DRAMA-DRAMA REVOLUSI D. SURADJI Arkhelaus Wisnu Triyogo dan Riris K. Toha-Sarumpaet Program Studi Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini membahas dua drama karya D. Suradji yang berjudul “Extremis Manis” dan “Ular”. Penelitian ini menggunakan pendekatan strukturalisme-genetik. Hasil penelitian ini membuktikan beberapa aspek. Pertama, adanya tokoh-tokoh representatif yang mewakili kelas borjuisme dan sosialisme. Kedua, adanya pertentangan sosial antara tokoh-tokoh yang melibatkan ideologi tokoh. Ketiga, adanya fakta sosial dan sejarah yang diangkat pengarang dalam karyanya. Penelitian ini juga membuktikan bahwa Suradji adalah pengarang yang menggunakan karya sastra untuk menyuarakan ideologi sosialismenya. Kata kunci: Borjuisme, Revolusi, Sosialisme, Strukturalisme, Suradji ABSTRACT This research examines the literary work of Suradji about histrionics, and the two of them are entitled “Extremis Manis” and “Ular”. Method employed in this research is structuralismgenetic approach. The results has proven some aspects. The first, it is represented by classes of bourgeoism and socialism. The second, social and ideological conflicts are manifested in the character. The third one, it is presented the existence of social and historical facts which lifted on this Suradji’s works. This research has proven that Suradji is one who used a literature work in expressing his ideology about socialism. Keywords: Borjuism, Revolution, Sosialism, Structuralism, Suradji Pendahuluan Polemik kebudayaan yang terjadi pada 1930-an memunculkan banyak pemikiran mengenai konsep kebudayaan. Polemik ini berujung pada perdebatan yang disebutkan Roolvink (1953) sebagai perdebatan yang melibatkan angkatan tua dan angkatan muda. Teeuw (1989) menangkap perdebatan ini berlangsung sampai kemerdekaan Indonesia dengan pertentangan antara kaum Marxis dan non-Marxis yang mencapai puncak pada peristiwa 1965 saat terjadi perseturuan antara lembaga kebudayaan Manikebu dan Lekra yang memiliki perbedaan ideologi. Di luar dua lembaga tersebut, terdapat banyak lembaga kebudayaan lain yang melakukan aktivitas budaya dengan ideologi yang berbeda pula. Hal inilah yang menyebabkan dinamika kebudayaan menjadi ramai.
Drama-drama revolusi..., Arkhelaus Wisnu Triyogo, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
2
Di tengah ramainya dinamika kebudayaan dan pemindahan kembali Ibukota Republik Indonesia ke Jakarta pascarevolusi, membawa dampak tersendiri dalam sentralisasi kekuasaan, termasuk kekuasaan terhadap kesusastraan. Sentralisasi ini membuat adanya konsep marginalisasi terhadap karya-karya di luar wilayah kekuasaan. F. Rahardi (dalam Santosa, 2004: 118) menyebut karya-karya semacam ini sebagai sastra pinggiran karena tidak pernah berada dalam orbit pusat sastra. Tahun 1950-an hingga 1960-an adalah masa perkembangan keberadaan sastra marginal yang berkaitan dengan munculnya isu krisis sastra yang ditandai dengan kelesuan penerbit Balai Pustaka. Para pengarang pada masa itu pun beralih pada media cetak dalam memublikasikan karya mereka. Menurut Puji Santosa (2004), karya sastra yang berkembang pada masa itu adalah karya sastra majalah dan cerita silat. Akan tetapi, perkembangan ini belum mendapatkan perhatian dari peneliti dan kritikus sastra sehingga karya sastra yang berkembang pada masa itu menjadi terabaikan (Santosa, 2004:121). Marginalisasi kesusastraan di tengah ingar-bingar kesusastraan Indonesia menjadi perhatian Farida Soemargono untuk melihat kesusastraan yang berada di luar sentralisasi kekuasaan Jakarta. Soemargono melakukan penelitian terhadap keberadaan seniman-seniman Malioboro (1945--1960) pada tahun 1979. Penelitiannya ini kemudian dibukukan dalam versi bahasa Indonesia tahun 2004 dalam Sastrawan Malioboro 1945—1960. Dalam penelitiannya, Soemargono mengangkat beberapa nama sastrawan seperti Sri Murtono, Kirjomulyo, Suradji, Rendra, Soebagyo Sastrowardoyo, Nasjah Djamin, dan Motinggo Busje. Ia sampai pada sebuah kesimpulan bahwa sastrawan-sastrawan tersebut muncul pada kurun waktu dan sejarah kota yang sama. Dengan kepribadian dan gaya yang berbeda, dalam karya mereka, dapat ditemukan sikap hidup pengarang yang berpijak pada kejawen (Soemargono, 2004: 269). Sastra digunakan oleh pengarang-pengarang tersebut sebagai alat untuk menemukan makna hidup dan penyatuan diri dengan semesta. Will Derks (2008) melihat penelitian Soemargono sebagai penelitian yang secara khusus dan terperinci memusatkan perhatian pada kehidupan sastra lokal dan regional di Indonesia. Derks (2008: 414) menganggap bahwa penelitian Soemargono mengungkapkan adanya kaitan langsung antara seniman Malioboro dan para penulis pedalaman Revitalisasi Sastra Pedalaman.1 Derks juga menekankan pandangan Soemargono dalam memetakan 1
Will Derks dalam artikelnya “Sastra Pedalaman: Pusat-pusat Sastra Lokal dan Regional di Indonesia” dalam Clearing Space Sastra Indonesia Modern Kritik Postkolonial (2008) menyoroti penerbitan jurnal Revitalisasi Sastra Pedalaman (RSP) sebagai bentuk dorongan melawan kekuasaan Jakarta sebagai tempat kaum elite budaya tinggal. Kaum ini dicurigai menguasai media massa dan menggunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dengan mengabaikan para pengarang di luar ibu kota.
