PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR TERPADU DI INDONESIA
DOKUMENTASI
&
ARSIP
BAPPENAS srts/ -zdit Acc. l{o. : C ............/...'.......r""
Claqs : Checked :
/ 36LV
.........4........"t'!""'
.L?....?.."..?,€E{'
Kementerian Perencanaan pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan pembangunan Naiional (BAppENAs) Bekerjasama dengan:
Departemen Kelautan dan perikanan (DKp) Kementerian Negara Lingkungan Hidup (LH) Lembaga llmu pengetahuan Indonesia (Llpl) Mitra Pesisir (CRMP tt)
Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu di lndonesia. lr. Wahyuningsih Darajati, MSc. lr. Tommy Hermawan, MSc. lr. Heri Santosa, MM. Suwarno, SE. MA.
lr. Setyawati lr. Maurice Knight, BA, MURP Prof. Dr. Dietriech Bengen Drs. AdiWiyana, MSc lr. Ahmad Husein
Kutipan: Darajati, Wahyuningsih, T. Hermawan, H. Santosa, Suwarno, Setyawati, M. Knigh! D.G. Bengen, A. Wiyana, dan A. Husein. 2004. Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu di lndonesia. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). lakarla. 98 halaman.
Dana bagi persiapan dan publikasi buku ini berasaldari US'Agency for International Development - Coastal Resources Managernen! Project ll ({rSAlD-IRMP ll) atau Mitra
Pesisir.
i
Penyumbang Materl
KLH : DKP :
Drs. Sudariyono
lr. lrwandi ldris, MSc. lr. Yaya Mulyana Dr. lr. Sapta Putra Ginting, MSc. lr. Eko Rudianto, MBuss (lT)
LlPl :
lr. Nilanto, MSc Dr. Anugerah Nontji
Kredit Foto
DokumentasiCRMP Departemen Kelautan dan Perikanan Kementerian Negara Lingkungan tlidrp Programs/coremap John Hopkins university-center for Gommunication
Tataletak
Yayak M. Saat Ahmad Husein
Style Editor
DAFTAR ISI
PENCANTAR
5
DAFTAR SICKATAN DAN AKRONIM
7
PENDAHULUAN
9
Bagian Pertama POTENSI DAN PERMASAIAHAN WII.AYAH PESISIR DI INDONESIA 13 A. 13 B. 16 C. Tantangan Wilayah pesisir Masa lg
Potensi Permasalahan
Mendatang
Bagian Kedua PENTINGNYA PENGETOTAAN WITAYAH PESISIR TERPADU DI INDONESIA A. sejarah singkat Pengelolaan wilayah pesisir Terpadu di Indonesia B. Beberapa Pengertian tentang pengelolaan wilayah pesisir Terpadu C. Panduan Umum Pengelolaan Wilayah pesisir Terpadu D. Prinsip Dasar Pengelolaan Wilayah pesisir Terpad'u E. Manfaat Pengelolaan Wilayah pesisir Terpadu
l9 '19 21
22 24 27
Bagian Ketiga
IIMA
KASUS PENGEIOIAAN WITAYAH PESISIR TERPADU
INDONESIA
DI A. PROYEK PESISIR/MITRA
29
PESISIR
(Coostal Resource Monogement project- CRMP)
B'
29
LAUT
PROYEK PENCELOI-AAN SUMBERDAYA PEslstR DAN (Morine ond coostol Resource Management project- MCRMP) C. PROCRAM REHABILITASI DAN PENTELOIAAN TERUMBU (Coral Reef Rehobilitation o nd M o nog e ment p rog ra m coREMAp) D. PROYEK PEMBANGUNAN MASYAMMT PESISIR DAN PENCELOLAAN
MRANC
SUMBERDAYA
PERIKANAN
(coastal Community Development and Fisheries Resource Manogement - COFISH) E. PROGRAM PANTAI DAN LAUT LESTARI
49 58
67
76
Bagian Keempat pr[CrlOlAAN WIIAYAH PESISIR TERPADU Dl MASA DEPAN A. Pelajaran dari Pengalaman B. Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Keberlaniutan c. Program Pengelolaan wilayah Pesisir Terpadu Masa Mendatang
82 83 86 94
96
DAFTAR PURSTAKA
-4-
KEM ENTERIAN PERENCANAAN
PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL (BAPPENAS) PENGANTAR Pada dekade terakhir ini, berbagai pihak
di Indonesia telah banyak
melakukan upaya untuk mengelola wilayah pesisir secara terpadu, akan tetapi publikasi tentang hal tersebut dirasakan masih belum memadai. Oleh karena itu Bappenas mengambil inisiatif untuk menyusun buku ini guna menambah khasanah publikasi tentang pengelolaan wilayah pesisir terpadu di Indonesia. Buku ini diharapkan dapat
memperkaya wawasan pihak-pihak terkait dengan sumberdaya pesisir mengenai pengetahuan dan pengalaman-pengalaman penyelenggaDr. lr. Dedi M. Masykur Riyadi Deputi Menteri Negara PPN/ Kepala Bappenas Bidang Sumber Daya Alam
raan program pengelolaan wilayah pesisir terpadu di berbagai lokasi di Indonesia, sehingga pengetahuan dan pengalaman tersebut dapat dimanfaatkan dalam bidang tugas dan kepentingan mereka masingmasing.
dan Lingkungan Hidup
Buku ini menyaiikan beberapa hal mengenai pengelolaan wilayah pesisir terpadu sebagai berikut: a. Ulasan ringkas mengenai potensi wilayah pesisir dan lautan di Indonesia, permasalahan yang dihadapi, dan tantangan pengelolaan wilayah pesisir ke depan;
b. Uraian ringkas mengenai
konsep-konsep pokok pengelolaan
wilayah pesisir terpadu;
c.
Lima contoh kasus perencanaan dan pelaksanaan program pengelolaan wilayah pesisir terpadu di Indonesia, yaitu Proyek/Mi-
tra
Pes is
i
r (Coa sta I Re so u rce s M
a n og em e
nt P roj ect-CRMP),
p
roye k
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (Marine and Coostol Resources Management Project-MCRMP), Proyek Rehabilitasi
-5-
dan Pengelolaan Terumbu Karang (Coral Reef Rehobilitotion ond Manogement Progrom-COREMAP), Proyek Pembangunan Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumber Daya Perikanan (Coostol Community Development ond Fisheries Resource MonogementCOFISH), dan Program Laut dan Pantai Lestari;
d.
Pembelajaran
yang dapat dipetik dari penyelenggaraan program pengelolaan
wilayah pesisir terpadu di lndonesia, baik dari kelima contoh kasus tersebut maupun dari proyek dan program lain. Pembelajaran dari penyelenggaraan proyek dan program yang sudah ada merupakan suatu keharusan agar kekurangan dan kesalahan yang terjadi di masa lalu tidak terulang lagi. Dengan pembelajaran tersebu! penyelenggaraan program pengelolaan wilayah pesisir terpadu di Indonesia di masa yang akan datang diharapkan dapat menghasilkan capaian-capaian yang lebih optimal dan berkelanjutan, baik dari segi ekologi, ekonomi, maupun sosial-politik. Banyak pihak telah berkontribusi dan berpartisipasi dalam penyusunan buku ini. Oleh
karena itu, kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah memberi masukan substansi, baik langsung maupun tidak langsung dalam proses penyusunan dan penerbitan buku ini. Di samping itu, secara khusus kami menyampaikan terima kasih pula kepada tim penyusun, seluruh aparat dan konsultan yang telah menyumbangkan bahan-bahan terkait dengan lima proyek yang disajikan dalam buku ini, semua pi-
hakyang berperan serta dalam pembahasan-pembahasan, serta penyunting dan penata letak yang menjadikan buku ini tersaji dengan baik. Kami mengharapkan agar langkahlangkah kebijakan dan perencanaan pengelolaan wilayah pesisir terpadu di Indonesia dapat terwujud dengan baik di masa depan. Akhir kata, kami menantikan saran-saran dan masukan dari semua pihak untuk perbaikan dan penyempurnaan buku ini lebih lanjut. lakarta, Desember 2004
Deputi Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup
Dr. lr. Dedi M. Masykur Riyadi
-6-
DAFTAR SINGKATAN DAN AKRONIM
ADB AusAlD
Asion Development Bonk
Austrolian Agency for lnternotionol Development Bakosurtanal Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional Bappenas Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Community-Bosed Coostol Resource Monogement COREMAP Corol Reef Rehabilitqtion ond Monogement Proiect Corql Reef lnformotion ond Training Center Coastal Resource Center, University of Rhode lslond Coostol Resources Monogement Proiect Daerah Aliran Sungai Departemen Kelautan dan Perikanan
CB-CRM
CRfTC
CRC/URl
CRMP DAS DKP
DPL/DPM DPR/DPRD
DaerahPerlindunganLaut/DaerahPerlindunganMangrove Dewan Perwakilan Rakyat/Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Gross Domestic Product CDP Geogrophic lnformotion System CIS lnternotionol Associotion of Eusiness Communicotors IABC ICZPM lntegroted Coostol Zone Planning ond Monogement INCUNE lndonesion Coastql Universities Network Institut Pertanian Bogor IPB lnformotion Technology lT lopon lnternationalCooperation Agency llCA KONAS Konferensi Nasional Kementerian Lingkungan Hidup LH Lembaga llmu Pengetahuan Indonesia LlPl
LSM/ORNOP Lembaga Swadaya Masyarakat/Organisasi Non-Pemerintah
MCMA MCRMP NBIN NRM PDP PERDA PKSPL P3K RPTK RUU
TNUPolri
UNCED
Marine and Coastal Management Area Morine qnd Coostal Resources Monogement Proiect Nationol Biodiversity lnformation Network Noturol Resources Manogement Pusat Data Provinsi Peraturan Daerah Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, IPB Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Rencana Pengelolaan Terumbu Karang Rancangan Undang-Undang TentaraNasionallndonesia/KepolisianRepubliklndonesia lJnited Notions Conference of Environment ond Development
-7
-
UNDP
UNESCO
UNIPA USAID UU YSTB ZEE
United Notions Development Progrom United Notions Educotionol, Scientific ond Culturql Organizotion Universitas Negeri Papua United Stotes Agency for lnternotional Development Undang-Undang Yayasan Selamatkan Teluk Balikpapan Zona Ekonomi Eksklusif
-8-
PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR TERPADU DI INDONESIA
PENDAHULUAN setelah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bekerfa sama dengan Cqnqdion lnternationol Development Agency (CIDA) menyelesaikan penyusunan "lndonesio's Mqrine Environment: A Summory of Policies, Actions ond lssues" pada tahun 1988, pengembangan konsep pengelolaan wilayah pesisir terpadu di fndonesia mulai memperoleh momentum yang signifikan. Pemerintah Republik Indonesia secara resmi mengakomodasikan permasalahan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan ke dalam kebiiakan pembangunan nasional (Repelita Vl: sub-sektor Kelautan) pada tahun 199311994. seiring dengan berjalannya waktu, pada tahun 1993-1998 dilaksanakan Proyek Evaluasi dan Perencanaan Sumberdaya Kelautan (Morine Resources Evaluotion and Planning MREP) dengan bantuan dana dari Bank Pembangunan Asia (Asion Development Bonk - ADB). Sesuai dengan namanya, proyek ini dimaksudkan untuk mengevaluasi sumberdaya kelautan Indonesia pada waktu itu dan sekaligus untuk melakukan perencanaan pengelolaannya ke depan. Setelah kegiatan MREP selesai, proyek-proyek pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan lainnya mulai mengikuti, seperti Proyek Konservasidan Pembangunan Segara Anakan (Segoro Anokon Conservotion and Development Project), Proyek Pesisir (Coastol Resouces Monagement Project - CRMP), dan lain-lain. Agak lambatnya perkembangan konsep dan program pengelolaan wilayah pesisir terpadu di Indonesia cukup dapat dimengerti, mengingat bahwa selama ini perencanaan pembangunan Indonesia berbasis daratan dan bersifat sektoral. Meskipun demikian, kebutuhan terhadap sistem pengelolaan yang lebih baik bagi seluruh sumberdaya tersebut sesungguhnya telah diidentifikasi sejak lama. Proyek MREP telah cukup banyak menghasilkan tenaga-tenaga profesional yang trampil di bidang pengelolaan sumberdaya pesisir terpadu. pada saat ini para tenaga profesional tersebut telah tersebar, baik di daerah-daerah maupun pusat, serta menduduki posisi-posisi penting berkaitan dengan pelaksanaan program pengelolaan wilayah pesisir terpadu.
-9-
Pembentukan Departemen Kelautan dan Perikanan pada Era Reformasi memberikan peluang untuk berkembangnya pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dengan lebih cepat. Inisiatif untuk menyusun undang-undang pengelolaan wilayah pesisir terpadu juga telah dimulai, selain telah terbitnya Buku Pedoman Umum tentang Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu yang dikeluarkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan. Buku Pedoman Umum ini dapat dipakai sebagai acuan dalam perencanaan dan pengelolaan program pembangunan wilayah pesisir terpadu di daerah. Dalam dekade terakhir ini, upaya berbagai pihak untuk mengelola wilayah pesisir Indonesia secara terpadu telah cukup banyak dilakukan. Upaya pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu adalah penyelenggaraan program pengelolaan wilayah pesisir yang berbasis pada 4 (empat) keterpaduan, yakni (1) keterpaduan perencanaan sektor secara horisontal dan secara vertikal, (2) keterpaduan ekosistem darat dan laut, (4) keterpaduan sains dan manaiemen, dan (4) keterpaduan antar negara. Pengelolaan wilayah pesisir terpadu menganut prinsip optimal dan berkelanjutan. Dengan demikian, pengelolaan wilayah pesisir terpadu mengandung arti, selain memanfaatkan wilayah dan sumberdaya pesisir untuk kepentingan pertumbuhan ekonomi, upaya pengelolaan iuga harus tetap memperhatikan integritas ekosistem dan daya dukung lingkungan, serta memperhatikan faktor-faktor sosial masyarakat terkait dengan sumberdaya
tersebut. Buku ini menyajikan lima contoh kasus perencanaan dan pelaksanaan program pengelolaan pesisir terpadu di Indonesia pada Bagian Ketiga. Kelima contoh kasus tersebut adalah: Proyek/Mitra Pesisir (Coostal Resource Monogement Project - CRMP), Proyek Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (Marine and Coostol Resouces Management Project - MCRMP), Proyek Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang (Coral Reef Rehobilitotion and Management Program - COREMAP), Proyek Pembangunan Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumberdaya Peri kanan (Coostal Com mu nity D evelopment o nd Fisheries Resou rce M a noge ment - COFISH), dan Program Laut dan Pantai Lestari. Kelima program tersebut didesain untuk mencoba menjawab berbagai tantangan yang terkait dengan potensi dan masalah sumberdaya pesisir di lndonesia yang diuraikan pada Bagian Pertama buku ini. Kelima contoh kasus perencanaan dan pelaksanaan program pengelolaan pesisir terpadu tersebut di atas disajikan dalam konteks potensi yang dimiliki dan permasalahan yang dihadapi di wilayah pesisir Indonesia yang disajikan pada Bagian Pertama, dan uraian ringkas mengenai konsep-konsep pokok yang ter- t0-
kait dengan pengelolaan wilayah pesisir terpadu serta pentingnya penerapan konsep-konsep tersebut dalam upaya memecahkan permasalahan wilayah pesisiryang dihadapi di lndonesiayang disajikan pada Bagian Kedua. Kemudian buku ini ditutup dengan menyajikan pelajaran yang dapat dipetik dari penyelenggaraan program pengelolaan wilayah pesisir terpadu di Indonesia pada Bagian Keempat. Pelajaran ini diharapkan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan penyelenggaraan program pengelolaan pesisir terpadu di Indonesia di masa mendatang, agar menghasilkan capaian-capaian yang lebih optimal dan berkelanjutan.
-il-
kait dengan pengelolaan wilayah pesisir terpadu serta pentingnya penerapan konsep-konsep tersebut dalam upaya memecahkan permasalahan wilayah pesisir yang dihadapi di lndonesia yang disajikan pada Bagian Kedua. Kemudian buku ini ditutup dengan menyajikan pelajaran yang dapat dipetik dari penyelenggaraan program pengelolaan wilayah pesisir terpadu di Indonesia pada Bagian Keempat. Pelajaran ini diharapkan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan penyelenggaraan program pengelolaan pesisir terpadu di Indonesia di masa mendatang, agar menghasilkan capaian-capaian yang lebih optimal dan berkelanjutan.
-il-
Bagian Peltama
PERMASALAHAN, DAN TANTANGAN WILAYAH PESISIR DI INDONESIA POTE N Sl,
A. POTENSI Indonesia adalah jamrud khatulistiwa. f ulukan eksotis itu hanya satu dari sekian banyak perumpamaan bernada pujian dan kekaguman buat negeri yang secara astronomis terletak antara 6'LU - 11'LS dan 95"8T - 141'BT ini. famrud yang dimaksud tak lain berupa kekayaan sumberdaya alam yang berlimpah ruah, baik yang terdapat di daratan maupun lautan. Secara fisik, kekayaan
itu dapat dilihat dari jumlah pulaunya sebanyak 17.508
terbanyak di dunia. Begitu banyaknya, sampai-sampai sebagian besar pulaupulau tersebut hingga kini belum diberi nama. Panjang garis pantai wilayah Indonesia merupakan yang terpanjang kedua di dunia setelah Kanada, yakni sekitar 81.000 kilometer. Luas wilayahnya, termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sebesar 5,8 juta kilometer persegi.
Yang menarik, sekitar 670/o dari total luas wilayah Indonesia itu merupakan wilayah pesisir dan lautan. Wilayah pesisir didefinisikan sebagaiwilayah peralihan antara daratan dan lautan. Dari daratan, batasnya meliputi daerah-daerah yang tergenang air dan yang tidak tergenang tetapi masih dipengaruhi prosesproses laut seperti pasang-surut, angin laut, dan intrusi air laut. Adapun batas di laut berupa daerah-daerah yang dipengaruhi proses-proses alami di daratan seperti sedimentasi dan mengalirnya air tawar ke lauf serta daerah-daerah laut yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di daratan. Banyak masyarakat tak menyadari bahwa wilayah pesisir dan lautan memiliki peran sangat strategis dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dari sekitar 220 juta penduduk Indonesia, sesungguhnya lebih dari 600/o (140 juta) tinggal dan hidup di kawasan pesisir. Mayoritas kota dan ibukota provinsi di lndonesia terletak di kawasan pesisir. Halyang sama juga terjadi di dunia, berdasarkan laporan uNEsco tahun 1993. Dua per tiga dari kota-kota di dunia dengan penduduk lebih dari 2,5 iutajiwa berada di wilayah tersebut.
- t3 -
Di Indonesia, ekosistem pesisir merupakan sumber kehidupan bagi rakyat dan selama bertahun-tahun telah menjadi pendukung pembangunan sosial dan ekonomi. Kegiatan perekonomian di kawasan tersebut telah menyerap 1 4 iuta tenaga kerja dan memberi kontribusi sekitar 26,50/o dari CDP Indonesia. Pesisir dan lautan menyediakan sumberdaya alam yang produktil baik sebagai sumber pangan, tambang, mineral dan energi, maupun kawasan rekreasi atau pariwisata. Salah satu wilayah ekosistem pesisir dan lautan adalah estuaria seperti muara sungai, teluk, dan rawa pasang surut. Daerah ini mempunyai hubungan bebas
dengan laut terbuka dan masih menerima masukan air tawar dari daratan. Sejak lama manusia memanfaatkan daerah estuaria sebagai tempat pemukiman, penangkapan dan budidaya ikan, jalur transportasi, pelabuhan, dan kawasan industri. Sementara itu, ada pula kawasan mangrove yang antara lain memiliki fungsi sebagai 'penjaga' masyarakat yang berdiam di wilayah pesisir. Tanpa mangrove, masyarakat tidak mampu bertahan dari gempuran alam, karena mangrove mampu meredam gelombang dan angin badai, melindungi pantai dari abrasi, menahan lumpur, dan menjadi perangkap sedimen yang diangkut aliran air permukaan. Daun dan dahan pohon mangrove yang rontok menjadi makanan bagi berbagai organisme yang hidup dalam habitat mangrove. Sisanya diuraikan bakteri dan menghasilkan mineral-mineral hara yang berfungsi menyuburkan perairan. Manusia memanfaatkan kayu mangrove untuk bahan bangunan, kayu bakar, alang, dan bubur kertas (pulp). Mangrove merupakan pemasok larva ikan dan udang alam karena ikan, udang, dan banyak biota lainnya menjadikan tempat ini sebagai daerah tempat mencari makanan (feeding ground), daerah pemijahan (spowning ground), sekaligus daerah asuhan (nursery ground). Masyarakat telah banyak menangguk keuntungan dari keberadaan mangrove. Selain mangrove, ada pula padang lamun (seo gross) yang kawasannya sering dimanfaatkan sebagai tempat kegiatan budidaya berbagaijenis ikan, kerang-kerangan, dan tiram. Indonesia memiliki banyak terumbu karang yang kegunaan dan keindahannya telah memikat masyarakat dari penjuru dunia. Luas terumbu karang Indonesia diperkirakan lebih dari 60.000 kilometer persegi, merupakan 1/8 bagian dari terumbu karang dunia, mencakup 450 spesies coral dan kelompok spesies lain yang berkaitan dengan terumbu karang. Tak heran jika lndonesia disebut sebagai negara dengan keanekaragaman hayati terumbu karang terbesar di du-
-t4-
nia. Potensi lestari sumberdaya ikan dari terumbu karang Indonesia mencapai 80.802 ton ikan per kilometer persegi per tahun.
'Hutan laut' ini, sebutan lain dari terumbu karang, merupakan tempat tinggal beragam jenis biota laut yang bernilai ekonomis tinggi. Terumbu karang memberikan manfaat langsung sebagai habitat sumberdaya ikan konsumsi dan ikan hias. Keindahannya menjadi daya tarik pariwisata dan penelitian yang menghasilkan devisa. Banyak pula yang menggunakan karang sebagai bahan bangunan dan kapur, perhiasan, hingga sebagai bahan baku farmasi. secara tak langsung, terumbu karang berfungsi menahan abrasi pantai. Lebih dari 6.000 desa di Indonesia bergantung pada keberadaan sumberdaya terumbu karang ini. Produksi laut/perikanan selama ini telah menjadi sumber protein utama masyarakat Indonesia. Tingkat konsumsinya senantiasa meningkat setiap tahun. Dengan luas teritorial lautan 3,1 juta kilometer persegi, Indonesia mempunyai potensi lestari sumberdaya perikanan tangkap sebesar 6,2 juta ton per tahun. Dari target produksi lestari sebesar 5 juta ton per tahun, yang termanfaatkan baru 3,6 juta ton. ltu belum termasuk potensi dari kegiatan budidaya tambak yang luasnya mencapai 830.000 hektar (tahun 1994). Selain itu, ratusan ribu hektare wilayah perairan pesisiryang terlindung merupakan potensi besar bagi kegiatan budidaya laut seperti ikan kakap, kerapu, berbagai jenis ikan hias, udang, rumput laut, dan moluska. Selain sumberdaya hayati, pesisir dan lautan menyimpan kekayaan sumberdaya non hayati yang tak kalah besar seperti minyak dan gas bumi. Lebih 500/o kegiatan eksplorasi pertambangan minyak dan gas saat ini dilakukan di wilayah pesisir dan laut (off-shore). Pesisir dan lautan merupakan tempat sebagian besar cadangan potensial minyak dan gas berada. Permintaan produksi minyak dan gas baik dari dalam maupun luar negeriyang terus meningkat merupakan peluang yang dapat dimanfaatkan bagi pengembangan wilayah ini, mengingat seluruh kegiatan yang dilakukan akan membutuhkan industri penunjang seperti industri bangunan lepas pantai, perkapalan, dan sebagainya. Lebih-lebih, berbagai jenis bahan tambang yang terdapat di wilayah pesisir dan lautan juga berpotensi untuk dieksploitasi seperti pasir, batu-batuan, emas, dan mineral berharga lainnya.
