Dr.jur Udin Silalahi, SH., LL.M.
KAJIAN SEPUTAR PROBLEMATIKA KEUANGAN NEGARA, ASET NEGARA, DAN KEKAYAAN NEGARA YANG DIPISAHKAN
Diterbitkan oleh: P3DI Setjen DPR Republik Indonesia dan Azza Grafika 2013
Judul: Kajian Seputar Problematika Keuangan Negara, Aset Negara, dan Kekayaan Negara yang Dipisahkan Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) x+164 hlm.; 17x24 cm ISBN: 978-979-9052-89-6 Cetakan Pertama, 2013
Penulis: DR Ronny Sautma Hotma Bako, S.H., M.H. Rafika Sari, S.E., M.SE. Ari Mulianta Ginting, S.E., M.SE. Denico Doly L. Tobing, S.H., M.Kn. Prianter Jaya Hairi, S.H., M.Kn. Luthvi Febryka Nola, S.H., M.Kn. Penyunting: Dr.jur Udin Silalahi, SH., LL.M. Desain Sampul: Fery C. Syifa Tata Letak: Zaki
Diterbitkan oleh: Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR Republik Indonesia Gedung Nusantara I Lt. 2 Jl. Jenderal Gatot Subroto Jakarta Pusat 10270 Telp. (021) 5715409 Fax. (021) 5715245 Bersama: Azza Grafika, Anggota IKAPI DIY, No. 078/DIY/2012 Kantor Pusat: Jl. Seturan II CT XX/128 Yogyakarta Telp. +62 274-6882748
Perwakilan Jabodetabek: Graha Azza Grafika Perumahan Alam Asri B-1 No. 14 Serua Bojongsari Kota Depok 16520 Telp. +62 21-49116822
Sanksi Pelanggaran Pasal 72
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagai dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
KATA PENGANTAR SEKRETARIS JENDERAL DPR RI
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allas SWT., yang atas perkenanNya, para peneliti bidang hukum dan ekonomi Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI dapat menyelesaikan tulisan ilmiahnya yang diwujudkan dalam bentuk sebuah buku berjudul “Kajian Seputar Problematika Keuangan Negara, Aset Negara, dan Kekayaan Negara Yang Dipisahkan”. Buku ini tentu saja bukan hanya berguna bagi kalangan umum yang ingin memahami persoalan-persoalan terkait keuangan negara, namun juga secara khusus sangat penting sebagai bahan masukan dan referensi bagi mereka yang terlibat dalam perancangan undang-undang dan juga anggota DPR saat membahas pembentukan undang-undang yang terkait, di antaranya revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, revisi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dan revisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Koupsi. Akhir kata, saya mengucapkan terima kasih kepada para peneliti bidang hukum dan ekonomi P3DI Sekretariat jenderal DPR RI yang telah berupaya menuangkan pemikirannya dalam buku ini dan mendorong agar di masa mendatang dapat menghasilkan buku-buku berkualitas lainnya. Jakarta, November 2013
DR. Winantuningtyastiti S., M.Si. NIP. 195611251982032002
iii
KATA PENGANTAR PENYUNTING
Pemerintah Indonesia telah melakukan reformasi manajemen keuangan negara, baik pada pemerintah pusat maupun pada pemerintah daerah dengan ditetapkannya paket undang-undang bidang keuangan negara, yaitu UndangUndang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Namun demikian, ternyata setelah hampir sepuluh tahun berjalannya reformasi keuangan negara tersebut, kini malah dirasakan berbagai problematika, khususnya yang terkait dengan keuangan negara dan kekayaan negara yang dipisahkan. Konsep keuangan negara yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara ternyata berimplikasi pada tidak adanya kepastian hukum bagi pelaksana Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dan undang-undang terkait lainnya. Para pengurus BUMN menjadi khawatir dan takut dalam mengambil keputusan bisnis, karena dibayangi tuduhan korupsi apabila mengakibatkan kerugian negara. Persoalan aset negara juga merupakan persoalan serius bagi negara ini. Masalahnya memang terletak pada segi penyelamatan aset. Penyelamatan aset negara baik melalui pengadilan maupun luar pengadilan memiliki banyak hambatan. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai lembaga yang berwenang dalam menilai kerugian negara perlu dimonitoring dan didorong untuk melakukan audit terhadap berbagai temuan-temuan yang berpotensi menimbulkan kerugian negara dan pelanggaran terhadap hukum atas pengelolaan ases-aset negara. Buku ini merupakan buah pemikiran dari beberapa peneliti hukum dan ekonomi pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jendeal DPR RI mengenai berbagai persoalan terkait keuangan negara, aset negara dan kekayaan negara yang dipisahkan. Berbagai pengalaman para peneliti ini saat bertugas memberikan pendampingan dalam pembentukan undang-undang di DPR juga memperkaya wawasan para penulis yang kemudian dituangkan dalam dalam buku ini. Oleh sebab itu, saya v
menyambut baik terbitnya buku ini, semoga memberikan pencerahan kepada para pembaca. Jakarta, November 2013 Penyunting, Udin Silalahi
vi
PROLOG
Buku ini secara khusus mengupas seputar problematika keuangan negara, aset negara, dan kekayaan negara yang dipisahkan. Problematika terkait keuangan dan aset negara, serta kekayaan negara yang dipisahkan hingga kini masih terus memunculkan polemik di masyarakat, termasuk di dalam gedung DPR RI. Berbagai kajian terkait berbagai problematika tersebut yang ditulis dalam buku ini sebenarnya memberikan berbagai tawaran dalam bentuk pandangan dan pemikiran yang diharapkan bisa menjadi bahan dalam membenahi kebijakan-kebijakan termasuk revisi berbagai peraturan perundang-undangan terkait. Penulis pertama, dalam buku ini Ronny Sautma Hotma Bako menulis tentang “Konsepsi Hukum atas Uang yang Dimiliki oleh Badan Hukum”, penulis secara khusus mengkaji tentang sejauhmana kedudukan hukum atas uang yang dimiliki oleh badan hukum di Indonesia, dan apa implikasi atas uang yang dimiliki oleh badan hukum tersebut. Penulis Kedua, Prianter Jaya Hairi menulis tentang “Problematika Hukum Penerapan Unsur Kerugian Keuangan Negara dalam Kasus Korupsi di Badan Usaha Milik Negara (BUMN)”, dalam tulisannya penulis berusaha menggali tentang bagaimana problematika hukum terkait penerapan unsur kerugian keuangan negara dalam pembuktian suatu kasus korupsi yang terjadi di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Penulis Ketiga, Ari Mulianta Ginting menulis tentang “Pengaruh Penyertaan Modal Pemerintah terhadap Penerimaan Deviden BUMN”, dalam tulisannya beliau membahas mengenai gambaran umum tentang perkembangan BUMN dan keterkaitan dengan kinerjanya, serta bagaimana pengaruh dana penyertaan modal pemerintah terhadap bagian laba yang dihasilkan oleh BUMN tersebut. Penulis Keempat, Rafika Sari menulis tentang “Privatisasi Badan Usaha Milik Negara di Indonesia: Peran Negara dan Strategi Kebijakan”, tujuan dari penulisan ini adalah: (a) mendeskripsikan faktor yang mendorong privatisasi BUMN di Indonesia; (b) mendeskripsikan kebijakan privatisasi BUMN di Indonesia; (c) menganalisis bagaimana dampak privatisasi terhadap kepemilikan saham negara pada BUMN dan peran negara dalam penguasaan BUMN paska privatisasi; dan (d) merumuskan strategi pembaharuan kebijakan vii
privatisasi dalam pengembangan BUMN untuk meningkatkan kinerja BUMN. Selain itu, dibahas pula mengenai apakah privatisasi sebaiknya dilakukan lebih dahulu kemudian menyehatkan (restrukturisasi) perusahaan ataukah perusahaan direstrukturisasi terlebih dahulu lalu diprivatisasi. Penulis Kelima, Luthvi Febryka Nola menulis tentang “Lelang dalam rangka Penyelamatan Keuangan Negara”, dalam tulisannya beliau menjabarkan tentang bagaimana bentuk lelang dalam rangka penyelamatan keuangan negara, kendala apa yang dihadapi dalam rangka lelang untuk menyelamatkan keuangan negara, serta mengenai bagaimana bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada pembeli lelang dalam rangka penyelamatan keuangan negara. Penulis Keenam, Denico Doly L. Tobing menulis tentang “Penyelesaian Sengketa Tanah Negara sebagai Aset Negara”, dalam tulisan ini, penulis memaparkan aset negara yang dikelola sendiri oleh Pemerintah yang disebut sebagai Barang Milik Negara (BMN). Adapun objek dari aset negara ini akan difokuskan kepada tanah negara. Penulis mengkaji tentang bagaimanakah penyelesaian sengketa tanah terkait dengan tanah negara tersebut.
viii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR SEKRETARIS JENDERAL DPR RI................................................. iii KATA PENGANTAR PENYUNTING........................................................................................v Prolog.............................................................................................................................................vii DAFTAR ISI.................................................................................................................................... ix
TULISAN PERTAMA KONSEPSI HUKUM ATAS UANG YANG DIMILIKI OLEH BADAN HUKUM Ronny Sautma Hotma Bako..................................................................................................... 1 BAB I PENDAHULUAN............................................................................................ 3 BAB II KERANGKA PEMIKIRAN........................................................................... 7 BAB III ANALISIS.......................................................................................................13 BAB IV PENUTUP......................................................................................................27 DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................29 TULISAN KEDUA PROBLEMATIKA HUKUM PENERAPAN UNSUR KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM KASUS KORUPSI DI BADAN USAHA MILIK NEGARA (BUMN) Prianter Jaya Hairi....................................................................................................................31 BAB I .PENDAHULUAN..........................................................................................33 BAB II KERANGKA PEMIKIRAN.........................................................................35 BAB III ANALISIS.......................................................................................................43 BAB IV PENUTUP......................................................................................................53 DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................55 TULISAN KETIGA PENGARUH PENYERTAAN MODAL PEMERINTAH TERHADAP PENERIMAAN DEVIDEN BUMN Ari Mulianta Ginting.................................................................................................................57 BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................59 BAB II KERANGKA PEMIKIRAN.........................................................................63 BAB III ANALISIS.......................................................................................................67 ix
BAB IV PENUTUP......................................................................................................77 DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................79
TULISAN KEEMPAT PRIVATISASI BADAN USAHA MILIK NEGARA DI INDONESIA: PERAN NEGARA DAN STRATEGI KEBIJAKAN Rafika Sari....................................................................................................................................81 BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................83 BAB II KERANGKA PEMIKIRAN PENGUASAAN NEGARA TERHADAP PRIVATISASI BUMN.........................................................87 BAB III HASIL ANALISIS.........................................................................................93 BAB IV PENUTUP................................................................................................... 105 DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... 107 TULISAN KELIMA LELANG DALAM RANGKA PENYELAMATAN KEUANGAN NEGARA Luthvi Febryka Nola............................................................................................................... 109 BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 111 BAB II KERANGKA PEMIKIRAN...................................................................... 115 BAB III ANALISIS.................................................................................................... 123 BAB IV PENUTUP................................................................................................... 129 DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... 131 TULISAN KEENAM PENYELESAIAN SENGKETA TANAH NEGARA SEBAGAI ASET NEGARA Denico Doly L. Tobing............................................................................................................ 133 BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 135 BAB II KERANGKA PEMIKIRAN...................................................................... 139 BAB III ANALISIS.................................................................................................... 147 BAB IV PENUTUP................................................................................................... 153 DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... 155 EPILOG........................................................................................................................................ 157 SEKILAS TENTANG PENULIS............................................................................................ 159 INDEKS....................................................................................................................................... 162
x
TULISAN PERTAMA
KONSEPSI HUKUM ATAS UANG YANG DIMILIKI OLEH BADAN HUKUM Ronny Sautma Hotma Bako*
*
Peneliti Utama pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Staf Pengajar Pada Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan.
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Polemik tentang konsepsi uang yang dimiliki oleh subjek hukum saat ini sudah berimplikasi ke ranah hukum. Polemik ini terjadi karena konsepsi uang yang dimiliki oleh subjek hukum apabila tidak dapat dipergunakan sebagaimana mestinya atau bahkan merugikan keuangan negara bisa dapat diduga sebagai perbuatan tindak pidana korupsi. Polemik ini semakin berkepanjangan mengingat sebagian pihak mengatakan bahwa uang dikonotasikan sebagai bagian dari konsepsi keuangan negara, dan di pihak lain tidak setuju dengan konsepsi bahwa uang tersebut sebagai bagian dari konsepsi keuangan negara. Perdebatan tentang konsepsi uang sebagai bagian dari keuangan negara atau tidak merupakan bagian keuangan negara, menjadi berkembang karena setiap subjek hukum yang merupakan orang perseorangan atau badan hukum pasti membutuhkan uang untuk kebutuhan dan kepentingannya. Konsepsi hukum yang benar (das sollen) tentang kepemilikan uang tersebut sebenarnya terletak kepada siapa subjek hukum yang memiliki uang tersebut? Secara das sollen seharusnya perdebatan atas konsepsi uang tersebut di titik beratkan kepada subjek hukum yang memegang uang tersebut. Tetapi di sisi lain secara das sein, sebagian pihak mengatakan bahwa konsepsi uang merupakan bagian dari keuangan negara, dengan tidak perlu memperhatikan kedudukan dari subjek hukum yang memegang uang tersebut. Secara konsepsi hukum, apabila uang tersebut dimiliki oleh orang perseorangan, maka uang yang dimiliki oleh orang perseorangan tersebut merupakan uang privat. Sedangkan untuk uang yang dimiliki oleh subjek hukum dalam bentuk badan hukum, terdapat dua sisi yang berbeda. Pertama, uang yang dimiliki badan hukum tersebut sebagai modal yang dinyatakan sebagai kekayaan badan hukum tersebut, kedua, uang yang dimiliki oleh badan hukum tersebut merupakan kekayaan yang dipisahkan, baik dipisahkan dari kekayaan orang perseorangan, atau uang yang dimiliki oleh badan hukum tersebut sebagai kekayaan yang dipisahkan karena amanat peraturan perundang-undangan. 3
Konsepsi Hukum atas Uang yang Dimiliki oleh Badan Hukum
Untuk konsepsi pertama, jelas sekali setiap orang perseorangan yang memiliki uang, maka uang tersebut yang dimiliki oleh orang perseorangan secara hukum merupakan uang privat. Misalnya penulis secara orang perseorangan menerima uang sebagai gaji atau pendapatan dalam rekening yang dimiliki oleh penulis, maka secara hukum uang tersebut merupakan uang privat. Bukti bahwa uang tersebut merupakan uang privat dari uang yang dikirimkan langsung kepada penerima uang tersebut. Ada hubungan perdata antara pemberi uang dengan penerima uang. Untuk konsepsi pertama ini bahwa uang yang dimiliki secara orang perseorangan merupakan uang privat tidak banyak dipermasalahkan. Justru pada konsepsi kedua atas uang yang dimiliki subjek hukum dalam bentuk badan hukum yang sering menjadi permasalahan dan perdebatan di masyarakat, khususnya perdebatan para penegak hukum. Hal ini didasarkan bahwa badan hukum merupakan subjek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawabannya. Termasuk hal yang dapat dimintai pertanggungjawabannya atas subjek hukum tersebut yaitu uang yang ada di badan hukum tersebut dan pekerjaan yang dibiayai oleh uang tersebut. Apabila atas uang tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan atau atas pekerjaan yang dibiayai oleh uang dari badan hukum tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan, maka badan hukum tersebut dapat diduga melakukan perbuatan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara. Perdebatan atas badan hukum yang memiliki uang sebenarnya terletak pada konsepsi apa itu badan hukum dan siapa yang ada di badan hukum tersebut. Secara hukum tidak boleh dilihat badan hukum tersebut secara makro saja, harus dilihat secara mikro apa itu badan hukum tersebut dan siapa yang ada di badan hukum tersebut. Berdasarkan konsepsi ini maka tidak heran banyak pihak mendalilkan bahwa uang yang dimiliki oleh badan hukum tersebut identik dengan kekayaan negara. Kepemilikan atas harta kekayaan tertentu oleh badan hukum, pada pokoknya bersumber dari harta kekayaan yang dipisahkan oleh orang perorangan secara khusus, yang diperuntukkan bagi penggunaan yang sesuai dengan maksud dan tujuan badan hukum tersebut. Maksud dan tujuan pemisahan harta kekayaan tertentu untuk keperluan perseroan terbatas (PT) berbeda halnya dengan maksud dan tujuan pemisahan harta kekayaan tertentu untuk pendirian yayasan, yang berbeda pula dari pemisahan harta kekayaan untuk keperluan dana pensiun. Dengan dipisahkannya harta kekayaan tersebut oleh pemiliknya, yang dalam hal ini adalah orang perorangan, maka kepemilikan benda atau harta kekayaan yang dipisahkan tersebut beralih dari orang perorangan kepada badan hukum. Ini berarti orang perorangan tersebut sudah tidak lagi memiliki kewenangan mutlak atas benda atau harta kekayaan yang dipisahkan tersebut. 4
Ronny Sautma Hotma Bako
Permasalahan dikotomi uang publik versus uang privat berpijak kepada konsepsi atas kekayaan negara, apakah sebagai kekayaan negara yang dipisahkan? Sehubungan dengan kekayaan negara yang dipisahkan pada perusahaan negara termasuk dalam pengertian keuangan negara yang tercantum dalam UndangUndang No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, maka pada Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Debat yang belum terlerai ini membuat banyak kalangan tak puas, Pihak Kejaksaan agung tidak puas, demikian juga direksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN)1. Permasalahan ini mengakibatkan sebagian direksi BUMN Persero takut mengambil keputusan bisnis karena mereka selalu dihadapkan kepada ancaman risiko kerugian keuangan negara dan ancaman tindak pidana korupsi. Dalam masalah ini, diperlukan adanya konsepsi hukum yang jelas atas uang yang dimiliki oleh badan hukum sebagai uang milik badan hukum tersebut, atau atas uang tersebut masih ada kepentingan negara atas kepemilikan uang yang dimiliki badan hukum tersebut. Perdebatan atas konsepsi hukum atas uang yang dimiliki oleh badan hukum, misal BUMN, membuat ketidakjelasan atas kedudukan hukum atas uang yang dimiliki oleh setiap badan hukum. Oleh sebab itu perlu ada pemahaman yang sama di masyarakat dan sesama penegak hukum atas kedudukan hukum atas uang tersebut. B. PERMASALAHAN Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, saat ini masih terjadi perdebatan atas kedudukan hukum atas uang yang dimiliki orang perseorangan atau badan hukum. Dalam tulisan ini berfokus kepada perdebatan yang cukup panjang atas kedudukan hukum atas uang yang dimiliki oleh badan hukum tertentu, misal uang yang dimiliki oleh BUMN, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), atau badan hukum yang dibentuk dengan Undang-Undang2. Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini, yaitu sejauhmana kedudukan hukum atas uang yang dimiliki oleh badan hukum di Indonesia, dan apa implikasi atas uang yang dimiliki oleh badan hukum tersebut.
1
2
“Supaya Status Keuangan BUMN Makin Jelas”, www.hukumonline.com, diakses 25 September 2013 Contoh beberapa badan hukum yang dibentuk dengan Undang-Undang, misal badan hukum Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) diatur dengan Undang-Undang No 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, badan hukum Koperasi diatur dengan Undang-Undang No 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian, badan hukum Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia diatur dengan Undang-Undang No 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia
5
BAB II KERANGKA PEMIKIRAN
A. KEUANGAN NEGARA Keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut3. Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dinyatakan bahwa pendekatan yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah dari sisi objek, subjek, proses, dan tujuan. Dari sisi objek, yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut4. Dari sisi subjek, yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi seluruh subjek yang memiliki/menguasai objek sebagaimana tersebut di atas, yaitu: pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan negara/daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara5. Dari sisi proses, Keuangan Negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan objek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggunggjawaban. Dari sisi tujuan, Keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan objek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara6. Landasan pengelolaan keuangan negara adalah Pasal 23C Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, “hal-hal lain mengenai keuangan negara ditetapkan melalui undang-undang”. Berangkat dari landasan konstitual 5 6 3 4
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Ibid. Ibid.
7
Konsepsi Hukum atas Uang yang Dimiliki oleh Badan Hukum
itulah berbagai upaya dilakukan untuk dapat menghadirkan Undang-undang Keuangan Negara. Dalam paket Undang-Undang Keuangan Negara, terdapat empat prinsip dasar pengelolaan keuangan negara, yaitu: 1) Akuntabilitas berdasarkan hasil atau kinerja; 2) Keterbukaan dalam setiap transaksi pemerintah; 3) Pemberdayaan manajer professional; dan 4) Adanya lembaga pemeriksa eksternal yang kuat, professional dan mandiri serta dihindarinya duplikasi dalam pelaksanaan pemeriksaan.
Pengelolaan Keuangan Negara tertuang dalam Paket Undang-Undang Keuangan Negara, yaitu: Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Menurut Soepomo, keuangan negara itu adalah dalam pengertian keuangan negara dalam arti luas, yakni termasuk di dalamnya keuangan yang berada dalam APBN, APBD, BUMN/D dan pada hakikatnya seluruh kekayaan Negara merupakan objek pemeriksaan dan pengawasan7. Arifin Soeria Atmadja mengatakan bahwa pada dasarnya hukum keuangan negara harus diletakkan pada konsep pertanggungjawaban pengguna keuangan negara yang membawa implikasi yuridis yang cukup signifikan dalam sisten ketatanegaraan Indonesia8.
B. SUBJEK HUKUM Subjek hukum (rechts subject) menurut Algra adalah setiap orang mempunyai hak dan kewajiban, yang menimbulkan wewenang hukum (rechtsbevoegheid), sedangkan pengertian wewenang hukum itu sendiri adalah kewenangan untuk menjadi subjek dari hak-hak. Dalam menjalankan perbuatan hukum, subjek hukum memiliki wewenang. Wewenang dari subjek hukum di bagi menjadi dua, Pertama, wewenang untuk mempunyai hak (rechtsbevoegdheid), dan Kedua, wewenang untuk melakukan (menjalankan) perbuatan hukum dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Subjek hukum dibagi menjadi dua, yaitu orang (natUndang-Undangrlijk persoon), penempatan orang sebagai subjek hukum karena manusia mempunyai hak-hak subjektif selain itu, manusia juga memiliki kewenangan
7
8
http://opinihukumkasus, Pemahaman Keuangan Negara, 16 Juli 2008, diakses 25 September 2003. Arifin Soeria Atmadja, “Hukum Keuangan Negara Pasca 60 Tahun Indonesia Merdeka”, makalah di seminar yang diselenggarakan oleh Majelis Pemantau Peradilan Indonesia (MAPPI), Depok
8
Ronny Sautma Hotma Bako
hukum, dalam hal ini kewenangan hukum berarti, kecakapan untuk menjadi subjek hukum, yaitu sebagai pendukung hak dan kewajiban. Subjek hukum yang kedua adalah badan hukum (Rechts persoon). Konsep “badan hukum” bermula dari konsep dalam hukum perdata sebagai kebutuhan untuk menjalankan kegiatannya yang diharapkan lebih berhasil. Badan hukum sebenarnya hanyalah sekedar ciptaan hukum, yaitu dengan menunjuk adanya suatu badan yang diberi status sebagia subjek hukum, disamping subjek hukum yang berwujud manusia alamiah (natUndangUndangrlijk persoon). Diciptakan suatu pengakuan adanya suatu badan, yang sekalipun badan ini sekedar suatu badan namun badan ini dianggap dapat menjalankan tindakan hukum dengan segala harta kekayaan yang timbul dari perbuatan itu. Harta itu harus dipandang sebagai harta kekayaan badan tersebut, terlepas dari pribadi-pribadi manusia yang terhimpun di dalamnya. Jika dari perbuatan itu timbul kerugian, maka kerugian ini pun hanya dapat dipertanggungjawabkan semata-mata dengan harta kekayaan yang ada dalam badan yang bersangkuatan. Di Indonesia badan hukum sebagai subjek hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu Badan Hukum Publik dan Badan Hukum Privat. Penentuan sebuah badan hukum termasuk badan hukum publik atau termasuk badan hukum privat dapat dilihat melalui dua cara, pertama, yaitu dilihat berdasarkan terjadinya, yakni badan hukum privat didirikan oleh perseorangan, sedangkan badan hukum publik didirkan oleh pemerintah/ negara. Cara kedua, yang dapat digunakan untuk melihat kategorisasi badan hukum adalah berdasarkan lapangan kerjanya, yakni apakah lapangan pekerjaannya itu untuk kepentingan umum, maka badan hukum tersebut merupakan badan hukum publik. Tetapi kalau lapangan pekerjaannya untuk kepentingan perseorangan, maka badan hukum itu termasuk badan hukum privat.9 C. KEKAYAAN NEGARA YANG DIPISAHKAN Wakil Ketua Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) Hasan Bisri10 mengatakan bahwa makna `kekayaan negara yang dipisahkan` sedemikian yang dimaksud dalam Undang-Undang Kekayaan Negara bukan berarti dipisahkan dari kepemilikan dan pengelolaan keuangan negara, tetapi dipisahkan dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Sebesar
9
10
Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,1999, hal 150 Penjelasan Hasan Bisri di sidang pengujian Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 terhadap UUD 1945, di Mahkamah Konstitusi, September 2013.
9
Konsepsi Hukum atas Uang yang Dimiliki oleh Badan Hukum
apa kepemilikan negara dalam kekayaan BUMN ya sebesar ekuitas yang dimiliki oleh negara,” ujarnya. Hasan mengatakan, bila mengikuti pendapat pemohon terhadap pengujian undang-undang tersebut maka keuangan daerah, pendapatan dan belanja daerah, serta kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan dalam BUMD juga bukan bagian dari keuangan negara. “Itu jelas salah. Tidak hanya itu, dengan pemahaman yang salah tentang `kekayaan negara yang dipisahkan`, semua dana APBN dalam bentuk Dana Alokasi Umum dan Khusus serta Dana Bagi Hasil yang sudah disalurkan ke kas daerah dan sudah masuk dalam sistem APBD menjadi bukan bagian dari keuangan negara,” jelasnya. Dengan pemahaman yang salah itu, kata Hasan, lembaga yang sumber keuangannya bukan dari APBN atau bukan hanya dari APBN, seperti Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan juga bisa dianggap bukan bagian dari keuangan negara. Selanjutnya, semua lembaga yang dibentuk dengan Undang-Undang dan dinyatakan bahwa kekayaannya adalah aset negara yang dipisahkan, seperti Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan SKK Migas dengan sendirinya bukan lagi menjadi bagian dari keuangan negara, kata dia. “Apabila permohonan pemohon dikabulkan oleh MK, maka dapat diartikan dalil pemohon bahwa bagian keuangan negara hanyalah APBN dibenarkan oleh MK,” ujarnya. Bila permohonan dengan dalil tersebut dikabulkan, Hasan khawatir hal itu akan berdampak sangat luas bagi lembaga-lembaga lain seperti yang telah ia sebutkan. Selain itu, menurut dia, hal itu memungkinkan adanya permohonan dari masyarakat agar keuangan daerah juga dikeluarkan dari keuangan negara. Dia khawatir hal itu memungkinkan pemerintah dan pemda akan ramairamai membentuk BUMN atau BUMD, kemudian badan usaha itu dijadikan ajang korupsi dan manipulasi yang semua kerugiannya akan dinyatakan sebagai risiko bisnis. “Kalau seperti itu, aparat penegak hukum tidak dapat `menjerat` mereka dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi karena manipulasi dan penyelewengan yang terjadi pada perusahaan privat adalah tindak pidana umum. Pandangan berbeda dinyatakan oleh Hikmahanto Juwana11 bahwa secara doktrin jika telah dipisahkan, tidak tepat menganggap keuangan BUMN sebagai keuangan negara. Paling tidak ada tiga alasan yang mendasari pemikiran ini. Pertama, uang yang telah dipisahkan menjadi milik bumn dan negara memperoleh saham atas modal yang telah disetorkan. Saham inilah yang dicatatkan sebagai kekayaan negara.
11
Hikmahanto Juwana, “Uang BUMN, Uang Negara?”, Kompas 7 Juli 2013 hal 7.
10
Ronny Sautma Hotma Bako
Kedua, keuangan BUMN tidak bisa diperlakukan sebagai keuangan negara, karena secara alamiah mengelola keuangan negara beda mengelola bumn. Dalam pengelolaan uang, negara bukanlah entitas yang mencari untung, sedangkan BUMN dalam mengelola BUMN bisa menderita kerugian atas suatu keputusan bisnis. Apabila terjadi kerugian diselesaikan secara perdata, dan bila kerugian dikarenakan masalah administratif dari pengurus dan pegawainya, maka diselesaikan secara administratif juga. Ketiga, secara doktrin mengategorikan keuangan BUMN sebagai keuangan negara sudah bertentangan dengan konsep uang publik dan uang privat. Konsep pemisahan uang publik dan uang privat dikenal juga dalam pengadaan barang/jasa pemerintah sebagaimana diatur dalam Perpres No. 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Pendapat senada diutarakan juga oleh Erman Radjagukguk12 yang mengatakan bahwa kekayaan BUMN sebagai kekayaan badan hukum BUMN dan bukanlah menjadi dari kekayaan negara. Hal ini merujuk pada ketentuan Pasal 11 Undang-Undang No. 19 Tahun 2003, bahwa terhadap persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Kontekstual kekayaan negara yang dipisahkan tidak jauh berbeda dari hutang negara atau piutang negara dari suatu BUMN. Mahkamah Konstitusi13 memutuskan Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) hanya bisa menaih piutang negara bukan pada BUMN. Menurut MK, piutang bank BUMN setelah berlakunya Undang-Undang No 1 tahun 2004, Undang-Undang No 19 Tahun 2003 dan Undang-Undang No 40 tahun 2007, bukan lagi piutang negara yang harus dilimpahkan penyelesaiannya ke PUPN. Piutang bank BUMN dapat diselesaikan sendiri oleh manajemen masing-masing bank BUMN berdasarkan prinsip yang sehat di masing-masing bank BUMN.
12
13
“Kekayaan BUMN Bukan Bagian Keuangan Negara”, www.hukumonline.com 31 Oktober 2012, diakses 17 Oktober 2013. Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUndang-Undang-IX/2011 diputus tanggal 25 September 2012
11
BAB III ANALISIS
A. PENGANTAR Setiap subjek hukum baik orang pribadi dan badan hukum membutuhkan uang dalam kehidupannya. Pemenuhan uang tersebut bisa berasal dari pekerjaan yang dikerjakan atau uang yang berasal dari pihak ketiga. Penerima uang merupakan subjek hukum, bisa orang perseorangan dan/atau badan hukum. Tetapi sumber utama uang yang diterima oleh subjek hukum justru sering dipermasalahkan. Permasalahan sumber uang terutama dikaitkan dengan kedudukan uang yang diterima oleh badan hukum sebagai subjek hukum. Orang pribadi sebagai subjek hukum mempunyai hak untuk mendapatkan uang atas kewajiban yang dilaksanakan oleh subjek hukum tersebut. Uang yang diterima oleh orang pribadi tersebut sebagai prestasi atas kewajiban dilakukan orang pribadi atas macam dan jenis pekerjaan yang dilakukannya. Sumber utama atas uang yang diterima oleh orang pribadi tersebut jelas sumber uang tersebut. Badan hukum sebagai subjek hukum yang menerima sumber uang tersebut yang menjadi modal bagi badan hukum tersebut, sering menjadi hal yang dipermasalahkan. Hal ini khususnya berlaku bagi badan hukum yang dibentuk dengan Undang-Undang atau diatur dalam Undang-Undang. Bagi badan hukum PT yang bersifat murni perseroan, asal sumber uang yang jadi modal bagi perseroan tersebut, disisihkan oleh para pemegang saham yang dikonversi atas saham kepemilikannya14. Tetapi bagi badan hukum yang tidak murni perseroan, apakah itu badan hukum BUMN, atau badan hukum yang diatur dengan Undang-Undang15 atau badan hukum yang diatur dalam Undang-Undang16, justru sering dipermasalahkan sumber utama dari modal yang ada pada badan hukum tersebut. Contoh nyata sampai saat ini modal negara yang ada di BUMN masih diperdebatkan sebagai kekayaan negara yang dipisahkan atau bukan sebagai kekayaan negara yang dipisahkan.
14 15
16
Lihat Pasal Undang-Undang No 40 Tahun 2007 tentang Perseorang Terbatas. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) merupakan badan hukum yang dibentuk dengan Undang-Undang No 24 Tahun 2004 Bank Indonesia dibentuk dalam Undang-Undang No 23 Tahun 1999 tentang Bank Sentral sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No 3 tahun 2004 tentang Bank Sentral.
13
Konsepsi Hukum atas Uang yang Dimiliki oleh Badan Hukum
Ketidakjelasan sumber modal yang dimiliki oleh badan hukum tersebut, selain karena tidak jelasnya materi muatan dalam Undang-Undang, juga ada putusan badan peradilan, baik putusan Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi ataupun Fatwa Mahkamah Agung yang menegaskan tentang kedudukan hukum atas konsepsi uang tersebut. Ketidakjelasnya materi muatan dalam Undang-Undang yang mengatur tentang konsepsi uang ini, sangat disayangkan, Muhamad Mustofa17 menilai tidak sinkronnya Undang-Undang tersebut disebabkan DPR tidak memahami seutuhnya istilah hukum positif. Hukum positif itu tidak boleh multitafsir. Makna positif tidak bermakna ganda. Bila pembentuk Undang-Undang membuat Undang-Undang yang bermakna ganda, berarti ia telah gagal menjalankan fungsinya. Di bidang peradilan terdapat beberapa putusan dan fatwa MA yang mengarah kepada konsepsi hukum atas uang tersebut. Misal dalam Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (tipikor) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat18, hakim menjatuhkan vonis kepada terdakwa bersalah karena terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No 31 Tahun 1999 jis UndangUndang No 20 Tahun 2001, Pasal 55 ayat (1) KUHP. Dalam amar putusannya, hakim menilai bahwa YPPI yang didirikan tahun 1977, baru mendapat pengesahan sebagai badan hukum pada 11 Desember 2003. Dalam kasus ini Yayasan Pengembangan Pendidikan Indonesia (YPPI) belum berstatus badan hukum. Tindakan para terdakwa merupakan tindakan yang tidak patut dan melawan hukum. Putusan badan peradilannya yaitu putusan MK19 terkait dengan pengujian Undang-Undang No 49 Prp tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) terhadap UUD Tahun 1945, dalam putusannya Pasal 4 ayat (1) jis ayat (4), Pasal 8, Pasal 12 ayat (1) bertentangan dengan UD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Makna dari putusan MK ini, berarti hutang piutang antara debitur dengan kreditur perbankan merupakan hutang piutang antara para pihak, dan hutang tersebut tidak dapat ditagih oleh PUPN, karena hutang debitur kepada kreditur perbankan bukan merupakan hutang negara. Persoalan konsepsi uang yang dimiliki oleh badan hukum tidak jelas kedudukan hukumnya, hal ini karena sinkronisasi dan harmonisasi atas pengaturan uang tersebut dalam peraturan perundang-undangan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Sehingga wajar dalam pelaksanaan peraturan
17
18 19
“Redefinisi Kerugian Negara dengan Sinkronisasi Undang-Undang, www.hukumonline. com, diakses 17 September 2013. Putusan Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta Pusat. Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-IX/2011
14
Ronny Sautma Hotma Bako
perundang-undangan tersebut masih terjadi multi tafsir, baik antar sesama penegak hukum, ataupun para pengurus badan hukum yang mempermasalahkan kejelasan atas konsepsi uang yang dimiliki oleh badan hukum tersebut dan implikasi atas uang yang dimiliki oleh badan hukum tersebut. Untuk mendapatkan gambaran utuh tentang konsepsi uang yang dimiliki oleh badan hukum tersebut, di bawah ini diuraikan perbandingan atas konsepsi uang yang dimiliki oleh badan hukum di Indonesia.
B. MODAL YANG DIMILIKI OLEH BADAN HUKUM PRIVAT Badan hukum merupakan bagian dari subjek hukum, selain orang perorangan. Badan hukum sebagai suatu subjek hukum diwujudkan dalam beberapa bentuk badan hukum, baik badan hukum dinyatakan secara tegas dengan suatu Undang-Undang, ataupun badan hukum yang dinyatakan dalam suatu Undang-Undang. Penetapan suatu badan hukum melalui Undang-Undang tersebut, untuk membedakan badan hukum pada umumnya yang dikenal yaitu PT. Selama ini orang hanya mengenal PT sebagai suatu badan hukum. Melalui pembentukan badan hukum lainnya, maka saat ini dikenal badan hukum selain PT. Badan hukum sebagai suatu subjek hukum diwujudkan dalam beberapa bentuk badan hukum. Misalnya badan hukum yang nama dirinya PT. Nama diri PT dinyatakan tegas dalam Undang-Undang tersebut, ada nama diri badan hukum lainnya yang secara tegas disebutkan dalam suatu Undang-Undang. Setiap nama diri yang dinyatakan dalam suatu Undang-Undang memiliki karakteristik tersendiri dan karakteristik tersebut diatur dalam Undang-Undang tersebut. PT sebagai suatu badan hukum mempunyai sifat tersendiri yang diatur dalam Undang-Undang No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Dalam Undang-Undang No 40 Tahun 2007, pengertian PT adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya20. Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia. kecuali21 perseroan yang sahamnya dimiliki oleh negara dan Perseroan yang mengelola bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, dan lembaga lain sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pasar Modal Setiap pendiri perseroan wajib mengambil bagian saham pada saat perseroan didirikan. Berdasarkan ketentuan umum ini jelas bahwa PT
20 21
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No 40 Tahun 2007 Pasal 7 ayat (7) Undang-Undang No 40 Tahun 2007
15
Konsepsi Hukum atas Uang yang Dimiliki oleh Badan Hukum
merupakan badan hukum yang diwujudkan melalui persekutuan modal dari para pemegang saham. Persekutuan modal tersebut diwujudkan dari modal yang disetor oleh pemegang saham22. Modal dasar perseroan minimal Rp50 juta23, dan paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari modal dasar harus ditempatkan dan disetor penuh. Modal ditempatkan dan disetor penuh dibuktikan dengan bukti penyetoran yang sah24. Penyetoran atas modal saham dapat dilakukan dalam bentuk uang dan/atau dalam bentuk lainnya25. Berdasarkan konsepsi dalam Undang-Undang PT jelas terlihat bahwa PT merupakan badan hukum yang didirikan oleh orang atau badan hukum lainnya sebagai pemegang saham yang dibuktikan dengan penyertaan modal melalui saham yang ditetapkan oleh PT tersebut. Modal yang disetor oleh pemegang saham bisa dalam bentuk yang dan/atau bentuk lainnya. Modal yang dalam bentuk uang yang disetor atau ditempatkan di PT tersebut merupakan uang pribadi dari pemegang saham tersebut. Masuknya uang pribadi sebagai modal dari perseroan dikonversi menjadi saham, dan pada saat modal tersebut telah dikonversi menjadi saham, maka saham tersebut sebagai kepunyaan perseroan tersebut. Konsekuensi yuridis dari orang yang memberikan uangnya sebagai modal usaha suatu PT, maka uang yang dijadikan modal di perseroan tersebut menjadi uang milik perseroan (uang privat). Tanda bukti kepemilikan dari orang atau badan hukum yang bersangkutan di perseroan tersebut yaitu adanya bukti saham yang dimiliki oleh orang atau badan hukum tersebut pada perseroan tersebut. Di sisi lain terhadap uang yang disetor pada perseroan tersebut mengakibatkan kekayaan orang tersebut berkurang dengan ditempatkannya uangnya pada perseroan tersebut. Berdasarkan konsepsi atas uang tersebut, menimbulkan sisi yang berbeda. Sisi pertama, orang yang menempatkan uangnya pada perseroan, berarti nilai kekayaan termasuk uangnya menjadi berkurang. Di sisi lain dengan adanya penempatan uang dari para pemegang saham dalam bentuk saham, berarti perseroan tersebut memiliki modal dalam bentuk saham atas nama pemegang saham, dan kekayaan perseroan berdasarkan hasil pemanfaatan modal perseroan tersebut. PT sebagai badan hukum memiliki kekayaan dan kekayaan badan hukum tersebut berasal dari modal dalam bentuk uang dari pemegang saham tersebut. PT sebagai badan hukum melakukan kegiatan usahanya sesuai dengan tujuan dari pendirian PT tersebut. Hasil dari kegiatan usahanya menghasilkan uang 24 25 22 23
Pasal 3 Undang-Undang No 40 Tahun 2007 Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang No 40 Tahun 2007 Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No 40 Tahun 2007 Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang No 40 Tahun 2007
16
Ronny Sautma Hotma Bako
dan uang tersebut sebagai kekayaan dari perseroan tersebut. Perseroan yang memiliki kekayaan tersebut bebas melakukan perbuatan hukum sepanjang sesuai dengan kegiatan perseroan tersebut. Salah satu perbuatan hukum yang bisa dilakukan yaitu memberikan deviden kepada pemegang saham, bonus kepada karyawan dan pemegang saham dan perbuatan hukum lainnya sepanjang disetujui oleh dewan direksi dan dewan komisaris. Pemberian ini kepada pihak-pihak tersebut dalam bentuk uang perseroan yang dikeluarkan dari pembukuan perseroan, dan pihak yang menerima uang perseroan merupakan uang privat. Pemberian uang kepada pemegang saham dalam bentuk deviden, sepanjang badan hukum tersebut mendapat keuntungan pada tahun sebelumnya yang diputuskan melalui RUPS perseroan tersebut. Selain memberikan deviden kepada pemegang saham, perseroan juga menggunakan keuntungan perseroan sebagai cadangan perseroan. Pemberian uang melalui deviden dari badan hukum kepada pemegang saham juga melalui proses levering, dan uang yang diterima oleh pemegang saham perseroan tersebut menjadi uang privat oleh yang bersangkutan. C. MODAL YANG DIMILIKI OLEH BUMN SEBAGAI BADAN HUKUM Dalam Undang-Undang No 19 Tahun 2003 tentang BUMN, disebutkan pengertian BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung dari kekayaan negara yang dipisahkan. BUMN sebagai badan usaha modalnya dari negara. Bila konteks ini dikaitkan dengan pendirian perseroan pada umumnya, maka modal BUMN yang hanya berasal dari satu sumber yaitu modal negara, maka hal ini dimungkinkan oleh Pasal 7 ayat (7) Undang-Undang No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pendirian suatu BUMN melalui modal negara, baik modal seluruhnya atau modal sebagian, dan modal negara pada BUMN merupakan kekayaan negara yang dipisahkan dari APBN. Sumber utama dari modal pada pendirian suatu BUMN dilakukan melalui penyertaan secara langsung dari kekayaan negara yang dipisahkan. Penyertaan secara langsung dari kekayaan negara yang dipisahkan dimaknai sebagai penyertaan modal negara dalam rangka pendirian atau penyertaan pada BUMN. Bukti konkrit dari adanya modal negara dan penyertaan modal negara pada suatu BUMN ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (PP). Adanya pengundangan PP atas penyertaan modal negara pada suatu BUMN, diartikan sebagai dokumentasi formal hukum atas kegiatan modal negara dan penyertaan modal negara tersebut pada suatu BUMN. 17
Konsepsi Hukum atas Uang yang Dimiliki oleh Badan Hukum
Secara konseptual modal BUMN berasal dari negara, baik modal seluruh atau sebagian, dan modal negara tersebut sebagai bagian dari kekayaan negara yang dipisahkan. Konkritisasi atas modal dari negara dilakukan melalui suatu kegiatan penyertaan secara langsung. Untuk melegalkan konkritisasi modal negara tersebut dilakukan melalui pengundangan suatu PP. Pada tahun 201226 tercatat ada 27 produk hukum penambahan penyertaan modal negara di Kementerian Hukum dan HAM, dan triwulan I 2013, pemerintah baru mengesahkan 6 produk hukum dalam penyertaan modal negara. Penyertaan modal negara pada suatu BUMN terbatas dalam rangka pendirian atau penyertaan pada BUMN27. Ada 2 kondisi dari penyertaan modal negara pada suatu BUMN, yaitu 1) pada kondisi pendirian suatu BUMN atau 2) pada kondisi penyertaan modal negara. Pada konteks pendirian suatu BUMN, penyertaan modal negara sifatnya terbatas pada kondisi pendirian suatu BUMN. Tetapi apabila ada suatu BUMN membutuhkan modal tambahan untuk kegiatan BUMN tersebut, maka diberikan penyertaan modal negara. Penyertaan modal negara pada konteks ini juga disahkan melalui pengundangan dalam PP. Sumber utama atas 2 kondisi BUMN tersebut tetap bersumber pada 1) Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN); 2) Kapitalisasi cadangan, 3) sumber lainnya. Secara umum penyertaan modal negara pada BUMN dibagi menjadi 3 bentuk, 1) fresh money, 2) pengalihan aset, dan 3) konversi utang perusahaan. Sampai pada level modal BUMN berasal dari negara atau adanya tambahan penyertaan modal pada suatu BUMN tidak banyak permasalahannya. Berdasarkan sudut administrasi hukum, maka sumber dari modal suatu BUMN berasal dari modal negara. Artinya ada tanggungjawab negara atas suatu BUMN melalui pemberian modal atau penyertaan modal kepada suatu BUMN yang ditetapkan dengan suatu PP. Mengingat BUMN merupakan badan hukum privat, sedangkan negara sebagai badan hukum publik, sering timbul permasalahan yuridis terhadap kedua badan hukum tersebut. Dalam hal negara sebagai badan hukum publik, maka segala sesuatu yang dimiliki oleh negara berasal dari uang publik dalam APBN. Tetapi pada saat negara memberikan modal negara kepada badan hukum lainnya, terjadi proses levering antara dua badan hukum yang berbeda. Pada saat negara menyerahkan modal negara yang nota bene uang publik kepada BUMN, maka uang publik tersebut menjadi uang privat karena sudah terjadi proses levering tersebut dari kedua badan hukum tersebut.
