UNIVERSITAS INDONESIA
PELAPORAN HARTA KEKAYAAN PENYELENGGARA NEGARA (ASSET DECLARATION) SEBAGAI SALAH SATU INSTRUMEN PEMBERANTASAN KORUPSI
TESIS
HASANUDDIN 1106031034
FAKULTAS HUKUM PROGRAM PASCA SARJANA
JAKARTA JANUARI 2013
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
PELAPORAN HARTA KEKAYAAN PENYELENGGARA NEGARA (ASSET DECLARATION) SEBAGAI SALAH SATU INSTRUMEN PEMBERANTASAN KORUPSI
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum
HASANUDDIN 1106031034
FAKULTAS HUKUM PROGRAM PASCA SARJANA KEKHUSUSAN PRAKTEK PERADILAN JAKARTA JANUARI 2013
i Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: Hasanuddin
NPM
: 1106031034
Tanda Tangan
:
Tanggal
: 21 Januari 2013
ii Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
HALAMAN PENGESAHAN
Tesis ini diajukan oleh : Nama
: Hasanuddin
NPM
: 1106031034
Program Studi
: Pelaporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (Asset Declaration) Sebagai Salah Satu Instrumen Pemberantasan Korupsi
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Hukum pada Program Studi Pasca Sarjana Kekhususan Praktek Peradilan, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI
Prof. H. Mardjono Reksodiputro, S.H., M.A.
( …………………………...)
Ketua Sidang/Penguji
( …………………………)
Dr. Surastini Fitriasih, S.H., M.H. Pembimbing/Penguji
(………………………… )
Dr. Eva Achjani Zulfa, S.H., M.H. Penguji
Ditetapkan di : Jakarta Tanggal
: 21 Januari 2013
iii Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT, karena atas perkenannya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Pelaporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (Asset Declaration) Sebagai Salah Satu Instrumen Pemberantasan Korupsi”, sebagai syarat akhir studi pada Program Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Penulis menyadari bahwa tesis ini mengambil tema penulisan yang relatif baru dalam isu pemberantasan korupsi sehingga tentunya masih banyak kekurangan-kekurangan dan besar harapan penulis agar penelitian-penelitian lain yang akan datang dapat memperkaya tulisan ini. Masukan dan kritikan juga akan sangat bernilai bagi penulis untuk perbaikan karya ini. Perkenankan kami menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang tak terhingga atas segala perhatian, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak sehingga tesis ini dapat kami rampungkan. Ungkapan rasa hormat dan terima kasih pula kami haturkan kepada semua pihak yang tidak mungkin kami sebut satu persatu, yang telah membantu serta memberikan dorongan dan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan studi pada Program Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Pada kesempatan ini izinkanlah penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada: 1. Dr. Surastini Fitriasih, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing. 2. Segenap Pimpinan Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 3. Prof. Dr. Rosa Agustina, S.H., M.H., selaku Ketua Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 4. Prof. Mardjono Reksodiputro, S.H., M.A., selaku Ketua Jurusan Hukum dan Sistem Peradilan Pidana Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 5. Bapak dan Ibu Dosen Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
iv Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
6. Pimpinan Mahkamah Agung Republik Indonesia yang telah memberikan kesempatan tugas belajar pada Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 7. Pihak sponsor yakni USAID pada proyek C4J. 8. Kedua orang tua, Hj. Saparti (almarhumah) dan H. Mappeasse Talib yang telah banyak berkorban sehingga penulis dapat meraih sukses saat ini maupun pada masa yang akan datang. 9. Istri tercinta, Isma Anis, S.Sos, M.Si. dan kedua buah hati tersayang Makky Ahmad Izzadin dan Medina Raisa Shalihah yang telah memberikan pengertian dan motivasi yang teramat besar hingga penulis dapat menyelesaikan studi dengan tepat waktu. 10. Rekan-rekan seperjuangan kelas C4J Mahkamah Agung yang telah bersama-sama melalui suka dan duka selama proses belajar di Universitas Indonesia. 11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak memberikan bantuan baik dalam doa maupun perbuatan selama penulis mengikuti pendidikan Program Pascasarjana Fakultas Hukum di Universitas Indonesia. Akhir kata, penulis berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga tesis ini dapat berguna dan membawa manfaat bagi pengembangan studi ilmu hukum.
Jakarta, 21 Januari 2013
Hasanuddin
v Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ========================================================== Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama NPM Progam Studi Fakultas Jenis Karya
: : : : :
Hasanuddin 1106031034 Pasca Sarjana Kekhususan Praktek Peradilan Hukum Tesis
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : “Pelaporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (Asset Declaration) Sebagai Salah Satu Instrumen Pemberantasan Korupsi” beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di
:
Pada tanggal :
Jakarta 21 Januari 2013
Yang menyatakan,
(HASANUDDIN)
vi Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
ABSTRAK Nama : Hasanuddin Program Studi : Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia Judul : Pelaporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (Asset Declaration) Sebagai Salah Satu Instrumen Pemberantasan Korupsi Tesis ini membahas mengenai pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara (asset declaration) dalam upaya pemberantasan korupsi. Pelaporan harta kekayaan merupakan suatu kewajiban penyelenggara negara menurut UndangUndang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara merupakan perwujudan dari prinsip-prinsip good governance terutama prinsip transparansi dan akuntabilitas yang bertujuan untuk penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, demokratis dan bebas dari korupsi kolusi dan nepotisme. Untuk kepentingan pemberantasan korupsi yang meliputi tindakan pencegahan dan penindakan, pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara berfungsi sebagai sarana untuk menguji integritas penyelenggara negara atau calon penyelenggara negara, menanamkan sifat kejujuran, keterbukaan dan tanggung jawab di kalangan penyelenggara negara, mendeteksi potensi konflik kepentingan antara tugas-tugas publik penyelenggara negara dan kepentingan pribadinya, serta dapat digunakan untuk mendeteksi adanya illicit enrichment atau sebagai pintu masuk dan sebagai bukti pendukung penyelidikan dan penuntutan perkara korupsi. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 itu sendiri masih mengandung beberapa kelemahan terutama yang terkait dengan kewenangan lembaga pengelola pelaporan dan lemahnya sanksi yang tercantum dalam undangundang. Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga yang berwenang melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara belum sepenuhnya bisa efektif untuk memastikan ketaatan dan kejujuran penyelenggara negara dalam melaporkan harta kekayaannya karena kewenangan yang diberikan oleh undang-undang terbatas pada pendaftaran dan pemeriksaan, tidak disertai dengan kewenangan yang lebih luas berupa pemberian sanksi administratif secara langsung ataupun memberikan rekomendasi yang sifatnya mengikat kepada atasan penyelenggara negara. Adapun dalam hal penyelenggara negara didakwa melakukan tindak pidana korupsi, maka harta kekayaan penyelenggara negara yang mengalami peningkatan yang tidak wajar harus dibuktikan dengan sistem pembuktian terbalik.
Kata kunci: Pelaporan Harta Kekayaan, Korupsi, Pembalikan Beban Pembuktian.
vii Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
ABSTRACT Name : Hasanuddin Study Program : Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia Title : Asset Declaration System As A Tool For Preventing and Combating Corruption This thesis discusses the asset declaration of public officials in an effort to eradicate corruption. Asset Declaration is an obligation of public officials as stated in Law No. 28 of 1999 on the Governance of State that Free From Corruption, Collusion and Nepotism. Asset declaration system is the implementation of good governance principles especially the principle of transparency and accountability in order to creating democratic and clean government that free from corruption, collusion and nepotism. In an attempt on combating corruption which is included preventive and punitive measures, asset declaration functions as a tool for examining the integrity of public officials as well as public officials candidate and could also serves to evoke honest, transparent, and accountable characters of public officials. Other essential purposes of asset declaration system are detecting conflict of interests and illicit enrichment of public officials and also function as an entrance for investigating corruption practices. Law No. 28 of 1999 itself still contains some weaknesses, especially related to the authority of reporting agency and the weakness of sanctions contained in the legislation. Indonesian Corruption Eradication Commission (KPK) as a reporting agency of public officials’ asset declaration is not fully effective in ensuring compliance and honesty of public officials in reporting their entire assets because of its limited authority given by the existing legislation. The commission should have been given greater authority such as to impose a direct administrative sanction or to provide a binding punitive recommendation to the superior of the public officials who has intentionally not fulfilled reporting obligation. In terms of a public official is accused corruption, the significant increase of the accused’s asset must be proven by using the reversal of the burden of proof.
Key words: asset declaration, corruption, reversal burden of proof.
viii Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ....................................................................................... LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................ LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. KATA PENGANTAR .................................................................................... LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ....................... ABSTRAK ...................................................................................................... ABSTRACT ...................................................................................................... DAFTAR ISI .................................................................................................. 1. PENDAHULUAN ................................................................................... 1.1. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1.2. Pernyataan Permasalahan .................................................................. 1.3. Pertanyaan Penelitian ........................................................................ 1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ 1.5. Kerangka Teori ................................................................................. 1.6. Kerangka Konseptual ........................................................................ 1.7. Metode Penelitian ............................................................................ 1.8. Sistematika Penulisan .......................................................................
i ii iii iv vi vii viii ix 1 1 9 9 10 10 19 22 23
2. TINJAUAN UMUM MENGENAI ASSET DECLARATION ............. 2.1. Pengertian dan Sejarah Pelaporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara ...................................................................... 2.2. Pelaporan Harta Kekayaan dalam Kerangka Pemberantasan Korupsi .............................................................................................. 2.3. Good Governance dan Pemberantasan Korupsi ............................... 2.4. Perbandingan Pelaporan Harta Kekayaan di Berbagai Negara ......... 2.4.1. Amerika Serikat .................................................................... 2.4.2. Filipina .................................................................................. 2.4.3. Georgia ................................................................................... 2.4.4. Hong Kong ............................................................................ 2.4.5. Romania .................................................................................
24
3. KEWENANGAN KPK DALAM PELAPORAN DAN PENGUMUMAN HARTA KEKAYAAN PENYELENGGARA NEGARA ................................................................................................ 3.1. Sistem Pelaporan Harta Kekayaan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi Kolusi dan Nepotisme ............................ 3.1.1. Subjek Pelaporan .................................................................... 3.1.2. Objek Yang Wajib Dilaporkan .............................................
ix Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
24 29 37 40 40 42 46 47 50
54
54 55 57
3.1.3. Mekanisme Pelaporan ........................................................... 3.1.3.1. Pendaftaran ............................................................. 3.1.3.2. Pengumuman .......................................................... 3.1.3.3. Pemeriksaan ............................................................ 3.1.4. Sanksi .................................................................................... 3.2. Kewenangan KPK Dalam Hal Pelaporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara ...................................................................... 4.
5.
ILLICIT ENRICHMENT DAN PEMBUKTIAN TERHADAP HARTA KEKAYAAN PENYELENGGARA NEGARA ................... 4.1. Illicit Enrichment Sebagai Suatu Tindak Pidana ............................. 4.1.1. Pengertian Dan Unsur-Unsur Illicit Enrichment ................... 4.1.2. Perlunya Kriminalisasi Illicit Enrichment ............................. 4.1.3. Proses Penuntutan dan Pembuktian Illicit Enrichment ......... 4.2.Pelaporan Harta Kekayaan Sebagai Pintu Masuk Penyelidikan Adanya Illicit Enrichment dan Tindak Pidana Korupsi ..................... 4.3.Pembuktian Terhadap Harta Kekayaan Menurut Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi ...................................................................... 4.3.1. Pembuktian Terhadap Harta Kekayaan Yang Termuat Dalam Dakwaan .................................................................... 4.3.2. Pembuktian Terhadap Harta Kekayaan Yang Tidak Termuat Dalam Dakwaan ....................................................
60 61 61 63 64 69 74 74 74 78 79 83 85 88 94
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 5.1. Kesimpulan ....................................................................................... 5.2. Saran ................................................................................................
98 98 99
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
108
x Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
1
BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masalah Nilai-nilai luhur bangsa yang diamanatkan oleh the founding fathers bangsa Indonesia yang tertuang dalam dasar negara dan konstitusi sangat terciderai dengan maraknya korupsi di negeri ini. Nilai-nilai luhur sebagai bangsa yang religius dan mengedepankan keadilan sosial bagi rakyatnya dalam realitas tidak terwujud karena merebaknya korupsi di berbagai sektor, termasuk korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Melihat fenomena korupsi yang makin marak, Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, MA menulis bahwa agama-agama yang dianut publik, sampai batas yang jauh, tidak pernah berhasil mengawal pemeluknya agar terhindar dari perilaku korup yang memiskinkan rakyat banyak. Agama lebih banyak berkutat pada tataran seremoni, sehingga internalisasi nilai-nilai luhurnya yang anti-korupsi malah kandas mencapai tujuannya. Semua agama yang ada di Indonesia secara teoritik menyatakan berang terhadap korupsi, tetapi para pemeluknya hanya sedikit yang tidak tergoda oleh perbuatan hitam itu.1 Meskipun sejarah korupsi dapat dikatakan seumur dengan sejarah bangsa Indonesia itu sendiri, namun gaung pemberantasan korupsi mulai secara terbuka disuarakan oleh berbagai kalangan sejak bergulirnya era reformasi pada tahun 1998. Salah satu alasan tuntutan masyarakat pada waktu itu untuk melengserkan rezim orde baru adalah karena dianggap sebagai rezim yang penuh Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Untuk merespon tuntutan masyarakat memberantas KKN, Majelis Permusyawaratan Rakyat pada awal masa reformasi mengeluarkan Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Menindaklanjuti amanat dalam ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tersebut, pada tanggal 19 Mei 1999, DPR menetapkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan 1
Ahmad Syafii Maarif dalam, Bambang Soesatyo, Perang-Perangan Melawan Korupsi: Pemberantasan Korupsi di Bawah Pemerintahan SBY, (Jakarta: Ufuk Press, 2011), hal. vii-viii.
1 Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
2
Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Beberapa bulan kemudian, yaitu pada tanggal 16 Agustus 1999, ditetapkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.2 Salah satu tonggak sejarah pemberantasan korupsi yang penting untuk dicatat adalah dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi ini selain dibentuk sebagai pelaksanaan amanat Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juga dengan alasan bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi.3 KPK merupakan lembaga negara yang bersifat independen yang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, maka tugas dari KPK ini meliputi: melakukan koordinasi dan supervisi terhadap upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang berwenang, melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, dan melakukan monitoring terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.4 Salah satu upaya pencegahan yang menjadi tugas Komisi Pemberantasan Korupsi adalah melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta
2
Indonesia, Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Nomor 31 Tahun 1999 Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 140 Tahun 1999, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874 sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Nomor 20 Tahun 2001, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4150. 3
Lihat konsiderans huruf b dan c Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. 4
Komisi Pemberantasan Korupsi, Rencana Stratejik Komisi Pemberantasan Korupsi 2008-2011, hal. 2.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
3
kekayaan penyelenggara negara5. Pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara sebelum lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan wewenang Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme. Setelah Komisi Pemberantasan Korupsi berdiri, KPKPN dibubarkan kemudian menjadi bagian dari Bidang Pencegahan pada KPK.6 Peleburan lembaga KPKPN menjadi bagian pencegahan pada Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan konsekuensi dari ketentuan dalam Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang menyatakan Pasal 10 sampai dengan Pasal 19 dalam BAB VII Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme tidak berlaku. Sebagai sebuah lembaga yang menjadi tumpuan harapan masyarakat dalam pemberantasan korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi selama dua periode kepemimpinannya banyak mendapatkan pujian maupun kritik. Untuk pertanggungjawaban kepada publik dan sesuai dengan amanat undang-undang, Komisi Pemberantasan Korupsi, maka setiap akhir tahun berkewajiban membuat laporan tahunan yang dapat memberikan gambaran pencapaian dan kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi selama tahun berjalan. Apa yang telah dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi dipaparkan dalam laporan tahunan terbaru yaitu Laporan Tahunan 2011, antara lain disebutkan bahwa di bidang pencegahan, Komisi Pemberantasan Korupsi berhasil menyelamatkan aset sektor migas senilai Rp153,6 triliun. Kekayaan negara tersebut terdiri atas uang tunai senilai Rp5,2 triliun dan aset senilai total Rp148,5 triliun.7 Sementara dalam bidang penindakan, selama tahun 2011 dilakukan penyelidikan sebanyak 78 kasus, penyidikan sebanyak 66 perkara, penuntutan
5
Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, UU Nomor 30 Tahun 2002, LN. Nomor 137 Tahun 2002, TLN Nomor 4250, Pasal 6 huruf d dan Pasal 13 huruf a. 6
Ibid., Bab XI Ketentuan Peralihan Pasal 69 ayat 1.
7
Komisi Pemberantasan Korupsi, Laporan Tahunan 2011, hal. 2.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
4
sebanyak 45 perkara, dan eksekusi terhadap putusan berkekuatan hukum tetap sebanyak 33 perkara.8 Hasil yang dicapai oleh Komisi Pemberantasan Korupsi tersebut tentu saja perlu mendapat apresiasi. Namun di sisi lain masih banyak pihak yang melontarkan kritikan bahwa apa yang telah dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi pada khususnya dan lembaga penegak hukum pada umumnya belum signifikan mengurangi angka korupsi di Indonesia. Sebagaimana dikutip oleh Bambang Soesatyo: “Dana Moneter International (IMF) pada September 2010 memublikasikan hasil kajiannya tentang Indonesia. IMF menegaskan bahwa korupsi yang merajalela, lemahnya tata kelola perbaikan ekonomi Indonesia. Jika ingin mencapai kinerja ekonomi yang optimal, demikian rekomendasi IMF, Indonesia harus menghilangkan hambatan-hambatan itu. Kalau tidak, investor asing akan terus di posisi wait and see sampai adanya langkah-langkah progresif dalam memerangi korupsi dan mewujudkan kepastian hukum dan tata kelola kepemerintahan yang efektif”.9
Ukuran tingkat korupsi juga dilansir oleh Transparency International dengan mengeluarkan data mengenai Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index/CPI) tahun 2011. Dalam survei yang dilakukan terhadap 183 negara di dunia tersebut, Indonesia menempati skor CPI sebesar 3,0, naik 0,2 dibanding tahun sebelumnya sebesar 2,8. Namun, lompatan skor Indonesia dari 2,8 pada tahun 2010 dan 3,0 tahun 2011 bukanlah pencapaian yang signifikan karena Indonesia sebelumnya telah menargetkan mendapatkan skor 5,0 dalam CPI 2014 mendatang," ujar Ketua Transparency International (TI) Indonesia Natalia Subagyo.10 Hasil survei tersebut berdasarkan penggabungan hasil 17 survei yang dilakukan lembaga-lembaga internasional pada 2011. Rentang indeks berdasarkan angka 0-10. Semakin kecil angka indeks menunjukkan potensi korupsi negara tersebut cukup besar. Dalam indeks tersebut Indonesia berada di peringkat ke-100 bersama 11 negara lainnya yakni Argentina, Benin, Burkina Faso, Djobouti, 8
Ibid., hal. 64-72
9
Bambang Soesatyo, op.cit., hal. Xiii.
10
http://nasional.kompas.com/read/2011/12/01/17515759/Indonesia.Peringkat.ke.100.In deks. Persepsi.Korupsi.2011, diakses tanggal 23 Februari 2012.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
5
Gabon, Madagaskar, Malawi, Meksiko, Sao Tome & Principe, Suriname, dan Tanzania. Sementara untuk kawasan Asia Tenggara, skor Indonesia berada di bawah Singapura (9,2), Brunei (5,2), Malaysia (4,3), dan Thailand (3,4).11 Sehubungan dengan masalah yang terkait dengan harta kekayaan penyelenggara negara yang dicurigai ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) telah beberapa kali mempublikasikan temuannya. Pada rapat dengar pendapat dengan komisi III DPR tanggal 21 Februari 2012, PPATK mengaku telah menelusuri sekitar 2000 transaksi mencurigakan yang menyangkut Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, selain itu terkait transaksi mencurigakan oleh PNS ada 707 hasil analisis (HA), anggota Polri 89 HA, jaksa 12 HA, hakim 17 HA, Komisi Pemberantasan Korupsi 1 HA dan legislatif 65 HA. Dari laporan tersebut, sebanyak 119 laporan diteruskan ke penegak hukum.12 Tidak lama sebelum PPATK melaporkan hasil analisisnya ke DPR, PPATK sebelumnya mengungkapkan adanya rekening milyaran rupiah milik 10 PNS muda. Para pegawai muda ini umumnya golongan III B sampai IV yang berpotensi menduduki tempat-tempat strategis di lembaga negara, seperti bendahara. Laporan PPATK terkait rekening PNS muda ini sebenarnya sudah dilaporkan ke pihak berwenang sejak 2002. Saat itu, dilaporkan adanya 1.800 rekening milyaran rupiah.13 Kasus terbaru yang mencuat ke publik adalah kasus Dhana Widyatmika, seorang pegawai pajak golongan III/C yang memiliki kekayaan puluhan milyar rupiah. Pada 24 Juni 2011, Dhana melaporkan hartanya ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Jumlahnya "hanya" Rp 1, 231 milyar. Sebagai catatan, harta Dhana yang disita pada 17 Februari 2012 antara lain berupa uang Rp 8 milyar dan Rp 20
11
Ibid.
