1
WARIA
-PERJALANAN HIDUP DAN PENYESUAIAN DIRI (Sebuah studi kasus kualitatif-eksploratif) Purnaningdyah Niken Widyasari DR. Sofia Retnowati. MS
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap perjalanan hidup dan penyesuaian diri Waria serta hal-hal yang menyertai proses penyesuaian diri tersebut. Pertanyaan yang hendak diajukan adalah bagaimanakah perjalanan hidup dan proses penyesuaian diri mereka? Subjek penelitian ini adalah dua orang Waria di Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data wawancara mendalam (dibantu dengan alat perekam suara) dan pelacakan lewat internet. Proses analisis dimulai dengan membaca, mempelajari dan menelaah seluruh data yang tersedia. Setelah data dibaca, dipelajari, dan ditelaah, maka langkah berikutnya adalah mengadakan reduksi data yang dilakukan dengan mengadakan abstraksi. Berdasarkan wawancara yang telah dilaksanakan berdasarkan dengan guideline yang berisikan indikatorindikator yang akan mengungkap kondisi diri subjek, proses penerimaan diri subjek sebagai Waria, gejolak batin yang dirasakan, proses ‘ coming out’ , juga perasaan-perasaan subjek, kebingungan yang dialami, ketakutan-ketakutan yang dirasakan, sampai dengan cara subjek menghadapi reaksi-reaksi yang didapat dari keluarga dan lingkungan sekitar. Hasil penelitian menggambarkan perjalan hidup waria dan proses penyesuaian dirinya. Dimulai dari masa kecil, masa remaja, pencarian jati diri, penerimaan, konflik dan stres yang menyertai proses penyesuaian diri waria. Kata kunci: Perjalanan hidup Waria dan penyesuaian dirinya. Pengantar Kaum Waria, lebih sering mewarnai pemberitaan di media masa sebagai salah satu subjek masalah sosial di kota-kota. Baik yang berhubungan dengan cerita kriminal ataupun prostitusi. Sangat jarang ditemui pemberitaan tentang Waria yang benar-benar berusaha mengungkap fenomena yang sebenarnya melingkupi mereka, apa, bagaimana, dan siapakah mereka ini sebenarnya.
2
Fenomena Waria adalah sebuah fenomena yang dapat ditemui di hampir semua kota besar di Indonesia. Waria sebagai sebuah komunitas biasanya menempati sebuah area tersendiri pada sebuah kota, seperti halnya komunitaskomunitas minoritas lain. Berkelompoknya para Waria ini lebih disebabkan karena mereka sulit untuk menemukan lingkungan yang dapat menerima kondisi mereka sebagai Waria. Hingga kemudian mereka membutuhkan sebuah kelompok yang para anggotanya dapat saling menerima kondisi masing-masing (Hayaza’ , 2004). Jika kita amati, selama ini usaha-usaha yang pernah diambil oleh media masa untuk menampilkan fenomena Waria menurut peneliti belum berhasil menggambarkan sebuah penggambaran yang lengkap tentang cerita di dalam fenomena WARIA. Lebih sering adalah adanya pemberitaan yang sensasional yang menyebabkan bertambahnya kebingungan pada masyarakat daripada timbulnya empati, sebuah sikap yang sangat dibutuhkan oleh kaum Waria dalam perjuangan mereka untuk mendapatkan pengakuan. Fenomena Waria ini sangat membutuhkan kejelasan dan kepastian mengenai keberadaannya. Baik mengenai apa, bagaimana, mengapa, atau pada siapa fenomena ini bisa terjadi. Oleh karena itu informasi-informasi yang diketengahkan dalam studi ini diharapkan dapat membuka pikiran dan hati masyarakat, bahwa fenomena tersebut memang benar-benar ada, dan membutuhkan tempat untuk hidup, seperti layaknya fenomena-fenomena lain yang sudah ada. Lebih jauh diharapkan masyarakat mampu mengerti bahwa fenomena memang benar-benar sebuah kondisi pribadi seseorang yang unik,
3
sebuah keadaan yang memang sebaiknya diterima, hingga mereka yang mengalami tidak dipandang sebagai sosok yang aneh. Fenomena Waria yang pernah ditulis oleh Atmojo (1987), apabila kita cermati dalam pembahasannya, fenomena Waria masih rancu dengan fenomena lain yang mirip penampakannya yakni fenomena transseksual. Demikian juga dengan Koeswinarno (2004) yang menyebutkan bahwa waria termasuk dalam kondisi transseksual: ”...tetapi yang jelas waria sendirinya termasuk penderita transseksual”. Kesenjangan pengetahuan tentang masalah waria ini, menjadikan masyarakat hanya mampu berpikir dan memahami : bahwasannya kenyataan tentang Waria adalah fenomena yang aneh, atau menganggap bahwa fenomena tersebut adalah sama saja dengan fenomena lain yang pernah mereka ketahui. Misalnya masyarakat menganggap bahwa Waria sama dengan fenomena transseksual. Salah satu istilah yang banyak bersinggungan dengan Waria adalah kondisi yang dikenal dengan istilah Gender Dysphoria (kebingungan gender). Kondisi ini disebabkan oleh sebuah perkembangan khusus dari hubungan antara sekse dan gender seseorang. - Sekse merujuk kepada sekse anatomis seseorang -atau dengan kata lain, tipe genital apa yang dimiliki. - Gender lebih sulit dan lebih kompleks untuk dipersepsikan atau digambarkan. Gender yakni pengenalan/kesadaran pada diri seseorang,
4
yang juga diharapkan pada orang lain, seperti yang sesuai dengan kategori sosial: anak laki-laki/pria atau anak perempuan/wanita. Gender terdiri dari dua aspek: Identitas Gender (gender identity), yakni persepsi
internal
dan
pengalaman
seseorang
tentang
gender
mereka,
menggambarkan identifikasi psikologis di dalam otak seseorang sebagai “lak-laki” atau “perempuan”dan Peran Gender (gender role), dimana merupakan sebuah cara seseorang hidup dalam masyarakat dan berinteraksi dengan orang lain, berdasarkan
identitas
gender
mereka,
yang
dipelajari/
didapat
dari
lingkungannya. Waria adalah sebuah kondisi dimana individu laki-laki merasa dirinya memiliki ciri dan pembawaan wanita, ingin diperlakukan sebagai wanita, dan memiliki orientasi seksual homoseksual. Dalam pembicaraan medis/psikologis, terdapat dua istilah yang mengarah kepada kondisi WARIA. Istilah pertama adalah menurut PPDGJ III, yakni transvestisme peran ganda (dimasukkan dalam Gangguan Gender/Identitas Kelamin: F. 64.1) dan yang kedua gender motivated transvestites. Istilah yang kedua digunakan pada literatur-literatur dari manca negara. Pada
transvestisme
peran
ganda,
individu
yang
mengalaminya
mengenakan pakaian lawan jenisnya sebagai bagian dari eksistensi dirinya untuk menikmati sejenak pengalaman sebagai anggota lawan jenisnya. Individu ini tidak memiliki keinginan untuk mengubah jenis kelaminnya secara lebih permanen, atau berkaitan dengan tindakan bedah. Individu ini juga tidak mengalami rangsangan seksual yang menyertai pemakaian pakaian lawan jenisnya tersebut. Ciri terakhir ini yang membedakannya dengan transvestisme
5
fetishistik, dimana individu yang mengalami kondisi ini mendapatkan dorongan dan kepuasan seksual dari perilaku memakai pakaian lawan jenisnya (Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa-III). Watson (1997) mengkategorikan kondisi disorientasi gender laki-laki ke perempuan (male to female) dalam 5 kelompok, yakni: 1. Transvestit dengan Intensitas Rendah 2. Transvestit dengan Intensitas Menengah 3. Transvestit-Transseksual 4. Transseksual dengan Intensitas Moderat 5. Transseksual dengan Intensitas Tinggi Menurut Webster (1966), istilah conflict dalam bahasa aslinya berarti suatu “perkelahian, peperangan, atau perjuangan”, yaitu berupa konfrontasi fisik antara
beberapa
pihak,
kemudian
berkembang
dengan
masuknya
ketidaksepakatan yang tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan, ide, dan lain-lain. Dengan kata lain, istilah konflik juga telah menyentuh aspek psikologis. Ada beberapa strategi dasar yang biasa digunakan dalam mengatasi konflik, antara lain: 1. Contending, yakni mencoba menerapkan solusi yang lebih disukai oleh salah satu pihak, atas pihak lain. 2. Yielding, yakni menurunkan aspirasi sendiri dan bersedia menerima kurang dari yang sebetulnya diinginkan. 3. Problem solving, yakni mencari alternatif yang memuaskan aspirasi kedua belah pihak.
