i
VERIFIKASI QUALITY MONITORING SCHEME IN LINE PROCESS RACIK PT NESTLE INDOFOOD CITARASA INDONESIA
ARI FAUZI SABANI
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Verifikasi Quality Monitoring Scheme in Line Process Racik PT Nestlé Indofood Citarasa Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing akademik, pembimbing lapang dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Oktober 2016 Ari Fauzi Sabani NIM F24120073
iv
i
ABSTRAK ARI FAUZI SABANI. Verifikasi Quality Monitoring Scheme in Line Process Racik PT Nestlé Indofood Citarasa Indonesia. Dibimbing oleh JOKO HERMANIANTO. PT Nestle Indofood Citarasa Indonesia Karawang mengembangkan Quality Monitoring Scheme (QMS) in line process sebagai prosedur pengendalian dan pengawasan mutu internal yang terintegrasi dengan Quality Procedure (QP), Process & Product Specification, Work Instruction (WI), Releasing System, Standard, dan Form/Checklist yang digunakan sebagai guideline bagi QA field dan operator untuk melakukan pengendalian dan pengawasan mutu di lini produksi. Kebijakan pergantian operator produksi secara periodik beresiko terhadap adanya kemungkinan ketidaksesuaian proses penjaminan dan pengendalian mutu di lini produksi. Oleh karenanya, verifikasi QMS perlu dilakukan untuk mengetahui tingkat penerapan dan kesenjangan yang terjadi berdasarkan kondisi aktual. Verifikasi ini bertujuan untuk mendapatkan deskripsi kesenjangan dan rumusan perbaikan dalam rangka meningkatkan efektifitas pengendalian mutu di pabrik. Metode yang digunakan diantaranya studi pustaka dan dokumen, analisis kondisi aktual, analisis kesenjangan, improvement, dan evaluasi tindakan perbaikan. Hasil verifikasi menunjukan bahwa tingkat implementasi QMS yang dicapai adalah 77.12%, nilai tersebut menunjukkan terjadinya kesenjangan. Kesenjangan yang teridentifikasi secara umum terkait tidak adanya standar yang menjadi acuan untuk parameter kebersihan dan penulisan identitas, kurangnya fasilitas pendukung dalam implementasi parameter, implementasi parameter yang tidak terdokumentasi atau tidak dilakukan, kurangnya pemahaman dan kesadaran operator terhadap parameter QMS, tidak terkendalinya proses filling, serta teridentifikasinya invaliditas terhadap beberapa standar dan sistem pengendalian yang diterapkan. Penerapan standar kebersihan setidaknya mampu mengefisienkan penggunaan waktu cleaning yang sebelumnya selalu bernilai lebih dari 100 % menjadi kurang dari 100 % berdasarkan jatah waktu dan monitoring yang ditetapkan manajemen pabrik. Standar kebersihan, penulisan identitas, dan standarisasi setting suhu sealer diharapkan mampu memudahkan proses monitoring dan evaluasi parameter. Peningkatan frekuensi pengecekan dan penerapan langkah antisipatif di area filling dan cartoning mampu meningkatkan persentase validitas indikasi pada sistem monitoring kesesuaian jumlah produk, menjadikan proses penakaran di area filling terkendali serta meningkatkan nilai Cp dan Cpk menjadi 0.43 dan 0.22 yang sebelumnya hanya mencapai 0.32 dan 0.19. Peningkatan pemahaman operator terhadap urgensi dan standar-standar yang berlaku pada QMS melalui visualisasi dalam bentuk handbook dan poster diharapkan mampu memudahkan operator dalam mengakses dan memahami QMS sehingga implementasi QMS dapat dilaksanakan secara menyeluruh dan sesuai standar yang berlaku. Kata kunci : kesenjangan, pengendalian mutu, QMS in line process, verifikasi.
ii
ABSTRACT ARI FAUZI SABANI. Verification of Quality Monitoring Scheme in Line Process Racik PT Nestlé Indofood Citarasa Indonesia. Supervised by JOKO HERMANIANTO. PT Nestle Indofood Citarasa Indonesia Karawang has developed the Quality Monitoring Scheme (QMS) in line process as the internal procedure to control the product quality which is integrated with Quality Procedure (QP), Process & Product Specification, Work Instruction (WI), Releasing System, Standard, and Form/Checklist used as guideline for QA field and operator for controlling the quality in production line. The policy to change production operator periodically has risk to the possibility of incompatibility in the quality control process. Therefore, QMS verification needs to be done in order to know the level of implementation and gap happened based on the actual condition. Verification aimed to get the gap description and corrective action list in order to improve the effectiveness of quality control process. The methods were literature and quality document study, actual condition analysis, gap analysis, improvement, and corrective action evaluation. The verification result showed that the level of QMS implementation has reached 77.12%, that score indicate that there was a gap. The identified gaps generally were the absence of cleanliness and identity writing standards, the lack of supporting facilities, some of parameters has not been implemented or documented, the lack of understanding and awareness of operator toward the QMS parameter, the uncontrolled filling process, and also invalidity towards several standards and contol system applied. The implementation of clenliness standard was able to make the cleaning time efficient which always has more than 100% before, to be less than 100% based on the time given and monitoring applied by the management. Cleanliness standard, identity writing standard, and temperature setting standard were expected to be able to make the monitoring and evaluation easier. The improvement of checking frequency and the implementation of anticipative actions in filling and cartoning area were able to improve the validity percentage of checkweighing system trial. It also improved the process in the filling area being controlled and the score of Cp and Cpk were improved into 0.43 and 0.22 which are only get 0.32 and 0.19 before eventhough the process is still categorized not well therefore the corrective actions must be done continuously. The improvement of the understanding of the operator about the urgency and standards in QMS through the visualization in the form of handbook and poster was expected to help operator to access and understand QMS so the implementation of QMS could be done completely and based on the standards applied. Keywords : Gap, QMS in line process, quality control, verification
iii
VERIFIKASI QUALITY MONITORING SCHEME IN LINE PROCESS RACIK PT NESTLE INDOFOOD CITARASA INDONESIA
ARI FAUZI SABANI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pangan pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
iv
v
Judul Skripsi : Verifikasi Quality Monitoring Scheme in Line Process Racik PT Nestlé Indofood Citarasa Indonesia Nama : Ari Fauzi Sabani NIM : F24120073
Disetujui oleh
Dr Ir Joko Hermanianto Pembimbing Akademik
Diketahui oleh
Dr Ir Feri Kusnandar, MSc Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
vi
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya dan kehendak-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Topik yang diangkat dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2016 ini adalah Quality Assurance in Food Industry, dengan judul skripsi “Verifikasi Quality Monitoring Scheme in Line Process Racik PT Nestlé Indofood Citarasa Indonesia”. Proses penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada: 1. Ayah dan Ibu yang tak pernah lepas mendoakan, memberikan dukungan, mencurahkan kasih sayang tulus nan halus, dan bekerja keras sehingga penulis dapat lulus 2. Hilmi Mubarok yang selalu memberikan inspirasi kehidupan dan Muhammad Rizal Nurwahid yang selalu menjadi motivator perjuangan. 3. Dr Ir Joko Hermanianto, selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing, memberikan arahan dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini 4. Keluarga DPPI Himitepa yang selalu megajarkan untuk berbuat lebih, membantu penulis dalam menemukan jati diri, memberikan kebanggaan, tawa, tangisan, dan cinta 5. Bapak Yudi Widiantho dan Ibu Widy Satiti, selaku pembimbing dan supervisor Quality Assurance PT Nestlé Indofood Citarasa Indonesia yang telah memberikan arahan dan bimbingan selama pelaksanaan magang 6. Tim QA, Tim Produksi, Tim SHE, Tim Engineering PT Nestlé Indofood Citarasa Indonesia atas segala bantuan, dukungan, dan pelajaran berharga selama pelaksanaan magang 7. Dosen-dosen dan staf IPB terutama dosen dan staf departemen ITP yang telah memberikan banyak pelajaran dan bantuan dalam perkuliahan 8. Teman-teman ITP 49 atas kebersamaan, kenangan, dan kasih sayang selama masa perkuliahan 9. Pihak-pihak lain yang turut membantu yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terimakasih atas segala bantuan yang telah diberikan Semoga skripsi ini bermanfaat dan memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu dan teknologi pangan.
Bogor, Oktober 2016 Ari Fauzi Sabani
vii
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
viii
DAFTAR GAMBAR
viii
DAFTAR LAMPIRAN
viii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
PROFIL PERUSAHAAN
2
Sejarah Perusahaan
2
Visi Misi Perusahaan
3
Kebijakan Perusahaan
3
METODE
3
Waktu dan Tempat
3
Metodologi
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
5
Gambaran Umum
5
Proses Produksi Bumbu Racik
6
Hasil Verifikasi
7
SIMPULAN DAN SARAN
31
Simpulan
31
Saran
32
DAFTAR PUSTAKA
32
LAMPIRAN
34
RIWAYAT HIDUP
44
viii
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5
Nilai maksimum pengukuran tingkat implementasi QMS Tingkat implementasi QMS in line process Analisis kondisi aktual penerapan QMS pra-produksi Analisis kondisi aktual penerapan QMS stripping-batching Perbandingan implementasi parameter penulisan identitas sebelum dan sesudah penerapan standar 6 Analisis kondisi aktual penerapan QMS mixing – metal detecting 7 Analisis kondisi aktual penerapan QMS temporary storage & hopper 8 Analisis kondisi aktual penerapan QMS filling - cartoning 9 Hasil standarisasi suhu optimum sealer mesin filling (vertical seal) 10 Hasil standarisasi suhu optimum sealer mesin filling (horizontal seal)
4 7 8 11 13 14 16 19 40 41
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 19
Proses produksi bumbu instan Racik 6 Profil penggunaan waktu cleaning sebelum dan setelah penerapan standar 8 kebersihan area produksi Profil suhu dan RH area temporary storage Februari 2016 17 Diagram pareto faktor penyebab kebocoran kemasan 20 Profil suhu horizontal seal mesin 1-40 yang digunakan pada proses filling 21 Profil suhu vertical seal mesin 1-40 yang digunakan pada proses filling 22 Control chart BDKT produk Racik Ikan Goreng mesin 39 23 Kapabilitas proses penakaran Racik Ikan Goreng mesin 39 24 Profil validitas indikasi renceng kurang 25 Profil validitas indikasi renceng lebih 25 Diagram ishikawa berat bersih produk tidak terkontrol 26 Pola aliran aktual bumbu Racik (funnel flow) 27 Pola aliran mass flow 27 Grafik acuan desain hopper 28 Profil validitas indikasi renceng kurang setelah perbaikan 29 Profil validitas indikasi renceng lebih setelah perbaikan 29 Control chart BDKT produk Racik Ikan Goreng mesin 39 setelah tindakan perbaikan 30 Kapabilitas proses penakaran Racik Ikan Goreng mesin 39 setelah tindakan perbaikan 30
