VALUASI EKONOMI DAMPAK BUDIDAYA IKAN DI TAMBAK DENGAN ALIH FUNGSI LAHAN MANGROVE DI DESA TAMBAKSUMUR, KECAMATAN TIRTAJAYA, KARAWANG
CHARISTA LOVAPINKA
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Valuasi Ekonomi Dampak Budidaya Ikan Tambak Dengan Alih Fungsi Lahan Mangrove Di Desa Tambaksumur, Kecamatan Tirtajaya, Karawang adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2014
Charista Lovapinka NIM H44090052
ABSTRAK CHARISTA LOVAPINKA, Valuasi Ekonomi Dampak Budidaya Ikan Di Tambak Dengan Alih Fungsi Lahan Mangrove Di Desa Tambaksumur, Kecamatan Tirtajaya, Karawang. Dibimbing oleh AKHMAD FAUZI dan RIZAL BAHTIAR. Keuntungan produksi pada budidaya tambak udang windu (Penaeus monodon) dan ikan bandeng (Chanos chanos) di Kabupaten Karawang memacu perluasan usaha tersebut dengan mengalihfungsikan hutan mangrove menjadi lahan tambak secara berlebihan. Hal tersebut memberikan dampak negatif terhadap pendapatan masyarakat dan lingkungan sekitar karena hutan mangrove memiliki peran strategis bagi kehidupan. Peran hutan mangrove bagi kehidupan diantaranya adalah sumber pemenuhan kebutuhan manusia, tempat perlindungan, pemijahan dan sumber makanan bagi biota perairan, serta pelindung dari abrasi pantai. Penelitian bertujuan mengidentifikasi manfaat nilai guna langsung mangrove dan kerugian ekonomi, menganalisis manfaat secara finansial, mengidentifikasi keberlanjutan tambak, dan mengidentifikasi implikasi kebijakan dari dampak budidaya udang windu dan ikan bandeng dengan alih fungsi lahan mangrove telah dilakukan di wilayah Karawang. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Desa Tambaksumur merupakan lokasi yang memiliki hutan mangrove yang dikonversi menjadi lahan tambak. Parameter diamati adalah kelayakan konversi hutan mangrove menjadi tambak diantaranya adalah replacement cost, dan valuasi ekonomi. Data yang dikumpulkan dianalisa secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukan bahwa hutan mangrove sangat berpengaruh bagi pendapatan masyarakat dan lingkungan. Konversi hutan mangrove menjadi tambak tersebut masih layak secara financial dengan R/C 1,12. Kata kunci: Budidaya Tambak Udang windu dan Ikan bandeng, Biaya pengganti, Konversi Hutan Mangrove, Valuasi Ekonomi. ABSTRACT CHARISTA LOVAPINKA, Valuasi Ekonomi Dampak Budidaya Ikan Di Tambak Dengan Alih Fungsi Lahan Mangrove Di Desa Tambaksumur, Kecamatan Tirtajaya, Karawang. Dibimbing oleh AKHMAD FAUZI dan RIZAL BAHTIAR. Profitable business of brackishwater black tiger shrimp and milkfish pond culture in Karawang Regency have triggered the excessively convertion of mangrove forest areas into brackishwater pond areas. This convertion result in negative impacts on the household incomes and the environment since mangrove forest has a strategic role for life such as a source of human needs, shelter, spawning and food source for marine life, as well as protection from coastal erosion. A study to identify the benefits of direct use values of mangroves and economic losses, analyze the benefits financially, sustainability pond analyzes, and identify policy implications of the impact of tiger shrimp and milkfish with
conversion of mangrove land was conducted in Karawang Regency. Tambak Sumur was selected as a study site since this village has mangrove forest areas converted into brackishwater black tiger shrimp and milkfish as a study site since this village ponds. Parameter observed were the feasibility of mangrove forest convertion into brackishwater black tiger shrimp and milkfish ponds such as replacement cost and economic valuation. Data were analyzed descriptively. The result of this study revealed that mangrove forest had important role for communities income and the environment. Conversion of mangrove forests into brackishwater black tiger shrimp and milkfish ponds financially was still feasible indicated by R/C of 1,12. Keywords : Black Tiger and Milkfish Pond Culture, Economic Valuation, Mangrove Forest Convertion, Replacement Cost
VALUASI EKONOMI DAMPAK BUDIDAYA IKAN DI TAMBAK DENGAN ALIH FUNGSI LAHAN MANGROVE DI DESA TAMBAKSUMUR, KECAMATAN TIRTAJAYA, KARAWANG
CHARISTA LOVAPINKA H44090052
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk Memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Skripsi : Valuasi Ekonomi Dampak Budidaya Ikan di Tambak dengan Alih Fungsi Lahan Mangrove di Desa Tambaksumur, Kecamatan Tirtajaya, Karawang. Nama
: Charista Lovapinka
NIM
: H44090052
Disetujui oleh
Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc Pembimbing I
Rizal Bahtiar, S.Pi, M.Si Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr. Ir. Aceng Hidayat, M.T Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Valuasi Ekonomi Dampak Budidaya Ikan di Tambak dengan Alih Fungsi Lahan Mangrove di Desa Tambaksumur, Kecamatan Tirtajaya, Karawang”. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak lepas dari dukungan banyak pihak. Penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan kepada: 1. Kedua orang tua tercinta yaitu Taufik Zulfikar S.E, M.M dan Isye Marda Samallo S.T, serta adik tersayang yaitu Raezky Ladipta yang selalu memberikan doa, dukungan, kasih sayang, dan perhatian. 2. Bapak Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc selaku dosen pembimbing pertama yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penulisan skripsi ini. 3. Bapak Rizal Bahtiar, SPi, M.Si selaku dosen pembimbing kedua yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama penelitian, serta kemudahan dalam menyelesaikan skripsi ini. 4. Bapak Dr. Ir. Aceng Hidayat, M.T dan Ibu Hastuti SP, M.P, M.Si selaku dosen penguji atas saran dan masukannya dalam penulisan skripsi ini. 5. Terima kasih kepada Balai Besar Riset Penelitian Sosial Ekonomi yang telah memberikan kesempatan bergabung dalam penelitian di Karawang. 6. Terima kasih kepada teman-teman ESL 46 yang selalu memberikan semangat dan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini khususnya Febriana, Resty, Sandra, Citra, Charra, Icha, Yuki, Dyah, Adinna, Reyna, Intan, Eyi,Yulis, Irfan, dan Tita. 7. Terima kasih juga kepada sahabat-sahabat yang selalu mendukung, memberikan semangat dan mendoakan dalam menyelesaikan skripsi ini, yaitu Benita, Anita, Galih, Melati dan Salsha, serta Kak Yori, Kak Eldi, Edo, Saras, dan juga Desita.
8. Terima kasih kepada seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu yang telah membantu dan melancarkan dalam proses penyelesaian skripsi ini
Bogor, Februari 2014
Charista Lovapinka
xi
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ................................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR ...........................................................................
xv
DAFTAR LAMPIRAN........................................................................
xvi
PENDAHULUAN ................................................................................ 1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1.2 Perumusan Masalah ......................................................................... 1.3 Tujuan .............................................................................................. 1.4 Manfaat Penelitian .......................................................................... 1.4 Ruang Lingkup Penelitian ............................................................... TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 2.1 Karakteristik Udang Windu dan Ikan Bandeng .............................. 2.2 Budidaya Polikultur Udang Windu dan Ikan Bandeng ................... 2.2.1. Pengelolaan Tambak ............................................................. 2.2.2. Teknologi Budidaya Tambak ............................................... 2.3 Dampak Pengelolaan Kawasan Tambak ......................................... 2.4 Analisis Ekonomi ...........................................................................
1 1 9 10 10 11 12 12 14 15 16 18 18
2.5 Pengaruh Tambak Akuakultur Terhadap Mangrove ....................... 2.6 Penilaian Jasa Lingkungan ............................................................. 2.7 Valuasi Ekonomi ............................................................................ 2.8 Studi Kasus Penggunaan Lahan Mangrove Thailand ..................... 2.9 Studi Terdahulu .............................................................................. III KERANGKA PEMIKIRAN ............................................................... 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis .......................................................... 3.1.1 Pendekatan Biaya Pengganti (Replacement Cost) ................. 3.1.2 Pendekatan Benefit Transfer .................................................. 3.1.3 Analisis Biaya dan Manfaat ................................................. 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional ................................................... IV METODE PENELITIAN.................................................................... 4.1 Tempat dan Waktu Penelitian.......................................................... 4.2 Jenis dan Sumber Data ................................................................... 4.3 Metode Penentuan Jumlah Responden ........................................... 4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data ............................................. 4.4.1 Identifikasi Manfaat Nilai Guna Langsung dan Kerugian Ekonomi ................................................................. 4.4.1.1 Nilai Ekonomi Total .................................................. 4.4.1.2 Manfaat Langsung Ekosistem Mangrove .................. 4.4.1.3 Manfaat Tidak Langsung Ekosistem Mangrove .................................................................... 4.4.1.4 Manfaat Pilihan Ekosistem Mangrove ...................... 4.4.2 Analisis Biaya dan Manfaat ................................................... V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN .............................. 5.1 Keadaan Umum Wilayah dan Geografis .........................................
20 21 22 23 24 26 26 26 26 26 29 30 30 30 30 31
I
II
32 32 33 33 34 35 36 36
xii
5.2 Budidaya Perikanan Tambak ........................................................... 5.3 Karakteristik Petani Tambak ............................................................ 5.3.1 Umur Petani Tambak ............................................................. 5.3.2 Tingkat Pendidikan Petani Tambak ....................................... 5.3.3 Pengalaman Usaha Petani Tambak ........................................ 5.3.4 Status Kepemilikan Lahan Tambak ....................................... 5.3.5 Luas Lahan Tambak ...............................................................
43 45 45 45 46 47 47
VI HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................
49
6.1 Identifikasi Manfaat Nilai Guna Langsung dan Kerugian Ekonomi ........................................................................................... 6.1.1 Nilai Manfaat Langsung ......................................................... 6.1.2 Nilai Manfaat Tidak Langsung .............................................. 6.1.3 Nilai Manfaat Pilihan ............................................................. 6.2 Analisis Pendapatan Ikan Tambak Budidaya Udang Windu dan Ikan Bandeng dengan Alih Fungsi Lahan Mangrove ................ 6.3 Analisis Keberlanjutan Tambak dari Budidaya Udang Windu dan Ikan Bandeng dengan Alih Fungsi Lahan Mangrove ......................................................................................... 6.4 Alternatif Kebijakan ........................................................................ VII SIMPULAN DAN SARAN ..................................................................
49 49 52 54 56
58 59 62
7.1 Simpulan .......................................................................................... 7.2 Saran.................................................................................................
63 65
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................
65
LAMPIRAN ..........................................................................................
67
RIWAYAT HIDUP … .........................................................................
80
xiii
DAFTAR TABEL Nomor 1
Halaman Jumlah produksi perikanan budidaya tambak menurut jenis ikan dan provinsi di Jawa Barat, 2010-2011 .....................................
3
Nilai produksi perikanan budidaya tambak menurut jenis ikan dan provinsi di Jawa Barat, 2010-2011 .....................................
4
3
Potensi dan kondisi hutan mangrove tahun 2001 .............................
8
4
Studi terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ............................
24
5
Metode analisis dan sumber data ......................................................
31
6
Nilai manfaat ekosistem mangrove ..................................................
34
7
Jumlah penduduk Kecamatan Tirtajaya Tahun 2011 ........................
38
8
Jumlah penduduk berdasarkan usia tahun 2011 ...............................
39
9
Jumlah penduduk di atas 15 tahun menurut kegiatan utama pada tahun 2011 ................................................................................
40
Jumlah penduduk di atas 15 tahun berdasarkan lapangan usaha tahun 2011 ..............................................................................
41
Jumlah sekolah berdasarkan jenjang dan jenis pendidikan tahun 2011.........................................................................................
42
Analisis nilai manfaat pengambilan kayu bakar di Desa Tambaksumur, Kecamatan Tirtajaya tahun 2013 .............................
49
Analisis nilai manfaat pengambilan kepiting di Desa Tambaksumur, Kecamatan Tirtajaya tahun 2013 .............................
50
Analisis nilai manfaat penangkapan udang di Desa Tambaksumur, Kecamatan Tirtajaya tahun 2013 .............................
50
Analisis nilai manfaat penangkapan ikan di Desa Tambaksumur, Kecamatan Tirtajaya tahun 2013 .............................
51
Nilai Manfaat Langsung Ekosistem Mangrove di Desa Tambaksumur, Kecamatan Tirtajaya tahun 2013 .............................
52
Nilai Manfaat Tidak Langsung Ekosistem Mangrove di Desa Tambaksumur, Kecamatan Tirtajaya tahun 2013 ....................
53
18
Nilai GDP USA dan GDP Indonesia tahun 2012 ............................
54
19
Nilai Manfaat Pilihan Ekosistem Mangrove di Desa Tambaksumur, Kecamatan Tirtajaya tahun 2013 .............................
55
Jumlah seluruh nilai manfaat kawasan hutan mangrove di Desa Tambasumur, Kecamatan Tirtajaya tahun 2013 dengan luas 245,25 Ha ......................................................................
55
2
10 11 12 13 14 15 16 17
20
21
22 23
Jumlah seluruh nilai penerimaan tambak di Desa Tambaksumur, Kecamatan Tirtajaya tahun 2013 dengan luas 196,2 Ha .....................................................................................
56
Nilai compounding dengan perbandingan suku bunga 3 persen dan 5 persen dari tahun 2001 sampai tahun 2013 ..................
57
Analisis pendapatan ikan tambak budidaya udang windu dan bandeng per hektar per tahun .....................................................
59
DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1 Udang Windu (Panaeus monodon, Fabricicus) ................................. 12 2 Ikan Bandeng (Chanos chanos Forsk) ............................................... 14 3 Alur kerangka pemikiran operasional ............................................... 29 4 Persentase jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin tahun 2011 ......................................................................................... 39 5
Persentase jumlah petambak berdasarkan umur ...............................
45
6
Persentase jumlah petambak berdasarkan tingkat pendidikan ........................................................................................
46
7
Persentase jumlah petambak berdasarkan lama usaha .....................
46
8
Persentase jumlah petambak berdasarkan status kepemilikan lahan .............................................................................
47
Persentase jumlah petambak berdasarkan luas lahan tambak ...........
48
9
1
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berdasarkan Konvensi Hukum Laut PBB Tahun 2008, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dengan luas laut seluas 5,8 juta Km2 yang terdiri dari laut teritorial dengan luas 0,8 juta Km2, laut nusantara 2,3 juta Km2 dan zona ekonomi eksklusif 2,7 juta Km2. Di samping itu Indonesia memiliki pulau sebanyak 17.480 pulau dan garis pantai sepanjang 95.181 Km2 (Dewan Kelautan Indonesia, 2008). Menurut Merriam-Webster Dictionary dalam Fauzi (2010), perikanan sebagai kegiatan, industri, atau musim pemanenan ikan atau hewan laut lainnya. Sementara perikanan berdasarkan Hempel dan Pauly (2004) dalam Fauzi (2010) menyatakan bahwa perikanan sebagai kegiatan eksploitasi sumber daya hayati dari laut. Perikanan didefinisikan sebagai aktivitas menangkap ikan (termasuk hewan inverterbrata lainnnya seperti finfish atau ikan bersirip) namun juga termasuk kegiatan mengumpulkan kerang-kerangan, rumput laut dan sumber daya hayati lainnya dalam suatu wilayah geografis tertentu. Oleh karena itu definisi perikanan laut dibatasi yang semula memang dari kegiatan hunting (berburu) dengan kegiatan farming seperti budidaya (Fauzi, 2010). Perikanan budidaya merupakan salah satu sektor unggulan pembangunan nasional yang dapat meningkatkan produktivitas, nilai tambah dan daya saing, serta skala produksi sumber daya kelautan dan perikanan. Berdasarkan data di Kementerian Kelautan dan Perikanan (2012), potensi perikanan budidaya di Indonesia masih yang terbesar di Asia Tenggara dengan luas lahan mencapai lebih dari 15,59 juta Ha, terdiri dari potensi budidaya air tawar seluas 2,23 juta Ha, budidaya air payau 1,22 juta Ha dan potensi budidaya laut mencapai 12,14 juta Ha. Pemanfaatan lahan budidaya masih belum optimal, pemanfaatan lahan budidaya air tawar baru sebesar 10,01 persen, budidaya air payau 40 persen dan pemanfaatan budidaya laut baru mencapai 0,01 persen. Walaupun pemanfaatan potensi perikanan budidaya belum optimal, produksi perikanan budidaya menunjukkan kenaikan yang cukup signifikan dari 4,78 juta ton pada tahun 2009
2
menjadi sekitar 6,97 juta ton pada tahun 2011 dan mampu berkontribusi sebesar 56,33 persen dari total produksi perikanan nasional, dengan laju pertumbuhan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perikanan tangkap, yakni sebesar 21,83 persen (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2012). Sumber daya perikanan laut di Indonesia merupakan potensi yang besar baik penangkapan, maupun budidaya. Budidaya perairan atau akuakultur menjadi tulang punggung produksi perikanan nasional di masa depan, baik untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri, maupun untuk ekspor. Hal ini terjadi karena kegiatan perikanan tangkap yang dieksploitasi secara terus menerus mengakibatkan jumlah stok pada ikan di laut menurun. Untuk itu perikanan budidaya menjadi kegiatan yang potensial dikembangkan ditambah dengan jumlah penduduk di Indonesia yang besar merupakan potensi pasar bagi produksi budidaya perairan. Salah satu ikan yang memiliki potensi untuk dipelihara dalam budidaya tambak adalah ikan bandeng (Chanos chanos). Ikan bandeng sangat potensial dan cepat pertumbuhannya dan lebih baik lagi bila dipelihara bersama udang karena kelincahannya dapat berfungsi sebagai aerator. Dalam pembudidayaannya, ikan bandeng dapat hidup di air dengan kadar keasinan tinggi maupun rendah, bahkan dapat hidup di kolam air tawar (Murtidjo, 1989). Bandeng merupakan salah satu jenis ikan laut konsumsi yang paling banyak diproduksi dan dikonsumsi di Indonesia. Berkembangnya teknologi budidaya bandeng di masyarakat, tidak terlepas dari keunggulan komparatif dan strategisnya karena dapat dibudidayakan di air payau, laut, air tawar, toleran terhadap perubahan mutu lingkungan, teknologi pembesaran dan pembenihannya telah dikuasai masyarakat, serta tahan terhadap serangan penyakit. Selain itu, bandeng digunakan sebagai umpan hidup dalam penangkapan tuna dan cakalang, dan telah pula menjadi komoditas ekspor (Kordi, 2009). Di Indonesia, prospek untuk budidaya udang di tambak bersalinitas rendah maupun sawah tambak sangat menjanjikan. Hal tersebut dapat dilihat di beberapa daerah yang tambaknya berjarak 2-3 Km dari pantai dan bersalinitas rendah, bahkan salinitas 0 ppt (tawar) sangat banyak. Usaha budidaya tambak udang ini dapat dilakukan pada lahan yang menyediakan stok air dan lahan yang memiliki
3
salinitas rendah seperti, areal persawahan yang kurang produktif untuk menanam padi akibat adanya intrusi air laut yang masuk, lahan yang terletak pada posisi yang rendah dari permukaan laut, lahan tadah hujan atau lahan yang hanya menggantungkan dari sistem pengairan alam (non teknis), dan lahan yang dilengkapi dengan pengairan sistem irigasi teknis (Wedjatmiko, 2010). Dari data tabel 1 di bawah, dapat dilihat bahwa jumlah produksi udang windu dan ikan bandeng mengalami peningkatan yang signifikan. Produksi udang windu pada tahun 2010-2011 meningkat dari 19.371 ton menjadi 25.935 ton dan produksi ikan bandeng juga mengalami peningkatan dari 66.146 ton menjadi 76.545 ton. Hal tersebut disebabkan oleh permintaan produksi terhadap udang windu dan ikan bandeng yang sangat besar. Permintaan terhadap berbagai produk perikanan akan terus meningkat seiring dengan laju pertambahan penduduk dan meningkatnya taraf pendapatan masyarakat, serta merebaknya berbagai penyakit pada ternak. Tabel 1 Jumlah Produksi Perikanan Budidaya Tambak Menurut Jenis Ikan dan Provinsi di Jawa Barat, 2010-2011 2010 (Ton) 170.625 66.146 301 3.212 4.322 9.748 234
