LAPORAN HASIL KAJIAN SISTEM PEMASYARAKATAN TEKNOLOGI PASCA PANEN UMKM MENDUKUNG PENGEMBANGAN AGRIBISNIS DI PROPINSI SULAWESI SELATAN PROGRAM INSENTIF PERCEPATAN DIFUSI DAN PEMANFAATAN IPTEK Drs. Nasruddin Razak, dkk ABSTRAK Kajian Sistem Pemasyarakatan Teknologi Pasca Panen UMKM Mendukung Pengembangan Agribisnis di Propinsi Sulawesi Selatan, bertujuan untuk mengkaji kinerja pola pembinaan dan kemitraan UMKM dalam mengakselerasi pemasyarakatan teknologi pasca panen hasil-hasil pertanian. Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang bergerak di bidang pengolahan hasil pertanian mampu mendukung pengembangan agribisnis secara keseluruhan yang berpeluang besar dalam upaya peningkatan nilai tambah. Pelaku UMKM yang mengolah hasil-hasil pertanian sangat memerlukan teknologi pasca panen tepat guna spesifik lokasi. Sampai saat ini belum diketahui, bagaimana kinerja model pembinaan dan kemitraan UMKM pengolahan hasil pertanian di Sulawesi Selatan? Focus yang akan dikaji pada pengembangan model pembinaan dan kemitraan teknologi pasca panen UMKM adalah pada komoditas padi, kentang, dan jagung sebagai komoditas unggulan Sulawesi Selatan. Metode pelaksanaan kegiatan dengan metode survei. Penentuan responden dengan motode stratifit propursif sampling dengan strata a) lembaga sumber teknologi, b) pelaku UMKM pengolahan hasil pertanian, dan c) lembaga pembina UMKM tingkat pemprop dan pemkab/kot. Luaran yang diharapkan dalam kegiatan ini adalah: (1) Satu set data dan informasi ketersediaan teknologi pasca panen pada lembaga-lembaga penghasil dan penyedia teknologi di Propinsi Sulawesi Selatan; (2) Tiga set data dan informasi profil dan kinerja UMKM di Propinsi Sulawesi Selatan; (3) Tiga set data dan informasi potensi dan kebutuhan teknologi pasca panen di Propinsi Sulawesi Selatan; (4) Pola dan strategi pembinaan UMKM yang adaptif di Propinsi Sulawesi Selatan; dan (5) Pola kemitraan dalam upaya pengembangan teknologi pasca panen UMKM yang melibatkan pengrajin, pemerintah daerah, pemasok, dan pemasaran di Propinsi Sulawesi Selatan. Hasil pengkajian menunjukkan wilayah Propinsi Sulawesi Selatan berpotensi untuk mengembangkan UMKM pengolahan hasil pertanian karena didukung dengan produksi pertanian yang melimpah, sumber daya manusia memadai, dan teknologi pengolahan hasil yang tersedia. Kemitraan UMKM pengolahan hasil terdiri dari lembaga pemasok (petani/kelompok tani/ pedagang pengumpul pertanian), lembaga pengolahan (UMKM pengolahan hasil), dan lembaga pemasaran (pedagang, kios/warung campuran). Sumber teknologi yang berada di wilayah Propinsi Sulawesi Selatan terdiri dari BPTP Sulawesi Selatan, Perguruan Tinggi, Diperindag, dan swasta. Pembinaan pengembangan UMKM pengolahan hasil pertanian dilakukan oleh BPTP Sulawesi Selatan, BKPD Propinsi/Kabupaten/Kota, Diperindag Propinsi/Kabupaten/ Kota, Dinas Pertanian, Perguruan Tinggi, dan Swasta dalam bentuk pembinaan modal, teknologi, dan manajemen. Program aksi pengembangan UMKM pengolahan hasil pertanian yang disarankan ada 4 program yaitu; a) penyuluhan dan pelatihan KWT, KUB, dan Swasta, b) Peningkatan kualitas hasil olahan pertanian, c) pemanfaatan skim kredit UMKM, dan d) penerapan teknologi tepat guna. Kata kunci: Teknologi pasca panen, UMKM, pembinaan, kemitraan.
1 www.sulsel.litbang.deptan.go.id
PENDAHULUAN Pembangunan pertanian merupakan bagian integral dari pembangunan ekonomi yang pada dasarnya adalah suatu upaya untuk meningkatkan kualitas, produktivitas, dan kesempatan kerja di sektor pertanian. Keberhasilan pembangunan pertanian tidak hanya bergantung pada faktor sumberdaya alam dan manusia, akan tetapi juga bergantung pada faktor komunikasi, teknologi dan kinerja kelembagaan yang merupakan
faktor penggerak
dalam pembangunan pertanian di mana faktor tersebut saling terkait antara satu dengan yang lainnya.
Dengan demikian penerapan teknologi saja tidak cukup untuk mengatasi
permasalahan di lapangan tetapi perlu diimbangi dengan pengelolaan sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan komunikasi yang baik (Soentoro, et. al., 2002). Menurut Everett M Rogers dalam Cangara (2002), bahwa komunikasi adalah proses di mana suatu ide dialihkan dari sumber kepada satu penerima atau lebih dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka. Perkembangan komoditas pertanian di Indonesia mulai dekade 1990-an mengalami penurunan daya saing. Hal ini terutama disebabkan oleh lemahnya Sistem Inovasi Nasional yang berakibat pada tidak berkembangnya proses difusi teknologi yang telah dihasilkan oleh lembaga-lembaga riset nasional. Oleh karena itu, dicari upaya perbaikan posisi daya saing nasional melalui program BPPT yang diluncurkan pada Tahun 2010. Selanjutnya dijelaskan bahwa sebagai bentuk realisasi dari Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi yang kemudian dipertegas dengan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan
Usaha
Mikro,
Kecil
dan
Menengah
(UMKM),
pemerintah
berupaya
meningkatkan sinergi pengembangan UMKM melalui Pusat Inovasi UMKM (PI-UMKM). Peran UMKM dalam pembangunan nasional merupakan suatu realitas yang tidak dapat dipungkiri lagi bahwa UMKM adalah sektor ekonomi nasional yang paling strategis dan menyangkut hajat hidup orang banyak, sehingga menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Hal ini dipertegas oleh Warjiyo (2004) menyatakan bahwa perkembangan sektor UMKM selama ini menggembirakan. UMKM juga merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian di Indonesia dan telah terbukti menjadi kunci pengaman perekonomian nasional dalam masa krisis ekonomi, serta menjadi dinamisator pertumbuhan ekonomi pasca krisis.(Sutirman, 2010). Wakil Ketua Umum Kadin Bidang UMKM dan Koperasi (Investor Daily, 2010) mengungkapkan bahwa pertumbuhan sektor UMKM sekitar 25% pada tahun 2010 dan bakal bergerak pada level 25-30% dari tahun ke tahun.
2 www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Sulawesi
Selatan
memiliki
agroekosistem
sesuai
untuk
pengembangan
padi
(Bosowasipilumargo), kentang (Gowa, Bantaeng, dan Enrekang), dan Jagung (lahan kering dataran rendah sampai medium). Produk pertanian sangat dipengaruhi oleh fluktuasi musim, pada saat musim panen, hasil panen melimpah sehingga penawaran produk semakin bertambah dilain pihak permintaan tetap sehingga harga produk tersebut menurun, dilain pihak produk pertanian yang dipanen dalam bentuk segar cepat membusuk dan menurun mutunya. Pengolahan produk pertanian di pedesaan lebih banyak dilakukan dengan skala usaha rumah tangga dengan teknologi sederhana dan tidak tersedianya lembaga keuangan dipedesaan sehingga petani tidak bisa meningkatkan usahanya. Agar produk pertanian mempunyai nilai jual yang mampu bersaing di pasaran dan mempunyai nilai jual yang tinggi perlu dilakukan upaya mempertahankan mutu dan menunda jual saat panen maka diperlukan teknologi pasca panen yang sesuai dengan jenis produk. Berbagai hasil teknologi pasca panen yang telah dihasilkan melalui serangkaian penelitian oleh lembaga penelitian baik sektor pemerintahan maupun swasta. Teknologi pengolahan hasil pertanian sudah tersedia dan siap direkomendasikan kepada pengguna (Syafril, 2009; Utomo, 2007; Ida, 2009). Petani selaku produsen pertanian yang kebanyakan berada di pedesaan kurang memamamfaatkan teknologi tersebut dengan berbagai kendala; lemahnya dan kurang berfungsinya kelembagaan petani, kelompok tani yang bergabung dalam gapoktan sebagai wadah belum memperlihatkan kinerja yang sesuai dengan harapan anggotanya dan kurang mampu mengakses informasi dari sumbernya, tidak mengetahui saluran informasi. Agar semua teknologi pasca panen yang telah diperoleh dapat dimanfaatkan oleh pengguna diperlukan usaha memasyarakatkan kepada pengguna. PERUMUSAN MASALAH UMKM
yang
mengelola
hasil
pertanian
masih
mempunyai
kelemahan
dalam
pengembangan melalui penerapan teknologi pasca panen. pengembangan usaha untuk mencapai kinerja agribisnis yang tinggi diperlukan sistem pemasyarakat teknologi tepat guna spesifik lokasi. Penerapan teknologi pasca panen
pada
UMKM mempunyai prospek
pemasaran hasil olahan, tetapi juga menghadapi permasalahan yang sangat komplek. Namun demikian dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu; a. Bagaimana kinerja pola pembinaan dan kemitraan mengakselerasi pemasyarakatan teknologi pasca panen UMKM pada komoditas padi di Sulawesi Selatan? b. Bagaimana kinerja pola pembinaan dan kemitraan mengakselerasi
pemasyarakatan
teknologi pasca panen UMKM pada komoditas kentang di Sulawesi Selatan? 3 www.sulsel.litbang.deptan.go.id
c. Bagaimana kinerja pola pembinaan dan kemitraan mengakselerasi pemasyarakatan teknologi pasca panen UMKM pada komoditas Jagung di Sulawesi Selatan? Untuk menjawab permasalahan tersebut diatas, maka perlu dilakukan; a.