12
Nurul Huda/Rahmat/Krisiandi Sacawisastra, Ribuan Transaksi DPR Mencurigakan, Harian Seputar Indonesia tanggal 21 Februari 2012, hal. 1 dan 15. 13
http://www.nasional.kompas.com//Menpan.minta.polri.usut.rekening.gendut.pns.muda , diakses tanggal 23 Februari 2012.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
6
milyar, serta US$ 270 ribu atau Rp 2,4 milyar.14 Tentu saja banyak pihak yang menduga bahwa peningkatan harta kekayaan yang sangat tidak wajar tersebut bisa jadi termasuk sebagai suatu illicit enrichment bila yang bersangkutan tidak bisa membuktikan bahwa harta kekayaannya diperoleh secara sah. Pada Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme secara tegas mencantumkan kewajiban penyelenggara negara melaporkan dan mengumumkan harta kekayaannya sebelum dan setelah menjabat. Pada ayat (2) Pasal yang sama disebutkan pula bahwa penyelenggara negara bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama dan setelah menjabat. Untuk memeriksa kekayaan penyelenggara negara tersebut, UndangUndang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme memberikan Wewenang kepada Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Namun sejak dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi segala tugas dan wewenang KPKPN diambil alih oleh bidang pencegahan pada KPK. KPKPN yang dibentuk oleh Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme diberikan tugas dan wewenang yang terinci sebagaimana dalam Pasal 17 ayat (2), yaitu:15 a.
melakukan
pemantauan
dan
klarifikasi
atas
harta
kekayaan
Penyelenggara Negara; b.
meneliti laporan atau pengaduan masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau instansi Pemerintah tentang dugaan adanya korupsi, kolusi, dan nepotisme dari para Penyelenggara Negara;
14
http://www.tempo.co/read/news/2012/02/27/063386685/Dhana-Widyatmika-CumaLaporkan- Kekayaan-Rp-12M, diakses tanggal 1 Maret, 2012. 15
Pasal ini telah dinyatakan tidak berlaku oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
7
c.
melakukan penyelidikan atas inisiatif sendiri mengenai harta kekayaan Penyelenggara Negara berdasarkan petunjuk adanya korupsi, kolusi, dan nepotisme terhadap Penyelenggara Negara yang bersangkutan;
d.
mencari dan memperoleh bukti-bukti, menghadirkan saksi-saksi untuk penyelidikan Penyelenggara Negara yang diduga melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme atau meminta dokumen-dokumen dari pihakpihak yang terkait dengan penyelidikan harta kekayaan Penyelenggara Negara yang bersangkutan;
e.
jika dianggap perlu, selain meminta bukti kepemilikan sebagian atau seluruh harta kekayaan Penyelenggara Negara yang diduga diperoleh dari korupsi, kolusi, atau nepotisme selama menjabat sebagai Penyelenggara Negara, juga meminta pejabat yang berwenang membuktikan dugaan tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berbeda dengan tugas dan kewenangan yang diberikan kepada KPKPN, kewenangan KPK yang terkait dengan pemeriksaan kekayaan penyelenggara negara sebagaimana dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak dirinci secara jelas. Pasal 13 hanya menyebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melaksanakan langkah atau upaya pencegahan sebagai berikut: a. melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara. Tidak terincinya kewenangan KPK tersebut merupakan suatu masalah karena dengan kewenangan yang tidak jelas dan secara tegas dicantumkan dalam undang-undang, maka kemungkinan langkah KPK untuk melakukan upaya pemberantasan korupsi mengalami hambatan. Keterkaitan antara konsep asset declaration (pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara) dengan illicit enrichment merupakan hal yang menarik untuk diteliti mengingat kedua konsep tersebut di berbagai negara telah dipraktekkan secara beriringan. Dalam perspektif penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana, harta kekayaan penyelenggara negara yang kemudian
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
8
mengalami peningkatan yang tidak wajar erat kaitannya dengan sistem pembuktian yang tepat untuk diterapkan. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 mengandung asas pembalikan beban pembuktian (reversal burden of proof) sebagaimana diatur misalnya dalam Pasal 37 A, 38 A, dan 38 B. Demikian pula dalam Pasal 77 dan 78 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Mengingat pentingnya konsep asset declaration ini dalam wacana pemberantasan korupsi bila dihubungkan dengan konsep illicit enrichment dan kemungkinan penerapan pembalikan beban pembuktian, maka penulis tertarik membahas masalah ini dalam suatu penelitian tesis dengan judul “Pelaporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (Asset Declaration) Sebagai Salah Satu Instrumen Pemberantasan Korupsi”. Studi yang khusus meneliti mengenai Pelaporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara sepanjang yang diketahui penulis belum banyak. Salah satu di antaranya adalah kajian yang dilakukan oleh Direktorat Penelitian dan Pengembangan bekerja sama dengan Deputi Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi. Studi ini meneliti efektifitas mekanisme pelaporan kekayaan penyelenggara negara bagi pemberantasan korupsi di Indonesia, namun tidak secara khusus mengaitkan pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara dengan konsep illicit enrichment dan teori pembalikan beban pembuktian. 1. 2. Pernyataan Permasalahan Dari latar belakang sebagaimana diuraikan tersebut di atas, maka dapat ditarik suatu permasalahan yang sangat mendasar untuk diteliti yakni sejauh mana perlunya pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara dalam rangka upaya pemberantasan korupsi. Sebagai lembaga yang diberi kewenangan oleh undang-undang dalam hal pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara, maka perlu pula diteliti sejauh mana kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
9
Dalam konteks sistem peradilan pidana penting pula untuk dikaji lebih jauh bila kemudian harta kekayaan penyelenggara negara yang dilaporkan mengalami peningkatan yang tidak wajar. Peningkatan yang tidak wajar yang dimaksud adalah tidak sebandingnya peningkatan harta kekayaan penyelenggara negara dengan pendapatan sah yang diperolehnya. Bila dihubungkan dengan sistem pembuktian, maka perlu untuk diteliti lebih jauh apakah pembalikan beban pembuktian tepat untuk diterapkan dalam hal adanya peningkatan harta kekayaan yang tidak sebanding dengan penghasilan seorang penyelenggara negara. 1. 3. Pertanyaan Penelitian Dalam membahas topik penelitian ini, maka pokok permasalahan yang akan diteliti dirumuskan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Apa sajakah
kegunaan
pelaporan harta kekayaan penyelenggara
negara (asset declaration) dalam upaya pemberantasan korupsi? 2. Apakah kewenangan yang dimiliki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam hal pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara telah memadai sehingga bisa efektif untuk memberantas korupsi? 3. Apakah terhadap harta kekayaan penyelenggara negara yang dilaporkan kemudian mengalami peningkatan yang tidak wajar dapat diterapkan pembalikan beban pembuktian? 1. 4. Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah sebagaimana diuraikan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa saja kegunaan pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara (asset declaration) diperlukan dalam upaya pemberantasan korupsi serta untuk mengetahui apakah kewenangan yang dimiliki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam hal pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara telah memadai sehingga dengan kewenangannya tersebut Komisi Pemberantasan Korupsi bisa efektif untuk memberantas korupsi. Selain itu penelitian ini berupaya Untuk mengetahui apakah terhadap harta kekayaan
penyelenggara
negara
yang
dilaporkan
kemudian
mengalami
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
10
peningkatan yang tidak wajar tepat untuk diterapkan sistem pembalikan beban pembuktian. Adapun manfaat penelitian ini bagi kalangan akademisi adalah diharapkan bisa memberikan wawasan atau pengetahuan yang lebih mendalam menyangkut asset declaration dalam wacana pemberantasan tindak pidana korupsi, lebih khusus lagi untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi itu sendiri. Sedangkan bagi kalangan praktisi, khususnya yang berkecimpung dalam bidang pemberantasan korupsi, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis yakni sebagai pedoman praktis penggunaan instrumen asset declaration untuk pemberantasan tindak pidana korupsi. 1. 5. Kerangka Teori Salah satu arti penting dilakukannya penelitian ilmiah ini adalah untuk mengembangkan teori ilmu hukum, selain itu teori juga digunakan sebagai alat analisis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian. Dalam penelitian ini, pijakan teori yang akan dijadikan sebagai grand theory adalah teori good governance, selain itu juga akan ditinjau dari perspektif penegakan hukum pidana dalam bentuk penerapan teori sistem pembuktian menurut doktrin-doktrin yang ada. Dalam ilmu kesehatan dikenal pepatah “lebih baik mencegah dari pada mengobati” yang mana merefleksikan bahwa tindakan pencegahan lebih mudah dan lebih murah ongkosnya dibanding tindakan pengobatan. Korupsi di negeri ini dapat pula diibaratkan sebuah penyakit kronis yang sangat sulit untuk disembuhkan dengan tindakan-tindakan yang sifatnya kuratif, oleh karena itu pendekatan pemberantasan korupsi sebaiknya terfokus pada aspek pencegahan sebelum terjadi tindakan-tindakan korup yang menyebabkan kerugian bagi negara. Salah satu teori yang dapat digunakan dalam upaya pencegahan korupsi adalah Teori Good Governance. Teori ini banyak dipopulerkan oleh Bank Dunia dalam melaksanakan program-program bantuannya di berbagai negara. Penerapan good governance diharapkan meminimalisir adanya kebocoran-kebocoran bantuan yang selama ini diberikan terutama di negara-negara berkembang yang masih cenderung koruptif.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
11
Pengertian dari good governance dapat dilihat dari pemahaman yang dimiliki oleh Bank Dunia yang melihat good governance sebagai sebuah cara untuk memperkuat “kerangka kerja institusional dari pemerintah”. Hal ini menurut mereka berarti bagaimana memperkuat aturan hukum dan prediktibilitas serta imparsialitas dari penegakannya. Ini juga berarti mencabut akar dari korupsi dan aktifitas-aktifitas rent seeking , yang dapat dilakukan melalui transparansi dan aliran informasi serta menjamin bahwa informasi mengenai kebijakan dan kinerja dari institusi pemerintah dikumpulkan dan diberikan kepada masyarakat secara memadai sehingga masyarakat dapat memonitor dan mengawasi manajemen dari dana yang berasal dari masyarakat.16 Terdapat beragam istilah yang pada prinsipnya mengandung makna yang sama mengenai good governance. Ada yang menambahkan kata “publik” menjadi Good Public Governance (GPG)17, sedangkan dalam sektor privat atau dunia usaha biasanya disebut dengan Good Corporate Governance (GCG). Definisi lain menyebutkan governance adalah mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial yang melibatkan pengaruh sektor negara dan sektor non-pemerintah dalam suatu usaha kolektif.18 Definisi ini menurut Lola Lalolo Krina mengasumsikan banyak aktor yang terlibat dimana tidak ada yang sangat dominan yang menentukan gerak aktor lain. Pesan pertama dari terminologi governance membantah pemahaman formal tentang bekerjanya institusi-institusi negara. Governance mengakui bahwa didalam masyarakat terdapat banyak pusat pengambilan keputusan yang bekerja pada tingkat yang berbeda.19 16
Teguh Kurniawan, Hambatan dan Tantangan dalam Mewujudkan Good Governance Melalui E-Government di Indonesia, makalah yang disampaikan pada Konfrensi Nasional Sistem Informasi 2006, Jurusan Teknologi Informasi Universitas Pasundan dan ITB, Bandung, 18 Februari 2006. Hal.3. 17
Istilah yang digunakan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Lihat Pedoman Umum Good Public Governance yang diterbitkan oleh Komite Nasional Kebijakan Governance, 2010. 18
Meuthia Ganie-Rochman dalam artikel berjudul “Good governance : Prinsip, Komponen dan Penerapannya”, yang dimuat dalam buku HAM : Penyelenggaraan Negara Yang Baik & Masyarakat Warga, (Jakarta : Komnas HAM, 2000). 19
Loina Lalolo Krina P, Indikator dan Alat Ukur Prinsip Akuntabilitas, Transparansi dan Partisipasi, (Jakarta: Sekretariat Good Public Governance Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Agustus 2003), hal. 6.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
12
Unsur utama yang dilibatkan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik menurut UNDP terdiri dari tiga macam yaitu: (i) the state, (ii) the private sector, dan (iii) civil society organization. Hubungan ketiganya harus dalam posisi seimbang dan saling kontrol (checks and balances), untuk menghindari penguasaan atau eksploitasi oleh satu komponen terhadap komponen lainnya.20 Secara umum, istilah “good public governance” mengandung makna tata kepemerintahan yang baik, pengelolaan pemerintahan yang baik, serta dapat pula diungkapkan sebagai penyelenggaraan pemerintahan yang baik, penyelenggaraan negara yang baik ataupun administrasi negara yang baik. Istilah tata kepemerintahan yang baik merupakan suatu konsepsi tentang penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, demokratis dan efektif. Selain sebagai suatu konsepsi tentang penyelenggaraan pemerintahan, tata kepemerintahan yang baik juga merupakan suatu gagasan dan nilai untuk mengatur pola hubungan antara pemerintah, dunia usaha swasta, dan masyarakat.21 Dari
berbagai pengertian tentang good governance, maka terdapat
beberapa prinsip-prinsip dari good governance sebagaimana dikemukakan oleh Koesnadi Hardjasoemantri yakni sebagai berikut:22 -
Partisipasi masyarakat: semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan yang sah yang mewakili kepentingan mereka.
Partisipasi
menyeluruh
tersebut
dibangun
berdasarkan
kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kepastian untuk berpartisipasi secara konstruktif. -
Tegaknya supremasi hukum: kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk didalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia.
20
Edmon Makarim, Tanggung Jawab Hukum Penyelenggara Sistem Elektronik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hal. 56. 21
Ibid.
22
Koesnadi Hardjasoemantri, Good Governance Dalam Pembangunan Berkelanjutan Di Indonesia, Makalah Untuk Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional ke VIII di Bali, tanggal 15 Juli 2003, hal. 2.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
13
-
Transparansi: transparansi dibangun atas dasar informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga, dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau.
-
Peduli pada stakeholder: lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintah harus berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan.
-
Berorientasi menjembatani
pada
konsensus:
tata
kepentingan-kepentingan
pemerintahan yang
yang
berbeda
baik demi
terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur. -
Kesetaraan:
semua
warga
masyarakat
mempunyai
kesempatan
memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka. -
Efektifitas dan efisiensi: proses-proses pemerintahan dan lembagalembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin.
-
Akuntabilitas: para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta, dan organisasi masyarakat bertanggung jawab, baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan.
-
Visi strategis: para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya, dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut.
Ada pula yang secara ringkas mengemukakan bahwa tiga prinsip utama dari good governance adalah : (1) Akuntabilitas, (2) Transparansi, dan (3) Partisipasi Masyarakat. Di mana ketiga prinsip tersebut diatas tidaklah dapat berjalan sendiri-sendiri, ada hubungan yang sangat erat dan saling mempengaruhi, masing-masing adalah instrumen yang diperlukan untuk mencapai prinsip yang
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
14
lainnya, dan ketiganya adalah instrumen yang diperlukan untuk mencapai manajemen publik yang baik.23 Keterkaitan antara prinsip-prinsip tersebut juga dikemukakan oleh United Nation on Development Program bahwa tanpa transparansi tidak akan ada akuntabilitas, sebaliknya tanpa akuntabilitas maka transparansi menjadi tidak berarti. Transparansi adalah syarat bagi terlaksananya prinsip akuntabilitas, meskipun secara normatif prinsip ini berhubungan secara sejajar.24 Transparansi yang tidak diikuti dengan akuntabilitas tidak menjamin keluaran dari pelaksanaan manajemen publik menjadi efektif dan efisien. Hal ini berakibat pada buruknya kinerja penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik, ketidakpuasan masyarakat (publik) atas layanan yang diberikan, dan lebih lanjut lagi masyarakat menjadi tidak percaya lagi kepada pemerintahannya. Jika hal ini berlarut-larut, maka dibentuknya pemerintahan kendatipun melalui mekanisme yang legitimate tidak akan banyak artinya di mata publik.25 Prinsip good governance dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme disebutkan dalam Pasal 3 yang berbunyi bahwa asas-asas umum penyelenggaraan negara meliputi: 1. Asas Kepastian Hukum; 2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara; 3. Asas Kepentingan Umum; 4. Asas Keterbukaan; 5. Asas Proporsionalitas; 6. Asas Profesionalitas; dan 7. Asas Akuntabilitas. Prinsip-prinsip good governance sebagaimana dikemukakan di atas adalah konsep ideal yang seharusnya diikuti oleh setiap penyelenggara negara, namun dalam kenyataannya justru yang terjadi adalah banyaknya perilaku ketidakpatuhan 23
Loina Lalolo Krina P, op. cit. hal.8.
24
http://www.undp.org., diakses tanggal 1 Maret 2012.
25
Joko Widodo, Good Governance, Telaah Dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah, (Surabaya: Insan Cendekia, 2001).47.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
15
terhadap
prinsip-prinsip
good
governance
tersebut
sehingga
muncullah
penyimpangan dalam bentuk perilaku korupsi. Dengan adanya perilaku korupsi tersebut, maka sebagai ultimum remedium, hukum pidana dengan segala perangkatnya akan menjalankan fungsinya. Menurut Lilik Mulyadi, tindak pidana korupsi merupakan extra ordinary crimes sehingga diperlukan penanggulangan yang bersifat luar biasa (extra ordinary enforcement) dan tindakan-tindakan luar biasa pula (extra ordinary measures). Dari dimensi ini, salah satu langkah komprehensif yang dapat dilakukan sistem peradilan pidana Indonesia adalah bagaimana secara ideal memformulasikan suatu sistem pembuktian yang relatif lebih memadai.26 Sistem pembuktian menurut Adami Chazawi adalah merupakan ketentuan bagaimana cara dalam membuktikan dan sandaran dalam menarik kesimpulan tentang terbuktinya apa yang dibuktikan. Pengertian sistem pembuktian yang mengandung isi yang demikian, dapat pula disebut dengan teori atau ajaran pembuktian.27 Ada beberapa sistem pembuktian yang telah dikenal dalam doktrin hukum acara pidana, ialah:28 1.
Sistem Keyakinan Belaka (conviction intime), yakni hakim dapat menyatakan telah terbukti kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan dengan
didasarkan
pada
keyakinannya
saja,
dan
tidak
perlu
mempertimbangkan dari mana dia memperoleh alat bukti dan alasan-alasan yang dipergunakan serta bagaimana caranya dalam membentuk keyakinannya tersebut. Juga tidak perlu mempertimbangkan apakah keyakinan yang dibentuknya itu logis atau tidak logis. Bekerjanya sistem ini benar-benar bergantung pada hati nurani hakim. 2.
Sistem keyakinan dengan alasan logis (la conviction in raisonne). Sistem ini lebih maju sedikit dari pada sistem yang pertama, walaupun kedua sistem dalam hal menarik hasil pembuktian tetap didasarkan pada keyakinan hakim. 26
Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: PT. Alumni, 2007), hal. 8-9. 27
Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua, (Bandung :PT. Alumni), 2008, hal. 24. 28
Ibid, hal. 24-28.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
16
Lebih maju karena dalam sistem yang kedua ini dalam hal membentuk dan menggunakan keyakinan hakim
untuk menarik kesimpulan tentang
terbuktinya kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana, didasarkan pada alasan-alasan yang logis. 3.
Sistem
Pembuktian
Melulu
Undang-Undang
(positief
wettelijk
bewijstheorie). Ada kalanya sistem pembuktian ini disebut dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif. Maksudnya ialah dalam hal membuktikan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana didasarkan semata-mata pada alat-alat bukti serta cara-cara mempergunakannya yang telah ditentukan terlebih dulu dalam undang-undang. Apabila dalam hal membuktikan telah sesuai dengan apa yang telah ditentukan dalam undangundang, baik mengenai alat-alat buktinya maupun mengenai cara-cara mempergunakannya, maka hakim harus menarik kesimpulan bahwa kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana telah terbukti. Keyakinan hakim sama sekali tidak penting dan bukan menjadi bahan yang boleh dipertimbangkan dalam hal menarik kesimpulan tentang kesalahan terdakwa. 4.
Sistem Pembuktian menurut Undang-Undang Secara Terbatas (Negatief Wettelijk Bewijstheorie). Menurut sistem ini, dalam membuktikan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, hakim tidak sepenuhnya mengandalkan alat-alat bukti serta dengan cara-cara yang ditentukan oleh undang-undang, tetapi harus disertai pula keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. Keyakinan yang dibentuk ini haruslah didasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh dari alat bukti yang ditentukan dalam undang-undang. Jadi untuk menarik kesimpulan dari kegiatan pembuktian didasarkan pada dua hal ialah alat-alat bukti dan keyakinan yang merupakan kesatuan tidak dipisahkan, yang tidak berdiri sendiri. Konsekuensi logis teori hukum pembuktian tersebut berkorelasi dengan
eksistensi terhadap asas beban pembuktian. Dikaji dari perspektif ilmu
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
17
pengetahuan hukum pidana dikenal ada tiga teori tentang beban pembuktian, yakni:29 a. Beban pembuktian pada Penuntut Umum Konsekuensi logis teori beban pembuktian ini, bahwa Penuntut Umum harus mempersiapkan alat-alat bukti dan barang bukti secara akurat, sebab jika tidak demikian akan susah meyakinkan hakim tentang kesalahan terdakwa. Beban pembuktian pada penuntut umum ini berkorelasi dengan asas praduga tidak bersalah dan aktualisasi asas tidak mempersalahkan diri sendiri (non self incrimination). Teori beban pembuktian ini dianut oleh KUHAP, yang mana dalam Pasal 66 KUHAP disebutkan bahwa “tersangka atau terdakwa tidak dibebani beban pembuktian”. b. Beban Pembuktian pada Terdakwa Dalam konteks ini, terdakwa berperan aktif menyatakan bahwa dirinya bukan sebagai pelaku tindak pidana. Oleh karena itu, terdakwalah di sidang pengadilan yang akan menyiapkan segala beban pembuktian dan bila tidak dapat membuktikan, terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana. c. Beban Pembuktian Berimbang Konkretisasi asas ini baik penuntut umum maupun terdakwa dan atau penasihat hukumnya saling membuktikan di depan persidangan. Lazimnya Penuntut Umum akan membuktikan kesalahan terdakwa sedangkan
sebaliknya
terdakwa
beserta
penasihat
hukum
akan
membuktikan sebaliknya bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan. Indriyanto Seno Adji menyebutkan asas pembalikan beban pembuktian merupakan penyimpangan asas umum hukum pidana yang menyatakan siapa yang menuntut, dialah yang harus membuktikan kebenaran tuntutannya. Dalam hal pembalikan beban pembuktian, terdakwalah yang harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Jika tidak dapat membuktikannya, ia dianggap bersalah.
29
Lilik Mulyadi, op. cit. hal. 101 – 103.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
18
Sebagai suatu penyimpangan, asas ini hanya diterapkan terhadap perkara-perkara tertentu, yaitu yang berkaitan dengan delik korupsi, khususnya terhadap delik baru tentang pemberian (gratification) dan yang berkaitan dengan penyuapan (bribery).30 1. 6. Kerangka Konseptual Untuk mengarahkan penelitian ini pada gejala-gejala yang hendak ditelaah dan untuk mengkristalisasikan konsep yang dipakai, maka perlu dijelaskan terlebih dahulu beberapa istilah yang sangat mungkin dipersepsikan secara berbeda yang kemungkinan menimbulkan kesalahpahaman pengertian. Dengan adanya kerangka konseptual yang jelas maka sedapat mungkin dihindari adanya kekaburan arti atau pengertian dari konsep-konsep yang disebutkan dalam penulisan ini. Pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara (asset declaration) sebagaimana dalam judul penelitian ini adalah kewajiban penyelenggara negara untuk melaporkan dan mengumumkan harta kekayaan yang mencakup pendapatan, aset, hutang, maupun piutang penyelenggara negara, sebelum, selama dan setelah memangku jabatan publik. Penyelenggara negara yang dimaksud adalah seseorang yang menjabat atau memiliki kekuasaan dan kewenangan untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi negara dalam wilayah hukum negara dan mempergunakan anggaran yang seluruhnya atau sebagian berasal dari negara, misalnya pejabat negara, pejabat publik, penyelenggara pelayanan publik dan berbagai istilah lainnya yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Termasuk didalamnya semua pejabat yang menyelenggarakan fungsi-fungsi negara baik dalam cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif, aparat penegak hukum, organ ekstra struktural (seperti KPK, KPU, Komisi Yudisial, dll), pelaksana pelayanan publik, penilai, pengawas,
30
Indriyanto Seno Adji, dalam Lilik Mulyadi, op. cit, hal. 106, 107.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
19
pimpinan
Bank
BLU/BUMD.
Indonesia,
penyelenggara
negara
di
BUMN/BHMN/
31
Termasuk dalam pengertian penyelenggara negara adalah pegawai negeri dan pejabat negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Pengertian Pegawai negeri sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian adalah setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negara atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan pejabat negara adalah pimpinan dan anggota lembaga tertinggi/tinggi negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Pejabat Negara lainnya yang ditentukan oleh undang-undang.32 Selanjutnya yang dimaksud dengan korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Secara lebih luas korupsi didefinisikan oleh Jeremy Pope sebagai menyalahgunakan kekuasaan kepercayaan untuk keuntungan pribadi.33 Definisi ini mencakup korupsi yang dilakukan baik di sektor publik maupun di sektor swasta. Adapun yang dimaksud dengan pemberantasan korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya
31
Komisi Pemberantasan Korupsi, Panduan Menangani Konflik Penyelenggara Negara, (Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2009), hal. 3.