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6
Standar kebersihan area produksi Checklist monitoring sanitasi ruang produksi Standar penulisan identitas pada kemasan RM dan hasil mixing Visualisasi QMS in line process melalui handbook dan poster Hasil standarisasi suhu sealer mesin filling Format dan hasil kuisioner tentang QMS kepada operator produksi
34 35 36 38 36 38
1
PENDAHULUAN Latar Belakang PT Nestlé Indofood Citarasa Indonesia (PT NICI) merupakan salah satu produsen produk kuliner bumbu instan terkemuka di Indonesia. Kehadiran produk kuliner tersebut dilandasi atas terjadinya perubahan pola hidup masyarakat Indonesia yang semakin dinamis dan didorong oleh tumbuhnya pendapatan serta tingkat permintaan dari masyarakat akan makanan yang cepat penyajiannya namun tetap menggugah selera. Berdasarkan annual report PT Indofood TBK (2012), volume penjualan produk penyedap makanan mengalami pertumbuhan hingga mencapai 86.70 ribu ton dari tahun sebelumnya yang hanya mencapi 77.85 ribu ton. Porsi utama peningkatan volume penjualan tersebut berada pada produk bumbu instan, saus sambal, dan kecap. Tingkat permintaan yang kuat terhadap produk bumbu instan didorong oleh tumbuhnya urbanisasi serta perubahan gaya hidup yang menjadikan konsumen mencari solusi praktis dalam mempersiapkan makanan sehari-hari. Peningkatan tersebut tentu berimplikasi pula terhadap tuntutan konsumen akan penjaminan dan peningkatan mutu produk yang dihasilkan. Mutu menjadi kunci pokok suatu industri pangan dalam menjaga eksistensinya. Penerapan konsep mutu di industri pangan menjadikan konsumen sebagai penentu sifat-sifat dan karakteristik penting yang menjadi indikator pencapaian mutu tersebut. Juran mendefiniskan mutu sebagai karakteristik produk yang dapat memenuhi kebutuhan dan kepuasan pelanggan (Juran 1999). Salahsatu bentuk komitmen penjaminan mutu di PT NICI Karawang adalah penerapan Sistem Manajemen Keamanan Pangan dan Sistem Jaminan Halal. Tanggungjawab pengendalian mutu di PT NICI diberikan kepada Departemen Quality Assurance. Sebagai terjemahan dari sistem mutu yang diterapkan pabrik, PT NICI Karawang mengembangkan Quality Monitoring Scheme (QMS) in line process sebagai prosedur pengendalian dan pengawasan mutu internal yang terintegrasi dengan Prosedur Mutu, Instruksi Kerja, Spesifikasi Proses, Tindakan Perbaikan dan Pencegahan, Releasing System, Form/Checklist dan Dokumentasi Produksi Harian yang digunakan sebagai panduan bagi QA field dan operator untuk melakukan pengendalian dan pengawasan mutu di lini produksi. Operator produksi merupakan lini pertama yang bertanggungjawab dalam pencapaian mutu produk. Penerapan sistem kontrak kepegawaian pada bagian operator produksi menyebabkan proses pergantian atau perubahan operator terjadi secara periodik. Kebijakan tersebut beresiko terhadap adanya kemungkinan ketidaksesuaian proses penjaminan dan pengendalian mutu di lini produksi. Berdasarkan hal itu PT NICI Karawang menyadari perlunya melakukan verifikasi dan validasi terhadap prosedur pengendalian dan pengawasan mutu yang diterapkan. Perlunya proses verifikasi pun diperkuat dengan hasil survey awal yang menunjukkan bahwa 72.69% operator produksi pada periode Februari 2016 tidak mengetahui QMS dan hanya 23.79 % operator yang pernah mengikuti pelatihannya. Oleh karenanya, verifikasi QMS perlu dilakukan untuk mengetahui tingkat penerapan dan kesenjangan yang terjadi berdasarkan kondisi aktual. Hasil analisis perbandingan kondisi aktual dan kondisi yang diharapkan dapat menjadi
2
landasan dasar perumusan tindakan perbaikan yang harus diambil untuk menjamin dan meningkatkan mutu produk yang dihasilkan. Perumusan Masalah Peningkatan volume penjualan produk Racik berimplikasi terhadap tuntutan konsumen akan penjaminan dan peningkatan mutu produk yang dihasilkan. QMS adalah prosedur pengendalian dan pengawasan mutu lini pertama sebagai terjemahan kebijakan mutu yang diterapkan PT Nestle Indofood Citarasa Indonesia. Adanya perubahan atau pergantian operator yang bertanggung jawab di lini poduksi secara periodik melandasi perlunya melakukan verifikasi penerapan QMS in line process untuk mengetahui tingkat pengendalian mutu dan kesenjangan yang terjadi berdasarkan kondisi aktual sehingga dapat dilakukan penyesuaian dan perbaikan dalam mencapai pengendalian mutu yang lebih efektif. Tujuan Penelitian Kegiatan magang yang dilakukan bertujuan untuk melakukan verifikasi penerapan Quality Monitoring Scheme (QMS) in line process Racik sehingga dapat diperoleh deskripsi kesenjangan dan rumusan perbaikan untuk meningkatkan efektifitas pengendalian mutu di pabrik. Indikator utama kinerja penelitian adalah terverifikasinya seluruh parameter terkait QMS in line process, serta tersusunnya panduan yang jelas dan mudah dipahami untuk implementasi QMS oleh QA dan operator.
Manfaat Penelitian Kegiatan magang dapat memberikan pengetahuan praktis kepada calon sarjana teknologi pangan mengenai Quality Control dan Monitoring di industri pangan serta sebagai referensi dan rekomendasi perbaikan dalam penjaminan mutu di industri pangan.
PROFIL PERUSAHAAN Sejarah Perusahaan PT Nestlé Indofood Citarasa Indonesia (NICI) merupakan perusahaan Joint Venture antara Indofood CBP Sukses Makmur dengan Nestlé SA yang berdiri pada pada tanggal 31 Maret 2005, dan mulai beroperasi pada tanggal 1 April 2005. Pasar dari PT NICI terdiri dari pasar modern (supermarket besar), pasar tradisional, food service (hotel dan restoran), dan juga pasar ekspor. Produk yang dihasilkan PT. NICI saat ini diantara lain Bumbu Speial Indofood dengan 9 varian, Indofood Kecap Manis, Indofood Kecap Piring Lombok, Indofood Maggy Magic Lezat, Sambal Indofood dengan 6 varian, Indofood Bumbu Racik, Indofood Sambal Terasi, dan yang terbaru adalah Indofood Sambal Balado (Pratomo 2010). Pabrik Citarasa Indonesia didirikan pada tahun 2013 dan mulai beroperasi November 2013. Pabrik Citarasa Indonesia Karawang hanya memproduksi 3 jenis
3
produk dari sekian banyak produk NICI yaitu Bumbu Racik, Bumbu Penyedap, dan Indofood Maggy Magic Lezat (Granula). Visi Misi Perusahaan PT NICI-Karawang memiliki visi “Menjadi perusahaan Indonesia terkemuka dalam memberikan solusi kuliner yang paling disukai, inovatif, dan mudah digunakan”. Misi yang dimiliki perusahaan adalah: (1) selalu berinovasi untuk memberikan produk berkualitas yang digemari oleh konsumen, (2) senantiasa meningkatkan kompetensi karyawan, proses produksi dan teknologi, (3) memberikan kontribusi bagi kesejahteraan masyarakat dan lingkungan secara berkelanjutan, serta (4) meningkatkan nilai bagi para pemangku kepentingan (stakeholders) secara berkesinambungan. Kebijakan Perusahaan Sebagai perusahaan makanan yang memproduksi dan memasarkan produk kuliner, Pabrik Citarasa Indonesia, PT NICI-Karawang memiliki komitmen dan tekad yang kuat untuk selalu berusaha (1) mengutamakan kualitas produk yang dihasilkan dalam memenuhi kepuasan dan ekspektasi pelanggan (customer satisfaction and expectation), (2) memastikan produk makanan yang dihasilkan adalah makanan yang aman dan sehat untuk dikonsumsi melalui penyelenggaraan Sistem Manajemen Keamanan Pangan, (3) memastikan produk makanan yang dihasilkan adalah makanan yang halal (halalan) dan baik (thoyyiban) sesuai syariat Islam yang diberlakukan oleh pihak yang berwenang melalui implementasi Sistem Jaminan Halal, (4) menjamin dan melindungi semua karyawan dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat hubungan kerja serta melindungi semua pihak yang berada di lingkungan perusahaan dalam rangka mewujudkan kecelakaan kerja nihil (zero accident) melalui Sistem Manajemen K3, serta (5) menggunakan sumber energi secara tepat, melakukan peningkatan efisiensi berkelanjutan dan mencegah terjadinya pencemaran atas lingkungan. Kebijakan tersebut diatas dikomunikasikan dan disosialisasikan secara efektif kepada seluruh pemangku kepentingan, dilaksanakan secara konsisten dan berkelanjutan guna memenuhi semua peraturan atau ketentuan regulasi yang berlaku di wilayah hukum Indonesia, serta dievaluasi secara periodik untuk menilai kinerja penerapannya.
METODE Waktu dan Tempat Kegiatan magang dilaksanakan di Pabrik Citarasa Indonesia yang berlokasi di Kawasan Suryacipta City of Industry Jln. Surya Kencana Kav.1/M1/BCD Karawang 41361, Jawa Barat, Indonesia. Kegiatan magang dilaksanakan di bawah pengawasan Departemen Quality Assurance. Kegiatan magang berlangsung
4
selama 4 bulan, terhitung mulai tanggal 1 Februari 2016. Waktu aktif kegiatan magang dilakukan setiap hari kerja mulai pukul 08.00 sampai dengan 17.00, kecuali jika diperlukan pengambilan data di luar jam tersebut. Metodologi Studi Pustaka dan Dokumen Tahapan ini dimulai dengan mempelajari dan memahami flow process produksi secara detail. Selanjutnya dilakukan kajian terhadap dokumen-dokumen terkait QMS in line process seperti Prosedur Mutu, Instruksi Kerja, Spesifikasi Proses, Tindakan Perbaikan dan Pencegahan, Releasing System, Form dan Dokumentasi Produksi Harian. Tahapan ini menjadi landasan dasar dalam melakukan proses verifikasi. Analisis Kondisi Aktual Tahapan ini merupakan tahapan verifikasi yang dilakukan melalui observasi lapang secara periodik di lini produksi Racik dan peninjauan penerapan QMS in line process aktual pada seluruh tahapan produksi dengan mengacu pada dokumen yang berlaku. Tahapan ini bertujuan untuk mengidentifikasi ketidaksesuaian, kekurangan, dan ketidakefektifan penerapan QMS in line process. Observasi dilakukan melalui pengecekan kinerja aktual, pengecekan laporan harian dan survei/interview. Observasi dilakukan secara kualitatif melalui pengumpulan data penunjang untuk mengumpulkan informasi dari seluruh bagian yang terlibat sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Hasil verifikasi selanjutnya dikuantifikasi untuk mengukur tingkat implementasi dengan ketentuan, Nilai 1 ; parameter terimplementasi dengan baik dan benar secara konsisten Nilai 0.5 ; terdapat ketidaksesuaian atau kesenjangan pada implementasi parameter Nilai 0 ; parameter tidak terimplementasi Tingkat Implementasi : Tingkat Implementasi Keseluruhan :
∑
∑
Tabel 1 Nilai maksimum pengukuran tingkat implementasi QMS Tahapan Proses Pra-produksi Penerimaan bahan baku, stripping, batching Tipping, mixing, metal detecting Temporary storage & hopper Filling & cartoning
Nilai Maksimum 2 6 11 3 11
5
Analisis Kesenjangan Tahapan ini merupakan tahapan analisis berdasarkan temuan-temuan aktual pada tahapan sebelumnya. Data yang diperoleh diolah untuk menghasilkan deskripsi sistematis terkait kesenjangan yang terjadi. Hasil analisis dijadikan dasar dalam merumuskan tindakan perbaikan yang perlu dilakukan dalam penerapan QMS in line process. Improvement QMS in line process Tahapan ini berupa penentuan dan pelaksanaan tindakan perbaikan berdasarkan hasil verifikasi yang telah dilakukan pada tahapan sebelumnya. Evaluasi Tindakan Perbaikan Tahapan ini merupakan evaluasi terhadap tindakan perbaikan yang sudah dilakukan untuk meninjau efektifitas dari tindakan perbaikan tersebut.
