STRATEGI PENGELOLAAN KEPENTINGAN PARA PIHAK TERHADAP UPAYA KEBIJAKAN PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DI KABUPATEN BOGOR
YUDHI RAHMAWAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Strategi Pengelolaan Kepentingan Para Pihak Terhadap Upaya Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Di Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2013
Yudhi Rahmawan NRP H.252100045
____________________________
*Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait
RINGKASAN YUDHI RAHMAWAN. Strategi Pengelolaan Kepentingan Para Pihak Terhadap Upaya Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh LALA M. KOLOPAKING dan LUKMAN M. BAGA Perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan merupakan salah satu upaya dalam rangka pengendalian terhadap tingginya laju alih fungsi lahan pertanian ke lahan non-pertanian.Serta terkait pula dengan ketahanan dan kedaulatan pangan.Disamping itu, lahan pertanian memiliki peran dan fungsi yang sangat strategis bagi masyarakat Indonesia yang bercorak agraris karena terdapat sejumlah besar penduduk Indonesia yang menggantungkan hidup pada sektor pertanian.Seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah, pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk menyelenggarakan pembanguan pertanian sebagai potensi daerah yang bersinergi dengan kewenangan pemerintah pusat.Demikian pula program ketahanan pangan masih menjadi fokus pemerintah daerah selama angka tingkat kecukupan pangan di daerah belum mencapai seratus persen. Berdasarkan hasil identifikasi kebijakan yang berkaitan dengan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan menunjukkan kebijakan pada tingkat pusat terdiri atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang didukung dengan empat Peraturan Pemerintah. Pertama, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang didukung secara teknis melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor 07/PERMENTAN/OT.140/2/2012 Tentang Pedoman Teknis Kriteria dan Persyaratan Kawasan, Lahan dan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Kedua, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Insentif Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Ketiga, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2012 tentang Sistem Informasi Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Keempat Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2012 Tentang Pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Sejalan dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah tersebut, telah disahkan pula Peraturan Daerah di Propinsi Jawa Barat yakni Peraturan Daerah Jawa Barat Nomor 27 Tahun 2010 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Kemudian diikuti Peraturan Daerah Jawa Barat Nomor 4 Tahun 2012 Tentang Kemandirian Pangan Daerah. Dengan menggunakan metode logistik biner, menunjukkan bahwa dari lima aspek pengendalian yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan lahan Pertanian, aspek mekanisme perizinan kepada para pihak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kebijakan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Sedangkan aspek pemberian insentif/disinsentif dan aspek penyuluhan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kebijakan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Berdasarkan output regresi logistik, menunjukkan bahwa ketepatan pengklasifikasian variabel respon Y (pengelolaan kepentingan para pihak jika lahan pertanian pangan berkelanjutan dilindungi dengan persyaratan tertentu dari model yang dihasilkan dengan observasi lapangan secara keseluruhan sebesar 78.6 persen. Ketepatan pengklasifikasian variabel respon dengan kategori tidak setuju sebanyak 31 responden dari 56 responden yang menjawab kategori 0 (55.4 persen), sedangkan ketepatan
pengklasifikasian variabel respon dengan kategori setuju sebanyak 68 responden dari 70 responden yang menjawab variabel respon dengan kategori 1 (97.1 persen). Hasil analisis SWOT menunjukkan beberapa alternatif strategi yakni lima strategi agresif, tujuh strategi stabilitatif/rasional, dua strategi diverifikatif dan dua strategi defensif. Dengan demikian, dalam rangka upaya perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan, Kabupaten Bogor lebih banyak bertumpu pada strategi stabilitatif/rasional dan strategi agresif.Salah satu alternatif strateginya yakni perlunya penetapan Perda Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagai komitmen bersama. Berdasarkan hasil perancangan pelaksanaan strategi dengan menggunakan roadmap strategy, dapat diimplementasikan ke dalam 3 kebijakan prioritas, yaitu : (a) Penetapan mekanisme perizinan, (b) Pemberian insentif-disinsentif, dan (c) Penyuluhan. Dengan mengacu pada Visi dan Misi dari Pemerintah Kabupaten Bogor yang dikelompokkan kedalam prioritas pembangunan sesuai dengan substansi dari rumusan tersebut, antara lain a) meningkatkan kesolehan sosial masyarakat dalam kehidupan kemasyarakatan; b) meningkatkan perekonomian daerah yang berdaya saing dengan titik berat pada revitalisasi pertanian dan pembangunan yang berbasis perdesaan; c) meningkatkan infrastruktur dan aksesibilitas daerah yang berkualitas dan terintegrasi secara berkelanjutan; d) meningkatkan pemerataan dan kualitas penyelenggaraan pendidikan; e) meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan berkualitas; f) meningkatkan tata kelola pemerintahan yang baik dan kinerja penyelenggaraan pemerintah daerah; dan g) meningkatkan kerjasama pembangunan daerah. Misi yang telah dirumuskan, dipilih dan ditetapkan menjadi prioritas pembangunan daerah.Dengan mengacu pada strategi dan sasaran bersama dengan tujuan jangka panjang yang hendak dicapai dan fokus kebijakan dalam perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan, maka dapat dirumuskan lebih lanjut program dan kegiatannya.Kebijakan tersebut dilaksanakan melalui 19 program dan 49 kegiatan secara bertahap dalam waktu lima tahun.
Kata kunci: lahan berkelanjutan, pertanian pangan
SUMMARY YUDHI RAHMAWAN. Strategies in Managing the Interests of Some Parties in the Effort of Sustainable Protection of Food Crop Land in Bogor Regency. Under the supervision of LALA M. KOLOPAKING and LUKMAN M. BAGA Sustainable protection of food crop land is an effort in the control of the high rate of agricultural land conversion to non-agricultural land, which is also related to food security and sovereignty. Further, farmland has very strategic roles and functions for the Indonesian people who are agrarian as there are a large number of Indonesian people whose lives depend on agriculture. Along with the implementation of regional autonomy, local governments are given the authority to manage the development of agriculture as their local potential in synergy with the authorities of central government. Food security program is still the focus of local governments as long as the food sufficiency level in the region has not yet reached a hundred percent. The resulted identification of policies related to sustainable agricultural land protection shows that the policies at the national level refer to Law No. 41/2009 on Sustainable Protection of Food Crop Land, supported by four government regulations. The use of a binary logistic method showed that of the five controlling aspects contained in Law No. 41/2009 on the Protection of Agricultural Land, the mechanism aspect of giving permit to the parties had a significant impact on the policies of sustainable agricultural land protection. However, the aspects of incentives/disincentives and extension did not significantly affect the policies of sustainable agricultural land protection. The logistic regression output showed that the classification accuracy of the response variable Y (the management of the parties’ interests if sustainable agricultural land is protected with certain requirements of the models obtained from field observations as a whole) was 78.6 percent. Classification accuracy of the response variable in the disapproval category was 31 respondents out of 56 respondents who answered the category 0 (55.4 percent), while the classification accuracy of the response variable in the approval category was 68 respondents out of 70 respondents who answered the response variable with category 1 (97.1 percent). The resulted SWOT analysis showed a number of alternative strategies: namely five aggressive strategies, seven stabilitative/rational strategies, two diversificative strategies and two defensive strategies. Thus, in order to safeguard a sustainable agricultural land, Bogor regency mostly relies on stabilitative/rational strategy and aggressive strategy. On of its alternative strategies is the need for the establishment of Regional Regulation on Sustainable Agricultural Land Protection as joint commitment. The resulted planning of implemented strategies using a road -map strategy can be implemented into 3 policy priorities, namely (a) establishment of permit mechanism, (b) provision of incentives - disincentives, and (c) extension. The Vision and Mission of the Government of Bogor Regency are formulated into development priorities in accordance with the substance of the formula: a) improving socially acceptable behaviors in social life, b) enhancing regional economic competitiveness with emphasis on the revitalization of agriculture and rural-based development, c) improving the infrastructure and sustainable high-quality and integrated accessibility of the region, d) improving the equity and quality of education, e) improving the quality of health care, f) enhancing good governance and performance of local government administration, and g) improving regional development cooperation. The missions that have been formulated, selected and
established become the development priorities of the region. By referring to the strategies and common targets in the long-term goals to be achieved and the policies focused on the sustainable agricultural land protection, further programs and activities can be formulated. The policies are implemented through 19 programs and 49 activities in stages of five years. Keywords: sustainable land, food farming
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk laporan apapun tanpa izin IPB.
STRATEGI PENGELOLAAN KEPENTINGAN PARA PIHAK TERHADAP UPAYA KEBIJAKAN PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DI KABUPATEN BOGOR
YUDHI RAHMAWAN
Tugas akhir Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional Pada Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Thesis : Dr. Ir. Baba Barus, MSc
JudulTesis
Nama NRP
: Strategi Pengelolaan Kepentingan Para Pihak Terhadap Upaya Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Di Kabupaten Bogor : Yudhi Rahmawan : H.252100045
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS Ketua
Ir. Lukman M. Baga, MA.Ec Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah
Dr. Ir. Ma’mun Sarma, MS. M.Ec
Tanggal Ujian: 24 Juli 2013
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Lulus:
PRAKATA Alhamdulillahirabbil Alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan dengan baik. Judul yang dipilih dalam karya ilmiah ini adalah “Strategi Pengelolaan Kepentingan Para Pihak Terhadap Upaya Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Di Kabupaten Bogor”. Melalui prakata ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS dan Bapak Ir. Lukman M. Baga, MA.Ec, selaku dosen pembimbing serta segenap staf pengajar dan karyawan di Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah (MPD) yang dipimpin oleh Bapak Dr. Ir. Ma’mun Sarma, MS. M.Ec. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan MPD angkatan ke-12 (2010/2011) atas kekompakan dan kebersamaannya selama ini. Penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Bupati Bogor Bapak Rachmat Yasin, Kepala Bappeda Kabupaten Bogor M. Zairin, Kepala BKD Kabupaten Bogor Adang Suptandar atas kesempatan yang telah diberikan untuk menempuh studi S2. Hal yang sama juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua, Ayahanda Diyono dan Ibunda Saminem serta Adik Erna Lutfiati, atas dukungan dan dorongan moral, semangat dan do’a yang telah diberikan selama ini selama penyelesaian studi di MPD IPB. Akhirnya, semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkannya, Amin Ya Rabbal Alamin. Bogor, Juli 2013
Yudhi Rahmawan
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................ DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................
x xi xii
1 PENDAHULUAN...................................................................................... Latar Belakang........................................................................................ Perumusan Masalah ................................................................................ Tujuan ..................................................................................................... Manfaat ...................................................................................................
1 1 3 4 4
2 TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................. Sumberdaya Lahan dan Masalah Konversi Lahan Pertanian ................. Persepsi dan Partisipasi .......................................................................... Konflik dan Kolaborasi .......................................................................... Penelitian Terdahulu ............................................................................... Strategi .................................................................................................... SWOT .....................................................................................................
5 5 6 8 13 16 16
3 METODE PENELITIAN ............................................................................ Kerangka Pemikiran ............................................................................... Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................. Jenis dan Sumber Data ........................................................................... Metode Analisis Data ............................................................................. Metode Perumusan Strategi ....................................................................
18 18 19 21 24 25
4 KONDISI UMUM LOKASI ....................................................................... Kondisi Fisik Wilayah dan Administratif Pemerintahan ....................... Kondisi Demografi dan Sosial Budaya .................................................. Kondisi Perekonomian ........................................................................... ` Kondisi Taraf Kesejahteraan Rakyat ...................................................... Kondisi Sarana dan Prasarana ................................................................ Kecamatan Leuwiliang ........................................................................... Kecamatan Caringin ............................................................................... Kecamatan Jonggol ................................................................................
28 28 30 31 33 35 36 38 40
5 IDENTIFIKASI KEBIJAKAN DALAM RANGKA PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN .......................... 42 Identifikasi Kebijakan Berkaitan dengan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan ............................................................................. 42 Faktor yang Menjadi Pertimbangan dalam Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan ............................................................................. 46 6 PENGELOLAAN KEPENTINGAN PARA PIHAK TERHADAP KEBIJAKAN PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN .................................................................. Ketepatan Kategori ................................................................................. Hasil Uji seluruh Variabel Terhadap Persepsi Stakeholder ................... Analisis Peluang (exp)β ..........................................................................
51 51 52 53
7 MANAJEMEN KOLABORASI DALAM PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN ........................... Identifikasi Aktor Para Pihak ................................................................. Identifikasi Peran .................................................................................... Kepentingan ............................................................................................ Pengaruh ................................................................................................. Sumberdaya yang Dimiliki ..................................................................... Kedudukan Aktor ................................................................................... Konflik Kepentingan Antar Aktor ..........................................................
54 54 55 56 57 57 57 58
8 STRATEGI PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN .............................................. Identifikasi Faktor Berdasarkan Analisis SWOT ................................... Perumusan Alternatif Strategi Berdasarkan Analisis SWOT ................. Penyusunan Road Map Strategy dan Prioritas Program/Kegiatan .........
63 63 69 73
9 SIMPULAN DAN SARAN ........................................................................ 80 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 81 LAMPIRAN ..................................................................................................... 85
DAFTAR TABEL Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Tipologi Partisipasi ................................................................................. 7 Penelitian Terdahulu ............................................................................... 13 Luas Lahan Baku Sawah di Kabupaten Bogor ....................................... 21 Kelompok dan Jenis Responden ............................................................. 22 Tujuan, Jenis Data, Sumber Data dan Metode........................................ 23 Matrik SWOT (Strengths-Weaknesses-Opportunities-Threats) ............. 26 Kondisi Demografi Kabupaten Bogor Tahun 2008-2011....................... 31 Realisasi Indikator Makro Ekonomi Kabupaten Bogor Tahun 2009-2011 33 Realisasi Indikator Kesejahteraan Masyarakat Kabupaten Bogor Tahun 2009-2011 ............................................................................................... 34 Jumlah Penduduk, Luas Desa dan Kepadatannya di Kecamatan Leuwiliang Tahun 2010 ............................................................................................. 36 Luas Panen, Hasil per-Hektar dan Produksi Padi di Kecamatan Leuwiliang Tahun 2010 ............................................................................................. 37 Jumlah Penduduk, Luas Desa dan Kepadatannya di Kecamatan Caringin Tahun 2010 ............................................................................................. 38 Luas Panen, Hasil per-Hektar dan Produksi Padi di Kecamatan Caringin Tahun 2010 ............................................................................................. 39 Jumlah Penduduk, Luas Desa dan Kepadatannya di Kecamatan Jonggol Tahun 2011 ............................................................................................. 40 Luas Panen, Hasil per-Hektar dan Produksi Padi di Kecamatan Jonggol Tahun 2011 ............................................................................................. 41 Classification Table ................................................................................ 51 Variabel-variabel .................................................................................... 52 Manajemen Kolaborasi ........................................................................... 59 Bentuk-bentuk kerjasama kolaborasi ...................................................... 62 Ringkasan Tahapan Identifikasi SWOT ................................................ 72 Kebijakan, Strategi, Program dan Kegiatan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Bogor ............................................ 77
DAFTAR GAMBAR 1 2 3
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Halaman 8 10
Desain Kolaborasi ................................................................................... Skema Manajemen Kolaboratif .............................................................. Kerangka Pemikiran Penelitian Strategi Pengelolaan Kepentingan Para Pihak Terhadap Upaya Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Di Kabupaten Bogor…………………………. 20 Peta Administrasi Kabupaten Bogor....................................................... 29 Peta Wilayah Pembangunan Kabupaten Bogor ...................................... 30 Peta Administrasi Kecamatan Leuwiliang .............................................. 37 Peta Administrasi Kecamatan Caringin .................................................. 39 Peta Administrasi Kecamatan Jonggol ................................................... 41 Hubungan antar Kebijakan Berkaitan dengan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan ............................................................................. 45 Perkembangan Jumlah Penduduk dan Laju Pertumbuhan Penduduk 46 di Kabupaten Bogor ................................................................................ Produksi Padi di Kabupaten Bogor ......................................................... 47 Tingkat pemenuhan kebutuhan pangan di Kabupaten Bogor ................. 47 Luas Lahan Sawah dan Laju Alih Fungsi Sawah di Kabupaten Bogor .. 48 Share PDRB Kabupaten Bogor ADHK .................................................. 49 Pengembangan jejaring berbasis komunitas ........................................... 54 Luas Lahan Sawah di Kabupaten Bogor Tahun 2010 ............................ 63 64 Perkembangan Produksi Padi di Kabupaten Bogor ................................ Luas Sawah, Realisasi Tanam dan Realisasi Panen di Kabupaten Bogor Tahun 2006-2010 .................................................................................... 64 Perkembangan Output Sektor Bangunan di Kabupaten Bogor .............. 68 Road Map Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di 75 Kabupaten Bogor ....................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3
4 5
Luas penggunaan lahan sawah 2005-2010 ............................................. Perkembangan Jumlah Penduduk dan Laju Pertumbuhan Penduduk di Kabupaten Bogor 2000-2010 ............................................................... Realisasi tanam (Ha), realisasi panen (Ha), produktivitas (ku/ha), produksi (ton), jumlah penduduk (jiwa), pemenuhan kebutuhan pangan pokok (%) ................................................................................... Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2006 – 2010 (Juta Rupiah) ................ Hasil Analisis Menggunakan SPSS (Logistic Regression) .....................
Halaman 86 87
88 89 90
1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang
Adanya kesadaran kritis tentang semakin terbatasnya sumberdaya alam yang tersedia dan kebutuhan manusia yang terus meningkat mengharuskan pendekatan pemanfaatan sumberdaya alam yang efisien. Lebih dari itu, pengorbanan sumberdaya tidak boleh mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan generasi yang akan datang. Dalam perspektif konsep keberimbangan, pendekatan pembangunan dituntut untuk memperhatikan keberimbangan dan keadilan antar generasi (inter generational equity). Konsep pendekatan pembangunan yang selanjutnya dikenal dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable development), yakni suatu konsep pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan generasi yang akan datang (Rustiadi, 2011). Konsep pembangunan berkelanjutan sebagaimana dikemukakan oleh Serageldin (1996) dalam Rustiadi et al (2011) sebagai “a triangular framework”, yakni keberlanjutan secara ekonomi, sosial dan ekologi.Sementara Spangenberg (1999) dalam Rustiadi et al (2011) menambahkan dimensi kelembagaan (institution) sebagai dimensi keempat keberlanjutan, sehingga keempat dimensi tersebut membentuk suatu prisma keberlanjutan (prism of sustainability). Anwar (1991) dalam Priyadi (1996) mengemukakan pembangunan pertanian berkelanjutan dalam konteks regional memerlukan adanya pandangan terhadap perlunya menciptakan sistem pengelolaan secara regionalisasi dan desentralisasi dalam pengambilan keputusan disertai dengan pengukuhan hak-hak pengelolaan yang dilakukan secara lokal oleh masyarakat setempat. Sistem pengelolaan tersebut diperlukan agar pengelolaan yang berkaitan dengan eksploitasi sumberdaya dilakukan mampu memberikan multiplier tenaga kerja dan pendapatan kepada wilayah dan lebih menjamin keberlanjutannya.Selaras dengan upaya pengelolaan lingkungan hidup Djojohadikusumo (1994) dalam Priyadi (1996) menyatakan bahwa tanpa adanya pembangunan ekonomi, mustahil dipelihara dan diamankan sumber daya alam dalam perkembangan masa depan sehingga akan terjadi kemerosotan pada kualitas lingkungan hidup. Sebaliknya pembangunan yang tidak memperhatikan pengamanan lingkungan hidup membawa akibat bahwa proses pembangunan cepat atau lambat akan mengalami stagnasi bahkan kemunduran. Pembangunan ekonomi tidak terlepas dari pembangunan sektor pertanian yang dewasa ini proporsinya terus mengalami penurunan. Penurunan tersebut di satu sisi adalah sebagai konsekwensi perkembangan struktur perekominan daerah yang akan cenderung bergeser dengan meningkatnya dominasi sektor-sektor sekunder dan tersier. Namun di sisi lain juga akibat adanya pelambatan pertumbuhan pembangunan pertanian akibat belum optimalnya pengelolaan pembangunan pertanian itu sendiri.Kurang optimalnya pertumbuhan pembangunan bidang pertanian berdampak pada penurunan aktivitas pada sektorsektor lain seperti sektor industri, perdagangan, dan konstruksi. Dampak tersebut telah menimbulkan dampak ikutan di perkotaan berupa peningkatan pengangguran, serta dampak ikutan lainnya yang juga terjadi di wilayah perdesaan(Bappeda, 2010).
2
Sejalan dengan penurunan pembangunan pada sektor pertanian, terkait pula dengan ketahanan dan kedaulatan pangan, alih fungsi lahan pertanian sebagai ancaman yang berimplikasi serius terhadap produksi pangan, lingkungan fisik serta kesejahteraan masyarakat pertanian dan perdesaan yang kehidupannya bergantung pada lahan pertanian.Kurangnya keseimbangan dalam melakukan upaya-upaya terpadu dalam mengembangkan lahan pertanian melalui pencetakan lahan pertanian yang baru dan potensial serta semakin sempitnya luas lahan yang diusahakan dalam usaha pertanian sehingga berdampak pada tingkat kesejahteraan petani, terbatasnya penguasaan/pemilikan lahan. Disisi lain, urbanisasi yang tidak terkendali berdampak pada meluasnya aktivitas-aktivitas perkotaan yang semakin mendesak aktivitas-aktivitas pertanian di kawasan perdesaan yang berbatasan langsung dengan perkotaan.Lahan pertanian memiliki peran dan fungsi strategis bagi masyarakat Indonesia yang bercorak agraris karena terdapat sejumlah besar penduduk Indonesia yang menggantungkan hidup pada sektor pertanian. Oleh karena itu, lahan merupakan sumber daya alam yang bersifat langka karena jumlahnya tidak bertambah, tetapi kebutuhan terhadap lahan selalu meningkat.(Undang-undang, 2009). Seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah, pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk menyelenggarakan pembangunan pertanian sebagai potensi daerah yang bersinergi dengan kewenangan pemerintah pusat.Salah satu program pemerintah adalah ketahanan pangan.Disamping pemerintah pusat menyelenggarakan program ketahanan pangan, dengan adanya otonomi daerah, bagi daerah yang memiliki potensi di sektor pertanian, program ketahanan pangan juga menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Program ketahanan pangan masih menjadi fokus pemerintah daerah selama angka tingkat kecukupan pangan di daerah tersebut belum mencapai seratus persen. Di Kabupaten Bogor, angka tingkat kecukupan pangan pada tahun 2010 mencapai 69.98 persen. Sedangkan angka tingkat kecukupan pangan pada tahun sebelumnya sebesar 69.38 persen.Hal ini banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya laju pertumbuhan penduduk maupun laju konversi lahan pertanian menjadi kegiatan ekonomi non-pertanian. Kabupaten Bogor dengan dengan luas wilayah ±298838.30 Ha yang terdiri dari 40 kecamatan, 411 desa dan 17 kelurahan memiliki jumlah penduduk sebanyak 4 302974 orang pada tahun 2008. Pada tahun 2009, jumlah penduduk sebesar 4 477 296 orang yang berarti telah terjadi kenaikan laju pertumbuhan penduduk sebesar 2.78 %.Sementara pada tahun 2010, jumlah penduduk mengalami kenaikan menjadi 4763209 orang atau meningkat sebanyak 285913 orang. Dalam rangka mewujudkan pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, pemerintah Kabupaten Bogor sedang mengupayakan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan sebagai salah satu bentuk perlindungan dan jaminan terhadap ketersediaan lahan secara berkelanjutan sebagai sumber pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi petani.Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan suatu penelitian menyangkut bagaimana strategi pengelolaan kepentingan para pihak terhadap upaya perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutandiKabupaten Bogor.
3
1.2
Perumusan Permasalahan
Kabupaten Bogor sebagai daerah penyangga Ibu Kota Jakarta memiliki posisi yang strategis.Salah satukelebihannya, berupa indikator pembangunan yang dicerminkan melaluinilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).PDRB berdasarkan harga berlaku yang mencapai Rp 73 800 700 juta pada tahun 2010 dari Rp 66083790 juta pada tahun 2009. Meningkatnya PDRB memberikan peluang dalam peningkatan kesempaten kerja,dimana peningkatan ini mendorong terjadinya pertambahan penduduk yang semakin meningkat setiap tahun.Dimana, peningkatan jumlah penduduk dipengaruhi oleh pertambahan penduduk secara alami maupun adanya migrasi masuk ke Kabupaten Bogor. Implikasi dari semakin besarnya jumlah penduduk tersebut antara lain berupa pemenuhan kebutuhan dasar,baik pangan maupun perumahan yang semakin meningkat. Pemenuhan kebutuhan pangan beras pada tahun 2010 mencapai 504233 ton (dengan tingkat konsumsi sebesar 105.86 kg/kapita/tahun).Sedang tingkat kecukupan pangan beras sebesar 69.98 persen.Untuk produktivitas padi, baik padi sawah maupun padi gogo di Kabupaten Bogor mengalami peningkatan.Padi sawah, tahun 2008 memiliki produktivitas 59.07 ton/ha, meningkat sampai dengan 61.90 ton/ha pada tahun 2010.Sementara untuk padi gogo, produktivitatsnya pada tahun 2008 sebesar 28.07 ton/ha menjadi 31.59 ton/ha di 2010.Namun demikian, kontribusi sektor pertanian yang meliputi sub-sektor pertanian/perkebunan, palawija, tanaman keras relatif mengalami penurunan.Hal ini diindikasikan sebagai akibat dari perubahan fungsi lahan pertanian menjadi non-pertanian (Bappeda, 2010). Adanya indikasi perubahan fungsi lahan yang menyebabkan kontribusi sektor pertanian pada pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan perlu menjadi perhatian bagi Pemerintah Kabupaten Bogor. Hal yang menjadi pertimbangan serta perlu diketahui yakni kebijakan apa yang berkaitan denganperlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan di Kabupaten Bogor. Pemenuhan kebutuhan pangan utamanya berasdi Kabupaten Bogor belum mencapai seratus persen.Hal ini diduga akibat terjadi alih fungsi lahan pertanian ke lahan non-pertanian.Salah satu upaya guna pemenuhan tingkat kecukupan pangan tersebut, dilakukan melalui optimalisasi intensifikasi pertanian.Dimana, dengan melakukan optimalisasi intensifikasi pertanian akan meningkatkan produktifitas padi. Sementara sektor lain yang berkepentingan terhadap penggunaan lahan juga terus mengalami perkembangan. Hal ini dapat dilihat dari indikator makro pembangunan dari sektor tersebut. Proporsi sektor pertanian menurut PDRB pada tahun 2010 sebesar 5.00 persen, sektor industri pengolahan mencapai 61.23 persen dan sektor bangunan sebesar 3.31 persen. Lahan sebagai sumberdaya yang terbatas keberadaannya, dengan potensi dan beragam kepentingan oleh sektor lain, perlu mendapatkan perhatian khusus di Kabupaten Bogor.Mengingat hal tersebut, perlu mengetahui dan menganalisis bagaimana pengelolaan kepentingan para pihakterhadap kebijakan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan di Kabupaten Bogor. Salah satu upaya dalam memenuhi ketersediaan pangan di Kabupaten Bogor yakni melalui kebijakan perlindungan terhadap lahan pertanian pangan berkelanjutan.Pemerintah Daerah merupakan pihak yang bertanggung jawab
4
untuk mengupayakan pemenuhan kebutuhan dasar berupa pemenuhan kebutuhan pangan, meskipun terdapat pihak lain yakni pemerintah pusat dan swasta. Dengan dilaksanakannya kebijakan tersebut, diharapkan lahan pertanian pangan secara status akan lebih jelas dalam peruntukan dan penggunaan. Dengan demikian hal ketiga yang perlu diketahui adalah bagaimana strategi pengelolaan para pihak terhadap upaya kebijakan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan di Kabupten Bogor.
