena masih dalam satu garis keturunan. c. Ketiga, mempertahankan warisan para sesepuh.
91
Ny. Rumhana, wawancara, (Prajjan, 20 Oktober 2007).
Paparan tersebut sebagaimana kutipan wawancara dengan H. Nasir sebagai berikut : ".....e-cang pancang areah penting, polanah sana' rak t b n kebersamaan saj n tamba kokoh otabeh kuat, bisah nga olle ana' potoh se b cce' ben bisah aj g h b ris n otab h wasiat bengas ppo, ajiyah sat rrossah ce' pentingngah sarah..."92 (.....e-cang pancang itu penting, karena di dalamnya akan diperoleh kokohnya kekerabatan dan kebersamaan, diperolehnya keturunan-keturunan yang baik dan mempertahankan warisan atau wasiat para sesepuh....itu semua penting sampai kapanpun....). Sebagaimana H. Nasir, KH. Mustajib juga mengungkapkan hal yang sama, bahwa e-cang pancang dalam keluarga kiai Prajjan menjadi bagian dan unsur penting untuk mempertahankan perjalanan keluarga besar kiai Prajjan. Harapan beliau bahwa e-cang pancang ini akan terus dilestarikan oleh para generasi-generasi berikutnya, karena kiai Mustajib khawatir kalau generasi-generasi berikutnya tidak mampu melanjutkan kebiasaan ini, maka akan terjadi kehidupan keluarga yang tidak terjamin. Ungkapan yang terakhir ini peneliti lanjutkan dengan wawancara tentang adanya kegagalan e-cang pancang dalam keluarga besar kiai Prajjan. Hasil dari wawancara tersebut menunjukkan bahwa kiai Mustajib masih tetap optimis kebiasaan e-cang pancang masih akan berlanjut, kiai Mustajib sendiri tidak memungkiri adanya salah satu keluarga yang gagal dalam e-cang pancang, gagal dalam arti salah satu keluarga tersebut kurang setuju terhadap realitas e-cang pancang, meskipun mereka adalah bagian dari keluarga besar kiai Prajjan. Masih menurut kiai Mustajib, bahwa hal tersebut perlu dilakukan musyawarah dengan keluarga yang bersangkutan atau dalam bahasa yang lain adalah silaturrahmi antar keluarga. 92
H. Nasir, wawancara, (Prajjan, 03 Nopember 2007).
Peneliti tidak berhenti sampai pada ungkapan tersebut, selanjutnya peneliti bertanya, seandainya proses musyawarah tersebut gagal apa yang akan terjadi pada keluarga tersebut?. kiai Mustajib menjawab bahwa hal tersebut akan berdampak tidak baik bagi perjalanan keluaga besar, utamanya dalam masalah silaturrahmi. Peneliti mengutip wawancara tersebut sebagai berikut : "....yee..h bahaya mon sampe' ajiyah d ddih, polanah ap ngaroh jub ' dh ' silaturrahim antar kaloarga-kaloarga se laen, terutamanah kaloarga se t rlibat..."93 (......Berbahaya jika hal itu terjadi, karena akan berdampak pada silaturrahmi diantara keluarga-keluarga yang lain, utamanya keluarga yang bersangkutan...). Ungkapan kiai Mustajib tersebut juga di aminkan oleh kiai Moh. Jailani dan kiai Alif Madani mereka berdua sepakat bahwa jika e-cang pancang gagal, maka hal tersebut akan berdampak pada adanya masalah silaturrahmi. Sebagaimana peneliti mengutip hasil wawancara tersebut sebagai berikut : "Neng disah Prajjan areah b dh h kebiasaan se b gus, se bisah ma koat dh ' silaturrahim. Kebiasaan areah enyamaeh "kebiasaan e-cang pancang", se ekoca' adu-juduagi antara sa bh l n ".94 (Ada kebiasaan yang bagus di Desa Prajjan untuk memperkokoh silaturrahmi, kebiasaan itu adalah e-cang pancang, yaitu melakukan perjodohan antar keluarga). Untuk mencari perbandingan dan membuktikan hal tersebut peneliti mencari temuan terhadap beberapa keluaga yang gagal dalam e-cang pancang atau kurang setuju terhadap realitas e-cang pancang. Peneliti mendapatkan informan yaitu KH. Alif Madani, beliau merupakan salah satu keluarga besar kiai Prajjan yang kurang
93 94
KH. Mustajib, wawancara, (Prajjan, 01 Nopember 2007). KH. Moh. Jailani, wawancara, (Prajjan, 12 Nopember 2007).
setuju realitas e-cang pancang pada keluarga kiai Prajjan. Banyak alasan yang beliau ungkapkan, sebagaimana dalam kutipan wawancara sebagai berikut : "Sengko' keah b gi n dh ri kaloarga keyae Prajjan, tapeh sengko' s poranah mon ta' pateh setuju dh ' praktek e-cang pancang e dh l m kaloarga Prajjan reah. Karnah na' kana' sateyah ta' padh h b n na' kana' lambh ' (konanah). Na' kana' sateyah odhi' b n aj l n bi' dibi', kita ta' kerah taoh apah se arassa agih, tapeh na' kana' areah taoh se erassa agih, mon sengko' ma akabin tang ana' bi' oreng se ta' eka s nn ngih polanah b nnya' hal, makah ajiyah pemaksaan b n sengko' y ken ta' b gus. Menurut sengko' dinalah na' kana n ma' la nyareh dibi', tapeh sakeranah ta' menentang ka prinsip-prinsip kaloarga, b n oreng toah padh h s nn ng ka pelennah na' kana' ajiyah ...."95 (.....saya juga bagian keluarga kiai Prajjan, namun saya mohon maaf jika kurang setuju terhadap pelaksanaan e-cang pancang di keluaga besar ini (keluarga kiai Prajjan). Alasan saya bahwa seorang anak itu hidup dan berjalan dengan kemampuan dan wawasannya sendiri, kita tidak mengetahui apa yang mereka rasakan, anak akan tahu apa yang mereka rasakan, kalau saya memaksa anak saya untuk menikah dengan orang yang tidak dia cintai karena berbagai hal, maka sesungguhnya saya memaksa dia, dan saya yakin itu akan tidak baik.....saya pikir biarlah anak memilih sendiri asalkan juga tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip keluarga....dan orang tua juga senang terhadap pilihannya anak....). Mengenai dampak yang akan muncul dari adanya ketidaksetujuan terhadap ecang pancang, kiai Alif Madani menyatakan bahwa hal itu wajar, karena e-cang pancang merupakan bagian yang bernilai tinggi serta bagian penting yang merupakan warisan para sesepuh. Selain itu sang kiai juga menyadari ketidaksetujuannya terhadap e-cang pancang akan berdampak pada beberapa hal, diantaranya adalah kemungkinan terkucilkan oleh keluarga yang lain, adanya proses komunikasi yang kurang harmonis serta silaturrahmi yang agak merenggang yang kondisi tersebut berbeda dengan biasanya. Dalam observasi berikutnya, peneliti memperoleh temuan tentang beberapa keluarga yang gagal dalam e-cang pancang, temuan tersebut didasarkan pada hasil
95
KH. Alif Madani, wawancara, (Prajjan, 20 Oktober 2007).
