BAB V PENUTUP
5.1
Kesimpulan Indonesia merupakan negara pengirim tenaga kerja luar negeri sektor
informal terbesar di asia, sebagian besar tenaga kerja Indonesia dibekerja di negara-negara timur-tengah. Kuwait adalah salah satu negara favorite bagi tenaga kerja Indonesia. Adanya kesamaan latar belakang seperti faktor agama dan kebudayaan serta adanya kesempatan untuk bisa menunaikan ibadah haji atau ibadah umroh, merupakan faktor utama banyaknya tenaga kerja untuk ditempatkan disana. Besarnya jumlah tenaga kerja Indonesia yang ingin berangkat dan sudah berangkat ke negara-negara timur-tengah diiringi pula dengan banyaknya permasalahan yang terjadi dan yang menimpa tenaga kerja Indonesia disana. Masalah pada birokrasi negara, penipuan, lemahnya Undang-Undang yang mengatur ketenagakerjaan dan belum terbentuknya nota kesepahaman antara Indonesia dengan negara-negara tujuan penempatan di timur-tengah, adalah faktor penyebab terjadinya tindak human trafficking dan eksploitasi yang menimpa tenaga kerja Indonesia. Dalam bahasa yang lebih kasar nasib tenaga kerja Indonesia bisa dibilang “tereksploitasi dari hulu hingga hilir”.
Dunia internasional pun ikut berpartisipasi dalam memerangi issue kejahatan non-tradisional ini, human trafficking dan tindak kekerasan kepada buruh migrant sudah menjadi konsentrasi tersendiri di dalam PBB. Konvensi internasional pun tercipta, Chapter IV mengenai Human Right adalah bukti bahwa dunia Internasional turut melawan tindakan kekerasan terhadap buruh migran dan tindak human trafficking, berlanjut pada Chapter XVII mengenai Penal Matter yang membahas mengenai tindak melawan kejahatan transnasional yang sudah terorganisir, dalam hal ini adalah pihak-pihak yang memanfaatkan kerentanan akan perlindungan terhadap tenaga kerja. Ratifikasi yang dilakukan oleh Indonesia tidak diikuti oleh Kuwait dalam menanggapi konvensi-konvensi yang sudah ditawarkan oleh PBB, hal ini membuat esensi dan nilai-nilai yang terkandung di dalam konvensi tersebut tidak bisa menjadi dasar kedua negara dalam memberikan perlindungan terhadap tenaga kerja Indonesia yang bekerja di Kuwait. Dikarenakan pihak Kuwait belum meratifikasi beberapa konvensi yang berisikan perlawanan terhadap tindak kekerasan khususnya yang berhubungan dengan buruh migran. Tantangan Indonesia dalam melindungi tenaga kerja yang bekerja di Kuwait dilanjutkan dengan melihat hubungan bilateral mereka, sejauh ini sudah ada satu buah nota kesepahaman (Memorandum of Understanding) yang mengatur mengenenai penempatan tenaga kerja, yang ditanda tangani keduanya pada 30 May 1996 akan tetapi sampai sekarang belum terjadi revisi atau amendment apapun akan 10 article yang tercandum dalam MoU tersebut. Mengingat
banyaknya tindak eksploitasi dan rawannya praktek human trafficking terhadap tenaga kerja, seharusnya pembaruan MoU wajib dilakukan sesegera mungkin. Tuntutan
Indonesia
dalam
kepada
Kuwait
dalam
memberikan
perlindungan tenaga kerja Indonesia yang berada disana belum mencapai titik temu. Indonesia menginginkan adanya MoU yang mengatur mengenai penempatan tenaga kerja sektor informal secara khusus, dimana hal ini tidak dibahas dalam MoU yang sudah ada. Kuwait terlihat lamban dan enggan untuk memperbarui MoU yang sudah ada. Melihat akan lemahnya perlindungan yang didapatkan oleh tenaga kerja Indonesia di Kuwait, dan lamban nya kerja sama dengan Kuwait dalam membentuk MoU baru yang mengatur tenaga kerja sektor informal, membuat Indonesia
mengambil
tindakan
sepihak
dengan
memberlakukan
status
moratorium terhadap Kuwait pada akhir 2009 dan berlaku semenjak 2010. Dengan adanya status moratorium ini Indonesia melarang adanya penempatan tenaga kerjanya suatu negara, semua agen penyalur resmi (PPTKIS) dilarang untuk menyalurkan tenaga kerja Indonesia ke negara yang dikenakan status ini. Moratorium diberlakukan tidak hanya di Kuwait, akan tetapi kepada beberapa negara yang belum memiliki MoU yang mengatur mengenai penempatan tenaga kerja di bidang informal. Arab Saudi, Yoman, Suriah dan Malaysia adalah contoh lain negara yang dikenakan status moratorium oleh Indonesia. Status moratorium yang dimaksudkan untuk melindungi tenaga kerja Indonesia dari tindak human trafficking dan praktek eksploitasi tidak sepenuhnya
efektif. Banyak pihak menyatakan bahwa adanya status ini hanyalah jalan pintas bagi pemerintah Indonesia untuk lari dari masalah. Masalah yang seharusnya diselesaikan dengan cara pembenahan dari dalam negeri terlebih dahulu. Permasalahan yang timbul akibat diberlakukannya status ini bahkan semakin buruk, dikarenakan semakin maraknya agen penyalur tenaga kerja illegal yang tetap melakukan pengiriman tenaga kerja di negara-negara yang berstatus moratorium. Tentunya perlindungan bagi tenaga kerja yang berangkat melalui agen illegal tersebut tidak terdaftar secara resmi dan tidak bisa mendapatkan perlindungan apapun dari pemerintah. Pemerintah
