UNIVERSITAS INDONESIA
PREVALENSI ANTIGEN CRYPTOCOCCUS PADA SERUM PASIEN TERINFEKSI HIV PRA ARV
TESIS
CUT ANTARA KEUMALA MUDA 0806360241
FAKULTAS KEDOKTERAN PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS NEUROLOGI JAKARTA SEPTEMBER 2013
1 Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
PREVALENSI ANTIGEN CRYPTOCOCCUS PADA SERUM PASIEN TERINFEKSI HIV PRA ARV
TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SPESIALIS-1 NEUROLOGI
CUT ANTARA KEUMALA MUDA 0806360241
FAKULTAS KEDOKTERAN PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS NEUROLOGI JAKARTA SEPTEMBER 2013
i Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
:Cut Antara Keumala Muda
NPM
: 0806360241
Tanda Tangan
:
Tanggal
: 10 September 2013
ii Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
HALAMAN PENGESAHAN
: : : : :
Tesis ini diajukan oleh Nama NPM Program Studi Judul Tesis
Cut Antara Keumala Muda 0806360241 Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi Prevalensi Antigen Cryptococcus pada Serum Pasien Terinfeksi HIV pra ARV
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Spesialis-1 Neurologi pada Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI Pembimbing I
: dr. Darma Imran SpS(K)
(
)
Pembimbing II
: Prof. Dr. dr. Retno W, SpPar(K)
(
)
Pembimbing III
: Dr. dr. Herqutanto, MPH, MARS
(
)
Penguji I
: dr. Jan S. Purba, Phd
(
)
Penguji II
: dr. Manfaluthy Hakim, SpS(K)
(
)
Penguji III
: Dr. dr. Yetty Ramli, SpS(K)
(
)
Moderator
: dr. Nurul Komari, SpS
(
)
Ditetapkan di Jakarta Tanggal 10 September 2013
iii Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
PREVALENSI ANTIGEN CRYPTOCOCCUS PADA SERUM PASIEN TERINFEKSI HIV PRA ARV
Mengetahui
Kepala Departemen Neurologi
dr. Diatri Nari Lastri, SpS(K)
Ketua Program Studi
dr. Eva Dewati, SpS(K)
Koordinator Penelitian
Dr. dr. Tiara Anindita, SpS
iv Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT karena atas berkat dan rahmatNya saya dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Spesialis Neurologi pada Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan tesis ini. Dalam kesempatan ini saya mengucapkan terimakasih kepada : 1. Rektor Universitas Indonesia, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Direktur Utama RSCM, Direktur Instalasi Rawat Jalan RSCM, Koordinator Pendidikan Dokter Spesialis FKUI/RSCM beserta seluruh jajarannya, terima kasih untuk kesempatan yang telah diberikan kepada saya untuk menempuh pendidikan spesialis di FKUI/RSCM. 2. Ketua Departemen Neurologi dr. Diatri Nari Lastri, SpS(K), saya menyampaikan rasa hormat dan terima kasih atas kesempatan, bimbingan, dorongan, bantuan dan kemudahan yang diberikan kepada saya untuk mengeyam pendidikan di bawah naungan Departemen yang beliau pimpin. 3. Ketua Program Studi PPDS Neurologi dr. Eva Dewati, SpS(K), yang telah memberikan kepercayaan, bimbingan dan perhatian yang diberikan selama saya menjalani masa studi di Departemen Neurologi. Tak lupa saya ucapkan terima kasih yang mendalam kepada para Staf Program Studi dan Koordinator Pendidikan, seluruh Ketua Divisi dan staf Pengajar lingkungan Departemen Neurologi yang telah memberi dukungan, sarana dan prasarana selama proses pendidikan saya. 4. Kepada Koordinator penelitian terdahulu, dr. Lyna Soertidewi, SpS(K), M.Epid dan wakil koordinator penelitian dr. Al Rasyid, SpS(K); terima kasih untuk inspirasi, waktu, bimbingan, motivasi, dan arahan dalam pengerjaan tesis ini. Kepada Koordinator penelitian saat ini, DR.dr. Tiara Anindhita, Sp.S; dan wakil koordinator penelitian dr.Astri Budikayanti,
v Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
Sp.S; terima kasih untuk arahan, bantuan, dan bimbingan dalam pengerjaan tesis ini. 5. dr. Freddy Sitorus SpS(K) selaku dosen pembimbing akademik dan seluruh guru saya di Departemen Neurologi FKUI, atas bimbingan dan dukungan yang diberikan untuk memahami segala seluk beluk penyakit saraf dan pemahaman terhadap kondisi pasien yang komprehensif. Semua itu kelak akan menjadi bekal saya dalam pelayanan terhadap masyarakat dan memajukan bidang Neurologi. 6. Para pembimbing, dr. Darma Imran, SpS(K), pembimbing dan Koordinator Penelitian UPT HIV RSCM, terima kasih sedalam-dalamnya atas kesempatan melaksanakan penelitian di UPT HIV dan kesediaan untuk membimbing dan saran-saran yang diberikan dalam mengarahkan saya pada penyusunan tesis ini. Prof. Dr. dr. Retno Wahyuningsih, SpPar(K), terima kasih dan penghargaan yang tidak terhingga atas waktu, perhatian, kesabaran, motivasi dan nasihat yang diberikan kepada saya hingga dapat melaksanakan dan menyelesaikan penelitian ini. Dr.dr. Herqutanto, MPH, MARS selaku pembimbing statistik, terima kasih dan rasa hormat atas waktu dan pikiran yang telah diberikan dalam membantu saya selama proses penelitian. 7. dr. Jan S. Purba, PhD; dr. Manfaluthy Hakim, SpS(K) dan Dr. dr. Yety Ramli, SpS(K) selaku penguji yang telah memberikan saran dan pemikiran dalam tiap tahap ujian tesis ini. 8. Kepala UPT HIV dr. Teguh H Karyadi, SpPD-KAI, dr. Nia Kurniati, SpA(K) yang telah memberikan kesempatan menggunakan Laboratorium Penelitian UPT HIV. Kepada keluarga besar UPT HIV, Zr. Nurul, Zr. Fitriyani, Zr. Wusthi, Zr. Debby, Zr. Dani, Br. Baharuddin, Hepa Susami, Kurniawan Rachmadi, Agus DP, Ekki Riztriawan, Hendi, Kartina W, Dian Anggraini, Pak Suko, ibu Mimi, saya mengucapkan terima kasih atas bantuan dan dukungan yang diberikan dalam merekrut dan memantau pasien penelitian ini. Terima kasih secara khusus kepada Madyaningati yang membantu
pengolahan sampel dari awal hingga
akhir pada penelitian ini, hal yang tidak mungkin bisa lakukan sendiri.
vi Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
9. Guru yang memperkenalkan bidang kedokteran HIV pada saya, Prof. Dr. dr. Samsuridjal Djauzi, SpPD-KAI, terima kasih atas bimbingan, motiasi, contoh, kesabaran dan kepercayaan yang telah beliau berikan sehingga saya dapat mengerjakan apa yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Kepada Dr. dr. Evy Yunihastuti, SpPD-KAI, terima kasih atas bimbingan, motivasi, kesabaran dan nasihat yang diberikan. 10. Para pasien rawat jalan UPT HIV RSCM baik partisipan maupun yang sudah saya kenal sejak pertama kali mengenal bidang kedokteran HIV, terima kasih tidak terhingga
atas kesediaannya meluangkan waktu
berpartisipasi dalam penelitian ini dan atas pelajaran hidup yang amat berharga yang saya dapatkan. Kepada para pasien di RSCM dan RS Fatmawati
terima kasih
yang tidak terhingga atas
memberikan sumbangsih ilmu pengetahuan dan
kesediannya
keikhlasan
sebagai
sarana pembelajaran selama proses pendidikan saya. Semoga Allah SWT memberikan limpahan rahmat kepada mereka. 11. Rekan-rekan satu angkatan, dr. Nastiti Widyarini, SpS, dr. Hanarto Adjie, SpS, dr. Gabriel F. Goleng, SpS, dr. Maria Arasen, SpS, dr Hernawan, SpS, dr. GA Putu Yunihati, SpS, dr. Indah Aprianti, SpS, dr. Faisal, SpS, dr. Dini Fajri, SpS, dr. Yogaswara, dr. Mery Krismanto, Tim OSCE Bandung, dr. Ni Nengah Rida Ariani, SpS dan dr. Pricilla Gunawan SpS, dan seluruh rekan –rekan junior dan senior kerukunan PPDS Neurologi,
terima kasih untuk persahabatan,
kebersamaan serta bantuannya. Semoga persahabatan dan persaudaraan senantiasa terjalin dalam hubungan kesejawatan sepanjang hidup kita. 12. Suami tercinta Herwin Harmaini dan putra-putri tersayang
Harits
Hassarif Herwin dan Haura Hafidzah Herwin; terima kasih atas segala pengorbanan, cinta kasih, kesabaran, pengertian dan dukungan selama menempuh masa pendidikan ini. Puji syukur selalu saya panjatkan kepada Allah atas keluarga yang sangat menyayangi dan mendukung saya setiap waktu. Kedua orang tua saya, Teuku Muda Djaafar dan Maria Utama M Zein, tiada kalimat yang cukup untuk melukiskan betapa besarnya cinta kasih
vii Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
dan dukungan yang telah kalian berikan kepada saya hingga detik ini. Doa, bimbingan dan teladan yang diberikan sejak kecil membuat saya bisa melangkah sejauh ini. Kepada mertua saya Harmaini (Alm) dan Nurhama, terima kasih dan salam hormat atas segala dukungan yang diberikan selama ini. Adik saya Cut Alia Keumala Muda, terima kasih atas dukungannya yang tiada henti. Kepada kakak ipar saya Harmawati, Harmen, Harmanelly, Herizal,
Herdian,
Harinal,
Herman,
Herlinda,
Hendri,
yang
memberikan segala dukungan dan semangat untuk menyelesaikan tesis ini.
Akhir kata, kepada semua pihak yang telah membantu mnyelesaikan pendidikan Spesialis dan penerbitan tesis ini, setulus hati saya ucapkan terima kasih dan penghargaan. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan dengan pahala yang berlipat ganda. Semoga tesis ini dengan segala kekurangannya dapat membawa manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan dunia kesehatan.
Jakarta,10 September 2013 Penulis
viii Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama NPM Program Studi Departemen Fakultas Jenis karya
: Cut Antara Keumala Muda : 0806360241 : Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi : Neurologi : Kedokteran : Tesis
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif (Non-Exclusive Royalty-Free Right ) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
PREVALENSI ANTIGEN CRYPTOCOCCUS PADA SERUM PASIEN TERINFEKSI HIV PRA ARV beserta perangkat yang ada (bila diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti NonEksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Jakarta Pada tanggal : 10 September 2013 Yang menyatakan
Cut Antara Keumala Muda
ix Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
ABSTRAK
Nama : Cut Antara Keumala Muda Program Studi : Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi Judul : Prevalensi Antigen Cryptococcus pada Serum Pasien Terinfeksi HIV pra ARV Latar Belakang: Meningitis Cryptococcus merupakan infeksi oportunistik penting pada penderita AIDS dan menduduki urutan ke tiga infeksi otak. Angka kejadian meningitis Cryptococcus secara umum sebesar 957 900 kasus per tahun. Angka kejadian di Indonesia sekitar 5-30%, dan di Jakarta sebesar 21,9%. Angka kejadian tersebut tampaknya belum mencerminkan kondisi sebenarnya, mungkin karena gejala klinis yang tidak khas dan diagnosis pasti memerlukan cairan otak yang sulit didapat. Diperlukan metode lain untuk membantu keputusan klinis saat pungsi lumbal belum dapat dilakukan sehingga prevalensi kriptokokosis yang sesungguhnya diketahui. Tujuan: Mengetahui prevalensi kriptokokosis pada pasien terinfeksi HIV pra ARV di UPT HIV RSCM. Metode penelitian: Studi potong lintang dilakukan sejak Mei - Juli 2013. Subjek penelitian adalah pasien terinfeksi HIV pra ARV. Antigen serum Cryptococcus diperiksa dengan metode lateral flow immunoassay (LFA). Hasil: Dari 78 subjek penelitian, sebanyak 59% adalah laki-laki, berusia 18-68 tahun. Kadar CD4 berkisar antara 2-754 sel/mm3, dan 68% dengan CD4 <200 sel/mm3. Sebanyak lima (6,4%) subjek positif antigen serum Cryptococcus, dua diantaranya dilakukan pungsi lumbal dengan hasil tidak dijumpai Cryptococcus. Kedua subjek ini mendapat terapi flukonazol oral dan hidup sampai saat ini. Tiga subjek lain menolak tatalaksana dan meninggal empat minggu kemudian. Simpulan: Prevalensi kriptokokosis pada pasien terinfeksi HIV pra ARV di UPT HIV-RSCM sebesar 6,4%. Kata kunci: Cryptococcus neoformans; meningitis Cryptococcus; lateral flow immunoassay; serum
Universitas Indonesia
x Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
ABSTRACT
Name Study Programme Title
: Cut Antara Keumala Muda : Neurology : Prevalence of Serum Cryptococcal Antigen in PWHIV Pre-ART Cognitive Function Changes in Traumatic Brain Injury Patients by STIMKOG Intervention
Background: Cryptococcal meningitis is prominent opportunistic infections occur in PWHIV and seats as the third most frequent brain infection. In general, Meningitis Cryptococcal reach 957 900 cases per year. It is estimated that the prevalence rate is 21.9% and 5 – 30% for Jakarta and Indonesia, respectively. It does not reflect the real number, which might be due to unspecific clinical symptoms. In making diagnosis, it requires cerebrospinal fluid that is challenging to obtain. Other method is needed to feeding clinical decision, when lumbal puncture cannot be performed. Thus, real Cryptococcal prevalence is known. Aim: To ascertain Cryptococcal prevalence among pre-ART PWHIV at Integrated HIV Clinic, Cipto Mangunkusumo Hospital. Method: This study using cross-sectional design conducted from May – July 2013 at the HIV clinic. Participants of the study were patients who have not started ART. Cryptococcal serum antigen was tested using LFA. Results: Of 78 participants, 59% male, age 18 – 68 year old. CD4 countvaried from 2 – 754 cell/mm3, where 68% had CD4 count <200 cell/mm3. Five participants (6.4%) were positive to Cryptococcal serum antigen, whereas two run lumbal puncture which showing negative result for Cryptoccus. They received oral fluconazole treatment and have survived until present. The rest refused thetreatment and passed away four weeks later. Conclusion: Cryptococcosis prevalence among pre-ART PWHIV at Integrated HIV clinic, Cipto Mangunkusumo Hospital is 6.4%. Key words: Cryptococcus neoformans; meningitis Cryptococcus; lateral flow immunoassay; serum
Universitas Indonesia
xi Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...................................................................................... HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS........................................... HALAMAN PENGESAHAN......................................................................... UCAPAN TERIMA KASIH........................................................................... HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI.................... ABSTRAK........................................................................................................ ABSTRACT..................................................................................................... DAFTAR ISI…………….……………………………………………...…… DAFTAR TABEL………..………………………………………….............. DAFTAR GAMBAR………………………………………………………... DAFTAR LAMPIRAN................................................................................... BAB 1 PENDAHULUAN………………………………………………… 1.1 Latar Belakang ...................................................................... 1.2 Rumusan Masalah ................................................................ 1.3 Tujuan ................................................................................... 1.4 Manfaat ................................................................................. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.................................................................. 2.1 Meningitis Cryptococcus....................................................... 2.1.1 Epidemiologi............................................................. 2.1.2 Etiologi ..................................................................... 2.1.3 Patogenesis.............................................................. 2.1.4 Gejala ................................................................... 2.1.5 Diagnosis................................................................ 2.1.5.1 Pemeriksaan Mikologi…………………..... 2.1.5.1.1 Pemeriksaan Langsung Cairan Otak Dengan Tinta India……….. 2.1.5.1.2 Pemeriksaan Kultur Cairan Otak.. 2.1.5.2 Uji Serologi………………………………. 2.1.5.2.1 Deteksi Antigen………………… 2.1.5.2.2 Deteksi Antibodi……………….. 2.1.5.3 Analisis Cairan Otak……………………… 2.1.5.4 Radiologi…………………………………. 2.2 Sindrom Pulih Imun......................................................... 2.3 Pemeriksaan Antigen Cryptococcus dengan metode LFA.................................................................................. 2.3.1 Antigen Glucuronoxylomannan (GXM) C. Neoformans......................................................... 2.3.2 Relevansi Klinis Antigenemia Asimptomatik……... 2.3.3 Perjalanan Klinis Antigenemia Asimptomatik…….. 2.3.4 Terapi Pre-Emptive……………………………….... 2.3.5 Metode…………………………………….............. 2.3.6 Aplikasi LFA……………………………………..... 2.4 Kerangka teori ..................................................................... 2.5 Kerangka konsep…..............................................................
i ii iii v ix x xi xii xiv xv xvi 1 1 3 3 4 5 5 5 6 6 13 14 15 15 15 16 16 16 17 17 18 20 20 21 21 23 24 26 27 28
Universitas Indonesia
xii Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN………………………………… 3.1 Desain Penelitian………………………………………….. 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian............................................. 3.3 Populasi Penelitian.............................................................. 3.4 Kriteria Penelitian................................................................ 3.5 Teknik Pengambilan Sampel............................................... 3.6 Cara Kerja............................................................................ 3.7 Kerangka Operasional......................................................... 3.8 Identifikasi Variabel............................................................ 3.9 Definisi Operasional........................................................... 3.10 Pengolahan dan Analisa Data.............................................. 3.11 Etika Penelitian.................................................................... BAB 4 HASIL PENELITIAN……………………………………………. 4.1 Karakteristik Demografis dan Klinis Subyek Penelitian….. 4.2 Prevalensi AgCr Serum Pasien Terinfeksi HIV…………… BAB 5 PEMBAHASAN…………………………………………............. 5.1 Dinamika Penelitian………………………………………. 5.2 Karakteristik Demografis Subyek Penelitian……………… 5.3 Prevalensi AgCr Serum Pasien Terinfeksi HIV…………… BAB 6 SIMPULAN DAN SARAN………………………………………. 6.1 Simpulan…………..………………………………………. 6.2 Saran………………………………………….…………… DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... LAMPIRAN.....................................................................................................
