MENGEMBANGKAN GAIRAH PESERTA DIDIK DALAM BELAJAR BAHASA INDONESIA MELALUI PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH (DEVELOPING MOTIVATION OF STUDENTS IN LEARNING INDONESIAN THROUGH PROBLEM-BASED LEARNING) Yakobus Paluru Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Terbuka Palu, e-mail
[email protected] Abstract Developing Motivation of Students in Learning Indonesian Through ProblemBased Learning. The world of education in Indonesia is still facing many problems. One such problem is the lack of enthusiasm of students in learning, especially learning the Indonesian. They need to get special attention from teachers, especially in the context of efforts to develop passionate learners learn. The low arousal study of students caused by many factors. One contributing factor is the learning process that does not comply with the interests of learners and less challenging to students. Educators need to examine the old paradigm of learning the system and turn it into a new paradigm that is better able to excite students to learn. Efforts to provide challenges to students can be done through changing the system of teacher-centered learning into the learning system centered on the learner. One form of change in learning systems can be implemented problem-based learning strategies. Keywords: passion to learn, learning, problem-based
Abstrak Mengembangkan Gairah Peserta Didik dalam Belajar Bahasa Indonesia melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Dunia pendidikan di Indonesia masih menampakkan banyak masalah. Salah satu problemnya adalah kurang antusiasnya siswa dalam pembelajaran, khususnya pembelajaran bahasa Indonesia. Mereka ingin mendapat perhatian khusus dari guru-gurunya, khususnya dalam konteks berupaya untuk mengembangkan gairah belajar siswa. Rendahnya kegairahan belajar siswa disebabkan oleh banyak faktor. Satu faktor yang berkontribusi adalah proses pembelajaran yang tidak sesuai dengan minat para siswa dan kurang menantang untuk para siswa. Para pendidik perlu untuk melatih paradigma lama sistem pembelajaran dan memasukkannya ke dalam paradigma baru yang lebih mungkin untuk membangkitkan gairah para siswa untuk belajar. Upaya-upaya untuk memberikan tantangan pada para siswa dapat dilaksanakan melalui perubahan sistem guru-pusat pembelajaran menjadi sistem pembelajaran yang berpusat pada siswa. Satu bentuk perubahan dalam sistem pembelajaran dapat diimplementasikan dalam strategi pembelajaran berbasis masalah. Kata-kata kunci: gairah belajar,pembelajaran, berbasis masalah
PENDAHULUAN Pendidikan di Indonesia masih menampung banyak masalah. Program pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan belum menampakkan hasil sebagaimana yang diharapkan. Jumlah anak usia pendidikan dasar yang berada di luar sistem pendidikan nasional masih sangat besar. Kualitas pendidikan pun masih relatif rendah. Di pihak lain, tantangan di berbagai bidang kehidupan semakin berat. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya di bidang informasi, komunikasi, dan transportasi sangat pesat, eskalasi pasar bebas antarnegara dan bangsa semakin meningkat, dan iklim kompetisi di berbagai aspek kehidupan semakin ketat. Masih banyak lagi masalah lain yang memerlukan penyelesaian seperti demokratisasi, hak asasi manusia, serta penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang adil dan terbuka. Sejumlah masalah tersebut perlu mendapatkan perhatian secara sungguh-sungguh di kalangan para penentu kebijakan dan persona di bidang pendidikan. Para pendidik perlu mengkaji kembali paradigma sistem pendidikan yang selama ini menjadi acuan dalam penyelenggaraan pendidikan dan menggagas paradigma baru yang sesuai untuk pendidikan kita. Paradigma lama yang bertumpu pada konsepsi analisis masukankeluaran perlu diubah menjadi paradigma yang lebih sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Proses pendidikan tidak hanya membekali dan melatih peserta didik untuk bisa bekerja, tetapi membekali dan melatih peserta didik untuk bisa hidup. Pembelajaran dituntut dapat menghasilkan lulusan yang memiliki kecakapan personal, kecakapan sosial, dan kecakapan akademik dan vokasional. Sikap-sikap yang diperlukan untuk ini adalah keterbukaan, fleksibilitas, dan prinsip dasar hidup dalam konteks sosial yang meliputi kepekaan, kemandirian, dan tanggung jawab. Paradigma lama tentang belajar yang cenderung menekankan pada teori ekonomi perlu diubah menjadi paradigma baru yang menekankan pada perubahan potensi diri melalui interaksi yang kreatif dan dinamis. Paradigma yang memandang bahwa masukan diperbaiki, keluaran secara otomatis akan menjadi baik tidak dapat dipertahankan karena masukan pendidikan tidak dapat disikapi sebagai masukan yang statis. Masukan pendidikan adalah masukan yang dinamis yang banyak dipengaruhi oleh faktor proses dan konteks pendidikan. Karena itu, dalam proses pendidikan, faktor proses dan konteks tersebut harus dipertimbangkan selain pertimbangan terhadap masukan dan keluaran pendidikan.
PEMBAHASAN Membangkitkan Gairah Belajar Bahasa Belajar pada hakikatnya merupakan kegiatan interaksi untuk mengubah potensi menjadi pancaran dahsyat keunikan diri. Interaksi tersebut akan terjadi jika terdapat hubungan antara sesuatu yang sudah dipahami dengan sesuatu yang baru. Melalui peristiwa belajar tersebut, diri peserta didik akan mengalami perubahan ke arah diri yang lain dan baru. Jika pembelajaran tidak mampu mengubah diri peserta didik, pembelajaran itu sia-sia. Karena itu, proses menciptakan hubungan antara pengetahuan lama yang telah dimiliki peserta didik dengan perihal baru yang akan dipelajari merupakan aktivitas penting dalam proses pembelajaran.