1.3
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan strategi Pemerintah Kabupaten Bogor melalui pengelolaan kepentingan para pihak dalam upaya melindungi lahan pertanian pangan berkelanjutan guna memenuhi tingkat kecukupan pangan dan melindungi dari laju konversi lahan. Untuk mendukung tujuan utama tersebut, perlu ditetapkan tujuan spesifik, meliputi : 1. Mengidentifikasikebijakan berkaitan dengan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan di Kabupaten Bogor. Menganalisisbagaimana pengelolaan kepentingan para pihak terhadap 2. perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan di Kabupaten Bogor. Merumuskan strategi perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan di 3. Kabupaten Bogor.
1.4
Manfaat
a.
Dari aspek keilmuan, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan mengenai kondisi atau gambaran dari strategi pengelolaan kepentingan para pihak terhadap kebijakan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor. Dari aspek praktis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dan menjadi bahan masukan bagi Pemerintah Kabupaten Bogor dalam perumusan kebijakan strategis.
b.
5
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Sumberdaya Lahan dan Masalah Konversi Lahan Pertanian
Lahan merupakan bagian dari bentang alam (landscape) yang mencakup pengertian lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief, hidrologi termasuk keadaan vegetasi alami yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan (FAO, 1976).Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001) dalam Nofarianty (2007) mendefinisikan lahan sebagai suatu wilayah di permukaan bumi, mencakup semua komponen biosfer yang dapat bersifat siklik yang berbeda di atas dan di bawah wilayah tersebut termasuk atmosfir serta segala akibat yang ditimbulkan oleh manusia di masa lalu dan sekarang yang semuanya berpengaruh terhadap penggunaan lahan oleh manusia pada saat sekarang dan di masa yang akan datang. Pemanfaatan lahan merupakan proses yang dinamis dari pola dan aktivitas manusia. Manusia memerlukan bahan pangan, air, energi dan minyak serta infrastruktur perumahan dan fasilitas publik.Kegiatan pemenuhan kebutuhan tersebut menuntut tersedianya lahan. Namun karena ketersediaan tanah relatif tetap, kelangkaan lahan akan terjadi seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan tingkat konsumsinya. Dalam kaitan ini, respon terhadap lahan dapat berupa (a) Ekstensifikasi, bila masih mungkin ketersediaan lahan yang bersifat elastis, (b) Intensifikasi, dengan ketersediaan lahan yang tidak elastis dan digantikan perannya oleh teknologi dan (c) Kombinasi kedua hal tersebut. Terhadap keseimbangan antara permintaan dan penawaran lahan, sistem umpan balik penggunaan lahan dapat mengalir dalam dua arah, yaitu menghasilkan perbaikan kesejahteraan atau justru menurunkan produktivitas dan mengganggu keberlanjutan produksi (Nasoetion, 1995).Dalam keadaan demikian lahan adalah aset yang memberikan nilai guna (use value) bagi menusia seperti yang ditampilkan oleh ciri-cirinya.Nilai guna lahan dapat berupa langsung dan tidak langsung.Nilai guna lahan diperlihatkan misalnya sebagai dasar hunian atau pendukung kegiatan-kegiatan ekonomi.Nilai guna tidak langsung dapat diduga dari unsur hara, mikroorganisme, keanekaragaman hayati, nilai-nilai sosial, atau nilai lahan yang dapat diwariskan (Nugroho dan Dahuri, 2004). Masalah lahan yang saat ini sering dibicarakan adalah alih fungsi lahan terutama lahan pertanian untuk penggunaan non-pertanian.Fenomena alih fungsi lahan adalah bagian dari transformasi struktur ekonomi nasional. Pertumbuhan ekonomi dan penduduk yang memusat di wilayah perkotaan membutuhkan ruang yang lebih luas ke arah luar kota untuk berbagai aktivitas ekonomi dan permukiman. Sebagai akibatnya wilayah pinggir yang sebagian besar adalah lahan pertanian sawah beralih fungsi menjadi lahan non-pertanian dengan tingkat peralihan yang beragam antar periode dan wilayah.Lahan pertanian yang berpeluang untuk terkonversi lebih besar adalah lahan sawah dibandingkan lahan kering. Sawah secara spasial memiliki alasan yang kuat untuk dikonversi menjadi kegiatan non-pertanian karena : (1) Kebutuhan lahan untuk kegiatan non-pertanian lebih menguntungkan dilahan yang datar dimana sawah pada umumnya ada, (2) Infrastruktur seperti jalan lebih tersedia di daerah persawahan, (3) Daerah persawahan pada umumnya lebih mendekati wilayah konsumen yang relatif padat
6
penduduk dibandingkan lahan kering yang sebagian besar terdapat di daerah bergelombang, perbukitan dan pegunungan. Konversi lahan pertanian menurut Nasoetion dan Winoto (1996) terkait pada beberapa faktor antar lain disebabkan oleh : (1) Nature atau instritic sumberdaya lahan, sesuai prinsip hukum ekonomi supply-demand yang mengalami struktur kelangkaan sebagai akibat kuantitas sumberdaya lahan yang tersedia tetap, (2) berkaitan dengan market failure pergeseran struktural dalam perekonomian, dan dinamika pembangunan yang cenderung mendorong petani untuk alih profesi dengan menjual aset lahan sawah yang dimilikinya, (3) government failure yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang memberikan peluang investasi yang lebar kepada sektor industri namun laju investasi di sektor tersebut belum diikuti dengan laju penetapan peraturan dan perundang-undangan yang bisa dipakai sebagai rujukan dalam mengendalikan konversi lahan. Banyak pendapat yang dikemukakan mengenai faktor determinasi konversi lahan.Menurut Irawan (2005) dalam Nofarianty (2007) konversi lahan pertanian pada dasarnya terjadi akibat adanya persaingan dalam pemanfaatan lahan antar sektor pertanian dan sektor non-pertanian. Sedangkan persaingan dalam pemanfaatan lahan tersebut muncul akibat adanya tiga fenomena ekonomi dan sosial yaitu : (a) keterbatasan sumberdaya lahan, (b) pertumbuhan penduduk, dan (c) pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi cenderung mendorong permintaan lahan untuk kegiatan non-pertanian pada tingkat yang lebih tinggi dibandingkan permintaan lahan untuk kegiatan pertanian.Hal ini disebabkan karena permintaan produk non-pertanian lebih elastis terhadap pendapatan.Meningkatnya kelangkaan lahan (akibat pertumbuhan penduduk), yang dibarengi dengan meningkatnya permintaan lahan untuk kegiatan nonpertanian (akibat pertumbuhan penduduk) mendorong terjadinya konversi lahan pertanian.
2.2
Persepsi dan Partisipasi
Persepsi merupakan suatu pendapat, sikap dan perilaku yang bersifat pribadi dan subjektif, namun mempunyai arti penting dan kedudukan yang kuat dalam diri setiap manusia (Adiputro 1999 dalam Liswanti 2004). Dapat juga diartikan bahwa persepsi adalah suatu proses yang menggunakan akal pikiran kita secara langsung untuk memahami dunia disekitar kita. Definisi lain mengatakan bahwa persepsi adalah suatu proses pencarian informasi untuk dipahami (Sarwono, 2002 dalam Liswanti 2004). Partisipasi secara sederhana mengandung arti peran serta seseorang atau sekelompok orang atau sesuatu pihak dalam suatu kegiatan atau upaya mencapai sesuatu yang diinginkan oleh pihak yang berperan serta tersebut (Sumardjo 2003 dalam Liswanti, 2004).Bass et al dalam Liswanti (2004) merumuskan adanya tujuh tipe partisipasi masyarakat dalam suatu tipologi partisipasi, yaitu : (1) Tipe partisipasi pasif/manipulatif; (2) Tipe partisipasi informatif; (3) Tipe partisipasi konsultatif; (4) Tipe partisipasi insentif; (5) Tipe partisipasi fungsional; (6) Tipe partisipasi interaktif; (7) Tipe partisipasi mandiri. Karakteristik masing-masing tipe partisipasi tersebut secara terperinci dapat dilihat pada Tabel 1.
7
Tabel 1.Tipologi Partisipasi Tipologi Partisipasi Pasif/Manipulatif
Partisipasi Informatif
Partisipasi Konsultatif
Partisipasi Insentif
Partisipasi Fungsional
Partisipasi Interaktif
Partisipasi Mobilization (Mandiri)
Sumber :Liswanti (2004)
Karekteristik Masyarakat diberitahu apa yang sedang atau telah terjadi Pengumuman sepihak oleh pelaksana proyek tanpa memperhatikan tanggapan masyarakat Informasi yang dipertukarkan terbatas pada kalangan professional diluar kelompok sasaran Masyarakat menjawab pertanyaan-pertanyaan peneliti Masyarakat tidak diberi kesempatan untuk terlibat dan mempengaruhi proses penelitian Akurasi hasil penelitian tidak dibahas bersama masyarakat Masyarakat berpartisipasi dengan cara konsultasi Orang luar mendengarkan, menganalisa masalah dan pemecahannya Tidak ada peluang untuk pembuatan keputusan bersama Para professional tidak berkewajiban untuk mengajukan pandangan masyarakat (sebagai masukan) untuk ditindaklanjuti Masyarakat memberikan korbanan/jasanya untuk memperoleh imbalan berupa insentif/upah Masyarakat tidak dilibatkan dalam proses pembelajaran atau eksperimen-eksperimen yang dilakukan Masyarakat tidak memiliki andil untuk melanjutkan kegiatan-kegiatan setelah insentif dihentikan Masyarakat membentuk kelompok untuk mencapai tujuan proyeknya Pembentukan kelompok biasanya setelah ada keputusankeputusan utama yang telah disepakati Pada tahap awal, masyarakat tergantung pada pihak luar, tetapi secara bertahap menunjukkan kemandiriannya Masyarakat berperan dalam analisis untuk perencanaan kegiatan dan pembentukan atau penguatan kelembagaan Cenderung melibatkan metoda interdisipliner yang mencari keragaman perspektif dalam proses belajar yang terstruktur dan sistemik Masyarakat memiliki peran untuk mengontrol atas pelaksanaan keputusan-keputusan mereka, sehingga memiliki andil dalam keseluruhan proses kegiatan Masyarakat mengambil inisiatif sendiri secara bebas (tidak dipengaruhi oleh pihak luar) untuk mengubah sistem atau nilai-nilai yang mereka miliki Masyarakat mengembangkan kontak dengan lembagalembaga lain untuk mendapatkan bantuan-bantuan teknis dan sumberdaya yang diperlukan Masyarakat memegang kendali atas pemanfaatan sumberdaya yang ada dan atau digunakan
8
2.3
Konflik dan Kolaborasi
Means at al (2002) dalam Aliadi(2011) menyatakan bahwa konflik kadang-kadang memiliki sejarah panjang dalam hal dampaknya di dalam suatu kawasan sebelum aktivitas manajemen kolaboratif dimulai. Hal ini dapat disebabkan oleh hubungan dan persaingan kekuasaan yang berkembang antar atau antar desa atau hubungan buruk yang telah berlangsung lama antar kelompok masyarakat dan agen luar.Kadang-kadang ada warisan hubungan permusuhan, kecurigaan, aliansi dan usaha perdamaian konflik yang gagal.Konflik yang ada mungkin menyangkut masalah persaingan sumberdaya, kelangkaan, pembagian keuntungan hasil hutan yang tidak merata, kurang terlibatnya pengguna kunci dalam pengambilan keputusan, dsb. Selanjutnya Means etal (2002) dalam Aliadi (2011) menyatakan bahwa memulai manajemen kolaboratif mensyaratkan agar konflik dapat diidentifiksi dan ditanggapi. Pendekatan kolaborasi juga dikenal sebagai salah satu pendekatan yang bukan bersifat permusuhan (nonadversarial approach) untuk penyelesaian masalah dan penyelesaian konflik (Straus 2002 dalam Aliadi 2011).Sehingga dalam prakteknya kolaborasi banyak digunakan untuk menyelesaikan sengketa antara para pihak dalam konflik multi-pihak. Kolaborasi adalah suatu proses dimana dua stakeholder atau lebih yang berbeda kepentingan dalam satu persoalan yang sama menjajaki dan bekerja melalui perbedaan-perbedaan untuk bersama-sama mencari pemecahan bagi keuntungan bersama (Aliadi, 2011). Ada empat desain kolaborasi yaitu: 1) perencanaan yang apresiatif; 2) strategi secara kolektif; 3) dialog; 4) menegosiasikan penyelesaian (Aliadi, 2011).
Peningkatan berbagai visi
Faktor-faktor yang memotivasi
Penyelesaian konflik
Hasil yang diharapkan Pertukaran informasi Kesepakatan bersama Perencanaan yang Strategi kolektif apresiasif : - Kemitraan swasta- Search conference komunitas - Pengumpulan - Usaha bersama informasi bersama (Joint venture) komunitas - Konsorsium riset dan pengembangan Dialog Negosiasi - Dialog kebijakan penyelesaian - Pertemuan publik - Negosiasi peraturan - Status kepemilikan tanah - Pemilihan cara penyelesaian (peradilan, musyawarah, jalur politik, kolaborasi)
Sumber: Gray(1989) dalam Aliadi (2011)
Gambar 1. Disain Kolaborasi
9
Tujuan disain perencanaan yang apresiatif, adalah meningkatkan penyelidikan bersama atas masalah yang terjadi. Dalam perencanaan ini belum dibebani harapan adanya kesepakatan yang secara eksplisit akan dicapai. Kerja utama dalam perencanaan ini adalah melakukan eksplorasi dan analisis bersama secara mendalam atas masalahnya.Perencanaan ini mendorong penyelidikan bersama oleh para pihak yang bersengketa dalam konteks problem dan saling ketergantungan. Dari sini diharapkan akan muncul secara ideal bersama sehingga meningkatkan kesadaran tentang suatu ranah problem dan memperoleh suatu nilai bersama untuk basis perencanaan masa depan. Perencanaan ini dapat juga menjadi perangsang munculnya inisiatif-inisiatif baru untuk dijadikan agenda yang harus dinegosiasikan untuk diselesaikan. Untuk menghasilkan perencanaan yang apresiasif ini dapat menggunakan berbagai cara seperti search conference/future gathering (sejenis lokakarya dengan menyelidiki masa depan yang diinginkan), community gathering (mengumpulkan informasi bersama komunitas). Strategi kolektif biasanya dimotivasi untuk berbagai visi, dapat merupakan tindak lanjut dari perencanaan apresiatif dengan menciptakan kesepakatan khusus yang ditujukan untuk mengatasi problem atau untuk merealisasikan visi.Strategi kolektif ini dapat dalam bentuk kemitraan atau joint venture. Dialog antara para pihak yang bersengketa merupakan bentuk pertemuan penting yang perlu dipertimbangkan dalam proses kolaborasi. Tujuan dialog ini adalah untuk mengeksplorasi perbedaan, memperjelas area ketidaksepakatan dan menyelidiki landasan bersama tanpa dibebani harapan atas kesepakatan yang mengikat. Tujuan dialog yang sebenarnya ini perlu dipahami oleh para pihak yang bersengketa, karena dalam banyak kasus sering mekanisme dialog ini diposisikan sebagai forum untuk membangun kesepakatan yang mengikat. Misalnya dalam pertemuan publik dan dialog kebijakan, dialog ini lebih fokus pada pertukaran informasi dan kemungkinan menghasilkan usulan kebijakan untuk dipertimbangkan oleh para pihak legislatif atau lembaga pemerintahan. Penyelesaian yang harus dinegosiasikan oleh para pihak yang bersengketa ini dimotivasi oleh keinginan menyelesaikan konflik dan harapan membangun kesepakatan bersama. Untuk kasus sengketa pengelolaan sumberdaya alam, isuisu apa saja yang perlu diselesaikan dan dinegosiasikan, misalnya masalah status kepemilikan atas tanah, berbagai peraturan kebijakan yang perlu dicabut dan direvisi. Pilihan cara-cara penyelesaian sengketa melalui peradilan, musyawarah, jalur politik atau strategi kolaborasi. Istilah manajemen kolaboratif digunakan oleh Borrini-Fayerabend (1996)dalam Aliadi (2011) untuk menggambarkan suatu situasi dimana keterlibatan beberapa (atau semua) stakeholder dalam kegiatan manajemen melalui cara yang substansial. Lebih spesifik lagi, dalam proses manajemen kolaboratif pengelolaan kawasan yang dilindungi mengembangkan kemitraan (partnership) dengan stakeholder lain yang relevan, terutama masyarakat lokal dan pengguna sumber daya alam, yang sudah mempunyai kejelasan fungsi, hak dan tanggung jawab. Dalam proses kerjasama itu dapat terjadi beberapa kemungkinan, seperti terlihat pada Gambar 2.
10
Pengawasan penuh oleh pengelola
Kerjasama dalam mengontrol antara pengelola dengan stakeholder
Pengawasan penuh oleh stakeholder
Manajemen Kolaboratif pada suatu kawasan konservasi
Proses konsultasi
Tidak ada kontribusi dari stakeholder yang lain
Mencari consensus
Negosiasi (terlibat dalam proses pembuatan keputusan dan mengembangkan perjanjian yang spesifik)
Berbagai otoritas dan tanggung jawab dalam bentuk formal
Pelimpahan otoritas dan tanggung jawan Tidak ada kontribusi dari pengelola
Meningkatnya harapan stakeholder Meningkatnya kontribusi, komitmen dan “akuntabilitas” stakeholder
Sumber : Borrini-Feyerabend(1996) dalam Aliadi (2011)
Gambar 2. Skema Manajemen Kolaboratif Penjelasan dari ketujuh kemungkinan kolaborasi seperti yang ada pada Gambar 2adalah : 1. Pengelola kawasan yang dilindungi mengabaikan kapasitas stakeholder dan minimal hubungan mereka dengan kawasan, atau 2. Memberi informasi kepada stakeholder tentang isu-isu yang relevan dan keputusan-keputusan yang dibuat oleh pengelola, atau 3. Secara aktif berkonsultasi dengan stakeholder tentang isu-isu relevan dan keputusan-keputusan yang dibuat oleh pengelola, atau Mencari kesepakatan tentang isu-isu relevan dan keputusan-keputusan yang 4. dibuat, atau 5. Membuka peluang negosiasi dengan stakeholder yang terbuka (dan pada gilirannya membuka kesempatan kepada mereka untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan), atau 6. Berbagai otoritas dan tanggung jawab dengan stakeholder secara formal, misalnya melibatkan mereka dalam Management Board, atau 7. Melimpahkan sebagian atau semua otoritas dan tanggung jawab kepada satu atau beberapa stakeholder. 2.3.1 Pengendalian Penggunaan Lahan Pengendalian adalah proses penetapan apa yang telah dicapai yaitu proses evaluasi kinerja, dan jika diperlukan akan dilakukan perbaikan dengan berdasarkan pada rencana yang telah ditetapkan (Siregar dan Samadhi, 1988).Kegiatan ini sangat erat kaitannya dengan kaitan perencanaan sebab pada kegiatan pengendalian inilah dapat dilihat apakah yang direncanakan tersebut dapat tercapai atau tidak.
11
Untuk menghindari penggunaan lahan yang tidak beraturan, dibanyak Negara diterapkan pendekatan manajemen penggunaan lahan dimana beberapa diantaranya yang sangat penting adalah (Haim dan Drabkin, 1981 dalam Nurmani, 2007) : 1. Menyusun rencana penggunaan lahan tingkat regional dan nasional yang berjangka panjang, termasuk rencana konservasi (perlindungan) lingkungan hidup. Bentuk rencana tersebut adalah rencana komprehensif dengan tujuan utama untuk mengantisipasi dampak negatif penggunaan lahan pada area pengembangan kota. Jangka waktu rencana adalah sekitar 20 sampai 30 tahun. Implementasi rencana membutuhkan adanya koordinasi diantara berbagai tingkat pemerintahan, baik tingkat nasional, regional maupun lokal. 2. Menyusun rencana-rencana pengaturan kembali (readjustment) pada areaarea tertentu. Tujuan pengaturan kembali adalah menyediakan area-area tertentu yang dibutuhkan Negara, yakni area yang sudah dilengkapi fasilitas umum, seperti jaringan jalan, tempat parkir, air bersih dan lain-lain. Rencana pengaturan kembali atau readjustment ini dapat dilakukan dengan cara pengaplingan tanah dengan mendapatkan kompensasi (ganti rugi) baik berupa uang atau lahan pengganti di area yang sama atau lahan pengganti di lokasi berbeda. 3. Kontrol penggunaan lahan secara khusus pada area yang sudah ditunjuk. Sistem ini dilakukan dengan cara menetapkan area-area tertentu sebagai prioritas, yang disertai dengan aturan-aturan seperti ijin lokasi dan ijin bangunan di atas lahan area tersebut. 4. Menetapkan penggunaan lahan yang sesuai menurut rencana pembangunan. Sistem ini merupakan pengendalian penggunaan lahan dengan cara penetapan dan dengan sedikit memaksa pembangunan di atas lahan-lahan yang sudah teralokasi. Diatas lahan-lahan kosong tersebut (sudah teralokasi tetapi belum terbangun) dikenai pajak yang tinggi, terutama di daerah perkotaan. Tujuannya adalah agar segera dibangun, sehingga sistem ini disebut juga kontrol atau cara pengendalian yang positif. 5. Aturan-aturan untuk mereka yang memiliki lahan lebih dahulu (pre emption rights). Dimana maksud dari aturan ini adalah kalau si pemilik/penguasa lahan bermaksud akan menjual lahannya, maka sebagai pembeli yang mendapat prioritas adalah Negara, baru kalau Negara atau Pemerintah tidak berminat maka bisa dijual ke pihak swasta atau perorangan. Untuk hal demikian terdapat aturan-aturan perundangannya. Tujuan dari sistem ini adalah membatasi atau mengendalikan harga pasar tanah, tanpa pemerintah harus membeli tanah yang luas terlebih dahulu dalam jangka pendek. 6. Pengambilalihan lahan untuk keperluan pemerintah, secara umum lahan bisa diambil alih oleh pemerintah dengan tujuan untuk kepentingan umum atau demi alasan kesejahteraan masyarakat luas. Sedangkan untuk di Indonesia, pajak lahan sebagai kebijakan insentif dan disinsentif atau sebagai salah satu instrument pengendalian konversi lahan sudah dilakukan di Kabupaten Badung Provinsi Bali (Pemerintah Kabupaten Badung, 2007 dalam Nurmani, 2007). Pemerintah Kabupaten Badung memberikan pembebasan untuk membayar pajak bagi pemilik lahan yang lahannya diperuntukkan untuk kawasan jalur hijau.Selain itu
12
memberikan keringanan pajak dan bantuan modal terhadap semua subak yang ada di Kabupaten Badung.Dengan demikian menjadikan luas alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian semakin kecil prosentasenya.
17
2.4
Penelitian Terdahulu
Tabel 2.Penelitian Terdahulu No 1
Sumber Ita Carolina, (2005) Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Di Jabodetabek
2
Nofarianty (2007) Analisis Potensi Lahan Sawah Untuk Pencadangan Kawasan Produksi Beras Di Kabupaten Agam – Sumatera Barat
Tujuan Penelitian Mengetahui pola spasial dinamika perubahan penggunaan lahan di Jabodetabek, dari tahun 1992-2001. Mengetahui faktor-faktor utama penentu dinamika spasial perubahan penggunaan lahan di Jabodetabek serta besarnya pengaruh dari faktor utama tersebut terhadap peluang perubahan penggunaan lahan Analisis perumusan indikator kelayakan wilayah untuk pencadangan kawasan produksi beras. Analisis struktur keterkaitan antar indikator dan indeks komposit kelayakan wilayah untuk pencadangan kawasan produksi beras. Analisis pengelompokan dan tipologi wilayah berdasarkan hirarki kelayakan wilayah untuk kawasan produksi beras. Analisis dan pemetaan pola spasial tipologi wilayah untuk pencadangan kawasan produksi beras. Analisa land rend usaha tani pada
Metode Klasifikasi penggunaan lahan melalui citra landsat multitemporal(1992 & 2001) Analisis dengan model logistik Parameter model diduga dengan metode Maximum Likelihood menggunakan softwarestatistic.
Hasil Penelitian 1. Umumnya lahan yang paling besar peluangnya untuk berubah menjadi urban adalah lahan yang dahulunya digunakan sebagai pertanian lahan kering.
Analisis deskriptif Analisis statistic multivariate Cluster analysis
1. Lahan potensial sesuai untuk padi dan dapat dijadikan sebagai kawasan produksi beras seluas 29.81 % dari luas areal potensial pengembangan sawah. 2. Untuk menentukan wilayah yang akan dijadikan kawasan produksi beras di Kabupaten Agam menggunakan 20 peubah yang memberikan pengaruh yang nyata (faktor loading> 0.55) dari 30 peubah yang dirumuskan karena 10 peubah yang dibuang tersebut bersifat homogeny di setiap lokasi penelitian 3. Indeks komposit yang terbentuk dalam struktur keterkaitan antar peubah merupakan peubah yang terkait dengan sumberdaya lahan, luas penguasaan lahan sumberdaya petani, ketersediaan alat-alat pertanian dan sistem pengairan serta intensitas penyuluhan. 4. Prosentase terhadap total jumlah nagari untuk masing-masing tipologi wilayah berdasarkan kelayakan wilayah untuk pencadangan kawasan produksi beras berturut-turut adalah 6.9 % untuk tipologi layak; 21.9 % tipologi agak layak; 60.3 % tipologi kurang layak; 11.0 % yang tergolong tipologi tidak
13
14
18
No
Sumber
Tujuan Penelitian masing-masing tipologi wilayah untuk pencadangan kawasan produksi beras.
