DRAFT REVISI PASCA UJIAN & SIDKOM 3 (15 Oktober 2012) PERAN PENDIDIKAN TERHADAP PENGURANGAN KEMISKINAN DI INDONESIA
ROFIQ NUR RIZAL
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Peran Pendidikan terhadap Pengurangan Kemiskinan di Indonesia adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka pada bagian akhir tesis ini. Bogor, Oktober 2012 Rofiq Nur Rizal H151104444
Halaman ini sengaja dikosongkan
ABSTRACT ROFIQ NUR RIZAL: The Role of Education on Poverty Reduction in Indonesia. Under supervision of M. PARULIAN HUTAGAOL and WIWIEK RINDAYATI. Poverty is one of the development problem faced by every country. Indonesia as one of the largest archipelagic country, still faces many challenges in reducing poverty especially because its characteristic varied across regions. Improving the quality of human resources through education is believed as one of the solution to alleviate poverty because it can increase human productivity and improve welfare. This study aims at analyzing the role of education towards poverty and divided it by the level of education. Using panel data of 33 provinces during the years 2007-2010, this study finds that education –in general– has a significant role to reduce poverty in Indonesia, especially for secondary education and higher education. Otherwise, primary education has positif role to increase the level of poverty. Economic growth, as an indirect effect of education on poverty, also has a significant role in reducing poverty in Indonesia. Keywords: education, poverty, Indonesia, panel data.
Halaman ini sengaja dikosongkan
RINGKASAN ROFIQ NUR RIZAL: Peran Pendidikan terhadap Pengurangan Kemiskinan di Indonesia. Dibimbing oleh: M. PARULIAN HUTAGAOL dan WIWIEK RINDAYATI. Kemiskinan merupakan salah satu permasalahan pembangunan yang dialami setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang, meski dengan besaran yang berbeda. Indonesia sebagai negara dengan keragaman besar dalam wilayah, sosial, budaya, etnis, dan ekonomi, masih menghadapi banyak tantangan dalam mengurangi kemiskinan. Masalah kemiskinan di Indonesia juga ditandai oleh rendahnya mutu kehidupan masyarakat dan rendahnya produktivitas serta daya saing bangsa, dimana peringkat IPM dan Indeks Dayasaing Global Indonesia berada di bawah rata-rata ASEAN. Kualitas sumber daya manusia (SDM) yang baik tidak hanya menjadi ukuran keberhasilan suatu negara, akan tetapi juga menjadi cerminan keunggulan terhadap bangsa lainnya. Tenaga kerja terampil sebagai salah satu faktor produksi berperan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara dan memengaruhi tinggi rendahnya pendapatan nasional. Sementara itu, kualitas SDM Indonesia masih menjadi salah satu tantangan pembangunan di Indonesia yang sangat terkait dengan akses ke infrastruktur pendidikan dan kualitas pendidikan. Pendidikan merupakan salah satu instrumen paling kuat yang dimiliki masyarakat untuk mengurangi kemiskinan dan kerentanan (World Bank 2002). Todaro dan Smith (2006) mengemukakan bahwa pendidikan dipercaya mempunyai peran penting dalam membentuk kemampuan manusia dan suatu negara untuk menyerap maupun menciptakan teknologi modern serta mengembangkan kapasitas agar tercipta pertumbuhan dan pembangunan yang berkelanjutan. Secara langsung pendidikan memberikan pengetahuan dan keterampilan, sehingga meningkatkan produktivitas. Secara tidak langsung, peran pendidikan dapat mencakup banyak bidang kehidupan, termasuk kegiatan ekonomi, kesetaraan gender, kesehatan ibu, dan pengembangan keterampilan. Kepedulian dunia terhadap pendidikan diwujudkan dalam gerakan global Pendidikan untuk Semua (PUS / Education for All) pada tahun 1990 dan Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals-MDGs) pada tahun 2000, yang menegaskan bahwa pendidikan dasar adalah pusat untuk memerangi kemiskinan. Kepedulian bangsa Indonesia terhadap pendidikan tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang mengamanatkan Pemerintah Negara Indonesia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pemerintah Indonesia juga telah mengarusutamakan tujuan PUS dan MDGs melalui kebijakan nasional program wajib belajar pendidikan dasar (wajar dikdas). Setelah krisis ekonomi, perhatian pemerintah terhadap upaya penanggulangan kemiskinan semakin besar. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah Indonesia dengan program-program pengentasan kemiskinan, namun belum mencapai hasil yang diharapkan. Selama periode 1984–2011, terjadi fluktuasi, keragaman dan persistensi persentase penduduk miskin antarwilayah di Indonesia. Selama periode tersebut, jumlah penduduk miskin dan tingkat kemiskinan di Indonesia cenderung menurun, namun demikian penurunannya
semakin lambat dan jumlah absolutnya masih sangat besar yaitu sebesar 30,02 juta jiwa. Pengaruh krisis ekonomi di Indonesia secara langsung juga menurunkan kemampuan masyarakat untuk membiayai pendidikan anak-anaknya, terutama pada kelompok masyarakat miskin. Berkaitan dengan adanya krisis ekonomi tersebut, berdampak pula pada lahirnya era reformasi yang membuat perubahan mendasar dalam kerangka hukum kebijakan nasional bidang pendidikan Indonesia, yang diawali dengan amandemen kedua UUD 1945 pada tahun 2000 dan amandemen keempat UUD 1945 pada tahun 2002. Amanat amandemen UUD 1945 mengatur tentang pendidikan dan menyatakan bahwa setiap warga negara berhak dan wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayai dan menetapkan anggaran pendidikan sebesar 20.% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sebagai bentuk pelaksanaan amanat amandemen UUD 1945 maka pemerintah mengeluarkan kebijakan nasional wajib belajar pendidikan dasar 9 (sembilan) tahun dan program Bantuan Operasional Sekolah untuk menyediakan pendanaan yang diperlukan untuk mendukung operasional sekolah agar beban biaya sekolah orang tua dapat dikurangi. Beberapa hasil penelitian telah memfokuskan lebih eksklusif pada pendidikan dasar (Colclough 1983; Dreze & Saran 1993; World Bank 1995). Menurut teori modal manusia dan teori signalling-screening menjelaskan bahwa terdapat hubungan positif antara tingkat pendidikan dan pendapatan yang diperoleh. Terkait dengan pelaksanaan program Wajar Dikdas di Indonesia, jika terdapat hubungan linier antara pendidikan dan pendapatan, maka meningkatkan pendidikan hanya pada tingkat pendidikan dasar tidak akan meningkatkan pendapatan secara substansial dan tidak akan efektif untuk membantu orang dalam mengatasi kemiskinan. Beberapa penelitian kemudian berkembang dan menyoroti pentingnya peran pendidikan tinggi sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju. Selain persoalan di atas, berbagai bentuk kesenjangan juga terjadi antara Jawa dan luar Jawa, serta antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI), yang meliputi kesenjangan tingkat kesejahteraan ekonomi, kesenjangan sosial maupun kesenjangan pendidikan. Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini memiliki beberapa tujuan untuk mengkaji peran pendidikan terhadap pengurangan kemiskinan di Indonesia. Pertama, terkait kebijakan nasional Wajar Dikdas 9 Tahun, mengkaji apakah jenjang pendidikan dasar di Indonesia dapat berperan dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia. Kedua, jika pendidikan dasar diduga tidak berperan, maka pada jenjang pendidikan manakah yang berperan dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia. Ketiga, jika terdapat kesenjangan antarkawasan, apakah terdapat perbedaan jenjang pendidikan yang berperan besar dalam mengurangi kemiskinan antarkawasan di Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder dari BPS, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kementerian Keuangan. Data tersebut antara lain: persentase penduduk miskin, angka melek huruf (AMH), angka partisipasi sekolah (APS), rata-rata lama sekolah (RLS), rasio anggaran pemerintah fungsi pendidikan (R-Edu), tingkat kesempatan kerja menurut jenjang pendidikan (TKK), PDRB per kapita, dan indeks gini pendapatan. Data mencakup
33 provinsi di Indonesia periode tahun 2007-2010. Metode analisis untuk menjawab tujuan terdiri dari analisis deskriptif serta analisis ekonometrika menggunakan regresi data panel. Berdasarkan hasil penelitian dengan menggunakan variabel AMH, APS, RLS dan R-Edu, secara umum pendidikan di Indonesia berperan terhadap pengurangan kemiskinan selama periode tahun 2007-2010. Dengan koefisien masing-masing variabel, jika AMH meningkat 1.%, maka akan mengurangi persentase penduduk miskin di Indonesia sebesar 0,27.%, ceteris paribus (cp). Jika APS meningkat 1.%, maka persentase penduduk miskin di Indonesia akan berkurang sebesar 0,31.%, cp. Jika RLS meningkat 1.%, maka persentase penduduk miskin di Indonesia akan berkurang sebesar 0,13.%, cp. Jika R-Edu meningkat 1.%, maka persentase penduduk miskin akan berkurang sebesar 0,18.%, cp. Dengan menggunakan variabel tingkat kesempatan kerja menurut tingkat pendidikan, hasil penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa: (1) Pendidikan dasar 9 tahun di Indonesia tidak berperan dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia, tetapi justru menambah tingkat kemiskinan; (2) ternyata, jenjang pendidikan yang berperan mengurangi kemiskinan adalah mulai jenjang pendidikan menengah; dan semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin besar pula perannya dalam mengurangi kemiskinan. Koefisien masing-masing variabel, yakni jika TKK pendidikan dasar meningkat 1.%, maka persentase penduduk miskin akan bertambah sebesar 0,15.%, cp. Jika TKK pendidikan menengah meningkat 1.%, maka persentase penduduk miskin akan berkurang sebesar 0,18.%, cp. Jika TKK pendidikan tinggi meningkat 1.%, maka persentase penduduk miskin akan berkurang sebesar 0,27.%, cp. (3) dalam perspektif kawasan, maka jenjang pendidikan tinggi lebih berperan besar terhadap pengurangan kemiskinan di KBI, sementara jenjang pendidikan menengah lebih berperan besar terhadap pengurangan kemiskinan di KTI. Selain hal tersebut, efek tidak langsung pendidikan melalui PDRB per kapita terhadap kemiskinan, berpengaruh negatif. Jika PDRB per kapita meningkat 1.%, maka persentase penduduk miskin akan berkurang sebesar 0,05.%, cp. Hasil ini mempunyai implikasi bahwa: 1) Dalam konteks penanggulangan kemiskinan, Program Wajar Dikdas 9 tahun perlu ditingkatkan menjadi Wajib Belajar 12 tahun ke jenjang pendidikan menengah; 2) Terkait program wajib belajar 12 tahun, maka rasio anggaran fungsi pendidikan perlu ditingkatkan; 3). Terkait program wajib belajar 12 tahun, maka perlu penanganan khusus untuk masyarakat miskin, guna menutupi biaya langsung dan biaya tidak langsung pendidikan; 4). Pendidikan hanya sebagai salah satu faktor yang dapat mengurangi kemiskinan dan bisa berperan melalui lapangan kerja, sehingga perlu penyediaan dan perluasan lapangan kerja untuk menampung tenaga kerja berpendidikan guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi sehingga dapat mengurangi kemiskinan; 5) Program pembangunan pendidikan dalam rangka pengentasan kemiskinan hendaknya memperhatikan karakteristik dan efek lintasdaerah yang berbeda satu sama lain. Kata kunci: pendidikan, kemiskinan, Indonesia, panel data.
Halaman ini sengaja dikosongkan
©Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
Halaman ini sengaja dikosongkan
PERAN PENDIDIKAN TERHADAP PENGURANGAN KEMISKINAN DI INDONESIA
ROFIQ NUR RIZAL
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS.
Judul Penelitian : Peran Pendidikan terhadap Pengurangan Kemiskinan di Indonesia Nama
: Rofiq Nur Rizal
NPR
: H151104444
Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS. Ketua
Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si. Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.
Tanggal Ujian :28 September 2012
Tanggal Lulus:
Halaman ini sengaja dikosongkan
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan penelitian ini. Topik dalam penelitian ini adalah pendidikan, dengan judul ”Peran Pendidikan terhadap Pengurangan Kemiskinan di Indonesia”. Pembangunan pendidikan merupakan topik yang sangat menarik karena diharapkan berdampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr..Ir..M. Parulian Hutagaol, MS. dan Ibu Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si. sebagai komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis maupun teoritis dalam proses penyusunan penelitian ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan kelas program pascasarjana Ilmu Ekonomi BPS Batch-3 atas dukungan, kritik dan saran dalam penyusunan penelitian ini. Tak lupa, penulis ucapkan terima kasih kepada istri, anak, orang tua dan keluarga besar penulis, atas dukungan, doa dan pengertiannya hingga terselesaikannya penyusunan penelitian ini. Semoga karya ini dapat bermanfaat. Bogor, Oktober 2012 Rofiq Nur Rizal
Halaman ini sengaja dikosongkan
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir pada tanggal 7 Juni 1978 di Banyumas, Jawa Tengah. Penulis merupakan anak kelima dari enam bersaudara, dari pasangan H. Supyan dan Hj..Siti Chalimah. Penulis menamatkan sekolah dasar pada SDN Kober 1 Purwokerto Barat pada tahun 1990, kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 1 Purwokerto dan lulus tahun 1993. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMAN 1 Purwokerto dan lulus pada tahun 1996. Setelah tamat SMA, pada tahun 1996 penulis melanjutkan pendidikan ke Akademi Ilmu Statistik (AIS) Jakarta Program Diploma-III, lulus pada tahun 1999. Sejak tahun 1999, penulis bekerja di Badan Pusat Statistik Kabupaten Tolitoli Provinsi Sulawesi Tengah sebagai staf Seksi Statistik Distribusi. Kemudian pada tahun 2001 penulis melanjutkan pendidikan kejenjang DiplomaIV di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta pada Jurusan Statistik Ekonomi dan lulus pada tahun 2002. Pada saat kelulusan itu pula, penulis menikah dengan Lisa Hidiantari. Hingga kini telah dikaruniai dua orang putri, yakni Revasya Salsabilqis Ramadhani (2004) dan Raisa Syaharani Kamila (2009). Pada tahun 2005, penulis dipromosikan ke BPS Provinsi Sulawesi Tengah dan bertanggung jawab sebagai Kepala Sub Bagian Bina Program sampai dengan tahun 2010. Pada tahun 2010, penulis mendapat kesempatan Tugas Belajar Program S2 melalui jalur Beasiswa dari BPS kerjasama dengan Institut Pertanian Bogor, diterima di Departemen Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Penulis harus mengikuti Program Alih Jenis S1 Mayor Ilmu Ekonomi dan lulus pada tahun 2010. Setelah itu, penulis melanjutkan kejenjang S2, pada Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Halaman ini sengaja dikosongkan
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................ xxiii DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xxv DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xxix I.
II.
III.
IV.
PENDAHULUAN .............................................................................
1
1.1 Latar Belakang ...........................................................................
1
1.2 Permasalahan ..............................................................................
12
1.3 Tujuan ........................................................................................
21
1.4 Manfaat Penelitian ......................................................................
21
1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ...............................
21
TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................
23
2.1 Tinjauan Teoritis ........................................................................
23
2.1.1 Teori Modal Manusia ........................................................
23
2.1.2 Teori Signaling dan Screening ...........................................
26
2.1.3 Teori Pertumbuhan Ekonomi .............................................
31
2.1.4 Peranan Pemerintah dalam Perekonomian..........................
33
2.1.5 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per Kapita ........
34
2.1.6 Distribusi Pendapatan ........................................................
36
2.1.7 Kemiskinan .......................................................................
38
2.1.8 Pendidikan .........................................................................
40
2.2 Tinjauan Empiris ........................................................................
43
2.3 Kerangka Pemikiran ...................................................................
53
METODE PENELITIAN ..................................................................
59
3.1 Jenis dan Sumber Data ................................................................
59
3.2 Metode Analisis ..........................................................................
59
3.2.1 Analisis Deskriptif .............................................................
59
3.2.2 Analisis Regresi Data Panel ...............................................
59
3.2.3 Uji Beda Koefisien ............................................................
65
3.3 Spesifikasi Model dalam Penelitian.............................................
65
3.4 Definisi Operasional ...................................................................
68
GAMBARAN UMUM ......................................................................
71
4.1 Pendidikan ..................................................................................
71
xix
Halaman
V.
4.1.1 Angka Melek Huruf (AMH) ..............................................
71
4.1.2 Angka Partisipasi Sekolah (APS) .......................................
75
4.1.3 Rata- rata Lama Sekolah (RLS) .........................................
77
4.2 Anggaran Fungsi Pendidikan ......................................................
80
4.3 Kesempatan Kerja menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan .................................................................................
83
4.4 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita..................
87
4.5 Distribusi Pendapatan .................................................................
90
4.6 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin ....................................
93
HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................... 101 5.1 Hasil Kaitan Variabel Bebas dengan Tingkat Kemiskinan........... 101 5.1.1 Kaitan Angka Melek Huruf dengan Tingkat Kemiskinan ... 101 5.1.2 Kaitan Angka Partisipasi Sekolah dengan Tingkat Kemiskinan ....................................................................... 102 5.1.3 Kaitan Rata-rata Lama Sekolah dengan Tingkat Kemiskinan ....................................................................... 103 5.1.4 Kaitan Rasio Anggaran Fungsi Pendidikan dengan Tingkat Kemiskinan ....................................................................... 104 5.1.5 Kaitan Tingkat Kesempatan Kerja menurut Jenjang Pendidikan dengan Tingkat Kemiskinan ............................ 105 5.1.6 Kaitan PDRB per kapita dengan Tingkat Kemiskinan ........ 107 5.1.7 Kaitan Indeks Gini dengan Tingkat Kemiskinan ................ 108 5.2 Hasil Evaluasi Model Peran Pendidikan terhadap Kemiskinan .... 109 5.2.1 Angka Melek Huruf (AMH) .............................................. 112 5.2.2 Angka Partisipasi Sekolah (APS) ....................................... 113 5.2.3 Rata-rata Lama Sekolah (RLS) .......................................... 116 5.2.4 Rasio Anggaran Fungsi Pendidikan ................................... 116 5.2.5 Efek Lintas-Daerah ............................................................ 118 5.3 Hasil Evaluasi Model Peran Jenjang Pendidikan terhadap Kemiskinan di Indonesia ............................................................. 120 5.3.1 Tingkat Kesempatan Kerja Pendidikan Dasar .................... 121 5.3.2 Tingkat Kesempatan Kerja Pendidikan Menengah ............. 122 5.3.3 Tingkat Kesempatan Kerja Pendidikan Tinggi ................... 124
xx
Halaman 5.3.4 PDRB per kapita ................................................................ 125 5.3.5 Efek Lintas-Daerah ............................................................ 127 5.4 Hasil Evaluasi Model Peran Jenjang Pendidikan terhadap Kemiskinan antarkawasan di Indonesia ....................................... 129 5.4.1 Tingkat Kesempatan Kerja Pendidikan Dasar .................... 131 5.4.2 Tingkat Kesempatan Kerja Pendidikan Menengah ............. 132 5.4.3 Tingkat Kesempatan Kerja Pendidikan Tinggi ................... 132 5.4.4 PDRB per kapita ................................................................ 134 5.4.5 Hasil Uji Beda Koefisien ................................................... 134 5.5 Sintesis Penelitian ....................................................................... 135 VI.
KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 143 6.1 Kesimpulan ................................................................................ 143 6.2 Implikasi Kebijakan .................................................................... 143 6.3 Saran Penelitian Lanjutan ........................................................... 144
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 145
xxi
Halaman ini sengaja dikosongkan
DAFTAR TABEL Tabel 1.1 1.2 3.1 4.1 5.1 5.2 5.3 5.4 5.5
Halaman Indeks Pembangunan Manusia wilayah ASEAN tahun 2011.............. 2 Global Competitiveness Index (GCI) negara ASEAN, tahun 2011 ..... 3 Kerangka identifikasi autokorelasi ..................................................... 64 Rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas menurut status daerah kelamin di Indonesia, tahun 2006-2010........................ 79 Hasil estimasi model peran pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia, tahun 2007-2010 ............................................................... 111 Hasil estimasi persamaan peran jenjang pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia, periode tahun 2007-2010 ............................ 121 Jumlah dan persentase tenaga kerja menurut pendidikan di Indonesia, tahun 2003-2010 ............................................................... 123 Hasil estimasi persamaan peran jenjang pendidikan terhadap kemiskinan menurut kawasan di Indonesia, periode tahun 2007-2010 130 Hasil uji beda koefisien peran jenjang pendidikan terhadap kemiskinan antarkawasan di Indonesia, periode tahun 2007-2010 ...... 135
xxiii
Halaman ini sengaja dikosongkan
DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1
Halaman
Perkembangan jumlah dan persentase penduduk miskin di Indonesia, tahun 1984–2011. ..............................................................................
1
Diagram plot antara rata-rata lama sekolah dengan persentase penduduk miskin di Indonesia, periode tahun 2006-2010. ..................
6
Anggaran penanggulangan kemiskinan dalam APBN dan jumlah penduduk miskin Indonesia, tahun 2002-2010. ..................................
9
Alokasi anggaran menurut fungsi pendidikan pemerintah pusat dan daerah di Indonesia, tahun 2007–2011. ..............................................
11
Perkembangan angka partisipasi pendidikan formal di Indonesia, tahun 2005–2010. ..............................................................................
13
Rata-rata upah/gaji bersih pekerja/karyawan selama sebulan di Indonesia menurut pendidikan, Agustus 2011. ...................................
13
Persentase rumah tangga miskin dan tidak-miskin menurut tingkat pendidikan kepala rumah tangga di Indonesia, tahun 2009. ................
15
Angka partisipasi sekolah menurut kelompok umur, status ekonomi rumah tangga dan daerah di Indonesia, tahun 2009. ...........................
17
Persentase penduduk miskin menurut kawasan, provinsi dan status daerah di Indonesia, tahun 2011.........................................................
19
Trade-off dan tingkat pengembalian dalam pengambilan keputusan untuk melanjutkan pendidikan. ..........................................................
25
2.2
Perbedaan signaling dan screening.....................................................
27
2.3
Informasi asimetris: separating equilibrium untuk dua tipe pekerja yang berbeda. ....................................................................................
29
Informasi asimetris: pooling equilibrium untuk dua tipe pekerja yang berbeda. .............................................................................................
30
2.5
Kurva Lorenz ....................................................................................
38
2.6
Perubahan kurva distribusi pendapatan dan perubahan kemiskinan karena efek pertumbuhan. ..................................................................
46
2.7
Perubahan kemiskinan karena efek distribusi. ....................................
47
2.8
Perubahan Kemiskinan karena Efek Pertumbuhan dan Efek Distribusi ...........................................................................................
47
Hubungan antara pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan, dan kemiskinan. .......................................................................................
49
2.10 Kerangka pemikiran penelitian ..........................................................
57
1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 1.7 1.8 1.9 2.1
2.4
2.9
4.1
Box plot angka melek huruf penduduk usia 15 tahun ke atas menurut kawasan di Indonesia, tahun 2006-2010. ............................................
73
xxv
Gambar 4.2
Halaman
Rata-rata angka melek huruf penduduk usia 15 tahun ke atas dan tren perubahannya menurut provinsi di Indonesia, periode tahun 2006– 2010. .................................................................................................
75
Box plot angka partisipasi sekolah penduduk usia 7–24 tahun menurut kawasan di Indonesia, tahun 2006-2010. ..............................
76
Rata-rata angka partisipasi sekolah penduduk usia 7–24 tahun dan trend perubahan menurut provinsi di Indonesia, periode tahun 2006– 2010. .................................................................................................
77
Box plot rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas menurut kawasan di Indonesia, periode tahun 2006-2010...................
78
Rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas dan tren perubahan menurut provinsi di Indonesia, periode tahun 2006–2010..
80
Box plot rasio anggaran fungsi pendidikan di Indonesia, tahun 20072010. .................................................................................................
82
Rata-rata rasio anggaran fungsi pendidikan dan tren perubahan menurut provinsi di Indonesia, periode tahun 2007–2010...................
83
Perkembangan rasio tingkat kesempatan kerja penduduk usia 15 tahun ke atas menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan di Indonesia, periode tahun 2003–2010. .................................................
84
4.10 Rata-rata tingkat kesempatan kerja menurut pendidikan dan provinsi di Indonesia, periode tahun 2006–2010. .............................................
86
4.11 Rata-rata perubahan tingkat kesempatan kerja menurut pendidikan di Indonesia, periode tahun 2006–2010. .................................................
86
4.12 Box plot Perkembangan PDRB per kapita (ADHK 2000) Indonesia, tahun 2006-2010. ...............................................................................
87
4.13 Rata-rata produk domestik regional bruto per kapita ADHK 2000 menurut provinsi di Indonesia, tahun 2001-2010. ...............................
89
4.14 Rata-rata laju pertumbuhan produk domestik regional bruto per kapita atas dasar harga konstan 2000 menurut provinsi di Indonesia, tahun 2001-2010. ...............................................................................
89
4.15 Perkembangan indeks gini menurut status daerah di Indonesia, periode tahun 2002–2010. ..................................................................
90
4.16 Statistik deskriptif indeks gini Indonesia, tahun 2002-2010. ...............
91
4.17 Rata-rata indeks gini provinsi di Indonesia, tahun 2005–2010. ...........
92
4.18 Rata-rata pertumbuhan indeks gini menurut provinsi di Indonesia, periode tahun 2005–2010. ..................................................................
93
4.3 4.4
4.5 4.6 4.7 4.8 4.9
xxvi
Gambar
Halaman
4.19 Statistik deskriptif garis kemiskinan Indonesia, tahun 2000-2011. .....
94
4.20 Rata-rata garis kemiskinan dan rata-rata persentase penduduk miskin menurut provinsi di Indonesia, periode tahun 2000-2011. ..................
95
4.21 Statistik deskriptif persentase penduduk miskin Indonesia, 20002011. .................................................................................................
96
4.22 Rata-rata persentase penduduk miskin menurut provinsi, periode tahun 1999–2011. ..............................................................................
97
4.23 Rata-rata perubahan persentase penduduk miskin menurut provinsi, tahun 1999–2011. ..............................................................................
99
5.1
Scatter-plot antara angka melek huruf dan persentase penduduk miskin di Indonesia, tahun 2007–2010. .............................................. 101
5.2
Scatter-plot antara angka partisipasi sekolah umur 7-24 tahun dan persentase penduduk miskin di Indonesia, tahun 2007–2010. ............. 102
5.3
Scatter-plot antara rata-rata lama sekolah dan persentase penduduk miskin di Indonesia, tahun 2007–2010. .............................................. 103
5.4
Scatter-plot antara rasio anggaran fungsi pendidikan dan persentase penduduk miskin di Indonesia, tahun 2007–2010. .............................. 104
5.5
Scatter-plot antara tingkat kesempatan kerja pendidikan dasar dan persentase penduduk miskin di Indonesia, tahun 2007–2010. ............. 105
5.6
Scatter-plot antara tingkat kesempatan kerja menurut jenjang pendidikan menengah dengan persentase penduduk miskin di Indonesia, tahun 2007–2010. ............................................................. 105
5.7
Scatter-plot antara tingkat kesempatan kerja pendidikan tinggi dan persentase penduduk miskin di Indonesia, tahun 2007–2010. ............. 106
5.8
Scatter-plot antara PDRB per kapita dan persentase penduduk miskin di Indonesia, tahun 2007–2010. ......................................................... 107
5.9
Scatter-plot antara indeks gini dan persentase penduduk miskin di Indonesia, tahun 2007–2010. ............................................................. 108
5.10 Angka partisipasi sekolah menurut kelompok umur di Indonesia, tahun 2003–2010. .............................................................................. 114 5.11 Peta tingkat kemiskinan, angka melek huruf, angka partisipasi sekolah, rata-rata lama sekolah dan rasio anggaran pendidikan di Indonesia, tahun 2007–2010. ............................................................. 118 5.12 Efek lintas-daerah model efek tetap peran pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia, tahun 2007-2010. ....................................... 118
xxvii
Gambar
Halaman
5.13 Peta prioritas menurut efek lintas-daerah model peran pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia, tahun 2007-2010. ......................... 119 5.14 Peta tingkat kemiskinan, tingkat kesempatan kerja menurut pendidikan dan PDRB per kapita di Indonesia, tahun 2007–2010....... 127 5.15 Efek lintas-daerah model efek tetap peran jenjang pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia, tahun 2007-2010. ......................... 128 5.16 Peta prioritas Efek lintas-daerah model peran jenjang pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia, tahun 2007-2010. ......................... 128 5.17 Scatter-plot antara anggaran fungsi pendidikan dan partisipasi sekolah di Indonesia, periode tahun 2007-2010 .................................. 141 5.18 Persentase tenaga kerja (%) dan rata-rata upah (Rp.00.000,-) menurut lapangan usaha dan tingkat pendidikan di Indonesia, tahun 2008. ................................................................................................. 141
xxviii
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran
Halaman
1
Hasil pengujian antara fixed effect dengan random effect (Uji Hausman) untuk model peran pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia, tahun 2007-2010. .............................................................. 157
2
Uji asumsi homoskedastisitas dan autokorelasi model peran pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia, tahun 2007-2010 ........ 157
3
Hasil estimasi terbaik untuk model peran pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia, tahun 2007-2010. ....................................... 158
4
Hasil estimasi efek lintas-daerah dari model efek tetap model peran pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia, tahun 2007-2010. ....... 159
5
Hasil pengujian antara fixed effect dengan random effect (Uji Hausman) untuk model peran jenjang pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia, tahun 2007-2010. ....................................... 161
6
Uji asumsi homoskedastisitas dan autokorelasi model peran jenjang pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia, tahun 2007-2010 ........ 161
7
Hasil estimasi terbaik untuk model peran jenjang pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia, tahun 2007-2010. ......................... 162
8
Hasil estimasi efek lintas-daerah dari model efek tetap model peran jenjang pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia, tahun 20072010. ................................................................................................. 163
9
Hasil pengujian antara fixed effect dengan random effect (Uji Hausman) untuk model peran jenjang pendidikan terhadap kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia, tahun 2007-2010. ............... 165
10
Hasil estimasi terbaik untuk model peran jenjang pendidikan terhadap kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia, tahun 2007-2010. . 166
11
Hasil pengujian antara fixed effect dengan random effect (Uji Hausman) untuk model peran jenjang pendidikan terhadap kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia, tahun 2007-2010............... 167
12
Uji asumsi homoskedastisitas dan autokorelasi model peran jenjang pendidikan terhadap kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia, tahun 2007-2010 ......................................................................................... 167
13
Hasil estimasi terbaik untuk model peran jenjang pendidikan terhadap kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia, tahun 2007-2010. 168
xxix
Halaman ini sengaja dikosongkan
I.
1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Kemiskinan merupakan salah satu permasalahan pembangunan yang
dialami oleh setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang, meski dengan besaran yang berbeda. Kemiskinan merupakan fenomena multidimensi, tidak ada penyebab tunggal yang dapat menjelaskan sepenuhnya, sehingga memerlukan solusi secara menyeluruh dan berkelanjutan dari waktu ke waktu. Kemiskinan dapat dilihat dari sudut yang berbeda, tergantung pada perspektif definisi yang diadopsi. Kemiskinan sering berhubungan dengan sejumlah faktor fisik, psikologi, ekonomi maupun sosial budaya. Kemiskinan tidak hanya muncul karena kurangnya sumber daya – tetapi juga mungkin timbul karena kurangnya akses terhadap sumber daya, informasi, peluang, pemberdayaan dan mobilitas (World Bank 2000). Indonesia sebagai negara dengan keragaman besar dalam wilayah, ekonomi, dan sosial budaya, menghadapi banyak tantangan dalam mengejar pengurangan kemiskinan. Selama periode tahun 1984–1996, persentase penduduk miskin di Indonesia terus mengalami penurunan, namun meningkat kembali ketika krisis ekonomi melanda pada tahun 1997 hingga 1998. Pada periode tahun 1999–2005, persentase penduduk miskin cenderung menurun, namun meningkat kembali pada tahun 2006. Kenaikan ini dipicu oleh naiknya harga bahan bakar minyak,
024 017
015
25 018
016
018
20 012
011
15 10 5 0
Kota
Desa
Persen pnddk miskin (%)
022
1996 * 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
60 50 40 30 20 10 0
1984 1987 1990 1993 1996
Jmlh pnddk miskin (Juta jiwa)
sehingga harga barang-barang kebutuhan pokok juga ikut meningkat (Gambar 1.1).
Persentase Penduduk Miskin (%)
Sumber: BPS 2000, 2001, 2002a, 2003a, 2004a, 2005a, 2006a, 2007a, 2008a, 2009a, 2010a, 2011. (Ket.: * tahun 1996 menggunakan standar perhitungan kemiskinan tahun 1998)
Gambar 1.1
Perkembangan jumlah dan persentase penduduk miskin di Indonesia, tahun 1984–2011.
1
2
Masalah kemiskinan di Indonesia juga ditandai oleh rendahnya mutu kehidupan masyarakat. Perkembangan indikator seperti Indeks Pembangunan Manusia (IPM)1 dari United Nation Development Program (UNDP) menunjukkan ketertinggalan Indonesia dibanding dengan beberapa negara di kawasan asia tenggara (Association of Southeast Asian Nations - ASEAN). Meskipun nilai IPM Indonesia tahun 2011 mengalami kenaikan, namun peringkat IPM Indonesia berada di bawah rata-rata IPM ASEAN. Tabel 1.1 Indeks Pembangunan Manusia wilayah ASEAN tahun 2011 No.
Negara
IPM
Ranking (#187)
No.
Negara
IPM
Ranking (#187)
(1)
(2)
(3)
(3)
(1)
(2)
(3)
(3)
1
Singapura
0,866
26
6
Indonesia
0,617
124
2
Brunei Darussalam
0,838
33
7
Vietnam
0,593
129
3
Malaysia
0,761
61
8
Laos
0,524
138
4
Thailand
0,682
103
9
Kamboja
0,523
139
5
Filipina
0,644
112
10
Myanmar
0,483
149
Sumber: UNDP 2011.
Rata-rata IPM ASEAN 2011 = 0,653
Selain hal tersebut, menurut Laporan Daya Saing Global 2011 oleh Forum Ekonomi Dunia, Indonesia menempati peringkat 44 dari 139 negara. Di kawasan ASEAN, Indonesia menempati posisi kelima dan masih berada di bawah rata-rata ASEAN (Tabel 1.2). Indeks daya saing global adalah indikator komposit yang dapat menangkap fondasi daya saing ekonomi mikro dan ekonomi makro nasional. Daya saing didefinisikan sebagai seperangkat institusi, kebijakan, dan faktor yang menentukan tingkat produktivitas suatu negara. Produktivitas, pada gilirannya mempengaruhi tingkat kemakmuran yang dapat dicapai suatu negara. Pada tingkat wilayah di dalam suatu negara, konsep daya saing daerah adalah kemampuan suatu daerah dalam menghasilkan pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi dengan tetap terbuka terhadap persaingan domestik dan internasional. Sasaran peningkatan daya saing suatu perekonomian adalah bermuara pada meningkatnya tingkat kesejahteraan penduduk. 1
IPM memberikan ukuran gabungan tiga dimensi pembangunan manusia: panjang umur (diukur dari usia harapan hidup), terdidik (diukur dari tingkat kemampuan baca tulis orang dewasa dan rata-rata lama sekolah) dan standar hidup yang layak (diukur dari paritas daya beli).
3
Dalam pengertian ini, sumber keunggulan daya saing berdasarkan teori tahapan
pembangunan
ekonomi
mengklasifikasi
menjadi
tiga
tahap.
Pertama,.perekonomian yang didorong faktor produksi, di mana keunggulan bersumber pada sumber daya alam berlimpah dan tenaga kerja murah. Kedua, perekonomian yang didorong faktor efisiensi, dimana keunggulan dipicu oleh investasi yang besar, modern dan efisien. Ketiga, perekonomian yang didorong faktor inovasi, dimana keunggulan berasal dari produktivitas tenaga kerja terampil dan pemanfaatan teknologi tinggi. Tabel 1.2 Global Competitiveness Index (GCI) negara ASEAN, tahun 2011 No.
Negara
GCI
Ranking (# 139)
No.
Negara
GCI
Ranking (# 139)
(1)
(2)
(3)
(3)
(1)
(2)
(3)
(3)
1
Singapura
5,48
3
6
Vietnam
4,27
59
2
Malaysia
4,88
26
7
Filipina
3,96
85
3
Brunei Darussalam
4,75
28
8
Kamboja
3,63
109
4
Thailand
4,51
38
9
Laos
5
Indonesia
4,43
44
10
Myanmar
Sumber: WEF 2011a, 2011b.
Tidak dihitung Tidak dihitung
Rata-rata GCI ASEAN 2011 = 4,49
Kualitas sumber daya manusia (SDM) yang baik tidak hanya menjadi ukuran keberhasilan suatu negara, akan tetapi menjadi cerminan keunggulan terhadap bangsa lainnya. Pengembangan kualitas SDM, bukan saja pada aspek kemampuan dan ketrampilan, tetapi juga aspek moral dan mentalnya. SDM yang berkualitas merupakan faktor penentu dalam upaya meningkatkan produktivitas dan daya saing bangsa pada percaturan global. Tenaga kerja terampil sebagai salah satu faktor produksi berperan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan memengaruhi tingkat pendapatan nasional. Dalam hal ini, kualitas SDM Indonesia masih menjadi tantangan pembangunan di Indonesia. Kualitas SDM Indonesia ini sangat terkait dengan akses ke infrastruktur pendidikan dan kualitas pendidikan di Indonesia. Untuk mengantisipasi era global, dunia pendidikan Indonesia dituntut untuk mempersiapkan SDM yang kompeten agar mampu bersaing dalam pasar kerja global.
4
Menurut World Bank (2002), pendidikan merupakan salah satu instrumen paling kuat yang dimiliki masyarakat untuk mengurangi kemiskinan dan kerentanan. Pendidikan dapat membantu meningkatkan pendapatan potensial, memperluas mobilitas tenaga kerja, meningkatkan kesehatan orang tua dan anakanak, mengurangi kesuburan dan kematian anak, dan mengupayakan suara rakyat yang kurang beruntung dalam masyarakat dan sistem politik. Todaro dan Smith (2006) mengemukakan bahwa pendidikan dipercaya mempunyai peran penting dalam membentuk kemampuan manusia dan suatu negara untuk menyerap maupun menciptakan teknologi modern serta mengembangkan kapasitas agar tercipta pertumbuhan dan pembangunan yang berkelanjutan. Secara langsung pendidikan memberikan pengetahuan dan keterampilan, sehingga meningkatkan produktivitas dan menciptakan akses ke lapangan kerja (Weiss 1995, Oxaal 1997). Dengan demikian, akan mendapatkan penghasilan yang dapat digunakan dalam membantu mengurangi kemiskinan, serta kelaparan. Secara tidak langsung, peran pendidikan dapat mencakup banyak bidang kehidupan, termasuk kegiatan ekonomi, kesetaraan gender, kesehatan ibu, dan pengembangan keterampilan. Pendidikan memberdayakan orang dan membantu mereka untuk menjadi lebih proaktif, mendapatkan kontrol atas hidup mereka, dan untuk memperluas berbagai pilihan yang tersedia (UNESCO 1997). Pendidikan diakui sebagai hak asasi manusia dan berhubungan erat dengan hampir semua dimensi pembangunan, baik pembangunan ekonomi, pembangunan sosial, maupun pembangunan manusia. Penelitian mengenai peran penting pendidikan diprakarsai oleh Schultz2 (1960, 1961) dan Becker3 (1962, 1975). Schultz merintis pembahasan tentang investasi sumber daya manusia dan menetapkan bahwa pendidikan sebagai kegiatan konsumsi dan investasi, - mengarah pada pembentukan modal manusia yang sebanding dengan modal fisik - akan diikuti oleh pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Penelitian Becker meyakinkan banyak orang untuk membuat pilihan investasi dalam modal manusia dengan menimbang biaya dan manfaat rasional yang mencakup pengembalian investasi dalam pendidikan.
2
3
Theodore W. Schultz, dianugerahi Nobel Memorial Prize dalam ilmu ekonomi pada tahun 1979 atas rintisan penelitian dalam pembangunan ekonomi, khususnya masalah negara berkembang. Gary S. Becker, dianugerahi Nobel Memorial Prize dalam ilmu ekonomi pada tahun 1992, karena telah memperluas analisis ekonomi mikro ke berbagai perilaku dan interaksi manusia.
5
Pendidikan juga digunakan sebagai alat signaling dan screening dalam pasar tenaga kerja untuk mengidentifikasi sumber daya manusia yang paling produktif (Spence 1973, Stiglitz 1973)4. Pendidikan erat kaitannya dengan lapangan pekerjaan, di mana pendidikan merupakan suatu “permintaan tidak langsung” terhadap kesempatan memperoleh pekerjaan. Sertifikat pendidikan diasumsikan dapat digunakan sebagai sinyal kemampuan yang dimiliki seseorang. Dengan demikian hasil pendidikan berpengaruh terhadap struktur angkatan kerja, yang pada gilirannya akan berdampak pada tingkat produktivitas pekerja. Pada akhir periode 1980-an, ide dasar tersebut diperluas oleh Romer (1986, 1990, 1994) dan Lucas (1988), yang menyatakan bahwa investasi dalam modal manusia, inovasi dan pengetahuan merupakan kontributor yang signifikan untuk pertumbuhan ekonomi. Dikenal sebagai teori pertumbuhan endogen, yang berfokus pada eksternalitas positif dan efek spillover ekonomi berbasis pengetahuan yang akan mengarah pada pembangunan ekonomi. Selanjutnya, konsep pendidikan sebagai sebuah investasi berkembang secara pesat dan semakin diyakini oleh setiap negara bahwa pembangunan sektor pendidikan merupakan prasyarat kunci bagi pertumbuhan sektor-sektor pembangunan lainnya dan mempunyai peran terhadap pengurangan kemiskinan. Tilak (1989) telah melakukan penelitian mengenai hubungan antara pendidikan dan kemiskinan, dan menyimpulkan bahwa ketika partisipasi pendidikan meningkat, proporsi penduduk miskin mengalami penurunan. Tilak menjelaskan bahwa hubungan antara pendidikan dan kemiskinan akan berbanding terbalik. Dimana, semakin tinggi tingkat pendidikan penduduk dalam suatu populasi, maka akan semakin rendah proporsi penduduk miskin dalam populasi tersebut.
Disebutkan
bahwa
pendidikan
menanamkan
pengetahuan
dan
keterampilan yang berkaitan dengan upah atau pendapatan yang lebih tinggi, sehingga dapat berguna untuk mengatasi kemiskinan. Hubungan antara pendidikan dan kemiskinan tersebut dapat ditunjukkan melalui diagram plot antara rata-rata lama sekolah dengan persentase penduduk miskin, seperti yang terdapat di Indonesia melalui Gambar 1.2 di bawah ini.
4
Michael Spence, Joseph Stiglitz dan George Akerlof, menerima Nobel Memorial Prize dalam ilmu ekonomi tahun 2001, mengenai dinamika arus informasi dan pengembangan pasar.
Persentase Penduduk Miskin (%)
6
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Rata-rata Lama Sekolah (Tahun) Persentase Penduduk Miskin
Linear (Persentase Penduduk Miskin)
Sumber: BPS 2006a, 2007a, 2008a, 2009a, 2010a.
Gambar 1.2
Diagram plot antara rata-rata lama sekolah dengan persentase penduduk miskin di Indonesia, periode tahun 2006-2010.
Kepedulian dunia internasional terhadap pendidikan diwujudkan dalam gerakan global Pendidikan untuk Semua (PUS / Education for All) pada tahun 1990 dan Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development GoalsMDGs) pada tahun 2000. Pada April 2000, kebijakan PUS hasil dari World Education Forum yang diselenggarakan di Dakar, menegaskan komitmen masyarakat internasional untuk mengurangi kemiskinan melalui pendidikan (UNESCO 2000). Beberapa tujuan PUS antara lain: (i).menjamin bahwa hingga tahun 2015 semua anak, khususnya perempuan dan anak-anak dalam keadaan sulit dan mereka yang termasuk etnis minoritas, mempunyai akses dan menyelesaikan pendidikan dasar yang wajib dan bebas biaya dengan kualitas yang baik; dan (ii).mencapai perbaikan hingga 50.% tingkat melek huruf orang dewasa menjelang tahun 2015, terutama bagi kaum perempuan dan akses yang adil pada pendidikan dasar dan berkelanjutan bagi semua orang dewasa. Selanjutnya, delapan tujuan yang tertuang dalam kesepakatan MDGs yakni terkait dengan kemiskinan dan kelaparan, pendidikan dasar, kesetaraan gender, kesehatan,
dan
lingkungan
hidup.