Kepentingan
32
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890. 33
Jeremy Pope, Strategi Memberantas Korupsi: Elemen Sistem Integritas Nasional, alih bahasa Masri Maris, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, Edisi Kedua, 2007), hal. 6.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
20
koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Upaya pemberantasan korupsi ini tidak terbatas hanya dilakukan oleh aparat penegak hukum, melainkan segala upaya yang dilakukan oleh berbagai elemen dalam masyarakat termasuk kalangan akademisi, media massa, lembaga swadaya masyarakat, tokoh agama, dan setiap individu dalam masyarakat yang bertujuan untuk memerangi korupsi. Salah satu instrumen pemberantasan korupsi yang diatur dalam United Nations Convention Against Corruption tahun 2003 adalah illicit enrichment yang diartikan sebagai
tindakan memperkaya diri sendiri secara tidak sah berupa
adanya peningkatan kekayaan dalam jumlah yang cukup besar dari seorang pejabat publik, yang mana peningkatan kekayaan tersebut tidak dapat dijelaskan kalau itu diperoleh dari sumber-sumber penghasilan yang sah menurut hukum. Konsekuensi logis dari kriminalisasi illicit enrichment adalah penerapan sistem pembuktian terbalik (reversal burden of proof) dalam proses pembuktiannya. Pembuktian yang dimaksud di sini adalah suatu proses untuk menentukan hakikat adanya fakta-fakta pada masa lalu yang tidak terang menjadi fakta-fakta yang terang dalam hubungannya dengan perkara tindak pidana korupsi, sehingga dapat memberikan keyakinan bagi hakim untuk menentukan salah tidaknya seorang terdakwa. Proses pembuktian ini tidak dapat dipisahkan dari proses menemukan atau mengumpulkan bukti-bukti pada tahap penyidikan. Oleh sebab itu dalam arti luas dan umum pembuktian ini meliputi proses penyidikan. Menurut Sudikno Mertokusumo, membuktikan mempunyai beberapa pengertian. Pertama, membuktikan dalam arti logis yaitu memberikan kepastian yang bersifat mutlak yang berarti tidak memungkinkan adanya bukti lawan. Kedua, pembuktian dalam arti konvensional ialah memberikan kepastian yang bersifat nisbi yakni kepastian yang didasarkan atas perasaan semata-mata atau conviction intime dan kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal yang biasa disebut conviction raisonee. Ketiga, membuktikan dalam arti yuridis ialah
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
21
memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim untuk memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa hukum yang diajukan.34 1. 7. Metode Penelitian Untuk menjawab rumusan permasalahan penelitian sebagaimana tersebut di atas sehingga tujuan dan manfaat penelitian ini bisa tercapai, maka penelitian ini akan menggunakan suatu metode penelitian hukum. Fungsi metode adalah untuk menemukan, merumuskan, menganalisa maupun memecahkan masalah tertentu untuk mengungkapkan kebenaran.35 Dalam kaitan dengan pembahasan rumusan masalah dalam penelitian ini, metode yang akan digunakan adalah metode penelitian hukum yuridis normatif dengan pendekatan undang-undang (statute approach) maupun pendekatan konseptual (conceptual approach) yakni dengan cara mengumpulkan dan menganalisis bahan-bahan hukum baik yang sifatnya primer maupun sekunder36. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah produk hukum yang dikeluarkan oleh lembaga negara seperti Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) 2003, serta berbagai peraturan lainnya yang terkait dengan topik yang dibahas. Adapun bahan hukum sekunder yang
34
Sudikno Mertokusumo dalam H. Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar 2004), hal. 27–28. 35
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1984), hal. 13.
36
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 141, menyebutkan bahwa bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Sedangkan bahan-bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
22
digunakan dalam penelitian ini adalah buku-buku, jurnal, makalah, doktrin dan hasil-hasil penelitian yang terkait. Untuk melengkapi dan mendukung data yang diperoleh dari studi kepustakaan maka dilakukan wawancara terhadap pakar hukum dan pihak lain yang berkompeten. Sebagai nara sumber wawancara dalam penelitian ini adalah Prof. Mardjono Reksodiputro, S.H. M.H., Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Nara sumber lainnya adalah Drs. Moch. Jasin. S.H, LL.M, Ph.D, dan Chandra M. Hamzah, S.H., keduanya adalah mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi periode 2007-2011. Mengingat asset declaration telah diatur dan dipraktekkan di berbagai negara, maka dalam penelitian ini juga akan digunakan pendekatan perbandingan (comparative approach), yakni dengan membandingkan aturan-aturan dan praktek yang dilakukan di negara lain menyangkut topik yang dibahas. Aturan-aturan dan praktek di negara Amerika Serikat, Filipina, Hong Kong, Georgia, dan Romania akan dijadikan bahan perbandingan mengingat di negara-negara tersebut sistem pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara dianggap cukup ideal dan telah cukup lama dijalankan dalam kerangka upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi di negara-negara tersebut. 1. 8. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan disajikan untuk mempermudah pembaca dalam memahami materi yang selanjutnya akan dibahas dalam tesis ini. Dengan adanya sistematika diharapkan pembaca dapat mengetahui secara garis besar isi tesis ini. Hasil penelitian ini secara keseluruhan akan dituangkan dalam sistematika sebagai berikut: Bab 1
Pendahuluan Bab ini berisi latar belakang masalah, pernyataan permasalahan,
permasalahan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, dan sistematika penulisan. Bab 2
Tinjauan Umum Mengenai Asset Declaration Bab ini akan diuraikan pengertian, sejarah, dan tujuan pelaporan harta
kekayaan penyelenggara negara dalam kerangka pemberantasan korupsi dan
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
23
dalam rangka mewujudkan good governance. Akan dijelaskan pula praktek pelaporan harta kekayaan di berbagai negara sebagai bahan perbandingan untuk menganalisis pelaporan harta kekayaan di Indonesia. Bab 3
Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Pelaporan, Pemeriksaan dan Pengumuman Harta Kekayaan Penyelenggara Negara Pada bab ini akan diuraikan bagaimana pelaporan harta kekayaan
penyelenggara negara menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme serta akan diuraikan pula menyangkut kewenangan yang dimiliki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menggunakan rezim asset declaration sebagai instrumen pemberantasan tindak pidana korupsi. Bab 4
Illicit Enrichment dan Pembuktian Terhadap Harta Kekayaan Penyelenggara Negara Dalam bab ini akan diuraikan mengenai konsep illicit enrichment
dan penerapan pembuktian yang tepat digunakan terhadap harta kekayaan penyelenggara negara yang mengalami peningkatan yang tidak wajar. Bab 5
Penutup Bagian ini berisi kesimpulan akhir dari keseluruhan penulisan yang
terfokus pada rumusan masalah dan saran yang sedapat mungkin diberikan sehubungan dengan topik yang dibahas.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
2
BAB 2 TINJAUAN UMUM MENGENAI ASSET DECLARATION 2. 1. Pengertian dan Sejarah Pelaporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara Tidak ada keseragaman istilah yang digunakan untuk menyebut pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara. Lembaga-lembaga internasional semisal Bank Dunia (World Bank) dan OECD (Organization of Economic Cooperation and Development) dalam beberapa publikasinya lebih cenderung menggunakan istilah asset declaration yang biasa disingkat AD.37 Di berbagai negara, digunakan beberapa istilah namun dengan makna yang pada prinsipnya sama. Misalnya di Amerika Serikat disebut dengan financial disclosure,38 atau di Srilanka yang menggunakan istilah declaration of assets and liabilities39, sedangkan di Hong Kong menggunakan istilah declaration on investment sebagaimana diatur dalam CSB Circular No. 8/2006 on “Declaration of Investments by Civil Servants” Selain istilah-istilah tersebut, beberapa penulis juga menggunakan istilah yang berbeda, misalnya income and asset declarations dan ada pula yang menyebutnya income and asset disclosure. Meskipun terdapat beragam istilah yang digunakan, namun pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara esensinya adalah kewajiban penyelenggara negara untuk melaporkan dan mengumumkan harta kekayaan yang mencakup pendapatan, hibah, aset, hutang, maupun piutang yang dimilikinya, sebelum, selama dan setelah memangku jabatan publik. Jadi ketika sebutan yang dipakai adalah asset declaration atau asset disclosure, maka pelaporan yang dimaksud tidak hanya aset saja melainkan meliputi pendapatan, hibah, hutang, maupun piutang.
37
Lihat misalnya dalam publikasi Bank Dunia dengan judul “Income and Asset Declarations: Tools and Trade-offs, atau dalam publikasi OECD Asset Declaration for Public Officials: A Tool to Prevent Corruption. 38
Sebutan resmi yang disebut dalam Ethics in Government Act (1978).
39
Diatur dalam Declaration of Assets and Liabilities Law No. 1/1975.
24 Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
25
Sistem pelaporan harta kekayaan ini menurut Burdescu mulai berkembang setelah Perang Dunia II. Di Amerika Serikat, munculnya berbagai skandal korupsi di negeri itu menimbulkan adanya usaha atau inisiatif untuk memperkuat integritas publik. Salah satu pernyataan politik yang terkenal menyangkut perlunya keterbukaan finansial pejabat-pejabat publik tertentu di Amerika Serikat kala itu adalah pidato yang disampaikan oleh Presiden Truman di depan Konggres pada tahun 1951. Dalam pidatonya, Presiden Truman menyampaikan: “With all the questions that are being raised today about probity and honesty of public officials, I think all of us should be prepared to place the facts about our income on the public record”40 Pada tahun 1950an, berbagai faktor penyebab masih menghalangi diterapkannya usulan keterbukaan finansial pada level pemerintah pusat di Amerika Serikat. Baru pada tahun 1965 Presiden Lyndon B. Johnson mengharuskan kepada pejabat-pejabat publik pemerintahan federal untuk membuka informasi finansial mereka kepada masyarakat. Akibat adanya skandal Watergate dan skandal korupsi lainnya, maka pada tahun 1978 Kongres Amerika Serikat mengesahkan Ethic Government Act. Undang-undang tersebut yang masih berlaku hingga sekarang mengharuskan setiap pegawai pemerintah federal pada level tertentu di lingkungan eksekutif, legislatif maupun yudikatif untuk melaporkan harta kekayaannya. Pelaporan harta kekayaan kemudian berkembang di negara-negara Eropa Barat pada era 1980an. Pada tahun 1982, sebuah aturan hukum menyangkut pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara diberlakukan di Spanyol. Pada tahun yang sama, anggota parlemen di Italia diwajibkan melaporkan kekayaan dan penghasilan tambahan yang mereka peroleh. Lalu pada tahun 1983, sebuah aturan hukum menyangkut kontrol publik atas kekayaan pejabat-pejabat terpilih diberlakukan di Portugal. Negara-negara Eropa Tengah dan Eropa Timur yang dulunya berada di bawah rezim pemerintahan sosialis sepanjang tahun 1990an pada umumnya juga telah menerapkan aturan-aturan hukum yang menyangkut pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara dalam kerangka pemberantasan 40
OECD, Asset Declarations for Public Officials: A Tool to Prevent Corruption, (OECD Publishing, 2011), hal. 22.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
26
korupsi di masing-masing negara. Adapun negara-negara pecahan bekas Uni Soviet pada umumnya baru mengadopsi ketentuan-ketentuan menyangkut pelaporan harta kekayaan pada akhir tahun 1990an atau awal tahun 2000an.41 Pengaturan dalam ketentuan hukum internasional menyangkut asset declaration pertama kali dituangkan dalam Inter-American Convention Against Corruption (IACAC) 199642. Kemudian diatur pula dalam United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) tahun 200343. Sedangkan di negaranegara yang tergabung dalam Uni Afrika pada tahun yang sama telah pula mengesahkan The African Union Convention on Preventing and Combating Corruption.44 Ketiga konvensi ini merupakan perwujudan komitmen negaranegara di dunia untuk melakukan upaya pemberantasan korupsi. Dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia, mekanisme pelaporan kekayaan pertama kali diterapkan di lingkungan militer, khususnya Angkatan Darat (AD). Tujuan utamanya adalah menyikapi korupsi yang sudah sangat sistemik kala itu di Angkatan Darat yang dilakukan banyak perwira menengah hingga perwira tinggi. Maraknya korupsi di lingkungan Angkatan Darat secara tidak langsung dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah sejak masa kabinet Juanda, di mana kalangan militer terutama AD diberi kesempatan seluasluasnya menempati kedudukan politik dan ekonomi yang menguntungkan di tengah masyarakat.45 41
Ibid., hal. 22-23.
42
IACAC merupakan perjanjian multilateral negara-negara di benua Amerika. Konvensi inilah yang merupakan konvensi internasional pertama yang mengatur upaya pemberantasan korupsi. Pada Pasal 3 ayat 4 konvensi tersebut disebutkan bahwa salah satu upaya pencegahan korupsi adalah “System for registering the income, assets and liabilities of persons who perform public functions in certain posts as specified by law and, where appropriate, for making such registrations public”. 43
Dalam Pasal 8 ayat 5 UNCAC 2003 disebutkan, “Each State Party shall endeavour, where appropriate and in accordance with the fundamental principles of its domestic law, to establish measures and systems requiring public officials to make declarations to appropriate authorities regarding, inter alia, their outside activities, employment, investments, assets and substantial gifts or benefits from which a conflict of interest may result with respect to their functions as public officials” 44
Pada Pasal 7 konvensi tersebut disebutkan “require all of designated public Require all or designated public officials to declare their assets at the time of assumption of office during and after their term of office in the public service”. 45
Deputi Pencegahan dan Direktorat Penelitian dan Pengembangan Komisi Pemberantasan Korupsi, Memberdayakan Instrumen Pencegahan Korupsi: Studi Tentang
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
27
Mekanisme pelaporan harta kekayaan kala itu hanya menjadi satu bagian dari langkah-langkah pemberantasan korupsi yang lebih komprehensif. Berbekal mandat Presiden Soekarno selaku Panglima Tertinggi Angkatan Perang RI lewat Keputusan Presiden (Keppres) No. 48/1957, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Abdul Haris Nasution selaku Penguasa Militer berdasarkan UU No. 74/1957 tentang Keadaan Bahaya, menetapkan Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi. Peraturan tersebut dibentuk pada 9 April 1957 dan berlaku untuk seluruh wilayah RI.46 Aspek penting peraturan tersebut adalah kewajiban setiap orang yang disangka, didakwa, atau sepatutnya disangka melakukan korupsi untuk ditilik harta bendanya, termasuk harta benda suami, isteri, anak atau badan yang diurusnya. Untuk tersebut dibentuklah jabatan pemilik harta benda yang diisi oleh para staf penguasa militer atau orang lain yang ditunjuk penguasa militer. Sekitar satu bulan kemudian tepatnya tanggal 27 Mei 1957, Nasution kembali menerbitkan Peraturan No. Prt/PM/08/1957, khusus tentang Penilikan Harta Benda. Peraturan ini dibuat untuk mengatasi kendala pembuktian yang masih sangat dirasakan setelah pemberlakuan peraturan sebelumnya. Untuk itu, selain mereka yang disangka, didakwa, atau sepatutnya disangka melakukan korupsi, mereka yang kekayaannya diperoleh secara mendadak dan mencurigakan juga dapat diperiksa. Peraturan ini juga semakin menekankan kejujuran pelaksana penilikan harta benda, termasuk penguasa militer sendiri, dengan mewajibkan mereka lebih dulu memberikan keterangan tentang kekayaannya. Dalam peraturan yang baru, dimuat sanksi bagi pejabat yang menolak memberikan bantuan demi kelancaran penilikan harta benda.47 Mengingat pentingnya mekanisme penilikan harta benda sebagai bagian tidak terpisahkan dari upaya pemberantasan korupsi, pada tanggal 16 April 1958, selaku Penguasa Perang Pusat, Nasution kembali mengeluarkan peraturan Nomor Prt/Peperpu/013/1958
tentang
Pengusutan,
Penuntutan,
dan
Pemeriksaan
Efektifitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia, (Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2006), hal. 10. 46
Ibid.
47
Ibid.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
28
Perbuatan Korupsi dan Penilikan Harta Benda. Dalam peraturan ini, Nasution membentuk Badan Koordinasi Penilik Harta Benda di setiap provinsi yang dipimpin oleh Kepala Kejaksaan setempat, beranggotakan pejabat sipil dan militer yang diangkat menteri kehakiman. Para penilik harta benda diberi kewenangan merampas dan menyita harta benda yang tidak jelas, membuka dan menahan komunikasi, dan menjadi pengusut (penyidik) perkara korupsi di luar dari penyidik resmi.48 Badan ini menurut Andi Hamzah juga mengenal gugatan perdata berdasarkan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) bagi orang yang mempunyai harta benda yang tidak seimbang dengan pendapatannya, tetapi tidak dapat dibuktikan secara pidana.49 Pada masa Orde Baru, lahir Keppres No. 52/1970 tentang Pendaftaran Kekayaan Pribadi Pejabat Negara/Pegawai Negeri/ABRI. Keppres tersebut mewajibkan pejabat negara, pegawai negeri dan perwira ABRI pada level tertentu untuk mengisi Daftar Kekayaan Pribadi (DKP). DKP dinyatakan akan jadi bahan pengusutan apabila ada petunjuk bahwa kekayaan penyelenggara negara tidak jelas asal-usulnya dan/atau pengisiannya tidak sesuai dengan kenyataan. Untuk memastikan kepatuhan, juga diatur bahwa mereka yang tidak mengisi DKP dapat dijatuhi hukuman jabatan atau tindakan administratif menurut ketentuan undangundang kepegawaian atau hukum tentara yang berlaku. Pada era reformasi, sebagai pelaksanaan Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas KKN, maka pada tanggal 19 Mei 1999 disahkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas KKN yang di dalamnya juga dikenal sistem pendaftaran harta benda berupa pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara. Dalam undang-undang itu, badan yang diberikan wewenang melakukan pendaftaran harta kekayaan penyelenggara negara adalah Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Komisi ini menjalankan tugas selama kurang lebih dua tahun hingga akhirnya dilebur ke
48
Ibid.
49
Andi Hamzah, Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 78.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
29
dalam bidang pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. 2. 2. Pelaporan Harta Kekayaan dalam Kerangka Pemberantasan Korupsi Sebagaimana dikemukakan oleh Mardjono Reksodiputro bahwa sistem peradilan pidana (criminal justice system) adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi di sini berarti usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Sistem ini dianggap berhasil apabila sebagian besar dari laporan atau keluhan masyarakat yang menjadi korban kejahatan “diselesaikan”, dengan diajukannya pelaku kejahatan ke sidang pengadilan dan diputuskan bersalah serta mendapat pidana.50 Gambaran di atas adalah apa yang paling terlihat dari dan diharapkan oleh masyarakat. Namun, hal ini belum merupakan keseluruhan tugas dan tujuan sistem. Tugas yang sering kurang diperhatikan adalah yang berhubungan dengan mencegah terjadinya korban kejahatan dan mencegah pelaku untuk mengulangi kejahatan.51 Oleh karena itu tujuan sistem peradilan pidana dapat dirumuskan sebagai:52 a) Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan; b) Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; dan c) Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya. Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Prof. Mardjono tersebut, korupsi sebagai sebuah masalah kejahatan harus pula diselesaikan dengan menggunakan pendekatan sistem peradilan pidana dalam artian bahwa upaya 50
Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana: Kumpulan Karangan, Buku Ketiga, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 2007), hal. 84. 51
Ibid.
52
Ibid.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
30
pemberantasan korupsi selain dilakukan dengan upaya-upaya yang bersifat represif, juga harus dikedepankan upaya yang sifatnya pencegahan. Lembagalembaga yang ada dalam sistem peradilan pidana tidak saja dituntut untuk menghukum para koruptor, tetapi juga sedapat mungkin mengedepankan aspek pencegahan dalam upaya pemberantasan korupsi. Mencegah masyarakat menjadi korban korupsi, menyelesaikan kasus korupsi yang ada serta mengusahakan agar para koruptor tidak mengulangi lagi perbuatannya adalah tujuan-tujuan yang akan dicapai dari upaya pemberantasan korupsi. Tujuan-tujuan tersebut dapat dicapai dengan membenahi aspek-aspek substansi aturan hukum, struktur hukum, dan budaya hukum masyarakat yang terkait dengan korupsi. Oleh
karena
korupsi
merupakan
sebuah
kejahatan
luar
biasa
53
(extraordinary crime) , maka pemberantasannya perlu dilakukan dengan caracara yang luar biasa (extraordinary measure) dan dengan menggunakan instrumen-instrumen hukum yang luar biasa pula (extraordinary instrumen).54 Salah satu instrumen pemberantasan korupsi yang perlu diberdayakan dalam kerangka pemberantasan korupsi adalah assets declaration atau pelaporan harta kekayaan. Pentingnya instrumen ini karena terkait dengan instrumeninstrumen lainnya dalam wacana pemberantasan korupsi. Pelaporan harta kekayaan tidak saja dipandang sebagai instrumen dalam upaya pencegahan, namun dalam batas-batas tertentu berguna dalam upaya penindakan ketika telah terjadi tindakan korupsi. Sebagaimana disebutkan dalam studi efektifitas mekanisme pelaporan kekayaan penyelenggara negara bagi pemberantasan korupsi di Indonesia, Komisi
53
Terdapat sejumlah alasan-alasan rasional untuk menyebutkan bahwa korupsi adalah sebuah kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime). Alasan tersebut antara lain bahwa gejala korupsi semakin parah dan terdapat pada berbagai sektor, baik sektor publik maupun privat, dampak korupsi adalah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat sebagai bagian dari hak asasi manusia, korupsi bisa merusak sendi-sendi dalam kehidupan bernegara, dan tindak pidana korupsi tergolong sebagai tipe kejahatan yang sukar dijangkau oleh hukum. 54
Elwi Danil, Korupsi: Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasannya, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hal. 76.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
31
Pemberantasan Korupsi menginventarisasi berbagai tujuan yang hendak dicapai dalam hal pelaporan harta kekayaan. Tujuan pelaporan tersebut meliputi:55 1. Menguji integritas para (calon) penyelenggara negara. Dalam proses pemilihan calon pejabat publik, mekanisme pelaporan harta kekayaan bisa jadi instrumen penting bagi masyarakat untuk menentukan layak tidaknya seorang calon mengisi jabatan publik tertentu, dengan mengenali indikasi ada tidaknya kejanggalan dalam kekayaannya. Kewajiban para calon anggota legislatif pusat dan daerah, calon kepala daerah, serta calon presiden dan wakil presiden untuk melaporkan dan mengumumkan kekayaannya di masa pemilu, seperti yang disyaratkan dalam UU Pemilu, UU Pilpres, dan UU Pemerintahan Daerah, merupakan cerminan betapa tujuan ini dirasakan penting. Hal yang sama ditemukan dalam kewajiban calon hakim agung untuk menyampaikan daftar kekayaan dan sumber penghasilannya pada proses seleksi seperti diatur dalam Pasal 16 ayat 2 UU No. 22/2004 tentang Komisi Yudisial. Dalam proses seleksi Hakim Agung, Komisi Yudisial melakukan penyelidikan terhadap harta kekayaan calon hakim agung sebagai bagian proses seleksi untuk menduduki jabatan mulia hakim agung. Penyelidikan ini untuk mencari tahu rekam jejak integritas calon. Laporan yang diterima KY ini akan ditelusuri lebih jauh lagi dan ada tim investigasi informal Komisi Yudisial untuk memeriksa laporan harta kekayaan para calon. Jadi setelah laporan diserahkan, KY akan menelusuri lebih jauh, apakah cocok atau tidak. Ini untuk mencari tahu rekam jejak integritas calon. Investigasi laporan harta kekayaan dilakukan agar didapatkan calon hakim yang betulbetul punya integritas. Kualitas integritas yang dicari di sini adalah soal kejujuran. Jumlah harta berapa, didapatkan dari mana, dan sebagainya itu agar kami mencari tahu kejujuran sang calon.56
55
Deputi Pencegahan dan Direktorat Pemberantasan Korupsi, op. cit., hal. 14-15.