6
4. Withdrawing, yakni dengan memilih meniggalkan situasi konflik, baik secara fisik ataun psikologis. 5. Inaction, yakni dengan tidak melakukan apapun. Konflik peran gender beroperasi pada empat tingkatan yang saling tumpang tindih dan kompleks, yakni kognisi, pengalaman-pengalaman afektif, perilaku-perilaku dan pengalaman-pengalaman ketidaksadaran. Konflik peran gender yang dialami pada tingkatan kognitif berasal dari cara-cara seseorang yang berfikir terbatas (restrictive) tentang peran-peran maskulin dan feminin. Sikap-sikap yang stereotip dan pandangan dunia tentang laki-laki dan perempuan hasil dari keterbatasan kognitif. Konflik peran gender yang dialami pada tingkatan afektif berasal dari gangguan emosional yang mendalam tentang peran-peran maskulin dan feminin. Konflik peran gender yang dialami pada tingkatan perilaku berasal dari pengalaman konflik yang nyata dengan maskulinitas dan femininitas sebagai mana kita berperilaku, bereaksi dan berinteraksi dengan diri kita sendiri dan orang lain. Stres adalah sebuah keadaan yang kita alami ketika ada sebuah ketidaksesuaian antara tuntutan-tuntutan yang diterima dan kemampuan untuk mengatasinya. Stres juga menggambarkan keseimbangan antara bagaimana kita memandang tuntutan-tuntutan dan bagaimana kita berpikir bahwa kita dapat mengatasi semua tuntutan yang menentukan apakah kita tidak merasakan stres, merasakan distres atau eustres. Penyesuaian diri dapat diartikan mengubah diri sesuai dengan keadaan lingkungan dan mengubah lingkungan sesuai dengan lingkungan sendiri. Setiap
7
perubahan dalam kehidupan individu menyebabkan individu selalu berusaha untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan (Ahmadi, dalam Nasution, 2005). Individu yang puas dalam usaha pembenaran-diri dan pendefinisian-diri sendiri ini, akan merasa bahagia, dan mudah menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Sebaliknya, dia akan menjadi sangat tidak bahagia atau sengsara, apabila tidak ada kongruensi atau keseimbangan antara pendefinisiandiri dengan ukuman sosial; antara peranan yang dituduhkan kepada dirinya an peranan sosial menurut interpretasi sendiri yang ingin dilakukannya. Jadi, prosesnya berlangsung sebagai: bentuk interaksi antara faktor-faktor subyektif dengan faktor-faktor obyektif. Proses sedemikian ini tidak jarang berlangsung melalui banyak konflik bathin dan krisis-krisis jiwa.
Metode Penelitian Subjek dalam penelitian ini adalah dua orang Waria yang merasa bahwa kondisi yang mereka rasakan dan mereka miliki merupakan bawaan dari lahir. Metode yang dipakai dalam penelitian studi kasus ini adalah metode penelitian kualitatif-eksploratif. Studi kasus dapat didefinisikan sebagai penyajian informasi secara sistematik tentang sebuah unit kehidupan, dan dalam ini, kita akan fokus pada kehidupan individu sebagai sebuah unit analisa. Sebuah studi kasus dapat didefinisikan sebagai “rekonstruksi dan interpretasi, berdasarkan pada bukti yang tersedia, sebuah bagian dari kisah hidup seseorang” (Broomley, dalam Runyan, 1984). Menurut Banister (dalam Hayaza, 1998), penelitian kualitatif adalah:
8
a. Sebuah usaha untuk menangkap pengertian yang terkandung, dan struktur yang dimaksud mengenai apa yang akan dilakukan, b. Suatu eksplorasi, perluasan dan sistematisasi dari signifikansi tentang sebuah fenomena yang teridentifikasi, c. Gambaran yang menerangkan tentang arti dari problem. Mardalis (1995) menyebutkan bahwa terdapat dua macam penelitian, yang pertama adalah penelitian historis dan kedua penelitian penjajakan atau eksploratif. Penelitian penjajakan atau eksploratif bertujuan untuk mencari hubungan-hubungan baru yang terdapat pada suatu permasalahan yang luas dan kompleks. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengumpulkan data sebayakbanyaknya. Setelah dianalisis diharapkan hasilnya bisa menjadi hipotesis bagi penelitian berikutnya, dan penelitian ekploratif itu sendiri tidak memakai hipotesis, karena kompleksnya data yang akan diteliti tidak mungkin untuk dirumuskan atau tidak dapat disusun hipotesisnya. Analisis Data Kualitatif Menurut Moleong (1996) proses analisis dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu data dari wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen pribadi, dokumen. Langkah-langkah analisis data kualitatif menurut Moleong yang akan dipakai untuk
menganalisis data dalam penelitian ini dengan aplikasi-aplikasi
langkah dengan tahap-tahap sebagai berikut: I.
Membaca, mempelajari, dan menelaah data
II.
Mengadakan reduksi data dengan cara membuang data yang tidak relevan dengan maksud dan tujuan penelitian
9
III.
Mendeskripsikan data Pemeriksaan keabsahan data resmi, gambar, foto, dan sebagainya.
Hasil Penelitian Berdasarkan
wawancara
dan
observasi
yang
telah
dilaksanakan,
berdasarkan dengan guidline yang berisikan indikator-indikator yang akan mengungkap kondisi diri Subjek, diperoleh data-data yang kemudian diteliti secara kualitatif. Data-data tersebut adalah mengenai perjalanan hidup Subjek, proses penentuan orientasi seksual Subjek, proses penerimaan diri Subjek sebagai seorang Waria, gejolak batin yang dirasakan, Kemudian
juga
perasaan-perasaan
Subjek,
proses ‘ coming out’ .
kebingungan
yang
dialami,
ketakutan-ketakutan yang dirasakan, sampai dengan cara Subjek menghadapi reaksi–reaksi yang didapat dari keluarga dan lingkungan sekitar. TABEL 1a. KATEGORISASI DAN KODING TEMA WAWANCARA SUBJEK I (MV) Kategori Masa kecil Waria
Sub Kategori Menyukai permainan perempuan
Pelecehan seksual
Bermain dengan teman perempuan Kecenderungan sebagai waria sejak kecil Gambaran peristiwa
Sikap subjek
? ? ? ? ?
? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?
Tema Sejak kecil menyukai permainan perempuan (MV.I.17.547-551) Usia mulai suka permainan perempuan (MV.I.18.565-566) Main permainan perempuan sejak kecil (MV.II.6.162-166) Belajar tarian perempuan (MV.II.8.239-244) Sejak kecil menikmati bermain dengan teman perempuan (MV.II.7-8.226-229) Tampil didepan teman-teman sekolah SD dengan memakai rok (MV.I.20.635-636) Menyukai dandan sejak kecil (MV.III.24.789-794) Pelecehan oleh mahasiswa (MV.I.4.96-99) Pelecehan seksual dan kekerasan fisik (MV.I.8.250-252) Pelecahan seksual ketika menggembala ternak (MV.I.19.596598) Usia saat pelecahan terjadi, 17 tahun (MV.I.19.605) Pelecehan oleh teman sekelas (MV.I.21.663-667) Pelecehan seksual oleh teman bermain (MV.I.22.704-706) Pelecehan seksual oleh guru olahraga subjek (MV.I.23.724-727) Dimanfaatkan oleh majikan (MV.I.26.839-841) Pelecehan oleh majikan laki-laki (MV.I.27.859-861) Pelecehan seksual oleh aparat (MV.I.31.992-995) Pelecehan seksual oleh remaja kampung (MV.II.9-10.296-309) Tidak menolak hubungan (MV.I.4.105-106)
10
terhadap pelecehan seksual
Penerima an
? ? ? ? ?
Penerimaan diri ? ? ? Penerimaan ? lingkungan ? ? ? Penerimaan keluarga
Penerimaan ditempat kerja
? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?