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Quality Monitoring Scheme (QMS) merupakan ringkasan dari prosedur pengendalian mutu dan terjemahan kebijakan mutu yang diterapkan pabrik yang berbunyi “mengutamakan kualitas produk yang dihasilkan dalam memenuhi kepuasan dan ekspektasi pelanggan (customer satisfaction and expectation), memastikan produk makanan yang dihasilkan adalah makanan yang aman dan sehat untuk dikonsumsi melalui penyelenggaraan Sistem Manajemen Keamanan Pangan, dan memastikan produk makanan yang dihasilkan adalah makanan yang halal (halalan) dan baik (thoyyiban) sesuai syariat Islam yang diberlakukan oleh pihak yang berwenang melalui implementasi Sistem Jaminan Halal”. QMS tersusun dalam bentuk prosedur pengendalian mutu sistematis yang bertujuan untuk menjaga mutu dan keamanan produk. Berdasarkan ISO 9000 : 2000 pengendalian mutu merupakan teknik-teknik dan kegiatan operasional yang digunakan untuk memenuhi persyaratan mutu. Kegiatan pengendalian mutu dapat mencakup : (1) monitoring suatu proses, (2) melakukan tindakan koreksi apabila terdapat ketidaksesuaian, dan (3) menghilangkan penyebab timbulnya ketidaksesuaian (Suardi 2001). QMS didesain sebagai skematik pengecekan yang harus dilakukan di area kerja masing-masing. QMS merupakan kelayakan dasar operasional sebelum memulai proses pada setiap lini produksi. QMS diletakan di area produksi sebagai panduan atau petunjuk bagi operator produksi dan QA field. QMS berbentuk seperti ringkasan Critical Control Point (CCP), namun QMS berisi tidak hanya CCP tetapi seluruh parameter proses yang akan berpengaruh terhadap mutu dan keamanan dari produk. QMS berisi objek pengecekan, waktu pengecekan, frekuensi pengecekan, apa yang harus dicek, siapa yang
6
bertanggungjawab melakukan pengecekan, bagaimana cara melakukan pengecekan, batasan atau standar yang dijadikan parameter pengecekan, recording pengecekan, dan tindakan yang harus dilakukan apabila terjadi penyimpangan (Chindarwani 2007). Pada PT NICI Quality Monitoring Scheme (QMS) merupakan prosedur pengendalian dan pengawasan mutu internal yang terintegrasi dengan Prosedur Mutu, Instruksi Kerja, Spesifikasi Proses, Tindakan Perbaikan dan Pencegahan, Releasing System, Form/Checklist dan Dokumentasi Produksi Harian yang digunakan sebagai panduan bagi QA field dan operator untuk melakukan pengendalian dan pengawasan mutu di lini produksi. Proses Produksi Bumbu Instan Racik Bumbu instan Racik yang diproduksi oleh PT NICI memiliki 13 varian produk yaitu Racik Ayam Goreng, Racik Nasi Goreng, Racik Bumbu Tempe, Racik Sayur Sop, Racik Sayur Asem, Racik Ikan Goreng, Racik Nasi Goreng Spesial, Racik Bumbu Tahu, Racik Tumis, Racik Sayur Lodeh, Racik Cah Kangkung, Racik Mie Goreng, dan Racik Mie Rebus. Proses produksi bumbu instan Racik dapat terlihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Proses produksi bumbu instan Racik
7
Hasil Verifikasi Tingkat implementasi QMS yang dicapai belum dapat memenuhi target yang diinginkan pabrik. Pabrik sendiri menargetkan tingkat implementasi tercapai 100% menimbang urgensi QMS terhadap mutu produk yang dihasilkan. Berdasarkan pengamatan di lapangan, implementasi parameter yang dipersyaratkan QMS baru mencapai 77.12 % (Tabel 2). Hasil survei awal menunjukkan 72.69% operator produksi pada periode Februari 2016 tidak mengetahui QMS dan hanya 23.79 % operator yang pernah mengikuti pelatihannya (Lampiran 6). Kondisi ini sangat memprihatinkan karena kedudukan QMS merupakan prosedur utama penjaminan dan pengendalian mutu produk yang harus dipahami secara menyeluruh serta akar dari semua instruksi kerja yang berlaku. Oleh karenanya, tindakan perbaikan harus segera dilakukan untuk mencegah adanya penyimpangan mutu produk dan meningkatkan efektifitas proses pengendalian mutu melalui penguatan implementasi QMS in line process. Tabel 2 Tingkat implementasi QMS in line process Tahapan Proses Pra-produksi Penerimaan bahan baku, stripping, batching Tipping, mixing, metal detecting Temporary storage & hopper Filling & cartoning Tingkat Implementasi Keseluruhan
Tingkat Implementasi (%) 75.00 50.00 100.00 83.33 77.27 77.12
Quality Monitoring Scheme (QMS) Pra-Produksi Tahapan pra-produksi merupakan tahapan pengecekan terhadap kesiapan fasilitas penunjang produksi. Pengecekan yang dilakukan meliputi kebersihan ruang kerja dan alat produksi, serta pengecekan fungsi alat penunjang yang akan digunakan. Proses pembersihan ruang kerja dan alat dilakukan setiap akhir shift produksi. Apabila pengecekan awal produksi menunjukkan kondisi ruang kerja dan alat belum bersih, maka perlu dilakukan tindakan pembersihan terlebih dahulu sebelum memulai proses produksi. Oleh karenanya parameter yang harus dilakukan dalam QMS pra-produksi adalah pengecekan kebersihan ruang kerja dan pengecekan kebersihan serta fungsi alat. Tingkat implementasi yang dicapai pada tahapan ini adalah 75 % (Tabel 3). Kesenjangan yang terjadi pada implementasi QMS pra-produksi adalah tidak efektifnya proses pengecekan kebersihan area produksi akibat tidak adanya standar kebersihan area produksi sebagai dasar inspeksi rutin sehingga seringkali menimbulkan perbedaan konsepsi tentang kondisi bersih area menurut inspektor dan operator. Ketidakefektifan tersebut ditunjukkan dengan penggunaan waktu cleaning yang melebihi jatah waktu yang telah ditentukan. Secara umum jatah waktu cleaning adalah 30 menit per shift produksi dengan tambahan 180 menit setiap pergantian varian produk atau per minggu. Pada bulan Februari 2016
8
penggunaan waktu cleaning sebanyak 48.7 jam, jatah waktu yang ditetapkan pabrik pada bulan tersebut adalah 40 jam, sehingga persentase penggunaan waktu cleaning pada bulan tersebut mencapai 105.87 % yang mengindikasikan kelebihan penggunaan waktu cleaning sebesar 5.87 % (Gambar 2). Tabel 3 Analisis kondisi aktual implementasi QMS in line process pra-produksi Tahapan Proses Praproduksi
Parameter
Nilai
Kesenjangan
Pengecekan kebersihan ruang kerja
0.5
Tidak terdapatnya standar kebersihan area produksi seringkali menyebabkan operator harus melakukan cleaning ulang akibat tidak sinkronnya konsepsi “bersih” antara operator dan inspektor, hal ini menyebabkan penggunaan waktu cleaning produksi melebihi ketentuan -
Pengecekan kebersihan dan fungsi alat Jumlah Nilai (Nilai Maksimum : 2)
1
1.5
Tindakan Perbaikan Penyusunan standar kebersihan area produksi
-
Tingkat implementasi : 75 %
110,00 108,00
Penggunaan Waktu Cleaning (%)
106,00 104,00 102,00 100,00
107,45 105,87 104,63
98,00 96,00
98,35
97,76
Apr-16
Mei 2016
94,00 92,00
Januari 2016
Februari 2016
Maret 2016
Gambar 2 Profil penggunaan waktu cleaning sebelum (biru) dan setelah (kuning) penerapan standar kebersihan area produksi
9
Kebersihan area produksi erat kaitannya dengan konsep program sanitasi yang diterapkan pabrik. Menurut Marriot (1997) sanitasi dalam industri pangan memiliki definisi menciptakan dan memelihara kondisi yang higienis dan sehat. Sanitasi menjadi salahsatu dasar bagi proses pengendalian mutu. Penerapan program sanitasi dilakukan untuk mencegah terjadinya resiko kontaminasi terhadap pangan yang sedang diproduksi (Cramer 2006). Kontaminasi pada pangan dapat berasal dari pekerja, peralatan pengolahan dan ruang pengolahan. Kebersihan ruang pengolahan menjadi aspek penting dalam mencegah terjadinya kontaminasi terhadap pangan yang sedang diproduksi. Hal ini dikarenakan beberapa bagian ruang pengolahan memiliki potensi sebagai sumber kontaminasi seperti lantai, drain, dinding, dan atap/langit-langit. Pembersihan ruang produksi seperti dinding, lantai, dan atap harus dilaksanakan dengan frekuensi yang dibutuhkan untuk mencegah kontaminasi pada produk atau permukaan yang kontak dengan produk (Cramer 2006). Monitoring yang utama pada kegiatan cleaning adalah pemeriksaan visual dan pemeriksaan permukaan yang dibersihkan telah bebas dari sisa produk atau kotoran lain oleh petugas tanpa memerlukan peralatan tambahan untuk pengambilan contoh. Kebersihan permukaan secara visual merupakan parameter pertama yang harus dipenuhi sebelum dilakukan pengawasan lainnya (Lelieveld et.al 2016) Kontaminasi yang dapat terjadi di area produksi pangan dapat bersumber dari percikan air pada saat pelaksanaan cleaning, kondensasi uap dari unit ventilasi, atau pertukaran udara dari area yang tidak higienis. Bakteri dapat berpindah dalam jarak yang cukup jauh melalui aerosol yang dapat dihasilkan dari proses penyemprotan drain. Pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah kontaminasi dari lingkungan produksi adalah dengan menjaga lantai di area produksi kering dan bebas dari air maupun genangan air (Cramer 2006). Hal ini mendasari perlunya pembuatan standar terkait kebersihan area produksi untuk melakukan pengecekan kebersihan area produksi dan verifikasi proses cleaning yang telah dilakukan. Penyusunan standar perlu memperhatikan beberapa prinsip yaitu : 1) penyederhanaan; prinsip ini mengarahkan pada keharusan standar untuk mudah dimengerti dan bersifat menyeluruh, 2) kerjasama; penyusunan standar harus didasarkan pada konsensus dari pihak-pihak yang berkepentingan, 3) implementatif; standar yang disusun harus difasilitasi oleh adanya prosedur untuk mencapai kondisi optimum yang dipersyaratkan standar, 4) selektif; aspek dasar penyusunan standar harus dipilih secara cermat agar standar layak digunakan selama jangka waktu tertentu, 5) revisi; standar harus selalu ditinjau pada selang waktu tertentu sesuai dengan kebutuhan, 6) kesesuaian; sebuah standar harus mencakup deskripsi dan metode uji yang diperlukan, dan 7) penerapan formal; standar harus diterapkan secara formal agar semua pihak tidak ragu dalam pelaksanaannya (Muhandri dan Kadarisman 2012). Standar kebersihan area produksi yang disusun (Lampiran 1) menerapkan 7 prinsip tersebut melalui : 1. Pemberian deskripsi singkat dan visualisasi gambar terkait kondisi bersih yang sesuai dan tidak sesuai sebagai bentuk penyederhanaan. 2. Perumusan berdasarkan studi literatur, pendapat subjektif tim produksi, tim quality, dan top management. 3. Terintegrasi dengan instruksi kerja pendukung sebagai panduan sistematis untuk mencapai kondisi optimum yang sesuai. 4. Penyesuaian kondisi area dan kebijakan lain yang terkait.