- t5 -
B. PERMASATAHAN Semua kekayaan sebagai "amanah" yang tak ternilai itu patut disyukuri masyarakat Indonesia. Namun demikian, hal tersebut takkan berarti sama sekali jika kemudian kekayaan itu tidak dikelola dengan benar dan berkelanjutan (sustoinoble). Dalam waktu singkat, sumberdaya wilayah pesisir dan lautan tersebut akan habis atau rusak akibat ulah manusia penggunanya sendiri. Kekhawatiran ini bukannya tanpa alasan, karena pada saat ini wilayah pesisir dihadapkan pada berbagai permasalahan pelik yang mengancam integritas sumberdayanya. Permasalahan-permasalahan yang dihadapi dapat diklasifikasi menjadi tiga macam kategori, yaitu masalah bio{isik lingkungan, masalah sosial ekonomi, dan masalah kelembagaan yang masing-masing diuraikan secara ringkas di bawah ini.
l. Masalah
Bio-Fisik lingkungan
Saat ini laju kerusakan bio-fisik lingkungan sumberdaya pesisir dan lautan telah menca pai ti n g kat ya n g mem ba hayakan aki bat ketidakefektifa n pen gelolaan da n
sebab-sebab lain, termasuk kerusakan terumbu karang, kerusakan mangrove, kerusakan akibat pemanfaatan yang berlebihan (over exploitotion), pencemaran laut, dan bencana alam di wilayah pesisir. Luasan terumbu karang semakin berkurang, di mana sekitar 41,78o/o di antaranya dalam kondisi rusak berat. Kawasan mangrove juga menyusut tiap tahun. Tahun 1982, luas mangrove tercatat 5,2 juta hektar dan pada tahun 1993 habis lebih dari separuh sehingga tinggal 2,4 juta hektar. Sumberdaya perikanan laut yang mengalami pemanfaatan lebih, baik yang terjadi di seluruh atau sebagian perairan laut Indonesia, meliputi udang, ikan karang, ikan dimersal, ikan pelagis kecil, serta ikan pelagis besar. Pencemaran laut senantiasa masih berlanjut, termasuk pencemaran yang datang dari kegiatan di dara! emisi pesawat terbang, pelayaran/perkapalan dan peristiwa tumpahan minyak, pembuangan limbah ke laut (oceon dumping), serta kegiatan penambangan minyak dan kegiatan lepas pantai lainnya. Nelayan semakin sulit mendapatkan hasil tangkapan karena laut tercemar. Selain kerusakan akibat ulah manusia, bencana alam (tsunami, baniir) juga berkontribusi terhadap kerusakan wilayah pesisir.
2. Masalah Sosial Ekonomi Permasalahan di wilayah pesisir lain yang tidak kalah pentingnya adalah marginalisasi masyarakat pesisir pada umumnya, terutama para nelayan kecil, sehingga sebagian besar dari mereka tergolong sebagai masyarakat berpenghasilan rendah. Hasil studi COREMAP di 10 (sepuluh) provinsi pada tahun -16-
199711998 menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan rumah tangga nelayan per bulan berada jauh di bawah upah minimun regional per bulan pada waktu itu. Hal ini terasa sangat ironis karena wilayah pesisir menyimpan sumberdaya alam terbaharui yang begitu melimpah, namun kekayaan alam tersebut justru lebih banyak dinikmati oleh mereka yang bukan nelayan. Masalah pengelolaan wilayah pesisir iuga diperumit oleh pemahaman masyarakat yang belum memadai tentang nilaiyang sebenarnya dari sumberdaya pesisir secara keseluruhan. Pada umumnya masyarakat hanya memahami sumberdaya pesisir (ikan, terumbu karang, mangrove) sebagai sumberdaya untuk konsumsi langsung; sedikit dari merekayang memahami nilai sumberdaya pesisir sebagai penahan banjir, estetika, atau pemanfaatan untuk obat-obatan yang nilai ekonominya bisa jadijauh lebih tinggi.
3. Masalah Kelembagaan Selain masalah kerusakan bio-fisik lingkungan dan masalah sosial ekonomi, wilayah pesisir juga menyimpan permasalahan kelembagaan yang rumit, yaitu masalah konflik pemanfaatan dan kewenangan, serta masalah ketidakpastian hukum. Konflik pemanfaatan dan kewenangan terjadi karena wilayah pesisir merupakan pertemuan antara kegiatan di darat dan kegiatan di laut. Semua kegiatan di darat yang akan ke laut sudah pasti melalui wilayah pesisir, demikian juga sebaliknya. Hal ini makin diperburuk dengan kenyataan bahwa sampai saat ini belum ada undang-undang yang mengatur penataan ruang atau zonasi perairan laut di wilayah pesisir. Menurut kajian Naskah Akademik yang dilakukan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan, sedikitnya ada 14 sektor pembangunan yang didukung oleh 20 undang-undang yang bergerak di wilayah pesisir. Pembangunan sektoral pada umumnya mementingkan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir untuk kepentingan sektornya masing-masing, dan kurang memperhatikan dampak yang bisa ditimbulkan pada sektor lainnya. Undang-undang yang ada tersebut dirasakan masih bersifat sektoral dalam mengatur atau memanfaatkan sumberdaya wilayah pesisir. Dalam literatur, ditemukan berbagai jenis konflik pemanfaatan dan kewenangan, misalnya konflik antara kepentingan konservasi mangrove dengan pembangunan lapangan golf dan perumahan mewah, konflik antara nelayan tradisional dan nelayan trawl atau pembudidaya mutiara, konflik antara kepentingan konservasi perikanan tangkap dan pengembangan industri pariwisata, serta konflikkonflik lainnya. Ketidakpastian hukum sering terjadi karena adanya ambiguitas pemilikan dan penguasaan sumberdaya pesisir. Pada umumnya masyarakat menganggap
-t7-
wilayah perairan pesisir sebagai wilayah tanpa pemilik (open access property). Di lain pihak, pemerintah menganggap wilayah tersebut sebagai milik negara (stote property). Sedangkan masyarakat adat menganggapnya sebagai milik bersama (hak ulayat -- cammon property). Hal ini masih diperparah lagi dengan adanya konflik antar peraturan perundangan dan kekosongan hukum. Sebagai contoh, UU No. 2411992 tentang Penataan Ruang menyatakan bahwa penataan ruang laut adalah wewenang Pemerintah Pusat, sedangkan UU No. 2211999 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa penataan ruang laut sebatas 12 mil menjadi wewenang Pemerintah Daerah. Sementara itu masih terjadi kekosongan hukum seperti belum adanya pengaturan mengenai pengusahaan bagian-bagian tertentu wilayah pesisir untuk usaha budidaya laut dan pengelolaan pulau-pulau kecil.
C. TANTANGAN WITAYAH PESISIR MASA MENDATANG Tantangan terbesar Indonesia kinidan mendatang adalah bagaimana mengembangkan suatu bentuk pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan yang bukan saja merangsang pertumbuhan ekonomi, melainkan juga melestarikan sumberdayanya. Pengelolaan ini tidak sekadar menuntut kepedulian dan tanggung jawab masyarakat nelayan dan pesisir-lautan, yang selama ini mendiamiwilayah tersebut atau menjadi pekerjaan pemerintah semata. Pengelolaan pesisir dan lautan harus melibatkan masyarakat dan seluruh pihak yang berkepentingan (pemangku kepentingan swasta, perguruan tinggi, TN|/Polri, LSM, dan sebagainya).
- t8-
Bagian Kedua
PENGELOLAAN VVILAYAH PESISIR TERPADU SEBAGAI ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH PESISIR
Wilayah pesisir merupakan wilayah yang menjadi tumpuan harapan masyarakat dan negara dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Mengelola dan melestarikannya berarti membantu menyejahterakan sekaligus menyelamatkan kehidupan masyarakat dan negara di masa kini dan mendatang. Sistem pengelolaan wilayah pesisir terpadu diperlukan untuk mengelola sumberdaya wilayah pesisir yang begitu kaya namun menghadapi berbagai permasalahan berat. Berikut adalah sejarah ringkas pengelolaan wilayah pesisir terpadu di Indonesia dan pengertian-pengertian mendasar mengenai pengelolaan wilayah pesisir terpadu yang pedu dipahami bersama.
A. Sejarah Singkat Pengelolaan Wilayah Pesisir Te-rpadu di
fndonesii
Konsep pengelolaan wilayah pesisir terpadu telah mulai dikembangkan di banyak negara sejak lebih dari 30 (tiga puluh) tahun silam. Seiring dengan berkembangnya konsep tersebut, berbagai negara mulai merencanakan dan melaksanakan program pengelolaan wilayah pesisir terpadu. Adapun bagi Indonesia, aplikasi konsep dan pelaksanaan program pengelolaan wilayah pesisir terpadu relatif masih baru. Berbagai kegiatan dan program berkait-an dengan masalah lingkungan pesisir secara sporadis mulai dipraktekkan di dalam negeri sejak akhir dekade 1980-an. Namun saat itu hanya sebagian kecil yang benar-benar dirancang untuk menjalankan konsep pengelolaan secara terpadu. Tonggak penting berkembangnya konsep pengelolaan wilayah pesisir terpadu di lndonesia adalah diselesaikannya studi kerjasama antara Bappenas dan CIDA yang ditandai dengan penerbitan " lndonesio's Marine Environment: A Summary of Policies, Actions ond lssues" pada tahun 1988.
formal, masalah sumberdaya pesisir dan lautan sendiri baru diakomodasikan dalam kebijakan pembangunan nasional untuk pertama kalinya pada tahun 199311994, dalam Repelita Vl Sub-sektor Kelautan. Proyek pertama Secara
- t9-
yang diselenggarakan adalah Proyek Evaluasi dan Perencanaan Sumberdaya Kelautan (Morine Resources Evoluotion and Planning - MREP). Sesuai dengan namanya, proyek ini dimaksudkan untuk mengevaluasi sumberdaya kelautan Indonesia pada waktu itu dan sekaligus merencanakan pengelolaannya ke depan. Setelah proyek MREP ini, lahirlah Proyek Konservasi dan Pembangunan Segara Anakan (Segoro Anqkon Conservation qnd Development Project) yang disusul oleh proyek-proyek lainnya belakangan hari. Lambatnya perkembangan konsep dan program pengelolaan wilayah pesisir terpadu di lndonesia tersebut dapat dimengerti, mengingat sejarah perencanaan pembangunan Indonesia selama ini lebih berbasis daratan dan bersifat sektoral. Meskipun demikian, kebutuhan terhadap adanya metode pengelolaan yang lebih baik bagi seluruh sumberdaya tersebut sesungguhnya telah diidentifikasi sejak lama. Dalam sejarahnya, proyek MREP cukup banyak merekrut dan menghasilkan tenaga-tenaga profesional yang terampil di bidang pengelolaan sumberdaya pesisir terpadu. Para tenaga profesional tersebut saat ini tersebar di pusat dan berbagai daerah. Beberapa dari mereka bahkan menduduki posisi-posisi penting berkaitan dengan pelaksanaan program pengelolaan wilayah pesisir terpadu, baik yang didanai dengan APBN maupun APBD.
Tahun 1992, dalam Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan (UNCED - United Nofions Conference of Environment and Developmenf), yang lebih dikenaldengan Eorth Summif atau Konferensi Rio, lebih dari178 negara menyepa-
kati Agenda 21, yakni sebuah program aki untuk pembangunan berkelanjutan bagi seluruh dunia. Agenda 21 memberi panduan bagi pemerintah, organisasiorganisasi PBB, lembaga pembangunan, LSM, dan kelompok sektor independen tentang berbagai aspek interaksi manusia dengan lingkungan.
Untuk menindaklanjuti kesepakatan tersebut, Pemerintah Indonesia bekerja sama dengan UNDP (United Nofions Development Progrom) memperkenalkan Agenda 21 Indonesia pada bulan Maret 1997. Secara khusus, pengelolaan terpadu dan pembangunan berkelanjutan di wilayah pesisir dan lautan dibahas dalam Bab khusus dengan penekanan pada 7 (tujuh) isu yaitu: o Perencanaan dan pembangunan sumberdaya terpadu diwilayah pesisir o Pemantauan dan perlindungan lingkungan pesisir dan lautan o Pemanfaatan sumberdaya laut secara lestari
. Peningkatan taraf hidup dan pemberdayaan masyarakat . Pembangunan berkelanjutan pulau-pulau kecil o Pengawasan keamanan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
. Pengelolaan
dampak perubahan iklim dan pasang surut
-20
-
pesisir
B. Belqerapa Pengertian tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu
l.
Wilayah Pesisir
Secara umum, wilayah pesisir dapat didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara ekosistem darat dan ekosistem laut yang saling bertemu dalam suatu keseimbangan yang rentan (Beatly et.al., 2002). Batasan wilayah pesisir ini tampaknya sederhana, akan tetapi perlu diingat bahwa pada kenyataannya para ilmuwan dan praktisi pembangunan di berbagai negara tidak memiliki
pengertian yang seragam mengenai batas-batas fisik wilayah pesisir; seberapa jauh ke arah darat dan seberapa jauh ke arah laut. Oleh karena itu, pada akhirnya penentuan batas-batas fisik pengelolaan wilayah pesisir hendaknya ditentukan sesuai dengan kebutuhan setempat. Departemen Kelautan dan Perikanan (2003) dalam Rancangan Undang-undang Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu mendefinisikan wilayah pesisir sebagai kawasan peralihan yang menghubungkan ekosistem darat dan ekosistem laut yang terletak antara batas sempadan ke arah darat sejauh pasang tertinggi dan ke arah laut sejauh pengaruh aktivitas dari daratan.
2. Arti Penting Wilayah Pesisir Wilayah pesisir adalah unik, memiliki nilai ekonomi tinggi, namun terancam keberlanjutannya (cincin-sain dan Knecht, 1998). Dengan mengutip Scura (scura et.ol., 1992), Cincin-sain mengatakan bahwa di wilayah pesisir terdapat berbagai habitat dan ekosistem seperti estuari, terumbu karang, padang lamun (seo gross), dan hutan mangrove yang berfungsi sebagai penyedia berbagai bahan kebutuhan hidup manusia (seperti ikan, minyak, mineral, kayu, dan lain-lain) dan penyedia jasa (seperti rekreasi, perlindungan alamiah terhadap bahaya alam seperti angin topan dan ombak, dan sebagainya) bagi komunitas yang tinggal di wilayah pesisir. Wilayah pesisir juga ditandai dengan kompetisi antar pemangku kepentingan (stakeholders) mengenai wilayah dan sumberdayayang ada yang sering berujung pada konflik dan kerusakan integritas fungsi ekosistem. selain itu, wilayah pesisir sering menjadi tulang punggung ekonomi pemerintah dari berbagai kegiatan ekonomi yang ada seperti pelabuhan dan perkapalan, pertambangan minyak dan gas bumi, serta wisata bahari. wilayah ini juga menjadi tempat pilihan bagi banyak anggota masyarakat sebagai tujuan urbanisasi. Dengan potensiyang unik dan bernilai ekonomi begitu tinggi, namun dihadapkan pada ancaman yang tinggi pula, maka wilayah pesisir hendaknya ditangani secara khusus agar dapat dikelola secara berkelanjutan.
-21
-
Bengen (2003) menekankan perlunya menyelenggarakan program pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut terpadu di lndonesia secara berkelanjutan. Pertimbangannya, selain alasan-alasan di atas, teriadi degradasi dan deplesi (makin menipisnya) sumberdaya di satu pihak. Masyarakat pesisir pun, terutama nelayan, tetap miskin. Sementara di lain piha( kecenderungan pemanfaatan yang tidak mengindahkan keberlanjutan mendapatkan momentumnya ketika Indonesia berada pada kondisi krisis ekonomi. Dengan dalih agar cepat keluar dari krisis, banyak pembangunan sektoral, regional, swasta, dan masyarakat yang mengambil tempat di kawasan pesisir, seperti budidaya perikanan, resor wisata, industri, pertambangan, pelabuhan laut, dan reklamasi pantai untuk perluasan kota.
3. Definisi Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu Pengelolaan wilayah pesisir terpadu adalah proses dinamis yang berjalan secara terus menerus dalam membuat keputusan tentang pemanfaatan, pembangunan, dan perlindungan wilayah dan sumberdaya pesisir dan lautan. Bagian penting dalam pengelolaan pesisir terpadu adalah perancangan proses kelembagaan untuk mencapai harmonisasi dalam can yang dapat diterima secara politis (Cincin-Sain dan Knecht, 1998). Dilihat dari definisinya, pengelolaan wilayah pesisir terpadu tampak sederhana, namun aplikasi pelaksanaannya di lapangan sangat rumit karena meliputi proses 4 (empat) keterpaduan, yaitu: keterpadu-an perencanaan antarsektor secara horisontal dan secara vertikal, keterpaduan ekosistem darat dan ekosistem laut, keterpaduan sains dan manajemen, dan keterpaduan antar negara.
C. Panduan Umum Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu Dalam penelitiannya di 58 (lima puluh delapan) negara yang menyelenggarakan pengelolaan wilayah pesisir terpadu, Cincin-Sain dan Knecht (1998) merangkum beberapa panduan umum yang berlaku di seluruh negara tersebut, sebagai berikut: Tujuan
Tujuan pengelolaan pesisir terpadu adalah untuk memandu arah pembangunan wilayah pesisir supaya secara ekologis berkelanjutan.
Prinsip-prinsip
Pengelolaan pesisir terpadu dipandu oleh prinsip-prinsip yang termuat dalam Deklarasi Rio mengenai Lingkungan Hidup dan Pembangunan, dengan tekanan khusus pada -22
-
prinsip kesetaraan antargenerasi, prinsip kehati-hatian, dan prinsip pencemar membayar. Pengelolaan pesisir terpadu bersifat menyeluruh (holistik) dan antardisiplin ilmu, terutama sehubungan dengan ilmu dan kebijakan. Fungsi
Pengelolaan pesisir terpadu memperkuat dan mengharmonisasi pengelolaan sektoral di wilayah pesisir. Pengelolaan pesisir terpadu melestarikan dan melindungi produktivitas dan keanekaragaman hayati ekosistem pesisir dan menjaga nilai-nilai kenikmatan (amenity). Pengelolaan pesisir terpadu mempromosikan pembangunan ekonomi yang rasional dan pemanfaatan berkelanjutan sumberdaya pesisir dan lautan dan memfasilitasi penyelesaian sengketa di wilayah pesisir.
lntegrasi Wilayah (Spotial lntegrotion)
Program pengelolaan pesisir terpadu meliputi seluruh wilayah pesisir dan dataran tinggiyang dapat memberi dampak pada perairan dan sumberdaya pesisir dan menjangkau ke arah laut sampai pada wilayah lautan yang dapat memberi dampak pada daratan diwilayah pesisir. Program pengelolaan pesisir terpadu dapat juga meliputi keseluruhan lautan di bawah yurisdiksi nasional (zona ekonomi eksklusif) yang pemerintah pusat memiliki tanggung-jawab untuk mengurusnya, baik di bawah Konvensi Hukum Laut atau UNCLOS maupun UNCED.
Integrasi Horisontal & Vertikal
Mengatasi permasalahan fragmentasi sektoral dan antarinstansi Pemerintah yang ada pada usaha pengelolaan pesisir pada saat ini adalah merupakan tujuan utama program pengelolaan pesisir terpadu. Mekanisme kelembagaan untuk koordinasi efektif di antara berbagai sektor yang aktif di wilayah pesisir dan di antara berbagai tingkat pemerintahan yang beroperasi diwilayah pesisir merupakan hal yang fundamental untuk memperkuat dan merasionalisasi proses pengelolaan pesisir. Dari berbagai opsiyang tersedia, mekanisme koordinasi dan harmonisasi harus disesuaikan agar sesuai dengan aspekaspek unik dari setiap pemerintah pusat tertentu.
-23
-
Penggunaan llmu Pengetahuan
Oleh karena tingginya kompleksitas dan ketidakpastian yang berada di wilayah pesisir, program pengelolaan pesisir terpadu hendaknya dibangun atas dasar ilmu pengetahuan (ilmu alam dan ilmu sosial) yang tersedia. Teknik-teknik seperti analisis resiko, valuasi ekonomi, analisis kerentanan, akuntansi sumberdaya, analisis biayamanfaat, dan monitoring berazaskan outcome (hasil/keluaran) hendaknya sejauh mungkin dibangun dalam proses pengelolaan pesisir terpadu.
D, Prinsip Dasar Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu Untuk memandu perencanaan program pengelolaan wilayah pesisir terpadu di Indonesia, Departemen Kelautan dan Perikanan telah menentukan prinsip-prinsip dasar pengelolaan wilayah pesisir terpadu yang diuraikan dalam Pedoman Umum Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu, seperti yang dikutip secara utuh di bawah ini. Prinsip-prinsip umum menguraikan tentang kaidah keterpaduan perencanaan, desentralisasi pengelolaan, pembangunan berkelaniutan, serta keterbukaan dan partisipasi masyarakat. Prinsip-prinsip dasar pengelolaan pesisir terpadu meliputi: 1) keterpaduan;2) desentralisasi pengelolaan; 3) pembangunan berkelanjutan; 4) keterbukaan dan peranserta masyarakat; dan 5) kepastian hukum.
1. Prinsip Keterpaduan a. Keterpaduan Perencanaan Sektor secara Horisontal Keterpaduan perencanaan horisontal adalah memadukan perencanaan dari berbagai sektor, seperti sektor pertanian dan sektor konservasi yang berada di hulu, sektor perikanan, sektor pariwisata, sektor perhubungan laut, sektor industri maritim, sektor pertambangan lepas pantai, sektor konservasi laut, dan sektor pengembangan kota, yang berada dalam satu tingkat pemerintahan yaitu kabupaten/kota, provinsi, atau pemerintah pusat.
b. Keterpaduan Perencanaan secara Vertikal Keterpaduan perencanaan vertikal meliputi keterpaduan kebijakan dan perencanaan mulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, sampai tingkat nasionaUpusat.
-24 -
c. Keterpaduan Ekosistem Darat dan Laut Perencanaan pengelolaan pesisir terpadu diprioritaskan dengan menggunakan kombinasi pendekatan batas ekologis, misalnya daerah aliran sungai (DAs) dan wilayah administratif provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatln sebagai basis perencanaan; sehingga dampak dari suatu kegiatan di DAS, seperti kegiatan pertanian dan industri, perlu diperhitungkan dalam pengelolaan pesisir.
d. Keterpaduan Sains dan Manajemen Pengelolaan pesisir terpadu perlu didasarkan pada masukan (input) data dan informasi ilmiah yang absah untuk memberikan berbagai alternatif dan rekomendasi bagi pengambil keputusan dengan mempertimbangkan kondisi, karakteristik sosial-ekonomi-budaya, kelembagaan, dan biogeofisik lingkungan setempat.
e. Keterpaduan Antarnegara Pengelolaan pesisir di wilayah perbatasan negara tetangga sangat perlu mengintegrasikan kebijakan dan perencanaan pemanfaatan sumberdaya pesisir masing-masing negara tersebut. Keterpaduan kebijakan ataupun perencanaan antarnegara antara lain berupa pengendalian faktor-faktor penyebab kerusakan sumberdaya pesisir yang bersifat lintas negara, seperti di pesisir antara Pulau Batam dan Singapura.
