PSIKOBORNEO, 2016, 4 (4) : 657 - 664 ISSN 2477-2674, ejournal.psikologi.fisip-unmul.ac.id © Copyright 2016
DUKUNGAN KELUARGA PADA KARYAWAN YANG MENGALAMI KECEMASAN MENJELANG MASA PENSIUN Marcelina Wulandari1
ABSTRAK Penelitian mengenai dukungan keluarga pada karyawan yang mengalami kecemasan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana dukungan keluarga dapat mempengaruhi kecemasan dalam menjelang masa pensiun. Dukungan keluarga merupakan basis utama dan terakhir ketika seseorang menjalani masa pensiun, sebagai tempat untuk kemudian mengahabiskan kesehariannya setelah keluar dari dunia kerja. Kecemasan menjelang masa pensiun adalah suatu keadaan atau perasaan tidak menyenangkan yang timbul pada individu karena khawatir dan takut akan masa depannya. Peneliti menggunakan penelitian kualitatif dengan teknik studi kasus. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan observasi dan wawancara mendalam dengan tiga subjek dan tiga informan. Hasil penelitian menunjukan bahwa pada ketiga subjek memiliki dukungan keluarga yang berbeda-beda. Pada subjek B, subjek kurang memiliki dukungan keluarga namun subjek tetap mendapat perhatian dari informan walaupun bukan perhatian penuh karena informan harus mengurus cucu sehingga perhatian informan terbagi dan subjek ingin fokus untuk merenovasi rumah sebelum memutuskan untuk mencari pekerjaan lain. Pada subjek L, mendapatkan dukungan keluarga namun subjek masih merasa cemas dan subjek tidak ingin merasa diremehkan karena istri subjek yang ingin membuka usaha sehingga ingin tetap bekerja sedangkan pada subjek GR, subjek mendapat dukungan keluarga penuh sehingga rasa cemas dapat diatasi dengan baik dan subjek ingin membuka usaha dengan informan untuk membiayai sekolah anak subjek. Kata kunci : dukungan keluarga, kecemassan menjelang masa pensiun PENDAHULUAN Sebuah data dari U.S Health dan pusat kajian peristiwa pensiun (Mo Wang, dkk., 2011), mengungkapkan bahwa selama periode 8 tahun terakhir dalam proses penyesuaian diri terhadap masa pensiun, ditemukan bahwa 70% pensiunan mengalami perubahan kesejahteraan psikologis yang minim, kemudian 25% mengalami perubahan negatif pada kesejahteraan psikologisnya selama masa 1
Mahasiswa Jurusan Psikologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman. Email:
[email protected]
PSIKOBORNEO, Volume 4, Nomor 4, 2016 : 657 - 664
transisi tersebut, dan 5% mengalami perubahan positif pada kesejahteraan psikologisnya. Dalam sebuah survey lain, disebutkan bahwa hampir 70% dari pegawai mengemukakan bahwa mereka bekerja untuk uang saja sebelum pensiun, namun seiring berjalannya waktu mereka merasa bahwa bekerja ternyata untuk menikmati pekerjaaan dan ingin tetap aktif dan terlibat dalam aktifitas (Santrock, 2006). Selain itu Holmes dan Rahe (dalam Calhoun dan Acocella, 1995) juga mengungkapkan bahwa pensiun merupakan peringkat 10 dari 37 peristiwa kehidupan dalam urutan tingkat stres. Hal tersebut menjadi sebuah fenomena dalam peristiwa pensiun pada pekerja. Diperkuat dengan pendapat Sutarto dan Cokro (2008) yang juga menyatakan pendapat serupa, bahwa pensiun merupakan stressor paling berat yang dialami pegawai atau karyawan, selain kehilangan orang yang dicintai. Masa pensiun yang dimaksud adalah seseorang dikarenakan usia yang mencapai batas, telah berhenti dari suatu pekerjaan yang biasa dilakukakannya selama puluhan tahun dan seseorang tidak lagi melakukan aktivitas produktif secara rutin dan digaji. Perubahan kondisi demikian akan memutuskan seseorang dari aktivitas rutin yang telah dilakukan selama bertahun-tahun, memutuskan jaringan sosial yang sudah terbina dengan rekan kerja dan yang terutama adalah menghilangnya identitas diri seseorang yang sudah melekat begitu lama sebagai pegawai atau karyawan. Bahkan akibat yang paling buruk pada pensiun dapat mengakibatkan depresi dan bunuh diri (Hurlock,1980). Sedangkan akibat pensiun secara fisiologis oleh Daradjat (1982) dikatakan bisa menyebabkan masalah. Secara garis besar ada tiga sikap ataupun reaksi yang umumnya dikeluarkan seseorang dalam