Metode
3
Ni Made Esti Nurmani (2007 Keterkaitan Pajak Lahan Dengan Penggunaan Lahan Studi Kasus Kecamatan Cibinong dan Cileungsi Kabupaten Bogor
Mengetahui konsistensi RDTRK/RUTRK Mengetahui perbedaan nilai jual objek pajak (NJOP) antara lahan yang dimanfaatkan konsistensi dan tidak konsistensi dengan RDTRK/RUTRK Mengetahui pengaruh penggunaan lahan terhadap pajak lahan Mengetahui rasio NJOP terhadap land rent
Analisis spasial, matrik logika Analisis spasial, uji mannwhitney Analisis spasial, regresi berganda Analisis spasial, finansial dan korelasi spearman
4
Erni Purbiyanti (2013) Dampak Konversi Lahan Sawah Di Jawa Dan
Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di Jawa dan luar Jawa. Menganalisis dampak konversi lahan sawah di Jawa dan luar Jawa terhadap ketersediaan dan akses pangan nasional. Menganalisis dampak kebijakan
Metode 2-SLS (Two Stage Least Squares). Metode 3-SLS (Three Stage Least Squares). LIML (Limited Information Maximum Likelihood) atau FIML (Full Information
Hasil Penelitian layak 5. Land rent untuk tipologi layak sebesar Rp 3 450000/Ha/tahun, tipologi agak layak Rp 2798800/Ha/tahun dan tipologi kurang layak Rp 2243000/Ha/tahun. 1. Inkonsistensi pemanfaatan ruang terhadap RDTRK di Kecamatan Cibinong sebagian besar terjadi pada kawasan pertanian yang beralih fungsi menjadi kawasan terbangun sebesar 303.4 Ha dan kawasan lindung berubah manjadi kawasan terbangun sebesar 246.6 Ha. Sedangkan di Kecamatan Cileungsi inkonsistensi pemanfaatan ruang sebagian besar terjadi kawasan permukiman yang berubah menjadi industri sebesar 191.9 Ha dan kawasan lindung menjadi kawasan terbangun sebesar 109.8 Ha. 2. Tidak ada perbedaan NJOP antara lahan yang dimanfaatkan konsisten dan tidak konsisten sesuai arahan RDTRK/RUTRK. 3. Penggunaan lahan berupa industri dan perdagangan dan jasa memberikan pengaruh terhadap pajak lahan, sedangkan intensitas bangunan berupa ketinggian bangunan 4-24 m dan KDB 50-75 % juga ada pengaruhnya terhadap pajak lahan. 4. Land rent tertinggi di kedua kecamatan adalah industri yaitu sebesar Rp 414 246/m2/tahun di Kecamatan Cibinong dan Rp 363 185/m2/tahun di Kecamatan Cileungsi, sedangkan land rent terendah untuk kebun campuran di Kecamatan Cibinong sebesar Rp 1477/m2/tahun dan lahan kosong di Kecamatan Cileungsi Rp 2248/m2/tahun. 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di Jawa dipengaruhi secara signifikan oleh peubah perubahan kontribusi sektor bangunan dan rasio pendapatan regional riil dimana pertumbuhan ekonomi yang disertai peningkatan pendapatan regional riil memberi konsekwensi terhadap peningkatan persaingan lahan dari penggunaan pertanian pangan ke penggunaan non-pertanian pangan yang memberi nilai rente lahan yang lebih tinggi. Faktor-faktor yang
19
No
Sumber Luar Jawa Terhadap Ketersediaan Dan Akses Pangan Nasional
Tujuan Penelitian ekonomi di sektor pertanian terhadap ketersediaan dan akses pangan nasional. Menganalisis dampak kebijakan ekonomi di sektor pertanian terhadap perubahan surplus produsen, surplus konsumen dan penerimaan pemerintah sebagai indikator tingkat kesejahteraana
Metode Maximum Likelihood)
Hasil Penelitian mempengaruhi konversi lahan sawah di luar Jawa secara signifikan oleh peubah rasio pendapatan regional riil dan konversi lahan sawah di luar jawa tahun sebelumnya. 2. Analisa dampak konversi lahan sawah terhadap ketersediaan dan akses pangan per kapita menunjukkan bahwa ketersediaan beras dipengaruhi secara signifikan oleh perubahan harga riil gabah tingkat petani di Indonesia, rasio luas areal panen padi dengan jumlah penduduk total di Indonesia, konversi lahan sawah di Indonesia, jumlah beras impor Indonesia, tren waktu, dan ketersediaan beras per kapita tahun sebelumnya. 3. Hasil simulasi beberapa alternatif kebijakan menunjukkan bahwa disagregasi berdasarkan wilayah Jawa dan luar Jawa yang disertai kebijakan tanpa impor, Jawa memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam hal kemandirian pangan daripada luar Jawa. Namun demikian, konversi lahan sawah yang terjadi di Jawa memberikan dampak negatif yang lebih besar terhadap akses pangan per kapita dibandingkan dengan di luar Jawa. Kehilangan produksi akibat konversi lahan sawah yang berlangsung saat ini dapat dikompensasi oleh impor, sehingga seolah-olah ketersediaan dan akses pangan perkapita masih mengalami peningkatan sampai pada tingkat konversi lahan tertentu. 4. Dampak alternatif kabijakan terhadap perubahan indikator kesejahteraan menunjukkan bahwa implementasi kebijakan riil (gabah) pembelian pemerintah dinilai mubazir dan tidak efektif jika diterapkan bersamaan dengan harga riil gabah di tingkat petani, karena perubahan harga riil gabah di tingkat petani lebih dipengaruhi oleh mekanisme pasar yang ada.
15
16
2.5
Strategi
Strategi merupakan alat untuk mencapai tujuan dan dalam perkembangannya konsep mengenai strategi terus berkembang.Hal ini dapat ditujukan oleh adanya perbedaan konsep mengenai strategi selama 30 tahun terakhir.Dalam Rangkuti (2007) strategi didefinisikan sebagai suatu alat yang sangat penting untuk mencapai keunggulan bersaing.Definisi lain strategi merupakan tindakan yang bersifat incremental (senantiasa meningkat) dan terus menerus, dilakukan di masa depan. Perencanaan strategis hampir selalu dimulai dari apa yang dapat terjadi, bukan dimulai dari apa yang terjadi. Terjadinya kecepatan inovasi pasar baru dan perubahan pola konsumen memerlukan inti (core competencies).Perusahaan perlu mencari kompetisi inti dalam bisnis yang dilakukan. Pemahaman yang baik mengenai konsep strategis dan konsep-konsep lain yang berkaitan, sangat menentukan suksesnya strategi yang disusun. Konsepkonsep tersebut yaitu: a. Distinctive Competence: tindakan yang dilakukan oleh perusahaan agar dapat melakukan kegiatan lebih baik dibandingkan dengan pesaingnya. Competitive Advantage: kegiatan spesifik yang dikembangkan oleh b. perusahaan agar lebih unggul dibandingkan dengan pesaingnya. Menurut Rangkuti (2007), strategi dapat dikelompokkan berdasarkan 3 (tiga) tipe strategi, yaitu: 1. Strategi manajemen. Strategi manajemen meliputi strategi yang dapat dilakukan oleh manajemen dengan orientasi pengembangan strategi secara makro misalnya, strategi pengembangan produk, strategi penerapan harga, strategi pengembangan produk, strategi akuisi, strategi pengembangan pasar, strategi mengenai keuangan dan sebagainya. 2. Strategi investasi Strategi investasi merupakan kegiatan yang berorientasi pada investasi, misalnya, apakah perusahaan ini melakukan strategi pertumbuhan yang agresif atau berusaha mengadakan penetrasi pasar, strategi bertahan, strategi pembangunan kembali suatu divisi baru atau strategi diiventasi, dan sebagainya. 3. Strategi bisnis. Strategi bisnis ini juga disebut strategi bisnis secara fungsional karena bisnis ini berorientasi kepada fungsi-fungsi kegiatan manajemen, misalnya strategi pemasaran, strategi produksi atau operasional, strategi distribusi, strategi organisasi, dan startegi-strategi yang berhubungan dengan keuangan.
2.6
SWOT
Menurut David (2009), analisa SWOT1) adalah metode perencanaan strategis yang berfungsi untuk mengevaluasi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman suatu perusahaan. Proses ini melibatkan penentuan tujuan yang spesifik dari spekulasi bisnis dan mengidentifikasi faktor internal dan eksternal yang mendukung dan yang tidak dalam mencapai tujuan tersebut.
17
Para analisis SWOT memberikan informasi untuk membantu dalam hal mencocokkan perusahaan sumberdaya dan kemampuan untuk menganalisis kompetitif lingkungan dimana bidang perusahaan itu bergerak.Informasi tersebut dibuat berdasarkan perumusan strategi dan seleksi.
1)
Menurut Wikipedia, analisis SWOT (singkatan bahasa Inggris dari kekuatan/strengths, kelemahan/weaknesses, kesempatan/opportunities, dan ancaman/threats), adalah metode perencanaan strategis yang digunakan untuk mengevaluasi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam suatu proyek atau suatu spekulasi bisnis
18
3 METODE PENELITIAN 3.1
Kerangka Pemikiran
Salah satu bentuk tujuan bernegara adalah melakukan perlindungan segenap bangsa dan peningkatan kesejahteraan umum.Wujud perlindungan tersebut berupa terjaminnya hak atas pangan bagi segenap rakyat yang merupakan hak asasi manusia yang sangat fundamental sehingga menjadi tanggung jawab Negara untuk memenuhinya. Upaya pemenuhan tersebut antara lain berupa membangun ketahanan dan kedaulatan pangan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat melalui pembangunan pertanian pangan berkelanjutan. Dalam rangka memenuhi hak atas pangan tersebut, Pemerintah Kabupaten Bogor berupaya mewujudkannya melalui rencana kebijakan tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan.Kebijakan ini ditempuh karena berbagai tantangan kedepan yang semakin besar, diantaranya terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke lahan non-pertanian, jumlah penduduk yang semakin meningkat yang disebabkan oleh pertumbuhan alami dan migrasi masuk serta pemenuhan tingkat kecukupan pangan yang belum mencapai 100 persen. Dampak yang diakibatkan dari tingginya laju pertumbuhan penduduk antara lain tingginya alih fungsi lahan dari aktivitas-aktivitas sektor pertanian ke aktivitas-aktivitas sektor non-pertanian. Berdasarkan data citra satelit Kementrian Pertanian tahun 2010 lahan sawah di Kabupaten Bogor seluas 39 299.68 Ha (13.15 %), sedangkan berdasarkan citra satelit tahun 2008 yang dimuat dalam Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 19 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor luas lahan sawah adalah 39 782 Ha. Pengurangan lahan sawah harus dicegah oleh Pemerintah Kabupaten Bogor guna memenuhi kebutuhan pangan penduduk secara optimal. Guna mencegah tingginya alih fungsi lahan tersebut, dikaji strategi pengelolaan kepentingan para pihak terhadap upaya kebijakan perlindungan lahan pertanian pangan di Kabupaten Bogor: (a). Mengidentifikasi kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Kebijakan yang diidentifikasi berupa kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan, baik pada pemerintah tingkat pusat maupun pada pemerintahan daerah. (b). Intervensi Pemerintah Daerah pada upaya perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, Pemerintah Daerah dapat melakukan pengendalian pada lahan pertanian pangan berkelanjutan. Pengendalian dimaksud berupa pemberian melalui: 1) Insentif; 2) Disinsentif; 3) Mekanisme perizinan; 4) Proteksi; dan 5) Penyuluhan. Strategi pengelolaan kepentingan para pihak terhadap upaya kebijakan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan dilihat melalui faktor pemberian insentif dan disinsentif; mekanisme perizinan dan penyuluhan.
19
Identifikasi dan analisis dengan metode yang tepat, diharapkan akan muncul alternatif dan prioritas strategi yang tepat untuk mengatasi permasalahanpermasalahan diatas. Hasil perumusan strategi diharapkan dapat dijadikan bahan kebijakan bagi daerah untuk mewujudkan pelaksanaan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Pada Gambar 3 dapat dilihat kerangka alur pikir penelitian yang meliputi identifikasi kebijakan yang berkaitan dengan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan, kebijakan Pemerintah Kabupaten Bogor melalui intervensi yang dapat dilakukan, pengelolaan kepentingan para pihak terhadap kebijakan serta perumusan strategi.
3.2
Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitiandilakukan di Kabupaten Bogor dengan pertimbangan : Kabupaten Bogor sebagai daerah yang strategis yakni menjadi hinterland atau penyangga dari Ibu Kota Negara Indonesia maupun terhadap Kota Bogor. b. Luas Kabupaten Bogor yang terbagi dalam 40 Kecamatan dan 430 desa/kelurahan dengan dominasi mata pencaharian pada sektor pertanian yang dicirikan dengan banyaknya rumah tangga pertanian atau jumlah penduduk petani yang bekerja pada sektor pertanian. c. Tingginya laju pertumbuhan penduduk menyebabkan permintaan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat dalam hal kebutuhan pangan dan perumahan/pemukiman semakin meningkat. d. Terjadinya alih fungsi lahan atau konversi lahan dari sektor pertanian ke sektor non-pertanian. Penentuan lokasi kecamatan dilakukan secara purposive yakni satu kecamatan mewakili dari satu wilayah pembangunan di Kabupaten Bogor. Wilayah pembangunan Bogor Barat dengan strategi percepatan diwakili pada Kecamatan Leuwiliang, wilayah pembangunan Bogor Tengah dengan strategi pengendalian diwakili pada Kecamatan Caringin dan wilayah pembangunan Bogor Timur dengan strategi pemantapan diwakili pada Kecamatan Jonggoldengan pertimbangan : 1. Potensi luas lahan sawah di tiga kecamatan tersebut menurut strategi pengembangan wilayah Kabupaten Bogor 2. Tingginya jumlah penduduk yang bermata pencaharian sebagai petani. 3. Luasan lahan baku sawah di Kecamatan Leuwiliang, Kecamatan Caringin dan Kecamatan Jonggol menurut data luasan lahan baku sawah dari penghitungan pencitraan satelit yang telah dilaksanakan oleh Kementrian Pertanian Republik Indonesia sebagaimana pada Tabel 3. Penentuan lokasi desa dilakukan secara purposive yakni untuk Kecamatan Leuwiliang Desa Karehkel, Kecamatan Caringin Desa Pancawati dan Kecamatan Jonggol Desa Singasari, didasarkan pada luasnya lahan sawah diantara desa-desa dalam satu kecamatan. a.
20
Alih fungsi lahan Pertumbuhan penduduk dan kebutuhan konsumsi pangan penduduk Pertumbuhan produktivitas Kebutuhan dan ketersediaan lahan pertanian pangan
Identifikasi Kebijakan berkaitan dengan PLP2B
Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan di Kabupaten Bogor
Intervensi Pemerintah Daerah terhadap PLP2B dengan pengendalian melalui : Insentif Disinsentif Mekanisme Perizinan Proteksi penyuluhan
Pengelolaan kepentingan para pihak terhadap kebijakan PLP2B
Penelitian
Faktor Eksternal Identifikasi pengelolaankepentingan para pihak melalui pemberian : Insentif & disinsentif Penyuluhan Mekanisme perizinan (Analisis Regresi Logistik Biner)
a. Kebijakan pemerintah/pemerintah daerah b. Perkembangan sektor bangunan c. Harga komoditas pertanian (Analisis Deskriptif)
Perumusan Strategi
Faktor Internal a. Lahan pertanian pangan b. Petani (Analisis Deskriptif)
Strategi Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Manajaemen Kolaborasi, SWOT dan Road Map Strategy)
Kebijakan Daerah
Ket :
langsung tidak langsung
Gambar
3. Kerangka Pemikiran Penelitian Strategi Pengelolaan Kepentingan Para Pihak Terhadap Upaya Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Bogor
21
Tabel 3.Luas Lahan Baku Sawah di Kabupaten Bogor KABUPATEN/KOTA BOGOR
KECAMATAN Babakan madang Bojong gede Caringin
LUAS (HA) 444.66 19.78 1 022.39 3531.10
Cariu
KECAMATAN Jonggol Kelapa nunggal Kemang Leuwiliang
620.40
Leuwisadeng
Ciawi
430.29
Mega mendung
90.28
1 229.89 710.17 540.00
Nanggung
1 599.27 1 234.50
Cibungbulang
675.51
Pamijahan
Cigombong
632.93
Parung
Cigudeg
4 320.75 1 548.91 54.37
Ciampea Cibinong
LUAS (HA)
65.82
1 492.32
Parungpanjang
1 610.57
Cijeruk
543.54
Ranca bungur
181.99
Cileungsi
891.31
Rumpin
1 379.47
Ciomas
178.05
Sukajaya
2 024.18
Cisarua
350.71
Sukamakmur
3 219.12
Ciseeng
447.88
Sukaraja
541.66
Citeureup
366.84
Tajur halang
105.18
Dramaga
168.04
Tamansari
216.84
Gunung putri
157.85
Tanjungsari
2 953.36
Gunungsindur
204.86
Tenjo
1 499.19
Jasinga Jumlah
1 795.85
Tenjolaya
14 064.56
Total Luas Lahan Sumber : Kementerian Pertanian RI, 2012
718.12 25 753.35
39 817.91
Penelitian dilaksanakan dari bulan November 2012 hingga Maret 2013.
3.3
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas : a. Data Primer Data primer dibutuhkan guna menjawab pertanyaan kedua dari penelitian ini, yakni menganalisis bagaimana pengelolaan para pihak terhadap upaya kebijakan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan di Kabupaten Bogor. Data primer berupa data kualitatif, yang diperoleh dengan cara wawancara terstruktur yakni pengumpulan informasi melalui tanya jawab sesuai dengan panduan pertanyaan serta penyebaran kuesioner kepada responden yang dianggap mampu menjawab pertanyaan secara mandiri. Identifikasi sasaran dan target para pihak dilakukan dengan carapurpusif dimana kelompok parapihak terdiri dari petani; swasta; legislatif serta aparatur pemerintahan. Target responden dengan langkah-langkah sebagai berikut : (1). Jenis responden petani dari penelitian ini adalah petani yang berada di desa pada Kecamatan Leuwiliang, Kecamatan Caringin dan Kecamatan Jonggol Kabupaten Bogor yaitu Desa Karehkel, Desa Pancawati dan Desa Singasari.
22
(2) (3)
Target jenis responden adalah petani dan atau petani penggarap. Adapun pemilihan responden petani dilakukan berdasarkan informasi dari UPT Dinas Pertanian dan Kehutanan dan BP3K Kecamatan Leuwiliang, Kecamatan Caringin dan Kecamatan Jonggol yakni petani yang telah mengikuti adanya sosialisasi tentang pendataan lahan pertanian berkelanjutan di Kabupaten Bogor, maupun pihak desa. Jenis responden swasta (sektor bangunan/perumahan). Jenis responden aparatur dan pihak lainnya.(Tabel 4).
(4) (5)
Tabel 4.Kelompok dan Jenis Responden No 1 2 3
Kelompok Parapihak Petani Swasta Aparatur Pemerintahan
Jenis Responden Petani Pengembang perumahan Bappeda Badan Perizinan Terpadu Dinas Pertanian dan Kehutanan Dinas Tata Ruang dan Pertanahan Dinas Bina Marga dan Pengairan BP4K Badan Pertanahan Nasional Legislatif Kecamatan BP3K UPT Pertanian dan Kehutanan Kepala Desa
Jumlah 108 orang 2orang 1 orang 1 orang 1 orang 1 orang 1 orang 1 orang 1 orang 1 orang 3 orang 3 orang 3 orang 3 orang
b.
Data Sekunder Data sekunder dibutuhkan untuk menjawab tujuan pertama dari penelitian ini, yaitu mengidentifikasi kebijakan yang berkaitan dengan upaya perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan di Kabupaten Bogor. Data sekunder diperoleh dari informasi dokumentasi dalam bentuk studi kepustakaan yang dikeluarkan oleh instansi terkait.Data yang digunakan untuk menjawab tujuan pertama dan spesifik penelitian pada tabel 5. 3.3.1 Pengertian Beberapa definisi (Distanhut; 2011) yang berkaitan dengan upaya perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan: - Lahan adalah bagian daratan dari permukaan bumi sebagai lingkungan fisik yang meliputi tanah beserta segenap faktor yang mempengaruhi penggunaannya seperti iklim, relief, aspek geologi, dan hidrologi yang terbentuk secara alami maupun akibat pengaruh manusia. - Lahan Pertanian adalah bidang lahan yang digunakan untuk usaha pertanian. - Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional. - Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah sistem dan proses dalam merencanakan dan menetapkan, mengembangkan,
23
memanfaatkan dan membina, mengendalikan, dan mengawasi lahan pertanian pangan dan kawasannya secara berkelanjutan. - Kawasan Perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian termasuk pengelolaan sumberdaya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. - Irigasi adalah usaha penyediaan, pemberian, penggunaan dan pembuangan air untuk menunjang pertanian, yang jenisnya meliputi irigasi permukaan, irigasi rawa, irigasi bawah tanah, irigasi pompa dan irigasi tambak. - Lahan beririgasi adalah lahan yang mendapatkan air dari jaringan irigasi teknis, semi teknis, dan irigasi perdesaan. - Alih Fungsi Lahan Beririgasi adalah proses yang disengaja oleh manusia untuk mengubah fungsi lahan di sekitar daerah irigasi yang akibatnya dapat mempengaruhi keberlanjutan dan kelestarian fungsi lahan. - Pengendalian Alih Fungsi Lahan Beririgasi adalah kegiatan untuk mencegah terjadinya alih fungsi lahan beririgasi yang dapat mempengaruhi kelestarian fungsi lahan. - Pemberdayaan adalah segala usaha dan kegiatan yang dilakukan untuk menjamin keamanan, ketertiban, ketaatan, pemeliharaan, kesinambungan dan keberuntungan. Tabel 5. Tujuan, Jenis Data, Sumber Data dan Metode Tujuan Mengidentifikasi kebijakan berkaitan dengan perlindungan lahan pertanian berkelanjutan di Kabupaten Bogor.
Menganalisis bagaimana pengelolaankepentingan para pihak terhadap upaya kebijakan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan Merumuskan strategi pengelolaan kepentingan para pihak terhadap upaya kebijakan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan di Kabupaten Bogor
Jenis Data Data sekunder 1. UU, PP, PerMenTan 2. Perda Jabar tentang perlindungan lahan pertanian 3. RPJMD Kabupaten Bogor 4. RTRW Kabupaten Bogor 5. Kebijakan sektor pertanian di Kabupaten Bogor 6. Data hasil pendataan dan pemetaan lahan pertanian pangan berkelanjutan beserta cadangannya Data primer
Hasil olahan dari data sekunder dan data primer
Sumber Data a. Setda Propinsi Jawa Barat b. Bappeda Kabupaten Bogor c. Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor
Metode Analisis deskriptif
Responden
Analisis deskriptif Analisis logistik biner
Manajemen Kolaborasi Analisis SWOT Road-map strategy
24
3.4
Metode Analisis Data
Untuk mendapatkan hasil dan kesimpulan sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan berdasarkan data yang dikumpulkan, digunakan metode analisis sebagai berikut : 3.4.1 Analisis Statistik Deskriptif Pada penelitian ini, analisis deskriptif digunakan untuk menjabarkan sekaligus untuk membantu dalam pengidentifikasian unsur faktor internal dan eksternal dalam analisis selanjutnya. 3.4.2 Analisis Regresi Logistik Biner Analisis regresi logistik biner adalah analisis yang mengkaji hubungan pengaruh peubah-peubah penjelas (X) terhadap peubah respon (Y) melalui model persamaan matematis tertentu, dimana peubah respon dalam analisis regresi berubah peubah katagorik (Firdaus, 2011). Pemodelan peluang kejadian tertentu dari kategori peubah respon dilakukan melalui transformasi dari regresi linier ke dalam bentuk logit. Adapun formula transformasi logit tersebut adalah: 𝑝𝑖 Logit (pi) = log e[1−𝑝𝑖 ] Dimana : pi = peluang munculnya kejadian kategori sukses dari peubah respon (Y) untuk orang ke-i, dengan nilai p berada antara 0 – 1 Log e = logaritma dengan basis bilangan e Adapun model yang digunakan dalam analisis regresi logistik adalah : 𝑝𝑖 logit (pi) = loge[1−𝑝𝑖 ] = α0 + α1X1 + α2X2 + … + αnXn Dimana :
logit (pi) = peluang kejadian sukses peubah respon (Y) α0 = intersep model garis regresi α1-n = slope model garis regresi X1 =variabel penjelas
Hipotesa yang dibangun dari persamaan regresi logistik biner adalah : Ho = persamaan regresi bernilai 0, yakni (logit (pi)) = 0 H1 = persamaan regresi tidak bernilai 0, yakni (logit (pi)) ≠ 0 Untuk menguji kelayakan model regresi logistik biner, digunakan metode maximum likelihood.Model dinyatakan layak digunakan apabila nilai – 2 Log likelihood< nilai chi square tabel.Adapun berdasarkan uji hosmer and lemeshow, jika nilai signifikansi > 0.05, maka terima H0.Hal ini berarti model dinyatakan layak dan bisa diinterpretasikan.Sebaliknya jika nilai signifikansi < 0.05 maka tolak H0, dimana nilai 0.05 merupakan tingkat kepercayaan 95 persen. Analisis regresi logistik biner ini digunakan untuk faktor yang diduga mempengaruhi dalam pengelolaan para pihak. Adapun variabel pengelolaan para pihak (Y) dan variabel penjelas (X) yang digunakan adalah : Y = Variabel pengelolaan kepentingan para pihak, jika lahan pertanian berkelanjutan dilindungi dengan persyaratan tertentu (penggantian lahan) yang dicirikan oleh nilai kategori “0” yaitu tidak menerima kebijakan, dan “1” yaitu menerima kebijakan.
25
X1 = Variabel insentif dan disinsentif. Faktor-faktor yang digunakan dalam variabel ini yakni sarana fisik dan sarana non fisik.Faktor sarana fisik meliputi 1) ketersediaan sarana irigasi; 2) ketersediaan teknologi, dan 3) ketersediaan bibit unggul. Sedangkan faktor sarana non-fisik meliputi : 1) kemudahan dalam legalisasi kepemilikan lahan, 2) kemudahan dalam pembayaran pajak, 3) kemudahan dalam ketersediaan akses permodalan dan pembiayaan, 4) penyuluhan dan pelatihan bagi petani; 5) adanya jaminan kepastian harga panen, dan 6) diberikan penghargaan secara khusus. Variabel insentif dan disinsentif dicirikan oleh nilai kategori “0” yaitu responden lebih memilih insentif berupa non-fisik dan “1” yaitu responden lebih memilih insentif berupa fisik. X2 = Variabel penyuluhan Faktor-faktor yang digunakan dalam variabel ini adalah lembaga tani dan non-lembaga tani. Faktor lembaga tani meliputi : 1) penguatan kelompok tani, dan 2) pembentukan koperasi bagi petani. Sedangkan faktor nonlembaga tani meliputi : 1) penyuluhan dan pelatihan petani, 2) fasilitasi kepada sumber permodalan/bantuan kredit, dan 3) penyebaran ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi oleh penyuluh. Variabel penyuluhan dicirikan oleh nilai kategori “0” yaitu responden lebih memilih penyuluhan yang berkaitan dengan kelembagaan tani dan “1” yaitu responden lebih memilih penyuluhan yang berkaitan dengan non-kelembagaan. X3 = Variabel mekanisme perizinan Dimensi perizinan dicirikan oleh nilai kategori “0” yaitu responden lebih memilih tidak setuju jika alih fungsi lahan dilakukan dengan ganti rugi ruang lahan dan sarana pendukungnya dan “1” yaitu responden lebih memilih atau setuju jika alih fungsi lahan dilakukan dengan ganti ruang lahan dan sarana pendukungnya.Alih fungsi lahan dengan ganti ruang lahan dan sarana pendukungnya meliput kesediaan bagi pelaku alih fungsi lahan pertanian pangan untuk memenuhi kewajibannya mengganti lahan sawah yang dialihfungsikan beserta penggantian sejumlah nilai investasi yang terdapat pada lahan pertanian pangan tersebut. 3.4.3 Analisis Manajemen Kolaborasi Analisis manajemen kolaborasi digunakan untuk mengidentifikasi berbagai peran dari parapihak antar lain meliputi pihak yang berkepentingan, peran parapihak, motif atau kepentingan, pengaruh, sumber daya yang dimiliki, tempat kedudukan parapihak serta adanya konflik kepentingan antar parapihak yang mungkin akan terjadi.
3.5
Metode Perumusan Strategi
Metode perumusan strategi digunakan untuk menganalisis alternatif strategi yang mungkin muncul dari faktor-faktor hasil analisis data primer dan data sekunder.
