DUA KISAH SI ENTONG Oleh Yahya Andi Saputra
Satu SI ENTONG belum begitu memahami benar apa arti isak tangis ibunya. Ia hanya tahu bahwa ayahnya, Saiman, sudah seminggu terbaring di tempat tidur karena sakit. Napas sang ayah berat tersengal-sengal bagaikan batu berpuluh kilogram menindihnya. Ketika isak tangis ibunya meledak pun, Si Entong tak bereaksi berlebihan. Ia hanya sedikit bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Si Entong baru mengerti tatkala orang-orang berkerumun dan diujung dari kerumunan itu, sang ayah diusung ke pemakaman, dikuburkan. “O… berarti Bapak sudah meninggal, ya, Mak?” Tanya Si Entong dengan polos. Ibunya, Rodiah, mengangguk sambil menyeka air mata. Rodiah ingat beberapa saat menjelang ajal, suaminya beberapa kali berpesan agar Si Entong dididik dengan baik. Jangan jadi seperti dirinya. Ketika Saiman sakit payah, ia sebenarnya sudah bertobat, insyaf dari segala dosa yang diperbuat. Sejak muda Saiman kerjanya jadi maling, gasir rumah orang. “Rodiah... Rasanya saya tidak akan bisa bertahan lebih lama lagi. Dosa-dosa saya semuanya muncul sangat jelas. Saya amat menyesal.” Kata Saiman tersengal-sengal. Rodiah cuma kesap-kesip sambil menyeka air mata suaminya. ”Saya pesan wanti-wanti, Si Entong anak kita, jangan sampai seperti saya. Si Entong suruh belajar mengaji. Belajar ngaji. Sekali lagi belajar ngaji!” “Iya, Bang …” Dua minggu sepeninggal ayahnya, Si Entong dimasukkan ke pengajian Guru Rojali, di Masjid An-Nawier, kampung Kebon Kosong. Di pengajian ini ada puluhan anak-anak seusia Si Entong yang sudah lebih dahulu menjadi murid. Guru Rojali melihat Si Entong, ingat sepak terjang bapaknya, maling, yang selama ini meresahkan penduduk. “Kamu datang ke sini mau ngapain?” “Saya mau belajar mengaji, Guru …” “Baik, saya terima. Kalau kamu mau belajar ngaji, kamu mesti membakar biji nangka terlebih dulu, sampai masak!” “Baik, Guru.” Lalu Si Entong diberikan 10 buah biji nangka yang terus dia bawa ke dapur, dimasukan ke lubang dapur. Setelah mateng, biji nangka itu diangkat dari lubang dapur dan langsung disuguhkan kepada Guru Rojali. “Guru, biji nangkanya sudah mateng.” Kata Si Entong. “Iya, letakkan saja di situ!” Sahut Guru Rojali. Guru Rojali memeriksa biji nangka sambil menghitung. Ternyata biji nangka yang berjumlah 10 biji itu tinggal sembilan. “Dasar bapaknya maling, anaknya juga maling. Diperintah membakar biji nangka sepuluh tinggal sembilan…” Guru Rojali berkata dalam hati. “Nah, sudah siap belajar, Tong?” Tanya Guru Rojali kepada Si Entong. “Sudah, Guru.”
1
“Ikuti apa yang saya ucapkan, Tong. Bismillahirrahmannirrohim, biji nangka sepuluh tunggal sembilan.” “Bismillahirrohmannirrohim, biji nangka sepuluh tinggal sembilan.” “Kamu ulangi sepuluh kali, setelah itu kamu boleh pulang.” Si Entong mengikuti dan mentaati apa yang diperintahkan oleh gurunya. Sesampainya di rumah, ibunya bertanya, “Belajar apa, Tong?” “Bismillahirrohmannirrohim, biji nangka sepuluh tinggal sembilan.” Sang ibu tentu saja kaget mendengar jawaban si Entong. “Kok begitu? Kok pake biji nangka disebutin?” Tanya Ibunya heran. “Saya disuruh mengikuti apa yang guru ucapkan. Itulah yang diajarkan oleh guru, Mak.” Jawab Si Entong polos. Besoknya di pengajian, Si Entong disuruh lagi membakar biji nangka dengan jumlah yang sama, 10 biji. Barangkali yang satu hangus atau tertinggal di dapur, ketika sang guru menghitung, jumlahnya sembilan. Guru Rojali bertambah yakin kalau biji nangkanya dicolong si Entong. “Dasar bapak maling, anaknya jadi maling juga.” Kata Guru Rojali ngedumel dalam hati. “Tong, kemari kamu!” “Saya, Guru.” “Ayo ikuti apa yang saya ucapkan. Bismillahirrohmannirrohim, biji nangka sepuluh tinggal sembilan.” “Bismillahirrohmannirrohim, biji nangka sepuluh tinggal sembilan.” “Ulang sepuluh kali! Setelah itu kamu boleh pulang.” “Baik, Guru.” “Oh, iya, mulai besok kamu boleh libur dulu!” “Baik, Guru.” Karena gurunya memerintahkan libur, tentu saja Si Entong tidak pergi mengaji. Pada hari ketiga, ibunya bertanya, “Tong, kamu tidak pergi ngaji?” “Guru bilang libur dulu, Mak.” “Libur? Masa libur ngaji lama-lama? Guru kamu bilang libur kan cuma hari Jum’at. Kapan kamu pintar jika libur melulu. Besok ngaji, ya!” Besoknya si Entong pergi ngaji, tapi di pengajian sepi. Sepi tak terdengar suara berisik anak-anak membaca shalawat atau meembaca Qur’an. Tak seorang pun temannya kelihatan. Tidak jauh dari situ, ada seorang kakek sedang berjemur diri, si Entong mendatanginya dan bertanya. “Kong, ngajinya masih libur ya?” “Lho, memangnya kamu tidak diberi tahu?” Kata sang kakek balik bertanya. “Diberitahu apa, Kong?” “Kan guru kamu pergi haji. Tadi pagi-pagi berangkat. Semua murid dan keluarganya ikut mengantar ke Pelabuhan Priok.” Si Entong benar-benar kecewa, kanapa ia tak diberitaahu. Bergegas ia menyusul ke Pelabuhan Priok. Di tengah perjalanan ia bertemu teman-temannya yang sudah pulang mengantar. “Mau kemana, Tong?” 2
“Ngeliat guru pergi haji.” “Percuma, guru sudah berangkat naik kapal.” Si Entong tidak peduli jawaban teman-temannya. Ia terus pergi ke Pelabuhan Priok. Teman-temannya mengejek kenekatan si Entong, tapi si Entong tidak ambil hati. Sampailah Si di Pelabuhan Priok. Kapal yang membawa gurunya sudah berangkat. Para pengantar sudah mulai meninggalkan pelabuhan. Si Entong menyesal dan menangis karena tidak bisa bertemu untuk sekadar bersalaman kepada guru yang sangat dihormatinya. Dengan keihlasan sepenuh hati, ia membaca pelajaran yang telah diberikan oleh gurunya. “Bismillahirrohmannirrohim, biji nangka sepuluh tinggal sembilan.” Berulang-ulang kalimat itu dibaca, sampai ia merasa lelah kehabisan tenaga. Saat itulah ia jatuh, atau tepatnya melompak ke laut. Dengan izin Yang Maha Kuasa, si Entong sampai lebih dulu ke Jeddah daripada jamaah yang menggunakan kapal. Si Entong menunggu kedatangan kapal yang berangkat dari Pelabuhan Priok. Akhirnya kapal yang ditunggu pun sampai juga. Si Entong ngawasi satu demi satu penumpang yang turun dari kapal. Wajahnya cerah dan matanya berbinar ketika ia melihat Guru Rojali menuruni anak tangga kapal. “Guru …! Guru …! Guru …!” Si Entong berteriak memanggil-manggil gurunya. Guru Rojali terkejut bukan kepalang mendengar suara yang sudah akrab di telinganya. Ia menoleh ke arah suara itu. Ia benar-benar heran bercampur masygul melihat si Entong ada di Jeddah. “Ada di sini kamu, Tong? Naik apa kamu kemari?” “Kan yang guru ajarkan, Bismillahirrohmannirrohim, biji