2. Prinsip Desentralisasi Pengelolaan dan penguatan Kelembagaan Sejalan dengan otonomi daerah, kewenangan pengelolaan pesisir telah didesentralisasikan kepada Pemerintah Daerah, sebagaimana diamanatkan dalam pasaf 10 uu No. 2211999 tentang pemerintahan Daerah. Urusan pemerintahan yang didesentralisasikan tersebut meliputi bidang eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan lau! tata ruang dan administrasi, serta penegakan hukum di laut. Untuk itu, kemampuan kelembagaan perencanaan daerah dalam mengembangkan perencanaan pengeroraan zumbe rdaya pesisir mereka perlu diperkuat.
3. Prinsip Pembangunan Berkelanjutan Tuiuan utama pengelolaan pesisir terpadu adalah untuk memanfaatkan sumberdaya pesisir dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat dan pelaksanaan pembangunan nasional, dengan tidak mengorbankan kelestarian sumberdaya pesisir dalam upaya memenuhi kebutuhan tersebuf baik untuk -25 -
generasi sekarang maupun generasi yang akan datang. Oleh sebab itu, laju kurang atau sama dengan [emanfaatan sumberdaya pesisir harus dilakukan iaju regenerasi sumberdaya hayati atau laju inovasi untuk menemukan substitusi iumberdaya nirhayati di pesisir. Dalam hal ketidakmampuan manusia mengantisipasi dampak lingkungan di pesisir akibat berbagai aktivitas, malg setiap pemanfaatan harus dilakukan dengan hati-hati (precautionory principles), selain mengantisipasi dampak negatifnya.
4. Prlnslp Keterbukaan dan Peran Serta dan Pemberdayaan Masyarakat Keterbukaan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan akan memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk memahami bahwasanya perencanaan perundang-undangan yang ditetapkan Pemerintah pada dasarnya adalah untuk kepentingan masYarakat. prinsip ini juga memberi kesempatan kepada masyarakat untuk ikut berperan menyusun perencanaan, melaksanakan, serta memantau sekaligus mengendalikanpelaksanaannya, sehingga masyarakat pesisir meniadi lebih berdaya. Keterbukaan Pemerintah dalam menginformasikan rumusan kebijakan dan rencana kegiatan --sebelum ditetapkan oleh pihak yang berwenang-- akan memberi peluang kepada masyarakat untuk berpartisipasi menyampaikan gagasan/ persepsi, keberatan, usulan perubahan, ataupun gagasan mereka lainnya yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir. Keterbukaan tersebut iuga dapat menambah wawasan masyarakat tentang proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh Pemerintah. Dengan demikian, kebijakan atau kegiatan yang dilaksanakan Pemerintah dapat r.tigutungi potensi konflik pemanfaatan atau konflik yurisdiksi yang muncul akibat penetapan kebijakan itu sendiri. Oleh sebab itu, konsultasi publik yang melibatkan stakeholders utama sejak proses perencanaan, pelaksanaan, sampai tahap pengendalian adalah sesuatu yang sangat penting.
5. Prlnslp Kepastian Hukum Kepastian hukum merupakan prinsip utama dalam penyelenggaraan sistem pemerintah an yang bersih dan berwibawa. Masyarakat perlu mengetahui proses perumusan peraturan perundang-undangan, mulai dari tahap inisiasi (prakaria) sampai disahkannya peraturan tersebut oleh lembaga legislatif. dontohnya, bagaimana, kapan, dan untuk apa undang-undang tersebut diterapkan. Masyarakat iuga perlu mengetahui isi perundang-undangan tersebut, -26 -
misalnya obyek dan lingkup pengaturan, serta dampak pengaturan tersebut dalam kehidupan mereka. Kepastian hukum sangat penting untuk menentukan siapa yang mempunyai akses, hak memiliki, dan memanfaatkan sumberdaya pesisir. Pemilikan dan penguasaan sumberdaya tersebut dilindungi oleh negara dan diakui oleh sto&eholders lainnya. Dengan demikian, setiap orang atau kelompok dapat mengelola pesisir secara terencana dan memiliki rasa kepemilikan (stewardship), yang menjadi nilai dasar pelestarian tersebut. Kepastian hukum dapat memberikan rasa keadilan dan keamanan pada masyarakat dalam melaksanakan kegiatan pemanfaatan sumberdaya pesisir tanpa intervensi pihak penguasa atau pengguna sumberdaya dari daerah lain. Bagi dunia usaha, kepastian hukum memberikan jaminan keamanan investasi jangka panjang serta mengurangi resiko berusaha. Sedangkan bagi Pemerintah Daerah, kepastian hukum dapat menjamin konsistensi dan kebijakan pelaksanaan otonomi daerah secara penuh dan bertanggung jawab.
E.
Manfaat Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu
Manfaat pengelolaan wilayah pesisir terpadu telah diuraikan dalam Pedoman Umum Pengelolaan Wilayah Peisisir Terpadu oleh Departemen Kelautan dan Perikanan sepertidikutip secara utuh dibawah ini. Manfaat pengelolaan wilayah pesisir terpadu menjelaskan keuntungan langsung maupun manfaat tidak langsung yang dapat diperoleh apabila menerapkannya secara konsisten. Manfaat program pengelolaan wilayah pesisir terpadu dapat diambil oleh berbagai tingkat pemerintahan mulai dari tingkat nasional, provinsi, kabupaten lkota, hingga desa, baik secara bersamaan maupun terpisah. Pelaksanaan program pengelolaan wilayah pesisir terpadu yang konsisten serta sesuai dengan tujuan nasional dan daerah akan memberikan manfaat langsung kepada masyarakat yang berperan serta. Misalnya, pelestarian atau rehabilitasi terumbu karang dapat meningkatkan ketersediaan sumberdaya ikan, terutama yang bernilai ekonomis penting serta mempunyai nilai tambah terhadap jasa lingkungannya sebagai lokasi wisata bahari. Besarnya manfaat program pengelolaan wilayah pesisir terpadu tergantung pada pandangan, persepsi, penilaian, dan tujuan yang dikehendaki oleh masyarakat itu sendiri dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir. Manfaat keikutsertaan masyarakat di dalam program pengelolaan wilayah pesisir terpadu, antara lain untuk: a. Keberlanjutan sumberdaya pesisir, seperti sumberdaya ikan, mangrove, terumbu karang, dan padang lamun; -27
-
b. Menghindari pencemaran dan melindungi kesehatan masyarakat; c. Meningkatkan manfaat ekonomi yang diperoleh dari jasa lingkungan laut (pariwisata, energi nirkonvensional, dan industri maritim) ; d. Mengembangkan bioteknologi sumberdaya pesisir untuk produk farmasi, kosmetika, squolene, dan sebagainya; e. Mengembangkan sistem perekonomian yang berbasis pada masyarakat; f. Mengembangkan kearifan lokal bagi kelestarian ekosistem pesisir.
-28-
Bagian Ketiga
LIMA KASUS PENGELOLAAN WI LAYAH PESISI R TERPADU DI INDONESIA
A. PROYEK/MITRA
PESISIR
(Coostol Resources Monagement Project - CRMP)
1. Tujuan Coastol Resources Monagement Project (CRMP) merupakan bagian dari Program
-
Pengelolaan Sumberdaya Alam ll (Noturol Resources Monogement Progrom NRMP ll). Di Indonesia, program ini lebih dikenal dengan nama Proyek Pesisir untuk tahap pertama dan berubah menjadi Mitra Pesisir pada tahap kedua. Proyek ini merupakan kerja sama antara Pemerintah Indonesia melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Pemerintah Amerika Serikat melalui United Stotes Agency for lnternotionol Development (USAID), yang dimulai pada tahun 1997 dan akan berakhir pada tahun 2005. lmplementasi program tahap pertama (1997-2003) dilaksanakan melalui Coostol Resources Center (CRC) University of Rhode lsland, Amerika Serikat, yang bekerja sama erat dengan Institut Pertanian Bogor (lPB). Tujuan CRMP sejalan dengan tujuan strategis NRMP ll yaitu "to decentrolize and strengthen coostol resources monogement in lndonesio" - mendesentralisasi dan memperkuat kelembagaan pengelolaan sumberdaya pesisir di Indonesia. Misi CRMP adalah mencapai kemajuan terukur atas desentralisasi dan penguatan kelembagaan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan di lndonesia.
lmplementasi program tahap kedua (2003-2005) dilaksanakan melalui tnternationol Resources Group (lRc), dengan beberapa modifikasi atau perubahan. Untuk tahap ini CRMP ll atau Mitra Pesisir lebih menekankan kemitraan dengan para pemangku kepentingan. Dengan demikian banyak kegiatan yang dahulu dikerjakan sendiri oleh konsultan proyek, sekarang dikerjakan oleh para mitra. Hal demikian dilakukan untuk memobilisasi sumberdaya (manusia dan dana) serta untuk memperkuat kapasitas kelembagaan mitra, sehingga potensi -29 -
keberlanjutan usaha pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu di negeri ini ditingkatkan. Dalam tahap ini, CRMP ll menambah lokasi cakupannya termasuk Kabupaten Pasir dan Kabupaten Berau di Kalimantan Timur, dan sejumlah pulau kecil di utara Pulau Biak di Papua.
2. Kegiatan-kegiatan Kegiatan CRMP meliputi kegiatan di tingkat nasional dan tingkat regional dan lokal. Kegiatan ditingkat regional/lokal dilakukan di Sulawesi Utara, Lampung, Kalimantan Timur, menyusul kemudian Papua. Pada tingkat nasional, CRMP atau Proyek Pesisir memperkuat kelembagaan dan kerangka kerja kebijakan bagi pengelolaan sumberdaya pesisir, mempromosikan pengalaman pada
tingkat lokal bagi program nasional, dan mengkomunikasikan hasil-hasilnya untuk para pengambil kebijakan dan kelompok terkait lainnya. Semua kegiatan yang telah dan akan dilakukan oleh CRMP sesuai dengan strategi yang disusun, yaitu mengembangkan model-model teladan baik (good proctice) yang ditujukan untuk berbagai situasi dan kondisiwilayah pesisir, dan mempromosikan model-model praktik teladan untuk diadopsi dan ditiru (replikasi) di wilayah lain di Indonesia melalui: Pengembangan upaya saling mendukung dan terkait bagi kerangka kerja antara tingkat nasional dan tingkat lokal dalam hal implementasi proyek; Adopsi pendekatan pembentukan kapasitas; Peningkatan kemampuan dan kapasitas para mitra CRMP dalam pembuatan keputusan dan kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan serta menyarankan perubahan-perubahan kebijakan; o Pemantauan dan pendokumentasian berbagai teladan baik sehingga keberhasilannya dapat "dibuktikan" dan pihak-pihak yang tertarik melakukannya dapat dengan efektif mereplikasi keberhasilan tersebut; Memperkuat peran perguruan tinggi dalam masalah pengelolaan pesisir demi peningkatan kapasitas secara berkelanjutan.
.
. .
.
3. CRMP Sulawesi Utara Dimulai sejak tahun 1997, CRMP Sulawesi Utara melakukan berbagai program pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat dari tingkat desa, kabupaten, hingga provinsi. CRMP Sulawesi Utara memfokuskan kegiatannya pada pengembangan partisipasi masyarakat dan kemitraan antara masyarakat dan -30-
pemerintah daerah di empat desa yakni Blongko, Bentenan, Tumbak, dan Talise di Kabupaten Minahasa. Tiga hal yang menjadi titik berat kegiatannya adalah: (1) Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu tingkat desa; (2) Daerah Perlindungan Laut (DPL) berbasis masyarakat ditingkat desa, yang didukung dengan; (3) Peraturan-Peraturan Desa (Perdes). Selain itu dikembangkan pula upaya dan kondisiyang mendukung keberhasilan program kegiatan tersebut, di antaranya berupa penyusunan kerangka kerja kebijakan dan hukum di tingkat kabupaten dan provinsi. Dengan demikian, inisiatif pengelolaan sumberdaya pesisir pada tingkat desa dapat diimplementasikan secara efektif.
a. Mitra Mitra utama Proyek CRMP adalah masyarakat lokal di daerah yang menjadi lokasi proyek. CRMP membina hubungan yang erat dengan pemerintah setempat dari tingkat desa hingga provinsi. Demikian pula dengan berbagai lembaga seperti Bappeda/Bapelitbang, Bapedalda, Dinas Perikanan dan Kelautan, DPRD, Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), swasta, dan LSM. Bagian penting dari kerja sama ini diwujudkan lewat pembentukan Cusus Tugas Kabupaten atau KTF (Kobupoten Task Force) dan Komite Penasehat Provinsi. Dua lembaga ini secara khusus terbentuk lewat program CRMP, namun dalam praktiknya berkembang dan terkait dengan isu koordinasiyang lebih luas mengenai kebijakan pengelolaan pesisir.
b. Pencapaian Hasil-hasil yang telah dicapai CRMP di Provinsi Sulawesi Utara antara lain sebagai berikut: GRMP membantu program pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat (Community-Based Coostol Resources Manogemenf atau cB-cRM) di 4 (empat) desa proyek yaitu Blongko, Bentenan, Tumbak, dan Talise. Desadesa yang memiliki karakteristik berbeda tersebut belajar mengenali potensi dan permasalahan sumberdaya pesisir yang ada di daerah masing-masing. Dengan fasilitasi cRMP, masyarakat membentuk dan mengelola Daerah Perlindungan Laut (DPL) Berbasis Masyarakat di 3 lokasi di Kabupaten Minahasa yakni Blongko, Bentenan-Tumbak, dan Talise. Daerah perlindungan Laut ini berupa penentuan luasan tertentu yang menjadi zona larang-ambil sehingga keragaman hayati yang ada di kawasan itu seperti terumbu karang, ikan, bakau, dan sebagainya terjaga. Selain itu, mereka juga menyusun profil sumberdaya pesisir dan rencana pengelolaan tingkat desa, serta membentuk badan pengelola desa. Kesungguhan masyarakat dalam mengelola
.
- 3t
-
DPL tersebut telah diakui secara nasional melalui pemberian penghargaan Anugerah Pesisir (Pesisir Aword) kepada kelompok pengelola DPL Blongko pada Konferensi Nasional ll Pengelolaan PesisirTerpadu atau KONAS lltahun
2000 di Makassar. Pembentukan DPL berbasis masyarakat initelah direplikasikan di lokasi lain di Indonesia, antara lain di Pulau Sebesi, Lampung.
.
o
Saat ini, seluruh desa proyek tersebut telah melalui proses pemandirian (groduosi), seiring dengan selesainya bantuan CRMP di desa-desa tersebut. Dengan demikian, untuk seterusnya masyarakat dan kelompok pengelola melanjutkan kegiatan pengelolaan sumberdaya pesisir yang telah ada dengan usaha dan kemampuan sendiri dan lewat dukungan program-program pemerintah setempat. Keempat desa tersebut kini berfungsi sebagai pusatpusat pembelajaran bagi desa-desa pesisir lain di Kabupaten Minahasa, yang juga tengah menerapkan model pengelolaan pesisir berbasis masyarakat. Penerapan program pengelolaan pesisir berbasis masyarakat dalam area geografis dan administratif yang lebih luas (sco/ing up) dilakukan dengan mengambil pengalaman yang telah diterapkan empat desa lokasi proyek. Perluasan program ini diikuti oleh 24 desa pesisir di kawasan Kecamatan Likupang Barat dan Timur. Program ini mendapat dukungan kuat dari berbagai pemangku kepentingan lokal, khususnya Pemerintah Daerah Kabupaten Minahasa. Hasil kegiatan perluasan program ini ialah terbentuknya 19 DPL dan 4 Daerah Perlindungan Mangrove (DPM). Pembentukan DPL dan DPM tersebut hampir seluruhnya didukung dengan penetapan peraturan desa yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir desa, terbentuknya badan pengelola desa, tersusunnya profil sumberdaya pesisir desa dan rencana pengelolaan. Pada satu desa, terbentuk pula kelompok pemberdayaan perempuan. Uji coba perluasan program ini dilakukan dengan ide pengembangan pendekatan yang telah dilakukan pada empat desa proyek. Tujuannya ialah untuk lebih meningkatkan inisiatif pengelolaan pesisir berbasis masyarakat yang pelaksanaan dan pendanaannya didukung oleh warga setempat. Studi di Filipina (Pollnac et.01.,2001) menunjukkan bahwa petugas lapangan yang bekerja penuh waktu ternyata bukanlah faktor penting yang menentukan kesuksesan inisiatif pengelolaan berbasis masyarakat. Selain itu, petugas pendamping yang bekerja penuh waktu di tiap desa ternyata bukan merupakan hal yang diharapkan berkelanjutan oleh pemerintah desa dan mitra lokal lainnya, dalam rangka promosi pengelolaan pesisir berbasis masyarakat. Berdasarkan model baru perluasan program ini, desa-desa di Likupang terbukti mampu mendirikan 19 DPL dan 4 DPM dalam waktu 18 bulan, lebih cepat dibandingkan -32-
waktu 3,5 tahun yang dibutuhkan oleh 4 desa contoh sebelumnya.
di 24 desa yang difasilitasi CRMP dan hampir 400 hektar untuk DPM, baik di desa lokasi proyek maupun desa-desa perluasan program. Suatu studi penilaian dan evaluasi terhadap Proyek CRMP (Hanson et. a1.,2003) menemukan bahwa tiga DPL di desa lokasi percontohan CRMP ternyata diperkirakan mampu menyelamatkan nilai ekonomis total rata-rata sumberdaya tersebut setara dengan US$ 430.000 per tahun dari kerusakan akibat kegiatan pemanfaatan destruktif sumberdaya pesisir dan laut. Dengan makin maraknya pembentukan DPL dan DPM di Provinsi Sulawesi Utara, laju kerusakan tersebut diharapkan seSecara total, terdapat lebih dari 850 hektar DPL
makin berkurang.
,
CRMP bekerja sama dengan pemangku kepentingan lain menyelenggarakan peningkatan kapasitas kelembagaan di bidang perencanaan dan pengelolaan
program pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat pada tingkat desa dan daerah. Upaya itu ditempuh lewat penyusunan berbagai modul pelatihan bagi masyarakat desa, pertemuan dan diskusi, serta kunjungan silang ke berbagai tempat. Modul-modul pelatihan yang disusun meliputi: - teknik fasilitasi - perencanaan dan pengelolaan pesisir berbasis masyarakat - penguatan kelembagaan - perspektif gender - kesinambungan finansial - ekonomi kerakyatan - komunikasi, informasi, edukasi Hasilnya, total terdapat 2 hingga 5 community orgonizer (CO) di tiap desa yang memperoleh pengetahuan dan ketrampilan dalam perencanaan dan pengelolaan program pengelolaan pesisir berbasis masyarakat. Mereka inilah, bersama-sama dengan masyarakat desa, menyusun profil sumberdaya pesisir, rencana pengelolaan sumberdaya pesisir, dan mendukung penyusunan Peraturan Desa (Perdes). Dengan demikian, Kepala Desa dan Badan Penruakilan Desa (BPD) memiliki pengalaman langsung dalam menyusun Perdes dan berbagai aturan desa lainnya. Secara umum, kepedulian masyarakat desa terhadap lingkungan dan sumberdaya pesisir mereka menjadi lebih tinggi. Hal ini pada akhirnya akan mengurangi praktik-praktik peman-
faatan dan ekstraksi sumberdaya pesisir yang merusak.
o
CRMP memfasilitasi penyusunan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun -33-
2002 tentang Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Terpadu Berbasis Masyarakat di Kabupaten Minahasa, yang telah disahkan pada sidang paripurna DPRD Minahasa tanggal 26luni 2002. Perda ini disusun lewat proses yang partisipatif, transparan, dan mengikuti asas akuntabilitas publik. Perda ini merupakan yang pertama kalinya di Indonesia dan menjadi contoh bagi daerah lain untuk menerapkan halyang sama.
, CRMP memfasilitasi
pembentukan Badan Pengelola Pesisir Kabupaten (BPPK) Kabupaten Minahasa, sebagaimana yang diamanatkan Perda No. 2 tahun 2002 di atas. Seorang anggota senior Bappeda terpilih sebagai Ketua BPPK, dengan Kantor Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten sebagai sekretariatnya. Terbentuknya BPPK ini merupakan langkah maju dalam mewuiudkan implementasi Perda di tingkat kabupaten.
'
.