2011 (Ton) 179.98 76.545 54 2.803 7.456 13.185 131
Udang Windu
19.371
25.935
Udang Vanamei Udang putih Udang lainnya Udang Rostris Rajungan Kepiting
25.353 3.715 4.982 18 15.635 17.588
30.6 21.955 1.316
JUMLAH Bandeng Sidat Kakap Belanak Nila Mujair Kerapu
Ikan
Binatang Berkulit Keras
Rumput Laut Lainnya
Sumber: Data Pusat Statistik Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2012
Produksi komoditas hasil tambak, udang windu dan ikan bandeng, bukan hanya digunakan untuk konsumsi dalam negeri, tetapi juga untuk diekspor ke
4
negara lain. Ekspor udang dan ikan merupakan salah satu andalan sektor perikanan karena memberikan kontribusi yang besar terhadap perolehan devisa negara. Ekspor udang Indonesia ke negara-negara tujuan terutama ditujukan ke negara Jepang, Amerika Serikat, Eropa, dan Singapura. Hal ini disebabkan karena ikan dan produk-produk perikanan mempunyai kandungan nutrisi yang tinggi, seimbang dan dibutuhkan untuk pertumbuhan dan kesehatan. Di bawah ini adalah tabel nilai produksi perikanan budidaya tambak menurut jenis ikan di provinsi Jawa Barat tahun 2010-2011. Tabel 2 Nilai produksi perikanan budidaya tambak menurut jenis ikan dan provinsi di Jawa Barat, 2010-2011 2010 (Rp) JUMLAH
Ikan
Binatang Berkulit Keras
Rumput Laut Lainnya
Bandeng Sidat Kakap Belanak Nila Mujair Kerapu Udang windu Udang Vanamei Udang putih Udang lainnya Udang Rostris Rajungan Kepiting
2011 (Rp)
2.951.663.135
3.906.440.353
715.090.161 4.809.600 31.688.500 51.607.769 65.571.820 7.093.769 836.485.900 797.140.158 85.859.650 160.161.210 535.506 43.179.979 152.439.113
918.545.400 1.611.600 27.645.624 82.013.360 88.688.321 5.650.630 1.218.938.890 1.529.987.500 21.955.320 11.403.708
Sumber: Data Pusat Statistik Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2012
Berdasarkan hasil tabel 2 di atas dapat dinyatakan bahwa nilai produksi udang windu pada tahun 2010 dan 2011 mengalami peningkatan dari Rp 836.485.900 menjadi Rp 1.218.938.890 dan produksi ikan bandeng dari Rp 715.090.161 menjadi Rp 918.545.400. Kenaikan nilai produksi ini disebabkan meningkatnya jumlah produksi serta banyaknya permintaan terhadap udang windu dan ikan bandeng tersebut. Dalam perikanan budidaya, udang merupakan komoditas unggulan program industrialisasi perikanan budidaya dan telah menjadi penyumbang devisa terbesar. Perikanan budidaya udang juga berhasil
5
menjadi pengekspor terbesar setelah negara-negara Asia Tenggara lainnya. Salah satu komoditas yang menjadi andalah untuk diekspor ke berbagai negara adalah udang windu. Pengembangan budidaya udang windu mampu menghasilkan produk berdaya saing tinggi dan menguntungkan. Berdasarkan Data Statistik Kementerian Kelautan dan Perikanan (2012), permintaan ekspor pada komoditi udang mengalami peningkatan dari tahun 2010 ke tahun 2011. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel jumlah produksi udang windu di bawah ini yang meningkat dari tahun 2010 sebesar 19.371 ton menjadi 25.935 ton pada tahun 2011. Dalam Peraturan Menteri No. PER.1/Menteri/2005, kebijakan pokok Departemen Kelautan dan Perikanan meliputi: 1) Pengendalian terhadap ikan; 2) Pengembangan budidaya ikan; 3) Peningkatan penerimaan devisa Negara; 4) Peningkatan mutu dan pengembangan produk bernilai tambah; dan 5) Peningkatan konsumsi ikan nasional. Perikanan budidaya memiliki potensi lahan yang sangat luas, produktivitasnya yang dapat dimaksimalkan, dan dukungan dari tenaga kerja yang berlimpah untuk melaksanakan kebijakan agar dapat memanfaatkan potensi semaksimal mungkin. Untuk meningkatkan perekonomian nasional diperlukan kebijakan yang dapat meningkatan produktivitas dari perikanan. Kebijakan alternatif pengembangan di sektor perikanan budidaya menurut Purnomo (2007), yaitu 1) Optimalisasi areal potensi budidaya 1.2 juta Ha dan pemanfaatan areal baru sebesar 42.000 Ha/Tahun; 2) Penyertaan 210.000 tenaga kerja orang/tahun dan modal usaha; 3) Pengembangan produk, nilai tambah, diversifikasi dan penetrasi pasar ekspor, serta pengembangan pasar domestik; 4) Pengembangan prasarana budidaya terpadu; 5) Optimalisasi peran swasta dalam penyediaan benih, pakan, dan obat. Kebijakan tersebut dapat membangun kembali kegiatan budidaya udang di 140.000 Ha lahan sehingga dapat meningkatkan produksi dan ekspor udang dan ikan, serta hal tersebut meningkatkan penerimaan secara langsung. Menurut Ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, pembudidayaan ikan adalah kegiatan untuk memelihara, membesarkan dan/atau membiakkan ikan serta memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat,
6
mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya. Udang windu merupakan komoditas unggulan yang dapat meningkatkan devisa ekspor negara. Namun, produksi komoditas udang windu mengalami penurunan secara signifikan setiap tahunnya. Penurunan tersebut disebabkan adanya eksploitasi penangkapan sumber daya perikanan di alam yang mengakibatkan terjadinya kelangkaan pada komoditas perikanan. Dengan demikian, dikembangkannya budidaya udang windu dan ikan bandeng agar dapat mempertahankan produksi bahkan dapat meningkatkan produksinya. Budidaya udang windu telah banyak dilakukan di berbagai negara yang memiliki perairan laut, sehingga produksinya dari tahun ke tahun terus meningkat sesuai dengan meningkatnya ilmu budidaya udang ini. Di Indonesia budidaya udang ini juga berkembang sangat pesat dari cara yang masih tradisional (ekstensif), sampai ke cara-cara yang lebih modern (intensif) dan hasilnya terus meningkat sesuai dengan meningkatnya lahan budidaya (Darmono, 1993). Karena komoditas udang windu yang berukuran besar hanya tersedia pada negara-negara tertentu saja, maka diperlukan pembudidayaan udang windu secara efisien pada negara tersebut. Dengan kata lain, pesaing negara produsen juga terbatas dan negara tersebut dapat memonopoli perdagangan udang berukuran besar. Oleh sebab itu, spesies udang windu merupakan keunggulan komparatif dalam perdagangan udang dunia bagi Indonesia. Oleh karena itu selain udang windu, budidaya pada ikan bandeng juga dilakukan untuk memenuhi permintaan pasar. Ikan bandeng (Chanos chanos Forsk) adalah ikan pangan popular di Asia Tenggara sebagai komoditas ekspor. Bandeng hidup di Samudera Hindia dan Samudera Pasifik dan cenderung berkawanan di sekitar pesisir dan pulau-pulai dengan terumbu koral. Pertumbuhan ikan bandeng relatif cepat yaitu 1,1-1,7 persen bobot badan per hari dan ikan bandeng bisa mencapai berat rata-rata 0,60 kg pada usia 5-6 bulan jika dipelihara dalam tambak (Murtidjo, 2002). Sesuai dengan program Intensifikasi Tambak di Indonesia, budidaya pertambakan yang diharapkan adalah budidaya yang berwawasan lingkungan. Nilai ekonomis hutan bakau bagi kehidupan satwa air sangat esensial karena lingkungan perairan berhutan bakau merupakan tempat tinggal yang nyaman dan
7
aman bagi ikan, udang, dan satwa air lain. Dari hasil penelitian pakar perikanan Amerika Serikat, yang meneliti hutan bakau di pantai Florida, terbukti bahwa 90 persen dari kotoran yang ada di air berasar dari hutan bakau, begitu pula 35-60 persen dari seluruh unsur hara yang larut di perairan dekat pantai. Unsur hara tersebut sangat menentukan besar-kecilnya produksi perikanan di perairan yang dikelilingi hutan bakau. Hal ini menunjukan adanya korelasi linier positif antara luas hutan bakau dan porduksi perikanannya. Semakin luas hutan bakau, semakin tinggi potensi dalam produksi ikan (Murtidjo, 1989). 1.2. Perumusan Masalah Kabupaten Karawang merupakan salah satu wilayah budidaya tambak polikultur udang windu dan ikan bandeng yang berada di Provinsi Jawa Barat. Lokasi budidaya tambak ini secara geografis terletak di 107‟02‟ – 107‟40‟ BT dan antara 5‟56‟ – 6‟34‟ LS memiliki luas wilayah 1.753,27 km2. Daerah ini berbatasan langsung dengan laut jawa di sebelah utara, Kabupaten Subang di bagian timur, Kabupaten Purwakarta pada bagian tenggara, Kabupaten Bogor dan Cianjur di sebelah selatan, serta Kabupaten Bekasi di sebelah barat. Wilayah Karawang sendiri memiliki potensi sumberdaya perikanan, kelautan, dan peternakan yang cukup besar. Salah satu potensi yang menjadi unggulan pada wilayah ini adalah perikanan budidaya tambak udang windu yang dikembangkan. Udang windu dikembangkan pada wilayah-wilayah pantai menjadi usaha pertambakan di Indonesia dengan luas 188.257 Ha dimana sekitar 43.270 Ha (15 persen) terletak di Provinsi Jawa Barat. Kabupaten Karawang memiiki potensial tambak sekitar 18.273,40 Ha dan baru dimanfaatkan sekitar 13.404,99 Ha. Produksi ikan tambak pada tahun 2007 sebesar 32.952,40 ton dengan nilai penjualan sebesar Rp 312.537.600.000. Untuk tambak udang windu memiliki produksi sebesar 1.430,70 ton dengan harga Rp 50.000 per Kg dan memiliki nilai penjualan sebesar Rp 71.535.000. (Dinas Lingkungan Hidup, Pertambangan, dan Energi Kabupaten Karawang, 2008) Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup, Pertambangan, dan Energi Kabupaten Karawang (2008), luas areal tambak di Kabupaten Karawang adalah 13.405 Ha atau sekitar 7,65 persen dari total luas wilayah Kabupaten Karawang.
8
Sebagian besar perikanan tambak berlokasi di daerah pesisir pantai karena itu perikanan tambak ini menggunakan media air payau. Jenis ikan yang dibudidayakan yaitu antara lain bandeng, mujair, blanak, udang windu, udang apiapi, udang putih, nila gift, kakap putih dan lain-lain. Sebagian besar areal tambak ini adalah konversi dari hutan mangrove. Hal ini terjadi karena adanya peningkatan jumlah penduduk di pesisir pantai dan mendorong untuk mengeksploitasi pemanfataan sumberdaya sehingga jumlah hutan mangrove menjadi semakin sedikit dan melakukan perubahan alih fungsi lahan mangrove menjadi kawasan tambak budidaya. Tabel 3 Potensi dan kondisi hutan mangrove tahun 2011 Kecamatan
Luas (Ha)
Batujaya Cibuaya Cilamaya Kulon Cilamaya Wetan Cilebar Pakisjaya Pedes Tempuran Tirtajaya JUMLAH
1.463,80 1.583,47 342,00 789,00 326,00 1.035,98 520,00 512,00 3.381,68 9.983,93
Kondisi (Ha) Rusak 428,25 1.278,74 536,63 3.156,69 5.400,31
Sedang 991,41 295,40 92,00 689,00 226,00 384,72 520,00 512,00 243,43 3.953,96
Baik 44,14 9,33 250,00 100,00 100,00 114,63 11,56 629,66
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Karawang Tahun 2011
Desa
Tambaksumur,
Kecamatan
Tirtajaya,
Kabupaten
Karawang
merupakan salah satu kawasan yang memiliki potensi koloni hutan mangrove terbesar di antara kecamatan lainnya. Kecamatan Tirtajaya memiliki berbagai macam jenis tanaman mangrove. Jenis-jenis mangrove yang ada pada daerah ini adalah Rhizopora Apicullata, Rhizopra Mucronata, Avicennia Marina, dan Sonneratia Alba. Namun, seiring berjalannya perubahan lahan mangrove menjadi lahan tambak, potensi dan kondisi hutan mangrove semakin mengkhawatirkan. Berdasakan data potensi dan kondisi hutan mangrove di atas, hutan mangrove pada Kecamatan Tirtajaya pada tahun 2011 memiliki potensi terbesar seluas 3.411,68 Ha dengan kondisi hutan mangrove yang rusak 3.156,69 Ha, hutan mangrove yang sedang 243,34 Ha dan hutan mangrove yang masih tergolong baik 11,56 Ha.
9
Menurut hasil data olahan digitasi citra ikonos tahun 2013, kondisi hutan mangrove di Desa Tambaksumur, Kecamatan Tirtajaya untuk tahun 2013 semakin berkurang, yaitu menjadi 49,05 Ha. Hal ini sangat memprihatinkan karena banyak petani tambak yang melakukan konversi lahan mangrove menjadi lahan tambak untuk keuntungan pribadi tanpa memikirkan bahwa hutan mangrove memiliki peran yang sangat penting bagi pelestarian lingkungan dan perekonomian penduduk. Dalam pembudidayaan tambak juga perlu diperhatikan pengelolaan lingkungan agar tidak dapat merusak lingkungan hidup yang ada sehingga tidak mengakibatkan kerugian bagi lingkungan dan masyarakat. Menurut Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 2011 tentang Ganti Kerugian Akibat Pencemaran Dan/Atau Kerusakan Lingkungan Hidup, kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan adalah kerugian yang timbul akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan dan ganti kerugian tersebut adalah biaya yang harus ditanggung oleh penanggung jawab kegiatan dan/atau usaha akibat terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan. Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini difokuskan untuk menjawab tiga masalah berikut: 1.
Apa saja manfaat nilai guna langsung mangrove dan kerugian ekonomi dari dampak budidaya ikan di tambak dengan alih fungsi lahan mangrove di Desa Tambaksumur, Kecamatan Tirtajaya, Karawang?
2.
Berapa nilai manfaat secara finansial dari dampak budidaya ikan di tambak dengan alih fungsi lahan mangrove di Desa Tambaksumur, Kecamatan Tirtajaya, Karawang?
3.
Bagaimana keberlanjutan tambak dari dampak budidaya ikan di tambak dengan alih fungsi lahan mangrove di Desa Tambaksumur, Kecamatan Tirtajaya, Karawang?
4.
Bagaimana alternatif kebijakan dari dampak budidaya ikan di tambak dengan alih fungsi lahan mangrove di Desa Tambaksumur, Kecamatan Tirtajaya, Karawang?
10
1.3. Tujuan Penelitian ini secara umum untuk menganalisis secara valuasi ekonomi dampak budidaya ikan di tambak dengan alih fungsi lahan mangrove. Berdasarkan perumusahan masalah yang dikemukakan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Mengidentifikasi manfaat nilai guna langsung mangrove dan menganalisis kerugian ekonomi dari dampak budidaya ikan di tambak dengan alih fungsi lahan mangrove di Desa Tambaksumur, Kecamatan Tirtajaya, Karawang.
2.
Menganalisis secara finansial manfaat dari dampak budidaya ikan di tambak dengan alih fungsi lahan mangrove di Desa Tambaksumur, Kecamatan Tirtajaya, Karawang.
3.
Mengidentifikasi keberlanjutan tambak dari dampak budidaya ikan di tambak dengan alih fungsi lahan mangrove di Desa Tambaksumur, Kecamatan Tirtajaya, Karawang.
4.
Mengidentifikasi alternatif kebijakan dari dampak budidaya ikan di tambak dengan alih fungsi lahan mangrove di Desa Tambaksumur, Kecamatan Tirtajaya, Karawang. 1.4. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian diharapkan dapat memberikan informasi yang cukup
berharga dan bermanfaat bagi berbagai pihak, diantaranya sebagai berikut: 1.
Bagi peneliti diharapkan penelitian ini dapat berguna di dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen.
2.
Bagi pemerintah dapat menjadikan masukan dalam pengelolaan ekosistem mangrove dan budidaya tambak udang windu dan ikan bandeng bersama dengan masyarakat.
3.
Bagi akademisi diharapkan penelitian ini dapat menjadi referensi dalam penelitian selanjutnya.
4.
Bagi masyarakat diharapkan dapat memberikan informasi mengenai budidaya udang windu dan ikan bandeng, serta hutan mangrove yang ada di sekitarnya.
11
1.5. Ruang Lingkup Penelitian Mengingat begitu luasnya ruang lingkup penelitan ini, maka penulis membatasi permasalahan tersebut pada: 1.
Banyaknya masyarakat di wilayah Karawang yang melakukan budidaya perikanan tambak udang windu dan ikan bandeng, maka penulis dalam penelitian ini hanya memfokuskan pada masyarakat Desa Tambaksumur Kecamatan Tirtajaya Kabupaten Karawang.
2.
Sampel penelitian yang digunakan adalah rumah tangga perikanan yang tinggal di wilayah penelitian ini.
3.
Responden penelitian adalah petani tambak budidaya udang windu dan ikan bandeng.
4.
Aspek penelitian yang dikaji adalah valuasi ekonomi, budidaya udang windu dan ikan bandeng, perubahan alih fungsi lahan mangrove, dan analisis finansial, serta alternatif kebijakannya.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Udang Windu dan Ikan Bandeng Udang windu (Penaeus monodon, Fabricius.) merupakan udang komoditas asli daerah tropis yang telah berkembang sejak awal 1980-an, menjadi primadona komoditas perikanan di Indonesia dan memiliki nilai tinggi dalam perdagangan internasional (Rozi, 2008). Dalam dunia internasional, udang windu lebih dikenal dengan nama black tiger, tiger shrimp, atau tiger prawn. Adapun udang windu diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom
: Animalia
Phyllum
: Arthropoda
Class
: Malacostraca
Ordo
: Decapoda
Family
: Panaeidae
Genus
: Panaeus
Species
: Panaeus monodon Fabricus
Gambar 1. Udang Windu (Panaeus monodon, Fabricicus)1 Udang windu biasa disebut dengan black tiger shrimp, yaitu spesies udang laut yang dapat mencapai ukuran besar. Di alam bebas dapat mencapai ukuran 35 cm dan berat sekitar 260 gr, sedangkan yang dipelihara di tambak, memiliki panjang tubuhnya hanya mencapai 20 cm dan berat sekitar 140 gr. Spesies udang ini secara zoogeografik hanya tersebar di beberapa kawasan Asia Pasifik seperti,
1
Sumber: http://pipp.kkp.go.id/species.html?idkat=6&idsp=183 Diakses tanggal 12 Februari 2013
13
Taiwan, Indonesia, Philipina, Thailand, dan Vietnam. Sedangkan perairan di Negara-negara produsen udang yang lain seperti Jepang, negara-negara Amerika Latin dan Cina hanya dihuni oleh udang dengan spesies yang berukuran lebih kecil (Kordi K, 2011). Udang windu (Panaeus monodon Fab.) memiliki sifat-sifat dan ciri khas yang membedakannya dengan udang-udang yang lain. Udang windu bersifat Euryhaline, yakni secara alami bisa hidup di perairan yang berkadar garam dengan rentang yang luas, yakni 5-45 ‰. Kadar garam ideal untuk pertumbuhan udang windu adalah 19-35‰. Sifat lain yang juga menguntungkan adalah ketahanannya terhadap perubahan suhu yang dikenal sebagai eurythemal (Suyanto dan Mujiman, 2005). Selain diatas, udang windu memiliki ciri-ciri berwarna cerah kekuningkuningan dengan sabuk-sabuk melintang di badan. Pada badannya terdapat titiktitik hijau. Kulitnya keras, cucuk kepala (rostrum) tumbuh kuat sekali, ujungnya lengkung ke atas berbentuk S. gigi bagian atas 7 buah, sedangkan bagian bawah 3 buah. Termasuk udang penaeid yang dapat mencapai ukuran besar, panjang dapat mencapai 34 cm dan berat 270 gram (Suyanto dan Mujiman, 2005). Udang windu biasannya dapat ditemui pada daerah pantai, tempat sungai-sungai bermuara, dan teluk-teluk, serta menjadi udang budidaya tambak. Ikan bandeng adalah ikan laut yang tersebar luas mulai dari pantai Afrika sampai Kepulauan Tuamoti, sebelah timur Tahiti (Murtidjo, 1989). Selain memiliki rasa daging yang enak, ikan bandeng juga bisa didapatkan dengan harga yang terjangkau. Keunggulan komoditas ini adalah induknya memiliki fekunditas yang tinggi dan teknik pembenihannya telah dikuasai sehingga pasok nener tidak tergantung dari alam, teknologi budidayanya relatif mudah, bersifat eurihalin antara 0-50 ppt, bersifat herbivora tetapi dapat juga menjadi omnivora dan tanggap terhadap pakan buatan, pakan relatif murah dan tersedia secara komersial, tidak bersifat kanibal sehingga bisa hidup dalam kepadatan tinggi, dapat digunakan sebagai umpan bagi industri perikanan tuna dan cakalang, serta dapat dibudidayakan secara polikultur dengan komoditas lainnya (Sudrajat, 2008). Klasifikasi ikan bandeng atau yang juga disebut dengan Chanos chanos Forsk (Saanin, 1984) adalah sebagai berikut:
14
Kingdom
: Animalia
Phyllum
: Chordata
Class
: Pisces
Ordo
: Malacopterygii
Family
: Chanidae
Genus
: Chanos
Species
: Chanos chanos Forsk
Gambar 2. Ikan Bandeng (Chanos chanos Forsk)2 Ikan bandeng memiliki ciri-ciri morfologi badan memanjang, agak pipih, tanpa skut pada bagian perutnya, mata diseliputi lender mempunyai sisik besar pada sirip dada dan sirip perut, sirip ekor panjang dan bercagak, sisik kecil dengan tipe cycloid, tidak bergigi, sirip dubur jauh di belakang sirip punggung (Sanin, 1984). Menurut Kordi dan Ghufron (2011), ikan bandeng (Chanos chanos Forsk) dapat tumbuh hingga mencapai 1,8 m, anak ikan bandeng (Chanos chanos Forsk) yang biasa disebut nener yang biasa ditangkap di pantai panjangnya sekitar 1-3 cm, sedangkan gelondongan berukuran 5-8 cm. Ikan bandeng merupakan salah satu jenis ikan budidaya air payau yang sangat potensial untuk dikembangkan. Jenis ikan ini mampu mentolerir salinitas 2
Sumber: http://pipp.kkp.go.id/species.html?idkat=2&idsp=757&id_aoi=1 Diakses tanggal 12 Februari 2013
15
perairan yang luas (0-158 ppt) sehingga digolongkan sebagai ikan euryhaline. Ikan bandeng juga mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungan seperti suhu, pH, dan kekeruhan air, serta terhadap penyakit (Kordi dan Ghufron, 2011). 2.2. Budidaya Polikultur Udang Windu dan Ikan Bandeng Budidaya udang di tambak (budidaya air payau) adalah kegiatan usaha pemeliharaan atau pembesaran udang menggunakan campuran antara air laut dan air kolam mulai dari ukuran benih (benur) sampai menjadi ukuran yang layak dikonsumsi (Suyanto dan Mujiman, 2005). Dahuri (2002) kegiatan budidaya perikanan diharapkan memberikan kontribusi dalam peningkatan pendapatan masyarakat, memperluas kesempatan kerja dan kesempatan berusaha, penyediaan bahan baku industri mendorong pertumbuhan industri dalam negeri, yang pada akhirnya dapat memberikan kontribusi bagi penerimaan devisa negara. Namun demikian, pada saat yang sama kegiatan budidaya perikanan harus tetap memperhatikan kelestarian sumberdaya dan lingungan dalam rangka mewujudkan kawasan budidaya yang berkelanjutan, berdaya saing dan berkeadilan. Budidaya udang windu di Indonesia mulai berkembang sejak tahun 1980an. Indonesia merupakan salah satu produsen utama udang windu dunia yang pada tahun 2009 memproduksi sekitar 120 ribu ton. Tahun 1994, Indonesia sudah berhasil memproduksi udang windu dari kegiatan budidaya sebanyak 250 ribu ton (Kordi dan Ghufron, 2011). Budidaya ikan bandeng merupakan salah satu jenis ikan laut yang sangat popular diusahakan. Budidaya tambak yang dilakukan dengan sistem tradisional umumnya mengandalkan nener hasil penangkapan alam, padat peneneran rendah, mengandalkan makanan alami, dan pengisian air tambak mengandalkan pasangsurut air laut. Pembudidayaan bandeng lebih aman ditinjau dari risiko kegagalan panen maupun risiko fluktuatif harga pemasaran dibandingkan dengan komoditas udang (Murtidjo, 2002). Oleh karena itu, budidaya udang windu dilakukan secara polikultur dengan ikan bandeng.
