UPAYA PENANGGULANGAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA YANG DILAKUKAN ORANG TUA TERHADAP ANAK KANDUNG Apriansyah Rinaldo, Nikmah Rosidah, Diah Gustiniati. Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Lampung Email :
[email protected] ABSTRAK
Kekerasan dalam rumah tangga merupakan fenomena yang terjadi dalam sebuah komunitas sosial.Total keseluruhan kekerasan dalam rumah tangga kota Badar Lampung yang dilakukan terhadap anak periode bulan Januari sampai dengan bulan Desember tahun 2013 adalah sebanyak seratus kasus.Banyaknya kasus kekerasan terhadap anak dalam lingkup keluarga, membuat peneliti beranggapan bahwa pentingnya suatu upaya penanggulangan kasus-kasus terhadap anak tersebut, baik penal maupun nonpenal, karena anak merupakan potensi nasib suatu bangsa di masa mendatang.Penelitian yang dilakukan menggunakan pendekatan masalah berupa pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris.Pendekatan masalah yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber data yang digunakan adalah data primer yaitu diperoleh dari perundangundangan, data sekunder adalah data yang diambil dari literatur yang berkaitan dengan pokok permasalahan, karya-karya ilmiah dan hasil penelitian para pakar sesuai dengan obyek pembahasan penelitian, dan data tersier antara lain berupa bahan-bahan yang dapat menunjang bahan hukum primer dan sekunder. Upaya penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga dibagi menjadi upaya penal dan nonpenal. Pada upaya penal terdapat proses yang dimulai dari laporan kepada pihak kepolisian, lalu dilakukan penyelidikan, penyidikan dan dilimpahkan kepada kejaksaan, untuk selanjutnya dilimpahkan ke pengadilan. Bentuk upaya nonpenal antara lain; penyuluhan, mediasi penal, upaya pemulihan untuk korban dan wajib lapor untuk pelaku. Faktor penghambat baik penal maupun nonpenal terdiri dari aparat penegak hukum yang masih kurang dalam kinerjanya.Fasilitas pendukung yang masih kurang, sehingga upaya nonpenal tidak dapat dilaksanakan secara maksimal.Masyarakat yang tidak paham terhadap hukum yang berlaku di Indonesia.Kebudayaan beranggapan bahwa kekerasan yang dilakukan orang tua terhadap anak kandung adalah sah karena anak adalah milik orang tua. Kata kunci: penanggulangan, kekerasan dalam rumah tangga, terhadap anak.
PREVENTION EFFORTS DOMESTIC VIOLENCE TAKEN BY PARENTS AGAINST BIOLOGICAL CHILDREN
Apriansyah Rinaldo, Nikmah Rosidah, Diah Gustiniati. Science Course in Law, Faculty of Law University of Lampung Email :
[email protected]
ABSTRACT
Domestic violence is a phenomenon that occurs within a social community. Total domestic violence in Bandar Lampung city committed against children period of January to December in 2013 was as much as a hundred cases. The number of cases of violence against children within the family, makes investigators believe that the importance of efforts to reduce the cases of the child, both penal and nonpenal, because the child is a potential fate of a nation in the future. Research conducted using the approach the problem of juridical normative and empirical. Approach to the problem which is used in this paper is juridical normative and empirical. Source of data used is primary data that is obtained from the legislation, secondary data is taken from the literature relating to the subject matter, scientific works and research experts in accordance with the discussion of the research object, and the data which include material tertiary -materials that can support primary and secondary legal materials. Efforts to control domestic violence is divided into penal and nonpenal effort . In an effort penal there is a process that starts from a report to the police, the investigation and transferred to the prosecutor's investigation, to further transferred to the court . An effort nonpenal among others; counseling, mediation penal, recovery efforts for victims and offenders must report to. Factors inhibiting both penal and nonpenal consists of law enforcement officers who are lacking in performance. Support facilities are lacking, so that efforts can not be implemented nonpenal maximum. People who do not understand the laws that apply in Indonesia.Culture assume that the violence committed against the child of their parents is legitimate because the child is owned by a parent. Keywords : prevention, domestic violence, against child.
I. Pendahuluan Kekerasan dalam rumah tangga merupakan fenomena yang terjadi dalam sebuah komunitas sosial. Seringkali tindakan kekerasan ini disebut hidden crime (kejahatan yang tersembunyi). Disebut demikian, karena baik pelaku maupun korban berusaha untuk merahasiakan perbuatan tersebut dari pandangan publik.1Situasi ini semakin diperparah dengan ideologi jaga praja atau menjaga ketat ideologi keluarga, seperti dalam budaya Jawa “membuka aib keluarga berarti membuka aib sendiri”, situasi demikian menurut Harkristuti Harkrisnowo dalam berbagai kesempatan menyebabkan tingginya the “dark number” karena tidak dilaporkan.2 Total keseluruhan kekerasan dalam rumah tangga kota Badar Lampung yang dilakukan terhadap anak periode bulan Januari sampai dengan bulan Desember tahun 2013 adalah sebanyak 100 (seratus) kasus dengan total korban yang mendapat rehabilitasi sebanyak 7 (tujuh) orang. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah Bagaimanakah upaya penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan orang tua terhadap anak kandung di kota 1
Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Perspektif YuridisViktimologis, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 1. 2 Mien Rukmini, Aspek Hukum Pidana dan Kriminolog, Edisi I Cetakan ke-2, PT Alumni, Bandung, 2009, hal. 2.