nangka sepuluh tinggal sembilan.” Jawab Si Entang bangga. Wajah Guru Rojali pucat masai. Lalu dipeluknya si Entong dengan sangat erat sambil menangis. Tentu saja Si Entong bengong melihat gurunya menangis. “Guru, mengapa guru menangis?” Tanya Si Entong. Guru Rojali diam. Dia minta maaf kepada Si Entong. Sesampainya di Mekkah gurunya bertaubat dan berjanji akan sungguh-sungguh mengajarkan Si Entong mengaji. Ketika musim haji usai, Guru Rojali menganjurkan Si Entong untuk mukin menuntut ilmu di Mekkah. “Tong, kamu lebih baik tinggal di sini saja, mukim belajar ilmu agama.” “Saya mau pulang juga, Guru. Saya kangen sekali sama Mak.” “Mau naik apa kamu? Naik kapal kamu tidak boleh, kamu kan tidak mempunyai paspor, tidak punya tiket.” “Jangan kuatir, Guru. Baca saja Biosmillahirrohmannirrohim, biji nangka sepuluh tinggal sembilan.” Untuk kesekian kali, Guru Rojali terhenyak kemudian memeluk Si Entong erat-erat dan sangat menyesali perbuatannya. Di Pelabuhan Priok, orang ramai menjemput kedatangan keluarganya yang pulang menunaikan ibadah haji. Murid-murid dan keluarga Guru Rojali pun tak terkecuali. Di keramaian macam-macam orang, Si Entong ada di situ. Sewaktu Guru Rojali sudah turun dari kapal, si Entong berteriak. “Guru …! Guru …! Guru …!” Ketika Guru Rojali melihat si Entong, ia langsung bergegas menghampiri si Entong dan memelukmya sambil menangis. Guru Rojali tidak lagi menghiraukan murid lain
3
termasuk keluarganya sendiri. Para murid dan keluarganya terkesima melihat Guru Rojali menangis sambil memeluk Si Entong. Dipeluknya seolah tak ingin dilepaskan. Merasa bersalah dan berdosa, Guru Rojali tak pernah berhenti menangis, matanya jadi buta. Berburuk sangka kepada orang lain, adalah perbuatan yang sangat tidak terpuji dan merugikan diri sendiri. Sementara itu, kepatuhan seorang murid kepada guru dan ibunya, membuahkan hasil yang tak terbatas. *****
Dua Sudah tujuh belas hari, Si Entong melakukan aktivitas yang tak lazim. Akhirnya orang-orang di kampung sepakat mengatakan bahwa Si Entong memang sudah sinting. Betapa tidak, ia menimba air laut, siang dan malam. Ia hanya berhenti manakala kebutuhan primer alamiahnya muncul, yaitu makan, buang air, atau melakukan ibadah wajib. Selebihnya, terus-menerus dari jam ke jam dari hari ke hari tanpa henti, menimba air laut. “Tong, kenapa kamu tak henti-hentinya menimba air laut, apa sudah tak ada pekerjaan lain?” Tanya Haji Imron, sesepuh kampung itu. “Man jadda wajada.” Jawab Si Entong singkat tanpa menoleh kepada orang yang mengajaknya bicara. “Mungkin kamu sedang mengalami tekanan bathin yang dahsyat sehingga stres? Ayolah berbicara kepada saya. Jangan menyakiti badan seperti itu.” Haji Tohir berusaha menyadarkan Si Entong. “Man jadda wajada.” Jawab Si Entong lagi. Man jadda wajada adalah pepatah bahasa Arab yang artinya, siapa yang sungguh-sungguh pasti berhasil. Begitulah Si Entong. Setiap orang yang bertanya, ia jawab “Man jadda wajada.” Bahkan ketika perbuatannya terdengar sampai kampung lain dan orang-orang berdatangan, tidak peduli apakah yang datang dan bertanya pejabat penting, ulama, bupati, gubernur, atau raja, ia selalu menjawab singkat: “Man jadda wajada.” Maka cap gilalah yang dianggap pas disandangkan ke pundak Si Entong. Namun si Entong tidak peduli ocehan mereka, ia terus menimba air laut siang malam, dengan sungguh-sungguh dan penuh keyakinan. Konon, menurut kisah yang punya cerita, kegiatan Si Entong menimba air laut menimbulkan gejolak dan kegelisahan komunitas kehidupan di Kerajaan Dasar Laut. Raja Ikan, Maharaja Nun Bilmubarok, yang bersemayam di dasar laut merasa sangat terganggu dengan suara gedebar-gedebur yang ditimbulkan akibat kegiatan Si Entong. Maka Maharaja Nun Bilmubarok memanggil seluruh elit kerajaan dan punggawanya untuk rapat kordinasi ketertiban dan keamanan. “Hai, lumba-lumba! Ada apa gerangan di atas? Siang malam aku tiada bisa tenang, tiada bisa tidur. Suara apa yang begitu berisik?” Tanya Maharaja Nun Bilmubarok. “Ampun Paduka Yang Mulia, hamba telah menyelidikinya dan ternyata ada seorang manusia, siang malam menimba air laut tanpa henti.” “Apa? Manusia menimba air laut? Siang malam? Tanpa berhenti?” “Ampun Paduka Yang Mulia, benar. Benar sekali, siang malam tanpa berhenti” “O … Sangat berbahaya! Berbahaya!”
4
“Ampun Paduka, hamba tidak mengerti maksud Paduka.” “Apa kamu tidak berpikir, hah! Kita bisa mati kekeringan. Lebih celaka lagi, kita bisa mati. Cepat kau pergi ke sana dan tanyakan, apa maksud dan keinginan manusia itu!” “Ba … baik, Paduka Yang Mulia. Hamba berangkat sekarang juga.” “Iya, cepat!!!” Perintah Maharaja Nun Bilmubarok seraya menggemeretakkan girinya. Sepeninggal lumba-lumba, Maharaja Nun Bilmubarok mengeluarkan perintah kepada seluruh staf dan punggawanya agar mempersiapkan semua komponen kekuatan masyarakat dan berjaga-jaga 24 jam. Divisi intrik dan penyebaran issu ditugaskan memberi laporan perkembangan menit per menitnya. “Jika ada yang terliwat dari pantauan kalian, awas! Jangan harap kalian bisa selamat” Begitu ancam Maharaja Nun Bilmubarok. Lumba-lumba yang mengemban tugas menemui Si Entong pun muncul dipermukaan laut. Ia menghampiri si Entong. “Hai manusia! Manusia! Manusia …!” Lumba-lumba berteriak memanggil Si Entong. Si Entong berhenti menimba dan celingukan mencari-cari sumber suara yang memanggil-manggilnya. Tapi ia tidak melihat ada mahluk lain di sekitarnya. “Hei Manusia!” Lumba-lumba kembali memanggil. Karena jarak antara lumba-lumba dengan Si Entong tidak terlalu jauh lagi, Si Entong terkejut heran melihat ikan lumba-lumba menghampirinya. “O … Tuan ikan lumba-lumba memanggil saya?” Tanya Si Entong dengan takjub dan tidak percaya. “Iya.” “Kamu kan ikan, kok bisa ngomong?” Tanya Si Entong masih dengan takjub. “Jangan kau heran, kita mahluk Tuhan Yang Maha Kuasa, apa saja yang dikehendaki Tuhan bisa terjadi.” Jawab lumba-lumba. “Benar, benar. Lalu kenapa Tuan lumba-lumba mendatangi saya?” “Aku diperintahkan oleh Paduka Yang Mulia Raja Ikan, Maharaja Nun Bilmubarok, menanyakan mengapa kamu siang malam menimba air laut?” “O … Man jadda wajada.” Jawab Si Entong. “Apa maksud Man jadda wajada? Aku tidak mengerti. Coba jelaskan.” Pinta lumbalumba. “Maksudnya siapa yang bersungguh-sungguh pasti berhasil.” Jawan Si Entong. “Sudahlah, jangan bertele-tele, to the point saja.” Kata lumba-lumba tidak sabar. “To the point bagaimana? Saya kan bersungguh-sungguh.” “Terus terang, apa yang kamu kerjakan sangat berbahaya dan mengancam keselamatan kami. Kalau sampai air laut kering, semua mahluk laut bakalan mati. Apa itu yang kamu mau?” “Oh … bukan, bukan itu. Apa saya punya tampang teroris? Saya bukan orang jahat, Tuan.” “Iya, apa, dong? Kenapa kamu menimba air laut? Katakan saja dan kami akan beri yang kau inginkan.” “Oh … begitu, ya.” Kata Si Entong. Bersamaan dengan itu terbersit dalam kepala Si Entong, mungkin inilah waktunya dia dapati buah kesungguhannya. “Saya cuma mau mutiara yang bagus, yang gede. Kalau sudah dapat, saya tidak akan menimba air laut lagi.” Lanjut Si Entong. 5