16
2.2.1. Pengelolaan Tambak Pengelolaan tambak ikan harus dilaksanakan secara simultan dan berurutan mulai dari persiapan tambak sampai kegiatan panen. Kegiatan pokok dalam pengelolaan tambak ikan adalah sebagai berikut (Suyanto dan Mujiman, 2005): 1.
Mempersiapkan petak tambak. Kegiatan ini meliputi perbaikan saluran pintu air, pemasangan saringan, meratakan dasar petakan tambak dan memperbaiki tanggul, memberantas hama dengan cara pemberian kapur pada dasar tambak, pemupukan (hanya untuk tambak semi-insentif), dan pengisian air ke dalam tambak.
2.
Aklimatisasi dan penebaran benur. Aklimatisasi artinya penyesuaiain terhadap keadaan lingkungan yang berbeda. Kegiatan ini berguna untuk mencegah terjadinya shock pada suatu organisme apabila organisme itu dipindahkan dari satu lingkungan ke dalam lingkungan lain yang berbeda sifatnya. Penebaran benur sangat baik apabila dilakukan pada pagi hari atau sore hari ketika udara tidak terlalu panas.
3.
Pemberian pakan dan pengaturannya. Pada tambak semi-insentif, benur dapat memperoleh pakan alami selama satu bulan sampai dua bulan, tergantung pada kesuburan tambak dan keberhasilan teknik pemupukan.
4.
Pemasangan kincir. Kincir biasanya dipasang setelah masa pemeliharaan 1,52 bulan karena pada masa itu udang sudah cukup kuat terhadap pengadukan air. Pemasangan kincir pada tambak berguna untuk menambah daya kelarutan oksigen dalam air.
5.
Mengadakan pemantauan terhadap pertumbuhan, derajat kehidupan udang, kualtas air, adanya hama yang mungkin masuk, dan pergantian air sehari-hari.
6.
Panen dan memasarkannya. Kegiatan panen biasanya dilakukan setelah masa pemeliharaan selama 4-5 bulan.
2.2.2. Teknologi Budidaya Tambak Menurut Amri (2003), teknologi budidaya ikan terbagi menjadi tiga tingkatan, yaitu teknologi sederhana atau budidaya ekstensif (tradisional),
17
teknologi madya atau budidaya semi-intensif, dan teknologi maju atau budidaya intensif. 1.
Teknologi Sederhana atau Budidaya Ekstensif (Tradisional) Budidaya ikan dengan sistem ini pada mulanya hanya mengandalkan
faktor alam sehingga produksinya relatif rendah. Namun, seiring dengan berkembangnya budidaya di areal tambak, produksinya bisa ditingkatkan. Peningkatan produksi ini bisa dilakukan dengan menambah perlakuan tertentu, seperti penebaran benih (tidak mengandalkan sepenuhnya dari alam), pengapuran, pemupukan, pemberian pakan tambahan, dan pengaturan air dengan bantuan pompa. Jumlah benur yang ditebar pada budidaya teknologi sederhana atau budidaya ekstensif yaitu di bawah 60.000 ekor per Ha per musim. Makanan yang diberikan berasal dari pakan alami yang tumbuh dari hasil pemupukan. Selain itu udang windu juga mendapat pakan tambahan seadanya. Pemanenan dilakukan setelah 4 sampai 5 bulan pemeliharaan. 2.
Teknologi Madya atau Budidaya Semi-intensif Budidaya ikan dengan teknologi madya biasa juga disebut dengan
budidaya semi-intensif. Jumlah benur yang ditebar di tambak semi-intensif sebanyak 60.000 sampai 150.000 ekor per Ha per musim. Di samping pemberian pakan tambahan, budidaya udang windu semi-intensif masih melakukan pemupukan dasar. Penggantian air yang teratur dengan volume yang cukup tinggi sangat diperlukan. Dalam satu tahun dapat dilakukan dua kali penanaman dengan hasil antara 1200 kg per Ha per musim sampai dengan 3000 kg per Ha per musim. 3.
Teknologi Maju atau Budidaya Intensif Budidaya ikan dengan teknologi maju juga sering disebut dengan
budidaya intensif. Pada sistem budidaya ini tidak dilakukan pemupukan atau pemupukan hanya dilakukan ketika penebaran benur. Pakan yang disediakan sepenuhnya menggunakan pakan buatan yang bentuk, ukuran, dan dosisnya disesuaikan dengan ukuran dan stadium udang. Penggantian air yang teratur dengan volume yang memadai mutlak diperlukan dalam budidaya sistem intensif sehingga pompa air mutlak diperlukan. Sementara itu, untuk meningkatkan kandungan oksigen terlarut dalam air tambak perlu digunakan aerator, misalnya kincir air (paddle wheel). Padat penebarannya antara 150.000 ekor per Ha per
18
musim sampai dengan 300.000 ekor per Ha per musim atau lebih. Masa pemeliharaan benur selama 4 bulan dari 200.000 ekor benur menghasilkan produksi sekitar 4.000 kg per Ha per musim. 2.3. Dampak Pengelolaan Kawasan Tambak Program intensifikasi budidaya tambak telah berhasil meningkatkan produktivitas sejak pemerintah melaksanakan program budidaya tambak pada tahun 1984-an. Meningkatnya produksi dan penerimaan bersih juga meningkatkan permintaan tambak yang berlokasi pada areal produktif sehingga harga pada tambak menjadi sangat tinggi dan juga meningkatkan nilai sewa dan penjualan. Dampak sosial yang diterima adalah penyerapan tenaga kerja baik tenaga kerja lokal maupun tenaga kerja non lokal dari program intensifikasi budidaya tambak pun meningkat. Selain itu, dampak dari perluasan tambak di Indonesia cenderung menggeser ekosistem alami seperti hutan mangrove atau diperuntukan lahan lainnya seperti lahan pertanian tanaman pangan dan perkebunan sehingga mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan perairan pesisir yang berasal dari limbah tambak yang dihasilkan. 2.4. Analisis Ekonomi Menurut Gittinger (1986), analisis ekonomi dan finansial merupakan dua analisis yang dapat digunakan dalam evaluasi proyek, harga-harga finansial merupakan titik awal dalam analisis ekonomi. Pada analisis finansial melihat dari sudut peserta proyek secara individu, sedangkan analisis ekonomi melihat dari segi masyarakat secara keseluruhan. Menurut Kadariah (1980) dalam analisis ekonomi yang diperhatikan adalah total atau produktivitas atau keuntungan yang didapat dari semua yang didapat dalam proyek untuk masyarakat atau perekonomian secara keseluruhan, tanpa melihat siapa yang menyediakan sumber-sumber tersebut dan siapa dalam masyarakat yang meneriman hasil proyek tersebut. Adapun hasil itu disebut “the social return” atau “the economic return” dari proyek. Dalam suatu proyek, untuk mencapai kondisi layak tersebut harus ada penilaian mengenai sejauh mana kegiatan tersebut dapat memberikan manfaat, baik secara ekonomi maupun sosial. Menurut Ibrahim (2009), manfaat proyek adalah penerimaan yang dihasilkan
19
suatu proyek sebelum dikurangi dengan biaya yang dikeluarkan. Manfaat proyek dibagi menjadi tiga bagian berdasarkan sifatnya, yaitu: 1. Manfaat Langsung Manfaat langsung adalah manfaat yang diterima sebagai akibat adanya proyek, seperti naiknya hasil produksi barang atau jasa, perubahan bentuk, turunnya biaya, dan lain sebagainya. 2. Manfaat Tidak Langsung Manfaat tidak langsung adalah manfaat yang timbul sebagai dampak yang bersifat multiplier effects dari proyek yang dibangun terhadap kegiatan pembangunan lainnya. 3. Manfaat Tidak Kentara Manfaat tidak kentara adalah manfaat dari pembangunan sebuah proyek yang sulit diukur dalam bentuk uang, seperti perubahan pola piker masyarakat, perbaikan lingkungan, berkurangnya pengangguran, peningkatan ketahanan nasional, kemantapan tingkat harga, dan lain sebagainya. Ukuran-ukuran nilai yang dipakai untuk menilai apakah kelayakan suatu proyek bila dilihat dari segi manfaat proyek yang berdiskonto adalah (Gittinger, 1986): 1. Manfaat Sekarang Netto (Net Present Value) Manfaat sekarang netto adalah nilai sekarang dari arus pendapatan yang ditimbulkan oleh penanaman investasi. Dalam analisis finansial, nilai itu merupakan nilai sekarang dari arus tambahan pendapatan untuk individu. Dalam analisis ekonomi, ukuran tersebut merupakan nilai sekarang dari tambahan pendapatan nasional yang ditimbulkan oleh investasi. Langkah awal yang harus dilakukan dalam menghitung NPV adalah mencari selisih antara nilai sekarang dari arus manfaat dikurangi dengan nilai sekarang dari arus biaya. Suatu proyek dapat dikategorikan bermanfaat untuk dilaksanakan bila NPV tersebut sama atau lebih besar dari nol dan bila sebaliknya maka proyek tersebut merugikan. 2. Rasio Manfaat-Biaya (Benefit Cost Ratio) Rasio manfaat-biaya diperoleh dari pembagian dari nilai sekarang arus manfaat dengan nilai sekarang arus biaya. Apabila BCR lebih kecil dari satu, maka manfaat sekarang biaya-biaya pada tingkat diskonto ini akan lebih besar
20
dari nilai sekarang manfaat dan pengeluaran pertama ditambah pengembalian untuk investasi yang ditanamkan pada proyek tidak akan kembali. Keuntungan dari BCR adalah bahwa nilai dari ukuran tersebut secara langsung dapat mencatat berapa besar tambahan biaya tanpa mengakibatkan proyek secara ekonomis tidak menarik. Semakin tinggi tingkat bunganya maka semakin rendah BCR yang dihasilkan, dan jika tingkat bunga yang dipilih cukup tinggi maka BCR akan lebih besar dari satu. 2.5. Pengaruh Tambak Akuakultur Terhadap Mangrove Menurut Kusmana (2002), mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis tumbuhan yang membentuk komunitas tersebut di daerah pasang surut. Hutan mangrove adalah tipe hutan yang secara alami dipengaruhi oleh pasang surut air laut, tergenang pada saat pasang naik dan bebas dari genangan pada saat pasang rendah. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri dari atas lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove. Mangrove memiliki banyak manfaat seperti proteksi dari abrasi atau erosi, pengendali intrusi air laut, habitat berbagai jenis fauna, tempat pemijahan dan berkembang biak berbagai jenis ikan dan udang, dan lain-lain. Budidaya tambak adalah kegiatan pemeliharaan dan pembesaran biota perairan dalam suatu perairan tambak dalam waktu tertentu untuk mendapatkan hasil dengan cara memanennya. Perubahan fungsi lahan pada kawasan mangrove berubah menjadi tempat pemukiman dan pertambakan, persawahan dan perkebunan menjadi pertambakan, jalur hijau di sepanjang pantai yang tebal menjadi tipis, bahkan tidak terdapat sama sekali karena adanya penebangan yang dilakukan masyarakat sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Utojo et al, 2007). Tingginya permintaan pasar internasional dan meningkatnya teknologi telah memberikan dukungan terhadap pertumbuhan industri tambak. Oleh karena itu, seiring dengan pembangunan tambak yang kian meningkat sehingga menyebabkan lahan mangrove menjadi menurun akibat eksploitasi sumberdaya mangrove yang umumnya tidak intensif. Menurut Biao et al (2004), peningkatan permintaan dunia terhadap produk budidaya perairan dari negara berkembang
21
akan meningkatkan keuntungan dan pendapatan, tetapi juga menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Dampak berupa kerusakan mangrove dan lahan basah secara langsung untuk pembangunan tambak. Luas wilayah ekosistem mangrove di Indonesia secara keseluruhan pada tahun 2004 menurut Direktorat Pengendalian Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup seluas 42.550 km2. Pertumbuhan perluasan usaha tambak air payau mencapai 47 persen sepanjang tahun terakhir. Kira-kira 4,9 persen luas mangrove atau 15,96 persen (kecuali Papua) dikonversi menjadi tambak udang (Siregar, 1999). 2.6. Penilaian Jasa Lingkungan Barang dan jasa yang dapat dihasilkan oleh sumberdaya secara garis besar dapat digolongkan ke dalam barang dan jasa yang ada pasarnya (market goods and services) dan umumnya memiliki nilai/harga pasar (priced goods and services)
dan
yang
tidak
bersedia
pasarnya
(non-market
goods
and
services).Market goods and sevices dicirikan oleh karakteristik barang dan jasa yang memiliki informasi lengkap sehingga harga dapat digunakan sebagai pengarah/pemimpin untuk pengambilan keputusan konsumsinya. Sementara itu, non-market goods and services memiliki karakteristik bisa jelas tetapi tidak memiliki harga sehingga keputusan pengkonsumsiannya tidak didasarkan pada harga, tetapi oleh preferensi seseorang. Pada umumnya barang dan jasa lingkungan merupakan non-market goods services (RMI, 2007). Menurut RMI (2007), nilai ekonomi SDH dapat diartikan sebagai karakteristik (kualitas) dari SDH yang membuat sumberdaya tersebut dapat dipertukarkan dengan sumberdaya lain dengan tujuan utama untuk menentukan nilai secara komprehensif dari SDH tersebut. Informasi tersebut dapat dimanfaatkan untuk perhitungan (1) kerugian dampak suatu kegiatan, (2) biaya pencegahan dampak, (3) tarif retribusi, (4) tarif/tiket masuk taman nasional, (5) tarif pajak sumberdaya, (6) kompensasi yang harus dibayar oleh pembuat kerusakan lingkungan (dalam kasus eksternalitas negatif) dan penyedia jasa (dalam kasus eksternalitas positif), (7) alokasi investasi (asset) untuk tujuan pengelolaan dan (8) analisis biaya manfaat suatu proyek.
22
2.7. Valuasi Ekonomi Sumberdaya alam selain menghasilkan barang dan jasa yang dapat dikonsumsi, juga menghasilkan jasa-jasa lingkungan yang memberikan manfaat lain. Oleh karena itu menurut Fauzi (2004) output yang dihasilkan dari pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan berupa barang dan jasa, perlu diberi nilai/harga (price tag). Valuasi ekonomi merupakan upaya untuk memberikan nilai kuantitatif terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan, baik atas dasar nilai pasar (market value) maupun nilai non-pasar (non market value). Valuasi ekonomi sumberdaya merupakan suatu alat ekonomi (economic tool) yang menggunakan teknik penilaian tertentu untuk mengestimasi nilai uang dari barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan. Secara umum terdapat empat pendekatan dalam menilai kerusakan sumberdaya alam & lingkungan, (Fauzi dan Anna, 2005; KNLH, 2009), yaitu: 1. Pendekatan kesejahteraan, umumnya digunakan jika kerusakan lingkungan sudah menimbulkan perubahan kesejahteraan masyarakat yang diukur melalui income (perubahan surplus konsumen dan surplus produsen. 2. Pendekatan berdasarkan prinsip biaya penuh (full cost principle), konsep ini mengacu pada prinsip bahwa penggunaan sumberdaya alam dan lingkungan harus membayar seluruh biaya yang diakibatkan oleh perubahan pada sistem SDA dan lingkungan. Ganti rugi berdasarkan FCP harus menghitung nilai barang dan jasa menggunakan teknik (Fauzi dan Anna, 2005; KNLH, 2006) berikut: a. Teknik amplop (back of the envelope), yaitu konsep yang memperkirakan secara kasar namun mewakili untuk mengestimasi nilai asset yang rusak untuk ganti rugi. b. Teknik pendekatan nilai dasar (baseline approach), dilakukan untuk mengestimasi nilai kerugian dengan menggunakan nilai dasar yang sudah baku untuk suatu kerusakan lingkungan. 3. Pendekatan berdasarkan biaya pemulihan (costing method), konsep ini menghitung biaya berdasarkan perhitungan biaya yang dikeluarkan untuk melakukan restorasi terhadap lingkungan yang mengalami kerusakan (injury).