Penelitian
dan
Pengembangan
Komisi
56
http://m.mediaindonesia.com/index.php/read/2011/05/13/225917/284/1/KY_Selidiki_ Harta Kekayaan_Calon_Hakim_Agung, diakses tanggal, 12 Desember 2012.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
32
2.
Menimbulkan rasa takut di kalangan penyelenggara negara untuk berbuat korupsi. Dengan adanya kewajiban melaporkan kekayaan secara rutin, maka setiap penyelenggara negara akan merasa dimonitor baik oleh publik maupun oleh lembaga yang berwenang dari waktu ke waktu. Perasaan diawasi sedikit banyak menjadi faktor yang membuat penyelenggara negara berfikir dua kali sebelum melakukan korupsi. Adapun menurut Chandra M. Hamzah, mantan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, adanya kewajiban melaporkan harta kekayaan setidaknya akan mempersulit seseorang untuk melakukan korupsi karena dengan sendirinya seorang yang melakukan korupsi tidak akan menampakkan hasil korupsinya dalam laporan harta kekayaannya atau dengan kata lain berusaha menyembunyikan hasil korupsinya misalnya dengan meregistrasi asetnya atas nama orang lain yang tentu saja mengandung risiko.57
3.
Menanamkan sifat kejujuran, keterbukaan, dan tanggung jawab (karakter etis) di kalangan penyelenggara negara. Dengan menginternalisasi sifat kejujuran, keterbukaan, dan tanggung jawab melalui kewajiban lapor kekayaan sebagai bentuk perilaku etis penyelenggara negara, diharapkan secara gradual hal tersebut akan berimplikasi pada integritas, transparansi, dan akuntabilitas sistem penyelenggaraan negara secara keseluruhan. Tujuan ini sangat jelas terekam dalam konsiderans menimbang Keppres No. 52/1970 yang menyatakan bahwa pendaftaran kekayaan pribadi penyelenggara negara adalah penting guna membina sifat-sifat utama di kalangan penyelenggara negara, serta meningkatkan usaha pencegahan dan penindakan perbuatan korupsi. Dimasukkannya kewajiban lapor kekayaan ke dalam Kode Etik DPR RI 2004 (Pasal 10) juga merupakan pengakuan bahwa menanamkan karakter etis lewat mekanisme pelaporan kekayaan adalah penting.
57
Chandra M. Hamzah, wawancara tanggal 21 Desember 2012.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
33
4.
Mendeteksi (potensi) konflik kepentingan antara tugas-tugas publik penyelenggara negara dengan kepentingan pribadinya. Khusus bagi para penyelenggara negara yang dipilih (elected officials), potensi benturan antara kepentingan publik dalam jabatan dengan kepentingan individu yang dipengaruhi latar belakang pejabat yang bersangkutan sangat besar. Namun bukan berarti potensi benturan kepentingan tidak ditemukan pada penyelenggara negara karir. Potensi ini sangat kuat dirasakan ketika seorang penyelenggara negara dipercaya menjadi pimpinan proyek-proyek pembangunan yang melibatkan proses pengadaan barang dan jasa. Tujuan ini tercermin antara lain dari ketentuan Pasal 2 angka 7 UU Nomor 28/1999 yang memasukkan pimpinan dan bendaharawan proyek ke dalam kategori penyelenggara negara wajib lapor.
5.
Menyediakan bukti awal dan atau bukti pendukung bagi penyidikan dan penuntutan perkara korupsi. Laporan kekayaan sebagai bukti awal penyidikan perkara korupsi sangat potensial diterapkan setelah berlakunya UU No. 20/2001, khususnya
Pasal
12B
mengenai
gratifikasi.
Pemberian
kepada
penyelenggara negara yang bertentangan dengan kewajibannya diharapkan bisa ditelusuri melalui laporan kekayaannya. Konsep tindak pidana illicit enrichment yang diintroduksi UNCAC dan telah diratifikasi lewat UU No. 7/2006 juga mensyaratkan laporan kekayaan penyelenggara negara sebagai bukti awal. Adapun fungsi laporan kekayaan sebagai bukti pendukung penyidikan tindak pidana korupsi bisa ditemukan di berbagai peraturan. Antara lain dengan mewajibkan tersangka/terdakwa pelaku tindak pidana korupsi untuk melaporkan kekayaannya yang diatur dalam Pasal 28 dan Pasal 37A UU No. 20/2001, yang ternyata juga telah diatur dalam peraturan pemberantasan korupsi sejak masa orde lama. Terkait dengan fungsi laporan harta kekayaan sebagai bukti awal penyelidikan dan penuntutan perkara korupsi ini, Mardjono Reksodiputro berpendapat bahwa seorang penyidik atau penuntut umum dalam perkara korupsi harus tidak begitu saja menerima atau mempercayai laporan harta
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
34
kekayaan yang telah dilaporkan oleh tersangka karena kecenderungannya seorang koruptor akan selalu berusaha menyembunyikan harta kekayaan hasil korupsinya. Penyidik dan jaksa penuntut umum seharusnya melacak lagi harta kekayaan tersangka yang lain dan memasukkan harta yang tidak dilaporkan tersebut dalam dakwaan.58 6.
Meningkatkan kontrol masyarakat terhadap penyelenggara negara. Tujuan ini terepresentasikan secara tidak langsung oleh kewajiban penyelenggara
negara
untuk
melaporkan
kekayaannya.
Dengan
menjadikan laporan kekayaan penyelenggara negara sebagai domain publik lewat mekanisme pengumuman, maka masyarakat bisa mengakses laporan
tersebut,
penyelenggara
dan
negara,
menjadikannya terutama
sarana
mengenai
mengontrol
indikasi
para
kejanggalan
kekayaannya. Senada dengan yang dikemukakan di atas, menurut studi yang dilakukan oleh OECD, paling tidak ada tiga tujuan pelaporan harta kekayaan, yaitu:59 1. Untuk meningkatkan transparansi dan kepercayaan warga negara terhadap administrasi publik, dengan membuka informasi mengenai harta kekayaan politikus dan para pegawai negeri, maka hal tersebut menunjukkan bahwa tidak ada sesuatu yang mereka sembunyikan. 2. Membantu para pimpinan lembaga publik untuk mencegah dan menyelesaikan persoalan konflik kepentingan penyelenggara negara dengan tujuan agar integritas lembaga yang dipimpinnya semakin baik. 3. Memantau perkembangan harta kekayaan penyelenggara negara untuk mencegah
mereka
melakukan
tindakan
korup,
melindungi
penyelenggara negara dari tuduhan yang tidak benar, dan membantu aparat hukum dengan menyediakan bukti tambahan untuk menyelidiki adanya illicit enrichment serta tindakan korupsi lainnya. Adapun menurut Ruxandra Burdescu et.al, hasil tertinggi yang ingin dicapai dalam membangun sistem pelaporan harta kekayaan adalah untuk
58
Mardjono Reksodiputro, wawancara tanggal 10 Desember 2012.
59
OECD, op.cit., hal. 12.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
35
mengurangi angka korupsi serta meningkatkan akuntabilitas, sedangkan untuk mengurangi potensi konflik kepentingan serta mengurangi tingkat illicit enrichment merupakan tujuan spesifik dari sistem pelaporan harta kekayaan. Tujuan lain yang pada akhirnya dapat dicapai adalah memperkuat efektifitas sistem pelaporan harta kekayaan sebagai salah satu instrumen untuk melakukan penuntutan perkara korupsi, atau untuk melacak dan mengembalikan aset-aset yang dikorupsi.60 Dua tujuan spesifik menurut Burdescu tersebut dalam praktek menentukan suatu model sistem pelaporan harta kekayaan, apakah
sistem
pelaporan dirancang untuk memantau potensi atau mencegah timbulnya konflik kepentingan, ataukah ditujukan untuk memerangi illicit enrichment. Tidak tertutup pula kemungkinan kedua tujuan tersebut dipadukan sehingga keduanya akan dicapai dalam suatu sistem pelaporan harta kekayaan. Dalam praktek, kebanyakan negara membangun sistem pelaporan harta untuk mewujudkan kedua tujuan sekaligus, baik untuk mencegah timbulnya konflik kepentingan, maupun untuk memerangi illicit enrichment. Sebagai konsekuensinya, semakin luas sasaran yang akan dicapai maka akan semakin dibutuhkan
pengaturan yang lengkap dan pelaksanaan yang lebih rumit.
Sebagaimana dicontohkan oleh Burdescu, negara-negara anggota lama dari Uni Eropa kebanyakan menganut model yang bertujuan untuk mencegah timbulnya konflik kepentingan, sedangkan negara-negara masuk belakangan dalam keanggotaan Uni Eropa kebanyakan menganut model sistem pelaporan yang bertujuan ganda atau yang lebih dikenal dengan sistem hibrid (hybrid system).61 Dari uraian mengenai tujuan dibangunnya sistem pelaporan harta kekayaan sebagaimana tersebut
di atas, tergambar bahwa dalam wacana
pemberantasan korupsi, sistem pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara tidak saja penting bagi upaya pencegahan dan penindakan, melainkan juga penting untuk melindungi para penyelenggara negara dari sangkaan bahwa ia telah memiliki harta yang diperoleh dari korupsi. 60
Ruxandra Burdescu, et.al., Income and Asset Declarations, Tools and Trade-Offs, (Washington, D.C., The World Bank, 2009), hal. 4-7. 61
Ibid.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
36
Sebagaimana diatur dalam Pasal 37A ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi bahwa terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan. Demikian pula dalam ayat dua pada pasal yang sama diatur bahwa dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindakan korupsi.62 Bila dihubungkan dengan ketentuan ayat 1 dan ayat 2 Pasal 37A undangundang Tindak Pidana Korupsi tersebut, maka seorang penyelenggara negara yang telah melaporkan harta kekayaannya dengan jujur dan benar akan dengan mudah membuktikan bahwa harta kekayaan yang telah dilaporkannya tersebut bukan dari hasil korupsi. Namun sebaliknya, bila seorang penyelenggara negara telah sejak awal telah melaporkan harta tidak jujur atau tidak sesuai dengan kenyataan, atau bahkan sama sekali tidak pernah melaporkan harta kekayaan, maka penyelenggara negara tersebut akan kesulitan membuktikan bahwa harta kekayaannya tidak diperoleh dari hasil korupsi. Demikian pula dalam hal membuktikan harta kekayaan yang tidak didakwakan sebagaimana diatur pada Pasal 38B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, pelaporan harta kekayaan yang jujur dan benar dapat melindungi terdakwa dari kemungkinan penyitaan harta-hartanya yang tidak didakwakan. Harta kekayaan yang dilaporkan oleh penyelenggara negara dalam laporan harta kekayaan dengan menyebutkan sumbernya yang sah tentu saja tidak dapat dirampas untuk negara.
62
Indonesia, Undang-Undang Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, UU No. 20 Tahun 2001, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4150), Pasal 37A ayat 1 dan 2.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
37
2. 3. Good Governance dan Pemberantasan Korupsi Dalam mengamati gejala korupsi di masyarakat, Robert Klitgaard mengemukakan suatu pandangan dalam bentuk formula yakni C = M + D – A. Di mana C adalah Corruption, M adalah Monopoly, D adalah Discretion, dan A adalah Accountability63. Formula tersebut menunjukkan bahwa semakin besar tingkat monopoli dan diskresi maka kecenderungan korupsi tersebut akan besar. Oleh karena itu perlu adanya akuntabilitas untuk mengurangi tingkat monopoli dan diskresi yang ada sehingga tidak timbul korupsi. Dengan demikian dari formula tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk mengurangi korupsi maka akuntabilitas perlu ditingkatkan. Lebih lanjut, Klitgaard menjelaskan bahwa formula tersebut berlaku di berbagai tempat di setiap penjuru dunia, berlaku baik di sektor publik maupun swasta, dan berlaku pula baik di lembaga profit maupun non profit. Seseorang atau sebuah lembaga cenderung korupsi bila memegang monopoli dalam hal penguasaan barang atau jasa, memiliki kebijakan atau diskresi mengenai siapa yang akan menerima barang atau jasa tersebut, serta memiliki diskresi untuk menentukan jumlah barang atau jasa yang akan diberikan kepada orang yang menerimanya, sementara dalam proses tersebut tidak ada akuntabilitas.64 Oleh karena itu untuk memerangi korupsi harus dimulai dengan merancang sistem yang lebih baik. Monopoli sedapat mungkin dikurangi atau diatur sedemikian rupa dan diskresi pemegang kekuasaan atau pengambil keputusan perlu dijelaskan. Transparansi perlu ditingkatkan serta perlu diterapkan penindakan dan pemberian sanksi yang lebih tegas kepada para pelaku korupsi.65 Strategi yang disarankan oleh Klitgaard untuk upaya pemberantasan adalah dengan menghukum pelaku korupsi berskala besar yang disebutnya dengan strategi “frying a few big fish”. Selain itu perlu melibatkan masyarakat dalam upaya memperbaiki sistem yang korup, memfokuskan pada upaya pencegahan 63
Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi, diterjemahkan oleh Hermojo, (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2005), hal. 99. 64
Robert Klitgaard, International Cooperation Against Corruption, Finance and Development Volume 35, (Maret 1998), hal. 3. 65
Ibid.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
38
dengan memperbaiki sistem yang korup, dan memperbaiki penghasilan para pejabat publik.66 Sebagaimana diuraikan pada sub bab sebelumnya, bahwa salah satu implikasi
yang
diharapkan
dengan
adanya
pelaporan
harta
kekayaan
penyelenggara negara adalah terciptanya integritas, transparansi, dan akuntabilitas sistem penyelenggaraan negara secara keseluruhan. Integritas, transparansi dan akuntabilitas tidak saja dilihat dari sisi lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi pemerintahan dalam negara, melainkan juga integritas, transparansi dan akuntabilitas individu-individu yang menjalankan fungsi penyelenggaraan negara dalam arti luas, baik di lembaga legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Tujuan tersebut tidak lain merupakan prinsip-prinsip yang ingin diwujudkan pula dalam kerangka good governance. Sehubungan dengan prinsip akuntabilitas dalam good governance tersebut, maka istilah akuntabilitas itu sendiri perlu dijelaskan maknanya. World Bank (dalam UNESCAP 2002) mendefinisikan akuntabilitas sebagai “the ability to call public officials, private employers, or service provider to account, requiring that they be answerable for their policies, action, and use of funds”.67 Sedangkan pengertian akuntabilitas menurut UNDP adalah “the obligation to (i) demonstrate that work has been conducted in accordance with agreed rules and standards and (ii) report fairly and accurately on performance results vis-à-vis mandated roles and/or plans”.68 Adapun menurut penjelasan resmi Pasal 3 angka 7 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, asas akuntabilitas didefinisikan sebagai asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
66
Ibid., hal. 4.
67
CUI-ITB, Departemen Teknik Geologi ITB, Keterkaitan Akuntabilitas dan Transparansi dalam Pencapaian Good Governance, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol. 15 No. , (2004), hal. 34 – 47. 68
Executive Board of the United Nations Development Programme and of the United Nations Population Fund, The UNDP accountability system: Accountability framework and oversight policy, (New York, United Nations, 2008), hal. 4.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
39
Secara umum, istilah good public governance mengandung makna tata kepemerintahan yang baik, pengelolaan pemerintahan yang baik, serta dapat pula diungkapkan sebagai penyelenggaraan pemerintahan yang baik, penyelenggaraan negara yang baik, ataupun administrasi negara yang baik. Istilah tata kepemerintahan yang baik (good public government) merupakan suatu konsepsi tentang penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, demokratis dan efektif. Selain sebagai
suatu
konsepsi
tentang
penyelenggaraan
pemerintahan,
tata
kepemerintahan yang baik juga merupakan suatu gagasan dan nilai untuk mengatur pola hubungan antara pemerintah, dunia usaha swasta, dan masyarakat.69 Salah satu upaya mewujudkan tata kepemerintahan yang baik adalah reformasi birokrasi. Birokrasi sebagai organisasi formal memiliki kedudukan dan cara kerja yang terikat dengan peraturan, memiliki kompetensi sesuai jabatan dan pekerjaan, memiliki semangat pelayanan publik, pemisahan tegas antara milik organisasi dan individu, serta sumber daya organisasi yang tidak bebas dari pengawasan eksternal.70 Dalam kerangka good governance, pelaporan kekayaan penyelenggara negara dapat dipandang sebagai upaya transparansi yang akan membawa kepercayaan masyarakat terhadap integritas penyelenggara negara. Selain itu, dengan adanya transparansi diharapkan maka partisipasi masyarakat dalam bentuk kontrol terhadap perilaku penyelenggara negara dapat pula terwujud. Bila terdapat misalnya kejanggalan dalam laporan harta kekayaan penyelenggara negara maka dengan mudah masyarakat dapat memberikan laporan akan adanya kejanggalan tersebut. Untuk kepentingan ini, tentu saja pelaporan tersebut harus dipublikasikan sedemikian rupa sehingga akses masyarakat terhadap informasi kekayaan penyelenggara negara tidak dibatasi. Dalam upaya menguji integritas calon penyelenggara negara, dalam praktek, pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara dijadikan sebagai instrumen untuk menilai integritas calon penyelenggara negara. Sebagaimana yang dilakukan oleh Komisi Yudisial dalam melakukan proses seleksi Hakim 69
Edmon Makarim, op.cit., hal. 56-57.
70
Ibid.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
40
Agung, pelaporan harta kekayaan dijadikan instrumen untuk menilai integritas calon yang akan dipilih. Laporan harta kekayaan yang menjadi syarat seleksi calon hakim agung setidaknya dapat memberikan gambaran rekam jejak calon dalam hal integritas. Calon yang ideal tentunya calon yang bisa menjelaskan perolehan harta kekayaannya dari sumber-sumber yang halal. Kewajiban pelaporan harta kekayaan bagi penyelenggara negara maupun calon penyelenggara negara dalam kerangka good governance dan upaya pemberantasan korupsi pada prinsipnya merupakan perwujudan prinsip noblesse oblige yang berarti kehormatan itu membawa kewajiban dan tanggung jawab. Penyelenggara negara yang memangku jabatan publik merupakan kedudukan yang dengan sendirinya membawa kewajiban dan tanggung jawab terhadap publik. Kekayaan penyelenggara negara tidak dapat dipandang semata-mata urusan privat dan menjadi privasi penyelenggara negara, melainkan harus dilihat dari sisi kepentingan publik sehingga masyarakat berhak mendapatkan informasi agar kontrol masyarakat terhadap pejabat publik bisa berjalan. 2. 4. Perbandingan Pelaporan Harta Kekayaan di Berbagai Negara 2. 4. 1. Amerika Serikat Sistem pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara mulai diperkenalkan di Amerika Serikat sejak tahun 1965 dan kemudian terus mengalami penyempurnaan dengan dikeluarkannya Government Sunshine Act pada tahun 1976, Ethics in Government Act pada tahun 1978, dan Ethics Reform Act pada tahun 1989.71 Sistem pelaporan harta kekayaan di Amerika merupakan salah satu sistem pelaporan yang dilakukan secara terpusat dengan tujuan utama untuk menjamin transparansi dan mencegah terjadinya konflik kepentingan. Tujuan sistem pelaporan tersebut diwujudkan dalam suatu sistem pelaporan harta kekayaan yang memisahkan antara fungsi pendaftaran dan identifikasi konflik kepentingan di satu sisi, dengan fungsi verifikasi dan deteksi kejahatan di sisi lain.72 71
OECD, op.cit., hal.29.
72
Ibid.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
41
Sistem pelaporan harta kekayaan di tingkat pemerintah federal Amerika Serikat berbeda cakupannya dengan sistem pelaporan di tingkat negara bagian. Sistem pelaporan pada ketiga cabang pemerintahan yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif juga terpisah. Office of Government Ethics (OGE) adalah lembaga yang diberi wewenang untuk melakukan pendaftaran dan pengumuman pada cabang kekuasaan eksekutif. Pada lembaga legislatif dikelola oleh Committee on Standards of Official Conduct DPR (The House of Representatives) dan oleh Select Committee on Ethics pada Senat. Sementara di lembaga yudikatif dilakukan oleh Committee on Codes of Conduct of the Judicial Conference.73 Sebagaimana disebutkan dalam situs resmi Office of Government Ethics (OGE), lembaga ini bertanggung jawab untuk:74
Promulgating and maintaining enforceable standards of ethical conduct for over four million civilian employees and uniformed service members in over 130 Executive Branch agencies. Overseeing a financial disclosure system that reaches more than 28,000 public filers and over 325,000 confidential filers. Ensuring that Executive Branch ethics programs are in compliance with laws and regulations . Providing education and training to the more than 5,700 ethics officials, as well as executive branch employees. Conducting outreach to the general public, the private sector, and civil society. Sharing good practices with, and providing technical assistance to, state, local, and foreign governments and international organizations
Di Amerika Serikat dianut sistem pelaporan harta kekayaan yang bersifat rahasia maupun sistem pelaporan yang terbuka bagi publik. Di tingkat pemerintah federal, pegawai level atas, pejabat yang dipilih dan pegawai pada komisi pemilihan diharuskan membuat laporan harta kekayaan yang terbuka bagi publik. Demikian pula para anggota dewan perwakilan maupun hakim-hakim federal juga harus mempublikasikan laporan harta kekayaannya. Adapun pegawai eksekutif yang tergolong pegawai level bawah yang tidak tergolong pengambil
73
Ibid., hal. 30.
74
http://www.oge.gov/About/Mission-and-Responsibilities/Mission---Responsibilities/, diakses tanggal 12 Oktober 2012.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
42
kebijakan, maka sistem pelaporan harta kekayaan mereka bersifat rahasia atau tidak dipublikasikan.75 Berdasarkan Ethics in Government Act, sanksi pidana berupa denda dan pidana penjara dapat dikenakan terhadap mereka yang secara sengaja memalsukan data pelaporan, atau dengan sengaja tidak melaporkan segala sesuatu yang wajib dilaporkan oleh penyelenggara negara. Jaksa Agung juga dapat mengajukan gugatan perdata terhadap mereka tersebut dan dapat dikenakan civil penalty dengan jumlah yang tidak melebihi USD 50.000,-.76 Publikasi laporan harta kekayaan penyelenggara negara di Amerika Serikat dapat dengan mudah diakses pada situs http://www.oge.gov/ yang dikelola oleh Office of Government Ethics. Dengan sistem pencarian yang sederhana dengan mudah dapat ditelusuri kekayaan seorang pejabat pemerintah. Hanya dengan memasukkan nama pejabat pemerintah maka database laporan harta kekayaan pejabat publik tersebut akan ditampilkan. Akses publik yang begitu luas terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara di Amerika Serikat tidak hanya menyajikan transparansi melainkan berdampak pada perbaikan sistem pelaporan. Sebagai contoh, salah satu lembaga swadaya masyarakat yakni Center for Public Integrity telah memantau sistem pelaporan harta kekayaan sejak tahun 1999 dan lembaga ini membuat sistem peringkat berdasarkan survei. Negara bagian Lousiana yang pada awalnya berada pada ranking terbawah dalam hal transparansi kemudian termotivasi untuk berbenah. Paket regulasi yang dikeluarkan oleh Gubernur Negara Bagian Bobby Jindal akhirnya membawa negara bagian itu ke peringkat paling atas di antara negara bagian lainnya di Amerika Serikat.77 2. 4. 2. Filipina Pengaturan mengenai pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara di Filipina tercantum dalam konstitusi negara. Disebutkan secara tegas pada Pasal XI ayat 17 konstitusi tahun 1987: 75
OECD, op.cit., hal. 30.
76
Ibid., hal. 58.