Real Self
Nyaman menggunakan pakaian perempuan
? ?
Menolak melakukan operasi ganti kelamin
?
?
? ? ? ? ?
Kesadaran atas fisik yang dimiliki Menjadi waria tidak dibuatbuat
? ? ? ? ? ? ?
Tidak menolak pada saat dilecehkan (MV.I.19.600-603) Subjek menikmati pelecahan tsb (MV.I.19.609) Lama pelecehan itu tejadi (MV.I.19.623) Subjek tidak menolak, merasa senang (MV.I.22.709-710) Menikmati hubungan seksual dengan laki-laki, tidak merasa dimanfaatkan (MV.II.9.270-275) Menerima kondisi (MV.I.2.26-27) Menerima kondisi fisiknya yang laki-laki (MV.II.4.118-123) Penerimaan diri (MV.III.2-3.52-59) Aktif dalam kegiatan masyarakat di tempat asal (MV.I.35.11281137) Diterima oleh lingkungan (MV.I.36.1148-1161) Diterima dilingkungan tempat tinggal sekarang (MV.I.3738.1207-1211) Diterima lingkungan tempat tinggal, dilibatkan dalam kegiatan warga (MV.II.13.413-419) Ada keluarga yang membela (MV.I.15.493-496) Dibela oleh ibu, tidak boleh pergi (MV.II.22.740-741) Diterima oleh keluarga karena sekarang jadi orang kantoran (MV.II.22-23.746-756) Penerimaan keluarga (MV.II.22-23.746-756) Tahun 81 pertama kali bekerja seperti masyarakat umum (MV.I.3.64-65) Dipanggil “mbak”ditempat bekerja (MV.I.3.73-80) bekerja di asrama selama 3-4 tahun (MV.I.4.90-92) Bekerja mencuci pakaian dan disekolahkan oleh majikan (MV.I.24.776-779) tahun 94 masuk bekerja LSM (MV.I.34.1110) Pekerjaan subjek sebagai koordinator waria dan pendampingan anak jalanan di LSM (MV.II.1.13-24) Subjek dapat diterima bekerja oleh masyarakat umum (MV.II.27.896-899) Sangat dekat dengan Anak jalanan asuhan subjek (MV.III.16.513-519) Percaya diri ketika tampil seperti perempuan (MV.II.18.599-605) Percaya diri jika memakai BH,lipstick,bedak,rambut panjang (MV.II.19.633-636) Sembunyi-sembunyi memakai pakaian perempuan (MV.II.12.397-400) Tidak bermasalah dengan fisiknya, tidak ingin operasi (MV.I.12.19-25) Tidak melakukan perubahan pada fisiknya (MV.II.19.642-647) waria: berjenis kelamin laki-laki, menolak untuk operasi kelamin dan menerima segala konsekuensinya (MV.III.10.313-321) Subjek menolak operasi ganti kelamin (MV.III.8.260-261) Tidak ingin operasi ganti kelamin karena kebutuhan biologis (MV.III.9.284-291) Teman waria tidak ingin operasi ganti kelamin karena takut pada agama (MV.III.9-10.295-297) Menyadari fisik laki-laki (MV.I.1.14-15) Penerimaan diri subjek atas kondisi fisik yang laki-laki (MV.II.4.118-123) Sadar memiliki alat kelamin laki-laki (MV.II.18.592-593) Menerima diri apa adanya (MV.III.9.271-273) Yang dilakukan tidak dibuat-buat (MV.I.2.43-44) Dandan adalah naluri (MV.III.24.776-783) Jika ditanya subjek akan mengatakan bahwa dirinya adalah waria (MV.II.3.55-56)
11
Perilaku seksual ? ? ? ? ? ? ? Hubungan dengan pasangan Stress
atas kondisi
? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?
Ketakutanketakutan
Konflik
Dengan keluarga
Dalam masyarakat
? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?
Ditempat kerja/lapangan
? ? ?
Menjalin hubungan dengan teman kerja (MV.I.26.832-834) Menikmati hubungan seksual dengan laki-laki (MV.II.9.270-275) Mimpi basah dengan laki-laki (MV.II.11.355-356) Pertama kali berhubungan seks dengan pasangan (MV.II.30.1001-1007) Mengatur nafsu terhadap laki-laki (MV.III.7.208-215) Perilaku seks waria dari generasi ke generasi berbeda (MV.III.19.603-613) Waria tidak mendapatkan kepuasan seksual dengan berpakaian perempuan (MV.III.23.769-775) Berpisah dengan pasangan karena mau menikah (MV.II.31.1041-1042) Tahun bertemu dengan pasangan kedua subjek (MV.II.32.1084) Pasangan subjek saat ini (MV.II.34-36.1161-1167) Mempertanyakan kondisinya ,identitas gendernya (MV.I.1.6-7) Pernah mempertanyakan kondisinya sebagai waria (MV.I.2.2834) Ketika berproses, ada rasa bersalah atas kondisi yang dimiliki (MV.II.4.113-117) Tidak nyaman berpenampilan laki-laki (MV.II.5-6.155-160) Tidak mampu berontak atas kondisi perilaku seperti perempuan (MV.II.6.165-168) Mencoba tampil sebagai laki-laki tapi tidak bisa (MV.II.6.169175) Menyesal lahir sebagai laki-laki (MV.II.7.197-201) Merasa lahir sebagai laki-laki, tidak mau dibilang banci (MV.II.11.347-349) Waria yang bingung akan jati dirinya (MV.III.24.802-808 Ketakutan subjek akan masa tua (MV.III.1.6-12) Stress psikologis,ketakutan akan dosa (MV.II.11.338-357) Ketakutan akan penerus keturunan (MV.II.20.672-678) Ketakutan dalam hubungannya dengan Tuhan (MV.II.21.687690) Dipukuli kakak karena pakai rok (MV.I.15.486-488) Disia-siakan oleh saudara (MV.I.24.756-757) Kakak malu dengan perilaku subjek (MV.I.24.761-763) kakak tidak suka subjek tampil seperti perempuan (MV.II.22.732-734) Dipukuli dan diusir oleh kakak (MV.II.22.736-740) Konflik dengan masyarakat sekitar tempat tinggal (MV.I.12.368370) Ditipu dan dirampok pacar (MV.I.29.920-924) Ditangkap dan dihajar massa (MV.I.29.928-930) Dipukuli dan dibawa kekantor polisi karena difitnah (MV.I.29.936-939) Dipukuli oleh sesama napi (MV.I.30.961-962) Dipukuli oleh aparat karena tidak mengakui daerah asal (MV.I.30.973-974) Konflik dengan lingkungan, diejek warga, marah (MV.II.12.383387) Konflik, tidak dapat menahan emosi dan berkelahi dengan orang yang mengejek (MV.II.15.490-497) Diculik saat nyebong, dipukuli dan dipaksa melayani oleh sekelompok pemuda mabuk (MV.I.8.240-245) Tidak puas dalam pekerjaan, harus dapat hasil maksimal (MV.II.2.29-33) Subjek belum puas dengan dirinya, ingin berbuat lebih bagi orang lain (MV.II.24.815-821)
12
Proses coming out
? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?
Coping
? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?
Pencapaia n diri
pribadi
? ? ? ? ? ? ? ?