“Ternyata itu keinginanmu. Masih ada yang lain? Katakan saja.” Kata lumba-lumba. Si Entong menggelengkan kepala. Lumba-lumba mohon diri untuk kembali ke Kerajaan Dasar Laut. Maka kembali Si Entong menimba air laut, terus dan terus sepanjang hari sepanjang malam. Sesampainya di Kerajaan Dasar Laut, lumba-lumba segera menghadap Maharaja Nun Bilmubarok. “Paduka Yang Mulia, hamba sudah berhasil menemui manusia yang menimba air laut.” “Siapa dia, ko nekat sekali perbuatannya?” “Namanya Si Entong, Paduka.” “Entong? Nama apa itu?” “Saya tak menanyakan arti namanya, Tuan, karena mendesak saya hanya menanyakan keinginannya.” “Apa katanya? Apa maunya Si Entong?” “Ampun Yang Mulia, Si Entong cuma ingin memiliki mutiara yang bagus, yang gede.” “Hanya itu?” “Itu saja, Tuan.” “Ah, konyol sekali Si Entong itu. Kalau begitu cepat kau ambil di kantor pebendaharaan harta kerajaan dan langsung berikan pada manusia itu. Aku ingin tenang, ingin tidur nyenyak. Mengerti kamu?” “Hamba Paduka Yang Mulia.” Lumba-limba itu pun pergi mengambil mutiara yang paling bagus dan paling besar. Tanpa banyak upacara ia kembali muncul ke permukaan laut menghampiri si Entong. “Hei, Entong! Ini mutiara yang kau inginkan. Rajaku, Paduka Yang Mulia Maharaja Nun Bilmubarok memberikan hadiah ini khusus untukmu. Mulai sekarang berhentilah menimba air laut. Jangan lagi kau rusak keseimbangan alam kami.” “Te … te … terima kasih, terima kasih.” Ucap Si Entong benar-benar tidak menyangka apa yang sudah diterimanya. Mutiara. Mutiara yang sungguh indah sebesar buah kelapa yang selama ini tak terbayangkan dalam pikirannya. “Alhamdulillah, alhamdulillah, alhamdulillah. Subhanallah.” Begitu ucap Si Entong berkali-kali. Bahkan ia tak mendengar suara lumba-lumba yang pamit memohon diri. Si Entong sangat gembira mendapat hadiah mutiara yang sangat indah dan besar. Sudah pasti harganya sangat mahal. Terlalu amat gembiranya, Si Entong berjingkrakjingkrakan sambil berteriak sekeras-kerasnya. “Saya berhasil! Saya dapat mutiara … dapat mutiara … Hoiii, dapat mutiara …!” Mendengar teriakan keras yang memecah senja itu, orang-orang ramai mendatangi Si Entong. Mata mereka terbelalak melihat mutiara yang begitu indah dan besar. Mereka berpikir sudah tentu mutiara itu sangat mahal harganya. Mereka iri dan ingin pula mendapatkan mutiara seperti itu. Mereka bertanya bagaimana cara mendapatkannya, Si Entong menjawab, “Man jadda wajada!” Lalu pergi meninggalkan kerumunan membawa mutiaranya. Siapa yang sungguh-sungguh pasti berhasil.
6
Rumah dalam Tradisi Betawi Yahya Andi Saputra Wakil Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi
Pembuka Dalam perilaku kehidupan sehari-hari, orang Betawi mengenal berbagai aturan, pengetahuan serta pandangan tertentu dalam menata ruang bagi kesatuan-kesatuan hidup perorangan maupun kelompok dalam lingkungan hidupnya. Dalam menata ruang tempat tingal, mereka mengenal konsepsi yang intinya adalah bahwa rumah dan halaman pekarangan harus ditata sedemikian rupa, sehingga menimbulkan suasana teduh. Aturan yang didasari oleh konsepsi yang demikian ini sudah berjalan turun-temurun, dari generasi yang satu ke generasi berikutnya. Petuah tetua (nasehat, ucapan, sindiran, tingkah laku) cenderung ditanggapi sebagai sesuatu keharusan (sareat), dan karenanya harus ditaati yang pada gilirannya menjadi bagian dari sikap serta pandangan hidup orang Betawi. Rumah sebagai kesatuan tempat tingal perorangan harus ditata sedemikian rupa, sehingga menimbulkan kesan serasi, harmonis dan mendukung kelestarian lingkungan. Berkenaan dengan itu, ruangan ditata secara tertentu yang pada gilirannya merupakan cerminan bagi si empunya. Halaman selalu dijaga kebersihannya, agar kelihatan teduh ditanami pepohonan. Kebiasaan dan perilaku orang Betawi yang gemar duduk-duduk sambil ngobrol, ngerahul, tidur-tiduran, dan ngadem di depan rumah atau beristirahat santai, mempengaruhi cara mereka menata letak susunan perabot rumah tangga di ruang muka rumah. Untuk melengkapi kebutuhan akan kegemaran dan kebiasaan mereka, maka pada sudut blandongan rumah orang Betawi sering dijumpai satu atau dua tempat tidur panjang yang terbuat dari bambu, disebut bale-bale. Untuk lebih menimbulkan suasana nyaman, pada pelataran rumah biasanya ditanami berbagai jenis tanaman hias, sehingga menimbulkan kesan asri. Selanjutnya untuk menimbulkan suasana adem, tak jauh dari situ ada tempat air yang terbuat dari tanah liat, yang disebut tempayan. Tempat ini biasanya digunakan untuk mencuci kaki dan atau membasuh muka, bahkan minum bagi musafir. Sementara itu, ruang tengah, kamar tidur, dan ruang makan juga harus tetap bersih dan terawat. Ruang belakang rumah serta dapur sedapat mungkin harus bersifat tertutup dan terlindungi dari pandangan orang luar. Hal ini disebabkan adanya anggapan bahwa tempattempat air minum dan pendaringan yang biasanya terletak di dapur, merupakan suber rejeki di dalam rumah tangga. Dengan demikian ada anggapan tabu jika sumber-sumber itu terlihat atau diketahui orang luar. Bahkan ada pantangan, jika menyendok atau mengambil beras untuk masak dari pendaringan, jangan sampai melongok atau melihat isinya. Jika melongok isinya tentu timbul rasa was-was. Sehubungan dengan cara merawat pendaringan, orang Betawi mempunyai pengetahuan cara-cara tradisional untuk memelihara agar beras yang ada di pendaringan dapat tahan lama serta tidak cepat busuk dan berubah baunya karena serangan serangga kumbang bubuk padi (Bitophilus onyzae lin) yang merusak beras. Caranya yaitu dengan menaruh daun pandan atau daun sirsak di dalam pendaringan. Dengan cara ini, kumbang bubuk beras akan meletakkan telurnya pada daun itu sehingga perkembangbiakan telur hama pada butir-butir beras dapat dihindarkan. Dengan seringnya membuang dan mengganti daun-daun itu, maka siklus pertumbuhan hama dapat dihentikan.