23
Pengukuran kerusakan lingkungan dan penentuan ganti kerugian yang didasarkan biaya pemulihan pada dasarnya adalah menghitung biaya yang dikeluarkan untuk melakukan restorasi terhadap lingkungan yang mengalami pencemaran atau perusakan. Komponan biaya yang dihitung termasuk direct cost, seperti biaya akuisisi lahan, biaya transaksi, monitoring serta indirect cost, seperti biaya overhead. 4. Pendekatan produktivitas, pendekatan ini mengacu pada penentuan ganti rugi berdasarkan perubahan produktivitas sebelum dan setelah terjadi kerusakan lingkungan. 2.8. Studi Kasus Penggunaan Lahan Mangrove Thailand Sejak tahun 1961, Thailand telah kehilangan sekitar 1500-2000 km2 mangrove pesisir atau sekitar 50 – 60 persen dari area aslinya (FAO, 2003). Menurut Hanley (2009), deforestasi mangrove menjadi fokus utama pada layanan yang diberikan oleh ekosistem mangrove yang berfungsi sebagai tempat pemijahan dan berkembang biak ikan-ikan dan sebagai „penahan badai‟ secara alami pada peristiwa periodik badai pesisir. Sebagai tambahan, banyak komunitas pesisir mangrove yang secara langsung menghasilkan produk seperti, kayu bakar, kayu, bahan mentah, madu dan resin, dan kepiting dan kerang-kerangan. Valuasi dari layanan ekosistem yang diberikan oleh mangrove penting untuk melakukan dua keputusan politik penggunaan lahan di Thailand. Pertama, walaupun menurun dalam beberapa tahun terakhir, konversi mangrove untuk pertanian tambak udang dan pengembangan pesisir komersial lainnya menjadi ancaman bagi area mangrove yang tersisa di Thailand. Kedua, sejak bencana tsunami Desember 2004, sekarang banyak peminat untuk merehabilitasi dan merestorasi ekosistem mangrove sebagai „pembatas alami‟ pada peristiwa badai pesisir yang akan datang. Dalam perhitungan NPV dinyatakan bahwa biaya restorasi yang dikeluarkan sebesar $8812 sampai $9138 per Ha. Konversi mangrove untuk pembukaan petanian tambak udang hampir tidak dapat mengubah penggunaan lahan dan tanpa adanya investasi tambahan yang besar dalam restorasi, area tersebut tidak dapat diperbaiki kembali menjadi hutan mangrove. Banyak
24
pertanian tambak udang yang berumur pendek telah menjadi lahan yang tidak produktif dan telah ditinggalkan. Oleh karena itu, merestorasi mangrove pada lahan yang telah ditinggalkan tersebut lebih bernilai dibandingkan dengan merestorasi lahan tambak (Hanley, 2009). Berdasarkan hasil perhitungan, nilai dari perubahan habitat dan pelayanan ditentukan dalam waktu perubahan area mangrove yang dinamis yang didapatkan dari hasil yang diperoleh dari perikanan. Net present value dari pelayanan sekitar dari $708 - $987 per Ha. Estimasi manfaat dari perlindungan badai jasa mangrove Thailand menjadi $1879 per Ha, atau $8966 - $10821 per Ha dalam NPV. Penerimaan bersih yang diterima komunitas pesisir lokal dari mengumpulkan produk hutan dan total nilai keterkaitan habitat-perikanan $1192 sampai $1571 per Ha (Hanley, 2009). 2.9. Studi Terdahulu Penelitian ini merujuk dari beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya pada beberapa jenis sumberdaya dan tempat lainnya. Hal ini bertujuan untuk memberikan pedoman dalam melakukan penelitian. Sebagai bahan peretimbangan dalam penelitian ini dicantumkan beberapa hasil peneliti yang pernah melakukan penelitian serupa. Di bawah ini terdapat beberapa rujukan penelitian yang berkaitan dengan judul penulis, yaitu analisis finansial dan valuasi ekonomi dari mangrove. Tabel 4 Studi terdahulu yang berkaitan dengan penelitian Judul Skripsi/Jurnal
Tujuan
Metode Analisis
Hasil
Penilaian Ekonomi Lingkungan Terhadap Konversi Hutan Mangrove Menjadi Tambak dan Pemukiman (Teguh Suryono)
Menghitung nilai ekonomi total hutan mangrove dan menganalisis aspek social ekonomi dari masyarakat sekitar Menghitung dan menganalisis Willingness to Pay masyarakat dan Willingness to Accept masyarakat petambak Menganalisis factor-faktor yang mempengaruhi Willingness to Pay masyarakat dan Willingness to Accept masyarakat petambak
Nilai Ekonomi Total dan Contingent Valuation Method
Nilai Ekonomi Total hutan mangrove sebesar Rp 4.184.556.038 per tahun atau Rp 73.418.378 per ha per tahun. Besarnya nilai kesediaan membayar masyarakat sebesar Rp 165.440.880 per tahun dan besar nilai kesediaan menerima masyarakat petambak sebesar Rp 1.329.745.043
25
Nilai Ekonomi Total Hutan Mangrove Pasca Rehabilitasi di Peisisr Pantai Tlankan, Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur (Annisatul Fatimah)
Mengidentifikasi kondisi actual hutan mangrove pasca rehabilitasi dan mengestimasi nilai ekonomi total hutan mangrove pasca rehabilitasi
Analisis deskriptif dan Pendekatan Total Economic Value (TEV)
Kondisi hutan mangrove termasuk pada kondisi jenih tanah yang baik dengan tekstur tanah berpasir dan berlumpur sehingga pohon mangrove tumbuh subur. Nilai ekonomi total hutan mangrove pasca rehabilitasi Rp 280.712.310.416
Valuasi Ekonomi Konversi Hutan Mangrove Untuk Budidaya Tambak di Kecamatan Tinanggea, Sulawesi Tengara (Muhammad Alfian)
Mengidentifikasi, menganalisis nilai manfaat ekonomi dari perubahan alih fungsi lahan hutan mangrove
Nilai ekonomi total dan anlisis biaya manfaat
Nilai ekonomi total kawasan hutan mangrove di kecamaran Tinanggea sebesar Rp 54.849.336.492 per tahun. Hasil analisis kelayakan usaha dengan discount rate 12%, 18% dan 24% menunjukan nilai NPV dan Net B/C positif sehingga dapat diterapkan untuk pengembangan kawasan hutan mangrove di kecamatan Tinanggea
III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Pendekatan Biaya Pengganti (Replacement Cost) Pendekatan ini secara umum mengidentifikasi biaya pengeluaran untuk perbaikan lingkungan hingga mencapai atau mendekati keadaan semula. Biaya yang diperhitungkan untuk mengganti sumberdaya alam yang rusak dan kualitas lingkungannya menurun atau karena praktek pengelolaannya yang kurang sesuai dapat menjadi dasar penaksiran manfaat yang diperkirakan dari suatu perubahan. Penggantian yang dilakukan harus dapat mengganti manfaat yang hilang sebagai akibat dari sumberdaya alam dan lingkungan yang terganggu, bukan manfaat yang hilang karena penggunaan normal (Kementerian Lingkungan Hidup, 2007). 3.1.2. Pendekatan Benefit Transfer Pendekatan ini dilakukan apabila terdapat banyak kendala untuk melakukan perhitungan bail berupa kendala keuangan, waktu, pengumpulan data maupun kendala lainnya. Metode ini digunakan untuk menduga nilai ekonomi suatu sumberdaya alam dan lingkungan dengan cara meminjam hasil studi atau penelitian di tempat lain yang memiliki karakteristik dan tipologinya sama/hampir sama (Kementerian Lingkungan Hidup, 2007). 3.1.3. Analisis Biaya Manfaat Kerangka pemikiran teoritis meliputi konsep analisis biaya manfaat ekonomi. Adapun kriteria yang biasa digunakan untuk menentukan kelayakan suatu usaha atau investasi, yaitu Paypback Period (PP), Average Rate of Return (ARR), Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Profitability Index (PI), serta berbagai rasio keuangan seperti rasio likuiditas, solvabilitas, aktifitas, dan profitabilitas. Penggunaan rasio keuangan ini sebaiknya digunankan atas pemberian pinjaman kepada usaha yang sudah pernah berjalan sebelumnya atau sedang berjalan (Kasmir dan Jakfar, 2003). Hasil perhitungan kriteria investasi merupakan salah satu peralatan dalam mengambil keputusan, apakah usaha proyek yang dinilai dapat diterima atau ditolak. Diterima yang dimaksud adalah layak untuk dijalankan karena dapat menghasilkan manfaat (Ibrahim, 2009).
27
Benefit and cost ratio (B/C ratio) atau profitability index (PI) merupakan rasio aktifitas dari jumlah nilai sekarang penerimaan bersih dengan nilai sekarang pengeluaran investasi selama umur investasi. Teknik ini digunakan untuk mengukur layak tidaknya suatu proyek investasi dengan membandingkan antara present value aliran kas proyek dengan present value (initial investment). Jika nilainya lebih besar dari 1, maka usulan proyek dinyatakan layak. Sebaliknya jika nilainya lebih kecil dari 1, maka usulan proyek dinyatakan tidak layak (Kasmir dan Jakfar, 2003). 3.2. Kerangka Pemikiran Operasional Saat ini, pembudidayaan ikang sangatlah menjanjikan karena permintaan pasar terhadap udang windu dan ikan bandeng yang masih tinggi, nilai ekonomis yang lebih baik daripada padi, dan memiliki pengaruh yang luas terhadap kadar garam sehingga mampu hidup dan dapat dibudidayakan di perairan tawar. Namun, produksinya terus menurun dari tahun ke tahun. Dengan demikian perlu didukung pengembangan usaha budidaya ikan di tambak, khususnya udang windu dan ikan bandeng agar dapat meningkatkan produksinya. Selain itu, usaha budidaya udang windu dan ikan bandeng tersebut juga akan meningkatkan pendapatan petani/masyarakat sekitar. Perlu diketahui bahwa udang windu dan ikan bandeng merupakan salah satu komoditas yang digunakan dalam usaha budidaya perikanan. Udang windu dapat bertahan hidup pada air yang mendekati tawar, mampu tumbuh dengan baik pada kondisi sawah tambak, memiliki harga pasar yang jauh lebih tinggi dibandingkan padi dan ikan dan pasar yang tinggi, serta teknologi yang digunakan dalam pengembangan budidayanya mudah dikuasai, sedangkan ikan bandeng dapat hidup di perairan tawar, air asin, maupun air payau. Ikan bandeng relatif tahan terhadap berbagai jenis penyakit yang biasanya menyerang hewan air dan juga mudah untuk dibudidayakan. Kerangka penelitian operasional ini merupakan keterkaitan antara tahapan pelaksanaan penelitian dengan tujuan penelitian. Dalam penelitian ini terdapat tiga tujuan, yaitu mengidentifikasi manfaat dan kerugian ekonomi dari pengembangan budidaya ikan di tambak, yaitu udang windu dan ikan bandeng, menganalisis secara finansial manfaat dari dampak budidaya udang windu dan ikan bandeng,
28
mengidentifikasi keberlanjutan dari dampak budidaya tambak udang windu dan ikan bandeng, dan mengidentifikasi alternatif kebijakan dari dampak budidaya tambak udang windu dan ikan bandeng. Metode data yang akan digunakan untuk menjawab dari ketiga tujuan tersebut berasal dari survey wawancara kepada pemilik usaha budidaya udang windu dan mengidentifikasi manfaat dan kerugian yang ditimbulkan dari pengembangan usaha budidaya udang windu dengan menggunakan analisis deskriptif. Selain itu, untuk menganalisis secara finansial manfaat dari dampak budidaya udang windu dan ikan bandeng digunakan analisis kriteria investasi atau analisis biaya manfaat ekonomi dengan menggunakan metode analisis pendapatan. Untuk mengidentifikasi keberlanjutan tambak dari dampak budidaya udang windu dan ikan bandeng dan alternatif kebijakannya digunakan metode deskriptif.
29
Permintaan pasar yang sangat tinggi terhadap udang windu dan bandeng
Tambak akuakultur
Keberadaan hutan mangrove
Budidaya udang windu dan bandeng
Keuntungan dari penjualan udang windu dan bandeng
Nilai sumberdaya mangrove yang hilang
Menganalisis
Mengidentifikasi
secara
keberlanjutan
finansial
manfaat
dari
tambak
dari
dampak budidaya
dampak budidaya
udang windu dan
udang windu dan
bandeng dengan
bandeng dengan
alih fungsi lahan
alih fungsi lahan
mangrove.
mangrove.
Analisis Biaya dan Manfaat Ekonomi
Analisis Deskriptif
Alternatif Kebijakan
Gambar 3. Bagan Alur Penelitian
Mengidentifikasi manfaat nilai guna langsung mangrove dan kerugian ekonomi dari dampak budidaya udang windu dan bandeng dengan alih fungsi lahan mangrove.
Analisis Deskriptif Valuasi Ekonomi
dan
IV. METODE PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Tambaksumur, Kecamatan Tirtajaya, Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat. Penentuan lokasi ini dilakukan secara sengaja karena pada lokasi tersebut terdapat tambak budidaya udang windu dan ikan bandeng, bersama dengan tim peneliti Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. Pengambilan data primer dilaksanakan selama bulan Maret hingga April 2013. 4.2. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini diperoleh langsung dari informan kunci (keyinformant) dengan menggunakan panduan wawancara dengan daftar pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya dan hasil pengamatan langsung dilapangan (observasi). Data sekunder, yang dikumpulkan dari buku referensi, internet, instansi pemerintah dan lembaga berupa laporan-laporan, arsip dan dokumentasi yang terkait dengan permasalahan penelitian. 4.3. Metode Penentuan Jumlah Responden Metode pengambilan atau penentuan jumlah responden dilakukan dengan cara non probability sampling yaitu jenis purposive sampling, dimana pengambilan sampel tidak dilakukan secara acak melainkan dengan pertimbangan tertentu dan secara sengaja yang disesuaikan dengan tujuan penelitian (area sampling). Pengambian sampel pada metode purposive sampling harus mengandung ciri-ciri, sifat, dan karakteristik tertentu yang dapat menjadi pokok dari subjek penelitian. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara wawancara masing-masing responden untuk memperkirakan nilai ekonomi, yaitu: manfaat langsung, manfaat tidak langsung, dan manfaat pilihan dari hutan mangrove tersebut, dimana pengambilan sampel dilakukan secara acak dari jumlah penduduk di desa tersebut, jumlah petambak budidaya udang windu dan ikan bandeng. Jumlah sampel yang
31
diambil adalah sebanyak 50 orang petambak. Jumlah responden ditentukan dengan rumus Slovin berikut ini:
Keterangan: n = ukuran sampel, N = ukuran populasi, e = batas maksimum kesalahan yang masih diterima, asumsi: 10% Berikut perhitungan penentuan jumlah sampel yang ditentukan dari 100 orang petambak yang telah melakukan budidaya udang windu dan ikan bandeng.
4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan dan analisis data dilakukan secara manual dan menggunakan komputer dengan program Microsoft Office Excel 2007. Tabel 5 diuraikan matriks keterkaitan antara sumber data dan metode analisis data yang digunakan untuk menjawab tujuan-tujuan dalam penelitian ini. Tabel 5 Metode Analisis dan Sumber Data No
Tujuan Penelitian
1. Mengidentifikasi manfaat nilai guna langsung mengrove dan kerugian ekonomi dari dampak budidaya ikan di tambak dengan alih fungsi lahan mangrove 2. Menganalisis secara finansial manfaat dari dampak budidaya ikan di tambak dengan alih fungsi lahan mangrove 3. Mengidentifikasi keberlanjutan tambak dari dampak budidaya ikan di tambak dengan alih fungsi lahan mangrove 4. Mengidentifikasi alternatif kebijakan dari dampak budidaya ikan di tambak dengan alih fungsi lahan mangrove Sumber: Data primer diolah, 2013
Sumber Data
Metode Analisis
Data primer
Analisis Deskriptif dan Valuasi Ekonomi
Data primer dan data sekunder
Analisis Biaya Manfaat Ekonomi
Data primer
Analisis Deskriptif
Data sekunder
Analisis Deskriptif
32
4.4.1. Identifikasi Manfaat Nilai Guna Langsung dan Kerugian Ekonomi Menurut Nazir (1999), analisis deskriptif merupakan suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikirain ataupun sesuatu jelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuannya adalah untuk membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, aktual, dan akurat, mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Untuk mengidentifikasi manfaat dan kerugian ekonomi dari dampak budidaya udang windu dengan alih fungsi lahan mangrove di wilayah Karawang tersebut maka digunakan metode valuasi ekonomi. Menurut Kementerian Negara Lingkungan Hidup (2007), valuasi ekonomi SDA dan lingkungan adalah upaya pengenaan nilai moneter terhadap sebagian atau seluruh potensi sumberdaya alam dan lingkungan, sesuai dengan tujuan pemanfaatannya. Valuasi ekonomi SDA dan lingkungan ini digunakan untuk melakukan perhitungan nilai ekonomi total dari sumber daya dan lingkungan. 4.4.1.1. Nilai Ekonomi Total Nilai ekonomi total didefinisikan sebagai nilai ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan dalam suatu ekosistem tertentu yang merupakan penjumlahan dari nilai guna (use value) dan nilai guna tidak langsung (non use value). Nilai guna langsung (use value) adalah nilai ekonomi dari suatu sumberdaya alam dan lingkungan yang secara langsung dimanfaatkan. Nilai guna tidak langsung (non use value) yaitu nilai ekonomi dari suatu sumberdaya alam dan lingkungan yang dapat diterima oleh masyarakat tanpa memanfaatkan sda tersebut secara langsung. Nilai Ekonomi Total
Use Value
Direct Use -Udang -Kayu bakar -Nipah, dll
Indirect Use -Penahan abrasi -habitat flora &fauna -Nursery ground
Non Use Value
Option Values -Biodiversity
Bequest Values -Pembibitan bakau
Existence Values -Satwa liar -Satwa lindung
33
Berdasarkan diagram di atas, maka persamaan perhitungan sebagai berikut: TEV
= UV + NUV
UV
= DUV + IUV + OV
NUV = XV + BV Sehingga: TEV = (DUV + IUV+ OV) + (XV+BV) Dimana: UV
= Use Value
NUV = Non Use Value DUV = Direct Use Value IUV
= Indirect Use Value
OV
= Option Value
XV
= Existence Value
BV
= Bequest Value
4.4.1.2. Manfaat Langsung Ekosistem Mangrove Manfaat langsung atau Direct Use Value (DUV) adalah manfaat yang dapat diperoleh dari ekosistem mangrove seperti menangkap ikan, kepiting, kerang, kayu, penelitian dan wisata, dengan rumus sebagai berikut (Fauzi, 2002): TML = ML1 +ML2 +ML3 +…+MLn (dimasukkan ke dalam Rupiah) Dimana : TML = Total Manfaat Langsung ML1
= Manfaat Langsung ikan
ML2
= Manfaat Langsung kepiting
ML3
= Manfaat Langsung kayu
MLn
= Manfaat Langsung ke-n
4.4.1.3. Manfaat Tidak Langsung Ekosistem Mangrove Manfaat tidak langsung adalah nilai yang dirasakan secara tidak langsung terhadap barang dan jasa yang dihasilkan sumberdaya dan lingkungan (Fauzi, 2002). MTL = MTL1 + MTL2 +…+ MTLn (dimasukan ke dalam nilai Rupiah) Dimana : MTL = Manfaat Tidak Langsung
34
MTL1 = Manfaat Tidak Langsung sebagai pelindung gelombang MTL2 = Manfaat Tidak Langsung sebagai penyedia bahan pakan alami untuk biota yang hidup di dalam hutan mangrove Perhitungan manfaat tidak langsung ini menggunakan pendekatan benefit transfer dengan cara meminjam hasil studi penelitian sebelumnya untuk menduga nilai manfaat ekonomi tidak langsung. Tabel 6 Nilai manfaat ekosistem mangrove No Manfaat Harga Nilai Manfaat Ekonomi Mangrove (1 US$ Rp 9.000) 1 Pelindung Pantai US$ 726,26 Rp 6.536.340 /ha/tahun /ha/year 2 Biodiversitas US$ 15,00 Rp 135.000 /ha/tahun /ha/year 3 Nursery Ground US$ 1142 Rp 10.278.000 /ha/tahun /ha/year 4 Habitat Flora dan US$ 767,20 Rp 6.904.800 /ha/tahun Fauna /ha/year 5 Pembibitan US$ 0,70 Rp 6.300 /ha/tahun Bakau /ha/year Total Rp 23.860.440 /ha/tahun
Sumber Dahuri, 1995 Ruitenbeek, 1991 Fahruddin, 1996 Fahruddin, 1996 Kusumastant o, 1998
Sumber: Ilman M et al (2011).
