117
VII. PROGRAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DAN MENGELOLA HUTAN RAKYAT (MHR)
7.1. Latar Belakang Lahirnya Program MHBM dan MHR PT. MHP sebagai salah satu pelopor pembangunan HTI di Sumatera Selatan dengan izin konsesi seluas 296 400 ha, telah menerapkan program MHBM dan MHR sejak tahun 1999/2000 yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera di sekitar kawasan HTI PT. MHP. Program MHBM dan MHR ini lahir sebagai upaya untuk mengatasi konflik yang berkepanjangan yang terjadi antara perusahaan dan masyarakat sekitar hutan sebelumnya. Dalam konflik berkepanjangan ini masyarakat mengklaim bahwa lahan yang dikuasia perusahaan saat ini adalah lahan mereka sebagai lahan eks marga. Konflik tersebut mencapai puncaknya ketika reformasi tahun 1998 hingga tahun 1999, banyak lahan-lahan perusahaan yang diduduki dan dikuasai masyarakat. Tanaman yang siap panen dan kayu akasia yang telah di panen banyak yang di bakar oleh masyarakat yang menimbulkan kerugian besar dan membuat suasana perusahaan menjadi sangat tidak kondusif. Di dalam PP No.7/1990 memang tidak secara tersurat disebutkan bahwa pembangunan HTI juga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu banyak perusahaan menganggap wajar ketika itu masalah kesejahteraan memang tidak termasuk dalam fokus perhatian perusahaan dan pemerintah, melainkan hanya sekedar basa-basi (lip service) belaka. Fokus utama HTI adalah pembangunan ekonomi dan sektor kehutanan yang merupakan salah satu lokomotif pembangunan.
118
Lahirnya pola MHBM dan MHR ini sebenarnya telah diamanatkan secara tersirat dalam PP No.7/1990 dimana dalam peraturan tersebut dikatakan bahwa program HTI harus mampu memperluas lapangan kerja dan lapangan usaha. Hal ini dapat dimaknai bahwa perluasan lapangan kerja dan lapangan usaha merupakan realisasi dari usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Bagi
sekelompok masyarakat yang memiliki jiwa wirausaha (entrepreneurship), mereka dapat membuka usaha yang melayani aktivitas pembangunan hutan tanaman misalnya menjadi pemborong pekerjaan dan semua aktivitas pelayanan kepada pelaksana kerja. Perluasan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha diaktualisasikan oleh perusahaan dalam lingkup pekerjaan pembangunan HTI mulai dari penanaman, pemeliharaan tegakan hutan, pemungutan kayu pengolahan kayu dan pemasaran basil olahan. Banyak diantara pekerjaan tersebut, dapat dikerjakan oleh masyarakat. Keterlibatan masyarakat di dalam pekerjaan berdampak pada peningkatan kesejahteraan mereka. Seiring dengan bertambahnya pengalaman manajemen MHP dan masyarakat, diharapkan semakin banyak pula pekerjaan yang dapat diborongkan kepada masyarakat. Pelaksanaan program MHBM dan MHR ini telah berhasil meredam konflik yang terjadi saat itu dan dapat mengatasi konflik hingga saat ini.
Hal ini akan
terus berkelanjutan dalam jangka panjang jika model MHBM dan MHR ini bisa dijaga dan dilaksanakan dengan baik dan konsisten. Pola ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan adanya kepastian kerja dan kepastian hasil usaha, kepastian mendapat bagi-hasil atas hasil akhir dan memperoleh berbagai bimbingan untuk meningkatkan
119
keterampilan. Program MHBM dan MHR juga bertujuan untuk meredam gejolak tuntutan klaim lahan usaha oleh masyarakat, dan membangun rasa memiliki (sense of belonging) terhadap HTI di sekitar mereka. Di samping itu, masyarakat juga terlibat di dalam proses produksi yang menghasilkan kayu pada setiap akhir rotasi, serta mendapat bagian berupa bagi hasil, jasa management dan jasa produksi. Program MHBM mulai dilaksanakan pada tahun 1999, dan sejak itu banyak masyarakat yang terlibat langsung dalam setiap pekerjaan pembangunan HTI, baik sebagai pekerja, maupun sebagai pemborong pekerjaan. Adanya keterlibatan masyarakat secara luas dalam kegiatan HTI perusahaan, telah membangun rasa memiliki masyarakat terhadap keberadaan perusahaan dan terjalinnya hubungan yang harmonis antara perusahaan dan masyarakat. Dampak dari semua itu adalah klaim terhadap lahan tidak pernah terjadi lagi, dan demontrasi dan kerusuhan dapat dihindari. Berdasarkan hasil peneitian terlihat bahwa program
MHBM ini telah
memberikan manfaat yang cukup besar bagi masyarakat berupa: 1. Penempatan warga masyarakat sebagai subjek dalam pengelolaan HTI (Stakeholder), 2. Memperoleh kemanfaatan finansial berupa: jasa kerja, jasa manajemen dan jasa produksi, 3. Memberikan peluang dalam kegiatan agribisnis trisula dan 4. Peluang kerja/usaha jangka pendek, menengah dan panjang. Keuntungan lain yang di terima oleh masyarakat dalam Pola MHBM adalah mendapat prioritas untuk bekerja di dalam areal konsesi, dalam melaksanakan
120
pekerjaan mereka dibayar sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan dan tingkat upah yang disepakati. Disamping mendapat jasa manajemen atas pengelolaan HTI di lahan MHBM
sebesar 1% dari seluruh nilai transaksi, mereka juga
mendapat jasa produksi sebesar Rp2500/m3 dari seluruh total produksi HTI di lahan MHBM yang dikelola. Bagi perusahaan MHP program MHBM telah memberikan manfaat yang cukup besar, berupa jaminan keberlanjutan kegiatan perusahaan di masa mendatang. Adapun beberapa manfaat MHBM bagi perusahaan adalah: 1. Tersedianya lahan usaha yang tidak bermasalah. 2. Lebih terjaminnya kelestarian produksi dan kapasitas usaha. 3. Terciptanya hubungan yang harmonis antara perusahaan dengan masyarakat. Sedangkan bagi pemerintah manfaat dari program MHBM ini adalah: 1) meningkatkan penerimaan pemerintah melalui penerimaan devisa, pajak, PSDH, dan lain-lain, 2) meningkatkan kualitas lingkungan, dan 3) meningkatkan kemakmuran masyarakat pedesaan. Program MHR sebagai upaya untuk meredam konflik dan mengantisipasi terjadinya keadaan yang tidak kondusif dan merugikan perusahaan di diperlukan karena: 1. Perubahan paradigma dalam pengelolaan hutan dimana masyarakat harus diperlakukan sebagai subjek (stakeholder). 2. Respon atas perubahan dan perkembangan tatanan sosial kemasyarakatan. 3. Memberi peluang kesempatan dan kemanfaatan yang lebih riil kepada masyarakat.
121
4. Memperkokoh kelestarian sosial sebagai salah satu prinsip pengelolaan hutan tanaman berkelanjutan. Mengelola hutan rakyat (MHR) adalah program penanaman hutan tanaman A. mangium dilahan milik masyarakat yang bertempat tinggal di daldalam dan sekitar areal kerja MHP. Kerjasama ini melibatkan masyarakat sebagai pemilik lahan dengan PT. MHP. Program MHR bertujuan untuk menanami lahan milik masyarakat yang tidak produktif dengan modal dan bantuan teknis dari MHP, sedangkan pengelolaannya dilakukan oleh pemilik lahan yang bersangkutan. Syarat paling penting dalam program ini adalah lahan dengan status kepemilikan yang syah menurut peraturan yang berlaku, yang diajukan untuk digunakan program MHR oleh pemiliknya. Pada waktu program ini mulai diluncurkan, banyak lahan milik masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan di sekitar areal kerja MHP yang tidak produktif. Pada umumnya lahan tersebut tertutup oleh semak belukar atau padang alang-alang, bekas kebakaran besar tahun 1992 dan 1997 yang lalu. Pada umumnya areal tersebut sebagian direncanakan oleh pemiliknya untuk mengembangkan kebun karet rakyat. Tetapi karena keterbatasan modal dan harga karet yang selalu berfluktuasi, maka tawaran dari MHP untuk mengembangkan hutan
rakyat
A.
