REVITALISASI
WADAH KERUKUNAN DI BERBAGAI DAERAH DI INDONESIA
Editor: H. Haidlor Ali Ahmad
DEPARTEMEN AGAMA RI BADAN LITBANG DAN DIKLAT PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN 2009
Perpustakaan Nasional: katalog dalam terbitan (KDT) Puslitbang Kehidupan Keagamaan Revitalisasi wadah kerukunan di berbagai daerah di Indonesia, puslitbang kehidupan keagamaan-Ed. I. Cet. 1. ------Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan 2009 vi + 257 hlm; 15 x 21 cm ISBN 978-979-797-221-9
Hak cipta 2009, pada penulis Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, termasuk dengan cara menggunakan mesin fotocopy, tanpa izin sah dari penerbit Cetakan pertama, September 2009
Puslitbang Kehidupan Keagamaan REVITALISASI WADAH KERUKUNAN DI BERBAGAI DAERAH DI INDONESIA Editor: H. Haidlor Ali Ahmad Hak penerbitan pada Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Jakarta Desain cover dan ley out oleh: H. Zabidi Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI Gedung Bayt al-Qur’an dan Museum Istiqlal Komplek Taman Mini Indonesia Indah Telp/Fax. (021) 87790189, 87793540 Jakarta Dicetak oleh CV. PRASASTI
SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG DAN DIKLAT DEPARTEMEN AGAMA
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Salam sejahtera untuk kita semua Menganut agama dan beribadat menurut keyakinan masing-masing adalah merupakan hak azasi manusia. Bahkan, hak yang satu ini termasuk dalam kategori yang paling fundamental, yang tidak dapat dikurangi, dibatasi atau dilanggar dalam kondisi apapun, karena hak azasi beragama inheren dengan kemanusiaan dan sama sekali tidak bersifat kondisional. Untuk memenuhi hak azasi tersebut, pemerintah Indonesia memberi perhatian besar agar setiap warga masyarakat Indonesia, umat beragama, dapat melaksanakan ajaran agamanya dalam kondisi yang aman dan nyaman. Perhatian pemerintah terhadap kehidupan beragama terlihat dari pencantuman masalah agama dalam Pasal 28 E Ayat (1), dan 29 Undang-Undang Dasar 1945. RPJMN 2004-2009 menegaskan bahwa ada 6 (enam) Program Pembangunan Bidang Agama, yang salah satunya adalah Program Penelitian dan Pengembangan Agama. Program Penelitian dan Pengembangan ini bertujuan untuk menyediakan data dan informasi bagi pengembangan kebijakan pembangunan agama, penyediaan data dan informasi bagi masyarakat akademik dan umum dalam rangka mendukung tercapainya program-program pembangunan bidang agama. Buku berjudul Revitalisasi Wadah Kerukunan di Berbagai Daerah di Indonesia ini merupakan hasil penelitian Puslitbang Kehidupan Keagamaan yang dilaksanakan tahun 2007. Kami
i
menyambut baik penerbitan buku ini, paling tidak karena tiga hal. Pertama, dapat memberikan gambaran bagaimana tokoh agama dan masyarakat tingkat kecamatan membangun wadah kerukunan antar umat beragama secara bottom up, karena Wadah kerukunan Forum Komunikasi Antar Umat Beragama (FKAUB) yang menjadi sasaran penelitian ini dibentuk di tingkat kecamatan sebelum lahirnya Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, dan wadah kerukunan tingkat kecamatan tidak diatur dalam PBM; Kedua, penerbitan hasil penelitian dapat dijadikan sarana sosialisasi hasil-hasil kelitbangan sehingga diharapkan dapat dijadikan bahan acuan bagi berbagai fihak yang memerlukan informasi tentang pembentukan dan revitalisasi wadah kerukunan antarumat beragama di tingkat kecamatan; Ketiga, penyebaran hasil penelitian merupakan tanggung jawab akademis para peneliti sehingga diharapkan ke depan hasil-hasil penelitiannya semakin teruji, baik secara metodologis maupun substansi. Kami berharap buku ini bermanfaat dan dapat memperkaya literatur tentang kerukuan antarumat beragama di Indonesia. Jakarta, September 2009 Kepala Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI
Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar NIP. 19481020 196612 1 001
ii
KATA PENGANTAR KEPALA PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN
Syukur alhamdulillah, penerbitan buku Revitalisasi Wadah Kerukunan di Berbagai Daerah di Indonesia, yang merupakan salah satu kegiatan rutin Puslitbang Kehidupan Keagamaan tahun anggaran 2009 telah dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Buku ini memuat beberapa hasil penelitian tahun 2007 yang mendiskripsikan perkembangan wadah kerukunan di tingkat kecamatan di beberapa daerah yang dibentuk atau direncanakan dibentuk dengan bekerjasama antara tokoh agama, tokoh masyarakat, aparat pemerintah setempat dan Puslitbang Kehidupan Keagamaan (pada waktu itu Puslitbang Kehidupan Beragama). Kecamatan-kecamatan yang telah melakukan kerjasama tersebut dan menjadi sasaran penelitian ini adalah: Kec. Pulau Punjung, Kab. Darmasraya, Sumbar, Kec. Banten, Kab. Banten, Kec. Buleleng, Kab. Buleleng, Bali; Kec. Lembar, Lombok Barat, NTB, Kec. Banjarmasin Tengah, Kota Banjarmasin, Kalsel; Kec. Pahundut, Kota Palangkaraya, Kalteng; Kec. Tenggarong, Kab. Kutai Kertanegara; Kec. Bitung Tengah, Kota Bitung, Sulawesi Utara; Kec. Mandonga, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Urgensi dari penerbitan buku ini setidak-tidaknya dapat memberikan gambaran tentang upaya masyarakat dalam melakukan revitalisasi wadah kerukunan di tingkat kecamatan. Disamping itu juga dapat memberikan gambaran tentang upaya penolakan masyarakat terhadap pembentukan wadah kerukunan dan berbagai macam argumentasinya.
iii
Banyak fihak yang telah ikut serta membantu kelancaran proses penelitian ini, sejak tahap persiapan, pengumpulan data lapangan, hingga terwujudnya buku ini. Dalam kesempatan ini kami ucapkan terima kasih kepada: 1. Kepala Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama yang telah memberikan arahan, baik terkait masalah substansi maupun metodologi. 2. Aparat pemerintah daerah, seluruh jajaran Departemen Agama di lokasi penelitian, para tokoh agama dan tokoh masyarakat serta anggota masyarakat yang telah memberikan informasi atau data terkait dengan permasalahan penelitian. Kritik dan saran dari seluruh pembaca sangat kami harapkan untuk perbaikan dan penyempurnaan buku ini, terutama bagi penelitian ke depan.
Jakarta, September 2009 Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Prof. H. Abd. Rahman Mas’ud, Ph.D NIP. 19600416198903 1 005
iv
PENGANTAR EDITOR
Indonesia adalah negara-bangsa yang pluralistik dan multikulturalistik yang memiliki penduduk dari berbagai etnis, bahasa, agama, dan ideologi serta dengan letak geografis antardaerah yang luas dan dipisahkan oleh belasan ribu pulau. Karena itu dalam negara-bangsa ini, resiko terjadinya konflik di antara masyarakatnya sangatlah besar. Berkenaan dengan kondisi ini pemerintah sejak era orde baru telah berupaya merumuskan kerukunan hidup umat beragama. Dalam hal ini, sejarah telah mencatat bahwa Prof. Dr. H.A. Mukti Ali telah membangun landasan teoritik kerukunan di Indonesia dengan memajukan konsep agree in disagree; karena masalah agama adalah hal yang “khas” dan karenannya, tidak dapat diperjanjikan. Akhirnya di tangan Mukti Ali konsep “Kerukunan Hidup Umat Beragama” yang muncul kali pertama dari KH Muhammad Dahlan 1 menjadi regulasi yang jelas dan terarah. Sesungguhnya tidak mudah bagi Mukti Ali merumuskan konsep itu, apalagi dimaksudkan sebagai penerjemahan pesan Presiden (Suharto) “agar dengan baikbaik mengajak masyarakat dari seluruh komunitas beragama di Indonesia agar mulai membangun”.2 Di tengah merebaknya
1
Istilah tersebut muncul secara formal kali pertama dari Kata Sambutan Menteri Agama K.H. Muhammad Dachlan pada Musyawarah Antar Umat Beragama I, 30 November 1967di Jakarta. Lihat Sudjangi (peny.) , Pembinaan Kerukunan Hidup Umat Beragama: 50 Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia (Jakarta: Proyek Peningkatan Kerukunan Hidup Umat Beragama, 1995/1996).
2
Munhanif, “Prof Dr. H. AMukti Ali: Modernisasi Politik-Keagamaan Orde Baru” 192.
v
kekerasan konflik yang cukup tajam antara kelompok umat beragama di beberapa wilayah tanah air.3 dan tingginya kekhawatiran para pemimpin umat Islam terhadap kata “modernisasi”4 yang digunakan orde baru, maka, jelas Mukti Ali memulai pekerjaan beratnya sebagai Menteri Agama dalam suasana jaman yang serba sulit. Selama kepemimpinan Mukti Ali, Departemen Agama membagi kegiatan keagamaan ke dalam dua bentuk, di satu fihak murni bersifat agama sementara di sisi lain bersifat politis. Kepada yang pertama, tentu saja, pemerintah membolehkan, bahkan medukung, segala bentuk kegiatan keagamaan masyarakat yang berkaitan dengan peningkatan penghayatan agama. Tetapi harus segera ditekankan bahwa pemerintah menghindari segala bentuk kegiatan keagamaan yang disandarkan, atau cenderung mengarah, kepada perjuangan politis.
3
Antara tahun 1967-1970-an, berlangsung polemik keagamaan yang keras antara Islam dan Kristen dalam bentuk ceramah dan famlet-famlet kecil yang dipicu –antara lain- oleh konsolidasi rezim orde baru, yang ditopang oleh Angkatan Darat, yang secara nyata memperlihatkan keengganan untuk mengajak kalangan Muslim, baik reformis maupun tradisionalis, sebagai partner politiknya. Hal lain juga memperuncing ketegangan Islam – Kristen adalah keberhasilan spektakuler yang dicapai kegiatan misionaris Kristen selama 1966-1971. Lebih lanjut lihat ibid, 302-3.
4
Kekhawatiran dan kecurigaan sementara kalangan Muslim terhadap orde baru karena pilihan rezim ini dalam menegakkan negara kebangsaan modern, tidak didasarkan pada ideologi agama. Secara politis kekhawatiran itu muncul akibat berbagai perubahan politik - pasca pemberontakan PKI 1965 yang gagal - yang dianggap sangat merugikan kelompok Islam. Umumnya mereka berkeyakinan bahwa agenda modernisasi hanya dimaksudkan untuk mengakhiri bentuk sistem pemerintahan yang bersifat ideologis, yang berarti juga, mengakhiri kekuatan Islam sebagai ideologi politik di Indonesia. Lebih lanjut lihat, Mohammad Kamal Hasan, Modernisasi Indonesia: Respon Cendekiawan Muslim, terj. Ahmadie Thaha (Jakarta: LSI, 1987).
vi
Fakta sejarah di atas penting dideskripsikan kembali, untuk melihat secara jelas, pada jaman seperti apa kebijakan tentang kerukunan intern dan antarumat beragama untuk kali pertama dirumuskan, dan atas kepentingan apa pemerintah waktu itu merumuskan sebuah agenda, bahwa kerukunan harus juga dibangun tidak saja intern/antarumat beragama tetapi juga antarumat beragama dengan pemerintah.5 Salah satu produk hukum berkenaan dengan kerukunan hidup umat beragama pada waktu itu adalah Surat Keputusan Bersama (SKB) Menderi Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1969. Perjalanan sejarah selajutnya, berkenaan dengan kebijakan Pemerintah (Departemen Agama) dalam membina kerukuan umat beragama pada waktu Alamsyah Ratu Perwiranegara menjabat Menteri Agama, wadah kerukunan telah dibentuk dengan nama Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama (WMAUB) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 35 tanggal 30 Juni 1980. Wadah tersebut memiliki fungsi sebagai forum konsultasi dan komunikasi antar pemimpin-pemimpin/pemuka-pemuka agama. Secara lebih rinci: a) Sebagai forum untuk membicarakan tanggung jawab bersama dan kerja sama antar warga negara yang menganut berbagai agama; b) Sebagai forum untuk membicarakan kerja sama dengan pemerintah. Dalam kosideran Surat Keputusan Menteri Agama itu dijelaskan tujuan dari WMAUB itu ialah: untuk meningkatkan pembinaan kerukunan hidup di antara sesama umat
5
Untuk tujuan itu pula, di Jakarta didirikan lembaga Kordinasi Dakwah Islam (KODI) dalam upaya menjembatani kepentingan pemerintah dan umat (Islam).
vii
beragama demi terciptanya kesatuan dan persatuan bangsa.6 Saat itu suasana ketegangan dan pertentangan dalam kehidupan beragama muncul kepermukaan, di antaranya adalah: kasus perusakan tempat-tempat ibadat, penyiaran agama kepada orang yang telah memeluk suatu agama, pendirian rumah ibadat, serta kompetisi yang tidak sehat, yang berakibat munculnya fenomena disintegrasi dan perselisihan di kalangan umat bergama, sekalipun tidak pernah terjadi benturan fisik. Keberadaan wadah tersebut dapat memberikan kontribusi terhadap kerukunan hidup umat di antara sesama umat beragama, serta kesatuan dan persatuan bangsa saat itu telah dirasakan, walaupun disadari masih banyak persoalan yang belum dapat diselesaikan secara tuntas. Pada waktu Tarmidzi Taher menjabat Menteri Agama melalui Proyek Pembinaan Kerukunan Umat Beragama dibentuk Lembaga Pengkajian Kerukunan Antar Umat Beragama (LPKUB) di Yogyakarta, Medan dan Ambon. Fungsi dan tujuan dibentuknya lembaga pengkajian ini tidak jauh berbeda dengan WMUB. Perbedaannya, LPKUB lebih menekankan pada pengkajian yang melibatkan cendekiawancendekiawan dari berbagai agama. Keduanya, baik LPKUB maupun WMAUB dibentuk dan dibiayai oleh pemerintah (top-down), dan lebih diperuntukan kalangan elit dan kurang menyentuh masyarakat bawah. Setelah terjadi pergeseran kekuasaan, dengan runtuhnya rezim orde baru dan digantikan oleh orde reformasi, di satu sisi banyak terjadi konflik terbuka di berbagai daerah, seperti di Pontianak, Sampit, Ambon, Poso dan lain-lain. Namun di
6
Hendropoespita, 1984.
viii
sisi lain juga timbul kesadaran dari bawah untuk menggali kearifan lokal yang mereka miliki yang dahulu pernah menjadi perekat yang “ampuh” bagi kerukunan hidup antar umat beragama maupun antar etnis; mereka ada juga yang membangun wadah kerukunan atau melakukan rekacipta wadah kerukunan baru (institutional development)7. Masyarakat yang terlibat konflik, setelah mereka jenuh dengan konflik berkepanjangan, seperti masyarkat Ambon dan Poso, mereka mulai berupaya menggali atau menghidupkan kembali (revitalisasi) kearifan lokal yang pernah mereka miliki atau upaya untuk merekacipta (institutional development) kearifan lokal yang dahulu sangat “ampuh” namun belakangan kurang fungsional. Berkenaan dengan maraknya upaya membangun kerukunan antarumat beragama secara bottom up ini, Puslitbang Kehidupan Keagamaan melaksanakan riset aksi bersama tokoh-tokoh agama dan masyarakat membentuk wadahkerukunan tingkat kecamatan, sehingga terbentuk wadah kerukunan yang diberi nama Forum Komunikasi Antar Umat Beragama (FKAUB) di tingkat kecamatan di berbagai daerah. Selanjutnya pada tahun 2007 Puslibang Kehidupan Keagamaan menyelenggarakan penelitian untuk mengetahui perkembangan FKAUB tersebut. Buku ini memuat deskripsi tentang perkembangan FKAUB di berbagai daerah.
7
Instututional development yaitu memperbaharui institusi-institusi lama yang pernah berfungsi baik, dan dalam upaya membangun tradisi, yaitu membangun seperangkat institusi adat-istiadat yang pernah berfungsi dengan baik dalam memenuhi kebutuhan sosial-politik tertentu pada suatu masa tertentu. Pengembangan institusi ini harus dilakukan oleh masyarakat lokal itu sendiri, dengan melibatkan unsur pemerintah dan unsur non-pemerintah, dengan kombinasi pendekatan top-down dan bottom-up. Lihat: Amri Marzali, 25 Agustus 2005: h 7.
ix
Terbitnya buku ini untuk mengetahui sejauh mana masyarakat secara bottom up membangun wadah kerukunan sebelum adanya Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, yang antara lain memuat Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Di mana pembentukan FKUB tingkat kecamatan tidak diatur dalam PBM, meskipun tidak dilarang. Hadirnya buku ini mudah-mudahan dapat menambah sumber informasi tentang upaya tokoh agama dan masyarakat tingkat kecamatan berkiprah membangun kerukunan di antara mereka. Semoga buku ini memberi manfaat bagi para pengambil kebijakan di bidang pembangunan agama dan kerukunan umat beragama dan dapat menambah wawasan bagi seluruh para pembaca.
Jakarta, Oktober 2009 Haidlor Ali Ahmad
x
DAFTAR ISI Kata Sambutan Kepala Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama ………………………………………………………………..
i
Kata Pengantar Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan …..
iii
Kata Pengantar Editor ……………………………………………...
v
Daftar Isi ……………………………………………………………..
xi
PENDAHULUAN …………………………………………………..
1
REVITALISASI WADAH KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DI PROVINSI SUMATERA BARAT (Studi Perkembangan FKUB Kec. Pulau Punjung, Kab. Damasraya) …………………… Oleh:. H. Nuhrison M. Nuh REVITALISASI WADAH KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DI PROVINSI JAMBI (Studi Perkembangan FKUB Kec. Sungai Bahar, Kab. Muaro Jambi) …………………………………………. Oleh: H. Umar R. Soeroer REVITALISASI WADAH KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DI PROVINSI SUMATERA UTARA (Studi Perkembangan FKUB Kec. Sosa, Kab. Tapanuli Selatan) …………………………. Oleh: Muchtar REVITALISASI WADAH KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DI PROVINSI BANTEN (Studi Perkembangan FKUB Kec. Cilegon, Kab. Banten) ………………………………………………. Oleh: H.A.M. Khaolani REVITALISASI WADAH KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DI PROVINSI BALI (Studi Perkembangan FKUB Kec. Buleleng Kab. Buleleng) ………………………………………………………. Oleh: Hj. Kustini REVITALISASI WADAH KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT (Studi Perkembangan FKUB Kec. Lembar Kab. Lombok Barat) ………. Oleh: H. Mursyid Ali
9
27
57
71
87
107
xi
REVITALISASI WADAH KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN (Studi Perkembangan FKUB di Kec. Banjarmasin Tengah Kota Banjarmasin … Oleh: H. Ahsanul Khalikin REVITALISASI WADAH KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH (Studi Kasus di Kecamatan Pahandut, Kota Palangkaraya) ………………………. Oleh: H. Haidlor Ali Ahmad REVITALISASI WADAH KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DI KALIMANTAN TIMUR (Studi Perkembangan FKUB Kec. Tenggarong, Kab. Kutai Kertanegara) ……………………………. Oleh: H. Ibnu Hasan Muchtar REVITALISASI WADAH KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DI BERBAGAI DAERAH (Kajian Evaluatif terhadap Perkembangan BKSAUA di Kec. Bitung Tengah, Kota Bitung, Prov. Sulawesi Utara ………………………………………………. Oleh: H. Sjuhada Abduh REVITALISASI WADAH KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DI SULAWESI TENGGARA (Studi Perkembangan FKUB Kecamatan Mandonga, Kota Kendari) …………………………... Oleh: H. Bashori A. Hakim
..oo0zab0oo..
xii
121
155
191
207
233
PENDAHULUAN ِLatar Belakang Masalah Pada waktu Alamsyah Ratu Perwiranegara menjabat sebagai Menteri Agama, wadah kerukunan telah dibentuk dengan nama Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama (WMAUB) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 35 tanggal 30 Juni 1980. Wadah tersebut memiliki fungsi sebagai forum konsultasi dan komunikasi antar pemimpin-pemimpin/pemuka-pemuka agama. Secara lebih rinci: a) sebagai forum untuk membicarakan tanggung jawab bersama dan keja sama antar warga negara yang menganut berbagai agama; b) Sebagai forum untuk membicarakan kerja sama dengan pemerintah. Dalam kosideran Surat Keputusan Menteri Agama itu dijelaskan tujuan dari Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama itu ialah: untuk meningkatkan pembinaan kerukunan hidup diantara sesama umat beragama demi terciptanya kesatuan dan persatuan bangsa.1 Saat itu suasana ketegangan dan pertentangan dalam kehidupan beragama muncul kepermukaan, di antaranya adalah: kasus perusakan tempat-tempat ibadat, cara-cara penyiaran agama kepada orang yang telah memeluk suatu agama, pendirian rumah ibadat, serta kompetisi yang tidak sehat, yang berakibat munculnya fenomena disintegrasi dan perselisihan di kalangan umat beragama, sekalipun saat itu benturan fisik tidak pernah terjadi. Keberadaan wadah ini dapat memberikan kontribusi terhadap kerukunan hidup umat di antara sesama umat beragama, serta kesatuan dan persatuan bangsa saat itu telah dirasakan, walaupun disadari masih banyak persoalan yang belum dapat diselesaikan secara 1
Hendropoespita, 1984.
1
tuntas. Pada waktu Tarmidzi Taher menjabat sebagai Menteri Agama – melalui Proyek Pembinaan Kerukunan Umat Beragama – dibentuk Lembaga Pengkajian Kerukunan Antar Umat Beragama (LPKUB) di Yogyakarta, Medan dan Ambon. Fungsi dan tujuan dibentuknya lembaga pengkajian ini tidak jauh berbeda dengan WMUB. Perbedaannya, LPKUB lebih menekankan pada pengkajian yang melibatkan cendekiawancendekiawan dari berbagai agama. Baik LPKUB maupun WMAUB kedua-duanya dibentuk dan dibiayai oleh pemerintah (top-down), bersifat elit dan kurang menyentuh masyarakat bawah. Setelah terjadi pergeseran kekuasaan, dengan runtuhnya rezim orde baru dan digantikan oleh orde reformasi – di satu sisi banyak terjadi konflik terbuka di berbagai daerah, namun di sisi lain juga timbul kesadaran dari bawah untuk membangun wadah kerukunan atau melakukan rekacipta wadah kerukunan baru (institutional development)2 - melalui Proyek Peningkatan Kerukunan Umat Beragama, Puslitbang Kehidupan Beragama (sekarang: Puslitbang Kehidupan Keagamaan) melakukan riset aksi (action research) untuk menampung aspirasi masyarakat setempat guna membentuk wadah kerukunan. Institutional development ini dimaksudkan dapat mereka ciptakan wadah kerukunan sebagai media bagi pengembangan potensi kerukunan yang selama ini efektif menjaga keharmonisan masyarakat. Program riset aksi ini telah dilaksanakan sejak tahun 2002 hingga tahun 2006, 2
Instututional development yaitu memperbaharui institusi-institusi lama yang pernah berfungsi baik, dan dalam upaya membangun tradisi, yaitu membangun seperangkat institusi adat-istiadat yang pernah berfungsi dengan baik dalam memenuhi kebutuhan sosial-politik tertentu pada suatu masa tertentu. Pengembangan institusi ini harus dilakukan oleh masyarakat lokal itu sendiri, dengan melibatkan unsur pemerintah dan unsur non-pemerintah, dengan kombinasi pendekatan top-down dan bottom-up. Lihat: Amri Marzali, 25 Agustus 2005: h 7.
2
meliputi 43 kecamatan. Dalam melakukan institutional development wadah kerukunan ini tentunya ada beberapa hal yang perlu dikembangkan. Pertama, pengembangan wadah kerukunan yang kuat. Wadah ini harus merupakan forum komunikasi kelompok-kelompok yang secara murni menghendaki kerukunan. Untuk itu, wadah harus memiliki kejelasan orientasi (visi dan misi) yang dapat diprogramkan. Kedua, pengembangan sistem norma, atau perangkat pengaturan ikhwal norma dan nilai tentang ekspektasi serta preskripsi dan proskripsi yang diperlukan. Sistem norma dan nilai yang dibangun niscaya harus merepresentasikan prinsip-prinsip kejelasan orientasi, relevansi dengan kebutuhan, keadilan bagi semua fihak, kebersamaan, dan kepraktisan. Atas dasar itu semua, maka Puslitbang Kehidupan Keagamaan pada tahun anggaran 2007 ini melaksanakan kajian tentang Revitalisasi Wadah Kerukunan Antar Umat Beragama di kecamatan-kecamatan yang pernah dibentuk wadah kerukunan, baik sebagai wadah baru maupun hasil rekacipta ulang. Kajian tersebut – antara lain – dimaksudkan untuk melihat pemulihan daya hidup dan daya guna wadahwadah kerukunan yang telah dibentuk atau direkacipta ulang itu. Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah dapat dirumuskan beberapa permasalahan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana kondisi dan perkembangan wadah kerukunan antar agama yang telah dibentuk selama ini. 2. Apa saja faktor-faktor yang menjadi penghambat dan pendukung dalam pengembangan wadah kerukunan antarumat beragama. 3
3. Bagaimana respon masyarakat dan pemerintah terhadap keberadaan wadah kerukunan antar umat beragama. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dilakukan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui kondisi dan perkembangan wadah kerukunan antarumat beragama yang sudah dibentuk. 2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menjadi pendukung dan penghambat dalam pengembangan wadah kerukunan antarumat beragama. 3. Untuk mengetahui respon masyarakat dan pemerintah terhadap keberadaan wadah kerukunan antarumat beragama. Ruang Lingkup Ruang lingkup yang dikaji dalam kegiatan ini dikonsentrasikan kepada keberadaan wadah kerukunan antarumat beragama yang berada di kecamatan. Dari wadah kerukunan antar umat beragama tersebut yang dikaji meliputi: kondisi dan perkembangan, faktor-faktor penghambat dan pendukung, respon masyarakat dan pemerintah terhadap wadah kerukunan antar umat beragama. Lebih khusus lagi apa yang merupakan masalah pokok yang dihadapi masyarakat setempat, program apa yang dapat dilaksanakan untuk mengatasi masalah tersebut, bagaimana program itu dapat dilaksanakan, sesuai dengan rencana, dan tujuan program yang ingin dicapai. Kerangka Pemikiran Sehubungan dengan pelbagai permasalahan kajian ini, dipandang perlu diberikan penjelasan terhadap beberapa konsep yang digunakan, sebagai berikut: 4
Revitalisasi Kata revitalisasi berasal dari bahasa Inggris, revitalize kata kerja transitif- yang artinya (1) put new life into; (2) restore vitality. Kata bendanya revitalization (US).3 Dalam konteks penelitian ini yang lebih tepat adalah definisi menurut Wallace, A.F.C. yang mengatakan revitalization adalah peningkatan melalui suatu pergerakan kultur yang lebih memuaskan dengan menerima secara cepat suatu pola inovasi ganda.4 Wadah Yang dimaksud dengan kata wadah di sini, bukanlah wadah dalam ati sebenarnya, tetapi lebih merupakan arti kiasan, yaitu suatu media -yang dianggap masyarakat lokalrepresentatif untuk melakukan komunikasi, atau dapat menjembatani dialog antar kelompok yang terdapat dalam masyarakat. Wadah yang dimaksud bisa berupa: organisasi, lembaga/institusi formal maupun nonformal yang berupa tradisi maupun adat setempat.5 Kerukunan Kata kerukunan berasal dari kata dasar rukun, mendapat awalan ke dan akhiran an, sehingga mengubahnya dari kata sifat menjadi kata benda. Berdasarkan etimologi, kata rukun berasal dari bahasa Arab yang berarti tiang, dasar, atau sila.6 Perkembangannya dalam bahasa Indonesia, kata rukun berarti “mengatasi perbedaan-perbedaan, bekerjasama, saling menerima, hati tenang dan hidup harmonis. Dengan sesama warga komunitas harus dapat seperti halnya anggota
3
Hornby, 1980: 726. Reading, 1986: 357. 5 Lihat: Sila, 2006: 6-7. 6 Lihat: Lubis, dkk., 2004: 21. 4
5
keluarga: kangen dan menyenangkan.7 Sedangkan berlaku rukun sebagaimana dikutip Franz Magnis Suseno dari Hildret Geertz berarti menghilangkan tanda-tanda ketegangan dalam masyarakat atau antara pribadi-pribadi, sehingga hubungan sosial tetap kelihatan selaras dan baik-baik.8 Metodologi Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan metode evaluatif dengan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik-teknik sebagai berikut: 1. Wawancara, dilakukan untuk memperoleh data berupa informasi, keterangan, penjelasan, dan pengakuan dari para aktor maupun orang-orang yang berada di luar fokus penelitian. Teknik ini juga digunakan untuk kroscek dari informasi yang diberikan oleh informan-informan lain. Dengan kroscek data akan diperoleh titik kejenuhan atau trianggulasi. Teknik ini dilakukan dengan sasaran tokoh agama, tokoh adat, dan tokoh masyarakat, baik formal maupun informal. 2. Pengamatan, dilakukan untuk melihat fakta di lapangan. Selain itu pengamatan juga dapat digunakan untuk kroscek terhadap data yang diperoleh melalui wawancara. Misalnya, dengan pengamatan dapat diketahui tingkah laku atau tindakan aktor, sesuai atau tidak dengan pengakuannya. Atau keterangan nara sumber sesuai atau tidak dengan faktanya di lapangan. 3. Studi dokumentasi, dilakukan untuk melengkapi data yang diperoleh melalui teknik wawancara dan pengamatan. Data yang diperoleh melalui studi 7 8
6
Mulder, 1984: 43. Suseno, 1988: 39.
dokumentasi berupa data yang diabadikan dalam bentuk selain buku/pustaka. 4. Studi kepustakaan, selain untuk melengkapi data maupun informasi yang diperoleh melalui teknik-teknik pengumpulan data lainnya, juga untuk memperkaya teori dan memperjelas konsep-kosep maupun konstrukkonstruk yang digunakan. Analisis Data Data mentah yang terkumpul melalui berbagai teknik pengumpulan data di atas, selanjutnya dikelompok-kelompokkan, dikategorisasi dan disistimatisasi. Setelah data disusun dalam kelompok-kelompok, serta hubunganhubungan yang terjadi dianalisa, perlu juga dibuat penafsiranpenafsiran terhadap hubungan antara fenomena yang terjadi dan membandingkannya dengan fenomena-fenomena lain di luar penelitian. Berdasarkan analisa dan penafsiran yang dibuat, perlu pula ditarik kesimpulan-kesimpulan, serta implikasi-implikasi dan saran-saran bagi kebijakan-kebijakan selanjutnya.9
9
Nazir, 1988: 405-406.
7
8
REVITALISASI WADAH KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DI PROVINSI SUMATERA BARAT Studi Perkembangan FKUB Kec. Pulau Punjung, Kab. Damasraya Oleh: H. Nuhrison M. Nuh GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
Geografi Kecamatan Pulau Punjung merupakan kecamatan terluas di antara kecamatan yang ada di Kabupaten Dharmasraya, dengan luas 937,30 km. Kecamatan ini terletak antara 0’’49’44’’ – 1’’7’53’’ Lintang Selatan dan 101’’9’21’’101’’36’51’’ Bujur Timur, dengan topografi tanah datar dan berbukit. Kecamatan ini terletak di antara 99,0 – 420,5 meter di atas permukaan laut. Suhu udara rata-rata 27.10 derajat celcius, curah hujan 218,00 mm, dengan rata-rata curah hujan sebanyak 12 hari dalam sebulan. Kecamatan Pulau Punjung sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Tanjung Gadang, sebelah timur dengan Kecamatan Sitiung, sebelah utara dengan Kecamatan Tanjung Gadang, dan sebelah selatan dengan Kabupaten Solok. Kecamatan ini terbagi dalam 5 nagari, 25 jorang dan 22 desa. Jumlah penduduk 35.484 jiwa, terdiri dari 17.968 orang lakilaki dan 17.516 perempuan dengan ratio seks 102,6.
9
Kependudukan Penduduk Kecamatan Pulau Punjung terdiri dari bermacam-macam suku yaitu suku Minang sebagai suku mayoritas (60%), suku Jawa (30%), dan suku-suku lainnya { Sunda, Bugis, Batak (10%)}. Perkembangan penduduk Kecamatan Pulau Punjung termasuk pesat. Kalau pada tahun 2002 jumlah penduduknya berjumlah 30.459 jiwa, maka pada tahun 2005 berkembang menjadi 35.484 jiwa, ini berarti dalam waktu tiga tahun terdapat pertambahan penduduk sebanyak 5.025 jiwa, rata-rata dalam setahun terdapat pertambahan penduduk sebanyak 1.675 jiwa atau 5% pertahun. Cepatnya pertumbuhan penduduk di daerah ini dapat dipahami mengingat daerah ini merupakan daerah yang masih terbuka bagi transmigran umum yang berasal dari Jawa maupun tranmigran spontan dari Sumatera Utara (Batak). Penyebaran penduduk yang tidak merata berpengaruh terhadap tingkat kepadatan penduduk, sehingga pada nagari tertentu kepadatan penduduknya cukup tinggi sedangkan nagari lainnya kepadatan penduduknya sangat sedikit. Bila dilihat dari kepadatan penduduk maka Nagari IV Koto Pulau Punjung merupakan nagari yang padat penduduknya yakni sebanyak 13.594 orang, sedangkan Nagari Lubuk Karak merupakan nagari yang paling sedikit jumlah penduduknya yaitu 3.104 orang, pada hal daerahnya merupakan daerah yang paling luas yaitu 264,60 km2. Kehidupan Sosial Pembangunan ekonomi bertujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, oleh sebab itulah pemerintah berusaha untuk selalu meningkatkan pembangunan di bidang ekonomi. Mata pencaharian sebagian besar penduduk Kecamatan Pulau Punjung adalah pertanian baik berupa tanaman pangan maupun pertanian lainnya, kemudian di 10
bidang perhotelan dan restoran, industri pengolahan, jasa, angkutan, terakhir perikanan dan peternakan. Petani merupakan pekerjaan utama karena di daerah ini memang hutannya masih luas dan sebagian penduduknya merupakan para transmigran. Selain itu banyaknya hotel dan restoran karena daerah ini merupakan daerah yang dilalui oleh trans sumatera, dan daerah yang terus berkembang sehingga banyak orang datang kedaerah ini untuk membeli hasil pertanian maupun menjual hasil perdagangannya. Sarana pendidikan yang tersedia di kecamatan ini antara lain: SD 36 buah dengan jumlah murid 5.042 orang, dan guru 234 orang. Hal ini berarti setiap SD mempunyai murid sebanyak 140-an orang dan guru masing-masing SD 6,2 orang. SLTP sebanyak 4 buah dengan jumlah murid 1.690 orang dan guru 81 orang. Data ini menunjukkan bahwa tiap-tiap SLTP mempunyai murid sebanyak 422,5 orang, dengan jumlah guru masing-masing SLTP sebanyak 20 orang. Madrasah tsanawiyah swasta sebanyak 2 buah dengan jumlah murid 451 orang, dan jumlah guru 44 orang, dengan demikian berarti setiap MTs mempunyai murid sebanyak 225 orang dan jumlah guru masing-masing MTs sebanyak 22 orang. Sekolah menengah umum terdapat 1 buah dengan jumlah murid 584 orang dan jumlah guru 39 orang. Sedangkan Madrasah Aliyah Swasta ada 2 buah dengan jumlah murid 190 orang dengan tenaga guru 33 orang. Dengan demikian setiap madrasah aliyah mempunyai murid 95 orang dengan tenaga guru 16,5 orang. Dari data ini nampak bahwa madrasah umumnya dikelola oleh swasta, belum ada madrasah negeri. Jumlah murid madrasah aliyah masih tergolong minim, bila dibandingkan dengan sekolah menengah umum negeri. Sekolah yang bersifat umum nampaknya sudah mampu menampung kebutuhan anak-anak setempat untuk bersekolah.
11
Pembangunan bidang kesehatan bertujuan agar semua lapisan masyarakat dapat memperoleh pelayanan kesehatan secara merata dan murah. Di daerah ini terdapat 4 buah puskesmas, 13 puskesmas pembantu, 14 polides, serta 32 posyandu. Sedangkan tenaga medis terdiri dari 8 orang dokter, 39 perawat/bidan, serta 51 dukun beranak yang sudah terlatih. Sarana kesehatan yang tersedia sudah mampu melayani kebutuahn masyarakat setempat yang terdapat di 5 nagari, dan 25 jorong. Berkaitan dengan sistem kepemimpinan, di daerah ini terdapat dua pola kepemimpinan yaitu kepemimpinan forman dan non formal. Kepemimpinan formal adalah pemimpin yang mengepalai suatu daerah tertentu seperti camat, wali nagari, kepala jorong. Kepemimpinan non formal terdiri dari pemuka masyarakat dan pemimpin adat. Pemimpin adat ini sangat besar pengaruhnya dalam kaumnya, mereka terdiri dari para datuk atau penghulu. Di tingkat desa atau nagari datuk atau penghulu ini tergabung dalam suatu lembaga yang bernama Lembaga Kerapatan Adat Nagari (LKAN), sekarang ketua LKAN dijabat oleh Suwandi Tuanku Sampono Sati. Untuk tingkat kecamatan namanya Lembaga Kerapatan Adat Minang (LKAM) yang sekarang diketuai oleh Erma Datuk Paduko Baso. Para datuk inilah yang memimpin anggota kaumnya dalam masalah yang berkaitan dengan adat dan kehidupan sosial kaum pada umumnya. Sistem kekerabatan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat Pulau Punjung adalah matrilinial, di mana sistem ini mengatur garis keturunan serta hal yang menyangkut pewarisan sepenuhnya ditentukan oleh garis keturunan dari ibu atau wanita. Menurut sistem adat Minangkabau, yang berkuasa atas anggota kaumnya adalah mamak (datuk atau penghulu). Penghulu adalah andika bagi kaumnya dan raja 12
bagi kemenakannya. Penghulu berfungsi sebagai pemerintahan, menjadi hakim dan pendamai di kalangan kaumnya. Karena itu menurut adat, anggota masyarakat Pulau Punjung dipayungi oleh seorang mamak kepala kaum. Kehidupan Keagamaan. Sebagian besar penduduk Kecamatan Pulau Punjung berasal dari suku Minangkabau. Suku Minang dikenal sebagai masyarakat yang kuat memegang adat dan teguh dalam melaksanakan ajaran Islam. Ada pepatah yang dipegang oleh masyarakat Minang: “Adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah. Bagi masyarakat Minang agama sudah menyatu dengan kesukuan, maka tidak heran bagi mereka sangat ganjil kalau ada orang Minang yang tidak beragama Islam, walaupun menganut agama itu hanya secara nominal saja, tanpa melaksanakan ibadah secara teratur. Mayoritas penduduk Pulau Punjung beragama Islam. Dari jumlah penduduk sebanyak 35.484 orang hanya 203 orang yang beragama non Islam, terdiri dari Katolik 63 orang, Kristen 131 orang, Hindu 3 orang, Budha 1 orang dan lainnya 5 orang, sedangkan Islam 35.281 orang. Guna mengarahkan kehidupan beragama dan memupuk keimanan masyarakat terdapat 73 orang ulama, 49 orang khatib, 31 orang muballigh, dan 21 orang penyuluh agama. Tempat ibadah yang tersedia berupa masjid 42 buah, surau/langgar 159 buah, serta mushalla 17 buah.10 Organisasi keagamaan yang terdapat di daerah ini yaitu NU, Muhammadiyah, Tarbiyah Islamiyah, Majelis Ulama Indonesia dan LDII. Keberadaan LDII masih dipersoalkan oleh sebagian masyarakat terutama oleh MUI, mereka ingin 10 Data ini berbeda dengan data yang terdapat dalam buku Dharmasraya Dalam Angka Tahun 2005, hal 131, dimana jumlah masjid sebanyak 35 buah, langgar 78 buah dan mushalla 12 buah.
13
mengadakan pertemuan dengan MUI, tapi masih belum diberi waktu. Salah satu hal yang dipermasalahkan MUI mereka tidak mau salat jum’at di masjid lain selain masjid milik LDII.11 Untuk mendidik anak agar mampu membaca al-Qur’an terdapat 41 buah TPA (Taman Pendidikan al-Qur’an) dan 28 buah TPSA (Taman Pendidikan Seni al-Qur’an). Selain itu ada 2 buah raudlatul athfal dengan jumlah murid 150 orang, guru 10 orang. Tersedia pula 2 buah madrasah tsanawiyah dan 2 buah madrasah aliyah. Peristiwa nikah yang terjadi pada tahun 2005 sebanayk 242 orang, rata-rata 20 orang setiap bulan. Talak 4 orang dan cerai 4 orang. Jumlah jema’ah haji 24 orang terdiri dari lakilaki 9 orang dan perempuan 15 orang. Bila dilihat dari segi pendidikan jema’ah haji tersebut berpendidikan SD 9 orang, SLTP 6 orang, SLTA 8 orang, dan D3 1 orang. Data ini menunjukkan sebagian besar jema’ah haji berpendidikan rendah (SD+SLTP). Dilihat dari segi pekerjaan jema’ah haji tersebut sebagian besar bekerja sebagai pedagang (19 orang/74,4%), sebagai pegawai negeri (3 orang/18,3%) dan sebagai petani (2 orang/17,3%). Dalam masalah hubungan antar agama, secara sepintas terlihat rukun, tetapi secara laten terdapat hubungan yang kurang harmonis. Kalangan non Islam tidak diberi kesempatan untuk melaksanakan ibadah di daerah Pulau Punjung, apabila mereka hendak beribadah pergi kedaerah lain yang jaraknya cukup jauh dengan biaya transportasi yang lumayan mahal. Dengan alasan tanah milik ninik mamak, maka mereka tidak diperkenankan untuk mendirikan tempat ibadah. 11
Punjung
14
Hasil Waancara dengan Bapak Tasman Ketua MUI Kecamatan Pulau
KONDISI DAN PERKEMBANGAN WADAH KERUKUNAN
Kondisi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Dengan difasilitasi dan kerjasama antara Kantor Urusan Agama dan Kantor Kecamatan Pulau Punjung, diadakan kegiatan “Orientasi Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama seKecamatan Pulau Punjung” pada tanggal 25-26 Juli 2005, yang dihadiri oleh para tokoh agama Islam, Kristen, Katolik, tokoh masyarakat, tokoh adat, pimpinan organisasi keagamaan serta para pimpinan Jorong se-Kecamatan Pulau Punjung. Dalam pertemuan tersebut disepakati dibentuk lembaga ketahanan lokal berupa Lembaga Ketahanan Adat Nagari (LKAN) untuk tingkat nagari dan Lembaga Ketahanan Adat Minangkabau (LKAM) untuk tingkat kecamatan. Selain itu dibentuk pula Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kecamatan Pulau Punjung. Motivasi dibentuknya FKUB dalam rangka menjalin silaturrahmi antar umat beragama, dan sebagai wadah untuk mengatasi bila terjadi konflik dengan melibatkan wakil dari semua agama. Pengurus yang ditunjuk merupakan tokoh adat setempat, mengingat dalam masyarakat Minangkabau ketua adat sangat besar pengaruhnya dalam masyarakat, bahkan kadang-kadang pengaruhnya lebih besar dari pimpinan formal. Maka masyarakat sepakat menunjuk Suwandi, seorang pegawai Diknas dan ketua Lembaga Ketahanan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Kecamatan Pulau Punjung sebagai ketua FKUB. Sedangkan anggota pengurus lainnya diambil dari pemuka agama dari masing-masing agama.
15
Setelah dibentuk lembaga FKUB, maka pada tanggal 15 Agustus 2005 diadakan rapat pertama, dalam rapat pertama tersebut agendanya menyusun kepengurusan FKUB. Berdasarkan hasil rapat tersebut disusunlah susunan pengurus FKUB Kecamatan Pulau Punjung sebagai berikut: Pelindung Penasehat Pembina Ketua
: : : :
Wakil Ketua Wakil Ketua Wakil Ketua Sekretaris Wakil Sekretaris Bendahara
: : : : : :
Muspika Kecamatan Pulau Punjung Kepala KUA Kecamatan Pulau Punjung MUI Kecamatan Pulau Punjung Suwandi Tuanku Sampono Sati (Ketua LKAM) Andi Purwanto (Katolik) T. Simarmata (Kristen) Hamdan (Islam) Afrizen S.Ag, MPd Trisila Lubis ( Kristen) Zulhendri (Islam)
Selain itu terdapat bidang organisasi, bidang program dan bidang pemberdayaan dan kerjasama umat beragama. Setelah disusun kepengurusan forum tersebut, menurut keterangan Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten Dharmasraya, telah empat kali mengundang rapat pengurus, tetapi dari pihak perwakilan Kristen dan Katolik tidak pernah datang memenuhi undangan rapat. Dalam rapat pertama yang tidak dihadiri oleh perwakilan pihak Kristen dan Katolik dicoba untuk menyusun program kegiatan FKUB. Diantara program tersebut antara lain
penyempurnaan susunan pengurus, mengadakan pembinaan terhadap masyarakat dalam masalah kerukunan, mengadakan pendataan jumlah pemeluk agama, mengadakan monitoring terhadap aktivitas keagamaan masyarakat, sosialisasi keberadaan FKUB dengan mengundang tokoh-tokoh masyarakat, menghadiri undangan FKUB Provinsi (atas nama 16
kecamatan) mengenai sosialisasi FKUB Provinsi dan PBM No 9 Tahun 2006 dan No 8 Tahun 2006. Diantara program yang telah disusun tersebut yang bisa dijalankan baru berupa penyempurnaan susunan pengurus, dan menghadiri sosialisasi pembentukan FKUB Provinsi Sumatera Barat dan sosialisasi PBM No 9 dan No 8 Tahun 2006. Tidak berjalannya program yang sudah dibuat disebabkan beberapa faktor: lokasi tempat tinggal para pengurus berjauhan, sedangkan transportasi masih belum lancar; kebanyakan pengurus pekerjaannya adalah petani, dan mereka sibuk dengan pekerjaan masing-masing; adanya faktor kekhawatiran orang Islam, melalui forum ini akan memberi peluang kepada orang non Islam untuk mendirikan rumah ibadat; skopenya dianggap terlalu sempit, maka itu FKUB akan diintegrasikan dengan FKUB tingkat Kabupaten; para pemeluk agama non Islam umumnya para pendatang, yang tidak menetap pada suatu tempat; dan kondisi masyarakat dianggap masih kondusif, aman-aman saja, dan para pendatang mengerti akan budaya Minang. Nampaknya berdasarkan hasil wawancara dengan Ketua FKUB dan Ketua MUI kegiatan FKUB baru diadakan kalau ada konflik atau masalah berkaitan dengan hubungan antarumat beragama dalam masyarakat setempat, selama tidak ada masalah maka tidak perlu ada aktifitas FKUB. Perkembangan FKUB Suatu organisasi dapat berkembang dengan baik bila tersedia seorang pemimpin yang dapat dipercaya dan dapat mengayomi semua pihak. Ditunjuknya Suwandi yang merupakan ketua LKAAM, diharapkan dapat memenuhi kriteria itu. Namun dari beberapa informasi, dari susunan pengurus yang telah dibentuk, belum terdapat tokoh yang 17
dapat mengayomi semua kelompok baik suku maupun agama, yang ada baru tokoh salah satu suku (Minang) dan agama (Islam). Penerimaan terhadap suku dan agama lain masih setengah hati, itulah kiranya yang menyebabkan pemuka agama non Islam, kurang antusias untuk aktif dalam forum ini. Forum yang diharapkan dapat memecahkan berbagai persoalan yang menyangkut hubungan antar umat beragama, tidak dapat ditampung dalam forum ini. Masyarakat setempat tetap tidak membolehkan kelompok Kristen dan Katolik mendirikan tempat ibadat di daerah tersebut, dan menyuruh mereka kalau ingin mengadakan kebaktian bergabung dengan daerah sekitar yang sudah ada rumah ibadatnya seperti di Kabupaten Muara Bungo Provinsi Jambi, Kabupaten Solok dan Kabupaten Sawah Lunto. Pada hal ongkos transportasi kedaerah tersebut cukup mahal, berkisar dari Rp 5000,- sampai dengan Rp 15.000,- perorang. Kalau satu keluarga tentu ongkosnya lebih besar lagi. Dalam rencananya FKUB akan mengadakan pertemuan setiap triwulanan. Tetapi hal ini tidak dapat berjalan. Meskipun demikian dalam pertemuan yang diadakan oleh Kantor Departemen Agama Kabupaten Dharmasraya, Kepala Kandepag sering memberikan pengarahan agar jangan menyebarkan agama kepada orang yang sudah memeluk suatu agama. Selain itu diharapkan kepada masyarakat bila muncul suatu permasalahan jangan menggunakan kekerasan tetapi hendaknya dimusyawarahkan dalam FKUB. Dalam kondisi FKUB yang hidup segan, mati tak mau, maka tidak ada yang bisa diharapkan dari keberadaan wadah ini. Terbentuknya wadah ini, lebih disebabkan memenuhi kemauan dari pihak atas, bukan berdasarkan kebutuhan masyarakat setempat. Bagi masyarakat setempat, kehadiran wadah ini, malah dikhawatirkan akan dimanfaatkan oleh pihak non Islam, untuk memperjuangkan aspirasi yang 18
selama ini mereka tuntut yaitu agar mereka diberi kesempatan untuk mendirikan rumah ibadat. Pada hal masyarakat setempat bersedia menerima kehadiran mereka yang beragama non Islam, tetapi melarang melakukan kebaktian di daerah tersebut. Selain itu bila dilihat dari jumlah pemeluk agama, ditunjuknya Kecamatan Pulau Punjung sebagai tempat dibentuknya wadah kurang tepat. Jumlah penganut agama Kristen 131 orang dan Katolik 63 orang. Yang tepat wadah ini dibentuk di Kecamatan Sungai Rumbai, dimana di kecamatan tersebut terdapat 416 orang pemeluk agama Katolik dan 409 pemeluk agama Kristen.12 Bila mengacu pada PBM No 9 dan No 8 Tahun 2006, maka pemeluk agama Katolik dan Kristen di Kecamatan Sungai Rumbai sudah memenuhi syarat untuk mendirikan rumah ibadat, karena sudah memiliki umat sebanyak lebih dari 90 orang.13 Faktor Penghambat Ada beberapa faktor yang menghambat aktifitas FKUB di Kecamatan Pulau Punjung. Faktor pertama tidak adanya ketersediaan waktu bagi para pengurus, umumnya pengurus terdiri dari para pegawai dan para petani, dengan tempat kediaman yang sangat berjauhan. Kesibukan dengan pekerjaan masing-masing, sehingga sangat sulit untuk meluangkan waktu untuk aktif di forum. Faktor kedua, FKUB tidak memiliki dana, sarana dan prasarana, sehingga tidak memungkinkan pimpinan untuk 12
Lihat Dharmasraya Dalam Angka 2005, op cit, hal 129. Lihat PBM No 9 Tahun 2006, No 8 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat, Pasal 14 ayat (2). 13
19
menggerakkan roda organisasi. Sampai saat ini pengurus FKUB belum menerima surat keputusan pengangkatan, tidak jelas dari mana dana diperoleh, selain itu alamat kantor pun tidak tahu di mana keberadaannya. Semuanya masih tergantung pada kebijakan kepala kandepag setempat, sedangkan kepala kandepag belum pernah membuat kebijakan tentang hal tersebut. Faktor ketiga budaya lokal tidak mendukung. Masyarakat setempat belum dapat menerima kehadiran mereka yang beragama non Islam untuk mengadakan kebaktian di Pulau Punjung dengan alasan di daerah tersebut menganut adat: Adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah. Bagi masyarakat tidak dikenal orang Minang menganut agama selain Islam. Dulu sudah ada perjanjian dengan Departemen Transmigrasi bahwa para transmigran yang dikirim ke Sumatera Barat harus beragama Islam. Sebab tanah yang diberikan kepada para transmigran tersebut merupakan tanah ulayat (adat). Maka tidak boleh di atas tanah tersebut didirikan gereja dan sejenisnya. Meskipun demikian mereka dapat menerima kehadiran mereka yang beragama non Islam selama tidak melakukan aktifitas ibadah. Faktor keempat, keluarnya PBM dianggap menghambat keberadaan FKUB, sebab PBM tidak mengatur tentang FKUB kecamatan. Oleh sebab itu ada keinginan untuk menggabungkan kepengurusan FKUB kecamatan dengan FKUB kabupaten. FKUB kabupaten sudah jelas pengaturannya, baik dana, kantor dan sarana lainnya. Respon Pemerintah dan Masyrakat. Pemerintah dalam hal ini Camat dan Kepala KUA mendukung keberadaan forum ini, tetapi dukungan tersebut baru berupa dukungan moril, belum tersedia anggaran untuk mendukung dalam hal dana. Tetapi bila memerlukan tempat 20
untuk bertemu, maka camat bersedia meminjamkan aula kecamatan yang dulu dipakai dalam kegiatan Orientasi Kerukunan Antar Umat Beragama. Penunjukan Suwandi sudah tepat, sebab dia merupakan pimpinan adat untuk tingkat kecamatan. Dengan demikian diharapkan FKUB dapat didukung oleh Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM), sebab dia merupakan Ketua LKAAM. Sejak pertemuan dahulu belum ada kegiatan dari forum ini. Tidak adanya kegiatan tersebut disebabkan belum adanya permasalahan yang harus ditangani. Hasil dari pertemuan dahulu (orientasi) paling tidak dapat mempertemukan diantara mereka yang berbeda agama, sehingga mereka dapat saling kenal mengenal. Masyarakat sebenarnya memberikan tanggapan yang baik terhadap keberadaan forum ini. Mereka mengharapkan kalau ada masalah diselesaikan dahulu di tingkat masyarakat, kalau tidak bisa, baru dibawa ke tingkat pemerintahan. Ada pepatah dalam masyarakat Minang “Mamak barajo ke penghulu, penghulu barajo ke mufakat. Bajenjang naik, batanggo turun”. Jadi ada hirarki dalam menangani suatu permasalahan. Mengenai kepengurusan forum, masyarakat menganggap sudah tepat, sebab pengurus tersebut sudah ditunjuk oleh masing-masing agama/kelompok. Mengenai aktifitas forum ini, umumnya masyarakat belum melihat adanya kegiatan. Bahkan sebagian besar dari mereka belum mengetahui adanya forum ini. Hubungan Antar Umat Beragama. Hubungan antarumat beragama di daerah ini berjalan cukup baik, sejak dibentuknya FKUB belum pernah terjadi konflik antarumat beragama.14 Meskipun demikian, 14
Hasil wawancara dengan Ketua MUI Kecamatan, Ketua FKUB, dan Kepala Kandepag Kabupaten Dharmasraya. Pernah orang Kristen akan mengadakan
21
kerukunan tersebut masih bersifat semu, belum bersifat dinamis. Belum terjadi kerjasama diantara pemuka agama dalam memecahkan sesuatu masalah. Selain itu, dominasi kelompok mayoritas sangat tinggi, sehingga posisi kelompok minoritas berada dalam situasi yang tidak berdaya. Mereka harus tunduk pada aturan yang dibuat oleh kelompok mayoritas, tanpa memberikan kesempatan pada mereka untuk mengadakan tawar menawar. Masyarakat Minang selalu menekankan bahwa para pendatang harus menyesuaikan diri dengan adat Minang. Pepatah yang berbunyi: “syara’ mengato, adat memakai dan di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung” selalu didengung-dengungkan. Agar para pendatang memperoleh perlindungan, diharapkan mereka bergabung dalam suku tertentu. Di daerah Bukit Mindawa (Minang, Sunda dan Jawa) para pendatang bergabung dengan suku setempat, sehingga mereka mempunyai ninik mamak. Tanah itu milik ninik mamak “rumput yang sehelai, tanah yang sebingkah ninik mamak yang punya”, oleh sebab itu alangkah baiknya para pendatang itu menjalin kebaikan dengan mamak (tokoh adat) setempat. Kalau mereka sudah bergabung dengan salah satu suku, maka dia diangkat sebagai kemenakan. Karena mereka sudah dianggap sebagai kemenakan maka mereka akan diterima secara baik. Memang menurut orang Minang, perekat yang paling kuat untuk mendekatkan para pendatang dan penduduk pribumi adalah melalui adat. Maka para pendatang harus mengetahui tentang adat istiadat masyarakat Minang. Dari pihak pemerintah, upaya yang dilakukan dalam memelihara kerukunan berupa memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya kerukunan. Selain itu perayaan natal di Kampung Baru, karena dikhawatirkan akan menimbulkan konflik, disarankan perayaan tersebut dialihkan ke Muara Bungo.