Drama-drama revolusi..., Arkhelaus Wisnu Triyogo, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
3
tradisi sastra Indonesia Modern bahwa pembalikan visi sentralistis yang dari dulu dipraktikan di Jakarta dan daerah lain lebih cocok untuk menampilkan keragaman realitas yang terjadi di Indonesia. Dari beberapa pengarang yang dibahas Soemargono, hanya Suradji yang belum mendapatkan posisi dalam sejarah kesusastraan Indonesia. Menurut Soemargono (2004: 119), usaha Suradji dalam mempertemukan marxisme dan Pancasila adalah bentuk perbedaan ideologi ketika banyak orang sedang sibuk dengan perjalanan revolusi yang penuh gejolak ideologi. Pada akhirnya, Suradji pun termarginalkan secara ideologi oleh pihak manapun, baik dirinya sebagai seniman, maupun karya-karyanya. Akan tetapi, di tengah krisis sastra yang terjadi pada masa 1950-an, ia produktif dengan menerbitkan karya-karyanya sendiri dengan perusahaan penerbitannya, Haruman Hidup. Inilah yang membuat Suradji menjadi menarik untuk diteliti. Sebagai salah satu genre sastra, karya drama memiliki sejarah perkembangannya sendiri. Perkembangan ini juga dilihat dari lingkungan sosial sezamannya, pengarang, dan muatan ideologinya. Sapardi Djoko Damono (2012) menyatakan bahwa revolusi merupakan tema yang dominan dalam sastra Indonesia setelah kemerdekaan Indonesia. Revolusi adalah tindakan yang terjadi karena paksaan yang disertai dengan perubahan yang serba mendadak dan berpotensi melahirkan keadaan yang sangat menyakitkan bagi masyarakatnya. Keadaan seperti itulah yang diungkapkan dalam drama-drama bertema revolusi yang membicarakan dampak kemerdekaan pada masyarakat (2012: 43). Sebagai seorang pengarang yang produktif setelah kemerdekaan, Suradji adalah seorang pengarang yang mengangkat tema revolusi. Beberapa karya yang mengangkat tema revolusi adalah drama “Extremis Manis” dan “Ular”. Akan tetapi, tidak hanya kedua drama tersebut yang bercerita tentang revolusi. Suradji mengarang beberapa karya bertema revolusi dengan berbagai latar, seperti karya yang berlatar zaman pendudukan Jepang, pasca-kemerdekaan, dan masa demokrasi terpimpin. Namun, menurut Soemargono (2004:131), kedua drama ini adalah lakon yang dengan tegas menyatakan ideologi marxisme pengarang. Oleh sebab itu, dengan berfokus pada kedua drama tersebut, penelitian ini memuat pembahasan mengenai struktur karya sastra dan aspek sosiologi yang berada di dalamnya. Dengan demikian rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. (1) bagaimana kepengarangan D. Suradji yang ditunjukkan melalui riwayat dan karya-karyanya secara umum. (2) bagaimana struktur: tema, tokoh, penokohan, dan alur dalam drama
Drama-drama revolusi..., Arkhelaus Wisnu Triyogo, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
4
revolusi berjudul “Ular” dan “Extremis Manis” karya D. Suradji, dan (3) bagaimana situasi sosial masyarakat pada masa revolusi yang terdapat dalam kedua drama D. Suradji tersebut. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. John W. Creswell (2013) menyebutkan karakteristik penelitian kualitatif, seperti adanya lingkungan ilmiah yang memperlihatkan kecenderungan peneliti dalam mengumpulkan data lapangan. Dengan penelitian kualitatif, peneliti melakukan observasi dan dokumentasi terhadap data. Analisis data yang digunakan adalah analisis data induktif untuk membangun serangkaian tema yang utuh. Data penelitian didapatkan dari berbagai perpustakaan, seperti Perpustakaan Universitas Sanata Dharma, Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Perpustakaan Universitas Indonesia, dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan strukturalisme genetik. Pendekatan strukturalisme genetik Lucien Goldmann (Damono, 1978: 44) dimulai dengan meneliti struktur dalam teks dan menghubungkannya dengan kondisi sosial dan historis yang konkret dengan kelompok atau kelas sosial pengarang dan pandangan dunia yang menyertainya. Pendekatan ini menyimpulkan suatu pandangan dunia dari kelompok sosial dan teks yang diteliti. D. Suradji dan Karya-karyanya D. Suradji di Sidoarjo, Jawa Timur, pada tanggal 15 Januari 1917. Ia menempuh pendidikan mulai dari Holandsch Inlandche School (HIS), Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), dan pada tahun 1938 menamatkan pendidikannya di Middlebare Handels School (MHS). Ia adalah seorang pengarang dan wartawan. Pada masa pendudukan Jepang dan runtuhnya kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia, ia bekerja di “Bataviaasch Niewsblad” di Jakarta dengan bekerja sebagai wartawan. Ketika Jepang sudah berkuasa di Indonesia pun, ia bekerja pada kantor berita Domei. Ia bekerja di kantor berita Domei tahun 1942—1945. Pada masa revolusi fisik Indonesia pada tahun 1945—1948, ia memimpin sebuah surat kabar Api Rakjat dan menjadi pemimpin redaksi kantor berita Antara cabang Madiun dan dipindah tugas pada tahun 1948 di kantor berita pusat Antara Yogyakarta. Ia pernah pula bekerja di surat kabar lain di Jakarta dan Yogyakarta sebagai wartawan lepas pada tahun 1950—1952. Ia pernah bekerja di surat kabar Kedaulatan Rakjat, Utusan Indonesia, Pewarta Surabaja, Tanah Air, Indonesia, Sedar, Warta Indonesia, Minggu Pagi, Masjarakat Persatuan, dan Patriot.
Drama-drama revolusi..., Arkhelaus Wisnu Triyogo, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
5
Di tengah kesibukan sebagai wartawan, ia mendirikan kelompok sandiwara “Pantjawarna” di Jakarta dan “Raksi Seni” di Yogyakarta. Ia juga mendirikan dan memimpin sendiri perusahaan penerbitan Haruman Hidup yang bertempat di Kebayoran Baru. Penerbit inilah yang selalu menerbitkan buku-buku kumpulan karyanya. Ia bergiat pula dalam bidang percetakan. Ia juga duduk sebagai Presidium Persatuan Industri Grafika Indonesia (Pergrafi) sebagai Ketua III dan sebagai anggota Madjelis Perniagaan Perusahaan (MPP). Soemargono (2004) menyebutkan bahwa Suradji memiliki kedekatan dengan Partai Murba. Partai ini adalah partai yang dibentuk di Yogyakarta dan menjadi gabungan dari beberapa partai buruh, seperti Partai Rakyat, Partai Rakyat Jelata, dan Partai Buruh Merdeka. Prinsip partai ini adalah menjadi partai yang melawan fasisme, kolonialisme, dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Murba mewakili nasib rakyat sebagai orang Indonesia yang lebih banyak dieksploitasi. Keterlibatannya dalam partai pun memengaruhi karya-karyanya yang menyinggung permasalahaan kerakyatan dan murba. Ia tidak pernah menjadi seorang pengikut Partai Komunis. Inilah yang menyebabkan ia tetap bertahan pada peristiwa dan setelah peristiwa tahun 1965. Tabel 1. Daftar Cerpen-cerpen D. Suradji No. 1.
Buku Kumpulan Kumpulan Sastera (1950)
2.
Refleksi Djiwa (1957)
3.
Bajangan Hidup (1960)
4.
Ular (1963)
5.
Taman Pertemuan Tjita (1964)
Cerita Pendek “Tudjuh tahun jang lalu” “Kekasih Gadis-gadis” “Perkawinan Istimewa” “Seniman dan Avonturier” “Dancing Girl Mariane” “Model Pelukis” “Penambah Spirit Baru” “Gadis, Laut dan Kebun Raja” “Sajang Aku sudah Kawin” “Romantik Pembesar Beruban” “Wanita Bergaun Merah” “Keluarga dalam Badai” “Gara-gara Fiat Baru” “Tjinta Pembangun Hutan” “Melawan Taufan Hidup” “Pentjumbu Lelaki Tjabang Atas” “Meliwati Djalan Berduri” “Madah Tjintaku” “Bunga Gang Hauber” “Parvenu” “Akiko Hatano” “Djanda Exsotis” “Pertemuan Rijn dan Tjiliwung” “Pesta Bunga dimusim Semi”
Tema Kritik Sosial Masa Revolusi Kesetiaan dan Pengkhianatan Cinta
Superioritas Perempuan
Kritik terhadap Kapitalisme Interaksi antar-bangsa
Dari cerpen-cerpen yang ditemukan dalam beberapa buku kumpulan karyanya, ada beberapa karakteristik yang dilihat dari strukturnya. Dilihat dari tema, cerpen-cerpen Suradji
Drama-drama revolusi..., Arkhelaus Wisnu Triyogo, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
6
menyinggung masalah revolusi yang mengakibatkan tokoh utama yang muncul adalah pertentangan tokoh materialis dan idealis. Tokoh materialis ini ditunjukkan dengan penokohan yang selalu mementingkan harta dan jabatan sehingga harus mengorbankan hubungannya dengan tokoh idealis. Tokoh materialis dan idealis diwujudkan baik dalam tokoh laki-laki dan perempuan. Dilihat dari alur, hubungan sebab akibat menunjukkan tokoh materialis mengincar kemapanan yang menyebabkan tokoh ini meninggalkan tokoh idealis. Inilah yang menjadi kritik Suradji terhadap kondisi revolusi. Masa revolusi menghadirkan pertentangan antara golongan materialistik yang selalu mencari keuntungan dan kemapanan, baik harta maupun jabatan, dan juga golongan idealis yang memiliki cita-cita pembangunan tanpa menghiraukan kemapanan. Tabel 2. Daftar Drama-drama D. Suradji No. 1.