mangium
ternyata
mendapat
respons
yang
sangat
menggembirakan karena harga kayu A. mangium lebih stabil, bahkan cenderung meningkat di masa mendatang. Manfaat ekonomi program MHR bagi masyarakat berupa meningkatnya kesejahteraan masyarakat berkat adanya kepastian kerja dan kepastian hasil usaha, kepastian mendapat bagi-hasil atas hasil akhir dan memperoleh berbagai
122
bimbingan untuk meningkatkan keterampilan menanam. Program MHR juga memberikan manfaat sosial dengan meredam gejolak tuntutan klaim lahan usaha oleh masyarakat, dan membangun rasa memiliki (sense of belonging) terhadap hutan di sekitar mereka. Mereka dapat memiliki rasa (sense) tidak kehilangan hak atas lahan tersebut, karena mereka mendapatkan manfaat darinya. Di samping itu, dampak dua manfaat tersebut mereka terlibat di dalam proses produksi dan menghasilkan kayu (akhir rotasi). Bagi perusahaan, dapat melakukan ekspansi tanaman industri tanpa perlu melakukan ekspansi kepemilikan kawasan dan ekspansi kawasan konsesi (hak pengusahaan) atau hak kelola. Satu proses di sederhanakan dalam ekspansi luas tanaman, yaitu perusahaan tidak perlu mengurus ijin perluasan kawasan dengan pemerintah karena sudah tersedia lahan yang tidak bermasalah. Pelibatan masyarakat khususnya di dalam MHR bermanfaat bagi perusahaan karena dapat membangun sebuah kelompok kawasan hutan tanaman, sebagai sebuah unit tanpa harus ada celah kawasan bukan hutan tanaman. Keuntungan yang juga penting adalah adanya rasa memiliki oleh masyarakat sebagai stakeholder sehingga mereka dapat diajak berbagi tanggung jawab dan manfaat dalam pembangunan dan perlindungan tanaman industri. Perusahaan melakukan perlindungan hutan tanaman dari kebakaran dengan menyediakan dana, alat dan pelatihan kerja agar masyarakat dapat dilibatkan dalam memantau titik-titik api serta mampu mencegah kebakaran. Bagi pemerintah, manfaat program ini adalah meningkatnya pendapatan Pemerintah Pusat dan Daerah, meredanya konflik sosial, meningkatnya kualitas lingkungan dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Mobilitas masyarakat
123
juga meningkat karena perusahaan sering memperbaiki prasarana transportasi, sebagai salah satu usaha untuk membantu memasarkan hasil-hasil Agro-Trisula. Masyarakat bertambah terampil di dalam memahami hukum karena keterlibatan mereka di dalam kedua program itu ditegaskan dengan Akta Kesepakatan. 7.2. Prinsip-Prinsip dan Aturan Main Program MHBM dan MHR Prinsip dan Aturan Main Program MHBM Beberapa prinsip-prinsip MHBM yang dikembangkan oleh perusahaan HTI PT. Musi Hutan Persada dalam pelaksanaan MHBM adalah: 1. Pemberdayaan warga masyarakat sebagai kelompok-kelompok dengan mengikutsertakan dalam setiap proses kegiatan pembangunan HTI dalam suatu kerja sama (kemitraan) yang saling menguntungkan. 2. Areal/wilayah lahan MHBM adalah lahan negara yang telah/pernah dikelola perusahaan, 3. MHBM dilaksanakan untuk tanaman daur ke dua, 4. Masyarakat memperoleh manfaat secara kontinyu dan berlanjut berupa: jasa kerja, jasa manajemen dan jasa produksi dan 5. MHBM dilaksanakan dengan program agribisnis trisula dan program tumpangsari. Secara rasional, program MHBM adalah sebuah pola penanaman HTI dengan tanaman Acasia. mangium yang melibatkan masyarakat. Dalam pola MHBM ini, masyarakat di ajak untuk ikut mengelola HTI yang berada di dalam kawasan konsesi peruahaan yang sebelumnya diklaim sebagai tanah leluhur
124
mereka.
MHBM berdasarkan kesepakatan yang telah disahkan menetapkan
aturan main sebagai berikut : 1. Mempekerjakan anggota masyarakat yang tergabung dalam sebuah kelompok menanam dan memelihara Akasia mangium sampai panen, di berada dalam kawasan izin hak pengusahaan HTI. 2. Kelompok masyarakat ini dipekerjakan karena semula mengklaim bahwa lahan HTI itu adalah lahan bekas marga. Mereka ini secara emosional terikat dengan lahan HTI meskipun secara legal formal tidal dapat membuktikan klaim tersebut, dan secara legal-formal pula kawasan yang diklaim itu berada di dalam kawasan konsesi. 3. Dalam melaksanakan pekerjaannya masyarakat dibayar untuk kegiatan menanam dan memelihara hingga panen yang dikerjakannya dan mendapat bagian hasil dari jasa produksi. 4. Kelompok masyarakat memperoleh jasa manajemen (management fee) atas HTI sebesar satu persen dari setiap nilai transaksi. 5. Mereka juga memperoleh pendapatan dari produksi tumpang sari dari tiga komoditas agroforestry (agrotrisula) yaitu sayuran, penggemukan ternak dan ikan. 6. Untuk menghindarkan salah pengertian yang dapat mendorong terjadinya konflik, kegiatan tersebut dilakukan dalam sebuah nota kesepahaman yang ditandatangani oleh perusahaan dengan kelompok masyarakat. Dalam pelaksanaannya di lapangan, ada beberapa tahapan yang harus dilakukan dalam program MHBM. Tahapan-tahapan pelaksanaan MHBM yang dilakukan adalah: 1) sosialisasi kegiatan kepada pihak terkait, 2) pembentukan
125
kelompok masyarakat, 3) penentuan lokasi MHBM, 4) pembuatan akta kesepakatan, 5) pelaksanaan pekerjaan, 6) penunjukan pihak ketiga, 7) program penunjang, dan 8) pembinaan dan pelatihan. Mengelola hutan bersama masyarakat merupakan konsep pengelolaan hutan tanaman industri yang dilaksanakan secara bermitra dengan masyarakat di sekitar hutan yang terkait dengan lahan hutan. Kemitraan tersebut dibuat dengan prinsip saling menguntungkan kedua belah pihak. Prinsip membangun kemitraan dalam MHBM tersebut adalah untuk memberdayakan masyarakat dengan mengikut sertakan mereka dalam setiap proses kegiatan HTI. Program MHBM ini diatur pada kawasan hutan negara yang telah diterima oleh MHP dari pemerintah dengan SK Menteri Kehutanan No: 038/kpts-II/1996. Selanjutnya kemitraan antara MHP dengan masyarakat diatur menurut wilayah administrasi pemerintahan, mulai dari tingkat desa, kecamatan sampai kabupaten. Dengan kemitraan itu maka hubungan kerjasama antara MHP dengan masyarakat akan berlangsung secara lestari, karena setiap kegiatan membangun HTI akan selalu melibatkan masyarakat dan pejabat pemerintah dari tingkat desa, kecamatan sampai kabupaten. Dengan demikian masyarakat akan memperoleh manfaat secara lestari pula, dalam bentuk jasa kerja, jasa manajemen dan jasa produksi. Di lain pihak, dengan program itu perusahaan juga memperoleh keuntungan berupa jaminan lahan hutan yang bebas dari masalah sosial, serta jaminan kelestarian produksi dan usaha karena terciptanya hubungan yang harmonis dengan masyarakat. Inilah
perbedaan
pokok
program
MHBM
dengan
PMDH,
yaitu
menempatkan rakyat dan tokoh masyarakat di sekitar hutan sebagai stakeholder
126
yang ikut menentukan dan merancang kegiatan serta memperoleh manfaat langsung dari setiap kegiatan pembangunan HTI, mulai dari penanaman, pemeliharaan dan penjagaan keamanan, serta pemanenan. Kemitraan antara perusahaan dan masyarakat dalam program MHBM tersebut diikat dengan akte kesepakatan antara MHP yang diwakili oleh Kepala Unit dengan masyarakat atas nama Kepala Desa, BPRD serta Camat, yang diwakili oleh seseorang yang ditunjuk oleh masyarakat melalui kesepakatan dalam musyawarah. Satuan pembuatan akte kesepakatan ini adalah kawasan hutan yang masuk ke dalam wilayah administrasi desa tertentu. Komponen pekerjaan HTI yang disebutkan dalam akte kesepakatan adalah pekerjaan persiapan lahan, penanaman, pemupukan, pemeliharaan, pengendalian api dan penebangan. Semua Kegiatan tersebut dibuat berdasarkan Rencana Kerja Tahunan (RKT) yang dibuat oleh perusahaan. Prinsip dan Aturan Main Program MHR Prinsip-prinsip utama dalam pelaksanaan program MHR, secara garis besar adalah sebagai berikut: 1. Pemberdayaan
sumberdaya
alam
(lahan)
yang
tidak
produktif
dan
pemberdayaan masyarakat yang berada di dalam dan disekitar lokasi areal HPHTI PT. MHP dengan pola kemitraan dalam kegiatan pembangunan HTI, sehingga masyarakat yang menguasai lahan dan PT. MHP akan mendapatkan keuntungan secara bersama-sama. 2. Areal kerja MHR adalah lahan masyarakat yang telah dikuasai/dimiliki baik secara defacto maupun dejure yang mempunyai bukti kepemilikan yang syah
127