26
3.5.1 Analisis SWOT Analisis ini mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi.Analisis didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang, namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman. Proses pengambilan keputusan strategi selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi dan kebijakan. Dengan demikian peneliti harus menganalisa faktor-faktor strategis (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman) dalam kondisi yang ada saat ini. Identifikasi faktor terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal.Faktorfaktor internal tersebut merupakan semua unsur yang berhubungan dengan objek sasaran kebijakan pemerintah daerah dan faktor eksternal yang merupakan semua unsur yang berhubungan dengan faktor selain dari sisi sasaran tersebut.Unsurunsur internal dan eksternal yang diidentifikasi diperoleh dari hasil analisis terhadap data primer dan sekunder yang digunakan. Hasil identifikasi faktor internal dan eksternal disandingkan dalam matrik SWOT seperti pada Tabel 3.4. Tabel 6.Matriks SWOT (Strengths-Weaknesses-Opportunities-Threats) Faktor Internal STRENGTHS(S)
WEAKNESSES (W)
Faktor Eksternal OPPORTUNITIES (O)
THREATS (T)
STRATEGI S-O Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang STRATEGI S-T Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman
STRATEGI W-O Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan dengan memanfaatkan peluang STRATEGI W-T Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman
Sumber : Rangkuti, 1997
3.5.2 Road Map Strategy Strategi yang telah dirumuskan berdasarkan analisis SWOT diatas, selanjutnya dipetakan ke dalam bentuk road map strategy. Menurut Baga (2009) pendekatan ini dapat menjelaskan beberapa hal yang mendasar, yaitu : 1. Road map menunjukkan adanya prioritas penanganan suatu strategi dibandingkan strategi lainnya. Pendekatan road map tetap menganggap penting ke semua strategi yang berhasil dirumuskan pada tahapan sebelumnya. Adapun prioritas akan terlihat pada urgensi penanganan yang lebih dahulu. 2. Road map menunjukkan adanya hubungan sekuensial antara satu strategi dengan lainnya. Hal ini untuk menghindari terjadinya kesimpangsiuran yang menyebabkan inefisiensi dan inefektivitas strategi tersebut. 3. Dalam hal-hal tertentu hubungan sekuensial antara satu strategi dapat mengarah pada hubungan resiprokal, dimana implementasi satu strategi sangat tergantung dan juga sangat mempengaruhi implementasi strategi lainnya.
27
4.
Satu hal yang tidak kalah pentingnya, bahwa pembuatan road map akan menjelaskan time-frame implementasi masing-masing strategi dalam periode waktu tertentu.
28
4 KONDISI UMUM LOKASI 4.1. Kondisi Fisik Wilayah dan Administratif Pemerintahan Kabupaten Bogor merupakan salah satu kabupaten dalam lingkungan Propinsi Jawa Barat. Luas wilayah Kabupaten Bogor adalah ± 298 939.30 Ha, dan secara geografis terletak antara 6º18’0”sampai 6º47’10” Lintang Selatan dan 106º23’45”sampai 107º13’30” Bujur Timur. Secara administratif, Kabupaten Bogor berbatasan dengan : 1. Kabupaten Tangerang Selatan, Kabupaten/Kota Bekasi dan Kota Depok di sebelah Utara; 2. Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Karawang di sebelah Timur; 3. Kabupaten Sukabumi dan Cianjur disebelah selatan; dan 4. Kabupaten Lebak Propinsi Banten di sebelah barat; serta 5. Kota Bogor yang terletak di tengah-tengah. Topografi wilayah Kabupaten Bogor sangat bervariasi, yaitu berupa daerah pegunungan di bagian Selatan, hingga daerah dataran rendah di sebelah Utara.Keberadaan sungai-sungai di wilayah Kabupaten Bogor posisinya membentang dan mengalir dari daerah pegunungan di bagian Selatan ke arah Utara. Di wilayah Kabupaten Bogor terdapat 6 Daerah Aliran Sungai (DAS), yaitu DAS Cidurian, DAS Cimanceuri, DAS Cisadane, DAS Ciliwung, Sub DAS Kali Bekasi serta Sub DAS Cipamingkis dan Cibeet. Sungai-sungai pada masingmasing DAS tersebut mempunyai fungsi dan peranan yang sangat strategis yaitu sebagai sumber air untuk irigasi, rumah tangga dan industri serta berfungsi sebagai drainase utama wilayah.Disamping itu, di Kabupaten Bogor terdapat 91 danau atau situ dengan luas total 496.28 Ha serta 63 mata air.Situ-situ dimaksud berfungsi sebagai reservoir atau tempat peresapan air dan beberapa diantaranya dimanfaatkan sebagai obyek wisata atau tempat rekreasi dan budidaya perikanan. Komposisi pemanfaatan lahan di Kabupaten Bogor pada tahun 2000 menurut luas wilayah diatas, yaitu untuk kawasan hutan lindung 42 175 Ha (13.30 %), kawasan lahan basah 56 888 Ha (17.94 %), kawasan lahan kering 47756 Ha (15.06 %), kawasan tanaman tahunan 24797 Ha (7.82 %), kawasan hutan produksi 51529 Ha (16.25 %), kawasan pariwisata 1681 Ha (0.53 %), kawasan permukiman perdesaan 20 326 Ha (6.41%), kawasan permukiman perkotaan 52 036 Ha (16.41 %), kawasan pengembangan perkotaan 14 527 Ha (4.60 %) dan kawasan peruntukan industri 5327 Ha (1.68 %). Secara administratif, Kabupaten Bogor terdiri dari 413 desa dan 17 kelurahan (430 desa/kelurahan), 3 768 RW dan 14 951 RT yang tercakup dalam 40 Kecamatan. Jumlah kecamatan sebanyak 40 tersebut merupakan jumlah kumulatif setelah adanya hasil pemekaran 5 Kecamatan di tahun 2005, yaitu dengan membentuk Kecamatan Leuwisadeng (pemekaran dari Kecamatan Leuwiliang), Kecamatan Tenjolaya (pemekaran dari Kecamatan Ciampea), Kecamatan Tanjungsari (pemekaran dari Kecamatan Cariu), Kecamatan Cigombong (pemekaran dari Kecamatan Cijeruk), dan Kecamatan Tajurhalang (pemekaran dari Kecamatan Bojonggede). Selain itu, pada tingkatan desa, telah dibentuk pula sebuah desa baru pada akhir tahun 2006, yaitu Desa Wirajaya, sebagai hasil pemekaran dari Desa Curug pada Kecamatan Jasinga dan pada awal
29
tahun 2011 telah dibentuk 2 (dua) desa baru yaitu Desa Gunung Mulya hasil pemekaran dari Desa Gunung Malang Kecamatan Tenjolaya dan Desa Batu Tulis hasil pemekaran dari Desa Parakan Muncang Kecamatan Nanggung, sehingga jumlah keseluruhan menjadi 430 desa/kelurahan.
Sumber : Bappeda, 2012
Gambar 4.Peta Administrasi Kabupaten Bogor Berdasarkan strategi perwilayahan pembangunan yang telah ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor, maka wilayah Kabupaten Bogor dikelompokkan ke dalam 3 Wilayah Pembangunan, yaitu : (1) Strategi percepatan di wilayah Bogor Barat, yang mencakup 13 Kecamatan, yaitu Kecamatan Nanggung, Leuwiliang, Leuwisadeng, Pamijahan, Cibungbulang, Ciampea, Tenjolaya, Rumpin, Cigudeg, Sukajaya, Jasinga, Tenjo dan Parungpanjang, dengan total wilayah seluas 128750 Ha; (2) Strategi pengendalian di wilayah Bogor Tengah, yang mencakup 20 Kecamatan, yaitu Kecamatan Dramaga, Ciomas, Tamansari, Cijeruk, Cigombong, Caringin, Ciawi, Cisarua, Megamendung, Sukaraja, Babakan Madang, Citeureup, Cibinong, Bojonggede, Tajurhalang, Kemang, Rancabungur, Parung, Ciseeng dan Kecamatan Gunung Sindur, dengan total wilayah seluas 87 552 Ha; (3) Strategi pemantapan di wilayah Bogor Timur, yang mencakup 7 Kecamatan, yaitu Kecamatan Sukamakmur, Cariu, Tanjungsari, Jonggol, Cileungsi, Klapanunggal dan Kecamatan Gunung Putri, dengan total wilayah seluas 100800 Ha.
30
PETA WILAYAH PEMBANGUNAN KABUPATEN BOGOR SKALA 1 : 450.000 106°30'
106°40'
106°50'
107°00'
DKI JAKARTA
KABUPATEN TANGERANG
107°10'
KOTA BEKASI
6°20'
6°20'
Kec. Parung panjang
Kec. Tenjo
KABUPATEN BEKASI
Kec. Gunung Sindur
Kec. Rumpin
KOTA DEPOK
Kec. Kec. Parung Kec. Ciseeng Tajur halang
Kec. Cigudeg Kec. Kec. Kem ang Ranca bungur
WILAYAH BARAT Kec. Cibungbulang
Kec. Leuwisadeng KAB. LEBAK Kec. Sukajaya
Kec. Leuwiliang
Kec. Bojong Kec. Gede Cibinong
Kec. Ciampea Kec. KOTA Dramaga BOGOR Kec. Ciomas
Kec. Nanggung
Kec. Klapanunggal
Kec. Citeureup
WILAYAH TENGAH Kec. Sukaraja
Kec. Kec. Tamansari
Kec. Cileungsi
Kec. Jonggol
WILAYAH TIMUR
KABUPATEN KARAWANG Kec. Cariu
Kec. Sukamakm ur
Kec. Babakan Madang
Kec. Tanjungsari
Kec. Megamendung
Tenjolaya
6°40'
6°40'
KABUPATEN CIANJUR Kec. Cijeruk
Kec. Cisarua
Kec. Pamijahan Kec. Cigom bong
6°30'
6°30'
Kec. Jasinga
Kec. Gunung P utri
KETERANGAN : BATAS KECAMATAN
Kec. Ciawi
BATAS WILAYAH PEMBANGUNAN WILAYAH BARAT
Kec. Caringin
KABUPATEN SUKABUMI
WILAYAH TENGAH WILAYAH TIMUR
106°30'
106°40'
106°50'
107°00'
107°10'
Sumber :Bappeda, 2012
Gambar 5.Peta Wilayah Pembangunan Kabupaten Bogor
4.2. Kondisi Demografi dan Sosial Budaya Jumlah Penduduk Kabupaten Bogor pada tahun 2011 berdasarkan estimasi data Badan Pusat Statistik (BPS) berjumlah 4922205 jiwa (angka sementara) yang terdiri dari penduduk laki-laki 2510325 jiwa dan penduduk perempuan 2411880 jiwa. Jumlah penduduk tersebut telah mengalami kenaikan bilamana dibandingkan dengan penduduk pada tahun 2010 yang berjumlah 4771932 jiwa. Kondisi ini menyebabkan tingginya rata-rata laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Bogor, laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Bogor pada tahun 2011 sebesar 3.15 %. Laju pertumbuhan penduduk terbesar terdapat di Kecamatan Gunung Putri sebesar 6.27%, Kecamatan Bojonggede sebesar 5.86%, Kecamatan Cileungsi sebesar 5.72% dan Kecamatan Cibinong sebesar 4.62 %, Parung sebesar 4.22%, Gunung Sindur sebesar 4.31% dan Tajur halang sebesar 4.16%. Pertambahan penduduk di tujuh kecamatan tersebut dapat dikatakan pesat karena merupakan pusat pengembangan usaha industri dan permukiman. Disana cukup berkembang beragam jenis usaha industri besar maupun sedang, yang menyebabkan tingginya migrasi masuk penduduk dari luar kecamatan sebagai tenaga kerja untuk bermukim di kecamatan setempat. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010, masih tampak bahwa penyebaran penduduk Kabupaten Bogor masih bertumpu pada Kecamatan Cibinong yakni sebesar 6.84%, Kecamatan Gunung Putri 6.49% dan Kecamatan Cileungsi sebesar 5.16%, sedangkan kecamatan lainnya kurang dari angka 4%. Berdasarkan luas wilayah Kabupaten Bogor sebesar ±298838.30 Ha yang didiami oleh
31
4771932orang, maka rata-rata tingkat kepadatan penduduk sebanyak 1791 orang/km². Kecamatan yang paling tinggi tingkat kepadatan penduduknya adalah kecamatan Ciomas, yakni sebanyak 9148 orang/km², sedangkan yang paling rendah adalah Kecamatan Tanjungsari, yakni sebanyak 385 orang/km². Sementara itu, Kecamatan Cibinong, Gunung Putri dan Cileungsi adalah tiga kecamatan dengan urutan teratas yang memiliki jumlah penduduk terbanyak, yang masingmasing berjumlah 326519 orang, 309918 orang dan 246 369 orang. Sedangkan Kecamatan Cariu merupakan kecamatan yang paling sedikit penduduknya, yakni sebanyak 46186 orang. Datasex ratio penduduk Kabupaten Bogor adalah sebesar 106, artinya setiap 100 orang perempuan terdapat 106 orang laki-laki. Hampir di semua kecamatan di Kabupaten Bogor memiliki sex ratio diatas 1, yang berarti berlaku umum bahwa jumlah penduduk laki-laki lebih banyak daripada jumlah penduduk perempuan di daerah tersebut. Namun terdapat satu kecamatan yang nilai sex rationya dibawah 1, yaitu Kecamatan Gunung Putri sebesar 0.99, yang artinya setiap 100 orang perempuan terdapat 99 orang laki-laki. Hal ini disebabkan sebagai daerah pengembangan usaha industri besar dan sedang, tampaknya menarik minat banyak pekerja wanita untuk bekerja dan bermukim di wilayah Kecamatan Gunung Putri. Kondisi demografis Kabupaten Bogor sebagaimana diuraikan diatas secara ringkas disajikan pada Tabel 4.1. Tabel 7. Kondisi Demografi Kabupaten Bogor Tahun 2008-2011 NO
INDIKATOR
1 2 3
REALISASI KINERJA 2008 2009 2010 4 505679 4643186 4771932 3.08 3.05 3.15 231561 194221 205032
2011* 4922205 3.15 181880
62.99
62.72
Jumlah penduduk (jiwa) Laju pertumbuhan penduduk (%) Jumlah pengangguran terbuka (org) 4 Tingkat Partisipasi Angkatan 63.01 Kerja (%) Sumber : LKPJ Bupati Bogor Tahun Anggaran 2011 *Angka estimasi
59.60
4.3. Kondisi Perekonomian Kondisi ekonomi Kabupaten Bogor pada tahun 2011 relatif stabil bahkan mengalami peningkatan seiring dengan tumbuhnya beberapa sektor penggerak ekonomi dan membaiknya infrastruktur penunjang ekonomi. Hal ini dapat terlihat dari pergerakan nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Pada tahun 2011, PDRB Kabupaten Bogor atas dasar harga berlaku mencapai Rp.82.69 trilyun, lebih tinggi dari nilai PDRB pada tahun 2010 sebesar Rp. 73.80 triliyun atau meningkat 12.06 %, sedangkan PDRB berdasarkan harga konstan mencapai Rp. 34.37 triliyun, lebih tinggi dari tahun 2010 sebesar Rp. 32.52 triliyun atau naik 5.70 %. Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa nilai PDRB, baik berdasarkan harga konstan maupun berdasarkan harga berlaku mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun 2010. Hal ini menunjukkan bahwa dari sisi makro, kondisi ekonomi Kabupaten Bogor relatif meningkat, yang ditunjukkan oleh
32
angka laju pertumbuhan ekonomi pada tahun 2011 berdasarkan harga konstan sebesar 5.70 %. Kondisi ini sangat dipengaruhi oleh tingkat inflasi tahun 2011 yang cukup rendah. Sebagaimana terlihat dari inflasi nasional sebesar 3.79 %, inflasi Jawa Barat sebesar 3.10 %, sedangkan tingkat inflasi di Bogor mencapai 2.85 %, jauh lebih rendah dibandingkan inflasi pada tahun 2010, yaitu sebesar 6.79 %. Selanjutnya, untuk melihat prosentase kontribusi laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bogor berdasarkan lapangan usaha, maka komposisi laju pertumbuhan ekonominya sebagai berikut : 1. Sektor primer yang meliputi lapangan usaha :pertanian, perkebunan, peternakan, kehutanan dan perikanan sebesar -0.04%,pertambangan dan penggalian sebesar 0.07%. Total kontribusinya terhadap LPE sektor primer sebesar 0.03%; 2. Sektor sekunder yang meliputi lapangan usaha : industri pengolahan sebesar 3.18%, listrik, gas dan air bersih sebesar 0.21% dan bangunan sebesar 0.30%. Total kontribusinya terhadap LPE sektor sekunder sebesar 3.69%; 3. Sektor tersier yang meliputi lapangan usaha : perdagangan, hotel dan restoran sebesar 1.37%, pengangkutan dan komunikasi sebesar 0.27%, keuangan, persewaan dan jasa perusahaan sebesar 0.13% serta jasa-jasa lainnya sebesar 0.21%. Totalkontribusinya terhadap sektor tersier sebesar 1.98%. Berdasarkan uraian data di atas, dapat disimpulkan bahwa kontribusi laju pertumbuhan ekonomi dari kelompok lapangan usaha sektor sekunder lebih tinggi dari sektor primer maupun sektor tersier, terlihat dari total kontribusi terhadapLPE tertinggi, yaitu sektor sekunder sebesar 3.69% dan terendah sektor primer sebesar 0.03%. Kondisi demikian mengindikasikan peranan pertumbuhan industri bergerak positif seiring dengan dimulainya realisasi investasi yang masuk ke Kabupaten Bogor pada kelompok lapangan usaha di sektor sekunder tersebut. Selain itu, tingginya kontribusi sektor sekunder ini membuka peluang dalam menunjang sektor lain bergerak terutama sektor primer, khususnya kelompok lapangan usaha pertanian yang kontribusi terhadap laju pertumbuhannya sebesar 0.04%. Pada tingkat pendapatan per kapita penduduk Kabupaten Bogor (dihitung dari angka PDRB dibagi dengan jumlah penduduk pada tahun yang sama), maka diperoleh tingkat pendapatan per kapita berdasarkan harga berlaku yaitu mencapai Rp.16781675,- juta/kapita/tahun. Jumlah ini jauh lebih tinggi dari tingkat pendapatan per kapita penduduk Kabupaten Bogor baik pada tahun 2010 maupun tahun 2009. Bilamana pendapatan per kapita di atas, dihitung berdasarkan tingkat pendapatan per kapita atas dasar harga berlaku pada setiap bulan, maka diperoleh pendapatannya sebesar Rp.1398473,-kapita/bulan. Demikian pula apabila dihitung pendapatan perkapita atas dasar harga konstan, maka hasilnya sebesar Rp.581357,-/kapita/bulan. Perbandingan realisasi indikator makro ekonomi Kabupaten Bogor pada kurun waktu 2009 sampai 2011 disajikan pada Tabel 8.
33
Tabel 8.
Realisasi Indikator Makro Ekonomi Kabupaten Bogor Tahun 20092011
No 1
INDIKATOR Nilai PDRB (Rp. Juta) a. Berdasarkan Harga Berlaku Primer Sekunder Tersier b.
REALISASI KINERJA 2009 2010 2011*) 66083789 3 704824 44 952879 17426085
73800700 4126720 49614606 20059375
82699458 4387943 55043884 23267631
Berdasarkan Harga Konstan Primer
30952138 1 987 540
32526450 1987614
34378837 1996900
Sekunder
21220240
22178636
23378341
Tersier
7 844 357
8360199
9003596
2
Laju Pertumbuhan ekonomi (%)
4.14
5.09
5.70
3
Inflasi (%)
2.78
6.79
2.85
4
PDRB Perkapita Atas DasarHarga Berlaku (Rp.)
14232423
15465580
16781675
5
PDRB Perkapita Atas DasarHarga 6 666142 6 816201 6 976279 Konstan (Rp.) Sumber : Indikator Ekonomi Daerah Kabupaten Bogor, kerjasama antara Bappeda Kabupaten Bogor dan BPS Kabupaten Bogor.
4.4. Kondisi Taraf Kesejahteraan Rakyat Selain realisasi dari kondisi ekonomi yang telah dikemukakan, salah satu indikator dari taraf kesejahteraan rakyat yang biasa digunakan adalah Indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indikator Jumlah Penduduk Miskin. Realisasi pencapaian dari indikator IPM dan indikator jumlah penduduk miskin adalah sebagai berikut : 1) Realisasi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) komposit Kabupaten Bogor telah mencapai 72.82 poin pada tahun 2011. Kondisi ini menunjukkan bahwa realisasinya lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2010 yaitu sebesar 72.16 poin, atau meningkat sebesar 0.66 poin. Hal ini disebabkan adanya peningkatan realisasi dari seluruh komponen IPM, baik komponen pendidikan (angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah), kesehatan (angka harapan hidup) maupun komponen ekonomi (kemampuan daya beli masyarakat). Angka IPM sebesar 72.82 poin di atas, maka sesuai dengan klasifikasi UNDP, angka tersebut termasuk dalam kelompok masyarakat sejahtera menengah atas, namun belum termasuk dalam kelompok masyarakat sejahtera atas; Sementara itu, pencapaian IPM tahun 2010 (sebesar 72.16 poin) tersebut masih di bawah IPM Nasional yang mencapai 72.27 dan IPM Provinsi Jawa Barat sebesar 72.29. Dengan demikian Kabupaten Bogor pada tahun 2010 menempati urutan ke-13 di antara 26 kabupaten/kota di Jawa Barat;
34
Realisasi komponen pembentuk IPM tahun 2011 berdasarkan estimasi BPS yaitu : a. Angka Harapan Hidup (AHH) terealisasi sebesar 69.15 tahun, lebih tinggi dari tahun 2010 sebesar 68.86 tahun, atau meningkat sebesar 0.29 tahun; b. Angka Melek Huruf (AMH) terealisasi sebesar 95.89%, lebih tinggi dari tahun 2010 sebesar 95.02%, atau meningkat sebesar 0.87 %. Kondisi ini disebabkan masih adanya individu atau warga Kabupaten Bogor yang belum bebas dari tiga buta yaitu buta pengetahuan dasar, buta bahasa Indonesia dan buta huruf latin sebesar 4.11 % dari total penduduk yang berusia di atas 15 tahun; c. Rata-rata Lama Sekolah (RLS) terealisasi sebesar 8.25 tahun, lebih tinggi dari tahun 2010 sebesar 7.98 tahun, atau meningkat sebesar 0.27 tahun. Realisasi dari RLS diatas menunjukkan bahwa penduduk Kabupaten Bogor yang berumur 15 tahun keatas secara rata-rata lama pendidikannya telah mencapai setara dengan SMP kelas dua; d. Kemampuan Daya Beli Masyarakat (Purchasing Power Parity = PPP) yang dihitung berdasarkan tingkat konsumsi riil per kapita per bulan, realisasinya pada tahun 2011 mencapai sebesar Rp. 630890,/kapita/bulan, lebih tinggi dari tahun 2010 yaitu sebesar Rp. 629620,/kapita/bulan. Kondisi ini mengungkapkan bahwa kemampuan daya beli masyarakat semakin tinggi pada tahun 2011, sebagai akibat dari meningkatnya pendapatan per kapita masyarakat Kabupaten Bogor. 3) Jumlah penduduk miskin di Kabupaten Bogor berdasarkan angka estimasi BPS Kabupaten Bogor pada tahun 2011 berjumlah 464365 jiwa, lebih rendah dari tahun 2010 yang berjumlah sebanyak 477100 jiwa (9.97%), berarti mengalami penurunan jumlah penduduk miskin sebanyak 12735 jiwa atau turun sekitar 0.55 % dibandingkan dengan tahun 2010. Persentase jumlah penduduk miskin di Kabupaten Bogor pada tahun 2010 tersebut (9.97%), menempati urutan ke-343 dari 494 kabupaten/kota di Indonesia. Realisasi dari Indikator Kesejahteraan Masyarakat Kabupaten Bogor disajikan pada Tabel 4.3. 2)
Tabel 9. NO 1
Realisasi Indikator Kesejahteraan Masyarakat Kabupaten Bogor Tahun 2009-2011 INDIKATOR
Indeks Pembangunan Manusia (Komposit) Komponen IPM terdiri dari; a. Angka Harapan Hidup (AHH) (tahun) b. Angka Melek Huruf (AMH) (%) c. Rata-rata Lama Sekolah (RLS) (tahun) Kemampuan Daya Beli Masyarakat d. (Konsumsi riil per kapita) (Rp/kap/bln) 2 Jumlah Penduduk Miskin (jiwa) Sumber : BPS Kabupaten Bogor;Tahun 2011 *) Angka Estimasi
REALISASI KINERJA 2009 2010 2011* 71.35 72.16 72.82 68.44 94.29 7.54
68.86 95.02 7.98
69.15 95.89 8.25
628340
629620
630890
446040
477100
464365
35
4.5. Kondisi Sarana dan Prasarana Panjang jalan di wilayah Kabupaten Bogor adalah 1758.05 km, terdiri dari jalan Negara sepanjang 121.49 km (5 ruas), jalan Propinsi 129.98 km (5 ruas) dan jalan Kabupaten yang bernomor ruas 1 506.57 km (371 ruas). Selain itu, terdapat pula jalan-jalan yang tidak bernomor ruas atau jalan desa. Sampai dengan akhir tahun 2006, jalan Kabupaten yang berada dalam kondisi mantap (kondisi baik sampai dengan sedang) adalah sepanjang 928.2 km atau sebesar 61.61%, sedangkan sisanya sepanjang 578.37 km atau sebesar 38.39% berada dalam kondisi rusak. Sementara itu, jumlah jembatan di Kabupaten Bogor pada tahun 2006 adalah sebanyak 682 buah, yang terdiri dari jembatan negara sebanyak 25 buah, jembatan provinsi sebanyak 98 buah, dan jembatan kabupaten pada jalan yang bernomor ruas sebanyak 559 buah dengan total panjang 5 784.4 m. Dari 559 jembatan pada jalan Kabupaten yang bernomor ruas, terdapat 392 buah (70.13%) berada dalam kondisi baik, 132 buah (23.61%) dalam kondisi sedang dan 35 buah (6.26%) dalam kondisi rusak. Belum memadainya infrastruktur transportasi disebabkan antara lain rendahnya jumlah pembangunan jalan baru, kemudian kemantapan jalan dan kondisi struktur jalan yang labil, serta tingginya frekuensi bencana alam dan beban lalu lintas/transporatsi yang sering melampaui kapasitas yang ditentukan. Jaringan irigasi yang ada di Kabupaten Bogor sangat berperan dalam mendukung produksi pertanian, karena dengan kontinuitas aliran air irigasi ke lahan-lahan pertanian akan menentukan tingkat produksi komoditas pertanian. Jaringan irigasi dalam kondisi rusak adalah 39.02 % dari 879 buah dan kondisi setu sebagai sumber air dalam kondisi rusak sebanyak 15 buah atau 16.48 % dari 91 buah setu. Selanjutnya, jumlah rumah di Kabupaten Bogor pada tahun 2006 sebanyak 635 662 unit, dengan jumlah rumah terbanyak terdapat di Kecamatan Ciampea sebanyak 32243 unit (rumah permanen 13834 unit dan rumah tidak permanen 18 409 unit), sementara jumlah rumah paling sedikit di Kecamatan Rancabungur sebanyak 8324 unit. Sementara itu, permukiman kumuh di Kabupaten Bogor tersebar di 187 lokasi dengan luas lahan sebanyak 240 Ha dan jumlah bangunan sebanyak 7 797 unit serta dihuni oleh 11220 keluarga (KK). Sedangkan untuk jaringan listrik, maka rasio elektrifikasinya baru mencapai 50.96%, berarti masih sekitar 49.14 % kepala keluarga di Kabupaten Bogor yang belum menikmati listrik, terutama pada kantong-kantong permukiman/kampung yang sulit dijangkau oleh jaringan listrik. Hal ini disebabkan tingginya kebutuhan energi listrik akibat pertambahan penduduk, tetapi pada sisi lain tidak diimbangi dengan peningkatan pengadaan listrik sebagaimana yang diharapkan. Demikian juga dengan sarana dan prasarana permukiman, seperti persampahan baru terlayani sebanyak 736 m3/hari atau 24.17 % dari timbunan sampah di wilayah perkotaan atau hanya 22 kecamatan dari 40 kecamatan di Kabupaten Bogor. Selain itu, cakupan pelayanan air bersih baru mencapai 25 kecamatan dari 40 kecamatan yang ada di Kabupaten Bogor. Cakupan tersebut merupakan gabungan dari pelayanan air bersih yang dilakukan oleh PDAM di 80 desa/kelurahan di 19 kecamatan dan cakupan pelayanan air bersih di luar PDAM, baru mencapai 56.86 % dari jumlah penduduk Kabupaten Bogor. Rendahnya cakupan pelayanan air bersih, diantaranya karena menurunnya ketersediaan
36
sumber daya air baku dan daya dukung lingkungan, akibat tersumbatnya badan air/sungai oleh sedimentasi dan sebagainya.