22
menganjurkan kepada para khatib, dan para da’i agar dalam khutbah dan ceramahnya mengajak masyarakat agar hidup selalu rukun. Dalam acara-acara yang diadakan oleh instansi pemerintah yang dihadiri oleh ormas-ormas keagamaan (MUI, NU, Muhammadiyah) dimohon agar pimpinan ormas keagamaan dapat membina anggotanya, agar dapat hidup berdampingan secara damai dengan mereka yang berbeda suku maupun agama. Kegiatan tersebut berjalan secara sporadis tanpa program yang terencana. Analisis. Forum yang dibentuk pada bulan Juli tahun 2005 ini, keberadaannya ada seperti tiada. Artinya forum tersebut dibentuk tapi tidak ada aktifitasnya. Tidak adanya aktifitas dari forum ini, karena tidak adanya kesungguhan dari pihak ketua forum maupun aparat yang membinanya. Ketika rapat tidak dihadiri oleh pihak perwakilan non Islam, tidak ada upaya untuk mengetahui faktor penyebabnya dan berusaha untuk mengadakan pendekatan secara persuasip. Pembentukan forum itu sendiri sebenarnya menimbulkan kekhawatiran dari pihak pemuka agama Islam, kalaukalau forum tersebut digunakan oleh pihak pimpinan agama Kristen dan Katolik untuk memperjuangkan tuntutan mereka selama ini, yaitu agar dapat mendirikan rumah ibadat. Sedangkan larangan untuk mendirikan rumah ibadat tersebut sudah merupakan harga mati bagi masyarakat Minang, tidak bisa ditawar-tawar lagi. Bagi masyarakat Minang agama dan suku itu menyatu, Minang itu Islam, dan Islam itu Minang. Sehingga menurut mereka tidak ada orang Minang yang tidak beragama Islam, kalau ada orang Minang yang beragama bukan Islam berarti ia telah kehilangan sukunya, dan sudah tidak menjadi orang Minang lagi. Maka ia harus meninggalkan atau menanggalkan keanggotaannya dalam komunitasnya, bahkan orang yang berpindah agama ini 23
dilucuti hak-haknya dalam komunitasnya, dipencilkan atau dibuang.15 Sebaliknya bagi mereka yang ingin masuk dalam komunitas orang Minang, maka ia harus masuk kedalam salah satu suku Minang dan berarti ia harus masuk Islam. Itulah bahayanya kalau agama sudah menjadi komunalisme (etno – centris), orang di luar kelompok tersebut harus menyesuaikan diri dengan kelompoknya (suku Minang). Oleh sebab itu hakhak orang di luar komunitas Minang perlu dibatasi, karena tanah itu milik orang Minang (Islam) maka tidak boleh mengadakan kebaktian dan mendirikan rumah ibadat di atas tanah milik orang Minang (Islam) tersebut, walaupun tanah tersebut sebenarnya sudah menjadi milik para transmigran sesuai dengan sertifikat yang dikeluarkan oleh pemerintah. Dalam kondisi yang demikian, dimana tidak bertemunya kepentingan kedua belah pihak, maka sengaja forum ini dimanfaatkan hanya untuk memecahkan persoalan (problem solving) bila terjadi permasalahan dalam masyarakat (konflik/kerusuhan), bukan untuk menyalurkan aspirasi berbagai pihak (Islam dan Kristen). Selama tidak ada permasalahan (bagi kelompok mayortitas) maka tidak perlu adanya aktifitas. Itulah sebabnya forum ini menjadi tidak berdaya guna.
15 Azyumardi Azra, Etnisitas, Suku Terbelakang, dan Hak-hak Keagamaan, dalam buku: Reposisi Hubungan Agama dan Negara, Merajuit Kerukunan Antarumat, Jakarta, Kompas Media Nusantara, 2002, hal 189-200.
24
PENUTUP
FKUB di daerah ini sudah terbentuk melalui kegiatan “Orientasi Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama” pada bulan Juli 2005. Namun forum yang sudah dibentuk tersebut sampai sekarang belum dapat menjalankan aktifitasnya.Tidak berjalannya aktifitas forum ini disebabkan sejak awal pemuka agama (Islam) sebenarnya kurang berkenan dengan kehadiran forum ini, sebab ada kekhawatiran forum ini menguntungkan pihak non Islam dan merugikan umat Islam. Akibat adanya kalkulasi untung rugi tersebut, maka sengaja aktifitas forum ini diambangkan, dalam arti tidak perlu ada aktifitas, selama belum ada permasalahan yang perlu ditangani. Menurut mereka yang perlu diaktifkan justru kepemimpinan adat, tetapi permasalahannya kalau itu yang akan diaktifkan, apa boleh orang non Islam atau suku lain menjadi pengurus lembaga adat seperti LKAN atau LKAAM. Permasalahan lain kalau lembaga adat yang difungsikan, maka pepatah yang berbunyi: “Adat basandi syara’ dan syara’ basandi kitabullah, atau syara’ mangato adat yang memakai” yang menjadi pegangan. Hal tersebut akan memarjinalkan orang di luar komunitas tersebut. Sudah barang tentu hal tersebut tidak dapat diterima oleh mereka yang di luar komunitas Minang. Walaupun mereka menerima, sudah barang tentu dalam keadaan terpaksa, karena hanya itu yang dapat mereka lakukan. Oleh sebab itu kalau di daerah ini kelihatannya dapat hidup rukun, itu hanya nampak dipermukaan, sebenarnya secara laten masyarakat di sini belum dapat hidup rukun sebagai mestinya. Mereka hanya diberi hak untuk beragama tetapi tidak diberi hak untuk mengamalkan agamanya, sesuai
25
amanat UUD 1945, Pasal 28 E ayat (1) dan (2), dan Pasal 29 ayat (1) dan (2). Agar forum ini dapat beraktifitas, maka sebenarnya perlu ada kesungguhan dan kemauan dari berbagai pihak untuk memberdayakan forum ini. Forum ini didayagunakan bukan hanya ketika ada persoalan yang akan diselesaikan, tapi didayagunakan untuk berbagai hal yang berkaitan dengan meningkatkan kerjasama antar umat beragama dalam aktifitas kehidupan sehari-hari menampung dan menyalurkan aspirasi dari berbagai pihak bukan hanya sepihak. Untuk itu diperlukan kepemimpinan yang mempunyai wawasan kebangsaan yang memadai dan mempunyai komitmen untuk mengayomi semua pihak. Kalau memang keberadaan FKUB ini dianggap kurang efektif, maka sebaiknya diintegrasikan dengan FKUB Kabupaten dengan melibatkan orang-orang yang telah ditunjuk menjadi pengurus FKUB kecamatan. Agar tercipta kerukunan yang sejati, maka tidak perlu adanya sikap yang bersifat kemutlak-mutlakan, perlu adanya keluwesan dan memberi peluang pada pihak lain untuk mengamalkan ibadahnya, dengan dibarengi batasan-batasan tertentu, melalui kesepakatan bersama. Paling tidak untuk tingkat kabupaten diberi kesempatan untuk membangun sebuah rumah ibadat, yang dipergunakan umat Kristen sekabupaten Dharmasraya. Kalau terdapat berbagai denominasi maka diharapkan satu gereja tersebut dapat dimanfaatkan oleh semua denominasi secara bergiliran. Untuk semua itu diperlukan keluwesan bersikap dan kelapangan dada untuk menerima perbedaan.
26
REVITALISASI WADAH KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DI PROVINSI JAMBI Studi Perkembangan FKUB Kec. Sungai Bahar, Kab. Muaro Jambi Oleh: H. Umar R. Soeroer GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Geografi dan Administrasi Pemerintahan Kecamatan Sungai Bahar adalah salah satu kecamatan dari tujuh kecamatan yang ada di Kabupaten Muaro Jambi. Kecamatan Sungai Bahar merupakan daerah pemekaran dari Kecamatan Mestong yang terbentuk berdasarkan Perda Kabupaten Muaro Jambi Nomor: 39 Tahun 2001. Kecamatan ini diresmikan menjadi kecamatan definitif oleh Bupati Muoro Jambi pada tanggal 7 Nopember 2001 dengan ibukota di Desa Marga. Jarak antara ibukota Kecamatan Sungai Bahar dengan ibukota kota Kabupaten Muaro Jambi adalah 115 Km. Sedang jarak antara ibukota kecamatan dengan ibukota Provinsi Jambi kurang lebih 80 Km. Desa yang paling jauh dari pusat pemerintahan kecamatan berjarak kurang lebih 20 Km. Luas wilayah Kecamatan Sungai Bahar 414,41 Km2, meliputi 24 desa, yang dikategorikan menjadi desa definitif 19 desa. Dari 19 desa tersebut terdapat 2 desa yang dihuni oleh penduduk asli Jambi yaitu suku Anak Dalam. Selain 19 desa definitif tersebut terdapat 5 desa UPT (Unit Pemukiman
27
Transmigrasi) yang merupakan desa binaan dari Kantor Transmigrasi Kabupaten Muaro Jambi. Wilayah kecamatan ini berbatasan dengan:
Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Muara Burlian; Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Mestong dan Provinsi Sumatera Selatan; Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Muara Burlian; Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Muara Burlian.
Topografi wilayah kecamatan terdiri dari: fisiografi bervariasi dari keadaan datar dan berbukitan; ketinggian antara 10-200 meter di atas permukaan laut (DPL); sedang jenis tanahnya adalah: Pud Solid (merah kuning) PMK 110.100 Ha, Alluvial, 25.158 Ha. Demografi Kecamatan Sungai Bahar kedepan memiliki prospek untuk dikembangkan, karena memiliki penduduk yang berasal dari warga transmigrasi yang beraneka ragam suku dan tingkat SDM yang cukup maju. Selain itu juga didukung oleh sumber daya alam (SDA) yang sangat luas dan berpotensi untuk dikembangkan sebagai kecamatan yang mandiri. Kecamatan Sungai Bahar (pada tahun 2003) berpenduduk sebanyak 51.373 jiwa terdiri dari laki-laki 26.021 jiwa dan perempuan 25.352 jiwa. Sementara pada laporan triwulai I tahun 2007, jumlah penduduk berjumlah 49.599 jiwa, terdiri dari laki-laki 25.394 jiwa dan perempuan 24.205 jiwa. Berarti terjadi penurunan jumlah penduduk. Mobilitas penduduk pada tri wulan I tahun 2007, adalah: lahir 39 orang,
28
pendatang 78 orang dan penduduk yang pindah ke tempat lain sebanyak 7 orang. Mata pencaharian penduduk, 85% sebagai petani sawit dan buruh sawit, sedang sisahnya 15% bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS), sebagai pedagang dan pegawai swasta. Penduduk yang bekerja sebagai petani perkebunan sawit memiliki waktu efektif yang digunakan untuk mengurus kebon hanya dua minggu, yaitu untuk perawatan, pemupukan, panen, dan pemasaran. Sisa waktu dua minggu berikutnya dimanfaatkan untuk dagang, buka usaha bengkel, buka warung atau usaha ternak ayam dan lain-lain. Kondisi ekonomi masyarakat cukup maju, karena hampir semua kepala keluarga memiliki lahan perkebunan kelapa sawit, minimal setengah hektare, mereka panen setiap 15 hari dan 15 hari digunakan untuk pemeliharaan tanaman, pemupukan, panenan, dan lain-lain keperluan. Setiap panen bisa mendapatkan hasil senilai antara 2 juta sampai 4 juta rupiah. Sedangkan bagi penduduk yang hanya sebagai buruh kebun sawit, bisa memperoleh Rp.50.000 sampai Rp.150.000 perhari. Penduduk yang bekerja sebagai pegawai negeri, pegawai swasta, atau pedagang banyak memiliki lahan kelapa sawit dua sampai tujuh lahan kebun sawit. Penduduk yang memiliki lahan lebih dari empat tempat, penampilan rumahnya lebih mewah dengan pasilitas kendaraan yang memadai. Tingkat kesejahteraan penduduk cukup baik, terlihat dari rumah mereka dan alat transportasi yang digunakan. Hampir semua keluarga memiliki kendaraan roda dua satu buah atau lebih. Sedangkan mereka yang memiliki lahan kebun kelapa sawit memiliki kendaraan lebih dari empat buah, disamping memiliki kendaraan roda dua juga memiliki kendaraan roda empat, kondisi mobilnya cukup baik.
29
Tingkat kegotong-royongan dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan cukup tinggi, misalnya kegiatan kerja bakti, siskamling, perbaikan lingkungan. Dalam hal ini masyarakat tidak membedakan etnik dan agama, termasuk juga kegiatan keagamaan. Jumlah Penduduk Kecamatan Sungai Bahar Tahun 2007 No 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
DESA/ KELURAHAN Suka Makmur Marga Mulya Panca Mulya Marga Rantau Harapan Talang Bukit Bukit Subur Tri Jaya Tanjung Harapan Berkah Ujung Tanjung Sumber Mulya Matra Manunggal Bukit Mulya Bukit Makmur Bahar Mulya Tanjung Mulya Bukit Mas Sumber Jaya Bukit Jaya Adipura Kencana Tanjung Sari Tanjung Lebar Markanding Jumlah
LAKILAKI 1714 1292 1326 1284 1627 1280 1376 788 1051 820 913 645 738 533 983 1009 730 1488 818 832 757 1184 1081 1150 25.345
PEREMPUAN 1486 1323 1238 1064 1392 1161 1395 719 894 755 834 581 589 475 854 888 668 1332 793 798 642 1020 1056 2003 24.148
JUMLAH (L+P) 3200 2615 2564 2348 3019 2440 2771 1507 1945 1575 1747 1226 1337 1008 1837 1897 1398 2760 1611 1630 1399 2204 2137 3153 49.493
Sumber: Laporan Triwulan I Kec. Sungai Bahar Th. 2007 30
Suku Anak Dalam Terdapat dua desa yang penduduknya berasal dari suku Anak Dalam, yaitu di Desa Tanjung Lebar dan Desa Markanding. Desa Tanjung Lebar berpenduduk 2137 jiwa terdapat 150 KK termasuk Suku Anak Dalam sedang Desa Markading berpenduduk 3153 jiwa terdapat 150 KK termasuk Suku Anak Dalam. Suku Anak Dalam merupakan salah satu komunitas adat terpencil (KAT) yang ada di Provinsi Jambi yang mempunyai permasalahan spesifik. Jika kita melihat pola kehidupan dan penghidupan mereka, hal ini disebabkan oleh keterikatan adat istiadat yang begitu kuat. Hidup berkelompok dengan pakaian hanya sebagian menutupi badan dengan kata lain mereka sangat tergantung dari hasil hutan/alam dan binatang buruan. Suku Anak Dalam sering disebut Orang Kubu. Pengertian Kubu dalam bahasa Melayu Jambi berarti tempat persembunyian. Bisa juga berarti bodoh. Nama ini berasal dari nama desa yang bernama Kubu, Kandang dan Pengabuan. Yang berada di tepi sungai Batanghari. Pengertian Kubu yang berarti bodoh, sangat tidak enak didengar, karea terkesan merendahkan mereka. Mereka lebih suka disebut sebagai Anak Dalam, Rimbo atau Orang Kelam. Sedangkan orang desa disekitarnya menyebut Orang Terang.16 Suku Anak Dalam adalah salah satu suku bangsa minoritas yang hidup di Pulau Sumatera, tepatnya di Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan. Diperkirakan jumlah populasi sekitar 200.000 orang. Menurut tradisi lisan Suku Anak Dalam merupakan orang Maalau Sesat, yang lari ke hutan rimba di 16 Dikutip dari Departemen Sosial RI, Mengenal Lebih Dekat Suku Anak Dalam/Orang Kubu, melalui internet tanggal 6 April 2004. http://www.depsos. go.id/modules.php?name=News&file=print&sid=55.10/22.2007.
31
sekitar Air Hitam, taman nasional Bukit Duapuluh. Mereka kemudian dinamakan Moyang Segayo. Tradisi lain menyebutkan mereka berasal dari Pagaruyung yang mengungsi ke Jambi. Ini diperkuat kenyataan adat suku Anak Dalam memiliki kesamaan bahasa dan adat dengan suku Minangkabau, seperti system matrilineal. Secara garis besar di Jambi suku Anak Dalam di tiga wilayah ekologis yang berbeda, yaitu yang di bagian utara Provinsi Jambi sekitar Taman Nasional Bukit 30, Taman Nasional Bukit 12, dan wilayah selatan Provinsi Jambi sepanjang jalan lintas Sumatera. Mereka hidup secara nomaden dan menggantungkan hidupnya pada berburu dan meramu. Sekarang mereka sudah banyak yang memiliki lahan karet dan lahan pertanian lainnya. Kehidupan mereka sangat mengenaskan seiring dengan hilangnya sumber daya hutan yang ada di Jambi dan Sumatera Selatan, dan proses marginalisasi yang dilakukan oleh Pemerintah dan suku bangsa dominan (orang Melayu) yang ada di Jambi dan Sumatera Selatan. Kondisi Sosial, Budaya dan Ekonomi. Menurut Drs. H. Sadikun, MM salah seorang pendidik yang peduli terhadap perkembangan dunia pendidikan. Dalam usahanya meningkatkan mutu dan status lembaga pendidikan, ia berhasil meningkatkan 6 buah SMP swasta menjadi sekolah negeri. Dari perubahan status tersebut sarana dan prasarana fisik sekolah menjadi lebih berkembang, yang diikuti juga perkembangan mutu pendidikannya. Disamping memajukan masalah pendidikan juga bekerja keras menjadi pengusaha kebun sawit yang tidak kalah dengan petani lainnya. Ia juga membantu petani lain sehingga menjadi petani kelapa sawit yang maju dan berhasil. H.
32
Sadikun kemudian dikenal sebagai tokoh pendidik, tokoh masyarakat dan sekaligus sebagai tokoh agama. Sarana pendidikan lainnya yang terdapat di wilayah ini adalah: TK 25 buah, SD 42 buah, MIS 18 buah, SMP 11 buah, M.Ts 44 buah dan SMU 2 buah dan Pondok Pesantren 3 buah. Kepedulian masyarakat transmigran tentang adat istiadat dan budaya yang berasal dari daerah asal mereka, tetap dilestarikan, misalnya budaya berkaitan dengan pernikahan, nuju bulan, kelahiran dan upacara kematian. Suku-suku pendatang yang menyebar di 24 desa tersebut tediri dari suku: Jawa, Sunda, Padang, Bugis, Batak dan Ambon. Sarana perekonomian yang terdapat di Kecamatan Sungai Bahar adalah: 1. 2. 3. 4. 5.
Bank Rakyat Indonesia (BRI) Bank Mandiri Bank Rap Ganda (Bank Swasta) Koperasi Unit Desa (KUD) di setiap desa KUD Skunder, Kopersi Jasa Usaha Bersama Bahar Group (KJUB).
Sedangkan sarana perekonomian lainnya adalah satu buah pasar tradisional kecamatan, dan terdapat pasar desa, toko, kios dan warung yang menyebar di setiap desa, serta sarana jalan yang sebagian sudah diaspal dengan kwalitas hotmix, sehingga komunikasi antar desa dan kepusat kota sudah lancar. Kondisi Keagamaan Jumlah penganut agama di Kecamatan Sungai Bahar berdasarkan data tahun 2003, Islam 52.643 orang, Kristen 436 orang, Katolik 479 orang, Hindu dan Budha 346 orang. Sementara data tempat ibadat, berdasarkan laporan triwulan I 33
tahun 2007, Kantor Kecamatan Sungai Bahar, mesjid sebanyak 66 buah, mushalla/langgar 155 buah dan gereja 6 buah. Aktivitas keagamaan bagi umat Islam antara lain, Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) pertama tahun 2001 dengan menghabiskan dana Rp.84.500.000.-, MTQ kedua tahun 2002 Rp.138.000.000.- dan MTQ ketiga tahun 2003 Rp. 121.825.000. Dana tersebut diperoleh dari berbagai pihak, antara lain dari pemerintah, sponsor, penjulan stiker dan donatur. Dengan dilaksanakannya MTQ secara rutin dan bergantian tiap desa, dengan biaya yang cukup besar, menunjukkan betapa besarnya kepedulian terhadap seni baca al-Quran. Masyarakat setiap tahunnya memperingati hari-hari besar Islam seperti: Mauludan, Isra’ Mi’raj, Tahun Baru Islam dan lain-lain. Sedang kegiatan rutin adalah kelompok pengajian di setiap desa, pertemuan paguyuban sekaligus arisan dan ceramah keagamaan dilaksanakan di rumah warga secara bergilir. Masjid Jami’ Ta’awun adalah masjid terebesar di Kecamatan Sungai Bahar, dibangun atas swadaya umat Islam yang telah menghabiskan dana lebih dari satu milyar rupiah, dan pembangunannya telah selesai 90%. Di masjid jami’ inilah tempat dilakukannya aktifitas keagamaan secara rutin. Program keagamaan kedepan, di mesjid yang besar ini akan dijadikan pusat kegiatan Islam, misalnya diskusi, seminar, bagi ormas Islam yang berkembang di wilayah ini. Demikian juga bagi remaja masjid dapat memanfaatkan sarana mesjid ini, bukan terbatas pada pelaksanaan ibadah rutin saja, melainkan segala aktifitas agama Islam, dalam rangka memakmurkan mesjid.
34
Visi dan Misi Di dalam binaan Drs. Ismed Wijaya, MM, selaku Camat Sungai Bahar, telah mengantarkan Kecamatan Sungai Bahar ini menjadi Kecamatan Teladan Tingkat Provinsi Jambi pada tahun 2003. Dalam mengembangkan wilayah kecamatan ini, alumnus APDN angkatan I tahun 1992 dan IIP tahun 1999 ini mengarahkan serta memperhatikan kondisi internal dan eksternal yang berlangsung sangat cepat akhir-akhir ini maka dalam penyelenggaraan pemerintahan kecamatan, diarahkan pada efisiensi dan efektifitas yang menuntut adanya perubahan budaya kerja yang berorientasi kepada pencapaian hasil yang maksimal, sehingga perlu dirumuskan visi dan misi. Visi Kecamatan Sungai Bahar, adalah: mewujudkan Kecamatan Sungai Bahar menjadi kecamatan mandiri yang mampu menggali potensi SDA dan SDM yang ada untuk kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat Sungai Bahar. Misi Kecamatan Sungai Bahar, mengembangkan ekonomi kerakyatan, membangun sarana dan prasarana fisik pemerintahan dan transportasi wilayah, membangun sektor jasa dan perdagangan, meningkatkan status desa UPT menjadi desa definitif dan menciptakan suasana aman dan terkendali serta memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pada tahun 2003, telah dilakukan Lomba Desa, yang dimenangkan oleh Desa Panca Mulya, Desa Marga dan Desa Rantau Harapan, masing-masing sebagai juara satu, dua dan tiga. Disamping itu dilakukan Bulan Bakti LPM, Tahun 2003, dengan program pembangunan sarana jalan, pasar, rehabilitasi kantor desa dan pembangunan sarana pendidikan serta pembangunan masjid jami’. Pembangunan Masjid Jami’ 35
Ta’awun yang letaknya di pusat kota kecamatan dilaksanakan pemerintah kecamatan, dengan bantuan swadaya masyarakat senilai Rp.1.981.713.00017
17 Sumber: Selayang Pandang Pembangunan Kecamatan Sungai Bahar, Dalam Rangka Penilaian Camat Teladan Tingkat Provinsi, Tahun 2003. Kabupaten Muoro Jambi 2003.
36
FKAUB KECAMATAN SUNGAI BAHAR
Sejarah Pembentukan Forum Pertemuan silaturahim yang dilakukan secara kekeluargaan dengan tokoh-tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, unsur pemuda dengan pemerintah Kecamatan Sungai Bahar. Pertemuan yang difasilitasi oleh Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama, Puslitbang Kehidpan Beragama (sekarang: Puslitbang Kehidupan Keagamaan), Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan (sekarang: Badan Litbang dan Diklat), Departemen Agama pada tahun 2003, dilaksanakan di Ruang Pertemuan Kecamatan Sungai Bahar, pada tanggal 23-24 Agustus 2003, dengan topik acara Pengembangan Wadah Kerukunan dan Ketahanan Masyarakat Tingkat Kecamatan. Pertemuan yang dihadiri 50 orang dari berbagai unsur: tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh politik dan unsur pemuda. Dalam pertemuan tersebut melibatkan lima nara sumber terdiri dari: Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten Muoro Jambi, Kepala Kesatuan Bangsa dan Ketahanan Masyarakat Kabupaten Muoro Jambi, Ketua Majelis Ulama Indoneia (MUI) Kecamatan Sungai Bahar, dan yang mewakili Majelis Agama Kristen dan Ketua Adat Kecamatan Sungai Bahar. Ketua Panitia Pelaksana Drs. Taufiq, Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Sungai Bahar memberikan laporan pelaksanaan, dan dilanjutkan dengan Sambutan Kepala Puslitbang Kehidupan Beragama, yang didampingi tim peneliti dari Puslitbang Kehidupan Beragama Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama Jakarta. 37
Makalah yang yang disampaikan wakil majelis-majelis agama dianggap penting dan mendasar, karena baru pertama kali dilakukan pertemuan kerukunan antar umat beragama. Makalah yang disampaikan oleh Muallik QM, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kecamatan Sungai Bahar dengan judul: “Ajaran Agama Islam Tentang Kerukunan Hidup Beragama”. Pemaparan ajaran Islam tentang kerukunan hidup beragama dalam perspektif sejarah, dijelaskan bahwa Islam adalah agama Allah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Islam berarti suci, bersih dan selamat dari kecacatankecacatan lahir dan batin. Islam berarti perdamaian dan keamanan. Islam berarti pula berserah diri, taat, patuh dan tunduk kepada Allah. Diungkapkan pula Firman Allah dalam Al-Qur’an Surah Ali Imron: 20, yang artinya: “Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Islam), maka katakanlah aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku. Dan katakanlah kepada orangorang yang telah diberi Al-Kitab dan kepada orang-orang yang Ummi: apakah kamu mau masuk Islam? Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hambanya”
Kehadiran agama Islam adalah rahmat bagi alam semesta, karena didalamnya berisi aturan, tuntunan dan pedoman bagi manusia dalam memelihara hubungan manusia dengan Khalik (Pencipta), hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan alam lingkungannya agar ketiga hubungan itu berjalan selaras, serasi dan seimbang menuju terwujudnya kebahagiaan dan kesejahteraan manusia lahir dan batin serta terpelihara kelestarian alam. Dalam Islam diajarkan bahwa manusia berasal dari satu keturunan. Antara seseorang dengan lainnya terdapat pertalian darah, dekat atau jauh. Manusia semua bersaudara. Pertalian tersebut akan menjadi kokoh dengan adanya persamaan-persamaan lain,
38
seperti persamaan agama, kebangsaan, tempat kerja, lokasi berdomisili dan lain-lain sebagainya. Sementara itu dalam hal kerukunan hidup beragama dalam ajaran Islam telah menetapkan konsep yang jelas sejak awal kedatangan Islam. Hal tersebut bertitik tolak dari pemahaman bahwa kedatangan Nabi Muhammad Saw. tidak hanya untuk salah satu umat saja, akan tetapi seluruh alam, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an Surat Al-Ambiya:107 yang artinya: “Dan tidaklah Kami mengutus engkau Muhammad, kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam”. Ketua Adat Sailun Salimbai Kecamatan Sungai Bahar Kabupaten Muaro Jambi. Memaparkan makalah yang pada intinya mengatakan bahwa: Sejak dari dahulu selalu terbuka untuk menerima etnis, agama dan kepercayaan apa saja, sepanjang etnis, agama bagi pendatang tersebut mau hidup berdampingan tangan dengan kami penduduk Kecamatan Sungai Bahar Kabupaten Muoro Jambi. Sungguhpun demikian terbukanya jangan pulo sipendatang nak membawak cupak dewek, gantang dewek, karena rumah nan betenganai, Negeri nan berajo. Karena kami di bumi Seilun Salimbai ini ado jugo larang pantangnya, ado adat aturannya. Menurut kato adat orang tuo kito “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijungjung, di mano kambiang tercacak di situ tanaman tumbuh, di mano ranting dipatah di situ aek disauh, masuk kandang kambing mengembik, masuk kandang kerbau mengoek”. Pada hakekatnya kami masyarakat Sungai Bahar menganggap kedatangan saudaro-saudaro kito dari daerah lain adalah untuk penambah rang dikit, penduduk nan kurang, karena dengan kemajemukan suku dan etnik ini dapat meningkatkan kemajuan caro kito berpikir, caro berusaha kepada yang lebih maju. Masyarakat Sungai Bahar tetap menganggap para pendatang sebagai saudaro dan tidak membedakan antara pendatang dengan pribumi, selagi para pendatang tidak merusak adat dan aturan-aturan yang 39
ko pakai di tempat ini, jangan pula bak kato adat: Nak barajorajo di negeri rajo nak membuat rumah di dalam rumah”. Dalam bidang agama, kami masyarakat Sungai Bahar tetap berwawasan nasional dengan menjungjung tinggi nilai-nilai toleransi antar umat beragama, bebas memeluk agamanya masing-masing. Oleh karena itu saya mengajak kito semuo untuk mempedomani petunjuk yang ado guno terciptanya kerukunan hidup umat beragama, khususnya dalam kecamatan Sungai Bahar dan umumnya di Kabupaten Muoro Jambi. Jadi saya mengharapkan: jangan ado lagi menonggak salung menunggul buto arinya: jangan ada semacam usaha untuk merubah adat yang sudah ada. Setelah pemakalah Ketua Adat dilanjutkan dengan pemakalah majelis-majelis agama lain dalam pertemuan kerukunan umat beragama tersebut. Dalam pertemuan dan diskusi tersebut telah melahirkan berbagai usulan di antaranya: 1. Perlu ada penyadaran terhadap umat masing-masing agama, agar lebih memahami dan mengamalkan ajaran agamanya masing-masing; 2. Dalam lingkungan masyarakat Kecamatan Sungai Bahar telah terjalin hubungan kerukunan antar umat beragama sejak awal dibukanya daerah transmigrasi dan tumbuh secara alami; 3. Telah tercipta saling hormat menghormati antar warga masyarakat yang heterogen dari suku maupun dari agama yang dianut; 4. Khusus kepada para pendatang dari luar daerah Provinsi Jambi, dapat memperhatikan dan mempelajari adatistiadat penduduk setempat sesuai dengan pribahasa “di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung”;
40
5. Agar tidak mencampuri keyakinan orang lain, apalagi mempengaruhi orang lain, untuk berpindah agama; 6. Kepada pemerintah setempat agar dapat memperhatikan aspirasi masyarakat dengan cara yang lebih arif khususnya menyangkut pemberantasan tempat-tempat hiburan yang mulai marak dan disinyalir ternyata tempat perjudian dan tempat praktek prostitusi secara terselubung; 7. Untuk mengantisipasi dan menjaga ketahanan masyarakat agar tidak terprovokasi dengan issue-issue SARA dan untuk meningkatkan kerukunan antarumat beragama perlu dibentuk suatu wadah yang dapat menampung dan memfasilitasi aspirasi berbagai kelompok masyarakat di Wilayah Kecamatan Sungai Bahar. Akhir pertemuan terjadi kesepakatan yang menjadi kesimpulan dari pertemuan tersebut yaitu: 1. Konflik yang mungkin terjadi di kalangan umat beragama tidak semuanya bersumber dari persoalan agama, melainkan bersumber dari persoalan lain, seperti: persoalan perjudian, kriminal, persoalan kejahatan lainnya; 2. Potensi konflik yang berkaitan langsung dengan persoalan agama pada umumnya menyangkut etika berkomunikasi, tatacara beribadah yang dirasakan menggannggu umat beragama lain, penyiaran agama/dakwah yang agresif dan memaksakan kehendak, serta sikap egois pemeluk agama yang tidak mau terganggu, tetapi sering mengganggu. 3. Potensi konflik lain yang berhubungan dengan agama adalah keterbatasan pengetahuan umat beragama tentang agamanya sendiri apalagi agama orang lain; 41
4. Pada da’i dan mubaligh yang didatangkan dari luar seringkali dalam mnyampaikan ceramah-ceramah mereka, tidak/kurang memperhatikan kondisi umat setempat yang terdiri dari bermacam aliran dan faham sehingga seringkali menimbulkan perbedaan pendapat intern agama itu sendiri; 5. Sepakat membentuk forum dengan nama: Forum Komunikasi Antar Umat Beragama (FKAUB), Kecamatan Sungai Bahar, dengan Susunan Formatur sebagai berikut: 1. Drs. Taufiq Kepala KUA Kec.Sungai Bahar (Ketua) 2. Muallif QM, Mewakili MUI Kec. Sungai Bahar (Anggota) 3. Mamat Rahmat Mewakili Tokoh Masyarakat (Anggota) 4. Matius Sugeng Mewakili kelompok Kristen (Anggota) 5. A. Rahman Mewakili kelompok Tokoh Adat (Anggota) 6. Rajiman Mewakili kelompok Katolik (Anggota) 7. Kamijan, SE Mewakili Pemda Kec. Sungai Bahar (Anggota) Pembentukan FKAUB Dua minggu setelah dilaksanakan pertemuan yang dihadiri para tokoh agama, adat, masyarakat, unsur remaja dan pemerintah daerah setempat, maka Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan (KUA) Sungai Bahar mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 19 Tahun 2003, tentang Pengurus FKAUB Kecamatan Sungai Bahar, tanggal 5 September 2003.
42
Susunan Pengurus FKAUB Kecamatan Sungai Bahar Tahun 2003 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Pelindung/Penasehat : Camat Sungai Bahar Ketua : Taufiq, S.Ag (KUA Sungai Bahar) Wakil Ketua : Ramijan, SE, (Kasi Kesos Kc.S.Bahar) Sekretaris : Ibnu Hisyam, S.Ag Wakil Sekretaris: Syaukani, SH Bendahara : Munawaroh
Anggota: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Muallif QM Mamat Rahmat H.Ponijo Ch Matius Sugeng Yermias F.Rajiman H.Sukardji Drs.A.Rahman Sumadi Ibnu Mudakir Bisri Mustofa R.Kartono Rahmad, BBA Drs. Sarbaini Supano
(MUI) (MUI) (MUI) (PGI) (PGI) (Katolik) (Adat) (Adat) (Kades RH) (BPD) (BPD) (LPM) (LPM) (Tomas) (Pemuda)
Sekretariat: 1. 2. 3. 4.
Chairun Nasichin, S.Sos A.Fad. Resa Engkar, A.Md. M.Sahudin
(Kasi PUMC) (Staf KUA) (Remas) (Remas)
43
Kondisi dan Perkembangan FKAUB Sejak terbentuknya FKAUB di Kecamatan Sungai Bahar pada tanggal 5 September 2003, sekalipun priodiknya hanya sampai tahun 2004 tapi susunan pengurusnya tidak mengalami perubahan dan tetap berlaku sampai sekarang ini. Hubungan komunikasi antara Kepala KUA selaku ketua forum dengan instansi pemerintah, tokoh adat, majelis-majelis agama, tokoh masyarakat, remaja, cukup harmonis, sehingga bila akan melaksanakan program sosial kemasyarakatan dengan mudah melaksanakan koordinasi.
Dalam wawancara dengan Drs.Taufiq S.Ag selaku ketua forum, telah melakukan pertemuan rutin bulanan dengan majelis-majelis agama di 24 desa secara bergantian. Denominasi gereja dan sebagai tempat beribadat bagi jemaat yang termasuk binaan ketua forum, dan melibatkan dari berbagai aktifitas kemasyarakatan misalnya kerja gotong royong, peringatan perayaan hari-hari nasional bersama Pemda kecamatan setempat. Aktifitas lain yang dilakukan oleh Ketua Forum adalah menghadiri kelompok pengajian-pengajian dan peringatan hari-hari besar Islam (PHBI) diberbagai desa secara bergantian. Kedudukan Adat Di Provinsi Jambi, perhatian masyarakat dalam masalah hukum adat, berbeda dengan provinsi lain di Indonesia. Walaupun telah dibentuk Forum Komunikasi Kerukunan Antar Umat Beragama (FKAUB) di Kecamatan Sungai Bahar, namun kedudukan lembaga adat tetap eksis, sebagai lembaga sosial kemasyarakatan tetap menjadi tumpuan masyarakat dalam menyelesaikan berbagai permasalahan masyarakat. Menurut Haji Sukadji Ketua Lembaga Adat Kecamatan Sungai 44
Bahar, sejak awal terbentuknya forum tersebut merasa pesimis forum dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan, karena selaku ketua adat, ia mengamati kecenderungan masyarakat dalam menyelesaikan segala permasalahan warga, mereka lebih dekat ke lembaga adat dibandingkan ke pihak pemerintah. Ketua adat yang dijabat oleh H. Sukardji adalah purnawirawan Angkatan Laut, mantan anggota DPRD, memiliki beberapa lahan kebon kelapa sawit dan membuka klinik pengobatan kesehatan. dan kini isterinya sebagai salah seorang anggota DPRD Jambi mewakili Fraksi Partai Golkar, jadi sebagai ketua adat, pengaruhnya di masyarakat sangat kuat. Berbagai kasus warga yang mereka selesaikan, misalnya sengketa kepemilikan kebun kelapa sawit, perselisihan keluarga, konflik bernuansa agama, masalah politik, pengaduan warga kepada pemerintah, masalah pembangunan wilayah, dan lain-lain. Kedudukan adat di Jambi, memiliki landasan hukum yang kukuh dan kuat. Dalam hal ini dibuktikan, walaupun telah melalui rentang waktu yang panjang, dan masyarakatnya hidup dalam kekuasaan pemerintahan yang silih berganti dengan corak yang berbeda-beda, namun keberadaan hukum adat tetap diakui dan tetap hidup di tengah-tengah masyarakat. Setiap desa terdapat seorang ketua adat secara berjenjang di tingkat kecamatan, kabupaten dan tingkat provinsi. Sehingga kedudukan seorang ketua adat sangat penting artinya di tengah-tengah masyarakat. Ketua adat dipilih oleh lingkungan masyarakat di desa tersebut. Masyarakat harus tunduk atas putusan ketua adat. Bila melanggar putusan adat maka sanksinya berat. Bila putusan adat di tingkat desa/kelurahan tidak selesai, maka dilanjutkan pada ketua adat tingkat kecamatan, demikian seterusnya 45
sampai ke tingkat provinsi. Dasar hukum adat Jambi disebut Induk Undang, yang terdiri dari lima macam, yaitu: 1. 2. 3. 4.
TitianTeras Bertangga Batu; Cermin Nan Tidak Kabur; Lantak Nan Tidak Goyah; Nan Tidak Lapuk Karena Hujan Tidak Panas; 5. Kata Seiyo.
Lekang Karena
Hukum Adat Jambi18 Dasar pertama: Titian Teras Bertangga Batu Maksudnya: ketentuan yang bersumber dari Hadist Nabi dengan Firman Allah yang tercantum dalam Al-Quran yang disebut dengan syarak dijadikan tuntunan utama, yang tercantum dalam Seloko adat berbunyi:
Adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah Syarak mengata adat memakai Syarak berbuhul mati, adat berbuhul sentak19
Dasar Kedua: Cermin Nan Tidak Kabur Maksudnya: Ketentuan yang sudah ada berasal dari masa berabad-abad silam yang terbukti kebenarannya dan kebaikannnya dalam mengayomi masyarakat diikuti dari generasi ke generasi. Dasar kedua ini mengacu kepada seloka adat yang berbunyi:
18
Disarikan dari berbagai sumber, dan hasil wawancara dengan beberapa tokoh adat di tingkat desa, kecamatan, dan wawancara dengan Herman, S.Ag Kepala KUA Bajubang dan Camat Bajubang, Sugirjo, S.Pd.I pada tanggal 21 September 2006 di Kantor Kecamatan Bajubang. 19 Adat dalam Kontek Pembangunan dan Kehidupan Sehari-hari, Disusun Oleh Pemerintahan Desa/Kelurahan, Setda Kabupaten Batang Hari, Tahun 2006
46
Jalan berambah yang diturut, baju berjahit yang dipakai Nan bersesap berjerami, bertunggul berpemareh, berpendam berpekuburan
Dasar ke tiga: Lantak Nan Tidak Goyah Maksudnya: Lantak atau tonggak adalah sepotong kayu atau batu beton yang salah satu ujungnya di tanamkan atau dimasukkan ke dalam tanah untuk dijadikan pedoman atau penahan sesuatu. Dalam mencantumkan hukum dan melaksakannya orang berwenang harus memiliki mental dan tekad yang teguh sehingga keadilan bagi semua orang dapat ditegakkan. Dasar ketiga adat ini diungkapkan dalam beberapa seloko adat antara lain berbunyi:
Beruk di rimba disusukan, Anak dipangku diletakkan Tiba di mata jangan dipicingkan, Tiba di perut jangan dikempiskan Lurus benar dipegang teguh, Kata benar diubah tidak.
Dasar ke empat: Nan Tidak Lapuk Karena Hujan, Tidak Lekang Karena Panas Maksudnya: Berpegang pada kebenaran yang tidak berubah Dilanjak layu, dianggu mati. Dasar ke lima: Kata Seiyo Maksudnya: Pembicaraan yang sudah di musyawarahkan dan dimufakati. Kata Seiyo, diperoleh melalui perundingan dengan mendengarkan dan memperhatikan pendapat sebanyak mungkin orang yang patut didengar sehingga dicapai kesepakatan yang harus diakui dan dipatuhi bersama. Dalam seloka adat dikatakan:
Elok air karena pembulu, elok kata karena mufakat 47
Bulat boleh digulingkan, pipih boleh dilayangkan
Kelima dasar hukum tersebut dalam kodifikasinya dinamakan Induk Undang Nan Lima, dan kedudukannya maka dalam menetapkan hukum adat atau menyelesaikan masalah yang timbul harus berdalilkan pada prinsip-prinsip yang terkandung dalam Induk Undang Nan Lima. Hukum adat Jambi jika diteliti dengan seksama ternyata telah mengatur segi-segi kehidupan perorangan dan kemasyarakatan (sosial) sampai pada persoalan yang sekecilkecilnya, dengan perangkat hukum yang sederhana berupa pepatah-petitih dan seloka adat, yang harus dilaksanakan dengan jujur, penuh rasa tanggung jawab. Kondisi Masyarakat Sejak awal pembentukan forum, para tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat di depan aparat pemda setempat telah menyampaikan kondisi masyarakat, terutama kedudukan adat yang memegang peranan yang sangat tinggi dan dominan. Sekalipun pada saat itu ketua adat tidak merasa keberatan untuk membentuk wadah kerukunan, demikian juga ketua MUI bersama majelis-majelis agama tidak keberatan membentuk wadah, apapun namanya. Namun dalam perjalanan perkembangan forum tersebut tidak banyak yang dapat diperbuat. Karena permasalahan yang muncul di masyarakat cenderung ditangani dan diselesaikan oleh ketua adat. Misalnya, permasalahan jual beli lahan kebon kelapa sawit, sengketa keluarga, pendirian rumah ibadat, pelaksanaan ritual keagamaan dan lain-lain. Hampir semuanya dapat diselesaikan dengan baik oleh ketua adat. Ketika awal pertemuan pembentukan forum, Ketua Adat berpesan: “Saya mengharapkan jangan ado lagi menonggak salung menunggul buto”. Artinya: jangan semacam ada usaha untuk merubah adat dengan adat yang ada, akhirnya akan 48
mengeruhkan aek nan sudah jernih, menghirukkan sudah damai.
dusun nan
Demikian juga Muallif, ketua MUI Kecamatan Sungai Bahar juga menekankan dalam makalah yang disampaikan pentingnya dibentuk wadah kerukunan. Seperti dicontohkan perjuangan dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW. setelah tiba di Medinah, Nabi menegakkan ukhuwah Islamiyah dengan mempersaudarakan kaum Ansor dan Muhajirin. Persaudaraan di antara mereka terjalin dalam banyak hal. Di bidang pertanian orang Ansar memberikan sebagian tanahnya kepada kaum Muhajirin. Sebaliknya orang Muhajirin yang banyak ternaknya memberikan sebagian ternaknya kepada kaum Ansar untuk dikembangbiakkan. Demikian juga modal perniagaan diberikan kepada kaum Muhajirin. Dalam bidang keamanan dan pertahanan, kaum Ansar bersama-sama kaum Muhajirin menjaga dan mempertahankan kota Medinah bila mendapat ancaman dari luar. Kehidupan umat Islam yang dibangun oleh Muhammad SAW. tersebut menggambarkan suasana kehidupan yang penuh kekeluargaan dan kerukunan. Satu sama lain bersama-sama mengembangkan persatuan dan persaudaraan. Persatuan Islam menggantikan persatuan kesukuan, sehingga dengan demikian mereka menjadi satu dan bersaudara. Agama Islam mengajarkan kepada umatnya untuk hidup rukun, damai dan tenteram. Guna menciptakan suasana rukun, damai dan tenteram di wilayah kota Medinah, Nabi Muhammad SAW. membuat perjanjian persahabatan dan perdamaian dengan umat Yahudi yang berdiam di Medinah dan sekitarnya. Diantara isi perjanjian yang disepakati tersebut adalah: 1. Bahwa kaum Yahudi hidup damai bersama-sama dengan kaum Muslimin. Kedua belah pihak bebas memeluk dan menjalankan ajaran agama masing-masing;
49
2. Kaum Muslimin dan kaum Yahudi bertolong-tolongan untuk melawan siapa saja yang memerangi mereka; 3. Kaum Muslimin dan kaum Yahudi wajib nasehat dan menasehati, tolong menolong dan melaksanakan kewajiban dan keutamaan Perjanjian yang merupakan dokumen politik yang sangat bersejarah ini, menetapkan hak dan kewajiban kaum Yahudi di Medinah terhadap daulat Islamiyah, disamping pengakuan kebebasan beragama dan pemilikan harta kekayaan. Dokumen perjanjian itu menggariskan dasar-dasar politik, ekonomi, sosial dan militer bagi segenap penduduk Madinah, baik kaum Muslimin maupun kaum Yahudi. Setiap penduduk berkewajiban saling membantu memelihara kehormatan, menjamin keselamatan jiwa dan harta bagi segenap penduduk dan mengakui kebebasan bersama. 20 Kondisi masyarakat Kecamatan Sungai Bahar begitu aman dan damai hidup berdampingan masyarakat dengan latar belakang etnis dan agama yang plural, sesuai dengan visi dan misinya yang sejak dini ditanamkan oleh pemerintah setempat. Respon Masyarakat dan Pemerintah Respon masyarakat terhadap pembentukan wadah kerukunan yang telah dibentuk pada tanggal 23 Agustus 2003 dengan nama “Forum Komunikasi Antar Umat Beragama” (FKAUB), pada kenyatannya jarang di manfaatkan oleh masyarakat yang mengalami persoalan sosial kemasyara-
20
Muallif QM, Ketua MUI Kecamatan Sungai Bahar , Kabupatan Muoro Jambi, Provinsi Jambi, dalam makalah: Ajaran Agama Islam Tentang Kerukunan Hidup Beragama, disampaikan pada Forum Komunikasi Antar Umat Beragama pada tanggal 23 Agustus 2003 di Kecamatan Sungai Bahar.
50
katan. Masyarakat pada umumnya setiap mengalami persoalan lebih memilih menyelesaikan lewat lembaga adat. Di lingkungan masyarakat di wilayah Kecamatan Sungai Bahar, yang penduduknya mayoritas pendatang, dalam membangun masyarakat selalu menjunjung tinggi rasa kebersamaan, menjaga rasa persatuan dan kesatuan. Mereka lebih mementingkan mencari kehidupan baru dalam upaya mensejahterakan keluarganya, sebagai angan-angan dan citacita sejak akan meninggalkan kampung halamannya. Respon pemerintah adanya FKAUB tersebut, dimanfaatkan ketika permasalahan masyarakat sudah tidak bisa lagi diselesaikan secara adat, maka FKAUB bersama dengan aparat Muspika Kecamatan Sungai Bahar, akan menanganinya. Permasalahan yang pokok terutama yang berkenaan dengan masalah keagamaan dapat diselesaikan FKAUB bersama ketua majelis-majelis agama. Ketua FKAUB secara rutin melaksanakan pertemuan dengan majelis-majelis agama di 24 desa secara bergantian. Dengan pertemuan secara rutin tersebut segala permasalahan antar dan intern umat agama dapat berjalan dengan baik. Sementara permasalahan lingkungan sosial kemasyarakatan dapat diselesaikan melalui lembaga adat. Permasalahan yang berkenaan dengan konflik agama misalnya proses ritual keagamaan, pendirian rumah ibadat, hampir tidak pernah ada. Demikian juga persoalan di lingkungan masyarakat, paling banyak terkait dengan masalah perkebunan kelapa sawit. Karena masyarakatnya bermata pencaharian sebagai petani pemilik dan buruh. Maka persoalan yang timbul juga terkait kelapa sawit. Misalnya warisan kepemilikan dalam keluarga, surat-surat kepemilikan tanah kebon, pencurian hasil kebon kelapa sawit oleh pihak tertentu dan penjualan produksi.