10
5. Penjadwalan peninjauan efektivitas dan relevansi namun tidak terbatas. 6. Validasi kondisi “bersih” area produksi dan peralatan produksi dilakukan dengan pengamatan kondisi mikrobiologi melalui metode swab dengan batas maksimum yang ditetapkan pabrik sebesar 10 3 CFU/g untuk Enterobacteriaceae dan 104 CFU/g untuk APC (Aerobic Plate Count). 7. Penerapan formal melalui pengesahan Departemen Quality Assurance dan Document Control. Standar yang telah disusun dan disahkan kemudian disosialisasikan kepada pihak terkait dan diintegrasikan dengan checklist yang digunakan sebagai alat bantu untuk melakukan inspeksi dan evaluasi (Lampiran 2). Tindakan perbaikan ini pula merupakan salahsatu upaya pemenuhan prinsip gerakan kaizen (Kumar K dan Kumar S 2012) yaitu, 5R : 1. Ringkas, menyingkirkan benda-benda yang tidak diperlukan 2. Rapi, menempatkan barang-barang yang dibutuhkan dengan rapi 3. Resik, membersihkan peralatan dan daerah kerja 4. Rawat, membuat standar kebersihan, perawatan, dan inspeksi 5. Rajin, meningkatkan keterampilan, moral, dan kebiasaan Setelah dilakukan penerapan standar kebersihan area produksi mulai bulan April 2016, terjadi peningkatan efisiensi penggunaan waktu cleaning ditunjukan dengan penggunaan waktu yang tidak melebihi standar yang ditentukan. Pada bulan April 2016 penggunaan waktu cleaning sebesar 98.5 % , sedangkan pada bulan Mei 2016 sebesar 97.76 % (Gambar 2). Hal ini terjadi karena adanya sinkronisasi persepsi kondisi bersih yang dipersyaratkan antara operator dan inspektor sehingga mencegah terjadinya proses cleaning ulang. Selain itu, adanya visualisasi standar memudahkan operator dalam mencapai kondisi bersih yang dipersyaratkan pabrik serta memudahkan inspektor untuk mengevaluasi proses yang telah dilakukan. Penerimaan bahan baku, stripping, dan batching Stripping merupakan proses pelepasan kemasan luar bahan baku yang tidak bersentuhan secara langsung. Proses stripping bertujuan untuk meminimalisir benda asing seperti debu atau kotoran yang terdapat pada kemasan luar bahan baku agar tidak mengontaminasi bahan baku saat akan digunakan. Batching merupakan proses penimbangan bahan baku sesuai dengan kuantitas yang tercantum pada formulasi disertai dengan pemberian identitas berupa kode bahan baku, kuantitas dan kode batch. Tujuan proses batching adalah untuk mendapatkan bahan baku dengan berat sesuai formulasi serta memastikan bahan baku yang akan diolah telah memiliki identitas. Tingkat implementasi yang dicapai pada tahapan penerimaan bahan baku, stripping, dan batching baru mencapai 50 % (Tabel 4). Kesenjangan yang terjadi pada tahapan ini adalah tidak terdokumentasinya implementasi pengecekan kondisi bahan baku dan kemasannya, tidak terimplementasinya pengecekan mingguan fungsi timbangan, dan implementasi sistem manajemen allergen melalui kategorisasi centong belum dilaksanakan secara optimal. Menurut Early (1995) dokumentasi dalam proses produksi dapat digunakan untuk menunjukkan
11
pencapaian mutu yang dipersyaratkan dan efektifitas pelaksanaan prosedur. Oleh karenanya diperlukan revisi terhadap laporan harian proses stripping dengan menambahkan slot pengecekan kualitas bahan baku dan kemasannya. Tabel 4 Analisis kondisi aktual implementasi QMS in line process tahapan penerimaan bahan baku, stripping, dan batching Tahapan Proses Penerimaan bahan baku, stripping, dan batching
Parameter
Nilai
Kesenjangan
Pengecekan kondisi bahan baku dan kemasannya
0.5
Parameter pengecekan tidak terdokumentasi
Penulisan identitas bahan baku pasca stripping
0.5
Pengecekan kesesuaian fungsi timbangan prabatching (Weekly)
0
Penulisan tidak terstandarisasi, potensi kesalahan identifikasi bahan baku dapat berpengaruh terhadap mutu dan keamanan produk Parameter tidak terimplementasi akibat tidak tersedianya anak timbang standar
Pengecekan kesesuaian jenis dan jumlah bahan baku yang melalui tahapan batching Penulisan identitas pasca batching
1
Penggunaan centong sesuai penggolongan allergen
Jumlah Nilai (Nilai Maksimum : 6)
0.5
0.5
3.0
-
Tindakan Perbaikan Revisi form laporan harian dengan menambah slot hasil pengecekan kondisi bahan baku dan kemasannya Penyusunan standar penulisan identitas pasca stripping dan penyediaan label Penyediaan anak timbang standar, penyusunan instruksi kerja penggunaan anak timbang dan pelatihannya -
Penulisan tidak Penyusunan terstandarisasi, potensi standar kesalahan identifikasi dapat penulisan berpengaruh terhadap mutu identitas pasca dan keamanan produk batching Terindikasinya penggunaan Training QMS centong yang tidak sesuai dan penambahan dengan standar akibat fasilitas centong kurangnya pemahaman berukuran lebih operator terkait allergen dan besar terlalu kecilnya ukuran centong allergen yang disediakan yang tidak sebanding dengan target produksi yang tinggi Tingkat Implementasi : 50.00 %
Tahapan pemberian dan penulisan identitas pada proses stripping dan batching merupakan salahsatu parameter yang dipersyaratkan pada QMS.
12
Berdasarkan pengamatan di lapangan, implementasi parameter ini telah dilakukan oleh operator produksi namun fungsionalitas pelaksanaan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Identitas yang dituliskan oleh operator seringkali sulit diidentifikasi akibat tulisan yang tidak terbaca atau subjek identitas yang tidak lengkap. Oleh karenanya diperlukan tindakan perbaikan untuk mendukung implementasi parameter ini melalui penggunaan label khusus dan standarisasi penulisan identitas. Label identitas pada proses stripping harus mencakup identitas kode bahan baku, nomor batch, tanggal kadaluarsa, berat bersih, jumlah bag per pallet, dan golongan allergen. Pemberian label identitas dilakukan untuk setiap pallet bahan baku dan penulisan kode bahan baku dilakukan untuk setiap bag pada bagian kemasan luar. Sedangkan penulisan identitas pada proses batching mencakup kode bahan baku, dan kuantitasnya. Penulisan tersebut harus dilakukan untuk setiap bag hasil batching. Parameter ini sangat penting untuk proses identifikasi, sistem penelusuran, dan dasar pengendalian kesesuaian formula pada tahapan mixing untuk menghasilkan produk yang memenuhi spesifikasi. Selain itu juga, diperlukan peningkatan kesadaran operator terhadap implementasi parameter ini dengan didukung oleh standar acuan penulisan identitas dan penempelan label identitas yang baik dan benar. Standar yang telah disusun (Lampiran 3) bertujuan untuk menyeragamkan tata cara penulisan identitas, dan posisi penempelan label identitas sehingga bahan baku mudah diidentifikasi. Kesenjangan lain yang terjadi pada tahapan ini adalah tidak terimplementasinya pengecekan mingguan fungsi timbangan, hal ini dikarenakan tidak tersedianya anak timbang standar sebagai perangkat pengecekan. Oleh karenanya tindakan perbaikan yang perlu dilakukan adalah penyediaan anak timbang standar yang disertai pelatihan prosedur pengecekan kepada operator dan leader serta penyediaan logbook pengecekan sebagai proses dokumentasi parameter. Terindikasinya ketidaksesuaian penggunaan centong sesuai penggolongan allergennya diakibatkan kurangya pemahaman operator terkait allergen dan ukuran centong yang terlalu kecil tidak dapat mengimbangi target produksi yang tinggi. Oleh karenanya diperlukan edukasi kepada operator terkait pentingnya penerapan sistem manajemen allergen lini pertama melalui penggunaan centong dan penambahan fasilitas centong berukuran besar untuk mengefisienkan proses batching dan mencegah terjadinya penggunaan centong yang tidak sesuai peruntukkannya.
13
Tabel 5 Perbandingan implementasi parameter penulisan identitas sebelum dan setelah penerapan standar No 1
Sebelum Penerapan Standar
Sesudah Penerapan Standar
Tulisan tidak jelas dan sulit dibaca
Setiap RM diberi identitas kode RM dengan tulisan yang jelas dan mudah dibaca
Tidak semua subjek identitas diisi dan label ditempel pada posisi yang tidak mudah dilihat
Semua subjek identitas diisi dan label ditempelkan pada posisi yang mudah dilihat
Identitas kode RM tidak jelas dan tidak terdapat satuan kuantitas hasil batching
Identitas jelas dan mudah dibaca
2
3
Tipping, Mixing, dan Metal Detecting Tipping merupakan proses penuangan bahan baku ke dalam mixer, sedangkan mixing merupakan proses pencampuran bahan baku sampai terbentuk produk antara yang homogen. Tipping dilakukan dengan menuangkan bahan baku ke mixer agar dapat dilakukan proses selanjutnya yaitu mixing atau pencampuran. Metal detecting merupakan proses untuk mendeteksi dan memisahkan logam yang terdapat di dalam produk antara dengan menggunakan metal detector. Tahapan ini merupakan Critical Control Point (CCP) proses yang bertujuan untuk
14
mengeliminasi bahaya benda asing berupa logam pada produk yang dihasilkan sehingga prosesnya harus selalu dimonitoring. Tabel 6 Analisis kondisi aktual implementasi QMS in line process tahapan tipping, mixing, dan metal detecting Tahapan Proses Tipping, mixing, dan metal detecting
Parameter
Pengecekan kondisi perforated screen (OPRP) (diameter mesh maks 9 mm) Monitoring temuan benda asing yang terseleksi oleh perforated screen (OPRP) Pengecekan kondisi magnetic trap (OPRP) Monitoring temuan benda asing yang terseleksi oleh magnetic trap (OPRP) Pengecekan kekuatan magnetic trap (min 1000 gauss) Kebersihan dan kelengkapan bagian mesin mixer Pengecekan kesesuaian jenis dan jumlah bahan baku yang akan melalui tahapan mixing Pengecekan kesesuaian urutan bahan baku yang melalui tahapan mixing dan waktu mixing sesuai dengan flowprocess Pengecekan fungsi reject metal detector pra-produksi Analisis organoleptik, homogenitas, dan kadar air hasil mixing Pengendalian suhu dan RH area produksi Jumlah Nilai (Skor Maksimum = 11)
Nilai
Kesenjangan
1
-
Tindakan Perbaikan -
1
-
-
1
-
-
1
-
-
1
-
-
1
-
-
1
-
-
1
-
-
1
-
-
1
-
-
1
-
-
11
Tingkat Implementasi 100 %
Implementasi QMS pada tahapan ini telah memenuhi target pabrik secara keseluruhan. Berdasarkan proses verifikasi yang telah dilakukan, tingkat implementasi QMS pada tahapan ini 100 % terpenuhi (Tabel 6), artinya semua parameter yang dipersyaratkan dalam pengendalian kualitas dijalankan secara baik dan benar. Hal ini dikarenakan tahapan ini merupakan tahapan utama pada rantai produksi produk sehingga menjadi prioritas monitoring yang dilakukan oleh QA field. Tahapan ini menjadi tulang punggung pengendalian mutu dan keamanan produk berdasarkan hasil analisis bahaya pada penerapan sistem HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) yang menetapkan tahapan sieving dan magnetic trapping sebagai OPRP (Operational Pre-requisite Program) serta tahapan metal detecting sebagai CCP (Critical Control Point).