77
Ibid.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
43
“Section 17. A public officer or employee shall, upon assumption of office and as often thereafter as may be required by law, submit a declaration under oath of his assets, liabilities, and net worth. In the case of the President, the Vice-President, the Members of the Cabinet, the Congress, the Supreme Court, the Constitutional Commissions and other constitutional offices, and officers of the armed forces with general or flag rank, the declaration shall be disclosed to the public in the manner provided by law.”78 Sebelum pengaturan dalam konstitusi negara, salah satu langkah strategis pemberantasan korupsi di Filipina adalah dikeluarkannya Republic Act 1379 pada tanggal 18 Juni 1955 yakni undang-undang mengenai penyitaan untuk negara terhadap segala harta kekayaan yang diperoleh secara melawan hukum oleh pejabat publik. Harta kekayaan yang dimaksud adalah harta kekayaan yang diperoleh oleh pejabat publik selama dia menduduki jabatan yang tidak sebanding dengan gaji atau penghasilannya sebagai pejabat publik. 79 Untuk mengefektifkan pelaksanaan Republic Act 1379 tersebut, maka beberapa peraturan dikeluarkan termasuk di antaranya Republic Act 3019 tahun 1960 yang dikenal sebagai Anti-Graft and Corrupt Practices Act of the Phillipines. Pasal 7 undang-undang tersebut dengan tegas menyebutkan: “Section 7. Statement of Assets and Liabilities. Every public officer, within thirty days after assuming office and, thereafter, on or before the fifteenth day of April following the close of every calendar year, as well as upon the expiration of his term of office, or upon his resignation or separation from office, shall prepare and file with the office of the corresponding Department Head, or in the case of a Head of Department or Chief of an independent office, with the Office of the President, a true detailed and sworn statement of assets and liabilities, including a statement of the amounts and sources of his income, the amounts of his personal and family expenses and the amount of income taxes paid for the next preceding calendar year.”80
78
THE 1987 CONSTITUTION OF THE REPUBLIC OF THE PHILIPPINES, http://www.gov.ph/the-philippine-constitutions/the-1987-constitution-of-the-republic-of-thephilippines/the-1987-constitution-of-the-republic-of-the-philippines-article-xi/, diakses tanggal 1 November 2012. 79
Pelagio S. Apostol, The Experience of Asset Declaration in the Philippines, Office of the Ombudsman Republic of the Philippines. hal. 1. 80
Ibid.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
44
Berdasarkan undang-undang antigratifikasi dan antikorupsi itu pula, setiap pejabat publik diharuskan menyerahkan pernyataan di bawah sumpah mengenai rincian harta kekayaan pada saat menjabat, setiap tanggal 15 April selama ia menjabat, dan ketika selesai memangku jabatan. Laporan harta kekayaan tersebut meliputi sumber dan jumlah penghasilan, jumlah pengeluaran pribadi dan keluarga, dan bahkan jumlah pajak-pajak yang pejabat publik tersebut bayar setiap tahunnya.81 Ketentuan Pasal 7 Republic Act 3019 tahun 1960 selanjutnya diubah dan dijabarkan lebih luas dengan dikeluarkannya Republic Act 6713 tahun 1989 yang dikenal dengan nama Code of Conduct and Ethical Standards for Public Officials and Employees. Ketentuan inilah yang mengatur secara rinci mengenai pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara atau yang lebih populer di Filipina disebut dengan Statement of Assets, Liabilities and Net Worth, disingkat dengan SALN. Subjek pelaporan harta kekayaan sebagaimana diatur dalam Republic Act 6713 tahun 1989 tersebut secara eksplisit disebutkan pada Pasal 8 yang menyebutkan: “Section 8. Statements and Disclosure. - Public officials and employees have an obligation to accomplish and submit declarations under oath of, and the public has the right to know, their assets, liabilities, net worth and financial and business interests including those of their spouses and of unmarried children under eighteen (18) years of age living in their households.”82 Pengecualian dari subjek yang wajib menyampaikan laporan harta kekayaan tersebut sebagaimana diatur dalam aturan pelaksanaan undang-undang tersebut adalah tenaga honorer, pegawai kontrak atau pegawai tidak tetap yang bekerja di pemerintahan.83
81
Yvonne T.Chua, Statements of Assets and Net Worth: A Critical Tool to Combat Public Sector Corruption, http://www.transparencyreporting.net/index.php?option=com_content &view= article& id=74:stastateme-of-assets-and-net-worth-a-critical-tool-to-combat-publicsector-corruption&catid =44:stories&Itemid=79, diakses tanggal 31 Oktober 2012. 82
Pelagio S. Apostol, op. cit, hal. 2.
83
Ibid.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
45
Penyampaian laporan harta kekayaan harus dilakukan paling lambat dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah pertama kali memangku jabatan, paling lambat tanggal 30 April setiap tahun selama memangku jabatan, dan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah berhenti menjabat. Laporan harta kekayaan penyelenggara
negara
disampaikan
kepada
pimpinan
atau
kepala
personalia/administrasi pada unit kerja yang selanjutnya meneruskannya ke lembaga berwenang yang ditunjuk oleh undang-undang paling lambat tanggal 30 Juni setiap tahunnya. Lembaga yang berwenang tersebut antara lain National Office of Ombudsman yang bertugas menerima pelaporan bagi Presiden dan Wakil Presiden serta Ketua dan Komisioner pada Komisi Konstitusi, Civil Service Commision untuk pegawai negeri pada umumnya, Sekretaris Senat untuk para senator, Sekretaris Jenderal Dewan Perwakilan untuk para anggota Kongres, dan lembaga lain yang diberikan kewenangan untuk itu. Sejak tahun 2006 telah diperkenalkan Bank Data yang dirancang dan dikelola oleh Kantor Ombudsman untuk memantau pelaporan harta kekayaan penyelenggara di Filipina.84 Kelalaian
menyampaikan
laporan
harta
kekayaan
di
Filipina
berdasarkan ketentuan yang berlaku dapat dikenakan sanksi administratif maupun pidana. Sanksi tersebut secara tegas diatur dalam Pasal 11 Republic Act 6713 yang selengkapnya berbunyi: “Section. 11. Penalties. - (a) Any public official or employee, regardless of whether or not he holds office or employment in a casual, temporary, holdover, permanent or regular capacity, committing any violation of this Act shall be punished with a fine not exceeding the equivalent of six (6) months' salary or suspension not exceeding one (1) year, or removal depending on the gravity of the offense after due notice and hearing by the appropriate body or agency. If the violation is punishable by a heavier penalty under another law, he shall be prosecuted under the latter statute. Violations of Sections 7, 8 or 9 of this Act shall be punishable with imprisonment not exceeding five (5) years, or a fine not exceeding five thousand pesos (P5,000.00), or both, and, in the discretion of the court of competent jurisdiction, disqualification to hold public office.”85
84
Ibid., hal. 6-9.
85
Ibid., hal. 11.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
46
Sanksi yang tegas juga diatur dalam Pasal 9 (b) Republic Act 3019 yang selengkapnya berbunyi: “(b) Any public officer violating any of the provisions of Section 7 of this Act shall be punished by a fine of not less than one thousand pesos nor more than five thousand pesos, or by imprisonment not exceeding one year and six months, or by both such fine and imprisonment, at the discretion of the Court.”86 2. 4. 3. Georgia Pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara di Georgia diatur dalam Law on the Conflict of Interests and Corruption in the Public Service serta dalam Decree of the President of Georgia No. 22, yang dikeluarkan pada tanggal 14 Januari 2010. Penyelenggara negara yang diwajibkan untuk melaporkan harta kekayaannya berdasarkan Pasal 2 Law on the Conflict of Interests and Corruption in the Public Service adalah sebagai berikut: a. Presiden Georgia b. Anggota Parlemen Georgia c. Anggota dari Lembaga Perwakilan Daerah Otonomi Abkhasia dan Ajara. d. Kepala dan Wakil Kepala Pemerintahan Daerah Otonomi Abkhasia dan Ajara. e. Menteri dan Wakil Menteri Kabinet Georgia. f. Kepala dan Deputi Kanselir Pemerintah Georgia. g. Pimpinan Departemen, Kepala dan Deputi Inspektorat Georgia.87 Selanjutnya dalam Pasal 15 Law on the Conflict of Interests and Corruption in the Public Service disebutkan secara rinci bahwa yang harus dilaporkan oleh penyelenggara meliputi hal-hal sebagai berikut: a. Identitas penyelenggara negara mencakup nama, alamat, jabatan, dan nomor telepon serta identitas anggota keluarga yang bersangkutan. b. Harta kekayaan meliputi benda tetap dan benda bergerak yang dimiliki oleh penyelenggara negara maupun anggota keluarganya. 86
Ibid.
87
http://declaration.gov.ge/csb/faq.seam?cid=4336, diakses tanggal 1 November 2012.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
47
c. Saham-saham, simpanan/deposito di bank, serta uang kas yang jumlahnya melebihi 4.000 GEL. d. Keterlibatan penyelenggara negara atau anggota keluarganya pada suatu perusahaan atau di luar perusahaan di dalam maupun di luar negeri dengan menyebutkan penghasilan yang diperoleh dari perusahaan atau usaha lain tersebut. e. Setiap perjanjian atau kontrak yang nilainya melebihi 3000 GEL dengan menyebutkan segala sesuatu yang berhubungan dengan kontrak tersebut seperti pihak-pihak yang mengadakan perjanjian, objek perjanjian, hasil yang diperoleh dari kontrak tersebut, serta periode berakhirnya kontrak. f. Pemberian serta hadiah-hadiah yang diterima oleh penyelenggara negara.88 Pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara di Georgia sejak tanggal 1 Februari 2010 telah menggunakan sistem online submission atau paperless submission. Dengan sistem ini penyelenggara negara dapat dengan mudah menyampaikan laporan harta kekayaannya ke Civil Service Bureau. Laporan yang disampaikan kemudian diumumkan dan setiap orang dapat dengan mudah mengakses atau meminta salinan dari laporan harta kekayaan penyelenggara
negara.
Dengan
sistem
ini
tercipta
transparansi
yang
memungkinkan setiap orang dapat memantau kebenaran laporan harta kekayaan yang dilaporkan oleh penyelenggara negara. 2. 4. 4. Hong Kong Di Hong Kong, terdapat larangan bagi penyelenggara negara untuk melakukan segala jenis investasi yang kemungkinan menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas-tugas yang diemban oleh penyelenggara negara tersebut. Pedoman dan persyaratan mengenai pelaporan investasi oleh
88
Pasal 15 Law of Georgia on the Conflict of Interests and Corruption in Public Service.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
48
penyelenggara negara diatur dalam Surat Edaran Civil Service Bureau No. 8/98 tertanggal 18 September 1998.89 Berdasarkan edaran Biro Kepegawaian tersebut, penyelenggara negara yang diwajibkan melaporkan investasinya digolongkan dalam dua golongan (Tier), yakni Tier I dan Tier II. Paling tidak terdapat sebanyak 26 jabatan penting dalam pemerintahan yang termasuk Tier I misalnya Chief Secretary for Administration, Financial Secretary, Directors of Bureaux, dan Commissioner of Police, serta paling tidak sebanyak 2884 pegawai yang tergolong Tier II.90 Penyelenggara negara yang tergolong dalam Tier I maupun Tier II diwajibkan melaporkan investasi-investasi yang mereka lakukan setiap tahun bagi Tier I dan setiap dua tahun bagi Tier II. Yang dimaksud dengan investasi yang harus dilaporkan adalah meliputi segala jenis investasi termasuk kepemilikan saham dalam perusahaan, kepemilikan tanah dan bangunan di dalam maupun di luar negeri, kepemilikan sekuritas di bursa Hong Kong, perjanjian atau kontrak, serta segala jenis investasi penyelenggara negara yang diatasnamakan pada keluarga, kerabat, agen, perusahaan atau kuasanya. Dengan demikian, di Hong Kong, anggota keluarga penyelenggara negara tidak diharuskan melaporkan harta kekayaannya
sendiri
penyelenggara negara.
sebagaimana
kewajiban
yang
dibebankan
pada
91
Jauh sebelum pelaporan investasi penyelenggara negara diatur di Hong Kong, pada tahun 1971 telah disahkan undang-undang tentang pencegahan penyuapan yakni The Prevention of Bribery Ordinance yang sering disingkat POBO.92 Dalam POBO ini diatur tindak pidana baru, ketentuan pidana yang lebih berat serta wewenang penyelidikan yang lebih besar dibanding undang-undang sebelumnya. 89
Eva LIU dan Chau Pak Kwan, Declaration of Interests by Senior Civil Servants in Some Overseas Countries, Research and Library Services Division Legislative Council Secretariat of Hong Kong, hal. 11-12. 90
Ibid.
91
Ibid.
92
The Prevention of Bribery Ordinance (POBO) adalah perubahan dari aturan yang telah ada sebelumnya yakni Prevention of Corruption Ordinance (POCO) tahun 1948. Sebelum POCO, kriminalisasi terhadap penyuapan telah ada sejak tahun 1898 yang diatur dalam Misdemeanours Punishment Ordinance (MPO) yang merupakan produk hukum warisan penjajah Inggris.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
49
Ketentuan dalam Pasal 10 The Prevention of Bribery Act menyangkut kepemilikan harta kekayaan yang tidak dapat dijelaskan asal usulnya (unexplained property), ketentuan mana diperuntukkan khusus bagi pegawai pemerintah. Pasal 10 POBO menyebutkan bahwa merupakan suatu kejahatan jika seorang pegawai pemerintah memiliki standar hidup, kepemilikan atau penguasaan aset (harta kekayaan) yang tidak sebanding dengan penghasilannya sebagai pegawai pemerintah, kecuali pegawai pemerintah tersebut dapat membuktikan sebaliknya di pengadilan bahwa ia memperoleh kekayaan tersebut dengan cara yang sah.93 Selengkapnya bunyi Pasal 10 Hong Kong Prevention of Bribery Act adalah sebagai berikut: (1) Any person who, being or having been the Chief Executive or a prescribed officer- (Amended 14 of 2003 s. 17; 22 of 2008 s. 4) (a) maintains a standard of living above that which is commensurate with his present or past official emoluments; or (b) is in control of pecuniary resources or property disproportionate to his present or past official emoluments, shall, unless he gives a satisfactory explanation to the court as to how he was able to maintain such a standard of living or how such pecuniary resources or property came under his control, be guilty of an offence.94 Sejarah pemberantasan korupsi di Hong Kong tidak bisa dilepaskan dari peran Independent Commission Against Corruption yang sering disingkat ICAC pada February tahun 1974. Lembaga ini memiliki peran besar dalam menjadikan Hong Kong sebagai negara dengan tingkat korupsi yang cukup rendah. Berdasarkan data Transparancy International, Hong Kong berada pada peringkat 12 dari 183 Negara/Teritori dalam hal Indeks Persepsi Korupsi.95
93
Timothy H M TONG, Building a Public Sector Integrity System for Effective Governance: the Hong Kong Experience, sebagaimana dimuat dalam situs http://sc.icac.org.hk/gb/www.icac.hk/en/ services_and_resources/sa/bpsis/index.html, diakses tanggal 10 November 2012. 94
http://hklii4.cs.hku.hk/hk/legis/en/ord/201/s10.html, diakses tanggal 10 November
2012. 95
Indeks Persepsi Korupsi 2011 sebagaimana dimuat dalam situs resmi Transparency International, http://www.transparency.org/country#HKG, diakses tanggal 10 November 2012.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
50
2. 4. 5. Romania Pelaporan harta kekayaan merupakan bagian dari kebijakan anti korupsi yang lebih luas di Romania. Pemerintah Romania mengemukakan sejumlah alasan dalam merancang sebuah sistem pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara, yakni:96 -
Menjalankan kebijakan menyangkut konflik kepentingan (conflict of interest policy).
-
Meningkatkan kepercayaan dan akuntabilitas publik.
-
Memenuhi sejumlah persyaratan dalam kerangka kerjasama Uni Eropa.
-
Menjamin transparansi dalam pelaksanaan fungsi-fungsi publik.
-
Menerapkan rezim hukum inkompatibilitas, dan
-
Meningkatkan upaya pemberantasan korupsi melalui sarana-sarana administratif.
Pelaporan harta kekayaan pertama kali diperkenalkan pada bulan Oktober 1996 dan secara perlahan berkembang hingga saat ini. Pada awalnya pelaporan harta kekayaan tersebut tidak dipublikasikan, hingga kemudian pada tahun 2003 laporan tersebut diumumkan namun isi pelaporan dibuat lebih sederhana. Adanya tekanan dari pihak luar seperti Council of Europe dan European Union, serta adanya desakan dari dalam negeri sendiri untuk mewujudkan transparansi dan civil society menjadikan pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara sebagai isu penting yang perlu diwujudkan oleh pemerintah Romania.97 Pada bulan Mei 2007 didirikan lembaga yang diberi nama Agentia Nationala De Integritate (ANI) atau National Integrity Agency (NIA), yang merupakan lembaga administratif yang mandiri yang salah satu tugasnya adalah memeriksa pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara. Secara rinci tugas NIA adalah sebagai berikut:98
96
OECD, op.cit., hal. 115-125.
97
Ibid.
98
Ibid.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
51
-
Mengumpulkan Laporan Harta Kekayaan.
-
Menyimpan Laporan Harta Kekayaan.
-
Menjamin akses publik terhadap Laporan Harta Kekayaan.
-
Mengontrol penyerahan Laporan Harta Kekayaan.
-
Menjelaskan pedoman pengisian formulir pelaporan harta kekayaan kepada para pejabat publik.
-
Memberikan nasehat berdasarkan permintaan pejabat publik dalam hal pelaporan harta kekayaan.
-
Memeriksa materi pelaporan harta kekayaan.
-
Mengajukan
tuntutan
ke
pengadilan
berupa
permohonan
pemberian sanksi bagi penyelenggara negara yang tidak memenuhi kewajiban pelaporan. -
Memberitahukan kepada lembaga yang berwenang untuk menyelidiki adanya tindakan yang diduga merupakan tindak pidana, dan
-
Menjelaskan hasil-hasil penelitian serta menyusun statistik tahunan menyangkut pelaporan harta kekayaan.
Adapun kewenangan yang dimiliki oleh NIA adalah: -
Mengakses dokumen-dokumen atau catatan-catatan pada kantor pemerintah.
-
Meminta
penjelasan
dari
penyelenggara
negara
yang
menyampaikan laporan serta meminta keterangan dari orang lain. -
Meminta pendapat ahli setelah terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari penyelenggara negara yang kekayaannya diperiksa, dan
-
Memberikan denda bagi penyelenggara negara yang sedang diperiksa.
Pada setiap instansi publik di Romania harus ditunjuk seseorang yang bertanggung jawab untuk pelaporan harta kekayaan pada instansi yang bersangkutan. Orang yang ditunjuk ini merupakan petugas yang bekerja sama
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
52
dengan NIA dalam mengelola pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara. Tanggung jawab yang diemban oleh pengelola pelaporan tersebut antara lain:99 -
menerima dan mendaftarkan laporan kekayaan.
-
mencatat laporan harta kekayaan dalam daftar tersendiri yang diberi nama “Declaration of Asset Registry” dan “Declaration of Interest Registry”.
-
menampilkan pelaporan harta kekayaan pada website lembaga tempatnya bertugas.
-
mengirimkan tanda terima dan salinan laporan harta kekayaan ke National Integrity Agency, yang kemudian ditampilkan dalam website NIA dalam waktu tiga puluh hari setelah pelaporan diterima.
-
mengumumkan pada website instansi atau pada papan informasi nama-nama serta jabatan penyelenggara negara wajib lapor harta kekayaan namun tidak melaksanakan kewajibannya dalam waktu yang ditentukan.
-
menyediakan konsultasi dan bimbingan kepada wajib lapor harta kekayaan.
Di Romania, terdapat sejumlah 300.000 pejabat publik yang diwajibkan melaporkan harta kekayaannya setiap tahunnya. Jumlah tersebut ditaksir sebesar 80 % dari keseluruhan jumlah pegawai yang bekerja pada sektor publik. Pelaporan harta kekayaan meliputi pula isteri dan anak-anak yang masih ditanggung dari wajib lapor yang bersangkutan.100 National Integrity Agency berwenang memberikan sanksi berupa denda sebesar RON 100 hingga RON 500 terhadap penyelenggara negara yang terlambat atau lalai menyerahkan laporan pada waktu yang telah ditentukan. Jumlah denda yang sama dapat diberikan bagi penyelenggara negara yang tidak dapat memberikan informasi yang diminta oleh Pengawas yang ditunjuk. Pada tahun
99
Ibid.
100
Ibid.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
53
2009 sejumlah tiga ratus hakim dan jaksa serta dua orang menteri dikenakan denda.101 Setelah sistem pelaporan harta kekayaan di Romania hampir dua tahun berjalan, pada tanggal 14 April 2010 beberapa bagian penting dari undang-undang yang mengatur wewenang NIA dinyatakan tidak konstitusional oleh Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court). Mahkamah Konstitusi Romania menganggap bahwa NIA bertindak selaku peradilan paralel. NIA juga dianggap melanggar hak privacy (kerahasiaan) para penyelenggara negara, namun Mahkamah Konstitusi sendiri tidak menjelaskan bagaimana privacy seseorang tersebut dilanggar.102 Menanggapi keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut, pemerintah dan lembaga perwakilan di Romania kembali menyusun undang-undang yang baru. Dengan melalui perdebatan yang cukup panjang, akhirnya lembaga perwakilan mengesahkan aturan yang baru pada tanggal 1 September 2010.103 Setelah diberikan gambaran mengenai praktek pelaporan harta kekayaan pada kelima negara tersebut di atas, maka pada bab selanjutnya diuraikan sistem pelaporan harta kekayaan menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme serta kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam hal pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara.
101
Ibid.
102
Ibid.