29 29 29 29 29 30 30 31 32 32 34 35 36 36 38 42 42 42 44 47 47 47 48 53
Universitas Indonesia
xiii Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Tabel 2.2 Tabel 2.3 Tabel 4.1 Tabel 4.2 Tabel 4.3
Tabel 4.4 Tabel 4.5
Stadium Klinis Infeksi HIV…………………………………. Luaran Pasien dengan AgCr Positif dengan dan tanpa ARV dan Flukonazol…….......................................................... Perbandingan antara LFA dengan Metode Lain..................... Sebaran Karakteristik Responden berdasarkan Demografi dan Cara Penularan HIV ..................................................... Sebaran Karakteristik Responden Berdasarkan Laboratorium Dan Tanda Klinis……………………………………………. Hasil Pemeriksaan CrAg dan Hubungannya dengan Beberapa Parameter Laboratorium, Klinis dan Infeksi Oportunistik…………………………………………………. Pebedaan tanda Klinis Pasien dengan AgCr Positif dan AgCr Negatif……………………............................................... Karakteristik Masing-Masing Pasien yang Dinyatakan Memiliki AgCr Serum Positif .............................................
10 24 25 37 37
39 40 41
Universitas Indonesia
xiv Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Gambar 2.2
Skematik Invasi Cryptococcus……..........…………………... Konsentrasi AgCr pada Cairan Tubuh Selama Perjalanan Infeksi...............................................................................
8 13
Universitas Indonesia
xv Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 4 Lampiran 5 Lampiran 8 Lampiran 9 Lampiran 10 Lampiran 11
Lembar Informasi Subyek Penelitian......................................... Lembar Persetujuan Mengikuti Penelitian................................. Lembar Data Penelitian.............................................................. Visual Analog Scale............................................................. Lembar Skala HIV Demensia (Sactor 2003).…………............ Anggaran Penelitian................................................................... Jadwal Penelitian........................................................................ Surat Keterangan Lolos Kaji Etik.............................................. Data Dasar..................................................................................
Universitas Indonesia
xvi Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
53 55 56 58 59 60 61 62 63
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Meningitis Cryptococcus adalah radang selaput otak yang disebabkan jamur Cryptococcus. Infeksi tersebut merupakan infeksi oportunistik
penting pada
penderita AIDS dan merupakan urutan ke tiga infeksi otak.1 Di negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa dan Australia angka kejadian meningitis Cryptococcus berkisar 5-10% dari seluruh pasien AIDS, persentase yang lebih, tinggi ditemukan di negara berkembang seperti di Asia Tenggara dan Afrika.2,3 Angka kejadian meningitis Cryptococcus di Asia Tenggara sebanyak 120000 kasus dengan rentang 24000–216000 kasus.4 Angka kematian akibat meningitis Cryptococcus di negara maju berkisar antara 10-30% sedangkan di negara berkembang berkisar antara 13-40%.5 Di Indonesia diperkirakan angka kejadian infeksi Cryptococcus berkisar antara 5% sampai 30%.1,6 Departemen Parasitologi FKUI mencatat peningkatan mencolok insiden meningitis Cryptococcus pada penderita AIDS dengan gangguan susunan saraf pusat (SSP) sebesar 21,9%.7 Sementara itu di Bandung Akhmad melaporkan 30% pasien AIDS dengan gangguan SSP terbukti menderita meningitis Cryptococcus.8 Menurut data di RSCM tahun 2004 – 2006 angka kematian meningitis Cryptococcus sebesar 45%,9 sedangkan pada tahun 2007 – 2010 sebesar 51,4%.10 Infeksi Cryptococcus terjadi melalui inhalasi
spora ke paru dan
selanjutnya berdiseminasi ke berbagai organ tubuh termasuk otak menjadi meningitis Cryptococcus.14 Antigen Cryptococcus (AgCr) dapat terdeteksi dalam darah perifer mendahului gejala meningitis Cryptococcus dengan rata-rata 22 hari, dan sekitar 11% antigen terdeteksi lebih dari 100 hari sebelum awitan penyakit. Rajasingham et al menemukan antigenemia Cryptococcus asimtomatik terjadi pada pasien dengan CD4 kurang dari 100 sel/mm3.12 Kemajuan
dalam
ketersediaan
terapi
antiretroviral
(ARV)
tidak
menurunkan angka kejadian dan kematian meningitis Cryptococcus. Agaknya keadaan sindrom pulih imun merupakan salah satu penyebab. Hal itu berhubungan dengan kriptokokosis yang tidak terdiagnosis sebelum pemberian ARV.5
1 Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
2
Kesulitan dalam menegakkan diagnosis meningitis Cryptococcus terletak pada gejala klinis yang tidak khas. Selain itu untuk mendapatkan cairan otak guna kepentingan diagnosis diperlukan tindakan lumbal pungsi, namun seringkali tidak dapat dilakukan pada waktu yang tepat. Baku emas diagnosis kriptokokosis adalah pemeriksaan langsung cairan otak dengan tinta india dan kultur. Kelemahannya, hasil positif tinta india hanya didapat jika jumlah sel jamur dalam cairan otak ≥ 103-104 sel/ml, dan sensitifitas kultur hanya sekitar 50-60%.13 Diagnosis dini meningitis Cryptococcus harus secepatnya ditegakkan agar pengobatan dapat segera diberikan sebelum pemberian ARV, sehingga kecacatan dapat dicegah dan angka kematian dapat diturunkan.14 Penelitian retrospekif yang mengukur kadar antigen pada 707 pasien terinfeksi HIV, didapatkan prevalensi antigenemia lebih tinggi pada pasien dengan CD4 kurang dari 100 sel/mm3. Pasien dengan CD4 kurang dari 100 sel/mm3 antigen Cryptococcus positif yang memperoleh
obat antijamur yang dilanjutkan pemberian ARV menunjukkan
luaran klinis lebih baik dibandingkan yang tidak memperoleh obat antijamur dan ARV.12 Dengan demikian penting untuk melakukan
pemeriksaan penapisan
antigen Cryptococcus pada pasien terinfeksi HIV sebelum mendapatkan ARV. Deteksi antigen pada cairan otak sudah memadai
untuk menegakkan
diagnosis meningitis Cryptococcus, sedangkan deteksi pada serum merupakan diagnosis presumptif.12 Deteksi antigen Cryptococcus pada serum berfungsi sebagai pemeriksaan penapis kriptokokosis terutama pada pasien dengan jumlah CD4 kurang dari 100 sel/mm3 atau yang akan mendapatkan ARV.15 Antigen yang dideteksi adalah glucuronoxylomannan (GXM), polisakarida dan komponen utama kapsul jamur yang dapat terdeteksi di berbagai cairan tubuh seperti cairan otak, darah, serum dan urin.11,16 Pemeriksaan antigen kriptokokus dapat digunakan untuk diagnosis presumptif dengan sensitivitas dan spesifisitas mendekati 100%.12,16,17 Beberapa teknik yang digunakan untuk mendeteksi antigen GXM adalah: uji aglutinasi lateks (LA), uji enzym linked immunosorbent assay (ELISA), uji enzym immunoassay (EIA) dan uji immunochromatography. Uji aglutinasi lateks (LA) adalah teknik yang paling sering dipakai saat ini selain ELISA. Cara pemeriksaannya lebih sederhana dari pada teknik ELISA. Sensitivitas teknik LA dapat mencapai 95%-100%.18 Namun pada pengerjaannya Universitas Indonesia
Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
3
LA lebih sulit dibandingkan metode yang lebih baru yaitu lateral flow immunoassay (LFA), karena memerlukan deaktivasi faktor reuma agar tidak terjadi positif palsu.19 Metode LFA dapat menjadi pilihan, karena sederhana dan memiliki sensitivitas 100% dan spesifisitas 94%, lebih mudah pengerjaannya, tidak mengandalkan prasarana laboratorium yang rumit maupun keahlian khusus dan dapat memberikan hasil yang cepat. 17 Karena itu menarik dilakukan penelitian untuk
mengetahui berapa
prevalensi kriptokokosis pada pasien HIV yang belum mendapat ARV dan hubungannya dengan stadium klinis infeksi HIV, CD4 dan gejala klinis meningitis Cryptococcus.
1.2.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah : 1. Berapa prevalensi antigen Cryptococcus positif pada serum pasien terinfeksi HIV? 2. Bagaimana hubungan antara prevalensi antigen Cryptococcus dengan stadium klinis infeksi HIV, CD4 dan tanda klinis meningitis pada pasien terinfeksi HIV?
1.3.
Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum Mengetahui prevalensi kriptokokosis pada pasien terinfeksi HIV yang belum mendapatkan ARV.
1.3.2. Tujuan Khusus 1.
Mengetahui prevalensi antigen Cryptococcus positif pada serum pasien terinfeksi HIV.
2.
Mengetahui hubungan antara prevalensi antigen Cryptococcus dengan stadium klinis infeksi HIV, CD4 dan tanda klinis meningitis pada pasien terinfeksi HIV.
Universitas Indonesia
Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
4
1.4.
Manfaat
1.4.1. Bidang Penelitian Hasil penelitian ini dapat menjadi data dasar penelitian lebih lanjut tentang aplikasi antigen Cryptococcus positif pada serum terhadap tatalaksana meningitis Cryptococcus.
1.4.2. Bidang Pelayanan Pemeriksaan antigen Cryptococcus diharapkan dapat digunakan sebagai deteksi dini meningitis Cryptococcus sehingga dapat dilakukan pengobatan sedini mungkin.
1.4.3. Bidang Pendidikan Sebagai sarana pendidikan dalam proses melakukan penelitian, melatih cara berpikir analitik sistematik serta meningkatkan wawasan pengetahuan tentang diagnosis dan tatalaksana meningitis Cryptococcus.
Universitas Indonesia
Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Meningitis Cryptococcus
2.1.1. Epidemiologi Meningitis Cryptococcus dialami sekitar 957.900 orang per tahun dan menyebabkan sekitar 624.700 kematian per tahun. Prevalensi terbesar ada di subSahara Afrika, diperkirakan terdapat 720.000 kasus per tahun, sekitar 26% dari seluruh kasus di Malawi, 45% di Zimbabwe dan 63% di Afrika Selatan.12 Angka kematian akibat meningitis Cryptococcus tetap tinggi bahkan hal tersebut terjadi pula pada pusat rujukan perawatan kesehatan dengan akses obat antijamur dan ARV yang relatif mudah. Di Uganda, tingkat kematian meningitis Cryptococcus berkisar 20% - 39% dan hanya 40% yang dapat hidup setelah enam bulan. Hal serupa juga terjadi di Afrika Selatan dengan mortalitas di rumah sakit mendekati 30%, dan enam bulan kelangsungan hidup 40% -60% . Di sebuah rumah sakit di Afrika Selatan, 31% dari semua pasien rawat inap mengalami meningitis Cryptococcus dalam waktu 32 minggu setelah inisiasi ARV. 12 Angka kejadian di Asia Tenggara sebesar 12%.4 Prevalensi kriptokokosis di Thailand sebesar 9,2% dan 0,8% menjadi meningitis Cryptococcus satu tahun kemudian.20 Prevalensi kriptokokosis di Vietnam lebih rendah dibandingkan Thailand, yaitu sebesar empat persen.21 Sedangkan di Kamboja sebesar 18%.22 Di Indonesia diperkirakan angka kejadian infeksi Cryptococcus berkisar antara 5% sampai 30%.1,6 Prevalensi meningitis Cryptococcus di Jakarta pada tahun 20052007 sebesar 20,77%.23 Departemen Parasitologi FKUI mencatat peningkatan mencolok
insiden
meningitis
Cryptococcus
pada
penderita
acquired
immunodeficiency syndrome (AIDS) dengan gangguan susunan saraf pusat (SSP) sebesar 21,9%.7 Sementara itu di Bandung Akhmad melaporkan 30% pasien AIDS dengan gangguan SSP terbukti menderita meningitis Cryptococcus.8 Menurut data di RSCM tahun 2004 – 2006 angka kematian meningitis Cryptococcus sebesar 45%,9 sedangkan pada tahun 2007 – 2010 sebesar 51,4%.10
5
Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
6
2.1.2. Etiologi Cryptococcus diklasifikasikan menjadi Cryptococcus neoformans dan Cryptococcus gatii. Cryptococcus neoformans terbagi menjadi serotipe A atau Cryptococcus neoformans
varietas grubii, serotipe D atau Cryptococcus
neoformans varietas neoformans dan serotipe AD. Cryptococcus gatii terbagi menjadi serotipe B dan C. Cryptococcus neoformans ditemukan di seluruh dunia dan berhubungan dengan tanah yang terkontaminasi kotoran burung, khususnya merpati. Cryptococcus gatii ditemukan pada berbagai lapukan kayu pohon antara lain Eucalyptus yang tumbuh di daerah tropis dan subtropis.11,24,25 Dalam tubuh manusia Cryptococcus neoformans membentuk membran plasma yang mengandung ergosterol dan memiliki kapsul
tebal yang
mengandung polisakarida bermuatan negatif yang bersifat imunosupresif, menghambat respons imun selular, dan migrasi leukosit.26
2.1.3. Patogenesis Penyakit Meningitis Cryptococcus timbul sebagai reaktivasi infeksi laten atau merupakan akibat penyebaran infeksi baru.1 Meningitis Cryptococcus umumnya terjadi pada pasien dengan penurunan imunitas namun juga dapat menginfeksi pejamu imunokompeten.5 Infeksi C. neoformans sering terjadi pada pasien imunokompromi misalnya pada pasien terinfeksi HIV, pasien dengan pengobatan imunosupresif, transplantasi organ padat dari sumsum tulang serta keganasan.24,25 Sedangkan infeksi C. gatii lebih sering terjadi pada pasien imunokompeten.24,25,28 Cryptococcus neoformans seringkali ditemukan di tanah yang memiliki kandungan nitrogen berlimpah misalnya tanah yang tercemar kotoran unggas. Organisme tersebut responsif terhadap faktor lingkungan, meliputi suhu, tingkat keasaman tanah, sumber nitrogen dan karbondioksida, air dan besi. Ukuran C. neoformans dan ketebalan kapsul dipengaruhi oleh faktor genetik terkait strain serta kondisi lingkungan. Pada suhu dan pCO2 yang tinggi di lingkungan ukuran kapsul relatif kecil. Pada kondisi tersebut, terjadi kolaps kapsul hidrofilik untuk melindungi organisme dari dehidrasi. Ukuran yang kecil ini memungkinkan C. neoformans terinhalasi.24 Universitas Indonesia
Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
7
Pada saat berada di saluran nafas, ukuran kapsul C.neoformans membesar. Hal tersebut merupakan mekanisme protektif terhadap kondisi fisiologis yakni suhu, pCO2, dan kandungan besi serta terhadap sistem imun pejamu seperti makrofag alveolar, netrofil PMN, serta sistem imun selular lain dan sistem imun humoral. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, kapsul polisakarida memiliki sejumlah properti virulensi untuk menghadapi mekanisme imun.24 Pada saat memasuki paru, C. neoformans melakukan penetrasi alveolus, menempel sehingga dapat diinternalisasi oleh sel epitel paru. Pneumosit tipe II memiliki reseptor GXM sehingga dapat menginternalisasi galur yang berkapsul ataupun tidak. Interaksi Cryptococcus dengan makrofag alveolar berperan penting dalam proses diseminasi sistemik. Cryptococcus neoformans dapat “memilih” untuk menghindari fagositosis dengan properti antifagosit yang dimilikinya.24 Apabila berhasil diinternalisasi oleh makrofag, C. neoformans dapat bereplikasi hingga menimbulkan kematian makrofag, atau terjadi proses ekspulsi tanpa menyebabkan kerusakan pada makrofag. Cryptococcus neoformans yang terperangkap dalam makrofag dapat hidup dan berproloferasi kemudian dapat mengalami diseminasi sistemik bersama dengan makrofag. Lokasi diseminasi utama adalah SSP. Neurotropisme ini terkait substrat pembentukan melanin dan enzim katalisatornya, yakni laccasse, yang secara eksklusif terdapat di SSP.25
Universitas Indonesia
Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
8
Sumber pada alam Aliran darah
Hewan
Infeksi Paru
Meningitis Cryptococcus
Spora Kotoran burung
Gambar 2.1. Skematik invasi Cryptococcus Dimodifikasi dari Li dan Mody 24
Invasi ke otak diawali dengan jamur yang terjebak secara mekanik di pembuluh darah post kapiler, diikuti kerusakan endotel kapiler dini dan proliferasi jamur, dan kemudian masuk ke ruang meningeal. Proses ini diyakini melalui sawar darah otak di tingkat kapiler korteks.1 Adapun tiga model proses migrasi Cryptococcus melalui sawar darah otak yakni dengan : (1) secara transelular melaui sel endotel. Membran sel endotel membentuk mikrovili yang mengelilingi dan menariknya ke dalam sel. Setelah mengalami internalisasi, C. neoformans menyebabkan kerusakan sel endotel dan keluar melalui permukaan sel; (2) rute paraselular antara sel endotel. Cryptococcus neoformans berinteraksi dengan sel endotel, sel endotel mengalami retraksi, dan junction menjadi longgar, sehingga memungkinkan C. neoformans untuk lewat; (3) Trojan horse, dalam hal ini monosit berperan sebagai kuda troya membawa Cryptococcus melewati pembuluh darah.24 Cryptococcus neoformans dapat tinggal dorman dalam paru atau kelenjar getah bening dalam waktu lama setelah infeksi, kemudian terjadi reaktivasi jika respons pejamu melemah. Infeksi menyebar dari paru dan kelenjar getah bening intra torakal menuju sirkulasi darah khususnya pada pejamu dengan penurunan
Universitas Indonesia
Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
9
sitem imun.29 Hal itu terjadi pada pasien terinfeksi HIV stadium lanjut dengan hitung CD4 kurang dari 100 sel/ mm3.30 Berdasarkan WHO, stadium klinis HIV/AIDS dibagi menjadi empat seperti terlihat (Tabel 2.1). Kebanyakan pasien datang saat sudah stadium lanjut yaitu stadium tiga dan umumnya jumlah sel T CD4 sudah berkurang hingga di bawah 200 sel/mm3.