4.4.1.4. Manfaat Pilihan Ekosistem Mangrove Manfaat pilihan adalah suatu nilai yang menunjukan kesediaan seseorang untuk membayar guna melestarikan ekosistem mangrove bagi pemanfaatan di masa depan (Fahrudin, 1996). Metode Benefit Transfer digunakan dengan cara menghitung besarnya nilai keanekaragaman hayati yang ada di dalam ekosistem hutan mangrove tersebut. Metode ini menggunakan sistem penilaian benefit dari tempat lain dimana sumberdaya tersedia kemudian benefit tersebut ditransfer untuk memperoleh perkiraan kasar mengenai manfaat lingkungan (Tuwo, 2011). Menurut Ruitenbeek (1991) dalam Fahrudin (1996), hutan mangrove di Indonesia memiliki nilai biodiversitas sebesar US$ 1500 per km2 atau US$ 15 per Ha. Metode Benefit Transfer termasuk di dalam nilai pilihan (Option Value) yang dirumuskan sebagai berikut: OV = US$ 15 per Ha x Luas hutan mangrove Dimana: OV = Option Value
35
Perhitungan nilai manfaat pilihan dengan menggunakan benefit transfer menurut Fauzi (2013) yaitu sebagai berikut:
Dimana: 0,035 = elastisitas pendapatan 4.4.2. Analisis Biaya dan Manfaat Ekonomi Hasil perhitungan kriteria investasi merupakan salah satu peralatan dalam mengambil keputusan, apakah usaha proyek yang dinilai dapat diterima atau ditolak. Diterima yang dimaksud adalah layak untuk dijalankan karena dapat menghasilkan manfaat (Ibrahim, 2009). R/C adalah singkatan dari Return Cost Ratio atau disebut juga dengan perbandingan antara penerimaan dan biaya. Secara matematis menggunakan rumus persamaan sebagai berikut: a=R/C ..... R=PY.Y C=FC+VC a= {(PY.Y)/(FC+VC)} Kriteria: R/C > 1, usaha layak dan diterima, serta menguntungkan R/C = 1, usaha tidak untung dan tidak rugi R/C < 1, usaha tidak layak dan ditolak, serta merugikan Dimana: R = Penerimaan C = Biaya yang dikeluarkan tiap tahun PY = Harga output Y = Output FC = Biaya tetap VC = Biaya variabel
V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1. Keadaan Umum Wilayah dan Geografis Secara geografis, Kabupaten Karawang terletak antara 1070 02‟ - 1070 40‟ BT dan 50 56‟ – 60 34‟ LS. Wilayah Kabupaten Karawang sebagian besar merupakan dataran relatif rendah (25 m dpl) ada pada bagian utara yang meliputi Kecamatan Pakisjaya, Batujaya, Tirtajaya, Pedes, Rengasdengklok, Kutawaluya, Tempuran, Cilamaya, Rawamerta, Telagasari, Lemahabang, Jatisari, Klari, Karawang, Tirtamulya, sebagian Telukjambe, Jayakerta, Majalaya, sebagian Cikampek, dan sebagian lagi Ciampel. Wilayah ini memiliki variasi ketinggian antara 0-1.279 meter di atas permukaan laut dengan kemiringan wilaya 0-20, 2150, 15-400 (Pemerintah Daerah Kabupaten Karawang, 2012). Kabupaten Karawang memiliki luas 1.753,27 Km2 atau 175.327 Ha dimana luas tersebut merupakan 4,27 persen dari luas Provinsi Jawa Barat (37.116,54 Ha) dan memiliki laut seluas 4 Mil x 84,23 Km. Dengan luasan tersebut, wilayah ini mempunyai kawasan hutan mangrove yang tersebar di berbagai kecamatan. Luas hutan mangrove dalam kawasan 8.100 Ha (BKPH Cikiong), dan luas hutan mangrove di luar kawasan 3.600 Ha (Cilebar, Pedes, Cibuaya, Cilamaya Wetan, Cilamaya Kulon, dan Tempuran). Penggunaan lahan pada wilayah ini banyak sebagai lahan pertanian baik teknis maupun non teknis, hutan negara dan hutan rakyat, kawasan industri, zona industri, pemukiman dan perdagangan,
serta
perikanan
budidaya
(Pemerintah
Daerah
Kabupaten
Karawang, 2012). Menurut Pemerintah Daerah Kabupaten Karawang (2013), Kecamatan Tirtajaya memiliki luas sekitar 11.362.815 Ha yang meliputi daratan, pesawahan dan areal tambak dengan jumlah penduduk 70.002 terdiri atas 34.940 laki-laki dan 35.062 perempuan. Letak geografis Kecamatan Tirtajaya berada pada jarak 8 Km dari pantai utara pulau jawa dengan ketinggian 3 meter dari permukaan laut. Wilayah ini merupakan dataran rendah yang mempunyai suhu udara rata-rata 27ºC dengan tekanan udara rata-rata 0,01 milibar, penyinaran matahari 66 persen dan kelembaban nisbi 80 persen, serta curah hujan tahunan berkisar antara 1-100 -
37
3.200 mm per tahun. Angin Muson Laut bertiup pada bulan Januari sampai April, sedangkan angin Muson Tenggara bertiup sekitar bulan Juni. Kecepatan angin antara 30 - 35 km per jam, lamanya tiupan rata-rata 5 - 7 jam. Kecamatan Tirtajaya terletak di sebelah utara-barat dari Kabupaten Karawang, memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut : Sebelah Utara: Laut Jawa Sebelah Barat: Kecamatan Batujaya Sebelah Selatan: Kecamatan Jayakerta Sebelah Timur: Kecamatan Cibuaya Desa Tambaksumur menjadi lokasi penelitian yang terletak di wilayah Kecamatan Tirtajaya Kabupaten Karawang Provinsi Jawa Barat. Kecamatan Tirtajaya sendiri secara admainistratif pemerintahan terdiri dari sebelas buah desa, yaitu Desa Medankarya, Desa Pisangsambo, Desa Sabajaya, Desa Gempoljaya, Desa Sarijaya, Desa Kutamakmur, Desa Bolang, Desa Srikamulyan, Desa Sumurlaban, Desa Tambaksumur, dan Desa Tambaksari. Desa Tambaksari adalah desa yang memeliki lahan terluas 38,89 km2 atau 34,5 persen dari luas kecamatan, sedangkan Desa Gempolkarya adalah desa yang luas wilayahnya paling kecil yaitu 3,1 km2 atau 3,07 persen dari luas wilayah kecamatan. Hutan mangrove yang terdapat pada lokasi penelitian ini merupakan di bawah otoritas Perum Perhutani Jawa Barat. Bentuk tanah yang ada pada lokasi ini sabagian besar berbentuk dataran yang relatif rata dengan variasi antara 0 - 5 m di atas permukaan laut. Wilayah ini sebagian besar tertutup dataran pantai yang luas, yang terhampar di bagian pantai Utara yang dibentuk oleh bahan-bahan lepas terutama endapan laut dan aluvium vulkanik. Pemerintahan di pedesaannya
dimana
Kecamatan Tirtajaya
sistem pemerintahan
hampir merata di
setiap
daerah diatur dalam
sistem
pemerintahan Otonomi Daerah Jawa Barat dan pemberian kebijakan di daerah diawasi dengan bantuan Kepala Daerah Tingkat II atau Bupati. Sebelas desa yang ada di Kecamatan Tirtajaya berstatus pedesaan. Semua desa tersebut terdiri dari 48 dusun, 59 rukun warga, dan 135 rukun tetangga. Desa Tambaksari adalah desa yang paling banyak rukun tetangganya dengan 17 rukun tetangga. Penduduk Kecamatan Tirtajaya tersebar di sebelas wilayah desa pada tahun 2011 tercatat
38
sebanyak 61.919 orang dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 31.850 orang dan penduduk perempuan sebanyak 30.069 orang. Berikut ini tabel jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin di Kecamatan Tirtajaya pada tahun 2011. Tabel 7 Jumlah penduduk Kecamatan Tirtajaya Tahun 2011 Nama Desa Medankarya Pisangsambo Sabajaya Gempolkarya Srijaya Kutamakmur Bolang Srikamulyan Sumurlaban Tambaksumur Tambaksari Total
Laki-laki
Perempuan
Jumlah Penduduk
2.568 4.003 3.577 2.072 3.104 1.991 2.472 3.371 1.762 3.188 3.742 31.850
2.491 3.878 3.467 1.894 2.850 1.803 2.228 3.075 1.757 3.175 3.451 30.069
5.059 7.881 7.044 3.966 5.954 3.794 4.700 6.446 3.519 6.363 7.193 61.919
Sumber: Pemerintah Daerah Kabupaten Karawang, 2011
Jika dilihat menurut desa, tercatat penduduk yang memiliki jumlah terbanyak adalah Desa Pisangsambo sebanyak 7.881 orang, dengan penduduk laki-laki sebanyak 4.003 orang dan penduduk perempuan sebanyak 3.878 orang. Sedangkan Desa Sumurlaban adalah desa yang memiliki jumlah penduduk paling sedikit, yaitu sebanyak 1.762 orang laki-laki dan 1.757 orang perempuan. Desa Tambaksumur yang dijadikan sebagai lokasi tempat penelitan ini memiliki jumlah penduduk sebanyak 6.363 orang dengan 3.188 laki-laki dan 3.175 perempuan. Dilihat dari tabel 7, seluruh desa pada Kecamatan Tirtajaya memiliki jumlah lakilaki yang lebih banyak dibandingkan dengan jumlah perempuannya. Dengan demikian jumlah penduduk di Kecamatan Tirtajaya yang berjenis kelamin lakilaki lebih banyak sebesar 51 persen dan jumlah penduduk perempuan sebesar 49 persen.
39
Gambar 4. Persentase jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin tahun 2011
Pada tahun 2011, rasio jenis kelamin di seluruh desa yang ada di Kecamatan Tirtajaya di atas 100, yang berarti jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dari jumlah penduduk perempuan di semua desa. Rasio jenis kelamin Kecamatan Tirtajaya 2011 sebesar 106, dimana setiap 100 perempuan terdapat 1006 laki-laki di Kecamatann Tirtajaya. Tabel 8 Jumlah penduduk berdasarkan usia tahun 2011 Usia (tahun)
Laki-laki
Perempuan
>75
335
435
70-74
415
518
65-69
558
539
60-64
877
807
55-59 50-54
1.058 1.645
881 1.471
45-49
2.013
1.780
40-44
2.314
2.230
35-39 30-34
2.603 2.510
2.442 2.579
25-29
2.745
2.600
20-24
2.605
2.390
15-19
2.950
2.564
10-14
3.216
3.138
05-09
3.036
2.899
00-04
2.970
2.796
Total
31.850
30.069
Sumber: Pemerintah Daerah Kabupaten Karawang, 2011
Rasio ketergantungan pada Kecamatan Tirtajaya tahun 2011 sebesar 38,82 dimana rasio ketergantungan muda sebesar 20,99 dan rasio ketergantungan tua sebesar 7,83. Hasil olahan Data Pokok Kecamatan Tirtajaya 2012 ini menunjukan
40
bahwa pada tahun 2011, setiap 100 penduduk usia kerja di kecamatan ini masih dibebani tanggung jawab sebanyak 39 penduduk yang belum produktif dan penduduk yang dianggap tidak produktif. Hal ini dapat dilihat pada tabel 8 mengenai jumlah penduduk berdasarkan usia pada tahun 2011. Angkatan kerja adalah sebagian penduduk yang berusia 15 tahun ke atas dan siap terlibat dalam kegiatan ekonomi produktif. Penduduk yang diserap oleh pasar kerja digolongkoan sebagai bekerja, sedangkan yang tidak atau belum terserap oleh pasar kerja tetapi sedang berusaha untuk mendapatkan pekerjaan digolongkan sebagai penganggur (terbuka). Pada Kecamatan Tirtajaya taun 2011, penduduk yang digolongkan sebagai angkatan kerja sebesar 40.860 jiwa atau sebesar 65,99 persen. Angkatan kerja yang digolongkan sebagai bekerja sebesar 31.046 jiwa atau sebesar 50,14 persen dan pencari kerja sebesar 15,84 persen yaitu sebanyak 9.814 jiwa. Sedangkan penduduk Tirtajaya yang bukan angkatan kerja sebesar 34,01 persen dimana kegiatan terbanyaknya ada pada kegiatan rumah tangga. Tabel 9 Jumlah penduduk di atas 15 tahun menurut kegiatan utama pada tahun 2011 Kegiatan
Persentase (%)
Penduduk (jiwa)
65,99
28.946
50,14
21.993
15.85 34,01
6.953 14.918
Sekolah
9,93
4.356
Rumah Tangga
20,36
8.930
Lain-lain
3,72
1.632
100
43.864
Angkatan Kerja Bekerja Mencari Pekerjaan Bukan Angkatan Kerja
Jumlah
Sumber: Pemerintah Daerah Kabupaten Karawang, 2011
Proporsi penduduk yang bekerja menurut lapangan usaha merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk melihat potensi sektor perekonomian dalam menyerap tenaga kerja. Dilihat dari persentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja pada lima lapangan usaha utama, sektor pertanian dan sektor perdagangan merupakan sektor usaha yang paling banyak menyerap tenaga kerja.
41
Tabel 10 Jumlah penduduk di atas 15 tahun berdasarkan lapangan usaha tahun 2011 Lapangan Usaha
Persentase (%)
Penduduk (jiwa)
Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, & Perikanan
62,64
27.476
Industri Pengolahan
8,46
3.711
Perdagangan, Perhotelan, & Rumah Makan Jasa Kemasyarakatan
22,38
9.817
3,57
1.566
Lainnya (Listrik, gas, air bersih, bangunan, dsb)
2,95
1.294
Total
100
43.864
Sumber: Pemerintah Daerah Kabupaten Karawang, 2011
Berdasarkan tabel 10, dapat dilihat persentase 62,64 persen untuk pertanian dan 22,37 persen untuk perdagangan, selanjutnya ada industri pengolahan dengan 8,46 persen. Pertanian di Kecamatan Tirtajaya kebanyakan pertanian tanaman pangan yaitu padi sawah, selanjutnya diikuti oleh sektor perikanan yang terdiri dari budidaya tambak dan nelayan di laut.Ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan merupakan faktor penting dalam menentukan kemajuan suatu daerah sebagai salah satu indikator kesejahteraan. Di Kecamatan Tirtajaya ini terdapat fasilitas pendidikan berupa SD, MI, SMP, dan MTs. Sarana dan prasaran yang tersedia untuk tingkat pendidikan dasar secara fisik berjumlah 40 yaitu, SD berjumlah 30 sekolah dan MI berjumlah 10 sekolah. Untuk tingkat sekolah menengah pertama berjumlah 6 unit sekolah yaitu dengan SMP sebanyak 4 sekolah dan MTs sebanyak 2 sekolah. Berdasarkan jumlah tenaga pengajar yang ada di Kecamatan Tirtajaya tahun 2011, guru tingkat SD berjumlah 283 orang, guru MI berjumlah 66 orang, dan guru tingkat SMP berjumlah 83 orang, serta MTs 22 orang, sedangkan jumlah murid untuk tingkat SD dan MI berjumlah 7.792 murid, tingkat SMP dan Mts berjumlah 2.980 murid. Di bawah ini adalah tabel jumlah sekolah yang dilihat berdasarkan jenjang dan jenis pendidikannya. Pada tahun 2011, rasio murid-guru sekolah tingkat SD/MI di Kecamatan Tirtajaya adalah 22,33 yang artinya rata-rata seorang guru tingkat SD/MI Tirtajaya mengajar sekitar 22 murid, rasio muridguru sekolah SMP/Mts sebesar 28,38 artinya rata-rata seorang guru tingkat SMP/MTs Tirtajata mengajar sekitar 28 murid.
42
Tabel 11 Jumlah sekolah berdasarkan jenjang dan jenis pendidikan tahun 2011 Nama Desa
Jenis Sekolah SD
MI
SMP
Medankarya Pisangsambo
4 3
2 2
1 1
Sabajaya
3
2
Gempolkarya
2
Srijaya Kutamakmur
3 1
1 1
Bolang
2
1
Srikamulyan
3
Sumurlaban Tambaksumur
2 4
Tambaksari
3
1
Jumlah
30
10
MTs
1 1 1
1 4
2
Sumber: Pemerintah Daerah Kabupaten Karawang, 2011
Oleh karena itu selain sarana dan prasarana pendidikan, sarana dan prasarana kesehatan juga menjadi kebutuhan dasar manusia dan sebagai penunjang kesehatan. Pada Kecamatan Tirtajaya fasilitas kesehatan seperti puskesmas, posyandu, praktek dokter dan lainnnya telah tersedia. Berdasarkan hasil olah data pokok kecamatan tahun 2011, fasilitas kesehatan yang ada di Kecamatan Tirtajaya berjumlah 14 sarana fasilitas. Fasilitas kesehatan tersebut adalah 1 puskesmas yang berada hanya pada Desa Sabajaya, 4 pustu yang berada di Desa Pisangsambo, Srijaya, Bolang, dan Tambaksumur, serta 9 balai pengobatan yang tersebar pada Desa Pisangsambo 2 unit, Gempolkarya 2 unit, Srijaya 1 unit, Kutamakmur 1 unit, Bolang 1 unit, Tambaksumur 1 unit, dan Tambaksari 1 unit. Tenaga kesehatan yang tercatat di Kecamatan Tirtajaya adalah praktek dokter, mantri kesehatan, bidan, dan perawat, termasuk dukun bayi/tradisional yang sudah terdaftar di Dinas Kesehatan. Sejumlah 58 tenaga kesehatan tercatat pada tahun 2011 di Kecamatan Tirtajaya. Tenaga kesehatan yang paling banyak yaitu perawat dan bidan sejumlah 23 orang, sedangkan tenaga kesehatan dr. Gigi dan dr. Umum paling sedikit yaitu 1 orang dr. Gigi dan 2 orang dr. Umum.
43
Pada Kecamatan Tirtajaya sebagian masyarakat bermata pencaharian sebagai petani sehingga penggunaan lahan terbanyak digunakan untuk lahan pertanian yaitu seluas 5.658 Ha dan seluas 4.200 Ha digunakan sebagai lahan tambak di desa Tambaksari dan Tambaksumur. Kecamatan Tirtajaya memiliki pantai yang sebagian kecil masyarakatnya menjadi nelayan dan menggantungkan hidupnya melalui tangkapan ikan di laut. Tirtajaya juga memiliki sumber minyak bumi dengan beberapa sumur minyak baik yang sudah berproduksi maupun yang akan dieksplorasi. Selain potensi di atas, Tirtajaya juga memiliki beberapa produk unggulan diantaranya adalah beras yang merupakan produk unggulan di setiap desa di wilayah Tirtajaya, ikan bandeng dan udang windu yang menjadi unggulan di Desa Tambaksumur dan Tambaksari, buah jambu produk unggulan dari Desa Bolang, Kutamakmur dan Srijaya, serta produk unggulan berupa keripik sukun dan sate bandeng di wilayah Tirtajaya. 5.2. Budidaya Perikanan Tambak Di Desa Tambaksumur, Kecamatan Tirtajaya rata-rata petani melakukan aktivitas tambak ini masih secara tradisional. Pola tambak yang dilakukan yaitu dengan pola polikultur atau dengan melakukan dua jenis dalam satu budidaya tambak, yaitu ikan bandeng dan udang windu. Hal ini dilakukan karena kedua komoditi tersebut mempunyai nilai ekonomis yanga tinggi sehingga sistem budidaya tambak dengan polikultur ini dapat meningkatkan produksi per unit areal tambak dan dapat meningkatkan pendapatan petani tambak tersebut. Petani tambak memiliki lahan tambak yang luasnya dari 1 Ha sampai 15 Ha. Petakan tambak pada budidaya ini biasanya antara 1-3 Ha per petaknya dan setiap petakan memiliki saluran keliling (caren) yang lebarnya 5-10 cm di sepanjang keliling petakan sebelah dalam. Pada bagian tengah dibuat 30-50 cm lebih dalam daripada bagian lain dari dasar petakan. Pada bagian pelataran hanya dapat diisi air sedalam 30-40 cm dan pada tempat akan ditumbuhi kelekap sebagai pakan alami bagi ikan bandeng dan udang windu. Berdasarkan hasil penelitian di lapang, untuk melakukan pembudidayaan ikan terlebih dahulu harus mempersiapkan tambak. Pengolahan tanah secara total
44
pada umumnya hanya dilakukan satu kali dalam setahun, yaitu pada musim kemarau. Setelah panen udang, pertama kali yang harus dilakukan adalah pengeringan. Pengeringan adalah proses seluruh air yang berada di area tambak kering sampai tanah mengerut atau sampai tanah retak-retak. Persiapan tanah dasar tambak ini dilakukan dengan pengeringan total dan penjemuran tanah dasar secara alami (sinar matahari) dan biasanya penjemuran ini memakan waktu 1-2 minggu, tergantung dengan kondisi cuaca. Selanjutnya, tahap pengangkatan lumpur dengan menggunakan cangkul karena pada lumpur tersebut bisa menjadi media pertumbuhan penyakit pada ikan berikutnya. Kemudian untuk menciptakan pertukaran udara, melepas gas-gas beracun, dan untuk mematikan spora maka dilakukan pembalikan tanah, dilanjutkan dengan melakukan pengapuran tanah dengan dosis 1-2 ton per Ha. Proses pengapuran ini dilakukan dengan menyebar kapur secara merata ke seluruh tanah dasar dan dinding tanggul. Setelah itu dilakukan terapi lahan atau pemupukan tanah yang berguna untuk menyuburkan pertumbuhan plankton. Para petani tambak biasanya menggunakan pupuk urea 150 kg per Ha dan pupuk TSP 75 kg per Ha dengan perbandingan 2:1. Selang dari 1-3 hari, tahap selanjutnya adalah memasukan air ke dalam tambak setinggi 10-20 cm dan didiamkan selama 3-5 hari untuk pembibitan plankton. Setelah itu tinggikan air tambak minimal 80 cm dan maksimal 120 cm. Peninggian air tambak ini dilakukan jangan terlalu dangkal dan terlalu dalam. Dianjurkan agar mengambil air dari dalam tanah bukan dari luar karena untuk mengurangi adanya virus yang masuk dari dalam air. Benih udang windu dan ikan bandeng yang ditebar tergantung dengan metode budidaya yang diterapkan, kondisi tambak (daya dukung), kualitas air, dan sarana penunjang yang tersedia (kincir air) dan pompa air. Padat tebar benih udang yang dilakukan oleh petani tambak di Desa Tambaksumur rata-rata sekitar 15.000 ekor per Ha dan ikan bandeng rata-rata sekitar 5000 ekor per Ha. Biasanya penebaran ini dilakukan pada kondisi yang teduh seperti pagi hari atau sore hari karena penebaran benih pada saat hujan atau terik matahari dapat menyebabkan udang menjadi stress dan timbul bintik putih yang memicu kematian pada udang windu tersebut.