4.6
Kecamatan Leuwiliang
Kecamatan Leuwiliang berada di bagian barat Kabupaten Bogor dengan jarak kurang lebih 38 km dari Ibukota Kabupaten yang terdiri dari 11 desa/kelurahan, 126 RW dan 426 RT dengan luas lahan terakhir sebesar ±6 177.12 Ha. Kecamatan Leuwiliang terletak pada jalur lintasan yang menghubungkan dua Kota, yaitu Kota Bogor dan Kabupaten Lebak melalui Dramaga dan Jasinga.Termasuk Kabupaten Sukabumi melalui Desa Puraseda Leuwiliang.Dengan demikian Kecamatan Leuwiliang merupakan lintasan kendaraan angkutan regional yang menghubungkan kota-kota tersebut. Jumlah penduduk Kecamatan Leuwiliang pada tahun 2010 tercatat 115 465 jiwa.Jumlah penduduk tertinggi di Desa Leuwiliang sebanyak 14 447 jiwa dan Desa Leuwimekar sebanyak 14 098 jiwa.Jumlah penduduk terendah ditemui di Desa Pabangbon sebanyak 6 345 jiwa dan Desa Puraseda 8050 jiwa.Kepadatan penduduk kecamatan Leuwiliang rata-rata sebesar 2 338 Jiwa/km2.Kepadatan penduduk tertinggi ditemui di Desa Leuwimekar (5 778 Jiwa/km2).Kepadatan penduduk terendah ditemui di Desa Pabangbon (532 Jiwa/km2).(LihatTabel 4.4). Tabel 10.Jumlah Penduduk, Luas Desa dan Kepadatannya di Kecamatan Leuwiliang Tahun 2010 No
Desa
Jumlah Penduduk (Jiwa)
1 Purasari 12 260 2 Puraseda 8 050 3 Karyasari 8 266 4 Pabangbon 6 345 5 Karacak 10 715 6 Barengkok 10 863 7 Cibeber II 8922 8 Cibeber I 9 671 9 Leuwimekar 14 098 10 Leuwiliang 14 447 11 Karehkel 11 828 Sumber : BPS Kabupaten Bogor, Tahun 2011
Luas (km2) 6.32 3.90 6.86 11.92 7.01 4.50 5.14 5.07 2.44 2.97 6.75
Kepadatan (Jiwa/km2) 1 940 2 064 1 205 532 1 529 2 414 1 736 1 907 5 778 4 864 1 752
Luas panen tertinggi (2010) terdapat pada Desa Karehkel seluas 498 Ha dan Desa Barengkok seluas 451 Ha.Sedangkan desa dengan luas panen terendah berada di Desa karyasari seluas 281 Ha dan Desa Leuwimekar seluas 279 Ha. Produksi tertinggi di Desa Karehkel sebanyak 3555 Ton dan Desa Barengkok sebanyak 2 647 Ton sedangkan produksi terendah berada di Desa Leuwimekar sebanyak 1 729 Ton.(Lihat Tabel 11).
37
Tabel 11.Luas Panen, Hasil per-Hektar dan Produksi Padi di Kecamatan Leuwiliang Tahun 2010 No
Desa
Luas Panen (Ha)
1 Purasari 349 2 Puraseda 358 3 Karyasari 281 4 Pabangbon 345 5 Karacak 320 6 Barengkok 451 7 Cibeber II 304 8 Cibeber I 320 9 Leuwimekar 279 10 Leuwiliang 350 11 Karehkel 498 Sumber : BPS Kabupaten Bogor, Tahun 2011
Hasil Per Hektar (Ton/Ha) 6.64 6.00 6.70 6.88 6.61 5.87 5.92 7.14 6.20 7.20 7.14
Sumber : Bappeda, 2012
Gambar 6.Peta Administrasi Kecamatan Leuwiliang
Produksi 2317 2 148 1 882 2 373 2 115 2 647 1 784 2 284 1 729 2520 3 555
38
4.7
Kecamatan Caringin
Kecamatan Caringin berada di bagian tengah Kabupaten Bogor dengan jarak kurang lebih 34 km dari Ibukota Kabupaten yang terdiri dari 12 desa/kelurahan, 81 RW dan 348 RT dengan luas lahan terakhir sebesar ±5 730 Ha. Kecamatan Caringin terletak pada jalur lintasan yang menghubungkan dua Kota, yaitu Kota Bogor dan Kabupaten Sukabumi/Kabupaten Cianjur melalui Ciawi.Dengan demikian Kecamatan Caringin merupakan lintasan kendaraan angkutan regional yang menghubungkan kota-kota tersebut. Jumlah penduduk Kecamatan Caringin pada tahun 2010 tercatat 109716 jiwa.Jumlah penduduk tertinggi di Desa Ciderum sebanyak 14450 jiwa dan Desa Pancawati sebanyak 13190 jiwa.Jumlah penduduk terendah ditemui di Desa Muara Jaya sebanyak 4753 jiwa dan Desa Cimande 6046 jiwa.Kepadatan penduduk kecamatan Caringin rata-rata sebesar 1965 Jiwa/km2. Kepadatan penduduk tertinggi ditemui di Desa Caringin (6316 Jiwa/km2). Kepadatan penduduk terendah ditemui di Desa Tangkil (905 Jiwa/km2). (LihatTabel 12). Tabel 12.Jumlah Penduduk, Luas Desa dan Kepadatannya di Kecamatan Caringin Tahun 2010 No 1 2 3 4
Desa
Jumlah Penduduk (Jiwa)
Pasir Buncir 6844 Cinagara 9834 Tangkil 8479 Pasir 7966 Muncang 5 Muara Jaya 4753 6 Caringin 9600 7 Lemah 11648 Duhur 8 Cimande 6046 9 Pancawati 13190 10 Ciderum 14450 11 Ciherang 11901 Pondoh 12 Cimande 7884 Hilir Sumber : BPS Kabupaten Bogor, Tahun 2011
Luas (km2) 7,09 6,77 9,37 1,90
Kepadatan (Jiwa/km2) 965 1453 905 4193
1,26 1,52 6,79
3772 6316 1715
3,53 9,76 3,23 4,27
1713 1351 4474 2787
1,82
4332
Luas panen tertinggi (2010) terdapat pada Desa Pancawati seluas 531 Ha dan Desa Tangkil seluas 350 Ha.Sedangkan desa dengan luas panen terendah berada di Desa Cimande Hilir seluas 52 Ha dan Desa Caringin seluas 70 Ha. Produksi tertinggi di Desa Pancawati sebanyak 2761 Ton dan Desa Tangkil sebanyak 1778 Ton sedangkan produksi terendah berada di Desa Cimande Hilir sebanyak 270 Ton. (Lihat Tabel 13).
39
Tabel 13.Luas Panen, Hasil per-Hektar dan Produksi Padi di Kecamatan Caringin Tahun 2010 No
Desa
Luas Panen (Ha)
1 2 3 4
Pasir Buncir 211 Cinagara 327 Tangkil 350 Pasir 150 Muncang 5 Muara Jaya 79 6 Caringin 70 7 Lemah 268 Duhur 8 Cimande 301 9 Pancawati 531 10 Ciderum 330 11 Ciherang 73 Pondoh 12 Cimande 52 Hilir Sumber : BPS Kabupaten Bogor, Tahun 2011
Hasil Per Hektar (Ton/Ha) 5 5 5 5
Produksi 1108 1710 1778 773
5 5 5
412 368 1378
5 5 5 5
1559 2761 1690 376
5
270
Sumber : Bappeda, 2012
Gambar 7.Peta Administrasi Kecamatan Caringin
40
4.8
Kecamatan Jonggol
Kecamatan Jonggol berada di bagian timur Kabupaten Bogor dengan jarak kurang lebih 39 km dari Ibukota Kabupaten yang terdiri dari 14 desa/kelurahan, 120 RW dan 349 RT dengan luas lahan terakhir sebesar ±12 686Ha. Kecamatan Jonggol terletak pada jalur lintasan yang menghubungkan wilayah Kerawang/Cianjur dengan Kota Depok/Jakarta melalui Cileungsi.Dengan demikian Kecamatan Jonggol merupakan lintasan kendaraan angkutan regional yang menghubungkan wilayah-wilayah tersebut. Jumlah penduduk Kecamatan Jonggol pada tahun 2011 tercatat 122 834 jiwa.Jumlah penduduk tertinggi di Desa sukasirna sebanyak 14 094 jiwa dan Desa Jonggol sebanyak 13727 jiwa.Jumlah penduduk terendah ditemui di Desa Sukagalih sebanyak 3 774 jiwa dan Desa Cibodas 3615 jiwa.Kepadatan penduduk kecamatan Jonggol rata-rata sebesar 991 Jiwa/km2.Kepadatan penduduk tertinggi ditemui di Desa Sukamanah (3 026 Jiwa/km2).Kepadatan penduduk terendah ditemui di Desa Cibodas (241 Jiwa/km2).(LihatTabel 14). Tabel 14.Jumlah Penduduk, Luas Desa dan Kepadatannya di Kecamatan Jonggol Tahun 2011 No
Desa
Jumlah Penduduk (Jiwa)
1 Sukajaya 6 124 2 Sukanegara 5529 3 Cibodas 3615 4 Singasari 9046 5 Singajaya 12384 6 Sukasirna 14094 7 Balekambang 7269 8 Bendungan 5504 9 Sirnagalih 3964 10 Jonggol 13727 11 Sukamaju 21171 12 Sukamanah 12105 13 Weninggalih 4528 14 Sukagalih 3774 Sumber : BPS Kabupaten Bogor, Tahun 2012
Luas (km2) 16 12 15 16 11 7 10 7 4 6 7 4 4 5
Kepadatan (Jiwa/km2) 383 461 241 565 1126 2013 727 786 991 2288 3024 3026 1132 755
Luas panen tertinggi (2011) terdapat pada Desa Sukanegara seluas 541 Ha dan Desa Balekambang seluas 501 Ha. Sedangkan desa dengan luas panen terendah berada di Desa Sukasirna seluas277 Ha dan Desa Singajaya seluas 287 Ha. Produksi tertinggi di Desa Sukanegara sebanyak 3355 Ton dan Desa Balekambang sebanyak 3 136.30Ton sedangkan produksi terendah berada di Desa Weninggalih sebanyak 1 504.60Ton. (Lihat Tabel 15).
41
Tabel 15.Luas Panen, Hasil per-Hektar dan Produksi Padi di Kecamatan Jonggol Tahun 2011 No
Desa
Luas Panen (Ha)
1 Sukajaya 435 2 Sukanegara 541 3 Cibodas 398 4 Singasari 426 5 Singajaya 287 6 Sukasirna 277 7 Balekambang 501 8 Bendungan 460 9 Sirnagalih 316 10 Jonggol 301 11 Sukamaju 447 12 Sukamanah 298 13 Weninggalih 296 14 Sukagalih 319 Sumber : BPS Kabupaten Bogor, Tahun 2011
Hasil Per Hektar (Ton/Ha) 6.2 6.2 6.1 5.8 5.6 5.9 6.3 6.2 5.1 5.1 6.3 5.1 5,1 6.1
Sumber : Bappeda, 2012
Gambar 8.Peta Administrasi Kecamatan Jonggol
Produksi 2680 3355 2428 2468.7 1 604.2 1 623.4 3136.3 2854.8 1598.8 1543.7 2795.8 1529.3 1504.6 1936.6
42
5 IDENTIFIKASI KEBIJAKAN DALAM RANGKA PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN
5.1
Identifikasi Kebijakan Berkaitan Pertanian Pangan Berkelanjutan
dengan
Perlindungan
Lahan
Dasar kebijakan utama yakni diberlakukannya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan.Salah satu hal dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 ini berkaitan dengan usaha untuk mencegah terjadinya alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian. Dimana aktivitas alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian akan berimplikasi pada produksi pangan serta ketersediaan pangan. Meskipun di sisi lain, alih fungsi lahan dapat terjadi akibat pertambahan jumlah penduduk yang menyebabkan permintaan kebutuhan perumahan serta lapangan kerja pada sektor yang lain juga meningkat. Dengan diberlakukannya undangundang ini diharapkan Pemerintah Daerah dapat mewujudkan ketahanan pangan daerah dan kebutuhan pangan daerah sehingga ketahanan pangan secara nasional juga dapat tercapai. Undang-undang ini didukung secara teknis oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia diantaranya : 1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Penetapan Peraturan Pemerintah ini bertujuan untuk: mewujudkan dan menjamin tersedianya lahan pertanian pangan berkelanjutan; mengendalikan alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan; mewujudkan kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional; meningkatkan pemberdayaan, pendapatan dan kesejahteraan bagi petani; memberikan kepastian usaha bagi pelaku usaha tani; mewujudkan keseimbangan ekologis; dan mencegah pemubaziran investasi infrastruktur pertanian. Dimana peraturan pemerintah ini juga didukung secara teknis melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor 07/PERMENTAN/OT.140/2/2012 Tentang Pedoman Teknis Kriteria Dan Persyaratan Kawasan, Lahan dan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan. 2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Insentif Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Peraturan pemerintah ini bertujuan: mendorong perwujudan lahan pertanian pangan berkelanjutan yang telah ditetapkan; meningkatkan upaya pengendalian alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan; meningkatkan pemberdayaan, pendapatan, dan kesejahteraan bagi petani; memberikan kepastian hak atas tanah bagi petani; dan meningkatkan kemitraan semua pemangku kepentingan dalam rangka pemanfaatan, pengembangan dan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan sesuai dengan tata ruang.
43
3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2012 tentang Sistem Informasi Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Peraturan pemerintah ini bertujuan : mewujudkan penyelenggaraan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan secara terpadu dan berkelanjutan; menghasilkan data dan informasi yang akurat, relevan, dan dapat dipertanggungjawabkan yang digunakan sebagai dasar perencanaan, penetapan, pemanfaatan, dan pengendalian kawasan serta lahan dan lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan yang dapat diakses oleh masyarakat dan pemangku kepentingan. 4) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2012 Tentang Pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Peraturan ini bertujuan: untuk menjamin ketersediaan pembiayaan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan yang diselenggarakan Pemerintah, Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota, dan pelaku usaha sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang dalam rangka pencapaian kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan nasional. Sejalan dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah tersebut, disahkan pula Peraturan Daerah di Propinsi Jawa Barat yakni Peraturan Daerah Jawa Barat Nomor 27 Tahun 2010 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Peraturan ini bertujuan untuk: mempertahankan luasan lahan pertanian beririgasi dan tidak beririgasi; mempertahankan dan meningkatkan produksi pertanian untuk mencapai ketahanan pangan di daerah, melindungi dan memberdayakan petani dan masyarakat sekitar lahan pertanian beririgasi dan tidak beririgasi, meningkatkan kesejahteraan petani, dan mempertahankan keseimbangan ekosistem. Penetapan peraturan daerah ini diperkuat dengan ditetapkannya Peraturan Daerah Jawa Barat Nomor 4 Tahun 2012 Tentang Kemandirian Pangan Daerah. Perda Jabar tentang kemandirian pangan daerah bertujuan: mendukung perwujudan ketahanan pangan nasional; menjamin ketersediaan pangan yang beraneka ragam dan memenuhi persyaratan keamanan pangan, mutu dan gizi secara optimal, terpadu, dan berkelanjutan bagi konsumsi masyarakat, dengan memperhatikan potensi dan kearifan budaya lokal; meningkatkan kemampuan melakukan produksi pangan secara mandiri; memfasilitasi akses pangan bagi masyarakat dengan harga yang wajar dan terjangkau, sesuai dengan kebutuhan masyarakat; meningkatkan ketahanan pangan masyarakat rawan pangan; meningkatkan daya saing komoditas pangan yang dihasilkan daerah di tingkat nasional dan internasional; dan menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat. Dengan ditetapkannya berbagai peraturan perundang-undangan tersebut yang meliputi Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Permentan serta Peraturan Daerah Jawa Barat, diharapkan ada tindak lanjut perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan di Kabupaten Bogor.Mengingatmasih tingginya potensi pertanian dan sumberdaya lainnya di Kabupaten Bogor, Pemerintah Kabupaten Bogor melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah 2008-2013 dengan salah satu misinya berupa peningkatan perekonomian daerah yang berdaya saing dengan titik berat pada revitalisasi pertanian dan pembangunan yang berbasis perdesaan dengan tujuan diantaranyameningkatkan ketahanan pangan danpengembangan agribisnis
44
perdesaan dengan sasaran berupa meningkatnya produksi, produktivitas, distribusi dan konsumsi pangan daerah. Misi lainnya yakni meningkatkan infrastruktur dan aksesibilitas daerah yang berkualitas dan terintegrasi secara berkelanjutan bertujuan antara lain : 1) Meningkatkan infrastruktur wilayah yangmampu mendukung aktivitas ekonomi, sosialdan budaya; 2) Meningkatkan akses masyarakat terhadapsarana prasarana dasar permukiman, dan 3)Mewujudkan penataan ruang, keseimbanganlingkungan yang terintegrasi danberkelanjutan. Sasaran yang ingin dicapai antara lain : 1) Meningkatnya infrastruktur wilayah yangberkualitas dan terintegrasi untukmendukung pergerakan orang, barang danjasa; 2) Meningkatnya infrastruktur sumber daya air, wadukdan irigasi yang optimal untuk mendukungupaya pemeliharaan hutan konservasi, kawasan lindung, pengendalian daya rusakair dan pendayagunaan sumber daya air; 3) Meningkatnya sarana dan prasaranapermukiman; 4) Meningkatnya perencanaan, kesesuaian danpengendalian pemanfaatan ruang; dan 5) Meningkatnya kepastian hukum pemilikantanah masyarakat; Kebijakan lain sebagai pendukung dari misi pembangunan pada peningkatan perekonomian daerah yang berdaya saing dengan titik berat pada revitalisasi pertanian dan pembangunan yang berbasis perdesaan yakni kebijakan revitalisasi pertanian dan pembangunan perdesaan (RP3). Lima strategi didalam revitalisasi pertanian dan pembangunan perdesaan antara lain : 1) Pengembangan zona pertanian; 2) Pengembangan komoditas unggulan; 3) Pengembangan infrastruktur (sarana dan prasarana umum); 4) Pengembangan kelembagaan dan tatakelola pembangunan pertanian dan perdesaan; dan 5) Pengembangan industri perdesaan non-pertanian. Program revitalisasi pertanian dan pembangunan perdesaan tersebut diatas sebagai salah satu program yang dapat mendukung program produksi pangan di Kabupaten Bogor. Kebijakan lain dari rencana perlindungan lahan pertanian di Kabupaten Bogor juga telah disusun pendataan lahan pertanian berkelanjutan di Kabupaten Bogor sebagai salah satu bahan dari rencana perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor. Pendataan ini terdiri dari pendataan lahan pertanian pangan berkelanjutan dan cadangan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Dalam rencana tata ruang wilayah Kabupaten Bogor, kawasan pertanian lahan basah dikategorikan kedalam pengelolaan kawasan budidaya pertanian lahan basah.Pengelolaannya ditujukan untuk mempertahankan luas kawasan lahan basah beririgasi guna kelangsungan produksi dan meningkatkan ketahanan pangan, serta menjamin ketersediaan sarana dan prasarana pertanian untuk kelanjutan usaha produksi panen dan pasca panen.Salah satu bentuk usaha untuk mempertahankan kawasan lahan basah tersebut dilakukan dengan menjamin tersedianya kebutuhan air pertanian yang berkelanjutan. Usaha lain dalam rangka pengembangan dan peningkatan budidaya lahan basah dilakukan melalui usaha intensifikasi, ekstensifikasi, dan/atau diversifikasi pada kawasan yang tersedia sumber air pertanian. Sementara untuk pengelolaan pertanian lahan kering dapat ditujukan untuk 1) mengembangkan dan meningkatkan budidaya lahan kering yang dilakukan melalui intensifikasi, ekstensifikasi dan diversifikasi dengan komoditas tanaman yang bernilai ekonomi tinggi, 2) pengembangan agribisnis dan terwujudnya kegiatan agroindustri untuk memperkuat budidaya pertanian sebagai basis
45
perekonomian masyarakat dan mewujudkan kawasan agropolitan, 3) konversi lahan ke non-pertanian, dengan tujuan untuk menunjang peningkatan perekonomian masyarakat diprioritaskan pada lahan yang secara teknis, ekonomis dan fisik kurang produktif serta 4) penggunaan lahan untuk kepentingan umum maupun kegiatan lain yang dinilai secara ekonomi dapat memberikan manfaat terhadap perekonomian masyarakat. Pengelolaan kawasan permukiman perkotaan yang dapat mendukung kegiatan jasa perkotaan meliputi 1) integrasi sistem permukiman dengan sarana dan prasarana serta kegiatan jasa skala kota, antara lain industri, jasa, dan perdagangan, 2) pengembangan permukiman yang mendorong penggunaan tanah yang lebih efisien melalui pembangunan perumahan secara vertikal pada wilayah yang berkembang pesat/perkotaan dan kawasan industri. Pembangunan perumahan secara vertikal antara lain melalui pembangunan rumah susun sebagai upaya peremajaan permukiman kumuh di atas tanah Negara yang dilengkapi prasarana dan fasilitas lainnya sesuai dengan rencana tata ruang kota yang bersangkutan. Kabupaten Bogor yang secara geografis menjadi hinterlandnya Jakarta dan Kota Bogor, dipandang perlu membuat peraturan perundangundangan tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan dalam rangka melindungi lahan pertanian pangan berkelanjutan dari alih fungsi guna pemenuhan kebutuhan pangan daerah.
diacu
Pemerintah Pusat
RPJMN 2009-2014
UU no 41Tahun 2009 tentang PLP2B
PP no 1 Tahun 2011 PAF LP2B
PP no 12 Tahun 2012 I PLP2B
PP no 25 Tahun 2012 SI LP2B
PP no 30 Tahun 2012 P PLP2B
PerMenTan no 07/PERMENTAN/OT.140/2/2012 Tentang Pedoman Teknis Kriteria Dan Persyaratan Kawasan, Lahan, Dan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Perda Jabar no 27 2010 PLP2B
Perda Jabar no 4 Tahun 2012 Kemandirian Pangan Daerah
Pemerintah Propinsi
RPJMD Prop Jabar 2008-2013
Kab. Bogor 2008-2013
Ketahanan pangan
Kebijakan RP3
Produksi Pangan
PLP2B Kab Bogor
RTRW Kab. Bogor 2007 Bahan Bahan Kajian Perencanaan dan revisi Penetapan PLP2B
Gambar 9.Hubungan antar Kebijakan Berkaitan dengan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Pemerintah kabupaten
Gambar 5.1.Hubungan antar Kebijakan dalam Perlindungan Lahan Pertanian RPJMD Pangan BerkelanjutanRencana di Kabupaten Bogor Perda/PerBup
46
5.2
Faktor yang Menjadi Pertimbangan dalam Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Jumlah penduduk, laju pertumbuhan penduduk, produksi padi dan tingkat kebutuhan pangan Gambar 10 menunjukkan jumlah penduduk dan laju pertumbuhan penduduk di Kabupaten Bogor selama sebelas tahun (2000–2010).Gambar 5.3 menunjukkan produksi padi di Kabupaten Bogor selama lima tahun (2006–2010). Serta Gambar 5.4 menunjukkan tingkat kebutuhan pangan di Kabupaten Bogor selama lima tahun (2006-2010). Sebagaimana teori yang disampaikan oleh Robert Thomas Malthus bahwa, jika tidak ada pengekangan, kecenderungan pertambahan jumlah manusia akan lebih cepat dari pada pertambahan subsisten (pangan). Perkembangan penduduk akan mengikuti deret ukur sedangkan perkembangan subsisten (pangan) akan mengikuti deret hitung dengan interval waktu 25 tahun. jumlah penduduk (ribu jiwa)
a.
4.800 4.600 4.400 4.200 4.000 3.800 3.600 3.400 3.200 3.000
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Jumlah penduduk (Juta Jiwa) 3.100 3.170 3.250 3.399 3.438 3.700 4.215 4.215 4.340 4.477 4.763 LPP (%)
3,10 2,21 2,46 4,38 1,13 7,08 12,22
-
2,88 3,06 6,00
Sumber :BPS Kabupaten Bogor, 2012; diolah
Gambar 10. Perkembangan Jumlah Penduduk dan Laju Pertumbuhan Penduduk di Kabupaten Bogor Jumlah penduduk di Kabupaten Bogor terus mengalami pertambahan.Selama sebelas tahun terakhir yakni tahun 2000-2010 sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 10 Pertambahan terkecil terjadi pada tahun 2007 sebesar 0.86 persen (36 402 jiwa).Sedangkan pertambahan jumlah penduduk terbesar terjadi pada tahun 2006 sebesar 12.20 persen (515 229 jiwa). Jumlah Penduduk Kabupaten Bogor menurut hasil Sensus Penduduk tahun 2010 sebanyak4763209 jiwa, lebih tinggi dari pada jumlah penduduk tahun 2009 sebanyak 4477344 jiwa, atau meningkat sebanyak 285865 jiwa. Kondisi ini disebabkan tingginya pertumbuhan alami dan migrasi masuk ke Kabupaten Bogor. Adapun rata-rata laju pertumbuhan penduduk selama sebelas tahun terakhir (2000 sampai 2010) adalah sebesar 4.05 % Jumlah penduduk sebanyak 4763209 jiwa, sama dengan 11.07% dari jumlah penduduk Provinsi Jawa Barat (43021826 jiwa), dan merupakan jumlah penduduk
47
terbesar di antara kabupaten/kota di Jawa Barat. Komposisi penduduk tersebut, terdiri dari 2446251 jiwa penduduk laki-laki dan 2316958 jiwa penduduk perempuan atau rasio jenis kelamin (sex ratio) sebesar 106. 560.000,00 540.000,00 Jumlah Produksi (ton)
520.000,00 500.000,00 480.000,00 460.000,00 440.000,00 420.000,00 400.000,00
2006
2007
Produksi (ton) 401.065,6 479.754,8
2008
2009
2010
480.211
505.978
542.893
Sumber : Distanhut, 2012; diolah
Gambar 11. Produksi Padi di Kabupaten Bogor
Tingkat pemenuhan kebutuhan pangan (%)
Gambar 11 menunjukkan produksi padi di Kabupaten Bogor tahun 2006 hingga 2010. Produksi padi pada tahun 2006 sebanyak 401065.6 ton meningkat menjadi 479 754.8 ton pada tahun 2007. Hingga tahun 2010, produksi padi mencapai 542893 ton.Peningkatan produksi pangan di Kabupaten Bogor terus diupayakan guna memenuhi tingkat pemenuhan pangan.Salah satu usaha untuk peningkatan produksi melalui peningkatan intensifikasi pertanian. 70 69 68 67 66 65 64 63 62 61 60 59 Tingkat Pemenuhan Kebutuhan Pangan
2006
2007
2008
2009
2010
59,81
69,34
69
64,34
69,21
Sumber : Bappeda Kabupaten Bogor, 2012; diolah
Gambar 12. Tingkat pemenuhan kebutuhan pangan di Kabupaten Bogor
48
Sebagaimana dilihat pada Gambar 12 tingkat pemenuhan kebutuhan pangan di Kabupaten Bogor belum mencapai 100 persen.Pada tahun 2006 tingkat pemenuhan kebutuhan pangan sebesar 59.81 persen. Pada tahun 2007 mencapai 69.34 persen dan pada tahun 2008 dan 2009 mengalami penurunan yakni sebesar 69 persen dan 64.34 persen. Baru kemudian pada tahun 2010 terjadi kenaikan kembali tingkat pemenuhan kebutuhan pangan sebesar 69.21 persen.Penurunan tingkat pemenuhan kebutuhan pangan disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya terjadinya alih fungsi lahan, pengaruh musim maupun yang dapat menyebabkan gagal panen.Sedangkan untuk menaikkan tingkat pemenuhan kebutuhan pangan pada tahun 2010 telah dilakukan program yang berfokus pada sektor pertanian yakni revitalisasi pertanian dan pembangunan perdesaan dimana intensifikasi sebagai salah satu daya ungkit peningkatan produksi melalui peningkatan produktivitas. Luas lahan Sawah dan Laju Alih Fungsi Sawah Jumlah Lahan sawah (Ha)
b.
