BELAJAR BERADAPTASI Bersama-sama Mengelola Hutan di Indonesia
Trikurnianti Kusumanto, Elizabeth Linda Yuliani, Phil Macoun, Yayan Indriatmoko, dan Hasantoha Adnan
BELAJAR BERADAPTASI Bersama-sama Mengelola Hutan di Indonesia
Trikurnianti Kusumanto, Elizabeth Linda Yuliani, Phil Macoun, Yayan Indriatmoko, dan Hasantoha Adnan
BELAJAR BERADAPTASI Bersama-sama Mengelola Hutan di Indonesia Judul asli: LEARNING TO ADAPT Managing Forests Together in Indonesia
Penulis: Trikurnianti Kusumanto, Elizabeth Linda Yuliani, Phil Macoun, Yayan Indriatmoko, dan Hasantoha Adnan Penyunting versi bahasa Indonesia: Ilya Moeliono Tim alih bahasa: Riza Irfani, Paus Narutama Satya, dan Rianingsih Djohani Dukungan editorial: Meilinda Wan Desain Sampul: Edwin Yulianto Tata letak: Catur Wahyu dan Vidya Fitrian Ilustrasi: Deni Rodendo Foto-foto: Hasantoha Adnan, Brian Belcher, Carol J.P. Colfer, Ismal Dobesto (PSHKODA), Stepi Hakim, Yayan Indriatmoko, Trikurnianti Kusumanto, LATIN, Patrice Levang, Marzoni (YGB), Muriadi, Parianto (PSHK-ODA), Yani Saloh, Plinio Sist, Herwasono Soedjito, Eddy Harfia Surma (YGB), Tim ACM Jambi, Eva Wollenberg, dan Linda Yuliani Penerbit: Center for International Forestry Research (CIFOR) Alamat Pos: P.O. Box 6596 JKPWB, Jakarta 10065, Indonesia Alamat Kantor: Jalan CIFOR, Situ Gede, Sindang Barang, Bogor Barat 16880, Indonesia Telp.: +62 (0251) 622622. Fax.: +62 (0251) 622100 E-mail:
[email protected] Situs web: http://www.cifor.cgiar.org Pencetak: SMK Grafika Desa Putera © 2006 oleh CIFOR, Yayasan Gita Buana (YGB), dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Otonomi Daerah (PSHK-ODA) Cetakan 1, Mei 2006 ISBN: 979-24-4615-X
Dengan dukungan dari: • The Asian Development Bank (ADB) • The Multistakeholder Forestry Programme (MFP), suatu program reformasi kehutanan yang dikelola bersama oleh Departemen Kehutanan R.I. dan the U.K. Department for International Development (DFID) • The International Development Research Centre (IDRC)
iii
DAFTAR ISI
Daftar Kotak, Tabel, dan Gambar Kata Pengantar Ucapan Terima Kasih Tentang Buku Ini Daftar Istilah, Singkatan, dan Akronim Bagian Satu: Pendahuluan Bab 1. Perihal Penelitian ACM Bab 2. Asal Usul ACM
iv vi vii ix xii 1 3 9
Bagian Dua: Konteks Bab 3. Pengelolaan Hutan Secara Kolaboratif di Indonesia Bab 4. Lokasi Penelitian Kami 4.1. Hutan dan Para Pemangku Kepentingan 4.2. Konteks Pembelajaran: Menghadapi Ketidakpastian 4.3. Mengapa para Pemangku Kepentingan Kurang Mampu Beradaptasi dan Berkolaborasi?
27 29 39 41 51
Bagian Tiga: Praktek Bab 5. Mempraktekkan ACM 5.1. Cara Kami Menciptakan Kondisi yang Memungkinkan Pembelajaran Multipihak 5.2. Keluaran Pembelajaran Bab 6. Tantangan, Keunggulan, dan Keterbatasan ACM Bab 7. Hikmah Belajar
61 63
57
65 104 113 121
Bagian Empat: Implikasi dan Kesimpulan Bab 8. Menerapkan ACM Secara Luas dalam Pengelolaan Hutan di Indonesia Bab 9. Catatan Penutup
127
Lampiran Lampiran 1. Suatu Kerangka untuk Menerapkan ACM Lampiran 2. Perangkat Alat Bantu ACM: Sebuah Contoh
145 147 177
Catatan Akhir
213
Daftar Pustaka
215
129 141
iv
DAFTAR KOTAK, TABEL, DAN GAMBAR
Kotak 1. Sistem pengambilan keputusan secara top-down 2. Kelemahan pengelolaan secara kolaboratif yang sering terjadi 3. Definisi kami tentang kemampuan beradaptasi dan kemampuan berkolaborasi 4. Tiga proses umum yang terdapat dalam pendekatan ACM 5. Analisis pemangku kepentingan 6. Beberapa acuan dalam mengembangkan K&I 7. Definisi fasilitasi 8. Pemangku kepentingan atas hutan 9. Para pemangku kepentingan di dalam masyarakat desa 10. Para pemangku kepentingan dari luar masyarakat desa 11. Ketidakpastian 12. Ketidakpastian tentang perilaku dan tindakan pihak lain 13. Ketidakpastian karena kebijakan 14. Mendefinisikan “pembelajaran” 15. Persepsi yang berbeda tentang permasalahan yang sama dengan pemecahan yang berbeda pula: Sebuah contoh dari Jambi 16. Proses mengidentifikasi pokok-pokok pembelajaran 17. Platform untuk mengorganisasikan pembelajaran 18. Membingkai kembali (reframe) beragam sudut pandang 19. Pokok-pokok pembelajaran yang diprioritaskan 20. Bersama-sama memetakan tata batas: Sebuah contoh pembelajaran berdasarkan pengalaman 21. Meningkatkan pemerintahan desa: Contoh lain pembelajaran berdasarkan pengalaman 22. Contoh-contoh prasangka (stereotyping) 23. Empat kebutuhan belajar para pemangku kepentingan: Beberapa contoh 24. Meningkatkan kemampuan strategis dalam bernegosiasi 25. Memotivasi para pemangku kepentingan untuk bersikap ingin tahu: Pembelajaran investigatif 26. Jangan cepat mengambil kesimpulan: Pembelajaran reflektif 27. Tiga cara memfasilitasi pembelajaran: Contoh dari Jambi 28. Tiga faktor yang menjadi motivasi para pemangku kepentingan untuk belajar bersama: Beberapa contoh
14 15 17 18 19 22 24 46 46 48 51 55 56 65 70 70 71 73 74 79 83 91 96 97 98 99 100 101
v
Tabel 1. Contoh motivasi belajar para pemangku kepentingan dan peran fasilitasi 2. Keluaran ACM dari pembelajaran tentang tata batas desa: Contoh dari Pasir 3. Keluaran ACM dari pembelajaran tentang peningkatan pemerintahan desa: Contoh dari Jambi
103 107 108
Gambar 1. Peran ganda tim ACM dalam penelitian aksi partisipatif 7 2. Proses berulang-ulang pengelolaan adaptif 12 3. Menggabungkan ciri-ciri dua konsep untuk membentuk ACM 16 4. Langkah-langkah utama proses ACM 21 5. Berbagai peran fasilitasi dalam mengembangkan pembelajaran sosial 25 6. Rangkaian kesatuan kontinyu (continuum) dari partisipasi ke arah kolaborasi dalam pengelolaan hutan 35 7. Lokasi-lokasi penelitian kami 42 8. Penurunan ketersediaan hasil hutan di kedua lokasi penelitian sebagaimana dilihat oleh para pemangku kepentingan desa 53 9. Tiga jenis kegiatan guna menciptakan kondisi pembelajaran 66 10. Dari identifikasi pokok-pokok permasalahan ke penentuan prioritasnya merupakan langkah yang BESAR 69 11. Menyeimbangkan kepemilikan individual dan kepemilikan kolektif atas pembelajaran 72 12. Dari banyak orang, sekelompok orang saja yang dipilih sebagai wakil untuk berpartisipasi 75 13. Menyelenggarakan pembelajaran bersama bagi para pemangku kepentingan dalam platform berjenjang (nested platforms) 76 14. Berbagai proses pembelajaran yang digunakan dalam memecahkan pokok permasalahan lokal 79 15. Siklus pembelajaran yang ditempuh para pemangku kepentingan dalam upaya penyelesaian masalah tata batas 86 16. Siklus pembelajaran untuk meningkatkan pemerintahan desa 87 17. Proses komunikasi yang terlihat sederhana 91 18. Bagaimananya pembelajaran para pemangku kepentingan: Pembelajaran investigatif dan pembelajaran reflektif yang saling berurutan berulang-ulang 98 19. Sebuah gambar yang kami pakai untuk memicu diskusi di antara para pemangku kepentingan 103 20. Roda-roda perubahan karena pembelajaran sosial 105 21. Kaitan yang mungkin antara modal sosial sebagai “modal awal” dengan modal keuangan dan modal alam sebagai “modal terbentuk”: Contoh dari Pasir 110 22. Nilai tambah ACM terhadap strategi penghidupan 112
vi
KATA PENGANTAR
Masyarakat Indonesia sangat menghargai hutan karena merupakan sumber pangan dan pendapatan bagi lebih dari seratus juta orang di daerah pedesaan dan perkotaan. Selain itu, hutan adalah dasar dari beragam kebudayaan dan kepercayaan yang menjadi kekayaan negeri ini. Walaupun begitu, di banyak tempat hutan telah diperlakukan dengan buruk. Tutupan hutan di negeri ini berkurang dengan cepat dan sumber daya hutan menghilang secara memprihatinkan. Di masa yang lalu, pemerintah, sektor nonpemerintah, masyarakat lokal, dan sektor kehutanan komersial telah mencoba berbagai program dan kebijakan untuk mengelola dan melindungi hutan, namun hasilnya masih sangat mengecewakan. Ada berbagai hal yang menghalangi usaha-usaha itu dan satu hal di antaranya memerlukan perhatian yang memadai dari kita semua: berbagai kelompok, organisasi, dan instansi yang bergiat di bidang kehutanan terlalu sombong untuk mengakui kekurangan mereka, sehingga hampir tidak ada upaya untuk saling belajar di antara mereka. Ketika di tahun 2000 Center for International Forestry Research (CIFOR) meminta saya untuk menjadi anggota Panitia Penasihat Nasional dalam prakarsa penelitian tentang suatu pendekatan pengelolaan hutan yang disebut adaptive collaborative management (ACM), saya tidak dapat menolaknya. Saat itu kita berada dalam keadaan yang sarat dengan berbagai masalah mendesak. Masalahmasalah tersebut memerlukan segala upaya kita untuk dengan rendah hati belajar dari kekurangan masa lalu dan dari sesama kita guna membangun masa depan yang lebih baik bagi hutan dan masyarakat negeri ini. Buku ini menawarkan kepada para pembaca suatu kesempatan untuk mengetahui pengalaman tim peneliti ACM Indonesia. Saya yakin bahwa pengalaman tim ini dapat menjadi sumber acuan bagi para praktisi, pengambil keputusan, dan peminat lainnya dalam mengembangkan strategi alternatif untuk pengelolaan hutan di Indonesia.
Emil Salim Guru Besar Ekonomi di Universitas Indonesia dan Mantan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup
vii
UCAPAN TERIMA KASIH
Banyak pihak berperan penting hingga buku ini dapat ditulis. Ucapan terima kasih kami sampaikan pertama-tama kepada masyarakat Baru Pelepat di Sumatera serta masyarakat Rantau Buta dan Rantau Layung di Kalimantan Timur. Rumah mereka telah menjadi tempat berteduh kami dan mereka telah banyak meluangkan waktu untuk memperbincangkan banyak hal bersama kami. Selanjutnya kami menyampaikan apresiasi kami kepada staf LSM mitra CIFOR— Eddy Harfia Surma, Marzoni, Effi Permata Sari, Budi Setiawan, dan Sutono dari Yayasan Gita Buana; Ahmad Albar, Ismal Dobesto, Helmi, Parianto, Dasril Rajab, dan Fauzi Syam dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Otonomi Daerah; serta Amin Ja’far, Sarmiah, Suprihatin, dan Koesnadi Wiriasapoetra dari Yayasan Padi. Bersama mereka, kami telah menghabiskan banyak waktu dalam upaya bersama mendampingi kelompok-kelompok dan masyarakat di lokasi penelitian kami. Kami terutama berterimakasih atas persahabatan mereka. Penelitian kami tidak mungkin terlaksana tanpa dukungan yang terus menerus dari BAPPEDA, Pemda, dan Dinas Kehutanan di Kabupaten Bungo, Propinsi Jambi di Sumatera, maupun dari BAPPEDA, Dinas Kehutanan, dan DPRD di Kabupaten Pasir, Kalimantan Timur. Di antara banyak pihak yang terlibat dalam penelitian kami, ucapan terima kasih kami sampaikan secara khusus kepada Iskandar Basri, Dewi, Mustafal Hadi, Budi Hartono, Usman Hasan, Dedy Irawan, Jasumbai, Mawardi, Ike Rachmawati, Safrizal, dan Iman Budi Setiawan di Bungo serta Muhamad Amin Ahmad, Abu Bakar Mahidin, Abdul Aziz Maulana, dan Romif di Pasir. Penelitian kami di Sumatera dan Kalimantan Timur didanai oleh Bank Pembangunan Asia (ADB) sebagai bagian dari proyek CIFOR yang bernama Planning for Sustainability of Forests through Adaptive Co-Management (Perencanaan untuk Keberlanjutan Hutan melalui Pengelolaan Bersama secara Adaptif) yang dilaksanakan selama tahun 1999—2002. Namun demikian, penerbitan buku ini dapat terlaksana berkat dukungan dari Multistakeholder Forestry Programme (MFP), yang merupakan suatu program reformasi kehutanan yang dikelola bersama oleh Departemen Kehutanan R.I. dan U.K. Department for International Development (DFID) dari Inggris. Kami juga menyampaikan penghargaan kami kepada International Development Research Centre (IDRC) dari Kanada atas dukungannya terhadap sebagian dari kegiatan lapangan kami. Kami menyampaikan terima kasih kepada Muhammad A. Mannan dan Sivaguru Sahajananthan dari ADB dan Ivan Biot dari MFP atas dukungan mereka.
viii
Meskipun demikian, seluruh pandangan di dalam buku ini merupakan pemikiran tim penulis dan tidak mewakili pandangan serta kebijakan penyandangpenyandang dana tersebut. Sebagai bagian dari penelitian ACM di tingkat global, tim kami sangat beruntung karena telah mendapat bimbingan intelektual dari International Steering Committee (Komite Pengarah Internasional). Ungkapan terima kasih yang tulus kami sampaikan kepada Peter Frost, Don Gilmour, Irene Guijt, Renato de Rueda, K.B. Shrestha, dan Yunita Winarto. Di Indonesia, selama penelitian kami, tim kami mendapat banyak manfaat dari tinjauan kritis dan pandangan strategis yang diberikan oleh Komite Penasihat Nasional (National Advisory Committee): Erwidodo, Sandra Moniaga, Emil Salim, Djamaludin Suryohadikusumo, Trinugroho, dan Yunita Winarto. Pada saat menulis buku ini, penelitian kami telah memasuki tahapan baru dan kami menerima bimbingan dari Komite Pengarah Nasional (National Steering Committee) yang baru: Dani Wahyu Munggoro, Mustofa Agung Sardjono, Tetra Yanuariadi, dan Sih Yuniati. Kami berhutang budi kepada mereka semua. Di CIFOR, Ravi Prabhu dan Carol J.P. Colfer tanpa bosan-bosannya membimbing tim kami baik dalam pemikiran maupun dalam pelaksanaan penelitian lapangan. Merupakan keberuntungan yang luar biasa bagi tim kami karena telah mendapat pengarahan dari mereka yang meletakkan dasar-dasar penelitian ACM di CIFOR. Kepada keduanya, kami berterimakasih secara mendalam. Kepada anggota tim ACM dari berbagai bagian dunia, terutama Herlina Hartanto dan Cynthia McDougall, kami menyampaikan terima kasih: mereka telah berbagi waktu, pemikiran, dan pandangan bersama kami. Terima kasih juga kepada Stepi Hakim, anggota tim Indonesia yang bertanggung jawab atas penelitian di Pasir dan dengan demikian memberi kontribusi yang penting terhadap penelitian ini, tetapi tidak sempat bergabung pada saat kami menulis buku ini. Dalam mengembangkan buku ini, tinjauan kritis terhadap draft naskah buku ini diberikan oleh Carol Colfer, Ravi Prabhu, dan Moira Moeliono dari CIFOR, serta Dani Wahyu Munggoro dan Tetra Yanuriadi dari Komite Pengarah Nasional. Kami sangat berterimakasih untuk masukan-masukan kritis mereka. Sebagai bagian dari rangkaian penerbitan tentang penelitian ACM di Asia, tata letak buku ini mengikuti versi Filipina dengan beberapa perubahan kecil di sana sini. Karenanya, kami ucapkan terima kasih kepada tim ACM Filipina atas penggunaan rancangan tata letak mereka untuk buku ini. Akhirnya, terima kasih juga kami ucapkan kepada Gideon Suharyanto, Rahayu Koesnadi, Atie Puntodewo, dan Ahmad Yusuf atas bantuannya dalam proses produksi buku ini. Bogor, Februari 2005
ix
TENTANG BUKU INI
Apa Tujuan Buku Ini? Buku ini dimaksudkan untuk membantu staf proyek dan para fasilitator lapangan dalam mendampingi masyarakat dan lembaga lokal berkaitan dengan pengelolaan hutan. Buku ini menyarikan pengalaman tim peneliti CIFOR dan pendampingpendamping masyarakat serta staf lainnya dari tiga LSM mitranya1 di Indonesia, selanjutnya disebut tim. Tim tersebut melaksanakan penelitian aksi partisipatif tentang suatu pendekatan yang disebut adaptive collaborative management (ACM). Apabila pendekatan ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kita dapat menggunakan istilah “pengelolaan bersama secara adaptif” (PBA). Walaupun demikian, buku ini menggunakan istilah dalam bahasa Inggris untuk menghindari kerancuan, mengingat berbagai istilah, singkatan, ataupun akronim yang berkenaan dengan pengelolaan hutan banyak bermunculan dewasa ini di Indonesia. Meskipun begitu, dalam merujuk pada pendekatan ini, pembaca tentu memiliki kebebasan dalam memilih penggunaan bahasa yang dipandangnya tepat untuk konteks kegiatannya. Proses penelitian berlangsung dari tahun 2000 sampai 2002 dan dilaksanakan di dua lokasi di Indonesia, yaitu di Propinsi Jambi di Sumatera dan Propinsi Kalimantan Timur. Penelitian serupa dilaksanakan juga di Bolivia, Brasilia, Filipina, Gana, Kamerun, Kirgistan, Madagaskar, Malawi, Nepal, dan Zimbabwe. Sama seperti penelitian di Filipina dan Nepal, Bank Pembangunan Asia (ADB) membiayai penelitian yang dilaksanakan di Indonesia. Buku ini dimaksudkan untuk berbagi pengalaman dan temuan-temuan yang diperoleh dari penelitian ACM di Indonesia.
Apa yang Ada Dalam Buku Ini? Buku ini memadukan pengalaman konkret tim dengan konsep-konsep abstrak tentang pendekatan ACM yang berkembang sewaktu diterapkan di lapangan. Buku ini dibagi ke dalam empat bagian sebagai berikut:
x
Bagian Pertama: Pendahuluan Bab 1 menyampaikan tinjauan umum tentang apa yang dimaksudkan dengan penelitian tentang ACM dan mengangkat pertanyaan-pertanyaan penelitian yang ingin dicari jawabannya. Bab 2 membahas asal muasal ACM sebagai sebuah pendekatan dan menyajikan latar belakang pendekatan ACM secara teoretis. Bagian Kedua: Konteks Bab 3 merinci perkembangan berbagai bentuk partisipasi dalam konteks pengelolaan hutan serta tantangan-tantangan yang dihadapinya, dengan perhatian khusus pada “pengelolaan hutan secara kolaboratif” di Indonesia. Bab 4 menggambarkan lokasi penelitian ACM dan membahas hasil kajian tim tentang mengapa di lokasi-lokasi tersebut kurang terjadi kolaborasi dan adaptasi pada saat penelitian dimulai. Bagian Tiga: Praktek Bab 5 menyampaikan pengalaman tim dalam menerapkan pendekatan ACM dalam mendampingi pemangku-pemangku kepentingan lokal untuk meningkatkan sumber penghidupannya. Bab 6 merinci tantangan yang dihadapi tim ketika menerapkan ACM, diikuti dengan pembahasan mengenai keunggulan dan keterbatasan ACM sebagaimana dialami tim. Bab 7 menyajikan pelajaran yang diperoleh dari penelitian aksi partisipatif (participatory action research (PAR)) mengenai ACM. Bagian Empat: Implikasi dan Kesimpulan Bab 8 membahas implikasi dari hasil penelitian tim terhadap program-program kehutanan di Indonesia. Bab 9 menawarkan kesimpulan yang dapat ditarik dari pelaksanaan penelitian tentang pendekatan ACM di Indonesia. Selanjutnya, Lampiran 1 dan Lampiran 2 menyajikan secara berturut-turut suatu kerangka untuk menerapkan ACM dan sebuah contoh kumpulan alat bantu yang dapat digunakan dalam menerapkan pendekatan ini.
xi
Siapa yang Dapat Menggunakan Buku Ini? Buku ini ditujukan bagi para pendamping masyarakat lokal, staf organisasi dan instansi yang bekerja di lapangan seperti staf LSM dan petugas penyuluh instansi pemerintah (terutama dari dinas kehutanan), para pelatih, dan pembaca lainnya yang berminat. Karena setiap hari berhubungan dengan masyarakat, kelompokkelompok, dan pemangku kepentingan lokal lainnya dalam pengelolaan sumber daya alam, mereka dapat menggunakan buku ini sebagai bahan acuan, sebagai “alat bantu” dalam memfasilitasi aksi oleh pemangku kepentingan lokal, atau sekedar sebagai catatan pengalaman tim. Buku ini disusun sedemikian rupa agar semua bagian di dalamnya bisa dibaca secara berurutan, seperti sebuah cerita, ataupun dibaca bagian-bagian tertentu saja sebagai dasar pemikiran untuk mengembangkan metode, “alat bantu”, atau konsep pengelolaan hutan yang baru. Harapannya, pembaca tidak hanya senang membaca buku ini, tetapi juga akan terilhami untuk mencari cara-cara baru dalam mendampingi pemangku kepentingan lokal dalam mengelola hutan secara bersama.
xii
DAFTAR ISTILAH, SINGKATAN, DAN AKRONIM
Istilah/Singkatan/ Akronim
Bahasa Indonesia
Bahasa Inggris
4Rs framework
kerangka tanggung jawab, hak, hasil, dan hubungan (TH3) pengelolaan bersama secara adaptif (PBA) Bank Pembangunan Asia Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Badan Perwakilan Desa kriteria dan indikator (K&I) Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBsM) Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (suatu organisasi internasional, bermarkas besar di Bogor, Indonesia) Departemen Pembangunan Internasional Kerajaan Inggris Dinas kehutanan (tingkat propinsi/kabupaten) Dinas pertanian dan tanaman keras (tingkat propinsi/kabupaten) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (tingkat propinsi/ kabupaten) Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa diskusi kelompok terfokus
rights, responsibilities, returns, and relationships
ACM ADB BAPPEDA BPD C&I CBFM
CIFOR
DFID
Dishut Dis-PTK
DPRD
FAO
FGD
adaptive collaborative management Asian Development Bank criteria and indicators Community-Based Forest Management Center for International Forestry Research
UK Department for International Development -
-
Food and Agriculture Organization of the United Nations focus group discussion
xiii
Istilah/Singkatan/ Akronim
Bahasa Indonesia
Bahasa Inggris
GPS
sistem penentuan posisi global Program Hutan Kemasyarakatan hak pengusahaan hutan Proyek Konservasi dan Pembangunan secara Terpadu Pusat Penelitian Pembangunan Internasional (suatu instansi pemerintah Kanada) Lembaga Internasional untuk Lingkungan dan Pembangunan (suatu lembaga nonpemerintah Inggris) Izin Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu Kriteria dan Indikator
global positioning system
HKm HPH ICDP
IDRC
IIED
IPPK K&I KdTI LATIN LSM MFP
NGO
PAR PBA
Kawasan dengan Tujuan Istimewa Lembaga Alam Tropika Indonesia (suatu LSM) Lembaga Swadaya Masyarakat Program Kehutanan Multipihak (suatu program reformasi kehutanan yang dikelola bersama oleh Departemen Kehutanan R.I. dan DFID) organisasi nonpemerintah/ lembaga swadaya masyarakat penelitian aksi partisipatif pengelolaan bersama secara adaptif
Community Forestry Programme Integrated Conservation and Development Project International Development Research Centre
International Institute for Environment and Development
criteria and indicators (C&I) nongovernmental organisation Multistakeholder Forestry Programme
nongovernmental organisation participatory action research adaptive collaborative management (ACM)
xiv
Istilah/Singkatan/ Akronim
Bahasa Indonesia
Bahasa Inggris
PCSPP
Pengkajian Cepat System Pengetahuan Pertanian
Pemda PHB
Pemerintah Daerah pengelolaan hutan berkelanjutan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Program Pembinaan Masyarakat Desa Hutan pengkajian pedesaan secara partisipatif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Otonomi Daerah (salah satu lembaga mitra CIFOR) perseroan terbatas (suatu bentuk perusahaan) Pengkajian Cepat Sistem Pengetahuan Pertanian (PCSPP) Pusat Pelatihan Hutan Kemasyarakatan untuk Asia dan Pasifik (suatu lembaga internasional, berkedudukan di Thailand) pengelolaan hutan berkelanjutan (PHB) kerangka tanggung jawab, hak, hasil, dan hubungan
Rapid Assessment of Agricultural Knowledge Systems (RAAKS) sustainable forest management (SFM) Collaborative Forest Management Community-Based Forest Management (CBFM) -
PHBM PHBsM PMDH PRA PSHK-ODA
PT RAAKS
RECOFTC
SFM TH3
ToT UK YGB
pelatihan untuk para pelatih Kerajaan Inggris Yayasan Gita Buana (salah satu lembaga mitra CIFOR)
participatory rural appraisal Study Center for Regional Autonomy, Law and Policy
limited company (ltd.) Rapid Appraisal of Agricultural Knowledge Systems Regional Community Forestry Training Center for Asia and the Pacific
sustainable forest management rights, responsibilities, returns, and relationships (4Rs framework) training of trainers The United Kingdom -
Bagian Satu Pendahuluan
Di berbagai tempat di dunia ada kebutuhan yang kian meningkat untuk memperbaiki pengelolaan hutan. Kebutuhan ini sering muncul karena perbedaan pandangan antara pemangku-pemangku kepentingan yang menggunakan tanah hutan dan sumber daya hutan yang sama. Meskipun secara umum diterima bahwa permasalahan ini harus diselesaikan melalui kerja sama di antara kelompok-kelompok yang bersaing, masih terdapat banyak pertanyaan mengenai bagaimana mempraktekkannya. Buku ini mencoba menjawab sebagian dari pertanyaan tersebut. Bagian Satu merupakan pengantar: Bab 1 memberikan gambaran umum tentang apa yang dimaksud dengan penelitian ACM, serta memaparkan pertanyaan-pertanyaan yang ingin kami cari jawabannya, sementara Bab 2 memperinci asal muasal konsep ACM.
1 PERIHAL PENELITIAN ACM
Nyaris tidak dapat dipercaya jika semua hal adalah seperti nampaknya, jika tidak ada rahasia tersembunyi. (It is incredible, that is, if things are what they seem, if there is not a secret hidden somewhere.) Rebecca West, wartawati, dalam “The Strange Necessity” 1926
PERIHAL PENELITIAN ACM • 5
Pada awal tahun 2000, ketika para peneliti dari berbagai belahan dunia berkumpul di CIFOR untuk membentuk Kelompok Peneliti ACM (ACM Group), Indonesia sedang mengalami goncangan sosial yang cukup hebat. Krisis ekonomi pada tahun-tahun sebelumnya, jatuhnya kepemimpinan autokratis Soeharto secara dramatis dua tahun sebelumnya, dan kekecewaan masyarakat yang terpendam terhadap pemerintahan yang korup telah mendorong proses-proses perubahan tersebut. Gelombang perubahan yang kemudian terjadi dirasakan di semua tingkatan masyarakat. Ketika perubahan-perubahan itu terus bergulir, meluas serta mulai menyentuh ranah kehutanan Indonesia, terbukalah berbagai peluang upaya perbaikan pengelolaan hutan. Hal ini penting karena sudah begitu lama hutan di Indonesia dikelola dengan cara yang tidak adil, tidak berkelanjutan, dan hanya menguntungkan segelintir kelompok tertentu yang diistimewakan negara. Sebagai bagian dari Kelompok Peneliti ACM internasional yang baru terbentuk itu, tim Indonesia berpandangan bahwa tidak ada saat yang lebih tepat untuk memulai penelitian ACM ini. Pertanyaan yang menarik bagi tim adalah, ketika banyak peluang untuk terjadinya perubahan muncul di Indonesia, ke manakah arah perubahan yang akan terjadi?
Hutan yang tersisa di Jambi, Sumatera, sebagaimana diperlihatkan di sini adalah keadaan umum yang dapat diamati di seluruh Indonesia.
6 • BAB SATU
Dalam semangat demokratisasi yang berkembang, arah perubahan itu semestinya menjadi hasil dari keputusan bersama dan tindakan bersama. Tetapi selama ini pembelajaran bersama antara berbagai pemangku kepentingan dalam pengelolaan hutan di Indonesia sangat kurang. Keadaan itu tidak mendorong kolaborasi, ataupun memicu kelompok-kelompok yang berkepentingan terhadap hutan untuk secara bersama dan bertanggung jawab memanfaatkan dan mengelola hutan. Tim kami berkeyakinan bahwa kolaborasi dan pembelajaran merupakan hal yang mendesak di Indonesia. Meskipun memang banyak perubahan terjadi yang kemudian merangsang berbagai kelompok untuk mengajukan tuntutannya masing-masing terhadap hutan, sangatlah sulit untuk diketahui apakah perubahanperubahan itu akan bergerak demi kebaikan hutan dan masyarakat, atau justru sebaliknya.
Kelompok-kelompok lokal bertindak sebagai peneliti aksi, berdampingan dengan tim kami sepanjang proses penelitian aksi.
Tim kami berharap ACM dapat menawarkan kepada para pemangku kepentingan sarana pembelajaran bersama sebagai dasar untuk memperbaiki secara kolaboratif strategi-strategi pengelolaan hutan. Dengan penelitian ACM, kami mencari jawaban atas tiga pertanyaan berikut:
PERIHAL PENELITIAN ACM • 7
1. Dapatkah kerja sama di antara para pemangku kepentingan dalam pengelolaan hutan diperkuat oleh proses pembelajaran sosial yang kemudian dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan memperbaiki kondisi hutan? 2. Pendekatan-pendekatan apakah yang terfokus pada pembelajaran sosial dan aksi kolaboratif antara para pemangku kepentingan yang dapat mendorong pengelolaan hutan yang berkelanjutan? 3. Bagaimanakah pembelajaran sosial dalam ACM mempengaruhi fungsi sosial, ekonomi, dan ekologi? Penelitian kami menggunakan penelitian aksi partisipatif (participatory action research (PAR)) sebagai metodologi penelitian. Ini berarti ada dua hal yang kami lakukan: kami mengamati apa yang dilakukan orang lain terhadap hutan, dan pada saat yang sama kami mencari tahu bagaimana keadaan hutan dapat ditingkatkan. Dengan demikian, tim kami bersama kelompok-kelompok lokal bertindak sebagai peneliti-peneliti aksi. Hal ini merupakan pengalaman baru bagi kami dalam melakukan penelitian. Kami melakukan penelitian aksi partisipatif pada dua “lapisan” (lihat Gambar 1). Di lapisan dalam, tim kami memfasilitasi berbagai pemangku kepentingan untuk berkolaborasi dan belajar bersama, sementara di lapisan luar kami mengamati proses kolaborasi dan pembelajaran, yang terjadi di lapisan dalam. Pada saatsaat tertentu kami menempatkan diri kami di lapisan dalam sebagai fasilitator pembelajaran. Sementara pada kesempatan lain kami berada di lapisan luar sebagai pengamat.
Tim ACM sebagai fasilitator
Proses kolaboratif dan pembelajaran
Tim ACM sebagai pengamat
Gambar 1. Peran ganda tim ACM dalam penelitian aksi partisipatif
2 ASAL USUL ACM
Akhirnya eukariot mempelajari suatu kiat baru yang mengesankan. Hal itu membutuhkan waktu yang lama— kurang-lebih semilyar tahun—tetapi setelah dikuasai ternyata kiat yang baik. Mereka belajar untuk bersamasama membentuk makhluk multisel yang kompleks. Berkat inovasi ini, kesatuan yang besar, rumit, dan nampak nyata seperti kita menjadi mungkin. Planet Bumi siap untuk bergerak ke tahapan ambisius berikutnya. (Eventually the eukaryotes learned an even more singular trick. It took a long time— a billion years or so—but it was a good one when they mastered it. They learned to form together into complex multicellular beings. Thanks to this innovation, big, complicated, visible entities like us were possible. Planet Earth was ready to move on to its next ambitious phase.) Bill Bryson, dalam “A Short History of Nearly Everything”, buku yang memenangkan hadiah Aventis untuk buku-buku ilmu pengetahuan, 2004
ASAL USUL ACM • 11
Pendekatan ACM adalah suatu proses yang bertujuan mendorong para pemangku kepentingan untuk bekerja sama dalam merencanakan, melaksanakan, mengamati, dan mengambil pelajaran dari pelaksanaan rencana mereka di masa lalu. Untuk adanya gambaran yang memadai tentang ACM, proses-proses, dan unsurunsur kuncinya, kita perlu mencermati asal muasal ACM, yakni pengelolaan adaptif dan pengelolaan bersama/kolaboratif. Dalam bab ini, kami akan menggambarkan ciri dari masing-masing konsep di atas dan menjelaskan apa dan bagaimana kami menggabungkannya. Selain itu, kami akan mencoba menjelaskan secara sederhana teori-teori yang mendasari pendekatan ACM, termasuk komponen-komponen inti dan proses-proses yang menjadi “jiwa” pendekatan ini, maupun gambaran tentang bagaimana ACM dapat diterapkan.
ADAPTIF dari “adaptasi”, proses mengadaptasi atau menyesuaikan dengan kondisi yang baru. KOLABORATIF dari “kolaborasi”, tindakan bekerja bersama, kerja yang dipersatukan, kerja sama.2
Interaksi dinamis sangat mungkin merangsang terjadinya adaptasi dan kerja sama.
12 • BAB DUA
Pengelolaan Adaptif Mereka yang bekerja dalam pengelolaan sumber daya alam dan bidang ekologi sering menghadapi keadaan yang tidak pasti, dinamis dan kompleks karena nilainilai sosial, kebijakan, dan lingkungan biofisik senantiasa berubah dengan cepat dan berlanjut. Walaupun menghadapi ketidakpastian seperti itu, mereka tetap harus mengambil keputusan dan melaksanakan apa yang telah direncanakan. Padahal menjalankan suatu rencana berdasarkan informasi yang tidak pasti bisa menghasilkan keputusan yang tidak efektif. Salah satu jalan keluar dari dilema ini adalah menerapkan suatu pendekatan pengelolaan yang memungkinkan penyesuaian keputusan secara sistematis dan berlanjut. Proses penyesuaian keputusan itu terjadi ketika terkumpulnya informasi yang baru dan terjadinya proses pembelajaran. Gagasan pengelolaan adaptif ini muncul ketika masyarakat menyadari pentingnya menghadapi ketidakpastian, dengan cara merancang intervensi untuk mendorong pembelajaran.
pengamatan
nca naa n
nta u pem a
aksi baru/ intervensi yang diadaptasi
pe re
pe re
nca naa n
pem a Saat ini
an
aksi/ intervensi
nta u
an
Pengelolaan adaptif merupakan suatu cara bagi para pemangku kepentingan untuk mengambil langkah secara bertanggung jawab ketika menghadapi ketidakpastian. Pendekatan ini memungkinkan dilakukannya perbaikan sesering dibutuhkan melalui proses yang berulang-ulang seperti digambarkan dalam Gambar 2.
refleksi
Masa yang akan datang
refleksi
Gambar 2. Proses berulang-ulang pengelolaan adaptif
Proses pengelolaan adaptif dimulai dengan refleksi untuk mengidentifikasi masalah-masalah mendasar, peluang, dan pokok persoalan. Hasil refleksi itu kemudian diangkat sebagai faktor yang penting untuk dipertimbangkan dalam perencanaan, diikuti dengan tindakan nyata untuk mencapai tujuan pengelolaan. Pada saat membuat perencanaan, para pengelola juga harus merancang bagaimana mereka akan memantau apakah rencana tersebut dapat memenuhi tujuan dan apakah rencana itu efektif. Hasil pemantauan digunakan dalam proses evaluasi/ refleksi untuk:
ASAL USUL ACM • 13
• menemukan penyebab tidak efektifnya suatu rencana atau tindakan tertentu dan mengidentifikasi keunggulan dan kelemahan keputusan yang telah diambil sebelumnya • menjajaki apakah tujuan masih tetap relevan • mengidentifikasi perubahan yang terjadi—seperti perubahan akibat kebakaran hutan, kebijakan baru, atau perubahan demografi—di dalam keseluruhan sistem sosial dan sumber daya alam yang membutuhkan penyesuaian rencana • mempertimbangkan langkah selanjutnya, termasuk kemungkinan perlunya penyesuaian rencana dan tujuan semula.
Pengelolaan sumber daya alam lokal mencakup sistem alam dan sistem sosial yang rumit dan dinamis.
Kunci keberhasilan pengelolaan adaptif adalah belajar dari pengalaman yang lalu untuk merencanakan masa depan yang lebih baik. Proses berulang-ulang sebagaimana digambarkan di atas mengharuskan para pengelola untuk terusmenerus menilai efektivitas rencana dan tindakan mereka. Dengan sendirinya mereka akan menyadari perubahan yang terjadi dalam lingkungan mereka karena tindakan-tindakan mereka. Dengan langkah ini, mereka dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang terus berubah.
14 • BAB DUA
Namun bisa saja seseorang atau suatu kelompok tertentu (misalnya para pengambil keputusan atau pelaksana proyek kehutanan) melakukan proses berulang-ulang tersebut tanpa melibatkan pihak lain. Hal ini bisa mengakibatkan rendahnya keterlibatan pemangku kepentingan lainnya, yang kemudian dapat membawa kita pada sistem pengambilan keputusan dan perencanaan yang “top-down” dan kurangnya proses pembelajaran antarpihak. Karenanya, agar proses pembelajaran dan adaptasi dapat berjalan dengan baik, menjadi suatu keharusan bahwa semua pemangku kepentingan mengadopsi pendekatan ini secara bersama-sama. Para praktisi pengelolaan sumber daya alam di berbagai penjuru dunia telah menyadari bahwa kebiasaan umum pengambilan keputusan secara top-down adalah penyebab utama dari banyaknya kegagalan proyek pengelolaan sumber daya alam. Hal ini terutama karena para pengambil keputusan itu kurang memahami kondisi lokal.
Kotak 1. Sistem pengambilan keputusan secara top-down Pada sistem pengambilan keputusan secara top-down, biasanya pengambil keputusan berada di lokasi dan posisi yang jauh dari dampak keputusan yang mereka buat. Keputusan dibuat oleh mereka yang berada di puncak hirarki (misalnya pemerintah pusat) dan dipaksakan untuk diterapkan oleh mereka yang berada di lapisan bawah hirarki tersebut (misalnya kelompok-kelompok pengguna hutan).
Pengelolaan Kolaboratif Seperti juga pendekatan pengelolaan adaptif, pengelolaan kolaboratif bukanlah konsep yang baru. Berbagai bentuk kerja sama dalam pengelolaan sumber daya sudah dikenal di berbagai negara dalam beberapa dasawarsa belakangan ini. Namun, di Indonesia, bentuk pengelolaan sumber daya hutan semacam ini baru dikenal pada akhir tahun 1990-an. Gambaran lebih rinci sejarah pengelolaan secara kolaboratif di Indonesia dapat dilihat dalam Bab 3. Istilah collaborative management (pengelolaan secara kolaboratif) dalam bahasa Inggris sering digunakan secara bergantian dengan berbagai istilah lainnya seperti co-management (pengelolaan secara kemitraan), participatory management (pengelolaan partisipatif), joint management (pengelolaan bersama), shared management (pengelolaan berbagi), multistakeholder management (pengelolaan multipihak), atau round-table management (pengelolaan meja bundar). Dalam
ASAL USUL ACM • 15
bentuk aslinya, pengelolaan secara kolaboratif merupakan proses partisipatif yang melibatkan semua pemangku kepentingan secara aktif dalam berbagai kegiatan pengelolaan, termasuk pengembangan visi bersama, belajar bersama, dan penyesuaian praktek-praktek pengelolaan mereka. Walaupun demikian, pengelolaan secara kolaboratif memiliki beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan para pengelola hutan dan pengambil kebijakan (Kotak 2).
Kotak 2. Kelemahan pengelolaan secara kolaboratif yang sering terjadi • Para pengelola hutan sering menggunakan istilah “kolaborasi” dan “partisipasi” dengan maksud yang sama. Hal ini bisa menjadi masalah jika istilah “kolaborasi” hanya diartikan sebagai ajakan bagi masyarakat dan kelompok-kelompok lokal untuk “berpartisipasi” di tahap pelaksanaan saja, sehingga mereka tidak terlibat dalam menentukan cara menganalisis permasalahan maupun melaksanakan dan memantau rencana yang dibuat. • Dengan demikian, tujuan, metode, dan rencana pengelolaan hutan dalam kenyataannya masih berada dalam ranah kegiatan “orang luar”. Jika “orang luar” itu kurang mengenal konteks lokal dan cenderung melihat permasalahannya dari sudut pandang mereka sendiri saja, rancangan pengelolaan bisa jadi tidak sesuai dengan kebutuhan lokal dan mengakibatkan gagalnya pengelolaan. • Potensi pengelolaan secara kolaboratif (seperti menciptakan peluang bagi berbagai kelompok untuk belajar bersama dan bernegosiasi) tidak bisa dicapai jika “partisipasi” tidak diartikan sebagai upaya penentuan nasib sendiri oleh kelompok-kelompok lokal.
Kunci keberhasilan pengelolaan kolaboratif adalah: 1) Para pemangku kepentingan kunci tidak hanya berpartisipasi dalam pelaksanaan saja, tetapi dalam semua tahapan pengelolaan: pengamatan, perencanaan, aksi, pemantauan, dan refleksi. 2) Pengembangan minat, keterampilan, dan kemampuan lokal yang dapat membantu para pemangku kepentingan menyesuaikan diri dengan dinamika perubahan yang sangat cepat setelah proyek selesai. Salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan para pemangku kepentingan dalam menanggapi perubahan adalah dengan mengikuti pembelajaran yang berkelanjutan dan terstruktur yang dapat membantu dalam mengadaptasi pendekatan pengelolaan mereka.
16 • BAB DUA
Keterlibatan semua pemangku kepentingan, termasuk masyarakat lokal, dalam seluruh tahapan pengelolaan dapat membantu pengembangan keterampilan, minat, dan kapasitas lokal. Gambar ini menunjukkan bagaimana masyarakat lokal berperan serta dalam analisis vegetasi hutan adat mereka.
ACM: Menggabungkan Pengelolaan Adaptif dan Pengelolaan Kolaboratif Adaptive Collaborative Management (ACM) menggabungkan prinsip-prinsip pengelolaan adaptif dan pengelolaan kolaboratif untuk memanfaatkan keunggulan-keunggulan dan mengatasi kelemahan-kelemahan masing-masing pendekatan itu (Gambar 3). Ciri-ciri utama pengelolaan adaptif
Ciri-ciri utama pengelolaan kolaboratif/bersama
Adaptive Collaborative Management (Pengelolaan Bersama Secara Adaptif) Gambar 3. Menggabungkan ciri-ciri dua konsep untuk membentuk ACM
ASAL USUL ACM • 17
Sebagaimana telah disebutkan di bagian awal bab ini, ACM merupakan suatu pendekatan yang mendorong para pemangku kepentingan untuk bekerja sama dalam merencanakan, mengamati, dan menarik pelajaran dari perencanaan yang telah dibuat sebelumnya. Maka penting untuk dilihat bahwa ciri khas proses ACM adalah usaha-usaha sadar dari para pemangku kepentingan untuk secara berkelanjutan menjalin komunikasi, kolaborasi, dan negosiasi serta mencari peluang untuk belajar secara bersama mengenai dampak dari tindakan-tindakan mereka.
Kotak 3. Definisi kami tentang kemampuan beradaptasi dan kemampuan berkolaborasi:3 KEMAMPUAN BERADAPTASI: kemampuan sesuatu, seseorang, masyarakat, atau sebuah kelompok di dalam masyarakat untuk menanggapi secara aktif dan positif faktor-faktor luar (eksternal) atau faktor-faktor dalam (internal). KEMAMPUAN BERKOLABORASI: partisipasi secara sukarela para pemangku kepentingan dalam proses pengelolaan, khususnya dalam proses pembelajaran. Penting untuk dicatat bahwa kemampuan berkolaborasi tidak mengacu pada tatanan tertentu pengelolaan hutan. Kemampuan berkolaborasi tidak mensyaratkan siapa saja yang bisa dilibatkan dalam suatu upaya kolaborasi, ataupun tentang pembagian peran dan tanggung jawab di antara mereka. Apabila aspek etika dipertimbangkan dan agar tujuan suatu upaya bersama benar-benar bermakna bagi mereka yang terlibat, maka kolaborasi akan sangat ditentukan oleh partisipasi para pemangku kepentingan yang memainkan peran kunci dalam suatu kawasan hutan, khususnya mereka yang tersingkirkan selama ini.
Unsur-unsur ACM Ada tiga proses umum yang tercakup dalam pendekatan ACM (Kotak 4) yang jika kita cermati secara keseluruhan memiliki ciri-ciri sebagai berikut: • Komunikasi dan arus informasi yang efektif antara anggota kelompok atau antara para pemangku kepentingan • Partisipasi aktif dan keterwakilan yang memadai dari semua pemangku kepentingan dalam pengambilan keputusan dan dalam setiap proses negosiasi dengan pemangku kepentingan lain • Adanya mekanisme untuk menangani konflik dan menghadapi ketidakpastian serta perubahan-perubahan yang cepat dan mendadak
18 • BAB DUA
• Pembelajaran dan eksperimen yang dilakukan secara sengaja • Adanya kemauan (sikap) dan kapasitas (keterampilan dan sumber daya) organisasi untuk belajar dan menanggapi hasil pembelajaran • Sikap saling menghormati dan saling mempercayai serta keterbukaan • Saling berbagi pengetahuan dan keterampilan • Perencanaan, pengambilan keputusan, tindakan, dan pemantauan yang dilakukan bersama; kesemuanya dengan memperhatikan secara cermat hubungan-hubungan di dalam sistem sosial dan sistem alam, maupun kaitankaitan di antara sistem-sistem itu.
Kotak 4. Tiga proses umum yang terdapat dalam pendekatan ACM ACM terdiri dari siklus-siklus adaptif yang dilakukan secara kolaboratif dengan melibatkan semua pemangku kepentingan kunci. Secara sederhana ACM dapat digambarkan sebagai proses yang mencakup: 1. Interaksi antara para pemangku kepentingan 2. Komunikasi dan pembelajaran di antara para pemangku kepentingan 3. Tindakan bersama, yang menghasilkan perubahan atau penyesuaian pengelolaan.
Bagaimana kita memfasilitasi proses ACM? Sebelum memfasilitasi sebuah proses ACM, kita mulai dengan beberapa pertanyaan berikut ini: • Siapa yang harus dilibatkan dalam proses ini? • Siapa saja para pemangku kepentingan pengelolaan hutan yang berada di kawasan ini? • Apakah di masa lalu telah terjadi perubahan-perubahan yang signifikan terhadap kondisi hutan dan, jika “ya”, apa saja perubahan itu dan mengapa perubahan itu terjadi? • Apa saja permasalahan utama yang telah menyebabkan berkurangnya luas hutan? Memperoleh jawaban-jawaban yang tepat atas pertanyaan-pertanyaan tersebut dan pemahaman yang mendalam tentang konteks lokal, merupakan hal yang penting dan mendasar bagi para fasilitator ACM. Itulah sebabnya mengapa para fasilitator sedini mungkin harus: • Membangun kepercayaan dan kemitraan. Kemitraan yang baik antara fasilitator dan para pemangku kepentingan, maupun antara pemangku-pemangku kepentingan. Membangun kepercayaan merupakan langkah yang utama
ASAL USUL ACM • 19
bagi fasilitator, karena tanpa kepercayaan kepada fasilitator bisa jadi para pemangku kepentingan tidak akan mau berbagi pandangan secara bebas sehingga informasi dan masalah-masalah penting tetap tersembunyi. • Memahami konteks lokal. Hal ini mencakup identifikasi para pemangku kepentingan di lokasi yang bersangkutan, termasuk peran, wewenang, dan tanggung jawab masing-masing pemangku kepentingan, serta sejarah lokal yang terkait dengan pengelolaan hutan.
Kotak 5. Analisis pemangku kepentingan Analisis ini bertujuan untuk mengidentifikasi para pemangku kepentingan dalam suatu sistem dan untuk menjajaki kepentingan-kepentingan mereka masingmasing dalam sistem tersebut. Beberapa acuan dan metode untuk menganalisis pemangku kepentingan dapat dilihat pada Lampiran 1 dan Lampiran 2.
20 • BAB DUA
Setelah memperoleh pemahaman yang memadai tentang konteks lokal dan kepercayaan di antara pihak yang terlibat sudah cukup terbangun, fasilitator dapat menyelenggarakan pertemuan/lokakarya untuk mengidentifikasi masalahmasalah utama yang dihadapi para pemangku kepentingan lokal dalam pengelolaan hutan. Pada tahap itu, pertemuan/lokakarya diselenggarakan juga untuk bersama-sama merencanakan bagaimana menghadapi pokok-pokok permasalahan tersebut, diikuti dengan pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi/refleksi, serta penyesuaian untuk rencana baru. Pemangku-pemangku kepentingan kunci yang peran dan kepentingannya relevan dengan pokok-pokok permasalahan tersebut harus dilibatkan dalam pertemuan ini. Seluruh langkah dalam proses ACM digambarkan pada Gambar 4. Dalam gambar ini kita dapat melihat adanya proses iteratif yang menjadi ciri khas pengelolaan adaptif dan memungkinkan perbaikan pengelolaan sesering dibutuhkan (lihat hlm. 21). Aspek kolaborasi dalam proses ini adalah bahwa semua pemangku kepentingan dilibatkan secara aktif sepanjang proses iteratif itu.