Belajar bahasa adalah belajar berbahasa, artinya berpraktik menggunakan bahasa sesuai dengan fungsi dan maknanya dalam komunikasi. Karena itu, belajar bahasa terjadi dalam suatu kegiatan interaksi belajar-mengajar bahasa. Aktivitas interaksi pembelajaran bahasa memiliki karakteristik yang berbeda dengan aktivitas interaksi pembelajaran mata pelajaran lainnya. Karakteristik aktivitas interaksi belajar-mengajar bahasa disajikan berikut ini. (1) Aktivitas yang dilaksanakan dalam kegiatan belajar-mengajar berpusat pada peserta didik. Artinya, peserta didik yang harus aktif dalam melaksanakan praktik penggunaan bahasa. Keterlibatan peserta didik dalam kegiatan belajar-mengajar merupakan salah satu karakteristik yang menonjol dari interaksi pembelajaran. Dalam aktivitas belajar, peserta didik berperan sebagai (a) peneliti, yakni melakukan eksplorasi objek, peristiwa, orang, atau konsep, (b) pemagang kognitif, yakni menghaluskan kognitifnya melalui proses magang, dan (c) penghasil pengetahuan, yakni menyintesis pengetahuan dan keterampilan. (2) Aktivitas yang dilaksanakan dalam kegiatan belajar-mengajar mengarah secara langsung pada latihan atau praktik penggunaan bahasa baik secara lisan maupun tulis. Praktik penggunaan bahasa memiliki peranan yang sangat penting dalam pengajaran bahasa, karena pengajaran yang hanya difokuskan pada pemahaman kaidah bahasa tidak akan berpengaruh pada performansi aktual baik dalam berbicara maupun menulis. (3) Aktivitas yang dilaksanakan dapat membina dan mengarahkan kemampuan peserta didik dalam memilih dan menata bahasanya sesuai dengan faktor-faktor penentu tindak komunikasi. Faktor-faktor yang dimaksudkan meliputi siapa partisipan wicara, untuk tujuan apa, dalam situasi bagaimana, dalam konteks apa, dengan jalur dan media mana, dan dalam peristiwa apa. (4) Aktivitas yang dilaksanakan dalam kegiatan belajar-mengajar mengarah pada kreativitas penggunaan bahasa bukan hanya penggunaan bahasa yang bersifat mekanik. Aktivitas yang dilaksanakan harus benar-benar memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menggunakan bahasa secara kreatif dengan jalan bebas memilih apa yang akan diungkapkan dan bagaimana mengungkapkannya. Latihanlatihan yang bersifat mekanik harus diminimalkan karena tidak memberikan kesempatan pada peserta didik untuk berkreasi dalam memilih dan menata bahasanya sendiri. Agar aktivitas interaksi belajar-mengajar sebagaimana yang telah diuraikan di atas dapat dicapai, setiap guru bahasa harus dapat berperan sebagai individu yang mampu memberikan bimbingan, memantau kegiatan peserta didik, menciptakan latihan-latihan kreatif, dan dalam kesempatan yang lain dapat bertindak sebagai teman komunikasi bersama-sama dengan peserta didik. Interaksi dalam kegiatan belajar-mengajar berasal dari dan terletak pada peserta didik. Peserta didik harus mendapat kesempatan dalam interaksi komunikatif yang bermakna. Dalam hal ini peserta didik berperan sebagai subjek didik, sedangkan guru bertindak sebagai penyuluh, penganalisis kebutuhan, dan pembimbing peserta didik dalam berlatih berkomunikasi secara wajar. Satu hal lagi yang perlu mendapat perhatian adalah kegiatan-kegiatan yang direncanakan dalam kegiatan belajar-mengajar harus sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik akan membangkitkan gairah belajar peserta didik. Gairah yang tinggi akan dapat meningkatkan keberhasilan peserta
didik dalam belajar. Hal ini terjadi karena dengan semangat yang tinggi, peserta didik terdorong untuk mengetahui, kemudian melakukan sesuatu untuk dapat menerima apa yang ingin diketahuinya tersebut. Peningkatan gairah peserta didik dalam belajar dapat dilihat pada adanya keterlibatan secara aktif peserta didik terhadap hal-hal yang dipelajarinya. Sebaliknya, pengajaran yang kurang sesuai dengan kebutuhan peserta didik akan sangat membosankan, sehingga motivasi belajar peserta didik menjadi rendah. Gairah belajar peserta didik dapat dibangun melalui tugas-tugas belajar yang bermakna dalam kehidupan peserta didik. Tugas-tugas tersebut merupakan tugas yang menantang, yakni tugas yang merentang keterampilan berpikir dan keterampilan sosial peserta didik. Selain itu, tugas yang diberikan kepada peserta didik hendaknya tugas yang otentik, yakni tugas nyata yang menyatu dengan pengalaman hidup sehari-hari peserta didik. Dalam situasi tertentu, untuk meningkatkan kegairahan peserta didik dalam belajar, guru bahasa Indonesia dapat bekerja sama dengan guru mata pelajaran lainnya untuk memberikan tugas yang terintegrasi atau interdisipliner, yakni tugas yang merupakan pemaduan beberapa mata pelajaran. Kegairahan hidup peserta didik dalam kehidupan di luar sekolah dapat dijadikan sebagai acuan dalam menggairahkan belajar peserta didik dalam pembelaajaran bahasa Indonesia. Keragaman, kefleksibelan, dan kesamaan yang ada dalam kehidupan nyata di masyarakat digunakan sebagai dasar pembentukan kelompok kerja peserta didik dalam memecahkan permasalahan