51
Penyelesaian masalah kejahatan, misalnya yang pernah terjadi adalah pencurian hasil panen kelapa sawit yang dicuri oleh buruh kebun (warga pendatang), permasalahannya diserahkan kepada pihak kepolisian setempat. Sementara yang berkenaan dengan masalah keagamaan/umat diserahkan kepada pihak FKAUB dan yang berhubungan dengan masyarakat, diselesaikan lewat lembaga adat.
52
PENUTUP
Simpulan 1. Masalah yang berkaitan masalah keagamaan dapat diselesaikan melalui majelis-majelis agama di Kecamatan Sungai Bahar; Pembinaan keagamaan dalam upaya memelihara kerukunan, Ketua FKAUB Kecamatan Sungai Bahar melakukan pertemuan rutin dilaksanakan di 24 desa secara bergantian; Permasalahan sosial kemasyarakatan yang terjadi di lingkungan masyarakat dapat diselesaikan melalui lembaga adat; 2. Faktor pendukung, adalah tingkat kesadaran masyarakat dalam memelihara kerukunan sangat tinggi, karena telah menjadi prinsip bagi warga transmigrasi di dalam kehidupan diperantauan bahwa: sebagai perantau atau pendatang maka mereka menjaga kebersamaan, rasa persatuan dan kesatuan, serta menjaga agar tidak terjadi konflik di antara mereka. Faktor pendukung lainnya adanya pembinaan keagamaan secara rutin yang dilakukan masing-masing agama. Bagi umat Islam dilakukan pengajian kelompok lewat majelis taklim, arisan paguyuban dll. Sementara faktor penghambatnya adalah sarana jalan yang menghubungkan satu desa dengan desa lainnya masih ada jalan tanah, bila terjadi hujan, jalan tersebut bagaikan kubangan kerbau, susah dilewati kendaraan. 3. Respon masyarakat terhadap wadah kerukunan yang telah mereka bentuk pada tahun 2003 (FKAUB) diakui keberadaannya dan difungsikan manakala pemerintah setempat memerlukannya. Karena konflik yang disebabkan oleh “agama” hampir tidak ada. Kalau pun ada dapat diselesaikan melalui lembaga adat. Sementara 53
respon dari Pemerintah terkait dengan masalah FKAUB, pemerintah akan memanfaatkan di mana dan kapan diperlukan. Kegiatan FKAUB yang menonjol adalah pertemuan secara rutin dengan pengurus majelis-majelis agama yang ada di 24 desa, sebagai bentuk pembinaan kehidupan keagamaan di masyarakat. Rekomendasi Dua wadah yang berkembang di lingkungan masyarakat Kecamatan Sungai Bahar, Kabupaten Muoro Jambi, Provinsi Jambi; yaitu lembaga adat yang dibangun masyarakat setempat dan yang kedua Forum Komunikasi Antar Umat Beragama (FKAUB) yang dipersiapkan dan dibentuk oleh pemerintah Pusat dalam hal ini Departemen Agama, agar kedua wadah tersebut dipelihara dijaga kelangsungan hidupnya dan dimanfaatkan sebaik-baiknya. Untuk kepentingan antar umat beragama dapat memanfaatkan wadah FKUAB sedang berkaitan persoalan masyarakat, dapat menggunakan lembaga adat, yang juga dilindungi dan diatur pemerintah setempat. Kedua lembaga tersebut perlu ditigkatkan baik dari segi kwalitas maupun dari segi SDM-nya, agar dapat menyelesaikan segala permasalahan secara baik, dan melindungi kepentingan masyarkat banyak. Sedangkan yang berkaitan dengan Suku Anak Dalam di Desa Talang Bukit dan Desa Markanding, agar dilakukan pendekatan secara kekeluargaan, setahap demi setahap diberikan pembinaan, pembelajaran keagamaan, diarahkan dalam kehidupan kemasyarakatan secara layak, agar kedepan dapat hidup sejajar dengan masyarakat lainnya.
54
DAFTAR KEPUSTAKAAN
BPS, Kabupaten Muoro Jambi, Kabupaten Muoro Jambi dalam Angka Tahun 2005; G. Kertasaputra dan LJB. Kreimars, Sosiologi Umum, Bina Aksara, Jakarta, 1987; Ismet Wijaya, Drs, MM, Selayang Pandang Pembangunan Kecamatan Sungai Bahar, Dalam Rangka Penilaian Camat Teladan Tingkat Provinsi, Tahun 2003. Kabupaten Muoro Jambi 2003; Muallif QM, Makalah, Ajaran Agama Islam Tentang Kerukunan Hidup Beragama, Disampaikan pada Seminar Kerukunan Umat Beragama, pada tanggal 23 Agustus 2003 di Kecamatan Sungai Bahar; Muhaimin AG, dkk, Riset Aksi Pengembangan Wadah Kerukunan dan Ketahanan Masyarakat Lokal, Studi Kasus di Kecamatan Sungai Bahar, Kabupaten Muoro Jambi (Laporan Penelitian), BLA, Dep. Agama, Jakarta, 2003; Setda Kabupaten Batanghari, Adat Dalam Kontek Pembangunan Dan Kehidupan Sehari-hari, Pemerintahan Desa/ Kelurahan, Batang Hari, 2006; Umar R. Soeroer, Drs, MM, Riset Aksi Pengembangan Wadah Kerukunan dan Ketahanan Masyarakat Lokal, Studi Kasus di Kecamatan Tinggimoncong, Malino, Sulawesi Selatan, BLA Dep. Agama, 2005.
55
56
REVITALISASI WADAH KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DI PROVINSI SUMATERA UTARA Studi Perkembangan FKUB Kecamatan Sosa, Kabupaten Tapanuli Selatan Oleh: Muchtar
GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Geografi. Kabupaten Tapanuli Selatan yang beribukota di Padang Sidempuan merupakan salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Sumatera Utara yang terdiri dari 28 kecamatan, 1.80 desa dan 13 kelurahan. Kecamatan Sosa yang merupakan bagian dari Kabupaten Tapanuli Selatan dengan jarak kurang lebih 150 km dari pusat pemerintahan kabapaten dan 600 km dari pusat ibu kota Provinsi Sumatera Utara. Sedangkan batas wilayah Kecamatan Sosa di barat berbatasan dengan Kecamatan Barumun, dan timur berbatasan dengan Kecamatan Hutaraja Tinggi, selatan berbatasan dengan Batang Lubuk Sutan, sebelah utara berbatasan dengan Barumun Tengah.
sebelah sebelah sebelah sedang
Masyarakat di Kecamatan Sosa adalah sebuah komunitas yang hidup masih berpegang pada aturan adat karena sebagian besar masyarakatnya adalah penduduk asli Sumatera Utara yang masih kuat berpegang pada aturanaturan adat istiadat setempat begitu juga dalam hukum adat mereka masih mengakui adanya hak kepemilikan dan penguasaannya diatur secara adat.
57
Demografi Pada tahun 2007 ini jumlah penduduk di Kabupatem Tapanuli Selatan mencapai 624.112 jiwa di Kecamatan Sosa tercatat 25.288. jiwa, yang terdiri dari 12.091 laki-laki 13.197 perempuan yang tersebar di 39 desa/kelurahan. Bila dilihat dari tingkat kepadatan penduduk Kelurahan Hupang dan Kelurahan Pasar Ujung Batu adalah yang paling padat. Masing-masing penduduknya yaitu 2.370 jiwa yang terdiri dari 1.042 laki-laki dan 2.370 perempuan dan 2.222 jiwa yang terdiri dari 1.046 laki-laki dan 1.176 perempuan. Sedangkan yang paling sedikit jumlah penduduknya adalah Kelurahan Hutaimbaru dan Kelurahan Sisoma yaitu sebanyak 126 jiwa yang terdiri dari 64 laki-laki dan 62 perempuan dan 151 jiwa terdiri dari 71 laki-laki dan 80 perempuan. Luas wilayah Kecamatan Sosa mencapai 785.16 km persegi. Kepadatan penduduk kurang lebih mencapai 31,25 per km persegi. Tidak meratanya persebaran penduduk karena sebagian besar wilayahnya berupa tanah kosong atau dimanfaatkan untuk perkebunan dan persawahan/pertanian. Kehidupan Sosial, Ekonomi dan Budaya. Kecamatan Sosa sangat kaya akan sumber daya alam, tanah yang subur sebagian besar merupakan daratan yang sangat menjajnjikan bagi infestor dari luar daerah untuk menanamkan modalnya di daerah tersebut terutama dalam bidang pertanian dan perkebunan. Disamping itu Kecamatan Sosa kaya akan hasil hutan dapat menjadikan persoalan tersendiri bagi masyarakat pendatang maupun masyarakat pribumi. Seiring dengan munculnya perusahaan-perusahaan perkebunan di Kecamatan Sosa Kabupaten Tapanuli Selatan. Kehidupan keseharian di Kecamatan Sosa tidak ubahnya seperti daerah-daerah lainnya di Sumatera yang sebagian 58
besar penduduk bermatapencaharian sebagai petani dan bekerja di perkebunan serta sebagian yang lainnya ada yang bekerja pada perkantoran sebagai pegawai negeri, khususnya pegawai pemerintah daerah, sedangkan yang lainnya bekerja sebagai buruh, sopir dan berdagang. Areal sawah pertanian untuk tanaman padi seluas 1700 ha, sawah ladang 550 ha, ladang untuk tanaman padi seluas 2250 ha, ladang untuk tanaman jagung 525 ha, lain-lain untuk tanaman kacang tanah, kacang hijau dan ubi kayu dan ubi jalar 120 ha. Sarana pendidikan yang tersedia di Kecamatan Sosa meliputi Sekolah Dasar 22 buah, dengan jumlah siswa 4.835 siswa, dan tenaga pengajar 173 guru. Sekolah lanjutan tingkat pertama negeri 2 buah, dengan jumlah siswa 776 siswa. Sekolah lanjutan pertama swasta 1 buah, dengan jumlah siswa 48 siswa, jumlah tenaga pengajar 13 guru. Untuk sekolah agama terdapat sebuah madrasah ibtidaiyah, dan tsanawiyah masing-masing 1 buah, dengan jumlah siswa 228 siswa, dan 20 guru. madrasah aliyah 1 buah, dengan jumlah siswa 94 siswa dan 7 guru. Kehidupan Keagamaan Jumlah penduduk di Kecamatan Sosa Kabupaten Tapanuli Selatan menurut penganut agama, yaitu Islam 24.333 orang, Kristen Protestan 780 orang, Katholik 6 orang, dan Buddha 6 orang. Masyarakat Kecamatan Sosa yang beragama Kristen, Katholik Hindu dan Buddha adalah para pendatang (transmigran) yang bekerja sebagai pegawai pemerintah, ABRI dan pegawai perkebunan yang didatangkan perusahaan perkebunan. Jumlahnya berkisar 3,60% mereka terdiri dari transmigran. Sedangkan Sarana tempat ibadat sebelum adanya pemekaran menjadi tiga kecamatan terdapat sarana 59
peribadatan, bagi umat Islam masjid ada 107 buah, Mushallah 147 buah, dan gereja ada 6 buah.21 Selain itu terdapat 7 lembaga pendidikan agama atau pondok pesantren, yaitu 1) PP Darul Falah Sosa, pimpinan Drs. H. Nukman Lubis; 2) PP Babul Hasanah, pimpinan Jurman Hasibuan; 3) PP Al-Khoir, pimpinan Ramu Siregar; 4) PP Ihyauul Ulum Dolok Sigoppulon, pimpinan Hajuddin Ritonga; 5) PP Ihyaul Ulum Aek Bilah, pimpinan Rusyadi Rambe; 6) PP Al-Muttaqin Sosopan, pimpinan H. Panu Nasution; dan 7) PP Nurul Iman Purba Bangun, pimpinan Drs. H. Waliaman Harahap. Faham keagamaan di Kecamatan Sosa Kabupaten Tapanuli Selatan seperti lazimnya masyarakat Indonesia pada umumnya menganut ahli sunnah wal jamaah bermadhab Syafi’i, dan kebanyakan sebagai anggota/simpatisan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Kehidupan masyarakat di Kecamatan Sosa hingga sekarang ini dalam keadaan aman dan tentran belum pernah terjadi gejolak masyarakat yang berlatar belakang agama. Kehidupan yang semacam ini sebagai indikasi bahwa kerukunan umat beragama di kalangan masyarakat begitu mengakar dan membudaya bahkan di sebagian daerah tertentu semacam Arse, SD dan Aek Bilal kerukunan sudah sampai kepada ranah yang bersifat keagamaan. Misalnya, penganut agama Kristen ikut dalam peringatan maulid. Mereka dengan suka rela membantu kegiatan tersebut. Demikian pula ketika terjadi musibah kematian, masyarakat Sosa ikut serta dalam prosesi penguburan tanpa membedakan latar belakang agama mereka.
21
60
(Data Kecamatan Dalam Angka tahun 2002),
Bukti nyata dari kerukunan umat beragama di Kecamatan Sosa ini tidak terlepas dari adanya saling pengertian dan saling hormat menghormati yang pada akhirnya menjadi titik temu, meskipun masih ada batasan terhadap hal-hal yang pokok atau prinsip. Yang demikian walaupun sulit dipertemukan tetapi tidak menjadi penghalang untuk membangun kerukunan. Di Kecamataqn Sosa akan sangat mudah ditemukan suatu pemandangan umat beragama beribadah secara nyaman dan tenteram tanpa adanya gangguang/hambatan walaupun ada isu global sekalipun menyelimuti kehidupan umat beragama. Singkatnya, kondisi kerukunan umat beragama di Kecamatan Sosa, meminjam istilah Mukti Ali (Mantan Menteri Agama RI), agree in disagreement (setuju dalam perbedaan). Adalah yang paling baik untuk mencapai kerukunan hidup antar umat beragama.22 HASIL KAJIAN LAPANGAN Kondisi Wadah Kerukunan Pengembangan wadah kerukunan yang diprakarsai oleh Badan Litbang dan Diklat Keagamaan pada tahun 2003, di Kecamatan Sosa Kabupaten Tapanuli Selatan nampaknya belum bisa dibentuk dikarenakan ada beberapa keberatan dari masyarakat setempat antara lain dari Ketua MUI dan Wakil Camat Sosa mengatakan bahwa masyarakat Sosa yang mayoritas Islam kurang lebih 96,40%, dari jumlah penduduk merasa keberatan bila dibentuk wadah kerukunan antar umat beragama karena dari sisa jumlah penduduk 3,60% adalah kebanyakan para pendatang dan 40% adalah beragama Kristen. Walaupun belum terbentuk wadah kerukunan antar umat beragama sampai sekarang kehidupan di masyarakat 22
Mukti Ali, hal. 43
61
Kecamatan Sosa dalam kondisi aman, tenteram dan belum pernah terjadi suatu permasalahan. Bila ada permasalahan selama ini dapat diselesaikan secara musyawarah dan tidak sampai meluas ke permukaan. Disamping itu para pendatang adalah para transmigran, ABRI, pegawai perkebunan dan mereka bertempat tinggal secara mengelompok. Menurut Ketua MUI Kecamatan Sosa K. H Lukman Hakim Lubis, sebetulnya ada suatu kesepakan secara tidak tertulis sebelum datangnya para transmigran lahan yang diperuntukannya harus ditempati oleh orang-orang beragama Islam tetapi pelaksanaannya ada sebagian lahan yang ditempati oleh orang-orang beragama non Islam (Kristen, Hindu dan Buddha dll). Disamping itu, ada beberapa lahan transmigran yang dijual oleh pemiliknya karena mereka tidak cocok dengan lahan yang diperuntukkan dan mereka memilih pindah atau kembali ke daerah asal. Ada pula para pendatang yang beragama non Islam dalam mendapat lahan tidak sesuai dengan kesepakatan bersama ketika membelinya sehingga setelah mereka tempati atau mereka pergunakan menimbulkan berbagai masalah di masyarakat hingga sekarang. Bila hal ini dibiarkan secara terus-menerus tanpa ada penyelesaian dapat menimbulkan dampak yang kurang baik di masa-masa mendatang. Kehidupan masyarakat di Kecamatan Sosa masih lekat dengan adat istiadat setempat sebagaimana dalam tulisan H. Porkas Daulay tentang masyarakat Batak mengatakan sejarah mengajarkan bahwa tiap masyarakat lama mengandung benih-benih masyaraakat baru, sedang masyarakat baru sampai masa tertentu mengandung sisa-sisa masyarakat lama, artinya masyarakat lama mempersiapkan lahirnya masyarakat baru, dan dunia baru tak kuasa lahir. Kekuatan-kekuatan dinamis yang besar terus mendorong masyarakat manuju ketingkat sejarah yang lebih tinggi.23
23
H. Porkas Daulae Tentang Marga Batak hal 28.
62
Dalam tatanan kehidupan masyarakat Batak, marga merupakan kumpulan orang-orang yang berdiam di satu tempat (huta) yang mempunyai hak milik bersama atas tanah tersebut. Mereka saling bela membela terhadap marga–marga yang bermusahan, punya hak dan kewajiban persidangan dan punya pekuburan roh orang mati. Dan orang orang semarga adalah sedarah seketurunan maka mereka dilarang kawin satu sama lain dan harus kawin dengan anggota marga lain. Karena marga-marga tersebut selalu menyebar ke lain tempat lalu mereka mendirikan kampung baru atau menjadi marga pendatang disamping marga yang sudah terdahulu mendiami (membuka) kampung baru. Marga yang lebih dahulu di mata marga pendatang atau marga yang belakangan mempunyai kedudukan yang istimewa sehingga marga Sipungka Huta (Marga Pembuka Huta) itu mempunyai hak istimewa seperti hak milik atas kampung itu. Sedangkan Pimpinan Marga Huta tetap dipilih tetapi hanya dari antara anggota-anggota marga Sipungka Huta atau dari lingkungan beberapa keluarga dari marga tersebut.24 Dalam adat istiadat Batak ada aturan larangan kawin dalam satu marga. Menurut salah seorang tokoh masyarakat, bahwa sekarang ini sering terjadi penyimpangan terhadap larangan tersebut dengan berbagai alasan ekonomi, politik yang tidak sama dan perbedaan latar belakang hal ini tidaklah mengurangi adanya nilai-nilai budaya tersebut yang sering disebut adanya kearifan lokal (lokal wisdom). Seperti nilai-nilai dan norma-norma serta sejumlah pranata lokal (local institutins) atau bentuk-bentuk dan tata cara pembinaan kerukunan dan penyelesaian konflik. Di samping itu adanya kepemimpinan lokal (local leadership) yakni pemimpin agama dan adat. Ketiga unsur inilah yang terdapat dalam adat batak 24
Ibid, hal 31.
63
sangat berpotensi untuk menciptakan masyarakat yang damai dan mandiri. Faktor Penghambat dan Pendukung Dalam pembentukan wadah kerukunan Antar Umat bergama di Kecamatan Sosa dalam tulisan tersebut di atas terdapat hambatan yang menyebabkan tidak terbentuknya wadah hingga sekarang ini adalah dari masyarakat sendiri belum merasa perlu dibentuknya wadah kerukunan antar umat beragama, karena segala permasalahan hingga saat ini bisa diatasi secara musyawarah. Disamping pendanaan masalah transportasi juga menjadi kendala bagi mereka kemudian ketika akan diadakan pembentukan kembali yang menjadi fasilitator (Kandepag Tapanuli Selatan) meninggal dunia dan yang diundang sebagai nara sumber mengundurkan diri.25 Ada beberapa yang mendukung terciptanya kerukunan antar umat beragama di Kecamatan Sosa antara lain masingmasing pemeluk agama menyadari bahwa bila terjajdi suatu konflik maka yang akan menanggung penderitaan dan kerugian baik materiil maupun moril adalah masyarakat itu sendiri mereka melihat dari contoh kasus-kasus yang terjadi di beberapa daerah Indonesia sehingga mereka selalu menghindari akan terjadinya konflik. Disamping wilayah yang menjadi pemukiman antar pendatang dengan pribumi berjauhan dan mereka hidup secara mengelompok sehingga sedikit sekali kemungkinan terjadinya gesekan-gesekan yang menimbulkan terjadinya konflik. Adat budaya lokal yang sangat mendukung terciptanya kerukunan bagi umat beragama. Begitu juga para pendatang mudah untuk beradaptasi dengan penduduk setempat mereka 25
Wwawancara Drs. Arisuddin Nasution dan J Sitorus S.Pd.
64
senang bila diajak bekerjasama dengan penduduk setempat. Menurut KH Zulkarnaen Nasution, Sekretaris Camat Sosa bahwa masyarakat Sosa yang sebagian besar beragama Islam masih berkeyakinan bahwa hingga saat ini umat Islam belum bisa menerima dibentuknya wadah kerukunan antar umat beragama karena pada prinsipnya adat istiadat setempat sejak dahulu hingga sekarang telah mengajarkan pentingnya hidup rukun aman, tenteram dan damai. Pandangan Masyarakat dan Pemerintah. Sosialisasi terhadap peraturan perundang-undangan tentang kerukunan di Kecamatan Sosa hingga saat ini nampaknya belum dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan dan banyak mengalami berbagai hambatan. Hambatan utamanya adalah masalah transportasi, karena jarah dari satu tempat ke tempat yang lain sangat berjauhan. Namun demikian perlu ditingkatkan peranan KUA dan tokoh-tokoh masyarakat dalam memasarakatkan pentingnya kerukunan antar umat beragama. Hubungan umat beragama di Kecamatan Sosa Kabupaten khususnya intern umat Islam cukup baik, tapi mereka sangat fanatik menjalan ajaran agama, mereka sangat toleransi terhadap pemeluk agama lain. Kerukunan hidup umat beragama dapat dikatakan cukup baik, dalam arti bahwa selama ini belum pernah terjadi gesekan-gesekan/ konflik yang muncul, baik karena perbedaan agama maupun etnis. Karena masyarakat Kecaamatan Sosa adalah muslim yang dikenal dengan ketaatan terhadap ajaran agama, kepatuhan terhadap tokoh agama masih cukup tinggi, demikian pula terhadap tokoh adat. Sehingga segala permasalahan diselesaikan secara musyawarah dan segala keputusan mareka taati. Beberapa upaya dalam meningkatkan kerukunan, di tingkat Kecamatan Sosa dapat dilakukan melalui pendalaman 65
dan pengetahuan agama masing-masing dan mengembangkan unsur-unsur kesamaan ajaran agama. Kegiatan ini melibatkan semua unsur baik pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat. Adapun kasus-kasus yang dapat menimbulkan konflik di Kecamatan Sosa antara lain kasus PTPN IV pada tahun 2006. Kasus tersebut terjadi antara pengelola PT PTPN IV dengan masyarakat setempat berkaitan dengan ketenagakerjaan, dimana pengelola banyak mendatangkan tenagatenaga kerja dari luar sedangkan tenaga kerja pribumi kurang disentuh sehingga menimbulkan kecemburuan sosial bagi penduduk setempat. Namun permasalah tersebut dapat diselesaikan setelah ada pertemuan kedua belah pihak. Kasus lain seperti pendirian rumah ibadat, penggunaan rumah tinggal sebagai sarana tempat ibadat, masalah penyiaran agama, dan alih fungsi pemanfaatan lahan. biasanya sering terjadi di daerah-daerah lain, tetapi di Kecamatan Sosa belum pernah terjadi. Budaya lokal menganjurkan agar hidup rukun, saling bantu-membatu, hormat-menghormati kepada semua anggota masyarakat. Selain itu, tokoh informal cukup mewarnai tatanan kehidupan masyarakat sehingga kerukunan mudah untuk diciptakan antara umat beragama begitu juga para pendatang mudah untuk beradaptasi/menyesuaikan diri dengan masyarakat setempat. Pemerintah dalam hal ini Camat dan Kepala KUA Kecamatan Sosa sangat mendukung dibentuknya wadah kerukunan, tetapi hanya sebatas dukungan moril. Karena belum tersedia dana/anggaran untuk mendukung kegiatan forum tersebut. Tetapi bila memerlukan tempat untuk pertemuan dalam kegiatan orientasi, pemerintah bersedia menfasilitasi dan meminjamkan tempat/aula untuk pertemuan, baik secara rutin atau kegiatan-kegiatan yang bersifat insidental. 66
PENUTUP Kesimpulan Dari paparan tersebut di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: Pembentukan wadah kerukunan antar umat beragama di Kecamaatan Sosa pada tahun 2003 yang difasiltasi oleh Badan Litbang dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI. Namun hingga kini wadah tersebut belum bisa dibentuk dikarenakan adanya berbagai faktor antara lain: Masyarakat Sosa yang masyoritas beragama Islam kurang lebih 96,40%, belum bisa menerima dibentuknya wadah kerukunan antar umat beragama. Karena masyarakat setempat beranggapan bahwa masyarakat Sosa yang memeluk agama Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha adalah para pendatang yang jumlahnya tidak lebih dari 6%. Sebetulnya keberadaan masyarakat pendatang yang beragama non muslim, belum bisa diterima sepenuh hati oleh penduduk pribumi dikarenakan pada awalnya memang ada perjanjian tidak tertulis dengan pemerintah daerah bahwa yang menepati daerah transmigran adalah mereka yang menganut agama Islam. Ketika akan diadakan pertemuan tahap berikutnya, yang menjadi nara sumber mengundurkan diri karena tidak bisa hadir pada waktu yang telah ditentukan, di tambah lagi dengan meninggalnya Kepala Kandepag Kabupaten Tapanuli Selatan sehingga sampai saat penelitian ini dilakukan belum bisa dilaksanakan. Adapun faktor-faktor yang mendukung terciptanya kerukunan anta umat beragama antara lain: Adat dalihan natolu dan budaya lokal sarat dengan muatan nilai-nilai kerukunan, keakraban dan kebersamaan sehingga dapat meredam terjadinya konflik. Disamping itu juga adanya rasa toleransi dan tenggang rasa senasib 67
sepenanggungan yang dikembangkan oleh masyarakat setempat baik penduduk asli maupun para pendatang sangat mendukung terciptanya kerukunan di masyarakat. Dan mereka mengakui adanya kerugian yang didatangkan dari konflik-konflik yang terjadi di wilayah Indonesia masyarakat sendiri yang akan menanggung resiko tersebut. Respon masyarakat terhadap keberadaan wadah kerukunan antar umat beragama nampaknya biasa-biasa saja karena mereka beranggapan bahwa masyarakat Kecamatan Sosa sebagai penganut agama yang taat dan fanatik sehingga bila diadakan wadah kerukunan antar umat beragama mereka belum bisa menerima. Begitu juga mereka menentang bila ada anggota masyarakatnya melakukan perkawinan antar agama. Walaupun demikian kehidupan masyarakat tetap rukun, aman, tenteram dan damai. Saran Saran Sebaiknya dipertahankan dan dikembangkan adanya adat istiadat setempat dan budaya lokal yang dapat mendukung terhadap terciptanya kerukunan seperti adat “dalihan natolu”, sifat gotong royong, saling harga menghargai, saling hormat menghormati, di antara penganut agama. Seyogyanya sosialisasi Peraturan Bersama Menteri Agama RI dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 tahun 2006 lebih ditingkatkan agar masyarakat dapat memahami dan melaksanakan isi peraturan tersebut. Agar dapat tercipta kerukunan yang harmonis di antara pemeluk agama, maka dibutuhkan sikap saling toleransi, dan luwes diantara para pemeluk agama serta memberikan peluang pada umat lain untuk mengamalkan agama dan keyakinan mereka. Paling tidak, pada tingkat kecamatan atau tingkat kabupaten disediakan sarana ibadat bagi pemeluk agama agar dapat melaksanakan ajaran agama dengan baik. 68
DAFTAR PUSTAKA Ahsanul Khalikin, Peran Pemimpin Kelompok Keagamaan, Studi Tentang Pengembangan Wadah Kerukunan di Kecamatan Sosa, Kabupaten Tapanuli Selatan; Badan Pusat Statiskik, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, tahun 2007; Departemen Agama RI, Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Umat beragama di Indonesia, Proyek Peningkatan Kerukunan Hidup Umat beragama, Badan Litbang Agama, Jakarta, 1997; Departemen Agama RI, Badan Litbang dan Diklat, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Pengembangan Wadah Kerukunan dan Ketahanan Masyarakat Lokal di berbagai Daerah, Jakarta, 2006; H.M. Ridwan Lubis, Menelusuri Kearifan Lokal di Bumi Nusantara, Departemen Agama RI, Badan Litbang dan Diklat Keagamaan, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Jakarta 2005; H.Porkas Daulay, Tentang Marga Batak, Lembaga Kebudayaan Rakyat, Medan 2001; Matrik Statistik Kecamatan Sosa, Kabupaten Tapanuli Selatan, tahun 2007; Peraturan Bersama Menteri Agama RI dan Menteri Dalam Negeri, No. 9 dan 8, Departemen Agama RI, Badan Diklat, Puslitbang Kehidupan keagamaan, 2006;
69
70
REVITALISASI WADAH KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DI PROVINSI BANTEN Studi Perkembangan FKUB Kecamatan Cilegon Kabupaten Banten Oleh: H.A.M. Khaolani GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
Kondisi Geografi Kecamatan Cilegon terletak di tengah-tengah Kota Cilegon, dengan batas-batas Kecamatan Pula Merak di sebelah barat, Kecamatan Cibeber dan Keramat Watu di sebelah timur, Kecamatan Bojonegara di sebelah utara, dan Kecamatan Mancak di sebelah selatan. Kecamatan Cilegon merupakan kecamatan yang paling sempit wilayahnya dibanding dengan kecamatan lainnya di Kota Cilegon, yakni hanya 9.15 Km2 atau sekitar 5,21% dari luas wilayah Kota Cilegon. Letak Kecamatan Cilegon pada ketinggian sekitar 15 meter di atas permukaan laut. Curah hujan di kecamatan ini rata-rata 143,5 mm dan 14,67 hari perbulan. Keadaan suhu udara maximum 32,7„ c, minimum 22„ c dan rata-rata 26,6„ c perbulan.26 Demografi Berdasarkan hasil pendataan penduduk Kota Cilegon 26
Kota Cilegon Dalam Angka 2006
71
pada tahun 2006, penduduk Kecamatan Cilegon jumlahnya 37.035 jiwa yang terdiri dari 19.161 laki-laki dan 17.874 perempuan. Jumlah penduduk tahun 2006 mengalami kenaikan dibanding pada tahun 2005 (33,975 jiwa). Dilihat dari sisi agama yang dianut, penduduk yang beragama Islam 35.905 orang, Kristen 638 orang, Katholik 47 orang, Hindu 234 orang, Budha 79 orang dan lainnya 132 orang.27 Kondisi Ekonomi Penduduk Kecamatan Cilegon bila dilihat dari sisi pekerjaan, mereka sebagian besar bekerja sebagai karyawan yang bergerak di bidang industri dan kerajinan, kemudian sebagaian lagi sebagai pedagang, petani, jasa angkutan, lembaga keuangan, listrik gas dan air serta konstruksi bangunan. Cilegon sesungguhnya lebih dikenal sebagai pusat industri baja, karena di situ terletak industri baja raksasa yaitu Krakatau Steel (KS) Cilegon. Sepintas terlihat kesejahteraan masyarakat Kecamatan Cilegon cukup menggembirakan, namun bila diamati lebih seksama, ternyata kesejahteraan itu lebih banyak dinikmati oleh para pendatang yang umumnya bekerja di sektor industri. Begitu juga para pedagang yang memiliki toko-toko yang berada di sepanjang jalan raya, yang umumnya adalah warga keturunan/etnis cina dan para pendatang. Sarana Pendidikan Sarana pendidikan agama yang terdapat di Kecamatan Cilegon hanyalah madrasah swasta, yang terdiri dari 27
Kota Cilegon Dalam Angka 2006 dan Data Keagamaan Kandapag Kota Cilegon 2006
72
Raudlatul Athfal (RA) 10 buah; Madrasah Ibtidaiyah 2 buah; Madrasah Tsanawiyah 2 buah; Madrasah Aliyah 2 buah. Data ini menunjukkan bahwa madrasah/sekolah agama masih mendapat tempat di masyarakat Kecamatan Cilegon. Adapun sarana pendidikan umum, yang tersedia, yaitu TK 4 buah; Sekolah Dasar 13 buah; SMP berjumlah 3 buah; dan SMU 1 buah. Kehidupan Keagamaan Tempat ibadat yang ada di Kecamatan Cilegon, seluruhnya milik umat Islam berjumlah 93 buah terdiri dari 50 buah Masjid, 30 buah surau dan 13 buah mushalla. Sementara tempat ibadah umat lain (Kristen, Katholik, Hindu dan Budha) tidak terdapat di Kecamatan Cilegon. Bagi mereka yang akan melaksanakan ibadah sesuai dengan agamanya, mereka harus pergi ke Serang.
73
DIALOG PENGEMBANGAN WADAH KERUKUNAN DAN KETAHANAN MASYARAKAT LOKAL
Gagasan Pembentukan Wadah Kerukunan di Kota Cilegon Masalah kerukunan kehidupan beragama harus sering disangga oleh semua kelompok keagamaan dengan medianya yang terkenal dengan sebutan dialog. Oleh karena itu, dialog merupakan keniscayaan untuk dilakukan, dan diharapkan dapat dibentuk wadah bersama guna menampung aspirasi dan keluhan dari semua kelompok keagamaan dalam menjalankan ajaran agama masing-masing. Di Kecamatan Cilegon, telah dilaksanakan dialog antar umat beragama yang dilaksanakan pada tanggal 5-6 Agustus 2005. Dialog antar tokoh umat beragama tersebut dilaksanakan di aula kantor Kecamatan Cilegon. Dialog antar umat beragama itu dihadiri oleh pemuka agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu dan Budha. Masalah yang dibicarakan di antaranya adalah masalah pendirian rumah ibadat, yang merupakan masalah terkait langsung dengan kerukunan antar umat beragama. Tujuan dialog itu sendiri adalah: (1) Untuk menemukan cara yang paling tepat menurut masyarakat setempat untuk meningkatkan kerukunan antar kelompok masyarakat dan antar umat beragama melalui pemberdayaan masyarakat sehingga terbangun ketahanan masyarakat lokal, (2) Untuk menemukan bentuk jaringan komunikasi dan kerjasama antar kelompok masyarakat/umat beragama dalam suatu wadah yang mereka bentuk sendiri. Peserta dialog terdiri dari: unsur-unsur MUI, wakil dari Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha, masing-masing 3 orang. Dalam dialog kerukunan yang dihadiri oleh sekitar 23 orang 74
tokoh agama dan masyarakat Kota Cilegon; 5 orang Kepala Kelurahan, 3 orang dari KNPI, 2 orang dari Pendais dan 2 orang dari Penamas. Jumlah keseluruhannya sekitar 50 orang. Pada acara tersebut, banyak pejabat menyampaikan sambutan, antara lain Camat Kecamatan Cilegon, Kepala Kandepag Kota Cilegon, dan Imam Tholkhah dari Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama. Kelima tokoh agama yang ada di Kota Cilegon menyampaikan makalah berkenaan dengan pentingnya pembentukan wadah kerukunan. Semua yang hadir menyambut dengan antusias terbentuknya wadah kerukunan. Salah satu peserta wakil dari Kristen (pendeta Deni), mengatakan bahwa kerukunan di Kecamatan Cilegon sudah sangat kondusif. Namun masalah yang dihadapi minoritas Kristen dan Katolik adalah belum dimilikinya rumah ibadat, sehingga kalau melaksanakan kebaktian Minggu, mereka harus pergi ke Kota Serang. Hal ini dirasakan oleh warga non muslim agak berat dalam melaksanakan ajaran agamanya. Padahal Pemerintah Republik Indonesia mendorong meningkatnya kualitas pemahaman dan ketaatan dalam melaksanakan ajaran agama bagi para pemeluknya. Namun ketika mereka akan melaksanakan ibadah sebagaimana diajarkan oleh agamanya, banyak kelompok masyarakat mengalami kesulitan28. Seusai pembacaan makalah dan tanya jawab dari peserta, acara dilanjutkan dengan diskusi mengenai pembentukan forum kerukunan. Dalam diskusi tersebut hampir semua peserta setuju dibentuk suatu forum. Namun panitia cenderung ingin agar forum tersebut tidak dibentuk dengan alasan tertentu. Dari hasil diskusi yang berkembang, akhirnya disimpulkan bahwa pembentukan forum akan 28 Diolah dari wawancara dengan Pendeta Deni. peserta Dialog Antar Umat Beragama tahun 2005
75
dibicarakan pada kesempatan lain dan wadah kerukunan pun tidak dapat dibentuk sampai penelitian ini dilaksanakan. Faktor Penghambat Pengembangan Wadah Kerukunan Masyarakat Kota Cilegon secara etnis mulai pluralis, akibat urbanisasi yang berlangsung terus menerus. Namun para pendatang belum banyak memengaruhi kehidupan sosial dan budaya masyarakat. Sebaliknya penduduk pribumi yang tipikal Islam fundamentalis masih cukup dominan menjadi sumber munculnya tokoh-tokoh panutan dalam kehidupan keagamaan. Para pendatang cendrung melakukan adaptasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah keagamaan, Karena di kota Cilegon sudah banyak organisasi keagamaan, maka para pendatang dengan mudah dapat memilih organisasi sebagai sarana untuk melakukan aktifitas keagamaan. Biasanya tokoh organisasi keagamaan yang berasal dari kalangan pendatang sudah tahu bagaimana berperilaku keagamaan layaknya penduduk asli. Masyarakat lokal Kota Cilegon dapat dikategorikan sebagai penganut agama Islam yang fanatik. Namun dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, yang berkaitan dengan kepentingan bersama mereka dapat rukun dan dapat bekerjasama/ bergotong royong. Untuk menangani masalahmasalah sosial mereka bersedia saling membantu. Akan tetapi apabila masuk ke ranah agama, mereka berusaha mati-matian untuk mempertahankan agar di daerahnya tidak dimasuki non muslim, apa lagi jika menyangkut masalah pendirian rumah ibadat. Jangankan agama lain yang masuk, sesama Islam pun, bila implementasi keagamaannya berbeda dengan faham keagamaan masyarakat lokal, ia akan menghadapi resistensi yang hebat dari masyarakat lokal. Masyarakat lokal Kota Cilegon, yang note bene sebagai 76
orang Banten selama ini dikenal sebagai masyarakat yang ketat memegang pemahaman keagamaan yang dianutnya (fundamentalis), sehingga pemahaman lain yang berbeda kurang mendapat sambutan, bahkan terkadang mendapat perlawanan. Menurut Ketua MUI Kota Cilegon, KH. Yunus Ibrahim, Pengurus MUI tidak bersedia menandatangani draf pembentukan pengurus wadah kerukunan, karena kondisi masyarakat Cilegon belum bisa menerima dan belum waktunya dibentuk wadah kerukunan di Cilegon. Para tokoh agama dan kyai tidak setuju dan keberatan atas rencana pembentukan wadah kerukunan. Menurut mereka wadah itu tidak penting, yang penting masyarakat aman, bagi para pendatang yang beragama lain, diminta dapat dan mampu beradaptasi dengan penduduk asli yang mayoritas Islam. KH. Yunus Ibrahim, bersedia meletakkan jabatannya sebagai Ketua MUI, apabila dipaksa untuk menandatangani draf usulan pembentukan wadah kerukunan.29 Hal senada juga diungkapkan oleh Kepala Kandepag Kota Cilegon, bahwa di Kecamatan Cilegon, belum waktunya dibentuk wadah kerukunan, biarkan saja demikian adanya, yang penting kerukunan berjalan dengan baik, tidak ada benturan-benturan antar penganut agama yang berbeda. Karena apabila dipaksakan, dikhawatirkan akan berakibat negatif. Secara pribadi Kepala Kandepag Cilegon mengatakan, bahwa pada prinsipnya kami tidak keberatan wadah kerukunan, FKUB dibentuk. Tapi bagaimana dengan tanggapan masyarakat pada umumnya yang masih belum bisa menerima adanya wadah kerukunan tersebut.30 29
Diolah dari wawancara dengan KH. Yunus Ibrahim, (Pengurus MUI)
tahun 2007 30
Oiolah dari wawancara dengan Kepala Kandepag Kota Cilegon dan Kepala KUA Kecamatan Cilegon, 2007
77
Pada tahun 1985 pernah terjadi insiden, ada sebuah rumah yang terletak di Perumahan Cilegon Indah (PCI) dijadikan tempat ibadat suatu agama. Setelah hal itu diketahui oleh masyarakat, dengan sepontan rumah tersebut diratakan dengan tanah. Pada waktu PT Kerakatau Steel (KS) akan dibangun, ada kesepakatan antara pimpinan perusahaan dengan para kyai/ulama dan masyarakat, bahwa PT. KS boleh dibangun dan umat Islam telah memindahkan Perguruan AI-Khaeriyah ke luar Kota Cilegon (Tegal Cabe), asal di Kota Cilegon tidak ada gereja. Kesepakatan itu hingga kini masih dipedomani oleh PT. KS dan masyarakat untuk menjaga kerukunan umat beragama di Kota Cilegon. Memperhatikan kehidupan sosial dan budaya keagamaan masyarakat Kota Cilegon yang sarat dengan rasa kekhawatiran, rasanya sulit mewujudkan suatu wadah kerukunan yang dapat menjadi tempat menyelesaikan masalah-masalah hubungan antar umat beragama. Kalangan muslim sangat keberatan dengan wadah kerukunan tersebut. Salah satu komentarnya adalah kondisi hubungan umat beragama selama ini telah sedemikian rukun, tidak ada wadah kerukunan sudah rukun, jadi apa yang akan diwadahi. Jangan- jangan dengan dibentuknya wadah kerukunan menjadikan masyarakat Kota Cilegon yang selama ini sudah rukun malah menjadi tidak rukun. Soal ada kelompok umat beragama yang belum memiliki rumah ibadat, harap bersabar karena proses menuju itu memang berliku dan tidak mudah. Merubah pola pikir masyarakat yang telah begitu kental dengan kefanatikan terhadap agamanya memerlukan proses panjang untuk saling menerima di antara berbagai kalangan umat beragama". Dengan demikian, yang menjadi hambatan bagi terbentuknya wadah kerukunan berasal dari kalangan muslim yang memiliki estimed bahwa dengan berdirinya 78
wadah kerukunan di masa-masa mendatang dalam beberapa hal akan merugikan umat Islam. Faktor Pendukung Pengembangan Wadah Kerukunan Berdasarkan fakta bahwa, wadah kerukunan belum dapat didirikan, sehingga sulit untuk mengatakan bahwa di Kecamatan Kota Cilegon ada faktor pendukung berdirinya wadah kerukunan. Tiga argumen adanya faktor pendukung pengembangan wadah kerukunan adalah bahwa kondisi hubungan antar umat beragama di Kota Cilegon sangat kondusif, pendidikan yang dapat menyadarkan hak dan kewajiban dan seruan dakwah/penyiaran agama agar tidak ditujukan kepada pemeluk agama lain. Apa yang dimaksudkan dengan hubungan antar umat beragama di Kota Cilegon yang kondusif itu oleh tokoh-tokoh muslim, ketika sebagian kelompok menghendaki adanya wadah kerukunan ternyata tidak dapat disetujui. Dugaan yang dapat diarahkan terhadap masyarakat Kota Cilegon yang diwakili para peserta dialog kerukunan, setidaknya ada dua, yaitu: Pertama, mereka merasa Islam adalah agama paling benar, yang lain salah (sesat), sehingga tidak diberi tempat untuk berkembang secara wajar di Kota Cilegon; Kedua, adanya kekhawatiran terjadinya pembangunan rumah ibadah yang tidak sesuai dengan kebutuhan riil di lapangan; Ketiga, akan terjadi pemurtadan (kristenisasi) yang sebenarnya juga menjadi alasan kaum muslim di berbagai tempat lain di seluruh Indonesia. Semangat relegiosentris di kalangan muslim Kota Cilegon ini sebenarnya juga masih menghinggapi kaum muslimin di tempat lain, sehingga istilah "muslim" dan "non muslim" menjadi begitu kental. Bahkan ada istilah lain yang menunjukan perbedaan dua kelompok keagamaan tersebut 79
dengan sebutan "kita" dan "mereka". Oleh karena itu dialog akan tetap menjadi media paling relevan untuk mengatasi hal-hal di atas yang diharapkan dapat merubah pandangan masyarakat bahwa beragama dan memiliki rumah ibadat adalah hak semua orang, baik individu maupun kelompok. Pada suatu saat ketika kondisi kehidupan sosial masyarakat sudah maju, maka dengan sendirinya hal-hal di atas tidak akan terjadi, karena semua kompunen memahami sebagai hak azasi manusia. Oleh karena itu faktor pendukung yang masih harus dikembangkan sebenarnya cukup banyak, misalnya kondisi kerukunan umat beragama yang kondusif, keinginan semua tokoh agama yang tetap mau menjalin hubungan baik, dan yang terpenting adalah masih adanya kemauan untuk berdialog di antara para tokoh agama di Kota Cilegon. Dalam upaya mengatasi masalah relegiusentris itu, komunikasi antar kelompok menjadi sangat penting. Komunikasi antar kelompok itu dapat dilakukan melalui pendidikan agama, dakwah/seruan keagamaan, dan dialog antar umat beragama31. Pendidikan agama di satu sisi dapat memberikan bekal bagi peserta didik untuk memahami dan melaksanakan ajaran agama secara baik. Namun di sisi lain, akumulasi pemahaman yang mendalam ternyata juga membawa konsekuensi yang berupa peningkatan keyakinan akan kebenaran agama yang dianutnya dan menganggap salah agama lain. Oleh karena itu, untuk mengatasi hal ini, pendidikan agama harus dirancang untuk mencegah aktualisasi relegiusentris tersebut, baik di kalangan peserta didik maupun para pendidik dan masyarakat pendukungnya. Dengan demikian, kehadiran umat lain beserta rumah ibadatnya tidak menimbulkan persoalan hubungan antar 31
Abdul Azis, Esai-Esa Sosiologi Agama, Diva Pustaka, Jakarta, 2006, halo 131-135
80
umat beragama. Bentuk komunikasi lain yang relevan adalah dakwah/ seruan keagamaan. Upaya pengalihan (konversi) agama yang dilakukan secara sistematis dan keinginan menambah umat sebanyak-banyaknya, harus dihindari. Oleh karena itu, dakwah atau seruan keagamaan hanya ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup beragama bagi para penganut agama masing-masing, jangan kepada penganut agama lain. Dakwah dan seruan keagamaan merupakan masalah yang rawan dan hendaknya dilakukan secara ekstra hati-hati. Sebab, jangankan seruan terhadap umat beragama lain, terhadap intern umat beragama sendiri pun hendaknya dilakukan secara hati-hati, karena perbedaan pemahaman dan aliran atau sekte dapat menimbulkan masalah yang tidak diinginkan. Wahana lain yang relevan adalah dialog antar umat beragama yang merupakan salah satu sarana kumunikasi antar umat beragama yang efektif. Dialog dapat dilakukan pada level teologis, doktrinal maupun praktsis. Dialog akan terlaksana dengan baik jika partner dialog dipandang sebagai mitra sejajar yang dapat memberikan sumbangan bagi pemahaman kebenaran yang sering kali tidak tunggal. Di kalangan tokoh agama Kota Cilegon, kemauan dialog antar umat beragama sudah dapat berjalan dengan baik, sehingga perlu dilakukan secara pereodik sehingga mampu menjembatani kebuntuan hubungan antar umat beragama. Respon Masyarakat dan Pemerintah terhadap Wadah Kerukunan. Masyarakat yang diwakili oleh informan sebenarnya masih menunjukkan adanya relegiusentris di kalangan masyarakat muslim Kota Cilegon. Oleh karena itu respon yang terjadi adalah resistensi terhadap keinginan sekelompok 81
orang yang berbeda agama untuk mengembangkan agamanya. Pendirian rumah ibadat tentu saja bukan sekedar untuk rumah ibadat, tetapi juga menjadi sentral aktifitas keagamaan dan pengembangan agama. Kecamatan Cilegon yang dihuni oleh penduduk lebih dari 90 % muslim dan dengan pemahaman tipikal fundamentalis, maka respon masyarakat pun akan demikian pula. Masyarakat muslim yang diwakili oleh tokoh-tokoh agama dan masyarakat merasa tidak perlu dibentuk wadah kerukunan, karena selama ini kehidupan beragama masyarakat telah sedemikian rukun. Keberadaan wadah kerukunan sendiri dicurigai akan menghasilkan ketidakrukunan, karena pasti kelompok lain akan meminta haknya secara tidak proporsional untuk kepentingan misinya, setidak-tidak menginginkan adanya rumah ibadat. Oleh karena itu jauh-jauh sebelumnya mereka sudah tidak sepakat dibentuk wadah kerukunan yang bagi mereka lebih 90% muslim tidak memberi manfaat apa-apa. Menurut tokoh-tokoh masyarakat (MUI dll), bagi yang non muslim diminta untuk bersabar sampai pada suatu saat masyarakat merasa nyaman dengan kehadiran kelompok agama lain di sekitarnya. Sampai kapankah hal ini dapat terjadi, kiranya tidak dapat ditentukan, karena banyak hal yang akan mempengaruhinya cepat atau lambat kondisi yang diinginkan itu akan datang. Pemerintah yang diwakili oleh Kepala Kelurahan, Camat Cilegon, Kakandepag, dan bahkan Wakil Walikota sendiri tidak bersedia menyetujui pendirian wadah kerukunan tersebut. Secara pribadi, masing- masing pejabat sebenarnya tidak masalah dengan adanya wadah kerukunan, tetapi karena masyarakat yang diwakili MUI dan lain-lain menentangnya, maka para pejabat tersebut tidak bisa memenuhi keinginan sebagian peserta dialog untuk didirikan 82
wadah kerukunan. Jaman telah berubah, dari otoriter ke proses demokrasi, sehingga kemauan masyarakatlah yang harus dikedepankan, bukan kemauan pejabat pemerintahan. Ketika masyarakat menginginkan adanya wadah kerukunan, maka pemerintah akan memenuhinya, tetapi jika mereka menolak, maka pemerintah juga tidak dapat memaksakan didirikannya wadah kerukunan. Kondisi ini bukan tanpa harapan, sebab dialog masih dipandang sebagai media komunikasi antar umat beragama yang paling relevan. Oleh karena itu dialog inilah yang harus terus dilakukan sampai pada waktu-waktu mendatang musyawarah yang pernah suatu waktu dapat terbentuk wadah kerukunan, karena pembentukan wadah kerukunan itu sendiri sudah menjadi kebijakan pemerintah pusat.