wawancara dengan KH. Hamdan Badri, yang mana beliau mengungkapkan bahwa bukan beliau saja yang kurang setuju terhadap fenomena e-cang pancang. Temuan peneliti tersebut mengungkap bahwa terdapat beberapa keluarga yang dalam hal ini orang tua dan anak yang kurang setuju terhadap fenomena e-cang pancang, yang mana dari berbagai ungkapan wawancara bersama peneliti, mereka mengungkapkan hal yang tidak berbeda dari apa yang telah diungkapkan oleh kiai Alif Madani. Salah satu dari informan lain yang juga sepakat dengan apa yang dikatakan oleh kiai Alif Madani adalah Ust. H. Moh. Anwar Fajri, dia mengatakan bahwa e-cang pancang cenderung membuat anak tidak mampu berkembang sesuai dengan pandangan dan cita-cita hidupnya, oleh karena itu sebagai orang tua menurut Ust. H. Moh. Anwar Fajri hendaklah bersifat demokratis terhadap anak, orang tua hanya punya hak untuk mengarahkan yang baik, bukan memaksanya. Data tersebut dapat peneliti perjelas melalui kutipan berikut : "Na' naka' j ' sampe' epaksah akabih b n oreng se ta' kenal ben ta' ekasennengih, na' kana' mon epaksah, makah ta' b gus, saterrosah na' kana' n ta' kerah maju ben berkembang ".96 (Seorang anak itu jangan di paksa untuk melakukan pernikahan dengan orang yang dia tidak tahu dan tidak suka, kalau dipaksakan kepada anak, sungguh hal itu tidak baik, di masa yang akan datang anak tidak bisa berkembang dan maju). Selain itu temuan peneliti yang lain adalah adanya bukti bahwa sudah pernah terjadi pada beberapa keluarga dalam hal ini orang tua dan anak yang tidak setuju adanya e-cang pancang. Dampak yang timbul terhadap hal ini adalah berbagai hal yang terkait dengan hubungan silaturrahmi diantara keluarga besar. Temuan peneliti yang lain sebagai pendukung paparan data ini adalah adanya orang tua yang setuju
96
H. Moh. Anwar Fajri, wawancara, (Prajjan, 13 Nopember 2007)
terhadap e-cang pancang, yang mana antar orang tua sudah bersepakat akan menikahkan anaknya nantinya kalau mereka sudah sama-sama dewasa, namun ketika anak tersebut sudah dewasa ternyata mereka memiliki pemahaman yang berbeda dengan apa yang telah direncanakan oleh orang tua masing-masing. Terdapat juga realitas e-cang pancang yang terpaksa harus dilaksanakan oleh sang anak karena antar orang tua sudah saling malu. Dalam obeservasi peneliti, adanya fenomena keterpaksaan untuk melakukan pernikahan, menurut para informan yang kurang sepakat terhadap fenomena tersebut, mereka khawatir bahwa keadaan tersebut berakibat tidak baik bagi masa depan anak nantinya. Barangkali e-cang pancang tidak apa-apa untuk dilakukan apabila antar orang tua dan anak sudah saling setuju terhadap pernikahan yang akan dilakukan. Beralih dari paparan data tersebut di atas, peneliti di sini mencoba mencari data tentang bagaimana kehidupan dari pelaku e-cang pancang itu sendiri. Dalam observasi peneliti, terdapat beberapa keluarga yang telah melakukan proses e-cang pancang, yang mana dalam kajian ini peneliti hanya mengambil informan sebagai sampel. Salah satu informan tersebut adalah KH. Muzakki, dalam wawancaranya dengan peneliti terkait dengan bagaimana pendapatnya tentang e-cang pancang serta kehidupan yang beliau jalani sampai saat ini. Secara nyata hasil dari wawancara tersebut menunjukkan bahwa KH. Muzakki cukup setuju terhadap realitas e-cang pancang. KH. Muzakki setuju karena beliau mendasarkan pada perintah orang tua yang menghendaki untuk menikah melalui proses e-cang pancang, selain itu orang tuanya pernah mengatakan, sebagaimana peneliti kutip berikut ini :
"Na', settong tang pangat rro dhe' be'en, la pola areah tang permintaan se paleng penting mulaeh sengko' mulaeh alahirragi be'en, arab t be'en ben masakolaagi be'en kalaben ab nteng tolang, sampe' be'en la raj h enga' areah. Sengko' na..' t rro ma'le be'en atoro' apah se e kasajj h sengko', ye.. areah akabin moso oreng se la d ddih pelenah ibu molaeh be'en gi' kene".97 (Nak, ada satu keinginan Ibu kepadamu, yang barangkali ini adalah permintaanku yang paling penting semenjak aku mulai melahirkanmu, merawatmu dan menyekolahkanmu dengan susah payah, hingga kamu besar seperti saat ini. Ibu ingin agar kamu mau menuruti permintaanku, yaitu menikah dengan orang yang sudah menjadi pilihan ibu semenjak kamu masih kecil). Kutipan wawancara di atas, menjadikan KH. Muzakki mau melaksanakan pernikahan seperti yang di kehendaki orang tuanya. Beliau berfikir bahwa betapa pentingnya ketaatan seorang anak terhadap orang tuanya, karena bila menolak KH. Muzakki berfikir bahwa dirinya takut dikatakan sebagai anak yang durhaka atau tidak mau balas budi terhadap pengorbanan dan perjuangan orang tuanya. Setelah peneliti dapatkan data mengenai alasan KH. Muzakki mau melaksanakan proses pernikahan atas dasar pilihan orang tuanya atau e-cang pancang, selanjutnya peneliti menggali data terkait dengan kehidupan beliau saat ini, yaitu kehidupan yang didasarkan pada pernikahan melalui proses e-cang pancang. Dalam wawancara dengan peneliti, beliau mengakui bahwa kehidupan yang beliau jalani saat ini cukup bahagia, bahkan dari hasil pernikahannya beliau dikaruniai dua orang anak yang saat ini telah beumur 7 tahun. Diakui juga bahwa beliau juga mencintai dan menyayangi istrinya. Selain KH. Muzakki, peneliti juga mengkaji penelitinnya secara matang dengan cara melakukan perbandingan antara informan yang pertama dengan informan berikutnya dalam paradigma yang sama, sehingga peneliti melakukan penggalian
97
KH. Muzakki, wawancara, (Prajjan, 02 Nopember 2007).