Melakukan identifikasi dan kebutuhan teknologi pasca panen oleh UMKM di Sulawesi selatan.
b.
Melakukan identifikasi ketersediaan dan penyebaran teknologi pasca panen pada lembaga penghasil teknologi pasca panen.
c.
Merancang pola pembinaan UMKM guna mengakselerasi pemasyarakatan teknologi pasca panen UMKM di Sulawesi Selatan.
d.
Merancang pola kemitraan guna mengakselerasi pemasyarakatan teknologi pasca panen di Sulawesi Selatan.
METODOLOGI 1. Waktu dan Lokasi Kegiatan ini akan pada Maret - Nopember 2011. Penentuan lokasi dengan metode purposive sampling dengan pertimbangan bahwa lokasi pengembangan padi, jagung, dan kentang di Sulawesi Selatan. Wilayah pengembangan padi, kentang, dan jagung
yang
mempunyai UMKM pengolahan hasilnya akan dijadikan sampel lokasi survei. UMKM pengolahan hasil padi, kentang, dan jagung diidentifikasi peluang dan sistem pemasyarakatan teknologi pasca panen UMKM yang diinginkan oleh pengguna dan menfalisitasi dalam pembinaan dan kemitraan usaha dalam upaya peningkatan kinerja UMKM. 2. Ruang Lingkup Kegiatan Ruang lingkup kegiatan yang akan dilakukan identifikasi profil dan kebutuhan teknologi pasca panen oleh UMKM, informasi ketersediaan serta penyebaran ternologi pasca panen pada lembaga penghasil teknologi pasca panen, rancangan pola pembinaan UMKM guna pemasyarakatan teknologi pasca panen UMKM, dan rancangan pola kemitraan guna pemasyarakatan teknologi pasca panen UMKM di Sulawesi Selatan. 3. Tahapan Kegiatan Kajian pemasyarakatan teknologi pasca panen melalui kegiatan identifikasi profil dan kebutuhan teknologi pasca panen oleh UMKM, informasi ketersediaan serta penyebaran ternologi pasca panen pada lembaga penghasil teknologi pasca panen, rancangan pola pembinaan UMKM guna pemasyarakatan teknologi pasca panen UMKM, dan rancangan pola kemitraan guna pemasyarakatan teknologi pasca panen UMKM di Sulawesi Selatan. Tahapantahapan kegiatan yang akan dilakukan sebagai berikut:
4 www.sulsel.litbang.deptan.go.id
a) Konsultasi dan koordinasi dengan pemerintah propinsi (pemprop) dan pemerintah kabupaten (pemkab) untuk memperoleh dukungan kebijakan, agar dalam pelaksanaan kegiatan dapat berjalan sesuai dengan harapan. b) Penyusunan bahan untuk pengambilan data sekunder dan primer melalui wawancara. c) Identifikasi lembaga sumber teknologi pasca panen, penyebaran teknologi, dan pelaku usaha pengolahan hasil pertanian untuk memperoleh informasi sesuai dengan kebutuhan dalam pelaksanaan penelitian. d) Seminar hasil untuk menyampaikan hasil kajian. e) Laporan akhir sebagai pertanggung jawaban pelaksanaan kegiatan. 4.
Rancangan Pelaksanaan kegiatan dan Pengumpulan Data Kegiatan ini dibagi menjadi tiga sub kegiatan meliputi;
a. Sub Kegiatan 1: Kajian Kelembagaan Gapoktan Dalam Pemasyarakatan Teknologi Pasca Panen Mendukung Agribisnis Pedesaan di Sulawesi Selatan. b. Sub Kegiatan 2: Kajian Peningkatan Kinerja pembinaan dan Kemitraan Pengembangan Pengolahan Kentang Skala UMKM Di Sulawesi Selatan. c. Sub Kegiatan 3: Kajian Peningkatan Kinerja pembinaan dan Kemitraan Pengembangan Pengolahan Jagung Skala UMKM Di Sulawesi Selatan. Rancangan pelaksanaan kegiatan untuk mengidentifikasi profil pelaku usaha pengolahan hasil pertanian, kebutuhan teknologi, ketersediaan teknologi di tingkat lembaga sumber teknologi, dan penyebaran teknologi pasca panen pada ketiga sub kegiatan tersebut dengan metode/rancangan kegiatan sebagai berikut a. metode survei. Penentuan calon responden/sampel dengan metode stratifit propursif sampling. 1) strata pertama adalah lembaga sumber teknologi pasca panen yang berada di wilayah pengkajian. Lembaga sumber teknologi yang dijadikan responden adalah Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat pada Perguruan Tinggi, serta Lembaga Swadaya Masyarakat/lembaga independen yang bergerak dibidang penelitian pasca panen hasil pertanian,
2) strata kedua adalah pelaku UMKM pengolahan hasil padi, kentang, dan
jagung. Masing-masing pelaku UMKM tersebut akan dikelompokkan lagi berdasarkan kemampuan/kapasitas usaha yaitu kecil, menengah, dan besar. Setiap kelompok akan diambil sampel secara proporsional atau total minimal sampel pelaku UMKM 30 responden untuk memenuhi persyaratan penelitian (Lewangka, 2003). 3) strata ketiga adalah lembaga pembina penyebaran teknologi pasca panen. Lembaga tersebut yang bersentuhan langsung dengan pembinaan kepada pelaku UMKM pengolahan hasil baik dari sisi teknis, 5 www.sulsel.litbang.deptan.go.id
SDM, manajemen, permodalan, dan administrasi. Namun demikian penekanan utama pada lembaga pembinaan teknologi pasca panen. b. Pengumpulan data sekunder dan primer. Data sekunder akan diperoleh dari instansi terkait. Adapun data primer akan diperoleh dari hasil wawancara kepada pengelola lembaga sumber teknologi, pelaku usaha, pengelola lembaga mediator transfer teknologi. c. Persiapan bahan wawancara/kuisioner. Daftar pertanyaan akan dibuat berdasarkan kebutuhan indormasi yang akan digali untuk menjawab permasalahan kegiatan ini. d. Pengumpulan data. Data dikumpulkan dari ketiga strata tersebut dengan teknis wawancara yang dilengkapi dengan daftar pertanyaan yang telah disusun. Sedangkan
untuk
pengembangan
perancangan
pola
pembinaan
UMKM
dan
pengembangan kemitraan pada ketiga sub kegiatan tersebut menggnakan pendekatan mediasi dan pertemuan dengan Focus Group Discussion (FGD). Metode pelaksanaan kegiatan sebagai berikut: a.
Penyus unan rancangan pola pembinaan UMKM yang berpeluang untuk diterapkan di Sulawesi Selatan pada masa yang akan datang.
b.
Pembah asan rancangan pola pembinaan UMKM secara bertahap sampai disepakatinya pola pembinaan yang dinilai aplikatif, efektif, dan efisien.
c.
Penyus unan rancangan pola kemitraan UMKM dengan berbagai lembaga terkait, termasuk lembaga pendukung.
d.
Diskusi dan konsinyasi melibatkan berbagai lembaga terkait secara sistematis dan terencana dalam rangka membahas rancangan pola kemitraan dimaksud.
e.
Perumu san pola kemitraan yang aplikatif dalam upaya pengembangan teknologi pasca panen dan sekaligus bermanfaat bagi pengambangan UMKM di Propinsi Sulawesi Selatan.
f.
Penulisa n laporan penelitian.
5. Metode Analisis 6 www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Analisis data dan interpretasinya dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif serta analisis tabulasi (Nasir, 1998). Tabulasi data hasil wawancara pada profil lembaga sumber teknologi, pelaku usaha, penerapan teknologi pasca panen, kebutuhan teknologi, permasahan dan hambatan pengembangan usaha. Hasil tersebut dideskripsikan untuk memperoleh gambaran kondisi model pembinaan dan kemitraan UMKM pengolahan hasil pertanian. Perancangan model dan strategi pembinaan UMKM, khususnya UMKM yang memiliki potensi besar untuk berkembang, menggunakan analisis SWOT. Berbagai rancangan pola dan strategi pembinaan yang berpeluang untuk diaplikasikan akan didiskusikan secara intensif di dalam Tim dan dengan peneliti dan nara sumber lain, baik internal institusi maupun dengan melibatkan nara sumber dari luar institusi. Melalui kegiatan ini diharapkan dapat dihasilkan pola pembinaan yang aplikatif, efektif, dan efisien. Langkah selanjutnya adalah perancangan dan perumusan model kemitraan antara UMKM yang mempunyai potensi besar untuk berkembang dengan berbagai lembaga terkait, baik lembaga utama maupun lembaga penunjang. Kegiatan yang akan banyak dilakukan dalam perancangan dan perumusan model kemitraan ini adalah diskusi dan konsinyasi dengan berbagai pihak yang terkait, seperti UMKM, pemerintah daerah, lembaga pemasok, lembaga pemasaran, serta lembaga pendukung lainnya. Berbagai aktivitas diskusi dan konsinyasi dilakukan secara sistematis dan terencana, sampai diperolehnya pola kemitraan yang aplikatif dalam upaya pengembangan teknologi pasca panen dan sekaligus bermanfaat bagi pengembangan beberapa UMKM pengolah hasil pertanian utama di Provinsi Sulawesi Selatan. RANCANGAN RISET Penelitian ini menggunakan tiga rancangan dan pendekatan untuk mencapai tujuan yang telah digariskan. Untuk mengungkap ketersediaan teknologi pasca panen pada lembaga penghasil dan penyedia teknologi dilaksanakan menggunakan rancangan sensus. Tahapan pelaksanaan kegiatan adalah sebagai berikut: a.