PENUTUP Kesimpulan Dari uraian diatas dan keterkaitannya dengan judul penelitian Revitalisasi Wadah Kerukunan dan Ketahanan Masyarakat lokal, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut : Setelah dua tahun berlalu dari penyelenggaraan dialog antar tokoh umat beragama di aula Kantor Kecamatan Cilegon pada tahun 2005, hingga saat ini Wadah Kerukunan yang diharapkan dapat dibentuk, temyata belum juga terbentuk. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab wadah kerukunan di Kecamatan Cilegon tidak dapat terbentuk. Pertama adanya keberatan dari MUI, kedua penduduk Cilegon mayoritas umat Islam, ketiga kerukunan umat beragama
83
sudah dirasakan kondusif, sehingga tidak diperlukan lagi wadah kerukunan umat beragama. Kerukunan umat beragama di Kecamatan Cilegon meskipun terlihat sudah kondusif sebenamya bersifat semu, yang ditandai masih adanya kecurigaan di antara umat beragama (terutama muslim) terhadap pemeluk agama non Islam untuk mendirikan rumah ibadat dan adanya keengganan dari pemuka agama dan pejabat pemerintah setempat untuk membentuk wadah kerukunan umat beragama. Peranan pemuka agama dalam menciptakan kerukunan belum menjadi suatu hal yang rutin dilakukan, yang ada baru terbatas pada pertemuan antar pemuka agama yang diadakan oleh Kantor Departemen Agama Kota Cilegon, sementara untuk Kecamatan Cilegon, kegiatan seperti itu baru dilaksanakan satu kali yakni pada saat kegiatan dialog antar pemuka umat beragama. Saran Dari kondisi sosiologis masyarakat Kota cilegon yang tipikal fundamentalis itu, disarankan; Pertama, pendidikan agama yang mampu mengembangkan toleransi tinggi bagi peserta didik, pendidik dan para pendukungnya. Kedua, dakwah/seruan keagamaan hendaknya ditujukan untuk meningkatkan kualitas pemahaman keagamaan para penganut agama para dai atau penyeru agama sendiri. Sebaliknya, seruan keagamaan hendaknya tidak ditujukan kepada orang atau masyarakat yang telah menganut agama lain; Ketiga, dialog antar umat beragama hendaknya terus dilakukan untuk mendapatkan solusi kebangsaan yang menempatkan semua warga negara wajib beragama dan berhak memiliki rumah ibadat sesuai dengan agamanya. Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri nomor: 9 dan 8 Tahun 2006, yang merupakan 84
Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan Pendirian Rumah Ibadat, hendaknya segera dilakukan sosialisasi, agar masyarakat Kota Cilegon dan lebih khusus lagi masyarakat Kecamatan Cilegon dapat memahami dan dapat melaksanakan isi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) tersebut. Dengan sosialisasi itu diharapkan tidak terjadi kekhawatiran dan kesalah fahaman di antara pemeluk agama yang berbeda dan segera dapat dibentuk Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di tingkat Provinsi dan Kabupaten.
85
DAFTAR PUSTAKA
Badan Statistik Kota Cilegon, Kota Cilegon Dalam Angka 2006. Kandepag Kota Cilegon, Data Keagamaan Kandapag Kota Cilegon 2006 Abdul Azis, Esai-Esa Sosiologi Agama, Diva Pustaka, Jakarta, 2006
86
REVITALISASI WADAH KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DI PROVINSI BALI Studi Perkembangan FKUB Kecamatan Buleleng, Kab. Buleleng Oleh: Hj. Kustini SEKILAS KABUPATEN BULELENG
Kondisi Geografis Demografis Kecamatan Buleleng terletak sekitar 90 km arah utara Denpasar. Perjalanan dari Denpasar ke Buleleng dengan kendaraan roda empat mencapai waktu tempuh antara 1.5 sampai 2 jam. Sekalipun jalan tidak terlalu besar dan berkelokkelok, tetapi dapat dinikmati dengan nyaman karena pemandangan yang cukup indah dengan hawa sejuk khususnya ketika melewati kawasan Gunung Bedugul. Pemandangan sepanjang perjalanan akan lebih indah ketika melewati Danau Bratan, Buyan, dan Danau Tamblingan. Selepas Bedugul, perjalanan tidak terlalu menyenangkan karena harus melewati jalan yang sempit, menurun dan berkelok-kelok. Seperti daerah lainnya di Provinsi Bali yang kaya akan obyek wisata, Buleleng memiliki obyek wisata antara lain Pantai Lovina dan pemandian Air Sanih. Sementara di bagian timur Kabupaten Buleleng terdapat kantung-kantung pemukiman miskin dan tanah-tanah tandus. Di daerah seperti Seririt dan Gerokgak mungkin kita tidak merasa berada di Bali tetapi seperti berada di daerah tandus Gunung Kidul atau di Nusa Tenggara Timur.
87
Pada abad 17 Kecamatan Buleleng pernah menjadi pusat Kerajaan Buleleng. Wilayah ini kemudian menjadi pusat pemerintahan Belanda setelah Belanda berhasil menundukkan Kerajaan Buleleng pada tahun 1846. Setelah masa kemerdekaan Republik Indonesia sampai tahun 1958, Buleleng menjadi Pusat Pemerintahan Ibu Kota Sunda Kecil (Nusa Tenggara). Kondisi seperti itu menjadikan Buleleng wilayah yang terbuka sehingga sampai saat ini masyarakatnya terdiri dari multi etnik sekalgus multikultur. Kabupaten Buleleng terdiri atas 9 (sembilan) kecamatan yang dibagi atas 129 desa dan 19 kelurahan. Selain pembagian wilayah tersebut, di Kabupaten Buleleng juga dikenal dusun/banjar dan desa adat. Lihat tabel 1, berikut: Tabel 1. Pembagian Daerah Administrasi di Kabupaten Buleleng Tahun 2005 Kecamatan
Gerokgak Seririt Busungbiu Banjar Sukadana Buleleng Sawan Kubutambahan Tejakula Jumlah 2005 2004 2003 2002 2001
Desa
Kelurahan
Dusun/ Banjar
Lingkungan
Desa Adat
R.T.
14 20 15 17 14 12 14 13 10
1 1 17 -
73 80 41 70 56 41 68 37 59
5 5 45 -
13 25 16 17 20 21 17 22 15
14 341 -
129 129 129 127 127
19 19 19 19 19
525 510 472 469 469
55 55 35 35 35
165 164 164 164 164
355 354 276 276 276
Sumber: Buleleng Dalam Angka 2006
88
Kehidupan Keagamaan Seperti wilayah-wilayah lainnya di Provinsi Bali, masyarakat Buleleng mayoritas beragama Hindu. Kehidupan keagamaan sangat menyatu dengan kehidupan adat istiadat setempat sehingga dalam beberapa hal sulit dibedakan mana yang merupakan agama, dan mana adat istiadat. Namun demikian,di wilayah ini juga terdapat penduduk yang beragama lain walau jumlah yang minim, sebagaimana tercermin pada tabel 2, berikut: Tabel 2 Penduduk Kabupaten Buleleng Menurut Agama Tahun 2005 Kec. 1. Gerokgak 2. Seririt 3. Busungbiu 4. Banjar 5. Sukasada 6. Buleleng 7. Sawan 8. Kubutam bahan 9. Tejakula Jumlah2005 2004 2003 2002 2001
Islam Katholik Kristen
Hindu
50 33 9 17 1.082 5 29 1.225 1.245 1.253 1.252 1.252
56.373 65.960 43.121 65.898 61.238 93.881 61.083 55.414 59.125 562.093 551.912 541.931 534.069 530.442
17.192 4.406 138 1.465 7.825 15.980 345 361 1390 49.102 48.869 48.249 47.931 47.843
151 146 31 123 375 1.134 240 53 10 2.263 2.166 2.089 2.029 1.999
Budha 32 159 246 43 2.789 22 102 3.393 3.369 3.339 3.332 3.338
Jumlah 73.798 70.704 43.290 67.741 69.498 114.866 61.695 55.959 60.525 618.076 607.610 596.910 588.662 584.923
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Buleleng Tahun 2006 Dengan mengamati tabel tersebut bisa disimpulkan bahwa perkembangan jumlah penganut setiap agama di Kabupaten Buleleng berjalan wajar dalam arti tidak ada peningkatan atau pengurangan penduduk dalam jumlah yang
89
cukup besar sehingga perlu dipertanyakan. Dari tabel tersebut juga bisa dilihat bahwa penduduk Kabupaten Buleleng dilihat dari pemelukan agama sangat heterogen. Di seluruh wilayah kecamatan, kecuali Busungbiu dan Tejakula, terdapat lima penganut agama. Heterogenitas ini mengakibatkan wilayah Buleleng termasuk wilayah yang berpotensi untuk terjadinya konflik. Dalam kondisi seperti ini, maka sesungguhnya keberadaan suatu wadah kerukunan yang menyatukan seluruh umat beragama menjadi penting.
90
PROSES PEMBENTUKAN WADAH KERUKUNAN DI KECAMATAN BULELENG32
Ketentuan tentang FKUB dalam PBM No 9 dan 8 Tahun 2006 Jika merujuk pada Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 (selanjutnya ditulis PBM), Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) adalah forum yang dibentuk oleh masyarakat dan difasilitasi oleh Pemerintah dalam rangka membangun, memelihara, dan memberdayakan umat beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan. Selanjutnya pada Bab III Pasal 8 disebutkan bahwa FKUB dibentuk di provinsi dan kabupaten/kota. Kedua FKUB tersebut tidak memiliki hubungan koordinatif tetapi lebih bersifat konsultatif. Tugas FKUB provinsi dapat dirujuk pada Pasal 9 PBM yaitu: 1. Melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat; 2. Menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat; 3. Menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan gubernur, dan 4. Melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat. 32 Bahan tulisan untuk bagian ini disarikan dari Laporan Penelitian Riset Aksi Pengembangan Wadah Kerukunan dan Ketahanan Masyarakat di Kecamatan Buleleng Bali yang disusun oleh Adlin Sila pada tahun 2003.
91
Sementara itu, tugas FKUB kabupaten/kota sama dengan tugas FKUB provinsi dengan satu tambahan tugas yaitu di point 5: memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian rumah ibadat. Dalam PBM juga diatur secara garis besar berapa jumlah anggota FKUB provinsi dan kabupaten/kota, serta usahausaha pemberdayaan FKUB. Pasal 10 Ayat (2) menyebutkan bahwa jumlah anggota FKUB provinsi paling banyak 21 orang, dan FKUB kabupaten/kota paling banyak 17 orang. Dalam hubungannya dengan pemerintah, FKUB mengatur tentang dewan penasehat yang terdiri atas pejabat pemerintah daerah setempat. Sementara itu, aturan lebih rinci tentang FKUB dan Dewan Penasehat FKUB, PBM mengamanatkan agar setiap daerah segera membuat peraturan gubernur. Dari uraian singkat di atas, terlihat bahwa PBM hanya mengatur FKUB di tingkat provinsi, kabupaten/kota. Sementara itu FKUB tingkat kecamatan tidak diatur tetapi juga tidak dilarang. FKUB dapat saja dibentuk di kecamatan, bahkan desa/kelurahan untuk kepentingan dinamisasi kerukunan, tetapi tidak memiliki tugas formal sebagaimana FKUB di tingkat provinsi dan atau kabupaten/kota. Pembentukan Wadah Kerukunan Umat Beragama Dalam kehidupan masyarakat Indonesia sudah sejak lama terbentuk wadah-wadah kerukunan sejenis FKUB yang didirikan secara berjenjang di tingkat provinsi sampai kelurahan/desa. Di Sulawesi Utara misalnya, terdapat Badan Kerjasama Antar Umat Beragama (BKSAUA) yang dibentuk di tingkat provinsi sampai kelurahan/desa. Sementara di Sumatera Utara terdapat Forum Komunikasi Antar Pemuka Agama (FKAPA). Forum-forum sejenis yang terbukti efektif menjadi system sosial dalam masayarakat. Untuk itu pada tanggal 21 92
dan 22 Oktober 2003 Puslitbang Kehidupan Beragama (sekarang Puslitbang Kehidupan Keagamaan) memfasilitasi pembentukan Wadah Kerukunan di Kecamatan Buleleng. Tim Puslitbang Kehidupan Beragama yang bertugas saat ini adalah Dr. H. Muhaimin AG, MA sebagai pengarah, Drs. Muh, Adlin Sila, MA sebagai peneliti, dan Eko Aliroso sebagai tim administrasi. Tim dari Puslitbang Kehidupan Beragama ini bekerja sama dengan panitia daerah yang diketuai oleh kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Buleleng Drs. Ali Mustafa. Peserta pertemuan berjumlah 40 (empat puluh) orang terdiri atas tokoh agama, tokoh masyarakat, pejabat pemerintah di tingkat kecamatan dan kabupaten. Dalam pertemuan tersebut sengaja dihadirkan para pembicara tokoh agama dan pejabat setempat. Sedangkan pengarah dari Puslitbang Kehidupan Beragama hanya memberikan kata sambutan pembukaan. Untuk selanjutnya acara diisi oleh masyarakat sesuai dengan tujuan pertemuan tersebut yaitu membantu masyarakat untuk pembentukan wadah kerukunan. Nara sumber pertemuan terdiri atas Kepala Kandepag Kabupaten Buleleng, Kepala Kantor Kesbang Kabupaten Buleleng, Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Buleleng, Kepala Litbang Parisada Hindu Dharma Indonesia Kab. Buleleng, Pengurus Perwakilan Umat Buddha Kabupaten Buleleng, Penasehat MPAG dari Gereja Protestan, dan Pastur dari Gereja Katolik Para nara sumber telah mengungkapkan berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat setempat dalam berinteraksi dengan masyarakat lainnya. Kepala Litbang Parisada Hindu Dharma Indonesia misalnya mengungkapkan bahwa konflik sosial pada masyarakat tingkat akar rumput antara lain terjadi karena adanya para pendatang yang 93
memiliki karakteristik, perilaku dan norma yang tidak sama dengan masyarakat Buleleng. Pada akhir pertemuan, tercapai kesepakatan akan perlunya forum di tingkat kecamatan dengan nama Forum Komunikasi Antar Umat Beragama (FKAUB). Perkembangan Wadah Kerukunan Kajian ini dilakukan setelah 3,5 tahun FKAUB dibentuk. Untuk mengetahui refleksi masyarakat setempat terhadap wadah tersebut dapat dibaca pada petikan wawancara berikut ini: Sebelum dilaksanakan pertemuan yang difasilitasi Puslitbang Kehidupan Beragama, kondisi umat Islam di Kabupaten Buleleng benar-benar sedang terpukul. Hal itu dipicu oleh kasus peledakan yang terkenal dengan sebutan kasus bom Bali. Sikap penolakan masyarakat terhadap umat Islam khususnya di Buleleng terlihat misalnya ketika sekelompok non Islam sedang berkumpul dan berbincang-bincang, kemudian datang orang Islam, maka perkumpulan itu pun bubar. Demikian juga perempuan atau ibu-ibu yang menggunakan jilbab cenderung dicurigai. Oleh karena itu pertemuan yang diprakarsai Puslitbang Kehidupan Beragama merupakan moment penting karena telah mempertemukan tokohtokoh yang selama ini saling mencurigai.33
Ungkapan tersebut, sekalipun disampaikan oleh seorang pejabat pemerintah, tampaknya tidak hanya slogan atau lips service saja. Kondisi wilayah Kabupaten Buleleng yang menyimpan sejuta konflik semestinya diatasi antara lain dengan meningkatkan komunikasi antar tokoh agama. Sekalipun beberapa pihak mengatakan bahwa Kabupaten Buleleng aman, tetapi sejarah menunjukkan bahwa peristiwa konflik sosial baik dalam skala besar maupun kecil telah mewarnai kehidupan masyarakat Buleleng. Sedikitnya ada 5 (lima) permasalahan yang menjadi penyebab konflik sosial di 33 Wawancara dengan Drs. Ali Mustafa Kepala KUA Kecamatan Buleleng, tanggal 17 April 2007.
94
wilayah ini yaitu: (1) kasus pertanahan yaitu perebutan warisan tanah atau penggunaan tanah untuk kuburan, (2) pelanggaran terhadap adat, (3) kasus politik praktis, (4) kasus SARA, dan (5) kasus perilaku menyimpang34. Pernyataan senada bahwa di Kabupaten Buleleng menyimpan potensi konflik juga diungkapkan oleh tokohtokoh agama setempat. Tokoh umat Islam mengemukakan bahwa salah satu keresahan umat Islam di Kabupaten Buleleng adalah sulitnya mencari lahan kuburan. Sekalipun jenazah itu akan dikuburkan di tanah milik sendiri tetapi belum tentu memperoleh izin dari masyarakat setempat. Tokoh agama Hindu mengungkapkan bahwa masalah yang sangat rawan saat ini adalah perubahan demografi karena pendatang. Sebagian pendatang kurang mengindahkan sopan santun atau adat istiadat yang sudah lama terpelihara pada masyarakat Bali. Sementara tokoh agama lainnya sebagai minoritas, sekalipun telah hidup nyaman dan aman tetapi masih mengeluhkan minimnya pelayanan dari pemerintah.35 Kondisi demikian, sesungguhnya makin mengukuhkan perlunya suatu forum yang dapat menjadi media komunikasi antar berbagai elemen masyarakat. Kebutuhan akan suatu forum juga terungkap baik dari masyarakat yang sempat terlibat pertemuan pembentukan forum maupun yang tidak sempat terlibat. Salah seorang tokoh agama yang tidak ikut serta dalam pembentukan FKUB mengatakan: “Saya menganggap keberadaan forum komunikasi itu perlu. Kenapa? Karena kami sendiri sering kesulitan kemana harus menyampaikan keluhan. Kami sebagai umat muslim kadang merasa repot dengan 34
Adlin Sila; 2003; 15. Disarikan dari FGD antara Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Pejabat Kanwil dan Kandepag, pengurus majelis-majelis agama Kabupaten Buleleng, serta peneliti, pada tanggal 16 April 2007. 35
95
aturan-aturan dalam desa adat. Sesuatu yang kami anggap kurang penting, tetapi karena aturan adat kemudian menjadi potensi konflik. Sebagai contoh, warga kami (muslim) secara tidak sengaja jemuran pakain dalam jatuh terbawa angin ke depan pura. Mereka sangat marah karena kami dianggap melecehkan tempat suci mereka. Saya memang tidak sempat ikut dalam pembentukan forum itu, tetapi saya mendukung jika tujuannya untuk menciptakan media bagi masyarakat agar bisa saling berkomunikasi.36
Namun demikian, sekalipun masyarakat menganggap penting keberadaan forum kerukunan, dalam kenyataan forum kerukunan yang telah difasilitasi pembentukannya oleh Puslitbang Kehidupan Beragama tidak berkembang dengan baik. Ketika penelitian ini dilaksanakan, forum yang telah dibentuk itu tidak terlihat aktivitasnya. Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh agama setempat, Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten Buleleng, serta Kepala Kantor Urusan Agama dapat disimpulkan bahwa FKAUB yang sudah dibentuk ternyata tidak terlihat keaktifannya. Bagaimana kelanjutan setelah proses pembentukan forum tersebut, dapat disimak dari hasil wawancara berikut ini: Pertemuan di tingkat kecamatan pada bulan Oktober 2003 saya rasakan sangat bermanfaat karena dapat mempertemukan tokohtokoh agama dalam suasana yang formal tetapi penuh keakraban. Setelah pertemuan itu sempat dilakukan pertemuan lanjutan untuk membahas kegiatan dan lain-lain. Pertemuan itu dilakukan di Gedung Dekopindo dan difasilitasi oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Buleleng. Kemudian pada bulan April 2004 bahkan sempat dikukuhkan pengurus FKUB tingkat kecamatan. Namun sayang, setelah itu tidak terdengar lagi gaungnya. Tetapi hal itu tidak berarti kami tidak pernah berkomunikasi. Komunikasi atau pertemuan antar tokoh agama berjalan alamiah, berdasarkan hubungan pribadi atau pertemanan. Demikian juga ketika menghadapi suatu masalah atau momen yang kami anggap penting, kami tetap bertemu. Misalnya menjelang bulan Puasa kami bertemu 36
Wawancara dengan tokoh agama Islam, 18 April 2007.
96
untuk membuat kesepakatan dan memberikan ucapan selamat menjalankan ibadah puasa.37
Terkait dengan sejumlah uang sebagai bantuan untuk FKUB, beberapa sumber menjelaskan bahwa uang tersebut digunakan untuk membiayai berbagai pertemuan tersebut di atas. Berhubung uang tersebut digunakan untuk pembiayaan operasional pertemuan, maka sifatnya menjadi konsumtif sehingga tidak ada penambahan bahkan uang yang seyogyanya digunakan untuk modal, lama kelamaan menjadi habis. Faktor Penghambat FKUB Kecamatan Kesuksesan maupun kegagalan sebuah organisasi, tidak lepas dari faktor pendukung dan penghambat. Secara garis besar, faktor penghambat perkembangan FKUB tingkat kecamatan adalah sebagai berikut: 1. Sejak tanggal 29 Pebruari 1999 di Provinsi Bali telah terbentuk Forum Komunikasi Antar Umat Beragama. Forum ini dicetuskan pembentukannya pada Musyawarah Antar Umat Beragama di Bedugul yang diprakarsai oleh ketua-ketua lembaga agama yang menjadi peserta musyawarah. Peserta musyawarah antara lain terdiri atas unsur PHDI Provinsi Bali, MUI, MPAG, Keuskupan Bali dan Lombok, serta WALUBI. FKUB dibentuk di tingkat provinsi sampai kabupaten/kota termasuk di Kabupaten Buleleng. Oleh karena itu keberadaan FKUB di tingkat kecamatan ternyata tidak dirasakan mendesak. 2. Kecamatan Buleleng terletak di jantung kota Kabupaten Buleleng, sehingga ketika di tingkat kabupaten sudah terbentuk FKUB, maka di tingkat kecamatan dirasakan tidak terlalu dibutuhkan. Di samping itu, jika dipaksakan 37
Wawancara dengan Pdt. Sugeng Susilo Hartoyo, Sekretaris MPAG, 18
April 2007.
97
dibentuk misalnya, maka tokoh agama tingkat Kecamatan Buleleng sesungguhnya juga merupakan para pengurus FKUB tingkat kabupaten. 3. Ketika Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 diberlakukan, maka ada aturan bahwa FKUB atau forum sejenis FKUB di tingkat provinsi dan kabupaten/kota harus mengacu kepada ketentuan dalam PBM. Sebagaimana diketahui bahwa PBM tidak mengatur FKUB tingkat kecamatan sehingga benih-benih FKUB yang sudah ditanamkan Puslitbang Kehidupan Beragama tidak dikembangkan lebih lanjut. Pada saat penelitian ini dilaksanakan, FKUB Kabupaten Buleleng telah mengacu kepada PBM walau dalam beberapa hal masih banyak yang harus disesusaikan misalnya dalam hal nama forum yang masih menggunakan nama FKAUB, jumlah pengurus, dan susunan dewan penasehat. 4. Secara teknis, perkembangan FKUB memang sulit. Hal ini terjadi karena beberapa alasan antara lain: tidak ada pengurus tetap dan tidak ada dana untuk membiayai kegiatan atau membayar para pekerjanya. Dengan demikian, sangat masuk akal jika FKUB ini tidak berkembang. Respon Pemerintah dan Masyarakat Kebijakan Departemen Agama, dalam hal ini Puslitbang Kehidupan Beragama, untuk membentuk forum kerukunan umat beragama telah disambut baik oleh Pemerintah Daerah dan pejabat lainnya. Sambutan atau respon pemerintah tersebut ditunjukkan dengan kesediaannya untuk menghadiri pertemuan sekaligus menjadi nara sumber dalam pertemuan tersebut. Namun demikian, seiring dengan berlakunya Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam 98
Negeri, maka Pemerintahan Daerah Kabupaten Buleleng tidak lagi memberi perhatian terhadap forum di tingkat kecamatan. Di samping itu, inisiatif Pemerintah Pusat untuk memberdayakan warga melalui pembentukan forum kerukunan, tidak selamanya sesuai dengan kondisi masyarakat setempat. Masyarakat mungkin butuh suatu wadah atau media untuk saling berkomunikasi, tetapi tidak perlu dalam bentuk organisasi yang formal. Komunikasi langsung antar warga dalam suasana yang akrab jauh lebih efektif ketimbang harus dilembagakan secara formal. Sebagaimana diketahui, persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan di wilayah ini seringkali terkait dengan masalah kehidupan keseharian masyarakat yang harus diselesaikan melalui komunikasi yang harmonis pada masyarakat akar rumput. Sebagai contoh, konflik terjadi karena masyarakat Bali menganggap bahwa para pendatang tidak mematuhi awig-awig desa adat.38 Sementara itu, beberapa tokoh masyarakat menganggap bahwa forum dirasakan penting tetapi jika tidak difasilitasi oleh pemerintahan daerah maka forum akan kesulitan untuk berkembang. Inisiatif masyarakat belum sepenuhnya bisa diandalkan sebab sebagai sebuah forum yang baru dibentuk tentu masih perlu diarahkan dan difasilitasi perkembangannya. Forum Kerukunan Umat Beragama Tingkat Kabupaten Selain FKUB tingkat kecamatan, di Kabupaten Buleleng telah terbentuk FKUB Kabupaten yang dikukuhkan melalui surat Keputusan Bupati Buleleng Nomor: 591 Tahun 2006 tentang Pengukuhan Forum Komunikasi Antar Umat Beragama di Kabupaten Buleleng Periode Tahun 2006-2011. 38
(Wawancara dengan Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Buleleng, tanggal 17 April 2007).
99
Melihat salah satu diktum dari konsideran “Mengingat” yaitu di poin 6 (enam) disebutkan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006, maka bisa disimpulkan bahwa FKAUB dibentuk antara lain sebagai implementasi dari PBM Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006. PBM sebagai acuan pembentukan FKAUB juga terlihat dari diktum kedua dari keputusan ini yaitu: Pengurus FKAUB Kabupaten Buleleng Periode 2006-2011 dimaksud dalam diktum pertama, mempunyai tugas: a. Melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat; b. Menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat; c. Menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan bupati; d. Melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat; e. Memberikan rekomendasi pendirian rumah ibadat.
tertulis
atas
permohonan
Jika memperhatikan tugas FKAUB tersebut, maka dengan jelas hal tersebut berpedoman kepada Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006. Namun demikian dalam beberapa hal ternyata FKAUB tidak (belum) sesuai dengan PBM. Ketidaksesuaian dengan PBM antara lain terlihat dalam hal:
100
1. Nama forum yaitu Forum Komunikasi Antar Umat Beragama (FKAUB). 2. Anggota forum berjumlah 20 orang yang terdiri atas ketua umum dan wakil ketua 6 orang; sekretaris, wakil sekretararis, bendahara dan wakil bendahara 4 orang, humas publikasi 5 orang, dan komisi pengabdian masyarakat 5 orang. 3. Dewan penasehat terdiri atas Kepala Kandepag Kabupaten Buleleng dan ketua-ketua umum majelis agama. Hal tersebut belum sesuai dengan pasal 11 ayat (4) yang menyatakan bahwa dewan penasehat FKUB terdiri atas wakil bupati/wakil walikota, kepala kantor departemen agama kabupaten/kota, dirjen kesatuan bangsa dan politik departemen dalam negeri.
101
102
PENUTUP
Pembentukan FKUB di Kecamatan Buleleng yang difasilitasi oleh Puslitbang Kehidupan Beragama dilakukan melalui sebuah kajian yang disebut riset aksi (action research). Sesuai dengan karakteristiknya maka dalam sebuah riset aksi peneliti bersama-sama masyarakat setempat membuat peta permasalahan yang dihadapi masyarakat untuk kemudian dicarikan solusi bersama yang disepakati atau ditentukan sendiri oleh masyarakat.39 Langkah Puslitbang Kehidupan Keagamaan untuk melakukan pembentukan wadah kerukunan yang disebut FKUB, tidak sepenuhnya merupakan satu riset aksi. Gol atau tujuan akhir yang sudah ditentukan yaitu pembentukan wadah kerukunan, telah menghilangkan essensi sebuah riset aksi yaitu memetakan bersama permasalahan untuk kemudian dicarikan solusi bersama. Dengan kata lain, pembentukan wadah kerukunan yang sesungguhnya tidak murni merupakan inisiatif masyarakat tidak dapat berkembang sebab sesungguhnya hal itu tidak dibutuhkan. Di samping itu, keinginan pemerintah untuk memberdayakan masyarakat melalui sebuah riset aksi, tidak secara utuh dapat tercapai. Watak masyarakat yang selalu ‘dibimbing’ dan ‘diarahkan’ telah mendarah daging selama puluhan tahun, sehingga sikap kemandirian menjadi sangat sulit. Ke depan, jika pemerintah ingin melakukan hal yang sama, sebaiknya diarahkan untuk pemberdayaan forum yang sudah ada dan terlembaga yaitu FKUB tingkat kabupaten. Sekalipun forum sejenis FKUB telah disesuaikan, baik di 39
Alan Bryman; 2002: 537
103
tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, tetapi banyak hal yang masih belum sesuai dengan substansi PBM. Misalnya dalam segi nama masih menggunakan nama Forum Komunikasi Antar Umat Beragama (FKAUB), bukan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).
104
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Kabupaten Buleleng. Buleleng Dalam Angka 2006. Bryman, Alan. Social Researsch Methods. Second Edition. Oxford University Press. USA. 2004. Linda Darmajanti Ibrahim. Kehidupan Berorganisasi sebagai Modal Sosial Komunitas Jakarta. Dalam Masyarakat. Nomor 11 Tahun 2002. Muh. Adlin Sila. Laporan Penelitian Riset Aksi Pengembangan Wadah Kerukunan dan Ketahanan Masyarakat di Kecamatan Buleleng Bali. Tidak diterbitkan. 2003. Muhammad M. Basjuni. Kebijakan dan Strategi Kerukunan Umat Beragama. Kertas Kerja Disampaikan pada Kursus Singkat Angkatan (KSA) XIV Lemhanas RI. Tanggal 29 Mei 2006 di Lemhanas Jakarta. M.J. Kasijanto. Masalah dan Strategi Pembangunan Indonesia. Jakarta: PT Pustaka Pembangunan Swadaya. 1991. Puslitbang Kehidupan Keagamaan. Tanya Jawab Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006. Jakarta: 2007.
105
106
REVITALISASI WADAH KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DI NUSA TENGGARA BARAT Studi Perkembangan FKUB Kecamatan Lembar Kabupaten Lombok Barat Oleh: H. Mursyid Ali KONDISI UMUM WILAYAH
Administrasi Pemerintahan Kecamatan Lembar yang dijadikan sasaran kajian ini, secara administratif pemerintahan terdiri dari lima desa, masing-masing Desa Lembar, Sekotong Timur, Jakem, Labuhan Terang, dan Desa Mareje, meliputi 37 dusun, 35 Rukun Warga (RW) dan 218 Rukun Tetangga (RT). Untuk menopang kelancaran tugas pemerintahan, Kecamatan Lembar dilengkapi dengan Badan Perwakilan Desa (BPD) beranggotakan 54 orang, dan Kader Pembangunan Desa (KPD) berjumlah 82 orang yang sebagian besar tidak aktif. Kecamatan Lembar mempunyai area seluas 7.721,56 km†, dengan topografi berupa perbukitan dan gunung-gunung serta pantai. Wilayah kecamatan ini berbatasan dengan wilayah Kecamatan Gerung di sebelah utara, Kecamatan Sekotong di sebelah selatan, dengan Selat Lombok di sebelah barat, dan di sisi timur berbatasan dengan Kabupaten Lombok Timur. Kependudukan Secara keseluruhan Kecamatan Lembar mempunyai penduduk sebanyak 41.881 jiwa dengan perimbangan yang 107
hampir sama antara laki-laki dengan perempuan, masingmasing sejumlah 20.942 orang laki-laki dan 20.939 orang perempuan. Penyebaran penduduk relatif merata, dengan tingkat kepadatan perkilometer bujursangkar rata-rata 26,6 penduduk. Untuk menopang keberlangsungan hidup ekonomi keseharian, sebagian besar (86,71%) berkiprah di bidang pertanian yang meliputi sub-sektor tanaman pangan, perkebunan/kehutanan, peternakan, dan sub sektor perikanan/kelautan. Selebihnya bergerak di sektor kerajinan sebanyak 5,34%, jasa 4,58% dan sektor pertambangan sebanyak 3,38%. Dengan pomposisi mata pencaharian seperti itu, ditilik dari sudut tingkat kesejahteraan kehidupan ekonomi secara keseluruhan dapat dikelompokkan menjadi keluarga sejahtera sebanyak 39,58%, sejahtera satu 50,15%, sejahtera dua 8,10%, sejahtera tiga 1,70%, dan keluarga sejahtera tiga plus hanya 0,74%. Tabel 1 Kelompok Penduduk Menurut Tingkat Kesejahteraan Keluarga Kecamatan Lembar Tahun 2003. No.
Status
Frekuensi
Prosentase
1.
Prasejahtera
3,190
39,58
2. 3. 4.
Sejahtera I Sejahtera II Sejahtera III
4,042 652 137
50,15 8,10 1,70
5.
Sejahtera III Plus
38
0,47
8,059
100,00
Jumlah =
Sumber : Modul Sistem Informasi Kecamatan dan Desa Kecamatan Lembar, 2003.
108
Dengan komposisi status tingkat Kesejahteraan Keluarga seperti terpotret dalam tabel di atas, berarti masih banyak warga setempat yang miskin atau prasejahtera yang memerlukan perhatian dan bantuan pemerintah setempat secara lebih serius, terencana dan terarah agar mereka dapat memperbaiki nasib, keluarga dari belitan kemiskinan. Kemiskinan merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh dan sangat rawan bagi munculnya konflik sosial. Selanjutnya, ditinjau dari sisi tingkat pendidikan masyarakat secara keseluruhan, tercatat bahwa sebagian besar atau sebanyak 45,26% penduduk “tidak tamat” Sekolah Dasar. Sisanya warga yang berijazah SD sebesar 31,90% SLTP, 7,75% SLTA dan berhasil menyelesaikan studi di perguruan tinggi hanya sebanyak lebih kurang 0,69%. Tabel 2 Tingkat Pendidikan Penduduk Kec. Lembar Tahun 2003 No. 1. 2. 3. 4. 5.
Tingkat Pendidikan Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Sarjana Jumlah
Frekuensi 9.161 6.458 1.568 2.916 139 20.242
Prosentase 45,26 31,90 7,75 14,40 0,69 100,00
Sumber : Modul Sistem Informasi Kecamatan dan Desa, 2003 Kondisi sosial masyarakat yang sangat rendah tingkat pendidikan dan keterampilannya seperti yang dialami sebagian besar warga Kecamatan Lembar ini, tentu saja sangat menyulitkan mereka menghadapi persaingan dalam memperebutkan sentra-sentra sumber daya yang menopang kesejahteraan sosial. Mereka tidak memiliki akses ke mana109
mana, khususnya akses di bidang ekonomi dan kekuasaan yang merupakan dua sumber daya sosial yang vital dan berpengaruh sangat besar dalam upaya setiap warga masyarakat untuk mendapatkan suatu tingkat kehidupan yang layak. Akumulasi dan tumpang-tindih belitan kemiskinan dan rendahnya kualitas pendidikan tersebut, tentu saja berimplikasi pada makin tidak berdayanya masyarakat yang pada gilirannya terjadi marginalisasi yang makin parah dan rawan konflik. Kehidupan Keagamaan Berkenaan dengan kehidupan beragama di lingkungan masyarakat Kecamatan Lembar, sebagian besar penduduk yakni sebanyak 91,97% merupakan penganut keyakinan agama Islam. Selebihnya sebesar 4,74% Hindu, sekitar 3,24% Budha, dan beragama Kristen Protestan hanya sebanyak 0,05%. Sementara bila dilihat dari segi etnis dan budaya, pada umumnya mereka merupakan warga keturunan asli setempat dan budaya sasak. Homogenitas agama dan suku tersebut menjadi ikatan sosial yang sangat kental, berfungsi selaku simbol pemersatu dalam berkomunikasi dan interaksi pergaulan hidup sehari-hari. Hal tersebut merupakan potensi yang sangat berharga dan sangat menguntungkan bagi upaya merajut kehidupan sosial yang padu, dan kerukunan. Nilai-nilai agama dan norma-norma sosial lokal, terjalin menjadi suatu kesatuan yang kuat dan berfungsi sebagai acuan dasar mereka dalam mengatur tatanan prilaku hidup kesehariannya. Banyak dijumpai seorang figur tokoh agama setempat sekaligus juga merupakan tokoh adat dan sebaliknya. Dalam jumlah terbatas, juga dapat ditemui seorang tokoh yang melekat dalam identitas dirinya selaku tokoh agama, tokoh adat dan tokoh pejabat.
110
Tabel 3 Jumlah Penduduk Menurut Agama Kecamatan Lembar, Tahun 2003 No. 1. 2. 3. 4. 5.
Agama Islam Hindu Budha Kristen Protestan Katolik Jumlah =
Frekuensi
Prosentase
39.032 2.012 1.374 21 42.439
91,97 4,74 3,24 0,05 100,00
Sumber : Modul Sistem Informasi Kecamatan dan Desa, Kecamatan Lembar, 2003.
Beragam aktivitas sosial keagamaan setempat tercermin dalam bentuk ceramah, pengajian, tahlilan dan yasinan, serta bermacam-macam selamatan upacara lingkaran hidup terkait dengan peristiwa-peristiwa yang dipandang penting dalam siklus kehidupan seseorang seperti kelahiran, sunatan, perkawinan, kematian, syukuran, serta kegiatan ibadah sosial berupa santunan kepada para warga yang kurang beruntung, kerja bakti, arisan dan sebagainya. Sementara untuk memenuhi kebutuhan akan tempat ibadat, terdapat sebanyak 66 buah masjid dan 78 langgar, 7 pure umat Hindu, dan sebanyak dua buah vihara Budha. Potensi Kerukunan Kondisi sosial masyarakat setempat menyangkut masalah kerukunan sekarang ini, berlangsung sangat kondusif. Komunikasi dan interaksi sosial antar warga terjalin dengan baik tanpa hambatan yang berarti. Hal ini dimungkinkan oleh adanya ikatan keagamaan, kesukuan dan kekerabatan yang pekat, termasuk ikatan sosial dengan para 111
pendatang dari beberapa daerah melalui perkawinan dan interaksi sosial pergaulan sehari-hari dalam bertetangga dan bekerja. Hubungan internal antar sesama umat Islam, berlangsung melalui beragam media komunikasi seperti ceramah keagama-an, peringatan hari besar agama, upacara selamatan lingkaran hidup, tahlilan, yasinan, kunjungan silaturrahmi, kekeluargaan dan kesamaan latar belakang sosial budaya. Hubungan antar kelompok agama yang berbeda lebih banyak bersifat hubungan personal dalam bertetangga dan adanya saling ketergantungan dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidup keseharian. Walaupun frekuensi dan intensitas hubungan antar kelompok agama dipandang sangat minim, namun menurut penuturan para tokoh masyarakat setempat jarang sekali terdengar adanya konflik sosial bernuansa agama. Antar para tokoh keagamaan setempat pada umumnya saling mengenal dan mempunyai hubungan personal yang relatif akrab melalui upacara peringatan hari besar nasional, undangan pemerintah, kegiatan olahraga, upacara lingkaran hidup dan kegiatan sosial lain yang serupa. Konflik-konflik sosial yang berskala kecil dalam bentuk perkelahian anak muda dan sengketa tanah keluarga yang sesekali muncul, umumnya tidak sulit diselesaikan. Selain lantaran konfliknya sendiri memang berskala kecil, juga berkat masih berpengaruhnya para tokoh sosial masyarakat setempat, khususnya tokoh agama dan kearifan budaya lokal seperti kebiasaan saling menolong, hormat pada orang tua, ikatan kesukuan dan seketurunan. Dari paparan di atas, tergambar beberapa simpul-simpul informasi dan pemikiran yang bersifat pokok yang dipandang berpotensi dan sangat berharga serta menjadi penopang bagi usaha merajut kehidupan yang rukun, baik kerukunan internal kelompok maupun kerukunan antar kelompok sosial setempat. Potensi kerukunan tersebut antara lain sebagai berikut. 112
Pertama, kondisi sosial masyarakat Kecamatan Lembar Lombok Barat yang relatif homogen dalam agama dan suku, sangat menguntungkan dalam proses komunikasi dan interaksi antar sesama warga dalam pergaulan hidup sehari-hari. Lancarnya komunikasi ini merupakan salah satu faktor penting dalam mewujudkan sikap dan praktek-praktek kebersamaan, kesepakatan, toleransi. Homogenitas kelompok sosial merupakan suatu kekuatan kokoh dan ampuh dalam menghadapi tantangan dari luar kelompok. Kedua, nilai-nilai ajaran agama dan kearifan budaya lokal serta fungsi para tokoh agama dan masyarakat bersama-sama pemerintah setempat yang berpengaruh besar merupakan simbol pemersatu untuk menangkal dan mencairkan konflik. Ketiga, tersedianya media komunikasi sosial tradisional keagamaan seperti upacara selamatan lingkaran hidup, tahlilan, yasinan dan beragam aktivitas sosial keagamaan lainnya, sangat bermakna bagi tumbuh dan berkembangnya hubungan sosial dan dijadikan salah satu wadah kerukunan masyarakat setempat. Keempat, ikatan kekeluargaan melalui kawin-mawin lintas suku dan ikatan kebangsaan, memudahkan terbinanya hubungan persaudaraan dan pengembangan budaya multikultural di kalangan warga setempat. Potensi Konflik Masalah kerukunan atau konflik itu bukan persoalan yang sifatnya langgeng atau permanen. Tidak ada suatu masyarakat yang terus-menerus rukun atau terus-menerus berkonflik. Kerukunan atau ketidakrukunan suatu masyarakat di suatu tempat tertentu senantiasa berubah sesuai dengan situasi. Rukun dan tidak rukun sangat tergantung pada berbagai faktor yang berpengaruh terhadap kondisi sosial masyarakat setempat. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kondisi sosial masyarakat itu antara lain aspek sosial, politik, ekonomi, agama, dan budaya. Oleh karena itu, kondisi sosial masyarakat Kecamatan Lembar yang sekarang ini relatif kondusif, bukan jaminan bahwa kondisinya akan 113
selalu rukun. Dari berbagai kenyataan sosial setempat baik yang diperoleh melalui penelusuran dokumen maupun wawancara, terdapat sejumlah faktor yang dianggap cukup potensial bagi kemungkinan munculnya situasi konflik, yang antara lain adalah faktor-faktor berikut ini. Pertama, akumulasi dan tumpang-tindih masalah kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan yang dialami masyarakat setempat dalam jumlah yang relatif banyak dapat mengakibatkan kondisi sosial kehidupan sehari-hari masyarakat setempat menjadi sangat rentan. Hal itu dapat menimbulkan suasana yang keruh dan rawan konflik. Kedua, melemahnya institusi-institusi tradisional lokal akibat kebijakan pemerintah Orde Baru menyeragamkan sistem pemerintahan desa (UU No. 5 Tahun 1979) dan dampak modernisasi pembangunan serta derasnya arus budaya global. Peranan para tokoh adat dan kearifan budaya lokal yang sebelumnya berfungsi sebagai simbol ‘pemersatu’ makin menyusut dan kurang menggigit. Sementara para Kepala Desa lebih patuh kepada atasan dan mengabaikan rakyat yang berada di bawah pimpinannya. Hal itu dapat menyebabkan terjadinya kesenjangan sosial antara pemerintah dan masyarakat. Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah makin menipis, mengurangi efektifitas pemerintahan. Upaya pembenahan masalah ini melalui UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, nampaknya belum seperti yang diharapkan, memerlukan proses yang relatif lama. Ketiga, merebaknya budaya prilaku tindak kekerasan kolektif, khususnya di kalangan para preman dan kawula muda di seputar pelabuhan, terminal dan pasar dapat mengundang situasi rawan konflik. Keempat, adanya kenyataan perbedaan pendapat dan orientasi serta aspirasi politik antar sesama tokoh agama (Islam), berimbas pada terkotak-kotaknya umat terkait dengan kecenderungan dukung-mendukung dan kepatuhan masyarakat terhadap figur idola masing-masing kelompok. 114
WADAH KERUKUNAN DAN KETAHANAN LOKAL
Dari wawancara dengan para nara sumber seperti pengurus FKUB, tokoh agama dan masyarakat, pejabat di lingkungan Departemen Agama dan pemerintahan setempat, diperoleh berbagai informasi dan gambaran umum menyangkut perkembangan Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Kecamatan Lembar seperti berikut. FKUB Kecamatan Lembar yang terbentuk tanggal 26 Juli 2005, dengan segala keterbatasannya sampai sekarang masih eksis dan dipandang perlu dipertahankan dan dikembangkan kiprahnya atas dasar pertimbangan antara lain: Pertama, walaupun aktivitasnya relatif terbatas, tidak rutin seperti diharapkan semula, namun keberadaan FKUB ini dipandang penting dan banyak manfaatnya sebagai forum silaturrahim, dialog tatap muka, tukar menukar informasi serta wawasan antar tokoh lintas agama, etnis, profesi serta status sosial; Kedua, melalui forum ini, berbagai persoalan sosial dan keagamaan yang terjadi dalam masyarakat, dapat diinformasikan, dibahas, diketahui duduk perkaranya, untuk kemudian dicarikan penyelesaian secara bersama-sama. Ketiga, melalui forum ini berbagai aspirasi masyarakat yang dipandang penting bisa ditampung dan disampaikan kepada pihak-pihak terkait, khususnya kepada pemerintah setempat sebagai masukan untuk ditindaklanjuti. Keempat, fungsi yang disandang FKUB selaku media komunikasi multikultural, makin dirasakan pentingnya dikaitkan dengan munculnya berbagai gangguan -sewaktu-waktu- terhadap kerukunan setempat seperti kasus-kasus kelompok sempalan, perkawinan beda agama, perkelahian massal, perselisihan soal tanah dan sebagainya yang akhir-akhir ini sering timbul.
115
Beberapa faktor yang dianggap menguntungkan bagi perkembangan forum ini antara lain: Pertama, kesadaran dan semangat kerukunan di kalangan tokoh dan warga setempat relatif masih terpelihara; Kedua, peran tokoh-tokoh keagamaan dan adat selaku simbol pemersatu serta perhatian pejabat setempat terhadap masalah kerukunan relatif besar; Ketiga, ajaran agama dan kearifan budaya lokal yang banyak mengandung nilai dan pesan kerukunan. Sementara faktor yang dirasakan kurang mendukung bagi perkembangan FKUB, meliputi: Pertama, minimnya fasilitas, sarana, dan dana yang diperlukan, menghambat akselerasi aktivitas dan pelaksanaan program yang telah dirancang; Kedua, perbedaan paham keagamaan, orientasi politik praktis kelompok atau individual, yang tidak sejalan dan merugikan kepentingan publik, sering menimbulkan konflik antar kelompok sosial; Ketiga, tingkat pendidikan dan wawasan keagamaan masyarakat yang belum memadai, menyulitkan mereka dalam menghadapi berbagai tantangan modernisasi dan globalisasi.
116
PENUTUP
Dari berbagai informasi yang berhasil dihimpun melalui telaah dan penelusuran sumber-sumber kepustakaan, dokumentasi, dan wawancara, menyangkut persoalan di seputar perkembangan FKUB di Kecamatan Lembar, diperoleh beberapa temuan yang bersifat pokok, umum dan menyeluruh sebagai berikut. 1. Beberapa faktor yang dipandang dapat menopang dan menguntungkan buat upaya mewujudkan kerukunan antara lain: a) Ajaran keagamaan dan kearifan budaya lokal yang banyak mengandung nilai dan pesan kerukunan; b) Adanya forum-forum komunikasi dan interaksi sosial, serta saling ketergantungan dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidup keseharian; c) Ikatan kekeluargaan melalui perkawinan antar etnis, ikatan kebangsaan; d) Peran tokoh agama dan adat sebagai simbol pemersatu. 2. Sementara faktor-faktor yang dianggap dapat merugikan upaya kerukunan dan dapat memicu konflik meliputi: a) Kesenjangan sosial ekonomi, kemiskinan, dan kebodohan; b) Melemahnya institusi tradisional lokal akibat modernisasi pembangunan dan budaya global; c) Sentimen keagamaan dan persaingan kurang sehat serta orientasi politik praktis kelompok; d) Merebaknya budaya kolektif dan kekerasan; e) Berkembangnya beberapa paham keagamaan yang tidak sesuai dengan aspirasi arus atama setempat. 3. Dengan tidak melupakan berbagai keterbatasan yang dihadapi, FKUB Kecamatan Lembar dipandang perlu dipertahankan keberadaannya mengingat beberapa pertimbangan: a) FKUB diperlukan sebagai forum dialog 117
tatap muka, silaturrahmi, jalinan kerjasama antar tokoh lintas agama, budaya, etnis dan profesi; b) Penampung dan penyalur aspirasi masyarakat untuk disampaikan kepada pemerintah; c) Berbagai perkembangan dan permasalahan yang muncul, dapat dibahas, diketahui, untuk kemudian dicari penyelesaiannya bersama-sama. 4. Beberapa faktor yang dipandang cukup berpengaruh bagi perkembangan LPKUB setempat, baik yang menguntungkan maupun merugikan seperti berikut. Faktorfaktor yang mendukung meliputi: a) Peran para tokoh keagamaan dan adat sebagai lambang pemersatu; b) Semangat dan kesadaran yang relatif tinggi akan pentingnya kerukunan; c) Nilai-nilai keagamaan dan kearifan budaya lokal. Sementara aspek-aspek yang dirasakan sebagai hambatan antara lain: 1) Terbatasnya fasilitas, sarana dan dana, serta besarnya sifat ketergantungan terhadap pemerintah; 2) Ruang lingkup dan kompleksitas permasalahan yang dihadapi, sering berada di luar jangkauan kemampuan FKUB dan aparat setempat; 3) Persaingan kurang sehat antar tokoh; 4) Wawasan keagamaan yang relatif sempit.
118
KEPUSTAKAAN
Andrik
Purwasito, Komunikasi Multikultural, Muhammadiyah Surakarta, 2003.
Universitas
Balitbang Agama dan Diklat Keagamaan, Hasil Dialog Pengembangan Wawasan Multikultural Pemuka Agama Pusat dan Daerah. Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan, LKIS, 2004. Elsa Peldi Taher, Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi, Paramadina, 1994. Haris
Joko Prayitno, Pemberdayaan Penulis Muhammadiyah Universitas Press, 2001.
Karya
Ilmiah,
Imam Tholkhah, Mewaspadai dan Mencegah Konflik Antar Umat Beragama, Balitbang Agama dan Diklat Keagamaan, 2001. Karen Amstrong, Berperang Damai Tuhan, Mizan, 2001. Kunto Wijoyo, Paradigma Islam, Interpretasi Untuk Aksi, Mizan, 1991. Modul Sistim Informasi Kecamatan dan Desa, Kecamatan Lembar, 2003. George Pitzer – Doglas J. Goodman, Modern Sociological Theory (terjemahan), Prenada Media, 2004. Paul Tillich, Teologi Kebudayaan, Tendensi, Aplikasi, dan Komparasi, IRCISOD, 2002. Robert H. Laur, Perspektif Tentang Perobahan Sosial, Rineka Cipta, 2001. Sanapiah Faisal, Penelitian Kualitatif, Dasar-Dasar Aplikasi, Asih Asah Asuh, 1990. Sumartana (Ed), Nasionalisme Etnisitas Pertaruhan Sebuah Wacana Kebangsaan, DIAN, 2001. Kliping Koran.
119
120
REVITALISASI WADAH KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN Studi Perkembangan FKUB di Kecamatan Banjarmasin Tengah Kota Banjarmasin Oleh: Ahsanul Khalikin
GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
Dasar Pembentukan Kecamatan Banjarmasin Tengah Kecamatan Pembantu Banjarmasin Tengah yang sebelumnya disebut Perwakilan Kecamatan Banjarmasin Tengah, dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Selatan Nomor 0355 Tahun 1984 tentang Pembentukan Perwakilan Kecamatan di Propinsi Dati I Kalimantan Selatan, yang merupakan tindak lanjut dari surat Menteri Dalam Negeri tanggal 23 Oktober 1984 Nomor: 138/3644/POUD tentang Persetujuan Pembentukan Enam Belas Perwakilan Kecamatan di Provinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Selatan. Sedangkan dasar operasional Kantor Camat Pembantu Banjarmasin Tengah (Kantor Perwakilan Kecamatan Banjarmasin Tengah) berpedoman kepada:
Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Selatan Nomor: 0145 Tahun 1987 tentang Pola Organisasi Perwakilan Kecamatan di Provinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Selatan
Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Banjarmasin Nomor: 138/0997/Pem/1990, tanggal 10 121
Desember 1990 tentang Pelimpahan Wewenang dan Tugas Kepada Kepala Kantor Perwakilan Kecamatan Banjar Tengah Kotamadya Banjarmasin. Surat keputusan walikotamadya kepala daerah ini merupakan legalisasi selanjutnya untuk menguatkan keputusan pelimpahan wewenang yang telah dibuat oleh camat induknya Banjar Barat dan Banjar Timur. Kecamatan Pembantu (Perwakilan Kecamatan) Banjar Tengah diresmikan pembentukannya pada tanggal 28 Pebruari 1986 oleh Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Banjarmasin sekaligus melantik dan mengambil sumpah pejabat pertama Kepala Kantor Perwakilan Banjar Tengah. Peresmian Pembentukan tersebut adalah sebagai realisasi dari surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Selatan Nomor: 0355 Tahun 1984. Pembentukan Perwakilan Kecamatan ini pada dasarnya dilatarbelakangi oleh pemikiran sebagai berikut:
Perwakilan Kecamatan Banjar Tengah sebagai bagian dari wilayah Kotamadya Dati II Banjarmasin, sekaligus sebagai ibu kota provinsi Dati I Kalimantan Selatan dan Kotamadya Dati II Banjarmasin. Pembentukannya adalah sebagai langkah untuk melakukan penataan kembali wilayah Kecamatan di dalam wilayah Kotamadya Dati II Banjarmasin secara keseluruhan. Dimana pada awal pengusulan Perwakilan Kecamatan Banjar Tengah telah disebutkan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Selatan, bahwa: Urgensi Pembentukannya adalah pemekaran Kecamatan Banjar Barat, Banjar Timur, Banjar Utara dan Banjar Selatan.40
40
Surat Keputusan Gubernur KDH. TK. I Kalimantan Selatan, tanggal 27 Desember 1982 Nomor : 138/23Binrium.