Tujuan
MDGs
menganggap
bahwa
penyelesaian pendidikan dasar, bersama dengan pencapaian MDGs lainnya, akan membantu mewujudkan tujuan mengurangi separuh jumlah orang yang hidup dalam kemiskinan pada tahun 2015. Hal ini dipahami bahwa tingkat pendidikan dasar adalah tingkat dimana anak-anak keluarga miskin bisa lulus, dan diharapkan
7
prestasi mereka dapat membantu untuk memutus siklus kemiskinan (UNESCO 2001). Tujuan PUS di atas juga berkontribusi terhadap upaya global dari delapan tujuan MDG, terutama MDG-1, MDG-2 dan MDG-3 untuk menanggulangi kemiskinan melalui pendidikan dasar dan kesetaraan gender. Terkait dengan kepedulian dunia internasional dalam bidang pendidikan, Pemerintah Indonesia juga telah mengarusutamakan tujuan PUS dan MDGs melalui kebijakan nasional program wajib belajar pendidikan dasar (wajar dikdas). Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sendiri telah mengamanatkan Pemerintah Negara Indonesia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Wajib belajar telah menjadi prioritas kebijakan nasional pemerintah Indonesia
sejak
awal
periode
1970-an,
dimulai
dengan
meningkatkan
pembangunan sarana pendidikan dasar.5 Pada tahun 1983, Pemerintah Indonesia mencanangkan program wajib belajar enam tahun untuk anak usia 7–12 tahun secara nasional. Kemudian dilanjutkan dengan program wajar dikdas sembilan tahun pada tahun 19946, yang ditargetkan bisa tercapai pada tahun 2003/2004, meskipun akhirnya tidak dapat tercapai tepat waktu karena adanya krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997 (Bappenas 2009). Setelah
krisis
ekonomi,
perhatian
pemerintah
terhadap
upaya
penanggulangan kemiskinan semakin besar. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah Indonesia dengan program-program pengentasan kemiskinan, namun belum mencapai hasil yang diharapkan. Pemerintah secara tegas menetapkan upaya penanggulangan kemiskinan sebagai salah satu prioritas pembangunan sebagaimana termuat dalam dokumen perencanaan pembangunan nasional. Dalam Program Pembangunan Nasional (Propenas) tahun 2000–2004, terdapat dua strategi utama penanggulangan kemiskinan. Pertama, melakukan berbagai upaya dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan pokok dan melindungi keluarga dan kelompok masyarakat yang mengalami kemiskinan sementara akibat dampak negatif krisis ekonomi dan kemiskinan struktural. Kedua, melakukan berbagai upaya untuk membantu masyarakat yang mengalami kemiskinan struktural, antara lain: memberdayakan mereka agar mempunyai kemampuan yang tinggi untuk melakukan usaha dan mencegah terjadinya kemiskinan baru (Bappenas 2004). 5
6
Sebagai persiapan pelaksanaan wajib belajar, dilaksanakan Program Bantuan Pembangunan Sekolah Dasar melalui Instruksi Presiden (Inpres) No. 10 Thn 1973 dan Inpres No. 7 Thn 1983. Inpres Nomor 1 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar.
8
Propenas 2000-2004 menargetkan tingkat kemiskinan sekitar 14.% hingga tahun 2004. Namun nyatanya, tingkat kemiskinan tahun 2004 masih sekitar 16,66.%. Selanjutnya, pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2005–2009, dengan Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK), terdapat tiga klaster program penanggulangan kemiskinan. Pertama, bantuan sosial terpadu berbasis keluarga, berupa Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Bantuan Siswa Miskin (BSM), program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), dan program Beras Miskin (raskin). Kedua, penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat, berupa Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), Program Perluasan dan Pengembangan Kesempatan Kerja (Padat Karya Produktif). Ketiga, penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan usaha mikro dan makro, berupa Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Kredit Usaha Bersama (KUBE). Program ini juga dilanjutkan pada RPJMN 2010–2014 (Kemkominfo 2011). Pada RPJMN 2005–2009, menargetkan tingkat kemiskinan sekitar 8,2.% hingga tahun 2009. Tetapi kenyataannya, tingkat kemiskinan hingga akhir tahun 2009 masih tinggi yakni sebesar 14,15.%. Selanjutnya, dalam RPJMN 2010–2014 menargetkan tingkat kemiskinan hingga 8–10.% pada akhir tahun 2014. Kenyataannya sampai tahun 2011, tingkat kemiskinan masih sebesar 12,49 %. Selama periode tahun 2000–2011, jumlah penduduk miskin dan tingkat kemiskinan di Indonesia cenderung menurun, namun demikian penurunannya semakin lambat dan jumlah absolutnya masih sangat besar yaitu sebesar 30,02 juta jiwa. Sementara itu, masih banyak penduduk Indonesia yang hidup sangat dekat dengan garis kemiskinan. Mereka suatu saat bisa jatuh ke dalam kemiskinan jika terjadi guncangan perekonomian pada rumah tangga mereka (TNP2K 2010). Gambar 1.3 menampilkan anggaran penanggulangan kemiskinan dan jumlah penduduk miskin di Indonesia, selama tahun 2002-2010. Terlihat bahwa anggaran penanggulangan kemiskinan semakin meningkat selama periode tersebut dan jumlah penduduk miskin cenderung berkurang. Fenomena ini dapat memperlihatkan kemiskinan.
mengenai
kepedulian
pemerintah
dalam
menanggulangi
9
Anggaran (Trilyun Rp.)
90 80
40 35
66
70 60
63
30
51
50 40 30 20
45
25
42
17
16
18
20 15
23
10 5
10 0
Jmlh Penduduk miskin (juta jiwa)
94
100
0 2002
2003
2004
2005
Anggaran (Trilyun Rp.)
2006
2007
2008
2009
2010
Penduduk Miskin (Juta Jiwa)
Sumber: Menkokesra 2011
Gambar 1.3
Anggaran penanggulangan kemiskinan dalam APBN dan jumlah penduduk miskin Indonesia, tahun 2002-2010.
Pengaruh krisis ekonomi di Indonesia secara langsung juga menurunkan kemampuan masyarakat untuk membiayai pendidikan anak-anaknya, terutama pada kelompok masyarakat miskin. Masyarakat miskin, dengan keterbatasan aset dan akses terhadap pendidikan, memerlukan intervensi pemerintah dalam hal penyediaan layanan dan pembiayaan pendidikan. Berkaitan dengan adanya krisis ekonomi tersebut, berdampak pula pada lahirnya era reformasi yang membuat perubahan mendasar dalam kerangka hukum kebijakan nasional bidang pendidikan Indonesia. Hal tersebut diawali dengan amandemen kedua UUD 1945 pada tahun 2000 dan amandemen keempat UUD 1945 pada tahun 2002. Amandemen kedua memasukkan bab mengenai hak asasi manusia, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. Amandemen keempat memuat Pasal 31 yang mengatur tentang pendidikan dan menyatakan bahwa setiap warga negara berhak dan wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayai. Dari sisi finansial, ketentuan amandemen keempat, pasal 31 ayat 4 menetapkan anggaran pendidikan sebesar 20.% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
10
Untuk melaksanakan amanat amandemen UUD 1945 tersebut, maka ditetapkan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 yang sekaligus mengganti dan menyempurnakan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) agar sesuai dengan amanat perubahan UUD 1945. Dalam Pasal 34 UU Sisdiknas disebutkan bahwa wajib belajar merupakan program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah. Oleh karena itu, sebagai tanggung jawab pemerintah dan untuk meningkatkan angka partisipasi sekolah, maka sejak bulan Juli 2005, pemerintah telah melaksanakan program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang merupakan Program Kompensasi Pengurangan Subsidi-Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM) bidang pendidikan dan terkait dengan program wajar dikdas 9 tahun. Program ini dimaksudkan untuk menyediakan pendanaan yang diperlukan untuk mendukung operasional sekolah agar beban biaya sekolah orang tua dapat dikurangi, dan dengan demikian meningkatkan akses ke pendidikan dasar, khususnya bagi rakyat miskin (Kemendiknas 2010). Kemudian melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2006, tekad percepatan penuntasan wajar dikdas 9 tahun diharapkan dapat dicapai pada tahun 2008/2009. Selanjutnya, dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 34 UU Sisdiknas, pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar. Wajib belajar pada hakikatnya memberikan pelayanan kepada seluruh masyarakat untuk memasuki sekolah dengan biaya murah dan terjangkau.7 Wajib belajar berfungsi dalam mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu dan bertujuan memberikan pendidikan minimal bagi warga negara Indonesia untuk dapat mengembangkan potensi dirinya agar dapat hidup mandiri atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Dalam hal ini, penyelenggaraan wajib belajar pada jalur formal, dilaksanakan minimal pada jenjang pendidikan dasar yang meliputi SD, MI, SMP, MTs, dan bentuk lain yang sederajat. Di sisi lain,
kesadaran dan ekspektasi masyarakat terhadap pendidikan
ternyata juga semakin besar, yang didukung pula dengan anggaran pendidikan nasional yang terus meningkat, sehingga masyarakat berharap bahwa layanan
7
Program wajar dikdas sebelum amandemen UUD 1945, belum menyediakan pembiayaan pendidikan.
11 pendidikan akan semakin baik.8 Semakin banyak masyarakat yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi, serta semakin banyak pula program-program beasiswa yang ditawarkan lembaga pemerintah maupun swasta. Sayangnya, belum banyak orang yang dapat meraih kesempatan ini. Masih banyak orang miskin dan orang pandai tetapi tidak memiliki aset untuk membiayai sekolah atau mengakses ke jenjang pendidikan lebih tinggi. 180.000 156.664
160.000 140.000 111.598
Milyar Rp.
120.000 91.675
100.000 80.000 60.000
84.920
117.054 90.818
91.001
73.189 50.843
55.298
40.000 20.000 0 2007
2008 APBN
2009
2010
2011
APBD
Sumber: Kemenkeu 2012 (diolah).
Gambar 1.4
Alokasi anggaran menurut fungsi pendidikan pemerintah pusat dan daerah di Indonesia, tahun 2007–2011.
Pada akhir tahun 2011, pemerintah melalui Kementrian Pendidikan Nasional berencana untuk mengusulkan program wajib belajar dua belas tahun pada tahun 2013.9 Selanjutnya, pada awal Februari 2012 Komisi X DPR RI telah menyetujui rencana untuk mematangkan program rintisan wajib belajar 12 tahun pada tahun 2013. 10 Dari kondisi tersebut, hal yang menarik adalah pada jenjang pendidikan mana intervensi pemerintah dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dapat berkontribusi terhadap peningkatan kesejahteran masyarakat?
8
9 10
Disampaikan Mendikbud, M. Nuh, dalam Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan pada 27 Februari 2012 di Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan Kemdikbud. http://dikdas.kemdiknas.go.id/content/berita/media/kemdiknas-si.html http://dikdas.kemdiknas.go.id/content/berita/media/kemdikbud-ko.html
12
1.2
Permasalahan Beberapa peneliti telah menganalisis peran pendidikan dalam pertumbuhan
ekonomi dan pembangunan berdasarkan tingkat pendidikan dan melaporkan hasil yang beragam. Beberapa hasil penelitian telah memfokuskan lebih eksklusif pada pendidikan dasar (Colclough 1983; Dreze & Saran 1993). Bank Dunia juga menetapkan bahwa pengembalian investasi pendidikan dasar lebih tinggi daripada pengembalian investasi pendidikan menengah dan tinggi, sehingga berkesimpulan bahwa pendidikan dasar dan melek huruf sebagai agenda untuk pembangunan – baik pembangunan ekonomi, pembangunan sosial maupun pembangunan manusia (World Bank 1995). Berkaitan dengan pelaksanaan program Wajar Dikdas di Indonesia, keberhasilan penuntasan Wajar Dikdas tersebut dapat diamati dari data pencapaian indikator pendidikan, seperti Angka Partisipasi Murni (APM)11, Angka Partisipasi Kasar (APK)12 dan Angka Partisipasi Sekolah (APS)13. Gambar 1.5 menunjukkan angka partisipasi murni maupun partisipasi kasar menurut jenjang pendidikan dan angka partisipasi sekolah menurut kelompok umur. Target APM pendidikan dasar secara nasional sekurang-kurangnya adalah mencapai 95.% (Mendiknas 2005). Dari Gambar 1.5 tersebut, dapat dilihat bahwa rata-rata pencapaian partisipasi pada jenjang pendidikan dasar relatif tinggi. Relatif tingginya rata-rata pencapaian partisipasi pendidikan dasar ini dimungkinkan karena adanya peran pemerintah dalam mendorong penuntasan program Wajar Dikdas 9 tahun dan program BOS untuk siswa pendidikan dasar. Namun demikian, pencapaian angka partisipasi untuk semua jenjang pendidikan formal, baik laki-laki maupun perempuan di perkotaan dan perdesaan, cenderung semakin menurun sejalan dengan meningkatnya jenjang pendidikan. Angka yang tersisa sebesar 5.% dari target tuntas Wajar Dikdas secara nasional menunjukkan bahwa masih terdapat kelompok anak usia Dikdas yang belum mendapatkan layanan pendidikan dasar. Kelompok anak yang belum terlayani pendidikan dasar antara lain mereka yang: tinggal di daerah terpencil;
11 12
13
APM adalah populasi murid usia sekolah yang dapat bersekolah tepat waktu. APK adalah populasi murid yang bersekolah mencakup anak diluar batas usia sekolah pada jenjang pendidikan tertentu. APS digunakan untuk mengetahui banyaknya anak usia sekolah yang telah bersekolah di semua jenjang pendidikan.
13
masyarakat suku terasing dan yang hidup berpindah-pindah; anak jalanan dan rawan putus sekolah; anak yang tinggal di daerah konflik, bencana atau perbatasan; anak yatim piatu dan tidak terpelihara; anak dari keluarga miskin; dan anak dengan kebutuhan khusus, termasuk mereka yang menyandang cacat (UNESCO 2010). Selanjutnya, pada Gambar 1.6 memperlihatkan rata-rata upah/gaji bersih pekerja/karyawan selama sebulan di Indonesia menurut tingkat pendidikan pada Agustus 2011. Terlihat bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin besar pula pendapatan yang diperoleh.
Angka Partisipasi (%)
120 100
111,63
94,72
80
97,96 80,35
67,62
60
86,11 62,53
55,83
45,48
40
13,67
16,35
11,01
20 0
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Sumber : BPS 2010d.
rata-rata upah/gaji (Rp.)
Gambar 1.5
3.500.000 3.000.000 2.500.000 2.000.000 1.500.000 1.000.000 500.000 0
Perkembangan angka partisipasi pendidikan formal di Indonesia, tahun 2005–2010.
2.999.038 2.127.771 1.119.503
1.445.808
1.446.208
757.889 ≤ SD
SMP
SMU SMK Tingkat Pendidikan
Dipl
Strata
Rata-Rata Upah Sumber: Pusdatinaker 2011 (diolah)
Gambar 1.6
Rata-rata upah/gaji bersih pekerja/karyawan selama sebulan di Indonesia menurut pendidikan, Agustus 2011.
14
Dalam literatur terdapat dua pendekatan utama yang menjelaskan hubungan positif antara tingkat pendidikan dan upah, yakni: teori modal manusia dan teori signalling-screening. Dari Gambar 1.6 dapat diartikan bahwa jika terdapat hubungan linier antara tingkat pendidikan dan pendapatan yang diperoleh, maka meningkatkan pendidikan hanya pada tingkat pendidikan dasar diduga tidak akan meningkatkan pendapatan secara substansial dan tidak akan efektif untuk membantu orang untuk mengatasi kemiskinan. Dalam kerangka MDGs, ada keraguan bahwa tujuan MDG-1 untuk menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, tidak akan efektif tercapai jika hanya melalui tujuan MDG-2 universalisasi pendidikan dasar. Secara khusus, mengenai kebijakan nasional bidang pendidikan dalam konteks penanggulangan kemiskinan di Indonesia, maka pendidikan dasar diduga tidak cukup untuk mengangkat masyarakat miskin keluar dari kemiskinan. Wedgwood (2005) menyimpulkan bahwa pengalaman masa lalu Tanzania dalam perluasan dan pemerataan pendidikan dasar telah menunjukkan bahwa dalam jangka panjang pendidikan dasar tidak selalu mengarah pada pengurangan kemiskinan. Demikian pula penelitian Tilak (2005) yang menyatakan bahwa pendidikan menengah dan pendidikan tinggi di India lebih meningkatkan pendapatan individu dan lebih berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi, membuat kontribusi yang signifikan terhadap pengurangan kemiskinan di India. Dalam konteks penanggulangan kemiskinan, kebijakan pendidikan nasional program wajar dikdas telah berjalan selama hampir 4 dekade, namun demikian tingkat kemiskinan di Indonesia masih tetap tinggi. Ini dapat diartikan bahwa pendidikan dasar dalam konteks penanggulangan kemiskinan tidak cukup berperan dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia. Hal ini dapat dipahami bahwa seiring perubahan zaman, tantangan dan pembangunan ekonomi, maka kebutuhan hidup dan biaya sekolah semakin meningkat. Indonesia sebagai negara berkembang juga membutuhkan tenaga kerja terampil yang berkualitas dalam menghadapi persaingan global yang menuntut produk-produk berkualitas melalui pemanfaatan teknologi tinggi. Persaingan dalam pasar tenaga kerja ditengah persaingan global, akan semakin kompetitif yang membutuhkan tenaga-tenaga kerja terampil dan berkualitas. Sementara itu, tenaga kerja terampil yang berkualitas, tidak cukup didapat hanya dengan berpendidikan dasar.
15
Secara umum, rata-rata pendidikan masyarakat miskin berpendidikan rendah. Tingkat pendidikan yang rendah membuat masyarakat miskin mempunyai keterbatasan untuk mengembangkan diri. Akibatnya, mereka tidak mampu berkompetisi untuk memasuki dunia kerja yang semakin terbatas dan membutuhkan kualifikasi yang tinggi. Mereka terpaksa menganggur atau bekerja dengan upah rendah. Alih-alih untuk membiayai akses ke pendidikan, pendapatan masyarakat miskin masih belum cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Pendapatan yang sangat terbatas ini pada akhirnya membawa dampak negatif terhadap kesehatan, yang kemudian berpengaruh pada rendahnya daya tahan fisik dan daya pikir sehingga dapat mengurangi prakarsa dan inisiatif. Menurut data Susenas 2009, jika dilihat karakteristik kemiskinan menurut tingkat pendidikan tertinggi kepala rumah tangga (KRT) di Indonesia, persentase KRT miskin yang tidak tamat SD dan tamat SD lebih tinggi dibanding persentase KRT miskin dengan tingkat pendidikan terakhir SMP, SMA atau pendidikan tinggi (Gambar 1.7). Pada gambar yang sama terlihat pula bahwa distribusi persentase KRT tidak miskin dengan tingkat pendidikan terakhir SLTA dan pendidikan tinggi, lebih tinggi dibanding persentase KRT miskin dengan tingkat pendidikan yang sama. Secara umum indikasi ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat
pendidikan terakhir
kepala
rumahtangga,
semakin kecil
Miskin ≤ SD
PT
SLTA
SLTP
≤ SD
PT
SLTA
SLTP
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
≤ SD
Persentase penduduk (%)
kemungkinan rumahtangga tersebut jatuh ke dalam kemiskinan (BPS 2009d).
Tidak miskin SLTP
SLTA
PT
Sumber: BPS 2009d.
Gambar 1.7
Persentase rumah tangga miskin dan tidak-miskin menurut tingkat pendidikan kepala rumah tangga di Indonesia, tahun 2009.
16
Berstein (2007) menyimpulkan bahwa hubungan antara kemiskinan dan pendidikan dapat beroperasi dalam dua arah. Pertama, orang miskin sering tidak dapat memperoleh akses ke pendidikan yang memadai karena keterbatasan biaya. Kedua, tanpa pendidikan yang memadai orang sering dibatasi untuk hidup miskin karena tidak dapat memperoleh pendapatan yang tinggi. Oleh karena itu, orang miskin benar-benar membutuhkan lebih banyak pendidikan dan pelatihan keterampilan, dan mereka juga membutuhkan suatu konteks ekonomi dimana mereka dapat menyadari keuntungan ekonomi dari peningkatan modal manusia mereka. Jika tanpa adanya intervensi pemerintah dalam hal penyediaan layanan pendidikan dan pembiayaan pendidikan, serta penciptaan lapangan pekerjaan, maka masyarakat miskin tidak akan mampu keluar dari kemiskinannya, sehingga pengurangan kemiskinan akan sulit tercapai. Beberapa penelitian kemudian berkembang dan menyoroti pentingnya peran pendidikan tinggi sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi di negaranegara maju, namun demikian pencapaian ke jenjang pendidikan tinggi masih menjadi permasalahan di negara-negara berkembang, begitu pula di Indonesia. Pandangan baru yang berkembang adalah bahwa pendidikan tinggi sangat penting untuk pengentasan kemiskinan, dengan argumen bertumpu pada peran pelengkap kepada pendidikan dasar dan menengah, di mana pendidikan tinggi akan menyediakan pendidikan dasar dengan guru-guru terlatih, pengembangan kurikulum yang relevan secara lokal, dan melengkapi SDM pendidikan dengan manajemen yang solid dan keterampilan pemerintahan. Pendidikan tinggi juga menyediakan keahlian mendasar untuk semua sektor masyarakat dan ekonomi dan hal ini harus menjadi bagian dari strategi pengurangan kemiskinan yang realistis (Khan & Williams 2006). Di samping persoalan di atas, juga terjadi kesenjangan pencapaian pendidikan antara penduduk miskin dan penduduk kaya. Menurut data Susenas 2009, angka partisipasi sekolah penduduk menurut kelompok umur di perkotaan dan perdesaan yang mengikuti pendidikan formal yang berasal dari kuantil 40.% penduduk termiskin, masih relatif lebih rendah dibandingkan partisipasi sekolah dari 20.% penduduk terkaya (Gambar 1.8). Dari gambar tersebut, terlihat adanya hubungan positif antara tingkat pendapatan rumah tangga dengan tingkat partisipasi sekolah, baik di perkotaan maupun perdesaan. Terlihat bahwa angka
17
partisipasi anak usia sekolah semakin meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan rumah tangga. Hal ini berarti bahwa kesempatan memperoleh pendidikan bagi penduduk kelompok termiskin masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan penduduk kelompok terkaya. Kesenjangan partisipasi pendidikan juga terjadi antara perdesaan dan perkotaan, di mana tingkat partisipasi sekolah penduduk perdesaan masih lebih rendah dibandingkan
APS (%)
penduduk perkotaan. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
7-12
13-15
16-18
19-24
Desa
7-12
13-15
16-18
19-24
20% tertinggi (Kota)
100
095
076
040
099
092
065
014
40% menengah (Kota)
099
094
069
016
098
086
052
006
40% terendah (Kota)
098
084
050
005
096
074
034
003
Sumber : BPS 2010d.
Gambar 1.8
Angka partisipasi sekolah menurut kelompok umur, status ekonomi rumah tangga dan daerah di Indonesia, tahun 2009.
Kesenjangan pencapaian pendidikan juga terjadi antara Jawa dan luar Jawa, serta antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Berbagai bentuk kesenjangan yang timbul meliputi kesenjangan ekonomi, kesenjangan tingkat kesejahteraan ekonomi, kesenjangan sosial maupun kesenjangan pendidikan. Kesenjangan ekonomi, terlihat dari share Produk Domestik Bruto (PDB) KBI sebesar 80.% dari produk nasional bruto, dibandingkan share PDB KTI yang baru sebesar 20.% (Bappenas 2008). Kesenjangan tingkat kesejahteraan ekonomi dapat didekati melalui rata-rata pendapatan per kapita, dimana penduduk KBI memiliki rata-rata pendapatan per kapita sebesar 9,5 juta rupiah, sedangkan penduduk KTI hanya sebesar 6,5 juta rupiah. Begitu pula kesenjangan dalam bidang sosial, 80.% penduduk Indonesia tinggal di KBI dan hanya sekitar 12.% dari penduduk KBI yang tergolong miskin, dibandingkan dengan 20.% penduduk Indonesia yang tinggal di KTI dan
18
sebanyak 14.% penduduk KTI tergolong miskin.
Kesenjangan pendidikan antara
KBI dan KTI dapat pula dilihat dari rata-rata lama sekolah penduduk. Penduduk di KBI rata-rata bersekolah selama 8,8 tahun, sedangkan penduduk di KTI ratarata bersekolah selama 7,5 tahun. Kesenjangan rata-rata lama sekolah antarprovinsi terlihat lebih besar lagi, yakni berkisar dari 6,2 tahun di Provinsi Papua hingga 10,5 tahun di DKI Jakarta. Kesenjangan yang ada tersebut dapat dipengaruhi oleh faktor tidak meratanya potensi sumber daya manusia dan sumber daya alam antardaerah, serta kebijakan pemerintah yang selama ini terlalu sentralistis baik dalam proses perencanaan maupun pengambilan keputusan (Bappenas 2006). Bappenas (2008) menyebutkan bahwa faktor utama yang menyebabkan kesenjangan pendidikan antarkawasan adalah sumber daya manusia dan infrastruktur. Fenomena yang ada adalah kurangnya sumber daya manusia yang berkualitas di kawasan timur Indonesia, dalam hal ini adalah tenaga pengajar baik guru maupun dosen yang sangat dibutuhkan dalam pembanguan pendidikan, serta ketersediaan infrastruktur pendidikan maupun sarana pendukung akses terhadap pendidikan. Adapun menurut Syafrizal (2008), penyebab-penyebab ketimpangan pembangunan antarwilayah dipengaruhi faktor-faktor antara lain: 1. Perbedaan kandungan sumber daya alam yang tersebar antarprovinsi maupun antarkawasan di Indonesia; 2. Perbedaan kondisi demografis, meliputi perbedaan tingkat pertumbuhan ekonomi, struktur kependudukan, perbedaan tingkat pendidikan dan kesehatan, kondisi ketenagakerjaan dan lapangan kerja, tingkah laku dan etos kerja masyarakat antarprovinsi maupun antarkawasan di Indonesia; 3. Mobilitas barang dan jasa, terkait perbedaan kondisi geografis, institusi dan sarana infrastruktur yang ada antarprovinsi maupun antarkawasan di Indonesia; 4. Perbedaan alokasi dana pembangunan antarwilayah oleh pemerintah maupun swasta. Alokasi dana pemerintah lebih banyak ditentukan oleh sistem pemerintahan yang dianut, sedangkan alokasi dana swasta juga ditentukan oleh faktor-faktor tersebut di atas;
19
5. Perbedaan
konsentrasi
antarkawasan di
kegiatan
ekonomi
antarprovinsi
maupun
Indonesia, yang juga dipengaruhi oleh faktor-faktor
tersebut di atas. Disisi lain, selain terjadi fluktuasi dan persistensi tingkat kemiskinan selama periode 1984-2011, terdapat pula keragaman dalam tingkat kemiskinan di seluruh wilayah Indonesia. Terdapat perbedaan yang besar dalam tingkat kemiskinan antarkawasan atau antarprovinsi, maupun antardaerah perkotaan dan perdesaan di Indonesia. Berdasarkan data tahun 2011, tercatat penduduk miskin Indonesia sebanyak 30,02 juta jiwa (12,49.%). Angka kemiskinan nasional tahun 2011 berkisar dari 3,2.% di Provinsi Jakarta hingga 31,98.% di Provinsi Papua. Jika dilihat jumlah absolut, sebagian besar penduduk miskin tinggal di kawasan barat Indonesia yaitu sejumlah 23,35 juta jiwa atau 12,09.% dari penduduk KBI (Gambar 1.9). Mereka tinggal di wilayah padat penduduk seperti di Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat, dengan rata-rata tingkat kemiskinan provinsi di KBI sebesar 0,71.%. Sedangkan penduduk miskin di kawasan timur Indonesia sejumlah 6,67 juta jiwa atau 14,13.% dari penduduk KTI. Mereka tinggal di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat dan Papua, dengan rata-rata tingkat kemiskinan provinsi di KTI sebesar 0,88.%. Jika dilihat menurut status daerah, sebagian besar penduduk miskin tinggal di daerah perdesaan, yaitu sekitar 15,72.% (18,97 juta jiwa) dan sekitar 9,24.% (11,05 juta jiwa) tinggal di perkotaan. Jadi masih terdapat keragaman tingkat kemiskinan di
4
KBI
KTI
3 2
Kota
Desa
NTT PAPUA NTB SULSEL SULTENG KALBAR MALUKU SULTRA PAPBAR KALTIM GORONTALO SULUT KALSEL SULBAR KALTENG MALUT
0
0,88
0,71
1
JATIM JATENG JABAR SUMUT LAMPUNG SUMSEL NAD BANTEN DIY RIAU SUMBAR DKI BENGKULU JAMBI BALI KEPRI BABEL
Persentase penduduk miskin (%)
Indonesia, baik antarkawasan, antarprovinsi maupun antara kota dan desa.
Rata-rata kawasan
Sumber: BPS 2011 (diolah).
Gambar 1.9
Persentase penduduk miskin menurut kawasan, provinsi dan status daerah di Indonesia, tahun 2011.
20
Sementara itu, adanya perbedaan struktur ekonomi, ketimpangan sosial maupun ketimpangan pendidikan yang ada, sepertinya tidak diakomodasi dalam kebijakan-kebijakan pemerintah yang masih sentralistik, baik dalam proses perencanaan maupun pengambilan keputusan (Bappenas 2006). Beberapa kelemahan dari pelaksanaan program tersebut, antara lain kebijakan yang diambil didasarkan pada asumsi bahwa permasalahan kemiskinan bersifat homogen di setiap daerah, sehingga kebijakan dan program yang dilakukan kurang mempertimbangkan keragaman sebab dan karakteristik kemiskinan daerah. Akibatnya, program yang
dilaksanakan kurang sesuai dengan prioritas penanganan dan kebutuhan masyarakat miskin setempat (TNP2K 2010). Keseluruhan uraian mengenai studi literatur dan data empiris di atas menunjukkan bahwa terkait dengan kebijakan nasional program wajib belajar pendidikan dasar 9 sembilan (sembilan) tahun, maka jenjang pendidikan dasar dalam konteks penanggulangan kemiskinan diduga tidak cukup berperan secara substansial untuk mengurangi kemiskinan. Pertanyaan selanjutnya jika jenjang pendidikan dasar diduga tidak cukup berperan, maka pada jenjang pendidikan manakah yang berperan dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia? Seandainya jika jenjang pendidikan pasca pendidikan dasar diduga lebih berperan dalam mengurangi kemiskinan, maka perlu kebijakan khusus bagi masyarakat miskin supaya bisa mengakses jenjang pendidikan tersebut. Tanpa intervensi pemerintah, masyarakat miskin akan terkendala karena keterbatasan aset yang dimiliki. Kemudian, terkait dengan adanya perbedaan kondisi antardaerah, apakah kebijakan nasional pendidikan yang diterapkan sama di seluruh wilayah Indonesia, akan menghasilkan dampak yang sama pula di semua daerah? Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah jenjang pendidikan dasar di Indonesia dapat berperan dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia? 2. Pada jenjang pendidikan manakah yang berperan dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia? 3. Apakah terdapat perbedaan jenjang pendidikan yang berperan besar dalam mengurangi kemiskinan antarkawasan di Indonesia?
21
1.3
Tujuan Tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengkaji peran pendidikan dasar dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia; 2. Mengkaji jenjang pendidikan yang berperan dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia; 3. Mengkaji jenjang pendidikan yang berperan besar dalam mengurangi kemiskinan antarkawasan di Indonesia.
1.4
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini, diharapkan dapat memberikan informasi kepada
pembaca mengenai kondisi perkembangan pendidikan di Indonesia, serta mengkaji kebijakan nasional wajar dikdas dalam konteks penanggulangan kemiskinan. Selanjutnya mengetahui jenjang pendidikan yang berpengaruh terhadap kemiskinan di Indonesia dan antarkawasan di Indonesia. Penelitian ini semoga dapat menjadi bagian bagi pertimbangan pemerintah dalam kebijakan untuk pemerataan pendidikan untuk semua dan penanggulangan kemiskinan.
1.5
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Ruang lingkup penelitian ini meliputi tiga hal. Pertama, memberikan
deskripsi pencapaian
indikator
pendidikan,
pendapatan per
kapita dan
ketimpangan pendapatan, serta dinamika kemiskinan, yang terjadi di Indonesia selama periode tahun 2006–2011. Kedua, melakukan studi ekonometrik mengenai peran pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia. Ketiga, mengkaji pengaruh jenjang pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia maupun antarkawasan di Indonesia. Penelitian ini menyertakan variabel rasio anggaran fungsi pendidikan sebagai pengeluaran publik bidang pendidikan, pendapatan per kapita sebagai efek pertumbuhan dan ketimpangan pendapatan sebagai efek distribusi, untuk mengetahui pengaruh pendidikan secara tidak langsung terhadap kemiskinan. Cakupan analisis dalam penelitian ini adalah 33 provinsi di Indonesia. Analisis deskriptif yang dilakukan mencakup periode tahun 2006–2011. Sedangkan analisis ekonometrik dilakukan untuk periode tahun 2007–2010 karena ketersediaan data, antara lain: data sejumlah 33 provinsi mulai tersedia lengkap
22
tahun 2006 dan data anggaran pendidikan menurut fungsi pendidikan mulai tersedia tahun 2007.
II.
2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teoritis
2.1.1 Teori Modal Manusia Sampai dengan periode 1960-an, ekonom neo-klasik mengasumsikan bahwa tenaga kerja sudah tertentu dan tidak bisa dikembangkan. Analisis mengenai pendidikan dan pelatihan tidak terintegrasi ke dalam diskusi produktivitas. Pendidikan dalam pandangan neo-klasik selama sekian dekade dipahami sebagai bentuk pelayanan sosial yang harus diberikan kepada masyarakat. Dalam konteks ini pelayanan pendidikan sebagai bagian dari public service atau jasa layanan umum dari negara kepada masyarakat yang tidak memberikan dampak langsung bagi perekonomian masyarakat. Sehingga pembangunan pendidikan tidak menarik untuk menjadi tema perhatian dan kedudukannya tidak mendapat perhatian dalam gerak langkah pembangunan. Konsep modal manusia (human capital) dalam ilmu ekonomi diperkenalkan oleh Schultz (1960, 1961) dan Becker (1962). Theodore W. Schultz merintis benih-benih teoritis hubungan antara pendidikan dan produktivitas. Schultz berpendapat bahwa para ekonom neo-klasik hanya menganalisis secara eksplisit mengenai modal manusia. Schultz mengajarkan gagasan modal pendidikan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pengetahuan dan ketrampilan sehingga dapat meningkatkan produktivitas, berkaitan secara spesifik dengan investasi yang dilakukan dibidang pendidikan. Schultz membahas mengenai investasi sumber daya manusia dan hubungan pendidikan dengan pertumbuhan ekonomi, dan menetapkan bahwa pendidikan bukan hanya sebagai kegiatan konsumsi, tetapi juga merupakan kegiatan investasi yang mengarah pada pembentukan modal manusia yang sebanding dengan modal fisik, dan akan diikuti oleh pertumbuhan yang signifikan. Pengeluaran langsung konsumsi pendidikan merupakan investasi dalam modal manusia, karena mengharapkan pengembalian berupa penghasilan yang akan diperoleh dimasa depan.
23
24
Konsep antara sumber daya manusia dibedakan dengan konsep modal manusia. Sumber daya manusia dapat berubah menjadi modal manusia melalui input efektif nilai-nilai pendidikan, kesehatan dan moral. Transformasi sumber daya manusia mentah menjadi sumber daya manusia yang sangat produktif melalui input-input tersebut adalah proses pembentukan modal manusia. Jadi modal manusia memiliki pengertian persediaan kompetensi, pengetahuan, keahlian, keterampilan, cita-cita, kesehatan, dan sebagainya yang merupakan hasil pengeluaran atau pembelanjaan di bidang pendidikan, program perawatan dan pemeliharaan kesehatan (Todaro & Smith 2006). Kemudian, Becker14 menganalisis secara empiris investasi modal manusia sehingga muncul teori modal manusia. Penelitian Becker merupakan fundamental dalam meyakinkan banyak orang untuk membuat pilihan investasi dalam modal manusia dengan menimbang biaya dan manfaat rasional yang mencakup pengembalian investasi dalam pendidikan. Manfaat investasi pendidikan tidak hanya menekankan dimensi moneter saja (manfaat private), tetapi juga memperhitungkan manfaat dari dimensi non-moneter (manfaat sosial) seiring dengan peningkatan pendapatan dan pekerjaan. Sementara, biaya yang dikeluarkan adalah biaya langsung terkait biaya pendidikan dan biaya tidak langsung berupa biaya lain-lain, termasuk penghasilan yang hilang apabila bekerja. Penelitian Becker menerangkan perbedaan tingkat pengembalian untuk setiap orang yang berbeda dalam kemampuan berinvestasi dalam pendidikan dan implikasi makroekonomi yang dihasilkan. Gambar 2.1 memperlihatkan representasi skematis dari trade-off dan tingkat pengembalian dalam keputusan untuk melanjutkan sekolah. Skema ini mengasumsikan bahwa seseorang bekerja dari saat ia lulus sekolah hingga ia tidak mampu bekerja lagi atau meninggal. Dua profil golongan pencari nafkah disajikan di sini, yaitu lulusan pendidikan dasar (diasumsikan mulai bekerja pada usia 16 tahun) dan lulusan pendidikan menengah atas (diasumsikan mulai bekerja pada usia 19 tahun).
14
Becker (1965) juga mengembangkan teori yang mempelajari model ekonomi rumah tangga, dimana kegiatan produksi dan konsumsi rumah tangga tidak terpisah dari penggunaan tenaga kerja serta hubungannya dengan alokasi waktu dan pendapatan.
25
Pendapatan
Lulusan Sekolah Menengah Atas Lulusan Pendidikan Dasar
Manfaat
Biaya Tidak Langsung 16 19 Biaya Langsung
66
Umur
Biaya Langsung Sumber: Todaro dan Smith 2006.
Gambar 2.1 Trade-off dan tingkat pengembalian dalam pengambilan keputusan untuk melanjutkan pendidikan. Tingkat pendidikan yang dienyam oleh seseorang, secara umum dapat dipandang sebagai hasil yang ditentukan oleh perpaduan antara permintaan dan penawaran. Dari sisi permintaan, terdapat dua hal yang paling berpengaruh terhadap jumlah atau tingkat pendidikan yang diinginkan, yaitu: (i) harapan bagi siswa yang lebih terdidik untuk mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang lebih baik dimasa yang akan datang (hal ini merupakan manfaat pendidikan individual bagi siswa dan/atau keluarganya); serta (ii) biaya-biaya pendidikan, baik bersifat langsung maupun tidak langsung yang harus ditanggung oleh siswa dan/atau keluarganya. Jadi sebenarnya, permintaan terhadap pendidikan merupakan “permintaan tidak langsung” terhadap kesempatan memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang lebih baik (Todaro & Smith 2006). Hal ini dikarenakan untuk memperoleh pekerjaan di sektor modern, sangat ditentukan oleh tingkat pendidikan seseorang. Bagi sebagian masyarakat negara berkembang, terutama golongan miskin, permintaan pendidikan adalah untuk mengamankan kesempatan memperoleh pekerjaan. Permintaan atas tingkat pendidikan yang dianggap harus dicapai untuk mendapatkan pekerjaan berpenghasilan tinggi di sektor modern bagi seseorang atau bagi anggota masyarakat, sangat ditentukan oleh kombinasi pengaruh dari: selisih atau perbedaan upah/pendapatan antara
26
sektor modern dengan sektor tradisional, probabilitas keberhasilan untuk mendapat pekerjaan di sektor modern dengan adanya pendidikan, serta biaya langsung yang harus ditanggung siswa/keluarganya dan biaya tidak langsung atau biaya oportunitas dari pendidikan. Pada sisi penawaran, jumlah sekolah dimasing-masing tingkat pendidikan lebih banyak ditentukan oleh proses politik, yang sering tidak ada kaitannya dengan kriteria ekonomi. Tingkat penawaran atau penyediaan tempat-tempat sekolah oleh pemerintah, dibatasi oleh tingkat pengeluaran pemerintah untuk sektor pendidikan. Pada gilirannya, hal tersebut akan dipengaruhi oleh tingkat permintaan agregat dari masyarakat terhadap pendidikan (Todaro & Smith 2006). Pendekatan modal manusia menganggap pendidikan sebagai instrumen penting untuk mengurangi kemiskinan. Menurut teori modal manusia, investasi di bidang pendidikan mengarah pada pembentukan modal manusia, yang merupakan faktor penting dalam pertumbuhan ekonomi. Pendidikan bersama dengan pelatihan, mengajarkan keterampilan dan pengetahuan produktif dan mengubah manusia menjadi modal manusia yang lebih berharga. "Persediaan keterampilan dan pengetahuan produktif yang terkandung pada manusia" merupakan manusia modal. Pengetahuan, yang disampaikan melalui pendidikan, akan meningkatkan produktivitas masyarakat dan dengan demikian pendapatan mereka.
2.1.2 Teori Signaling dan Screening Sehubungan
dengan
pendidikan
dan
pasar
kerja,
Spence
(1973)
menganalisis pasar dengan informasi asimetrik mengenai signaling dalam pasar kerja. Teori tersebut menjelaskan hubungan antara pendidikan dan pendapatan. Signaling adalah strategi untuk menghindari beberapa masalah yang terkait dengan seleksi yang merugikan, mengacu pada tindakan yang dapat diamati dan dilakukan oleh satu pihak (disebut agen) untuk menyampaikan beberapa informasi tentang dirinya sendiri kepada pihak lain (pengusaha) tentang kualitas mereka. Spence menggunakan pendidikan sebagai contoh signaling. Sertifikat pendidikan dapat digunakan sebagai sinyal untuk menunjukkan tingkat kemampuan tertentu yang dimiliki individu. Umumnya, pengusaha bersedia membayar upah lebih tinggi untuk mempekerjakan pekerja dengan kemampuan
27
atau pendidikan lebih tinggi, karena lebih murah dan mudah bagi perusahaan untuk melatih karyawan berkemampuan tinggi daripada karyawan dengan kemampuan rendah. Di sisi lain, Stiglitz (1973) juga menganalisis pasar dengan informasi asimetrik dan menunjukkan bahwa agen yang kurang informasi kadang dapat menangkap informasi dari agen yang mempunyai informasi lebih baik melalui screening. Dalam model screening, diasumsikan bahwa perusahaan memilih tingkat pendidikan terkait dengan tugas dan upah yang akan diberikan. Pendidikan dapat digunakan sebagai screening device untuk mengidentifikasi produktivitas sumber daya manusia yang telah terbentuk sebelumnya dan membedakan tingkat upah di antara kelompok sumber daya manusia yang berbeda pendidikannya. signaling Pihak yang lebih mengetahui informasi
Pihak yang kurang mengetahui informasi screening
Sumber: Yamamoto 2009
Gambar 2.2 Perbedaan signaling dan screening. Misalkan dalam pasar tenaga kerja, dimana perusahaan akan merekrut pekerja pabrik dengan upah rendah dan pekerja kantor dengan upah tinggi. Diasumsikan terdapat 2 (dua) tipe individu yang berbeda sehubungan dengan kemampuan bawaan mereka (θ), yaitu kemampuan tinggi (θH) dan kemampuan rendah (θL; dimana θH.>.θL.>.0). Pekerja mengetahui kemampuan mereka sendiri, tetapi perusahaan (majikan) tidak bisa mengamati secara langsung. Perusahaan kurang mengetahui informasi kemampuan bawaan (produktivitas) dari individu. Utilitas individu adalah: ( , , )=
− ( , )
………. (2.1)
Utilitas (U) diasumsikan meningkat secara linear terhadap upah (w) dan dianggap menurun terhadap biaya pendidikan (C). Biaya pendidikan tersebut diasumsikan meningkat terhadap proses signaling pendidikan (s) dan menurun terhadap kemampuan bawaan (θ). Oleh karena itu, individu dengan kemampuan bawaan
28
yang lebih tinggi akan bersedia mengorbankan biaya lebih sedikit untuk meningkatkan tingkat pendidikan mereka dan membedakan dari individu dengan kemampuan bawaan yang rendah. Hal ini juga berimplikasi bahwa individu berkemampuan tinggi mempunyai kurva indiferen lebih datar. Dengan efek peningkatan produktivitas melalui pendidikan, maksimisasi produksi perusahaan (π) juga tergantung pada biaya signaling pendidikan (s) dan kemampuan bawaan (θ). Maksimisasi produksi dapat ditulis sebagai: ( , , )= ( , )−
………. (2.2)
Dimana ( , ) menunjukkan produk marjinal pekerja dengan sinyal pendidikan (s) dan kemampuan bawaan pekerja (θ). Dalam signaling terdapat dua tipe keseimbangan yang mungkin terjadi untuk tipe pekerja yang berbeda menurut tingkat pendidikan, yaitu: separating equilibria, dimana kedua tipe pekerja memilih tingkat pendidikan yang berbeda, dan pooling equilibria, dimana kedua tipe pekerja memilih tingkat pendidikan yang sama. Setiap pekerja akan menerima upah sesuai dengan tingkat produktivitasnya. Jika terdapat informasi tidak sempurna, yaitu ketika kedua tipe pekerja tidak dapat dibedakan oleh perusahaan, tipe pekerja θL akan memilih kontrak tipe θH di mana kurva indiferen mereka akan melalui titik B yang terkait dengan tingkat utilitas yang lebih tinggi. Namun, perusahaan akan mengalami kerugian jika mereka membayar tipe θL dan θH dengan upah
∗
yaitu upah untuk produktivitas
tinggi. Oleh karena itu, perusahaan memiliki kepentingan dalam memisahkan dua tipe pekerja dan karenanya tidak akan menawarkan kontrak ( Dalam kondisi tertentu, beberapa individu
∗
;
∗
).
ingin memberi sinyal
kemampuan mereka kepada perusahaan dengan memilih tingkat pendidikan tertentu untuk membedakan diri dari individu lain dengan produktivitas lebih rendah. Signaling bisa berhasil hanya jika biaya signaling cukup berbeda antara individu. Selama perusahaan tidak dapat membedakan produktivitas pekerja, maka perusahaan akan mengupah lebih tinggi bagi lulusan pendidikan tinggi dibanding lulusan pendidikan menengah.