Buku Kumpulan Kumpulan Sastera (1950)
2.
Refleksi Djiwa (1957)
3.
Bajangan Hidup (1960)
4.
Ular (1963)
5.
Taman Pertemuan Tjita (1964)
Drama “Extremis Manis” “Bunga Desa” “Keringat Kebangunan” “Tunas Satria” “Jopie Jansen” “Darah dan Tanah” “Pengedjar Suami Presiden Direktur” “Bunga Alam” “Gita Dharma” “Ular” “Ladang Memanggil” “Taman Pertemuan Tjita”
Pementasan Patjawarna Raksi Seni Panggilan Masa Raksi Seni Pantjawarna Seniman Indonesia Muda Sandiwara radio Raksi Seni Panggilan Masa -
Dari pemaparan beberapa drama karya Suradji, dapat dilihat beberapa karakteristik tema dan konflik yang ditampilkan dalam drama. Pertama, beberapa drama berkisah tentang percintaan antara tokoh-tokoh yang idealis dan tokoh-tokoh materialis yang berakibat pada putusnya kisah cinta antartokoh tersebut. Kedua, beberapa drama berkisah seputar masa-masa pendudukan Jepang di Indonesia sampai kemerdekaan Indonesia yang dipenuhi dengan citacita, idealisme, dan ideologi. Cita-cita tersebut dipaparkan melalui tokoh yang berprofesi sebagai seniman, wartawan, petani, dan politikus yang memiliki ideologi sosialisme dan berpihak pada rakyat. Tokoh-tokoh ini juga terlibat percintaan dengan wanita yang memiliki keinginan hidup mewah. Profesi sebagai seniman, wartawan, dan petani dianggap tidak mampu memberikan itu semua sehingga tokoh wanita borjuis yang ditampilkan memutuskan hubungan dengan tokoh-tokoh sosialis tersebut. Namun, akhirnya para tokoh wanita tersebut malah tidak dapat merasakan kebahagiaan dengan materi yang didambakan dalam hidupnya. Ada variasi tema yang diangkat melalui drama “Jopie Jansen” yang bercerita tentang
Drama-drama revolusi..., Arkhelaus Wisnu Triyogo, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
7
persentuhan budaya antara Barat dan Timur yang bersinggungan dengan adat dan kondisi sosial saat sebelum dan sesudah kemerdekaan Indonesia. Dalam ranah kesenian dan kebudayaan, Suradji memiliki kecenderungan untuk memihak pada paham-paham Rusia yang membawanya dekat dengan marxisme dan sosialisme. Haluan kebudayaan yang mengarah pada Rusia dipahaminya bahwa kesenian harus berguna dan dengan mudah dipahami masyarakat. Selain itu, kesenian harus tetap memiliki nilai estetika yang menjadi esensi dari kesenian dan kebudayaan. Dari beberapa karya pemikiran yang ada, Pantjasila dan Marxisme (1952) merupakan karya penting Suradji yang memperlihatkan ideologi yang dianutnya. Buku ini merupakan hasil kritik terhadap ideologi Pancasila yang dinilainya sebagai ideologi “tanggung” karena pada perkembangannya menjadi saluran tumbuhnya kapitalisme di Indonesia. Ia menilai ini bertentangan dengan Pancasila dan dianggap tidak memiliki batas yang jelas. Suradji mengkritik pandangan Soekarno yang pernah mengatakan bahwa golongan yang berkuasa, golongan kapitalis di Indonesia tidak mungkin atau tidak mau menyerahkan kekuasaannya pada golongan lain (1952: 9). Golongan kapitalis inilah yang menciptakan sistem ekonomi kapitalis. Padahal, menurut Suradji, keadilan sosial yang tertulis dalam Pancasila hanya dapat diwujudkan dengan sistem ekonomi sosialis. Gejala itulah yang diungkapkan Suradji dalam bukunya. Pantjasila sekarang sedang dalam persimpangan djalan. Menudju kemasjarakatan sosialis atau kemasjarakat kapitalis. Pilihan rakjat Indonesia, tegas, menudju: “Masjarakat Sosialis”. (1952: 31)
Sosialisme menjadi penegasan sikap Suradji terhadap sikap Soekarno menyikapi kapitalisme yang mulai mendapat tempat dalam ekonomi Indonesia pada masa itu. Pancasila yang dianggapnya belum memiliki batasan yang jelas antara keberpihakan pada keadilan sosial dan golongan kapitalis ditengahi dengan pandangan Pancasila dan sosialisme (marxisme) yang dapat dikolaborasi sebagai bentuk ketegasan ideologi Pancasila. Revolusi sebagai Latar Cerita Semangat revolusi setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tidak hanya terjadi dalam bidang politik, tetapi juga bidang kesenian dan kesusastraan. Pada masa itu, banyak surat kabar dan majalah bermunculan di banyak daerah, terutama di Jakarta, Yogyakarta, dan Surakarta. Pada masa itulah muncul nama-nama seperti Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, dan Mochtar Lubis yang lahir pada tahun 1920-an dan berkembang pada masa revolusi kemerdekaan. Kebanyakan dari orang-orang ini merasa yakin bahwa seni mereka dapat
Drama-drama revolusi..., Arkhelaus Wisnu Triyogo, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
8
menjadi bagian dari perkembangan revolusi (Ricklefs, 2007: 322). Ini memperlihatkan bahwa revolusi dijadikan sebagai ide dasar kesenian dan kebudayaan yang menjadi tema karya dan ideologi orang-orang itu. Karya drama, sebagai salah satu bentuk karya seni dan sastra, juga memiliki tema dan ideologi yang serupa dengan perkembangan masa revolusi. Ini ditunjukkan dengan paparan Jakob Sumardjo (1997) dalam mengidentifikasi drama-drama yang muncul setelah kemerdekaan. Sumardjo menyimpulkan bahwa drama setelah kemerdekaan banyak mengangkat persoalan golongan Indo-Belanda yang terombang-ambing kedudukannya setelah kemerdekaan. Persoalan ini diwakili dengan drama “Antara Bumi dan Langit” karangan Armijn Pane dan “Jopie Jansen” karya D. Suradji. Selain itu, ada persoalan mengenai cara mengisi kemerdekaan yang diwakili dengan drama “Suling” karya Utuy Tatang Sontani, “Cita Teruna” dan “Dokter Kamboja” karya Trisno Sumardjo. Tema-tema revolusi juga muncul dalam drama-drama setelah terjadinya revolusi pada tahun 1950-an. Tema-tema revolusi yang diangkat pun dibedakan menjadi dua kategori menjadi drama yang berlatar revolusi dan pascarevolusi tetapi masih terasa akibat-akibatnya (1997: 316). Drama-drama yang berlatar revolusi yang diungkapkan Sumardjo adalah “Domba-domba Revolusi” oleh B. Sularto, “Si Gila” karya Muhammad Ali, “Batu Merah Lembah Merapi” karya Bachtiar Siagian, “Kapten Sjaf” karya Aoh K Hadimadja, “Sekelumit Nyanyian Sunda” karya Nasjah Djamin, dan “Kaktus dan Kemerdekaan” oleh Iwan Simatupang. Menurut Sumardjo, drama-drama ini bukan lagi mempermasalahkan revolusi itu sendiri, tetapi komplikasi revolusi bagi para aktivisnya itulah yang merupakan persoalan utama (1997: 317--318). Selain itu, drama-drama yang mengambil seting pascarevolusi adalah “Gerbong” karya Agam Wispi, “Pak Dullah in Ekstremis” karya Achdiat Kartamihardja, “Titik-titik Hitam” oleh Nasjah Djamin, “Awal dan Mira” karya Utuy Tatang Sontani, dan “Orang-orang di Tikungan Jalan” oleh Rendra. Drama-drama ini berlatar tahun 1950-an, tetapi masih menyangkut masa revolusi dalam takaran yang tidak terlalu mencolok (1997: 319). Masa revolusi yang terjadi dalam sejarah dan masa revolusi yang diangkat dalam karya sastra, khususnya karya drama, memiliki jarak waktu peristiwa yang begitu dekat. Bahkan Sumardjo (1997: 318) mengatakan belum ada jarak untuk merenungkan arti revolusi itu sendiri karena pengalaman terhadap revolusi baru saja selesai dan belum sempat mengalami pengendapan untuk merenungkan revolusi itu sendiri. Maka sangat logis apabila Oemarjati