belajar. Karena itu, dalam pengelompokan peserta didik dalam belajar, guru harus mempertimbangkan prinsip (a) keberagaman, yakni keberagaman dalam hal jenis kelamin, kultur, etnis, agama, gaya belajar, kemampuan, dan lain-lain, (b) kefleksibelan, yakni kelenturan dalam pembentukan kelompok yang tersusun sesuai dengan tujuan belajar, dan (c) kesamaan, yakni pemerlakuan peserta didik secara adil. Pembelajaran Berbasis Masalah Dalam kehidupan di masyarakat, anak-anak selalu menghadapi berbagai persoalan. Persoalan tersebut ada yang datang dari teman, lingkungan, ataupun dari dirinya sendiri. Mereka berusaha secara aktif dan kreatif untuk memecahkan persoalan tersebut. Kadang-kadang mereka juga mengalami konfrontasi dengan temannya dalam mengatasi persoalan hidupnya itu. Mereka berusaha mengerahkan segala potensinya untuk tetap dapat hidup dan meraih harapan sesuai dengan yang dicita-citakan. Karena itu, kegairahan hidup melalui upaya memecahkan dan mengatasi masalah tersebut dapat dijadikan model pembelajaran yang menggairahkan. Pembelajaran berbasis masalah (PBM) termasuk salah satu model pembelajaran yang dapat menciptakan kondisi belajar peserta didik lebih aktif dan kreatif. Melalui PBM, peserta didik terlibat secara aktif dalam pemecahan masalah secara sistematis sesuai dengan metode ilmiah sehingga peserta didik dapat mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki keterampilan untuk memecahkan masalah. Melalui PBM, peserta didik dikonfrontasikan secara positif dengan masalah-masalah praktis melalui stimulus dalam belajar (Dasna, 2005). PBM memiliki beberapa karakteristik di antaranya adalah (1) memulai belajar dengan suatu masalah, (2) memastikan bahwa masalah yang diberikan berhubungan dengan dunia nyata peserta didik, (3) mengorganisasikan pelajaran di seputar masalah, bukan di seputar disiplin ilmu, (4) memberikan tanggung jawab yang besar kepada
peserta didik dalam membentuk dan menjalankan secara langsung proses belajar mereka sendiri, (5) menggunakan kelompok kecil, dan (6) menuntut peserta didik untuk mendemontrasikan apa yang telah mereka peserta didiki dalam bentuk produk atau kinerja. Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikemukakan bahwa pembelajaran dengan model PBM dimulai oleh adanya masalah (dapat dimunculkan oleh peserta didik atau guru), kemudian peserta didik memperdalam pengetahuannya tentang apa yang telah diketahui dan apa yang perlu diketahui untuk memecahkan masalah tersebut. Peserta didik dapat memilih masalah yang dianggap menarik untuk dipecahkan sehingga mereka terdorong berperan aktif dalam belajar. Masalah yang dijadikan sebagai fokus pembelajaran dapat diselesaikan peserta didik melalui kerja kelompok sehingga dapat memberi pengalaman-pengalaman belajar yang beragam pada peserta didik seperti kerja sama dan interaksi dalam kelompok, di samping pengalaman belajar yang berhubungan dengan pemecahan masalah seperti memahami masalah, mengidentifikasi masalah, merancang kegiatan pemecahan masalah, mengumpulkan informasi dari berbagai rujukan, menginterpretasikan jawaban masalah, membuat simpulan, mempresentasikan, berdiskusi, dan membuat laporan. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa model PBM dapat memberikan pengalaman yang kaya kepada peserta didik. Dengan kata lain, penggunaan PBM dapat meningkatkan pemahaman peserta didik tentang apa yang mereka peserta didiki sehingga diharapkan mereka dapat menerapkannya dalam kondisi nyata pada kehidupan sehari-hari. Pentingnya Pembelajaran Berbasis Masalah PBM merupakan model pembelajaran yang berorientasi pada kerangka kerja teoritik konstruktivisme. Dalam PBM, fokus pembelajaran ada pada masalah yang dipilih sehingga peserta didik tidak saja mempelajari konsep-konsep yang berhubungan dengan masalah, tetapi juga metode ilmiah untuk memecahkan masalah. Oleh sebab itu, peserta didik tidak saja harus memahami konsep yang relevan dengan masalah yang menjadi pusat perhatian, tetapi juga memperoleh pengalaman belajar yang berhubungan dengan keterampilan menerapkan metode ilmiah dalam pemecahan masalah dan menumbuhkan pola berpikir kritis. Bila pembelajaran yang dimulai dengan suatu masalah, apalagi kalau masalah tersebut bersifat kontekstual, dapat terjadi ketidaksetimbangan kognitif pada diri peserta didik. Keadaan ini dapat mendorong rasa ingin tahu sehingga memunculkan bermacammacam pertanyaan di sekitar masalah seperti “apa yang dimaksud dengan....”, “mengapa bisa terjadi....”, “bagaimana mengetahuinya...” dan seterusnya. Bila pertanyaanpertanyaan tersebut telah muncul dalam diri peserta didik, motivasi intrinsik mereka untuk belajar akan tumbuh. Pada kondisi tersebut diperlukan peran guru sebagai fasilitator untuk mengarahkan peserta didik tentang “konsep apa yang diperlukan untuk memecahkan masalah”, “apa yang harus dilakukan” atau “bagaimana melakukannya” dan seterusnya. Dari paparan tersebut dapat diketahi bahwa penerapan PBM dalam pembelajaran dapat mendorong peserta didik mempunyai inisiatif untuk belajar secara mandiri. Pengalaman ini sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari karena berkembangnya pola pikir dan pola kerja seseorang bergantung pada cara dia membelajarkan dirinya. Hasil belajar yang diperoleh peserta didik melalui PBM dapat dipilah menjadi tiga, yaitu (1) keterampilan melakukan pemecahan masalah melalui kegiatan inkuiri, (2)