Universitas Indonesia
Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
10
Tabel 2.1. Stadium klinis infeksi HIV Stadium 1 (asimtomatik) Tidak ada gejala Limfadenopati generalisata persisten Stadium 2 (ringan) Penurunan berat badan bersifat sedang yang tak diketahui penyebabnya (<10% dari perkiraan berat badan atau berat badan sebelumnya) Infeksi saluran pernafasan yang berulang (sinusitis, tonsillitis, otitis media, faringitis) Herpes zoster Keilitis angularis Ulkus mulut yang berulang Ruam kulit berupa papel yang gatal (papular pruritic eruption) Dermatisis seboroik Infeksi jamur pada kuku Stadium 3 (lanjut) Penurunan berat badan bersifat berat yang tak diketahui penyebabnya (> 10% dari perkiraan berat badan atau berat badan sebelumnya) Diare kronis yang tak diketahui penyebabnya selama lebih dari 1 bulan Demam menetap yang tak diketahui penyebabnya Kandidiasis pada mulut yang menetap Oral hairy leukoplakia Tuberkulosis paru Infeksi bakteri yang berat (contoh: pneumonia, empiema, meningitis, piomiositis, infeksi tulang atau sendi, bakteraemia, penyakit inflamasi panggul yang berat) Stomatitis nekrotikans ulserative akut, gingivitis atau periodontitis Anemi yang tak diketahui penyebabnya (<8g/dl), netropeni (<0.5 x 109/l) dan/atau trombositopeni kronis (<50 x 109/l) Stadium 4 (berat) Sindrom wasting HIV Pneumonia Pneumocystis jiroveci Pneumonia bakterial berat yang berulang Infeksi herpes simplex kronis (orolabial,genital, atau anorektal selama lebih dari 1bulan atau viseral di bagian manapun) Kandidiasis esofageal (atau kandidiasistrakea, bronkus atau paru) Tuberkulosis ekstra paru Sarkoma Kaposi Penyakit Cytomegalovirus (retinitis atau infeksi organ lain, tidak termasuk hati, limpa dan kelenjar getah bening) Toksoplasmosis di sistem saraf pusat Ensefalopati HIV Pneumonia Kriptokokus ekstrapulmoner, termasuk meningitis Infeksi mycobacteria non tuberkulosis yang menyebar Leukoencephalopathy multifocal progresif Cyrptosporidiosis kronis Isosporiasis kronis Mikosis diseminata (histoplasmosis, coccidiomycosis) Septikemi yang berulang (termasuk Salmonella non-tifoid) Limfoma (serebral atau Sel B non-Hodgkin) Karsinoma serviks invasif Leishmaniasis diseminata atipikal Nefropati atau kardiomiopati terkait HIV yang simtomatis
Sumber dimodifikasi dari: WHO. Antiretroviral therapy for infection in adults and adolescents: recomendations for a public health approach (2010 revision).
Predileksi Cryptococcus ini untuk menginfeksi ruang subarakhnoid mengindikasikan ada reseptor pada sel SSP untuk ligan jamur, namun belum ada yang diidentifikasi secara meyakinkan. Sifat fenotipik yang dihubungkan dengan Universitas Indonesia
Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
11
invasi ke SSP adalah produksi melanin, kapsul polisakarida dan kemampuan untuk tumbuh pada suhu tubuh mamalia.29 Melanin dihasilkan melalui jalur yang menggunakan enzim lakase (laccase) khusus. Substrat untuk enzim lakase termasuk senyawa difenol tertentu meliputi norepinefrin dan katekolamin lainnya, yang terkonsentrasi tinggi dalam SSP. Suatu sifat yang menjelaskan keberadaan C. neoformans di otak. Melanin dapat melindungi mikroorganisme dari lisis setelah terpajan terhadap sel pertahanan pejamu; hal itu dapat berlaku seperti antioksidan.29 Jamur juga menghasilkan manitol yang dapat menginduksi edema serebri dan menghambat fungsi fagosit.27 Faktor virulensi lainnya adalah kapsul.6 Kapsul jamur menghambat fagositosis dan makrofag dan respons sel T, serta mengganggu migrasi leukosit. Semuanya menyebabkan reaksi inflamasi yang minimal yang merupakan karakteristik infeksi Cryptococcus. Akibat proses patologi infeksi Cryptococcus bersifat non eksudat, meningitis basilar kronis dengan edema serebri dan mikroabses yang tersebar terutama di lapisan superfisial korteks serebri yang terkadang cukup besar untuk membentuk massa di otak yang disebut kriptokokoma.1 Sifat lain yang penting bagi invasi ke SSP adalah kemampuan untuk tumbuh pada suhu 370C. Cryptococcus neoformans merupakan satu dari sedikit spesies Cryptococcus yang dapat beradaptasi untuk tumbuh pada suhu tubuh manusia.29 Imunitas humoral juga berperan penting pada pertahanan pejamu. Baik IgG maupun C3b berikatan ke (dan di dalam) kapsul yang dapat meningkatkan fagositosis. Sistem komplemen yang baik penting dalam mencegah penyebaran dari paru ke SSP. Akan tetapi jarangnya meningitis Cryptococcus pada pasien dengan defisiensi antibodi atau produksi komplemen kongenital maupun didapat menunjukkan bahwa imunitas humoral kurang penting dibandingkan imunitas selular.29 Terdapat dua faktor penting yang menjadikan C. neoformans sebagai jamur tersering dalam menyebabkan meningitis yaitu: terapi kortikosteroid yang mengendalikan penyebaran jamur, dan infeksi HIV.29 Kriptokokosis lebih banyak Universitas Indonesia
Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
12
menyerang laki-laki daripada perempuan. Diduga hal itu terjadi karena laki-laki lebih terpajan jamur dari lingkungan karena pekerjaannya. Secara invitro dibuktikan bahwa hormon estrogen dapat menghambat pertumbuhan jamur.14,31 Imunitas selular dan humoral pejamu berperan penting pada kriptokokosis. Pertahanan tubuh yang pertama kali berperan dalam menghadapi C. neoformans adalah makrofag alveoli. Secara invitro makrofag dapat mengikat dan memfagositosis jamur. Neutrofil, sel NK dan limfosit T berperan membunuh dan menghambat pertumbuhan C. neoformans. Pada hewan coba, CD4 dan CD8 dilaporkan berperan penting dalam perlindungan tubuh terhadap C. neoformans, terutama pada infeksi paru dan otak. Penurunan atau ketiadaan CD4, CD8 dan kekebalan tubuh mempermudah penyebaran infeksi. Penurunan atau ketiadaan limfosit T yang berdampak pada penurunan atau ketiadaan CD4 dan CD8 seperti pada penderita AIDS mempermudah terjadinya infeksi C. neoformans atau penyebaran infeksi yang telah ada terutama ke otak.11 Sitokin terutama interleukin-2 dan interferon-γ yang dilepaskan oleh limfosit (TH1) berperan penting dalam membunuh jamur. Pada penelitian in-vitro monocyte-drived macrophage, natural killer cells dan limfosit T dapat membunuh Cryptococcus. Peran imunitas humoral masih belum jelas namun beberapa penelitian menunjukkan antibodi berperan dalam menurunkan kadar antigen dalam sirkulasi dan berperan penting pada lymphocyte-mediated immune response terhadap jamur tersebut.24,25 Pada pejamu dengan gangguan sistem imun, C. neoformans memproduksi asam sialat, kapsul polisakarida, melanin, manitol dan fosfolipase yang penting untuk menginvasi pejamu. Namun patogenitas jamur tersebut pada pasien tanpa gangguan sistem imun belum terungkap sepenuhnya.24,25
Universitas Indonesia
Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
13
Cairan otak Konsentrasi AgCr (ng/ml)
Darah
Urin
Waktu
infeksi
Gambar 2.2. Skema konsentrasi antigen Cryptococcus pada cairan tubuh selama perjalanan infeksi Dimodifikasi dari Pelfrey J, Bauman S 17
2.1.4. Gejala Infeksi Cryptococcus pada pasien HIV seringkali hanya bermanifestasi sebagai gejala neurologi tanpa bukti infeksi sistemik. Akan tetapi pasien juga dapat mengalami gejala dan tanda ekstraneural yang terlihat di beberapa organ, terutama pada paru, kulit dan genitourinaria.1 Awitan dan durasi gejala neurologis bervariasi, seringkali dimulai 2 - 4 minggu sebelum timbul gejala. Gejala yang timbul sering tersembunyi dan tidak spesifik. Nyeri kepala yang memberat dan demam merupakan gejala yang paling sering dilaporkan pada 75% sampai 90% kasus diikuti oleh mual dan muntah (40% - 50%). Pada beberapa kasus, nyeri kepala yang berat tersebut hampir menyerupai nyeri kepala pada perdarahan subarakhnoid. Mekanisme pasti nyeri kepala itu belum diketahui, namun diperkirakan karena keterlibatan meningen / tekanan intrakranial yang tinggi / trombosis sinovenosus.28 Seperti
Mycobacterium
tuberculosis,
Cryptococcus
juga
dapat
menyebabkan meningitis basal yang menyebabkan paresis saraf bola mata, gangguan pendengaran, dan hidrosefalus.27 Neuropati kranialis mempengaruhi satu atau lebih nervus kranialis dapat terjadi sekunder karena arakhnoiditis basal atau karena hidrosefalus.28 Kejang dan gejala neurologis fokal seperti hemiparesis Universitas Indonesia
Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
14
atau paresis nervus kranialis tampak pada 10% - 20%.1,30 Pasien juga dapat mengalami hemiparesis atau hemisensoris yang terjadi sekunder karena arteritis.28 Gejala neurologis fokal dapat pula merupakan indikasi ada lesi massa (kriptokokoma).30,32 Fotofobia, pandangan kabur dan gangguan visual lainnya dialami oleh 20% 30% pasien. Perubahan status mental, abnormalitas perilaku, bingung, letargi, obtundasi, gangguan memori, gangguan kesadaran dan perilaku terjadi pada 10% - 30%.1,30 Tanda rangsang meningen seperti kaku kuduk hanya terjadi pada 20% 50% karena inflamasi yang minimal. Peningkatan tekanan intrakranial sering dijumpai pada meningitis Cryptococcus dan terjadi pada 50% - 70% pasien tanpa hidrosefalus atau edema serebri.1 Edema papil hanya ditemukan pada 26% kasus.30
2.1.5. Diagnosis Diagnosis kriptokokosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium serta pemeriksaan radiologis. Diagnosis pasti ditegakkan bila ditemukan jamur penyebab pada bahan klinik. Untuk menemukan jamur dalam cairan otak dan jaringan dilakukan pemeriksaan mikologi secara langsung dengan tinta india dan isolasi jamur dengan kultur. Selain menemukan jamur dalam bahan klinik dapat dilakukan deteksi antigen dan deteksi DNA dengan teknik PCR.11 Pendekatan diagnosis yang dianjurkan WHO dalam penegakkan diagnosis meningitis Cryptococcus pada kasus HIV dewasa dengan dugaan meningitis Cryptococcus, adalah segera melakukan pungsi lumbal dengan pengukuran tekanan bukaan cairan otak dan segera memeriksa antigen Cryptococcus (AgCr) pada cairan otak, serum, atau plasma yang direkomendasikan sebagai pendekatan diagnostik. 33 Berikut pendekatan diagnostik yang dianjurkan WHO dengan memperhatikan ketersediaan peralatan: 1. Bila peralatan laboratorium tersedia dan tidak ada kontraindikasi untuk pungsi lumbal:
Universitas Indonesia
Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
15
•
Dilakukan pemeriksaan deeteksi antigen Cryptococcus dengan metode LFA atau LA pada serum dan dilanjutkan dengan tindakan pungsi lumbal serta pemeriksaan antigen Cryptococcus cairan otak.
•
Jika pemeriksaan antigen Cryptococcus tidak tersedia, dilakukan tindakan pungsi lumbal yang dilanjutkan pemeriksaan tinta India pada cairan otak.
2. Bila peralatan pungsi lumbal tidak tersedia atau terdapat kontraindikasi pungsi lumbal: •
Dilakukan pemeriksaan deteksi antigen Cryptococcus serum atau plasma. Jika positif, dianggap meningitis Cryptococcus dan pengobatan dapat dimulai, kemudian pasien dirujuk untuk pemeriksaan lebih lanjut dan pengobatan yang sesuai.
•
Jika tidak tersedia pemeriksaan antigen Cryptococcus dan peralatan laboratorium lainnya, pasien dirujuk untuk pemeriksaan lebih lanjut dan mendapat pengobatan yang sesuai.33
2.1.5.1. Pemeriksaan Mikologi 2.1.5.1.1. Pemeriksaan Langsung Cairan Otak dengan Tinta India Diagnosis pasti ditegakkan dengan menemukan sel ragi berkapsul pada pemeriksaan langsung tinta india. Kapsul akan tampak terang pada latar belakang yang berwarna gelap, karena partikel tinta india tidak diserap oleh kapsul.11 Pemeriksaan tinta india memberikan hasil positif bila jumlah sel jamur 103-104 sel/ml cairan otak.9 Gambaran partikel bulat berkapsul khas C. neoformans ditemukan pada 75% sampai 90% cairan otak.1,27
2.1.5.1.2. Pemeriksaan Kultur Cairan Otak Kultur jamur positif pada 50 - 60% pasien HIV. Sensitivitas kultur bahan yang berasal dari ekstraneural seperti cairan bilasan bronkoalveolar dan urin lebih rendah daripada cairan otak. Bilasan bronkus dan urin hanya positif pada 1/3 sampai 2/3 pasien.1 Kultur dapat dilakukan pada media agar sabouraud dekstrosa (ASD) dan agar bird seed (ABS), yang diinkubasi pada suhu kamar. Koloni jamur tumbuh Universitas Indonesia
Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
16
setelah 48-72 jam. Koloni tampak mukoid berwarna krem hingga kuning pada media ASD dan coklat gelap pada media ABS.11
2.1.5.2. Uji Serologi Pemeriksaan serologi dilakukan untuk mendeteksi antigen atau antibodi C. neoformans. Pemeriksaan deteksi antigen atau antibodi diperlukan karena beberapa hal yaitu pemeriksaan langsung dengan tinta india meskipun dapat memberikan hasil cepat, pada individu imunokompeten sensitifitasnya hanya 50% sedang pada penderita AIDS 80%. Hasil pemeriksaan langsung hanya akan positif bila kadar sel berjumlah 103-104 sel/ml spesimen klinik. Pemeriksaan kultur membutuhkan waktu cukup lama yaitu lima hari. Deteksi antigen atau antibodi C. neoformans yang dilakukan pada cairan tubuh dapat memberikan hasil dalam waktu yang lebih cepat. 11
2.1.5.2.1. Deteksi Antigen Deteksi antigen C. neoformans lebih banyak digunakan saat ini karena dapat menunjukkan hasil positif pada infeksi akut ataupun kronis, dan mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi. Deteksi antigen dengan peralatan yang tersedia saat ini dapat mendeteksi polisakarida hingga 10 ng/ml sehingga dengan kadar antigen yang minimal sekalipun diagnosis kriptokokosis tetap dapat ditegakkan. Antigen C. neoformans dapat dideteksi pada cairan otak, serum, bilasan bronkhus dan urin.11
2.1.5.2.2. Deteksi Antibodi Deteksi antibodi dapat dilakukan dengan deteksi IgA dan IgG, tetapi deteksi antibodi memiliki beberapa kelemahan, diantaranya: tidak menunjukkan hasil positif pada infeksi akut, hal itu karena pembentukan antibodi membutuhkan waktu. Selain itu IgA masih positif setelah 1-2 tahun fase penyembuhan, sedangkan
IgG dapat persisten sehingga terdeteksinya antibodi belum tentu
menunjukkan individu mengalami infeksi aktif. Pada individu imunokompromi, pemeriksaan antibodi menunjukkan hasil yang sangat kompleks dan kadarnya naik turun tidak konsisten sehingga sulit digunakan untuk menegakkan diagnosis. Universitas Indonesia
Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
17
Kondisi imunokompromis mengakibatkan sel-sel kekebalan tubuh menurun atau tidak ada sama sekali sehingga hanya sedikit terbentuk antibodi atau bahkan tidak terbentuk sama sekali. Deteksi antibodi lebih banyak digunakan dalam studi seroepidemiologi dan tidak digunakan untuk keperluan diagnosis, karena dapat memberikan hasil positif setelah individu tidak terinfeksi.11
2.1.5.3. Analisis Cairan Otak Pada meningitis Cryptococcus
kerap terjadi peningkatan tekanan
intrakranial. Peningkatan tekanan intrakranial dapat diukur pada saat melakukan pungsi lumbal. Tekanan bukaan normal pada pungsi lumbal dewasa sehat dengan posisi lateral dekubitus berkisar antara 50-195 mmH2O (3,8-15,0 mmHg). Nilai antara 150 – 200 mmH2O mencurigakan, dan lebih tinggi dari 200 mmH2O abnormal. Pengukuran tekanan cairan otak merupakan pemeriksaan yang sangat penting pada meningitis Cryptococcus karena dapat dipakai untuk penegakkan diagnostik, 34,35
drainase.