103
Ibid.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
25
BAB 3 KEWENANGAN KPK DALAM PELAPORAN DAN PENGUMUMAN HARTA KEKAYAAN PENYELENGGARA NEGARA
3.1. Sistem Pelaporan Harta Kekayaan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi Kolusi dan Nepotisme Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi Kolusi dan Nepotisme lahir dengan dilatarbelakangi oleh semangat reformasi pada tahun 1998 yang mengusung isu anti Korupsi Kolusi dan Nepotisme atau yang lebih populer disingkat KKN. Undang-undang ini pada pokoknya memuat ketentuan-ketentuan yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme yang khusus ditujukan kepada para penyelenggara negara dan pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara. Untuk mencegah korupsi, kolusi dan nepotisme, maka dalam UndangUndang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi Kolusi dan Nepotisme secara garis besar disebutkan asas-asas umum penyelenggaraan negara yang meliputi asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, dan asas akuntabilitas, selain itu juga disebutkan kewajiban-kewajiban penyelenggara negara. Salah satu kewajiban penyelenggara negara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 ayat (2) adalah bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama dan setelah menjabat, dan kewajiban lain yang disebutkan pada ayat (3) adalah melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum dan setelah menjabat. Dengan adanya kewajiban pelaporan harta kekayaan yang disebutkan secara tegas dalam Pasal 4 tersebut, maka undang-undang ini menjadi payung hukum yang kuat untuk adanya sebuah sistem pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara. Ketentuan mengenai pelaporan harta kekayaan dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999
54 Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
55
kemudian dijabarkan oleh beberapa produk hukum yang merupakan pelaksanaan dari ketentuan Undang-Undang ini. Sistem pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara sebagaimana yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 28 Tahun
1999
Tentang
Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi Kolusi dan Nepotisme dan berbagai peraturan pelaksanaannya paling tidak memuat mengenai subjek pelaporan, objek yang dilaporkan, mekanisme pelaporan, dan sanksi. 3.1.1. Subjek Pelaporan Subjek pelaporan atau biasa juga disebut dengan wajib lapor harta kekayaan adalah penyelenggara negara yang oleh undang-undang dibebani kewajiban untuk melaporkan harta kekayaannya. Kewajiban ini sebagai perwujudan asas transparansi dan akuntabilitas penyelenggara negara. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, penyelenggara negara meliputi:104 1. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara; 2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara; 3. Menteri; 4. Gubernur; 5. Hakim; 6. Pejabat negara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku; dan 7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Selanjutnya dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “Pejabat negara yang lain” dalam
104
Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme, Pasal 2.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
56
ketentuan pasal 2 tersebut misalnya Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh, Wakil Gubernur, dan Bupati/Walikotamadya. Sedangkan yang dimaksud “pejabat lain yang memiliki fungsi strategis” adalah pejabat yang tugas dan wewenangnya di dalam melakukan penyelenggaraan negara rawan terhadap praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang meliputi:105 1. Direksi, Komisaris, dan pejabat struktural lainnya pada Badan usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah; 2. Pimpinan Bank Indonesia dan Pimpinan Badan Penyehatan Perbankan Nasional; 3. Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri; 4. Pejabat Eselon 1 dan pejabat lain yang disamakan di lingkungan sipil, militer, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia; 5. Jaksa; 6. Penyidik; 7. Panitera Pengadilan; dan 8. Pemimpin dan bendaharawan proyek. Ketentuan mengenai subjek pelaporan atau wajib lapor harta kekayaan sebagaimana dirumuskan pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme serta penjelasan pasal 2 tersebut rupanya masih membuka kemungkinan bertambahnya jabatan-jabatan yang diwajibkan untuk melaporkan harta kekayaan. Hal ini penting mengingat dinamika ketatanegaraan selalu membuka peluang untuk dibentuknya lembaga-lembaga baru yang dengan sendirinya melahirkan jabatan-jabatan baru pula. Bisa juga terjadi lembagalembaga yang dulunya ada kemudian dibubarkan atau dilebur ke lembaga negara lain sehingga akan mengurangi jumlah jabatan yang ada. Sebaiknya rincian mengenai subjek pelaporan sedapat mungkin diatur dalam keputusan Komisi
105
Ibid., Penjelasan pasal 2
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
57
Pemberantasan Korupsi sehingga dengan jelas dapat tergambar siapa saja yang dibebani kewajiban untuk melaporkan harta kekayaannya. Dalam
rangka
menindaklanjuti
Kesepakatan
Bersama
antara
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara Dengan Komisi Pemberantasan Korupsi tentang Pencegahan Korupsi Melalui Sistem Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur tanggal 25 Mei 2004, dan berdasarkan diktum Pertama dan Kedua
Instruksi
Presiden Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Percepatan
Pemberantasan Korupsi, maka di samping penyelenggara negara yang diwajibkan melaporkan harta kekayaannya sebagaimana yang ditetapkan pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, maka Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara melalui Surat Edaran Nomor SE/03/M.PAN/01/2005 mewajibkan setiap penyelenggara negara yang memangku jabatan-jabatan di bawah ini untuk menyampaikan laporan harta kekayaan. Jabatan yang dimaksud adalah:106 1.
Pejabat Eselon II dan pejabat lain yang disamakan di lingkungan instansi pemerintah dan atau lembaga negara;
2.
Semua Kepala Kantor di lingkungan Departemen Keuangan;
3.
Pemeriksa Bea Cukai;
4.
Pemeriksa Pajak;
5.
Auditor;
6.
Pejabat yang mengeluarkan perizinan;
7.
Pejabat/Kepala Unit Pelayanan Masyarakat; dan
8.
Pejabat pembuat regulasi.
3.1.2. Objek Yang Wajib Dilaporkan Berdasarkan sistem pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi Kolusi dan Nepotisme yang pelaksanaannya diatur dalam Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi Republik
106
Surat Edaran Menteri Pendayagunaan SE/03/M.PAN/01/2005 tanggal 20 Januari 2005.
Aparatur
Negara
Nomor
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
58
Indonesia Nomor:Kep.07/KPK/02/ 2005 Tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman Dan Pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara, objek yang harus dilaporkan meliputi:107 1.
Harta Kekayaan: a. Harta Tidak Bergerak (Tanah dan Bangunan) b. Harta Bergerak: -
Alat transportasi dan mesin lainnya, yakni segala jenis alat transportasi dan mesin lainnya yang dimiliki baik untuk keperluan pribadi, untuk keperluan usaha, namun tidak sebagai barang dagangan.
-
Peternakan, perikanan, perkebunan, pertanian, kehutanan, pertambangan dan usaha lainnya. Termasuk dalam kelompok ini seluruh ternak, ikan, tanaman perkebunan, tanaman pertanian, kandungan hutan, dan kandungan tambang yang terkandung di dalam /di atas tanah yang dimiliki/dikuasai yang merupakan harta kekayaan milik penyelenggara negara/isteri/suami/anak yang masih dalam tanggungan, termasuk hasil-hasil produksi dan barang dagangan yang belum dijual.
-
Harta bergerak lainnya meliputi Logam Mulia (emas batangan,
emas
perhiasan,
platina
batangan,
platina
perhiasan, logam mulia lainnya), batu mulia (intan, berlian, batu mulia lainnya), barang-barang seni dan antik, serta benda bergerak lainnya (mencakup semua benda bergerak lainnya yang dimiliki antara lain peralatan elektronik, furniture, alat musik/olah raga dan sebagainya)
107
Rincian objek yang wajib dilaporkan sebagaimana termuat dalam Formulir Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara Model A dan B beserta petunjuk teknis pengisiannya yang dikeluarkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Formulir maupun petunjuk teknis pengisiannya dapat diunduh melalui situs resmi KPK.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
59
c. Surat Berharga. Termasuk dalam kelompok ini semua Obligasi, Saham, penyertaan modal bukan bentuk saham, dan bentuk Surat Berharga lainnya contoh: Reksadana, Future, Opsi, dll. d. Uang Tunai, Deposito, Giro, Tabungan, dan setara Kas lainnya. e. Piutang f. 2.
Hutang
Penghasilan Penyelenggara Negara - Penghasilan dari jabatan - Penghasilan dari kekayaan yang dimiliki - Penghasilan dari profesi
3.
Penghasilan Suami/Isteri Penyelenggara Negara yang diperoleh dari pekerjaan atau profesinya.
4.
Pengeluaran penyelenggara negara yang meliputi: - Konsumsi Rumah Tangga, mencakup pengeluaran untuk kebutuhan pangan, sandang, air, listrik, telepon, kosmetika, perumahan, dan lain-lain sehubungan dengan kebutuhan anggota rumah tangga. - Transportasi, mencakup pengeluaran untuk transportasi. Tidak termasuk di sini pengeluaran untuk pembelian alat transportasi. - Pendidikan,
mencakup
pengeluaran
untuk
keperluan
uang
sekolah/kursus, buku-buku pelajaran, alat-alat tulis dan lain-lain untuk keperluan pendidikan anggota keluarga. - Kesehatan, mencakup pengeluaran untuk keperluan kesehatan anggota keluarga, misalnya : biaya dokter, obat-obatan, dan lainlain. Tidak termasuk disini pengeluaran untuk membeli alat-alat kesehatan. - Rekreasi, mencakup seluruh pengeluaran untuk keperluan rekreasi anggota keluarga. - PPh Pribadi, mencakup pengeluaran untuk membayar pajak penghasilan.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
60
- Pajak lainnya, mencakup seluruh pengeluaran untuk pembayaran pajak lainnya seperti PBB, pajak kendaraan, dan sebagainya. - Pengeluaran lainnya. Segala hal-hal yang harus dilaporkan sebagaimana diuraikan di atas termuat dalam bentuk formulir yang harus diisi oleh penyelenggara negara untuk kemudian diserahkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Formulir LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara model A diisi oleh penyelenggara negara yang baru pertama kali melaporkan harta kekayaannya, sedangkan formulir LHKPN model B merupakan formulir yang diisi penyelenggara negara yang sudah pernah mengisi Formulir LHKPN Model A dan mengalami promosi/mutasi/pensiun.108 Dari rincian objek yang harus dilaporkan sebagaimana tersebut di atas, terlihat bahwa tidak ada batasan nilai suatu barang, kas, hutang, maupun piutang yang wajib atau tidak wajib dilaporkan. Berdasarkan formulir LHKPN yang diterbitkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, segala jenis harta kekayaan tanpa memandang berapa nilainya wajib dilaporkan. Hal ini potensial menimbulkan kesulitan pengisian oleh penyelenggara negara, apalagi jika pelaporan tersebut harus disertai dengan bukti-bukti pendukung semisal kuitansi pembelian atau faktur dari suatu barang. Sebagai contoh, jika perabot-perabot rumah tangga semisal alat-alat dapur, alat-alat olah raga, alat-alat musik yang nilainya tidak begitu besar mesti juga dilaporkan, maka tentu saja dalam praktek bisa menimbulkan kesulitan untuk menyebut semua barang-barang yang nilainya tidak signifikan tersebut. 3.1.3. Mekanisme Pelaporan Secara garis besar, ada tiga tahapan penting dalam mekanisme pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara yakni tahap pendaftaran, pengumuman dan pemeriksaan.
108
http://www.kpk.go.id/modules/edito/content_faq.php?id=16, Desember 2012.
diakses
tanggal
6
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
61
3.1.3.1. Pendaftaran Pendaftaran dilakukan setelah penyelenggara negara mengisi Formulir LHKPN Model A yang dilengkapi dengan data-data pendukung. Penyelenggara Negara dapat menyampaikan LHKPN kepada KPK baik secara langsung maupun lewat pos. Customer Service LHKPN akan memberikan bukti tanda terima terkait penyerahan LHKPN kepada Penyelenggara yang datang secara langsung, atau mengirimkan tanda terima tersebut lewat pos. KPK akan melakukan pengecekan terhadap seluruh LHKPN yang diterima terkait ketepatan pengisian dan kelengkapan dokumen pendukung. Apabila formulir yang diterima tidak tepat pengisiannya ataupun terdapat dokumen pendukung yang belum lengkap, maka KPK akan menyurati Penyelenggara Negara untuk mengoreksi isian formulir dan melengkapi dokumen pendukung. Perlu diperhatikan bahwa dokumen yang belum lengkap dan tidak tepat tidak akan diproses. Untuk melengkapi dokumen dan memberikan koreksi pengisian, Penyelenggara Negara dapat menyampaikannya secara langsung ke Customer Service ataupun lewat pos.109 3.1.3.2. Pengumuman Pengumuman laporan harta kekayaan penyelenggara negara merupakan perwujudan dari prinsip keterbukaan (transparansi) dalam teori good governance. Keterbukaan menurut P.Den Haan sebagaimana dikutip oleh Philipus M. Hadjon merupakan suatu sikap mental berupa kesediaan untuk memberi informasi dan kesediaan untuk menerima pendapat pihak lain. Hal ini sangat penting artinya bagi pelaksanaan pemerintahan yang baik dan demokratis.110 Pengumuman sebagai perwujudan prinsip transparansi sekaligus akan membuka partisipasi warga masyarakat untuk memberikan masukan bagi Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai pengelola LHKPN. Laporan harta kekayaan yang
109
Pemrosesan dan Pengumuman LHKPN sebagaimana dalam situs http://www.kpk.go.id/ modules/edito/content_lhkpn.php?id=33, diakses pada tanggal 7 Desember 2012. 110
Philipus M. Hadjon, Keterbukaan Pemerintahan dan Tanggung Gugat Pemerintah dalam Seminar Hukum Nasional Ke VII: Reformasi Hukum Menuju Masyarakat Madani, (Jakarta, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman RI, 1999), hal. 269.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
62
diumumkan setiap saat dapat dikontrol kebenarannya oleh masyarakat, misalkan bila ditemukan adanya informasi yang menurut masyarakat tidak benar, maka dengan mudah dapat dilakukan koreksi melalui saluran partisipasi publik yang disediakan oleh pengelola LHKPN. Dalam hal pengumuman, dokumen LHKPN yang sudah lengkap akan diproses dan akan diumumkan pada Tambahan Berita Negara (TBN) dan diberi Nomor Harta Kekayaan (NHK). Penyelenggara Negara wajib mengingat NHK untuk kebutuhan pelaporan berikutnya. TBN dan Poster Pengumuman akan disampaikan kepada Penyelenggara Negara melalui instansi masing-masing Penyelenggara Negara. Penyelenggara Negara wajib menempelkan Poster Pengumuman tersebut pada media pengumuman di kantor/instansi Penyelenggara Negara dan menyampaikan lembar pemberitahuan pengumuman LHKPN di instansi ke KPK.111 Berdasarkan Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia Nomor:Kep.07/KPK/02/ 2005 Tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman Dan Pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara, media yang dapat digunakan oleh KPK untuk keperluan pengumuman LHKPN adalah:112 a.
Web site KPK dengan format khusus atau;
b.
Papan pengumuman pada kantor KPK atau;
c.
Papan pengumuman pada instansi dimana PN yang bersangkutan bekerja dan atau;
d.
Koran Harian Nasional atau harian lokal ditingkat kabupaten dan atau Provinsi dimana PN berdomisili.
Agar publik dapat dengan mudah mengakses laporan harta kekayaan penyelenggara negara, Komisi Pemberantasan Korupsi telah mengumumkannya dalam Anti Corruption Clearing House (http://acch.kpk.go.id/), sebuah situs 111
Ibid.
112
Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia Nomor:Kep.07/KPK/02/ 2005 Tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman Dan Pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara, Pasal 5.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
63
khusus yang dirancang sebagai sumber pengetahuan dan informasi yang terdistribusi secara terbuka untuk publik (public knowledge management) dalam upaya membangun semangat, visi, dan budaya antikorupsi. 3.1.3.3. Pemeriksaan Sebagai perwujudan ketentuan pasal 13 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, maka KPK berwenang melakukan pemeriksaan terhadap LHKPN dari penyelenggara negara sebelum, selama, dan setelah penyelenggara negara yang bersangkutan menjabat. Pemeriksaan sebagaimana yang dimaksud tersebut terdiri dari: a.
Pemeriksaan Administrasi, yakni serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk memeriksa kebenaran material isian formulir, keabsahan bukti pendukung/dokumen kepemilikan harta kekayaan.
b.
Pemeriksaan Substansi, adalah serangkaian kegiatan yang mencakup analisis terhadap harta kekayaan sebelum, selama dan sesudah menjabat, asal usul harta kekayaan, analisis perbandingan antara penghasilan dan pengeluaran, analisis riwayat jabatan dan analisis perkembangan kekayaan, disertai kegiatan lain meliputi klarifikasi, pemeriksaan fisik dan konfirmasi.
c.
Pemeriksaan Khusus, yakni pemeriksaan lanjutan berdasarkan temuan dari pemeriksaan substansi, serta informasi yang diperoleh dari pengaduan masyarakat, untuk menemukan kebenaran tentang adanya harta kekayaan yang diperoleh secara tidak wajar dan menunjukkan adanya indikasi tindak pidana korupsi.113
Kegiatan pemeriksaan meliputi:114 a.
Meneliti dan menguji keabsahan dokumen/bukti kepemilikan harta kekayaan penyelenggara negara;
113
Ibid., Pasal 6.
114
Ibid., Pasal 7.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
64
b.
Mencari dan menemukan semua data dan informasi berkaitan dengan harta kekayaan penyelenggara negara dan keluarganya baik yang dilaporkan dalam LHKPN maupun yang disembunyikan;
c.
Meminta
keterangan
kepada
perorangan,
korporasi,
instansi
pemerintah dan masyarakat yang berhubungan dengan harta kekayaan PN dan keluarganya d.
Melakukan
pemotretan
dan
atau
memisualisasikan
obyek
pemeriksaan; 3.1.4. Sanksi Persoalan sanksi merupakan hal penting dalam suatu sistem pelaporan kekayaan penyelenggara negara. Adanya pengaturan sanksi dalam undang-undang serta penegakan terhadap sanksi tersebut akan menimbulkan ketaatan terhadap penyelenggara negara untuk melaporkan harta kekayaannya secara jujur Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme menyatakan bahwa Setiap Penyelenggara Negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1, 2, 3, 4, 5, atau 6 dikenakan sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Ketentuan Pasal 5 yang dirujuk oleh Pasal 20 ayat (1) tersebut pada ayat 2 dan 3 menegaskan kewajiban penyelenggara negara yakni bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat serta melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum dan setelah menjabat.115 Pelanggaran yang mungkin terjadi sehubungan dengan ketentuan Pasal 5 ayat 2 dan 3 tersebut dapat berupa tidak melaporkan harta kekayaannya, tidak memperbaharui laporan harta kekayaan, tidak melaporkan kekayaan dengan benar, tidak mengumumkan laporan harta kekayaan, atau tidak bersedia setidaknya tidak kooperatif untuk diperiksa harta kekayaannya.
115
Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme, Pasal 20 ayat (1) jo. Pasal 5.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
65
Pakar Hukum Satya Arinanto pernah mempertanyakan efektifitas UndangUndang Nomor 28 Tahun 1999 karena tidak tegas mencantumkan sanksi bagi penyelenggara negara yang tidak melapor dan mengumumkan kekayaan. Menurutnya, meski Pasal 20 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 menetapkan sanksi administratif dan pidana, namun sanksi yang dimaksud terasa mengambang karena hanya merujuk pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Karena itu, Arinanto menyarankan agar Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 direvisi dengan memasukkan sanksi pidana bagi penyelenggara negara yang menolak lapor kekayaan, namun sebagai terobosan jangka pendek dapat dicari pasal-pasal KUHP yang dapat dipergunakan untuk menyelesaikan persoalan ketiadaan sanksi pidana yang tegas.116 Banyak kalangan meyakini bahwa Pasal 216 KUHP bisa digunakan sebagai dasar bagi langkah hukum yaitu melalui pengaduan secara pidana terhadap penyelenggara negara yang tidak mau melaporkan harta kekayaannya. 117 Pasal 216 KUHP tersebut menyebutkan bahwa: 118 “ (1) Barang siapa dengan sengaja tidak menaati suatu perintah atau suatu permintaan yang dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan oleh seorang pegawai negeri yang ditugaskan untuk menjalankan sesuatu pengawasan atau oleh pegawai negeri yang ditugaskan atau yang dinyatakan berwenang untuk melakukan penyelidikan atau penyidikan tindak pidana, demikian juga barang siapa dengan sengaja merintangi, menghambat, atau menggagalkan sesuatu tindakan yang dilakukan oleh salah seorang pegawai negeri tersebut untuk menjalankan sesuatu peraturan perundang-undangan, dipidana dengan pidana penjara selamalamanya empat bulan dan dua minggu atau dengan pidana denda setinggitingginya sembilan ribu rupiah. (2) Disamakan dengan pegawai negeri seperti yang dimaksudkan dalam bagian pertama dari ayat yang terdahulu, yakni setiap orang berdasarkan peraturan perundang-undangan ditugaskan untuk menjalankan sesuatu tugas umum, baik secara tetap maupun sifatnya sementara.”
116
Deputi Pencegahan dan Direktorat Penelitian Pemberantasan Korupsi, op.cit., hal. 293.
dan Pengembangan Komisi
117
Ibid., hal. 100.
118
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta: Bumi Aksara, Cet. 22,
2003).
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
66
Menurut P.A.F. Lamintang, et.al., ketentuan pidana yang dirumuskan dalam Pasal 216 ayat (1) KUHP mengatur dua macam tindak pidana, yakni:119 a.
Kesengajaan tidak menaati suatu perintah atau permintaan yang dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan oleh seorang pegawai negeri yang ditugaskan untuk menjalankan sesuatu pengawasan atau oleh seorang pegawai negeri yang ditugaskan atau yang dinyatakan berwenang melakukan penyelidikan atau penyidikan terhadap tindak pidana-tindak pidana;
b. Kesengajaan merintangi, menghambat atau menggagalkan sesuatu tindakan yang dilakukan oleh salah seorang dari pegawai negeri tersebut untuk menjalankan sesuatu peraturan perundang-undangan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tindak pidana kategori pertama yang diatur dalam Pasal 216 ayat (1) KUHP terdiri atas unsur subjektif berupa opzettelijk atau dengan sengaja dan unsur objektifnya adalah tidak menaati suatu perintah atau permintaan yang dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan oleh seorang pegawai negeri yang ditugaskan untuk menjalankan sesuatu pengawasan atau oleh seorang pegawai negeri yang ditugaskan atau dinyatakan berwenang melakukan penyelidikan atau penyidikan terhadap tindak pidana.120 Dengan memperhatikan penjelasan yang terdapat dalam memorie van toelichting yang menyatakan bahwa opzettelijk harus diartikan sebagai willens en wetens, untuk dapat menyatakan seorang pelaku terbukti dengan sengaja melakukan tindak pidana jenis pertama sebagaimana yang diatur dalam Pasal 216 ayat (1) KUHP, maka yang harus dibuktikan adalah:121 1. Pelaku telah menghendaki untuk tidak menaati suatu perintah atau permintaan yang dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan oleh pegawai negeri yang dimaksudkan dalam bagian pertama dari Pasal 216 ayat (1) KUHP dan Pasal 216 ayat (2) KUHP; 119
P.A.F. Lamintang dan Teo Lamintang, Delik-Delik Khusus: Kejahatan Terhadap Kepentingan Hukum Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, Cetakan Pertama 2010), hal. 642. 120
Ibid., hal. 643.