1
Halaman belakang rumah kadang-kadang dibiarkan saja penuh sampah dedaunan kering. Pembersihan hanya dilakukan sewaktu-waktu. Kandang ternak, tempat menyimpan kayu bakar, dan tempat penumpukan benda-benda peralatan rumah tangga yang sudah tak terpakai ditempatkan di halaman belakang rumah. Pekarangan yang ada di samping dan belakang rumah dimanfaatkan sebagai kebun dan ditanami berbagai jenis buah. Penduduk yang memiliki tanah luas, umumnya akan memanfaatkan ruang yang ada itu dengan membuat kolam ikan (empang). Kolam ikan di samping berfungsi menambah pendapatan keluarga, juga berhubungan dengan ritus kehidupan seorang anak. Dengan begitu, tampak jelas tata ruang rumah tradisional Betawi. Singkatnya tata ruang itu dibagi dalam empat area utama, yaitu area publik, area semi publik, area pribadi, dan area pelayanan. Area publik adalah area teras/beranda atau paseban sampai pekarangan. Di sini siapapun dapat bermain dengan bebas, bahkan memetik buah yang ada. Tentu setelah meminta izin. Area semi publik yaitu area sekitar ruang tamu yang dahulu disebut amben. Berfungsi sebagai ruang penerima tamu, dapat juga dijadikan ruang santai dan tempat bercengkrama keluarga. Di ruang ini selalu disediakan satu set meja kursi dan dipan atau bale (tempat kongko dan tidur-tiduran terbuat dari kayu atau bambu). Area pribadi atau privat yaitu kamar tidur (utama dan anak). Di sini tidak sembarang orang diizinkan memasukinya kecuali keperluan sangat mendesak. Area pelayanan yaitu dapur dan (sekarang) kamar mandi serta toilet. Jaman dahulu area ini disebut srondoyan. Area publik pada gilirannya bertambah dengan emper yaitu bagunan kecil yang dibangun di samping menempel dengan rumah induk. Dahulu disebut bale nyasa. Emper dan bale nyasa disediakan bagi para pengelana atau musafir yang kemalaman untuk bermalam sebelum melanjutkan pengelanaannya. Atau memang sengaja dibangun untuk tempat penginapan pembantu rumah tangga atau pekerja dari kampung lain. Membangun Rumah Membangun rumah bagi orang Betawi adalah pekerjaan amat penting. Itulah sebabnya dibutuhkan beberapa persyaratan agar niat itu dapat terpenuhi. Syarat itu antara lain tersedianya biaya, bahan bangunan, dan lahan terpat didirikannya bangunan. Selain itu ada syarat yang juga amat penting namun bukan material, yaitu perhitungan atau petangan atau neptu yang berporos kepada alam gaib atau poros biji hari dan naga bulan. Biji hari biasanya menggunakan perhitungan Betawi yaitu sari, lungguh, dunya, lara, dan pati. Petangan ini kadang dikombinasikan dengan Jawa (legi, paing, pon, wage, dan kliwon). Jika setelah dihitung angka menunjukan lara atau pati, maka jangan memulai membangun rumah, karena akan sengsara atau mati. Sebaiknya dicari biji hari yang jumlahnya sari, lungguh, dan dunya. Begitu pula dengan perhitungan naga bulan yang artinya menunjuk arah mata ngin. Arah mata ngin terdiri atas empat, yaitu blilir (utara), bludik (selatan), bkulon (barat), dan bletan (timur). Araha mata ngin blilir biasa jatuh pada bulan rajab, rowah, dan puasa; bludik jatuh pada srimulud, jumadil awal, dan jumadil akhir; bekulon jatuh pada syawal, apit, dan haji; dn bletan jatuh pada sura, sapar, dan mulud. Misalnya naga bulan ada di bletan (timur), maka jika membangun rumah pada bulan sura, sapar, dan mulud jangan menghadap bletan (timur). Begtu seterusnya. Perhitungan ini dilakukan oleh orang pintar yaitu seorang kyai atau dukun yang salah satu bidang keahliannya adalah ilmu falak. Dengan ilmu yang dimilikinya itu, kyai atau dukun akan memberi nasihat kapan saat yang baik mendirikan rumah. Pada dasarnya bagi orang 2
Betawi, rumah dapat dibangun di mana saja asal lahan itu miliknya. Namun ada tradisi untuk menghindari membangun pada lahan tertentu. Tidak boleh membangun rumah di atas tanah yang dikeramatkan, di tanah wakaf, dan jangan membangun rumah untuk anak di sebelah kiri rumah orang tua. Kalau tradisi ini dilanggar, maka keluarga yang menempati rumah itu akan terusmenerus kekeringan, nggak berkah atau susah rejeki dan sakit-sakitan. Jika perhitungan selesai maka direncanakan dan dilaksanakan upacara pra-pembangunan. Pertama-tama mengumpulkan sanak saudara untuk bermusyawarah membicarakan pembangunan dan jenis rumah yang akan dibangun. Tradisi Betawi mengenal tiga jenis rumah yaitu Gudang, Joglo dan Bapang1. Jenis rumah itu pun dibangun disesuaikan dengan lingkungan alam. Di pesisir dan pedalman tentu mempertimbangkan keselamatan sehingga dibuat berpanggung. Sanak-saudara diharap dapat membantu meringankan beban biaya. Dengan pertemuan itu diketahui apa saja yang sudah ada dan apa saja yang harus dipersiapkan. Dahulu pertemuan seperti itu disebut paketan dan di antara mereka akan menyanggupi membantu sesuai dengan kemampuannya. Ada yang memberikan pohon yang ada di kebunnya yang akan dijadikan tiang atau papan. Artinya pohon itu nantinya akan ditebang dan dijadikan bahan bangunan. Menebang pohon tua disesuaikan dengan siklus musim, yaitu pada musim panas bulan Agustus, September dan Oktober. Menabang kayu harus dilakukan sore hari. Kenapa begitu? Karena ketika pagi hari biasanya pohon menyerap air dan sore hari air itu mulai susut. Ini berkaitan dengan kualitas kayu itu. Pokok kayu yang ditebang sore hari tentu kandungan airnya berkurang. Pohon yang sudah tua tentu lebih kering lagi. Ada pula yang membantu menyediakan genteng dan lain sebagainya. Ini menunjukkan bahwa sifat musyawarah dan gotong royong sudah sangat mendarah daging bagi masyarakat Betawi. Setelah hari pembangunan ditentukan diundanglah tetangga untuk merowahan (tahlilan) sebagai ungkapan permohonan kepada Allah agar pembangunan rumah mendapat kebaikan. Pada saat itu diumumkan pula agar para tetangga dengan rela hati membantu bergotong-royong menebang pohon-pohon dan meratakan lahan tempat akan dibangunnya rumah. Orang Betawi menyebut kegiatan ini dengan nyambat atau sambatan. Pada hari yang telah ditentukan, lahan diukur dan diuruk untuk menambah ketinggiannya. Kegiatan ini disebut membuat batur atau baturan. Sementara tukang, ahli bangunan, sudah memulai kerjanya membuat tiang guru, pondasi, kuda-kuda, pengeret, penglari, papan nok, kaso, ander, siku, ragam hias dan lain sebagainya. Beberapa jenis pohon atau kayu yang digunakan sebagai bahan bangunan dalam tradisi Betawi telah dimaknai sesuai dengan hubungan timbal balik manusia dengan alam. Bahan bangunan biasanya dari pohon buah-buahan yang sudah tua dan tidak produktif lagi. Atau pohon yang sengaja ditanam untuk memenuhi keperluan material membangun rumah atau perlengkapan lainnya, seperti meja, kursi, dipan/bale, lemari dan sebagainya2. Antara lain
1
Ada juga jenis rumah Jengki. Rumah jenis ini sebenarya tidak lain dari jenis rumah panggung, namun panggung separuh, tidak sebagaimana rumah panggung tinggi. 2 Menanam pohon untuk keperluan itu biasanya sengaja dilakukan atau direncanakan. Biasanya ditanam di pinggir kebun, meski pada gilirannya sang penanam tidak menikmati hasil tanamannya karena ia telah meninggal (yang menikmati hasil tanaman itu umumnya cucu). Emplok (biji) bacang, kuini, nangka, cipedak, rambutan, duren memang sengaja dibuang di batas kebun. Biji ini nanti akan tumbuh dan disebut puun laki, karena tidak berbuah atau jika berbuah, rasanya masan. Puun laki inilah yang nantinya dijadikan bahan bangunan.