(1971)
mengatakan
bahwa
keistimewaan
penulis
lakon
pada
periode
perkembangan (1950--1963) bahwa pada lakon merekalah terdapat harapan masyarakat, baik
Drama-drama revolusi..., Arkhelaus Wisnu Triyogo, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
9
sebagai penulis lakon maupun penghubung pemikiran masyarakat. Sapardi Djoko Damono (2006: xxiv, 2012: 52) mengatakannya dengan berbeda bahwa drama pada masa 1950-an pula merupakan drama yang sesuai dengan zaman yang dipenuhi idealisme dan semangat untuk memperhatikan nasib rakyat kecil dan kekecewaan dalam menerima hasil kemerdekaan. Di tengah keberadaan drama-drama yang disebutkan di atas terdapat drama “Extremis Manis” dan “Ular” karya Suradji yang juga berkisah dengan latar revolusi. Meskipun latar tempat yang dikisahkan dalam drama berbeda, latar waktu yang dikisahkan memiliki kesamaan sehingga dapat ditarik pada kronologi peristiwa sejarah revolusi yang sama. Kedua drama tersebut memiliki latar waktu yang sama, yaitu tahun 1947, tetapi memiliki latar tempat yang berbeda, yaitu Jawa Barat dan Yogyakarta. Dengan memperhatikan latar yang dikisahkan dalam kedua drama tersebut, pembahasan pada bagian ini berfokus untuk melihat kondisi sosial masyarakat yang terbentuk pada revolusi yang terjadi pada tahun 1947 melalui peristiwa yang dikisahkan. Struktur “Extremis Manis” dan “Ular” karya D. Suradji Dari pembahasan mengenai tokoh dan penokohan di atas, dapat dilihat beberapa kesamaan dari kemunculan tokoh dalam dua drama D. Suradji. Kesamaan tersebut dapat dilihat baik dari kesamaan nama maupun penokohan. Tabel 3. Perbandingan tokoh dalam “Extremis Manis” dan “Ular” No. 1. 2. 3. 4. 5.
Karakteristik Tokoh Tokoh perempuan revolusioner Simbol kapitalis dan kolonial Antagonis mati Tokoh yang revolusioner Keberadaan isteri yang setia
“Extremis Manis” Murniningsih Kartanegara Durnapradja Djajaprawira, Darmanegara Nj. Kartanegara
“Ular” Marsiswati Abdul Wahab dan Lientje Mr. Durnotjondro Hardjono, Ir. Dipadjaja, Perdanadjaja, Hendrawan Sutjiati
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa setiap tokoh yang diciptakan pengarang dalam dua drama mengenai revolusi memiliki karakteristik yang hampir sama. Pertama, kemunculan tokoh perempuan revolusioner, sebagai tokoh sentral protagonis. Keduanya berperan besar dalam mematikan tokoh antagonis, Durnapradja dan Mr. Durnotjondro. Kedua, adanya tokoh kapitalis dan memihak koloni, Kertanegara, Abdul Wahab, dan Lientje. Kartanegara memihak kolonial demi jabatan yang lebih tinggi. Abdul Wahab adalah simbol dari kapitalisme karena menyuap tokoh antagonis demi keuntungan perusahaan dagangnya. Lientje adalah tokoh dari pihak kolonial yang menjadi mata-mata di daerah republik.
Drama-drama revolusi..., Arkhelaus Wisnu Triyogo, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
10
Ketiga adalah kematian tokoh antagonis di tangan protagonis. Durnapradja dan Mr. Durnotjondro memiliki kesamaan penokohan. Keduanya sama-sama mengincar jabatan yang tinggi dan mencoba mendapatkan cinta dari tokoh perempuan protagonis. Keduanya mengusahakan keinginan mereka tersebut dengan berbagai cara. Durnapradja mengincar kedudukan posisi menteri di negara Pasundan bentukan Belanda, sedangkan Mr. Durnotjondro mengincar posisi menteri di kabinet republik. Kedua tokoh ini akhirnya mati di tangan kedua perempuan protagonis. Keempat adalah keberadaan tokoh-tokoh revolusioner. Dalam “Extremis Manis” dengan kisah berlatar perang kemerdekaan, terdapat tokoh Darmanegara dan Djajaprawira yang berjuang di front republik. Keduanya memiliki idealisme untuk mempertahankan daerah Republik dari kekuasaan Belanda. Dalam “Ular”, tokoh revolusioner yang dihadirkan lebih banyak dan tidak sekadar menjadi tokoh perang. Tokoh revolusioner dalam “Ular” direpresentasikan oleh tokoh politik pemimpin buruh, wartawan, dan seniman. Hal ini berkaitan dengan latar tempat cerita yang bercerita mengenai masalah-masalah yang bersifat politis. Kelima, dalam drama ini ada kesamaan dari keberadaan tokoh istri yang setia untuk para antagonis. Nj. Kartanegara yang setia pada R. Kartanegara dan Sutjiati yang setia pada Mr. Durnotjondro. Dari pembahasan tokoh dan penokohan di atas, dapat dilihat juga bahwa pengarang menggunakan sarana dialog tokoh dan antartokoh untuk menjelaskan karakter dari setiap tokoh. Dialog ini juga digunakan untuk menjelaskan peristiwa dan motivasi yang ada dalam setiap tokoh yang akhirnya menyebabkan konflik dalam diri tokoh. Selain itu, dalam menjelaskan setiap penokohan, pengarang juga memberikan nama tokoh yang secara harfiah sudah menggambarkan karakter tokoh yang diciptakan. Hal ini ditambah dengan arahan pengarang yang berfungsi sebagai petunjuk pemanggungan dalam setiap dialog tokoh. Ini pula yang menggambarkan ekspresi setiap tokoh dan dengan mudah diketahui penokohan dari tokoh-tokoh tersebut. Tokoh ciptaan pengarang ini dijadikan sebagai sarana untuk menyampaikan bentuk-bentuk kejadian yang menimpa orang-orang pada masa revolusi. Tokoh yang diciptakan pun merepresentasikan berbagai tokoh yang menjadi golongan dan ideologi sesuai dengan peristiwa yang terjadi pada masa revolusi tersebut. Penemuan tema, salah satunya, adalah dengan menemukan konflik sentral dalam cerita. Konflik berkaitan dengan tema (Nurgiyantoro, 1998: 86). Dengan dasar analisis terhadap keberadaan tokoh-tokoh yang ada, Soemargono (2004) mengungkapkan bahwa tema utama yang diangkat dalam drama-drama Suradji adalah tema revolusi. Revolusi dapat diartikan sebagai perubahan sebuah keadaan sosial yang dilakukan dengan kekerasan dan
Drama-drama revolusi..., Arkhelaus Wisnu Triyogo, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
11