menurut peraturan yang ada yang pengelolaannya dikerjasamakan dengan PT. MHP untuk dikelola menjadi HTI. 3. Masyarakat mendapat manfaat secara kontinyu dan berkesinambungan berupa jasa kerja dan bagi hasil setelah panen yang terlebih dahulu dikurangi dengan biaya operasional pembangunan HTI. Program MHR dilaksanakan pada areal yang terdapat di dalam maupun disekitar HPHTI PT. MHP yang inclave dan belum dikelola oleh PT. MHP, yang secara defacto dan dejure dikuasai oleh masyarakat dengan bukti yang syah menurut hukum dan peraturan yang berlaku. Dalam program MHR, pelaksanaannya diawali dengan kesepakatan setelah beberapa kali diselenggarakan musyawarah antara MHP dengan pihak-pihak terkait dan tokoh-tokoh masyarakat. Setelah diperoleh kesepakatan, maka selanjutnya ditanda-tangani Akta Kesepakatan Mengelola Hutan Rakyat (MHR) oleh kedua belah pihak. Dalam hal ini MHP berlaku sebagai Pihak Pertama diwakili oleh Kepala Unit untuk wilayah yang bersangkutan, sedangkan masyarakat diwakili Ketua Kelompok yang bertempat tinggal di dusun, talang atau desa yang bersangkutan sebagai Pihak Kedua. Selanjutnya secara formal dilakukan penandatanganan Akta Kesepakatan yang berlaku untuk satu rotasi (8 tahun). Bila kedua belah pihak puas kesepakatan dapat diperbarui. Areal milik masyarakat di dalam dan di sekitar areal kerja MHP yang tidak produktif itu dalam program MHR akan ditanami dengan tanaman HTl (A. mangium). Hasil produksi program MHR akan dibagi oleh kedua belah pihak sesuai dengan kesepakatan. Perhitungan bagi hasil tersebut didasarkan pada nilai hasil bersih, yaitu harga jual kayu dikurangi dengan seluruh biaya yang telah
128
dikeluarkan. Di dalam bagi hasil itu disepakati Pihak Pertama akan menerima 60% dan Pihak Kedua menerima 40% dari keuntungan bersih. Di dalam kerjasama itu, Pihak Pertama menyediakan modal kerja dan bimbingan teknis, sedangkan Pihak Kedua menyediakan lahan yang dimilikinya secara syah menurut hukum. Modal yang disediakan oleh Pihak Pertama digunakan untuk membiayai pelaksanaan pemhuatan tanaman serta membeli bahan-bahan yang diperlukan. Pelaksanaan pembuatan tanaman tersebut sepenuhnya dilakukan oleh pemilik lahan, sehingga modal dari Pihak Pertama yang disediakan sebagai jasa kerja itu juga akan diterima oleh Pihak Kedua. Jadi manfaat yang diperoleh Pihak Kedua tidak hanya berupa uang dari bagi hasil saja, tetapi juga ada uang dari jasa kerja. Komponen pekerjaan pengelolaan HTI dalam program MHR ini meliputi kegiatan-kegiatan pembukaan lahan. penanaman, pemupukan, pemeliharaan, perilndungan hutan, penebangan dan pengangkutan kayu. Semua program MHR Disusun oleh pihak Pertama dalam bentuk Rencana Karya Tahunan, yang selanjutnya di buat surat perintah kerja (SPK) untuk pedoman pelaksanaan kegiatan di lapangan. Di samping itu. sebagai instrumen pengendalian dan pengawasan, Pihak Pertama juga membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Dalam program MHR ini diatur adanya hak serta kewajiban Pihak Pertama maupun Pihak Kedua. Hak-hak Pihak Pertama adalah: 1. Membuat rencana pengelolaan pembangunan HTI. 2. Mengatur kegiatan fisik pelaksanaan seluruh komponen pekerjaan HTI menurut RKT yang telah ditetapkan. 3. Mengelola, mengawasi dan menilai hasil pekerjaan yang dilakukan oleh
129
pihak Kedua atau pihak lain dalam pembangunan tanaman HTI. Hak-hak Pihak Kedua: 1. Mengetahui rencana pengelolaan pembangunan HTI pada lahan yang diserahkan kepada Pihak Pertama. 2. Mendapatkan jasa kerja dari perlaksanaan pekerjaan pembangunan HTI yang telah dilaksanakan. 3. Apahila pelaksanaan pembangunan HTI dapat dilaksanakan oleh Pihak Kedua, maka Pihak Kedua herhak mendapatkan Surat Perintah Kerja (SPK) dari Pihak Pertarna. 4. Berhak mendapatkan hasil manfaat dari panen HTI setelah dikurangi seluruh komponen biaya produksi pembangunan HTI. Kewajiban Pihak Pertama: 1. Mengelola lahan yang telah diserahkan oleh Pihak Kedua untuk pembangunan HTI sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. 2. Memberikan hak-hak Pihak Kedua yang telah diatur dalam kesepakatan. 3. Berkewajiban secara bersama-sama dengan Pihak Kedua menjaga HTI yang telah dibangun dari bahaya kebakaran. Kewajiban Pihak Kedua: 1.
Berkewajiban menjamin keamanan lahan tersebut dari gangguan pihak lain.
2.
Mematuhi seluruh kesepakatan yang telah disetujui hersama.
3.
Menjaga dan mengamankan areal HTI yang telah dihangun.
4.
Mencegah dan mengendalikan kebakaran hutan pada lahan yang telah disepakati untuk dibangun HTI dan lahan lahan di sekitarnya.
130
5.
Apabila memperoleh SPK pembangunan HTI, pihak kedua berkewajiban melaksanakan pekerjaan tersebut dengan baiaksesuai dengan SOP (standart operating procedure) yang telah ditetapkan. Jasa kerja untuk setiap pelaksanaan pekerjaan pembangunan MHR dibayar
oleh Pihak Pertama kepada Pihak Kedua sebagai imbalan alas hasil pekerjaan tersehut. Besamya jasa kerja dihitung dari harga satuan per hektar, berdasarkan BAP pelaksanaan pekerjaan. Harga satuan per hektar untuk masing-masing komponen pekerjaan ditetapkan mengikuti harga yang berlaku, biasanya ditinjau setiap tahun. Semua biaya yang telah di keluarkan oleh Pihak Pertama untuk membayar jasa kerja diperhitungkan guna menentukan besarnya bagi hasil. Hasil produksi kayu dari suatu areal kerja MHR dihitung berdasarkan hasil pengukuran kayu di tempat penimbunan (TPN), yang dilakukan bersama-sama oleh kedua belah pihak. Hasil pengukuran ini dituangkan dalam BAP yang ditanda-tangani oleh Pihak Pertama dan Pihak Kedua. Besamya persentase hagi hasil adalah 60% untuk Pihak Pertama dan 40% untuk Pihak Kedua dari hasil hersih, yaitu hasil total dikurangi dengan biaya untuk jasa kerja. Pembayaran uang bagi hasil ini dilakukan dua tahap. yaitu Pertama sehesar 50% paling lambat 30 hari setelah pengukuran volume kayu di TPN, dan kedua 50% sisanya paling lambat 30 hari setelah kayu diterima di pabrik. Apabila terjadi hal-hal yang menyebabkan rusaknya tanaman sehingga hasil kayu akan berkurang atau bahkan hilang sama sekali, maka akibatnya akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak atas segala kerugian yang timbul.
131
Oleh karena itu kalau hal semacam itu sampai terjadi, hak atas hagi hasil dapat berkurang atau hilang sama sekali. Di areal yang dikelola dengan program MHR, para pihak dapat melaksanakan program penunjang, seperti agribisnis, tumpangsari, peternakan, pemeliharaan ikan, dan sebagainya. Dalam kegiatan penunjang ini, pemilik hutan diharapkan dapat melakukannya secara mandiri. Perselisihan yang timbul di atara para pihak dalam pelaksanaan program MHR ini akan diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat. Namun apabila hal ini tidak dapat mengatasi perselisilaan, maka kedua helah pihak setuju untuk mencari penyelesaian lewat jalur hukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku melalui Pengadilan Negeri. Itulah prinsip-prinsip yang tertuang di dalam Akta Kesepakatan program MHR antara MHP dengan masyarakat di sekitarnya. Akta Kesepakatan dibuat rangkap dua bermeterai cukup, dan masing-masing mempunyai kekuatan yang sama. Hal-hal yang belum diatur di dalam akta akan dibicarakan dan dimusyawarahkan oleh para pihak, dan dibuat sebagai addendum merupakan bagian tak terpisahkan dari akta tersehut. Akta Kesepakatan program MHR tidak dapat dirubah, ditambah atau dikurangi, kecuali kalau kedua helah pihak menyetujuinya. Akta Kesepakatan ditanda-tangani oleh Kepala Unit sebagai wakil Pihak Pertama dan Ketua Kelompok sebagai wakil Pihak Kedua. Selain itu Akta kesepakatan juga ditanda tangani oleh tiga saksi dan diketahui oleh Camat dan Kepala Desa.
132
7.3. Realisasi Program MHBM dan MHR Realisasi Program MHBM Program MHBM yang dimulai pada tahun 2000 dilaksanakan pada kawasan-kawasan yang semula banyak dilanda konflik lahan. Menurut data yang ada kelompok masyarakat yang terlibat konflik lahan tersebut adalah yang berasal dari eks Marga Rambang Kapak Tengah, eks Marga Rambang Niru. Keturunan Puyang Tanah Putih, Desa Karta Dewa, Desa Karang Raja, Desa Tanjung Agung. Selanjutnya kelompok atau desa yang terlibat konflik meluas pada kelompok tani Serasan Kecamatan Talang Ubi Selatan, kelompok tani Gotong Royong Dusun Benakat, Desa Damlo, Desa Kepur, Desa Muara Enim, Talang Tumbur, Gunung Megang Dalam, Talang Jernihan, Talang Sebasah, Desa Tanjung Raman. Seluruhnya meliputi areal seluas 104 679.7 ha yang termasuk dalam wilayah 49 desa. Luas efektif untuk menanam tanaman pokok sekitar 70% atau 73 273 ha. Melalui Program MHBM gejolak sosial dapat dikendalikan dengan kesibukan masyarakat untuk bekerja dan berusaha memperoleh pendapatan. Manfaat utama MHBM yang diharapkan oleh masyarakat adalah kelestarian peluang kerja di hutan tanaman. Masyarakat yang terlibat dalam setiap kegiatan pembangunan HTI tersebut yang berasal dari penduduk desa yang bersangkutan akan menerima upah (jasa kerja) sesuai dengan tarif yang berlaku.