menjelang masa pensiun, yaitu menerima, terpaksa menerima, dan menolak. Sikap penolakan terhadap masa pensiun umumnya terjadi dikarenakan yang bersangkutan tidak mau mengakui bahwa dirinya sudah harus pensiun (Isnaini, 2009). Ketika seseorang menjelang masa pensiun, hal-hal yang menjadi fokus perhatiannya adalah kebutuhan financial dan kesehatan. Memikirkan akan berhenti pada dunia kerja akan menimbulkan kecemasan pada banyak orang. Kecemasan yang terjadi, muncul karena adanya ketakutan akan ketidak tercukupinya kebutuhan-kebutuhan keluarga baik untuk kebutuhan sehari-hari, kebutuhan mendadak ataupun kebutuhan yang tidak terduga seperti salah satu anggota keluarga sakit ataupun ketika akan menyelenggarakan resepsi pernikahan putra-putrinya. Pada umumnya mereka beranggapan apabila mereka masih aktif bekerja mereka akan mendapat fasilitas-fasilitas yang dapat meringankan kebutuhan sehari-hari ataupun kebutuhan yang tidak terduga. Saat masa pensiun mereka merasa cemas sekalipun mendapatkan uang pensiun karena masih ada anggapan bahwa jumlah uang yang diterima tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya (Kuncoro, 2009). Kecemasan yang terjadi dalam masa menjelang pensiun merupakan permasalahan yang tidak main–main dan butuh penanganan yang serius. Pada saat menghadapi masa pensiun ada gejala fisiologis yang sering muncul diantaranya merasa mudah lelah ketika bekerja, jantung berdebar-debar, kepala pusing, dan terkadang mengalami gangguan tidur. 658
Dukungan Keluarga Pada Karyawan Yang Mengalami Kecemasan ... (Marcelina)
Sedangkan gejala psikologisnya seperti rendah diri, tidak dapat memusatkan perhatian, timbulnya perasaan kecewa, gelisah dan khawatir akan suatu hal yang tidak menyenangkan dan tidak jelas. Karena seseorang tidak memiliki pekerjaan tetap lagi, namun belum siap menerima kenyataan tersebut dengan segala akibatnya. Perasaan tidak menyenangkan saat menjelang pensiun tersebut akan membuat seseorang merasa tidak berarti dan kehilangan harga diri sebagai seorang kepala keluarga dalam memenuhi kebutuhan keluarga karena merasa tidak mampu lagi memperoleh pendapatan yang cukup. Seseorang yang akan memasuki masa pensiun perlu melakukan penyesuaian psikologis dan sosial (Soegino, 2000). Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Eva Diana (2006) pada karyawan PT. Semen Gresik (Persero) Tbk (2006) tercatat bahwa ada hubungan negatif yang signifikan antara dukungan sosial dengan kecemasan dalam menghadapi masa pensiun. Dimana semakin tinggi dukungan sosial maka kecemasan dalam menghadapi masa pensiun akan semakin rendah. Seseorang yang akan menghadapi masa pensiun membutuhkan dukungan keluarga untuk membantu mengurangi kecemasan dalam dirinya, dukungan yang positif berhubungan dengan kurangnya kecemasan (Garmenzy dan Rutter, 1983). Pendapat ini didukung oleh Conel (1994) menyatakan bahwa kecemasan akan rendah apabila individu memiliki dukungan sosial. Dukungan sosial tersebut didapat diperoleh dari keluarga, teman, dan atasan ( Kuncoro dan Sari 2009). Dukungan sosial mengacu pada kenyamanan, perhatian, penghargaan, atau bantuan yang diberikan orang lain atau kelompok kepada individu (Sarafino 2006). Keluarga yang memberikan dukungan emosional dengan meyakinkan bahwa ia adalah individu yang berharga, disayangi dan tidak sendiri akan membuat ia menjadi nyaman. Kerangka Dasar Teori Kecemasan Kecemasan menjelang masa pensiun menurut Wanti (2008) adalah suatu keadaan atau perasaan tidak menyenangkan yang timbul pada individu karena khawatir, binngung, tidak pasti akan masa depannya dan belum siap menerima kenyataan akan memasuki masa pensiun dengan segala akibatnya baik secara sosial, psikologis, maupun secara fisiologis. Dukungan keluarga Dukungan keluarga merupakan semua bantuan yang diberikan oleh anggota keluarga sehingga akan memberikan rasa nyaman secara fisik dan psikologis pada individu yang sedang merasa tertekan atau stress (Taylor, 2006 dalam Yusra, 2011). Metode Pengumpulan Data Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Menurut Satori dan Komariah (2014) menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang menekankan pada quality atau hal yang terpenting dari sifat suatu barang atau jasa. 659