122
Setelah melakukan pengkajian dan pertimbangan letak geografis, pembinaan wilayah dan efisiensi/efektifitas pelayanan masyarakat, pembentukan Kecamatan Perwakilan (Kecamatan Pembantu) Banjar Tengah disepakati pemerintah daerah mengambil dua kecamatan induk yaitu Banjar Barat dan Banjar Timur serta berdasarkan perkembangan terakhir ditambah dengan satu kelurahan wilayah Kecamatan Banjar Selatan.
Pengusulan wilayah kecamatan sebagaimana tersebut di atas berkaitan erat dengan kenyataan perkembangan empat wilayah kecamatan yang ada sekarang, di mana akibat pesatnya pertumbuhan di wilayah Kotamadya Dati II Banjarmasin 15 tahun terakhir ini melahirkan pemikiran perlunya pemekaran wilayah kecamatan dari empat kecamatan menjadi lima kecamatan. Karena secara geografis ada wilayah kelurahan yang kurang menguntungkan bilamana tetap dipertahankan menjadi wilayah kecamatan asalnya, terutama sekali ditinjau dari segi penyelenggaraan pemerintahan maupun pada pelaksanaan pembangunan dan pelayanan masyarakatnya.
Wilayah Kerja Wilayah kerja Kecamatan Banjar Tengah mempunyai wilayah meliputi 12 (dua belas) kelurahan yaitu: 6 kelurahan berasal dari Kecamatan Banjar Barat, 5 kelurahan dari Kecamatan Banjar Timur dan 1 kelurahan dari Kecamatan Banjar Selatan. Luas wilayah ini adalah 11,66 Km† terdiri atas wilayah:
Kelurahan Kertak Baru Ilir Kelurahan Kertak Baru Ulu Kelurahan M a w a r Kelurahan Antasan Besar Kelurahan Teluk Dalam
(0,79 Km†) (0,51 Km†) (0,88 Km†) (2,05 Km†) (2,36 Km†) 123
Kelurahan Pasar Lama
(0,65 Km†)
Enam kelurahan di atas adalah merupakan kelurahan berasal dari Kecamatan Banjar Barat.
Kelurahan Seberang Mesjid Kelurahan Gadang Kelurahan Melayu Kelurahan Sungai Baru Kelurahan Pekapuran Laut
(0,75 Km†) (0,64 Km†) (1,30 Km†) (0,94 Km†) (0,64 Km†)
Lima kelurahan di atas berasal dari Kecamatan Banjar Timur
Kelurahan Kelayan Laut
(0,15 Km†)
Kelurahan yang berasal dari Kecamatan Banjar Selatan Jumlah Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) di Kecamatan Pembantu Banjar Tengah yaitu RT. = 389, sedangkan RW. = 96 yang dibagi dalam 12 kelurahan. Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Banjarmasin No. 2 Tahun 2001 tentang Daerah Kota Banjarmasin, yang sebelumnya Kecamatan Pembantu Banjar Tengah menjadi Kecamatan Banjarmasin Tengah yang definitif. Keadaan Demografis Penduduk Kecamatan Banjarmasin Tengah berjumlah sekitar 94.203 orang yang terdiri dari laki-laki 46.587 orang dan perempuan 47.617 orang, yang tergabung dalam 24.597 kepala keluarga (KK). Bila dilihat keadaan penduduk menurut kewarganegaraan, terdapat WNA 115 laki-laki dan 120 perempuan. Warga Negara Asing keturunan Cina sebanyak 228 orang, keturunan Eropa dll sebanyak 7 orang. Jumlah penduduk dilihat dari mata pencaharian terdiri dari; petani 957 orang, pengusaha besar/sedang 1.329 orang, 124
pengrajin/industri/kecil 998 orang, buruh industri 4.758 orang, buruh bangunan 5.708 orang, buruh angkutan/pasar 2.309 orang, pedagang 12.309 orang, peternak 165 orang, pegawai negeri sipil 6.887 orang, anggota ABRI 1.874 orang, pensiunan PNS/ABRI 3.849 orang, dan pekerjaan tidak tetap dll 22.801 orang. Kehidupan Sosial dan Budaya Pendidikan penduduk secara berjenjang adalah TK 2.302 orang, SD/sederajat 13.480 orang, SLTP/sederajat 9.245 orang, SLTA/sederajat 5.618 orang, Perguruan Tinggi 1.626 orang. Untuk menunjang proses pembelajaran, terdapat sarana pendidikan; TK 47 buah dengan jumlah murid 2.307 orang, tenaga pengajar 159 orang dan gedung 49 buah; SDN 66 buah, jumlah murid 11.845 orang, pengajar 475 orang dan gedung 66 buah; SD swasta 8 buah, dengan jumlah murid 1.977 orang, pengajar 160 orang dan gedung 8 buah; Madrasah Ibtidaiyah 11 buah, jumlah murid 1.398 orang, pengajar 68 orang, dan gedung 16 buah; SLTP negeri 19 buah, murid 3.248 orang, pengajar 68 orang dan gedung 10 buah; SLTP swasta 10 buah, murid 2.198 orang, pengajar 128 orang dan gedung 10 buah; Madrasah Tsanawiyah 2 buah, murid 235 orang, pengajar 39 orang dan gedung 2 buah. SLTA negeri 3 buah, murid 1.805 orang, pengajar 73 orang dan gedung 10 buah; SLTA swasta 7 buah, murid 1.661 orang, pengajar 93 orang dan gedung 2 buah; Madrasah Aliyah 1 buah, murid 498 orang, pengajar 39 orang dan gedung 4 buah. Perguruan Tinggi Swasta/Akademi 4 buah, mahasiswa 1.149 orang, dosen 65 orang, dan gedung 4 buah. Tempat kursus/keterampilan 23 buah, peserta 1.993 orang, instruktur 76 orang dan gedung 23 buah. Perpustakaan umum 1 buah dan karyawan 8 orang. Toko buku 55 buah dan karyawan 275 orang.
125
Kehidupan Beragama Dari jumlah penduduk 94.203 orang di Kec. Banjar Tengah, pemeluk agama mayoritas Islam berjumlah 82.297 orang (89,62%), pemeluk agama Katolik berjumlah 4.460 orang (3,98%), pemeluk agama Kristen berjumlah 4.345 orang (3,88%), pemeluk agama Buddha berjumlah 2.427 orang (2,16%), dan pemeluk agama Hindu berjumlah 377 orang (0,33%). Rumah ibadat umat beragama masing-masing adalah; rumah ibadah Islam, masjid 24 buah dengan kapasitas 16.050 jama’ah, mushalla/langgar 137 buah dengan kapasitas 5.815 jama’ah. Rumah Ibadat Kristen, gereja 12 buah dengan kapasitas 3.850 jema’at. Rumah ibadat Buddha, vihara 5 buah dengan kapasitas 1.100 orang; dan rumah ibadat Hindu, pure 1 buah dengan kapasitas 50 orang.
126
PENGEMBANGAN WADAH KERUKUNAN DI KEC. BANJARMASIN TENGAH
Kondisi Keberagamaan Kebijakan pemerintah dalam menangani berbagai kasus dan peristiwa kerusuhan/konflik horizontal selama ini cenderung bersifat reaktif, dengan mengedepankan security aproach belum dapat menjamin keberhasilan jangka panjang. Karena itu pendekatan pragmatis seperti itu perlu diiringi dengan pendekatan sosio – institusional dan kultural secara simultan, berupa pemberdayaan tokoh agama, tokoh masyarakat, dan pemuka adat untuk menciptakan ketahanan masyarakat lokal. Pendekatan ini dilatarbelakangi asumsi bahwa para tokoh informal tersebut memiliki otoritas dan kedudukan terhormat dalam struktur komunitas dan mainstream keagamaan masyarakat. Sementara pendekatan kultural diasumsikan bahwa setiap struktur masyarakat dan komunitas sosial memiliki kekayaan tradisi, kultur dan adat istiadat untuk menciptakan ketahanan dan kerukunan masyarakatnya. Dalam tradisi masyarakat dan dari sudut pandang budaya lokal, agama adalah wahana pelestarian nilai-nilai yang paling luhur, perwujudan harmoni pergaulan dalam tatanan sosial serta perwujudan seni dan keindahan norma yang bersifat sublimatif. Peran dan Kedudukan Tokoh Formal dan Informal Sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, lembaga-lembaga kemasyarakatan –termasuk lembaga adat- yang terdapat dalam masyarakat hak-hak otonom yang dimiliki untuk 127
menjalankan fungsi sesuai kepentingan lembaga dan ekspresi sosio kulturalnya menjadi tidak efektif lagi, bahkan cenderung hilang. Pemerintahan Desa seperti diamanatkan dalam undang-undang itu menggantikan pemerintahan adat yang telah mengakar dalam masyarakat bawah dan cenderung berfungsi sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah tingkat bawah (kecamatan dan kabupaten). Pendek kata, masa orde baru merupakan masa peleburan fungsi lembaga adat yang telah mengakar dalam masyarakat –kecuali Bali- sehingga melahirkan proses marginalisasi di berbagai segi kehidupan sosial. Sementara itu kebijakan pembangunan yang diterapkan pemerintah ketika itu cenderung lebih diarahkan kepada prinsip “mengejar target” agar secepat mungkin sejajar dengan negara-negara yang telah maju. Kemudian, dalam perkembangan selanjutnya terutama sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang cenderung memberikan peluang bagi struktur dan kultur lokal untuk kembali eksis, maka timbul persoalan bagaimana memposisikan dan memberdayakan struktur dan kultur lokal tersebut. Timbulnya persoalan itu bukan tanpa alasan. Institusi-institusi lokal yang semula telah melekat dalam watak masyarakat, tidak berdaya akibat penyeragaman sistem pemerintahan desa semasa orde baru. Penyeragaman sistem pemerintahan desa itu cenderung kurang menghormati potensi lokal yang sebelumnya telah mengakar dalam masyarakat, seperti: sistem kepemimpinan setempat, sistem komunikasi sosial antar warga dan pemimpin masyarakat serta mekanisme sosial yang berlaku dalam masyarakat itu sendiri, yang cukup potensial untuk menggalang rasa kebersamaan dan persatuan antar warga serta untuk mengatasi sendiri konflik yang terjadi antar warganya. Dengan demikian, dalam banyak hal institusi-institusi lokal itu sebenarnya cukup signifikan bagi
128
upaya penanganan kasus-kasus sosial yang terjadi dalam masyarakat, termasuk kasus kerukunan antar umat beragama. Pentingnya keterlibatan para tokoh formal, camat, dinas/instansi terkait, kepala kua kecamatan, para lurah, penyuluh agama dengan tokoh informal seperti tokoh agama, tokoh masyarakat, dan pemuka adat adalah sangat strategis dalam upaya mengembangkan ketahanan masyarakat lokal, yang masing-masing mereka memiliki fungsi yang berbeda. Namun, para tokoh agama sering kali memiliki peran ganda. Selain pemimpin keagamaan, mereka juga sebagai agen pengembangan masyarakat dan tokoh kunci (key person) dalam melestarikan kekayaan tradisi untuk menciptakan tertib sosial, bahkan tidak sedikit pemuka agama sebagai panutan masyarakat juga sebagai tokoh sosial budaya, politik, ekonomi, dan pendidik. Dalam upaya melestarikan khazanah tradisi lokal yang dapat dijadikan wahana dalam menciptakan ketahanan dan kerukunan masyarakat, kiranya perlu kajian untuk optimalisasi pengembangan sistem budaya Banjar sebagai berikut: 1. Aspek Kepemimpinan Lokal Kepemimpinan para tokoh agama Islam yang dalam tradisi Banjar disebut tuan guru, sangat berpengaruh dalam struktur masyarakat. Dia memiliki otoritas dan kedudukan terhormat sebagai seorang pemimpin dari komunitasnya yang selalu ditaati dan ditakuti. Sebutan dan penghormatan lain kepada tokoh agama Islam yang dianggap berilmu agama yang luas dan berkedudukan terpandang adalah guru disamping sebutan lain yang berlaku nasional yaitu kyai dan alim ulama. Faktor ketokohan ulama tersebut harus terus dilibatkan dalam berbagai kesempatan dengan memberikan wawasan 129
baru dalam berbagai hal menyangkut pembekalan berbagai keterampilan, disiplin keilmuan, dan program-program aksi kerukunan antar umat beragama seperti; analisa lingkungan, strategis pembangunan mental keagamaan, dll. 2. Sistem Komunikasi Masyarakat Dalam struktur budaya Banjar, sistem komunikasi masyarakat berinteraksi setiap saat terutama berpusat di majelis-majelis taklim, masjid, langgar, dan di pasar tradisional, tingkat LKMD/badan perwakilan desa (BAPERDES). Dalam berinteraksi tersebut orang-orang Banjar selalu menghormati orang yang lebih tua. Faktor senioritas ini berlaku dalam setiap kegiatan, sehingga ada istilah mendahulukan nang tuha. Tradisi hormat pada orang yang lebih tua/senior ini adalah suatu kekuatan yang sangat patut untuk dikembangkan dalam rangka memupuk solidaritas sosial dan solidaritas beragama, terutama mengembangkan budaya silaturrahmi dan toleransi. Sistem komunikasi masyarakat ini terlihat lebih intens lagi pada saat rapat-rapat umum atau rapat khusus tingkat rukun tetangga, kelurahan, dan kecamatan menyangkut masalah keagamaan, seperti peringatan hari besar keagamaan (PHBI), rapat LPTQ, BKPRMI, P2A, dll. Pada upacara keagamaan seperti peringatan Maulid Nabi, Isra Mi’raj, Nuzulul Qur’an dll. komunikasi masyarakat cukup dinamis, lebih-lebih bagi mereka yang terlibat dalam perkumpulan Maulid Habsyi, Burdah dan Barjanji yang terdapat hampir di setiap RT/RW di Banjarmasin Tengah. Dengan demikian strategi menjalin komunikasi yang efektif dan progres dalam masyarakat, dapat lebih ditingkatkan melalui kegiatan-kegiatan keagamaan.
130
3. Mekanisme Sosial Terbentuknya mekanisme sosial dimulai dari interaksi komunikasi masyarakat yang efektif seperti digambarkan di atas, dalam struktur masyarakat di wilayah RT/RW misalnya solidaritas sosial yang ditopang oleh tradisi keagamaan masih bisa dipertahankan hingga saat ini. Dalam perspektif kerukunan, wacana tradisi orang Banjar dengan slogan kayuh baimbai yang kini hilang gaungnya, sudah saatnya dihidupkan kembali melalui roh kerukunan, karena falsafah kayuh baimbai yang berarti mendayung bersama-sama untuk mencapai pulau idaman, hampir senada dengan motto orang Banjar gawi sabumi yang berarti bekerja bersama – sama bergotong – royong untuk suatu kebaikan sangat pantas untuk diangkat dan disandingkan dalam sebuah bingkai kerukunan dan ketahanan masyarakat lokal. 4. Mekanisme Kelembagaan Untuk mengaplikasikan sinergitas kepemimpinan lokal dalam mekanisme sosial sangat diperlukan adanya wadah/ kelembagaan formal. Wadah tersebut berfungsi sebagai forum komunikasi antar desa/kelurahan ataupun kecamatan juga sebagai wadah musyawarah sosial keagamaan dan pengembangan etika persaudaraan, disamping fungsi pokoknya dalam mengembangkan dan mempertahankan lembaga adat dan budaya lokal, sebagai wadah interaksi dan jaring komunikasi dan informasi masyarakat. Mekanisme kelembagaan tersebut diberi nama Majelis Pertimbangan Adat Banjar (MPAB) yang dibangun di atas pondasi moralitas dan saling percaya antar sesama warga. Sebagai lembaga yang berbasis moralitas agama dan adat, MPAB dapat mengembangkan berbagai aktifitas keagamaan kemasyarakatan dalam bentuk
131
sinergitas budaya lokal yang berpotensi integratif, inklusif, dan menghargai pluralitas. Strategi Pemberdayaan Konsep pemberdayaan tokoh agama, tokoh masyarakat, dan tokoh informal lainnya, perlu diagendakan oleh pemerintah daerah yang menjadi prioritas di sekitar agama dan ketahanan/ perlindungan masyarakat (LINMAS). Dalam hal ini pemerintah memegang peranan yang sangat signifikan untuk mengurai seperti persoalan kemasyarakatan, strategi yang dilakukan adalah : 1. Faktor kepemimpinan informal, sistem komunikasi dan mekanisme sosial masyarakat harus dibina dan diarahkan untuk meningkatkan kualitas kerjasama (hablum minannas) yang fair dan yang disupport dengan dana APBD yang adil, serta dibantu dengan sarana dan penyediaan fasilitas yang memadai. 2. Pembinaan kelembagaan masyarakat desa sinergis dengan mengedepankan peningkatan komunikasi yang saling menghargai, dan kerja sama intensif untuk memahami masalah riil secara proporsional, menganalis, ketepatan dan kecepatan dalam pemecahan masalah bukan bersifat formalisme, sloganistik, dan elitis. Potensi Kerukunan Kemajemukan yang ditandai oleh keanekaragaman unsur penyusun masyarakat, yakni etnis dan agama, mempunyai kecenderungan kuat untuk memegang identitas kelompok masing-masing. Kecenderungan terhadap identitas kelompok itu memberikan isyarat tentang sensitifnya hubungan antar kelompok sosial dalam masyarakat Indonesia. Fenomena ini yang menurut Fredrik Bath (1976) merupakan
132
faktor yang memperkuat batas-batas sosial dan perbedaan kelompok-kelompok sosial yang ada di Indonesia. Kerukunan yang memang telah menjadi bagian integral dari ajaran agama dipahami dari segi/sudut pandang agama. Umat didorong dan diyakinkan, bahwa kerukunan itu pada dasarnya adalah terminologi agama. Seorang yang beragama dengan baik, dia akan mengembangkan sikap rukun dalam hidupnya. Umat dan masyarakat diharapkan memiliki wawasan yang tepat agar kerukunan yang ia kembangkan itu bukan sekedar berhubungan dengan soal-soal horizontal/sekuler, soal kekinian, stabilitas nasional, persatuan dan kesatuan, pembangunan, tetapi juga berhubungan dengan soal-soal vertical/transcendental, soal-soal keyakinan, soal-soal teologis. Keberagaman agama di Indonesia adalah juga merupakan realitas sosial. Kenyataan itu kemudian mewarnai bentuk hubungan sosial antar umat beragama. Dari fenomena pluralitas keberagamaan itu pula, kerukunan antar umat beragama begitu kokoh, namun pada saat lain kerukunan itu tinggal menjadi impian. Bentrokan atas nama agama dan untuk agama kerapkali muncul. Bahkan, agama dan para tokohnya pada beberapa kesempatan juga terlibat dalam konflik sosial yang berkepanjangan. Batas-batas dan perbedaan sosial atau bahkan pertentangan dapat terjadi sebagai akibat dari doktrin-doktrin agama yang diterjemahkan secara parokial atau parsial ke dalam kenyataan-kenyataan sosial manusia yang kompleks. Identitas sosial erat kaitannya dengan agama, karena walaupun agama dan kebudayaan adalah sesuatu yang berbeda, tapi dianggap sama karena keduanya terbentuk dalam tingkah laku manusia. 133
Agama adalah sebuah abstraksi, sedangkan praktek keberagamaan suatu komunitas sifatnya aplikatif. Agama tidak terlepas dari karekter dan nilai-nilai yang dianut oleh setiap komunitas agama. Antara satu komunitas agama dengan komunitas yang lain memiliki tingkat pluralitas yang tinggi. Dalam Islam misalnya apresiasi terhadap nilai-nilai Islam oleh setiap komunitas Muslim. Dengan kata lain, interpretasi terhadap pelaksanaan nilai-nilai agama itu tidak tunggal. Masing-masing lokalitas memiliki keunikan tersendiri dalam orientasi keberagamaannya. Untuk menutupi sisi-sisi negatif dari pluralitas masyarakat, maka diperlukan pranata-pranata yang bersifat integratif. Dengan kata lain, meminjam istilah Fredrik Bath (1976), sebagaimana dikutif Fedyani Saifuddin (1986), bahwa agar tercipta integrasi, haruslah tercipta sejumlah pranata yang mengikat semua anggota kelompok sosial, entah etnis atau agama, sehingga setiap warga dapat mengidentifikasikan dirinya pada suatu ciri yang juga dimiliki oleh warga kelompok sosial yang lain. Di wilayah Kecamatan Banjarmasin Tengah pranatapranata seperti tersebut di atas telah terbentuk sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan keadaan yang berkembang di masyarakat, baik pranata yang dikelola oleh pemerintah pusat, daerah maupun pranata-pranata yang diprakarsai oleh lembaga-lembaga swasta maupun masyarakat tertentu. Faktor-faktor pendorong terpeliharanya kerukunan antar umat beragama di antara faktor yang dominan di wilayah ini adalah kesadaran yang tinggi terhadap agama yang dipeluk masing-masing dengan iman yang dihayati dengan benar. Sebagian besar masyarakat Kec. Banjarmasin Tengah adalah masyarakat “agamis”, sehingga wajah kehidupan bermasyarakat tampak menonjol nilai-nilai keagamaannya. Selain itu sistem kekerabatan penduduk asli 134
masih terasa kental untuk memelihara persatuan dan kesatuan di antara sesama mereka. Beberapa nama kemasyarakatan yang bernilai agama di atas sangat terasa mewarnai dan mendorong terjadinya kehidupan masyarakat yang integratif, saling mengisi dan mencegah terjadi konflik horizontal antar umat beragama khususnya. Jalinan kerjasama kemasyarakatan selama ini senantiasa berkembang dengan baik, karena diantara pemeluk agama tidak mau melukai perasaan keagamaan masing-masing pemeluk. Sebaliknya mereka mengisi dengan saling kerja sama yang menguntungkan bagi kehidupan sosial, ekonomi dan kemasyarakatan. Kedudukan para tokoh agama dan tokoh masyarakat serta tokoh pemerintahan tampak menonjol dalam membimbing, mengarahkan dan memberikan solusi bila terjadi perbedaan pendapat atau benturan “kepentingan“ yang dipandang dapat mengganggu kerukunan antar umat beragama. Pemerintah setempat selalu berlaku kordinatif dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan masyarakat banyak khususnya masalah agama.
Kondisi ini dapat berjalan dengan baik sampai saat sekarang. Keteladanan para pejabat dapat dijadikan pegangan masyarakat dalam menetapkan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat termasuk yang berkenaan dengan kerukunan antar umat beragama. Potensi Konflik Masyarakat yang mendiami Kecamatan Banjarmasin Tengah merupakan masyarakat majemuk (plural societies). Mereka terdiri dari berbagai etnis, agama, dan golongan. Dari segi etnis mereka terdiri dari suku Banjar, Dayak, Jawa, 135
Madura, Sunda, dan suku lainnya. Sebagai masyarakat majemuk, tentunya menyimpan potensi konflik, baik yang bersifat laten maupun manifes. Dalam hal ini perilaku etnis sebagai perwujudan dari pola kebudayaan (pattern of culture) yang dibawa dan dimiliki oleh masing-masing etnis. Aneka ragam temperamen etnis tercermin dalam interaksi sosial intra dan antar etnis. Temuan lapangan mengenai perilaku etnis dan potensi konflik secara ringkas dapat dideskripsikan sebagai berikut :
Dari ketiga etnis yang diteliti, yakni etnis Madura, etnis Dayak, dan etnis Banjar memperlihatkan bahwa ketiga etnis tersebut berbeda pola dan cara-cara, baik dalam kehidupan ketetanggaan, kehidupan ekonomi (pencaharian), keagamaan, maupun politik. Karakter dan temperamen masing-masing etnis mewarnai berbagai pranata sosial tersebut. Hal ini disebabkan karena setiap komunitas etnis memiliki akar budaya yang mereka warisi dan terus dikembangkan dari generasi ke generasi dalam kehidupan sosial mereka. Aspek-aspek kebudayaan primordial sebagai unsur lama tetap bertahan pada tingkat tertentu dalam kebudayaan di setiap komunitas etnis dan berfungsi sebagai pengikat identitas sosial. Ada beberapa faktor pemicu konflik dan pengganggu kerukunan hidup antar umat beragama, untuk wilayah Kecamatan Banjarmasin Tengah bila hal ini dijalankan salah satu aspek yang dapat dipandang membuka kemungkinan terjadinya benturan antar etnik dan pemeluk agama adalah faktor politik ditingkat atas, ekonomi, budaya barat yang tidak sesuai dengan tuntunan agama, pendirian rumah ibadah, bantuan sosial yang terselubung, dan perayaan tradisi keagamaan dan diselenggarakan tanpa memperhatikan perasaan agama masyarakat lain. Di antara faktor-faktor di atas yang paling dominan dan berpengaruh luas di masyarakat 136
adalah faktor politik dan ekonomi, bersinggungan dengan interes masyarakat.
karena
banyak
Lebih-lebih bila terdapat salah satu atau semua pelaku politik menggunakan label agama sebagai dasar pembaharuan dalam mencapai tujuan yang diharapkan. Benturan yang mestinya tidak perlu terjadi, dapat akan menjadi kenyataan di tengah-tengah masyarakat yang pada dasarnya rukun dan saling menghormati. Aspek lain yaitu perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda. Dimana salah satu pihak menikahkan pasangan calon pengantin yang berbeda agama tanpa menunjukkan kepada khalayak umum dan pihak-pihak yang berkaitan bukti-bukti autentik yang syah menerut undangundang yang berlaku menyerahkan surat pernyataan bahwa salah satu di antara mempelai bersedia meninggalkan/ memeluk agama pihak suami/istri secara syah di depan petugas yang berwenang dengan ikrar sukarela (ikhlas) tanpa paksaan dari pihak manapun. Namun karena faktor dorongan misi dan cinta satu keinginan untuk memperbanyak umat/pengikut, maka kadangkadang mengabaikan faktor yuridis yang semestinya dilalui dengan sebenarnya. Tradisi kemasyarakatan seperti ini sering terjadi, para tokoh agama maupun masyarakat tak mampu berbuat banyak kecuali menggerutu dan menyayangkan selalu terjadi, karena dampak yang ditimbulkan akibat semua itu adalah kasus rumah tangga, khususnya dalam pembagian waris serta kepemelukan agama bagi anak-anaknya. Penyimpangan Sosial Berbagai macam masalah yang mewarnai kehidupan di wilayah Kec. Banjar Tengah Khususnya ibukota propinsi Banjarmasin yang merupakan jantung kota di Kalimantan Selatan, dengan heteroginitas penduduknya, yang terdiri dar berbagai agama, etnik, dan budaya. Dalam realitas yang ada 137
terjadinya beberapa dominasi keterlibatan etnik dan kelompok tertentu seperti premanisasi, narkoba, perjudian, minuman keras, gelandangan, pengangguran, dll. Di sisi lain dipandang kurang bijaksananya pemerintah setempat terhadap sumber daya manusia yang selama ini dipandang berperan dapat menyelesaikan segala persoalan, untuk mencegah dan mencarikan solusi yang terbaik dalam menyelesaikan berbagai masalah/konflik yang terjadi. Kasus-Kasus Konflik
Dari berbagai macam kasus konflik yang terjadi di wilayah Kec. Banjarmasin Tengah, setelah diidentifikasi oleh pihak aparat yang berwenang maupun hasil beberapa riset yang dilakukan oleh lembaga-lembaga swasta, ternyata cukup bervariasi, di antaranya ada yang muncul akibat politik, ekonomi, dan ketegangan antar etnik. Kasus konflik yang terjadi antara lain, kasus kerusuhan hari Jum’at tanggal 23 Mei 1997 di Banjarmasin. Upaya Pendayagunaan Wadah Kerukunan
Beberapa upaya meningkatkan kerukunan dalam rangka ketahanan masyarakat lokal, antara lain dapat dilakukan melalui pendalaman pemahaman dan pengetahuan agama, dengan mengembangkan unsur-unsur kesamaan ajaran agama. Selama ini, kerukunan antar umat beragama baru tercipta di kalangan elit umat beragama atau antar tokoh agama, dan belum sampai ke tingkat lapisan masyarakat bawah. Hal ini bisa dipahami, bahwa semakin tinggi pengetahuan agama seseorang baik agamanya itu sendiri maupun agama orang lain, maka akan semakin toleran terhadap penganut agama lainnya. Bahwa fanatik terhadap agama memang diperlukan, tetapi tidak harus memusuhi penganut agama lain.
138
Oleh karena itu seorang peserta pertemuan mengatakan bahwa antar tokoh agama di Kecamatan Banjarmasin Tengah tidak ada permasalahan, bahkan di antara mereka terjadi dialog. Salah satu upaya peningkatan ketahanan masyarakat lokal adalah dengan meningkatkan pengetahuan dan pemahaman agama serta pengalamannya.
Pluralitas dalam konteks kehidupan keagamaan tidak terbatas pada kehadiran berbagai agama yang memiliki tradisi yang berbeda-beda, akan tetapi juga adanya pluralitas internal masing-masing agama, baik berkenaan dengan aspek penafsiran maupun aspek kelembagaan. Pluralitas penafsiran tidak hanya melahirkan perbedaan aliran atau mazhab bahkan juga sekte keagamaan, selain itu juga melahirkan perbedaan kecenderungan pandangan dan sikap; eksklusifisme dan inklusifisme. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa ketaatan masyarakat Kecamatan Banjarmasin Tengah terhadap tokoh informal cukup tinggi, dan sebaliknya kurang respek terhadap tokoh formal. Secara umum bahwa masyarakat lebih taat terhadap para guru/kiai dibanding para pejabat pemerintah. Para tokoh agama dan tokoh adat hendaknya dapat mengambil peran bersama dalam menumbuhkembalikan kepercayaan masyarakat terhadap aparat pemerintah. Peran strategis para tokoh agama dan tokoh adat dalam membangun kembali kepercayaan masyarakat hendaknya dilakukan secara terorganisasi. Respon Masyarakat Dalam rangka pembentukan wadah kerukunan di Kecamatan Banjarmasin Tengah telah diselenggarakan pertemuan selama 2 hari dari tanggal 18 s/d 19 Juni 2005. Peserta pertemuan terdiri dari perwakilan tokoh agama, tokoh
139
adat, tokoh masyarakat, tokoh organisasi kepemudaan, aparat kecamatan, kepala desa/keluarahan, dan lain sebagainya.
Dalam pertemuan tersebut panitia pelaksana dari unsur KUA Kecamatan Banjarmasin Tengah, Sekwilcam Banjarmasin Tengah, Staf Kandepag Kota Banjarmasin, dengan berpegang Surat Keputusan Pejabat Pelaksana Anggaran Puslitbang Kehidupan Beragama. Nara Sumber terdiri dari tokoh agama Islam, Kristen, Buddha, Kepala Kandepag Kota Banjarmasin, dan Kepala Dinas Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat Kota Banjarmasin. Selaku pengarah kegiatan Kepala Puslitbang Kehidupan Beragama dan Camat Kecamatan Banjarmasin Tengah. Materi yang disampaikan berkisar permasalahan tentang (1) Ketahanan Masyarakat Lokal Banjarmasin Dalam Memelihara Sikap Keberagamaan dan Kerukunan; (2) Persaudaraan Tanpa Diskriminasi (Syarat Menuju Kerjasama Antar Umat Beragama); (3) Kebijakan dan Program Pembangunan Bidang Agama dan Implementasinya Di Kota Banjarmasin; (4) Upaya-upaya pembinaan kerukunan hidup umat beragama sebagai ketahanan masyarakat lokal. Setelah penyampaian 4 orang nara sumber menyampaikan makalahnya, kemudian dilakukan dialog/tanya jawab dengan peserta. Selain materi yang disampaikan oleh masingmasing nara sumber, peserta juga membahas secara mendalam tentang perlunya pembentukan forum/wadah kerukunan di tingkat Kecamatan Banjarmasin Tengah yang harus dikembangkan ke tingkat kelurahan dan kecamatan sekitarnya. Dalam dialog tersebut, Prof. Dr. H. Ridwan Lubis, Kepala Puslitbang Kehidupan Beragama Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan (sekarang: Puslitbang
140
Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama) selaku pengarah, dalam salah satu pokok pikirannya mengatakan bahwa pertemuan ini mempunyai makna, jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: Pertama, ada pendekatan institusional/kelembagaan. Untuk mewujudkan pendekatan kelembagaan diperlukan wadah/forum kerukunan umat beragama apapun namanya, yang penting harus dilembagakan; Kedua, pertemuan ini dilaksanakan kalau kita punya titik temu yang namanya kearifan lokal, meskipun suku dan agama kita berbeda. Kalau di Sulawesi Utara titik temunya istilah sanak saudara, di Sumatera Utara titik temunya dalian natolu, di Banjarmasin ini kita gali dulu, apa kira-kira semboyannya, budayanya, tradisinya, adatnya yang bisa saling memperhatikan umat tanpa melihat perbedaanperbedaan etnis dan agama. Dalam hal ini, gubernur dan walikota diharapkan dapat mengangkat tradisi ini menjadi issu propinsi dan issu walikota, sehingga semua orang merasa ikut terlibat di dalamnya; Ketiga, kita bisa rukun kalau ada ketauladanan, ada tokoh. Orang Arab mengatakan yang artinya, “manusia itu biasanya mengikuti tradisi pemimpinannya”. Kalau pemerintah dan tokoh agamanya tidak memiliki ketauladanan maka sulit untuk menjadi contoh. Ketauladanan dalam hal ini adalah menimba hubungan antar agama. Harus kita ingat ketauladanan itu jangan sampai melunturkan akidah agama masing-masing. Kami dari Puslitbang Kehidupan Beragama Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan sangat ingin sekali agar semangat kerukunan ini berkembang terus. Drs. H. M. Fadhly Mansoer selaku nara sumber mewakili tokoh agama Islam, dalam makalahnya mrngatakan: “Yang paling pokok menurut beliau adalah komitmen dan konsistensi kita untuk penataan kembali struktur social yang menghargai nilai-nilai universal, pluralisme, inklusif, sambil
141
mempertegas integritas bersama dalam kehidupan yang lebih demokratis”.
Drs. H. Achmad Fahmi, MM, kepala Dinas Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat Kota Banjarmasin, dalam makalahnya mengatakan: “Kenyataan menunjukkan kepada kita bahwa agama memiliki peran besar dalam proses pembangunan suatu bangsa, tetapi tidak sedikit pula fakta-fakta yang membuktikan bahwa agama juga bisa berfungsi sebagai faktor disintegrasi bangsa. Berkaitan dengan ini maka perlu dicermati masalah-masalah yang berkaitan dengan pembangunan kehidupan antar umat beragama dalam masyarakat pluralistik ini. Agama dalam beberapa hal mempunyai pengertian yang hakiki dan dapat dibedakan seperti ; agama sebagai faktor motivatif, sebagai faktor kreatif dan inovatif, sebagai faktor integrative individual maupun integrative sosial”.
Igen Amil Sakar, SH, Pengawas Agama Kristen pada Dinas Pendidikan Nasional Tingkat Propinsi Kalimantan Selatan, nara sumber dari kalangan Kristen dalam makalahnya mengatakan: “Tujuan dari tulisannya adalah untuk membuat kita bisa hidup berdampingan, bisa tersenyum bersama, menangis bersama, dan berjerih payah bersama karena kita semua adalah sama-sama manusia. Dan kalau tujuan ini bisa tercapai secara tidak langsung kita dapat menciptakan suatu budaya baru, yaitu manusia yang bersaudara”.
Romo Soedana, Pembimas Agama Buddha Kanwil Dep. Agama Propinsi Kalimantan Selatan, nara sumber agama Buddha (tanpa makalah) mengatakan: “Sang Buddha mengajarkan kepada umatnya agar senantiasa menempatkan persatuan dan kesatuan bagi kepentingan dan keselamatan bangsa di atas kepentingan pribadi atau golongan. Dalam Kitab Suci Sutta Pitaka; Brahmajala Sutta,
142
Sang Buddha dilukiskan sebagai seorang yang cinta persatuan, seorang pemersatu yang selalu berusaha mengembangkan persahabatan, yang menjadi landasan persatuan. Menurut Sang Buddha berkembangnya perpecahan dan hancurnya persatuan dan kesatuan (kerukunan) mengakibatkan pertentangan, pertengkaran, karena orang tidak menyadari akibatnya adalah kemusnahan, kehancuran, maka semestinya mereka berdamai. Sang Buddha menyatakan bahwa sumber dari perpecahan adalah pikiran jahat yang berupa kebencian, dengki dan irihati, serta kebodohan serta ketidaktahuan” .
Para peserta pertemuan sepakat mengusulkan wadah kerukunan sebagai upaya pemberdayaan ketahanan masyarakat lokal. Kepedulian terhadap hal-hal di atas dapat dilakukan bersama-sama para tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat dan pemerintah. Apalagi jika dapat dilakukan secara bersama-sama akan menumbuhkan kerukunan antar umat beragama yang lebih baik. Mereka katakan bahwa kegiatan pertemuan yang diprakarsai oleh Puslitbang Kehidupan Beragama Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan sangat tepat dan efektif, untuk bisa dijadikan contoh dan dapat dikembangkan dalam berbagai aspek di masyarakat yang ada. Mereka juga akhirnya membentuk forum/wadah yang diberi nama Forum Komunikasi Antar Umat Beragama “Kayuh Baimbai” Kecamatan Banjarmasin Tengah Kota Banjarmasin disingkat FKAUB “Kayuh Baimbai”. Pembentukan forum ini dimaksudkan sebagai media komunikasi dalam menyelesaikan masalahmasalah yang berkembang di masyarakat. Kepengurusan FKAUB “Kayuh Baimbai” dipilih oleh sebuah kerja tim formatur yang disepakati tim formaturnya berdasarkan hasil pemilihan pertemuan dialog waktu itu. Untuk selanjutnya kepengurusan FKAUB mempunyai tugas
143
menyusun visi, misi, latar belakang, tujuan dan sasaran, program kerja, menjalin hubungan dengan pihak apa saja.
144
REVITALISASI WADAH KERUKUNAN Kondisi dan Perkembangan Wadah Kerukunan Kepengurusan FKAUB “Kayuh Baimbai” Kecamatan Banjarmasin Tengah Kota Banjarmasin masa bakti 2005 – 2007 yang diterbitkan berdasarkan Surat Keputusan Camat Banjarmasin Tengah dengan nomor: 138.03/271/Cam-BTH pada tanggal 02 Agustus 2005 sebagai berikut: Pembina
: 1. Camat Banjarmasin Tengah Kepala KUA Banjarmasin Tengah Kapolsekta Banjarmasin Tengah Danramil Banjarmasin Tengah
Pelaksana
:
Ketua : K.H. Zainal Hakim, BA. (Tokoh Islam) Wakil Ketua : Yohanes I, SH (Tokoh Katolik) Sekretaris : Ideris, S. HI. (Staf Kantor KUA Banjarmasin Tengah) Bendahara : Yasmina Hikmah, S. Ag (Penyuluh Agama Banjarmasin Tengah) Wk. Bend. : H.M. Suriani Amberi (TokohMasyarakat) Anggota-2 : 1. H. Rasmi Baihaqi (Tokoh Masyarakat Islam) 2. H. Tasrifin Yusuf (Tokoh Masyarakat Islam) 3. Y u d i (Perwakilan Pemuda Buddha) 4. H. Aspun (Tokoh Msyarakat Islam) 5. Turmuzi, S. Ag (Perwakilan Pemuda) Perencanaan strategik FKAUB “Kayuh Baimbai” Kecamatan Banjarmasin Tengah Kota Banjarmasin masa bakti 2005 – 2007 sebagai berikut :
145
Visi dan misi 1. Visi
: Terciptanya suasana kerukunan antar umat beragama yang kondusip di wilayah Kecamatan Banjarmasin Tengah
2. Misi
: a) Meningkatkan peran serta tokoh agama, adat dan tokoh masyarakat di wilayah Kecamatan Banjarmasin Tengah dalam upaya menangkal terjadinya konflik. b) Memberdayakan lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan, keagamaan dalam berbagai aspek pembinaan umat. c) Meningkatkan pemahaman norma-norma agama secara total bagi pemeluk agama warga masyarakat Kecamatan Banjarmasin Tengah.
Tujuan dan Sasaran 1. Tujuan : a) Memberikan kesadaran dan kemampuan kepada warga masyarakat untuk menghayati, memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. b) Terbinanya kehidupan warga masyarakat agamis, harmonis, sejahtera lahir dan batin.
yang
c) Terciptanya keseimbangan sosial bagi warga masyarakat dalam wilayah Kecamatan Banjarmasin Tengah, d) Meningkatkan kerukunan antar umat beragama serta terhindar dari berbagai konflik warga masyarakat dalam wilayah Kecamatan Banjarmasin Tengah.
146
e) Meningkatkan pengamalan ajaran agama dan pembinaan akhlak dalam mewujudkan kualitas keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. 2. Sasaran a) Warga masyarakat di Wilayah Kecamatan Banjarmasin Tengah sadar betapa pentingnya nilai-nilai norma agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. b) Kehidupan warga masyarakat yang agamis, harmonis, sejahtera lahir dan batin terwujud. c) Suasana damai, tenteram, aman, tertib, dan lancar antar umat pemeluk agama warga masyarakat terjalin baik. d) Keseimbangan sosial bagi masyarakat antar umat beragama tercipta dengan baik dan lancar. Program Kerja 1. Mengadakan sosialisasi kerukunan antar umat beragama pada 12 kelurahan dalam wilayah Kecamatan Banjarmasin Tengah. 2. Dialog antar tokoh agama, adat dan tokoh masyarakat Kecamatan Banjarmasin Tengah yang dirangkai dengan kegiatan Rapat Koordinasi KUA Banjarmasin Tengah secara rutin sebulan sekali. 3. Mengadakan pembinaan dan pemantapan tugas-tugas Penyuluh Agama dalam memberikan pencerahan bagi warga masyarakat antar umat beragama 4. Memberdayakan lembaga-lembaga sosial keagamaan dalam pembinaan umat beragama dalam wilayah Kecamatan Banjarmasin Tengah.
147
Mengikuti kegiatan lintas sektoral, dalam upaya menangkal terjadinya konflik demi ketertiban, keamanan dan ketenteraman. Faktor Pendukung Sewaktu dilakukan monitoring dan evaluasi kegiatan pada hari Jum’at tanggal 2 Desember 2005 menjelang dilaksanakannya seminar hasil penelitian ini, peneliti menghubungi ketua panitia pelaksana Abdul Azis Nazar melalui telepon. Hasil monitoring dan evaluasi kegiatan ini dia laporkan bahwa sudah dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali pertemuan melibatkan unsur tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, kepala kelurahan dan unsur Kecamatan Banjarmasin Tengah sebanyak kurang lebih 20 orang, dengan tujuan mensosialisasikan SKB Menag dan Mendagri No. 1/BER/MDN.MAG/1969 tentang pendirian rumah ibadat. Selain itu juga mereka melakukan sosialisasi FKAUB “Kayuh Baimbai” ke tingkat kelurahan dan kecamatan di sekitar Kota Banjarmasin berikut program yang sudah mereka susun. Dalam waktu tidak terlalu lama mereka akan menyusun program baru setelah melakukan beberapa perbaikan. Salah satu contoh kerja forum ini adalah, mereka turun bersama-sama menyelesaikan kasus di Jl. Kayutangi lingkungan wilayah Kecamatan Banjarmasin Tengah, dimana bangunan ruko dimanfaatkan acara kebaktian umat Kristen yang akhirnya mendapat respon keras dari masyarakat, dengan ancaman dirusak dan dibakar. Akhirnya melalui forum kerukunan “Kayuh Baimbai” ini kasus yang terjadi bisa diredam dan diselesaikan secara damai. Selanjutnya pertemuan yang dilakukan tidak bersifat formal. Sosialisasi wadah kerukunan dititipkan melalui para penyuluh agama. Pemberian informasi kepedulian masyarakat sadar hukum termasuk pemeliharaan kerukunan
148
dilakukan melalui radio, menggunakan dana yang dikelola oleh pengurus wadah kerukunan “Kayuh Baimbai”. Dana tersebut merupakan bantuan dari Puslitbang Kehidupan Beragama pada tahun 2005. Faktor Penghambat Wadah kerukunan “Kayuh Baimbai” Kecamatan Banjarmasin Tengah yang dibentuk pada tahun 2005 tidak bisa berkembang sesuai dengan visi, misi dan tujuannya. Hal ini dikarenakan berbagai kendala, diantaranya; Pertama, kesibukan masing-masing pengurus yang tidak bisa mengoptimalkan wadah kerukunan yang telah dibentuk. Kedua, keterbatasan dana yang selama ini tidak ada sponsor bagi pengembangan wadah kerukunan. Ketiga, keterlibatan tokoh informal (tokoh agama/masyarakat) tidak bisa menjadi panutan. Keempat, sudah adanya forum kerukunan antar umat beragama di tingkat kabupaten/kota dan provinsi. Kelima, para tokoh informal seperti tokoh agama, adat, dan masyarakat lebih banyak berkiprah di tingkat Kota Banjarmasin. Respon Masyarakat dan Pemerintah Dialog pengembangan wadah kerukunan dan ketahanan masyarakat di wilayah Kecamatan Banjarmasin Tengah yang dilaksanakan pada tahun 2005 merupakan kegiatan yang mereka anggap baru pertama kali diadakan oleh lembaga kepemerintahan pada tingkat Kecamatan. Masyarakat menyambut gembira dan berharap agar pertemuan itu banyak membuahkan manfaat bagi masyarakat. Setelah terbentuknya FKAUB “Kayuh Baimbai”, masyarakat berharap berbagai persoalan yang berkembang di masyarakat bisa di selesaikan melalui forum ini bersama aparat pemerintah yang terkait secara lebih arif dan bijaksana sesuai berbagai permasalahan yang dihadapi oleh masyarakatnya. Sehingga kehidupan masyarakat selalu tenang, aman, nyaman, dan rasa persaudaraan yang baik. 149
150
PENUTUP
Kesimpulan Kerukunan hidup umat beragama di Kecamatan Banjarmasin Tengah selama ini dapat dikatakan cukup baik, dalam arti tidak pernah terjadi konflik terbuka yang muncul karena perbedaan agama maupun perbedaan etnis/suku, seperti yang terjadi di beberapa daerah propinsi lainnya. Besarnya pengaruh tokoh informal cukup mewarnai kehidupan masyarakat daerah ini sehingga antara lain dapat menjaga terwujudnya kerukunan hidup beragama. Pendekatan yang dilatarbelakangi asumsi bahwa para tokoh informal memiliki otoritas dan kedudukan terhormat dalam struktur komunitas dan mainstream keagamaan masyarakat. Sementara pendekatan cultural diasumsikan bahwa setiap struktur masyarakat dan komunitas sosial memiliki kekayaan tradisi, kultur dan adat istiadat untuk menciptakan ketahanan dan kerukunan. Potensi-potensi dapat menciptakan kerukunan dalam membangun ketahanan masyarakat sebagai berikut: 1). Aspek kepemimpinan lokal. 2). Sistem komunikasi masyarakat. 3). Mekanisme sosial dan 4) Mekanisme kelembagaan. Tokoh agama dan tokoh informal lainnya memiliki peran dan fungsi strategis untuk membina dan memperkokoh ketahanan dan kerukunan masyarakat Banjarmasin Tengah. Tokoh agama/masyarakat dan tokoh pemerintah telah sepakat membentuk FKAUB “Kayuh Baimbai” Kecamatan Banjarmasin Tengah sebagai wahana kerja sama dan etika persaudaraan masyarakat.
Ada beberapa program pemberdayaan masyarakat sebagai berikut; 1). Mengadakan sosialisasi kerukunan antar 151
umat beragama pada 12 kelurahan dalam wilayah Kecamatan Banjarmasin Tengah. 2). Dialog antar tokoh agama, adat dan tokoh masyarakat yang dirangkai dengan kegiatan Rapat Koordinasi KUA Banjarmasin Tengah secara rutin sebulan sekali. 3). Pembinaan penyuluh agama dalam memberikan pencerahan bagi warga masyarakat antar umat beragama. 4). Pemberdayaan lembaga-lembaga sosial keagamaan dalam pembinaan umat beragama. 5). Kegiatan lintas sektoral, dalam upaya menangkal terjadinya konflik demi ketertiban, keamanan dan ketenteraman. Saran-Saran 1. Peran strategis para tokoh agama dan tokoh adat dalam membangun kembali kepercayaan masyarakat hendaknya dilakukan secara terorganisasi. Tokoh agama dan tokoh adat turun ke masyarakat memberikan penyuluhan dan bimbingan untuk memberikan kesadaran kepada masyarakat agar tidak melakukan tindakan yang dapat mendatangkan aib dan cela terhadap diri, keluarga serta masyarakatnya. 2. Perlunya menghidupkan kembali (revitalisasi) khazanah Budaya Banjar melalui Majelis Pertimbangan Adat Banjar (MPAB) dan mengoptimalkan peran dan fungsi FKAUB “Kayuh Baimbai” Kecamatan Banjarmasin Tengah sebagai wahana kerja sama dan etika persaudaraan masyarakat. 3. Forum ini hendaknya bisa melembaga di masyarakat dan perlu diefektifkan dan didayagunakan baik di tingkat kecamatan, bahkan dikembangkan lagi ditingkat desa/kelurahan. 4. Kepada pemerintah tingkat Kecamatan ataupun tingkat Kabupaten hendaknya selalu membantu memfasilitasi dan memberikan dorongan moril dan materil agar forum/ wadah kerukunan yang telah dibentuk. 152
DAFTAR PUSTAKA
Aziz, Abdul. 2002, Kerukunan Hidup Beragama dan Rekonsiliasi Nasional, dalam Jurnal Harmoni Multikultural dan Multiriligius, Vol. 1 No. 1, Januari–Maret 2002. Puslitbang Kehidupan Beragama. Bachtiar, Harsja W 1987, Integritas Nasional Indonesia (dalam Wawasan Kebangsaan Indonesia), Jakarta, Bakom, PKB Pusat. Data Monografi Kecamatan Banjarmasin Tengah, 2004. Departemen Agama RI 1997, Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Umat Beragama di Indonesia, Proyek Peningkatan Kerukunan Hidup Umat Beragama, Badan Litbang Agama, Jakarta. Effendi Djohan, Pengembangan Ketahanan Lokal Dalam Rangka Memelihara Kerukunan Hidup Beragama, Makalah disampaikan pada Musyawarah Antar Pemuka Agama dengan Pemerintah, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Jakarta, 29 Maret 1999. Ismail, Faisal 2002, Konflik Sosial dan Masyarakat Plural dalam Indonesia Baru, dalam Jurnal Harmoni Multikultural dan Multiriligius, Vol. 1 No. 2, April – Juni 2002. Puslitbang Kehidupan Beragama. Jalaluddin dkk, 1997, Pola Migrasi Masyarakat Masyarakat Sumatera Selatan Tahap I (Kabupaten OKU dan OKI), Penelitian DIP IAIN Raden Intan. Saifuddin, Achmad Fedyani 1986, Konflik dan Integrasi: Perbedaan Faham dalam Agama Islam, CV. Rajawali, Jakarta. Silalahi Sudi Mayjen TNI, Pendayagunaan Kepemimpinan dan Budaya Lokal Dalam Konteks Peneguhan Integrasi Nasional, Makalah disampaikan pada Musyawarah Antar Pemuka Agama dengan Pemerintah, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Jakarta, 29 Maret 1999.