Bandar Lampung, Apakah yang menjadi faktor penghambat upaya penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan orang tua terhadap anak kandung di kota Bandar Lampung. Berdasarkan permasalahan di atas Untuk mengetahui upaya penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang dilakukan orang tua terhadap anak kandung di kota Bandar Lampung. II. HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
Upaya Penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang Dilakukan Orang Tua Terhadap Anak Kandung
Upaya penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak dibagi dalam upaya penal (hukum pidana) dan nonpenal (diluar hukum pidana). 1. Upaya Penal Upaya penal terhadap kekerasan dalam rumah tangga merupakan penegakan peraturan perundang-undangan yang memiliki dasar hukum dan asas hukum yang jelas serta manfaat yang menjadi latar belakang dalam suatu upaya penegakan hukum. Dasar hukum dalam menegakan hukum pidana terhadap Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan persidangan merupakan rangkaian proses penegakan hukum dalam perkara pidana, dimulai dari proses yang ditangani oleh polisi, jaksa hingga putusan yang dijatuhkan oleh hakim.3 Welly Dwi Saputra menjelaskan bahwa hal pertama yang dilakukan dalam upaya penegakan hukum adalah harus adanya laporan oleh korban maupun orang lain, pada tahap ini polisi akan menilai apakah suatu tindakan tersebut pantas dan telah memenuhi syarat untuk dianggap sebagai perkara pidana berdasarkan diskresi kepolisian, karena menurutnya suatu upaya penegakan hukum tidak hanya berdasarkan aturan yang berlaku tetapi kembali lagi pada dasar tujuan hukum yaitu untuk keadilan, kesejahteraan dan keamanan masyarakat serta harus dilatar belakangi oleh manfaat yang akan di dapat jika hukum yang berlaku ditegakan. Setelah polisi menilai laporan suatu tindakan tersebut layak untuk di anggap sebagai perkara pidana maka pihak kepolisian akan melakukan penyelidikan untuk mengindentifikasi benar atau tidaknya suatu peristiwa pidana itu terjadi.Setelah melakukan penyelidikan pihak kepolisian akan melakukan penyidikan untuk mencari bukti-bukti yang dapat meyakinkan atau mendukung keyakinan bahwa tindakan pidana itu benar-benar terjadi
dan agar menemukan tersangka.4 Tindakan yang telah memiliki buktibukti kuat akan dianggap sebagai perkara pidana dan akan dilakukan penegakan hukum pidana terhadap perkara tersebut. Polisi akan membuat berkas perkara disertai dengan buktibukti terkait dan akan dilimpahkan ke kejaksaan untuk di tindak lebih lanjut. Supriyanti menjabarkan bahwa pertama kejaksaan yang dalam hal ini adalah Kejaksaan Negeri Bandar Lampung akan menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dari kepolisian.itu Kejaksaan Negeri akan mengeluarkan surat perintah P.16 yaitu Surat Perintah Penunjukan Jaksa Penuntut Umum Untuk Mengikuti Perkembangan Perkara Tindak Pidana yang antara lain bertujuan memberi petunjuk untuk penyidik tambahan), memberi petunjuk untuk melakukan pemisahan BP (splitsing) bila diperlukan untuk kepentingan pembuktiandan memberitahukan bahwa hasil penyidikan sudah lengkap dan meminta agar tersangka dan barang bukti segera diserahkan. Setelah jaksa meneliti dan menilai bahwa berkas perkara tersebut telah lengkap maka Kejaksaan Negeri Bandar Lampung akan menerbitkan surat P.21 yang berisi agar kepolisian menyerahkkan tanggung jawab tersangka dan barang bukti kepada kejaksaan, guna menentukan apakah perkara tersebut sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke Pengadilan.Kejaksaan
3
Hartono, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana Melalui Pendekatan Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hal. 17.