DPRD Provinsi Sulawesi Utara, dengan dukungan CRMP, menyusun dan menetapkan Perda Nomor 38 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat Provinsi Sulawesi Utara, pada tangga, 26 Mei 2003. Perda ini merupakan peraturan pertama kalinya di lndonesia yang mengatur hal tersebut. Penetapan Perda ini menyusul sukses penetapan Perda serupa di tingkat kabupaten setahun sebelumnya, dan berbagai Perdes yang telah ada. Dengan bantuan CRMP, tiap peraturan tersebut disusun saling mendukung dengan peraturan perundangan lainnya di berbagai tingkat, termasuk dengan Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Pesisir yang kini telah memperoleh persetujuan prakarsa dari Presiden Rl dan tengah dibahas oleh Panitia Antardepartemen sebelum memperoleh Amanat Presiden dan disampaikan ke DPR untuk disetujui. CRMP memprakarsai penyusunan program pemantauan bersama oleh berbagai pemangku kepentingan di Provinsi Sulawesi Utara. Program ini merupalan suatu sistem pemantaua n yang berbiaya rendah, bersifat sukarela, mudah diterapkan, terpusat, dan terkoordinasi. Program yang ini melibatkan kerja sama seluruh pemangku kepentingan di wilayah pesisir (universitas, instansi pemerintah, operator wisata bahari, Organisasi Non Pemerintah/Ornop, dan masyarakat). Kolaborasi para pemangku kepentingan ini akhirnya membentuk sebuah lembaga formal yang disebut Forum Pemantau Pesisir dan Laut (FORPPELA). Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ ART) berikut protokol standar organisasi telah disusun. Sistem pemantauan ini merupakan upaya untuk menyediakan koleksi data sumberdaya pesisir
yang mutakhir dari berbagai pihak, mudah diakses, dan dapat digunakan bagi siapa saja yang memerlukannya. Dalam tahun pertama kegiatannya, -34-
terdapat lebih dari 100 set data yang berhasil terkumpul dan dianalisis oleh masyarakat desa, Ornop, swasta, mahasiswa, dan pen.,rakilan instansi pemerintah. Model ini telah dipertimbangkan untuk digunakan di daerah lain di lndonesia, sebagai cara untuk melihat hubungan antara aktivitas manusia dan perubahan kondisi sumberdaya pesisir dan lautan. Bekerja sama dengan pemangku kepentingan lokal di Sulawesi Utara, CRMP menyusun Atlas Sumberdaya Wilayah Pesisir Kabupaten Minahasa-Bitung-
Manado, yang telah diterbitkan pada bulan Oktober 2002. Penyusunan atlas ini melibatkan Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara, Kabupaten Minahasa, Manado, dan Bitung. Beberapa Ornop, universitas, dan anggota masyarakat juga terlibat aktif dalam penyusunannya. CRMP juga telah menerbitkan buku panduan penyusunan atlas bagi pihak-pihak yang tertarik menyusun atlas di daerah mereka sendiri. Atlas ini menjadi titik awal diskusi terhadap isu tata ruang dan isu terkait lainnya mengenai pengelolaan pesisir dan lautan. Yang tak kalah penting, atlas ini dibuat dengan upaya kerja sama yang memanfaatkan kontribusi data berharga dari JICA Coral Reef Mapping Proiect. Ini membuktikan pentingnya arti nilai kerja sama demi mencapaitujuan bersama antarproyek yang didanai lembaga donor internasional. Menghasilkan berbagai buku panduan dan manualyang siap didistribusikan kepada seluruh mitra. Buku-buku tersebut, antara lain: - Panduan Pembentukan dan Pengelolaan DPL Berbasis Masyarakat - Studi Kasus Penyusunan Perda Pengelolaan SumberdayaWilayah Pesisir Berbasis Masyarakat Kabupaten Minahasa - Panduan Penyusunan Atlas - Panduan Pembersihan Bintang Laut Berduri - Panduan Pemantauan Terumbu Karang dengan Metode Manta Tow
4. CRMP Kalimantan Timur CRMP Kalimantan Timur diresmikan tahun 1998, memiliki misi untuk mengem-
bangkan model-model terbaik berupa strategi perencanaan pengelolaan kawasan Teluk Balikpapan yang berbasis ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS), dan bersifat lintas yurisdiksi dan wilayah administratif. Pengelolaan teluk lebih dari sekadar soal teluk itu sendiri. Pengelolaan teluk membutuhkan keterpaduan kegiatan dari hulu hingga hilir. Karena itu, dalam pengembangannya, semua pihak yang berkepentingan diupayakan terlibat, antara lain pemerintah, masyarakat dunia usaha/industri, LSM, perguruan tinggi, dan media massa. -35-
Sebagai hasilnya, pada bulan Juli 2002 Cubernur Kalimantan Timur, Walikota Balikpapan, Bupati Pasir, Bupati Kutai Kartanegara, dan Pejabat Bupati Penajam Paser Utara telah menandatangani kesepakatan bersama pengelolaan Teluk Balikpapan, dan disaksikan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan. Model pengelolaan teluk berbasis DAS tersebut dituangkan dalam sebuah Rencana Strategis Pengelolaan Terpadu Teluk Balikpapan. Diharapkan pada akhir kegiatan proyek nanti, kapasitas berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) dalam rangka implementasi awal Rencana Strategis Pengelolaan Teluk Balikpapan akan meningkat secara signifikan.
a. Mitra Dalam kegiatannya sehari-hari, CRMP Kalimantan Timur menjalin kemitraan yang erat dengan beragam pihak, antara lain: Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, Kota Balikpapan, Kabupaten Pasir, Penajam Paser Utara, dan Kutai Kartanegara, DPRD, Universitas Mulawarman, sektor swasta, serta LSM.
b. Pencapaian Hasil-hasil yang telah dicapai CRMP di Provinsi Kalimantan Timur antara lain sebagai berikut:
.
.
CRMP memfasilitasi penyusunan draft hingga disepakatinya Rencana Strategis (Renstra) Pengelolaan Terpadu Teluk Balikpapan yang bersifat lintas wilayah berbasis DAS. Hal ini ditandai dengan disepakatinya pengelolaan Teluk Balikpapan oleh oleh Cubernur Kaltim, Walikota Balikpapan, Bupati Pasir, dan Pejabat Bupati Penajam Paser Utara pada bulan luli 2002, disaksikan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Rl. CRMP memfasilitasi kelompok kerja lintas instansi dalam perencanaan pengelolaan berbasis DAS di Kabupaten Pasir dan Kota Balikpapan. Dua kelompok kerja telah dibentuk yaitu sedimentasi dan erosi, serta kelompok kerja mangrove dan tambak, masing-masing di Kabupaten Pasir dan Kota Balikpapan. Kedua kelompok kerja tersebut kini telah memulai inisiatif kegiatan dan implementasi. Kelompok kerja ini memfasilitasi perencanaan dan pendanaan kegiatan masa depan secara lintas instansi dan lintas yurisdiksi, dan menyediakan model pengembangan penatakelolaan di area fokus ke-
lompok tersebut.
o Untuk mengefektifkan
implementasi Renstra Terpadu Teluk Balikpapan, 36-
Pemerintah Daerah terkait sepakat membentuk Badan Pengelola Teluk yang dipimpin oleh Cubernur Kalimantan Timur. Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten terkait memulai inisiatif kegiatan reformasi hukum dan peraturan peru ndangan berdasarkan Renstra yang telah ditetapkan. Masing-masing mereka juga mengalokasikan anggaran untuk implementasi berbagai program yang tercantum dalam Renstra. CRMP mendukung berdirinya Sahabat Teluk Balikpapan (STB) sebagai sebuah organisasi non pemerintah (Ornop) baru yang tumbuh dan berkembang dari partisipasi masyarakat dengan program-program mereka sendiri. Fokus kegiatan organisasi ini --yang kemudian resmi menjadi Yayasan Selamatkan Teluk Balikpapan (YSTB)-- khusus ditujukan terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat. Meskipun tergolong sebagai lembaga baru, YSTB dipercaya menerima dua kontrak dari pemerintah dan satu kontrak dari swasta. Peran YSTB dalam menjaga kelestarian Teluk Balikpapan akan terus ditingkatkan. Sejalan dengan YSTB, CRMP juga memfasilitasi berdirinya Forum Selamatkan Teluk Balikpapan. Forum ini terbuka untuk publik dan menyelenggarakan berbagai aktivitas yang dirancang untuk melibatkan mereka dalam kegiatan-keg iatan yang men i ng katkan kesadartah uan tentan g pengelolaan
teluk seperti kegiatan bersih pantai, penanaman kembali mangrove, dan sebagainya. Forum ini dikembangkan dan tumbuh dari partisipasi publik sendiri dan berfokus pada isu pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat. Menyokong dan menyebarluaskan buletin bulanan Tirta Pela yang memberitakan dan mendiskusikan kemajuan pengelolaan Teluk Balikpapan, bekerja sama dengan Universitas Mulawarman, Samarinda. Buletin yang dicetak 1000 eksemplar per edisi ini menginformasikan dan mendiskusikan kemajuan implementasi Resntra Pengelolaan Teluk Balikpapan. Buletin tersebut didistribusikan ke berbagai mitra yang terkait dengan pengelolaan Teluk Balikpapan, mulai dari instansi pemerintah, perguruan tinggi, LSM, swasta, dan masyarakat. Pada tahun terakhir, CRMP bekerja sama dengan Proyek NRM lll menerbitkan sisipan bulanan 4 halaman Ulin di harian terbesar di Kalimantan Timur, Koltim Post. Topik mengenai pengelolaan teluk dan DAS ditampilkan secara teratur setiap bulannya dalam sisipan tersebut dengan harapan dapat meningkatkan kesadartahuan politis dan komitmen publik terhadap isu pengelolaan sumberdaya pesisir di Kalimantan Timur.
-37
-
Bekerja sama dengan NRM/EPIQ menyusun kurikulum Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) bagi para siswa tingkat dasar sampai lanjutan atas di Balikpapan. CRMP juga memfasilitasi berbagai lokakarya, kunjungan lapang, pendidikan, dan pelatihan seputar isu pengelolaan sumberdaya pesisir di Kalimantan Timur. Melakukan serangkaian studi, antara lain tentang kondisi teluk, mangrove, kualitas air, dan lain-lain. Hasil-hasil studi tersebut dipublikasikan dalam bentuk berbagai laporan teknis, brosur, factsheet, artikel di media massa cetak dan elektronik, dan sebagainya. Inisiatif ini didasarkan penerapan sedapat mungkin prinsip keputusan pengelolaan berbasis informasi dan ilmu pengetahuan. Berbagai produk yang dihasilkan melalui keria sama dengan perguruan tinggi tersebut diharapkan dapat meningkatkan kapasitas dan pengetahuan seluruh mitra mengenai kondisi pesisir dan lautan setempat.
o
CRMP telah mempertimbangkan upaya replikasi proses penyusunan rencana
pengelolaan terpadu Teluk Balikpapan di daerah lainnya di lndonesia.
5. CRMP Lampung Di Lampung, CRMP menitikberatkan kegiatannya pada pendekatan ditingkat provinsi dengan penyusunan atlas sumberdaya wilayah pesisir Provinsi Lampung dan rencana strategis pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir Lampung. Hal ini dilakukan melalui kerja sama dengan pihak yang berwenang baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota serta masyarakat lokal pada umumnya. Kegiatan CRMP Lampung berfokus kepada penguatan kelembagaan pemerintah dan LSM untuk memfasiliasi penyusunan rencana strategis pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir di tingkat provinsi, berdasarkan informasi Atlas Sumberdaya Pesisir Lampung. Pada tahun 2001, pengelolaan kegiatan CRMP Lampung diserahterimakan kepada Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB). Sejalan dengan itu, CRMP Lampung juga melakukan kegiatan yang terukur berupa budidaya perikanan (tambak udang) berbasis masyarakat serta penyusunan Peraturan Desa (Perdes) di Desa Pematang Pasir, dan pembuatan daerah perlindungan laut (DPL) berikut Perdes di Pulau Sebesi.
-38-
a. Mitra Dalam pelaksanaan kegiatannya, CRMP Lampung menjalin hubungan yang erat dengan lembaga pemerintah seperti Bappeda Provinsi dan Kabupaten/ Kota, Bapedalda, Dinas Perikanan dan Kelautan, Dinas Kehutanan, Dinas Pariwisata, dan Dinas Perindustrian. CRMP juga bekerja sama dengan PKSPL-IPB, Universitas Lampung, pihak swasta, LSM, masyarakat, dan media massa.
b. Pencapaian Hasil-hasilyang telah dicapai cRMP di Provinsi Lampung antara lain adalah:
'
CRMP membantu membangun dan meningkatkan kapasitas serta jaringan kerja LSM-perguruan tinggi-pemerintah daerah dengan mentransfer pro-
gram yang dirancang menjadi program milik mereka sendiri. Bukti keberhasilannya antara lain dengan tersusunnya atlas sumberdaya pesisir Lampun9, Renstra pesisir Lampung, dan kemampuan pemangku kepentingan setempat membentuk dan mengelola DPL serta kegiatan budi daya bahari.
.
'
Membantu mitra-mitra lokal menyusun Atlas Sumberdaya Wilayah Pesisir Lampung. Atlas ini merupakan atlas wilayah pesisir pertama di Indonesia dan menjadi contoh nasional bagi pembuatan atlas sejenis di provinsi-provinsi lain di Indonesia. Atlas Lampung disusun dengan metode partisipatif dan transparan , yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan di wilayah pesisir Lampung secara luas. Setidaknya ada 9 (sembilan) provinsi lain mencontoh pembuatan atlas pesisir yang dilakukan di Lampung, dengan anggaran mereka sendiri. CRMP sendiri mereplikasikan keberhasilan penyusunan atlas Lampung inididua area lainnya, yaitu Manado-Minahasa-Bitung di Sulawesi Utara, dan Teluk Bintuni di Papua. Dengan memanfaatkan data dari atlas pesisir tersebu! CRMP memfasilitasi pula proses penyusunan rencana strategis (Renstra) pengelolaan wilayah pesisir Provinsi Lampung yang menjadi panduan penting bagi provinsi. Dokumen ini merupakan Renstra pertama yang dikeluarkan oleh suatu provinsi sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 dan peraturan pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Pemerintah Daerah. proses penyusunan Renstra ini juga dilakukan secara partisipatif. Lebih dari Rp 3,2 milyar anggaran provinsi dan kabupaten, ditambah Rp 800 juta lainnya dari anggaran nasional, telah dikeluarkan dalam implementasi Renstra tersebut. (Wiryawan et.al., 2002). -39-
CRMP memfasilitasi pendirian serta membantu meningkatkan kapasitas Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL-
IPB). CRMP kemudian menghubungkan PKSPL dengan Universitas Lampung (Unila) dalam penyusunan dan pengimplementasian Renstra Pesisir Provinsi Lampung. Pengembangan kapasitas dan dukungan faringan kerja ini mencerminkan komitmen CRMP untuk membangun kapasitas perguruan tinggi agar sesuai dengan kebutuhan lokal, dan dalam waktu yang sama membangun jaringan kerja dan saling berbagi informasi antarperguruan
tinggi di berbagai daerah. Membantu mengembangkan contoh dan penerapan program pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat. Kegiatan ini berupa pengembangan tambak ramah lingkungan di Desa Pematang Pasir, pembentukan dan pengelolaan DPL berbasis masyarakat di Pulau Sebesi berikut rencana pengelolaan desanya.
Menghasilkan berbagai laporan penelitian dan teknis mengenai pengelolaan sumberdaya pesisir di wilayah Lampung.
6. CRMP Papua Papua merupakan provinsi terbaru lokasi kegiatan CRMP. Kawasan Teluk Bintuni dan sekitarnya dipilih sebagai daerah fokus kerja, berdasarkan kondisi sumberdayanya yang masih bagus dan berlimpah, antara lain terdapatnya kawasan hutan mangrove yang diduga merupakan yang terluas di dunia, terbentuknya kabupaten baru yang meliputi wilayah sekitar Teluk Bintuni, dan laiu tekanan yang amat cepat terhadap sumberdaya pesisir di kawasan tersebut. Kegiatan pertama yang dilakukan di Papua adalah pengumpulan data primer dan sekunder yang diperlukan untuk membuat atlas pesisir Teluk Bintuni. Teluk Bintuni merupakan wilayah pesisir yang kaya akan potensi namun juga diliputi
oleh banyak permasalahan dan tantangan. Diharapkan penyusunan Atlas Teluk Bintuni akan diikuti dengan penyusunan program pengelolaan pesisir terpadu untuk Kabupaten Bintuni umumnya dan Teluk Bintuni khususnya.
a. Mitra Dalam pelaksanaan kegiatan, CRMP Papua menjalin hubungan yang erat dengan Universitas Negeri Papua (UNIPA), LSM/Ornop setempat, instansiinstansi terkait di lingkungan pemerintah daerah, dunia usaha, dan ma-40-
syarakat. Hubungan dengan swasta terjalin cukup erat dengan partisipasi perusahaan BP melalui program USAID Clobql Development Allionce (CDA). Kerja sama penting lainnya juga terjalin dengan beberapa lembaga internasional antara lain The Noture Conservoncy (TNC), World Wide Fund for Nature (VVWF), Conservqtion lnternotionol(Cl), dan lain-lain. Beberapa ornop lokal seperti YALHIMO, PERDU, dan YPMD (Yayasan Pembangunan Masyarakat Desa) juga amat membantu dalam penyediaaan informasi tentang kondisi masyarakat lokal untuk penyusunan atlas.
b. Pencapaian CRMP bersama mitra-mitra setempat menyusun dan merampungkan pembuat-
an atlas sumberdaya pesisir kawasan Teluk Bintuni. Universitas Negeri Papua (UNIPA) memainkan peran utama dalam pembuatan atlas ini bersama dengan pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya, dengan fasilitasi dan dukungan penuh CRMP. Dua ornop lokal membantu melakukan survei-survei sosio-ekonomi di kawasan Teluk Bintuni. Sementara pihak swasta (perusahaan minyak BP) menyediakan sumber data sehingga menghemat waktu dan biaya. Konsep pengelolaan teluk terpadu telah dikembangkan dan diserahkan kepada para pemangku kepentingan setempat untuk dapat dikaji dan diterapkan.
7. CRMP Tingkat Nasional CRMP mempunyai posisi yang unik di arena pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan tingkat nasional. Dimulai sejak tahun 1997, Proyek CRMP mendukung penuh terbentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) pada tahun 1 999. Seiring dengan berlakunya Undang-Undang Nom or 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah serta UU No. 25 tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah, CRMP melalui berbagai programnya memperoleh peluang untuk mendukung peningkatan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. Dukungan tersebut terus ditingkatkan dari tahun ke tahun, termasuk terhadap institusi DKP. Selain memberikan dukungan kepada DKP, pada tahun kelima CRMP juga menganggap perlu untuk melanjutkan dukungan terhadap program-program yang sedang dilaksanakan oleh para mitra lainnya dari lembaga pemerintah maupun nonpemerintah.
a. Mitra Dalam aktivitasnya sehari-hari, CRMP menjalin kemitraan yang erat dengan be-41
-
ragam pihak di tingkat nasional, antara lain: BAPPENAS, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Kehutanan, Departemen Dalam Negeri, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup (LH), Kantor Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata, Universitas (INCUNE), dan ornop. Partisipasi Ornop yang cukup kuat datang dari Jaring Pela, Yayasan Telapak, AMAN, IHSA, HUMA, ICEL, Kehati, Terangi, dan WALHI.
b. Pencapaian Hasil-hasilyang telah dicapai CRMP di tingkat nasional antara lain adalah: Membantu DKP dan para pemangku kepentingan lainnya dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir. Proses ini telah dimulai dengan penyusunan Naskah Akademis yang rampung dan dipublikasikan pada bulan November 2001. Naskah ini menjadi dokumen acuan standar dalam penyusunan materi RUU nantinya, dan telah disampaikan ke Sekretariat Negara. Menteri Kelautan dan Perikanan secara resmi membentuk Tim Kecil Penyusunan Draft Naskah Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengelolaan Wilayah Pesisir. Hasil draft tersebut telah disampaikan dan dibahas dalam 1 0 konsultasi publik tingkat nasional dan region al, yang berlangsung secara terbuka dan partisipatif. Secara proses dan substantif, RUU ini diharapkan dapat memenuhi standar transparansi, partisipasi publik, dan kualitas teknis isinya. RUU ini juga memuat standar-standar sertifikasi program daerah dan insentif bagi kesukarelaan, serta menyediakan anggaran pendanaan bagi Program Kemitraan Bahari (PKB).
.
r
.
Membantu penyusunan standar penentuan batas wilayah laut dan penamaan pulau-pulau di Indonesia. Sebuah buku panduan penentuan batas wilayah laut dan penamaan pulau telah dipublikasikan dan disebarkan kepada mitramitra yang terkait. CRMP membantu Departemen Kelautan dan Perikanan menerbitkan buku Pedoman Tata Ruang Pesisir dan Lautan Nasional, Pedoman Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Buku panduan ini dirancang untuk menyokong pemerintah daerah untuk mengambil langkah segera setelah era desentralisasi, sebelum pedoman dan undang-undang pengelolaan pesisir menyusul
diberlakukan.
r
Mendorong peningkatan kapasitas staf pemerintah dan non-pemerintah dengan mengikutsertakan mereka pada berbagai konferensi serta pelatihan tingkat nasional dan internasional. Salah satu kegiatannya antara lain -42-
berupa studi banding ke Amerika Serikat bagi Menteri, empat pejabat senior departemen, dan tiga pejabat senior provinsi. Kegiatan ini bertujuan untuk menggali pengalaman dan bertukar pikiran dengan berbagai pihak di Amerika tentang program pengelolaan sumberdaya pesisir, khususnya program pengelolaan wilayah pesisir Amerika Serikat dan Program Seo Grqnt. Peserta juga difasilitasi untuk mengikuti acara U.S. NotionolCoostqlManogement Conference, sebuah konferensi penting tentang pengelolaan pesisir di Amerika Serikat. Peserta studi banding mengunjungi negara bagian North Carolina, Hawaii, Florida, Washington State, dan Rhode lsland. Sementara itu, staf di Departemen Kelautan dan Perikanan didukung untuk mengikuti pelatihan-pelatihan internasional mengenai pengelolaan DAS yang diselenggarakan U.5. Forestry Service, juga konferensi regional lainnya seperti Asio Pocific Coqstql Manogement Conference pertama di Bangkok, konferensi dan lokakarya di Filipina, Jepang, dan Cina. Pelatihan yang ekstensif tentang berbagai topik juga dilakukan bagi seluruh pemangku kepentingan di Indonesia.
Mendukung penyusunan rencana strategis dan pengorganisasian Departemen Kelautan dan Perikanan. Selain itu, CRMP memfasilitasi Departemen Kelautan dan Perikanan dalam memperoleh hibah Bank Dunia bagi pengembangan kelembagaan departemen tersebut. Dalam hal ini, CRMP membantu menyediakan pedoman-pedoman kunci dalam implementasi program yang didukung dana Pembangunan Kelembagaan Bank Dunia tersebut. CRMP juga membantu Ditjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil menyusun rencana strategis operasional mereka, dan menciptakan keterpaduan serta koordinasi yang lebih baik dengan kegiatan-kegiatan Ditjen tersebut. Mendorong dan memperkuat jaringan kerja universitas yang memiliki program pesisir (INCUNE-lndonesion Coostal University Network). Jaringan ini dibentuk untuk memfasilitasi komunikasi dan pengembangan kapasitas perguruan-perguruan tinggi utama di Indonesia. INCUNE berhasil memperkuat kelembagaannya melalui berbagai pelatihan, pemantauan, dan pengembangan berbagai program pengelolaan pesisir terpadu. Berdiri sejak 1999, iaringan INCUNE kini beranggotakan 11 perguruan tinggi. Tiap universitas memiliki jaringan kerja dalam lingkup lebih kecil di bawahnya berkaitan dengan isu sumberdaya pesisir dan lautan. Selain itu, CRMP berperan penting dalam pengembangan Program Kemiteraan Bahari berbasis perguruan tinggi. Progam ini mengambil model sukses U.S. Seo Gront College Program di Amerika serikat. sistem serta kelembagaan program ini tengah disusun melalui Undang-Undang Pengelolaan wilayah Pesisir, yang juga difasilitasi -43-
CRMP. Penandatanganan kerja sama antara Notionol Oceanic ond Atmospheric Administrofion (NOM) Amerika Serikat dan Departemen Kelautan dan Perikanan R.l. telah dilakukan melaluifasilitasi CRMP. NOM akan secara langsung mendukung pengembangan Program Kemitraan Bahari tersebut. Program inisendiri menyediakan dana hibah bagi perguruan tinggi regional untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan dalam empat bidang utama: 1) pendidikan; 2) riset terapan; 3) penjangkauan dan jasa pengembangan; dan 4) pengembangan kebijakan pesisir dan lautan. CRMP berperan sebagai pendukung utama terselengg aranyaKongres Nasi-
onal Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesia (KONAS) | pada tahun 1998 hingga KONAS lll pada tahun 2002. Acara dua tahunan ini menjadi ajang penting saling tukar pengalaman, hasil penelitian, informasi, serta perkembangan mutakhir dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. Acara ini melibatkan lebih dari 600 peserta dari dalam dan luar negeri. KONAS lV dijadwalkan berlangsung di Kalimantan Timur tahun 2004, dengan pendanaan sepenuhnya oleh pemangku kepentingan setempat.