ACM dan kriteria dan indikator Pada tahap awal proses ACM, masyarakat dan/atau para pemangku kepentingan lainnya mungkin akan menyampaikan harapan-harapannya, permasalahannya, rasa frustasinya, dll. Bisa jadi hal ini mempersulit penentuan prioritas pokok permasalahan. Karena itulah, penting untuk selalu mengingat tujuan utama dari ACM. Dalam rangka penelitian ACM yang diselenggarakan CIFOR, tujuan ACM adalah mengembangkan pengelolaan hutan berkelanjutan (PHB atau sustainable forest management (SFM)). Untuk “membingkai” kegiatan agar dapat mencapai PHB, pertama-tama kita perlu mengidentifikasi permasalahan kunci dalam PHB, kemudian menentukan kegiatan atau keluaran (outcomes) yang dapat membantu tercapainya PHB. Dengan cara ini, akan terbentuk kerangka kerja yang terdiri dari tujuan, kegiatan, dan hasil di bidang sosial, ekonomi, kebijakan, ekologi, dan produksi. Ini menjadi dasar untuk menentukan kriteria dan indikator (K&I) PHB. K&I adalah salah satu alat bantu yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi permasalahan kunci di suatu tempat/unit manajemen hutan, peluang, dan pokok persoalan lain serta mengembangkan sistem pemantauan. Lebih penting lagi, K&I dapat mengidentifikasi kendala-kendala dalam mencapai keadaan yang diinginkan. Hal ini termasuk upaya untuk memahami hubungan sebab
• Membangun kepercayaan dan kemitraan • Memahami konteks lokal: - Analisis pemangku kepentingan - Kecenderungan sejarah - Keadaan biofisik - Konteks kebijakan - Kesejahteraan masyarakat - Penjajakan kemampuan adaptif dan kolaborasi
pe re n can aan
Gambar 4. Langkah-langkah utama proses ACM
refleksi
au an pem ant
an pem ant au pengamatan
Saat ini
refleksi
Masa yang akan datang
aksi baru/ intervensi yang diadaptasi
pe re n can aan
aksi/ intervensi
ASAL USUL ACM • 21
22 • BAB DUA
akibat antara masalah-masalah yang berbeda, misalnya dengan menggunakan metode “pohon masalah”. Dalam Kotak 6 disajikan beberapa acuan untuk mengembangkan K&I.
Kotak 6. Beberapa acuan dalam mengembangkan K&I Alat-alat sebagai berikut dapat membantu kita dalam mengembangkan dan menilai K&I pengelolaan hutan yang berkelanjutan dan berkeadilan: Perangkat K&I (C&I Toolbox) Adalah serangkaian panduan dan perangkat lunak yang dikembangkan oleh CIFOR dalam proyek tentang Pengujian Kriteria dan Indikator Pengelolaan Hutan secara Berkelanjutan pada tahun 1999 (lihat Lampiran 2 untuk bahan bacaan lebih lanjut). Pedoman Pendahuluan: Kriteria dan Indikator Kelestarian Hutan yang Dikelola oleh Masyarakat. Ritchie, B., C. McDougall, M. Haggith & N. Burford de Oliveira. 2001. CIFOR, Bogor, Indonesia.
ACM dan pembelajaran sosial Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, kunci keberhasilan dalam mengembangkan suatu proses adaptif yang mengarah pada peningkatan kemampuan pengelolaan, adalah pembelajaran sosial di antara para pemangku kepentingan. Pembelajaran sosial dalam hal ini adalah pembelajaran yang terjadi di dalam sekelompok orang, bukannya pembelajaran yang dialami oleh masingmasing orang secara terpisah.4 Indikator yang menunjukkan apakah pembelajaran sosial telah terjadi adalah antara lain: perubahan pemahaman, persepsi, tingkah laku, tindakan kelompok, dll. Untuk lokasi tertentu akan diperlukan indikator-indikator yang sesuai dengan keadaan di lokasi tersebut, misalnya cara-cara kelompok mengkaji atau menanggapi informasi baru berkaitan dengan lokasi itu. Untuk membangun minat para pemangku kepentingan agar belajar dan memastikan bahwa pembelajaran sosial akan terjadi, ada tiga elemen yang diperlukan: • Pokok persoalan atau fokus yang jelas • Gagasan atau informasi baru • Platform komunikasi (forum ataupun basis untuk berkomunikasi).
ASAL USUL ACM • 23
ACM dan fasilitasi Fasilitasi memainkan peran penting dalam mendorong pembelajaran sosial melalui interaksi yang konstruktif.5 Pada situasi konflik yang tinggi atau saingan yang kuat di antara para pemangku kepentingan mengenai tanah hutan dan sumber daya hutan, fasilitasi sangat menentukan sejauh mana mereka dapat dipertemukan dan hubungan konstruktif di antara mereka dapat dibangun melalui dialog terbuka. Fasilitasi dapat didefinisikan sebagaimana terlihat di Kotak 7.
24 • BAB DUA
Kotak 7. Definisi fasilitasi6 Kita dapat mendefinisikan fasilitasi sebagai proses sadar dalam mendampingi suatu kelompok agar secara berhasil mencapai tujuan-tujuan kelompok itu, dengan tetap berfungsi sebagai kelompok. Patut diperhatikan bahwa fasilitasi bukan berarti memimpin pertemuan kelompok, memberi pengarahan, atau berceramah.
Dalam pengelolaan hutan, pihak-pihak yang dominan tidak seharusnya menjadi satu-satunya pengambil keputusan. Karenanya, fasilitator perlu mengembangkan strategi, mekanisme, dan kondisi yang dapat membantu menyeimbangkan kekuatan antara para pemangku kepentingan dengan tujuan untuk: • Mendorong dinamika kelompok yang baik dan komunikasi yang konstruktif • Memfasilitasi adanya keterwakilan atau kesempatan yang setara bagi semua pihak untuk berbicara dan untuk didengar • Memastikan adanya akuntabilitas (pertanggungjawaban) para wakil pemangku-pemangku kepentingan • Memastikan bahwa semua pikiran atau gagasan para pemangku kepentingan dihargai dan dipertimbangkan dalam proses pengambilan keputusan.
Fasilitator
Seorang fasilitator memastikan agar proses-proses dalam kelompok cukup dinamis dan komunikasi di antara peserta konstruktif. Idealnya, hal ini dapat mendorong pembelajaran di antara peserta dan setiap gagasan peserta akan dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan.
ASAL USUL ACM • 25
Namun, keterwakilan yang baik dan berimbang serta adanya peluang yang merata bagi semua pemangku kepentingan tidak akan terjadi begitu saja. Mengembangkan pembelajaran sosial melalui interaksi yang konstruktif antara para pemangku kepentingan perlu didorong dengan membangun komunikasi yang terbuka dan responsif, maupun dengan mengatasi kendala-kendala yang terdapat di dalam komunikasi itu sendiri.7 Sebagai contoh, perbedaan sosial dan pendidikan kadang menjadi hambatan psikologis. Dalam situasi semacam itu kelompok marjinal biasanya merasa inferior dan kurang percaya diri untuk berkomunikasi dengan pejabat pemerintah. Dalam hal ini diperlukan proses peningkatan kapasitas dan rasa percaya diri kelompok yang lebih lemah dalam hal: • mengelola informasi baru • negosiasi • kemampuan organisasi dan lembaga8 • pemecahan masalah. Gambar 5 secara sederhana menggambarkan berbagai peran yang harus dimainkan fasilitator dalam mengembangkan pembelajaran sosial. Penting untuk diperhatikan bahwa pada kenyataannya peran-peran ini bisa saja terjadi tidak secara berurutan atau sesederhana seperti terlihat pada diagram ini.
• Membangun saling percaya • Mengembangkan kapasitas dalam hal: - Pengelolaan informasi - Negosiasi - Berorganisasi & mengelola organisasi - Pemecahan masalah
Menembus kendala komunikasi yang disebabkan oleh perbedaan sosial, kekuasaan, dan pendidikan
Mengembangkan komunikasi yang konstruktif, terbuka, bebas, dan responsif
Memastikan keterwakilan yang baik, setara, dan bertanggung jawab
Memastikan terjadinya pembelajaran bersama
Gambar 5. Berbagai peran fasilitasi dalam mengembangkan pembelajaran sosial
Agar pengelolaan hutan secara kolaboratif dapat tercapai, baik fasilitator maupun para pemangku kepentingan perlu meningkatkan kemampuan mereka dalam hal-hal berikut ini: • penanganan konflik dan pembuatan keputusan politis • inovasi dan pemecahan masalah • pengembangan komunikasi dan hubungan baik • peningkatan kemampuan masyarakat untuk berorganisasi.
26 • BAB DUA
Apakah nilai tambah yang diharapkan dari penerapan ACM di Indonesia? Indonesia telah mengenal berbagai bentuk pendekatan partisipatif dalam pengelolaan hutan (lihat juga Bab 3). Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah nilai tambah yang dapat ditawarkan ACM terhadap pengelolaan hutan di negara ini? Harapan tim kami, pendekatan ACM dan hasil penelitian kami akan bermanfaat untuk hal-hal berikut: • Pendekatan ACM dapat memfasilitasi berbagai pemangku kepentingan dalam mengorganisasi dirinya guna bertindak dan memantau perkembangan maupun akibat tindakannya • Pendekatan ACM dapat menciptakan kondisi yang memungkinkan terjadinya pembelajaran di antara para pemangku kepentingan yang dilakukan secara sadar • Pendekatan ACM membantu dalam membuat proses pembelajaran lebih terstruktur • Pendekatan ACM meningkatkan kapasitas para pemangku kepentingan untuk beradaptasi • Pendekatan ACM memungkinkan proses fasilitasi dan proses penelitian terjadi secara bersamaan.
ACM dalam praktek Bab ini mencoba memaparkan teori-teori yang menjadi latar belakang pendekatan ACM, sementara prakteknya diuraikan dalam bab-bab berikut ini. Bab-bab tersebut menggambarkan bagaimana kami menerapkan ACM di dua lokasi di Indonesia, termasuk proses dan keluarannya. Ketika pemahaman kami tentang konteks lokal dan tentang pendekatan ACM itu sendiri berkembang, kami membuat penyesuaian-penyesuaian penerapan konsep ACM dengan kondisi lokal dan dinamika para pemangku kepentingan.
Bagian Dua Konteks
Kemelut sosial yang terjadi di Indonesia pada pergantian abad ke-20 juga mempengaruhi keadaan hutan di Indonesia. Sebuah perkembangan yang positif adalah munculnya berbagai bentuk pengelolaan hutan kolaboratif. Bagian Dua ini diawali dengan melihat apa yang berada di balik perkembangan tersebut karena hal itu merupakan konteks luas penelitian kami (Bab 3). Tantangan-tantangan yang dihadapi pengelolaan hutan kolaboratif itu juga dibahas dalam bab ini. Bagian Dua ini kemudian mengkaji konteks lokal penelitian kami. Bab 4 menggambarkan lokasi-lokasi penelitian, masyarakat yang tinggal di sana, pihak-pihak luar yang tertarik pada sumber daya hutan, dan persepsi-persepsi berbagai kelompok tersebut tentang pemanfaatan dan pengelolaan hutan. Keadaan tidak pasti yang dihadapi kelompokkelompok itu dan disebabkan oleh perubahan sumber penghidupan, hubungan sosial, dan kebijakan juga merupakan salah satu aspek dari konteks lokal penelitian kami. Maka dari itu, Bab 4 juga membahas kondisi tidak pasti tersebut. Selanjutnya, bab ini memaparkan penilaian tim kami tentang kemampuan kolaboratif dan kemampuan adaptif kelompok-kelompok lokal di lokasi penelitian.
3 PENGELOLAAN HUTAN SECARA KOLABORATIF DI INDONESIA
Kemerdekaanmu dan kemerdekaanku tidak terpisahkan. (Your freedom and mine cannot be separated.) Nelson Mandela, pemimpin tingkat dunia
PENGELOLAAN HUTAN SECARA KOLABORATIF DI INDONESIA • 31
Sebagaimana telah kami sampaikan, kami memulai penelitian ACM di tengahtengah krisis ekonomi dan sosial-politik di Indonesia. Didorong oleh tuntutan yang meluas akan pengelolaan hutan yang lebih berkelanjutan dan lebih berkeadilan, pendekatan kolaboratif dalam pengelolaan hutan muncul hanya beberapa saat sebelum kami memulai penelitian ACM. Karena keadaan ini menjadi konteks utama penelitian kami, bab ini mengulas hal tersebut.
Sejarahnya Walaupun pengelolaan hutan secara kolaboratif di Indonesia relatif baru, perkembangannya berpangkal pada awal tahun 1970-an, ketika pemerintah mulai bereksperimen dengan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan. Pemerintah pada saat itu dihadapkan dengan konflik-konflik sosial yang kian meningkat di antara masyarakat lokal dan proyek-proyek kehutanan, serta tekanan publik dan tuntutan internasional untuk meningkatkan partisipasi masyarakat. Dalam dua dasawarsa selanjutnya, berbagai prakarsa pengelolaan hutan partisipatif dikembangkan dan diujicobakan. Selain pemerintah, aktivis LSM, peneliti, dan penyandang dana juga memainkan peranan penting dalam prakarsa ini. Seiring dengan berjalannya waktu, prakarsa-prakarsa itu berkembang dari pendekatan yang sekedar “mengajak” kelompok lokal untuk berpartisipasi dalam kegiatan lapangan, menjadi pendekatan yang memberi mereka kewenangan dalam pengambilan keputusan (bandingkan juga Kotak 2 dalam Bab 2). Dalam evolusi ini ada tiga tahapan umum yang dapat dibedakan dengan jelas, yakni: 1) peningkatan akses para pemangku kepentingan lokal terhadap sumber daya hutan 2) pengakuan sistem pengelolaan hutan masyarakat lokal 3) peningkatan kewenangan masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan tentang hutan. 1. Peningkatan akses para pemangku kepentingan lokal terhadap sumber daya hutan Di antara kebijakan dan program kehutanan partisipatif pada tahap ini, yang terutama perlu dicatat adalah perhutanan sosial (social forestry).9 Secara umum, kebijakan dan program perhutanan sosial pemerintah diarahkan pada peningkatan kondisi sosial-ekonomi pemangku-pemangku kepentingan lokal. Kebijakan ini pertama kali diterapkan pada awal tahun 1970-an di perkebunan kayu jati di pulau Jawa yang dikelola Perum Perhutani. Program ini mengijinkan masyarakat lokal untuk menanam tanaman tahunan/tanaman semusim nonkayu di antara pohon-pohon jati dengan syarat mereka menyediakan tenaga kerja
32 • BAB TIGA
Tujuan umum kebanyakan program perhutanan sosial adalah perbaikan kondisi sosial-ekonomi masyarakat lokal dengan cara meningkatkan akses mereka terhadap sumber daya hutan.
untuk kegiatan penanaman jatinya. Pada awalnya, para pemangku kepentingan lokal tidak diperkenankan memanen kayu, tetapi belum lama ini mereka diperbolehkan memanfaatkan kayu jati yang mereka tanam sendiri. Pada tahun 1980-an, kebijakan perhutanan sosial yang diawali pada awal tahun 1970-an itu dimodifikasi dan mengambil bentuk program pengembangan masyarakat (seperti Pembinaan Masyarakat Desa Hutan atau PMDH) dan program hutan komunitas (seperti Hutan Kemasyarakatan atau HKm). PMDH tidak memungkinkan partisipasi masyarakat yang luas tetapi mengharuskan para pemegang konsesi hutan untuk memberikan kompensasi finansial kepada masyarakat yang berada dalam wilayah konsesi mereka. HKm memperbolehkan kelompok-kelompok dan masyarakat lokal untuk mengelola wilayah hutan yang sudah terdegradasi dan menciptakan peluang ekonomi untuk mereka. Hal ini memberi mereka hak pemanfaatan hutan, tetapi pemerintah tetap mempunyai wewenang untuk memberikan dan mencabut kembali hak tersebut sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan dalam menjalankan kewenangannya. Dalam tahap pertama ini peran pemerintah sangat penting karena mengadopsi partisipasi masyarakat dalam arus-utama (mainstream) program kehutanan dan mengalokasikan sumber daya untuk pengembangannya. Namun demikian, peran
PENGELOLAAN HUTAN SECARA KOLABORATIF DI INDONESIA • 33
LSM lokal, peneliti, aktivis, maupun donor asing tidak kalah pentingnya karena memberi bantuan teknis, evaluasi kritis, dan dana. Pada tahun 1999, dalam semangat desentralisasi, dikeluarkanlah kebijakan pemerintah yang mengijinkan pembagian keuntungan dari pemanfaatan hasil kayu antara pengusaha hutan dan masyarakat lokal. Meskipun begitu, para pemangku kepentingan lokal tidak turut menentukan besarnya keuntungan yang dibagi. 2. Pengakuan sistem pengelolaan hutan lokal Tahapan kedua menampilkan pergeseran fokus dari pengelolaan hutan skala besar ke arah pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBsM). Dari pertengahan tahun 1980-an hingga awal tahun 1990-an ada berbagai upaya pengkajian lapangan yang diprakarsai untuk mengembangkan pemahaman mengenai keanekaragaman sistem pengelolaan hutan lokal yang tersebar di kepulauan Indonesia. Dengan dukungan pendanaan dari donor asing, staf lapangan dinas kehutanan ditugaskan untuk meneliti sistem-sistem lokal pengelolaan hutan. Kajian awal ini kemudian dijadikan dasar pengetahuan bagi pemerintah untuk mengembangkan kebijakan dan program perhutanan sosial. Perkembangan yang patut dicatat adalah bahwa pada tahun 1998 pemerintah mengakui kewenangan masyarakat adat Krui (Sumatera Selatan) untuk mengelola suatu wilayah di dalam wilayah hutan negara. Kebijakan ini, yang disebut Kawasan dengan Tujuan Istimewa (KdTI), mengakui hak pengelolaan masyarakat Krui dan juga memberi hak pemanfaatan hutan kepada mereka. Pada saat ini, berbagai prakarsa pengelolaan hutan berbasis masyarakat telah diterapkan di seluruh Indonesia, sebagian besar didanai oleh donor asing dan dilaksanakan oleh LSM lokal. Prakarsa-prakarsa khas ini diperjuangkan oleh aktivis LSM, peneliti, dan donor agar dapat diadopsi secara luas. 3. Peningkatan kewenangan dalam pengambilan keputusan tentang hutan/ kemitraan dalam pengelolaan hutan Berbagai kebijakan dan program pemerintah yang bertujuan meningkatkan kewenangan para pemangku kepentingan lokal dalam pengambilan keputusan tentang hutan baru muncul akhir-akhir ini. Pada akhir tahun 1990-an Perum Perhutani memprakarsai suatu program uji coba yang didukung donor asing dan difasilitasi di lapangan oleh LSM lokal, disebut Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM).
34 • BAB TIGA
Uji coba tersebut dirancang dengan tujuan untuk mengembangkan kemitraan yang sesungguhnya antara perusahaan dan masyarakat lokal. Berbeda dengan program-program perhutanan sosial terdahulu, program tersebut melibatkan kelompok-kelompok masyarakat lokal bukan sekedar sebagai pekerja pada penanaman pohon jati seperti terjadi sebelumnya, tetapi sebagai mitra yang juga berperan dalam pengambilan keputusan. Dalam upaya ini, peran LSM lokal sangat penting, terutama sebagai mediator antara Perhutani dan masyarakat lokal.
Tantangan dalam Pengembangan Partisipasi Masyarakat dan Pergeseran ke arah Kolaborasi Meskipun ada niat baik pemerintah dalam program-program yang menggunakan pendekatan partisipatif, hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Pemanfaatan hutan secara tidak berkelanjutan dan tidak berkeadilan masih saja berlangsung. Ada beberapa tantangan dalam penerapan pendekatan partisipatif yang menyebabkan terbatasnya sukses program-program kehutanan itu. Banyak upaya partisipatif beranggapan bahwa para pemangku kepentingan lokal merupakan kelompok-kelompok homogen yang memiliki kepentingan bersama dalam mengelola hutan. Namun sering, kenyataan di lapangan tidaklah demikian. Masyarakat lokal dan kelompok-kelompok lokal lainnya sering mempunyai kepentingan-kepentingan terhadap hutan yang saling berbeda, atau bahkan bertentangan. Kendati demikian, banyak pemrakarsa upaya partisipatif tidak peka terhadap perbedaan-perbedaan antara kelompok, tidak mengetahui bagaimana menangani konflik, atau tidak memiliki cara untuk mendorong kerja sama. Jadi, tantangan terbesar dalam upaya-upaya partisipatif adalah ketidakmampuan pelaksana upaya-upaya tersebut dalam menghadapi tuntutan-tuntutan yang beragam atas hutan melalui kolaborasi. Selanjutnya, masih banyak upaya yang walaupun disebut “partisipatif”, sesungguhnya tetap bersifat top-down dan kaku terhadap perubahan dan ketidakpastian pada tingkat pengelolaan hutan. Pendekatan top-down semacam itu pada dasarnya hanya menguntungkan negara atau mereka yang cukup berkuasa untuk memperoleh apa yang mereka inginkan. Karenanya, sementara perubahan dan ketidakpastian pada tingkat pengelolaan hutan menuntut cara pengelolaan yang fleksibel, pengambilan keputusan pengelolaan hutan tetap berada di tangan para profesional pengelolaan hutan resmi dan negara. Dengan kata lain, tantangan kedua dalam upaya-upaya partisipatif adalah kekakuan upaya-upaya tersebut dalam mengakomodasi perubahan dan menghadapi ketidakpastian. Tantangan-tantangan ini telah mempengaruhi perkembangan pendekatan partisipatif di Indonesia, dan bahkan tetap berpengaruh hingga saat ini.
PENGELOLAAN HUTAN SECARA KOLABORATIF DI INDONESIA • 35
Seminar, pertemuan, dan lokakarya tentang pendekatan partisipatif dalam pengelolaan hutan tidak sedikit jumlahnya. Foto ini memperlihatkan sebuah lokakarya nasional tentang reformasi perhutanan sosial yang diselenggarakan pada bulan September 2002 dan melibatkan wakil masyarakat lokal, pemerintah, LSM, peneliti, dan donor.
Perkembangan terakhir dalam proses ini adalah pergeseran dari pendekatanpendekatan terdahulu yang ternyata tidak mampu menghadapi perbedaanperbedaan tuntutan atas hutan, perubahan dan ketidakpastian, ke arah pengelolaan hutan bersama atau kolaboratif. Upaya desentralisasi pemerintah dan meningkatnya kekuatan pasar menjadi faktor-faktor penting di belakang pergeseran ini. Faktor-faktor itulah yang mendorong pelibatan berbagai kelompok kepentingan yang lebih luas. Di samping itu, munculnya kelompok-kelompok kepentingan baru dan berubahnya pola-pola hubungan antara kelompok, menjadikan kerja sama suatu kebutuhan pokok. Gambar 6 menampilkan sebuah rangkaian kesatuan kontinyu (continuum) yang menunjukkan pergeseran dari upaya-upaya pengelolaan hutan yang bersifat partisipatif ke arah kolaborasi. Partisipasi Peningkatan akses sumber daya hutan
Kolaborasi Pengakuan sistem lokal pengelolaan hutan
Peningkatan wewenang dalam pengambilan keputusan/kemitraan dalam pengelolaan hutan
Gambar 6. Rangkaian kesatuan kontinyu (continuum) dari partisipasi ke arah kolaborasi dalam pengelolaan hutan
36 • BAB TIGA
Tantangan yang Dihadapi Pengelolaan Hutan Kolaboratif Pergeseran dari partisipasi menjadi kolaborasi merupakan perkembangan yang positif dalam pencarian pendekatan pengelolaan hutan yang lebih baik. Namun demikian, belum sepenuhnya jelas apakah pengelolaan hutan kolaboratif dapat mengatasi secara efektif tantangan-tantangan yang gagal dihadapi oleh pendekatan-pendekatan sebelumnya. Pengelolaan hutan secara kolaboratif di negara-negara Asia lainnya (seperti Joint Forest Management di India, Community Forestry di Nepal, atau CommunityBased Forest Management di Filipina) telah mengalami tantangan-tantangan serupa. Sekalipun merupakan program-program yang relatif mapan, sering dalam
PENGELOLAAN HUTAN SECARA KOLABORATIF DI INDONESIA • 37
penerapannya proses-proses sosial pada tingkat lokal tidak mendapat perhatian yang memadai. Hal ini telah mengakibatkan pembagian manfaat pengelolaan hutan yang tidak adil dan justru merugikan kelompok-kelompok marginal di tingkat lokal.10 Dari perkembangan pendekatan partisipatif dalam pengelolaan hutan di Indonesia kita dapat melihat bahwa yang telah terjadi adalah proses pembelajaran “coba dan ralat” (trial and error) antara berbagai kelompok kepentingan. Pembelajaran semacam ini masih berlangsung hingga hari ini. Tetapi walaupun pembelajaran telah terjadi, laju pembelajaran tersebut berjalan lamban dan partisipasi masih dilihat terutama sebagai cara untuk memastikan agar hutan tetap dapat dijadikan sumber pendapatan dan kekayaan bagi mereka yang memiliki kekuasaan. Kami menduga bahwa kendala utama yang menghambat pembelajaran adalah tidak berubahnya kerangka berpikir mereka yang secara sosial dan politik kuat. Penguasaan atas tanah dan sumber daya hutan dipertahankan oleh mereka yang berkuasa karena penguasaan tersebut telah memberi kenyamanan. Dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang terjadi sesungguhnya tidak nyata. Artinya, pembelajaran semu semacam itu tidak membawa perubahan-perubahan yang langgeng.
4 LOKASI PENELITIAN KAMI
Karena merupakan makhluk yang berkesadaran, manusia tidak saja berada “dalam” dunia, tetapi juga “bersama” dunia. (It is because he is a conscious being that man is not only “in” the world, but “with” the world.) Paulo Freire, filsuf, ilmuwan, dan pembaharu
LOKASI PENELITIAN KAMI • 41
Setelah pencarian yang ekstensif untuk menemukan lokasi penelitian, tim kami memilih dua tempat: Desa Baru Pelepat di Kabupaten Bungo, Propinsi Jambi, Sumatera, serta Desa Rantau Layung dan Desa Rantau Buta di Kabupaten Pasir, Propinsi Kalimantan Timur (Gambar 7). Sementara bab sebelumnya menyampaikan konteks luas penelitian kami, dalam bab ini dipaparkan konteks lokalnya. Bab 4 ini menggambarkan lokasi penelitian, pemangku kepentingan yang berada di lokasi tersebut, dan ketidakpastian yang mereka hadapi. Selanjutnya bab ini membahas tingkat kemampuan adaptif dan kemampuan kolaboratif yang dimiliki para pemangku kepentingan tersebut karena hal ini merupakan salah satu aspek dari konteks lokal yang penting.
4.1. Hutan dan Para Pemangku Kepentingan Hutan dan masyarakat Dari lanskapnya, dengan mudah kita dapat melihat bahwa hutan di kedua lokasi penelitian telah dipengaruhi oleh berbagai kegiatan manusia: berladang, berkebun wanatani, menebang kayu, dan pada kasus di Jambi, berkebun kelapa sawit, serta transmigrasi. Hutan dipterocarp, yang dikenal memiliki nilai kayu yang tinggi seperti jenis meranti (Shorea spp.), mengelilingi desa. Saat memasuki Baru Pelepat kami melihat bahwa sebagian besar wilayah itu tertutup oleh hutan sekunder yang hingga saat itu telah berkembang dikarenakan sistem rotasi pertanian masyarakat lokal maupun penebangan kayu skala besar. Sisa-sisa hutan primer masih dapat kami temukan di sana-sini pada daerah yang lebih tinggi dan wilayah perbukitan. Baru Pelepat terletak sekitar 65 kilometer di sebelah timur Taman Nasional Kerinci Seblat, yang merupakan salah satu dari empat wilayah konservasi terbesar di Asia Tenggara. Luas wilayah desa adalah 7.265 hektar dan dihuni oleh 557 jiwa pada saat kami memasuki lokasi. Lokasi desa ini berada di bagian hulu Sungai Batang Pelepat sehingga merupakan bagian dari daerah tangkapan air untuk wilayah pertanian, perkebunan, dan wilayah perkotaan ke arah hilir. Tekanan akibat penebangan kayu komersial seperti jenis meranti, Parashorea aptera, dan balam (Palaquium spp.) cukup tinggi. Keanekaragaman fauna di wilayah ini tinggi. Lokasi penelitian lainnya, Rantau Layung dan Rantau Buta, adalah dua desa yang berdampingan dan terletak di antara Gunung Lumut dan Sungai Kasungai, sekitar 202 kilometer sebelah timur Balikpapan. Jaraknya kurang lebih satu kilometer dari hutan Gunung Lumut yang pada tahun 1993 ditetapkan sebagai Hutan Lindung oleh pemerintah. Kedua desa ini terdapat di wilayah operasi beberapa
42 • BAB EMPAT
Gambar 7. Lokasi-lokasi penelitian kami
LOKASI PENELITIAN KAMI • 43
Pemandangan yang umum terdapat di lokasi penelitian di Jambi: rumah kayu yang dikelilingi kebun dan ladang dengan tanaman pangan, sementara hutan sekunder nampak di latar belakang.
perusahaan penebangan kayu skala besar. Luas wilayah Rantau Buta adalah 18.913 hektar dengan penduduk 210 jiwa, sementara Rantau Layung luasnya 16.546 hektar dan berpenduduk 85 jiwa. Seperti halnya di Baru Pelepat, sebagian besar dari hutan di sini adalah hutan sekunder. Kami mengamati bahwa hutan mengikuti sebuah pola lanskap mosaik yang khas, yakni lahan kering pertanian berselang-seling dengan kebun-kebun wanatani masyarakat dan wilayah hutan penebangan skala besar. Hutan primer dapat ditemukan sepanjang batas hutan lindung. Vegetasi di sini mencakup wayan (Aglaia tomentosa), terap (Artocarpus elasticus), dan meranti merah (Shorea leprosula). Hewan yang umum terdapat di sini adalah rusa (seperti Cervus unicolor), burung layang-layang, dan beberapa jenis reptil. Seperti halnya banyak komunitas yang hidup di pinggir atau di dalam hutan di Indonesia, masyarakat di ketiga desa sangat bergantung pada hasil-hasil hutan, semak belukar, lahan kering, daerah berhutan, kebun wanatani, dan pekarangan. Secara sosial, penduduk desa beranekaragam: mereka berasal dari berbagai kelompok etnis dan sosial yang berbeda. Selain itu, di dalam masyarakat terdapat perbedaan status sosial di antara individu dan di dalam kelompok.
44 • BAB EMPAT
Kami mengamati bahwa hal tersebut telah menimbulkan ketimpangan sosial dalam hal kesejahteraan, jender, dan kekuasaan. Contoh struktur sosial yang timpang di lokasi penelitian adalah lebih tingginya status sosial para tokoh adat dibandingkan status sosial anggota masyarakat lainnya. Hal ini berarti bahwa tokoh-tokoh adat tersebut dipandang mempunyai hak yang lebih dalam pengambilan keputusan dalam masyarakat (bandingkan Kotak 1 dalam Bab 2).
Berbagai pandangan masyarakat tentang hutan Mengingat keanekaragaman kelompok masyarakat di lokasi-lokasi penelitian kami, tidaklah mengherankan bahwa terdapat berbagai pandangan yang dimiliki masing-masing kelompok tentang penggunaan wilayah hutan dan sumber daya alam lainnya di sekitar desa mereka. Kelompok-kelompok atau perseorangan yang berbeda mempunyai nilai yang berbeda pula terhadap hutan, seperti misalnya: • hutan sebagai sumber makanan dan pendapatan • hutan sebagai sumber bahan bakar dan bahan masukan untuk pertanian • hutan sebagai milik atau investasi bagi generasi sekarang dan yang akan datang. Berikut ini diberikan beberapa contoh pandangan yang berbeda-beda tentang pemanfaatan sumber daya hutan. Warga masyarakat yang lebih kaya memandang hutan dari sudut pandang kepentingannya, yakni guna memperoleh manfaat dari eksploitasi hutan secara komersial yang dilakukan perusahaan penebangan kayu dari luar yang nyaris tidak peduli terhadap masyarakat lokal. Warga masyarakat tersebut bekerja sama dengan pihak luar dalam menyediakan tenaga/buruh untuk penebangan kayu. Lain halnya dengan warga desa yang lebih miskin; mereka bergantung pada hutan terutama untuk mencukupi kebutuhannya, seperti mengumpulkan buahbuahan, umbi-umbian, dan hewan buruan. Kelompok masyarakat yang relatif miskin adalah Orang Rimba di Jambi dan kaum perempuan di Pasir. Contoh lain dari Baru Pelepat adalah perbedaan pandangan mengenai sumber daya alam terjadi antara penduduk asli dan pendatang dari Sumatera dan Jawa. Masyarakat asli setempat adalah keturunan Minangkabau yang datang ke wilayah Baru Pelepat dari Sumatera Barat lebih dari 100 tahun yang lalu. Masyarakat pendatang berada di wilayah tersebut melalui program transmigrasi pemerintah tahun 1997; dari program ini mereka telah memperoleh tanah untuk dihuni dan bertani.
LOKASI PENELITIAN KAMI • 45
Bagi warga Minangkabau, hutan merupakan sumber makanan dan pendapatan. Mereka membuka hutan untuk menanam padi, tanaman musiman lainnya, dan tanaman karet, serta memanen hasil-hasil hutan seperti kayu, rotan, dan buah-buahan.
Hutan: sumber pangan dan pendapatan bagi masyarakat lokal.
Masyarakat pendatang, di lain pihak, memandang hutan dan semak belukar sekitar desa sebagai sumber bahan bakar dan bahan masukan untuk kegiatan pertanian mereka, seperti galah bambu atau keranjang rotan. Mereka menanam tanaman pangan dan pepohonan pada tanah yang telah diberikan pemerintah kepada mereka.
Kedatangan anggota masyarakat baru ini telah meningkatkan jumlah pengguna sumber daya alam di Baru Pelepat dan pada saat yang sama membuat masyarakat semakin beragam. Di samping itu, perbedaan pandangan di antara mereka turut menyebabkan kurangnya visi bersama di dalam masyarakat tentang bagaimana hutan dan sumber daya alam lainnya dapat dimanfaatkan. Contoh lain bagaimana masyarakat memandang hutan secara berbeda kami ambil dari lokasi di Pasir. Keturunan Aji Sulaiman, penguasa setempat yang memimpin Kerajaan Pasir pada abad ke-19, mengaku memiliki kewenangan atas wilayah hutan yang mencakup kedua desa penelitian. Namun, pada saat kami melakukan penelitian kami, pemerintah kabupatenlah yang menjalankan kewenangan resmi berkenaan dengan pengelolaan hutan. Contoh ini menggambarkan bahwa di lokasi Pasir ada perbedaan persepsi tentang siapa yang memiliki kewenangan atas wilayah hutan.
Mendefinisikan para pemangku kepentingan Kelompok atau perseorangan yang berbeda dalam masyarakat mempunyai pandangan masing-masing mengenai bagaimana semestinya sumber daya alam di desanya digunakan. Perbedaan pandangan ini terjadi karena mereka
46 • BAB EMPAT
menggunakan sumber daya tersebut dengan cara yang berbeda-beda dan memberi nilai yang berbeda pula pada sumber daya tersebut. Namun pada saat yang sama, mereka menggunakan sumber daya yang sama pula. Hal ini berarti bahwa masa depan setiap kelompok dan perseorangan sangat tergantung pada sumber daya alam apa yang digunakan, keputusan apa yang diambil, dan apa yang dilakukan oleh pihak lain. Dengan kata lain, ada saling ketergantungan di antara mereka. Para pakar ilmu sosial menjelaskan ketergantungan timbal balik ini dengan mengatakan bahwa kelompok-kelompok atau perseorangan tersebut merupakan bagian dari suatu sistem, dalam hal ini sistem hutan. Kelompok-kelompok atau perseorangan itulah yang kami sebut sebagai pemangku kepentingan. Kotak 8 mendefinisikan pemangku kepentingan, sementara Kotak 9 menampilkan para pemangku kepentingan yang kami identifikasi di kedua lokasi penelitian kami. Tim kami menggunakan berbagai pendekatan untuk mengidentifikasi para pemangku kepentingan. Pendekatan-
Kotak 8. Pemangku kepentingan atas hutan Pemangku kepentingan atas hutan adalah perseorangan, kelompok sosial, lembaga, suatu komunitas, atau kumpulan orang di dalam masyarakat yang memiliki kepentingan dalam penggunaan dan pengelolaan hutan. Dengan demikian, satu pemangku kepentingan mempengaruhi dan/atau dipengaruhi oleh keputusan dan tindakan pemangku kepentingan lainnya yang berhubungan dengan sistem hutan tersebut.
Kotak 9. Para pemangku kepentingan di dalam masyarakat desa Desa Baru Pelepat, Jambi
Desa Rantau Layung dan Desa Rantau Buta, Kalimantan Timur
• Orang Rimba (perempuan dan lakilaki) • Masyarakat asli (perempuan dan laki-laki) • Masyarakat pendatang (perempuan dan laki-laki) • Elit desa • Kaum muda • Lembaga adat • Pemerintah desa • Lembaga keagamaan • Kelompok perempuan
• Berbagai kelompok tani (perempuan dan laki-laki) • Kaum muda (perempuan dan lakilaki) • Pekerja di hutan (semua laki-laki) • Tetua desa (semua laki-laki) • Elit desa (para pejabat pemerintah resmi dan pemimpin adat)
LOKASI PENELITIAN KAMI • 47
pendekatan tersebut disajikan pada Lampiran 1, sedangkan Lampiran 2 berisikan beberapa alat bantu untuk mengidentifikasi pemangku kepentingan serta beberapa acuan pustakanya.
Para pemangku kepentingan baru: Pihak luar Di atas telah digambarkan bahwa di dalam masyarakat desa terdapat berbagai pemangku kepentingan yang masing-masing mengaku berhak atas sumber daya alam di wilayah desa mereka. Namun, tim kami telah menemukan bahwa para pemangku kepentingan ternyata tidak terbatas pada kelompok dan perseorangan dari dalam masyarakat desa itu sendiri. Di masa lalu hingga saat ini pihak-pihak dari luar desa telah bermunculan dan menunjukkan minat mereka terhadap sumber daya desa. Seperti disampaikan warga desa kepada kami, dalam beberapa dasawarsa terakhir ini jumlah pemangku kepentingan dari luar desa cukup meningkat dan hal ini telah mengakibatkan meningkatnya tekanan pada sumber daya alam desa. Perkembangan ini paling jelas jika kita mengambil lokasi Jambi sebagai contoh. Sampai sekitar 25 tahun yang lalu, hutan di sekitar desa menyediakan sumber daya alam yang melimpah untuk masyarakat Baru Pelepat. Ketika itu hanya warga keturunan Minangkabau yang tinggal di wilayah tersebut. Mereka mengandalkan pengaturan berbasiskan adat dalam memanfaatkan dan mengelola hutan. Namun, sejak pertengahan tahun 1970-an berbagai pihak luar mulai tertarik untuk turut memperoleh manfaat dari hutan di wilayah desa, khususnya kayu. Hal ini dimulai dengan usaha berskala kecil (seperti oleh perseorangan dari desadesa tetangga) dan kemudian mencakup usaha berskala besar oleh para pengusaha hutan komersial. Untuk usaha skala besar ini berbagai perusahaan diberi ijin resmi (hak pengusahaan hutan (HPH)) oleh pemerintah untuk menebang kayu di wilayah tersebut. Akibatnya, berbagai pelaku luar nyaris secara terus-menerus melanggar batas-batas wilayah yang sebenarnya telah dianggap masyarakat sebagai milik mereka. Kotak 10 menunjukkan para pemangku kepentingan yang berasal dari luar masyarakat desa. Masyarakat kemudian menyadari bahwa lembaga adat mereka ternyata tidak mampu untuk menghentikan “pelanggaran” seperti digambarkan di atas dan untuk menjaga sumber daya desa. Masyarakat juga nyaris tidak mendapat dukungan dari pemerintah dalam menjaga sumber daya mereka dari para “pengganggu” itu. Bahkan sebaliknya, pemerintah sering berpihak pada perusahaan dengan cara memberi HPH, sekalipun wilayah hutan yang bersangkutan telah dianggap masyarakat sebagai hutan mereka. Dengan begitu, penggunaan sumber daya hutan dan sumber daya alam lainnya menjadi tidak terkendali. Banyak pemangku
48 • BAB EMPAT
kepentingan mulai memperlakukan hutan seolah-olah merupakan sumber daya bebas dengan akses terbuka (open access). Mereka kemudian bersikap bahwa jika sumber daya hutan bagaimanapun akan habis, sebaiknya mereka mengambil apa yang masih bisa diperoleh selagi sumber daya itu masih ada. Walaupun menggunakan dan mengelola hutan pada wilayah yang sama, karena beroperasi dengan sistem pengelolaan yang berbeda, masing-masing pemangku kepentingan memiliki cara mereka sendiri dalam mengambil keputusan tentang hutan. Di satu sisi, pengelolaan hutan lokal diarahkan terutama pada usaha pemenuhan kebutuhan manusia. Di sisi lain, perusahaan dan pemerintah menerapkan suatu sistem pengelolaan hutan formal yang diarahkan terutama untuk menghasilkan pendapatan bagi mereka, sementara mengabaikan kebutuhan masyarakat. Sistem ini menggunakan aturan-aturan dan teknikteknik pengelolaan yang biasanya dikembangkan di kantor pusat perusahaan atau kantor pemerintah tanpa terlalu memperhitungkan kondisi dan kebutuhan masyarakat lokal.
Kotak 10. Para pemangku kepentingan dari luar masyarakat desa Desa Baru Pelepat, Jambi
Desa Rantau Layung dan Desa Rantau Buta, Kalimantan Timur
• • • •
• Desa-desa tetangga (Kasungai, Batu Kajang) • Pekerja hutan dari desa tetangga • Pemilik penggergajian kayu • Pemerintah kecamatan • Pemerintah kabupaten • Perusahaan penebangan kayu (PT Telaga Mas dan Teguh Maronda Prima) • Tim ACM
• • • • •
Dusun tetangga, yakni Lubuk Telau 6 desa tetangga lainnya Pekerja hutan dari desa tetangga Pemilik penggergajian kayu dan pekerja hutan dari Baru Pelepat Proyek ICDP, LSM dan staf Taman Nasional Kerinci Seblat Pemerintah kecamatan Pemerintah kabupaten Perusahaan penebangan kayu (Inhutani V dan Koperasi Lamusa) Tim ACM
Berbagai kepentingan yang berasal dari kebijakan pemerintah Keputusan dan kebijakan pemerintah sering tidak sesuai dengan bagaimana masyarakat desa memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam di wilayah desa mereka. Kita telah melihat ketidakcocokkan semacam itu dalam contoh di atas
LOKASI PENELITIAN KAMI • 49
ketika pemerintah memberi HPH kepada perusahaan yang beroperasi di Baru Pelepat tanpa mengakui masyarakat desa sebagai pengguna yang berhak atas sumber daya. Pada saat kami memasuki desa tersebut, masyarakat mengisahkan kembali bagaimana sejak pertengahan tahun 1970-an empat perusahaan kayu telah melakukan penebangan kayu besar-besaran di wilayah desa mereka. Tumpang tindih wilayah operasi perusahaan HPH dan wilayah desa seperti itu terjadi karena kebijakan pemerintah pada tahun 1970-an yang menetapkan berbagai luasan hutan sebagai Hutan Negara yang dikuasai oleh negara. Dalam penetapan kebijakan tersebut, pada umumnya pemerintah mengabaikan keadaan masyarakat lokal yang selama beberapa generasi telah hidup di dalam dan di sekitar wilayah hutan tersebut dan memperoleh penghidupan dari sumber daya alam di sana. Pada saat penelitian kami sekitar 60% wilayah Desa Baru Pelepat merupakan hutan negara. Ada dua contoh lain tentang ketidakcocokkan antara kebijakan dan penggunaan sumber daya hutan oleh masyarakat lokal yang layak kita perhatikan. Di Pasir, peraturan pemerintah kabupaten pada tahun 2000 memberi hak kepada petani secara perseorangan untuk mengambil hasil hutan dari lahan mereka sendiri, disebut IPPK (izin pemungutan dan pemanfaatan kayu). Melalui kesepakatan resmi, masyarakat Rantau Buta dan Rantau Layung “berkolaborasi” dengan perusahaan komersial yang membeli hasil hutan tersebut. Walaupun dimaksudkan untuk memberi manfaat kepada masyarakat, kebijakan itu menjadi sarana bagi
Kebanyakan lanskap hutan sudah dibuka, seperti dapat ditemukan di banyak tempat di Indonesia.
50 • BAB EMPAT
perusahaan dan elit desa untuk memenuhi kepentingan mereka sendiri saja. Mereka melakukannya dengan mendorong petani untuk “bekerja sama” dengan perusahaan dengan cara mengajukan permohonan IPPK kepada pemerintah. Dalam prakteknya, usaha ini menghasilkan keuntungan besar bagi perusahaan dan elit desa, sementara warga masyarakat hanya memperoleh keuntungan yang tidak berarti. Contoh kedua dari Jambi. Pada tahun 1980-an pemerintah menetapkan kebijakan nasional tentang “penyeragaman desa”.11 Sesuai dengan kebijakan ini, pemerintah desa dapat ditetapkan hanya jika disetujui oleh pemerintah kabupaten. Kebijakan tersebut juga menentukan luas dan cakupan wilayah desa tanpa mempertimbangkan wilayah yang sebelumnya ditempati oleh masyarakat. Walaupun pada tahun 2001 kebijakan tersebut sudah ditarik kembali, namun bagi kelompok Minangkabau dampaknya sudah sangat jauh. Misalnya, kebijakan tersebut tidak memungkinkan lembaga adat untuk tetap mengatur kehidupan masyarakat dan penggunaan sumber daya alam. Tambahan pula, sebagian dari kelompok Minangkabau yang tinggal ke arah hilir diharuskan menjadi bagian dari desa lain; hal ini jelas memperlemah ikatan sosial yang ada di dalam kelompok Minangkabau tersebut. Sejak awal tahun 2001, pada saat pemerintah mulai menerapkan kebijakan desentralisasi, banyak pihak mengharapkan akan terjadinya perubahanperubahan yang positif di dalam masyarakat. Kebijakan ini antara lain berarti bahwa lembaga lokal diberi kewenangan atas pengelolaan hutan di wilayah desanya. Tetapi dukungan pemerintah bagi penerapan desentralisasi ternyata sangat kurang. Akibatnya, masyarakat di kedua lokasi dibiarkan sendiri dalam menghadapi tantangan-tantangan baru dan cenderung rumit yang menyertai desentralisasi ini. Lembaga adat yang ada di kedua lokasi penelitian ternyata tidak mampu memainkan peran koordinasi pengelolaan sumber daya hutan, maupun mengupayakan pengakuan pemerintah atas hak-hak masyarakat yang berkenaan dengan sumber daya alam. Lembaga ini juga lemah dalam menciptakan akses yang setara bagi semua pemangku kepentingan di dalam masyarakatnya sendiri. Misalnya, pada saat kami memasuki lokasi di Jambi, perempuan, Orang Rimba, dan masyarakat pendatang hampir tidak pernah dilibatkan dalam pengambilan keputusan tingkat desa. Kepentingan kelompok-kelompok ini nyaris tidak terwakili. Pada umumnya keputusan-keputusan masyarakat diambil oleh segelintir warga masyarakat yang berpengaruh, dan biasanya mereka semua lakilaki. Seperti di kebanyakan masyarakat lokal di Indonesia, lembaga lokal ternyata tidak cukup mampu untuk menangani perbedaan-perbedaan kepentingan yang ada.
LOKASI PENELITIAN KAMI • 51
Adanya tumpang tindih kepentingan mengenai hutan dan cara-cara lama dalam pengambilan keputusan tentang sumber daya hutan menunjukkan perlunya cara pandang baru tentang bagaimana hutan seharusnya digunakan dan dikelola, baik di tingkat pemerintah maupun tingkat masyarakat.
4.2. Konteks Pembelajaran: Menghadapi Ketidakpastian Tim kami melihat bahwa ada suatu kondisi yang dihadapi para pemangku kepentingan pada saat pembelajaran dan aksi ACM dimulai, yakni kondisi ketidakpastian. Karena keadaan semacam ini dapat menentukan proses pembelajaran dalam ACM, kondisi tersebut perlu mendapat perhatian lebih lanjut. Namun apa sebenarnya yang dimaksud dengan “ketidakpastian”? Kapan kita bisa mengatakan bahwa suatu keadaan bersifat “tidak pasti”? Selama ini masyarakat di kedua lokasi penelitian dihadapkan dengan berbagai perubahan dalam lingkungan alam dan sosial yang menjadi gantungan hidup mereka. Banyak perubahan yang terjadi menimbulkan kegalauan pada diri mereka tentang masa depan mereka karena sering perubahan terjadi tak terduga. Akibatnya, menjadi sulit bagi mereka untuk memperkirakan masa depan dan merencanakannya. Nah, keadaan semacam inilah yang bisa kita sebut ketidakpastian (lihat Kotak 11). Di lokasi penelitian, kami menemukan tiga sumber ketidakpastian utama, yakni ketidakpastian karena perubahan sumber penghidupan masyarakat, perubahan hubungan sosial, dan kebijakan pemerintah.
Kotak 11. Ketidakpastian Orang mempersepsikan bahwa mereka berada dalam keadaan yang tidak pasti ketika mereka sulit mengetahui terlebih dahulu apa yang akan terjadi. Mereka tidak dapat mengidentifikasi faktor-faktor yang pada akhirnya menentukan apa yang akan terjadi sehingga masa depan sulit diperkirakan dan karena itu juga sulit direncanakan.
Perubahan-perubahan yang mempengaruhi sumber penghidupan masyarakat Keprihatinan utama para pemangku kepentingan di Baru Pelepat, Rantau Buta, dan Rantau Layung berkenaan dengan perubahan-perubahan yang mempengaruhi sumber penghidupan mereka. Sementara manfaat hutan bagi
52 • BAB EMPAT
kehidupan masyarakat mengalami penurunan yang cukup besar, hanya sedikit sumber penghidupan alternatif yang tersedia. Hal ini khususnya dialami kelompok Minangkabau dan Orang Rimba di Jambi, dan kelompok Dayak Adang di Pasir. Di masa lalu, bagi kelompok-kelompok ini hutan selalu menjadi sumber yang penting untuk memenuhi kebutuhan subsistensi dan mengatasi kekurangan pangan di masa-masa sulit. Tetapi pada saat penelitian kami, penyempitan wilayah hutan telah mengurangi kesempatan bagi masyarakat yang membuka hutan untuk memulai pertanian ladang berpindah. Penurunan ketersediaan hasil hutan juga mempengaruhi hasil pertanian masyarakat karena mereka makin sulit memperoleh hasil hutan yang diperlukan untuk kegiatan pertanian seperti serasah, pakan ternak, tempat penggembalaan ternak, dan kayu untuk peralatan pertanian. Pada akhirnya, semua itu menyebabkan menurunnya pendapatan banyak rumah tangga. Sebelumnya, sumber penghasilan rumah tangga itu berasal dari penjualan hasil hutan seperti rotan dan kayu, hasil pertanian, pekerjaan sebagai buruh, atau penjualan barang-barang seperti anyaman keset dan keranjang yang berbahan baku dari hutan. Gambar 8 menggambarkan penurunan ketersediaan hasil hutan di lokasi kegiatan kami, termasuk skenario masa depan, sebagaimana dilihat oleh kelompok-kelompok masyarakat desa.