4
Hasil Wawancara dengan Welly Dwi Saputra, Penyidik Unit PPA Satuan Reserse Kriminal Polresta Bandar Lampung, 8 Oktober 2014.
kemudian melakukan penahanan dan mengeluarkan surat P-16.A dengan mempertimbangkan diterimanya berkas perkara, tersangka dan barang bukti dipandang perlu untuk menugaskan seorang/beberapa Jaksa Penuntut Umum untuk melakukakan penuntutan/ penyelesaian perkara tindak pidana tersebut. Jaksa Penuntut Umum selanjutnya akan membuat surat dakwaan dan akan dilimpahkan ke pengadilan dengan mengeluarkan surat P-31 Surat Pelimpahan Perkara Acara Pemeriksaan Biasa.5 Perkara pidana kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak kandung yang yang terjadi di kota Bandar Lampung oleh Kejaksaan Negeri Bandar Lampung akan dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Tanjung Karang di Bandar Lampung. Nursiah Sianipar menerangkan bahwa tahap akhir upaya penal atau penegakan hukum pidana berada pada pengadilan.Berdasarkan Pasal 147 KUHAP, hal pertama setelah Pengadilan Negeri Tanjung Karang menerima surat pelimpahan dari penuntut umum, ketua pengadilan akan mempelajari apakah perkara itu termasuk wewenang pengadilan yang dipimpinnya. Apabila perkara tersebut termasuk wewenangnya maka ketua Pengadilan Negeri menunjuk hakim yang akan menyidangkan, yang dalam contoh kasus Andy Wijaya alias Lim Lim, hakim yang ditunjuk adalah Poltak Sitorus selaku hakim ketua,
5
Hasil Wawancara dengan Supriyanti, Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, 13 Oktober 2014.
Akhmad Suhei serta Nelson Panjaitan selaku hakim anggota.6 Hakim yang ditunjuk untuk menyidangkan menerbitkan Surat Penetapan yang isinya menetapkan hari sidang, memerintahkan penuntut umum untuk memanggil terdakwa dan saksi-saksi datang di sidang pengadilan. Pada permulaan, ketua majelis memerintahkan terdakwa dipanggil masuk dan selanjutnya menanyakan identitas terdakwa, setelah itu penuntut umum akan membacakan surat dakwaan. Setelah selesai pembacaan surat dakwaan, ketua majelis menanyai terdakwa, apakah telah mengerti tentang dakwaan tersebut dan jika belum maka penuntut umum akan memberi penjelasan. Atas dakwaan tersebut, terdakwa/penasihat hukum dapat mengajukan tangkisan/perlawanan (eksepsi). Terhadap eksepsi, penuntut umum diberi kesempatan untuk mengajukan pendapatnya. Kemudian terhadap eksepsi tersebut majelis hakim mengambil keputusan. Terhadap keputusan ini, penuntut umum dapat mengajukan perlawanan yang diajukan ke Pengadilan Tinggi dengan perantaraan Panitera Pengadilan Negeri tersebut. Jika pemeriksaan persidangan dilanjutkan, maka saksi-saksi didengar keterangannya, kemudian pemeriksaan alat bukti dan dilanjutkan dengan pemeriksaan terdakwa. Setelah selesai pemeriksaan terdakwa maka penuntut umum mengajukan requisitoir (tuntutan). Atas tuntutan tersebut, 6
Hasil Wawancara dengan Nursiah Sianipar, Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang, 19 Oktober 2014.
terdakwa/penasihat hukumnya mengajukan pleidoi. Selanjutnya atas pleidoi, penuntut umum mengajukan replik dan selanjutnya terdakwa/ penasihat hukum mengajukan duplik. Dengan diajukan duplik maka pemeriksaan persidangan dianggap telah selesai.7 2. Upaya Nonpenal Penanggulangan kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan orang tua terhadap anak kandung selain upaya penal atau penegakan hukum seperti yang telah dijelaskan diatas terdapat upaya lain yaitu upaya nonpenal. Upaya nonpenal adalah upaya yang dilakukan guna menyelesaikan suatu perkara tanpa ditegakannya hukum pidana itu sendiri. Upaya nonpenal lebih menitikberatkan pada sifat prefentif (pencegahan) meski tidak menutup kemungkinan upaya nonpenal dapat dilakukan setelah perkara itu selesai agar dapat meminimalisir perkara kekerasan dalam rumah tangga tersebut tidak terulang dikemudian hari yang menyebabkan munculnya residivis.