keterampilan belajar sesuai dengan perilaku orang dewasa (adult role behaviors), dan (3) keterampilan belajar mandiri (skills for independent learning). Peserta didik yang melakukan inkuiri dalam pembelajaran akan menggunakan keterampilan berpikir tingkat tinggi (higher-order thinking skill), yakni mereka akan melakukan aktivitas mental seperti induksi, deduksi, klasifikasi, dan rasionalisasi. PBM juga bertujuan untuk membantu peserta didik belajar secara mandiri. Lingkungan belajar yang konstruktivistik diperlukan dalam pembelajaran melalui PBM. Lingkungan belajar konstruktivistik mencakup beberapa faktor berikut ini. a) Adanya keterkaitan antarkasus Kasus-kasus yang berhubungan dapat membantu peserta didik untuk memahami pokok-pokok permasalahan secara implisit. Kasus-kasus berhubungan dapat membantu peserta didik belajar mengidentifikasi akar masalah atau sumber masalah utama yang berdampak pada munculnya masalah yang lain. Kegiatan belajar seperti itu dapat membantu peserta didik meningkatkan kemampuan berpikir kritis yang berguna dalam kehidupan sehari-hari. b) Adanya fleksibilitas kognisi Fleksibilitas kognisi merepresentasi materi pokok dalam upaya memahami kompleksitas yang berkaitan dengan domain pengetahuan. Fleksibelitas kognisi dapat ditingkatkan dengan memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk memberikan ideidenya, yang menggambarkan pemahamannya terhadap permasalahan. Fleksibelitas kognisi dapat menumbuhkan kreativitas berpikir luas (divergent) dalam mempresentasikan masalah. Dari masalah yang ditetapkan, peserta didik dapat mengembangkan langkah-langkah pemecahan masalah dan dapat mengemukakan ide pemecahan yang logis. Ide-ide tersebut dapat didiskusikan dahulu dalam kelompok kecil sebelum dilaksanakan. c) Tersedianya sumber informasi Sumber-sumber informasi bermanfaat bagi peserta didik dalam menyelidiki permasalahan. Informasi dikonstruksi dalam model mental dan perumusan hipotesis yang menjadi titik tolak dalam memanipulasi ruang permasalahan. Dalam konteks belajar bahasa, pengetahuan peserta didik terhadap masalah yang dipecahkan dapat digunakan sebagai acuan awal dan dalam penelusuran bahan pustaka sesuai dengan masalah yang mereka pecahkan. d) Tersedianya bantuan kognitif Bantuan kognitif merupakan bantuan bagi peserta didik untuk meningkatkan kemampuan menyelesaikan tugas-tugasnya. Cognitive tools membantu peserta didik untuk merepresentasi apa yang diketahuinya atau apa yang dipelajarinya, atau melakukan aktivitas berpikir melalui pemberian tugas-tugas. e) Adanya pemodelan dinamis Pemodelan yang dinamis adalah pengetahuan yang memberikan cara-cara berpikir dan menganalisis, mengorganisasi, dan memberikan cara untuk mengungkapkan pemahaman mereka terhadap suatu fenomena. Pemodelan membantu peserta didik untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan, “apa yang saya ketahui” dan “apa artinya”. f) Adanya peluang percakapan dan kolaborasi Percakapan dan kolaborasi dilakukan dengan diskusi dalam proses pemecahan masalah. Diskusi secara tidak resmi dapat menumbuhkan suasana kolaborasi. Diskusi intensif yang di dalamnya terjadi proses menjelaskan dan memperhatikan penjelasan
peserta diskusi dapat membantu peserta didik mengembangkan komunikasi ilmiah, argumentasi yang logis, dan sikap ilmiah. g) Adanya dukungan sosial dan kontekstual Dukungan sosial dan kontekstual berhubungan dengan kondisi yang menjadikan masalah (yang menjadi fokus pembelajaran) dapat membuat peserta didik termotivasi untuk memecahkannya. Dukungan sosial dalam kelompok ini penting dalam menumbuhkan kondisi yang saling memotivasi antarpeserta didik. Suasana kompetitif antarkelompok juga dapat mendukung kinerja kelompok. Dukungan sosial dan kontekstual hendaknya dapat diakomodasi oleh guru untuk menyukseskan pelaksanaan pembelajaran. Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut. (1) Melalui PBM pembelajaran menjadi lebih bermakna. Peserta didik yang belajar memecahkan suatu masalah akan menerapkan pengetahuan yang dimilikinya atau berusaha mengetahui pengetahuan yang diperlukan. Artinya belajar tersebut ada pada konteks aplikasi konsep. Belajar dapat semakin bermakna dan dapat diperluas ketika peserta didik berhadapan dengan situasi diterapkannya konsep tersebut. (2) Dalam situasi PBM, peserta didik mengintegrasikan pengetahuan dan keterampilan secara simultan dan mengaplikasikannya dalam konteks yang relevan. Artinya, apa yang dilakukan oleh peserta didik sesuai dengan keadaan nyata bukan lagi teoritis sehingga masalah-masalah dalam aplikasi suatu konsep