PSIKOBORNEO, Volume 4, Nomor 4, 2016 : 657 - 664
Tipe pengumpulan data dalam penelitian kualitatif sangat beragam disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian serta objek yang diteliti. Menurut Sugiyono (2010) metode pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar data yang ditetapkan. Beberapa metode yang lazim digunakan dalam penelitian kualitatif, antara lain : wawancara, observasi, analisis karya, analisis dokumen, catatan pribadi, studi kasus, riwayat hidup dan lain sebagainya (Poerwandari, 2007). Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data secara kualitatif berupa observasi dan wawancara. 1. Observasi Menurut Syaodih (2006) observasi merupakan suatu teknik atau cara mengumpulkan data dengan jalan mengadakan pengamatan terhadap kegiatan yang sedang berlangsung. Sehingga observasi merupakan kemampuan seseorang untuk melakukan pengamatan terhadap suatu objek yang diteliti baik secara langsung maupun tidak langsung untuk memperoleh data yang harus dikumpulkan oleh peneliti. Menurut Alwasilah (2002) menjelaskan perlunya observasi dalam penelitian kualitatif, yaitu: a. Perilaku resonden secara alami sesungguhnya adalah manifestasi kode dan aturan dalam suatu budaya, bukan sekedar rutinitas kultural. Ini cenderung dianggap biasa-biasa saja terutama oleh anggota masyarakatnya sendiri. Mereka baru sadar akan kode dan aturan itu manakala dihadapkan pada peneliti dari luar budayanya sendiri. b. Tugas peneliti kualitatif adalah mengeksplisitkan aturan dan kode itu sesuai dengan konteks keterjadian tingkah laku dalam persepsi emik para responden. c. Budaya adalah pengetahuan dan pengalaman kolektif para anggotanya. Untuk berfungsi maksimal dalam suatu budaya, setiap anggota masyarakat harus mempraktekkan rutinitas budayanya sesuai dengan aturan-aturan tadi. 2. Wawancara Menurut Bungin (2011) wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab dan bertatap muka antara pewawancara dan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama. Dengan demikian, khas dari metode wawancara adalah terlibatnya dalam kehidupan informan. Menurut Berg (2007) menyebutkan tiga jenis wawancara, yaitu : a. Wawancara terstandar (standardized interview)
660
Dukungan Keluarga Pada Karyawan Yang Mengalami Kecemasan ... (Marcelina)
Wawancara terstandar (standardized interview) dalam istilah esterberg disebut dengan wawancara terstruktur (Structured interview) dan istilah patton adalah wawancara baku terbuka. Adalah wawancara dengan mebggunakan sejumlah pertanyaan yang terstandar secara baku. b. Wawancara tidak terstandar (unstardardized interview) Wawancara tidak terstandar (unstardardized interview) dalam istilah esterberg disebut dengan wawancara tidak terstruktur (unstructured interview) dan istilah patton adalah wawancara pembicaraan informal atau disebut juga wawancara tak terpimpin. Wawancara tidak terstandar adalah wawancara yang bebas dimana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan datanya. Pedoman wawancara yang digunakan hanya berupa garis besar permasalahan yang akan ditanyakan. Wawancara tidak terstandar atau terbuka, sering digunakan dalam penelitian pendahuluan atau untuk penelitian yang lebih mendalam tentang subjek yang diteliti. c. Wawancara semi standar (semistandardized interview) Wawancara semi standar (semistandardized interview) dalam istilah esterberg disebut dengan wawancara semistruktur (semistructured interview) dan istilah patton adalah wawancara bebas terpimpin (controlled interview). Pendekatan menggunakan petunjuk umum wawancara yang merupakan kombinasi wawancara terpimpin dan tidak terpimpin yang menggunakan beberapa pokok inti pertanyaan yang akan diajukan yaitu interviewer membuat garis besar pokok-pokok pembicaraan, namun dalam pelaksanaannya interviewer mengajukan pertanyaan secara bebas, pokok-pokok pertanyaan yang dirumuskan tidak perlu dipertanyakan secara berurutan dan