Desk study untuk menentukan lembaga sebagai obyek penelitian. Melalui cara ini akan dapat diketahui lembaga penghasil dan penyedia teknologi pasca panen bidang pertanian yang digunakan oleh UMKM di Propinsi Sulawesi Selatan.
b.
Penyiapan daftar pertanyan untuk pedoman wawancara. Pertanyaan-pertanyaan sebagai pedoman dalam wawancara disusun secara sistematis sehingga dapat mengungkap data dan informasi yang dibutuhkan.
7 www.sulsel.litbang.deptan.go.id
c.
Pengumpulan data dan informasi penelitian melalui wawancara mendalam (in-depth interview) dengan responden serta melalui dokumen-dokumen yang terkait.
d.
Tabulasi dan analisis data penelitian.
e.
Penulisan laporan penelitian. Sedangkan untuk mengungkap profil dan kinerja UMKM serta potensi dan kebutuhan
teknologi pasca panen dilaksanakan menggunakan rancangan survai dengan menggabungkan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Tahapan pelaksanaan kegiatan sebagai berikut: a.
Desk
study
untuk
menentukan
daerah, lokasi, dan obyek penelitian. Melalui cara ini akan dapat diketahui UMKM yang akan menjadi obyek riset pada berbagai kabupaten dan kota di Propinsi Sulawesi Selatan. b.
Penyiapan daftar pertanyan untuk pedoman wawancara. Pertanyaan-pertanyaan sebagai pedoman dalam wawancara disusun secara sistematis sehingga dapat mengungkap data dan informasi yang dibutuhkan.
c.
Penetapan kerangka sampling dan responden penelitian. Kerangka sampling penelitian meliputi semua UMKM di Propinsi Sulawesi Selatan. Dari kerangka sampling ini ditetapkan unit-unit responden penelitian secara purposif (purpossive sampling). Dasar pertimbangan dalam menetapkan lembaga UMKM sebagai obyek penelitian adalah: (i) UMKM yang mengolah hasil-hasil pertanian, (ii) UMKM resmi yang telah terdaftar pada dinas/instansi terkait, (iii) aksesibilitas memadai, dan (iv) berpeluang untuk berkembang di masa datang.
d.
Pengumpulan data dan informasi penelitian melalui wawancara mendalam (in-depth interview) dengan responden serta melalui dokumen-dokumen yang terkait.
e.
Tabulasi
dan
analisis
data
penelitian. f.
Penulisan laporan penelitian. Selanjutnya untuk kegiatan Perancangan Pola Pembinaan UMKM dan Pengembangan
Kemitraan, dipakai pendekatan mediasi dan pertemuan atau Focus Group Discussion (FGD). Lokasi pelaksanaan mempertimbangkan efektivitas dan efisiensi. Tahapan pelaksanaan kegiatan sebagai berikut: a.
Penyusunan rancangan pola pembinaan UMKM yang berpeluang untuk diterapkan di Sulawesi Selatan pada masa yang akan datang. 8 www.sulsel.litbang.deptan.go.id
b.
Pembahasan rancangan pola pembinaan UMKM secara bertahap sampai disepakatinya pola pembinaan yang dinilai aplikatif, efektif, dan efisien.
c.
Penyusunan rancangan pola kemitraan UMKM dengan berbagai lembaga terkait, termasuk lembaga pendukung.
d.
Diskusi dan konsinyasi melibatkan berbagai lembaga terkait secara sistematis dan terencana dalam rangka membahas rancangan pola kemitraan dimaksud.
e.
Perumusan pola kemitraan yang aplikatif dalam upaya pengembangan teknologi pasca panen dan sekaligus bermanfaat bagi pengambangan UMKM di Propinsi Sulawesi Selatan.
f.
Penulisan laporan penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. PENGOLAHAN HASIL KOMODITAS PADI
Karakteristik Pengolahan Hasil Padi Umur Merupakan salah faktor yang dapat mempengaruhi produktivitas petani dalam mengolah lahan pertanian. Oleh karena itu petani yang berumur lanjut usia kemampuan dalam mengelola lahannya akan sangat berbeda dengan petani yang berusia lebih muda. Ketika usia petani semakin lanjut maka kemampuan fisiknya semakin menurun dibanding dengan petani yang berusia lebih muda. Selain itu petani yang berusia lanjut kurang berminat dalam menerima dan menyerap inovasi teknologi yang ditawarkan (kolot) dikarenakan pengalaman dalam bertani sangat mempengaruhi pola pikir petani berusia lanjut. Petani berusia tua dan pendidikan lebih rendah sulit menerima perubahan inovasi teknologi produksi sayuran (Sunanto, dkk) Berdasarkan Hasil identifikasi dilapangan, umur pemasok bahan bahan baku berkisar 32–59 tahun dengan rataan 49,8 tahun, umur petani responden untuk penggilingan beras rata-rata 43,09 dengan kisaran 30-63, padapetani pengolah jipang rata-rata 35,25 dengan kisaran 30-40. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa umur petani pengolah hasil padi masih tergolong produktif. Tabel 1. Karakteristik Petani Responden di Kabupaten Sidrap
9 www.sulsel.litbang.deptan.go.id
No 1 2 3 4 5 6 7 8
Karakteristik Umur Pendidikan Pengalaman Berusaha Luas Lahan Jumlah Anggota Klrg Jumlah Anggota Poktan Jumlah TK Jumlah Invetasi
Pemasok Bahan Baku Penggilingan Beras Pengolahan Jipang Kisaran Rataan Kisaran Rataan Kisaran Rataan 32-59 49,8 30 – 63 43,09 30 – 40 35,25 6–9 7,6 4 – 17 8,18 6–9 8,25 0 0 4 – 30 10,45 5 – 10 7,75 0,6 – 8,5 3 0 0 0 0 4–9 5,8 0 0 0 0 25-60 44,4 0 0 0 0 0 0 2 – 14 4,36 3–4 3,25 0 025.000.000 – 175.000.000 78750000 600.000 – 1.100.000925000
Sumber : Analisis Data Primer, 2011 Dari segi pendidikan, rata-rata petani hanya sampai tingkat SD dan SMP, dan ada beberapa yang sampai SMA. Lama Pendidikan untuk pemasok berkisar 6-9 tahun dengan rataan 7,6 tahun, untuk petani pengggiling beras berkisar 4-17 tahun dengan rataan 8,18 tahun sedangkan umur petani pengolah jipang berkisar 5-10 tahun dengan rataan 7,75 tahun. Melihat kondisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pola pikir petani yang masih mengesampingkan faktor pendidikan dalam melakukan pekerjaan, padahal
pendidikan
adalah
faktor
penunjang
dalam
pengembangan
kualitas
sumberdaya manusia. Dengan pendidikan, setiap manusia akan cepat menerima informasi dan inovasi yang disampaikan kepadanya sehingga manusia tersebut akan berpengetahuan luas, terampil dan tidak mudah diprovokasi dengan isu-isu yang beredar. Selain pendidikan, pengalaman dalam bekerja sangat dibutuhkan karena dengan pengalaman manusia dapat belajar dari kesalahan-kesalahan dimasa lalu dan melakukan inovasi baru dalam bekerja untuk menghasilkan hasil yang optimal. Dari hasil wawancara dengan beberapa petani pengolah beras, rata-rata pengalaman berusaha mereka adalah 10,45 dengan kisaran 4 -30 tahun, pada petani pengolah jipang, rata-rata pengalaman mereka adlah 7,75 dengan kisaran 5-10 tahun. Dapat dilihat bahwa pengalaman berusaha tersebut seiring dengan usia petani memulai usahanya.
10 www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Jumlah tanggungan keluarga petani adalah jumlah orang yang berada dalam manajemen keluarga tani selain kepala keluarga. Semakin banyak jumlah anggota keluarga semakin tinggi biaya yang dialokasikan untuk konsumsi dan kebutuhan lainnya, dengan demikian akan mempengaruhi pula jumlah dana yang dialokasikan untuk usahatani yang dikelola. Dilain pihak, jumlah anggota keluarga yang banyak memberikan keuntungan dalam hal pengambilan keputusan, dan membantu sebagai tenaga kerja pada usaha tani yang dikelola. Pada petani pemasok jumlah tanggungan petani berkisar 4-9 orang dengan rataan 5,8 orang. Luas lahan garapan berkisar antara 0,6 – 8,5 ha atau dengan rataan 3 ha. Penguasaan lahan seperti tersebut diatas untuk diusahakan dengan tanaman padi cukup luas. Sebab usahatani padi memerlukan biaya produksi yang cukup besar terutama pada biaya pengolahan dan pemupukan. Besarnya usahatani yang dilakukan dilihat dari jumlah investasi dan jumlah tenaga kerja yang digunakan dalam proses pengolahan hasil padi. Rata-rata jumlah investasi penggilingan 78.750.000 dengan kisaran 25.000.000 – 175.000.000 dan ratarata jumlah tenaga kerja 4,36 dengan kisaran 2-14 orang, sedangkan rata-rata jumlah investasi pengolah jipang 925.000 dengan kisaran 600.000 – 1.100.000 dan rata-rata jumlah tenaga kerja 3,25 dengan kisaran 3 -4 orang.