Memutuskan untuk hidup sebagai waria (MV.I.2.50-52) Aktif di beberapa organisasi waria (MV.I.6.186) Tampil di purawisata bersama teman-teman waria (MV.I.11.347-350) Nasihat yang dipegang subjek untuk menjalani hidup sebagai (MV.I.13.421-426) Kembali ke yogyakarta dan menemukan jati diri (MV.I.31.10131016) Tahun awal dekat dengan para waria (MV.I.32.1033) Merasa “normal” setelah berkumpul dengan para waria (MV.I.33.1051-1053) Tahun 81 masuk komunitas Waria (MV.I.34.1105) Mantap sebagai waria (MV.II.3-4.88-96) Titik balik, cerita yang membuat subjek dapat menjalani hidup sebagai waria (MV.II.13-17.432-471) Memanfaatkan posisi kakak yang preman untuk berani keluar sebagai waria walau kakak tidak setuju (MV.II.14.446-451) subjek mantap menjalani hidupnya sebagai waria karena mampu melakukan apa yang dilakukan masyarakat umum (MV.II.26.857-865) Tahun saat subjek mantap memilih hidup sebagai waria (MV.II.26.884) Yang dirasakan subjek saat menemukan jati dirinya (MV.II.28.929-931) Waria yang mantap dengan dirinya menerima segala konsekuensi (MV.III.22.719-725) Belajar mengendalikan diri (MV.I.15.462-463) Berusaha menegur pelan-pelan orang yang mengejek (MV.II.15.480-482) Belajar mengelola emosi, mengingat nasihat orang yang membantu ketika dalam masalah (MV.II.17.560-567) Cara subjek mengelola emosi (MV.II.17.578-579) Tidak pernah meminta pada keluarga, walau tidak punya uang (MV.II.23.759-766) Pengelolaan rasa cemburu subjek (MV.II.31.1048-1059) Cara subjek mengatasi rasa takut terhadap masa tua (MV.III.1.12-21) Lebih realistis menyikapi kematian, masa tua dan dosa (MV.III.3.67-70) Sabar, menjadi pendengar yang baik dan mau menerima kritikan dalam pekerjaannya (MV.III.5.139-148) Mengalir menghadapi konsekuensi sebagai waria (MV.III.1011.328-339) Menyikapi hidup sesuai dengan pilihan (MV.III.12.379-383) Yakin jika melakukan yang terbaik selalu ada jalan keluar untuk masalah (MV.III.13.409-418) Tidak menanggapi pendapat orang tentang kondisinya(MV.III.14.443-450) Sabar menghadapi ujian hidup (MV.III.14.467-470) Menjadi “ibu”para waria (MV.I.9.287-290) Memiliki keinginan untuk selalu belajar (MV.I.15.472-474) Membuat bangga orang-orang tempat asal subjek dan teman sekolah dengan prestasinya (MV.I.37.1191-1200) Waria menurut subjek: laki-laki,berperilaku,berperasaan dan berpakaian seperti perempuan (MV.II.4.96-105) Tahun subjek pertama memiliki pasangan (MV.II.28.939) Tinggal satu rumah dengan pasangan dan beberapa anak jalanan (MV.II.35.1202-1205) Kelebihan subjek adalah kesabarannya (MV.III.5.129-138)
13
? ? ? ? ? Lingkungan/pe kerjaan
? ? ? ? ?
Tanggung jawab subjek sebagai waria adalah menunjukkan bahwa pendapat masyarakat tidak benar (MV.III.5-6.161-165) Berusaha menjadi figur orang tua yang bijaksana bagi anak jalanan (MV.III.8.240-243) Waria menurut subjek adalah berjenis kalamin laki-laki,tapi bisa melakukan apa yang terbaik untuk dirinya (MV.III.9.274-280) waria: berjenis kelamin laki-laki, menolak untuk operasi kelamin dan menerima segala konsekuensinya (MV.III.10.313-321) Waria yang mantap dengan dirinya menerima segala konsekuensi (MV.III.22.719-725) Membantu membina anak jalanan (MV.I.16.510-520) Prestasi subjek dalam bekerja dimuat dalam berbagai media massa (MV.I.16-17.527-535) tahun 94 masuk bekerja LSM (MV.I.34.1110) Bangga ketika bisa memberikan apa yang diinginkan LSM (MV.III.4.98-111) Mengarahkan calon waria, membantu mencari jati diri (MV.III.23.741-758)
TABEL 1b. KATEGORISASI DAN KODING TEMA WAWANCARA SUBJEK II (YS) Kategori Masa kecil Waria
Sub Kategori Keluarga
? ? ? ? ?
Menyukai permainan perempuan Bermain dengan teman perempuan Kecenderungan sebagai waria sejak kecil
? ? ?
Lebih nyaman bergaul dengan teman perempuan (YS.I.2.4446)
?
Sejak kecil menyukai perilaku seperti perempuan (YS.I.2.2932) Sejak kecil menyukai sesama laki-laki (YS.I.3.64-66) Sejak sekolah ekpresif dengan asesoris perempuan (YS.I.37.1093-1095) Selalu tampil rapih disekolah tidak seperti laki-laki umumnya (YS.I.37.1101-1105) Memakai pakaian perempuan waktu kecil (YS.I.38.1115-1116) Menangis minta asesoris suster (YS.I.38.1131-1136) Sejak sekolah sembunyi-sembunyi memakai asesoris perempuan dan make up (YS.II.3.88-90) Kecenderungan muncul sejak kecil (YS.II.9.292-293) Sejak kecil menyukai sesama jenis (YS.II.13.419-422) Memakai asesoris perempuan disekolah (YS.III.2.45-47) Pelecehan seksual dilingkungan (YS.III.7-8.226-235) Pelecehan seksual di lokasi (YS.III.9.287-292) Menanggapi dengan becanda orang yang melecehkan (YS.III.8.238-239)
? ? ? ? ? ?
Pelecehan seksual
Penerimaa
Gambaran peristiwa Sikap subjek terhadap pelecehan seksual Penerimaan diri
Tema Latar belakang ,pola asuh orang tua tidak berbeda (YS.I.1.823) Saudara laki & perempuan sm banyaknya (YS.I.2.24-26) Tidak setuju pendapat jadi waria karena pengaruh lingkungan/keluarga (YS.II.1.10-18) Cukup mendapat kasih sayang oraung tua (YS.II.1.18-20) Sejak kecil dipanggil dengan nama perempuan oleh kakak (YS.II.4.115-118) Menyukai permainan perempuan (YS.I.2.35-37) Sejak kecil menyukai permainan perempuan (YS.II.2.25-33)
? ? ? ? ? ?
?
Waria
sadar
memiliki
fisik
laki-laki
dan
menerimanya
14
n ? ? ? ? ? ? Penerimaan lingkungan
? ? ? ? ? ?
Penerimaan keluarga
? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?
Real Self
Nyaman menggunakan pakaian perempuan
? ? ? ? ?
Pribadi subjek ? Menolak ? melakukan ? operasi ganti kelamin ? ? ? ? Kesadaran atas ? fisik yang ? dimiliki Menjadi waria ?
(YS.I.13.369-372) Penerimaan atas kondisi, tidak lari dari kenyataan (YS.II.8.260-261) Lebih nyaman disebut waria bukan gay (YS.II.8.253-254) Jadi waria bukan karena kecewa dengan perempuan (YS.II.9.286-292) Menerima kondisi fisik sebagai laki-laki (YS.II.10.305-307) Nyaman dengan kondisinya (YS.II.10.317-318) Menerima kondisi dan mengatasi pergolakan (YS.II.11.348351) Waria tidak ingin merubah fisiknya (YS.III.28.944-946) Dapat diterima oleh lingkungan (YS.I.17.486-491) Merasa lebih mudah diterima jika dandan (YS.I.36.1069-1071) Penerimaan masyarakat; subjek selalu dilibatkan dalam kegiatan masyarakat (YS.I.42.1239-1250) Subjek diterima sebagai waria oleh lingkungan, tidak dilibatkan dalam ronda (YS.I.42.1253-1258) Subjek dibuatkan identitas di tempat sebelumnya (YS.I.44.1307-1309) Kartu identitas yang didapat waria. Kiterm (YS.I.45.1343-1344) Diterima baik oleh lingkungan sekitar (YS.II.13.404-413) Butuh proses bagi keluarga untuk menerima kondisi subjek (YS.I.9.231-232) Saudara tidak sengaja mengetahui kondisi subjek dan dapat menerima (YS.I.9.243-257) Orang tua dapat menerima kondisi subjek (YS.I.10.257-261) Semua saudara sudah menikah,subjek belum karena kondisi.tidak ada yang bertanya (YS.I.39-40.1165-1172) Keponakan sudah dapat menerima kondisi subjek (YS.I.40.1191-1195) Tahun keluarga tahu kondisi subjek (YS.II.4.101) Penerimaan keluarga akan kondisi subjek (YS.II.4.102-112) Berasal dari keluarga yang demokratis (YS.II.4.121-128) Hubungan dengan keluarga baik (YS.II.5.130-133) Ibu dapat menerima kondisi subjek selama tidak melakukan tintak kriminal (YS.II.5.145-153) Dandan untuk mendapatkan laki-laki hetero (YS.I.21.611-612) Berdandan untuk mengekspresikan diri (YS.II.15.495-497) Frekuensi berdandan subjek 5 hari dalam seminggu (YS.II.1617.534-542) Percaya diri jika berpakaian perempuan (YS.II.18-19.602-606) Lebih berani menghadapi orang jika berdandan (YS.III.3.6467) Supel, mudah dapat teman (YS.II.12.386-393) Tidak ingin operasi ganti kelamin (YS.I.12.319-320) Waria tidak harus melakukan operasi ganti kelamin (YS.II.9.275-278) Tidak mau operasi ganti kelamin (YS.II.10.315-317) Subjek tahu yang (ingin) melakukan operasi ganti kelamin adalah transseksual (YS.II.11.340-343) Alasan waria tidak ingin operasi ganti kelamin (YS.III.29.960968) Pemikiran waria tentang operasi ganti kelamin (YS.III.30.9871004) Memiliki kesadaran sebagai laki-laki (YS.I.11.315-318) Kondisi fisik laki-laki tetapi sebagian besar dirinya feminin (YS.II.10.323-327) Lebih nyaman disebut waria (YS.I.4.85-86)
15
tidak dibuatbuat
? ? ? ? ? ? ?
