Warek I UNAIR Djoko Santoso, Amanah Ini Jalan untuk Beramal UNAIR NEWS – Tidak pernah terlintas di benak Prof. Djoko Santoso, dr., Sp.PD-KGH., Ph.D., FINASIM bahwa akan mengemban amanah sebagai Wakil Rektor I Universitas Airlangga. Di usianya yang ke-54 tahun ini, berbagai amanah telah berhasil ia rampungkan. Setelah mengemban tugas sebagai Wakil Dekan II Fakultas Kedokteran (FK) UNAIR, terhitung sejak 20 Agustus 2015 Prof. Djoko mendapatkan amanah baru sebagai Wakil Rektor yang membawahi bidang akademik dan kemahasiswaan. Baginya, jabatan adalah amanah. Jadi baginya, ini membuka kesempatannya untuk beramal. Jabatan sebagai Wakil Rektor I UNAIR ini merupakan tugas yang harus diselesaikan sesuai amanah yang telah disematkan kepadanya. “Ya, itu merupakan amanah. Bukan alhamdulillah, tapi bismillah saya bisa menjalankan amanah ini, karena sesungguhnya itu adalah beban yang cukup berat,” tutur Guru Besar Ahli Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR ini. Baginya, menjadi Wakil Rektor I merupakan tugas yang cukup berat. Apalagi saat ini UNAIR memiliki 14 fakultas dan satu sekolah Pascasarjana, 1.502 dosen tetap, 38.000 mahasiswa, dan 167 program studi. Modal sumberdaya itulah yang harus dipikirkan oleh Professor asal Jombang ini, sesuai dengan target Kemenristek Dikti bahwa UNAIR harus masuk peringkat 500 dunia pada tahun 2019. ”Kembali lagi kepada ranah keikhlasan dan ketulusan. Itu konsekuensinya. Ketika ketulusan dan keikhlasan untuk mengabdi sudah bulat, maka manajemen waktu menjadi relatif tidak masalah. Karena sesungguhnya dibelakang kita diselesaikan oleh Allah SWT,” paparnya mantap.
Bagi Prof. Djoko, ketika mengabdi dan menjalankan amanah sebagai wakil rektor dilaksanakan dengan niat tanpa mencari popularitas, maka tidak akan ada beban dalam menjalankan amanah itu. Warisan Semangat Ayah Djoko kecil sudah menjadi yatim sejak berumur lima tahun. Lika-liku kehidupan telah ia lalui. Almarhum ayahnya yang merupakan seorang kepala sekolah, menjadi penyemangat dalam menjalani hidup yang diakui tidak selalu berjalan mulus. ”Nilai-nilai itulah yang menjiwai, sehingga dengan kondisi yang tidak jelas, ekonomi, arah pendidikan tidak jelas, saya harus survive,” tutur Prof. Djoko Santoso mengenang. Sebagai anak yang aktif, sepulang sekolah Djoko remaja tidak mau kalau hanya berdiam diri di rumah. Bersama teman-teman sebayanya ia suka pergi bermain ke sawah, bermain pimpong, berinteraksi dengan teman-teman. Hal-hal itulah yang kemudian ia sadari justru sebagai softskill, bekal saat beranjak dewasa. Ia dibesarkan dalam lingkungan Jawa. Sehingga tak heran tuturan bahasa Jawanya melipis (halus). Sebelum pada akhirnya berkiprah dalam dunia kedokteran, tidak ada gambaran dalam pikirannya untuk menggeluti bidang yang terkenal “mahal” itu. Saat itu, ketika lulus SMA, ia mendaftar di dua perguruan tinggi, yaitu Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Malang dan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ia diterima untuk kuliah bidang keguruan di Malang. Namun, langkah rupanya mengarahkan lain. Ia diterima juga untuk studi pendidikan dokter di UGM. Akhirnya ia memilih kedokteran untuk mendapatkan gelar sarjana sebagai dokter. “Tidak ada yang mendasari. Kalau diterima di IKIP, ya saya jadi guru. Ternyata Allah memberikan SK Kedokteran,” kenangnya. Ketika menempuh pendidikan di perguruan tinggi, buku-buku ajar