Membantu penguatan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB) melalui kerja sama dalam pengelolaan program di Lampung, learning team, penyusunan dan publikasi Jurnol Pesisir don Loutan, serta berdirinya perpustakaan nasional tentang pengelolaan pesisir di PKSPL-IPB, dengan jasa layanan peminjaman antaruniversitas. Membantu mengembangkan konsep dan kampanye kesadaran publik tentang isu pengelolaan sumberdaya pesisir. Sebagai bagian dari kegiatan tersebut, CRMP telah menghasilkan lebih dari 300 judul publikasi mengenai pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. Publikasi tersebut tersedia dalam beragam jenis, mulai dari laporan teknis, buku, poster, factsheet, stiker, artikel di media cetak, program televisi, keping CD, dan lain-lain, yang tersedia dan siap untuk didistribusikan.
-44-
Petunjuk DPI Deso Blongkq Sulowesi Utoro
Kowoson DPL Deso Blongko, Sulowesi Utoro
-45-
Kowosan Teluk Bolikpopon, Kolimonton Timur
-46-
Kompung Neloyon di Lompung Seloton
fitf
ATLAS yah Pcsisir Lampung
F""iF'
=Af
{,,t5
Beberopo produk terbtton Proyek Pesisir
-48-
B. PROYEK PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUT (Morine ond Coastol Resou rces Monagement Project MCRMP) Proyek Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut atau Morine and Coastal Resources Monogement Project (MCRMP) adalah kerja sama antara Pemerintah
lndonesia melalui Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dan The Asian Development Bank (ADB). Proyek ini dimulai pada tahun 2002 dan akan berakhir pada tahun 2007 . Di tingkat nasional, dibentuk Tim Pengarah Nasional (Notionol Steering Committee - NSC), Tim Pengarah Teknis (Technicol Steering Committee - Tsc), dan Kantor Pengelolaan Proyek (Project Monogement office - PMO). Selain DKP, di tingkat nasional Bakosurtanal dan LlPl mengambil peran penting dalam pelaksanaan komponen proyek, masing-masing komponen Survei dan Pemetaan, dan Jejaring Nasional Keanekaragaman Hayati (National Biodiversity lnformation Network - NBIN). Di tingkat daerah, dibentuk Tim Pengarah Provinsi dan Unit Pelaksana Teknis Provinsi/Kabupaten/ Kota untuk mendorong koordinasi pelaksanaan proyek MCRMP.
1. Tujuan Tujuan MCRMP adalah untuk mencapai pengelolaan berkelanjutan atas sumberdaya dan keanekaragaman hayati pesisir dan laut, dan perlindungan lingkungan dalam kerangka desentralisasi pemerintahan.
2. Kegiatan-kegiatan Kegiatan MCRMP meliputi kegiatan di tingkat nasional, regional dan lokal. Kegiatan di tingkat regional/lokal dilakukan di 15 (lima belas) provinsi dan 45 (empat puluh lima) kabupaten dan kota. Kelima belas provinsi dimaksud adalah: sumatera Utara, sumatera Barat, sumatera selatan, Riau, Bengkulu, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan selatan, Kalimantan Timur, sulawesi utara, sulawesi rengah, sulawesi selatan, sulawesi Tenggara, dan Nusa Tenggara Barat. Dalam perjalanan pelaksanaannya, beberapa kabupaten mengundurkan diri dari partisipasi mereka pada proyek MCRMP. saat ini, kabupaten/kota peserta MCRMp berdasarkan provinsinya tercatat sebagai berikut : -49-
Provinsi/Kabupaten/Kota
No.
Provinsi/Kabupaten/Kota
Provinsi Sumatera Utara a. Langkat b. Deli Serdang c. Asahan
9.
Provinsi Nusa Tenggara Timur a. Kupang b. Timor Tengah Utara c. Kota Kupang
2.
Provinsi Sumatera Barat a. Kota Padang b. Pesisir Selatan c. Padang Pariaman
10.
Provinsi Nusa Tenggara Barat a. Kota Mataram b. Lombok Barat c. Sumbawa
3.
Provinsi Riau a. Indragiri Hilir b. Rokan Hilir c. Bengkalis
11.
Provinsi Selawesi Selatan a. Pangkejene Kepulauan b. Maros c. Takalar
4.
Provinsi Bengkulu a. Kota Bengkulu b. Bengkulu Selatan c. Bengkulu Utara
12.
Provinsi Sulawesi Tengah a. Donggala
5.
Provinsi lambi a. Tanjung Jabung Timur b. Tanjung Jabung Barat
13.
Provinsi Sulawesi Utara a. Bolaang Mongondow b. Kota Bitung c. Minahasa
6.
Provinsi Kalimantan Barat a. Pontianak b. Ketapang
14.
Provinsi Su lawesi Tenggara a. Kendari b. Buton c. Muna
7.
Provinsi Kalimantan Tengah a. Kapuas b. Kotawaringin Barat c. Kotawaringin Timur
15.
Provinsi Corontalo a. Corontalo b. Boalemo
8.
Provinsi Kalimantan Timur a. Kota Tarakan
No.
1.
b. Poso c. Parigi Moutong
-50-
Seluruh kegiatan, baik di tingkat nasional maupun regional atau lokal, dikemas dalam 4 (empat) komponen utama, yakni: o Perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir dan perairan laut (mulai dari rencana strategis, tata ruang dan zonasi, rencana pengelolaan, dan rencana aksi). Data spasial dan pengelolaan informasi sumberdaya kelautan untuk menunjang pembangunan pesisir dan laut yang terdiri atas: - Survei dan pemetaan - Teknologi informasi - Prasarana data spasial - Jaringan informasi keanekaragaman hayati nasional (Notionol Biodiversity lnformotion Network - NBIN) Kerangka hukum dan pengaturan sektor kelautan daerah. Program pengelolaan sumberdayaalam skala kecil di tingkat lapangan.
.
. .
3. Mitra Dalam pelaksanaannya, MCRMP menjalin hubungan kemitraan yang erat dengan lembaga pemerintah seperti Bappeda Provinsi dan Kabupaten/Kota, Bapedalda, Dinas Perikanan dan Kelautan, Dinas Kehutanan, Dinas Pariwisata, dan Dinas Perindustrian. MCRMP juga bekerja sama dengan perguruan tinggi, dunia usaha, LSM, masyarakat, dan media massa.
4. Pencapaian per Komponen Mengingat MCRMP saat ini masih dalam tahap pelaksanaan awal, maka pencapaian target akhir masih menunggu pelaksanaan kegiatan-kegiatan pada tahun-tahun yang sedang berjalan dan akan datang. Namun demikian, secara umum telah dicapai beberapa hasil awal. Di bawah ini adalah hasil-hasil yang diharapkan akan dicapai oleh MCRMP pada akhir pelaksanaan proyek, berikut beberapa capaian awalyang telah dihasilkan. K0MPONEN A: Perencanaan dan Pengelolaan sumberdaya pesisir
dan [aut. Pada akhir pelaksanaan proyek, komponen ini diharapkan mencapai hasil-hasil
sebagai berikut:
-
5t
-
o
. . .
Semakin terlatihnya (pengetahuan dan ketrampilan) staf di 15 provinsi dan 43 kabupaten/kota dalam perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir terpadu (lntegroted Coostol Zone Plonning and Monogement - ICZPM). Tersusun dan ditetapkannya tata ruang kawasan prioritas (Marine ond CoostolMonogement Areo - MCMA). Diperolehnya input stakeholders dan partisipasi publik dalam setiap penetapan tata ruang kawasan pesisir dan laut di daerah. Tersusunnya dokumen rencana strategis, tata ruang dan zonasi, rencana
pengelolaan, dan rencana aksi. Beberapa kegiatan penting telah dilakukan dalam komponen ini. Di antaranya adalah kegiatan perekrutan tenaga konsultan internasional maupun domestik, baik yang ditempatkan di pusat maupun daerah. Kegiatan pendidikan dan pelatihan juga dilakukan baik di tingkat pusat maupun daerah. Pelatihan di tingkat pusat telah diikuti oleh lebih dari 120 peserta dengan materi yang meliputi paket-paket pengelolaan wilayah pesisir terpadu, paket perencanaan konservasi sumberdaya pesisir dan laut, dan paket pengadaan barang dan jasa. Paket pelatihan lntegrated Coastol Zone Plonning ond Monogemenf (ICZPM) yang dilakukan di tingkat daerah telah dilakukan di hampir seluruh provinsi dan kabupaten/kota dengan jumlah peserta lebih dari 800 orang dari unsur Pemerintah Daerah, ORNOP, dan DPRD. Pencapaian penting lainnya dalam komponen ini adalah penyusunan rencana strategis (RENSTRA) pengelolaan wilayah pesisir provinsi dan kabupaten/kota peserta MCRMP. Beberapa halyang perlu untuk dilakukan dalam waktu dekat antara lain adalah: (a) menyusun panduan penyusunan rencana strategis, rencana zonasi, rencana pengelolaan, dan rencana aksi; (b) mengupayakan legalitas ICZPM dalam perencanaan; (c) membangun mekanisme dan forum konsultasi publik; dan (d) need assesment untuk training jangka pendek dan perencanaan untuk degree troining.
KOMPONEN B: Data Spasial dan Manaiemen Informasi. Pada akhir pelaksanaan proyek, komponen ini diharapkan mencapai hasil-hasil
sebagai berikut: o Tersusunnya kebutuhan data dan informasi bagi penyusunan tata ruang, termasuk peta-peta dasar dan tematik sesuai dengan kebutuhan. Terlatihnya staf provinsi dan kabupaten/kota dalam penggunaan Geogrophic lnformation System (G15) dan lnformotion Technology (lI). Staf telah mampu
.
-52-
. .
mengoperasionalkan CIS dan lT dalam rangka mendukung perencanaan serta pengambilan keputusan pembangunan pesisir dan laut.
Bappeda/Dinas mampu menggunakan dan memanfaatan Pusat Data Provi nsi/ Ge og ro p hi c I nf o r motion System (P D P/C S). Terbentuknya PDP yang dilengkapi dengan peralatan pendukung cls. PDP berfungsi dengan baik sesuai dengan tujuan pembentukannya. I
Paket-paket pelatihan tingkat nasional yang meliputi pengembangan sistem informasi geografis (cls), teknologi komputer/LAN, dan manajemen data dasar telah dilakukan dan diikuti oleh lebih dari 100 peserta dari provinsi dan kabupaten/kota. Bakosurtanal telah selesai memimpin kegiatan studi banding ke Inggris dan telah mengirim 5 (lima) orang staf untuk mengikuti studi jangka panjang dalam rangka kegiatan utama Inventarisasi dan Analisis Informasi Wilayah Pesisir. LlPl telah membeli peralatan komputer dan melakukan pelatihan pengembangan situs web tingkat lanjut guna menunjang berfungsinya Jejaring Nasional Keanekaragaman Hayati (Notionol Biodiversity lnformotion Network - NBIN). Penyediaan data dasar dan tematik spasial lokasi MCMA masih dalam tahap penyelesaian proses pelelangan dengan pihak ketiga. Beberapa kegiatan yang perlu dilakukan di waktu mendatang antara lain: (a) optimalisasi pendayagunaan sumberdaya bidang teknologi informasi dan data spasial; (b) penyusunan konsep pembangunan pusat data spasial di provinsi; (c) penataan kelembagaan pengembangan informasi, data spasial, dan NBrN, khususnya untuk sumberdaya kelautan dan pesisir; serta (d) penyusunan pedoman quolity controlstandarisasi data dan informasi.
KOMPONEN C: Penguatan dan Penegakan Kerangka Hukum.
proye( komponen ini diharapkan mencapai hasil-hasil sebagai berikut: Tersusunnya rencana/rekomendasi konkrit peningkatan perangkat hukum dan peraturan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Terakomodasinya hak-hak adat dan ulayatdalam penyusunan perda. Diakuinya hak-hak adat atas kepemilikan dan hak atas qanti rugi karena hilangnya sumberdaya pesisir dan laut. Pada akhir pelaksanaan
.
. '
Pelatihan legal drafting telah dilakukan di seluruh provinsi dan kabupaten/kota lokasi MCRMP dengan jumlah peserta melebihi 230 orang. Hampir seluruh provinsi telah melakukan telaah peraturan perundangan daerah yang terkait -53-
dengan pengelolaan wilayah pesisir dan laut, serta menyusun draft Perda. Hampir seluruh kabupaten/kota telah menyelesaikan lokakarya partisipasi publik dan lokakarya antarsektor. Untuk masa mendatang, perlu dilakukan asistensi kepada provinsi yang belum menyelesaikan draft Perda pengelolaan wilayah pesisir dan kabupaten/kota yang belum menyelesaikan draft naskah akademik mereka. Selain itu, revisidraft Perda yang belum sesuai perlu dilakukan, termasuk dalam hal akomodasi terhadap hak ulayat/adaf dan memantapkan mekanisme koordinasi di daerah.
KOMPONEN D: Investasi Skala Kecil Pengelolaan Sumberdaya Pesisir
dan [aut. Pada akhir p'elaksanaan proyek, komponen ini diharapkan mencapai hasil-hasil
sebagai berikut: o Teridentifikasinya pola-pola/skema investasi bagi: (a) pengelolaan sumberdaya perikanan; (b) peningkatan lingkungan hidup; (c) peningkatan sosialekonomi masyarakat pesisir. Teridentifikasinya taman nasional laut yang perlu dikelola di kawasan
.
MCMA. Dalam rangka melakanakan komponen ini, sebanyak 38 (tiga puluh delapan) kabupaten/kota telah menyampaikan proposal penelitian terapan (adoptive reseorch), dan 26 (dua puluh enam) di antaranya sudah disetujui. Sebanyak 39 (tiga puluh sembilan) kabupaten/kota telah menyampaikan proposal skema investasi skala kecil dan seluruhnya telah disetujui. Sebagian dari skema skala kecil ini telah selesaidilakanakan, sementara sebagian lainnya tengah dalam tahap pelakanaan. Skema skala kecil meliputi berbagai kegiatan, termasuk: (a) rehabilitasi ekosistem mangrove, terumbu karang, dan rumput lau! (b) pengendalian polusi, sedimentasi, dan erosi; (c) pengembangan mata pencaharian alternatif; (d) penetapan kawasan taman laut dan perlindungan lau! dan (e) pelakanaan pemantauan, pengendalian, dan pengawasan berbasis masyarakat. Untuk masa mendatang, perencanaan skema skala kecil hendaknya didasarkan pada hirarki ICZPM dan dilakukan dengan melibatkan parsipatisi stakeholders secara lebih luas dan mendalam. Hal ini dimaksudkan agar kegiatan-kegiatan skema skala kecil tersebut dapat menghasilkan pendapatan tambahan masyarakat dengan tetap melindungi sumberdaya pesisir dan lautan.
-54-
Tffi*.'{ n#SJqiP ;. -.;;=*m**-
MCRIAP berupoyo meningkotkon kesejohteroon masyorokot di deso-deso pesisir melolui investosi skclo
kecil
Sumberdayo olom di deso-deso pesisir mernedukon perenconoon don pengeloloon secoro berkelonjuton
-55-
Budidoyo Kepiting di Tanjunglobung Jombi
Soloh sotu sudut deso nelayon
-56-
Sosiolisosi progrom kepodo mosyorokot
di Tonjung Jobung Jombi
Progrom oir bersih di deso Tonjung Jobung Timur, Jombi
-57
-
C. PROGRAM REHABILITASI DAN PENGELOLAAN TERUMBU KARANG (Corol Reef Reh obilitotion ond Monogement Progrom
- CoREMAP) Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang atau CoralReef Rehabilitation ond Monogement Progrom (COREMAP) merupakan program yang diprakarsai oleh Pemerintah Indonesia dan beberapa lembaga donor (AusAid, GEF dan World Bank, ADB). Program ini bertujuan merehabilitasi kondisi terumbu karang lndonesia, sekaligus menyusun format pengelolaan ekosistem terumbu karang nasional yang implementatif dan berkelaniutan. Strategi yang ditempuh oleh program meliputi: (1) desentralisasi kewenangan; (2) peningkatan kesadaran masyaraka! (3) pengembangan kelembagaan; (4) pemberdayaan masyarakat dalam sistem pengelolaan; (5) pengembangan peluang ekonomi masyaraka! (6) pemanfaatan sumberdaya berkelaniutan; dan (7) dukungan
ilmiah. Program ini berdurasi 15 (lima belas) tahun yang terbagi dalam 3 (tiga) tahapan utama, yaitu Tahap l: Inisiasi (1998-2003), Tahap ll: Akselerasi (20032008), dan Tahap lll: lnstitusionalisasi (2008-2014). Dalam Tahap l, program ini menititikberatkan pada pengembangan kerangka dasar sistem pengelolaan terumbu karang di lokasi prioritas, dengan komponen-komponen sebagai berikut (1) Pengelolaan Program; (2) Kebijakan dan Strategi dan Kerangka Hukum; (3) Komunikasi Masyaraka! (4) Pengelolaan Berbasis Masyaraka! (5) Pemantauan, Pengendalian, dan Penegakan Hukum; (6) Pusat lnformasi dan Pelatihan Terumbu Karang; dan (7) Pengembangan Kelembagaan. Program ini ditargetkan dapat melibatkan berbagai pihak yang terkait secara aktif, baik dari unsur pemerintah, nonpemerintah, maupun masyarakat. Saat ini, implementasi tahap lnisiasi COREMAP telah hampir selesai dilaksanakan di beberapa lokasi, yaitu Kabupaten Biak Numfor-Papua, Selayar-Sulawesi Selatan, Kepulauan Riau-Riau, Sikka-Nusa Tenggara Timur, dan pada tingkat nasional. Program Tahap ll (Akselerasi) yang bertujuan untuk memperluas sistem p-ngelolaan terumbu karang akan mulai digulirkan di lebih banyak lokasi di berbagai provinsi Indonesia, yaitu Sumatra Utara, Sumatra Baraf Riau, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur, dan Papua. Dari segi kelembagaan, terdapat perubahan peran institusi pelaksana, yaitu dari LlPl (Lembaga llmu Pengetahuan Indonesia) ke Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Ada-58-
pun Tahap lll (Pelembagaan), bertujuan untuk mencapai sistem pengelolaan terumbu karang di lokasi prioritas, telah operasional, terdesentralisasi sepenuhnya pada Pemerintah Daerah, dan telah melembaga.
1. Tujuan Coral Reef Rehabititation and Manogement Progrom (COREMAP) memiliki dua tujuan utama, yaitu untuk: Memperkuat kapasitas kelembagaan dalam pengelolaan terumbu karang di tingkat nasional, daerah, dan lokal; Merehabilitasi, melindungi, dan mengelola ekosistem karang, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat yang melestarikan terumbu ka-
.
.
ran9.
2. Pencapaian Hasil per Komponen Kegiatan Tahap l. Dalam Tahap | (lnisiasi) COREMAP melaksanakanT (tujuh) komponen program dengan hasil-hasil sebagai berikut:
a. Pengelolaan Program Di tingkat nasional, LIPI berperan sebagai instansi pelaksana (executing agency). Pengelolaan program berada di bawah tanggung jawab Kantor Pengelola Program yang dipimpin oleh seorang direktur dan dibantu oleh sekretaris, asisten direktur 1-4, dan pimpro. Pengelola program mendapat arahan dan dukungan teknis dari Komite Pengarah dan Komite Teknis. Di tingkat daerah, pengelolaan program dilakukan oleh Kelompok Keria (Pokja) Provinsi untuk Provinsi Sulawesi Selatan, Riau, Papua, dan Nusa Tenggara Timur, dan Kelompok Kerja (Pokja) Kabupaten untuk Kabupaten Selayar, Kepulauan Riau, Biak Numfor, dan Sikka. Kelompok Kerja Provinsi dan Kabupaten meliputi wakil-wakil dari instansi pemerintah terkait, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan masyarakat sendiri. Pencapaian penting di bawah komponen ini adalah telah dirampungkannya Naskah Kebijakan dan Strategi NasionalTerumbu Karang untuk Indonesia.
-59-
b, Kebijakan dan Strategi dan Kerangka Hukum Penyusunan Naskah Kebijakan Nasional Terumbu Karang secara partisipatif telah dirampungkan. Naskah Kebijakan Nasional ini telah diserahkan kepada DKP dan instansi terkait pada tanggal 22 Februari 2002 sebagai bahan penyusunan qcsdemic dralt (Naskah Akademik) guna penyusunan suatu produk hukum nasionalyang mengikat. Beberapa kegiatan lain juga telah dilakukan, termasuk legol review, legal droft legislasi dan regulasi, judicial seminar dan training, serta advokasi Rancangan Perda (Ranperda). Sejumlah 19 draft legislasi dan regulasi diserahkan kepada DKP pada tanggal 18 Oktober 2000.
c. Komunikasi Masyarakat Salah satu komponen COREMAP yang paling berhasil adalah komunikasi ma-
syarakat tentang terumbu karang. Tujuan utama dari komponen ini adalah: (1) Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang sumberdaya laut/terumbu karang; (2) Meningkatkan pengetahuan dan peran aktif masyarakat dalam pengelolaan terumbu karang; dan (3) Mengupayakan dukungan dari seluruh pemangku kepenti nga n (stokeholders), termasuk pemerinta h, pa rlemen, pemuka masyarakat LSM, perguruan tinggi, dan dunia usaha. Kegiatan-kegiatan dalam komponen iniyang telah dilakukan dengan baik di antaranya adalah: Kampanye nasionalyang diluncurkan oleh Presiden dan Wakil Presiden pada tanggal 21 Februari 2000; Peluncuran logo "SeKarang!" dan Maskot "Uka & lki"; Kampanye pada tingkat lokal di Kabupaten Kepulauan Riau, Selayar, BiakNumfor, dan Sikka; Television spot "Anak Laut"; Rodio spot "Selamatkan Terumbu Karang," dengan berbagai versi lokal; Seri feoture TV, tolkshow TV; Billboord compoign; o Pameran portabel di berbagai even; o Partisipasi para seniman, alim ulama, gUru, tokoh adat, pemuka masyara-
. . .
. , . ,
r . . o
. .
kaU
Buku, brosur, poster, CD, VCD, T-Shirts; Pemberitaan di berbagai media cetak dan elektronik; Lomba gambar dan permainan interaktif bagi anak sekolah; Pelatihan bagi para guru; Anugerah Terumbu Karang; Forum Mata Buka (Masyarakat Pecinta Terumbu Karang);
-60-
.
c
Permainan interaktif "Aku dan Terumbu Karangku" ; "Cleon-up the World' .
Hasil survei tentang kampanye selamatkan terumbu karang
di lima kota besar
lndonesia (f akarta, Surabaya, Medan, Bandung, dan Semarang) yang dilakukan oleh AC Nielsen menunjukkan bahwa tingkat kesadaran masyarakat mengenai terumbu karang meningkat sangat signifikan dalam kurun waktu Februari 2000 sampai dengan Agustus 2001. Hasil survei dampak komunikasi di lokasi COREMAP yang dilakukan oleh TN Sofres - John Hopkins University menuniukkan: (1) 630/o dari masyarakat umum dan 71o/o dari masyarakat desa sadar tentang
kampanye SeKarang!; (2) i2% dari masyarakat umum dan 71o/o dari masyarakat desa sadar akan adanya program COREMAP ; (3) Makin tinggi kontak (exposure) seseorang terhadap kegiatan komunikasi, makin tinggi dampak pada pengetahuan, sikap, motivasi, dan keterlibatan dalam program; (4) Dampak komunikasi lebih besar pada masyarakat umum dibandingkan dengan masyarakat desa (akibat perbedaan akses terhadap media massa); (5) Semua lokasi mengalami dampak positif dari kampanye komunikasi, tetapi dampak keseluruhannya paling besar terjadi di Riau (akibat akses media yang lebih besar dan dukungan LSM yang konsisten), sedangkan dampak paling kecil terjadi di Papua. Sefain hal-hal disebut di atas, kampanye SeKarong! meraih Anugerah Kalam Emas (Cold Quitt Award) dari IABC (lnternotional Association of Business Communicators).
d. Pengelolaan Berbasis Masyarakat Tujuan yang ingin diraih oleh komponen ini adalah (a) memberdayakan masyarakat pesisir untuk mengelola sumberdaya terumbu karang dengan teknologi sederhana, teruji, ramah lingkungan dan murah, serta mengembangkan mata pencaharian alternatif; serta (b) mengembangkan dan menguatkan kelembagaan desa. Berbagai kegiatan telah selesai dilakukan di 7 (tuiuh) desa. Sebuah Panduan Pengelolaan Berbasis Masyarakat telah diselesaikan, yang mencakup 4 (empat) aspek, yaitu: (1) Rencana Pengelolaan Terumbu Karang (RPTK); (2) Mata Pencaharian Alternatif; (3) Pembangunan Prasarana Dasar; dan (4) Peningkatan Kapasitas Masyarakat.