Perilaku seksual ? ? ? ? ? ? ? ? Hubungan dengan pasangan
? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?
Perilaku beribadah
? ? ?
Stress
atas kondisi
? ? ? ? ?
Memposisikan diri sebagai perempuan pada laki-laki hetero (YS.I.6.154-158) Takut saat disenangi perempuan (YS.I.12.338-341) Perilaku subjek sebagai waria tidak dibuat-buat (YS.I.14.386388) Tidak setuju pendapat masyarakat jika jadi waria karena trauma dengan perempuan (YS.I.14.398-402) Sikap seperti perempuan timbul dengan sendirinya (YS.II.9.282-286) Sejak remaja sudak ‘ kemayu’(YS.III.2.35-36) Menjadi waria bukan paksaan, timbul dengan sendirinya (YS.III.21.586-700) Perilaku seksual waria lewat oral dan anal (YS.I.25.715-724) praktek seksual waria bisa dilokasi atau ditempat waria (YS.I.26.760-769) Nyebong untuk mendapatkan kepuasan, bukan uang (YS.I.30.862-864) Waria tidak dapat berhubungan seks dengan gay (YS.I.32.922928) Mimpi basah subjek berhubungan dengan sesama jenis (YS.II.14.462-464) Pengalaman seksual pertama kali (YS.II.15.472-477) Beda gay dan waria, waria memilih laki-laki hetero (YS.II.22.722-725) Perilaku seksual waria, oral, anal, lewat paha (YS.III.30.10111027) Menginginkan pasangan hetero (YS.I.4.114-116) Berkenalan dengan laki-laki dan hidup satu rumah (YS.I.56.145-149) Posisi subjek dengan pasangan (YS.I.6.163-167) Tinggal 1 rumah 3 tahun dengan pasangan (YS.I.6.169) Cara subjek menghadapi masalah dengan pasangan (YS.I.16.445-451) Penerimaan pasangan subjek (YS.I.31.894-901) tinggal satu rumah dengan pasangan selama 3tahun (YS.II.23.770-773) Perasaan subjek memiliki pasangan (YS.II.24.776-778) Subjek dan pasangan diterima oleh lingkungan (YS.II.24.779787) Tempat tinggal subjek dan pasangan (YS.II.24.794) Berpisah karena pasangan menikah (YS.II.24.797-801) Subjek mencari pasangan yang dapat menerima kondisinya (YS.II.26.453-459) Tahun 2001 subjek kenal dengan pasangannya yang kedua (YS.II.26.869) Mengelola hubungan dengan pasangan (YS.II.26.874-883) Melakukan ibadah memakai sarung dan kopiah (YS.I.34.10041005) Waria tidak beribadah dengan hukum perempuan (YS.I.35.1026-1028) Capek dengan pandangan umum. Ingin membuktikan pada masyarakat bahwa waria tidak begitu (YS.I.18.520-525) Waria menjadi pekerja seks untuk bertahan hidup (YS.I.22.622624) Waria ingin mendapatkan tempat dalam masyarakat sehingga dapat bekerja dengan layak (YS.I.23.658-667) Lelah akan kondisinya (YS.I.34.990-993) Waria keluar malam untuk mencari makan (YS.I.37.1086-1089)
16
? ? ?
Ketakutanketakutan
Konflik
Internal
? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?
Dengan keluarga
? ? ? ? ? ?
Dalam masyarakat
? ? ? ? ? ? ? ? ? ?
Ditempat kerja/lapangan
? ? ? ? ? ? ? ? ?
Proses
? ? ?
Subjek marah pada diri sendiri (YS.II.6.194-195) Capek diejek orang ketika berdandan (YS.II.16.512-525) Stress, marah pada kondisi tidak dapat memiliki pasangan hidup (YS.II.19.635-646) Diejek banci oleh teman sekolah (YS.III.2.39-41) Keinginan memiliki anak (YS.III.27.882-888) Takut bermain permainan laki-laki (YS.I.3.53-56) Perasaan takut dicemooh akan kondisinya (YS.I.4.90) Kecemasan akan masa tua (YS.II.11.354-357) Takut tidak diterima karena kondisi (YS.II.12.394-396) Ketakutan akan masa tua (YS.II.17.449-557) Ketakutan akan masa tua (YS.III.25.831-832) Ketakutan waria tidak dapat diterima masyarakat umum (YS.III.33.1106-1116) Sempat merasa bahwa dirinya gay (YS.I.3-4.83-84) Tahun 88 subjek masuk komunitas gay (YS.I.7.176) Konflik, susahnya menjalani hidup di dua dunia (YS.I.16.458464) Kuat menghadapi tekanan dari masyarakat, tetapi lemah dalam masalah cinta (MV.II.7.202-207) Bergabung dg komunitas gay (YS.II.8.251-252) Tahun 89 meninggalkan rumah (YS.I.7.186) Alasan subjek meninggalkan rumah (YS.I.8.210-213) Waria meninggalkan rumah karena ingin dandan, malu orang tua, takut dihajar kakak (YS.I.21.598-602) Ibu sering mendengar kasak kusuk tetangga tentang subjek (YS.I.40.1173-1175) Konflik dengan kakak sebelum akhirnya bisa menerima (YS.I.40.1175-1184) Sejak kecil diejek banci (YS.I.10.283-284) pelecehan, kekerasan (YS.I.17.469-475) Pandangan negatif dari masyarakat (YS.I.18.514-518) Waria sebagai kaum minoritas sering menjadi berita (YS.I.19.534-356) Waria menjadi berita menarik di media massa,menjadi bahan tertawaan (YS.I.19.546-555) Waria bukan bahan tertawaan (YS.I.20.570-572) Kesempatan gay untuk bersekolah (YS.I.33.974-976) Sejak kecil diejek banci oleh teman-teman (YS.II.3.63-66) Kecewa dengan sikap masyarakat (YS.II.6.191-193) Pengharapan pada masyarakat dan teman waria (YS.II.1718.567-575) Ingin keberadaannya sebagai waria dihargai (YS.III.8.243-248) Konflik diantara waria itu sendiri (YS.I.43.1270-1282) Kekerasan pada saat nyebong (YS.III.5.130-144) Kekerasan pada saat nyebong (YS.III.6.181-194) kekerasan pada teman waria dipukul saat menolak main (YS.III.7.215-218) Konflik dalam komunitas waria, kecemburuan (YS.III.1011.326-334) Konflik dalam komunitas waria, masalah pribadi mudah menyebar (YS.III.11.340-349) Perlakuan aparat saat razia (YS.III.16.456-491) Lebih takut pada rewo-rewo daripada aparat (YS.III.17.521530) Kekerasan oleh preman, dimintai uang (YS.III.18.569-571) Waria baru bebas masuk yogya (YS.III.19.590-591) Mencari laki-laki walau belum dandan (YS.I.5.124-126)
17
coming out
? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?
Coping
? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?