Pemasok Bahan baku Pola tanam yang dilakukan petani responden
adalah padi-padi, benih yang
digunakan adalah jenis SHS yang diperoleh dari produsen benih. Pengolahan lahan belum sepenuhnya intensif, masih ada petani yang masih menerapkan cara lama/cara petani, pemupukan yang dilakukan pun masih ada petani yang menggunakan dosis yang tidak tepat, dan tidak mengikuti petunjuk penggunaan pupuk berimbang. Belum banyak Petani yang mengolah kembali hasil usahatani menjadi bahan yang langsung 11 www.sulsel.litbang.deptan.go.id
dikonsumsi oleh konsumen, salah satunya disebabkan karena petani masih fokus dengan usahataninya, banyaknya modal dan tenaga kerja yang digunakan. Dan Petani umumnya mengolah usahataninya untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sehingga jika panen, hasilnya langsung dijual kepada pengumpul. Pembinaan kepada petani yang ikut dalam kelompok tani rutin dilakukan antara lain dilaksanakan oleh instansi setempat seperti Dinas pertanian, BPTP dalam hal penyuluhan dan pengenalan teknologi terbaru, selain itu Deperindag, BRI terutama dalam hal pengolahan hasil dan permodalan. Biasanya pembinaan dilakukan diruang tertutup, melalui pertemuan-pertemuan rutin, petani lebih mengharapkan agar pembinaan yang dilakukan lebih banyak dilaksanakan dilapangan sehingga petani langsung melihat proses pembinaan yang diajarkan. Petani pemasok melakukan kemitraan dengan pengusaha lokal. Dan Pola kemitraan belum terbentuk secara formal, sebagian besar dilakukan secara non formal artinya hanya melalui pembicaraan, belum ada kontrak ikatan kerja. Hal ini karena petani masih menjual dalam jumlah yang kecil, sebagian pedagang atau pengusaha menginginkan kemitraan tertulis dalam bentuk kontrak kerja jika petani mampu memenuhi kebutuhan yang disyaratkan oleh pengusaha. Demikian pula dengan penyaluran saprodi, petani masih bermitra dengan pengusaha saprodi di daerah setempat.
Pengolahan Hasil Pertanian a. Penggilingan Beras Petani pengolah menerima pasokan dari petani disekitar daerah tempat tinggal dalam bentuk gabah dengan sistem jual beli dan dibayar secara tunai dan tidak jarang dibayar mingguan, ada yang dalam bentuk uang tunai dan ada juga dengan membayar jasa gilingan beras, jumlahnya bervariasi yaitu 10% dari jumlah beras yang digiling, 12 www.sulsel.litbang.deptan.go.id
atau 10 kg beras yang digiling dikeluarkan 1 liter beras untuk membayar jasa penggilingan, sistem pembayaran ini tergantung kesepakatan kedua belah pihak. Berdasarkan wawancara dengan petani proses penggilingan yang dilakukan oleh petani rata-rata masih tergolong konvensional. Mulai dari proses penjemuran masih menggunakan sinar matahari langsung 1-2 hari. Setelah itu petani membawa gabah tersebut ke tempat penggilingan untuk melalui proses pemecahan kulit dan menjadi beras. Tidak semua petani langsung membawa gabahnya untuk digiing menjadi beras, beberapa petani ada yang menyimpannya untuk stock konsumsi, ada sebagian yang dijual. Kebiasaan yang dilakukan oleh petani dalam pengolahan gabah
diturunkan
secara turun temurun berdasarkan pengalaman petani dalam mengelola usahataninya, dan ada pula pendampingan teknologi pengolahan gabah diberikan kepada petani yang masuk ke dalam kelompok tani, kegiatan tersebut dilakukan oleh instansi terkait seperti Dinas pertanian dan BPTP. Dalam proses pengolahan gabah, masih banyak hambatan yang dihadapi petani, seperti: luas lahan penjemuran yang kurang, penjemuran yang kurang maksimal, penentuan kadar air masih mengandalkan perkiraan kasat mata sehingga kualitas beras sangat rendah, hal ini mempengaruhi rendahnya harga jual beras petani ke pedagang. Produk yang dipasarkan oleh petani dalam bentuk beras dan dedak sisa penggilingan yang digunakan sebagai pakan ternak atau bahan campuran pupuk dan ada juga beberapa petani yang menjual gabahnya langsung ke pedagang pengumpul dikabupaten kemudian diekspor ke propinsi sulawesi tengah dan Kalimantan, ada jg yang menjual langsung di pasar kecamatan dan pasar kabupaten, dan BULOG, dengan pembayaran secara tunai dari pembeli, atau dengan dicicil dengan jangka waktu 1 bulan baru dibayar. Tidak semua beras memiliki nilai jual yang sama, tergantung kualitas beras yang digiling. Hal yang menjadi kendala bagi petani adalah harga beras masih ditentukan oleh pembeli dengan melihat kualitas beras tersebut, dan beras yang dihasilkan tidak sesuai permintaan pasar sehingga harganya murah. Kemasan yang digunakan untuk mengemas beras terbuat dari karung dan ukurannya bervariasi mulai 13 www.sulsel.litbang.deptan.go.id
dari ukuran 15 kg medium, 50 kg dan 100 kg, tetapi belum terdapat label aman pada kemasan beras yang dijual. Pola pembinaan dilakukan Dinas Pertanian, BPTP, BULOG, Deperindag dengan petani pengolah hasil pertanian yang tergabung dalam kelompok tani. Hal yang disampaikan berupa teknologi pengolahan hasil, pembinaan mengenai cara manajemen dalam kelompok tani, tetapi tidak semua petani pengolah hasil tersebut tergabung dalam kelompok tani, sehingga mereka tidak dapat mengikuti acara pertemuan dengan instansi terkait, sehingga transfer teknologi kepada petani masih terkendala. Tidak ada pola kemitraan secara profesional antara petani pengolah hasil dengan pemasok bahan baku. Pemasok bahan baku berasal dari daerah setempat, dan masih ada hubungan keluarga dengan petani pengolah. Bentuk kemitraan yang terjalin hanya sebatas membeli gabah dan menerima jasa penggilingan. Selain itu juga petani pengolah melakukan kemitraan dengan penyalur produk seperti pedagang pengumpul diwilayah sekitar dan dilakukan pada saat panen. Jumlah yang disalurkan bergantung dari kondisi pengolahan hasil tersebut bila skalanya kecil maka volume yang disalurkan pula kecil begitupun sebaliknya, biasanya volume produk yang disalurkan 2-3 ton perbulan, atau 100-250 ton setiap musim panen. Kendala yang dihadapi oleh petani pengolah berupa modal dan transfer teknologi terbaru melalui pelatihan-pelatihan yang diadakan oleh instansi terkait., sehingga petani lebih berkembang.
b. Pengolahan produk Jipang dan Karasa Pinrang Bahan baku untuk membuat Jipang dan Karasa diperoleh dari penjual gula merah didaerah sekitar tetapi bahan baku yang diinginkan biasanya tidak tersedia sehingga harus mencari ditempat lain, ada juga petani yang sudah bermitra dengan kelompok tani sebagai pemasok bahan baku. Cara pembayarannya dilakukan secara tunai. 14 www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Teknologi pengolahan Jipang dan Karasa masih tergolong konvensional karena cara pembuatan mereka masih menggunakan alat tradisional seperti gayung, ayakan, baskom dan lain-lain. Teknologi warisan ini diturunkan secara turun temurun sehingga saat ini petani membutuhkan transfer teknologi terbaru melalui pelatihan mengenai pengeringan alternatif, diversifikasi rasa pada jipang dan karasa agar lebih bervariasi, teknologi agar produk lebih awet tetapi tidak ada efek samping. Jipang atau Karasa diproduksi dalam bentuk kue Jipang atau Karasa dengan merk dagang yang berbeda-beda tergantung tempat produksinya. Besar kemasan Jipang atau Karasa bervariasi antara 5 -10 biji per bungkus dan sudah ada label perizinan oleh instansi terkait seperti POM agar aman dikonsumsi. Kue ini dijual melalui pengecer yang ada dipasar atau menunggu pesanan baru akan dibuat kue tersebut. Cara pembayaran yang digunakan pun tergantung kesepakatan. Kondisi produk mudah hancur sehingga jika harga pasaran mudah turun naik. Pembinaan kepada petani pengolah Jipang dan Karasa dilakukan oleh instansi terkait seperti Badan Ketahanan Pangan, Deperindag dan Departemen Kesehatan, Pembinaan tersebut dalam bentuk modal, teknologi dan manajemen. Selain itu Petani mengharapkan pembinaan trsebut harus ditingkatkan seperti manajemen pemasaran. Kemitraan petani dengan pemasok hanya sebatas pembeli dengan modal kepercayaan dan bersifat langganan. Volume penyaluran dilakukan perminggu atau per 2 hari sebanyak 1-2 karton, 1 karton isisnya 200 bungkus. Permasalahan yang dihadapi petani pengolah Jipang dan Karasa adalah perlu transfer teknologi mengenai produk yang gampang bau dan hancur, terbatasnya modal serta perlu keterlibatan instansi terkait guna mencari pasar yang lebih luas. Pemasaran Produk Olahan Pemasok bahan baku berasal dari petani setempat, keluarga petani, pemasok dari kabupaten lain. Kemudia setelah diolah dipasarkan ke Kabupaten bahkan propinsi tetangga seperti :Pare-pare, Makassar, Jatim, Kalimantan, Sulteng, Sulbar, Kalimantan. Kerjasama yang dibangun dengan pemasok adalah sistem pembayaran tunai atau 15 www.sulsel.litbang.deptan.go.id