dalam pemilihan kata-katanya juga tidak baku tetapi dimodifikasi pada saat wawancara berdasarkan situasinya. Seperti telah dijelaskan terdapat tiga jenis wawancara yang dapat diterapkan dalam sebuah penelitian, dalam hal ini peneliti memilih untuk menggunakan jenis wawancara tidak terstandar (unstardardized interview). Karena peneliti belum tahu jawaban apa yang akan diperoleh dari subjek dan jawabanjawaban dari subjek yang nantinya akan menjadi titik pengembangan pertanyaan yang akan ditindaklanjuti dalam bentuk wawancara terstruktur. Tujuan dari wawancara takterstruktur ialah memperoleh keterangan yang terperinci dalam mendalam mengenai pandangan orang lain. Hasil Penelitian dan Pembahasan Pada peneitian ini peneliti mengangkat judul mengenai dukungan keluarga pada karyawan yang mengalami keccemasan menjelang masa pensiun. Peneliti memiliki tiga subjek yaitu B, L dan GR kriteria yang menjadi subjek penelitian ini adalah seorang karyawan perusahaan yang memiliki kecemasan menjelang masa
661
PSIKOBORNEO, Volume 4, Nomor 4, 2016 : 657 - 664
pensiunnya. Ketiga subjek tersebut memiliki latar belakang yang sama yaitu karyawan swasta disalah satu perusahaan. Masa pensiun sering menimbulkan perasaan tidak berguna bagi individu yang akan memasukinya, baik di lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat. Pandangan negatif tentang pensiun menyebabkan individu cenderung menolak datangnya masa pensiun. Kecemasan pada masa pensiun sering muncul pada setiap individu yang sedang menghadapinya karena dalam menghadapi masa pensiun dalam dirinya terjadi goncangan perasaan yang begitu berat karena individu harus meninggalkan pekerjaannya. Ketakutan akan masa depan merupakan pokok dari kecemasan yang terjadi dimasa pensiun. Kecemasan seperti ini menuntut adanya dukungan sosial, terutama keluarga, dalam menyikapi dinamika perubahan dalam pola kehidupan orang tua yang akan menjalani masa pensiun, agar tercipta kehidupan yang tentram dalam rumah tangga. Menurut Wanti (2008) kecemasan menjelang masa pensiun adalah suatu keadaan atau perasaan tidak menyenangkan yang timbul pada individu karena khawatir, binngung, tidak pasti akan masa depannya dan belum siap menerima kenyataan akan memasuki masa pensiun dengan segala akibatnya baik secara sosial, psikologis, maupun secara fisiologis. Subjek B mempunyai 1 anak laki- laki dan sudah berkeluarga. Masa pensiun yang semakin dekat membuat subjek dan informan memikirkan bagaimana nantinya uang pensiun tersebut akan dikelola dengan baik. setelah renovasi rumah selesai subjek baru akan memikirkan pekerjaan apalagi yang akan subjek kerjakan setelah pensiun dan subjek juga baru akan memikirkan usaha apa yang sebaiknya dirintis oleh subjek dan informan sebagai pengganti pekerjaan subjek. Subjek memiliki rencana bila terdapat uang yang tersisa dari renovasi rumah. Subjek L mengingat masa pensiun yang semakin dekat, subjek yang tinggal berdua saja dengan informan berusaha untuk membantu informan dalam memenuhi kebutuhan keluarga nya setelah pensiun. Informan sudah memiliki rencana untuk membuka warung makan namun rencana tersebut belum disetujui oleh subjek, subjek mengungkapkan bahwa ia tidak tega jika isterinya harus mengantikan dirinya dalam mencari nafkah untuk keluarga subjek merasa bahwa hal tersebut membuat subjek merasa malu kepada keluarga dan rekan kerja subjek karena subjek merasa tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarga lagi. Sehingga subjek memutuskan setelah pensiun nanti subjek akan mencari kerja lagi. Sedangkan subjek GR yang memiliki 2 anak perempuan yang salah satunya masih berada di Sekolah Menengah Atas (SMA) merasa bingung saat memikirkan anaknya setelah lulus ingin melanjutkan sekolah atau tidak. Biaya sekolah yang semakin tinggi membuat subjek dan informan merasa takut untuk menyekolahkan anaknya kembali, terlebih uang pensiun yang nantinya akan diterima oleh subjek hanya cukup untuk melanjutkan kehidupan mereka saja. Namun subjek dan informan telah memiliki rencana untuk membuka warung sembako didepan rumah mereka nanti.