26
27
“Peran DJKN Dalam Penetapan Penyertaan Modal Negara”, http://www.djkn/kemenkeu. go.id, diakses 17 Oktober 2013. Lihat Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No 19 Tahun 2003
18
Ronny Sautma Hotma Bako
Bukti terjadinya proses levering ada 2 sisi, di sisi negara melalui pengundangan melalui PP, dan di sisi BUMN dicatatkannya modal negara tersebut dalam bentuk saham atas nama negara dalam akutansi keuangan BUMN. Apabila BUMN mendapatkan keuntungan, maka keuntungan tersebut dinilai dengan uang yang dibayar melalui deviden, dan uang tersebut sebagai uang privat. Tetapi mengingat ada pemegang saham negara, maka BUMN menyerahkan deviden tersebut kepada negara untuk dimasukkan ke dalam APBN. Deviden yang diserahkan BUMN kepada negara untuk APBN merupakan uang publik. Konsepsi hukum atas uang yang dimiliki oleh BUMN yang berasal dari modal negara yaitu: 1. Modal BUMN berasal dari modal negara yang diambil dari APBN. Sumber modal negara tersebut merupakan uang publik yang berasal dari APBN. Setiap tahun biasanya APBN mencatat modal negara yang dipisahkan dari kekayaan negara untuk dijadikan modal negara atas suatu BUMN. Termasuk juga APBN menyisihkan anggaran negara untuk dijadikan penyertaan modal negara pada suatu BUMN. 2. Penyerahan modal negara tersebut dari negara kepada BUMN sebagai bagian dari kekayaan negara yang dipisahkan, setelah modal negara tersebut dipisahkan dari kekayaan negara tersebut, maka terjadi pengurangan atas nilai dari kekayaan negara tersebut, karena kekayaan negara tersebut telah dipisahkan sebagai modal negara untuk suatu BUMN. Secara akuntansi pengurangan aset kekayaan negara tidak tampak karena sampai saat ini Indonesia baru memiliki Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) dan belum memiliki Laporan Keuangan Negara. 3. BUMN yang menerima modal negara tersebut mencatatkan modal negara tersebut sebagai saham negara, dan dicatatkan dalam buku daftar pemegang saham. Untuk mengawasi modal awal tersebut, biasanya pemerintah menempatkan beberapa orang untuk dijadikan anggota dewan komisaris dan komisaris independen. 4. Uang publik yang berasal dari APBN sebagai bagian dari modal negara, beralih ke BUMN melalui proses pengundangan dalam bentuk PP. PP merupakan bukti administrasi hukum atas terjadinya proses penyerahan modal negara kepada suatu BUMN. 5. Bagi BUMN sendiri modal negara tersebut dicatat sebagai aset BUMN karena sudah resmi melalui pengundangan dalam PP. Pencatatan modal negara dalam BUMN selain dicatat sebagai salah satu pemegang saham, maka aset tersebut sudah beralih menjadi aset BUMN, dan bukan lagi sebagai modal negara. Hanya saja selama ini jarang ada keputusan RUPS BUMN yang menetapkan bahwa modal negara tersebut sudah beralih menjadi kekayaan perseroan. 19
Konsepsi Hukum atas Uang yang Dimiliki oleh Badan Hukum
6. Tugas pengurus BUMN mencatatkan dalam Rapat Umum Pemegang Saham terhadap pencatatan aset tersebut sebagai aset BUMN dan sebagai hak privat dari BUMN tersebut.
Konsepsi modal negara dalam suatu BUMN menjadi hal yang dipermasalahkan, karena terjadinya penggabungan perisitiwa hukum satu dengan peristiwa hukum lainnya. Dalam konteks hukum yang sejati, membicarakan hukum harus mengacu kepada satu peristiwa hukum semata. Apabila membicarakan hukum mengacu kepada lebih dari satu peristiwa hukum, maka bisa menjadi perdebatan berkepanjangan atau tidak mendapat titik temu yang pas sesuai dengan hukum. Pada konteks modal negara pada suatu BUMN, juga sering dikaitkan dengan peristiwa hukum lainnya, seperti modal negara pada BUMN sebagai bagian dari keuangan negara, atau modal negara pada BUMN sebagai bagian dari kekayaan negara. Membicarakan keuangan negara atau kekayaan negara merupakan suatu peristiwa hukum sendiri, tetapi bila dua hal ini dikaitkan dengan modal negara pada BUMN, maka akan terjadi perdebatan panjang yang tidak berkesudahan. D. MODAL NEGARA DALAM BUMN VERSUS KONTEKS KEUANGAN NEGARA Keuangan negara dalam Undang-Undang No 17 Tahun 2003 diartikan sebagai semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut28. Bila diperhatikan ketentuan ini merupakan pengertian yang bersifat umum, bahkan kalau dilihat dari sudut Ilmu Perundang-undangan29, maka ketentuan Pasal 1 angka 1 dapat dikategorikan sebagai suatu batasan dari keuangan negara. Konsepsi keuangan negara sebagai suatu batasan, makin jelas bila dilihat dari ketentuan Pasal 2 Undang-Undang No 17 Tahun 2003, yang menyebutkan “keuangan negara meliputi: a. Hak negara ..... b. sampai f g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah; h. sampai dengan i. Lihat Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Penulis mengajar Ilmu Perundang-undangan di Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan
28 29
20
Ronny Sautma Hotma Bako
Bila dilihat konteks Pasal 1 angka 1 jo Pasal 2 butir g, maka dapat diartikan bahwa segala sesuatu yang ada di Indonesia merupakan keuangan negara. Apabila pengertian ini digunakan maka terjadi aneksasi negara terhadap segala sesuatu yang dapat dinilai dengan uang. Tentu pengertian ini sangat berkelebihan. Campur tangan negara yang berkelebihan terjadi karena adanya penggabungan antara peristiwa hukum satu dengan peristiwa hukum lainnya. Sehingga wajar ada sejumlah pihak mengatakan bahwa modal negara dalam BUMN sebagai bagian dari keuangan negara. Bila konsepsi keuangan negara disejajarkan dengan modal negara yang ditempatkan pada suatu BUMN, maka konsepsi ini dilihat dari subjek keuangan negara, Dari sisi subjek, yang dimaksud dengan keuangan negara meliputi seluruh subjek yang memiliki/menguasai objek sebagaimana tersebut di atas, yaitu: pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan negara/daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Pengertian subjek atas keuangan negara memberikan ruang kepada subjek tertentu yang dapat menjadi bagian dari keuangan negara. Satu di antara subjek keuangan negara tersebut yaitu perusahaan negara/daerah30. Undang-Undang No 17 Tahun 2003 memberi ruang kepada perusahaan negara sebagai salah satu subjek keuangan negara. Ketentuan ini ingin memberi penegasan bahwa perusahaan negara merupakan salah satu dari subjek keuangan negara. Subjek keuangan negara diartikan sebagai pelaku keuangan negara, dan sebagai pelaku keuangan negara, berarti subjek tersebut mengemban misi dari negara. Ruang lingkup keuangan negara pada Pasal 2 huruf g, juga pernah dipersoalkan oleh Kementerian Keuangan dengan meminta fatwa MA atas ketentuan tersebut, dan dalam fatwa MA Nomor WKMA/Yud/20/VIII/2006 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan dipisahkan adalah pemisahaan kekayaan negara dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN, untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem APBN, melainkan pada prinsip perusahaan yang sehat. Konsekwensi dari Fatwa MA ini maka ketentuan kekayaan negara, khususnya pada Pasal 2 huruf g Undang-Undang No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, maka ketentuan ini tidak lagi mempunyai kekuatan mengikat31. Bahkan saat ini ada beberapa pemohon sedang mengajukan pengujian Undang-Undang No 17 Tahun 2003 ke MK, para pemohon mendalilkan bahwa ketentuan Pasal 2 huruf g Undang-Undang No 17 Tahun 2003 bertentangan dengan UUD Tahun 194532.
Perusahaan negara yang dimaksud yaitu perusahaan negara yang diatur dalam UndangUndang No 19 Tahun 2003 tentang BUMN. 31 Fatwa MA Nomor WKMA/Yud/20/VIII/2006 32 Catatan penulis, sampai tulisan ini dibuat belum ada Putusan Mahkamah Konstitusi tentang permohonan pengujian Undang-Undang No 17 Tahun 2003. 30
21
Konsepsi Hukum atas Uang yang Dimiliki oleh Badan Hukum
Penulis sendiri berpendapat bahwa hal ikhwal modal negara dalam BUMN sebagai bagian dari keuangan negara, yaitu sesuatu yang tidak dapat disejajarkan. Membicarakan keuangan negara tunduk kepada UndangUndang No 17 Tahun 2003 tentang Keunagan Negara, membicarakan modal negara dalam BUMN tunduk kepada Undang-Undang No 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Di satu sisi membicarakan antara keuangan negara dan modal negara dalam BUMN merupakan hal yang dapat diperhadapkan atau istilah hukum versus. Sedangkan di sisi lain ada perbedaan kontekstual antara dua hal tersebut, karena masing-masing membicarakan peristiwa hukum yang berbeda. Kedudukan hukum atas keuangan negara dibatasi pada komponen: 1. Semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang; serta 2. Segala sesuatu berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Bila dilihat dari 2 komponen di atas, maka kedudukan hukum atas keuangan negara bersifat luas. Konkritisasi atas komponen ini dapat dilihat pada ruang lingkup keuangan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 2 (lihat tabel di bawah ini) No
Tabel 1. Korelasi Keuangan Negara
Pasal 1 angka 1 Semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang
Pasal 2 Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum, pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga Penerimaan negara
Pengeluaran negara Penerimaan daerah
Pengeluaran daerah
22
Pendapat Penulis Hak yang dapat dinilai dengan uang: Pajak dinilai dengan uang, Pinjaman dinilai dengan uang Kewajiban yang dapat dinilai dengan uang: menyelenggarakan tugas layanan umum, pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga Terdapat uang Terdapat uang Terdapat uang Terdapat uang
Ronny Sautma Hotma Bako No
Pasal 1 angka 1 Segala sesuatu berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut
Pasal 2 kekayaan negara/ kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan, dan/atau kepentingan umum Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah
Pendapat Penulis berupa : uang, surat berharga, piutang barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk : kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah Pelaksanaan hak dan kewajiban : penyelenggaraan tugas pemerintahan, dan/atau kepentingan umum fasilitas yang diberikan pemerintah
Bila dilihat tabel 1 di atas, maka jelasnya ada padanan pada Pasal 2 terhadap Pasal 1 angka 1. Bentuk padanan ini yang memperjelas bagaimana ketentuan umum Pasal 1 angka 1 hanya memberikan batasan saja, dan batasan tersebut tampak pada ruang lingkup yang diatur pada ketentuan Pasal 2. Penulis sendiri berpendapat membicarakan modal negara dalam BUMN merupakan wilayah hukum privat, walaupun modal negara BUMN berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Konsekwensi dari kekayaan negara yang dipisahkan, maka apapun yang dimiliki oleh BUMN merupakan kekayaan privat dari BUMN yang bersangkutan. Hal ini juga sejalan dengan ketentuan Pasal 11 Undang-Undang BUMN, “terhadap persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi PT sebagaimana diatur dalam UndangUndang No 1 Tahun 199533 tentang Perseroan Terbatas”. Penulis juga berpendapat bahwa kedudukan hukum atas modal negara pada BUMN tersebut sudah putus hubungan demi hukum dengan adanya
33
Catatan penulis: Undang-Undang No 1 tahun 199 5 tentang Perseroan Terbatas telah diganti dengan Undang-Undang No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Walaupun UU PT telah berganti tetapi secara dogmatik hukum makna hukum pada Pasal 11 UndangUndang BUMN tetap mengacu kepada Undang-Undang No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
23
Konsepsi Hukum atas Uang yang Dimiliki oleh Badan Hukum
diundangkannya PP tentang modal negara pada suatu BUMN, dan secara hukum administrasi hukum suatu BUMN sudah mengganti kedudukan hukum atas modal negara tersebut dengan saham milik negara pada BUMN tersebut. Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam Undang-Undang PT bahwa pemegang saham dibuktikan dengan saham yang dikeluarkan oleh perseroan tersebut. Konsekwensi atas saham negara tersebut, maka setiap pemegang saham akan mendapatkan deviden apabila perseroan mendapatkan keuntungan. Atas setiap deviden yang didapatkan oleh BUMN menjadi hak negara, pada saat deviden tersebut di setor ke kas negara untuk masuk dalam APBN tahun berjalan. Kewajiban BUMN untuk menyerahkan deviden kepada APBN sudah ditetapkan dalam APBN setiap tahun oleh DPR dan Pemerintah. Di sisi lain modal negara dalam BUMN yang berasal dari APBN sebagai kekayaan negara yang dipisahkan merupakan suatu hulu dari suatu kegiatan, sedangkan hilirisasi dari modal negara tersebut pada BUMN diwujudkan dalam saham yang dicatatkan atas nama negara dan adanya deviden yang akan didapat oleh negara setiap tahunnya. Jadi disinilah letak hulu dan hilirisasi atas modal negara pada suatu BUMN. Bukti lainnya tidak ada keterkaitan yuridis antara modal negara dalam BUMN terhadap keuangan negara, yaitu modal negara diambil dari APBN dan bukan pada keuangan negara, dan deviden hasil keuntungan dari BUMN di setor APBN melalui kas negara. Tidak ada bukti yuridis terhadap konsepsi keuangan negara, mengingat sampai saat ini belum ada Laporan Keuangan Negara (LKN) yang dikeluarkan oleh Presiden sebagai penyelenggara negara, yang ada saat ini hanyalah Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) yang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan. Seandainya negara Indonesia memiliki LKN, maka dapat dilihat korelasi APBN terhadap LKN tersebut Bukti administrasi hukum lainnya yang mencirikan bahwa modal negara pada BUMN sudah terlepas dari sistem keuangan negara, karena adanya bukti pengundangan PP atas pemberian modal pada suatu BUMN atau penyertaan modal negara pada suatu BUMN. Dalam konteks ini hubungan hukum modal negara ke BUMN berakhir pada saat diundangkannya suatu PP tersebut. Sifat pengundangan setiap PP, termasuk PP tentang penyertaan modal negara pada suatu BUMN bersifat administrasi hukum, mengingat setiap PP dimasukkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. E. KONTEKS MODAL NEGARA DALAM BUMN VIS A VIS KEKAYAAN NEGARA YANG DIPISAHKAN Konteks kekayaan negara yang dipisahkan dapat ditemukan pada Undang-Undang No 19 Tahun 2003 tentang BUMN, yang menyebutkan bahwa kekayaan negara yang dipisahkan adalah “kekayaan negara yang berasal 24
Ronny Sautma Hotma Bako
dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal negara pada Persero dan/atau Perum serta perseroan terbatas lainnya”34. Berdasarkan konsepsi ini jelas disebutkan bahwa kekayaan negara sumbernya dari APBN dan kekayaan negara tersebut dijadikan modal negara pada BUMN. Konsepsi kekayaan negara yang dijadikan modal negara pada BUMN tidak terlepas dari ruang lingkup keuangan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 2 huruf g. Sehingga konsepsi kekayaan negara yang dipisahkan tidak terlepas dari konsepsi keuangan negara sebagaimana tabel 2 di bawah ini. Tabel 2. Korelasi Kekayaan Negara yang Dipisahkan
BATASAN KEUANGAN NEGARA (Pasal 1 angka (1) UndangUndang No 17 Tahun 2003) Semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang; serta segala sesuatu berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
RUANG LINGKUP KEUANGAN NEGARA (Pasal 2 huruf g UndangUndang No 17 Tahun 2003) kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah
KEKAYAAN NEGARA YANG DIPISAHKAN (Pasal 1 angka (10) UndangUndang No 19 Tahun 2003) kekayaan negara yang berasal dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal negara pada Persero dan/ atau perum serta perseroan terbatas lainnya
Bila dilihat dari tabel 2 di atas, maka penulis dapat menarik benang merah atas keberadaan modal negara pada suatu BUMN, sebagai berikut: 1. Modal negara pada BUMN merupakan kekayaan negara yang dipisahkan dari APBN; 2. Kekayaan negara yang dipisahkan merupakan bagian dari kekayaan negara yang dipisahkan pada perusahaan negara; 3. Kekayaan negara yang dipisahkan tersebut merupakan salah satu dari ruang lingkup keuangan negara; dan 4. Keuangan negara yang dimaksud berupa hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara. Bila diperhatikan tabel 2 di atas dan bila dikaitkan dengan LKPP Tahun 2012, konsepsi modal negara pada BUMN sebagai bagian dari kekayaan negara yang dipisahkan, maka terjadi perbedaan makna hukum. Dalam LKPP 2012 disebutkan bahwa penyertaan modal negara pada BUMN dikategorikan sebagai investasi permanen. Bila dilihat dari catatan LKPP 2012 ternyata
34
Lihat Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No 19 Tahun 2003 tentang BUMN.
25
Konsepsi Hukum atas Uang yang Dimiliki oleh Badan Hukum
jumlah investasi permanan penyertaan modal negara BUMN tahun 2012 (sudah diaudit) sebesar Rp677.338.383.256.170, nilai ini meningkat bila dibandingkan tahun 2011 sebesar Rp589.766.661.926.13735 Hal yang cukup menarik dari data di atas, ternyata konsepsi modal negara pada BUMN yang semula merupakan kekayaan negara yang dipisahkan dari APBN dan modal negara tersebut diatur dalam PP, ternyata dalam LKPP 2012 pemerintah masih mengakui modal negara tersebut sebagai bentuk investasi permanen pada BUMN. Di satu sisi ternyata modal negara yang semula sudah dipisahkan menjadi bagian kekayaan BUMN, ternyata masih diakui pemerintah sebagai investasi permanen. Berdasarkan hal ini penulis berpendapat bahwa terjadi adanya pengakuan pencatatan yang berbeda antara BUMN dan pemerintah terhadap modal negara. Bagi BUMN, modal negara tersebut sebagai saham negara pada BUMN, sedangkan bagi pemerintah modal negara pada BUMN sebagai investasi permanen pada perusahaan milik negara. Bila diperhatikan kembali konsepsi modal negara pada BUMN sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 19 Tahun 2003 jo Undang-Undang No 17 Tahun 2003, maka konsepsi modal negara sudah bergeser dan sudah tidak sesuai lagi dengan makna hukum, bahwa modal negara pada BUMN sebagai bagian dari kekayaan negara yang dipisahkan dalam APBN, dan modal negara pada BUMN tersebut dibuktikan dengan PP dan saham negara pada BUMN tersebut. Pergeseran konsepsi modal negara pada BUMN terjadi karena pemerintah masih mencatat modal negara sebagai investasi permanen pada perusahaan milik negara pada LKPP. Jadi untuk hal yang sama yaitu modal negara diartikan berbeda oleh BUMN dan pemerintah. Berdasarkan hal di atas, maka dapat ditarik simpulan bahwa untuk hal yang sama yaitu modal negara pada BUMN dicatat oleh BUMN sebagai saham negara, sedangkan bagi pemerintah modal negara sebagai kekayaan negara yang dipisahkan dalam APBN dicatat sebagai investasi permanen pada perusahaan milik negara. Pencatatan investasi permanen oleh pemerintah tidak sejalan dengan makna hukum yang tertuang dalam Undang-Undang No 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Sehingga wajar saja problematik seputar modal negara pada BUMN tidak berakhir sampai saat ini.
35
Lihat Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 2012 hal 126
26
BAB IV PENUTUP
A. KESIMPULAN Uang dibutuhkan oleh subjek hukum baik orang perseorangan ataupun badan hukum. Makna hukum atas uang tersebut berbeda untuk kepentingan orang perseorangan atau badan hukum. Bagi orang perseorangan uang yang didapatkan bisa berasal dari beberapa sumber, dan ketika uang tersebut didapatkan oleh orang perseorangan, maka kedudukan uang tersebut merupakan uang privat. Uang yang dimiliki oleh orang perseorangan bisa untuk membeli harta benda dan harta kekayaan, juga bisa dijadikan modal bagi pendirian suatu badan usaha. Bagi badan hukum yang berbentuk perseroan, maka badan hukum tersebut didukung oleh pemegang saham, dan para pemegang saham memberikan uangnya sebagai modal dan pengganti atas modal tersebut diberikan saham sebagai bukti kepemilikan atas kepemilikan pada badan usaha tersebut. Khusus untuk pendirian badan usaha yang didirikan oleh negara, yang namanya bisa saja BUMN, maka layaknya suatu perseroan setiap persero wajib memberikan modal usaha dan atas modal usaha tersebut diganti dengan saham atas nama pemilik saham termasuk negara sebagai pemilik saham atas suatu perseroan. Bagi suatu BUMN yang didirikan maka modal BUMN tersebut berasal dari modal negara yang diambil dari APBN. Pada saat negara memberikan modal negara kepada suatu BUMN dibuktikan dengan adanya pengundangan suatu PP atas pemberian modal negara tersebut kepada suatu BUMN. Modal negara pada suatu BUMN berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan dari APBN. Ketika telah terjadi pemisahan kekayaan negara tersebut atas modal negara tersebut pada suatu BUMN, maka secara administrasi hukum telah terjadi levering dari dua badan hukum yang berbeda, yaitu negara yang diwakili oleh pemerintah sebagai badan hukum publik kepada BUMN sebagai badan hukum privat. Walaupun secara konsepsi hukum dalam Undang-Undang BUMN disebutkan modal BUMN berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan yang bersumber dari APBN dan sudah ada bukti administrasi hukum dari penyerahan tersebut dalam bentuk pengundangan suatu PP, tetapi bagi 27
Konsepsi Hukum atas Uang yang Dimiliki oleh Badan Hukum
pemerintah modal negara yang diambil dari APBN sebagai kekayaan negara yang dipisahkan, pemerintah masih mencatat dalam LKPP modal negara tersebut sebagai investasi permanen atas penyertaan modal negara pada suatu BUMN. B. SARAN Perlu ada sinkronisasi dan harmonisasi terhadap pengaturan atas modal negara pada suatu BUMN dalam suatu Undang-Undang. Hal ini mengingat saat ini Undang-Undang yang berhubungan dengan modal negara pada BUMN, seperti Undang-Undang No 17 Tahun 2003, Undang-Undang No 23 Tahun 2009 tidak sinkron antar kedua Undang-Undang tersebut. Untuk itu seharusnya DPR dan pemerintah melakukan sinkronisasi dan harmonisasi terkait dengan modal negara pada suatu BUMN. Di sisi lain DPR dan Pemerintah melaksanakan makna hukum yang telah diputuskan oleh badan peradilan (MA dan MK), termasuk adanya fatwa MA tentang makna hukum atas kekayaan negara yang dipisahkan. Tanpa ada regulasi yang jelas, maka bisa terjadi inkonsistensi atas jalannya usaha dari setiap BUMN. Hal ini mengingat misi dari BUMN diwajibkan untuk memberikan deviden kepada negara melalui APBN, karena setiap tahun APBN sudah menetapkan deviden yang wajib disetor ke negara melalui APBN. Kewajiban untuk memberikan deviden tidak mudah, karena tingginya deviden yang sudah ditetapkan dalam APBN, juga risiko bisnis yang harus diemban oleh BUMN. Dalam hal terjadi risiko bisnis dari suatu BUMN terjadi yang mengakibatkan tidak adanya deviden yang bisa disetor ke APBN, maka bisa saja penyelenggara BUMN bisa didakwa merugikan keuangan negara. Risiko bisnis adalah hal yang wajar bagi setiap badan usaha, termasuk bagi BUMN, tetapi kalau terjadi risiko bisnis yang wajar. Terhadap risiko bisnis yang wajar tersebut dikategorikan sebagai suatu tindak pidana, maka persepsi ini yang harus diperbaiki oleh semua pihak khususnya oleh aparat penegak hukum. Terhadap konsepsi hukum atas modal negara pada suatu BUMN, hendaknya ada konsistensi dari semua pihak agar untuk hal yang sama yaitu modal negara, tidak ada pencatatan ganda atas modal negara tersebut, baik di tingkat BUMN ataupun di tingkat pemerintah dalam LKPP.
28
DAFTAR PUSTAKA
Bisri, Hasan. Penjelasan di sidang pengujian Undang-Undang No 17 Tahun 2003 terhadap UUD 1945, di Mahkamah Konstitusi, September 2013 Juwana, Hikmahanto, “Uang BUMN, Uang Negara?”, Kompas 7 Juli 2013
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2012, diterbitkan oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Juni 2013 Syahrani, Ridwan, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,1999
Soeria Atmadja, Arifin. “Hukum Keuangan Negara Pasca 60 Tahun Indonesia Merdeka, Seminar Keuangan Negara, diselenggarakan oleh Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, Depok, 2007
Undang-Undang Republik Indonesia 1. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
2. -------Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara 3. -------Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara 4. -------Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan
5. -------Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas 6. -------Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia 7. -------Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian
Putusan Badan Peradilan Mahkamah Konstitusi, Putusan Nomor 77/PUU-IX/2011 diputus tanggal 25 September 2012 29
Konsepsi Hukum atas Uang yang Dimiliki oleh Badan Hukum
Fatwa MA Nomor WKMA/Yud/20/VIII/2006
Bahan hukum tertier “Pemahaman Keuangan Negara, 16 Juli 2008 http://opinihukumkasus, 16 Juli 2008, diakses 9 September 2013 “Redefinisi Kerugian Negara dengan Sinkronisasi Undang-Undang, www. hukumonline.com, diakses 9 September 2013 “Kekayaan BUMN Bukan Bagian Keaungan Negara”, www.hukumonline.com 31 Oktober 2012, diakses 17 Oktober 2013.
“Peran DJKN Dalam Penetapan Penyertaan Modal Negara”, http://www.djkn/ kemenkeu.go.id, diakses 17 Oktober 2013.
30
TULISAN KEDUA
PROBLEMATIKA HUKUM PENERAPAN UNSUR KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM KASUS KORUPSI DI BADAN USAHA MILIK NEGARA (BUMN) Prianter Jaya Hairi*
*
Peneliti Muda pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, E-mail:
[email protected].
BAB I PENDAHULUAN
Korupsi itu bagaikan penyakit, semacam tumor ganas yang menghabisi kultur, politik dan bangunan ekonomi masyarakat, serta menghancurkan fungsi-fungsi organ vital suatu negara. Dalam bahasa Transparansi Internasional, “Corruption is one of the greatest challenges of the contemporary world. It undermines good government, fundamentally distorts public policy, leads to the misallocation of resources, harms the private sector and private sector development and particularly hurts the poor”.1 Tulisan ini akan mengupas tentang problem pemberantasan korupsi di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Problem yang tentunya bukan merupakan cerita baru bagi kita. Korupsi di BUMN sepertinya sudah “membudaya”, buktinya Dahlan Iskan menyebutkan bahwa sebanyak 70% perusahaan pelat merah mendapatkan proyek lewat permainan uang atau sogok-menyogok. Dahlan Iskan sebagai Menteri Negara BUMN tentu tidak asal bicara, pernyataan itu didasarkan pada hasil survei internal kementerian yang dipimpinnya. Disebutkan bahwa hanya 30% perusahaan milik negara yang mendapat proyek tanpa sogok. Artinya, sekitar 98 dari 140 BUMN terlibat dalam korupsi yang bersifat sistematis dan terstruktur. Lebih jauh lagi ia mengatakan bahwa BUMN yang bergerak dalam bidang jasa konstruksi merupakan yang paling rawan terlibat permainan suap.2 Perusahaan konstruksi BUMN memang dihadapkan pada situasi kompetisi pemenangan tender dengan swasta, dan modal profesionalitas tidak bisa jadi andalan untuk menang tender. Oleh sebab itulah, ilmu suapmenyuap kerap dilancarkan. Saat ini terdapat 14 BUMN yang bergerak dalam bidang jasa konstruksi, termasuk Adhi Karya dan Wijaya Karya yang kini terlibat dalam kasus proyek pembangunan sport centre di Hambalang, Jawa Barat. Kasus Hambalang ini bisa dikatakan kasus yang paling representatif untuk menggambarkan segitiga permainan tender yang melibatkan penguasa – pengusaha – oknum politisi.
1
2
Inge Amundsen, Political Corruption: An Introduction to the Issues, Chr. Michelsen Institute Development Studies and Human Rights, Bergen, Norway, 1999, Page 1. Kala BUMN Dikeritiki Korupsi, www.surabayapost.co.id, diakses pada 2 Oktober 2013.
33
Problematika Hukum Penerapan Unsur Kerugian Keuangan Negara
Kasus suap-menyuap Hambalang itu hanyalah salah satu bentuk korupsi di BUMN. Masih banyak bentuk korupsi lainnya, misalnya penggelembungan atau markup harga (markup pricing) dalam hal belanja barang dan jasa, dengan sengaja menimbulkan kerugikan perusahaan berkedok kerjasama bisnis, serta permainan di BUMN bidang perbankan, misalnya dalam pemberian kredit. Suburnya praktik korupsi di BUMN memang memilukan. Semakin memilukan lagi karena faktanya hingga kini korupsi di BUMN masih saja sulit di berantas. Instrumen hukum yang ada ternyata memiliki persoalan tersendiri. Unsur merugikan keuangan negara yang terdapat dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ternyata sulit diterapkan terhadap pelaku korupsi di BUMN. Terdapat perbedaan presepsi mengenai unsur merugikan keuangan negara ini, bahkan di kalangan aparat penegak hukum itu sendiri. Problematiknya cukup rumit, mulai dari persoalan tumpang tindih konsep keuangan negara dalam peraturan perundang-undangan, hingga persoalan pembuktian unsur kerugian negara pada BUMN. Problematika itu berhubungan erat pula dengan paradigma selama ini dalam pemberantasan korupsi yang masih hanya terfokus pada aparat penyelenggara negara. Paradigma yang sudah seharusnya berubah pasca dilaksanakannya Konvensi Anti Korupsi oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2003 (United Nation Convention Against Corruption). Pada konvensi tersebut, disepakati bahwa korupsi bukan hanya merugikan keuangan negara, melainkan merugikan kemanusiaan dan perekonomian negara dalam arti luas. Lingkup pemberantasan korupsi semakin luas dengan dimasukkannya kewajiban negara untuk memberantas korupsi pada sektor-sektor swasta. Swasta yang selama ini hanya diangap sebagai pelengkap derita, berubah menjadi pelaku yang setara dengan aparat penyelenggara negara. Konvensi ini telah pula diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 2006 dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption Tahun 2003. Prinsip dan nilai-nilai dalam konvensi tersebut kini akan diadopsi ke dalam rancangan perubahan undang-undang tindak pidana korupsi yang baru. Progresnya, RUU Tipikor kini telah masuk dalam Prolegnas 2013 yang tinggal menunggu untuk di bahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Kajian ini bermaksud untuk membahas secara khusus bagaimana problematika hukum terkait penerapan unsur kerugian keuangan negara dalam kasus korupsi di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Kajian diharapkan dapat memperdalam pemahaman tentang persoalan pemberantasan korupsi di BUMN, serta menjadi bahan masukan bagi perumus revisi undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi yang baru. 34
BAB II KERANGKA PEMIKIRAN
A. KEUANGAN NEGARA DAN KEKAYAAN NEGARA YANG DIPISAHKAN Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa “Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dari sini dapat ditafsirkan bahwa konstitusi menentukan lingkup pengelolaan keuangan negara yakni Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Konstitusi kemudian juga memberi entry point untuk pengaturan lebih lanjut mengenai Keuangan Negara dalam undang-undang, tepatnya pada pasal 23C, yang berbunyi “hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan undang-undang”. Keuangan Negara kemudian diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang UU Keuangan Negara. Pasal 1 angka 1 UU Keuangan Negara menentukan Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapatdinilai dengan uang serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Ruang lingkup keuangan negara diatur dalam Pasal 2, meliputi hal-hal sebagai berikut: a. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman, b. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga, c. penerimaan negara, d. pengeluaran negara, e. penerimaan daerah, f. pengeluaran daerah, g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah, h. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum. 35
Problematika Hukum Penerapan Unsur Kerugian Keuangan Negara
i.
Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.
Pengaturan mengenai lingkup keuangan negara yang diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Keuangan Negara ini kemudian memunculkan perdebatan luas dalam hubungannya dengan kekayaan negara yang dipisahkan. Tepatnya mengenai pengaturan dalam Pasal 2 huruf g dan I. Pengaturan lingkup keuangan negara dalam pasal tersebut oleh banyak kalangan dinilai terlalu luas dan dapat menimbulkan salah intepretasi. Pasal tersebut membuat penegak hukum menafsirkan bahwa semua pengelolaan kekayaan Negara di BUMN harus mengikuti mekanisme pengelolaan keuangan negara, padahal semua perusahaan BUMN seharusnya tunduk pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang UU BUMN. Pasal 2 huruf i UU Keuangan Negara bahkan lebih “karet” lagi, jika ditafsirkan secara bebas, maka para pedagang kaki lima yang berjualan di fasilitas milik negera seperti di trotoar juga akan terjerat delik korupsi, karena telah berjualan di atas lahan milik negera. Ketentuan Pasal 2 UU Keuangan Negara tumpang tindih dengan apa yang diatur dalam UU BUMN sebagai aturan hukum bagi setiap BUMN. Pasal 4 ayat (1) UU BUMN berbunyi, bahwa “Modal BUMN berasal dari negara dari kekayaan negara yang dipisahkan”. Maksud “dipisahkan” dapat dilihat dalam penjelasan Pasal tersebut, bahwa “pemisahan kekayaan negara dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem APBN, Namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat”. Dari sini jelas bahwa Penyertaan Modal Negara (PMN) pada BUMN sudah terpisah dari APBN. Dengan prinsip pemisahan ini pula, pengelolaan BUMN tidak mengikuti keuangan negara dan akibat pemisahan tersebut harta kekayaan BUMN bukan sebagai kekayaan negara melainkan sebagai kekayaan BUMN sendiri. Berkaitan dengan hal ini, Mahkamah Agung pernah mengeluarkan Fatwa pada tahun 2006. Atas permintaan Menteri Keuangan RI, melalui surat Menteri Keuangan RI Nomor S-324/MK.01/2006 tanggal 26 Juli 2006, Mahkamah Agung menerbitkan Fatwa Nomor WKMA/Yud/20/VIII/2006 tanggal 16 Agustus 2006. Fatwa MA ini pada intinya menegaskan bahwa “ketentuan Pasal 2 huruf g UU Keuangan Negara tidak mengikat secara hukum kepada BUMN, dan dengan demikian harta kekayaan BUMN yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan dinyatakan bukan merupakan kekayaan negara”. 36
Prianter Jaya Hairi
Selain fatwa tersebut, ada pendapat dari Kementerian Negara BUMN yang tertuang dalam suratnya No. S- 298/S.MBU/2007 25 Juni 2007 tertanggal 25 Juni 2007 yang ditujukan kepada Direksi, Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN tentang hubungan UU Keuangan Negara dengan UU BUMN yang isinya dapat disimpulkan sebagai berikut: “Sesuai dengan UU Keuangan Negara dan UU BUMN, maka kekayaan Negara yang ada pada BUMN hanya sebatas modal/saham, untuk selanjutnya dikelola secara korporasi sesuai dengan kaidah-kaidah hukum korporasi, tidak lagi dikelola berdasarkan kaidah-kaidah hukum kekayaan Negara. Berdasarkan kedua undang-undang tersebut, mengingat ruang lingkup Keuangan Negara terdiri dari kekayaan Negara yang tidak dipisahkan dan kekayaan Negara yang dipisahkan, maka dalam pengelolaan keuangan Negara berlaku dua kaidah atau rezim hukum, yaitu kaidah hukum Keuangan Negara yang mengatur pengelolaan kekayaan Negara yang tidak dipisahkan (APBN/APBD), dan kaidah hukum Korporasi yang mengatur pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan (BUMN/ BUMD). Bagi BUMN memang berlaku kedua rezim hukum tersebut, namun rezim hukum Keuangan Negara hanya berlaku bagi BUMN sebatas yang terkait dengan permodalan dan eksistensi BUMN. Misalnya, di dalam UU BUMN diatur bahwa pendirian, penggabungan, peleburan, pengambilalihan, perubahan modal, privatisasi, dan pembubaran BUMN ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah, dan bahkan dalam prosesnya melibatkan Menteri Teknis, Menteri Keuangan, Presiden, dan DPR. Sedangkan tindakan-tindakan operasional (di luar permodalan dan eksistensi BUMN), tunduk sepenuhnya kepada rezim hukum Korporasi. Hal tersebut jelas dinyatakan dalam Pasal 11 UU BUMN yang menyatakan bahwa terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 (sekarang UU No. 40 Tahun 2007 tentang (UU PT) Perseroan Terbatas)”. Namun demikian, berbeda pula dengan aturan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) sebagai acuan para penegak hukum dalam pemberantan korupsi. Bagian penjelasan dari ketentuan hukum ini menimbulkan presepsi yang berbeda pula bagi aparat penegak hukum mengenai lingkup keuangan negara. Pada bagian penjelasan, disebutkan bahwa Keuangan Negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena: a. berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah; 37
Problematika Hukum Penerapan Unsur Kerugian Keuangan Negara
b. berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara. Sedangkan yang dimaksud dengan Perekonomian Negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.