Disamping itu masyarakat akan
menerima jasa produksi yang dihitung atas basil panen kayu dari wilayah desa yang bersangkutan, berdasarkan basil timbangan pabrik, paling lambat 30 hari setelah kayu diterima pembeli PT. Tanjung Enim Lestari (TEL). Selanjutnya masyarakat juga menerima jasa manajemen berupa uang yang besarnya disepakati
133
berdasarkan besaran persentase tertentu sebagai imbalan dari ikatan pengelolaan areal MHBM. Hasil jasa manajemen ini diharapkan akan menjadi sumber dana yang kontinyu untuk keperluan pemerintah desa dan kecamatan untuk membangun daerahnya. Dari data perusahaan, hingga saat ini jumlah akte kesepakatan antara MHP dengan masyarakat yang telah ditanda-tangani melibatkan 56 desa. Jumlah dan rincian desa maupun masyarakat yang terlibat dalam akte kesepakatan MHBM tersebut dapat dilihat secara rinci dalam tabel 17. Tabel 17. Wilayah, kelompok masyarakat dan jumlah desa yang terlibat dalam program MHBM, tahun 2010 Wilayah Subanjeriji
Benakat
Kelompok Masyarakat 1. Eks Marga RKT I
Jumlah Desa 12 desa
2. Eks Marga Rambang Niru 3. Keturunan PT Putih
9 desa 1 desa
4. Desa Karang Raja
1 desa
5. Desa Tanjung Agung
1 desa
6. Desa Darmo 7. Kelompok Tani Serasan
1 desa 3 desa
1. Desa Kerta Dewa
10 klp
2. Kelurahan Talang Ubi Selatan 3. Kerluarahan Talang Ubi Barat 4. Warga Benakat Jumlah
12 klp 1 desa 5 desa 56 desa
Sumber: PT. Musi Hutan Persada, 2010
Program MHBM telah mampu memperluas lapangan kerja dan lapangan usaha. Untuk itu semua kegiatan pembangunan HTI dalam program MHBM harus melibatkan sebanyak-banyaknya masyarakat dalam setiap kegiatan mulai dari pembersihan lahan untuk di tanam sampai pada pemanenan. Jadi secara nyata
134
kegiatan MHBM dapat dianggap sebagai perluasan lapangan kerja dan lapangan usaha yang merupakan realisasi dari usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat. Penciptaan lapangan kerja dan kesempatan berusaha diaktualisasikan dari lingkup pekerjaan pembangunan HTI yaitu mulai dari penyiapan lahan, penanaman,
pemupukan,
penyiangan,
penyemprotan
pestisida,
kegiatan
pemeliharaan lainnya hingga pada pemungutan hasil kayu. Keterlibatan masyarakat ini diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat yang pada akhirnya diharapkan berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan mereka. Program MHBM ini merupakan cara yang paling efektif untuk melibatkan masyarakat. Semua pekerjaan yang sebetulnya bisa dilakukan oleh perusahaan selama ini dilimpahkan pada kelompok masyarakat yang tercakup dalam program ini. Hubungan kerja ini bersifat formal dan dikukuhkan di dalam sebauah akta kerjasama yang bersifat mengikat.
Manfaat langsung yang diterima oleh
masyarakat adalah pendapatan dari bekerja pada setiap kegiatan pembangunan HTI, disamping jasa produksi dan jasa management yang telah di atur dalam kesepakatan. Berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan, dari luasan konsesi lahan HTI milik PT. MHP sekitar 296 400 ha, terdapat sekitar 174 talang, 32 dusun, 79 desa, 17 kecamatan, dan 6 kabupaten yang berinteraksi langsung dengan wilayah PT. MHP. Dari sejumlah wikayah ini terdapat jumlah angkatan kerja yang cukup besar, yang berasal dari sekitar 28 813 kepala keluarga dengan 119 760 jiwa yang bermukim di sekitar wilayah ini. Sampai dengan tahun 2009 program MHBM yang dilakukan oleh perusahaan di bagi ke dalam 3 wilayah yang meliputi 15 unit kerja. Luas areal
135
kerja MHBM yang telah dibuat dalam akta kesepakatan formal saat ini berjumlah 61 172.72 hektar. Rincian luasan per wilayah dan jumlah Kepala Keluarga serta jumlah jiwa per unit dapat di lihat dalam tabel berikut ini. Tabel 18. Rincian luas MHBM per wilayah dan jumlah kepala keluarga dan jiwa per unit, tahun 2010 Wilayah
Luas MHBM (ha)
Wilayah 1
37 967.35
Wilayah 2
5 905.66
Wilayah 3
17 299.71
Total
61 172.72
Unit Unit 1 Unit 2 Unit 3 Unit 4 Unit 5 Total 1 Unit 6 Unit 7 Unit 8 Unit 9 Unit 10 Total 2 Unit 11 Unit 13 Unit 14 Unit 15 Total 3
Jumlah KK 1 170 5 081 1 228 926 962 9 367 2 485 3 757 2 199 1 668 1 444 11 553 1 158 1 202 5 189 344 7 893 28 813
Jumlah Jiwa 3 245 27 169 4 116 4 179 4 748 43 457 9 940 14 584 8 441 7 432 4 332 44 729 3 820 4 733 21 735 1 286 31 574 119 760
Sumber : PT. Musi Hutan Persada, 2010 Dari luasan total MHBM seluas 61 172.72 hektar tersebut dengan siklus setiap daur 7 tahun maka paling tidak sekitar 8 738.96 hektar setiap tahunnya HTI yang di tanam baru, dan sisanya 52 433,76 hektar tanaman HTI dalam pemeliharaan. Kegiatan ini menyerap ribuan bahkan puluhan ribu tenaga kerja lokal setiap tahunnya. Hasil analisis penyerapan tenaga kerja menunjukkan bahwa jika setiap hektar tanaman HTI membutuhkan 53 HOK mulai dari persiapan lahan sampai dengan panen maka. Maka di butuhkan tenaga kerja sebanyak 3 242 154 HOK
136
per daurnya. Jika setiap orang dapat berkerja 25 hari per bulan atau 300 hari pertahun yang setara dengan 300 HOK maka setiap tahunnya untuk kegaiatan MBHM ini saja telah terserap tenaga kerja sebanyak 10 807 orang per siklus atau sekitar 1.543 orang per tahun. Jadi untuk kegiatan HTI pada program MHBM saja sudah mampu menampung 37.5% kepala keluarga dari desa-desa yang ada disekitar HTI. Saat ini di seluruh wilayah MHP terdapat lebih dari 150 orang pemborong lokal, yang melaksanakan pekerjaan pembangunan HTI untuk program MHBM, mulai dari persiapan lahan sampai dengan pemanenan hasil. Harga borongan setiap pekerjaan dari MHP ke pemborong lokal dan dari pemborong lokal ke petani secara rinci dapat di lihat pada tabel berikut ini. Tabel 19. Harga borongan pekerjaan dari MHP ke pemborong lokal dan dari pemborong lokal ke petani program MBHM di PT. MHP, tahun 2010 No.
Jenis Pekerjaan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Tebas (Rp/ha) Semprot (Rp/ha) Tanam (Rp/ha) Widing I (Rp/ha) Semprot I (Rp/ha) Semprot II (Rp/ha) Singling (Rp/ha) Semprot III (Rp/ha) Pemberantasan Hama (Rp/ha) Penebangan
Borongan dari PT. MHP 200 000 - 400 000 160 000 505 000 180 000 200 000 160 000 110 000 120 000 144 000 30 000/ton
Borongan ke Petani 150 000 - 300 000 120 000 350 000 120 000 150 000 120 000 80 000 80 000 90 000 20 000/m3
Sumber : Data Lapangan, 2010 Dari Tabel di atas terlihat ada selisih harga antara pemborong lokal dan petani, selisih ini adalah biaya manajemen dan operasional di tambah keuntungan pemborong. Berdasarkan pengamatan dan wawancara dengan pemborong lokal
137
keuntungan bersih yang mereka peroleh berkisar antara 10 – 20 persen. Setiap pemborong rata-rata memiliki anak buah (pekerja) rata-rata antara 50 – 60 orang, dengan omzet per bulan sekitar Rp60 juta – Rp100 juta. Kepedulian perusahaan terhadap masyarakat sekitar dalam program MHBM secara signifikan dapat meredam gejolak sosial yang selama ini banyak terjadi. Dengan adanya jaminan untuk mendapatkan pekerjaan dan upah yang layak telah memberikan rasa nyaman di tengah-tengah masyarakat sekitar perusahaan. Masyarakat di samping mengelola usahatani pokok mereka, baik sebagai petani tanaman pangan, petani karet, petani sawit, mereka juga mempunyai peluang untuk menambah pendapatan dengan bekerja di lahan HTI milik perusahaan. Sebagian besar petani yang memiliki lahan terbatas, biasanya membagi pekerjaan di rumah tangga mereka, dimana biasanya isteri di bantu anak-anak menyadap karet atau mengerjakan kebun mereka, sedangkan suaminya bekerja di lahan HTI perusahaan MHP. Dengan 6 hari kerja per minggu, rata-rata mereka mendapat upah sekitar Rp350 000 per minggu atau sekitar Rp1 400 000 per bulan. Penambahan pendapatan ini sangat membantu petani yang ada disekitar areal MHP untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka. Secara global kita dapat menghitung peningkatan pendapatan masyarakat di sekitar wilayah konsesi PT. MHP dengan pendekatan jasa produksi dan jasa manajemen. Secara rinci jasa produksi dan jasa manajemen yang telah diberikan perusahaan kepada masyarakat dapat di lihat dalam tabel berikut ini.