153
Profil Kantor Urusan Agama Kecamatan Banjarmasin Tengah, 2004 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Lihat
154
Institute for Research and Empowerment (IRE), Internet, http.://www.Ireyogya,org./adat-manfaatpemberdayaan,htm,hal.2,/23/2005)
REVITALISASI WADAH KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA Di Kecamatan Pahandut Palangkaraya Oleh: Haidlor Ali Ahmad SEKILAS KECAMATAN PAHANDUT
Letak Geografis Kecamatan Pahandut terletak di pusat Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Di wilayah ini terdapat gedunggedung kantor pemerintah tingkat provinsi, kota dan kecamatan serta kantor-kantor swasta, sentra-sentra perdagangan dan bisnis, berupa mall, pasar swalayan, pasar tradisional, dan ruko. Luas wilayah Kecamatan Pahandut 117.25 Km2 dengan topografi berupa tanah datar, berawa-rawa dan dilintasi oleh sungai Kahayan. Secara administratif Kecamatan Pahandut berbatasan dengan Kecamatan Kahayan Tengah di sebelah utara; Kecamatan Sabangau di sebelah timur dan selatan; dan Kecamatan Jekan Raya di sebelah barat. Perkembangan Kecamatan Pahandut tidak terlepas dari pemekaran Kota Palangkaraya. Pada mulanya, Pemerintah Kota Palangkaraya terdiri dari 2 kecamatan yang terbentuk dari 21 kelurahan. Pada tahun 2002, Kota Palangkaraya dimekarkan menjadi 5 kecamatan yang terdiri dari 30 kelurahan. Akibat pemekaran kota dalam rangka peningkatan pelayanan masyarakat itu, maka pada tahun yang sama Kecamatan Pahandut juga ikut dimekarkan. Sebelas kelurahan yang berada dalam wilayah administratif dikembangkan 155
menjadi 16 kelurahan yang kemudian dipecah menjadi 3 kecamatan. Dari hasil pemekaran itu, wilayah Kecamatan Pahandut meliputi 6 kelurahan, yaitu: 1. Kelurahan Pahandut (lama) 2. Kelurahan Panarung (lama) 3. Kelurahan Langkai (lama) 4. Kelurahan Tumbang Rungan (lama) 5. Kelurahan Tanjung Pinang (baru) 6. Kelurahan Pahandut Seberang (baru) Kondisi Demografi Berkenaan dengan jumlah penduduk Kecamatan Pahandut terdapat kerancuan data, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Palangkarya yang bersumber dari Registrasi Penduduk Akhir Tahun 2006 berjumlah 64. 404 jiwa; Mengacu pada Data Umat Beragama dan Rumah Ibadah Kecamatan Pahandut Tahun 2006 yang dimiliki Kantor Urusan Agama (KUA) dengan sumber data dari kelurahan, berjumlah 66.146 jiwa; Sedangkan data yang dikemukakan Choirul Fuad Yusuf berdasarkan data penduduk tahun 2004 justru jumlahnya lebih banyak, yaitu 66.351 jiwa. Tidak dapat diketahui mana data yang lebih akurat. Dilihat dari jenis kelamin berdasarkan data BPS Kota Palangkaraya tahun 2006, jumlah penduduk laki-laki Kecamatan Pahandut 32.310 jiwa dan perempuan 32.094 jiwa, yang tergabung dalam 14.541 kepala keluarga (KK). Berdasarkan data yang dimiliki KUA Kecamatan Pahandut, 66.146 jiwa penduduk Kecamatan Pahandut tersebar pada 6 kelurahan secara tidak merata. Jumlah paling besar pada Kelurahan Langkai, urutan kedua Kelurahan Pahandut, dan jumlah paling kecil Kelurahan Tumbang Rungan. Persebaran penduduk secara lebih rinci dapat dilihat pada tabel 1.
156
Tabel 1 Persebaran Penduduk Kecamatan Pahandut No
Kelurahan
Jumlah Penduduk
%
1
Pahandut
21055
31.83
2
Panarung
13798
20.86
3
Langkai
25657
38.79
4
Tumbang Rungan
618
0.93
5
Tanjung Pinang
2016
3.05
6
Pahandut Seberang
3002
4.54
Jumlah 66146 100 Sumber: KUA Kecamatan Pahandut 2006, berdasarkan data dari kelurahan. Mata Pencaharian Penduduk Berdasarkan data yang dimiliki KUA Kecamatan Pahandut, mata pencaharian penduduk Kecamatan Pahandut sebagian besar sebagai pedagang,41 sebagaimana layaknya penduduk daerah perkotaan. Namun berdasarkan data dari kecamatan – minus data dari 3 kelurahan (Kelurahan Langkai, Tumbang Rungan dan Tanjung Pinang) – menunjukkan bahwa, profesi buruh yang paling banyak terdapat di Kecamatan Pahandut. Mata pencaharian pada urutan kedua adalah wiraswasta, dan berikutnya adalah pegawai negeri sipil (PNS). Secara lebih jelas, mata pencaharian penduduk Kecamatan Pahandut dapat dilihat pada tabel 2.
41
Kepala KUA Kecamatan Pahandut, 2006: 4.
157
Tabel 2 Data Penduduk Kecamatan Pahandut Menurut Pekerjaan Kelurahan No.
Pekerjaan
Pahandut Panarung Pahandut Sbr
jumlah
1
PNS
650
1147
1
1798
2
Guru/Dosen
39
-
26
65
3
TNI
194
33
1
228
4
Polri
23
49
-
72
5
Kary. Swasta
125
127
-
252
6
Wiraswasta
568
1482
20
2070
7
Tani
220
55
786
1061
8
Nelayan
441
-
59
500
9
Buruh
584
1432
260
2276
10
Lain-lain
18309
-
-
18309
Jumlah 21153 4325 1153 Sumber: Kantor Camat Pahandut, Februari 2007.
26631
Sebagai perbandingan, berdasarkan data BPS tingkat Provinsi Kalimantan Tengah, penduduk Kalteng tahun 2005 berjumlah 1.958.428 jiwa, 79,18% berumur 10 tahun ke atas. Sementara komposisi angkatan kerja didominasi kelompok umur 30-34 tahun. Mayoritas penduduk (59,61%) bekerja di sektor pertanian; Sedangkan, jumlah paling kecil (1%) penduduk di sektor keuangan. Dilihat dari tingkat SDM, menunjukkan bahwa SDM pekerja di Kalteng rendah, 76% penduduk yang bekerja di berbagai sektor memiliki latar 158
belakang pendidikan SD/tidak tamat SD s/d SLTP. Selain itu, lapangan pekerjaan di Kalimantan sangat terbatas. Dari seluruh pencari kerja yang terdaftar hanya 18% yang berhasil mendapatkan pekerjaan, sedangkan selebihnya (82%) belum mendapatkan pekerjaan.42 Penguasaan Sumber Ekonomi Jika di berbagai daerah/kota etnik Tionghoa begitu dominan dalam penguasaan sektor ekonomi perdagangan. Di Palangka Raya, etnik yang -di negara-negara berkulit putihdisebut sebagai “bahaya kuning” ini tidak menonjol dalam penguasaan sumber ekonomi perdagangan. Di Palangka Raya -sebelum terjadi konflik- sumber ekonomi perdagangan banyak dikuasai oleh etnis Bajar dan Madura. Pasca konflik, sektor-sektor yang ditinggalkan oleh pedagang/pengusaha Madura banyak yang diambil alih oleh etnis Banjar. Di Palangka Raya, etnik Banjar memang sangat tepat disebut sebagai “Cinanya Melayu”. Etnik yang dulu terkenal tidak menyukai sekolah formal dan lebih memilih pasar sebagai tempat sekolah ini memang cukup kompetitif dalam sektor perdagangan.43 Mobilitas Penduduk Data mobiltas penduduk tidak dimiliki Kantor Camat Pahandut. Data mobilitas penduduk hanya terdapat di tingkat Provinsi Kalteng. Program transmigrasi 2004/2005 sebanyak 580 KK (2.180 jiwa), berasal dari Jabar, Jateng, NTT dan Kalteng. Seluruh transmigran itu ditempatkan di Kabupaten 42
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Kalimantan Tengah, Kalimantan Tengah dalam Angka 2005, hal: 49. 43 Hingga dekade 1990-an masih sering terdengar pemeo yang mengatakan “orang Banjar sekolahnya di pasar”, karena pada umumnya anak-anak Banjar hanya tamat SD kemudian membantu orang tua berdagang di pasar. Kendatipun pada dekade tersebut sudah banyak generasi muda Banjar yang mengenyam pendidikan perguruan tinggi, bahkan menjadi sarjana.
159
Lamandau. Sedangkan imigrasi berdasarkan data Departemen Kehakiman dan HAM, orang asing yang terdapat di Kalteng tahun 2005 berjumlah 214 orang, yang didominasi oleh warga Malaysia 108 orang (50,46%); selebihnya warga Korea Selatan 30 orang (14,01%); dan Cina 20 orang (12%).44 Sarana Pendidikan Untuk ikut serta mensukseskan program pemerintah di bidang pendidikan, Kecamatan Pahandut berusaha agar mutu pendidikan di wilayahnya paling tidak setara dengan kecamatan lainnya, maka salah satu faktor penunjang adalah keberadaan sarana pendidikan yang memadai yang tersebar di 6 kelurahan. Sarana pendidikan umum yang terdapat di wilayah Kecamatan Pahandut dapat dilihat pada tabel 3, berikut: Tabel 3 Sarana Pendidikan Umum No
Nama/Tingkatan Pendidikan
1
TamanKanak-kanak
21
2
Sekolah Dasar
66
3
SLTP
23
4
SLTA
13
5
Perguruan Tinggi
Sumber: Buku Profil KUA Kecamatan Pahandut, 2006.
44
BPS Provinsi Kalteng, hal 49.
160
Jumlah
3
Potensi Konflik dan Integrasi Potensi Konflik Potensi konflik antar etnis yang ada pada masa sebelum peristiwa Minggu Kelabu 2001, menurut keterangan dari beberapa orang informan kami dari berbagai etnik, yaitu Banjar, Dayak dan Jawa, mengatakan bahwa, etnik Madura sealin tidak mau beradaptasi dengan adat istiadat setempat, mereka tinggal secara berkelompok, dan mereka cenderung berperilaku arogan, emosional, dan suka berbuat kriminal. Biasanya orang Madura yang tinggal berbaur dengan suku lain cenderung lebih baik perilakunya, sebaliknya mereka yang tinggal dalam kelompok mereka sendiri cenderung berperilaku negatif. Berkenaan dengan perilaku negatif etnis Madura di Palangka Raya, peneliti memiliki pengalaman khusus jauh sebelum terjadi konflik – tepatnya tahun 1992 – ketika peneliti akan menggunakan jasa tukang becak, pemilik hotel (tempat kami menginap) menawarkan jasa untuk melakukan transaksi tawar-menawar dengan tukang becak. Kata pemilik hotel: “Tukang becak di sini orang-orang Madura. Kalau Bapak yang nawar, di sini dia bilang 500, sampai di tempat tujuan dia minta 5000.” Dua informan kami membenarkan apa yang dikatakan pemilik hotel itu. Kebetulan keduanya pernah diperlakukan kurang menyenangkan oleh tukang becak dari etnik Madura. Yang satu pernah ditabrak becak dan kena marah. Padahal sebagai korban seharusnya ia yang marah. Yang lain pernah mengirim barang menggunakan jasa tukang becak, karena tidak diikuti, maka barangnya raib dibawa kabur. Sikap arogan etnik Madura – menurut seorang penghulu yang juga sebagai anggota FKAUB Kecamatan Pahandut – tidak hanya dilakukan oleh tukang-tukang becak saja, tetapi 161
juga oleh para pedagang. Misalnya, pembeli yang sedang menawar tidak boleh memegang barang yang ditawar. Kalau barang dagangannya sampai dipegang, pedagang Madura menghardik “Kalau nawar jangan dipegang, lihat saja!” Apabila orang Madura mengontrak tanah – menurut informan kami – sering menimbulkan masalah. Jika sudah habis masa kontraknya, mereka tidak mau pindah. Ketika tempat tersebut ditanyakan oleh pemiliknya dengan menunjukkan surat-surat bukti kepemilikan tanah, mereka dengan seenaknya menjawab: “Biar saja sampian yang pegang kertasnya, saya yang pegang tanahnya”. Sebagai perbandingan, informan kami mengatakan: “Berbeda dengan orang Banjar dan Jawa, meskipun tanah yang mereka sewa itu sampai 10 tahun, ibaratnya, tapi jika sudah habis masa sewanya, maka tetap mereka kembalikan”. Potensi konflik tersebut memuncak, ketika orang-orang Madura pelarian dari Malaysia banyak yang masuk ke Kalimantan Tengah. Para pelarian yang terlibat tindak kriminal terutama pembunuhan di Negeri Jiran ini setelah berada di Kalimantan Tengah bukannya tobat tapi justru sering berbuat onar. Organisasi kedaerahan Ikatan Keluarga Madura (IKAMA), yang oleh etnis lain diharapkan dapat menyelesaikan tindak kriminal yang dilakukan oleh orangorang Madura dengan cara yang bijaksana, ternyata justru melindungi para pelaku kriminal. Yang paling menyakitkan etnis lain, ketika IKAMA melindungi seorang pelaku kriminal yang memerkosa dan membunuh seorang gadis etnis Dayak. Pelaku kejahatan tersebut didandani dengan menggunakan pakaian kyai dan diantar ke bandara agar bisa pulang ke Madura. Hampir bersamaan waktunya, IKAMA membantu pelarian pelaku kejahatan tersebut dengan meletusnya kerusuhan di Sampit. Sehingga semakin mempercepat konflik antar etnis itu 162
merembet ke Palangkaraya. Tindakan pengurus IKAMA tersebut juga semakin mendorong etnis-etnis Banjar, Jawa, Batak, Minahasa bersatu mengatasnamakan Dayak melawan etnis Madura. Karena pada dasarnya semua etnis yang ada di Palangka Raya tidak suka terhadap arogansi, sikap mau menang sendiri dan budaya carok orang Madura. Budaya carok tersebut misalnya terlihat pada sikap dendam seumur hidup, bakan turun temurun dari orang-orang Madura. Potensi Integrasi Sebagaimana diungkapkan oleh Choirul Fuad Yusuf (2006) bahwa, masyarakat (Palangkaraya) paska-konflik cenderung menjadi lebih hati-hati, lebih mengontrol diri, dan lebih kalkulatif dalam berinteraksi dengan pihak lain. Implikasi dari konflik yang terjadi tahun 2001, masyarakat mulai menunjukkan sikap untuk kembali membangun atau memperbaiki tata hubungan antar mereka.45 Demikian pula perilaku masyarakat – khususnya etnik Madura, secara kasat mata – cenderung lebih baik bila dibandingkan dengan sebelum konflik. Sekarang mereka berupaya mengontrol diri, tidak arogan, apalagi berbuat kriminal. Dengan perubahan sikap etnik Madura kearah yang lebih positif ini – meski mereka yang kembali Palangkaraya sangat kecil jumlahnya – menunjukkan adanya potensi integrasi di antara mereka yang dulu terlibat konflik terbuka. Potensi integrasi yang menonjol di antara para pendatang adalah dari kalangan etnik Jawa. Informan kami dari etnik Banjar dan Dayak mengatakan etnik Jawa mudah melakukan adaptasi. Baik dari kalangan etnik Banjar maupun Dayak merasa tidak ada masalah dalam berinteraksi dengan 45
Yusuf, 2006: 304-305.
163
orang Jawa. Potensi integrasi yang dimiliki masyarakat Jawa di perantauan ini tidak terlepas dari nilai-nilai budaya Jawa yang mereka bawa. Masyarakat Jawa memiliki tradisi apabila ada seseorang yang akan pergi merantau, selain orang tua juga orang-orang yang dipamiti hampir selalu memberikan nasehat – yang pada intinya sama – yaitu, agar selalu berhatihati di rantauan, jauh dari sanak keluarga, apabila ada percekcokan luwih becik ngalah, wong ngalah luhur wekasane (lebih baik mengalah, orang yang mengalah akan lebih mulia di kemudian hari); Pada umumnya orang Jawa memiliki sikap tenggang rasa (tepa selira); Dalam pergaulan lebih suka menerapkan perilaku isa rumangsa, ora rumangsa isa (bisa merasa, artinya bisa empati terhadap perasaan orang lain; tidak merasa bisa maksudnya tidak sok bisa). Dengan kata lain orang Jawa lebih mengutamakan perasaan dan tidak merasa sok bisa. Orang-orang Banjar yang juga sebagai pendatang cepat beradaptasi dengan etnis setempat. Orang Banjar merasa aman di manapun berada dengan berpegang pada acuan yang lebih dikenal sebagai acuan etnik Minang, yaitu: “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”, yang artinya di mana mereka tinggal, mereka harus menjunjung tinggi dan mentaati aturan setempat. Sebagai etnik pendatang, dengan mengacu pada petuah-petuah orang tua, masyarakat Banjar bisa membawa diri di perantauan. Petuah-petuah tersebut semisal: “kalau sudah ketemu seseorang anggaplah saudara dan jagalah persaudaraan jangan sampai pecah”. Kearifan Lokal Etnik Banjar memiliki pedoman dalam hidup di rantauan, sebagaimana etnik Minang, yaitu “dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung”, yang artinya dimana mereka menetap maka adat maupun aturan-aturan penduduk setempat harus ditaati. 164
Suryani, SE, MM, Ketua Perhimpunan Hindu Kaharingan Provinsi Kalteng, mengemukakan kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Dayak antara lain: “Penyang hinye simpe patarung humba tambura”46 (Kita harus bisa menyesuaikan diri dengan orang lain, dengan masyarakat maupun negara). Informan kami menambahkan kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Dayak ada yang berupa ibarat, misalnya ibarat buah kelapa. Ia menjelaskan bahwa buah kelapa tidak serta merta bisa menjadi buah kelapa, kalau tidak ada pohonnya, pelepah, sabut dan lain-lain. Artinya setiap orang tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Budaya yang menjadi acuan banyak mendukung terwujudnya Palangka Raya (umumnya) dan (khususnya). Di kalangan etnis Dayak betang,
masyarakat setempat, kerukunan di Kota Kecamatan Pahandut terdapat falsafah rumah
Tipologi Kepemimpinan Menurut Suryani, SE, MM. Ketua Perhimpunan Hindu Kaharingan Provinsi Kalteng, masyarakat Hindu Kaharingan lebih menghargai dan mempercayai tokoh agama dari pada tokoh formal. Hal ini tampak antara lain, ketika masyarakat di daerah menyambut kedatangan tokoh agama lebih hebat dari pada menyambut kedatangan gubernur. Pelapisan Sosial Menurut salah seorang informan kami dari etnik Dayak, ia mengatakan bahwa, orang Kaharingan miskin, mayoritus hidup sebagai petani. Se-Kalteng hanya terdapat seorang Kaharingan yang menduduki jabatan eselon II. 46 Penyang= kita bisa bersatu padu dengan orang lain; hinye tambura= bisa mentaati aturan orang lain; simpe=kesatuan; paturung= persatuan; humba tambura= satu ikatan (kesatuan).
165
Lembaga/Organisasi Sosial Di Kecamatan Pahandut terdapat organisasi pemuda sebanyak 22 organisasi pemuda, yaitu KNPI, AMPI, PII, IPNU, Pemuda Ansor, Pemuda Katholik, Pramuka, Palang Merah Remaja, GMKI, HIPMI masing 1, Karang Taruna/ Depsos (2), dan organisasi olah raga (9).47 Selain itu terdapat juga organisasi kedaerahan yatiu Ikatan Keluarga Madura (IKAMA). Namun organisasi pendatang dari Pulau Garam ini tidak eksis lagi bersamaan dengan munculnya konflik etnis Minggu Kelabu 2001. Kehidupan Keagamaan Komposisi Penduduk Menurut Agama Berdasarkan data yang di mililiki KUA Kecamatan Pahandut yang bersumber dari data kelurahan, komposisi penduduk Kecamatan Pahandut dilihat dari sisi agama menunjukkan bahwa, pemeluk agama Islam masih merupakan penganut agama mayoritas. Kendatipun prosentase jumlah penganut agama Islam tidak seperti daerah-daerah lain di wilayah Indonesia bagian barat dan tengah. Dimana pada umumnya prosentase jumlah umat Islam di wilayah Indonesia bagian barat dan tengah berada pada kisaran 8090%. Sedangkan di Kecamatan Pahandut prosentase penganut agama Islam hanya sedikit di atas 50 presen. Jumlah penganut agama Islam lebih dekat lagi perbandingannya dengan jumlah penganut agama urutan ke dua (Kristen Protestan) di 2 kelurah, Panarung dan Langkai. Secara lebih rinci komposisi penduduk menurut agama dapat disimak pada tabel 4, berikut:
47
166
BPS Kota Palangkaraya, 2005: 86.
Tabel 4 Data Umat Berama Kecamatan Pahandut Jumlah Pemeluk Agama No.
Kelurahan
Islam
Prot.
Katholik
Hindu
Budha
1
Pahandut
18393
2402
126
92
42
2
Panarung
7391
5352
427
593
35
3
Langkai
12803
8139
3821
575
319
4
Tumbang Rungan
562
56
-
-
-
5
Tanjung Pinang
1224
700
20
77
-
6
Pahandut Seberang
2842
135
-
25
-
43215
16784
4394
1362
396
Jumlah
Sumber: KUA Pahandut dari data kelurahan Th 2006.
Sarana Peribadatan Jumlah rumah ibadat di wilayah Kecamatan Pahandut dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 5 Data Rumah Ibadat Kecamatan Pahandut No.
Jumlah Rumah Ibadat
Kelurahan
Masjid Langg Mushll Gereja Pura Vihara
Balai
1
Pahandut
7
17
12
4
-
-
-
2
Panarung
18
50
-
3
-
-
-
3
Langkai
7
12
-
15
-
-
-
4
Tumbang Rungan
1
-
-
1
-
-
-
5
Tanjung Pinang
6
1
-
1
-
-
1
6
Pahandut Sebrg
5
3
1
1
-
-
-
44
83
13
25
-
-
1
Jumlah
167
Sumber: Data KUA Kecamatan Pahandut dari data Kelurahan th 2006.
Sarana Pendidikan Agama Sarana pendidikan agama (Islam) yang terdapat di wilayah kecamatan Pahandut dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 6 Sarana Pendidikan Agama Islam No.
Nama/Jenjang Pendidikan
Jumlah
1
RA/BA
7
2
MDA
3
MIN
2
4
MIS
10
5
MTsN
1
6
MTsS
6
7
MA
1
8
Pondok Pesantren
5
16810
Sumber: Buku Profil KUA Kecamatan Pahandut, 2006.
Lembaga/Organisasi Keagamaan Choirul Fuad Yusuf mengatakan terdapat sekitar 40 organisasi sosial-keagamaan yang hidup berdampingan di wilayah Kecamatan Pahandut48, di kalangan umat Islam antara lain: Nahdlatul Ulama (NU) dan organisasi underbownya, Muslimat NU, Fatayat NU, Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU), Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), Pemuda Anshor, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII); Muhammadiyah, dan oraganisasi underbow-nya, Nasyiyatul Aisyiah, Pemuda Muhammadiyah, Ikatan 48
168
Yusuf, 2006: 302.
Mahasiswa Muhammadiyah (IMM); Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), Hizbut Tahrir, Jamaah Ahmadiyah, Pelajar Islam Indonesia (PII), Pemuda Muslim Indonesia (PMI), Majelis Ulama Indonesia (MUI), Majelis Dakwah Islam (MDI), Ikatan Remaja Masjid (IRM), Badan Kerjasama Pemuda dan Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI), Badan Amil Zakat (BAZ), Lembaga Amil Zakat (LAZ), dan Unit Pengumpul Zakat (UPZ). Di kalangan umat Hindu, Parisada Hindu Darma Indonesia (PHDI), Majelis Resort Agama Hindu; khusus di kalangan Hindu Kaharingan, Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan, Lembaga Pengembangan Tandak dan Upacara Keagamaan Umat Kaharingan (LPT-UKUK), dan Perhimpunan Hindu Kaharingan; Di kalangan Kristen Protestan, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Persatuan Mahasiswa Kristen Republik Indonesia (PMKRI), Yayasan Pendidikan Kristen, Majelis Resort GKE; Di kalangan umat Katholik, Konperensi Waligereja Indonesia (KWI), Wanita Katholik Republik Indonesia (WKRI), Muda Mudi Katholik (Mudika); Di kalangan umat Budha Perwalian Umat Budha Indonesia (Walubi) dan sebagai wahana komunikasi antar umat beragama telah didirikan Forum Komunikasi Antar Umat Beragama (FKAUB). Kegiatan Keagamaan Kegiatan keagamaan yang dilaksanakan pihak KUA berupa kegiatan ibadah sosial dan pembinaan rohani. Kegiatan pembinaan rohani dilaksanakan setiap awal bulan, penyelenggara Wali Kota bekerja sama dengan Kandepag Kota Palangka Raya. Ikut serta dalam acara buka puasa persama pada bulan Ramadlan. Aktif dalam peringatan hari besar Islam (PHBI).
169
Faham Organisasi Keagamaan Faham keagamaan yang terdapat di Kecamatan Pahandut hampir sama dengan di daerah-daerah lain. Bagi kalangan Islam terdapat faham arus utama (main stream) yang paling dominan dan mayoritas, yaitu faham Nahdliyin atau Nahdlatul Ulama (NU) yang merupakan faham Islam muderat dan lebih bisa beradaptasi dengan tradisi-tradisi lokal. Kalangan ini biasa mengklaim sebagai kalangan ahlu al-sunnah wa al-jamaah. Mayoritas kedua adalah Muhammadiyah yang cenderung puritan. Dulu kalangan muda Muhammadiyah sering menyerang kalangan Nahdliyin dengan melontarkan ide-ide pemurnian, anti bidah dan khurafat. Namun, belakangan ini, masalah-masalah khilafiyah semacam itu tidak lagi pernah muncul di permukaan sebagai bahan pergunjingan antar kelompok, kecuali sebagai materi pengajian intern kelompok. Selain kedua faham arus utama tersebut, di Kecamatan Pahandut juga terdapat Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII). Kelompok ini antara lain terdapat di Jl. R. Saleh. Pengikut kelompok ini antara lain dari etnis Jawa dan Banjar. Kehadiran LDII ini tidak menimbulkan masalah bagi kalangan masyarakat muslim di Kota Palangkaraya umumnya dan Kecamatan Pahandut khususnya. Meskipun, di kalangan masyarakat ekslusifisme LDII ini melalui informasi dari mulut ke mulut diketahui juga oleh masyarakat. Bahkan keekslusifan LDII yang memandang umat muslim lain sebagai makhluk yang najis juga tersebar di kalangan masyarakat. Misalnya, di kalangan masyarakat berkembang isu sebagaimana umumnya di daerah lain, jika muslim yang lain masuk masjid LDII, sepulangnya bekasnya dipel, karena muslim yang lain dipandang najis. Dalam kehidupan bertetangga pada umumnya, jika tetangga melihat jemuran kehujanan, maka tetangga tersebut 170
merasa berkewajiban menolong memungutnya. Tapi tidak demikian dalam kehidupan bertetangga dengan pengikut LDII. Karena dalam pikiran masyarakat, LDII memandang najis muslim yang lain, maka tidak ada tetangga yang mau membantu memungut jemuran orang-orang LDII yang kehujanan. Karena para tetangga menganggap percuma, jika mereka menolong memungut jemuran, nanti jemuran tersebut pasti dicuci lagi oleh pemiliknya. Faham keagamaan lain yang juga berkembang di Palangka Raya adalah faham Ahmadiyah. Pengikut kelompok ini adalah orang-orang Jawa. Kelompok ini terkonsentrasi di Jl. Lawu, Bukit Indo. Mereka secara ekslusif shalat di lingkungan mereka sendiri di Jl. Lawu. Kendatipun mereka hidup secara ekslusif, kehadiran kelompok ini tidak dianggap bermasalah oleh masyarakat muslim lainnya. Selain LDII dan Ahmadiyah, di Palangka Raya sering juga dikunjungi oleh kelompok Jamaah Tabligh. Yang mana sudah menjadi amalan ibadah kelompok ini melakukan jaulah, tinggal beberapa hari di sebuah masjid dan memakmurkan masjid yang mereka singgahi dengan cara mengajak masyarakat sekitar untuk melakukan shalat jamaah rawatib dan mengikuti pengajian. Kasus-kasus Konflik yang Pernah Terjadi Kecamatan Pahandut dengan latar etnik yang majemuk, meliputi suku Dayak, Banjar, Jawa, Madura, Batak, Sunda, Melayu, Menado dan lain-lain.49 Namun menurut Choirul Fuad Yusuf mengutip Ardiansyah (tokoh Islam), Wilhelmus 49 Dalam buku Kalimantan Tengah dalam Angka maupun Kota Palangkaraya dalam Angka tidak terdapat data penduduk berdasarkan etnik. Ketika peneliti tanyakan kepada salah seorang pegawai Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Kalimantan Tengah, yang bersangkutan hanya menjawab kami memang tidak melakukan sensus penduduk berdasarkan etnik.
171
Y. Ndoa (tokoh masyarakat) dan Salman Djungan (tokoh Hindu) sebenarnya hingga kini belum pernah terjadi konflik antar umat beragama.50 Peristiwa “Minggu Kelabu” 18 Februari 2001 di Sampit dan sekitarnya lebih merupakan konflik yang berlatar kriminal,51 Menanggapi keadaan paska konflik, sebagian besar informan mengatakan bahwa Kota Palangka Raya -umumnyadan wilayah Kecamatan Pahandut -khususnya- dalam keadaan yang aman dan tenteram. Tapi ada juga informan yang mengatakan bahwa pasca konflik, pada tahun 2004 pernah terjadi perkelaian antar pemuda Dayak dan Banjar di Jalan Kalimantan dan peristiwa tersebut bisa saja menimbulkan konflik terbuka antar etnik sebagaimana terjadi pada tahun 2001. Selain itu, dalam pertemuan FKAUB tahun 2006, anggota forum dari Hindu Kaharingan mengungkit tentang missionaris Kristen Protestan/Katholik52, meski kasus tersebut terjadi di luar wilayah Kecamatan Pahandut, bahkan di luar Kota Palangka Raya, yaitu Kabupaten Katingan. Ketika peneliti melakukan crosscheck kepada informan Katolik, yang bersangkutan membenarkan adanya berita tentang misionaris yang membujuk orang Dayak di Kabupaten Katingan itu. Namun, ia menyangkal apabila tindakan itu dilakukan oleh misionaris Katholik. Karena untuk masuk Katholik perlu ada pembinaan selama 1 tahun, baru bisa dibaptis. Sehingga sangat sedikit orang yang masuk Katholik. Namun informan kami ini kemudian menceritakan bila pada pertengahan dekade 1990-an memang pernah ada beberapa keluarga dari 50
Yusuf, 2006: 303. Ibid. 52 Beberapa informan yang saya wawancarai (baik dari kalangan Islam maupun Hindu Kaharingan) ada yang mengatakan missionaris Kristen Protestan ada pula yang mengatakan misionaris Katholik. 51
172
Katingan Hulu yang menyatakan ingin masuk Katolik, tapi Uskup tidak bersedia membaptis, kecuali ada surat keterangan dari desa. Persoalan muncul kabar yang simpang siur antara Kristen Protestan atau Katholik, dia memaklumi karena pada umumnya masyarakat non-Kristiani sulit untuk bisa membedakan antara Protestan dan Katholik. Ia menambahkan misionaris itu dari sekte tertentu di luar Katholik. Meski ia tidak mau mengatakan misionaris tersebut secara terus terang. Ia kemudian hanya memastikan di Katholik nyaris tidak ada sekte, karena Katholik hanya mengenal satu garis komando dari Roma. Sementara informan dari Kristen Protestan, tidak mendengar adanya berita masuknya missionaris ke daerah Katingan yang membujuk penganut Kaharingan agar berpindah agama. Sedangkan 2 orang informan dari Hindu Kaharingan, meyakinkan kepada peneliti masuknya misisonaris kelingkungan penganut agama lokal Kalimantan itu dengan iming-iming biaya hidup. Sehingga penganut agama lokal yang pada umumnya miskin itu banyak yang mengikuti agama para misionaris. Peristiwa konversi agama itu tentu saja membuat tokoh-tokoh Hindu Kaharingan dan para pengikutnya marah yang kemudian membakar bahanbahan bangunan bagi rumah ibadat yang akan didirikan di daerah tersebut.
173
REVITALISASI WADAH KERUKUNAN Kondisi Wadah Kerukunan Wadah kerukunan umat beragama Kecamatan Pahandut sudah merupakan lembaga formal berdasarkan Keputusan Camat Pahandut Nomor 18 tahun 2005. Wadah tersebut diberi nama Forum Komunikasi Antar Umat Beragama (FKAUB). Dengan Keputusan Camat yang ditetapkan pada tanggal 23 Juli 2005, FKAUB memiliki tugas untuk menjalankan program dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan umat beragama, meningkatkan upaya pemahaman kerukunan dan pemberdayaan kehidupan umat beragama bagi pembangunan daerah, bangsa dan negara. Akibat ditetapkan keputusan tersebut maka segala pengeluaran biaya dibebankan kepada bantuan/donatur yang tidak mengikat dan bantuan pemerintah, departemen/dinas/ lembaga terkait. Dalam keputusan tesebut sekaligus dibentuk Pengurus FKAUB pereode 2005-2008, sebagai berikut: I.
Pelindung
: Camat Pahandut Kepala KUA Kecamatan Pahandut
II. Penasehat
: MUI Kecamatan Pahandut Majelis Resort Agama Hindu Walubi Kecamatan Pahandut Pastor Paroki Kecamatan Pahandut Majelis Resort GKE Palangkaraya
III. Pengurus Harian : Ketua Umum
: H.M. Gazali Rahman, Sag (Muslim)
Ketua I
: Drs. Wilson Z. Landas (Kristen Protestan)
Ketua II 174
: Suwito, SAg. (Hindu)
Sekretaris
: Muhammad Isnaini, S.Ag. (Muslim) Umum
Sekretaris I
: Margono (Budha)
Sekretaris II
: Martinus Gatson (Katholik)
Bendahara I
: Rosalin (Muslim)
Bendahara II
: Christira Elyswandi (Kristen Prot.)
IV. Anggota: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24.
H.A. Budiman H. Hamsan Drs. Misbahul Munir Yudinus, A.Md. Handoko, S.Ag. Andong, SH, MH. Masrani Yamat Nyoman Yuli Santi, S.Th. Sius D. Daya Drs. Rasidi Drs. Masdani M. Zuhri Drs. H. Ardiansyah Muhammad, SHI Muree, S.Ag. Sutio H. Mardani Mugeni Tensine Sukirman, SE Hansyah, SH Muhdianoor Hadi, S.Ag Nur Rohman
(Muslim) (Muslim) (Muslim) (Kristen Protestan) (Katholik) (Kaharingan) (Muslim) (Hindu) (Kristen Protestan) (Kaharingan) (Muslim) (Muslim) (Muslim) (Muslim) (Muslim) (Hindu) (Katholik) (Muslim) (Muslim) (Budha) (Katholik) (Muslim) (Muslim) (Muslim) 175
25. 26. 27. 28. 29. 30. 31.
Hasan Basri, S.Ag Niah Usia Lestari, S.Ag Faridah, A.Md Wili Mufidah M. Syahrun, S.Ag Fahmi Umar, SHI
(Muslim) (Kristen Protestan) (Kristen Protestan) (Kristen Protestan) (Muslim) (Muslim) (Muslim)
Motifasi Masyarakat Membentuk Wadah Motifasi masyarakat dalam membentuk wadah kerukunan ini antara lain adalah adanya keinginan untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat dengan damai. Hal ini tercermin dari pernyataan salah seorang staf pegawai KUA Kecamatan Pahandut yang selalu mendampingi peneliti dalam melakukan tugas penelitian. Staf KUA tersebut mengatakan bahwa sebenarnya di Palangkaraya masih banyak terjadi ketegangan dalam kehidupan keagamaan. Antara lain karena masalah pendirian rumah ibadat. Dia mengungkapkan bahwa di pinggiran selatan Kota Palangkaraya banyak dibangun rumah ibadat (gereja) yang tidak sebanding dengan jumlah penganutnya. Rumah ibadat tersebut dibangun dengan jarak yang sangat berdekatan. Staf KUA tersebut mengharapkan dengan adanya FKAUB dapat menjembatani persoalan-persoalan antar umat beragama semacam itu. Hal yang sama juga dikemukan seorang staf pegawai Kecamatan Pahandut yang beragama Hindu Kaharingan. Pegawai kecamatan tersebut mengatakan bahwa di Kalteng ketegangan antar penganut agama masih sering terjadi. Misalnya kasus ketegangan antara penganut Kaharingan dengan misionaris/zending di Kabupaten Katingan 53. Staf 53
Misionaris atau zending masih simpang siur. Tapi dari berbagai fihak membenarkan adanya penyebaran agama tertentu di Kabupaten Katingan dan
176
pegawai kecamatan ini sangat mengharapkan keberadaan wadah kerukunan dapat menjadi forum dialog untuk mencairkan ketegangan-ketegangan yang terjadi antar kelompok penganut agama. Program FKAUB Menurut keterangan Drs. Zulis, Kasubag TU Kandepag Kota, pengurus FKAUB Kecamatan Pahandut belum menyusun program. Bahkan menurut penjelasannya lebih jauh, ia meragukan apa para pengurus (kecuali pengurus inti) sudah tahu maksud dan tujuan forum. Karena seharusnya begitu FKAUB terbentuk, para pengurus berkumpul melakukan rapat penyusunan program. Memang FKAUB kecamatan ini sudah melakukan 2 kali pertemuan, dengan mengundang para tokoh agama, yaitu pada tahun 2005 dan 2006. Sementara untuk tahun 2007 ini belum bisa melakukan pertemuan karena belum ada dana. Dengan kata lain, FKAUB Kecamatan Pahandut belum memiliki program yang jelas kecuali sekedar melakukan dua kali pertemuan tahunan. Pertemuan tahunan tersebut tidak terjadual apalagi terprogram dengan dilengkapi rencana fisik dan sumber dana tetap. Karena selama ini kegiatan yang ada hanya karena kebetulan ada dana dari Puslitbang Kehidupan Beragama (sekarang: Puslitbang Kehidupan Keagamaan). Karena belum tersusunnya program, maka forum ini belum juga memiliki tujuan. Dengan demikian, tujuan yang dicapai juga belum bisa diukur. Hambatan Program Hambatan program antara lain meliputi keterba-tasan SDM, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Menurut Zulis Kasubag TU Kadepag Kota Palangkaraya, SDM di hampir menimbulkan konflik antar dua kelompok penganut agama.
177
Palangkaraya sangat terbatas secara kuantitas, mereka yang menjadi pengurus FKAUB, kebanyakan orang-orang Departemen Agama, mereka juga menjadi pengurus di MUI, LPTQ dan lain-lain. Ia menambahkan, dilihat dari sisi kualitas, selain pengurus inti, ia tidak yakin mereka mengetahui apa tugas dan fungsi FKAUB. Seharusnya, begitu FKAUB terbentuk, pengurus kemudian mengadakan pertemuan pengurus dan anggota untuk menyusun program. Tapi karena keterbatasan SDM baik secara kuantitatif maupun kualitatif tersebut maka hingga kini FKAUB belum memiliki program kerja yang jelas, kecuali melakukan 2 kali pertemuan. Selain itu, faktor dana juga merupakan penghambat. Selama ini, forum ini hanya mengandalkan dana dari pusat, yaitu dari Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, atau tepatnya dari Puslitbang Kehidupan Beragama. Sementara dana dari pemerintah daerah belum ada dan fihak kecamatan hanya menyediakan sarana, berupa tempat pertemuan. FKAUB masih mengharapkan turunnya dana dari pusat, dari Puslitbang Kehidupan Beragama. Perkembangan Wadah Ketersediaan Figur Pemersatu Di kalangan etnis Dayak terdapat figur pemersatu, yaitu Drs. Rangkap I NAU, MM, yang saat ini sebagai Ketua Umum Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan Pusat di Palangkaraya; Ketua Umum Lembaga Pemengembangan Tandak dan Upacara Keagamaan Umat Kaharingan (LPTUKUK) Pusat di Palangkaraya; Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Kalimantan Tengah; Dosen Universitas Palangkaraya (UNPAR) dari tahun 1985-2000; Ketua Sekolah Tinggi Agama Hindu Kaharingan (STAHK) Tampung Penyang Palangkaraya selama 3 pereode, dari tahun 1993-
178
2001. Sebagai tokoh adat masyakat Dayak, Rangkap I. NAU sangat dihormati dan dipatuhi oleh pengikutnya. Bahkan perhormatan yang dilakukan masyarakat jauh melebihi pejabat formal, semisal gubernur. Apabila Rangkap I NAU berkunjung ke daerah upacara adat untuk menyambut kedatangannya jauh lebih besar dibandingkan penyambutan kedatangan gubernur. Selain tokoh tersebut, masyarakat Dayak masih memiliki figur pemersatu, yaitu: Demang Simal Penyang. Ketokohan Demang terlihat pada peristiwa konflik terbuka antar etnik Dayak dan Madura pada tahun 2001. Demang ini selain disegani oleh masyarakatnya juga disegani dan dihormati oleh etnis lain (Madura). Sebagai contoh ketika mulai terjadi konflik di Sampit, tetangga Demang, seorang pengusaha angkutan umum (oto bus) dari etnik Madura datang meminta nasehat kepada Demang. Demang pun memberi nasehat agar pengusaha oto bus itu segera meninggalkan Palangkaraya untuk menyelamatkan diri dan perlu memikirkan harta bendanya. Nasehat itu pun dituruti oleh pengusaha bus tersebut. Selanjutnya, ketika datang orang-orang Dayak dari Kota Waringin Timur (Kotim), menyerang orang-orang Madura di Palangkaraya, Demang berusaha menyelamatkan rumah pen gusaha oto bus, agar tidak dirusak ataupun dibakar, sebaliknya bisa digunakan sebagai tempat menginap mereka yang berasal dari Kotim itu. Hingga 2 hari kerusuhan terjadi di Palangkaraya rumah itu selamat. Tapi ternyata seorang menantu pengusaha oto bus yang dari etnik Dayak, kemudian mengunci rumah tersebut, sehingga orang-orang Dayak dari Kotim itu merasa dibohongi. Ketegangan pun muncul dan sekali lagi Demang berusaha menenangkan. Namun karena pintu rumah tetap terkunci, setelah melewati ketegangan selama 2 hari, tindakan kemarahan tidak bisa 179
dibendung lagi akhirnya rumah pengusaha otobis itu pun hancur terlalap api. Setelah konflik etnis usai, Demang yang usianya sudah lanjut itu (80-an) tetap disegani baik oleh umatnya maupun oleh etnis lain, termasuk pengusaha oto bus, kendatipun yang bersangkutan tidak berani kembali ke Palangkaraya, tapi ia masih sering melakukan kontak dengan Demang. Frekuensi Pertemuan Frekuensi pertemuan satu tahun sekali. Sehingga sejak FKAUB ini ditetapkan oleh Camat Pahandut pada tanggal 23 Juli 2005, baru dua kali melakukan pertemuan, yaitu pada tahun 2005 dan 2006. Untuk tahun 2007 hingga sekarang belum ada kegiatan, sebagaimana telah disebutkan di atas karena hambatan dana, sehingga masih mengharapkan turunnya dana dari pusat (Puslitbang Kehidupan Keagamaan). Faktor Pendukung dan Penghambat Kepengurusan Dilihat dari sisi keterwakilan, kepengurusan FKAUB Kecamatan Pahandut, masing-masing fihak sudah merasa terwakili secara proporsional. Penganut agama Islam yang mayoritas memiliki wakil paling banyak sedangkan penganut agama-agama lainnya semakin kecil jumlah penganutnya, semakin kecil pula jumlah perwakilannya. Kendatipun di Palangkaraya ada keterbatasan SDM, baik dari segi kualitas maupun kuantitas -sebagaimana dikatakan Drs. Zulis- namun masing-masing pihak merasa sudah terwakili oleh tokoh yang sudah sesuai kapasitasnya. Karena para pengurus FKAUB diusulkan oleh masing-masing kelompok agama. Jika ada ketidakpuasan, lebih bersifat internal masing-masing kelompok, sebagaimana tercermin 180
dalam rencana pembentukan FKUB tingkat provinsi dan kabupaten/kota, misalnya sekte Evangelis merasa lebih berhak mewakili Kristen Protestan karena jumlah pengikutnya paling banyak. Dana, Sarana dan Prasarana Selama 2 tahun sejak FKAUB ditetapkan Camat Pahandut tanggal 23 Juli 2005, hanya melakukan 2 kali pertemuan (2005 dan 2006) dengan biaya/dana dari Puslitbang Kehidupan Keagamaan. Sementara untuk tahun 2007 belum ada dana untuk melakukan kegitan. Sedangkan pihak Kecamatan Pahandut hanya menyediakan sarana berupa tempat untuk melaksanakan kegiatan (pertemuan). Dukungan Pemerintah Dukungan pemerintah baik tingkat Provinsi Kalimantan Tengah maupun Kota Palangkaraya nyaris tidak ada (kalau tidak boleh dikatakan sama sekali). Karena dengan eksistensi FKAUB yang sudah 2 tahun ini, tidak ada dukungan finansial untuk dapat melakukan kegiatan. Selama ini dengan dua kali pertemuan (tahun 2005 dan 2006) semata-mata hanya mengandalkan dana dari Puslitbang Kehidupan Keagamaan. Demikian pula untuk kegiatan tahun 2007, pengurus hanya mengharapkan turunnya dana dari pusat (Puslitbang Kehidupan Keagamaan). Para pengurus pesimis adanya dana dari pemda setempat. Demikian pula pihak Kecamatan Pahandut, dukungannya terhadap ide pembentukan FKAUB, pertama lebih berupa menindaklanjuti keputusan tim formatur pembentukan forum ini; Kedua, meskipun dalam Ketetapan Camat Pahandut tanggal 23 Juli 2005 tetang Pembentukan FKAUB terdapat implikasi “Segala pengeluaran biaya akibat ditetapkan keputusan ini dibebankan kepada bantuan/ donatur yang tidak mengikat dan bantuan pemerintah, 181
departemen/dinas/lembaga terkait”. Namun realitanya tidak ada dana selain dari Puslitbang Kehidupan Keagamaan dan pihak Kecamatan Pahandut hanya menyediakan sarana tempat pertemuan. Dukungan Masyarakat Keberadaan FKAUB tidak memiliki dasar hukum sebagaimana FKUB tingkat provinsi dan kabupaten/kota yang memiliki dasar hukum dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 maupun Keputusan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 6 Tahun 2007. Namun demikian, masyarakat sangat menghendaki adanya FKAUB. Karena masyarakat memandang keberadaan forum ini sangat penting untuk menjembatani permasalahan-permasalahan yang berkembang di masyarakat, khususnya, permasalahan yang dapat menimbulkan konflik terbuka baik antar etnis maupun antar agama. Bakhtiar, staf pegawai KUA Kecamatan Pahandut mengatakan bahwa, sebenarnya di tingkat grass root banyak kasus-kasus yang dapat menimbulkan konflik atau suasana disharmony. Dia mencontohkan dekat tempat tinggalnya sekitar 2,5 km sebelah selatan Kota Palangka Raya, jalan menuju Kota Kuala Kapuas- banyak terdapat bangunan gereja dengan jarak masing-masing bangunan sekitar 100 m. Yang bersangkutan menyangsikan keberadaan jamaah secara proporsional sesuai dengan peraturan yang ada sebagai syarat untuk mendapatkan ijin pendirian rumah ibadat. Selain itu, menurut Bakhtiar konflik antar etnis bisa saja terjadi lagi. Sebagaimana perkelaian antara pemuda Dayak dan Banjar di Jl. Kalimantan pada tahun 2004. Yang mana sebagaian masyarakat mencurigai bahwa kasus tersebut merupakan provokasi kalangan tertentu yang ingin 182
menyingkirkan dominasi muslim dari Kalteng -umumnyadan dari Kota Palangkaraya -khususnya- setelah etnis Madura yang muslim telah berhasil disingkirkan. Dari hasil wawancara dengan berberapa orang informan, peneliti menangkap adanya gejala-gejala -terlepas dari isu-isu semacam itu benar atau tidak- namun masing-masing etnis di Kalteng -belakangan ini- menjadi demikian waspada dan saling curiga-mencurigai. Berpijak dari kondisi dan situasi yang sedemikian rupa, beberapa orang yang peneliti wawancarai- mengharapkan keberadaan FKAUB dapat mencairkan kebekuan-kebekuan, menjembatani dialog-dialog antar tokoh masyarakat (etnik) maupun antar tokoh agama dan memberikan jalan keluar bagi persoalan-persoalan di tingkat grass root seperti itu. Menurut Wilhelmus, Pembimas Katholik Kanwil Depag Kalteng, keberadaan FKAUB sangat diperlukan, kendatipun belum terakomodasi baik dalam PBM maupun Peraturan Gubernur Kalteng Nomor 6 Tahun 2007. Oleh karena itu, FKAUB tingkat kecamatan ini perlu difasilitasi. Justru forum tingkat kecamatan ini yang dapat menjangkau masyarakat paling bawah (grass root). Diharapkan pula FKAUB ini dapat memberdayakan kerukunan di tingkat grass root. Karena memang forum tingkat kecamatan ini yang lebih fungsional untuk membina kerukunan di tingkat akar rumput. Dra. Sisto Hartati, Pembimas Hindu menambahkan bahwa, dengan keberadaan FKAUB semua umat beragama bisa saling pengertian, tanpa ada forum akan sulit untuk diciptakan suasana saling pengertian semacam itu; Dengan adanya forum diharapkan tokoh-tokoh agama dapat menenangkan, atau meredam gejolak umatnya masingmasing. Suryani,
SE,
MM,
Ketua
Perhimpunan
Hindu 183
Kaharingan Provinsi Kalteng, menilai FKAUB sebagai suatu lembaga yang bagus. Karena dengan adanya lembaga tersebut di antara tokoh maupun penganut berbagai agama bisa saling mengenal, bisa saling tukar fikiran. Keberadaan FKAUB berfungsi untuk menghindari/mengantisipasi terjadinya konflik. Karena apabila di antara masing-masing kelompok penganut agama terdapat ganjalan-ganjalan dapat dibawa ke forum. Dalam rapat di forum dapat saling kenal dan bisa saling memberi masukan. Jika tokoh-tokoh maupun para penganut berbagai agama saling kenal maka mereka tidak akan melakukan konflik. Oleh karena itu ia sangat berharap pihak kecamatan bisa memberi fasilitas, bisa mengundang tokoh-tokoh agama, bagi pertemuan-pertemuan FKAUB. Dampak Adanya PBM Untuk melaksanakan ketentuan pasal 12 PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat perlu menetapkan Peraturan Gubernur tentang Pedoman Pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan Dewan Penasehat Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi dan kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Tengah.54 Oleh karena itu, pembentukan FKUB tingkat Provinsi Kalimantan Tengah dan FKUB tingkat Kabupaten/Kota se Kalimantan Tengah menunggu Keputusan Gubernur Kalimantan Tengah. Setelah ditetapkan Peraturan Gubernur Kaliman-tan Tengah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Pedoman Pembentukan FKUB dan Badan Penasehat Provinsi, Kabupaten/Kota
54
Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah, No. 6 Tahun 2007.
184
Provinsi Kalimantan Tengah,55 maka pada tanggal 17 April 2007 diselenggarakan rapat para tokoh agama se Kalimanatan Tengah di Kanwil Departemen Agama Provinsi Kalimantan Tengah dalam rangka perencanaan pembentukan FKUB tingkat provinsi. Dengan adanya PBM yang kemudian ditindaklanjuti dengan Keputusan Gebernur Kalteng Nomor 6 Tahun 2007, maka FKUB Kecamatan Pahandut dipertanyakan oleh banyak fihak tentang dasar hukumnya. Jika mengacu pada PBM tidak terdapat dasar hukumnya bagi pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) tingkat kecamatan maupun Forum Komunikasi Antar Umat Beragama (FKAUB) Kecamatan Pahandut sebagaimana telah dibentuk berdasarkan Keputusan Camat Pahandut Nomor: 18 Tahun 2005, pada tanggal 23 Juli 2005. Strategi Pemeliharaan Kerukunan Menurut salah seorang anggota FKAUB Kecamatan Pahandut strategi untuk memelihara kerukunan yang utama adalah memelihara kerukunan dalam kehidupan keagamaan. Langkah berikutnya, mengantisipasi konflik etnik dengan mencegah kehadiran provokator dalam masyarakat dengan cara mengantisipasi munculnya kecemburuan sosial. Kerukunan hidup beragama dengan menghadirkan anggota FKAUB yang merupakan wakil-wakil dari seluruh agama yang ada di wilayah Kecamatan Pahandut. Dengan dialog antar agama dapat melepaskan ganjalan-ganjalan yang ada. Misalnya wakil dari agama Hindu Kaharingan dapat berdialog dengan wakil dari Kristen Protestan tentang kasus hadirnya misionaris di Kabupaten Katingan yang menimbulkan ketegangan di antara dua penganut agama tersebut. Meskipun sebenarnya kasus tersebut sebenarnya sudah diredam oleh Drs. Rangkap I NAU, MM – Ketua 55
Lihat: Cermien, Januari 2007.