tersebut dibantu oleh ahli hukum dan aparatur tingkat RT/RW serta kelurahan dan tokoh masyarakat setempat. Penyuluhan ini diadakan agar masyarakat khususnya di kota Bandar Lampung mengetahui tentang kekerasan dalam rumah tangga dan menghimbau untuk bersama-sama mencegah tindak pidana tersebut menjadi semakin bertambah. Pihak Unit PPA Polresta Bandar Lampung sendiri mempunyai beberapa upaya penaggulangan kekerasan dalam rumah tangga tanpa ditegakannya hukum pidana, salah satunya pada saat telah terjadi dan telah dilaporkannya suatu kekerasan dalam rumah tangga, namun polisi menilai perkara tersebut tidak perlu dilakukan suatu penegakan hukum, maka polisi akan menyarankan diadakannya mediasi penal. Mediasi penal merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa diluar pengadilan (yang biasa dikenal dengan ADR atau Alternative Dispute Resolution).8
Welly Dwi Saputra mengatakan bentuk upaya pencegahan yang dilakukan oleh kepolisian adalah membuat penyuluhan atau penyebaran informasi tentang dampak kekerasan dalam rumah tangga dan hukuman yang akan diberikan kepada pelaku tindak pidana tersebut. Kepolisian dalam hal mengadakan penyuluhan
Welly Dwi Saputra menjabarkan terdapat pertimbangan-pertimbangan polisi untuk menyelesaikan kasus tanpa diajukan ke pengadilan, antara lain: (1) bahwa yang diinginkan masyarakat sebenarnya lebih di titik beratkan bukan pada penegakan hukumnya, akan tetapi kepada nilainilai ketentraman dan kedamaian masyarakat. (2) penyelesaian melalui hukum/pengadilan tidak akan memecahkan masalah, seringkali hanya memperluas pertentangan dan
7
8
Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana Buku 2, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal. 101.
Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal: Penyelesaian Perkara di Luar Persidangan, Pustaka Magister, Semarang, 2010, hal. 2.
rasa tidak senang antar warga masyarakat yang berperkara. (3) kasus yang diadukan kadang-kadang tidak mempunyai dasar hukum untuk diselesaiakan secara 9 hukum. Penanggulangantindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dengan menggunakan mediasi penal di PolrestaBandar Lampung dilakukan oleh penyidik yang juga bertindak sebagai mediator, dalam hal ini penyidik di tunjuk oleh kapolres melalui surat perintah, penyidik diberikan kebebasan dalam menyelesaikan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dengan mengunakan diskresinya, yang dimaksud dengan diskresi tersebut adalah suatu kewenangan yang dimiliki oleh kepolisian/penyidik dalam menyelesaikan suatu kasus, dimana kewenangan tersebut sesuai dengan ketentuan yang berdasarkan pada perundang-undangan. Surat Kapolri No Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS, tanggal 14 Desember 2009 Tentang Penanganan Kasus Melalui Alternative Dispute Resolusion (ADR). Sehubungan dengan rujukan tersebut di atas, dijelaskan kembali bahwa salah satu bentuk penyelesaian masalah dalam penerapan Polmas adalah penerapan konsep Alternative Dispute Resolution (ADR), yakni pola penyelesaian masalah sosial melalui jalur alternatif selain proses hukum atau non litigasi antara lain melalui upaya perdamaian. Ide dasar dari adanya alternative penyelesaian perkara dalam perkara
pidana adalah dikaitkan dengan sifat hukum pidana itu sendiri, yaitu bersifat ultimum remedium. Ini tidak berarti bahwa ancaman pidana akan ditiadakan, tetapi selalu harus mempertimbangkan untung ruginya ancaman pidana itu dan harus menjaga agar jangan sampai obat yang diberikan lebih jahat daripada 10 penyakitnya. Atas dasar Undang undang No. 2 tahun 2002 Tentang Kepolisian RI dan Surat Kapolri No Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS, tanggal 14 Desember 2009 tentang Penanganan Kasus Melalui Alternatif Dispute Resolusion (ADR), maka menjadi landasan hukum Polresta Bandar Lampung untuk melakukan mediasi penal. Welly Dwi Saputra menjelaskan alasannya dilakukan mediasi penal adalah karena kepolisian diberikan kewenangan yang berupa diskresi untuk melakukan penyelesaian kasus berdasarkan pertimbangan sendiri dengan tujuan agar proses hukum yang ditanganinya dapat terselesaikan secara adil dan bermanfaat bagi pihak yang terlibat kasus kekerasan dalam rumah tangga, selain itu dari diskresi yang dimilikinya polisi kemudian diperoleh bahwa dengan cara menggunakan mediasi penal terhadap penyelesaian kasus kekerasan dalam rumah tangga akan diperoleh penyelesaian yang lebih bermanfaat dimana proses hukum yang menimpa para pihak dapat diselesaikan damai, sehingga tidak terjadi proses hukum yang berkepanjangan, karena proses hukum yang berkepanjangan akan dapat
9
Hasil Wawancara dengan Welly Dwi Saputra, Penyidik Unit PPA Satuan Reserse Kriminal Polresta Bandar Lampung, 8 Oktober 2014.