pinjaman, dengan cara barang diambil ditempat produk olahan. Permasalahan yang dihadapi Gabah di beli dengan harga murah, sarana transportasi ke lokasi penggilingan belum lancar, Listrik yang masih ditangani secara swadana, dan sangat dibutuhkan tambahan modal kerja karena 70% gabah didaerah ini berasal dari luar kabupaten. Lokasi penjualan produk biasanya ke pasar-pasar, kios dan tempat lain. Volume produk yang dijual cukup bervariasi : 100 zak perbulan, 20 ton /bulan, atau ada juga yang 35 ton per hari dengan menggunakan 2 buah penggilingan. Pola pembinaan dilakukan oleh beberapa instansi seperti : BRI, Pertani, dll, berupa
bantuan
modal
dan
penyampaian
teknologi,
selain
itu
juga
petani
mengharapkan bahwa pembinaan yang diberikan berupa cara untuk mengembangkan usaha baik dari segi modal, teknologi, dan manajemen. Kemitraan sudah berjalan sudah cukup lama antara penjual dan pembeli saja dengan dilandasi rasa saling percaya. Pemasok bahan baku berasal dari daerah sekitar dan kabupaten lain tergantung kecocokan harga. Pengembangan usaha masih terkendala modal sehingga hanya mampu melayani pasar lokal dan pemasok diharapkan menyediakan produk sesuai dengan kebutuhan pasar. 2. PENGOLAHAN HASIL KOMODITAS JAGUNG Karakteristik Usahatani Jagung merupakan komoditas penting kedua setelah padi. Pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan produksi jagung dan penelitian untuk menghasilkan inovasi tenologi jagung. Teknologi budidaya tanaman jagung sudah banyak dipahami oleh para petani dengan didukung adanya varietas unggul. Di kabupaten Bantaeng dan Bulukumba usaha industri jagung terdiri Jipang, kerupuk jagung, chips jagung, keripik jagung, marning dan dodol jagung. Salah satu cara meningkatkan nilai tambah jagung adalah dengan mengolah berbagai macam produk olahan jagung yang lebih tahan lama disimpan Marning jagung dibuat dari jagung pulut, bahan baku dari dalam kebupaten Bantaeng dan Bulukumba dipasarkan di dalam kota Bantaeng, Bulukmba dan luar kota Bantaeng dan
16 www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Bulukmba. Pembeli datang ke tempat pembuatan jagung marning dan biasa juga di pasarkan di toko di kota Bantaeng dan Bulukmba. Permasalahan yang biasa dihadapi pembuat jagung marning adalah kurangnya ketersidiaan bahan utama yaitu jagung pulut. Produk olahan jagung marning merupakan salah satu usaha produktif untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Semoga terobosan ini akan mampu meningkatkan kemampuan masyarakat dalam membeli bahan pangan. Sebab, ketahanan pangan tidak hanya terletak kepada ketersediaan pangan saja Karakteristik Pengusaha Marning, kabupaten Bantaeng, 2011 No
Karakteristik Responden
Kisaran
Rataan
1
Umur (tahun)
30 – 55
35
2
Pendidikan (tahun)
0 – 12
32
3
Pengalaman berusaha
14 – 17
15,5
4
Sumber Investasi
sendiri, pinjaman, bantuan
sendiri
5
Peralatan yang digunakan
manual
manual
Umur merupakan salah satu faktor penentu dalam mengelola usaha. Kemampuan fisik dan cara berpikir dipengaruhi oleh umur. Tingkat pendidikan umumnya mempengaruhi pola pikir petani, di mana petani yang mempunyai pendidikan lebih tinggi akan berpikir lebih maju dari petani yang penddikannya lebih rendah. Pengusaha jagung marning pada umumnya menggunakan modal sendiri dalam mengelola usahanya.
Pemasok Bahan Baku Bahan baku jagung marning adalah jagung pulut lokal. Umumnya dari dalam kabupaten dan luar kabupaten yaitu kabupaten Jeneponto. Permasalahan bahan baku adalah harga mahal dan jumlahnya terbatas karena tidak banyak yang menanam jagung pulut. Penerapan Teknologi Pengolahan hasil dengan membuat jagung marning. Cara membuat : jagung direbus dalam larutan air kapur sirih diatas api sedang lebih kurang 1 jam. Kemudian diangkat dan ditiriskan. Jagung diremas-remas dibawah air mengalir sambil dicuci berulang-ulang hingga 17 www.sulsel.litbang.deptan.go.id
bersih, tidak licin dan tidak berbau kapur sirih. Kemudian jagung direbus kembali selama 3 jam hingga jagung merekah dan air tinggal sedikit. Setelah itu diangkat. Lalu jagung dicampur dengan bumbu dan diaduk rata. Jagung diratakan di dalam wadah lebar atau tampah, kemudian dijemur 2-3 hari sambil di bolak-balik hingga keringnya merata. Kemudian jagung siap digoreng. Untuk memenuhi permintaan pasar, pengusaha ini membuat beberapa macam olahan, baik rasa, kemasan, dan jenis marning itu sendiri. Pertama adalah marning biasa dengan ciri khas rasanya gurih dan renyah, kedua marning dengan rasa gurih, rasa manis pedas, pedas. Dengan banyak varian baik rasa maupun kemasananya Pemasaran Hasil Pemasaran hasil dalam kabupaten dan luar kabupaten untuk oleh-oleh.
Kemasan
produk 0,25 kg, 0,5 kg dan 1 kg. Pengusaha memasarkan sendiri di toko-toko dan ada juga pedagang yang datang ke tempat usaha dengan pembayaran cash. Produk sudah memenuhi persyaratan untuk komsumsi sesuai lembaga POM MUI No. 06100002090808 PIRT. 215730201029. Tabel Analisis Kelayakan usaha jagung Marning di kabupaten Bantaeng, 2011. No.
Uraian
Satuan
Harga satuan (Rp)
Jumlah (Rp)
a.
Jagung pulut (ltr)
15 liter
3.000
45.000
b.
Minyak goreng (ltr)
10 liter
9.000
90.000
c.
Minyak tanah (ltr)
5 liter
8.000
40.000
d.
Bumbu-bumbu (unit)
1 unit
20,000
20.000
e.
Plastik kemasan
30.000
30.000
Bahan Baku
1.
2. Tenaga kerja Jumlah biaya
225.000
3. Produksi Marning
25 liter
4. Penerimaan
25 liter
5. Pendapatan
5.000
625.000 400.000
Pola Pembinaan dan Kemitraan Pembinaan teknologi biasanya oleh Dinas Perdagangan dan Perindustrian, mengenai permodalan dari Bank BR1 1946.
Diharapkan kerjasama dengan Dinas Pertanian dan
Hortikultura untuk kebun khusus jagung pulut agar bahan baku tetap tersedia. Untuk memajukan usaha diharapkan adanya bantuan alat pengering. Pengrajin marning di kabupaten Bantaeng telah mendapatkan bantuan alat pengering dari deperindag, namun tidak pernah digunakan. Alasannya cara penggunaan alat tersebut tidak 18 www.sulsel.litbang.deptan.go.id
praktis dibandingkan dengan cara manual. Padahal alat pengering sangat dibutuhkan terutama pada saat mendung. Saran dari pengrajian marning adalah jika mereka diberi bantuan alat pengering atau alat-alat yang dapat membantu usahanya sebaiknya yang mudah digunakan. 3. PENGOLAHAN HASIL KOMODITAS KENTANG Industri rumah tangga pengolahan kripik kentang yang masuk dalam kategori usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dijalankan dengan manajemen keluarga. Pembagian dan pengelegasian tugas belum menampakkan menggambarkan standar kebutuhan manajemen usaha perusahaan. Adapun identitas pelaku UMKM pengolahan hasil keripik kentang di Sulawesi Selatan disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Identitas pelaku UMKM pengolahan hasil kripik kentang di Propinsi Sulawesi Selatan, 2011 No Karakteristik Responden Kisaran Rataan 1 Nama UMKM KWT. Sangraputallang, KUB. Ucun, dan KUB. Ramah 2 Alamat UMKM Enrekang, Gowa, dan Bantaeng 3 Nama Pemilik Ny. Siti Maryam, Ny. H. Ucun, dan Ny. Marthen Uling 4 Umur (tahun) 46 – 55 51,9 5 Pendidikan (tahun) 12 – 16 14,2 6 Pengalaman (tahun) 3 – 10 7,5 7 Jumlah Tenaga Kerja a. Laki-Laki (jiwa) 1–3 2,1 b. Perempuan (jiwa) 1-3 2,3 Sumber : Analisis data primer, 2011. Pemilik UMKM pengolahan kripik kentang di wilayah Propinsi Sulawesi Selatan baru ada 3 usaha. Alamat UMKM pengolahan kripik kentang berada di wilayah Kabupaten Enrekang, Gowa, dan Bantaeng. Nama pemilik atau pengelola adalah masing-masing Ny. Dra Siti Maryam, Ny. H. Ucun, dan Ny. Marthen Uling. Umur sebagai salah satu indicator yang mempengaruhi pengetahuan dan ketranilan serta pengalaman dalam mengelola UMKM. Kisaran umur pengelola UMKM adalah sekitar 46 – 55 tahun dengan rataan 51,9 tahun. Kondisi ini masih menggambarkan usia produktif. Kisaran pendidikan yang dimiliki adalah sekitar 12 – 16 tahun berarti tingkat pendidikan setara SLTA