185
Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan Pusat di Palangkarya – yang berkunjung ke daerah konflik di Kabupaten Katingan.
186
PENUTUP Kesimpulan Sebagian masyarakat ada yang yang menilai FKAUB Kecamatan Pahandut masih banyak memiliki kekurangan, namun di sisi lain, forum ini telah dapat menjembatani dialog, bahkan dapat meredakan ketegangan antar penganut agama. Ketegangan antar umat beragama yang bersumber dari konflik antar umat beragama di luar Kecamatan Pahandut, bahkan di kabupaten lain, namun ikatan emosional sesama penganut agama tidak mengenal batas wilayah geografis maupun wilayah administrasi pemerintahan. Melalui FKAUB dialog antar penganut agama dapat dilaksanakan sehingga ketegangan dapat mereda. Masyarakat juga berharap dengan adanya forum ini konflik antar umat beragama dapat dipantau sejak dini, sehingga dapat diantisipasi untuk menghindari terjadinya konflik terbuka. Kendatipun sebagian besar harapan itu belum dapat dilaksanakan karena FKAUB Kecamatan Pahandut masih mengalami stagnasi kerena keterbatasan SDM, dana, atau tepatnya belum diketemukan sumber dana yang tetap. Dengan tiadanya sumber dana tersebut forum ini tidak bisa melaksanakan kegiatan (pertemuan) yang terjadual secara pereodik. Saran-saran Berdasarkan kendala-kendala yang dihadapi FKAUB Kecamatan Pahandut –sebagaimana telah didiskripsikan di atas– disarankan untuk mengatasi keterbatasan SDM khususnya dari sisi kualitas, kiranya perlu adanya pembinaan dari instansi terkait meliputi: (1) Sosialisasi PBM Noomor 9 dan 8 Tahun 2006 khususnya tentang FKUB; (2) Pengetahuan tentang organisasi, penyusunan program dam kiat-kiat mencari dana secara mandiri. 187
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Kalimantan Tengah, Kalimantan Tengah dalam Angka, 2005. Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Palangkaraya, Kota Palangkaraya dalam Angka, 2005. Cermien, Januari 2007. _______, Maret 2007. Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Pahandut, Profil Kantor Urusan Agama Kecamatan Pahandut Tahun 2006. Lubis, H.M. Ridwan, dkk. (ed.), Buku Penuntun Kerukunan Hidup Umat Beragama. Diterbitkan Kerjasama antara LPKUB Medan dan Citapustaka Media Bandung, 2004. Marzali, Amri, “Kearifan Budaya Lokal dan Kerukunan Beragama”. Makalah (tidak diterbitkan) disampaikan dalam seminar “Pengem-bangan Kerukunan Agama Melalui Revitalisasi Kultural dan Kearifan Lokal guna Membangun Budaya Nasional”, diselenggarakan Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI, di Gedung Serba Guna Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, 25 Agustus 2005. Mulder, Neils, Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa. Jakarta: PT Gramedia, 1984. Nazir, Moh., Ph.D., Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988. Reading, Hugo F., Kamus Ilmi-ilmu Sosial. Jakarta: CV Rajawali, 1986. Sila, Adlin M., H, “Pengembangan Wadah Kerukunan dan Ketahanan Masyarakat Lokal di Kecamatan Stabat, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara”, dalam: Mursyid Ali (ed), Pengembangan Wadah Kerukunan dan Ketahanan Masyarakat Lokal di Berbagai Derah. Departemen Agama RI, Badan Litbang dan Diklat, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2006.
188
Suseno, Franz Magnis, Etika Jawa. Jakarta: Gramedia, 1988. Yusuf, Choirul Fuad, H., “Pengembangan Wadah Kerukunan dan Ketahanan Masyarakat Lokal di Kec. Pahandut Palangkaraya Kalteng”, dalam: Mursyid Ali (ed), Pengembangan Wadah Kerukunan dan Ketahanan Masyarakat Lokal di Berbagai Daerah. Jakarta: Departemen Agama RI, Badan Litbang dan Diklat, Puslitbang Kehidupan Kegamaan, 2006.
189
190
REVITALISASI WADAH KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DI KALIMANTAN TIMUR Studi Perkembangan FKAUB Kec. Tenggarong, Kab. Kutai Kertanegara Oleh: H. Ibnu Hasan Muchtar GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
Kondisi Geografi dan Demografi Kecamatan Tenggarong secara geografis terletak ratarata 500 m di atas permukaan laut. Luas wilayahnya mencapai 21.994 ha, dengan bentuk 60 % datar sampai berombak, 20 % berombak sampai berbukit dan 10 % bergunung.56 Kecamatan Tenggarong adalah salah satu kecamatan dari delapan belas kecamatan yang ada di daerah Kabupaten Kutai Kartanegara yang terletak di tengah-tengah kota kabupaten sehingga tidak terdapat jarak antara ibukota kecamatan dengan ibukota kabupaten. Sedangkan jarak dengan ibukota propinsi (Samarinda) 40 km. Jarak tersebut dapat ditempuh menggunakan kendaraan bermotor dengan waktu tempuh selama 1 jam. Kecamatan ini terdiri dari 13 kelurahan/desa yaitu: 1. Melayu, 2. Panji, 3. Timbau, 4. Sukarame, 5. Baru, 6. M. Rawang, 7. Loa Ipuh, 8. Loa Tebu, 9. Bukit Biru, 10. Jahab, 11. Maluhu, 12. Loa Ipuh Darat, dan 13. Papak Lambur.
56
Monografi Kecamatan Tenggarong 2004.
191
Jumlah penduduk Kecamatan Tenggarong dalam catatan laporan data penduduk dan pemeluk agama Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Tenggarong priode Desember 2005 berjumlah 81.584 jiwa, yang terdiri dari laki-laki 40.539 jiwa dan perempuan 41.045 jiwa, yang tergabung dalam 19.842 kepala keluarga (KK).
Mata pencaharian penduduk meliputi berbagai sektor yaitu wira swasta, petani, buruh, pedagang, PNS dan TNI/ POLRI.57 Sebagai sebuah wilayah yang berada di lingkungan kota, masyarakat Kecamatan Tenggarong merupakan suatu komunitas yang cukup heterogen baik dilihat dari segi pendidikan, jenis pekerjaan, suku bangsa maupun agama. Keragaman suku bangsa menunjukkan bahwa wilayah ini merupakan wilayah terbuka, siapa saja bisa masuk. Bahkan suku bangsa Kutai yang merupakan suku asli Tenggarong sudah tidak lagi merupakan suku atau etnis yang dominan. Karena telah banyak suku-suku bangsa lain saat ini menjadi penduduk kecamatan ini. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi lapangan terdapat keragaman suku bangsa sebagai berikut: suku Banjar, Bugis, Makassar, Jawa, Minahasa, Bali, dan WNI keturunan Cina.58 Kondisi Sosial Keagamaan, Ekonomi dan Budaya Sebagian besar penduduk Kecamatan Tenggarong (86,50 %) menganut agama Islam. Selebihnya, 8.15 % Kristen, 6 % Katolik, 0.24 % Hindu, dan 0.11 % Budha. Hetroginitas agama dan suku yang ada di Kecamatan Tenggarong tidak menjadi penghalang terjadinya suatu kesatuan yang kuat dan 57
Kecamatan dalam Anggka tahun 2004 Tidak tersedia data lengkap di Kecamatan Tenggarong maupun BPS Kabupaten Kutai Kartanegara yang menunjukkan jenis suku bangsa dan jenis mata pencaharian. 58
192
harmonis. Hal tersebut merupakan potensi yang sangat berharga dan menguntungkan bagi upaya merajut kehidupan masyarakat yang rukun.59 Nilai-nilai agama dan norma-norma sosial lokal terjalin menjadi suatu kesatuan yang kuat dan berfungsi sebagai acuan dasar mereka dalam mengatur tatanan perilaku hidup kesehariannya. Banyak dijumpai seorang figur tokoh agama setempat sekaligus juga merupakan tokoh adat dan sebaliknya. Dalam jumlah terbatas, juga dapat ditemui sosok seorang tokoh yang melekat dalam identitas dirinya selaku tokoh agama, tokoh adat dan sekaligus pejabat. Aktivitas sosial keagamaan masyarakat dilakukan dalam bentuk ceramah agama, pengajian, tahlilan dan yasinan, serta bermacam-macam selamatan. Ritual selamatan yang banyak dilakukan masyarakat berupa upacara lingkaran hidup, yakni ritual yang terkait dengan peristiwa-peristiwa yang dipandang penting dalam siklus kehidupan, seperti kelahiran, sunatan, perkawinan, kematian. Selain itu, ada juga ritual syukuran, dan kegiatan ibadah sosial berupa santunan bagi fakir miskin dan anak yatim. Tabel Penduduk Menurut Agama di Kec. Tenggarong Tahun 2005 No 1 2 3 4 5 6 7
Kel/Desa Melayu Panji Timbau Sukarame Baru M. Rawang Loa Ipuh 59
Islam
Kris
Ktk
Hi
Bd
Jumlah
11.517 5.147 5.561 2.413 3.341 5.023 16.259
866 723 506 128 83 266 2.445
1.160 304 237 60 33 305 1.398
49 38 31 8 3 67
27 18 2 43
13.619 6.230 11.144 2.601 3.465 5.597 20.212
Laporan Kepala KUA Kec. Tenggarong bulan Desember 2005
193
8 9 10 11 12 13
Loa Tebu Bukit Biru Jahab Maluhu Loa Ipuh Darat Rapak Lambur
3.537 3.029 1.542 3.135 2.997 1.900 70.208 (86.50 %)
44 131 635 661 179 32 6.649 (8.15 %)
90 35 329 105 282 53 4.441 (6.%)
196 90 (0.24 %) (0,11%)
3.671 3.195 2.506 3.901 3.458 1.985 81.584 100 %
Sumber: KUA Kecamatan Tenggarong, Desember 2005 Tabel di atas memaparkan penyebaran penduduk menurut agama yang dipeluk, dari 13 kelurahan/desa terdapat beberapa kelurahan/desa yang hetrogin. Ada pula beberapa kelurahan/desa yang tidak merata kepemelukan agamanya. Di kelurahan/desa tertentu tidak terdapat pengnut agama Hindu dan Buddha. Heterogenitas suku bangsa maupun mata pencaharian menjadi salah satu ciri masyarakat Kecamatan Tenggarong dan tidak terdapat perbedaan mencolok dalam hal stratifikasi sosial ekonomi penduduk. Dengan kata lain, tidak terdapat polarisasi yang tajam antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok lainnya. Status sosial ekonomi antara mereka yang bekerja sebagai pegawai swasta maupun pedagang dan pegawai negeri sipil dengan petani dan buruh tidak terlihat perbedaan mencolok. Potensi Kerukunan Kondisi sosial masyarakat Kecamatan Tengga-rong berkenaan dengan masalah kerukunan cukup kondusif. Komunikasi dan interaksi sosial antar warga terjalin dengan baik tanpa hambatan yang berarti. Hal ini dimungkinkan oleh adanya ikatan keagamaan, kesukuan dan kekerabatan yang pekat, termasuk ikatan sosial dengan para pendatang dari berbagai daerah melalui perkawinan dan interaksi sosial sehari-hari dalam bertetangga dan bekerja. Hubungan internal antar sesama umat Islam berlangsung melalui beragam media 194
komunikasi seperti ceramah keagamaan, peringatan hari besar agama, upacara selamatan lingkaran hidup, tahlilan, yasinan, kunjungan silatur rahmi, kekeluargaan dan kesamaan latar belakang sosial budaya. Sementara hubungan antar kelompok agama yang berbeda lebih banyak bersifat hubungan personal dalam bertetangga dan adanya saling ketergantungan dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Dari hasil wawancara yang dilakukan selama beberapa hari dengan beberapa tokoh agama, adat, masyarakat, muballigh, dan tokoh-tokoh pemuda se Kecamatan Tenggarong, maka dapat disampaikan hal-hal sebagai berkut : 1. Kondisi sosial masyarakat Kecamatan Tenggarong yang relatif heterogin dilihat dari sisi agama yang dianut dan suku tidak menyebabkan ada gesekan-gesekan antar pemeluk agama yang berbeda maupun antar suku/etnis yang ada dan bahkan menunjukkan interaksi yang kondusif antar sesama warga dalam pergaulan hidup sehari-hari . 2. Nilai-nilai ajaran agama dan kearifan para pemimpin lokal serta fungsi para tokoh agama dan masyarakat bersamasama pemerintah setempat yang berpengaruh besar, merupakan simbol pemersatu untuk menangkal dan mencairkan konflik; 3. Kesadaran beragama masyarakat semakin membaik dengan tersedianya media komunikasi sosial tradisional keagamaan seperti upacara selamatan, lingkaran hidup, tahlilan, yasinan yang diadakan di setiap RT, dan beragam aktivitas sosial keagamaan lainnya; 4. Dukungan pemerintah dalam hal ini kepemim-pinan Bupati Kutai Kartanegara yang dianggap semua pihak sangat mengayomi dan berlaku adil;
195
Potensi Konflik Masalah kerukunan atau konflik bukanlah suatu persoalan yang sifatnya langgeng atau permanen. Dalam suatu masyarakat tidak ada yang terus menerus rukun atau terus menerus berkonflik. Rukun atau tidak rukun suatu masyarakat di suatu tempat tertentu senantiasa berubah sesuai dengan situasi. Rukun dan tidak rukun sangat tergantung pada berbagai faktor yang berpengaruh terhadap kondisi sosial masyarakat setempat. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kondisi sosial masyarakat itu antara lain aspek ekonomi, politik, agama, budaya dan sebagainya. Oleh karena itu, kondisi sosial masyarakat Kecamatan Tenggarong yang sekarang ini cukup kondusif, bukan jaminan bahwa kondisinya akan selalu rukun. Dari berbagai kenyataan sosial setempat baik yang diperoleh melalui penelusuran dokumen maupun wawancara terdapat sejumlah faktor yang dianggap cukup berpotensi bagi kemungkinan munculnya situasi konflik antara lain sebagai berikut: Adat (Kebiasaan) etnis Dayak Pada kesempatan upacara-upacara tertentu yang dilakukan oleh etnis Dayak yang diawali dengan permainan judi atau sayembara sebelum pelaksanaan upacara dilakukan sering mengundang ketidaktenangan etnis-etnis lain yang tinggal bertetangga. Ketika ditanyakan kepada Camat Tenggarong diperoleh jawaban bahwa haldemikian memang seringterjadi, akan tetapi sulit untuk melarangnya, karena hal itu sudah menjadi adat kebiasaan mereka. Politik Menghadapi pemilihan kepala daerah (Pilkada) gubernur Kalimantan Timur yang akan dilaksanakan tahun 2008 partai-partai politik di Kalimantan Timur sudah mulai membentuk tim sukses dan telah mulai bekerja. Masing196
masing calon telah mempersiapkan diri baik yang berasal dari tokoh yang memang sudah malang melintang pada dunia politik local, nasional, atau berasal dari pemimpin-pemimpin daerah saat ini. Keberadaan Bupati Kutai Kertanegara sampai penelitian ini dilakukan masih di Jakarta dengan status yang belum jelas (dalam tahanan Kejaksaan Agung dalam perkara pembebasan tanah untuk bandara) sehingga menimbulkan kekhawatiran masyarakat pendukungnya. Ada kemungkinan kasus ini akan dibawa-bawa kepada persoalan politik, karena santer terdengar bahwa bupati incumbent sebagai salah satu cagub yang akan ikut berkompetisi dalam pilkada tahun 2008. Hubungan Intern Penganut Agama Islam Intern Islam terdapat perbedaan dalam menyikapi kegiatan-kegiatan yang dilakukan sebagian warga masyarakat, seperti perkumpulan pengajian yang sebagian dianggap kurang lazim oleh masyarakat pada umumnya, misalnya kelompok Inkar Sunnah, ada kelompok Syeh Siti Djenar kepercayaan mereka adalah bahwa yang disembah dengan yang menyembah sama, maka tidak perlu syariat; kelompok-kelompok pengajian yang menggunakan wasilah yaitu kelompok pengajian Ma’rifatullah dan Ma’rifaturrasul. Menanggapi hal-hal yang muncul intern agama Islam belum ada tindakan yang berarti. Dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) kecamatan maupun kabupaten, baru bersifat individual.60
60
wawancara dengan beberapa tokoh agama Islam, Kristen, Hindu.
197
FORUM KOMUNIKASI UMAT BERAGAMA (FKUB)
Pembentukan FKUB Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Kecamatan Tenggarong terbentuk pada tanggal 4 April 2006. Terbentuknya forum ini atas kesepakatan bersama antara pemuka-pemuka agama, pemuka masyarakat, pemuka adat pada pertemuan antar mereka yang difasilitasi oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama. Dalam pertemuan tersebut menghasilkan kesimpulan yang intinya masyarakat merindukan suasana yang rukun antar umat beragama dan umat seagama dalam kehidupan bermasyarakat di Kabupaten Kutai Kartanegara khususnya di Kecamatan Tenggarong. Untuk mewujudkan keinginan tersebut dan sebagai sarana komunikasi antar umat beragama dan terciptanya suasana yang kondusif maka dipandang perlu dibentuk FKUB Kecamatan Tenggarong. Susunan kepengurusan FKUB Kecamatan Tenggarong sebagai berikut: I.
Dewan Penasehat
II. Ketua III. Wakil Ketua IV. Wakil Ketua II V. Sekretaris VI. Wakil Sekretaris VII. Bendahara VIII. Anggota
198
: 1. Camat Tenggarong 2. Kepala Kantor Urusan Agama : Ir. M. Tahir Usemahu (Islam/MUI) : Pdt. Dicky Penentoan(Kristen/GPSI) : Rencus Simalango (Katolik) : Jemau Yohanes, S. Sos (Katolik) : Wayan Gede Sumehartha (Hindu) : Drs. Didi Syahrianto (Islam/MUI) : 1. Purnomo (Buddha) 2. Jahidi (Islam/Imam P3N)
3. Agusman (Islam/HMI) 4. Ev. Stanley Lyon (Kristen/GPDI) 5. Hambali Kasim (Islam/P3N) Program Kerja FKUB Setelah terbentuknya forum ini dalam waktu 2 minggu diadakan rapat kerja tim pengurus dan menghasilkan beberapa program kerja sebagai berikut: 1. Menyosialisasikan keberadaan FKUB yang telah dibentuk; 2. Membina komunikasi dan kerukunan itern dan antar umat beragama; 3. Menginventarisasi organisasi-organisasi keagama-an dan rumah-rumah ibadat yang ada di Kecamatan Tenggarong; 4. Mengadakan perayaan bersama hari-hari besar keagamaan; 5. Mengusahakan kantor sekretariat FKUB Kecamatan Tenggarong; 6. Menginventrisasi kegiatan-kegiatan keagamaan masingmasing agama dan mensosialisasikan kepada umat beragama di Kecamatan Tenggarong melalui diskusi dan seminar; 7. Mensosialisasikan tentang peran dan fungsi FKUB kepada umat antar agama di Kecamatan Teng-garong secara formal maupun informal; 8. Membentuk FKUB tingkat kelurahan dan desa; 9. Menggali, menganalisis dan mencari jalan keluar atas berbagai permasalahan yang berpotensi menimbulkan konflik antar sesama pemeluk agama.61 Program yang Telah Dilaksanakan
61
Wawancara dengan Ketua FKUB Kec. Tenggarong Pak Tahir
199
Dari sekian banyak program yang telah disusun ada beberapa yang telah dilaksanakan dan sebahagian belum dapat terlaksana di antara yang telah dilaksanakan adalah: 1. Silaturrahmi dan rapat antar sesama pengurus dan anggota FKUB Kecamatan Tenggarong; 2. Sosialisai tentang keberadaan FKUB kepada pemerintah dan kelompok masyarakat melalui pawai pembangunan dalam rangka HUT Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 2006; 3. Membuat kostum FKUB; 4. Menyampaikan selamat hari haya kepada masing-masing umat yang sedang merayakannya melalui spandukspanduk. Kendala-Kendala yang Dihadapi Sebagian besar dari program yang telah dicanangkan oleh pengurus FKUB hanya beberapa kegiatan yang bisa dilaksanakan di antara kendala-kendala yang menyebabkan bebeapa program tidak/belum dapat dilaksanakan antara lain adalah: 1. Minimnya waktu ektra yang dimiliki para pengurus untuk melaksanakan program-prgram yang telah direncanakan; 2. Belum tersedianya sarana dan prasara penunjang kegiatan pengurus dan anggota FKUB dalam melaksanakan program seperti mesin tik, komputer, sekretariat dan dana operasional; 3. Minimnya respon pemerintah daerah tentang keberadaan FKUB karena sebagian besar belum mengetahui tentang PBM Nomor: 09 dan 08 Tahun 2006;
200
4. Belum ada pendampingan dan pelatihan bagi para pengurus FKUB dalam mencapai sasaran yang diinginkan.62
62
Wawancara dengan Sekretaris FKUB Sdr. Yohanes
201
TANGGAPAN PEMERINTAH DAN MASYARAKAT
Terbentuknya FKUB tingkat kecamatan yang difasilitasi oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan dan telah disosialisasikan pada kesempatan pameran pembangunan pada HUT Republik Indonesia tahun 2006 lalu sedikit banyak forum ini telah diketahui oleh berbagai kalangan masyarakat Kota Tenggarong. Berikut tanggapan berbagai kalangan. Camat Tenggarong -
Atas nama pemerintah Kecamatan Tenggarong menyambut baik dan mendukung terbentuk nya FKUB ini;
-
Forum ini hendaknya juga dibentuk pada setiap kecamatan yang ada di Kabupaten Kutai Kertanegara;
-
Untuk kelancaran pelaksanaan program yang telah disusun diperlukan sarana dan prasarana khususnya sekretariat, untuk itu ketua diminta mencari tempat untuk dikontrak, Camat siap membantu dana untuk mengontrak;
-
Setiap pemeluk agama hendaknya tetap saling menghormati setiap kegiatan yang dilaksana-kan masingmasing agama;
-
Hendaknya pada setiap ada kesempatan menyampaikan pesan-pesan agama hendaknya mem-perhatikan tata krama dan tidak mendis-kreditkan agama lain;
-
Masalah terorisme hendaknya jangan dilihat dari segi agama, tetapi masalah ini adalah masalah politik;
-
Hendaknya senantiasa menjaga kebersamaan dan keakraban satu dengan yang lain walaupun berbeda agama, suku, adat istiadat sehingga proses pembangunan
202
dalam konsep “gerbang dayaku“ bisa berjalan dengan baik dan lancar.63 Kepala Kandepag Walaupun Kutai Kertanegara khususnya Kecamatan Tenggarong dalam keadaan kondusif, forum ini diharapkan tidak terlena, tapi harus mempertahankan suasana yang ada ini semakin kondusif. Kondisi Kabupaten Kutai Kertanegara yang sedemikian rupa ini tidak terlepas dari harapan Bupati yang selalu menghimbau “agar siapa saja yang tinggal dan beranak di Kabupaten Kuker ini adalah warga Kabupaten Kuker tanpa melihat suku, etnis dan agama“.64 Kepala Kesbang Linmas Keragaman agama dan etnis ada dalam al-Qur’an. Belajar dari konflik yang telah terjadi dimana agama dipolitisasi maka keberadaan FKUB sangat tepat. Konflik yang selama ini terjadi bukan karena agama, tapi karena kecemburuan sosial, ekonomi dan politik. Agama adalah suatu tuntunan menuju kebaikan akhlak umatnya.
63
Disarikan dari hasil wawancara dengan Bapak Camat pada tanggal 10
April 2007 64
Wawancara dengan salah satu pengurus Masjid Raya Tenggarong tanggal 13 April 2007
203
PENUTUP
Dari berbagai uraian yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan dan disarankan hal-hal sebagai berikut ini: Kesimpulan : 1. FKUB tingkat Kecamatan Tenggarong yang telah terbentuk difasilitasi oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan satu tahun lalu di sambut baik dan didukung keberadaannya oleh berbagai kalangan khususnya pemerintah Kecamatan Tenggarong; 2. Berbagai program telah disusun oleh pengurus forum dan sebahagian telah dilaksanakan walaupun belum maksimal; 3. Minimnya sarana pendukung dan kesempatan waktu yang dimiliki para pengurus FKUB tingkat Kecamatan Tenggarong menjadi alasan kurang efektif dan maksimalnya pencapaian/terlaksananya programprogram yang telah disusun; 4. Dukungan pemerintah daerah dalam hal ini camat Tenggarong pada awal pembentukan FKUB ini kurang dimanfaatkan oleh pengurus dalam bentuk tindakan nyata misalnya mengajukan proposal untuk melaksana kan suatu kegiatan; 5. FKUB tingkat kecamatan ini mendapatkan tanggapan positif karena keberhasilan pembangunan tentu atas dukungan semua pihak terutama dari segi kerukunan. Camat bersedia membantu sarana dan prasarana yang diperlukan terutama kantor sekretariat FKUB. Saran-saran : 1. Pengurus FKUB tingkat kecamatan diharapkan dapat memberikan perhatian yang cukup terhadap tanggung 204
jawab yang dibebankan kepada mereka baik dari segi pikiran maupun waktu; 2. Program-program yang telah disusun bersama hendaknya dapat diimplementasikan; 3. Dukungan pemerintah daerah dalam hal ini Camat Tenggarong yang telah berjanji untuk membantu menyediakan sekretariat FKUB hendaknya dapat ditindaklanjuti; 4. Walaupun pembentukan FKUB tingkat kecamatan tidak diamanatkan dalam PBM Nomor: 09 dan 08 Tahun 2006, namun keberadaannya tidak dilarang. Untuk itu jika dianggap perlu maka dapat dibentuk sepanjang mematuhi peraturan yang berlaku.
205
DAFTAR BACAAN
KUA Kecamatan Tenggarong, Laporan KUA Kecamatan Tenggarong 2005. KUA
Kecamatan Tenggarong, Rekapitulasi Kecamatan Tenggarong 2005.
Jumlah
Penduduk
BPS Kota Kutai Kertanegara, Kota Kutai Kartanegara Dalam Angka Tahun 2004 Adimihardja, Kusnaka dan Hikmat, Harry. 2001. Participatory Research Appraisal (PRA) dalam Pelaksanaan Pengabdian kepada Masyarakat. Bandung: Humaniora Utama Press. Chambers, Robert. 1988. Metode-Metode Pintas dalam Mengumpulkan Informasi Sosial untuk Proyek-Proyek Pembangunan Pedesaan. Dalam Michael M.Cernea, “Mengutamakan Manusia di dalam Pembangunan, Variabel-Variabel Sosiologi di dalam Pembangunan Pedesaan”. Jakarta: UI-Press. Koentjaraningrat. 1984. Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Salim,
206
Emil. 1992. Pembangunan Berkelanjutan: Keperluan Penerapannya di Indonesia. Dalam Brata, Suwandi, ed. “Pembangunan Berkelan-jutan Mencari Format Politik”. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Yayasan SPES.
207
REVITALISASI WADAH KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA DI BERBAGAI DAERAH Kajian Evaluatif Terhadap Perkembangan BKSAUA di Kecamatan Bitung Tengah Kota Bitung Prov. Sulawesi Utara Oleh: Sjuhada Abduh
GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
Geografi Kecamatan Bitung Tengah merupakan salah satu dari lima kecamatan yang berada di wilayah Kota Bitung. Kelima kecamatan tersebut adalah Kecamatan Bitung Barat, Bitung Timur, Bitung Utara, Bitung Selatan dan Bitung Tengah. Kecamatan Bitung Tengah terletak di Pusat Kota Bitung, atau pada kordinat 1.30” – 1.44” lintang utara dan 125”4 – 125”15 bujur timur. Topografi wilayah Kecamatan Bitung Tengah berupa dataran landai. Luas wilayah kecamatan ini mencapai 1238 ha, atau 10,56% wilayah Kota Bitung. Kecamatan Bitung Tengah terbagi dalam 10 Kelurahan yaitu: Kelurahan Madidir dengan luas 602 ha. Kelurahan Madidir Unit 471 ha, Madidir Ure 263 ha, Madidir Weru 176 ha, Kadaadan 138 ha. Pakudoada 92 ha. Wangurur Timur 91 ha. Wangurer Barat 214 ha. Bitung Barat I 47 ha, dan Bitung Barat II 306 ha. Batas wilayah Kecamatan Bitung Tengah adalah : sebelah utara berbatasan dengan Gunung dan Samudra; sebelah selatan Selat Lembe; sebelah timur berbatasan dengan 208
Kecamatan Bitung Timur; sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Bitung Barat. Kecamatan Bitung Tengah didiami oleh berbagai suku/etnis yang menganut berbagai agama dan adat istiadat yang mereka pegangi sejak nenek moyang mereka secara turun temurun. Di antara berbagai etnis dengan jumlah besar yang ada di Kecamatan Bitung Tengah antara lain: Minahasa, Sangir Talaut, Gorontalo, dan Bolaang Mangondow. Selebihnya, dengan jumlah kecil, terdiri dari suku Bugis, Makassar, Buton, Jawa, Sunda, dan Minang. Demografi Data penduduk merupakan salah satu data yang cukup penting bagi para pengguna, para perencana dan para pengambil kebijakan seperti dalam hal pembentukan suatu wilayah apakah desa, kecamatan atau kabupaten, baru bisa terbentuk bila jumlah penduduknya telah memenuhi syarat, disamping batas wilayah dan sumber alam Jumlah penduduk Kecamatan Bitung Tengah berdasarkan data dari laporan kependudukan Kecamatan Bitung Tengah bulan Pebruari 2007, sebanyak 42724 jiwa, yang terdiri dari laki-laki 21756 jiwa, dan perempuan 20968 jiwa. Dalam jumlah tersebut terdapat WNA laki-laki 15 orang dan WNA perempuan 5 orang. Untuk lebih jelasnya penduduk menurut kelurahan dan jenis kelamin di kecamatan Bitung Tengah, dapat dilihat pada tabel 1 berikut:
209
Tabel 1 Jumlah Penduduk Kecamatan Bitung Tengah Per Kelurahan Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2007 WNI
WNA
Jumlah
L
P
L
P
L
P
Jumla h
Wangurer Barat
2104
1982
1
1
2105
1983
4088
2
Wangurer Timur
3530
3622
3530
3622
7152
3
Madidir
1940
1572
1940
1572
3512
4
Madidir Unet
2910
2917
2910
2917
5827
5
Madidir Ure
1926
1897
4
1930
1897
3827
6
Madidir Weru
1423
1374
6
1469
1376
2845
7
Kadaodan
1782
1654
1782
1654
3436
8
Pakadaodan
817
776
821
777
1598
9
Bitung Barat I
2842
2897
2842
2897
5739
10
Bitung Barat II
2427
2273
2427
2273
4700
Jumlah
21701
20964
21756
20968
42724
No
Kelurahan
1
4
15
2
1
4
Sumber Data: Laporan Kependudukan Kecamatan Bitung Tengah Pebruari 2007
Data di atas menunjukkan bahwa jumlah penduduknya rata-rata per kelurahan adalah 4000 jiwa. Kelurahan yang paling banyak penduduknya adalah Kelurahan Wangurer Timur. Sedangkan yang paling sedikit penduduknya adalah Kelurahan Pakadaodan. Dilihat dari segi kepadatan penduduk di Kecamatan Bitung Tengah termasuk sedang. Di Kelurahan Bitung Tengah tidak terdapat etnis asli (pribumi) yang mendiami suatu kelurahan, melainkan para pendatang seperti etnis Bugis, Gorontalo, Padang, Jawa dan lain-lain. Dari data di atas nampak beberapa warga negara 210
asing. Hal ini dapat dimaklumi, karena Kecamatan Bitung Tengah adalah daerah pelabuhan sehingga ada beberapa orang asing yang tinggal di kecamatan ini. Sosial Budaya Pendidikan Kecamatan Bitung Tengah telah memiliki lembaga pendidikan mulai dari Taman kanak-kanak sampai sekolah lanjutan atas, baik negeri maupun swasta. Lembaga pendidikan yang ada di Kecamatan Bitung Tengah adalah sebagai berikut: a. Taman kanak-kanak sebanyak 7 buah dengan jumlah murid 305 orang, dan guru 26 orang. b. Sekolah dasar negeri 10 buah dengan jumlah murid 2310 orang dan guru 110 orang. c. Madrasah swasta satu buah (milik Serikat Islam) murid sebanyak 83 orang dan guru 8 orang. d. Sekolah lanjutan pertama (SLP) sebanyak banyaknya murid 855 orang dan guru 52 orang.
2
buah
e. Sekolah lanjutan atas (SLTA) satu buah jumlah murid 251 orang dan guru 28 orang. Walaupun sarana pendidikan masih terbatas di Kecamatan Bitung Tengah ini, namun penduduk yang menamatkan pendidikan dari mulai sekolah Dasar sampai dengan lanjutan atas, bahkan tamatan perguru-an tinggi cukup banyak, hal ini dimungkinkan karena banyaknya pendatang dari luar Kecamatan Bitung Tengah, baik sebagai pegawai negeri sipil (PNS), TNI, maupun Polri.
211
Ekonomi Mata pencaharian penduduk Kecamatan Bitung Tengah heterogin, ada yang bekerja di sektor pertanian, nelayan, buruh, pegawai negeri sipil, TNI, Polri, jasa, tukang, dan lainlain. Penduduk Kecamatan Bitung Tengah yang bekerja di sektor nelayan 2008 orang, pertanian 1926 orang, buruh 2513 orang, karyawan swasta 1379 orang, PNS 843 orang, TNI 421 orang, Polri 164 orang, jasa dan tukang 697 orang, lan-lain sebanyak 715 orang. Untuk lebih jelasnya penduduk Bitung Tengah menurut mata pencaharian dapat disimak pada tabel 2 berikut: Tabel 2 Penduduk Bitung Tengah Menurut Mata Pencaharian No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Mata Pencaharian Buruh Nelayan Pertanian Karyawan PNS TNI/Polri Tukang Sopir Pensiunan Pendeta/Pastor Imam Jumlah
Banyaknya 2513 orang 2008 orang 1936 orang 1379 orang 843 orang 585 orang 697 orang 354 orang 292 orang 82 orang 11 orang 10700 orang
Ket
Sumber Data : Laporan Bulanan Kecamatan Bitung Tengah Maret 2007 Dari data diatas nampak bahwa sektor usaha nelayan dan pertanian masih mendominasi, disamping itu pekerjaan di sektor buruh dan karyawan juga cukup menonjol. 212
Diperkirakan usaha sektor nelayan dan buruh pelabuhan akan semakin cerah dan banyak diminati orang, karena Kecamatan Bitung Tengah di samping lautnya cukup luas juga bongkar muat barang dari pelabuhan semakin meningkat. Di Kecamatan Bitung Tengah sektor nelayan, buruh dan pertanian merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja. Kecamatan Bitung Tengah sangat mengandalkan hasil nelayan, buruh dan pertanian sebagai sumber pendapatan. Hal ini mencerminkan bahwa lapangan usaha primer masih mendominasi struktur perekonomian di Kecamatan Bitung Tengah dalam hal penyerapan tenaga kerja. Kehidupan Keagamaan Berdasarkan data yang ada, di Kecamatan Bitung Tengah terdapat berbagai penganut agama, Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Mayoritas penduduk Bitung Tengah beragama Kristen sebanyak 27627 orang, urutan berikutnya Islam 12831 orang, kemudian Katolik 1689 orang, Hindu 50 orang dan Budha 32 orang. Untuk lebih jelasnya jumlah penganut agama tiap kelurahan di Kecamatan Bitung Tengah adalah sebagai berikut:
213
Tabel 3 Jumlah Pemeluk Agama Per Kelurahan Di Kecamatan Bitung Tengah No 1
2 3 4 5 6 7 8 9 10
Islam 1743
Pemeluk Agama Kristen Katolik Hind 2303 36 6
Wangurer Timur Madidir Madidir Unet Madidir Ure Madidir Weru
2118
4970
54
1
2
50 781
3344 4570
121 445
0 20
3 10
283
3357
186
0
2
257
2297
226
4
8
Kadaodan Pakadaodan Bitung Barat I Bitung Barat II Jumlah
854 402 3927
2162 403 1392
403 79 74
18 1
2 2
2416
2129
65
12831
27627
1689
Kelurahan Wangurer Barat
Budh
Jumlah 4088
7143 3518 5826 3828 2792 3939 1587 5393
3 50
32
4548 42229
Sumber data: Laporan kependudukan Kec. Bitung Tengah Bulan Pebruari 2007
Dari data di atas terlihat bahwa, 8 kelurahan mayoritas penduduknya beragama Kristen. Hanya terdapat 1 kelurahan yang meyoritas penduduknya beragama Islam yaitu kelurahan Bitung Barat I, dan 1 kelurahan seimbang jumlah pengnut Islam dan Kristen, yaitu kelurahan Bitung Barat II. Hal ini dapat dimaklumi, karena sebagian besar penduduk Bitung Barat II adalah pendatang dari Gorontalo, Bugis, Makasar, Buton, Minang dan Jawa. Terdapat 1 kelurahan hampir seratus persen peduduknya beragama Kristen, yaitu
214
kelurahan Madidir, yang sebagian besar penduduknya berasal dari Minahasa. Berdasarkan data dari Kantor Urusan Agama Kecamatan Bitung Tengah tahun 2007 di Kecamatan Bitung Tengah terdapat sarana dan prasarana peribadatan, berupa 18 buah masjid, 7 buah mushalla, 33 gereja Protestan, 4 gereja Katolik dan 1 vihara. Sebagimana dijelaskan di atas bahwa agama Kristen dianut oleh mayoritas penduduk di Bitung Tengah, dan Gembala Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM) adalah kelompok Kristen yang dominan di samping Pantekosta dan Advent. Sementara di kelompok Islam, Al Khairat yang lebih dikenal di samping Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU) dan Serikat Islam (SI). Sejauh ini, heteroginitas masyarakat Kecamatan Bitung Tengah dalam hal agama maupun etnik tidak menjadi halangan untuk hidup rukun. Dalam waktu yang relatif lama, tidak pernah muncul ke permukaan dalam skala yang besar konflik intern maupun antara umat beragama, dan antar etnik. Menurut Pdt. Daud Samson Kaunang S.Th. (GMIM) menjelaskan bahwa kerukunan di kalangan intern Kristen cukup baik walaupun ada r1ak-riak kecil tapi tidak sampai muncul ke permukaan, karena di kalangan Kristen mempunyai wadah yang disebut Badan Musyawarah Antar Gereja (BAMAG). Dalam kaitannya antar umat beragama terutama Kristen dengan Islam cukup baik. Kerukunan antar umat beragama tercermin dari saling tolong menolong dan bantu membantu antara penganut-penganut agama yang berbeda ketika diselenggarakan pawai salib dalam rangka paskah, yang membantu keamanan adalah teman-teman dari Islam.
215
Demikian pula sebaliknya kalau umat Islam merayakan Hari Raya yang membantu keamanan dari remaja-remaja Kristen. Sedangkan menurut H. Syamsuddin Sumarmah pensiunan polisi, imam masjid, dan anggota BKSAUA Kota Bitung yang asli Sangir, menerangkan memang dipermukaan Bitung Tengah cukup rukun tapi di bawah permukaan cukup memprihatinkan, bagi minoritas muslim. Karena banyak kasus-kasus yang terjadi, seperti penekanan-penekanan, ancaman-ancaman yang dilakukan oleh mayoritas Kristen. Hal itu tidak muncul dipermukaan karena Muslim minoritas, lebih memilih mengalah dari pada melawan bisa hancur semua. Memang di Bitung Tengah ini ada BKSAUA yang dapat menyelesaikan perselisihan antar umat beragama, sehingga setiap ada persoalan antar umat beragama selalu dibawa ke BKSAUA untuk diselesaikan.
216
KEBERADAAN WADAH KERUKUNAN
Pembentukan Wadah Kerukunan Dalam upaya mewujudkan kondisi yang lebih rukun bagi masyarakat Kecamatan Bitung Tengah yang selama ini dianggap sudah cukup kondusif, maka pada hari Senin tanggal, 16 Agustus 2004, bertempat di Aula Kecamatan Bitung Tengah diadakan pertemuan yang dihadiri oleh perwakilan tokoh-tokoh agama, organisasi pemuda, pejabat di lingkungan Departemen Agama dalam hal ini Puslitbang Kehidupan Beragama (sekarang: Puslibang Kehidupan Keagamaan), Kantor Depag Kota Bitung, serta Kecamatan Bitung Tengah. Tujuan utama pertemuan tersebut adalah pembentukan wadah kerukunan. Ada beberapa catatan dalam peremuan tersebut, baik berupa kesepakatan, saran maupun komentarkomentar, antara lain: a. Jauh sebelum diadakannya pertemuan ini, di Sulawesi Utara telah terbentuk wadah kerukunan yang diberi nama Badan Kerjasama Antar Umat Beragama (BKSAUA). Wadah kerukunan tersebut dibentuk mulai dari tingkat provinsi, kabupaten/kota, kecamatan (termasuk Kecamatan Bitung Tengah), bahkan di tingkat desa/kelurahan. Untuk itu dalam pertemuan tersebut sepakat untuk tidak membentuk wadah baru, tapi mengaktifkan kembali BKSAUA yang sudah ada dengan susunan pengurus yang baru. b. BKSAUA adalah suatu forum atau wadah yang dibentuk oleh masyarakat dan didukung oleh pemerintah, oleh karena itu sifatnya menjadi semi pemerintah, khusus
217
untuk Kota Bitung BKSAUA dijadikan sebagai wadah penasehat pemerintah. c. Pertemuan ini hendaknya memiliki makna lebih mendalam, tidak hanya sebatas pertemuan formal. Di luar pertemuan dirasakan perlunya satu wadah untuk menyatukan semua keinginan dari semua golongan dan penganut agama, untuk realisasinya dalam waktu dekat harus segera disusun kepengurusan baru. d. BKSAUA Kecamatan Bitung Tengah diusulkan untuk dapat mengkaji atau mengadakan studi banding ke daerah lain, tentang pola-pola kerukunan yang dipercayai oleh daerah lain, sehingga dapat dijadikan contoh oleh Kota Bitung. e. BKSAUA Kecamatan Bitung Tengah segera menyusun program atau kegiatan-kegiatan yang dapat menyentuh masyarakat bawah, serta dapat menggunakan dana stimulasi yang diberikan oleh Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama, sejumlah Rp. 4.500.000,- (empat juta lima ratus ribu rupiah). f.
Situasi dan kondisi wilayah Kecamatan Bitung Tengah khususnya dan Kota Bitung pada umumnya dalam kondisi sangat kondusif tidak ada gejolak yang mengarah kepada situasi yang dianggap akan menjurus kepada ketidak rukunan inter umat beragama, antar umat beragama maupun antar umat beragama dengan pemerintah.
g. Anggaran BKSAUA yang semula dibebankan kepada APBD Kota Bitung, sejak tahun 2003 telah dialihkan kepada mata anggaran Kesra Pemda Bitung. Tiga tahun setelah terbentuknya wadah kerukun-an, pada bulan April 2007 dilakukan kajian terhadap wadah 218
kerukunan BKSAUA untuk mengetahui sejauh-mana, kondisi dan perkembangan wadah kerukunan yang sudah dibentuk tersebut, faktor apa saja yang menjadi pendukung dan pengham-bat, serta respon masyarakat dan pemerintah terhadap wadah kerukunan tersebut. Setelah melakukan wawancara dengan beberapa tokoh agama, pengurus BKSAUA dan para pejabat pemerintah setempat yang dianggap mengetahui dan ikut terlibat dalam kegiatan BKSAUA kecamatan Bitung Tengah, hasilnya sebagai berikut: a. Drs. Abdul Gofar, kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Bitung Tengah yang baru satu tahun tugas, setiap hari pulang pergi Manado – Bitung Tengah. Yang bersangkutan tidak banyak tahu, tentang: 1) kondisi masyarakat Bitung Tengah; 2) termasuk tidak tahu sama sekali BKSAUA yang telah dibentuk 3 tahun yang lalu; 3) apa kegiatan BKSAUA saat ini;, 4) bantuan uang sebanyak Rp. 4.500.000,-.; 5) siapa tokoh agama Islam dan Kristen di Bitung Tengah. Kecuali tugas BKSAUA, karena di Manado wadah tersebut ada. Tugas BKSAUA mendamaikan perselisihan antar umat beragama dan memberi nasehat kepada pemerintah sesuai dengan tingkatan masingmasing. b. Drs. K.W. Benny Lontoh, MA, Camat Bitung Tengah, baru tiga bulan menjabat. Camat ketiga setelah dibentuknya BKSAUA, sama belum tahu bahwa di Bitung Tengah, pada tahun 2004 telah dibentuk BKSAUA yang difasilitasi oleh Departemen Agama. Tapi dalam kaitannya dengan BKSAUA yang ada di Bitung ia mengetahui, bahkan menurutnya, BKSAUA di Bitung Tengah ini sudah sampai ke desa/kelurahan. Diakui secara jujur, BKSAUA diperlukan, bila ada masalah sosial di masyarakat seperti perselisihan antar umat beragama, antar etnis yang diminta untuk menyelesaikan adalah BKSAUA tingkat 219
desa/kelurahan, jika BKSAUA tingkat desa/kelurahan dapat menyelesaikan. Kalau tingkat desa/kelurahan tidak bisa menyelesaikan baru dibawa ke tingkat kecamatan. Selama ini biasanya cukup tingkat desa/kelurahan yang menyesaikan kalau masalahnya terjadi di desa/kelurahan. Di samping BKSAUA dapat menyelesaikan masalah-masalah yang berkaitan dengan sosial masyarakat juga sewaktu-waktu, pemerintah dalam hal ini lurah, camat dan seterusnya meminta nasehat kepada BKSAUA yang ada terutama dalam hal yang berkaitan dengan masalah keagamaan. c. Pdt. Daud Samson Kaunang, S.Th. salah satu anggota BKSAUA Kota Bitung, mengkoordinir 16 Gereja GMIM yang ada di Bitung Tengah. Menurut pendeta ini BKSAUA yang ada telah dapat menyelesaikan berbagai masalah sosial kemasyarakatan intern umat beragama, antar umat beragama, maupun antar umat beragama dengan pemerintah. BKSAUA Kota Bitung ini paling tidak 3 bulan satu kali mengadakan pertemuan, tapi kalau ada permasalahan setiap saat mengadakan pertemuan untuk segera menyelesaikan permasa-lahan tersebut supaya tidak sampai muncul ke permukaan. Menurut Pdt, Gubernur Sulawesi Utara merasa keberatan bila BKSAUA yang sudah memasyarakat dari tingkat provinsi sampai dengan tingkat kelurahan/desa/hukum tua, harus diganti dengan FKUB (PBM No. 9 dan 8 tahun 2006). Karena kalau PBM No. 9 dan 8 diterapkan di Sulawesi Utara, maka yang sangat dirugikan adalah kelompok minoritas khususnya dalam pendirian rumah ibadat. Selama ini dalam pendirian rumah ibadat selalu atas kesepakatan BKSAUA baik tingkat kelurahan/desa maupun kota. Oleh sebab itu Gubernur tetap berupaya mempertahankan BKSAUA yang ada, karena cukup efektif dan tidak merugikan
220
minoritas, baik dari segi susunan kepengurusan, batasbatas, serta syarat-syarat pendirian rumah ibadat. Kondisi kerukunan di Sulawesi Utara ini sudah cukup kondusif, biar saja berjalan seperti apa adanya dengan BKSAUA yang ada. d. Menurut Akre R. Sanga, imam masjid, pegawai P3N anggota BKSAUA Kecamatan Bitung Tengah, semenjak dibentuk BKSAUA di Kecamatan Bitung Tengah tahun 2004 yang difasilitasi oleh Puslitbang Kehidupan Beragama sampai sekarang belum pernah ada pertemuan satu kalipun. Hal ini mungkin disebabkan, pertama camatnya sudah dimutasi ke tempat lain dan sejak tahun 2004 sampai dengan 2007 sudah tiga kali ganti camat; kedua para pendeta dari Kristen dan pastur dari Katolik yang menjadi pengurus BKSAUA sudah dimutasi menjadi gembala di gereja wilayah lain. Walaupun belum pernah ada pertemuan, tapi BKSAUA Kecamatan Bitung Tengah, tetap berfungsi, karena sudah dibentuk jauh sebelum di fasilitasi oleh Depag/Litbang Agama. e. Suwardi Latidi, Pembantu PPN, Presidium BKSAUA Kecamatan Bitung Tengah, menuturkan bahwa, semenjak diadakan pertemuan di kecamatan pada tahun 2004 yang difasilitasi Puslitbang Kehidupan Beragama, BKSAUA Keca-matan Bitung Tengah baru satu kali mengadakan pertemuan. Dalam pertemuan tersebut yang dibicarakan baru sedikit. Pertemuan BKSAUA diadakan tiga bulan sekali. BKSAUA belum membuat program-program atau kegiatan yang harus dilakukan. Sampai saat ini belum pernah ada pertemuan lagi. BKSAUA biar saja berjalan seperti biasa, seperti yang sudah-sudah. BKSAUA sudah ada jauh sebelum pertemuan, bahkan dalam pertemuan pertama Akre R Enya sebagai anggota pengurus BKSAUA tidak diundang. Di Bitung Tengah ini nampaknya 221
masyarakatnya hidup rukun dan damai, antar umat beragama tidak ada permasalahan. Karena di Bitung Tengah ada beberapa perkumpulan yang mengikat mereka menjadi rukun antara lain: tiap-tiap suku/etnis yang ada di Bitung Tengah mempunyai persatuan daerah, kalau ada permasalahan, maka yang pertama kali dipanggil pimpinan perkumpulan daerah tersebut. Perkumpulan daerah yang ada antara lain: -
Ikatan Kerukunan Keluarga Bolaang Mangodow (IKKBM) Keluarga kerukunan Sulawesi Selatan (KKSS) Kerukunan Keluarga Besar Islam Sangir Talaud (KKBIST) Ikatan keluarga Besar Gorontalo (IKBG) Setia Bakti Perkumpulan orang-orang Jawa Pria Kaum Bapak (PKB) milik orang-orang Kristen
Kasus-Kasus Yang Pernah Terjadi Kecamatan Bitung Tengah yang heterogin dalam hal agama maupun etnik, namun tidak menjadi penghalang untuk hidup rukun. Dalam kurun waktu yang cukup lama, tidak terlihat adanya konflik antar umat beragama maupun intern umat beragama yang muncul ke permukaan dalam skala besar. Namun demikian menurut beberapa tokoh agama menjelaskan memang bahwa di Bitung Tengah ini nampaknya cukup rukun, tapi di bawah cukup memprihatinkan terutama bagi minoritas muslim, telah terjadi beberapa kasus yang mengganggu kerukunan hidup beragama antara lain: Mengucapkan Selamat Natal Haram Hukumnya Ceramah agama yang disampaikan oleh ustadz Amir Mukri di mesjid yang berdekatan dengan gereja di Kelurahan Kadoodan pada bulan puasa tahun 2001 antara lain mengatakan bahwa, berdasarkan fatwa MUI “mengucapkan Selamat Natal hukumnya haram”. Mendengar ucapan 222
tersebut, umat Kristen marah, mereka mencari ustadz Amir Mukri. Untuk menyelamatkan Amir Mukri disembunyikan oleh H. Syamsuddin di panti asuhan. Karena Amir Mukri tidak diketemukan, orang-orang Kristen melapor ke kodim. Sehingga datang tentara mencari Amir Mukri, yang dihadapi oleh H. Syamsuddin. Kepada tentara tersebut dijelaskan bahwa, masalah ini adalah masalah agama, jadi bukan tentara yang menyelesaikannya, tapi KBSAUA. Setelah mendengar penjelasan tersebut tentara terus pergi. Selanjutnya di kantor kelurahan di musyawarahkan dengan tokoh-tokoh agama anggota BKSAUA. Akhirnya mereka sepakat untuk menyelesaikan masalah tersebut secara damai. Rupanya ada kesalahpahaman dari kelompok pemuda yang menamakan Brigade Manguni, mereka mengira yang ceramah dan mengatakan “mengucapkan selamat Natal haram hukumnya” adalah imam Aleri R Soga, sehingga ia dipukul kepalanya. Setelah memukul, pemuda tersebut melarikan diri. Atas kejadian tersebut, H. Syamsuddin tidak tinggal diam, dia datangi rumah pemuda yang melakukan pemukulan itu, dan berpesan kepada istrinya: “dalam beberapa hari suaminya harus menemui saya, kalau tidak rumah kalian akan saya ratakan dengan tanah”. Permintaan H. Syamsuddin dipenuhi oleh pemuda itu dan ia pun meminta maaf. Kasus ini diselesaikan di BKSAUA kelurahan.65 Pindah Masjid Pada tahun 2002, setelah kasus pemukulan imam Aleri R. Soga oleh pemuda Brigade Menguni maka di Masjid dan Gereja yang berdekatan tersebut pada suatu saat terjadi 65 H. Syamsuddin adalah seorang purnawirawan polisi, imam masjid, tokoh agama dan tokoh masyarakat, serta anggota BKSAUA Kota Bitung, yang ditakuti oleh para pemuda Bitung Tengah.