138
Tabel 20. Jasa produksi MHBM per tahun berdasarkan wilayah, 2006 - 2009 Wilayah I II III Total
2006
Jasa Produksi (Rp) 2007 2008
2009
1 452 867 350 2 498 940 518.95 1 342 667 710.53 1 144 759 455.24 98 872 480.00 65 838 551.00 348 848 068.00 482 075 300.00 1 452 869 356 2 498 942 525.95 1 790 390 266.53 1 692 675 315.24
Sumber: Divisi CSR PT. MHP, Tahun 2010 Tabel 21. Jasa manajemen MHBM per tahun berdasarkan wilayah, 2006 - 2009 Wilayah I II Total
2006 329 592 550.94 329 592 550.94
Jasa Manajemen (Rp) 2007 2008 279 591 926.40 279 591 926.40
259 096 323.41 7 230 698.00 266 327 021.41
2009 252 243 842.77 3 681 948.00 255 925 790.77
Sumber: Divisi CSR PT. MHP, Tahun 2010 Dari tabel 20 dan 21 di atas terlihat bahwa jika dihitung keseluruhan jumlah jasa produksi selama 4 tahun adalah sebesar Rp7 434 877 463.72 dan total jasa manajemen adalah sebesar Rp1 131 437 289.52, sehingga total jasa produksi dan jasa manajemen adalah sebesar Rp8 566 314 753.24. Jika jumlah kepala keluarga di sekitar kawasan MHP yang tercakup dalam program MHBM adalah 28 813 KK, maka berarti nilai yang diterima per KK dalam 4 tahun terakhir adalah sebesar Rp297 307 atau sekitar Rp74 236 per tahun. Jumlah ini tidak seberapa dan umumnya di berikan melalui kelompok. Ada beberapa kelompok yang membagikannya dalam bentuk uang, ada juga kelompok yang menggunakan uang ini untuk pembangunan fasilitas umum seperti bangunan kantor dan jalan setapak, dan ada juga beberapa kelompok yang tidak jelas penggunaannya. Secara lebih mendalam, jika kita mencermati jumlah jasa manajemen pada tabel 21, ini merupakan suatu petunjuk kepada kita bahwa berapa besar jumlah
139
uang
yang
di
transaksikan
kepada
masyarakat
setiap
tahunnya
yang
menggambarkan nilai pekerjaan yang dilakukan oleh masyarakat dalam program MHBM. Misalnya pada tahun 2006 jumlah jasa manajemen yang dibayarkan adalah sebesar Rp329 592 550.94, jumlah ini adalah 1% dari jumlah transaksi yang sesungguhnya terjadi, ini berarti bahwa dalam pengelolaan manajemen HTI mulai dari penanaman sampai dengan pemanenan adalah sebesar Rp32 959 255 094. Jika kita asumsikan ada 28 813 KK, maka pada tahun 2006 setiap KK akan menerima sebesar Rp1 143 902, tahun 2007 sebesar Rp970 367 per KK, tahun 2008 sebesar Rp924 329 dan pada tahun 2009 sebesar Rp888 230.
Jika kita
asumsikan ada 10.807 setiap tahunnya, maka pada tahun 2006 mendapat sebesar Rp3 049 806 per orang, pada tahun 2007 sebesar Rp2 587 137 per orang, tahun 2008 sebesar Rp 2 464 394 per orang, dan pada tahun 2009 sebesar Rp 2 368 148 per orang. Realisasi Program MHR Sampai dengan tahun 2010 jumlah akta kesepakatan yang telah dilaksanakan dalam program MHR telah meliputi luas 9 565.53 ha, tersebar di 12 unit dan 34 blok. Program MHR dimulai pada tahun 2001 dengan luas penanaman 217.88 ha jumlah ini terus meningkat hingga tahun 2010 jumlahnya mencapai 9 565.53 ha. Luas total implementasi program MHR di masing-masing unit dan blok secara rinci dapat di lihat pada tabel 22.
140
Tabel 22. Luas total implementasi program MHR di masing-masing unit dan blok sampai dengan tahun 2010 Unit 01. Martapura 02. Merbau 03. Gemawang
04. Caban 05. Sodong
06. Lubuk Guci
07. Baung Utara 09. Semangus 10. Keruh II 13. Lantingan
14. Serai 15. Keruh I
Blok Sungai Langit Sungai Tuha Merbau I Merbau II Merbau III Banding Anyar Subanjeriji Toman I Toman II Toman III Caban Selatan Caban Utara Sodong Utara Lengi Niru Sodong Barat Sodong Selatan Baung Selatan Lubuk Guci Setuntung Baung Utara Suban Ulu Selibing Jena Keruh II Lantingan Barat Lantingan Timur Resam Ibul Lagan Serai Jernih Keruh I Koneng Total
Luas (ha) 233.53 107.38 441.27 948.23 1 076.39 692.08 148.09 537.37 224.75 452.18 22.69 122.49 31.61 236.63 49.71 289.72 266.19 64.57 161.12 453.27 486.99 134.27 264.13 19.24 602.40 65.20 4.54 8.72 122.90 53.42 985.87 28.75 101.19 128.62 9 565.53
Sumber : Musi Hutan Persada, 2010 Dibanding dengan MHBM, program MHR memang ditangani belakangan karena MHR menyangkut kegiatan penanaman, penebangan, pengangkutan dan
141
penanaman kembali yang harus dilaksanakan secara teratur dan ketat waktunya. Penebangan dan pengumpulan kayu yang teratur berkaitan dengan keterikatan MHP dengan TEL yang memerlukan bahan baku yang kontinyu untuk jumlah tertentu. Penanaman kembali areal bekas tebangan juga harus dilakukan segera setelah kayu dari bidang tebangan terangkut semua, untuk menjaga kelestarian sumberdaya hutan dan menghindari terjadinya pertumbuhan gulma yang berlebihan agar risiko keberhasilan pembuatan tanaman tidak semakin bertambah dan biayanya tidak meningkat. Berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan
tersebut
maka
pelaksanaan
program MHR baru mulai ditangani lebih sungguh-sungguh setelah program MHBM berjalan lancar dan tidak lagi menghadapi kesulitan-kesulitan yang berarti. Pada tabel 16 di atas, sampai dengan tahun 2010 luas kegiatan yang telah dicapai oleh program MHR mencapai 9 565.53 ha. Kegiatan program MHR dimulai dari wilayah Subanjeriji yang persoalan sosial ekonominya memang lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya. Program MHR merupakan implementasi salah satu butir dalam SK HPHTI yang mengamanatkan kepada perusahaan, apabila di dalam areal HTI terdapat lahan yang telah menjadi tanah milik, perkampungan, tegalan, sawah, atau telah diduduki dan digarap oleh pihak ketiga, maka lahan tersebut tidak termasuk dan dikeluarkan dari areal kerja HTI.
Apabila lahan tersebut dikehendaki untuk
dijadikan areal HTI maka penyelesaiannya dilakukan oleh perusahaan dengan pihak-pihak yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
142
Program mengelola hutan rakyat (MHR) merupakan pengelolaan hutan tanaman lestari yang dilaksanakan secara bersama-sama antara PT. MHP dengan masyarakat yang berada di dalam/sekitar areal HTI atau juga di dalam kawasan berupa enclave melalui pola kemitraan. Program MHR telah dimulai sejak tahun 2001 dengan ketentuan sbb: 1. Menanam A. mangium pada lahan milik masyarakat di luar kawasan konsesi HTI, namun terenclave oleh hutan tanaman. Kawasan tersebut mungkin berupa belukar, kebun karet, atau pemukiman sementara. 2. Peserta MHR ada pula anggota masyarakat yang semula menanam karet, namun melihat nilai perolehan yang lebih besar dengan menanam A. mangium, dengan suka rela tanpa paksaan. mereka mengikuti program MHR. Apalagi posisi enclave memudahkan mereka mendapat bantuan dari MHP. 3. Perusahaan memberikan pinjaman kepada kelompok tani. dan memberi bimbingan usaha persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan tanaman dan pemanenan. 4. Mereka mendapat bayaran pada setiap pekerjaan (jasa kerja), mendapat bagi hasil dart nilai bersih kayunya pada akhir daur, yaitu nilai kayu setelah dikurangi dengan biaya operasional. Bagi hasil ini adalah 60% untuk perusahaan dan 40% untuk peserta. 5. Untuk meningkatkan kemampuan dalam menanam A. mangium, diundang pula keterlibatan LSM, seperti yang dilakukan pada MHBM. Program MHR adalah program pengembangan hutan tanaman yang cukup strategis. Program ini di satu sisi menguntungkan petani, dan disisi lain juga memberi manfaat yang banyak bagi perusahaan. Petani yang selama ini memiliki
143
lahan tidur atau tidak produktif, baik berupa lahan kosong berupa alang-alang atau semak belukar, atau lahan bekas karet tua yang tidak produktif, dapat mengikuti program MHR ini. Sedangkan bagi perusahaan program ini secara tidak langsung merupakan peluang untuk memperluas tanaman pokok dengan peran serta masyarakat. Program MHR diterapkan di lahan milik dan menurut kesepakatan mereka terlebih dahulu membersihkan lahannya sehingga siap tanam, kemudian diperiksa oleh Kepala Unit barulah dibayar oleh perusahaan. Ada pemikiran untuk mempekerjakan pihak ketiga untuk menilai keberhasilan kerja, namun hal ini nampaknya akan membebani MHP sekaligus mengurangi tanggung jawab Kepala Unit. Berdasarkan wawancara dengan masyarakat yang membuka 8 ha tanaman karet tuanya untuk dikonversi menjadi hutan A. mangium. Untuk pembersihan sampai siap tanam ia harus mengeluarkan dana sebesar Rp500 000 - Rp750 000 per ha, bergantung kondisi lapangan dan gulma. Untuk menanam dan memupuk ia harus membayar sebanyak Rp200 000 per ha. Demikian juga untuk pekerjaan lainnya, misalnya pengendalian gulma (weeding) sebesar Rp75 000 per ha, bagi masyarakat tersebut semua pengorbanan tersebut sudah seimbang dengan yang diperolehnya dan ia dapat mengonversi kebun karet tua menjadi hutan Acacia mangium. Program MHR cukup menarik minat bagi masyarakat di sekitar hutan karena dengan program itu masyarakat dapat memanfaatkan lahannya yang menganggur,
sekaligus
memperoleh
kesempatan
kerja
dengan
bantuan
permodalan dari MHP. Dengan demikian program MHR akan menguntungkan kedua belah pihak, bahkan termasuk TEL yang akan menerima kayu dalam
144