B. KERUGIAN NEGARA Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara (UU Perbendaharaan Negara) secara eksplisit menyebutkan definisi kerugian Negara. Pasal 1 angka 22 menyebutkan bahwa “kerugian Negara adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai”. Sementara itu ada dua Pasal dalam UU Tipikor yang menyebut tentang kerugian negara, yakni Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3. Bunyi Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor yakni bahwa “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah)”. Dalam penjelasannya, disebutkan bahwa “yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil mapun dalam arti material yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundangundangan namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat maka perbuatan tersebut dapat dipidana”. Dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara” menunjukan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat. Sementara itu bunyi Pasal 3 UU Tipikor yakni bahwa “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada 38
Prianter Jaya Hairi
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah)”. Dalam penjelasannya, disebutkan bahwa “kata dapat dalam ketentuan ini diartikan sama dengan Penjelasan Pasal 2”. Ketentuan mengenai kerugian negara dalam UU Perbendaharaan Negara dan UU Tipikor ini merupakan dasar hukum dalam pembuktian kerugian negara. Namun antara keduanya terjadi tumpang tindih. Ketentuan UU Perbendaharaan Negara menganut pemahaman kerugian negara dalam arti materil, karena harus bersifat nyata dan pasti jumlahnya. Sementara ketentuan dalam UU Tipikor menganut pemahaman kerugian negara dalam arti formil, yakni tanpa harus terdapat kerugian yang nyata.
C. BADAN USAHA MILIK NEGARA DAN POTENSI KORUPSINYA 1. BUMN Pengertian BUMN dirumuskan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 19 tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara. Berdasarkan ketentuan ini, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. BUMN dalam melaksanakan kegiatannya, harus sesuai dengan maksud dan dan tujuan pembentukannya, serta tidak bertentangan dengan peraturan-perundang-undangan, ketertiban umum, dan/atau kesusilaan. Kelebihan BUMN ialah memiliki penugasan khusus dari pemerintah untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum dengan tetap memperhatikan maksud dan tujuan kegiatan BUMN. Adapun maksud dan tujuan pendirian BUMN dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara, antara lain: a. Memberikan bagi perkembangan perekonomian nasional dan menambah pendapatan negara. BUMN diharapkan dapat meningkatkan mutu pelayanan pada masyarakat sekaligus memberikan kontribusi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dan membantu penerimaan keuangan negara. b. Mengerjakan keuntungan sembari melakukan pelayanan umum dan memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat terutama bagi persero. Begitu pun dengan perum, penyedia barang jasa untuk kepentingan umum, dalam pelaksanaannya harus memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat. 39
Problematika Hukum Penerapan Unsur Kerugian Keuangan Negara
c. Memberikan manfaat untuk umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa bermutu dan memadai bagi pemenuhan hajat orang banyak. Pada gilirannya setiap hasil usaha dari BUMN, baik barang maupun jasa, dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. d. Merintis usaha-usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi untuk menyediakan barang dan/ atau jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Umumnya usaha tersebut tidak menguntungkan. Hal ini merupakan penugasan kepada BUMN sebagai bentuk antisipasi akan kebutuhan masyarakat luas yang mendesak oleh pemerintah. Kerena itu, suatu BUMN bisa saja melaksanaan kemitraan dengan pengusaha golongan ekonomi lemah. e. Aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat
Sumber permodalan BUMN diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara, penyertaan modal Negara dalam rangka pendirian atau penyertaan pada BUMN bersumber dari: a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, termasuk dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yaitu meliputi pula proyek-proyek Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang dikelola oleh BUMN atau piutang Negara pada BUMN yang dijadika sebagai penyertaan modal negara. b. Kapitalisasi cadangan, adalah penambahan modal disetor yang berasal dari cadangan. c. Sumber lainnya, yang disebut sumber lainnya tersebut adalag anatara lain adalah keuntungan revaluansi aset. Berdasarkan sifat usaha BUMN yakni untuk memupuk keuntungan dan melaksanakan kemanfaatan umum, dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara, BUMN disederhanakan menjadi dua bentuk yaitu Perusahaan Perseroan (Persero) dan Perusahaan Umum (Perum).
Perusahaan Perseroan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara menyebutkan bahwa “Perusahaan Perseroan, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan”. Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara juga diatur tentang Perusahaan Perseroan Terbuka, atau yang 40
Prianter Jaya Hairi
biasa disebut Persero Terbuka. Pasal 1 angka 3 menyebutkan bahwa Persero Terbuka adalah Persero yang modal dan jumlah pemegang sahamnya memenuhi kriteria tertentu atau Persero yang melakukan penawaran umum sesuai dengan peraturan perundangundangan di bidang pasar modal”. Pasal 11 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara mengatur bahwa terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas. Pasal 12 dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara mengatur tentang maksud dan tujuan Persero serta organ. Adapun maksud dan tujuan pendirian Persero ialah untuk menyediakan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing kuat serta mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan. Organ Persero adalah RUPS, Direksi, dan Komisaris.
Perusahaan Umum Sementara Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara menyebutkan bahwa “Perusahaan Umum, yang selanjutnya disebut Perum, adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan”. Organ dalam Perum antara lain Menteri, Direksi, dan Dewan Pengawas. Sementara itu dalam menjalankan kegiatannya, Perum mengacu pada maksud dan tujuan antara lain yang tertuang dalam Pasal 36 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara, yakni: 1) Maksud dan tujuan Perum adalah menyelenggarakan usaha yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/ atau jasa yang berkualitas dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat. 2) Untuk mendukung kegiatan dalam rangka mencapai maksud dan tujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dengan persetujuan Menteri, Perum dapat melakukan penyertaan modal dalam badan usaha lain. 2. POTENSI KORUPSI DI BUMN Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan mencatat 10 kegiatan yang berpotensi rawan korupsi di Kementeriannya. Untuk mengantisipasi dan meminimalisir rawan korupsi di lingkungan Kementerian BUMN, Menteri BUMN mengeluarkan Surat Edaran (SE) dengan Nomor: SE01/MBU/WK/2013 tentang area potensi rawan korupsi pada Kementerian BUMN. 41
Problematika Hukum Penerapan Unsur Kerugian Keuangan Negara
Surat Edaran tersebut diterbitkan sebagai tindak lanjut dari dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang Tahun 2012-2015 dan ditindaklanjuti dengan Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 2013 tentang aksi pencegahan dan pemberantasan korupsi tahun 2013. Area potensi rawan korupsi pada Kementerian BUMN terutama di sektor layanan publik sebagai berikut: 1) Proses Pengadaan barang dan jasa. 2) Proses Pelaksanaan Pelepasan Barang Milik Negara. 3) Pelaksanaan perjalanan dinas pejabat dan pegawai. 4) Proses pemberian persetujuan pelepasan aset dan pendayagunaan aset BUMN 5) Proses pemberian persetujuan pendirian anak perusahaan/perusahaan patungan 6) Proses persetujuan pelepasan penyertaan saham BUMN pada anak perusahaan dan perusahaan patungan 7) Proses persetujuan RUPS RKAP BUMN 8) Proses persetujuan RUPS Laporan Tahunan BUMN 9) Proses Pengangkatan Direksi BUMN 10) Proses Privatisasi BUMN.
42
BAB III ANALISIS
A. UMUM Problematik hukum terkait penerapan unsur kerugian keuangan negara dalam kasus korupsi di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bermula saat lahirnya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Para legislator mencantumkan unsur kerugian keuangan negara dalam rumusan delik Pasal 2 dan Pasal 3 UndangUndang Tipikor, namun dengan tanpa mencantumkan penjelasan mengenai unsur tersebut. Bunyi kedua pasal itu sebagai berikut: Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana ....”
Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor: “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana ....”
Kedua pasal ini sebenarnya merupakan pasal favorit yang dikenakan para penyidik dan jakasa terhadap pelaku korupsi. Namun ketika dipakai untuk menjerat tersangka korupsi di BUMN, maka persoalan pembuktian unsur kerugian keuangan negara menjadi persoalan rumit, karena muncul polemik terkait keuangan negara dan status kekayaan negara yang dipisahkan. Mengenai persoalan ketidakjelasan pengaturan unsur merugikan keuangan negara dalam UU Tipikor, Romly Artasasmitha berpendapat bahwa penyusun UU Tipikor mungkin tidak menyadari bakal terjadinya polemik akibat dari pencantuman unsur tersebut dengan pertimbangan bahwa korupsi identik dan melekat pada jabatan negara juga melekat pada penerimaan dan pengeluaran dana APBN/APBD serta penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Namun, penjelasan Pasal 2 dan Pasal 3 memang tidak menjelaskan makna dari pengertian istilah “kerugian keuangan negara” sehingga menimbulkan tafsir 43
Problematika Hukum Penerapan Unsur Kerugian Keuangan Negara
berbeda-beda baik dari sudut pandang hukum keuangan negara maupun hukum administrasi negara dan hukum pidana.3 Perdebatan tentang penerapan unsur kerugian keuangan negara dalam kasus korupsi di BUMN memang lebih banyak berkutat seputar definisi keuangan negara. Padahal dari sudut pandang UU Tipikor, unsur kerugian keuangan negara sebenarnya hanyalah merupakan akibat dari unsur-unsur lainnya.
B. PROBLEMATIKA UNSUR KERUGIAN KEUANGAN NEGARA Dalam sudut pandang hukum pidana, dampak perbuatan korupsi sebenarnya bukan hanya persoalan merugikan keuangan negara, melainkan juga merugikan demokrasi, perekonomian negara dan kesejahteraan negara secara umum, sosial, dan dapat pula merugikan secara ekologis. Bahkan dalam sebuah studi, disebutkan bahwa korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara, namun sebenarnya merugikan hak asasi manusia.4 Berikut ini unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi yang diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor: a. perbuatan melawan hukum; b. penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana; c. memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi; dan d. merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dengan melihat unsur-unsur tersebut, dapat disimpulkan bahwa suatu perbuatan baru termasuk tindak pidana korupsi apabila terlebih dahulu
3
4
Romly Artasasmitha, Kerugian Keuangan negara, http://nasional.sindonews.com/read/ 2013/09/19/18/784865/kerugian-keuangan-negara, diakses pada 2 Oktober 2013. Pernyataan ini didasarkan pada sebuah analisis yang menyebutkan bahwa korupsi mengakibatkan kerugian terhadap setiap individu masyarakat. Dari prespektif ini, diyakini bahwa korupsi melanggar hak asasi manusia. Banyak persoalan ketika korupsi merajalela, masyarakat tidak mendapat keadilan hukum, tidak aman, dan tidak terlindungi. Aparat penegak hukum condong membela yang memberi suap. Rumah sakit melayani pasien secara diskriminatif disebabkan kurangnya pasokan akibat prosedur kontrak yang korup, keluarga miskin tidak bisa makan karena program bantuan sosial yang dikorupsi oleh suatu jaringan patronase, program sekolahan menjadi tidak maksimal disebabkan dana pendidikan dikorupsi, dan masih banyak lagi hal-hal lainnya. Korupsi membangkitkan diskriminasi, mencegah masyarakat mendapatkan hak politik, sipil, sosial, budaya, dan hak ekonomi. Perjanjian badan-badan PBB (UN treaty bodies) dan prosedur khusus PBB (UN special procedures) menyimpulkan bahwa “where corruption is widespread, states cannot comply with their human rights obligations. Some international documents have even considered corruption to be a crime against humanity, a category of crimes that includes genocide and torture”. International Council on Human Rights Policy, Corruption and Human Rights: Making the Connection, Versoix, Switzerland, 2009, page 23.
44
Prianter Jaya Hairi
dapat dibuktikan unsur melawan hukumnya, dengan cara menyalahgunakan wewenang, kesempatan, dengan maksud memperkaya diri sendiri/korporasi, yang oleh karenanya kemudian merugikan keuangan negara/perekonomian negara. Sementara fakta di lapangan, dalam praktik penegakan hukum korupsi pada BUMN, para penegak hukum lebih banyak berdebat tentang pembuktian unsur yang terakhir, yakni unsur merugikan keuangan negara. Fokus dalam pembuktian tindak pidana korupsi kemudian berkutat hanya pada pendefinisian keuangan negara. Menurut Romly Artasasmitha, persoalan pendefinisian keuangan negara sebenarnya tidak bisa dihubung-hubungkan dengan persoalan kerugian keuangan negara. Pemaknaan keuangan negara merupakan ranah hukum administrasi keuangan negara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Namun demikian, meskipun antara keuangan negara dan kerugian keuangan negara merupakan dua persoalan hukum yang berbeda satu sama lain, kedua persoalan tersebut menjadi berkaitan ketika sampai pada pembuktian mengenai kerugian keuangan negara. Karena baik penyidik, penuntut, atau hakim memerlukan penjelasan mengenai arti istilah keuangan negara dari ahli hukum keuangan negara untuk membantu memperjelas dalam kaitan siapa bertanggung jawab terhadap apa.5 Pendapat Romly tersebut memang benar adanya, dalam praktiknya, para hakim memang menggunakan konsep keuangan negara dalam peraturan perundang-undangan untuk membuktikan unsur merugikan keuangan negara pada BUMN. Imbasnya, terdakwa korupsi BUMN dalam beberapa kesempatan tidak bisa diputus bersalah, karena terkait konsep kekayaan negara yang dipisahkan. Meskipun sebenarnya konsep keuangan negara yang ada dalam peraturan perundang-undangan juga masih debatable karena adanya tumpang tindih peraturan hukum.6
5 6
Ibid. Pada saat tulisan ini dibuat, tumpang tindih peraturan hukum terkait konsep keuangan negara sedang di Uji Materi di Mahkamah Konstitusi. Uji materi ini dimohonkan sejumlah dosen keuangan negara yang tergabung dalam Center for Strategic Studies University of Indonesia (CSS UI) dan Forum Hukum BUMN. CSS UI dan Forum Hukum BUMN menyebut pengertian keuangan negara dan kekayaan negara dalam Pasal 2 huruf g dan huruf i UU Keuangan Negara telah menimbulkan ketidakpastian hukum, pengertian itu menyebabkan disharmonisasi dengan ketentuan dalam UU BUMN dan UU Perseroan Terbatas. Guru Besar FH UGM, Prof Nindyo Pramono menilai bahwa memang ada ketidaksinkronan beberapa undang-undang terkait apakah kekayaan BUMN sebagai bagian kekayaan
45
Problematika Hukum Penerapan Unsur Kerugian Keuangan Negara
Memang sungguh ironis sekali, ketika unsur-unsur lain dari delik korupsi terbukti di persidangan, sedangkan unsur merugikan keuangan negara tidak mampu dibuktikan, dan kemudian menyebabkan tidak dapat dihukumnya seorang pelaku korupsi. Padahal, pelaku korupsi tentu tidak pantas lepas dari jeratan hukum hanya karena ia tidak secara langsung merugikan keuangan negara dalam prespektif definisi keuangan negara, mengingat dampak korupsi yang sebenarnya tidak hanya merugikan keuangan negara secara langsung. Putusan bebas Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan tanggal 20 Februari 2006 terhadap terdakwa Mantan direksi Bank Mandiri yang terdiri atas Eduardus Cornelis William Neloe (mantan dirut), I Wayan Pugeg (mantan wakil dirut), dan M Sholeh Tasripan (mantan direktur corporate banking) cocok dijadikan contoh. Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menyatakan unsur pasal dakwaan pasal 2 UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu “barangsiapa, melakukan perbuatan melawan hukum, memperkaya diri atau orang lain atau korporasi…” telah terpenuhi namun unsur kerugian negara tidak terpenuhi. Meskipun pada akhirnya pada tanggal 14 September 2007, Ketua MA Bagir Manan kemudian mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Majelis kasasi menyatakan Neloe dan kawan-kawan terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut. Masing-masing terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 10 tahun serta denda Rp500 juta subsidair enam bulan kurungan.7 Unsur kerugian keuangan negara ini sebenarnya sudah diwacanakan untuk dihilangkan dalam revisi RUU Tipikor yang baru (Prolegnas 2013). Dengan mengadopsi nilai yang terdapat dalam Konvensi Anti-Korupsi PBB tahun 2003 yang telah pula diratifikasi oleh Indonesia dengan UndangUndang Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan Konvensi UNCAC Tahun 2003. Konvensi UNCAC PBB tahun 2003 setidaknya mengatur tentang 4 hal: 1. Basic forms of corruption such as bribery and embezzlement;
7
(keuangan) negara. Jika mengacu UU Keuangan Negara, UU BPK, UU Pemberantasan Tipikor, UU Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN, dan UU No. 49/Prp/1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara, maka kekayaan BUMN bagian dari kekayaan negara. Namun, jika merujuk pada UU BUMN, UU Perseroan Terbatas, UU Perbankan, UU Pasar Modal yang terkait lingkup bisnis secara tegas menyatakan kekayaan BUMN adalah kekayaan perusahaan. Ketidakharmonisan peraturan ini oleh sebab itu tidak sepatutnya dibiarkan. Sengkarut Keuangan BUMN tak boleh Berlarut, http://www.hukumonline.com/berita/ baca/lt5236ddaa03a86/sengkarut-keuangan-bumn-tak-boleh-berlarut, diakses pada 2 Oktober 2013. Noloe Divonis 10 Tahun Penjara, Jaksa Siap Kejar Kasus Lain, http://www.hukumonline. com/berita/baca/hol17600/neloe-divonis-10-tahun-penjara-kejagung-siap-kejarkasus-lain , diakses pada 2 Oktober 2013.
46
Prianter Jaya Hairi
2. Complex forms of corruption such as trading in influence, laundering of proceeds; 3. Offences committed in support of corruption such as money laundering or obstructing justice; 4. Private sector corruption.
Dalam konvensi tersebut, korupsi di sektor privat memang menjadi salah satu poin penting, unsur merugikan keuangan negara oleh karenanya tidak relevan lagi. Mengenai hal ini, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), berpendapat setidaknya ada 5 (lima) alasan mengapa unsur kerugian keuangan negara patut dihilangkan, yakni sebagai berikut:8 a. Standar internasional United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC) yang sudah diratifikasi dengan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2006, tidak memasukkan unsur kerugian negara lagi sebagai salah satu unsur dalam tindak pidana korupsi; b. Banyak tindak pidana korupsi yang tidak merugikan keuangan negara secara langsung, seperti tindak pidana penyuapan. Dalam hal ini yang dirugikan adalah masyarakat; c. Akan terjadi perlakuan yang sama antara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan perusahaan swasta, jika terjadi tindak pidana yang melibatkan perusahaan tersebut; d. Membuka peluang dituntutnya kerugian non keuangan negara, sebab dampak korupsi tidak hanya menimbulkan kerugian keuangan negara namun juga kerugian lain seperti kerugian masyarakat/sosial dan bahkan juga kerugian ekologis; e. Mendorong percepatan penanganan perkara korupsi.
Sementara itu dari prespektif ekonomi, situasi ketidakjelasan dan ketidakpastian hukum terkait polemik pertanggung jawaban pidana korupsi para pengurus BUMN tentu akan memberi dampak negatif terhadap perkembangan ekonomi negara secara umum dan bisnis BUMN itu sendiri secara khusus. Oleh sebab itu aparat penegak hukum harus cermat dan tidak boleh serampangan dalam mengambil kebijakan hukum terkait pemberantasan korupsi di BUMN, sebab BUMN merupakan tulang punggung ekonomi negara yang wajib dijaga agar tetap kondusif dan berkembang maju. Peristiwa tuntutan pidana korupsi yang pernah terjadi terhadap direksi merpati Hotasi Nababan perlu menjadi pelajaran. Penerapan konsep keuangan
8
Direktur Advokasi YLBHI Bahrain dalam diskusi bertema ‘Polemik Keberadaan Unsur Merugikan Keuangan Negara dalam Regulasi Antikorupsi’ di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Jalan Kalibata Timur IV D No 6, Jakarta Selatan, Jumat (27/9/2013). http:// nasional.sindonews.com/read/2013/09/27/13/788308/ini-5-alasan-delik-merugikankeuangan-negara-harus-dihapus, diakses pada 2 oktober 2013.
47
Problematika Hukum Penerapan Unsur Kerugian Keuangan Negara
negara yang masih debatable dalam delik korupsi terhadap BUMN memang sangat berbahaya. Saat bersaksi di sidang pengujian Pasal 2 huruf g dan i UU Keuangan Negara, Hotasi Nababan menyampaikan bahwa Pasal 2 huruf g dan huruf i UU Keuangan Negara pada kenyataannya justru digunakan oknum aparat untuk melakukan pemerasan, tekanan politik, penggusuran direksi, hingga memenangkan tender-tender di lingkungan BUMN. Ia menilai pasal itu membuka ruang kesewenangan hukum (abuse of power) bagi berlakunya UU BPK, UU Perbendaharaan Negara, UU Kekayaan Negara, dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Karenanya, siapapun yang mengenakan seragam negara dapat mencampuri urusan ranah privat. Modus mereka dimulai dari upaya membuktikan adanya kerugian negara dari keputusan direksi BUMN yang telah menjadi target operasi.9 Pembuktian unsur kerugian keuangan negara dalam kasus korupsi di BUMN ini memang merupakan problematika besar. Jika kerugian BUMN yang dianggap sebagai kerugian negara tersebut menggunakan penilaian Kerugian Negara sebagaimana yang diatur dalam UU Perbendaharaan Negara10 atau bahkan UU Tipikor11 maka akan menyebabkan banyaknya pengurus BUMN menjadi terdakwa korupsi, padahal tidak bisa serta merta begitu.
C. PERSOALAN PENEGAKAN HUKUM KORUPSI PADA BUMN Penegakan hukum dalam kasus korupsi pada BUMN sudah semestinya memiliki metode dan mekanisme tersendiri. Sebab kerugian BUMN tentu saja bukan hanya disebabkan oleh perilaku korupsi, melainkan bisa juga disebabkan oleh miss management ataupun murni business loss. Oleh sebab itu, seharusnya masih perlu melihat pertimbangan lainnya, yakni adanya doktrin business judgement rules oleh direksi dan dewan komisaris seperti diatur dalam Pasal 97 ayat (5) dan Pasal 107 ayat (5) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT). “Business Judgement Rule” merupakan salah satu doktrin dalam hukum perusahaan yang menetapkan bahwa direksi suatu perusahaan tidak bertanggungjawab atas kerugian yang timbul dari suatu indakan pengambilan keputusan, apabila tindakan direksi tersebut didasari itikad baik dan sifat
9
10
11
Definisi Keuangan Negara Potensial Pidanakan Direksi BUMN, http://www.hukumonline. com/berita/baca/lt51f8da2dcac26/definisi-keuangan-negara-potensial-pidanakandireksi-bumn, diakses pada 2 Oktober 2013. UU Perbendaharaan Negara menganut kerugian negara dalam arti materil. Kerugian Negara adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. UU Tipikor menganut kerugian negara dalam arti formil, yakni adanya kata “dapat” dalam delik Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor, yang berarti “tanpa harus terdapat kerugian yang nyata”.
48
Prianter Jaya Hairi
hati-hati. Dengan prinsip ini, direksi mendapatkan perlindungan, sehingga tidak perlu memperoleh justifikasi dari pemegang saham atau pengadilan atas keputusan mereka dalam pengelolaan perusahaan.12 Menurut Remi Syahdeni, berdasarkan Business Judgement Rule, pertimbangan bisnis para anggota direksi tidak dapat ditantang atau diganggu gugat atau ditolak oleh pengadilan atau pemegang saham. Para anggota direksi tidak dapat dibebani tanggungjawab atas akibat-akibat yang timbul karena telah diambilnya suatu pertimbangan bisnis oleh anggota direksi yang bersangkutan sekalipun pertimbangan itu keliru, kecuali dalam hal-hal tertentu.13 Oleh sebab itu, tahapan dalam memberantas korupsi di suatu korporasi bisnis seperti BUMN sangat penting untuk diperjelas. Kapan suatu kasus di BUMN baru bisa ditindak secara pidana. Penulis pribadi setuju dengan pemikiran Romly Artasasmitha, bahwa penegakan hukum pidana terutama dalam bidang ekonomi, yang dalam hal ini yakni BUMN, memang sudah seharusnya bersifat ultimum remedium, yaitu hanya digunakan jika sanksi hukum administrasi dan sanksi hukum perdata tidak lagi dapat dipertahankan. Mekanisme ini digunakan karena pertimbangan untung ruginya suatu pemidanaan baik bagi si korban maupun bagi si pelaku, demikian pula dalam konteks ini, yakni pengurus BUMN. Pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia sebenarnya juga telah memberikan ruang untuk penerapan asas ini. Diantaranya yang diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pengadaan Barang dan Jasa maupun dalam Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Beberapa mekanismenya seperti teguran kepada pejabat, penggantian kerugian negara dalam periode waktu tertentu dan selanjutnya barulah diserahkan kepada penegak hukum. Asas ini sebenarnya merupakan kemajuan dalam dunia hukum pidana. Istilah ultimum remedium digunakan oleh Menteri Kehakiman Belanda untuk menjawab pertanyaan seorang anggota parlemen bernama Meckay
12
13
Business Judgement Rule, http://www.ka-lawoffices.com/articles/100.html, diakses pada 2 Oktober 2013. Ibid., Selanjutnya dikatakan bahwa Business Judgement Rule adalah “a presumption that in making a business decision, the directors of corporation acted on an informed basis in good faith and in a honest belief that the action was taken in the best interest of the company”. Berdasarkan hal tersebut, Business Judgement Rule pada pokoknya mengasumsikan bahwa, dalam membuat suatu keputusan bsnis, direksi dari suatu perusahaan bertindak atas dasar informasi yang dimikinya, dengan itikad baik dan dengan keyakinan bahwa tindakan yang diambil adalah semata-mata untuk kepentingan perusahaan. Doktrin ini pada prinsipnya mencegah campur tangan judisial terhadap tindakan direksi yang didasari itikad baik dan kehati-hatian, dalam rangka mencapai tujuan perusahaan yang sah menurut hukum.
49
Problematika Hukum Penerapan Unsur Kerugian Keuangan Negara
dalam rangka pembahasan rancangan KUHP (Kitab Undang–Undang Hukum Pidana), yang antara lain menyatakan bahwa: “Asas tersebut ialah bahwa yang boleh dipidana yaitu mereka yang menciptakan “onregt” (perbuatan melawan hukum). Hal ini merupakan condito sine qua non. Kedua, ialah bahwa syarat yang harus ditambahkan ialah bahwa perbuatan melawan hukum itu menurut pengalaman tidaklah dapat ditekan dengan cara lain. Pidana itu haruslah tetap merupakan upaya yang terakhir. Pada dasarnya terhadap setiap ancaman pidana terdapat keberatan-keberatan. Setiap manusia yang berakal dapat juga memahaminya sekalipun tanpa penjelasan. Hal itu tidak berarti bahwa pemidanaan harus ditinggalkan, tetapi orang harus membuat penilaian tentang keuntungan dan kerugiannya pidana itu, dan harus menjaga jangan sampai terjadi obat yang diberikan lebih jahat dari pada penyakit”.14 Menurut Romly Arthasasmitha, fungsi dan peranan hukum pidana dapat bersifat primum remedium dalam tiga hal. Pertama, kerugian akibat perbuatan melawan hukum sangat besar. Kedua, kerugian tersebut tidak dapat dipulihkan. Ketiga, pelakunya recidivist (de Blunt). Dalam konteks kerugian keuangan negara sejalan dengan tiga undang-undang terkait keuangan negara telah ditegaskan bahwa penyelesaian kerugian keuangan negara sekalipun sebagai akibat perbuatan penyelenggara negara/daerah yang bersifat melawan hukum harus melalui jalur sanksi administratif yaitu pengembalian kerugian negara yang diawasi BPK.15 Problematika lainnya yakni berkenaan dengan penilaian kerugian keuangan negara. Dalam peraturan perundang-undangan, ditentukan bahwa lembaga yang berwenang melakukan penilaian kerugian negara ialah BPK dan BPKP, namun ketiadaan aturan yang jelas mengenai hal ini dapat mengakibatkan penyidik dapat melangkahi wewenang dua lembaga tersebut. Dalam konteks pemberantasan korupsi di BUMN hal ini sangat penting, sebab BPK dan BPKP tentu harus menjadi lembaga yang menentukan langkah penindakan, apakah hanya sebatas diperlukan tindakan administratif (administrative measure) ataukan akan diteruskan ke penyidik. Penyidik dan penuntut tidak memiliki wewenang lebih jauh memasuki wilayah keuangan negara yang secara administratif merupakan wilayah pengawasan BPK dan BPKP. Mengenai wewenang BPK dan BPKP ini pernah ditegaskan dalam Putusan MK Nomor 31/PUU-X/2012 tertanggal 23 Oktober 2012.16 Putusan
14
15
16
Karakteristik Hukum Pidana Dalam Konteks Ultimum Remedium, http://restatika. wordpress.com/2010/03/08/karakteristik-hukum-pidana-dalam-konteks-ultimumremedium/, diakses pada 2 Oktober 2013. Romly Artasasmitha, Kerugian Keuangan negara, http://nasional.sindonews.com/read/ 2013/09/19/18/784 865/kerugian-keuangan-negara, Loc.Cit. Putusan MK Nomor 31/PUU-X/2012.
50
Prianter Jaya Hairi
itu merupakan penolakan MK atas judicial review yang diajukan mantan Dirut PLN Eddie Widiono Suwondho. Dalam pertimbangan putusan, MK menegaskan bahwa kewenangan BPKP dan BPK masing-masing telah diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan. Tugas dan kewenangan dari masing-masing instansi seperti BPKP dan BPK telah jelas diatur dalam peraturan perundang-undangan, sehingga tugas dan kewenangan tersebut tidak perlu disebutkan lebih lanjut dalam penjelasan UU KPK. BPKP merupakan salah satu lembaga pemerintah yang bekerja berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen. Dalam ketentuan tersebut disebutkan bahwa BPKP mempunyai wewenang melaksanakan tugas pemerintah di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada Ketentuan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah menyatakan, “Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, yang selanjutnya disingkat BPKP, adalah aparat pengawasan intern pemerintah yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden”. Pasal 47 ayat (2) PP tersebut kemudian menyatakan, “Untuk memperkuat dan menunjang efektivitas Sistem Pengendalian Intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan: a. pengawasan intern atas penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah termasuk akuntabilitas keuangan negara; dan b. pembinaan penyelenggaraan SPIP”. Pasal 49 PP tersebut juga menyebutkan BPKP sebagai salah satu aparat pengawasan intern pemerintah, dan salah satu dari pengawasan intern itu termasuk audit investigatif. Sementara kewenangan BPK diatur dalam Pasal 23E ayat (1) UUD 1945, dan diatur lanjut dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan yang menyatakan, “BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara.” Namun sayangnya, Putusan MK ini juga memberi penjelasan yang menurut penulis malah mengaburkan posisi BPK dan BPKP sebagai dua lembaga yang berwenang menilai kerugian keuangan negara. Menurut Mahkamah, “KPK bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK dalam rangka pembuktian suatu tindak pidana korupsi, melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain, bahkan bisa membuktikan sendiri di luar temuan BPKP dan BPK, misalnya dengan mengundang ahli atau dengan meminta bahan dari inspektorat jenderal atau badan yang mempunyai fungsi 51
Problematika Hukum Penerapan Unsur Kerugian Keuangan Negara
yang sama dengan itu dari masing-masing instansi pemerintah, bahkan dari pihak-pihak lain (termasuk dari perusahaan), yang dapat menunjukkan kebenaran materiil dalam penghitungan kerugian keuangan negara dan/atau dapat membuktikan perkara yang sedang ditanganinya”. Petikan putusan MK ini menurut penulis, dapat diartikan bahwa penyidik KPK dapat mengambil langkah hukum terhadap tersangka korupsi di BUMN tanpa terlebih dahulu melalui penilaian BPK/BPKP. Semestinya, penegakan hukum terkait kerugian dalam kegiatan bisnis BUMN mengacu pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, dan juga pada kekuatan hukum Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Sementara itu dalam hal terdapat indikasi pidana dalam kegiatan bisnis BUMN atau perseroan terbatas maka sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 155 UU Perseroa Terbatas, “ketentuan mengenai tanggung jawab Direksi dan/atau Dewan Komisaris atas kesalahan dan kelalaiannya yang diatur dalam undang-undang ini tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam undang-undang tentang Hukum Pidana”. Namun demikian ketentuan ini menurut Romly Artasasmitha juga merupakan kekeliruan yang sangat fatal dari pembentuk undang-undang, karena telah mencampuradukkan tanggung jawab perdata dan tanggung pidana yang sesungguhnya memiliki perbedaan mendasar satu sama lain.17 Demikianlah berbagai problematik hukum terkait pemberantasan korupsi di BUMN. Pemerintah dan DPR memiliki tugas besar untuk membenahi berbagai peraturan perundang-undangan terkait keuangan negara dan juga pemberantasan korupsi. Pembenahan mulai dari harmonisasi berbagai peraturan perundangundangan, hingga revisi terhadap UU Tipikor harus dilakukan secepatnya, agar ada kepastian hukum yang jelas dalam pemberantasan korupsi di BUMN.
17
Romly Artasasmitha, Kerugian Keuangan Negara http://nasional.sindonews.com/read/ 2013/09/19/18/784865/kerugian-keuangan-negara, Loc.Cit.
52
BAB IV PENUTUP
A. KESIMPULAN Problematik hukum terkait penerapan unsur kerugian keuangan negara pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bermula saat lahirnya UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Para legislator lalai mencantumkan penjelasan dari unsur kerugian keuangan negara yang terdapat dalam rumusan delik Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. Akibatnya, penerapan delik tersebut terhadap tersangka korupsi di BUMN menjadi rumit, sebab pembuktian unsur tersebut pada BUMN memunculkan polemik terkait konsep keuangan negara. Pembuktian unsur kerugian keuangan negara dalam kasus korupsi di BUMN juga menjadi problematik tersendiri. Jika kerugian BUMN yang dianggap kerugian negara menggunakan penilaian kerugian negara sebagaimana yang diatur dalam UU Perbendaharaan Negara, maka akan menyebabkan banyaknya pengurus BUMN menjadi terdakwa korupsi. Padahal tidak semua kerugian BUMN disebabkan oleh perilaku korupsi, namun bisa juga disebabkan oleh miss management ataupun murni business loss. Unsur kerugian keuangan negara ini sebenarnya sudah diwacanakan untuk dihilangkan dalam revisi RUU Tipikor yang baru (Prolegnas 2013). Ini mengadopsi nilai yang terdapat dalam Konvensi UNCAC PBB tahun 2003 yang telah pula diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan Konvensi UNCAC Tahun 2003. Kebijakan menghilangkan unsur merugkan keuangan negara sebenarnya akan memudahkan penyidik untuk membuktikan perbuatan korupsi di BUMN dan bahkan pada sektor swasta. Namun jika tidak dilaksanakan dengan arif dan hati-hati oleh penegak hukum, maka malah akan menimbulkan resiko terhadap perkembangan BUMN. Oleh sebab itu penegakan hukum pidana korupsi di BUMN haruslah bersifat Ultimum Remedium, yakni hanya digunakan jika sanksi hukum administrasi dan sanksi hukum perdata tidak lagi dapat dipertahankan. Doktrin business judgement rule juga harus menjadi pertimbangan dalam penegakan hukum terhadap BUMN. Selain itu, BPK dan BPKP harus menjadi lembaga yang menentukan langkah penindakan dalam hal jika terjadi kerugian di BUMN, apakah hanya 53
Problematika Hukum Penerapan Unsur Kerugian Keuangan Negara
sebatas diperlukan tindakan administratif (administrative measure) ataukan akan diteruskan ke penyidik. Penyidik dan penuntut tidak memiliki wewenang lebih jauh memasuki wilayah keuangan negara yang secara administratif merupakan wilayah pengawasan BPK dan BPKP.
B. SARAN Pemerintah dan DPR diharapkan segera melakukan pembenahan berbagai peraturan perundang-undangan. Tumpang tindih peraturan hukum terkait lingkup keuangan negara harus diselesaikan, demikian pula revisi terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
54
DAFTAR PUSTAKA
Inge Amundsen, Political Corruption: An Introduction to the Issues, Chr. Michelsen Institute Development Studies and Human Rights, Bergen, Norway, 1999 International Council on Human Rights Policy, Corruption and Human Rights: Making the Connection, Versoix, Switzerland, 2009 Business Judgement Rule, www.ka-lawoffices.com
Definisi Keuangan Negara Potensial Pidanakan Direksi BUMN, www. hukumonline.com
Direktur Advokasi YLBHI Bahrain dalam diskusi bertema ‘Polemik Keberadaan Unsur Merugikan Keuangan Negara dalam Regulasi Antikorupsi’ di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Jalan Kalibata Timur IV D No 6, Jakarta Selatan, Jumat (27/9/2013). www.nasional.sindonews.com Kala BUMN Dikeritiki Korupsi, www.surabayapost.co.id
Karakteristik Hukum Pidana Dalam Konteks Ultimum Remedium, www. restatika.wordpress.com Kerugian Keuangan negara, www.nasional.sindonews.com
Noloe Divonis 10 Tahun Penjara, Jaksa Siap Kejar Kasus Lain, www. hukumonline.com Sengkarut Keuangan BUMN tak boleh Berlarut, www.hukumonline.com Peraturan dan Dokumen Lain Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara 55
Problematika Hukum Penerapan Unsur Kerugian Keuangan Negara
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003 (United Nation Convention Against Corruption) yang telah diratifikasi dengan UndangUndang Nomor 7 tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 Putusan MK Nomor 31/PUU-X/2012 tertanggal 23 Oktober 2012
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah Fatwa Mahkamah Agung Nomor WKMA/Yud/20/VIII/2006 tanggal 16 Agustus 2006
Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen. Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pengadaan Barang dan Jasa
Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pengadaan Barang dan Jasa
Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Surat Menteri Keuangan RI Nomor S-324/MK.01/2006 tertanggal 26 Juli 2006
Surat Kementerian Negara BUMN No. S- 298/S.MBU/2007 25 Juni 2007 tertanggal 25 Juni 2007 Surat Edaran (SE) Kementerian BUMN Nomor: SE-01/MBU/WK/2013 tentang area potensi rawan korupsi pada Kementerian BUMN
56
TULISAN KETIGA
PENGARUH PENYERTAAN MODAL PEMERINTAH TERHADAP PENERIMAAN DEVIDEN BUMN Ari Mulianta Ginting*
*
Peneliti Muda pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
BAB I PENDAHULUAN
Pembangunan merupakan suatu hal yang menjadi tuntutan bagai suatu bangsa untuk dapat menuju masyarakat yang sejahtera. Pembangunan mempunyai sifat berkelanjutan untuk selalu mencapai tahap yang lebih baik. Salah satu bidang pembangunan yang cukup penting adalah bidang ekonomi. Pemanfaatan sumber-sumber daya alam yang merupa kekayaaan alam, penduduk serta cabang-cabang produksi yang lain digunakan oleh negara untuk menghasilkan pendapatan, yang kemudian dialokasikan bagai kepentingan umum. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia (UUD RI) Tahun 1945 Pasal 33 ayat (2) secara jelas menyebutkan bahwa “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkadung didalamnya dikuasi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Atas dasar itulah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dimiliki negara didirikan dan digerakkan karena faktor push konstitusi yang mengamanahkan bahwa cabang-cabang produksi yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak dikuasi negara. Dengan tujuan akhirnya adalah memenuhi kewajiban negara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. BUMN merupakan personifikasi negara dalam wujudnya sebagai badan hukum perdata, tetapi bertujuan mendukung terwujudnya aktivitas perekonomian untuk kesejahteraan bersama. Di samping itu BUMN sebagai salah satu badan usaha yang dibentuk oleh Negara memiliki peran yang sangat besar guna mendukung dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Tugas utama BUMN tidak hanya sekedar memperoleh keuntungan saja yang kemudian diukur hanya dengan adanya peningkatan Return On Asset (ROA), Return On Equity (ROE) dan Return On Invesment (ROI) saja, tetapi juga mengemban beberapa tugas yang lebih bersifat makro, seperti menjaga stabilitas ekonomi, atau stabilitas harga, dan untuk memenuhi sifat penugasan pelayanan publik atau agent of development. Peran penting dari keberadaan BUMN sebagai salah satu sumber penerimaan negara dalam bentuk penyetoran berbagai pajak maupun sebagai sumber setoran deviden bagi negara sebagai pemilik modal/ pemegang saham. Jika pada tahun 2008 kontribusi BUMN terhadap APBN melalui pajak yang 59
Pengaruh Penyertaan Modal Pemerintah
disetor mencapai Rp96,4 triliun, maka pada tahun 2009 kemudian meningkat sebesar Rp100,7 triliun. Sedangkan deviden sebesar Rp30,1 triliun atau meningkat Rp1 triliun dibandingkan tahun 2008. Begitu juga di pasar modal, per 31 Maret 2011, kontribusi 14 BUMN besar memberikan sumbangan lebih dari seperempat total kapitalisasi pasar bursa sebesar Rp3.124 triliun atau sebesar Rp812 triliun.1 Dilihat dari jumlah, sampai dengan akhir tahun 2010, Indonesia memiliki 142 BUMN dengan total aset sebesar Rp2.500 triliun. Menurut Kementerian BUMN, pada akhir Desember 2010, sepuluh perusahaan dari 142 BUMN yang ada di Indonesia mengalami kerugian, sedangkan sebagian besar lainnya mengalami keuntungan. Dari 132 perusahaan yang mengalami keuntungan, 123 diantaranya memperoleh laba penuh,dan 20 diantaranya kerugian akumulatif. Dari 112 perusahaan yang berlaba penuh, 67 perusahaan diantaranya memberikan deviden, dan 45 perusahaan lainnya tanpa deviden. Kemudian untuk meningkatkan daya saing BUMN, pemerintah telah menyusun rencana penyusutan BUMN dari 142 perusahaan pada tahun 2010 menurun bertahap menjadi 118 pada tahun 2011, dan ditargetkan menjadi 104 perusahaan pada tahun 2012, 95 perusahaan pada tahun 2013, dan 81 perusahaan pada tahun 2014. 2
Sumber: Kementerian Keuangan (2013)
Gambar 1. Bagian Laba BUMN Dalam APBN 2007-2012 (dalam Triiun Rupiah)
Demikian pula halnya dengan bagian laba BUMN yang disetorkan ke Pemerintah sebagai bagian dari pendaptan nasional. Gambar 1. memberikan deskripisi yang jelas perkembangan bagian laba BUMN yang disetorkan, pada tahun 2007 jumlah bagian laba BUMN yang disetorkan sebesar Rp23,2 triliun kemudian meningkat 29,3 persen pada tahun 2012 menjadi Rp30,8 triliun pada realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2012. Walaupun
1
2
Kementerian BUMN, Transformasi BUMN Menuju Pentas Global: Lokomotif Perekonomian, Jakarta: PT. Tempo Inti Media, 2011. Ibid.
60
Ari Mulianta Ginting
pada terjadi penurunan bagian Laba BUMN yang disetor pada tahun 2009, namun secara keseluruhan dari tahun 2007 hingga 2012 terjadi peningkatan yang cukup besar kontribusi bagian laba yang disetorkan oleh BUMN sebagai pendapatan dalam APBN. Berdasarkan uraian diatas, maka perlu dilakukan kajian untuk memberikan gambaran umum tentang perkembangan BUMN dan terkait dengan kinerjanya, bagaimana pengaruh dana penyertaan modal pemerintah terhadap bagian laba yang dihasilkan oleh BUMN tersebut?
61
BAB II KERANGKA PEMIKIRAN
BUMN sebagai salah satu mesin penggerak perekonomian nasional tentunya mempunyai peran baik langsung maupun tidak langsung terhadap perekonomian Indonesia. Dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 19 Tentang BUMN dinyatakan bahwa tujuan BUMN didirikan untuk memenuhi 5 tujuan utamanya yaitu: (1) memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya; (2) menyejar keuntungan; (3) menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/ jasa yang bermutu bagi pemenuhan hajat hidup prang banyak; (4) menjadi perintis keigatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi; (5) turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, kopeasi dan masyarakat. Pasal 4 Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tetang BUMN menerangkan bahwa modal BUMN berasal dari kekayaan negara yang pisahkan. Sesuai dengan Pasal 2 Huruf G Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengenai ruang lingkup keuangan negara disebutkan bahwa kekayaan negara atau kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah. Sedangkan kedudukan negara dalam BUMN yang merupakan pemilik saham, baik seluruhnya maupun sebagian, adalah sebagai badan hukum perdata biasa. Dalam konsep hukum, dari sudut kewenangan yang dimilikinya, badan hukum ada dua, yaitu: (a) badan hukum publik yang mempunyai kewenangan mengeluarkan kebijakan publik, baik yang mengikat umum (contoh, undang-undang perpajakan) maupun yang tidak (undangundang APBN); (b) badan hukum perdata yang tidak memiliki kewenangan mengeluarkan ekbijakan publik yang mengikat masyarakat umum.3 Dalam menjalankan kegiatan usaha, kadangkala BUMN diberikan kekuasaan usaha awal yang tidak diminati swasta dengan maksud menarik investasi, sehingga lambat laun menjadi perusahaan yang lebih kompetitif.
3
Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara.
63
Pengaruh Penyertaan Modal Pemerintah
Dengan demikian, harus diakui BUMN seringkali tidak diarahkan tetapi lebih menjamin kontinuitas peranan ekonomi yang ditunjukkan negara untuk pelayanan kebutuhan publik. Akan tetapi dalam era kompetinsi global dewasa ini, BUMN secara integral diarahkan tidak hanya menjadi aktor usaha ekonomi yang melayani akan tetapi sekaligus mencari laba.4 Seperti yang telah disebutkan diatas, bahwa menurut Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 Tentang BUMN menyatakan bahwa salah satu tujuan dari BUMN adalah mengejar keuntungan. Akan tetapi tujuan ini diapit oleh tujuan lainnya yang bersiat nirlaba, tetapi konsepsi mengejar keuntungan pada dasarnya menghapus citra (image) BUMN sebagai badan usaha yang hanya menjalankan misi sosial pemerintah. Namun, BUMN secara psikologis memiliki ikatan sebagai patner pemerintah dalam menjalankan program ekonomi yang bersifat nirlaba.5 Dalam perkembangan persaingan usaha dewasa ini, BUMN ikut diarahkan melakukan keseimbangan pengelolaan perusahaan berdasarkan empat prinsip dalam Good Corporate Governance. Good Corporate Governence (GCG) ditujukan untuk mewujudkan pengelolaan dan pertanggungjawaban perusahaan yang baik dengan mengedepankan partisipasi semua pihak yang terlibat secara seimbang. Dengan kata lain, diatur pembagian tugas, hak dan kewajiban pihak yang berkepentingan dalam kehidupan perusahaan yang akan menjadi pegangan menetukantukan sasaran usaha dan strategi untuk mencapai sasaran tersebut. Empat prinsip tersebut adalah sebagai berikut, yang pertama, transparansi di mana BUMN berusaha menyediakan informasi yang jelas, akurat, tepat waktu kepada stakeholder.6 Kedua, akuntanbilitas, di mana BUMN menjembatani dan menyerasikan hubungan yang terjalin antara pemegang saham, manajemen dan stakeholder. Aspek ini berbeda dengan transparansi yang hanya menekankan prinsip informasi. Ketigam prinsip keadilan di mana hak-hak pemilik saham diperjelas serta sistem hukum dan pearturan perundang-undangan yang terkait dengan eksistensi BUMN dijalankan secara konsisten. Prinsip ini dilaksanakan dengan cara mengukuhkan konsep good corporate governance. Dan prinsip keempat, adalah responsibilitas, BUMN dihadapkan kepada realitas sosial di mana diperlukan lingkungan masyarakat dengan cara menyisihkan saham BUMN bagi pengembangan usaha kecil dan menengah serta pemberian kredit usaha kecil dan menegah. 7
4
5
6 7
Dian P. Simatupang. 2011. Paradoks Rasionalitas Perluasan Ruang Lingkup Keuangan Negara Dan Implikasinya Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah. Badan Penerbit FHUI. Jakarta. Hlm. 236 Hal ini dibahas oleh Sheila B. Kamerman dan Alfred J. Khan. Privatization and the Welfare State (t.t.:Priceton, t.t), hlm. 113. Dian Puji Simatupang, Op.Cit, hlm 238 Arifin P. Soeria Atmadja. 2002. Kedudukan Negara dalam Perseroan Terbatas yang Seluruh dan Sebagian Sahamnya dimiliki Negara. Makalah dalam Diskusi Internal Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Hlm 5.
64
Ari Mulianta Ginting
Berdasarkan uraian diatas, maka penelitian mencoba memberikan gambaran atau deksripsi mengenai perkembangan BUMN selama ini serta menganalisis pengaruh penyertaan modal yang dilakukan oleh pemerintah terhadap bagian laba yang dihasilkan oleh BUMN dan disetorkan ke negara sebagai pendapatan negara. Gambar 2. memberikan gambaran kerangka pemikiran yang dicoba dibangun oleh penulis, kedudukan negara sebagai pemilik BUMN baik seluruhnya maupun sebagaian dari sahamnya maka BUMN diharapkan tujuan mencapai salah satu tujuannya yaitu mengejar keuntungan. Tujuan mengejar keuntungan dari BUMN merupakan salah satu hasil dari kinerja dan tercapainya good corporate governance yang dilakukan oleh BUMN. Sehingga pada tujuan akhirnya dapat diketahui perkembangan BUMN dan bagaimana pengaruh modal yang telah disetorkan pemerintah sebagai pemilik terhadap bagian laba yang disetorkan BUMN sebagai pendapatan negara. Negara
BUMN
Good Corporate Governance
Gambar 2. Kerangka Pemikiran
Perkembangan BUMN dan Bagian laba yang disetorkan sebagai pendapatan negara
Penelitian ini bersifat subyektif berdasarkan data sekunder dengan pengumpulan data-datanya melalui studi kepustakaan untuk mendapatkan informasi dan data terkait. Studi kepustakaan meliputi penelusuran bukubuku, majalah, dan koran terkait dan data melalui computer secara online. Dengan menggunakan pendekatan penggabungan antara analisa kualitatif dan pendekatan kuantitatif maka, penelitian ini diharapkan memberikan gambaran umum mengenai kinerja BUMN dan mengetahui pengaruh dana investasi pemerintah dan restukturisasi BUMN terhadap laba yang dihasilkan oleh BUMN. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan menggunakan model ekonometri berupa data runtut waktu (time series), yang selanjutnya akan dibahas pada penelitian ini. Definisi operasional variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai variabel terikat adalah bagian laba yang disetorkan oleh BUMN sebagai bagian pendapatan negara, sedangkan variabel bebas yang digunakan adalah modal yang disetorkan oleh pemerintah ke BUMN. Data yang digunakan dalam penelitian bersumber dari data sekunder yang diperoleh dari APBN 65
Pengaruh Penyertaan Modal Pemerintah
dari tahun 2007 sampai dengan 2012. Kemudian data dilakukan penglahan data dengan menggunakan analisis data time series menggunakan software SPSS 16.
66
BAB III ANALISIS
A. PERKEMBANGAN BUMN DI INDONESIA Setahun setelah pernyataan kemerdekaan Indonesia, pemerintah telah mulai membangun BUMN sendiri. Yang pertama adalah Jawatan Listrik dan Gas (Bereau of Electricity and Gas), diresmikan Presiden Sukarno pada 27 Oktober 1945. Jawatan ini sesungguhnya berasal dari generator listrik yang didirikan oleh Belanda pada abad ke-19 yang kemudian berkembang menjadi perusahaan negara dengan nama (Nederlandsch Indie Gas Maatschappij) NV NIGM.8 Yang kedua-diluar De Javasche Bank yang diambil alih pada tahun 1952 menjadi Bank Indonesia adalah Bank negara Indonesia pada 1946. Lalu sesuai dengan pernjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB), Kantor Pos, dan Jawatan Keretaapi (State Railway) diserahkan kepada pemerintah Belanda, sesuai sifat perusahaan sebagai public utilities (perusahaan-perusahaan yang melayani kepentingan publik). Agar Indonesia mempunyai pusat perdagangan, terutama untuk menandingi the Big Five Dutch Trading House, pemerintah mendirikan Central Trading Company (CTC) atau Panca Niaga. Sebuah bank Belanda, Herstelbank (the Rehabilitaion Bank) yang dibangun pada Mei 1948, diubah menjadi Bank Industri Negara (BIN) pada tahun 1951-kelak, menjadi Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo).9 Pada tahun 1952, Indonesia mengambil alih De Javasche Bank (didirikan pada 1827) menjadi bank sentral, Bank Indonesia. Pengambil-alihan ini berlangsung secara damai. Dalam hal ini, pemegang saham lama memperoleh agio dan capital gain sesuai harga pasar.10 Berkongsi dengan KLM dan dengan mengambil alih aset-aset Koninklijke Nederlandsch-Indische Luhtvaart Maatschapij (Royal Netherlands Indies Airlines), Indonesia juga telah memilai mengembangkan perusahaan angkutan udara (Garuda Indonesia Airways atau GIA), di mana Indonesia, setelah 10 tahun, akan memperoleh saham mayoritasnya. Dan karena perusahaan perkapalan Belanda KPM menolak kerja sama model
8 9
10
Perusahaan Listrik Negara (PLN), Wikipedia. Tentang sejaarh Bapindo, lihat Fachry Ali, Bahtiar Effendy, dkk.1999. The History of Bapindo: The Social and Economic Aspects of A Financial Institutioni. LSPEU Indonesia. Jakarta. Christian Wibisono. 1992. Profil dan Anatomi BUMN. Prisma No. 2 tahun XXI. Hlm. 19
67
Pengaruh Penyertaan Modal Pemerintah
GIA, maka pemerintah Indonesia mendirikan pelayaran sendiri, PELNI. Pada saat yang sama, beberapa perusahaan lainnya seperti gas juga diambil alih negara, dengan kompensasi tentunya.11 Sementara itu, antara 1952 dan 1953, secara berturut-turut negara membangun perusahaan industri turis, Natour, dan Semen Gresik. Lalu beberapa tahun kemudian, tepatnya 1957, negara membangun perusahaan minyak sendiri, Pertamina.12 Kemudian generasi kedua BUMN juga dilakukan proses pengambilalihan perusahaan-perusahaan, dalam catatan Ahmad Habir, dibawah peraturan pemerintah No. 23 / 1958 dan UU No. 86 Tahun 1058, sekitar 600 perusahaan belanda diambil alih, hampir 300 perusahaan diantarnaya adalah perusahaan perkebunan dan lebih dari 100 perusahaan yang bergerak dalam industri dan pertambangan. Selebihnya adalah perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan, keuangan, komunikasi, gas dan listrik serta konstuksi. Termasuk di dalamnya adalah Semen Padang yang didirikan Belanda pada tahun 1910. Berdasarkan alasan konfrontasi dengan Malaysia, maka tahun 1964, Indonesia melakukan kembali nasionalisasi perusahan Inggris dan Amerika Serikat. Sebagai akibatnya, pemerintah Indonesia menjadi pemilik 800 perusahaan yang berada dibawah peraturan dan undang-undang.13 Proses politik dan terutama dengan turun tangan kaum militer dalam proses pengambilahan perusahaan-perusahaan Belanda dan asing lainnya inilah yang melahirkan BUMN-BUMN Indonesia seperti yang kita lihat dewasa ini. Memasuki tahun 1990-an, mulai terasa BUMN yang begitu banyak dan begitu kaya, ternyata tidak mampu memberikan kontribusi yang memadai bagi negara.14 Pada tahun 1990/1991 kontribusi BUMN dari deviden terhadap total penerimaan bukan pajak nilainya Rp1.096 triliun terhadap Rp2.3863 triliun atau sekitar 46 persen. Pada tahun 1995/1996 kontribusi BUMN dari deviden terhadap total penerimaan bukan pajak nilainya Rp1.447 triliun terhadap Rp7.801 triliun atau sekitar 14 persen saja. Demikian juga dalam hal produktivitas, yang tercermin dair profitabilitasnya. Pada tahun 1990 total aset BUMN adalah Rp179.153 triliun, sementara pada tahun 1995 melipat menjadi Rp312.802 triliun. Namun, peningkatan aset tersebut tidak
11
12
13 14
Houben, Vincent. J.H. 2002. Java in the 19th Century: Consolidation of a Territorial State. Dalam Howard Dick, Vincent J.H. Thomas Lindbald dan Thee Kian Wie (eds.). The Emergence of A Nation Economy: An Economic History of Indonesia, 1800-2000. Cross West, NSW dan Honolulu: Allen & Unwin and University of Hawa’i press. Ahmad D. Habir. “State Enterprises: Reform and Policy Issues”. dalam Hall Hill dan Terry Hull. 1990. Indonesia Assessment 1990. Cambera. Departemen of Political and Social Change. Research School of Pasific Studies. Austalian National Unverisity. Hlm. 92. Ibid. Untuk bagian ini lihat Bab “BUMN” pada Riant Nugroho D. 2001. Reinventing Indonesia. Elex Media. Jakarta.
68
Ari Mulianta Ginting
diimbangi dengan peningkatan laba. Laba BUMN sebelum pajak pada tahun 1990 adalah Rp8.3 triliun sementara pada tahun 1995. Jadi peningkatan aset sebesar 75 persen hanya mampu mendongkrak keuntungan sebesar 12 persen saja. 15 Sementara itu, kinerja BUMN pada periode sampai dengan tahun 1997 secara rata-rata juga tidak begitu mengembirakan. Sampai 31 Desember 1997, banyak BUMN yang terlibat di sektor perekonomian nasional, dengan total aset Rp461.6 triliun. Diantara 160 BUMN di bawah pengawasan Kantor Menteri Negara Pemberdayagunaan BUMN, 74 perusahaan atau 42,6 persen termasuk dalam kategori baik dan baik sekali. Sementara sisanya 53,8 persen berada pada kondisi kurang baik dan tidak baik, dengan rata-rata kondisi tidak efesien. Hal itu terlihat dari perumbuhan aset yang lebih tinggi dari pada pertumbuhan labanya. Memasuki tahun 1998, arah baru pengelolaan BUMN berubah total, setelah Presiden Suharto menetapkan pembentukan Kantor Menteri Negara BUMN, stelah mendapatkan proposal dari Tanri Abeng. Proposal ini menggambarkan bahwa BUMN harus direvitalisasi. BUMN harus direstrukturisasi, diprofitisasi baru kemudian diprivatisasi. Ini dari restrukturisasi adalh pembentukan holding BUMN. Dari 150-an BUMN akan dikelompokkan menjadi 10-12 holding. Tujuan pembentukan holding adalah meletakkan fokus bisnis dengan landasan pada tujuan bisnisnya. Hingga sekarang proses tersebut terus berlanjut dan tetap berada dalam koridor yang telah ditentukan.16 Berdasarkan Gambar 3. Perkembangan statistik rincian jumlah BUMN dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2011 sebagai berikut. BUMN pada tahun 2007 terdiri dari 111 Perseroan non Tbk berkurang jumlahnya pada tahun 2011 berjumlah 108 perseroan non Tbk. Sedangkan jumlah BUMN berbentuk perseroan Tbk pada tahun 2007 berjumlah 14 meningkat jumlahnya 28,6 persen pada tahun 2011 menjadi berjumlah 18 perseroan Tbk. Hal ini berarti bahwa proses restrukturisasi dan privatisasi BUMN masih berjalan dan berlangsung. Dengan semakin banyak BUMN yang berubah menjadi Perseroan Tbk maka diharapkan terciptanya good corporate governance dalam pengelolaan BUMN dan terciptanya fondasi yang kuat dari BUMN.
15
16
Riant Nugoroho D dan Ricky Siahaan. 2005. BUMN Indonesia: Isu, Kebijakan, dan Strategi. Elex Media Komputindo. Jakarta. Hlm xvi. Ibid., hlm.xvii
69
Pengaruh Penyertaan Modal Pemerintah
Sumber: Kementerian BUMN (2013).
Gambar 3. Rincian BUMN Periode 2007-2011
Dalam 10 tahun terakhir kinerja BUMN terus meningkat, dari sisi aset BUMN terus meningkat. Gambar 4. memberikan gambaran mengenai perkembangan aset BUMN, Total aset BUMN pada tahun 2008 sebesar Rp1.971 triliun rupiah meningkat 76 persen pada tahun 2012 menjadi sebesar Rp3.469 triliun. Peningkatan aset BUMN yang rata-rata setiap tahun meningkat 15,4 persen ini tidak lepas dari implementasi good corporate governance (GCG) yang semakin intensif dilakukan oleh BUMN sehingga meningkatkan kinerja perusahaan BUMN di Indonesia.
Sumber: Kementerian BUMN (2013).
Gambar 4. Perkembangan Aset dan Laba BUMN Tahun 2008 – 2012 (dalam triliun Rupiah)
Demikian halnya dengan penerimaan deviden BUMN yang merupakan salah satu penerimaan yang dapat diandalkan dalam APBN. Perkembangan penerimaan deviden yang berasal dari BUMN yang disetorkan kepada pemerintah periode tahun 2008 hingga tahun 2012 juga mengalami perkembangan yang positif. Peningkatan penerimaan deviden BUMN yang diterima oleh pemerintah disebabkan oleh semakin meningkatkannya laba bersih yang dihasilkan oleh BUMN. Gambar 4. juga memberikan informasi 70
Ari Mulianta Ginting
mengenai peningkatan perkembangan laba yang dihasilkan oleh BUMN. Pada tahun 2008 laba yang dihasilkan BUMN hanya sebesar Rp53 triliun meningkat 162 persen pada tahun 2012 menjadi Rp139 triliun. Dari laba yang dihasilkan oleh BUMN pada tahun 2012 sebesar Rp139 triliun, 5 perusahaan BUMN yang memberikan sumbangan proporsi besar terhadap total laba yang dihasilkan oleh BUMN adalah sebagai berikut, peringkat pertama diberikan PT. Pertamina memberikan proporsi terbesar yaitu sekitar 19,2 persen, yang kedua diikuti oleh PT.Bank BRI Tbk memberikan proporsi sebesar 13,4 persen, ketiga diberikan oleh PT. Telkom Tbk memberikan proporsi sebesar 13.1 persen, keempat diberikan oleh PT. Bank Mandiri, Tbk memberikan proporsi sebesar 11 persen dan PT. Bank BNI Tbk memberikan kontribusi sebesar 5 persen.
B. ANALISA KUANTITATIF Kinerja peneriman deviden BUMN mencakup 141 perusahaan yang tersebar dalam berbagai bidang usaha. Sektor-sektor yang dimasuki adalah telekomunikasi, migas, semen, pertambangan, perkebunan, pupuk, konstruksi, pelabuhan, bandara, transporasi-logistik, manufaktur, tekstil, aneka industri serta properti. Dari sekitar 141 perusahaan BUMN yang ada, diperkirakan hanya sekitar 22 BUMN yang benar-benar memberikan sumbangan signifikan terhadap kinerja keseluruhan. Dan sejauh ini sektor energi, pertambangan masih mendominasi sumbangan bersih deviden BUMN, kemudian disusul oleh sektor telekomunikasi dan perbankan. Selama periode 2007-2012, Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berasal dari bagian laba BUMN yang dihasilkan mengalami peningkatan 44, 27 persen. Jika pada tahun 2007 bagian laba BUMN yang merupakan PNBP sebesar 23,22 triliun maka pada akhir tahun 2012 PNBN yang berasal dari bagian laba BUMN mengalami peningkatan menjadi Rp30,8 triliun. Pertambahan peningkatan laba yang disetorkan oleh BUMN menunjukkan kinerja BUMN yang semakin hari semakin menunjukkan kinerja yang bagus. Meskipun pada tahun 2009 laba BUMN yang disetorkan ke pemerintah pada tahun 2009 mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya, hal ini disebabkan oleh krisis ekonomi yang terjadi secara global ikut mempengaruhi penurunan kinerja BUMN. Untuk lebih lengkap dapat dilihat pada Gambar 4.
71
Pengaruh Penyertaan Modal Pemerintah
Sumber: Kementerian Keuangan (2013)
Gambar 4. PNBP Bagian Laba BUMN 2007-2012 (dalam triliun Rupiah)
Sedangkan untuk hasil analisis kuantitatif berdasarkan permasalahan yang ada dengan menggunakan analisa regresi dengan menggunakan software Statistical Package for Social Science (SPSS) 16 didapatkan model estimasi terbaik yang didapat adalah sebagai berikut: Model 1
Tabel 1. Hasil Regresi Bagian Laba BUMN Unstandardized Coefficients B
(Constant)
26,427
Investasi pemerintah
0,192
Std. Error
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan SPSS 16
2,816
Standardized Coefficients
0,213
Beta
0,374
t
B
9,384 0,901
Sig.
Std. Error
0,000 0,409
Tabel 1. Menunjukkan hasil analisa regresi terhadap variabel bagian laba BUMN dan investasi yang disetorkan oleh pemerintah didapati hasil yang tidak signifikan. Hal ini terlihat dari P-value dari variabel independen yang lebih besar dari pada tingkat signifikansi atau α yaitu 5 persen. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penyetoran investasi yang dilakukan pemerintah tidak memiliki pengaruh terhadap laba BUMN yang disetorkan ke pemerintah. 1
Tabel 2. Koefisien Korelasi dan Koefisien Determinasi
Model
R
0,374(a)
R Square 0,140
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan SPSS16
72
Std. Error of the Estimate 3,38295
Ari Mulianta Ginting
Tabel 2. Memberikan gambaran mengenai hasil analisa koefisien korelasi antar kedua variabel tersebut juga menunjukkan angka 0,374. Hal ini mengandung arti bahwa antara variabel dependen dan independen memiliki hubungan yang positif akan tetapi lemah. Hal ini diperkuat lagi dengan nilai koefisien determinasi dari model yang kecil. Koefisien determinasi mengasilkan angka 0,140, angka ini memeberikan arti bahwa hanya 0,14 persen perubahan variabel dependen disebabkan oleh variabel indenpenden. Berdasarkan hasil analisa regresi diatas, mendeskripsikan kepada kita bahwa investasi yang dilakukan pemerintah terhadap BUMN ternyata tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap bagian laba yang disetorkan BUMN ke pemerintah. Dengan kata lain laba yang dihasilkan oleh BUMN ternyata tidak serta merta dipengaruhi oleh jumlah investasi yang dilakukan pemerintah, akan tetapi ada hal lain selain yang mempengaruhi laba tersebut. Ada beberapa masalah mendesak yang harus diselesaikan oleh BUMN dalam rangka meningkatkan kinerja dan produktivitas yang pada ujungnya peningkatan tersebut dapat meningkatkan laba BUMN yang dikemudian dapat disetorkan kepada negara. Era globalisasi telah membawa dampak perubahan terhadap fungsi BUMN dalam merebut pasar dunia. Sejauh ini tidak dapat dipungkiri bila beberapa BUMN masih terkesan inefesien dan lambat dalam mengantisipasi tuntutan pasar. Mengapa kesan itu terjadi, karena semula manajemen BUMN memang mengacu kepada keigatan (activity oriented) sehingga seringkali menyebabkan diabaikannya aspek input dan sasaran utama yaitu sisi ouput yang akan dihasilkan menjadi tidak terukur. Dari sisi yang lain, sistem manajemen BUMN yaitu activity oriented seringkali terjebak dalam perbagai peraturan dan ketentuan yang kaku. Akibatnya, harus mengikuti prosedur yang berkepanjangan dan akhrinya menjadi inefisien baik dari segi tenaga kerja maupun pendayagunaan waktu.17 Bahkan dalam satu kesempatan pada BUMN Expo 2010 di Jakarta, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan terdapat tiga penyakit yang menyerang BUMN. Pertama, kebiasaan buruk sebuah BUMN yang merambah semua sektor usaha, semua mau diambil dari hulu hingga hilir. BUMN seharusnya fokus dan maksimal dalam bidang usaha yang menjadi kegiatan utamanya. Penyakit kedua, BUMN menjadi sapi perah. BUMN seharusnya memberikan sumbangan kepada pertumbuhan ekonomi neara. Namun demikian, kewajiban BUMN harus disesuaikan dengan kondisi sehingga tidak meruntuhkan kondisi keuangan BUMN itu sendiri. Penyakit ketiga, adalah
17
Dibyo Soemantri Priabodo.2004.Perjalanan Panjang dan Berliku Refleksi BUMN 19932003: Sebuah Catatam Tentang Peristiwa, Pandangan dan Renungan. Media Pressindo. Yogyakarta. Hlm 15.
73
Pengaruh Penyertaan Modal Pemerintah
BUMN menjadi objek ekploitasi bersama. Situasi ini terjadi ketika satu atau sekelompok orang berusaha mendapatkan keuntungan pribadi dari kegiatan BUMN. Lebih lanjut Muchayat menyatakan lemahnya kinerja dan daya saing BUMN selama ini disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, rendanhya tingkat produktivitas karena tingginya biaya tetap (fixed cost). Kedua, lemahnya penelitian dan pengembangan (research and development). Ketiga, ketidakmampuan di dalam memproduksi barang dan jasa dengan kualitas tinggi, biaya yang rendah dan waktu pengiriman yang tepat seusai dengan kebutuhan pasar. 18 Kendala lainnya biasanya berkaitan dengan struktur organisasi beserta sistem dan prosedurnya. Tidak jarang dijumpai organisasi BUMN mempunyai struktur berlapis-lapis. Banyaknya hiraki seringkali menjadi penyebab inefsiensi karena arus informasi pada setiap tingkat tidak selalu lancar. Ditambah lagi aspek kualitas SDM sering kali terlihat etos kerja yang mengarah pada pelestarian status quo yaitu sifat mepertahankan kemampuan dan kurang terangsang untuk hal-hal yang bersifat pembaharuan dan pengembangan. Apabila kondisi ini telah menjadi pathologis , biasanya sistem dan prosedur mengutamakan hal-hal yang rutin sehingga menwujudkan SDM yang tidak berwasasan jauh ke depan dan tanpa added value.19 Kendala lainnya yang menghadang BUMN adalah bahwa BUMN sering kali dikelola oleh pemerintah untuk menjadikannya sebagai alat kekuasaan ketimbang sebagai institusi bisnis. Intervensi birokrasi dalam pengelolaan BUMN sering dijustifikasi sebagai respon tuntutan sosial-politik yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Salah satu akibat BUMN yang menjadi alat politik negara adalah BUMN cendrung distortif terhadap pasar dan protektif dalam memberikan penjelasan mengenai perseroan karena lebih memperhatikan kebutuhan dan tuntutan pemilik modal awal dan pemegang saham mayoritas, yaitu negara. Kondisi inilah yang ikut mendorong BUMN kurang peduli menerapkan kebijakan transparansi dan profesional dalam mengelola aset dan liablities yang ada pada hakikatnya merupakan wujud konsep good corporate governance.20 Bahkan yang lebih memprihatinkan ada BUMN yang bukan memberikan tambahan pada pendapatan negara, tetapi justru menambah beban belanja negara. Hal ini disebabkan BUMN tersebut tidak sehat, sehingga agar berkelanjutan kegaitan usahanya (sustainable), negara menyisihkan tambahan modal yang dipisahkan dari anggaran negara melalui program rekapitalisasi secara simultan. Ada pula BUMN yang terus
18
19 20
Muchayat. 2010. BUMN Retorika, DInamika dan Realita (Menuju BUMN yang Berdaya Saing). Gagas Bisnis. Jakarta. Ibid., hlm 16. Savas. E.S. 1987. The Key to Better Government. New Jersey: Chatham House.
74
Ari Mulianta Ginting
memperoleh subsidi dengan maksud menekan tingkat kerugian perusahaan, juga BUMN ada tetap dibiarkan berjalan meskipun memiliki anak perusahaan yang tidak efesien.21 Untuk itulah disamping pemerintah melakukan investasi terhadap BUMN, pemerintah juga harus tetap melaksanakan reformasi dan privatisasi terhadap BUMN. Melalui langkah tersebut, BUMN diharapkan lebih mampu memposisikan diri sebagai kekuatan ekonomi nasional yang riil dan lebih mampu memberikan kontribusi yang lebih bagi negara, baik berupa langsung bagian laba yang disetorkan secara langsung maupun kontribusi yang tidak langsung terhadap negara. Bahkan langkah-langkah restukturisasi, seperti restrukturisasi permodalan, organisasi dan usaha dan gagasan privatisasi atau swastinisasi dipercaya sebagai sarana dalam meningkatkan efisiensi ekonomi negara. Dalam UU No. 19 Tahun 2003 pun secara tegas diuraikan sasaran dari privatisasi diantaraya adalah (i) memperluas kepemilikan masyarakat, (ii) meningkatkan efisiensi dan produktivitas, (iii) menciptakan struktur industri yang sehat dan kompetitif, (iv) memiliki daya saing dan berorientasi global serta (v) menumbuhkan iklim usaha, ekonomi makro dan kapasitas pasar. Wakil Ketua DPR RI Bidang Koordinator Ekonomi dan Keuangan, Mohamad Sohibul Iman, bahkan lebih lanjut solusi untuk mengatasi permasalahan yang menghadapi BUMN adalah dengan melakukan reinvensi BUMN, karena BUMN adalah asset ekonomi bangsa yang penting dan strategis. Ada empat konsep pokok untuk melakukan reinvensi BUMN yaitu restrukturisasi, privatisasi, budaya korporasi dan kepemimpinan korporasi. Sesuai dengan UndangUndang No 19 Tahun 2003 tentang BUMN, restrukturisasi adalah upaya yang dilakukan dalam rangka penyehatan BUMN yang merupakan salah satu langkah strategis untuk memperbaiki kondisi internal perusahaan guna memperbaiki kinerja dan meningkatkan nilai perusahaan. Resturkturisasi dilakukan dengan maksud untuk menyehatkan BUMN agar dapat beroperasi secara efesien, transparan, dan profesional. Program restrukturisasi bertujuan meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memberikan manfaat berupa deviden dan pajak kepada Negara, menghasilkan produk dan layanan dengan harga yang kompetitif kepada konsumen dan mempermudah pelaksanaan privatisasi. 22 Sesuai dengan UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN, pengertian privatisasi adalah penjualan saham Persero, baik sebagian maupun
21
22
Simatupang, Mawardi. 2006. BUMN pasca UU BUMN. Dalam BUMN Indonesia: Isu, Kebijakan, dan Strategi. Penyunting Riant Nugroho D dan Ricky Sihaan. Gramedia. Jakarta. “Solusi Dalam Mengatasi Permasalahan BUMN”. (http://www.sohibuliman.net/index.php? option=com_content&view=article&id=322:solusi-dalam-mengatasi-permasalahan-bum n&catid=37:artikel&Itemid=62, diakses 12 September 20130).
75
Pengaruh Penyertaan Modal Pemerintah
seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat serta memperluas kepemilikan saham oleh masyarakat. Berdasarkan pengertian privatisasi tersebut maka Kementerian Negara BUMN mengenai privatisasi adalah dengan privatisasi mendorong BUMN untuk meningkatkan kinerja dan nilai tambah perusahaan guna mencapai champion dalam industrinya serta meningkatkan peran serta masyarakat dalam kepemilikan saham. Privatisasi berkenaan dengan upaya mengurangi peran negara yang berlebihan di sektor bisnis, khususnya dalam rangka menggerakkan dan memberdayakan perekonomian masyarakat. Privatisasi juga bisa diartikan sebagai upaya peningkatn akses terhadap pasar internasional, pendanaan, teknologi dan peningkatkan kemampuan daya saing perusahaan. Budaya korporasi berkenaan dengan pengembangan BUMN yang berbudaya, bukan hanya manajemen yang profesional namun juga budaya yang unggul. Sedangkan kepemimpinan korporasi adalah sebuah keharusan untuk membawa BUMN ke kelas dunia.23
23
Ibid.
76
BAB IV PENUTUP
A. KESIMPULAN Berdasarkan dari hasil studi dan analisis yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. BUMN di Indonesia pada awalnya dimulai pada masa orde lama, yaitu pada masa pemerintahan Presiden Soekarno dengan mendirikan perusahaan listrik pertama di Indonesia. Dan pada perkembangan selanjutnya BUMNBUMN di Indonesia banyak yang merupakan pengambilalihan perusahaan asing yang ada di Indonesia, terutama perusahaan-perusahaan Belanda dan asing lainnya. Perkembangan selanjutnya pada masa orde baru hingga tahun 1997, banyak BUMN-BUMN tersebut banyak berdiri akan tetapi tidak mampu memberikan kontribusi yang memadai bagi negara. Hingga pada tahun 1997 BUMN-BUMN tersebut dilakukan proses restrukturisasi, reformasi dan privatisasi. Dalam 10 tahun terakhir kinerja BUMN terus meningkat dari sisi aset BUMN dan laba yang dihasilkan oleh BUMN juga mengalami perkembangan yang positif. 2. Berdasarkan hasil analisa regresi didapatkan hasil bahwa pengaruh penyertaan investasi pemerintah memiliki pengaruh yang tidak signifikan terhadap bagian laba BUMN yang disetorkan kepada negara. Dengan kata lain bagian laba yang disetorkan oleh BUMN kepada pemerintah hanya dipengaruhi oleh besarnya investasi yang ditanamkan oleh pemerintah kepada BUMN-BUMN tersebut, akan tetapi ada hal lain yang lebih fundamental yang mempengaruhi kinerja laba dari BUMNBUMN itu sendiri. Untuk itu diperlukan langkah kongkrit dan strategis baik yang dilakukan oleh pemerintah dan BUMN itu sendiri untuk dapat terus melakukan proses perbaikan dan peningkatan produktivitas dari BUMN, agar pada akhirnya BUMN dapat lebih memberikan peningkatan kontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung kepada pemerintah.
77
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad D. Habir . “State Enterprises: Reform and Policy Issues”. dalam Hall Hill dan Terry Hull. 1990. Indonesia Assessment 1990. Cambera. Departemen of Political and Social Change. Research School of Pasific Studies. Austalian National Unverisity. Hlm. 92. Arifin P. Soeria Atmadja. 2002. Kedudukan Negara dalam Perseroan Terbatas yang Seluruh dan Sebagian Sahamnya dimiliki Negara. Makalah dalam Diskusi Internal FAkultas Hukum Universitas Indonesia. Hlm 5.
Christian Wibisono. 1992. Profil dan Anatomi BUMN. Prisma No. 2 tahun XXI. Hlm. 19
Dian P. Simatupang. 2011. Paradoks Rasionalitas Perluasan Ruang Lingkup Keuangan Negara Dan Implikasinya Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah. Badan Penerbit FHUI. Jakarta. Hlm 236
Dibyo Soemantri Priabodo. 2004. Perjalanan Panjang dan Berliku Refleksi BUMN 1993-2003: Sebuah Catatam Tentang Peristiwa, Pandangan dan Renungan. Media Pressindo. Yogyakarta. Hlm 15.
Fachry Ali, Bahtiar Effendy, dkk.1999. The History of Bapindo: The Social and Economic Aspects of A Financial Institutioni. LSPEU Indonesia. Jakarta.
Houben, Vincent. J.H. 2002. Java in the 19th Century: Consolidation of a Territorial State. Dalam Howard Dick, Vincent J.H. Thomas Lindbald dan Thee Kian Wie (eds.). The Emergence of A Nation Economy: An Economic History of Indonesia, 1800-2000. Cross West, NSW dan Honolulu: Allen & Unwin and University of Hawa’i press. Muchayat. 2010. BUMN Retorika, DInamika dan Realita (Menuju BUMN yang Berdaya Saing). Gagas Bisnis. Jakarta
Kementerian BUMN, Transformasi BUMN Menuju Pentas Global: Lokomotif Perekonomian, Jakarta: PT. Tempo Inti Media, 2011. Perusahaan Listrik Negara (PLN), Wikipedia.
Riant Nugroho D. 2001. Reinventing Indonesia. Elex Media. Jakarta. 79
Pengaruh Penyertaan Modal Pemerintah
Riant Nugoroho D dan Ricky Siahaan. 2005. BUMN Indonesia: Isu, Kebijakan, dan Strategi. Elex Media Komputindo. Jakarta. Hlm xvi. Savas. E.S. 1987. The Key to Better Government. New Jersey: Chatham House.
Simatupang, Mawardi. 2006. BUMN pasca UU BUMN. Dalam BUMN Indonesia: Isu, Kebijakan, dan Strategi. Penyunting Riant Nugroho D dan Ricky Sihaan. Gramedia. Jakarta. “Solusi Dalam Mengatasi Permasalahan BUMN”. (http://www.sohibuliman. net/index.php?option=com_content&view=article&id=322:solusidalam-mengatasi-permasalahan-bumn&catid=37:artikel&Itemid=62, diakses 12 September 20130). Sheila B. Kamerman dan Alfred J. Khan. Privatization and the Welfare State (t.t.:Priceton, t.t), hlm 113. Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara.
80
TULISAN KEEMPAT
PRIVATISASI BADAN USAHA MILIK NEGARA DI INDONESIA: PERAN NEGARA DAN STRATEGI KEBIJAKAN Rafika Sari*
*
Penulis adalah Peneliti Pertama dalam Bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik di Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi, Sekretariat Jenderal DPR RI. Alamat e-mail:
[email protected]
BAB I PENDAHULUAN
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merupakan badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.1 Pada bulan Januari 2011, terdapat 141 BUMN yang bergerak di hampir semua lini bisnis dan sektor usaha yang ada di Indonesia, bahkan di beberapa sektor usaha, BUMN merupakan penguasa pasar. Berdasarkan bentuk hukumnya, 14 BUMN berbentuk Perusahaan Umum (Perum), sementara sebagian besar lainnya berbentuk Perseroan Terbatas atau disingkat Persero. Bahkan, delapan belas BUMN Persero diantaranya telah menjadi Perseroan Terbuka. Kedua bentuk BUMN tersebut memiliki maksud dan tujuan pendirian yang berbeda. BUMN Perum bertujuan untuk menyediakan barang dan jasa (public service) yang berkualitas dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat, sementara sebagai suatu entitas bisnis, BUMN Persero juga diarahkan untuk menghasilkan keuntungan (profit motive). Dalam realisasinya, kedua fungsi, baik public service mapun profit motive ini sering di-tradeoff-kan. Namun untuk menyatukan keduanya sangatlah sulit. Bahkan hal ini sering dijadikan senjata bagi politikus.2 Disatu sisi, BUMN sebagai public service harus mempertanggungjawabkan keuangan negara yang harus diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan disisi lainnya, BUMN yang berfungsi sebagai profit motive, harus diperiksa oleh Kantor Keuangan Publik (KKP). Saat ini, tujuan BUMN lebih menonjol sebagai agent of development dibandingkan sebagai suatu entitas bisnis. Menurut Linda Low yang dikutip oleh Aminuddin Ilmar3 bahwa fenomena yang demikian tidak hanya berlaku di Indonesia, tetapi umum terjadi pada semua negara khususnya negara berkembang. Ketidakkonsistenan pemerintah terlihat melalui kebijakan pembinaan dan pengembangan BUMN yang mengarahkan semua bentuk
1 2
3
Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No.19 Tahun 2003 tentang BUMN. Hasil Wawancara dengan Bpk. Didik Susetyo. Dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Sriwidjaja, 7 Mei 2012. Dalam FGD Penelitian Kelompok Tentang Badan Usaha Milik Negara. Aminuddin Ilmar. Hak Menguasai Negara Dalam Privatisasi BUMN. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2012. Hal.91.
83
Privatisasi Badan Usaha Milik Negara di Indonesia
usaha menjadi usaha Persero, padahal maksud dan tujuan antara BUMN Persero dan Perum sangatlah berbeda.
Sumber: Nota Keuangan dan APBN Tahun Anggaran 2013.
Gambar 1. Realisasi Penerimaan Negara Atas Laba BUMN Tahun 2006-2011.
Gambar 1 menunjukkan bahwa BUMN di Indonesia belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penerimaan negara. Kontribusi BUMN terhadap APBN pada tahun 2011 hanya sebesar Rp28,2triliun atau 8,5% dari total penerimaan negara bukan pajak (PNBP), menurun dari tahun sebelumnya yaitu sebesar Rp30,1 triliun atau 11,2% dari PNBP pada tahun 2010. Padahal, BUMN memerlukan dana dalam mengembangkan usahanya, yang selama ini diperoleh melalui laba perusahaan yang ditahan dan peningkatan modal disetor. Berdasarkan kinerja, Kementerian BUMN mengklasifikasikan BUMN menjadi 2, yaitu4: (a) kategori rugi/akumulasi rugi dimana tidak ditarik dividen, dan laba yang dimiliki digunakan untuk menutupi kerugian sebanyak 32 BUMN dan (b) kategori laba namun tidak ditarik dividen5 karena kondisi khusus sebanyak 39 BUMN. Melihat hal ini, sebagian besar BUMN di Indonesia masih menerapkan kebijakan residual dividen6, dimana perusahaan menggunakan laba ditahan untuk memenuhi kebutuhan modal sendiri. Consler7 mengemukakan bahwa perusahaan besar cenderung mengikuti kebijakan tradisional dividen stabil yang membayar dividen setiap tahun, sementara perusahaan kecil lebih mungkin untuk mengikuti pendekatan residual, yang membayar dividen secara acak (tidak setiap tahun), bahkan pendekatan irrelevance, yang berhenti membayar dividen. Dengan demikian
4 5
6
7
Kementerian BUMN dalam Nota Keuangan APBN Tahun Anggaran 2012. Hal. III-31. 2012. Yang termasuk dalam kategori laba namun tidak ditarik dividen adalah BUMN yang mendukung Jaminan Sosial (PT. Askes, PT. Jamsostek, PT. Taspen dan PT. Asbri), BUMN yang berfungsi dalam pelestarian lingkungan (Perum Perhutani), BUMN yang berfungsi mengembalikan fungsi hidrologis di Jawa (Perum Jasa Tirta I & II), dan BUMN kecil atau yang memiliki kesulitan likuiditas. Eugene and Joel Houston. Fundamentals of Financial Management. concise 7 th edition. Mason, OH.: South – Western. 2012. John Consler, Greg M. Lepak and Susan F. Havranek. “Dividend Stability and Firm Characteristics”. Journal of Finance Issues: Summer 2013. p.1, (Dalam http://jofi.aof-mbaa. org/38om74/9, diakses tgl 25 Juli 2013).
84
Rafika Sari
bahwa dividen BUMN yang diinvestasikan kembali pada perusahaan menjadi laba ditahan akan berguna sekali bagi modal perusahaan dan memberikan multiplier effect yang lebih besar dibandingkan sebagai kontribusi BUMN terhadap APBN atas saham yang dimiliki oleh negara. Namun tidak dipungkiri, bahwa ada beberapa BUMN yang sebenarnya telah memiliki kinerja yang cukup baik, seperti yang terjadi pada tahun 2007 dimana terjadi peningkatan dividen terutama disebabkan oleh meningkatnya laba BUMN non-Pertamina yang berasal dari sektor pertambangan dan perkebunan.8 Sementara melalui penambahan penyertaan modal negara (PMN), memerlukan proses hukum yang panjang, karena harus meminta persetujuan terlebih dahulu kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)9. Seperti yang dialami oleh tiga BUMN pada pertengahan tahun 2013, PT. Hutama Karya, PT. Bahana Pembinaan Usaha Indonesia dan PT. Krakatau Steel Tbk (KRAS), yang pencairan dananya ditolak oleh DPR dengan alasan tanpa melalui mekanisme pembahasan di DPR.10 Selain itu, juga mempertimbangkan ketersediaan dana pemerintah (APBN), karena akan berpotensi menambah hutang negara. Dengan keterbatasan dana yang dimiliki oleh Pemerintah untuk menyuntik BUMN, maka menerbitkan saham dengan cara penawaran saham ke publik atau yang dikenal sebagai privatisasi merupakan alternatif lain bagi BUMN untuk mendapat tambahan dana. Di Indonesia, privatisasi BUMN pertama kali dilakukan pada tahun 1991, dimana pemerintah menjual 35% saham PT. Semen Gresik (SG), sehingga SG merupakan BUMN pertama yang go public dengan menjual 40 juta lembar saham kepada masyarakat melalui IPO dengan nilai nominal Rp1.000,- per saham dan harga penawaran Rp7.000,- per saham.11 Pemerintah memutuskan kebijakan privatisasi BUMN sebagai strategi meningkatkan efisiensi dan pertumbuhan ekonomi untuk mendapatkan dana tambahan guna menutupi defisit APBN. Namun kebijakan privatisasi dianggap merugikan negara ketika saham yang dibeli oleh Cemex S.A. de C.V. (perusahaan semen global yang berpusat di Mexico) terlalu murah, terdapat isu insider trading dan hilangnya kendali negara atas BUMN tersebut karena komposisi kepemilikan saham
8 9
10
11
Nota Keuangan & APBNP Tahun Anggaran 2008, hal.II-9. Pasal 3 Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara. “Komisi VI DPR RI Tolak Pencairan Dana PMN ke Lima BUMN”. Tribune.Com. 25 Juni 2013. (Dalam http://www.tribunnews.com/bisnis/2013/06/25/komisi-vi-dpr-ri-tolakpencairan-dana-pmn-ke-lima-bumn, diakses 10 Agustus 2013). http://www.britama.com/index.php/2012/12/sejarah-dan-profil-singkat-smgr/, diakses tgl 15 Juli 2013.
85
Privatisasi Badan Usaha Milik Negara di Indonesia
negara yang berkurang. Tindakan privatisasi yang ditempuh saat kinerja BUMN merugi justru semakin memberatkan APBN. Di sisi lain, privatisasi dipandang memberikan nilai positif bagi perusahaan karena faktor transparansi, dimana masyarakat ikut berperan aktif dalam pengawasan kinerja perusahaan. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah: (a) mendeskripsikan faktor yang mendorong privatisasi BUMN di Indonesia; (b) mendeskripsikan kebijakan privatisasi BUMN di Indonesia; (c) menganalisis bagaimana dampak privatisasi terhadap kepemilikan saham negara pada BUMN dan peran negara dalam penguasaan BUMN paska privatisasi; dan (d) merumuskan strategi pembaharuan kebijakan privatisasi dalam pengembangan BUMN untuk meningkatkan kinerja BUMN. Dan juga dibahas apakah privatisasi sebaiknya dilakukan lebih dahulu kemudian menyehatkan (restrukturisasi) perusahaan ataukah perusahaan direstrukturisasi terlebih dahulu lalu diprivatisasi.
86
BAB II KERANGKA PEMIKIRAN PENGUASAAN NEGARA TERHADAP PRIVATISASI BUMN
A. KONSEP KEPEMILIKAN NEGARA TERHADAP BUMN Menurut Undang-Undang No.19 Tahun 2003 tentang BUMN, kekayaan negara yang dipisahkan adalah kekayaan negara yang berasal dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal negara pada Persero/Perum/perseroan terbatas lainnya. Pengertian “kekayaan negara yang dipisahkan” sering menimbulkan multi tafsir antara hak dan kewajiban negara terhadap BUMN apakah negara hanya berfungsi sebagai penatausahaan atau ikut bertanggung jawab penuh atas pengelolaan kekayaan negara tersebut. Tabel 1. Persepsi Keuangan Negara
PERSEPSI KEUANGAN NEGARA SEHARUSNYA
YANG TERJADI
• Kekayaan langsung negara pada BUMN sebatas saham, kekayaan BUMN adalah kekayaannya sendiri.
• Kekayaan BUMN dianggap sebagai kekayaan Negara.
• Piutang BUMN adalah piutang BUMN itu sendiri.
• Piutang BUMN dianggap piutang Negara, walaupun hutang BUMN tak diakui sebagai hutang Negara.
Kerugian BUMN adalah kerugian perusahaan, bukan kerugian Negara, masuk dalam ranah perdata dan pidana umum.
• Badan privat.
• Hasil sitaan masuk ke kas perusahaan.
• Pengadaan hutang luar negeri cukup izin RUPS. • Tuntutan pembayaran pesangon, tuntutan pembayaan BUMN merupakan urusan BUMN.
• Kerugian BUMN dianggap kerugian Negara, masuk dalam ranah hukum Tipikor.
• Badan Publik.
• Hasil sitaan masuk ke kas Negara
• Pengadaan hutang luar negeri izin Tim PKLN. • Mantan karyawan dan menuntut pembayaran Pemerintah.
kreditor kepada
Sumber: Kementerian BUMN dalam FGD. BUMN: Kedudukan, Peran & Tantangan. 14 Feb. 2012.
87
Privatisasi Badan Usaha Milik Negara di Indonesia
Dian Puji Simatupang12 berpendapat bahwa status keuangan BUMN merupakan kekayaan negara yang dipisahkan, namun pengelolaan atas BUMN harus dilakukan layaknya suatu korporasi. Kekayaan negara yang dipisahkan perlu ditegaskan bukan sebagai kekayaan negara (konsep inbreng), negara hanya menatausahakan modal yang dipisahkan, bukan menjadikannya sebagai milik. Dengan demikian bahwa penyertaan modal langsung pada BUMN perlu ditegaskan apakah sebagai modal disetor ataukah aset. Bagi BUMN Persero, penguasaan negara terhadap BUMN hanya sebatas saham. Pengertian kekayaan negara yang dipisahkan harus diterjemahkan sebagai saham utama yang dipegang oleh Kementerian Keuangan, sehingga BUMN merupakan milik pemerintah (dalam hal ini Kementerian Keuangan) yang modalnya ditanamkan di BUMN bersangkutan. Seluruh keuntungan BUMN menjadi keuntungan negara yang disetorkan dalam bentuk pajak penghasilan, dividen dan dana yang disisihkan sebagai pemupukan modal. Demikian halnya dengan kerugian, bahwa kerugian BUMN merupakan kerugian perusahaan. Namun yang menarik bahwa yang terjadi sekarang tidak demikian, kekayaan BUMN dianggap sebagai kekayaan negara dan kerugian BUMN adalah kerugian negara. Tabel 2. Status Hukum Keuangan Dalam Keuangan Publik
Sektor Keuangan
Keuangan Daerah Keuangan BUMN
Keuangan Bank Indonesia
Regulation
Governance
Dipisahkan
Badan Hukum
Diserahkan Dipisahkan
Sumber:Dian Puji N. Simatupang, 26 Jan 2012.
APBD
Korporat
Risk
Condition Risk Condition Risk Condition Risk
B. KONSEP DAN METODE PRIVATISASI BUMN Privatisasi BUMN13 di Indonesia dirumuskan sebagai tindakan menjual saham Persero, baik sebagian maupun seluruhnya kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat. Hal ini dilakukan pemerintah setelah RAPBN disetujui oleh DPR yang didalamnya terdapat target penerimaan negara dari hasil privatisasi. Adapun dasar hukum Privatisasi BUMN di Indonesia adalah sebagai berikut: (a) Pasal 74 – 84 UndangUndang No.19 Tahun 2003 tentang BUMN; (b) Peraturan Pemerintah No. 33
12
13
Dian Puji Simatupang. Kedudukan BUMN: Dalam Perspektif Hukum Keuangan Publik. Diskusi dengan Tim Perancangan RUU BUMN Setjen Dewan Perwakilan Rakyat RI.26 Jan 2012. Pasal 1 Angka 2 Peraturan Pemerintah No.33 Tahun 2005 tentang Tata Cara Privatisasi Persero.
88
Rafika Sari
Tahun 2005 tentang Tata Cara Privatisasi Persero Jo Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2005 tentang Tata Cara Privatisasi Persero; (c) Keputusan Presiden No. 18 Tahun 2006 tentang Pembentukan Komite Privatisasi Persero; dan (d) Peraturan Menteri BUMN No. PER-01/MBU/2010 tentang Cara Privatisasi, Penyusunan Program Tahunan Privatisasi dan Penunjukan Lembaga dan/atau Profesi Penunjang serta Profesi Lainnya. Hingga kini, terjadi pro-kontra atas penggunaan istilah privatisasi terhadap BUMN. Menurut Prasetiantono14, istilah privatisasi BUMN lebih diartikan sebagai suatu divestasi, karena dianggap lebih netral dan luas karena investor baru bisa saja merupakan pihak asing swasta maupun pemerintah, tidak harus swasta domestik. Oleh karena itu, impementasi privatisasi BUMN haruslah dilihat dan dibahas secara kasus per kasus karena adanya keunikan masingmasing. Sementara itu, Sri-Edi Swasono15, privatisasi merupakan alat untuk melepas kontrol dan kendali negara terhadap pasar, sehingga menyarankan untuk tidak mudah menggunakan istilah privatisasi dalam konteks BUMN, dan tujuan yang hendak dicapai bukanlah privatisasi melainkan istilah “go public” di mana kepemilikan BUMN meliputi masyarakat luas yang lebih menjamin arti “usaha bersama” berdasar atas “asas kekeluargaan”. Berbeda halnya di bidang pasar modal, privatisasi dipahami sebagai pengembalian kembali saham yang dimiliki oleh masyarakat kepada kepemilikan subjek hukum perdata tertentu atau lebih dikenal dengan istilah “go private”. Di Indonesia, sektor usaha BUMN Persero yang bisa diprivatisasi adalah industri/sektor usaha yang kompetitif dan yang terkait dengan teknologi yang cepat berubah. Sementara itu, BUMN Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah (a) yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan; (b) yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan masyarakat; dan (c) yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas dilarang untuk diprivatisasi.16
14
15
16
A Tony Prasetiantono. “Ambiguitas Privatisasi dan Masa Depan BUMN.” 12 Oktober 2012. (Dalam http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=2050&coid=2&caid=19&gid=4, diakses 1 Agustus 2013). Sri Edhi Swasono. “Pasal 33 UUD ’45 Harus Dipertahankan, Jangan Dirubah, Boleh Ditambah Ayat“. (Dalam http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=istilah%20privatisasi%20 bumn%20go%20private&source=web&cd=2&cad=rja&ved=0CDEQFjAB&url=http%3A% 2F%2Fwww.bappenas.go.id%2Fget-file-server%2Fnode%2F8578%2F&ei=B8kHUrnCF 8errAfLhIHwDg&usg=AFQjCNFevYSPPH3r2E_LBKuPxxBeuc7RhA&bvm=bv.50500085,d. bmk, diakses 2 Agustus 2013). Pasal 7 Peraturan Pemerintah No.33 Tahun 2005 tentang Tata Cara Privatisasi Persero.
89
Privatisasi Badan Usaha Milik Negara di Indonesia
Menurut Simatupang17, sektor usaha BUMN yang tetap dikuasai dan dimiliki negara (most-regulated) yang dimaksud adalah (a) bidang yang menyediakan barang publik murni (pure public goods); (b) bidang redistribusi pendapatan/keadilan sosial; (c) bidang pendidikan; (d) bidang pertahanan dan keamanan. Dengan kata lain, di luar sektor tersebut diserahkan kepada swasta, dan negara hanya bertindak sebagai pengatur, penata, penegak hukum dan penjamin rasa aman. Adapun maksud suatu BUMN Persero dilakukan privatisasi adalah untuk18: (a) memperluas kepemilikan masyarakat atas Persero; (b) meningkatkan efisiensi dan produktivitas perusahaan; (c) menciptakan struktur keuangan dan manajemen keuangan yang baik/kuat; (d) menciptakan struktur industri yang sehat dan kompetitif; (e) menciptakan Persero yang berdaya saing dan berorientasi global; dan (f) menumbuhkan iklim usaha, ekonomi makro, dan kapasitas pasar. Salah satu pandangan berpendapat bahwa makna privatisasi adalah mengurangi keterlibatan atau intervensi pemerintah ke dalam proses ekonomi.19 Setidaknya terdapat enam alasan yang dikemukakan kaum neoliberal terhadap privatisasi BUMN. Pertama, mengurangi beban keuangan pemerintah. Kedua, meningkatkan efisiensi pengelolaan perusahaan. Ketiga, meningkatkan profesionalisme dalam pengelolaan perusahaan. Keempat, mengurangi campur tangan birokrasi pemerintah terhadap pengelolaan perusahaan. Kelima, mendukung pengembangan pasar modal dalam negeri. Keenam, sebagai flag-carrier (pembawa bendera) untuk go international. Gambar 2 menunjukkan ada tiga metode privatisasi pada BUMN di Indonesia, yaitu20: (1) melalui pasar modal, (2) kepada manajemen/karyawan, dan (3) langsung kepada investor. Besarnya dana yang dapat dihimpun tergantung dari strategi dari privatisasi itu yang dipilih.
17
18 19
20
Dian Puji Simatupang. Kedudukan BUMN: Dalam Perspektif Hukum Keuangan Publik. Diskusi dengan Tim Perancangan RUU BUMN Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat RI.26 Jan 2012. Pasal 74 Undang-Undang No.19 Tahun 2003 tentang BUMN. Ishak Rafick dan Baso Amir. BUMN EXPOSE Menguak Pengelolaan Aset Negara Senilai 2.000 Triliun Lebih. Ufuk Press. Jakarta. 2010. Pasal 78 Undang-Undang No.19 Tahun 2003 tentang BUMN.
90
Rafika Sari
METODE PRIVATISASI Melalui Pasar Modal
Kepada Manajemen dan/atau Karyawan Saham Baru (Dilusi Saham Pemerintah)
Langsung kepada Investor
Saham Lama (Divestasi saham Pemerintah)
Kas Perusahaan
APBN
Sumber: Kementerian BUMN, Tahun 2012.
Gambar2. Metode Privatisasi
Berdasarkan metode diatas, Riant Nugroho21 mengemukakan bahwa strategi privatisasi yang dilakukan untuk mendapatkan tambahan dana ada 3 (tiga) macam yaitu Public Offering, Right Issue, dan Strategic Sales (Tabel 3). Beberapa metode yang termasuk dalam strategic sales adalah strategic private sale, new private investment, management/ employee buy out, dan fragmentation. Khusus strategic sales, strategi ini juga dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja BUMN dengan melibatkan strategi baru perusahaan, yang berupa teknologi, proses produksi, pengelolaan sumber daya manusia, dan proses manajemen. Jenis Public Offering Right Issue
Strategic Sales
Tabel 3. Strategi Privatisasi
Definisi: Menjual sebagian saham yang dikuasai Pemerintah kepada umum/investor publik Menjual sebagian saham yang dimiliki Pemerintah kepada publik. Dilakukan setelah BUMN yang bersangkutan terlebih dahulu melaksanakan IPO. Menjual saham BUMN yang dimiliki Pemerintah kepada investor tunggal atau sebuah grup investor.
Wewenang Pemerintah: Membatasi jumlah saham yang dijual agar tidak melampaui batas mayoritas Membatasi jumlah saham yang ditawarkan agar tidak melampaui batas mayoritas kepemilikan. Secara selektif memilih investor yang akan dilibatkan.
Sumber: Manajemen Privatisasi BUMN. Riant Nugroho dan Randy R. Wrihatnolo. 2008.
Menurut Purwoko22, privatisasi BUMN dapat ditempuh melalui beberapa metode, antara lain melalui penjualan saham di pasar modal, private placement
21
22
Riant Nugroho Dwijowijoto dan Randy R. Wrihatnolo. Manajemen Privatisasi BUMN. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. 2008. Purwoko. “Model Privatisasi BUMN Yang Mendatangkan Manfaat Bagi Pemerintah dan Masyarakat Indonesia”. Kajian Ekonomi dan Keuangan Vol. 6. No.1 . 2002. Hal 11-15.
91
Privatisasi Badan Usaha Milik Negara di Indonesia
oleh investor dalam negeri dengan penyertaan di bawah 50%, private placement oleh investor dalam negeri dengan penyertaan di atas 50%, private placement oleh investor luar negeri dengan penyertaan di bawah 50%, private placement oleh investor luar negeri dengan penyertaan di atas 50%. Setiap metode memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Di antara metode tersebut, privatisasi BUMN dengan metode private placement oleh investor luar negeri dengan penyertaan di atas 50% akan memberikan manfaat yang paling optimal, antara lain peningkatan kemampuan untuk mengakses peluang di pasar internasional, adanya transfer teknologi, terjadinya perubahan budaya kerja yang positif, serta penerapan prinsip-prinsip good corporate governance dalam pengelolaan BUMN. Dari berbagai pengertian dan konsep privatisasi BUMN sebagaimana telah dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa privatisasi BUMN pada dasarnya adalah pemindahalihan sebagian atau seluruhnya aset milik negara ke publik/swasta yang bertujuan untuk mengurangi beban keuangan pemerintah, dan meningkatkan efektifitas dan efisiensi perusahaan dengan adanya peningkatan peran serta swasta dan masyarakat. Namun perlu pemahaman yang tepat terhadap penggunaan istilah privatisasi dalam kaitannya dengan BUMN apakah yang dimaksud adalah “go private” ataukah “go public”, sehingga perlu pendefinisian kembali peran negara terhadap BUMN tersebut.
92
BAB III HASIL ANALISIS
A. FAKTOR PENDORONG DAN KERUGIAN PRIVATISASI Pada tahun 1991, Pemerintah memutuskan privatisasi Semen Gresik untuk mendapatkan tambahan modal bagi perusahaan. Dana tersebut digunakan untuk pembangunan pabrik semen baru di Tuban, Jawa Timur, dan proyek Optimalisasi Pabrik II Gresik untuk meningkatkan kapasitas produksi semen menjadi 1,25 ribu juta ton semen ton pertahun. Begitupula dengan PT. Garuda Indonesia, salah satu BUMN penerbangan, dimana kinerja perusahaan ini selama semester I tahun 2010 mengalami penurunan laba bersih yang disebabkan karena langkah ekspansi yang dilaksanakan perseroan setelah sukses melakukan transpormasi bisnis dalam 4 tahun terakhir, dan mengalami kerugian karena karakterisitik penerbangan. Dengan demikian adanya privatisasi, perusahaan ini akan memiliki dana yang digunakan untuk membeli 24 pesawat.23 Sementara itu pada tahun 2009, PT. Krakatau Steel diprivatisasi oleh pemerintah untuk mendapatkan dana bagi program revitalisasi dan peningkatan kapasitas produksi. Beberapa proyek strategis diantaranya adalah proyek ironmaking - Kalimantan Selatan (joint venture dengan PT. Antam Tbk.)- revitalisasi fasilitas produksi dan penghematan energi, proyek blast furnace dan modernisasi steelmaking, joint venture dengan Posco, peningkatan kapasitas pabrik HSM dan peningkatan kapasitas pelabuhan dan pembangkit listrik.24 Alasan PT. Telkom diprivatisasi pada tahun adalah karena faktor inefisiensi, kelebihan sumber daya manusia dan produktivitas rendah. Setelah privatisasi, produktivitas meningkat dari 54 pelanggan perkaryawan pada tahun 1994 menjadi 84 pelanggan perkaryawan bahkan pada tahun 2001 menjadi 225 pelanggan perkaryawan.25 Demikian halnya dengan PT “IPO Garuda dilakukan bertahap”. Bisnis Indonesia. 14 Agustus 2010: Hal. 3. “Anggito Abimanyu: Kewajaran Saham Krakatau Steel”. 8 November 2010. Koran Digital Majalah Tempo Interaktif. (Dalam http://majalah.tempointeraktif.com/id/ arsip/2010/11/08/KL/mbm.2010 1108.KL13 5069.id.html, diakses 5 Agustus 2013). 25 Riant Nugroho Dwijowijoto dan Randy R. Wrihatnolo. Manajemen Privatisasi BUMN. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. 2008. Hal. 84-85. 23 24
93
Privatisasi Badan Usaha Milik Negara di Indonesia
Perusahaan Gas Negara (PGN), privatisasi yang dilakukan pada tahun 2006 didorong oleh peningkatan kinerja PGN yang meningkat karena salah satunya proyek besar seperti pipanisasi dari Sumatera-Jawa yang akan diselesaikan tahun ini juga.26 Dari berbagai alasan di atas, maka faktor yang mendorong privatisasi pada BUMN dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua), yaitu (1) internal perusahaan, dan (2) eksternal perusahaan. Yang termasuk penyebab internal BUMN adalah sebagai berikut: (a) banyak aset/aktiva tetap BUMN yang bermasalah, belum optimal pendayagunaannya, (b) sumber daya manusia BUMN yang belum optimal/belum merata, (c) sinergi BUMN masih ragu-ragu, dan (d) kegamangan melakukan proses bisnis karena persepsi keuangan negara. Seperti yang dipaparkan di bab sebelumnya, bahwa sebagian besar BUMN di Indonesia tidak memiliki kinerja yang baik, bahkan seringkali menyedot anggaran pemerintah dengan mengharapkan investasi untuk operasional berupa penambahan penyertaan modal negara (PMN). Menurut Riant Nugroho27, privatisasi yang dilakukan di Indonesia mengindikasikan adanya kegagalan pasar (market failure) yang ditandai adanya inefisien, informasi pasar kurang sempurna, biaya sosial yang tinggi, dan intervensi dari pemerintah. Padahal, ketika BUMN diprivatisasi, ada kerugian yang dialami oleh Indonesia28. Pertama, monopoli swasta dapat meningkatkan harga. Beberapa BUMN di Indonesia memiliki unsur monopoli alami (di bidang listrik, gas, air, kereta api). Oleh karena itu, privatisasi dapat menciptakan monopoli swasta yang akan berusaha menaikkan harga yang dibayarkan oleh masyarakat dan mengurangi surplus konsumen. Salah satu contohnya adalah wacana privatisasi PT. PLN. Tahapan yang dilakukan adalah membedakan wilayah penyediaan tenaga listrik antara yang berkompetisi dan belum/tidak berkompetisi. Pada wilayah yang berkompetisi direncanakan pembangkit, transmisi, distribusi, dan retail yang selama ini dikelola terpusat, diberi peluang untuk ditangani terpisah oleh beberapa badan usaha yang berbeda (vertical unbundling). Sementara untuk wilayah yang belum/tidak menerapkan kompetisi dilakukan secara terintegrasi.29 Yang perlu diwaspadai bahwa ketika terjadi unbundling PLN secara vertikal, setiap badan usaha yang menangani setiap
“Divestasi PGN Tunggu Lampu Hijau Komite Privatisasi”. Detik Finance, 4 September 2006. (Dalam http://finance.detik.com/read/2006/09/04/170148/668070/6/divestasi-pgntunggu-lampu-hijau-komite-privatisasi, diakses 16 Agustus 2013). 27 Riant Nugroho Dwijowijoto dan Randy R. Wrihatnolo. Manajemen Privatisasi BUMN. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. 2008. Hal 167-168. 28 “Arguments against Privatisation”. (Dalam http://www.economicshelp.org/macro economics/privati sation/disadvantages-privatisation.html, diakses 26 Juli 2013). 29 Pasal 15 dan Pasal 20 Undang-Undang No.20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan. 26
94
Rafika Sari
usaha akan menargetkan keuntungan perusahaan, yang menyebabkan harga jual listrik akan mahal. Hal ini akan menguntungkan kelompok tertentu, dan menyengsarakan masyarakat. Kedua, perubahan pemegang saham terhadap dividen. Apabila negara sebagai pemegang saham penuh, maka dividen akan kembali ke negara. Hal ini akan memungkinkan pajak yang lebih rendah dan mendorong pengeluaran negara yang lebih tinggi untuk pelayanan publik. Bagi pemegang saham, privatisasi sangat menguntungkan, karena dividen akan dinikmati oleh sejumlah kecil pemegang saham itu sendiri. Ketiga, pelayanan publik tidak memerlukan insentif laba. Perusahaan swasta mungkin berusaha untuk memotong kualitas pelayanan untuk menekan biaya dan meningkatkan profitabilitas. Keempat, eksternalitas diabaikan dalam pasar bebas. Beberapa BUMN saat ini masih mengemban fungsi public service obligation (PSO) seperti PT. Kereta Api Indonesia (KAI) dalam bidang perkeretapian, PT. Pupuk Indonesia dalam bidang pupuk, PT. Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni) bidang angkutan laut, dan PT. Pos Indonesia (Posindo) dan Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN). Kelima BUMN ini memiliki eksternalitas positif. Di Indonesia, kereta api memainkan peran dalam mengurangi kemacetan lalu lintas. Moda ini merupakan sarana transportasi yang strategis yang digunakan oleh masyarakat, di samping digunakan untuk sarana pengangkut batubara dan hasil bumi lainnya. Dengan berubahnya status menjadi perusahaan swasta, akan mengabaikan eksternalitas positif dengan meningkatkan harga tiket tanpa adanya subsidi. Oleh karena itu, pada BUMN dengan manfaat eksternal, wacana privatisasi dapat diterapkan dengan kriteria dan pola tertentu. Kriteria yang dikemukakan oleh Jusman S.D.30 sebagai kebijakan privatisasi pada BUMN perkeretaapian adalah privatisasi khusus untuk jalur angkutan barang (batubara dan hasil bumi lainnya) Kelima, kurangnya tanggung jawab. Dalam kasus privatisasi unbundling PLN secara vertikal, proses privatisasi menyebabkan fragmentasi usaha yang terpecah-pecah oleh beberapa badan usaha. Hal ini menyebabkan ketidakpastian atas yang bertanggungjawab atas isu-isu seperti keamanan dan investasi. Dari berbagai paparan diatas, disimpulkan bahwa suatu kebijakan privatisasi diputuskan saat perusahaan memerlukan tambahan modal dari pihak eksternal perusahaan, baik yang berasal dari masyarakat maupun dari perusahaan lain. Privatisasi dapat berimplikasi positif bagi kinerja perusahaan, namun keputusan privatisasi perlu dipertimbangkan kembali
30
Jusman Syafii Djamal. “Pemerintah Belum Akan Privatisasi PT. KAI”. Antara News.Com. (Dalam http://www.antaranews.com/print/79839/list-of-key-grammy-award-winners, diakses 10 Agustus 2013).
95
Privatisasi Badan Usaha Milik Negara di Indonesia
sebelum diterapkan, terutama kerugian-kerugian yang akan ditimbulkan atas kebijakan tersebut, baik bagi negara, swasta maupun masyarakat.
B. PRIVATISASI BUMN DI INDONESIA Tabel 4 menunjukkan sejumlah BUMN yang mengalami privatisasi selama kurun waktu 1991 hingga sekarang melalui metode Public Offering, Strategic Sales, Placement, dan lain-lain. Dari beberapa alternatif metode privatisasi, metode IPO yang banyak dilakukan atas BUMN di Indonesia. Thn
BUMN
1991
PT. Semen Gresik, Tbk
1995
PT. Tambang Timah, Tbk
1994 1996 1997 1998 1999 2001 2001 2001 2001 2002 2002 2002 2002
PT. Indosat, Tbk
PT. BNI, Tbk
PT. Aneka Tambang, Tbk PT. Semen Gresik, Tbk
PT. Telkom, Tbk PT. Kimia Farma, Tbk
PT. Indofarma, Tbk PT. Socfindo PT. Telkom, Tbk
PT. Indosat, Tbk
PT. Telkom, Tbk PT. TBBA, Tbk PT. WNI
Tabel 4. Privatisasi BUMN Tahun 1991-2011. Metode
Thn
BUMN
IPO
2004
PT. Pemb. Perumahan
IPO
2004
PT. Bank Mandiri, Tbk
IPO IPO IPO
Strategic Sales Placement IPO IPO
Strategic Sales Placement Placement Strategic Sales
Placement IPO
Strategic Sales
2004 2004 2006 2006 2007 2007 2009 2009 2009 2010
PT. Adhi Karya, Tbk
Employee/MBO Placement SPO
PT. BNI, Tbk
SPO
PT. Wjiaya Karya, Tbk
IPO
PT. PGN, Tbk
PT. Jasa Marga, Tbk PT. BTN, Tbk
PT. Pemb. Perumahan, Tbk
PT. Krakatau Steel, Tbk PT. BNI, Tbk
PT. Kertas Blabak
2010
PT. Garuda Indonesia, Tbk
96
Employee/MBO
PT. TBBA, Tbk
2010 2010
Metode
PT. Intirub
Placement
IPO
IPO IPO
IP O
Divestasi (eks greenshoe), Right issue Strategic Sales* Strategic Sales* IPO
Rafika Sari
2003
PT. Bank Mandiri, Tbk
IPO
2010
PT. Mandiri, Tbk
Right Issue
2003
PT. BRI, Tbk
IPO
2011
PT. Atmindo
Strategic Sales *
PT. PGB, Tbk
IPO
2003
2003
PT. Indocement TP, Tbk
Strategic Sales
2011
2011
PT. Kertas Basuki Rachmat PT. Jakarta International Hotel Development, Tbk
Strategic Sales*
Drip Sale (pasar modal)
Keterangan: MBO: Management Buy Out, IPO: Initial Public Offering; SPO: Secondary Public Offering. * Strategic Sales (existing shareholder). Sumber: Kementerian BUMN, Tahun 2012.
Dibawah ini adalah beberapa kebijakan privatisasi BUMN di Indonesia beserta permasalahan yang timbul akibat privatisasi. a. Studi Kasus: Privatisasi BUMN PT. Semen Gresik (SG) Dengan melepas saham 14% melalui Strategic Sales pada tahun 1998, kepemilikan saham negara pada SG berubah dari 65% menjadi 51%. Sebagai akibat privatisasi, Cemex yang berhasil membeli 14% saham negara melalui dan kemudian membeli kepemilikan saham publik melalui bursa saham sebanyak 11,53%, sehingga total kepemilikan saham Cemex pada SG adalah 25,53%. Privatisasi SG ini diwarnai dengan kasus insider trading yang melibatkan perusahaan sekuritas milik negara seperti Danareksa dan Bahana. Keduanya merupakan pendamping dalam privatisasi tersebut. Hal ini diawali oleh harga saham yang ditawarkan terlalu murah (undervalue) sebesar Rp4.850, dan dua minggu kemudian melejit menjadi Rp10.200, sebelum akhirnya stabil pada harga Rp8.700. Dari data transaksi, terungkap bahwa ada 15 pialang yang amat agresif membeli SG, diantaranya Danareksa Sekuritas dan Bahana Securities yang diduga berperan dalam melonjaknya harga saham yang demikian drastis. Kalau saja pemerintah menjual 14% sahamnya dengan harga Rp8.700, maka dana yang dapat dihimpun seharusnya mencapai Rp900 Miliar.31 b. Studi Kasus: Privatisasi BUMN PT. Indosat Pada tahun 2002, beralihnya kepemilikan PT. Indosat yang semula milik Indonesia menjadi milik SINGTEL Singapura, melalui penjualan saham model Strategic Sales/Strategic Partner juga menimbulkan kontroversi.32
31
32
Akhmad Supriyatna. “Skandal Semen Gresik”. (Dalam http://home.indo.net.id/~hirasps/ BUMN/Misi.html, diakses 16 Agustus 2013) Oswar Mungkasa. ”Dampak Privatisasi di Indonesia: Studi Kasus: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia”. (Dalam http://www.slideshare.net/OswarMungkasa/makalahdampak-privatisasi, diakses 26 Juli 2013).
97
Privatisasi Badan Usaha Milik Negara di Indonesia
c. Studi Kasus Privatisasi BUMN PT. Perusahaan Gas Negara, Tbk (PGN) Saham negara pada PGN dijual sebanyak 5,31% (185,8 juta lembar saham) melalui metode Accelerated Global Tender (AGT), dengan hasil privatisasi sebesar Rp2.088 Miliar. Privatisasi yang direncanakan dilaksanakan pada tahun 2006 mundur ke akhir tahun 2007. Harga saham di sepanjang tahun 2006 semakin meningkat, tiba-tiba anjlok pada awal tahun 2007.33 Adapun penundaan ini disebabkan karena pembentukan Komite Privatisasi. Dalam sejarah BUMN di Indonesia, penjualan BUMN kepada investor luar negeri cenderung menimbulkan negatif dari berbagai kalangan masyarakat. Dari kasus-kasus diatas, dapat disimpulkan bahwa di Indonesia, privatisasi dengan metode strategic partner kepada satu investor asing lebih rentan dengan kontroversial daripada metode privatisasi lainnya. Sunarsip34 mengemukakan bahwa IPO merupakan metode privatisasi yang paling tepat bagi privatisasi BUMN karena lebih efektif untuk meningkatkan implementasi good corporate governance (GCG). Berbeda dengan strategic sales, privatisasi dengan metode IPO hampir tidak pernah menimbulkan kontroversi dari publik. Padahal, setidaknya ada beberapa keuntungan yang diperoleh dari metode strategic sales. Pertama, adanya aliran investasi asing (foregin direct investment) yang masuk yang mempengaruhi perekonomian nasional. Kedua, dilihat dari harga saham, harga yang ditawarkan oleh investor pada strategic sales biasanya lebih tinggi daripada harga pasar. Ketiga, adanya komitmen investor untuk meningkatkan kinerja perusahaan, baik berupa teknologi maupun tambahan investasi. Namun dibalik itu, ada juga kelemahan metode ini. Karena investor yang terpilih dilakukan secara selektif, maka pemilihan investor seringkali dilakukan kurang transparan. Metode ini juga tidak memberikan peluang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam saham. C. DAMPAK PRIVATISASI TERHADAP KEPEMILIKAN SAHAM NEGARA PADA BUMN Karena umumnya karakteristik usaha BUMN di Indonesia adalah monopoli, maka suatu kebijakan privatisasi pada hakikatnya mengandung arti melepas kendali monopolistik negara atas suatu perusahaan. Privatisasi menyebabkan subjek kepemilikan itu berpindah tangan dari negara kepada publik atau swasta.
33
34
“Pemerintah Diminta Batalkan Penjualan PGN”. Suara Karya, 27 Februari 2007. (Dalam http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=167373, diakses 16 Agustus 2013). Sunarsip. “Mencari Format Privatisasi BUMN” Yang Tepat Bagi Indonesia”. Republika, Kamis, 30 Agustus 2007. Rubrik “Pareto”, Hal. 16.
98
Rafika Sari
Batas kepemilikan saham negara pada BUMN paling sedikit adalah sebesar 51%.35 Hal ini mengandung arti bahwa negara berperan mayoritas dalam pengendalian BUMN. Adanya privatisasi atas BUMN akan mengurangi wewenang negara dalam mengontrol pengelolaan perusahaan. Dalam Undang-Undang BUMN belum diatur secara jelas berapa jumlah saham yang dapat/seharusnya dilepas ke swasta/publik. Dari Tabel 5, terlihat bahwa privatisasi berimplikasi menghapus status BUMN dan melepasnya menjadi swasta apabila jumlah saham negara setelah proses privatisasi berjumlah kurang dari 51% atau saham negara dijual seluruhnya, seperti yang terjadi pada PT. Indosat pada tahun 2002 dimana negara menjadi pemegang saham minoritas dengan kepemilikan 14,96% saham.36 Dalam hal ini, negara tidak lagi memiliki kewenangan dalam menentukan strategi dan sasaran perusahaan kedepan. Negara tidak mempunyai kapasitas untuk mengintervensi keputusan pengelola swasta yang merugikan atau bahkan yang menimbulkan biaya sosial bagi publik. Negara tidak lagi dapat mengontrol fungsi pelayanan, distribusi dan keadilan. Tabel 5. Status Perusahaan Berdasarkan Saham Negara
Besarnya saham negara pada perusahaan:
Status perusahaan:
Saham negara ≥ 51% (Saham Mayoritas)
Saham negara 51% < x < 0% (Saham Minoritas) Saham negara = 0%
Sumber: diolah.
BUMN
Perusahaan Yang Terdapat Negara Swasta Murni
Saham
Selain itu, munculnya pemilik baru sebagai akibat privatisasi dengan kepemilikan saham mayoritas akan menentukan dalam jajaran manajemen yang baru. Karenanya, Singapore Technologies Telemedia Pte. Ltd., yang menguasai 41,94% saham Indosat, mengubah susunan direksi pada rapat RUPS pada pertengahan tahun 2003 untuk menyusun strategi perusahaan menyesuaikan dengan akselarasi dan target bisnis yang akan dicapai serta memperbaiki kinerja perusahaan.37 Sementara itu, bagi perusahaan negara dengan saham negara kurang dari 51%, kepemilikan saham negara tetap dipertahankan walaupun dalam jumlah
35 36
37
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No.19 Tahun 2003 tentang BUMN. “Peta Bisnis Telekomunikasi setelah Divestasi Indosat”. Suara Merdeka. 17 Desember 2002 (Dalam http://www.suaramerdeka.com/harian/0212/17/nas6.htm, diakses 10 Agustus 2013). “Manajemen Indosat Akan Dirombak”. 25 Juni 2003. Bisnis Indonesia. (Dalam http:// cybermed.cbn.net.id/cbprtl/cybernews/detail.aspx?x=Economy&y=cybernews|0|0|3|7101, diakses 10 Agustus 2013).
99
Privatisasi Badan Usaha Milik Negara di Indonesia
minoritas untuk tujuan tertentu. Karenanya, pemerintah tetap mempertahankan saham minoritasnya pada PT. Bukopin dalam kaitannya dengan penyaluran kredit untuk perkembangan koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) di Indonesia. Pada akhir tahun 2006, jumlah perusahaan dengan saham negara kurang dari 51% berjumlah 21 perusahaan. Menurut Aminuddin38, bahwa suatu privatisasi harus berdasarkan pada sejauh mana negara tetap berperan untuk menjaga kepentingannya dan kepentingan masyarakat. Dengan kata lain, penyelenggaraan/penguasaan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak oleh usaha swasta, itu tidak boleh menghilangkan hak penguasaan negara baik dalam bentuk pengaturan dan pengawasan serta pengendaliannya. Dari paparan di atas, disimpulkan bahwa privatisasi berhubungan secara negatif terhadap besar kecilnya peran dan kendali negara atas BUMN. Semakin banyak saham negara yang dilepas ke publik/swasta, maka semakin berkurang peran dan kendali negara atas perusahaan tersebut. Sebaliknya, semakin sedikit saham negara yang dilepas ke publik/swasta, maka semakin dominannya peran dan kendali negara atas perusahaan tersebut guna untuk menyediakan barang dan jasa bagi pelayanan publik. Oleh karena itu, seyogyanya suatu kebijakan privatisasi diputuskan setelah melalui pertimbangan secara matang terhadap dampak yang akan ditimbulkan akibat kebijakan tersebut, baik terhadap masyarakat, swasta, maupun negara.
D. STRATEGI KEBIJAKAN PRIVATISASI BUMN Dalam berbagai kondisi, BUMN di Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar untuk berkembang secara optimal. Setidaknya ada beberapa hal yang perlu dilakukan atas BUMN di Indonesia yang merugi39. Pertama, menyusun skala produksi (economy scale) untuk menekan biaya produksi. Jumlah BUMN di Indonesia jauh lebih sedikit dibandingkan dengan Cina. Alasan mengapa BUMN di Cina jauh lebih berkembang daripada Indonesia adalah karena faktor “scale of economics” dimana jumlah produksi yang dihasilkan banyak dengan harga murah. Hal ini didukung karena intervensi politik terhadap BUMN di Indonesia sangat tinggi apabila dibandingkan dengan negara lain. Di beberapa negara, BUMN sudah berdiri independen, sementara BUMN di Indonesia masih dibawah Kementerian BUMN. Kedua, mengatur tolerasi kerugian dan denda/sanksi dalam regulasi. Pada tahun 2012, jumlah
38
39
Aminuddin Ilmar. Hak Menguasai Negara Dalam Privatisasi BUMN. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2012. Hal 65. Hasil Wawancara dengan Bpk. Azwardi. Dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Sriwidjaja, 7 Mei 2012. Dalam FGD Penelitian Kelompok Tentang Badan Usaha Milik Negara.
100
Rafika Sari
BUMN yang rugi sebanyak 22 BUMN. Tahun ini, jumlah BUMN yang merugi turun menjadi 11 BUMN. Walaupun jumlah BUMN rugi berkurang dari tahun lalu, namun jumlah tersebut tidak mencapai target, dari target 4 BUMN merugi pada tahun ini. Ketiga, mengatur berapa dividen yang bisa ditahan dan berapa dividen yang bisa digunakan untuk pengembangan perusahaan. Hal ini tentunya akan membantu BUMN dalam mendapatkan dana. Keempat, melalui kerja sama dengan swasta dan antar BUMN, aset tersebut menjadi salah satu kunci dalam upaya mewujudkan BUMN yang sehat, berkinerja baik, dan berdaya saing tinggi. Di Indonesia, kriteria privatisasi BUMN mengadopsi prinsip restrukturisasi BUMN sebelum masuk dalam tahap privatisasi. Artinya penyehatan perusahaan (restrukturisasi) dilakukan terlebih dahulu dalam proses corporatization sehingga mampu menghasilkan keuntungan, setelah itu baru diprivatisasi untuk mendapatkan nilai yang paling optimal. Menurut A.H. Manurung40, restrukturisasi diperlukan supaya perusahaan dapat lebih baik dan efisien. Restrukturisasi yang diperlukan adalah restrukturisasi aset perusahaan, restrukturisasi hutang dan kepemilikan perusahaan. Pertama, restrukturisasi aset dilihat dari laporan keuangan perusahaan mengenai aset fisik yang dimiliki perusahaan dan keseimbangan aset pada laporan tersebut. Perusahaan melakukan restrukturisasi aset dengan seksama dengan memilih dan aset fisik yang tidak berguna dan tidak produktif dan menjualnya, sehingga mendapat dana yang dapat memberikan manfaat bagi perusahaan. Kedua, restrukturisasi hutang dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu perpanjangan periode jatuh tempo hutang dan pembayaran bunga yang ditunda dan merubah hutang menjadi saham. Restrukturisasi perusahaan bertujuan untuk memperbaiki dan memaksimalisasi kinerja perusahaan. Pada dasarnya, perusahaan dapat menerapkan salah satu jenis restrukturisasi pada satu saat, namun bisa juga melakukan restrukturisasi secara keseluruhan karena aktifitas restrukturisasi pada dasarnya saling terkait. Umumnya sebelum melakukan restrukturisasi, manajemen perusahaan perlu melakukan penilaian secara komprehensif atas semua permasalahan yang dihadapi (due diligence). Hasil penilaian ini sangat berguna untuk melakukan langkah restrukturisasi yang perlu dilakukan berdasar skala prioritasnya. Menurut Didik Susetyo41, bahwa untuk mendukung operasional BUMN, privatisasi bisa dilakukan dengan cara penggabungan (join) dengan beberapa perusahaan swasta dan penggabungan dengan anak perusahaan BUMN.
Adler Haymans Manurung. Initial Public Offering (IPO): Konsep, Teori dan Proses. Jakarta: PT. Adler Manurung Press. 2013, Hal. 117-120. 41 Hasil Wawancara dengan Bpk. Didik Susetyo. Dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Sriwidjaja, 7 Mei 2012. Dalam FGD Penelitian Kelompok Tentang Badan Usaha Milik Negara. 40
101
Privatisasi Badan Usaha Milik Negara di Indonesia
Terkait hal tersebut, ada 2 (dua) opsi yang bisa dilakukan yaitu (a) dilakukan holding terlebih dahulu, kemudian restrukturisasi BUMN dan (b) dilakukan restrukturisasi BUMN terlebih dahulu kemudian diprivatisasi. Yang dilakukan oleh PT. Pupuk Sriwidjaja (Pusri) adalah melakukan holding terlebih dahulu kemudian perusahaan direstrukturisasi. Hal ini dipengaruhi oleh harga gas yang cukup mahal dan perusahaan tersebut sudah terikat kontrak dengan Singapura dan Korea secara jangka panjang, sehingga PT. Pusri mengutamakan ekspansi dan menekan biaya produksi dengan cara holding. Privatisasi merupakan alat atau cara pembenahan BUMN Persero untuk meningkat efisiensi, efektivitas dan nilai perusahaan. Bagi BUMN yang juga diberikan penugasan khusus42 dari Pemerintah sebagai agent of development, tentunya privatisasi BUMN akan menjadi persoalan tersendiri bagaimana BUMN tersebut dapat menyediakan barang dan jasa sekaligus sebagai agent of development. Dari Tabel 6, strategi kebijakan privatisasi ke arah divestasi diarahkan hanya untuk BUMN yang memiliki fungsi untuk mencari keuntungan semata. Sementara untuk BUMN bermisi pelayanan umum tetap dikelola dan dimiliki oleh negara. Misi Jenis Usaha
Laba Bisnis mandiri menguntungkan dilakukan oleh masyarakat (swasta), kompetitif (market driven)
Arah Kebijakan
Privatisasi ke divestasi
Pengukuran Kinerja
Produktivitas Laba
Tabel 6. Mapping BUMN
Perintisan Bisnis baru, Invetasi besar, pengadaan infrastruktur, membuka kawasan baru tidak bisa dilakukan oleh swasta karena resiko amat besar kompetitif State-isasi ke privatisasi
Efisiensi perintisan/ investasi
Pelayanan Umum Melayani segala lapisan masyarakat dengan harga terjangkau/murah berkenaan dengan strategi politik pemerintahan berkenaan dengan keamanan negara pasarnya murni/ sebagian besar dari pemerintah/negara. Regulasi dan subsidi dari negara. State-isasi
Kualitas & Luasan layanan/ biaya
Sumber: Riant Nugroho. “Managing State Corporation in The Political Turbulence”. Makalah FGD Penelitian Kelompok BUMN, P3DI, Setjen DPR RI. 16 April 2012.
Saat ini, belum ada pengaturan yang jelas mengenai besaran sektor usaha BUMN yang tidak boleh diprivatisasi, khususnya sektor usaha apa saja yang termasuk sektor usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak.
42
Pasal 66 Undang-Undang No.19 Tahun 2003 tentang BUMN.
102
Rafika Sari
Menurut Riant Nugroho43, sektor usaha BUMN yang dapat diprivatisasi namun dipertahankan adanya saham pemerintah mayoritas adalah yang bersifat semi subsidi semi proteksi, yaitu bidang angkutan laut, danau, sungai, pelabuhan dan bandara, industri strategis, pupuk dan pegadaian. Sementara untuk sektor usaha yang bersifat pasar murni dapat diprivatisasi ke arah divestasi tanpa saham pemerintah, seperti perkebunan, pertambangan dan energi, penerbangan, telekomunikasi, konstruksi dan properti, manufaktur, perdagangan, farmasi (umum), dan keuangan serta konsultan. Di luar itu, sektor usaha yang bersifat state-isasi dengan 100% saham pemerintah seperti yang bergerak dalam bidang militer, vaksin khusus, televisi publik dan kereta api, harus tetap diproteksi dan diberikan subsidi. Randy Rizky44 mengemukakan bahwa suatu BUMN diwajibkan melakukan pemeriksaan keuangan (audit) terlebih dahulu sebelum privatisasi dilakukan untuk mengetahui tingkat kesehatan perusahaan. Kesehatan perusahaan dapat diukur berdasar rasio kesehatan, yang antara lain: tingkat efisiensi (efficiency ratio), tingkat efektifitas (effectiveness ratio), profitabilitas (profitability ratio), tingkat likuiditas (liquidity ratio), tingkat perputaran aset (asset turn over), leverage ratio dan market ratio. Oleh karena itu, ada beberapa pembelajaran yang dapat dipertimbangkan dalam pembaharuan kebijakan privatisasi untuk mengembangkan BUMN. Pertama, mengatur tata cara privatisasi sehingga tidak merugikan negara, diantaranya pemilihan metode privatisasi, cara penetapan harga saham yang optimal dan waktu pelaksanaan privatisasi yang tepat. Menurut Didik Susetyo45, hal ini perlu digariskan secara tegas untuk menghindari terjadinya insider-trading dalam proses privatisasi. Kedua, mengatur jumlah saham yang diberikan kepada masyarakat. Azwardi46 mengemukakan bahwa khusus untuk unit usaha yang layak bagi masyarakat, perlu diprivatisasi dan dilepas kepada masyarakat. Kembali lagi, bahwa privatisasi hendaknya tidak dipahami sebagai suatu solusi mencari dana tambahan semata, namun dibalik itu semua, privatisasi juga perlu diwaspadai sebagai ancaman bagi eksistensi peran negara dalam mengemban fungsi pelayanan publik.
43
44
45
46
Riant Nugroho. “Managing State Corporation in The Political Turbulence”. Makalah FGD Penelitian Kelompok BUMN, P3DI, Setjen DPR RI. 16 April 2012. Randy Rizky. “Prinsip dan Teknik Menelaah Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI”. Pusat Pengembangan Akutansi dan Keuangan (PPAK), Bandung, 1 Juni 2013. Hasil Wawancara dengan Bpk. Didik Susetyo. Dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Sriwidjaja, 7 Mei 2012.Dalam FGD Penelitian Kelompok Tentang Badan Usaha Milik Negara. Hasil Wawancara dengan Bpk. Azwardi. Dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Sriwidjaja, 7 Mei 2012. Dalam FGD Penelitian Kelompok Tentang Badan Usaha Milik Negara.
103
BAB IV PENUTUP
Privatisasi merupakan tindakan yang dilakukan untuk menjual sebagian atau seluruhnya saham milik negara kepada pihak lain baik kepada masyarakat, swasta atau bahkan kepada investor asing. Pendukung privatisasi berpendapat bahwa privatisasi dapat memberikan manfaat yang baik bagi negara dan masyarakat sehingga BUMN tidak perlu sepenuhnya dimiliki oleh negara. Namun sebaliknya, bagi pihak yang menentang adanya privatisasi BUMN menilai bahwa BUMN adalah aset negara yang harus tetap dipertahankan kepemilikannya oleh negara walaupun tidak mendatangkan manfaat. Untuk itu, peran negara diperlukan untuk mengontrol dan mengendalikan pasar. Faktor yang mendorong privatisasi BUMN di Indonesia dapat berasal dari internal perusahaan, dan dari eksternal perusahaan. Yang termasuk penyebab internal BUMN adalah sebagai berikut: (a) banyak aset/aktiva tetap BUMN yang bermasalah, belum optimal pendayagunaannya, (b) sumber daya manusia BUMN yang belum optimal/belum merata, (c) sinergi BUMN masih ragu-ragu, dan (d) kegamangan melakukan proses bisnis karena persepsi keuangan negara. Privatisasi berhubungan secara negatif terhadap besar kecilnya peran dan kendali negara atas BUMN. Semakin banyak saham negara yang dilepas ke publik/ swasta, maka semakin berkurang peran dan kendali negara atas perusahaan tersebut. Sebaliknya, semakin sedikit saham negara yang dilepas ke publik/ swasta, maka semakin dominannya peran dan kendali negara atas perusahaan tersebut guna untuk menyediakan barang dan jasa bagi pelayanan publik. Strategi kebijakan privatisasi ke arah divestasi diarahkan hanya untuk BUMN yang memiliki fungsi untuk mencari keuntungan semata, sementara untuk BUMN bermisi pelayanan umum tetap dikelola dan dimiliki oleh negara. Beberapa pembelajaran yang dapat dipertimbangkan dalam pembaharuan kebijakan privatisasi untuk mengembangkan BUMN, yaitu: (a) melakukan restrukturisasi atas BUMN yang direncanakan untuk diprivatisasi, supaya dapat menambah nilai tambah perusahaan, sehingga pada saat dilepas, harga saham akan lebih tinggi; (b) mengatur tata cara privatisasi (metode, harga dan waktu privatisasi); dan (c) mengatur jumlah saham yang diberikan kepada masyarakat. 105
DAFTAR PUSTAKA
Buku Adler Haymans Manurung. Initial Public Offering (IPO): Konsep, Teori dan Proses. Jakarta: PT. Adler Manurung Press. 2013.
Aminuddin Ilmar. Hak Menguasai Negara Dalam Privatisasi BUMN. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2012.
Andriani Nurdin. Kepailitan BUMN Persero: Berdasarkan Asas Kepastian Hukum. Bandung: PT. Alumni. 2012.
Budi Winarno. Pertarungan Negara vs Pasar. Yogyakarta: Media Pressindo. Yogyakarta: PT Media Pressindo.
Eugene and Joel Houston. Fundamentals of Financial Management. concise 7 th edition. Mason, OH.: South – Western. 2012. Ishak Rafick. BUMN Expose: Menguak Pengelolaan Aset Negara Senilai 2.000 Triliun Lebih. Jakarta: UFUK PRESS. 2010.
Israr Iskandar. Elit Lokal Pemerintah dan Modal Asing: Kasus Gerakan Menuntut Spin-Off PT. Semen Padang dari PT. Semen Gresik Tbk. Jakarta: Penerbit Yayasan SAD Satria Bhakti. 2007.
Riant Nugroho Dwijowijoto dan Randy R. Wrihatnolo. Manajemen Privatisasi BUMN. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. 2008.
Jurnal/Website/Wawancara Purwoko. “Model Privatisasi BUMN Yang Mendatangkan Manfaat Bagi Pemerintah Dan Masyarakat Indonesia”. Kajian Ekonomi dan Keuangan. Vol. 6. No.1 . 2002. John Consler, Greg M. Lepak and Susan F. Havranek. “Dividend Stability and Firm Characteristics”. Journal of Finance Issues: Summer 2013. pp.1-8, (Dalam http://jofi.aof-mbaa.org/38om74/9, diakses tgl 25 Juli 2013). Mungkasa, Oswar. 2003. “Dampak Privatisasi di Indonesia: Studi Kasus Dampak Privatisasi PT. Telkom Indonesia”. (Dalam http://www.academia. edu/2759005/Dampak_Privatisasi_di_Indonesia._Studi_Kasus_Dampak_ Privatisasi_PT._Telekomunikasi_Indonesia, diakses 5 Agustus 2013). 107
Privatisasi Badan Usaha Milik Negara di Indonesia
A Tony Prasetiantono. “Ambiguitas Privatisasi dan Masa Depan BUMN.” 12 Oktober 2012. (Dalam http://www.unisosdem.org/article_detail. php?aid=2050&coid=&caid=19&g id=4, diakses 1 Agustus 2013).
Sri Edhi Swasono. “Pasal 33 UUD’45 Harus Dipertahankan, Jangan Dirubah, Boleh Ditambah Ayat“. (Dalam http://www.google.co.id/url?sa=t&rct= j&q=istilah%20privatisasi%20bumn%20go%20private&source=web&c d=2&cad=rja&ved=0CDEQFjAB&url=http%3A%2F%2Fwww.bappenas. go.id%2Fget-file-server%2Fnode%2F8578%2F&ei=B8kHUrnCF8errAfL hIHwDg&usg=AFQjCNFevYSPPH3r2E_LBKuPxxBeuc7RhA&bvm=bv.505 00085,d.bmk, diakses 2 Agustus 2013). Dian Puji N. Simatupang. ”Kedudukan Badan Usaha Milik Negara: Dalam Perspektif Hukum Keuangan Publik”. Makalah FGD Perancangan RUU BUMN Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat RI. 26 Jan 2012. Riant Nugroho. “Managing State Corporation in The Political Turbulence”. Makalah FGD Penelitian Kelompok tentang BUMN, P3DI, Setjen DPR RI. 16 April 2012. Kementerian BUMN. BUMN: Kedudukan, Peran, dan Tantangan. 14 Feb 2012.
Hasil Wawancara dengan Bpk. Didik Susetyo. Dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Sriwidjaja, 7 Mei 2012. Dalam FGD Penelitian Kelompok Tentang Badan Usaha Milik Negara. Hasil Wawancara dengan Bpk. Azwardi. Dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Sriwidjaja, 7 Mei 2012. Dalam FGD Penelitian Kelompok Tentang Badan Usaha Milik Negara. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Undang-Undang No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan.
Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2005 tentang Tata Cara Privatisasi Persero.
108
TULISAN KELIMA
LELANG DALAM RANGKA PENYELAMATAN KEUANGAN NEGARA Luthvi Febryka Nola∗
*
Peneliti Muda pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI, e-mail:
[email protected]
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945), Indonesia adalah negara hukum. Sebagai sebuah negara hukum maka tindakan setiap warga negara harus berdasarkan kepada hukum yang berlaku. Pada awal kemerdekaan kemampuan untuk menghasilkan peraturan sangatlah terbatas, oleh sebab itu dalam Aturan Peralihan UUD Tahun 1945 dinyatakan bahwa aturan zaman kolonial masih tetap berlaku sepanjang belum ada aturan yang mengaturnya. Aturan lelang termasuk pada aturan yang belum ada undang-undang (UU) yang mengaturnya sehingga berlakulah aturan Peraturan lelang (Vendu Reglemen) L.N. 1908 No. 189 yang telah diubah dengan L.N. 1940 No. 56 dan Instruksi lelang (Vendu Instructie) L.N. 1840 No. 190. Hingga saat ini kedua aturan tersebut masih berlaku hanya saja diperkuat dengan beberapa aturan pelaksana. Lelang merupakan salah satu bentuk penjualan di muka umum yang berbeda dengan jual beli pada umumnya. Perbedaannya antara lain1 terkait transparansi, lelang diketahui umum sedangkan pada jual beli biasanya hanya di ketahui oleh pihak penjual dan pembeli. Selain itu lelang didahului dengan pengumuman untuk menarik minat peserta lelang dan untuk menjamin kepastian hukum benda objek lelang. Prosedur pengumuman ini tidak dikenal dalam jual beli biasa. Lelangpun diatur lebih cepat dan efisien sedangkan jual beli lebih tergantung pada kesepakatan para pihak. Pada lelangpun, setiap calon pembeli wajib menyetorkan uang jaminan. Sehingga pembayaran hasil lelang lebih terjamin. Ciri khas dari lelang ini membuatnya memiliki banyak kelebihan dibandingkan jual beli barang pada umumnya. Kelebihan dari lelang ini menjadikan penjualan aset milik negara menjadi menarik apabila dilakukan melalui proses lelang termasuk dalam proses pidana. Lelang dalam proses pidana biasanya terkait penjualan barang sitaan dalam rangka pembayaran
1
Melani Ananta, “Sistem lelang Online melalui Pasar Kayu Jati Perum Perhutani Ditinjau dari Asas Lelang yang berlaku di Indonesia,” Tesis, Depok: FH UI, 2011, hal. 28.
111
Lelang dalam Rangka Penyelamatan Keuangan Negara
pidana denda. Semenjak adanya aturan pembayaran pidana tambahan berupa uang pengganti pada kasus korupsi membuat upaya lelang dan penyitaan barang menjadi penting. Uang pengganti merupakan salah satu cara yang dapat dipakai guna memulihkan kerugian negara dengan cara mewajibkan terdakwa yang terbukti dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana korupsi untuk mengembalikan sejumlah uang kepada negara dari hasil korupsinya. Kejaksaan Agung menyatakan total uang pengganti yang ditangani kejaksaan Rp10,704 triliun dan USD 5.500.2 Dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada tahun 2007, total uang pengganti yang belum tertagih oleh kejaksaan seluruh Indonesia Rp6,667 triliun. Kondisi ini menunjukkan jumlah yang belum tertagih ini cukup besar. Sehingga banyak pihak menyarankan supaya penyitaan aset yang dilakukan terhadap para koruptor dimaksimalkan. Dengan demikian setelah keluar putusan yang berkekuatan hukum tetap, dapat langsung dilelang. Hal ini sangat disayangkan karena Indonesia sebagai negara nomor 56 terkorup di dunia3 harusnya dapat menjerat secara maksimal harta kelayaan milik koruptor, jika meminjam istilah Akil Mochtar adalah memiskinkan koruptor.4 Apabila benar hasil audit BPK bahwa keberadaan uang pengganti dan uang denda mencapai Rp6,667 triliun tentunya keberhasilan memaksimalkan pendapatan negara dari para koruptor dapat memberikan sumbangan besar terhadap keuangan negara. Tidak ada salahnya memiskinkan koruptor karena pada dasarnya mereka telah menyebabkan kerugian yang sangat besar terhadap negara. Korupsi tidak hanya berarti telah terjadi kerugian keuangan negara akan tetapi berdampak pula pada masalah lainnya seperti, penurunan kualitas fasilitas sosial. Penurunan kualitas ini seringkali berakibat fatal misalnya pada peristiwa runtuhnya jembatan Kutai Kartanegara. Jembatan ini runtuh akibat bahannya di korupsi sehingga terjadinya penurunan kualitas jembatan.5 Efek
2
3
4
5
“Kejagung Buka Pintu Auditor,” http://www.antikorupsi.org/id/content/bpkp-hanyacocokkan-data-uang-pengganti-icw-dorong-dilakukan-audit-investigasi, diakses tanggal 17 Oktober 2013. “Indonesia Ada di Peringkat 56 Negara Terkorup Dunia Tahun 2012,” http://www. republika.co.id/berita/nasional/hukum/13/01/02/mfz0e9-indonesia-ada-di-peringkat56-negara-terkorup-dunia-tahun-2012, diakses tanggal 17 Oktober 2013. “Akil Mochtar Pernah Usul Hukum Potong Jari untuk Koruptor,” http://www.republika. co.id/berita/nasional/hukum/13/10/03/mu2t8h-akil-mochtar-pernah-usul-hukumanpotong-jari-untuk-koruptor , diakses tanggal 17 Oktober 2013. “Pengusutan Korupsi Jembatan Kutai Kartanegara Tersendat,” http://www.tempo. co/read/news/2012/12/29/058450994/Pengusutan-Korupsi-Jembatan-KutaiKartanegara-Tersendat, diakses tanggal 17 Oktober 2013.
112
Luthvi Febryka Nola
berantai dari korupsi ini harusnya dapat dijadikan dasar untuk melakukan penyitaan dan pelelangan secara maksimal terhadap barang milik koruptor. Putusan Peninjauan Kembali (PK) terhadap Sujiono Timan membuka mata kita akan dapatnya terjadi permasalahan hukum dikemudian hari sehubungan dengan lelang harta milik koruptor ini. Kasus Sujiono Timan sebenarnya telah memiliki kekuatan hukum tetap semenjak diputuskannya pada tingkat kasasi bahwa yang bersangkutan bersalah dan dikenai vonis 15 tahun penjara dan denda Rp50 juta serta membayar uang pengganti Rp369 miliar. Berdasarkan putusan tersebut jaksa dapat melakukan eksekusi semenjak tahun 2004. Namun baru-baru ini keluar putusan PK yang melepaskan Sujiono Timan dari semua dakwaan dan menganggap kasus ini sebagai kasus perdata. Apabila sebelum PK terdapat aset dari Sujiono Timan yang telah terlanjur dilelang tentunya menjadi tanda tanya sehubungan perlindungan hukum kepada pembeli lelang dan pengembalian aset sitaan yang telah dilelang kepada Sujiono Timan. B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana mekanisme lelang pada kasus korupsi dalam rangka penyelamatan keuangan negara? 2. Apakah kendala pelaksanaan lelang pada kasus korupsi dalam rangka penyelamatan keuangan negara? 3. Bagaimana bentuk pertanggungjawaban petugas lelang dalam melelang objek lelang kasus korupsi?
113
BAB II KERANGKA PEMIKIRAN
A. PERAMPASAN DAN PENYITAAN BARANG PADA KASUS KORUPSI Menurut Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), perampasan merupakan bagian dari pidana tambahan yang disebabkan adanya suatu putusan perkara mengenai diri terpidana. Pidana tambahan tidak dapat dijatuhkan secara berdiri sendiri tanpa pidana pokok oleh karena sifatnya hanyalah merupakan tambahan dari sesuatu hal yang pokok. Lebih lanjut diatur dalam Pasal 39 ayat (1) KUHP bahwa perampasan dapat dilakukan terhadap barang kepunyaan si terpidana yang diperolehnya dengan kejahatan atau dengan sengaja telah dipakainya untuk melakukan kejahatan. UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No 31 Tahun 1999) memperluas benda yang dirampas dalam kasus korupsi dengan menambahkan barang-barang yang dapat menggantikan barangbarang yang dikorupsi oleh terpidana. Menurut Pasal 39 ayat (3) KUHP, hukuman perampasan dijatuhkan oleh hakim terhadap orang yang bersalah. Hukuman perampasan ini dapat diganti dengan pidana kurungan, apabila barang tidak diserahkan, atau harga barang tidak sesuai dengan taksiran hakim.6 Pidana kurungan pengganti ini paling sedikit satu hari dan paling lama enam bulan dan pelaksanaan hukuman perampasan diserahkan kepada pemerintah dan hanya berlaku atas barang yang telah disita sebelumnya.7 Pendapatan dari hasil perampasan menjadi milik negara.8 Menurut Pasal 1 angka 16 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan. Oleh karena penyitaan termasuk dalam salah satu upaya paksa (dwang middelen) yang dapat melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), maka penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat, namun dalam keadaan 8 6 7
Pasal 41 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pasal 41 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pasal 42 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
115
Lelang dalam Rangka Penyelamatan Keuangan Negara
mendesak, penyitaan tersebut dapat dilakukan penyidik lebih dahulu dan kemudian setelah itu wajib segera dilaporkan ke Ketua Pengadilan Negeri, untuk memperoleh persetujuan.9 Menurut Pasal 39 KUHAP, benda-benda yang dapat dikenakan penyitaan adalah: 1. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagai diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagian hasil dari tindak pidana; 2. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya; 3. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana; 4. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana; 5. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan. Menurut Pasal 46 ayat (1) huruf b KUHAP, benda yang dikenai sitaan dikembalikan kepada pemilik benda sitaan jika ternyata perkara tidak merupakan tindak pidana. Berdasarkan Pasal 18 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999, penyitaan dapat juga dilakukan sesudah adanya putusan pengadilan dalam hal pembayaran uang pengganti. Dalam Peraturan Menteri Kehakiman RI No. M.05.UM.01.06 Tahun 1983 tentang Pengelolaan Benda Sitaan Negara dan Barang Rampasan Negara di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan, memberi pengertian benda sitaan dan barang rampasan, yaitu: 1. Benda Sitaan/Benda Sitaan Negara (disingkat Basan) adalah benda yang disita oleh penyidik, penuntut umum atau pejabat yang karena jabatannya mempunyai wewenang untuk menyita barang guna keperluan barang bukti dalam proses peradilan. 2. Barang Rampasan/Barang Rampasan Negara (disingkat Baran) adalah barang bukti yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dirampas untuk Negara yang selanjutnya dieksekusi dengan cara: a. dimusnahkan; b. dilelang untuk negara; c. diserahkan kepada instansi yang ditetapkan untuk dimanfaatkan; dan d. diserahkan di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan (RUPBASAN) untuk barang bukti dalam perkara lain.
9
Pasal 38 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
116
Luthvi Febryka Nola
Selain benda sitaan dan rampasan dikenal juga adanya barang temuan adalah barang-barang hasil temuan yang diduga berasal dari tindak pidana dan setelah diumumkan dalam jangka waktu tertentu tidak ada yang mengaku sebagai pemiliknya. Dalam Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1997 tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak yakni menjelaskan poin-poin jenis-jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Kejaksaan Agung, diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Penerimaan dari penjualan barang rampasan; 2. Penerimaan dari penjualan hasil sitaan/rampasan; 3. Penerimaan dari ganti rugi dan tindak pidana korupsi; 4. Penerimaan biaya perkara; 5. Penerimaan lain-lain, berupa uang temuan, hasil lelang barang temuan dan hasil penjualan barang; 6. Bukti yang tidak diambil oleh yang berhak; dan 7. Penerimaan denda. B. DENDA DAN UANG PENGGANTI Menurut Pasal 10 KUHP, denda merupakan bagian dari pidana pokok. Jika pidana denda tidak dibayarkan maka dapat digantikan dengan pidana kurungan. Sedangkan uang pengganti merupakan bentuk pidana tambahan yang awalnya diatur dalam Pasal 34 UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No. 3 Tahun 1971). Saat ini UU No. 3 Tahun 1971 telah diganti pengaturannya dengan UU No. 31 Tahun 1999 dan diatur lebih jelas. UU No. 31 Tahun 1999 mengatur bahwa jumlah uang pengganti tersebut sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Pada ayat selanjutnya diatur bahwa apabila dalam 1 bulan sesudah putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, namun uang pengganti belum dibayarkan juga maka harta benda terpidana dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Uang pengganti dapat ditukar dengan pidana penjara apabila terpidana tidak memiliki harta benda yang mencukupi untuk membayarnya. Penggantian dengan pidana penjara tersebut memiliki syarat menurut pasal 18 ayat (3) UU No. 31 Tahun 1999 yaitu tidak melebihi ancaman maksimal dari pidana pokok dan lamanya pidana telah ditentukan oleh putusan pengadilan.
C. LELANG EKSEKUSI Lelang adalah penjualan umum (openbare verkopingen) barang-barang yang dilakukan kepada umum dengan penawaran harga yang meningkat atau 117
Lelang dalam Rangka Penyelamatan Keuangan Negara
menurun atau dengan pemasukan harga dalam sampul tertutup, atau kepada orang-orang yang diundang atau sebelumnya diberitahu mengenai pelelangan atau penjualan itu, atau diizinkan untuk ikut-serta, dan diberi kesempatan untuk menawar barga, menyetujui harga yang ditawarkan atau memasukkan harga dalam sampul tertutup.10 Pengertian tentang lelang diperjelas oleh menteri keuangan dalam peraturan tentang petunjuk pelaksanaan lelang No. 40/PMK.07/2006 (Permenkeu No. 40/PMK.07/2006), bahwa lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi yang didahului dengan pengumuman lelang. Menurut Permenkeu No. 40/PMK.07/2006, lelang terbagi atas lelang eksekusi dan non eksekusi, sedangkan untuk lelang noneksekusi dibagi dua lagi yaitu wajib dan sukarela. Lelang eksekusi adalah: “…lelang untuk melaksanakan putusan/penetapan pengadilan atau dokumendokumen lain, yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dipersamakan dengan itu, dalam rangka membantu penegakan hukum, antara lain: Lelang Eksekusi Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN), Lelang Eksekusi Pengadilan, Lelang Eksekusi Pajak, Lelang Eksekusi Harta Pailit, Lelang Eksekusi Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT), Lelang Eksekusi dikuasai/tidak dikuasai Bea Cukai, Lelang Eksekusi Barang Sitaan Pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Lelang Eksekusi Barang Rampasan, Lelang Eksekusi Barang Temuan, Lelang Eksekusi Fidusia, Lelang Eksekusi Gadai”.
Sedangkan lelang non eksekusi wajib adalah lelang untuk melaksanakan penjualan barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud dalam UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara atau barang milik Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/D) yang oleh peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk dijual secara lelang, termasuk kayu dan hasil hutan lainnya dari tangan pertama.11 Lelang non eksekusi sukarela adalah lelang untuk melaksanakan penjualan barang milik perorangan, kelompok masyarakat atau badan swasta yang dilelang secara sukarela oleh pemiliknya, termasuk BUMN/D berbentuk Persero.12 Barang yang dapat di lelang adalah tiap benda atau hak yang dapat dijual secara lelang. Salah satu barang yang dapat dijual secara lelang menurut Pasal 1 angka 7 Permenkeu No. 118/PMK.07/2005 tentang Balai Lelang (Permenkeu No. 118/PMK.07/2005) adalah, barang yang dikuasai negara yaitu barang
10
11 12
Pasal 1 Peraturan lelang (Vendu Reglemen) L.N. 1908 No. 189 yang telah diubah dengan L.N. 1940 No. 56. Pasal 1 angka 5 Permenkeu No. 40/PMK.07/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang. Pasal 1 angka 6 Permenkeu No. 40/PMK.07/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang.
118
Luthvi Febryka Nola
milik pihak ketiga yang dikuasai negara termasuk barang temuan atau sitaan berdasarkan putusan/ketetapan instansi/lembaga yang berwenang baik ditingkat pusat maupun daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan. Menurut Pasal 5 ayat 2 Permenkeu No. 40/PMK.07/2006, KP2LN dapat melaksanakan semua jenis lelang termasuk lelang barang yang dikuasai oleh negara. Lelang di KP2LN dilakukan oleh Pejabat Lelang Kelas I. KP2LN adalah Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara yang merupakan instansi vertikal dari Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN).13 Sedangkan Pejabat Lelang Kelas I adalah pegawai DJPLN yang diberi wewenang oleh Menteri Keuangan untuk melaksanakan penjualan barang secara lelang.14 Terhadap lelang barang yang dikuasai oleh negara, balai lelang dapat memberikan jasa pra lelang dan pasca lelang terhadap barang yang dikuasai negara. Menurut Pasal 12 ayat (1) Permenkeu No. 118/PMK.07/2005, jasa pra lelang oleh Balai Lelang meliputi: a. meneliti kelengkapan dokumen persyaratan lelang dan dokumen barang yang akan dilelang; b. melakukan analisis yuridis terhadap dokumen persyaratan lelang dan dokumen barang yang akan dilelang; c. menerima, mengumpulkan, memilah, memberikan label, dan menyimpan barang yang akan dilelang; d. menguji kualitas dan menilai harga barang; e. meningkatkan kualitas barang yang akan dilelang; f. mengatur asuransi barang yang akan dilelang; dan/atau g. memasarkan barang dengan cara-cara efektif, terarah serta menarik baik dengan pengumuman, brosur, katalog maupun cara pemasaran lainnya. Sedangkan jasa pasca lelang oleh Balai Lelang meliputi: 15 a. pengaturan sumber pembiayaan untuk memenuhi pembayaran harga lelang; b. pengaturan pengiriman barang; dan/atau c. pengurusan balik nama barang yang dibeli atas nama pembeli.
Sehubungan dengan kasus pidana maka Pasal 45 ayat (1) KUHAP mengatur bahwa penyidik atau penuntut umum, dengan disaksikan oleh tersangka atau kuasanya dapat melelang benda sitaan yang dapat lekas rusak atau yang membahayakan dan tidak mungkin disimpan sampai adanya putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap. Lebih lanjut dalam
13
14 15
Pasal 1 angka 9 jo. angka 10 Permenkeu No. 40/PMK.07/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang. Pasal 1 angka 11 Permenkeu No. 118/PMK.07/2005 tentang Balai Lelang. Pasal 14 ayat (1) Permenkeu No. 118/PMK.07/2005 tentang Balai Lelang.
119
Lelang dalam Rangka Penyelamatan Keuangan Negara
Pasal 273 ayat (3) KUHAP diatur jika ada putusan perampasan dari pengadilan maka jaksa menguasakan benda tersebut kepada kantor lelang negara dan dalam waktu tiga bulan untuk dijual lelang, yang hasilnya dimasukkan ke kas negara untuk dan atas nama jaksa. Jangka waktu tersebut dapat diperpanjang untuk paling lama satu bulan.16
D. KERUGIAN KEUANGAN NEGARA Korupsi merupakan perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara. Dalam Penjelasan Umum atas UU No. 31 Tahun 1999 dijelaskan mengenai keuangan negara adalah: “Seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena: a. berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara baik di tingkat pusat maupun di daerah. b. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/ Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara. sedangkan yang dimaksud dengan perekonomian negara “
Sedangkan berdasarkan Pasal 1 angka (1) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU No. 17 Tahun 2003), keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dalam Pasal 2 UU No. 17 Tahun 2003 dinyatakan keuangan negara meliputi: a. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman; b. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga; c. penerimaan negara; d. pengeluaran negara; e. penerimaan daerah; f. pengeluaran daerah; g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah;
16
Pasal 273 ayat (4) Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana.
120
Luthvi Febryka Nola
h. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum; i. kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.