perubahan yang mendasar dalam suatu bidang tertentu. Proses perubahan tersebut memunculkan banyak kisah, baik yang berujung pada kebahagiaan maupun kesedihan. Dari konflik yang dibangun dalam kedua drama ini pula diperlihatkan kedua aspek, maka tema dapat ditemukan melalui konflik yang tercipta. Kedua drama menampilkan klimaks yang menempatkan tokoh antagonis yang mati. Dari kematian itu, dapat ditunjukkan bahwa gagasan pengarang di balik konflik tersebut. Durnotjondro dan Durnapradja adalah tokoh yang memiliki sifat buruk: individualis, menyelewengkan jabatan, berambisi pada kekuasaan, dan selalu mencari kepentingan pribadi. Keduanya mati oleh tokoh idealis yang memiliki cita-cita terhadap revolusi dan keduanya sama-sama kehilangan orang yang dicintai karena tokoh Durno ini. Dari bangunan konflik ini dapat dilihat bahwa tema yang diangkat pengarang adalah pertentangan antara tokoh materialis sebagai antagonis dan tokoh idealis sebagai protagonis. Kedua karakter ini, bagi pengarang, adalah karakter yang ada pada masa revolusi dan saling menjatuhkan. Akan tetapi, pengarang memiliki gagasan untuk mematikan tokoh materialisme tersebut. Analisis Sosiologis Drama “Extremis Manis” dan “Ular” Masa-masa kemerdekaan Republik Indonesia merupakan realitas sejarah yang terdapat dalam kedua drama Suradji. Berbicara mengenai latar waktu dan tempat serta peristiwa yang terdapat dalam latar sebuah karya yang mengangkat peristiwa sejarah dan lingkungan sosial yang dikandungnya, tampak pula dari kronologi peristiwa pada realitas sejarah. Meskipun drama ini bercerita mengenai aksi polisional dengan memaparkan peristiwa seputar aksi polisional, penyebab munculnya peristiwa tersebut dapat ditarik jauh dengan adanya peristiwa Perjanjian Linggarjati. Perjanjian Linggarjati disusun atas kesepakatan antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda. Akan tetapi, Belanda mengingkari perjanjian tersebut dan berusaha melancarkan serangan militer untuk menguasai kembali tanah bekas jajahannya. Dalam hal inilah, Drooglever (1997) menggambarkan revolusi sebagai bentuk kekerasan dan mengandung kepemimpinan yang mengarahkan gerakan massa ke tujuan yang agung yang sebenarnya sulit tercapai. Pada masa revolusi tersebut, pertentangan kerap terjadi dan menjurus kepada tindak kekerasan berbagai kelompok masyarakat. Perjanjian Linggarjati akhirnya dibatalkan. Belanda yang bernafsu kembali menguasai Republik melancarkan operasi militer. K.M.L. Tobing (1986: 130) menjelaskan operasi militer Belanda dilakukan secara serentak dari semua pangkalan militer Belanda di Jawa dan Sumatra. Gerakan militer khususnya di Jawa ditujukan ke Yogyakarta. Belanda berusaha
Drama-drama revolusi..., Arkhelaus Wisnu Triyogo, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
12
memisahkannya dari kekuatan di Jawa Barat dan menutup jalur hubungannya ke pantai utara dan jalur logistik dari Jawa Timur. Posisi strategis Jawa Barat membuat Belanda berambisi merebutnya. Caranya adalah dengan membentuk negara boneka di daerah tersebut. A.H. Nasution (1978) menyebutkan pembentukan Negara Pasundan adalah peristiwa yang melibatkan orang-orang pribumi yang melakukan pengkhianatan pada perjuangan Republik dalam menghadapi tekanan Belanda yang ingin menguasai wilayah Jawa Barat. Perhatikan kutipan berikut. Darmanegara: Murniningsih:
Kartanegara: Darmanegara:
(bersemangat, marah) Ajah membunuh beratus-ratus rakjat jang tak berdosa. Atas perintah ajah berpuluh-puluh dusun dibakari oleh tentera P.R.P. (bersemangat) Belanda kolonial, madjikan bapak adalah biang keladi kesengsaraan, penderitaan dan kemelaratan. Belanda reaksioner yang bapak sandjung-sandjung adalah musuh perdamaian, musuh Perserikatan Bangsa-Bangsa. (mengedjek) Anak perempuan kemarin sore, bitjara perkara politik. Negara Pasundan, ialah penjelmaan naskah Linggardjati menudju pembentukan Negara Indonesia Serikat. (tenang, tetapi suaranja tadjam) Negara Indonesia Serikat adalah boneka Belanda. Saja Republikein. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara tjita-tjita 70 djuta rakjat Indonesia. (1950: 10—11).
Dalam “Extremis Manis”, pertentangan dimulai dengan keberadaan Perjanjian Linggarjati yang dijadikan dasar pembentukan negara boneka. Belanda menginginkan banyak pegawai negeri dan pemuka rakyat mau bekerja pada mereka. Ini direpresentasikan melalui tokoh Kartanegara yang mau bekerja pada Belanda dengan membentuk Negara Pasundan. Dengan begitu, kegiatan ekonomi dan politik Belanda dilakukan dengan gerakan militernya menumpas gerilya Republik. Tokoh Kartanegara dan Durnapradja menjadi tokoh simbol yang berangkat dari fakta sejarah. Tokoh ini menyimbolkan pengkhianatan sekaligus pemegang kekuasaan yang haus akan jabatan. Kedua tokoh ini melakukan berbagai cara agar Negara Pasundan terbentuk dan mereka mendapatkan posisi penting: Kartanegara menjadi presiden Pasundan dan Durnapradja menjadi menterinya. Khusus untuk Durnapradja, yang semula bekerja sebagai polisi militer tentara Belanda, memiliki ambisi berlebih untuk mendapatkan cinta Murniningsih sehingga jabatan pun menjadi alat untuk mendapatkannya. Namun, itu tidak terjadi karena wataknya bermuka dua membuat ia tewas dalam pertempuran di Garut melawan kakaknya sendiri, Djajaprawira. Dia mati karena ulahnya sendiri. Situasi politik yang terjadi di Yogyakarta mendapat tekanan dari pihak Belanda yang terus melancarkan aksi militernya. Tekanan pun tidak hanya datang dari Belanda, tetapi datang juga dari pihak dalam pemerintahan. Hubertus van Mook, Gubernur Jenderal Hindia
Drama-drama revolusi..., Arkhelaus Wisnu Triyogo, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
13
Belanda saat itu, memberikan gambaran mengenai kondisi Yogyakarta saat itu. K.M.L. Tobing (1986: 170), berdasarkan catatan van Mook tersebut,2 menggambarkan masyarakat Yogyakarta terletak di sebuah daerah yang terisolasi. Hidup di sana berlalu dengan tenang dan semua orang merasa puas dengan keadaannya. Lebih lanjut van Mook menggambarkan Yogyakarta sebagai negeri yang belum mampu mengurus masalah dalam negerinya sendiri. Maka muncullah gambaran van Mook seperti berikut. “Di sebuah negeri, di mana sejak pertengahan abad lalu tidak lagi dikenal kelaparan, pada masa ini sedang dilanda kelaparan. Rakyat banyak di wilayah kekuasaan Republik tidak punya bahan makanan lagi; yang masih tetap kenyang hanya para jenderal dan pemimpin partai politik. Merekalah yang hidup dalam kelimpahan. Orang-orang yang mempunyai niat baik, yang memiliki keahlian dan kemauan baik, secara sistematis disingkirkan dari pemerintahan. Kabinet terus ganti berganti. Jumlah menteri semakin banyak, tetapi kualitasnya semakin rendah. Yang baik dan bermutu sudah berada di luar peredaran politik dan beberapa di antara mereka tercatat sebagai pengkhianat yang akan dibunuh.” (van Mook dalam Tobing, 1986: 171).