48.900 48.800 48.700 48.600 48.500 48.400 48.300 2006
Jumlah lahan sawah Laju Alih Fungsi
2007
2008
2009
2010
2006
2007
2008
2009
2010
48.425
48.321
48.849
48.766
48.484
-0,215
1,093
-0,170
-0,578
Sumber : Distanhut Kabupaten Bogor, 2012; diolah
Gambar 13. Luas Lahan Sawah dan Laju Alih Fungsi Sawah di Kabupaten Bogor Gambar 13menunjukkan jumlah luas lahan sawah yang terdapat di Kabupaten Bogor.Pada tahun 2006, luas lahan sawah mencapai 48 425 ha.Kemudian pada tahun 2007 terjadi penurunan menjadi seluas 48321 ha.Pada tahun 2008 luas lahan sawah terjadi kenaikan menjadi 48849 ha.Kemudian terjadi penurunan kembali pada tahun 2009 dan 2010 yakni menjadi sebesar 48766 ha dan 48484 ha.Penurunan luas lahan sawah, salah satunya dipengaruhi oleh terjadinya alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian. c.
Share sektor pada produk domestik regional bruto Salah satu indikator makro pembangunan suatu wilayah dapat diketahui melalui produk domestik regional bruto.Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan jumlah nilai produk barang dan jasa akhir yang dihasilkan
49
oleh seluruh unit produksi di dalam suatu wilayah atau daerah pada suatu periode tertentu, biasanya satu tahun, tanpa memperhitungkan kepemilikan. PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung dengan menggunakan harga pada setiap tahun, sedangkan PDRB atas dasar harga konstan menunjukan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada satu tahun tertentu sebagai tahun dasar penghitungannya.Gambar 14 di bawah menunjukkan share Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Bogor Atas Dasar Harga Konstan tahun 2010.
1. PERTANIAN
3% 2% 4%
5%
1%
2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN 3. INDUSTRI PENGOLAHAN
17% 4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH 5. BANGUNAN
3%
61%
4%
6. PERDAGANGAN, HOTEL & RESTORAN 7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI 8. KEUANGAN, PERSEWAAN, & JS. PRSH. 9. JASA-JASA
Sumber : BPS Kabupaten Bogor, 2012; diolah Gambar 14.Share PDRB Kabupaten Bogor ADHK Tahun 2010 Jika dilihat proporsi atau share dari masing-masing sektor, maka sektor industri pengolahan memiliki persentase terbesar, yakni sebesar 61 persen dari total PDRB. Sementara sektor dengan persentase share terendah, dikontribusikan oleh sektor pertambangan dan penggalian sebesar 1 persen dari total PDRB. Sementara untuk sektor pertanian memiliki share sebesar 5 persen dari total PDRB. Hal ini menunjukkan bahwa ekonomi makro di Kabupaten Bogor digerakkan mayoritas oleh sektor industri pengolahan. d.
Property rights terhadap lahan. Property rights atau hak kepemilikan atas sesuatu mengandung pengertian hak untuk mengakses, memanfaatkan, mengelola atas sesuatu, mengubah atau mentransfer sebagian atau seluruh hak atas sesuatu tersebut pada pihak lain. Sesuatu yang dimaksud dapat berupa barang, jasa atau pengetahuan/informasi yang bersifat intangible.Property rights ini, tentu saja sangat penting dalam ekonomi karena berkaitan dengan kepastian penguasaan-penguasaan faktor-faktor produksi. Faktor-faktor produksi tentu harus mendapatkan prioritas utama dalam memperoleh kepastian, karena akan mendukung proses produksi guna menunjang perkembangan ekonomi. Berkaitan dengan rencana perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan, perlu adanya masukan dari masyarakat terlebih pihak-pihak yang
50
memiliki hubungan property rights atas lahan. Sehingga pemerintah yang bertanggung jawab atas ketersediaan kebutuhan pangan dapat mempertimbangkan kebijakan-kebijakan yang akan diambil dengan semakin langkanya lahan pertanian.
51
6PENGELOLAAN KEPENTINGAN PARA PIHAK TERHADAP KEBIJAKAN PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN Pengelolaan kepentingan para pihak terhadap perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan merupakan informasi tentang dukungan maupun penolakan dari para pemangku kepentingan terhadap kebijakan yang akan dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor. Sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya, pengelolaan kepentingan para pihak diwujudkan dalam model persamaan : 𝑌 = 𝛼 + 𝛼0 𝑋1 + 𝛼1 𝑋2 + 𝛼2 𝑋3 Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan program SPSS 15, diperoleh informasi sebagai berikut :
6.1
Ketepatan Kategori
Berdasarkan output regresi logistik pada Tabel 16 menunjukkan bahwa ketepatan pengklasifikasian variabel respon Y (pengelolaan kepentingan para pihak jika lahan pertanian berkelanjutan dilindungi dengan persyaratan tertentu (berupa penggantian lahan jika terjadi alih fungsi) dari model yang dihasilkan dengan hasil observasi lapangan secara keseluruhan sebesar 78.6 persen. Ketepatan pengklasifikasian variabel respon dengan kategori tidak setuju (tidak menerima kebijakan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan) sebanyak 31 responden dari 56 responden yang menjawab kategori 0 (55.4 persen), sedangkan ketepatan pengklasifikasian variabel respon dengan kategori setuju (menerima kebijakan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan) sebanyak 68 responden dari 70 responden yang menjawab variabel respon dengan kategori 1 (97.1 persen). Tabel 16.Classification Table Observed
Predicted Persepsi
Step 1
Y Overall Percentage
Sumber : hasil data diolah
0 1
0 31 2
Percentage Correct 1 25 68
0 55.4 97.1 79.6
52
6.2
Hasil Uji seluruh Variabel Pengelolaan Para Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Pihak
Dalam
Tabel 17 dibawah ini menunjukkan output hasil analisis regresi logistik. Untuk menentukan berpengaruh atau tidaknya suatu variabel dapat dilihat dari nilai signifikansinya (sign). Jika nilai sign> α = 5 %, maka variabel tersebut tidak berpengaruh secara signifikan, akan tetapi jika nilai sign< α = 5 %, maka nilai variabel tersebut berpengaruh secara signifikan. Berdasarkan Tabel 17 diperoleh bahwa dari 3 variabel yakni variabel pemberian insentif-disinsentif (X1), variabel penyuluhan (X2) dan variabel mekanisme perizinan (X3) yang diduga mempengaruhi variabel Y, terlihat bahwa variabel mekanisme perizinan berpengaruh secara signifikan terhadap variabel pengelolaan para pihak menyetujui adanya kebijakan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan dengan syarat tertentu “penggantian lahan jika terjadi alih fungsi”. Sedangkan variabel penyuluhan dan pemberian insentif dan disinsentifmemiliki nilai signifikansi (sign) lebih besar dari alpha, yang berarti variabel ini tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel pengelolaan kepentingan para pihak. Tabel 17.Variabel-variabel Step Insentif(1) 1 (a) Penyuluhan(1) Perizinan(1) Constant
β .541 -.430 3.636 .909
S.E .463 .461 .770 .428
Wald 1.364 .870 22.276 4.498
Df 1 1 1 1
Sign .243 .351 .000 .034
Exp(β) 1.718 .650 .026 2.481
Dari hasil analisis output diatas, diperoleh model persamaan regresi logistiknya sebagai berikut : Y
= 0.909+0.541X1 – 0.430X2 + 3.636X3
Jika dilihat dari nilai-nilai koefisien betha pada model diatas, yang mempengaruhi variabel Y adalah variabel X1dan X3dengan koefisien betha sebesar 0.541 dan 3.636.Hal ini menunjukkan bahwa variabel X1dan X3merupakan variabel yang paling berpengaruh terhadap variabel Y. Tanda (+ atau -) pada nilai koefisien betha mengandung makna bahwa : Jika koefisien betha suatu variabel X bertanda positif, bermakna bahwa variabel tersebut berbanding lurus dengan variabel Y, artinya semakin tinggi variabel X, maka akan semakin tinggi pula variabel Y nya. Jika koefisien betha suatu variabel X bertanda negatif, bermakna bahwa variabel tersebut berbanding terbalik dengan variabel Y, artinya semakin tinggi variabel X, maka akan semakin rendah variabel Y nya. Dari persamaan di atas terlihat bahwa variabel X1dan X3bernilai positif, hal ini menunjukkan bahwa variabel tersebut berbanding lurus dengan variabel Y. Artinya semakin tinggi variabel X1dan X3, maka variabel Y juga semakin tinggi.
53
6.3 Analisis Peluang (exp)β Berdasarkan Tabel 17 diatas dapat diketahui perihal analisis peluang (exp)β. Analisis peluang dengan menggunakan metode regresi logistik ini menggambarkan “kecenderungan responden memilih terima variabel X untuk menerima Y sebesar Exp(β) kalinya dibandingkan dengan memilih tolak variabel X”. Berdasarkan hasil analisis regresi logistik diatas, untuk peluang variabel diperoleh bahwa : a. Kecenderungan responden memilih terima adanya insentif-disinsentif berupa fisik dalam mendukung (menerima) pelaksanaan kebijakan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan sebesar 1.718 kalinya dibandingkan dengan memilih adanya insentif dan disinsentif berupa non fisik yang diberikan. Peluang variabel penyuluhan menggambarkan, kecenderungan responden b. memilih terima adanya penyuluhan yang berkaitan dengan kelembagaan tani dalam mendukung pelaksanaan kebijakan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan sebesar 0.650 kalinya dibandingkan dengan memilih adanya penyuluhan yang berkaitan dengan non-kelembagaan. c. Sedangkan peluang variabel mekanisme perizinan digambarkan, kecenderungan responden memilih terima jika alih fungsi lahan dilakukan dengan ganti ruang lahan dan sarana pendukungnya dalam mendukung pelaksanaan kebijakan perlindungan lahan pertanian berkelanjutan sebesar 0.026 kalinya dibandingkan dengan responden memilih tidak setuju jika alih fungsi lahan dilakukan dengan ganti rugi ruang lahan dan sarana pendukungnya.
54
7 MANAJEMEN KOLABORASI DALAM PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN Sumberdaya lahan sebagai sumberdaya yang terbatas keberadaannya, perlu mendapatkan perhatian serius dari Pemerintah Daerah.Salah satunya berupa perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan dari alih fungsi lahan ke nonpertanian.Mengingat adanya kepentingan dari berbagai pihak dalam upaya perlindungan ini, dapat dilakukan dengan pengembangan jejaring yang berbasis komunitas.Pengembangan komunitas melalui inti lokal menuju ke tingkat yang lebih tinggi dengan melibatkan berbagai pihak. Pengembangan jejaring berbasis komunitas tergambar dalam Gambar 15berikut :
Kel.tani
Swasta
Komunitas LSM
Desa Kecamatan Daerah
BUMN/D
Nasional Pemerintah
Perguruan tinggi
Sumber : Tonny, 2011
Gambar 15.Pengembangan jejaring berbasis komunitas
7.1
Identifikasi Aktor Para Pihak
Freeman (1984) dalam Aliadi (2011) mendefinisikan parapihak sebagai kelompok atau individu yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh tujuan suatu korporasi.Bisset (1998) dalam Aliadi (2011), yang dimaksud dengan parapihak (stakeholders) adalah individu yang berkepentingan dan mempunyai perhatian terhadap sesuatu.Sementara.Dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam, Roling dan Wagemakers (1998) menyebutkan parapihak adalah pemanfaat dan pengelola sumberdaya alam.Dapat dinyatakan bahwa parapihak adalah merujuk pada kelompok atau institusi yang berkepentingan atau yang berperan aktif dalam suatu sistem.Parapihak yang berkepentingan inilah yang seharusnya dilibatkan dalam penyusunan sistem. Sebagaimana telah diutarakan sebelumnya, aktor atau pemangku kepentingan yang berhubungan dengan upaya perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan dalam penelitian ini antara lain : Pemerintah/Pemerintah Daerah 1. 2. Swasta/Badan usaha
55
3. 4.
Akademisi Petani
7.2
Identifikasi Peran
Peran dari para pihak dalam upaya perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan di Kabupaten Bogor antara lain : 1. Pemerintah Daerah Dalam rangka perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan, peran pemerintah daerah antara lain : a. Regulator Bersama-sama dengan DPRD membuat peraturan daerah tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Bersama-sama dengan DPRD menetapkan rencana tata ruang wilayah dalam bentuk Perda. b. Fasilitator Memberikan rasa aman bagi warganya, memberi solusi jika terjadi persaingan dalam pemanfaatan sumber daya lahan yang terbatas. Melakukan sosialisasi tentang pentingnya keberadaan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Menjamin ketersediaan pengairan melalui irigasi. Menjamin ketersediaan sarana prasarama produksi pertanian. Memberikan jaminan penyerapan hasil produksi. Memfasilitasi koordinasi lintas pemangku kepentingan. Memfasilitasi kemitraan antar pemangku kepentingan. Bersama-sama para pihak yang lain menggerakkan program perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Memfasilitasi ketahanan pangan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian. c. Mediator Memfungsikan lembaga yang menangani tentang ketahanan pangan maupun pemanfaatan ruang. Memfungsikan unit-unit penunjang sektor pertanian seperti balai benih, unit pelaksana teknis lahan kering, unit pelaksana teknis alat mesin pertanian Membentuk lembaga yang menangani kebutuhan di bidang pertanian. 2. Swasta/Badan usaha Menjalin kemitraan antar para pihak yang memiliki kepentingan. Sebagaimana telah dilakukan oleh GP3A mitra tani desa karehkel bekerja samadengan Taiwan Technical Mission Agribusiness Development Center untuk pengembangan budidaya sayuran organik. Pendukung kebijakan pemerintah dalam memenuhi tingkat kecukupan pangan. Pencipta lapangan kerja baru.
56
3.
4.
7.3
Akademisi Pemberi informasi terbaru tentang dunia pertanian dan program kedaulatan pangan. Mitra dalam penelitian (research) maupun pelaksanaan program yang berkaitan dengan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Mitra dalam pendataan dan pemetaan lahan pertanian pangan berkelanjutan beserta cadangannya. Melakukan sosialisasi hasil research. Pemberi masukan kepada Pemerintah Kabupaten Bogor terkait pentingnya dunia pertanian dan program ketahanan pangan maupun kedaulatan pangan. Masyarakat/petani penggerak kelembagaan yang ada pada tingkat petani. Berpartisipasi dalam pemeliharaan dan pengelolaan irigasi melalui GP3A. Terlibat dalam proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring maupun evaluasi dari perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Sebagaimana telah terlibat dalam pendataan dan pemetaan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Terlibat dalam perumusan pemberian insentif bagi petani sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat. Berpartisipasi dalam penyampaian pendapat hingga partisipasi dalam penegakan hukum apabila terjadi penyimpangan dari pelaksanaan program perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Penyampaian laporan atas keberadaan tanah terlantar maupun distribusi pemanfaatan lahan.
Kepentingan
Kepentingan dari stakeholders dapat diidentifikasi antara lain sebagai berikut : a) Pemerintah/pemerintah daerah Upaya mempertahankan sumber daya yang terbatas untuk mencukupi pemenuhan kebutuhan pangan. Peningkatan lapangan kerja guna mengurangi pengangguran. b) Swasta Kesempatan untuk melakukan usaha. c) Akademisi Memberikan masukan atau solusi secara akademis atas permasalahan yang dihadapi stakeholders. d) Masyarakat/petani Lahan pertanian pangan berkelanjutan sebagai sumber pendapatan masyarakat/petani melalui proses produksi padi. Sumber lapangan pekerjaan.
57
7.4
1.
2.
3.
4.
7.5
Pengaruh Pengaruh dari pemangku kepentingan, antara lain meliputi : Pemerintah/pemerintah daerah : Mampu memenuhi kebutuhan pangan. Mengurangi tingkat pengangguran. Peningkatan pertumbuhan ekonomi di bidang pertanian. Potensi luas lahan pertanian pangan berkelanjutan dapat dipertahankan dari alih fungsi lahan. Swasta : Mampu menciptakan lapangan kerja baru. Ketersediaan sarana produksi di bidang pertanian. Menyerap hasil produksi pertanian. Akademisi: Terwujudnya sinergi kesepahaman bersama dalam memahami kebijakan yang akan diberlakukan. Masyarakat/petani : Peningkatan pemenuhan ketersediaan kebutuhan pangan.
Sumberdaya Yang Dimiliki
Salah satu hal yang diperhatikan pada pengelolaan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan yakni keberadaan sumber daya yang dimiliki para pemangku kepentingan. Sumber daya tersebut antara lain : Pemerintah / pemerintah daerah dengan sumber daya berupa kemampuan anggaran, produk hukum sebagai bentuk pelaksanaan dari komitmen bersama dalam perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan, dan kualitas sumber daya manusia. Swasta dengan sumber daya berupa anggaran sebagai modal investasi beserta kemampuan sumber daya manusia. Akademisi dengan ketersediaan sumber daya manusianya sebagai tenaga ahli di bidang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Petani dengan sumber daya yang dimiliki berupa potensi lahan dan sebagai tenaga kerja.
7.6
Kedudukan Aktor Kedudukan aktor atau pemangku kepentingan antara lain : Pemerintah daerah sebagi regulator atas perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan sekaligus operator atas kebijakan yang sudah ditetapkan bersama-sama dengan DPRD. Swasta berkedudukan sebagai pengguna dan pengambil manfaat dari kebijakan yang telah ditetapkan. Akademisi berkedudukan memberikan kajian kebijakan atas rencana perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan.
58
7.7
Masyarakat/petani berkedudukan sebagai objek atau penerima manfaat.
Konflik Kepentingan Antar Aktor
Konflik kepentingan antar para pihak terjadi jika sumber daya yang terbatas digunakan oleh pihak-pihak secara bersama-sama. Contoh konflik yang telah terjadi dan solusi yang sudah disepakati oleh para pemangku kepentingan berdasarkan informasi dari Ketua Kelompok Tani Pandan Wangi Desa Karehkel yaitu : adanya penggunaan air oleh pengelola air minum yang mengganggu ketersediaan airirigasi bagi lahan sawah di Leuwiliang. Kesepakatan bersama yang tercapai antara lain pertama berupa pemenuhan kebutuhan air lahan sawah tetap dipenuhi dengan menaikkan debit yang lebih besar hingga waktu yang sudah ditentukan bersama. Kedua, sumber pemenuhan yang dikelola oleh pengelola air minum dipenuhi dengan mencari sumber air lain (bukan sumber air yang sama dengan sumber irigasi). Hubungan dalam manajemen kolaborasi dimulai dari identifikasi aktor/stakeholder, peran para pihak, kepentingan, pengaruh, sumberdaya yang dimiliki aktor, kedudukan aktor hingga potensi terjadinya konflik antar aktor disajikan dalam Tabel 7.1 :
Tabel 18. Manajemen Kolaborasi Aktor / Para Pihak
Peran Aktor
Pemerintah Penyedia informasi /Pemerintah awal tentang Daerah permasalahan pemenuhan kebutuhan pangan Penentu kebijakan dalam pembangunan Fasilitator dalam menggerakkan para petani sebagai subyek
Swasta
Akademisi
Kepentingan Mempertahankan sumberdaya yang langka (lahan pertanian) untuk mencukupi kebutuhan pangan daerah Peningkatan lapangan kerja Pengurangan pengangguran Melindungi lahan pertanian pangan berkelanjutan dari alih fungsi lahan
Pengaruh Kebutuhan pangan di daerah terpenuhi Mengurangi tingkat pengangguran Meningkatkan pertumbuhan ekonomi di bidang pertanian. Luas lahan pertanian pangan berkelanjutan dapat dipertahankan
Sumber daya yang dimiliki Aktor Kemampuan anggaran Produk hukum SDM
Pembuat kebijakan (Regulasi). Pelaksana kebijakan
Konflik Kepentingan Antar Aktor Pemenuhan air minum melalui badan pengelola air minum daerah untuk kawasan pemukiman / padat penduduk
Pengguna dan pengambil manfaat dari kebijakan
Kajian kebijakan
59
Investasi di bidang Keuntungan secara Menciptakan SDM pertanian ekonomi maupun lapangan kerja Anggaran sosial baru ketersediaan sarana produksi di bidang pertanian Menyerap produk pertanian Terwujudnya Tenaga ahli Pemberi informasi Memberik secara sinergi terbaru tentang masukan kesepahaman dunia pertanian dan akademis bersama dalam program kedaulatan memahami pangan kebijakan yang Pemberi informasi akan diberlakukan tentang kebijakan
Kedudukan Aktor
74
Petani
Peran Aktor pemerintah dalam bidang pertanian Mitra dalam pelaksanaan program maupun research Terlibat dalam proses penentuan lahan yang akan dilindungi Terlibat melalui organisasi atau kelompok Terlibat dalam pengusulan tata cara, mekanisme dan kelembagaan dalam tingkat lokal Menyampaikan laporan terkait dengan tanah terlantar maupun distribusi pemanfaatan lahan Menyampaikan gugatan hukum atas bentuk-bentuk penyimpangan atas pelaksanaan perlindungan lahan pertanian Memberikan usulan terkait
Kepentingan
Pengaruh
Sumber pendapatan petani Sumber lapangan kerja
Peningkatan pemenuhan kebutuhan pangan
Sumber daya yang dimiliki Aktor
Lahan Tenaga
Konflik Kepentingan Antar Aktor
Kedudukan Aktor
Objek kebijakan penerima manfaat
/
Debit irigasi terganggu
60
Aktor / Para Pihak
75
Aktor / Para Pihak
Peran Aktor
Kepentingan
Pengaruh
Sumber daya yang dimiliki Aktor
Kedudukan Aktor
Konflik Kepentingan Antar Aktor
bentuk-bentuk perlindungan, pemberdayaan maupun insentif sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat Mengusulkan permohonan pendaftaran tanah secara sporadic
61
62
Bentuk-bentuk kerjasama dalam kolaborasi yang mungkin dilakukan antara lain disajikan dalam Tabel 19berikut : Tabel 19.Bentuk-bentuk kerjasama kolaborasi No. 1
Bentuk Kerjasama Kolaborasi Kerjasama antar perusahaan
2
Perusahaan dan komunitas
3
Perusahaan dan LSM
4
Perusahaan dan pemerintah daerah
5
Perusahaan dan universitas
6
Representative masyarakat pada perencanaan
7
Representative kelompok swadaya dalam program pemerintah Pemerintah daerah–LSM- Komunitas
8
9
Pemerintah, Perusahaan, LSM dan Komunitas
Hasil yang Diharapkan Menumbuhkan inovasi dan meminimalkan resiko Memperkuat komunitas melalui mitra binaan, baik secara ekonomi maupun sosial. GP3A dengan Taiwan Technical Mission Agribusiness Development Center Mengubah perilaku masyarakat menjadi lebih baik Memecahkan permasalahan tenaga kerja Melakukan pelatihan-pelatihan bagi masyarakat sesuai dengan potensi lokal Pemetaan dan pendataan lahan pertanian pangan berkelanjutan beserta cadangannya Terlibat dalam perencanaan, input dari pelaku secara langsung Misal : terlibat dalam pemetaan lahan pertanian pangan berkelanjutan Membawa masukan baru dalam organisasi LSM mampu membina masyarakat dengan dukungan anggaran dari Pemerintah Pembinaan masyarakat oleh perusahaan dan LSM dalam pengembangan usaha produktif yang difasilitasi oleh pemerintah
63
8 STRATEGI PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN 8.1
Identifikasi SWOT
Sebagaimana yang dijabarkan dalam metodologi, bahwa unit yang dijadikan basis analisis dalam menentukan para pihak internal dan eksternal adalah lahan pertanian pangan berkelanjutan di Kabupaten Bogor dan petani, artinya diluar lahan pertanian pangan berkelanjutan di Kabupaten Bogor dan petani akan terkategori sebagai pihak eksternal. 8.1.1 Identifikasi Faktor Kekuatan (Strengths) Identifikasi faktor kekuatan, antara lain meliputi : 1. Potensi lahan pertanian pangan di Kabupaten Bogor Menurut Kementerian Pertanian Republik Indonesia, luas lahan sawah di Pulau Jawa pada tahun 2010 mencapai 3 445 755.25 Ha.Propinsi Jawa Barat memiliki luas lahan sawah mencapai 922 25289 Ha (26.77 persen dari luas lahan sawah di Pulau Jawa). Sementara untuk Kabupaten Bogor, luas lahan sawah mencapai 39 817.91 Ha, yang berarti proporsi luas lahan sawah di Kabupaten Bogor mencapai 4.32 persen terhadap luas lahan pertanian di tingkat Propinsi Jawa Barat atau menempati nomor 12 dari 26 Kabupaten/Kota di Jawa Barat. Lahan pertanian beririgasi 2. Potensi lahan sawah di Kabupaten Bogor terdiri dari sawah beririgasi dan sawah tadah hujan. Penggunaan lahan sawah pada tahun 2010 meliputi irigasi teknis seluas 2173 Ha (4.48 %); irigasi setengah teknis 9 904 Ha (20.43%); 14833 Ha (30.59 %); Irigasi desa/non PU 12421 Ha (25.62 %).Sisanya merupakan sawah tadah hujan seluas 9 153 Ha (18.88 %).Hai ini menunjukkan bahwa lahan pertanian pangan berkelanjutan di Kabupaten Bogor lebih dari 80 persen telah tercakup dalam layanan irigasi. 4% 19%
20%
- Irigasi Teknis - Irigasi Setengah Teknis
26%
- Irigasi Sederhana 31%
- Irigasi Desa/Non PU - Tadah Hujan
Sumber : Distanhut, diolah
Gambar 16.Luas Lahan Sawah di Kabupaten Bogor Tahun 2010 3.
Produksi padi yang meningkat Program revitalisasi pertanian dan pembangunan pedesaan sebagai salah satu kebijakan dari Pemerintah Kabupaten Bogor melalui intensifikasi pertanian
64
menunjukkan adanya peningkatan produksi padi. Peningkatan produksi juga didukung adanya ketersediaan irigasi serta ketersediaan sarana dan prasarana pertanian lainnya.Perkembangan produksi padi ditunjukkan dalam Gambar 17. 560.000,00 540.000,00 Jumlah Produksi (ton)
520.000,00 500.000,00 480.000,00 460.000,00 440.000,00 420.000,00 400.000,00
2006
Produksi (ton) 401.065,
2007
2008
2009
2010
479.754,
480.211
505.978
542.893
Sumber : Distanhut, diolah
Gambar 17.Perkembangan Produksi Padi Di kabupaten Bogor 4.