Perubahan-perubahan dalam hubungan sosial Sumber ketidakpastian lain yang dihadapi para pemangku kepentingan di kedua lokasi penelitian adalah terjadinya berbagai perubahan dalam hubungan antara individu, kelompok, atau lembaga. Kadangkala ketidakpastian ini muncul karena berubahnya sifat dari hubungan yang telah ada, sementara dalam kasus lain ketidakpastian terjadi karena terbentuknya hubungan baru. Kami berikan contoh dari lokasi di Baru Pelepat untuk menggambarkan kedua macam ketidakpastian ini. Ketika masyarakat Minangkabau masih merupakan satu-satunya kelompok penduduk di Baru Pelepat, lembaga adat mereka mengatur penggunaan sumber daya alam, hak dan kewajiban anggota masyarakat, serta hubungan antara para pemangku kepentingan. Tetapi peran pengaturan ini berubah ketika pada awal tahun 1980-an kebijakan pemerintah tentang “penyeragaman desa” menentukan bahwa lembaga adat harus berbagi kewenangan dengan pemerintah desa yang ditunjuk secara resmi (lihat juga hlm. 50). Keadaan itu bertambah rumit ketika banyak warga masyarakat merasa tidak puas terhadap beberapa pemimpin adat yang menurut mereka hanya mementingkan diri mereka sendiri. Jadi, lembaga adat yang semestinya mengatur kehidupan
1990
1985
1990
1995
2000
Baru Pelepat (Jambi)
Tahun
1980
2001
2000
2003
2010
2005
1970
1950
1975
1980
1960
Tahun
1980
1990
1985
1990
Tahun
1995
2000
Baru Pelepat (Jambi)
1970
Rantau Layung (Pasir)
2001
2000
2003
2010
2004
Tembesu (Fagraea fragrans )
Jelutung (Dyera costulata)
Meranti (Shorea sp.)
Rotan
Ikan
Buah
Gambar 8. Penurunan ketersediaan hasil hutan di kedua lokasi penelitian sebagaimana dilihat oleh para pemangku kepentingan desa (petunjuk: 5 = ketersediaan optimal, 0 = sudah habis sama sekali)
Tahun
0.0
0.0
2.0
1.0
Ikan
3.0
4.0
5.0
0.0
1.0
2.0
3.0
4.0
5.0
1.0
2.0
Buah (seperti Durio sp.)
1980
1970
3.0
1975
1960
4.0
1970
1950
Kayu
Rotan
Ikan
Buah
Rotan (Daemonorops spp.) Manau (Calamus ornatus)
5.0
0.0
1.0
2.0
3.0
4.0
5.0 Ketersediaan Produk Hutan Ketersediaan Produk Hutan
Ketersedian Produk Hutan
Ketersediaan Produk Hutan
Rantau Buta (Pasir)
LOKASI PENELITIAN KAMI • 53
54 • BAB EMPAT
masyarakat, justru kehilangan kepercayaan dan kewenangan yang pernah dimilikinya di masa lalu. Akibat melemahnya rambu-rambu adat, perilaku warga masyarakat menjadi sulit diperhitungkan jika saling berhubungan (lihat Kotak 12). Akibat lebih jauh lagi, hubungan sosial antarwarga melemah. Sementara itu, pada tahun 1997 melalui program transmigrasi pemerintah menempatkan kelompok etnis dan kelompok sosial lain di Baru Pelepat. Kelompok-kelompok tersebut menjadi bagian dari masyarakat desa. Kehadiran kelompok baru itu menciptakan hubungan sosial baru dan adanya pandangan hidup dan norma sosial yang berbeda-beda. Ketidakpastian karena menurunnya sumber Perubahan-perubahan tersebut penghidupan telah mengakibatkan akses terbuka (open access) terhadap sumber daya hutan: warga sering menciptakan situasi yang desa sering mengatakan, “Tebanglah pohon sebelum kabur. Dalam situasi tersebut niat orang luar melakukannya.” satu pihak tidak jelas bagi pihak lainnya dan perilaku satu pihak tidak dapat diperkirakan pihak lainnya. Dengan kata lain, kehadiran kelompok-kelompok baru telah menciptakan kondisi yang tidak pasti bagi warga masyarakat.
Perubahan yang berasal dari kebijakan pemerintah Para pemangku kepentingan dalam masyarakat di kedua lokasi pengkajian juga harus menghadapi berbagai ketidakpastian yang merupakan dampak sosial, ekonomi, dan politik dari kebijakan-kebijakan pemerintah. Misalnya, seperti dicatat sebelumnya, kebijakan pemerintah menentukan bahwa hutan di sekitar desa adalah hutan negara sementara masyarakat menganggapnya sebagai hutan desa mereka. Artinya, kedua pihak (pemerintah dan masyarakat) masing-masing menuntut hak mereka atas pemanfaatan hutan. Masyarakat melihat hutan sebagai sumber penghidupan penting, sementara pemerintah melihat hutan sebagai sumber daya yang bisa dieksploitasi. Sesuai dengan pandangan pemerintah itu, sejak pertengahan tahun 1970-an pemerintah memberi konsesi hutan kepada
LOKASI PENELITIAN KAMI • 55
Kotak 12. Ketidakpastian tentang perilaku dan tindakan pihak lain Suatu malam, tidak lama setelah tim kami tiba di Baru Pelepat, sekelompok kecil warga desa laki-laki berkumpul di rumah kepala desa hingga larut malam. Mereka mendiskusikan kejadian beberapa hari sebelumnya ketika seorang tokoh masyarakat tertangkap mengambil kayu berharga dari hutan desa mereka. Walaupun mereka sepakat bahwa tokoh itu telah melakukan kesalahan karena mengambil kayu tanpa persetujuan warga masyarakat lainnya, namun karena ia orang yang berpengaruh dan terpandang di masyarakat, tidak seorang pun berani menuntut agar ia mempertanggungjawabkan tindakannya. Selain itu, saat itu tidak ada pihak yang berwewenang dalam masyarakat yang dapat menuntut tokoh masyarakat tersebut. Para warga desa tersebut tidak tahu apa yang harus mereka lakukan karena mereka sulit menilai apa konsekuensinya jika mereka menuduh warga masyarakat tersebut melakukan kesalahan. Lebih dari itu, sulit bagi mereka untuk memperkirakan bagaimana tokoh masyarakat itu akan bereaksi jika dituduh; misalnya apakah ia akan melakukan pembalasan. Mereka juga mencoba membayangkan apa dampak terbesar yang mungkin akan dirasakan masyarakat: kerugian materi dan peluang finansial berkaitan dengan kayu curiannya, ataukah “kerugian emosional” yang akan terjadi jika sang “pencuri” bereaksi dengan cara yang mungkin akan berdampak negatif terhadap masyarakat. Memang dapat dibayangkan bahwa kalau sang “pencuri” dipermalukan, apapun bisa dilakukannya sebagai pembalasan.
para penebang kayu komersial, yakni perusahaan, koperasi, maupun perseorangan. Akibatnya, sejak kira-kira 25 tahun silam masyarakat mulai merasakan tekanan terhadap hutan dan mengkhawatirkan penebangan hutan oleh pihak luar (lihat Kotak 13). Di Baru Pelepat tumpang tindih antara hak negara dan hak masyarakat juga membuka peluang untuk mengkonversi sebagian wilayah masyarakat menjadi wilayah proyek pemukiman transmigran. Pada tahun 1985 Baru Pelepat menjadi unit administratif dalam hirarki pemerintahan. Sesuai dengan kebijakan ini, pemerintahan desa menjadi tanggung jawab resmi pemerintah desa yang baru, sementara lembaga adat terkesampingkan. Implikasi dari kebijakan pemerintahan tersebut, secara resmi dilakukan penataulangan batas desa. Akibatnya, masyarakat Minangkabau terpecah menjadi dua bagian: satu bagian digabungkan dengan masyarakat desa tetangga. Dapat dipahami bahwa kebijakan pemerintah ini melemahkan kohesi sosial masyarakat Minangkabau di wilayah ini.
56 • BAB EMPAT
Kotak 13. Ketidakpastian karena kebijakan Ketika kami memasuki Baru Pelepat pada awal penelitian kami, warga desa mengisahkan bahwa sejak perusahaan pertama mulai beroperasi pada pertengahan tahun 1970-an, sudah ada empat perusahaan penebangan kayu yang beroperasi di sekitar Baru Pelepat. Dalam upayanya memanfaatkan kayu berharga, perusahaanperusahaan itu menebang kayu di wilayah hutan yang cukup luas di sekitar desa. Selama itu masyarakat diabaikan dan tidak sekali pun warga masyarakat diberitahukan tentang akan beroperasinya perusahaan-perusahaan itu, apalagi dimintai persetujuannya. Pernah ada pembicaraan informal dengan pekerja perusahaan yang memberi pemahaman kepada warga desa bahwa perusahaan-perusahaan tersebut memiliki ijin pemerintah untuk melakukan penebangan kayu. Mereka diberitahukan bahwa hutan yang sedang ditebang berada di bawah penguasaan negara dan karenanya siapa pun yang ingin menggunakan hutan harus mendapat persetujuan pemerintah. Padahal selama itu warga masyarakat mengira bahwa hutan adalah milik masyarakat adat mereka. Karena penebangan terus berlangsung dan kayu dalam jumlah besar terus dikeluarkan dari hutan, masyarakat mulai cemas. Mereka mulai mengkhawatirkan masa depan mereka dan mempertanyakan apakah yang akan didapatkan mereka maupun generasi mendatang jika hutan tidak ada lagi. Masyarakat Rantau Buta dan Rantau Layung di Pasir mempunyai pengalaman yang hampir sama seperti masyarakat Baru Pelepat. Ketika pada tahun 1993 Menteri Kehutanan memutuskan bahwa sebagian hutan di Gunung Lumut menjadi Hutan Lindung secara resmi, masyarakat tidak dilibatkan ataupun diberitahukan bahwa keputusan semacam itu akan diambil. Pada suatu hari di tahun tersebut, sebagaimana dikisahkan beberapa anggota masyarakat, mereka menemukan beberapa patok tanda tapal batas dipancangkan di kebun wanatani mereka, yang berarti bahwa sebagian dari kebun mereka itu telah dijadikan wilayah Hutan Lindung resmi. Kehilangan sumber utama hidup mereka menimbulkan perasaan tidak pasti bagi anggota masyarakat.
Terakhir, kebijakan pemerintah tentang desentralisasi yang diberlakukan sejak awal 2001 juga ikut menciptakan kondisi baru dan tidak pasti bagi masyarakat desa di kedua lokasi. Di bawah kebijakan desentralisasi tersebut, masyarakat desa diharapkan mengambil tanggung jawab atas pengelolaan dan pelestarian sumber daya alam mereka serta berkontribusi pada pembangunan sosial dan ekonomi di desa mereka. Dalam memenuhi tuntutan tanggung jawab tersebut, masyarakat di lokasi Pasir dan Jambi merasa bahwa perhatian dan bantuan pemerintah yang mereka dapatkan sangat kurang.
LOKASI PENELITIAN KAMI • 57
4.3. Mengapa para Pemangku Kepentingan Kurang Mampu Beradaptasi dan Berkolaborasi? Pada awal penelitian, kami melihat bahwa ada kebutuhan akan suatu mekanisme yang memungkinkan para pemangku kepentingan menyesuaikan pandangan dan perilaku lama mereka dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Selain itu mereka juga perlu mengembangkan kemampuan untuk bekerja sama dalam menghadapi perubahan-perubahan itu. Namun, tidak lama setelah mulai menetap di lokasi penelitian, kami menemukan bahwa mekanisme semacam itu tidak ada. Baiklah, mari kita cermati mengapa demikian.
Kurangnya kemampuan beradaptasi Kami mengamati bahwa kurangnya kemampuan beradaptasi terdapat baik pada pemangku-pemangku kepentingan yang bersifat kolektif maupun individual. Contoh hal yang pertama adalah masyarakat, instansi pemerintah dan perusahaan kayu secara bersama di Pasir, sementara contoh hal yang kedua adalah tokoh adat di Jambi. Terdapat tiga hal yang menurut kami dapat menjelaskan keadaan ini. Pertama, lembaga lokal dan instansi-instansi pemerintah sangat lemah dalam mengkoordinasikan pola-pola pengelolaan sumber daya yang ada. Karena itu, tidak ada dasar struktural bagi para pemangku kepentingan untuk bertindak dengan cara terkoordinasi dalam menghadapi perubahan sosial dan perubahan alam yang rumit. Karena kelemahan koordinasi itu, baik di tingkat masyarakat maupun di tingkat pemerintah kabupaten, para pemangku kepentingan tidak dapat menilai perubahan-perubahan yang terjadi secara sistematis sehingga tidak mampu mencari strategi untuk menghadapinya secara efektif. Kedua, tidak ada mekanisme yang dapat membantu para pemangku kepentingan untuk belajar bersama dari aksi mereka sebagai kelompok dalam mengelola sumber daya alam. Karena itu mereka tidak dapat menilai akibat dari tindakan atau keputusan yang telah diambil. Pemantauan secara sadar dan terencana hampir tidak pernah dilakukan sehingga masukan yang dapat digunakan sebagai dasar keputusan untuk menentukan tindakan berikutnya nyaris tidak ada. Setiap pihak mengambil keputusan dan bertindak menurut pola pengelolaan masing-masing dan jarang berbagi informasi dan pengetahuan dengan pihak lain. Ketiga, adanya ketimpangan dalam distribusi informasi antara para pemangku kepentingan. Pada gilirannya hal ini tidak mendukung terjadinya umpan-balik (feedback) informasi. Contohnya adalah keterbatasan arus informasi antara kelompok Orang Rimba dan para penanam modal dari luar desa. Masing-masing
58 • BAB EMPAT
pihak ini mempunyai pola pengelolaan sumber daya sendiri dan hampir tidak pernah berbagi informasi. Lain halnya dengan para penebang kayu di desa dan para penanam modal dari luar desa: mereka berbagi informasi secara intensif karena keduanya merupakan bagian dari sistem pengelolaan hutan yang sama. Ketiga hal di atas, berdasarkan pengamatan kami, disebabkan oleh tetap berkutatnya pemangku-pemangku kepentingan dalam cara-cara pandang lama tentang lingkungan alam dan sosial mereka. Akibatnya, peluang untuk mencari dan mempelajari cara-cara baru menjadi sangat terbatas. Sering para pemangku kepentingan yang “enggan belajar” ini adalah mereka yang sudah lama memiliki hak istimewa dalam mengatur kehidupan masyarakat, seperti para tokoh masyarakat dan pejabat pemerintah.
Terbatasnya kemampuan berkolaborasi Tidak lama setelah mulai berhubungan dengan masyarakat di lokasi penelitian, kami menemukan bahwa terbatasnya kolaborasi terjadi karena beberapa faktor. Pertama, di kedua lokasi hubungan antara para pemangku kepentingan maupun hubungan dalam kelompok-kelompok pemangku kepentingan tertentu ternyata lemah. Kepercayaan timbal balik antara para pemangku kepentingan sangat kurang dan jaringan-jaringan sosial di antara mereka hampir tidak ada. Beberapa hal yang melatarbelakangi lemahnya hubungan tersebut: • Hubungan antara pengambil keputusan dengan pemangku kepentingan lainnya pada umumnya didasarkan pada hubungan kewenangan (misalnya, hubungan antara tokoh adat dan anggota masyarakat lainnya, atau hubungan antara masyarakat dan pemerintah kabupaten). Hubungan semacam ini sangat rapuh karena tidak banyak memberikan ruang untuk rasa saling percaya dan saling menghargai. • Latar belakang sosial-budaya para pemangku kepentingan yang berbeda-beda mengakibatkan terbatasnya komunikasi di antara mereka. • Latar belakang sejarah. Misalnya, masyarakat di lokasi Pasir pernah terlibat secara tidak sengaja dalam gerakan politik yang mengakibatkan adanya ketidakpercayaan terhadap mereka di kalangan pemerintah. • Konteks legal dan kebijakan. Sebagai contoh, oleh karena kebijakan transmigrasi mengalokasikan tanah kepada pendatang, penduduk asli merasa cemburu terhadap para pendatang. Kedua, kami juga mengamati bahwa faktor lain yang menyebabkan terbatasnya kerja sama antara pemangku kepentingan, adalah lemahnya komunikasi di antara mereka. Walaupun lemahnya komunikasi itu sebenarnya terkait dengan lemahnya hubungan sosial (yang sudah dibahas di atas), karena penting perlu dijelaskan secara terpisah di sini. Kami melihat bahwa masing-masing pemangku kepentingan
LOKASI PENELITIAN KAMI • 59
Foto ini menunjukkan suasana pertemuan yang umum terjadi ketika tim kami baru saja datang di lokasi. Proses pertemuan cenderung menjemukan dan perempuan kurang terwakili, kalaupun ada yang diundang.
tidak saja memiliki kemampuan komunikasi yang berbeda, tetapi sering juga dianggap berbeda kemampuan komunikasinya oleh pihak lain. Akibatnya, sering kita temukan bahwa ada pemangku kepentingan tertentu yang dipandang lebih layak untuk diajak berkomunikasi dibandingkan pihak lain. Contohnya, di kedua lokasi, ketika kami memulai penelitian, secara umum perempuan dianggap oleh masyarakat sebagai pihak yang kurang mampu berkomunikasi. Hal tersebut bukan karena dalam kenyataannya memang demikian, misalnya karena kurangnya pengetahuan perempuan, tetapi lebih karena budaya setempat menilainya demikian. Banyak warga masyarakat meyakini bahwa peran utama perempuan adalah mengurus rumah tangga dan membesarkan anak dan karenanya dianggap hanya memiliki sedikit pengetahuan selain tentang urusan rumah tangga dan keluarga. Akibatnya, perempuan nyaris tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan tingkat desa. Terakhir, kami melihat bahwa lemahnya peran lembaga-lembaga lokal dalam mengkoordinasikan pemanfaatan dan pengelolaan hutan mengakibatkan tidak berkembangnya dasar struktural bagi para pemangku kepentingan untuk berkolaborasi.
Bagian Tiga Praktek
Bagian Dua telah menggambarkan konteks penelitian dan penerapan ACM kami. Dalam Bagian Tiga ini kami hendak berbagi pengalaman tim kami dalam menerapkan pendekatan ini guna memfasilitasi pembelajaran bersama di antara pemangku kepentingan di lokasi penelitian. Bagian ini dimulai dengan menggambarkan cara kami mendampingi para pemangku kepentingan dalam menerapkan ACM dan dengan menyajikan penilaian kami terhadap keluarannya (Bab 5). Kemudian kita akan mendiskusikan tantangan yang dihadapi tim kami ketika menerapkan ACM, keunggulan pendekatan ini, maupun keterbatasannya sebagaimana kami alami (Bab 6). Selanjutnya, kami menyampaikan pelajaran yang dapat kami petik dari pengalaman dalam menerapkan ACM, termasuk nilai tambah yang ditawarkan pendekatan ini bagi pengelolaan hutan di Indonesia (Bab 7).
5 MEMPRAKTEKKAN ACM
Hiduplah bersama masyarakat: tinggallah bersama mereka, belajarlah dari mereka, cintailah mereka, mulailah dengan apa yang mereka ketahui, bangunlah di atas apa yang telah mereka miliki. Tentang pemimpin yang terbaik, ketika pekerjaan terselesaikan, tugas-tugas terlaksana, warga masyarakat akan berkata, “Kami sendirilah yang telah melakukannya.” Lau Tzu, begawan Tao
MEMPRAKTEKKAN ACM • 65
Pada bab terdahulu kami telah menggambarkan konteks penerapan dan penelitian ACM yang kami lakukan. Dalam Bab ini kami akan berbagi pengalaman dalam menerapkan pendekatan ini di lapangan mapun penilaian kami tentang keluarannya. Pengalaman kami ini secara umum berkenaan dengan penciptaan kondisi yang memungkinkan para pemangku kepentingan belajar bersama dan mengadaptasi cara mereka mengelola lingkungan alam dan sosial mereka.
5.1. Cara Kami Menciptakan Kondisi yang Memungkinkan Pembelajaran Multipihak Ketika tim kami mulai terlibat dalam masyarakat di kedua lokasi penelitian, warga desa menghadapi ketidakpastian akibat menghilangnya hutan mereka, berubahnya hubungan antara para pemangku kepentingan dalam masyarakat, dan diterapkannya berbagai kebijakan pemerintah. Terdorong oleh keadaan ini, para pemangku kepentingan termotivasi untuk belajar bagaimana meningkatkan penghidupan mereka dan menghadapi keadaan yang tidak pasti itu, dan untuk itu kami diminta untuk mendampingi mereka. Seperti telah kita lihat sebelumnya, pembelajaran adalah jiwa dari ACM. Jika kami menggunakan kata “pembelajaran”, yang kami maksudkan adalah upayaupaya para pemangku kepentingan dalam memahami dunia di sekitar mereka maupun proses yang mereka tempuh untuk mencari gagasan dan pemahaman baru. Karena dalam hal ACM pembelajaran berlangsung ketika para pemangku kepentingan saling berinteraksi di antara mereka, pembelajaran ini disebut “pembelajaran sosial”. Pembelajaran semacam ini terjadi ketika para individu atau kelompok dengan pandangan yang berbeda saling berinteraksi serta bertukar pikiran, gagasan, atau pengetahuan sehingga pandangan lama bisa diadaptasi atau pandangan baru dibentuk. Kotak 14 menguraikan definisi “pembelajaran” kami.
Kotak 14. Mendefinisikan “pembelajaran” “Pembelajaran” terjadi ketika seseorang mencoba memahami dunia di sekitarnya. Manakala orang atau kelompok dengan berbagai cara pandang bertemu kita bisa berbicara tentang “pembelajaran sosial”. Cara pandang lama bisa saja disesuaikan atau pandangan baru dibentuk karena pertukaran pemikiran, gagasan, atau pengetahuan di antara mereka.
66 • BAB LIMA
Terdapat tiga macam kegiatan utama yang diperlukan dalam menciptakan kondisi pembelajaran antara para pemangku kepentingan (lihat Gambar 9): • Mempersiapkan pembelajaran • Mengorganisasikan pembelajaran • Memfasilitasi pembelajaran
Pengorganisasian pembelajaran
Fasilitasi pembelajaran
Persiapan pembelajaran
Gambar 9. Tiga jenis kegiatan guna menciptakan kondisi pembelajaran
Mempersiapkan pembelajaran Tujuan utama dari kegiatan ini adalah untuk: • Membangun hubungan dengan para pemangku kepentingan lokal • Mengenali konteks pembelajaran • Mengidentifikasi pokok-pokok permasalahan yang ingin ditangani bersama oleh para pemangku kepentingan Di dalam kegiatan ini, membangun hubungan dengan pemangku kepentingan lokal dan mengenali konteks lokal sangat penting apabila ACM dipraktekkan oleh “orang luar” (seperti tim kami). Namun mengidentifikasi pokok-pokok permasalahan merupakan hal penting terlepas dari apakah “orang luar” ataupun “orang dalam” yang mendampingi dalam penerapan ACM. Di lapangan kami tidak terlalu membedakan pemisahan dan urutan ketiga kegiatan persiapan pembelajaran ini: dalam prakteknya mereka saling bertumpang tindih. Secara keseluruhan kami membutuhkan lima sampai delapan bulan untuk persiapan pembelajaran di setiap lokasi penelitian. Kegiatan pertama dalam mempersiapkan pembelajaran para pemangku kepentingan adalah membangun kepercayaan dan hubungan baik dengan
MEMPRAKTEKKAN ACM • 67
masyarakat lokal dan para pemangku kepentingan lainnya. Kami mulai melakukan hal ini sedini mungkin dengan cara melibatkan diri dalam berbagai kegiatan sehari-hari masyarakat. Selain itu, membangun hubungan dengan berbagai pihak juga terjadi pada saat melakukan dua kegiatan persiapan lainnya, yakni mengenali konteks dan mengidentifikasi pokok-pokok permasalahan. Sementara tim kami mengumpulkan data untuk mengenali konteks lokal dan berkegiatan untuk mengidentifikasi pokok-pokok permasalahan, terbangunlah keakraban dan rasa saling percaya antara tim dan berbagai pemangku kepentingan. Dalam hal ini staf CIFOR banyak terbantu oleh staf dari mitra-mitra LSM yang fasih berbahasa daerah setempat dan mengenal adat-istiadat lokal. Tim kami membutuhkan waktu empat sampai enam bulan untuk mengembangkan hubungan baik dengan para pemangku kepentingan dan untuk mengembangkan komunikasi yang efektif dengan mereka. Kegiatan kedua adalah mengenali konteks lokal. Pertama, kami perlu mengembangkan pengetahuan kami tentang para pemangku kepentingan di wilayah tersebut, pola hubungan di antara mereka, dan kepentingan mereka masing-masing berkaitan dengan hutan. Walaupun kajian yang dilakukan sebelumnya untuk memilih lokasi telah menyediakan informasi tentang keadaan di lokasi, kami perlu mengumpulkan data yang lebih rinci dan secara spesifik
Menjadi bagian dari kegiatan sehari-hari masyarakat merupakan cara yang penting untuk membangun hubungan baik dan mengenali konteks lokal.
68 • BAB LIMA
diarahkan untuk penerapan ACM. Untuk itu, kami menggunakan berbagai pendekatan dan alat bantu guna mengidentifikasi dan menganalisis para pemangku kepentingan (lihat Lampiran 1 dan Lampiran 2). Selain pengetahuan tentang para pemangku kepentingan, kami juga mengembangkan pengetahuan dasar tentang konteks pembelajaran para pemangku kepentingan. Dasar informasi yang kami kembangkan meliputi informasi biofisik, sosial-ekonomi, kebijakan, dan aspek kelembagaan lokal. Dalam melakukan hal ini, kami menggunakan beranekaragam metode pengumpulan data secara partisipatif dan juga beberapa metode yang lebih “konvensional”. Lampiran 1 menyajikan berbagai acuan guna melakukan kajian konteks lokal, sedangkan Lampiran 2 menguraikan berbagai alat bantu yang dapat digunakan dalam melakukannya. Terakhir, bersama para pemangku kepentingan, kami menjajaki kebutuhan pembelajaran mereka dengan cara mengidentifikasi pokok-pokok permasalahan yang ingin mereka tangani bersama serta merumuskan pertanyaan-pertanyaan yang mereka ingin cari jawabannya melalui pembelajaran. Dari kajian konteks lokal yang kami lakukan, kami telah mempunyai informasi dasar tentang pokokpokok permasalahan yang dihadapi para pemangku kepentingan, tetapi pada tahap ini adalah penting jika pengidentifikasian pokok permasalahan dilakukan oleh mereka sendiri. Kami menyadari bahwa mengidentifikasi pokok-pokok permasalahan merupakan tahap yang penting dan menentukan untuk proses selanjutnya, dan karenanya patut diberi waktu dan perhatian yang memadai. Seperti telah kami catat sebelumnya, kegiatan ini penting juga dalam penerapan ACM yang tidak melibatkan “orang luar”, melainkan hanya para pemangku kepentingan lokal saja. Dalam waktu yang tidak terlalu lama kami temukan bahwa di kedua lokasi penelitian permasalahan yang mendesak cenderung berkisar di sekitar berkurangnya ketersediaan sumber daya hutan. Hal tersebut mempengaruhi penghidupan masyarakat secara negatif. Memprioritaskan pokok-pokok permasalahan yang ada bersama para pemangku kepentingan ternyata bukanlah suatu hal yang mudah. Hal ini karena berbagai kelompok sosial dan perseorangan memiliki pandangan yang saling berbeda tentang bagaimana meningkatkan penghidupan mereka (Gambar 10). Kami menyadari bahwa keadaan nyata cukup kompleks. Hubungan sosial antara para pemangku kepentingan membentuk suatu pola hubungan yang saling berkaitan dan rumit. Dalam situasi seperti ini tingkah laku dan tindakan pemangku kepentingan yang satu berpengaruh terhadap penghidupan pemangku kepentingan lainnya, dan sebaliknya.
MEMPRAKTEKKAN ACM • 69
Gambar 10. Dari identifikasi pokok-pokok permasalahan ke penentuan prioritas merupakan langkah BESAR
Bersama para pemangku kepentingan, kami melakukan pengkajian terhadap berbagai masalah penghidupan yang mereka hadapi. Masalah-masalah itu sangat berbeda untuk masing-masing pemangku kepentingan. Tim kami membutuhkan waktu sekitar enam bulan untuk mendampingi para pemangku kepentingan di kedua lokasi memprioritaskan pokok-pokok permasalahan yang telah diidentifikasi. Proses ini membutuhkan waktu yang tidak sedikit karena masingmasing pemangku kepentingan melihat penting atau tidaknya suatu masalah berdasarkan persepsi dan penilaian mereka masing-masing. Sering mereka bahkan tidak menyadari bahwa pihak lain melihat dan menilai sesuatu dengan cara yang berbeda. Kami sering menemukan, ketika para pemangku kepentingan menghadapi masalah yang sama, masing-masing merumuskannya dengan cara yang berbeda dan bahkan bisa saja memikirkan pemecahan masalah yang berbeda pula (Kotak 15). Hal ini terjadi karena setiap pemangku kepentingan melihat suatu masalah melalui “saringan” pengalaman dan latar belakang sejarah dan dengan tujuan masa depan masing-masing. Kotak 16 menunjukkan bagaimana para pemangku kepentingan dengan pendampingan tim kami mengidentifikasi pokok-pokok pembelajaran mereka.
70 • BAB LIMA
Kotak 15. Persepsi yang berbeda tentang permasalahan yang sama dengan pemecahan yang berbeda pula: Sebuah contoh dari Jambi Sekelompok Orang Rimba yang berada di hutan Desa Baru Pelepat melihat diserangnya tanaman pangan dan karet oleh hama babi sebagai masalah yang berasal dari luar (faktor eksternal). Babi-babi tersebut datang dari lokasi yang sumber daya hutannya sudah menurun sehingga mereka terdorong untuk mencari habitat baru. Dengan sudut-pandang lain, sekelompok penduduk desa yang kami ajak membicarakan permasalahan ini, cenderung melihat hama tersebut sebagai akibat dari pembukaan lahan untuk perladangan oleh masyarakat secara tersebar, bukannya berdekatan dalam satu hamparan (faktor internal). Mereka berpikir bahwa jika mereka membuka ladang secara berkelompok di tempat yang berdekatan, seperti pernah mereka lakukan di masa lalu, kemungkinan dirambahnya ladangladang mereka oleh babi akan lebih kecil. Kelompok Orang Rimba disebut tadi percaya bahwa jalan keluar dari masalah ini adalah memburu babi-babi tersebut. Sementara penduduk desa disebut di atas cenderung melihat perladangan secara berkelompok, bukan terpisah, sebagai pemecahannya. Ini adalah suatu contoh bagaimana terhadap masalah yang sama, masing-masing pemangku kepentingan melihat persoalan dan solusi dari sudut pandang yang berbeda.
Kotak 16. Proses mengidentifikasi pokok-pokok pembelajaran Untuk mengidentifikasi pokok-pokok pembelajaran, kami memfasilitasi pertemuan bersama antara para pemangku kepentingan dari lima dusun di Desa Baru Pelepat. Proses seperti ini juga dilakukan di Pasir. Dengan menggunakan diskusi kelompok terfokus (focus group discussion), kami mendiskusikan dengan para peserta pertemuan masalah-masalah penghidupan yang menurut mereka perlu diatasi. Beberapa kelompok, seperti kaum perempuan, tidak terbiasa untuk berbicara dalam suatu pertemuan umum. Oleh karena itu, kami memberikan kesempatan terlebih dahulu kepada mereka untuk berbagi pendapat dalam diskusi kelompok kecil yang dirasakan lebih nyaman dibandingkan pertemuan besar. Pokok-pokok masalah yang teridentifikasi dalam pertemuan-pertemuan kecil ini kemudian dikomunikasikan kepada kelompok-kelompok lainnya dalam pertemuan tingkat dusun. Pertemuan semacam ini biasanya dilakukan pada hari Jumat siang setelah kaum laki-laki kembali dari hutan yang menjadi tempat bekerja mereka sebagai pembalak hutan selama 3 sampai 5 hari seminggu. Pertemuan-pertemuan di atas dilengkapi pula dengan berbagai pertemuan informal di tingkat desa. Pertemuan-pertemuan ini membantu kami dalam mengembangkan pemahaman tentang aspirasi para pemangku kepentingan maupun kondisi penghidupan yang ingin mereka rubah dan tingkatkan.
MEMPRAKTEKKAN ACM • 71
Mengorganisasikan pembelajaran Tujuan kegiatan ini adalah untuk meletakkan landasan struktural yang dapat membantu kami mengorganisasikan pembelajaran bagi para pemangku kepentingan. Sambil bergiat bersama para pemangku kepentingan di kedua lokasi, kami mencoba memahami kondisi semacam apa yang dapat mendorong terjadinya pembelajaran bersama, baik dari lingkungan sosial maupun lingkungan alam mereka. Dengan kata lain, kami bertanya pada diri kami, prinsip-prinsip dasar apakah yang bisa kami gunakan sebagai acuan dalam mengorganisasikan pembelajaran agar terbentuk kondisi yang memicu pembelajaran bersama. Seiring dengan berjalannya kegiatan di lapangan, kami mengamati bahwa ada empat prinsip yang menjadi pokok, yakni: • Para pemangku kepentingan harus merasa memiliki pembelajaran yang terjadi • Semua pemangku kepentingan harus terwakili dalam kegiatan pembelajaran • Pembelajaran harus berdasarkan pengalaman • Pembelajaran harus terjadi melalui komunikasi. Langkah selanjutnya adalah merancang suatu aransemen organisasi (tata organisasi) sebagai “ruang” untuk menciptakan kondisi pembelajaran yang bertumpu pada keempat prinsip di atas. Kami menyebut aransemen organisasi semacam ini sebagai platform12 untuk mengorganisasikan pembelajaran (Kotak 17). Contoh-contoh platform pengorganisasian pembelajaran semacam ini dari lokasi penelitian adalah kegiatan simpan-pinjam kelompok kaum perempuan di Jambi, lokakarya tingkat kecamatan untuk memprioritaskan pokok-pokok pembelajaran di Pasir, dan pertemuan negosiasi antardesa tentang batas-batas desa.
Kotak 17. Platform untuk mengorganisasikan pembelajaran Suatu platform adalah tata pengorganisasian yang memenuhi persyaratan untuk terjadinya pembelajaran antara para pemangku kepentingan terpenuhi. Platform semacam ini dapat membantu kita dalam menyelenggarakan kegiatan yang mendorong pembelajaran bersama dan bertumpu pada empat prinsip berikut: • Pembelajaran dimiliki oleh semua pemangku kepentingan • Keterwakilan semua pemangku kepentingan • Pembelajaran melalui pengalaman • Pembelajaran melalui komunikasi.
Prinsip 1: Kepemilikan proses pembelajaran Dari pengalaman kami sebelumnya dalam bergiat bersama masyarakat lokal di tempat lain, kami yakin mengenai satu prinsip: untuk terjadinya pembelajaran
72 • BAB LIMA
secara efektif, maka pembelajaran harus menjadi milik semua pihak yang terlibat dalam proses. Namun, yang merupakan tantangan sekarang ini, adalah keragaman dari mereka yang harus kami dampingi pembelajarannya. Setiap pemangku kepentingan mempunyai cara pandang sendiri tentang bagaimana mengelola sumber daya alam. Jika proses pembelajaran harus menjadi milik semua pemangku kepentingan yang terlibat di dalamnya, kegiatan pembelajaran bukan saja harus membantu mereka masing-masing dalam mengembangkan pengetahuannya, tetapi juga semua pihak sebagai satu kelompok untuk mencapai tujuan pembelajaran kolektif. Jadi, dalam mengorganisasikan pembelajaran penting untuk tidak hanya terfokus pada pembelajaran yang bermakna bagi para pemangku kepentingan secara perseorangan (kepemilikan individual), tetapi juga bagi semua pemangku kepentingan sebagai sebuah kelompok (kepemilikan kolektif). Meskipun begitu, tim kami makin menyadari bahwa ketika suatu kelompok pemangku kepentingan belajar bersama, perhatian yang cukup tetap harus diberikan terhadap pembelajaran setiap pemangku kepentingan secara individual. Dengan kata lain, ketika berbicara tentang pembelajaran multipihak, kita bukan saja berhadapan dengan proses kolektif, tetapi pada saat yang sama juga dengan pembelajaran dari masing-masing pemangku kepentingan. Karenanya, pembelajaran multipihak harus mendorong kedua-duanya secara berimbang: baik pembelajaran para pemangku kepentingan secara individual maupun sebagai kelompok.
Gambar 11. Menyeimbangkan kepemilikan individual dan kepemilikan kolektif atas pembelajaran
MEMPRAKTEKKAN ACM • 73
Suatu contoh kebutuhan pembelajaran individual adalah kasus seorang tokoh adat di Jambi. Karena kepentingannya sendiri, pada awal kegiatan lapangan tokoh ini sering sulit menerima pandangan orang lain. Dia perlu belajar untuk lebih memahami pihak lain dan menghargai pandangan orang yang berstatus sosial lebih rendah daripada dirinya. Berdasarkan kebutuhan belajar individual ini, tim kami memberi perhatian khusus terhadap kebutuhan belajar orang tersebut. Kami berusaha untuk membantu tokoh tersebut mengembangkan pengetahuan dan kesadaran tentang konsep kepemimpinan dan tentang perlunya mendengarkan orang lain jika ia menginginkan orang lain melihatnya sebagai seorang pemimpin. Sebagai contoh kebutuhan kolektif dapat diberikan kebutuhan dari baik masyarakat Rantau Buta dan Rantau Layung maupun dinas kehutanan akan kejelasan batas desa dengan Hutan Lindung Gunung Lumut. Apa arti Prinsip 1 untuk kegiatan lapangan? Untuk mewujudkan baik kepemilikan individual maupun kepemilikan kolektif, kami melihat bahwa kegiatan pembelajaran harus terpusat pada pokok-pokok permasalahan yang menjadi perhatian masing-masing pemangku kepentingan dan pada saat yang sama relevan untuk mereka semua sebagai suatu kelompok. Persoalan bagaimana memprioritaskan pokok-pokok permasalahan oleh keseluruhan kelompok menjadi sangat penting, bahkan mutlak diperlukan. Masing-masing pemangku kepentingan harus mengembangkan pemahaman tentang pandangan pemangku kepentingan lainnya, dan kemudian masalahnya harus dibingkai kembali (reframe) dalam suatu perspektif bersama. Dengan kata lain, para pemangku kepentingan harus dapat memasukkan berbagai sudut pandang tentang masalah tersebut dalam satu bingkai bersama. Kotak 18 menggambarkan
Kotak 18. Membingkai kembali (reframe) beragam sudut pandang Salah satu masalah yang mempengaruhi penghidupan masyarakat di lokasi Jambi adalah bahwa para pendatang merasa diperlakukan tidak adil karena tidak diikutsertakan dalam pengambilan keputusan masyarakat tentang sumber daya alam. Para tokoh adat dan penduduk asli, kelompok Minangkabau, adalah pihak yang “berkuasa” dan biasanya merekalah yang mengambil keputusan-keputusan penting tentang sumber daya alam desa. Menurut sudut pandang penduduk asli, karena mereka yang paling lama tinggal di Baru Pelepat, wajarlah jika mereka yang paling berwenang dan berhak atas “posisi khusus” mereka itu. Dari sudut pandang mereka, masalahnya bukan terutama rendahnya partisipasi kaum pendatang, melainkan tidak pahamnya kaum pendatang akan posisi dan wewenang kelompok Minangkabau.
74 • BAB LIMA
Untuk terjadinya pembelajaran yang bermakna bagi kedua kelompok pemangku kepentingan ini, kami mengembangkan kegiatan belajar yang berkenaan dengan persoalan perwakilan masyarakat. Dalam kegiatan itu perspektif keduanya diperlakukan sama penting. Kegiatan-kegiatan ini memungkinkan pihak pendatang untuk mulai belajar mengapa kelompok Minang dan para pemimpin adat memperlakukan mereka dengan cara berbeda. Demikian pula, kegiatan itu terfokus pada kebutuhan belajar kelompok Minang dan para pemimpin adat untuk memahami mengapa kaum pendatang merasa bahwa mereka ingin menyuarakan pendapat mereka. Dengan menyelenggarakan kegiatan belajar yang mendorong kedua kelompok yang berbeda itu untuk saling memahami perspektif pihak lainnya dan untuk menilai secara kritis pemikiran mereka sendiri, terciptalah sebuah ruang untuk pertukaran pandangan yang positif dan penelaahan pandangan lama secara bersama.
Kotak 19. Pokok-pokok pembelajaran yang diprioritaskan Pokok-pokok pembelajaran Jambi
Pokok-pokok pembelajaran Pasir
1. Bagaimana wilayah adat masyarakat dapat diakui oleh desa tetangga dan pemerintah?
1. Bagaimana wilayah adat masyarakat dapat diakui oleh desa tetangga, pemerintah, dan perusahaan pemilik HPH?
2. Bagaimana meningkatkan kapasitas pengorganisasian dan kelembagaan masyarakat dalam hal pengelolaan sumber daya alam? Bagaimana meningkatkan keterwakilan para pemangku kepentingan masyarakat, termasuk kelompok perempuan? Bagaimana meningkatkan kolaborasi antara para pemangku adat dan pemerintah desa?
2. Bagaimana meningkatkan kapasitas kelembagaan masyarakat?
3. Strategi apa yang bisa dikembangkan untuk meningkatkan penghidupan masyarakat?
3. Apa saja alternatif pemanfaatan hasil hutan yang bisa dikembangkan untuk meningkatkan penghidupan masyarakat? Apakah peningkatan akses ke pasar rotan merupakan pilihan yang mungkin? Apakah pemanfaatan lahan bekas perladangan merupakan alternatif untuk meningkatkan penghidupan?
MEMPRAKTEKKAN ACM • 75
sebuah contoh tentang bagaimana kami mengorganisasikan pembelajaran di Jambi agar para pemangku kepentingan dapat membingkai kembali perspektif yang ada. Kotak 19 menunjukkan pokok-pokok permasalahan yang kemudian diprioritaskan. Prinsip 2: Keterwakilan semua pemangku kepentingan dalam pembelajaran Sejalan dengan perkembangan kegiatan lapangan, kami semakin menyadari bahwa semua pihak yang bisa mempengaruhi atau dipengaruhi oleh tindakantindakan dalam sistem sosial dan alam yang bersangkutan harus terlibat dalam kegiatan belajar. Jika pembelajaran tidak melibatkan mereka semua, kecil kemungkinannya, persoalan-persoalan pengelolaan sistem tersebut bisa ditangani secara efektif karena pembelajaran tidak akan mencakup seluruh sistem. Namun karena para pemangku kepentingan jumlahnya cukup banyak, tidaklah mungkin bagi kami untuk melibatkan mereka semua secara langsung. Kami hanya bisa menyelenggarakan pembelajaran untuk wakil-wakil mereka saja. Walaupun begitu, kami perlu memastikan bahwa semua pemangku kepentingan akan merasa memiliki pembelajaran itu. Dengan kata lain, menyelenggarakan pembelajaran bagi para wakil berarti bahwa sebuah mekanisme diperlukan untuk memastikan semua hasil pembelajaran dapat sampai juga kepada semua anggota masing-masing kelompok.
Gambar 12. Dari banyak orang, sekelompok orang saja yang dipilih sebagai wakil untuk berpartisipasi
76 • BAB LIMA
Prinsip tentang keterwakilan mungkin merupakan hal terpenting untuk mengembangkan platform-platform pembelajaran. Jika kita mengabaikan prinsip ini bisa saja pembelajaran tidak akan menghasilkan perubahan yang bermakna dalam sistem karena adanya pihak-pihak yang aktif di dalamnya, tetapi tidak dilibatkan. Apa arti Prinsip 2 untuk kegiatan lapangan? Kami harus memastikan agar kegiatan lapangan menjangkau semua pemangku kepentingan, namun sementara tetap dapat dikelola dengan baik. Salah satu cara untuk melakukan hal ini adalah dengan menyelenggarakan kegiatan berdasarkan teori yang disebut “platform berjenjang” (nested platforms).13 Teori tersebut mengatakan bahwa platform yang lebih kecil terlingkupi oleh platform yang lebih luas dan keduanya saling mempengaruhi karena merupakan bagian dari satu sistem. Ketika memulai kegiatan lapangan, kami tidak menyadari adanya teori semacam itu, tetapi baru belakangan kami menyadari bahwa apa yang kami lakukan ternyata cukup sesuai dengan kerangka teoretis ini. Di kedua lokasi kajian, pengorganisasian pembelajaran dengan platform berjenjang dapat digambarkan seperti pada Gambar 13.
PASIR
JAMBI • Masyarakat Baru Pelepat • Masyarakat desa tetangga
• Perwakilan para pemangku kepentingan Baru Pelepat berikut: - Orang Rimba - Penduduk asli - Pendatang - Elit desa - Generasi muda - Lembaga adat - Pemerintah desa - Organisasi perempuan
• Masyarakat Rantau Layung • Masyarakat Rantau Buta • Masyarakat desa tetangga • Perusahaan HPH
• Perwakilan Rantau Layung • Perwakilan Rantau Buta • Perwakilan masyarakat desa tetangga • Perwakilan perusahaan HPH
• Perwakilan masyarakat desa tetangga
Pemerintah kabupaten
Pemerintah kabupaten
Gambar 13. Menyelenggarakan pembelajaran bersama bagi para pemangku kepentingan dalam platform berjenjang (nested platforms)
MEMPRAKTEKKAN ACM • 77
Gambar ini menunjukkan bahwa keputusan yang dibuat oleh pemerintah tingkat kabupaten atau pada lapisan luar (yang misalnya terjadi pada kebijakan yang mengatur pemanfaatan hasil hutan) mempengaruhi tindakan pada tingkat masyarakat (lapisan tengah di gambar). Di sisi lain, tindakan masyarakat mempengaruhi pengambilan keputusan di tingkat kabupaten. Sebagai contoh, pengambilan hasil hutan secara berlebihan oleh masyarakat dapat mendorong pengambil keputusan pemerintah kabupaten untuk menerapkan pengawasan yang lebih ketat. Jadi, interaksi antara kedua lapisan ini terjadi melalui umpan balik dua arah. Tim kami aktif di dua tingkat: • Lapisan paling dalam (pusat lingkaran): untuk menyelenggarakan kegiatan belajar bagi wakil-wakil para pemangku kepentingan, masyarakat, dan dalam kasus di Pasir para pemangku kepentingan masyarakat dan perusahaan HPH • Lintas kabupaten (lapisan luar) dan pemangku-pemangku kepentingan (pusat lingkaran): untuk menyelenggarakan kegiatan bagi wakil masyarakat lokal, pengusaha hasil hutan, dan pengambil keputusan tingkat kabupaten. Ada dua implikasi lain dari prinsip ini, yakni bagaimana memilih wakil-wakil para pemangku kepentingan dan bagaimana memastikan terbangunnya mekanisme agar pembelajaran menjangkau semua pemangku kepentingan. Lampiran 1 (Kegiatan 2, Langkah 2) memberi beberapa acuan bagaimana kedua hal tersebut dapat dipraktekkan. Prinsip 3: Belajar dari pengalaman Melalui suatu kajian pustaka, kami melihat bahwa untuk terjadinya pembelajaran yang efektif, pembelajaran itu harus tertata sedemikian rupa sehingga menciptakan peluang bagi para pemangku kepentingan untuk membentuk pengetahuan baru dari pengalamannya. Pembelajaran seperti itu sering disebut “pembelajaran berdasarkan pengalaman” (experiential learning)14. Pembelajaran semacam ini dibangun dari pandangan bahwa manusia itu sendiri adalah sumber informasi yang paling kaya untuk mengembangkan pengetahuan. Beberapa pakar teori dan praktisi pembelajaran menegaskan bahwa manusia, terutama orang dewasa, daripada ditunjukkan atau diberitahukan hal-hal apa yang harus dia pelajari, akan mengembangkan pengetahuan secara lebih efektif jika mereka sendirilah yang menentukan hal-hal apa yang harus dipelajarinya.15 Mengadakan kegiatan pembelajaran bagi para pemangku kepentingan dengan cara membangun pengalaman dapat memicu mereka untuk melalui suatu proses penemuan hal-hal baru (discovery) dan proses pengembangan pengetahuan.
78 • BAB LIMA
Apa arti prinsip 3 untuk kegiatan lapangan? Seperti disebut di Bab 1, kami mengadopsi penelitian aksi partisipatif (PAR) sebagai metodologi guna mendorong para pemangku kepentingan agar dapat meningkatkan kondisi lingkungan alam dan lingkungan sosial mereka. Metodologi PAR yang kami pakai, kami sesuaikan dengan proses berulangulang (iteratif) yang dilakukan secara bersama oleh para pemangku kepentingan dengan tahapan-tahapan pengamatan, perencanaan, aksi, pemantauan, dan refleksi, yakni ciri khas dari pendekatan ACM (lihat Bab 2, hlm. 20). Proses semacam ini memungkinkan dilakukannya perbaikan pengelolaan sesering dibutuhkan secara kolaboratif. Berdasarkan pengamatan, kami melihat bahwa metodologi ini sangat efektif untuk mewujudkan konsep pembelajaran berdasarkan pengalaman yang kami maksud di atas. Menurut kami ada dua alasan untuk hal ini: • Penelitian aksi partisipatif menawarkan sebuah kerangka yang dapat memandu tim kami dan para pemangku kepentingan untuk memberi struktur pada proses pembelajarannya sehingga menjadi lebih sistematis. Oleh karena dilakukan secara berulang-ulang, terbukti dapat menjadi dasar kuat untuk membangun pengalaman. • Kita telah melihat di atas bahwa belajar berdasarkan pengalaman secara teoretis sangat penting dalam mengembangkan pengetahuan. Walaupun begitu, kita harus tetap waspada karena tidak akan selalu dapat dikatakan bahwa dari sebuah pengalaman baru terbentuklah pengetahuan baru, ataupun terdoronglah kita untuk menanggalkan pandangan-pandangan lama. Kenapa demikian? Asumsi-asumsi kita sesungguhnya lebih tidak tergoyahkan daripada yang kita sadari sendiri. Sebagaimana terbukti dari kegiatan lapangan kami, PAR dapat membuat pembelajaran lebih reflektif sehingga menjadi dasar yang kuat untuk terbentuknya pengetahuan baru. Dengan kata lain, pengalaman yang dibangun melalui PAR menjadi dasar untuk pembelajaran dalam artian yang sesungguhnya. Dengan menggunakan PAR sebagai panduan, kami mendampingi para pemangku kepentingan dalam menangani pokok-pokok pembelajaran yang telah mereka prioritaskan. Sebelum melanjutkan pembahasan, ada baiknya kita melihat kembali proses-proses berulang-ulang di dalam PAR dan yang menjadi ciri khas ACM. Seperti dapat dilihat pada Gambar 14, proses-proses belajar untuk mengatasi pokok-pokok permasalahan terjadi sepanjang waktu, dari saat ini hingga masa depan. Proses ini melalui tahapan-tahapan pengamatan, perencanaan, aksi, dan refleksi yang berulang-ulang. Perhatikan bahwa dalam proses yang berlangsung di lapangan, pemantauan tidak berdiri sendiri sebagaimana berlaku sesuai dengan teori dan yang dibahas pada Bab 2.
pengamatan
refleksi
aksi
pe ren cana an
Saat ini
pe ren cana an
aksi
MEMPRAKTEKKAN ACM • 79
Masa yang akan datang
refleksi
Gambar 14. Berbagai proses pembelajaran yang digunakan dalam memecahkan pokok permasalahan lokal
Proses ini pada dasarnya merupakan kegiatan pembelajaran yang kami selenggarakan untuk para pemangku kepentingan dalam menangani pokokpokok permasalahan yang telah mereka identifikasi (lihat Kotak 19). Di dalam buku ini, hendak kami bagi proses pembelajaran para pemangku kepentingan dalam menangani tiga pokok permasalahan: penyelesaian masalah tata batas, peningkatan kapasitas pemerintahan desa, dan peningkatan penghidupan melalui pemanfaatan lahan bekas perladangan. Dua pokok pembelajaran pertama dijelaskan dalam Kotak 20 dan Kotak 21, sedangkan pokok pembelajaran ketiga dapat dilihat di Lampiran 1. Lihat juga Gambar 15 dan Gambar 16.