data lanjutan melalui wawancara dengan KH. Moh. Ihya. Senada dengan apa yang dikatakan oleh KH. Muzakki, beliau mendasarkan pernikahannya pada ketaatan dan kepatuhan terhadap orang tuanya. Walaupun istrinya yang sekarang adalah pilihan orang tuanya, KH. Moh. Ihya mengaku bahagia dan merasa tenang dalam menjalani kehidupannya sekarang. Data tersebut peneliti pertegas melalui wawancara bersama KH. Moh Jailani, beliau mengungkapkan hal yang sebenarnya tidak berbeda dengan apa yang telah disampaikan oleh dua kiai di atas. Hanya saja KH. Moh Jailani lebih mengungkapkan bahwa hakikat dari pernikahan itu sendiri untuk mencapai kehidupan yang tenang, tentram dan bahagia. Sebagaimana dikatakan dalam AlQur an Surat Ar-Ruum ayat 21.
Arrtinya: "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir."98
Jadi walaupun pernikahan tersebut adalah hasil dari pilihan orang tua, asalkan didalamnya tidak ada unsur paksaan, hal tersebut tidak menjadi masalah.99 Beberapa data tersebut di atas menunjukkan bahwa para pelaku pernikahan melalui proses ecang pancang mengakui bahwa pernikahan yang mereka lakukan tidak memiliki kendala dan permasalahan apapun.
98 99
QS. Ar-Ruum (30): 21. KH. Moh. Jailani, wawancara, (Prajjan, 12 Nopember 2007).
C. Dampak Kegagalan E-Cang Pancang terhadap Ikatan Keluarga Kiai Hasil observasi peneliti mengenai dampak kegagalan e-cang pancang mendasarkan pada sebuah teori sosial bahwa salah satu ciri dari sebuah masyarakat adalah adanya nilai-nilai yang dianggap penting untuk dipedomani, tentunya nilainilai tersebut merupakan warisan dari generasi ke generasi. Dalam konteks penelitian ini nilai-nilai yang di maksud adalah kebiasaan e-cang pancang, sebuah kebiasaan yang dianggap oleh keluarga kiai Prajjan sebagai sebuah nilai penting yang harus di pedomani, barangkali jika nilai-nilai tersebut di langgar atau adanya ketidaksetujuan karena alasan-alasan tertentu, maka terdapat sanksi-sanksi sosial bagi para pelanggar tersebut. Paparan data tersebut peneliti dasarkan pada adanya sebuah sistem nilai yang dilanggar oleh salah satu anggota masyarakat keluarga kiai Prajjan yaitu kebiasaan ecang pancang yang kurang atau tidak disetujui. Adanya sebuah kegagalan bagi anggota keluarga berdampak pada beberapa segi kehidupan, segi kehidupan tersebut meliputi : 1. Dampak Hubungan Sosial Dari segi sosial, kegagalan e-cang pancang memiliki dampak
yang sangat
penting. Dalam paparan ini dapat peneliti ungkapkan bahwa realitas e-cang pancang merupakan bagian tak terpisahkan dari keluarga kiai Prajjan, disisi lain keberadaan ecang
pancang
telah
membuktikan
mampu
menjadi
alat
mujarab
untuk
mempertahankan dan memperkokoh kekerabatan diantara keluarga kiai Prajjan. Eksistensi tersebut seolah tidak boleh dilanggar atau hampir-hampir menjadi hukum mutlak bagi keberadaan masyarakat tersebut. Sebagian besar dari masyarakat dalam keluarga kiai Prajjan sendiri mengakui bahwa e-cang pancang merupakan proses
turun temenurun yang memiliki nilai positif bagi keberlanjutan generasi yang akan datang, sebagian besar dari mereka juga meyakini bahwa dengan proses e-cang pancang telah diperoleh keturunan-keturunan yang baik seperti selama ini. Hasil observasi peneliti tersebut di atas, selanjutnya peneliti perkuat dengan hasil wawancara dengan salah satu kiai dari keluarga desa Prajjan. Beliau adalah KH. Alif Madani. Sang kiai mengungkapkan bahwa e-cang pancang merupakan bagian penting dari keberadaan keluarga kiai Prajjan, hingga sang kiai mengungkapkan bahwa apabila terdapat kegagalan dalam proses e-cang pancang antar keluarga, maka akan terdapat dampak yang cukup berarti. Dampak-dampak yang dimaksudkan oleh KH. Alif Madani meliputi; a. Pertama, adanya keengganan untuk saling menyapa atau mengenal jika mereka bertemu. b. Kedua, dalam pertemuan bersama satu forum diantara keluarga yang gagal melakukan proses e-cang pancang tersebut saling menghindar seolah terdapat kebencian dan permusuhan. c. Ketiga, adanya ketidakmauan untuk menghadiri undangan diantara satu sama lain. d. Keempat, keengganan memberikan bantuan dalam berbagai bantuan yang dibutuhkan, baik secara material maupun tenaga. Kutipan wawancara tersebut sebagai berikut : "B dh h le' p ngaro-p ngaroh se' e gr ssah, settong contoh se sengko' katela', ye..padh h ta' nyapah, mon kat mmon dh l m acara umum, jarang kat moh saleng maj u, yeh ta' taoh apah ken todhus (songkan) otab h paj t andh ' kat mmo, t rros jarang dh t ng mon b dh h acara-acara se sifatth h
