Dua Jejaka Kampus
Ruangan Kuliah XX Fakultas Keguruan & Ilmu Pendidikan, UNSUR “Bangun Sam!” “Heh,” Sam mendadak membuka mata sesudah Acit menyikutnya. Setelah sempat terkesiap sesaat, kesadarannya kembali bekerja. “Sori Cit, biasa, malam tadi nonton bola,” ia menggeliat dan menambahkan dengan suara nyaring. Beberapa mahasiswa melongok ke arah mereka dengan pandangan sinis. Beruntung, suara Sam tidak sampai mengusik Pak Idris. Dosen Psikologi Pendidikan itu tampak tak “tersentuh” dan masih setia berceramah di depan kelas. “Kamu mau bunuh diri ya?” Acit berbisik. “Bukan salah aku juga, toh. Hawanya dingin, ruangan senyap kayak kuburan, dan yang kedengaran cuma suara si Idris yang mirip Tweety. Siapa coba yang nggak bakalan ngantuk?” “Kamu aja yang tukang tidur!” Acit kembali menyikutnya. “Untung si Idris nggak lihat. Kalo nggak, kamu bisa nggak lulus tahun ini. Dasar o’on, dia itu calon advisor skripsi kamu!” 6 ~ Oneironaut: Pengendali Mimpi
“Heeeh... dia udah bosan juga kali lihat mukaku. Aku recourse kuliah dia melulu.” Sahutan Sam terpotong suara Pak Idris, yang kali ini terdengar lebih tegas. “Nah, sekian kuliah kita hari ini. Tugas kalian untuk pertemuan mendatang. Kita akan membahas dan membandingkan pandangan Jean Piaget dan Lev Vygotsky, persiapkan diri kalian untuk presentasi dadakan!” “Huh, tugas lagi, tugas lagi,” Acit mengeluh kali ini sambil mengemasi buku-bukunya, beriringan dengan suara ribut dari mahasiswa-mahasiswa lainnya. “Lho, bukannya ini mata kuliah favorit kamu?” Sam bertanya spontan. “Tadinya. Tapi sudah nggak lagi, setelah aku tahu Rina batal recourse bareng kita,” Acit menyahut dengan nada ironi. Mereka pun beranjak dari tempat duduk dan membaur bersama mahasiswa lainnya, keluar ruangan. Lorong kampus, seperti biasa, riuh saat pergantian jam kuliah. Mahasiswa-mahasiswa tampak berseliweran di sana-sini, tidak sedikit yang berhenti dan meminggir, sekadar melihat pengumuman yang tertempel di dinding. Beberapa lainnya mendaratkan pantat mereka di bangku panjang yang masih kosong di pinggiran lorong. Sam dan Acit terus berjalan melewati mereka. Ruangan kuliah keduanya terletak di lantai paling tinggi di kampus ini. Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, tempat kuliah keduanya, berdampingan dengan Jurusan Pendidikan Budaya Daerah yang mengambil tempat di lantai 5. Keduanya menyusuri lorong kampus yang didesain berbentuk futuristis yang dipadukan dengan ornamen-
S yamsuwal Q omar
~7
ornamen khas Banjar. Lantainya dilapisi karpet biru. Bagian atas dindingnya berlekuk kerutan dengan warna biru muda, sementara bagian tengahnya berwarna cokelat yang sangat ranum, dengan ukiran rumah Banjar dan gambar intan beriringan setiap meternya. Beberapa menit berselang, mereka sampai di ujung lorong, menuju tangga turun, di mana langit-langitnya dibentuk membundar sehingga mengesankan sebuah pintu gerbang. Tulisan Kayuh Baimbai dan Together in Reaching Goal terukir dengan gaya Monotype Corsiva di dinding atasnya. Sebuah filosofi dalam budaya Banjar yang berarti “Bersama Mencapai Tujuan”. Di sini Sam mengalungkan tangannya ke bahu Acit sambil menuruni tangga turun. “Yah, mau