menilai respons terapi dan mengurangi nyeri kepala dengan Pada pungsi lumbal tekanan cairan otak seringkali meningkat lebih
dari 200 mm H2O yang mencerminkan gangguan aliran dan absorpsi cairan otak. Analisis rutin cairan serebrospinal tidak memperlihatkan gambaran yang khas. Dapat ditemukan peningkatan sel yang tidak terlalu tinggi yang didominasi oleh limfosit. Kadar glukosa dapat turun atau normal. Protein biasanya menunjukkan peningkatan yang moderat.30 Hal itu karena proses inflamasi yang minimal. Pemeriksaan cairan otak serial tidak berguna bagi diagnosis. Sebagian besar pasien dengan cairan otak abnormal hanya memiliki pleositosis mononuklear ringan, seringkali < 20 sel/ uL, serta peningkatan ringan protein dan penurunan glukosa.1
2.1.5.4. Radiologi Pemeriksaan pencitraan tidak begitu membantu pada meningitis Cryptococcus karena hasilnya dapat normal atau menunjukkan kelainan non spesifik.1 Computerised tomography (CT) atau magnetic resonance imaging (MRI) otak dengan kontras direkomendasikan untuk menilai tingkat hidrosefalus, besarnya edema serebri dan melihat kemungkinan massa diskret dengan Universitas Indonesia
Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
18
penyangatan berbentuk cincin yang disebut kriptokokoma.27 Kriptokokoma lebih sering terjadi pada infeksi oleh C. gatii yang biasanya terjadi pada pasien bukan penderita AIDS. Pada MRI dapat pula ditemukan pelebaran ruang Virchow – Robin, yang tampak sebagai lesi hiperintens berukuran kecil pada T1.30
2.2. Sindrom Pulih Imun Sindroma pulih imun atau immune reactivation inflammatory síndrome (IRIS) adalah kumpulan tanda dan gejala klinis sebagai akibat pulihnya kemampuan respons inflamasi yang berhubungan dengan pemulihan sistem kekebalan tubuh. Hal tersebut sering terjadi akibat dimulainya terapi ARV pada pasien dengan jumlah CD4 yang rendah. Mekanisme IRIS belum jelas benar, tetapi kemungkinan adalah pemulihan sebagian sistem imun atau respon imunologis yang berlebihan terhadap rangsangan antigen tertentu.36 Terapi ARV seringkali dimulai ketika kondisi klinis pasien relatif stabil dengan hitung CD4 sangat rendah (<100 sel/ mm). Kemungkinan adanya IRIS dipertimbangkan jika pasien mempunyai defisit neurologis baru dengan peningkatan hitung CD4. Baik kondisi infeksi (klinis atau subklinis) maupun non infeksi dapat berperan sebagai faktor pencetus IRIS.5,28,36,37 Mekanisme pasti IRIS belum diketahui, namun agaknya terjadi peningkatan kadar CD4 yang membawa konsekuensi perbaikan respons imun, dan disisi lain terjadi perburukan klinis. Beberapa mengatakan bahwa penurunan viral load HIV dapat mengubah kadar IL-12, suatu mediator aktivitas anti kriptokokus, yang menyebabkan gejala meningitis.37 Patogen yang sering menyebabkan IRIS ialah M. tuberculosis, C. neoformans dan Cytomegalovirus (CMV). Gambaran klinis dapat dibagi menjadi dua yaitu: unmasking IRIS dan paradoxical IRIS.36 Perbedaan utama antara keduanya adalah apakah infeksinya didiagnosis setelah dimulainya ARV (unmasked) atau sebelum mendapatkan ARV yang seara klinis terlihat perburukan setelah dimulainya anti retroviral (paradoxical).36 Terdapat empat faktor utama yang dikaitkan dengan peningkatan risiko IRIS yaitu: hitung CD4 baseline yang rendah, respon virologis yang baik terhadap ARV, peningkatan antigen infeksi oportunistik dan dimulainya ARV secara dini Universitas Indonesia
Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
19
setelah infeksi oportunistik.36 IRIS terjadi lebih sering pada pasien atau kondisi berikut yaitu hitung CD4 < 50/ mm3 sebelum diberi ARV dan kemudian meningkat > 2-4 kali selama 12 bulan setelah ARV dimulai, viral load yang tinggi, antigen mikroorganisme tidak terdeteksi, infeksi oleh patogen oportunistik, memulai ARV dekat dengan diagnosis dan memulai terapi infeksi oportunistik, penggunaan sitokin seperti IL-2 untuk mengobati infeksi HIV dan mutasi genetik sitokin alami.37,38 French telah membuat kriteria untuk membantu diagnosis yaitu:37 Kriteria mayor: 1. Ditemukan infeksi oportunistik atau tumor yang atipikal pada pasien yang memberikan respons buruk terhadap terapi ARV 2. Penurunan kadar RNA HIV plasma minimal 1log10 kopi/ mL Kriteria minor: 1. Peningkatan hitung CD4 darah setelah terapi ARV 2. Peningkatan respons imun spesifik terhadap patogen yang relevan 3. Perbaikan penyakit spontan tanpa terapi anti mikroba spesifik atau kemoterapi tumor dengan diteruskannya terapi ARV
Kriteria lain yang dapat dipakai untuk diagnosis IRIS meliputi: pasien harus HIV positif, menerima anti retroviral, viral load HIV yang menurun dibandingkan sebelumnya hitung CD4 meningkat, mengalami gejala klinis yang sesuai dengan proses inflamasi, mengalami perjalanan klinis yang tidak sesuai dengan hasil pemeriksaan lain (laboratorium dan radiologis), dan bukan merupakan keracunan obat.39 IRIS Cryptococcus seringkali terlihat dalam satu minggu sampai 11 bulan setelah ARV. Pada pasien dengan atau tanpa didiagnosis meningitis Cryptococcus sebelumnya, adanya IRIS Cryptococcus yang khas termasuk demam, nyeri kepala, limfadenitis dan meningitis. Antigen Cryptococcus di LCS positif meskipun kultur negatif.37 Berdasarkan penelitian kohort pada pasien HIV, sindrom tersebut terjadi pada 8% pasien, dengan nilai median 8 bulan setelah diagnosis kriptokokosis ditegakkan, serta angka kematian 25%. Risiko IRIS paling tinggi pada pasien yang baru didiagnosis HIV dengan hitung CD4 yang rendah, ada Universitas Indonesia
Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
20
fungemia dan mendapat terapi ARV dua bulan setelah diagnosis HIV ditegakkan. Karena efek serius reaksi ini maka banyak ahli meyarankan untuk menunda terapi anti retroviral minimal satu bulan setelah diagnosis meningitis Cryptococcus ditegakkan. Kegagalan terapi ARV atau toksisitas, infeksi oportunistik dan kegagalan terapi anti mikroba harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding IRIS.5,37 Pengobatan IRIS termasuk dilanjutkannya terapi primer untuk patogennya agar jumlah antigen berkurang, meneruskan anti retroviral serta menggunakan obat anti inflamasi dengan bijaksana.37 1. IRIS ringan: meneruskan anti retroviral, anti mikroba dan anti inflamasi. 2. IRIS berat yang mengancam nyawa: memerlukan prednisolon oral, kira – kira 1-2 mg/ kgBB. Durasi dan dosisnya bervariasi dan tergantung pada beratnya gejala. Steroid dapat diberikan selama enam bulan atau setahun. Dipertimbangkan pula untuk menghentikan anti retroviral pada kasus ini. Penghentian ARV memang harus dipertimbangkan, namun banyak dokter lebih suka melanjutkan anti retroviral jika hitung CD4 <100/ mm3 atau jika IRIS tetap ada berbulan – bulan setelah antiretroviral dimulai. Tidak ada panduan yang jelas kapan menghentikan obat tersebut.38
2.3. Pemeriksaan Antigen Cryptococcus dengan Metode Lateral Flow Immunoassay 2.3.1. Antigen Glucuronoxylomannan (GXM) C. neoformans Banyak faktor yang berperan pada virulensi C. neoformans antara lain kapsul polisakarida, kemampuan tumbuh pada suhu 37oC (termotoleran), alpha mating type, kemampuan membentuk melanin, produksi manitol, mampu terlarut dalam cairan ekstraselular, namun kapsul polisakarida merupakan faktor virulensi utama. Kapsul sebagai salah satu faktor virulensi penting untuk memfasilitasi pertahanan C. neoformans dalam proses infeksi dan dapat mempengaruhi respons pejamu terhadap infeksi Cryptococcus.11 Kapsul C. neoformans terdiri atas beberapa komponen yaitu polisakarida, enzim dan protein. Polisakarida merupakan komponen utama dengan komposisi sebesar 95%. Komponen polisakarida diantaranya glucuronoxylomannan (GXM), galactoxylomannan Universitas Indonesia
Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
21
(GalXM) dan mannoprotein (MP). Glucuronoxylomannan merupakan komponen polisakarida terbanyak (90%) dan paling berperan dalam virulensi jamur. GXM juga bersifat diagnostik sehingga saat ini merupakan salah satu pemeriksaan penting untuk menegakkan diagnosis.5,40,41 Ada dua jenis polisakarida GXM, pertama yang terikat pada sel jamur dan kedua yang dilepaskan ke lingkungan eksternal (eksopolisakarida). Eksopolisakarida dapat dideteksi di berbagai cairan tubuh seperti cairan otak, darah, serum dan urin baik pada saat C. neoformans mengakibatkan infeksi maupun dalam kondisi saprofit.11,24,25
2.3.2. Relevansi Klinis Antigenemia Asimptomatik Pada pasien HIV yang asimtomatis, antigenemia Cryptococcus secara independen dapat memprediksi kematian. Hal itu ditunjukkan oleh studi kohort retrospektif pada komunitas yang terinfeksi HIV dan ARV naif , dengan hitung CD4 ≤100 sel/mm3 di Uganda. Dari 377 pasien, 22 (5,8%) memiliki titer antigen Cryptococcus serum 1:2. Pada pasien dengan antigen Cryptococcus serum positif, lima pasien meninggal dalam waktu 12 minggu settelah inisiasi ARV. Dalam analisis multivariat, setelah mengontrol jumlah CD4, viral load, indeks massa tubuh, dan tuberculosis (TBC) aktif, ternyata antigenemia Cryptococcus asimtomatik merupakan prediktor independen kematian (RR= 6,6, CI 95%: 1,8623,6) dalam 12 minggu pertama inisiasi ARV. 12 Risiko kematian pada populasi dengan
antigen Cryptococcus positif
adalah 18%, mirip dengan kematian disebabkan karena tuberkulosis (19%). Pada studi kohort di Cape Town, Afrika Selatan, tingkat kematian terkait meningitis melebihi IRIS paradoksal terkait TB. 12,24,25 Dengan demikian, penapisan antigenemia pada pasien sebelum memulai ARV dapat mengidentifikasi pasien yang berisiko inggi untuk mengalami kematian akibat IRIS. 12
2.3.3. Perjalanan Klinis Antigenemia Asimtomatik Beberapa penelitian telah menggambarkan perjalanan klinis pasien dengan antigenemia Cryptococcus asimtomatik. Sebuah studi retrospektif pada era praUniversitas Indonesia
Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
22
ARV di Amerika Serikat, yang meneliti 10 orang dengan antigen Cryptococcus serum positif namun antigen Cryptococcus cairan otak dan kultur negatif. Enam orang yang secara empiris diobati dengan flukonazol (dosis yang tidak ditentukan) tidak berlanjut mengalami meningitis Cryptococcus di kemudian hari. Pasien ketujuh tidak diobati dengan flukonazol dan berlanjut menjadi meningitis, dan akhirnya meninggal. Tiga pasien sisanya mengalami kriptokokosis diseminata sejak awal. Dua mengalami fungemia dan meninggal sedangkan yang ketiga menderita kriptokokosis paru tanpa dilaporkan luarannya. 12 Pada penelitian retrospektif antigen Cryptococcus pada 131 pasien HIV, ARV-naif, dan asimtomatik di Thailand, prevalensi antigenemia asimtomatik 12,9% pada kelompok CD4 < 100 sel/mm3 dan 3,6% dengan CD4 100 - 199 sel/mm3. Dari
pasien dengan antigen Cryptococcus serum positif, 33%
selanjutnya mengalami infeksi Cryptococcus simtomatik, sedangkan 0,8% pasien dengan antigen serum negatif mengalami kriptokokosis setelah satu tahun. 12 Penelitian retrospektif pada 707 pasien terinfeksi HIV di Afrika Selatan yang mengukur kadar antigen Cryptococcus dengan metode LA. Tujuh persen (46 dari 707 pasien) dengan antigen Cryptococcus serum positif dan mempunyai jumlah CD4 ≤ 100 sel/mm3. Sebanyak 42 dari 46 pasien terdeteksi antigen serum positif, dengan prevalensi antigen Cryptococcus positif 13% . Deteksi AgCr pada serum dengan titer 1:8 mempunyai sensitivitas 100% dan spesifisitas 96% untuk memprediksi meningitis dalam waktu satu tahun. Pasien yang mempunyai antigen Cryptococcus dalam serum 28% diantaranya akan mengalami, meningitis, sedangkan dari 661 dengan antigen Cryptococcus serum negatif, tidak mengalami meningitis.12 Sehingga secara keseluruhan, 34% pasien dengan antigen serum positif meninggal dibandingkan 11% pada kelompok dengan antigen serum negatif pada tahun pertama inisiasi ARV. Antigen serum positif merupakan prediktor independen kematian (HR: 3,2, 95% CI: 1,5-6,6), bahkan setelah disesuaikan untuk jumlah CD4, viral load, usia, dan jenis kelamin. Kematian secara langsung berkorelasi dengan titer antigen Cryptococcus, mereka yang memiliki titer antigen dari 1:16 sampai 1:64 memiliki angka kematian 25%, sedangkan mereka dengan titer antigen lebih dari 1:4096 memiliki angka kematian 67%. Kelompok yang tanpa riwayat meningitis Cryptococcus, 7 dari 25 Universitas Indonesia
Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
23
akan mengalami meningitis Cryptococcus dengan median 35 hari setelah inisiasi ARV. Sedangkan kelompok yang memiliki riwayat meningitis Cryptococcus, 29% (6 dari 29) mengalami episode kambuh dengan kultur positif rata-rata 33 hari (rentang: 5-70 hari). Hal itu menunjukkan bahwa pemulihan kekebalan karena pemberian ARV saja tidak cukup untuk mencegah meningitis Cryptococcus pada pasien dengan antigen serum positif. 12
2.3.4. Terapi Pre-Emptive Setiap penapisan antigen positif memerlukan intervensi yang efektif untuk mencegah penyakit. Suatu studi kohort prospektif di Uganda menilai dampak penapisan antigen Cryptococcus segera sebelum inisiasi ARV. Dari 295 orang dengan CD4 ≤100/mm3, tanpa riwayat meningitis Cryptococcus, 26 (8,8%) dengan antigen Cryptococcus serum positif.12 Pada kelompok dengan antigen Cryptococcus serum positif, 21 diobati dengan flukonazol (200-400 mg) selama 24 minggu. Klinis meningitis Cryptococcus terlihat hanya pada tga orang yang diobati flukonazol, dengan tingkat kelangsungan hidup 30 bulan sebesar 71%. Sementara lima orang yang memiliki antigen serum positif dengan nilai CD4 ≤100 sel/mm3 dan diobati dengan ARV tanpa pemberian flukonazol, semua meninggal dalam dua bulan setelah inisiasi ARV.12 Pada mereka dengan CD4 > 100 sel/mm3, insiden antigen serum positif adalah 2,3% (tujuh dari 298). Dari jumlah tersebut, 86% (enam dari tujuh) bertahan selama 30 bulan dalam terapi ARV. Dari jumlah tersebut, empat orang juga memperoleh flukonazol dan dua orang