15
Menurut Winarno (2012) HACCP adalah sistem jaminan mutu yang mendasarkan kepada kesadaran atau penghayatan bahwa bahaya dapat timbul pada berbagai titik atau tahap produksi tertentu, tetapi dapat dilakukan pengendalian untuk mengontrol bahaya-bahaya tersebut (Winarno 2012). Oleh karenanya, ketidaksesuaian pengendalian parameter pada tahapan ini akan berdampak sangat signifikan terhadap mutu dan keamanan produk yang dihasilkan. OPRP merupakan program prasyarat dimana dalam analisis bahaya ditetapkan sebagai hal yang penting untuk mengendalikan kemungkinan masuknya bahaya keamanan pangan didalam produk atau lingkungan proses. Sedangkan CCP adalah tahapan kunci yang mampu mengeliminasi bahaya yang telah diidentifikasi, tahapan ini menjadi penentu yang mengkategorikan produk yang dihasilkan aman atau tidak (Winarno 2012). Control measure pada tahapan ini dilakukan melalui pengecekan fungsi reject metal detector terhadap test piece fe & non-fe 1.5 mm dan ss 2.0 mm. Pengecekan dimonitoring secara langsung oleh tim QA field sebelum tahapan produksi dimulai. Apabila fungsi reject tidak sesuai maka operator harus melapor kepada tim Engineering-field untuk dilakukan verifikasi dan perbaikan. Metal detector yang telah diperbaiki harus divalidasi ulang terkait keberfungsiannya. Produk antara yang terindikasi mengandung logam setelah melewati metal detector akan secara otomatis terpisah pada outlet tertentu. Seluruh produk reject selanjutnya akan diverifikasi ulang menggunakan metal detector off-line untuk mengidentifikasi jenis temuan yang terdapat pada produk. Berdasarkan kajian HACCP plan pabrik, bahaya paling beresiko pada rantai produksi bumbu instan Racik dikategorikan sebagai bahaya fisik yang mungkin dapat berasal dari mesin dan bahan baku. Temuan benda asing pada proses sieving, magnetic trapping, dan produk reject harus dikumpulkan untuk selanjutnya ditelusuri kemungkinan sumber benda asing tersebut. Hasil penelusuran dijadikan dasar untuk proses maintenance mesin, evaluasi supplier bahan baku, dan peningkatan proses monitoring. PT NICI sendiri telah berkomitmen dalam menerapkan sistem HACCP di pabrik dengan baik, hal ini ditunjukkan dengan telah didapatkannya akreditasi ISO:22000. Pengendalian kesesuaian jenis dan jumlah bahan baku, urutan mixing, serta waktu proses mixing didasarkan pada flowprocess yang dikeluarkan oleh tim Product Development. Kesesuaian parameter tersebut sangat penting dicapai mengingat di dalam proses mixing secara tidak langsung terjadi urutan tahapan proses yaitu pencampuran bahan kering dan homogenisasi yang sangat menentukan kualitas organoleptik dari produk bumbu instan yang dihasilkan. Hasil analisis organoleptik dan kadar air produk hasil mixing (produk antara) menjadi salahsatu faktor releasing yang menentukan produk dapat diproses ke tahapan selanjutnya atau tidak. Apabila hasil analisis menunjukan produk antara tidak memenuhi spesifikasi yang telah ditentukan maka produk tersebut harus ditahan untuk selanjutnya dilakukan proses rework. Ketercapaian target implementasi pada tahapan ini tidak menjadikan proses monitoring dapat diperlonggar atau dikurangi, perbaikan berkelanjutan harus terus dilakukan agar tercapai proses dan pengendalian yang lebih efektif dan akurat. Edukasi terhadap urgensi mutu dan prosedur pengendalian yang baik dan benar harus terus dilaksanakan secara menyeluruh dan konsisten untuk mencegah terjadinya human
16
error dan meningkatkan sifat responsif serta antisipatif operator dalam rangka pengendalian mutu produk. Temporary Storage & Hopper Sistem yang digunakan pada proses produksi bumbu instan Racik adalah batch, yang mana produk antara yang diproduksi pada shift tertentu belum tentu akan melalui tahapan filling pada shift tersebut. Sistem ini memungkinkan terjadinya perbedaan varian yang diproduksi pada tahapan stripping sampai mixing dengan tahapan filling sampai cartoning. Oleh karenanya, produk antara selanjutnya akan disimpan diarea temporary storage yang terhubung langsung dengan inlet atau hopper mesin filling. Pengendalian mutu pada tahapan ini dikendalikan melalui pengecekan kondisi suhu dan RH area produksi untuk memastikan tidak terjadinya perubahan kadar air poduk. Kondisi suhu dan RH area produksi harus dikendalikan karena dapat berpengaruh terhadap perubahan kadar air produk bumbu (Peleg 1983). Hal ini dikarenakan sebagian besar bahan baku penyusun produk bumbu adalah bahan yang bersifat higroskopis seperti garam, gula, dan MSG. Peningkatan kadar air produk berpotensi memicu terjadinya penggumpalan yang dapat menghambat proses filling dan juga memicu pertumbuhan mikroba yang dapat menurunkan mutu produk bumbu yang dihasilkan. Tabel 7 Analisis kondisi aktual implementasi QMS in line process area temporary storage & hopper Tahapan Proses Temporary storage & hopper
Parameter Kontrol suhu dan RH area temporary storage Pengecekan kondisi produk antara dan hasil analisis Kontrol umur produk antara yang akan melalui tahapan filling
Jumlah Nilai (Skor maksimum : 3)
Nilai
Kesenjangan
Tindakan Perbaikan
1
-
-
1
-
-
0.5
Implementasi parameter tidak terdokumentasikan sehingga efektifitas pelaksanaan sulit ditinjau dan beresiko terhadap terjadinya kegagalan penelususran
2.5
Penyertaan slot kontrol umur produk antara pada form laporan harian produksi area temporary storage Tingkat Implementasi : 83.33 %
17
70
SUHU (ºC), RH (%)
60
63 58
50
53
52
56
58
57
60
56
54
51
55
54
53
40 30
20
24,2 24,6 24,4 25,3 25,2 25,3 25,4 23,7 24,6 24,6 24,6 24,8 24,8 24,1
10 0 1
2
3
4
5
6 7 9 10 11 TANGGAL PRODUKSI Suhu
12
13
14
15
RH
Gambar 3 Profil Suhu dan RH area temporary storage Februari 2016 Standar yang diterapkan pabrik untuk melakukan proses produksi atau penyimpanan adalah suhu area maksimum 28°C dan RH maksimum 60 %. Apabila kondisi suhu dan RH area melebihi standar maka proses produksi harus dihentikan dan tim produksi harus segera melapor ke tim Engineering-field untuk segera dilakukan penyesuaian dan pengendalian sistem AHU (Air Handling Unit). Proses produksi dapat dilanjutkan kembali setelah kondisi memenuhi standar. Berdasarkan pengamatan kondisi area shift 1 pada bulan Februari 2016 (Gambar 3), kondisi suhu dan RH area secara umum terkendali dengan baik. Penyimpangan terjadi pada tgl 1 Februari 2016 karena RH berada pada nilai 63 %, kondisi ini mengharuskan proses produksi diberhentikan sementara untuk dilakukan pengendalian dan penyesuaian AHU. Penyimpangan kondisi RH pada shift tersebut akibat terjadinya hujan dengan intensitas tinggi dalam waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, tim engineering harus senantiasa melakukan langkah antisipatif sebagai upaya penyesuaian perubahan kondisi untuk meminimalisir terjadinya pemberhentian proses produksi akibat kondisi suhu dan RH area yang melebihi standar. Sistem AHU harus mendapatkan maintenance secara berkala untuk memastikan AHU yang terkategori sebagai mesin tidak mengalami kerusakan sehingga kondisi area produksi selalu memenuhi standar yang berlaku. Dari hasil pengamatan dapat dilihat bahwa secara umum kondisi suhu area terkontrol dengan baik dan cukup stabil namun berbeda dengan nilai RH yang cenderung fluktuatif. Hasil yang diperoleh kurang sesuai karena seharusnya pergerakan RH diikuti dengan pergerakan suhu. Perubahan RH yang tidak stabil ini berpotensi mempengaruhi keadaan produk antara yang tersimpan di dalamnya. Pengaruh RH akan semakin tinggi apabila kemasan produk antara dalam kondisi tidak baik. Pengecekan kondisi produk antara oleh operator produksi dilakukan melalui identifikasi keberadaan label QA pass pada kemasan yang merupakan hasil penentuan tim QA berdasarkan hasil analisa organoleptik dan kadar air produk. Kontrol umur dilakukan untuk memastikan sistem FIFO (first in first out) yang diterapkan pada tahapan filling berjalan dengan baik dan benar, parameter ini pula berpengaruh terhadap pelabelan tanggal kadaluarsa produk pada kemasan
18
produk akhir. Kondisi kemasan harus dipastikan selalu terikat dan bersih untuk mencegah adanya paparan langsung antara produk dengan udara yang dapat merubah atau menurunkan kualitas produk. Tingkat penerapan parameter QMS pada tahapan ini baru mencapai 83.33 % (Tabel 7), kesenjangan terjadi pada parameter kontrol umur produk antara yang belum terdokumentasi. Menurut Early (1995) dokumentasi dalam proses produksi dapat digunakan untuk menunjukkan pencapaian mutu yang dipersyaratkan dan efektifitas pelaksanaan prosedur. Oleh karenanya perlu dilakukan penambahan slot kontrol umur pada laporan harian produksi area temporary storage. Filling & Cartoning Filling merupakan proses pengemasan produk atau pengisian produk antara ke dalam kemasan sekaligus pemberian tanggal kadaluarsa dan kode produksi. Filling dilakukan untuk mengemas produk antara menjadi produk akhir sehingga produk dapat terhindar dari berbagai kerusakan. Pencantuman tanggal kadaluarsa & kode produksi di kemasan dilakukan pada tahap ini sebagai alat bantu dalam melakukan penelusuran. Cartoning merupakan proses penempatan produk akhir ke dalam karton untuk didistribusikan. Cartoning bertujuan untuk memudahkan distribusi produk, menjaga produk dari goncangan dan memudahkan dalam proses penyimpanan. Produk dalam bentuk bubuk sangat rentan dengan keberadaan air dan udara, sehingga proses pengemasan mempunyai peranan penting dalam menjaga kualitas produk yang dihasilkan. Bumbu instan harus dikemas secara rapat dan terlindung agar mencegah terjadinya penurunan mutu produk yang berpotensi menurunkan masa simpan produk tersebut. Adanya ketidaksesuain pada proses filling berpotensi mengakibatkan terjadinya kemasan bocor, bobot tidak sesuai, penurunan efisiensi produksi dsb. Kecepatan produksi yang tinggi pada tahapan ini mengharuskan kesiapan dari segala aspek baik sumber daya manusia maupun mesin. Oleh karenanya, pada tahapan ini QMS mengharuskan beberapa monitoring seperti setting mesin, monitoring BDKT, vacuum test, monitoring kode produksi, kesesuaian jumlah dsb. Parameterparameter tersebut ditujukan untuk menjaga kualitas produk yang dihasilkan agar dapat diterima oleh konsumen. Karakteristik konsumen saat ini menjadikan aspek kemasan sebagai poin penting dan faktor screening dalam membeli suatu produk pangan. Adanya penyimpangan dalam kemasan sangat mempengaruhi keputusan konsumen untuk tidak membeli suatu produk pangan. Kualitas produk pangan tidak dapat terjamin apabila kemasannya dalam kondsi tidak baik. Tingkat implementasi QMS yang dicapai pada tahapan filling & cartoning adalah 77.27 % (Tabel 8). Kesenjangan yang terjadi di area filling & cartoning diantaranya standar suhu sealer yang ditetapkan QMS tidak relevan dengan kondisi aktual dan instruksi kerja, pengecekan kebocoran kemasan dengan vacuum test yang tidak sesuai standar, tidak terkontrolnya proses penakaran dalam kaitannya terhadap bobot barang dalam keadaan terbungkus (BDKT), monitoring kesesuaian isi produk dalam karton yang tidak optimal, dan pelakbanan yang tidak rapi.