10
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2010, hal 10.
memakan waktu yang lama dan biaya yang banyak. Upaya penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh pihak kepolisian lainnya adalah setelah penegakan hukum pidana perkara tersebut terselesaikan. Hal ini diperlukan agar kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh pelaku tidak terulang lagi dan pelaku tidak menjadi residivis. Upaya penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh kepolisian terhadap pelaku suatu tindak pidana adalah setelah menjalani masa hukuman pelaku masih harus datang ke kepolisian yang dinamakan wajib lapor. Upaya ini dilakukan guna melihat dan memantau psikologi pelaku agar berubah menjadi pribadi yang baik tabiatnya sehingga bermanfaat bagi masyarakat sehingga tidak mengulangi kesalahannya. Wajib lapor sendiri dilakukan setiap hari senin dan kamis. Wijaya Dwi Saputra mengatakan minimal upaya ini dilakukan selama 1 (satu) bulan dan tidak ada batas maksimal kapan selesainya upaya ini.11 Untuk penanggulangan yang berkaitan dengan upaya pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana diatur dalam Pasal 43 UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2006 tentang 11
Hasil Wawancara dengan Welly Dwi Saputra, Penyidik Unit PPA Satuan Reserse Kriminal Polresta Bandar Lampung, 8 Oktober 2014.
Penyelenggaraan dan Kerja SamaPemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga.Upaya penanggulangan berupa pemulihan korban sebenarnya dilakukan juga oleh pihak kepolisian, namun untuk mendapat hasil yang lebih baik maka dibantu oleh lembaga swasta yang bergerak di bidang perlindungan anak dan wanita, seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) DAMAR Bandar Lampung.LSM DAMAR yang merupakan lembaga advokasi perempuan ikut membantu terhadap kasus-kasus yang melibatkan anak.Mahmudah, salah satu staff pelayanan LSM DAMAR menjelaskan bahwa untuk contoh kasus anak sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga maka korban sendiri atau pihak keluarga dapat melapor ke DAMAR untuk membantu penanggulangan kasus tersebut. Setelah korban tersebut melapor ke DAMAR, maka pihak DAMAR akan melakukan konseling awal. Konseling awal ini bertujuan untuk menggali apa yang sebenarnya menjadi kebutuhan korban. Terkadang pihak keluarga korban seperti saudara ingin memidanakan pelaku kekerasan dalam rumah tangga yang dalam hal ini orang tua dari korban sendiri. Disini pihak DAMAR akan melihat dan menjelaskan kepada korban dan pihak keluarga apa dampak baik serta buruknya dari keputusan yang akan diambil tersebut. Apabila DAMAR menilai dampak kejiwaan yang diterima anak sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga tersebut cukup berat dan menimbulkan trauma atau ketakutan untuk pulang ke rumah, maka pihak DAMAR akan
menyarankan anak tersebut dibawa ke Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC) atau yang lebih dikenal sebagai Rumah Aman. Rumah Aman merupakan program dan fasilitas yang dibentuk oleh Dinas Sosial Provinsi dan pihak-pihak terkait.Rumah Aman sendiri bertujuan untuk pemulihan atau rehabilitasi korban kekerasan, sehingga korban mendapatkan rasa percaya diri dan kemampuan berinteraksi sosial secara biasa kembali. Mahmudah menjelaskan Rumah Aman memiliki tim agar penyelenggaraan Rumah Aman ini berhasil, antara lain: a. Tim Pekerja Sosial, yang dalam hal ini adalah LSM DAMAR dan lembaga sosial terkait lainnya; b. Tim Psikolog, yang bertujuan untuk melakukan konseling kejiwaan; c. Tim Keagamaan, yang berasal dari Departemen Agama Provinsi Lampung dan bertujuan untuk melakukan konseling keagamaan; d. Tim Kepolisian, yang berasal dari Unit Reknata Polda Lampung. Konseling yang dilakukan kepada korban kekerasan dalam rumah tangga di Rumah Aman sendiri dibagi menjadi dua, yaitu konseling kejiwaan dan konseling keagamaan.Konseling kejiwaan dilakukan selama 2 (dua) sampai 3 (tiga) kali seminggu dengan maksimal pertemuan selama 1 (satu) jam, sedangkan untuk konseling keagamaan dilakukan selama 1 (satu) kali seminggu dengan maksimal pertemuan selama 1 (satu) jam.Batas waktu minimal dilakukan konseling kejiwaan dan konseling keagamaan kepada korban adalah relatif dan tidak ada waktu pasti seberapa lama minimal dan maksimal dilakukannya
konseling, karena hal ini kembali kepada seberapa besar perkembangan kondisi korban.12 B.