pun tak selalu Djoko miliki. Ia sering meminjam buku ke temantemannya ketika teman itu sedang tidur, lalu ia pakai untuk belajar. “Saat di perguruan tinggi, semua buku saya pinjam. Dia (teman – red) tidur, saya pinjam bukunya. Dia bangun saya tidur,” kisahnya. Sejak saat itulah arah menuju sebagai dokter semakin terbuka. Setelah lulus sebagai dokter (S1) lalu mengambil program Magister di Universitas Airlangga, dan Doktoral di JuntendoUniversity School of Medicine, Jepang. Kerjasama Internasional Setelah dilantik dan diresmikan sebagai Wakil Rektor I UNAIR, Prof. Djoko memulai langkahnya dengan melakukan identifikasi SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, dan Threats). Ada tiga hal yang akan digerakkannya dalam menjalankan tugas yang telah ada di pundaknya. Untuk memenuhi target Kemenristek Dikti, langkah yang akan ditempuh meliputi empat hal, yakni academic excellence, research excellence, community service excellence, dan university holding excellence. Pada bagan yang disampaikan dalam Raker UNAIR, ada tiga komponen saling terintegrasi yang semua akan mengarah pada world class university. Pertama, abundant resources. Kedua, favorable governance. Ketiga, concentration of talent. Ia menargetkan kedepan UNAIR harus memperbanyak kerjasama internasional. Reputasi akademik yang bagus dibuktikan dengan hubungan internasional yang bagus. Hubungan internasional dibuktikan dengan persentase mahasiswa/dosen yang masuk dan keluar. Visiting professor dari luar dan juga sebaliknya. “Berbicara tentang exchange, bukan hanya SDM, tapi juga sistem pendidikan. Kredit transfer atau kredit mobility. Ambil studi enam bulan disini diakui pihak luar. Tidak hanya itu, bahkan juga research collaboration. Kemudian training internasional, seminar internasional, workshop internasional, semua masuk internasionalisasi program. Bisa ditransfer. Itu tentang
academic excellence,” katanya. Bidang akademik yang unggul salah satunya dibuktikan dengan pengakuan prodi di ranah internasional, sudah tersertifikasi ASEAN University Network (AUN). Selain itu didukung dengan prestasi sivitas di ranah internasonal, dan juga meratanya teknologi dan informasi yang masuk ke realisasi layanan perkuliahan di semua prodi di UNAIR. “Research excellence, ada transfer teknologi. Research yang dikembangkan hasilnya bisa mengalir ke community. Digodok, dicetak, digandakan, sehingga nanti dipasarkan dan didistribusi. Kemudian sebagian hasil penelitiannya dimasukkan dalam materi perkuliahan, sehingga yang didapat dosen ke mahasiswa menjadi ilmu yang update dan teraplikasi. Sehingga UNAIR bisa mengklaim bahwa keberadaannya bisa mensejahterakan bangsa dan umat dunia. Itu research excellence,” kata penulis buku “60 Menit Menuju Ginjal Sehat” ini. Ia juga mentarget tahun 2016 ini harus banyak visiting professor yang datang. Mereka bukan hanya memberikan perkuliahan, tetapi juga membahas pengenai “pohon” penelitian. Sebab kerjasama penelitian dan visiting professor baru bisa dilakukan ketika sudah ada profesor UNAIR yang jurnal penelitiannya sudah terpublikasi dan terindeks Scopus. Standar itu yang membuat mereka percaya. ”Kita kemarin kapasitasnya 100-an yang terindeks Scopus. Jumlah publikasi ilmiah harus ditingkatkan tiga kalinya. Seratus dosen harus menggeret 200 dosen lainnya. Kalau kita sekarang punya 40% Ph.D, berarti 600 doktor, kalau separuhnya 300. In shaa Allah. Kenapa tidak bisa? Innama amruhu idza arada syaian anyaqula lahu kun fayakun,” tegas peraih penghargaan The young Investigator’s Award Travel Grant tahun 2002 ini. Terus Mengabdi Prof. Djoko dikaruniai tiga orang putra, yang ketiganya
berkiprah dan mengambil studi di bidang kedokteran. Diantara semua kesibukannya, sebagai bagian dari sumpah dokter yang tak boleh dilupakan, ia masih membuka praktik di klinik pribadi miliknya: klinik cuci darah di daerah Mulyosari itu telah ia buka sejak tahun 2010 silam. Ada lima kekayaan yang selalu ia syukuri dalam hidupnya, yaitu kekayaan kesehatan, kekayaan mental, kekayaan spiritual, kekayaan networking social, dan kekayaan intelektual. “Saya sering merenung. Tidak usah terlalu muluk-muluk, tapi yang penuh manfaat, yang sangat membumi, dimana orang bisa merasakan kesejahteraan kita,” tambah Prof. Djoko. “Hidup hanya sekali, usahakan untuk penuh manfaat pada umat. Karena kalau tidak penuh makna, arti hidupmu akan gagal. Membuat buku, menulis gagasan yang bermanfaat, karya kita dirasakan untuk kebutuhan orang miskin. Itu hal-hal yang membuat hidup kita bermakna,” pungkasnya. (*) Penulis : Binti Quryatul Masruroh Editor : Bambang Bes