tetap asimptomatik meskipun tanpa flukonazol. Satu orang yang tidak
memperoleh fluconazol meninggal (Tabel 2.3).12 Data tersebut menunjukkan bahwa terapi preemptive dapat mencegah manifestasi klinis penyakit, mengurangi angka rawat inap, dan meningkatkan kelangsungan hidup jangka panjang sehingga menjadi setara dengan pasien yang antigen Cryptococcus serum negatif. 12
Universitas Indonesia
Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
24
Tabel 2.2. Luaran pasien dengan antigen Cryptococcus positif, dengan dan tanpa arv dan flukonazol Antigen positif
Nilai CD 4
Terapi
≤ 100 sel/µL
Hanya ARV flukonazol)
Keluaran (tanpa
> 100 sel/µL
100% meninggal 30% asimtomatik Kesintasan 30 bulan, 70%
≤ 100 sel/µL
ARV dan Flukonazol
> 100 sel/µL
14% menjadi meningitis cryptococcus 0% meningitis cryptococcus Kesintasan 30 bulan, 86%
≤ 100 sel/µL atau > 100 sel/µL
Tidak diterapi
Semua meninggal
Dimodifikasi dari Rajasingham et al.12
2.3.5. Metode Beberapa teknik yang digunakan untuk deteksi antigen GXM adalah uji AL, ELISA dan EIA. Uji aglutinasi lateks (AL) adalah teknik yang paling sering dipakai saat ini selain ELISA, karena pemeriksaannya lebih sederhana. Sensitivitas teknik aglutinasi lateks dapat mencapai 95%-100%, namun memerlukan deaktivasi faktor reuma agar tidak terjadi positif palsu.11,19 Selain teknik diatas, saat ini terdapat teknik immunochromatography yang juga dapat mendeteksi antigen GXM.17
Teknik immunochromatography dengan metode
LFA dapat menjadi pilihan, karena lebih mudah pengerjaannya, tidak mengandalkan prasarana laboratorium maupun keahlian khusus dan dapat memberikan hasil dalam waktu cepat. 17 Metode LFA memiliki sensitifitas 100% dan spesifisitas 94% (Tabel 2.4).17 Perbandingan antara LFA dengan metode lain untuk mendeteksi antigen dalam serum dan cairan otak dapat dilihat pada Tabel 2.5. Kesetaraan positif dan kesetaraan negatif LFA adalah 98,5% dan 98,3%.17
Universitas Indonesia
Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
25
Tabel 2.3. Perbandingan antara Lateral Flow Assay dengan Metode lainnya CrAg LFA
n
Spesimen
dibandingkan
%Kesetaraan
%Kesetaraan
%Kesetaraan
%Kesetaraan
Positif (n)
Positif
Positif (n)
Positif
dengan:
95%
KI 261
IMMY LA
Serum
99,2%
(n=197)
(125/126)
95%
KI
96-100%
98,5%(133/1135)
95-100%
CSF (n=64) Meridian EIA
464
Serum
95,6%(87/91)
89-98%
99,5%(371/373)
98-100%
Meridian EIA
261
Serum
100%(120/120)
97-100%
95,0%(134/141)
90-98%
98,5%(332/337)
97-99%
98,3%(638/649)
97-99%
(n=197) CSF (n=64) 986
Total
Serum (n=2768) CSF (n=1024)
Dimodifikasi dari Pelfrey J, Bauman S
17
Pada pemeriksaan antigen dengan metode LA hasil positif palsu dapat terjadi akibat faktor reuma,19 keganasan,42 kontaminasi di laboratorium,43 syneresis selama perlakuan dengan menggunakan pipet di laboratorium, sabun dan desinfektan yang digunakan untuk mencuci,44 pemakaian hydroxyethil starch (HES) yang digunakan sebagai cairan pengganti intravaskular, reaksi silang dengan polisakarida yang dihasilkan oleh S. pneumoniae, Cryptococcus sp., Klebsiella dan Trichosporon beigelii dan faktor lain yang belum diketahui.11,17 Hasil negatif palsu dapat terjadi karena efek prozone atau akibat proses masking antigen GXM oleh protein yang belum diketahui, kadar antigen rendah, kadar antigen terlalu tinggi, tipisnya kapsul pada strain tertentu, kit yang digunakan tidak dalam kondisi baik dan GXM belum dilepaskan ke cairan tubuh yang diperiksa karena infeksi masih dini, namun negatif palsu sangat jarang terjadi. 11,17,45
2.3.6. Aplikasi LFA Pada pasien simptomatik LFA bermanfaat untuk memastikan diagnosis kriptokokosis. Sedangkan pada pasien asimptomatik, LFA bermanfaat untuk penapisan pasien terutama di klinik kecil dan daerah pedesaan sebelum inisiasi ARV. Lateral flow assay dapat dikerjakan pada spesimen
plasma, sehingga
Universitas Indonesia
Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
26
pengujian LFA menjadi satu kesatuan dengan pemeriksaan hitung CD4. Jika CD4 < 100, pemeriksaan LFA dapat menggunakan sampel darah yang sama dengan pemeriksaan CD4. Penggunaan urin untuk mendeteksi antigen Cryptococcus tentunya mengurangi kebutuhan untuk proses mengeluarkan darah, namun, validasi LFA dalam urin, serum, dan plasma belum dilakukan pada orang dengan antigenemia Cryptococcus asimtomatik. Berdasarkan pengetahuan yang terbatas saat ini, titer antigen Cryptococcus > 1:40 (atau > 1:8 oleh LA) akan menjadi batas atas kecenderungan perkembangan selanjutnya menjadi meningitis akan menjadi lebih mungkin. 17
Universitas Indonesia
Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
27
2.4. Kerangka Teori
Cryptococcus neoformans di lingkungan
Inhalasi
Saluran nafas (Internalisasi)
Produksi antigen
CD4 rendah
Bertahan di paru darah (makrofag)
Organ lain
Sawar darah otak
SSP Reaksi inflamasi
Ruang subaraknoid, paravaskular
Parenkim
Cryptococcoma
Meningitis Cryptococcus
Antigen terdeteksi (serum, cairan otak, urin)
Universitas Indonesia
Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
28
2.5. Kerangka Konsep
Umur, jenis kelamin Stadium klinis infeksi HIV CD4 Gejala klinis meningitis Cryptococcus
Antigen serum Cryptococcus +/-
Variabel bebas Variabel tergantung
Universitas Indonesia
Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
29
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1.
Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan studi potong lintang (cross sectional) pada pasien terinfeksi HIV yang datang ke UPT HIV-RSUPN CM .
3.2.
Tempat Dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di UPT HIV-RSUPN CM. Pengumpulan data dilakukan setelah mendapat persetujuan Komite Etik FKUI.
3.3.
Populasi dan Sampel
Populasi target adalah pasien yang terdiagnosis HIV dan belum mendapatkan ARV. Populasi terjangkau adalah seluruh pasien terdiagnosis HIV dan belum mendapatkan ARV di UPT HIV- RSUPN-CM. Sampel berasal dari populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
3.4.
Kriteria Penelitian
3.4.1. Kriteria Inklusi Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah : 1.
Pasien terdiagnosis HIV dan belum mendapatkan ARV di Unit Layanan Terpadu HIV RSCM / POKDISUS AIDS FKUI
2.
Berumur ≥ 18 tahun.
3.
Bersedia mengikuti penelitian dan menandatangani surat persetujuan.
3.4.2. Kriteria Eksklusi 1. Ada defisit neurologi fokal yang timbul lebih dari tiga minggu. 2. Responden menolak berpartisipasi dalam penelitian
29 Universitas Indonesia
Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
30
3.5.
Teknik Pengambilan Sampel
3.5.1. Estimasi Besar Sampel Untuk menentukan besarnya sampel dipergunakan rumus berikut: n=
( Ζ α )2 PQ d2
.
n = jumlah subjek minimal Ζ α = nilai konversi pada kurva normal = 1, 96 α = 0,05 P = proporsi = 21,9% (Antigen Cryptococcus positif pada pasien HIV
simptomatis) Q = 100% - P = 78,1% d = tingkat ketepatan absolut = 10% maka besar subyek adalah : n = (1,96)2 x 0,219 x 0,781 = 65,7 0,12
Untuk mengantisipasi kemungkinan subyek yang drop out, maka untuk memenuhi sampel minimum digunakan rumus sebagai berikut:
n1 = n + 10% n
n1 = jumlah sampel yang dibutuhkan untuk mengantisipasi kesalahan sehingga: n = 65,7 + 10% (65,7) = 72,3 dibulatkan menjadi 73
3.5.2. Teknik Pemilihan Subyek Metode pemilihan subyek adalah metode non random sampling jenis konsekutif. Setiap orang yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak mempunyai kriteria eksklusi dimasukkan dalam kelompok subyek.
3.6.
Cara Kerja
Penderita HIV yang memenuhi kriteria inklusi dilakukan tindakan berupa 1. Informed consent mengenai penelitian dan tanda tangan persetujuan mengikuti penelitian. 2. Pengumpulan data demografi pasien 3. Anamnesis tentang riwayat penyakit pasien. 4. Pemeriksaan fisik (generalis dan neurologis). 5. Pengambilan darah vena perifer sebanyak 2,5 cc untuk pemeriksaan antigen. Dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 5.000 RPM selama lima menit. Universitas Indonesia
Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
31
6. Cara kerja pemeriksaan antigen Cryptococcus metode LFA, yaitu : 1. tambahkan satu tetes reagen ke tabung. 2. tambahkan 40 µl dari spesimen serum pasien ke dalam tabung, dan dihomogenisasi dengan menggoyang. 3. masukkan carik celup LFA ke dalam tabung. 4. inkubasi selama 10 menit. 5. membaca hasil.
3.7.
Kerangka operasional
Pasien HIV di UPT HIV RSCM
Kriteria eksklusi
Kriteria inklusi
Informed consent
Bersedia
Tidak bersedia
Anamnesis
Asimtomatik
Simtomatik
Pemeriksaan fisik & neurologi Deteksi antigen Cryptococcus
Analisis data Universitas Indonesia
Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
32
3.8.
Identifikasi Variabel
Variabel yang digunakan adalah: 1. Variabel tergantung: antigen Crptococcus. 2. Variabel bebas: demografi (umur, jenis kelamin), stadium klinis HIV, CD4, gejala klinis meningitis Cryptococcus.
3.9.
Definisi Operasional
1. Antigen Cryptococcus: kadar antigen Cryptococcus pada serum yang dideteksi dengan menggunakan metode LFA. Antigen Cryptococcus dinyatakan positif jika tampak dua garis pada carik celup, dan dikatakan negatif jika hanya muncul satu garis. 2. Pasien terinfeksi HIV: pasien yang telah dinyatakan terinfeksi HIV oleh UPT HIV yang ditetapkan melalui pemeriksaan ELISA HIV dengan hasil reaktif tiga kali berturut-turut dan belum mendapatkan ARV. Data diambil dari rekam medis. Stadium klinis infeksi HIV: klasifikasi berdasarkan gejala klinis. (Tabel 2.1) 1. Stadium 1: tanpa gejala 2. Stadium 2: ringan 3. Stadium 3: lanjut 4. Stadium 4: berat 4. Cara penularan: metode yang diperkirakan menyebabkan pasien tertular HIV. 1. Pengguna narkoba suntik: individu yang menggunakan obat-obatan dengan jarum suntik bergantian. 2. Seksual: individu yang melakukan hubungan seksual berisiko dengan lawan jenis atau sesama jenis. 3. Lainnya: individu yang menerima tranfusi darah berisiko, terluka oleh jarum suntik atau alat lain yang sebelumnya telah terpajan produk darah pasien HIV tanpa disterilkan sebelumnya, tindik tubuh, tato tubuh.
Universitas Indonesia
Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
33
5. CD4: ditetapkan dengan pemeriksaan hitung CD4dalam darah yang dilakukan dalam tiga bulan terakhir dan diambil dari data rekam medis. Nilai CD4 pasien dicatat dan dikelompokkan menjadi: 1. CD4 ≤ 100 2. CD4 > 100 6. Klinis meningitis jika terdapat minimal salah satu dari gejala sebagai berikut: nyeri kepala, demam, fotofobia, kejang umum, gangguan kesadaran, kaku kuduk, papil edem, defisit neurologis fokal, gangguan fungsi kognitif. 1. Ya 2. Tidak 7. Derajat sakit kepala: diukur dengan menggunakan visual analog scale (VAS) hanya pada pasien dengan glasgow coma scale (GCS) 15. Pada pasien dengan penurunan kesadaran nilai VAS dicatat sebagai tidak dapat dihitung. 1. 0
: tidak nyeri
2. 1 – 3 : nyeri ringan 3. 4 – 6
: nyeri sedang
4. 7 – 9
: nyeri berat terkontrol
5. 10
: nyeri berat tidak terkontrol
8. Demam: jika suhu badan ≥37,50C pada pengukuran di aksila. 9. Kejang umum: bangkitan konvulsif seluruh tubuh disertai penurunan kesadaran. 10. Tingkat kesadaran: diperiksa dengan menggunakan penilaian kesadaran secara kuantitatif dengan GCS. Dikatakan kesadaran menurun jika GCS <15. 11. Defisit neurologi fokal: gangguan fungsi neurologis yang tidak bersifat difus dan hanya mempengaruhi bagian-bagian tubuh sisi tertentu saja seperti wajah kiri, wajah kanan, lengan kiri, lengan kanan, tungkai kiri, tungkai kanan atau lidah. 12. Kekuatan motorik diperiksa dengan menggunakan skala kekuatan motorik Medical Research Council. Universitas Indonesia
Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
34
13. Papil edema merupakan salah satu tanda peningkatan tekanan intra kranial yang didefinisikan jika terdapat gambaran berupa papil batas kabur, warna hiperemis, tidak didapatkan cupping, Aa : Vv = 1 : 3, tampak perdarahan dan eksudat berdasarkan pemeriksaan funduskopi 14. Gangguan kognitif didefinisikan jika memenuhi kriteria demensia sesuai dengan skala HIV demensia34. Dikatakan demensia jika nilai ≤10, dari nilai maksimal 12. 15. Umur: dihitung dalam tahun, sesuai dengan tanggal kelahiran pasien. Dalam penelitian ini, umur yang dimasukkan dalam kriteria inklusi adalah lebih dari 18 tahun. Diambil rerata usia dan klasifikasi subjek. 1. 18 – 39 tahun 2. 40 – 49 3. ≥50 tahun 16. Jenis kelamin: diklasifikasikan menjadi: 1.
Perempuan
2.
Laki-laki
17. Tingkat pendidikan: dihitung dalam tahun, mulai dari sekolah dasar sampai
jenjang
pendidikan
tertinggi
yang
diikuti
pasien
yang
dikelompokkan menjadi: 1. tingkat pendidikan rendah ≤9 tahun, 2. tingkat pendidikan sedang >9-12 tahun, 3. tingkat pendidikan tinggi >12 tahun). 18. Pekerjaan : diklasifikasikan menjadi: 1.
Tidak bekerja
2.
Bekerja
3.10. Pengolahan dan Analisis Data Pengumpulan data dilakukan secara manual dengan menggunakan formulir penelitian yang telah disediakan. Kemudian dilakukan proses editing dan koding dan selanjutnya dilakukan proses pengolahan data dengan komputer. Hasilnya berupa frekuensi distribusi, disajikan dalam bentuk tekstular dan tabular sesuai keperluan. Variabel kategorik akan diolah menggunakan uji Chi-square Universitas Indonesia
Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
35
atau Fischer’s exact tergantung normal tidaknya distribusi data. Variabel numerik diolah menggunakan uji T-test atau Mann Whitney.