Tahun awal kenal dengan waria (YS.I.5.129) Belajar dandan dan keluar malam (YS.I.5.138-140) Yakin bukan gay tetapi waria (YS.I.6.150-152) Tahun 94 menemukan bentuk sebagai waria (YS.I.7.191) Keluar malam/ nyebong sbg sarana mengekspresikan diri (YS.I.20.586-587) Keluar malam untuk mengekspresikan diri (YS.I.24.683-684) 88-94 Masa pencarian jati diri (YS.II.8.242-243) Tahun 94 memutuskan menjadi waria (YS.II.8.248-249) Bergabung dg lembaga, menjadi lebih berani berbicara (YS.II.13.400-402) Tahun 88-94 masa pencarian jati diri (YS.II.15.478-480) Menjadi waria bukan pilihan hidup (YS.II.18.589-599) Hal-hal yang membuat subjek mantap memilih hidup sebagai waria (YS.II.20.655-670) Bergaul dengan komunitas gay karena merasa menyukai sesama jenis (YS.II.22.705-709) Tahun 94 mulai belajar sebagai waria (YS.II.22.734) Kondisi yogya lebih enak untuk waria nyebong dibanding kota lain (YS.III.14.424-427) Awal subjek belajar bendandan (YS.III.22-23.728-737) Hal yang membentuk pribadi subjek (YS.III.28.917-924) Dukungan keluarga sangat penting (YS.I.10.270-276) Subjek menghindar saat disenangi perempuan (YS.I.13.350358) Mengharapkan pelatihan keterampilan perempuan (YS.I.24.695-696) Bertahan hidup dengan menjadi pengamen (YS.I.28.827-833) Dandan disesuaikan dengan kebutuhan (YS.I.33.959-962) Pasrah, menerima kondisi dan konsekuen dengan pilihan (YS.I.34.994-1001) Subjek tetap menjalin hubungan baik dengan keluarga (YS.I.40-41.1197-1206) Subjek ingin tetap menjalin komunikasi dengan keluarga (YS.I.41.1209-1216) Masa bodoh dengan ejekan teman-teman (YS.II.3.70-72) Subjek masa bodoh dengan reaksi negatif masyarakat selama tidak sampai pada kekerasan fisik (YS.II.5-6.157-163) Jalan-jalan, tidur dan koreksi diri cara subjek menghadapi masalah (YS.II.7-8.227-234) Berdoa dalam masa pencarian diri hingga dapat menerima (YS.II.9.265-269) coping, pasrah akan kondisi (YS.II.11.357-358) coping, berdoa pada Tuhan (YS.II.11.362-367) Coping, berpikir positif dan dekat dengan Tuhan (YS.II.12.375384) Berdandan sesuai kebutuhan (YS.II.16.505-507) Pasrah pada Tuhan (YS.II.17.558-561) Coping, mengatasi rasa kecewa dengan pasrah (YS.II.19.621632) Coping, mengatasi rasa sedih dengan berdoa (YS.II.20.649651) mengelola rasa malu, dengan balik membecandai orang yang mengejek (YS.III.1.5-16) Masa bodo Menghadapi tertawaan orang (YS.III.4.124-126) Berhati-hati saat nyebong (YS.III.6.166-179) Teknik aman nyebong, melihat kondisi lebih dulu (YS.III.67.195-198) Mengelola rasa marah menghadapi pelecehan (YS.III.9.271-
18
? ? ? ? ? ? Pencapaia n diri
pribadi
? ? ? ?
Lingkungan/pe kerjaan
? ?
276) Coping, mengelola rasa marah dengan diam (YS.III.10.306309) Lebih akrab dengan komunitas umum untuk masalah pribadi (YS.III.10.321-323) Manajemen emosi waria /marah jika dilecehkan (YS.III.25.816-829) Coping, menghadapi rasa takut dengan mengalir mejalani hidup (YS.III.26.857-874) Menjalani hidup dengan mengalir, menerima (YS.III.27.900909) Menjaga nama baik keluarga dengan tidak melakukan tindak kriminal (YS.I.11.305-308) Tidak ingin menyalahgunakan kepercayaan keluarga (YS.I.41.1225-1227) Impian terbesar subjek sebagai waria dapat hidup brdampingan dengan laki-laki dan diterima apa adanya (YS.II.21.679-698) Mengisi sebuah acara di jakarta, menyanyi, bertemu artis ibukota (YS.II.28.928-939) Menjadi relawan pendampingan waria (YS.I.27.678-671) Ingin membantu sesama teman waria yang masih bingung dengan kondisinya (YS.I.34.983-988)
Pembahasan Penelitian ini mendasarkan pada pertanyaan penelitian yaitu bagaimana perjalanan hidup dan penyesuaian diri yang dialami oleh waria sebagai subjek dalam penelitian ini, serta hal-hal apa sajakah yang menyertai proses penyesuaian diri tersebut. Dalam penelitian ini penyesuaian diri sebagai sebuah bagian dari perjalanan hidup seorang waria disertai dua aspek khusus yang mempengaruhi yaitu konflik dan stres. Penelitian ini melibatkan 2 orang subjek waria yang berasal dari dua generasi yang berbeda. Penyesuaian diri dapat diartikan mengubah diri sesuai dengan keadaan lingkungan dan mengubah lingkungan sesuai dengan lingkungan sendiri. Setiap
19
perubahan dalam kehidupan individu menyebabkan individu selalu berusaha untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan (Ahmadi, 1991). Perjalanan hidup waria diawali dengan masa kecil yang berbeda dari kebanyakan orang, menyukai permainan perempuan, memilih bermain dengan teman perempuan dan memiliki kecenderungan berperilaku seperti perempuan. Semua itu terjadi dengan sendirinya tanpa dibuat-buat atau dipaksakan oleh siapapun. Subjek pun cukup mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orang tua mereka, dan mereka merasa tidak ada yang salah dengan pola asuh orang tua mereka. Subjek tidak setuju jika dikatakan bahwa kondisi mereka terjadi karena pola asuh orang tua dan pengaruh lingkungan, karena menurut mereka tidak ada yang salah dengan kedua hal tersebut. Ejekan “banci”sudah diterima subjek sejak kecil, dan disekolah pun selalu menjadi bahan tertawaan teman-temannya. Akan tetapi hal ini tidak mengurangi apa yang subjek rasakan ataupun mengurangi keinginan untuk bertingkahlaku seperti perempuan. Pada usia kanak-kanak mereka juga sudah memiliki ketertarikan pada sesama jenis, mulai dari sekedar rasa suka sampai dengan keinginan untuk memiliki dan menjalin hubungan lebih jauh. Tidak seperti lakilaki pada umumnya, pada saat kedua subjek mengalami mimpi basah, mereka berfantasi/memimpikan berhubungan dengan sesama laki-laki. Menurut MV karena kecenderungan tingkah lakunya yang seperti perempuan membuat dirinya mengalami pelecehan seksual sejak kanak-kanak. Pelecehan tersebut tidak hanya sekali dan dilakukan oleh orang yang berbedabeda.
MV tidak merasa keberatan dengan perilaku yang ia terima, justru ia
menikmatinya. Pelecehan juga dialami subjek YS, hanya bedanya ia mengalami
20
pelecehan ketika sudah menjadi/berpenampilan sebagai waria. Pelecehan diterima YS dari warga sekitar tempat tinggal dan dari lokasi nyebong. Walaupun pelecehan yang terjadi tidak sampai pada hubungan seksual, subjek merasa sangat keberatan atas perilaku yang diterimanya. Subjek menginginkan untuk dihargai sebagaimana mestinya manusia, walaupun dirinya seorang waria. Pada masa remaja, subjek mulai mempertanyakan kondisinya yang berbeda dengan orang lain pada umumnya. Mengapa ia tidak ia tidak dapat mengalami apa yang dialami oleh teman seusianya, mulai berhubungan dengan lawan jenis. Keinginan untuk lebih dapat mengekspresikan diri bertentangan dengan pandangan masyarakat akan kondisinya, bentuk yang ingin ia miliki. Ketika subjek sudah mulai dapat menerima kondisi dan memulai pencarian jati dirinya, tentangan-tentangan datang dari keluarga, lingkungan sekitar dan masyarakat umum. Walaupun berbahagia dengan keputusan yang diambil dan menikmati peran yang dipilih, tekanan yang berasal dari luar sangat mempengaruhi kehidupan subjek. Penerimaan diri subjek adalah adalah satu titik tolak perjalanan hidupnya,dimulai dengan penerimaan atas kondisi mereka yang terlahir sebagai laki-laki tetapi memiliki kecenderungan seperti perempuan. Penerimaan dan kesadaran atas kondisi inilah yang membuat kedua subjek tidak ingin melakukan perubahan pada fisik mereka seperti operasi ganti kelamin. Sejalan dengan penerimaan diri tersebut subjek dapat menerima segala konsekuensi hidupnya sebagai waria, konflik, tekanan, dari dalam dan luar diri subjek. Konsekuensi tidak dapat memiliki keturunan, tidak memiliki pasangan (tidak dapat menikah), dan menghadapi pandangan masyarakat umum karena menjadi “berbeda”.