19 www.sulsel.litbang.deptan.go.id
dan Sarjana. Rataan pendidikan adalah 14,2 tahun. Dalam pengelolaan UMKM memerlukan tenaga kerja. Jumlah tenaga kerja yang diperlukan berkisar laki-laki 1-3 orang dan 1-3 orang. Penerapan teknologi pengolahan kripik kentang setiap pemilik terdapat perbedaan. Hal tersebut bergantung peralatan yang dimilikinya. Pengolahan kripik kentang yang berada di wilayah Kabupaten Enrekang seperti yang dijelaskan berikut. Umbi kentang dapat dibuat sebagai jenis makanan. Salah satu panganan yang dibuat beebahan umbi kentang adalah kripik kentang. Kripik kentang yang dibuat masih kripik kentang setengah matang. Hal tersebut berarti kripik untuk siap dikonsumsi harus terlabih dauhulu digoreng dengan minyak kelapa. Pertimbangan pengolahan kripik kentang setengah matang tersebut adalah untuk memperpanjang masa simpan selama produk belum laku terjual. Apabila produk sudah siap konsumsi atau kripik kentang matang, daya simpannya tidak terlalu lama. Sehingga dapat menekan kerugian yang harus dialami oleh pengusaha pengolahan maupun pedagang kripik kentang. Teknologi pengolahan kripik kentang yang sudah diterapkan oleh pengusaha/kelompok wanita tani (KWT) masih bersifat sederhana. Umbi kentang yang didatangkan/dibeli dari petani/gabungan kelompok tani Sipakario dalam bentuk gelondongan. Umbi kentang tersebut terlebih dahulu dilakukan penyortiran dngan memisahkan umbi yang berukuran besar dan kecil. Sebelum umbi kentang dimasukkan dalam mesin pengupas terlebih dahulu dilakukan pencucian sampai bersih. Hasil pengupasan umbi kentang dengan masing-masing ukuran kemudian dilakukan pengirisan dengan ukuran yang tipis, selanjutnya dilakukan pencucian ulang dan direndam ke dalam larutan kapur selama 30 menit. Persiapan perebusan dengan prosedur, terlebih dahulu merebus air sampai mendidih yang sudah diberi bumbu garam dan bawang putih. Setelah air mendidih, lalu kentang yang sudah direndam larutan kapur dimasukkan ke dalam air mendidih. Ditunggu sampai air mendidih lagi, sehingga irisan kentang tersebut sampai masak, kemudian ditiriskan untuk dijemur sampai kering. Teknologi pengolahan kripik kentang yang berada di wilayah Kabupaten Gowa dan Bantaeng hamper sama. Umbi dicuci lalu dikupas dengan pisau secara manual. Selanjutnya pengirisan dilakukan dengan alat parut sederhana. Tahap berikutnya untuk penggorengan dan pengemasan dari ketiga UMKM sama. Pengemasan produk olahan kripik kentang setengah matang masih menggunakan plastic yang sederhana. Kemasan yang dibentuk oleh KWT Sarapotallang ada tiga ukuran yaitu 50 gr, 100 gr, dan 500 gr per kemasan. Harga yang telah ditetapkan oleh KWT pada kemasan 50 gr adalah Rp. 4.000. 20 www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Teknologi pengolahan kripik kentang setengah matang ini diperoleh dari Bapak Widi, sebagai pengusaha alat pengolahan hasil pertanian. Teknologi tersebut masih dapat ditingkatkan untuk memperoleh kualitas yang lebih baik. Bapak Widi tersebut adalah penyalur peralatan pengolahan kripik kentang. Kelayakan Usaha Pengolahan Hasil Kentang Pengolahan kripik kentang dapat dijadikan suatu kegiatan di tingkat petani/kelompok tani, apabila kondisi harga kentang sedang kurang baik. Pada waktu panen raya sebagain besar produksi pertanian mengalami penurunan harga termasuk komoditas kentang. Pada saat harga kentang di pasaran mengalami penurunan mencapai kurang dari Rp. 3.000/kg, alternatif pengolahan menjadi pilihan yang dapat memberikan nilai tambah dan membuka kesempatan kerja, dilain pihak dapat menetrasi pasar. Hasil analisis usaha pengolahan kripik kentang disajikan pada Tabel 2. Kebutuhan bahan baku kentang dalam satu bulan mencapai 1.800 kg. Harga kentang pada saat pengolahan Rp. 3.000/kg, sehingga modal usaha untuk pengadaan bahan baku mencapai
Rp. 5.400.000,-. Biaya bahan baku kentang menempati proporsi paling banyak dari
total biaya yaitu mencapai 71,87 % total biaya usaha pengolahan kripik kentang per bulan. Tabel 2. Analisis kelayakan usaha kripik kentang per bulan di Propinsi Sulawesi Selatan, 2011. No 1
2 3 4 5 6 7
Uraian Bahan Baku a. Kentang b. Bawang Putih c. Garam d. Minyak goreng e. Plastik Penyusutan alat Tenaga kerja Jumlah Biaya Produksi kripik kentang Penerimaan Pendapatan R/C
Satuan
Harga Satuan (Rp/unit)
Jumlah
1.800 kg 10 kg 0,5 kg 20 lt 4 kantong 1 paket 60 OH
3.000 12.000 3.000 12.000 5.000 200.000 25.000
Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. Rp.
225 kg 225 kg
45.000
Rp. 10.125.000 Rp. 2.611.500 1,35
5.400.000 120.000 1.500 240.000 20.000 200.000 1.500.000 7.513.500
Sumber : Analisis data primer, 2011. Bumbu utama dalam pembuatan kripik kentang adalah bawang putih dan garam. Kedua bahan bumbu tersebut membutuhkan biaya Rp. 121.500 per bulan. Kebutuhan bumbu tersebut relative sedikit sebab hanya mencapai 1,62 % dari total biaya. Sedangkan minyak goreng yang dibutuhkan mencapai 20 liter untuk menggoreng 1.800 kg kentang untuk menghasilkan 225 kg kripik kentang. Biaya pengadaan minyak goreng mencapai Rp. 240.000/bulan atau 3,20 % dari total biaya pengolahan kripik kentang per bulan. Biaya penyusutan diperhitungkan dari nilai penyusutan alat pengolahan kripik kentang untuk lima tahun. Pengadaan peralatan pengolahan kripik kentang mencapai Rp. 12.000.000,-. 21 www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Penggunaan peralatan tersebut selama lima tahun atau 60 bulan adalah sebagai umur ekonomis. Sehingga perhitungan biaya penyusutan selama lima tahun mencapai Rp. 200.000,per bulan dan proporsinya adalah 2,66 % dari total biaya. Penggunaan tenaga kerja dalam pengolahan kripik kentang skala rumah tangga mencapai 60 orang hari kerja atau jumlah biaya Rp. 1.500.000 per bulan. Prosentase penggunaan tenaga kerja 19,94 % dari total biaya pengolahan kripik kentang. Kemitraan Usaha KWT Sarapotallang yang mengolah kripik kentang setengah matang melakukan kerjasama dalam penyediaan bahan baku dengan Gapoktan Sipakario sebagai penghasil kentang. Pemasokan bahan baku kepada KWT Sarapotallang dilakukan pembayaran secara kas/tunai. Pemberlakuan tersebut apabila harga kentang di bawah harga Rp. 3.500/kg. sedangkan harga kentang di pasar mencapai di atas harga tersebut, maka pemasokan bahan baku akan mengalami hambatan. Sehingga bahan baku dipasuk, namun tidak kentinyu. Hasil pengolahan kentang menjadi kripik oleh KWT Sarapotallang dalam bentuk kripik setengah matang. Kemasan yang dibuat 50 gr, 100 gr, dan 500 gr per kemasan. Variasi kemasan ini mempunyai tujuan sasaran konsumen. Produksi kripik kentang tersebut sudah dilengkapi izin aman konsumsi oleh Dinas Kesehatan. Pemasaran kripik kentang masih terbatas yaitu dilakukan kerjasama dengan kios-kios yang berada di pinggir jalan raya Enrekang-Toraja dan pasar Sudu Kecamatan Alla. Tempat tersebut lokasi wisata alam di gunung Bamba Puang. Sistem kerjasama ini adalah barang ditipkan terlebih dahulu setelah laku baru dibayarkan atau sistem kontinyasi. Permasalahan utama dalam pemasaran adalah harga kripik kentang dirasakan mahal oleh konsumen. KUB H. Ucun yang mengolah kripik kentang melakukan kerjasama dalam penyediaan bahan baku dengan petani sekitar sebagai penghasil kentang. Pemasokan bahan baku kepada KUB H. Ucun dilakukan pembayaran secara kas/tunai. Pemberlakuan tersebut apabila harga kentang di bawah harga Rp. 3.500/kg. sedangkan harga kentang di pasar mencapai di atas harga tersebut, maka pemasokan bahan baku akan mengalami hambatan. Sehingga bahan baku dipasuk, namun tidak kentinyu. Hasil pengolahan kentang menjadi kripik oleh KUB H Ucun dalam bentuk kripik siap santap. Kemasan yang dibuat 50 gr, 100 gr, dan 500 gr per kemasan. Variasi kemasan ini mempunyai tujuan sasaran konsumen. Produksi kripik kentang tersebut sudah dilengkapi izin aman konsumsi oleh Dinas Kesehatan.