Dalam kutipan tersebut digambarkan situasi masyarakat Yogyakarta yang mengalami situasi politik yang kacau. Kekacauan situasi politik berakibat pada krisis dan ketimpangan yang terjadi antara rakyat dan pejabat. Pernyataan van Mook tersebut juga berfungsi sebagai kritik terhadap politikus yang hanya sekadar ingin mendapatkan jabatan pada masa yang penuh dengan kekacauan tersebut. Situasi sosial dan politik di Yogyakarta ini, oleh Suradji ditampilkan pada tokoh Durnotjondro, seorang pejabat yang mengincar kenaikan pangkat sebagai menteri dengan menggunakan banyak cara. Mr. Durnotjondro: (tenang) Memang politik kotor, tak menghiraukan moral dan kesusilaan. Malawati: (tiba-tiba sungguh-sungguh) Kau rupanja membenarkan pendirian ajahku jang berchianat kepada tjita-tjita rakjatnja. Mr. Durnotjondro: (tertawa dibikin-bikin) Tidak membenarkan, aku hanja mengatakan kenjataan. Politik memang membolehkan segala matjam djalan untuk mentjapai tudjuan jang dimaksud. Dalam politik, pertimbangan jang berlaku, kadang membingungkan orang. Musuh hari ini, besok bisa djadi kawan. (1963: 16—17)
Kutipan tersebut menunjukkan situasi politik pada masa revolusi di Yogyakarta. Durnotjondro dijadikan sebagai tokoh politik yang disebut van Mook sebagai menteri yang tetap kenyang ketika masyarakatnya kelaparan dan menteri kabinet yang berkualitas rendah. Situasi politik masa revolusi digambarkan melalui Durnotjondro sebagai politik yang kotor tanpa menghiraukan moral dan kesusilaan. Masa revolusi menghadirkan masa-masa para politikus melakukan pengkhianatan terhadap rakyat dan partai digunakan sebagai alat politik untuk mendapatkan jabatan, kekuasaan, dan keuntungan pribadi. 2
Catatan van Mook ini diarsip dalam Keesing Historich Archief, tahun 1946-1950, Amsterdam, digunakan K.M.L. Tobing (1986) sebagai gambaran kondisi masyarakat Yogyakarta pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Drama-drama revolusi..., Arkhelaus Wisnu Triyogo, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
14
Kedua drama Suradji mengangkat permasalahan kaum buruh. Latar waktu yang dapat dilihat dengan jelas akan mempermudah melihat permasalahan kaum buruh sesuai dengan masanya, yaitu kehidupan buruh di masa revolusi. Pada masa revolusi, ketegangan antara Indonesia dan Belanda membuat daerah Republik banyak mengalami blokade. Ini menyebabkan ruang komunikasi dalam organisasi ini pun terhambat. Namun, sebelum agresi Belanda, Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) memusatkan perhatian pada usaha pembelaan dengan perencanaan bumi hangus (Sandra, 2007: 64). Bumi hangus dilakukan sebagai aksi para buruh yang terjadi di mana-mana. Djajaprawira:
(termenung sedjurus, lalu memandang kepada Darmanegara) Kewajibanmu berat. Bawalah poster-poster jang kusediakan dirumahku. Dan lakukan gerakan dibawah tanah. Perintahkan kawan-kawanmu jang berdjiwa Republik dipelbagai perusahaan, kantor dan pabrik melakukan sabotage. Bakar pabrik-pabrik mereka. (1950: 27)
Dalam drama “Extremis Manis”, usaha bumi hangus diperintahkan pemimpin buruh yang sekaligus memerankan pemimpin tentara di Jawa Barat, Djajaprawira kepada Darmanegara. Usaha bumi hangus tersebut dilakukan dengan sabotase terhadap pabrikpabrik yang ada di Jawa Barat dengan membakarnya. Dalam drama “Ular”, usaha bumi hangus dipaparkan sebagai usaha preventif dari Belanda melalui perempuan mata-mata di daerah republik. (sungguh2) Kita dapat hidup berbahagia, djika tak terdjadi pertempuran antara Belanda dan Republik. Dan salah satu djalan untuk menimbulkan kepertjajaan Belanda, ialah persiapan bumi hangus pada perusahaan dan pabrik didaerah Republik harus ditiadakan. (1963: 60)
Lientje:
Untuk menghindari kerugian yang besar, wajar apabila Belanda mencoba melakukan segala cara untuk mendapatkan kembali tanah koloninya. Salah satu caranya dilakukan dengan mencoba masuk melalui pemerintahan Republik dengan mata-mata yang diutusnya untuk menawarkan keuntungan pribadi yang dalam drama diperlihatkan melalui tokoh Lientje. Tokoh ini menggoda Durnotjondro untuk membatalkan usaha bumi hangus untuk memperkecil kerugian. Pembumihangusan sumber-sumber yang menjadi harapan Belanda menjadi penting posisinya. Pembumihangusan itu dilakukan bukan untuk merusak, menghancurkan,
dan
extrimis
seperti
yang
dituduhkan
Belanda.
Akan
tetapi,
pembumihangusan dilakukan untuk menyadarkan mereka bahwa dengan peperangan dan penjajahan, mereka merusak sumber-sumber pendapatan mereka sendiri (Nasution, 1978: 255).