21
Penerimaan keluarga tidak didapatkan dengan mudah, dibutuhkan sebuah proses panjang bagi eluaraga subjek untuk menerima kondisi mereka. Diawali dengan konflik dengan orang tua, pertengakaran dengan saudara sampai dengan keputusan subjek untuk meninggalkan rumah baik karena konflik tersebut ataupun untuk menghindari konflik. Keluar dari rumah membuat subjek dapat lebih mengekspresikan diri dan maksimal dengan apa yang menjadi pilihannya. Keluarga MV menerima dirinya setelah ia mencapai berbagai macam prestasi dan ia bekerja sebagai orang “kantoran”. Subjek YS juga mengalami konflik dengan keluarga, tetapi karena keluarga YS adalah keluarga yang demokratis, sehingga lebih mudah bagi mereka untuk menerima penjelasannya atas kondisi yang dialami. Apabila dalam masyarakat yang bersangkutan tidak terdapat organisasi deviasi dengan pola atau “kebudayaan”khusus, seperti yang dianut oleh seorang pribadi yang sosiopatik, maka proses adaptasinya dalam masyarakat menjadi lebih sulit. Namun bila individu yang bersangkutan dapat memasuki satu organisasi sosiopatik yang berstruktur rapi, maka dia mendapatkan kesempatan untuk menjadikan dirinya bagian dari satu sistem kelompok; lalu melakukan identifikasi terhadap nilai-nilai dan norma-norma organisasi deviasi tadi. Dia bisa menikmati satu solidaritas sosial bersama-sama dengan kawan-kawan “senasib”, dan bisa mempertahankan integritas kepribadiannya Kedua subjek dalam penelitian ini pada masa pencarian jati diri mereka, bergabung dengan komunitas waria dimana mereka kemudian dapat merasa “normal”, sesuatu yang tidak dapat mereka rasakan pada saat berada ditengah masyarakat umum. Subjek YS sebelum bergabung dengan komunitas waria
22
sempat bergabung dengan komunitas gay karena merasa sebagai penyuka sesama jenis, tetapi akhirnya ia menyadari bahwa kondisi sesungguhnya yang ia alami adalah berbeda. Berada di dalam komunitas sesamanya membuat kedua subjek dapat lebih mengekspresikan diri mereka, dan ini sangat membantu dalam proses pencarian jati diri mereka. Menurut Webster (1966), istilah “conflict”dalam bahasa aslinya berarti suatu ‘ perkelahian’ , peperangan atau perjuangan. Yaitu berupa konfrontasi fisik antara beberapa pihak. Kemudian berembang dengan masuknya ketidaksepakatan yang tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan, ide-ide, dan lain-lain. Dengan kata lain, istilah konflik juga telah menyentuh aspek psikologis. Konflik-konflik yang menyertai perjalanan hidup kedua subjek tidak hanya berasal dari dalam diri mereka tetapi juga dari keluarga, lingkungan dan tempat kerja. Konflik internal terkait dengan perasaan atas kondisi yang dimiliki terutama pada masa percarian diri. Penolakan dari keluarga, penghinaan lingkungan dan masyarakat atas ke’ waria’ annya, pelecehan seksual sampai dengan kekerasan fisik. Stres adalah sebuah keadaan yang kita alami ketika ada ketidaksesuaian antara tuntutan-tuntutan yang diterima dan kemampuan untuk mengatasinya. Keseimbangan antara bagaimana kita memandang tuntutan-tuntutan dan bagaimana kita berpikir bahwa kita dapat mengatasi semua tuntutan yang menentukan apakah kita tidak merasakan stres, merasakan distres atau eustres. Kondisi subjek MV sebagai seorang waria memicu terjadinya stres pada subjek, yakni ketakutan akan masa tua, tidak dapat menikah dan tidak dapat
23
memiliki keturunan. Pada subjek MV pengalaman hidup yang telah dijalani dan proses belajar dapat membantunya mengatasi tekanan-tekanan baik yang datang dari dalam maupun tekanan yang datang dari luar (keluarga, masyarakat dan tempat kerja). Pada subjek YS, tekanan diatasi dengan cara bersikap pasrah, menjalani hidup dengan mengalir, terkadang “masa bodoh”, dan mendekatkan diri pada Tuhan. Subjek YS selalu berusaha instropeksi diri apabila tekanan atau konflik datang, berdoa dan yakin akan rencana Tuhan adalah hal yang selalu dilakukannya. Kedua subjek dalam penelitian ini memiliki perjalanan hidup yang panjang yang penuh dengan tekanan, konflik, stres yang menyertai proses penyesuaian diri mereka. Masing-masing subjek memiliki cara yang berbeda untuk mengatasi segala masalah yang mereka hadapi. Penyesuaian diri yang mereka capai menjadikan mereka individu yang dapat mengaktualisasikan diri dengan baik. Sehingga mereka dapat diterima oleh keluarga, lingkungan dan tempat kerja mereka. Kartono (2001) menyatakan bahwa perasaan bahagia dan kemampuan menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan oleh individu yang sosiopatik secara kualitatif bergantung pada sikap pribadinya terhadap aku sendiri. Yaitu bergantung pada proses penamaan-diri (zelfbenaming) dan penentuan-diri. Peristiwa
ini
dicerminkan
oleh
perimbangan
antara
pendefinisian
sosial/penentuan-sosial dengan penentuan-diri sendiri. Individu yang puas dalam usaha pembenaran-diri dan pendefinisian-diri sendiri ini, akan merasa bahagia, dan mudah menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Sebaliknya, dia akan menjadi sangat tidak bahagia atau sengsara, apabila tidak ada kongruensi atau
24
keseimbangan antara pendefinisian-diri dengan hukuman sosial; antara peranan yang dituduhkan kepada dirinya dan peranan sosial menurut interpretasi sendiri yang ingin dilakukannya (Kartono, 2001). Kedua subjek dalam penelitian ini tampak memiliki sikap pribadi terhadap diri mereka sendiri yang baik. Hal tersebut terbukti dari kemampuan mereka dalam penentuan diri mereka sebagai waria, dimana mereka mampu untuk mengakui keberadaan diri mereka sebagai waria, untuk berekspresi, dan akhirnya dihargai sebagai individu-individu yang berhasil/berprestasi. Kondisi ini juga
kemudian
menunjukkan
bahwa
mereka
terbukti
mampu
untuk
mengupayakan dan mencapai keseimbangan antara pendefinisian-diri dengan hukuman sosial; antara peranan yang dituduhkan kepada diri mereka dan peranan sosial menurut interpretasi sendiri, seperti yang ingin mereka lakukan. Pribadi sosiopatik yang adjusted adalah seseorang yang dengan sadar dan ikhlas menerima statusnya, juga menerima peranan dan pendefinisian diri sendiri. Jelasnya: dia ikhlas menerima pendefinisian eksternal (penamaan oleh orang luar), yang kemudian ditransformasikan sebagai pendefinisian diri (Kartono, 2001). Subjek-subjek dalam penelitian ini sebagai pribadi sosiopatik juga terbukti cukup adjusted , karena mereka mampu dengan sadar dan ikhlas menerima status mereka (oleh lingkungan mereka), dan juga menerima peranan dan pendefinisian diri sendiri.