- 6t -
Rencana Pengelolaan Terumbu Karang (RPTK) telah dibuat untuk lokasi-lokasi yang dipilih. RPTK meliputi: (a) penataan areal (zonasi); (b) identifikasi dan integrasi hak-hak masyarakat dalam RPTK; (c) penetapan peraturan pemanfaatan sumberdaya terumbu karang; (d) penetapan sistem pemecahan konflik; (e) penetapan program konservasi dan rehabilitasi terumbu karang; dan (f) penetapan sistem pengawasan terumbu karang.
Pengembangan mata pencaharian alternatif, meliputi: (a) jenis usaha; (b) kelayakan usaha; (c) pelatihan; dan (d) kelembagaan, pengelolaan dana. Mekanisme seed funds yang dapat digunakan dalam bentuk dana bergulir untuk mendukung kegiatan ekonomi yang bersifat produktif telah dikembangkan, misalnya pengelolaan kios, budaya rumput laut, karamba apung, dan sebagainya. Pembangunan prasarana dasar didanai dengan village grants yang dapat digunakan untuk berbagai hal seperti: (a) memberikan apresisasi berikut dukungan terhadap partisipasi masyaraka! (b) mendukung kegiatan yang ramah lingkungan; (c) membangun fasilitas umum seperti instalasi listrik pedesaan, penyediaan air bersih, MCK, Pusat lnformasi Terumbu Karang, dan lain-lain.
.
Dalam rangka peningkatan kapasitas masyarakat, telah diselenggarakan serangkaian pelatihan, penelitian, dan monitoring terumbu karang. Selain itu, telah dikembangkan pula sistem informasi terumbu karang.
e. Pemantauan, Pengendalian, dan Penegakan Hukum Agar pengelolaan sumberdaya terumbu karang dapat dilakukan dengan baik, diperlukan dukungan sistem pemantauan, pengendalian, dan penegakan hukum yang operasional. COREMAP telah melakukan upaya untuk mengembangkan sistem pemantauan, pengendalian, dan penegakan hukum, yang telah dilengkapi dengan sistem informasinya. Beberapa kegiatan utama dalam komponen ini adalah sebagai berikut: o Pembentukan unit-unit pemantauan, pengendalian, dan penegakan hukum; o Pengadaan sarana; Pelatihan petugas pelaksana; o Penerapan sanksi hukum negara dan hukum adat; Patroli rutin pemantauan, pengendalian, dan penegakan hukum bersama aparat terkait;
.
.
-62-
. . o
.
,aga karang; Pengembangan sistem informasi untuk mendukung operasi pemantauan, pengendalian, dan penegakan hukum; Pelatihan sistem informasi untuk mendukung operasi pemantauan, pengendalian, dan penegakan hukum; Pengembangan dan penerapan sistem pelaporan untuk menunjang pengelolaan.
f. Pusat Informasi dan Pelatihan Terumbu Karang Terdapat sejumlah kegiatan utama dalam komponen ini, yakni: (1) riset dan monitoring; (2) databose; (3) geogrophic informotion system (ClS); (4) situs web; (5) dokumentasi; dan (6) pelatihan. Kegiatan riset dan monitoring mencakup beberapa subkegiatan, di antaranya adalah: (a) penelitian dan monitoring terhadap ekologi terumbu karang; (b) pengumpulan data sosio-ekonomi tentang terumbu karang; dan (c) penentuan agenda riset daerah.
.
.
o
. .
Kegiatan pembuatan data dasar (datobose) meliputi: (a) pengembangan sistem informasi terumbu karang; (b) pemantauan dan evaluasi manfaat proyek/kegiatan (kesehatan terumbu, sosio-ekonomi, fish landing, pemantauan perikanan berbasis masyarakat atau creel survey; dan (c) pengelolaan meta data. Kegiatan pembuatan Ceogrophic lnformotion System (ClS) meliputi: (a) pembuatan peta dasar terumbu karang seluruh Indonesia; dan (b) pembuatan atlas sumberdaya terumbu karang.
Untuk menyajikan berbagai informasi mengenai COREMAP, telah dibuat situs web dengan alamat wvvw.coremap.or.id. Kegiatan dokumentasi meliputi: (a) dokumentasi segala kegiatan; (b) pemrosesan dokumen, termasuk doto entry, katalog, klasifikasi; dan (c) retrievol system.
.
Sedangkan kegiatan pelatihan mencakup pengembangan jaringan CRITC (Corol Reef lnformotion and Troining Center), baik di tingkat pusat maupun daerah.
-63-
g. Pengembangan Kelembagaan Salah satu indikator keberhasilan proyek atau program pembangunan adalah
pelembagaan hasil yang dikembangkan oleh proyek atau program tersebut. Sejak awal COREMAP mencermati aspek kelembagaan ini. Berbagai kegiatan dilakukan untuk memastikan agar apa yang telah dikembangkan COREMAP dilembagakan oleh para pemangku kepentingan, di antaranya adalah: Mengembangkan komunikasi dengan lembaga-lembaga terkait: lembagalembaga pemerintah, perguruan tinggi, lembaga adat, LSM;
.
. o
.
Membentuk Kelompok Kerja (Pokja) ditingkat provinsidan kabupaten, fasilitator lapangan, motivator desa, pengamat rerumbu karang, dan kelompok masyaraka!
Mengembangkan berbagai jenis pelatihan sesuai kebutuhan: manajemen, pelatihan praktis, hingga pendidikan bergelar 52 di dalam dan luar negeri; Pelatihan AusAid periode 2000-Juni 2003: - jenis pelatihan: 244 - jumlah trqinees: 10.206 - jumlah pelatih: 677
- beasiswa S2lS3:7
-64-
fffi
Beberopo produk
terbiton dolom kamponye progrom Coremop
-65-
Pelotihon jurnolistik
Sosiolisosi kepodo murid sekoloh melolui media permainon
-66-
D. PROYEK PEMBANGUNAN MASYARAKAT PESISIR DAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN (Coastol Community Development ond Fisheries Resource Management - COFISH)
Sebagaimana dimaklumi, isu utama bagi masyarakat pesisir adalah masalah kemiskinan dan penipisan stok sumberdaya perikanan, terutama di perairan pesisir. Untuk mengatasi hal tersebut, Pemerintah melalui Proyek Pembangunan Masyarakat Pesisir dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan (COFISH) telah melaksanakan berbagai upaya dengan pendekatan multisektor dan azas par tisipatif. Upaya-upaya tersebut telah menunjukkan indikasi hasil positif berupa terbangunnya kesamaaan persepsi dan aksi dengan berbagai unsur pemangku kepentingan (stokeholders), khususnya tentang pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis partisipasi dan strategi pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan peranserta mereka dalam mengatasi masalah kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraannya. Proyek ini mulai dijalankan tahun 1998 hingga tahun 2004, dengan Direktorat fenderal Perikanan Tangkap sebagai instansi penyelenggaranya (executing ogency). Proyek ini didanai oleh Pemerintah Republik lndonesia dengan dana pinjaman dari Asion Development Bank (ADB) melalui Loan No. 257011571 (SF) - lNO.
1. Tujuan, Komponen, dan lokasi Kegiatan Tujuan utama Proyek coFlsH adalah mempromosikan pelaksanaan pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis partisipasi dan pengurangan kemiskinan melalui penciptaan kesempatan bekerja/berusaha bagi masyarakat pesisir. Untuk mencapai tujuan tersebut, berbagai aktifitas proyek telah dirancang, yang dikelompokkan menjadi4 (empat) komponen utama, yaitu: a. Pengelolaan sumberdaya perikanan pesisir; b. Pembangunan masyarakat dan pengurangan kemiskinan; c. Perbaikan lingkungan pusat pendaratan ikan; d. Penguatan kelembagaan. Proyek coFlsH dilaksanakan di 4 (empat) provinsi dan mencakup 5 (lima) kabupaten/kota yaitu:
-67-
a. Kabupaten Bengkalis di Provinsi Riau; b. Kota Tegal di Provinsi Jawa Tengah; c. Kabupaten Trenggalek di Provinsi Jawa Timur; d. Kabupaten Banyuwangi di Provinsi Jawa Timur; e. Kabupaten Lombok Timur di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).
2. Capaian Proyek per KomPonen Sejak awal pelaksanaannya pada tahun 1998, Proyek COFISH telah banyak mencapai hasil yang diharapkan. Hasil-hasil yang dicapai hingga April 2004 adalah:
a. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pesisir
.
Komponen ini bertujuan untuk mengatur dan mengelola pemanfaatan sumberdaya perikananan pesisir secara berkelanjutan dan melestarikan habitat ikan melalui pendekatan partisipasi masyarakat. Berdasarkan rancangan Coastql Fisheries Resource Manogement yang dihasilkan bersama berbagai unsur pemangku kepentingan, berbagai kegiatan yang berorientasi pada pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya perikanan pesisir telah dilaksanakan, yang meliputi: (i) perencanaan sumberdaya perikanan yang pelaksanaannya berdasarkan kesepakatan masyaraka! (ii) penetapan witayan perlindungan laut dan suaka perikanan (fish sonctuory); (iii) rehabilitasi dan pengelolaan habitat ikan (hutan bakau dan terumbu karang); (iv) pembangunan terumbu buatan; (v) penebaran benih (re-stocking) pada kawasan fish sonctuory; (vi) pemberantasan dan/atau pengurangan praktik penangkapan ikan yang merusak lingkungan (destructive fishing); (vii) pengurangan kegiatan tangkap pada kawasan padat tangkap, baik melaiui pengalihan kegiatan penangkapan ke kawasan potensial maupun penciptaan mata pencaharian alternatif.
o
Untuk mendukung pencapaian tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan di atas, maka berbagai kegiatan yang terkait dengan pembangunan kepedulian semua pihak mutlak harus dilaksanakan. Oleh sebab itu, Proyek COFISH telah melaksanakan berbagai pelatihan serta mengimplementasikan kampanye lnformotion, Educqtion ond Communicqtion (lEC) melalui media cetak, leofiet, booklet, serta media elektronik radio dan televisi. Materi pengelolaan sumberdaya perikanan juga telah dijadikan sebagai muatan lokal pada SekoIah Dasar dan Sekolah Menengah di lokasi-lokasi proyek.
-68-
Selain kegiatan IEC yang berorientasi pada peningkatan kepedulian, upaya penegakan hukum --baik hukum positif maupun hukum adat (kesepakatan yang dibangun oleh masyarakat)-- juga perlu terus dimantapkan. Dalam hal ini keberadaan 5 (lima) unit kapal inspeksi telah memberikan manfaat yang nyata. Dengan kapal inspeksi tersebut, Dinas Perikanan dan Kelautan mampu melaksanakan berbagai kegiatan di laut yang tidak hanya terbatas pada penegakan hukum, melainkan juga meliputi tugas kemanusiaan seperti penyuluhan dan upaya pertolongan bagi nelayan yang membutuhkan. Sampai dengan April 2004, Proyek telah mencapai beberapa hasil positif sebagai berikut: (i) terwujudnya 6 (enam) suaka perikanan dengan areal sejumlah 342 hektar; (ii) terlaksananya rehabilitasi dan pengelolaan hutan bakau berbasis masyarakat di 7 (tujuh) tempat dengan luas 1.700 hektar - hasil alat tangkap sero di sekitar areal rehabilitasi hutan bakau meningkat dari 2 kg menjadi 8-10 kg per hari; (iii) terlaksananya pembangunan terumbu buatan dengan tingkat tutupan permukaan setelah dua tahun bervariasi antara 5 sampai 15 persen ; (iv) terlaksananya restocking (penyebaran benih ikan di laut) pada 3 (tiga) wilayah perlindungan laut; (v) terbentuknya kesepakatan-kesepakatan masyarakat yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya perikanan pesisir (awig-awig di Lombok Timur); (vi) terbentuknya sistem pengawasan sumberdaya perikanan pesisir berbasis masyarakat (SISWASMAS) sehingga penangkapan ikan dengan potasium dan bom diTeluk Ekas, Teluk Serewe, dan Teluk Jukung di Lombok Timur, serta Teluk Pangpang di Banyuwangi dan Teluk Prigidirrenggalek, oleh masyarakat dilaporkan tidak terfadi lagi.
b. Pembangunan Masyarakat dan Pengentasan Kemiskinan
o
o
Komponen ini bertujuan memberdayakan masyarakat untuk meningkatkan keseiahteraan dan pendapatan mereka. Hal ini dilakukan melalui penciptaan peluang usaha baik di bidang perikanan (non-penangkapan) maupun non-perikanan, sehingga ketergantungan pada usaha penangkapan dapat dikurangi. Rangkaian kegiatan dalam komponen ini terdiri atas: (i) pengorganisasian masyarakat dan persiapan sosial; (ii) implementasi kegiatan ekonomi; (iii) peningkatan/perbaikan prasarana sosial, antara lain akses jalan ke desa nelayan, penyediaan balai pertemuan nelayan, suplai air bersih, dan pos pelayanan kesehatan nelayan. Pengorganisasian masyarakat diupayakan melalui pengelompokan ke dalam unit usaha ekonomi yang berupa kelompok usaha bersama (KUB). untuk -69-
memperkuat posisitawar kelompok ini, berbagai pelatihan telah diselenggarakan, seperti: (i) konsepsi pemberdayaan, pengelolaan koperasi, dan pembangunan pola pikir; (ii) pengelolaan dan pengembangan akses kredi! (iii) pengembangan dan pengelolaan usaha kecil; (iv) diversifikasi pengolahan ikan; dan (v) pemasaran produk perikanan skala kecil.
.
Aktivitas pelatihan ditindaklanjuti dengan pelaksanaan demonstrasi pengembangan dan penganekaragaman sumber mata pencaharian seperti pengolahan ikan dan rumput laut, operasional keramba jaring apung, dan budidaya rumput laut. Selain itu dilaksanakan pula pengembangan akses permodalan, baik melalui proyek maupun dukungan lembaga keuangan nonbank bagi 73 KUB yang telah mendapat pinjaman modal sejumlah Rp 3,7 milyar. Hingga saat ini, Proyek telah membina sekitar 192 KUB dengan jumlah anggota 3.400 orang. Keseluruhan proses pemberdayaan ekonomi masyarakat di atas dilaksanakan melalui kerja sama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
.
Untuk mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat, perlu dilakukan perbaikan dan peningkatan fasilitas prasarana sosial. Perbaikan jalan desa nelayan telah membuka akses pasar hasil tangkapan dan telah meningkatkan harga ikan di desa nelayan, sekaligus mengurangi biaya operasi karena penurunan harga BBM di tingkat juragan BBM; instalasi suplai air bersih telah mengatasi masalah sekitar 30.000 rumah tangga nelayan yang selalu mengalami kesulitan air bersih; pembangunan pos pelayanan kesehatan telah meningkatkan kesehatan nelayan; perbaikan prasarana sosial dilaksanakan di 26 desa dengan jumlah pemanfaat diperkirakan sekitar 26.000 rumah tangga nelayan. Berbagai kegiatan peningkatan fasilitas prasarana sosial ini telah memberikan dampak besar terhadap peningkatan pendapatan nelayan di beberapa daerah. Di Bengkalis, Riau, komponen ini telah menghasilkan dampak sebagai berikut: (a) harga hasil penangkapan nelayan meningkat sampai dengan 33 persen; (b) biaya transportasi orang menurun sebesar 68 persen; dan (c) biaya transportasi barang menurun sebesar 50 persen.
c. Peningkatan Kondisi lingkungan Pendaratan lkan
.
Peningkatan kondisi lingkungan pendaratan ikan ditujukan untuk: (i) meningkatkan sanitasi dan kondisi lingkungan; (ii) meningkatkan kualitas dan harga ikan; dan (iii) mengurangi kerusakan fisik ikan. Aktivitas yang sedang dilaksanakan berupa pembangunan Pusat Pendaratan lkan (PPl) Tegalsari, Tegal dan PPI Prigi, Trenggalek serta rehabilitasi PPI Labuan, Lombok Timur -70-
dan beberapa prasarana pendaratan ikan di Bengkalis. Selain pembangunan PPl, penyediaan sarana penanganan ikan juga dilaksanakan seperti peti dingin (cool box). Aktivitas komponen ini telah mengindikasikan hasil positif yang nyata yaitu: (i) penurunan biaya bongkar ikan di Prigi sekitar 70 persen; (ii) penurunan jumlah ikan yang hilang di Prigi pada saat pembongkaran dari kapal ke darat. Sebelumnya diperkirakan 30 persen muatan kapal ikan hilang, sedangkan kini diperkirakan tinggal 10 persen; (iii) penurunan lama waktu bongkar ikan; (iv) meningkatnya kualitas/mutu fisik ikan; dan (v) terwujudnya proses pelelangan ikan secara teratur.
d. Penguatan Kelembagaan
o
Penguatan kelembagaan pusaf provinsi, dan kabupaten, termasuk unsur pemangku kepentingan lainnya seperti masyarakat, LSM, dan perguruan tinggi, diarahkan demi terciptanya pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pendekatan partisipatif. Dalam kegiatan ini, 133 pelatihan telah difaksanakan, terdiri dari 125 pelatihan dalam negeri dengan peserta 5.354 orang (46Vo pegawai dan 54o/o masyarakat) serta 8 kali pelatihan di luar negeri dengan peserta 1 14 orang (850/o pegawai dan 15 vo mas/arakat). Dengan demikian, jumlah seluruh peserta pelatihan hingga Desember 2003 telah mencapai 5.468 orang.
o
Pada jalur pendidikan formal strata pascasarjana (52), Proyek sedang mensponsori pendidikan 43 orang pegawai Dinas Perikanan dan Kelautan selu-
ruh lndonesia, yakni 22 orang pada lnstitut Pertanian Bogor (lpB) dan
21
orang pada Kasetsart University Bangkok, Thailand.
o Untuk
mendukung pelaksanaan pengelolaan sumberdaya perikanan partisipatif, berbagai kelompok masyarakat telah dibentuk dan diberdayakan. Sebagai contoh adalah berdirinya 8 (delapan) Komite Penasehat Perikanan Kabupaten yang berperan memberikan nasehat dan saran kepada Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten/Kota yang terkait dengan pengambilan kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan pesisir. Sedangkan di tingkat operasional, 40 Kelompok Pengelola Sumberdaya Perikanan Berbasis Komunitas telah memainkan peranan yang sangat signifikan, terutama menyangkut penegakan aturan hukum, baik hukum positif maupun hukum adat (kesepakatan yang dibangun oleh masyarakat setempat dalam rangka pengelolaan sumberdaya perikanan secara bertanggung jawab).
-71
Untuk mendukung alur informasitentang perikanan, maka pada Tahun Anggaran (TA) 2002, telah dikembangkan implementasi Sistem Statistik Perikanan dengan lokasi pilot proyek di Jawa Tengah. Melalui pilot proyek ini, 19 kabupaten di Jawa Tengah diharapkan dapat diakses secara on-line system oleh Dinas Perikanan dan Kelautan di Semarang dan Ditjen. Perikanan Tangkap di fakarta. Apabila uji coba ini memberikan hasilyang baik, maka sistem ini akan direplikasi di 3 (tiga) provinsi lokasi proyek lainnya. Sejalan dengan itu, sebagai bagian dari Fisheries lnformotion System (FlS), pengembangan teknologi Geographic tnformqtion System (Cl5) juga telah dilaksanakan.
Guna mendukung kemampuan laboratorium perikanan untuk melakukan uji antibiotik, Proyek COFISH telah melakukan pengadaan 10 (sepuluh) unit HPLC (High Performance Liquid Chromatogrophy). Peralatan ini telah diserahterimakan dan dimanfaatkan oleh laboratorium yang ditentukan. Sebagaimana diketahui, koordinasi merupakan hal yang sangat penting dalam pengelolaan sebuah proyek. Oleh karena itu, proyek secara teratur menyelenggarakan pertemuan koordinasi di tingkat pusat oleh Proiect Coor' dinating Committee (PCC) dan Kelompok Keria (Pokia) dan di tingkat daerah melalui LocolProject Advisory Committee (LPAC), serta di tingkat masyarakat dalam bentuk pertemuan dan operasional para pemangku kepentingan.
3. Penutup Dari perspektif dimensi sosial, Proyek COFISH telah memberikan manfaat yang sangat signifikan dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat pesisir. Dalam hal ini, partisipasi aktif masyarakat mulai tahap perencanaan hingga pelaksanaan berbagai aktivitas dan tumbuhnya rasa kepemilikan terhadap keluaran yang dihasilkan merupakan hal yang amat penting. Kondisi demikian akan memudahkan semua pihak mengadakan penilaian manfaat berbagai kegiatan proyek bagi masyarakat berdasarkan tujuan yang telah ditentukan.
-72-
Terumbu karong yong sehot menyediokon sumberdoyo perikonon yong lestori bogi mosyorokat
1
E @
s I trrui
I .f.yJi.r.J rlt. ii*:.=lilm
"-
l
i{;;: Dtgtu .AtllhjtitFL]
Soloh sotu komponen C1FISH bertujuon untuk meningkotkon kesejohteroon mosyorokat neloyon
-73
-
Kowoson budidoyo di Teluk Ekos, Lombok
Iimu4 Nuso Tenggoro Borot
-74
-
Lokosi Budidoyo diTeluk Ekos, [om-
bokTimur, Nuso Tenggoro Borot
Pelobuhon neloyon di
futunompor, Nuso lenggoro
furot
-75-
E. PROGRAM PANTAI DAN LAUT LESTARI Program Pantaidan Laut Lestaridifasilitasi oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Pelaksanaan program ini didanai oleh Pemerintah Daerah dan/atau lembaga donor. Program ini mempunyai misi untuk melestarikan fungsi ekosistem pesisir dan laut sehingga dapat teriadi hubungan yang seimbang, serasi, dan selaras antara manusia dan lingkungannya, yang dapat mendukung pembangunan berkelanjutan di wilayah pesisir, serta meningkatkan kapasitas kelembagaan, pendapatan, dan kemampuan sumberdaya manusia, berikut sarana dan prasarananya, baik di pusat maupun daerah.