memberlakukan status tersebut dengan tujuan untuk
melindungi tenaga kerja Indonesia, akan tetapi tidak memikirkan efek samping yang akan timbul dari adanya status tersebut. Efek samping yang dihasilkan dari adanya status tersebut menimbulkan kerugian dibanyak pihak, di sektor bisnis, sektor perekonomian negara, pemerintahan dan masyarakat Indonesia sendiri. Dengan
adanya
status
moratorium
jelas
pergerakan
di
sektor
bisnis
ketenagakerjaan akan terhenti yang berakhir banyaknya perusahaan penyalur tenaga kerja bangkrut atau berubah untuk bermain curang. Di sektor ekonomi, jelas nilai 10% pemasukan negara dari sektor ketenagakerjaan akan berkurang drastis. Di sisi pemerintah, tekanan akan timbul khususnya dari pengusaha dan calon tenaga kerja untuk segera merampungkan kesepakatan dan Undang-Undang baru, agar status moratorium bisa segara dicabut, dan yang terakhir kerugian besar bagi masyarakat adalah tertutupnya lapangan pekerjaan, keterbatasan lapangan
pekerjaan di dalam negeri adalah salah satu sebab mengapa orang memutuskan untuk bekerja di luar negeri. 5.2
Saran Penelitian ini menunjukan peran pemerintah dalam memberikan
perlindungan bagi tenaga kerja Indonesia dari tindak human trafficking dan praktek eksploitasi yang berada di Kuwait. Tindakan pemerintah dengan mengeluarkan status moratorium memang terkesan seperti mencari jalan pintas dalam menyelesaikan masalah yang sudah tertumpuk banyak, akan tetapi tindakan tersebut ada benarnya, jika dilihat dari permintaan Kuwait kepada Indonesia untuk segera kembali mengirimkan tenaga kerja untuk bekerja disana kembali. Indonesia seharusnya bisa memanfaatkan kesempatan ini untuk mendesak pemerintah Kuwait dalam membentuk nota kesepahaman (MoU) baru, yang membahas secara spesifik mengenai tenaga kerja di sektor informal. Mengingat di sektor informal lah tenaga kerja paling rawan menjadi korban eksploitasi. Pemerintah Indonesia seharusnya bisa untuk memberi usulan dimana memberikan kebijakan “Life Out”, dimana tenaga kerja Indonesia di sektor informal tidak tinggal bersama majikan disana. Jadi sang pekerja diberikan kebebasan untuk memilih, boleh untuk tinggal bersama dengan majikan dan boleh untuk tinggal tidak bersama majikan. Hal ini jelas menghindari eksploitasi yang berbentuk pengaturan jam kerja, dengan cara ini sang pekerja tidak harus bekerja lebih dari jam kerja yang sudah ditentukan. Hal ini memang terdengar cukup berat, dikarenakan karena biaya yang tidak kecil dalam membangun pemondokan
bagi para tenaga kerja ditambah adanya budaya kafil di Kuwait dan negara-negara timur-tengah, dimana budaya tersebut beranggapan jika tenaga kerja yang sudah di bayar atau mereka menyebutnya di beli maka tenaga kerja tersebut sudah menjadi milik majikan. Pemerintah Indonesia harus bisa membersihkan jalur-jalur dalam pengiriman tenaga kerja ke luar negeri, segalanya dimulai dari dalam negeri sendiri. Pembersihan akan “Sponsor” yang merusak sistem perekrutan calon tenaga kerja adalah hal utama. Pemerintah harus bisa bekerjasama dengan pihak berwajib untuk membebaskan jalur perekrutan dari pihak tersebut. Langkah selanjutnya adalah pembersihan pejabat pemerintah yang korup, karena dengan adanya pejabat pemerintah yang bisa disuap dalam mengeluarkan ijin untuk bekerja diluar negeri, contoh saat membuat sertifikat kelayakan calon tenaga kerja, padahal sang calon tenaga kerja tersebut belum menyelesaikan pelatihan sebelum keberangkatan, hal ini akan menurunkan kualitas tenaga kerja Indonesia. Karena adanya 2 hal ini, “sponsor” dan pejabat kotor, membuat keberadaan agen penyalur tenaga kerja illegal berkembang dengan mudah, karena tidak dibutuhkan prosedur yang terlewat panjang dan memakan biaya. Oleh karena itu jalur kotor seperti ini harus segera dibersihkan terlebih dahulu. Membentuk badan resmi di setiap daerah di Indonesia untuk menjadi badan pelatihan sebelum keberangkatan, dilatih dengan keterampilan khusus sesuai dengan rencana tempat penempatan dan jenis pekerjaan yang ditawarkan di tempat penempatan. Hal ini dapat membekali sang calon tenaga kerja dalam menguasai bahasa dan keterampilan dasar dalam bekerja, sopan santun dan
kedisiplinan
dalam
bekerja.
Dengan
adanya
badan
pelatihan
sebelum
keberangkatan di setiap daerah, maka akan memudahkan agen penyalur tenaga kerja dalam mengirimkan dan menjamin kualitas tenaga kerjanya. Tenaga kerja Indonesia adalah salah satu penghasil devisa terbesar untuk Indonesia, kesejahteraan mereka dalam bekerja sering tidak diperhatikan oleh pemerintah, tindak human trafficking dan praktek eksploitasi yang menimpa mereka, jadi sudah seharusnya pemerintah bertindak tegas dan tidak boleh setengah-setengah dalam memberikan perlindungan serta kesejahteraan dalam bekerja bagi seluruh tenaga kerja Indonesia.