29
Untuk ilustrasi lebih lanjut, Gambar 2.3 menunjukkan kasus separating equilibrium dengan informasi yang tidak sempurna untuk dua tipe pekerja yang berbeda. Untuk mencegah tipe pekerja berkemampuan rendah (θL) meniru pekerja berkemampuan tinggi (θH), perusahaan akan menawarkan kontrak kepada tipe pekerja berkemampuan rendah pada ( ∗ ;
∗
). Dengan adanya informasi yang
tidak sempurna, pekerja berkemampuan tinggi harus berinvestasi lebih banyak dalam pendidikan untuk membedakan diri dari pekerja berkemampuan rendah dengan menurunkan utilitasnya, bergerak dari
∗
titik B ke
di titik C.
Kontrak untuk pekerja berkemampuan tinggi (θH), sekarang adalah pada (
;
).
Dengan kata lain, tipe pekerja θH harus melakukan signaling sedikit di atas tingkat ∗
agar benar-benar terpisah dari tipe pekerja θL. Tipe pekerja θH terkena
eksternalitas negatif, karena mereka perlu berinvestasi dalam signaling yang lebih tinggi dibanding jika produktivitas dapat diamati, sehingga utilitas mereka menurun dari
∗
ke
.
Sumber: Hornig et al. 2011.
Gambar 2.3 Informasi asimetris: separating equilibrium untuk dua tipe pekerja yang berbeda. Dengan dua tipe kontrak, jika tipe pekerja θL tidak melakukan signaling maka kontraknya pada titik A. Jika seandainya tipe pekerja θL melakukan signaling, maka kontraknya pada titik C tetapi harus mengorbankan biaya signaling sebesar
∗
–
. Namun demikian, tipe pekerja θL tetap mempunyai
tingkat utilitas yang sama antara kontrak A dan C yaitu pada
∗
.
30
Bergantung pada produktivitas relatif dan rasio dari dua tipe pekerja, separating equilibrium mungkin tidak mewakili solusi kesetimbangan. Misalnya, kedua jenis pekerja lebih memilih satu kontrak dengan upah
(upah rata-rata)
atau tingkat di atasnya. Jika rata-rata produktivitas dari dua jenis pekerja lebih tinggi dari upah rata-rata tersebut, maka ruang lingkup kontrak pooling yang mungkin adalah pada daerah BCD yang diarsir pada Gambar 2.4. Tingkat pendidikan minimal
∗
diperlukan untuk mencapai tingkat produktivitas di mana
perusahaan dapat membayar
tanpa membuat kerugian, tingkat signaling ini
menandai batas bawah dari daerah yang diarsir. Batas atas adalah
karena pada
tingkat ini tipe pekerja θL akan lebih memilih kontrak separating equilibrium.
Sumber: Hornig et al. 2011.
Gambar 2.4 Informasi asimetris: pooling equilibrium untuk dua tipe pekerja yang berbeda. Sebagai akibat dari fenomena pengutamaan ijazah atau sertifikasi pendidikan dalam kegiatan signaling dan screening, orang-orang dengan berbagai macam alasan –kebanyakan karena kemiskinan mereka– yang tidak dapat melanjutkan pendidikan, akan berada dalam golongan orang-orang putus sekolah atau tidak berpendidikan. Pada akhirnya mereka akan sulit mendapatkan pekerjaan di sektor formal karena tidak memiliki sertifikasi pendidikan formal.
31
2.1.3 Teori Pertumbuhan Ekonomi Teori pertumbuhan ekonomi semakin berkembang dari masa ke masa. Beberapa teori pertumbuhan ekonomi yang menonjol sebagaimana diuraikan Todaro dan Smith (2006) adalah model pertumbuhan Harrod-Domar, teori perubahan struktural (model pembangunan Lewis), model pertumbuhan neoklasik Solow dan model pertumbuhan endogen Lucas-Romer. Model Harrod-Domar yang dikembangkan secara independen oleh Sir Roy Forbes Harrod (1939) dan Evsey D. Domar (1946), digunakan dalam ekonomi pembangunan untuk menjelaskan tingkat pertumbuhan ekonomi dalam hal tingkat tabungan
dan produktivitas
modal.
Model
pertumbuhan
Harrod-Domar
menyatakan bahwa jika semakin banyak bagian dari output nasional yang ditabung dan diinvestasikan, maka tingkat pertumbuhan output nasional akan semakin meningkat. Secara lebih spesifik, model pertumbuhan Harrod-Domar menyatakan bahwa tanpa adanya intervensi pemerintah, tingkat pertumbuhan pendapatan nasional tergantung pada tingkat tabungan yang kemudian diinvestasikan (Todaro & Smith 2006). Teori perubahan struktural (model pembangunan Lewis) memusatkan perhatiannya pada mekanisme transformasi ekonomi negara berkembang dari kegiatan ekonomi sektor tradisional (pertanian) yang bersifat subsisten menuju sektor modern yang berbasis industri manufaktur yang lebih bervariasi dan sektor jasa-jasa yang tangguh. Proses transformasi ini disebabkan adanya surplus tenaga kerja di sektor pertanian dengan produktivitas marginal tenaga kerja yang rendah dan pindah ke sektor industri dengan tingkat produktivitas tinggi dan tingkat upah yang lebih tinggi. Kemudian, teori pertumbuhan neo-klasik dengan model pertumbuhan Solow15 (1956) yang merupakan pengembangan dari formulasi Harrod-Domar dengan menambahkan faktor tenaga kerja, serta memperkenalkan faktor teknologi. Teori pertumbuhan neo-klasik menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi tergantung pada akumulasi aktiva ekonomi (modal dan tenaga kerja), dan laba atas aset-aset tersebut, yang pada gilirannya tergantung pada kemajuan teknologi, efisiensi aset yang digunakan, dan kerangka kelembagaan produksi. 15
Robert M. Solow, dianugerahi Nobel Memorial Prize dalam ilmu ekonomi pada tahun 1987 atas kontribusinya dalam teori pertumbuhan ekonomi.
32
Namun, teori pertumbuhan neo-klasik tidak mampu menjelaskan sumbersumber pertumbuhan ekonomi jangka panjang yang bukan hanya dari faktor tenaga kerja dan modal. Kemajuan teknologi ditetapkan sebagai faktor residu untuk menjelaskan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang, dan tinggi rendahnya pertumbuhan diasumsikan bersifat eksogen atau tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Dalam model pertumbuhan neo-klasik, tingkat jangka panjang dari pertumbuhan eksogen ditentukan oleh tingkat tabungan (model HarrodDomar) atau tingkat kemajuan teknis (model Solow). Namun, tingkat tabungan dan tingkat kemajuan teknologi tetap tidak dapat dijelaskan. Ketidakpuasan terhadap teori pertumbuhan neo-klasik model Solow yang kurang sesuai secara empiris di negara-negara berkembang, memicu motivasi untuk meneliti faktor-faktor penentu pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Dimulai dengan karya Romer (1986) yang menyusun representasi matematis ekonomi dimana perubahan teknologi sebagai hasil dari tindakan yang disengaja oleh manusia dalam penelitian dan pengembangan, untuk peningkatan output per pekerja berkelanjutan. Kemudian, model pertumbuhan endogen Lucas (1988) menyatakan bahwa akumulasi modal manusia yang merupakan akumulasi dari pendidikan dan pelatihan, sebagaimana akumulasi modal fisik, menentukan pertumbuhan ekonomi. Secara khusus, teori pertumbuhan endogen menunjukkan dampak pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi, yang menekankan pada pentingnya modal manusia untuk inovasi dan kemajuan teknologi. Para ekonom telah lama berpendapat bahwa manfaat dari akumulasi modal manusia tidak mungkin terbatas hanya kepada penerima langsung saja, tetapi mungkin akan mengimbas kepada orang lain juga. Teori pertumbuhan endogen telah membedakan diri dari pendekatan neo-klasik dengan secara eksplisit menjelaskan peran eksternalitas pendidikan dalam pertumbuhan ekonomi: tenaga kerja berpendidikan dapat meningkatkan produktivitas dibandingkan rekan sekerja mereka yang kurang berpendidikan, atau mungkin ada efek spillover dari akumulasi pengetahuan atau kemajuan teknis yang timbul dari investasi dalam modal manusia.
33
2.1.4 Peranan Pemerintah dalam Perekonomian Intervensi pemerintah sering digunakan dalam menanggulangi permasalahan pembangunan dengan berbagai jenis keputusan kebijakan publik, karena adanya fenomena kegagalan pasar. Kegagalan pasar yaitu sebuah konsep dalam teori ekonomi yang menjelaskan ketika alokasi barang dan jasa oleh pasar bebas tidak efisien. Kegagalan pasar sering dikaitkan dengan informasi asimetri, pasar persaingan tidak sempurna,
masalah principal-agent,
eksternalitas,
atau
keberadaan barang publik. Samuelson
(1954,
1955,
1958)
dengan
perspektif
Keynesian,
mengembangkan teori keuangan publik dalam beberapa penelitiannya untuk menentukan alokasi sumber daya yang optimal dengan adanya barang private dan barang publik. Samuelson menyatakan bahwa barang publik harus disediakan selama manfaat keseluruhan untuk konsumen dari barang publik setidaknya sama besar dengan biaya penyediaannya. ‘Kondisi Samuelson’ dalam teori barang publik di bidang ekonomi, adalah kondisi untuk penyediaan barang publik yang efisien dapat dianggap sebagai generalisasi dari konsep penawaran dan permintaan dari private untuk barang publik. Peran pemerintah dibangun di atas teori ekonomi kesejahteraan dan digunakan sebagai alat untuk meningkatkan kesejahteraan sosial melalui kebijakan pemerintah dari sudut pandang efisiensi ekonomi dan pemerataan (Stiglitz 2000). Ada beberapa alasan penting perlunya campur tangan pemerintah, antara lain: (i) tidak semua barang dan jasa bisa disediakan melalui mekanisme pasar; (ii) untuk memecahkan masalah konflik kepentingan dalam masyarakat; (iii) supaya pelaku ekonomi, masyarakat, atau pasar bisa berfungsi sebaikbaiknya; (iv) untuk menjamin terpenuhinya hak-hak dasar; dan (v) untuk lebih menyeimbangkan kekuatan-kekuatan pasar sehingga tercipta struktur yang lebih adil (Hyman 2006). Dari beberapa alasan tersebut di atas, dapat dirangkum menjadi 3 (tiga) fungsi utama pemerintah, yaitu: 1. Fungsi alokasi, yaitu peran pemerintah dalam mempengaruhi alokasi sumber daya oleh sektor swasta.
34
2. Stabilisasi, yaitu dalam konteks yang lebih luas, tidak hanya stabilisasi perekonomian tetapi dalam konteks politik, sosial, dan keamanan. 3. Redistribusi, yaitu fungsi pemihakan yang berupa kebijakan. Di samping peran pemerintah yang strategis tersebut, ternyata pemerintah juga menghadapi resiko kegagalan dalam mencapai tujuannya. Terdapat empat sumber pokok kegagalan pemerintah yaitu, keterbatasan informasi, keterbatasan kendali atas respon pasar, keterbatasan kendali atas birokrasi, dan keterbatasan karena proses politik (Stiglitz 2000).
2.1.5 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per Kapita Produk domestik regional bruto (PDRB) per kapita sering digunakan sebagai salah satu indikator dasar pertumbuhan ekonomi yang mengukur tingkat output total ekonomi relatif terhadap jumlah penduduk suatu wilayah pada periode tertentu. PDRB per kapita mengukur kemampuan suatu wilayah untuk memperbesar outputnya dalam laju yang lebih cepat daripada tingkat pertumbuhan penduduk. PDRB per kapita bukanlah pengukuran standar hidup dalam suatu perekonomian, namun sering digunakan sebagai indikator kesejahteraan dengan alasan rasional bahwa semua penduduk akan mendapatkan keuntungan dari peningkatan produksi ekonomi wilayah mereka. PDRB per kapita mencerminkan perubahan kesejahteraan populasi secara keseluruhan (UN 2007). Pendapatan individu memainkan peran kunci dalam status kemiskinan seseorang ketika mempertimbangkan ukuran kemiskinan secara ekonomi (baik absolut atau relatif). Dasar pemikiran dibelakang kedua pendekatan tersebut merupakan pengukuran penghasilan (yang didekati dengan pengeluaran). Orang dianggap miskin ketika mereka tidak memiliki pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Hal yang sama berlaku untuk suatu wilayah dengan PDRB per kapita pada tingkat agregat, berkaitan dengan tingkat kemiskinan. Pandangan aktivis propertumbuhan mengatakan bahwa peningkatan pendapatan per kapita suatu wilayah pada akhirnya mengarah pada penurunan jumlah penduduk miskin dengan meningkatkan pendapatan individu atau sebaliknya. Gagasan ini yang dikenal dalam literatur bahwa tingkat pertumbuhan yang tinggi dari pendapatan
35
per kapita mengkonversi ke dalam pengurangan kemiskinan (Goh et al. 2009). Secara umum, tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita telah menjadi tujuan utama dalam program pengentasan kemiskinan di seluruh dunia. Bagaimanapun, negara mengalami pengurangan kemiskinan melalui pertumbuhan ekonomi yang difokuskan pada penggunaan tenaga kerja produktif, satu-satunya aset yang dimiliki oleh orang miskin (Squire 1993). Pertumbuhan dalam produksi barang dan jasa merupakan faktor penentu bagaimana kinerja perekonomian. Todaro dan Smith (2006) mendefinisikan pertumbuhan
ekonomi
sebagai
peningkatan
kapasitas
produktif
suatu
perekonomian secara berkesinambungan sepanjang waktu, sehingga menghasilkan tingkat pendapatan dan output nasional. Dornbusch et al. (2008) mendefinisikan pertumbuhan ekonomi secara makro sebagai penambahan nilai PDRB riil dari waktu ke waktu. Nilai PDRB dapat dihitung melalui tiga pendekatan, yakni pendekatan produksi, pendekatan pendapatan dan pendekatan pengeluaran. Pendekatan produksi dan pendekatan pendapatan merupakan pendekatan dari sisi penawaran agregat, sedangkan pendekatan pengeluaran merupakan pendekatan dari sisi permintaan agregat. PDRB dari sisi produksi atau disebut juga pendekatan output, didefinisikan sebagai penjumlahan nilai tambah bruto (NTB) yang dihasilkan oleh seluruh aktivitas ekonomi di suatu wilayah tertentu selama periode tertentu. PDRB dengan pendekatan produksi disajikan dalam sembilan sektor lapangan usaha, yakni: (i).pertanian; (ii).pertambangan dan penggalian; (iii).industri pengolahan; (iv).listik, gas dan air bersih; (v).konstruksi; (vi).perdagangan, hotel dan restoran; (vii).transportasi dan komunikasi; (viii).keuangan, persewaan dan jasa perusahaan; dan (ix).jasa-jasa. PDRB dengan pendekatan pendapatan dihitung berdasarkan jumlah pendapatan atau balas jasa yang diterima oleh semua faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi di semua sektor. Balas jasa atau pendapatan berupa upah/gaji untuk pemilik tenaga kerja, bunga atau hasil investasi bagi pemilik modal, sewa tanah bagi pemilik lahan serta keuntungan bagi pengusaha. PDRB dari sisi pengeluaran dihitung sebagai penjumlahan semua komponen
36
permintaan akhir, yakni konsumsi rumah tangga (C), investasi (I), pengeluaran pemerintah (G), serta ekspor bersih (X-M). Pengukuran PDRB dengan ketiga pendekatan tersebut menunjukkan adanya keterkaitan antara ‘nilai tambah’ yang diturunkan oleh berbagai lapangan usaha (sektor ekonomi produksi) dengan ‘pendapatan yang diterima masyarakat’, serta bagaimana masyarakat menggunakan pendapatannya tersebut untuk konsumsi dan investasi.
Dalam
pengertian
sederhana,
ketiga
pendekatan
tersebut
menggambarkan hubungan langsung antara pendapatan yang diterima dengan perilaku penggunaannya.
2.1.6 Distribusi Pendapatan Todaro dan Smith (2006) menyebutkan bahwa proses pembangunan memerlukan output (PDB/PDRB) yang lebih tinggi dan pertumbuhan yang cepat. Permasalahannya bukan hanya ‘bagaimana meningkatkan output’, tetapi juga ‘siapakah yang akan meningkatkan output tersebut’. Apakah sejumlah besar masyarakat yang ada dalam suatu negara ataukah hanya sekelompok kecil masyarakat tertentu. Jika yang menumbuhkan output hanya golongan orang-orang kaya yang jumlahnya sedikit, maka manfaat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi hanya akan dinikmati oleh orang kaya, sehingga distribusi pendapatan menjadi tidak merata dan kemiskinan akan semakin parah. Distribusi pendapatan menunjukkan porsi pendapatan yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga dalam suatu wilayah. Pendapatan yang diterima setiap individu tergantung pada tingkat produktivitas dan peranannya dalam perekonomian. Para ekonom pada umumnya membedakan distribusi pendapatan menjadi dua, yakni : 1. Disribusi Pendapatan Perorangan Ukuran sederhana ini menunjukan hubungan antara individu-individu dengan pendapatan total yang mereka terima. Berapa banyak pendapatan masing-masing pribadi, atau apakah pendapatan itu berasal dari hasil kerja semata ataukah dari sumber-sumber lain seperti bunga, laba, hadiah, warisan, dan lain-lain tidak diperhatikan. Lebih jauh lagi, sumber-sumber yang bersifat lokasional (perkotaan atau perdesaan) dan okupasional
37
(misalnya pertanian, industri pengolahan, perdagangan, jasa-jasa) juga diabaikan. Semua individu disusun menurut tingkat pendapatannya yang semakin meninggi dan kemudian membagi semua individu tersebut ke dalam kelompok-kelompok yang berbeda-beda, ke dalam kuintil (5 kelompok) atau desil (10 kelompok) sesuai dengan tingkat pendapatannya. Kemudian menentukan proporsi dari pendapatan nasional yang diterima oleh masing-masing kelompok tersebut.
2. Distribusi Fungsional Ukuran distribusi pendapatan lain yang sering digunakan oleh para ekonom adalah “distribusi fungsional” atau “distribusi pangsa faktor produksi”. Ukuran distribusi ini berusaha untuk menjelaskan pangsa pendapatan nasional yang diterima oleh masing-masing faktor produksi. Teori ukuran distribusi pendapatan fungsional menyelidiki presentase yang diterima tenaga kerja secara keseluruhan dibandingkan dengan presentase dari pendapatan nasional yang terdiri dari: sewa, bunga dan laba. Sehubungan dengan pendidikan,
mudah untuk dipahami mengapa
pendidikan meningkatkan upah dari perspektif penawaran dan permintaan. Perusahaan, yang meminta tenaga kerja, bersedia membayar lebih untuk pekerja berpendidikan tinggi karena pekerja berpendidikan tinggi memiliki produk marjinal yang lebih tinggi. Dari sisi pekerja, pekerja bersedia membayar biaya pendidikan lebih tinggi jika ada harapan imbalan atau insentif untuk melakukannya. Pada dasarnya, perbedaan upah antara pekerja berpendidikan tinggi dan pekerja berpendidikan rendah dapat dianggap sebagai kompensasi perbedaan biaya untuk menjadi terdidik. Ketimpangan pendapatan adalah suatu kondisi dimana distribusi pendapatan yang diterima masyarakat tidak merata. Todaro dan Smith (2006) menyatakan bahwa ketimpangan pendapatan yang ekstrim akan menyebabkan beberapa hal, antara lain: (i) inefisiensi ekonomi; (ii) melemahkan stabilitas sosial dan solidaritas; serta (iii) umumnya dianggap tidak adil.
38
Beberapa ukuran ketimpangan yang sering digunakan antara lain: Indeks Gini, Indeks Theil dan ukuran ketimpangan dari Bank Dunia. Dalam penelitian ini, ukuran ketimpangan yang digunakan adalah Indeks Gini. Indeks Gini bisa dihitung dengan menggunakan Kurva Lorenz. Indeks Gini dirumuskan sebagai rasio antara luas bidang yang terletak antara Kurva Lorenz dan garis diagonal dengan luas separuh segi empat dimana Kurva Lorenz berada. Seperti di ilustrasikan pada Gambar 2.5, maka: Indeks Gini =
Luas bidang A Luas bidang BCD
Gambar 2.5 Kurva Lorenz
2.1.7 Kemiskinan Kemiskinan merupakan persoalan yang kompleks karena banyak faktor yang mempengaruhi. Variasi konsep mengungkapkan sifat multidimensi kemiskinan. Kemiskinan dapat dipahami sebagai kemiskinan absolut atau relatif, sebagai kurangnya pendapatan atau kegagalan untuk mencapai kemampuan. Kemiskinan dapat kronis atau sementara, kadang-kadang terkait erat dengan ketidakadilan, dan sering berhubungan dengan kerentanan dan pengucilan sosial. Konsep yang digunakan untuk mendefinisikan kemiskinan menentukan metode yang digunakan untuk mengukurnya dan kebijakan paket program berikutnya untuk mengatasinya.
39
Kemiskinan yaitu suatu kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi hak-hak dasar dalam kebutuhan pokok, seperti makanan, tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, dan keamanan untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Sen16 (1999) memandang kemiskinan melalui pendekatan kemampuan (capability approach), dimana kemiskinan tidak hanya sebatas kekurangan pendapatan dan standar hidup minimal, akan tetapi juga sebagai konsekuensi dari kurangnya kemampuan dan keberfungsian (lack of capability and functionings). Pada dasarnya definisi kemiskinan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu: 1. Kemiskinan absolut Kemiskinan ini dikaitkan dengan perkiraan tingkat pendapatan dan kebutuhan yang hanya dibatasi pada kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar minimum yang memungkinkan seseorang untuk hidup secara layak. Kemiskinan diukur dengan membandingkan tingkat pendapatan yang dibutuhkan untuk memperoleh kebutuhan dasarnya yakni makanan, pakaian dan perumahan agar dapat menjamin kelangsungan hidupnya. 2. Kemiskinan relatif Kemiskinan ini dilihat dari aspek ketimpangan sosial, karena ada orang yang sudah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya tetapi masih jauh lebih rendah dibanding masyarakat sekitarnya. Semakin besar ketimpangan antara tingkat penghidupan golongan atas dan golongan bawah maka akan semakin besar pula jumlah penduduk yang dikategorikan miskin. Kemiskinan relatif erat kaitannya dengan masalah distribusi pendapatan. Konsep penduduk miskin yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada konsep yang digunakan oleh BPS yaitu menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar. Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah garis kemiskinan. 16 Amartya Sen dianugerahi Nobel Memorial Prize dalam ilmu ekonomi pada tahun 1998 atas kontribusinya dalam ekonomi kesejahteraan, teori pilihan sosial di bidang pengukuran ekonomi kemiskinan dan ketidaksetaraan.
40
2.1.8 Pendidikan Konsep pendidikan sebagai sebuah investasi berkembang secara pesat dan semakin diyakini oleh setiap negara bahwa pembangunan sektor pendidikan merupakan prasyarat kunci bagi pertumbuhan pembangunan sektor lainnya. Pendidikan telah diidentifikasi sebagai faktor kunci dalam pembangunan ekonomi dan sosial, dan kesetaraan akses terhadap pendidikan yang berkualitas telah menjadi tujuan penting dari kebijakan pembangunan. Negara dengan tingkat ketimpangan pendidikan tinggi secara konsisten menunjukkan tingkat inovasi yang lebih rendah, rendahnya tingkat efisiensi produksi, dan kecenderungan untuk mentransmisi kemiskinan lintas generasi (World Bank 2006). Dalam memahami hubungan antara pendidikan dan kemiskinan, dapat menggunakan kerangka modal manusia, kerangka hak asasi manusia, kerangka kemampuan manusia maupun kerangka pengucilan sosial (Maile 2008). Melalui pendekatan modal manusia, menegaskan bahwa investasi dalam pendidikan mengarah pada pembentukan modal manusia sebagai faktor kunci dalam pertumbuhan ekonomi. Melalui pendidikan, orang mengembangkan keterampilan dan menghasilkan pengetahuan yang berubah menjadi peningkatan produktivitas, sehingga pendapatan meningkat dan pertumbuhan ekonomi meningkat. Selanjutnya, peningkatan pendapatan dan pertumbuhan diharapkan dapat mengurangi kemiskinan. Inti dari pendekatan hak asasi manusia menegaskan pentingnya pendidikan sebagai kondisi hakiki manusia dan sebagai tujuan akhir. Penyediaan pendidikan bukan sarana menuju akhir yang lain, seperti pertumbuhan ekonomi. Penyediaan pendidikan menambah nilai dan makna pada setiap individu dan harus diberikan tanpa bentuk diskriminasi atau pembatasan. Lebih lanjut, dalam pendekatan hak asasi manusia menegaskan bahwa mewujudkan hak atas pendidikan juga memungkinkan orang untuk mengakses hak asasi manusia lainnya seperti kesehatan, kebebasan dan keamanan. Pendekatan kemampuan manusia sebagai pendekatan holistik untuk pembangunan, menekankan nilai hakiki pendidikan yakni: sebagai kesempatan, hak dan sarana untuk meningkatkan nilai kehidupan. Dengan pendekatan ini, kemiskinan dapat diidentifikasi sebagai kekurangan kemampuan –kekurangan
41
yang secara intrinsik signifikan karena mengurangi kemampuan seseorang– untuk meningkatkan nilai kehidupan mereka. Perspektif pengucilan sosial memungkinkan para pembuat kebijakan dan analis untuk memahami proses-proses marginalisasi dan depresiasi dalam-wilayah dan lintas-wilayah, dengan fokus pada sifat ketidaksetaraan dan keberagaman kelompok-kelompok masyarakat. Melalui pendekatan ini, memungkinkan pendidikan fokus pada mereka yang miskin dan mereka yang tidak miskin, mereka yang tidak termasuk dan mereka yang termasuk. Pendekatan ini menegaskan pembedaan kebutuhan yang lebih disempurnakan berbasis kelompok orang miskin dan strategi yang memperhitungkan kelompok yang terkucilkan. Misalnya, orang miskin yang tak memiliki tanah mengalami dan membutuhkan hal yang berbeda dengan kemiskinan etnis atau kultural; dan orang miskin di perkotaan membutuhkan hal yang berbeda dengan orang miskin di pedesaan. Hubungan antara pendidikan dan kemiskinan bisa diterjemahkan melalui jalur ketenagakerjaan. Orang-orang berpendidikan memiliki potensi penghasilan yang lebih tinggi dan lebih mampu meningkatkan kualitas hidup mereka, yang berarti kecil kemungkinannya bagi mereka untuk terpinggirkan dalam masyarakat pada umumnya. Pendidikan memberdayakan seseorang dan membantu mereka untuk menjadi lebih proaktif, memiliki kontrol yang kuat atas hidup mereka, dan memperlebar rentang pilihan yang tersedia (UNESCO 1997). Peran Pendidikan terhadap Distribusi Pendapatan Schultz (1972) menyatakan bahwa perubahan pada modal manusia merupakan faktor dasar dalam mengurangi ketimpangan distribusi pendapatan. Ahluwalia (1976) menjelaskan proses pendidikan dalam mempengaruhi distribusi pendapatan adalah melalui peningkatan pengetahuan dan keahlian tenaga kerja. Hal ini akan menghasilkan pergeseran dari pekerjaan bergaji rendah bagi pekerja tidak terampil ke pekerjaan yang dibayar tinggi bagi pekerja terampil. Pergeseran ini menghasilkan pendapatan pekerja yang lebih tinggi. Peningkatan jumlah orang yang lebih terdidik dan terampil akan meningkatkan rasionya dan mengurangi rasio orang yang kurang berpendidikan dalam angkatan kerja total, sehingga akan mengurangi perbedaan keterampilan. Over supply di pasar tenaga kerja dari orang yang lebih terdidik dan terampil,
42
tanpa ada perubahan dalam permintaan, akan menurunkan upah pekerja trampil dan menaikkan upah pekerja tidak trampil, sehingga secara keseluruhan memberikan kontribusi untuk pengurangan perbedaan penghasilan di pasar tenaga kerja. Dengan demikian, efek perluasan pendidikan tidak hanya terhadap upah mereka yang berpendidikan lebih tinggi, tetapi juga bagi mereka yang berpendidikan lebih rendah (Ahluwalia 1976). Peran pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi Pendidikan mempunyai efek langsung maupun tidak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi. Efek langsung pendidikan yaitu pendidikan mengubah manusia menjadi modal manusia produktif dengan menanamkan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan oleh sektor ekonomi tradisional dan modern, melalui kemampuannya dalam meningkatkan produktivitas penduduk atau tenaga kerja pada khususnya. Tidak hanya di pasar tenaga kerja tetapi juga dalam rumah tangga yang dapat menyebabkan peningkatan pendapatan dan output produksi sehingga pertumbuhan ekonomi semakin meningkat (Romer 1986; Lucas 1988; Tilak 1989). Efek tidak langsung pendidikan atau eksternalitas pendidikan adalah melalui kemampuan dan kesadaran yang memungkinkan individu berpengetahuan, menjadi lebih baik dan mampu menerapkan pengetahuan tersebut yang berhubungan dengan pencapaian pendidikan dan prestasi anak-anak; kesehatan dan tingkat kematian anak; serta penurunan jumlah kelahiran sehingga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi (Tilak 1989). Efek tidak langsung dari pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi juga ditemukan pada persediaan modal per kapita, sebagian karena pengaruh pendidikan terhadap tingkat kesehatan dan kesuburan, yang mendukung peningkatan tabungan per kapita (Benhabib & Spiegel 1994; Guisan & Neira 2006). Peran Pendidikan terhadap Pengurangan Kemiskinan Hubungan antara pendidikan dan kemiskinan ditengarai akan berbanding terbalik, dimana semakin tinggi tingkat pendidikan penduduk –yang memberi pengetahuan dan keterampilan– berkaitan dengan peningkatan produktivitas yang mendukung perolehan upah yang lebih tinggi dan membuat proporsi orang miskin
43
dalam populasi semakin rendah. Jadi, pengaruh langsung pendidikan pada pengurangan kemiskinan adalah melalui peningkatan penghasilan atau upah. Dalam teori lingkaran setan kemiskinan, ketidaksetaraan pendidikan dapat melestarikan kemiskinan antargenerasi, melalui jalur sebagai berikut: (i) sebuah keluarga yang hidup dalam kemiskinan tidak mampu menyekolahkan anaknya ke sekolah; (ii) anak-anak miskin menerima sedikit pendidikan atau tidak sama sekali dan seringkali mereka dipaksa untuk bekerja; (iii) anak-anak tumbuh tanpa keterampilan dasar dan pendidikan; (iv) kurangnya keterampilan dasar dan pendidikan membatasi kesempatan kerja mereka, meskipun dalam pekerjaan dengan upah rendah; (v) pada anak perempuan, akan menikah muda dan memiliki anak; (vi) selanjutnya mereka memiliki sejumlah anak yang ditanggung dengan pendapatan yang sedikit. Demikian seterusnya, lingkaran akan mulai dari awal lagi dan proses ini berjalan dan terus terulang. Efek tidak langsung pendidikan terhadap pengurangan kemiskinan adalah melalui pengaruhnya terhadap pemenuhan kebutuhan dasar seperti pemanfaatan yang lebih baik terhadap fasilitas kesehatan, air bersih dan sanitasi, tempat tinggal dan lain-lain (Noor 1980 diacu dalam Tilak 1986). Blau et al. (1988) menambahkan efek tidak langsung pendidikan terhadap perilaku fertilitas dan keputusan ukuran keluarga, yang akan mempengaruhi angkatan kerja dan pada gilirannya meningkatkan produktivitas masyarakat sehingga dapat menghasilkan upah yang lebih tinggi dan mengurangi ketimpangan pendapatan.
2.2
Tinjauan Empiris Penelitian mengenai hubungan antara pendidikan terhadap pertumbuhan
ekonomi,
distribusi
pendapatan
maupun
terhadap
kemiskinan
semakin
berkembang selama periode 1960–1985. Peran pendidikan dalam pembangunan, sebenarnya telah lama diakui sejak zaman Plato. Plato yakin bahwa pendidikan sangat diperlukan bagi kesehatan ekonomi suatu masyarakat, dimana pendidikan membuat 'orang berpengetahuan’. Kontribusi besar dalam diskusi hubungan pendidikan dan pertumbuhan ekonomi, dilakukan oleh Adam Smith yang kemudian diikuti oleh peneliti-peneliti selanjutnya seperti Alfred Marshall yang
44
menyatakan bahwa yang paling berharga dari semua modal adalah yang diinvestasikan kepada manusia. Salah satu penelitian tentang peran pendidikan, pernah dilakukan oleh Tilak (1989) dengan tujuan untuk mengkaji kembali: a) pengaruh pendidikan dalam mengurangi kemiskinan; b) pengaruh pendidikan terhadap bagian pendapatan dari kelompok penduduk berdasarkan kelas pendapatan; dan c) pengaruh subsidi publik pendidikan tinggi pada ketimpangan pendapatan. Data yang digunakan yaitu dari 80 negara selama periode tahun 1970–1980, antara lain data dari: (i) Bank Dunia, berupa data kemiskinan, distribusi pendapatan, dan pertumbuhan ekonomi; (ii) UNESCO, berupa data melek huruf dan partisipasi sekolah; (iii) sumber lain, dari Paukert dan Fields berupa koefisien gini; Psacharopoulos dan Arriagada berupa perkiraan tingkat sekolah. Studi ini menggunakan metode persamaan regresi sederhana dengan menggunakan lag dari variabel-variabel pendidikan. Untuk menjawab tujuan penelitian pertama, pengaruh pendidikan terhadap kemiskinan, Tilak menggunakan model: = (
)
= (
⁄
........... (1) ,
)
........... (2)
Keterangan: Povj
= rasio penduduk miskin; j = desa, kota.
Edui
= variabel pendidikan; i = angka melek huruf; rata-rata lama sekolah; angka partisipasi kasar tingkat pendidikan dasar, menengah dan tinggi.
GNP/pc = Produk Domestik Bruto per kapita. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1.
Ketika tingkat melek huruf penduduk dan partisipasi pendidikan meningkat, proporsi penduduk miskin di pedesaan mengalami penurunan, tetapi pengaruh pendidikan terhadap penurunan kemiskinan di perkotaan tidak signifikan;
2.
Pendidikan memberikan kontribusi positif dan signifikan terhadap pengurangan ketimpangan pendapatan;
45
3.
Pendidikan menengah memiliki pengaruh yang lebih signifikan terhadap redistribusi pendapatan daripada pendidikan dasar.
Secara umum,
pendidikan tinggi berperan memperburuk distribusi pendapatan. 4.
Semakin tinggi tingkat subsidi publik untuk pendidikan tinggi, semakin tinggi ketimpangan pendapatan. Pada dua dasawarsa terakhir telah berkembang pesat literatur yang
memperdebatkan
hubungan
antara
pertumbuhan
ekonomi,
ketimpangan
pendapatan, dan pengurangan kemiskinan (Datt & Ravallion 1992; Deininger & Squire 1997, 1998; Wodon 1999; Kakwani et al. 2000; Ravallion 2001, 2005a, 2005b; Bourguignon 2004). Datt dan Ravallion (1992) memperkenalkan perubahan kemiskinan dapat diuraikan melalui pertumbuhan ekonomi dan redistribusi pendapatan. Hasilnya dapat memberitahu kita, apakah perubahan dalam distribusi pendapatan mengimbangi keuntungan dari pertumbuhan ekonomi dalam mengurangi kemiskinan. 1. Komponen diakibatkan
pertumbuhan oleh
merupakan
perubahan
dalam
perubahan
dalam
kesejahteraan
kemiskinan
rata-rata
(yaitu,
pertumbuhan ekonomi) ketika menganggap distribusi relatif konstan: Bourguignon (2004) menjelaskan secara grafis dari efek pertumbuhan terhadap perubahan kemiskinan seperti terlihat pada Gambar 2.6. Masyarakat yang pendapatannya berada dibawah garis kemiskinan disebut sebagai penduduk miskin, sedangkan yang berada diatas garis kemiskinan disebut penduduk tidak miskin. Peningkatan pada tingkat pendapatan seluruh lapisan masyarakat dengan distribusi tetap, berarti distribusi pendapatan bergeser ke kanan dengan bentuk kurva tetap, sehingga penduduk yang masuk kategori miskin menjadi berkurang. Penurunan kemiskinan ditandai dengan daerah berwarna hijau (1a). Efek pertumbuhan menyebabkan jumlah penduduk miskin akan berkurang sebesar daerah hijau tersebut, sehingga jumlah orang miskin sekarang hanya sebesar daerah yang berwarna merah (2).
46
1a 2
1a Sumber: Bourguignon 2004.
2
Gambar 2.6 Perubahan kurva distribusi pendapatan dan perubahan kemiskinan karena efek pertumbuhan. 2. Komponen redistribusi mewakili perubahan dalam kemiskinan diakibatkan oleh perubahan dalam kurva distribusi dengan menganggap kesejahteraan rata-rata konstan: Dengan kata lain, perubahan dalam kemiskinan yang akan terjadi jika perubahan yang diamati dalam kurva distribusi kesejahteraan (yaitu, redistribusi) telah terjadi tanpa pergeseran kurva rata-rata (yaitu, tidak ada pertumbuhan). Perubahan menjadi distribusi yang lebih merata dengan tingkat pendapatan tetap, berarti distribusi pendapatan menjadi semakin menyempit, menyebabkan penduduk yang masuk kategori miskin semakin sedikit. Pada Gambar 2.7, efek distribusi menyebabkan jumlah penduduk miskin akan berkurang sebesar daerah biru (1b), sehingga jumlah orang miskin sekarang hanya sebesar daerah yang berwarna merah (2).
47
1b 2
1 b 2 Sumber: Bourguignon 2004.
Gambar 2.7 Perubahan kemiskinan karena efek distribusi. Peningkatan pendapatan dan perbaikan distribusi pendapatan masyarakat secara bersama-sama akan menggeser distribusi pendapatan ke kanan dan mempersempit ketimpangan antarindividu. Hal ini akan mengurangi kemiskinan sebesar daerah hijau ditambah dengan daerah biru, sehingga semakin efektif dalam mengentaskan kemiskinan. Pada kondisi ini maka jumlah orang miskin hanya akan sebesar daerah yang berwarna merah (Gambar 2.8).
1a 1b 2
1a 1b 2 Sumber: Bourguignon 2004.
Gambar 2.8 Perubahan Kemiskinan karena Efek Pertumbuhan dan Efek Distribusi
48
3. Residual, kadang disebut sebagai istilah interaksi, merupakan efek perubahan simultan dalam pendapatan rata-rata dan distribusi terhadap kemiskinan yang tidak dijelaskan oleh kedua komponen tersebut. Hal ini pada dasarnya adalah bagian yang tidak dapat secara eksklusif dikaitkan dengan pertumbuhan atau redistribusi. Dekomposisi serupa Kakwani dan Subbarao (1990); Jain dan Tendulkar (1990) (diacu dalam Ravallion & Datt 1992) tidak memasukan residu, menganggap sama dengan nol, dan disertakan sebagai bagian dari satu atau kedua komponen lainnya.
Pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan memainkan peran utama dalam menghasilkan perubahan dalam kemiskinan. Selanjutnya, tim World Bank (2006) telah mengkompilasi beberapa konsensus hasil dari perdebatan tersebut, antara lain: Pertama, pentingnya pertumbuhan untuk pengurangan kemiskinan. Negara-negara yang secara historis mengalami penurunan terbesar dalam kemiskinan adalah mereka yang telah mengalami waktu yang lama dari pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Kedua, perubahan distribusi yang progresif, baik untuk pengurangan kemiskinan. Pertumbuhan yang terkait dengan perubahan distribusi progresif akan mengurangi kemiskinan lebih dari pertumbuhan yang membuat distribusi tidak berubah. Ada dua alasan utama, secara umum, untuk tingkat pendapatan tetap, perubahan distribusi progresif akan menggeser sumber daya dari kaya ke miskin dan dengan demikian menyebabkan pengurangan kemiskinan. Alasan lain adalah bahwa kemiskinan lebih responsif terhadap pertumbuhan yang lebih memeratakan distribusi pendapatan. Temuan ketiga adalah bahwa tidak ada bukti empiris yang kuat menunjukkan kecenderungan umum pertumbuhan yang membuat distribusi pendapatan lebih merata. Penelitian Ravallion dan Chen (1996) dengan menggunakan lebih dari 100 survei rumah tangga dan lebih dari 40 negara pada periode 1987–1993, menyimpulkan bahwa secara keseluruhan terjadi penurunan kecil dalam insiden kemiskinan, meskipun antardaerah dan negara memiliki pengalaman berbeda. Kesimpulan Easterly (1999) dengan kumpulan data panel dari 81 indikator yang mencakup hingga 4 periode waktu (1960, 1970, 1980, dan
49
1990) menyatakan bahwa keragaman dari indikator menunjukkan kualitas hidup seluruh bangsa secara positif terkait dengan pendapatan per kapita. Pada saat yang sama, pendapatan tumbuh secara tidak merata dan perubahan pendapatan dan perubahan ketimpangan tidak berkorelasi. Penelitian Dollar dan Kraay (2002) terhadap 92 negara yang mencakup empat dekade terakhir, menyimpulkan bahwa pendapatan rata-rata dari seperlima masyarakat termiskin meningkat secara proporsional dengan pendapatan rata-rata. Bourguignon (2004)
menggambarkan hubungan antara pertumbuhan
ekonomi, distribusi pendapatan, dan pengentasan kemiskinan seperti pada Gambar 2.9. Pengentasan kemiskinan dapat dilakukan dengan melakukan perubahan pada distribusi pendapatan atau dapat juga dengan meningkatkan level pendapatan (mendorong pertumbuhan). Dengan melakukan redistribusi pendapatan, maka kelompok dengan pendapatan rendah akan mendapatkan tambahan pendapatan sehingga bisa memenuhi kebutuhan dasarnya dan dapat terbebas dari kemiskinan. Sedangkan dengan meningkatkan tingkat pendapatan, pertumbuhan ekonomi harus cukup tinggi sehingga secara rata-rata pendapatan masyarakat naik. Kenaikan pendapatan ini akan meningkatkan taraf hidup dan dapat mengentaskan kemiskinan.
Kemiskinan Absolut dan Pengentasan Kemiskinan
Strategi Pembangunan Distribusi dan Perubahan Distribusi
Tingkat Pendapatan dan Pertumbuhan Agregat
Sumber: Bourguignon 2004.
Gambar 2.9 Hubungan antara pertumbuhan pendapatan, dan kemiskinan.
ekonomi,
distribusi
50
Oxaal (1997) menjelaskan hubungan antara pendidikan dan kemiskinan dapat dipahami dalam dua cara: 1. Investasi dalam pendidikan sebagai strategi penanggulangan kemiskinan dapat meningkatkan keterampilan dan produktivitas dikalangan rumah tangga miskin; 2. Kemiskinan sebagai kendala untuk mencapai prestasi pendidikan, baik di tingkat makro –negara-negara miskin umumnya memiliki tingkat partisipasi pendidikan yang rendah– maupun tingkat mikro –anak-anak rumah tangga miskin menerima pendidikan yang kurang.
Gutierrez
et
al.
(2007)
menjelaskan
tentang
pertumbuhan
yang
diterjemahkan ke dalam pengurangan kemiskinan melalui lapangan kerja: "Orang miskin hidup dari pendapatan mereka dari bekerja". Pada tingkat individu, seseorang dapat bergerak keluar dari kemiskinan dengan: 1. Penciptaan lapangan kerja; 2. Meningkatkan upaya per jam kerja: meningkatkan produktivitas tenaga kerja dalam rangka meningkatkan penghasilan per jam; 3. Mobilitas: pindah ke pekerjaan yang memberikan penghasilan yang lebih tinggi dengan tingkat produktivitas tertentu.
Njong (2010) mengevaluasi pengaruh dari tingkat pendidikan yang berbeda dari individu-individu yang bekerja sebagai faktor penentu kemiskinan di Kamerun. Data untuk penelitian ini menggunakan data Survei Rumah Tangga Kamerun tahun 2001. Dengan menggunakan model regresi logistik berdasarkan data cross-sectional, dengan probabilitas individu menjadi miskin sebagai variabel tak bebas dan variabel tingkat pendidikan dan pengalaman sebagai variabel penjelas. Hasil menggambarkan bahwa peningkatan pengalaman dan pencapaian pendidikan mengurangi kemungkinan menjadi miskin dari individu yang bekerja. Disisi jenis kelamin, studi menyimpulkan bahwa tingkat pendidikan laki-laki di Kamerun lebih mengurangi kemiskinan daripada tingkat pendidikan perempuan.
51
Chaudhry et al. (2010) mengevaluasi efek dari berbagai tingkat pendidikan dan melek huruf pada insiden kemiskinan di Pakistan. Menggunakan data timeseries selama 35 tahun (1972–2007) dengan variabel kunci: kemiskinan absolut (P0); angka melek huruf; tingkat partisipasi pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi (sebagai proxy untuk pendidikan). Selain itu, beberapa variabel yang berguna seperti laju pertumbuhan, tingkat inflasi, dan keterbukaan perdagangan juga digunakan dalam model. Dalam analisis digunakan nilai logaritma natural dari semua variabel dan menggunakan metode autoregressive. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pengentasan kemiskinan akan dapat dipercepat jika sumber daya ditargetkan pada sektor pendidikan, khususnya dalam pendidikan tinggi. Awan et al. (2011) mengevaluasi efek dari berbagai tingkat pendidikan, pengalaman kelamin dari individu-individu yang bekerja (pengusaha, pencari nafkah, dan pekerja keluarga tidak dibayar) sebagai variabel penjelas dan individu miskin sebagai variabel tak bebas dalam penentu kemiskinan di Pakistan untuk tahun 1998–1999 dan 2001–2002. Dengan model regresi logistik, hasilnya menunjukkan bahwa pengalaman dan tingkat pendidikan berhubungan negatif dengan kemiskinan pada dua periode tersebut. Semakin tinggi tingkat pendidikan, probabilitas menjadi miskin semakin berkurang. Selain itu, probabilitas laki-laki menjadi miskin lebih kecil dibandingkan probabilitas perempuan. Selain itu, Awan et al. (2011) menjelaskan keterkaitan antara pendidikan dan kemiskinan dapat dilihat dalam dua arah: Pertama, investasi dalam bidang pendidikan meningkatkan keterampilan dan produktivitas rumah tangga miskin. Hal ini meningkatkan tingkat pendapatan serta standar hidup secara keseluruhan. Kedua, kemiskinan merupakan hambatan besar dalam pencapaian pendidikan. Kemiskinan mempengaruhi prestasi pendidikan dalam tiga dimensi: (i) dari sisi sumber daya (pengetahuan dan sumber daya keuangan), (ii) tekanan sosial yang merusak pola pikir siswa miskin, dan (iii) ketika kemiskinan meraih institusi apapun akan memperburuk standar pengajaran. Pada tingkat makro, biasanya negara-negara miskin memiliki tingkat pendidikan rendah dan pada tingkat mikro anak dari keluarga miskin sering putus sekolah atau bahkan tidak sekolah.
52
Kiani (2011) melakukan penelitian untuk mencoba mengembangkan hubungan antara tingkat pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi dan seberapa jauh dapat membantu dalam mengurangi kemiskinan di Pakistan selama tahun 1980–2007. Data yang digunakan adalah PDB riil dan persentase kemiskinan (P0) sebagai variabel tak bebas dan rasio lulusan siswa menurut tingkat pendidikan terhadap total angkatan kerja yang bekerja17 dan tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) sebagai variabel bebas. Semua variabel menggunakan nilai logaritma natural, dan Kiani menggunakan dua tahun tertinggal (lag) pada variabel pendidikan karena membutuhkan waktu dalam penerapan kebijakan atau strategi pendidikan
dan
untuk
mendapatkan
pekerjaan,
yang
disebut
periode
implementasi. Dengan menggunakan metode persamaan regresi sederhana, hasilnya menyimpulkan bahwa pertumbuhan PDB riil berhubungan positif dengan rasio lulusan siswa pendidikan dasar terhadap total angkatan kerja yang bekerja. Tetapi pendidikan tinggi tidak memainkan peran signifikan secara independen untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan. Janjua dan Kamal (2011) melakukan penelitian dengan tujuan utama untuk menyelidiki apakah penduduk berpendidikan formal suatu negara memiliki dampak besar terhadap besarnya kemiskinan, serta variabel lain seperti pendapatan per kapita dan kesenjangan pendapatan. Janjua dan Kamal menggunakan data panel dari 40 negara berkembang tahun 1999–2007, dengan variabel tak bebas adalah persentase penduduk miskin dan variabel bebas pertumbuhan pendapatan per kapita, ketimpangan pendapatan (indeks gini) dan angka partisipasi murni pendidikan menengah. Hasil perkiraan koefisien dengan menerapkan efek acak teknik Genaral Least Square (GLS). Studi ini menyimpulkan, pertama, bahwa pertumbuhan pendapatan per kapita memainkan peran cukup positif dalam mengurangi kemiskinan, tetapi bahwa distribusi pendapatan tidak memainkan peran kunci dalam penanggulangan kemiskinan dalam sampel secara keseluruhan. Kedua, menyimpulkan bahwa pendidikan merupakan penyumbang yang paling signifikan untuk pengentasan kemiskinan.
17
Kiani (2011) menyebut rasio ini sebagai tingkat kesempatan kerja.
53
Birowo (2011) melakukan penelitian untuk menemukan hubungan antara pengeluaran pemerintah dan tingkat kemiskinan di Indonesia, dengan memeriksa efek dari kelompok anggaran belanja sebelum dan sesudah reformasi anggaran tahun 2004. Selain itu, penelitian tersebut bertujuan untuk menentukan alokasi pengeluaran pemerintah yang memiliki pengaruh signifikan terhadap pengurangan kemiskinan. Penelitian tersebut menggunakan regresi ordinary least square (OLS) untuk menganalisis hubungan. Untuk mendapatkan hubungan antara klasifikasi anggaran pengeluaran pemerintah dan tingkat kemiskinan, penelitian tersebut mengembangkan persamaan sebagai berikut: = (
)
........... (3)
Keterangan: Pov
= rasio penduduk miskin;
GOVi
= klasifikasi pengeluaran pemerintah, i = industri, pertanian, tenaga kerja, perdagangan, keuangan, bisnis, transportasi, pertambangan, pembangunan daerah, lingkungan, pendidikan, kesehatan dan sosial, perumahan, teknologi, aparatur pemerintah, urusan luar negeri, pertahanan dan keamanan.
Penelitian tersebut menyimpulkan: 1.
Sebelum reformasi anggaran, dari 8 sektor pengeluaran pemerintah, sektor pendidikan memiliki hubungan negatif yang signifikan dengan tingkat kemiskinan.
2.
Pengeluaran dalam sektor pendidikan adalah satu-satunya pengeluaran yang memiliki hubungan negatif yang stabil dengan tingkat kemiskinan.
2.3
Kerangka Pemikiran Kemiskinan merupakan salah satu permasalahan pembangunan yang
dialami oleh setiap negara dan bersifat multidimensi, sehingga tidak ada penyebab tunggal yang dapat menjelaskan sepenuhnya. Salah satu instrumen paling kuat yang dimiliki masyarakat untuk mengurangi kemiskinan dan kerentanan adalah pendidikan. Secara langsung, pendidikan memberikan pengetahuan dan keterampilan, sehingga meningkatkan produktivitas dan menciptakan akses ke lapangan kerja. Secara tidak langsung, pendidikan memberdayakan orang dan
54
membantu mereka untuk menjadi lebih proaktif, mengkontrol hidup mereka, dan memperluas berbagai pilihan yang tersedia. Teori modal manusia menunjukkan bahwa ketika individu berinvestasi dalam pendidikan, akan membuat diri mereka lebih produktif dalam pasar tenaga kerja, dan pada gilirannya dapat membawa mereka untuk memiliki penghasilan yang lebih tinggi. Implikasi teori modal manusia pada kebijakan pemerintah yang dihasilkan adalah perlunya intervensi pemerintah dalam alokasi sumber daya pada pendidikan, karena investasi dalam modal manusia berlangsung melalui pendidikan dan pelatihan. Lebih khusus lagi, kebijakan pemerintah yang ditujukan untuk menyediakan pendidikan publik dan pelatihan, akan menentukan proses pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Selain hal tersebut, terdapat perbedaan kemampuan dalam hal keputusan berinvestasi dalam pendidikan. Masyarakat yang tidak mampu secara finansial akan sulit mengakses pendidikan ke setiap jenjang pendidikan, tanpa adanya intervensi pemerintah. Masyarakat miskin mengalami kendala kredit (credit constrains) karena ketiadaan aset yang bisa dijadikan sebagai jaminan ketika mencoba untuk mendapatkan pinjaman dari lembaga keuangan formal. Dalam hal ini, intervensi pemerintah diperlukan dalam menanggulangi permasalahan pembangunan karena adanya fenomena kegagalan pasar, yang sering dikaitkan dengan adanya informasi asimetri, pasar persaingan tidak sempurna, masalah principal-agent, eksternalitas, atau keberadaan barang publik. Pendidikan sebagai salah satu barang publik, harus disediakan pemerintah selama manfaat keseluruhan untuk konsumen dari barang publik setidaknya sama besar dengan biaya penyediaannya. Peran pemerintah dibangun di atas teori ekonomi kesejahteraan dan digunakan sebagai alat untuk meningkatkan kesejahteraan sosial melalui kebijakan pemerintah dari sudut pandang efisiensi ekonomi dan pemerataan. Dengan demikian, untuk meningkatkan akses dan pemerataan pendidikan, maka diperlukan intervensi pemerintah dalam penyediaan layanan dan pembiayaan pendidikan, terutama bagi masyarakat miskin. Dunia pendidikan erat kaitannya dengan lapangan pekerjaan. Permintaan terhadap pendidikan merupakan permintaan tidak langsung atau permintaan turunan terhadap kesempatan memperoleh pekerjaan berpenghasilan tinggi di sektor modern. Hal ini dikarenakan untuk memperoleh pekerjaan di sektor modern, sangat ditentukan oleh tingkat pendidikan seseorang. Dalam kerangka teori modal manusia dan teori signalling-screening (teori pemilahan), pendapatan akan dibayar sesuai dengan produktivitas marginal tenaga kerja. Kedua teori
55
tersebut mengkaitkan pendidikan yang lebih tinggi dengan produktivitas yang lebih tinggi, maka akan mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi bagi mereka. Sementara itu, dalam pasar tenaga kerja juga terdapat permasalahan informasi asimetri yang menimbulkan masalah principal-agent antara calon pencari kerja dan calon majikan (perusahaan) yang tidak mengetahui produktivitas pekerja. Ketika calon majikan (perusahaan) pertama kali merekrut seorang calon pekerja, variabel penting yang mudah diamati adalah tingkat pendidikan. Calon majikan akan melakukan proses screening untuk mengidentifikasi calon pekerja berdasarkan produktivitasnya. Dalam proses screening tersebut, proses signaling menjadi penting, karena dapat digunakan sebagai sinyal kemampuan atau produktivitas yang dimiliki calon pekerja. Calon pekerja dapat memberikan sinyal kepada calon majikan, salah satunya melalui sertifikasi pendidikan. Sebagai akibat dari fenomena pengutamaan ijazah atau sertifikasi pendidikan dalam kegiatan signaling dan screening, orang-orang dengan berbagai macam alasan –kebanyakan karena kemiskinan mereka– yang tidak dapat melanjutkan pendidikan, akan berada dalam golongan orang-orang putus sekolah atau tidak berpendidikan. Pada akhirnya mereka akan sulit mendapatkan pekerjaan di sektor formal karena tidak memiliki sertifikasi pendidikan formal. Oleh karena itu, peran pemerintah sangat diperlukan dalam penyediaan layanan pendidikan dan pembiayaan pendidikan, terutama bagi masyarakat miskin. Masyarakat miskin benar-benar membutuhkan lebih banyak pendidikan dan pelatihan keterampilan, dan juga membutuhkan suatu konteks ekonomi dimana mereka dapat menyadari keuntungan ekonomi dari peningkatan modal manusia mereka. Selanjutnya, dalam kerangka teori pertumbuhan endogen, akumulasi modal manusia merupakan kontributor penting bagi pertumbuhan ekonomi. Unsur penting dalam model ini adalah perhatian yang diberikan kepada modal manusia sebagai mesin pertumbuhan ekonomi. Teori pertumbuhan endogen berfokus pada eksternalitas positif dan efek spillover ekonomi berbasis pengetahuan, akan mengarah
pada
pembangunan
ekonomi dan
pertumbuhan
sektor-sektor
pembangunan lainnya, sehingga pada akhirnya mempunyai peran terhadap pengurangan kemiskinan. Disisi lain, adanya kesenjangan pada modal manusia juga akan berpengaruh terhadap ketimpangan pendapatan dan pertumbuhan ekonomi (Castelló 2004). Selanjutnya, Bourguignon (2004) menjelaskan bahwa perubahan kemiskinan dapat diuraikan melalui pertumbuhan ekonomi dan redistribusi pendapatan.
56
Hubungan ketiga teori ini yakni teori modal manusia menyediakan dan menciptakan kualitas modal manusia, sedangkan teori pemilahan akan memilah tenaga kerja berpendidikan dengan produktivitas lebih baik yang akan memasuki dunia kerja dan menggantikan kelompok tua yang tidak produktif lagi, sehingga akumulasi modal manusia produktif akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Implikasi dari ketiga teori tersebut adalah pentingnya investasi pada modal manusia melalui pendidikan maupun pelatihan, salah satunya melalui kebijakan wajib belajar. Berdasarkan teori modal manusia, kebijakan wajib belajar secara langsung mempengaruhi orang-orang yang terkendala dalam partisipasi pendidikan, sedangkan berdasarkan hipotesis pemilahan pendidikan, kebijakan wajib belajar secara tidak langsung akan meningkatkan pencapaian pendidikan bagi pekerja berkemampuan tinggi (Lang & Kropp 1986). Implikasi teori pertumbuhan endogen adalah bahwa setiap investasi dalam pendidikan akan menghasilkan perbaikan yang terus-menerus dan berkelanjutan terhadap perubahan teknis dan pertumbuhan ekonomi yang didorong faktor inovasi (Bredt & Sycz 2007). Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini secara sederhana akan menganalisis peran pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia, serta peran pemerintah dalam pembiayaan pendidikan dasar. Selanjutnya menentukan kebijakan yang bisa diambil untuk mendorong pemerataan pendidikan, peningkatan pertumbuhan ekonomi agar dapat mengurangi ketimpangan pendapatan dan mengentaskan kemiskinan, seperti pada Gambar 2.10. 2.4
Hipotesis Penelitian Hipotesis dalam penelitian ini adalah:
1. Secara umum, pendidikan di Indonesia melalui indikator angka melek huruf, angka partisipasi sekolah dan rata-rata lama sekolah, masing-masing diduga berpengaruh negatif terhadap kemiskinan; 2. Rasio anggaran bidang pendidikan diduga berpengaruh negatif terhadap kemiskinan; 3. Jenjang pendidikan dasar diduga tidak berperan efektif dalam mengurangi kemiskinan; 4. Besarnya kontribusi setiap jenjang pendidikan terhadap kemiskinan, diduga berbeda-beda. Semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin tinggi pula pengaruh negatif terhadap kemiskinan; 5. Efek tidak langsung pendidikan melalui PDRB per kapita sebagai efek
57
pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan, diduga berpengaruh negatif; 6. Efek tidak langsung pendidikan melalui indeks gini sebagai efek ketimpangan
distribusi
pendapatan
terhadap
kemiskinan,
diduga
berpengaruh positif; 7. Peran
jenjang
pendidikan
terhadap
kemiskinan,
diduga
berbeda
antarkawasan di Indonesia. Permasalahan multidimensi kemiskinan Perbedaan kemampuan berinvestasi pendidikan
Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun
Intervensi Pemerintah: Anggaran Pendidikan
Pendidikan ((AMH, APS, RLS) Efek Langsung: - Pengetahuan - Keterampilan
Efek tidak Langsung: - Kesadaran - Kemampuan - Mobilitas Kualitas SDM (Dasar, Menengah, Tinggi)
Produktivitas
Tingkat Kesempatan Kerja Tingkat Pendapatan & Pertumbuhan Agregat
Distribusi & Perubahan Distribusi
Kemiskinan Absolut & Pengentasan Kemiskinan
Alternatif Strategi Kebijakan
Gambar 2.10 Kerangka pemikiran penelitian
Halaman ini sengaja dikosongkan
III. METODE PENELITIAN
3.1
Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder yang berasal dari Badan Pusat
Statistik (BPS), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), serta dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia (Kemenkeu). Data sekunder yang berasal dari BPS antara lain jumlah penduduk, jumlah dan persentase penduduk miskin, PDRB, pertumbuhan ekonomi, indeks gini, rata-rata lama sekolah, angka melek huruf, jumlah tenaga kerja dan angkatan kerja menurut tingkat pendidikan. Data dari Kemendikbud yaitu data pokok pendidikan antara lain angka partisipasi. Data sekunder yang berasal dari Kemkeu yaitu Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menurut fungsi pendidikan. Data yang dihimpun mencakup 33 provinsi di Indonesia periode tahun 2007-2010.
3.2
Metode Analisis
3.2.1 Analisis Deskriptif Analisis Deskriptif merupakan bentuk analisis sederhana yang bertujuan mendeskripsikan dan mempermudah penafsiran yang disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Analisis deskriptif pada penelitian ini digunakan untuk melihat dinamika pencapaian pendidikan beserta distribusinya, pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan, dan kemiskinan di Indonesia selama periode penelitian.
3.2.2 Analisis Regresi Data Panel Untuk mencapai tujuan penelitian pertama dan kedua yaitu menganalisis peran pendidikan terhadap kemiskinan serta menganalisis jenjang pendidikan yang berkontribusi besar dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia, dengan menggunakan metode regresi data panel. Data panel adalah data yang memiliki dimensi ruang (individu) dan waktu. Dalam data panel, data cross section yang sama diobservasi menurut waktu. Jika setiap unit cross section memiliki jumlah observasi time series yang sama maka disebut sebagai balanced panel (total jumlah observasi = N x T). Sebaliknya jika jumlah observasi berbeda untuk setiap unit cross section maka disebut unbalanced panel.
59
60
Keunggulan penggunaan data panel memberikan banyak keuntungan menurut Baltagi (2005), diantaranya sebagai berikut: 1. Mampu mengontrol heterogenitas individu. Metode ini dalam mengestimasi dapat secara eksplisit memasukkan unsur heterogenitas individu. 2. Memberikan data yang lebih banyak dan beragam, mengurangi kolinearitas antarpeubah, meningkatkan derajat bebas dan lebih efisien. 3. Lebih baik untuk studi dynamics of adjustment. Observasi cross section yang berulang, maka data panel lebih baik dalam mempelajari perubahan dinamis. 4. Lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diatasi dalam data cross section saja atau data time series saja. 5. Dapat digunakan untuk membangun dan menguji model yang lebih kompleks dibandingkan data cross section atau time series murni.
Selain manfaat yang diperoleh dengan penggunaan panel data, metode ini juga memiliki kelemahan dan keterbatasan dalam penggunaannya, antara lain: 1. Masalah dalam desain survei panel, pengumpulan dan manajemen data. Masalah yang umum dihadapi diantaranya: cakupan, nonresponse, kemampuan daya ingat responden, frekuensi dan waktu wawancara. 2. Distorsi kesalahan pengamatan. Umumnya terjadi karena respon yang tidak sesuai. 3. Masalah selektivitas yang mencakup hal-hal berikut: a. Self-selectivity: permasalahan yang muncul karena data-data yang dikumpulkan untuk suatu penelitian tidak sepenuhnya dapat menangkap fenomena yang ada. b. Nonresponse: permasalahan yang muncul dalam panel data ketika ada ketidaklengkapan jawaban yang diberikan oleh responden (sampel rumahtangga). c. Attrition: jumlah responden yang cenderung berkurang pada survei lanjutan yang biasanya terjadi karena responden pindah, meninggal dunia atau biaya menemukan responden yang terlalu tinggi
61
4. Dimensi waktu (time series) yang pendek. Jenis panel mikro biasanya mencakup data tahunan yang relatif pendek untuk setiap individu. 5. Cross-section dependence. Sebagai contoh, apabila macro panel dengan unit analisis negara atau wilayah dengan deret waktu yang panjang mengabaikan cross-country dependence akan mengakibatkan inferensi yang salah (misleading inference).
Terdapat dua pendekatan yang umum diaplikasikan data panel, yaitu fixed effects model (FEM) dan random effects model (REM). Misalkan diberikan persamaan regresi data panel sebagai berikut: yit X it' it
………. (3.1)
Keterangan:
y it : nilai variable tak bebas untuk setiap unit individu i pada periode t; dimana i = 1, …, N dan t = 1, …, T
X it : nilai variable bebas yang terdiri dari sejumlah k variabel
Gangguan acak diasumsikan mengikuti one-way error component model sebagai berikut:
it i uit
………. (3.2)
Untuk two way error component model, komponen error diasumsikan mengikuti model berikut:
it i t uit
………. (3.3)
Keterangan:
i : efek individu (time invariant) u it : disturbance yang besifat acak ( u it ~ N (0, u2 ) )
t : efek waktu (individual invariant) Pada pendekatan one way komponen error hanya memasukkan komponen error yang merupakan efek dari individu ( i ). Pada two way telah memasukkan efek dari waktu ( t ) ke dalam komponen error, dan u it diasumsikan tidak
62
berkorelasi dangan X it . Perbedaan antara FEM dan REM terletak pada ada atau tidaknya korelasi antara i dan t dengan X it . Fixed Effect Model (FEM) Model data panel dengan fixed effects model (FEM) yaitu jika i diperlakukan sebagai parameter tetap, namun bervariasi antar i = 1, 2, …, N. FEM digunakan ketika efek individu dan efek waktu mempunyai korelasi dengan X it atau memiliki pola yang sifatnya tidak acak. Asumsi ini membuat komponen error dari efek individu dan waktu dapat menjadi bagian dari intercept. FEM pada umumnya terjadi ketika N relatif kecil dan T relatif besar. Untuk one way komponen error: y it ai X it' u it
………. (3.4)
Sedangkan untuk two way komponen error: y it a i t X it' u it
………. (3.5)
Penduga FEM dapat dihitung dengan beberapa teknik, yaitu Pooled Least Square (PLS), Within Group (WG), Least Square Dummy Variable (LSDV), dan Two Way Error Component Fixed Effect Model. Random Effect Model (REM) Model data panel dengan random effects model (REM) yaitu jika i diperlakukan sebagai parameter yang bersifat random. REM digunakan ketika efek individu dan efek waktu tidak berkorelasi dengan X it atau memiliki pola yang sifatnya acak. Keadaan ini membuat komponen error dari efek individu dan efek waktu dimasukkan ke dalam error. REM pada umumnya digunakan pada data yang memiliki N relatif besar dan T relatif kecil. Model REM secara umum dituliskan sebagai berikut: y it a X it' u it i
………. (3.6)
dengan i i dan memiliki rata-rata nol. i merepresentasikan gangguan individu (individual disturbance) yang tetap sepanjang waktu. Asumsi yang digunakan dalam REM adalah:
63
E u it | i 0
………. (3.7)
E u it2 | i u2
………. (3.8)
E i | x it 0 untuk semua i dan t
………. (3.9)
untuk semua i dan t
………. (3.10)
E uit j 0 untuk semua i, t, dan j
………. (3.11)
E u it u js 0 untuk i j dan t s
………. (3.12)
E i j 0 untuk i j
………. (3.13)
E i2 | x it 2
Berdasarkan semua asumsi pada REM, yang paling penting adalah
E i | x it 0 . Nilai ini menjadi penting karena berguna untuk menentukan apakah akan digunakan FEM atau REM. Penduga REM biasanya dihitung dengan metode Generalized Least Square (GLS). Pengujian asumsi ini menggunakan Hausman test, dengan uji hipotesis sebagai berikut: H0: E i | xit 0 Tidak ada korelasi antara komponen error dengan peubah bebas. H1: E i | xit 0 Ada korelasi antara komponen error dengan peubah bebas. Nilai statistik hausman dirumuskan sebagai berikut:
H ˆ REM ˆ FEM
M '
FEM
M
REM
1 ˆ REM
ˆ FEM
~
2
k
………. (3.14)
dimana M : matriks kovarians untuk parameter k : derajat bebas 2 maka komponen error mempunyai korelasi dengan peubah bebas, Jika H > tabel
sehingga tolak Ho dan model yang digunakan adalah FEM. Uji Asumsi Uji asumsi dilakukan untuk memenuhi persyaratan sebuah model yang akan digunakan. Setelah kita memutuskan untuk menggunakan suatu model tertentu (FEM atau REM) berdasarkan Hausman test, maka kita dapat melakukan uji terhadap asumsi yang digunakan dalam model.
64
1.
Uji Heteroskedastisitas Nilai dugaan parameter dalam model regresi diasumsikan bersifat BLUE
(Best Linier Unbiased Estimate), maka Var(ui) harus sama dengan σ2 (konstan), atau semua residual atau error mempunyai varian yang sama, yang disebut dengan homoskedastisitas. Sedangkan bila varian tidak konstan atau berubah-ubah disebut dengan heteroskedastisitas. Untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas dapat menggunakan metode GLS cross section weights (Cross section Weights) yaitu dengan membandingkan sum square Resid pada Weighted Statistics dengan sum square Resid unweighted Statistics. Jika sum square Resid pada Weighted Statistics lebih kecil dari sum square Resid unweighted Statistics, maka terjadi heteroskedastisitas (Greene 2002). 2.
Uji Autokorelasi Autokorelasi adalah korelasi yang terjadi antarobservasi dalam satu peubah
atau korelasi antara error masa yang lalu dengan error saat ini. Uji autokorelasi yang dilakukan tergantung pada jenis data dan sifat model yang digunakan. Autokorelasi dapat memengaruhi efisiensi dari penduganya. Untuk mendeteksi adanya korelasi serial adalah dengan melihat nilai Durbin Watson (DW). Untuk mengetahui ada atau tidaknya autokorelasi dilakukan dengan membandingkan nilai DW-hitung dan DW-tabel. Adapun kerangka identifikasi autokorelasi terangkum dalam Tabel 3.1. Korelasi serial ditemukan jika error dari periode waktu yang berbeda saling berkorelasi. Hal ini bisa dideteksi dengan melihat pola error acak dari hasil regresi. Tabel 3.1 Kerangka identifikasi autokorelasi Nilai DW
Hasil
4 – dL < DW < 4
Terdapat korelasi serial negatif
4 – dU < DW < 4- dL
Hasil tidak dapat ditentukan
2 < DW < 4 – dU
Tidak ada korelasi serial
dU < DW < 2
Tidak ada korelasi serial
dL < DW < dU
Hasil tidak dapat ditentukan
0 < DW < dL Sumber: Gujarati 2004
Terdapat korelasi serial positif
65
3.2.3 Uji Beda Koefisien Uji beda antara dua koefisien dilakukan terkait dengan model regresi untuk KBI dan KTI. Untuk memastikan secara statistik mengenai perbedaan antara kedua koefisien yang dihasilkan. Hipotesis uji beda dua koefisien tersebut adalah: H0 : βKTI ≥ βKBI H1 : βKTI < βKBI Statistik uji yang digunakan untuk menguji beda koefisien antara KBI dan KTI adalah: =
– +
Keterangan : βjKBI
: Koefisien estimasi variabel j di KBI
βjKTI
: Koefisien estimasi variabel j di KTI
se(βjKBI) : Kesalahan standar koefisien estimasi βjKBI se(βjKTI) : Kesalahan standar koefisien estimasi βjKTI nKBI
: Jumlah observasi di KBI
nKTI
: Jumlah observasi di KTI
Kriteria keputusan jika menggunakan taraf nyata α Jika thitung < ttabel maka terima H0 Jika thitung > ttabel maka tolak H0
3.3
Spesifikasi Model dalam Penelitian Pada penelitian ini, variabel-variabel yang akan digunakan yaitu persentase
penduduk miskin, angka melek huruf, angka partisipasi sekolah, rata-rata lama sekolah, rasio anggaran pemerintah bidang pendidikan terhadap APBD, rasio pekerja terhadap angkatan kerja menurut tingkat pendidikan, PDRB per kapita, dan indeks gini pendapatan. Rata-rata lama sekolah menunjukkan akumulasi modal manusia (human capital). Data anggaran pemerintah bidang pendidikan menunjukkan pengeluaran pemerintah dalam bidang pendidikan. Rasio jumlah yang bekerja menurut tingkat pendidikan terhadap total angkatan kerja
66
menunjukkan tingkat kesempatan kerja menurut pendidikan. Menurut UU Sisdiknas, jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. PDRB per kapita menunjukkan rata-rata pendapatan penduduk dan indeks gini menunjukkan distribusi pendapatan. Model yang digunakan untuk menganalisis adalah modifikasi dari model Tilak (1986), Janjua dan Kamal (2011), Kiani (2011) serta Birowo (2011). Modifikasi dari model Kiani adalah mengenai konsep tingkat kesempatan kerja. Kiani menyebut rasio lulusan siswa menurut tingkat pendidikan terhadap total angkatan kerja yang bekerja sebagai tingkat kesempatan kerja, dan Kiani menggunakan dua tahun tertinggal (lag) pada variabel pendidikan karena membutuhkan waktu untuk mendapatkan pekerjaan. Modifikasi dari Birowo yaitu hanya menggunakan variabel pengeluaran pemerintah sektor pendidikan yang terbukti signifikan terhadap kemiskinan di Indonesia. Untuk mengukur peran pendidikan secara keseluruhan didekati melalui tiga indikator, seperti angka melek huruf (literacy rate), angka partisipasi sekolah (school enrollment ratio) dan lama studi yang ditempuh (mean years of schooling). Model ini menyertakan variabel rasio anggaran fungsi pendidikan terhadap total anggaran untuk melihat pengaruh pengeluaran publik pendidikan. Adapun model dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Peran pendidikan terhadap kemiskinan: ,
=
+
+
+
ln
+
R_Edu
+
,
(3.15)
Keterangan: (Miskin)i,t (AMH)i,t (APS)i,t (RLS)i,t (R_EduA) i,t c0 ci ui,t
= Persentase penduduk miskin di provinsi ke-i pada tahun ke-t. = Persentase penduduk 15 tahun ke atas yang melek huruf di provinsi ke-i pada tahun ke-t. = Angka partisipasi sekolah penduduk berumur 7-24 tahun di provinsi ke-i pada tahun ke-t (dalam tahun). = Rata-rata lama sekolah penduduk berumur 15 tahun ke atas di provinsi ke-i pada tahun ke-t (dalam tahun). = Rasio anggaran fungsi pendidikan terhadap total anggaran di provinsi ke-i pada tahun ke-t. = intercept. = Parameter yang diestimasi, i = 1,…, k. = Komponen error.
67
2. Peran jenjang pendidikan terhadap kemiskinan Dalam penelitian ini, untuk mengkaji efektivitas kebijakan nasional wajib belajar pendidikan dasar dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia, dan mengkaji jenjang pendidikan yang berperan besar dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia maupun antarkawasan di Indonesia, dengan
menggunakan konsep tingkat kesempatan kerja yang digunakan oleh BPS. Tingkat kesempatan kerja yaitu persentase penduduk bekerja menurut tingkat pendidikan terhadap total penduduk angkatan kerja. Indikator ini menunjukkan seberapa besar penduduk yang berpotensi secara ekonomis untuk menghasilkan barang dan jasa secara riil ikut berpartisipasi menghasilkan barang dan jasa tersebut menurut tingkat pendidikannya, atau dengan perkataan lain termasuk ke dalam golongan penduduk bekerja, sehingga model ini tidak menggunakan lag waktu. Model ini menyertakan variabel PDRB per kapita untuk melihat pengaruh tidak langsung pendidikan terhadap kemiskinan melalui efek pertumbuhan ekonomi dan variabel indeks gini untuk melihat pengaruh tidak langsung pendidikan terhadap kemiskinan melalui efek distribusi pendapatan. ,
=
+ ln
+
ℎ + +
+
+
, … … … … (3.16)
Keterangan: (Miskin)i,t (Dasar)i,t
(Menengah)i,t
(Tinggi)i,t
(PDRBKap)i,t (Gini)i,t
= Persentase penduduk miskin di provinsi ke-i pada tahun ke-t. = Rasio tenaga kerja berpendidikan dasar (SD, SMP) terhadap total angkatan kerja di provinsi ke-i pada tahun ke-t. = Rasio tenaga kerja pendidikan menengah (SMU, SMK) terhadap total angkatan kerja di provinsi ke-i pada tahun ke-t. = Rasio tenaga kerja pendidikan tinggi (Diploma I/II/III, Strata 1/2/3) terhadap total angkatan kerja di provinsi ke-i pada tahun ke-t. = PDRB per kapita di provinsi ke-i pada tahun ke-t (juta Rp.) = Indeks gini di provinsi ke-i pada tahun ke-t.
68
c0 ci ui,t
= intercept. = Parameter yang diestimasi, i = 1,…, k. = Komponen error.
Berdasarkan kerangka analisis yang digunakan dalam pembentukan model, pengaruh pendidikan terhadap kemiskinan, diharapkan koefisien variabel pendidikan bernilai negatif. Dengan demikian kenaikan tingkat pendidikan diharapkan akan memberikan dampak mengurangi kemiskinan. 3.4
Definisi Operasional Beberapa ukuran relevan yang akan digunakan dalam penelitian ini, antara
lain: ukuran kemiskinan, ukuran pertumbuhan ekonomi, ukuran ketimpangan pendapatan dan ukuran pendidikan. Berdasarkan ukuran-ukuran tersebut, maka dapat didefinisikan beberapa variabel yang digunakan dalam penelitian, dengan definisi operasional sebagai berikut: 1
Head Count Index (HCI-P0), yaitu persentase penduduk miskin terhadap total jumpah penduduk. Satuan yang digunakan dalam P0 adalah persen (%). Angka ini menunjukkan proporsi penduduk miskin di suatu wilayah. Persentase penduduk miskin yang tinggi menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di suatu wilayah juga tinggi.
2
Angka melek huruf adalah proporsi penduduk usia tertentu yang dapat membaca dan atau menulis huruf latin atau huruf lainnya terhadap penduduk usia tertentu. Satuan yang digunakan adalah persen (%). Angka ini digunakan untuk melihat pencapaian indikator dasar yang telah dicapai oleh suatu daerah, karena
membaca
merupakan dasar utama
dalam memperluas ilmu
pengetahuan. AMH merupakan indikator penting untuk melihat sejauh mana penduduk suatu daerah terbuka terhadap pengetahuan. Tingkat melek huruf yang tinggi menunjukkan adanya sebuah sistem pendidikan dasar yang efektif dan/atau program melek huruf yang memungkinkan sebagian besar penduduk untuk memperoleh kemampuan menggunakan kata-kata tertulis dalam kehidupan sehari-hari dan melanjutkan pembelajarannya. 3
Angka partisipasi sekolah (APS) didefinisikan sebagai perbandingan antara jumlah murid kelompok usia sekolah tertentu yang bersekolah pada berbagai
69
jenjang pendidikan dengan penduduk kelompok usia sekolah yang sesuai, dinyatakan dalam persen (%). Indikator ini digunakan untuk mengetahui banyaknya anak usia sekolah yang telah bersekolah di semua jenjang pendidikan. APS yang tinggi menunjukkan terbukanya peluang yang lebih besar dalam mengakses pendidikan secara umum. Pada kelompok umur mana peluang tersebut terjadi dapat dilihat dari besarnya APS pada setiap kelompok umur. 4
Rata-rata lama sekolah adalah nilai rata-rata bagi tiap penduduk usia 15 tahun ke atas dalam menempuh pendidikan di sekolah. Variabel rata-rata lama sekolah ini digunakan sebagai proksi tingkat pendidikan. Tingginya angka rata-rata lama sekolah menunjukkan jenjang pendidikan yang pernah/sedang diduduki oleh seseorang. Semakin tinggi angka rata-rata lama sekolah maka semakin lama/tinggi jenjang pendidikan yang ditamatkannya. Satuan yang digunakan dalam menghitung rata-rata lama sekolah adalah tahun.
5
Rasio anggaran pendidikan terhadap total anggaran digunakan sebagai proksi pengeluaran pemerintah daerah untuk investasi publik bidang pendidikan. Satuan yang digunakan adalah persen (%).
6
Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan yang telah ditempuh penduduk sampai lulus dan mendapatkan bukti kelulusan berupa ijazah/STTB.
7
Bekerja adalah melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan dan lamanya bekerja paling sedikit 1 jam secara terus menerus dalam seminggu yang lalu (termasuk pekerja keluarga tanpa upah yang membantu dalam suatu usaha/kegiatan ekonomi) pada lapangan usaha pertanian. Jumlah pekerja sektor pertanian dihitng dalam satuan ribu orang.
8
Angkatan kerja adalah penduduk usia kerja (15 tahun dan lebih) yang bekerja, atau punya pekerjaan namun sementara tidak bekerja dan pengangguran.
9
Rasio yang bekerja terhadap total angkatan kerja menurut tingkat pendidikan adalah proporsi orang yang bekerja menurut tingkat pendidikan terhadap jumlah total angkatan kerja. Digunakan sebagai proksi tingkat kesempatan kerja (TKK), yaitu peluang seorang penduduk usia kerja yang termasuk angkatan kerja untuk bekerja. Satuan yang digunakan adalah persen (%).
70
Angka tersebut juga menggambarkan peluang seseorang yang termasuk dalam angkatan kerja untuk bisa terserap dalam pasar kerja atau dapat bekerja sesuai dengan jenjang pendidikan yang ditamatkan. Semakin besar angka TKK, semakin baik pula kondisi ketenagakerjaan dalam suatu wilayah. 10 PDRB per kapita adalah penjumlahan seluruh komponen nilai tambah bruto yang mampu diciptakan oleh sektor-sektor ekonomi atas berbagai aktivitas produksinya (dihitung berdasarkan harga konstan tahun 2000) dibagi jumlah penduduk dalam suatu wilayah per periode tertentu. Berguna untuk mengetahui pertumbuhan nyata ekonomi per kapita penduduk suatu negara, dapat digunakan sebagai proksi pertumbuhan ekonomi. Satuan PDRB per kapita adalah juta rupiah 11 Indeks gini adalah ukuran distribusi pendapatan yang dihitung berdasarkan kelas pendapatan. Nilai indeks gini terletak antara 0 (nol) dan 1 (satu), dimana nol
mencerminkan
kemerataan
sempurna
dan
satu
menggambarkan
ketidakmerataan sempurna. Nilai indeks gini ini digunakan sebagai proksi ukuran ketimpangan pendapatan.
IV.
4.1
GAMBARAN UMUM
Pendidikan Faktor utama keberhasilan pembangunan di suatu negara diantaranya adalah
ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Pendidikan merupakan salah satu jalan bagi peningkatan kualitas SDM tersebut. Oleh sebab itu pemerintah secara terus menerus berupaya untuk meningkatkan mutu pendidikan dimulai dengan pemberian kesempatan yang seluas-luasnya kepada penduduk untuk mengenyam pendidikan terutama pada tingkat dasar hingga pada peningkatan kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana pendidikan. Upaya yang saat ini masih digalakkan diantaranya mengupayakan anggaran pendidikan sesuai dengan amanat amandemen Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31, agar program sekolah gratis minimal pada tingkat dasar di seluruh wilayah di Indonesia dapat terwujud sehingga tidak ada hambatan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan tersebut. Untuk mengukur keberhasilan dalam implementasi kebijakan bidang pendidikan diantaranya dapat diukur melalui tiga indikator, seperti angka melek huruf (literacy rate), angka partisipasi sekolah (school enrollment ratio) dan lama studi yang ditempuh (mean years of schooling). Ketiga indikator tersebut akan dipakai sebagai instrumen analisis untuk menilai sejauh mana keberhasilan atau kinerja implementasi kebijakan pembangunan pendidikan.
4.1.1 Angka Melek Huruf (AMH) Menurut UNESCO (2009), melek huruf adalah kemampuan untuk mengidentifikasi, mengerti, menerjemahkan, membuat, mengkomunikasikan dan mengolah isi dari rangkaian teks yang terdapat pada bahan-bahan cetak dan tulisan yang berkaitan dengan berbagai situasi. Kemampuan baca-tulis dianggap penting karena melibatkan pembelajaran berkelanjutan oleh seseorang sehingga orang tersebut dapat mencapai tujuannya, dimana hal ini berkaitan langsung dengan bagaimana seseorang mendapatkan pengetahuan, menggali potensinya, dan berpartisipasi penuh dalam masyarakat yang lebih luas.
71
72
Definisi singkat dari angka melek huruf adalah proporsi dari populasi orang dewasa berusia 15 tahun ke atas yang melek huruf, dan dinyatakan dalam satuan persentase (%). Melek huruf sering diukur melalui melek huruf anak (kelompok usia 15-24) khususnya terkait keberhasilan kebijakan pendidikan dalam hal cakupan sekolah dan pencapaian pendidikan; serta melalui melek huruf orang dewasa (kelompok usia 15 tahun ke atas) berfokus pada orang dewasa sebagai warga negara dan angkatan kerja produktif. Indikator ini dapat memberikan ukuran mengenai stok orang yang melek huruf dalam populasi orang dewasa yang mampu menggunakan kata-kata yang ditulis dalam kehidupan sehari-hari dan untuk terus belajar. Hal ini mencerminkan prestasi akumulasi pendidikan dalam menyebarkan melek huruf. Setiap kekurangan dalam melek huruf akan memberikan indikasi upaya yang diperlukan di masa depan untuk memperluas melek huruf pada populasi orang dewasa buta huruf yang tersisa. Melek
huruf
sangat
penting
untuk
mempromosikan
dan
mengkomunikasikan pembangunan berkelanjutan dan meningkatkan kapasitas masyarakat untuk mengatasi masalah-masalah pembangunan. Melek huruf memfasilitasi pencapaian kesadaran lingkungan dan etika, nilai-nilai, dan keterampilan yang konsisten dengan pembangunan berkelanjutan dan partisipasi publik yang efektif dalam pengambilan keputusan. Melek huruf berhubungan erat dengan indikator yang mencerminkan kebutuhan dasar seperti pendidikan, pembangunan kapasitas, informasi dan komunikasi. Berdasarkan data BPS, Gambar 4.1 memperlihatkan box plot angka melek huruf (AMH) penduduk usia 15 tahun ke atas di Indonesia selama periode tahun 2006-2010. Box plot menggambarkan kelompok data numerik melalui lima ringkasan: pengamatan terkecil (minimum sampel), kuartil bawah (Q1), median (Q2), kuartil atas (Q3), dan observasi terbesar (maksimum sampel). Box plot juga bisa menunjukkan pengamatan yang dianggap outlier, jika ada. Jarak antara bagian yang berbeda dari box plot menunjukkan derajat dispersi (penyebaran). Dari gambar tersebut, dapat dilihat bahwa rata-rata AMH KBI lebih tinggi dari KTI, serta sebaran di KBI lebih merata dibandingan KTI. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi AMH di KBI lebih baik dan lebih homogen antarprovinsi, dibandingkan wilayah KTI yang lebih heterogen. Hal ini dapat
73
dimungkinkan karena belum meratanya pembangunan sumberdaya manusia antar kawasan di Indonesia, karena pembangunannya sangat dipengaruhi oleh kondisi geografis dan sosial budaya setempat. Aspek-aspek yang berpengaruh terhadap ketertinggalan wilayah di KTI antara lain adalah aksesibilitas, infrastruktur, sumberdaya manusia, kemampum keuangan lokal, perekonomian masyarakat, serta karakteristik daerah (Rosalina 2008).
100 95
%
90
91,08
90,77
89,96
94,97
94,55
94,20
93,69
93,39
91,29
91,67
85 80 75 P ap u a
70 dum
P ap u a P ap u a
KBI KT I A M H06
P ap u a
KBI KT I A M H0 7
KBI KT I A M H08
KBI KT I AM H09
KBI KT I A M H10
Sumber: BPS 2006c, 2007c, 2008c, 2009c, 2010c.
Gambar 4.1 Box plot angka melek huruf penduduk usia 15 tahun ke atas menurut kawasan di Indonesia, tahun 2006-2010. Rata-rata AMH di kedua kawasan cenderung mengalami peningkatan dan dengan sebaran yang relatif konstan. Meningkatnya AMH ini terutama terjadi pada kelompok usia muda yaitu usia 15-24 tahun, seiring dengan meningkatnya partisipasi pendidikan pada jenjang pendidikan dasar. Peningkatan partisipasi pada jenjang pendidikan dasar telah mendorong peningkatan kemampuan penduduk dalam membaca dan menulis (Bappenas 2011). Sedangkan sebaran yang relatif konstan mengindikasikan masih terjadi kesenjangan antardaerah. Rata-rata tingkat melek huruf antarprovinsi selama periode tahun 2006-2010, masih beragam antarprovinsi dengan kisaran angka melek huruf antara 71,52 % di Provinsi Papua sampai dengan 99,15% di Provinsi Sulawesi Utara, dengan ratarata nasional sebesar 92,83 %.
74
Namun demikian, telah terjadi peningkatan pada kelompok kuintil kedua (kelas median). Artinya semakin banyak provinsi-provinsi yang mengalami peningkatan AMH, dan beberapa daerah belum mengalami peningkatan AMH. Salah satu daerah yang memiliki AMH terendah, bahkan mengalami penurunan, selama periode tersebut adalah Provinsi Papua. Hal ini mungkin terkait dengan aksesibilitas dan distribusi untuk bersekolah maupun program-program melek huruf yang masih terbatas. Kendala geografis di Papua menjadi salah satu sebab keterbatasan aksesibilitas tersebut. Gambar 4.2 memperlihatkan rata-rata AMH dan perubahannya selama periode tahun 2006-2010. Pada Kuadran I menunjukkan provinsi dengan AMH tinggi dan perubahan yang cepat, di atas rata-rata nasional. Terdapat 4 provinsi pada kuadran I, antara lain: Provinsi NAD, Kepulauan Riau, Kalimantan Selatan dan Lampung. Kuadran II yaitu provinsi dengan rata-rata AMH rendah namun dengan perubahan yang besar. Pada kuadran II terdapat 9 provinsi, antar lain Provinsi Papua Barat, DIY, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, NTT, NTB, Bali dan Jawa Tengah. Hal ini bisa dikaitkan dengan usaha peningkatan AMH dan/atau semakin berkurangnya kelompok usia tua. Kuadran
III
menunjukkan
provinsi
dimana
rata-rata
AMH
dan
perubahannya rendah, di bawah rata-rata nasional. Terdapat 3 provinsi pada kuadran III ini, yaitu: Provinsi Papua, Jawa Timur, dan Kalimantan Barat. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh kelompok usia 45 tahun ke atas dan/atau terbatasnya akses pelayanan pendidikan bagi kelompok usia muda, terutama bagi daerah di luar jawa. Provinsi Papua merupakan satu-satunya provinsi yang mengalami penurunan AMH mulai tahun 2007, hal ini mungkin disebabkan jangkauan layanan pendidikan yang jauh ataupun karena ketiadaan guru di daerah-daerah pedalaman Papua (BPS Papua 2009). Pada Kuadran IV menunjukkan provinsi dengan rata-rata AMH tinggi namun tren perubahannya lambat. Terdapat 17 provinsi, antara lain: Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Maluku dan Maluku Utara. Hal ini terkait karena pencapaian AMH sudah tinggi, maka
75
perubahannya cenderung kecil. Tingkat persistensi, terutama pada kelompok usia tua, tidak bisa ditingkatkan lagi. 0.41 100
IV
SA SU GO
Rata-rata AMH (%)
95
SIN G
JK
BB
SS
RI M A KT SB KI BT ST JAJB M U BE
I KR KS LA
B a n te n B e n gkul u
AC
D IY D KI
92.61 PB
90
SG KB JI
85
BaBel Bali
JT NT SN
SR BA
G o r o n ta l o JaBar J a m bi JaTen g JaTim K a l Ba r
YO
K a l Se l K a l Te ng K a l Ti m K e p Ri La m pun g M a l uku MalU t
80
N AD N TB
NB
N TT P a p Ba r P a p ua Ria u
75
S ul Ba r S ul Se l
70
PA
II
III 0.0
0.4 0.8 1.2 Tr e nd Pe r uba ha n A M H (%)
1.6
S ul Te ng S ul Tr a S ul U t S um B a r S um S e l S uM ut
Sumber: BPS 2006c, 2007c, 2008c, 2009c, 2010c.
Gambar 4.2 Rata-rata angka melek huruf penduduk usia 15 tahun ke atas dan tren perubahannya menurut provinsi di Indonesia, periode tahun 2006–2010. 4.1.2 Angka Partisipasi Sekolah (APS) Untuk mengetahui seberapa banyak penduduk usia sekolah yang sudah dapat memanfaatkan fasilitas pendidikan, dapat dilihat dari penduduk yang masih sekolah pada umur tertentu yang lebih dikenal dengan angka partisipasi sekolah (APS). APS merupakan ukuran daya serap sistem pendidikan terhadap penduduk usia sekolah, terlepas dari tingkat pendidikan, sebagai persentase dari populasi pada usia yang sama. Pada bahasan yang dimaksud disini partisipasi sekolah berkaitan dengan aktivitas pendidikan formal dan non formal seseorang. Secara teoritis, nilai maksimum adalah 100%. Jika APS berada di bawah 100%, maka perbedaan dengan 100% memberikan ukuran proporsi penduduk usia tertentu yang tidak terdaftar. Rata-rata APS usia 7-24 tahun di Indonesia selama periode tahun 2006-2010 cenderung mengalami peningkatan dari 62,45.% hingga 65,52.%. Namun masih terjadi kesenjangan antarprovinsi, baik dalam satu kawasan maupun antarkawasan dengan keragaman antara 56,44.% di Papua hingga 74,52.% di DIY (Gambar 4.3).
76
Kesenjangan APS antarprovinsi di KBI lebih tinggi dibanding KTI. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh ketersediaan infrastruktur pendidikan maupun kapasitas daerah yang beragam antardaerah di KBI. Provinsi Maluku sejak tahun 2007 memilik APS yang tinggi, sedangkan Provinsi Papua memiliki capaian angka partisipasi sekolah yang masih rendah.
75 Maluk u Maluku Maluku
70
65 %
62,46
62,75
63,61
63,62
64,50
64,47
64,86
65,61 64,60
65,43
60 Papua
55
50 dum
Papua
KBI KTI APS06
KBI KTI APS07
KBI KTI APS08
KBI KTI APS09
KBI KTI APS10
Sumber: BPS 2006c, 2007c, 2008c, 2009c, 2010c.
Gambar 4.3 Box plot angka partisipasi sekolah penduduk usia 7–24 tahun menurut kawasan di Indonesia, tahun 2006-2010. Gambar 4.4 memperlihatkan rata-rata APS penduduk usia 7–24 tahun dan rata-rata perubahannya menurut provinsi di Indonesia, periode tahun 2006–2010. Provinsi dengan pencapaian rata-rata dan perubahan APS tertinggi adalah Provinsi DIY dan Sumatera Barat. Selain itu Provinsi Sumatera Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali NTT, Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Utara memiliki capaian APS yang tinggi dan perubahan relatif besar (Kuadran I). Provinsi dengan rata-rata APS terendah namun mengalami perubahan cepat (Kuadran II) antara lain Provinsi Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Jambi, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat dan Gorontalo. Kuadran III yaitu daerah dengan APS dan perubahan yang rendah, antara lain: Provinsi Sumatera Selatan, Lampung, DKI, Jawa Barat, Banten, dan
77
Kalimantan Selatan. Selain itu, terdapat dua provinsi yang memiliki rata-rata perubahan APS yang negatif pada periode tersebut yakni Provinsi Kalimantan Tengah dan Papua. Hal ini diduga karena akses dan ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan masih terbatas. SING BaBel Bali
0.73 75
Banten Bengkulu
I
IV DIY
Maluku NAD
DIY DKI Gorontalo JaBar Jambi
SumBar
Rata-rata APS (%)
70
JaTeng JaTim
MalUt SuMut Riau
Bengkulu NTB
65
Lampung
Jambi KalBar Gorontalo
SumSel JaBar
60
Banten
KalBar KalSel
Bali
KalTeng KalTim
NTT JaTim JaTeng SulTeng
PapBar KalTeng
SulTra SulUt KalTim
64.19
SulSel
NTT PapBar
SulBar
Papua Riau
DKI Papua
55
-0.5
Maluku MalUt NAD NTB
KalSel
SulBar SulSel
KepRi
III
KepRi Lampung
BaBel
0.0 0.5 1.0 Rata-rata Perubahan APS (%)
II
SulTeng SulTra SulUt
1.5
SumBar SumSel SuMut
Sumber: BPS 2006c, 2007c, 2008c, 2009c, 2010c.
Gambar 4.4 Rata-rata angka partisipasi sekolah penduduk usia 7–24 tahun dan trend perubahan menurut provinsi di Indonesia, periode tahun 2006–2010. 4.1.3 Rata- rata Lama Sekolah (RLS) Salah satu indikator tunggal lainnya untuk menggambarkan tingkat pendidikan masyarakat adalah rata-rata lama sekolah (RLS) penduduk usia 15 tahun ke atas. RLS penduduk 15 tahun ke atas merupakan cerminan tingkat pendidikan penduduk secara keseluruhan. RLS merupakan indikator yang menunjukkan rata-rata jumlah tahun efektif untuk bersekolah yang dicapai penduduk, yang diformulasikan oleh UNDP pada tahun 1990 untuk penyusunan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Jumlah tahun efektif adalah jumlah tahun standar yang harus dijalani oleh seseorang untuk menamatkan suatu jenjang pendidikan, misalnya tamat SD adalah 6 tahun, tamat SMP adalah 9 tahun dan
78
seterusnya. Perhitungan RLS dilakukan tanpa memperhatikan apakah seseorang menamatkan sekolah lebih cepat atau lebih lama dari waktu yang telah ditetapkan. Rata-rata lama sekolah dapat menunjukkan komposisi pendidikan penduduk usia 25 tahun ke atas, atau persediaan dan kualitas modal manusia dalam suatu negara, sehingga dapat digunakan untuk mengukur kebutuhan dan menetapkan kebijakan untuk peningkatan pendidikan. Indikator ini juga mencerminkan struktur dan kinerja dari sistem pendidikan dan dampaknya terhadap pembentukan akumulasi modal manusia (UNESCO 2009). Pencapaian pendidikan terkait erat dengan keterampilan dan kompetensi penduduk suatu negara, dan bisa dilihat sebagai proxy dari aspek kuantitatif dan kualitatif dari stok modal manusia. Sesuai dengan target pemerintah melalui program wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan sejak tahun 1994, RLS penduduk diharapkan dapat mencapai 9 tahun (pendidikan dasar), yaitu minimal tamat jenjang pendidikan SMP. Namun demikian, tampak bahwa program tersebut masih belum mencapai sasaran yang diharapkan, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.5 bahwa RLS penduduk baru mencapai 7,77 tahun. Angka ini menunjukkan bahwa secara rata-rata pendidikan penduduk usia 15 tahun ke atas belum mencapai kelas 2 SMP.
Rata-rata Lama Sekolah (tahun)
11
10
DKI
DKI
DKI
DKI
DKI
9 8 ,3 5
8
7, 83
8 ,1 2
7 ,9 4
7 ,9 1
7, 82 7, 59
7 ,4 5
7, 41 7, 21
7
6 dum
KBI KT I RLS 06
KBI KT I R LS 0 7
KBI KT I R LS 0 8
K BI KT I R LS 0 9
KBI KT I R LS 1 0
Sumber: BPS 2006c, 2007c, 2008c, 2009c, 2010c.
Gambar 4.5 Box plot rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas menurut kawasan di Indonesia, periode tahun 2006-2010.
79
Tabel 4.1 menyajikan RLS menurut status daerah dan jenis kelamin. Dari tabel tersebut terlihat bahwa RLS di daerah perkotaan cenderung lebih tinggi dibandingkan daerah perdesaan. Pola tersebut terlihat bagi penduduk laki-laki maupun perempuan. Kondisi ini memberikan gambaran bahwa penduduk di daerah perkotaan memiliki kesempatan memperoleh pendidikan yang lebih besar dibandingkan dengan mereka yang tinggal di daerah perdesaan. Hal ini diduga berkaitan dengan ketersedianan sarana maupun prasarana untuk setiap jenjang pendidikan di lokasi sekitar tempat tinggal mereka. Tabel 4.1 Rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas menurut status daerah kelamin di Indonesia, tahun 2006-2010 Rata-rata Lama Sekolah
Kota
Desa
Laki-laki
Perempuan
Minimal
7,46
4,75
6,73
5,54
Maksimal
10,66
8,03
10,72
9,72
Rata-rata
9,51
6,57
8,16
7,38
Standar Deviasi
0,79
0,74
0,85
0,89
Sumber: BPS 2006c, 2007c, 2008c, 2009c, 2010c.
Berdasarkan Tabel 4.1 terlihat pula bahwa RLS yang dicapai penduduk lakilaki secara umum lebih tinggi dari penduduk perempuan. Kondisi ini terlihat di daerah perkotaan maupun perdesaan. Faktor yang diduga turut mempengaruhi kondisi tersebut adalah “sex preference”, kecenderungan mengutamakan anak laki-laki untuk bersekolah dibandingkan anak perempuan (BPS 2010d). Gambar 4.6 menunjukkan rata-rata lama sekolah dan trend perubahannya. Pada kuadran I terlihat bahwa RLS penduduk usia 15 tahun ke atas, tertinggi terdapat di Provinsi DKI Jakarta, Sulawesi Utara, D.I. Yogyakarta, Kalimantan Timur dan Kepulauan Riau, dengan RLS berkisar 9 tahun. Angka ini menunjukkan bahwa secara rata-rata pendidikan penduduk usia 15 tahun ke atas di provinsi-provinsi tersebut sudah menamatkan jenjang pendidikan dasar SMP. Provinsi dengan RLS yang masih rendah antara lain Provinsi Sulawesi Barat, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat dan Papua, dengan RLS sebesar 6 tahun. Angka ini menunjukkan bahwa secara rata-rata
80
pendidikan penduduk usia 15 tahun ke atas di provinsi-provinsi tersebut baru menamatkan jenjang pendidikan dasar SD. 0 .1 4 IV
S IN G
DKI
I
BaBel Bali
10
B a n te n B e n g ku l u D IY D KI G o r o n ta l o
Rata-rata RLS (thn)
JaBar Jam bi
9
Su lU t
K a lTim
SuM ut
8
D IY
K ep R i
K a l Ba r KalSe l K a l Te n g K a l Ti m
NAD
Su m B ar B en g ku lu M alU t K a lTen g Su lTen B gan ten B ali Su lTra S u m S el J am b i Ja B a r Su lS el K a lSel Lam p u n g B a B el J aTim Ja Ten g
7
III 0 .0
K e p Ri La m p u n g
P ap B ar
7 .7 7
N TT P a p Ba r P ap ua R ia u S u l Ba r
S u lB a r
S ulSe l S u l Te n g
N TT
II
P ap u a
0 .1
0 .2 0 .3 0 .4 Tr e n P e r u b a h a n R LS ( t a h u n )
M a l u ku MalU t N AD N TB
G o ro n ta lo
K alB a r N TB
6
M alu ku
R iau
JaTen g JaTim
0 .5
0 .6
S u l Tr a S ulU t S um Bar S um S el S uMut
Sumber: BPS 2006c, 2007c, 2008c, 2009c, 2010c.
Gambar 4.6 Rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas dan tren perubahan menurut provinsi di Indonesia, periode tahun 2006–2010. Rata-rata perubahan RLS nasional selama periode tahun 2006-2010 adalah sebesar 0,14.tahun. Provinsi dengan rata-rata perubahan tertinggi dicapai oleh Provinsi Papua Barat, Kepulauan Riau, NAD, Maluku, Maluku Utara dan Bali. Provinsi yang memiliki rata-rata perubahan lama sekolah relatif rendah pada periode tersebut yakni Provinsi DKI Jakarta, Sulawesi Utara dan Kalimantan Tengah. Hal ini karena pencapaian angka partisipasi dan RLS di provinsi-provinsi tersebut sudah relatif tinggi. Provinsi Papua masih menjadi provinsi dengan capaian RLS yang rendah.
4.2
Anggaran Fungsi Pendidikan Alokasi anggaran merupakan instrumen penting bagi pemerintah untuk
mempromosikan pembangunan ekonomi dan mengurangi kemiskinan absolut. Upaya pembangunan sumberdaya manusia dapat dilakukan melalui investasi disektor pendidikan. Keberhasilan pembangunan dibidang pendidikan turut ditentukan juga dengan jumlah anggaran bidang pendidikan yang disediakan. Pendidikan diselenggarakan sebagai upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa
81
dan menjadi langkah untuk meningkatkan kesejahteraan hidup warga negara. Peningkatan derajat pendidikan diprioritaskan sebagai upaya untuk dapat mengurangi kemiskinan. Rasio anggaran pendidikan terhadap total anggaran digunakan sebagai proksi pengeluaran pemerintah daerah untuk investasi publik bidang pendidikan. Angka ini dapat digunakan untuk menilai penekanan kebijakan pemerintah di bidang pendidikan, relatif terhadap nilai dari investasi publik lainnya. Angka ini juga
mencerminkan
komitmen
pemerintah
untuk
berinvestasi
dalam
pengembangan sumber daya manusia. Semakin tinggi persentase pengeluaran pemerintah untuk pendidikan menunjukkan kebijakan prioritas pemerintah untuk pendidikan lebih tinggi relatif terhadap nilai dari investasi publik lainnya, termasuk pertahanan dan keamanan, kesehatan, jaminan sosial, dan sektor sosial atau ekonomi lainnya. Perumusan program pembangunan bidang pendidikan pada akhirnya akan berimplikasi pada besarnya kebutuhan anggaran yang harus disediakan oleh pemerintah. Selama ini, kekurangan anggaran atau keterbatasan anggaran masih menjadi alasan klasik dari lambatnya kemajuan pembangunan pendidikan nasioanl.
Namun demikian,
mengingat
pentingnya pendidikan tersebut,
pemerintah tetap memprioritaskan anggaran pembangunan dibidang pendidikan. Keseriusan pemerintah dalam memajukan pendidikan ditunjukkan dalam Amandemen UUD 1945 dan Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Langkah pemerintah dalam pembiayaan pendidikan
diwujudkan
dengan
memprioritaskan
anggaran
pendidikan
dialokasikan minimal 20.% –selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan– dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Berdasarkan data yang diperoleh, rata-rata nasional rasio anggaran fungsi pendidikan di Indonesia selama periode tahun 2006-2010 sudah mencapai lebih dari 20.%. Namun jika dilihat masing-masing provinsi, masih terdapat perbedaan kemampuan daerah dalam memenuhi alokasi yang ditetapkan perundangan. Kemampuan
masing-masing
daerah
berkisar
kecenderungan semakin meningkat (Gambar 4.7).
antara
8-38.%,
dengan
82
40
Rasio Anggaran Pendidikan (% )
35 30 27,96
27,65 24,83
25
22 ,69
2 2,72 22 ,8 6 20,41
20 1 9,12
15 10
dum
KBI KT I R E DU 0 7
KBI KT I R E DU 0 8
KBI KT I R E DU0 9
KBI KT I R E DU 1 0
Sumber: Kemenkeu 2007-2010.
Gambar 4.7 Box plot rasio anggaran fungsi pendidikan di Indonesia, tahun 2007-2010. Provinsi-provinsi dengan rasio anggaran fungsi pendidikan tertinggi antara lain Provinsi Jawa Tengah, DI. Yogyakarta, dan Lampung, berkisar antara 29.% hingga 37.%. Sedangkan provinsi-provinsi dengan rasio anggaran fungsi pendidikan terendah antara lain Provinsi Kalimantan Timur, DKI Jakarta, Papua Barat, dan Papua berkisar antara 12 – 20.% (Gambar 4.8). Jika dilihat, besaran PDRB yang dimiliki oleh Provinsi Kalimantan Timur, DKI Jakarta, Papua Barat, dan Papua tergolong tinggi, tetapi rasio anggaran fungsi pendidikannya termasuk rendah. Hal ini ditengarai karena fungsi pelayanan umum lainnya masih memiliki persentase tinggi terhadap total belanja daerah provinsi, namun dengan kecenderungan menurun dibanding dengan fungsi pendidikan yang memiliki kecenderungan meningkat (DJPK 2011). Gambar 4.8 memperlihatkan rata-rata perubahan rasio anggaran fungsi pendidikan secara nasional dan provinsi selama periode tahun 2007-2010. Ratarata perubahan rasio anggaran fungsi pendidikan nasional sebesar 1,45.%. Ratarata perubahan rasio anggaran fungsi pendidikan tertinggi adalah Provinsi DKI Jakarta, Sulawesi Tengah dan Gorontalo. Hal ini dapat mengindikasikan peningkatan perhatian pemerintah daerah terhadap pendidikan di wilayahnya. Sedangkan enam provinsi yaitu Provinsi Kalimantan Timur, DI. Yogyakarta, Sumatera Barat, Papua Barat, NTT dan Maluku Utara memiliki rata-rata
83
perubahan negatif pada periode tersebut. Berarti terjadi penurunan rasio anggaran fungsi pendidikan di provinsi-provinsi tersebut. 1.45 Rata-rata Rasio Anggaran Pendidikan (%)
JaTen g
S IN G BaBel Bali
D IY
35
B a n te n B e n gkul u
Lam p u n g
Su m Bar Bali
N TT
N TB
K alSel
25 Su lTra
Ben gku lu
K ep Ri
G or on ta l o JaBar
JaTim Su M u t Su lU t Ban ten
J a m bi JaTen g JaTim K a l Ba r
Su lSel K alBar Jam b i N AD
Su lB ar
20
D IY D KI
JaBar
30
Su m Sel
23.6
G o ro n talo Su lTen g
K e p Ri La m pun g
Riau K alTen g
Ma l uku Ma l U t
BaB el
N AD N TB
M alu ku M alU t
15
K a l Se l K a l Te ng K a l Ti m
N TT P a p Ba r
K alTim P ap Bar
D KI P ap u a
P a p ua Ria u S ul Ba r S ul Se l S ul Te ng S ul Tr a
10 -1
0 1 2 3 4 5 6 Rat a -ra t a pe r uba ha n ra s io a nggar a n pe ndidika n (%)
S ul U t S um B a r S um S e l S uMut
Sumber: Kemenkeu 2007-2010.
Gambar 4.8 Rata-rata rasio anggaran fungsi pendidikan dan tren perubahan menurut provinsi di Indonesia, periode tahun 2007– 2010. 4.3
Kesempatan Kerja menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan Pendidikan yang ditamatkan merupakan salah satu ukuran kualitas sumber
daya manusia (SDM). Semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat, semakin tinggi tingkat kesejahteraannya. Daya saing suatu daerah tidak bisa dipisahkan dari mutu dan kualitas sumber daya manusianya. Indonesia memiliki jumlah penduduk yang besar, yang merupakan salah satu modal dasar pembangunan. Modal dasar yang berkualitas menjadi alat dan tujuan utama pembangunan. Tingginya tingkat pencapaian pendidikan biasanya menyebabkan kesempatan kerja yang lebih besar dan tingkat partisipasi angkatan kerja yang lebih tinggi. Hal ini terutama karena orang yang lebih berpendidikan menempati posisi yang lebih kompetitif di pasar tenaga kerja, dan juga karena orang tersebut telah berinvestasi yang besar dalam modal manusia dan perlu pengembalian atas investasi pendidikan mereka. Gambaran besaran SDM Indonesia dalam kegiatan perekonomian dapat dilihat dari rasio yang bekerja menurut pendidikan yang ditamatkan terhadap total angkatan kerja, disajikan pada Gambar 4.9.
84
40 35 30 25 20 15 10 5 0
%
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
SD
035
034
034
033
035
033
026
027
SMP
018
018
018
017
017
017
017
018
SMU
012
011
011
012
012
013
013
014
SMK
005
006
005
006
005
006
007
008
D I/II/III
002
002
002
002
002
003
002
003
DIV-S1/2/3
002
003
003
003
003
004
004
005
Sumber: BPS 2006c, 2007c, 2008c, 2009c, 2010c.
Gambar 4.9 Perkembangan rasio tingkat kesempatan kerja penduduk usia 15 tahun ke atas menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan di Indonesia, periode tahun 2003–2010. Gambar 4.9 menunjukkan bahwa tingkat kesempatan kerja menurut jenjang pendidikan cenderung semakin kecil sejalan dengan makin meningkatnya jenjang pendidikan. Hal ini juga sejalan dengan angka partisipasi sekolah ke jenjang pendidikan lebih tinggi yang cenderung menurun. Kondisi ini secara umum menunjukkan bahwa taraf pendidikan pekerja di Indonesia sebagian besar masih berpendidikan SD. Namun demikian, perkembangan tingkat kesempatan kerja (TKK) menunjukkan kecenderung yang menurun bagi pekerja tidak lulus SD dan lulusan pendidikan SD dan SMP. Sedangkan TKK bagi lulusan pendidikan menengah dan pendidikan tinggi cenderung meningkat. Semakin besar angka tingkat kesempatan kerja berpendidikan tinggi, semakin baik pula kondisi ketenagakerjaan suatu wilayah. Pembangunan ekonomi yang telah terjadi di Indonesia telah menyebabkan perubahan struktur ekonomi. Apabila terjadi perubahan kondisi perekonomian, secara ekonomi akan berdampak terhadap perubahan struktur ketenagakerjaan. Meski telah terjadi perubahan struktur perekonomian di wilayah Indonesia, namun belum sepenuhnya semua wilayah mampu mengimbangi dengan pergeseran struktur tenaga kerja terampil. Hal ini mengindikasikan bahwa laju pergeseran tenaga kerja di wilayah Indonesia relatif lebih lambat dibanding laju pergeseran perekonomian sektoral (BPS 2010f).
85
Gambar 4.10 menunjukkan rata-rata tingkat kesempatan kerja menurut jenjang pendidikan masing-masing provinsi di Indonesia periode tahun 20062010. Berdasarkan data yang ada, secara umum rasio pekerja dengan pendidikan SMP kebawah lebih dari 53.%, sedangkan rasio pekerja berpendidikan SMA ke atas baru sekitar 38.%. Provinsi dengan rasio pekerja berpendidikan dasar yang relatif besar antara lain Provinsi Kalimantan Tengah, NTT, Lampung, Sulawesi Tengah dan Jawa Tengah. Provinsi-provinsi tersebut mempunyai struktur perekonomian sebagian besar dari sektor pertanian. Sedangkan provinsi dengan rasio pekerja berpendidikan tinggi yang relatif besar antara lain Provinsi Kalimantan Timur, DIY, Papua, DKI dan Kepulauan Riau. Pada provinsi-provinsi ini, struktur perekonomiannya sebagian besar adalah sektor industri dan jasa. Tingkat pendidikan pekerja bisa dianggap sebagai indikator yang mampu mencerminkan kualitas dari para pekerja. Dengan semakin tinggi pendidikan yang ditamatkan dan semakin baik keahlian yang dimiliki angkatan kerja, diharapkan akan dapat mengisi lapangan kerja yang menuntut kualifikasi tertentu atau diharapkan mampu menciptakan lapangan pekerjaan bagi para pekerja lainnya. Kondisi angkatan kerja antarprovinsi di Indonesia masih cukup memprihatinkan jika ditinjau dari tingkat pendidikan, dimana masih tingginya rasio pekerja berpendidikan rendah dan masih rendahnya rasio pekerja berpendidikan tinggi. Gambar 4.11 menyajikan rata-rata perubahan tingkat kesempatan kerja menurut pendidikan selama periode tahun 2006-2010. Terlihat bahwa pekerja dengan pendidikan dasar (SD dan SMP) mengalami penurunan sebesar -2,47 %, atau masing-masing sebesar -2,23.% dan -0,24.%. Artinya bahwa kesempatan kerja atau jumlah tenaga kerja lulusan SD dan SMP semakin menurun. Penurunan tenaga kerja berpendidikan SD relatif besar. Hal ini diduga terkait dengan program wajib belajar 9 tahun, sehingga diharapkan penduduk Indonesia dapat menyelesaikan pendidikan hingga jenjang SMP dan dapat meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Dari gambar tersebut juga terlihat bahwa kesempaan kerja bagi lulusan sekolah menengah mengalami peningkatan dengan rata-rata perubahan sebesar 0,83.%. Demikian pula dengan perubahan kesempatan kerja bagi lulusan pendidikan tinggi mengalami peningkatan, meskipun kesempatan kerja untuk lulusan pendidikan tinggi masih relatif kecil.
86
60 50 40 30 20 10 0
%
039
KALTENG NTT LAMPUNG SULTENG JATENG SUMSEL KALSEL JAMBI JABAR KALBAR JATIM MALUT BENGKULU GORONTALO SULBAR BABEL SULTRA MALUKU NAD SUMUT RIAU SULUT NTB SUMBAR BALI BANTEN SULSEL PAPBAR KALTIM DIY PAPUA DKI KEPRI
T K K
TKK Dasar 60 50 40 30 20 10 0
%
016
KEPRI DKI KALTIM BALI SUMUT SULUT RIAU DIY NAD MALUKU SUMBAR PAPBAR BANTEN BENGKULU BABEL SULTRA JAMBI MALUT SULSEL JABAR SULTENG KALSEL SUMSEL JATIM KALTENG SULBAR NTB LAMPUNG KALBAR GORONTALO JATENG PAPUA NTT
T K K
Rata-rata TKK Dasar IND
60 50 40 30 20 10 0
%
005
DKI DIY BALI KEPRI NAD PAPBAR SUMBAR KALTIM SULSEL SULBAR SULTRA BENGKULU SULUT SULTENG BANTEN RIAU MALUT JABAR KALSEL KALTENG MALUKU JAMBI JATIM GORONTALO NTB JATENG SUMUT BABEL SUMSEL PAPUA KALBAR LAMPUNG NTT
T K K
Rata-rata TKK Menengah IND
010 008 006 006 006
TKK Menengah
TKK Tinggi
Rata-rata TKK Tinggi IND
Sumber: BPS 2006c, 2007c, 2008c, 2009c, 2010c.
Gambar 4.10 Rata-rata tingkat kesempatan kerja menurut pendidikan dan provinsi di Indonesia, periode tahun 2006–2010. 01 01 00 -01 % -01 -02 -02 -03 -03
001
Dasar
Menengah
000 Tinggi
-002 Perubahan TKK IND
Sumber: BPS 2006c, 2007c, 2008c, 2009c, 2010c (diolah).
Gambar 4.11 Rata-rata perubahan tingkat kesempatan kerja menurut pendidikan di Indonesia, periode tahun 2006–2010.
87
4.4
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita Pembangunan ekonomi bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
penduduk. Ukuran keberhasilan pembangunan ekonomi lazim menggunakan PDRB per kapita. Dengan menggunakan PDRB per kapita, ketimpangan pembangunan antardaerah menjadi lebih terukur dan dapat dibandingkan. Pertumbuhan PDRB per kapita tinggi jika di atas 3.% dan rendah jika di bawah 3.% (Tambunan 2009). Gambar 4.12, memperlihatkan perkembangan PDRB per kapita Indonesia selama periode 2006–2010. Selama periode tersebut, PDRB per kapita Indonesia mengalami peningkatan dengan tingkat pertumbuhan rata-rata sebesar 3,85 %, dengan standar deviasi menunjukkan adanya kecenderungan untuk meningkat pula. Hal ini menunjukkan bahwa sebaran PDRB per kapita yang semakin beragam antarprovinsi atau bisa dikatakan semakin timpang. Provinsi-provinsi dengan besaran PDRB tertinggi antara lain adalah Provinsi DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau dan Riau.
DKI
40
PDRB perkapita (Juta Rp)
DKI
DKI
DKI
DKI
KalTim
KalTim
KalTim
30
KalTim
KalTim
KepRi
KepRi
KepRi
KepRi
KepRi
Riau
Riau
Riau
Riau
Riau
20
10
0 dum
9,70
6,79
KBI KTI KAP06
9,91 6,72
KBI KTI KAP07
10,22
6,92
KBI KTI KAP08
10,40 7,17
10,80 7,52
KBI KTI KAP09
KBI KTI KAP10
Sumber: BPS 2006c, 2007c, 2008c, 2009c, 2010c (diolah).
Gambar 4.12 Box plot Perkembangan PDRB per kapita (ADHK 2000) Indonesia, tahun 2006-2010.
88
Jika dilihat berdasarkan kawasan, PDRB per kapita penduduk di Kawasan Barat Indonesia lebih tinggi daripada di Kawasan Timur Indonesia selama periode tersebut.
Tingginya
PDRB
per
kapita
di
Kawasan
Barat
Indonesia
mengindikasikan bahwa perekonomian di Indonesia bagian barat secara relatif lebih baik daripada Indonesia bagian timur. Jika dibandingkan antarProvinsi, DKI Jakarta menduduki posisi pertama di Kawasan Barat Indonesia maupun nasional. Selama periode tahun 2006-2010, rata-rata nilai PDRB per kapita (ADHK 2000) DKI Jakarta sebesar 34,30 juta rupiah. Besarnya PDRB per kapita di DKI Jakarta menunjukkan bahwa perekonomian di ibukota negara jelas lebih baik dibandingkan dengan provinsi lainnya (Gambar 4.13). Pusat aktivitas ekonomi ada di ibukota dengan segala fasilitas pendukungnya seperti kemajuan infrastruktur, fasilitas umum yang mendukung, tingginya kualitas sumberdaya manusia dan fasilitas lainnya. Provinsi dengan tingkat PDRB per kapita di atas rata-rata nasional lainnya yaitu Provinsi Kalimantan Timur, Kepulauan Riau dan Riau. Provinsi-provinsi tersebut merupakan penghasil barang tambang, baik minyak dan gas (migas) maupun non-migas, juga terdapat industri pengolahan. Selanjutnya Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Papua dan Papua Barat, yang memiliki kekayaan sumber daya alam mineral, mempunyai nilai PDRB per kapita sedikit di atas ratarata nasional. Provinsi yang mempunyai nilai PDRB per kapita terendah adalah Nusa Tenggara Timur sebesar 2,38 juta rupiah dan Provinsi Gorontalo sebesar 2,26 juta rupiah. Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu daerah yang relatif tertinggal di Kawasan Timur Indonesia. Rendahnya nilai PDRB per kapita menunjukkan bahwa perekonomian yang ada relatif belum maju dibandingkan dengan provinsi lainnya. Perhatian pemerintah untuk memajukan ekonomi di Nusa Tenggara Timur sangat penting agar kesempatan kerja lebih banyak, pengangguran dapat berkurang dan kesejahteraan penduduk dapat ditingkatkan.
89
008
002 002
5 -5
034 032 023 017 009 009 009 008
25 15
DKI JKT KALTIM KEPRI RIAU NAD PAPUA PABAR BABEL SUMSEL SUMUT JATIM KALSEL KALTIM BANTEN SUMBAR JABAR SULUT BALI KALBAR DIY SULTENG SULSEL JAMBI JATENG LAMPUNG SULTRA BENGKULU NTB SULBAR MALUT MALUKU NTT GORONTALO
Juta (Rp.)
35
Prov
IND
Sumber: BPS 2002a, 2003a, 2004a, 2005a, 2006a, 2007a, 2008a, 2009a, 2010a, 2011.
Gambar 4.13 Rata-rata produk domestik regional bruto per kapita ADHK 2000 menurut provinsi di Indonesia, tahun 2001-2010. Rata-rata laju pertumbuhan PDRB per kapita periode 2001-2010 masingmasing provinsi disajikan pada Gambar 4.14. Provinsi Papua, Kalimantan Timur, NAD dan Riau, memiliki rata-rata pertumbuhan PDRB per kapita negatif yang berarti terjadi penurunan PDRB per kapita. Provinsi-provinsi tersebut merupakan penghasil barang tambang, baik mineral maupun minyak dan gas. Penurunan terbesar di NAD terjadi pada tahun 2005. Konflik internal yang berkepanjangan dan bencana alam tsunami memiliki pengaruh terhadap proses pembangunan di NAD. Selain adanya inflasi, Kalimantan Timur mengalami penurunan output sektor pertambangan dan penggalian. Penutupan beberapa area tambang menjadi penyebabnya.18 Berbeda kondisinya antara Provinsi Papua dengan Provinsi Papua Barat yang memiliki rata-
L a j u %
8,0 6,0 4,0 2,0 ,0 (2,0)
PAPUA KALTIM NAD RIAU KEPRI MALUT MALUKU NTT BALI BANTEN BABEL JABAR JAMBI DIY NTB LAMPUNG KALBAR KALSEL KALTENG SUMSEL DKI SUMBAR SULUT SUMUT JATIM GORONTALO JATENG BENGKULU SULBAR SULTENG SULSEL SULTRA PABAR
rata pertumbuhan PDRB per kapita tertinggi selama periode 2001-2010.
Prov
IND
Sumber: BPS 2002a, 2003a, 2004a, 2005a, 2006a, 2007a, 2008a, 2009a, 2010a 2011.
Gambar 4.14 Rata-rata laju pertumbuhan produk domestik regional bruto per kapita atas dasar harga konstan 2000 menurut provinsi di Indonesia, tahun 2001-2010. 18
http://www.bi.go.id/web/id/Publikasi/Ekonomi_Regional/
90
4.5
Distribusi Pendapatan Dalam
pendapatan
proses
pembangunan
senantiasa
ekonomi,
menyertai
perubahan
pertumbuhan
ketidakmerataan
ekonomi.
Perubahan
ketidakmerataan pendapatan dapat digambarkan dengan perubahan angka indeks gini. Ketidakmerataan pendapatan menurut Oshima (1970 diacu dalam Suhartini 2011) dapat dikelompokkan menjadi tiga berdasarkan angka indeks gini yaitu: 1.
Ketidakmerataan rendah apabila angka indeks gini lebih kecil dari 0,3.
2.
Ketidakmerataan sedang apabila angka indeks gini terletak antara 0,3 - 0,4.
3.
Ketidakmerataan tinggi apabila angka indeks gini lebih besar dari 0,4. Secara umum tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia
termasuk ke dalam kategori rendah, tetapi kecenderungannya sejak tahun 2002 menunjukkan bahwa distribusi pengeluaran penduduk cenderung memburuk. Pada tahun 2002 angka indeks gini tercatat sebesar 0,33 kemudian meningkat menjadi 0,37 pada tahun 2007 dan semakin meningkat pada tahun 2010 menjadi sebesar 0,38 (Gambar 4.15). 000 000 Indeks Gini
000
000 000
000
000
000 000
000
000
000 000
000
000
000
000
2002
2003
2004
000
000
000
000
000
000
000
000
000
000
000
2007
2008
2009
000 000
000
2005
2006
000
000 000 000 000 Kota
Desa
2010
Total
Sumber: BPS 2006c, 2007c, 2008c, 2009c, 2010c.
Gambar 4.15 Perkembangan indeks gini menurut status daerah di Indonesia, periode tahun 2002–2010. Dari Gambar 4.15, terlihat angka indeks gini di perkotaan mengalami fluktuasi dengan nilai yang hampir sama dengan indeks gini nasional. Selama periode tahun 2002-2010, indeks gini daerah perkotaan mengalami peningkatan. Peningkatan tersebut menunjukkan proses redistribusi pendapatan tidak berjalan
91
dengan baik sehingga meningkatkan ketidakmerataan pendapatan. Demikian pula di daerah perdesaan, ketidakmerataan pendapatan juga semakin meningkat. Hal ini ditunjukkan dengan angka indeks gini yang terus meningkat. Ketimpangan pendapatan di perkotaan lebih tinggi dibandingkan di perdesaan. Hal ini terkait dengan banyaknya jenis pekerjaan, luasnya bidang usaha dan jenjang jabatan yang terdapat di perkotaan. Lain halnya di perdesaan dimana lapangan usahanya relatif homogen, sehingga ketimpangan pendapatan juga relatif rendah. Gambar 4.16 menunjukkan perkembangan ukuran statistik deskriptif dari indeks gini tahun 2002–2010. Ketimpangan pendapatan di tingkat provinsi di Indonesia
sangat
beragam,
meskipun
nilai
maksimum
menunjukkan
ketidakmerataan yang tinggi, tetapi secara rata-rata menunjukkan ketidakmerataan sedang. Mulai tahun 2005, nilai rata-rata indeks gini meningkat. Demikian pula dengan standar deviasi yang meningkat menunjukkan sebaran indeks gini yang semakin beragam antarprovinsi.
G i n i
001 000 000 000 000 000 000 000 000 000 000
000 000 000
000 000 000
000
000 2002
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Min.
000
000
000
000
000
000
000
Maks.
000
000
000
000
000
000
000
Rata-rata
000
000
000
000
000
000
000
Std Dev
000
000
000
000
000
000
000
Sumber: BPS 2006c, 2007c, 2008c, 2009c, 2010c.
Gambar 4.16 Statistik deskriptif indeks gini Indonesia, tahun 2002-2010. Rata-rata indeks gini masing-masing provinsi selama periode tahun 2005– 2010, disajikan pada Gambar 4.18. Provinsi Bangka Belitung, Kalimantan Tengah, Nangroe Aceh Darussalam, Jambi, Sumatera Barat dan Kepulauan Riau termasuk sebagai sepuluh provinsi dengan rata-rata indeks gini terendah selama tahun 2005–2010. Sedangkan Provinsi Papua, D.I.Yogyakarta, Jawa Barat, Papua Barat, Sulawesi Selatan dan Gorontalo termasuk provinsi dengan rata-rata indeks gini terbesar, memiliki ketimpangan pendapatan di atas ketimpangan nasional.
92
Meskipun Papua dan Papua Barat menikmati tingkat PDRB per kapita di atas rata-rata nasional, terutama dari industri yang terkait dengan sumber daya alam, namun keberhasilan ekonomi tersebut tidak dinikmati oleh kebanyakan masyarakat Papua. Output sektor pertambangan dan penggalian yang menopang perekonomian Provinsi Papua dan Papua Barat lebih banyak dirasakan oleh sebagian kecil penduduk, diduga berakibat pada meningkatnya ketimpangan. 000 000 000 000 000 000 000 000 000 BABEL KALTENG NAD JAMBI SUMBAR KEPRI MALUKU SUMSEL RIAU KALBAR SUMUT JATIM BENGKULU SULBAR BALI SULTENG SULUT JATENG DKI MALUT NTB KALSEL SULTRA NTT KALTIM LAMPUNG BANTEN PAPUA DIY JABAR PAPBAR SULSEL GORONTALO
I n d e k s
Indeks Gini
IND
Sumber: BPS 2006c, 2007c, 2008c, 2009c, 2010c (diolah).
Gambar 4.17 Rata-rata indeks gini provinsi di Indonesia, tahun 2005–2010. Perubahan distribusi pendapatan dapat dilihat dari perubahan nilai indeks gini, dengan nilai positif maupun negatif. Perubahan positif berarti terjadi peningkatan ketidakmerataan atau distribusi yang semakin timpang, sebaliknya perubahan negatif berarti terjadi penurunan ketidakmerataan. Berdasarkan ratarata pertumbuhan indeks gini periode tahun 2005–2010, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Maluku, Maluku Utara, dan Sulawesi Tengah, mempunyai rata-rata pertumbuhan indeks gini yang besar. Angka ini berarti terjadi ketimpangan yang semakin melebar di provinsi-provinsi tersebut. Sedangkan Provinsi Kepulauan Riau, Jawa Barat, Sulawesi Barat, Kalimantan Tengah, Jawa Tengah, Lampung, Jambi, Papua Barat dan NAD mengalami pertumbuhan indeks gini negatif, yang berarti terjadi penurunan ketimpangan pendapatan di provinsi-provinsi tersebut. Namun demikian, Provinsi Jawa Barat dan Papua Barat masih termasuk provinsi dengan ketimpangan yang tinggi, di atas rata-rata ketimpangan nasional. Berbeda dengan Provinsi Kepulauan Riau yang memang memiliki rata-rata ketimpangan pendapatan yang rendah, di bawah rata-rata nasional selama periode tahun 2005–2010.
93
8,0 6,0 4,0 2,0 ,0 (2,0) (4,0)
KEPRI JABAR SULBAR KALTENG JATENG LAMPUNG JAMBI PAPBAR NAD SULUT SULSEL BENGKULU KALTIM PAPUA JATIM SUMUT SUMBAR SUMSEL BABEL KALBAR RIAU SULTRA DKI BALI GORONTALO BANTEN KALSEL DIY MALUKU MALUT NTT NTB SULTENG
%
Pertumbuhan indeks gini
IND
Sumber: BPS 2006c, 2007c, 2008c, 2009c, 2010c (diolah).
Gambar 4.18 Rata-rata pertumbuhan indeks gini menurut provinsi di Indonesia, periode tahun 2005–2010. 4.6
Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Indonesia sebagai negara sedang berkembang dengan penduduk terpadat
keempat di dunia, mempunyai salah satu permasalahan utama yaitu kemiskinan. Kemiskinan merupakan fenomena yang kompleks dan bersifat multidimensi. Luasnya wilayah dan keragaman sosial-budaya maupun ekonomi masyarakat menyebabkan kondisi dan permasalahan kemiskinan di Indonesia menjadi sangat beragam dengan sifat-sifat lokal yang heterogen. Konsep definisi penduduk miskin yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan konsep kemiskinan dari BPS. Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach).
Dengan
pendekatan
ini,
kemiskinan
dipandang
sebagai
ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Menurut pendekatan ini, penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita perbulan dibawah garis kemiskinan. Besar kecilnya jumlah penduduk miskin sangat dipengaruhi oleh garis kemiskinan. Garis kemiskinan adalah nilai uang yang harus dikeluarkan seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidup minimumnya, yaitu kebutuhan hidup minimum makanan (konsumsi pengeluaran per kapita perbulan yang setara dengan 2100 kilokalori per kapita per hari) ditambah dengan nilai kebutuhan minimum konsumsi bukan makanan. Jadi, Garis Kemiskinan (GK) merupakan penjumlahan
94
dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dan konsumsi lainnya). Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non-makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di pedesaan. BPS menetapkan garis kemiskinan menggunakan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Panel Modul Konsumsi dan Kor sebagai sumber data utama. Setiap tahun, besarnya garis kemiskinan berubah disesuaikan dengan perkembangan harga paket komoditi yang menjadi acuan dalam penentuan garis kemiskinan. Penyesuaian pengeluaran per kapita dilakukan secara terpisah antara daerah perkotaan dan perdesaan karena keduanya memiliki garis kemiskinan yang berbeda dan agar diperoleh keterbandingan antarprovinsi dan antarwaktu. Rata-rata garis kemiskinan di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya (Gambar 4.19). Hal ini akibat naiknya harga barang-barang kebutuhan pokok yang juga digambarkan oleh inflasi umum. Sepanjang tahun 2000–2010, tingkat inflasi Indonesia pada tingkat nasional maupun pada tataran provinsi selalu bernilai positif (Subekti 2010). Dari Gambar 4.19, terlihat peningkatan nilai
Rp.,-
standar deviasi yang berarti menunjukkan keragaman di tingkat provinsi. 400.000 350.000 300.000 250.000 200.000 150.000 100.000 50.000 0
355.480 267.177
108.781 94.076 83.828 6.451
194.161 46.800
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Min.
Maks.
Rata-rata
Std Dev
Sumber: BPS 2002a, 2003a, 2004a, 2005a, 2006a, 2007a, 2008a, 2009a, 2010a, 2011 (diolah).
Gambar 4.19 Statistik deskriptif garis kemiskinan Indonesia, tahun 20002011.
95
Rata-rata garis kemiskinan tertinggi selama periode tahun 2000–2011 antara lain di Provinsi Papua, Papua Barat, Bangka Belitung, Kepulauan Riau dan DKI Jakarta. Sementara, provinsi dengan rata-rata garis kemiskinan terendah antara lain adalah Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Nusa Tenggara Timur. Hal menarik dari data ini adalah bahwa pada beberapa provinsi dengan rata-rata garis kemiskinan tergolong tinggi seperti Provinsi Bangka Belitung, DKI Jakarta dan Kepulauan Riau, namun demikian tingkat kemiskinannya tergolong rendah. Sedangkan Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat meskipun rata-rata garis kemiskinannya tergolong rendah, namun rata-rata tingkat kemiskinannya masih cukup tinggi. Berbeda dengan Provinsi Papua Barat dimana rata-rata garis kemiskinannya tinggi, begitu pula dengan rata-rata tingkat kemiskinannya yang tinggi. Gambar 4.20 di bawah ini menyajikan rata-rata garis kemiskinan dan rata-rata persentase penduduk miskin menurut provinsi di Indonesia selama periode tahun 2000–2011. -30 245 -20 (%) -10
145
Rp. 000,-
-55 -155
Papua Maluku NTB Pabar NTT Gorontalo NAD DIY Lampung Bengkulu Jateng Jatim Sulteng Sumsel Sultra Sulbar Jambi Kalbar Jabar Sumut Sulsel Kaltim Sumbar Riau Malut Sulut Banten Kepri Babel Kalteng Kalsel Bali DKI
45 0 10 20
-255 30
-355 Garis Kemiskinan (GK)
Tingkat Kemiskinan (TK)
Rata-rata GK Nas
Rata-rata TK Nasional
Sumber: BPS 2002b, 2003b, 2004b, 2005b, 2006b, 2007b, 2008b, 2009b, 2010b, 2011 (diolah).
Gambar 4.20 Rata-rata garis kemiskinan dan rata-rata persentase penduduk miskin menurut provinsi di Indonesia, periode tahun 20002011. Hal ini terkait dengan harga barang-barang konsumsi dan tingkat pendapatan per kapita di masing-masing provinsi. Di Provinsi Bangka Belitung, DKI Jakarta dan Kepulauan Riau, meskipun tingkat harga relatif mahal (IHK umum 2009 ≈ 119) namun pendapatan per kapita masyarakat juga relatif tinggi
96
berkisar antara Rp..8.juta.–.Rp..34.juta (dengan indeks gini 2009 = 0,31). Sedangkan di Provinsi NTB dan NTT, meskipun harga barang-barang relatif murah (IHK umum 2009 ≈ 116), namun tingkat pendapatannya pun masih rendah sekitar Rp..2.juta.–.Rp..3,5.juta (dengan indeks gini 2009 = 0,39). Lain halnya dengan Provinsi Papua dan Papua Barat, meskipun pendapatan per kapita relatif tinggi, sekitar Rp..8.juta.–.Rp..9.juta (dengan indeks gini 2009 = 0,38), tetapi harga barang-barang disana tergolong mahal (IHK umum 2009 ≈ 130). Beberapa hal tersebut menjadi faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat kemiskinan di Provinsi Papua Barat dan Nusa Tenggara Timur. Hal ini bisa menunjukkan adanya ketimpangan antarprovinsi dan juga perbedaan kondisi kemiskinan di Indonesia. Menurut berita resmi statistik mengenai kemiskinan, komoditi yang paling penting bagi penduduk miskin adalah beras. Selain beras, komoditi makanan lain yang berpengaruh besar terhadap garis kemiskinan adalah gula pasir, rokok kretek filter, minyak kelapa, telur, dan mie instant. Untuk komoditi bukan makanan, biaya perumahan dan pendidikan mempunyai peranan yang cukup besar terhadap garis kemiskinan, baik di perdesaan maupun di perkotaan. Biaya untuk listrik, angkutan dan bahan bakar minyak mempunyai pengaruh yang cukup besar untuk daerah perkotaan, sementara untuk daerah perdesaan pengaruhnya relatif kecil. 40
34,88
35 30 25 (%) 20
22,81 18,25 11,74
15 10
7,97
5,22
4,96
3,75
5 0
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Min.
Maks.
Rata-rata
Std Dev
Sumber: BPS 2002b, 2003b, 2004b, 2005b, 2006b, 2007b, 2008b, 2009b, 2010b, 2011 (diolah).
Gambar 4.21 Statistik deskriptif persentase penduduk miskin Indonesia, 2000-2011.
97
Berdasarkan ukuran statistik deskriptif yang diperoleh, secara rata-rata persentase penduduk miskin Indonesia cenderung menurun selama tahun 20002011. Demikian juga dengan nilai standar deviasinya yang cenderung menurun, yang berarti terjadi penurunan persentase penduduk miskin di tingkat provinsi. Gambar 4.22 memperlihatkan rata-rata tingkat kemiskinan masing-masing provinsi selama periode tahun 1999–2011. Dapat dilihat, terdapat sebanyak 15 provinsi dengan rata-rata tingkat kemiskinan berada di atas rata-rata tingkat kemiskinan nasional, yang tersebar di wilayah pulau Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua. 30 25 20
017
% 15 5
030 026 026 026 025 023 022 022 021 020 020 019 019 019 017 016 014 014 014 014 013 013 011 011 011 010 010 010 009 009 008 007 002
10
PAPUA MALUKU NTB PABAR NTT GORONTALO DIY LAMPUNG BENGKULU JATENG JATIM SULTENG SUMSEL NAD SULTRA SULBAR JAMBI KALBAR JABAR SUMUT SULSEL KALTIM SUMBAR RIAU MALUT SULUT BANTEN KEPRI BABEL KALTIM KALSEL BALI DKI
0
Tingkat Kemiskinan
Rata-rata Nasional
Sumber: BPS, diolah.
Gambar 4.22 Rata-rata persentase penduduk miskin menurut provinsi, periode tahun 1999–2011. Jumlah dan persentase penduduk miskin pada periode tahun 1999–2010 di masing-masing provinsi berfluktuasi dari tahun ke tahun, dengan kecenderungan menurun hingga tahun 2005. Sempat terjadi kenaikan persentase penduduk miskin pada tahun 2006, yang disebabkan dampak kenaikan harga bahan bakar minyak yang memicu kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok. Dampak kenaikan harga barang-barang ini lebih besar pengaruhnya terhadap kemiskinan di daerah perkotaan, seperti terjadi di Kalimantan Tengah, DKI Jakarta, Sulawesi Utara dan Kalimantan Selatan. Selanjutnya, selama periode tahun 2006–2011, persentase penduduk miskin di masing-masing provinsi cenderung menurun. Provinsi yang mengalami tingkat penurunan terbesar selama periode tahun 1999–2011 adalah seluruh provinsi di
98
pulau Kalimantan dan Provinsi Jambi. Sedangkan Provinsi DKI Jakarta dan Kepulauan Riau, dimana tingkat kemiskinannya tergolong rendah, lambat dalam penurunan kemiskinan. Kemungkinan kemiskinan yang terdapat di provinsi tersebut tergolong dalam kemiskinan kronis. Sehingga perlu penanganan yang lebih komprehensif dalam jangka panjang dan konsisten untuk menanggulangi kemiskinan di provinsi-provinsi tersebut. Lain halnya dengan Provinsi Papua Barat, dimana tingkat kemiskinannya tinggi dan proses pengurangan kemiskinan masih lambat. Tantangan utama dalam pengentasan kemiskinan di Papua Barat antara lain, peluang ekonomi yang terbatas dan tingkat pendidikan yang rendah (UNDP 2005). Gambar 4.23 memperlihatkan perubahan persentase penduduk miskin masing-masing provinsi selama tahun 1999–2011. Dari Gambar 4.22 dan Gambar 4.23, dapat dilihat bahwa Provinsi Sulawesi Barat dan Kalimantan Barat, meskipun memiliki rata-rata tingkat kemiskinan di bawah rata-rata nasional, masih dapat menurunkan tingkat kemiskinan di atas rata-rata pertumbuhan kemiskinan nasional. Selain itu, beberapa provinsi dengan rata-rata tingkat kemiskinan relatif tinggi, seperti Provinsi Papua, Papua Barat, Maluku, NTB, NTT, Sulawesi Tengah, Jawa Timur, Jawa Tengah dan NAD, juga mengalami penurunan tingkat kemiskinan diatas rata-rata perubahan kemiskinan nasional. Hal ini dimungkinkan karena keberhasilan program-program pengentasan kemiskinan di provinsi bersangkutan selama periode tersebut. Meskipun tingkat kemiskinan di provinsi tersebut sampai sekarang masih tergolong tinggi. Provinsi NAD mengalami perubahan persentase penduduk miskin tertinggi. Hal ini dapat dikaitkan dengan rehabilitasi yang dilakukan pasca bencana tsunami dan gempa bumi yang menimpa masyarakat Aceh pada tahun 2004, yang sebelumnya juga telah mengalami penderitaan sebagai dampak dari konflik yang berkepanjangan selama 30 tahun. Bencana dan konflik telah menyebabkan terganggunya program pengentasan kemiskinan pasca krisis ekonomi (Bank Dunia 2008). Sedangkan Provinsi DKI Jakarta dan Kepulauan Riau, penurunan kemiskinan yang kecil karena tingkat kemiskinannya rendah.
000 -001
NAD SulBar JaTim NTB PapBar SulTeng SulTra Goron Papua KalBar JaTeng Beng SumSel NTB Maluku KalTim Lamp BaBel KalTeng SumUt MalUt Riau SulSel SumBar SulUt JaBar KepRi DIY Jambi Banten KalSel Bali DKI
99
(001)
% -001 -002 -002 Perubahan
Rata-rata Perubahan
Sumber: BPS, diolah.
Gambar 4.23 Rata-rata perubahan persentase penduduk miskin menurut provinsi, tahun 1999–2011. Kondisi berbagai daerah di Indonesia baik dari aspek geografis, sosial budaya, ekonomi serta infrastruktur dasar sangat mempengaruhi karakteristik kemiskinan suatu wilayah. Kondisi geografis sangat mempengaruhi perilaku penduduk. Penduduk yang tinggal di daerah terpencil dan terisolasi akan mengalami kesulitan untuk mengakses layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan. Sehingga, kualitas sumber daya manusia dan produktivitas mereka di daerah terpencil akan rendah. Produktivitas yang rendah akan berkaitan dengan pendapatan yang mereka terima sehingga mereka akan kesulitan memenuhi kebutuhan hidup secara layak dan kemiskinan akan sulit untuk diturunkan. Faktor lain yang menjadi penghambat pengentasan kemiskinan adalah keterbatasan kapasitas individu. Pada konteks tersebut, maka strategi penanggulangan kemiskinan yang ditempuh tidak dapat bersifat seragam, karena masalah dan tantangan kemiskinan yang dimiliki oleh suatu daerah berbeda dengan daerah lainnya.
Halaman ini sengaja dikosongkan
100
V.
5.1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Kaitan Variabel Bebas dengan Tingkat Kemiskinan
5.1.1 Kaitan Angka Melek Huruf dengan Tingkat Kemiskinan Jika dilihat berdasarkan Scatter-Plot data antara angka melek huruf dan tingkat kemiskinan di Indonesia selama periode tahun 2007-2010, terjadi hubungan negatif. Artinya, semakin tinggi angka melek huruf maka tingkat kemiskinan akan semakin kecil.
Gambar 5.1
Scatter-plot antara angka melek huruf dan persentase penduduk miskin di Indonesia, tahun 2007–2010.
Kegiatan membaca merupakan kunci memasuki dunia pengetahuan yang luas. Membaca merupakan proses awal dalam sebuah perubahan menuju masyarakat bangsa yang maju. Membaca akan mempermudah seseorang untuk memahami informasi terkait bidang kerja dan berbagai aspek lain menyangkut peningkatan kualitas hidup. Sedangkan buta aksara merupakan masalah yang sangat
terkait
dengan
kemiskinan,
keterbelakangan,
kebodohan
serta
ketidakberdayaan masyarakat. Sehingga dengan angka melek huruf yang semakin meningkat, diharapkan efek positifnya secara tidak langsung dapat berpengaruh terhadap pengurangan kemiskinan. Pemanfaatan pengetahuan dari kegiatan membaca, sekiranya dapat mengembangkan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat.
101
102
5.1.2 Kaitan Angka Partisipasi Sekolah dengan Tingkat Kemiskinan Berdasarkan plot data antara angka partisipasi sekolah (APS) penduduk umur 7–24 tahun dan tingkat kemiskinan di Indonesia selama periode tahun 20072010, terjadi hubungan positif. Artinya, makin tinggi APS maka tingkat kemiskinan semakin tinggi.
Gambar 5.2
Scatter-plot antara angka partisipasi sekolah umur 7-24 tahun dan persentase penduduk miskin di Indonesia, tahun 2007–2010.
Hubungan positif ini dimungkinkan karena adanya beban biaya pendidikan. Seperti diketahui bahwa pendidikan merupakan kegiatan konsumsi dan sekaligus kegiatan investasi. Dalam mengenyam pendidikan memerlukan biaya langsung maupun biaya tak langsung. Biaya langsung terkait biaya operasional penyelenggaraan pendidikan. Sementara biaya tak langsung pendidikan, terkait dengan pendapatan yang hilang ketika anak berpartisipasi dalam pendidikan. Bagi seseorang yang memutuskan untuk melanjutkan pendidikan, mereka akan mengorbankan waktu untuk mendapatkan penghasilan yang tidak akan diperolehnya karena bersekolah, yang dianggap sebagai biaya tidak langsung pendidikan (opportunity cost). Masyarakat miskin mengandalkan anak-anaknya untuk dapat membantu memperoleh tambahan penghasilan. Jika anak keluarga miskin bersekolah, maka mereka akan kehilangan peluang mendapatkan tambahan penghasilan dan juga akan terbebani dengan biaya-biaya langsung lainnya selama bersekolah, selain beban biaya hidup lain yang harus ditanggung oleh masyarakat miskin tersebut.
103
5.1.3 Kaitan Rata-rata Lama Sekolah dengan Tingkat Kemiskinan Jika dilihat berdasarkan plot data antara rata-rata lama sekolah dan tingkat kemiskinan selama periode tahun 2007-2010 di Indonesia, terjadi hubungan negatif. Artinya, semakin tinggi rata-rata lama sekolah maka tingkat kemiskinan akan makin kecil.
Gambar 5.3
Scatter-plot antara rata-rata lama sekolah dan persentase penduduk miskin di Indonesia, tahun 2007–2010.
Rata-rata lama sekolah adalah jumlah tahun belajar penduduk usia 15 tahun ke atas yang telah diselesaikan dalam pendidikan formal (tidak termasuk tahun yang mengulang). Variabel rata-rata lama sekolah mengukur stok atau persediaan modal manusia yang terbentuk saat ini. Tingginya angka rata-rata lama sekolah menunjukkan jenjang pendidikan yang pernah/sedang diduduki oleh seseorang. Semakin tinggi angka RLS maka semakin lama/tinggi jenjang pendidikan yang ditamatkannya. Data ini dapat digunakan untuk melihat kualitas penduduk dalam hal mengenyam pendidikan formal. Semakin tinggi pendidikan seseorang, diasumsikan kualitas dan produktivitasnya semakin meningkat. Dengan semakin meningkatnya kualitas dan produktivitas seseorang, diharapkan peluang untuk mendapatkan pekerjaan atau menciptakan lapangan pekerjaan menjadi semakin tinggi, sehingga bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan, serta berdampak dalam mengurangi kemiskinan.
104
5.1.4 Kaitan Rasio Kemiskinan
Anggaran
Fungsi
Pendidikan
dengan
Tingkat
Berdasarkan plot data antara rasio anggaran fungsi pendidikan dan tingkat kemiskinan di Indonesia selama periode tahun 2007-2010, terjadi hubungan positif. Artinya, semakin tinggi rasio anggaran fungsi pendidikan maka tingkat kemiskinan akan makin kecil.
Gambar 5.4
Scatter-plot antara rasio anggaran fungsi pendidikan dan persentase penduduk miskin di Indonesia, tahun 2007–2010.
Peranan pemerintah adalah sebagai penyedia barang publik dalam kaitannya dalam peran alokasi, peran distribusi, dan peran stabilisasi. Salah satu upaya yang bisa dilakukan pemerintah dalam mengatasi permasalahan kemiskinan adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui peningkatan kualitas pembangunan manusia, antara lain melalui pendidikan. Akhir-akhir ini, ditengarai semakin besar kepedulian pemerintah dalam memajukan bidang pendidikan. Salah satu
upaya
adalah
memenuhi
amanat
amandemen
UUD
1945
untuk
mengalokasikan anggaran minimal 20 % dari APBN dan APBD untuk bidang pendidikan –selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan. Dengan meningkatnya alokasi pengeluaran pemerintah di sektor pendidikan, maka akan meningkatkan produktivitas penduduk. Peningkatan produktivitas ini, pada gilirannya
mampu
meningkatkan pertumbuhan
berdampak pada penurunan angka kemiskinan.
ekonomi
sehingga
akan
105
5.1.5 Kaitan Tingkat Kesempatan Kerja menurut Jenjang dengan Tingkat Kemiskinan
Pendidikan
Berdasarkan plot data antara tingkat kesempatan kerja jenjang pendidikan dasar dengan tingkat kemiskinan di Indonesia selama periode tahun 2007-2010, terjadi hubungan positif. Artinya, semakin tinggi tingkat kesempatan kerja lulusan SD dan SMP, maka tingkat kemiskinan di Indonesia akan semakin besar.
Gambar 5.5
Scatter-plot antara tingkat kesempatan kerja pendidikan dasar dan persentase penduduk miskin di Indonesia, tahun 2007–2010.
Selanjutnya, berdasarkan plot data antara tingkat kesempatan kerja jenjang pendidikan menengah dengan tingkat kemiskinan di Indonesia selama periode tahun 2007-2010, terjadi hubungan negatif. Artinya, semakin tinggi tingkat kesempatan kerja lulusan SMU dan SMK, maka tingkat kemiskinan di Indonesia akan semakin turun.
Gambar 5.6
Scatter-plot antara tingkat kesempatan kerja menurut jenjang pendidikan menengah dengan persentase penduduk miskin di Indonesia, tahun 2007–2010.
106
Demikian pula halnya dengan plot data antara tingkat kesempatan kerja jenjang pendidikan tinggi dengan tingkat kemiskinan di Indonesia selama periode tahun 2007-2010, terjadi hubungan negatif. Artinya, semakin tinggi tingkat kesempatan kerja lulusan diploma dan strata, maka tingkat kemiskinan di Indonesia akan semakin turun.
Gambar 5.7
Scatter-plot antara tingkat kesempatan kerja pendidikan tinggi dan persentase penduduk miskin di Indonesia, tahun 2007–2010.
Menurut teori pertumbuhan endogen, pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh besarnya modal dan tenaga kerja, serta oleh akumulasi modal manusia melalui pertumbuhan teknologi. Akumulasi modal manusia merupakan akumulasi dari pendidikan dan pelatihan. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan ketrampilan penduduk menunjukkan semakin tinggi modal manusia. Secara umum, semakin berpendidikan seseorang maka akan lebih produktif bila dibandingkan dengan yang tidak berpendidikan. Jika tingkat pendidikan lebih tinggi maka akses ke dunia kerja menjadi lebih mudah dan dapat memperoleh posisi yang lebih baik, sehingga tingkat pendapatannya semakin baik. Pertumbuhan ekonomi yang telah terjadi di Indonesia selama ini telah menyebabkan perubahan struktur perekonomian. Namun, perubahan struktur perekonomian tersebut belum sepenuhnya mampu diimbangi dengan pergeseran struktur tenaga kerja. Menurut data BPS, penyerapan tenaga kerja hingga Februari 2010 masih didominasi oleh pekerja berpendidikan dasar ke bawah (77,20.%). Pekerja berpendidikan tinggi hanya sekitar 2,77.% untuk diploma dan 6,43.% berpendidikan strata (BPS 2010g).
107
Disamping itu, karakteristik kemiskinan menurut tingkat pendidikan tertinggi kepala rumah tangga miskin (KRTM) yang bekerja, antara lain: 90,65.% KRT miskin yang bekerja adalah berpendidikan dasar ke bawah dan KRT miskin yang bekerja berpendidikan menengah atau pendidikan tinggi masing-masing sebesar 8,86.% dan 0,49.% (BPS 2010h). Berdasarkan informasi data tersebut, secara umum mengindikasikan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan terakhir kepala rumahtangga, semakin kecil kemungkinan rumahtangga tersebut jatuh ke dalam kemiskinan.
5.1.6 Kaitan PDRB per kapita dengan Tingkat Kemiskinan Berdasarkan plot data antara PDRB per kapita dan tingkat kemiskinan di Indonesia selama periode tahun 2007-2010, terjadi hubungan negatif. Artinya, semakin tinggi PDRB per kapita maka tingkat kemiskinan akan makin kecil.
Gambar 5.8
Scatter-plot antara PDRB per kapita dan persentase penduduk miskin di Indonesia, tahun 2007–2010.
Pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita merupakan indikator perekonomian
yang
sering dipakai untuk mengukur
kemakmuran dan
kesejahteraan suatu bangsa. Secara umum, kinerja perekonomian Indonesia selama periode tahun 2007-2010 menunjukkan peningkatan. Selama periode tersebut, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 6.% dan rata-rata pertumbuhan pendapatan per kapita sekitar 4.%. Dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dapat berdampak terhadap peningkatan pendapatan. Meningkatnya pendapatan per kapita diharapkan dapat membantu untuk keluar dari kemiskinan.
108
5.1.7 Kaitan Indeks Gini dengan Tingkat Kemiskinan Jika dilihat berdasarkan plot data antara indeks gini dan tingkat kemiskinan selama periode tahun 2007-2010 di Indonesia, terjadi hubungan positif. Artinya, semakin tinggi indeks gini maka tingkat kemiskinan akan semakin besar.
Gambar 5.9
Tingkat
Scatter-plot antara indeks gini dan persentase penduduk miskin di Indonesia, tahun 2007–2010.
kemiskinan erat
kaitannya dengan ketimpangan distribusi
pendapatan. Distribusi pendapatan suatu daerah dapat menentukan bagaimana pendapatan daerah mampu menciptakan perubahan-perubahan dan perbaikanperbaikan dalam masyarakat, khususnya dalam mengurangi kemiskinan. Distribusi pendapatan yang tidak merata, tidak akan menciptakan kemakmuran secara umum, tetapi hanya menciptakan kemakmuran bagi golongan tertentu saja. Menurut Todaro dan Smith (2006) ketimpangan pendapatan yang ekstrem menyebabkan inefisiensi ekonomi. Penyebabnya adalah ketimpangan yang semakin tinggi akan menyebabkan semakin kecil bagian populasi yang memenuhi syarat untuk mendapat kredit pinjaman. Masyarakat yang tidak dapat meminjam uang, pada umumnya tidak dapat menyediakan pendidikan atau memulai bisnis. Tingkat ketimpangan yang tinggi akan memberikan kontribusi kepada tingkat kemiskinan yang tinggi pula. Oleh karena itu, kebijakan pembangunan yang memperbaiki distribusi pendapatan –dan juga meningkatkan pertumbuhan ekonomi– merupakan prioritas penting dalam menanggulangi kemiskinan.
109
5.2
Hasil Evaluasi Model Peran Pendidikan terhadap Kemiskinan Untuk mengidentifikasi peran pendidikan di Indonesia secara keseluruhan
terhadap kemiskinan, digunakan analisis data panel. Model ini didekati melalui tiga indikator utama, seperti angka melek huruf, angka partisipasi sekolah dan rata-rata lama sekolah. Model ini menyertakan variabel rasio anggaran fungsi pendidikan terhadap total APBD sebagai pendekatan pengeluaran publik bidang pendidikan. Persamaan menggunakan data dari 33 provinsi di seluruh Indonesia pada periode tahun 2007 sampai 2010. Dalam penelitian ini, sebagian besar variabel yang digunakan dalam satuan persentase. Adapun untuk variabel dengan satuan bukan persentase, digunakan nilai logaritma untuk menghilangkan pengaruh perbedaan satuan pengukuran atau bebas satuan. Nilai koefisien regresi bisa bernilai positif atau negatif. Jika nilai koefisien β bertanda positif artinya peningkatan variabel bebas sebesar 1.% akan meningkatkan variabel tak bebas sebesar β.%. Jika nilai koefisien β bertanda negatif, artinya peningkatan variabel bebas sebesar 1.% akan menurunkan variabel tak bebas sebesar β.%. Pengujian pertama adalah mengestimasi pengaruh pendidikan secara keseluruhan di Indonesia. Variabel yang digunakan adalah: angka melek huruf penduduk umur 15 tahun ke atas, angka partisipasi sekolah penduduk umur 7-24 tahun, rata-rata lama sekolah penduduk umur 15 tahun ke atas, dan rasio anggaran fungsi pendidikan terhadap total APBD. Pemilihan model regresi terbaik dilakukan untuk mendapatkan hasil estimasi yang baik. Proses ini dilakukan dengan membandingkan model efek tetap (fixed effect model - FEM) dengan model efek acak (random effect model - REM) menggunakan uji Hausman. Statistik uji Hausman mengikuti distribusi statistik Chi-Square dengan derajat bebas sejumlah variabel bebas, dengan hipotesis: H0: E i | xit 0 Tidak ada korelasi antara komponen error dengan peubah bebas. H1: E i | xit 0 Ada korelasi antara komponen error dengan peubah bebas.
110
Jika H0: diterima, maka dipilih model efek acak atau REM. Jika model yang terpilih adalah model efek acak maka model diasumsikan best linier unbiased estimator (BLUE) dan tidak perlu dilakukan pengujian terhadap tiga asumsi utama
model
BLUE
(non-multicolinierity,
homoskedasticity,
dan
non-
autocorelation). Hal ini dikarenakan dua alasan, yaitu: (i) sifat data panel adalah bebas dari gejala multikolinieritas; dan (ii) REM adalah model generalized least square (GLS), dan estimasi dengan menggunakan GLS secara otomatis sudah terbebas dari gejala autokorelasi, bahkan terbebas dari gejala heteroskedastisitas yang disebabkan variasi sisaannya konstan (Gujarati 2004). Jika H0: ditolak, maka dipilih model efek tetap atau FEM. Jika model yang terpilih adalah model efek tetap maka perlu dilakukan beberapa uji asumsi, khususnya uji homoskedasitas dan uji autokorelasi. Pengujian berbagai asumsi dasar terhadap metode FEM sebagai model terpilih, dilakukan untuk memperoleh hasil estimasi yang BLUE (best linear unbiased estimator). Asumsi yang harus dipenuhi dalam persamaan regresi adalah semua error mempunyai varian yang sama (σ2 konstan) yang disebut dengan homoskedastisitas dan mengasumsikan tidak terjadi autokorelasi antarobservasi dalam satu peubah atau antara error masa yang lalu dengan error masa sekarang. Berdasarkan informasi hasil penelitian, menunjukkan bahwa persamaan peran pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia menunjukkan bahwa FEM lebih baik dibandingkan dengan REM. Hal ini terlihat dari nilai peluang Chisquare untuk persamaan tersebut yaitu sebesar 0,0058 yang lebih kecil dari taraf nyata 1.%. Nilai peluang ini memiliki arti bahwa data pengamatan cukup bukti untuk menolak hipotesis nol bahwa tidak ada korelasi antara komponen error dengan peubah bebas. Berdasarkan hasil estimasi, ditemukan adanya heteroskedastisitas pada model, terlihat dari jumlah kuadrat sisaan (sum square residual) pada weighted statistics lebih kecil daripada unweighted statistics. Pengujian berikutnya berupa pendeteksian gejala autokorelasi pada model. Berdasarkan hasil uji statistik Durbin-Watson (DW) diperoleh nilai DW-hitung pada unweighted statistics persamaan tersebut terletak di antara nilai dL dan dU (Lampiran 2). Hasil ini menandakan tidak dapat menentukan autokorelasi pada model tersebut. Sehingga
111
estimasi perlu dilakukan menggunakan metode fixed effect GLS dengan crosssection weights dan seemingly unrelated regressions (SUR) untuk mengatasi kedua pelanggaran asumsi tersebut. Melalui angka R-squared sebesar 0,9961 dapat dinyatakan bahwa variasi naik turunnya tingkat kemiskinan di Indonesia sebesar 99,61.% disebabkan oleh variasi naik turunnya variabel-variabel bebas pada model. Sedangkan sisanya sebesar 0,39.% diakibatkan faktor-faktor lain yang tidak disertakan dalam model, namun ditampung dalam variabel gangguan acak. Secara serentak, terlihat pula bahwa model yang diestimasi ini sangat signifikan pada taraf nyata α = 1.%, atau dengan melihat besaran nilai probabilitas statistik uji F p-value = 0,0000.
Setelah dilakukan pengujian dan diperoleh metode dan model yang paling sesuai, maka dilakukan estimasi dari persamaan tersebut. Estimasi dilakukan untuk mengetahui besarnya pengaruh setiap variabel bebas terhadap variabel tidak bebas. Tabel 5.1 menyajikan hasil estimasi model peran pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia. Tabel 5.1 Hasil estimasi model peran pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia, tahun 2007-2010 Variabel tidak bebas: Persentase penduduk miskin (POV100)
Variabel Bebas
Koefisien
Probabilita (p-value)
C
0,3190
0,0690
***
AMH
-0,2725
0,0430
**
APS
-0,3104
0,0002
*
LOG(RLS)
-0,1318
0,0000
*
R-EDUA
-0,1845
0,0000
*
R-squared
0,9961
Adjusted R-squared
0,9946
Prob (F-statistic)
0,0000
Keterangan : * : signifikan pada taraf nyata 1 persen ** : signifikan pada taraf nyata 5 persen
***
: signifikan pada taraf nyata 10 persen
112
5.2.1 Angka Melek Huruf (AMH) Berdasarkan nilai probabilita statistik uji, dapat dikatakan bahwa secara statistik koefisien regresi variabel angka melek huruf yang diestimasi di Indonesia terindikasi signifikan pada taraf nyata α = 5.%. Dapat dikatakan bahwa angka melek huruf memiliki pengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia. Dengan koefisien sebesar -0,27 dapat diartikan bahwa jika angka melek huruf meningkat 1.%, maka persentase penduduk miskin di Indonesia akan berkurang sebesar 0,27.%, ceteris paribus. Hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesis yang diharapkan dan memperkuat hasil penelitian sebelumnya oleh Tilak (1989). Tilak menemukan bahwa angka melek huruf dan tingkat kemiskinan dinyatakan berhubungan negatif. Menurut Tilak, ketika tingkat melek huruf penduduk meningkat, proporsi penduduk miskin di pedesaan mengalami penurunan, tetapi pengaruhnya tidak signifikan di perkotaan. Banyak analis kebijakan menganggap angka melek huruf adalah tolak ukur penting dalam mempertimbangkan kemampuan sumber daya manusia di suatu daerah. Hal ini didasarkan pada pemikiran yang beranggapan bahwa melatih orang yang mampu baca-tulis jauh lebih mudah dan murah daripada melatih orang yang buta huruf. Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa membaca merupakan proses awal dalam memasuki dunia pengetahuan, sehingga akan mempermudah seseorang untuk memahami informasi terkait bidang kerja dan berbagai aspek lain menyangkut peningkatan kualitas hidup. Kemampuan baca-tulis dianggap penting karena melibatkan pembelajaran berkelanjutan oleh seseorang sehingga orang tersebut dapat mencapai tujuannya, dimana hal ini terkait langsung bagaimana seseorang mendapatkan pengetahuan, menggali potensinya, dan berpartisipasi dalam masyarakat secara lebih luas. Pada umumnya orang-orang yang mampu baca-tulis memiliki status sosial ekonomi, kesehatan, dan prospek meraih peluang kerja yang lebih baik. Argumentasi para analis kebijakan juga menganggap kemampuan baca-tulis juga berarti peningkatan peluang kerja dan akses yang lebih luas pada pendidikan yang lebih tinggi.
113
5.2.2 Angka Partisipasi Sekolah (APS) Berdasarkan nilai probabilita statistik uji, variabel angka partisipasi sekolah kelompok umur 7-24 tahun berpengaruh signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia. Secara statistik koefisien regresi variabel angka partisipasi sekolah yang diestimasi terindikasi sangat signifikan pada taraf nyata α = 1.%. Dapat dikatakan bahwa angka partisipasi sekolah kelompok umur 7-24 tahun memiliki pengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia. Dengan koefisien sebesar -0,31 dapat diartikan bahwa jika APS meningkat 1.%, maka persentase penduduk miskin di Indonesia akan berkurang sebesar 0,31.%, ceteris paribus.
Angka partisipasi sekolah yaitu proporsi dari semua anak yang masih sekolah pada suatu kelompok umur tertentu terhadap penduduk dengan kelompok umur yang sesuai. APS dapat digunakan untuk mengetahui seberapa banyak penduduk usia sekolah yang sudah dapat memanfaatkan fasilitas pendidikan. APS yang tinggi menunjukkan terbukanya peluang yang lebih besar dalam mengakses pendidikan secara umum. Pada kelompok umur mana peluang tersebut terjadi dapat dilihat dari besarnya APS pada setiap kelompok umur. Berdasarkan data BPS, pencapaian angka partisipasi sekolah menurut kelompok umur selama periode tahun 2003-2010, cenderung mengalami kenaikan. Peningkatan APS kelompok umur 7-12 tahun dan 13-15 tahun relatif tinggi (Gambar 5.10). Tingginya pencapaian APS pada kelompok umur tersebut, didukung dengan adanya program Wajib Belajar 9 tahun dan program Bantuan Operasional Sekolah serta program-program bantuan lain kepada masyarakat miskin, seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Siswa Miskin (BSM) maupun Bantuan Langsung Tunai (BLT). Tingginya APS kelompok umur 7-12 dan 13-15 tahun, akan berpengaruh terhadap pencapaian APS kelompok umur selanjutnya, yaitu kelompok umur 16-18 dan 19-24 tahun. Menurut data BPS tahun 2009, dari sejumlah anak usia 7–18 tahun yang tidak sekolah atau putus sekolah, 56,4.% dari mereka beralasan karena kendala finansial. Alasan kedua adalah karena harus bekerja (9,8.%), diikuti dengan perasaan puas dengan tingkat pendidikan yang sudah diraih (5,1.%). Harus menikah dan mengurus anak juga berperan cukup besar sebagai alasan tidak melanjutkan pendidikan (3,0.%). Alasan sekolah jauh (2,7.%), berkaitan dengan
114
ketersediaan jumlah sekolah yang minim atau kondisi geografis daerah yang menyebabkan akses sulit. Alasan-alasan tersebut menyebabkan menurunnya
100 A P S
81,01 83,49 84,02 84,08 84,65 84,89 85,47 86,24
120
96,42 96,77 97,14 97,39 97,64 97,88 97,95 98,02
angka partisipasi pada jenjang pendidikan yang semakin tinggi.
50,97 53,48 53,86 53,92 55,49 55,5 55,16 56,01
80 60
11,71 12,07 12,23 11,38 13,08 13,29 12,72 13,77
40
%
20 0 7-12 2003
2004
13-15 2005
2006
16-18 2007
2008
19-24 2009
2010
Sumber: BPS 2003a, 2004a, 2005a, 2006a, 2007a, 2008a, 2009a, 2010a.
Gambar 5.10 Angka partisipasi sekolah menurut kelompok umur di Indonesia, tahun 2003–2010.
Alasan utama kesulitan ekonomi, disebabkan oleh tingginya kenaikan biaya pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Rata-rata biaya pendidikan naik sekitar 2 kali lipat ke setiap jenjang pendidikan lebih tinggi. Berdasarkan data Susenas 2009, rata-rata biaya pendidikan persiswa selama bulan Januari-Juni 2009 adalah sebesar Rp..654.417 untuk SD/MI; Rp..1.171.602 untuk SMP/MTs; Rp..2.141.294 untuk SM/MA; dan Rp..4.126.079 untuk jenjang pendidikan tinggi (BPS 2010d). Dari data tersebut, dapat disimpulkan bahwa rendahnya angka partisipasi pendidikan jenjang SMA dan perguruan tinggi antara lain disebabkan oleh mahalnya biaya pendidikan bagi sebagian besar masyarakat yang tidak mampu untuk meneruskan pendidikan, sehingga mereka cenderung memilih bekerja walaupun dengan keterbatasan kemampuan dan ketrampilan. Menurut hasil penelitian SMERU (2006) menyimpulkan bahwa secara umum,
program
BOS
meningkatkan
penerimaan
sekolah,
sehingga
memungkinkan perbaikan kegiatan belajar mengajar di sekolah dan berpotensi meningkatkan akses masyarakat, termasuk masyarakat
miskin, terhadap
pendidikan. Lebih lanjut dijelaskan, secara umum program BOS memiliki ketercakupan yang lebih luas dan merata daripada program-program bantuan
115
pendidikan sebelumnya. Oleh karena besarnya cakupan sasaran program BOS tersebut, dinilai bahwa program BOS bermanfaat bagi masyarakat miskin. Hasil analisis kualitatif melalui wawancara dan focus group discussions (FGD) memberikan indikasi adanya dampak positif dari program BOS terhadap partisipasi pendidikan. Ada indikasi bahwa program BOS meningkatkan motivasi belajar siswa dari keluarga miskin karena tidak ada kekhawatiran akan ditagih tunggakan iuran siswa dan lebih terpenuhinya perlengkapan sekolah. Hasil penelitian SMERU (2009) menunjukkan bahwa PKH secara signifikan berhasil menaikkan belanja rumahtangga untuk komponen kesehatan dan pendidikan. Tujuan program PKH adalah untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia, khususnya bagi masyarakat miskin. Diharapkan PKH akan merubah kebiasaan rumah tangga miskin ke arah perbaikan kualitas SDM. Dalam jangka panjang, program ini diharapkan akan memutus mata rantai kemiskinan antargenerasi. SMERU menambahkan bahwa dampak program PKH relevan dan dapat membantu masyarakat miskin untuk peningkatan kapasitas SDM di bidang pendidikan dan kesehatan. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian SMERU (2011) terhadap program BLT 2008 tahap pertama menyimpulkan bahwa program BLT masih relevan dan dapat membantu masyarakat miskin dalam mengatasi guncangan akibat kenaikan harga BBM. BLT tidak mengakibatkan kemalasan dan perubahan jam kerja rumah tangga sasaran, karena masyarakat miskin masih bertindak rasional dengan tetap bekerja untuk memenuhi tuntutan kebutuhan hidup yang semakin meningkat. Dengan adanya program peningkatan partisipasi pendidikan yang disertai program bantuan atau subsidi bagi masyarakat miskin, dapat membantu meningkatkan akses ke jenjang pendidikan lebih tinggi bagi golongan masyarakat miskin. Secara teori, sertifikasi pendidikan yang lebih tinggi diasumsikan produktivitasnya akan meningkat, dan peluang kesempatan pekerjaan akan semakin besar. Semakin tinggi kualifikasi pendidikan yang dibutuhkan, maka semakin tinggi pula upah atau pendapatan yang diperoleh. Diharapkan dengan pendapatan yang tinggi tersebut akan dapat mengurangi insiden kemiskinan.
116
5.2.3 Rata-rata Lama Sekolah (RLS) Berdasarkan nilai probabilita statistik uji, secara statistik koefisien regresi variabel rata-rata lama sekolah yang diestimasi terindikasi sangat signifikan pada taraf nyata α = 1.%. Dapat dikatakan bahwa rata-rata lama sekolah memiliki pengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia. Dengan koefisien sebesar -0,13 dapat diartikan bahwa jika rata-rata lama sekolah meningkat 1.%, maka persentase penduduk miskin di Indonesia akan berkurang sebesar 0,13.%, ceteris paribus. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian Suparno (2010) dan Suhartini (2011), yang menemukan bahwa rata-rata lama sekolah yang menunjukkan akumulasi tingkat pendidikan masyarakat mampu menurunkan tingkat kemiskinan di Indonesia. Masyarakat yang berpendidikan tinggi akan mempunyai
keterampilan
dan
keahlian,
sehingga
dapat
meningkatkan
produktivitasnya. Dengan produktivitas yang tinggi, peluang kesempatan pekerjaan dan perolehan pendapatan akan semakin meningkat, yang akan berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan.
5.2.4 Rasio Anggaran Fungsi Pendidikan Berdasarkan nilai probabilita statistik uji, dapat dikatakan bahwa secara statistik koefisien regresi variabel rasio anggaran fungsi pendidikan yang diestimasi di Indonesia terindikasi sangat signifikan pada taraf nyata α = 1.%. Variabel rasio anggaran fungsi pendidikan memiliki pengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia, dimana jika rasio anggaran fungsi pendidikan meningkat 1.%, maka persentase penduduk miskin akan berkurang sebesar 0,18.%, ceteris paribus. Untuk mendukung kelancaran peningkatan mutu pendidikan penduduk diperlukan anggaran pendidikan yang memadai. Pemerintah terus meningkatkan alokasi anggaran pendidikan sesuai amanat UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pengeluaran di sektor pendidikan sangat bermanfaat untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi penduduk miskin. Hasil penelitian Sitepu (2009) dan Birowo (2011) menyatakan bahwa investasi sumberdaya manusia
117
untuk pendidikan dapat menurunkan insiden kemiskinan. Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa alokasi pengeluaran pemerintah di sektor pendidikan, maka akan meningkatkan produktivitas penduduk. Peningkatan produktivitas ini, pada gilirannya
mampu
meningkatkan pertumbuhan
ekonomi
sehingga
akan
berdampak pada penurunan angka kemiskinan. Menurut Fan et al. (1999), pengeluaran pemerintah dapat memberikan pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap kemiskinan. Dampak langsung pengeluaran pemerintah adalah manfaat yang diterima penduduk miskin dari berbagai program peningkatan pendapatan dan kesejahteraan pekerja, serta skema bantuan dengan target penduduk miskin. Dampak tidak langsung berasal dari investasi pemerintah dalam infrastruktur, riset, pelayanan kesehatan dan pendidikan bagi penduduk, yang secara simultan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di seluruh sektor dan berdampak pada penciptaan lapangan kerja yang lebih luas dan peningkatan pendapatan terutama penduduk miskin serta lebih terjangkaunya harga kebutuhan pokok. Pengeluaran pemerintah juga diperlukan sebagai stimulus pertumbuhan ekonomi untuk membantu mendayagunakan sumber daya secara berkelanjutan bagi pengeluaran pemerintah di masa depan. Pertumbuhan ekonomi sebagai sarana utama dalam mengatasi masalah kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan penduduk secara keseluruhan. Hasil penelitian Jung dan Thorbecke (2001) menunjukkan bahwa pengeluaran pendidikan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Namun, untuk memaksimalkan manfaat dari pengeluaran untuk pendidikan, tingkat investasi fisik yang cukup tinggi juga dibutuhkan, seperti kebijakan yang dapat meningkatkan kecocokan antara pola output pendidikan dan struktur permintaan tenaga kerja yang efektif. Hasil simulasi adalah bahwa pola belanja pendidikan yang ditargetkan dengan baik, bisa efektif untuk pengentasan kemiskinan .Gambaran dari keempat variabel yang digunakan pada persamaan atau model peran pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 5.11 di bawah ini. Dengan pencapaian tingkat melek huruf yang relatif tinggi, pencapaian partisipasi pendidikan dan rata-rata lama sekolah, serta dukungan anggaran fungsi pendidikan dari pemerintah daerah, mampu untuk mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia selama periode tahun 2007-2010.
118
N
LEGENDA: AMH APS RLS R-EDU Penduduk Miskin (%) 3.48 - 6.77 6.77 - 9.5 9.5 - 15.47 15.47 - 23.19 23.19 - 36.8
1000
0
1000
2000 Kilometers
Gambar 5.11 Peta tingkat kemiskinan, angka melek huruf, angka partisipasi sekolah, rata-rata lama sekolah dan rasio anggaran pendidikan di Indonesia, tahun 2007–2010.
5.2.5 Efek Lintas-Daerah Berdasarkan nilai cross-section effect yang disajikan pada Gambar 5.12 dapat dilihat bahwa jika semua variabel tidak ada perubahan (konstan), maka ratarata tingkat kemiskinan dimasing-masing provinsi akan sebesar nilai koefisien dan cross-section effect-nya. Provinsi Papua Barat, Maluku, Nangroe Aceh Darussalam dan Papua, akan mengalami kenaikan tingkat kemiskinan lebih tinggi jika tanpa ada usaha perbaikan kualitas SDM dan pengeluaran pemerintah bidang pendidikan. 000 000 000 % 000 000 000 000
PapBar Maluku NAD Papua Gorontalo DIY NTT Bengkulu Lampung SulTeng SulTra NTB JaTeng SumSel SuMut JaTim SumBar SulUt JaBar Riau SulBar MalUt SulSel KalTim Jambi Banten KalTeng KepRi KalBar DKI Bali KalSel BaBel
000
000 Cross-Section Effect
Gambar 5.12 Efek lintas-daerah model efek tetap peran pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia, tahun 2007-2010.
119
Provinsi Papua Barat contohnya, efek lintas-daerahnya lebih tinggi sebesar 0,19.% dari rata-rata provinsi atau sebesar 0,32.+.0,19.=.0,51.%. Dapat dikatakan bahwa jika semua variabel bebas tidak mengalami perubahan, maka tingkat kemiskinan di Provinsi Papua Barat akan meningkat sebesar 0,51.%. Sehubungan dengan hal tersebut, maka perhatian pemerintah untuk meningkatkan pendidikan perlu memprioritaskan pada wilayah-wilayah yang berdampak tinggi, seperti Provinsi Papua Barat, Maluku, Nangroe Aceh Darussalam, dan Papua. Berdasarkan efek lintas daerah tersebut, maka dapat divisualisasikan prioritas daerah melalui program pengentasan kemiskinan terkait peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan. Prioritas utama perlu diperhatikan pada daerah-daerah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi dan pencapaian pendidikannya masih rendah, seperti Papua Barat, Maluku, Nangroe Aceh Darussalam, dan Papua (daerah berwarna merah). Prioritas kedua yaitu bagi daerah berwarna kuning, seperti Provinsi Gorontalo, DIY, NTT, Bengkulu, dan lainnya. Selanjutnya untuk prioritas ketiga yaitu bagi daerah dengan warna hijau, seperti Provinsi DKI, Kepulauan Riau dan Riau dimana tingkat kemiskinannya relatif rendah dan pencapaian pendidikannya relatif tinggi.
N
LEGENDA: -0.11 sd -0.03 (rendah) -0.03 sd 0.08 (sedang) 0.08 sd 0.19 (tinggi)
1000
0
1000
2000 Kilometers
Gambar 5.13 Peta prioritas menurut efek lintas-daerah model peran pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia, tahun 2007-2010.
120
5.3
Hasil Evaluasi Model Peran Jenjang Pendidikan terhadap Kemiskinan di Indonesia Untuk mengidentifikasi peran jenjang pendidikan terhadap kemiskinan,
digunakan pendekatan tingkat kesempatan kerja. Tingkat kesempatan kerja menurut pendidikan didefinisikan sebagai rasio penduduk berumur 15 tahun ke atas yang bekerja menurut tingkat pendidikan terhadap jumlah total angkatan kerja. Model persamaan ini menyertakan variabel pendapatan per kapita sebagai pendekatan efek pertumbuhan ekonomi dan indeks gini sebagai pendekatan efek distribusi. Persamaan menggunakan data dari 33 provinsi di seluruh Indonesia pada periode tahun 2007 sampai 2010. Untuk mendapatkan hasil estimasi yang baik, dilakukan pemilihan model regresi dengan membandingkan model efek tetap dengan model efek acak menggunakan uji Hausman. Berdasarkan informasi hasil penelitian menunjukkan bahwa FEM lebih baik dibandingkan dengan REM. Hal ini terlihat dari nilai peluang statistik Hausman yang lebih kecil dari 5.% yaitu sebesar 1,72.%, yang memiliki arti bahwa data pengamatan belum cukup bukti untuk menolak hipotesis nol bahwa tidak ada korelasi antara komponen error dengan peubah bebas. Berdasarkan hasil estimasi, ditemukan adanya heteroskedastisitas pada model, terlihat dari jumlah kuadrat sisaan (sum square residual) pada weighted statistics lebih kecil daripada unweighted statistics. Pengujian berikutnya berupa pendeteksian gejala autokorelasi pada model. Berdasarkan hasil uji statistik Durbin-Watson (DW) diperoleh nilai DW-hitung pada unweighted statistics persamaan Indonesia terletak di antara nilai 4 – dU dan 4 – dL (Lampiran 7). Hasil ini menandakan tidak dapat ditentukan korelasi pada model tersebut. Sehingga estimasi perlu dilakukan menggunakan metode fixed effect GLS dengan cross-section weights dan seemingly unrelated regressions (SUR) untuk mengatasi kedua pelanggaran asumsi tersebut. Melalui angka R-squared sebesar 0,9969 dapat dinyatakan bahwa variasi naik turunnya tingkat kemiskinan di Indonesia sebesar 99,69.% disebabkan oleh variasi naik turunnya variabel-variabel bebas tersebut. Sedangkan sisanya sebesar 0,31.% diakibatkan faktor-faktor lain yang tidak disertakan dalam model, namun ditampung dalam variabel gangguan acak. Secara serentak, terlihat pula bahwa model yang diestimasi untuk Indonesia ini sangat signifikan pada taraf nyata α = 1.%, atau dengan besaran nilai peluang statistik uji F p-value = 0,0000.
121
Setelah dilakukan pengujian dan diperoleh metode dan model yang paling sesuai, maka dilakukan estimasi dari persamaan tersebut. Estimasi dilakukan untuk mengetahui besarnya pengaruh setiap variabel bebas terhadap variabel tidak bebas. 0 menyajikan hasil estimasi model peran jenjang pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia.
Tabel 5.2 Hasil estimasi persamaan peran jenjang pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia, periode tahun 2007-2010
Variabel Bebas
Variabel tidak bebas: Persentase penduduk miskin (POV100) Koefisien
Probabilita (p-value)
C
1,0004
0,0000 *
Dasar
0,1526
0,0000 *
Menengah
-0,1767
0,0508 **
Tinggi
-0,2693
0,0039 *
Log(YCap)
-0,0538
0,0003 *
Gini
-0,0197
0,5609
R-squared
0,9969
Adjusted R-squared
0,9957
Prob (F-statistic)
0,0000
Keterangan : * : signifikan pada taraf nyata 1 persen ** : signifikan pada taraf nyata 5 persen
***
: signifikan pada taraf nyata 10 persen
5.3.1 Tingkat Kesempatan Kerja Pendidikan Dasar Tabel 5.2 menyajikan hasil estimasi pengaruh jenjang pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia. Berdasarkan nilai peluang statistik uji, dapat dikatakan bahwa secara statistik koefisien regresi variabel tingkat kesempatan kerja lulusan pendidikan dasar yang diestimasi terindikasi sangat signifikan pada taraf nyata α = 1.%. Dapat dikatakan bahwa tingkat kesempatan kerja lulusan pendidikan dasar memiliki pengaruh positif terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia. Dengan koefisien sebesar 0,15 dapat diartikan bahwa jika tenaga kerja lulusan pendidikan dasar meningkat 1.%, maka persentase penduduk miskin akan bertambah sebesar 0,15.%, ceteris paribus (cp).
122
Berdasarkan hasil penelitian, terlihat bahwa lulusan jenjang pendidikan dasar mempunyai hubungan yang positif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, bahwa penyerapan tenaga kerja di Indonesia masih didominasi oleh tenaga kerja lulusan SD dan SMP. Fenomena
ini
menunjukkan
struktur
perekonomian
Indonesia
masih
mengandalkan tenaga kerja murah. Rendahnya tingkat pendapatan pekerja SD dan SMP akan berpeluang meningkatkan kemiskinan. Hal ini berarti bahwa kesempatan kerja bagi lulusan pendidikan dasar belum mampu untuk mengurangi kemiskinan, tetapi cenderung dapat menambah tingkat kemiskinan. Hasil penelitian ini searah dengan penelitian Wedgwood (2005) yang menyimpulkan bahwa pengalaman Tanzania dalam kebijakan pemerataan pendidikan dengan perluasan pendidikan dasar menunjukkan bahwa pendidikan dasar tidak selalu mengarah pada pengurangan kemiskinan. Ketika lulusan pendidikan memasuki lapangan kerja, mereka sering tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkan dan cenderung kalah dengan orang yang lebih berpendidikan. Sebagaimana disampaikan sebelumnya, bahwa karakterisk rumah tangga miskin menurut tingkat pendidikan tertinggi kepala rumah tangga (KRT), menunjukkan bahwa persentase KRT miskin yang tidak tamat SD/tamat SD dan SMP, persentasenya lebih tinggi dibanding persentase kepala rumahtangga miskin dengan tingkat pendidikan terakhir SMA atau Perguruan Tinggi (BPS 2009d). Lebih lanjut menurut data BPS, 90,65.% KRT miskin yang bekerja adalah berpendidikan dasar kebawah (BPS 2009e). Indikasi ini menunjukkan bahwa mereka yang tergolong miskin cenderung berpendidikan rendah.
5.3.2 Tingkat Kesempatan Kerja Pendidikan Menengah Berdasarkan nilai peluang statistik uji, dapat dikatakan bahwa secara statistik koefisien regresi variabel tingkat kesempatan kerja lulusan pendidikan menengah signifikan pada taraf nyata α = 5.%. Tingkat kesempatan kerja lulusan pendidikan
menengah memiliki pengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia. Dengan koefisien sebesar -0,18 dapat diartikan bahwa jika tenaga kerja lulusan
pendidikan menengah meningkat 1.%, maka persentase penduduk miskin akan berkurang sebesar 0,18.%, ceteris paribus.
123
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Tilak (2006). Tilak menyatakan bahwa pendidikan pasca pendidikan dasar, yaitu pendidikan menengah dan tinggi, lebih lebih berperan terhadap pembangunan. Pendidikan pasca pendidikan dasar
mendorong pertumbuhan ekonomi,
yang akan
berkontribusi signifikan terhadap pengurangan kemiskinan di India. Tabel 5.3 menyajikan jumlah dan persentase tenaga kerja menurut tingkat pendidikan di Indonesia selama periode tahun 2003-2010. Terlihat bahwa jumlah maupun persentase tenaga kerja berpendidikan dasar (SD dan SMP) secara umum mengalami penurunan selama periode tersebut. Sedangkan tenaga kerja berpendidikan menengah cenderung mengalami peningkatan. Berdasarkan informasi hasil penelitian, mulai jenjang pendidikan menengah lebih berpengaruh terhadap pengurangan kemiskinan di Indonesia. Hal ini tidak lepas dari permintaan tenaga kerja berpendidikan menengah ke atas yang cenderung meningkat selama beberapa tahun terakhir. Tabel 5.3 Jumlah dan persentase tenaga kerja menurut pendidikan di Indonesia, tahun 2003-2010 SD
SMP
SMU
Jumlah
Persentase
Jumlah
Persentase
Jumlah
Persentase
Naker
Naker
Naker
Naker
Naker
Naker
(juta jiwa)
(%)
(juta jiwa)
(%)
(juta jiwa)
(%)
2003
35,71
38,48
18,57
20,01
11,84
12,75
2004
35,13
37,48
18,57
19,82
11,39
12,15
2005
36,02
38,34
19,13
20,36
11,98
12,75
2006
34,91
36,58
18,37
19,25
12,92
13,53
2007
37,96
37,99
18,83
18,84
12,75
12,76
2008
36,76
35,84
19,04
18,57
14,40
14,04
2009
29,65
28,27
19,39
18,49
14,58
13,90
2010
31,32
28,94
20,63
19,07
15,91
14,71
Tahun
Sumber: BPS 2010a.
124
5.3.3 Tingkat Kesempatan Kerja Pendidikan Tinggi Berdasarkan nilai peluang statistik uji, dapat dikatakan bahwa secara statistik koefisien regresi variabel tingkat kesempatan kerja lulusan pendidikan tinggi signifikan pada taraf nyata α = 1.%, . Tingkat kesempatan kerja lulusan pendidikan
tinggi memiliki pengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia. Dengan koefisien sebesar -0,27 dapat diartikan bahwa jika tenaga kerja lulusan pendidikan
tinggi meningkat 1.%, maka persentase penduduk miskin akan berkurang sebesar 0,27.%, ceteris paribus.
Berdasarkan informasi hasil penelitian, fenomena ini menunjukkan bahwa kuantitas dan kualitas pekerja terampil dan berpengetahuan tinggi akan berpengaruh terhadap
pengurangan kemiskinan.
Pekerja
yang
memiliki
keterampilan tinggi akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan per kapita melalui peningkatan produktivitas, sehingga dapat berperan dalam mengurangi kemiskinan. Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Khan dan Williams (2006). Khan dan Williams menyatakan bahwa pendidikan tinggi sangat penting untuk pengentasan kemiskinan, karena berperan sebagai pelengkap pendidikan dasar dan menengah, dimana pendidikan tinggi akan menyediakan guru-guru terlatih, pengembangan kurikulum yang relevan secara lokal, dan melengkapi SDM pendidikan dengan manajemen yang solid dan keterampilan pemerintahan. Pendidikan tinggi menyediakan keahlian mendasar untuk semua sektor masyarakat dan ekonomi. Berdasarkan teori tahapan pembangunan ekonomi, pada tahap awal pembangunan, perekonomian akan didorong oleh faktor produksi yang bersumber pada sumber daya alam berlimpah dan tenaga kerja murah. Pada tahap selanjutnya perekonomian akan didorong oleh faktor efisiensi, yang dipicu oleh investasi yang besar, modern dan efisien. Kemudian tahap berikutnya, perekonomian akan didorong oleh faktor inovasi, yang berasal dari produktivitas tenaga kerja terampil dan pemanfaatan teknologi tinggi.
Perkembangan perekonomian di Indonesia, lambat laun akan menyebabkan pergeseran struktur tenaga kerja. Semakin lama, semakin tinggi tingkat perekonomian, maka dibutuhkan tenaga kerja dengan kualifikasi lebih tinggi.
125
Dengan perkembangan perekonomian yang telah terjadi di Indonesia, semakin dibutuhkan tenaga kerja trampil. Hal ini akan memperluas tingkat kesempatan kerja bagi tenaga kerja dengan tingkat pendidikan lebih tinggi. Kualitas angkatan kerja Indonesia dapat dilihat antara lain dari tingkat pendidikan angkatan kerja tersebut. Semakin tinggi pendidikan yang ditamatkan, relatif akan semakin baik keahlian yang dimiliki dan diharapkan akan dapat mengisi lapangan kerja yang menuntut kualifikasi khusus tenaga kerja yang dibutuhkan. Mengingat tuntutan perubahan jaman dan kemajuan teknologi, maupun kebutuhan dalam pasar kerja, lapangan pekerjaan yang tersedia akan turut berubah yang membutuhkan tenaga kerja trampil dan kemampuan yang bervariasi. Jika dilihat dari sisi tingkat upah, terdapat perbedaan yang cukup mencolok antara pekerja berpendidikan dasar (SLTP ke bawah), SLTA maupun pendidikan tinggi. Pada tahun 2011, rata-rata upah/gaji bersih pekerja berpendidikan SD hanya sebesar Rp. 758 ribu/bulan, SLTP sebesar Rp. 1.120 ribu/bulan, sedangkan SLTA sebesar Rp. 1.445 ribu/bulan dan pendidikan tinggi lebih dari 2 juta rupiah/bulan (Pusdatinaker 2012). 5.3.4 PDRB per kapita Berdasarkan nilai peluang statistik uji, dapat dikatakan bahwa secara statistik koefisien regresi variabel PDRB per kapita yang diestimasi terindikasi sangat signifikan pada taraf nyata α = 1.%. PDRB per kapita memiliki pengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan. Dimana jika PDRB per kapita meningkat 1.%, maka persentase penduduk miskin akan berkurang sebesar 0,05.%, (cp) Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian Wahyuni (2011) yang menyatakan bahwa peningkatan PDRB per kapita akan berdampak pada penurunan kemiskinan. Secara teori, peningkatan pertumbuhan ekonomi akan diikuti dengan peningkatan jumlah lapangan pekerjaan. Lapangan pekerjaan yang tercipta akan memperbesar peluang pekerjaan. Partisipasi dalam lapangan kerja akan menghasilkan pendapatan. Dengan demikian kenaikan pertumbuhan ekonomi (PDRB per kapita) akan memberikan manfaat bagi penduduk untuk meningkatkan kesejahteraannya. Ketika pendapatan secara rata-rata meningkat,
126
maka pendapatan penduduk golongan berpendapatan rendah juga akan meningkat, meskipun proporsi peningkatannya di bawah rata-rata. Peningkatan pendapatan pada penduduk berpendapatan rendah akan memungkinkan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar, sehingga mampu keluar dari kemiskinan. Temuan ini sejalan dengan teori pertumbuhan endogen yang menyatakan modal manusia sebagai sumber pertumbuhan yang penting. Peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan akan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki pekerja dan akan memengaruhi produktivitas melalui cara produksi lebih efisien. Peningkatan pertumbuhan ekonomi akan diikuti dengan peningkatan jumlah lapangan pekerjaan, sehingga akan memperbesar peluang pekerjaan. Pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan tingkat dan pertumbuhan pendapatan per kapita penduduk secara rata-rata, termasuk peningkatan pendapatan pada kelompok penduduk berpendapatan rendah. Dengan demikian kenaikan pertumbuhan ekonomi (PDRB per kapita) akan memberikan manfaat bagi penduduk untuk meningkatkan kesejahteraannya. Berdasarkan data BPS, pendapatan per kapita secara nasional meningkat dari Rp. 8,63 juta/tahun di tahun 2007 menjadi Rp. 9,72 juta/tahun pada tahun 2010 atau terjadi pertumbuhan 4,05.% per tahun. Secara kasar, fenomena ini menunjukkan adanya perbaikan dalam kesejahteraan penduduk. Meskipun demikian, masih terdapat kesenjangan pendapatan per kapita yang cukup lebar antara di KBI dan KTI. Selama periode 2007-2010, rata-rata selisih pendapatan per kapita antara kedua kawasan adalah sebesar Rp. 3,25 juta/tahun. Secara kasar, hal ini menunjukkan kesejahteraan di KBI lebih baik dibanding kawasan timur Indonesia. Gambaran dari keempat variabel yang signifikan pada persamaan atau model peran jenjang pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 5.14. Dengan kesempatan kerja bagi lulusan pendidikan dasar, menengah dan tinggi, serta PDRB per kapita berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia selama periode tahun 2007-2010. Dari gambar tersebut dapat terlihat bahwa daerah dengan kesempatan kerja bagi lulusan pendidikan dasar yang relatif tinggi dan tingkat PDRB per kapita yang masih rendah, terkait pula dengan tingkat kemiskinan yang tinggi. Contohnya di Provinsi Papua,
127
Maluku, NTT, NTB, Jawa Tengah, Lampung dan Bengkulu. Namun demikian, tingkat PDRB per kapita yang tinggi, belum tentu daerah tersebut memiliki tingkat kemiskinan yang rendah, seperti Provinsi Papua Barat dan NAD.
Variabel bebas Tingkat kemiskinan Dasar Rendah Menengah Sedang Tinggi Tinggi Ycap
Gambar 5.14 Peta tingkat kemiskinan, tingkat kesempatan kerja menurut pendidikan dan PDRB per kapita di Indonesia, tahun 2007–2010.
5.3.5 Efek Lintas-Daerah Berdasarkan nilai cross-section effect yang disajikan pada Gambar 5.15 dapat dilihat bahwa jika tidak ada perubahan semua variabel, maka rata-rata tingkat kemiskinan dimasing-masing provinsi akan sebesar nilai koefisien dan cross-section effect-nya. Provinsi Papua Barat, Maluku, Nangroe Aceh Darussalam dan Papua, akan mengalami kenaikan tingkat kemiskinan tinggi jika tanpa ada usaha peningkatan pendidikan beserta perluasan kesempatan kerja, pertumbuhan ekonomi dan perbaikan distribusi pendapatan. Contohnya Provinsi Papua Barat, efek lintas-daerahnya lebih tinggi sebesar 0,23.% dari rata-rata provinsi atau sebesar 1,00.+.0,23.=.1,23.%. Dengan kata lain, jika semua variabel bebas tidak mengalami perubahan, maka tingkat kemiskinan di Provinsi Papua Barat akan meningkat sebesar 1,23.%. Sehubungan dengan hal tersebut, maka perhatian pemerintah untuk peningkatan pendidikan dan perluasan kesempatan kerja perlu memprioritaskan pada wilayah-wilayah yang berdampak tinggi, seperti Provinsi Papua Barat, Maluku, Nangroe Aceh Darussalam, dan Papua.
128
000 000
000 000 000
PapBar Papua NAD Maluku KepRi NTB KalTim DIY Gorontalo SulTeng DKI SulTra Bengkulu JaTim NTT SumSel Lampung Riau JaTeng SuMut SulSel SulUt SumBar JaBar SulBar Banten BaBel KalBar Bali Jambi KalTeng MalUt KalSel
000 %
Cross-section effect
Gambar 5.15 Efek lintas-daerah model efek tetap peran jenjang pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia, tahun 2007-2010.
Berdasarkan efek lintas daerah dapat divisualisasikan prioritas daerah melalui program pengentasan kemiskinan terkait peningkatan kualitas sumber daya manusia beserta perluasan kesempatan kerja, pertumbuhan ekonomi dan perbaikan distribusi pendapatan.. Prioritas utama perlu diperhatikan pada daerahdaerah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi dan pencapaian pendidikannya masih rendah, serta kesempatan kerja bagi tenaga kerja terdidik yang masih rendah, seperti Provinsi Papua Barat, Papua, NAD dan Maluku (daerah berwarna merah). Prioritas kedua yaitu bagi daerah berwarna kuning, seperti Provinsi NTB, NTT, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah dan lainnya. Selanjutnya untuk prioritas ketiga yaitu bagi daerah dengan warna hijau, seperti Provinsi DKI, Banten, Sumatera Barat dan Riau dimana tingkat kemiskinannya relatif rendah dan pencapaian pendidikannya relatif tinggi.
N
LEGENDA: 1000 -0.105 sd -0.031 (rendah) -0.031 sd 0.049 (sedang) 0.049 sd 0.23 (tinggi)
0
1000
2000 Kilometers
Gambar 5.16 Peta prioritas Efek lintas-daerah model peran jenjang pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia, tahun 2007-2010.
129
5.4
Hasil Evaluasi Model Peran Jenjang Pendidikan terhadap Kemiskinan antarkawasan di Indonesia Model ketiga adalah mengidentifikasi peran jenjang pendidikan terhadap
kemiskinan antarkawasan di Indonesia. Persamaan dipisahkan antara KBI dan KTI, dengan menggunakan data 33 provinsi di seluruh Indonesia pada periode tahun 2007 sampai 2010. Pemilihan model regresi terbaik dilakukan untuk mendapatkan
hasil
estimasi
yang
baik.
Proses
ini
dilakukan
dengan
membandingkan model efek tetap dengan model efek acak menggunakan uji Hausman. Berdasarkan informasi hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk persamaan KBI menunjukkan bahwa REM lebih baik dibandingkan dengan FEM. Hal ini terlihat dari nilai peluang statistik Hausman yang lebih besar dari taraf nyata 10.% yaitu sebesar 71,60.%. Nilai peluang ini memiliki arti bahwa data pengamatan belum cukup bukti untuk menolak hipotesis tidak ada korelasi antara komponen error dengan peubah bebas. Terpilihnya model REM diasumsikan best linier unbiased estimator (BLUE) dan tidak perlu dilakukan pengujian terhadap tiga asumsi utama BLUE. Melalui angka R-squared sebesar 0,7296 dapat dinyatakan bahwa variasi naik turunnya tingkat kemiskinan di KBI sebesar 72,96.% disebabkan oleh variasi naik turunnya variabel-variabel bebas tersebut pada model. Sedangkan sisanya sebesar 27,04.% diakibatkan faktor-faktor lain yang tidak disertakan dalam model, namun ditampung dalam variabel gangguan acak. Secara serentak, terlihat pula bahwa model yang diestimasi untuk KBI ini sangat signifikan pada taraf nyata α = 1.%, atau dengan besaran nilai peluang statistik uji F p-value = 0,0000.
Sedangkan untuk persamaan KTI menunjukkan bahwa FEM lebih baik dibandingkan dengan REM. Hal ini terlihat dari nilai peluang statistik Hausman untuk persamaan tersebut yaitu sebesar 0,0884 yang lebih kecil dari taraf nyata 10.%. Nilai peluang ini memiliki arti bahwa data pengamatan cukup bukti untuk menolak hipotesis nol bahwa tidak ada korelasi antara komponen error dengan peubah bebas. Berdasarkan hasil estimasi, ditemukan adanya heteroskedastisitas pada model, terlihat dari jumlah kuadrat sisaan (sum square residual) pada weighted statistics lebih kecil daripada unweighted statistics. Pengujian berikutnya berupa pendeteksian gejala autokorelasi pada model. Berdasarkan hasil uji statistik Durbin-
130
Watson (DW) diperoleh nilai DW-hitung pada unweighted statistics persamaan KTI terletak di antara nilai 4 – dL dan 4 (Lampiran 7). Hasil ini menandakan terdapat korelasi serial negatif pada model tersebut. Sehingga estimasi perlu dilakukan menggunakan metode fixed effect GLS dengan cross-section weights dan seemingly unrelated regressions (SUR) untuk mengatasi kedua pelanggaran asumsi tersebut. Melalui angka R-squared sebesar 0,9982 dapat dinyatakan bahwa variasi naik turunnya tingkat kemiskinan di KTI sebesar 99,82.% disebabkan oleh variasi naik turunnya variabel-variabel bebas tersebut pada model. Sedangkan sisanya sebesar 0,18.% diakibatkan faktor-faktor lain yang tidak disertakan dalam model, namun ditampung dalam variabel gangguan acak. Secara serentak, terlihat pula bahwa model yang diestimasi untuk KTI ini sangat signifikan pada taraf nyata α = 1.%, atau dengan besaran nilai peluang statistik uji F p-value = 0,0000. Setelah dilakukan pengujian dan diperoleh metode dan model yang paling sesuai, maka dilakukan estimasi dari persamaan tersebut. Estimasi dilakukan untuk mengetahui besarnya pengaruh setiap variabel bebas terhadap variabel tidak bebas. Tabel 5.4 menyajikan hasil estimasi model peran jenjang pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia.
Tabel 5.4 Hasil estimasi persamaan peran jenjang pendidikan terhadap kemiskinan menurut kawasan di Indonesia, periode tahun 20072010 Variabel tidak bebas: Persentase penduduk miskin (POV100)
Variabel Bebas
Kawasan Barat Indonesia Koefisien
Probabilita
Kawasan Timur Indonesia Koefisien
Probabilita
C
0,3550
0.0550 ***
0,8102
0,0002 *
DASAR
0,1878
0.0001 *
0,1328
0,0012 *
MENENGAH
-0,1457
0.0316 **
-0,4783
0,0377 **
TINGGI
-0,4034
0.0007 *
-0,2327
0,0474 **
Log(YCap)
-0,0146
0.1667
-0,0370
0,0118 **
Gini
-0,0240
0.4008
-0,0384
0,5314
R-squared
0,7296
0,9982
Adjusted R-squared
0,7078
0,9973
Prob (F-statistic)
0,0000
0,0000
Keterangan : * : signifikan pada taraf nyata 1 persen ** : signifikan pada taraf nyata 5 persen
***
: signifikan pada taraf nyata 10 persen
131
5.4.1 Tingkat Kesempatan Kerja Pendidikan Dasar
Tabel 5.4 menyajikan hasil estimasi pengaruh jenjang pendidikan terhadap kemiskinan di kawasan barat dan timur Indonesia. Berdasarkan nilai peluang statistik uji, dapat dikatakan bahwa secara statistik koefisien regresi variabel tingkat kesempatan kerja lulusan pendidikan dasar yang diestimasi di KBI terindikasi sangat signifikan pada tingkat kepercayaan 99.%. Dapat dikatakan bahwa tingkat kesempatan kerja lulusan pendidikan dasar di KBI memiliki pengaruh positif terhadap tingkat kemiskinan di KBI. Dengan koefisien sebesar 0,18 dapat diartikan bahwa jika tenaga kerja lulusan pendidikan dasar di KBI meningkat 1.%, maka persentase penduduk miskin di KBI akan bertambah sebesar 0,18.%, ceteris paribus. Untuk model KTI, berdasarkan nilai peluang statistik uji, dapat dikatakan bahwa secara statistik koefisien regresi variabel tingkat kesempatan kerja lulusan pendidikan dasar yang diestimasi di KTI terindikasi sangat signifikan pada tingkat kepercayaan 99.%. Untuk model KTI, Dengan koefisien sebesar 0,13 dapat diartikan bahwa jika tenaga lulusan pendidikan dasar di KTI meningkat 1.%, maka persentase penduduk miskin di KTI akan bertambah sebesar 0,13.%, ceteris paribus. Berdasarkan hasil penelitian, terlihat bahwa lulusan jenjang pendidikan dasar mempunyai hubungan yang positif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan. Hal ini berarti bahwa kesempatan kerja bagi lulusan pendidikan dasar (SD dan SMP) belum mampu untuk mengurangi kemiskinan, tetapi cenderung dapat menambah tingkat kemiskinan. Berdasarkan data BPS tahun 2011, bahwa penyerapan tenaga kerja di Indonesia masih didominasi oleh tenaga kerja lulusan SD dan SMP dan rata-rata upah/gaji bersih pekerja/karyawan selama sebulan menurut pendidikan SD dan SMP berkisar antara Rp. 750.000,- hingga Rp. 1.120.000,-. Fenomena ini menunjukkan struktur perekonomian Indonesia masih mengandalkan tenaga kerja murah. Rendahnya tingkat pendapatan pekerja SD dan SMP tidak mencukupi untuk membantu keluar dari kemiskinan.
132
5.4.2 Tingkat Kesempatan Kerja Pendidikan Menengah
Berdasarkan nilai peluang statistik uji, dapat dikatakan bahwa secara statistik koefisien regresi variabel tingkat kesempatan kerja lulusan pendidikan menengah di KBI signifikan pada tingkat kepercayaan 95.%. Tingkat kesempatan kerja lulusan pendidikan menengah di KBI memiliki pengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan di KBI. Dengan koefisien sebesar -0,14 dapat diartikan bahwa jika tenaga kerja lulusan pendidikan menengah di KBI meningkat 1.%, maka persentase penduduk miskin di KBI akan berkurang sebesar 0,14.%, cp. Untuk model KTI, berdasarkan nilai peluang statistik uji, dapat dikatakan bahwa secara statistik koefisien regresi variabel tingkat kesempatan kerja lulusan pendidikan menengah yang diestimasi di KTI terindikasi sangat signifikan pada tingkat kepercayaan 95.%. Untuk model KTI, Dengan koefisien sebesar 0,47 dapat diartikan bahwa jika tenaga lulusan pendidikan menengah di KTI meningkat 1.%, maka persentase penduduk miskin di KTI akan bertambah sebesar 0,47.%, cp. 5.4.3 Tingkat Kesempatan Kerja Pendidikan Tinggi
Secara umum, variabel tingkat kesempatan kerja lulusan pendidikan tinggi berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan. Berdasarkan nilai peluang statistik uji, dapat dikatakan bahwa secara statistik koefisien regresi variabel tingkat kesempatan kerja lulusan pendidikan tinggi di KBI berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan di KBI dengan signifikansi pada tingkat kepercayaan 99.%. Dengan koefisien sebesar 0,40 dapat diartikan bahwa jika tenaga kerja lulusan pendidikan tinggi di KBI meningkat 1.%, maka persentase penduduk miskin di KBI akan berkurang sebesar 0,14.%, cp. Sedangkan untuk model KTI, berdasarkan nilai peluang statistik uji, dapat dikatakan bahwa secara statistik koefisien regresi variabel tingkat kesempatan kerja lulusan pendidikan tinggi yang diestimasi di KTI berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan di KTI dengan signifikansi pada tingkat kepercayaan 95.%. Dengan koefisien sebesar 0,23 dapat diartikan bahwa jika tenaga kerja lulusan pendidikan tinggi di KTI meningkat 1.%, maka persentase penduduk miskin di KTI akan berkurang sebesar 0,23.%, cp.
133
Kualitas angkatan kerja Indonesia dapat dilihat dari tingkat pendidikan angkatan kerja tersebut. Semakin tinggi pendidikan yang ditamatkan, relatif akan semakin baik keahlian yang dimiliki dan diharapkan akan dapat mengisi lapangan kerja yang menuntut kualifikasi khusus tenaga kerja yang dibutuhkan. Mengingat tuntutan perubahan jaman dan kemajuan teknologi, maupun kebutuhan dalam pasar kerja, lapangan pekerjaan yang tersedia akan turut berubah yang membutuhkan tenaga kerja trampil dan kemampuan yang bervariasi. Berdasarkan informasi hasil penelitian, fenomena ini menunjukkan bahwa kuantitas dan kualitas pekerja terampil dan berpengetahuan tinggi akan berpengaruh terhadap
pengurangan kemiskinan.
Pekerja
yang
memiliki
keterampilan tinggi akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan per kapita melalui peningkatan produktivitas. Perbedaan jenjang pendidikan yang berpengaruh besar terhadap pengurangan kemiskinan di KBI dan KTI, mengindikasikan bahwa kebutuhan untuk keluar dari kemiskinan berbeda antardaerah. Pencapaian pendidikan akan meningkatkan potensi penghasilan dari individu dan akibatnya meningkatnya pendapatan akan membantu mereka untuk keluar dari kemiskinan. Kebutuhan tingkat pendidikan dan kesempatan kerja di KBI memerlukan kualifikasi pendidikan tinggi agar dapat mengurangi insiden kemiskinan. Sementara di KTI, dengan jenjang pendidikan dan kesempatan kerja pendidikan menengah sudah bisa mengurangi insiden kemiskinan di KBI. Perbedaan kemiskinan antara KBI dan KTI dapat disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, adanya perbedaan struktur dan pertumbuhan ekonomi, dimana perekonomian di KBI lebih maju dan tumbuh lebih cepat daripada KTI. Kedua, adanya perbedaan garis kemiskinan, dimana kawasan yang mempunyai garis kemiskinan lebih tinggi akan berpeluang untuk mempunyai angka kemiskinan yang lebih tinggi. Ketiga, perbedaan kondisi geografis sangat mempengaruhi perilaku penduduk. Penduduk yang tinggal di daerah terpencil dan terisolasi akan sulit mengakses layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan. Akibatnya, kualitas SDM di daerah-daerah terpencil akan rendah dan produktivitas mereka juga rendah. Rendahnya produktivitas akan berdampak pada rendahnya pendapatan yang mereka terima sehingga mereka akan kesulitan memenuhi kebutuhan hidup secara layak dan kemiskinan akan sulit untuk diturunkan.
134
5.4.4 PDRB per kapita
Berdasarkan nilai peluang statistik uji, dapat dikatakan bahwa secara statistik koefisien regresi variabel PDRB per kapita yang diestimasi di KTI terindikasi signifikan pada tingkat kepercayaan 95.%. PDRB per kapita di KTI memiliki pengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan. Dimana jika PDRB per kapita di KTI meningkat 1.%, maka persentase penduduk miskin di KTI akan berkurang sebesar 0,04.%, ceteris paribus. Temuan ini sejalan dengan teori pertumbuhan endogen yang menyatakan modal manusia sebagai sumber pertumbuhan yang penting. Peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan akan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki pekerja dan akan memengaruhi produktivitas melalui cara produksi lebih efisien. Peningkatan pertumbuhan ekonomi akan diikuti dengan peningkatan jumlah lapangan pekerjaan, sehingga akan memperbesar peluang pekerjaan. Pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan tingkat dan pertumbuhan pendapatan per kapita penduduk secara rata-rata, termasuk peningkatan pendapatan pada kelompok penduduk berpendapatan rendah. Dengan demikian kenaikan pertumbuhan ekonomi (PDRB per kapita) akan memberikan manfaat bagi penduduk untuk meningkatkan kesejahteraannya.
5.4.5 Hasil Uji Beda Koefisien
Hasil estimasi model peran jenjang pendidikan terhadap kemiskinan antarkawasan di Indonesia menunjukkan bahwa terdapat tiga variabel bebas yang signifikan secara statistik pada taraf nyata 1.% dan 5.% untuk model KBI, sedangkan hasil estimasi untuk model KTI menunjukkan terdapat empat variabel bebas yang signifikan secara statistik pada taraf nyata 1.% hingga 5.%. 0 menyajikan hasil uji beda koefisien bagi variabel bebas yang secara statistik signifikan berpengaruh terhadap variabel tak bebas untuk kedua model. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa koefisien variabel-variabel tersebut berbeda secara statistik antara KBI dan KTI.
135
Tabel 5.5 Hasil uji beda koefisien peran jenjang pendidikan terhadap kemiskinan antarkawasan di Indonesia, periode tahun 2007-2010 Variabel bebas
thitung
ttabel
Signifikansi
Keputusan
Kesimpulan
Dasar
7,53
2,35
Sig 1 %
Tolak H0
KTI < KBI
Menengah
11,46
2,35
Sig 1 %
Tolak H0
KTI < KBI
|−8,65| 2,35
Sig 5 %
Tolak H0
KTI < KBI
Tinggi
5.5
Sintesis Penelitian Kemiskinan merupakan salah satu permasalahan pembangunan di Indonesia
yang dapat juga menyebabkan permasalahan lainnya. Kemiskinan memiliki berbagai penyebab dan efek. Kurangnya pendapatan merupakan penyebab utama kemiskinan, namun hanya sebagai salah satu penyebab tunggal. Seringkali bahwa kurangnya akses terhadap kebutuhan dasar merupakan faktor yang berkontribusi menyebabkan kemiskinan. Kurangnya akses terhadap pendidikan, akses terhadap pasar dan akses ke lapangan kerja akan mengurangi peluang terhadap pendapatan sehingga dapat menyebabkan kemiskinan. Oleh karena itu, peningkatan kualitas SDM dan pengembangan kesempatan kerja produktif, diharapkan dapat menurunkan kemiskinan, khususnya jika upah riil juga meningkat (ILO 2011). Dalam kerangka teori pertumbuhan endogen, akumulasi modal manusia melalui pencapaian pendidikan merupakan kontributor penting bagi pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya, pertumbuhan ekonomi dipercaya dapat mengurangi kemiskinan. Lang (1994) berpendapat bahwa jika modal manusia dapat ditingkatkan
melalui
pendidikan,
maka
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan
mensubsidi
pendidikan
selanjutnya dapat
akan
memerangi
kemiskinan. Kebijakan investasi dalam pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur cenderung meningkatkan kapasitas produktif dari seluruh ekonomi, dan meningkatkan
pendapatan
dari
semua
kelompok,
termasuk
pendapatan
masyarakat miskin (Rodrik 2000), sehingga diharapkan dapat mengurangi kemiskinan.
136
Beberapa penelitian empiris mengenai pertumbuhan ekonomi menggunakan beberapa ukuran stok modal manusia, antara lain: tingkat melek huruf, angka partisipasi sekolah, dan rata-rata lama sekolah penduduk usia kerja untuk menjelaskan peran pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji kebijakan nasional wajib belajar pendidikan dasar terhadap kemiskinan di Indonesia dan mengkaji jenjang pendidikan yang berperan besar dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia maupun antarkawasan di Indonesia. Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan dalam penelitian ini, dapat simpulkan bahwa secara umum pendidikan di Indonesia berperan dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia. Seperti ditunjukkan pada persamaan pertama (Tabel 5.1), dimana dari keempat variabel bebas tersebut berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia. Melek huruf seringkali menjadi indikator yang pertama kali muncul dalam analisis kemiskinan atau profil kemiskinan sebagai faktor penentu kemiskinan. Melek huruf sangat penting dalam strategi penanggulangan kemiskinan, dimana melek huruf merupakan kunci memasuki dunia pengetahuan yang luas dan akan mempermudah seseorang untuk memahami informasi terkait bidang kerja dan berbagai aspek lain menyangkut peningkatan kualitas hidup. Melek huruf juga digunakan sebagai elemen penyusun indeks pembangunan manusia (IPM). Suso (2006) menggunakan tiga pendekatan terhadap tingkat melek huruf sebagai indikator dalam strategi penanggulangan kemiskinan: 1. Pendekatan hak; memandang bahwa ada hak untuk melek huruf sebagaimana ada hak atas pendidikan. Pendekatan ini mengkaitkan melek huruf terhadap partisipasi dalam pendidikan formal. Indikasi lain dari pendekatan ini adalah fakta bahwa buta huruf berhubungan erat dengan kemiskinan, dimana mengurangi buta huruf akan mengurangi kemiskinan karena buta huruf merupakan bagian dari indikator pengukuran kemiskinan. 2. Pendekatan sosial; memandang melek huruf sebagai instrumen untuk melawan kesenjangan sosial dan budaya, atau melawan dominasi. Hal ini sebagian besar terkait dengan pembangunan manusia, pemberdayaan perempuan dan kaum minoritas, serta kesejahteraan individu.
137
3. Pendekatan fungsional; memberikan perhatian pada keterampilan dan kompetensi yang dibutuhkan untuk berfungsi secara memadai dalam masyarakat. Pendekatan ini terutama menangani persiapan untuk bekerja, wirausaha, akses kredit mikro, pengelolaan lingkungan untuk produktivitas yang lebih baik dan keberlanjutan. Tujuan dari pendekatan melek huruf adalah untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan produktivitas tenaga kerja melalui peningkatan pengetahuan. Sampai dengan tahun 2010, angka melek huruf di Indonesia telah mengalami peningkatan hingga mencapai 93.%, dengan sebaran antarprovinsi antara 71,52 % di Provinsi Papua sampai dengan 99,15% di Provinsi Sulawesi Utara. Pencapaian angka melek huruf antarprovinsi ini terkait pula dengan tingkat kemiskinan yang ada, dimana daerah dengan angka melek huruf yang rendah biasanya tingkat kemiskinannya tinggi, seperti terjadi di Provinsi Papua dengan tingkat kemiskinan tertinggi sebesar 36,80 %, sedangkan Provinsi Sulawesi Utara sebesar 9,10.%. Berdasarkan hasil penelitian, melek huruf berpengaruh negatif terhadap kemiskinan dengan koefisien sebesar -0,27.%, dimana jika angka melek huruf meningkat 1.%, maka persentase penduduk miskin di Indonesia akan berkurang sebesar 0,27.%, ceteris paribus. Angka partisipasi sekolah sebagai salah satu indikator untuk mengukur daya serap keseluruhan sistem pendidikan, menyajikan gambaran interaksi antara permintaan dan penawaran pendidikan. Permintaan dan penawaran dalam pendidikan berarti seberapa besar persentase anak kelompok usia tertentu dalam populasinya yang memanfaatkan fasilitas pendidikan. Hal penting yang perlu diketahui adalah pada tingkat pendidikan mana partisipasi yang besar dan pada populasi kelompok umur berapa partisipasi sekolah yang besar. Rata-rata APS penduduk usia 7-24 tahun di Indonesia pada tahun 2010 telah mengalami peningkatan hingga mencapai 65,52.%. Artinya bahwa lebih dari 65.% dari total populasi anak usia usia 7-24 tahun di Indonesia pada tahun 2010 yang sedang bersekolah di jenjang pendidikan dasar, menengah maupun tinggi. Partisipasi terbesar adalah pada kelompok umur 7-12 tahun, mencapai 96,86.%, dan partisipasi semakin menurun pada kelompok umur yang semakin meningkat. Tingginya pencapaian partisipasi pada kelompok umur tersebut karena didukung
138
ketersediaan anggaran untuk program wajar dikdas, sedangkan semakin menurunnya partisipasi ke setiap jenjang pendidikan lebih tinggi disebabkan oleh biaya pendidikan yang semakin mahal. Kesenjangan partisipasi sekolah masih terjadi antarprovinsi dengan keragaman antara 56,44.% di Provinsi Papua hingga 74,52.% di Provinsi DIY. Kesenjangan ini disebabkan antara lain oleh ketersediaan tenaga pengajar, infrastruktur pendidikan maupun sarana pendukung akses terhadap pendidikan, terutama di daerah terpencil, kepulauan dan pedalaman. Berdasarkan hasil penelitian, partisipasi sekolah berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan dengan koefisien sebesar -0,31 %, dimana jika APS meningkat 1.%, maka persentase penduduk miskin di Indonesia akan berkurang sebesar 0,31.%, ceteris paribus. Disisi lain, partisipasi sekolah juga berperan
meningkatkan melek huruf dan memberantas buta huruf bagi orang dewasa. Partisipasi sekolah juga dapat dianggap sebagai variabel aliran pencapaian modal manusia, yang memberikan indikasi tingkat pencapaian pendidikan masa depan bagi suatu masyarakat. Variabel rata-rata lama sekolah digunakan untuk mengukur akumulasi stok atau persediaan modal manusia yang telah terbentuk pada suatu daerah. Lamanya bersekolah menjadi ukuran akumulasi investasi pendidikan individu, dimana setiap tambahan tahun bersekolah diharapkan akan membantu meningkatkan pendapatan individu. Hingga tahun 2010, rata-rata lama sekolah penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas baru mencapai 8,09 tahun. Artinya, secara ratarata pendidikan penduduk Indonesia baru mencapai kelas 2 SMP, dengan kata lain belum mencapai pendidikan dasar sembilan tahun. Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata lama sekolah berpengaruh negatif terhadap kemiskinan dengan koefisien sebesar -0,13.%, dimana jika rata-rata lama sekolah meningkat 1.%, maka persentase penduduk miskin di Indonesia akan berkurang sebesar 0,13.%, ceteris paribus. Pembangunan
pendidikan dalam
rangka
meningkatkan
akses
dan
pemerataan pendidikan, sangat dipengaruhi oleh ketersediaan anggaran oleh pemerintah. Gambar 5.17 menunjukkan hubungan positif antara anggaran fungsi pendidikan dengan tingkat partisipasi sekolah di Indonesia selama periode tahun 2007-2010. Implikasi dari teori pertumbuhan endogen yang memandang penting
139
akumulasi modal manusia dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, terkait erat dengan kebijakan pemerintah yang mendukung penyediaan layanan dan pembiayaan pendidikan, antara lain melalui anggaran fungsi pendidikan yang semakin meningkat. Dalam strategis penanggulangan kemiskinan, alokasi sumber daya yang diprioritaskan untuk sektor sosial, termasuk pendidikan, terutama bagi masyarakat miskin akan dapat mengurangi kemiskinan (Yamada 2005). Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 5.4 mengenai scatter-plot antara rasio anggaran fungsi pendidikan dan persentase penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2007–2010 pada pembahasan sebelumnya, terbukti bahwa prioritas pengalokasian anggaran oleh pemerintah yang menguntungkan orang miskin akan dapat mengurangi kemiskinan. 80 70
APS (%)
60 50 40 30 20 10 0 0
5
10
15
20
25
30
35
40
Rasio anggaran fungsi pendidikan (%) APS
Linear (APS)
Gambar 5.17 Scatter-plot antara anggaran fungsi pendidikan dan partisipasi sekolah di Indonesia, periode tahun 2007-2010.
Rata-rata nasional rasio anggaran fungsi pendidikan di Indonesia tahun 2010 sudah mencapai 25,40.%, namun jika dilihat masing-masing provinsi masih terdapat perbedaan kemampuan daerah berkisar antara 8 – 38.%. Berdasarkan hasil penelitian, anggaran fungsi pendidikan berpengaruh negatif terhadap kemiskinan dengan koefisien sebesar -0,18 %, dimana jika rasio anggaran fungsi pendidikan meningkat 1.%, maka persentase penduduk miskin akan berkurang sebesar 0,18.%, ceteris paribus.
140
Dari hasil pengujian pada model pertama, telah diketahui bahwa pendidikan di Indonesia secara umum berperan dalam mengurangi kemiskinan. Namun demikian, langkah selanjutnya adalah untuk mengetahui pada jenjang pendidikan mana yang berperan besar dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia. Pada model kedua ini menggunakan tingkat kesempatan kerja (TKK) menurut tingkat pendidikan untuk mengetahui pengaruh pendidikan terhadap kemiskinan melalui lapangan kerja. Pada model kedua juga menyertakan efek tidak langsung pendidikan terhadap kemiskinan melalui variabel PDRB per kapita sebagai efek pertumbuhan dan variabel indeks gini sebagai efek distribusi pendapatan. Berdasarkan hasil pengujian persamaan atau model jenjang pendidikan yang dilakukan dalam penelitian ini (Tabel 5.2), dapat diketahui bahwa tingkat kesempatan kerja bagi lulusan jenjang pendidikan menengah dan tinggi lebih berperan dalam mengurangi kemiskinan, sebaliknya kesempatan kerja bagi lulusan jenjang pendidikan dasar berperan dalam menambah kemiskinan. TKK pendidikan tinggi berperan besar dalam mengurangi kemiskinan dengan koefisien sebesar -0,26 %, sedangkan TKK pendidikan menengah berperan mengurangi kemiskinan dengan koefisien sebesar -0,17.%. Sebaliknya, TKK pendidikan dasar berperan dalam menambah kemiskinan dengan koefisien sebesar 0,15 %. Struktur ketenagakerjaan dari segi pendidikan mencerminkan struktur kualitas tenaga kerja. Keterkaitan antara ketenagakerjaan dan kemiskinan dapat dilihat dari perolehan pendapatan. Pendapatan yang diperoleh dari bekerja, tentunya dapat diukur apakah pendapatan yang diperoleh tersebut dapat mencukupi kebutuhan minimum. Gambar 5.18 memperlihatkan struktur ketenagakerjaan di Indonesia, dimana masih didominasi oleh pekerja dengan tingkat pendidikan dasar yang sebagian besar bekerja di sektor pertanian dengan upah rata-rata lebih rendah dari sektor lainnya. Pendapatan yang rendah bagi lulusan pendidikan dasar di sektor pertanian, menyebabkan tingginya kemiskinan di sektor ini. ILO (2000) menyatakan bahwa perluasan kesempatan kerja sering dibarengi dengan penurunan kemiskinan khususnya jika upah riil juga meningkat. Pengetahuan tentang karakteristik dan kualitas tenaga kerja akan berguna sebagai dasar pengembangan kebijakan ketenagakerjaan, terutama pengembangan kesempatan kerja produktif dan peningkatan kualitas SDM (ILO 2011).
20
20
10
10
0
0
10
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
20
20
30
30
40
40
50
50
60
60 Naker Dasar
Naker Menengah
Naker Tinggi
Upah Dasar
Upah Menengah
Upah Tinggi
Upah Naker (x Rp. 00. 000,-)
Persentase Naker (%)
141
Sumber: BPS 2008a. Keterangan Lapangan Usaha: 1. Pertanian, perkebunan, kehutanan, perburauan dan perikanan; 2. Pertambangan dan penggalian; 3. Industri pengolahan; 4. Listrik, gas dan air minum; 5. Kontruksi; 6. Perdagangan, rumah makan dan jasa akomodasi; 7. Angkutan, pergudangan dan komunikasi; 8. Lembaga keuangan, real estate, usaha persewaan, jasa perusahaan; 9. Jasa kemasyarakatan, sosial dan perorangan.
Gambar 5.18 Persentase tenaga kerja (%) dan rata-rata upah (Rp. 00.000,-) menurut lapangan usaha dan tingkat pendidikan di Indonesia, tahun 2008.
Sesuai dengan tahapan teori pembangunan ekonomi bahwa perekonomian akan didorong oleh faktor produksi yang bersumber pada sumber daya alam berlimpah dan tenaga kerja murah; selanjutnya akan didorong oleh faktor efisiensi; serta oleh faktor inovasi yang berasal dari produktivitas tenaga kerja terampil dan pemanfaatan teknologi tinggi. Investasi dalam pendidikan yang mengarah pada pembentukan modal manusia diakui sebagai mesin pertumbuhan ekonomi. Modal manusia berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi dalam dua cara. Pertama, modal manusia meningkatkan produktivitas individu, yang mengarah pada peningkatan total produksi dan pertumbuhan ekonomi. Kedua, modal manusia juga berkontribusi terhadap produktivitas semua faktor produksi lainnya. Hal ini masing-masing disebut sebagai ‘efek internal’ dan ‘efek eksternal’ dari modal manusia (Lucas 1988 dalam Tilak 2002). Kontribusi pendidikan untuk
142
pembangunan dapat perekonomian
dengan
bervariasi,
seperti:
menyediakan
membantu industrialisasi dalam
tenaga
kerja
dengan
keterampilan
profesional, keterampilan teknis dan keterampilan manajerial. Pembangunan pendidikan juga telah memberikan kontribusi signifikan terhadap pemerataan pendapatan dan pengurangan kemiskinan. Pendidikan secara tidak langsung mengurangi kemiskinan melalui PDRB per kapita. Diketahui bahwa hasil pendidikan dapat meningkatkan produktivitas, yang pada akhirnya berpengaruh
terhadap
tingkat
pendapatan.
Investasi
dalam
pendidikan
meningkatkan PDRB per kapita, sehingga kemiskinan berkurang dan mendukung penyebarluasan pengetahuan. Dalam hal ini, PDRB per kapita berperan dalam mengurangi kemiskinan dengan koefisien sebesar -0,05 %.
VI.
6.1
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Berdasarkan tujuan penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Penelitian ini menunjukkan bahwa jenjang pendidikan dasar tidak cukup berperan dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia, tetapi justru berperan menambah tingkat kemiskinan. Dengan demikian, kebijakan nasional wajib belajar pendidikan dasar 9 (sembilan) tahun tidak cukup dalam konteks menanggulangi kemiskinan. 2. Penelitian ini menunjukkan bahwa secara nasional, pendidikan dapat berperan mengurangi kemiskinan apabila jenjang pendidikan di atas 9 (sembilan) tahun yaitu mulai dari jenjang pendidikan menengah ke atas; dan semakin meningkat pendidikan, semakin besar pula perannya dalam mengurangi kemiskinan. 3. Tetapi dalam perspektif kawasan, penelitian ini juga menunjukkan bahwa terdapat perbedaan respon jenjang pendidikan terhadap pengurangan kemiskinan, dimana jenjang pendidikan tinggi berperan lebih besar terhadap pengurangan kemiskinan di KBI, sementara jenjang pendidikan menengah masih berperan besar terhadap pengurangan kemiskinan di KTI.
6.2
Implikasi Kebijakan Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh, beberapa implikasi kebijakan yang
dapat direkomendasikan, antara lain: 1.
Jika pendidikan menjadi salah satu solusi dalam penanggulangan kemiskinan, maka terkait dengan kebijakan program wajib belajar dalam konteks penanggulangan kemiskinan, maka wajib belajar pendidikan dasar 9 (sembilan) tahun sudah perlu ditingkatkan lagi minimal menjadi wajib belajar 12 (duabelas) tahun ke jenjang pendidikan menengah.
2.
Terkait peningkatan program wajib belajar 12 tahun, maka rasio anggaran fungsi pendidikan terhadap APBN atau APBD perlu ditingkatkan.
3.
Terkait program wajib belajar 12 tahun, maka perlu penanganan khusus bagi masyarakat miskin untuk meningkatkan partisipasi pendidikan maupun
143
144
pencapaian ke jenjang lebih tinggi, seperti program subsidi bagi masyarakat miskin guna menutupi biaya langsung pendidikan dan biaya tidak langsung pendidikan. 4.
Pendidikan hanya sebagai salah satu faktor yang dapat mengurangi kemiskinan. Pendidikan bisa berperan dalam mengurangi kemiskinan melalui lapangan kerja, sehingga perlu penyediaan dan perluasan lapangan kerja untuk menampung tenaga kerja berpendidikan (tenaga kerja terampil), guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi sehingga dapat mengurangi kemiskinan.
5.
Program
pembangunan
pengentasan
dan
kemiskinan
kebijakan
hendaknya
pemerintah
dalam
memperhatikan
rangka
karakteristik
antarprovinsi yang berbeda satu sama lain, karena suatu kebijakan akan mempunyai efek yang berbeda. Prioritas pengentasan kemiskinan melalui bidang pendidikan, pada khususnya, dapat dilakukan dengan melihat efek lintas-daerah. Dimana daerah dengan efek lintas-daerah yang tinggi mendapat prioritas yang lebih tinggi, seperti daerah terpencil, daerah kepulauan maupun daerah pedalaman di Provinsi Papua, Papua Barat, Maluku, NTT dan NTB, tanpa mengabaikan daerah-daerah lain.
6.3
Saran Penelitian Lanjutan Terkait dengan program Pendidikan untuk Semua dan Tujuan Pembangunan
Milenium, penelitian mengenai peran pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia perlu diekslporasi atau disagregasi lebih lanjut menurut jenis kelamin dan status daerah, dan jika data memungkinkan lebih difokuskan lagi pada daerahdaerah tertentu karena adanya karakteristik dan spesifikasi daerah yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Ahluwalia MS. 1976. Inequality, poverty and development. Journal of Development Economics 3:307-342. [Anonim]. 1945. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 beserta perubahannya. _______..1994. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar. _______..2000. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000–2004. _______..2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. _______..2006. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara. _______..2007. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005–2025. _______..2008. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar. Awan MS, Malik N, Sarwar H, Waqas M. 2011. Impact of education on poverty reduction. International Journal of Academic Research 3(1):659-664. Baltagi BH. 2005. Econometric Analysis of Panel Data. Ed ke-3. West Sussex: John Wiley and Sons, Ltd. Bank Dunia. 2008. Kajian Kemiskinan di Aceh Tahun 2008: Dampak Konflik, Tsunami, dan Rekonstruksi Terhadap Kemiskinan di Aceh. Jakarta: Bank Dunia. [Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional..2004. Pembangunan Nasional 2000–2004. Jakarta: Bappenas.
Program
_______..2006. Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah. Jakarta: Bappenas. _______..2008. Strategi dan Kebijakan Pembangunan Wilayah Kawasan Timur Indonesia. Jakarta: Bappenas. _______..2009. Evaluasi Pelaksanaan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun. Jakarta: Bappenas. _______..2010b. Buku I RPJMN Tahun 2010–2014 Prioritas Nasional. Jakarta: Bappenas. _______..2011. Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2010. Jakarta: Bappenas.
145
146
Becker GS. 1962. Investment in human capital: a theoretical analysis. The Journal of Political Economy 70(5):9–49. _______..1975. Human Capital: A Theoretical and Empirical Analysis, with Special Reference to Education. Ed ke-2. New York: NBER. Benhabib J, Spiegel M. 1994. The role of human capital in economic development: evidence from agregate cross-country data. Journal of Monetary Economics 34(2):143-173. Bernstein J. 2007. Is education the cure for poverty?. The American Prospect 1-4. [terhubung berkala]. http://prospect.org/article/education-cure-poverty [19 Februari 2012]. [BI]
Bank Indonesia. Kajian Ekonomi regional. [terhubung berkala]. http://www.bi.go.id/web/id/Publikasi/Ekonomi_Regional/ [5 Juli 2012].
Birowo T. 2011. Relationship between government expenditure and poverty rate in Indonesia: comparison of budget classifications before and after budget management reform in 2004 [tesis]. Japan: Faculty of International Cooperation Policy, Ritsumeikanasia Pacific University Japan. Blau DM, Behr-man JR, Wolfe BL. 1988. Schooling and earnings distributions with endogenous labour force participation, marital status and family size. Economica 55(219):297-316. Bourguignon F. 2004. The Poverty-Growth-Inequality Triangle. Washington, DC: World Bank. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2000. Statistik Indonesia 2000. Jakarta: BPS. _______..2001. Statistik Indonesia 2001. Jakarta: BPS. _______..2002a. Statistik Indonesia 2002. Jakarta: BPS. _______..2002b. Data dan Informasi Kemiskinan 2002. Jakarta: BPS. _______..2003a. Statistik Indonesia 2003. Jakarta: BPS. _______..2003b. Data dan Informasi Kemiskinan 2003. Jakarta: BPS. _______..2004a. Statistik Indonesia 2004. Jakarta: BPS. _______..2004b. Data dan Informasi Kemiskinan 2004. Jakarta: BPS. _______..2005a. Statistik Indonesia 2005. Jakarta: BPS. _______..2005b. Data dan Informasi Kemiskinan 2005. Jakarta: BPS. _______..2006a. Statistik Indonesia 2006. Jakarta: BPS. _______..2006b. Data dan Informasi Kemiskinan 2006. Jakarta: BPS. _______..2006c. Indikator Utama Sosial Ekonomi 2006. Jakarta: BPS. _______..2007a. Statistik Indonesia 2007. Jakarta: BPS. _______..2007b. Data dan Informasi Kemiskinan 2007. Jakarta: BPS. _______..2007c. Indikator Utama Sosial Ekonomi 2006. Jakarta: BPS. _______..2008a. Statistik Indonesia 2008. Jakarta: BPS.
147
_______..2008b. Data dan Informasi Kemiskinan 2008. Jakarta: BPS. _______..2008c. Indikator Utama Sosial Ekonomi 2006. Jakarta: BPS. _______..2009a. Statistik Indonesia 2009. Jakarta: BPS. _______..2009b. Data dan Informasi Kemiskinan 2009. Jakarta: BPS. _______..2009c. Indikator Utama Sosial Ekonomi 2006. Jakarta: BPS. _______..2009d. Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan 2009. Jakarta: BPS. _______..2009e. Analisis Kemiskinan Ketenagakerjaan, Pendapatan. Jakarta: CV. Nario Sari.
dan
Distribusi
_______..2010a. Statistik Indonesia 2010. Jakarta: BPS. _______..2010b. Data dan Informasi Kemiskinan 2010. Jakarta: BPS. _______..2010c. Indikator Utama Sosial Ekonomi 2006. Jakarta: BPS. _______..2010d. Statistik Pendidikan 2009. Jakarta: BPS. _______..2010f. Perubahan Struktur Ekonomi dan Kesempatan Kerja. Jakarta: BPS. _______..2010g. Berita Resmi Statistik: Keadaan Ketenagakerjaan Kondisi Februari 2010. Jakarta: BPS. _______..2010h. Berita Resmi Statistik: Tingkat Kemiskinan di Indonesia. Jakarta: BPS. _______..2011. Statistik Indonesia 2011. Jakarta: BPS. [BPS Papua] Badan Pusat Statistik Provinsi Papua. 2009. [terhubung berkala]. http://papua.bps.go.id/site/index.php?option=com_content&view=article&id =321:indikator-pendidikan-papua-2006-2007&catid=183:pendidikan& Itemid=25. [26 Agustus 2012]. Bredt J, Sycz C. 2007. Education and Economic Growth: A Literature Review [Working Paper No. 50]. Labour Market Research Unit Department of Education, Training and the Arts Queensland Government. Castelló A. 2004. A reassessment of the relationship between inequality and growth- what human capital inequality data say [WP-EC 2004-15]. Madrid: Instituto Valenciano de Investigaciones Económicas (IVIE). Colclough C. 1983. The impact of primary schooling on economic development: a review of the evidence. World Development 3:167-185. Chaudhry IS, Malik S, Abo ul Hassan, Faridi MZ. 2010. Does Education Alleviate Poverty? Empirical Evidence from Pakistan. International Research Journal of Finance and Economics 52: 134-141. Datt G, Ravallion M. 1992. Growth and redistribution component of changes in poverty measures: a decomposition with applications to brazil and india in the 1980s. Journal of Development Economics 38:275-295.
148
Deininger K, Squire L. 1997. Economic growth and income inequality: reexamining the links. Finance & Development 34(1):38-41 _______..1998. New ways of looking at old issues: inequality and growth. Journal of Development Economics 57:259–287. [DJPK] Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. 2011. Analisis Tren Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun 2007-2011. Jakarta: Direktorat EPIKD – DJPK. Dollar D, Kraay A. 2002. Growth is good for the poor. Journal of Economic Growth 7(3): 195-225. Domar ED. 1946. Capital expansion, rate of growth, and employment. Journal of The Econometric Society 14(2):137-147. Dornbusch R, Fischer S, Startz R. 2008. Makroekonomi. Ed ke-10. Mirazudin RI, Wibisono Y, penerjemah. Jakarta: PT Media Global Edukasi. Terjemahan dari: Macroeconomics 10th Edition. Drèze J, Mrinalini Saran. 1993. Primary education and economic development in China and India. Development Economics Research Programme Discussion Paper 47. London: London School of Economics and Political Science. Easterly W. 1999. Life During Growth. Journal of Economic Growth 4(3): 239275 Fan S, Hazell P, Thorat S. 1999. Linkages between Government Spending, Growth, and Poverty in Rural India. Washington, D.C.: International Food Policy Research Institute. Goh C, Luo X, Zhu N. 2009. Income growth, inequality and poverty reduction: A case study of eight provinces in china. China Economic Review 20(3):485496. Guisan MC, Neira I. 2006. Direct and indirect effects of human capital on world development, 1960-2004. Applied Econometrics and International Development (AEID) 6(1):17–34. Gujarati DN. 2004. Basic Econometrics, Ed ke-4. New York: The McGraw−Hill Companies. Gutierrez C, Orecchia C, Paci P, Serneels P. 2007. Does employment generation really matter for poverty reduction?. Working Paper Series 4432. Washington, DC: World Bank. Greene WH. 2002. Econometric Analysis 5th Ed. New Jersey: Prentice Hall. Harrod RF. 1939. An essay in dynamic theory. The Economic Journal 49(193):14-33. Hornig SO, Horst R, Rüdiger W. 2011. Sorting on the Labour Market: A Literature Overview and Theoretical Framework. Diskussionspapier 27. Hyman DN. 2005. Public Finance: A Contemporary Application of Theory to Policy. Ed ke-8. North Carolina: Thomson-South Western.
149
Janjua PZ, Kamal UA. 2011. The role of education and income in poverty alleviation: a cross-country analysis. The Lahore Journal of Economics 16(1): 143-172. Jung HS, Thorbecke E. 2001. The Impact of Public Education Expenditure on Human Capital, Growth, and Poverty in Tanzania and Zambia: A General Equilibrium Approach. New York: IMF. Kakwani N, Prakash B, Son H. 2000. Economic growth, inequality and poverty: an introductory essay. Asian Development Review 16(2):1-22. [Kemdiknas] Kementerian Pendidikan Nasional. 2005. Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2005-2009. Jakarta: Depdiknas. _______. 2010. Buku Panduan Bantuan Operasional Sekolah (BOS): Untuk Pendidikan Gratis dalam rangka Wajib belajar 9 Tahun yang Bermutu. Jakarta: Dirjen Dikdasmen. _______..2011. Kemdiknas Siapkan Rintisan Wajib Belajar 12 Tahun. [terhubung berkala]. http://dikdas.kemdiknas.go.id/content/berita/media/ kemdiknassi.html. [5 Juli 2012]. _______..2012. Tinggi, Harapan Masyarakat Pada Layanan Pendidikan. [terhubung berkala]. http://dikdas.kemdiknas.go.id/content/berita/media/ tinggi-harap.html. [5 Juli 2012]. _______..2012. Kemdikbud-Komisi X DPR RI Siapkan Rintisan Wajar 12 Tahun. [terhubung berkala]. http://dikdas.kemdiknas.go.id/content/berita/media/ kemdikbud-ko.html. [5 Juli 2012]. [Kemenkeu] Kementerian Keuangan. Data Keuangan Daerah 2007-2010. [terhubung berkala]. http://www.djpk.depkeu.go.id/datadjpk/131/ [5 Mei 2012]. _______. 2012. Data Pokok APBN 2006–2012. Jakarta: Direktorat Jenderal Anggaran. [Kemkominfo] Kementerian Komunikasi dan Informatika. 2011. Program Penanggulangan Kemiskinan Kabinet Indonesia Bersatu II. Jakarta: Kominfo. Khan H, Williams JB. 2006. Poverty alleviation through access to education: can e-learning deliver? Working Paper 002. Singapura: u21global. Kiani A. 2011. Role of university education in poverty alleviation in Pakistan. Interdisciplinary Journal of Research in Business 1(7): 30-38. Lang K, Kropp D. 1986. Human Capital vs. Sorting: The Effect of Compulsory Attendance Laws. Quarterly Journal of Economics 101(3): 609-624. Lang K. 1994. Does the human capital/educational sorting debate matter for development policy? [Working paper N0. 4052]. Cambridge: National Bureau of Economic Research [NBER]. Lucas RE Jr. 1988. On the mechanics of economic development. Journal of Monetary Economics 22:3-42.
150
Maile S. 2008. Policy coherence: meanings, concepts and frameworks. Di dalam: Maile S, editor. Education and Poverty Reduction Strategies: Issues of Policy Coherence. Colloquium Proceedings by The Policy Analysis Unit The Human Science Research Council (HSRC). Cape Town, 21–23 February 2007. South Africa: HSRC Press. hlm 1-18. Melin M. 2001. Education: a way out of Poverty?. Stockholm: SIDA. [Menkokesra] Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat. 2011. [terhubung berkala]. http://data.menkokesra.go.id/content/anggaran-penanggulangankemiskinan-2002-2010 [13 Oktober 2012]. Njong AM. 2010. The effects of educational attainment on poverty reduction in Cameroon. Journal of Education Administration and Policy Studie 2(1): 001-008 Oxaal Z. 1997. Education and poverty: a gender analysis. Report prepared for the Gender Equality Unit, Swedish International Development Cooperation Agency (Sida) 53. Brighton: BRIDGE. [Pusdatinaker] Pusat Data dan Informasi Ketenagakerjaan. 2011. [terhubung berkala]. http://pusdatinaker.balitfo.depnakertrans.go.id/ [06 September 2012]. Ravallion M, Chen S. 1996. What can new survey data tell us about recent changes in distribution and poverty. Policy Research Working Paper 1694. Washington, DC: The World Bank. Ravallion M. 2001. Growth, inequality and poverty: looking beyond averages. Development Research Group. Washington, DC: World Bank. _______..2005a. A Poverty-Inequality Trade-off?. World Bank Policy Research Working Paper 3579. Washington, DC: World Bank. _______..2005b. Inequality is Bad for the Poor. Development Research Group, World Bank. Washington, DC: World Bank. Romer PM. 1986. Increasing returns and long-run growth. The Journal of Political Economy 94(5):1002-1037. _______..1990. Endogenous technological change. The Journal of Political Economy 98(5):S71-S102. _______..1994. The origins of endogenous growth. The Journal of Economic Perspectives 8(1):3-22. Rosalina SS. 2008. Analisis Faktor-Faktor Penentu Ketertinggalan Wilayah KBI dan KTI [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Samuelson PA. 1954. The pure theory of public expenditure. The Review of Economics and Statistics 36(4):387-389. _______..1955. Diagrammatic exposition of a theory of public expenditure. The Review of Economics and Statistics 37(4):350-356.
151
_______..1958. Aspects of public expenditure theories. The Review of Economics and Statistics 40(4): 332-338. Sen AK. 1999. Development as Freedom. Ed ke-1. New York: Random House, Inc. Schultz TW. 1960. Capital formation by education. The Journal of Political Economy 68(6):571–583. _______..1961. Investment in human capital. The American Economic Review 51(1):1–17. _______..1972. Human Capital: Policy Issues and Research Opportunities. Chicago: UMI. Sitepu RK. 2007. Dampak investasi sumberdaya manusia dan transfer pendapatan terhadap distribusi pendapatan dan kemiskinan di Indonesia [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sjafrizal. 2008. Ekonomi Regional Teori dan Aplikasi. Padang: Pranita Offset. [SMERU] Lembaga Penelitian SMERU. 2006. Kajian Cepat PKPS-BBM Bidang Pendidikan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) 2005. Jakarta: Lembaga Penelitian SMERU. _______..2009. Problems and Challenges for the Indonesian Conditional-Cash Transfer Programme: Program Keluarga Harapan (PKH). Jakarta: SMERU Research Institute. _______..2011. Kajian Cepat Pelaksanaan Program BLT 2008 & Evaluasi Penerima Program BLT 2005 di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penelitian SMERU. Solow RM. 1956. A contribution to the theory of economic growth. The Quarterlsy Journal of Economics 70(1):65-94. Spence AM. 1973. Job market signaling. The Quarterly Journal of Economics 87 (3):355-374. Squire L. 1993. Fighting poverty. American Economic Review 83(2):377-382. Stiglitz JE. 1973. The theory of screening, education and the distribution of income. Cowles Foundation Discussion Paper 354. Connecticut: Yale University. _______..2000. Economics of The Public Sector. Ed ke-3. New York: WW. Norton and Company Inc. Subekti A. 2011. Dinamika inflasi indonesia pada tataran provinsi [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Suhartini AM. 2011. Pro poor growth tingkat provinsi di Indonesia [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Suparno. 2010. Analisis pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
152
Suso E. 2006. An Analysis Of The Place Of Literacy In Poverty Reduction Strategy Papers. Paper commissioned for the EFA Global Monitoring Report 2006, Literacy for Life. Paris: UNESCO. Tambunan TH. 2009. Perekonomian Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia. Tilak JBG. 1989. Education and its relation to economic growth, poverty, and income distribution: past evidence and further analysis. World Bank Discussion Papers 46. Washington, DC: World Bank. _______. 2001. Education and poverty. Di dalam: Melin M, editor. Education: a way out of Poverty? Research presentations at the Poverty Conference 2001. Collegium for Development Studies by Swedish International Development Cooperation Agency (SIDA) – Department for Democracy and Social Development (DESO Education Division). Stockholm, 17–18 October 2001. Stockholm: SIDA. hlm 12-23. _______..2005. Post elementary education, poverty and development in India. Working Paper Series 6. _______..2006. The role of post-basic education in alleviation of poverty and development: revised. Working Paper Series 7 [TNP2K] Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan..2010. Penanggulangan Kemiskinan: Situasi Terkini, Target Pemerintah, dan Program Percepatan, Ed ke-2. Jakarta: TNP2K. Todaro MP, Smith SC. 2006. Pembangunan Ekonomi. Ed ke-9, Jilid 1. Munandar H, Puji AL, penerjemah; Barnadi D, Saat S, Hardani W, editor. Erlangga: Jakarta. Terjemahan dari: Economic Development, 9th Ed. [UN] United Nations. 2007. Indicators of Sustainable Development: Guidelines and Methodologies, 3rd Ed. New York: UN. [UNDP] United Nations Development Programme. 2005. Kajian Kebutuhan Papua. Jakarta: UNDP. _______..2011. Human Development Report 2011.. New York: UNDP. [UNESCO] United Nations on Educational, Scientific and Cultural Organization. 1997. Adult Education in a Polarizing World. Paris: UNESCO. _______..2000. The Dakar Framework for action: Education for All, meeting our collective commitmens. Paris: UNESCO. _______..2001. International Workshop on Education and Poverty Eradication. Uganda: UNESCO. _______..2009. Education Indicators: Technical guidelines. Brussels: UNESCO. _______..2010. Reaching the unreached in education in Asia-Pasific to meet the EFA goals by 2015: a commitment to action. Bangkok: UNESCO. Wahyuni S. 2011. Kemiskinan dan kebijakan penanggulangannya di KBI dan KTI [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
153
Wartapedia. 2012. Kemdikbud: Sepakati Program Rintisan Wajib Belajar 12 Tahun. [terhubung berkala]. http://wartapedia.com/edukasi/program/7102kemdikbud--sepakati-pro. [5 Juli 2012]. [WB] World Bank. 1995. Priorities and Strategies for Education: A World Bank Review. Washington, DC: The World Bank. _______..2000. Attacking Poverty: Opportunity, Empowerment and Security. Washington DC: The World Bank. _______..2002. Source Book of Poverty Reduction Strategy: Macroeconomic & Sectoral Approaches. Washington DC: The World Bank. _______..2006. Poverty Reduction And Growth: Virtuous And Vicious Circles. Washington DC: The International Bank for Reconstruction and Development / The World Bank. Wedgwood R. 2005. Post-basic education and poverty in Tanzania. Working Paper Series 1. Edinburgh: Centre of African Studies, University of Edinburgh. [WEF] World Economic Forum. 2011a. The Global Competitiveness Report 2011– 2012. Switzerland: SRO-Kundig. _______..2011b. The Indonesia Competitiveness Report 2011: Sustaining the Growth Momentum. Jakarta: WEF. Weiss A. 1995. Human capital vs signalling: explanations of wages. The Journal of Economics Perspective 9(4):133-154. Wodon QT, 1999. Growth, inequality and poverty: a regional panel for Bangladesh. Policy Research Working Paper 2072. Washington, DC: World Bank. Yamada S. 2005. Educational Finance and Poverty Reduction: The Cases of Kenya, Tanzania, and Ethiopia [Discussion Paper No. 8]. Tokyo: GRIPS Development Forum. Yamamoto K. 2009. Asymmetric Information: George Akerlof, Michael Spence, Joseph Stiglitz. San Francisco: San Francisco State University [SFSU].
Halaman ini sengaja dikosongkan
156
Halaman ini sengaja dikosongkan
157
Lampiran 1
Hasil pengujian antara fixed effect dengan random effect (Uji Hausman) untuk model peran pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia, tahun 2007-2010.
Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: OVERALL Test cross-section random effects Test Summary Cross-section random
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
Prob.
14,523092
4
0,0058
Random
Var(Diff.)
Prob.
-0,317733 -0,148938 -0,130398 -0,200336
0,009992 0,001158 0,000188 0,000053
0,0391 0,0006 0,3048 0,1688
Cross-section random effects test comparisons: Variable AMH APS LOG(RLS) REDUA
Lampiran 2
Fixed -0,111538 -0,265089 -0,144467 -0,190344
Uji asumsi homoskedastisitas dan autokorelasi model peran pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia, tahun 2007-2010
Identifikasi Homoskedastisias Sum squared resid Unweighted Statistics Weighted Statistics
Indonesia
0,0095 0,0088 SSRW < SSRUw Terdapat heteroskedastisitas
Autokorelasi α k N dL dU DW
5% 4 132 1,6539 1,7786 1,6768 dL < DW < dU Tidak dapat ditentukan
158
Lampiran 3
Hasil estimasi terbaik untuk model peran pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia, tahun 2007-2010.
Dependent Variable: POV100 Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 09/04/12 Time: 21:21 Sample: 2007 2010 Periods included: 4 Cross-sections included: 33 Total panel (balanced) observations: 132 Linear estimation after one-step weighting matrix Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (d.f. corrected) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C AMH APS LOG(RLS) R_EDU_A
0,318951 -0,272531 -0,310393 -0,131849 -0,184529
0,173443 0,132864 0,079523 0,019851 0,031972
1,838935 -2,051203 -3,903207 -6,641955 -5,771567
0,0690 0,0430 0,0002 0,0000 0,0000
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0,996064 0,994573 0,009630 667,8674 0,000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
0,248905 0,153400 0,008810 2,046803
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
Lampiran 4
0,989911 0,009501
Mean dependent var Durbin-Watson stat
0,158548 1,676797
159
Lampiran 5
Hasil estimasi efek lintas-daerah dari model efek tetap model peran pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia, tahun 2007-2010.
ID
Provinsi
Indonesia
Efek 0,3190
1 _AC 2 _SU
Nangroe Aceh Darussalam Sumatera Utara
0,1098 0,0130
3 _SB
Sumatera Barat
(0,0030)
4 _RI
Riau
(0,0333)
5 _JA
Jambi
(0,0661)
6 _SS
Sumatera Selatan
0,0138
7 _BE 8 _LA
Bengkulu Lampung
0,0541 0,0540
9 _BB 10 _KR
Bangka Belitung Kepulauan Riau
(0,1126) (0,0774)
11 _JK
DKI Jakarta
(0,0961)
12 _JB
Jawa Barat
(0,0242)
13 _JT
Jawa Tengah
0,0260
14 _YO
DI. Yogyakarta
0,0745
15 _JI 16 _BT
Jawa Timur Banten
0,0024 (0,0751)
17 _BA 18 _NB 19 _NT
Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur
(0,1008) 0,0289 0,0642
20 _KB
Kalimantan Barat
(0,0886)
21 _KT
Kalimantan Tengah
(0,0756)
22 _KS
Kalimantan Selatan
(0,1083)
23 _KI 24 _SA
Kalimantan Timur Sulawesi Utara
(0,0563) (0,0138)
25 _ST
Sulawesi Tengah
0,0460
26 _SN
Sulawesi Selatan
(0,0510)
27 _SG
Sulawesi Tenggara
28 _GO 29 _SR
Gorontalo Sulawesi Barat
30 _MA
Maluku
31 _MU 32 _PB
Maluku Utara Papua Barat
33 _PA
Papua
0,0461 0,0821 (0,0414) 0,1723 (0,0433) 0,1919 0,0950
Halaman ini sengaja dikosongkan
161
Lampiran 6
Hasil pengujian antara fixed effect dengan random effect (Uji Hausman) untuk model peran jenjang pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia, tahun 2007-2010.
Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: INA_PARSIAL Test cross-section random effects Test Summary
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
Prob.
13.764064
5
0.0172
Random
Var(Diff.)
Prob.
0.150446 -0.183521 -0.463484 -0.033135 -0.065559
0.000067 0.000423 0.001149 0.000168 0.000061
0.1009 0.2274 0.7437 0.5624 0.2295
Cross-section random Cross-section random effects test comparisons: Variable DASAR MENENGAH TINGGI LOG(YCAP) GINI
Lampiran 7
Fixed 0.163849 -0.158700 -0.474570 -0.025619 -0.074933
Uji asumsi homoskedastisitas dan autokorelasi model peran jenjang pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia, tahun 2007-2010
Identifikasi Homoskedastisias Sum squared resid Unweighted Statistics Weighted Statistics
Kawasan Barat Indonesia
0,0063 0,0053 SSRW < SSRUw Terdapat heteroskedastisitas
Autokorelasi α k N dL dU DW
5% 5 132 1,6380 1,7950 2,0939 4 – dU < DW < 4 – dL Tidak dapat ditentukan
162
Lampiran 8
Hasil estimasi terbaik untuk model peran jenjang pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia, tahun 2007-2010.
Dependent Variable: POV100 Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 10/03/12 Time: 19:07 Sample: 2007 2010 Periods included: 4 Cross-sections included: 33 Total panel (balanced) observations: 132 Linear estimation after one-step weighting matrix Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (d.f. corrected) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C DASAR MENENGAH TINGGI LOG(YCAP) GINI
1.000418 0.152622 -0.176685 -0.269275 -0.053770 -0.019694
0.227938 0.025522 0.089303 0.090907 0.014307 0.033743
4.388993 5.980010 -1.978493 -2.962078 -3.758322 -0.583646
0.0000 0.0000 0.0508 0.0039 0.0003 0.5609
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.996942 0.995738 0.007517 828.1273 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
0.218758 0.130744 0.005311 2.093860
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
Lampiran 9
0.993347 0.006265
Mean dependent var Durbin-Watson stat
0.158548 2.262537
163
Lampiran 10 Hasil estimasi efek lintas-daerah dari model efek tetap model peran jenjang pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia, tahun 20072010.
ID
Provinsi
Indonesia
Effect 1,0004
1 _AC 2 _SU
Nangroe Aceh Darussalam Sumatera Utara
0,0877 -0,0186
3 _SB
Sumatera Barat
-0,0430
4 _RI
Riau
-0,0067
5 _JA
Jambi
-0,0888
6 _SS
Sumatera Selatan
0,0082
7 _BE 8 _LA
Bengkulu Lampung
0,0173 0,0080
9 _BB 10 _KR 11 _JK
Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta
-0,0726 0,0429 0,0195
12 _JB 13 _JT
Jawa Barat Jawa Tengah
-0,0440 -0,0107
14 _YO 15 _JI 16 _BT
DI. Yogyakarta Jawa Timur Banten
0,0139 -0,0652
17 _BA 18 _NB 19 _NT
Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur
-0,0856 0,0409 0,0110
20 _KB 21 _KT
Kalimantan Barat Kalimantan Tengah
-0,0731 -0,0976
22 _KS
Kalimantan Selatan
-0,1045
23 _KI 24 _SA
Kalimantan Timur Sulawesi Utara
0,0338 -0,0408
25 _ST 26 _SN
Sulawesi Tengah
0,0205
Sulawesi Selatan
-0,0351
27 _SG
Sulawesi Tenggara
28 _GO 29 _SR
Gorontalo Sulawesi Barat
0,0295 -0,0461
30 _MA 31 _MU
Maluku Maluku Utara
0,0862 -0,0983
32 _PB
Papua Barat
0,2313
33 _PA
Papua
0,2304
0,0318
0,0179
Halaman ini sengaja dikosongkan
165
Lampiran 11 Hasil pengujian antara fixed effect dengan random effect (Uji Hausman) untuk model peran jenjang pendidikan terhadap kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia, tahun 2007-2010.
Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: KBI_PARSIAL Test cross-section random effects Test Summary
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
Prob.
2.896316
5
0.7160
Random
Var(Diff.)
Prob.
0.187750 -0.145654 -0.403410 -0.014646 -0.024046
0.000047 0.001172 0.002081 0.000277 0.000037
0.8427 0.3884 0.3565 0.3512 0.6842
Cross-section random Cross-section random effects test comparisons: Variable DASAR MENENGAH TINGGI LOG(YCAP) GINI
Fixed 0.186386 -0.175175 -0.445475 0.000862 -0.026534
166
Lampiran 12 Hasil estimasi terbaik untuk model peran jenjang pendidikan terhadap kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia, tahun 20072010.
Dependent Variable: POV100 Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 10/18/12 Time: 11:28 Sample: 2007 2010 Periods included: 4 Cross-sections included: 17 Total panel (balanced) observations: 68 Swamy and Arora estimator of component variances White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected) WARNING: estimated coefficient covariance matrix is of reduced rank Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C DASAR MENENGAH TINGGI LOG(YCAP) GINI
0.355028 0.187750 -0.145654 -0.403410 -0.014646 -0.024046
0.181555 0.045459 0.066218 0.112684 0.010466 0.028423
1.955490 4.130133 -2.199624 -3.580005 -1.399461 -0.846000
0.0550 0.0001 0.0316 0.0007 0.1667 0.4008
Effects Specification S.D. Cross-section random Idiosyncratic random
0.052520 0.006930
Rho 0.9829 0.0171
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.729638 0.707835 0.006811 33.46444 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
0.008668 0.012602 0.002877 1.195495
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.321513 0.151335
Mean dependent var Durbin-Watson stat
0.131672 0.022724
167
Lampiran 13 Hasil pengujian antara fixed effect dengan random effect (Uji Hausman) untuk model peran jenjang pendidikan terhadap kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia, tahun 2007-2010.
Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: KTI_PARSIAL Test cross-section random effects Test Summary
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
Prob.
9.568894
5
0.0884
Random
Var(Diff.)
Prob.
0.131805 -0.326097 -0.401600 -0.038466 -0.078778
0.000212 0.005186 0.005701 0.000574 0.000262
0.5706 0.4384 0.6954 0.8088 0.8499
Cross-section random Cross-section random effects test comparisons: Variable DASAR MENENGAH TINGGI LOG(YCAP) GINI
Fixed 0.140073 -0.270294 -0.372032 -0.044262 -0.081838
Lampiran 14 Uji asumsi homoskedastisitas dan autokorelasi model peran jenjang pendidikan terhadap kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia, tahun 2007-2010
Identifikasi Homoskedastisias Sum squared resid Unweighted Statistics Weighted Statistics
Kawasan Timur Indonesia
0,0036 0,0031 SSRW < SSRUw Terdapat heteroskedastisitas
Autokorelasi α k N dL dU DW
5% 5 64 1,4322 1,7672 2,8136 4 – dL < DW < 4 Terdapat korelasi negatif
168
Lampiran 15 Hasil estimasi terbaik untuk model peran jenjang pendidikan terhadap kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia, tahun 20072010.
Dependent Variable: POV100 Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 10/18/12 Time: 10:48 Sample: 2007 2010 Periods included: 4 Cross-sections included: 16 Total panel (balanced) observations: 64 Linear estimation after one-step weighting matrix Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (d.f. corrected) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C DASAR MENENGAH TINGGI LOG(YCAP) GINI
0.810210 0.132804 -0.478290 -0.232745 -0.036991 -0.038351
0.197275 0.038301 0.223054 0.114002 0.014072 0.060787
4.107009 3.467380 -2.144284 -2.041586 -2.628779 -0.630905
0.0002 0.0012 0.0377 0.0474 0.0118 0.5314
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.998162 0.997306 0.008548 1167.298 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
0.281160 0.192498 0.003142 2.424333
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.994051 0.003672
Mean dependent var Durbin-Watson stat
0.187105 2.813644