22 www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Pemasaran kripik kentang masih terbatas yaitu dilakukan kerjasama dengan kios-kios yang berada di pasar Malino Kecamatan Tinggi Moncong Kabupaten Gowa. Tempat tersebut sebagai persinggahan wisata domestic di Malino. Sistem kerjasama ini adalah barang dititipkan terlebih dahulu setelah laku baru dibayarkan atau sistem kontinyasi. Permasalahan utama dalam pemasaran adalah harga kripik kentang dirasakan mahal oleh konsumen. KUB Ramah yang mengolah kripik kentang melakukan kerjasama dalam penyediaan bahan baku dengan pedagang yang berada di pasar central Bantaeng sebagai pedagang perantara yang membeli hasil kentang dari Kecamatan Ulu Ere Kabupaten Bantaeng. Pemasokan bahan baku kepada KUB Ramah dilakukan pembayaran secara kas/tunai. Pembelian bahan baku ini apabila harga kentang di bawah harga Rp. 3.500/kg. sedangkan harga kentang di pasar mencapai di atas harga tersebut, maka pemasokan bahan baku akan mengalami hambatan. Sehingga bahan baku dipasuk, namun tidak kentinyu. Hasil pengolahan kentang menjadi kripik oleh KUB Ramah dalam bentuk kripik. Kemasan yang dibuat 50 gr, 100 gr, dan 500 gr per kemasan. Variasi kemasan ini mempunyai tujuan sasaran konsumen. Produksi kripik kentang tersebut sudah dilengkapi izin aman konsumsi oleh Dinas Kesehatan. Pemasaran kripik kentang masih terbatas yaitu dilakukan kerjasama dengan kios-kios yang berada di kota Kabupaten Bantaeng. Sistem kerjasama ini adalah barang ditipkan terlebih dahulu setelah laku baru dibayarkan atau sistem kontinyasi. Permasalahan utama dalam pemasaran adalah harga kripik kentang dirasakan mahal oleh konsumen. Karakteristik Usahatani Kentang Umur merupakan salah satu faktor penentu bagi petani dalam mengelola usahatani. Kemampuan fisik dan cara berpikir petani dipengaruhi oleh umur. Petani yang telah lanjut usia kemampuan fisiknya cenderung menurun dan sering kesulitan dalam menerima perubahan maupun inovasi, karena selalu berpijak pada pengalamnya. Hal tersebut sependapat dengan hasil penelitian Sunanto dkk. (2002) bahwa petani yang berusia tua dan pendidikan lebih rendah lebih sulit menerima perubahan inovasi teknologi poduksi sayuran. Berdasarkan hasil identifikasi di lapang umur petani responden rata rata 37,25 tahun dengan kisaran antara 20 – 60 tahun, sedangkan kisaran umur istri petani responden berada pada umur 16 – 56 tahun dengan rataan 33,4 tahun. Kondisi umur tersebut menggambarkan bahwa petani sayuran yang berada di daerah Kecamatan Baroko (Kabupaten Enrekang), Kecamatan Ulu Ere (Kabupaten Bantaeng), dan Kecamatan Tinggi Moncong (Kabupaten Gowa) berada pada katergori usia produktif. 23 www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Tabel 3. Karakteristik petani responden di kecamatan Baroko, kabupaten Enrekang, 2011 Kabupaten N Karakteristik Responden No Enrekang Bantaeng Gowa 1 Umur a. KK (tahun) 37,25 32,9 39,8 b. Istri (tahun) 33,4 28,6 36,2 2 Pendidikan a. KK(tahun) 7,1 7,3 8,4 b. Istri (tahun) 3,4 6,9 7,5 3 Anggota Keluarga a. Laki-Laki (jiwa) 1,98 2,0 2,1 b. Perempuan (jiwa) 1,32 2,1 3,4 4. Luas lahan garapan (ha) 0,74 0,875 0,95 5. Pengalaman Usahatani kentang 17 12,7 18,9 (tahun) Sumber : Analisis data primer, (2011). Dari sisi pendidikan, tampaknya merupakan kendala bagi petani responden karena dari identifikasi ternyata tingkat pendidikan petani responden umumnya adalah kurang dari tingkat SLTP. Padahal pendidikan merupakan salah satu cara pengembangan sumberdaya manusia yang berkualitas. Melalui pendidikan dapat dibentuk tenaga manusia yang terampil, berpengatahuan luas dan memiliki sikap mental serta kepribadian yang tegar. Tingkat pendidikan umumnya mempengaruhi pola pikir petani, di mana petani yang mempunyai pendidikan lebih tinggi akan berpikir lebih maju dari pada petani yang lebih rendah pendidikannya. Rendahnya basis pendidikan petani responden akan berpengaruh kurang baiknya terhadap adopsi teknologi. Mengenai tanggungan keluarga tani, yang dimaksud adalah orang yang berada dalam manajemen keluarga tani selain kepala keluarga. Semakin banyak tanggungan keluarga, semakin tinggi biaya yang harus dialokasikan untuk kebutuhan konsumsi, sehingga mempengaruhi dana yang harus dialokasikan dalam kegiatan usahatani. Tetapi di lain pihak, jumlah anggota keluarga yang banyak dapat memberikan manfaat tersendiri bagi keluarga tani, antara lain: memberikan masukan apabila menghadapi suatu permasalahan dan apabila anggota keluarga tersebut berusia produktif (15 - 59 tahun), maka dapat memberikan manfaat dalam sumbangannya sebagai tenaga kerja dalam kegiatan usahatani. Rataan jumlah anggota keluarga tani adalah 3 - 6 orang/KK. Kisaran anggota keluarga laki-laki 1 – 5 jiwa/KK. Sedangkan anggota keluarga perempuan berkisar antara 1 – 5 jiwa/KK. Jumlah anggota keluarga yang produktif dalam kegiatan usahatani adalah 3-4 orang, yaitu kepala keluarga, istri dan anak laki-laki atau perempuan. 24 www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Luas lahan garapan berkisar antara 0,25 – 2 ha atau dengan rataan 0,85 ha. Penguasaan lahan seperti tersebut di atas untuk diusahakan dengan komoditas sayuran cukup luas. Sebab usahatani sayuran khususnya komoditas kentang memerlukan biaya input yang cukup besar
terutama pada biaya penyediaan bibit.
Pengalaman sangat menentukan pola pemanfaatan lahan khususnya pada pemanfaatan lahan dengan komoditas kentang. Petani kentang di Propinsi Sulawesi Selatan mempunyai pengalaman berusaha tani kentang berkisar antara 2 – 37 tahun. Pengalaman berusahatani tersebut seiring dengan usia petani. Tetapi khusus untuk pengalaman berusaha tani kentang dimulai sejak Tahun 1993/1994 yang dilakukan oleh petugas pertanian setempat. Keberhasilan transfer teknologi dari sumber kepada pengguna bergantung pada kemampuan petani menerapkannya. Kemampuan petani berdasarkan potensi yang dimilikinya. Semakin mampu petani baik ditinjau dari segi pemilikan lahan, kemampuan modal, dan ketersediaan tenaga akan dapat mendukung penerapan teknologi produksi yang dianjurkan. Petani kentang pada lahan dataran tinggi Propinsi Sulawesi Selatan menerapkan teknologi yang disajikan pada Tabel 4. Benih kentang yang digunakan oleh petani adalah varietas Granola pada G4 – G8. Hal tersebut dilakukan oleh petani karena kemampuan modal petani yang masih rendah. Generasi benih kentang semakin lama akan menurunkan tingkat produktivitas.
Tabel 4. Penerapan teknologi dan analisis usahatani kentang pada lahan dataran tinggi di Propinsi Sulawesi Selatan, 2011. Harga No Variabel Fisik Satuan Jumlah (Rp) Keterangan (Rp/unit) 1 Penggunaan Bibit 1.200 kg 6.000 Benih G4 – G8 7.200.000 Varietas Granola 2 Penggunaan Pupuk a. Pupuk Urea 200 kg 1.600 320.000 Belum intensif b. Pupuk SP36 50 kg 2.150 107.500 25 www.sulsel.litbang.deptan.go.id
c. Pupuk KCl 75 kg d. Pupuk ZA 100 kg e. Pukan 1.427 kg f. PPC 2,00 lt 3 Penggunaan Pestisida a. Matador 1,153 kg b. Dithane M-45 1,045 kg c. Curacron 0,331 kg d. Drusban 1,111 kg 4 Penggunaan Tenaka 109 OH Kerja 5 Sewa Lahan 1 ha 6 Penyusutan Alat 5 unit Pertanian 7 Jumlah Biaya 8 Produksi/Penerimaan 9.710 kg 9 Pendapatan 10 R/C Sumber : Analisis data primer, 2011.
2.400 1.400 1.000 15.000 48.000 40.000 150.000 70.000 25.000 1.500.000 35.000 4.000
180.000 140.000 1.427.000 30.000 55.344 Sudah Intensif 41.800 49.65 77.770 2.725.000 Pengolahan lagan dan 1.500.000 panen banyak 175.000 menggunakan tenaga kerja 13.984.379 38.840.000 24.855.621 2,78
Pemeliharaan tanaman kentang dengan penerapan teknologi pemupukan belum memenuhi rekomendasi teknologi yang dianjurkan. Rekomedasi pemupukan untuk tanam kentang dengan dosis 250 kg Urea, 250 kg SP36, 250 kg KCl, 300 kg ZA, dan 20 ton pupuk kandang per hektar (BPTP Sulsel, 2009). Pengendalian hama penyakit yang dilakukan dengan memperhatikan
serangan hama penyakit yang ada.
Biaya usahatani kentang mencapai Rp. 13.984.379/ha. Komponen biaya terbesar adalah untuk penyediaan benih yaitu mencapai Rp. 7.200.000/ha atau 51,49 % dari tatal biaya usahatani kentang. Produksi yang diperoleh pada usahatani kentang tersebut mencapai 9.710 kg/ha. Harga produksi kentang sebesar Rp. 4.000/kg, maka penerimaan usahatani mencapai Rp. 38.840.000/ha. Pendapatannya yang diperoleh adalah Rp. 24.855.621/ha/musim tanam dan nilai R/C 2,78. 4. PEMBINAAN UMKM PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN Pengembangan UMKM pengolahan hasil pertanian yang berada di wilayah Propinsi Sulawesi Selatan mendapat pembinaan dari berbagai institusi. Pembinaan dititikberatkan pada bidang teknologi, modal, perizinan, dan manajemen. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Propinsi Sulawesi Selatan melakukan pembinaan penerapan teknologi pengolahan hasil, pembinaan pemberian bantuan peralatan pengolahan hasil, dan manajemen usaha melalui bina usaha. 26 www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Sulawesi Selatan melakukan pembinaan pengembangan sumberdaya manusia, teknologi, bantuan peralatan, dan pemasaran hasil olahan. Pemasaran hasil olahan yang merupakan ujung tombak keberhasilan pembinaan UMKM di pedesaan. Badan Ketahanan Pangan Propinsi Sulawesi Selatan melakukan pembinaan mulai dari teknologi, bantuan peralatan, manajemen usaha, dan perizinan. Khususnya pembinaan dilakukan untuk menciptakan ketahanan pangan wilayah. Pembinaan kepada UMKM pengolahan hasil pertanian yang dilakukan oleh intitusi tingkat Propinsi, untuk di tingkat Kabupaten juga dilakukan pembinaan oleh instansi yang berkopenten. Sehingga pengembangan UMKM pengolahan hasil pertanian di tingkat Kabupaten dan Propinsi dapat sinergis. 5. SUMBER TEKNOLOGI Sumber teknologi pengolahan hasil yang berada di Sulawesi Selatan untuk mendukung pengembangan UMKM meliputi; a) Badan Litbang Pertanian (melalui BPTP Sulawesi Selatan), b) Perguruan
Tinggi
(Negeri/Swasta),
c)
Dinas
Perisdustrian
dan
Perdagangan
Propinsi/Kabupaten/Kota, d) dan Swasta yang bergerak dalam bidang pengolahan hasil. Hasil teknologi pengolahan hasil melalui rancang bangun dan penelitian serta dihasilkan prototype untuk dikembangkan di wilayah pengolahan hasil pertanian. Permasalahan yang dihadapi selalu muncul, tetapi untuk memperbaiki kinerja dan system pengolahan hasil yang lebih baik.