kakaloargaan, akanthah mantan, khitanan, slam th n. Pole mon epentaeh tolong, semisal mab cce' roma s ngkah se dh t ngah ab rri' b ntoan..."100 (Ada dik dampak-dampak yang terasa, seperti yang selama ini saya lihat, ya antara lain adanya saling tidak menyapa diantara mereka, kalau bertemu di acara-acara umum mereka jarang bertemu atau kalau bertemu saling menghindar, entah karena malu atau memang tidak mau bertemu terus mereka juga jarang mau menghadiri acara-acara yang sifatnya kekeluargaan, misalnya pernikahan, khitanan, tasyakuran juga kalau dimintai bantuan misalnya memperbaiki rumah, enggan mereka datang memberi bantuan). Proses-proses konflik tersebut di atas merupakan fenomena yang biasa muncul ketika terdapat kegagalan dalam proses e-cang pancang antar keluarga. Masingmasing diantara keluarga yang berkonflik sebenarnya sudah saling menyadari bahwa hal tersebut tidak baik untuk dilakukan, namun karena kurangnya pemahaman serta kesadaran untuk mengurangi terjadinya konflik, sehingga fenomena tersebut di biarkan begitu saja. Beberapa sesepuh yang ada juga menyaksikan hal tersebut, namun dalam perjalanan waktu konflik tersebut masih terjadi. 2. Dampak Hubungan Ekonomi Hasil observasi peneliti menunjukkan bahwa kegagalan e-cang pancang juga berdampak pada segi ekonomi. Secara umum kehidupan ekonomi keluarga kiai Prajjan boleh dikatakan cukup homogen, artinya jarak antara yang kaya dengan yang miskin tidak begitu senjang. Karena aspek-aspek yang terkait dengan perekonomian dalam keluarga kiai Prajjan di bagi dengan cukup merata, sehingga apabila terdapat pekerjaan maupun peluang bisnis yang lain, maka yang terlibat di dalamnya adalah anggota keluarga kiai Prajjan itu sendiri, baik dalam hal mengurusi sawah, tambak, perdagangan maupun bisnis-bisnis yang lain. Dalam wawancara peneliti dengan H. Badrut Tamam, seorang Kepala Desa masyarakat di daerah setempat, beliau
100
KH. Alif Madani, wawancara, (Prajjan, 20 Oktober 2007).
mengatakan bahwa kehidupan keluarga kiai Prajjan secara ekonomi memang sangat makmur, karena pembagian wilayah garapan dalam hal ekonomi memang cukup adil dan merata. Dalam konteks penelitian ini, yaitu tentang e-cang pancang kondisi tersebut di atas berubah, perubahan dari segi ekonomi tersebut diakibatkan karena adanya anggota keluarga yang gagal dalam e-cang pancang, sehingga kegagalan tersebut berdampak pada adanya keengganan diantara anggota keluarga untuk melibatkan anggota keluarga yang lain yang gagal dalam e-cang pancang. Kondisi tersebut di atas mengawali adanya sistem perekonomian dalam keluarga kiai Prajjan tidak lagi secara utuh dikelola bersama dan merata, diantara mereka ada kecendrungan untuk tidak melibatkan yang lain, khususnya yang gagal dalam e-cang pancang. Hasil wawancara lanjutan oleh peneliti terhadap H. Badrut Tamam, membuktikan bahwa adanya permasalahan dalam hal perekonomian di keluarga kiai Prajjan memang terkait dengan adanya kegagalan antar keluarga dalam e-cang pancang. Hasil kutipan wawancara peneliti sebagai berikut : "Lakar b dh nah masalah ekonomi ta' lepas dh ri sala settongah masalah burungah antar kaloarga dh l m e-cang pancang, mungkin mon ta' d ddih, makah antar kaloarga se atokaran padh h ta' kerah ngalamih masalah dh l m ekonominah "101 (Memang adanya permasalahan ekonomi tidak terlepas dari adanya kegagalan antar keluarga dalam e-cang pancang, barangkali kalau hal tersebut tidak terjadi, maka antar keluarga yang berkonflik juga tidak mengalami permasalahan dalam hal ekonomi) Data tersebut peneliti perkuat dengan melakukan wawancara kepada KH. Mustajib yang merupakan sesepuh Desa Prajjan, apa yang beliau sampaikan tidak berbeda dengan apa yang di sampaikan oleh H. Badrut Tamam bahwa secara umum 101
H. Badrut Tamam, wawancara, (Prajjan, 10 Oktober 2007).
perekonomian keluarga kiai Prajjan memang bagus ketika itu, namun untuk saat ini menurut KH. Mustajib cenderung bermasalah, permasalah tersebut terletak pada sudah tidak adanya lagi kekompakan dan kebersamaan dalam mengelola aset keluarga kiai Prajjan. Untuk saat ini beberapa anggota keluarga kiai Prajjan yang memiliki masalah dengan e-cang pancang cenderung melibatkan orang lain diluar keluarga kiai Prajjan dalam mengelola perekonomiannya, hal tersebut dilakukan dengan alasan adanya konflik antar keluarga. KH. Mustajib juga menambahkan bahwa sebab-sebab terjadinya perubahan hidup dari segi perekonomian, juga diakibatkan karena sudah banyaknya anggota keluarga kiai Prajjan yang mengurusi prekonomian di dalamnya, disisi lain masih menurut KH. Mustajib, bahwa adanya sebagian anggota keluarga yang senang merantau ke daerah lain juga berdampak pada adanya perubahan dalam hal ekonomi,102 dimana anggota-anggota keluarga tersebut enggan mengurusi aset keluarga besar kiai Prajjan dengan alasan tidak lebih baik dari pada merantau.