3
nangka, duren, kecapi, jamblang, cempaka, jengkol, rambutan, mahoni, dan sebagainya3. Jenis pohon itu banyak tumbuh di Betawi. Jenis kayu nangka, karena warnanya kuning tidak boleh digunakan membuat drompol (bagian bawah kusen pintu atau bagian bawah lainnya). Jika kayu ini dilangkahi akan mengakibatkan sakit kuning. Kayu nangka utamanya digunakan sebagai tiang guru, dinding rumah, dan pintu panel berukir. Komposisi kayu nangka dan kayu jamblang akan jauh lebih indah jika diambil bagian paling tengahnya. Jenis kayu cempaka seyogyanya dipakai untuk kusen pintu bagian atas. Ini maknanya agar pemilik rumah senantiasa dihormati dan disenangi tetangga sekitarnya. Sedangkan jenis kayu asem pantang digunakan sebagai bahan bangunan. Sifat asem, karena buahnya masam, dimaknai mempengaruhi harmonisasi antara pemilik rumah dengan tetangganya. Dapat terjadi rumah mempunyai kesan kumal, gersang dan tidak berwibawa. Agar kayu yang digunakan awet atau tahan lama, maka kebiasaan orang Betawi merendam kayu-kayu itu di empang atau di comberan dan sedapat mungkin tertutup lumpur. Ini bertujuan agar urat kayu menjadi mati sehingga nantinya kualitas kayu sangat baik, tidak mudah lekang atau lapuk. Perendaman kayu-kayu itu paling cepat satu bulan dan jika direndam lebih lama akan lebih baik kualitasnya. Kebiasaan merendam kayu ini sudah dimulai jauh sebelumnya bahkan ketika rencana membikin atau membangun rumah belum diniatkan. Begitu pula dengan mengumpulkan bahan bangunan lainnya seperti genteng, batu bata merah dan sebagainya. Kebiasan mengumpulkan bahan bangunan ini disebut nyicil atau nabung. Selesai membuat baturan disiapkan lima (5) bate (batang) garam. Garam itu di letakkan di tiap pojok tanah dan yang sebate lagi diletakkan di tengah-tengah. Menurut adat Betawi garam itu ditakuti oleh orang alus baik berupa jin, setan, kuntilanak, longga-longga, kolong wewe, dan sejenisnya. Juga menangkal binatang melata berbisa, seperti ular, kalajengking, kelabang, dan lain sebagainya. Di wilayah tertentu ada pula yang selamatan dengan membuat bubur merah putih dan bubur itu diplengsong (dibungkus) kemudian diletakkan di tiap tiang guru. Ini diyakini sebagai sesajen agar orang alus tidak mengganggu penghuni rumah. Pada saat memasang umpak batu sebagai alas tiang guru, sebelum tiang guru didirikan, di atas umpak batu diletakkan uang logam ringggitan (dua setengah rupiah), perakan (satu rupiah), atau gobangan (dua setengah sen). Ini dimaksudkan agar pemilik rumah murah rejeki dan makmur. Dan nanti setelah rangka bangunan berdiri sebelum memasang kaso di tiang ander (disebut juga tiang sunan) diikatkan sepandan pisang raja, sepandan kelapa, sedapur tebu, dan kain merah putih (sekarang bendera merah putih). Ini diyakini dapat mencegah datangnya mara bahaya atau terhindar dari malapetaka. Sunan menjadi pilihan karena dianggap sebagai bagian terpenting atas seluruh rumah. Pisang raja dan kelapa pun tidak sembarangan tetapi yang sesuai dengan ketentuan. Pohon pisang raja yang dipakai adalah yang buahnya menghadap arah matahari terbit. Begitu pula buah kelapa yang tandanannya mengarah matahari terbit. Ini merupakan simbol asal-muasal sumber hidup, yaitu matahari. Apabila pisang raja dan kelapa dibeli diwarung, maka warung yang menjualnya harus menghadap timur, menghadap matahari terbit. Dalam pandangan masyarakat Betawi, tiap bagian rumah mendapat namanya dari nama orang yang mengerjakannya. Karena pada zaman dahulu, sebuah rumah tidak dibangun oleh satu dua orang saja, tetapi oleh beberapa orang yang mempunyai tugas tertentu. Misalnya, ada yang 3
Berbagai jenis pohon jati pun banyak tumbuh di Jakarta dan sekitarnya. Tidak sedikit nama kampung menggunakan nama pohon jati. Misalnya Jati Padang, Jati Petamburan, Keramat Jati, Jati Bening, Jati Asih, dan sebagainya.
4
khusus mengerjakan tiang, pintu, dan yang lain mengerjakan penglari dan seterusnya. Menurut cerita rakyat, mulanya bagian-bagian rumah tidak bernama tetapi oleh karena sesuatu hal, bagian itu menjadi tugas khusus orang tertentu, maka nama orang itu lama kelamaan berpindah kepada bagian rumah yang dikerjakannya. Demikianlah tiang sunan mendapat namanya dari salah seorang sunan yang tergabung dalam wali sembilan, yaitu Sunan Kali Jaga. Menurut cerita, para wali diperintah mendirikan tujuh buah masjid dalam satu malam. Sunan Kali Jaga tidak memperoleh kayu untuk membuat bagian-bagian yang paling atas masjidnya, sedangkan malam sudah hampir kepada batasnya. Oleh karena itu ia terpaksa mengorbankan dirinya. Badannya menjadi sunan sedangkan tangan dan kakinya menjadi jure (wuwungan, bagian atas rumah yang menjurai). Dari tangannya mengalir darah merah, dan dari kakinya darah putih. Itulah sebabnya kain merah putih dipancangkan di atas sunan pada waktu rumah didirikan. Itu juga sebabnya sunan merupakan bagian yang paling penting. Kepercayaan itu pun melambangkan sosok ibu dengan tangan karena darah merahnya dan ayah dengan kaki karena darah putihnya. Konon menurut cerita, kalau orang mempunyai tangan tetapi tidak mempunyai kaki, hidupnya tidak begitu terlantar, dibandingkan sebaliknya, tidak mempunyai tangan tetapi mempunyai kaki. Itu diibaratkan, kalau ayah meninggal dunia, anak masih bisa mendapat didikan yang baik dari ibu. Jika ibu meninggal lebih dahulu, anak tentu akan terlantar. Sejak dahulu ada anggapan seorang ayah tidak pandai mendidik anak, lebihlebih apabila ia sudah senang perempuan lain atau sudah kawin lagi. Kain (sekarang bendera) merah putih diikat di sunan, tidak di jure, karena pada waktu bayi lahir, tali pusatnya yang diikat oleh mak dukun, bukan tangan atau kakinya. Dahulu kala membuat rumah bagi orang Betawi sangat simpel. Bahan bangunannya didominasi dari bambu dan kayu. Saking simpelnya, jika bangunan rumah hendak dipindahkan ke tempat lain, cukup digotong oleh beberapa orang tetangga yang dengan sukarela membantu. Rumah yang dibuat dari bahan kayu pun dapat dipindahkan dengan cara yang sama, namun harus nyambat (meminta bantuan) tetangga lebih banyak lagi. Pembagian ruangnya pun tidak berbelit-belit yaitu ruang tamu, kamar tidur, dan dapur. Ruang tamu sering pula cuma di beranda. Ruang keluarga sama dengan ruang tengah. Kamar tidur yang disebut pangkeng terdiri atas dua sampai tiga kamar sebagai kamar tidur orang tua, anak perempuan dan anak laki-laki. Anak lelaki yang sudah masuk akil-balig, sering tidur di langgar atau masjid. Sehingga kamarnya lebih sering kosong4. Kalau ada tamu laki-laki yang menginap biasanya disiapkan alas tidur dari tikar pandan di beranda atau ruang tengah dan ditemani oleh pihak laki-laki. Jika yang datang menginap perempuan, maka ia dipersilahkan tidur di kamar tidur dengan ditemani pihak perempuan5. Rumah yang belum dipasangi jendela dan pintu pantang dihuni. Pekerjaan terakhir adalah memasang ragam hias, apakah itu gigi balang, pucuk rebung, dan lain-lain. Lalu disempurakan lagi dengan memasang dekorasi interior dan eksterior, antara lain memasang kaligrafi (jenis lukisan kaca) berbunyi assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, bismillah, atau dua 4
Tidur di langgar atau masjid mempunyai makna penting bagi perjaka Betawi, karena pada area itulah biasanya mereka mempelajari banyak hal, mulai ngaji, mendengar hikayat, belajar pantun, belajar maen pukulan (silat), bertukar pengalaman, ngelirik perempuan, dan sebagainya. Sering juga pembicaraan orang dewasa didengar oleh mereka. 5 Jika ada tamu perempuan atau enacang encing perempuan datang mengnap, anak lelaki mengalah. Dia tidur di tempat yang memungkinkan dapat dijadikan tempat tidur. Atau lihat cacatan 4 di atas.