Faktor-Faktor Penghambat Upaya Penanggulangan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang Dilakukan Orang Tua Terhadap Anak Kandung.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, baik penelitian kepustakan maupun penelitian lapangan, maka dapat diketahui adanya faktor-faktor yang mempengaruhi dan beberapa ada yang menjadi faktor penghambatupaya penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga baik penal maupun nonpenal di instansi terkait,antara lain; 1. Faktor Penegak Hukum Keterbatasan sumber daya manusia baik secara kuantitas maupun kualitas turut mempengaruhi kualitas pemberian perlindungan hukum terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga. Sebagai contoh di lingkungan institusi kepolisian, terdapat kesenjangan yang sangat lebar antara jumlah polisi wanita dengan jumlah polisi pria. Masalah kekurangan jumlah polisi wanita ini berdampak pada penegakan hukum bagi kasus-kasus yang membutuhkan “sentuhan” polisi wanita, misal dalam perkara kekerasan dalam rumah tangga, perkosaan, pelecehan seksual, tindak pidana yang dilakukan anak. Bagi kejahatan12
Hasil Wawancara dengan Mahmudah, Aktivis LSM DAMAR Bandar Lampung, 29 Oktober 2014.
kejahatan yang demikian ini penanganan yang dilakukan oleh polisi wanita akan berdampak positif bagi korban, karena dengan kelemah lembutan polisi wanita akan merasa aman dan tidak malu-malu untuk menceritakan kejadian yang menimpa korban. Menurut Welly Dwi Saputra, jumlah polisi wanita yang masih kurang dalam segi kuantitas dan diikuti pula kekurangan dalam segi kualitas, menjadi faktor penghambat dalam penanganan kekerasan dalam rumah tangga. Hasil penelitian terhadap personil yang bertugas di Unit PPA Polresta Bandar Lampung, diketahui bahwa tidak satupun dari personil polisi yang bertugas berlatar belakang pendidikan psikologi/kejiwaan, sedangkan perkara yang ditangani oleh Unit PPA sebagian besar menimbulkan tekanan jiwa/depresi pada korbannya, sehingga penanganannya seharusnya juga menggunakan pendekatan secara psikologis/kejiwaan.13 Nursiah Sianipar menambahkan faktor yang menjadi penghambat dalam upaya penal kekerasan dalam rumah tangga adalah faktor aparat penegak hukum. Nursiah Sianipar menjelaskan terdapat beberapa kasus yang seharusnya tidak dilakukan penegakan hukum dan masih dapat dilakukan mediasi, tetapi dilimpahkan ke pengadilan dan diadakan persidangan. Hal ini menjelaskan bahwa masih terdapat polisi yang tidak berkompeten di bidangnya dan dapat menyebabkan 13
Hasil Wawancara dengan Welly Dwi Saputra, Penyidik Unit PPA Satuan Reserse Kriminal Polresta Bandar Lampung, 8 Oktober 2014.
terhambatnya proses penegakan 14 hukum pidana. Mahmudah selaku pihak LSM DAMAR menjelaskan pada pihak kejaksaan kadang terdapat isi surat dakwaan terhadap pelaku tidak sesuai dengan apa yang pelaku lakukan dan tidak melihat apa yang korban butuhkan sehingga terkesan tidak ada keadilan, jika terjadi hal tersebut maka pihak LSM DAMAR akan melakukan pembicaraan dengan pihak Kejaksaan.15 2. Faktor Sarana dan Fasilitas Welly Dwi Saputra menjelaskan pada upaya penal sarana dan fasilitas pendukung di Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polresta Bandar Lampung masih kurang memadai. Ruangan Unit PPA Polresta Bandar Lampung dianggap tidak kondusif apabila terdapat korban yang melapor. Ruangan yang kecil dan jauh dari kata nyaman membuat pelapor yang dalam contoh kasus ini anakanak yang ditemani pendamping membuat korban merasa takut dan enggan menceritakan tindakan kekerasan yang dialami oleh dirinya dengan jelas. Hal ini akan berdampak pada terhambatnya proses penyelidikan. penyidikan, maupun pembuatan Berkas Perkara. Pada upaya nonpenal faktor penghambat yang ditemui kepolisian dalam hal fasilitas pendukung adalah 14
Hasil Wawancara dengan Nursiah Sianipar, Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang, 19 Oktober 2014. 15 Hasil Wawancara dengan Mahmudah, Aktivis LSM DAMAR Bandar Lampung, 29 Oktober 2014.
untuk menangani upaya pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga. Bentuk upaya pemulihan kekerasan tersebut berupa rehabilitasi. Welly Dwi Saputra mengatakan belum terdapat ruangan khusus dan efektif untuk melakukan pemulihan korban di Polresta Bandar Lampung. Apabila ada korban yang menderita depresi atau trauma, maka unit Pelayanan Perempuan dan Anak Polresta Bandar Lampung akan merekomendasikan untuk mengadakan terapi atau konseling ke Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Muluk Bandar Lampung atau ke lembaga sosial yang bergerak di bidang perlindungan anak dan wanita, seperti LSM DAMAR atau Lembaga Advokasi Anak Bandar Lampung.16 Faktor sarana dan fasilitas yang menjadi penghambat upaya nonpenal pada kasus kekerasan dalam rumah tangga yang ditemui oleh pihak LSM DAMAR adalah dalam hal pemulihan korban. Mahmudah mengatakan kurangnya fasilitas yang tersedia di LSM DAMAR sendiri untuk melakukan konseling awal dan pemantauan kondisi korban pasca perkara kekerasan dalam rumah tangga selesai.17 3. Faktor Sarana dan Fasilitas Welly Dwi Saputra menjelaskan pada upaya penal sarana dan fasilitas 16
Hasil Wawancara dengan Welly Dwi Saputra, Penyidik Unit PPA Satuan Reserse Kriminal Polresta Bandar Lampung, 8 Oktober 2014. 17 Hasil Wawancara dengan Mahmudah, Aktivis LSM DAMAR Bandar Lampung, 29 Oktober 2014.