D. Proses Sosiologis Dampak Kegagalan E-Cang Pancang terhadap Ikatan Keluarga Kiai Berdasarkan pada hasil observasi peneliti dalam konteks penelitian ini, proses sosiologis yang dimaksud adalah sebuah proses kehidupan sosial yang terjadi pada keluarga kiai Prajjan yang di dalamnya mengandung adanya dampak kegagalan ecang pancang. Proses sosiologis itu sendiri peneliti dasarkan pada adanya hubunganhubungan, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang jelas bahwa temuan
102
KH. Mustajib, wawancara, (Prajjan: 01 Nopember 2007).
peneliti menunjukkan bahwa ikatan keluarga kiai Prajjan memiliki bentuk ikatan yang cukup kental dan homogen. Untuk lebih memperkuat data penelitian ini, dalam konteks proses sosial, maka peneliti berusaha mencari data pendukung melalui wawancara dengan Bapak H. Syaiful Amin selaku tokoh masyarakat yang cukup memahami proses sosial masyarakat keluarga kiai Prajjan dalam konteks kegagalan e-cang pancang. Hasil wawancara tersebut menunjukkan pada adanya beberapa temuan penting peneliti a. Pertama, bahwa proses sosial atau hubungan-hubungan sosial keluarga kiai Prajjan memang cukup kuat proses tersebut memang terjadi sejak dari generasi ke generasi. b. Kedua, keluarga kiai Prajjan sejak dulu memang mampu mempertahankan nilai-nilai kemasyarakatan yang di pedomani bersama yang dalam konteks ini adalah kebiasaan e-cang pancang. c. Ketiga, secara umum keluarga kiai Prajjan benar-benar ingin agar kualitas dan mutu keluarga benar-benar seperti bentuk-bentuk keluarga yang saat ini ada atau lebih baik dengan cara selalu menjaga ikatan perkawinan dan keturunan. d. Keempat, ungkapan Bapak H. Syaiful Amin yang peneliti anggap penting adalah bahwa keluarga kiai Prajjan dianggap sebagai keluarga yang sangat harmonis, proses-proses sosial didalamnya berjalan dengan baik tanpa adanya masalah-masalah yang cukup prinsip. Menurut Bapak H. Syaiful Amin keadaan seperti itu karena adanya upaya-upaya penting yang telah dilakukan oleh keluarga kiai Prajjan dalam menjaga harmonisasai atau proses sosial yang baik.
Paparan data-data tersebut peneliti lanjutkan dengan mencari jawaban mengenai perbedaan-perbedaan proses sosial pada masa lalu dan sekarang. Sesuai hasil wawancara peneliti, Bapak H. Syaiful Amin mengatakan bahwa terdapat perbedaanperbedaan yang cukup signifikan, utamanya dalam konteks adanya kegagalan yang cukup berarti terhadap e-cang pancang untuk saat ini. Sebagaimana jawaban Bapak H. Syaiful Amin sebagai informan, perbedaan-perbedaan tersebut meliputi beberapa hal, diantaranya : 1. Proses sosial yang tidak lagi homogon dan kental seperti zaman dulu, untuk saat ini cenderung mengalami perubahan. Informan mengatakan bahwa perubahan tersebut terjadi karena adanya perubahan dan perjalanan waktu 2. Dari segi pendidikan dan ekonomi, masing-masing anggota keluarga Kiai Prajjan labih dinamis dan berbeda, kondisi seperti ini cukup berbeda dengan masa lalu, yang mana dari segi pendidikan dan ekonomi, hampir boleh dikatakan semuanya sama, perbedaan-perbedaannya tidak terlalu signifikan. Namun untuk saat ini antara anggota keluarga cenderung memilki pandangan hidup sendiri-sendiri untuk menata masa depannya, tidak lagi mendasarkan pada keluarga besar atau ungkapan-ungkapan yang dikatakan oleh para sesepuh. 3. Adanya beberapa proses perkawinan yang tidak lagi mendasarkan pada kebiasaan e-cang pancang. Beberapa anggota keluarga kiai Prajjan untuk menikahkan anaknya lebih didasarkan pada pilihan anak itu sendiri, beberapa orang tua sudah tidak lagi mencampuri keinginan serta cita-cita anak untuk memilih pasangannnya, asalkan tidak bertentangan dengan keluarga. Kondisi
seperti tersebut cukup berbeda dengan masa lalu, dimana kebiasaan e-cang pancang adalah bagian penting dari keluarga kiai Prajjan.103 Menurut Bapak H. Nasir yang juga tokoh masyarakat, dia mengatakan bahwa perubahan dan perbedaan proses sosial keluarga kiai Prajjan terjadi akibat adanya pemahaman hidup yang berubah dari masa lalu menuju masa sekarang dan masa yang akan datang, yang mana hal tersebut terjadi karena adanya proses pendidikan dan ilmu pengetahuan. 104 Artinya bahwa seiring dengan adanya pendidikan dan ilmu pengetahuan yang mereka peroleh, baik dari lembaga formal maupun non formal, hal tersebut mempengaruhi terhadap kebiasaan-kebiasaan keluarga kiai Prajjan. Perubahan tersebut dipercepat oleh adanya beberapa anggota keluarga kiai Prajjan yang merantau, baik untuk tujuan pendidikan maupun pekerjaan. Selanjutnya anggota-anggota keluarga tersebut setelah sukses di daerah perantauan mereka pulang. Kepulangan mereka inilah yang mempercepat adanya perubahan pada keluarga besar kiai Prajjan. Karena mereka membawa pemahaman dan budaya baru dari daerah rantauan.
E. Proses Harmonisasi Pasca Kegagalan E-Cang Pancang Proses sosial dari kegagalan e-cang pancang memang cukup memiliki perubahan penting pada keluarga kiai Prajjan. Yang tentunya hal tersebut berbeda dengan keadaan masa lalu. Setidak-tidaknya adanya kegagalan e-cang pancang pada beberapa anggota keluarga kiai Prajjan menyebabkan adanya pola-pola hidup yang juga berubah. Hasil observasi peneliti menjadi temuan penting terkait dengan