E. TEORI PENEGAKAN HUKUM Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.17 Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penegakan hukum adalah:18 1. Faktor hukumnya sendiri, adapun gangguan yang berasal dari hukum berupa tidak diikuti asas-asas berlakunya hukum, belum adanya aturan pelaksana dari suatu ketentuan dalam UU dan ketidakjelasan arti katakata dalam peraturan yang mengakibatkan kesimpangsiuran dalam penafsiran dan penerapan.19 2. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. Halangan-halangan yang dapat dijumpai dari penegak hukum adalah:20 a. Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peran pihak lain dengan siapa dia berinteraksi. b. Tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi. c. Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan sehingga kurang proyeksi. d. Belum adanya kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan materiel. e. Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatif. 3. Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakan hukum. 4. Faktor masyarakat yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
17
18
19 20
Jimly Asshiddiqie, “Penegakan hukum”, http://jimly.com/makalah/namafile/56/ Penegakan_Hukum.pdf, diakses tanggal 4 Juni 2013. Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: PT RajaGrafindo, 2004, hal. 8. Ibid., hal. 17-18. Ibid., hal. 34-35.
121
BAB III ANALISIS
A. MEKANISME LELANG KASUS KORUPSI Korupsi merupakan suatu tindakan langsung maupun tidak langsung dari seseorang yang dapat merugikan keuangan negara. Sebagaimana diatur dalam UU 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, keuangan negara merupakan seluruh kekayaan negara yang seharusnya dipergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat dan tidak hanya menguntungkan pihak tertentu saja. Akan tetapi dengan korupsi konsep kekayaan negara berubah menjadi menguntungkan hanya bagi pihak-pihak tertentu saja. Oleh sebab itu ketika seseorang terindikasi melakukan korupsi, penyidik diberikan kewenangan untuk melakukan penyitaan terhadap harta milik tersangka. Penyitaan dapat dilakukan terhadap barang yang diperoleh dari hasil korupsi dan dapat juga dilakukan terhadap barang lainnya milik terdakwa dengan tujuan meminimalisasi kerugian negara akibat korupsi. Setelah memperoleh keputusan hukum yang tetap maka barang yang disita akan dirampas oleh negara dan akan diseksekusi salah satunya dengan cara lelang. Oleh karena itu maksimalisasi terhadap penyitaan merupakan proses awal dari keberhasilan lelang mengembalikan kerugian negara. Konsep penyitaan saat ini mengalami banyak perkembangan, sehubungan adanya aturan pembayaran uang pengganti. Pembayaran uang pengganti menjadi salah satu bentuk hukuman tambahan bagi para koruptor. Melalui uang pengganti koruptor dipaksa untuk membayar sejumlah uang tertentu. Dalam kondisi tertentu koruptor tidak melakukan pembayaran terhdap uang pengganti sehingga sebagai gantinya harta benda milik koruptor dapat disita untuk membayar uang pengganti tersebut. Sehingga konsep penyitaan dalam pembayaran uang pengganti ini berlaku setelah terdakwa dijatuhi hukuman yang memiliki kekuatan hukum tetap. Setelah disita baru kemudian barang dapat dilelang untuk membayar uang pengganti. Penjualan secara lelang merupakan suatu proses lanjutan dari penyitaan terhadap barang sitaan milik terpidana. Lelang dalam rangka penyelamatan keuangan negara merupakan bagian dari lelang tindak lanjut putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap. Setelah adanya putusan pengadilan melakukan perampasan, maka barang bukti yang tadinya disita 123
Lelang dalam Rangka Penyelamatan Keuangan Negara
kemudian dirampas menjadi milik negara. Terhadap benda rampasan ada beberapa mekanisme eksekusi yaitu dimusnahkan, diserahkan kepada instansi untuk dimanfaatkan dan di lelang. Pemusnahan biasanya dilakukan terhadap barang-barang yang berbahaya dan tidak bermanfaat seperti obatobatan terlarang. Namun untuk barang-barang yang bernilai ekonomis tentunya penjualan melalui lelang menjadi pilihan. Untuk barang yang kurang bernilai secara ekonomis dapat diserahkan untuk dimanfaatkan oleh instansi terkait melalui mekanisme izin dari menteri keuangan. Akan tetapi pilihan terakhir ini sangat riskan memunculkan ketidakpuasan, seperti dalam kasus pengadaan tanah pelabuhan di Tual, Maluku Tenggara dan korupsi pengadaan alat pemancar RRI.21 Lelang masih merupakan alternatif terbaik dalam mengeksekusi harta rampasan dalam kasus korupsi. Hal ini dikarenakan lelang memiliki banyak kelebihan dibandingkan proses jual beli biasa. Lelang memiliki kelebihan antara lain adanya transparansi penjualan karena penjualan diketahui oleh umum; tidak terbatas antara penjual dan pembeli saja; lelang biasanya lebih cepat dan efisien dibanding jual beli biasa; lelang didahului oleh pengumuman sehingga banyak pihak mengetahui tentang adanya lelang dan bagi pihak ketiga yang merasa dirugikan sehubungan dengan objek lelang dapat melakukan pengaduan sebelum penjualan lelang dilakukan; adanya kewajiban calon pembeli untuk menyetorkan terlebih dahulu uang jaminan sehingga proses pembayaran terhadap objek lelang menjadi lebih pasti; risalah lelang berlaku sebagai akta outentik.22 Dalam Pasal 273 ayat (3) KUHAP diatur jika ada putusan perampasan dari pengadilan maka jaksa menguasakan benda tersebut kepada kantor lelang negara dan dalam waktu tiga bulan untuk dijual lelang, yang hasilnya dimasukkan ke kas negara untuk dan atas nama jaksa. Pejabat yang berwenang melakukan penjualan lelang eksekusi adalah Pejabat Lelang Kelas I yang merupakan pegawai DJPLN yang diberi wewenang oleh Menteri Keuangan untuk melaksanakan penjualan barang secara lelang.23 Jangka waktu tersebut dapat diperpanjang untuk paling lama satu bulan.24 Terhadap lelang barang yang dikuasai oleh negara, balai lelang dapat menerima jasa pra lelang dan pasca lelang barang yang dikuasai negara. Jasa pra lelang biasanya berkaitan dengan pemenuhan syarat-syarat administrasi benda lelang dan peserta lelang, penyimpanan barang, asuransi dan upaya
21
24 22 23
“Tunggakan Uang Pengganti KPK Rp.103,714 Miliar”, http://www.hukumonline.com/ printedoc/hol17782, diakses pada tanggal 18 November 2013. Melani Ananta, Sistem Lelang…, Tesis, FH UI, 2011. Pasal 1 angka 11 Permenkeu No. 118/PMK.07/2005 tentang Balai Lelang. Pasal 273 ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
124
Luthvi Febryka Nola
meningkatkan nilai barang yang akan dilelang serta pengiklanan barang yang akan di lelang. Sedangkan kegiatan pasca lelang adalah lebih kepada pembayaran, pengiriman dan balik nama. Menurut Permenkeu No. 40/PMK.07/2006, lelang eksekusi dilakukan pada jam kerja. Adapun proses pelaksanan lelang oleh pejabat lelang kelas I diawali dengan penetapan harga limit oleh penjual yang dapat bersifat terbuka maupun tertutup. Jika bersifat terbuka maka diumumkan pada khalayak dan diumumkan pada pengumuman lelang, namun jika tertutup maka penjual langsung menyerahkan harga limit secara rahasia pada pejabat lelang pada amplop tertutup.25 Penawaran lelang dapat dilakukan dengan lisan maupun tertulis. Apabila penawaran tertulis belum mencapai harga limit maka dapat diteruskan secara lisan. Pasal 41 Permenkeu No. 40/PMK.07/2006 mengharuskan penawaran lelang dalam lelang eksekusi dilakukan secara langsung. Pada lelang yang menggunakan harga limit maka penawar tertinggi sebagai pembeli apabila harga telah melebihi harga limit. Seseorang yang telah ditetapkan oleh juru lelang sebagai pemenang lelang tidak begitu saja secara langsung mendapatkan hak kepemilikan atas barang tersebut, tetapi orang tersebut (pemenang lelang) harus terlebih dahulu memenuhi seluruh syarat lelang, terutama syarat pelunasan pembayaran harga dan apabila seluruh syarat tersebut telah terpenuhi, maka juru lelang membuat dan memberi surat keterangan kepada pembeli lelang yang menyatakan bahwa, pembeli lelang telah memenuhi semua kewajiban yang telah ditentukan dalam syaratsyarat lelang. Surat keterangan itu, kemudian diberikan kepada pembeli lelang oleh juru lelang, dan sejak saat diberikannya surat keterangan tersebut kepada pembeli lelang maka beralih milik atas barang tersebut kepada pembeli lelang. Juru lelang selama penjualan berlangsung, membuat berita acara lelang yang didalamnya memuat mengenai nama tempat kedudukan juru lelang, nama pemohon eksekusi, nama dan kedudukan pihak penjual dan atas dasar apa serta atas nama siapa penjual lelang dilakukan, tempat dimana penjual dilangsungkan, keterangan umum mengenai sifat barang yang hendak dilelang, uraian mengenai syarat-syarat penjualan lelang yang ditentukan pihak penjual, uraian jalannya pelelangan, identitas pembeli lelang, besarnya harga penjualan lelang dengan penjelasan bahwa harga itu telah sesuai dengan patokan harga, menyebut jumlah barang yang laku, dan menyebut sisa barang yang ada. Adapun berita acara lelang yang lazim disebut risalah lelang merupakan akte yang otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian
25
Pasal 31 Permenkeu No. 40/PMK.07/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang.
125
Lelang dalam Rangka Penyelamatan Keuangan Negara
yang sempurna. Sedangkan uang hasil lelang distorkan kepada kas negara sebagai hasil penerimaan negara bukan pajak.
B. KENDALA LELANG PADA KASUS KORUPSI Objek lelang merupakan bagian penting dari suatu lelang, harga lelang sangat ditentukan oleh kualitas dan kuantitas objek yang di lelang. Dalam perkara korupsi, setelah keluar putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap, jaksa akan berupaya melakukan eksekusi terhadap barang harta benda milik terpidana yang telah disita sebelumnya sebagai usaha pengembalian kerugian keuangan negara. Terhadap barang yang telah disita tersebut dilakukan eksekusi dalam bentuk penjualan secara lelang, sampai mencukupi jumlah uang yang harus dibayar sebagaimana ketentuan dalam putusan hakim tersebut ditambah biaya-biaya pengeluaran untuk proses pelaksanaan eksekusi tersebut. Proses eksekusi dimulai dari barang-barang bergerak dan jika barang-barang bergerak tidak ada atau tidak mencukupi barulah barang-barang yang tidak bergerak (barang tetap). Dalam prakteknya proses penyitaan sering kali tidak maksimal untuk dilakukan akibatnya hasil lelangpun tidak maksimal dalam rangka menyelematkan keuangan negara. Banyak faktor yang menyebabkan upaya sita tidak maksimal untuk dilakukan. Apabila dihubungkan dengan pendapat Soejono Soekanto tentang penegakan hukum maka faktor penegak hukum dan budaya hukum masyarakat merupakan permasalahan utama. Faktor penegak hukum berasal dari tubuh penyidik sendiri yang kurang mampu menyusuri dan melakukan penyitaan aset secara maksimal. Kemudian faktor masyarakat yaitu berupa budaya masyarakat yang cenderung memiliki rasa kekeluargaan yang sangat tinggi sehingga terkadang secara sadar maupun tidak membantu koruptor dalam menyembunyikan aset hasil korupsi para koruptor. Kendala lelang dalam rangka penyelamatan keuangan negara juga berkaitan pula dengan tidak adanya kewenangan pejabat lelang kelas II untuk melakukan lelang eksekusi. Berdasarkan Pasal 5 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan No. 40/PMK.07/2006, pejabat lelang kelas II yang berkedudukan di Kantor Pejabat Lelang Kelas II dan hanya berwenang melaksanakan lelang berdasarkan permintaan balai lelang atas jenis lelang non eksekusi sukarela, lelang aset BUMN/BUMD berbentuk Persero dan lelang aset milik bank dalam liquidasi. Pembatasan tersebut berdampak pada penjualan aset negara oleh pejabat lelang kelas II. Untuk lebih memaksimalkan upaya pengembalian kekayaan negara berdasarkan pengertian penegak hukum dari Soejono Soekanto, harusnya pejabat lelang kelas II dapat menjadi bagian dari penegakan hukum untuk lelang eksekusi. Soejono Soekanto tidak pernah membatasi siapa itu 126
Luthvi Febryka Nola
penegak hukum yang penting berfungsi menegakan hukum. Ketika pejabat lelang kelas II diberikan kesempatan untuk melakukan lelang eksekusi maka otomatis pejabat lelang tersebut sudah merupakan bagian dari penegak hukum. Lagi pula dalam prosedur lelang eksekusi, jaksa selaku kuasa UU berkedudukan sebagai penjual dan berperan menentukan nilai limit yang wajar.26 Sehingga harga lelang pada dasarnya tidak dapat dipermainkan oleh pejabat lelang. Kendala lainnya adalah meski Permenkeu No. 40/PMK.07/2006 telah membatasi bawah lelang eksekusi harus bersifat langsung dan adanya larangan bagi terpidana/koruptor untuk menjadi peserta lelang. Namun dalam pelaksanaannya tetap ada celah bagi koruptor yang tetap ingin menguasai barangnya yang telah disita untuk dapat menguasai barang tersebut melalui mekanisme lelang. Koruptor tersebut biasanya bekerjasama dengan pembeli lelang. Hal ini dimungkinkan karena tidak adanya sanksi yang tegas sehubungan adanya pelanggaran. Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, memang tidak dimungkinkan dalam Permenkeu diaturnya aturan mengenai sanksi. Kondisi ini menunjukkan adanya permasalahan dalam hukum lelang itu sendiri yang akhirnya berdampak munculnya permasalahan dalam penegakan hukum. C. PERTANGGUNGJAWABAN PETUGAS LELANG DALAM PELELANGAN Menurut Pasal 7 ayat (1) Permenkeu No. 40/PMK.07/2006, penjual bertanggung jawab terhadap keabsahan barang dan dokumen persyaratan lelang. Oleh sebab itu pada ayat selanjutnya dijelaskan bahwa penjual bertanggung jawab atas tuntutan ganti kerugian. Dalam kasus korupsi yang bertindak sebagai penjual adalah jaksa dan jaksa melaksanakan putusan pengadilan. Sehingga secara aturan, pengadilan bertanggung jawab atas tuntutan ganti kerugian. Uniknya risalah lelang yang berlaku sebagai akta outenik dapat diberikan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang menjadikan risalah lelang menjadi berkekuatan hukum eksekutorial. Kekuatan eksekutorial ini maksudnya dapat di eksekusi tanpa putusan peradilan. Risalah lelang ini dikeluarkan oleh pejabat lelang. Menurut Pasal 273 KUHAP jaksa menguasakan kepada kantor lelang negara untuk melelang barang rampasan. Pengaturan mengenai kuasa diatur dalam Bab XVI, Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), sedangkan aturan khususnya diatur pada Herziene Indonesische Reglement (HIR) dan Reglement voor de buitengewesten (RBg). Menurut BW, sepanjang penerima kuasa menjalankan kuasa sesuai dengan mandat yang
26
Purnama Tioria Sianturi, Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Barang Jaminan Tidak bergerak Melalui Lelang, Bandung: Mandar Maju, 2008, hal. 472.
127
Lelang dalam Rangka Penyelamatan Keuangan Negara
diberikan maka tanggung jawab berada pada pemberi kuasa. Berarti konsep pemberian kuasa ini menegaskan tanggung jawab sehubungan pelelangan barang rampasan berada ditangan pengadilan. Kewenangan pejabat lelang mengeluarkan risalah lelang didapatkan dalam rangka menjalankan kuasa melakukan lelang. Apabila dikemudian hari timbul permasalahan mengenai barang yang dibeli secara lelang dan ada pihak ketiga yang mengajukan tuntutan kepada Pengadilan, maka pembeli lelang yang beritikat baik haruslah mendapatkan perlindungan hukum dari kantor lelang negara. Pembeli lelang dianggap beritikat baik apabila tidak mengetahui tentang adanya cacat/permasalahanpermasalahan yang melekat pada barang yang ia beli secara lelang. Kantor lelang dapat memberikan perlindungan hukum kepada si pembeli lelang, berupa memberikan kesaksian serta pembuktian-pembuktian yang diperlukan dimuka pengadilan, antara lain dengan memberikan surat bukti pembelian lelang (risalah lelang), bukti-bukti sertifikat sah barang, serta surat-surat bukti lainnya.27 Kantor lelang negara juga akan memberikan pembelaan dengan mengatakan bahwa sebelum lelang itu dilaksanakan, terlebih dahulu telah dilakukan pengajuan permintaan penjualan lelang oleh jaksa dalam upaya menjalankan putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap. Permasalahan lainnya adalah baik jaksa maupun pejabat lelang kelas I merupakan pegawai pemerintah. Oleh sebab itu terhadap putusan yang mereka keluarkan dapat digugat melalui peradilan tata usaha negara. Sehubungan dengan perampasan, jaksa dapat berdalih bahwa lelang dilaksanakan berdasarkan putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap. Namun sehubungan adanya sita terhadap barang terpidana terkait uang pengganti, jika jaksa bertindak tanpa adanya penetapan dari pengadilan maka dapat digugat melalui peradilan tata usaha negara. Sedangkan pejabat lelang kelas I dapat berdalih bahwa ia hanya menerima kuasa dari jaksa.
27
Purnama Tioria Sianturi, Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Barang Jaminan Tidak Bergerak Melalui Lelang, Bandung: Mandar Maju, 2008.
128
BAB IV PENUTUP
A. KESIMPULAN Mekanisme lelang eksekusi dalam rangka penyelamatan uang negara berbeda dengan lelang pada umumnya. Perbedaan tersebut terlihat dari yang menjadi pihak dari penjual adalah jaksa. Pelaksanaan lelang dilakukan oleh pejabat lelang kelas I di kantor lelang negara pada jam kerja. Pelaksanaan lelangpun harus bersifat langsung. Uang hasil lelangpun distorkan kepada kas negara sebagai hasil penerimaan negara bukan pajak. Berbagai kekhasan mekanisme lelang eksekusi ini dijabarkan secara jelas dalam Permenkeu No. 40/PMK.07/2006. Kendala yang dihadapi dalam rangka lelang untuk menyelamatkan keuangan negara adalah kemampuan yang terbatas dari penyidik menelusuri dan menyita aset terdakwa. Sehingga membuat secara kualitas dan kuantitas objek lelang tidak mampu mengembalikan secara maksimal keuangan negara yang dikorupsi. Selain itu kendala tidak berwenangnya pejabat lelang kelas II menangani lelang eksekusi membuat pelaksanaan lelang menjadi terbatas. Kurang tegasnya aturan tentang pembeli lelang menimbulkan adanya celah bagi koruptor bekerjasama dengan pembeli untuk menguasai barang mereka kembali melalui mekanisme lelang. Lelang dalam rangka penjualan harta rampasan milik koruptor dilakukan oleh Kantor Lelang Negara berdasarkan kuasa dari jaksa dalam menjalankan putusan pengadilan. Oleh sebab itu gugatan sehubungan harta rampasan dapat diajukan kepada pengadilan. Kantor lelang negara dan pejabat lelang dapat memberikan perlindungan hukum kepada pembeli yang beritikat baik melalui kesaksian dan surat-surat bukti yang diperlukan. B. SARAN Untuk memaksimalkan proses penyitaan maka harus ada proses pengawasan pada penyitaan aset. Koordinasi antara instansi juga dibutuhkan untuk memaksimalkan penyitaan aset misalnya koordinasi kejaksaan dengan BPN sehubungan aset tanah dan dengan perbankan sehubungan aset tabungan. Terdakwa yang terbukti melakukan korupsi wajib mengembalikan uang hasil korupsi sebagai cara untuk memulihkan kerugian negara dengan 129
Lelang dalam Rangka Penyelamatan Keuangan Negara
cara memaksimalkan peraturan pembayaran uang pengganti dan uang denda. Selain itu perlu adanya aturan yang berisi sanksi yang tegas bagi koruptor yang berusaha menguasai hartanya kembali melalui mekanisme lelang. Pengaturan penyitaan terhadap barang terpidana untuk pembayaran uang pengganti juga perlu diatur secara jelas agar dilakukan melalui penetapan pengadilan supaya jaksa tidak dapat digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara.
130
DAFTAR PUSTAKA
Buku Ananta, Melani, Sistem lelang Online melalui Pasar Kayu Jati Perum Perhutani Ditinjau dari Asas Lelang yang berlaku di Indonesia, Tesis, Depok: FH UI, 2011.
Pangabean, Adiesden Hasonangan, Perlindungan Hukum Atas Jual Beli Lelang Eksekusi di Pengadilan Negeri Pematang Siantar, Skripsi: FH Universitas Simalungun, Pematangsiantar, 2012. Sianturi, Purnama Tioria, Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Barang Jaminan Tidak bergerak Melalui Lelang, Bandung: Mandar Maju, 2008.
Soekanto, Soerjono, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: PT RajaGrafindo, 2004. Yamin, Fuad Akbar, Tinjauan Yuridis terhadap Uang Pengganti untuk Pengembalian Kerugian Negara dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi, Skripsi: FH Universitas Hasanudin, Makassar, 2013.
Internet “Akil Mochtar Pernah Usul Hukum Potong Jari untuk Koruptor,” http://www. republika.co.id/berita/nasional/hukum/13/10/03/mu2t8h-akil-mochtarpernah-usul-hukuman-potong-jari-untuk-koruptor, diakses tanggal 17 Oktober 2013.
“Indonesia Ada di Peringkat 56 Negara Terkorup Dunia Tahun 2012,” http:// www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/13/01/02/mfz0e9indonesia-ada-di-peringkat-56-negara-terkorup-dunia-tahun-2012, diakses tanggal 17 Oktober 2013. Jimly Asshiddiqie, “Penegakan hukum”, http://jimly.com/makalah/namafile/ 56/Penegakan _Hukum.pdf, diakses tanggal 4 Juni 2013.
“Kejagung Buka Pintu Auditor,” http://www.antikorupsi.org/id/content/ bpkp-hanya-cocokkan-data-uang-pengganti-icw-dorong-dilakukanaudit-investigasi, diakses tanggal 17 Oktober 2013. 131
Lelang dalam Rangka Penyelamatan Keuangan Negara
“Pengusutan Korupsi Jembatan Kutai Kartanegara Tersendat,” http://www. tempo.co/read/news/2012/12/29/058450994/Pengusutan-KorupsiJembatan-Kutai-Kartanegara-Tersendat, diakses tanggal 17 Oktober 2013. “Tunggakan Uang Pengganti KPK Rp.103,714 Miliar”, http://www.hukumonline. com/printedoc/hol17782, diakses pada tanggal 18 November 2013.
Yance Arizona, “Apa Itu Kepastian Hukum?”, http://yancearizona.net/2008/04/13/ apa-itu-kepastian-hukum/, diakses tanggal 17 Oktober 2013.
Yahya. A.Z., “Keadilan dan Kepastian Hukum,” http://yahyazein.blogspot. com/2008/07/keadilan-dan-kepastian-hukum.html, diakses tanggal 17 Oktober 2013. Peraturan Perundang-Undangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3874. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 No. 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4286. UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No. 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4355.
Peraturan lelang (Vendu Reglemen) L.N. 1908 No. 189 yang telah diubah dengan L.N. 1940 No. 56 Instruksi lelang (Vendu Instructie) L.N. 1840 No. 190.
Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1997 tentang Jenis Dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 No. 57.
Peraturan Menteri Kehakiman RI No. M.05.UM.01.06 Tahun 1983 tentang Pengelolaan Benda Sitaan Negara dan Barang Rampasan Negara di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan.
Permenkeu No. 118/PMK.07/2005 tentang Balai Lelang.
Permenkeu No. 40/PMK.07/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang. 132
TULISAN KEENAM
PENYELESAIAN SENGKETA TANAH NEGARA SEBAGAI ASET NEGARA Denico Doly L. Tobing*
*
Peneliti Muda pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Dalam rangka mewujudkan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 45) khususnya pada preamble, Pasal 23, dan Pasal 33, Negara mengemban tugas untuk melakukan pengelolaan kekayaan negara termasuk didalamnya kekayaan daerah dalam rangka mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Untuk pelaksanaannya, UUD Tahun 1945 memberi kewenangan kepada negara untuk menguasai dan mempergunakan seluruh kekayaan negara yang bersumber dari bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Kekayaan Negara mencakup dua pengertian yaitu kekayaan yang dimiliki oleh pemerintah (domein public) dan kekayaan yang dikuasai oleh Negara (domein privat). Sejak reformasi keuangan Negara bergulir pada awal tahun 2003, Pemerintah telah membangun komitmen yang kuat untuk memenuhi prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) melalui pengelolaan keuangan yang sehat dan modern. Lingkup perubahan yang terjadi sangat mendasar dan menyeluruh yang termasuk di dalamnya adalah pengelolaan aset Negara.1 Hal ini dimulai dengan lahirnya 3 (tiga) paket Undang-undang Bidang Keuangan Negara yang terdiri dari Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2005 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggung Jawab Keuangan Negara yang telah menjadikan lokomotif bagi perubahan paradigma manajemen aset negara.2 Dasar pemikiran diterbitkannya Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 adalah dalam rangka pencapaian tujuan bernegara sebagaimana tercantum dalam alinea IV Pembukaan UUD Tahun 1945 dengan dibentuknya pemerintahan negara yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan dalam berbagai bidang. Pembentukan pemerintahan negara tersebut menimbulkan hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang yang perlu
1 2
Hadiyanto, Era Baru Kebijakan Fiskal, Pemikiran, Konsep Dan Implementasi, Edisi 2, hlm 1 Ibid.
135
Penyelesaian Sengketa Tanah Negara sebagia Aset Negara
dikelola dalam suatu sistem keuangan negara.3 Pengelolaan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam UUD Tahun 1945 perlu dilaksanakan secara profesional, terbuka, dan bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Adapun Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara (UU Perbendaharaan Negara) merupakan payung hukum tertinggi di bidang administrasi keuangan negara. Pengertian keuangan negara berdasarkan objeknya meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, barang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.4 Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas pengelolaan investasi dan barang milik negara, UU Perbendaharaan Negara telah mengamanatkan untuk mengatur pedoman teknis dan administrasi dalam suatu Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/ Daerah. Pasal 33 UUD Tahun 1945 dalam Perubahan Keempat menyatakan sebagai berikut:5 1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. 2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. 3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Berdasarkan apa yang dikatakan dalam Pasal 33 UUD Tahun 1945 tersebut, maka dapat dikatakan bahwa negara mempunyai peranan besar dalam pengelolaan kekayaan negara. Pasal 33 UUD Tahun 1945 tersebut telah secara jelas menyatakan cabang-cabang produksi yang penting, bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara. Akan tetapi pada masa pemerintahan sebelumnya, tindakan privatisasi aset negara banyak dilakukan. Hal ini dilakukan baik terhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun perusahaan negara lainnya.
3
4 5
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2003 Tentang Keuangan Negara. Penjelasan Umum alinea 1. Ibid., butir 3 Pengertian dan Ruang Lingkup Kekayaan Negara. Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
136
Denico Doly L. Tobing
Undang-Undang Nomor 51 Prp Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin yang Berhak atau Kuasanya sebagai dasar hukum yang melindungi aset negara sekarang ini dinilai sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan yang ada. Undang-Undang tersebut dinilai memberikan kelonggaran terhadap pihak-pihak yang ingin memiliki aset negara, khususnya aset tidak bergerak seperti tanah dan/atau bangunan. Undang-Undang Nomor 51 Prp Tahun 1960 hanya mengatur aset negara dalam arti sempit, yaitu tanah milik negara yang dialihkan kepada pihak ketiga, sehingga tidak menyangkut aset negara dalam bentuk lain. Aset negara dalam pengertian yuridis-normatif adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban anggaran pendapatan dan belanja negara atau berasal dari perolehan lainnya yang sah, seperti hibah/sumbangan, pelaksanaan dari perjanjian/kontrak, ketentuan undang-undang, atau putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.6 Secara yuridis-normatif, aset negara terbagi menjadi tiga sub-aset negara, yaitu: 1. yang dikelola sendiri oleh pemerintah disebut Barang Milik Negara (BMN), misalnya tanah dan bangunan Kementerian/Lembaga, mobil milik Kementerian/Lembaga; 2. dikelola pihak lain disebut kekayaan negara yang dipisahkan, misalnya penyertaan modal negara berupa saham di BUMN, atau kekayaan awal di berbagai badan hukum milik negara (BHMN) yang dinyatakan sebagai kekayaan terpisah berdasarkan UU pendiriannya. 3. dikuasai negara berupa kekayaan potensial terkait dengan bumi, air, udara dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang dikuasai negara selaku organisasi tertinggi, misalnya, tambang, batu bara, minyak, panas bumi, aset nasionalisasi eks-asing, dan cagar budaya. Dalam tulisan ini, penulis akan memaparkan aset negara yang dikelola sendiri oleh Pemerintah yang disebut sebagai BMN. Adapun objek dari aset negara ini akan difokuskan kepada tanah negara. Setelah Indonesia merdeka, dibuatlah aturan tentang penguasaan tanahtanah negara yang didalamnya termasuk Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah-Tanah Negara. Peraturan Pemerintah ini pada dasarnya masih mengadopsi substansi Staatsblad 1911 Nomor 110. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 tentang Penguasaan TanahTanah Negara (PP Penguasaan Tanah Negara) dinyatakan bahwa tanah-tanah tanah negara yang berasal dari pembebasan hak milik Indonesia tetap diakui
6
Pasal 1 angka 1 dan 2 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.
137
Penyelesaian Sengketa Tanah Negara sebagia Aset Negara
berada dalam penguasaan departemen/daerah swatantra. Adapun secara garis besar, PP Penguasaan Tanah Negara berisi hal-hal sebagai berikut: 1. Tanah-tanah negara yang telah diserahkan kepada suatu kementerian, jawatan atau daerah swantara sebelum berlakunya PP Penguasaan Tanah Negara maka penguasaanya berada pada kementrian, jawatan atau daerah swantantra tersebut. 2. Tanah-tanah negara sebelum berlakunya PP Penguasaan Tanah Negara tidak diserahkan kepada Kementerian, Jawatan atau daerah Swatran maka penguasaannya berada pada Menteri Dalam Negeri. Permasalahan sekarang ini menganai tanah negara yaitu adanya pihakpihak yang tidak bertanggung jawab menempati tanah-tanah negara tersebut tanpa seizin dari Pemerintah sebagai pengelolanya. Perebutan lahan atau tanah negara saat ini seringkali terjadi. Perebutan lahan antara pemerintah dengan warga masih kerap terjadi. Hal ini dikarenakan belum adanya pemetaan yang jelas ataupun daftar inventaris tanah-tanah negara. Tanah-tanah negara yang ditempati oleh masyarakat selama bertahun-tahun dikarenakan tidak dikelola dengan baik oleh pemerintah menyebabkan terjadinya perebutan lahan. Perebutan lahan antara pemerintah dengan masyarakat seringkali berujung kepada konflik. Konflik ini menimbulkan rasa ketidakpercayaan kepada pemerintah atas pengelolaan tanah negara untuk kemakmuran masyarakat. Permasalahan perebutan lahan di Indonesia sudah seperti “bom waktu” yang berjalan dan akan “meledak” suatu saat. Permasalahan ini harus ditanggulangi dengan cepat dan tepat. B. PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka permasalahan dalam tulisan ini yaitu, bagaimanakah penyelesaian sengketa tanah terkait dengan tanah negara?
138
BAB II KERANGKA PEMIKIRAN
A. KEKAYAAN NEGARA Kekayaan negara merupakan bagian dari keuangan negara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara). Dalam pengertiannya Keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.7 Adapun dari pengertian tersebut dapat dilihat bahwa pendekatan yang dipergunakan untuk merumuskan definsi keuangan negara adalah dari sisi objek, subjek, proses, dan tujuan.8 Apabila melihat dari segi objek, maka keuangan negara meliputi semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter, dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu, baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.9 Adapun Pasal 2 UU Keuangan Negara menyebutkan bahwa Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi: a. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman; b. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara danmembayar tagihan pihak ketiga; c. Penerimaan Negara; d. Pengeluaran Negara; e. Penerimaan Daerah; f. Pengeluaran Daerah; g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah; 9
7 8
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Keuangan negara. Riawan Tjandra, Hukum Keuangan Negara, Jakarta: Grasindo, hal. 3 Ibid.
139
Penyelesaian Sengketa Tanah Negara sebagia Aset Negara
h. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum; i. kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah. Dari Pasal 2 tersebut dapat diketahui bahwa kekayaan negara merupakan bagian dari keuangan negara dimana Pasal 2 huruf g menyebutkan bahwa keuangan negara meliputi kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah;
B. TANAH NEGARA Tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi, yang meliputi permukaan bumi yang berada dibawah air, termasuk air laut.10 Seperti diketahui,secara umum tanah dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu: a. Tanah Hak adalah tanah yang telah dipunyai dengan sesuatu hak atas tanah.Tanah yang berstatus tanah negara dapat dimintakan suatu hak untuk kepentingan tertentu. b. Tanah Negara adalah Tanah yang langsung dikuasai oleh Negara. Langsung dikuasai, artinya, tidak ada pihak lain diatas tanah itu. Tanah itu juga disebut tanah negara bebas.11 Menurut UUPA semua tanah dikawasan Republik Indonesia dikuasai oleh negara. Tanah negara dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu: i. Tanah Negara Bebas adalah tanah negara yang langsung dibawah penguasaan negara, diatas tanah tersebut tidak ada satupun hak yang dipunyai oleh pihak lain selain negara. Tanah negara bebas bisa langsung dimohon oleh kita kepada negara/Pemerintah dengan melalui suatu prosedur yang lebih pendek daripada prosedur terhadap tanah negara tidak bebas. ii. Tanah negara tidak bebas adalah tanah negara belum diatasnya sudah ditumpangi oleh suatu hak oleh pihak lain misal:12 “Tanah negara yang di atasnya ada Hak Pengelolaan yang dipunyai oleh: Pemerintah Daerah / Kota, Perum Perumnas, Pertamina, Bulog, Badan Otoritas khusus dan badan-badan pemerintah lainnya yang keseluruhan
10
11
12
Boedi Harsono, Undang undang Pokok Agraria, Sejarah Penyusunan, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta: Djambatan, 2005, hal. 18. Maria S.W. Sumardjono, Tanah Dalam Prespektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Jakarta: Kompas 2008, hal. 3. Herman Hermit, Cara Memperoleh Sertifikat Tanah Hak Milik, Tanah Negara dan Tanah PEMDA, Bandung: Mandar Maju, 2004, hal. 111.
140
Denico Doly L. Tobing
modal/ sahamnya dipunyai oleh pemerintah dan/ atau pemerintah daerah.”
Yang dimaksud dengan tanah negara adalah sama dengan tanah yang langsung dikuasai oleh Negara. Jadi tanah negara adalah semua tanah yang “belum dihaki” dengan hak-hak perorangan oleh UUPA. Tanah yang sudah dimiliki oleh suatu badan/instansi Pemerintah, adalah tanah negara pula, tetapi sudah diberikan dan melekat hak atas sesuai ketentuan yang berlaku (Hak Pakai dan Hak Pengelolaan)13 “Tanah Negara” seperti hal sebutan tanah yang lain - misalnya tanah milik dan sebagainya - hal ini menunjukan suatu status hubungan hukum tertentu antara obyek dan subyeknya yang dalam konteks ini lebih kepada hubungan kepemilikanatau kepunyaan antara subyek dan obyek yang bersangkutan. Dalam pengertian tersebut, maka jika menyebutkan tanah Negara artinya adalah tanah sebagai obyek dan Negara sebagai subyeknya dimana Negara sebagai subyek mempunyai hubungan hukum tertentu dengan obyeknya yakni tanah. adapun hubungan hukum itu dapat berupa hubungan kepemilikan kekuasaan atau kepunyaan. Didalam konsep hukum sebutan “menguasai” atau dikuasai dengan dimiliki ataupun kepunyaan dalam konteks yuridis mempunyai arti/makna Kep MNA/Ka. BPN No. 2/1998 tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah Tinggal yang Telah Dibeli Oleh Pegawai Negeri Dari Pemerintah Kepemilikan hak atas tanah untuk rumah tinggal yang telah dibeli oleh Pegawai Negeri dari Pemerintah berbeda dan menimbulkan akibat hukum yang berbeda pula. Arti dikuasai tidak sama dengan pengertian dimiliki. Jika menyebutkan tanah tersebut dikuasai atau menguasai dalam arti “possession” makna yuridisnya adalah tanah tersebut dikuasai seseorang secara fisik dalam arti faktual digarap, dihuni, namun belum tentu bahwa secara yuridis dia adalah pemilik atau yang mempunyai tanah tersebut. Demikian juga bila menyebutkan bahwa tanah tersebut di miliki atau kepunyaan dalam arti “Ownership” dalam pengertian juridis, maka dapat diartikan bahwa tanah tersebut secara yuridis merupakan tanah milik atau kepunyaan, namun bukan berarti juga dia secara fisik menguasai tanah tersebut, karena mungkin adanya hubungan kerjasama atau kontraktual tertentu.14 Dalam konsep Hukum Administrasi Negara (HAN) dalam hubungan antara subjek hak dan tanah sebagai objek hak dikenal pengertian tanah
13
14
John Salindeho, Masalah Tanah Dalam Perkembangan, Jakarta: Sinar Grafika, 1993, hal. 171. Boedi Djatmiko, Tanah Negara Dan Wewenang Pemberiannya, www.tripod.com. diakses tanggal 3 Agustus 2009.
141
Penyelesaian Sengketa Tanah Negara sebagia Aset Negara
negara dan tanah hak. Tanah Negara adalah tanah yang tidak dilekati dengan sesuatu Hak Atas Tanah.15 Menurut Ali Chomzah Tanah Negara adalah tanah yang tidak dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.16 Sebelum keluarnya UUPA, Tanah Negara dikenal dengan asas Domein Verklaring (Pernyataan Milik), asas tersebut menyatakan: semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan bahwa tanah itu hak eigendomnya, adalah Domein/Milik Negara. Setelah berlakunya UUPA asas domein verklaring tidak dipergunakan lagi dalam Hukum Agraria Nasional, karena UUPA berpangkal pada pendirian bahwa untuk mencapai apa yang ditentukan dalam pasal 33 ayat (3) UUD Tahun 1945 :bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesarbesar kemakmuran rakyat. Maka pengertian “tanah negara” mempunyai ruang lingkup yang lebih sempit dari pada pengertian land domein dahulu, karena hanya meliputi tanah tanah yang tidak dikuasai oleh sesuatu pihak.17 Berbeda dengan konsep Domein Negara, maka UUPA menganut sistem negara “menguasai” dan bukan “memiliki” dalam hubungan tanah dengan negara. Negara sebagai personifikasi dari seluruh rakyat mempunyai kewenangan untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, penyediaan, dan penyelenggaraan bumi, air, dan ruang angkasa, serta menentukan dan mengatur hubungan hukum dan perbuatan hukum yang berkenaan dengan bumi, air, dan ruang angkasa.18 Menurut Boedi Harsono Hak Menguasai dari Negara adalah sebutan yang diberikan oleh Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) kepada lembaga hukum dan hubungan hukum konkret antara Negara dan tanah Indonesia, yang dirinci isi dan tujuannya dalam Pasal 2 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960.19 Menurut Notonagoro, berkaitan dengan Pasal 1 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1953 dan penjelasannya, tanah negara adalah tanah yang dikuasai penuh oleh negara karena belum ada hak-hak atas tanah tertentu yang membebaninya. Pemberian tanah negara dengan hak penguasaan kepada instansi pemerintah dilakukan karena sudah tidak
15
16 17
18
19
Maria S.W. Sumardjono, Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Jakarta: Kompas,2008, hal. 144. Ali Chomzah, Hukum Pertanahan Seri I dan Seri II, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2002, hal.1. Boedi Harsono, Undang undang Pokok Agraria, Sejarah Penyusunan, Isi dan Pelaksanaannya, Op.Cit, hal. 162. Maria SW. Sumardjono, Kebijakan pertanahan antara regulasi dan implementasi, Jakarta: Kompas 2008, hal. 61. Boedi Harsono, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, isi dan Pelaksanaannya, Op.Cit, hal.268.
142
Denico Doly L. Tobing
dimungkinkan lagi memberikan hak milik atas tanah kepada instansiinstansi pemerintah seperti halnya pada waktu masih dianutnya asas domein verklaring berdasarkan Staatsblaad 1870 Nomor 118. Dengan berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 konsep negara memiliki tanah sudah tidak berlaku. Hal ini disebabkan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia menyatakan bahwa negara mempunyai hak menguasai atas bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya bukan hak memiliki.