Kotak 20. Bersama-sama memetakan tata batas: Sebuah contoh pembelajaran berdasarkan pengalaman Pengamatan. Salah satu masalah utama yang dihadapi masyarakat Rantau Buta dan Rantau Layung di Pasir berkenaan dengan batas antara Hutan Lindung Gunung Lumut dan desa-desa mereka. Masyarakat menolak batas hutan karena beberapa alasan. Salah satu garis batas melintasi wilayah adat mereka. Garis lainnya ada yang terlalu dekat dengan batas desa, sementara ada juga yang cukup jauh dari batas desa. Hal tersebut menimbulkan kebingungan warga desa tentang garis batas mana yang benar. Tidak pernah masyarakat diajak berdiskusi atau dimintai pendapatnya sewaktu penentuan batas ini; bahkan tidak ada pemberitahuan kepada kepala desa. Tim kami menyarankan agar masyarakat menyampaikan persoalan ini kepada pemerintah kabupaten.
Lanjut di halaman berikut
80 • BAB LIMA
Karena tim kami berjanji untuk mendampingi masyarakat dalam pertemuan dengan pemerintah kabupaten, mereka merasa cukup percaya diri untuk bertemu dengan pemerintah. Selama ini mereka jarang saling berinteraksi. Kesempatan ini adalah kali pertama mereka akan berinteraksi dengan pemerintah, yakni untuk menyampaikan ketidaksetujuan mereka. Walaupun tidak dapat menduga bagaimana pemerintah akan menanggapinya, masyarakat sangat bersemangat untuk bertemu dengan para pembuat kebijakan. Dalam lokakarya yang kami selenggarakan, semua pihak, termasuk pemerintah, sangat berminat untuk berupaya menyelesaikan persoalan tata batas ini. Mereka menyetujui bahwa penandaan tata batas harus dilakukan secara partisipatif. Rencana 1. Pada saat lokakarya, peserta merencanakan untuk melakukan survei bersama. Mereka menyepakati bahwa cara terbaik untuk melakukan hal ini adalah, masyarakat melakukan survei dengan pendampingan dari tim kami. Setelah itu, data yang terkumpul akan dibandingkan dengan data yang ada di dinas kehutanan (Dishut) kabupaten. Aksi 1. Bersama tim kami, masyarakat menyelenggarakan survei dan mengumpulkan titik-titik koordinat garis batas hutan, mengambil foto patok-patok penanda batas dan rambu-rambu tata batas lainnya, serta informasi tentang tanah masyarakat yang terkena batas. Setelah titik-titik koordinat tersebut dimasukkan ke dalam peta wilayah, hasilnya disampaikan kepada Dishut untuk dibandingkan dengan datadata yang ada selama itu. Refleksi 1. Setelah membandingkan data tentang kedua garis batas tersebut dalam suatu pertemuan bersama, Dishut mengakui bahwa garis yang letaknya paling jauh dari desa adalah batas yang benar dan bukannya garis yang dekat dengan desa. Perbedaan antara kedua garis itu disebabkan oleh kesalahan petugas lapangan Dishut. Ketika melakukan survei pemeliharaan batas, ia tidak dapat menemukan garis yang benar dan kemudian menempatkan garis dengan memperkirakan letaknya, yakni di lokasi yang sebenarnya terlalu dekat dengan desa. Masyarakat merasa puas dengan penjelasan dari Dishut tersebut. Pada waktu itu juga mereka menyadari pentingnya batas desa yang jelas, antara lain untuk menghindari timbulnya konflik. Rencana 2. Terdorong semangatnya untuk memetakan batas desa mereka, masyarakat Rantau Buta dan Rantau Layung membuat rencana bersama untuk mengundang Desa-Desa Kesunge, Sungai Terik dan Uko agar bergabung dalam
Lanjut di halaman berikut
MEMPRAKTEKKAN ACM • 81
kegiatan pemetaan tersebut. Mereka membayangkan bahwa pertemuan ini akan memberi kesempatan untuk membicarakan perbatasan wilayah desa berdasarkan aturan adat. Pertemuan ini akan ditindaklanjuti dengan survei lapangan guna mengumpulkan data untuk pemetaan. Mereka kemudian berpikir bahwa mereka belum cukup terampil dalam hal pemetaan dan perlu dilatih terlebih dahulu. Oleh karena itu, mereka merencanakan untuk mendapatkan pelatihan tentang pemetaan. Aksi 2. Masyarakat Rantau Buta dan Rantau Layung menghadiri pertemuan yang direncanakan, namun wakil-wakil desa-desa lainnya tidak datang. Meskipun begitu, masyarakat kedua desa tersebut berpandangan bahwa mereka dapat memulai kegiatan tersebut tanpa kehadiran wakil desa-desa lainnya. Mereka berharap, desa-desa lain itu akan tertarik kemudian kalau melihat bahwa mereka dapat memperoleh manfaat dari kegiatan ini, yakni keterampilan pemetaan batas desa yang jelas. Pelatihan yang telah direncanakan kemudian dilakukan. Pelatihan ini termasuk bagaimana cara menggunakan peranti sistem penentuan posisi global (global positioning system (GPS)), pengolahan data, dan bagaimana menuangkan data ke dalam peta dasar. Refleksi 2. Ketika direfleksikan, tidak ada masalah berarti yang muncul. Masyarakat percaya bahwa hal ini dikarenakan masyarakat kedua desa berasal dari sistem adat yang sama sehingga memiliki nilai-nilai yang sama. Hal ini memudahkan komunikasi. Rencana 3. Masyarakat kedua desa membuat rencana untuk menyelenggarakan survei bersama. Aksi 3. Didampingi tim kami, masyarakat kedua desa melaksanakan survei lapangan. Kelompok pelaksana survei terdiri atas para tokoh adat dan beberapa orang wakil dari kedua desa. Selama survei lapangan, mereka menemukan bahwa terdapat banyak tempat yang ternyata belum mereka ketahui sebelumnya. Peta dasar yang mereka bawa membantu mereka agar tidak tersesat. Selama survei ini tidak muncul masalah yang berarti sehingga dengan mudah mereka menyepakati titik-titik batas desanya. Refleksi 3. Selama refleksi, wakil-wakil dari kedua desa saling memastikan bahwa mereka telah menyetujui batas yang telah disurvei. Masyarakat kedua desa tersebut menyadari bahwa batas desa yang jelas akan merupakan hal yang sangat penting di masa yang akan datang. Lanjut di halaman berikut
82 • BAB LIMA
Pengamatan. Beberapa waktu sebelumnya, masyarakat kedua desa mendengar bahwa ada dua perusahaan HPH yang telah masuk ke wilayah desa mereka. Kedua perusahaan tersebut beroperasi di dua desa yang berbeda: PT Majau beroperasi di Rantau Buta, sementara PT WMS di Kesunge. Tidak jelasnya batas antara kedua desa, telah menyebabkan konflik antara kedua perusahaan tersebut. Rencana 4. Rantau Buta dan Rantau Layung membuat rencana untuk menindaklanjuti pemetaan batas desa. Menurut rencana itu, Kepala Desa Rantau Buta akan mengunjungi desa-desa tetangganya dan mengajak mereka untuk bersama-sama membuat peta perbatasan antara desa di wilayah tersebut. Tetapi, karena persoalan konflik antara kedua perusahaan HPH tersebut dirasakan jauh lebih mendesak, mereka memutuskan untuk menunda kegiatan bersama itu. Rencana 3.1. Sebagai tindak lanjut dari pengamatan yang disebutkan di Refleksi 3, Kepala Desa Rantau Buta berencana untuk bertemu dengan para kepala desa desa-desa tetangga, khususnya Kesunge, untuk memberitahukan mereka tentang konflik yang terjadi antara kedua perusahaan HPH. Untuk penyelesaian masalah ini, penting bahwa semua desa di wilayah ini diberitahukan hal tersebut. Aksi 3.1. Kepala Desa Rantau Buta bertemu dengan para kepala desa lainnya termasuk dari Kesunge. Wilayah yang dipersengketakan kedua perusahaan HPH terletak di kedua desa ini. Para kepala desa menindaklanjuti pertemuan ini dengan melakukan pendekatan kepada Dishut dan kedua perusahaan tersebut. Refleksi 3.1. Semua pihak menyetujui bahwa kunjungan bersama untuk melihat letak garis batas antara kedua desa dan mengklarifikasi hal-hal yang tidak disepakati merupakan hal yang mendesak. Rencana 3.2. Setelah refleksi, masyarakat kedua desa, kedua perusahaan HPH, dan Dishut berencana untuk bersama-sama melakukan survei lapangan. Biaya survei tersebut akan ditanggung oleh kedua perusahaan. Aksi 3.2. Survei dilakukan bersama sesuai dengan rencana. Refleksi 3.2. Survei lapangan mengungkapkan bahwa kedua perusahaan beroperasi di wilayah kedua desa, dan bukannya masing-masing perusahaan di salah satu dari kedua desa seperti yang mereka sangka sebelumnya. Pemetaan bersama telah menjelaskan hal ini. Setelah dirundingkan, semua pihak setuju bahwa kedua perusahaan itu akan memberi dana kompensasi kepada kedua desa.
MEMPRAKTEKKAN ACM • 83
Kotak 21. Meningkatkan pemerintahan desa: Contoh lain pembelajaran berdasarkan pengalaman16 Untuk meningkatkan pemerintahan desa, para pemangku kepentingan di Baru Pelepat, Jambi, perlu mengembangkan kesadaran dan pemahaman tentang keterwakilan dalam pengambilan keputusan di desa mereka. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, para pemangku kepentingan masyarakat menempuh suatu proses pembelajaran dalam memilih wakil-wakil mereka yang akan menjadi anggota Badan Perwakilan Desa (BPD). Sifat politis dari proses tersebut, menuntut kami sebagai fasilitator untuk mendampingi para pemangku kepentingan dalam memaknai permainan politik yang terjadi dan mengembangkan pemahaman tentang perubahan-perubahan kondisi politik. Berikut ini kami paparkan siklus pembelajaran yang terjadi dengan cara yang berbeda dari contoh sebelumnya. Pemaparan berikut memberi gambaran mengenai tiga “forum sosial” yang berperan dalam menciptakan pembelajaran antara para pemangku kepentingan. Forum-forum sosial ini masing-masing menjadi sebuah mekanisme untuk memantau proses-proses pembelajaran di antara mereka. Ketiga mekanisme ini adalah: pembentukan panitia pemilihan, pertemuan para pemangku kepentingan masyarakat, dan penyebarluasan informasi kepada seluruh masyarakat. Dalam siklus penelitian aksi partisipatif pada Gambar 16 kita bisa melihat siklus belajar yang mengikuti tahapan-tahapan pengamatan, perencanaan, aksi, dan refleksi. Panitia pemilihan. Masyarakat memberi mandat kepada panitia pemilihan untuk bertindak atas nama masyarakat. Para anggota panitia berasal dari kelima dusun di Baru Pelepat dan keterwakilan ini menciptakan kondisi yang kondusif untuk keterlibatan seluruh anggota masyarakat. Dengan pendampingan dari tim kami, panitia pemilihan melakukan beberapa tugas: mengembangkan prosedur pemilihan, mendata para pemilih yang memiliki hak suara, mencari dana pemilihan, serta mempersiapkan, melaksanakan, dan memantau pemilihannya. Dalam istilah penelitian aksi partisipatif, kegiatan yang dilaksanakan panitia pemilihan bisa dianggap sebagai kegiatan “pengamatan” dan “aksi” dalam siklus pengamatan—perencanaan—aksi—refleksi. Pertemuan-pertemuan para pemangku kepentingan. Mekanisme kedua berupa pertemuan berkala antara para pemangku kepentingan yang diselenggarakan oleh panitia pemilihan. Para peserta dalam pertemuan-pertemuan ini merefleksikan aksi yang telah dilakukan, melaporkan perkembangan, mendiskusikan masalahmasalah yang muncul, meneruskan informasi yang berguna kepada atau dari masyarakat desa, dan membuat rencana bersama untuk menindaklanjuti aksi. Lanjut di halaman berikut
84 • BAB LIMA
Peran tim kami mendampingi panitia dalam memfasilitasi komunikasi antara para pemangku kepentingan dalam pertemuan. Kegiatan ini bisa dianggap sebagai tahap “refleksi” dan “perencanaan” dalam siklus penelitian aksi partisipatif. Penyebarluasan informasi kepada masyarakat luas. Mekanisme ketiga adalah mekanisme komunikasi yang berkembang dengan sendirinya di antara warga desa, di luar fasilitasi kami. Dalam mekanisme ini, para anggota panitia pemilihan berperan sebagai informan kunci bagi warga desa lain yang mencari informasi. Oleh karena anggota panitia dipilih dari masing-masing dusun, arus informasi dapat menjangkau seluruh masyarakat desa. Sering, rumah tinggal para anggota panitia menjadi tempat pertemuan: di situ orang-orang secara spontan berkumpul untuk saling bertukar informasi tentang pemilihan. Warga desa secara spontan menyebarluaskan informasi yang berkenaan dengan pemilihan yang akan diselenggarakan. Proses-proses informal ternyata sangat penting dalam proses pembelajaran dan bukan hanya proses-proses pada pertemuan-pertemuan resmi yang sengaja diselenggarakan. Suatu hal yang tidak kami duga sebelumnya adalah munculnya pemantauan masyarakat terhadap proses politik secara alami seiring dengan persiapan pemilihan. Orang-orang mulai secara aktif “mencari informasi” melalui interaksi mereka satu sama lainnya, menilai situasi yang berkembang berdasarkan “informasi yang dikumpulkan”, mengorganisasi diri, dan berstrategi dalam rangka pemilihan anggota BPD.
MEMPRAKTEKKAN ACM • 85
Pencarian fakta bersama seperti yang digambarkan disini membantu dalam memeriksa ketepatan pemahaman dan asumsi-asumsi yang ada. Gambar ini memperlihatkan sebuah kunjungan bersama oleh para petani di Pasir dan seorang petugas dinas kehutanan pada saat memeriksa lahan bekas perladangan yang ingin dimanfaatkan oleh masyarakat untuk meningkatkan pendapatan mereka.
Para pemangku kepentingan masyarakat Baru Pelepat melewati proses pembelajaran dalam memilih para wakil mereka. Terlihat seorang perempuan akan memasukkan kertas suaranya dalam kotak pemungutan suara.
Refleksi
Rencana
Rencana 1: Merencanakan survei yang akan dilaksanakan oleh masyarakat didampingi tim ACM; data yang terkumpul akan dibandingkan dengan data di Dishut
Tindakan/Aksi
Refleksi 1: • Batas yang letaknya terjauh dari desa adalah yang benar • Masyarakat dari kedua desa menyadari pentingnya batas yang jelas untuk menghindari konflik di masa yang akan datang
Rencana 2: Mengundang para wakil Desa Kesunge, Sungai Terik dan Uko untuk mendorong mereka memetakan perbatasan desa-desa mereka
Rencana 3: Menyelenggarakan survei bersama
Aksi 3: Melaksanakan survei sebagaimana telah direncanakan
Refleksi 2: • Tidak ada masalah yang berarti selama pelatihan dan pertemuan • Kesamaan nilai-nilai adat antara kedua desa sangat membantu terjadinya komunikasi yang efektif
Aksi 2: • Menyelenggarakan pertemuan antara Rantau Buta dan Rantau Layung, meskipun perwakilan dari Kesunge, Sungai Terik dan Uko tidak ikut • Menyelenggarakan pelatihan pemetaan yang dibantu oleh tim ACM
Rencana 3.1: Masyarakat Rantau Buta dan Kesunge mendekati Dishut dan perusahaan HPH
Refleksi 3.1: Klarifikasi tentang perbatasan kedua desa dimana kedua perusahaan HPH beroperasi
Refleksi 3: Rencana 4: • Tidak ada • Tindak lanjut pemetaan masalah berarti batas-batas desa yang muncul • Kunjungan Kepala Desa selama survei Rantau Buta ke • Saling konfirmasi desa-desa tetangga tentang garis-garis untuk mendorong mereka batas bersama turut serta dalam kegiatan pemetaan • Kesimpulan bersama di Rantau Buta bersama bahwa dan Rantau Layung perbatasan yang jelas dan disepakati Aksi 3.1: bersama mutlak Diskusi dengan Dishut dan diperlukan perusahaan HPH tentang cara • Pengamatan: dua untuk mengatasi masalah perusahaan HPH yang beroperasi di wilayah yang bersangkutan bersengketa karena batas yang tidak jelas antara Rantau Buta dan Kesunge
Aksi 4: Memutuskan untuk menunda pemetaan perbatasan desa karena persoalan sengketa antara dua perusahaan HPH lebih mendesak
Rencana 3.2: • Menyelenggarakan survei bersama warga dua desa, dua HPH, dan Dishut • Menyusun rencana untuk memperoleh dukungan dana dari kedua HPH tersebut
Aksi 3.2: Melaksanakan survei bersama
Gambar 15. Siklus pembelajaran yang ditempuh para pemangku kepentingan dalam upaya penyelesaian masalah tata batas
Observasi: • Perbatasan antara Hutan Lindung Gunung Lumut dan wilayah Rantau Buta dan Rantau Layung tidak jelas. Garis batas melewati wilayah adat, terlalu dekat atau terlalu jauh dari batas desa • Garis batas yang tidak jelas menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian di antara warga desa • Pokok-pokok permasalahan ini harus disampaikan kepada pemerintah kabupaten
Aksi 1: Mengadakan survei: • Mengumpulkan titik-titik koordinat garis batas • Mengambil foto patok-patok tanda batas • Mengumpulkan informasi tentang tanah yang dilalui oleh garis batas
Refleksi 3.2: • Kedua perusahaan HPH beroperasi di kedua desa, bukan masing-masing di satu desa seperti yang selama ini diyakini • Survei bersama bermanfaat bagi semua pihak untuk menjelaskan hal ini • Kedua perusahaan HPH akan memberi dana kompensasi kepada kedua desa untuk pembalakan kayu di wilayah masing-masing
86 • BAB LIMA
Pengamatan: • Pengambilan keputusan masyarakat tidak melibatkan semua pemangku kepentingan masyarakat • Dalam berhubungan dengan pemangku kepentingan luar tentang sumber daya alam, pandangan beragam pemangku kepentingan masyarakat sering kurang terwakili
Rencana 1: • Mengadakan pertemuan pemangku kepentingan masyarakat untuk bertukar pandangan tentang pengambilan keputusan dan kepemimpinan • Mencari cara untuk meningkatkan mekanisme pengambilan keputusan oleh masyarakat
Refleksi 1: • Persepsi yang ada dalam masyarakat tentang kepemimpinan dan pengambilan keputusan sangat beragam • Mayoritas berpikiran bahwa cara lama dalam kepemimpinan dan pengambilan keputusan harus digantikan dengan cara yang lebih demokratis • Keterwakilan semua pemangku kepentingan dalam pengambilan keputusan adalah suatu keharusan • Salah satu cara untuk meningkatkan keterwakilan desa adalah melalui BPD yang telah diatur dalam peraturan daerah tentang kepemerintahan desa • Tim ACM bersedia membantu para pemangku kepentingan masyarakat dalam membentuk BPD dan pemilihan wakil-wakil masyarakat • Masyarakat perlu menghubungi pemerintah kabupaten untuk mendapatkan dukungan resmi dalam membentuk BPD
Aksi 1: • Menyelenggarakan pertemuan para pemangku kepentingan sebagaimana direncanakan, didampingi tim ACM • Mengidentifikasi cara-cara untuk meningkatkan partisipasi para pemangku kepentingan dalam pengambilan keputusan
Refleksi 2: • Pemerintah kabupaten bisa menyediakan dukungan administratif dan keuangan, tetapi tidak siap untuk memberi dukungan teknis. Pemerintah belum mempunyai pengalaman karena BPD adalah kebijakan baru. Disarankan agar tim ACM memfasilitasi masyarakat • Proposal anggaran harus dibuat oleh masyarakat dan diajukan kepada pemerintah • Ada 4 langkah utama pembentukan BPD: 1) membentuk panitia pemilihan, 2) mendaftar para pemilih, 3) nominasi dan menyaring para calon untuk anggota BPD, 4) menyelenggarakan pemilihan Rencana 3: • Memulai persiapan untuk pemilihan anggota BPD • Menyelenggarakan pertemuan desa untuk membicarakan prosedur pembentukan panitia pemilihan
Refleksi
Rencana
Tindakan/Aksi
Rencana 4: • Membuat proposal pendanaan untuk diajukan kepada pemerintah kabupaten • Melatih anggota panitia dalam administrasi keuangan, menyusun anggaran, mendata pemilih, monitoring, proses pemilihan, dan penyebarluasan informasi
lanjut di halaman berikut
Aksi 4: • Menyelenggarakan pelatihan untuk anggota panitia yang difasilitasi tim ACM • Membuat anggaran pemilihan dan menyusun proposal pendanaan untuk diajukan ke pemerintah kabupaten • Menyebarkan informasi pemilihan ke warga desa
Refleksi 3: • Anggota panitia harus memiliki keterampilan dan pengetahuan tertentu untuk dapat melakukan tugas mereka. Sebagian besar dari mereka merasa kurang mampu dalam hal ini dan karena itu menginginkan pelatihan • Sudah ada gambaran yang lebih jelas tentang jumlah dana yang dibutuhkan untuk pemilihan, sehingga proposal pendanaan untuk diajukan kepada pemerintah sudah dapat disusun
Aksi 3: • Membuat rencana umum pemilihan anggota BPD • Mengadakan pertemuan para pemangku kepentingan dan menyepakati prosedur pembentukan panitia pemilihan • Menindaklanjuti pertemuan dengan pertemuan tingkat dusun untuk memilih anggota panitia dari setiap dusun
Gambar 16. Siklus pembelajaran untuk meningkatkan pemerintahan desa
Rencana 2: Mendekati pemerintah kabupaten untuk mengumpulkan informasi tentang kebijakan BPD, prasyarat administratifnya, dan dukungan apa yang dapat diberikan pemerintah dalam membentuk BPD
Aksi 2: • Bertemu para petugas pemerintah kabupaten yang berkepentingan dengan kepemerintahan desa, didampingi oleh tim ACM • Menyelenggarakan pertemuan para pemangku kepentingan difasilitasi oleh tim ACM untuk mengembangkan pemahaman yang lebih jauh dan bertukar gagasan dan informasi tentang BPD serta kebijakan daerah tentang BPD
MEMPRAKTEKKAN ACM • 87
Refleksi 4: • Panitia pemilihan mengalami bahwa mereka kurang mendapat dukungan para pimpinan desa dan harus melaksanakan persiapan pemilihan semua sendiri • Bantuan dari luar sangat dibutuhkan (dan tersedia karena hadirnya tim ACM) • Prasyarat-prasyarat birokratis dari pemerintah menuntut banyak waktu dan tenaga dan terkendala karena jarak antara desa dan kantor pemerintah kabupaten cukup jauh
Refleksi Rencana
Refleksi 5: • Para tokoh desa lebih bersedia untuk bekerjasama dan lebih menghargai pekerjaan panitia • Pendaftaran ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan, terutama karena data kependudukan desa tidak mutakhir dan tidak lengkap. Hal ini tidak diantisipasi sebelumnya
Tindakan/Aksi
Rencana 6: • Kembangkan syarat-syarat calon dan adakan penyaringan calon anggota BPD • Selesaikan pendaftaran, yang ternyata membutuhkan waktu tambahan
Rencana 7: • Tingkatkan pemantauan persiapan pemilihan dan gerak-gerik politik • Tingkatkan penyebaran informasi tentang proses-proses pemilihan yang sedang berlangsung • Selenggarakan dan pantau pemilihan
Rencana 8: Selenggarakan perhitungan suara dan umumkan hasilnya sesuai dengan rencana
Refleksi 8: Tidak ada masalah yang berarti
Aksi 8: Menghitung surat suara dan mengumumkan hasil pemilihan sesuai dengan rencana
Refleksi 7: • Penyebaran informasi merupakan kunci dalam keikutsertaan warga masyarakat dalam pemantauan pemilihan dan dalam memastikan bahwa prosesnya transparan • Waktu pemungutan suara (yakni sampai tengah hari) ternyata waktu terlalu mendesak bagi mereka yang bekerja di ladang
Aksi 7: • Pemantauan proses selama persiapan pemilihan • Mengadakan kegiatan-kegiatan penyebaran informasi • Menyelenggarakan dan memantau pemilihan
Refleksi 6: • Karena semua pemangku kepentingan bersama-sama mengembangkan kriteria calon, semua merasa bertanggung jawab untuk memantau proses penyaringan • Data kependudukan yang tidak tertata mempersulit persiapan pemilihan • Gerak-gerik politik beberapa anggota masyarakat perlu dipantau
Aksi 6: • Mengadakan pertemuan para pemangku kepentingan untuk menentukan syarat-syarat calon anggota BPD untuk penyaringan • Menyelesaikan pendaftaran para calon
Lanjutan Gambar 16. Siklus pembelajaran untuk meningkatkan pemerintahan desa
Rencana 5: • Daftarkan para pemilih yang memenuhi syarat • Tuntut komitmen para pimpinan desa untuk mendukung proses pemilihan
Aksi 4: Aksi 5: • Menyelenggarakan pelatihan untuk anggota • Menyelenggarakan pertemuan antara panitia yang difasilitasi tim ACM anggota panitia pemilihan dan pimpinan • Membuat anggaran pemilihan dan menyusun desa untuk meningkatkan komunikasi dan proposal pendanaan untuk diajukan ke merangsang kerja sama pemerintah • Menyelenggarakan pendaftaran pemilih • Menyebarkan informasi pemilihan ke yang memenuhi syarat di semua dusun masyarakat
88 • BAB LIMA
MEMPRAKTEKKAN ACM • 89
Prinsip 4: Pembelajaran melalui komunikasi Sewaktu berkegiatan bersama para pemangku kepentingan di kedua lokasi, sangat jelas bahwa ada prinsip lain yang diperlukan untuk terjadinya pembelajaran bersama yang efektif, yaitu kegiatan pembelajaran harus komunikatif. Kegiatan yang komunikatif adalah kegiatan yang membantu para pemangku kepentingan untuk menyatakan pandangan mereka kepada pihak lain secara lisan, non-verbal, ataupun dengan cara simbolis. Kegiatan semacam ini dapat berupa dialog atau pertemuan yang memungkinkan para pemangku kepentingan berkomunikasi melalui gambar, perumpamaan (metafora), atau permainan peran. Kegiatan sejenis ini memungkinkan dikomunikasikannya di antara para pemangku kepentingan pandangan masing-masing. Kegiatan itu membantu mereka mengembangkan pemahaman dan makna bersama yang lebih dalam tentang permasalahan yang dihadapi. Kegiatan-kegiatan semacam ini juga membantu pihak-pihak yang berbeda mencari cara-cara baru untuk mengartikulasikan pandangannya masing-masing. Interaksi dan komunikasi dengan pihak lain menjadi sumber penemuan hal-hal baru (discovery), pemahaman baru, dan “pencerahan” atau situasi “o, begitu!”. Kegiatan pembelajaran melalui
Permainan peran seperti yang nampak di sini dapat mendorong para pemangku kepentingan untuk menyatakan pandangan-pandangannya.
90 • BAB LIMA
komunikasi tidak hanya merangsang timbulnya semangat saling berbagi pemikiran, gagasan, dan informasi, tetapi juga mendorong terbentuknya sudut pandang baru dalam melihat sesuatu. Aspek kunci dari prinsip ini adalah bahwa komunikasi terjadi secara adil dan berimbang. Dengan kata lain, setiap pemangku kepentingan berhak untuk memahami apa yang dikatakan pihak lain dan untuk dipahami oleh orang lain. Jika kondisi pembelajaran merangsang proses komunikasi yang setara, pertukaran pengetahuan dan informasi yang berimbang antara para pemangku kepentingan dapat terjadi. Apa arti prinsip 4 untuk kegiatan lapangan? Selama kegiatan lapangan berjalan, tim kami bukan saja semakin menyadari pentingnya prinsip ini, tetapi juga semakin memahami dan terampil dalam menerapkan prinsip ini dalam kegiatan lapangan. Pada awalnya kami berpikir bahwa meminta para pemangku kepentingan mengidentifikasi dan memprioritaskan masalah sudah cukup bagi mereka untuk mengatasi bersama masalahnya. Pada saat itu kami mengira bahwa sekali orang tahu apa yang harus dibicarakan—yakni, masalah yang ada—komunikasi akan terjadi dengan sendirinya. Namun kami melihat bahwa hal ini tidak selalu berlaku demikian. Kondisi yang mendorong terjadinya komunikasi yang berimbang nyaris tidak akan muncul dengan sendirinya: kondisi semacam itu harus secara sengaja diciptakan. Gambar 17 menggambarkan proses komunikasi yang kelihatannya sederhana: pengirim pesan mengirim pesannya kepada penerima pesan. Setelah pesan itu diterima—dalam bentuk aslinya yang belum “terdistorsi”—penerima pesan memberi tanggapannya kepada pengirim pesan tadi. Pada saat umpan balik dikirim kepada pengirim pesan yang pertama, kita dapat mengatakan bahwa “komunikasi dua arah” sudah terjadi. Bukankah hal ini sederhana? Namun, kami melihat di lapangan bahwa pada kenyataannya komunikasi tidak sesederhana itu. Kami menemukan berbagai faktor yang mengganggu komunikasi antara para pemangku kepentingan. Faktor-faktor yang paling menonjol adalah: • Prasangka (stereotyping); dalam hal ini pemangku kepentingan tertentu dalam berkomunikasi mengaitkan pemangku kepentingan lainnya dengan pradugapraduga berdasarkan persepsi mereka sendiri (Kotak 22).
MEMPRAKTEKKAN ACM • 91
komunikator
saluran
(pengirim pesan)
komunikasi
komunikan (penerima pesan)
pesan umpan balik Gambar 17. Proses komunikasi yang terlihat sederhana
• Adanya agenda tertentu yang dimiliki pemangku kepentingan; mereka hanya memilih pesan-pesan yang sesuai dengan kepentingan mereka sendiri. Sebagai contoh, pada awalnya petugas kehutanan Pasir cenderung ragu untuk menerima saran masyarakat agar meninjau kembali tata batas antara desa masyarakat dengan Hutan Lindung Gunung Lumut. Para petugas tersebut terfokus pada agenda dinas mereka, yakni menjaga tata batas hutan lindung tersebut. • Status sosial; dalam situasi ini para pemangku kepentingan dalam berkomunikasi cenderung lebih bereaksi terhadap status sosial pihak lain daripada terhadap pesan yang disampaikan. Komunikasi cenderung lebih terpengaruh oleh faktor ini ketika perbedaan status sosial cukup timpang antara pengirim dan penerima pesan, misalnya, antara tokoh adat dan kaum perempuan di Jambi. Faktor-faktor yang mengganggu komunikasi bisa kita sebut “kebisingan” (noise); hal tersebut mengganggu kita dalam menerima pesan. Hasilnya bisa berupa “distorsi” pesan aslinya yang pada awalnya disampaikan oleh komunikator sehingga pesan yang diterima penerima pesan tersebut tidak sesuai dengan aslinya.
Kotak 22. Contoh-contoh prasangka (stereotyping) Pasir: • Pemerintah selalu lebih berpihak kepada perusahaan daripada mendukung masyarakat • Masyarakat tidak melihat pentingnya upaya melindungi sumber daya hutan dan karena itu perlu dididik Jambi: • Kaum pendatang hanya mementingkan kemajuan kelompoknya sendiri • Penduduk asli Minangkabau tidak mau bekerja sama
92 • BAB LIMA
Kami kemudian menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang menggunakan komunikasi sebagai sarana utama untuk berbagi pengetahuan dan pandangan. Pada saat yang bersamaan, kami mencoba untuk mengatasi gangguan-gangguan komunikasi yang kami sebutkan di atas dengan cara: • Menciptakan suasana saling percaya dan saling menghargai di antara para pemangku kepentingan • Mempersiapkan para pemangku kepentingan yang lemah dalam mengartikulasikan pandangannya agar mampu mengkomunikasikan pendapat mereka dan memberikan tanggapan secara efektif • Mempersiapkan para pemangku kepentingan yang dominan untuk bisa lebih mendengarkan dan menyimak pesan yang diterimanya sebelum membentuk pendapat • Mengambil peran sebagai juru bicara para pemangku kepentingan tertentu untuk menyampaikan pesan mereka. Lampiran 2 memberikan beberapa contoh alat bantu yang dapat digunakan dalam mempraktekkan hal-hal ini.
Memfasilitasi pembelajaran Di atas kita telah mendiskusikan prinsip-prinsip pokok yang mendasari penyelenggaraan pembelajaran untuk para pemangku kepentingan. Pada bagian ini, akan kami jelaskan bagaimana kami, sebagai fasilitator, mendorong terjadinya pembelajaran bersama (pembelajaran sosial) di antara para pemangku kepentingan.
MEMPRAKTEKKAN ACM • 93
Dari pengalaman kami, cara kami memfasilitasi proses belajar sebagai individu, jauh lebih penting daripada alat ataupun metode fasilitasi yang kami gunakan. Pendekatan dan sikap kami sebagai individu nampaknya sangat mempengaruhi secara langsung proses interaksi sosial antara para pemangku kepentingan yang kami fasilitasi, yang pada gilirannya menentukan terjadi atau tidaknya pembelajaran. Ini berarti bahwa ketika memfasilitasi kami harus mencermati dengan hatihati bagaimana fasilitasi yang kami lakukan mempengaruhi proses pembelajaran dan mengapa hal ini terjadi. Untuk dapat mencermati hal ini, kami terpandu oleh lima pertanyaan sederhana: Siapa yang perlu difasilitasi? Apa saja kebutuhan pembelajaran mereka? Bagaimana cara memfasilitasi mereka? Kapan? Mengapa pembelajaran cenderung terjadi atau apa motivasi para pemangku kepentingan untuk belajar? Siapa? Mengetahui siapa yang difasilitasi merupakan pokok yang sangat mendasar dalam kegiatan fasilitasi. Sejauh mana kami secara sadar memusatkan fasilitasi kami pada siapa yang terlibat dalam pembelajaran, sangat menentukan terjadi atau tidaknya pembelajaran antara para pemangku kepentingan. Pada tahap awal kegiatan lapangan, kami sudah mengidentifikasi dan menganalisis para pemangku kepentingan sehingga mengetahui siapa yang akan kami fasilitasi. Tetapi, hal ini baru merupakan informasi awal tentang keanekaragaman para pemangku kepentingan yang pembelajarannya akan difasilitasi. Dengan berjalannya kegiatan, informasi dasar ini perlu kami tinjau kembali, lengkapi, dan perdalami. Kelompok-kelompok pemangku kepentingan yang ada ternyata bisa berubah dan tidak bersifat tetap seperti kami perkirakan sebelumnya. Individu-individu di dalam suatu kelompok beraliansi dengan individu di kelompok lainnya, ataupun membentuk kelompok pemangku kepentingan baru di kemudian hari. Kami menyadari bahwa keanekaragaman atau diversitas pemangku kepentingan berubah dari waktu ke waktu dan, karenanya, kami harus waspada dan peka terhadap setiap perubahan yang terjadi pada keadaan pemangku-pemangku kepentingan di lokasi kami. Kotak 9 dan Kotak 10 pada hlm. 46 dan hlm. 48 memperlihatkan diversitas pemangku kepentingan yang kami temukan pada tahap awal proses dan yang sewaktuwaktu harus kami tinjau kembali. Kami juga melihat bahwa sebagai fasilitator pembelajaran bersama kami harus mewaspadai apa dan mengapa keanekaragaman pemangku kepentingan terus berubah. Secara bertahap kami menyadari bahwa perubahan-perubahan tersebut dilatarbelakangi perubahan-perubahan kepentingan, dan dengan ini, permainan kekuatan antara para pemangku kepentingan. Karenanya, pertanyaan ”siapa“ tadi sebenarnya sama halnya dengan pertanyaan “siapa yang cukup berkuasa untuk dapat turut menentukan keputusan-keputusan yang diambil para pemangku
94 • BAB LIMA
kepentingan”, ataupun pertanyaan “siapa yang tidak cukup berkuasa sehingga tidak/ kurang bersuara dalam pengambilan keputusan.” Menyadari ada atau tidaknya ketimpangan antara para pemangku kepentingan, sangat krusial bagi kami selaku fasilitator pembelajaran bersama karena ketimpangan kekuasaan antara pemangku kepentingan dapat mempengaruhi proses pembelajarannya. Hal di atas berarti bahwa mengetahui siapa yang berpartisipasi dalam kegiatan pembelajaran tidaklah cukup. Kami juga perlu memahami alasan-alasan di belakang setiap keputusan para pemangku kepentingan dalam menggunakan sumber daya alam dan apa yang mendasari hubungan antara para pemangku kepentingan ini. Untuk memperoleh informasi ini, yang merupakan latar belakang penting untuk pekerjaan fasilitasi kami, kami menggunakan suatu kerangka analisis yang berpusat pada tanggung jawab, hak, hasil dari hutan yang diperoleh para pemangku kepentingan, dan hubungan antara mereka.17 Lampiran 2 menampilkan informasi tentang hal ini untuk kasus di Baru Pelepat.
Mengetahui siapa yang perlu difasilitasi merupakan inti fasilitasi kami.
Mengetahui siapa yang terlibat dalam pembelajaran sosial juga penting bagi tim kami sebagai dasar untuk menyelenggarakan kegiatan pembelajaran. Dalam pembelajaran semacam ini, pemangku kepentingan yang satu mempengaruhi pembelajaran pihak lainnya. Karenanya, harus diperhatikan kapan suatu kumpulan pemangku kepentingan dapat belajar bersama atau kapan lebih baik bagi mereka masing-masing untuk belajar secara terpisah. Apa? Setelah menentukan siapa yang harus dilibatkan dalam proses pembelajaran, dengan sendirinya kami perlu menjawab pertanyaan pembelajaran apa yang akan dibutuhkan oleh para pemangku kepentingan ini? Berdasarkan penilaian kami sebelumnya tentang “kemampuan beradaptasi” dan “kemampuan berkolaborasi”, kami memiliki pemahaman awal tentang mengapa tidaklah mudah bagi para pemangku kepentingan pada awal penelitian kami untuk merubah cara berpikir
MEMPRAKTEKKAN ACM • 95
dan bertindak mereka yang lama, ataupun untuk berkolaborasi dengan pihak lain. Pemahaman awal ini memberi panduan untuk mengetahui apa yang menjadi kebutuhan belajar mereka. Tetapi kami membutuhkan dasar yang lebih konkret sebagai pijakan kegiatan fasilitasi kami. Karena itu, kami melakukan suatu studi pustaka tentang pembelajaran sosial dan mencoba mencocokkan apa yang kami temukan dalam studi pustaka itu dengan apa yang kami amati di lapangan. Sementara kami melakukan studi pustaka dan mempertemukan para pemangku kepentingan dalam menjalankan proses penelitian aksi partisipatif, kami menemukan sebuah definisi pembelajaran sosial yang sangat membantu dalam mengoperasionalkan konsep pembelajaran sosial dalam fasilitasi kami. Menurut definisi ini, pembelajaran sosial dapat dipahami dengan menghubungkannya dengan empat dimensi dari arti kata “sosial”:18 • Pengembangan pengetahuan oleh kelompok pemangku kepentingan tertentu di dalam kelompok itu sendiri. Di lapangan kami menemukan bahwa proses ini terjadi terutama ketika suatu kelompok melakukan refleksi atas tindakan mereka sebelumnya atau ketika membuat rencana sebagai dasar untuk aksi baru atau untuk interaksi mendatang dengan pemangku kepentingan lainnya. • Pengembangan komunikasi dan hubungan antara para pemangku kepentingan. Kami mengamati bahwa sejalan dengan kegiatan pembelajaran yang berulangulang, para pemangku kepentingan membangun kesadaran tentang adanya saling ketergantungan antara mereka. Pada gilirannya hal ini membangun rasa saling menghargai. Kepercayaan timbal balik berkembang secara bertahap di antara mereka. Meningkatnya komunikasi dan hubungan sosial ini kemudian merangsang terjadinya saling berbagi pengetahuan, yang sering menjadi dasar tindakan bersama. • Berbagi pengetahuan antara para pemangku kepentingan. Ketika para pemangku kepentingan belajar bersama, pertukaran informasi dan pengetahuan terjadi. Hal ini menjadi dasar berkembangnya pemahaman-pemahaman bersama baru. Dalam proses ini, para pemangku kepentingan membawa pengetahuan dan sumber daya lainnya yang masing-masing mereka miliki ke dalam proses saling berbagi itu. • Proses-proses politis. Kami melihat bahwa proses-proses politis mendorong para kelompok pemangku kepentingan untuk mengembangkan kapasitas strategisnya, misalnya, kemampuan mereka untuk bernegosiasi dalam menentukan batas desa. Kami mengamati bahwa keempat proses sosial ini tidak hanya muncul ketika para pemangku kepentingan belajar bersama, tetapi bahwa proses-proses tersebut juga menjadi dasar untuk pembelajaran bersama selanjutnya. Oleh karena itu, kami melihat bahwa keempat proses sosial itu dapat dijadikan acuan untuk mengetahui apa yang menjadi kebutuhan belajar para pemangku kepentingan.
96 • BAB LIMA
Kami menggunakan pemahaman ini dalam memandu fasilitasi kami seperti diperlihatkan Kotak 23. Pemetaan batas desa dan kegiatan negosiasi yang dilakukan masyarakat desa di lokasi Jambi dan lokasi Pasir dengan masyarakat desa-desa sekitarnya, perusahaan HPH, dan pemerintah merupakan contoh bagaimana kami memadukan keempat kebutuhan pembelajaran ini ke dalam kegiatan fasilitasi kami.
Kotak 23. Empat kebutuhan belajar para pemangku kepentingan: Beberapa contoh 1. Mengembangkan pengetahuan di dalam kelompok kepentingannya sendiri Pengetahuan masyarakat tentang batas desa mereka dikembangkan melalui pengamatan lapangan dan pengumpulan data geografis. Tim ACM menyediakan pelatihan tentang bagaimana menggunakan peranti sistem penentuan posisi geografis (GPS) untuk mengukur posisi geografis. Dengan cara ini diciptakan peluang bagi masyarakat untuk mempelajari posisi geografis batas-batas desa mereka. Pengetahuan ini kemudian digunakan sebagai dasar perundingan dengan masyarakat desa-desa lain di sekitar desa mereka. 2. Mengembangkan komunikasi dan hubungan dengan para pemangku kepentingan lain Kunjungan lapangan bersama telah mendorong masyarakat desa-desa yang bertetangga untuk belajar saling mendengarkan dan berbicara. Dengan kata lain, mereka belajar bagaimana berkomunikasi dan membangun hubungan. Aturan adat sering digunakan sebagai dasar komunikasi semacam ini. Hal ini dimungkinkan karena masyarakat yang desa-desanya bertetangga mempunyai aturan-aturan adat yang sangat mirip. Ketika komunikasi lisan menjadi terlalu abstrak, kami menyarankan agar semua pihak yang terlibat berkunjung ke lapangan untuk melihat seperti apa kenyataannya. 3. Berbagi pengetahuan dengan para pemangku kepentingan lain Pengetahuan tentang batas-batas desa yang dikembangkan oleh masyarakat desa dibagi di antara mereka. Pada awalnya, arus informasi dan pengetahuan lebih bergerak dari masyarakat yang kami fasilitasi ke arah masyarakat desadesa lain di sekitar mereka; tetapi dalam proses selanjutnya masyarakat desadesa lain itu juga mulai berkontribusi terhadap proses berbagi pengetahuan dan informasi itu. Masing-masing kelompok masyarakat menyadari bahwa kelompok masyarakat lainnya memiliki pengetahuan yang berharga yang bisa melengkapi pengetahuan mereka sendiri. Proses saling berbagi pengetahuan difasilitasi melalui pertemuan-pertemuan formal, informal, dan pencarian fakta bersama di lapangan. Lanjut di halaman berikut
MEMPRAKTEKKAN ACM • 97
4. Pengembangan kemampuan strategis atau politis para pemangku kepentingan Untuk kebutuhan belajar ini, kita dapat melihat contoh dari Jambi. Sebagai hasil negosiasi dengan masyarakat desa tetangga, masyarakat Baru Pelepat belajar bagaimana membangun kemampuan strategis atau politis mereka. Kami mendorong pembelajaran semacam ini dengan memfasilitasi para perunding merefleksikan proses-proses negosiasi, keluaran-keluaran dari negosiasi itu, dan pelajaran yang dapat diperoleh dari proses negosiasi. Kotak 24 memberikan sebuah contoh tentang peningkatan kapasitas negosiasi masyarakat dan, karenanya, peningkatan kemampuan strategis mereka.
Kotak 24. Meningkatkan kemampuan strategis dalam bernegosiasi Pada sebuah pertemuan negosiasi tentang batas desa dengan wakil-wakil dari Desa Sungai Beringin, dua orang tokoh adat Baru Pelepat berselisih. Salah satu dari mereka berpikir bahwa ia mengetahui peraturan adat lebih baik daripada yang lainnya. Sekembalinya dari pertemuan, ketika melakukan refleksi, kedua tokoh adat ini bersumpah bahwa hal ini tidak akan terjadi lagi karena ternyata telah mempermalukan Baru Pelepat. Mereka percaya: “Seekor ayam hanya bisa dipotong sekali saja”. Mereka belajar bahwa mereka jangan sampai melakukan kesalahan yang sama lagi dan sebelum berangkat ke meja perundingan, wakilwakil Baru Pelepat harus sepakat dulu di antara mereka sendiri tentang apa yang akan dirundingkan dan bagaimana cara melakukannya.
Bagaimana? Tentang bagaimananya pembelajaran sosial antara para pemangku kepentingan, berikut ini dapat dibaca tiga aspek kunci yang diangkat dari pengalaman lapangan kami. Selama melakukan kegiatan fasilitasi, kami menemukan dua cara pembelajaran yang dapat cukup memicu para pemangku kepentingan untuk mengadopsi perilaku dan cara berpikir yang baru serta bersikap lebih terbuka dalam berinteraksi dengan pihak lain. Kedua cara pembelajaran tersebut kami sebut pembelajaran “investigatif” dan pembelajaran “reflektif”. Kami amati bahwa pembelajaran dapat menghasilkan keluaran yang positif jika kedua jenis pembelajaran ini saling berurutan dalam suatu siklus yang dilakukan secara berulang-ulang (Gambar 18). Kami memfasilitasi cara belajar investigatif dengan merangsang para pemangku kepentingan untuk bersikap ingin tahu (Kotak 25) serta cara belajar reflektif
98 • BAB LIMA
dengan mendorong mereka untuk “memperlambat proses berpikir” (Kotak 26). Kedua cara belajar yang saling melengkapi ini membantu kami dalam mengembangkan kesadaran para pemangku kepentingan bahwa asumsi-asumsi mereka mempengaruhi tindakan dan pembentukan model mental mereka. Maka dari itu, kami mengadopsi kedua cara belajar tersebut sebagai panduan untuk mengetahui bagaimana memfasilitasi pembelajaran antara para pemangku kepentingan, pada titik manapun mereka berada dalam siklus penelitian aksi partisipatif, apakah pada tahap perencanaan, aksi, refleksi atas aksi, ataupun pengamatan.
pembelajaran investigatif
pembelajaran reflektif
Gambar 18. Cara pembelajaran para pemangku kepentingan: Pembelajaran yang investigatif dan reflektif yang terjadi berulang-ulang
Kotak 25. Memotivasi para pemangku kepentingan untuk bersikap ingin tahu: Pembelajaran investigatif Ada beberapa cara yang dapat dipakai fasilitator untuk mendorong para pemangku kepentingan agar bersikap ingin tahu: • Dalam mendiskusikan pokok-pokok persoalan, mulailah dengan pertanyaan yang bersifat umum dan kemudian secara bertahap meningkat ke pertanyaanpertanyaan yang lebih terinci dan mendalam. Hal ini akan membuat seseorang secara bertahap lebih “haus” akan hal-hal rinci dan lebih “analitis”. • Makin tinggi motivasi seseorang untuk mencari tahu hal-hal yang rinci, semakin berhati-hati ia untuk tidak terlalu cepat mengambil kesimpulan dan semakin terbuka terhadap apa yang dikatakan orang lain. • Bangunlah di atas apa yang sudah diketahui: aktifkan dasar pengetahuan yang sudah ada. Hal ini akan memicu orang untuk memperdalam pemahaman mereka tentang hal-hal yang telah mereka ketahui. Hal ini juga akan membantu dalam menguji kembali asumsi-asumsi mereka. Pertanyaan “kita tahu banyak, tetapi apakah kita benar-benar memahami apa yang kita ketahui?” bisa membantu.
MEMPRAKTEKKAN ACM • 99
Kotak 26. Jangan cepat mengambil kesimpulan: Pembelajaran reflektif Sebagai manusia kita sering cenderung untuk segera bereaksi ketika mendengar seseorang berbicara. Reaksi atau tindakan kita yang segera itu bisa jadi kurang berhubungan dengan apa yang sesungguhnya dikatakan orang lain. Fasilitator pembelajaran bersama sebaiknya mendorong para pemangku kepentingan untuk mengambil waktu yang cukup untuk mengartikan sebuah pesan atau pengamatan. Mengambil kesimpulan setelah proses berpikir yang memadai kadang disebut juga dengan “mendaki tangga kesimpulan” (climbing-up the ladder of inference). Ada juga yang menyebut “memperlambat proses berpikir” ini sebagai “mencerminkan pikiran seseorang”. Hal ini dapat membantu kita menelaah secara kritis asumsiasumsi kita. Cobalah praktekkan cara ini pada diri Anda sendiri, dan jika Anda tidak mendapatkan suatu hasil, mungkin cermin Anda perlu dibersihkan!