45
5.3. Karakteristik Petani Tambak 5.3.1. Umur Petani Tambak Dalam usaha tambak ini, kebanyakan dari petani memiliki umur antara 3745 tahun yaitu sebanyak 15 orang atau 30 persen, dilanjutkan dengan petani yang memiliki umur antara 28-36 tahun sebanyak 14 orang atau 28 persen. Petani tambak di Kecamatan Tirtajaya ini banyak yang berumur antara 28-45 tahun dan rata-ratanya adalah 36,5 tahun. Umur tersebut merupakan umur yang sangat produktif, dimana tingkat kemauan bekerja serta pengembangan inovasinya masih sangat tinggi. Jumlah petani yang berumur 19-27 tahun sebanyak 7 orang atau 14 persen dan petani yang berumur antara 55-63 tahun sebanyak 3 orang atau 6 persen, serta petani yang berumur 73-81 tahun hanya 1 orang atau 2 persen. Sedikitnya petani tambak yang berumur di bawah 28 tahun ini disebabkan oleh kurangnya minat menjadi petani tambak atau kedudukannya hanya sebagai pekerja dalam usaha tambak orang tuanya jika menjadi petani tambak. Gambar jumlah dan persentase petambak berdasarkan umur dapat dilihat di bawah ini.
Gambar 5 Persentase jumlah petambak berdasarkan umur
5.3.2. Tingkat Pendidikan Petani Tambak Penduduk di Kecamatan Tirtajaya rata-rata menempuh pendidikan sampai tingkat SD. Dari 50 responden, 76 persen atau sebanya 38 orang hanya berpendidikan SD, 10 persen atau sebanyak 5 orang berpendidikan SLTP, 12 persen atau 6 orang berpendidikan SLTA, dan 2 persen atau 1 orang yang menempuh pendidikan sampai tingkat sarjana. Banyaknya penduduk yang berpendidikan pada tingkat SD tersebut rata-rata disebabkan harus membantu pekerjaan orang tua di tambak dan juga faktor ekonomi dan jumlah sekolah yang
46
sesuai jenis pendidikan kurang memadai menjadi salah satu penyebab mereka hanya berpendidikan SD. Di bawah ini adalah gambar jumlah dan persentase petambak yang dilihat berdasarkan tingkat pendidikannya.
Gambar 6 Persentase jumlah petambak berdasarkan tingkat pendidikan
5.3.3. Pengalaman Usaha Petani Tambak Tingkat pengalaman usaha petani tambak dapat dlilihat pada tabel . di bawah ini. Para petani tambak di Tirtajaya ini umumnya memiliki pengalaman usaha tambak yang beragam. Jumlah petani tambak yang paling banyak memiliki pengalaman usaha selama 6-10 tahun, yaitu sebanyak 11 orang atau 22 persen. Sebanyak masing-masing 10 orang petani memiliki pengalaman usaha dalam budidaya tambak, yaitu selama 1-5 tahun, 11-15 tahun, dan 16-20 tahun. Hal ini disebabkan banyaknya petani tambak yang memulai usahanya dari sekitar umur 20 tahun dan sesuai dengan banyaknya petambak yang berumur produktif antara 28-45 tahun. Jumlah dan persentase petambak berdasarkan lama usahanya dapat dilihat pada gambar 7 di bawah ini.
Gambar 7 Persentase jumlah petambak berdasarkan lama usaha
47
5.3.4. Status Kepemilikan Lahan Tambak Berdasarkan data responden penelitian di bawah ini, status kepemilikan lahan tambak sebanyak 18 orang atau 36 persen adalah milik sendiri, sebanyak 17 orang atau 34 persen status kepemilikannya adalah sewa, sebanyak 13 orang atau 26 persen berstatus gadai, dan sebanyak masing-masing 1 orang lahannya berstatus milik sendiri dan sewa, serta sewa dan gadai. Di bawah ini adalah gambar jumlah dan persentase petambak berdasarkan status kepemilikan lahan tambaknya.
Gambar 8 Persentase jumlah petambak berdasarkan status kepemilikan lahan
Usaha tambak yang dilakukan para petani tambak ini secara umum dilakukan turun temurun dengan meneruskan dan mengelola warisan tambak dari orang tuanya yang kepemilikannya menjadi milik sendiri, sebagian petambak yang berada dari desa luar menyewa dari penduduk setempat, beberapa petambak yang membantu meminjamkan dana untuk petambak lain biasanya diberikan tambak sebagai penggadaian dari dana yang dipinjamkan. 5.3.5. Luas Lahan Tambak Rata-rata petani tambak di Kecamatan Tirtajaya ini memiliki lahan tambak dengan status milik sendiri dan luas tambak sekitar 1-4 Ha per orangnya. Hal ini dapat dilihat dari gambar 9 yang menjelaskan persentase jumlah petambak berdasarkan luas tambaknya. Sebanyak 82 persen petambak atau sekitar 41 orang memiliki lahan tambak seluas 1-4 Ha dan sebanyak 12 persen petambak memiliki
48
lahan seluas 4,1 – 8 Ha, serta masing-masing 2 persen petambak memiliki lahan tambak 12,1 – 16 Ha, 16,1 – 20 Ha, dan lebih besar dari 20 Ha.
Gambar 9 Persentase jumlah petambak berdasarkan luas lahan tambak
49
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Identifikasi Manfaat Nilai Guna Langsung dan Kerugian Ekonomi 6.1.1. Nilai Manfaat Langsung Berdasarkan hasil penelitian dan wawancara responden di lapang, mangrove dapat dimanfaatkan oleh warga secara langsung. Beberapa di antaranya adalah manfaat langsung dari hasil kayu yaitu sebagai kayu bakar. Penduduk di Kecamatan Tirtajaya rata-rata mengambil kayu mangrove untuk digunakan sebagai kayu bakar. Kayu bakar ini sendiri rata-rata dijual untuk menambah pendapatan. Proses pengambilan kayu bakar ini dilakukan dua kali dalam sebulan sehingga kira-kira 24 kali dalam setahun. Pengambilan kayu bakar ini dilakukan dengan menggunakan kapak. Rata-rata volume kayu bakar yang diambil sebanyak 960 kg per tahun, serta biaya yang dikeluarkan sebesar Rp 2.736.000 per tahun. Harga kayu bakar dijual per ikat sebesar Rp 10.000. Nilai manfaat yang diterima dalam waktu setahun adalah sebesar Rp 6.864.000 dan nilai manfaat per tahun sebesar Rp 343.200 per Ha. Tabel 12 Analisis nilai manfaat pengambilan kayu bakar di Desa Tambaksumur, Kecamatan Tirtajaya tahun 2013 Pengambilan Kayu Bakar Jumlah pengambil kayu bakar Jumlah hari Jumlah hasil kayu bakar per hari Jumlah hasil kayu bakar per tahun Harga Nilai penjualan per tahun Biaya per tahun Nilai manfaat per tahun Nilai manfaat per hektar per tahun
Satuan orang hari ikat/hari/or ang ikat/tahun Rp Rp/tahun Rp/tahun Rp/tahun Rp/tahun
Rumus a b c d = (a*b*c) e f = (d*e) g h = (f-g) i = (h/a)
Jumlah 20 24 2 960 10.000 9.600.000 2.736.000 6.864.000 343.200
Sumber: Data primer diolah, 2013
Selain dimanfaatkan secara langsung sebagai kayu bakar, tanaman mangrove juga dapat dimanfaatkan untuk pengambilan kepiting secara langsung. Hanya sebagian saja dari penduduk di Kecamatan Tirtajaya yang mengambil kepiting untuk dijual ataupun untuk dikonsumsi sendiri. Pengambilan kepiting ini sendiri dilakukan dua minggu sekali dan memperoleh kepiting sebanyak 549,12 kg per tahun dengan harga jual Rp 20.000. Proses pengambilan kepiting tersebut
50
menggunakan jala dengan biaya investasi setahun sebesar Rp 620.000. Nilai manfaat pengambilan kepiting yang diterima dalam waktu setahun adalah sebesar Rp 10.362.400 dan nilai manfaat per tahun yaitu sebesar Rp 471.018 per Ha. Tabel 13 Analisis nilai manfaat pengambilan kepiting di Desa Tambaksumur, Kecamatan Tirtajaya tahun 2013 Pengambilan Kepiting Jumlah pengambil kepiting Jumlah hari Jumlah hasil kepiting per hari Jumlah hasil kepiting per tahun Harga Nilai penjualan per tahun Biaya per tahun Nilai manfaat per tahun Nilai manfaat per hektar per tahun
Satuan orang hari kg/hari kg/tahun Rp Rp/tahun Rp/tahun Rp/tahun Rp/tahun
Rumus a b c d = (a*b*c) e f = (d*e) g h = (f-g) i = (h/a)
Jumlah 22 24 1,04 549,12 20.000 10.982.400 620.000 10.362.400 471.018
Sumber: Data primer diolah, 2013
Manfaat langsung dari mangrove yang didapatkan oleh penduduk Tirtajaya adalah pengambilan udang yang cukup besar. Pengambilan udang ini dilakukan selama 180 hari dalam setahun dengan menggunakan alat tangkap sero yang dipasang menetap pada tempat yang menghadap arah arus air laut dan jaring, serta dilakukan dengan cara bubu oleh tenaga kerja. Tabel 14 Analisis nilai manfaat penangkapan udang di Desa Tambaksumur, Kecamatan Tirtajaya tahun 2013 Penangkapan Udang Jumlah penangkap udang Jumlah hari Jumlah hasil tangkapan per hari Jumlah hasil tangkapan per tahun Harga di tingkat nelayan Nilai penjualan per tahun Biaya per tahun Nilai manfaat per tahun Nilai manfaat per hektar per tahun
Satuan orang hari kg/hari kg/tahun Rp Rp/tahun Rp/tahun Rp/tahun Rp/tahun
Rumus a b c d = (a*b*c) e f = (d*e) g h = (f-g) i = (h/a)
Jumlah 70 180 1,75 22.050 15.000 330.750.000 288.053.000 42.697.000 609.957
Sumber: Data primer diolah, 2013
Biaya investasi yang dikeluarkan untuk pengambilan udang sebesar Rp 288.053.000 per tahun. Dalam setahun rata-rata volume udang yang diambil sebanyak
22.050 kg dan 1,75 kg per orang per hari. Nilai manfaat dari
pengambilan udang yang diterima dalam waktu setahun adalah sebesar Rp 42.697.000 dan nilai manfaat per tahunnya sebesar Rp 609.957 per Ha. Hasil
51
analisis nilai manfaat penangkapan udang di Kecamatan Tirtajaya dapat dilihat pada tabel 14 di atas. Penduduk di Kecamatan Tirtajaya juga memanfaatkan mangrove untuk pengambilan ikan. Jenis ikan yang biasa diambil adalah ikan kembung, ikan cucut, ikan belanak, dan ikan kerapu. Pengambilan ikan ini menggunakan alat tangkap sero, jaring, dan ember, serta membutuhkan tenaga kerja. Persentase pengambilan ikan dari pemanfaatan mangrove sebesar 43,32 persen sehingga dapat dinyatakan bahwa nilai manfaatnya paling besar di antara ketiga manfaat langsung sebelumnya. Biaya yang dikeluarkan untuk pengambilan ikan ini sebesar Rp 418.013.000 per tahun. Dari pengambilan ikan ini menghasilkan volume rata-rata setahun sebesar 85.680 kg dan 3,5 kg per orang per hari, serta nilai manfaat yang didapatkan setiap tahun adalah Rp 96.067.000 dan nilai manfaat per tahun dari pengambilan ikan ini adalah Rp 941.833 per Ha. Tabel 15 Analisis nilai manfaat penangkapan ikan di Desa Tambaksumur, Kecamatan Tirtajaya tahun 2013 Penangkapan Ikan Jumlah penangkap ikan Jumlah hari Jumlah hasil tangkapan per hari Jumlah hasil tangkapan per tahun Harga di tingkat nelayan Nilai penjualan per tahun Biaya per tahun Nilai manfaat per tahun Nilai manfaat per hektar per tahun
Satuan orang hari kg/hari kg/tahun Rp Rp/tahun Rp/tahun Rp/tahun Rp/tahun
Rumus a b c d = (a*b*c) e f = (d*e) g h = (f-g) i = (h/a)
Jumlah 102 240 3.5 85.680 6.000 514.080.000 418.013.000 96.067.000 941.833
Sumber: Data primer diolah, 2013
Dari hasil perhitungan nilai manfaat langsung hutan mangrove, kerugian yang ditimbulkan dari hasil konversi mangrove menjadi tambak yaitu total penjumlahan dari nilai manfaat kayu bakar, kepiting, udang, dan ikan. Nilai kerugian yang diterima adalah Rp 533.175.462 per tahun. Berdasarkan jenis usaha pemanfaatannya, usaha pengambilan udang dan ikan di kawasan hutan mangrove memberikan nilai manfaat per tahun paling besar, yaitu sebesar 28,06 persen dan 43,32 persen. Hal tersebut disebabkan kegiatan pengambilan udang dan ikan merupakan pekerjaaan utama masyarakat di Desa Tambaksumur. Berikut di bawah ini tabel nilai manfaat langsung ekosistem mangrove.
52
Tabel 16 Nilai Manfaat Langsung Ekosistem Mangrove di Desa Tambaksumur, Kecamatan Tirtajaya tahun 2013 Jenis Manfaat
Nilai Manfaat Per Tahun
Manfaat Langsung Pengambilan kayu bakar Pengambilan kepiting Pengambilan udang Pengambilan ikan Total
Persentase (%)
37.081.800 115.517.165 149.591.954 230.984.543 533.175.462
6,95 21,66 28,06 43,32 100
Sumber: Data primer diolah, 2013
Berdasarkan data tersebut di atas, jumlah nilai manfaat langsung hutan mangrove kecuali tambak sebesar Rp 2.174.008 per Ha per tahun kemudian dikalikan dengan luasan hutan yang tidak dikonversi seluas 49,05 Ha sehingga didapatkan nilai sebesar Rp 116.052.725 per tahun. Nilai manfaat tambak sebesar Rp 8.707.738 dikalikan dengan luas hutan yang dikonversi yaitu 196,2 Ha sehingga didapatkan nilai sebesar Rp 1.708.458.195 per tahun. Nilai manfaat langsung secara keseluruhan didapatkan sebesar Rp 1.824.510.920. 6.1.2. Nilai Manfaat Tidak Langsung Manfaat tidak langsung pada ekosistem mangrove di Kecamatan Tirtajaya adalah sebagai pelindung pantai dari gelombang air laut, tempat pemijahan ikan, dan sebagai habitat flora serta fauna. Pada wilayah ini pembuatan breakwater masih belum dilaksanakan karena minimnya dana sehingga penilaian manfaat tidak langsung mangrove sebagai pelindung pantai dapat dilakukan dengan menggunakan biaya pengganti. Manfaat tidak langsung dari mangrove bagi lingkungan pesisir adalah sebagai penahan dan pemecah gelombang laut, sehingga dapat mencegah terjadinya abrasi pantai. Abrasi adalah proses pengikisan pantai oleh tenaga gelombang laut dan arus laut yang sifatnya merusak (Setiyono dalam BPLHD Karawang 2008). Abrasi yang terjadi pada pesisir pantai disebabkan oleh aktivitas manusia secara tidak langsung dengan mengubah suatu kondisi dimana faktor alam dapat berperan secara langsung terhadap terjadinya abrasi. Hal ini dapat dicegah dengan membuat kawasan yang berfungsi sebagai daerah penyangga (Buffer Zone).
53
Buffer Zone merupakan ekosistem mangrove yang baik untuk mencegah dan mengurangi dampak abrasi. Hilangnya ekosistem mangrove yang diubah menjadi lahan tambak ini juga menghilangkan fungsi dari mangrove tersebut sehingga berdampak pada peningkatan laju abrasi di kawasan pesisir pantai. Perhitungan manfaat tidak langsung dari hutan mangrove sebagai penahan abrasi dapat diestimasi dengan menggunakan replacement cost, yaitu hasil perhitungan dari pembuatan bangunan pemecah gelombang (breakwater) oleh Dinas Pekerjaan Umum. Menurut Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta (2013), manfaat tidak langsung untuk perhitungan pembangunan pemecah gelombang (break water) dengan menggunakan batu gunung (batu alam) memerlukan biaya sebesar Rp 40.686.350 per meter dan umur ekonomi diperkirakan 30 tahun. Berdasarkan informasi tersebut, panjang pantai yang dilindungi hutan mangrove 4,5 km atau 4500 m sehingga manfaat tidak langsung dari fungsi pelindung pantai dari pemecah gelombang air laut sebesar Rp 6.102.952.500 per tahun. Berikut adalah tabel nilai manfaat tidak langsung dari ekosistem mangrove. Tabel 17 Nilai Manfaat Tidak Langsung Ekosistem Mangrove di Desa Tambaksumur, Kecamatan Tirtajaya tahun 2013 Jenis Manfaat Manfaat Tidak Langsung Pelindung Pantai Tempat pemijahan ikan Habitat Total
Nilai Manfaat Per Tahun 6.102.949.500 2.795.433.566 1.877.982.991 10.776.366.057
Persentase (%) 56,63 25,94 17,43 100
Sumber: Data primer diolah, 2013
Adanya kawasan hutan mangrove dapat memberikan banyak manfaat. Selain dapat melindungi pantai dari gelombang air laut, manfaat tidak langsung dari ekosistem mangrove juga digunakan sebagai tempat pemijahan ikan dan habitat flora dan fauna. Berkembangnya ikan pada ekosistem mangrove ini dapat meningkatkan produksi ikan pada kawasan tersebut. Menurut Fahruddin (1996), tempat pemijahan ikan hutan mangrove di Subang adalah US$ 1.142 dan habitat flora dan fauna adalah US$ 767,2, dimana nilai tukar dollar saat ini ( 24 Juni 2013) sebesar Rp 9.981 sehingga didapatkan nilai tempat pemijahan ikan hutan mangrove sebesar Rp 11.398.302 per Ha, serta nilai habitat flora dan fauna sebesar Rp 7.657.423 per Ha.
54
Hasil penilaian manfaat tidak langsung sebagai pelindung pantai memiliki persentasi paling besar, yaitu 56,63 persen. Manfaat tidak langsung berikutnya sebagai tempat pemijahan ikan sebesar 25,94 persen dan sebagai habitat flora dan fauna sebesar 17,43 persen. Total dari manfaat tidak langsung hutan mangrove per tahun, yaitu sebesar Rp 10.776.366.057. Nilai manfaat tidak langsung per tahun di atas dibagi dengan luasan hutan mangrove sebesar 245,25 sehingga diperoleh nilai manfaat tidak langsung hutan mangrove sebesar Rp 43.940.330 per Ha per tahun. Dari hasil penilaian tersebut, manfaat tidak langsung ekosistem mangrove sebagai tempat pemijahan ikan merupakan manfaat yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan peningkatan jumlah produksi ikan. 6.1.3. Nilai Manfaat Pilihan Manfaat pilihan atau option value dinilai dengan menggunakan nilai biodiversitas hutan mangrove tersebut. Berdasarkan penelitian Ruitenbeek (1991), nilai keanekaragaman hayati hutan mangrove di Indonesia adalah US$ 15/ha/tahun. Manfaat pilihan yaitu nilai dari manfaat keanekagaraman hayati ekosistem mangrove tersebut yang dihitung dengan menggunakan faktor penyesuaian GDP (Gross Domestic Product) United States dengan Indonesia. Tabel 18 Nilai GDP USA dan GDP Indonesia tahun 2012 (dalam US$) Nama Negara Indonesia United States
GDP 878.043.028.442,37 15.684.800.000.000
Populasi 246.864.191 313.914.040
GDP per kapita 4.810 50.610
Sumber: The World Bank, 20133
Perhitungan nilai manfaat pilihan dengan menggunakan benefit transfer menurut Fauzi (2013) yaitu sebagai berikut:
dimana: 0,035 = elastisitas pendapatan.
Berdasarkan perhitungan di atas memperoleh hasil 13,814 dan perubahan nilai tukar dollar terhadap rupiah saat ini ( 18 September 2013) adalah Rp 11.549,
3
http://search.worldbank.org/data?qterm=gdp+united+states+and+indonesia+2012&language=EN&format = Diakses tanggal 19 September 2013
55
yaitu sebesar Rp 159.537 per Ha per tahun. Nilai manfaat pilihan hutan mangrove sebesar Rp 159.537 per Ha per tahun dikalikan dengan luasan hutan mangrove seluas 245,25 Ha sehingga nilai manfaat pilihan, yaitu sebesar Rp 39.126.666,54 per tahun. Tabel 19 Nilai Manfaat Pilihan Ekosistem Mangrove Kecamatan Tirtajaya tahun 2013 Jenis Manfaat Nilai Manfaat Per Tahun Manfaat Pilihan Biodiversitas 39.126.666,54 39.126.666,54 Total
di Desa Tambaksumur, Persentase (%) 100 100
Sumber: Data primer diolah, 2013
Berdasarkan hasil identifikasi seluruh nilai manfaat ekosistem mangrove, maka diperoleh perhitungan nilai ekonomi total dari hutan mangrove di Kecamatan Tirtajaya. Hasil tersebut diperoleh dari identifikasi manfaat langsung, manfaat tidak langsung, dan manfaat pilihan hutan mangrove. Manfaat langsung ekosistem mangrove terdiri dari nilai manfaat pengambilan kayu bakar, nilai manfaat pengambilan kepiting, nilai manfaat pengambilan udang, dan nilai manfaat pengambilan ikan di kawasan hutan mangrove. Jenis manfaat tidak langsung dari ekosistem mangrove diperoleh dari nilai manfaat ekologis sebagai pemecah ombak (breakwater). Manfaat pilihan yaitu nilai dari manfaat keanekagaraman hayati ekosistem mangrove tersebut yang dihitung dengan menggunakan faktor penyesuaian GDP (Gross Domestic Product) United States dengan Indonesia. Tabel 20 Jumlah seluruh nilai manfaat hutan mangrove di Desa Tambaksumur, Kecamatan Tirtajaya tahun 2013 dengan luas 49,05 Ha Nilai Manfaat Per Nilai Manfaat Persentase Jenis Manfaat Hektar Per Tahun Per Tahun (%) Manfaat Langsung 7.439.392 364.902.184 14,43 Manfaat Tidak Langsung 43.940.331 2.155.273.236 85,26 Manfaat Pilihan 159.537 7.825.289 0,31 51.539.260 2.528.000.709 100 Total Sumber: Data primer diolah, 2013
Berdasarkan Tabel 20 di atas mengenai jumlah seluruh nilai manfaat kawasan hutan mangrove di Kecamatan Tirtajaya tahun 2013, manfaat tidak langsung memiliki nilai dan persentase paling besar, yaitu sebesar Rp 2.155.273.236 per tahun atau 85,26 persen. Nilai manfaat tidak langsung ini diperoleh dari besarnya nilai manfaat hutan mangrove sebagai pelindung pantai.