pendukung di Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polresta Bandar Lampung masih kurang memadai. Ruangan Unit PPA Polresta Bandar Lampung dianggap tidak kondusif apabila terdapat korban yang melapor. Ruangan yang kecil dan jauh dari kata nyaman membuat pelapor yang dalam contoh kasus ini anakanak yang ditemani pendamping membuat korban merasa takut dan enggan menceritakan tindakan kekerasan yang dialami oleh dirinya dengan jelas. Hal ini akan berdampak pada terhambatnya proses penyelidikan. penyidikan, maupun pembuatan Berkas Perkara. Pada upaya nonpenal faktor penghambat yang ditemui kepolisian dalam hal fasilitas pendukung adalah untuk menangani upaya pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga. Bentuk upaya pemulihan kekerasan tersebut berupa rehabilitasi. Welly Dwi Saputra mengatakan belum terdapat ruangan khusus dan efektif untuk melakukan pemulihan korban di Polresta Bandar Lampung. Apabila ada korban yang menderita depresi atau trauma, maka unit Pelayanan Perempuan dan Anak Polresta Bandar Lampung akan merekomendasikan untuk mengadakan terapi atau konseling ke Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Muluk Bandar Lampung atau ke lembaga sosial yang bergerak di bidang perlindungan anak dan wanita, seperti LSM DAMAR atau Lembaga Advokasi Anak Bandar Lampung.18
18
Hasil Wawancara dengan Welly Dwi Saputra, Penyidik Unit PPA Satuan Reserse
Faktor sarana dan fasilitas yang menjadi penghambat upaya nonpenal pada kasus kekerasan dalam rumah tangga yang ditemui oleh pihak LSM DAMAR adalah dalam hal pemulihan korban. Mahmudah mengatakan kurangnya fasilitas yang tersedia di LSM DAMAR sendiri untuk melakukan konseling awal dan pemantauan kondisi korban pasca perkara kekerasan dalam rumah tangga selesai.19 4. Faktor Kebudayaan Faktor kebudayaan adalah hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup manusia. Faktor kebudayaan masyarakat yang menjadi penghambat dalam contoh kasus Andi Wijaya alias Lim Lim adalah susahnya mendapat keterangan saksi dan bukti-bukti yang berkaitan dengan kasus disebabkan kekerasan terjadi dalam lingkup keluarga yang bersifat pribadi, sehingga masyarakat di lingkungan sekitar tidak terlalu memperdulikan kondisi keluarga pelaku. Kebudayaan interaksi antar tetangga yang tertutup menjadi faktor yang menghambat penegakan hukum dalam kasus ini. Kebudayaan lainnya yang menjadi faktor penghambat adalah jaga praja atau jangan membuka aib sendiri oleh karena itu korban pada umumnya malu untuk mengungkapkan dan melaporkan tindak kekerasan dalam Kriminal Polresta Bandar Lampung, 8 Oktober 2014. 19 Hasil Wawancara dengan Mahmudah, Aktivis LSM DAMAR Bandar Lampung, 29 Oktober 2014.
rumah tangga yang terjadi pada dirinya. Untuk upaya nonpenal faktor kebudayaan yang menjadi penghambat terdapat ketika melakukan mediasi penal. Kebudayaan masyarakat yang acuh tak acuh mengakibatkan susahnya melakukan mediasi penal karena dalam melakukan mediasi penal harus dihadiri oleh RT RW setempat dan juga tokoh masyarakat.20 Berdasarkan analisis penulis dalam hal faktor penghambat upaya penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak kandung di kota Badar Lampung dapat diketahui bahwa faktor utama yang menjadi penghambat dalam upaya penal adalah kurang maksimalnya kinerja dari aparat penegak hukum yang menanggulangi suatu perkara kekerasan dalam rumah tangga di kota Bandar Lampung. Untuk upaya nonpenal faktor utama yang menjadi penghambat dalam upaya-upaya diatas adalah ketidakpahaman masyarakat di kota Bandar Lampung tentang tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga. III. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Upaya penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan orang tua terhadap anak kandung 20
Hasil Wawancara dengan Welly Dwi Saputra, Penyidik Unit PPA Satuan Reserse Kriminal Polresta Bandar Lampung, 8 Oktober 2014.