Selain perlu mengetahui bagaimana memfasilitasi proses belajar, tentu kami juga membutuhkan metode untuk melakukannya. Kami menggunakan tiga jenis metode19 dalam fasilitasi kami, yakni dengan mendorong para pemangku kepentingan untuk: 1) mengalaminya sendiri; 2) mengamati pengalaman orang lain; atau 3) membuat “model” (yakni gambaran yang lebih abstrak, terkadang bahkan lebih sederhana) dari situasi nyata. Kotak 27 memaparkan beberapa contoh yang mengilustrasikan ketiga cara fasilitasi pembelajaran ini. Berkaitan dengan pertanyaan bagaimana memfasilitasi, masih ada satu hal terakhir yang patut diperhatikan. Ketika kami memfasilitasi pembelajaran antara para pemangku kepentingan, pertanyaan tentang bagaimana memfasilitasi pembelajaran sangat bergantung pada siapa yang difasilitasi (lihat hlm. 93). Dalam prakteknya hal ini berarti bahwa fasilitasi kami harus mempertimbangkan preferensi masing-masing pemangku kepentingan tentang bagaimana cara belajarnya. Sebagai contoh, kami mengamati bahwa di kedua lokasi kajian, kaum perempuan lebih menyukai lingkungan belajar yang santai, informal dan tidak terlalu terstruktur, yakni tidak menggunakan suatu format khusus. Mereka cenderung enggan berbicara dalam pertemuan yang lebih besar dan bersifat resmi. Karena alasan ini, pembelajaran bagi mereka sebaiknya memadukan cara-cara yang terstruktur dan resmi dengan pertemuan-pertemuan informal. Sering kami juga menyelenggarakan pertemuan terpisah untuk kaum perempuan guna mempersiapkan mereka sebelum menghadapi pertemuan yang lebih besar dengan para pemangku kepentingan lainnya.
100 • BAB LIMA
Kotak 27. Tiga cara memfasilitasi pembelajaran: Contoh dari Jambi • Mengembangkan pengalaman: Untuk membantu meningkatkan keterwakilan dalam pengambilan keputusan masyarakat, kami memfasilitasi suatu proses untuk pemilihan para wakil para pemangku kepentingan yang akan menjadi anggota BPD. Beberapa pengalaman belajar yang kami fasilitasi adalah: lokakarya tentang kepemimpinan dan keterwakilan di tingkat desa, penunjukan panitia pemilihan, penyiapan para pemangku kepentingan masyarakat untuk menghadapi proses pemilihan, pemilihan anggota BPD, dan penunjukan resmi para wakil masyarakat. • Mengamati pengalaman orang lain: Pada sebuah pertemuan para pemangku kepentingan desa, seorang pemimpin adat dari suatu desa di Sumatera Barat diundang untuk berbagi pengalaman tentang upaya-upaya di desa asalnya dalam mengembangkan mekanisme kerja sama antara lembaga adat dan pemerintah desa. • Membuat model: Pada suatu lokakarya, para pemangku kepentingan masyarakat difasilitasi untuk mengembangkan pemahaman tentang keterwakilan. Peserta diminta untuk memberi penilaian terhadap wakil yang “baik” dan yang “buruk” dengan bermain peran. Proses pembuatan model ini mendorong para peserta untuk mengidentifikasi ciri-ciri wakil yang “baik” dan yang “buruk”. Dengan meminta peserta menyampaikannya dalam bentuk permainan peran, mereka didorong untuk merumuskan ciri-ciri yang harus dimiliki seorang wakil dengan istilah-istilah umum yang mudah dimengerti masyarakat. Dengan cara seperti ini, model yang dihasilkan menjadi sumber pengetahuan yang melengkapi pengetahuan dan pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya.
Kapan? Pertanyaan mengenai kapan memfasilitasi pembelajaran berkaitan erat dengan tiga pertanyaan sebelumnya, sehingga pertanyaan kapan dalam fasilitasi dapat dijadikan rangkaian pertanyaan sebagai berikut: “Kapan waktu yang paling tepat untuk memfasilitasi siapa, tentang apa, dan bagaimana melakukannya?” Dalam prakteknya, hal ini berarti bahwa kami harus mengembangkan kepekaan dalam memilih waktu yang tepat untuk memfasilitasi para pemangku kepentingan yang kebutuhan dan preferensi cara belajarnya saling berbeda. Sebagai contoh, marilah kita kembangkan contoh kelompok perempuan yang diberikan di atas tadi. Dalam kasus kelompok perempuan itu (siapanya), mereka membutuhkan pendampingan kami dalam mengembangkan pengetahuan dan keterampilan mereka sebelum berpartisipasi dalam pertemuan forum para pemangku kepentingan yang lebih besar dan lebih resmi (kapannya). Persiapan ini terpusat pada pengembangan pengetahuan dasar dan keterampilan kaum perempuan, dalam hal kemampuan komunikasi dan berbagi pengetahuan dengan pihak lain
MEMPRAKTEKKAN ACM • 101
(apanya). Pada pertemuan dengan pihak lain yang diselenggarakan sesudah itu (kapannya lagi), kaum perempuan menerapkan apa yang telah mereka persiapkan sebelumnya dan mengalami sendiri (bagaimananya) proses saling berbagi pengetahuan dengan pihak lain melalui komunikasi. Mengapa? Akhirnya, untuk memfasilitasi pembelajaran secara efektif, penting bagi kita untuk bertanya pada diri kita sendiri mengapa para pemangku kepentingan bersedia mengorbankan waktu luang mereka untuk belajar bersama kita. Dengan kata lain, untuk memahami peran kita sebagai fasilitator pembelajaran, kita harus mencari tahu apa yang sebenarnya menjadi motivasi para pemangku kepentingan untuk belajar. Tim kami mengamati bahwa ada tiga faktor motivasi (Kotak 28) dan berdasarkan pengetahuan itu kami memfasilitasi setiap situasi sesuai dengan motivasi yang dapat memicu pembelajaran para pemangku kepentingan yang difasilitasi (Tabel 1): • Para pemangku kepentingan termotivasi oleh faktor-faktor eksternal • Para pemangku kepentingan termotivasi oleh faktor-faktor internal • Para pemangku kepentingan termotivasi untuk belajar karena terdorong oleh proses-proses interaktif yang terjadi selama pembelajaran bersama.
Kotak 28. Tiga faktor yang menjadi motivasi para pemangku kepentingan untuk belajar bersama: Beberapa contoh 1. Faktor eksternal: Masyarakat di Pasir memprakarsai negosiasi dengan pemerintah dan perusahaan HPH mengenai batas desa dalam upaya untuk dapat turut menentukan bagaimana mengelola sumber daya alam desa mereka. Mereka berpendapat, jika batas desa jelas dan mereka memperoleh pengakuan atas batas tersebut, maka sumber penghidupan masyarakat desa akan lebih terjamin. Dalam keadaan ini, kedatangan tim kamilah yang memicu semangat mereka untuk lebih memastikan wilayah kelola desa mereka. Keinginan untuk meningkatkan kondisi penghidupan sebenarnya telah ada sejak sebelum kedatangan kami, tetapi fasilitasi kamilah yang mendorong masyarakat untuk mengupayakannya. 2. Faktor internal: Sebagai manusia, kita memiliki kemampuan untuk “melihat masa depan”. Faktor tersebut sifatnya internal karena tidak memerlukan motivasi luar (eksternal). Hal ini karena manusia mempunyai kemampuan belajar, atau kemampuan kognitif, yang memungkinkannya untuk menghubungkan pengalaman atau pengamatan masa lalu dengan situasi yang mungkin akan terjadi di masa mendatang. Dengan kata lain, sebagai manusia kita bisa memperkirakan konsekuensi dari hal-hal yang belum terjadi. Beberapa orang menyebut kemampuan ini sebagai kemampuan belajar antisipatif. Meskipun semua orang memilikinya, kemampuan semacam ini bisa ditingkatkan melalui fasilitasi.20 Lanjut di halaman berikut
102 • BAB LIMA
Di Baru Pelepat kami memfasilitasi pembelajaran antisipatif ini untuk membantu masyarakat desa mengambil tanggung jawab baru yang muncul dari kebijakan desentralisasi pemerintah, termasuk kebijakan yang mengalihkan beberapa wewenang pengambilan keputusan kepada pemerintah desa. Dalam suatu lokakarya, kami meminta warga desa untuk mendiskusikan apa yang akan mereka lakukan jika ada pengusaha swasta datang menemui mereka dan menawarkan kerja sama dalam memanfaatkan hasil hutan. Gambar 19 memperlihatkan sebuah gambar yang kami gunakan untuk memicu diskusi tersebut. Dalam kasus ini, kami mendampingi para peserta untuk melakukan refleksi tentang situasi serupa yang pernah mereka alami atau amati sebelumnya. Dalam melakukan ini kami mendorong mereka untuk tetap terfokus pada masa depan dengan memberi informasi tentang apa yang bisa terjadi di masa yang akan datang. Kami menyediakan informasi, antara lain tentang kebijakan-kebijakan pemerintah tentang pemerintahan desa dan kemungkinan adanya minat investor swasta terhadap hasil hutan di wilayah desa. Dengan kata lain, kami mendampingi para pemangku kepentingan dalam mengembangkan kemampuannya untuk mengantisipasi masa depan. 3. Proses interaktif antara para pemangku kepentingan: Peran kami dalam hal ini adalah mendorong komunikasi antara para pemangku kepentingan. Dengan kata lain, peran kami adalah memfasilitasi proses-proses berkelompok. • Dengan kehadiran orang atau kelompok lain, seseorang atau suatu kelompok cenderung belajar dengan lebih baik. Sebagai contoh, karena latar belakang sejarah dan pengalaman yang berbeda, perempuan Minangkabau pada awalnya merasa kurang percaya diri jika harus berbicara di muka umum dibandingkan dengan kaum perempuan pendatang. Namun kami mengamati pula bahwa karena kehadiran kaum perempuan pendatang, perempuan Minangkabau termotivasi untuk juga ikut berbicara dalam pertemuan yang lebih besar. Nampaknya seolah-olah mereka berpikir: “apa yang bisa dilakukan perempuan pendatang, kita juga bisa”. • Kelompok yang terdiri dari beragam peserta, mengembangkan pemahaman yang lebih kaya tentang permasalahan yang didiskusikan. Hal ini dicontohkan oleh proses negosiasi antara masyarakat Pasir, pemerintah, dan pengusaha HPH. Selama negosiasi ini, setiap pemangku kepentingan memperkaya diskusi dengan menambahkan perspektif khas mereka. • Para pemangku kepentingan merasa bahwa menilai tepat atau tidaknya suatu keputusan yang diambil akan lebih mudah jika dilakukan dalam kelompok. Di samping itu, karena pada umumnya lebih mudah untuk menilai kekurangan pihak lain daripada kekurangan diri sendiri, mereka bisa saling mengoreksi jika berkelompok. Demikian pula, sebagai kelompok mereka dapat mengingat fakta dengan lebih baik sehingga pilihan-pilihan dalam mengambil keputusan bisa dinilai dengan lebih tepat. Memang, sebagaimana kami amati, ingatan kelompok lebih kuat daripada ingatan masing-masing pemangku kepentingan yang ada di dalam kelompok tersebut secara terpisah.
MEMPRAKTEKKAN ACM • 103
Tabel 1. Contoh motivasi belajar para pemangku kepentingan dan peran fasilitasi Motivasi belajar para pemangku kepentingan
Peran fasilitasi
Keinginan untuk menghentikan pembalakan kayu secara berlebihan yang dilakukan orang luar desa (motivasi eksternal)
Memicu pembelajaran untuk terjadinya perubahan
Hasrat untuk tahu apa yang mungkin terjadi di masa depan (motivasi internal)
Mendampingi dalam mengembangkan kemampuan para pemangku kepentingan dalam mengantisipasi
Proses interaktif selama pembelajaran
Mendorong komunikasi antara para pemangku kepentingan, yakni memfasilitasi proses interaktif di antara mereka
Gambar 19. Sebuah gambar yang kami pakai untuk memicu diskusi di antara para pemangku kepentingan
104 • BAB LIMA
5.2. Keluaran Pembelajaran Tujuan utama para pemangku kepentingan di kedua lokasi penelitian adalah peningkatan penghidupannya. Namun demikian, pada awal kegiatan kami, mereka merasa bahwa hal tersebut akan sulit dilakukan dalam keadaan tidak pasti. Mereka tidak tahu bagaimana memperkirakan dan merencanakan masa depan mereka. Hal ini dipersulit lagi dengan tidak adanya mekanisme yang dapat membantu para pemangku kepentingan untuk bekerja sama dalam mengatasi masalah serta belajar bersama dari tindakan dan keputusan mereka. Dalam keadaan seperti itulah para pemangku kepentingan memulai berbagai kegiatan pembelajaran ACM. Peningkatan kondisi penghidupan merupakan kebutuhan utama para pemangku kepentingan di tingkat masyarakat, maka penilaian kami dalam bab ini difokuskan pada keluaran pembelajaran yang berhubungan dengan perubahan-perubahan penghidupan itu. Tetapi sebelum itu kita harus mengingat kembali apa yang telah dibahas dalam bab sebelumnya, yakni bahwa beberapa proses sosial telah terjadi antara para pemangku kepentingan, yang menghasilkan perubahan perilaku kerja sama dan perilaku adaptif mereka. Hal ini, pada gilirannya, menghasilkan
Hasil dari pembelajaran yang diinginkan para pemangku kepentingan lokal adalah peningkatan penghidupannya. Oleh karena itu, kami memfokuskan penilaian kami tentang hasil pembelajaran pada hal-hal yang berkaitan dengan perubahan-perubahan penghidupan.
MEMPRAKTEKKAN ACM • 105
berbagai perubahan penghidupan masyarakat. Maka dari itu, proses-proses sosial yang muncul itu bisa kita sebut proses-proses perubahan. Proses-proses sosial apakah yang telah bermunculan?
Proses-proses perubahan Seperti dapat dilihat pada bab sebelumnya, terdapat empat proses yang muncul dalam pembelajaran para pemangku kepentingan: pengembangan pengetahuan, pengembangan komunikasi dan hubungan, saling berbagi pengetahuan, dan pengembangan kapasitas strategis (atau kemampuan politis). Proses-proses itu telah menghasilkan perubahan-perubahan perilaku para pemangku kepentingan, yakni diadopsinya cara berpikir dan bertindak yang baru. Lebih dari itu, proses-proses itu tidak hanya timbul sepanjang berjalannya pembelajaran, tetapi juga menjadi pemicu proses pembelajaran selanjutnya. Dengan demikian dapat kita bayangkan, proses-proses perubahan yang muncul itu berwujud “roda-roda berputar” seperti yang diperlihatkan Gambar 20. Dapat kita lihat pada gambar itu bagaimana pembelajaran sosial menggulirkan prosesproses perubahan yang mulai pada skala kecil tetapi kemudian “terpental” keluar untuk secara bertahap menjangkau wilayah yang lebih luas. Pertanyaan kita selanjutnya, perubahan-perubahan apakah yang telah dihasilkan proses-proses itu?
pe
ng em pe ba ng ng et an ah ua n
Perubahan dalam modal penghidupan
be
rb
fo
rm
id as
an
a hu ta e ng pe
i in ag
n
Pembelajaran Sosial
an ng s gi ba te em ra t g n s s pe it a as p ka
pe
a nik mu ko
ng
id
s
Perubahan dalam modal penghidupan
Perubahan dalam modal penghidupan
an
em
hu b
ba ng an un ga nb ai k
Perubahan dalam modal penghidupan
Gambar 20. Roda-roda perubahan karena pembelajaran sosial
106 • BAB LIMA
Perubahan-perubahannya Untuk menentukan apakah pembelajaran telah menghasilkan perubahan dalam penghidupan masyarakat, kami sangat terbantu oleh sebuah alat bantu analisis yang disebut “kerangka penghidupan berkelanjutan” (sustainable livelihoods framework)21. Kerangka ini menyatakan bahwa agar masyarakat dapat memiliki kehidupan yang layak mereka harus mendayagunakan sumber daya—atau asset/modal—yang memungkinkan mereka melakukan kegiatan penghidupan. Istilah “modal” yang dimaksudkan adalah unsur-unsur yang dibutuhkan dalam membuat penghidupan, jadi lebih luas daripada yang biasa digunakan dalam bidang keuangan atau ekonomi. Ada lima bentuk modal: 1. Modal manusia (human capital): pengetahuan, keterampilan, kondisi fisik pekerjaan, dan kesehatan 2. Modal sosial (social capital): saling percaya, jaringan-jaringan, dan hubunganhubungan sosial yang diperlukan orang untuk bekerja sama 3. Modal alam (natural capital): tanah, pepohonan, sumber daya air, ikan, dll. 4. Modal keuangan (financial capital): pendapatan, tabungan, dan pinjaman 5. Modal fisik (physical capital): peralatan, perlengkapan, binatang, jalan, dan pelayanan publik (air, tenaga listrik, dll.). Dari pengamatan kami, sangat jelas bahwa sejak kami memulai pembelajaran ACM, modal manusia dan modal sosial yang dimiliki para pemangku kepentingan di kedua lokasi kajian mengalami perbaikan. Pertama, modal manusia jelas meningkat: keterampilan kepemimpinan berkembang, pengetahuan teknis dan keterampilan masyarakat semakin kaya, kemampuan berkomunikasi meningkat, kemampuan bernegosiasi mengalami kemajuan, dan motivasi perseorangan untuk bertindak guna mengatasi masalah terpacu. Kami juga mengamati bahwa
Di antara keluaran ACM yang lebih nyata adalah meningkatnya keterampilan masyarakat dalam memproduksi hasil anyaman rotan dan bambu, yang dapat dijual di pasar lokal. Keluaran ini terkait dengan pokok pembelajaran tentang peningkatan keadaan penghidupan dengan cara mencari sumber pendapatan alternatif (lihat Kotak 19).
MEMPRAKTEKKAN ACM • 107
para pemangku kepentingan dari status sosial yang berbeda telah mengembangkan rasa percaya diri untuk memperbaiki hubungan di antara mereka. Namun yang lebih nyata adalah perubahan-perubahan pada modal sosial. Rasa saling percaya di antara para pemangku kepentingan telah terbangun dan hal ini, pada gilirannya, memperbaiki hubungan dan menyeimbangkan perbedaan kekuasaan di antara mereka. Kualitas jaringan sosial yang sudah ada meningkat, dan jaringan-jaringan sosial baru terbentuk. Perubahan-perubahan modal ini dipaparkan dalam Tabel 2 dan Tabel 3. Keluarankeluaran dalam kedua tabel tersebut berlaku untuk siklus-siklus pembelajaran yang telah kami gunakan sebagai contoh dalam bab sebelumnya, yakni siklus pembelajaran yang berkenaan dengan masalah tata batas dan siklus peningkatan pemerintahan desa (lihat hlm. 86 dan hlm. 87).
Tabel 2. Keluaran ACM dari pembelajaran tentang tata batas desa: Contoh dari Pasir Modal Penghidupan
Keluaran
Modal manusia
1. Berkembangnya keterampilan pemetaan warga masyarakat, termasuk penggunaan teknologi seperti GPS (misalnya, membaca, merekam, dan memasukkan data dari GPS ke peta dasar). 2. Berkembangnya pengetahuan masing-masing kelompok masyarakat (termasuk kaum perempuan dan remaja) tentang tata batas wilayah adat mereka. 3. Peningkatan pengetahuan kelompok-kelompok masyarakat tentang instansi pemerintah mana yang harus didekati dalam menyelesaikan permasalahan tertentu.
Modal sosial
1. Komunikasi dan jaringan sosial antara masyarakat desa, perusahaan HPH, dan pemerintah yang makin baik. 2. Kepercayaan antara masyarakat dan instansiinstansi luar yang meningkat.
Modal alam
Belum dapat diamati
Modal fisik
Batas-batas desa
Modal keuangan
Belum dapat diamati
108 • BAB LIMA
Tabel 3. Keluaran ACM dari pembelajaran tentang peningkatan pemerintahan desa: Contoh dari Jambi Modal Penghidupan
Keluaran
Modal manusia
1. Pemahaman yang berkembang tentang: kebijakan desentralisasi pemerintah dalam hal pengalihan kewenangan kepada desa (devolusi), prinsip-prinsip demokrasi (termasuk berkembangnya pemahaman ini pada para “penguasa” yang lama), mekanisme pengambilan keputusan tingkat desa oleh wakil-wakil pemangku kepentingan, pembuatan peraturan desa, dan kepemimpinan. 2. Berkembangnya keterampilan berkaitan dengan pengambilan keputusan, pengembangan peraturan desa, kepemimpinan, dan manajemen organisasi.
Modal sosial
1. Kelembagaan sosial dan organisasi yang lebih baik: a. mekanisme keterwakilan yang lebih baik; b. keterwakilan para pemangku kepentingan masyarakat yang lebih baik. 2. Rasa saling percaya dan hubungan timbal balik yang lebih baik antara kaum pendatang dan penduduk asli; kesadaran kaum laki-laki bahwa kaum perempuan adalah warga masyarakat yang berpotensi dan sah untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan tingkat desa; pengakuan tetua adat tentang perlunya membagi kekuasaan. 3. Kesadaran politik anggota masyarakat yang makin berkembang.
Modal alam
Belum dapat diamati
Modal fisik
Belum dapat diamati
Modal keuangan
Beberapa anggota masyarakat telah memperoleh manfaat keuangan ketika mereka terpilih sebagai wakil-wakil masyarakat dan anggota BPD yang menerima gaji.
MEMPRAKTEKKAN ACM • 109
Perubahan yang kurang nyata di kedua lokasi kajian tersebut adalah perubahan pada modal alam, modal keuangan, dan modal fisik. Kami menduga, terbentuknya bentuk-bentuk modal seperti itu memerlukan waktu yang cukup lama. Penelitian kami terlalu singkat sehingga perubahan dalam bentuk-bentuk modal itu belum dapat kami amati. Walaupun demikian, kami menemukan beberapa petunjuk di lapangan tentang bagaimana dalam jangka panjang modal sosial dapat mempengaruhi pembentukan modal-modal yang lain, seperti modal alam dan modal finansial. Maka dari itu, modal sosial bisa dilihat sebagai “modal awal” (start-up capital) dan modal alam serta modal finansial sebagai “modal terbentuk” (formed capital), seperti dapat dilihat pada Gambar 21. Di sinilah letaknya peran penting fasilitasi ACM.
Berkembangnya strategi penghidupan kolaboratif Ketika suatu masyarakat dianugerahi dengan kekayaan berupa kelima macam modal penghidupan, hal itu tidak serta-merta berarti bahwa penghidupan para pemangku kepentingan dalam masyarakat itu terjamin secara berkelanjutan. Untuk memastikan agar berbagai modal penghidupan tersebut benar-benar menghasilkan keluaran-keluaran penghidupan yang nyata—pendapatan, kesejahteraan, kecukupan pangan, kekuatan dalam menghadapi goncangan sosial dan alam, dan penggunaan sumber daya alam yang keberlanjutan— masyarakat tersebut harus mempunyai strategi. Para pemangku kepentingan di dalam masyarakat itu harus mempunyai sasaran dalam menentukan bagaimana mereka akan menggunakan modal-modal penghidupan mereka untuk mencapai penghidupan yang berkelanjutan. Sebagai contoh, para pemangku kepentingan masyarakat desa harus memilih apakah mereka akan menggunakan sumber daya keuangannya (modal finansial) untuk membeli benih dan mengalokasikan keterampilan manusia (modal manusia) untuk bertani, ataupun mereka akan memilih untuk menyimpan uangnya di bank dan bekerja sebagai buruh di ibu kota kabupaten. ACM meningkatkan jumlah pilihan penghidupan bagi para pemangku kepentingan. Dengan berkontribusi terhadap pengembangan modal sosial, ACM menawarkan sebuah strategi penghidupan melalui kolaborasi yang dapat digunakan para pemangku kepentingan untuk meningkatkan prospek penghidupan mereka. Kebanyakan program pembangunan yang berfokus pada peningkatan penghidupan masyarakat, termasuk program-program hutan kemasyarakatan atau perhutanan sosial (lihat Bab 3), cenderung bertujuan untuk meningkatkan pendapatan. Akan tetapi pendekatan ACM dapat menawarkan lebih dari itu.
FASILITASI ACM
(kepercayaan dan jaringan antar para pemangku kepentingan)
MODAL SOSIAL SEBAGAI “MODAL AWAL”
peng aru h
“MODAL ANTARA”
(keterampilan dan pengetahuan dalam produksi rotan; kemampuan yang meningkat untuk memperoleh pendapatan dan untuk dapat menabung)
“MODAL ANTARA”
(kepercayaan dan jaringan yang terbangun mendorong dukungan pelatihan dari masyarakat tetangga dan pemda)
(kepercayaan dan jaringan yang terbangun mendorong dianggarkannya dana pemerintah)
pembentukan
pembentukan
(investasi dari tabungan)
MODAL KEUANGAN SEBAGAI “MODAL TERBENTUK”
(tegakan pepohonan, keanekaragaman hayati, tutupan hutan)
MODAL ALAM SEBAGAI “MODAL TERBENTUK”
Gambar 21. Kaitan yang mungkin antara modal sosial sebagai “modal awal” dengan modal keuangan dan modal alam sebagai “modal terbentuk”: Contoh dari Pasir
perubahan
proses-proses
h ar u pe n g
(dana untuk pembelian benih, bahan-bahan untuk bertanam)
110 • BAB LIMA
MEMPRAKTEKKAN ACM • 111
ACM telah meningkatkan modal sosial di antara para pemangku kepentingan.
Dengan cara menawarkan suatu strategi kolaboratif, ACM memperluas peluang penghidupan yang dapat digunakan para pemangku kepentingan. Dengan begitu, ACM memberi nilai tambah pada strategi penghidupan para pemangku kepentingan. Nampaknya, strategi penghidupan yang “terinspirasi ACM” dapat menghasilkan keluaran yang lebih luas: bukan saja peningkatan pendapatan, tetapi juga peningkatan kesejahteraan, kecukupan pangan, keberlanjutan sumber daya alam, dan pengurangan kerentanan (Gambar 22).
112 • BAB LIMA
KELUARAN PENGHIDUPAN MODAL PENGHIDUPAN
Fasilitasi ACM
STRATEGI PENGHIDUPAN INDIVIDUAL DAN KOLABORATIF
M
S F
A K
Pendapatan yang lebih tinggi
Kesejahteraan yang meningkat
Kerentanan yang berkurang
Kecukupan pangan yang meningkat Petunjuk: S = modal sosial M = modal manusia A = modal alam K = modal keuangan F = modal fisik
Pengunaan sumber daya alam yang lebih berkelanjutan
Gambar 22. Nilai tambah ACM terhadap strategi penghidupan
6 TANTANGAN, KEUNGGULAN, DAN KETERBATASAN ACM
Surutlah engkau yang mesti surut, di geletar kepudaran fatamorgana tinggallah engkau yang mesti tinggal, di dirimu kebakaan metamorfosa. Sri Kusdyantinah, penyair, dalam syair berjudul “Pancaroba”, 1979
TANTANGAN, KEUNGGULAN, DAN KETERBATASAN ACM • 115
Pada bab terdahulu telah kami sampaikan bagaimana kami menerapkan ACM dan menciptakan kondisi yang mendorong terjadinya pembelajaran antara para pemangku kepentingan. Bab ini menyajikan tantangan-tantangan yang dihadapi ACM, keunggulan-keunggulannya, serta keterbatasan-keterbatasan pendekatan ini sebagaimana kami menerapkannya.
Tantangan Seperti juga banyak pihak lain yang bergiat dengan para pemangku kepentingan dalam mengelola sumber daya alam secara kolaboratif, kami menghadapi berbagai tantangan yang sudah umum dalam kegiatan-kegiatan yang menggunakan pendekatan partisipatif. Tantangan-tantangan semacam ini misalnya partisipasi masyarakat yang terbatas karena sibuk mencari nafkah untuk hidup kesehariannya atau ketergantungan mereka pada “orang luar”. Namun demikian, kami melihat bahwa ACM memiliki empat tantangan yang merupakan ciri khas dari pendekatan ini: 1. Sementara ACM diharapkan dapat mengembangkan kerja sama antara para pemangku kepentingan, tantangan yang harus dihadapinya adalah sangat rendahnya kemampuan organisasional di antara para pemangku kepentingan. Kurangnya kemampuan organisasional ini menjadi tantangan ACM karena dua alasan. Pertama, ketika mengkaji masalah, para pemangku kepentingan cenderung melihat berbagai hal dari sudut pandang sempit mereka sendiri dan kurang menyadari bahwa suatu masalah dapat dilihat dengan cakupan yang lebih luas dengan juga memasukkan pandangan-pandangan pihak lain. Kedua, dalam memecahkan masalah mereka cenderung mencari pemecahannya sesuai dengan sudut pandangnya sendiri, tanpa memikirkan bahwa pemecahannya sebenarnya dapat dilakukan secara bersama dengan pihak lain. Pada umumnya pengidentifikasian dan pemecahan masalah secara kolaboratif belum banyak dikenal para pemangku kepentingan. Kalaupun ada pemangku kepentingan tertentu yang memiliki kemampuan kolaborasi di dalam kelompoknya sendiri, hal ini tidak berarti dengan sendirinya bahwa mereka bisa bekerja sama dengan pemangku kepentingan lain. Sering hal ini berhubungan dengan masa lalu. Di lokasi penelitian kami, misalnya, pada masa lalu para pemangku kepentingan tidak berkesempatan mengembangkan pengalaman mereka dalam berhubungan dengan pihak lain, seperti pemerintah dengan masyarakat desa di Pasir, ataupun penduduk asli dengan pendatang di Jambi. 2. Tantangan kedua yang kami hadapi, berkenaan dengan aspek pembelajaran, yang merupakan jiwa ACM. Kami tertantang oleh pertanyaan apakah para pemangku kepentingan akan cukup termotivasi untuk mempertahankan
116 • BAB ENAM
cara-cara baru dalam berpikir dan bertindak yang telah diadopsinya. Jika tidak, maka pembelajaran yang kami fasilitasi tidak akan berkelanjutan. Dalam sejarahnya, para pemangku kepentingan di lokasi penelitian kami hanya mengenal kegiatan-kegiatan belajar yang tidak menghasilkan perubahan yang langgeng. Misalnya, ketika baru memulai kegiatan di Jambi, kepada kami disampaikan bahwa penyuluh pertanian telah mengadakan pelatihan dalam penggunaan teknologi pertanian baru. Hanya dalam waktu singkat setelah pelatihan itu, warga masyarakat berhenti menggunakan teknik-teknik yang telah dipelajarinya. Penyuluh pertanian mengira hal ini dikarenakan masyarakat tidak mampu mempelajari dan mengadopsi teknologi baru, tetapi tim kami menduga hal tersebut dikarenakan teknologi tersebut dikembangkan di tempat lain dan hanya dialihkan ke lokasi. Dengan cara seperti ini alih pengetahuan tidak mengarah pada terjadinya pembelajaran yang benar-benar bermakna bagi pemangku-pemangku kepentingan lokal. Pada awal kegiatan tim kami, kami mengkhawatirkan hal yang sama dapat terjadi pada pembelajaran ACM.
Perbedaan status sosial atau kekuasaan di antara para pemangku kepentingan merupakan salah satu tantangan yang dihadapi tim kami dalam memfasilitasi ACM. Gambar ini mencerminkan perbedaan status sosial antara masyarakat desa dan pejabat pemerintah.
TANTANGAN, KEUNGGULAN, DAN KETERBATASAN ACM • 117
3. Lebih lanjut kami ditantang oleh pertanyaan apakah ACM akan berhasil dalam memotivasi para pemangku kepentingan untuk belajar di dalam lingkungan mereka yang begitu kompleks dan penuh ketidakpastian. Sebagaimana ditunjukkan pada masa lalu, perubahan lingkungan sosial dan alam dianggap begitu rumit sehingga para pemangku kepentingan terperangah dan merasa tidak berdaya untuk menghadapi perubahan itu. Kami dihadapkan oleh pertanyaan apakah pembelajaran dalam ACM dapat membantu mereka menghadapi secara kolaboratif keadaan semacam itu. 4. Tantangan terakhir yang kami hadapi ketika memfasilitasi ACM, berkenaan dengan perbedaan kekuasaan atau status sosial antara para pemangku kepentingan. Kami menemukan bahwa para pemangku kepentingan yang lebih berkuasa cenderung kurang terbuka untuk mempelajari cara-cara yang baru dan kolaboratif. Mereka sering beranggapan bahwa pihak dengan status sosial yang lebih rendah kurang layak atau tidak mempunyai legitimasi untuk diajak bekerja sama, atau bahkan untuk diajak berbicara atau didengarkan.
Keunggulan ACM Sekarang kita akan membahas keunggulan ACM sebagaimana kami mengalaminya. Kami menyebut suatu kualitas ACM sebagai “keunggulan” jika hal tersebut memungkinkan kami untuk menangani tantangan-tantangan di atas secara berhasil. Tim kami memperhatikan bahwa keunggulan-keunggulan ACM adalah: 1. ACM memiliki kemampuan untuk menjadikan hubungan sosial antara para pemangku kepentingan lebih sistematis dan terorganisasi. Secara nyata kami melihat bahwa para pemangku kepentingan di kedua lokasi kajian mulai mengorganisasi diri mereka sendiri dengan lebih baik. Kami memperkirakan bahwa faktor yang telah mendorong terjadinya perbaikan organisasi sosial adalah sifat iteratif dari kegiatan pembelajaran ACM. Karena hal ini, interaksi dan komunikasi antara para pemangku kepentingan menjadi lebih intensif, yang pada gilirannya mendorong berkembangnya kesadaran akan ketergantungan timbal balik serta kesadaran untuk saling menghargai dan mempercayai. Kesadaran atas saling ketergantungan itu, pada gilirannya lagi, mendorong para pemangku kepentingan untuk mengakui pihak lain sebagai pemangku kepentingan yang sah (legitim) dalam sistem hutan yang sama. Kami melihat bahwa terbangunnya hubungan sosial yang lebih tertata tidak terbatas pada lingkup fasilitasi tim kami, tetapi terjadi juga di luar program kami.
118 • BAB ENAM
Tampaknya, salah satu keunggulan ACM adalah kemampuannya untuk menjadikan hubunganhubungan sosial lebih sistematis dan tertata. Kaum perempuan terbukti merupakan pemangku kepentingan yang terorganisasi paling baik, baik secara internal dalam kelompok mereka sendiri, maupun secara eksternal ketika berhubungan dengan para pemangku kepentingan lainnya.
2. Keunggulan ACM lainnya yang cukup terlihat, adalah kemampuannya untuk membantu para pemangku kepentingan dalam mengembangkan pemahaman mereka tentang fenomena yang rumit. Karena sifatnya yang bertahap, pembelajaran dalam ACM memungkinkan penguraian “bahan belajar” yang rumit menjadi bagian-bagian yang lebih “kecil dan sederhana”. Hal ini memungkinkan para pemangku kepentingan untuk secara bersama dan bertahap memahami kontradiksi-kontradiksi yang mereka hadapi. Pada gilirannya, hal tersebut membantu mereka untuk secara berangsur memahami kerumitan yang ada. 3. Supaya dalam keadaan yang rumit dan penuh ketidakpastian pembelajaran dapat terjadi, suatu jenis pembelajaran yang khas ACM nampaknya menjadi kunci, yakni pembelajaran melalui komunikasi. Pembelajaran semacam ini mendukung berkembangnya pemahaman bersama para pemangku kepentingan dengan berbagai sudut pandang. 4. Kemampuan ACM untuk menangani masalah ketimpangan kekuasaan antara pemangku kepentingan mendorong mereka yang berkuasa untuk mengakui mereka yang lemah karena penekanannya pada:
TANTANGAN, KEUNGGULAN, DAN KETERBATASAN ACM • 119
•
• •
peningkatan kesadaran tentang ketergantungan timbal balik, yang pada gilirannya mendorong para pemangku kepentingan untuk lebih saling menghargai manfaat yang dibawa masing-masing pemangku kepentingan ke dalam proses kolaboratif pembahasan substansi dan bukannya persoalan-persoalan hubungan sosial antara para pemangku kepentingan.
Keterbatasan ACM ACM juga memiliki keterbatasan. Ada tiga keterbatasan yang kami lihat dengan jelas di lapangan: 1. Kegiatan belajar ACM sering sangat menyita waktu. Kegiatan pembelajaran, seperti lokakarya atau pertemuan para pemangku kepentingan, biasanya membutuhkan paling tidak satu hari penuh, selain menuntut waktu semua pihak yang terlibat dalam persiapan dan penyelenggaraannya. Artinya, ACM sering lebih menarik bagi mereka yang dapat meluangkan waktunya untuk berpartisipasi. Sebaliknya, para pemangku kepentingan yang kurang mampu sering lebih terbatas kesempatannya untuk berpartisipasi. ACM merupakan proses pembelajaran dan karenanya menuntut waktu. Keluaran dari proses pembelajaran ini tidak selalu cepat atau nyata. Ini merupakan keluhan umum yang kami dengar dari para pemangku kepentingan. Ironinya, sementara pemangku-pemangku kepentingan yang terkesampingkan secara sosial sangat membutuhkannya, mereka justru paling sedikit menerima manfaat dari ACM. 2. Bagi tim kami, pelaksanaan ACM juga menuntut banyak upaya dan waktu. Juga biaya untuk mempertemukan para pemangku kepentingan tidaklah sedikit. Selain itu, waktu dan sumber daya lain yang diinvestasikan sering tidak segera menunjukkan hasil. Hal in juga menjelaskan kenapa kami belum dapat memastikan apakah para pemangku kepentingan akan mempertahankan cara-cara baru mereka dalam berpikir dan bertindak. Walaupun begitu, kami yakin bahwa jika pembelajaran bersama dapat didorong secara terus-menerus, hubungan-hubungan konstruktif di antara para pemangku kepentingan akan terbentuk dan, pada gilirannya, sikap dan pandangan lama secara berangsur ditanggalkan. 3. Terakhir, ketika kekuasaan antara para pemangku kepentingan sangat timpang, kami melihat bahwa pembelajaran tidak mendorong berkembangnya pandangan yang lebih inklusif pada para pemegang kuasa. Nampaknya, keadaan dengan ketimpangan kekuasaan yang sangat menonjol bukan
120 • BAB ENAM
merupakan kondisi yang tepat untuk saling belajar. Dalam kondisi seperti itu sulit diharapkan terjadinya suatu transformasi pandangan dan perilaku lama.
Salah satu keterbatasan ACM seperti yang kami alami adalah bahwa kegiatan-kegiatan belajar sangat menyita waktu, baik bagi para peserta maupun bagi tim kami. Sering ini berarti bahwa ACM menjadi kurang menarik bagi para pemangku kepentingan yang lebih miskin karena mereka mengalami kesulitan dalam menyediakan waktu untuk kegiatan pembelajaran.
7 HIKMAH BELAJAR
... jika kita harus membangun kembali keselarasan sosial dan kebajikan .... Kita harus mendorong pertukaran sosial dan material antara sesama yang sederajat. (… if we are to recover social harmony and virtue .... We must encourage social and material exchange among equals.) Matt Ridley, ahli zoologi dan penulis tentang ilmu pengetahuan, dalam “The Origins of Virtue”, 1997
HIKMAH BELAJAR • 123
Mengetahui keunggulan dan keterbatasan-keterbatasan ACM serta tantangantantangan dalam penerapannya, memungkinkan kami untuk menarik beberapa pelajaran. ACM merupakan suatu pendekatan yang memperoleh wujudnya sepanjang penerapannya di lapangan. Pelajaran-pelajaran yang kami sampaikan berikut ini muncul sepanjang proses tersebut. Beberapa aspek dari pelajaranpelajaran berikut telah didiskusikan dengan lebih rinci pada bagian-bagian terdahulu. 1. Dari proses penelitian, kami belajar bahwa ACM dapat membantu para pemangku kepentingan untuk mengorganisasi dirinya guna menjalin hubungan dan berkolaborasi di antara mereka. Meskipun pemangku kepentingan tertentu mungkin sudah memiliki kemampuan berorganisasi dan bekerja sama di dalam kelompoknya sendiri, bisa jadi mereka kurang mampu untuk saling berhubungan dan berkolaborasi dengan pihak-pihak lain. Ini terjadi di lokasi-lokasi penelitian kami karena di masa lalu para pemangku kepentingan kurang berkesempatan dalam mengembangkan hubungan di antara mereka. Dalam kurun waktu kurang dari dua tahun, pengorganisasian kelompok-kelompok pemangku kepentingan meningkat. Pada gilirannya hal ini meningkatkan mutu proses pengambilan keputusan bersama.
Seiring dengan perjalanan penelitian aksi, tim kami belajar bagaimana ACM mempengaruhi hutan dan para pemangku kepentingan.
124 • BAB TUJUH
2. Seperti telah dicatat di atas, ACM sangat membantu dalam mendorong para pemangku kepentingan untuk saling menjalin hubungan dan berorganisasi di antara mereka. Cara ACM melakukan hal ini adalah dengan mendorong pembelajaran yang iteratif. Dalam siklus penelitian aksi partisipatif, langkah yang berulang-ulang itu mendukung pembelajaran semacam ini. Keempat prinsip yang digunakan ACM dalam mengorganisasikan pembelajaran bersama bagi para pemangku kepentingan adalah: kepemilikan para pemangku kepentingan atas proses pembelajarannya, keterwakilan semua pemangku kepentingan, pembelajaran berdasarkan pengalaman, dan pembelajaran melalui komunikasi. 3. Pelajaran ketiga berkenaan dengan perbedaan kekuasaan di antara para pemangku kepentingan. Sebagai orang luar, kita sering tidak melihat adanya ketimpangan kekuasaan antara para pemangku kepentingan. Ketika memasuki lokasi terpencil, mungkin nampaknya para pemangku kepentingan lokal hidup dengan damai dan harmonis dan tidak ada permainan kekuatan di antara mereka. Kita cenderung berpikir bahwa politik hanya berperan di ibu kota, wilayah perkotaan, atau di DPRD. Namun walaupun tidak selalu tampak di permukaan, perbedaan-perbedaan yang menyebabkan konflik ada di mana-mana, termasuk di masyarakat dan kelompok-kelompok lokal. Kita mungkin tidak melihat ketimpangan-ketimpangan yang ada karena para pemangku kepentingan yang lemah cenderung diam atau kita kurang dapat “mendengar suara mereka”. Bisa juga masyarakat berpura-pura tidak ada perbedaan pendapat atau konflik di antara mereka. Sebagai orang luar bisa jadi kita tidak mempunyai “alat untuk mendengarkan” pihak yang “tidak bersuara”. ACM telah sangat membantu tim kami, sebagai orang luar, untuk lebih peka terhadap perbedaan-perbedaan kekuasaan antara para pemangku kepentingan. ACM dapat membuat perbedaan semacam ini tampak lebih nyata dan pada saat yang sama memfasilitasi para pemangku kepentingan dalam menghadapinya. Situasi-situasi konflik dikendalikan (dikelola) melalui proses-proses sosial yang muncul di antara para pemangku kepentingan. 4. Seperti yang telah dipaparkan dalam Bab 6 kegiatan-kegiatan ACM sangat menyita waktu sehingga para pemangku kepentingan yang miskin kurang terlibat dan kurang memperoleh manfaat dari pembelajaran dalam ACM dibandingkan para pemangku kepentingan lainnya. Untuk menghindari hal ini, dalam upaya-upaya kita, pemangku-pemangku kepentingan yang miskin dan kurang berdaya perlu diberi perhatian yang sesuai sehingga mereka dapat memperoleh manfaat secara adil. 5. Keterbatasan yang lain adalah bahwa ketika perbedaan kekuasaan antara para pemangku kepentingan sangat timpang, pemangku-pemangku kepentingan yang lebih berkuasa ternyata tidak terdorong untuk belajar.
HIKMAH BELAJAR • 125
Mereka cenderung mempertahankan perilaku kuno mereka dan kurang adaptif dalam mengadopsi cara-cara baru. Seorang fasilitator harus mencari cara-cara yang kreatif untuk mendorong para pemangku kepentingan ini agar lebih terbuka dan bersedia untuk belajar dari pihak-pihak lain. 6. Pelajaran terakhir berkenaan dengan nilai tambah ACM pada pengelolaan hutan di Indonesia. Dari pengalaman kami dalam menerapkan ACM, kami meyakini bahwa pendekatan ini menawarkan tiga nilai tambah bagi pengelolaan hutan: a) ACM meningkatkan kemampuan para pemangku kepentingan untuk mengorganisasi di antara mereka untuk beraksi dan melakukan pemantauan bersama b) ACM memacu para pemangku kepentingan untuk belajar secara sadar dan sistematis di antara mereka dan dari lingkungan alam untuk kemudian beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi c) ACM menyediakan cara pengelolaan hutan dimana fasilitasi (pembelajaran) dan pengkajian/penelitian berjalan seiring dan saling memperkuat satu dengan yang lainnya.
Bagian Empat Implikasi dan Kesimpulan
Didasarkan pada hikmah belajar dari penelitian ACM kami, Bagian Empat membahas implikasinya untuk pengelolaan hutan di Indonesia (Bab 8) dan menyajikan kesimpulan kami dari penelitian dan penerapan ACM (Bab 9).
8 MENERAPKAN ACM SECARA LUAS DALAM PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA
... prosesnya tidak berakhir dengan penciptaan pengetahuan baru. Harus ada juga komitmen untuk bertindak yang mengarah pada perilaku lingkungan dan sosial yang selaras dengan pembangunan berkelanjutan. (… the process does not end in the creation of new knowledge. There must also be commitment to action that leads to environmental and social conduct compatible with sustainable development.) Cecilia von Sanden dan Graciela Evia dari Centro de Investigación y Promoción Franciscano y Ecológico (Uruguai) dalam “Environmental Learning”, 1993
MENERAPKAN ACM SECARA LUAS DALAM PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA • 131
Pelajaran-pelajaran yang diperoleh tim kami dari penerapan ACM di kedua lokasi di Indonesia berimplikasi bagi pengelolaan hutan di negeri ini. Bab ini memaparkan beberapa implikasi yang kami pandang penting.
Mengapa Repot-Repot dengan Pembelajaran dalam Pengelolaan Hutan? Seperti yang disampaikan dalam Bab 3, pendekatan partisipatif telah berkembang melalui berbagai percobaan yang bersifat “uji dan ralat” (trial and error) namun yang pada kenyataannya berjalan lamban. Upaya-upaya pemerintah pada umumnya masih bersifat top-down dan terlalu berhati-hati dalam bereksperimen dengan pendekatan partisipatif. Upaya-upaya tersebut didasarkan pada kerangka pemikiran yang membatasi ruang untuk berpikir secara kreatif dan inovatif. Oleh karena itulah dibutuhkan pembelajaran yang dapat menggugat modelmodel mental seperti itu. Pembelajaran menawarkan sebuah opsi untuk mengembangkan pengelolaan hutan yang lebih baik, tetapi pembelajaran itu harus bisa menggugat kerangka-kerangka berpikir yang lama dan kaku. Dari penelitian ACM, kami belajar bahwa pendekatan semacam ini dapat merupakan nilai tambah bagi program-program dan kebijakan kehutanan karena mempercepat proses pembelajaran dan mengaktifkan pengetahuan, yang kemudian ditransformasikan menjadi perubahan melalui aksi. Kondisi yang dapat memicu percepatan seperti itu dapat kita ciptakan. Pertama, pembelajaran perlu diperluas agar mencakup pula para pelaku pengelolaan hutan serta melibatkan masyarakat dan kelompok-kelompok lokal, bukan hanya para petugas dan pejabat pemerintah, karyawan perusahaan, dan staf LSM. Selain itu, jaringan atau platform untuk pertukaran informasi dan pengetahuan yang dilakukan secara strategis dan terencana perlu dikembangkan. Terakhir, pentinglah pula untuk menghubungkan kegiatan-kegiatan berbagi pengetahuan dan informasi dengan aksi dan pengalaman nyata di lapangan.
Berbagi Kerja antara Pemerintah, LSM, dan Lembaga Penelitian Persoalan-persoalan pengelolaan hutan saat ini terlalu kompleks dan tidak pasti dengan laju perubahan lingkungan alam dan sosial yang cepat untuk dihadapi oleh pemerintah sendiri. Berbagi tanggung jawab secara kemitraan antara pemerintah, LSM, dan lembaga penelitian akan lebih efektif karena masingmasing akan membawa pengetahuan, sumber daya, dan kapasitas lainnya ke dalam proses.
132 • BAB DELAPAN
Namun, dalam praktek ACM yang kami lakukan, kami melihat bahwa suatu kerja sama tidak akan menghasilkan sinergi, kecuali jika para mitra yang terlibat merumuskan sendiri hubungan kemitraan mereka. Oleh karena itu penting jika aturan main tentang kemitraan dikembangkan bersama oleh para mitra tanpa adanya tekanan dari pihak luar.
Melibatkan Pemangku Kepentingan dalam Pengembangan dan Penerapan Kebijakan Kehutanan Berdasarkan pengalaman kami dalam melakukan penelitian aksi ACM bersama pemangku kepentingan, kami melihat bahwa identifikasi dan analisis pemangku kepentingan diperlukan untuk program kehutanan apa pun. Hal tersebut terutama diperlukan untuk menentukan sejauh mana kegiatan program mempengaruhi berbagai pemangku kepentingan dan, sebaliknya, bagaimana mereka dapat mempengaruhi berjalannya program tersebut. Meskipun demikian, mengidentifikasi dan menganalisis para pemangku kepentingan bukan sesuatu yang sederhana.
Penting bagi para perencana program dan staf kantor lainnya untuk secara teratur mengunjungi lapangan dan mengadakan pertemuan dengan para pemangku kepentingan lokal. Sebaiknya suatu rencana jangan hanya disusun dari belakang meja kantor.