atau teori akan ditemukan oleh mereka selama pembelajaran berlangsung. (3) PBM dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, menumbuhkan inisiatif peserta didik dalam bekerja, menumbuhkan motivasi intrinsik untuk belajar, dan dapat mengembangkan hubungan interpersonal dalam bekerja kelompok. Gejala umum yang terjadi pada peserta didik pada saat ini adalah “malas berpikir” mereka cenderung menjawab suatu pertanyaan dengan cara mengutip dari buku atau bahan pustaka lain tanpa mengemukakan pendapat atau analisisnya terhadap pendapat tersebut. Bila keadaan ini berlangsung terus, peserta didik akan mengalami kesulitan mengaplikasikan pengetahuan yang diperolehnya di kelas dengan kehidupan nyata. Dengan kata lain, pelajaran di kelas adalah untuk memperoleh nilai ujian dan nilai ujian tersebut belum tentu relevan dengan tingkat pemahaman mereka. Oleh sebab itu, model PBM merupakan alternatif yang dapat menjadi salah satu solusi untuk mendorong peserta didik berpikir dan bekerja dan tidak hanya menghafal dan bercerita. Tahap-tahap Pembelajaran Berbasis Masalah Penerapan PBM dimulai dengan adanya masalah. Masalah tersebut harus dipecahkan atau dicari pemecahannya oleh peserta didik. Masalah tersebut dapat berasal dari peserta didik atau mungkin juga diberikan oleh guru. Peserta didik akan memusatkan pembelajaran di sekitar masalah tersebut, dengan arti lain, peserta didik belajar teori dan metode ilmiah agar dapat memecahkan masalah yang menjadi pusat perhatiannya. Pemecahan masalah dalam PBM harus sesuai dengan langkah-langkah yang diterapkan dalam metode ilmiah. Peserta didik belajar memecahkan masalah secara sistematis dan terencana. Oleh sebab itu, penggunaan PBM dapat memberikan pengalaman belajar melakukan kerja ilmiah kepada peserta didik. Langkah-langkah pemecahan masalah dalam pembelajaran berbasis masalah paling sedikit ada delapan tahapan, yaitu (1) mengidentifikasi masalah, (2) mengumpulkan data, (3) menganalisis
data, (4) memecahkan masalah berdasarkan data yang ada dan analisisnya, (5) memilih cara untuk memecahkan masalah, (6) merencanakan penerapan pemecahan masalah, (7) melakukan ujicoba terhadap rencana yang ditetapkan, dan (8) melakukan tindakan untuk memecahkan masalah. Empat tahap pertama diperlukan untuk berbagai kategori tingkat berpikir, sedangkan empat tahap berikutnya harus dicapai bila pembelajaran dimaksudkan untuk mencapai keterampilan berpikir tingkat tinggi. Langkah mengidentifikasi masalah merupakan tahapan yang sangat penting dalam PBM. Pemilihan masalah yang tepat agar dapat memberikan pengalaman belajar yang mencirikan kerja ilmiah sering menjadi ”masalah” bagi guru dan peserta didik. Artinya, pemilihan masalah yang kurang luas, kurang relevan dengan konteks materi pembelajaran, atau suatu masalah yang sangat menyimpang dengan tingkat berpikir peserta didik dapat menyebabkan tidak tercapainya tujuan pembelajaran. Oleh sebab itu, sangat penting adanya pendampingan oleh guru pada tahap ini. Walaupun tidak melakukan intervensi terhadap masalah, guru dapat memfokuskan masalah melalui pertanyaan-pertanyaan agar peserta didik melakukan refleksi lebih dalam terhadap masalah yang dipilih. Dalam hal ini, guru harus berperan sebagai fasilitator agar pembelajaran tetap pada bingkai yang direncanakan. Suatu hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam PBM adalah pertanyaan berbasis why bukan sekadar how. Oleh karena itu, setiap tahap dalam pemecahan masalah, keterampilan peserta didik dalam tahap tersebut hendaknya tidak semata-mata keterampilan how, tetapi kemampuan menjelaskan permasalahan dan bagaimana permasalahan dapat terjadi. Tahapan dalam proses pemecahan masalah digunakan sebagai kerangka atau panduan dalam proses belajar melalui PBM. Namun, yang harus dicapai pada akhir pembelajaran adalah kemampuan untuk memahami permasalahan dan alasan timbulnya permasalahan serta kedudukan permasalahan tersebut dalam tatanan sistem yang sangat luas. Ada lima fase pelaksanaan PBM dalam pembelajaran. Fase-fase yang dimaksudkan adalah sebagai berikut. Fase 1: Mengorientasikan peserta didik pada masalah Pembelajaran dimulai dengan menjelaskan tujuan pembelajaran dan aktivitasaktivitas yang akan dilakukan. Dalam penggunaan PBM, tahapan ini sangat penting. Dalam hal ini, guru harus menjelaskan dengan rinci kegiatan yang harus dilakukan oleh peserta didik dan juga oleh guru. Di samping proses yang akan berlangsung, perlu juga dijelaskan cara evaluasi yang akan dilakukan oleh guru dalam proses pembelajaran. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan motivasi agar peserta didik dapat engage dalam pembelajaran yang akan dilakukan. Sutrisno (2006) menekankan empat hal penting pada proses ini, yaitu (1) tujuan utama pengajaran ini tidak untuk mempelajari sejumlah besar informasi baru, tetapi lebih kepada belajar bagaimana menyelidiki masalah-masalah penting dan bagaimana menjadi peserta didik yang mandiri, (2) permasalahan dan pertanyaan yang diselidiki tidak mempunyai jawaban mutlak “benar“, sebuah masalah yang rumit atau kompleks mempunyai banyak penyelesaian dan sering bertentangan, (3) selama tahap penyelidikan, peserta didik didorong untuk mengajukan pertanyaan dan mencari informasi, sedangkan guru akan bertindak sebagai pembimbing yang siap membantu, dan (4) selama tahap analisis dan penjelasan, peserta didik akan didorong untuk menyatakan ide-idenya secara terbuka dan penuh kebebasan. Semua peserta didik