Intensitas panen mampu mencapai 3 kali dalam setahun Irigasi sebagai salah satu faktor dalam usaha produksi padi memegang peranan sangat penting. Pelayanan irigasi pada lahan sawah di Kabupaten Bogor yang mencapai 80 persen lebih dari total penggunaan lahan, memungkinkan lahan pertanian untuk meningkatkan jumlah produksinya. Hal ini dapat dilihat dari tercapainya luas panen pada tahun 2010 sebesar 87 704 Hektar, dengan luas lahan baku sawah sebesar 39 817.91 hektar. 100000 90000 80000 Luas Sawah (Ha)
70000
Realisasi tanam (Ha)
60000
Realisasi panen (Ha)
50000 40000 2006
2007
2008
2009
2010
Sumber : Distanhut, diolah
Gambar 18.Luas Sawah, Realisasi Tanam dan Realisasi Panen Di kabupaten Bogor Tahun 2006-2010
65
Motivasi petani padi yang tinggi dalam bertani Besarnya luas lahan pertanian pangan berkelanjutan memberikan keuntungan tersendiri bagi Kabupaten Bogor, antara lain menyerap tenaga kerja, dan juga dekat dengan Ibu Kota Negara Jakarta sebagai salah satu pasar terbesar bagi produk-produk sektor pertanian dari Kabupaten Bogor. Dengan terserapnya produk pertanian, semakin memberikan pengaruh yang baik bagi para petani meskipun tidak memberikan kelayakan secara finansial dan menguntungkan. Berdasarkan hasil olahan dari responden tentang keberlanjutan lahan sawah, diperoleh informasi bahwa : a. Sebanyak 97.64 persen dari responden menyatakan bahwa keberlanjutan lahan sawah adalah untuk mencukupi kebutuhan lahan pangan. b. Sementara 2.36 persen responden menyatakan bahwa keberlanjutan lahan sawah adalah untuk investasi. Dari sisi finansial, para responden memberikan informasi bahwa : a. 25.98 % dari responden memberikan jawaban bahwa usaha pertanian memiliki kelayakan finansial dan menguntungkan dengan beragam alasan. b. 74.02 % memberikan jawaban bahwa usaha pertanian tidak memiliki kelayakan finansial dan menguntungkan, salah satunya karena tingkat kepemillikan lahan pertanian rendah sedangkan usaha pertanian membutuhkan biaya yang tinggi. Banyaknya kelompok tani yang aktif 6. Dengan didukung program agropolitan dan program minapolitan di Kabupaten Bogor, menambah semangat petani dalam pengembangkan usaha pertanian. Diantaranya, terwujudnya kemitraan antara Gabungan Perkumpulan Petani Pemakai Air (GP3A) Mitra Tani dengan Taiwan Technical Mission Agribusiness Development Centerdalam pengembangan sayuran organik di Desa Karehkel Kecamatan Leuwiliang. 5.
8.1.2 Identifikasi Faktor Kelemahan (Weaknesess) Identifikasi faktor kelemahan antara lain sebagai berikut : 1. Tingkat pertumbuhan penduduk tinggi Jumlah penduduk di Kabupaten Bogor terus mengalami peningkatan setiap tahunnya.Rata-rata laju pertumbuhan penduduk selama sepuluh tahun terakhir (2000 – 2010) sebesar 3.13 %. Dengan meningkatnya jumlah penduduk akan menyebabkan permintaan kebutuhan pangan dan perumahan juga meningkat. 2. Rendahnya tingkat kecukupan pangan Pangan merupakan kebutuhan pokok bagi masyarakat Kabupaten Bogor.Pada tahun 2010, jumlah penduduk di Kabupaten Bogor mencapai 4 763 209 jiwa.Sedangkan produksi setara beras mencapai angka 352 880 ton.Dengan tingkat konsumsi 105.86 kg/kapita/tahun, kebutuhan pangan atau beras di Kabupaten Bogor sebesar 504233 ton.Dengan demikian, tingkat kecukupan pangan atau beras hanya tercapai sebesar 69.98 persen.Hal ini menunjukkan bahwa produksi pangan belum mencukupi untuk kebutuhan pangan masyarakat di Kabupaten Bogor. Untuk mencapai pemenuhan terhadap kebutuhan pangan tersebut, salah satu yang dilakukan yakni dengan mendatangkan bahan pangan dari wilayah lain. 3. Terbatasnya penyebaran informasi pertanian
66
Luasnya lahan sawah di Kabupaten Bogor belum diimbangi dengan ketersediaan sumberdaya manusia bidang penyuluhan maupun sumberdaya lainnya.Ketersediaan penyuluh masih sangat dibutuhkan dalam hal kuantitasnya.Salah satu upaya mengatasi permasalahan ini yakni dengan dilakukannya penambahan tanaga penyuluhan melalui tenaga harian maupun pemanfaatan penyuluh swadaya yang ada di masyarakat. Kelompok tani belum efektif 4. Belum dikelolanya organisasi kelompok tani secara professional, membuat keberadaan organisasi kelompok tani hanya sebatas pemenuhan kebutuhan sementara. 5. Ketersediaan sarana produksi pertanian kurang tepat waktu Kurangnya ketersediaan sarana produksi pertanian ketika musim tanam tiba menyebabkan kelangkaan.Hal ini menyebabkan tingginya biaya dalam usaha pertanian. Akses permodalan dan pembiayaan 6. Terbatasnya akses permodalan dan pembiayaan bagi petani sebagai salah satu kelemahan yang ada.Hal ini dipengaruhi oleh hambatan adanya agunan jika akses permodalan melalui perbankan. 7. Kepemilikan lahan pertanian pangan berkelanjutan terbatas Meningkatnya jumlah penduduk dan semakin tingginya alih fungsi lahanmenyebabkan semakin terbatasnya tingkat kepemilikan lahan sawah di Kabupaten Bogor. Berkaitan dengan adanya property right atas lahan serta adanya kemungkinan terjadi alih kepemilikan lahan, berdasarkan hasil pengolahan data diperoleh informasi bahwa : a. 32.28 persen responden memberikan pilihan prioritas bahwa Negara atau pemerintah bisa melakukan pembelian atas tanah sawah dengan alasan, jika Negara melakukan pembelian lahan sawah, maka keberadaan lahan pertanian pangan yang dilindungi akan tetap terjaga dan masih adanya peluang untuk penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian. b. 1.57 persen responden memberikan pilihan prioritas bahwa swasta/perusahaan melakukan pembelian lahan sawah dikarenakan adanya kemungkinan harga jual yang lebih tinggi. c. 66.14 persen responden memberikan pilihan prioritas bahwa perorangan dalam melakukan pembelian lahan sawah lebih memudahkan dan lebih cepat prosesnya. 8. Rencana Detil Tata Ruang kecamatan belum tersedia lengkap dan belum memiliki legalitas Belum tersedianya rencana detil tata ruang kecamatan secara keseluruhan merupakan salah satu kelemahan yang dihadapi. Dengan tersedianya rencana detail tata ruang kecamatan, akan memberikan kekuatan dalam pemanfaatan ruang. 8.1.3 Identifikasi Faktor Peluang (Opportunities) Identifikasi faktor peluang diantaranya mencakup : 1. Sejalan dengan peraturan pemerintah Sebagaimana diuraikan pada bab sebelumnya bahwa program perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan yang akan dilaksanakan oleh pemerintah
67
daerah sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat dan kebijakan pemerintah propinsi Jawa Barat. Hal ini dapat dilihat dari diberlakukannya melalui undangundang dan peraturan pemerintah yang mengatur tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan.Serta ditetapkannya Peraturan Daerah Jawa Barat tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Rencana perubahan RTRW Kabupaten Bogor 2. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor merupakan salah satu produk hukum tentang hasil perencanaan tata ruang wilayah yang digunakan untuk mengarahkan pembangunan dengan memanfaatkan ruang dalam rangka mewujudkan keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan pembangunan antar daerah serta keserasian antar sektor. Perubahan RTRW Kabupaten Bogor dilakukan mengingat kondisi eksisting dari wilayah Kabupaten Bogor telah mengalami perubahan. Salah satu perubahan yakni perubahan guna lahan basah yang semula 56 888 hektar pada tahun 1996 menjadi 52349 hektar pada tahun 2000. Pada tahun 2005 perubahan guna lahan basah menjadi 47504 hektar. Serta munculnya isu proses transformasi dari struktur sosial ekonomi yang berorientasi kepada wilayah pedesaan ke struktur perkotaan melalui industrialisasi dan daya tarik kota sebagai penghasil produktivitas yang tinggi. Kebijakan agropolitan dan minapolitan 3. Agropolitan dan minapolitan merupakan salah satu peluang dalam pengembangan wilayah. Di Kabupaten Bogor, pengembangan agropolitan telah dimulai pada tahun 2004 dengan lokasi rintisan pengembangan kawasan agropolitan yang terdiri dari Desa Karacak, Desa Barengkok, Desa Pabangbong, Desa Cibeber II dan Desa Karyasari di Kecamatan Leuwiliang. Hingga saat ini telah dikembangkan meliputi beberapa kecamatan di sekitar leuwiliang dengan tingkat pos koordinasi sebanyak tiga unit. 4. Kebijakan pembangunan sektor pertanian melalui revitalisasi pertanian dan pembangunan pedesaan Salah satu kebijakan daerah di sektor pertanian yakni revitalisasi pertanian dan pembangunan perdesaan.Dalam kebijakan tersebut, kebijakan skala zonasi lahan merupakan salah satu komponen yang dikembangkan dengan mengorientasikan bagi lumbung pangan melalui peningkatan dan rehabilitasi sarana dan prasarana pemukiman. 5. Perbaikan infrastruktur pertanian dan pendukungnya Peningkatan infrastruktur pertanian melalui perbaikan sarana pendukung pertanian difokuskan pada infrastruktur.Peningkatan jalan usaha tani, saluran irigasi, peningkatan sarana pasca panen dan lain sebagainya. 6. Permintaan produk pertanian yang besar untuk wilayak Jakarta dan Kota Bogor Sebagai daerah Hinterland, Kabupaten Bogor menjadi daerah salah satu pemasok bagi wilayah Jakarta dan Kota Bogor.Karena kedua wilayah ini merupakan daerah pasar bagi komoditas produk Kabupaten Bogor. 7. Pendataan lahan pertanian pangan beserta cadangannya Salah satu peluang dari rencana perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan di Kabupaten Bogor, yakni adanya data terbaru atau updatelahan tentang luas lahan sawah dan cadangannya beserta titik lokasi di lapangan serta karakteristik dari sebaran lahan sawah.Sebagai data dasar dari rencana kebijakan,
68
data ini sangat penting sebagai bahan dari penetapan kebijakan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan. 8. Harga komoditas pertanian dapat dinikmati petani Terserapnya produk pertanian dari Kabupaten Bogor, membuat petani terus mengusahakan lahan pertanian yang dimiliki.Dari informasi responden, menunjukkan bahwa 52.76 % memberikan informasi bahwa harga produk pertanian bisa dinikmati oleh para petani. 8.1.4 Identifikasi Faktor Ancaman (Threats) 1. Tingkat kepemilikan lahan pertanian rendah Peningkatan jumlah penduduk, baik secara alami maupun migrasi dari wilayah lain akan menyebabkan permintaan perumahan meningkat. Dengan meningkatnya permintaan kebutuhan perumahan. Sementara luas guna lahan sawah yang semakin sempit dengan 39817.91 hektar pada tahun 2012 dari seluas 56 888 hektar pada tahun 1996. Berdasarkan wawancara dengan para petani menunjukkan bahwa rata-rata para petani merupakan petani penggarap lahan sawah, dimana kepemilikan lahan merupakan milik warga diluar wilayah Desa setempat. 2. Ketidaksiapan selain sektor pertanian Permintaan akan pemenuhan pemanfaatan lahan (baik lahan basah maupun lahan yang bersifat strategis) oleh sektor selain pertanian, menjadikan salah satu ancaman pada lahan pertanian pangan berkelanjutan. Hal ini dapat terjadi pada lokasi sekitar pusat-pusat pertumbuhan, misalnya disekitar pasar. 3. Berkembangnya sektor bangunan Sektor bangunan merupakan salah satu sektor dalam pembentukan PDRB.Permbangunan yang terus berkembang dan permintaan sektor bangunan yang juga terus meningkat menyebabkan sektor ini harus menjadi perhatian serius bagi Pemerintah Kabupaten Bogor. Perkembangan sektor bangunan dapat dilihat pada Gambar 19 :
Rp Juta
1.150.000,00 1.050.000,00 950.000,00 850.000,00 750.000,00 2006
2007
output sektor bangunan 802.808,8 855.403,5
2008
2009
2010
908.270,
989.630,
1.075.48
Sumber :PDRB, diolah
Gambar 19. Perkembangan Output Sektor bangunan di Kabupaten Bogor 4.
Kebijakan yang dihasilkan, dalam implementasinya sering berlawanan Kebijakan pemerintah/pemerintah daerah yang diimplementasikan dalam rangka pembangunan, didalam pelaksanaannya sering tidak berjalan dengan baik bahkan terjadi arah yang berlawanan.Hal ini memungkinkan karena adanya peluang yang belum diatur secara detail.Dimana hal ini juga ditunjukkan Made Esti Nurmani (2007), terdapat inkonsistensi dalam pemanfaatan ruang terhadap
69
rencana detail tata ruang kecamatan di Kecamatan Cibinong dimana sebagian besar terjadi pada kawasan pertanian yang beralih fungsi menjadi kawasan terbangun sebesar 303.4 Ha dan kawasan lindung berubah menjadi kawasan terbangun sebesar 246.6 Ha. 8.2
Perumusan Alternatif Strategi Berdasarkan Analisis SWOT Strategi merupakan sekumpulan sasaran yang disertai dengan metodemetode untuk mencapainya (Rustiadi, 2011).Berdasarkan hasil identifikasi terhadap faktor-faktor yang menjadi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman, dapat dirumuskan beberapa alternatif strategi yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan sebagaimana dijelaskan pada Tabel 8.1. 8.2.1 Strategi S-O (Aggressive Strategies) Menurut Rangkuti (1997), strategi disusun dengan memanfaatkan seluruh kekuatan agar dapat memanfaatkan seluruh peluang yang ada. Aggressive strategy ini merupakan strategi yang bernuansa pengembangan atau ekspansi. Berdasarkan enam kekuatan yang dimiliki dan sebelas peluang yang ada, maka dapat dirumuskan lima strategi yang bersifat ekspansif. 1. Penetapan PERDA perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan Penetapan PERDA perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan merupakan bentuk produk hukum tertinggi di daerah yang dilakukan para pihak melalui pemerintah dan DPRD.Dengan ditetapkannya melalui Perda, diharapkan manajemen pemanfaatan lahan pertanian pangan berkelanjutan lebih memiliki posisi tawar yang kuat. 2. Pembentukan sistem informasi tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan yang dapat diakses oleh masyarakat. Sistem informasi tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan merupakan sebuah sistem yang memberikan informasi sebaran lokasi lahan sawah yang telah dilindungi di 40 kecamatan termasuk didalam sawah yang berada di kawasan lindung/hutan produksi. Dengan memuat beberapa karakteristik lahan pertanian pangan dari masing-masing wilayah tersebut antara lain karakter site, karakter lingkungan serta karakter insentif yang diberikan. Karakter site terdiri dari sifat kemampuan lahan, infrastruktur, produktivitas, statsus kepemilikan, serta aspek sosial lainnya. Karakter lingkungan meliputi keterkaitan dengan wilayah lain yakni keberadaan kawasan hutan maupun keberadaan sumber air. Dan karakter insentif yang memuat informasi tentang lahan sawah beserta sarana pendukungnya, pemilik/pengelola maupun informasi lainnya. 3. Peningkatan intensifikasi pertanian Strategi ini merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan hasil pertanian dengan cara mengoptimalkan lahan pertanian yang sudah ada. Salah satu usaha peningkatan intensifikasi yakni melalui panca usaha tani yang meliputi : 1) pemilihan dan penggunaan bibit unggul, 2) pengolahan lahan, 3) pengaturan irigasi, 4) pemberian pupuk sesuai aturan, dan 5) pemberantasan hama dengan baik serta pasca panen dan pemasaran. 4. Pemberian insentif bagi petani
70
5.
Pemberian insentif merupakan langkah strategis dalam upaya memberi rangsangan kepada para petani untuk tetap mempertahankan keberadaan luas lahan sawah. Pemberian insentif dapat berupa : kemudahan dalam legalisasi kepemilikan lahan, kemudahan dalam pembayaran pajak, kemudahan berupa ketersediaan sarana irigasi, kemudahan dalam ketersediaan teknologi, kemudahan dalam ketersediaan akses permodalan dan pembiayaan, pemberian penyuluhan dan pelatihan bagi petani, kemudahan dalam ketersediaan bibit unggul, adanya jaminan kepastian harga panen maupun diberikan penghargaan kepada petani berprestasi. Peningkatan peran dan partisipasi masyarakat dalam mencegah terjadinya alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan Strategi ini dimanfaatkan guna menciptakan partisipasi masyarakat dalam upaya perlindungan lahan pertanian berkelanjutan.Salah satunya yakni ikut bertanggungjawab dalam hal pengawasan serta mampu memberikan informasi terkait adanya pelanggaran atas peraturan yang ditetapkan.Bahkan jika perlu, dapat melakukan tuntutan hukum atas pelanggaran yang dilakukan oleh pemberi kewenangan.
8.2.2 Strategi W-O (Turn-Around Strategies) Strategi ini disusun dengan memanfaatkan peluang yang ada untuk mengatasi kelemahan-kelemahan yang dimiliki (Rangkuti, 1997). Secara garis besar, berdasarkan delapan jenis kelemahan, dan sebelas peluang, dapat dikembangkan tujuh jenis strategi antara lain: 1. Penetapan legalitas RDTR Strategi ini digunakan sebagai jaminan tentang rencana pemanfaatan ruang secara lebih detail agar pemanfaatan ruang terkendali. Untuk mengatasi kelemahan yang ada ini, penetapan legalitas RDTR ditetapkan dalam dalam bentuk peraturan daerah dan diletakkan ke dalam rencana tata ruang wilayah Kabupaten Bogor. 2. Penguatan peran GP3A Strategi penguatan peran GP3A ditujukan untuk meningkatkan kapasitas dalam pengelolaan dan pengaturan kebutuhan air irigasi dan penguatan organisasi kelompok tani. 3. Penguatan gapoktan Strategi ini untuk mendukung pelaksanaan dari pemberian insentif kepada para petani.Intervensi melalui gapoktan diharapkan lebih memudahkan dalam hal pembinaan dan penyuluhan. 4. Pengembangan sarana produksi pertanian dan alat mesin pertanian Strategi ini diupayakan untuk mengatasi kelemahan yakni kurang tersedianya sarana produksi pertanian dalam hal jumlah, waktu maupun kualitasnya pada saat musim tanam tiba. 5. Optimalisasi resi gudang Strategi optimalisasi resi gudang merupakan salah satu langkah untuk membantu petani dalam hal permodalam dan pembiayaan di bidang pertanian.Dimana hasil produksi berupa gabah dapat dijadikan agunan dengan melakukan penyimpanan hasil panen di gudang yang dikelola secara professional. 6. Optimalisasi sosialisasi dan penyuluhan
71
7.
Strategi sosialisasi dan penyuluhan ditekankan pada penyebaran informasi baik rencana maupun hasil dari kebijakan yang telah ditetapkan kepada para pihak. Pembentukan badan usaha di sektor pertanian/kemitraan dengan sektor perbankan Strategi pembentukan badan usaha di sektor pertanian ini digunakan untuk mengatasi kelemahan-kelemahan yang terjadi.Adanya keterbatasan bagi petani kepada akses permodalan dan pembiayaan serta adanya tingkat kepemilikan lahan yang rendah menyebabkan kerentanan terjadi alih fungsi lahan.
8.2.3 Strategi S-T (Diversification Strategies) Strategi ini disusun untuk memanfaatkan seluruh kekuatan yang ada secara optimal dengan cara menekan seminimal mungkin ancaman yang dihadapi (Rangkuti, 1997). Dua strategi yang memungkinkan untuk disusun dalam rangka meminimalkan ancaman adalah : 1. Optimalisasi pengawasan peruntukan ruang Strategi ini bertujuan untuk menghindari adanya penyimpangan dari pelaksanaan perlindungan lahan pertanian berkelanjuan. Pengawasan dapat melibatkan para pihak lain melalui peran dan partisipasi masyarakat. 2. Optimalisasi pengendalian pemanfaatan ruang. Strategi optimalisasi pengendalian pemanfaatan ruang merupakan upaya untuk menegakkan pemanfaatan ruang sesuai dengan peruntukkannya.Dengan didasarkan atas peraturan daerah yang telah ditetapkan. 8.2.4 Strategi W-T (Defensive Strategies) Strategi ini disusun untuk meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman (Rangkuti, 1997). Terdapat dua alternatif strategi defensive ini yang didasarkan pada delapan kelemahan dan empat ancaman. 1. Penyuluhan pertanian bagi kelompok tani Strategi ini dilakukan karena selama ini organisasi petani dijalankan hanya dengan pengelolaan secara sosial dan relatif belum secara professional. 2. Sosialisasi melalui berbagai media Strategi ini dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan utamanya keterbatasan akses informasi bagi petani. Tujuan lain dari sosialisasi ini yakni memberikan informasi kepada masyarakat tentang kebijakan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan guna menghindari sektor lain yang akan menggunakan lahan pertanian pangan yang sudah dilindungi. Ringkasan tahapan identifikasi SWOT dapat dilihat pada Tabel 20.
72
Faktor Internal
Kekuatan (Strengths) 1. Potensi lahan pertanian 2. Lahan pertanian beririgasi 3. Produksi padi yang meningkat 4. Intensitas panen 2 kali setahun 5. Motivasi petani padi yang tinggi. 6. Banyaknya kelompok tani yang aktif dengan diterapkannya agropolitan dan minapolitan
Faktor Eksternal
Peluang (Opportunities) 1. Sejalan dengan peraturan pemerintah 2. Rencana perubahan RTRW 3. Kebijakan agropolitan 4. Kebijakan revitalisasi pertanian dan pembangunan perdesaan 5. Perbaikan infrastruktur pertanian dan pendukungnya 6. Permintaan produk pertanian yang besar untuk wilayah Jakarta dan Kota Bogor 7. Pendataan lahan pertanian pangan beserta cadangannya 8. Harga komoditas pertanian dinikmati petani. Ancaman (Threats) 1. Tingkat penguasaan lahan pertanian rendah 2. Ketidaksiapan selain Sektor pertanian 3. Berkembangnya sektor bangunan 4. Pelaksanaan kebijakan yang menyimpang
1. 2.
3.
4.
5.
Strategi S-O (Aggressive Strategies) Penetapan PERDA PLP2B (S1,2,3,4,5,6 – O1,4,6) Pembentukan sistem informasi (S1,2,3,4,5,6 – O1,6) Peningkatan intensifikasi pertanian (S1,2,3,5,6 – O3,4,6,7,8) Pemberian insentif bagi petani (S2,3,4,5,6 – O1,4,6,7) Peningkatan peran dan partisipasi masyarakat (S5,6 – O6,7)
Strategi S-T (Diversification Strategies) 1. Optimalisasi pengawasan peruntukan ruang (S1,2,5,6 – T2,3,4) 2. Optimalisasi pengendalian pemanfaatan ruang (S1,2,5,6 – T2,3,4)
Kelemahan (Weaknesses) 1. Tingkat pertumbuhan penduduk tinggi 2. Tingkat kecukupan pangan rendah 3. Penyebaran informasi pertanian terbatas 4. Kelompok tani belum efektif 5. Ketersediaan saprotan kurang tepat waktu 6. Akses permodalan dan pembiayaan lemah 7. Kepemilikan lahan pertanian pangan berkelanjutan terbatas 8. RDTR belum memiliki legalitas Strategi W-O (Turn-Around Strategies) 1. Penetapan RDTR kecamatan (W8 – O2) 2. Penguatan peran GP3A (W2,3,4,5,6 – O3,4) 3. Penguatan gapoktan (W2,3,4,5,6 – O3,4) 4. Pengembangan saprotan dan alsintan (W2,3,4,5,6 – O3,4,7) 5. Optimalisasi resi gudang (W3,4,6 – O1,3,4,6,8) 6. Optimalisasi sosialisasi dan penyuluhan (W1,2,3,4,8 – O1,2,3,4) 7. Pembentukan badan usaha di sektor pertanian /kemitraan (W1,2,3,5,6,7 – O4,6,7,8) Strategi W-T (Defensive Strategies) 1. Penyuluhan pertanian bagi kelompok tani (W3,478 – T1,2,3,4 ) 2. Sosialisasi melalui berbagai media(W1,3,4,7,8 – T1,2,3,4)
Tabel 20.Ringkasan Tahapan Identifikasi SWOT
73
8.3
Penyusunan Road Map Strategy dan Prioritas Program / Kegiatan
8.3.1 Road Map Strategy Menurut Rustiadi (2011), kebijakan merupakan sekumpulan aktivitas terukur yang ingin dicapai dalam jangka pendek dan dilakukan dengan cara-cara tertentu. Kebijakan disusun dengan mewujudkan pelaksanaan strategi secara terpadu dan serasi.Berdasarkan hasil analisis menggunakan metode SWOT, ditemukan alternatif strategi yang untuk mendukung dilaksanakannya upaya perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Beberapa strategi tersebut antara lain : lima strategi agresif, tujuh strategi stabilitatif/rasional, dua strategi diverifikatif dan dua strategi defensif. Strategi yang telah dirumuskan berdasarkan analisis SWOT, selanjutnya dipetakan ke dalam bentuk road map strategy. Menurut Baga (2009) dengan pedekatan road map strategy dapat menjelaskan beberapa hal yang mendasar. Keenambelas strategi yang telah dirumuskan perlu dilaksanakan guna perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan berjalan dengan baik. Karena adanya keterbatasan serta adanya hal-hal yang bersifat sekuensial antara strategi satu dengan yang lain, tentunya tidak dilaksanakan secara sekaligus. Oleh karena itu road map perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan di Kabupaten Bogor yang dapat dijadikan panduan dalam pelaksanaan di lapangan. Road mapstrategy disusun dalam rentang lima periode waktu, dimana dalam setiap periode waktu dapat dinyatakan dalam tahun ataupun bentuk waktu lain. Road map strategy dijelaskan pada Gambar 20.. Secara vertikal, pada Gambar 20 tersebut terlihat bahwa road map strategy terbagi atas tiga dimensi strategi yaitu : 1) Mekanisme perizinan, 2) Pemberian insentif dan 3) Penyuluhan. Dimensi mekanisme perizinan menekankan upaya adanya perlindungan lahan dengan adanya legalitas.Dimana legalitas tersebut juga memuat tentang adanya kompensasi/resiko yang harus ditanggung bagi pelaku alih fungsi lahan maupun sangsi-sangsi atas adanya pelanggaran yang dilakukan. Pada dimensi mekanisme perizinan ini dijumpai strategi penyuluhan dan sosialisasi, strategi penetapan rencana detail tata ruang kecamatan, strategi penetapan peraturan daerah tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan, strategi penyusunan sistem informasi tentang lahan pertanian serta strategi pembentukan badan usaha di sektor pertanian. Dimensi pemberian insentif menekankan pada strategi upaya mempertahankan lahan pertanian dari alih fungsi dengan pelibatan peran petani. Pada dimensi pemberian insentif ini terdapat strategi yang berkaitan dengan pemberian insentif, strategi penguatan GP3A, strategi pengembangan sarana produksi pertanian dan alat mesin pertanian, strategi optimalisasi resi gudang serta strategi intensifikasi pertanian. Dimensi penyuluhan menekankan pada pengendalian melalui peran aktif dari para pihak. Pada dimensi penyuluhan ini ditemukan antara lain strategi peran dan partisipasi masyarakat dalam upaya perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan, strategi penguatan gapoktan, strategi penyuluhan, strategi
74
pengendalian pemanfaatan ruang, strategi pengawasan peruntukan ruang dan strategi sosialisasi kebijakan tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Secara horizontal, road map strategy menggambarkan kerangka waktu pelaksanaan keenambelas strategi yang telah dirumuskan.Diawali dengan strategi penyuluhan dan sosialisasi dari rencana perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan dan diikuti dengan strategi peran dan partisipasi dari masyarakat. Pada pertengahan periode pertama didukung dengan adanya strategi penetapan rencana detail tata ruang kecamatan. Pada periode kedua, strategi perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan melalui penetapan peraturan daerah diikuti dengan strategi pengendalian pemanfaatan ruang dan strategi pengawasan peruntukan ruang.Disusul dengan strategi penguatan GP3A dan strategi pengutan kelompok tani pada pertengahan periode kedua. Pada periode ketiga, strategi pembuatan sistem informasi yang dapat diakses oleh seluruh para pihak diikuti dengan strategi pemberian insentif kepada petani atas peran sertanya mempertahankan keberadaan lahan sawah yang ditunjang dengan strategi pengembangan sarana produksi pertanian dan alat mesin pertanian pada pertengahan tahun ketiga dan diperkuat dengan strategi kebijakan peningkatan intensifikasi dan strategi sosialisasi kebijakan. Pada periode keempat dan periode kelima ditekankan pada satu strategi yakni strategi penyuluhan pada periode keempat dan strategi optimalisasi pemanfaatan resi gudang pada periode akhir.