5
kalimat syahadat di kusen luar pintu masuk utama. Di dinding luar depan dekat jendela dipasang kapstok yang berhiasan lukisan kaca. Atau kaligrafi lain dipasang di dinding bagian dalam. Dan yang unik lagi – kalau tidak dipasang kaligrafi – dipasang juga di tempat yang sama gambar buraq yaitu kendaraan yang digunakan oleh Nabi Muhammad SAW, pada saat melakukan Isra Mi’raj. Buraq ini dalam deskripsi orang Betawi sebagai gambar kuda putih mulus dengan wajah perempuan cantik jelita dan bersayap keemasan. Kenapa digambarkan sedemikian rupa? Buraq itu suatu kendaraan yang berjalan sangat cepat maka digambarkan seperti kuda. Ia juga bisa terbang, digambarkan bersayap kokoh indah. Dan ia juga dapat berbicara dengan lemah lembut, maka digambarkan berwajah wanita cantik jelita. Buraq ini dalam bahasa syariatnya adalah kendaraan yang amat cepat tidak mudah dipantau saking cepatnya (ekstra super sonik). Kombisani warna gambar atau lukisan buraq sedemikian rupa sehingga enak dilihat dan indah menawan. Beranda tempat kongko dibatasi langkan setinggi lebih kurang 70 cm dan lebar papan atasnya 30 cm. Langkan dapat diduduki bila bangku-bangku yang ada tidak cukup menampung tamu. Rumah orang Betawi dulunya belum menggunakan ubin/tegel tapi tanah yang dikeraskan sedemikian rupa. Tanah ruang beranda dan ruang tamu disebut gejogan yang setiap minggu dipoles agar licin dan ditaburi tai gergajian. Gejogan ini sedemikian dinginnya dan jika ada tamu rebahan langsung pules atau tertidur lelap. Di risplang dipasang ragam hias gigi balang atau ragam hias flora dan fauna lainnya. Pasangan genteng yang menjorok ke depan atau ke samping sebagai tempat air hujan mengucur jatuh ke cericipan (ada juga yang menyebut cericikan). Jika genteng sengaja ditutup agar air tak jatuh ke cericipan, maka dibuat talang air di kiri kanan. Dari talang itu air jatuh ke kolam penampungan. Dari cericipan dibuat pula selokan kecil di kanan kiri sebagai saluran air pembuangan menuju got di pinggir jalan. Jaro, Pekarangan, Obat-Obatan Halaman atau pekarangan rumah yang luas dibatasi dengan pagar, disebut jaro. Jadi dapat diketahui dengan jelas batas tanah pribadi dengan jalan jalan raya atau gang. Tingi pagar ini sekitar satu meter dan dibuat dari bambu yang dianyam dan disusun sedemikian rupa. Dengan pagar yang tidak terlalu tinggi itu, orang yang liwat di depan rumah dapat dengan jelas melihat aktivitas keluarga di beranda. Atas dasar itu juga, antara orang yang liwat dengan orang di beranda rumah terjadi saling sapa dengan akrab. Dapat saja orang yang liwat diminta mampir untuk minum teh atau sekadar bersalaman. Jaro diperlakukan multi fungsi. Selain sebagai pembatas kepemilikan dengan area publik, juga difungsikan sebagai penunjang pepohonan yang merambat. Di jaro biasanya menjalar pohon saga, sirih, prampun (asparagus), dan teleng (teleng bunganya berwarna ungu). Pohonpohon itu sengaja ditanam karena merupakan bahan utama obat-obatan untuk menyembuhkan berbagai penyakit, seperti sariawan, demam, batuk, dan lain-lain. Untuk menyembuhkan penyakit mata khususnya mata bayi, bunga teleng direndam dan air rendamannya digunakan untuk tutuh (obat tetes mata). Selain dibuat dari bambu, jaro atau pagar pembatas halaman dengan jalan dibuat juga dengan menanam pohon perdu, namanya peger puun. Yang ditanam seperti uribang, kemuning, bluntas, sugi, andong, mangkokan, dan lain-lain. Di antara tanaman itu (berjarak lima meter ditanami dengan pohon jarak, jaran, ujan, dan dadap). Semua pohon itu bermanfaat sebagai obat-obatan. Di pekarangan rumah orang Betawi biasa ditanam pohon delima dan beberapa jenis pohon lain seperti nona, belimbing, jambu klutuk, jeruk bali, dan seri. Kebiasaan menanam 6
pohon delima dikaitkan dengan kegiatan daur hidup orang Betawi. Buah delima menjadi salah satu syarat yang harus disediakan untuk membikin rujak nujuh bulan. Di pojok halaman ditanam pohon kelor dan sente (keladi) hitam. Kedua pohon itu dianggap sebagai penangkal ilmu hitam yang dikirim orang jahat dengan memanfaatkan media teluh. Tanaman obat lain yang juga sudah menjadi tradisi tanaman masyarakat Betawi adalah dringo, brahma, senggugu, kambuan, tapak liman, birah, temu lawak, temu mangga, temu item, kumis kucing. Sebagaimana menanam tanaman obat, tanaman bumbu pun senantiasa diupayakan. Kecuali sereh yang kadang ditanam di pekarangan, tanaman bumbu lainnya ditanam secara khusus di sepanjang pinggir kebun atau secara praktis ditanam di sekitar sumur atau comberan. Tanaman bumbu misalnya laos/langkuas, jahe, kunyit. Tumbuhan khusus untuk membuat sayur mapas6 antara lain kecipir dan katuk. Selain itu, tanaman hias pun menjadi kelaziman bagi orang Betawi. Tanaman hias itu ditanam di tanah atau ditanam menggunakan wadah pot yang terbuat dari tanah liat atau adukan semen, pasir, dan kapur (saat ini lebih banyak menggunakan pot plastit). Tanaman hias yang disukai antara lain kuping gajah, ros, melati, mangkokan, kenanga. Di depan rumah sebelah kanan atau kiri dibuat lobang tempat membuang sampah dan dapat pula dimanfaatkan menjadi tabunan. Gadis remaja atau anak-anak perawan biasanya pagi – sore akan menyapu halaman dan sekitar rumah. Sampah yang berupa aram (daun-daun kering) dimasukkan ke pengki (wadah terbuat dari anyaman bambu sebagai tempat mengumpulkan sampah) lalu dibuang ke tempat sampah dan dibakar. Pembakaran sampah ini disebut nabun, karena aktivitas membakar sampah dilakukan di tabunan. Dahulu ada pula kebiasaan meletakkan tempayan atau kendi di dekat pintu gerbang rumah. Ini dimaksudkan jika ada musafir yang liwat dan kehausan dapat berhenti di sini kekadar minum atau membasuh muka dan kakinya. Sebelum tradisi mewakafkan tanah menjadi areal kuburan, orang Betawi umumnya mengubur keluarga yang meninggal di halaman samping sebelah kanan, hamper berbatasan dengan tanah milik orang lain. Jika kita memasuki perkampungan Betawi akan sangat banyak ditemui kuburan di samping rumah sebelah kanan. Di samping rumah dibuat jemuran baik untuk menjemur pakaian atau menjemur emping ninjo, gaplek, dan bahan makanan lainnya. Tiang jemuran didirikan berjarak antar 20 sampai 30 meter dengan tinggi sekitar dua meter. Tiap tiang dibuat palang tempat mengikat tambang dari satu tiang ke tiang lainnya. Tambang yang sering digunakan biasanya tambang dadung. Tambang ini dibuat dengan kulit kayu. Di samping rumah dekat dapur atau di emper dibangun bangunan kecil sebagai lumbung. Lumbung digunakan untuk gudang penyimpanan bahan makanan, bibit, dan lai-lain. Di tempat itulah disimpan padi atau gabah, jagung, gaplek, dan biji-bijian untuk bibit (benih) seperti bibit oyong, ketimun, ketimun suri, kacang panjang, kacang tanah, bayam, pepaya, dan lain-lain. Apabila bibit ini tidak disimpan di lumbung, akan digantung di para-para bambu yang dibuat di ruang dapur. Di lumbung disimpan juga peralatan pertanian seperti pacul, pacul cangkrang, pacul garpu, garu, bangkil, pancong, parang, kampak, blencong, cangkram, linggis, alat luku, pengki, naya, keranjang, bronjong, kreneng, susug, bubung, kepis, lumpang, dan juga kayu bakar. Dapur (artinya ruang dapur) rumah orang Betawi sangat multi fungsi dan luas. Di dapur selain ada dapur itu sendiri ada pula grobog untuk menyimpan bumbu-bumbu, rempah-rempah 6
Sayur mapas sering juga disebut sayur bening, adalah sayur yang dibuat khusus untuk campuran makan perempuan yang baru melahirkan. Disebut sayur bening lantaran bumbunya ganya garam, bawang merah, dan sedikit bumbu penyedap. Dengan mengkonsumsi sayur ini, perempuan yang habis melahirkan akan mempunyai ASI yang banyak.