diberi peluang untuk menyumbang kepada penyelidikan dan menyampaikan ide-ide mereka. Fase 2: Mengorganisasikan peserta didik untuk belajar Disamping mengembangkan keterampilan memecahkan masalah, PBM juga mendorong peserta didik belajar berkolaborasi. Pemecahan suatu masalah sangat membutuhkan kerja sama dan sharing antaranggota. Oleh sebab itu, guru dapat memulai kegiatan pembelajaran dengan membentuk kelompok-kelompok peserta didik yang tiaptiap kelompok akan memilih dan memecahkan masalah yang berbeda. Prinsip-prinsip pengelompokan peserta didik dalam pembelajaran kooperatif dapat digunakan dalam konteks ini seperti kelompok harus heterogen, pentingnya interaksi antaranggota, komunikasi yang efektif, adanya tutor sebaya, dan sebagainya. Guru perlu penting memonitor dan mengevaluasi kerja tiap-tiap kelompok untuk menjaga kinerja dan dinamika kelompok selama pembelajaran. Setelah peserta didik diorientasikan pada suatu masalah dan telah membentuk kelompok belajar, guru dan peserta didik menetapkan sub-subtopik yang spesifik, tugastugas penyelidikan, dan jadwal. Tantangan utama bagi guru pada tahap ini adalah mengupayakan agar semua peserta didik aktif terlibat dalam sejumlah kegiatan penyelidikan dan hasil-hasil penyelidikan ini dapat menghasilkan penyelesaian terhadap permasalahan tersebut. Fase 3: Membantu penyelidikan mandiri dan kelompok Penyelidikan adalah inti dari PBM. Kegiatan yang dilakukan pada fase ini meliputi mengumpulkan data dan melakukan eksperimen, berhipotesis dan membuat penjelasan, dan memberikan pemecahan. Pengumpulan data dan eksperimentasi merupakan aspek yang sangat penting. Pada tahap ini, guru harus mendorong peserta didik untuk mengumpulkan data dan melaksanakan eksperimen sampai mereka betulbetul memahami dimensi situasi permasalahan. Tujuannya adalah agar peserta didik mengumpulkan cukup informasi untuk menciptakan dan membangun ide mereka sendiri. Pada fase ini, peserta didik seharusnya lebih dari sekedar membaca masalah-masalah dalam buku-buku. Guru perlu membantu peserta didik untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dari berbagai sumber. Guru hendaknya mengajukan pertanyaanpertanyaan yang mendorong peserta didik untuk berpikir tentang masalah dan ragam informasi yang dibutuhkan untuk sampai pada pemecahan masalah yang dapat dipertahankan. Setelah peserta didik mengumpulkan cukup data dan memberikan permasalahan tentang fenomena yang diselidiki, selanjutnya mereka mulai menawarkan penjelasan dalam bentuk hipotesis, penjelasan, dan pemecahan. Selama pengajaran pada fase ini, guru mendorong peserta didik untuk menyampaikan ide-idenya dan menerima secara penuh ide tersebut. Guru juga harus mengajukan pertanyaan yang membuat peserta didik berpikir tentang kelayakan hipotesis dan solusi yang mereka buat serta tentang kualitas informasi yang dikumpulkan. Pertanyaan-pertanyaan berikut kiranya cukup memadai untuk membangkitkan semangat penyelidikan bagi peserta didik. “Apa yang Anda butuhkan agar Anda yakin bahwa pemecahan dengan cara Anda adalah yang terbaik?” atau “Apa yang dapat Anda lakukan untuk menguji kelayakan pemecahanmu?” atau “Apakah ada solusi lain yang dapat Anda usulkan?”. Oleh karena itu, selama fase ini,
guru harus menyediakan bantuan yang dibutuhkan tanpa mengganggu aktivitas peserta didik dalam kegaitan penyelidikan. Fase 4: Mengembangkan dan menyajikan artifak (hasil karya) dan memamerkannya Tahap penyelidikan diikuti dengan menciptakan artifak (hasil karya) dan pameran. Artifak lebih dari sekadar laporan tertulis, tetapi bisa berupa videotape (menunjukkan situasi masalah dan pemecahan yang diusulkan), model (perwujudan secara fisik dari situasi masalah dan pemecahannya), program komputer, dan sajian multimedia. Tentunya kecanggihan artifak sangat dipengaruhi tingkat berpikir peserta didik. Langkah selanjutnya adalah memamerkan hasil karyanya dan guru berperan sebagai organisator pameran. Akan lebih baik jika dalam pemeran ini melibatkan peserta didik-peserta didik lainnya, guru-guru, orang tua, dan lainnya yang dapat menjadi “penilai” atau memberikan umpan balik. Fase 5: Analisis dan evaluasi proses pemecahan masalah Fase ini merupakan tahap akhir dalam PBM. Selama fase ini guru meminta peserta didik untuk merekonstruksi pemikiran dan aktivitas yang telah dilakukan selama proses kegiatan belajarnya. Kapan mereka pertama kali memperoleh pemahaman yang jelas tentang situasi masalah? Kapan mereka yakin dalam pemecahan tertentu? Mengapa mereka