MENERAPKAN ACM SECARA LUAS DALAM PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA • 133
Sangatlah penting untuk melakukan identifikasi dan analisis pemangku kepentingan secara sistematis dan secara kritis. Proses ini harus diulang secara berkala sepanjang program. Analisis pemangku kepentingan harus dilakukan secara dinamis dan kreatif sehingga dapat mengembangkan kepekaan para pelaksana program terhadap permainan kekuasaan antara pemangku-pemangku kepentingan. Untuk pelibatan para pemangku kepentingan dalam pembuatan kebijakan, konsultasi dan bentuk pelibatan mereka harus diintegrasikan dalam keseluruhan proses. Oleh karena keterbatasan waktu yang dimiliki pemangku-pemangku kepentingan lokal, kegiatan konsultasi harus diselenggarakan sesuai dengan kesibukan mereka sehari-hari. Kurang “tampaknya” kelompok-kelompok tertentu di dalam masyarakat, seperti perempuan atau kaum miskin, perlu mendapat perhatian khusus dalam menyelenggarakan konsultasi dan merencanakan program yang melibatkan mereka. Staf lapangan bisa ditugaskan untuk menjalin hubungan dengan mereka secara informal dan untuk berperan sebagai sumber informasi yang berharga untuk para perencana program. Namun demikian, untuk para perencana program tersebut, belajar dari lapangan tetaplah merupakan hal penting dalam melakukan tugasnya. “Dunia di luar sana” harus dipelajari—atau perlu dihadirkan lebih dekat—dan bukannya hanya direnungkan di kantor. Dalam mengembangkan dan melaksanakan kebijakan kehutanan, mencari keseimbangan antara berbagai sasaran para pemangku kepentingan merupakan hal yang penting. Dalam prakteknya, keseimbangan tersebut dapat diraih secara bertahap. Misalnya, kita dapat mengadakan suatu pertemuan di antara para pemangku kepentingan untuk mendampingi mereka dalam menemukan dasar pijakan bersama. Pertemuan-pertemuan berikutnya dapat digunakan untuk, sedikit demi sedikit tapi dengan pasti, mengembangkan lebih lanjut dasar pijakan tersebut. Apabila sebuah dasar pijakan bersama sama sekali tidak dapat ditemukan, baru kita perlu mencari pihak yang dapat membantu untuk “campur tangan” dan memberi arahan. Melibatkan para pemangku kepentingan dalam program kehutanan menyiratkan bahwa para pelaksana program harus mendorong terbentuknya hubungan yang konstruktif antara pemangku-pemangku kepentingan. Salah satu kondisi yang dapat membantu dalam hal ini adalah adanya mekanisme komunikasi untuk pertukaran informasi dan pengetahuan antara pemangku-pemangku kepentingan, seperti forum atau jaringan. Manakala hubungan-hubungan antara para pemangku kepentingan itu tumbuh dan berkembang, pada akhirnya dorongan dari luar tidak akan diperlukan lagi. Singkatnya, program-program kehutanan seharusnya berinvestasi untuk mengembangkan ruang-ruang komunikasi semacam itu.
134 • BAB DELAPAN
Menuju Tujuan Jangka Panjang Sementara Bekerja dengan Sasaran Jangka Pendek Keluhan umum di antara para pelaksana program kehutanan adalah bahwa karena rencana program sering dibuat di kantor pusat, dalam pelaksanaannya sebuah program sulit disesuaikan. Perencanaan terpusat seperti itu sering masih dianggap tepat dan benar kendati kenyataan menunjukkan hal yang sebaliknya, yakni bahwa rencana program sering tidak cocok dengan keadaan nyata lokal. Di kalangan para perencana program, pelaksana, dan staf lapangan, pandangan bahwa rencana adalah sesuatu yang tuntas dan tidak dapat diubah lagi, masih sering kita temukan. Dari penelitian aksi yang kami lakukan bersama para pemangku kepentingan, kami belajar bahwa sebenarnya sulit untuk membuat rencana program yang final, terutama karena tidak selalu jelas bagaimana tujuan jangka panjang dapat dicapai. Dalam membuat suatu rencana, akan lebih realistis jika kita melihat rencana itu sebagai sesuatu yang bersifat sementara. Penyesuaian rencana semula dapat dilakukan sepanjang waktu guna mengakomodasi berbagai perkembangan yang tidak terduga sebelumnya. Selama bumi berputar hal-hal tidak terduga akan selalu ada dan karenanya suatu rencana harus bersifat terbuka, sementara tetap terfokus pada tujuan jangka panjang. Untuk mempraktekkannya, misalnya, dalam suatu pertemuan para pemangku kepentingan membuat rencana konkret jangka pendek untuk suatu kegiatan, yang pada pertemuan berikut dapat dievaluasi. Hasil evaluasi kemudian dipakai untuk membuat rencana jangka pendek tahap berikut, namun dengan tetap tertuju pada tujuan jangka panjang. Proses ini diulang pada pertemuan berikut yang dapat digunakan para pemangku kepentingan guna mengevaluasi dan menyesuaikan rencana-rencana jangka pendek sesuai dengan kebutuhan yang muncul. Dalam memantau pelaksanaan rencana-rencananya secara kolaboratif di antara para pemangku kepentingan, daripada menggunakan aturan pemantauan yang kaku akan lebih membantu jika kita mengupayakan terbentuknya hubungan konstruktif di antara mereka. Membangun hubungan seperti itu dapat mendorong berkembangnya secara alami proses pemantauan yang dilakukan para pemangku kepentingan secara kolaboratif.
Mengadopsi Pendekatan Proses dalam ProgramProgram Kehutanan Sebagian besar organisasi dan instansi yang memprakarsai dan melaksanakan program kehutanan mempunyai staf yang banyak tahu dan terampil dalam aspekaspek biofisik dan teknis kehutanan, tetapi cenderung kurang berpengalaman dalam mendorong proses-proses sosial di antara para pemangku kepentingan. Pada umumnya, program-program kehutanan kurang memperhatikan keluaran-
MENERAPKAN ACM SECARA LUAS DALAM PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA • 135
keluaran proses—seperti kepercayaan antara para pemangku kepentingan— dibandingkan dengan keluaran-keluaran yang lebih nyata dan lebih mudah diukur—seperti jumlah bibit yang diperoleh dari kebun wanatani. Singkatnya, staf lapangan kehutanan pada umumnya kurang siap untuk memfasilitasi proses sosial. Penelitian ACM kami menunjukkan bahwa kunci keberhasilan program kehutanan adalah proses. Hal ini terutama penting dalam pengembangan hubungan antara para pemangku kepentingan karena pada akhirnya hubunganhubungan itulah yang sangat mempengaruhi lingkungan alam dan sosial. Oleh karena itu, kami menyarankan agar perencana-perencana program kehutanan memasukkan dalam perencanaannya peningkatan kemampuan staf lapangan untuk dapat memfasilitasi proses, maupun menyertakan indikator-indikator proses untuk memantau pelaksanaan program. Kami lebih lanjut menganjurkan agar birokrasi pemerintah mengembangkan mekanisme pemantauan yang tidak kaku. Staf lapangan perlu diberi ruang yang lebih luas untuk bergerak dengan lebih mandiri dalam menangani prosesproses yang berkembang di antara para pemangku kepentingan. Jika memiliki keleluasaan itu, staf lapangan akan lebih mampu mengakomodasikan kebutuhankebutuhan yang berkembang di antara para pemangku kepentingan. Pengalaman kami selama penelitian menunjukkan bahwa siklus penelitian aksi partisipatif dapat membantu mengorganisasikan pembelajaran bagi para pemangku kepentingan dalam menempuh proses belajar mereka. Kami menyarankan proyek-proyek kehutanan menyelenggarakan kegiatan yang mengikuti siklus pembelajaran semacam ini.
Fasilitasi Multipihak yang Efektif Mengingat kompleksitas lingkungan sosial dan alam yang dihadapi bidang kehutanan, program-program kehutanan harus dilengkapi dengan dasar yang kuat dalam hal memfasilitasi proses-proses multipihak secara efektif. Staf yang memadai untuk pekerjaan fasilitasi merupakan suatu keharusan karena para fasilitator inilah yang merupakan kunci keberhasilan program-program kehutanan. Oleh karena itu, suatu program kehutanan harus mengalokasikan dana yang memadai untuk pengembangan fasilitasi yang bermutu serta memberikan imbalan dan penghargaan lainnya yang memadai terhadap pekerjaan para fasilitator di lapangan. Sifat penting yang harus dimiliki fasilitator multipihak adalah kepekaan terhadap perbedaan kekuasaan antara para pemangku kepentingan. Berbagai
136 • BAB DELAPAN
Fasilitasi yang bermutu adalah kunci keberhasilan.
alat dan metode dapat membantu para fasilitator dalam memfasilitasi proses, tetapi keterampilan para fasilitator berdasarkan kepekaan itu merupakan “alat fasilitasi” terpenting. Kepekaan semacam ini dapat dikembangkan seiring dengan berjalannya waktu dan meningkatnya pengalaman mereka. Salah satu unsur kunci fasilitasi adalah mendorong arus komunikasi yang adil dan seimbang antara para pemangku kepentingan. Peran utama fasilitator adalah mendampingi multipihak dalam berkomunikasi. Untuk itu para fasilitator harus memiliki indikator-indikator tentang kepatutan, keseimbangan, dan keadilan dalam proses komunikasi antara para pemangku kepentingan. Jika terjadi ketimpangan dalam proses itu fasilitator harus mendampingi pihak-pihak yang kurang mempunyai kemampuan berkomunikasi untuk menyampaikan pandangannya. Unsur kunci fasilitasi lainnya adalah mengembangkan proses pengambilan keputusan bersama. Pengalaman kami menunjukkan bahwa memfasilitasi proses pengambilan keputusan bersama benar-benar merupakan tantangan bagi para fasilitator. Sering ada kecenderungan para fasilitator untuk mendorong proses pengambilan keputusan ke arah yang sesuai dengan keinginannya. Oleh karena itu, para fasilitator multipihak yang efektif harus bisa menjadi pendengar yang baik, tidak hanya dengan telinganya, tetapi juga dengan hatinya.
MENERAPKAN ACM SECARA LUAS DALAM PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA • 137
Dalam situasi konflik, sangat penting menyatakan dengan jelas bahwa fasilitator berposisi bebas dan tidak berpihak pada salah satu pihak yang berkonflik. Pada saat yang sama semua pihak harus mengetahui kepada siapa seorang fasilitator bertanggung jawab, misalnya, apakah ia bekerja untuk suatu LSM lokal, dinas kehutanan, atau suatu organisasi tingkat nasional. Hal ini akan mempermudah pihak-pihak yang difasilitasi untuk menilai posisi fasilitator dalam keseluruhan proses. Beberapa unsur kunci dalam memediasi konflik pada program-program kehutanan adalah: • Fasilitasi pengungkapan asumsi-asumsi agar menjadi lebih nyata dan jelas (eksplisit) sehingga tidak menghalangi komunikasi • Tetapkan sebagai salah satu tujuan fasilitasi pembangunan hubungan yang konstruktif antara pihak-pihak yang berada dalam konflik • Jelaskan kepada semua pihak apa yang menjadi tujuan-tujuan negosiasi sepanjang prosesnya: apakah mengembangkan pemahaman (“Mengapa kita lebih suka pilihan tertentu dari antara pilihan-pilihan yang ada?” “Bagaimanakah pilihan kita mempengaruhi pihak lain dan diri kita sendiri?”), ataukah memutuskan untuk memilih alternatif tertentu (“Apa yang akan kita lakukan?”) • Pastikan bahwa perundingan menjangkau semua kelompok-kelompok kepentingan dan tidak hanya melibatkan para wakil mereka. Ingatlah bahwa suatu sengketa biasanya melibatkan para anggota kelompok, bukan hanya para wakil atau pimpinan mereka.
Dicari: Fasilitator yang Memiliki Komitmen! Mengingat tantangan-tantangan yang luar biasa dalam mengembangkan program-program kehutanan, fasilitator multipihak yang mempunyai komitmen sangat dibutuhkan. Kriteria penting untuk fasilitator seperti itu adalah: • Kesediaan mereka bukan saja untuk melakukan tugasnya, tetapi juga untuk selalu belajar dan terbuka untuk mengadopsi pendekatan-pendekatan baru • Kesediaan mereka untuk merefleksikan secara kritis kinerjanya • Kesiapan mereka untuk menghadapi keadaan-keadaan yang sulit dalam bekerja dengan berbagai pihak.
Ciptakan Ruang Pembelajaran dalam Organisasi Kita Sendiri Program-program kehutanan perlu dibangun atas dasar pembelajaran dan proses. Berdasarkan pengalaman kami, suatu organisasi yang menggerakkan pembelajaran, harus juga mempraktekkan pembelajaran di dalam organisasi
138 • BAB DELAPAN
itu sendiri. Lingkungan organisasional harus kondusif untuk memfasilitasi pembelajaran di luar “dinding-dinding” organisasi. Tentu akan sangat ironis jika kita berkhotbah tentang perlunya pembelajaran tetapi tidak mempraktekkannya sendiri. Namun demikian, mengembangkan pembelajaran organisasional bukanlah suatu hal yang mudah. Sering staf dan departemen-departemen dalam organisasi sibuk dengan prioritas program mereka masing-masing, ada banyak surat yang perlu dijawab, dan mekanisme komunikasi antardepartemen sering tidak ada. Selain itu, staf organisasi mungkin tidak melihat manfaatnya untuk belajar dari rekanrekan sejawatnya. Untuk meningkatkan pembelajaran dalam organisasi kita sendiri, kita perlu mengidentifikasi insentif organisasional yang tepat. Staf perlu diyakinkan bahwa dengan belajar mereka akan memperoleh sesuatu. Organisasi yang menggeluti persoalan hutan harus kreatif dalam mengembangkan struktur insentif dan penghargaan bagi stafnya yang berhasil mendorong pembelajaran, tidak hanya pembelajaran di luar organisasi tetapi juga di dalamnya, yakni dari rekan kerja dan staf lainnya.
Penelitian dan Pengembangan Ada beberapa implikasi pengalaman kami dalam menerapkan ACM untuk penelitian dan pengembangan program kehutanan yang perlu mendapat perhatian. Pertama, dibutuhkan upaya untuk menjembatani kesenjangan di antara kantor para pembuat kebijakan dan perancang proyek serta “kehidupan nyata”. Sering kita melihat bahwa orang-orang sibuk, banyak kegiatan yang nampaknya menjadi lebih mendesak daripada kegiatan lapangan, ataupun sumber daya keuangan tidak ada. Guna mengatasi masalah ini, organisasi-organisasi pendidikan dan pelatihan dapat mengambil peran dalam mengembangkan materi pelatihan, buku-buku pedoman, atau alat-alat bantu untuk “mengumpulkan pengalaman lapangan” dengan lebih efektif. Pengalaman lapangan sangat diperlukan untuk mengarahkan para pembuat kebijakan dan perancang program; staf lapangan merupakan salah satu narasumber untuk hal ini. Di atas telah kami sebutkan bahwa para fasilitator multipihak yang efektif sangat dibutuhkan. Suatu anggapan umum adalah bahwa staf lapangan, baik pada instansi-instansi pemerintah maupun LSM-LSM, telah memiliki kemampuan untuk menggunakan metode-metode partisipatif dalam memfasilitasi pemangkupemangku kepentingan. Namun pengalaman kami menunjukkan bahwa anggapan
MENERAPKAN ACM SECARA LUAS DALAM PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA • 139
itu sering kurang benar; para fasilitator yang mempromosikan pembelajaran di kalangan para pemangku kepentingan membutuhkan keahlian dan kemampuan tertentu yang relatif baru bagi kebanyakan organisasi dan staf lapangan yang menggeluti bidang pengelolaan hutan, sementara kemampuan itu belum dimiliki atau dikuasai sepenuhnya. Karenanya, pelatihan untuk fasilitator dan pelatihan untuk para pelatih (ToT) dalam hal fasilitasi multipihak diperlukan untuk berbagai instansi dan organisasi yang bekerja di bidang kehutanan. Berdasarkan penelitian kami sendiri, kami mengidentifikasi beberapa persoalan yang memerlukan pengkajian lebih lanjut. Kita perlu mengetahui lebih banyak tentang: • Insentif22 dan disinsentif bagi pembelajaran dan kolaborasi antara berbagai pemangku kepentingan kehutanan • Bagaimana pembelajaran antara para pemangku kepentingan mempengaruhi lingkungan alam mereka, dan sebaliknya • Keahlian, pengetahuan, dan sikap apa yang dibutuhkan para fasilitator multipihak agar dapat bekerja dengan efektif • Budaya kelembagaan apa yang diperlukan untuk mendukung pembelajaran dalam bidang kehutanan, dan sejauhmana birokrasi dapat direformasi agar mendukung pembelajaran • Terakhir, bentuk kepemimpinan apa yang dibutuhkan pada berbagai tingkatan pengelolaan hutan untuk mendukung pembelajaran dalam lingkungan yang kompleks dan tidak pasti.
Pendanaan Pembelajaran Bersama Kebutuhan pembelajaran bersama antara para pemangku kepentingan dalam program-program kehutanan juga berimplikasi pada pendanaan. Para donor sangat perlu menyadari bahwa pendanaan program pembelajaran bersama sangat berbeda dari pendanaan program lainnya. Keluaran-keluaran program pembelajaran bersama sering tidak dapat tercapai dalam waktu yang singkat. Ini berarti bahwa tujuan proyek perlu dirumuskan dalam bentuk keluaran-keluaran proses dan bahwa komitmen jangka panjang untuk program seperti itu sangat dibutuhkan. Implikasi lainnya adalah bahwa para penyandang dana perlu mengembangkan perangkat-perangkat alternatif untuk pertanggungjawaban proyek, dan untuk ini kreativitas sangat diperlukan. Misalnya, di samping kerangka logis (logical framework) proyek, perlulah dikembangkan cara-cara lain untuk memantau kemajuan proyek. Selain itu, penganggaran suatu proyek harus dapat mengakomodasikan kebutuhan-kebutuhan yang muncul kemudian berdasarkan kegiatan pembelajaran.
140 • BAB DELAPAN
Para penyandang dana sebaiknya mendorong organisasi-organisasi yang mengajukan proposal pendanaan untuk mengalokasikan anggaran yang memadai dalam pos tersendiri untuk kegiatan-kegiatan pelatihan fasilitasi multipihak dan pembelajaran organisasional. Alokasi biaya untuk pengembangan staf dan kegiatan belajar bersama di dalam organisasi sering sangat kurang, baik dalam anggaran instansi-instansi pemerintah, perusahaan, maupun LSM. Selain itu, sering diasumsikan bahwa kebanyakan staf lapangan telah cukup terampil dalam menggunakan metode partisipatif dalam memfasilitasi multipihak. Pembentukan sebuah platform dan jaringan multipihak untuk mendukung proses pembelajaran bersama tentang berbagai persoalan kehutanan merupakan aspek penting lainnya yang membutuhkan perhatian dalam pendanaan programprogram pembelajaran.
Dalam kegiatan belajar di tingkat lapangan, akan muncul kebutuhan-kebutuhan yang perlu diakomodir secara memadai dalam anggaran.
9 CATATAN PENUTUP
Sebagai manusia, pada dasarnya kita terjaga dan dapat memahami kenyataan. … Kita menemukan bahwa, bagaimanapun, kita dapat menangani dunia kita, jagat raya kita, dengan semestinya dan seutuhnya secara luhur. Chögyram Trungpa, guru agama Budha
CATATAN PENUTUP • 143
Sebagaimana dibuktikan kegiatan lapangan kami, pendekatan seperti ACM yang menekankan pada pembelajaran yang dilakukan dengan sadar dan cermat serta mengikuti siklus-siklus yang iteratif, memiliki dua keunggulan mendasar. Pertama, ACM memacu para pemangku kepentingan untuk belajar dari tindakan-tindakan mereka dan menyesuaikan strategi pengelolaan mereka berdasarkan proses pembelajaran tersebut. Kedua, ACM mendorong para pemangku kepentingan untuk membangun hubungan yang konstruktif di antara mereka. Kami tidak mempunyai resep atau panduan yang baku untuk penerapan ACM atau pendekatan-pendekatan serupa. Apa yang telah kami coba sampaikan dalam buku ini hanyalah cara kami melakukannya agar para pembaca buku ini dapat menarik pelajaran dari pengalaman kami. Harapannya adalah tentu, para pembaca dapat mengembangkan kerangka panduan mereka sendiri, yang akan berkembang seiring dengan kemajuan program atau kegiatan di lapangan. Kunci dari pendekatan seperti ini adalah menciptakan kondisi-kondisi yang tepat untuk memungkinkan para pemangku kepentingan belajar bersama. Dalam pengalaman kami kondisi-kondisi itu dapat diciptakan jika kegiatan fasilitasi dilakukan atas dasar empat prinsip: • Para pemangku kepentingan harus mempunyai rasa kepemilikan atas pembelajarannya sendiri
Menciptakan kondisi yang tepat untuk pembelajaran para pemangku kepentingan akan berdampak positif terhadap keadaan hutan dan hubungan antara para pemangku kepentingan lokal.
144 • BAB SEMBILAN
• Semua pemangku kepentingan harus terwakili dalam kegiatan-kegiatan belajar • Pengalaman harus menjadi inti pembelajaran • Pembelajaran harus terjadi melalui komunikasi. Kondisi-kondisi itu tidak akan muncul dengan sendirinya. Peran fasilitator sangat menentukan. Agar efektif, seorang fasilitator pembelajaran harus menjadi pendengar yang baik, memiliki rasa keadilan, dan mampu mendorong proses komunikasi antara para pemangku kepentingan. Terakhir, yang tidak kalah pentingnya, ia harus memiliki kemauan untuk belajar dari tindakan-tindakannya dalam memfasilitasi para pemangku kepentingan, dan senantiasa menyesuaikan strategi fasilitasinya sesuai dengan pembelajaran itu. Seperti telah dibuktikan kegiatan lapangan kami, pendekatan seperti ACM yang menekankan pada pembelajaran dan proses, dapat meningkatkan kapasitas manusia (modal manusia) dan mendorong terbangunnya hubungan antara pemangku kepentingan yang konstruktif (modal sosial). Karena keterbatasan waktu penelitian, kami tidak dapat mengamati apakah ACM juga menghasilkan perubahan-perubahan modal sumber daya alam, modal fisik, ataupun modal finansial. Walaupun demikian, kami menemukan beberapa bukti bahwa dalam jangka panjang peningkatan modal sosial dapat membantu terbentuknya ketiga modal itu. Pengalaman kami merupakan suatu pencarian yang kaya, meskipun bukan sesuatu yang selalu mudah, guna menemukan bentuk-bentuk pengelolaan hutan yang baru dan kolaboratif. Dari pengalaman ini, sebagai peneliti-peneliti aksi yang belajar bersama pihak-pihak lokal, kami telah memperoleh banyak pelajaran yang sangat berharga. Karena pengalaman inilah kami mengetahui dengan pasti bahwa pembelajaran dan proses sangat bermakna dalam pemanfaatan dan pengelolaan hutan oleh para pemangku kepentingan. Nah, sekarang kami telah berbagi pengalaman. Kami tertarik untuk mendengar pengalaman Anda juga!
LAMPIRAN
147
LAMPIRAN 1 SUATU KERANGKA UNTUK MENERAPKAN ACM
Lampiran ini menyajikan suatu kerangka untuk menerapkan ACM yang didasarkan pada pengalaman tim kami. Kerangka ini sebaiknya dilihat sebagai petunjuk indikatif dalam mendampingi para pemangku kepentingan untuk bersama-sama menghadapi permasalahan sumber daya lokal, bukannya sebagai pedoman teknis yang siap pakai. Anda tentu memiliki kebebasan penuh untuk menyesuaikan kerangka ini dengan kebutuhan pribadi Anda dan di tempat Anda bergiat. Idealnya, Anda membuat kerangka Anda sendiri, yang kemudian akan berkembang seiring dengan kemajuan kegiatan Anda dalam memfasilitasi para pemangku kepentingan. Kuncinya adalah bahwa sepanjang proses fasilitasi, Anda dengan sadar berusaha menciptakan kondisi yang tepat bagi para pemangku kepentingan untuk belajar bersama, bereksperimen dengan cara dan alat fasilitasi baru, merefleksikan dengan kritis peran Anda sebagai fasilitator pembelajaran, dan bersikap terbuka untuk melakukan penyesuaian (atau bahkan membuang!) cara fasilitasi lama yang kurang efektif. Kerangka yang dipaparkan di sini memberikan langkah-langkah kunci penerapan ACM sebagaimana kami melakukannya. Kerangka ini dapat digunakan pada kegiatan dan program baru atau pada program yang sudah berlangsung selama beberapa waktu. Dengan kata lain, tidak ada aturan tentang kapan kita dapat memulai fasilitasi pembelajaran antara para pemangku kepentingan. Dari pengalaman, kami belajar bahwa ACM bisa memberi nilai tambah pada setiap situasi ketika para pemangku kepentingan berinteraksi, terlepas dari tahap program yang sedang dilaksanakan. Ada tiga jenis kegiatan untuk membentuk keadaan yang tepat bagi pembelajaran para pemangku kepentingan: 1. Mempersiapkan pembelajaran 2. Mengorganisasikan pembelajaran 3. Memfasilitasi pembelajaran. Dalam kerangka yang disajikan di bawah ini, tujuan setiap kegiatan disampaikan, langkah-langkah kunci dan bagaimana menerapkannya diuraikan, serta beberapa alat bantu atau metode dianjurkan untuk setiap langkah pelaksanaan. Pada Lampiran 2 Anda akan menemukan perangkat alat bantu yang memberi uraian singkat tentang alat-alat bantu atau metode-metode tersebut.
Namun Anda harus menyadari bahwa membangun hubungan harus menjadi bagian dari keseluruhan program dan tidak hanya penting pada tahap awal ini.
Sebagai fasilitator ACM, penting bagi Anda untuk mulai mengembangkan hubungan baik dengan para pemangku kepentingan lokal sedini mungkin setelah memasuki lokasi dampingan. Hal ini terutama penting jika Anda berasal dari luar lokasi dampingan. Hubungan yang baik akan sangat menentukan hasil akhir program Anda dan merupakan keharusan dalam menjalankan tugas Anda sebagai fasilitator.
1. Membangun hubungan baik
Langkah
Cara yang efektif untuk membangun hubungan adalah menjadikan diri Anda bagian dari keseharian para pemangku kepentingan lokal, baik para pemangku kepentingan di tingkat komunitas maupun pejabat dan staf pemerintah, atau perusahaan kehutanan. Untuk membangun hubungan dengan para pejabat atau pengusaha, Anda memerlukan interaksi yang tidak hanya terbatas pada kesempatan formal, seperti pertemuan resmi, tetapi juga dengan cara-cara informal. Anda, misalnya, dapat mengundang mereka untuk minum kopi, ngobrol, atau bermain badminton.
Bagaimana melakukannya
Untuk tahap program ini, pada dasarnya Anda tidak membutuhkan alat bantu. Yang dibutuhkan adalah kepribadian Anda sebagai fasilitator. Karena itu, Anda harus selalu sadar akan peran Anda dalam hubungannya dengan para pemangku kepentingan di lokasi yang bersangkutan. Refleksikan peran ini secara terusmenerus. Fokuskan upaya-upaya fasilitasi Anda pada pengembangan hubungan yang konstruktif dengan para pemangku kepentingan. Untuk mencapai hal ini Anda perlu menunjukkan rasa menghargai orang lain, empati, dan rasa percaya kepada pemangku-pemangku kepentingan yang berinteraksi dengan Anda.
Alat bantu/metode apa yang digunakan
Ada tiga tujuan utama dari kegiatan ini, yaitu: • Membangun hubungan dengan para pemangku kepentingan di lokasi pendampingan • Mengetahui konteks dari pembelajaran yang akan dilakukan • Mengidentifikasi pokok-pokok permasalahan yang ingin ditangani bersama oleh para pemangku kepentingan Pada prakteknya ini berarti bahwa ada tiga langkah, masing-masing sesuai dengan salah satu dari tiga tujuan di atas.
Kegiatan 1: Mempersiapkan Pembelajaran
148 • LAMPIRAN 1
Kondisi hutan saat ini dan kesejahteraan masyarakat yang memanfaatkannya, sebagian dipengaruhi oleh penggunaan dan pengelolaan hutan pada masa lalu. Maka, penting bagi Anda untuk mengembangkan pengetahuan dasar tentang sejarah pengelolaan hutan.
2A. Sejarah pengelolaan hutan
2. Memahami konteks
Langkah
Anda dapat mengembangkan suatu gambaran sejarah pengelolaan hutan dengan mengumpulkan informasi tentang tiga aspek: • Perubahan dan kecenderungan dalam hal ketersediaan sumber daya hutan di masa lalu. • Faktor-faktor yang mendorong terjadinya perubahan ini (misalnya, masalah ekologi seperti hama babi, masalah ekonomi seperti introduksi tanaman komersial, masalah teknologi seperti penggunaan karet sintetis, yang mempengaruhi harga karet alam, atau masalah sosial-politik seperti perang antarnegara yang menuntut petani muda menjadi tentara). • Cara masyarakat lokal, pemerintah, dan para pemangku kepentingan lainnya menanggapi perubahan tersebut.
Bagaimana melakukannya
Sebelum menentukan pilihan metode/alat bantu yang akan digunakan, ada beberapa hal yang patut diperhatikan: • Pastikanlah bahwa semua kelompok sosial terwakili dalam pengumpulan data, termasuk perempuan. Sekalipun belum mengidentifikasi secara rinci siapa para pemangku kepentingan, dari interaksi awal, Anda telah memiliki gambaran tentang siapa saja mereka. Penting untuk disadari bahwa kelompok-kelompok yang berbeda akan mempunyai pengalaman sejarah yang berbeda pula. • Di antara para kelompok, orang-orang yang tua merupakan sumber penting untuk menemukan fakta sejarah. Di samping itu, pejabat pemerintah atau perusahaan yang telah berada di lokasi program Anda beberapa lama bisa merupakan sumber berharga untuk mendapatkan informasi.
Pertemuan informal dengan para pemangku kepentingan merupakan kesempatan yang baik untuk mengumpulkan informasi tentang sejarah pengelolaan hutan. Namun di samping itu, tetap penting untuk mengumpulkan informasi dengan cara yang lebih sistematis.
Alat bantu/metode apa yang digunakan
SUATU KERANGKA UNTUK MENERAPKAN ACM • 149
Tingkat keterlibatan para pemangku kepentingan akan mempengaruhi penggunaan dan pengelolaan hutan. Karenanya, penting untuk mengetahui siapa mereka, apa kepentingannya, dan bagaimana mereka saling berhubungan. Di samping itu, mengenali para pemangku kepentingan memungkinkan Anda mempertimbangkan kebutuhan mereka yang mungkin saja akan kurang diuntungkan dalam suatu program kehutanan. Dengan demikian, Anda akan dapat memastikan pembagian yang adil dari manfaat program.
2B. Para pemangku kepentingan, kepentingannya, dan hubungan di antara mereka
Langkah
Untuk mengenali para pemangku kepentingan lokal Anda dapat menggunakan pertanyaanpertanyaan kunci berikut sebagai pedoman: • Siapa yang cenderung dipengaruhi oleh kegiatan pengelolaan hutan, baik secara positif ataupun negatif? • Siapa yang, jika berpartisipasi, akan menjadikan pengelolaan hutan lebih efektif (atau siapa yang, jika tidak berpartisipasi, akan menjadikannya kurang efektif)? • Siapa yang mungkin menentang prakarsa pengelolaan hutan? Apa yang dapat dilakukan untuk mendorong para pemangku kepentingan ini bekerja sama?
Bagaimana melakukannya
Beberapa alat bantu atau metode yang bermanfaat untuk mengenali dan meneliti para pemangku kepentingan adalah: • Matriks siapa yang perlu dipertimbangkan • Diagram Venn • Penyortiran kartu skor • Kerangka tanggung jawab, hak, hasil, dan hubungan (TH3) • Matriks perselisihan para pemangku kepentingan • Pengamatan terlibat (participant observation)
Ada berbagai metode/alat bantu untuk mengumpulkan data. Sangat membantu adalah alat-alat bantu PRA. Anda dapat menggunakan: • Wawancara semiterstruktur • Diskusi kelompok terfokus (FGD) • Alur sejarah yang dikombinasikan dengan metode distribusi kerikil • Transek sejarah lanskap • Pemetaan sumber daya dan pemetaan sosial secara partisipatif
Alat bantu/metode apa yang digunakan
150 • LAMPIRAN 1
Ingatlah bahwa para pemangku kepentingan bisa perseorangan, kelompok masyarakat, lembaga, atau organisasi (seperti kelompok simpanpinjam perempuan). Pemangku kepentingan dapat pula merupakan instansi formal (misalnya, dinas kehutanan), ataupun kelompok informal (misalnya, kelompok tani).
Analisis pemangku kepentingan sering digunakan sebagai dasar perancangan program dan secara umum dianggap perlu untuk penerapan program yang efektif. Tetapi analisis ini dapat pula digunakan untuk membantu para pemangku kepentingan memahami pentingnya pihak lain dalam sistem hutan yang sama. Ketika melakukan pengkajian lapangan tentang para pemangku kepentingan, Anda akan melihat bahwa kajian ini dapat membantu mereka untuk menyadari sendiri kehadiran pemangku kepentingan lainnya dan bagaimana hal ini mempengaruhi kehidupan mereka. Langkah berikutnya adalah mengembangkan pemahaman tentang berbagai kepentingan para pemangku kepentingan serta memahami cara mereka berhubungan satu dengan lainnya. Pertanyaan penting yang dapat digunakan untuk menggali informasi tentang hal ini adalah: • Bagaimana para pemangku kepentingan menggunakan dan mengelola sumber daya hutan? • Barang dan jasa apa yang mereka dapatkan dari sumber daya hutan yang ada itu? • Apa saja hak mereka atas sumber daya tersebut, baik secara de jure (legal, resmi) ataupun de facto (dalam kenyataannya)? • Bagaimana pandangan para pemangku kepentingan tentang pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya hutan tersebut oleh pihak lain? • Apakah para pemangku kepentingan menggunakan dan mengelola sumber daya yang sama? Jika “ya”, bagaimana hubungan di antara mereka dalam hal ini?
Bagaimana melakukannya
Langkah
Alat bantu/metode apa yang digunakan
SUATU KERANGKA UNTUK MENERAPKAN ACM • 151
Di bawah ini diberikan daftar cara yang sering digunakan untuk mengenali dan mengkaji para pemangku kepentingan. Anda dapat memilih cara yang paling sesuai dengan kebutuhan Anda.
Anda dapat menggunakan berbagai cara untuk mengumpulkan informasi (untuk mengidentifikasi para pemangku kepentingan, kepentingannya, atau hubungan di antara mereka), seperti: • Pengumpulan informasi dari para pemangku kepentingan itu sendiri. • Pengumpulan informasi dari perseorangan, maupun kelompok yang banyak tahu tentang para pemangku kepentingan. • Pengumpulan data dari dokumen-dokumen. • Pengamatan terhadap para pemangku kepentingan dan interaksi mereka.
Bagaimana melakukannya
Alat bantu/metode apa yang digunakan
• Identifikasi oleh para pemangku kepentingan itu sendiri: Staf proyek menyebarkan informasi melalui media lokal atau pada saat kunjungan lapangan dan mengundang para pemangku kepentingan untuk menghadiri pertemuan. Resiko: Mereka yang kurang mempunyai akses terhadap media tersebut bisa saja tidak akan menerima informasi itu. Pihak yang kurang berpendidikan atau lebih miskin mungkin akan merasa bahwa mereka tidak perlu datang. Keengganan untuk menghadiri pertemuan bisa terjadi pada pihak yang bersikap menentang karena memiliki pengalaman kurang baik dalam kegiatan yang berhubungan dengan hutan di masa lalu.
Pendekatan-pendekatan yang sering digunakan untuk mengidentifikasi para pemangku kepentingan
Langkah
152 • LAMPIRAN 1
Bagaimana melakukannya
Alat bantu/metode apa yang digunakan
Hukum, regulasi pemerintah, dan aturan resmi mempengaruhi bagaimana para pemangku kepentingan memanfaatkan dan mengelola hutan dan bagaimana mereka berhubungan satu sama lainnya dalam pengelolaan hutan.
2C. Konteks kebijakan dan kelembagaan
Anda dapat mengembangkan pemahaman dasar tentang kerangka kebijakan dan kelembagaan yang terkait dengan pengelolaan hutan melalui pengumpulan informasi tentang aspek-aspek berikut:
Ada berbagai alat bantu yang tersedia untuk mengumpulkan informasi tentang kebijakan. Namun karena masing-masing alat memiliki keunggulan dan kelemahan, akan sangat membantu jika Anda mengkombinasikan alatalat yang berbeda dalam mengumpulkan data. Beberapa alat bantu yang bisa digunakan:
• Identifikasi berdasarkan data demografi: Kelompok-kelompok sosial diidentifikasi secara sistematis berdasarkan karakteristik demografis seperti usia, pekerjaan, atau jender. Sesudah itu, kelompok-kelompok yang menunjukkan kepentingan yang ternyata sama dikelompokkan menjadi satu kelompok. Resiko: Kalau kita menggunakan banyak karakteristik, maka jumlah pemangku kepentingan yang teridentifikasi akan menjadi sangat besar; konsekuensinya tahap pelaksanaan proyek akan sukar untuk ditangani.
• Identifikasi melalui staf lapangan proyek: Staf yang telah tinggal dan bekerja di lokasi yang bersangkutan selama beberapa waktu mungkin akan memiliki pengetahuan yang berharga untuk membantu mengidentifikasi para pemangku kepentingan. Resiko: Staf dapat memilih individu atau kelompok yang pernah bekerja dengannya saja. Perempuan mungkin akan kurang terwakili.
• Identifikasi melalui orang atau kelompok yang banyak tahu: Orang atau kelompok tertentu dapat menjadi sumber informasi yang baik untuk mengidentifikasi para pemangku kepentingan, misalnya orang yang dituakan di desa, perempuan, staf dinas kehutanan, atau masyarakat desa tetangga. Resiko: Para pemangku kepentingan yang kurang tampak bisa jadi akan kurang terwakili.
• Identifikasi oleh para pemangku kepentingan lain: Para pemangku kepentingan yang diidentifikasi pada tahap awal dapat dijadikan sumber informasi tentang para pemangku kepentingan lainnya. Biasanya, pendekatan ini juga membantu untuk memahami siapa saja yang dianggap sebagai wakil oleh para pemangku kepentingan. Selain itu, cara ini juga dapat menolong kita mengidentifikasi pihak lain yang penting untuk dipertimbangkan karena mereka dapat terpengaruhi oleh proyek. Resiko: Ketika ditanya tentang pemangku kepentingan lainnya, pemangku kepentingan tertentu bisa saja lebih menyukai pihak tertentu sementara menyingkirkan pihak yang kurang disukainya.
Langkah
SUATU KERANGKA UNTUK MENERAPKAN ACM • 153
Bagaimana melakukannya
• Status hukum wilayah hutan dan sumber daya di lokasi (misalnya hutan negara yang diberikan sebagai konsesi (HPH) kepada perusahaan, hutan negara yang diberikan pengelolaannya kepada masyarakat lokal (seperti HKm), hak penebangan kayu yang diberikan kepada kelompok pengguna hutan, atau hutan milik perseorangan). • Kebijakan yang berkenaan dengan wilayah hutan dan sumber daya hutan di lokasi yang bersangkutan (baik kebijakan nasional maupun daerah); termasuk kebijakan nonkehutanan yang mempengaruhi pengelolaan hutan (misalnya kebijakan transmigrasi, kebijakan agraria). • Cara kebijakan itu mempengaruhi pemanfaatan dan pengelolaan hutan oleh para pemangku kepentingan. • Instansi pemerintah apa saja yang terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kebijakan tersebut. • Cara masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan kebijakan tersebut.
Langkah
Pada gilirannya hal ini akan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat dan kondisi hutan. Maka, sebagai fasilitator ACM, Anda harus mengembangkan pemahaman yang cukup tentang hal-hal ini. • • • •
Pengkajian dokumen tertulis Wawancara semiterstruktur Wawancara tak terstruktur Diskusi kelompok terfokus (FGD)
Alat bantu/metode apa yang digunakan
154 • LAMPIRAN 1
Memahami keadaan sosial merupakan hal penting karena akan memberi gambaran tentang faktor-faktor sosial, budaya, dan ekonomi yang mempengaruhi pemanfaatan dan pengelolaan hutan.
2E. Keadaaan sosial-budaya dan ekonomi
2D. Konteks biofisik
Langkah
Untuk memahami konteks sosial-budaya dan ekonomi Anda perlu mengumpulkan informasi tentang hal-hal berikut: • Berapa besar populasi di tempat tersebut? Apakah para pemangku kepentingan melihat adanya kebutuhan untuk menyeimbangkan jumlah penduduk dengan ketersediaan sumber daya alam?
Anda dapat menggunakan daftar pertanyaan di bawah ini sebagai panduan dalam mengumpulkan informasi penting tentang lingkungan biofisik: • Bagaimana keadaan sumber daya hutan yang ada saat ini (rotan, buah-buahan, kayu dan lain-lain)? Bagaimana jika dibandingkan dengan masa lalu? • Dengan cara apa saja sumber daya tersebut digunakan? Apa saja kemungkinan dampaknya? • Bagaimana kondisi hutan saat ini dalam hal keanekaragaman hayati? • Apakah ada indikasi akan terjadinya degradasi hutan (seperti erosi tanah)? • Bagaimana dengan kejadian dan luasnya bencana alam (seperti banjir dan kebakaran) di daerah yang bersangkutan? Adakah kecenderungannya?
Bagaimana melakukannya
Alat-alat yang dapat digunakan untuk mengumpulkan informasi tentang konteks sosial lokal adalah antara lain: • Pengkajian dokumen tertulis • Wawancara • Diskusi kelompok terfokus (FGD) • Pengamatan langsung • Pengamatan terlibat (participant observation)
Alat bantu yang dapat digunakan untuk menilai konteks biofisik adalah: • Diskusi kelompok terfokus (FGD) • Metode distribusi kerikil • Penilaian cepat keanekaragaman hayati (rapid biodiversity assessment) • Kriteria dan indikator (K&I)
Alat bantu/metode apa yang digunakan
SUATU KERANGKA UNTUK MENERAPKAN ACM • 155
Langkah
• Bagaimana angka keaksaraan dan tingkat pendidikan menurut usia, jender, dan kelompok etnik? Bagaimana pengelompokan sosial para pemangku kepentingan di lokasi yang bersangkutan? • Apa sumber penghidupan yang utama di lokasi itu? Berapa rata-rata pendapatan rumah tangga? Bagaimana pembagian kerja (jender) dalam rumah tangga? • Apa makna hutan bagi para pihak pemangku kepentingan yang berbeda dari segi sosialbudaya, ekonomi, dan ekologi? • Dengan cara apa para pemangku kepentingan memenuhi kebutuhan pangannya? Apakah ini berhubungan dengan hutan? Apakah bagian yang diperoleh dari penggunaan hutan diinvestasikan kembali ke hutan? Apakah untuk kegiatan produksi atau konservasi, atau keduanya? • Siapa, organisasi, atau lembaga apa yang memegang peran kepemimpinan dan memiliki kendali atas penggunaan tanah hutan dan sumber daya hutan, serta distribusi manfaatnya? • Apakah mereka dihormati oleh para pemangku kepentingan dalam memainkan peran tersebut? Bagaimana kaum perempuan melihat hal ini? • Apakah mereka mewakili para pemangku kepentingan dalam pengambilan keputusan tentang sumber daya? Jika “ya”, dengan cara apa? Apakah para pemangku kepentingan
Bagaimana melakukannya
Alat bantu/metode apa yang digunakan
156 • LAMPIRAN 1
Mengingat tujuan ACM adalah mengembangkan kerja sama dan pembelajaran di antara para pemangku kepentingan, penting bahwa Anda memiliki gambaran tentang tingkat kolaborasi di antara mereka dan kemampuannya untuk belajar dan beradaptasi terhadap perubahan.
2F. Kerjasama para pemangku kepentingan dan kemampuannya untuk belajar berkolaborasi dan beradaptasi
Langkah
Untuk mengkaji konteks ini, informasi tentang aspek-aspek berikut penting untuk dikumpulkan: • Apakah ada organisasi atau mekanisme (misalnya diskusi informal, pertemuan dusun atau desa, atau forum para pemangku kepentingan) yang digunakan para pihak pemangku kepentingan untuk bertemu serta bertukar informasi dan pengetahuan, membuat rencana, dan mengambil keputusan tentang pengelolaan hutan?
merasa bahwa hal itu dilakukan dengan cara yang adil? Bagaimana kaum perempuan merasakan hal tersebut? • Adakah mekanisme pengelolaan konflik yang diterima dan dianggap efektif oleh semua pemangku kepentingan? • Apakah para pemangku kepentingan lokal berinteraksi dan berkomunikasi dengan para pemangku kepentingan luar? Jika “ya”, melalui mekanisme apa dan apakah mewakili berbagai kepentingan para pemangku kepentingan lokal? Bagaimana masyarakat mengelola konflik di antara para pemangku kepentingan, baik di dalam maupun di luar wilayah ketika hal tersebut terjadi?
Bagaimana melakukannya
Anda dapat menggunakan alat yang sama seperti pada langkah 2B dan 2E.
Alat bantu/metode apa yang digunakan
SUATU KERANGKA UNTUK MENERAPKAN ACM • 157
Langkah
• Apakah setiap pemangku kepentingan berpartisipasi aktif dalam organisasi atau mekanisme seperti itu? Apakah partisipasi dalam kegiatan terjadi dengan sukarela? • Apakah semua pihak mendapatkan kesempatan yang sama untuk mengkomunikasikan pandangan mereka dan apakah komunikasi dianggap penting dalam proses yang terjadi dalam organisasi atau mekanisme ini? Apakah informasi dapat mengalir dengan leluasa antara semua pemangku kepentingan? • Apakah organisasi atau mekanisme ini mendorong para pemangku kepentingan untuk bersama-sama mencari informasi? Apa yang dilakukan dengan informasi tersebut dan apakah tindakan mereka didasarkan pada informasi itu? Apakah informasi tersebut digunakan untuk memantau keputusan yang dibuat dan tindakan yang dilakukan? • Jika tingkat keorganisasian para pemangku kepentingan rendah, maka faktor-faktor apakah yang menyebabkan hal tersebut (misalnya, faktor sosial-budaya, seperti kesukuan, atau faktor sejarah seperti konflik di masa lalu). • Jika keorganisasian atau mekanisme seperti itu ada, tetapi komunikasi antara para pemangku kepentingan terhambat, arus informasi terbatas, atau pengambilan keputusan kurang mempertimbangkan pandangan para pemangku kepentingan, faktor-faktor apa yang menyebabkannya?
Bagaimana melakukannya
Alat bantu/metode apa yang digunakan
158 • LAMPIRAN 1
Pada langkah ini, penting untuk memahami bahwa: • Bukan Anda sebagai fasilitator yang menentukan apa pokok permasalahannya, tetapi para pemangku kepentingan itu sendiri. • Identifikasi masalah adalah proses yang iteratif yang perlu dilakukan berulang kali sepanjang proses penelitian aksi partisipatif (lihat Kegiatan 2, Langkah 3 di bawah ini).
Dari pengkajian yang telah Anda lakukan sampai saat ini, seharusnya Anda telah dapat menduga permasalahan apa yang berkenaan dengan hutan di lokasi program Anda. Anda dapat menggunakan pengetahuan ini sebagai dasar untuk membantu para pemangku kepentingan dalam mengidentifikasi pokok-pokok permasalahan yang ingin mereka tangani bersama.
3. Identifikasi pokok permasalahan yang ingin ditangani bersama oleh para pemangku kepentingan
Langkah
Ada berbagai cara untuk mendampingi para pemangku kepentingan dalam mengidentifikasi pokok permasalahan. Pilihannya tergantung pada tatanan sosial di tempat program Anda dilaksanakan. Secara umum dapat dikatakan bahwa cara yang terbaik dalam keadaan yang dihadapi akan ditentukan oleh: • Keanekaragaman pemangku kepentingan: makin beragam para pemangku kepentingannya, maka makin banyak pula upaya yang dibutuhkan untuk merangkum perspektif semua pihak, yang secara umum berarti bahwa dibutuhkan alat bantu yang lebih variatif dalam melakukan tugas Anda. • Tingkat pendidikan/keaksaraan: secara umum dapat dikatakan bahwa semakin rendah tingkat pendidikan peserta, semakin longgar struktur metode yang dapat digunakan, karena para pemangku kepentingan dengan tingkat pendidikan/keaksaraan yang rendah tidak terbiasa dengan cara pembelajaran yang terstruktur.
Bagaimana melakukannya
Contoh alat bantu yang dapat digunakan untuk membantu para pemangku kepentingan mengidentifikasi pokok permasalahan adalah: • Diskusi kelompok terfokus (FGD) • Berbagai alat pengkajian partisipatif (PRA) seperti pemetaan partisipatif dan transek • Kalender musim yang dikombinasikan dengan diskusi kelompok terfokus • Diagram laba-laba
Alat bantu/metode apa yang digunakan
SUATU KERANGKA UNTUK MENERAPKAN ACM • 159
Langkah
Apapun cara yang dipilih, Anda perlu mempertimbangkan hal-hal berikut: • Pusatkan upaya Anda pada usaha yang efektif untuk menangkap pokok permasalahan dari berbagai perspektif yang ada. Adakan pertemuan konsultasi secara terpisah bagi kelompok yang kurang mampu mengartikulasikan pandangannya. Konsultasi semacam ini dapat membantu mereka untuk mengidentifikasi dan merumuskan masalah tanpa “intervensi” pihak lain. • Dampingi para pemangku kepentingan untuk mendekati permasalahannya secara holistik, artinya dengan melihat masalah-masalah dari berbagai perspektif, yakni perspektif sosialbudaya, ekonomi, dan ekologi. • Adakan pertemuan dengan menggunakan visualisasi dan pembuatan bagan/diagram sebagai unsur pokok dalam proses pembelajaran daripada metode tertulis. Alat bantu visual dan bagan/diagram akan mempermudah analisis hubungan yang kompleks dan komunikasi antara kelompok. Pada umumnya orang akan lebih mudah memahami presentasi informasi bergambar daripada informasi tertulis. Lampiran 2 memberikan beberapa contoh alat bantu visual dan diagram.
Bagaimana melakukannya
Alat bantu/metode apa yang digunakan
160 • LAMPIRAN 1
Adalah sesuatu yang logis bahwa kegiatan belajar harus diselenggarakan sedemikian rupa sehingga bermakna untuk semua pemangku kepentingan. Namun, tantangan bagi Anda sebagai fasilitator ACM adalah mengupayakan keseimbangan agar kegiatan belajar memenuhi kebutuhan belajar para pemangku kepentingan secara individual, maupun kebutuhan belajar mereka sebagai kelompok.
1. Memastikan rasa kepemilikan para pemangku kepentingan atas kegiatan pembelajaran
Langkah
Untuk ini, Anda perlu mempertimbangkan dua aspek pembelajaran yang penting: • Bagaimana para pemangku kepentingan sebagai kelompok memprioritaskan pokok-pokok permasalahan utama untuk ditangani bersama. • Bagaimana membingkai ulang (reframe) berbagai sudut pandang, yakni memasukkan permasalahan yang dilihat dari berbagai sudut pandang dalam satu kerangka bersama.
Anda harus menyelenggarakan kegiatan belajar yang mengakomodasikan hal-hal yang menjadi perhatian masing-masing pemangku kepentingan secara individual. Pada saat yang sama kegiatan itu harus tertuju pada pemecahan permasalahan yang dihadapi bersama oleh para pemangku kepentingan sebagai kelompok.
Bagaimana melakukannya
Ada berbagai alat bantu yang dapat digunakan untuk ini; beberapa contoh adalah: • Curah pendapat dikombinasikan dengan pemeringkatan preferensi • Teknik Delphi.