3.11. Etika Penelitian Semua responden penelitian terlebih dahulu mendapat penjelasan secara lisan tentang tujuan, cara kerja, dan manfaat penelitian. Bila memahami dan setuju untuk ikut penelitian, kemudian diminta menandatangani ijin penelitian. Penelitian dilakukan berdasarkan etika penelitian kesehatan yaitu: Dilakukan dengan sukarela setelah mendapatkan penjelasan tentang penelitian (tujuan, cara dan manfaat ) dengan menandatangani lembar persetujuan (informed consent). 1. Identitas responden dan data - data hasil penelitian dirahasiakan. 2. Penelitian akan dinilai oleh Komite Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Universitas Indonesia
Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
36
BAB 4 HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di UPT HIV – RSCM pada bulan Mei - Juli 2013. Hasil yang didapat adalah sebagai berikut:
4.1. Karakteristik Demografis Subyek Penelitian Didapatkan total subyek sebanyak 78 orang yang terdiri atas 46 laki-laki dan 32 perempuan, dengan rentang usia 18 – 68 tahun dan median 31 tahun. Sebagian besar subyek berusia <40 tahun (67/82,1%) dan sisanya 11(14,1%) orang berusia ≥40 tahun. Bila dilihat dari segi tingkat pendidikan,
sebesar
24(30,85%) pendidikan rendah, 45(57,7%) berpendidikan sedang dan 9 (11,5%) berpendidikan tinggi. Sebanyak 46 (59%) subyek masih bekerja dan sisanya tidak bekerja. Berdasarkan cara penularan, didapatkan penularan secara seksual 68 (87,2%) lebih banyak dibandingkan pengguna narkoba suntik (10/12,8%). Sebagai tambahan dicatat data mengenai lama waktu sejak subyek mengetahui terinfeksi HIV sampai datang berobat ke dokter. Data tersebut digunakan untuk memperkirakan kapan pasien terinfeksi Cryptococcus. Umumnya subyek datang berobat satu bulan setelah mengetahui dirinya terinfeksi. Rentang waktu pasien berobat ke dokter paling cepat satu bulan dan paling lama 54 bulan setelah diketahui terinfeksi HIV. (Tabel 4.1)
36 Universitas Indonesia
Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
37
Tabel 4.1. Sebaran Karakteristik Responden Berdasarkan Demografi dan Cara Penularan HIV. Variabel Jenis Kelamin • Laki-laki • Perempuan Usia , median (min-max) • 18 – 39 tahun • 40 – 49 tahun • ≥ 50 tahun Pendidikan • Rendah (≤ 9 tahun) • Sedang (> 9-12 tahun) • Tinggi (>12 tahun Pekerjaan • Tidak bekerja • Bekerja Cara penularan HIV • Pengguna narkoba suntik • Seksual Stadium infeksi HIV • AIDS • Non AIDS Lamanya waktu diketahui terinfeksi HIV, median (min-max) dalam bulan
N
(%)
46 32 31 (18-68) 67 9 2
59 41 82,1 11,5 2,6
24 45 9
30,8 57,7 11,5
32 46
41 59
10 68
12,8 87,2
53 25 1 (1-54)
68 32
Berdasarkan stadium infeksi HIV sebagian besar subyek penelitian termasuk kelompok AIDS yaitu 53 (68%) orang. Subyek pada penelitian ini memiliki CD4 dengan median (minimum-maksimum) sebesar 148,49 (2-754) sel/mm3 dan 68% memiliki jumlah CD4 < 200 sel/mm3 sedangkan 32% subyek memiliki jumlah CD4 ≥200 sel/mm3. Berdasarkan tanda klinis meningitis sebanyak 20 (25,6%) simptomatis dan lebih dari dua pertiga subyek tidak ada tanda klinis meningitis (58/74,4%). Tanda klinis yang ditemukan pada subyek penelitian antara lain demam, nyeri kepala dan gangguan fungsi kognitif. Tabel 4.2. Sebaran Karakteristik Responden Berdasarkan Laboratorium dan Tanda Klinis Variabel CD4+, median, (min-max) • <200 sel/mm3 • ≥200 sel/mm3 Antigen serum Cryptococcus positif Tanda klinis Meningitis Ya Tidak
N 62,5 (2-754) 53 25 5
(%)
20 58
25,6 74,4
68 32 6,4
Universitas Indonesia
Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
38
4.2. Prevalensi Antigen Cryptococcus pada Serum Pasien Terinfeksi HIV Hasil pemeriksaan serum untuk deteksi AgCr pada penelitian ini menunjukkan lima dari 78 subyek positif antigen, sehingga prevalensi AgCr pada serum pasien HIV yang belum mendapatkan ARV adalah 6,4%. Dari lima subyek dengan AgCr positif, tiga diantaranya adalah laki-laki dan dua subyek perempuan. Bila dilihat dari segi usia, empat subyek berusia 1839 tahun dan satu subyek berusia ≥ 40 tahun. Bila ditilik dari segi stadium infeksi HIV, empat subyek masuk kelompok AIDS dan satu subyek stadium non-AIDS. Hasil pemeriksaan hitung CD4+ terdapat empat subyek yang mempunyai nilai CD4 <200 sel/mm3 dan satu subyek mempunyai nilai CD4 ≥ 200 sel/mm3. Ditinjau dari segi tanda klinis meningitis sebanyak dua subyek memperlihatkan tanda klinis meningitis dan tiga subyek lainnya tanpa tanda klinis meningitis. Sebagai data tambahan juga dicatat infeksi oportunistik yang menyertai. Infeksi tersebut antara lain kandidiasis oral, diare kronik, ensefalitis toksoplasma, sifilis, uveitis toksoplasma, retinitis CMV dan herpes zoster. Analisis statistik yang
menghubungkan
antara
infeksi
oportunistik
dan
AgCr
positif
memperlihatkan adanya hubungan bermakna secara statistik antara toksoplasma ensefalitis dengan AgCr positif, (P=0,045).
Universitas Indonesia
Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
39
Tabel 4.3. Hasil Pemeriksaan CrAg dan Hubungannya dengan Beberapa Parameter Laboratorium, Klinis serta Infeksi Oportunistik Variabel
Total (n = 78)
Antigen serum Positif Negatif n=5 n = 73
Jenis Kelamin • Laki-laki 46 3 (6,5) 43 (93,5) • Perempuan 32 2 (6,2) 30 (93,8) Usia • 18 – 39 tahun 67 4 (6) 63 (94) • ≥ 40 tahun 11 1 (9,1) 10 (90,9) Stadium infeksi HIV • AIDS 53 4 (7,5) 49 (92,5) • Non AIDS 25 1 (4) 24 (96,0) CD4+ • < 200 sel/mm3 53 4 (7,5) 49 (92,5) • ≥ 200 sel/mm3 25 1 (4) 24 (96) Tanda klinis meningitis • Ya 20 2 (10) 18 (90) • Tidak 58 3 (5,2) 55 (94,8) Infeksi oportunistik, • Tuberkulosis 14 0 14 (100) • Kandidiasis oral 19 1 (5,3) 18 (94,7) • Diare kronik 21 0 21 (100) • Toksoplasma ensefalitis 6 2 (33,3) 4 (66,7) • Lainnya 7 1 (14,3) 6 (85,7) • Tidak ada 29 1 (3,4) 28 (96,6) Infeksi oportunistik lainnya sifilis, uveitis toksoplasma, retinitis CMV dan herpes zoster
Nilai P
1,000*
0,543*
1,000* 1,000*
0,598*
0,579* 1,000* 0,316* 0,045* 0,383* 0,646*
*uji Fisher
Tanda klinis meningitis yang terdapat pada subyek penelitian antara lain demam, nyeri kepala dan gangguan fungsi kognitif. Terdapat dua subyek dengan gangguan kognitif. Jika dihubungkan dengan antigen positif terdapat hubungan bermakna secara statistik (P=0,045). Tanda klinis meningitis lainnya tidak menunjukkan hubungan bermakna. (Tabel 4.3)
Universitas Indonesia
Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
40
Tabel 4.4. Perbedaan Tanda Klinis Pasien dengan Antigen Serum Positif dan Antigen Serum Negatif Antigen serum Tanda klinis meningitis Cryptococcus
Demam
Nyeri kepala
Gangguan kognitif
Positif
Negatif
n=5
n = 73
Ya
0 (0%)
13 (100%)
Tidak
5 (7,73%)
60 (92,3%)
Ya
0 (0%)
2 (100%)
Tidak
5 (6,6%)
71 (93,4%)
Ya
2 (33,3%)
4 (66,7%)
Tidak
3 (4,2%)
69 (95,8%)
Nilai P*
0,583*
1,000*
0,045**
*uji Fisher **P=0,045 (berbeda bermakna)
Pada penelitian ini didapatkan lima subyek yang dinyatakan memiliki AgCr serum positif. Subyek yang dinyatakan antigen positif segera dihubungi kembali untuk datang kembali ke UPT HIV RSCM pada keesokan harinya. Dari lima subyek, dua subyek tidak dapat dihubungi karena nomor telepon tidak aktif. Kedua subyek baru dapat dihubungi setelah 4 minggu kemudian dan ternyata telah meninggal dunia di rumah, tidak dibawa ke rumah sakit. Keluhan sebelum meninggal demam dan sesak nafas. Satu subyek tidak mau kembali untuk berobat dengan alasan jarak terlalu jauh dari rumah dan tidak ada pendamping. Subyek dikabarkan meninggal dunia di rumah setelah empat minggu dinyatakan antigen positif. Sesuai dengan protokol tatalaksana infeksi Cryptooccus WHO, pada dua subyek dengan AgCr serum positif dilakukan tindakan pungsi lumbal oleh dokter penanggung jawab pasien (DPJP). Dilakukan pemeriksaan tinta india dan LFA pada bahan cairan otak, didapatkan hasil negatif. Kedua subyek tersebut meneruskan berobat di UPT HIV RSCM. Tabel 4.4 menjelaskan karakteristik masing – masing pasien yang dinyatakan memiliki AgCr serum Cryptococcus positif.
Universitas Indonesia
Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
41
Tabel 4.5. Karakteristik Masing-Masing Pasien yang Dinyatakan Memiliki Antigen Serum Cryptococcus Positif. Pasien
Jenis Kelamin / usia
Pekerjaan
Keluhan
Cara penularan
Infeksi Oportunistik
Bicara sulit dipahami sejak 4 hari, demam berulang
Seksual
-
Demam berulang
Seksual
Skala HIV Demensia /MMSE
CD4+
Stadium HIV
Nyeri kepala
Keterangan
3/25
4
AIDS
Tidak ada
Tidak melanjutkan pengobatan. Meninggal
Kandidiasis oral
11/25
39
AIDS
Tidak ada
Tidak melanjutkan pengobatan. Meninggal
1
Perempuan 25 tahun
Buruh
2
Perempuan 39 tahun
IRT
3
Laki-laki 39 tahun
Karyawan
Bicara sulit dipahami sejak 4 hari, lentingan kemerahan di wajah dan leher sejak 2 hari
Seksual
Toksoplasma ensefalitis
9,5/19
8
AIDS
Tidak ada
Tidak melanjutkan pengobatan. Meninggal
4
Laki-laki 27 tahun
Karyawan
Demam berulang
Seksual
Sifilis stadium sekunder
12/30
224
Non AIDS
Tidak ada
Melanjutkan pengobatan
5
Laki-laki 43 tahun
Buruh
Riwayat nyeri kepala
Seksual
Toksoplasma ensefalitis
6,5/30
20
AIDS
Tidak ada
Melanjutkan pengobatan
MMSE: Mini Mental State Evaluation
Universitas Indonesia
Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
42
BAB 5 PEMBAHASAN 5.1. Dinamika Penelitian Pada penelitian ini terdapat beberapa perubahan dan penambahan pengelompokkan data. Perubahan terdapat pada pengelompokkan stadium HIV yang semula empat stadium klinis yaitu stadium satu sampai empat menjadi kelompok AIDS dan non AIDS. Pengelompokkan CD4 diringkas menjadi <200 sel/mm3 dan ≥ 200 sel/mm3 sesuai dengan ambang infeksi oportunistik. Untuk kepentingan penghitungan statistik, usia dikelompokkan menjadi 18-39 tahun dan ≥40 tahun. Data yang ditambahkan adalah lamanya waktu sejak pasien mengetahui terinfeksi HIV sampai datang berobat dan data tentang infeksi oportunistik. Ketika penelitian ini berlangsung, didapatkan lima subyek yang dinyatakan memiliki antigen serum Cryptococcus positif. Subyek yang dinyatakan memiliki antigen serum positif segera dihubungi kembali untuk datang ke UPT HIV RSCM keesokan harinya. Dari lima subyek, dua subyek tidak dapat dihubungi karena nomor telepon tidak aktif, satu subyek tidak mau kembali untuk berobat dengan alasan jarak terlalu jauh dari rumah dan tidak ada pendamping.
5.2. Karakteristik Demografis Subyek Penelitian Subyek penelitian adalah pasien terdiagnosis HIV
yang belum
mendapatkan ARV di Unit Pelayanan Terpadu HIV RSCM. Didapatkan 78 subyek yang memenuhi kriteria inklusi yang terdiri atas 46 laki-laki (59%) dan 32 (41%) perempuan. Hasil penelitian mendapatkan laki-laki lebih banyak dari perempuan dan hasil tersebut sesuai dengan data Kemenkes RI tahu 2012 bahwa laki-laki lebih banyak terinfeksi HIV.46 Jika dilihat hubungan antara jenis kelamin, dengan antigen positif, tidak menunjukkan perbedaan bermakna (P= 1,000). Sebanyak tiga dari lima subyek dengan AgCr serum positif laki-laki dan dua subyek lainnya perempuan. Kriptokokosis lebih banyak menyerang laki-laki daripada perempuan. Diduga hal itu terjadi karena laki-laki lebih terpajan jamur dari lingkungan karena
42 Universitas Indonesia Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
43
pekerjaannya. Secara invitro dibuktikan bahwa hormon estrogen dapat menghambat pertumbuhan jamur. Subyek penelitian ini sebagian besar tergabung dalam kelompok usia 1839 tahun (67 orang). Berdasarkan data Kemenkes RI tahun 2012, pasien HIV umumnya berada pada kelompok usia 25-49 tahun, diikuti kelompok umur 20-24 tahun. Bila ditinjau dari infeksi Cryptococcus maka subyek dengan AgCr positif pada penelitian ini berusia 18-39 tahun dan haya satu subyek berusia ≥40 tahun (43 tahun). Jika dilihat hubungan kelompok usia dengan antigen positif tidak terdapat perbedaan bermakna (P=0,543). Menurut penelitian Drommer et al, kriptokokosis pada pasien HIV terjadi pada usia lebih muda (18-39 tahun) dibandingkan kelompok non-HIV (>53 tahun). Pada lima orang subyek dengan CrAg positif, empat subyek masih dapat bekerja seperti biasa sedangkan satu subyek lainnya adalah ibu rumah tangga yang masih aktif mengurus rumah. Berdasarkan hal itu jelas terlihat bahwa pada pasien dengan CrAg positif dapat tetap aktif bekerja dan tidak menunjukkan gejala infeksi yang jelas. Penapisan CrAg sangat perlu dilakukan untuk mengetahui apakah pasien tersebut terinfeksi Cryptococcus atau tidak, sehingga kematian dan kecacatan dapat dicegah. Berdasarkan cara penularan HIV 10 (12,8%) melalui pengguna narkoba suntik dan 68 (87,2%) melalui seksual. Hal itu sesuai dengan laporan Kemenkes RI pada tahun 2012, jumlah penularan HIV melalui hubungan seks tidak aman pada heteroseksual (81,9%) dan laki-laki seks dengan laki-laki (2,8%) lebih banyak dibandingkan penularan melalui penggunaan jarum suntik tidak steril pada pengguna narkoba suntik (7,2%).46 Resiko penularan HIV pada lima subyek dengan AgCr serum positif pada penelitian ini dari seksual. Infeksi Cryptococcus ditularkan melalui inhalasi. Pernah dilaporkan penularan Cryptococcus melalui transplantasi organ. Sehingga dapat disimpulkan penularan Cryptococcus pada penelitian ini didapat dari alam, bukan dari komponen darah melalui jarum suntik.
Universitas Indonesia Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
44
5.2.
Prevalensi AgCr pada Serum Pasien Terinfeksi HIV Didapatkan prevalensi kriptokokosis sebesar 5(6,4%). Lebih rendah jika
dibandingkan dengan prevalensi kriptokokosis di Thailand sebesar 9,2% dan Kamboja 18%. Namun lebih tinggi jika dibandingkan dengan prevalensi kriptokokosis di Vietnam yaitu sebesar empat persen. Insiden di Asia Tenggara sebesar 12%. Infeksi Cryptococcus ini berkaitan dengan musim. Pada musim penghujan jamur akan mengalami hidrasi dan ukurannya akan membesar sehingga sulit terinhalasi. Selain itu jika curah hujan tinggi akan menghanyutkan Cryptococcus dari sumber infeksi dari sumbernya di alam pada tanah yang terkontaminasi kotoran merpati. Pengambilan sampel dilakukan pada bulan Mei – Juli 2013 dimana curah hujan rata-rata pada bulan tersebut tinggi. Berdasarkan stadium infeksi HIV sebagian besar subyek terdapat pada kelompok AIDS 53(68%) dan 25(32%) kasus non AIDS. Empat dari lima subyek dengan AgCr serum positif pada stadium AIDS, sedangkan satu subyek lainnya pada stadium non-AIDS. Stadium infeksi HIV dengan antigen positif tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna secara statistik. Infeksi Cryptococcus timbul sebagai reaktivasi infeksi laten atau merupakan akibat penyebaran infeksi baru. Infeksi laten muncul pada saat imunitas turun pada fase AIDS. Pada AgCr positif, hitung CD4 pasien sudah <200 sel/mm3 atau mendekati 200 sel/mm3 yang merupakan ambang batas munculnya infeksi oportunistik. Subyek penelitian ini memiliki CD4 dengan nilai tengah (minimummaksimum) sebesar 62,5 (2-754) sel/mm3 dengan
53(68%) subyek memiliki
jumlah CD4 < 200 sel/mm3, 25(32%) memiliki jumlah CD4 ≥200 sel/mm3. Sebagian besar subyek berada pada stadium AIDS dengan hitung CD4 yang rendah berkaitan dengan lamanya subyek terinfeksi HIV. Hitung CD4 juga berhubungan dengan infeksi oportunistik. Pengetahuan mengenai penularan HIV masih rendah. Begitu juga dengan kesadaran untuk memeriksakan status HIV berdasarkan faktor risiko yang dimiliki. Pada penelitian ini sebagian besar subyek mengetahui terinfeksi HIV karena adanya keluhan seperti demam berkepanjangan, berat badan turun dan adanya jamur di mulut. Keluhan tersebut menandakan pasien sudah pada stadium AIDS.