121
Ibid., hal. 643-644.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
67
2. Pelaku mengetahui bahwa perintah atau permintaan itu telah dilakukan oleh para pegawai negeri seperti yang dimaksudkan di atas; 3. Pelaku mengetahui bahwa perintah atau permintaan itu telah dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan; 4. Pelaku mengetahui bahwa yang mengeluarkan perintah atau yang mengajukan permintaan adalah salah seorang dari pegawai negeri: a. Yang ditugaskan untuk melakukan pengawasan, atau b. Yang ditugaskan untuk melakukan penyelidikan atau penyidikan terhadap tindak pidana, atau c. Yang dinyatakan berwenang untuk melakukan penyelidikan atau penyidikan terhadap tindak pidana, atau d. Orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan ditugaskan untuk menjalankan sesuatu tugas umum, baik yang ditugaskan secara tetap maupun yang ditugaskan untuk sementara. Dari unsur-unsur yang harus dibuktikan tersebut, terlihat bahwa ketidaktaatan penyelenggara negara untuk melaporkan harta kekayaannya jelas merupakan kesengajaan dari penyelenggara negara untuk tidak menaati suatu perintah atau permintaan yang dilakukan berdasarkan peraturan perundangundangan. Perintah atau permintaan tersebut juga jelas dari pegawai negeri, dalam hal ini adalah Komisi Pemberantasan Korupsi yang menjalankan tugas umum, tugas pengawasan atau bahkan tugas penyelidikan yang wewenangnya jelas telah diatur dalam undang-undang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Pasal 216 ayat (1) dapat diterapkan untuk memberikan sanksi pidana bagi penyelenggara negara yang tidak melaporkan atau tidak memperbaharui pelaporan harta kekayaannya. Dalam hal penyelenggara negara tidak melaporkan harta kekayaannya dengan jujur yakni dengan menyembunyikan kekayaan tertentu, mengubah asal usul kekayaan dari yang sebenarnya, atau mengurangi nominal kekayaan tertentu patut pula dipertimbangkan untuk diterapkan tindak pidana “pemalsuan surat” sebagaimana diatur dalam Pasal 263 dan 264 KUHP.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
68
Bila tindakan penyelenggara negara melaporkan harta kekayaan dengan tidak jujur dilakukan sebagai suatu kesengajaan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, maka perbuatan tersebut dapat memenuhi kualifikasi tindak pidana pencucian uang sebagaimana diatur pada Pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.122 Yunus Husein berpendapat bahwa pasal ini bisa saja diterapkan dalam hal penyelenggara negara melaporkan LHKPN secara tidak jujur dengan
menyembunyikan atau
menyamarkan asal usul harta kekayaannya yang misalnya bersumber dari korupsi.123 Jadi meskipun sanksi yang ditegaskan pada Pasal 20 ayat (1) UndangUndang Nomor 28 Tahun 1999 hanya berupa sanksi administratif, namun sangat terbuka kemungkinan untuk menerapkan sanksi pidana bagi penyelenggara negara yang tidak melaporkan harta kekayaan, yang tidak memperbaharui pelaporan, atau melaporkan harta kekayaannya secara tidak jujur. Penegakan sanksi administratif maupun pidana mutlak perlu untuk memastikan ketaatan penyelenggara negara dalam hal pelaporan harta kekayaan. Moch. Jasin menegaskan bahwa penguatan sanksi termasuk pemberian sanksi pidana dan denda pada Pasal 20 ini perlu dilakukan bila kelak ada perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999.124
122
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang selengkapnya berbunyi “Setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah)”. 123
Pendapat yang dikemukakan Yunus Husein ketika penulis menanyakan relevansi pasal ini dikaitkan dengan pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara dalam perkuliahan mata kuliah Hukum Pidana dan Kegiatan Perekonomian pada tanggal 16 Oktober 2012. 124
Moch. Jasin, Wawancara tanggal 12 Desember 2012.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
69
3.2. Kewenangan KPK Dalam Penyelenggara Negara
Hal
Pelaporan
Harta
Kekayaan
Bila dilihat secara keseluruhan isi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
Tentang
Komisi
Pemberantasan
Korupsi,
kewenangan
Komisi
Pemberantasan Korupsi dalam hal pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara hanya diatur dalam Pasal 13 huruf a yang selengkapnya berbunyi: “Dalam melaksanakan tugas pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melaksanakan langkah atau upaya pencegahan sebagai berikut: a. melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara;……….”125 Bila kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi tersebut dibandingkan dengan kewenangan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) yang diatur dalam pasal 17 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, maka terlihat perbedaan yang mencolok. Kewenangan KPKPN dalam hal pelaporan harta kekayaan sebagaimana diatur pada Pasal 17 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 adalah: a. melakukan
pemantauan
dan
klarifikasi
atas
harta
kekayaan
Penyelenggara Negara; b. meneliti laporan atau pengaduan masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau instansi Pemerintah tentang dugaan adanya korupsi, kolusi, dan nepotisme dari para Penyelenggara Negara; c. melakukan penyelidikan atas inisiatif sendiri mengenai harta kekayaan Penyelenggara Negara berdasarkan petunjuk adanya korupsi, kolusi, dan nepotisme terhadap Penyelenggara Negara yang bersangkutan; d. mencari dan memperoleh bukti-bukti, menghadirkan saksi-saksi untuk penyelidikan Penyelenggara Negara yang diduga melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme atau meminta dokumen-dokumen dari pihak-pihak yang terkait dengan penyelidikan harta kekayaan Penyelenggara Negara yang bersangkutan; 125
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Korupsi, Pasal 13 huruf a.
Komisi
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
70
e. jika dianggap perlu, selain meminta bukti kepemilikan sebagian atau seluruh harta kekayaan Penyelenggara Negara yang diduga diperoleh dari korupsi, kolusi, atau nepotisme selama menjabat sebagai Penyelenggara Negara, juga meminta pejabat yang berwenang membuktikan dugaan tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kewenangan KPKPN dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 terlihat jauh lebih rinci dan lebih luas dibandingkan dengan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Lembaga KPKPN meskipun
dilebur
menjadi
bagian
Bidang
Pencegahan
pada
Komisi
Pemberantasan Korupsi, namun peleburan tersebut tidak diikuti dengan pengalihan segala kewenangannya karena Ketentuan Penutup Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi secara tegas menyatakan bahwa ketentuan mengenai Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 sampai dengan Pasal 19 dalam BAB VII UndangUndang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851), dinyatakan tidak berlaku. Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana yang disebut pada Pasal 13 huruf a Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi juga tidak sejalan atau ada ketimpangan dengan kewajiban penyelenggara negara sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999. Ketimpangan yang dimaksud adalah di satu sisi penyelenggara negara dibebani kewajiban untuk mengumumkan harta kekayaannya namun ternyata Komisi Pemberantasan Korupsi sama sekali tidak diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk mengumumkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara. Tidak adanya kewenangan yang tegas yang diberikan oleh undangundang kepada Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mengumumkan laporan
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
71
harta kekayaan penyelenggara negara bisa menjadi persoalan hukum jika Komisi Pemberantasan Korupsi secara sepihak mengumumkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara. Masalah ini kemudian ditindaklanjuti dengan mengatur mekanisme pengumuman sebagaimana tertuang dalam Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia Nomor:Kep.07/KPK/02/ 2005 Tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman Dan Pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara. Keputusan
Komisi
Pemberantasan
Korupsi
Republik
Indonesia
Nomor:Kep.07/KPK/02/ 2005 Tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman Dan Pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara ini tampaknya telah membuat suatu norma baru yang memberi kewenangan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi untuk melakukan pengumuman harta kekayaan penyelenggara negara. Pada konsiderans menimbang keputusan KPK tersebut disebutkan: “bahwa dalam rangka melaksanakan kewenangan pendaftaran, pengumuman dan pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara perlu menetapkan Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman dan Pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara” Isi konsiderans menimbang tersebut jelas keliru karena kewenangan pengumuman LHKPN tidak disebutkan baik dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme, maupun dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam praktek, pengumuman LHKPN ini dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi atas
adanya surat kuasa untuk mengumumkan yang
ditandatangani oleh penyelenggara negara sebagai pemberi kuasa yang ditujukan kepada Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai penerima kuasa, untuk dan atas nama Pemberi Kuasa mengumumkan seluruh harta kekayaan Pemberi Kuasa yang dilaporkan kepada Penerima Kuasa dalam Berita Negara dan
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
72
Tambahan Berita Negara Republik Indonesia dan/atau media lain yang ditetapkan oleh Penerima Kuasa.126 Kewenangan yang juga tidak dimiliki Komisi Pemberantasan Korupsi dalam hal pelaporan harta kekayaan adalah kewenangan yang terkait dengan sanksi, apakah sanksi administratif ataukah sanksi pidana. Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, selain tidak dirinci sanksi apa yang dapat diterapkan,
juga
tidak
ada
sama
sekali
disebut
kewenangan
Komisi
Pemberantasan Korupsi yang terkait dengan sanksi. Untuk mengefektifkan peran Komisi Pemberantasan Korupsi dalam memastikan ketaatan penyelenggara negara dalam hal pelaporan harta kekayaan, Komisi Pemberantasan Korupsi perlu diberikan kewenangan terkait dengan sanksi. Kewenangan tersebut dapat berupa kewenangan untuk menjatuhkan sanksi misalkan denda yang jumlahnya ditentukan oleh undang-undang, atau paling tidak Komisi
Pemberantasan
Korupsi
diberi
kewenangan
untuk
memberikan
rekomendasi sanksi kepada atasan pejabat yang bersangkutan dengan catatan bahwa rekomendasi tersebut harus mengikat dan dilaksanakan oleh pejabat yang diberikan kewenangan memberikan sanksi. Alternatif lain menyangkut kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam hal pemberian sanksi adalah kewenangan untuk mengumumkan penyelenggara negara yang melalaikan kewajiban dalam pelaporan harta kekayaan. Pengumuman ini merupakan bentuk sanksi moral yang dapat diberikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi agar masyarakat luas dapat mengetahui dan mengontrol perilaku pejabat publik. Dalam hal kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi yang terpenting adalah agar Komisi Pemberantasan Korupsi diarahkan untuk mengoptimalkan saluran-saluran yang ada, paling tidak saluran dalam hukum administrasi, hukum pidana, dan hukum perdata. Namun karena tugas dan kewenangan KPK di bidang pendaftaran dan pemeriksaan kekayaan penyelenggara negara tidak mencakup 126
Lihat selengkapnya pada Formulir LHKPN Model A dan B yang dapat diunduh pada website Komisi Pemberantasan Korupsi.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
73
pula tugas untuk memastikan ketaatan penyelenggara negara, maka secara yuridis tuntutan bagi KPK untuk mengupayakan sanksi terhadap penyelenggara negara yang membandel, tidak terlalu kuat.127
127
Harian Media Indonesia 31 Mei 2006 dalam Deputi Pencegahan dan Direktorat Penelitian dan Pengembangan Komisi Pemberantasan Korupsi, op.cit., hal. 102.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
55
BAB 4 ILLICIT ENRICHMENT DAN PEMBUKTIAN TERHADAP HARTA KEKAYAAN PENYELENGGARA NEGARA 4.1. Illicit Enrichment Sebagai Suatu Tindak Pidana 4.1.1. Pengertian Dan Unsur-Unsur Illicit Enrichment Meskipun belum diadopsi dalam hukum positif kita, tindakan penyelenggara negara dengan sengaja memiliki kekayaan tidak wajar yang tidak sebanding dengan penghasilannya yang sah atau yang lebih dikenal dengan istilah illicit enrichment merupakan bagian dari United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 yang telah diratifikasi oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan UNCAC 2003. Terminologi illicit enrichment merupakan istilah yang secara resmi digunakan dalam United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) 2003. Selain istilah tersebut, terdapat istilah lain yang maknanya sama misalnya di Sierra Leone disebut dengan unexplained wealth128, di Cina disebut dengan illegal gains129, atau misalkan di Canada disebut dengan istilah unjust enrichment. Istilah lain yang biasa digunakan adalah disproportionate wealth atau inexplicable wealth. Dalam pasal 20 United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 disebutkan bahwa:130 “Subject to its constitution and the fundamental principles of its legal system, each State Party shall consider adopting such legislative and other measures as may be necessary to establish as a criminal offence, when committed intentionally, illicit enrichment, that is, a significant increase in the assets of a public official that he or she cannot reasonably explain in relation to his or her lawful income.” Selain dalam UNCAC 2003, illicit enrichment juga diatur dalam dua konvensi internasional lainnya yakni dalam Inter American Convention Against
128
Lihat Sierra Leone Anti-Corruption Act 2008, Part IV.
129
Lihat China Criminal Law 1997, Article 395.
130
United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) 2003, article 20.
74 Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
75
Corruption (IACAC) dan African Union Convention on the Prevention anda Combating Corruptiom (AUCAC). Dalam Inter American Convention Against Corruption, illicit enrichment didefinisikan sebagai an offense a significant increase in the assets of a government official that he cannot reasonably explain in relation to his lawful earnings during the performance of his functions.131 Sedangkan dalam African Union Convention on the Prevention anda Combating Corruption (AUCAC) didefinisikan sebagai the significant increase in the assets of a public official or any other person which he or she cannot reasonably explain in relation to his or her income.132 Berdasarkan definisi sebagaimana dalam ketentuan UNCAC, IACAC, dan AUCAC tersebut, maka paling tidak dapat disimpulkan adanya lima unsur mendasar dari tindak pidana illicit enrichment yaitu adanya subjek atau pelaku, adanya jangka waktu tertentu, adanya tindakan memperkaya diri sendiri (yakni berupa peningkatan aset/kekayaan), adanya kesengajaan (baik berupa kesadaran atau pengetahuan), dan tidak adanya alasan yang sah atau dasar pembenar peningkatan harta kekayaan tersebut.133 Subjek atau pelaku tindak pidana illicit enrichment dalam UNCAC disebutkan adalah public officials (pejabat publik). Dalam ketentuan pasal 2 UNCAC disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pejabat publik adalah:134 Setiap orang yang memangku jabatan di lembaga legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, baik yang ditunjuk maupun yang dipilih melalui pemilihan umum, pejabat yang jabatannya tetap atau sementara, digaji maupun tidak serta tidak memandang senioritas pejabat publik tersebut. Setiap orang yang menjalankan fungsi publik termasuk keagenan dan perusahaan publik.
131
Inter-American Convention Against Corruption (IACAC), article IX.
132
African Union Convention on the Prevention and Combating Corruption (AUCAC),
article 8. 133
Lindy Muzila, et. al. On the Take Criminalizing Illicit Enrichment to Fight Corruption, (Washington DC: World Bank & UNODC, 2012), hal. 13. 134
United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) 2003, article 2.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
76
Pengertian dari pejabat publik dalam ketentuan perundang-undangan antara lain disebutkan dengan istilah penyelenggara negara sebagaimana disebutkan
dalam
Undang-Undang
Nomor
28
Tahun
1999
Tentang
Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme. Dalam pasal 1 ayat 1 undang-undang tersebut, penyelenggara negara didefinisikan sebagai Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Unsur adanya jangka waktu tertentu yang dimaksud adalah periode yang menjadi dasar perhitungan sejauh mana dalam periode tersebut ada peningkatan jumlah harta kekayaan yang signifikan dari seorang pejabat publik. Periode ini penting bagi penuntut umum untuk menilai kemungkinan adanya peningkatan harta kekayaan. Meskipun UNCAC tidak menentukan secara jelas jangka waktu perhitungan tersebut, namun paling tidak yang menjadi ukuran waktu adalah selama pejabat publik tersebut menjalankan fungsinya atau selama menduduki jabatan. 135 Unsur yang ketiga adalah adanya peningkatan jumlah harta kekayaan yang signifikan. Istilah yang lain yang digunakan misalnya “disproportionate assets,” “assets not commensurate with lawful income,” atau assets “above what is commensurate.” Sebagian besar negara dalam aturan yang tertulis tidak menentukan batasan sejauh mana peningkatan harta itu dikatakan signifikan. Ukuran tersebut sangat tergantung dari penilaian penuntut umum atau pengadilan. Penentuan batas yang wajar dalam hal ini sangat penting dalam praktek agar dapat menjadi ukuran untuk menilai sejauh mana peningkatan harta tersebut dapat dituntut di pengadilan.136 Menurut Manfroni, untuk menilai meningkatnya kesejahteraan, harus dipertimbangkan tidak hanya peningkatan kekayaan, tetapi juga berkurangnya kewajiban (hutang). Jika seorang pejabat publik tidak dapat menjelaskan
135
Lindy Muzila et. al. Op. Cit. Hal. 8. 136 Ibid., hal 10.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
77
pembayaran nilai hutang yang besar dengan penghasilan sahnya, keadaan tersebut adalah disamakan dengan memperoleh harta.137 Unsur yang keempat adalah adanya kesengajaan (intent, mens rea) dalam hal adanya peningkatan harta kekayaan yang signifikan. Pada prinsipnya unsur ini adalah sikap batin dari pelaku yang hanya dapat dinilai dari sejumlah keadaan atau perbuatan nyata yang dilakukan oleh pelaku. Sebagai contoh keadaan atau perbuatan yang menunjukkan adanya kesengajaan yakni ketika ada transfer dari seseorang atau lembaga yang antara lembaga atau individu tersebut dengan pejabat publik sama sekali tidak ada kerja sama atau ikatan bisnis apapun yang sah menurut hukum. Contoh lain misalkan ketika ada pembayaran tunai dalam jumlah yang cukup besar dari seorang pejabat publik, atau ketika seorang pejabat publik secara terus menerus menggunakan fasilitas mewah yang secara nyata tidak sesuai dengan penghasilannya yang sah sebagai seorang pejabat.138 Menyangkut kesengajaan ini, sebagian ahli berpendapat bahwa dalam hal illicit enrichment tidak perlu adanya kesengajaan dalam wujud perbuatan melainkan juga bisa dalam wujud pembiaran (ignorance), sebagai contoh ketika tanpa sepengetahuan pejabat publik sejumlah dana ditransfer ke rekening pejabat publik tersebut namun dana tersebut juga tidak diambilnya. Di China dan Hong Kong, ketentuan mengenai illicit enrichment ditafsirkan sebagai suatu bentuk pemberlakuan strict liability bagi seorang pejabat publik.139 Unsur kelima illicit enrichment berupa tidak adanya dasar pembenar (justification) peningkatan harta kekayaan tersebut dapat dilihat dari frase “he/she cannot reasonably explain” sebagaimana dalam rumusan UNCAC. Unsur ini yang menimbulkan kontroversi karena dianggap melanggar prinsip presumption of innocence (praduga tidak bersalah) dengan adanya beban pembuktian yang dialihkan dari penuntut umum kepada terdakwa.140 137
Carlos A. Manfroni, Convenciâon Interamericana Contra la Corrupciâon (The Inter-American Convention Against Corruption: annotated with commentary), diterjemahkan dalam Bahasa Inggris oleh Michael Ford, (Maryland: Lexington Books, 2003), hal. 72. 138
Ibid, hal. 11-12.
139
Ibid.
140
Lucinda A Low, Andrea K. Bjorklund, and Kathryn C. Atkinson. “The InterAmerican Convention against Corruption: A Comparison with the United States Foreign Corrupt Practices Act.” Virginia Journal of International Law Volume 38, 1998, hal. 281.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
78
4.1.2. Perlunya Kriminalisasi Illicit Enrichment Dalam merumuskan ketentuan mengenai illicit enrichment, UNCAC menggunakan frasa “each State Party shall consider” yang ditujukan kepada negara peserta konvensi. Penggunaan frasa tersebut meskipun tidak mewajibkan negara peserta konvensi untuk menerapkan ketentuan pasal 20 UNCAC, namun disadari bahwa kriminalisasi illicit enrichment cukup penting untuk diterapkan sebagai salah satu instrumen pemberantasan korupsi di setiap negara peserta konvensi.141 Menurut Nelly Gacheri Kamunde, dasar pembenar secara moral, etika dan hukum dijadikannya illicit enrichment sebagai suatu tindak pidana adalah sebagai jawaban atas kebutuhan praktek dan etis untuk mengatasi kesulitan besar dalam mengumpulkan bukti adanya tindak pidana penyuapan (bribery). Kriminalisasi illicit enrichment juga dapat mengatasi persoalan beban pembuktian dalam tindak pidana korupsi. Atas alasan itulah maka kriminalisasi illicit enrichment dijadikan sebagai salah satu best practices oleh Organization for Security and Co-operation in Europe (OSCE) untuk memberantas korupsi.142 Tipologi perkara korupsi menurut Guillermo Jorge baik yang bentuknya penyuapan maupun penggelapan dana-dana publik masing-masing sulit untuk ditemukan buktinya. Penyuapan pada dasarnya merupakan kejahatan yang terjadi karena adanya kesepakatan. Karena pemberian dalam perkara suap dilakukan secara sukarela maka tentu saja tidak ada “korban yang jelas”, melainkan masyarakat secara keseluruhanlah yang jadi korbannya. Pada umumnya dalam perkara penyuapan tidak ditemukan saksi atau dokumen apapun yang dapat dijadikan alat bukti. Penuntutan yang berhasil dalam perkara penyuapan biasanya
141
Redaksi kalimat dalam pasal-pasal UNCAC terdiri dari tiga macam penyebutan untuk pemberlakuan suatu ketentuan pasal. Pasal yang wajib diterapkan oleh negara peserta konvensi ditandai dengan frasa “each state party shall adopt”, sedangkan yang sifatnya opsional biasanya didahului oleh frasa “may adopt”. Di antara kedua terminologi tersebut terdapat frasa yang menunjukkan tidak ada kewajiban namun sangat dianjurkan, yakni bila suatu pasal memakai istilah “shall consider adopting”, atau dengan memakai frasa “shall endeavor”. 142
Nelly Gacheri Kamunde, The Crime Of Illicit Enrichment Under International AntiCorruption Legal Regime, Kenya Law Report, 2012, hal. 2.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
79
yang tertangkap tangan atau
adanya pihak yang tidak puas lalu kemudian
bersedia bekerja sama dengan penyidik.143 Begitu pula halnya dalam tipe korupsi berupa penggelapan dana-dana publik kesulitan mengumpulkan bukti disebabkan karena tidak adanya akses yang transparan terhadap dana-dana publik. Faktor lain yang menyulitkan pembuktian bila mana korupsi dilakukan oleh pejabat yang dalam posisi sebagai atasan maka dengan mudah ia menyembunyikan atau menghilangkan alat bukti. Bawahan yang mengetahui perbuatan korupsi juga sulit diharapkan menjadi saksi karena adanya ancaman sanksi dari atasan atau karena ada tekanan psikologis dari atasannya.144 Alasan-alasan tersebut di atas merupakan dasar pertimbangan sehingga kriminalisasi adanya peningkatan harta kekayaan yang tidak wajar (illicit enrichment) perlu diadopsi dalam ketentuan undang-undang untuk memberantas korupsi. Kesulitan dalam hal pembuktian akan dapat diatasi dengan penerapan pembuktian terbalik (reversal burden of proof) dalam hal adanya illicit enrichment. 4.1.3. Proses Penuntutan dan Pembuktian Illicit Enrichment Kisah sukses penuntutan illicit enrichment dapat dilihat dari praktek yang dilakukan oleh penuntut umum di Hongkong dalam upaya pemberantasan korupsi di negara itu pada awal tahun 1970an di mana saat itu korupsi begitu mewabah di berbagai sektor, khususnya di institusi Kepolisian. Tingkat korupsi khususnya penyuapan begitu tinggi seiring dengan tingginya tingkat kejahatan seperti perdagangan narkotika dan obat terlarang, perjudian, dan pelacuran di negeri itu. Pada tahun 1971 pemerintah Hongkong mensahkan sebuah peraturan yakni Prevention of Bribery Ordinance yang memuat ketentuan penerapan pembuktian terbalik dalam hal adanya harta kekayaan yang tidak dapat dijelaskan asal usulnya. Dalam Prevention of Bribery Ordinance disebutkan “In any proceedings against a person for an offence under this Ordinance the burden of providing a defense of lawful authority or reasonable excuse shall lie upon the 143
Guillermo Jorge, The Romanian Legal Framework On Illicit Enrichment, (American Bar Association dan CEELI, 2007), hal. 56. 144
Ibid.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
80
accused.” Sejak penerapan sistem pembuktian terbalik, dalam kurun waktu setahun sebanyak 295 anggota kepolisian termasuk di antaranya 2 perwira tinggi polisi serta 26 inspektur polisi memilih pensiun dini atau berhenti 145 dan dalam kurun waktu 25 tahun selama illicit enrichment diberlakukan telah diadakan penuntutan sebayak 50 kasus.146 Dalam mengomentari kasus yang menjadi putusan bersejarah dalam hal penerapan pembuktian terbalik yakni kasus Attorney General v. Hui Kin-hong [1995], Guillermo Jorge menyimpulkan proses penuntutan perkara tersebut yaitu penuntut pada tahap awal mengumpulkan bukti adanya ketidakseimbangan standar atau gaya hidup, harta kekayaan pejabat publik yang bersangkutan dibandingkan dengan penghasilannya yang sah. Dari bukti awal yang diajukan oleh penuntut umum tersebut, terdakwa juga memiliki hak untuk membantah atau mengajukan
pembelaan
dengan
cara
memberikan
penjelasan
mengenai
ketimpangan harta kekayaan dengan penghasilannya. Di persidangan, terdakwa tidak dapat dihukum kecuali jika: (1) penuntut umum dapat membuktikan dengan meyakinkan (beyond reasonable doubt) adanya ketimpangan/ketidakseimbangan antara harta kekayaan terdakwa dan penghasilannya yang sah, (2) segala penjelasan yang dikemukakan oleh terdakwa mengenai ketimpangan harta dan penghasilannya yang sah dinilai tidak memuaskan bagi hakim atau juri berdasarkan prinsip keseimbangan dalam pembuktian 147 Gambaran yang lebih jelas proses penuntutan tindak pidana illicit enrichment dapat dilihat dari perkara The State v Mzumar yang terjadi di Malawi. Terdakwa adalah seorang pejabat publik kantor imigrasi yang didakwa melanggar Section 32(2)(C) of the Malawian Corrupt Practices Act of 1995, atas kepemilikan sejumlah harta kekayaan yang tidak dapat dijelaskan asal usulnya. Harta kekayaan tersebut berupa:
145
Robert Klitgaard dalam Guillermo Jorge, op.cit. hal. 65.