Drama-drama revolusi..., Arkhelaus Wisnu Triyogo, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
15
Kritik Sosial di Balik Kematian Durno Dalam drama “Ular” dan “Extremis Manis” terdapat tokoh yang memiliki akar nama yang sama sehingga perwatakan yang ditunjukkan pun memiliki kemiripan. Tokoh tersebut adalah tokoh Durnotjondro dan Durnapradja, sebagai tokoh antagonis yang memiliki ambisi yang sama dalam memperoleh jabatan dengan segala tipu daya pada masa revolusi Indonesia. Dalam kebudayaan Jawa dan dunia pewayangan, Begawan Drona (Durno),3 memiliki perwatakan yang jujur, tetapi ia tergolong sebagai tokoh yang pendendam dan terkadang tidak adil. Durno juga merupakan tokoh yang sering menyalahgunakan wewenang dengan kedudukannya sebagai mahaguru untuk kepentingan pribadinya. Di bawah bimbingan Durno yang menjadi pengatur siasat perang, Kurawa dan Pandawa yang saat itu masih remaja dengan mudah memukul mundur tentara Cempalaradja dan bahkan Arjuna berhasil melawan Prabu Drupada. Di hadapan murid-muridnya, Durno menghina dan mempermalukan Prabu Drupada. Selain itu, ia juga menyita wilayah Sokalima, bagian negara Cempala, dan menjadikannya sebagai tempat tinggal.4 John Tondowidjojo (2013) melihat perkembangan watak Durna sebagai manusia yang ingin mencapai sukses dengan cara-cara negatif. Ketika masih muda, ia berwatak sombong, banyak bicara, tetapi memiliki kesaktian yang luar biasa sehingga ia pun juga bergerak dalam bidang keprajuritan. Oleh karena itu pula, ia diangkat menjadi guru bagi Pandawa dan Kurawa. Masa hidupnya ia didominasi oleh sifat sombong dan menyimpan dendam akibat dari perilaku Drupada, saudaranya, dan Patih Gandamana yang menyiksanya saat hendak bertamu. Dalam pewayangan pula, ia memiliki watak individualis dan cinta diri yang cenderung narsistis (Tondowidjojo, 2013: 82). Setelah usianya makin senja, ia menjadi seorang guru dan pendeta Astina. Saat terjadi perang Bharatayuda, ia menjadi pengatur strategi perang Kurawa. Ia pun mati dalam perang setelah pedang Drestajumena. Drestajumena ini bersatu dengan arwah Ekalaya yang semula dendam karena ditolak menjadi muridnya. Kedua tokoh yang menjadi tokoh antagonis dalam drama ini dimatikan pada akhir cerita. Kematian tokoh Durno ini tidak sekadar menjadi kematian dalam struktur yang terjalin atas logika sebab-akibat dari masing-masing tokoh, motivasi, dan tindakannya. Kematian tokoh Durno dari kedua drama tersebut dapat ditafsirkan lain pandangan dunia pengarang, karena dengan demikian Durno dengan segala penokohannya juga mati secara ideologis. 3
4
Begawan Drona memiliki sebutan lain, yaitu Durno atau Durna. Dalam pembahasan bagian ini, sebutan untuk Drona menggunakan tokoh “Durno”. Dalam Ensiklopedi Wayang Indonesia 2 yang disusun Tim Penulis Senawangi dan diterbitkan oleh Penerbit Senawangi tahun 1999.
Drama-drama revolusi..., Arkhelaus Wisnu Triyogo, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
16
Kematian Durno pula sesuai dengan kisah pewayangan mengenai kematian Durno yang mati karena dendam dan ulahnya sendiri. Tokoh Durno dalam kedua drama yang berlatar revolusi memiliki karakter yang sama-sama berambisi terhadap kekuasaan. Motivasi terhadap kekuasaan dilandasi oleh ambisi untuk mendapatkan cinta perempuan yang diinginkan. Kekuasaan dan jabatan juga dijadikan sebagai dasar untuk memenuhi kepentingannya untuk memperkaya diri. Beberapa karakter ini adalah karakter yang mewakili tokoh borjuisme dan kapitalisme yang menjadi fenomena dalam kemunculannya pada situasi sosial masa revolusi. Tokoh Durno dianggap sebagai pemilik kekuasaan dan pengatur segalanya, walau berujung pada kepentingan individunya. Tokoh Durno mati setelah mengalami pertentangan dengan tokoh-tokoh protagonis yang membela kepentingan rakyat yang masuk dalam berbagai profesi, seperti wartawan, seniman, dan pemimpin buruh. Tokoh-tokoh protagonis dalam “Extremis Manis”, misalnya, menentang pembentukan Negara Pasundan yang dianggap menjadi budak kapitalisme Belanda yang mencoba menjajah Indonesia kembali. Begitu pula dengan tokoh protagonis dalam “Ular” yang mengkritik perilaku pejabat yang sekadar mencari kesenangan dan keuntungan pribadi dari jabatan yang didudukinya. Sikap yang memihak rakyat, membela kebenaran, dan mengusahakan pelengseran terhadap tokoh borjuis inilah yang disebut sebagai tokoh sosialisme. Sosialisme didefinisikan Gould (1965: 33) sebagai susunan masyarakat yang menggantikan susunan masyarakat kapitalis yang timbul dari aksi revolusioner kelas buruh. Kartanegara: Murniningsih:
(tertawa mengedjek) Aku, takut dihukum rakjat? Rakjat goblok itu jang kuhukum. (menjela) Pendapat zaman feodal bordjuis tidak berlaku dizaman revolusi abad keduapuluh. Dizaman masjarakat sedang gontjang, rakjat mengadili pengchianat. (1950: 33)
Dialog tersebut menunjukkan gagasan sekaligus kritik terhadap pemegang kekuasaan seperti Kartanegara. Konflik tersebut pun terbangun antara dua kubu: Kartanegara dan Durnapradja yang bekerja untuk Belanda dengan Murniningsih dan Darmanegara yang memihak Republik. Bagi Murniningsih yang mewakili pihak revolusioner, feodalisme dan borjuisme di Indonesia sudah tidak berlaku lagi pada masa revolusi masa itu. Dengan begitu, kekuatan yang berlaku adalah kekuatan rakyat yang menjadi dasar terbentuknya revolusi sosial. Hal ini berbeda dengan cara penyampaiannya dalam drama “Ular”. Mr. Durnotjondro: (termenung sedjenak, lalu tersenjum, suaranja angkuh) Kukatakan jang kutjari setiap saat dalam hidupku, ialah nikmat. Dan nikmat bagiku
Drama-drama revolusi..., Arkhelaus Wisnu Triyogo, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
17 bukanlah nikmat sebagai djenis manusia, tetapi sebagai indovidu. Sikap hidupku ini kupudja dan kuhargai setinggi-tingginja. Aku tak peduli kau sebut sikap hidupku itu anarchie atau filsafat tersesat. [...] Hardjono: (sabar dan ramah) Kau tersesat, Durno. Pilihlah paham pantjasila, djikalau kau tak menjukai sosialisme atau komunisme. Mr. Durnotjondro: Sosialisme adalah putik bunga komunisme. Dan komunisme jang kau anut harus kutolak karena menurut komunisme masjarakat djadi tuan bagi semua manusia. Pantjasila bagiku experiment filsafat kepalang tanggung. Hardjono meskipun baik maksudmu, terpaksa kutolak. Menurut filsafat hidupku djika semua orang masing2 mentjari dan merebut kekuasaan pasti dengan sendirinja segala sesuatu djatuh kepangkuannja, djuga Kemerdekaan, Persamaan hak dan bahagia. (1963: 99—101)