Tujuan
75
Program Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Sosialisasi Kebijakan Distanhut, BPT, BP4K
Penyuluhan
Optimalisasi Pengawasan Peruntukan Ruang DTRP Optimalisasi Pengendalian Ruang DTRP Peningkatan Peran &Partisipasi Masyarakat Distanhut, BP4K, Petani
Penguatan Gapoktan Distanhut, BP4K, Petani
Penyuluhan BP4K, Petani
Insentif& disinsentif
Peningkatan Intensifikasi BP4K, Distanhut, Petani
Penguatan Peran GP3A BP4K
Pengembangan Saprotan & alsintan Distanhut
Optimalisasi Resi Gudang Distanhut, DiskopUKM
Pemberian Insentifbagi Petani Distanhut
Perizinan
Pembentukan Sistem Infomasi Distanhut
Badan usaha sektor pertanian/ kemitraan Setda, Distanhut
Perda PLP2B Distanhut Penetapan RDTRKecamatan DTRP
Penyuluhan dan sosialisasi Distanhut, Petani
0
1
2
3
4
5
Gambar 20.Road Map StrategyPerlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Bogor
76
8.3.2 Kebijakan, Strategi, Program dan Kegiatan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Bogor Dengan memperhatikan analisis pada bab-bab sebelumnya, terdapat sejumlah temuan dalam kajian ini yang dapat digunakan untuk merumuskan lebih lanjut implikasi terhadap kebijakan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan di Kabupaten bogor, salah satunya aspek mekanisme perizinan dengan alternatif strategi berupa pembentukan sistem informasi tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Penyusunan program kegiatan dilakukan dengan mengacu pada visi dan misi dari Pemerintah Kabupaten Bogor.Pernyataan Misi dari Pemerintah Kabupaten Bogor dikelompokan kedalamprioritas pembangunan sesuai dengan substansi dari rumusan misi tersebut. Tujuh rumusan dari misi Pemerintah Kabupaten Bogor sebagai berikut : (1) meningkatkan kesolehan sosial masyarakat dalam kehidupan kemasyarakatan; (2) meningkatkan perekonomian daerah yang berdaya saing dengan titik berat pada revitalisasi pertanian dan pembangunan yang berbasis perdesaan; (3) meningkatkan infrastruktur dan aksesibilitas daerah yang berkualitas dan terintegrasi secara berkelanjutan; (4) meningkatkan pemerataan dan kualitas penyelenggaraaan pendidikan; (5) meningkatkan pelayanan kesehatan berkualitas; (6) meningkatkan tata kelola pemerintahan yang baik dan kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah; dan (7) meningkatkan kerjasama pembangunan daerah. Misi yang telah dirumuskan, dipilih dan ditetapkan menjadi prioritas pembangunan daerah. Penempatan urutan prioritasnya bisa tetap sama atau diubah, tergantung dari pilihan tingkat penyelesaian masalah dan perbaikan kinerja yang akan dicapai pada tahun anggaran berkenaan. Dengan mengacu pada strategi, sarana bersama dengan tujuan jangka panjang yang hendak dicapai, dan fokus kebijakan dalam perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan, maka dapat dirumuskan lebih lanjut program dan kegiatan.Program dari strategi pembentukan sistem informasi dapat berupa up dating data lahan sawah dengan kegiatan berupa pemetaan lahan pertanian pangan berkelanjutan beserta cadangannya. Kebijakan, strategi, program dan kegiatan dapat dilihat pada Tabel 8.2
Tabel 21.Kebijakan, Strategi, Program dan Kegiatan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Bogor Kebijakan Mekanisme Perizinan
Strategi
Program
Pembentukan sistem informasi tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan yang dapat diakses oleh masyarakat
Up dating data lahan sawah
Pemetaan lahan pertanian pangan berkelanjutan beserta potensi cadangannya
Peningkatan akses informasi kepada masyarakat Perencanaan pemanfaatan ruang
Pengadaan sistem informasi pemetaan lahan pertanian pangan berkelanjutan Penyusunan data base pertanahan
Penetapan legalitas RDTR
Pemberian Insentif dan Disinsentif bagi petani
Penetapan perda PLP2B
Perencanaan pemanfaatan ruang
Pemberian insentif dan disinsentif kepada petani
Peningkatan kesejahteraan petani
Kegiatan
Waktu Pelaksanaan (Tahun ke-) I II III IV V
Penyusunan rencana detail tata ruang kecamatan Revisi rencana tata ruang wilayah Kabupaten Bogor Penetapan Perda PLP2B Legalisasi kepemilikan lahan Kemudahan dalam pembayaran pajak
Peningkatan produksi pertanian
Penghargaan kepada petani Rehabilitasi saluran irigasi Pemeliharaan saluran irigasi Bantuan teknologi pertanian Permodalan dan pembiayaan Penyuluhan dan pelatihan bagi petani Optimalisasi pelayanan balai benih Perbaikan kesuburan tanah
77
Rehabilitasi jalan usaha tani
99
Strategi
Program
Kegiatan Konservasi tanah dan air
Peningkatan peran dan partisipasi masyarakat
Peningkatan pemasaran produk pertanian Pengendalian pemanfatan ruang
Reboisasi
Stabilisasi harga panen Koordinasi lintas sektoral dan pemangku kepentingan lainnya Pengadaan sarana pengaduan masyarakat Monitoring dan evaluasi pemanfaatan ruang Penghijauan kanan kiri sungai Penghijauan lahan kritis Pemeliharaan sumber air
Penguatan gapoktan
Peningkatan kelembagaan petani
Pendidikan dan pelatihan bagi pengurus/pengelola gapoktan Kemitraan dengan akses permodalan dan akses pemasaran produk Pendidikan dan pelatihan
Peningkatan akses permodalan
Optimalisasi fungsi gudang
Penguatan peran GP3A Optimalisasi resi gudang
Kemitraan permodalan Intensifikasi
Peningkatan ketahanan pangan
Penyediaan bibit unggul Pemeliharaan irigasi primer Pengadaan pupuk Pengadaan obat-obatan Lantai jemur Lumbung pangan
Pengembangan sarana produksi pertanian dan alat mesin pertanian
Peningkatan sarana produksi pertanian
Pengadaan kerbau/sapi
78
Kebijakan
Waktu Pelaksanaan (Tahun ke-) I II III IV V
Kebijakan
Strategi
Program Peningkatan alat dan mesin pertanian
Kegiatan
Waktu Pelaksanaan (Tahun ke-) I II III IV V
Optimalisasi balai alsintan Pengadaan alat dan mesin pertanian
Pembentukan badan usaha / holding company di bidang pertanian
Pembinaan Petani melalui Penyuluhan
Optimalisasi penyuluhan kepada petani
Peningkatan pelayanan di bidang pertanian
Peningkatan kesejahteraan petani
Kajian teknis badan usaha bidang pertanian Feasibility Study badan usaha bidang pertanian Penguatan kelompok tani Penyuluhan dan pelatihan (SLPTT) Pembentukan koperasi tani
Peningkatan kapasitas penyuluh
Pemberdayaan penyuluh swadaya Pendidikan dan pelatihan bagi penyuluh pertanian
Optimalisasi pelaksanaan pengendalian dan pengawasan peruntukan ruang
Pengendalian pemanfaatan ruang
Pengawasan pemanfaatan ruang
Optimalisasi sosialisasi melalui berbagai media
Penyebaran informasi kebijakan
Sosialisasi program kebijakan tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan melalui media cetak dan elektronik Pemasangan media informasi tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan di lokasi lahan pertanian yang sudah ditetapkan
Sumber :Diolah
79
80
9 SIMPULAN DAN SARAN 9.1 1.
2.
3.
9.2 1.
2. 3.
Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka kesimpulan pada kajian ini, yaitu : Upaya perlindungan lahan pertanian sudah cukup didukung oleh peraturan yang sejalan antara peraturan yang dibuat oleh Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Propinsi Jawa Barat. Namun demikian, yang diperlukan adalah optimalisasi implementasinya di tingkat Kabupaten/Kota. Dari 5 faktor pengendalian pada perlindungan lahan pertanian berkelanjutan, dari kajian ini yang paling dominan adalah faktor mekanisme perizinan, diikuti faktor pemberian insentif dan disinsentif serta faktor penyuluhan. Berdasarkan hasil analisis SWOT terhadap faktor internal dan eksternal, menghasilkan lima strategi agresif, tujuh strategi stabilitatif/rasional, dua strategi diverifikatif, dua strategi defensif. Dengan demikian, dalam rangka perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan, Kabupaten Bogor lebih banyak bertumpu pada strategi stabilitatif/rasional dan strategi agresif. Berdasarkan hasil perancangan pelaksanaan strategi dengan menggunakan road-map strategy, dapat diimplementasikan ke dalam 3 kebijakan prioritas, yaitu : (a) Penetapan mekanisme perizinan, (b) Pemberian insentif-disinsentif, dan (c) Penyuluhan. Kebijakan tersebut dilaksanakan melalui 19 program dan 49 kegiatan secara bertahap dalam waktu lima tahun. Saran Beberapa saran yang direkomendasikan antara lain : Berdasarkan hasil kajian, implikasi kebijakan yang perlu diwujudkan berupa Peraturan Daerah tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagai bentuk komitmen bersama, disertai dengan penyuluhan dan sosialisasi baik sebelum maupun sesudah penetapan Perda kepada para pihak. Penetapan Perda tentang rencana detail tata ruang kecamatan serta merevisi rencana tata ruang dan wilayak Kabupaten Bogor. Pembentukan sistem informasi tentang lahan pertanian pangan berkelanjutan.
81
DAFTAR PUSTAKA Abubakar M. 2009. Kemandirian Pangan : Cadangan Publik, Stabilisasi Harga Dan Diversifikasi. Jurnal Litbang Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.7(2): 107-129 Adam L. 2012.Urgensi Pembentukan Bank Pertanian Indonesia.Jurnal Litbang Pertanian Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. 10(2): 103-117 Aliadi A. 2011. Pengembangan Kolaborasi Taman Nasional Gunung Ciremai : Kajian Melalui Riset Aksi[tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Azahari DH. 2008. Membangun Kemandirian Pangan Dalam Rangka Meningkatkan Ketahanan Nasional.Jurnal Litbang Pertanian Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. 6(2):174-195 Baga LM. 2009. Strategi Pengembangan Kelembagaan Koperasi Pertanian Berbasis Jagung di Provinsi Gorontalo. Jurnal Manajemen Pembangunan Daerah. 1(1): 44-61 [BAPPEDA]Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bogor &[PSP3] Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Perdesaan-IPB. 2010. Kaji Tindak Pengembangan Kelembagaan Sistem Pendanaan Dan Pemasaran Dalam Revitalisasi Pertanian Di Kabupaten Bogor. Bogor (ID): PSP3-IPB. __________________________________________________________________ _____________________________________________________. 2009. Kebijakan Revitalisasi Pertanian dan Pembangunan Perdesaan di Kabupaten Bogor. Bogor (ID):PSP3-IPB. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. 2011. Kabupaten Bogor Dalam Angka. Bogor (ID): BPS. ______________________________________. 2010. Kabupaten Bogor Dalam Angka. Bogor (ID): BPS. ______________________________________. 2009. Kabupaten Bogor Dalam Angka. Bogor (ID): BPS. ______________________________________. 2008. Kabupaten Bogor Dalam Angka. Bogor (ID): BPS. ______________________________________. 2007. Kabupaten Bogor Dalam Angka. Bogor (ID): BPS. ______________________________________. 2006. Kabupaten Bogor Dalam Angka. Bogor (ID): BPS. ______________________________________. 2012. Kecamatan Jonggol Dalam Angka. Bogor (ID): BPS. ______________________________________. 2011. Kecamatan Caringin Dalam Angka. Bogor (ID): BPS. ______________________________________. 2011. Kecamatan Leuwiliang Dalam Angka. Bogor (ID): BPS. Carolita I. 2005. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan di Jabodetabek[tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [Distanhut] Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Bogor. 2012. Pendataan Dan Pemetaan Lahan Pertanian Pangan Bekelanjutan Beserta Cadangannya. Bogor (ID) : Distanhut.
82
__________________________________________________. 2011. Naskah Akademik Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Bogor (ID) : Distanhut. ___________________________________________________. 2011. Monografi Pertanian dan Kehutanan2011. Bogor (ID) : Distanhut. ___________________________________________________. 2010. Monografi Pertanian dan Kehutanan2010. Bogor (ID) :Distanhut. ___________________________________________________. 2009. Monografi Pertanian dan Kehutanan2009. Bogor (ID) : Distanhut. ___________________________________________________. 2008. Monografi Pertanian dan Kehutanan2008. Bogor (ID) : Distanhut. DavidFR.2009. Manajemen Strategis. Sunardi D, penerjemah; Wuriarti P, Editor.Jakarta (ID): Salemba Empat. Terjemahan dari: Strategic Management. Ed ke-12. _______________________________________. 1976. A Framework for Land Evaluation. Soil Bull. No. 32 Rome (IT): FAO. Firdaus M et al. 2011. Aplikasi Metode Kuantitatif Untuk Manajemen Dan Bisnis. Bogor (ID): IPB Pres. Iqbal M, Sumaryanto. 2007. Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian Bertumpu Pada partisipasi masyarakat.Jurnal Litbang Pertanian Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. 5(2): 167-182 Iqbal M. 2007.Fenomena Dan Strategi Kebijakan Pemerintah Daerah Dalam Pengendalian Konversi Lahan Sawah Di Propinsi Bali Dan Nusa Tenggara Barat.Jurnal Litbang Pertanian Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.5(4): 287-303 Nurmani NME. 2007. Keterkaitan Pajak Lahan Dengan Penggunaan Lahan Studi Kasus Kecamatan Cibinong Dan Kecamatan Cileungsi Kabupaten Bogor.[Thesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Nasoetion LI. 1995. Rural Land Use Management for Economic Development in Indonesia.Laporan yang disajikan dalam APO Seminar on Agriculture Land Use Management. 8 – 18 November 1994. Tokyo. Japan. Nasoetion LI, Winoto J. 1996.Masalah Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Dampaknya Terhadap Keberlanjutan Swasembada Pangan Dalam Hermanto (eds). Prosiding Lokakarya Persaingan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan Dan Air: pp.64-82. PSE & Ford Foundation. Liswanti SN. 2004. Persepsi Masyarakat Lokal Terhadap Pentingnya Hutan Dan Lahan-lahan Lain Di Lansekap Hutan Tropis, Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur[Thesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Nofarianty. 2007. Analisis Potensi Lahan Sawah Untuk Pencadangan Kawasan Produksi Beras Di Kabupaten Agam – Sumatera Barat[Thesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Nugroho I, Danuri R. 2004.Pembangunan Wilayah : Perspektif Ekonomi, Sosial dan Lingkungan. Jakarta (ID): LP3ES. [Kementan] Kementerian Pertanian. 2012. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2012 tentang Insentif Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.Jakarta (ID): Kementan.
83
____________________________. 2011. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.Jakarta (ID): Kementan. ____________________________. 2009. Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia.Nomor 41 Tahun 2009 tentang Kriteria Teknis Kawasan Peruntukan Pertanian. Jakarta (ID): Kementan. Pemerintah Kabupaten Bogor. 2012. Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Tentang Laporan Kinerja Pertanggungjawaban Bupati Bogor Tahun 2011. Bogor (ID): Bappeda Kabupaten Bogor. ________________________. 2011. Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Tentang Laporan Kinerja Pertanggungjawaban Bupati Bogor Tahun 2010. Bogor (ID): Bappeda Kabupaten Bogor. ________________________. 2010. Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Tentang Laporan Kinerja Pertanggungjawaban Bupati Bogor Tahun 2009. Bogor (ID): Bappeda Kabupaten Bogor. ________________________. 2009. Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Tentang Laporan Kinerja Pertanggungjawaban Bupati Bogor Tahun 2008. Bogor (ID): Bappeda Kabupaten Bogor. ________________________.2006. Peraturan Daerah Kabupaten BogorTentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor. Bogor (ID): Bappeda Kabupaten Bogor. Priyadi U. 1996.Peranan Agrowisata Salak Pondoh Terhadap Pengembangan Wilayah Di Kabupaten Sleman Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Studi Kasus Di Kecamatan Turi)[Thesis].Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. PurbiyantiE. 2013. Dampak Konversi Lahan Sawah Di Jawa Dan Luar Jawa Terhadap Ketersediaan Dan Akses Pangan Nasional[Thesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Rangkuti, F. 1997. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta (ID): PT. Gramedia Pustaka Utama. Rogers E.M, Shoemaker FF. 1971.Communication Of Innovation. New York (US): The Free Press. Rusli S. 2010. Pengantar Ilmu Kependudukan. Edisi Baru RustiadiE,Syaifulhakim S, Panuju, DR. 2011. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta (ID): Crestpent Pres dan yayasan Obor Indonesia. Sajogyo, Pudjiwati. 2002. Sosiologi Pedesaan. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Setiawan, Usep. 2012. Dari Konfrontasi Ke Kolaborasi: Studi Kasus Peran Serikat Petani Pasundan Dalam Pembaruan Agraria Di Desa Pasawahan Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat[Thesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Shiddiq D. 2011.Analisis Multikriteria Spasial Dalam Penentuan Ketersediaan Lahan Sawah Di Kabupaten Cianjur[Thesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Siregar A, Samadi A. 1988. Manajemen.Bandung (ID):ITB. Sormin R. 2009. Kajian Kolaborasi Antar Peneliti Pada Instansi Badan Litbang Pertanian Periode Tahun 1996-2005[Thesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
84
Straus D. 2002.How to Make Collaboration Work : Powerful Way to Build Consensus, Solve Problems, and Make Decisions. San Francisco (US):Berret-Koehler Publisher, Inc. SugandhyA, Hakim R. 2007. Prinsip Dasar Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan. Jakarta (ID): PT Bumi Aksara. Nasution, MS. 2008. Peran Komunikasi Politik Pemangku Kepentingan Pada Pelaksanaan Kebijakan Perberasan (Kasus Organisasi Tani, Pemerintah, Asosiasi Pengusaha Beras dan DPRD[Thesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Swastika DKS, WargionoJ, Soejitno dan Hasanuddin A. 2007. Analisis Kebijakan Peningkatan Produksi Padi Melalui Efisiensi Pemanfaatan lahan Sawah Di Indonesia. Jurnal Litbang PertanianPusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.5(1): 36-52 Syahyuti. 2006. Kebijakan Lahan Abadi Untuk Pertanian Sulit Diwujudkan. Jurnal Litbang PertanianPusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.4(2): 96-108 Tarigan R. 2009. Perencanaan Pembangunan Wilayah Edisi Revisi. Jakarta (ID): Bumi Aksara. Tonny F. 2011. Bahan Kuliah KPM 53C :Pengembangan Masyarakat dan Kelembagaan Daerah Bagian C. Bogor (ID): Manajemen Pembangunan Daerah IPB. Pemerintah Republik Indonesia. 2009. Undang-undang Republik Indonesia. Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Jakarta (ID): Sekretariat Negara. Yulianis N. 2009.Persepsi Pemangku Kepentingan Tentang Percepatan Diversifiksi Konsumsi Pangan Berbasis Pangan Lokal di Propinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah dan Sulawesi Tenggara Dan Strategi Pencapaiannya[Thesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
85
LAMPIRAN
86
Lampiran 1.Luas Penggunaan Lahan Sawah 2005 - 2010 No
Penggunaan Lahan
1 2 3 4 5
Lahan Sawah Irigasi Teknis Irigasi Setengah Teknis Irigasi Sederhana Irigasi Desa/Non PU Tadah Hujan Jumlah Lahan Sawah
2006
Luas (Ha) 2007 2008 2009
2010
4.436 7.095 13.494 12.763 10.637 48,425
4.182 7.942 13.948 12.483 9.766 48.321
2.173 9.904 14.833 12.421 9.153 48.484
3.967 8.481 13.203 13.474 9.724 48.849
3.664 7.997 14.982 12.453 9.670 48.766
87
Lampiran 2.Perkembangan Jumlah Penduduk dan Laju Pertumbuhan Penduduk di Kabupaten Bogor 2000-2010
Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Jumlah Penduduk LPP 3.100.154,00 3,09 3.170.400,00 2,22 3.249.781,00 2,44 3.399.036,00 4,39 3.438.055,00 1,13 3.700.207,00 7,08 4.215.436,00 12,22 4.251.838,00 0,86 4.340.520,00 2,04 4.477.344,00 3,06 4.763.209,00 6,00
88
Lampiran 3.Realisasi tanam (Ha), realisasi panen (Ha), produktivitas (ku/ha), produksi (ton), jumlah penduduk (jiwa), pemenuhan kebutuhan pangan pokok (%)
No
Uraian
2006
2007
2008
2009
2010
1
Realisasi tanam (Ha)
73.109
98.179
87.081
83.946
89.404
2
Realisasi panen (Ha)
74.251
83.661
81.296
82.325
87.704
3
Produktivitas (ku/ha)
54,01
57,35
59,07
61,46
61,9
4
Produksi (ton)
401.065,66
479.754,89
480.211
505.978
542.893
5
Jumlah penduduk (jiwa)
4.100.934
4.215.585
4.215.585
4.477.296
4.763.209
6
Pemenuhan kebutuhan pangan pokok (%)
59,81
69,34
69
64,34
69,21
Lampiran 4.Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2006 – 2010 (Juta Rupiah) 2006
2007
2008
2009
1.366.323,55
1.429.544,34
1.485.680,00
1.546.930,00
1.627.550,00
307.414,98
322.126,54
330.380,00
340.610,00
360.060,00
16.790.944,62
17.687.418,97
18.589.890,00
19.108.340,00
19.917.350,00
4. Listrik, Gas & Air Bersih
968.659,50
1.046.346,68
1.103.400,00
1.122.270,00
1.185.800,00
5. Bangunan
802.808,83
855.403,53
908.270,00
989.630,00
1.075.480,00
4.063.192,67
4.403.782,79
4.756.640,00
5.138.390,00
5.463.530,00
7. Pengangkutan & Komunikasi
715.462,14
782.112,69
830.010,00
902.140,00
985.220,00
8. Keuangan, Persewaan, & Js. Prsh.
446.627,18
480.698,34
514.700,00
546.700,00
582.380,00
1.084.753,16
1.143.884,97
1.202.730,00
1.257.120,00
1.329.060,00
26.546.186,63
28.151.318,85
29.721.700,00
30.952.130,00
32.526.430,00
LAPANGAN USAHA 1. Pertanian 2. Pertambangan & Penggalian 3. Industri Pengolahan
6. Perdagangan, Hotel & Restoran
9. Jasa-Jasa PDRB TANPA MIGAS
2010
89
90
Lampiran 5.Hasil Analisis menggunakan SPSS (Logistic Regression) Case Processing Summary Unweighted Cases(a) N Percent Selected Cases Included in 126 99.2 Analysis Missing Cases 1 .8 Total 127 100.0 Unselected Cases 0 .0 Total 127 100.0 a If weight is in effect, see classification table for the total number of cases. Dependent Variable Encoding Original Value tidak setuju setuju
Internal Value 0 1
Categorical Variables Codings
X3 X2
X1
tidak setuju setuju kelembagaan tani non-kelembagaan tani non-fisik fisik
Frequency
Parameter coding
(1) 33 93 75
(1) 1.000 .000 1.000
51
.000
74 52
1.000 .000
Block 0: Beginning Block Classification Table(a,b) Observed
Predicted
tidak setuju
setuju
Percentag e Correct tidak setuju
0
56
.0
0
70
100.0 55.6
Y
Step 0
Y
tidak setuju
setuju Overall Percentage a Constant is included in the model. b The cut value is .500
91
Variables in the Equation
Step 0
Constan t
B
S.E.
Wald
df
Sig.
Exp(B)
.223
.179
1.549
1
.213
1.250
Variables not in the Equation
Step 0
Variables
Insentif(1) Penyuluhan(1) Perizinan(1) Overall Statistics
Score 4.599 2.905 44.359 45.528
df 1 1 1 3
Sig. .032 .088 .000 .000
Block 1: Method = Enter Omnibus Tests of Model Coefficients
Step 1
Step Block Mode l
Chisquare 51.739 51.739
df 3 3
Sig. .000 .000
51.739
3
.000
Model Summary Cox & -2 Log Snell R Nagelkerke Step likelihood Square R Square 1 121.375(a) .337 .451 a Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates changed by less than .001. Classification Table(a) Observed
Predicted
tidak setuju
setuju
Percentag e Correct tidak setuju
31
25
55.4
2
68
97.1 78.6
Y
Step 1
Y
tidak setuju
setuju Overall Percentage a The cut value is .500
92
Variables in the Equation
Step 1(a)
Insentif(1) Penyuluhan(1) Perizinan(1) Constant
B .541 -.430 3.636 .909
S.E. .463 .461 .770 .428
Wald 1.364 .870 22.276 4.498
df 1 1 1 1
Sig. .243 .351 .000 .034
a Variable(s) entered on step 1: Insentif, Penyuluhan, Perizinan.
Exp(B) 1.718 .650 .026 2.481
93
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Banyuwangi (Jawa Timur) pada tanggal 21 April 1981 dari ayah Diyono dan Ibu Saminem.Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara.Penulis menempuh pendidikan SD hingga SMP di Pesanggaran dan menyelesaikan jenjang pendidikan menengah atas di SMA Negeri 1 GentengBanyuwangi pada tahun 2000. Pada tahun ajaran 2000, penulis diterima di Universitas Brawijaya (UB) melalui jalur UMPTN dan lulus sebagai Sarjana Teknologi Pertanian, Jurusan Teknik Pertanian UB, dengan bidang keahlian teknik proses hasil pertanian pada tahun 2005. Pada tahun 2006, penulis kerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Pemerintah Kabupaten Bogor, tepatnya di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Bogor. Pada tahun 2009 penulis menjadi salah satu penerima penghargaan sebagai pegawai teladan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Bogor hingga penulis diberi kesempatan oleh Bupati Bogor untuk melanjutkan studi ke jenjang S2 pada tahun 2010 dengan mengambil Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah (MPD) di Institut Pertanian Bogor (IPB).