Alat bantu/metode apa yang digunakan
Tujuan kegiatan ini adalah meletakkan landasan struktural untuk menyelenggarakan pekerjaan fasilitasi Anda. Ada empat prinsip yang dapat Anda gunakan untuk menyelenggarakan pembelajaran guna mendorong kondisi yang diperlukan agar para pemangku kepentingan belajar bersama: • Para pemangku kepentingan harus mempunyai rasa kepemilikan atas pembelajaran tersebut • Semua para pemangku kepentingan harus terwakili dalam kegiatan belajar • Pembelajaran harus terjadi melalui pengalaman • Pembelajaran harus terjadi melalui komunikasi.
Kegiatan 2: Mengorganisasikan Pembelajaran
SUATU KERANGKA UNTUK MENERAPKAN ACM • 161
Semua pemangku kepentingan harus terlibat dalam pembelajaran. Namun, karena jumlah mereka banyak, Anda hanya dapat bekerja dengan wakil-wakil mereka saja. Pada saat yang sama, hasil pembelajaran yang Anda selenggarakan harus sampai kepada semua pemangku kepentingan dan bukan hanya wakil atau pimpinannya saja. Karena itu, Anda perlu mengembangkan mekanisme keterwakilan yang efektif untuk pembelajaran itu.
2. Mengembangkan keterwakilan para pemangku kepentingan dalam kegiatan program
Langkah
Apabila yang digunakan sebagai kelompok belajar atau mekanisme adalah organisasi yang sudah ada, Anda perlu memastikan adanya mekanisme keterwakilan dan pertanggungjawaban (akuntabilitas) dan berjalan efektif.
Pada dasarnya ada tiga langkah yang perlu Anda dampingi prosesnya: • Pemilihan wakil dengan cara yang adil dan transparan • Membentuk kelompok-kelompok belajar atau organisasi pembelajaran bagi para wakil yang terpilih akan “duduk” dan terlibat dalam proses belajar • Memprakarsai atau memperbaiki mekanisme komunikasi antara para wakil dan para pemangku kepentingan yang diwakilinya (konstituen) Mekanisme ini digunakan untuk melibatkan semua pemangku kepentingan dalam pembelajaran, walaupun mereka sendiri tidak terlibat langsung di dalam prosesnya. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk hal ini, misalnya, pelaporan atau konsultasi para wakil dengan konstituennya.
Bagaimana melakukannya
• Anda dapat menggunakan alat-alat bantu yang telah disebutkan di atas, misalnya diskusi kelompok terfokus atau wawancara semiterstruktur. Apapun alat bantu yang Anda pilih, kuncinya adalah bahwa sebagai fasilitator ACM Anda membantu para pemangku kepentingan untuk membuat keputusan bersama dalam keseluruhan proses (lihat Lampiran 2).
Alat bantu/metode apa yang digunakan
162 • LAMPIRAN 1
Anda dapat menggunakan penelitian aksi partisipatif untuk menghadapi pokok permasalahan yang telah teridentifikasi sebelumnya (Kegiatan 1, Langkah 3).
Pengalaman dari kehidupan nyata adalah guru terbaik untuk mengembangkan pengetahuan. Pembelajaran yang dibangun atas pengalaman disebut pembelajaran melalui pengalaman (experiential learning). Penelitian aksi partisipatif (PAR) menawarkan suatu panduan untuk menyelenggarakan pembelajaran semacam ini. PAR melakukan hal ini dengan mendorong para pemangku kepentingan untuk membuat pengamatan secara berlanjut, membuat rencana, bertindak, dan merefleksikannya.
3. Mengembangkan pengalaman para pemangku kepentingan melalui penelitian aksi partisipatif (PAR)
Langkah
Jelaskan kepada para pemangku kepentingan mengapa penelitian aksi partisipatif digunakan untuk menghadapi permasalahan yang telah mereka identifikasi. Pada tahap ini sangat penting untuk memperjelas apa peran mereka dalam proses itu. Ini lebih mudah diucapkan daripada dilakukan, khususnya jika para pemangku kepentingan tidak cukup mengenal penelitian partisipatif, sementara merekalah pihak utama yang harus menentukan apa yang akan diteliti dan bagaimana. Jika kurang berpengalaman dan kurang percaya diri, para pemangku kepentingan mungkin akan menolak untuk mengambil peran baru tersebut. Hormatilah sikap mereka, sekalipun Anda tidak menyetujuinya. Jelaskan bahwa penelitian partisipatif adalah proses yang berlanjut dan bahwa akan ada kesempatan bagi mereka untuk menerima tanggung jawab baru ini secara bertahap.
Bagaimana melakukannya
Apapun alat bantu yang Anda pilih, penting untuk menyadari apa tujuan dari setiap proses penelitian aksi, serta alat bantu mana yang paling tepat untuk mencapai tujuan tersebut. Anda harus mempunyai pemahaman yang jelas tentang apa yang ingin dicapai ketika memilih alat bantu tertentu. Pilihan alat bantu juga akan ditentukan oleh permasalahan yang dihadapi. Misalnya, tidak akan banyak manfaat untuk Anda menggunakan penelusuran transek jika persoalannya adalah kurangnya peluang pasar untuk hasil hutan. Alat bantu yang lebih sesuai adalah misalnya kunjungan ke pusat-pusat pemasaran.
Sebagai fasilitator ACM, Anda memiliki kebebasan untuk mengembangkan alat bantu Anda sendiri atau menggunakan yang sudah ada untuk membantu para pemangku kepentingan dalam menempuh keseluruhan proses penelitian aksi partisipatif. Anda perlu mengembangkan perangkat alat bantu Anda sendiri (seperti yang dicontohkan pada Lampiran 2) sehingga pada akhirnya Anda akan memiliki sekumpulan alat bantu yang dapat Anda pilih sesuai dengan kebutuhan. Ingatlah bahwa untuk setiap konteks lokal, Anda perlu memperkirakan terlebih dahulu apakah alat bantu sesuai atau tidak untuk digunakan.
Alat bantu/metode apa yang digunakan
SUATU KERANGKA UNTUK MENERAPKAN ACM • 163
Pemetaan tata batas dan persoalan pemerintahan desa pada hlm. 86 dan hlm. 87 telah diberikan sebagai contoh siklus pembelajaran melalui pengalaman dari kerja lapangan kami. Pada hlm. 166 dalam lampiran ini, kami berikan contoh lain dari lapangan.
Langkah
Pengamatan: Para pemangku kepentingan menilai pokok-pokok persoalan yang akan ditangani, bertukar pendapat tentang kemungkinan penyebabnya, dan memikirkan kemungkinan strategi penyelesaiannya. Penting pula untuk belajar dari pengalaman masa lalu.
Secara umum proses masing-masing tahap dari keempat tahap tersebut dipaparkan di bawah ini.
Uraikan dengan istilah-istilah yang jelas dan mudah dipahami apa sebenarnya proses penelitian aksi partisipatif itu –yakni proses yang mencakup pengamatan, perencanaan, aksi, dan refleksi. Tekankan bahwa kuncinya adalah, kegiatan itu dilakukan secara berulangulang. Sebagai fasilitator, Andalah yang memotivasi para pemangku kepentingan untuk melakukan proses iteratif ini.
Bagaimana melakukannya
Pada tahap pengamatan, gambar visual atau diagram akan sangat membantu. Alat bantu visual seperti peta, gambar, foto, dan bagan sangat efektif dalam membantu para pemangku kepentingan menafsirkan apa yang mereka lihat, dengar, dan rasakan selama pengamatan. Alat-alat itu juga sangat membantu dalam mengungkapkan dan merumuskan pokok permasalahan yang muncul.
Pengamatan: Peran Anda sebagai fasilitator pada tahap ini adalah membantu para pemangku kepentingan dalam dua proses utama: i. Membuat penafsiran bersama atas pengamatan yang telah dilakukan. ii. Berdasarkan penafsiran tersebut, bersama-sama merumuskan apa pokok permasalahannya.
Penting juga untuk diingat bahwa sepanjang siklus penelitian aksi partisipatif Anda menggunakan alat bantu untuk meningkatkan komunikasi, termasuk di dalamnya kemampuan untuk menyimak apa yang disampaikan orang lain. Beberapa alat bantu disarankan pada Kegiatan 2, Langkah 4.
Berikut ini adalah beberapa contoh alat bantu yang dapat digunakan pada masing-masing tahap penelitian aksi partisipatif. Yang terbaik adalah mengkombinasikan beberapa alat bantu sehingga kelemahan alat bantu tertentu dapat diatasi oleh alat bantu lainnya.
Alat bantu/metode apa yang digunakan
164 • LAMPIRAN 1
Langkah
Aksi: Rencana yang sudah disepakati dilaksanakan.
Aksi: Pokok persoalan yang sedang ditangani dan tahapan penelitian aksi yang sedang ditempuh, akan menentukan alat bantu untuk tahap aksi. Alat bantu aksi dapat berupa kunjungan silang, misalnya kunjungan ke kabupaten tetangga untuk mempelajari penerapan inovatif kebijakan desentralisasi. Contoh lain adalah pemetaan bersama batas desa.
Perencanaan: Sebelum kegiatan perencanaannya, Anda perlu mendampingi para pemangku kepentingan dalam mengembangkan visi bersama yang berkenaan dengan pokok persoalan yang akan ditangani. Beberapa alat bantu yang dapat digunakan untuk hal ini adalah: • Curah pendapat • Skenario visi • Skenario jalur • Alat bantu perencanaan bersama
Perencanaan: Pada tahap awal penelitian aksi partisipatif, para pemangku kepentingan mengembangkan suatu visi yang disepakati bersama –suatu kondisi ideal yang dicita-citakan untuk masa depan (misalnya 3, 15, atau 25 tahun dari saat penelitian partisipatif dimulai) setelah berhasil menangani persoalan yang telah diidentifikasi. Mereka menyepakati strategi untuk mewujudkan cita-cita itu serta mengembangkan rencana penerapan dan pemantauannya. Mereka juga menyepakati peran dan tanggung jawab mereka masing-masing, maupun bagaimana mendapatkan dan mengalokasikan sumber daya yang diperlukan. Jika penelitian aksi partisipatif sudah berada pada tingkat yang lanjut, pada tahap perencanaan para pemangku kepentingan menentukan aksi apa yang akan diambil selanjutnya berdasarkan pelajaran dari refleksi sebelumnya.
Alat bantu/metode apa yang digunakan
Bagaimana melakukannya
SUATU KERANGKA UNTUK MENERAPKAN ACM • 165
Refleksi: Alat bantu pada tahap ini perlu membantu para pemangku kepentingan merefleksikan bagaimana mereka mengamati, menafsirkan, atau bahkan mungkin mengabaikan informasi. Alat itu harus juga membantu para pemangku kepentingan untuk mengenali bagaimana hal itu dipengaruhi oleh kepribadian dan latar belakang mereka.
Refleksi: Para pemangku kepentingan mengkaji kembali hasil-hasil aksinya dan proses-prosesnya dan menjadikannya pelajaran. Pelajaran itu akan digunakan untuk melihat apakah strategi yang dipakai perlu diadaptasi. Dengan kata lain, tahapan refleksi digunakan sebagai dasar untuk memantau strategi yang digunakan. Alat bantu yang dapat membantu adalah: • Fakta, pendapat, atau desas desus • Kotak 26 pada hlm. 99 memberikan beberapa kiat yang dapat Anda gunakan untuk mendorong proses-proses refleksi: misalnya, mendaki tangga kesimpulan untuk menelaah asumsi-asumsi kita sendiri.
Alat bantu/metode apa yang digunakan
Bagaimana melakukannya
Lanjut di halaman berikut
Kami menyarankan agar masyarakat membawa gagasannya kepada pemerintah kabupaten untuk mendapat dukungan. Tim kami berjanji membantu mereka dalam hal itu. Mereka ternyata cukup percaya diri untuk melakukan pendekatan terhadap petugas dan pejabat pemerintah, meskipun mereka jarang berhubungan.
Pengamatan. Difasilitasi oleh tim kami, masyarakat Pasir mengamati bahwa salah satu cara yang mungkin untuk meningkatkan sumber penghidupan berbasis hutan adalah memanfaatkan wilayah di sekitar desa yang tadinya digunakan untuk perladangan berpindah. Ketika masyarakat memulai siklus pembelajaran ini, wilayah tersebut hampir seluruhnya tertutup alang-alang dan tanaman tahunan yang tersebar, seperti pohon buah-buahan. Rumput yang tinggi menyulitkan masyarakat mengolah lahan itu. Kalaupun penanaman kembali memungkinkan, kondisi lahan terlalu buruk untuk penanaman yang menguntungkan. Oleh karena bertambahnya penduduk telah mengurangi ketersediaan lahan untuk berladang pindah, masyarakat berpendapat bahwa peningkatan produktivitas lahan merupakan prioritas.
Contoh siklus pembelajaran berdasarkan pengalaman: Peningkatan sumber penghidupan berbasis hutan
Langkah
166 • LAMPIRAN 1
Bagaimana melakukannya
Alat bantu/metode apa yang digunakan
Lanjut di halaman berikut
Rencana 2. Masyarakat kemudian membuat rencana untuk menjajaki sumber dana yang lain untuk pengadaan bibit. Dalam diskusi, masyarakat sampai pada gagasan untuk mendekati pemerintah, seperti Dishut.
Refleksi 1. Pada saat refleksi, masyarakat beranggapan bahwa semua telah berjalan dengan baik sampai saat ini. Namun CIFOR menyampaikan informasi kepada masyarakat bahwa sebagai lembaga penelitian, CIFOR tidak dapat menyediakan dukungan dalam bentuk dana atau bahan-bahan proyek.
Aksi 1. Masyarakat kemudian mulai mencari pelatih yang sesuai, suatu upaya yang merupakan pengalaman baru bagi mereka. Difasilitasi tim kami, mereka menghubungi beberapa instansi pemerintah di kabupaten, seperti Dinas Pertanian dan Tanaman Keras (Dis-PTK) dan Dishut Kabupaten Pasir. Dis-PTK bersedia menyediakan tenaga pelatih dengan syarat bahwa masyarakat mempersiapkan lahan yang dibutuhkan untuk pelatihan. Ini bukan masalah bagi masyarakat. Masyarakat mendekati CIFOR untuk meminta bantuan pengadaan bibit dan bahan tanaman lainnya.
Sepulang di desa, masyarakat membuat rencana yang mencakup suatu rancangan untuk wilayah yang akan ditanami kembali –jenis-jenis pohon apa yang akan ditanam, bagaimana pola tanamnya, dan seberapa banyak bibit dan anakan tanaman yang dibutuhkan. Mereka kemudian menemukan bahwa mereka kurang pengetahuan dan keterampilan tentang jenis-jenis pohon yang sesuai untuk kegiatan rehabilitasi lahan dan tentang bagaimana pemeliharaannya hingga panen. Jadi, mereka membutuhkan pelatihan dan uang untuk membeli bibit dan anakan tanaman. Masyarakat sendiri dapat menyediakan tenaga kerja, lahan, dan waktu. Rencana yang kemudian dikembangkan meliputi usaha mencari kesempatan pelatihan serta mencari dana untuk membeli benih dan hal-hal lain yang diperlukan.
Rencana 1. Tidak lama setelah itu, dalam suatu lokakarya yang difasilitasi tim kami, masyarakat mendiskusikan permasalahan itu dengan Dinas Kehutanan (Dishut) Kabupaten Pasir dan instansi pemerintah lainnya. Reaksi pemerintah sangat positif dan para pemangku kepentingan menyepakati bahwa masalah itu harus ditangani bersama-sama. Dishut cukup heran bahwa masyarakat ternyata begitu proaktif dan tanpa diminta mengusulkan kegiatan yang ternyata sesuai dengan program rehabilitasi mereka. Dishut menyarankan agar masyarakat memulai prosesnya dengan menyusun perencanaan pada tingkat masyarakat tentang pelaksanaannya. Pemerintah akan ikut bergabung pada tahap berikutnya jika diperlukan. Masyarakat serta tim kami menerima usulan pemerintah dan mendiskusikan dengan lebih rinci pembagian tugas dan tanggung jawab.
Langkah
SUATU KERANGKA UNTUK MENERAPKAN ACM • 167
Bagaimana melakukannya
Alat bantu/metode apa yang digunakan
Lanjut di halaman berikut
Aksi 3. Aksi berikutnya termasuk pengembangan proposal untuk mendanai pembelian bibit tanaman kayu dan mencari donor potensial. Bersama tim kami, wakil masyarakat mendatangi Dishut. Tim kami mendengar bahwa ada kemungkinan untuk mendapatkan dana dari anggaran reboisasi dinas tersebut. Tetapi, pendanaan itu hanya akan tersedia pada pertengahan tahun. Tidak ada donor lain yang berhasil didapatkan.
Rencana 3. Refleksi di atas kemudian diikuti dengan rencana pengembangan proposal dan pembentukan tiga kelompok kerja.
Namun, bibit yang dijanjikan Dishut ternyata hanya berupa pohon buah-buahan. Masyarakat kemudian memutuskan untuk mengembangkan suatu proposal pencarian dana untuk membeli bibit tanaman kayu-kayuan. Pelatihan ini mendorong masyarakat untuk membentuk tiga kelompok kerja, masing-masing terdiri dari penduduk desa yang tinggal berdekatan. Setiap kelompok akan bertanggung jawab atas sepertiga wilayah yang akan ditanami.
Refleksi 2. Pelatihan begitu sukses sehingga masyarakat ingin segera melakukan penanaman setelah pelatihan. Mereka juga tertarik untuk menanam jenis pohon penghasil kayu dan bukan hanya pohon buah-buahan. Mereka berpikir bahwa mereka akan mampu memperoleh penghasilan yang lebih besar dari penjualan kayu.
Patut disebutkan di sini bahwa posisi duduk peserta dalam pelatihan mempengaruhi partisipasi mereka. Dalam kasus ini, pengaturan posisi duduk yang melingkar menghasilkan interaksi yang lebih baik antara pelatih dari Dis-PTK dan peserta. Bagi tim kami, cara itu sudah merupakan kebiasaan, tapi tidak demikian bagi pelatih Dis-PTK. Dengan demikian, kegiatan itu juga merupakan pengalaman belajar baginya.
Pelatih dari Dis-PTK sangat tertarik melihat semangat masyarakat. Tetapi pada awal pelatihan, masyarakat sempat mengalami kebosanan. Tim kami menyarankan pengaturan kembali tempat duduk agar peserta tidak duduk berbaris tetapi melingkar sehingga pelatih dapat berinteraksi lebih baik dengan peserta. Peserta juga didorong untuk berbagi pengalaman mereka dalam penanaman rotan. Mereka mempelajari bagaimana membuat okulasi, memelihara anakan, dan menggunakan pupuk.
Aksi 2. Ketika masyarakat mendekati Dishut, dinas tersebut setuju untuk memberikan bibit dan menyelenggarakan pelatihan. Suatu pelatihan dua hari dilakukan untuk masyarakat kedua desa.
Langkah
168 • LAMPIRAN 1
Bagaimana melakukannya
Alat bantu/metode apa yang digunakan
Keseluruhan proses kegiatan pembelajaran ini ditunjukkan pada gambar di bawah.
Refleksi 4. Walaupun agak kecewa, masyarakat memahami mengapa bibit datangnya terlambat. Karena keterbatasan waktu, tidak banyak anakan yang dihasilkan sebagaimana direncanakan. Masyarakat merasa harus menginformasikan kepada Dishut bahwa karena bibit datang terlambat, sasaran tidak dapat terpenuhi sepenuhnya.
Aksi 4. Pada akhirnya penanaman dapat dimulai. Namun, sementara itu musim bertani telah tiba dan masyarakat menghadapi kesulitan karena harus bekerja di lahan pertaniannya sementara juga harus memulai kebun bibitnya.
Rencana 4. Masyarakat mempersiapkan lahan untuk kebun bibit dan membentuk kelompok-kelompok tani yang kemudian secara resmi disetujui oleh pemerintah kabupaten.
Refleksi 3. Masyarakat merasa senang bahwa Dishut dapat mendanai upaya yang mereka rencanakan. Meskipun demikian, mereka belajar bahwa rencana awal mereka perlu disesuaikan. Mengingat dana berasal dari anggaran reboisasi pemerintah, masyarakat harus memenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan oleh Dishut. Masyarakat harus mempersiapkan lahan untuk memulai kebun bibit dan membentuk kelompok tani yang memerlukan persetujuan pemerintah. Persyaratan lainnya adalah bahwa masyarakat harus menyediakan bahan tanamannya sendiri. Karena masyarakat sesungguhnya telah merencanakan hal itu, satu perbedaan yang jelas adalah bahwa Dishut harus terlebih dahulu menyetujui rencana tersebut secara formal. Dishut akan memberikan bibit tanaman kayu, anakan pohon, dan bahan lain seperti pupuk.
Anggota masyarakat dari kedua desa membentuk tiga kelompok kerja. Selama aksi, masyarakat menyampaikan mereka bersedia menyediakan bibit rotan untuk dirinya sendiri guna melengkapi bibit lainnya. Lebih lanjut, selama aksi mereka juga mendapat informasi bahwa CIFOR akan mendukung biaya transportasi bibit dari kantor kabupaten ke lokasi.
Langkah
SUATU KERANGKA UNTUK MENERAPKAN ACM • 169
Pengamatan: • Masyarakat percaya bahwa lahan bekas perladangan berpindah perlu dijadikan lebih produktif untuk meningkatkan sumber penghidupan mereka • Gagasan ini perlu disampaikan kepada pemerintah kabupaten • Bersama dengan pemerintah, masyarakat menyimpulkan bahwa mereka harus membuat rencana pelaksanaan terlebih dahulu. Pemerintah akan bergabung kemudian
Aksi 2: • Menemui petugas dan pejabat pemerintah kabupaten guna menjajaki kemungkinan pendanaan • Menyelenggarakan pelatihan sesuai dengan yang direncanakan
Refleksi
Rencana
Aksi
Rencana 4: • Mempersiapkan lahan untuk persemaian • Mempersiapkan diri untuk menyumbang bibit rotan • Membentuk tiga kelompok dan mendapat pengesahan dari pemerintah
Refleksi 4: • Karena pemerintah terlambat mengirim bibit, pekerjaan persemaian tidak sesuai dengan musim tanam • Jumlah anakan yang dihasilkan di persemaian lebih sedikit daripada jumlah yang dapat dihasilkan jika pengiriman bibit tepat waktu karena masyarakat mengalami kendala waktu dalam mengerjakan persemaian dan lahannya sendiri pada waktu yang bersamaan • Akibat dari terlambatnya pengantaran bibit harus diinformasikan kepada pemerintah
Aksi 4: Memulai kegiatan rehabilitation
Alat bantu/metode apa yang digunakan
Refleksi 3: Rencana 3: • Mengembang- • Dishut ternyata dapat membantu kan proposal pengadaan bibit pembelian dari dana anakan pohon reboisasi kayu • Dishut hanya • Jajaki donor dapat membantu potensial dengan syarat • Bagi anggota bahwa masyarakat masyarakat menjadi tiga mempersiapkan kelompok lahan, membuat persemaian, bekerja dalam kelompok, dan membantu dengan bahan tanaman
Aksi 3: • Menulis proposal pendanaan dengan bantuan tim kami • Menyampaikan proposal kepada Dishut • Mengelompokkan anggota masyarakat menjadi tiga kelompok petani
Bagaimana melakukannya
Refleksi 2: Rencana 2: Refleksi 1: Rencana 1: • Seharusnya • Melakukan • Dis-PTK • Merancang juga menanam pendekatan bersedia wilayah pohon kepada petugas menyediakan rehabilitasi penghasil kayu dan pejabat pelatih (pohon apa dan bukan dinas-dinas yang ditanam • CIFOR tidak hanya pohon kabupaten dapat memberi dan bagaibuah-buahan untuk menjajaki dana untuk bibit mana caranya) karena akan peluang karena sebagai • Mencari lebih pendanaan lembaga dukungan menguntungkan • Menyelenggarapenelitian untuk pelatihan • Karena itu perlu kan pelatihan mereka tidak keterampilan mencari dana dapat memberi dan pengeyang bantuan material tahuan yang dibutuhkan diperlukan untuk membeli untuk kegiatan bibit pohon kayu rehabilitasi • Tiga kelompok petani perlu dibentuk, masing-masing dengan anggota yang tinggal berdekatan • Proposal pendanaan perlu dikembangkan
Aksi 1: • Mengembangkan rancangan rehabilitasi • Pendekatan pada dinas-dinas kabupaten untuk mencari pelatih • Pendekatan pada CIFOR untuk mengusulkan dukungan dana untuk membeli bibit
Langkah
170 • LAMPIRAN 1
Dalam kegiatan yang Anda selenggarakan untuk para pemangku kepentingan, sangatlah penting menggunakan komunikasi sebagai sarana pembelajaran dan pengembangan pengetahuan. Kegiatan belajar semacam ini memungkinkan pengembangan pemahaman bersama tentang persoalan yang perlu dihadapi dan untuk mempelajari cara baru dalam bertukar pandangan dan informasi. Dengan demikian proses komunikasi dapat menjadi sumber pemahaman dan temuan-temuan baru.
4. Menyelenggarakan kegiatan dengan komunikasi sebagai sarana pembelajaran
Langkah
Untuk melakukan ini, ciptakan kondisi pembelajaran yang tidak memungkinkan berkembangnya “kebisingan” atau penyimpangan (“distorsi”) dalam penyampaian dan penerimaan pesan. Dengan kata lain: “bersihkan saluran-saluran komunikasi” sehingga pesan dapat disampaikan dan diterima tanpa “gangguan”. Beberapa kiat telah diberikan pada Bab 5: • Ciptakan suasana saling percaya dan saling menghormati • Persiapkan dan bantu para pemangku kepentingan yang lemah dalam mengungkapkan dan mengkomunikasikan pandangan mereka • Dampingi para pemangku kepentingan dalam meningkatkan kemampuan untuk mendengarkan orang lain dan menyimak yang dikatakan orang lain.
Dari penilaian Anda yang terdahulu, Anda telah mempunyai bayangan tentang apa yang menjadi hambatan komunikasi di antara para pemangku kepentingan (seperti prasangka negatif, agenda tertentu, atau kurangnya kepercayaan diri karena terbatasnya pengalaman berkomunikasi dengan pemangku kepentingan lain). Buatlah daftar siapa membutuhkan bantuan apa untuk mengembangkan kemampuan komunikasinya. Gunakan daftar itu sebagai dasar penyelenggaraan “kegiatan komunikatif” (lihat hlm. 89).
Bagaimana melakukannya
Contoh beberapa alat bantu dalam mengembangkan komunikasi adalah: • Alat bantu visual • Mendengarkan dengan empati • Menghargai mendengarkan dan berbicara.
Alat bantu/metode apa yang digunakan
SUATU KERANGKA UNTUK MENERAPKAN ACM • 171
Mengetahui siapa yang perlu difasilitasi merupakan inti kegiatan fasilitasi. Sejauh mana kita memusatkan fasilitasi kita pada pertanyaan ini akan menentukan sejauh mana pembelajaran akan terjadi di antara para pemangku kepentingan.
1. Siapa yang perlu difasilitasi
Langkah
Melalui kegiatan 1, langkah 2B Anda seharusnya sudah membangun pengetahuan awal tentang siapa para pemangku kepentingan utama di lokasi pendampingan Anda. Namun, selama program Anda berlangsung, dasar pengetahuan itu perlu ditinjau kembali secara berkala. Sebagai fasilitator Anda perlu selalu memperbarui pengetahuan awal ini dan mengamati apakah keanekaragaman atau hubungan di antara para pemangku kepentingan yang Anda fasilitasi mengalami perubahan. Kepentingan para pemangku kepentingan bisa berubah, orang bisa beraliansi dengan pemangku kepentingan lainnya, atau membentuk kelompok baru.
Bagaimana melakukannya
Suatu alat bantu yang sangat bermanfaat yang dapat Anda gunakan untuk mengikuti perubahan susunan para pemangku kepentingan adalah dokumentasi proses, yakni catatan berkala tentang karakteristik para pemangku kepentingan dan hubungan di antara mereka. Contoh format dokumentasi proses diberikan pada Lampiran 2. Alat bantu ini dapat dikombinasikan dengan alat bantu analisis pemangku kepentingan lainnya untuk membantu menata informasi yang Anda kumpulkan secara sistematis, seperti kerangka TH3.
Anda dapat menggunakan alat bantu yang sama seperti pada Kegiatan 1, Langkah 2B.
Alat bantu/metode apa yang digunakan
Tujuan utama kegiatan ini adalah mendorong terjadinya belajar di antara para pemangku kepentingan. Lima pertanyaan sederhana dapat digunakan sebagai pemandu untuk memfasilitasi pembelajaran: • Siapa yang perlu difasilitasi? • Apa kebutuhan belajar mereka? • Bagaimana mereka seharusnya difasilitasi? • Kapan seharusnya mereka difasilitasi? • Mengapa pembelajaran dapat terjadi (atau apa motivasi pemangku kepentingan untuk belajar)?
Kegiatan 3: Memfasilitasi Pembelajaran
172 • LAMPIRAN 1
Setelah Anda menetapkan siapa yang perlu terlibat dalam proses belajar, Anda perlu mencari tahu pembelajaran seperti apakah yang diperlukan para pemangku kepentingan tersebut.
2. Apa kebutuhan belajar para pemangku kepentingan
Langkah
Sebagai contoh, dalam pekerjaan lapangan kami, teridentifikasi dua faktor kunci yang mendasari kurangnya kemampuan beradaptasi dan bekerja sama, yakni, ketimpangan dalam distribusi informasi dan lemahnya komunikasi antara para pemangku kepentingan. Kedua hal tersebut dapat digolongkan sebagai kebutuhan belajar kedua dan ketiga.
Selama studi tentang konteks dan kemampuan para pemangku kepentingan untuk belajar berkolaborasi dan belajar beradaptasi (yakni, Kegiatan 1, Langkah 2F), Anda telah menilai faktor-faktor apa yang mempengaruhi kurangnya kemampuan beradaptasi dan bekerja sama di antara para pemangku kepentingan. Golongkanlah faktor-faktor tersebut menurut salah satu dari empat jenis kebutuhan belajar sebagai berikut: i. Pengembangan pengetahuan oleh kelompok pemangku kepentingan tertentu ii. Membangun komunikasi dan hubungan dengan pemangku kepentingan lainnya iii. Berbagi pengetahuan antar para pemangku kepentingan iv. Pengembangan kemampuan strategis atau politis para pemangku kepentingan
Bagaimana melakukannya
Untuk mengenali kebutuhan belajar para pemangku kepentingan Anda dapat menggunakan alat bantu yang sama seperti pada Kegiatan 1, Langkah 2B. Sesudah itu, Anda dapat menatanya dalam matriks yang menunjukkan secara sistematis empat jenis kebutuhan belajar tersebut.
Alat bantu/metode apa yang digunakan
SUATU KERANGKA UNTUK MENERAPKAN ACM • 173
Cara Anda memfasilitasi pembelajaran akan menentukan apakah para pemangku kepentingan yang Anda fasilitasi akan mengadopsi perilaku dan cara berpikir baru serta menjadi lebih terbuka dalam berkomunikasi dan bekerja sama dengan pihak lain.
3. Bagaimana memfasilitasi para pemangku kepentingan
Langkah
Dalam mengusahakan pembelajaran yang efektif, Anda harus memfasilitasi proses pembelajaran sedemikian rupa sehingga kedua jenis pembelajaran terjadi berurutan secara berulangulang.
Ada dua cara utama yang dapat Anda gunakan untuk merangsang para pemangku kepentingan agar belajar bersama: i. Mendorong mereka untuk mengadopsi sikap rasa ingin tahu –yang juga disebut pembelajaran “investigatif”. ii. Meminta mereka untuk secara konsisten merefleksikan asumsi-asumsi dan akibat dari keputusan dan tindakan mereka –yang juga dikenal dengan pembelajaran “reflektif”.
Karena pasti berubah dan berkembang, kebutuhan belajar para pemangku kepentingan perlu ditinjau kembali dari waktu ke waktu.
Setelah melakukan hal ini Anda akan mempunyai gambaran tentang kebutuhankebutuhan belajar para pemangku kepentingan dan Anda dapat mulai merancang kegiatan pembelajarannya.
Bagaimana melakukannya
Dalam mendorong para pemangku kepentingan agar belajar bersama –secara investigatif dan reflektif– Anda dapat menggunakan tiga jenis alat bantu: • Alat bantu yang membantu dalam mengembangkan pengalaman para pemangku kepentingan. Sebagai contoh, pemetaan partisipatif atau kunjungan ke pusat pemasaran. • Alat bantu yang membantu para pemangku kepentingan belajar dari pengalaman orang lain, misalnya kunjungan silang atau diskusi kelompok terfokus, misalnya tentang penerapan kebijakan desentralisasi di kabupaten lain dan bagaimana penduduk di sana mengalami kebijakan tersebut.
Alat bantu/metode apa yang digunakan
174 • LAMPIRAN 1
Dalam prakteknya pertanyaan ini berarti bahwa Anda harus mengembangkan kepekaan untuk memilih saat yang tepat untuk memfasilitasi pemangku-pemangku kepentingan yang berbeda.
4. Kapan memfasilitasi para pemangku kepentingan
Langkah
Pertanyaan kapan melakukan hal-hal tertentu dalam fasilitasi Anda berhubungan erat dengan ketiga pertanyaan sebelumnya. Bertanyalah pada diri Anda sendiri “kapan waktu yang terbaik untuk memfasilitasi siapa, tentang apa, dan bagaimana Anda akan melakukannya?”
Bagaimana melakukannya
Untuk pertanyaan kapan, Anda harus menggunakan alat bantu yang menolong Anda mengembangkan kepekaan dalam menentukan saat yang tepat untuk mendorong pembelajaran antara para pemangku kepentingan. Dalam pengalaman kami, alat bantu yang bermanfaat adalah dokumentasi proses yang dapat menangkap perubahan dari waktu ke waktu sehubungan dengan siapa dan bagaimananya pembelajaran.
Pertanyaan tentang bagaimana memfasilitasi berhubungan erat dengan pertanyaan tentang siapa yang difasilitasi. Dalam prakteknya ini berarti bahwa alat bantu yang Anda pilih perlu memperhitungkan kebutuhan belajar dan preferensi cara belajar dari setiap pemangku kepentingan.
• Alat bantu yang dapat digunakan oleh para pemangku kepentingan untuk membuat “model”. Model adalah gambaran abstrak dari suatu keadaan nyata dan terkadang bahkan berupa penyederhanaan dari realitas tersebut. Contoh alat bantu untuk membuat model adalah permainan peran atau simulasi komputer.
Alat bantu/metode apa yang digunakan
SUATU KERANGKA UNTUK MENERAPKAN ACM • 175
Sebagai fasilitator ACM Anda perlu menyadari apa yang memotivasi para pemangku kepentingan untuk belajar, beradaptasi, dan bekerja sama. Sangatlah penting bagi Anda untuk mengetahui peran fasilitasi apa yang diharapkan dari Anda.
5. Mengapa pembelajaran mungkin terjadi (atau apa motivasi pemangku kepentingan untuk belajar)
Langkah
Anda harus memfasilitasi masing-masing situasi itu dengan cara yang berbeda. Jadi, dalam setiap situasi peran yang diharapkan dari Anda akan berbeda pula.
Contoh faktor-faktor motivasi juga diberikan pada Kotak 28 pada hlm. 101.
Selama pelaksanaan program, Anda harus menilai apa yang menjadi motivasi para pemangku kepentingan untuk belajar. Secara umum ada tiga jenis faktor motivasi: • Motivasi eksternal (seperti hasrat warga desa untuk menghentikan penebangan kayu yang dilakukan pihak lain); • Motivasi internal (seperti hasrat untuk mengetahui apa yang mungkin terjadi di masa yang akan datang); • Proses interaktif antara para pemangku kepentingan yang terjadi selama pembelajaran.
Bagaimana melakukannya
Alat bantu yang Anda butuhkan tergantung pada situasi yang perlu Anda fasilitasi: • Ketika para pemangku kepentingan termotivasi secara eksternal, Anda membutuhkan alat bantu yang menolong Anda mendorong para pemangku kepentingan untuk mengupayakan perubahan nyata. Contoh alat bantu, skenario jalur atau belajar bersama (co-learn). • Ketika para pemangku kepentingan termotivasi secara internal Anda dapat menggunakan alat yang membantu Anda mengembangkan kemampuan para pemangku kepentingan untuk berefleksi dan mengantisipasi masa depan, seperti skenario visi. • Ketika para pemangku kepentingan berinteraksi sosial, Anda akan membutuhkan alat bantu yang mendorong komunikasi antara para pemangku kepentingan. Misalnya, alat bantu visual atau alat-alat PCSPP (pengkajian cepat sistem pengetahuan pertanian; rapid appraisal of agricultural knowledge systems (RAAKS)).
Alat bantu/metode apa yang digunakan
176 • LAMPIRAN 1
177
LAMPIRAN 2 PERANGKAT ALAT BANTU ACM: SEBUAH CONTOH
Lampiran 2 ini memaparkan suatu contoh perangkat alat bantu (tool kit) yang dapat digunakan dalam menerapkan ACM. Di dalam lampiran ini diuraikan berbagai alat bantu dan metode, masing-masing disertai penjelasan atau contoh tentang bagaimana menggunakannya. Di samping itu, diberikan juga sumbersumber acuan sebagai bacaan lanjutan bilamana Anda ingin lebih memperdalam penggunaan alat-alat bantu atau metode-metode tertentu. Anda dapat memakai perangkat ini sebagai contoh untuk mengembangkan perangkat alat bantu Anda sendiri yang dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan fasilitasi Anda di tempat Anda menjalankan program Anda. Dari kumpulan alat bantu dan metode yang Anda temukan dalam perangkat alat bantu ini, akan terlihat bahwa suatu perangkat alat bantu dapat berupa sebuah kumpulan alat bantu yang sangat beragam.
Uraian
Alat bantu visual/diagram Alat visual seperti peta, gambar, foto, dan diagram besar manfaatnya dalam membantu para pemangku kepentingan untuk menafsirkan apa yang mereka lihat, dengar, atau rasakan. Alat-alat ini juga sangat menolong dalam menganalisis hubungan yang rumit dan mengungkapkan pokok-pokok persoalan yang muncul, karena orang pada umumnya lebih bisa memahami informasi bergambar daripada informasi tertulis.
Alat bantu/metode
Bagaimana menggunakannya/ contoh
Sumber 2: Berbuat Bersama. Berperan Setara. Acuan Penerapan Participatory Rural Appraisal. R. Djohani (penyunting). 1996. Studio Driya Media Bandung untuk Konsorsium Pengembangan Dataran Tinggi Nusa Tenggara, Bandung, Indonesia.
Sumber 1: A Trainer’s Guide for Participatory Learning and Action. Pretty, J.N., I. Guijt, I. Scoones & J. Thompson. 1995. Participatory Methodology Series. IIED, London, Inggris.
Bahan bacaan
178 • LAMPIRAN 2
Di luar desa
organisasi pemuda
Di dalam desa
Di luar rumah
Di rumah
Bahan bacaan
Kami tidak mempunyai keinginan apa-apa di sana, yang kami inginkan adalah perbaikan keadaan desa kami.
Kebanyakan pimpinan/tokoh masyarakat adalah laki-laki, padahal perempuan juga mampu. Kami mengharapkan kaum laki-laki dapat mengakui hal itu.
Kami harap mendapat peluang untuk memperoleh pengetahuan yang lebih baik (melalui hubungan dengan orang lain, ketersediaan bahan bacaan dan sebagainya).
Para anak muda yang banyak kegiatan masyarakat kebanyakan laki-laki dan tidak banyak perempuan. Organisasi pemuda memprakarsai koperasi, tetapi perempuan tidak terlibat.
Kami ingin membantu orang-tua kami di kebun pekarangan atau di kebun karet sehingga kami, anak perempuan, dapat membantu dalam menyadap karet.
Kami ingin lebih bahagia. Ada banyak kekurangan. Tidak ada cukup uang untuk membeli minyak goreng dan keperluan lain. Tidak ada uang untuk belanja atau membeli pakaian.
Bagaimana menggunakannya/ contoh
Lambang-lambang visual seperti pada flipchart ini telah kami gunakan pada kegiatan belajar remaja perempuan di Baru Palepat guna merangsang pemikiran tentang masa depan
luar negeri
tokoh masyarakat
pemukiman transmigrasi
rumah orang asli
Uraian
Jakarta
kelompok perempuan
pemukiman asli
rumah pendatang
Baru Pelepat
Alat bantu/metode
PERANGKAT ALAT BANTU ACM : SEBUAH CONTOH • 179
Proses perencanaan pada dasarnya meliputi: • Meninjau kembali pokok-pokok permasalahan yang ada • Meninjau kembali visi/ pandangan yang berhubungan dengan permasalahannya • Memikirkan strategi alternatif (misalnya dengan menggunakan metode skenario sebagai alat bantu) • Merumuskan rencana penerapan • Membuat rencana pemantauan
Ada berbagai alat yang dapat Anda gunakan dalam memfasilitasi pembuatan rencana bersama, misalnya, perencanaan desa atau perencanaan berbasis penelitian aksi partisipatif. Namun, karena Anda bekerja dengan berbagai pemangku kepentingan, alat apapun yang Anda gunakan, alat itu harus dapat mengungkapkan pandangan para pemangku kepentingan itu. Peran kunci Anda adalah membantu para pemangku kepentingan dalam mencapai keputusan-keputusan sepanjang proses perencanaan (lihat pengambilan keputusan bersama).
Alat perencanaan bersama
Perhatikan bahwa proses ini mungkin saja tidak selurus (selinear) yang terkesankan dari daftar langkah-langkah ini. Yang penting adalah bahwa para pemangku kepentingan untuk mencapai keputusan bersama, saling berkomunikasi sepanjang proses. Tekankanlah bahwa rencana yang dikembangkan bersifat fleksibel (lentur) dan bahwa melalui proses penelitian aksi partisipatif rencana itu akan senantiasa ditinjau ulang dan disesuaikan dengan kebutuhankebutuhan yang muncul.
Bagaimana menggunakannya/ contoh
Uraian
Alat bantu/metode
Buku-buku petunjuk atau acuan lainnya tentang penggunaan alatalat bantu PRA.
Lihat sumber 2.
Bahan bacaan
180 • LAMPIRAN 2
Alur sejarah dikombinasikan dengan metode distribusi kerikil
Alat bantu/metode
Undanglah sebanyak mungkin orang yang tua atau yang telah tinggal lama di wilayah tersebut. Mulailah dengan menanyakan kepada mereka kejadian-kejadian penting, seperti “perang”, “Proklamasi Kemerdekaan”, atau suatu bencana alam. Lanjutkan dengan meminta mereka mengingat kembali kejadian-kejadian lain. Jangan lupa untuk mencakupkan juga peristiwa-peristiwa di tingkat nasional atau internasional yang mungkin juga mempengaruhi kehidupan masyarakat lokal, seperti Perang Dunia Kedua.
Alat ini dapat membantu dalam mengidentifikasi kejadian-kejadian penting di wilayah proyek atau penyebab perubahan sumber daya.
Untuk mengumpulkan informasi tentang perubahan sumber daya, metode distribusi kerikil, sangat berguna di tingkat masyarakat desa atau kelompok-kelompok lokal lainnya. Untuk melakukan hal ini, gambarkan tabel pada kertas besar atau di tanah. Tuliskan nama sumber daya hutan yang penting di atas tabel (lajur horisontal) dan gunakan lajur vertikal untuk menandakan waktu dengan membaginya dalam beberapa periode, misalnya 10 tahunan. Mintalah para peserta untuk membagi 100 kerikil dalam tabel dengan pengertian bahwa jumlah kerikil mewakili ketersediaan sumber daya.
Bagaimana menggunakannya/ contoh
Uraian
Sumber 3: Panduan Pendamping. Penilaian Dasar Kesejahteraan Manusia. Colfer, C.J.P. dkk. 1999. Perangkat Kriteria & Indikator No. 6. CIFOR, Bogor, Indonesia. Juga tersedia dalam bahasa Cina, Inggris, Spanyol, Perancis, dan Portugis. Dapat juga diambil dari: www.cifor. cgiar.org/acm/pub/toolbox.html
Buku-buku petunjuk atau acuan lainnya tentang penggunaan alat-alat bantu PRA.
Lihat sumber 2.
Bahan bacaan
PERANGKAT ALAT BANTU ACM : SEBUAH CONTOH • 181
Curah pendapat dikombinasikan dengan pemeringkatan preferensi
Belajar bersama (co-learn) adalah paket perangkat lunak komputer yang membantu penggunanya dalam bernavigasi berbagai alat dan proses pembelajaran.
Belajar bersama (Co-learn)
Curah pendapat adalah kegiatan mengungkapkan pandangan atau gagasan secara bebas tanpa pembatasan, evaluasi, atau sensor.
Perangkat ini sangat membantu dalam pembelajaran bersama berkenaan dengan pengelolaan sumber daya alam karena menjadikan proses pembelajaran sebagai sesuatu yang menyenangkan.
Anda dapat menggunakan alat ini sebagai “alat navigasi” untuk membantu para pemangku kepentingan dalam perencanaan dan kegiatan belajar lainnya.
Uraian
Alat bantu/metode
Ketika memfasilitasi acara curah pendapat anda perlu mendorong para pemangku kepentingan untuk mengembangkan gagasan kreatif yang baru, bahkan gagasan yang “aneh” atau “konyol” sekalipun.
Bagaimana menggunakannya/ contoh
Lihat sumber 1.
Sumber 5: The Art of Building Facilitation Capacities. A Training Manual. Braakman L. & K. Edwards. 2002. RECOFTC, Bangkok, Thailand.
Sumber 4: www.cifor.cgiar.org/ACM
Bahan bacaan
182 • LAMPIRAN 2
Uraian
Setelah didaftarkan, setiap gagasan dibandingkan dengan gagasan lainnya dan diperingkatkan dari yang paling baik sampai yang paling buruk. Untuk pemeringkatan preferensi, Anda dapat menggunakan teknik Delphi.
Bagaimana menggunakannya/ contoh
Bahan bacaan
*) Diambil dari sumber 5.
Dalam curah pendapat peran fasilitator ACM adalah mengarahkan proses kelompok dalam mengeksplorasi dan memadukan alternatifalternatif keputusan untuk mencapai suatu keputusan yang baik untuk setiap pihak.
Prinsip dasar dalam curah pendapat adalah apapun boleh, yakni mengungkapkan pandangan yang bebas tanpa evaluasi, koreksi, atau sensor. Curah pendapat harus disertai dengan teknik-teknik untuk menyimpulkan hasil curah pendapat itu secara efektif, seperti misalnya penentuan prioritas atau pengelompokan alternatif-alternatif keputusan secara efektif.
Curah pendapat cukup dikenal di kalangan praktisi, tetapi teknik ini sering digunakan untuk tujuan yang terlalu terbatas. Dalam konteks pengelolaan hutan, curah pendapat dapat digunakan untuk berbagai tujuan, misalnya: mencari penyebab masalah-masalah kehutanan; mencari peluang untuk memperbaiki kondisi menurunnya ketersediaan sumber daya alam; mengeksplorasi pilihan-pilihan pemasaran untuk hasil hutan nonkayu; atau untuk memahami alasan mengapa pihak tertentu menentang upaya pemecahan masalah secara kolaboratif.
Curah pendapat (brainstorming)*
Alat bantu/metode
PERANGKAT ALAT BANTU ACM : SEBUAH CONTOH • 183
Bagaimana menggunakannya/ contoh
• Mulailah dengan suatu pokok persoalan dan doronglah peserta untuk mendiskusikan hal ini melalui curah pendapat. Dalam melakukan ini, mintalah mereka untuk mengaitkan berbagai persoalan, tema, pertanyaan dengan pokok permasalahan pertama tadi. • Tuliskan pokok-pokok persoalannya pada flipchart, hubungkan pokok-pokok persoalan yang saling berkaitan dengan menggambar garis di antaranya. • Lanjutkan dengan identifikasi pokok-pokok persoalan yang saling berhubungan sampai semua kaitan yang mungkin telah terbahas. Mintalah peserta (yang mewakili seluruh pemangku kepentingan) untuk membuat daftar semua kelompok sosial, instansi, dan organisasi yang mereka ketahui di wilayah mereka. Setelah semua terdaftar, mintalah peserta untuk menggunting lingkaran kertas, satu lingkaran mewakili setiap kelompok, lembaga, atau organisasi.
Uraian
Alat ini membantu untuk berpikir secara holistik (menyeluruh) tentang pokok-pokok permasalahan yang saling berkaitan.
Alat ini mengungkapkan keterkaitan dan hubungan di antara para pemangku kepentingan (apakah individu, kelompok, organisasi, atau lembaga). Di samping itu, alat ini juga bisa mengidentifikasi perbedaan kekuasaan di antara mereka.
Diagram laba-laba
Diagram Venn
Alat bantu/metode
Buku-buku petunjuk atau acuan lainnya tentang penggunaan alatalat bantu PRA.
Lihat sumber 2.
Lihat sumber 1.
Sumber 6: Participatory Systems Analysis: An Introductory Guide. Lynam, T.J.P. 2001. Institute of Environmental Sciences – University of Zimbabwe, Harare, Zimbabwe dan CIFOR, Bogor, Indonesia.
Lihat sumber 1.
Bahan bacaan
184 • LAMPIRAN 2
Perusahaan kayu (HPH)
LSM lingkungan
Masyarakat
Uraian
Diskusi kelompok terfokus (focus group discussion (FGD))
Anda dapat menggunakan metode ini untuk memfasilitasi kelompok pemangku kepentingan dalam mendiskusikan satu atau lebih topik dengan arah/fokus yang jelas.
Sebuah diagram Venn
Dinas kehutanan kabupaten
Alat bantu/metode
Undang semua kelompok pemangku kepentingan untuk berkumpul. Pokok diskusi tergantung pada tujuan kegiatan Anda, misalnya mengumpulkan informasi tentang sejarah pengelolaan hutan atau pertemuan para pemangku kepentingan untuk merefleksikan kegiatan terdahulu.
Ukuran lingkaran menunjukkan seberapa pentingnya kelompok, instansi, atau organisasi yang bersangkutan di dalam masyarakat atau daerah itu. Mintalah peserta untuk menyusun lingkaran-lingkaran itu untuk mengindikasikan kaitan antara kelompok, organisasi, dan lembaga sebagai berikut: • Jika tidak ada kontak = lingkaran terpisah • Ada sedikit kontak/kerja sama = sedikit tumpang tindih • Ada kontak/kerja sama yang cukup berarti = tumpang tindih lebih besar • Ada pertukaran informasi di antara para pemangku kepentingan = lingkaran saling menyentuh
Bagaimana menggunakannya/ contoh
Bahan bacaan
PERANGKAT ALAT BANTU ACM : SEBUAH CONTOH • 185
Alat bantu/metode
Uraian
Suatu diskusi kelompok terfokus akan lebih efektif jika 2 orang memfasilitasi proses: satu orang memfasilitasi diskusi, sementara yang lain mencatat proses dan keluaran.
Anda dapat juga mengkombinasikan diskusi kelompok terfokus dengan alat bantu lainnya, misalnya pemetaan partisipatif; Anda dapat memfasilitasi para pemangku kepentingan dalam kegiatan pemetaan yang diikuti dengan diskusi kelompok.