19
Tabel 8 Analisis kondisi aktual implementasi QMS in line process area filling & cartoning Tahapan Proses Filling & Cartoning
Parameter
Nilai
Kesenjangan
Tindakan Perbaikan
Kontrol suhu dan RH area Setting mesin filling
1
-
-
0.5
Validasi standar setting mesin
Setting kode produksi pra-produksi Pengecekan kondisi hasil sealing & vacuum test on process
1
Setting dilakukan tidak sesuai standar, standar tidak valid Vacuum test on process sering tidak dilakukan akibat kurangnya man power dan kecepatan produksi yang tinggi
Peningkatan awareness dan pemahaman prosedur vacuum test melalui pelatihan
0.5
-
Monitoring kode produksi on process Monitoring perforasi dan tear-cut Monitoring BDKT produk on process
1
-
Penerapan manual rapid test -
1
-
-
0.5
Proses penakaran produk tidak terkontrol yang artinya tujuan monitoring tidak tercapai
Pengecekan kualitas produk dan kemasan karton Monitoring kesesuaian isi karton (jumlah & varian)
1
-
Penyediaan man power khusus BDKT, peningkatan frekuensi monitoring -
0.5
Monitoring kode produksi pada karton Kekokohan dan kerapihan pelakbanan karton
1
Sistem monitoring manual belum mampu menjamin kesesuaian jumlah produk (customer complaint isi kurang) -
Penyediaan timbangan & perumusan standar bobot hasil cartoning -
Jumlah Nilai (Nilai Maksimum : 11)
0.5
8.5
Kualitas pelakbanan tidak sesuai dengan yang dipersyaratkan
Peningkatan awareness operator terkait kerapihan pelakbanan dan visualisasi standar pelakbanan yang dipersyaratkan Tingkat Implementasi :77.27 %
20
Gambar 4 Diagram pareto faktor penyebab kebocoran kemasan Gambar 4 menunjukkan bahwa faktor utama yang menyebabkan kebocoran kemasan adalah seal yang tidak sempurna. Salahsatu atribut yang digunakan untuk mengkategorikan kualitas hasil sealing baik atau tidak adalah kebocoran kemasan. Metode yang digunakan dalam pengecekan adalah vacuum test. Setiap 1 jam sekali operator harus melakukan sampling untuk mengecek kebocoran kemasan melalui alat vacuum test dengan standar 55 – 60 cmHg selama 3 menit. Namun, implementasi di lini produksi menunjukan pengecekan sering tidak dilakukan dan kalaupun dilakukan tidak sesuai dengan standar yang berlaku. Hal ini dikarenakan kurangnya man power, kurangnya kesadaran operator, tingginya kecepatan produksi diarea filling, dan terbatasnya alat vacuum test. Menurut Zeng et al (2007) dan Salomone (2008) kurangnya pengetahuan dan kesadaran personil terhadap standar dan proses adalah hambatan utama dalam penerapan sistem mutu. Tindakan perbaikan yang dilakukan adalah pengkoordinasian man power khusus vacuum test untuk semua mesin, peningkatan kesadaran dan pemahaman prosedur vacuum test melalui pelatihan. Upaya antisipatif yang perlu dilakukan oleh operator yang bertanggungjawab pada setiap mesin filling adalah melakukan pengecekan manual secara cepat terhadap kemasan selama produksi dengan menekan kemasan produk yang didekatkan pada area hidung/dagu untuk mendeteksi secara cepat adanya kebocoran kemasan. Seal tidak sempurna dan overheat adalah faktor pertama dan kedua terbanyak yang menyebabkan kebocoran kemasan berdasarkan random sampling terhadap 40 sampel kemasan yang mengalami kebocoran dari 40 mesin filling. Hal tersebut menunjukan pengendalian proses sealing menjadi parameter penting yang harus dilakukan untuk mencegah terjadinya kebocoran kemasan. Kualitas dari heat seal sebuah kemasan film merupakan suatu hal yang sangat penting dari segi penggunaan, dan hasil penyatuannya merupakan hal yang sangat penting dari keseluruhan proses penyatuan kemasan. Kualitas heat seal akan sangat berpengaruh terhadap kondisi produk bumbu yang dikemas pada saat sampai ditangan konsumen. Kualitas heat seal yang tidak baik dapat menurunkan kualitas
21
produk secara cepat dan tentu berpengaruh terhadap penerimaan konsumen. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam menentukan kualitas heat seal adalah faktor mesin, faktor resin, dan faktor dari film (Robertson 1993). Faktor mesin yang mempengaruhi adalah waktu pengkeliman (dwell time), suhu dan tekanan yang digunakan pada saat proses seal. Faktor resin meliputi densitas resin, berat molekul dan zat aditif yang digunakan pada resin. Faktor dari film yang mempengaruhi adalah peralatan, jenis dari pembentukan (form) dan perlakuan saat pencetakan (Robertson, 1993). Heat sealable film adalah film yang dapat disatukan dengan penggunaan panas yang normal, seperti penggunaan batang logam tahan panas yang dapat menyalurkan panas secara konduksi. Tidak semua film dapat disatukan dengan cara seperti ini, hanya heat sealable film yang tahan dengan panas tinggi, namun non-heat sealable film dapat disatukan dengan penambahan zat heat sealable coatings (Robertson 1993). Metode sealing yang digunakan pada mesin filling di PT NICI adalah metode konduksi atau sering juga disebut sealing resistence. Sealing resistence merupakan metode yang digunakan secara tipikal terdiri dari dua metal jaws yang diberi pola atau embos untuk memberi kekuatan lebih (Robertson 1993). Faktor resin dan film dikontrol dengan mengimplementasikan QMS bahan kemas yang menetapkan spesifikasi kemasan dan metode pengecekan terhadap kualitas kemasan. Pengecekan terhadap bahan kemas dilakukan di area warehouse pada saat proses penerimaan dari supplier melalui pengamatan CoA (Certificate of Analysis), kualitas fisik kemasan (kebersihan, penampakan, dan aroma), dan sniff test. Sementara faktor mesin dikendalikan melalui pengontrolan suhu dan tekanan yang digunakan pada sealer. Faktor suhu merupakan faktor paling mudah dikendalikan karena terdapat visualisasi yang mampu mengukur nilai suhu yang digunakan oleh mesin. 250
Set Suhu (°C)
200 150 100 50 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Pengamatan ke-
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
Gambar 5 Profil suhu horizontal seal mesin 1 s/d 40 yang digunakan pada saat proses filling
22
250
Suhu (°C)
200
150
100
50
0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Pengamatan ke1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
Gambar 6 Profil suhu vertical seal mesin 1 s/d 40 yang digunakan pada saat proses filling Berdasarkan pengamatan di lapangan, suhu sealing aktual yang digunakan cenderung fluktuatif bahkan beberapa mesin suhu seal yang digunakan cenderung melebihi standar yang ditentukan QMS maupun WI. Selain itu, gambar 5 & 6 menunjukan bahwa generalisasi standar suhu terhadap 40 mesin filling yang digunakan tidak valid. Ketidakvalidan ini dimungkinkan terjadi akibat perubahan dan perbedaan kemampuan mesin akibat adanya penurunan kemampuan mesin, perbaikan mesin dan pembaharuan sparepart. Range yang terlalu lebar menyulitkan operator dan setter dalam menentukan suhu optimum yang digunakan untuk menghasilkan kualitas hasil sealing yang baik sehingga sistem pengontrolan cenderung dilakukan secara trial and error. Standar suhu sealer yang dipersyaratkan WI dan QMS berbeda, pada WI setting suhu sealer diharuskan berada pada kisaran 100 - 200 ºC dengan optional unit 120 ºC, sedangkan pada QMS setting suhu sealer diharuskan berada pada kisaran 120 200 ºC. Berdasarkan hierarki dokumentasi mutu internal PT Nestle Indofood Citarasa Indonesia, QMS merupakan rujukan utama penyusunan work instruction (WI). Oleh karenanya perlu dilakukan proses validasi terhadap setting mesin serta sinkronisasi standar yang berlaku pada QMS dan instruksi kerja. Hasil observasi menunjukkan setiap mesin memiliki suhu optimum yang berbeda-beda dalam menghasilkan kualitas sealing yang baik (Lampiran 5). Oleh karenanya standarisasi suhu optimum untuk setiap mesin diperlukan agar memudahkan operator dalam melakukan pengontrolan kualitas sealing melalui pengkondisian suhu. Standarisasi dilakukan dengan melakukan observasi dan pengumpulan data nilai suhu optimum selama 30 hari produksi. Nilai suhu yang dicatat adalah nilai suhu sealer yang digunakan pada awal, tengah, dan akhir shift
23
dengan ketentuan suhu tersebut dapat menghasilkan kualitas hasil sealing sesuai standar kemasan produk (perfect packaging indicator) secara konsisten. Fluktuasi yang terjadi akibat ketidakstabilan mesin menjadi dasar pelaksanaan random sampling dengan syarat nilai tersebut dapat menghasilkan kualitas sealing sesuai standar. Penentuan standar didasarkan pada hasil analisis deskriptif terhadap nilai median pengamatan. Nilai median pengamatan dikurangi 5 °C menjadi nilai minimum standar dan nilai median pengamatan ditambah 5 °C menjadi nilai maksimum standar. Nilai minimum dan maksimum yang dijadikan standar haruslah nilai yang berada pada range nilai minimum dan maksimum pengamatan. Apabila nilai minimum yang diperoleh kurang dari nilai minimum pengamatan maka nilai minimum yang dijadikan standar adalah nilai minimum pengamatan, begitu pula apabila nilai maksimum yang diperoleh melebihi nilai maksimum pengamatan maka nilai yang dijadikan standar adalah nilai maksimum pengamatan. Hasil standarisasi (Lampiran 5) diharapkan mampu memudahkan operator dalam melakukan pengendalian kualitas hasil sealing. Kesenjangan lain yang terjadi pada tahapan filling adalah proses penakaran produk tidak terkontrol secara statistik. Gambar 7 menunjukan terdapat 5 titik pengamatan yang berada di luar batas atas maupun batas bawah peta kendali, adanya titik pengamatan yang berada diluar batas kendali menunjukkan bahwa proses tidak terkontrol dengan baik. Selain itu analisis kapabilitas terhadap proses pada mesin 39 menunjukkan nilai Cp dan Cpk yang diperoleh hanya mencapai 0.32 dan 0.19. Berdasarkan prosedur Nestle SPC dalam Marianty (2004), nilai C p dan Cpk kurang dari 1.3 mengindikasikan kapabilitas proses tidak baik dan perlu dilakukan tindakan koreksi. Kondisi ini menunjukkan tingkat variansi bobot produk yang dihasilkan proses filling masih tinggi. Hasil ini diperkuat dengan hasil analisis terhadap validitas penerapan checkweigher pada area kartoning sebagai upaya perbaikan dalam proses monitoring kesesuaian jumlah produk yang menjadikan total bobot produk sebagai faktor pengendali kesesuaian jumlah produk yang masuk kedalam karton. Xbar-R Chart of Berat 1
22
1
Sample Mean
1
UCL=21.056 __ X=20.248
21 20
LCL=19.440 19
1 1
18 1
4
7
10
13
16
19
1
22
25
28
Sample
Sample Range
3
UCL=2.960
2 _ R=1.4 1
0
LCL=0 1
4
7
10
13
16
19
22
25
28
Sample
Gambar 7 Control chart BDKT produk Racik Ikan Goreng Mesin 39
24
Gambar 8 Kapabilitas proses penakaran Racik Ikan Goreng mesin 39 Monitoring kesesuaian jumlah produk dalam karton pada awalnya hanya mengandalkan penghitungan manual operator. Adanya customer complaint terkait kurangnya isi produk dalam karton mengindikasikan belum optimalnya proses monitoring tersebut. Oleh karena itu, dilakukan tindakan perbaikan melalui penimbangan sebagai metode screening untuk memastikan kesesuaian jumlah produk dalam karton. Tahapan awal penerapan tindakan perbaikan ini dilakukan melalui penentuan standar bobot produk dalam karton sebagai dasar untuk melakukan monitoring. Selanjutnya dilakukan trial dan analisis terhadap validitas proses penimbangan. Analisis validitas dilakukan melalui penghitungan ulang secara manual karton yang terindikasi memiliki berat total melebihi atau kurang dari standar yang dapat diidentifikasi melalui lampu indikator yang terhubung pada checkweigher. Apabila hasil penghitungan ulang terhadap sampel yang terindikasi menunjukkan jumlah produk masih sesuai dengan jumlah standar maka indikasi dianggap tidak valid begitupun sebaliknya. Analisis dilakukan selama 20 hari produksi pada area kartoning shift 1. Hasil analisis menunjukan persentase validitas indikasi tergolong sangat rendah (Gambar 9 & 10), sebagai contoh tingkat validitas indikasi renceng kurang pada line 4 (Gambar 10) hanya mencapai 9.05 % artinya 90.95% hasil cartoning yang terindikasi memiliki jumlah renceng-kurang memiliki jumlah yang masih sesuai dengan standar. Hasil ini sekaligus menunjukkan adanya potensi kekurangan jumlah renceng pada karton yang justru berat totalnya memenuhi standar. Tingginya tingkat invaliditas memperkuat dugaan tingginya variansi berat bersih produk sehingga pengendalian dengan checkweigher belum mampu mengontrol kesesuaian jumlah produk pada karton. Produk yang memiliki berat melebihi standar tentu akan merugikan pihak pabrik, sedangkan produk yang memiliki berat kurang dari standar akan merugikan pihak konsumen.
25
18,98
20,00 18,00 16,00 Validitas (%)
14,00 12,00 10,00
8,41
8,00 5,20
6,00 4,00
3,78
2,00 0,00 Line 1
Line 2
Line 3
Line 4
Gambar 9 Profil validitas indikasi renceng kurang (cartoning) 40,00
37,50
35,00
Validitas (%)
30,00 25,00 20,00 15,69 15,00
13,35 9,05
10,00 5,00 0,00 Line 1
Line 2
Line 3
Line 4
Gambar 10 Profil validitas indikasi renceng lebih (cartoning)
26
Diagram Ishikawa Berat Bersih Produk Tidak Terkontrol Environment
Material
Personnel
Penggumpalan
Kurangnya man power
RH tinggi
Kelelahan Flowability
Tidak fokus
Berat bersih produk tidak terkontrol Mesin tidak stabil Frekuensi Pengecekan kurang Desain Hopper tidak sesuai
Methods
Machines
Gambar 11 Diagram ishikawa berat bersih produk tidak terkontrol Hasil evaluasi terhadap kondisi proses filling menunjukkan bahwa faktor penyebab terjadinya inkonsitensi berat bersih produk dapat disebabkan oleh faktor manusia, mesin, material, metode, dan lingkungan. Operator yang bertanggungjawab di area memegang peranan sangat penting dalam melakukan proses monitoring kondisi berat bersih produk. Tingginya kecepatan dan beban produksi di area filling berpotensi menyebabkan operator tidak melakukan monitoring secara konsisten akibat tidak fokus dan kelelahan, hal ini mendasari perlunya penambahan man power khusus pengontrolan BDKT produk agar tindakan perbaikan dapat dilakukan secara cepat dan real time. Karakteristik produk yang berpengaruh terhadap inkonsistensi proses filling adalah flowability dan tingkat kelengketan (cohesiveness) bumbu yang berakibat terhadap terjadinya caking. Bubuk kohesif biasanya menunjukkan masalah aliran (Barbosa-Cánovas et al. 2005). Tingkat kelengkatan dari bumbu ini sangat berpengaruh terhadap adanya penggumpalan atau caking. Caking tidak selalu berarti terbentuk gumpalan yang keras, melainkan dapat berupa agregat lembut yang dapat hancur dengan mudah (Barbosa-Cánovas et al. 2005). Berdasarkan pengamatan di lapangan proses filling sering terhambat akibat tidak mengalirnya bumbu dari hopper karena adanya gumpalan. Kondisi ini secara langsung berpengaruh terhadap variansi berat produk pada proses filling. Sistem filling yang diterapkan pabrik menggunakan gravitasi sebagai gaya untuk mengalirkan bumbu dari hopper/inlet yang dipasang di lantai 2 ke outlet/mesin filling yang berada di lantai 1. Pengamatan dilapangan menunjukkan pola aliran yang terbentuk pada proses adalah pola funnel flow.