7
dan makanan matang. Ada setèlèng (rak piring) dan meja tempat meletakkan kendi, ketel, teko, eskan, dan bokor serta gelas. Ada pendaringan, tempayan, dangdang, kenceng, paso, kuali, pengulekan, bakul, kukusan, tampah, tenong, lesung, pane, dan lain-lain. Ada pula bale plupuh terbuat dari bambu yang dipecahkan sebagai tempat makan bersama dan kongko seturuan. Sumur Pada masyarakat Betawai yang tinggal di pedalaman, membuat sumur amat penting. Ada tiga model sumur yang dibikin orang Betawi : sumur kerek, sumur gantung/sengget/senggot dan sumur engkol. Orang Betawi biasanya membuat sumur di samping rumah sebelah kiri. Hal ini berkaitan dengan peruntukan lain, misalnya posisi kuburan yang pada umumnya berada di sebelah kanan. Ada beberapa cara untuk menentukan letak sumur. Pertama, menepuk-nepuk sekitar tanah di lahan yang dimaksud, jika bunyi atau suara tepukannya menadakan tanah padat, di situlah digali sumur. Kedua, menggelindingkan tampah. Di tempat tampah berhentilah digali sumur. Ketiga, melihat dan memperhatikan rumput yang berembun di pagi hari terutama bila di situ ada rumah galanggasi. Tempat tumbuh rumput begitu biasanya subur dan menyimpan sumber air yang baik. Setelah lokasi sumur ditemukan, dipanggillah tukang gali sumur (biasanya tiga orang). Dulu tukang gali sumur biasanya juga tukang gali kubur karena fisik mereka cukup kuat. Sekarang ini tukang gali sumur (juga tukang sumur bor) sering keliling kampung menawarkan jasa terutama di musim kemarau dan mereka berasal dari daerah Pantura. Perlengkapan tukang gali sumur adalah pacul, linggis, tambang dadung, kerekan, ember, dan pengki. Mereka mulai kerja pukul tujuh pagi, istirahat saat sembahyang lohor, sampai pukul lima sore. Saat pekerja naik istirahat di lobang sumur diletakkan lampu minyak tanah. Jika pekerjaan akan dimulai lagi dan lampu kedapatan mati maka ini sebagai tanda sumur itu tidak baik karena dianggap ditempati mahluk halus. Kemungkinan besar sumur dibatalkan dan diuruk. Akan dicari lagi tempat baru. Begitu seterusnya. Selain membikin sumur baru, dapat pula dimanfaatkan sumur yang ada tapi sudah lama tidak digunakan yang disebut sumur mati. Bila ingin mengaktifkan atau menggunakan sumur mati dilakukan cara khusus. Sebelum sumur diperbaiki dan dipakai terlebih dahulu dimasukkan ayam jago di kurungan ke dalam sumur. Setelah beberapa saat ayam jago itu ditarik ke atas. Bila ayam jago itu masih segar, otomatis sumur bisa dipakai lagi. Bila ayam jagonya ngap-ngapan atau mati, maka sumur tidak boleh dipakai karena dianggap ada penunggunya. Namun sumur mati masih bisa dipakai setelah penunggunya diusir. Caranya dengan memasang serenteng petasan (kira-kita satu meter) atau dengan memasukkan obor (dengan cara menaik-turunkan) dan membuat tabunan di dalamnya7. Jika sumur sudah selesai, lingkarannya dipasang semenan bata merah setinggi pinggang orang dewasa dan dibuat tiang di kiri-kanan, dipasangi kerekan, dilengkapi tambang dadung dan diujung tambang dadung atau tambang karet diikatkan ember lalu diujung tambang yang lain diikatkan bandulan sebagai pemberat. Kalau sumur sengget dibuat tiang yang diujung atas tiang dibuatkan senggot (penyanggah) untuk meletakkan bambu yang disebut kecuat sebagai penghubung dan tempat pengikat bambu sengget dan balu (pemberat pada ujung kecuat belakang). 7
Tidak dijelaskan kenapa kudu begitu. Namun sebenernya di dalam sumur mati ada kandungan zat beracun. Lampu yang mati atau ayam yang mati setelah dimasukkan ke dalam sumur mati, karena tidak dapat menahan ruang penuh gas beracun. Ngap. Amat bijak manakala membatalkan menggunakan sumur mati yang beracun.