Universitas Indonesia Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
45
Empat dari lima subyek dengan AgCr serum positif dengan hitung CD4 <50 sel/mm3, sedangkan satu subyek lainnya dengan hitung CD4 ≥200 sel/mm3. Pada tiga subyek dengan hitung CD4 <50 tidak meneruskan pengobatan dan meninggal dunia. Dua subyek lainnya dengan hitung CD4 <50 sel/mm3 (20 sel/mm3) dan >200 sel/mm3 (224 sel/mm3) tetap hidup. Antigen Cryptococcus positif bila hitung CD4 sudah dibawah 100 sel/mm3. Agaknya pada hitung CD4 <100 sel/mm3 jumlah jamur sudah lebih banyak. Tanda klinis meningitis Cryptococcus terdapat pada dua subyek dan tiga subyek lainnya tanpa tanda klinis meningitis. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik. Namun jika dianalisa lebih lanjut, tanda klinis meningitis berupa gangguan kognitif dengan AgCr serum positif secara statistik menunjukkan hubungan yang bermakna (P=0,045). Hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan perubahan status mental, abnormalitas perilaku, bingung, letargi, obtundasi, gangguan memori, gangguan kesadaran dan perilaku terjadi pada 10% - 30% pasien dengan meningitis Cryptococcus. Berdasarkan jenis infeksi oportunistik, terdapat hubungan bermakna secara statistik antara toksoplasma ensefalitis dibandingkan dengan antigen positif (P=0,045). Infeksi toksoplasma dan Cryptococcus merupakan reaktivasi infeksi laten. Kedua infeksi ini dapat berdiri sendiri, pasien pada stadium AIDS dapat memiliki kedua infeksi oportunistik ini. Pada penelitian ini masih mungkin diteukan dua infeksi oportunistik otak yang terjadi secara bersamaan. Toksoplasma ensefalitis pada pasien AIDS merupakan reaktivasi infeksi laten pada otak. Reaktifasi infeksi dengan gangguan sistem imun berasal dari pecahnya kista Toxoplasma pada otak. Risiko untuk berkembang menjadi toxoplasma akut karena reaktivasi dari organisme jika CD 4 < 100 sel/µL atau jika penurunan ini di bawah 200 sel/µL disertai dengan infeksi oportunistik lain.48 Selama fase laten, infeksi kista pada jaringan yang terdiri dari bradizoit dikontrol dengan sistem imun dan hanya pada kasus supresi imun yaitu pada AIDS bradizoit dikeluarkan menjadi takizoit dan toxoplasmosis mengalami reaktivasi dan menjadi perjalanan yang letal jika tidak ditatalaksana. Alternatif lain adalah pecahnya kista dan pembentukkan kista kembali, yang merupakan proses yang
Universitas Indonesia Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
46
konstan, bahkan pada individu yang imunokompeten dan peran sistem imun terbatas dalam mengontrol bentuk takizoit dari parasit.47,48 Kriptokokosis timbul sebagai reaktivasi infeksi laten atau merupakan akibat penyebaran
infeksi baru. infeksi cryptococcus umumnya terjadi pada
pasien dengan penurunan imunitas namun juga dapat menginfeksi pejamu imunokompeten. Cryptococcus neoformans dapat “memilih” untuk menghindari fagositosis dengan properti antifagosit yang dimilikinya. Apabila ia berhasil diinternalisasi oleh makrofag, C. neoformans dapat bereplikasi
hingga
menimbulkan kematian makrofag, atau terjadi proses ekspulsi tanpa menyebabkan kerusakan pada makrofag. Cryptococcus neoformans yang terperangkap dalam makrofag dapat hidup dan berproloferasi kemudian dapat mengalami diseminasi sistemik bersama dengan makrofag. Lokasi diseminasi utama adalah SSP.
Universitas Indonesia Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
47
BAB 6 SIMPULAN dan SARAN Simpulan 1. Didapatkan prevalensi kriptokokosis pada pasien terinfeksi HIV yang belum mendapatkan ARV di UPT HIV-RSCM sebesar 6,4%. 2. Tidak terdapat hubungan bermakna secara statistik antara AgCr serum positif dengan stadium klinis infeksi HIV dan CD4. Terdapat hubungan bermakna secara statistik antara AgCr serum positif dengan gangguan kognitif dan toksoplasma ensefalitis.
Saran 1. Dilakukannya penelitian dengan parameter klinis yang dapat dipergunakan untuk mendiagnosis meningitis Cryptococcus atau gangguan neurologi lain terkait HIV di otak. 2. Penapisan
AgCr serum perlu dilakukan pada pasien yang baru diketahui
terinfeksi HIV tanpa melihat hitung CD4. 3. Pemeriksaan AgCr serum berkala perlu dilakukan pada pasien dengan hitung CD4 yang turun ≤ 200 sel/mm3.
47 Universitas Indonesia Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
48
DAFTAR PUSTAKA
1.
Julio C. Opportunistic infections of the central nervous system in hivinfected individuals
in Roos KL. Principles of neurologic infectious
diseases. McGraw-Hill. Indiana 2005; Chapter 7: p 78 – 83. 2.
Lan SH. Cerebral infarction in chronic meningitis : A comparisson of tuberculous meningitis and cryptococcal meningitis. QJMed 2001;94: 24753.
3.
Burton MJ. Cerebral infarction from acquired immunodeficiency syndrome – related cryptococcal meningitis : An overlooked complication of a common opportunistic infection. Infectious diseases practice 2010;18(3) pp.198-200.
4.
Park BJ, Wannemuehler KA, Marston BJ. Estimation of the current global burden of cryptococcal meningitis among persons living with HIV/AIDS. AIDS. 2009;23:525–530.
5.
Bicanic T, Harrison TS. Cryptococcal meningitis. Brit Med Bull 2004;72:99-11.
6.
Boekhout T, Wahyuningsih R, Epidemiology of Cryptococcus neoformans and cryptococcosis in Indonesia. Centraalbureau voor Schimmelcultures Department of Parasitology and Postgraduate Study, Subdivision of Mykology & Departemen Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 2007.
7.
Sjam R, Adawiyah R, Mulyati, Wahyuningsih R. Deteksi Cryptococcus neoformans pada cairan otak penderita HIV/AIDS: Morfologik dan serologik. Disampaikan pada simposium Malindobru, 2009. Kualalumpur.
8.
Wahyuningsih R. Ancaman Infeksi Jamur pada Era HIV/AIDS. Pidato pengukuhan guru besar tetap Parasitologi Fakultas Kedokteran UKI. 2008 Jakarta: Fakultas Kedokteran UKI. hal 5-7.
9.
Imran D. NeuroAIDS in Indonesia. In: NeuroAIDS in Asia & Pacific Rim Coference. Sydney, Australia: Departement of Neurology Faculty of Medicine University of Indonesia, RSCM Hospital; 2007.
48 Universitas Indonesia Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
49
10.
Mawuntu A. Angka kematianpasien AIDS dengan infeksi oportunistik otak di RSCM Jakarta. [Tesis]. In:Jakarta. FKUI; 2011.
11.
Casadeval A, Perfect R. Diagnosis and laboratory techniques. In: Cryptococcus neoformans. Washington: ASM Press;1998.p.381-99.
12.
Rajasingham R, Meya DB, Boulware DR. Integrating cryptococcal antigen screening and pre-emptive treatment into routine HIV care. J Acquir Immune Defic Syndr 2012;59:e85–e91.
13.
Mitghell TG, Perfect JR. Cryptococcosis in the era of AIDS-100 years after the discovery of Cryptococcus neoformans. Clin Microbiol Rev. 1995;8(4):515-48.
14.
Adawiyah R Diagnosis kriptokokus meningeal pada penderita AIDS dengan deteksi antigen GMX pada cairan otak di RSPUN Cipto Mangunkusumo Jakarta. [Tesis]. In: Jakarta. FKUI; 2008.
15.
Dupont B, Pappas PG, Dismukes WE. Fungal Infection among patients with AIDS. In: Dismukes WE, Pappas PG, Sobel JD, editors. Clinical Micology. Oxford: University Press. 2003.p.488-501.
16.
Richardson MD, Warnock DW. Fungal infection diagnosis and management. 3rd ed. Massachusets: Blackwell Publishing; 2003.p. 215-29.
17.
Pelfrey J, Bauman S, The New Gold Standard for Diagnosis of Cryptococcal
Disease.
Diunduh
dari
http://www.immy.com/wp-
content/uploads/2011/12/CrAgLFA_InternationalWhitePaper_final.pdf. Diakses pada 2 September 2013. 18.
Bennet IE, Baily IW. Control for rheumathoid factor in the latex test for cryptococcosis. Am J Clin Pathol 1971;56:360-5.
19.
Hopfer RL, Perry EV, Fainstein V. Diagnostic value of cryptococcal antigen in the cerebrospinal fluid of patients with malignant disease. J Infect Dis 1982;145-915.
20.
Pongsai P, Atamasirikul K, Sungkanuparph S. The role of serum cryptococcal antigen screening for the early diagnosis of cryptococcosis in HIV-infected patients with different ranges of CD4 cell counts. J.Infect;2010. 60:474-477.
Universitas Indonesia Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
50
21.
Smith RM, Nguyen TA, Ha HT, Thang PH, Thuy C, Xuan Lien T, et al. Prevalence of cryptococcal antigenemia and cost-effectiveness of a cryptococcal antigen screening program—Vietnam. PLoS One. 2013 Apr 23;8(4):e62213.
22.
McMulan BJ, et al. Clinical utility of the Cryptococcal antigen lateral flow assay in a diagnostic mycology laboratory. J Acquir Immune Defic Syndr 2007;45;5;555-559.
23.
Sjam R, Mulyati, Adawiyah R, Imran D, Wahyuningsih R. Cryptococcal meningitis among AIDS patients in Jakarta. Departemen Parasitologi FKUI Universitas Indonesia, 2007. Jakarta.
24.
Li S, Mody CH. Cryptococcus. Proceeding American Thoracic Society 2010;7 : 186–96.
25.
Mancall E, Cascino T, Devereaux M, Lambert A. The neurologic complications of aids. epdemiology of hiv infection and associated neurologic illness. Continuum Part A. 2000;6:9-16.
26.
Ma H, May RC. Virulence in Cryptococcus species. Advances in applied microbiology Vol 67; Burlington Academic Press 2009.
27.
Southwick FS, Infectious Disease: A Clinical short course. New York: McGraw-Hill, 2004.
28.
Satishchandra P, Mathew T, Gadre G, et al, Cryptococcal meningitis: Clinical, diagnostic and therapeutic overviews. Bangalore: Neurology India, 2007.
29.
Perfect JR, Fungal Meningitis in: Infections of the central nervous system. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2004.
30.
Imran D, et all. Kriptokokosis. In: Infeksi oportunistik pada AIDS. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2005: 27-32.
31.
Lortholary O, Improvisi L, Fitting C, Cavaillon JM, Dromer F. Influence of gender and age on course of infection and cytokine responses in mice with disseminated Cryptococcus neoformans infection. Clin Microbiol Infect 2002; 8: 31–37.
Universitas Indonesia Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
51
32.
Redmond A, Dancer C, Woods M, Fungal infections of the central nervous system: A review of fungal pathogens and treatment. Adelaide: Neurology India, 2007.
33.
WHO’s rapid advice: diagnosis, prevention and management of cryptococcal disease in hiv-infected adults, adolescents, and children: Diakses
pada
3
Oktober
2012.
Diunduh
dari
http://whqlibdoc.who.int/publica>ons/2011/9789241502979_eng.pdf. 34.
Scheld WM, Whitley RJ, Duract DT. Diagnosis and treatment of fungal meningitis. In: Infection of the central nervous system. New York; Raven Press, 1991: 734-735.
35.
Jackson A, Powderly G. HIV/AIDS and the Nervous System. In: Aminoff MJ, Boller F, Swaab DE. Handbook of Clinical Neurology. Lexington: Elsevier, 2007: 160-165.
36.
Bonham S, Meya DB, Bohjanen PR, Biomarkers in HIV IRIS. NIH Public Access, 2008.
37.
Surjushe AU, Jindal SR, Kamath RR. Immune reconstitution inflammatory syndrome. Mumbai: Indian journal of dermatology, venereology and leprology, 2006.
38.
Hirsch HH, Kaufmann G, Sendi P. Immune reconstitution in HIV-infected patients. Chicago: Chicago Journal, 2004.
39.
McCombe JA, Auer RN, Maingat FG, Neurologic immune reconstitution inflammatory syndrome in HIV/AIDS: Outcome and epidemiology. Alberta: American Acedemy of Neurology, 2009.
40.
Lakshmi V, Sudha T, Teja VD, Umabala P. Prevalence of central nervous system cryptococcosis in human immunodeficiency virus reactive hospitalized patients. Indian J Med Microbiol 2007; 25: 146-9.
41.
Subsai K, Kanoksri S, Siwaporn C, Helen L. Neorological complications in AIDS patients: the 1-year retrospective study in Chiang Mai University, Thailand. Eur J Neurol 2004;11:755-9.
42.
Heelan IS, Copus L, Kessimian N. False-positif reactions in latex aglutination test for Cryptococcus neoformans antigen. J Clin Microbiol 1991; 29:1260-1.
Universitas Indonesia Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
52
43.
Blevins LB, Fenn J, Segal H, Newcomb-Gayman P, Carol KC. False positif cryptococcal antigen latex aglutination caused by desinfectans and soaps. J Clin Microbiol 1995; 33:1674-5.
44.
Hamilton JR, Noble A, Denning DW. Performance of cryptococcus antigen latex agglutination kits on serum and cerebrospinal fluid specimens of AIDS patients before and after pronase treatment. J Clin Microbiol 1991;29:333-9.
45.
Engler HD, Shea YR. Effect of potential interference factors on performance of enzym immunoassay and latex agglutination assay for cryptococcal antigen. J Clin Microbiol 1994; 32(9):2307-8.
46.
Situasi masalah HIV-AIDS, Triwulan III, Juli - September Tahun 2012. Diakses
pada
5
Juli
2013.
Diunduh
dari
http://www.depkes.go.id/index.php/component/content/article/43newsslider/2186-perkembangan-hiv-aids-di-indonesia-triwulan-iii-tahun2012.html. 47.
Venugopal A, Unnikrishnan BA, Madi BD, Surendra Vishak, Ramapuram JT. Toxoplasma encephalitis among AIDS patients in a tertiary care hospital in Mangalore, India. Retrovirology. France 2012; 9(Suppl 1):P150.
48.
Jayawardena S, Singh S, Burzyantseva O, Clarke H. In Perazella MA. Cerebral Toxoplasmosis in Adult Patients with HIV Infection. Hospital Physician. New York July 2008; 17 – 24.
Universitas Indonesia Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
53
Lampiran 1: Lembar Informasi Subyek Penelitian LEMBAR INFORMASI SUBYEK PENELITIAN
LEMBAR INFORMASI PENELITIAN
Judul penelitian : Prevalensi Antigen Cryptococcus Pada Serum Pasien Terinfeksi HIV Dengan Metode LFA Peneliti : Dr. Cut Antara Keumala Muda Peneliti adalah seorang peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (PPDS - Neurologi FKUI) Telepon : 021 85911655,
08126949155
Bapak / Ibu yth, saya dari bagian Neurologi FKUI-RSCM sedang melakukan penelitian dengan judul Prevalensi Antigen Cryptococcus Pada Serum Pasien Terinfeksi HIV Dengan Metode LFA. Adapun Latar belakang dan tujuan penelitian ini akan dijelaskan dibawah ini.
Latar Belakang Human immunodeficiency virus (HIV) adalah virus yang dapat melumpuhkan sistem pertahanan tubuh. Seseorang yang terinfeksi virus HIV akan mengalami penurunan daya tahan tubuh sehingga mudah terinfeksi oleh jamur, bakteri maupun virus lainnya. Infeksi jamur merupakan infeksi yang sering ditemukan pada penderita HIV, salah satunya adalah jamur Cryptococcus. Penularan infeksi jamur Cryptococcus dapat terjadi melalui udara yang terhirup masuk ke paru lalu dapat menyebar ke berbagai organ tubuh termasuk selaput otak melalui peredaran darah.
Infeksi jamur Cryptococcus pada selaput otak yang terlambat diobati dapat mengakibatkan kecacatan dan kematian. Berdasarkan hal itu infeksi jamur Cryptococcus pada selaput otak harus secepatnya diketahui agar pengobatan dapat segera diberikan sebelum pemberian ARV. Sehingga kecacatan dapat dicegah dan angka kematian dapat diturunkan. Salah satu cara mengetahui adanya jamur Cryptococcus melalui pemeriksaan jamur di dalam darah.
Universitas Indonesia Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
54
Anda diminta untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Partisipasi anda bersifat sukarela, dalam arti Anda bebas untuk turut serta atau menolak. Jika anda menolak, keputusan tersebut tidak akan berpengaruh terhadap layanan terapi anda di RSCM atau peluang Anda berpartisipasi dalam penelitian lainnya. Apa tujuan penelitian ini? Tujuan penelitian ini untuk mengetahui antigen Cryptococcus sebagai penanda adanya Cryptococcus neoformans di dalam darah. Dimana hasil ini akan bermanfaat bagi klinisi untuk membantu menegakkan diagnosis awal Kriptokokosis sebelum memulai terapi ARV. Mengapa saya diminta untuk berpartisipasi? Anda diminta berpartisipasi karena anda memenuhi kriteria inklusi. Apa yang harus saya lakukan? Anda diminta menjawab pertanyaan untuk menilai apakah anda layak mengikuti peelitian. Pemeriksaan Antigen LFA Anda akan diambil darah vea sebanyak 2,5 cc untuk mendapatkan nilai antigen LFA. Apa yang terjadi bilamana saya memutuskan tidak ikut dalam penelitian ini? Jika Anda menolak berpartisipasi, Anda tidak akan kehilangan akses apapun terhadap terapi saat ini maupun di masa datang. Bagaimana dengan kerahasiaan data dalam penelitian? Peneliti dan staf akan menyimpan informasi tentang Anda dengan rahasia. Siapa yang dapat saya hubungi bila mempunyai pertanyaan, keluhan, atau bertanya tentang hak-hak saya sebagai subyek penelitian? Jika Anda memiliki pertanyaan maupun keluhan berkaitan dengan patisipasi Anda atau ha-hak sebagai subyek penelitian, Anda dapat menghubungi Peneliti. Ketika Anda menandatangani formulir ini, Anda setuju untuk berpartisipasi dala penelitian ini. Ini berarti Anda sudah membaca informed consent, pertanyaan Anda telah dijawab, dan Anda memutuskan untuk berpartisipasi. Tanda tangan Anda juga berarti Anda mengizinkan RSCM untuk menggunakan informasi kesehatan Anda untuk tujuan penelitian dalam institusi kami, dan membuka informasi tersebut kepada organisasi atau orang yang terlibat dalam penelitian ini. Salinan dari informed consent ini akan diberikan kepada Anda.