27
Gambar 12 Pola aliran aktual bumbu Racik (funnel flow) (Barbosa-Cánovas et al. 2005). Pola aliran funnel flow selain dipengaruhi oleh karakteristik bumbu, juga dipengaruhi oleh desain hopper. Pola ini terjadi ketika hopper tidak cukup curam atau halus untuk menyebabkan bumbu mengalir di sepanjang dinding hopper. Pada funnel flow bahan mengalir hanya pada daerah tertentu dan sebagian daerah lainnya tidak bergerak. Menurut Barbosa-Cánovas et al. (2005) pola aliran ini cocok untuk material dengan ukuran partikel yang besar dan bersifat mudah mengalir. Pola ini tidak cocok untuk material yang berukuran partikel kecil dan mengalami perubahan seiring waktu. Peluang terjadinya masalah aliran seperti mampet dan terjadi segregasi terhadap material yang dikeluarkan cukup besar pada pola aliran funnel flow. Bumbu Racik memiliki ukuran partikel yang kecil, sehingga pola mass flow secara umum dianjurkan untuk bahan bubuk berukuran partikel kecil dan bubuk yang tidak boleh mengalami segregasi. Pola aliran mass flow terjadi ketika hopper cukup curam dan halus untuk menyebabkan terjadinya aliran dari semua partikel tanpa daerah stagnan atau stabil selama pengeluaran bahan. Semua partikel pada semua titik bergerak di dalam hopper saat terjadi pengeluaran material. Pola mass flow dapat menjamin terjadinya pengeluaran seluruh isi bin dengan laju aliran yang seragam, pola urutan FIFO (First-in Firstout) dan meminimalkan terjadinya segregasi (Barbosa-Cánovas et al. 2005). Terkait hal ini tindakan perbaikan yang dapat dilakukan adalah melakukan modifikasi hopper untuk mengakomodir terjadinya pola mass flow yang sesuai dengan karakteristik bumbu Racik.
28
Gambar 13 Pola aliran mass flow (Barbosa-Cánovas et al. 2005).
Gambar 14 Grafik acuan desain hopper (Carson 2008) Berdasarkan grafik acuan desain bentuk hopper menurut Carson (2008) (Gambar 14), desain bentuk terbaik yang mampu mengakomodir pola mass flow adalah kategori bentuk planar dengan sudut maksimal 10º dari sisi vertikal untuk mendukung terjadinya pola aliran mass flow pada kondisi material terburuk (paling sulit mengalir) yang masih mampu ditangani yaitu dengan nilai φw mendekati 40°. Pada penelitian ini, modifikasi mesin belum memungkinkan untuk dilakukan karena memerlukan cost yang tinggi, sebagai alternatif untuk meminimalisir efek yang ditimbulkan dari kondisi yang dipaparkan, maka diterapkan parameter antisipatif yang mengharuskan operator hopper secara periodik menyisir dan mendorong bumbu menggunakan spatula serta operator mesin filling harus memberikan getaran pada bagian pipa penghubung antara hopper dan mesin filling dengan melakukan pengetukan ketika bumbu tidak mengalir. Alternatif ini harus dilakukan pada saat bobot produk memiliki kecenderungan di bawah spesifikasi. Selain itu pemasangan mesh pada inlet hopper diharapkan mampu menyeleksi produk yang menggumpal sebelum masuk ke mesin filling. Tidak adanya alat monitoring kecepatan putaran cincin pipa volumetrik menyulitkan operator dalam menentukan kecepatan optimum yang mampu menghasilkan penakaran yang sesuai spesifikasi, sehingga pengontrolan dilakukan secara trial and error. Kondisi mesin yang tidak stabil mengharuskan operator untuk siap siaga dalam melakukan tindakan penanggulangan atau pengontrolan stel kecepatan dan kerapatan cincin volumetrik serta pengaturan jarak scrapper dengan cincin secara cepat. Secara umum kondisi bobot produk berada di bawah spesifikasi disebabkan oleh terlalu cepatnya putaran cincin volumetrik atau terhambatnya aliran bumbu, sedangkan kondisi bobot produk melebihi spesifikasi disebabkan jarak scrapper yang terlalu renggang. Penambahan man power khusus monitoring bobot produk, peningkatan frekuensi pengecekan menjadi setiap 1 jam sekali, dan peningkatan kesadaran operator untuk melakukan tindakan-tindakan penanggulangan yang telah dijabarkan diatas setidaknya mampu menjadikan proses terkendali (Gambar 17) dan meningkatkan persentase validitas checkweigher di area cartoning (Gambar 15 & 16). Man power khusus ini bertugas melakukan monitoring dan melakukan sampling data bobot BDKT setiap 1 jam sekali dengan mengambil sebanyak 20 sampel untuk setiap mesin. Hal ini didasarkan pada ketentuan yang dikeluarkan
29
oleh Kementerian Perindustrian yang menyatakan jumlah produk yang harus disampling terkait pengontrolan berat produk adalah 125 pcs per shift untuk kapasitas produksi lebih dari 3201 pcs. 60,00 48,54
Validitas (%)
50,00
38,36
40,00 29,35
30,00
25,76 18,98
20,00 10,00
8,41
5,20
3,78
0,00 Line 1
Line 2 Sebelum
Line 3
Line 4
Sesudah
Gambar 15 Profil validitas indikasi renceng kurang (cartoning) setelah tindakan perbaikan 45,00
41,18 38,19
37,5037,93
40,00
Validitas (%)
35,00 28,32
30,00 25,00 20,00
15,00
13,35
15,69 9,05
10,00 5,00 0,00 Line 1
Line 2 Sebelum
Line 3
Line 4
Sesudah
Gambar 16 Profil validitas indikasi renceng lebih (cartoning) setelah tindakan perbaikan Meskipun persentase indikasi tidak valid masih cenderung lebih besar dibandingkan jumlah indikasi yang valid, namun terjadi peningkatan persentase validitas indikasi setelah dilakukan tindakan perbaikan dari segi sumberdaya manusia di area filling. Jika sebelumnya tingkat validitas indikasi renceng-lebih line 1 (Gambar 17) hanya mencapai 13.35 %, setelah dilakukan tindakan perbaikan tingkat validitas meningkat menjadi 41.18 %. Selain itu pula, hasil analisis terhadap proses penakaran setelah dilakukan tindakan perbaikan menunjukan proses terkendali secara statistik karena semua titik pengamatan berada diantara batas kendali atas dan batas kendali bawah (Gambar 18) serta terjadi peningkatan nilai kapabilitas proses yang ditunjukan oleh nilai Cp dan Cpk
30
menjadi 0.43 dan 0.22 (Gambar 19) yang sebelumnya hanya mencapai 0.32 dan 0.19. Namun, nilai tersebut masih menunjukan kondisi yang belum baik karena nilai Cp dan Cpk yang dicapai masih kurang dari 1.3 sehingga masih perlu dilakukan tindakan perbaikan lain.
Gambar 17 Control chart BDKT produk Racik Ikan Goreng Mesin 39 setelah tindakan perbaikan
Sebelum tindakan perbaikan
Setelah tindakan perbaikan
Gambar 18 Kapabilitas proses penakaran produk Racik Ikan Goreng Mesin 39 setelah tindakan perbaikan Kesenjangan lain yang terjadi di area cartoning adalah proses pelakbanan karton yang tidak terstandar. Banyak ditemukan hasil pelakbanan karton yang tidak rapih dan tidak melekat dengan kuat. Pelakbanan dilakukan secara manual
31
oleh operator. Oleh karenanya, operator menjadi faktor utama yang menentukan pencapaian parameter ini. Tindakan perbaikan yang dilakukan adalah peningkatan awareness operator melalui pelatihan terkait urgensi kerapihan dan kekokohan pelakbanan karton. Segel yang tidak rapih dan kokoh berpotensi menghambat proses distribusi yang mungkin diakibatkan segel yang tiba-tiba terbuka serta dapat berpengaruh terhadap persepsi konsumen terhadap produk. Visualisasi QMS Sebagian besar kesenjangan yang terjadi diakibatkan kurangnya pemahaman operator terkait parameter yang harus dilakukan dan urgensinya. Hal ini terjadi dikarenakan kurang optimalnya proses dan metode sosialisasi yang pernah dilakukan sebelumnya. Hasil survei awal melalui kuisioner (Lampiran 6) menunjukkan 72.69 % operator produksi pada periode Februari 2016 tidak mengetahui QMS dan hanya 23.79 % operator yang pernah mengikuti pelatihannya. Penyebaran kuisioner terhadap operator dilakukan untuk mendapatkan gambaran subjektif dari pelaksana QMS. Banyaknya operator yang belum mengetahui dan memahami QMS salahsatunya dikarenakan akses informasi terkait QMS yang sulit didapat (Lampiran 6). Oleh karenanya, visualisasi melalui pembagian handbook dan penempelan poster (Lampiran 4) terkait QMS diharapkan mampu memudahkan operator dalam mengakses dan memahami QMS sehingga implementasi QMS dapat dilakukan secara menyeluruh dengan baik dan benar.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Proses verifikasi terhadap penerapan Quality Monitoring Scheme in line process Racik menunjukkan bahwa tingkat implementasi QMS aktual yang dicapai sebesar 77.12 %. Nilai tersebut mengindikasikan masih terdapatnya kesenjangan atau ketidaksesuaian yang terjadi pada proses penerapan QMS di lini produksi. Tidak adanya standar kebersihan area produksi yang menjadi dasar proses monitoring pada tahapan pra-produksi menyebabkan tingginya peluang tidak tercapainya kondisi bersih yang dipersyaratkan dan terjadinya overtime cleaning. Pemberlakuan standar kebersihan mampu mengoptimalkan penggunaan waktu cleaning yang sebelumnya selalu bernilai lebih dari 100% menjadi kurang dari 100 % berdasarkan jatah waktu dan monitoring yang ditetapkan manajemen pabrik. Perbaikan terhadap proses dokumentasi, labelisasi, dan penambahan fasilitas penunjang pada tahapan proses stripping-batching diharapkan mampu memperkuat sistem traceability pabrik dan mencegah terjadinya penyimpangan mutu produk akibat kesalahan identifikasi. Implementasi parameter QMS di area tipping - metal detecting secara umum telah memenuhi ketentuan yang dipersyaratkan, hal ini dikarenakan tahapan ini adalah tahapan utama produksi yang didalamnya terdapat OPRP dan CCP proses. Kondisi ini diperkuat dengan
32
telah terimplementasinya sistem HACCP di pabrik dengan telah didapatkannya akreditasi ISO : 22000. Perbaikan dokumentasi perlu dilakukan diarea temporary storage melalui pengintegrasian dokumentasi pengontrolan umur produk antara terhadap form laporan harian. Hasil verifikasi di area filling menunjukkan tingginya tingkat variansi dan penyimpangan setting suhu sealer merupakan faktor utama penyebab kebocoran kemasan, kesenjangan tersebut mendasari perlunya proses standarisasi suhu optimum untuk setiap mesin agar mempermudah operator dalam melakukan pengontrolan kualitas sealing kemasan produk melalui pengkondisian suhu sealer. Tindakan ini perlu ditunjang dengan kesesuaian pelaksanaan prosedur vacuum test untuk mendeteksi kebocoran kemasan disertai langkah antisipatif melalui pengecekan secara manual dengan menekan kemasan yang didekatkan diarea dagu untuk mendeteksi adanya kebocoran. Kesenjangan lain yang terjadi adalah tingginya variansi berat bersih produk yang ditunjukkan oleh tidak terkendalinya proses. Tindakan perbaikan yang dilakukan adalah penambahan man power khusus monitoring bobot BDKT produk, pemasangan mesh pada inlet hopper, peningkatan frekuensi monitoring bobot BDKT, serta pelatihan dan peningkatan awareness operator terhadap urgensi parameter QMS. Tindakan perbaikan yang telah dilakukan setidaknya menjadikan proses penakaran di area filling terkendali secara statistik dan meningkatkan nilai kapabilitas proses meskipun nilai tersebut belum mencapai target yang diharapkan sehingga tindakan perbaikan harus terus dilakukan dan dikembangkan. Selain itu juga, peningkatan frekuensi pengecekan bobot BDKT produk di area filling mampu meningkatkan persentase validitas checkweigher di area cartoning. Visualisasi melalui pembagian handbook dan penempelan poster terkait QMS diharapkan mampu memudahkan operator dalam mengakses dan memahami QMS sehingga penerapan QMS dapat dilakukan dengan baik dan benar. Saran Masih tergolong rendahnya tingkat pemahaman dan implementasi terhadap QMS in line process, maka pabrik disarankan untuk menerapkan kebijakan dengan memasukan materi QMS pada first induction kepegawaian yang sebelumnya hanya menyertakan materi HACCP dan sistem manajemen K3. Tindakan perbaikan yang belum terimplementasi disarankan agar segera dilakukan. Selain itu, tim QA field disarankan untuk melakukan verifikasi rutin terhadap implementasi QMS dan mensosialisasikan laporan hasil verifikasi berupa tingkat implementasi, kesenjangan yang terjadi, dan tindakan perbaikan yang perlu dilakukan kepada seluruh tim produksi secara berkala. Upaya tersebut diharapkan mampu memotivasi tim produksi dalam meningkatkan kualitas kerja dalam kaitannya terhadap pengendalian dan penjaminan mutu produk.