8
Sumur belum dapat dimanfaatkan secara penuh kalau tidak ada kamar mandi. Kamar mandi berbentuk persegi empat terbuat dari pagar gedek bambu, yang sudah diukur dan dinamakan pager kajang. Orang Betawi tidak menggunakan bak mandi, tapi digunakan padasan (terbuat dari kayu berbentuk bulat dan dibuat lobang pada sisi bawah sebagai tempat keluar air memancur) untuk menampung air. Di sini disediakan pula tahang (tahang terbuat dari kayu berbentuk bundar sekarang bentuknya serupa dengan bak bundar yang terbuat dari plastik) sebagai tempat penampungan air atau merendam cucian. Di tahang disediakan gayung dari batok kelapa sebagai alat penyiduk air. Di sekitar sisi kamar mandi biasanya ditanami pohon mangkokan, kumis kucing, katuk, andong, sugi, pandan dan pohon obat-obatan lainnya. Sebagai tempat pembuangan air kotor, dibuat comberan yang jauhnya lebih kurang 15 meter dari sumur. Comberan dibuat persegi empat dengan ukuran 3 X 3 meter atau disesuaikan dengan lahan yang ada. Dari sumur (kamar mandi) ke comberan dibuat selokan pembuangan air. Bagi orang Betawi comberan ini digunakan pula sebagai tempat ternak ikan lele, gabus, gurame, sepat, dan mujair. Dimanfaatkan pula sebagai tempat merendam kayu yang akandigunakan untuk mendirikan rumah (seperti telah dijelaskan di atas). Comberan orang Betawi ini jangan diidentikkan dengan comberan masa kini yang jadi tempat bersemayamnya segala macam bibit penyakit. Comberan Betawi sangat bersih sehingga ikan-ikannya dapat terlihat dengan jelas dan anak-anak dapat memancing dan main perauperauan. Di pinggirnya dipagari bambu dan ditanami pohon pisang batu, kimpul, angsana atau jali-jali. Pohon jali-jali sebenarnya tumbuhan liar yang hidup di pinggir kali atau kalenan. Jamban atau WC sangat penting segera dibikin dan seyogyanya berbarengan dengan pembuatan sumur. Letak jamban berada paling belakang atau paling pojok dari kebun. Modelnya adalah jamban cemplung. Bentuknya seperti sumur atau segi empat namun kedalamannya sekitar 5 meter. Lobang jamban seluruhnya ditutup dengan kayu atau bambu kecuali di tengahtengah diameter lobang tidak ditutup sebesar 30 cm X 15 cm sebagai tempat BAB atau berjongkok nyemplungin hajat. Di daerah pertanian, biasanya dibikin jamban di atas empang tempat menternak ikan tawes, gurame, emas, mujair, sepat siem, gabus, lele, dan lain-lain. Jamban ini disebut jeramba. Memang dulu biasanya orang Betawi seharian ada di sawahnya bila sedang bertani. Di sawah pertanian itu biasanya terdapat entuk (mata air) dan didekatnya di buat kobak tempat mandi. Di dekat kobak dibangun gubuk kecil tempat istirahat, makan dan shalat. Gubuk ini digunakan pula sebagai pos jaga burung jika sedang musim nyawah alias musim menanam padi. Sedangkan kebutuhan makan siangnya disuplai/diantar dari rumah dan tugas mengantar makanan ini adalah anak atau istrinya. Jika sawah pertaniannya lebih dekat ke sungai, dibikin pula perlengkapan mandi dan buang hajat di atas sungai. Bila rumah benar-benar telah selesai, pemilik rumah pun tidak buru-buru menempati rumahnya. Harus terlebih dahulu diadakan upacara selamatan rumah baru. Tetangga yang diundang khususnya adalah mereka yang membantu kerja bakti membangun rumah. Tujuan selamatan ini sebagai ungkapan dan ucapan terima kasih kepada semua yang membantu dan memohon keselamatan kepada Allah bagi seluruh penghuni rumah. Setelah selesai pembangunan maka direncanakan upacara pindah rumah. Pemeliharaan Memelihara rumah menjadi hal penting. Terutama memasuki bulan tertentu, seperti menghadapi bulan puasa dan lebaran. Awal bulan Rowah atau Sya’ban, rumah dibersihkan dari segala debu dan sabang (sarang laba-laba). Memeriksa bagian bawah dan atap. Memeriksa 9
bagian bawah derompol dari serangan rayap. Dahulu bagian ini selalu dilapisi dengan ter. Pemeriksaan ini pun tidak lepasa dari memberikan kembali ter untuk meyakinkan tidak ada bagian kayu bagian bawah yang dimakan rayap atau jenis pengerat lainnya. Memperbaiki dinding. Dibersihkan juga perlengkapan rumah tangga, seperti tikar serta peralatan masakmemasak. Menjelang puasa, semua harus bersih, agar ibadah sempurna. Pemeliharaan lebih serius dilakukan menjelang lebaran. Fokus utama pemeliharaan, tentu lagi-lagi diarahkan pada seluruh pemeriksaan atau perbaikan bagian bawah, atap, dinding, kamar – terutama kamar mandi. Bagian bawah harus diperiksa dari serangan rayap dan jenis pengerat lainnya. Tiap pojok dan lekuk bagian bawah harus harus bebas dari kemungkinan masuknya binatang pengganggu. Pada rumah jaman dulu, yang berlantai tanah berumpak tinggi dan belum bertegel atau belum dipelur, masuknya binatang sangat mungkin. Ular, tikus, kelabang, bahkan bagian itu sering menjadi sasaran garong atau maling untuk ngegasir8. Kamar mandi harus bersih, tidak boleh ada lumut, jamur dan jentik nyamuk. Maka sejak dahulu, kolam atau bak mandi di kamar mandi sering dipiara ikan, sebagai penjaga munculnya jentik nyamuk atau jenis lainnya. Baru kemudian muncul garam atau kapur barus untuk mencegah jentik nyamuk. Atap tentu diperiksa rutin, namun menjelang lebaran pasti diperiksa lebih seksama. Kuatir ada yang bocor. Terutama musim kucing kawin, atap senantiasa dijadkan kucing untuk asik-masuk berkawinria. Akibatnya genting merosot. Atau retak kemudian pecah. Atau ditumbuhi lumut atau jamur yang menjadikannya mudah lapuk. Pas musim hujan, sengsaralah penghuninya. Pemeliharaan dinding tentu dengan mengecatnya. Sebelum cat dapat digunakan secara massal, dinding – yang terbuat dari kayu atau gedek (anyaman bambu) – dikapur. Mengecat rumah tentu tidak hanya pada bagian yang sudah kusam, tetapi keseluruhannya, luar dalam. Sekililing rumah harus dibersihkan dan senantiasa bersih. Maka suasana lebaran bukan saja nikmat, tapi kullu amin wa antum bi khairin. Penutup Dalam masyarakat Betawi sebagaimana telah diurai di atas, tersimpan rasam (tradisi) bagaimana membelakukan lingkugan dengan arif. Ada rasa saling mengasihi, saling mengormati dan saling membutuhkan antara manusia dengan lingkungan tempat tinggalnya. Jalinan itu melahirkan tatanan alam berkeseseimbangan. Tetua kampung memberikan arahan bagaimana mendirikan rumah. Disarankan lokasi tempat mendirikan rumah pada tanah yang posisinya lebih tinggi. Dengan membangun rumah pada posisi itu, memudahkan pembuangan kotoran, sampah, dan air limbah rumah tangga. Masyarakat Betawi pinggir yang agraris membuat rumah di tengah kebun. Di belakang rumah dibuat tempat pembungan air yang mengalir dari kamar mandi. Jarak tempat pembuanag cukup jauh dari sumur. Lokasi jamban lebih jauh lagi. Dijamin aman dari kemungkinan peresapan air kotor ke sumur. Rumah-rumah yang berhadapan dengan jalan raya membuat saluran pembuangan air diarahakan ke got di pinggir jalan. Got itu mengalirkan air ke tempat pembuangan. 8
Ngegasir diambil dari kata dasar gasir atau gangsir, artinya nama binatang sejenis jangkrik yang hidupnya di dalam tanah dan kemampuannya menggali tanah cukup hebat. Maka maling yang menggali tanah untuk masuk dari luar ke dalam di sedut maling gasiran. Maling itu membuat lobang tembus seukuran dirinya sebagai tempat keluar masuk. Hebat ya maling tempo dulu, kerja keras dan sabar menggali tanah, tanpa merusak bagian lainnya (tidak merusak pintu dan jendela).
10
Di halaman rumah sebelah kanan atau kiri dibuat tabunan. Tabunan dibuat di atas tanah berukuran 120 cm x 120 cm dengan kedalaman 40 sampai 60 cm. Tabunan berfungsi sebagai tempat menampung sampah, baik sampah rumah tangga maupun aram (sampah dedaunan kering yang gugur) berserakan di sekitar rumah. Ibu rumah tangga atau anak gadisnya biasa membersihkan atau menyapu halaman dua kali sehari, pagi dan sore. Sampah-sampah itu akan ditampung di tabunan. Jika tabunan sudah penuh, maka sampah yang ada di dalamnya dibakar. Pembakaran sampah ini disebut nabun. Hasil nabun dikumpulkan dan dijadikan penggemuk atau kompos. Gandaria Selatan, 12.12.12. :
[email protected]
11