Kesimpulan
25
Waria sebagai Subjek dalam penelitian ini, merasa tidak ada yang salah dengan pola asuh dari orang tua, dan mereka juga merasa mendapatkan kasih sayang yang selayaknya dari orang tua mereka. Waria sebagai Subjek dalam penelitian ini juga memiliki ketertarikan terhadap sesama jenis sejak usia kanakkanak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kondisi Waria yang dialami bukan dari pengaruh keluarga atau lingkungan. Kedua Subjek dalam penelitian ini, mengalami pergolakan-pergolakan batin, dalam bentuk konflik-konflik, stres dan masalah penyesuaian diri. Pada saat Subjek sudah bisa menerima kondisi mereka, gejolak itu berkurang dan mereka lebih bisa mengaktualisasikan diri. Dalam hal penyeusian diri mereka, kedua subjek dalam penelitian ini tampak memiliki sikap pribadi
terhadap diri mereka sendiri yang baik. Hal
tersebut terbukti dari kemampuan mereka dalam penentuan diri mereka sebagai waria, dimana mereka mampu untuk mengakui keberadaan diri mereka sebagai waria, untuk berekspresi, dan akhirnya dihargai sebagai individu-individu yang berhasil/berprestasi. Kondisi ini juga kemudian menunjukkan bahwa mereka terbukti mampu untuk
mengupayakan dan mencapai keseimbangan antara
pendefinisian-diri dengan hukuman sosial; antara peranan yang dituduhkan kepada diri mereka dan peranan sosial menurut interpretasi sendiri, seperti yang ingin mereka lakukan. Waria sebagai Subjek dalam penelitian ini merasa bahagia, dan mudah menyesuaikan diri dengan lingkungannya karena mereka merasa puas dalam usaha pembenaran-diri dan pendefinisian-diri sendiri. Waria sebagai Subjek dalam penelitian bisa menikmati satu solidaritas sosial bersama-sama dengan kawan-kawan “senasib”, dan bisa mempertahankan
26
integritas kepribadiannya. Ini disebabkan karena mereka mendapat kesempatan untuk menemukan dan bergabung dengan organisasi deviasi dengan pola atau “kebudayaan”khusus, yakni organisasi waria.
B. Saran Berdasarkan proses penelitian dan hasil yang diperoleh, peneliti menyarankan beberapa hal sebagai berikut:
1. Kepada masyarakat luas Mengetahui fenomena waria yang sebenar-benarnya dan jelas dapat membantu kita memahami apa dan bagaimana mereka, sehingga kita dapat menyikapi fenomena tersebut dengan lebih bijak, juga sikap kita terhadap individu yang mengalaminya. Pengetahuan tentang perbedaan antara satu fenomena dengan fenomena lainnya dapat menghindari terjadinya salah persepsi terhadap fenomena tersebut. 2. Kepada peneliti selanjutnya Keterbatasan kemampuan peneliti dan waktu yang tersedia sangat mempengaruhi hasil sebuah penelitian. Disarankan memperbanyak subjek penelitian serta variasi pekerjaan, pendidikan, agar data yang diperoleh lebih kaya dan penggalian masalah lebih dalam dan jelas. Penelitian ini menggunakan alat Bantu audio, akan lebih baik jika alat Bantu berupa audio visual agar catatan observasi lebih lengkap dan objektif, juga untuk mengetahui bahasa non verbal subjek, sehingga lebih mendukung pembahasan dan kesimpulan yang diambil.
27
Penelitian ilmiah mengenai Waria masih sangat sedikit, mungkin dapat dicoba dari sudut pandang yang lain mengenai fenomena waria, seperti perilaku seksualnya yang beresiko tinggi atau membandingkan fenomena waria dengan fenomena-fenomena lain yang serupa.
28
DAFTAR PUSTAKA Alsa, A. 2003. Pendekatan Kuantitaif dan Kualitatif Serta Kombinasinya Dalam Penelitian Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. Banister,P., Burman, E., Parker, I., Tylor, M., Tindall, C. 1994. Qualitative Methods in Psycology, A Research Guide, Buckingham-Philadelphia : Open University Press. Boellstorff, T. 2001. Waria, National Transvestite. Paper Presentasi. Melbourne, Australia. Bogdan, R. & Taylor, S. 1993. Kualitatif (Dasar-Dasar Penelitian)(Terjemahan). Surabaya : Usaha Nasional. Brannen, J. 1997. Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif (Terjemahan). Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Burhanuddin, E. 2002. Waria dalam Pandangan Islam (Naskah). Conway, L. 2004. Basic Transgender/Transsexual/Intersex. http://www.lynnconway.com/.7/9/05 Cordon, I.M. 1997. Stress. Penelitian. Northridge: California State University, Northridge. Departemen Kesehatan R.I. 1993. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (Cetakan pertama). Jakarta : Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Gorden, R.L. 1980. Interviewing: Strategi, Techniques, and Tactics (3rd Ed). USA:Dorsey Press. Hayaza’ , F. 2003. Transseksualisme. Paper Seminar. Yogyakarta. Hayaza’ , F. 2004. Waria. Penelitian Praktek Psikologi Sosial – Profesi Psikologi. Yogyakarta Hayaza’ ,Y. 1998. Perkembangan Transseksual Wanita (Sebuah Pendekatan Kualitalif Eksploratif). Skripsi (dipublikasikan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada. Kartono, K. 2001. Patologi Sosial (Jilid 1). Jakarta: RajaGrafindo Persada. Koeswinarno. 2004. Hidup Sebagai Waria. Yogyakarta: LKiS.
29
Looker, T dan Gregson, O. 2005. Managing Stress. Mengatasi Stres Secara Mandiri. Yogyakarta: BACA. Mardalis. 1995. Metode Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara. Marshall. & Rossman, G.B. 1989. Designing Qualitative Research. USA:Sage Publications.Inc. Mathews, L D. 1997. Crossdressing and Society. Artikel. http://cydathria.com/ms_donna/cding.html.7/9/05 Matzner. A. Oktober.1995. A Classic FTM. Majalah Polare,10. Moleong, L.J. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif (cetakan ke tujuh). Bandung : PT. Remaja Rosda Karya. Muhadjir, N. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif (edisi ketiga cetakan ke tujuh). Yogyakarta. Moustakas,C. 1994. Phenomenological Research Methods.USA: Sage Publications Inc. Miles, M.B. & Hubermen, A.M. 1984. Qualitative Data Analysis-A source Book of New Methods. USA: Sage Publication, Inc. Nawawi, H.H. & Martini, H.M. 1994. Penelitian Terapan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Nasution, EDSN. 2005. Perkawinan Beda Agama (Laporan PKL Sosial). Yogyakarta. Nasution, S. 1996. Metode Penelitian Naturalistik – Kualitatif. Bandung: Tarsito. Nauly, M. 2002. Penelitian Konflik Peran Gender pada Pria : Teori dan Pendekatan Empirik. Sumatera Utara: USU Digital Library.
Pria-Pria
Jelita-Upaya Miring Fantasi (&Penyimpangan) Seks. http://www.popularmaj.com/content/preview/liputankhusus/0698/.20/9/04
Prince, V. 1997. Transvestism: A Survey of 1032 Cross-Dressers. Pruitt, D.G. and Rubin, J.Z. 2004. Teori Konflik Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
30
Psychology of Gender Identity & Transgenderism. Dr. Harry Benjamin’ s Gender Disorientation Scale. http://www.genderpsychology.org/identity/gender_identity_disorder.h tml.08/2/05 Ratnam, S.S. Goh, V.H.H. & Tsoi, W.F. 1991. Cries from Within. Transexualism, Gender Confusion and Sex Change. Singapore: Longman Singapore Publishers (Pte) Ltd. Runyan, WM. 1984. Life Histories and Psychobiography. Explorations in Theory and Method. New York: Oxford University Press. Strauss, A. & Corbin, J. 1990. Basics of Qualitative Research. Grounded Theory, Procedures and Techniques. USA:Sage Publications, Inc. Swaab, D.F. 1995. Study Suggests Biological Link for Male–to–Female Transexualism. Amsterdam: The Associated Press. The Renaissance Transgender Association. Reasons For Male To Female Crossdressing. Inc. http://www.ren.org/rbp02.html.05/08/05 The Renaissance Transgender Association. Myths & Misconceptions About Crossdressers. Inc. http://www.ren.org/rbp01.html.05/08/05 The Watson Table. http://homepages.ihug.co.nz/~lucrisha/Watsontbl.html.08/8/05 Vigil, M.P.G. 2005. Stress Perception, Stressful Experiences and Stress Management Strategies. Sweden: Stockholm University What Causes Someone to be A Cross Dressers? http://www.lisemour.com/cle/faqs.htm.14/2/05 Yarborough, M. Crossdressers and Queen. http://village.fortunecity.com/carnival/383/tv-queen.htm.15/7/05