33
DAFTAR PUSTAKA Barbosa-Cánovas GV, Ortega-Rivas E, Juliano P, Hang Y. 2005. Food Powders: Physical Properties, Processing and Functionality. New York (US): Plenum Publisher. Barbosa-Cánovas GV, Juliano P. 2005 Encapsulated and Powdered Foods. Onwulata C, editor. Boca Raton (US): Taylor & Francis Group. Carson JW. 2008. Bulk Solids Handling: Equipment Selection and Operation. McGlinchey D, editor. Oxford (UK): Blackwell Publishing Ltd. Chindarwani. 2007. Kajian sistem manajemen keamana pangan berbasis ISO 22000 di PT Nestle Indonesia, Kejayaan Factory [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Cramer MM. 2006. Food Plant Sanitation: Design,Manitenance, and Good Manufacturing Practices. Boca Raton (US): CRC Press. Early Ralph. 1995. Guide to Quality Management Systems for the Food Industry. New York (US): Springer Science + Bussiness Media. Juran JM. 1999. Juran’s Quality Control Handbook 5th Edition. New York (US): Mc-Graw Hill. Kumar K, Kumar S. 2012. Steps for implementation of 5S. International Journal of Management, IT, and Engineering vol 2(6): 402 – 416. Lelieveld H, Holah J, Gabric D. 2016. Handbook of Hygiene Control in Food Industry. 2nd ed. Duxford (UK): Woodhead Publishing. Marianty R. 2004. Aplikasi pengendalian proses secara statistika pada proses roduksi susu bubuk instant di PT Nestle Indonesia Pabrik Kejayan-Jawa Timur [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Marriott NG. 1997. Essentials of Food Sanitation. New York (US): Chapman & Hall. Muhandri T, Kadarisman D. 2012. Sistem Jaminan Mutu Industri Pangan. Bogor (ID) : IPB Press. Peleg M. 1983. Physical Properties of Foods.Peleg. New York (US): AVI Publishing Co. Pratomo TY. 2010. Analisis pada siklus pengeluaran (Studi kasus pada PT Nestle Indofood Citarasa Indonesia) [tesis]. Jakarta (ID): Universitas Indonesia. PT Indofood TBK. 2012. Laporan Tahunan Indofood CBP. Jakarta (ID): PT Indofood TBK. Robertson, G.L. 1993. Food Packaging : Principles and Practice. 2nd ed. New York (US): Marcell Dekker Inc. Salomone R. 2008. Integrated management systems: experiences in Italian organizations. Journal of Cleaner Production vol 16: 1786-1806. Suardi R. 2001. Sistem Manajemen ISO 9000:2000. Jakarta (ID) : PPM. Tunggal A W. 1993. Manajemen Mutu Terpadu. Jakarta (ID) : Rineka Cipta Winarno F G. 2012. HACCP dan penerapannya dalam Industri Pangan. Bogor (ID) : M-BRIO Press. Zeng SX, Shi JJ, Lou GX 2007. A synergetic model for implementing an integrated management system: an empirical study in China. Journal of Cleaner Production vol 15 : 1760-1767.
34
LAMPIRAN Lampiran 1 Standar kebersihan area produksi (ex : area batching – mixing)
35
Lampiran 2 Cheklist monitoring sanitasi ruang produksi
36
Lampiran 3 Standar penulisan identitas pada kemasan bahan baku dan hasil mixing
37
38
Lampiran 4 Visualisasi QMS inline process melalui handbook & poster interaktif
39
40
Lampiran 5 Hasil standarisasi suhu sealer mesin filling Tabel 9 Hasil standarisasi suhu optimum sealer mesin filling (Vertical Seal) No Mesin 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
Min 136 155 144 122 109 147 157 148 150 184 140 138 153 182 156 149 151 125 127 157 145 120 124 159 177 138 170 141 141 138 145 164 160 160 155 164 164 159 150 145
Suhu Vertical Seal Max Median 171 150 167 160 185 160 137 135 125 118 162 150 171 159 160 150 197 176 200 185 150 150 171 159 201 172 185 185 168 168 168 155 176 165 168 150 167 160 187 165 165 154 185 120 145 132 190 170 203 177 185 163 186 177 166 156 147 147 150 140 169 146 190 175 177 170 175 170 199 175 166 166 171 164 171 170 189 176 177 165
Standar Min Max 145 155 155 165 155 165 130 137 113 123 145 155 154 164 145 155 171 181 180 190 145 150 154 164 167 177 182 185 163 168 150 160 160 170 145 155 155 165 160 170 149 159 120 125 127 137 165 175 172 182 158 168 172 182 151 161 142 147 138 145 141 151 170 180 165 175 165 175 170 180 164 166 164 169 165 171 171 181 160 170
41
Tabel 10 Hasil standarisasi suhu optimum sealer mesin filling (Horizontal Seal) No Mesin 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
Min 140 170 170 184 193 191 183 173 133 155 175 139 170 140 162 150 170 158 163 200 198 183 210 164 150 150 167 147 159 147 160 179 170 168 170 170 170 170 160 157
Suhu Horizontal Seal Max Median 250 171 200 193 210 200 220 202 210 200 220 204 196 195 220 189 250 184 170 160 176 175 180 150 199 176 170 170 198 175 175 160 196 194 195 164 227 207 220 220 205 205 218 215 253 230 188 171 170 167 172 160 195 190 155 150 187 173 185 150 175 165 200 182 205 199 199 176 199 177 176 174 211 180 211 192 209 183 200 166
Min 166 188 195 197 195 199 190 184 179 155 175 145 171 165 170 155 189 159 202 215 200 210 225 166 162 155 185 147 168 147 160 179 194 171 172 170 175 187 178 161
Standar Max 176 198 205 207 205 209 196 194 189 165 176 155 181 170 180 165 196 169 212 220 205 218 235 176 170 165 195 155 178 150 170 187 204 181 182 176 185 197 188 171
42
Lampiran 6 Format dan hasil kuisioner tentang QMS kepada operator produksi Jumlah Jawaban No
1
2
3
4 5 6 7 8
9
10
11
12
Pernyataan Saya tahu tentang Quality Monitoring Scheme (QMS) in line Process Saya pernah mengikuti pelatihan tentang Quality Monitoring Scheme (QMS) inline Process Saya paham tentang isi Quality Monitoring in line Process Informasi terkait QMS mudah untuk diakses ketika dibutuhkan Saya pernah membaca QMS QMS menjadi acuan dasar saya selama bekerja di area produksi Isi dari QMS mudah dipahami Isi dari QMS mudah diaplikasikan di lini produksi Saya mengalami kendala dalam menerapkan QMS selama saya bekerja di lini produksi Saya pernah melanggar ketentuan yang dipersyaratkan QMS secara sengaja maupun tidak disengaja Fasilitas yang ada sudah mendukung penerapan QMS di lini produksi Penjaminan kualitas/mutu hanyalah tanggungjawab tim QA
Persentase Jawaban (%)
Ket
Ya
Tidak
Ya
Tidak
62
165
27.31
72.69
Sebelum Pelatihan
54
173
23.79
76.21
Sebelum Pelatihan
16
211
7.05
92.95
Sebelum Pelatihan
16
211
7.05
92.95
Sebelum Pelatihan
18
209
7.93
92.07
Sebelum Pelatihan
227
0
100.00
0.00
Setelah Pelatihan
71
156
31.28
68.72
Setelah Pelatihan
134
93
59.03
40.97
Setelah Pelatihan
130
97
57.27
42.73
Setelah Pelatihan
89
138
39.21
60.79
Setelah Pelatihan
142
85
62.56
37.44
Setelah Pelatihan
2
225
0.88
99.12
Setelah Pelatihan
43
GLOSARIUM 5R AHU BDKT CAPA CCP CoA Cp Cpk FG FIFO HACCP K3 MSG OPRP PM QA QMS QP RH RM WI
: Ringkas, Rapi, Resik, Rawat, Rajin : Air Handling Unit : Barang Dalam Keadaan Terbungkus : Corrective Action and Preventive Action : Critical Control Point : Certificate of Analysis : Capability Process : Capability Process Indeks : Finished Good : First-in First-out : Hazard Analysis Critical Control Point : Keamanan dan Kesalamatan Kerja : Monosodium Glutamat : Operational Pre-requisite Program : Packaging Material : Quality Assurance : Quality Monitoring Scheme : Quality Procedure : Relative Humidity : Raw Material : Work Instruction
44
RIWAYAT HIDUP Penulis memiliki nama lengkap Ari Fauzi Sabani, dilahirkan di Tasikmalaya pada tanggal 9 Januari 1996 dari pasangan Ayah Momon Dasuki dan Ibu Hoeriyah. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Penulis pernah menempuh pendidikan di SD Negeri 1 Sumelap, SMP Negeri 1 Tasikmalaya, dan SMA Negeri 1 Tasikmalaya. Penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur SNMPTN undangan pada tahun 2012. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam beberapa kegiatan kemahasiswaan. Posisi yang pernah dijabat penulis antara lain, Ketua Ksatria Peduli Pangan (Kapangan) (2013-2014), Ketua Divisi Peduli Pangan Indonesia Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (Himitepa) (2014-2015), Surveyor Pangan dan Kantin pada tahun 2014 dan 2015 yang mana pada masa baktinya penulis dan tim mampu mendapatkan penghargaan pada ajang Nutrifood Health Agent Award 2015, serta menjadikan program bina desa yang dirintisnya sebagai penerima dana Hibah Bina Desa yang diselenggarakan oleh DIKTI pada tahun 2015. Selain itu juga penulis tergabung dalam Tanoto Scholars Association (TSA) IPB. Penulis pernah menjadi asisten praktikum pada mata kuliah Kimia Dasar (2013), Biokimia dan Kimia Pangan (2014), serta Mikrobiologi Pangan (2015). Penulis berkesempatan mendapatkan penghargaan sebagai penerima “Tanoto National Champion Scholarship” dari tahun 2013 – 2016 dan meraih juara 2 dalam ajang Nutrifood Health Agent Award 2015.