223
penggunaan pengeras suara saling bersahutan, terutama pengeras suara dari Gereja yang diarahkan ke Masjid, dengan suara keras dan selalu berulang-ulang, walaupun pihak dari Masjid sudah minta perhatiannya untuk bisa mengerti, saling menghormati tapi permintaan umat Islam tidak didengar. Untuk menghindari ribut, karena umat Islam minoritas akhirnya umat Islam membangun masjid baru di tempat lain. Masjid yang lama dibongkar dan tanahnya dijual pada orang yang seagama (Islam) dalam hal ini umat Islam mengalah, dari pada melawan hancur, lebih baik mengalah demi keselamatan bagi semuanya. Pembersihan Pedagang Kaki Lima (PKL) Pada tahun 2004 para PKL dibersihkan oleh pemda Bitung, sebagian besar PKL adalah orang-orang Islam. Setelah diusir, PKL datang ke kantor walikota untuk meminta perhatian jangan sampai diusir. Namun kemudian datang pasukan Brigade Manguni berseragam merah, mereka mengusir dan memukuli para PKL. Mereka menyangka para PKL akan melakukan demontrasi. Akhirnya para PKL lari tunggang langgang menyelamatkan diri masing-masing. Untuk menyelesaikan kasus tersebut H. Syamsuddin memanggil pimpinan Brigade Manguni agar datang ke BKSAUA untuk diberi penjelasan, bahwa para PKL bukan bermaksud demonstrasi datang ke kantor walikota, tapi untuk meminta diperhatikan supaya jangan digusur. H. Syamsuddin pun mengatakan: “Saudara jangan main usir dan pukul saja kepada orang lain, mereka juga mempunyai perasaan”. Setelah diberi penjelasan akhirnya pimpinan Brigade Manguni minta maaf dan sepakat untuk damai. Menurut H. Syamsuddin, di Bitung terdapat beberapa kelompok pemuda, antara lain:
224
1. Kelompok Brigade Manguni dengan seragam merah. 2. Kelompok Manuni Esa dengan seragam hitam. 3. Kelompok PERMESTA dengan seragam hitam. Konon kabarnya Brigade Manguni ini dibentuk untuk menghadapi kelompok jihad yang datang dari Maluku dan juga untuk mengimbangi kelompok PERMESTA. Jamaah Tabligh Pada bulan Agustus 2002 ada sebuah masjid yang menyelenggarakan perlombaan dalam rangka memperingati Hari Besar Islam. Pesertanya bebas siapa saja boleh ikut. Dalam perlombaan sepak bola, rombongan Jamaah Tabligh yang sedang khuruj dan menginap di salah satu masjid ikut berpartisipasi, dan mereka dapat juara satu. Setelah selesai lomba dan pemberian hadiah kepada pemenang Jamaah Tabligh pamit untuk meneruskan tugas di masjid lain. Berdasarkan kebiasaan umat Muslim di Bitung, bila datang Jamaah Tabligh mereka sambut dan ketika pergi mereka lepas. Karena, Jamaah Tabligh mereka anggap sebagai kelompok yang berjasa dalam penyebaran Islam/dakwah di Bitung Tengah. Pada waktu umat Muslim akan melepas kepergian Jamaah Tabligh, tiba-tiba di luar masjid sudah banyak sekali orang-orang non muslim. Mereka mengatakan: “Di dalam masjid ada jihad”. Orang non muslim memahami jihad identik membunuh orang, maka harus dilawan. Dalam kasus ini polisi juga datang, demikian juga lurah setempat. Rombongan Jamaah Tabligh kemudian diminta untuk datang di kelurahan. Agar kasus ini tidak berlarut-larut, Imam Suwardi Halidi memberi penjelasan, bahwa jihat itu bukan membunuh, tapi berjuang membela kebenaran, seperti kasih sayang, saling 225
mencintai sesama manusia. Setelah diberikan penjelasan, mereka baru memahami dan bisa menerima, akhirnya mereka bubar meninggalkan masjid dan pelepasan Jamaah Tabligh dilaksanakan. Pendeta bertanya Pada tahun 2003 ada pertemuan BKSAUA Kota Bitung bertempat di kantor walikota. Dalam kesempatan tersebut ada seorang pendeta mengatakan “Dalam Al-Qur’an ada perintah untuk membunuh orang-orang Kristen”. Dalam forum itu hanya 2 orang Islam, yaitu dari MUI dan H. Syamsuddin. Pernyataan tersebut dijawab oleh anggota MUI “Tidak ada! Dalam Al Qur’an tidak ada perintah membunuh orang Kristen. Yang ada Tuhan menciptakan manusia dari berbagai suku-suku dan bangsa-bangsa untuk saling berkasih sayang”. Setelah mendapat penjelasan tersebut pendeta tersebut diam dan tidak bertanya lagi. Nampaknya di kalangan pendeta pun masih banyak mencurigai umat Islam. Bagaimana di kalangan bawah. Umat Kristiani nampaknya masih dijangkiti “Islam pobia”. Pengusiran Jamaah Tabligh Pada bulan Maret 2007 ada Jamaah Tabligh yang datang dan menginap di Masjid Imam Suwardi Latidi. Di Kota Bitung, Jamaah Tabligh selalu datang dan pergi. Bagi umat Islam, kedatangan Jamaah Tabligh sangat menyenangkan, karena umat Islam di Bitung merasa memiliki banyak teman. Kasus pengusiran ini terjadi pada jam 21 malam. Pada saat itu, kepala kampung datang dan memerintahkan supaya Jamaah Tabligh pergi saat itu juga. Melihat sikap kepala kampong yang seperti itu, Imam Suwadi Latidi memberikan jawaban “mereka sudah tidur tidak mungkin kami usir, itu tamu kami harus kami hormati, tolong sampaikan pada lurah
226
kalau ada apa-apa saya yang tanggung jawab, kalau besok saya siap meminta mereka untuk meninggalkan masjid ini”. Esok harinya, subuh-subuh, lurah dan kepala kampung sudah datang ke masjid mengecek apakah Jamaah Tabligh sudah pergi atau belum. Ternyata Jamaah Tabliggh sudah meninggalkan masjid. Akhirnya lurah dan kepala kampung pulang meninggalkan masjid. Orang-orang non muslim (Kristen) telah mencurigai orang-orang Islam, terutama karena cara berpakaian Jamaah Tabligh yang selalu memakai sorban, baju gamis serta memelihara jenggot. Cara berpakaian seperti itu menimbulkan kecurigaan sebagai kelompok jihad. Respon Masyarakat dan Pemerintah Terhadap BKSAUA Respon Pemerintah Sebagaimana telah dijelaskan pada bab terdahulu bahwa Gubernur Sulawesi Utara, Drs. S.M. Sarandayang merasa keberatan bila BKSAUA yang sudah ada jauh sebelum ini dan telah memasyarakat mulai dari tingkat provinsi sampai tingkat kelurahan/desa/hukum tuha harus diganti dengan FKUB (PBM No. 9 dan 8 tahun 2006). Gubernur merasa keberatan, karena kalau PBM No. 9 dan 8 tahun 2006 diterapkan di Sulawesi Utara, maka yang sangat dirugikan adalah kelompok minoritas, terutama dalam pendirian rumah ibadat, selama ini dalam pendirian rumah ibadat selalu atas kesepakatan BKSAUA yang ada, baik tingkat kelurahan/desa, kecamatan maupun kabupaten/kota. Gubernur Sulawesi Utara sebenarnya kurang setuju dengan PBM No. 9 dan 8 tahun 2006, tentang pembentukan FKUB di provinsi dan kabupaten/kota. Gubernur masih tetap mempertahankan BKSAUA yang ada karena BKSAUA ini cukup efektif serta tidak merugikan minoritas dilihat dari segi susunan kepengurusan, batas-batas wilayah serta syaratsyarat pendirian rumah ibadat. Cukup berat bagi minoritas 227
bila mengikuti PBM. Di Sulawesi Utara ini sudah cukup kondusif biarkan saja berjalan seperti apa adanya dengan BKSAUA yang sudah ada. BKSAUA adalah suatu forum atau wadah yang dibentuk oleh masyarakat dan didukung oleh pemerintah, oleh karena itu sifatnya menjadi semi pemerintah. BKSAUA di samping tugasnya untuk menyelesaikan masalah-masalah kerukunan umat beragama, juga dijadikan sebagai wadah penasehat pemerintah. Untuk melaksanakan kegiatan BKSAUA pemerintah telah berusaha untuk mengalokasikan dana melalui APBD, akhirnya disetujui bahwa anggaran BKSAUA dibebankan kepada APBD Kota Bitung. Namun mulai tahun anggaran 2003 telah dialihkan kepada mata anggaran Kesra Bitung. Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa di Bitung ini telah terbentuk BKSAUA mulai tingkat Kota Bitung sampai dengan tingkat kelurahan /desa/hukum tua dan setiap timbul kasuskasus yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama, selalu diselesaikan melaui BKSAUA, baik tingkat kelurahan/ desa, kecamatan maupun tingkat kota. Respon pemerintah cukup baik terhadap keberadaan BKSAUA terutama dalam hal mengfungsikannya. Setiap ada kasus keagamaan selalu diserahkan kepada BKSAUA baik masalah intern agama, antar umat beragama maupun antar umat beragama dengan pemerintah. Respon Masyarakat Seperti telah dijelaskan di atas, bahwa BKSAUA adalah suatu forum atau wadah yang dibentuk oleh masyarakat, yang didukung oleh pemerintah oleh karena itu sifatnya menjadi semi pemerintah. Dengan demikian baik masyarakat maupun pemerintah mempunyai rasa keterkaitan/memiliki terhadap keberadaan BKSAUA. Sehingga masyarakat 228
mempunyai rasa tanggung jawab terhadap keberadaan BKSAUA. Dalam hal ini dapat difahami kalau BKSAUA ini sudah membudaya di masyarakat Bitung. Masyarakat Bitung menganggap bahwa BKSAUA adalah satu-satunya wadah yang dipercaya oleh masyarakat untuk menyelesaikan setiap persoalan yang berkaitan dengan kerukunan, baik kerukunan antar umat beragama maupun antar umat beragama dengan pemerintah. Hal ini dapat dibuktikan setiap terjadi kasus yang melibatkan antar umat beragama selalu diselesaikan melalui BKSAUA, setiap persoalan yang dibawa ke BKSAUA, yang berselisih mau menerima dan bisa damai. Contoh beberapa kasus yang diselesaikan melalui BKSAUA antara lain, kasus mengucapkan Selamat Natal hukumnya haram, kasus pemukulan terhadap Imam Suwardi Latidi, kasus Jamaah Tabligh. Menurut Pdt Daud Samson Kaunang, bila terjadi gesekan-gesekan kecil yang tidak sampai menimbulkan kerusuhan atau perkelahian antar umat cukup diselesaikan melalui BKSAUA. Bagi masyarakat Bitung baik dari kalangan Islam maupun non Islam sudah membudaya setiap ada perselisihan antar umat beragama maka harus dibawa ke BKSAUA untuk didamaikan.
229
PENUTUP
Kesimpulan Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Kecamatan Bitung Tengah yang dihuni oleh 42724 jiwa penduduk, berasal dari berbagai suku: Minahasa, Gorontalo, Sangir Talaud, Bugis, Makassar, Buton, dan Jawa dengan bermacam-macam keyakinan, Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha, kondisinya cukup kondusif sampai saat ini mereka hidup rukun, tidak nampak ada gejala yang mengarah kepada situasi yang dianggap menjurus kepada perpecahan, baik antar suku, maupun antar umat beragama. 2. Berbagai perkumpulan di wilayah Bitung Tengah telah terbentuk, baik perkumpulan daerah maupun perkumpulan agama seperti Ikatan Keluarga Sangir Talaud (GKSAT), Ikatan Besar Keluarga Gorontalo (IKBG), Setia Bakti perkumpulan orang-orang Jawa, kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS) sedangkan perkumpulan agama seperti: KKBIS, IKBII, BKWAUA, BAMAG dan BKSAUA. Perkumpulan tersebut di atas merupakan alat perekat bagi masyarakat Kecamatan Bitung Tengah khususnya dan Kota Bitung pada umumnya. 3. Jauh sebelum Puslitbang Kehidupan Keagamaan memfasilitasi terbentuknya wadah kerukunan di tingkat kecamatan, di Sulawesi Utara sudah memiliki wadah kerukunan yang bernama BKSAUA mulai tingkat provinsi sampai dengan tingkat kelurahan/desa/hukum tua, termasuk di wilayah Kecamatan Bitung Tengah. BKSAUA 230
tersebut dibentuk oleh masyarakat dan dapat dukungan dari pemerintah. Sehingga dapat dikatakan sebagai lembaga semi pemerintah. Keberadaan BKSAUA di Sulawesi Utara ini sudah membudaya di masyarakat dan cukup efektif dalam menyelesaikan kasus-kasus keagamaan yang muncul di masyarakat, sehingga baik pemerintah maupun masyarakat sangat membutuhkan keberadaan BKSAUA tersebut, karena sudah membudaya di masyarakat dan cukup efektif sampai-sampai Gubernur Sulawsi Utara sampai saat ini,masih belum bisa menerima PBM No. 9 dan 8 tahun 2006, yang salah satu isinya setiap provinsi diharuskan membentuk FKUB mulai dari tingkat provinsi sampai ke kabupaten/kota.
231
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Badan Pusat Statistik Kota Bitung, Bitung Dalam Angka 2006. Bryman, Alan. Sosial Researsch Methods. Second Edition. Oxford University Press. USA. 2004. Adimihardja, Kusnaka dan Hikmat, Harry. 2001. Participatory Research Appraisal (PRA) dalam Pelaksanaan Pengabdian kepada Masyarakat. Bandung: Humaniora Utama Press. Chambers, Robert. 1988. Metode-Metode Pintas dalam Mengumpulkan Informasi Sosial untuk Proyek-Proyek Pembangunan Pedesaan. Dalam Michael M.Cernea, “Mengutamakan Manusia di dalam Pembangunan, Variabel-Variabel Sosiologi di dalam Pembangunan Pedesaan”. Jakarta: UI-Press. Linda Darmajanti Ibrahim. Kehidupan Berorganisasi sebagai Modal Sosial Komunitas Jakarta. Dalam Masyarakat. Nomor 11 Tahun 2002. M.J. Kasijanto. 1991. Masalah dan Strategi Pembangunan Indonesia. Jakarta. PT Pustaka Pembangunan Swadaya.
232
233
REVITALISASI WADAH KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DI SULAWESI TENGGARA Studi Perkembangan FKAUB Kecamatan Mandonga Kota Kendari Oleh: H. Bashori A. Hakim
GAMBARAN UMUM KECAMATAN MANDONGA
Kondisi Geografi Dan Demografi Kecamatan Mandonga secara administratif menjadi bagian dari wilayah Kota Kendari yang secara geografis terletak di bagian selatan garis khatulistiwa, antara 3„54’30” 4„3’11” lintang selatan dan 122„23’-122„39’ bujur timur. Dilihat dari posisi Pulau Sulawesi, Kecamatan Mandonga terletak di jazirah bagian tenggara Pulau Sulawesi. Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Kendari Nomor 2 Tahun 2005, Kecamatan Mandonga merupakan salah satu dari 6 kecamatan yang terdapat di wilayah Kota Kendari, dengan ibukota Puwatu. Kecamatan Mandonga yang sekarang ini merupakan pemekaran dari Kecamatan Mandonga (lama) yang berdasarkan Keputusan Walikota Kota Kendari, Kecamatan Mandonga (lama) itu dimekarkan menjadi dua kecamatan, yaitu Kecamatan Mandonga dan Kecamatan Puwatu. Luas wilayah Kecamatan Mandonga 65,35 km† atau 22,09 % dari luas wilayah Kota Kendari. Dilihat dari segi luas area, kecamatan ini menempati posisi terluas ke dua dibanding dengan wilayah kecamatan lain di Kota Kendari. 234
Kecamatan yang paling luas wilayahnya yaitu Kecamatan Poasia dengan luas wilayah 81,27 km†, sedangkan yang paling kecil wilayahnya Kecamatan Kendari dengan luas 14,19 km†. Batas-batas wilayah Kecamatan Mandonga, di sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Soropia, di sebelah selatan dengan Kecamatan Baruga dan Kecamatan Poasia, di sebelah timur dengan Kecamatan Kendari dan Teluk Kendari dan di sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Sampara. Kecamatan Mandonga secara administratif terbagi atas 10 wilayah kelurahan, masing-masing adalah: Puwatu, Watulondo, Punggolaka, Tobuuha, Mandonga, Korumba, Anggilowu, Alolama, Wawom-balata dan Labibia.66 Penduduk Kecamatan Mandonga pada tahun 2005 berjumlah 53.605 jiwa, terdiri atas 27.160 laki-laki dan 26.445 perempuan. Dengan demikian posisi jumlah penduduk Kecamatan Mandonga adalah 23,71% dari jumlah penduduk Kota Kendari. Pada tahun yang sama penduduk Kota Kendari berjumlah 226.056 jiwa.67 Dilihat dari segi usia, apabila umur 20–59 tahun diproyeksikan sebagai usia produktif maka sebagian besar penduduk yakni 26.740 jiwa atau sekitar 59,9 % merupakan penduduk usia produktif. Dengan demikian secara teoritik sumber daya manusia (SDM) Kecamatan Mandonga cukup potensial untuk meningkatkan kemajuan masyarakatnya di masa depan. Anak usia Balita atau 0-4 tahun berjumlah 6.631 jiwa, sedangkan sisanya yakni penduduk usia 60 tahun ke atas berjumlah 1.467 jiwa.68
66
BPS. Kota Kendari, 2005:3-11. BPS Kota Kendari, 2005:53-55. 68 Disarikan dari data BPS Kota Kendari, 2005:57. 67
235
Dilihat dari segi suku atau etnis, berdasarkan penuturan beberapa informan yang terdiri atas Camat Mandonga, Sekretaris Kecamatan (Sekcam) Mandonga, Pengurus FKUB Kecamatan Mandonga dan beberapa tokoh masyarakat dapat diutarakan bahwa penduduk Kecamatan Mandonga terdiri atas berbagai suku dan etnis, antara lain: Tolaki (dianggap sebagai penduduk asli Mandonga), Bugis, Buton, Muna, Ambon, Manado, Mori, Cina, Jawa, Timor (NTT), Bali, Madura, Banjar dan campuran dari berbagai suku. Dari segi jumlah, suku Tolaki merupakan penduduk terbesar. Namun tidak ada data secara kongkrit tentang jumlah masing-masing suku tersebut. Keragaman penduduk dari segi suku dan etnis ini ditandai pula oleh keberadaan warga negara asing (WNA) di kecamatan ini. Pada tahun 2005 terdapat tidak kurang dari 21 orang WNA, terdiri atas 10 orang laki-laki dan 11 orang perempuan.69 Kehidupan Ekonomi, Sosial Budaya dan Pendidikan Di antara penduduk Kecamatan Mandonga ada yang bekerja sebagai petani, baik sebagai petani pemilik maupun petani penggarap dan buruh tani; pemilik kebun, buruh perkebunan; pengusaha dan pedagang; peternak; pegawai negeri maupun pegawai swasta; purnawirawan ABRI, pensiunan guru dan lain-lain. Di sektor pertanian, para petani menghasilkan antara lain: padi, jagung, kedelai dan lain-lain; Di sektor perkebunan dihasilkan buah-buahan dan sayuran. Buah-buahan yang dihasilkan antara lain: alpokat, kakau, coklat, duku, durian, jambu, nangka, mangga, nenas, pisang, papaya, sukun dan rambutan. Sayuran yang dihasilkan antara lain: kacang 69
236
BPS Kota Kendari, 2005:64.
panjang, cabe, terong, sawi, tomat, kangkung dan bayam; Di sektor perdagangan, terdapat 2 buah perusahaan industri besar dan sedang. Selain itu terdapat sejumlah ruko dan toko elektronik, mebelair, kain dan sebagainya. Pasar tradisional dan kios-kios berisi bahan kebutuhan pokok sehari-hari; Di sektor peternakan, dihasilkan antara lain: sapi, kuda, kambing dan babi.70 Dalam kehidupan ekonomi penduduk terdapat semacam dominasi atau penguasaan sumber-sumber ekonomi oleh etnis-etnis tertentu, antara lain: bidang perdagangan terutama toko-toko, kios-kios di pasar, cenderung dikuasai oleh orang Cina, Bugis dan Buton. Bidang pertanian terutama sawah banyak dikuasai orang-orang Tolaki, dan Bugis. Berbagai jenis sayuran dan tanaman keras pada umumnya dikuasai orang Muna, sebagian Buton dan Bugis. Sedangkan bidang perkebunan khususnya kakao banyak dikuasai orangorang Tolaki dan sebagian Bugis, jambu mente oleh orangorang Buton dan Muna. Menurut penuturan Sekretaris Kecamatan Mandonga, corak kehidupan masyarakat Mandonga tidak terlepas dari nilai-nilai budaya yang berkembang di kalangan mereka. Dalam kehidupan mereka dikenal budaya kalosara yang disimbolkan berupa segitiga rotan. Budaya ini mengandung nilai yang mencerminkan sikap kebersamaan di antara anggota masyarakat sekalipun ada perbedaan, baik dari segi suku, bahasa maupun agama. Aktualisasi budaya itu dalam kehidupan masyarakat Mandonga dan Kendari pada umumnya melahirkan sikap toleran, tenggang rasa dan rasa kebersamaan. Motto Kota Kendari yakni BERTAKWA yang dijadikan oleh pemerintah daerah sebagai slogan untuk memberikan 70
BPS. Kota Kendari, 2005: 140-145.
237
spirit dan mengilhami masyarakat dalam berbagai aktivitas kehidupan bermasyarakat, setidaknya memeberi warna dalam kehidupan sosial masyarakat Mandonga. Motto BERTAKWA itu mengandung makna: B=bersih, E=elok/indah, R=rindang, T=tertib, A=akhlak yang baik, K=kerjasama antara pemerintah dan masyarakat, W=wawasan nusantara dan A=aman. Dengan demikian makna unsur kata BERTAKWA dari motto itu mengisyaratkan beberapa kualitas tentang kondisi masyarakat yang diharapkan di Kora Kendari termasuk Kecamatan Mandonga.71 Di bidang pendidikan, untuk melayani pendidikan anakanak usia sekolah (umur 5–19 tahun) di Kecamatan Mandonga yang pada tahun 2005 berjumlah sekitar 18.766 jiwa, di kecamatan ini terdapat sejumlah lembaga pendidikan mulai dari tingkat Taman Kanak-Kanak (TK) sampai dengan Sekolah Menengah Umum (SMU) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Jumlah masing-masing sekolah berdasarkan tingkatannya adalah: TK 15 buah, SD 24 buah, SLTP 2 buah, SMU dan SMK 4 buah. Sekolah-sekolah itu tersebar di berbagai kelurahan di wilayah Kecamatan Mandonga. TK terdapat hampir di semua kelurahan, kecuali dua kelurahan yakni Kelurahan Alolama dan Kelurahan Anggilowu. SD terdapat di semua kelurahan. SLTP yang hanya berjumlah 2 buah terdapat di Kelurahan Puwatu dan Kelurahan Wawombalata. Sedangkan SMU terdapat di 4 kelurahan, yakni Kelurahan Mandonga, Punggolaka, Watulondo dan Wawombalata.72 Kehidupan Beragama Kehidupan beragama masyarakat Mandonga diwarnai oleh keragaman agama yang dianut penduduk. Kelima agama 71 72
238
BPS Kota Kendari, 2005:29. Disarikan dari data KUA Kecamatan Mandonga.2005.
besar dunia yakni:Kristen, Katholik, Islam, Hindu dan Buddha terdapat di Kecamatan Mandonga. Agama Islam dianut oleh sebagian besar penduduk yakni 50.276 jiwa atau sekitar 93,7 % dari jumlah penduduk. Sedangkan sekitar 6,3 % sisanya terdiri atas penganut Agama Kristen, Katholik, Hindu dan Buddha. Umat Kristen menempati posisi jumlah terbesar kedua, yakni 2.120 jiwa. Adapun jumlah penganut masing-masing agama secara rinci dapat dilihat dalam Tabel 1 berikut: Tabel 1 Jumlah Penduduk Kecamatan Mandonga Menurut Agama Tahun 2005 73 No.
A g a m a
1. 2. 3. 4. 5.
Islam Kr i s t e n Katholik Hindu Buddha
J u m l a h 50.276 2.120 908 266 56
Umat beragama menjadikan rumah ibadat mereka masing-masing sebagai sentra kegiatan keagamaan. Tingkat kemarakan kegiatan keagamaan masing-masing umat beragama selain dipengaruhi oleh frekuensi aktivitas keagamaan yang dilakukan oleh masing-masing umat beragama, juga oleh banyaknya jumlah umat masing-masing agama. Dengan demikian kegiatan keagamaan umat Islam terlihat lebih semarak dibanding dengan kegiatan keagamaan umat beragama yang lain. Kesemarakan ini didukung oleh ketersediaan sarana tempat ibadat berupa masjid dan mushala. Meskipun jumlah masjid dan mushala yang ada 73
Disarikan dari Data BPS Kota Kendari Tahun 2005, halaman 133.
239
dibandingkan dengan jumlah penduduk beragama Islam di Kecamatan Mandonga masih kurang mencukupi. Untuk mengetahui jumlah rumah ibadat masing-masing agama secara rinci dapat dilihat Tabel 2 berikut: Tabel 2 Jumlah Rumah Ibadat Masing-masing Agama Di Kecamatan Mandonga Tahun 200574 No.
Rumah Ibadat
1. 2. 3. 4. 5. 6.
M a s j i d M u s h a l a Gereja Kristen Gereja Katholik Pure Vihara
Jumlah 55 7 5 1 -
Selakipun agama yang dianut penduduk Kecamatan Mandonga beragam, namun kerukunan antar umat beragama selama ini terlihat kondusif. Antara kelompok umat beragama yang satu dengan umat beragama yang lain terlihat saling menunjukkan sikap kebersamaan, adanya tenggang rasa, hidup berdampingan, sehingga tercipta suasana hidup yang rukun. Tampaknya nilai-nilai budaya dan kearifan local yang mereka warisi dari orang-orang tua mereka seperti budaya kalosara sebagaimana telah dikemukakan di atas dapat menjadi perekat dalam kehidupan sosial masyarakat, termasuk kehidupan beragama. Suasana kerukunan dalam hidup beragama itu tercermin tidak hanya di Kecamatan Mandonga, tetapi di seluruh wilayah Kota Kendari pada umumnya. 74
240
Disarikan dari Data BPS. Kota Kendari Tahun 2005, halaman 114.
Suasana kerukunan hidup beragama itu tercermin antara lain dari letak beberapa rumah ibadat dari agama yang berbeda terletak di lokasi yang berdekatan. Sebagai contoh, Masjid Raya Kendari di Jl. SMU Oikumene terletak berdekatan -sekitar 150 meter- dengan Gereja Oikumene. Masjid Akbar Kendari hanya dibatasi jalan -sekitar 30 meter- dengan Gereja Immanuel; Masjid al-Muqarrabun berhadapan dengan Gereja Yesus Gembala. Jarak antara kedua rumah ibadat itu sekitar 40 meter- dibatasi jalan. Bahkan Gereja Pantekosta hanya berbatasan tembok dengan Masjid Dakwah Wanita. Kondisi Kecamatan Mandonga yang cukup kondusif itu mengakibatkan adanya sebagian para korban kerusuhan Ambon, Poso dan Dili beberapa tahun yang lalu mengungsi ke Mandonga. Di antara mereka ada yang menetap di rumahrumah penduduk karena ada hubungan keluarga dan ada yang karena kenal dari pertemanan. Demikian penuturan Sekretaris FKUB Kecamatan Mandonga dan beberapa pejabat setempat. Suasana kerukunan justru dapat terusik dari kalangan intern umat beragama sendiri, akibat adanya kelompok – kelompok keagamaan yang mempunyai faham keagamaan yang berbeda, seperti yang terdapat dalam Islam. Di kalangan intern umat Islam –sebagaimana dituturkan Kepala TU Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Sulawesi Tenggarakadangkala justru terjadi masalah sehubungan adanya organisasi keagamaan yang berfaham keagamaan berbeda dengan faham keagamaan mainstream [Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah]. Organisasi keagamaan dengan faham keagamaan yang berbeda dimaksud antara lain: Ahmadiyah, LDII, Hizbut Tahrir dan Islam Jamaah. Tetapi Islam Jamaah, sehubungan telah ada pelarangan dari Kejaksaan Agung maka tidak lagi beraktivitas seperti semula. Organisasi dan faham keagamaan tersebut di atas juga ada di 241
Kecamatan Mandonga dengan jumlah anggota masingmasing relatif kecil. Organisasi keagamaan sebagian besar umat Islam di Kecamatan Mandonga yaitu NU dan Muhammadiyah. Selama ini perbedaan faham keagamaan yang terakomodasikan ke dalam organisasi-organisasi keagamaan itu di Kecamatan Mandonga tidak menimbulkan masalah.
242
243
PERKEMBANGAN FORUM KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA (FKAUB) KECAMATAN MANDONGA
Keberadaan Forum Kerukunan Antar Umat Beragama (FKAUB) Forum Kerukunan Antar Umat Beragama (FKAUB) Kecamatan Mandonga dibentuk atas kesepakatan perwakilan dari berbagai unsur masyarakat Kecamatan Mandonga dalam acara dialog antar umat beragama, yang diselenggarakan pada tanggal 18 Juni 2005 di Kecamatan Mandonga. Acara dialog yang difasilitasi oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan – Badan Litbang Dan Diklat Departemen Agama itu selain dihadiri oleh para perwakilan dari unsur masyarakat, juga dihadiri oleh Camat Mandonga, Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) dan unsur Tripika Kecamatan Mandonga, serta pejabat dan peneliti dari Puslitbang Kehidupan Keagamaan. Unsur perwakilan dari masyarakat dimaksud antara lain: para tokoh agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu dan Buddha, tokoh masyarakat, tokoh adat, pimpinan lembaga/organisasi keagamaan, organisasi kepemudaan dan tokoh perempuan. Kesepakatan pembentukan wadah kerukunan dengan nama FKAUB itu didasari oleh kehendak masyarakat secara bersama ingin meningkatkan berbagai bidang kehidupan, antara lain: pemeliharaan keutuhan, persatuan dan kesatuan masyarakat dengan menjaga kerukunan, peningkatan ekonomi, pembinaan hubungan masyarakat dan hukum, kenakalan remaja, keorganisasian dan peranan wanita. Selain itu, dengan terbentuknya forum kerukunan itu semua tokoh agama menyatakan dengan tegas ingin ikut berperan aktif dalam upaya menanggulangan berbagai bentuk penyakit sosial seperti: narkoba, miras, perjudian, pornografi, prostitusi 244
dan segala bentuk kenakalan dan kerusuhan yang merugikan orang lain, yang dapat merusak akhlak generasi bangsa. Dengan terbentuknya forum kerukunan para pemuka agama juga mengharapkan forum itu dapat menjadi sarana penangkalan secara dini atas segala bentuk yang mengarah kepada tindakan anarkis yang bertujuan memecah-belah persatuan dan kesatuan bangsa, serta dapat meningkatkan kerjasama antar lembaga keagamaan dengan pemerintah daerah dalam mengantisipasi dan menyelesaikan masalahmasalah antar maupun intern umat beragama. Kesepakatan-kesepakatan para tokoh agama itu merupakan cerminan dari kepedulian mereka terhadap peningkatan kehidupan masyarakat di berbagai bidang, termasuk peningkatan kerukunan antar umat beragama. Sekalipun kerukunan hidup beragama di wilayah mereka cukup kondusif, namun mereka tampaknya menyadari heterogenitas masyarakat Kecamatan Mandonga terlebih dari segi agama, rentan bagi timbulnya konflik sehingga perlu upaya penangkalan. Selain itu mereka juga menyadari perlunya upaya peningkatan dan perbaikan kehidupan masyarakat di berbagai bidang termasuk kehidupan generasi muda FKAUB secara resmi terbentuk dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Camat Mandonga Nomor:13/VII/2005 Tanggal 10 Agustus 2005 tentang Kedudukan, Komposisi dan Susunan Pengurus FKAUB Kecamatan Mandonga. Jumlah Pengurus FKAUB sebanyak 24 orang, terdiri atas: Penasehat 3 orang termasuk Camat Mandonga, ketua umum 1 orang, ketua 5 orang, sekretaris 1 orang, bendahara 1 orang, bidang dana 1 orang, bidang humas & hukum 4 orang, bidang organisasi 3 orang dan bidang peranan wanita 3 orang. Dilihat dari segi agama, personalia pengurus FKAUB itu terdiri atas perwakilan dari kelima unsur agama. Namun 245
perwakilan dari unsur Islam terlihat sangat dominan. Hal ini dapat dimaklumi karena memang sebagian besar (93,7 %) penduduk Kecamatan Mandonga beragama Islam. Sedangkan dilihat dari segi pekerjaan cukup bervariasi. Sebagian pengurus FKAUB bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS), sebagian yang lain pegawai swasta, pensiunan, pendeta dan mahasiswa. Susunan dan personalia Pengurus FKAUB selengkapnya dapat dilihat dalam lampiran makalah ini. Maksud pembentukan FKAUB yaitu: senantiasa secara bersama-sama merumuskan segala bentuk kegiatan yang diprogramkan dari beberapa komponen agama yang berbedabeda. Berbagai kegiatan yang diprogramkan oleh masingmasing agama didasarkan atas upaya untuk membangun komitmen bersama dalam FKAUB. Adapun tujuan forum kerukunan ini adalah: a. Membina kerukunan antar umat beragama dalam wilayah Kecamatan Mandonga agar lebih rukun, aman dan tenteram; b. Senantiasa menciptakan hubungan silaturrahim antar umat beragama yang didasari sikap saling menghargai sehingga dapat menumbuhkan toleransi di antara umat beragama; c. Sebagai wadah dan media silaturrahim antar pengurus FKAUB dan dengan pemerintah Kecamatan Mandonga.75 Keberadaan FKUB sebenarnya melengkapi pranata atau lembaga yang ada dalam masyarakat. Sebelum FKAUB dibentuk, di Kecamatan Mandonga telah ada asosiasi lembaga kemasyarakatan baik di tingkat kecamatan maupun tingkat kelurahan.
75
246
Disarikan dari Dokumen FKAUB Kecamatan Mandonga, 2007.
Di tingkat kecamatan terdapat Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM). Anggotanya terdiri atas berbagai unsur agama dan tokoh masyarakat. Tujuan lembaga ini adalah untuk menghimpun sekaligus memfilter kegiatan-kegiatan meliputi berbagai sektor pembangunan yang diadakan di kecamatan, termasuk sektor agama. Di tingkat kelurahan selain terdapat LPM, terdapat pula Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) dan Kelompok Sosial Masyarakat (KSM). Asosiasi-asosiasi yang juga beranggotakan perwakilan dari unsur masyarakat itu pada dasarnya melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial kemasyarakatan. Sebagaimana para tokoh agama, para pejabat pemerintah daerah dan berbagai unsur masyarakat menyambut baik dan menanggapi positif pembentukan FKAUB Kecamatan Mandonga, sekalipun kondisi kerukunan umat beragama di wilayah mereka selama ini cenderung kondusif. Informasi ini terungkap ketika peneliti melakukan wawancara kepada para informan sehubungan keberadaan FKAUB di Kecamatan Mandonga. Camat Mandonga memberikan dukungan secara moral kepada Pengurus FKAUB, sementara itu Kepala KUA Kecamatan Mandonga memfasilitasi ruang pertemuan untuk Kantor Sekretariat FKAUB. Berbagai unsur masyarakat akan membantu secara proaktif terhadap berbagai kegiatan yang akan dilakukan FKAUB. Dukungan dari berbagai unsur masyarakat itu didorong oleh suatu harapan, bahwa masyarakat tidak menginginkan konflik-konflik sosial bernuansa agama sebagaimana timbul di berbagai daerah beberapa waktu yang lalu terjadi di wilayah mereka. Karena itu mereka berharap, dengan terbentuknya FKAUB di Kecamatan Mandonga dapat
247
menangkal kemungkinan terjadinya konflik dalam masyarakat, terutama intern dan antar umat beragama. Program Kerja dan Kegiatan Berdasarkan data berupa dokumen dari pengurus FKAUB Kecamatan Mandonga, terlihat bahwa pengurus FKAUB telah melakukan serangkaian kegiatan sejak sebelum ada Surat Keputusan dari Camat Mandonga yang menandakan pengangkatan secara resmi pengurus FKAUB Kecamatan Mandonga oleh Camat Mandonga. Hal itu menunjukkan semangat kerja yang tinggi dari para pengurus FKAUB. Karena belum memiliki kekuatan hukum –berupa pengesahan dan pengangkatan dari Camat Mandonga- maka kegiatan yang dilakukan oleh pengurus FKAUB pada waktu itu hanya sebatas rapat/pertemuan-pertemuan intern calon pengurus FKAUB yang terdiri atas perwakilan dari unsur agama-agama. Kegiatan rapat/pertemuan yang dilakukan pada waktu itu yaitu: a. Tanggal 27 Juni 2005: mengadakan rapat pengurus FKAUB, membahas antara lain: i.
Rencana kerja FKAUB;
ii. Peninjauan struktur organisasi; iii. Penyusunan surat permohonan pengesahan pengurus FKAUB kepada Camat Mandonga; iv. Penyusunan beragama;
rumusan
hasil
dialog
antar
umat
v. Perlengkapan kantor, seperti: papan nama dan meja kerja pengurus FKAUB. b. Tanggal 5 Juli 2005 rapat pengurus FKAUB, membahas rencana kegiatan FKAUB (lanjutan) setelah ada surat
248
keputusan pengurus FKUB dari Camat Mandonga, dituangkan dalam program kerja; c. Tanggal 16 Juli 2005 rapat pengurus FKAUB dengan dihadiri Camat Mandonga, membahas antara lain: i.
Perubahan/perbaikan komposisi anggota pengurus FKAUB dalam lampiran konsep surat permohonan pengesahan Camat Mandonga;
ii. Pembagian tugas bidang-bidang yang terdiri atas 4 bidang. d. Tanggal 10 Agustus 2005 rapat pengurus FKAUB, membahas hasil rumusan pembagian bidang-bidang beriku rencana kegiatannya untuk rencana penyusunan proposal ke Pusat\Badan Libang dan Diklat Depag. Hasil rapat/pertemuan (calon) pengurus FKAUB yang dilakukan beberapa kali itu setelah keluar surat keputusan pengesahan pengurus FKAUB dari Camat Mandonga, dijadikan bahan penyusunan program kegiatan selama setahun ke depan. Pengurus FKAUB sendiri berdasarkan surat keputusan Camat Mandonga mempunyai masa kerja selama tiga tahun. Artinya, setelah masa kepengurusan FKAUB tiga tahun maka harus diadakan pemilihan kembali pengurus FKAUB. Adapun program kerja FKAUB selama satu tahun ke depan sesuai bidangnya masing-masing adalah: Bidang Dana Mengusahakan sumber dana dari pemerintah dengan mengharapkan bantuan dari Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI untuk kegiatan FKAUB selama satu tahun ke depan, dengan rincian anggaran untuk masingmasing lima unsur agama sebagai berikut:
249
i.
Agama Islam, anggaran yang diusulkan
Rp. 35.000.000,-
ii.
Agama Kristen, anggaran yang diusulkan
Rp. 25.000.000,-
iii.
Agama Katholik, anggaran yang diusulkan
Rp. 25.000.000,-
iv.
Agama Hindu, anggaran yang diusulkan
Rp. 25.000.000,-
v.
Agama Buddha, anggaran yang diusulkan
Rp. 25.000.000,-
Jumlah =
Rp.135.000.000,-
Jenis kegiatan yang akan dilakukan oleh FKAUB Kecamatan Mandonga selama satu tahun ke depan untuk masing-masing agama adalah: 1) Agama Islam:
250
Melakukan safari Jum’at di seluruh masjid di wilayah Kecamatan Mandonga, setiap minggu;
Melakukan pembinaan pengajian di TPA-TPA wilayah Mandonga, setiap minggu;
Melakukan pembinaan pengajian di seluruh majelis taklim di Kecamatan Mandonga, setiap minggu;
Melakukan dialog antar umat beragama di sekretariat FKAUB;
Melakukan kunjungan ke panti-panti asuhan;
Melakukan safari Ramadlan pada bulan Ramadlan;
Memberikan santunan kepada anak yatim piatu dan fakir miskin;
Memberi bantuan buku-buku Islam kepada anak-anak panti asuhan;
Memberi insentif kepada para pembimbing yang ada di FKAUB Kecamatan Mandonga;
Melakukan pembinaan kepada setiap kelompok Dasawisma tentang pentingnya sikap toleransi di antara umat beragama.
2) Agama Kristen:
Melakukan kegiatan sekolah minggu;
Memberikan kebaktian bagi remaja di tiap gereja;
Melakukan kegiatan kebaktian pemuda di tiap gereja;
Melakukan kunjungan ke panti asuhan dan panti jompo dengan memberikan bantuan;
Mengunjungi anak-anak yatim piatu dan janda;
Melakukan kegiatan padang di gereja;
Melakukan kunjungan ke gereja kecil untuk memberi bantuan.
3) Agama Katholik:
Insentif pastor setiap bulan;
Melakukan pembinaan kepada anak-anak Kristiani yang ada di gereja setiap minggu;
Memberikan transportasi kepada para tenaga pemberi pembinaan terhadap anak-anak di gereja dalam rangka pembinaan umat.
4) Agama Hindu: Melakukan berbagai kegiatan di pura, meliputi: Hari Purnama/Tilem, Odalan Pura Jagaditha, Utsawa Dharma Githa, Wargasari dan pentas seni, malam sastra suci, dan pasraman kilat.
251
5) Agama Buddha: Melakukan berbagai kegiatan sebagaimana diusulkan di atas yang difokuskan bertempat di vihara, untuk pembinaan bagi pemeluk agama Buddha di wilayah Kecamatan Mandonga. Bidang Hukum dan Humas 1. Bidang Hukum:
Meningkatkan kesadaran hukum di kalangan masyarakat melalui pendidikan dan penyuluhan hukum;
Melakukan dukungan penerapan berlakunya kepastian hukum dengan tidak memandang suku, agama dan ras untuk menciptakan rasa aman, damai serta keadilan;
pelayanan hukum kepada kepada yang kurang mampu.
masyarakat
terutama
2. Bidang Humas:
Meningkatkan pembinaan hubungan masyarakat melalui komunikasi dengan organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial politik, pemerintah dan lembaga yang ada;
Meningkatkan peran sebagai komunikator antara eksponen organisasi kemasyarakatan;
Bidang Organisasi -
252
Menciptakan hubungan kerjasama dengan pemelukpemeluk agama lain, baik di bidang organisasi maupun kemasyarakatan melalui pembinaan kerukunan hidup beragama;
-
Melakukan pendekatan terhadap organisasi lain dalam rangka pembinaan keagamaan sesuai keyakinan masingmasing.
Bidang Peranan Wanita -
Melakukan pembinaan hubungan kerjasama antara kelompok majelis taklim, dasawisma, dan organisasi kemasyarakatan lainnya dalam rangka mengembangkan sikap dan perilaku hidup rukun antar umat beragama;
-
Meningkatkan peran ibu rumah tangga dalam mewujudkan kerukunan hidup beragama di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat;
-
Mengadakan dialog antar umat beragama, intern umat beragama dan antar umat beragama dengan pemerintah untuk mengatasi masalah yang ada dalam masyarakat.76
Pogram kegiatan FKAUB yang telah disusun sesuai bidang masing-masing untuk jangka waktu selama satu tahun itu, hingga studi ini dilakukan belum ada -satu aspek program kegiatan pun dalam satu bidang -yang telah terealisasi. Alasan mendasar –yang sering dijadikan tumpuan alasan- adalah faktor dana. Faktor dana sebagai hambatan pelaksanaan program kegiatan FKAUB ini dituturkan oleh para informan yang lain, tidak hanya oleh pengurus FKAUB. Karena tidak ada sumber dana yang dapat dijadikan andalan untuk pembiayaan kegiatan-kegiatan yang telah dicanangkan, maka praktis tidak ada satu rencana kegiatanpun yang dilakukan. Terlihat secara jelas, andalan sumber dana yang diharapkan oleh pengurus FKAUB saat kajian ini dilakukan adalah harapan bantuan dana dari Badan Litbang Dan Diklat Departemen Agama melalui proposal yang hendak dikirimkan. Upaya pengusulan anggaran melalui APBD yang 76
Disarikan dari dokumen FKAUB Kecamatan Mandonga, 2007.
253
diusulkan melalui Kecamatan Mandonga atau Kandepag Kota Kendari - yang mungkin dapat dilakukan- ternyata belum dirintis. Upaya pengusulan anggaran operasional FKAUB agar dimasukkan melalui APBD dimaksud mestinya telah disarankan oleh pejabat Puslitbang Kehidupan Keagamaan pada acara forum dialog kerukunan di Kecamatan Mandonga pada tahun 2005 yang lalu. Ada semacam keinginan atau harapan dari unsur pengurus FKAUB yang juga seorang tokoh agama (Islam) setempat, karena pembentukan FKAUB atas fasilitas dari Puslitbang Kehidupan Keagamaan, maka dana untuk kegiatan-kegiatan selanjutnya semestinya juga dari instansi itu. Kalau Pengurus FKAUB harus mencari dana untuk kegiatan FKAUB, hal itu dinilai tidak pantas karena pengurus FKAUB terdiri atas para tokoh agama. Pemikiran seperti itulah agaknya yang dijadikan alasan Pengurus FKAUB Kecamatan Mandonga merencanakan mengirim proposal ke Badan Litbang Dan Diklat. Karena belum memperoleh sumber dana dan hanya akan mengandalkan dana dari Pusat maka tidak satu program pun terlaksana. Mencermati materi program kegiatan terutama bidang dana yang merencanakan akan mengupayakan sumber dana dari Badan Litbang Dan Diklat, menunjukkan adanya semacam kesalahpahaman atau kekurangmengertian di kalangan unsur pengurus FKAUB. Pada saat acara dialog pengembangan wadah kerukunan yang diadakan di Kecamatan Mandonga pada tanggal 18 Juni 2005 yang difasilitasi Puslitbang Kehidupan Keagamaan, atas inisiatif masyarakat sendiri disepakati pembentukan wadah/forum kerukunan antar umat beragama. Ketika itu pejabat dari Puslitbang Kehidupan Keagamaan mengharapkan, untuk pendanaan program kegiatan FKAUB selanjutnya agar pengurus FKAUB mengusahakan melalui APBD dan usaha 254
lain. Tidak mengharapkan bantuan dana dari Badan Litbang dan Diklat. Di sisi lain, sistem penyusunan program kegiatan dengan membuat rencana kegiatan masing-masing agama secara terpisah itu tidak mencerminkan kebersamaan antar umat beragama. Melalui FKAUB ini diharapkan perwakilan dari unsur agama-agama merumuskan program kegiatan yang dapat direalisasi secara bersama oleh umat beragama sehingga hasilnya dapat dinikmati oleh masing-masing umat beragama, misalnya kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial, peningkatan kesejahteraan/ekonomi masyarakat, dan sejenisnya.
255
PENUTUP
Kesimpulan Dari uraian di atas dapat disimpulkan hal-hal berikut: 1. FKAUB Kecamatan Mandonga dibentuk pada tanggal 18 Juni 2005 dalam forum dialog kerukunan di Kecamatan Mandonga yang difasilitasi Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama. Forum ini dibentuk atas inisiatif masyarakat melalui perwakilan dari unsur masyarakat yang terdiri atas: para tokoh agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu dan Buddha, tokoh masyarakat, tokoh adat, pimpinan organisasi/lembaga keagamaan, tokoh pemuda dan wanita. Sebagai pranata atau lembaga sosial, FKAUB ini di Kecamatan Mandonga bukan satu-satunya lembaga kemasyarakatan. Sebelum FKAUB terbentuk, di Kecamatan Mandonga telah ada Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM), di kelurahan-kelurahan selain ada LPM ada Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) dan Kelompok Sosial Masyarakat (KSM). Lembaga-lembaga itu melakukan kegiatan di bidang kemasyarakatan, termasuk bidang agama. FKAUB sejak struktur dan personalia pengurusnya terbentuk, sementara menunggu proses SK pengesahan oleh Camat Mandonga, telah melakukan serangkaian kegiatan internal pengurus berupa rapat-parat/pertemuan Pengurus FKAUB (sementara), membicarakan antara lain: pembagian bidang-bidang, sumber dana, serta rencana program kegiatan satu tahun ke depan. Namun sejak dikeluarkannya SK Pengurus FKAUB oleh Camat 256
Mandonga tanggal 10 Agustus 2005 hingga kajian ini dilakukan pada bulan April 2007 (selama sekitar 19 bulan), FKAUB praktis belum merealisasikan program kegiatan yang telah dicanangkan karena faktor kesulitan dana operasional. Adanya pemikiran Pengurus FKAUB mengharapkan sumber dana dari Badan Litbang Dan Diklat melalui pengajuan proposal waktu itu, mengakibatkan Pengurus FKAUB tidak mengusahakan dana ke instansi atau lembaga lain. Dilihat dari sistem pengusulan dana dan substansi sasaran program kegiatan yang cenderung terpisah antara agama yang satu dengan yang lain, menunjukkan ketidakpahaman pengurus FKAUB terhadap esensi pembentukan FKAUB untuk kebersamaan antar umat beragama. 2. Faktor penghambat dalam upaya pengembangan FKAUB Kecamatan Mandonga belum adanya sumber dana untuk biaya operasional kegiatan-kegiatan FKAUB. Adanya pemikiran bahwa untuk merealisasikan program-program kegiatan FKAUB dengan mengharap difasilitasi oleh Badan Litbang Dan Diklat Departemen Agama, dapat mengurangi inisiatif pengupayaan sumber dana dari pihak lain. Adapun yang menjadi faktor pendukung di antaranya adalah semangat kerja yang cukup tinggi dari sementara Pengurus FKAUB terutama generasi mudanya, sambutan positif dari kalangan pejabat pemerintah setempat, para tokoh agama maupun masyarakat. Hal itu semua dapat menjadi modal dasar untuk memotivasi upaya pengembangan FKAUB ke depan. 3. Aparat pemerintah setempat serta unsur-unsur masyarakat merespon secara positif keberadaan FKAUB 257
di Kecamatan Mandonga. Camat Mandonga dan jajarannya memberikan dukungan moral kepada Pengurus FKAUB. Para tokoh agama dan masyarakat siap membantu secara proaktif terhadap kegiatan yang dilakukan selagi diperlukan. Respon demikian itu diberikan masyarakat karena mereka tidak ingin wilayah mereka dilanda konflik sebagaimana terjadi di berbagai daerah lain pada beberapa tahun yang lalu. Rekomendasi Berdasarkan kesimpulan di atas direkomendasikan berikut: a. Untuk menanggulangi kesulitan sumber dana, Pengurus FKAUB khususnya bidang dana seyogyanya tidak hanya mengharapkan bantuan dari Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama. Sumber dana dapat diupayakan melalui pengusulan dalam APBD Kota Kendari, atau para pengusaha yang peduli terhadap program–program FKAUB tanpa melihat agama mereka. b. Sistem perencanaan anggaran/dana serta program kegiatan yang cenderung mencerminkan pelaksanaan kegiatan secara terpisah antara kegiatan agama yang satu dengan yang lain, hendaknya direvisi dengan memprogramkan jenis-jenis kegiatan yang dapat dilakukan secara bersama antar umat beragama, misalnya kegiatankegiatan yang bersifat kemanusiaan, sosial kemasyarakatan dan sejenisnya. Jadi bukan kegiatan yang bernuansa ritual keagamaan sesuatu agama.
-o0o-
258