662
Dukungan Keluarga Pada Karyawan Yang Mengalami Kecemasan ... (Marcelina)
Penutup Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa pada ketiga subjek memiliki dukungan keluarga yang berbeda-beda. Pada subjek pertama B, kurangnya dukungan keluarga yang diberikan kepada subjek membuat subjek lebih mengalami kecemasan menjelang masa pensiunnya. Berbeda dengan subjek kedua yaitu L, Subjek dapat memberikan dukungan keluarga pada subjek dengan membantu memikirkan apa yang akan dilakukan setelah pensiun walaupun rencana yang dimiliki oleh informan tidak disetujui oleh subjek, informan tetap berusaha untuk meyakinkan subjek sehingga kecemasan pada subjek lebih kecil. Subjek ketiga yaitu GR, subjek memiliki dukungan keluarga yang tinggi untuk mengurangi dampak kecemasan menjelang masa pensiun informan, subjek dan informan telah memiliki rencana setelah pensiun tiba.
Saran 1. Bagi keluarga karyawan yang memiliki kecemasan menjelang masa pensiun, hendaknya dapat meningkatkan dukungan kepada karyawan yang mengalami kecemasan, karena dukungan keluarga merupakan kunci utama atau lingkungan pertama yang dapat memberikan semangat atau dukungan sosial seorang bapak atau suami untuk bertahan menjalani kehidupan. 2. Bagi teman-teman yang berada didalam lingkungan yang sama hendaknya saling memberi motivasi pada teman yang hendak menghadapi masa pensiun, sehingga diharapkan pada pegawai tersebut akan dapat berfikir positif setelah memperoleh dukungan dari teman-teman sekitar. Daftar Pustaka Bungin, burhan. 2011. Metodelogi Kualitatif. Jakarta: Kencana Calhoun, JF & Acocella, J.R. 1995. Psychology of Adjusment and Human Relantionship. New York : Mc Graw Hill, Inc Connel. 1994. Impact of Social Support, Social Cognitive Variabels and Percevied Threat on Depression Among Adult With Diabetes. Health Psychology. Vol.1. No.3. Pp. 263273. Daradjat Zakiyah, 1982. Kesehatan Mental, Jakarta : Gunung Agung Garmenzy, N., and Rutter, M. 1983. Stress, Coping and Development In Chilidren. New York : MC Graw Hill. Hurlock, E. B. 1980. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Ruang Kehidupan, Edisi 5. Jakarta: Erlangga Isnaini, N (2009). Hubungan antara Dukungan Sosial dengan Kecemasan Menghadapi Masa Pensiun pada Pegawai Kanwil Departemen Hukum dan HAM di Jawa Timur. [On-line]. Abstrack dari : http://difilib.sunan663
PSIKOBORNEO, Volume 4, Nomor 4, 2016 : 657 - 664
ampel.ac.id/gdl.php/mod= browse &op=read&id=hubptain-gdlnoviinisna7546&q=Sosial, pada tanggal 30 Mei 2016 Kuncoro, Joko dan Eva Diana, Sari. 2009. Kecemasan dalam menghadapai masa pensiun ditinjau dari dukungnan sosial PT. semen gresik (persero) Tbk Kuncoro, Mudrajad. 2009. Metode Riset Untuk Bisnis dan Ekonomi. Jakarta : Erlangga Poerwandari, E.K 2007. Pendekatan Kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Jakarta : LPSP3 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Santrock, J.W. 2006. Human Adjustment. UniversityOf Texas at Dallas. Mc Graw Hill Companies. Sarafino, E.P. 2006 Health Psychology: Biopsychosocial Interactions. Fifth Edition. USA: John Wiley & Sons. Soegino, S. V 2000. Pensiun yang Bermakna. Tangerang : CV. Gino. Syaodih, N. 2006. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Yusra, A. 2011. Hubungan Antara Dukungan Keluarga Dengan Kualitas Hidup Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Di Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta. Tesis Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
664