Universitas Indonesia Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
55
Lampiran 2 : Lembar Persetujuan Mengikuti Penelitian
Universitas Indonesia Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
56
Lampiran 3: Lembar Data Penelitian
FORMULIR PENGISIAN PASIEN IDENTIFIKASI No. Register / RM
:
Tanggal kunjungan
:
Nama
:
Tanggal Lahir/Usia
:
Alamat
:
Telepon
:
Jenis Kelamin
:
1. Laki-laki
2. Perempuan
Status pernikahan
:
1. Kawin
2. Belum kawin 3. Janda/duda
Diketahui HIV sejak
:
Tgl
Cara penularan HIV
:
1. Pengguna narkoba suntik 2. Seksual 3. Lainnya
Riwayat Pengobatan
:
1. Ya
•
Antijamur oral :
:
•
Steroid oral
:
Keluhan
:
bulan
tahun
2. Tidak
1. Tidak ada
•
Demam
:
•
Nyeri kepala
:
•
Kejang
:
•
Penurunan kesadaran
:
•
Fotofobia
:
•
Defisit neurologis fokal
:
2. Ada
Universitas Indonesia Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
57
PEMERIKSAAN FISIK Status generalis Kesadaran
: 1. Kompos mentis 2. Somnolen 3. Sopor 4. Koma
Tekanan Darah
: sistolik:
Nadi
:
x/menit
Suhu
:
°C
Denyut Jantung
:
x/menit
Berat Badan
:
Tinggi Badan
:
VAS
:
mmHg
diastolik:
1. Reguler
1. Reguler
mmHg 2. Ireguler
2. Ireguler
Status neurologis GCS
:E M
TRM (kaku kuduk)
:
Nervi kranialis
:
Motorik
:
V
Refleks fisiologis :
Refleks patologis :
Sensorik
:
Otonom
:
Funduskopi
: 1. normofundus
HIV dementia scale
:
2. papil edema
Pemeriksaan Penunjang Laboratorium CD4 absolut
:
sel/mm3
LFA
: 1. negatif
2. positif
Universitas Indonesia Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
58
Lampiran 4: Lampiran Visual Analog Scale
Visual Analog Scale (VAS)*
Nyeri terberat yang pernah dirasakan
Tidak nyeri
Tidak nyeri
Nyeri ringan
Nyeri sedang
Nyeri berat terkontrol
Nyeri berat Tidak terkontrol
*A 10-cm baseline is recommended for VAS scales. From: Acute Pain Management: Operative or Medical Procedures and Trauma, Clinical Practice Guideline No. 1. AHCPR Publication No. 92-0032; February 1992. Agency for Healthcare Research & Quality, Rockville, MD; pages 116-117.
Universitas Indonesia Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
59
Lampiran 5: Lembar Skala HIV Demensia (Sactor, 2003)
Skala HIV Demensia (Sactor, 2003) Memori – Berikan empat kata untuk diingat (anjing, topi, buncis, merah) – ucapkan satu kata dalam waktu satu detik. Lalu tanyakan kepada pasien keempat kata tersebut setelah Anda selesai mengucapkannya kepada mereka. Ulangi kembali kata tersebut apabila pasien tidak dapat segera mengingatnya. Beritah pasien bahwa Anda akan meminta pasien untuk mengingat kembali empat kata ini beberapa saat kemudian. 1. Kecepatan Motorik: Minta pasien untuk mengetukkan jari telunjuk dan jari tengah dari tangan pasien yang tidak dominan secara bergantian seluas dan secepat mungkin. 4 = 15 dalam 5 detik 3 = 11-14 dalam 5 detik 2 = 7-10 dalam 5 detik 1 = 3-6 dalam 5 detik 0 = 0-2 dalam 5 detik 2. Kecepatan Psikomotorik: Minta pasien untuk melakukan serangkaian gerakan di bawah ini menggunakan tangan pasien yang tidak dominan secepat mungkin: 1) Kepalkan tangan pada permukaan yang datar. 2) Letakkan tangan pada permukaan yang datar dengan posisi telapak tangan di bawah. 3) Letakkan tangan tegak lurus dengan permukaan yang datar dengan jari kelingking berada di bawah. Tunjukkan kepada pasien dan berikan kesempatan kepada pasien untuk latihan sebanyak dua kali. 4 = 4 rangkaian dalam 10 detik 3 = 3 rangkaian dalam 10 detik 2 = 2 rangkaian dalam 10 detik 1 = 1 rangkaian dalam 10 detik 0 = tidak dapat melakukan 3. Memori Mengingat: Minta pasien untuk mengingat dan menyebutkan kembali empat kata yang telah diberikan di awal. Untuk kata-kata yang tidak dapat diingat, berikan bantuan dengan memberikan petunjuk yang berkaitan seperti: binatang (anjing); (topi); sayuran (buncis); warna (merah). Berikan nilai 1 untuk setiap kata yang dapat diucapkan secara spontan Berikan nilai 0,5 untuk setiap jawaban yang benar setelah diberi petunjuk Maksimal nilai 4 Total nilai skala Demensia HIV: merupakan penjumlahan nilai dari komponen 1-3. Nilai maksimum adalah 12. Pasien dengan nilai ≤ 10 sebaiknya dievaluasi lebih jauh untuk kemungkinan demensia. N. Sacktor, et al. Department of Neurology John Hopkins University Baltimore, Maryland
Universitas Indonesia Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
60
Lampiran 6: Anggaran Penelitian Anggaran Penelitian
Keterangan
Jumlah
Pengumpulan literatur (internet, jurnal bebayar, penggandaan) Rp. 1.000.000,Pembuatan makalah •
Referat 30 eks @ Rp10.000,-
Rp.
300.000,-
•
Pra proposal 10 eks @ Rp. 15.000,-
Rp.
150.000,-
•
Proposal penelitian 20 eks @ Rp.15.000,-
Rp.
300.000,-
•
Hasil penelitian 10 eks @ Rp 20.000,-
Rp.
200.000,-
•
Formulir penelitian
Rp.
300.000,-
•
Pengurusan Etik Penelitian
Rp.
300.000,-
Tinta Printer
Rp.
500.000,-
Kertas 4 rim
Rp.
150.000,-
Pengumpulan Subjek •
Kit LFA 2 kit @ 2.500.000
Rp. 5.000.000,-
•
Penunjang Laboratorium
Rp. 2.000.000,-
•
Pulsa
Rp.
Konsultasi Statistik
500.000,-
Rp. 1.500.000,-
Konsumsi Penyajian Penelitian •
Pra Proposal
Rp.
•
Proposal
Rp. 1.500.000,-
•
Hasil
Rp. 1.500.000,-
Total
800.000,-
Rp.16.000.000,-
Universitas Indonesia Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
61
Lampiran 7: Jadwal Penelitian
JADWAL PENELITIAN Kegiatan
2012 Nov
Des
2013 Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Juni
Juli
Agt
Sep
Referat Penelitian
Praproposal Penelitian
Proposal Penelitian
Pengurusan etik penelitian
Pengumpulan sampel
Pengolahan data
Seminar hasil penelitian
Universitas Indonesia Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
62
Lampiran 8: Surat Keterangan Lolos Kaji Etik
Universitas Indonesia Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
63
Lampiran 8: Data dasar
No
JK
usia
IHDS
pendidik an
Bekerja
Std. HIV
CD4
LFA
Cara penularan
TKM
demam
NK
FF
PK
KK
DF
PE
GK
IO
TB
KO
diare
TE
IO lainnya
1
pr
30
12
rendah
tidak
2
lk
23
12
sedang
bekerja
nonAIDS nonAIDS
3
pr
25
3
rendah
bekerja
AIDS
4
lk
39
9,5
sedang
bekerja
5
lk
48
5,5
sedang
bekerja
6
lk
45
1
sedang
bekerja
AIDS
20
-
seksual
ya
7
pr
35
0
sedang
tidak
AIDS
14
-
seksual
ya
8
pr
28
6
sedang
tidak
AIDS
82
-
seksual
ya
9
lk
27
12
sedang
bekerja
AIDS
38
-
seksual
ya
10
lk
41
6,5
sedang
bekerja
AIDS
49
-
seksual
ya
ya
11
pr
31
11
sedang
bekerja
AIDS
50
-
seksual
ya
ya
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
tidak
tidak
ya
tidak
tidak
12
lk
30
8
rendah
bekerja
AIDS
40
-
seksual
ya
ya
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
tidak
ya
tidak
tidak
tidak
13
lk
25
12
sedang
tidak
AIDS
60
-
seksual
ya
ya
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
ya
tidak
ya
tidak
tidak
14
lk
23
12
rendah
tidak
AIDS
69
-
penasun
ya
ya
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
ya
ya
tidak
tidak
tidak
15
lk
39
7
sedang
bekerja
AIDS
14
-
seksual
ya
ya
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
ya
tidak
tidak
tidak
tidak
16
lk
29
10
sedang
bekerja
AIDS
6
-
penasun
ya
ya
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
ya
tidak
tidak
tidak
Tidak
17
lk
34
4
sedang
bekerja
AIDS
15
-
penasun
ya
ya
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
ya
tidak
ya
ya
Tidak
18
lk
29
11,5
sedang
bekerja
AIDS
178
-
seksual
ya
ya
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
Tidak
19
lk
43
12
rendah
bekerja
AIDS
42
-
seksual
ya
ya
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
Tidak
20
lk
25
5
sedang
tidak
21
lk
27
12
tinggi
bekerja
22
lk
24
7
sedang
bekerja
23
lk
32
12
sedang
bekerja
24
lk
27
12
tinggi
bekerja
25
lk
28
12
tinggi
bekerja
AIDS nonAIDS nonAIDS nonAIDS nonAIDS nonAIDS
306
-
seksual
ya
ya
Ya
tidak
tidak
tidak
tidak
Tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
454
-
seksual
ya
tidak
Ya
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
tidak
tidak
ya
tidak
tidak
4
+
seksual
ya
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
ya
tidak
ya
tidak
tidak
tidak
AIDS
8
+
seksual
ya
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
ya
tidak
tidak
tidak
ya
tidak
AIDS
29
-
seksual
ya
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
ya
tidak
ya
ya
tidak
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
ya
tidak
tidak
ya
tidak
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
ya
tidak
ya
tidak
tidak
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
ya
tidak
ya
tidak
tidak
tidak
ya
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
tidak
ya
ya
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
tidak
tidak
ya
tidak
tidak
33
-
seksual
ya
ya
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
Tidak
224
+
seksual
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
tidak
tidak
tidak
tidak
Ya
300
-
seksual
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
tidak
ya
ya
tidak
Ya
328
-
seksual
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
tidak
tidak
tidak
tidak
Ya
272
-
seksual
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
tidak
tidak
ya
tidak
Tidak
300
-
seksual
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
tidak
tidak
ya
tidak
Tidak
Universitas Indonesia
Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
64
nonAIDS nonAIDS nonAIDS nonAIDS nonAIDS nonAIDS nonAIDS nonAIDS
238
-
seksual
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
ya
tidak
tidak
tidak
Tidak
234
-
seksual
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
ya
tidak
tidak
tidak
Tidak
353
-
seksual
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
ya
tidak
tidak
tidak
Ya
324
-
seksual
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
ya
tidak
tidak
tidak
Tidak
754
-
seksual
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
Tidak
403
-
seksual
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
Tidak
369
-
seksual
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
Tidak
579
-
seksual
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
Tidak
377
-
seksual
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
Tidak
266
-
seksual
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
Tidak
286
-
seksual
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
Tidak
281
-
penasun
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
Tidak
297
-
seksual
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
Tidak
375
-
seksual
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
Tidak
228
-
seksual
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
352
-
seksual
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
619
-
seksual
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
302
-
seksual
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
AIDS
20
+
seksual
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
tidak
tidak
tidak
ya
tidak
tidak
AIDS
46
+
seksual
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
AIDS
6
-
penasun
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
tidak
ya
ya
tidak
ya
tidak
AIDS
10
-
seksual
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
tidak
ya
tidak
tidak
ya
rendah
bekerja
AIDS
49
-
seksual
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
sedang
bekerja
AIDS
4
-
seksual
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
tidak
tidak
tidak
ya
tidak
12
sedang
tidak
AIDS
50
-
seksual
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
tidak
tidak
tidak
ya
tidak
tinggi
tidak
AIDS
25
-
penasun
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
tidak
tidak
tidak
ya
tidak
12
sedang
tidak
AIDS
38
-
penasun
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
tidak
ya
ya
tidak
tidak
43
9
sedang
bekerja
AIDS
36
-
seksual
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
tidak
ya
ya
tidak
tidak
32
12
tinggi
bekerja
AIDS
96
-
seksual
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
tidak
ya
ya
tidak
tidak
26
pr
31
12
rendah
bekerja
27
pr
29
10,5
sedang
bekerja
28
pr
68
11
rendah
tidak
29
lk
26
12
tinggi
bekerja
30
pr
33
11
tinggi
bekerja
31
pr
24
10,5
sedang
tidak
32
pr
27
9
rendah
tidak
33
lk
20
9
sedang
tidak
34
pr
31
10
sedang
tidak
35
lk
33
12
sedang
bekerja
36
lk
18
12
rendah
tidak
37
pr
34
12
sedang
tidak
38
lk
30
10,5
rendah
bekerja
39
lk
22
12
sedang
tidak
40
pr
48
10
sedang
tidak
41
pr
28
11
rendah
bekerja
42
pr
35
12
rendah
tidak
43
pr
31
12
tinggi
tidak
nonAIDS nonAIDS nonAIDS nonAIDS nonAIDS nonAIDS nonAIDS nonAIDS
44
lk
43
6,5
rendah
bekerja
45
pr
39
11
sedang
46
lk
30
12
rendah
47
pr
29
11
sedang
48
lk
32
12
49
lk
30
3
50
pr
37
51
lk
34
52
lk
38
53
lk
54
pr
nonAIDS nonAIDS
Universitas Indonesia
Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013
65
55
lk
42
12
sedang
bekerja
AIDS
3
-
seksual
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
tidak
tidak
ya
tidak
56
pr
21
12
rendah
tidak
AIDS
4
-
seksual
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
tidak
tidak
ya
tidak
tidak tidak
57
lk
35
10
sedang
bekerja
AIDS
75
-
penasun
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
tidak
tidak
ya
tidak
tidak
58
lk
39
12
sedang
bekerja
AIDS
37
-
seksual
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
tidak
tidak
ya
tidak
tidak
59
pr
33
10,5
sedang
tidak
AIDS
148
-
seksual
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
tidak
ya
tidak
tidak
tidak
60
lk
37
11
sedang
bekerja
AIDS
37
-
seksual
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
tidak
ya
tidak
tidak
tidak
61
lk
30
11,5
sedang
tidak
AIDS
2
-
seksual
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
tidak
ya
tidak
tidak
tidak
62
lk
43
11,5
rendah
bekerja
AIDS
63
-
seksual
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
tidak
ya
tidak
tidak
tidak
63
pr
31
9
rendah
tidak
AIDS
48
-
seksual
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
tidak
ya
tidak
tidak
tidak
64
lk
53
9
rendah
bekerja
AIDS
7
-
seksual
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
ya
ya
ya
tidak
tidak
65
lk
31
9
rendah
bekerja
AIDS
55
-
seksual
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
ya
tidak
tidak
tidak
tidak
66
pr
39
11
rendah
tidak
AIDS
29
-
seksual
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
ya
tidak
ya
tidak
tidak
67
lk
27
12
sedang
bekerja
AIDS
62
-
seksual
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
ya
tidak
tidak
tidak
tidak
68
pr
32
11
sedang
tidak
AIDS
168
-
seksual
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
ya
tidak
tidak
tidak
tidak
69
lk
29
11
sedang
bekerja
AIDS
21
-
seksual
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
70
pr
28
8
sedang
bekerja
AIDS
60
-
seksual
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
71
pr
31
11,5
sedang
bekerja
AIDS
32
-
seksual
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
72
lk
35
12
sedang
bekerja
AIDS
74
-
penasun
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
73
pr
29
11,5
rendah
tidak
AIDS
177
-
seksual
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
74
pr
33
10
rendah
bekerja
AIDS
140
-
seksual
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
75
lk
38
12
tinggi
bekerja
AIDS
64
-
penasun
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
76
pr
27
9
rendah
tidak
AIDS
116
-
seksual
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
77
lk
26
12
sedang
bekerja
AIDS
20
-
seksual
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
78
pr
22
11
sedang
tidak
AIDS
188
-
seksual
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
Tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
JK: jenis kelamin, IHDS: Skala HIV Demensia, Std. HIV: Stadium HIV, TKM: Tanda klinis meningitis, NK: nyeri kepala, FF: fotofobia, KK: kaku kuduk, DF: defisit fokal, PE: papil edem, GK: gangguan kognitif, IO: infeksi oportunistik, TB: tuberkulosis, KO: kandidiasis oral, TE: toksoplasma ensefalitis
Universitas Indonesia
Prevalensi antigen…, Cut Antara, FK UI, 2013