103 104
H. Syaiful Amin, wawancara, (Prajjan, 28 Desember 2007) H. Nasir, wawancara, (Prajjan, 27 Desember 2007).
fenomena baru dalam paradigma perubahan yang terjadi. Sebelum peneliti mengkaji secara mendalam hasil wawancaranya, maka perlu peneliti paparkan mengenai hasil observasi mendalam terkait dengan kehidupan keluarga kiai prajjan dalam konteks kegagalan e-cang pancang menuju proses harmonisasi. Dalam sebuah kehidupan masyarakat, adanya sebuah sistem nilai yang gagal dilaksanakan oleh anggotanya tidak selamanya menjadi penyebab bagi kegagalan komunikasi atau dalam konteks penelitian ini adalah proses harmonisasi. Dalam konteks ini pula beberapa anggota kiai Prajjan tidak menghendaki adanya hubungan yang tidak harmonis akibat dari gagalnya kebiasaan e-cang pancang, walaupun sebenarnya menurut mereka melakukan proses harmonisasi bukanlah hal yang mudah, namun bagi mereka yang sadar akan pentingnya kekokohan kekerabatan, proses harmonisasi tersebut harus benar-benar di tempuh. Wawancara peneliti dengan KH. Moh Jailani menunjukkan bahwa dalam proses harmonisasi perlu adanya pihak-pihak yang saling menyadari kelemahan dan kekurangannya masingmasing, tidak hanya mencari kesalahan dan kekurangan orang lain. Jika masingmasing anggota keluarga mampu dan mau menyadari, maka proses harmonisasi adalah sesuatu yang sangat mudah dilakukan. Sebagaimana kutipan berikut ini : "ye.. se' ebutoagih sateyah kesadaran antar sa bh l n, ajiyah mon pas t rros dh ' iy h, ngala' kar bb h dibi', ta' andh ' ngab s kab dh ' n, y repot kaloarga bisa rukun, lla dinahla j ' lakoh nyareh kesalannah ben kakorangannah oreng laen, se penting kita nyadareh kesalannah ben kakorangannah kita. Insya Alloh b gus mon dh 'iy h".105 (Dibutuhkan adanya kesadaran bagi keluarga-keluarga itu, kalau terus kayak gitu, minta menangnya sendiri, tidak mau melihat dirinya sendiri, ya sulit keluarga akan bersatu, sudahlah jangan hanya mencari kesalahan dan kekurangan orang lain, yang penting diri kita ini menyadari kesalahan dan kekurangan kita. Insya Allah baik kalau seperti itu). 105
KH. Moh. Jailani, wawancara, (Prajjan, 12 Nopember 2007).
Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bahwa proses harmonisasi akan terjadi manakala masing-masing anggota keluarga memiliki kesadaran yang tinggi terhadap diri masing-masing. Barangkali proses tersebut tidak serta merta dengan mudah terjadi pada masing-masing anggota keluarga yang gagal dalam e-cang pancang. Hasil observasi peneliti menunjukkan adanya beberapa anggota keluarga yang merasa bahwa keadaan tidak harmonis mereka biarkan begitu saja, tanpa adanya proses yang mengarah kepada perubahan yang lebih baik. Seperti dalam wawancara peneliti dengan seorang anggota keluarga yang namanya tidak mau di sebut, beliau mengatakan bahwa apa yang terjadi akibat kegagalan e-cang pancang adalah proses yang wajar, beliau mengatakan bahwa itu adalah sanksi yang harus dijadikan pelajaran, karena beliau menganggap bahwa e-cang pancang adalah kebiasaan yang memiliki nilai dalam keluarga kiai Prajjan. Oleh karena itu apabila hal tersebut dilanggar atau bermasalah bagi para anggota keluarga kiai Prajjan, maka wajarlah kalau hal-hal yang sifatnya konflik terjadi di dalamnya. Untuk memperkuat data tersebut, berikut peneliti kutip hasil wawancara dengan informan : "enga' ajiyah la biasah, ta' osa e-j paraj h, enga' ajiyah kan kabiasanah e dinna', mon e langgar y ..akibatth h enga' ajiyah lah, ajiyah enga' okomon se pas d ddih karnah b dh nah kabiasaan se elanggar, b n pole ajiyah bisah d ddih pelajaran b n pringath n dh ' se laen".106 (Biasalah hal itu, tidak usah terlalu dibesar-besarkan, itu kan kebiasaan di sini, kalaupun dilanggar ya akibatnya seperti itu, itu kan seperti hukuman yang terjadi akibat adanya kebiasaan yang dilanggar, itu juga bisa menjadi pelajaran bagi yang lain). Untuk memperdalam hasil penelitian ini, peneliti melanjutkan wawancaranya dengan KH. Hamdan Badri, terkait dengan adanya harmonisasi yang terganggu akibat adanya kegagalan e-cang pancang, beliau sangat tidak setuju terhadap kondisi 106
KH. Moh. Jailani, wawancara, (Prajjan, 12 Nopember 2007).
seperti itu, menurutnya harmonisasi dan kekokohan keluarga harus menjadi ciri utama bagi keluarga kiai Prajjan. Persatuan dan kesatuan itu tidak boleh cacat akibat masalah kegagalan e-cang pancang. Masih menurut KH. Hamdan Badri, beliau menambahkan bahwa memang e-cang pancang adalah bagian dari kebiasaan keluarga, namun ketika dalam perjalanannya mengalami permasalahan, maka tidak boleh hal tersebut mengorbankan keutuhan keluarga kiai Prajjan. Untuk itu sang kiai menyarankan agar adanya permasalahan e-cang pancang tidak berakibat pada adanya ancaman terhadap keutuhan keluarga. Secara khusus KH. Hamdan Badri memberikan alternatif-alternatif solusi, di antaranya:107 1. Pertama, bagi keluarga yang mengalami masalah dalam e-cang pancang perlu saling menyadari antar keduanya. 2. Kedua, para sesepuh keluarga hendaknya sering melakukan pertemuan keluarga, agar permasalahan-permasalahan yang terpendam dapat diselesaikan dengan baik. 3. Ketiga, masing-masing anggota keluarga perlu secara rutin melakukan silaturrahmi antar keluarga. Selanjutnya peneliti melakukan observasi terhadap beberapa keluarga yang mengalami kegagalan e-cang pancang. Salah satu kepala keluarga KH. Moh. Salim (Nama Samaran) mengaku bahwa mereka mengalami kegagalan dalam e-cang pancang. Kegagalan tersebut di akibatkan karena anaknya benar-benar tidak mau untuk di jodohkan dengan pilihan orang tua. Oleh karena itu orang tua sendiri tidak memaksa kehendak sang anak, karena jika dipaksa, hal tersebut akan berdampak tidak baik bagi anak. Sedangkan keluarga mantan calon pengantin perempuan sudah 107
KH. Hamdan Badri, wawancara, (Prajjan, 31 Nopember 2007).