Misiyang bersifat umum tersebut dijabarkan menjadi misi-misiyang lebih rinci sebagai berikut: a. Membangun kebersamaan dan keterpaduan antara instansi pemerintah, swasta, lembaga nonpemerintah, dan masyarakat dalam pengelolaan pesisir dan laut secara terpadu dan pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan; b. Mendorong digunakannya secara konsisten prinsip dan prosedur pengelolaan pesisir dan laut secara terpadu serta good environmental governonce (tata prafa lingkungan) dengan memperhatikan tata ruang, kapasitas kelembagaan, serta konservasi sumberdaya alam; c. Melakukan pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan sehingga perairan pesisir dan laut yang bersih, bebas dari sampah, minyak, dan ienis limbah padat lainnya dapat terwujud dan fungsi ekosistem pesisir dan laut dapat terlestarikan; d. Meningkatkan fungsi koordinasi antara instansi terkait dan semua stake' holders sehingga terwujud hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang antara manusia dan lingkungannya, yang dapat mendukung pembangunan berkelanjutan di wilayah pesisir; e. Meningkatkan kapasitas kelembagaan, kemampuan sumberdaya manusia, serta sarana dan prasarana dalam pelaksanaan program, baik di pusat maupun di daerah.
l. Tujuan Berdasarkan visi dan misi tersebut di atas, maka tujuan rinci Program Pantai dan Laut Lestari adalah sebagai berikut:
-76-
a. Meningkatnya kualitas pengelolaan pesisir dan laut secara terpadu, sehingga mutu perairannya dapat terjaga dengan baik serta tidak terjadi pencemaran dan kerusakan lingkungan; b. Menurunnya beban pencemaran yang masuk ke wilayah pesisir, melestarikan hutan mangrove, terumbu karang, dan mencegah terjadinya abrasi pantai; c. Meningkatnya daya guna dan hasil guna wilayah pesisir melalui langkah tindak yang nyata, jelas, serta dapat diukur tingkat keberhasilannya sehingga pendapatan masyarakat dan daerah dapat ditingkatkan; d. Meningkatnya kapasitas kelembagaan dan sumberdaya pengelola program serta terakomodasinya sumberdaya ilmiah dan sistem informasiyang efektif dalam pelaksanaan program secara terpadu; e. Meningkatnya fungsi wilayah pelabuhan, wilayah pantai wisata, wilayah industri, serta berkembangnya investasi yang tidak merusak lingkungan sehingga pembangunan yang berkelaniutan dapat terwuiud; f. Meningkatnya kepedulian serta keberdayaan masyarakat dan stokeholders terkait sehingga dapat berperan secara aktif dalam program pengelolaan pesisir dan laut secara terpadu.
2. Kegiatan-kegiatan Seluruh kegiatan Program Pantai dan Laut Lestari dapat dikategorikan dalam empat komponen utama, yaitu: Program Bandar Indah, Program PantaiWisata Bersih, Program Mangrove Lestari, dan Program Terumbu Karang Lestari. Masing-masing komponen dapat mencakup berbagai kegiatan, yaitu: a. Inventarisasi dan identifikasi masalah; b. Peningkatan daya guna dan hasil guna; c. Penurunan beban pencemaran dari limbah industri, kegiatan kapal, dan domestik; d. Konservasi biota yang dilindungi; e. Pelibatan dan pemberdayaan masyarakat dan stakeholders lainnya; f. Penanganan abrasi pantai; g. Penanganan sedimentasi; h. Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan.
3. Hasil yang Diharapkan Hasil-hasil yang diharapkan dapat dicapai oleh Program Pantai dan Laut Lestari
adalah sebagai berikut: -77
-
a. Meningkatnya kualitas perairan wilayah pesisir pada lokasi kerja Program Pantai dan Laut Lestari, termasuk perairan pelabuhan, hutan mangrove, terumbu karang, pemukiman, industri, dan lokasiwisata, yang meliputi: Menurunnya beban pencemaran yang masuk ke perairan pesisir, baik secara langsung masuk ke perairan pesisir maupun melalui sungai, saluran, atau selokan. Meningkatnya kemampuan kapasitas konservasi perairan pesisir.
r .
b. Meningkatnya daya guna dan hasil guna wilayah pesisir, meliputi: o Berfungsinya wilayah pantai sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga dapat mendukung ekosistem pesisir, misalnya: ketentuan 200 meter dari pantai ke arah daratan berupa hutan
.
mangrove @reen belt). Meningkatnya daya guna dan hasil guna wilayah pantai bagi kepentingan umum, misalnya untuk obyek wisata, budidaya ikan, dan lain-lain.
c. Meningkatnya sumberdaya dan kapasitas kelembagaan untuk mendukung pelestarian ekosistem pesisir, meliputi: Dikeluarkan dan ditegakkannya ketentuan serta peraturan perundangundangan di tingkat nasional, daerah provinsi, dan daerah kabupaten/ kota, yang mendukung pelestarian fungsi ekosistem pesisir dan laut sehingga terdapat kepastian hukum bagi semua pihak. Dilakukannya pengorganisasian pelaksanaan Program Pantai dan Laut Lestari yang efektif dan efisien dengan melibatkan semua stokeholders yang ada. Hal ini mengingat bahwa masalah yang terjadi di pesisir banyak menyangkut dua atau lebih daerah kabupaten/kota dan melibatkan beberapa instansi pemerintah, antara lain Dinas Perhubungan, Administratur Pelabuhan, Dinas Perikanan dan Kelautan, Dinas Kehutanan, Dinas Pariwisata, Dinas Pekerjaan Umum, dan Dinas Kebersihan. Disusun dan ditetapkannya program pengelolaan pesisir terpadu yang
.
.
.
. r .
dikemas dalam Program Pantai dan Laut Lestari Terpadu pada tingkat daerah oleh Pemerintah Daerah, dengan melibatkan semua stokeholders dan pihak lain yang berkepentingan dengan wilayah pesisir. Tersedianya dana yang proporsional dengan program yang telah dibuat dan disesuaikan dengan kemampuan daerah, serta tumbuhnya dorongan untuk mendapatkan bantuan luar negeri yang sifatnya hibahl gront. Ditingkatkannya kemampuan personil pengelola program dan kapasitas kelembagaan mereka. Terwuiudnya sistem informasiyang baik dan data yang akurat serta selalu diperbaharui sehingga laporan berkala serta publikasi yang lengkap dan -78 -
benar tentang upaya pengendalian kerusakan dan pencemaran wilayah pesisir dapat disusun.
d. Dilibatkannya masyarakat, LSM, narasumber Dewan Perwakilan Rakyat Tingkat Provinsi, Kabupaten lKota, dan stokeholders lainnya, mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan program, hingga pengawasan dan evaluasi, serta dilakukannya pelatihan dan penyuluhan yang terprogram dalam rangka pemberdayaan masyarakat.
4. Lokasi Daerah yang diikutsertakan dalam program pengelolaan pesisir dan laut secara terpadu (Program Pantai dan Laut Lestari) adalah sebagai berikut:
No. Provinsi/Kabupaten/Kota
No. Provinsi/Kabu paten/Kota
1. Provinsi Bali 2. Provinsi fawa Timur 3. Provinsi Jawa Tengah 4. Daerah lstimewa Yogyakarta 5. Provinsi Jawa Barat 6. Provinsi Banten 7. DKI fakarta 8. Provinsi Sumatera Barat
21. Kabupaten Cilacap 22. Kota Padang 23. Kabupaten Bantul 24. KoIa Surabaya 25. Kota Makassar 26. Kabupaten Lampung 27. Kota Cilegon 28. Kota Balikpapan
Selatan
(l-eluk Balikpapan)
9.
Provinsi Riau
10. Provinsi Lampung 11. Provinsi Kalimantan Barat 12. Provinsi Kalimantan Tengah 13. Provinsi Kalimantan Timur 14. Provinsi Sulawesi Selatan 15. Provinsi Sulawesi Tenggara 16. Kabupaten Sukabumi 1 7. Kabupaten Kendari 18. Kota Denpasar 19. Kota Semarang 20. Kota Batam
29. Kabupaten Pasir Oeluk Balikpapan) 30. Kabupaten Penajam Paser Utara 31. Kabupaten Kutai Kartanegara 32. Kota Tarakan 33. Kabupaten Kepulauan Riau 34. Kabupaten Bandung 35. Kabupaten Gianyar 36. Kabupaten Klungkung 37. Kabupaten Karangasem 38. Kabupaten Pontianak
-79 -
Pelotihon GIS selolu rutin diloksonokon
Kowoson perlindungan di Pasir Lou\ Boli
-80-
Sosio/isosi progrom kepodo
pora pemongku kepentingon (stokeholders)
Peloksonoon progrom pemontouan di kowoson Doeroh Perlindungon
-8t
-
Bagian Keempat PENG ELOLAAN u/I LAYAH PESISI R TERPADU
DI MASA DEPAN
Dari uraian pada Bagian Ketiga di atas, tampak jelas bahwa berbagai kegiatan pengelolaan wilayah pesisir terpadu telah cukup banyak dilakukan di berbagai lokasi di Indonesia dan meraih hasil atau capaian yang penting. Capalan-iapaian yang sangat berarti ini dapat ditemui dalam dokumen evaluasi proyek, baik yang dilakukan oleh pihak ketiga maupun yang dilakukan secara jnternal oleh proyek sendiri. Sebagai contoh, Proyek Pesisir (CRMP) pada usianyayang telah mencapai tujuh tahun pelaksanaan sudah banyak mencapai hasil, baik di tingkat lokal, regional, maupun nasional yang terdokumentasi dalam laporan evaluasi. Proyek Pesisir telah dua kali menjalani evaluasi eksternal, evaluasi paruh waktu, dan evaluasi akhir. Adapun Proyek Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut atau MCRMP, mengingat usianya yang baru menginjak tahun-tahun awal pelaksanaan, belum menimpakkan hasil-hasilnya. Akan tetapi, seperti halnya CRMP, kegiatan MCRMP yang dilaksanakan di 15 provinsi dan 45 kabupaten diharapkan banyak mentapii hasil, baik dalam peningkatan kemampuan kelembagaan di tingkat nasional, regional, maupun lokal. Demikian pula dampak-dampak nyata secara ekologii maupun ekonomis diharapkan dapat tercapai pada lokasilokasi proyek di lipangan. COREMAP telah menyelesaikan pelaksanaan Proyek Tahap i dan telah melakukan evaluasi paruh waktu (mid-term evoluotion) dan evaluasi akhir. Banyak hasil telah dicapai dan berbagai pembelaiaran dapat dipetik dari pelaksanain COREMAP Tahap l. Tentunya, pembelajaran yang diperoleh dalam tahap I ini dimanfaatkan untuk perancangan dan pelaksanaan proyek pada tahap berikutnya. Demikian pula Proyek COFISH telah menuniukkan hasil cukup beiarti dalam komponen-komponen proyeknya. Sementara itu, Program Pantai dan Laut Lestari telah diikuti oleh banyak Pemerintah Daerah, akan tetapi hingga saat ini pelaksanaan programnya belum dievaluasi, sehingga hasilnya belum diketahui dengan Pasti.
-82
-
A. PEIAIARAN DARI PENGATAMAN Dari pengalaman 5 (lima) proyek di atas, beberapa pelajaran berharga mengenai pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dapat ditarik dan dimanfaatkln untuk perancangan proyek berikutnya, di antaranya adalah:
l.
upaya Memenuhi Prinsip Dasar pengelolaan wilayah pesisir Terpadu
Kelima proyek mencoba untuk menerapkan prinsip-prinsip dasar pengelolaan wilayah pesisir terpadu yang meliputi: 1) keterpaduan; 2) desentralisasi pe-
ngelolaan; 3) pembangunan berkelanjutan; 4) keterbukaan dan peran serta masyarakaf dan 5) kepastian hukum, seperti diuraikan pada Bagian Kedua di atas. Hanya dengan pendekatan yang menyeluruh (holistik) hasil optimalyang berkelanjutan dapat diharapkan.
2. Mulai dari Mana? Program atau proyek pengelolaan wilayah pesisir terpadu dapat dimulai dari tingkat lokal (wilayah administrasi di kabupaten/kota dan provinsi atau wilayah ekosistem) atau dari tingkat nasional. Sebagai contoh, CRMp telah membuktikan hal tersebut dengan berbagai uji coba yang berbeda di lokasi yang berbeda-beda pula. Yang harus diingat, dipeilukin keserasian antara program-program yang dilaksanakan di berbagai tingkat pemerintahan tersebut. Namun demikian, tampaknya program pengelolaan wilayah pesisir terpadu dapat mencapai hasil secara lebih efektif apabila dilakulan pada tingkat lokal.
3. Multi-Stqkeholders Salah satu kunci keberhasilan proyek atau program pengelolaan wilayah pesisir terpadu adalah peran dari seluruh pemangku kepentinga n (stakehotder) terkait, terutama para pengelola dan pelaksana program atau proyek. Sumberdaya dan wilayah pesisir merupakan suatu domain dengan banyak pemangku [epentingan. Tanpa keterpaduan dan peran serta optimal dari semua pemangku kepentingan, tujuan dan sasaran pengelolaan pengelolaan wilayah'pesisir ierpadu akan sulit tercapai. Para pemangku kepentingan henda-knya berperan dalam indentifikasi masalah, pencarian alternatif pemecahan ruruluh, penyusunan program, pelaksanaan program, serta evaluasi program.
-83-
.
Visi Sama. Untuk mencapai suatu tujuan, para pemangku kepentingan perlu memilikivisiyang sama tentang tuiuan tersebut dan cara untuk mencapainya. Oleh karena itu, target-target atau performonce indicotor perlu dikembangkan, yang selain realistik iuga harus ielas dan dipahami oleh semua pemangku kepentingan. Jika tidak, maka satu kelompok pemangku kepentingan bisa melemahkan usaha kelompok pemangku kepentingan yang lain.
wilayah pesisir terpadu dapat mencapai hasil yang diharapkan, diperlukan komitmen yang kuat dari masingmasing pemangku kepentingan wilayah pesisir pada semua tingkatan, dari pusat fiinggu lokasi kegiatan. Tanpa komitmen kuat, dana dan upaya tidak akan tenriu'jud atau teigalang untuk mengelola wilayah dan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan.
o Komitmen Kuat. Agar pengelolaan
.
Dukungan politik. Pengalaman beberapa proyek yang telah dilaksanakan
.
Koordinasi. Untuk mengoptimalkan
menunllkkan bahwa dukungan politik dari kepala daerah dan pimpinan dewan sangat menentukan keberlanjutan program pengelolaan wilayah pesisir terpalu. Tanpa dukungan politik dari kedua unsur ini, kesulitan mencari sumber pendanaan demi keberlanjutan program sering teriadi. hasil dari berbagai usaha atau program
pengelolaan wilayah pesisir terpadu, diperlukan koordinasi yang memadai keanta-rpelaku dan intarprogram. Koordinasi yang baik akan mengurangi mungkinan-kemungkinan lumpang tindih program atau saling melemahkan antara program yang satu dengan program lainnya. Dalam kondisisekarang, dengan be'ium terwuluOnya keserasian antar undang-undang sektoral secara optiiral, konflik antarsektor pembangunan sulit yltuf dapat dihilangka.n sama saling sekali. Langkah jangka pendek yang dapat diambil sebagai upaya untuk mendukung dan melengkapi antarsektor ialah melalui penzonaan kegiatan. Selain itu, upaya konsultasi publik dan konsultasi antarsektor pembangunan merupakan iangkah efektif dalam rangka mengatasi perbedaan kepentingan pembangunan di wilaYah Pesisir.
4. Masyarakat sebagai Uiung Tombak baKeberhasilan suatu program, baik jangka pendek maupun ,iangka paniang, Oleh nyak ditentukan oleh mlsyarakat di lokasi kegiatan proyek atau program' kirena itu, peran tasyatikat hendaknya mendapat perhatian yang memadai sejak awal. penyadarin terhadap masyarakat perlu dilakukan oleh tenaga-84-
tenaga profesional di lokasi-lokasi proyek atau program. Masyarakat hendaknya dapat merasakan manfaat suatu proyek atau program secara nyata. Rasa saling percaya antara masyarakat dengan pemangku kepentingan lain harus ditumbuhkan dan dipelihara, agar masyarakat dapat diberdayakan sehingga dapat mandiri dan memiliki rasa memilikiyang tinggi. Pengelola dan pelaksana proyek hendaknya tidak pernah memberikan janji-janji muluk kepada masyarakat yang pada akhirnya tidak dapat dipenuhinya, karena hal demikian akan melunturkan kepercayaan masyarakat terhadap proyek. Mengedepankan masyarakat sebagai ujung tombak pembangunan dan pengelolaan wilayah pesisir terpadu merupakan halyang sesuai dengan konsep dasar pengelolaan wilayah pesisir terpadu yang desentralistik dan berbasis masyarakat. Di dalam masyarakat yang hukum adat masih ditegakkan, peran adat tersebut hendaknya diperhatikan dan bahkan ditingkatkan.
5. Dukungan Riset dan Informasi llmiah Program-program pembangunan sudah selayaknya didukung dengan riset dan informasi ilmiah. Dukungan ilmu pengetahuan dari perguruan tinggi akan mendorong dilakukannya pembaharuan-pembaharuan dalam berbagai hal, termasuk dalam pembuatan strategi dan pendekatan, penentuan teknologi yang sesuai kondisi setempat, dan lain-lain.
6. Transparansi dan Akuntabilitas Proses perencanaan dan pengelolaan sumberdaya pesisir hendaknya mengi-
kuti kaidah keterbukaan (transparansi) dan bertanggung-gugat (akuntabilitas). Proses yang demikian akan menimbulkan kepercayaan (trust) dari masing-masing pemangku kepentingan yang terlibat.
7. Penegakan Hukum Saat ini, penegakan hukum merupakan aspek yang sangat lemah
di lndonesia. Padahal, aspek penegakan hukum merupakan faktoryang sangat penting bagi berhasilnya suatu program pengelolaan sumberdaya. Penegakan hukum hen-
daknya dilakukan secara konsisten. Juga, perlunya pengakuan dan peningkatan peran hukum adat yang ada di lokasi program.
8. Pelatihan Banyak jenis pelatihan dapat dilakukan dalam program-program pembangunan.
-85-
Akan tetapi pelatihan yang terbukti berhasil guna dan berdaya guna optimal adalah pelatihan yang didasarkan pada analisis kebutuhan (demond-driven) dan bukan supply-driven.
9. Pemanfaatan Teknologi Teknologi dapat berperan penting dalam program pengelolaan wilayah pesisir terpadu. Pengalaman menunjukkan bahwa penerapan teknologi yang sesuai kondisi setempat memilikitingkat keberhasilan yang lebih tinggi dibandingkan dengan penerapan teknologi yang kurang memperhatikan kondisi setempat.
B. FAKTOR BERPENGARUH TERHADAP KEBERTANIUTAN
l. Pengertian
Keberlanjutan
Keberlanjutan (susfoinobility) hendaknya diiadikan salah satu tujuan pengelolaan wilayah pesisir terpadu. Hal ini telah diamanatkan dalam deklarasiyang dihasilkan oleh United Notions Conference on Enviornment qnd Development yang diselenggarakan di Rio de Janeiro, Brasil, pada tahun 1992, dengan Indonesia sebagai salah satu pesertanya. Pembangunan berkelanjutan mensyaratkan keserasian antara laju kegiatan pembangunan dan daya dukung (corrying capocity) lingkungan alam - untuk menjamin tersedianya aset sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) yang minimal sama untuk generasi mendatang (Bengen, 2003).
Suatu kegiatan pembangunan dinyatakan berkelanjutan apabila kegiatan pembangunan secara ekonomis, ekologis, dan sosial politik bersifat berkelanjutan. Berkelanjutan secara ekonomis berarti bahwa suatu kegiatan pembangunan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital (copitol mointenonce), dan penggunaan sumberdaya serta investasi secara efisien. Berkelanjutan secara ekologis mengandung arti bahwa kegiatan dimaksud harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan, dan konservasi sumberdaya alam termasuk keanekaragaman hayati (biodiversity), sehingga diharapkan pemanfaatan sumberdaya dapat berkelanjutan. Sementara itu, berkelanjutan secara sosial politik mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pembangunan hendaknya dapat menciptakan pe-merataan hasil-hasil pembangunan, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat (demokratisasi), identitas sosial, dan pengembangan kelembagaan (Bengen, 2003). Dengan -86-
demikian, jelas bahwa konsep pembangunan berkelanjutan hanya bisa dilaksanakan apabila pembangunan harus berorientasi pada kepentingan dan mendapatkan dukungan dari masyarakat yang terkena dampaknya. cambar di bawah menunjukkan kaitan antara keberlanjutan ekologi, ekonomi, dan sosial budaya.
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
TUJUAN EKONOMI
. Distribusi Pendapatan . Penyerapan Tenaga Kerja .
Pertumbuhan/ Efisiensi
.
Pengkaiian Lingkungan
. Valuasi
Sasaran Bantuan
<-' . Peran Peserta . Konsultasi
2. Faktor Keberlanjutan di bawah ini disajikan hasil-hasil temuan dari telaah berbagai dokumen proyek-proyek yang telah dipaparkan sebelumnya serta p.neibitunpenerbitan lain mengenai program pengelolaan wilayah pesisir terpadu, baik di Indonesia maupun luar negeri. selain lima kasus proyek tersebui, terdapat kasus-kasus lain di Indonesia di antaranya kasus di Sulawesi Utara (Taman NaPada bagian
sional Bunaken) dan kasus diJawa Tengah (segara Anakan). Kasus-kasus di dua lokasi terakhir ini terdokumentasi secara rapi di lndonesian Journal of Coqstql qnd Morine Resources, Edisi Khusus, No. I Tahun 2003. Kasus di luar negeri diambil dari buku Cincin-Sain dan Knecht (.|998) yang merangkum p.ngilurun pelaksanaan program pengelolaan pesisir dan lautan terpadu di 5g negara di dunia. selain itu, buku tulisan Beatly et. ol, (2002) dan Clark (1996) m-emuat kasus-kasus internasionalyang menarik. Berikut paparan beberapa temuan menarik yang bisa diambil manfaatnya.
-87
-
a. Kesejahteraan Komunitas Pesisir Christie et. at. (2003) menemukan kasus yang menarik di Taman Nasional Laut Bunaken, Provinsi Sulawesi Utara. Dia membandingkan dua lokasi di Taman Nasional Laut Bunaken, yaitu perairan di selatan Pulau Nain dan perairan Alung Banoa, dan lainnya di sebelah selatan Pulau Bunaken. Ada perbedaan yang cukup signifikan antara dua lokasi ini. Di sekitar Pulau Nain tidak ada zona larang tangkap dan belum terdapat kegiatan pengelolaan kawasan konservasi atau zonasi. Sebaliknya, di Pulau Bunaken telah dilakukan zonasi secara parti-
sipatif dan telah ditetapkan dua zona larang tangkap. Di lokasi ini juga telah lama dilaksanakan program kawasan konservasi oleh Nqtural Resource Management Program (NRMP). Di samping itu, penduduk Pulau Nain dikenal sebagai penangkap ikan ilegal dan pelaku usaha budi daya rumput laut yang kurang memperhatikan kelayakan lingkungan. Hasil studi di dua lokasi menunjukkan bahwa secara umum kondisi terumbu karang dan jumlah ikan di selatan Pulau Nain lebih baik dibandingkan wilayah selatan Pulau Bunaken. Salah satu kemungkinan penyebabnya adalah bahwa penduduk Pulau Nain, walaupun masih meneruskan kegiatan penangkapan ikan, telah memiliki kesibukan lain yaitu budi daya rumput laut yang secara ekonomi menghasilkan tambahan penghasilan keluarga. Dengan demikian, tekanan penduduk terhadap terumbu karang dan komunitas ikan semakin
menurun. Dalam hal penyediaaan jasa dan sarana oleh suatu program pengelolaan pesisir terpadu kepada komunitas pesisir yang tingkat ekonominya kurang memadai, Beatly et. ot. (2002) mengingatkan tentang pengalaman diAmerika Utara yang menunjukkan bahwa faktor pemerataan dan keterjangkauan (equity dan affordobitity) merupakan faktor yang sangat penting terhadap kelanjutan keberhasilan program. Pembangunan rumah-rumah sederhana yang ramah lingkungan dengan harga terjangkau untuk masayarakat pesisir di pantai timur Virginia menunjukkan tingkat keberhasilan yang sangat bagus.