gimana lagi, dua jejaka hina seperti kita memang layak dapat hukuman! Jomblo seumur hidup! Hahaha.” Acit hanya tersenyum masam, sambil mempercepat langkahnya. “Itu kan kamu yang…,” sahutannya dipotong suara bening yang menyeruak nyaring, menerobos ributnya gumaman suara mahasiswa lainnya. “Heiii! Tunggu dulu!” Sam dan Acit spontan berbalik. Naura, seorang dari teman kuliah mereka menghampiri. “Kenapa Ra? Tumben ngurusin kami?” Sam menatap genit. “Huh, ampun deh,” Naura mengernyit merespons. “Mau ke perpus bareng nggak? Sama Alex dan Indra. Tahu kan? Ngerjain tugas si Idris mesti keroyokan,” Naura cepat menyambung. “Hmmm,” Acit dan Sam tampak berpikir. 8 ~ Oneironaut: Pengendali Mimpi
“Malas banget....” “Tapi tetap harus dikerjain,” Acit menimpali. “Ya sudahlah,” Sam mengalah, sembari menghela napas panjang. “Dan kita akan ngebahas artis-artis itu lagi. Piaget, Vygotski, Gardner, Newton....” “Newton itu fisikawan!” Naura mengoreksi. “Nggak ada bedanya bagi aku.” “Dasar nggak beres!” Naura dan Acit menyahut berbarengan. ****************
Perpustakaan Borneo Lima makhluk berusia dua puluhan menembus masuk pintu utama. Perpustakaan Borneo, begitu namanya, terletak di tengah kompleks UNSUR. Selama tiga puluh tahun bangunan ini jadi jantung informasi mahasiswa. Meski desainnya berupa rumah adat Banjar, tapi fasilitas di dalamnya sama sekali tidak tradisional. Perpustakaan Borneo berlantai lima dan memiliki tiga ruangan khusus ensiklopedia, tiga ruangan khusus fiksi, serta tiga ruangan diskusi dan presentasi. Fasilitas e-library diakses melalui jaringan hotspot. Ada lima belas ruangan katalog yang terbagi dari Ilmu Filsafat, hingga Fisika Murni. Ke sanalah Acit, Sam, Naura, Indra, dan Alex melangkah, menuju Ruang Katalog Ilmu Pendidikan. “Jangan naik lift! Kalian tahu kan aku alergi tempat sempit!” Acit merengek. “Cerewet!” keempat kawannya menyahut berbarengan.
S yamsuwal Q omar
~9
Naura memencet tombol nomor 4 dan hanya berselang 15 detik, pintunya membuka. “Tuh, sana kamu naik tangga sendiri, kan lumayan bisa cuci mata sekalian,” Alex menyeletuk. Acit hanya mendesis, mengikuti keempat kawannya yang sudah menjejalkan diri dalam lift. Sekalipun suasana di dalamnya didesain serileks mungkin, dengan ornamen dan pahatan bercorak dekoratif dan modern, tetap tidak mampu membuatnya tenang. Acit berkeringat dingin. Perasaannya seperti terjebak dalam kaleng sarden. Ting tong. Lift kembali membuka tak sampai satu menit. Seketika itu pula, sebuah ruangan besar dengan rak-rak buku setinggi dua meter berjajar, terhampar di depan kanan dan kiri mereka. Di pojok kanannya, sekelompok mahasiswa sibuk membolak-balik lembaran demi lembaran buku di genggamannya. Di pojok kiri, tepat di depan dinding bercat putih, mahasiswa lainnya duduk di kursi yang disediakan, begitu serius menekuni laptop di hadapannya. Mereka melangkah ke luar lift bergiliran. Naura, seperti biasa, kemudian berucap, “Kita ketemu di meja depan paling kanan ya.” “Uuugh,” bunyi serupa keluar dari mulut keempat temannya. Mereka segera memencar ke segenap penjuru ruangan. Sam tiba-tiba menggamit pundak Acit dengan keras. Membuatnya terbatuk hingga sempat menyita perhatian beberapa orang. “Cit, kita ke bagian kiri sana dulu. Aku mau ngomong sesuatu,” Sam berucap sambil menunjuk sudut ruangan yang diapit dua rak besar penuh buku. Acit mengikutinya seolah tak ada pilihan lain. 10 ~ Oneironaut: Pengendali Mimpi