merasa cocok, selain itu keluarga ini juga sudah menunggu lama mulai mantan calon pengantin laki-laki masih kecil. Fenomena tersebut diakui oleh KH. Moh. Salim (nama samaran) sebagai pemicu adanya keretakan di antara mereka. Namun bagi KH. Moh. Salim (nama samaran) menyadari bahwa sesungguhnya hal tersebut tidak boleh terjadi, beliau beralasan bahwa mana mungkin orang tua memaksa anaknya untuk urusan memilih pasangan hidupnya, sedangkan sang anak sudah memiliki pilihan sendiri, selain itu sang anak juga memiliki pandangan hidup yang jelas berbeda dengan orang tuanya di tambah lagi dengan kapasitas pendidikan dan ilmu pengetahuan yang juga berbeda. Terdapat beberapa temuan penting peneliti terkait dengan kondisi di atas, temuan tersebut peneliti dasarkan pada hasil wawancara dengan KH. Moh. Salim (nama samaran). Beberapa temuan yang dimaksud adalah perlu adanya pemahaman yang mendalam bagi orang tua untuk mengerti tentang seorang anak secara obyektif khususnya menyangkut masa depannya. Untuk keluarga KH. Moh. Salim (nama samaran) memang mengalami kegagalan dalam e-cang pancang, namun beliau punya pengganti dari seorang anak yang tidak mau di kawinkan tadi yang anak tersebut juga putra dari KH. Moh. Salim (nama samaran), sehingga hal ini tidak terlalu mempengaruhi harmonisasi keluarga. Data tersebut di atas menunjukkan bahwa proses harmonisasi dalam keluarga kiai Prajjan dapat terus kokoh dengan cara adanya kesadaran dan pemahaman dari masing-masing keluarga disisi lain terdapat strategi-strategi harmonisasi seperti yang telah dilakukan oleh KH. Moh. Salim (nama samaran).
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan paparan dan analisis data yang telah dikemukakan di atas, maka sebagai akhir pembahasan peneliti akan memberikan kesimpulan sebagai berikut: 1. Kegagalan e-cang pancang memiliki dampak yang penting bagi ikatan keluarga kiai Prajjan, dampak-dampak tersebut antara lain, Pertama adanya kemungkinan dikucilkan oleh keluarga yang lain. Kedua, adanya hubungan yang tidak harmonis diantara keluarga yang terlibat dalam rencana pernikahan e-cang pancang. Dampak tersebut terjadi karena kebiasaan e-cang pancang merupakan warisan nilai yang berharga dari leluhur yang jika dilanggar akan berdampak negatif, selain itu e-cang pancang diakui mampu membentuk ikatan keluarga yang kokoh dan harmonis, dihasilkannya keturunan-keturunan yang berkualitas
karena masih dalam satu garis keturunan serta bentuk mempertahankan warisan para sesepuh. 2. Akibat adanya kegagalan dalam proses e-cang pancang, maka terdapat beberapa bentuk konflik yang terjadi didalamnya. Bentuk-bentuk konflik tersebut adalah apabila bertemu di jalan, diantara yang berkonflik enggan untuk bertegur sapa, apabila berada dalam satu forum pertemuan diantara yang berkonflik cenderung untuk saling menghindar, apabila diantara mereka mengadakan sebuah acara, masing-masing cenderung untuk tidak hadir dalam acara tersebut, baik acara tasyakuran, khitanan maupun pernikahan. Dan apabila di antara yang berkonflik tersebut dimintai bantuan, baik berupa tenaga maupun harta benda mereka selalu beralasan yang lain. Keadaan tersebut terjadi akibat adanya rasa malu karena rencana pernikahan melalui proses e-cang pancang gagal dilaksanakan di antara mereka. Adapun yang menyebabkan gagalnya e-cang pancang karena beberapa hal sebagai berikut : a. Seorang anak tidak menyukai pilihan orang tuanya, karena tidak sesuai dengan pilihannya, baik dari segi lahir maupun bathin. b. Seorang anak sudah memiliki pilihannya sendiri c. Adanya pemahaman pendidikan serta ilmu pengetahuan seorang anak, sehingga dia tidak menghendaki proses e-cang pancang d. Adanya pembatalan dari salah satu orang tua yang pernah mengadakan perjanjian, pembatalan tersebut karena beberapa hal, baik karena keadaan, kondisi sang anak maupun adanya rencana yang lain. 3. Keretakan keluarga kiai Prajjan diperbaiki melalui beberapa proses, diantaranya adalah Pertama, dibutuhkan adanya saling menyadari dan memahami di antara
yang berkonflik. Kedua, apabila e-cang pancang gagal karena alasan seorang anak tidak mau dinikahkan atas dasar pilihan orang tuanya, maka orang tua bisa menggantikannya dengan anak yang lain yang masih satu keluarga, baik adik maupun kakak dari anak yang tidak mau dinikahkan melalui e-cang pancang. Ketiga, perlu adanya peningkatan dalam hal silaturrahmi antar keluarga, utamanya bagi yang berkonflik. Keempat adanya peranan para sesepuh yang termasuk dalam satu ikatan keluarga, peranan tersebut dalam bentuk melakukan harmonisasi kepada pihak pihak yang berkonflik, baik dengan adanya saran maupun pertemuan-pertemuan yang sifatnya silaturrahmi.
B. Saran-saran Berangkat dari kajian serta temuan peneliti mengenai beberapa hal yang terkait dengan kebiasaan e-cang pancang pada keluarga kiai Prajjan, maka peneliti memberikan saran-saran sebagai berikut : 1. Adanya kegagalan e-cang pancang dalam keluarga kiai Prajjan dapat dikurangi, apabila diantara yang berkonflik cenderung saling menyadari dan memahami berbagai hal yang terkait dengan kondisi dan pilihan seorang anak. Oleh karena itu, kepada para sesepuh hendaknya menjadi fasilitator dan pemberi semangat bagi keluarga yang lain agar konflik bisa dihindari dan dikurangi. 2. Beberapa anggota keluarga yang berkonflik, hendaknya menyadari bahwa tidak selamanya apa yang dirasakan oleh orang tua juga sama dengan apa yang dirasakan oleh seorang anak. Sehingga orang tua pun harus menyadari tentang potensi, cita-cita dan masa depan seorang anak. Selain itu harus ada kesadaran bahwa konflik hanya akan membawa pada kerugian.