Dalam buku Pantjasila dan Marxisme (1952), Suradji pernah mengatakan bahwa sejak proklamasi kemerdekaan, Pancasila yang diakui sebagai dasar negara belum dilaksanakan. Suradji (1952: 11) melihat kenyataan bahwa Pancasila sebagai pedoman yang berkompromi dengan kapitalis-borjuis. Seandainya Pancasila tidak menjadi filsafat yang berbaur dengan individualisme dan kapitalisme, pelaksanaan Pancasila harus dilakukan dengan teori perjuangan kelas yang dianggap benar sesuai dengan pandangan Marxisme (1952: 12). Pandangan Suradji inilah yang menyebabkan munculnya tokoh Durnotjondro sebagai perwujudan dari tanggapannya terhadap ideologi Pancasila. Pancasila dianggap ideologi yang berpotensi memunculkan tokoh-tokoh yang borjuis-kapitalis seperti Durnotjondro. Itulah tanggapan dari pengarang terhadap fenomena sosial pada masa revolusi yang disertai dengan perdebatan ideologi menentukan arah kemerdekaan, seperti yang terdapat dalam kutipan berikut. Harapan kita negara Indonesia mendjadi negara jang melaksanakan keadilan sosial, bukan diatas kertas, tapi segala sesuatu jang dihasilkan dari kekajaan negara dan alam Indonesia dibagikan dengan sama rata menurut kebutuhan pada seluruh rakjat, bukan saja rakjat jang kuat ekonominja, tapi rakjat murba, djuga sudah berhak mengetjap hidup jang lajak sebagai manusia merdeka. (Suradji, 1952: 30)
Dari kutipan tersebut terlihat pandangan dunia Suradji bahwa ia berpendirian pada paham sosialisme sebagai paham yang dapat membawa rakyat pada kehidupan yang layak sebagai manusia merdeka. Di tengah kekacauan revolusi dan situasi sosial yang begitu menguntungkan kelompok tertentu di tengah perjuangan revolusi, ia menciptakan tokoh dengan perwatakan “Durno” sebagai bentuk kritik terhadap kapitalisme dan borjuisme yang ada pada masa revolusi Indonesia. Durno dijadikan simbol terjadinya kekacauan yang ditandai dengan adanya korupsi, penyelewengan wewenang, perang revolusi, ambisi cinta, gila pangkat, dan individualisme manusia yang selalu mementingkan kepentingan pribadi. Sifat-sifat inilah yang menjadi kritik pengarang dengan menempatkan sifat protagonis yang revolusioner di atas Durno dan mematikannya. Itulah yang menjadi pertentangan yang terjadi
Drama-drama revolusi..., Arkhelaus Wisnu Triyogo, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
18
pada masa revolusi yang masih ditandai dengan banyaknya kekacauan kehidupan sosial, politik, dan ekonomi di Indonesia pada masa itu. Kesimpulan Dari pembahasan di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut. Pertama, polemik kebudayaan yang terjadi pada 1930-an sampai perseteruan ideologi kebudayaan yang bercampur dengan politik dan berakhir dengan tragedi 1965, berpengaruh pada kemunculan konsep marginalisasi terhadap bentuk kesusastraan yang beredar pada masa itu. Salah satu pengarang yang cukup produktif dalam menulis drama revolusi pada masa itu adalah D. Suradji. Kedua, D. Suradji merupakan pengarang yang produktif mengangkat tema revolusi dan belum banyak disinggung dalam buku sejarah sastra mana pun. Dari karya-karyanya terlihat bahwa ia menjadikan Rusia sebagai haluan kebudayaan dengan memunculkan ideologi marxisme dan sosialisme yang menyatakan bahwa seni harus berpihak dan mudah dimengerti rakyat. Selain itu, riwayat hidup atau pengalaman pengarang turut berpengaruh pada struktur karya yang diciptakan. Profesi pengarang sebagai seniman, pengusaha, dan wartawan berpengaruh pula pada profesi tokoh yang serupa dalam karya-karya yang ditulisnya. Ketiga, drama “Extremis Manis” dan “Ular” adalah dua drama Suradji yang berlatar revolusi. Kedua drama ini dianggap mewakili pandangan ideologi pengarang secara tegas. Kedua drama ini berlatar sejarah. Penokohan setiap tokoh pun memiliki kemiripan. “Extremis Manis” berlatar di Jawa Barat dengan latar sejarah aksi polisional Belanda dan pembentukan Negara Pasundan sebagai negara boneka bentukan Belanda. “Ular” berlatar sosial masyarakat pada masa revolusi di Yogyakarta. Dalam drama tersebut, Suradji menghadirkan tokoh-tokoh yang mewakili ideologi sosialisme, idealisme, borjuisme, dan materialisme serta pertentangannya. Dalam analisis sosiologis karya drama Suradji, dapat disimpulkan bahwa terdapat fakta sosial dan sejarah yang diangkat pengarang dalam karyanya. Drama Suradji ini berangkat dari sejarah revolusi Indonesia yang memuat berbagai bidang seperti sosial, politik, ekonomi, dan permasalahan kaum buruh. Di sinilah, Suradji menampilkan tokoh “Durno” sebagai fenomena yang menjadi persoalan antagonis yang terjadi pada masa revolusi sekaligus menjadi kritik yang ingin disampaikan melalui karyanya.
Drama-drama revolusi..., Arkhelaus Wisnu Triyogo, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
19
Daftar Referensi Creswell, John W. 2013. Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. -----------------------------. 2012. Drama Indonesia. Jakarta: Penerbit Editum. Derks, Will. 2008. “Sastra Pedalaman: Pusat-pusat Sastra Lokal dan Regional di Indonesia” dalam Sastra Indonesia Modern: Kritik Postkolonial, Keith Foulcher dan Tony Day (ed.). Jakarta: Yayasan Obor dan KITLV Jakarta. Nasution, A.H. 1978. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 6 (Perang Gerilya Semesta I). Bandung: Penerbit Angkasa. Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Oemarjati, Boen S. 1971. Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Gunung Agung. Ricklefs, M.C. 2007. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Sandra. 2007 Sejarah Pergerakan Buruh Indonesia (ed. Surya Tjandra). Jakarta: Penerbit TURC. Santosa, Puji. 2004. “Sastra Marginal dalam Peta Sejarah Kesusastraan Indonesia” dalam Menyoal Sastra Marginal (ed. Ibnu Wahyudi). Jakarta: Wedatama Widya Sastra. Soemargono, Farida Labrousse. 2004. Sastrawan Malioboro 1945-1960 Dunia Jawa dalam Kesusastraan Indonesia. Mataram: Penerbit Lengge. Sumardjo, Jakob. 1997. Perkembangan Teater dan Drama Indonesia. Bandung: Penerbit STSI Press. Suradji, D. 1950. Kumpulan Sastera. Jakarta: Haruman Hidup. ------------. 1952. Pantjasila dan Marxisme. Jakarta: Haruman Hidup. ------------. 1957. Refleksi Djiwa Djemputan Tjerita-tjerita Pendek dan Drama. Jakarta: Haruman Hidup. ------------. 1960. Bajangan Hidup Pilihan Tjerita Pendek dan Drama. Jakarta: Haruman Hidup. ------------.1961. Bertebaran Rangkuman Tulisan Menjinari Seni Drama, Film, Lukis, dan Sketsa Ibukota R.I.S. Jakarta: Haruman Hidup. ------------. 1963. Ular Dua Drama dan Dua Tjerita Pendek. Jakarta: Haruman Hidup. ------------. 1964. Taman Pertemuan Tjita. Jakarta: Haruman Hidup. Tim Penulis Senawangi. 1991. Ensiklopedi Wayang Indonesia 2. Jakarta: Penerbit Senawangi. Tobing, K.M.L. 1986. Perjuangan Politik Bangsa Indonesia Linggarjati. Jakarta: Gunung Agung. Tondowidjojo, John. 2013. Ennegram dalam Wayang Purwa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Drama-drama revolusi..., Arkhelaus Wisnu Triyogo, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia