DR. TIO OEN BIK – SEORANG PENARUNG GLOBAL Oleh Len Tsou dan Nancy Tsou Dalam literatur tentang Brigade Internasional yang luas itu, hampir tidak pernah disebutkan adanya sukarelawan Asia. Jarang sekali mereka diketahui dan latar-belakang tentang mereka pun hampir tidak ada. Jack Shirai barangkali merupakan perkecualian, berkat para sukarelawan Amerika yang, lewat sejumlah memoir, mengingatnya sebagai seorang penarung yang berani dan bahkan mungkin lebih unik lagi, dia adalah seorang ‘ketua’ yang baik di dalam Batalion Lincoln. Tio Oen Bik menarik perhatian kami lewat seorang veteran Amerika bernama Jim Persoff, yang bersama-sama dengan dia berada dalam barisan anti-pesawat penyerang Brigade Internasional. Setelah melakukan penelitian yang luas serta berbagai wawancara di AS, Belanda, Jerman, Cekoslowakia, Perancis dan Tiongkok, di sini kami membangun kembali, sebaik-baiknya, sebuah kisah kehidupan Tio Oen Bik, seorang dokter Indonesia. Tio bertarung melawan kaum Fasis di dua garis depan, pertama di Spanyol dan kemudian di Tiongkok. Dia berperan-serta dalam revolusi Tiongkok serta gerakan kemerdekaan Indonesia. Tio Oen Bik dilahirkan dalam keluarga Indonesia Tionghoa di Jawa pada 1906, meski dia menggunakan Bik sebagai nama belakang (Bik, Tio Oen, bukannya Tio, Oen Bik) ketika berada di Spanyol dan Tiongkok. Dia belajar ilmu kedokteran di Stovia Surabaya pada pertengahan 1920-an. Sejak 1929 Tio berada di Negeri Belanda meneruskan Studi di bidang Kedokteran di Universitas Amsterdam. Bersama dengan Tan Ling Djie, seorang mahasiswa Hukum, dan Tjoa Sik Ien, seorang mahasiswa Kedokteran, dia membentuk sebuah kelompok kecil berhaluan kiri, dinamai Sarekat Peranakan Tionghoa Indonesia (SPTI). SPTI berposisi kuat mendukung nasionalisme Indonesia, berhubungan erat dengan Perhimpunan Indonesia (PI), yang terdiri dari kaum pribumi Indonesia yang sedang belajar di Belanda. Para anggota SPTI juga sempat membantu para pelaut 1
pengangguran asal Tiongkok yang terkungkung di Belanda sebagai akibat dari Depresi Besar. Aktivisme Tio di Belanda tidak lah terbatas hanya di seputar gerakan mahasiswa. Pada 1932 diselenggarakan Konggres Anti-Perang Sedunia di Amsterdam. Annie Averink, seorang anggota Liga Pemuda Komunis Belanda, memberi kartu tanda masuk untuk delegasi Indonesia. Tampak sekali kalau para anggota SPTI memiliki hubungan yang dekat dengan Musso dan Alimin, yang kemudian menjadi anggota Partai Komunis Belanda asal Indonesia yang menonjol. Tio juga pernah singgah di Jerman dan bertemu dengan Ernst Thaelmann, Sekjen Partai Komunis Jerman, yang kemudian dipenjara dan dieksekusi oleh Nazi. Dalam 1935 Tan Ling Djie telah kembali ke Indonesia dan secara aktip berperan-serta di dalam gerakan kemerdekaan. Pada tahun berikutnya, Tjoa Sik Ien bergabung dengan Tan di Surabaya setelah menyelesaikan studinya di Universitas Leiden. Keduanya telah berperan penting ketika mendirikan Republik Indonesia. Tan sempat menjadi Sekretaris jendral Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam 1948. Meskipun dua kawan akrab Tio dari SPTI telah kembali ke kampung halaman untuk bekerja demi kemerdekaan Indonesia, Tio mengambil keputusan berbeda. Ketika CHH, sebuah organisasi Tionghoa Indonesia di Belanda menggalang pengumpulan dana untuk membantu Tiongkok melawan invasi Jepang, Tio menyatakan pilihan kuat lain sebagai prioritas. Dia mengetahui Jepang sebagai negara fasis dan imperialis, namun Tiongkok berada di kejauhan, sedangkan tepat di ambang pintu Eropa terdapat ancaman fasis. Dengan ketetapan hati yang kuat dia mengingatkan para anggota CHH bahwa, “Spanyol merupakan bahaya langsung, kita seharusnya membantunya untuk mengalahkan dunia fasisme.” Seperti kebanyakan para penarung anti-fasis pada waktu itu, yang “bertindak sesuai ucapan”, Tio Oen Bik menyeberang pegunungan Pyrenes untuk bergabung dengan Brigade Internasional dalam Maret 1937. Menjadi seorang Letnan dalam Korps Kesehatan, semula dia bertugas di Rumah Sakit No. 1, Centro de Reeducación Profesional (Pusat Rehabilitasi) di Mahora dekat Albacete. Biasanya, staff kesehatan dalam Brigade Internasional harus bekerja di lapangan
2
setelah beberapa waktu bekerja di rumah sakit daerah basis. Dalam April 1938, Dr. Tio disalurkan ke Denia untuk bergabung dalam barisan anti-pesawat penyerbu. Di situ dia bertemu Jim Persoff dan tujuh sukarelawan Amerika lain. Satu di antaranya, Ben Iceland, mengenang sebagaimana dia ditangani oleh “Dr. Bik” karena luka-luka akibat serpihan metal, ketika dia bekerja di barisan ini. Di dalam barisan itu, terdapat sekitar 90 orang, terdiri dari para sukarelawan asal Norwegia, Swedia, Polandia, Luksemburg, Swiss dan AS. Ketika itu, terjadi pertempuran sengit yang mengakibatkan beberapa luka-luka berat. Selama masa enam minggu, kesatuan telah bertempur sepanjang jam-jam siang hari dan terus bergerak pula pada malamnya tanpa istirahat. Sebagai tambahan pekerjaan menangani para terluka, Dr. Tio memeriksa setiap serdadu di dalam kelompok seusai melakukan mars jauh. Leo Rosenberg, seorang Amerika dari kesatuan termaksud, mengingat Dr. Bik “sebagai seorang yang berusaha keras, bekerja keras, namun sangat tenang, menjalankan tugas kesehatan secara efisien dan tanpa pretensi. Dalam September 1938, sebagai kelanjutan dari keputusan pemerintah Spanyol yang menarik seluruh sukarelawan internasional, Dr. Bik menyeberang memasuki Perancis bersama para peserta Brigade Internasional yang akan dipulangkan ke negerinya. Bersama dengan para brigadir asal Tiongkok itu, dia tidak memegang surat untuk kembali ke negeri itu. Mereka akhirnya mendarat di dalam kamp pemulangan yang keras di Gurs, bagian selatan Perancis. Dalam keadaan terkungkung selama berbulan-bulan itu, mereka menghimbau bantuan komunitas ekspatriat asal Tiongkok di Eropa dan AS. Sebuah surat dilayangkan ke alamat harian Tiongkok berbasis di New York, The Salvation Times, tertanggal 22 Juni 1939, menggambarkan keadaan kehidupan mereka yang sulit itu. Para veteran itu mengungkapkan niat kuat untuk menyumbangkan pengalaman militer mereka guna bertempur melawan penyerbuan Jepang di Tiongkok. Dalam Oktober 1939 ketika mereka akhirnya berhasil memperoleh dokumen perjalanan, namun tidak memiliki uang untuk membeli tiket kereta bertolak ke Marseilles. Akhirnya empat brigade asal Tiongkok dapat pulang ke negerinya dan Tio singgah ke Belanda sebelum menuju ke Tiongkok. Ljubo Ilic, ketua kamp, seorang Yugoslavia (asal Iber) mengingat, “Para anggota Brigade Internasional di kamp ketika itu mengumpulkan dana guna membeli tiket-tiket itu.”
3
Tio dapat menemukan jalan kembali ke Tiongkok dan sanggup mencapai daerah pembebasan dalam 1940. Segera dia ditugaskan di Rumah Sakit Pusat di Yenan. Di situ dia bekerja selama lima tahun. Selama masa itu, dia hidup di komunitas Wen Hua Gou (Wilayah Budaya) bersama dengan banyak kalangan pekerja Internasional seperti Drs. George Hatem (AS), T. Basu (India), Hans Muller (Jerman), terdapat juga kaum revolusioner lain asal Indonesia, Vietnam dan Korea. Ketika berperan-serta di daerah terpencil di Tiongkok itu, Tio tidak lah mengubah perspektip dunianya. Tulisan dia dalam rangka memperingati Hari Perempuan Sedunia pada 1941 berada dalam urutan para penyumbang perempuan dari banyak negeri. Dalam Desember tahun yang sama, dia sempat mendengar eksekusi atas diri Ernst Thaelmann oleh Gestapo, dan seketika itu dia pun menulis di koran Yenan tentang hasil-hasil perjuangan Thaelmann. Jepang mengalami kekalahan dalam Agustus 1945, dan revolusi Tiongkok pun memasuki tahapan baru. Dr. Bik tidak kembali ke Indonesia. Dia hijrah ke Chefoo, propinsi Shantung, bekerja untuk UNRRA (United Nations Relief and Rehabilitation Administration). Di situ dia bertemu Dr. Rolf Becker yang bersama dengan tujuh belas dokter Eropa, usai mengabdi di Spanyol, meneruskan bersumbangsih di Tiongkok. Mereka bekerja bersama-sama hingga serdadu Kuomintang menduduki kembali daerah itu dalam musim panas 1947. Beberapa saat kemudian pada tahun itu. Dr. Becker kembali ke negerinya di Jerman. Dalam Februari 1948, Tio berjunjung ke Kalkuta untuk menghadiri Kongres ke Dua Partai Komunis India, mungkin sebagai delegasi partai sekawan yakni Partai Komunis Indonesia. Pada waktu itu, Kalkuta juga menjadi tuan rumah “Konperensi Pemuda Mahasiswa dari Federasi Pemuda Demokratik Sedunia serta Perhimpunan Mahasiswa Internasional”. Di konperensi itu, terdapat serangan hebat atas perjanjian Indonesia – Belanda yang baru ditanda-tangani. Ini membawa risiko bagi para mahasiswa Indonesia, namun Tio mengatur kepulangan mereka secara rahasia dan aman. Ketika Republik Rakyat Tiongkok meraih kemenangan pada Oktober 1949, Tio sedang menjalankan sebuah misi di Moskou. Di sana, dalam Nopember, dia bertemu lagi dengan Annie Averink, perempuan Belanda yang telah dia kenal di Amsterdam sejak 1930-an. Kemudian mereka bersama-sama menuju Peking. Di sini, Tio menghadiri Konperensi Serikat Buruh Negeri-Negeri Asia dan Australia. Annie
4
Averink mengenang keterkejutannya akan pengenalan Tio yang luas di kalangan kader pemerintahan Tiongkok. Tiga bulan kemudian, Tio berada di Praha untuk tinggal selama satu tahun. Dalam kurun waktu itu, Nopember 1950, dia mengunjungi Dr. Tjoa Sik Ien, rekan sejawat dan teman sekolah sejak masa kemahasiswaan di Belanda, sebelum dia ke Spanyol. Kepada Tjoa, Tio bertutur bahwa, dia telah bekerja terlalu lama untuk WHO (Organisasi Kesehatan Dunia, sebuah lembaga PBB), dan menyatakan keinginannya untuk kembali ke Indonesia. Dia juga menceritakan pengalamannya selama berada di kamp kerja yang begitu keras, sebuah pertambangan Cekoslowakia, disebabkan oleh perselisihan di dalam tubuh Partai Komunis Ceko. Beruntung dia diselamatkan secara kebetulan, oleh Marsekal Malinovsky asal Sovyet yang mengunjungi pertambangan itu. Tio mengenal Marsekal Malinovsky ketika di Spanyol. Akhirnya seputar 1953 Tio kembali ke Indonesia yang sudah sangat berubah itu. Pada 1949 Belanda telah mengalihkan kedaulatan kepada Republik Indonesia. Terdapat pula perubahan besar dalam kepemimpinan serta program Partai Komunis Indonesia (PKI). Tan Ling Djie, yang telah bekerja dekat dengan Tio pada masa 1930-an di Belanda, telah digusur dari kedudukannya di Komite Pusat (CC) PKI dalam Oktober 1953. Pada mulanya, Tio menetap di ibukota Indonesia, Jakarta. Dia bekerja keras sepanjang hari di pusat penanganan penderita lepra yang dikelola oleh pemerintah. Di situ, kepribadiannya yang jujur dan tidak mengenal kompromi itu, justru menyeretnya ke berbagai masalah dengan para birokrat, termasuk juga yang berada di sekitarnya. Kemudian dia dipindah ke surabaya. Di situ dia tinggal sendiri di sebuah rumah yang disediakan pemerintah. Di kota itu pula, dia sering berjunjung ke teman lama di Belanda, yakni Dr. Tjoa Sik Ien. Dalam 1960, Tio ditugaskan kembali di sebuah pulau terpencil di Ambon, sebagai seorang dokter jaga di bandara. Di situ dia menikah dengan seorang juru rawat, namun kepicikan pandang mengakibatkan kehidupan yang tidak bahagia. Dia mengungkapkan hal ini dalam sebuah surat pada 1965 yang dilayangkan ke Dr. Rolf Becker di Republik Demokratik Jerman.
5
Di dalam surat itu pula dia menyampaikan kematian yang tragik dialami oleh Dr. Fritz Jensen, seorang Austria yang pernah pula mengemban misi ke Tiongkok setelah bekerja untuk Brigade Internasional. Bekerja sebagai wartawan, dia dibunuh lewat sebuah sabotase jatuhnya pesawat dalam perjalanan ke Indonesia untuk Konperensi Bandung pada 1955. Kembali berada di Indonesia, Tio tampak menarik diri dari keterlibatan dalam kegiatan politik. Surat-menyurat dengan Dr. Becker, meski demikian, menunjukkan minatnya yang terus-menerus melalui perbincangan pelbagai soal filsafat dan politik. Sebuah surat untuk Dr. Becker mengungkap ketidak-setujuan Tio dengan kedudukan Republik Demokratik Jerman terkait perselisihan Tiongkok – Sovyet. Ketika Marsekal Malinovsky yang kemudian menjadi Menteri Pertahanan Uni Sovyet Republik Sosialis, berkunjung ke Indonesia pada 1963, Tio pun menemuinya di Jakarta. Setelah kudeta militer oleh Suharto pada September 1965, seperempat juta rakyat telah dieksekusi. Setahun kemudian, Dr. Becker menerima sepucuk surat dari Tio. Dari sampulnya, menunjukkan bahwa surat itu dikirim dari Bojonegoro pada 1 Agustus 1966. Itu adalah surat terakhir yang diterima oleh Becker dari Tio. Dia yakin bahwa, “Tio dibunuh bersama dengan ribuan simpatisan komunis”. Meski demikian, seorang dokter perempuan, yang berhubungan dengan Tio, menyampaikan kepada putra Dr. Tjoa bahwa, Oen Bik meninggal di Bojonegoro karena penyakit yang diderita. “Apakah Tio hanya hidup hingga berusia 60 tahun?”, demikian kami bertanya kepada Tio muda. “Tio telah menempuh sebuah perjalanan yang amat sulit, “ jawab dia. Kami pun semua setuju bahwa Tio Oen Bik telah menempuh sebuah kehidupan yang paling luar biasa. Para penulis merasa berterima-kasih atas bantuan tulus dari banyak orang. Terimakasih secara khusus disampaikan kepada Joop Morriёn, yang telah membekali banyak informasi melalui penelitannya tentang subyek yang sama dan telah mengatur pelbagai wawancara dengan orang-orang Indonesia dalam pengasingan, dan kepada Dr. Gabril Erster, yang telah berbagi dengan kami beberapa informasi yang diambil dari penelitiannya. Artikel ini diabdikan kepada Dr. Rolf Becker, yang, seperti Tio Oen Bik, telah mengabdikan diri baik di Spanyol maupun Tiongkok.
6
__________________________________________________________ Diindonesiakan dari “Dr. Tio Oen Bik – A Global Warrior” oleh Len Tsou dan Nancy Tsou dalam The Volunter. Journal of Veterans of the Abraham Lincoln Brigade, Vol. XVIII No. 1 (Spring 1996): 21-22. __._,_.___
7