56
Hal itu berarti kontribusi hutan mangrove dalam manfaat tidak langsung sebagai pelindung pantai (pemecah ombak) sangat berpengaruh, khususnya untuk masyarakat yang tinggal di pesisir pantai tersebut. Nilai manfaat langsung diperoleh sebesar Rp 364.902.184 per tahun atau 14,43 persen dan nilai manfaat pilihan memiliki nilai paling kecil, yaitu sebesar Rp 7.825.289 per tahun atau 0,31 persen. Oleh karena itu, nilai manfaat total hutan mangrove di Desa Tambaksumur, Kecamatan Tirtajaya tahun 2013 dengan luas yang diteliti 49,05 Ha, yaitu sebesar Rp 2.528.000.709 per tahun atau Rp 51.539.260 per Ha per tahun. Tabel 21 Jumlah seluruh nilai penerimaan tambak di Desa Tambaksumur, Kecamatan Tirtajaya tahun 2013 dengan luas 196,2 Ha Penerimaan Per Penerimaan Persentase Jenis Tambak Hektar Per Tahun Per Tahun (%) Tambak Udang 50.580.000 9.923.796.000 64,37 Tambak Bandeng 28.000.000 5.493.600.000 35,63 78.580.000 15.417.396.000 100 Total Sumber: Data primer diolah, 2013
Berdasarkan data Tabel 21 di atas, dapat dilihat jumlah seluruh nilai manfaat hutan mangrove yang hilang akibat konversi menjadi tambak menghasilkan penerimaan tambak, yaitu sebesar Rp 15.417.396.000 per tahun. Besarnya nilai kehilangan ini disebabkan konversi yang terjadi seluas 196,2 Ha atau sebesar 80% dari luas awal hutan mangrove, yaitu 245,25 Ha. Penerimaan tambak udang memiliki nilai terbesar, yaitu sebesar Rp 9.923.796.000 per tahun. Selanjutnya, nilai penerimaan tambak pada bandeng, yaitu sebesar Rp 5.493.600.000 per tahun. Dari data perhitungan di atas, bila dibandingkan antara hasil total jenis manfaat dengan hasil total jenis penerimaan tambak dapat diketahui bahwa total jenis penerimaan tambak menghasilkan nilai yang lebih besar. Hal tersebut disebabkan data jenis manfaat mangrove yang digunakan melalui wawancara berasal dari tahun 2001 sehingga total jenis manfaat tersebut harus dihitung dengan menggunakan rumus compounding. Hasil total jenis manfaat
yang menjadi nilai kerugian setelah
dicompounding secara kumulatif dari tahun 2001 sampai tahun 2013 dapat dilihat pada tabel 22 di bawah ini.
57
Tabel 22 Nilai compounding dengan perbandingan suku bunga 3 persen dan 5 persen dari tahun 2001 sampai tahun 2013 (1+i) Tahun 1,03 1,05 2001 2.528.000.709 2.528.000.709 2002 2.603.840.730 2.654.400.744 2003 2.681.955.952 2.787.120.782 2004 2.762.414.631 2.926.476.821 2005 2.845.287.070 3.072.800.662 2006 2.930.645.682 3.226.440.695 2007 3.018.565.052 3.387.762.730 2008 3.109.122.004 3.557.150.866 2009 3.202.395.664 3.735.008.409 2010 3.298.467.534 3.921.758.830 2011 3.397.421.560 4.117.846.771 2012 3.499.344.207 4.323.739.110 2013 3.604.324.533 4.539.926.065 Total 39.481.785.327 44.778.433.195 Sumber: Data primer diolah, 2014
Berdasarkan hasil data pada tabel di atas dapat dilihat kedua hasil perbandingan antara suku bunga yang diasumsikan 3 persen dengan 5 persen memiliki hasil sebesar Rp 39.481.785.327 dan Rp 44.778.433.195. Hasil ini didapat dari rumus = f ( 1+i )t, yaitu total jenis manfaat mangrove dikalikan dengan suku bunga yang dipangkatkan dengan tahun
sebelum terjadinya
perubahan lahan mangrove tersebut dari tahun 2001 ke tahun 2013. Dapat dilihat hasil setelah dicompounding, nilai jenis manfat mangrove menjadi sangat besar. Nilai tersebut merupakan nilai kerugian dari hutan mangrove yang tersisa pada luas 49,05 Ha yang telah dialihfungsikan menjadi lahan tambak. 6.2. Analisis Pendapatan Ikan Tambak Penggunaan lahan perikanan tambak udang tanpa mengalihfungsikan lahan mangrove di Kecamatan Tirtajaya Kabupaten Karawang ini dihitung dengan menggunakan pendekatan analisis secara finansial. Dalam hal ini, hutan mangrove masih memiliki fungsi normal dan membuat penduduk merasakan fungsi dari keberadaan mangrove tersebut. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan dengan 50 responden, produksi udang rata-rata per sekali panen dengan padat tebar 5000 benih udang adalah sebesar 281 kg dengan harga jual udang windu sebesar Rp
58
60.000,00 sehingga pendapatan yang diterima petani tambak untuk sekali panen adalah Rp 16.860.000. Umumnya dalam setahun dilakukan 3 kali panen udang sehingga dalam setahun produksi udang yang dihasilkan sebesar 843 kg, dengan pendapatan Rp 50.580.000 per tahun. Selain itu, produksi ikan bandeng per sekali panen dengan padat tebar 15.000 benih bandeng sebesar 1.000 kg dengan harga jual Rp 14.000,00. Dalam waktu 5-6 bulan ikan bandeng sudah dapat dipanen sehingga pendapatan yang diterima per siklus adalah Rp 14.000.000. dan dalam setahun pendapatan para petambak sebesar Rp 28.000.000. Biaya investasi yang dikeluarkan dalam produksi tambak udang dan bandeng dengan jangka waktu kurang lebih 10 tahun, yaitu meliputi rata-rata biaya pembuatan rumah jaga sekitar Rp 4.198.864, pembelian mesin pompa air sebesar Rp 2.322.500, pembuatan pintu air sebesar Rp 729.000 sehingga biaya tersebut hanya dikeluarkan oleh petani tambak setiap kurang lebih 10 tahun sekali. Biaya investasi lainnya yang memiliki umur ekonomis 1-2 tahun adalah biaya pembelian lampu pada tambak Rp 16.407, pembelian tempat untuk menyimpan udang Rp 193.000, pembelian timbangan Rp 130.150, pembelian serokan Rp 31.974, stereofoam Rp 30.000, pembelian ember untuk menampung udang yang telah dipanen Rp 10.564, senter Rp 69.651, jala Rp 243.478, dan jaring Rp 6.125, serta tenaga kerja sebesar Rp 6.049.830. Selain biaya investasi, biaya yang dikeluarkan dalam produksi tambak udang adalah biaya operasional. Rata-rata biaya operasional tersebut dikeluarkan 5 kali dalam setahun untuk udang windu dan ikan bandeng, meliputi biaya pembelian pakan untuk setahun Rp 11.672.250, pupuk urea Rp 4.056.375, pupuk TSP Rp 1.899.210, kapur Rp 1.353.690, probiotik Rp 1.126.400, vitamin Rp 883.320, obat-obatan Rp 1.186.380, pembelian benih udang Rp 1.350.000, benih bandeng Rp 2.500.000, bensin Rp 1.250.000, listrik Rp 767.310, tenaga kerja persiapan Rp 6.871.800, dan tenaga kerja panen Rp 26.813.250. Total dari keseluruhan biaya yang dikeluarkan dalam tambak udang, yaitu sebesar Rp 8.142.277 biaya investasi dan Rp 61.729.985 untuk biaya operasional. Rincian biaya investasi dan operasional, serta total biaya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
59
Tabel 23 Analisis pendapatan ikan tambak budidaya udang windu dan ikan bandeng per hektar per tahun. Penerimaan
Pendapatan per tahun
Tambak Udang
50.580.000
Tambak Bandeng
28.000.000
Total Penerimaan Per tahun Biaya Tunai Biaya Operasional
78.580.000 Biaya per tahun 61.729.985 61.729.985 Biaya per tahun
Total Biaya Tunai Biaya Non Tunai Tenaga Kerja Penyusutan Investasi
6.049.830 2.092.447 8.142.277 69.872.262
Total Biaya Non Tunai Total Biaya Pendapatan atas biaya tunai Pendapatan atas biaya total R/c atas biaya tunai R/c atas biaya total Sumber: Data primer diolah, 2013
16.850.015 8.707.738 1,27 1,12
Analisis pendapatan dilihat dari penerimaan produksi tambak dan total penyusutan biaya investasi, serta total biaya operasional. Jumlah total penyusutan biaya investasi adalah sebesar Rp 2.092.477. Rumus pendapatan atas biaya tunai didapat dari pengurangan jumlah penerimaan dengan jumlah biaya tunai (operasional) sehingga pendapatan atas biaya tunainya sebesar Rp 16.850.015. Rumus pendapatan atas biaya total didapat dari pengurangan jumlah penerimaan produksi dengan total biaya sehingga hasilnya sebesar Rp 8.707.738. Berdasarkan hasil perhitungan olah data, R/C atas biaya tunai memiliki nilai sebesar 1,27 dan R/C atas biaya total sebesar 1,12. Hasil perhitungan di atas dapat dinyatakan bahwa penggunaan lahan tambak tanpa dengan mengkonversi lahan mangrove menghasilkan R/C di atas 1 atau dinyatakan layak secara finansial. 6.3. Analisis Keberlanjutan Tambak Berdasarkan hasil perhitungan manfaat finansial, penggunaan lahan tambak tanpa mengalihfungsikan lahan mangrove di Desa Tambaksumur menguntungkan baik petambak maupun lingkungan. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel 22, nilai R/C atas biaya tunai dan biaya total lebih dari satu sehingga dinyatakan layak. Perhitungan analisis keberlanjutan tambak udang dan bandeng
60
dilihat dari keuntungan yang dihasilkan dari tambak dengan kerugian dari perubahan alih fungsi lahan mangrove. Perubahan alih fungsi lahan mangrove di Desa Tambaksumur ini dilakukan oleh penduduk sekitar. Berdasarkan informasi melalui wawancara, penduduk sekitar melakukan penebangan mangrove kurang mengetahui fungsi mangrove yang sesungguhnya dan menurut mereka mangrove memberikan dampak buruk pada produksinya karena banyak hama datang jika adanya mangrove. Penerimaan dari hasil tambak udang windu dan bandeng yang diterima oleh petambak, yaitu sebesar Rp 15.417.396.000 per tahun. Keuntungan yang diterima para petambak udang dan bandeng secara non tunai yaitu sebesar Rp 16.850.015 per tahun dan keuntungan secara totalnya yaitu Rp 8.707.738 per hektar per tahun. Kemudian, kerugian yang ditimbulkan dari hasil perubahan alih fungsi lahan mangrove menjadi tambak yaitu total nilai kehilangan dari manfaat langsung hutan mangrove. Dengan demikian, nilai kehilangan dari manfaat langsung tersebut berupa nilai pengambilan kayu bakar, kepiting, udang, dan ikan sebesar Rp 364.902.184 per tahun, nilai kehilangan dari manfaat tidak langsung yang berupa nilai pelindung pantai, nilai pemijahan ikan, serta nilai habitat sebesar Rp 2.155.273.236 per tahun, dan nilai kehilangan dari manfaat pilihan sebesar Rp 7.825.289 per tahun sehingga nilai total manfaat dari mangrove yang hilang, yaitu Rp 2.528.000.709 per tahun. Nilai ini begitu kecil dibanding dengan penerimaan yang diterima petambak setiap tahunnya karena data yang diambil dari hasil wawancara yaitu data tahun 2001 sehingga hasil data tersebut diolah dengan mengcompoundingkan nilai total manfaat ke tahun sekarang. Oleh karena itu, nilai kerugian yang diterima para petambak adalah Rp 39.481.785.327 dan Rp 44.778.433.195 dengan asumsi suku bunga 3 persen dan 5 persen. Nilai kehilangan dari manfaat langsung mangrove mengakibatkan kerugian yang sangat tinggi dan jauh dari keuntungan yang diterima para petambak. Oleh karena itu, analisis keberlanjutan tambak ini digunakan untuk mempertahankan kondisi lingkungan tetap baik (khususnya hutan mangrove) dan juga menghasilkan keuntungan ekonomi. Hal ini dapat dilakukan dengan menerapkan sistem penanaman kembali pohon mangrove yang telah ditebang dan dijadikan lahan tambak sehingga diperoleh keuntungan ekologis dan ekonomis.
61
6.4. Alternatif Kebijakan Kegiatan budidaya tambak perikanan dengan melakukan perubahan fungsi lahan mangrove telah menimbulkan kerugian bagi masyarakat dan lingkungan yang cukup besar sehingga diperlukan langkah yang tepat dalam penyusunan dan penerapan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan hutan mangrove diterbitkan beberapa peraturan antara lain: 1.
Peraturan Presiden No 73 Tahun 2012 (Pasal 1) a.
Strategi
Nasional
Pengelolaan
Ekosistem
Mangrove
yang
selanjutnya disingkat SNPEM adalah upaya dalam bentuk kebijakan dan program untuk mewujudkan pengelolaan ekosistem mangrove lestari dan masyarakat sejahtera berkelanjutan berdasarkan sumber daya yang tersedia sebagai bagian integral dari sistem perencanaan pembangunan nasional. b.
Ekosistem Mangrove adalah kesatuan antara komunitas vegetasi mangrove berasosiasi dengan fauna dan mikro organisme sehingga dapat tumbuh dan berkembang pada daerah sepanjang pantai terutama di daerah pasang surut, laguna, muara sungai yang terlindung dengan substrat lumpur atau lumpur berpasir dalam membentuk keseimbangan lingkungan hidup yang berkelanjutan.
c.
Pengelolaan ekosistem mangrove berkelanjutan adalah semua upaya perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan lestari melalu proses terintegrasi untuk mencapai keberlanjutan fungsi-fungsi ekosistem mangrove bagi kesejahteraan masyarakat.
2.
Peraturan Presiden No 121 Tahun 2012 a.
Mangrove adalah vegetasi pantai yang memiliki morfologi khas dengan sistem perakaran yang mampu beradaptasi pada daerah pasang surut dengan substrat lumpur atau lumpur berpasir (Pasal 1 ayat 4).
b.
Rehabilitasi dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan orang yang memanfaatkan secara langsung atau tidak langsung wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (Pasal 2 ayat 1).
62
c.
Rehabilitasi wajib dilakukan apabila pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil mengakibatkan kerusakan ekosistem atau populasi yang melampaui kriteria kerusakan ekosistem atau populasi (Pasal 2 ayat 2).
d.
Rehabilitasi yang dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap: terumbu karang, mangrove, lamun, estuari, laguna, teluk, delta, gumuk pasiar, pantai dan/atau populasi ikan (Pasal 2 ayat 3).
e.
Kriteria kerusakan ekosistem atau populasi ditentukan berdasarkan: kerusakan fisik, kerusakan kimiawi dan/atau kerusakan hayati (Pasal 3 ayat 2)
f.
Kerusakan fisik dalam Pasal 3 ayat 2 meliputi: penurunan manfaat dan fungsi fisik ekosistem atau populasi, penurunan luasan ekosistem atau populasi dan/atau pencemaran habitat (Pasal 4 ayat 1).
g.
Kerusakan hayati yang dimaksud meliputi: kerapatan rendah, tutupan rendah, dominasi jenis tinggi atau keanekaragaman rendah, penurunan populasi melebihi kemampuan alam untuk pulih dan/atau penurunan dan/atau hilangnya daerah pemijahan (spawning ground), daerah pembesaran (nursery ground), serta daereah pencarian makan (feeding ground) (Pasal 4 ayat 3).
Berdasarkan peraturan pengelolaan dan pemanfaatan hutan mangrove di atas, dapat disimpulkan alternatif kebijakannya, yaitu: a.
Peraturan pemanfaatan di atas dapat diperbaiki dengan mempertegas kebijakan peraturan zonasi penetapan hutan mangrove sebagai kawasan lindung suaka alam dengan pemanfaatan yang terbatas dan kawasan lindung pantai berhutan bakau.
b.
Memperketat proses perizinan untuk memanfaatkan lahan di sekitar kawasan lindung tersebut.
c.
Memberikan sanksi yang jelas dan tegas kepada masyarakat yang melanggar peraturan berupa sanksi administratif dan sanksi pidana.
d.
Peraturan di atas akan menjadi lebih baik bila pemerintah daerah wilayah Karawang bekerja sama dengan masyarakat dalam meningkatkan kualitas
63
lingkungan pesisir melalui rehabilitasi ekosistem mangrove untuk mengembalikan fungsinya semula yaitu sebagai tempat pemijahan
dan
mencari makan dari berbagai jenis ikan dan udang, pengendalian pencemaran, abrasi, serta intrusi air laut. e.
Mengadakan
kegiatan
sosialisasi
masyarakat
mengenai
peraturan
pemanfaatan tata ruang yang berlaku dan pentingnya keberadaan ekosistem hutan mangrove. f.
Menetapkan kebijakan dengan tidak memberikan insentif kepada pemilik tambak yang menambah luas tambak dan mengganggu keberadaan hutan mangrove di sekitar.
VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan Terdapat beberapa kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian valuasi ekonomi dampak budidaya udang windu dengan alih fungsi lahan mangrove di wilayah Karawang, yaitu: 1. Kegiatan pemanfaatan hasil hutan mangrove yang dilakukan oleh masyarakat di Kecamatan Tirtajaya adalah pengambilan kayu untuk bahan bakar rumah tangga, pengambilan kepiting, pengambilan udang, dan pengambilan ikan. Kerugian ekonomi dari dampak ini berupa manfaat hasil hutan mangrove tersebut yang hilang akibat perubahan alih fungsi lahan menjadi tambak. 2.