dibagi menjadi 2 (dua) yaitu upaya penal dan nonpenal. Pada upaya penal atau penegakan hukum pidana terdapat proses yang dimulai dari laporan kepada pihak kepolisian, lalu dilakukan penyelidikan, penyidikan dan dilimpahkan kepada kejaksaan, untuk selanjutnya dilimpahkan ke pengadilan. Dalam persidangan, hakim akan memutuskan suatu perkara kekerasan dalam rumah tangga berdasarkan surat dakwaan dan asas keadilan baik bagi pelaku maupun korban. Pihak yang melakukan upaya nonpenal pada kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak kandung adalah pihak Unit PPA Polresta Bandar Lampung dengan dibantu oleh Lembaga Sosial yang bergerak di bidang hukum seperti LSM DAMAR Bandar Lampung. Bentuk upaya nonpenal tersebut antara lain; penyuluhan, mediasi penal, upaya pemulihan kekerasan dalam rumah tangga untuk korban dan wajib lapor untuk pelaku. 2.
Faktor yang menghambat upaya penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan orang tua terhadap anak kandung baik penal maupun nonpenal
terdiri dari: (a) Faktor aparat penegak hukum yang masih kurang dalam kinerjanya; (b) Faktor fasilitas pendukung yang masih kurang, sehingga upaya penal dan nonpenal tidak dapat dilaksanakan secara maksimal; (c) Faktor masyarakat yang tidak paham terhadap hukum yang berlaku di Indonesia; dan (d) Faktor kebudayaan beranggapan bahwa kekerasan yang dilakukan orang tua terhadap anak kandung adalah hal yang wajar. Faktor-faktor tersebut merupakan suatu kendala yang membuat terhambatnya upaya penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan orang tua terhadap anak kandung di kota Bandar Lampung. Berdasarkan kesimpulansebagaimana telah dikemukakan di atas, maka dalam kesempatan ini disarankan sebagai berikut: 1. Perlu diadakan seleksi yang berkualitas sehingga aparat penegak hukum yang diterima juga benar-benar memiliki kemampuan dan menghasilkan kinerja yang baik pada bidangnya masingmasing. 2. Perlu diadakan lebih banyak penyuluhan bahkan inovasi dalam pemberian informasi tentang kekerasan dalam rumah tangga agar meningkatnya pemahaman masyarakat terhadap tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dan merubah kebudayaan masyarakat yang kurang benar.
DAFTAR PUSTAKA
Buku/Literatur. Ali, Mahrus. 2012. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Sinar Grafika. Jakarta. Arief, Barda Nawawi. 2008. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (PerkembanganPenyusunan Konsep KUHP Baru). Prenada Media Group. Jakarta. ___________________. 2010. Mediasi Penal: Penyelesaian Perkara di Luar Persidangan. Pustaka Magister. Semarang. Chazawi,Adami. 2011. Pelajaran Hukum Pidana 1. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta. Gunadi,Ismu. 2011. Cepat & Mudah Memahami Hukum Pidana (jilid 2). PT.Prestasi Pustakaraya. Surabaya. Hartono. 2012. Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana Melalui Pendekatan Hukum Progresif. Sinar Grafika. Jakarta. Hamzah, Andi. 2010. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta.
Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Citra Aditya Karya. Bandung. Prodjodikoro, Wirjono. 2008. TindakTindak Pidana Tertentu di Indonesia. Refika Aditama.Bandung. Rukmini, Mien. 2009. Aspek Hukum Pidana dan Kriminolog.Edisi I Cetakan ke-2. PT. Alumni. Bandung. Saraswati, Rika. 2006. Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan dalam Rumah Tangga. Citra Aditya Bakti. Bandung. Shochib, Moh. 2010. Pola Asuh Orang Tua, dalam Membantu Anak Mengembangkan Disiplin Diri. Rineka Cipta. Jakarta. Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum.UI Press. Jakarta. Soeroso, Moerti Hadiati. 2010. Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Yuridis-Viktimologis. Sinar Grafika. Jakarta. Sutedjo, Wagiati. 2010. Hukum Pidana Anak, Cetakan Ketiga. PT. Refika Aditama. Bandung. Tim
Marpaung, Leden. 2011. Proses Penanganan Perkara Pidana Buku 2. Sinar Grafika. Jakarta.
Penyusun Kamus Bahasa.2003. Kamus Bahasa Indonesia. Pustaka. Jakarta.
Pusat Besar Balai
Perundang-Undangan.
http://issuu.com
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1960 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
http://id.wikipedia.org
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
http://acceleneun.blogspot.com
http://perludiketahui.wordpress.com
http://te-effendipidana.blogspot.com Undang-Undang Replublik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang KepolisianNegara Republik Indonesia Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 Tentang Penyelenggaraan dan Kerja Sama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Web/Internet. http://www.KabarIndonesia.com http://www.radarlampung.co.id