dapat menerima penjelasan lebih siap dibanding yang lain? Mengapa mereka menolak beberapa penjelasan? Mengapa mereka mengadopsi pemecahan akhir dari mereka? Apakah mereka berubah pikiran tentang situasi masalah ketika penyelidikan berlangsung? Apa penyebab perubahan itu? Apakah mereka akan melakukan secara berbeda di waktu yang akan datang? Tentunya masih banyak lagi pertanyaan yang dapat diajukan untuk memberikan umpan balik dan menginvestigasi kelemahan dan kekuatan PBM untuk pengajaran. Pembelajaran Bahasa Indonesia Berbasis Masalah PBM dapat digunakan dalam pembelajaran bahasa, khususnya pembelajaran bahasa Indonesia. PBM memiliki manfaat besar dalam melatih kreativitas, daya pikir, dan kemandirian peserta didik. PBM dapat digunakan sebagai alat yang melatih peserta didik untuk memecahkan masalah. PBM menggunakan suatu kerangka kerja yang menekankan bagaimana para peserta didik merencanakan suatu kegiatan untuk menjawab sederet pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut di antaranya adalah “what do I know”, “what do I need to know”, “what do I need to learn”, dan “how do I measure or describe the result”. Selama fase merancang kegiatan berbasis masalah, para peserta didik mengidentifikasi berbagai persoalan dan menyusun suatu daftar setiap tahap kegiatan yang akan dilakukan. Sebagai salah satu alternatif strategi pembelajaran, PBM dapat diterapkan untuk melatih peserta didik bekerja secara mandiri dan menggunakan potensi serta kreativitasnya dalam proses pembelajaran. Dalam aktivitas pembelajaran, peserta didik mendapat porsi dan peluang besar untuk berlatih menggunakan daya pikir dan keterampilannya dalam menyerap dan menguasai materi ajar yang dipelajarinya. Hal ini sesuai dengan ruh pembelajaran bahasa, yakni melatih dan membelajarkan peserta didik terampil dan mahir berbahasa. Anak yang terampil dan mahir berbahasa adalah anak
yang dapat menggunakan kompetensi dan performansi bahasanya secara optimal, baik kompetensi dan kompetensi berbahasa reseptif maupun produktif. Pembelajaran bahasa pada hakikatnya adalah pembelajaran menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Dalam pembelajaran bahasa, peserta didik dilatih dan dibelajarkan untuk menggunakan bahasa sebagai wahana untuk menyerap informasi, menganalisis, menyintesis, mengevaluasi, dan menyampaikannya sebagai informasi baru. Bahasa dalam hal ini difungsikan sebagai sarana untuk berpikir, bernalar, dan berkomunikasi, bukan sebagai materi yang harus dihafal. Pada umumnya, pembelajaran bahasa sering terjebak pada pembelajaran konseptual tentang bahasa. Bahasa diajarkan sebagai konsep yang harus dihafal dan dimengerti oleh anak sebagaimana pembelajaran ekonomi, kimia, fisika, dan biologi. Anak dibebani pekerjaan untuk menghafal sejumlah istilah yang tidak menguntungkan bagi pembelajaran bahasa. Akibatnya, anak lebih mahir menjelaskan istilah-istilah tersebut, tetapi tidak mampu menggunakan atau menerapkan istilah tersebut dalam aktivitas berbahasa (dalam menulis misalnya). Sebagai contoh, anak memahami dan mampu menjelaskan serta memberi contoh pengertian sinonim, tetapi anak tidak dapat memanfaatkan sinonim tersebut untuk kepentingan menulis atau membaca. Karena itu, model pembelajaran yang demikian ini perlu dirombak sehingga menjadi model pembelajaran yang lebih kreatif dan inovatif. Standar isi kurikulum bahasa Indonesia menekankan materi pembelajaran bahasa yang lebih bersifat fungsional. Melalui pembelajaran bahasa Indonesia, diharapkan peserta didik mampu menggunakan bahasa tersebut sesuai dengan fungsinya. Sebagai contoh, beberapa pokok materi ajar bahasa Indonesia dalam kurikulum bahasa Indonesia SMA adalah membuat surat, menyusun karya ilmiah, mengembangkan paragraf, menyusun naskah pidato, menyusun proposal, dan sebagainya. Peserta didik perlu dilatih dan dibelajarkan menggunakan bahasa Indonesia untuk kepentingan membuat surat, menyusun karya ilmiah, mengembangkan paragraf, menyusun naskah pidato, dan menyusun proposal, bukan diminta untuk memahami dan menghafal sistematika dan ciriciri surat, karya ilmiah, paragraf, dan pidato. Dalam pembelajaran bahasa Indonesia secara fungsional, terdapat tiga masalah pokok yang perlu mendapatkan perhatian dari guru. Ketiga masalah pokok tersebut adalah (a) masalah isi atau topik, (b) masalah sistematika atau format, dan (c) masalah tatanan bahasa dengan berbagai variasi kesantunannya. Masalah isi atau topik merupakan masalah pengetahuan umum yang penguasaannya dapat dilatihkan kepada peserta didik melalui berbagai bidang studi dan dengan banyak membaca. Masalah sistematika atau format merupakan perihal standar yang dapat ditemukan dalam berbagai refernsi. Sementara, masalah bahasa dengan variasi kesantunannya merupakan masalah yang menjadi tugas guru bahasa Indonesia dalam pengembangannya. Karena itu, masalah ketiga ini merupakan fokus utama yang menjadi tugas guru bahasa Indonesia dalam aktivitas pembelajaran. Berdasarkan karakteristik materi ajar bahasa Indonesia sebagaimana dikemukakan di atas, PBM dapat dipandang sebagai salah satu strategi yang memberikan peluang besar bagi aktivitas kelas dalam pencapaian tujuan pembelajaran. Melalui pembelajaran dengan strategi PBM, aktivitas pembelajaran akan menyadarkan peserta didik untuk bertanya pada dirinya sendiri tentang masalah atau topik apa yang akan diketahui, aktivitas apa yang perlu dilakukan untuk mengetahuinya, bagaimana usaha untuk mempelajarinya, dan