Persiapkanlah terlebih dahulu suatu daftar yang akan membantu Anda untuk tetap terfokus pada pokok diskusinya. Untuk memastikan agar setiap orang mendapat kesempatan berbicara, peserta diskusi sebaiknya tidak lebih dari 8-10. Untuk kelompok yang anggotanya beragam pastikanlah bahwa semua pemangku kepentingan terwakili.
Bagaimana menggunakannya/ contoh
Bahan bacaan
186 • LAMPIRAN 2
Tanggal
Fasilitator: Pokok pembelajaran: Periode dokumentasi:
Dokumentasi proses
Kegiatan/ proses
Alat bantu/metode
Tujuan kegiatan/proses
Para pemangku kepentingan
Keluaran/ pengaruh
Refleksi fasilitator
Suatu contoh format dokumentasi proses diberikan di bawah ini, tetapi jurnal harian adalah bentuk yang lebih umum.
Proses pencatatan dapat membantu Anda dalam mendokumentasikan pengamatan secara berlanjut, analisis Anda, dan refleksi yang Anda lakukan tentang peran Anda sebagai fasilitator. Hal ini juga dapat memberi pemahaman tentang konteks sepanjang proses kegiatan fasilitasi Anda. Hal ini penting untuk mendapatkan hasil maksimal dari pengamatan dan pengalaman Anda.
Dokumentasi Proses Fasilitator
Bagaimana menggunakannya/ contoh
Uraian
Bahan bacaan
PERANGKAT ALAT BANTU ACM : SEBUAH CONTOH • 187
Bagaimana menggunakannya/ contoh
Diadaptasi dari sumber no. 1: Dalam acara para pemangku kepentingan, mintalah mereka untuk menyampaikan pengamatan masing-masing tentang suatu peristiwa yang baru terjadi. Tuliskan atau visualisasikan penyampaian tersebut pada flipchart dan mintalah peserta untuk menyepakati apakah hasil pengamatan itu merupakan fakta, opini, atau desas desus. Anda juga bisa meminta peserta untuk menyampaikan pendapat mereka dengan meminta mereka menuliskan atau menggambarkannya pada kartu-kartu. Fasilitasilah peserta melakukan kaji silang (cross-check) apakah informasi telah digunakan secara berbeda (sebagai fakta, opini, atau desas desus) dan untuk mencari jawaban mengapa bisa seperti itu. Sebelum kegiatan, persiapkan format kalendernya. Anda dapat menggambarnya pada kertas besar atau di atas tanah.
Uraian
Anda dapat menggunakan alat ini untuk mendorong para pemangku kepentingan untuk membedakan fakta, opini, dan desas desus agar dapat mengkaji kembali asumsiasumsi mereka.
Anda dapat menggunakan alat ini untuk mendorong para pemangku kepentingan untuk mengidentifikasi pola-pola dan kecenderungan pengelolaan hutan sepanjang tahun.
Fakta, opini, atau desas desus
Kalender musim
Alat bantu/metode
Buku-buku petunjuk atau acuan lainnya tentang penggunaan alatalat bantu PRA.
Lihat sumber 2.
Lihat sumber 1.
Bahan bacaan
188 • LAMPIRAN 2
Kerangka tanggung jawab, hak, hasil, dan hubungan (TH3)
Alat bantu/metode
Bagaimana menggunakannya/ contoh
Pola musiman dan kecenderungannya dapat digambarkan menggunakan kapur berwarna atau bahan seperti benih, batang padi, atau kerikil. Jelaskan kepada peserta, yang mewakili seluruh pemangku kepentingan, kegunaan dan proses dari kegiatan ini. Mintalah kelompok peserta untuk melengkapi kalendernya dengan mengerjakan semua variabel satu per satu secara berurutan, misalnya musim hujan, musim buah, ketersediaan tenaga kerja, dan sebagainya. Doronglah diskusi selama kegiatan berlangsung, sementara Anda meminta informasi lanjutan dan memeriksanya. Kumpulkanlah informasi tentang tanggung jawab, hak, hasil, dan hubungan dari para pemangku kepentingan dengan menggunakan panduan yang disediakan pada Lampiran 1 (Kegiatan 1, Langkah 2B). Masukkan informasi yang telah dikumpulkan ke dalam tabel sebagaimana dicontohkan tabel di hlm. 191. Tabel ini menyajikan kasus pengkajian kami di Jambi pada awal penelitian aksi.
Uraian
Hal ini memungkinkan mereka untuk mengidentifikasi masalah pengelolaan yang disebabkan oleh kurangnya kerja sama pada waktuwaktu tertentu.
Kerangka TH3 ini merupakan alat yang sangat bermanfaat dalam membantu Anda dan para pemangku kepentingan untuk mengorganisasikan secara sistematis informasi tentang tanggung jawab, hak, hasil, dan hubungan para pemangku kepentingan dalam satu kerangka.
Sumber 7: Capacity to Manage Role Changes in Forestry: Introducing the “4Rs” Framework. Dubois, O. 1998. IIED, London, Inggris.
Bahan bacaan
PERANGKAT ALAT BANTU ACM : SEBUAH CONTOH • 189
Alat bantu/metode
Matriks di bawah menunjukkan ketimpangan peran di antara para pemangku kepentingan. Sebagai contoh, pihak yang paling berkepentingan dengan hutan (misalnya Orang Rimba dan penduduk asli) hanya memiliki tanggung jawab hukum yang terbatas, terutama sehubungan dengan pengelolaan dan pelestarian alam. Di pihak lain, sementara pemerintah memiliki tanggung jawab untuk mengelola dan melestarikan hutan, mereka tidak memiliki sarana dan kemampuan untuk melakukan hal ini secara efektif. Karena itu, seharusnya tanggung jawab itu dialihkan kepada pihak yang memiliki kepentingan terbesar terhadap hutan. Namun hal ini berarti bahwa Orang Rimba dan penduduk asli perlu mendapatkan hak yang lebih banyak dan bahwa mekanisme untuk hubungan yang efektif antara mereka dan pemerintah perlu diciptakan.
Jika Anda menggunakan kerangka TH3 tersebut sebagai alat bantu untuk mendorong pembelajaran di antara para pemangku kepentingan, disarankan untuk mengumpulkan informasi dasar tentang TH3 itu lebih dahulu, sehingga Anda siap untuk memfasilitasi proses diskusi.
Kerangka ini dapat mengungkapkan ketimpangan yang mungkin ada di antara para pemangku kepentingan dalam hal peran dan tanggung jawab mereka dalam pengelolaan hutan.
Anda dapat menggunakan kerangka ini untuk mengorganisasikan informasi yang Anda kumpulkan sendiri. Di samping itu, kerangka ini bisa juga digunakan untuk mendorong diskusi di antara para pemangku kepentingan, misalnya untuk mengidentifikasi masalah.
Bagaimana menggunakannya/ contoh
Uraian
Bahan bacaan
190 • LAMPIRAN 2
• Pengelolaan dan perlindungan sumber daya alam secara tradisional • Tidak ada tanggung jawab resmi dalam pengelolaan sumber daya alam
• Pengelolaan dan perlindungan sumber daya alam secara tradisional
Penduduk asli
Tanggung jawab
Bagaimana menggunakannya/ contoh
Hak
• Hak adat (yang pengakuannya harus dimintakan kepada pemerintah)
• Hasil hutan kayu dan nonkayu
• Hasil hutan nonkayu • Tanaman dan produk lainnya dari hutan • Manfaat jasa lingkungan • Tempat pemukiman • Jaminan sosial dari hubungan patron klien dengan beberapa penduduk desa
Hasil
Kerangka TH3 untuk Jambi Hubungan
Bahan bacaan
Lanjut di halaman berikut
• Hak adat atas tanah dan sumber daya hutan tidak diakui oleh negara
• Hak adat atas tanah dan sumber daya hutan tidak diakui oleh negara • Hubungan yang lemah dengan masyarakat desa • Hubungan yang lemah dengan instansiinstansi resmi (pemerintah dan perusahaan) • Hubungan patron klien dengan beberapa penduduk desa
Kerangka TH3 tersebut menunjukkan juga ketimpangan lain. Peran fasilitator adalah membantu para pemangku kepentingan untuk merundingkan TH3 (tanggung jawab, hak, hasil, dan hubungan) yang seimbang.
• Hak adat (yang pengakuannya harus dimintakan kepada pemerintah) • Hak resmi yang terbatas, terutama karena kelompok ini secara administratif tidak menempati tempat tertentu
Uraian
Orang Rimba (kelompok yang bersifat nomad)
Pemangku kepentingan
Alat bantu/metode
PERANGKAT ALAT BANTU ACM : SEBUAH CONTOH • 191
Pendatang
Pemangku kepentingan
Alat bantu/metode
Hak resmi atas pemilikan tanah yang terdaftar (bersertifikat) di bawah program transmigrasi (seperti hak waris dan transaksi jual beli)
• Hak resmi yang terbatas
• Tidak ada tanggung jawab resmi dalam pengelolaan sumber daya alam • Membayar pajak
• Mengembangkan lahan pertanian di bawah program transmigrasi • Tidak ada tanggung jawab resmi dalam pengelolaan sumber daya hutan • Menghormati kewenangan adat penduduk asli atas sumber daya tanah dan sumber daya alam lainnya • Membayar pajak
Hak
Hubungan
Bahan bacaan
• Tanaman musiman dari huma/ladang • Tanaman semusim dan tahunan dari tanah bersertifikat di bawah program transmigrasi
Lanjut ke halaman berikut
• Kesenjangan sosial dengan penduduk asli karena “okupasi” tanah penduduk asli • Hanya sedikit komitmen untuk pengelolaan dan perlindungan sumber daya alam di luar tanah pertanian milik mereka
• Tanaman pangan • Hubungan lemah dengan pemerintah dan tanaman lainnya karena perladangan berpindah secara • Pendapatan dan resmi tidak diakui hasil hutan lainnya • Hubungan buruk dengan pemerintah • Manfaat jasa juga dikarenakan penyerahan tanah lingkungan adat kepada pendatang • Manfaat dari lahan, • Hubungan buruk dengan pendatang termasuk untuk karena pendatang secara resmi penggembalaan diperbolehkan untuk “okupasi” tanah adat • Gangguan “campur tangan” negara
Hasil
Bagaimana menggunakannya/ contoh
Tanggung jawab
Uraian
192 • LAMPIRAN 2
Tanggung jawab
• Menerapkan kebijakan, program, dan rencana kehutanan pemerintah • Menindak para pengguna hutan ilegal • Memonitor pelaksanaan rencana kehutanan
• Mengembangkan dan melaksanakan rencana pengelolaan zona penyangga • Berkoordinasi dengan Balai Taman Nasional atau dengan Bappeda sehubungan dengan pelaksanaan proyek
Dishut kabupaten
LSM yang melaksanakan proyek pelestarian dan pembangunan terpadu (ICDP)
Hak
Hasil
Bagaimana menggunakannya/ contoh
Hubungan
Bahan bacaan
• Hak untuk mengembangkan dan melaksanakan rencana pengelolaan zona penyangga Taman Nasional • Tidak ada hak resmi atas hutan • Tercapainya tujuan proyek ICDP • Pekerjaan
• Hubungan dengan penduduk asli dan pendatang sebatas kegiatan proyek • Hubungan resmi dengan pemerintah daerah
• Hak untuk memberikan • Tercapainya tujuan Hubungan yang terbatas dengan ijin pemanfaatan hutan kebijakan kehutanan penduduk asli, hanya pada saat kunjungan • Hak menindak • Gengsi pemantauan pengguna hutan ilegal (penghormatan/ • Hak untuk mengusulkan ditakuti) prosedur pengelolaan • Pengakuan terhadap sumber daya hutan kewenangannya • Manfaat finansial
Uraian
Pemangku kepentingan
Alat bantu/metode
PERANGKAT ALAT BANTU ACM : SEBUAH CONTOH • 193
Matriks perselisihan para pemangku kepentingan
Kriteria & indikator
Alat bantu/metode
Suatu visualisasi keberadaan dan derajat konflik di antara para pemangku kepentingan.
Uraian
Di bawah ini diberikan sebuah contoh matriks perselisihan para pemangku kepentingan.
Bagaimana menggunakannya/ contoh
Sumber 11: Trees and Trade-offs: A Stakeholder Approach to Natural Resource Management. Grimble, R., M.K. Chan, J. Aglionby & J. Quan. 1995. IIED, Londen, Inggris.
Sumber 10: The Sustainable Forestry Handbook. Higman S., S. Bass., J. Judd, J. Mayers & R. Nussbaum. 1999. Earthscan, Londen, Inggris.
Sumber 9: Kriteria dan Indikator Kelestarian Hutan yang Dikelola oleh Masyarakat (Community Managed Forest): Pedoman Pendahuluan. Ritchie, B., C. McDougall, M. Haggith & N. Burford de Oliveira. 2001. CIFOR, Bogor, Indonesia. Juga tersedia dalam bahasa Inggris, Perancis, dan Portugis.
Sumber 8: Perangkat Kriteria dan Indikator. 1999. CIFOR. Bogor, Indonesia. Juga tersedia dalam bahasa Cina, Inggris, Spanyol, Perancis, dan Portugis. Dapat juga diambil dari: www.cifor.cgiar.org/ acm/pub/toolbox.html
Bahan bacaan
194 • LAMPIRAN 2
Matriks siapa yang perlu dipertimbangkan (Who counts matrix)
Alat bantu/metode
Sengketa besar
Instansiinstansi pemerintah
Alat bantu ini bisa membantu Anda memprioritaskan para pemangku kepentingan yang kesejahteraannya sangat berkaitan dengan pengelolaan hutan. Alat ini menggunakan tujuh dimensi untuk menilai kaitan di antara para pemangku kepentingan dengan hutan: 1. Kedekatan dengan hutan 2. Hak masyarakat lokal yang sudah ada
Ajaklah suatu kelompok terdiri dari unsur masyarakat, organisasi, instansi pemerintah, dan lembaga lainnya. Mintalah mereka untuk mengidentifikasi kelompok-kelompok sosial, organisasi masyarakat, dan instansi pemerintah yang penting di wilayah itu dan menempatkannya pada bagian atas matriks.
Contoh matriks yang menggambarkan adanya sengketa di antara para pemangku kepentingan dan derajat sengketanya
Sengketa kecil
LSM konservasi
Bagaimana menggunakannya/contoh
Masyarakat Pemilik tanah Perusahaan lokal di dalam/ dari luar desa penebang kayu sekitar hutan
Tidak ada sengketa
Instansiinstansi pemerintah
LSM konservasi
Perusahaan penebang kayu
Pemilik tanah dari luar desa
Masyarakat lokal di dalam/ sekitar hutan
Uraian
Sumber 12: Siapa yang Perlu Dipertimbangkan. Menilai Kesejahteraan Manusia dalam Pengelolaan Hutan Lestari. Colfer, C.J.P. bersama R. Prabhu, M. Günter, C. McDougall, N. Miyasaka Porro & R. Porro. 1999. Perangkat Kriteria & Indikator No. 8. CIFOR, Bogor, Indonesia. Juga tersedia dalam bahasa Cina, Inggris, Spanyol, Perancis, dan Portugis. Dapat juga diambil dari: www.cifor.cgiar.org/acm/pub/toolbox.html
Bahan bacaan
PERANGKAT ALAT BANTU ACM : SEBUAH CONTOH • 195
Alat bantu/metode
Ketergantungan Kemiskinan Pengetahuan indijenus/lokal Integrasi hutan/budaya Defisit kekuasaan
Metode ini menggunakan teknik pemberian nilai (skoring) sederhana untuk memprioritaskan para pemangku kepentingan dalam tindakan pengelolaan hutan.
3. 4. 5. 6. 7.
Uraian
Contoh di bawah menunjukkan kasus di Pasir: matriks tersebut menunjukkan bahwa di antara para pemangku kepentingan, masyarakat dan pekerja hutanlah yang harus diprioritaskan dalam kegiatan pengelolaan hutan.
Ambillah nilai tengah dari keseluruhan dari ke-7 nilai tersebut sebagai nilai rata-rata. Nilai tengah yang kurang dari 2 menunjukkan bahwa kelompok tersebut “penting”, sedangkan di atas 2 artinya “kurang penting”.
Tempatkan ketujuh dimensi di sepanjang sisi kiri matriks dan minta peserta untuk mengurutkan pentingnya masing-masing pemangku kepentingan pada setiap dimensi. Anda bisa menggunakan sistem nilai (skoring) dari 1 sampai 3 (1 = tinggi, 2 = sedang, 3 = rendah).
Bagaimana menggunakannya/ contoh
Bahan bacaan
196 • LAMPIRAN 2
1
7
1
Defisit kekuasaan
Jumlah
Nilai tengah
1,0
7
1
1
1
1
1
Kemiskinan
1
1
1
Ketergantungan
1
1
1
1
Hak yang sudah ada
Pengetahuan indijenus/lokal Integrasi hutan/ budaya
1
Rantau Buta
1,1
8
1
1
1
2
1
1
1
Warga Desa
1,9
13
1
2
2
2
2
2
2
Orang luar
Pekerja Hutan
2,0
14
2
3
3
3
1
1
1
Perusahaan Kayu/HPH
2,9
20
3
3
3
3
3
2
3
Bappeda
2,6
18
3
3
3
3
2
1
3
Dinas Kehutanan Kabupaten
Bagaimana menggunakannya/ contoh
Matriks Siapa yang Perlu Dipertimbangkan untuk Lokasi Pasir
Uraian
Masyarakat Desa
Rantau Layung
Kedekatan dengan hutan
Para pemangku kepentingan/ Dimensi
Alat bantu/metode
2,0
14
2
2
1
1
2
3
3
LSM Lingkungan
Bahan bacaan
PERANGKAT ALAT BANTU ACM : SEBUAH CONTOH • 197
Mendengarkan dengan empati
Alat bantu/metode
Alat untuk mengembangkan kemampuan yang lebih baik untuk mendengarkan orang lain dan menyimak apa yang dikatakan orang lain.
Uraian
Bahan bacaan
Setelah kegiatan ini, diskusikan bagaimana perasaan peserta ketika memegang benda itu atau ketika menerimanya tanpa diminta, ataupun ketika diminta. Pelatihan ini mendorong sikap mendengarkan dan mendorong peserta yang cenderung diam untuk berbicara. Cara ini juga menyadarkan peserta yang dominan akan lamanya waktu yang mereka gunakan untuk berbicara ketika memegang benda berat tersebut.
Lihat sumber 1. Diadaptasi dari sumber no.1: Anda dapat menggunakan alat ini untuk mempersiapkan orang dalam mendengarkan orang lain dengan penuh perhatian. Mintalah peserta untuk mendiskusikan suatu topik tertentu. Bawalah suatu benda yang cukup berat yang dapat diletakkan di pangkuan. Jelaskan bahwa peserta hanya dapat berbicara jika mereka memegang benda tersebut; jika tidak memegang benda tersebut mereka harus mendengarkan orang yang sedang berbicara. Orang yang telah selesai berbicara harus meneruskan benda itu kepada orang lain (baik yang meminta kesempatan berbicara, ataupun tidak).
Bagaimana menggunakannya/ contoh
198 • LAMPIRAN 2
Bagaimana menggunakannya/ contoh
Mintalah para peserta untuk duduk melingkar di lantai dan berikan setiap peserta delapan tanda (seperti kerikil atau kartu) dengan dua warna. Dua tanda berwarna sama dan sisanya berwarna lain. Jelaskan bahwa dengan kedua tanda pertama para peserta dapat membeli waktu untuk berbicara dan dengan enam lainnya mereka bisa menjual waktu untuk mendengarkan. Jelaskan bahwa setiap tanda memiliki nilai yang sama. Biarkan para pemangku kepentingan sendiri yang menentukan topik diskusi. Setiap kali seseorang mau berbicara, dia harus membeli waktu dengan cara meletakkan tanda di tengah lingkaran. Setelah seseorang berbicara, peserta lain boleh meletakkan satu tanda di tengah lingkaran jika mereka merasa bahwa mereka sudah mendengarkan dengan cukup baik apa yang dikatakan. Permainan sederhana ini membuat orang berpikir dulu sebelum memutuskan untuk berbicara dan mendengarkan pihak lain dengan lebih berperhatian karena berbicara maupun mendengarkan mempunyai nilai.
Uraian
Alat ini mendorong para pemangku kepentingan untuk menghargai mendengarkan maupun berbicara. Orang perlu lebih menyadari bahwa pada umumnya lebih mudah untuk berbicara daripada benarbenar mendengarkan. Barangkali inilah alasan mengapa kita punya satu mulut tetapi dua telinga!
Alat bantu/metode
Menghargai mendengarkan dan menghargai berbicara
Bahan bacaan
PERANGKAT ALAT BANTU ACM : SEBUAH CONTOH • 199
Lihat sumber 1 dan sumber 2.
Pastikan bahwa semua pemangku kepentingan terwakili dalam pemetaan dan bahwa sebelum kegiatan para peserta memahami dengan jelas tujuannya, bagaimana melakukannya, dan sumber daya alam apa yang ingin mereka petakan (air, hutan, pemukiman, dan bagaimana letaknya). Usahakanlah partisipasi semua pihak dan amati bagaimana perkembangannya. Biarkan peserta memutuskan cara mereka sendiri dalam memetakan, tetapi mintalah mereka untuk mengerjakannya satu demi satu (seperti, pertama membahas sumber daya tanah, kemudian air dan seterusnya). Doronglah diskusi selama proses pemetaan dan lanjutkan dengan diskusi yang lebih terarah, misalnya dengan diskusi kelompok terfokus.
Anda dapat memilih alat ini jika Anda perlu membantu para pemangku kepentingan untuk mengungkapkan pandangan mereka tentang sumber daya alam di wilayahnya. Proses pemetaan dan diskusinya mendorong para pemangku kepentingan untuk membangun pemahaman bersama tentang permasalahan dan hambatan-hambatan yang ada. Di samping itu, peserta akan termotivasi untuk mengidentifikasi peluang-peluang guna memperbaiki kondisi sumber daya alam.
Pengamatan yang Anda lakukan terhadap berbagai situasi dan proses interaksi di antara pemangku-pemangku kepentingan adalah alat yang efektif untuk mengembangkan pengetahuan Anda tentang situasi lokal di tempat Anda melakukan tugas Anda.
Pemetaan sumber daya dan pemetaan sosial secara partisipatif
Pengamatan langsung
Sebuah sketsa desa yang digambarkan oleh para anggota masyarakat Baru Pelepat.
Buku-buku petunjuk atau acuan lainnya tentang penggunaan alat-alat bantu PRA.
Bahan bacaan
Bagaimana menggunakannya/ contoh
Uraian
Alat bantu/metode
200 • LAMPIRAN 2
Pengamatan terlibat (participant observation)
Alat bantu/metode
Bagaimana menggunakannya/ contoh
Libatkan diri Anda dalam kegiatan para pemangku kepentingan yang kehidupannya ingin Anda pahami. Contohnya, jika Anda ingin tahu lebih banyak tentang partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan di dalam masyarakat, ikutlah dalam pertemuan/rapat desa dan lakukanlah pengamatan Anda sambil berpartisipasi dalam kegiatannya.
Uraian
Dengan berpartisipasi dalam kegiatan para pemangku kepentingan, Anda dapat melakukan pengamatan guna memperoleh informasi yang menjelaskan berbagai persoalan. Cara ini dapat dipakai sebagai alat pelengkap dalam mengumpulkan informasi (yang dilakukan misalnya dengan wawancara). Dengan melibatkan diri Anda dalam kegiatan, Anda akan dapat memperkecil resiko bahwa pemangku kepentingan akan merasa tidak nyaman ketika diamati.
Bahan bacaan
PERANGKAT ALAT BANTU ACM : SEBUAH CONTOH • 201
Pengambilan keputusan bersama
Alat bantu/metode
Bagaimana menggunakannya/ contoh
Lanjut di halaman berikut
• Memiliki sikap yang sesuai. Hal ini menyiratkan bahwa seorang fasilitator pembelajaran perlu memiliki rasa keadilan (fairness) sehingga proses yang difasilitasinya dipandang adil oleh semua pemangku kepentingan. Selain itu, fasilitator harus merupakan pendengar yang baik dan menunjukkan empati. Dengan sikap ini, fasilitator akan dapat dengan sesuai memberi respon terhadap proses-proses yang muncul selama pembelajaran. Sikap seperti itu tergantung pada kepribadian fasilitator dan lebih penting daripada pembekalan teknik dan alat bantu fasilitasi. Namun, hal ini dapat dikembangkan dalam diri fasilitator seiring dengan berkembangnya pengalaman dalam bergiat dengan para pemangku kepentingan.
• Mempunyai fokus yang jelas pada nilai-inti pengambilan keputusan bersama: tanggung jawab bersama atas konsekuensi keputusan, apresiasi terhadap pandangan orang lain, dan partisipasi aktif semua pemangku kepentingan. Karena itu, bukanlah fasilitator yang mengambil keputusannya, tetapi ia memandu proses-proses interaktif yang berjalan sepanjang proses sampai tercapainya titik keputusan.
Pengambilan keputusan bersama merupakan proses belajar antara dua orang atau lebih untuk membuat keputusan yang dapat diterima setiap orang. Oleh karena itu, memfasilitasi pengambilan keputusan bersama hanya akan efektif jika fasilitator dengan sengaja menjadikan pembelajaran sebagai inti dari pengambilan keputusan. Untuk itu fasilitator perlu:
Memfasilitasi pengambilan keputusan bersama
Uraian
Lihat sumber 5.
Bahan bacaan
202 • LAMPIRAN 2
Alat bantu/metode
Bagaimana menggunakannya/ contoh
• Lengkapilah diri Anda dengan alat-alat bantu yang efektif untuk memfasilitasi proses interaksi kelompok. Alat fasilitasi yang efektif adalah yang mendorong pembelajaran bersama. Alat-alat itu dapat berupa, antara lain, pemetaan partisipatif, diskusi kelompok terfokus, curah pendapat, pertemuan masyarakat, skenario, bermain peran, dan simulasi model komputer.
Ketiga, fasilitasi harus bertujuan membangun hubungan yang konstruktif di antara para pemangku kepentingan. Fokus ini minimal sama pentingnya dengan tujuan dari pengambilan keputusan bersama itu sendiri.
Kedua, para pemangku kepentingan perlu didorong untuk menyediakan waktu memadai untuk berpikir: keputusan janganlah dibuat tergesagesa. Hal ini meningkatkan kemampuan peserta untuk merefleksikan dengan kritis asumsi-asumsi dan cara-cara berpikir yang lama. Dalam prakteknya ini bisa dicapai dengan mengembangkan “rasa ingin tahu” di antara para pemangku kepentingan dengan mengajukan pertanyaan yang tepat pada saat yang tepat.
• Membentuk kondisi yang tepat bagi para pemangku kepentingan untuk belajar cara baru dalam mengambil keputusan bersama. Ada tiga kondisi penting, yaitu: Pertama, para pemangku kepentingan perlu merasa terdorong untuk mengajukan gagasan baru yang kreatif tanpa mempedulikan bahwa gagasannya itu mungkin terkesan aneh. Semakin kreatif sebuah kelompok, semakin banyak alternatif keputusan yang dikembangkan dan semakin besar pula kemungkinan tercapainya terobosan kreatif yang bukan hanya “keputusan yang itu-itu saja.”
Uraian
Bahan bacaan
PERANGKAT ALAT BANTU ACM : SEBUAH CONTOH • 203
Pengkajian cepat sistem pengetahuan pertanian (PCSPP; rapid appraisal of agricultural knowledge systems (RAAKS))
Pengkajian cepat keanekaragaman hayati (rapid biodiversity assessment)
Alat bantu/metode
Alat-alat PCSPP merupakan seperangkat alat yang dapat digunakan para pemangku kepentingan untuk mengevaluasi hubungan di antara mereka. PCSPP terutama sangat membantu untuk melihat permasalahan dari berbagai dimensi.
Uraian
Jika Anda ingin mengetahui lebih banyak tentang PCSPP atau penggunaannya, suatu perangkat alat bantu tersedia (sumber 14), termasuk panduan untuk membantu kelompok pemangku kepentingan guna menganalisis hubungan di antara mereka dari berbagai dimensi (disebut “jendela”).
Bagaimana menggunakannya/ contoh
Sumber 14: Facilitating Innovation for Development. A RAAKS Resource Box. Engel, P.G.H. & M. Salomon. 1997. KIT, Amsterdam, Belanda.
Sumber 13: Mengeksplorasi Keanekaragaman Hayati, Lingkungan dan Pandangan Masyarakat Lokal Mengenai berbagai Lanskap Hutan: Metode-Metode Penilaian Lanskap secara Multidisipliner. Sheil, D., R.K. Puri, I. Basuki, M. van Heist, M. Wan, N. Liswanti, Rukmiyati, M.A. Sardjono, I. Samsoedin, K. Sidiyasa, Chrisandini, E. Permana, E. Mangopo Angi, F. Gatzweiler, B. Johnson & A. Wijaya. 2004. CIFOR, Bogor, Indonesia. Juga tersedia dalam bahasa Inggris, Perancis, dan Spanyol. Dapat juga diambil dari: www.cifor.cgiar.org\mla
Bahan bacaan
204 • LAMPIRAN 2
Bagaimana menggunakannya/ contoh
Beberapa alat bantu dalam perangkat itu dapat Anda gunakan untuk memfasilitasi pengumpulan informasi dan mengolahnya. Proses PCSPP mencakup tiga proses belajar yang saling terjalin, yakni perumusan masalah dan identifikasi sistem, analisis hambatan dan peluang, dan perumusan strategi aksi. Ketika mengumpulkan informasi dari dokumen tertulis, Anda harus memperhatikan bahwa informasi yang tersedia tidak selalu akurat, lengkap, atau mutakhir. Di samping itu, berbagai bias bisa saja tersirat di dalam dokumen tersebut.
Uraian
Sasaran kunci PCSPP adalah meningkatkan sistem pengetahuan dan informasi, misalnya meningkatkan organisasi, pengambilan keputusan dan pertukaran informasi dalam jaringan pemangku kepentingan.
Instansi kehutanan, LSM lokal, kantor lapangan perusahaan, dan instansi pemerintah daerah sering menyimpan catatan, rekaman, atau dokumen yang berguna sebagai informasi. Dokumen tertulis berupa misalnya laporan-laporan yang berisikan data dasar tentang sumber daya alam, sensus penduduk, data statistik, data tentang pihakpihak yang bersengketa, daftar pemilik ijin, dokumen kebijakan, memorandum resmi, dokumen penelitian, laporan proyek, dan liputan media.
Metode ini menilai keterlibatan para pemangku kepentingan dalam pengelolaan hutan dan tingkat interaksi di antara mereka.
Pengkajian dokumen tertulis
Penyortiran kartu skor
Alat bantu/metode
Lihat sumber 3.
Bahan bacaan
PERANGKAT ALAT BANTU ACM : SEBUAH CONTOH • 205
Skenario jalur
Skenario
Alat bantu/metode
Jenis skenario ini menawarkan suatu cara untuk menuju ke arah kondisi yang lebih disukai berangkat dari kondisi saat ini.
Skenario adalah alat yang sangat membantu dalam memikirkan masa depan secara kreatif dan dengan cara-cara baru. Berbeda dengan proyeksi, skenario tidak perlu melukiskan masa depan yang sesungguhnya. Skenario khususnya membantu dalam situasi yang rumit, tidak menentu, dan sulit untuk diperkirakan berdasarkan kecenderungan saat ini. Dalam keadaan seperti ini, kreativitas sangat dibutuhkan untuk mengantisipasi perubahan. Di bawah ini disampaikan dua jenis skenario: skenario visi dan skenario jalur. Dua skenario lainnya, skenario proyeksi dan skenario alternatif, dapat dibaca dalam sumber no. 15.
Uraian
Sebelum membuat skenario jalur, Anda perlu membantu para pemangku kepentingan untuk menghasilkan skenario visi (lihat di bawah). Kemudian ikuti langkah-langkah berikut: • Mintalah para pemangku kepentingan untuk membayangkan kondisi masa depan yang ideal, misalnya untuk desa mereka, sumber daya alam, atau organisasi-organisasi yang ada.
Bagaimana menggunakannya/ contoh
Sumber 16: Future Scenario as an Instrument for Forest Management. Manual for Training Facilitators of Future Scenarios. Nemarundwe, N., W. de Jong & P. Cronkleton. 2003. CIFOR. Bogor, Indonesia.
Sumber 15: Mengantisipasi Perubahan: Skenario sebagai Sarana untuk Pengelolaan Hutan secara Adaptif. Suatu Panduan. 2001. Wollenberg, E. bersama D. Edmunds & L. Buck. CIFOR; Bogor, Indonesia. Juga tersedia dalam bahasa Inggris dan Spanyol.
Bahan bacaan
206 • LAMPIRAN 2
Alat bantu/metode
Uraian
• Dampingi mereka untuk membandingkan visi yang telah mereka buat dengan kondisi saat ini. • Bantulah para pemangku kepentingan untuk mengidentifikasi kendala dan peluang utama dalam upaya mencapai visi mereka. • Fasilitasi mereka dalam curah pendapat tentang strategi yang akan digunakan untuk mencapai visi tersebut, dimulai dari kondisi saat ini sambil mempertimbangkan kendala dan peluang yang ada. • Dampingilah pemangku kepentingan dalam membandingkan strategi-strategi alternatif dan mengidentifikasi pokok-pokok aksi.
Bagaimana menggunakannya/ contoh
Bahan bacaan
PERANGKAT ALAT BANTU ACM : SEBUAH CONTOH • 207
Uraian
Bagaimana menggunakannya/ contoh
Bahan bacaan
Gambar yang kami gunakan di lapangan dalam merangsang pemikiran tentang masa depan
Alat bantu/metode
208 • LAMPIRAN 2
Skenario visi
Alat bantu/metode
Jenis skenario ini membantu para pemangku kepentingan mengungkapkan hasrat mereka dan mendorong mereka untuk berkeyakinan bahwa hasrat itu dapat dicapai.
Uraian
Ajaklah para pemangku kepentingan berkumpul dan mengikuti empat langkah berikut ini: • Mintalah mereka untuk membayangkan masa depan yang ideal atau mengidentifikasi apa yang menurut mereka harus berubah dalam kehidupan, masyarakat, desa, atau hutan mereka. • Dorong mereka untuk secara individual memikirkan masa depan yang diinginkan. Proses ini bisa difasilitasi dalam pertemuan itu sendiri atau bisa juga dilakukan dalam pertemuan terpisah. Anda bisa melakukan kegiatan ini dengan menggunakan misalnya diskusi kelompok terfokus, pertemuan konsultasi, atau pemetaan desa. • Mintalah para pemangku kepentingan untuk saling menyampaikan visi atau skenario masa depan mereka. Doronglah mereka untuk menyampaikan skenario mereka dengan caracara yang hidup, misalnya dalam bentuk permainan peran, gambar, dll.
Bagaimana menggunakannya/ contoh
Bahan bacaan
PERANGKAT ALAT BANTU ACM : SEBUAH CONTOH • 209
Teknik Delphi
Alat bantu/metode
Alat ini dapat digunakan untuk menggolongkan, mengelompokkan, dan menyusun peringkat prioritas.
Uraian
Mulailah dengan kegiatan curah pendapat untuk menghasilkan pokok-pokok yang perlu diperingkatkan dan tuliskan masing-masing pokok pada kartu-kartu terpisah. Masukkan semua pokok, kecuali yang rangkap. Sepakatilah dengan seluruh anggota kelompok bagaimana kartu-kartu itu akan dikelompokkan dan diperingkatkan.
• Fasilitasi para pemangku kepentingan untuk mengidentifikasi implikasi dari setiap skenario, termasuk yang berkaitan dengan aksi dan sumber daya (misalnya, waktu, dana, keterampilan, dan pengetahuan). Bantulah mereka untuk menyusun peringkat berbagai skenario itu menurut tingkat kelayakannya dengan mempertimbangkan sumber daya yang tersedia. Sepakatilah skenario atau visi mana yang paling layak.
Bagaimana menggunakannya/ contoh
Lihat sumber 1.
Bahan bacaan
210 • LAMPIRAN 2
Bagaimana menggunakannya/ contoh
• Diskusikan dengan peserta lintasan transeknya dan rencana perjalanannya. Lengkapilah tim dengan metode dan materi yang diperlukan. • Pastikanlah bahwa sepanjang perjalanan para anggota tim memahami dengan jelas apa yang harus mereka amati. • Sepulangnya, bekerjalah dengan tim untuk mempersiapkan presentasi temuan. Doronglah peserta untuk menggunakan presentasi nonverbal seperti gambar, diagram, atau permainan peran. Diadaptasi dari sumber no. 13: Mintalah para pemangku kepentingan dari wilayah proyek untuk membuat sketsa transek wilayahnya pada masa ini. Kemudian mintalah peserta yang lebih tua untuk menggambarkan sketsa transek wilayah tersebut 10, 20, atau 30 tahun yang lalu. Bantu semua kelompok untuk mengidentifikasi perbedaan-perbedaan antara kedua transek tersebut dan faktorfaktor apakah yang mempengaruhi perubahan-perubahan tersebut.
Uraian
Anda dapat menggunakan alat ini untuk memperoleh informasi tentang sumber daya hutan, penggunaan lahan, permasalahan, dan peluang. Alat ini juga dapat digunakan untuk mengamati dan membicarakan berbagai persoalan lokal. Cara ini mendorong para pemangku kepentingan untuk berpartisipasi aktif dalam proses pengkajian.
Metode ini dapat digunakan untuk mengenali kecenderungan pengelolaan dan penggunaan sumber daya alam di masa lalu dan di masa depan.
Transek partisipatif
Transek sejarah lanskap
Alat bantu/metode
Lihat sumber 3.
Buku-buku petunjuk atau acuan lainnya tentang penggunaan alatalat PRA.
Lihat sumber 2.
Bahan bacaan
PERANGKAT ALAT BANTU ACM : SEBUAH CONTOH • 211
Ketika menggunakan metode ini ada dua aspek yang perlu diperhatikan: • Konteks wawancaranya, karena hal ini akan mempengaruhi jawaban responden. Anda harus memperhitungkan siapa yang melakukan wawancara, siapa yang diwawancarai, bagaimana, di mana, dan kapan wawancara dilakukan. • Cara bertanya yang sensitif, termasuk bertanya yang tidak mengarahkan dan bertanya dengan probing (mengajukan pertanyaan tindak lanjut untuk memperdalam tanggapan dan jawaban yang sudah diberikan). Anda dapat menggunakan wawancara tak terstruktur dengan individu dan kelompok sebagai alat untuk belajar tentang pandangan mereka terhadap banyak hal yang berhubungan dengan kehidupan mereka.
Pada pengumpulan data dengan metode ini hanya tema umum yang ditentukan sebelumnya. Tema baru yang tidak terduga dapat muncul selama wawancara. Wawancara tak terstruktur dapat melengkapi pengamatan terlibat. Cara ini bisa menghasilkan informasi yang berharga, khususnya kalau berlangsung dalam suasana yang merangsang interaksi positif di antara “pewawancara” dan “yang diwawancarai”. Persoalan yang sensitif dapat muncul lebih bebas daripada dalam suasana yang lebih terstruktur.
Wawancara tak terstruktur
Bagaimana menggunakannya/ contoh
Dalam cara pengumpulan data ini, hanya pokok pembicaraan ditentukan terlebih dulu, sementara pertanyaan yang lebih rinci dikembangkan selama wawancara berdasarkan hasil pembicaraan antara “pewawancara” dan “yang diwawancarai”.
Uraian
Wawancara semiterstruktur
Wawancara
Alat bantu/metode
Bahan bacaan
212 • LAMPIRAN 2
213
CATATAN AKHIR
1
2
3 4 5 6 7 8
9
10 11
12
13 14 15 16
Yayasan Gita Buana, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Otonomi Daerah, dan Yayasan Padi. Dua lembaga yang disebut pertama berlokasi di Jambi (Sumatera), sementara lembaga yang terakhir berlokasi di Samarinda (Kalimantan Timur). Disesuaikan dari Hyperdictionary online. http://www.hyperdictionary.com/ search.aspx?define=adaptation dan http://www.hyperdictionary.com/search. aspx?define=collaboration (May 17, 2006) Disesuaikan dari McDougall, 2000. Hartanto dkk., 2003. Disesuaikan dari Buck dkk., 2001. Diambil dari Braakman & Edwards, 2002. Disesuaikan dari Steins & Edwards, 1999. Kami mengartikan istilah “lembaga” dengan dua cara. Pertama, lembaga (institution) adalah suatu struktur atau mekanisme sosial yang bertujuan untuk mendukung kehidupan kolektif sekelompok orang, seperti misalnya dalam “lembaga adat”, “lembaga pendidikan”, dan “lembaga keagamaan”. Tujuan suatu lembaga dicapai melalui pengaturan (penerapan normanorma atau aturan-aturan) terhadap perilaku para anggotanya. Kedua, kata lembaga (institute) dapat juga diartikan sebagaimana lebih umum digunakan di Indonesia, yakni sebagai organisasi atau instansi yang berbadan hukum, seperti misalnya dalam “lembaga pemerintah desa”, “lembaga donor”, dan “lembaga pemuda”. Kami menggunakan istilah “perhutanan sosial” sebagai konsep payung untuk menjelaskan berbagai bentuk pelibatan masyarakat atau kelompok lokal dalam kebijakan dan program pengelolaan hutan. Lihat, sebagai contoh, Sarin, 1998. Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Tata Pemerintahan Desa, yang telah digantikan oleh undang-undang desentralisasi pada tanggal 1 Januari 2001. Disesuaikan dari gagasan “platform” sebagaimana dirumuskan oleh Röling & Jiggins, 1998. Lihat, misalnya, Groot dkk., 2002. Lihat Kolb, 1984. Lihat, sebagai contoh, Bawden, 1991. Disesuaikan dari Kusumanto, akan diterbitkan.
214 • CATATAN AKHIR
17 18 19 20 21 22
Menurut Dubois, 1998. Lihat Buck dkk. 2001 dan 2005. Lihat Maarleveld & Dangbégnon, 1999. Lihat, sebagai contoh, Wollenberg dkk., 2000. Lihat Carney (penyunting), 1998. Pengertian “insentif” di sini bukan hanya mencakup imbalan finansial, tetapi juga insentif dalam bentuk nonfinansial, seperti hak kelola atas hutan, kesempatan pelatihan dan pendidikan, promosi jenjang karier, dsb.
215
DAFTAR PUSTAKA
Bawden. R.J. 1991. Systems Thinking and Practice in Agriculture. Dalam: Journal of Dairy Science, 74. Braakman, L. & K. Edwards. 2002. The Art of Building Facilitation Capacities. A Training Manual. RECOFTC, Bangkok, Thailand. Buck, L., E. Wollenberg & D. Edmunds. 2001. Social Learning in the Collaborative Management of Forests. Dalam: Wollenberg, E., D. Edmunds, L. Buck, J. Fox & S. Brodt (penyunting). Social Learning in Community Forests. CIFOR, Bogor, Indonesia. Buck, L., E. Wollenberg & D. Edmunds. 2005. Pembelajaran Sosial dalam Pengelolaan Kolaboratif Hutan Komunitas: Pelajaran dari Lapangan. Dalam: Wollenberg, E., D. Edmunds, L. Buck, J. Fox & S. Brodt (penyunting). Pembelajaran Sosial dalam Pengelolaan Hutan Komunitas. Pustaka LATIN dan CIFOR, Bogor, Indonesia. Carney, D. (penyunting). 1998. Sustainable Rural Livelihoods. What Contribution can We Make? Makalah dipresentasikan pada Konferensi Penasehat Sumber Daya Alam - DFID, Juli 1998. DFID, Londen, Inggris. Dubois, O. 1998. Capacity to Manage Role Changes in Forestry. Introducing the 4R’s Framework. IIED, Londen, Inggris. Groot, A., N. van Dijk & J. Jiggins. 2002. Three Challenges in the Facilitation of System-wide Change. Dalam: Leeuwis, C. & R. Pyburn (penyunting). Wheelbarrows Full of Frogs: Social Learning in Rural Resources Management. International Research and Reflections. Hlm. 199-213. Koninklijke van Gorcum, Belanda. Hartanto, H., C.M. Lorenzo, C. Valmores, L. Arda-Minas, E.M. Burton & R. Prabhu. 2003. Learning Together. Responding to Change and Complexity to Improve Community Forests in the Philippines. CIFOR, Bogor, Indonesia. Kolb, D.A. 1984. Experiential Learning: Experience as the Source of Learning and Development. Prentice-Hall, Englewood Cliffs, NJ, AS. Kusumanto, T. Akan diterbitkan. Beyond Power Barriers: Political Learning in Jambi, Indonesia. Dalam: Guijt, I. (penyunting). Triggering Adaptation in Adaptive Collaborative Management: Learning through Collaborative Monitoring. CIFOR, Bogor, Indonesia; dan Resources for the Future, Washington DC, AS. Maarleveld, M. & C. Dangbégnon. 1999. Managing Natural Resources: A Social Learning Perspective. Dalam: Agriculture and Human Values 16:267-280. McDougall, C. 2000. Draft Working Model of ACM (#2), Local People, Devolution and Adaptive Co-Management Program, CIFOR (Feb). Draft
216 • DAFTAR PUSTAKA
internal. CIFOR, Bogor, Indonesia. Ritchie, B., C. McDougall, M. Haggith & N. Burford de Oliveira, N. 2001. Kriteria dan Indikator Kelestarian Hutan yang Dikelola oleh Masyarakat (Community Managed Forests). Pedoman Pendahuluan. CIFOR, Bogor, Indonesia. Röling, N.G. & J. Jiggins. 1998. The Ecological Knowledge System. Dalam: Röling, N.G. & M.A.E. Wagemakers (penyunting). Facilitating Sustainable Agriculture. Cambridge University Press, Cambridge, Inggris. Sarin, M. 1998. Who is Gaining? Gender and Equity Concerns in Joint Forest Management. Society for Promotion of Wasteland Development, New Delhi, India. Steins, N.A. & Edwards, V.M. 1999. Platforms for Collective Action in Multiple Use Common-pool Resources. Dalam: Agriculture and Human Values 16:241-255. Wollenberg, E. bersama D. Edmunds & L. Buck. 2001. Mengantisipasi Perubahan. Skenario sebagai Sarana Pengelolaan Hutan secara Adaptif. Suatu Panduan. CIFOR, Bogor, Indonesia.
Center for International Forestry Research (CIFOR) adalah lembaga penelitian kehutanan internasional terdepan, yang didirikan pada tahun 1993 sebagai tanggapan atas keprihatinan dunia akan konsekuensi sosial, lingkungan dan ekonomi yang disebabkan oleh kerusakan dan kehilangan hutan. Penelitian CIFOR ditujukan untuk menghasilkan kebijakan dan teknologi untuk pemanfaatan dan pengelolaan hutan yang berkelanjutan, dan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di negara-negara berkembang yang bergantung kepada hutan tropis untuk kehidupannya. CIFOR adalah salah satu di antara 15 pusat Future Harvest di bawah Consultative Group on International Agricultural Research (CGIAR). Berpusat di Bogor, Indonesia, CIFOR mempunyai kantor regional di Brazil, Burkina Faso, Kamerun dan Zimbabwe, dan bekerja di lebih dari 30 negara di seluruh dunia.
Donatur CIFOR menerima pendanaan dari pemerintah, organisasi pembangunan internasional, yayasan swasta dan organisasi regional. Pada tahun 2005, CIFOR menerima bantuan keuangan dari Australia, Asian Development Bank (ADB), Belgia, Brazil, Canada, China, Centre de coopération internationale en recherche agronomique pour le développement (CIRAD), Cordaid, Conservation International Foundation (CIF), European Commission, Finland, Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO), Ford Foundation, France, German Agency for Technical Cooperation (GTZ), German Federal Ministry for Economic Cooperation and Development (BMZ), Indonesia, International Development Research Centre (IDRC), International Fund for Agricultural Development (IFAD), International Tropical Timber Organization (ITTO), Israel, Italy, The World Conservation Union (IUCN), Japan, Korea, Netherlands, Norway, Netherlands Development Organization, Overseas Development Institute (ODI), Peruvian Secretariat for International Cooperation (RSCI), Philippines, Spain, Sweden, Swedish University of Agricultural Sciences (SLU), Switzerland, Swiss Agency for the Environment, Forests and Landscape, The Overbrook Foundation, The Nature Conservancy (TNC), Tropical Forest Foundation, Tropenbos International, United States, United Kingdom, United Nations Environment Programme (UNEP), World Bank, World Resources Institute (WRI) dan World Wide Fund for Nature (WWF).
Di berbagai tempat di dunia ada kebutuhan yang kian mendesak untuk meningkatkan kualitas pengelolaan hutan. Kebutuhan ini dikarenakan adanya perbedaan kepentingan antara pemangku-pemangku kepentingan yang menggunakan tanah hutan (forestlands) dan sumber daya hutan (forest resources) yang sama. Situasi ini juga terjadi di Indonesia. Meskipun secara umum disepakati bahwa permasalahan ini harus diselesaikan melalui kerja sama antara para pemangku kepentingan yang bersaing, masih terdapat banyak pertanyaan tentang bagaimana kerja sama dapat dilakukan. Buku ini mencoba menjawab sebagian dari pertanyaan tersebut. Buku ini membahas suatu pendekatan berbasis pembelajaran dalam mengembangkan kerja sama yang disebut adaptive collaborative management (ACM), yang bila diterjemahkan menjadi “pengelolaan bersama secara adaptif”. Di dalam buku ini, digambarkan pengalaman Center for International Forestry Research (CIFOR) dan tiga mitra kerjanya, yakni Yayasan Gita Buana (YGB), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Otonomi Daerah (PSHK-ODA), dan Yayasan Padi dalam meneliti dan menerapkan ACM di dua tempat di Indonesia, yaitu di Sumatera dan Kalimantan. Para pembaca dapat membaca bagaimana sebuah tim peneliti aksi mendampingi kelompok dan lembaga lokal dalam menghadapi permasalahan sumber daya hutan di lokasi, apa keluarannya, dan apa implikasinya untuk penerapan ACM secara lebih luas di Indonesia. Buku ini memadukan pengalaman konkret tim dengan konsep-konsep yang lebih abstrak terkait dengan ACM yang berkembang ketika pendekatan ini diterapkan di lapangan. Buku ini dapat digunakan sebagai acuan bagi para pendamping masyarakat, staf lapangan lembaga swadaya masyarakat (LSM), petugas lapangan instansi pemerintah, staf lapangan perusahaan kehutanan, dan pelatih. Mereka dan pembaca lainnya yang tertarik dapat menggunakan buku ini sebagai bahan acuan, “alat” dalam memfasilitasi kegiatan kelompok atau lembaga lokal, ataupun sekedar sebagai catatan pengalaman tim peneliti aksi dalam menerapkan pendekatan pengelolaan hutan yang berintikan pembelajaran. Buku ini juga dapat digunakan sebagai dasar pemikiran dalam mengembangkan metode, “alat”, atau konsep pengelolaan hutan sembari mengaitkannya dengan praktek lapangan.