jumlah lebih banyak. Dalam perkembangannya nanti, misalnya mulai rotasi kedua, program MHR dapat diarahkan agar sebagian hasilnya dipungut sebagai kayu pertukangan, sehingga dapat menutup kurangnya pasokan kayu yang selama ini sudah terjadi, baik untuk konsumsi domestik maupun menambah bahan baku bagi industri perkayuan di Provinsi Sumatera Selatan. Dampak positif program MHR cukup banyak dan bersifat multi-dimensi, sedangkan dampak negatifnya tidak ada. Oleh karena itu program MHR ini perlu dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan diupayakan dapat didukung oleh semua pihak, tidak hanya menjadi program MHP saja. Dampak positif tersebut adalah: 1. Lahan kosong yang tak produktif selama ini dapat meningkatkan hasil kayu yang di waktu mendatang akan semakin berkurang, sedangkan di nisi lain kebutuhannya meningkat. 2. Menciptakan lapangan kerja yang cukup besar, sehingga memecahkan masalah pengangguran atau setengah pengangguran di kalangan masyarakat, baik lokal maupun transmigran yang selama ini hanya menggantungkan hidupnya pada pertanian tradisional. 3. Mengurangi risiko tcrjadinya kebakaran, yang sangat merugikan berbagai pihak, baik MHP, perkebunan, maupun masyarakat luas. 4. Meningkatkan pasokan kayu, di mana pada saat ini masalah tersebut sedang dihadapi oleh Indonesia dalam skala nasional karena hancurnya hutan akibat salah urus di masa lalu dan penjarahan pasca reformasi. Berdasarkan data yang dikumpulkan di lapangan yang diambil dari 60 sampel petani MHR terlihat bahwa semakin luas lahan HTI yang diusahakan
145
semakin efisien hasil yang dicapai. Hal ini terlihat dari pengelompok (kluster) luas lahan petani contoh terlihat rata-rata produksi, harga, penerimaan, biaya dan pendapatan dari HTI petani peserta MHR per hektar yang semakin meningkat sejalan dengan peningkatan luas lahan. Keadaan ini bisa di lihat secara rinci pada tabel berikut ini. Tabel 23. Rata-rata produksi, harga, penerimaan, biaya dan pendapatan dari HTI petani peserta MHR per hektar Produksi BDT (m3) (ton)
No
Kluster (Ha)
1
0- <5
129.32
54.12
2
5 - 10
142.59
3
11 - 20
4
> 20
Rata-rata
Harga/unit (Rp/Bdt)
Penerimaan (Rp/ha)
Biaya (Rp/ha)
Pendapatan (Rp/ha)
566 944.56 30 586 670.71
15 202 196.87
15 384 473.85
64.19
563 260.03 36 216 160.99
16 445 965.06
19 770 195.93
166.19
70.63
560 473.73 39 550 046.55
17 103 200.84
22 446 845.71
171.45
74.31
565 429.48 41 815 397.47
17 238 918.08
24 576 479.39
144.08
61.64
565 107.33 34 740 879.93
16 034 095.7
18 706 784.23
Sumber : Diolah dari dara lapangan, 2010 Dari tabel di atas terlihat bahwa berdasarkan hasil pengkalsteran terlihat bahwa semakin besar luasan areal petani peserta MHR, semakin besar rata-rata produksi yang dihasilkan, dan pendapatan yang di terima. Untuk petani yang mempunyai lahan di bawah 5 ha, rata-rata produksinya 129.32 m3/ha dan pendapatan sebesar Rp15 384 473.85/ha. Untuk petani dengan luas lahan antara 510 ha, rata-rata produksinya 142.59 m3/ha dan pendapatan sebesar Rp19 770 195.93/ha. Bagi petani yang memiliki lahan antara 11-20 ha produksi rata-ratanya adalah 166.19 m3/ha dengan pendapatan sebesar Rp22 446 845.71/ha. Sedangkan untuk petani yang memiliki luasan di atas 20 ha, produktivitasnya lebih tinggi lagi, dengan produksi rata-rata 171.45 m3/ha dan pendapatan sebesar Rp24 576 479.39/ha.
Adanya trend kenaikan produksi dan pendapatan seiring dengan
146
besarnya luas lahan yang dikutkan dalam program MHR, menunjukkan kepada kita bahwa semakin luas lahan (dalam satu hamparan) semakin efisien pengelolaan HTI pola MHR tersebut. Kecenderungan ini secara diagramatis dapat di lihat pada gambar berikut ini.
Produksi
m3 200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
166.19 129.32
0- <5
171.45
142.59
5 - 10
11 - 20
Luas (ha)
> 20
Gambar 5. Trend kenaikan produksi rata-rata di hubungkan dengan luas
Pendapatan
Rp 30,000,000 25,000,000 20,000,000 15,000,000
15,384,473.8 5
24,576,479.3 22,446,845.7 9 19,770,195.9 1 3
10,000,000 5,000,000 0 0- <5
5 - 10
11 - 20
> 20
Luas (ha)
Gambar 6. Trend kenaikan pendapatan rata-rata di hubungkan dengan luas
147
Berdasarkan hasil kajian ini ada beberapa implikasi penting yang dapat disimpulkan dari program MHR. Bagi petani kecil dengan areal yang sempit, produksi rendah karena di akibatkan beberapa hal seperti kemungkinan adanya penyelewengan penggunaan faktor produksi seperti pupuk dan obat-obatan untuk penggunaan tanaman lain atau bahkan mungkin di jual karena kebutuhan ekonomi yang mendesak. Karena luasan yang sempit dan tersebar luas, pengawasan memang menjadi lebih sulit dan biaya-biaya tertentu menjadi lebih mahal seperti pengangkutan dan penyaradan. Sedangkan untuk petani peserta MHR yang memiliki lahan yang lebih luas, dengan kemampuan ekonomi yang lebih baik, kemungkinan penggunaan faktor-faktor produksi menjadi lebih optimal sehingga produktivitas mereka menjadi lebih tinggi. Sebagai implikasi penting dari semua ini berarti semakin luas hamparan yang terintegrasi dalam pelaksanaan program MHR semakin efisien pengelolaan dan semakin tinggi produktivitsnya. Untuk itu petani peserta dengan luasan yang sempit, dengan lokasi yang berdekatan harus dihimpunan dalam satu kelompok manajemen yang satu. Sehingga di harapkan dapat meningkatkan produksi dan pendapatan petani peserta MHR. Walaupun sistem ini terkadang menimbulkan perselisihan antara petani peserta yang malas dan yang rajin dengan produktivitas yang berbeda jauh, karena dalam satu manajemen pengelolaan yang hasilnya diambil rata-ratanya. Dari hasil pendapatan yang diperoleh, sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat di muka, bagi hasil yang ditetapkan adalah 40% untuk petani peserta MHR dan 60% untuk PT. MHP. Pendapatan rata-rata petani dan perusahaan dari pendapatan di atas secara rinci dapat di lihat pada tabel berikut ini.
148
Tabel 24. Rata-rata pendapatan per hektar petani peserta MHR, pendapatan perusahaan, dan biaya dikeluarkan serta net Profit perusahaan MHP Kluster (ha) 1 0- <5 2 5 - 10 3 11 - 20 4 > 20 Rata-rata
No.
Petani 40% (Rp/ha) 6 153 789.54 7 908 078.37 8 978 738.28 9 830 591.76 7 482 713.69
MHP 60% (Rp/ha) 9 230 684.31 11 862 117.56 13 468 107.42 14 745 887.63 11 224 070.54
Biaya MHP (Rp/ha) 4 081 843.40 4 197 050.43 3 658 036.66 3 389 882.24 3 922 146.70
Net Profit MHP (Rp/ha) 5 148 840.91 7 665 067.12 9 810 070.76 11 356 005.40 7 301 923.84
Sumber : Diolah dari data lapangan, 2010 Dari tabel di atas terlihat bahwa dari bagian pendapatan perusahaan sebesar 60% tersebut perusahaan harus menanggung biaya lain sebesar Rp3 922 146.70 yang meliputi biaya perencanaan, pemeliharaan infrastruktur dan pengawasan, biaya tidak langsung administrasi umum, dan biaya suku bunga sebesar 8%/th. Sehingga bagian 20% yang merupakan kelebihan yang diterima oleh perusahaan dari petani sebenarnya hampir sama dengan biaya yang ditanggung perusahaan tersebut. Berdasarkan analisis tersebut sebenarnya hasil pembagian antara petani dan perusahan hampir seimbang proporsinya. 7.4. Aspek Kelembagaan MHBM dan MHR Kelembagaan adalah aturan di dalam suatu kelompok masyarakat atau organisasi yang menfasilitasi koordinasi antar anggotanya untuk membantu mereka dengan harapan di mana setiap orang dapat bekerjasama atau berhubungan satu dengan yang lain untuk mencapai tujuan bersama yang diinginkan (Ruttan dan Hayami, 1984). Berdasarkan defenisih di atas kelembagaan MHBM dan MHR adalah aturan dan rambu-rambu sebagai panduan yang dipakai oleh para anggota suatu kelompok masyarakat untuk mengatur hubungan yang saling mengikat atau saling
149
tergantung satu sama lain. Penataan institusi dapat ditentukan oleh beberapa unsur, aturan operasional untuk pengaturan pemanfaatan sumber daya, aturan kolektif untuk menentukan, menegakan hukum atau aturan itu sendiri dan untuk merubah aturan operasional serta mengatur hubungan kewenangan organisasi. Dalam kelembagaan ini tercakup konsep pola perilaku sosial yang sudah mengakar dan berlangsung terus menerus atau berulang. Dalam hal ini sangat penting diperhatikan bahwa perilaku sosial tidak membatasi lembaga pada peraturan yang mengatur perilaku tersebut atau mewajibkan orang atau organisasi untuk harus berpikir positif ke arah norma-norma yang menjelaskan perilaku mereka tetapi juga pemahaman akan lembaga ini memusatkan perhatian pada pengertian mengapa orang berprilaku atau bertindak sesuai dengan atau bertentangan dengan peraturan yang ada. Untuk itu beberapa unsur penting dari kelembagaan MHBM dan MHR yang bisa dikembangkan adalah: - Institusi yang merupakan landasan untuk membangun tingkah laku sosial masyarakat - Norma tingkah laku yang mengakar dalam masyarakat dan diterima secara luas untuk melayani tujuan bersama yang mengandung nilai tertentu dan menghasilkan interaksi antar sesama yang terstruktur - Peraturan dan penegakan aturan/hukum - Aturan dalam masyarakat yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama dengan dukungan tingkah laku, hak dan kewajiban anggota - Kontrak atau kesepakatan - Pasar bagi produk yang dihasilkan
150
- Hak milik (property rights atau tenureship) - Stuktur organisasi yang jelas - Insentif untuk menghasilkan tingkah laku yang diinginkan. Salah satu tujuan MHBM dan MHR yang utama adalah membangun model kemitraan untuk bersama-sama membangun hutan tanaman.