bagaimana mengukur keberhasilan dan mendeskripsikan hasilnya. Jika kesadaran peserta didik dalam belajar telah sampai pada taraf tersebut berarti bahwa aktivitas kelas telah berhasil dalam mencapai tujuan pembelajaran, yakni penciptaan kelas learning how to learn. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan pembahasan di atas tentang penerapan pembelajaran berbasis masalah diperoleh kesimpulan sebagai berikut. a. Hal yang harus disiapkan guru sebelum pembelajaran 1) Lakukan identifikasi dan pemetaan topik atau kompetensi dasar dalam kurikulum yang akan dibelajarkan kepada peserta didik. 2) Siapkan lembar-lembar kasus atau masalah yang akan diberikan kepada peserta didik. 3) Lakukan penjajagan ke perpustakaan sekolah untuk menentukan keberadaan sumber referensi yang diperlukan. 4) Siapkan sumber referensi lain yang diperlukan jika hal tersebut tidak tersedia di perpustakaan. 5) Buatlah rambu-rambu masalah dan tugas yang harus dikerjakan oleh peserta didik. b. Hal yang dilakukan guru selama pembelajaran 1) Ciptakan kondisi dan situasi kelas yang siap untuk menerima informasi dan melakukan aktivitas pembelajaran. 2) Sampaikan kepada peserta didik tentang topik atau materi yang akan dipelajari. 3) Jelaskan tujuan yang akan dicapai dalam aktivitas pembelajaran. 4) Jelaskan aktivitas yang akan dan harus dilakukan oleh peserta didik dalam pembelajaran. 5) Tentukan dan tawarkan kepada peserta didik apakah aktivitas terseebut dilakukan secara individual atau kelompok. 6) Jika aktivitas dilakukan secara kelompok, tentukan kelompok kerja peserta didik (pembentukan kelompok dapat dilakukan dengan beragam cara yang menarik). 7) Berikan kasus atau masalah kepada peserta didik untuk dicari penyelesaiannya sesuai dengan rambu-rambu yang ditetapkan. 8) Berikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengenali kasus dan mengidentifikasi kegaiatan yang akan dilakukan. 9) Arahkan peserta didik untuk memperdalam wawasannya tentang kasus dengan membacanya dari buku referensi (dapat mencarinya di perpustakaan atau disiapkan oleh guru). 10) Bimbinglah peserta didik untuk menemukan jawaban atau penyelesaian masalah dengan cara mendiskusikannya dengan teman atau kelompoknya. 11) Sarankan kepada peserta didik untuk segera menyusun laporan hasil pemecahan atau penyelesaian kasus atau masalah. 12) Lakukan aktivitas seminar atau sidang pembahasan kasus per kelompok atau antarkelompok (aktivitas ini dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai model pembelajaran yang menarik, misalnya: jigsaw, pemajangan karya dan komentar kelompok lain, atau model lainnya). 13) Lakukan sidang pleno pembahasan kasus dan penarikan simpulan.
14) Lakukan aktivitas refleksi.
Saran Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas disampaikan beberapa saran untuk menggairahkan belajar peserta didik dalam belajar bahasa Indonesia. a. Dalam pembelajaran bahasa Indonesia, guru jangan sampai terjebak pada pembelajaran konsep, tetapi guru hendaknya lebih menitikberatkan pada pembelajaran keterampilan menggunakan bahasa. b. Peserta didik jangan dibebani oleh usaha untuk menghafalkan konsep atau istilah, tetapi hendaknya lebih difokuskan pada upaya menggunakan konsep atau istilah tersebut. c. Dalam membelajarkan topik tertentu, guru sebaiknya lebih banyak menggunakan model ilustratif bukan model definitif. d. Dalam mempersiapkan aktivitas pembelajaran, guru tidak perlu menjelaskan nama metode yang akan digunakan, tetapi langsung mengarahkan peserta didik pada aktivitas yang harus dilakukan berdasarkan metode itu. e. Dalam mempersiapkan pembelajaran, guru jangan disibukkan oleh pembekalan diri terhadap banyaknya materi yang akan diajarkan, tetapi perkayalah diri dengan berbagai strategi untuk membelajarkan peserta didik tentang materi itu. f. Sumber dan media belajar bahasa Indonesia tidak hanya berupa buku teks, tetapi telah tersedia banyak dan bervariasi di lingkungan kita. g. Dalam aktivitas pembelajaran, berikan kesempatan kepada peserta didik untuk berkreasi dan beralternasi dalam berpendapat selama yang bersangkutan dapat mempertanggungjawabkan pendapatnya itu.
DAFTAR RUJUKAN Dasna, I Wayan. 2005. Penggunaan Model Pembelajaran Problem-based Learning dan Kooperatif learning untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar kuliah metodologi penelitian. Malang: Lembaga Penelitian UM. Sutrisno. 2006. Problem-based Learning. Dalam Monograf Model-model Pembelajaran Sains (Kimia) Inovatif. Malang: Jurusan Kimia.