3. Bagi para tokoh masyarakat, tokoh agama, serta para Ustadz yang masih dalam ikatan keluarga kiai Prajjan hendaknya peka terhadap apa yang terjadi diantara anggota keluargannya, agar harmonisasi dapat selalu dipertahankan. 4. Bagi para keluarga yang berkonflik hendaknya selalu meningkatkan tali silaturrahmi di antara keluarga-keluarga yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Sayuti (2002) Metode Penelitian Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Arikunto, Suharsimi (2002) Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Amiruddin dan Zainal Asikin (2004) Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Anselm Strauss (1997) Basic Of Qualitative Research . diterjemahkan oleh Djunaidi Ghony, Penelitian Kualitatif. Surabaya: PT Bina Ilmu. Ayyub, Syaikh Hasan (2006) Fiqh Al-Usratul Muslimah . diterjemahkan oleh M. Abdul Ghoffar, Fikih Keluarga. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. Chandra, Robby I. (1992) Konflik Dalam Kehidupan Sehari-hari. Yogyakarta: Kanisius. Dasuki, Hafidz dkk, (1999) Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Davis, K. & J. W. Newstrom, (1993) Perilaku Dalam Organisasi, (Terjemahan), Alih Bahasa Oleh Agus Dharma. Jakarta: Erlangga. Departemen Agama RI (1984) Al Quran dan Terjemahannya. Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur an. Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial. (2000) Cet. 1. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Fajri, Helman (2007) Sal p Tarjhâ: Antara Normatifitas, Mitos, dan Realitas, Skripsi. Malang: UIN Malang. Fauzi, Achmad (2003) Perkawinan Endogami di Kabupaten Pamekasan, Skripsi. Malang: UIN Malang. Hocker, Joyce L. and William W. Wilmot (1991) Interpersonal Conflik, Third Edition, Oubjuque. Lowa: Wm. C. Brown Publisher. Kamal, Muchtar (1974) Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang. Kartono, Kartini (1989) Hygiene Mental dan Kesehatan Mental Dalam Islam. Bandung: Mandar Maju.
Margono, S. (1996) Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Marijan, Cf. Kacung (1991) Respons NU Terhadap Pembangunan Politik Orde Baru dalam Jurnal Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia. Marzuki (1983) Metodologi Riset. Yogyakarta: Fakultas Ekonomi UII. Moleong, Lexy J (2002) Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. Muhadjir, Noeng (1996) Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin. Mulkhan, Amir (2001) Palagan Konflik. Yogyakarta: Forum LSM DIY. Muthmainnah (1998) Jembatan SURAMADU: Industrialisasi. Yogyakarta: LKPSM.
Respon
Ulama
Terhadap
Pruitt, Dean G. and Jeffrey Z. Rubin (2004) Social Conflict: Escalation, Stalemate, and Settlement , diterjemahkan Helly P. Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto, Teori Konflik Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Al-Qusyairi, Syarif (t.th.) Kamus Akbar Arab-Indonesia. Surabaya: Karya Ilmu. Rahmah, Naily (2003) Peran Bimbingan dan Konseling Agama dalam menanggulangi Penyimpangan Perilaku Orang Tua Akibat Tradisi Perjodohan Anak-anak Usia Dini (Studi Kasus di Desa Omben Kecamatan Omben Kabupaten Sampang), Skripsi. Surabaya: IAIN Sunan Ampel. Rahman, Holilur (2006) Peminangan Dini Dalam Perspektif Islam (Studi Kasus di Desa Arok Kecamatan Burneh Kabupaten Bangkalan), Skripsi. Malang: UIN Malang. Rakhmat, Jalaluddin dan Mukhtar Gandaatmaja (1993) Keluarga Muslim dalam Masyarakat Modern. Bandung: Remaja Rosdakarya. Ritzer, George and Douglas J. Goodman. (2004) Modern Sociological Theory , diterjemahkan Alimandan, Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana. Robbins, S. P. (1996) Perilaku Organisasi: Konsep, Kontroversi, dan Aplikasi. Jakarta: PT. Prenhallindo. Rohela (2003) Perkawinan Dibawah Umur Sebagai Hambatan Pembentukan Keluarga Sakinah, (Studi Kasus di Kecamatan Tlanakan Kabupaten Pamekasan-Madura), Skripsi. Malang: UIN Malang.
Sabiq, Sayyid (1987) Fiqhus Sunnah , diterjemahkan oleh M. Ali, Fikih Sunnah 6. Bandung: Al-Ma arif. Samheri (2005) Kompetensi Kiai Sebagai Wali Hakim Dalam Pernikahan Bawah Tangan, (Kasus di Desa Bujur Tengah Kecamatan Batumarmar Kabupaten Pamekasan), Skripsi. Malang: UIN Malang. Singarimbun, Masri dan Sofyan Effendi (1987) Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES. Sistem Kekerabatan dan Organisasi Sosial. http://id.wikipedia.org/w/index.php? title= Budaya&action=edit§ion=9. Diakses pada 25 April 2008. Soeryo, Susul Tetrabuana (2005) Manajemen Konflik Sosial. Jakarta: Restu Agung. Subaharianto, Andang dkk. (2004) Tantangan Industrialisasi Mudura: Membentur Kultur, Menjunjung Leluhur. Malang: Bayumedia Publishing. Sudjana, Nana dan Ahwal Kusumah (2000) Proposal Penelitian: di Perguruan Tinggi. Bandung: Sinar Baru Algasindo. Suherman (1999) Pengantar Managemen (Konseptual dan Perilaku). Malang: Unibraw. Umar, Husein (2000) Metode Penelitian Untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Wiyata, A. Latief (2006) Carok Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura. Yogyakarta: LKiS. Zenrif, M. F. (2006) Realitas dan Metode Penelitian Sosial Dalam Perspektif AlQur'an Teori dan Praktik. Malang: UIN Malang Press.