Kenyataan bahwa tingkat ekonomi kumunitas pesisir berpengaruh terhadap usaha pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan mungkin bukan merupakan hal baru. Meskipun demikian, hal yang tampaknya sepele dan jelas ini sering kali diabaikan oleh perencana program dan proyek. Adalah benar ungkapan yang mengatakan bahwa kefakiran berada dekat dengan kekufuran. Oleh karena itu, dalam merencanakan program pengelolaan wilayah pesisir terpadu, para perencana harus secara cermat memperhatikan tingkat ekonomi -88-
komunitas yang tinggal di wilayah pesisir yang akan dibangunnya. Usaha peningkatan taraf hidup mereka hendaknya dijadikan salah satu bagian dari program pengelolaan wilayah pesisir terpadu.
b. Proses Perencanaan dan Pengambllan Keputusan yang Inklusif, Transparan, dan Didukung dengan Pengetahuan llmiah Pollnac et. ol. (2003) dalam penelitiannya yang dilakukan di dua lokasi terpisah, yakni di wilayah Cilacap, fawa Tengah sehubungan dengan Coostol Resources Manogement (CRM) dan Segoro Anqkan Conservotion ond Development Project, dan di Taman Nasional Laut Bunaken di Sulawesi Utara sehubungan dengan Noturol Resource Monagement Proiect (NRMP-l), menemukan bahwa peran serta pihak-pihak yang berkepentingan dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek, baik secara individu maupun bersama-sama, sangat penting sebagai faktor utama penentu keberlanjutan program pengelolaan wilayah pesisir terpadu. Peran serta tidak terwujud dengan sendirinya, tetapi dipengaruhi oleh beberapa hal. Para pemangku kepentingan bersedia untuk berperan serta karena mereka merasa melihat manfaat yang tampaknya akan diperoleh (perceived benefits), pemerataan manfaat dl antara para pemangku kepentingan, dan keberlanjutan manfaat setelah proyek selesai. Karena para pemangku kepentingan berperan serta dalam perencanaan proyek dan merasa memainkan peran dalam membidani lahirnya proyek, maka mereka merasa bahwa proyek tidak dipaksakan dari luar. Dengan demikian, mereka merasa memiliki proyek tersebut. Melalui proses seperti itu, bisa dipastikan bahwa yang disepakati lebih sesuai dengan keinginan anggota masyarakat. luga, peran serta dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek pengelolaan wilayah pesisir terpadu terlihat telah berdampak positif pada peningkatan pem berdayaan masyarakat.
Christie et. ol. (2003) juga mensinyalir bahwa dukungan seluruh pemangku kepentingan wilayah pesisir merupakan faktor penting terhadap keberlaniutan program. Konflik kepentingan, atau bahkan hanya konflik persepsi, di antara konstituen (seperti nelayan, penyelenggara wisata bahari, ilmuwan, pejabat pemerintah, LSM, dan konservasionis) aka,n menimbulkan ketidakpuasan yang berkepanjangan di antara mereka apabila langkah-langkah proaktif tidak segera diambil. Ketidakpuasan dari satu atau lebih konstituen, apabila tidak diselesaikan dengan cara yang bijak, maka dapat berakibat terancamnya keberlanjutan kegiatan pengelolaan wilayah pesisir terpadu, karena mereka akan melanggar kesepakatan yang dibuat atau peraturan yang ada.
-89-
Oleh karena itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa peran serta para pemangku kepentingan dalam pengelolaan wilayah pesisir terpadu, baik secara individu maupun bersama-sama, cenderung berakibat pada kesesuaian kegiatan proyek dengan keinginan mereka daripada kegiatan proyek yang dipaksakan dari luar. Peran serta seperti ini menumbuhkan rasa memiliki di kalangan pihak-pihak yang berkepentingan dan meningkatkan keberdayaan masyarakat pesisir. Perasaan memiliki, dipadukan dengan peningkatan keberdayaan masyarakat pesisir, dan kesesuaian kegiatan pengelolaan wilayah pesisir terpadu dengan kondisi lokal, terlihat berdampak positif pada keberlanjutan kegiatan pengelolaan wilayah pesisir terpadu oleh masyarakat pesisir sendiri setelah proyek selesai. Seluruh proses perencanaan dan pengambilan keputusan mengenai pengelolaan wilayah pesisir terpadu hendaknya didukung dengan informasi ilmiah yang diperoleh melalui riset dan pengalaman empiris. Karena kompleksnya permasalahan di wilayah pesisir, informasi ilmiah sangat diperlukan untuk membantu memahami permasalahan yang ada di wilayah pesisir, dan untuk memberi arah pengelolaan wilayah pesisir terpadu. Kaitan antara lingkungan hidup, sumberdaya alam, dan faktor sosial-ekonomi masyarakat pesisir merupakan hubungan yang sangat kompleks yang memerlukan penjelasan ilmiah dari ilmu-ilmu terkait. Tanpa dukungan informasi ilmiah, mustahil memahami penyebab-penyebab mendasar yang mengakibatkan timbulnya permasalahanpermasalahan di wilayah pesisir. Proses perencanaan dan pengambilan keputusan yang inklusif, transparan, dan
didukung oleh pengetahuan ilmiah ini sebenarnya dirancang untuk mencapai beberapa keluaran penting yang berpengaruh terhadap keberlanjutan kegiatan pengelolaan wilayah pesisir terpadu. Keluaran-keluaran dari proses perencanaan dan pengambilan keputusan ini tampak seialan de-ngan apa yang dijelaskan oleh Bengen (2003) sebagai 6 (enam) parameter berkelanjutan pengelolaan wilayah pesisir terpadu, yakni: (1) sesuai dengan kebiiakan-kebijakan setempat, baik kebijakan formal maupun informal; (2) sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempaf (3) didukung oleh ketersediaan sumberdaya manusia dan kelembagaan; (4) keterlibatan aktif stokeholden (5) memiliki rencana dan program yang jelas; dan (6) memiliki dampak terhadap lingkungan, termasuk sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat setempat. Keenam faktor ini tentu akan menjadi lebih lengkap dengan faktor ketuiuh (7), yaitu dukungan informasi ilmiah. Sievanen (2003), dalam studinya "Komunitas Berpindah dan lmplikasi Keberlanjutan", memberi catatan khusus bahwa wisata bahari sebagai mekanisme -90-
pengenalan modal internasional dan kekuasaan negara justru sering berakibat buruk, yaitu marginalisasi pengguna sumberdaya pesisir yang sebelumnya telah tinggal di lokasi. Dia lebih lanjut berargumentasi bahwa wisata bahari secara inheren memperbesar kemungkinan termarginalisasinya para pengguna sumberdaya pesisir yang telah ada. Oleh karena itu, dia merekomendasikan dua hal. Pertama, perlunya mendefinisikan secara lebih tegas "komunitas" yang hendak dijadikan sasaran untuk diberdayakan oleh suatu program pengelolaan wilayah pesisir terpadu, karena sering dijumpai ketidakjelasan mengenai siapa yang akan diuntungkan oleh suatu program pengelolaan wilayah pesisir terpadu tersebut. Kedua, kemitraan antara sektor publik dan sektor dunia usaha yang saat ini sedang digiatkan dalam rangka pengentasan kemiskinan dan pemba-ngunan lingkungan hidup hendaknya mencakup komunitas yang hidupnya tergantung pada sumberdaya pesisir dan lautan (coostol qnd mqrine-dependent communities), karena sering kali justru merekalah yang termarginalkan.
c. Penutupan Proyek secara Tepat Satu faktor yang tak kalah penting tetapi tampak kecil dan sering terlupakan oleh para penyelenggara program pengelolaan wilayah pesisir terpadu adalah cara penutupan suatu program. Hanson et. ol. (2003) mengatakan bahwa kemampuan untuk mengakhiri proyek kurang lebih sama pentingnya dengan kemampuan memulai kegiatan-kegiatan proyek ("the obility to wind down octivities is qbout as important as the capocity to stort new initiotives in o project that seeks to..." ). Penyelesaian suatu proyek harus benar-benar memperhatikan keberlanjutan dari hasil-hasilyang telah dicapai oleh proyek. fika tidak demikian, bisa jadi suatu proyek yang telah dianggap sangat berhasil, baik dalam pengertian ekologi maupun ekonomi, akan berhenti seperti pasar malam, tidak me-
ninggalkan dampak yang berlanjut.
d. Kerangka Hukum yang Memadai Kerangka hukum dalam pengelolaan wilayah pesisir terpadu berperan amat penting bagi kesuksesan suatu program atau proyek. Patlis (2003) mengatakan bahwa pengelolaan wilayah pesisir sangat memerlukan sistem hukum dan perundangan yang berfungsi dengan baik (..." perhops no field more thon the monogement of coostal resources requires o well functioning legol system for its success.."). Lebih lanjut ia mengatakan, keberlanjutan pengelolaan wilayah pesisir terpadu terhalangi oleh permasalahan sistem (systemic issues) yang berkaitan dengan penyusunan peraturan perundangan (stotutory droft- 9l
ing) serta interpretasi dan pemecahan masalah (interpretotion ond resolution) dilam sistem hukum, terlepas dari penerapan dan penegakan hukum yang sering dijadikan sebagai alasan kegagalan. Hukum hendaknya dapat menciptakan kondisi yang kondusif untuk pengelolaan wilayah pesisir terpadu secara berkelanjutan. Oleh karena itu, kerangka hukum perlu mendapat perhatian dalam keseluruhan proses penyelenggaraan pengelolaan wilayah pesisir terpadu sejak awal hingga akhir. Hal ini dilandasi atas pola pikir bahwa menciptakan sistem terpadu bukan sekadar menyusun undang-undang dan peraturan yang tampak bagus di atas kertas, melainkan lebih pada perancangan norma-norma yang berakar pada kepercayaan masyarakal (" ...creoting on integroted system is not about drofting lows and regulotions thot look good on paprr but rother about designing norms thot ore rooted in people's -beliefs,.,"; De Soto, 2000). Hukum hendaknya juga dilihat sebagai proses pengambilan keputus an (" .,.low is better viewed qs q process for decision moking...,,; Reisman, 1987). Patlis (2003) mengatakan bahwa peran serta menjadi fungsi sistem hukum, transparansi dan akses terhadap informasi menjadi iungsi sistem hukum, demikian pula akses terhadap keadilan dan alokasiyang merata menjadi fungsi sistem hukum. prinsip-prinsip hukum di atas telah diupayakan pelaksanaannya di tiga lokasi di Sulawesi Utara (Blongko, Talise, Bentenan-Tumbak) oleh Proyek Pesisir (CRMP). program pengelolaan wilayah pesisir terpadu di tiga lokasi tersebut dilengkapi dengan perangkat hukum yang memadai mulai dari tingkat desa (Perdes), tinglat kabupiten (Perda Kabupaten), dan tingkat provinsi (Perda Provinsi), yang seluruhnya disusun secara transparan dan partisipatif. Perda Kabupaten Minahasa telah menetapkan prosentase tertentu dari alokasi APBD-nya guna membiayai'program pengelolaan wilayah pesisir terpadu di Kabupaten Minahasa setiap tihunnya. Selain perangkat hukum di tingkat daerah tersebut, kini Pemerintah sedang menyusun rancangan undang-undang pengelolaan wilayah pesisir terpadu secara nasional. Upaya-upaya menciptakan kerangka hukum yang memadai untuk menunjang keberlanjutan pengelolaan wilayah pesisir terpadu juga dilakukan oleh MCRMP di 15 (lima belas) provinsi dan 45 (empat puluh lima) kabupaten di Indonesia. Di provinsi dan kabupaten tersebut kini tengah diusahakan penyusunan peraturan daerah mengenai pengelolaan wilayah pesisir terpadu dengan proses yang terbuka dan partisipatif. Upaya seperti inijuga dilakukan oleh proyek lain
di lokasi berbeda di lndonesia.
-92
-
e. Desain Program yang Fleksibel dan Memuat Prisip-prinsip Pengelolaan Pesisir Terpadu di atas, desain program pengelolaan wilayah pesisir terpadu juga turut berpengaruh terhadap keberlaniutan. Hanson et. ol. (2003) menemukan salah satu faktor yang ikut menentukan keberhasilan Proyek Pesisir (CRMP) di Indonesia, dilihat darivisibilitas dan pengaruhnya, adalah desainnya yang fleksibel yang mampu beradaptasi dengan perubahan sosial politik yang terjadi di sekitarnya. Suatu proyek atau program dapat diumpamakan sebagai sebuah senapan yang didesain untuk menembak suatu sasaran tertentu. Apabila letak sasaran yang akan ditembak berubah, maka senapannya pun harus ikut beradaptasi dengan letak tersebut, agar tembakannya tidak meleset dari sasaran. Jika suatu proyek atau program pembangunan tidak bisa berubah mengikuti perubahan sosial politik yang terjadi di sekitarnya, maka besar kemungkinan proyek atau program tersebut akan gagal memecahkan persoalan yang ingin diselesaikannya. Selain faktor-faktor
Hal lain yang lebih penting adalah bahwa desain program pengelolaan wilayah pesisirterpadu hendaknya memenuhiprinsip-prinsiptertentu. CincinSain (1998) merangkum prinsip-prinsip pengelolaan wilayah pesisir terpadu yang telah disepakati secara internasional, yaitu prinsip pemerataan antargenerasi (intergenerotionol equity), kehati-hatian (precautionary), pencemar
membayar (polluters poy), menyeluruh atau holistik, dan antardisiplin ilmu (interdisciplinory), seperti telah disinggung di atas. Aplikasi prinsip-prinsip ini dalam desain program atau proyek, selain akan membantu keberhasilan program atau proyek tersebut dalam mencapai keluaran-keluaran yang diinginkan, juga akan membantu keberlanjutan kegiatan pengelolaan wilayah pesisir terpadu setelah program atau proyek selesai.
3. Kesimpulan Dari temuan-temuan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat beberapa faktor penting yang berpengaruh besar terhadap keberlanjutan keberhasilan program atau proyek pengelolaan wilayah pesisir terpadu, yaitu sebagai berikut: a. Tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir; b. Proses perencanaan dan pengambilan keputusan yang inklusil partisipatif, transparan, akuntabel, dan didukung dengan informasi ilmiah sebagai pra-93-
syarat untuk menciptakan parameter berkelanjutan pengelolaan pesisir terpadu (P2T), yaitu: kesesuaian dengan kebijakan-kebijakan setempat, baik kebijakan formal maupun informal; kesesuaian dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempa! dukungan ketersediaan sumberdaya manusia dan kelembagaan;
.
. . . . .
keterlibatan aktif para pemangku kepentingan; adanya rencana dan program yang jelas; berdampak terhadap lingkungan, termasuk sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat setempat; dan dukungan riset, informasi ilmiah, dan pengalaman empiris. c. Penutupan proyek secara tePat; d. Kerangka hukum yang memadai; e. Desain proyek yang fleksibel yang memenuhi prinsip-pinsip pengelolaan wilayah pesisir terpadu.
.
Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap keberlanjutan kegiatan pengelolaan wilayah pesisir terpadu yang teridentifikasi di atas diharapkan dapat memberi sedikit manfaat bagi para perencana, pengelola dan pelaksana, serta para pemerhati pembangunan dan pengelolaan wilayah pesisir terpadu.
C. PROGRAM PENGELOLAAN WILAYAH
PESISIR
TERPADU MASA MENDATANG
Bagaimana arah program pengelolaan wilayah pesisir terpadu di masa mendaiang? Pertama, berbagai pembelajaran dari lima proyek/program di atas hendaknya dipakaisebagai bahan pertimbangan dalam merancang dan melaksanakan program di masa depan. Faktor-faktor penting yang berpengaruh terhadap keberlanjutan program pengelolaan wilayah pesisir terpadu hendaknya dimasukkan dalam desain program sejak awal, sehingga program-program di masa depan akan memiliki potensi keberhasilan dan keberlanjutan yang lebih
tinggi. Kedua, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), sebagai institusi koordinatif dalam perencanaan pembangunan nasional di tingkat pusat, tengah mengadakan kajian penyusunan rencana pembangunan jangka panjang di bidang sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Dari hasil kajian sementara, dapat ditarik beberapa arah kebijakan, yang apabila diaplikasikan pada pengelolaan wilayah pesisir terpadu akan dapat membantu meningkat-94-
kan potensi keberhasilan dan keberlanjutan program. Beberapa arah kebiiakan tersebut dapat disarikan sebagai berikut:
. . . . o
.
Pengelolaan wilayah pesisir terpadu perlu memelihara sumberdaya yang ada dan sekaligus meningkatkan kualitas dan kuantitasnya. Pemanfaatan sumberdaya pesisir yang terbarukan harus rasional, optima[, dan efisien, sesuai dengan renewoble levelyang disyaratkannya.
Pemanfaatan sumberdaya pesisir yang tidak terbarukan harus diimbangi dengan upaya untuk mencari sumber alternatif atau bahan substitusi yang lebih ramah lingkungan. Kebijakan industrialisasi dan infrastruktur hendaknya lebih diarahkan pada pemanfaatan sumberdaya yang terbarui. Pemerintah dan Pemerintah Daerah hendaknya melakukan redefinisi dan reorientasi pengelolaan sumberdaya pesisir guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat u mu m. Pemanfaatan su m berdaya pesisir hendaknya diarahkan pada penyejahteraan sebagian besar masyarakat, bukan pada golongan atau kelompok-kelompok tertentu. Seiring dengan hal ini, usaha pengakuan communol property rights atas sumberdaya pesisir perlu dilakukan agar masyarakat lebih berperan dalam usaha pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan. Aspek penegakan hukum merupakan aspek yang sangat penting bagi keberhasilan pengelolaan sumberdaya pesisir terpadu. Oleh karena itu, penegakan hukum perlu mendapat perhatian yang memadai dalam programprogram pengelolaan wilayah pesisir terpadu di masa depan.
-95-
DAFTAR PUSTAKA
Australia-lndonesia Coral Reef Rehabilitation and Management Project (COREMAP). April 2001. Revised Design Document. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). 2003. Kajian Awal Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (PlP) 2005-2025. Jakarta. Beatly, T., D.J. Brower, and A. K. Schawab. 2002. An Introduction to Coastal Zone Man-
agement. Second Edition. lsland Press. Washington DC' Bengen, D. G. 2003. "Evolusi dan Urgensi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Secara Terpadu di Indonesia". Makalah disampaikan dalam Simposium Close-out Proyek Pesisir Kalimantan Timur pada tanggal 21 Agustus 2003.
Christie, P., D Makapedua, dan L.T.X. Lalamentik. 2003. "Bio-Physical lmpacts and Links to Integrated Coastal Management Sustainability in Bunaken National Park, Indonesia" dalam Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources, Special Edition, No. 1. Cincin-Sain, B.,dan R. W. Kneckt. 1998. Integrated Coastal and Ocean Management Concepts and Practices. ISLAND PRESS. Washington DC.. Clark, f . R.1996. Coastal Zone Management Handbook. CRC Press LLC. COREMAP Program Management Office. 2002. "AD9 COREMAP Phase I Consultant's Draft Final Report." COREMAP Program Management Office. Jakarta. COREMAP Program Management office. 2003. Bahan-bahan presentasi. COREMAP Program Management Office. 200'1. "COREMAP Mid-Term Review 19982OOO.' COREMAP Program Management Office. lakarta.
Darajati, . Wahyuningsih. "Review Program dan Pelaksanaan MCRMP.' 2004. Bahan presentasi disampaikan pada Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Lautan Terpadu di Jakarta, 16 Maret 2004. Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). 2003. Buletin Perencana Pesisir Nusantara. Volume 1; Nomor 2. Desember 2003' Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). 2002. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan, Nomor: KEP.10/MEN 12002 tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu' Jakarta.
-96-
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). 2001. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Jakarta. Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). 2004. "Pelaksanaan Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang (coREMAp il)." Makalah disampaikan dalam Lokakarya pengelolaan wilayah Pesisir dan Lautan Terpadu, Jakarta, 15 - 16 Maret 2004. Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). 2003. Pokok-Pokok Pikiran Rancanan Undang-Undang (RUU) Pengelolaan Wilayah pesisir (pwp). Jakarta.. Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). 2004. Quarterly Report [MCRMP], Period of October-December 2003. Jakarta. Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). 2002. Strategi Konsultasi Publik Penyusunan Rancangan Undang-Undang Pengelolaan pesisir Terpadu. Jakarta. Fauzi, A., and 5. Anna. 2003. "Assessment of Sustainability of Integrated Coastal Management Project: A CBA-DEA Approach" dalam Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources, Special Edition, No. l.
Hanson J., A., L Agustine, c. A. courtney, A. Fauzi, s. cammage, and Koesoebiono. 2003. An Assessment of the Coastal Resource Management Project (CRMP) in Indonesia, CRC/URl.
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). 2003. Buku Acuan Program Pantai dan Laut Lestari. Asdep Urusan Ekosistem Pesisir dan Laut. Deputi Bidang Pelestarian Lingkungan, Jakarta.
Knight M., dan K. Lowry. 2003. "lnstitutional Arrangements for Decentralized Coastal Management in lndonesia" dalam Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources, Special Edition, No. 1.
Lowe
c. 2003. "sustainability and the Question of "Environment" in Integrated coastal Management: the Case of Nain lsland, Bunaken National Park" dalim Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources, Special Edition, No. 1.
Patlis, J. 2003. "The Role of Law and Legal Institutions in Determining the Sustainability
of Integrated Coastal Management Project in Indonesia" dalam Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources, Special Edition, No. 1. Perbowo, Nilanto. 2004. "Pengalaman proyek CoFlSH." Bahan presentasi disampaikan pada Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Terpadu di Jakarta, 15 Maret 2004.
-97
-
pollnac R., R. Pomeroy, dan L. Bunce. 2003. "Factors Influencing the Sustainability of Integrated Coistal Management Project in Central Java and North Sulawesi, Indo-nesia" dalam Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources, Special Edition, No. 1. Sievanen L. 2003. "shifting Communities and Sustainability lmplications" dalam Indonesian Journal of coastal and Marine Resources, special Edition, No. 1. Sofa, Farah. 2000. Program Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Lautan di Indonesia: Sebuah Tinjauan. Coastal Resource Center, University of Rhode lsland Coastal Resource Management Project (CRMP/Proyek Pesisir), lakarta"
World Bank. 1998. Project Appraisal Document - Coral Reef Rehabilitation and Management project in 3upport of the First Phase of the Coral Reef Rehabilitation and Management Program. Rural Development and Natural Resource Sector Unit, Indonesia Country Management Unit.
-98-