Disamping itu
banyak hal yang masih perlu dipelajari MHP dalam proses membangun kemitraan seperti proses demokratisasi, dinamika organisasi dan kelembagaan. Sehingga MHBM dan MHR dapat dijadikan model pemberdayaan masyarakat. Sesuai prinsip kolaborasi yang saling menguntungkan bagi perusahaan dan masyarakat karena masyarakat layak merasakan langsung manfaat pembanguan HTI. Berbagai kelembagaan masyarakat yang dilibatkan di dalam pelaksanaan MHBM diantaranya adalah Yayasan Kaffah, Koperasi Hikmah dan Pondok Pesantren Raudhatul Ulum. Perusahaan juga memberikan pinjaman untuk membiayai penanaman pohon-pohon serbaguna antara lain randu (Ceiba petandra), petai (Parka urdurata). sukun (Artocarpus altilis), melinjo (Gnetum gnemon), dan durian (Durio zibethinus). Disamping itu ada juga kelompok MHBM yang tergolong dalam Kelompok Tani Serasan yang mewakili Desa Gunung Megang dan Gunung Megang Dalam Kecamatan Gunung Megang, Kelompok Petani Jujur desa Darmo Kecamatan Lawang Kidul, Kelompok Kombat yang mewakili 6 desa, yaitu Padang Bindu, Desa Pagar Dewa, Desa Betung, Desa Rami Pasai, Desa Pagar Jati, dan Desa Hidup Baru diwilayah Kecamatan Benakat. Salah satu kelembagaan advokasi yang terbentuk adalah Forum Sebahu Sejalan Kabupaten Muara Enim yang merupakan wadah untuk mengkritisi
151
implementasi MHBM dari PT. MHP,
dimana perusahaan mendorong proses
pemberdayaan organisasi yang ada sehingga mereka mampu mandiri dan membantu mereka dalam hal permodalan. Pemerintah kabupaten berharap bahwa implementasi kemitraan oleh MHP dapat
membantu
berkontribusi
dalam
pembangunan
dan
kesejahteraan
masyarakat. Diharapkan kedepan terbentuknya suatu perencanaan dan kebijakan dalam bentuk peraturan daerah untuk mendukung lembaga kemitraan antara masyarakat dengan PT. MHP. Dengan pola MHBM dan MHR sebagai salah satu strategi yang diterapkan oleh PT. MHP dalam rangka membangun dan mengelola hutan tanaman sebagai pusat unggulan kehutanan Indonesia yang dilaksanakan bersama-sama dalam bentuk kemitraan antara perusahaan dengan masyarakat yang berada di dalam dan disekitar kawasan atau yang terkait dengan lahan areal pengusahaan HTI dengan prinsip saling menguntungkan. Peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pendapatan, perluasan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha, Mendorong tumbuhnya perekonomian masyarakat desa hutan, Membantu tersedianya sarana prasarana ekonomi yang memadai serta Mendorong tumbuhnya kesadaran dan prilaku positif masyarakat dalam pelestarian sumber daya hutan guna meningkatkan pengamanan hidup.
MHBM dan MHR juga membantu tersedianya sarana
prasarana ekonomi yang memadai. Serta mendorong tumbuhnya kesadaran dan prilaku positif masyarakat dalam pelestarian sumber daya hutan guna meningkatkan pengamanan hidup pada kelompok-kelompok masyarakat.
152
Untuk kabupaten Muara Enim dengan luas 161.400 Ha yang diperuntukan bagi penanaman tanaman HTI tersebar pada 9 Kecamatan merupakan wilayah pengelolaan MHBM yang dilakukan bersama perusahaan HTI PT. MHP dengan pola atau type MHBM antara lain : Type Payung, Type Desa, type akta satu desa dengan melibatkan lebih dari satu desa, type kelompok, type berdasarkan keturunan, type Talang, dan type Keluarga. Dengan luas areal mencakup sekitar 80.000 ha. Program ini merupakan bentuk kerjasama (kolaborasi) antara pihak perusahaan bersama kelompok masyarakat untuk mengelola hutan dengan mejadikan masyarakat sebagai stakeholder dari pengelolan HTI serta bagian dari program pembinaan kemasyarakatan dari konsep Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) PT. MHP dalam pembangunan sosial masyarakat untuk meminimum konflik antara masyarakat lokal, pendatang dan perusahaan pemegang ijin usaha pemanfaatan hasil hutan (IUPHHK). Dalam rangka menjawab persoalan dan tantangan yang semakin kompleks ke depan, perusahaan HTI PT. MHP telah melakukan penggalian aspirasi masyarakat melaui kegiatan Fokus Diskusi Group (FGD) dengan melibatkan masyarakat di dalam dan disekitar kawasan HTI di wilayah Kecamatan Rambang Dangku, Kabupaten Muara Enim. Sampai saat ini telah dilakukan 5 kali FDG, mulai tahap satu sampai FGD tahap kelima. FGD tahap pertama dilaksanakan dengan melibatkan empat desa Eks Marga Rambang Niru yaitu Desa Jemenang, Desa Aur Duri, Desa Gemawang dan Desa Suban Jeriji. Yang dihadiri oleh 43 orang peserta yang terdiri dari utusan masyarakat, perangkat desa, pengurus MHBM desa, Pengurus MHBM Kecamatan, utusan dari pihak Perusahaan MHP. Dari penyelenggaraan kegiatan
153
FGD tersebut telah dibuat beberapa kesepakatan bersama yang terbagi dalam tiga tematik usulan aspirasi masyarakat antara lain : 1. Menyangkut Transparansi, antara lain : a. Harus adanya peta lokasi untuk kejelasan wilayah bagi masing-masing desa atau MHBM yang terkait dengan wilayah HTI. b. Harus adanya kejelasan pembagian peran dari masing-masing pekerjaan yang akan dilaksanakan dilapangan. c. Adanya transparansi dari plapon harga yang sebenarnya untuk setiap kegiatan pengelolan dilapangan dari pihak PT. MHP dan setiap plafon harga harus sama bagi masing-masing kelompok MHBM sesuai pekerjaan masingmasing. d. Setiap RO tidak boleh dikerjakan oleh karyawan PT. MHP dengan alasan apapun tanpa izin dari kelompok kerja MHBM. e. Pemotongan dan penyaluran Fee Manajemen 1% harus ketempat yang benar yaitu kelompok kerja MHBM. 2. Untuk Jasa Produksi antara lain : a. Jasa Produksi untuk daur ketiga agar ditinjau ulang kembali dan disesuaikan dengan sistim perhitungan tonase bukan per meter kibik. b. Pendistribusian Jasa Produksi harus melalui MHBM Payung. c. Jasa Manajemen Fee sebesar 1% diperuntukan hanya bagi MHBM Payung dan MHBM desa. 3. MOU terbaru Untuk Daur ke Tiga : a. Tidak perlu terlalu banyak MOU, cukup satu tetepi melibatkan 9 desa yang termasuk dalam wilayah MHBM ek Marga Rambang Niru.
154
b. Kepengurusan MHBM tingkat Desa maupun Kecamatan termasuk dalam butir-butir kesepakatan MOU. c. Pembuatan MOU harus didasari Hukum atau Notaris. d. Pembuatan MOU harus dihadirkan kedua belah pihak antara lain 9 desa terkait dan pihak PT. MHP. FGD tahap kedua dilaksanakan di desa Tebat Agung yang dihadiri oleh 40 orang peserta yang merupakan perwakilan dari 5 desa eks Marga Rambang Niru antara lain desa Tebat Agung, desa Kasih Dewa, desa Lubuk Raman, desa Tanjung Menang dan desa Gerinam. Peserta FGD tahap kedua ini terdiri dari perwakilan masyarakat, perangkat desa, pengurus MHBM desa dan MHBM Kecamatan, Pihak PT. MHP. Isu sosial yang diketengahkan adalah menyangkut pelaksanaan program MHBM belum sepenuhnya menyentuh kesemua lapisan warga masyarakat, sedangkan program pelaksanaan kegiatan MHBM dalam bentuk kemitraan dari pihak perusahaan PT. MHP belum berjalan dengan sempurna, masih banyak terjadi kesenjangan dan kecurangan yang merugikan sebahagian warga masyarakat selaku anggota MHBM yang harus mendapat tanggapan dan perbaikan dimasa yang akan datang. FGD tahap ketiga merupakan kegiatan Fokus Diskusi Group dengan melibatkan 9 desa diwilayah eks Marga Rambang Niru dalam rangka menyepakati hasil FGD pada tahap pertama dan FGD tahap kedua. Kegiatan FGD tahap IV ini merupakan kelanjutan dari kegiatan FGD sesudahnya antara lain merupakan agenda kegiatan dari Forum Sebahu Sejalan untuk memfasilitasi kegiatan MHBM di kabupaten Muara Enim.