6. ANALISIS SWOT Percepatan pengembangan UMKM pengolahan hasil pertanian memerlukan strategi. Pendekatan yang dapat dilakukan dengan analisis SWOT. Analisis ini untuk membahas kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangan dalama upaya pengembangan UMKM pengolahan hasil pertanian. A. Faktor Kekuatan
27 www.sulsel.litbang.deptan.go.id
1) Adanya Kelompok Wanita Tani (KWT), Kelompok Usaha Bersama (KUB), dan wira usaha (swasta) yang berminat dalam pengolahan hasil pertanian (SDM). 2) Skim kredit UMKM. 3) Ketersediaan teknologi pengolahan hasil pertanian (Sumber Teknologi). 4) Dukungan/Kebijakan Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota (Program dan Pembinaan). B. Faktor Kelemahan 1) Kemampuan modal rendah. 2) Harga bahan baku mahal pada saat luar musim panen. 3) Peralatan pengolahan hasil pertanian mahal. C. Faktor Peluang 1) Pasar bagi hasil olahan pertanian. 2) Meningkatkan nilai tambah. 3) Meningkatkan daya saing. D. Faktor Tantangan 1) Persaingan usaha. 2) Produksi olahan hasil pertanian pada perusahaan besar. Unsur pada masing-masing faktor dimasukkan pada kuadran yang telah disediakan. Kolom kedua dan ketiga memuat factor kekuatan dan factor kelemahan. Sedangkan kolom kedua dan ketiga memuat factor peluang dan factor tantangan. Pertemuan pada kuadran I merupakan langkah strategi dari perpaduan kekuatan dan peluang. Pertemuan kuadran II pertemuan merupakan langkah strategi factor kelemahan dan factor tantangan. Pertemuan pada kuadran III merupakaan langkah strategi factor kelemahan dan factor tantangan. Terakhir pertemuan pada kuadran IV merupakan langkah strategi antara factor kekuatan dan factor tantangan.
Adapun langkah strategi dituangkan pada Gambar 1. a.
Tani
a.
Kelemahan Kemampuan modal rendah.
(KWT), Kelompok Usaha Bersama
b.
Harga bahan baku mahal pada saat
Adanya
Kekuatan Kelompok Wanita
(KUB), dan wira usaha (swasta) yang berminat dalam pengolahan hasil pertanian (SDM). b.
Skim Kredit UMKM
28 www.sulsel.litbang.deptan.go.id
luar musim panen. c.
Peralatan
pengolahan
pertanian mahal.
hasil
c.
Ketersediaan teknologi pengolahan hasil pertanian (Sumber Teknologi).
d.
Dukungan/Kebijakan Propinsi
dan
Pemerintah
Kabupaten/Kota
(Program dan Pembinaan). a.
Peluang Pasar bagi hasil olahan pertanian.
b.
Meningkatkan nilai tambah.
c.
Meningkatkan daya saing.
a.
Tantangan Persaingan usaha.
b.
Produksi
olahan
hasil
1. 2. 3.
Penyuluhan dan Pelatihan KWT, KUB, Swasta. Manfaatkan Skim Kredit UMKM. Penerapan Teknologi tepat guna.
6.Efisiensi produksi. 7. Pembelian bahan baku pada saat panen raya. 8. Penggunaan peralatan yang lebih baik.
4. 5.
Pengaturan lokasi usaha. Meningkatkan kualitas produk.
9. Penggabungan usaha.
pertanian
pada perusahaan besar.
Gambar 1. Matrik strategi pengembangan UMKM pengolahan hasil pertanian di Propinsi Sulawesi Selatan. Strategi aksi kemudian disusun untuk ditentukan bobot, skore, nilai dan rangking. Skore yang digunakan dengan standar 4. Untuk memperoleh nilai, maka dikalikan antara bobot dan skore dengan hasil tertinggi berdasarkan rangking untuk menentukan program aksi. Hasil analisis perangkingan strategi pengembangan UMKM pengolahan hasil pertaian disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Penetapan rangking program aksi pengembangan UMKM di Sulawesi Selatan, 2011. No Program Aksi Bobot Kemudahan Nilai Pelaksanaan (Skore) 1 Penyuluhan dan Pelatihan KWT, KUB, 15 4 60 Swasta. 2 Manfaatkan Skim Kredit UMKM. 15 3 45 3 Penerapan Teknologi tepat guna. 15 3 45 4 Pengaturan lokasi usaha. 10 3 5 Meningkatkan kualitas produk. 15 4 60 6 Efisiensi produksi. 10 3 30 7 Pembelian bahan baku pada saat panen 5 3 15 raya. 8 Penggunaan peralatan yang lebih baik. 10 3 30 9 Penggabungan usaha. 5 3 15 Standar nilai : 1, 2, 3, 4.
Rangking 1 2 2 1 3 4 3 4
Sumber : Analisis data primer, 2011.
Program aksi pengembangan UMKM pengolahan hasil pertanian yang disarankan ada 4 program yaitu; a) penyuluhan dan pelatihan KWT, KUB, dan Swasta, b) Peningkatan kualitas hasil olahan pertanian, c) pemanfaatan skim kredit UMKM, dan d) penerapan teknologi tepat guna. KESIMPULAN DAN SARAN 29 www.sulsel.litbang.deptan.go.id
A. Kesimpulan 1. Wilayah Propinsi Sulawesi Selatan berpotensi untuk mengembangkan UMKM pengolahan hasil pertanian karena didukung dengan produksi pertanian yang melimpah, sumber daya manusia memadai, dan teknologi pengolahan hasil yang tersedia. 2. Kemitraan UMKM pengolahan hasil terdiri dari lembaga pemasok (petani/kelompok tani/ pedagang pengumpul pertanian), lembaga pengolahan (UMKM pengolahan hasil), dan lembaga pemasaran (pedagang, kios/warung campuran). 3. Sumber teknologi yang berada di wilayah Propinsi Sulawesi Selatan terdiri dari BPTP Sulawesi Selatan, Perguruan Tinggi, Diperindag, dan swasta. 4. Pembinaan pengembangan UMKM pengolahan hasil pertanian dilakukan oleh BPTP Sulawesi Selatan, BKPD Propinsi/Kabupaten/Kota, Diperindag Propinsi/Kabupaten/ Kota, Dinas Pertanian, Perguruan Tinggi, dan Swasta dalam bentuk pembinaan modal, teknologi, dan manajemen. 5. Program aksi pengembangan UMKM pengolahan hasil pertanian yang disarankan ada 4 program yaitu; a) penyuluhan dan pelatihan KWT, KUB, dan Swasta, b) Peningkatan kualitas hasil olahan pertanian, c) pemanfaatan skim kredit UMKM, dan d) penerapan teknologi tepat guna.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2007. Agroindustri Masa Depan Kita Semua. Cangara H., 2002. Pengantar Ilmu Komunikasi, rajawali Pers, Jakarta. Ida. 2009. Bawang Goreng awet renyahnya. www.gooegle.bawang goreng.com 30 www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Nasir M., 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia, Jakarta. Safril. 2009. Resep bikin kentang goring renyah. www.gooegle.kentang goring.com Soentoro, Mat Syukur, Sugiarto, Hendiarto, Herman Supriyadi, 2002. Panduan Teknis Pengembangan Kelembagaan Kelompok Usaha Agribisnis Terpadu. Badan Litbang Pertanaian. Departemen Pertanian., Jakarta. Suryani. 2002. Analisa usaha dan nilai tambah bawang goreng. Studi kasus bawang goreng milik Bapak Sugeng Raharjo di Desa Sumber Reja Kota Batu Malang. Universitas Muhamaddiyah Malang. www.gooegle.bawang goreng.com Sutirman. 2010. Pemberdayaan UMKM melalui pusat komunikasi bisnis berbasis web (Suatu gagasan). Tenaga Pengajar pada program studi Pendidikan Administrasi Perkantoran Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta. Utomo, B. 2007. Rahasia membuat bawang kering dan kuning. www.gooegle.bawang goreng.com Wrihatnolo, R. 2007. Daya saing nasional dan agroindustri (Suatu pendekatan pembangunan lintas sektoral). Bappenas, Biro Industri, Perdagangan, dan Pariwisata. Warjiyo, P. 2004. Pembiayaan Pembangunan Sektor UMKM : Perkembangan dan strategi ke depan. Infokop Nomor 25 Tahun XX, 2004. Pusat Pendidikan dan Studi Kebank-sentralan (PPSK), Bank Indonesia.
31 www.sulsel.litbang.deptan.go.id