“Apaan?” sahut Acit, meraih kacamata di dalam saku celananya kemudian, dan mengambil sebuah buku di rak paling ujung, Miracle of Education. “Aku mau ngomong serius nih. Masa kamu sambil baca?” Sam mengerutkan kening. “Cerewet ah. Kalau kamu mau cerita, ya cerita aja,” Acit berucap sambil lalu. “Hmmm...,” Sam menggumam pelan. “Aku nggak tahu mesti mulai dari mana. Aku mimpi basah dengan Naura malam tadi.” “Heeh...,” Acit menirukan suara orang asma, diiringi tawa nyaring Sam. “Oke, bercanda, mau tahu?” “Kamu tuh mau ngomong serius atau nggak?” “Oke, oke, kamu tahu gosip di kampus? Kalau Alex dan Indra sebenarnya pasangan gay?” “Heeh...,” Acit kembali menirukan suara orang asma. Diiringi tawa Sam yang lebih keras. “Ini yang serius nih. Kamu itu teman aku yang paling dekat, makanya aku mau minta pendapat kamu tentang sesuatu. Tapi, ini benar-benar pendapat kamu. Bukan kutipan ahli pikir yang sering kamu hafal itu.” “Ya,” Acit kembali bernada tak acuh. “Nah, kamu percaya nggak dengan adanya kehidupan lain, selain yang ada sekarang? Hmm... gimana ya, seperti alam khayalan….” “Yang dihuni jin, makhluk halus, atau setan?” Acit memotong, sembari melepas kacamata, tatapannya memancarkan kegairahan tersendiri. Seperti mata anak kecil yang berbinar setelah diberi mainan.
S yamsuwal Q omar
~ 11
“Bukan. Bukan yang seperti itu. Yang ini lebih seperti…,” Sam mencari-cari kata yang tepat sambil mengacung-acungkan telunjuknya ke atas, namun akhirnya ia menyerah. “Kamu ingat kalau kita pernah ngomong soal kembaran di dunia lain?” “Doppelganger?” Acit menyahut cepat. “Kayaknya aku mulai percaya dengan hal-hal seperti itu….” “Hmmm, gimana ya? Hal seperti itu memang asyik banget dibahas. Ada yang percaya ada yang nggak. Kamu mau ngebahasnya dari mana dulu? Dari sudut pandang agama, ilmu pengetahuan….” “Nah, kan sudah kubilang, aku nggak butuh teori agama atau ilmuwan. Aku tuh minta pendapat KAMU, ngerti?” Sam memperjelas sambil memutar-mutar kedua telunjuknya di samping kepala. “Hal seperti itu nggak bisa dijelasin sembarangan. Kalau kamu memang....” “Cit, bungkus aja tuh teori,” Sam memadamkan. Hufh. Acit mengerucutkan bibir. “Nggak bisa ya, aku ngasih tahu apa yang aku tahu sedikit aja?” ia menyambung penuh sindiran. “Sedikit yang berarti, setengah jam kalau kamu lanjutin!” Acit melanjutkan masih dengan muka merengut. “Oke, oke, aku percaya. Apa sih yang nggak mungkin di dunia ini? Tapi segala sesuatu harus dilihat dalilnya dulu. Kenapa memangnya kamu tiba-tiba ngomong soal ini?” Sam terdiam beberapa saat, “Mungkin akan kedengaran konyol kalau aku ngomong alasannya....” 12 ~ Oneironaut: Pengendali Mimpi
Acit mengangguk-anggukkan kepalanya. “Hmm… yah, kamu boleh cerita. Tapi aku kira, ada sesuatu yang lebih menarik sekarang.” “Apaan?” Sam spontan bertanya, penasaran. Acit menggerakkan dagunya. “Luna, arah jam 9.”
S yamsuwal Q omar
~ 13