C. PENYELESAIAN SENGKETA Pada dasarnya penyelesaian sengketa terbagi menjadi 2 (dua)20. Penyelesaian sengketa yang pertama yaitu dengan melalui jalur litigasi di dalam pengadilan. Penyelesaian sengketa yang kedua yaitu penyelesaian sengketa diluar pengadilan. Perbedaan dari kedua jenis penyelesaian sengketa ini dapat dibedakan dari perbedaan waktu, hasil yang diperoleh dan juga biaya yang dikeluarkan oleh kedua belah pihak. Proses litigasi menghasilkan kesepakatan yang bersifat adverasial yang belum dapat meberikan penyelesaian berdasarkan kepentingan bersama, cenderung menimbulkan permasalahan baru, penyelesaian yang lambat, biaya yang mahal, tidak responsif, dan dapat menimbulkan permusuhan antara kedua belah pihak21. Sebaliknya, penyelesaian sengketa di luar pengadilan menghasilkan kesepakatan yang bersifat “win-win solution”, kerahasiaan yang dijamin, proses berjalan cepat, penyelesaian berlangsung dengan itikad baik, sehingga tidak terciptanya suatu permusuhan antara kedua belah pihak22. Gary goodpaster mengatakan bahwa setiap masyarakat memiliki berbagai macam cara untuk memperoleh kesepakatan dalam proses perkara atau untuk menyelesaikan sengketa dan konflik. Cara yang dipakai pada suatu sengketa tertentu memiliki konsekuensi, bagi para pihak yang bersengketa maupun masyarakat dalam arti seluas-luasnya. Karena adanya konsekunsi itu, maka sangat diperlukan untuk menyalurkan sengketa-sengketa kepada suatu mekanisme penyelesaian sengketa yang paling tepat bagi mereka23. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa merupakan salah satu produk pemerintah bersama dengan DPR RI dalam memberikan solusi untuk menyelesaikan permasalahan
20
23 21 22
Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003, hal. 3 Ibid. Ibid. Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, Jakarta: Raja Grafinso Persada, 2000, hal. 3.
143
Penyelesaian Sengketa Tanah Negara sebagia Aset Negara
permasalahan yang terjadi di Indonesia. Istilah penyelesaian sengketa merupakan terjemahan dari istilah Inggris yaitu Alternative Despute Resolution (disingkat ADR). ADR merupakan pilihan-pilihan dalam menyelesaikan perselisihan ataupun sengketa tanpa melalui jalur pengadilan melalui cara-cara yang sah menurut hukum, baik berdasarkan pendekatan konsensus atau tidak berdasarkan pendekatan konsensus24. Philip D. Bowstick dalam Going Private With the Judicial System (1995) mengartikan ADR sebagai “sebuah perangkat pengalaman dan teknik hukum yang bertujuan (a set of practise and legal techniques that aims):25 a. Menyelesaikan sengketa hukum di luar pengadilan demi keuntungan para pihak (to permit legal dispute to be resolved outside the courts for the benefit of all disputants). b. Mengurangi biaya litigasi konvensional dan pengunduran waktu yang biasa terjadi (to reduce the cost of conventional litigation and the delay to which it is ordinarily subjected). c. Mencegah terjadinya sengketa hukum yang biasanya diajukan ke Pengadilan (to prevent legal dispute that would otherwise likely be brought to the courts). Lain halnya dengan Philip D. Bowstick, Christoper W. Moore mengungkapkan sejumlah keuntungan menyelesaikan sengketa dengan menggunakan ADR, yaitu antara lain26 : a. Sifat kesukarelaan dalam proses, di mana para pihak memilih penyelesaian sengketa dilakukan di luar jalur pengadilan. b. Prosedur yang cepat, hal ini dikarenakan proses ADR bersifat kurang formal. c. Keputusan nonjudicial, keputusan diambil berdasarkan keputusan kedua belah pihak, dimana tidak ada pihak ketiga yang mengambil keputusan tersebut. d. Kontrol oleh manajer yang paling tahu tentang kebutuhan organisasi, dimana prosedur ADR menempatkan keputusan di tangan orang-orang yang mempunyai posisi baik dalam organisasi tersebut. e. Prosedur rahasia (confidential), proses ADR dijamin kerahasiaanya bagi setiap pihak yang terlibat. f. Hemat biaya dan waktu. g. Fleksibilitas yang lebih besar dalam merancang syarat-syarat penyelesaian masalah.
24
25 26
I Made Widnyana, Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), Jakarta: Fikahati Aneska, 2009, hal 11. Ibid., hal. 12. Ibid., hal. 13 – 17.
144
Denico Doly L. Tobing
Penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi atau di luar pengadilan merupakan proses penyelesaian sengketa yang disepakati oleh para pihak (self-governing system) dimana prosedur tersebut dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu dengan27: a. Konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat personal antara suatu pihak tertentu, yang disebut dengan klien dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan, yang memberikan pendapatnya kepada klien tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya tersebut28. b. Negoisasi, gary goodpaster mengemukakan bahwa negoisasi merupakan proses upaya untuk mencapai kesepakatan dengan pihak lain, suatu proses interaksi dan komunikasi yang dinamis dan beraneka ragam, dapat lembut dan bernuansa, sebagaimana manusia itu sendiri.29 c. Mediasi dalam Black’s Law Dictionary dikatakan bahwa mediation is private, informal dipute resolution process in which a neutral third person, the mediator, helps, disputing parties to reach agreement.30 d. Konsiliasi adalah upaya penyelesaian sengketa dengan cara mempertemukan keinginan para piohak dengan menyerahkannya kepada suatu komisi/pihak ketiga yang ditunjuk atas kesepakatan para pihak yang bertindak sebagai konsiliator31. e. Pemberian pendapat hukum, merupakan tugas dari badan arbitrase yang bertugas untuk memberikan pendapat hukum kepada keuda belah pihak untuk dapat menyelesaikan sengketanya32. f. Arbitrase R Subekti mengatakan bahwa arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau mentaati keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim yang mereka pilih atau tunjuk tersebut. Penyelesaian sengketa antara pihak yang satu dengan pihak yang lain, berbeda cara penyelesaiannya. Penyelesaian dengan jalur non litigasi sudah banyak dilakukan oleh berbagai kalangan. Pemilihan cara penyelesaian sengketa antara satu pihak dengan pihak yang lain tentu saja harus berdasarkan kesepakatan
27
30 31 28
29
32
Hal ini dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase. Dalam undang-undang ini tergambarkan sekurang-kurangnya ada 6 (enam) tata cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Gunawan Widjaja, Op.Cit., hal. 86 Rachmadi Usman, Op.Cit., hal. 53. Ibid., hal. 81. H. Nazarkan Yasin, Mengenal Klaim Konstruksi dan Penyelesaian Sengketa Konstruksi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2003, hal. 171. Gunawan Widjaja, Op.Cit., hal. 94-96.
145
Penyelesaian Sengketa Tanah Negara sebagia Aset Negara
antara kedua belah pihak. ADR tidak hanya digunakan untuk menyelesaikan permasalahan perdata pada umumnya saja, ADR juga dapat digunakan dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan sengketa pertanahan.
146
BAB III ANALISIS
Kekayaan negara termasuk didalamnya yaitu tanah. Tanah yang dimiliki oleh negara dimana penguasaannya oleh negara harus dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Tanah sebagai tempat untuk berpijak dan membangun rumah pada saat ini menjadi kebutuhan dasar masyarakat. kebutuhan ini kemudian menjadikan tanah sebagai barang langka yang dicari oleh masyarakat. Pertumbuhan penduduk yang cukup besar dan tidak diimbangi dengan ketersediaan tanah, menjadi faktor utama dalam konflik perebutan lahan atau tanah. Tanah sebagai sumber daya alam yang dikaruniakan Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia sebagai kekayaan nasional merupakan sarana dalam menyelenggarakan seluruh aktivitas kehidupan rakyat dan mempunyai peranan yang penting bagi kelangsungan hidup manusia, dalam hal ini setiap orang pasti memerlukan tanah, bukan hanya dalam menjalani hidup dan kehidupannya, untuk mati pun manusia masih memerlukan sebidang tanah. Demikian juga dalam rangka kepentingan kenegaraan, terutama dalam mendukung kegiatan pembangunan di segala bidang, selalu memerlukan tanah sebagai tempat untuk pelaksanaan kegiatan pembangunan tersebut. Keberadaan tanah semakin penting sehubungan dengan makin tingginya pertumbuhan penduduk dan pesatnya kegiatan pembangunan yang menyebabkan kebutuhan akan tanah juga semakin meningkat, sementara di pihak lain persediaan akan tanah relatif sangat terbatas. Keberadaan tanah semakin penting sehubungan dengan makin tingginya pertumbuhan penduduk dan pesatnya kegiatan pembangunan yang menyebabkan kebutuhan akan tanah juga semakin meningkat, sementara di pihak lain persediaan akan tanah relatif sangat terbatas. Terjadinya benturan kepentingan menyangkut sumber daya tanah tersebutlah yang dinamakan masalah pertanahan.33 Masalah pertanahan juga ada yang menyebut sengketa atau konflik pertanahan. Secara etimologi, istilah “masalah” diartikan sebagai sesuatu yang harus diselesaikan, Jamil Anshari, Mengungkap Permasalahan Pertanahan di Propinsi Sumatera Utara, Makalah pada Kuliah Bedah Kasus Hukum pada Fakultas Hukum UNPAB Medan, 27-62003, hal. 1.
33
147
Penyelesaian Sengketa Tanah Negara sebagia Aset Negara
persoalan,34 sedang istilah “sengketa” dimaksudkan sebagai sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat, pertengkaran/perbantahan, pertikaian/ perselisihan, perkara di pengadilan,35 dan “konflik” adalah percekcokan, perselisihan, pertentangan.36 Perebutan lahan terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Mulai dari sabang sampai marauke, hampir selalu terjadi perebutan lahan, baik itu antara pemerintah dengan masarakat, perusahaan dengan masyarakat ataupun antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Perebutan lahan ini seringkali menimbulkan konflik yang nantinya menimbulkan korban jiwa atau korban luka. Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa tanah di bagi menjadi dua, yaitu tanah hak dan tanah negara. Tanah hak yaitu tanah yang dapat dipergunakan dan dikelola oleh masyarakat secara individu ataupun berkelompok. Memperhatikan tentang pengertian dari tanah negara perlu kiranya mengemukakan jenis-jenis dari tanah negara tersebut. mengenai jenis-jenis tanah negara dapat ditentukan dengan melihat asal mula tanah negara itu pada dasarnya dapat kita bagi atas 3 macam, yaitu:37 a. Tanah yang langsung dikuasai oleh negara (tanpa adanya hak ulayat diatasnya). b. Tanah yang dikuasai negara dengan hak ulayat yang ada diatasnya. c. Tanah yang berasal dari tanah yang haknya telah dibebaskan atau dilepaskan oleh pemegangnya secara sukarela. Menurut Boedi Harsono dengan berkembangnya Hukum Tanah Nasional lingkup pengertian tanah-tanah yang didalam UUPA disebut tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh negara,yang semula disingkat dengan sebutan tanah-tanah negara itu,mengalami juga perkembangan. Semula pengertiannya mencakup semua tanah yang dikuasai oleh negara, di luar apa yang disebut tanah-tanah hak. Sekarang ini ditinjau dari segi kewenangannya penguasaannya, ada kecenderungan untuk lebih memperinci status tanah-tanah yang semula tercakup dalam pengertian tanah-tanah negara itu, menjadi:38 1. Tanah-tanah Wakaf, yaitu tanah-tanah Hak Milik yang sudah diwakafkan; 2. Tanah-tanah Hak Pengelolaan, yaitu tanah-tanah yang dikuasai dengan Pengelolaan, yang merupakan pelimpahan pelaksanaan sebagian kewenangan Hak Menguasai dari Negara kepada pemegang haknya;
34
37 35 36
38
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Edisi Ketiga, 2002, hal. 719. Ibid., hal. 1037. Ibid., hal. 587. A. Ridwan. Halim, HukumAgraria Dalam Tanya Jawab, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983, hal.96. Boedi Harsono, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pembentukannya, Op.Cit, hal. 272.
148
Denico Doly L. Tobing
3. Tanah-tanah Hak Ulayat, yaitu tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakatmasyarakat hukum adat teritorial dengan Hak Ulayat; 4. Tanah-tanah kaum, yaitu tanah bersama masyarakat hukum adat genealogis; 5. Tanah-tanah Kawasan Hutan, yang dikuasai oleh Departemen Kehutanan, Hak Pengusaan ini pada hakikatnya juga merupakan pelimpahan sebagian kewenangan Hak Menguasai dari Negara; 6. Tanah-tanah sisanya, yaitu tanah-tanah yang dikuasai oleh negara,yang bukan tanah-tanah Hak, bukan tanah Wakaf, bukan tanah pengelolaan, bukan tanah-tanah Hak Ulayat, bukan tanah-tanah Kaum, dan bukan pula tanah-tanah Kawasan Hutan. Tanah-tanah ini benar-benar langsung dikuasai oleh negara. Kiranya untuk singkatnya dapat disebut dengan tanah negara. Penguasaannya dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional. Dengan demikian kita jumpai pengertian tanah-tanah Negara dalam arti luas dan tanah-tanah negara dalam arti sempit.
Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai istilah yang digunakan, yang dalam penelitian dipakai istilah “sengketa pertanahan”, mencakup pengertian adanya suatu persoalan, perselisihan, perbedaan pendapat antara para pihak yang berkepentingan menyangkut sumber daya tanah. Namun yang pasti, sengketa pertanahan tersebut harus dilakukan pengkajian dan penanganan oleh instansi berwenang guna penyelesaiannya secara tuntas. Dalam mencari penyelesaian dari sengketa pertanahan tersebut diperlukan kebijakan dari pelaksana kekuasaan Negara (Pemerintah) dalam hal pengaturan dan pengelolaan di bidang pertanahan terutama dalam hal pemilikan, penguasaan, penggunaan dan pemanfaatannya termasuk dalam upaya penyelesaian sengketa pertananahan yang timbul. Pada prinsipnya setiap sengketa pertanahan dapat diatasi dengan norma dan aturan-aturan yang ada, atau dengan kata lain diselesaikan berdasarkan hukum yang berlaku. Bahkan terhadap sengketa pertanahan yang menyangkut aspek politik, ekonomi, sosial-kultural, dan pertahanan keamanan, tetap disiasati penyelesaiannya dengan ketentuan hukum yang ada, sebab semua peraturan yang diterbitkan oleh Pemerintah pada dasarnya merupakan resultante dari faktor-faktor ekonomi, politik, sosial, budaya dan pertahanan keamanan, yang kemudian dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Penyelesaian sengketa pertanahan berdasarkan hukum yang berlaku tersebut dilandasi oleh konstitusi yang menegaskan bahwa Negara Indonesia sebagai suatu negara hukum. Hal ini dengan tegas dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945. Negara hukum pada prinsipnya memiliki syarat149
Penyelesaian Sengketa Tanah Negara sebagia Aset Negara
syarat esensial, antara lain harus terdapat kondisi-kondisi minimum dari suatu sistem hukum di mana hak-hak asasi manusia dan human dignity dihormati.39 Pasal 33 ayat (3) UUD Tahun 1945 telah secara jelas menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Oleh karena itu penguasaan terhadap tanah merupakan kewenangan dari pemerintah. Adapun penguasaan itu bukan berarti dikuasai oleh pemerintah, akan tetapi lebih kepada adanya suatu lembaga yang bertugas untuk memberikan tata kelola yang baik bagi masyarakat untuk menyalurkan tanah kepada masyarakat untuk memberikan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat itu sendiri. Penjabaran atas tanah di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). UUPA mengatur mengenai keberadaan tanah hak yang ada di Indonesia. Adapun kepemilikan atas hak ini kemudian diatur dalam peraturan pelaksananya tentang pendaftaran tanah. UUPA sebagai dasar pembentukan peraturan mengenai keagrariaan belum sepenuhnya mencakup mengenai pembagian atas tanah-tanah yang ada di Indonesia. Permasalahan utama dalam sengketa tanah di Indonesia dikarenakan tidak terlaksananya ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keagrarian. Salah satu hal yang dapat dilihat yaitu tidak terlaksananya pendaftaran tanah di Indonesia secara menyeluruh. Pendaftaran tanah di Indonesia belum sepenuhnya terpenuhi. Masih banyak tanah yang berstatus sebagai tanah girik, eigendom dan lain sebagainya. Permasalahan-permasalahan ini yang kemudian menjadikan berbagai konflik atau sengketa tanah terjadi di Indonesia. Kondisi inilah yang juga menyebabkan banyaknya terjadi penyerobotan tanah hak orang yang dilakukan oleh orang lain. Sengketa pertanahan banyak diselesaikan melalui jalur pengadilan. Akan tetapi banyak juga penyelesaian yang dilakukan melalui jalur pengadilan malah menimbulkan permasalahan baru. Permasalahan baru ini dapat dilihat apabila terjadi dua putusan badan peradilan yang berbeda. Putusan Pengadilan Umum dan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Perbedaan putusan pengadilan ini dapat menimbulkan permasalahan baru yang menyebabkan tidak selesainya sengketa pertanahan. Penyelesaian sengketa pertanahan melalui lembaga peradilan tersebut berdasarkan Undang Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai perubahan dari Undang Undang Nomor 4 tahun 2004 dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
39
Ismail Sunny, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Jakarta : Aksara Baru, 1979, hal. 11.
150
Denico Doly L. Tobing
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara dan oleh sebuah mahkamah konstitusi yang merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Bila berkaitan dengan perkara pertanahan antara para pihak yang bersengketa, maka penyelesaiannya dilakukan oleh lembaga peradilan dengan memeriksa, mengadili dan memutus perkaranya serta melaksanakan (eksekusi) putusannya, sehingga pelaksanaan putusan pengadilan tersebut dijadikan sebagai dasar penyelesaian secara tuntas dari sengketa tersebut. Dengan demikian, pada dasarnya setiap terjadinya kasus pertanahan harus diselesaikan melalui lembaga peradilan, sehingga wajar apabila UUPA tidak membicarakan mengenai kasus pertanahan, karena diharapkan dapat diselesaikan melalui lembaga peradilan yang ada. Namun pada kenyataannya, tidak semua kasus pertanahan yang terjadi dapat dibawa ke lembaga peradilan baik karena kekurangan bukti-bukti maupun karena para pihak tidak bersedia mengajukan gugatan ke pengadilan atau melaporkan kepada aparat penegak hukum atas setiap kasus pertanahan, yang dengan berbagai pertimbangan, para pihak lebih memilih diselesaikan melalui musyawarah mufakat. Oleh karena itu penyelesaian sengketa pertanahan juga dapat ditempuh melalui cara musyawarah mufakat antara para pihak yang bersengketa, dengan kehadiran pihak ketiga yang dipercaya sebagai mediator dan fasilitator yang disebut penyelesaian dengan cara mediasi. Pihak ketiga yang dimaksudkan dalam hal ini adalah suatu badan independen atau juga instansi pemerintah (eksekutif) yang mengelola bidang pertanahan. Penyelesaian masalah pertanahan melalui mediasi tersebut bukan berarti mengambil alih tugas badan peradilan (yudikatif), tetapi merupakan alternatif penyelesaian yang diinginkan oleh para pihak yang bersengketa untuk mendapatkan penyelesaian yang saling menguntungkan, hal ini dimungkinkan oleh Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Masalah. Penyelesaian masalah atau kasus melalui mediasi tersebut, termasuk juga dalam hal bidang pertanahan yang dimediasi dan difasilitasi oleh instansi Badan Pertanahan Nasional, dapat dilakukan terhadap kasus pertanahan yang terjadi melibatkan berbagai pihak, dan para pihak memilih penyelesaian melalui musyawarah mufakat dengan cara mediasi. Penyelesaian sengketa pertanahan yang melibatkan tanah negara, harus dapat dilakukan oleh badan peradilan ataupun badan lain yang bersifat independent. BPN sebagai bagian dari pemerintah belum tentu dapat secara objektif menyelesaikan permasalahan sengketa tanah di Indonesia khususnya yang berkaitan dengan tanah negara. Penulis berpendapat, bahwa ada kemungkinan terjadinya interfensi dari penguasa terhadap penyelesaian 151
Penyelesaian Sengketa Tanah Negara sebagia Aset Negara
sengketa tanah apabila dilakukan oleh BPN. Oleh karena itu, penulis berpendapat, khusus terkait dengan sengketa tanah yang melibatkan tanahtanah negara, maka perlu diselesaikan melalui jalur pengadilan ataupun badan arbitrase nasional. Pengadilan sebagai yudikatif strukturnya terpisah dari legislatif ataupun eksekutif. Oleh karena itu, kemungkinan terjadinya interfensi terhadap putusan ataupun keputusan yang dibuat oleh yudikatif akan sangat kecil terjadi. Penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi atau ADR memang mempunyai kelebihan efektif dan efisien, akan tetapi perlu juga dilihat dari sisi kepastian hukum, dimana putusan pengadilan yang sudah bersifat tetap (incraht) harus dapat dilaksanakan. Oleh karena itu, penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi atau arbitrase merupakan jalan terbaik dalam penyelesaian sengketa tanah yang melibatkan tanah-tanah negara.
152
BAB IV PENUTUP
A. KESIMPULAN Tanah negara merupakan bagian dari kekayaan negara berupa aset yang harus dilindungi. Hal ini dikarenakan tanah negara dapat dipergunakan untuk kepentingan umum ataupun sebagai pelengkap sarana dan prasarana dalam melakukan kegiatan pemerintahan di Indonesia. Sengketa tanah yang terjadi di Indonesia dapat melibatkan seluruh kalangan di indonesia. Tanah negara merupakan salah satu objek sengketa tanah yang terjadi saat ini. Penyelesaian sengketa tanah di Indonesia dapat dilakukan dengan berbagai cara. Adapun penyelesaian sengketa tanah ini dapat diselesaikan melalui jalur litigasi ataupun non litigasi. Akan tetapi, khusus untuk objeknya berupa tanah negara, maka perlu dilakukan melalui jalur litigasi. Hal ini untuk memenuhi unsur objektif dalam penyelesaian sengketa tanah yang melibatkan tanah negara. B. SARAN Penyelesaian sengketa tanah baik secara litigasi maupun secara non litigasi di Indonesia belum diatur secara jelas dalam peraturan perundangundangan. Perlu adanya pengaturan secara jelas mengenai mekanisme penyelesaian sengketa tanah di Indonesia. adapun mekanisme ini untuk memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang bersengketa dalam meyelesaikan sengketa tanahnya. Selain diaturnya mekanisme penyelesaian sengketa tanah, perlu juga dibentuk suatu badan peradilan yang secara khusus menangani masalah tanah ataupun masalah agraria. Pentingnya dibentuk pengadilan agraria ini yaitu untuk menyelesaikan permasalahan pertanahan secara maksimal.
153
DAFTAR PUSTAKA
Buku Ali Chomzah, Hukum Pertanahan Seri I dan Seri II, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2002.
A. Ridwan Halim, HukumAgraria Dalam Tanya Jawab, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983. Boedi Harsono, Undang undang Pokok Agraria, Sejarah Penyusunan, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta: Djambatan, 2005.
Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, Jakarta: Raja Grafinso Persada, 2000 H. Nazarkan Yasin, Mengenal Klaim Konstruksi dan Penyelesaian Sengketa Konstruksi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2003
Hadiyanto, Era Baru Kebijakan Fiskal, Pemikiran, Konsep Dan Implementas.
Herman Hermit, Cara Memperoleh Sertifikat Tanah Hak Milik, Tanah Negara dan Tanah PEMDA, Bandung: Mandar Maju,2004. I Made Widnyana, Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), Jakarta: Fikahati Aneska, 2009. Ismail Sunny, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Jakarta: Aksara Baru, 1979.
John Salindeho, Masalah Tanah Dalam Perkembangan, Jakarta: Sinar Grafika, 1993.
Maria S.W. Sumardjono, Tanah Dalam Prespektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Jakarta: Kompas 2008.
Maria SW. Sumardjono, Kebijakan pertanahan antara regulasi dan implementasi, Jakarta: Kompas 2008. Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003. Riawan Tjandra, Hukum Keuangan Negara, Jakarta: Grasindo. 155
Penyelesaian Sengketa Tanah Negara sebagia Aset Negara
Makalah Jamil Anshari, Mengungkap Permasalahan Pertanahan di Propinsi Sumatera Utara, Makalah pada Kuliah Bedah Kasus Hukum pada Fakultas Hukum UNPAB Medan, 27-6-2003 Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Indonesia, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2003 Tentang Keuangan Negara. Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase.
Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Lembaran Negara Nomor 104 Tahun 1960, dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043 Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.
Kamus Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Edisi Ketiga, 2002.
Internet Boedi Djatmiko, Tanah Negara Dan Wewenang Pemberiannya, www.tripod. com. Diakses tanggal 3 Agustus 2013.
156
EPILOG
Rumitnya berbagai problematika terkait keuangan negara ini memang tidak gampang untuk dapat diselesaikan. Buku ini hanyalah merupakan salah satu wujud dalam upaya pembenahan problematika tersebut. Pemikiranpemikiran yang diketengahkan oleh para penulis dalam buku ini sangat bagus untuk dapat diketahui oleh masyarakat umum dan terkhusus bagi pemerintah dan para legislator, serta mereka yang terlibat dalam proses pembentukan kebijakan dan pembentukan perundang-undangan. Tulisan pertama, mengenai konsepsi hukum atas uang yang dimiliki oleh badan hukum, Ronny Sautma Hotma Bako diantaranya menggarisbawahi bahwa, walaupun secara konsepsi hukum dalam UU BUMN disebutkan modal BUMN berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan yang bersumber dari APBN dan sudah ada bukti administrasi hukum dari penyerahkan tersebut dalam bentuk pengundangan suatu PP, tetapi bagi pemerintah modal negara yang diambil dari APBN sebagai kekayaan negara yang dipisahkan, pemerintah masih mencatat dalam LKPP modal negara tersebut sebagai investasi permanen atas penyertaan modal negara pada suatu BUMN. Oleh sebab itu, terhadap konsepsi hukum atas modal negara pada suatu BUMN, hendaknya ada konsistensi dari semua pihak agar untuk hal yang sama yaitu modal negara, tidak ada pencatatan ganda atas modal negara tersebut, baik di tingkat BUMN ataupun di tingkat pemerintah dalam LKPP. Kedua, tulisan mengenai problematika hukum penerapan unsur kerugian keuangan negara dalam kasus korupsi di BUMN, Prianter Jaya Hairi diantaranya menyimpulkan bahwa, pembuktian unsur kerugian keuangan negara dalam kasus korupsi di BUMN menjadi problematik tersendiri. Jika kerugian BUMN yang dianggap kerugian negara menggunakan penilaian kerugian negara sebagaimana yang diatur dalam UU Perbendaharaan Negara, maka akan menyebabkan banyaknya pengurus BUMN menjadi terdakwa korupsi. Padahal tidak semua kerugian BUMN disebabkan oleh perilaku korupsi, namun bisa juga disebabkan oleh miss management ataupun murni business loss. Oleh sebab itu perlu dilakukan pembenahan, terutama mengenai mekanisme pertanggungjawaban direksi BUMN apabila terjadi kerugian di BUMN. 157
Epilog
Ketiga, tulisan mengenai pengaruh penyertaan modal pemerintah terhadap penerimaan deviden BUMN, Ari Mulianta Ginting diantaranya menegaskan bahwa pengaruh penyertaan investasi pemerintah memiliki pengaruh yang tidak signifikan terhadap bagian laba BUMN yang disetorkan kepada negara. Dengan kata lain bagian laba yang disetorkan oleh BUMN kepada pemerintah hanya dipengaruhi oleh besarnya investasi yang ditanamkan oleh pemerintah kepada BUMN-BUMN tersebut, akan tetapi ada hal lain yang lebih fundamental yang mempengaruhi kinerja laba dari BUMN-BUMN itu sendiri. Untuk itu diperlukan langkah kongkrit dan strategis baik yang dilakukan oleh pemerintah dan BUMN itu sendiri untuk dapat terus melakukan proses perbaikan dan peningkatan produktivitas dari BUMN, agar pada akhirnya BUMN dapat lebih memberikan peningkatan kontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung kepada pemerintah. Keempat, tulisan mengenai privatisasi badan usaha milik negara di indonesia: peran negara dan strategi kebijakan, dalam tulisan ini Rafika Sari menyampaikan bahwa beberapa pembelajaran yang dapat dipertimbangkan dalam pembaharuan kebijakan privatisasi untuk mengembangkan BUMN, yaitu: (a) melakukan restrukturisasi atas BUMN yang direncanakan untuk diprivatisasi, supaya dapat menambah nilai tambah perusahaan, sehingga pada saat dilepas, harga saham akan lebih tinggi; (b) mengatur tata cara privatisasi (metode, harga dan waktu privatisasi); dan (c) mengatur jumlah saham yang diberikan kepada masyarakat. Kelima, tulisan mengenai lelang dalam rangka penyelamatan keuangan negara, dalam tulisan ini Luthvi Febryka Nola mengatakan bahwa kendala yang dihadapi dalam rangka lelang untuk menyelamatkan keuangan negara adalah kemampuan yang terbatas dari penyidik menelusuri dan menyita aset terdakwa. Sehingga membuat secara kualitas dan kuantitas objek lelang tidak mempu mengembalikan secara maksimal keuangan negara yang dikorupsi. Selain itu kendala tidak berwenangnya pejabat lelang kelas II menangani lelang eksekusi membuat pelaksanaan lelang menjadi terbatas. Terakhir (keenam), tulisan tentang penyelesaian sengketa tanah negara sebagai aset negara, penulis Denico Doly L. Tobing menegaskan bahwa tanah negara merupakan bagian dari kekayaan negara berupa aset yang harus dilindungi. Tanah negara merupakan salah satu objek sengketa tanah yang terjadi saat ini. Penyelesaian sengketa tanah di Indonesia dapat dilakukan dengan berbagai cara. Adapun penyelesaian sengketa tanah ini dapat diselesaikan melalui jalur litigasi ataupun non litigasi. Akan tetapi, khusus untuk objeknya berupa tanah negara, maka perlu dilakukan melalui jalur litigasi. Hal ini untuk memenuhi unsur objektif dalam penyelesaian sengketa tanah yang melibatkan tanah negara. 158
SEKILAS TENTANG PENULIS
DR Ronny Sautma Hotma Bako, S.H., M.H., lahir di Jakarta Maret 1962. Bekerja di Setjen DPR RI sejak tahun 1990. Pendidikan S1, S2 dan S3 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Pangkat Pembina Utama (Golongan IV/E, TMT Oktober 2012), Jabatan Peneliti Utama TMT Oktober 2011. Aktif dalam pembentukan dan pembahasan RUU di DPR RI. Aktif dalam pengembangan Setjen DPR RI, antara lain tim penyusunan Renstra DPR RI 2010 - 2014 dan Renstra Setjen DPR RI 2010 – 2014, tim penyusunan LAKIP Setjen DPR RI, tim evaluasi LAKIP, Tim SAKIP, tim kehumasan DPR RI, tim pelayanan informasi publik. Bersertifikasi pasar modal, perpajakan, pendidikan kepengacaraan, hukum kontrak dan perancang undang-undang. Menjadi narasumber hukum bagi media massa dan sejumlah law firm di dalam negeri dan luar negeri. Staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan Jakarta pada program S1, S2 dan S3. Menjadi pembicara (reader) tesis dan disertasi tentang hukum Indonesia dan keparlemenan bagi mahasiswa program pascasarjana dalam negeri dan luar negeri. Prianter Jaya Hairi, S.H., LLM. Lahir di Palembang Oktober 1984. Pendidikan S1 Ilmu Hukum Jurusan Hukum Pidana diselesaikan pada Tahun 2006 di Universitas Muhammadiyah Palembang (UMP). Menyelesaikan Magister Ilmu Hukum Bidang Hukum Pidana pada Program Pascasarjana Universias Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta pada Tahun 2009. Bekerja di Sekretariat Jenderal DPR RI sejak tahun 2010 sebagai Peneliti Muda Bidang Hukum di Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI). Aktif dalam penyusunan dan pembentukan berbagai Rancangan Undang-Undang di DPR RI, antara lain: RUU Keprotokolan, RUU Intelijen negara, RUU Mahkamah Agung, RUU Kejaksaan, Rancangan KUHP, Rancangan KUHAP, RUU Penyelenggaraan Ibadah Haji, dan lain-lain. Penulis dapat dihubungi melalui prianter.hairi@ dpr.go.id.
Ari Mulianta Ginting, adalah Peneliti Muda bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik dengan bidang konsentrasi Ekonomi Terapan. Lahir di Jakarta, 2 Mei 1981. Pendidikan Sarjana Manajemen Keuangan diselesaikan di Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia pada tahun 2006. Magister Ilmu Ekonomi diperoleh dari Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia pada tahun 2008 dengan kekhususan 159
Ilmu Ekonomi dengan konsentrasi Ekonomi Moneter. Bekerja di Sekertariat Jendral Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mulai tahun 2009 sebagai Peneliti Muda Bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik dengan konsentrasi kepakaran Ekonomi Terapan pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI). Ditugaskan sebagai Tim Pendukung Badan Legislasi DPR RI, melakukan pendampingan pembentukan Rancangan Undang-Undang Percepatan Pembangunan Daerah Kepulauan, Revisi Undang-Undang Keuangan Negara, harmonisasi RUU Resi Gudang, serta melakukan pendampingan dalam Pansus RUU Percepatan Pembangunan Daerah Kepulauan. Tahun 2012 hingga sekarang, Penulis terlibat Panitia Khusus (Pansus) RUU Percepatan Pembangunan Daerah Kepulauan, kemudian pada tahun 2013 terlibat dalam Pansus RUU Revisi Keuangan Negara. Penulis juga terlibat dalam penelitian kelompok Tim Ekonomi dan Kebijakan Publik, dengan berbagai topik diantaranya tahun 2011 Penelitian tentang Ketahanan Pangan di Provinsi Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan, tahun 2012 Penelitian Tentang Asuransi Umum dan Tahun 2013 tentang Industri Berbasis Input Lokal. Penulis juga bekerja sebagai Dosen Honorer sejak tahun 2008 hingga sekarang untuk mata kuliah Statistika I dan II untuk Program Studi Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi, Universitas Katholik Atmajaya, Jakarta. Penulis dapat dihubungi melalui alamat e-mail :
[email protected]
Rafika Sari, lahir di Jakarta, 7 Januari 1977. Menyelesaikan studi S1 pada jurusan Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan (IESP) – Fakultas Ekonomi, Universitas Diponegoro, dan melanjutkan pendidikan Pasca Sarjana pada Jurusan Ilmu Ekonomi – Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Bekerja di Sekretariat Jenderal DPR RI mulai tahun 2009 sebagai Peneliti Ekonomi dan Kebijakan Publik di Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI). Beberapa topik penelitian tentang kebijakan publik telah dilakukan penulis seperti: Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal, Reformasi Pengelolaan BUMN terkait Revi si UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN, dan yang terakhir tentang Efektivitas Dana Perimbangan dan Peranannya terhadap Pelayanan Publik. Saat ini penulis ikut serta dalam tim penyusunan perubahan Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Penulis dapat dihubungi melalui email:
[email protected]. Luthvi Febryka Nola, S.H., M.Kn., Peneliti Bidang Hukum pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI. Pendidikan S1 Ilmu Hukum diselesaikan di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Tahun 2003. Kemudian melanjutkan studi S2 Magister Kenotariatan di Universitas Indonesia pada tahun 2009. Jabatan saat ini adalah Peneliti Muda Bidang Hukum dengan Golongan III/b. 160
Denico Doly, S.H., M.Kn., lahir di Jakarta, Desember 1983. Pendidikan S1 ilmu hukum diselesaikan di Fakultas Hukum Universitas Lampung pada tahun 2007. Magister kenotariatan diselesaikan di Universitas Diponegoro pada tahun 2009. Bekerja di Sekertariat Jenderal DPR RI mulai tahun 2009 sebagai peneliti bidang hukum pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI). Jabatan saat ini yaitu peneliti hukum dengan golongan III/c. Ditugaskan sebagai Tim Pendamping pembahasan beberapa Rancangan Undang-Undang di DPR tentang Penyiaran, RUU Radio Televisi Republik Indonesia dan RUU Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar.
161
INDEKS
A Activity oriented, 73 Adverasial, 143 Agent of development, 59, 83, 103 APBN, 8, 9, 10, 17, 18, 19, 21, 24, 25, 26, 27, 28, 35, 36, 37, 43, 59, 60, 61, 63, 65, 70, 84, 85, 86, 87, 91 Aset, 10, 18, 19, 20, 40, 42, 60, 67, 68, 69, 70, 74, 77, 88, 92, 94, 101, 103, 105, 107, 111, 112, 113, 126, 129, 135, 136, 137, 153
B
Badan Pemeriksa Keuangan, 51, 83, 112 Bank Indonesia, 10, 51, 67, 88 BHMN, 137 BUMN Persero, 5, 83, 84, 88, 89, 90, 102 Business judgement rule, 48, 49, 53
C
Capital gain, 67
Daerah swatran,138 Das sollen, 3 Debatable, 45, 48 Deviden, 17, 19, 24, 28, 59, 60, 68, 70, 71, 75 Deviden BUMN, 70, 71 Dewan direksi, 17 Dewan komisaris, 17, 19, 48, 52 Dikotomi uang publik, 5 Domein privat, 135 Domein public, 135 Ekonometri, 65 Eksekutorial, 127
F
Fatwa, 14, 21, 28, 36, 37 Fiskal, 7, 136, 139 Flag carrier, 90
H
Holding, 69, 102 Hukum, 3, 4, 5, 7, 8, 9, 10, 11, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 34, 36, 37, 38, 39, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 52, 53, 54, 59, 63, 85, 87, 88, 89, 111, 112, 113, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 123, 126, 127, 128, 129, 136, 137, 141, 142, 144, 145, 148, 149, 150, 151, 152, 153 Hukum Administrasi Negara, 44, 141 Hukum privat, 9, 15, 18, 23, 27
I
D
E
Entry point, 35
Ikhwal, 22 Ilmu perundang-undangan, 20 Insider trading, 85, 97, 103 Irrelevance, 84 Itikad, 48, 49, 143
J
Joint venture, 93.
K
Karakteristik, 15, 50, 98 Koninklijke, 67 Konkritisasi, 18, 22 Konsepsi uang, 3, 14, 15 Konstitusi, 9, 14, 35, 45, 59, 149, 151 Konvensi anti korupsi, 34, 46
162
Konvensi UNCAC, 46, 53 Korupsi, 3, 4, 5, 10, 14, 33, 34, 36, 37, 38, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 112, 113, 115, 117, 120, 123, 124, 126, 127, 129
L
Legislator, 43, 53 Levering, 17, 18, 19, 27 Liablities, 74 LKPP, 19, 24, 25, 26, 28 Lokomotif, 135
M
Mahkamah Agung, 14, 36, 150 Mahkamah Konstitusi, 14, 151 Markup pricing, 34 Modal negara, 13, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 36, 38, 40, 85, 87, 94, 120, 137 Moneter, 7, 136, 139 Multi tafsir, 15, 87
N
Negara, 3, 4, 5, 7, 8, 9, 10, 11, 13, 14, 15, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 59, 60, 63, 64, 65, 67, 68, 69, 71, 73, 74, 75, 76, 77, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 92, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 102, 103, 105, 111, 112, 113, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 123, 124, 126, 127, 128, 129, 130, 135, 136, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 147, 148, 149, 150, 151, 152, 153 NV NIGM, 67
O
Orde Baru, 77 Orde lama, 77 Outentik, 124
P P-value, 72 Pasar modal, 15, 41, 60, 89, 90, 91, 97 Penatausahaan, 87 Per saham, 85 Peraturan lelang, 111 Preamble, 135 Primum remedium, 50 Prinsip informasi, 64 Privatisasi BUMN, 42, 69, 85, 86, 88, 89, 90, 91, 92, 96, 97, 98, 100, 101, 102, 105 Produksi, 59, 91, 93, 100, 102, 136 Profit motive, 83 Profitisasi, 69 Proyek ironmaking, 93 PT, 4, 13, 15, 16, 23, 24, 37, 48, 71, 85, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 102 Public servis, 83, 95 Public service obligation, 95 Public offering, 91, 96, 97 Putusan, 14, 46, 50, 51, 52, 112, 113, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 123, 124, 126, 127, 128, 129, 137, 150, 151, 152
R
Rasio kesehatan, 103 Rechts subject, 8 Rechtsbevoegheid, 8 Recidivist, 50 Reinvensi BUMN, 75 Return on asset, 59 Return on equity, 59 Return on invesment, 59 Risalah lelang, 124, 125, 127, 128 Rumusan delik, 43, 53, RUPS, 17, 19, 41, 42, 87, 99 RUU Tipikor, 34, 46, 53
S
Sapi perah, 73 Scale of economics, 100 SKK Migas, 10
163
Software SPSS 16, 66 Sogok, 33 Sport centre, 33 Stakeholder, 64 Steelmaking, 93 Subsidair, 46 Subjek hukum,3, 4, 8, 9, 13, 15, 27, 89
U
T
Uang privat, 3, 4, 5, 11, 16, 17, 18, 19, 27 Ultimum remedium, 49, 53 UU, 35, 36, 37, 38, 39, 43, 44, 46, 47, 48, 51, 52, 53, 68, 75, 111, 115, 116, 117, 118, 120, 121, 123, 127, 136, 137, 139
V
Tender, 33, 48, 98 Time series, 65, 66 Tipikor, 14, 34, 37, 38, 39, 43, 44, 46, 52, 53, 87 Tradeoff, 83 Tumor ganas, 33
Vertical unbundling, 94
Y
Yuridis, 8, 16, 18, 24, 119, 131, 137, 140, 141
164