155
Pertemuan tersebut menginventarisasi permasalahan yang terjadi dilapangan yang berdampak pada keterbatasan ruang gerak dari pelaksana staf lapangan PT. MHP dalam pelaksanaan tugasnya. Permasalahan lapangan yang terjadi saat ini disebabkan antara lain : 1. Belum berjalan kepengurusan MHBM ditingkat lapangan secara optimal 2. Masih lemahnya mekanisme kerja dari beberapa kepengurusan MHBM di tingkat lapangan. 3. Aturan-aturan dari pelaksanaan kegiatan MHBM tidak berjalan dengan baik. 4. Kurangnya pengayoman terhadap masyarakat oleh pengurus MHBM sehingga memunculkan rasa ketidak percayaan warga masyarakat terhadap kelembagaan MHBM yang ada. 5. Faktor budaya masyarakat yang belum siap untuk mengikuti perubahanperubahan. FGD tahap kelima diadakan dengan mempertemukan pihak Masyarakat eks Marga Rambang Niru dan MHBM di 9 desa kecamatan Rambang Dangku dengan pihak perusahan HTI PT. Musi Hutan Persada, bertempat di kantor PT. MHP. Dari hasil pertemuan bersama pada FGD tahap V tersebut membuahkan kesimpulan, antara lain : 1. Perlu dibangun kebersamaan dengan mengedepankan kesejahteraan bersama. 2. Menatap masa depan dengan mengambil hikmah dari kejadian masa lalu. 3. Perlunya MHBM yang solid dengan kepemimpinan dan kepengurusan yang lurus
yang
mendahulukan
kepentingan
masyarakat
banyak,
dengan
berpedoman pada AD dan ART yang disepakati. 4. Perlunya sosialisasi AD dan ART sampai tingkat desa dan pihak terkait.
156
5. PT. MHP bersedia mulai memberikan modal kerja untuk MHBM dan perhatian sosial lainnya. 6. MHBM perlu mengabil kesempatan kerja yang selama ini banyak diambil dan menguntungkan kontraktor dan pribadi tertentu. 7. MOU rotasi tahap kedua tetap disepakati apa adanya, sedangkan MOU untuk rotasi tanaman ketiga perlu dinegosiasi ulang. 8. Perlu penguatan-penguatan kelembagaan desa dan kecamatan, sumber daya manusia dan kewirausahaan melaui training, pendampingan dan model. Penguatan kelembagaan perlu menekankan pada penguatan organisasi di tingkat lokal. Proses pembangunan di masa lalu lebih memperhatikan penguatan kelembagaan di lapisan atas. Pengembangan kelembagaan pengelolaan hutan bersama masyarakat dapat dilakukan melalui: 1) pemberian insentif, 2) penguatan organisasi, 3) akses terhadap informasi, 4) kepemilikan dan akses atas sumber daya terjamin, 5) ada usaha pengendalian atas tingkah laku opportunistik, dan aturan yang ditegakkan dan ditaati. 1. Pemberian Insentif Kelembagaan (institusi) hanya bisa berkembang dan berfungsi baik jika ada insentif bagi orang dan organisasi yang melaksakanannya, mentaati aturan-aturan mainnya serta mau bergabung dalam kegiatan kolektif. Hak atau kepemilikan atas sumber daya lahan dan tanah, akses kepada sumber daya, kepada informasi, aturan yang kondusif merupakan sebagian dari insentif yang bisa mendorong orang bekerja dalam pengelolaan hutan tanaman dengan kelembagaan yang baik.
157
Analisis kelembagaan harus dapat memahami insentif-insentif yang memotivasi perilaku manusia pada tempat dan waktu tertentu, dan dampak perilaku itu pada sumber daya hutan. Insentif-insentif tersebut mencakup (1) insentif yang berkaitan dengan karakteristik sumber daya, (2) insentif yang berkaitan dengan karakteristik masyarakat, dan (3) insentif yang berkaitan dengan karakteristik aturan-aturan (rules). 2. Penguatan organisasi Pengelolaan
hutan
tanaman
dan
kawasan
konservasi
memerlukan
keterlibatan masyarakat serta upaya penguatan kemampuan organisasi dan aturan yang melindungi masyarakat. Tata urutan organisasi perusahaan dan masyarakat menjadi faktor kunci dalam pengembangan pengelolaan hutan tanaman dan kawasan konservasi yang didukung oleh pemerintah dan kemauan politiknya. Organisasi di tingkat masyarakat (desa dan petani) sangat beragam bisa berkaitan dengan adat, pemerintah desa, kelompok tani, kelompok keagamaan, kelompok pemuda atau wanita (ibu-ibu). Sebagian besar organisasi ini bersifat informal namun ada aturan mainnya. Sebagian lembaga pembangunan sangat memperhatikan upaya penguatan organisasi lokal ini baik dari segi kemampuan teknis, manajemen dan administrasi organisasi. Ada pula yang membentuk lembaga baru karena ada tujuan khusus yang ingin dicapai. 3. Infrastruktur dan informasi Pengembangan institusi tidak berhasil kalau tidak ada keseimbangan informasi. Ketimpangan akses dan penguasan informasi (information asymmetry) menjadi
salah
satu
penyebab
ketimpangan
pembangunan,
ketidakadilan
158
kesejahteraan, ketidak-merataan penguasan atas bisnis dan perdagangan dan ekploitasi suatu pihak terhadap pihak lain. Pemerintah mengekploitasi masyarakat atau pengusaha mengekploitasi petani. Di dalam insitusi yang baik tidak ada ekploitasi, tetapi ada pembagian peran yang memadai dan adil tergantung pada keanekaragaman kemampuan, potensi serta fungsi yang sesuai untuk masingmasing pihak. Informasi memerlukan proses transformasi dan transfer yang memadai. Sarana dan prasarana penyebaran informasi sangat vital peranannya dalam mendukung pengembangan institusi yang baik bagi pengembangan wanatani. Petani pedesaan sering tidak memiliki informasi yang cukup dalam bidang teknologi, ragam komoditi, sumber input, informasi harga dan jalur pemasaran komoditi atau pengelolaan hutan tanaman dan konservasi yang mereka hasilkan. Akibatnya masyarakat bisa saja dieksploitasi oleh pihak manajemen perusahaan. Masyarakat desa tidak memiliki informasi dan pengetahuan yang cukup tentang mekanisme harga dan pasar. 4. Status kepemilikan dan akses atas sumber daya Kepemilikan, penguasaan dan pengendalian atas sumber daya hutan akan menjadi salah satu faktor pendorong bagi petani untuk menerapkan teknologi pengelolaan hutan tanaman dan kawasan konservasi. Pengelolaan hutan bisa dikembangkan dengan baik jika seorang petani atau anggota masyarakat betul-betul merasa aman dengan status kepemilikan atau penguasana lahannya. Misalnya jika lahan tersebut milik umum masyarakat tidak berminat menanam tanaman umur panjang tetapi jika milik pribadi dia bisa
159
berbuat apa saja untuk memenuhi kebutuhannya termasuk menjaga keseimbangan atau memenuhi kaidah-kaidah ekologis di dalam pengelolaan lahannya. 5. Pengendalian atas tingkah laku opportunistik Tingkah laku opportunistik dapat dijabarkan dalam beberapa tindakan dan perilaku manusia atau organisasi yang bertentangan dengan tujuan baik yang diinginkan manusia. Di dalam bahasa politik dikenal istilah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) dan persoalan-persoalan ini seharusnya juga mendapat perhatian serius dalam pembanguan pengelolaan hutan dan konservasi. Teori institusi menunjukkan bahwa tindakan atau tingkah laku opportunistik termasuk perilaku menyimpang yang dapat diklasifikasikan ke dalam korupsi, penyuapan, free rider dan moral hazard. Di dalam pengelolaan kehutanan sering timbul persoalan motivasi yang disebut rent seeking motivation. Orang atau organisasi yang memiliki sifat ini cenderung ekploitatif lebih mengutamakan keuntungan pribadi atau kelompok semata dan mengabaikan kepentingan umum serta aspek-aspek lingkungan dari pengelolaan hutan. Pengendalian atas tingkah laku oportunistik dapat dilakukan dengan penegakan hukum dalam institusi formal dan aturan lokal dalam institusi lokal. Masyarakat dan institusi adat mempunyai hukum adat dengan sanksi atau hukuman yang cukup memadai atau efektif di masa lampau. Di dalam lingkungan sosial masyarakat sering menggunakan “hukum sosial” yang tidak tertulis tetapi berupa sikap dan tindakan yang bisa menyebabkan orang yang melanggar norma, etika dan hukum akan merasa malu dan dilecehkan.
160
Persoalan yang banyak dihadapi saat ini adalah penegakan hukum formal cenderung tidak berjalan sebagaimana mestinya. Sehingga masyarakat sering bertindak sendiri dengan menggunakan “hukum rimba”. Mekanisme informal cukup efektif, namun harus berkenaan dengan etika dan norma kehidupan. Di tingkat organisasi lokal, aturan-aturan lokal dan informal dengan sanksi dan penghargaan yang diterima secara kolektif seringkali cukup berhasil mengatasi masalah tingkah laku opportunistik.