Hasil
analisis
secara
finansial
menunjukan
bahwa
dengan
mempertahankan hutan mangrove di wilayah ini lebih menguntungkan, baik untuk pemanfaatan langsung maupun tidak langsung. Hal ini dapat dilihat pada nilai R/C atas biaya tunai dan R/C atas biaya total yang lebih dari satu dan dinyatakan layak untuk usaha budidaya tambak tanpa mengalihfungsikan lahan mangrove. 3. Hasil analisis keberlanjutan tambak udang windu dan ikan bandeng diperoleh nilai kehilangan dari manfaat mangrove yang mengakibatkan kerugian yang sangat tinggi dan jauh dari keuntungan yang diterima para petambak, yaitu nilai kerugian yang diterima para petambak adalah Rp 39.481.785.327. dan Rp 44.778.433.195. dengan asumsi suku bunga 3 persen dan 5 persen dan penerimaan yang diterima oleh petambak Rp 15.417.396.000. Oleh karena itu, sistem penanaman kembali pohon mangrove yang telah ditebang dan dijadikan lahan tambak dapat dilakukan untuk mempertahankan kondisi lingkungan tetap baik (khususnya hutan mangrove) dan juga menghasilkan keuntungan ekonomi. 4. Alternatif kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan hutan mangrove yang terdiri dari Peraturan Presiden No 73 Tahun 2012 dan Peraturan Presiden No 121 Tahun 2012, yaitu melakukan strategi pengelolaan ekosistem mangrove, rehabilitasi ekosistem mangrove dalam mengembalikan fungsi
65
semula dan sosialisasi mengenai peraturan tata ruang yang jelas kepada masyarakat, serta dengan mempertegas kebijakan peraturan zonasi penetapan hutan mangrove sebagai kawasan lindung suaka alam dan memberikan sanksi yang jelas dan tegas kepada masyarakat yang melanggar peraturan. 7.2. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan maka terdapat beberapa saran yang diberikan, yaitu: 1. Perlu pempertegas penetapan zonasi kawasan agar dapat dilakukan penataan kawasan untuk budidaya tambak sehingga keseimbangan ekologis tersebut dapat terpenuhi. 2. Perlu dilakukan peraturan untuk mengatasi pembatasan pembukaan lahan tambak secara berlebihan. 3. Diharapkan penelitan selanjutnya mencakup ruang lingkup yang lebih luas agar dapat diketahui sampai mana dampak dari perubahan alih fungsi lahan mangrove menjadi perikanan tambak budidaya dengan memberikan hasil representatif serta kelancaran dalam pelaksanaan kebijakan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA Amri K. 2003. Budidaya Udang Windu Secara Intensif. Jakarta (ID): Agromedia Pustaka: Biao X, D Zhuhong dan W Xiaorong. 2004. Impact of the Intensive Shrimp Farminv on The Water Quality of The Adjacent Coastal Creeks From Eastern China. Marine Pollution Bulletin Volume 48: 543-553 Dahuri R. 2002. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan. Orasi Ilmiah: Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan FPIK-IPB. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Darmono. 1993. Budidaya Udang Penaeus. Yogyakarta (ID): Kanisius. Dewan Kelautan Indonesia. 2008. Evaluasi Kebijakan Dalam Rangka Implementasi Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982) di Indonesia.[Internet]. http://rovicky.files.wordpress.com/2010/09/la20unclos/20pdf2.pdf. Diakses 12 Februari 2013. Dinas Lingkungan Hidup, Pertambangan, dan Energi Kabupaten Karawang. 2008. Laporan Kegiatan Invertarisasi Lahan Kritis Akibat Abrasi di Wilayah Pesisir Kabupaten Karawang. http://bplhkarawang.com/wpcontent/uploads/2012/05/Laporan-Kegiatan-Pesisir.pdf. Diakses 17 Februari 2013. Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta. 2013. DPA Belanja Langsung SDPU Kabupaten Adm. Kepulauan Seribu Tahun 2013. Jakarta (ID). Fachruddin A. 1996. Analisis Ekonomi Pengelolaan Pesisir Kabupaten Subang, Jawa Barat [Tesis]. Sekolah Pascasarjana. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Fauzi A. 2002. Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Makalah pada Pelatihan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Semarang (ID): Universitas Diponogoro. ______. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama. ______. 2010. Ekonomi Perikanan: Teori, Kebijakan, dan Pengelolaan. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama. ______. 2013. Valuasi Ekonomi dan Penilaian Kerusakan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Fauzi A, Anna S, 2005. Panduan Penentuan Perkiraan Ganti Rugi Akibat Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan. Jakarta (ID): Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Gittinger J.P. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Sutomo S dan Mangiri K, penerjemah. Jakarta (ID): UI-Press. Terjemahan dari: Economic Analysis Of Agriculture. Hanley N, Barbier E. 2009. Pricing Nature: Cost-Benefit Analysis and Environmental Policy. Edward Elgar Publishing. Ibrahim H.M Yacob. 2009. Studi Kelayakan Bisnis Edisi Revisi. Jakarta (ID): Rineka Cipta.
67
Ilman M et al. 2011. State of the Art Information on Mangrove Ecosystems in Indonesia. Bogor (ID): Wetlands International – Indonesia Programme. Kadariah et al. 1980. Pengantar Evaluasi Proyek. Jakarta (ID): Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Kasmir, Jakfar. 2003. Studi Kelayakan Bisnis. Bogor (ID): Prenada Media. Kementerian Perikanan dan Kelautan. 2012. SDM dan IPTEK, Kunci Sukses Industrialisasi Berbasis Perikanan Budidaya. [Internet]. http://www.kkp.go.id/index.php/arsip/c/7452/SDM-dan-IPTEK-KunciSukses-Industrialisasi-Berbasis-Perikanan-Budidaya/. Diakses 12 Februari 2013. Kementerian Perikanan dan Kelautan. 2012. Aplikasi Sistem Informasi Diseminasi, Data Statistik Kelautan dan Perikanan. [Internet]. http://statistik.kkp.go.id/index.php/statistik/c/9/0/0/Statistik-BudidayaTambak/Statistik-Perikanan-BudidayaTambak/?subentitas_id=56&view_data=1&tahun_start=2010&tahun_to=2 011&tahun=2011&filter=Lihat+Data+». Diakses 12 Februari 2013. Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2007. Panduan Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Jakarta (ID). Kordi K, M Ghufran. 2011. Budidaya 22 Komoditas Laut Untuk Konsumsi Lokal dan Ekspor. Yogyakarta (ID): Lily Publisher. Kusmana, C. 2002. Pengelolaan Ekosistem Mangrove Secara Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat. Jakarta (ID): Lokakarya Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Murtidjo, B A. 1989. Tambak Air Payau Budidaya Udang dan Bandeng. Yogyakarta (ID): Kanisius. _____________. 2002. Budidaya dan Pembenihan Bandeng. Yogyakarta (ID): Kanisius. Nazir M. 1999. Metode Penelitian. Jakarta (ID): Ghalia Indonesia. Pemerintah Kabupaten Karawang. 2012. Karawang dalam Angka. Karawang. Purnomo, A. H. 2007. Basic Analysis in Fisheries Planning. Ekonomi Pembangunan Perikanan. Jakarta (ID): Universitas Terbuka. Rozi, F. A. 2008. Penerapan Budidaya Udang Ramah Lingkungan dan Berkelanjutan. Yogyakarta (ID): Universitas Gadjah Mada Press. Ruitenbeek H.J. 1991. Mangrove Management: An Economic Analysis Of Management Options With A Focus Of Bintuni Bay, Irian Jaya. EMDI Report No 8. Environmental Management in Indonesia Project. Jakarta (ID): Halifax. RMI. 2007. Laporan Studi PES Untuk Mengembangkan Skema PES di DAS Deli, Sumatera Utara dan DAS Progo Jawa Tengah. Saanin, H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Jakarta (ID): Bina Cipta. Siregar, Raja P. 1999. A Report on Shrimp Export Target to Cope With Economic Crisis. Jakarta (ID): WALHI.
68
Sudrajat, Achmad. 2008. Budidaya 23 Komoditas Laut Menguntungkan. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Sutaman. 1993. Petunjuk Praktis Pembenihan Udang Windu Skala Rumah Tangga. Yogyakarta (ID): Kanisius. Suyanto S, A. Mujiman. 2005. Budidaya Udang Windu. Jakarta. (ID): Penebar Swadaya Tajerin et al. 2009. Ekonomi Udang Indonesia: Model, Analisis, dan Simulasi Kebijakan. Jakarta (ID): Balai Riset Kelautan dan Perikanan. Tim Karya Tani Mandiri. 2010. Pedoman Budidaya Berternak Ikan Bandeng. Bandung (ID): CV Nuansa Aulia. Tuwo, A. 2011. Pengelolaan Ekowisata Pesisir dan Laut. Surabaya (ID): Brilian Internasional. Utojo et al. 2007. Identifikasi Kelayakan Lahan Untuk Pengembangan Usaha Budidaya Laut di Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 10 (5): 1-18. Wedjatmiko A. Budidaya Udang di Sawah dan Tambak. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.
69
LAMPIRAN
70
Lampiran 1. Kuisioner Responden No :
Hari/Tanggal : ........................
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN Jl. Kamper level 5 Wing 5 kampus IPB Dramaga Bogor 16 Telp. (0251) 8621 834, Fax (0251) 8421 762 KUESIONER PENELITIAN Kuisioner ini digunakan sebagai bahan skripsi mengenai “Valuasi Ekonomi Dampak Budidaya Udang Windu Dengan Alih Fungsi Lahan Mangrove Di Wilayah Karawang”, studi kasus budidaya tambak udang windu Kecamatan Cibuaya, Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat. Kami mohon partisipasi Anda untuk mengisi kuisioner ini dengan teliti dan lengkap sehingga dapat menjadi data yang objektif. Informasi yang Anda berikan dijamin kerahasiaannya, tidak untuk dipublikasikan dan tidak digunakan untuk kepentingan politis. Atas perhatian dan partisipasinya Kami ucapkan terima kasih. A. Karakteristik Responden Nama : Alamat :
1.
Jenis kelamin
: L/P
2. Umur
:
3. Status
: Menikah/ Belum Menikah
4.
tahun
Jika sudah menikah, berapa jumlah (orang) anggota keluarga yang ditanggung?
5. Pendidikan formal terakhir yang anda tempuh? a. SD b. SMP/Tsanawiyah c. SMA/STM/Aliyah d. Perguruan Tinggi e. Tidak sekolah 6. Apakah jenis pekerjaan Anda saat ini ? a. PNS (Pegawai Negeri Sipil)
e. Pegawai Swasta
71
b. TNI / Polisi
f. Pengusaha / Wirausaha
c. Pedagang
g. Ibu Rumah Tangga
d. Buruh Pabrik
h. Lainnya, …………………….
7. Rata-rata pendapatan perbulan (dalam rupiah) Saudara? a. <500.000
Tepatnya : Rp.
b. 500.001-1.000.000
Tepatnya : Rp.
c. 1.000.001-1.500.000
Tepatnya : Rp.
d. 1.500.001-2.000.000
Tepatnya : Rp.
e. >2.000.000
Tepatnya : Rp.
8. Adakah pendapatan lain selain pekerjaan yang Saudara sebutkan di atas? No
9.
Jenis Pekerjaan Sambilan
Curahan jam/hari
Curahan hari/ minggu
Keterangan
Berapakah pendapatan per bulan yang saudara dapatkan dari pekerjaan sambilan tersebut? Rp.
10. Apakah ada anggota keluarga lainnya yang bekerja? a. Ya
b. Tidak
11. Kalau ada, berapa total pendapatan mereka perbulannya? Rp. 12. Total Pendapatan perbulan satu rumah tangga : Rp.
72
B. Informasi Tentang Mangrove 1. Apakah saudara mengetahui tentang keberadaan hutan Mangrove di sekitar tempat tinggal saudara? a. Tidak b. Ya 2. Apakah saudara mengetahui fungsi dari hutan mangrove? a. Tidak b. Ya, 1. Berfungsi sebagai nursery ground (sebagai tempat mencari makan ikan dan berkembang biak) 2. Berfungsi sebagai pengendali intrusi air laut 3. Berfungsi sebagai pelindung pantai dari abrasi 4. Berfungsi sebagai penyedia kayu bakar 3. Apakah saudara mengetahui adanya kerusakan hutan mangrove tersebut? a. Tidak b. Ya 4. Apakah saudara mengetahui penyebab terjadi kerusakan tersebut? a. Tidak b. Ya, 1.
Terjadinya penebangan liar,
2.
Adanya pembangunan pabrik-pabrik dan rumah
3.
Adanya konversi mangrove menjadi tambak
5. Apakah saudara mengetahui dampak dari hilangnya hutan mangrove yang dikonversi menjadi tambak? a. Tidak b. Ya 6. Berapakah luas mangrove sebelum dikonversi? ...................... Ha 7. Berapakah luas mangarove yang saudara konversi? ................Ha 8. Berapakah jumlah potensi kayu komersil pada mangrove dalam setahun? ..........................m3 9. Berapakah harga kayu per m3? ..........................m3
73
10. Berapakah biaya pemanfaatan (tebang dan angkut) yang dikeluarkan? ............................ /m3
dalam siklus tebang ..................... tahun
11. Berapakah jumlah hasil tangkapan ikan per kg? ........................../kg 12. Berapakah harga hasil penjualan ikan per kg? ............................./kg 13. Berapakah biaya yang dikeluarkan? .............................. per tahun 14. Berapakah jumlah hasil tangkapan kepiting per kg? ........................../kg 15. Berapakah harga hasil penjualan kepiting per kg? ............................./kg 16. Berapakah biaya yang dikeluarkan? .............................. per tahun 17. Berapakah jumlah hasil tangkapan burung? ..........................ekor 18. Berapakah harga hasil penjualan burung per ekor? ............................./ekor 19. Berapakah biaya yang dikeluarkan? .............................. per tahun 20. Berapakah jumlah hasil tangkapan ular? .......................... 21. Berapakah harga hasil penjualan ular per satuan? ............................. 22. Berapakah biaya yang dikeluarkan? .............................. per tahun
74
C. Informasi Tentang Biaya Pembuatan Tambak 1. Apakah anda memiliki tambak? a. Ya b. Tidak 2. Status kepemilikan lahan tambak? a. Milik sendiri b. Sewa c. Lainnya, .................. 3. Bila sewa, berapa harga sewa per hektar? Rp ................... 4. Bila sewa, berapa lama waktu sewa? ............ Tahun/Bulan 5. Berapa luas lahan tambak yang anda miliki? ......................... Ha 6. Berapa kapasitas udang yang ada dalam tambak dalam satu meter kubiknya? .......................... ekor/m2 7. Berapa besar modal yang anda gunakan untuk tambak? Rp ......................... 8. Berapa besar biaya yang diperlukan untuk pembuatan tambak per hektar? Rp ............................ / hektar 9. Berapa lama waktu pemeliharaan tambak tersebut? ................... bulan 10. Berapa jumlah siklus panen per tahun? ....................... kali/tahun 11. Apakah anda memiliki tenaga kerja dalam kegiatan budidaya tambak udang ini? a. Ya b. Tidak 12. Jika ya, berapa upah yang diberikan untuk pekerja per hari? Rp .......................... / hari 13. Berapa biaya yang diperoleh dalam pemanenan per bulannya? a.
Rp 100.000
b. Rp 100.000 – 500.000 c.
Rp 1.000.000
14. Berapa besar biaya yang diperlukan untuk pemeliharaan tambak per meter kubiknya per bulan? a.
Rp 1.000.000
b. Rp 5.000.000 – Rp 10.000.000
75
c.
Rp 10.000.000
15. Kendala yang umumnya dihadapi dalam kegiatan pengelolaan tambak ................................................................................................................ ................................................................................................................ ................................................................................................................
76
D. Aspek Finansial 1. Komponen Outflow 1.1 Biaya Investasi Investasi
1) Tanah (m²) a. Sewa b. Milik sendiri 2) Tambak 3) Gudang Pakan 4) Rumah Jaga 5) Pompa Air 6) Lampu 7) Tempat udang 8) Timbangan 9) Tabung Oksigen 10) Serokan 11) Stereofoam 12) Selang Oksigen 13) Kincir 14) Mesin Diesel 15) Jaring 16) Ember 17) Senter 18) ..................... 19) ..................... 20) .....................
Jumlah (unit)
Biaya per Satuan (Rp/Unit)
Biaya Total (Rp)
Umur Pakai (Tahun)
77
1.2 Biaya Operasional Operasional
Sat
1) Pakan
Kg
2) Pupuk Urea
Kg
3) Pupuk Kandang 4) Pupuk TSP 5) Kapur 6) Probiotik
Kg Kg Kg Liter/Kg
7) Vitamin
Kg
8) Obat – obatan
Kg
9) Benih A
Ekor/Kg
10) Benih B
Ekor/Kg
11) Solar / Bensin
Liter
12) Tenaga Kerja
Org/hari
Persiapan 13) Tenaga Kerja
Org/hari
Pemeliharaan 14) Tenaga Kerja
Org/hari
Panen 15) Listrik
Rp/Bln
16) Perawatan
Rp/Bln
17) ..........................
Volume
Harga Satuan
(unit)
(Rp)
78
Operasional
Sat
Volume
Harga Satuan
(unit)
(Rp)
18) ………….......….. 19) …….......……….. 20) .......…………….. 1.3 Biaya Tetap Tetap
Volume
Jumlah
(unit)
(Rp)
Biaya Periode (Bulan)
1) PBB Lahan 2) Bunga Pinjaman 3) Sewa Lahan 4) Biaya Listrik 5) Biaya Telephone 6) Biaya Air/pengairan 7) Iuran Kelompok 8) Retribusi 9) ............................ 2. Komponen Inflow Uraian 1) Komoditas Utama (Kg) 2) Pinjaman 3) Subsidi 4) Barang yang disewakan 5) .................. 6) ...................
Jumlah (Rp)
Periode (Bulan)
79
Lampiran 2. Jumlah petambak berdasarkan umur Umur (Tahun) Jumlah Petambak (Orang) 19-27 7 28-36 14 37-45 15 46-54 10 55-63 3 64-72 0 73-81 1 Jumlah 50 Sumber: Data primer diolah, 2013 Lampiran 3. Jumlah petambak berdasarkan tingkat pendidikan Jumlah Petambak Tingkat Pendidikan (Orang) SD 38 SLTP 5 SLTA 6 S1 1 Jumlah 50 Sumber: Data primer diolah, 2013 Lampiran 4. Jumlah petambak berdasarkan pengalaman usaha Lama Usaha (Tahun) Jumlah Petambak (Orang) 1-5 10 6-10 11 11-15 10 16-20 10 21-25 3 26-30 4 31-35 2 Jumlah 50 Sumber: Data primer diolah, 2013
Presentase (%) 14 28 30 20 6 0 2 100
Persentase (%) 76 10 12 2 100
Presentase (%) 20 22 20 20 6 8 4 100
Lampiran 5. Jumlah Petambak Berdasarkan Status Kepemilikan Lahan Tambak Jumlah Petambak Status Kepemilikan Lahan Tambak (Orang) Persentase (%) Milik Sendiri 18 36 Sewa 17 34 Gadai 13 26 Milik Sendiri dan Sewa 1 2 Sewa dan Gadai 1 2 Jumlah 50 100 Sumber: Data primer diolah, 2013
80
Lampiran 6. Analisis finansial dan ekonomi dampak budidaya ikan tambak dengan alih fungsi lahan mangrove volu me
pendapatan per siklus
harga
Pendapatan per tahun
Penerimaan
sat
Tambak Udang
kg
281
60000
16860000
50580000
Tambak Bandeng
kg
1000
14000
14000000
28000000 78580000
Total Penerimaan Per tahun volu me
biaya satuan
Biaya Tunai
sat
Pakan
kg
394
5925
2334450
11672250
Pupuk Urea
kg
435
1865
811275
4056375
Pupuk TSP
kg
177
2146
379842
1899210
Kapur
kg
178
1521
270738
1353690
Probiotik
lt
11
20480
225280
1126400
Vitamin
lt
8
22083
176664
883320
Obat-obatan
kg eko r eko r
9 1500 0
26364
237276
1186380
30
450000
1350000
5000
250
1250000
2500000
lt bula n
50
5000
250000
1250000
3
51154
153462
767310
hari ora ng
10
137436
1374360
6871800
5
1072530
5362650
26813250
Benih udang Benih bandeng Bensin Listrik Tenaga Kerja persiapan Tenaga kerja panen
biaya per siklus
Biaya per tahun
61729985
Total Biaya Tunai Biaya Non Tunai Tenaga Kerja persiapan Tenaga kerja panen
sat
volu me
hari ora ng sat
biaya satuan
biaya per siklus
Biaya per tahun
1
137436
137436
687180
1
1072530 biaya satuan
1072530
5362650
volu me
umur ekonomis
Biaya per tahun
Penyusutan rumah jaga Penyusutan mesin pompa air
unit
1
4198864
11
381715
unit
1
2322500
4
580625
Penyusutan pintu air
unit
2
729000
4
364500
Penyusutan lampu Penyusutan tempat udang
unit
3
16407
1
49221
unit
2
193000
2
193000
Penyusutan timbangan
unit
1
130500
2
65250
Penyusutan serokan
unit
2
31974
1
63948
Penyusutan stereofoam
unit
7
30000
1
210000
81
Penyusutan ember
unit
2
10564
1
21128
Penyusutan senter
unit
1
69651
1
69651
Penyusutan jala
unit
1
243478
3
81159
Penyusutan jaring
unit
4
6125
2
12250
biaya per tahun 273600 0
Nilai manfaat per tahun
620000 288053 000 418013 000
0
Manfaat langsung mangrove
sat
volu me
harga satuan
Pengambilan kayu bakar
kg
2
6000
Pengambilan kepiting
kg
1.04
20000
Pengambilan udang
kg
1.750
15000
Pengambilan ikan
kg
3.5
6000
Total Biaya Non Tunai TOTAL BIAYA
nilai penjual an per tahun 576000 0 109824 00 330750 000 514080 000
0
0 0 8142277 69872262
Pendapatan atas biaya tunai
16850015
Pendapatan atas biaya total
8707738
R/c atas biaya tunai
1.27
R/c atas biaya total
1.12
82
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 09 Juli 1991 sebagai putri sulung dari dua bersaudara pasangan Taufik Zulfikar dan Isye Marda Samallo. Pada tahun 1997 penulis memulai pendidikan dasar di Sekolah Dasar Negeri Joglo 10, Jakarta Barat dan lulus pada tahun 2003. Penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menegah Pertama Negeri 75 Jakarta Barat dan lulus pada tahun 2006. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 90 Jakarta Selatan dan lulus pada tahun 2009. Pada tahun yang sama, penulis masuk sebagai salah satu mahasiswi Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis berhasil menyelesaikan pendidikan sarjana pada tahun 2013. Selama kuliah penulis aktif pada kegiatan organisasi kemahasiswaan dalam dan kampus. Penulis pernah mengikuti beberapa kepanitian dalam kampus seperti Greenbase, Greencycle, Reesacycle, Bogor Art Festival danlain-lain, serta organisasi di luar kampus, yaitu Indonesian Youth Conference tahun 2012-2013. Selain itu, penulis aktif juga sebagai peserta pada berbagai kegiatan seminar terkait keilmuan penulis.