146
Bertrand de Speville, Reversing the onus of proof: Is it compatible with respect for Human Rights Norms”, disajikan pada 8th International Anti-Corruption Conference, sebagaimana dimuat dalam situs www.transparency.org/iacc/8th_iacc/papers/despeville.html. 147
Guillermo Jorge, op.cit. hal. 67-68.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
81
-
Kepemilikan aset sebesar US$62,000 dalam periode 1 January hingga 21
December
2008,
sangat
tidak
seimbang
dengan
sumber
penghasilannya yang diketahui hanya sebesar US$3,000 per tahun. -
Kepemilikan deposito sebesar US$14,000, yang dicurigai diperoleh dari tindak pidana korupsi.
-
Kepemilikan atas sebuah rumah seharga US$4,000. Untuk mendukung tuntutannya, penuntut umum mengajukan beberapa
orang saksi, satu di antara saksi tersebut menerangkan seberapa besar penghasilan/gaji yang diterima oleh terdakwa, dua orang saksi dari dua bank yang berbeda menerangkan simpanan terdakwa pada bank, serta seorang saksi lainnya menerangkan harga rumah yang dijualnya kepada terdakwa. Selanjutnya penyidik memberikan pula kesaksian bahwa penyelidikan terhadap terdakwa dilakukan atas dasar informasi bahwa terdakwa terlibat dalam penyelundupan orang asing ke dalam negeri dengan mendapatkan sejumlah imbalan. Bukti yang turut mendukung tuduhan ini adalah adanya sejumlah pembicaraan melalui telepon yang dilakukan terdakwa ke negara Ethiopian, Kenya dan Somalia. Terdakwa dalam pembelaannya mengemukakan bahwa tambahan dari gaji yang diterimanya bersumber dari bonus dari pemerintah, pinjaman dari kantornya, serta penghasilan yang diperoleh dari bisnis beras yang dijalankan oleh terdakwa. Untuk mendukung pembelaannya, terdakwa mengajukan seorang saksi. Pengadilan yang memutus perkara ini berpendapat bahwa penuntut umum telah membuktikan dengan meyakinkan bahwa: -
Terdakwa adalah seorang pejabat publik.
-
Terdakwa telah memiliki kekayaan yang tidak sebanding dengan gaji dan penghasilan lainnya yang sah.
-
Terdakwa tidak dapat memberikan penjelasan yang masuk akal, serta alasan pembelaan yang diajukan terdakwa tidak memenuhi standar pembuktian.
Pengadilan akhirnya menyatakan terdakwa terbukti bersalah dan dijatuhi hukuman 12 tahun penjara.148 148
Lindy Muzila et. al. Op. Cit. Hal. 6.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
82
Proses penuntutan dan pembuktian dalam perkara The State v Mzumar tersebut menunjukkan bahwa penuntut umum tidak menitikberatkan pembuktian pada tindak pidana suap ataupun tindak pidana yang terkait dengan penyelundupan orang asing yang dilakukan oleh terdakwa, melainkan hanya mengajukan bukti yang minim mengenai adanya dugaan tindak pidana tersebut dengan alat bukti yang sifatnya masih berupa bukti petunjuk berupa adanya pembicaraan telepon yang dilakukan oleh terdakwa ke sejumlah negara. Untuk membuktikan tindak pidana penyuapan atau penyelundupan orang asing tentu saja jauh lebih sulit bila itu akan dilakukan oleh penuntut umum. Lain halnya bila yang dibuktikan oleh penuntut umum hanyalah ketimpangan antara harta kekayaan dan penghasilan terdakwa sebagaimana dalam perkara ini, maka jelas terlihat bahwa pembuktian hal tersebut tidaklah terlampau sulit. Dengan melihat alur pembuktian dalam perkara tersebut, seolah-olah sudah ada asumsi bahwa selisih antara harta kekayaan yang dimiliki terdakwa dengan penghasilannya yang sah adalah merupakan harta kekayaan yang tidak halal yang diperoleh dari korupsi atau tindak pidana lainnya. Kewajiban terdakwalah untuk membuktikan sebaliknya bahwa selisih antara harta kekayaan dan penghasilan tersebut diperolehnya dari sumber yang sah. Bila terdakwa tidak berhasil membuktikan, maka ia akan dinyatakan bersalah telah melakukan perbuatan illicit enrichment. Adanya asumsi atau “praduga bersalah” sebagaimana digambarkan tersebut di atas menimbulkan kritik dari berbagai pihak terhadap kriminalisasi illicit enrichment karena hal tersebut dianggap melanggar asas presumption of innocence sehingga bertentangan dengan hak asasi seseorang. Sesungguhnya dengan melihat proses pembuktian dan adanya kesempatan yang seluas-luasnya diberikan kepada terdakwa untuk mengajukan pembelaan serta mengajukan alatalat bukti yang mendukung bahwa harta kekayaannya diperoleh dari sumber yang sah, maka dalam penerapan delik illicit enrichment asas praduga tidak bersalah tetap tidak dilanggar. Pada akhirnya Hakimlah yang akan menilai sejauh mana kebenaran bukti yang diajukan penuntut umum atau terdakwa. Sebagaimana dipertimbangkan oleh European Court of Human Rights dalam perkara Salabiaku v France, bahwa tidak ada pelanggaran atas asas praduga
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
83
tidak bersalah sepanjang dipenuhi dua syarat yaitu: (a) yang dibebani kewajiban utama untuk membuktikan unsur-unsur delik adalah penuntut umum, (b) tuduhan atau dakwaan penuntut umum tersebut tetap dapat dibantah oleh terdakwa. Demikian pula Pengadilan Tingkat Banding di Hongkong dalam perkara Attorney General v Hui Kin Hong berpendapat bahwa tidak ada penerapan pembalikan beban pembuktian sepanjang unsur-unsur tindak pidana pertama kali dibebankan kepada penuntut umum untuk membuktikannya dan terdakwa diberikan kesempatan membuktikan sebaliknya.149 4.2. Pelaporan Harta Kekayaan Sebagai Pintu Masuk Penyelidikan Adanya Illicit Enrichment dan Tindak Pidana Korupsi Pakar hukum Denny Indrayana pernah menyatakan bahwa dengan logika sederhana, ketika ada penyelenggara negara tidak melaporkan kekayaannya maka ada sesuatu terkait dengan kekayaan penyelenggara negara tersebut yang keliru atau disembunyikan. Sebab jika tidak ada yang salah, tidak ada alasan mereka berlambat-lambat dan secara sengaja memanfaatkan lubang hukum mengenai ketiadaan sanksi.150 Hal senada juga pernah dikemukakan Bambang Widjojanto yang mempertanyakan dan mengecam anggota MPR/DPR yang belum menyerahkan laporan kekayaannya. Menurut Bambang, tindakan tersebut justru bisa jadi salah satu indikasi awal bahwa mereka terlibat korupsi dan indikasi ini bisa merupakan permulaan terjadinya tindak pidana korupsi, sebab jika tidak, apa alasan penyelenggara negara tidak menyerahkan laporan harta kekayaannya.151 Analisa praktisi dan pakar hukum tersebut menunjukkan bahwa ada kaitan erat antara laporan harta kekayaan penyelenggara negara dan indikasi korupsi seorang penyelenggara negara. Tidak saja bagi mereka yang tidak melaporkan harta kekayaannya yang patut dicurigai korupsi, melainkan juga 149
Maud Perdriel Vaissiere, “The Accumulation of Unexplained Wealth by Public Official: Making the Offence of Illicit Enrichment Enforceable.” U4 BRIEF No. 1 (Januari 2012), hal 2. 150
Denny Indrayana, “Korupsi dan Wakil Rakyat”, Kompas 25 Februari 2002, dalam Deputi Pencegahan dan Direktorat Penelitian dan Pengembangan Komisi Pemberantasan Korupsi, Memberdayakan Instrumen Pencegahan Korupsi, op.cit., hal. 43. 151
Bambang Widjojanto, Kompas 9 Agustus 2002, dalam Deputi Pencegahan dan Direktorat Penelitian dan Pengembangan Komisi Pemberantasan Korupsi, Memberdayakan Instrumen Pencegahan Korupsi, ibid.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
84
termasuk mereka yang melaporkan harta kekayaan secara tidak jujur, atau ditemukan ada kejanggalan dari hasil analisa atas laporan harta kekayaan seorang penyelenggara negara. Dari sisi ini dapat dikatakan bahwa laporan harta kekayaan penyelenggara negara berfungsi sebagai pintu masuk untuk dilakukannya penyelidikan adanya tindak pidana korupsi atau setidaknya dapat dideteksi adanya illicit enrichment. Untuk menggunakan pelaporan harta kekayaan sebagai pintu masuk penyelidikan tindak pidana korupsi atau sebagai bukti awal indikasi adanya korupsi, maka pengelola pelaporan, dalam hal ini Komisi Pemberantasan Korupsi harus mampu menganalisa peningkatan aset-aset pribadi penyelenggara negara atau keluarganya selama suatu periode tertentu. Dengan menganalisa peningkatan jumlah aset-aset tersebut beserta sumber-sumber perolehannya, maka dapat diketahui sejauh mana ada indikasi korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Metode lain yang seharusnya digunakan untuk menelusuri kebenaran pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara adalah dengan melakukan cross check pada lembaga-lembaga lain yang ada kaitannya dengan data-data harta kekayaan atau aset seseorang.152 Lembaga yang terkait dengan data-data atau registrasi harta kekayaan misalnya Kantor Agraria, Bank, Kantor Pajak, Perusahaan Asuransi, Kantor Samsat untuk mengetahui registrasi kendaraan bermotor, dan sebagainya. Untuk penelusuran aliran dana yang terkait dengan harta kekayaan penyelenggara negara, Komisi Pemberantasan Korupsi juga dapat bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Terkait dengan hal ini, Moch. Jasin, mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bidang Pencegahan periode 2007-2011, mengemukakan bahwa selama pelaporan harta kekayaan melekat pada lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi yang juga menjalankan fungsi penindakan, maka nilai kemanfaatan pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara sangat besar untuk penyelidikan kasus-kasus korupsi. Banyak kasus-kasus yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi justru informasi awalnya bersumber dari data-data dari
152
Ruxandra Burdescu, et.al., op.cit., hal. 7.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
85
Direktorat LHKPN, namun hal tersebut tidak dimunculkan ke publik sebagai bagian dari strategi penyelidikan kasus korupsi. Lebih jauh dijelaskan oleh Jasin, melalui mekanisme undercover surveillance dan penelusuran yang dilakukan oleh Direktorat Monitoring Komisi Pemberantasan Korupsi, laporan harta kekayaan dapat dijadikan pintu masuk untuk penyelidikan kasus-kasus korupsi.153 Menurut Richard Messick, meskipun pejabat publik akan selalu menyembunyikan tindak kejahatan yang dilakukan, namun peningkatan secara signifikan harta kekayaannya sulit untuk disembunyikan. Oleh karena itu tindakan-tindakan pejabat publik seperti menyembunyikan aset atau tidak menyebutkan nilai yang sebenarnya dari aset-asetnya harus dianggap suatu pemalsuan laporan kekayaan yang mesti dipidana. Pemalsuan laporan seperti ini jauh lebih mudah dibuktikan dibanding untuk membuktikan tindakan korupsi yang dilakukan pejabat publik yang bersangkutan.154 Meskipun laporan harta kekayaan dapat digunakan sebagai pintu masuk penyelidikan apakah seorang terdakwa terindikasi melakukan tindakan illicit enrichment dan tindak pidana korupsi, namun dalam prakteknya untuk mengetahui indikasi itu Komisi Pemberantasan Korupsi tetap melakukan penyelidikan perkara korupsi berdasarkan laporan-laporan dari masyarakat bahwa seorang penyelenggara negara tidak memiliki kekayaan sebagaimana yang dilaporkannya sehingga ada kecurigaan bahwa ia telah melakukan tindak pidana korupsi. 4.3. Pembuktian Terhadap Harta Kekayaan Menurut Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Sebelum memasuki pembahasan sistem pembuktian terhadap harta kekayaan menurut Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, maka perlu dilakukan klarifikasi makna atau perbedaan antara “Shifting of the Burden of Proof” dan “Reversal of the Burden of Proof”. Dalam Black’s Law Dictionary, shifting of the burden of proof yang dapat diterjemahkan sebagai pergeseran beban pembuktian didefinisikan sebagai 153
Moch. Jasin, wawancara tanggal 12 Desember 2012.
154
Richard Messick, Income and Asset Declaration: Issues to Consider in Developing Disclosure Regime, (Norway: U4 Anti-Corruption Resource Centre), 2009, hal. 14.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
86
the transference of the duty to prove a fact from one party to the other.155 Definisi lain sebagaimana termuat dalam situs US.LEGAL, sebuah situs terminologi hukum, disebutkan bahwa:156 “Shifting the burden of proof in litigation means the transfer of the burden of proof from one party who has presented a prima facie case, to the other. It means the passing of the duty to produce evidence in a case from one side to another as the case progresses. For example, when a plaintiff establishes a prima facie case, the burden of proof gets shifted to the defendant. Now the defendant must rebut the established facts by means of contradictory evidence.” Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam suatu pergeseran beban pembuktian, maka yang pertama-tama diberikan beban untuk membuktikan suatu fakta atau dalil adalah pihak yang mengajukan suatu dalil atau fakta, dalam perkara pidana tentu saja adalah jaksa penuntut umum. Selanjutnya dalam proses perkara berjalan, beban pembuktian tersebut digeser kepada terdakwa untuk membuktikan sebaliknya. Menurut Oemar Seno Adji, sebagaimana dikutip oleh Indriyanto Seno Adji, sistem inilah yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi. Hal tersebut terlihat dari adanya suatu perumusan pada ketentuan pasal 17 undang-undang tersebut bahwa terdakwa dapat membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan korupsi, namun kewajiban pembuktian ada atau tidaknya dugaan tindak pidana korupsi adalah di tangan Jaksa Penuntut Umum.157 Sistem pembalikan beban pembuktian (reversal of the burden of proof) merupakan sistem pembuktian yang dipergunakan oleh negara anglo-saxon dan bertujuan untuk mempermudah pembuktian dalam istilah mereka “certain cases” atau kasus-kasus tertentu/spesifik atau khusus sifatnya. Dengan demikian sistem pembalikan beban pembuktian ini sangat terbatas hanya pada kasus-kasus tertentu yang sangat sulit pembuktiannya, sehingga ditempuhlah suatu sistem yang sebenarnya bertentangan dengan prinsip atau asas universal mengenai 155
Bryan A. Garner, ed. Black’s Law Dictionary, 9th edition, (St. Paul, MN: Thomson West Publishing Co., 2004), hal. 1502. 156
http://definitions.uslegal.com/s/shifting-the-burden-of-proof.
157
Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Permasalahannya, (Jakarta: Diadit Media, Cetakan I, Maret 2012), hal. 25.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
87
pembuktian. Sistem pembalikan beban pembuktian ini tidak pernah ada yang bersifat total absolut, artinya hanya dapat diterapkan secara terbatas, yaitu terhadap delik yang berkenaan dengan “gratification” (pemberian) yang berkaitan dengan suap (bribery). Dengan demikian sistem pembalikan beban pembuktian ini bersifat terbatas dan khusus.158 Dari pendekatan doktrin dan komparasi sistem hukum pidana, makna atau arti “terbatas” atau “khusus” dari implementasi sistem pembalikan beban pembuktian adalah: 1.
Bahwa sistem pembalikan beban pembuktian hanya terbatas dilakukan terhadap delik “gratification” (pemberian) yang berkaitan dengan “bribery” (suap), dan bukan terhadap delik-delik lainnya dalam tindak pidana korupsi;
2.
Bahwa sistem pembalikan beban pembuktian hanya terbatas dilakukan terhadap perampasan dari delik-delik yang didakwakan terhadap siapapun. Bahwa sistem pembalikan beban pembuktian hanya terbatas
3.
penerapan asas Lex Temporisnya, artinya sistem ini tidak dapat diberlakukan secara rektroaktif (berlaku surut) karena potensil terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia, pelanggaran terhadap asas legalitas, dan menimbulkan apa yang dinamakan Lex Talionis (balas dendam). 4.
Bahwa sistem pembalikan beban pembuktian hanya terbatas dan tidak diperkenankan menyimpang dari asas “Daad-daderstrafrecht”, yaitu asas yang memperhatikan segi-segi obyek dari perbuatan (daad) dan segi-segi subyektif dari orang/pembuat (dader).
Bila dilihat secara keseluruhan ketentuan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, terdapat ketentuan khusus mengenai pembuktian dalam perkara korupsi yakni yang terdapat dalam Pasal 12 B ayat (1) huruf a dan b mengenai korupsi suap menerima gratifikasi, sedangkan yang terkait dengan pembuktian mengenai harta kekayaan terdakwa tindak pidana korupsi diatur 158
Ibid., hal. 30-32.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
88
dalam Pasal 37A dan Pasal 38B Undang-Undang Nomor Tindak Pidana Korupsi. Sistem pembuktian yang terkait langsung dengan harta kekayaan terdakwa korupsi inilah yang akan diuraikan lebih lanjut pada dua sub bab berikut. 4.3.1. Pembuktian Terhadap Harta Kekayaan Yang Termuat Dalam Dakwaan Dasar hukum sistem beban pembuktian terhadap harta benda yang termuat dalam dakwaan terdapat dalam Pasal 37A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merumuskan sebagai berikut: (1) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan. (2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, sehingga penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.159 Perlu digarisbawahi bahwa pada ketentuan Pasal 37A ayat (2) terdapat anak kalimat “kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya”. Anak kalimat tersebut tiada lain adalah pengertian dari illicit enrichment, namun dalam pasal 37A ini dikaitkan dengan adanya dakwaan tindak pidana korupsi terhadap seorang terdakwa. Jadi illicit enrichment dalam konteks pasal 37A bukan merupakan delik yang berdiri sendiri sebagaimana dalam ketentuan Pasal 20 UNCAC 2002, tetapi dikhususkan pada pembuktian terhadap harta kekayaan terdakwa yang tercantum dalam dakwaan yang ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang didakwakan 159
Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, LN. Tahun 2001 No. 134, TLN. No. 4150, Pasal 37A.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
89
kepadanya. Sebagaimana rumusan ketentuan pada ayat 2, adanya illicit enrichment hanya bersifat memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Menurut Adami Chazawi, beban pembuktian kepada siapa dan bagaimana cara membuktikan menurut ketentuan pasal ini jika dihubungkan dengan tindak pidana korupsi dalam perkara pokok, dapat disebut dengan sistem pembuktian semi terbalik atau berimbang terbalik. Disebut dengan sistem semi terbalik, karena dalam hal terdakwa didakwa melakukan tindak pidana korupsi (selain suap menerima gratifikasi) yang sekaligus didakwa pula mengenai harta bendanya sebagai hasil korupsi atau ada hubungannya dengan korupsi yang didakwakan, maka beban pembuktian mengenai tindak pidana dan harta benda terdakwa yang didakwakan tersebut, diletakkan masing-masing pada terdakwa dan jaksa penuntut umum secara berlawanan dan berimbang. Karena beban pembuktian diletakkan secara berimbang dengan objek pembuktian yang berbeda secara terbalik, maka sistem pembuktian yang demikian dapat pula disebut dengan sistem pembuktian berimbang terbalik.160 Objek yang wajib dibuktikan oleh terdakwa adalah tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suami dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan adalah bukan hasil dari korupsi atau tidak ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang didakwakan. Caranya ialah membuktikan adanya keseimbangan antara harta bendanya dengan sumber penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya. Sedangkan objek yang harus dibuktikan oleh jaksa penuntut umum adalah tindak pidana yang didakwakan dalam perkara pokok yang in casu semua unsur-unsurnya. Jaksa penuntut umum berkewajiban membuktikan tentang telah terjadinya tindak pidana korupsi yang didakwakan, dan dilakukan oleh terdakwa serta terdakwa bersalah karena melakukannya.161 Objek yang wajib dibuktikan oleh masing-masing pihak berbeda, tetapi agar dapat menguntungkan bagi pembuktian jaksa penuntut umum, maka hasil
160
Adami Chazawi, op.cit., hal. 146.
161
Ibid., hal. 147.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
90
akhir pembuktian dari terdakwa haruslah ada hubungan dengan hasil pembuktian jaksa penuntut umum. Indikator adanya hubungan itu adalah:162 a. Pertama, terdakwa tidak berhasil membuktikan tentang adanya keseimbangan antara harta bendanya dengan sumber pendapatannya atau sumber penambahan harta kekayaannya (Pasal 37 ayat 2). b. Kedua, jaksa dapat membuktikan bahwa menurut sifat dan keadaannya serta berdasarkan akal, tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa menghasilkan kekayaan, misalnya menerima suap, menggelapkan uang negara, atau menyalahgunakan kewenangan dan lain-lain. Dengan adanya dua indikator itulah maka ketidakberhasilan terdakwa membuktikan adanya keseimbangan antara kekayaannya dengan sumber pendapatannya dan atau sumber penambahan kekayaannya dapat digunakan oleh jaksa untuk memperkuat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Arti memperkuat bukti di sini adalah buktinya sudah memenuhi syarat minimal pembuktian lalu diperkuat dengan keadaan tidak berhasilnya terdakwa membuktikan tentang keseimbangan antara kekayaannya dengan penghasilannya atau sumber tambahan kekayaannya. Arti memperkuat di sini sama saja dengan menambah bukti.163 Keberhasilan terdakwa membuktikan tentang harta benda yang didakwakan sebagai harta yang halal, karena sumbernya atau sumber tambahan kekayaannya berupa sumber yang halal, tidak akan berpengaruh apapun terhadap pembuktian jaksa mengenai perkara pokok, apabila jaksa memang berhasil membuktikan tentang seluruh unsur-unsurnya, dan terbukti terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan. Hal seperti ini bisa saja terjadi, apabila tindak pidana yang didakwakan dalam perkara pokok bukan tindak pidana yang menghasilkan harta benda, atau dalam hal hasil korupsinya nyata-nyata telah habis digunakan oleh terdakwa, sedangkan harta benda yang didakwakan bukan harta benda yang dihasilkan oleh korupsi, melainkan hasil yang halal atau 162
Ibid.
163
Ibid., hal.149-150.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
91
didapatkan sebelum terdakwa melakukan korupsi. Artinya tindak pidana korupsi yang didakwakan dengan harta benda yang dicantumkan dalam dakwaan tidak ada hubungan.164 Dari sisi terdakwa yang tergolong penyelenggara negara, untuk memenuhi kewajiban sebagaimana yang tercantum pada Pasal 37A ayat (1) berupa kewajiban untuk memberikan keterangan tentang harta bendanya serta untuk kepentingan pembuktian bahwa harta kekayaannya diperoleh secara sah atau dari sumber penghasilan yang sah, maka dapat dilakukan dengan mudah dengan mempergunakan instrumen pelaporan harta kekayaan. Segala harta kekayaan yang telah dilaporkan yang disertai dengan bukti-bukti pendukung yang akurat tidak bisa dihubungkan dengan tindak pidana korupsi yang didakwakan sehingga agak sulit bagi jaksa penuntut umum untuk memasukkan harta yang sudah dilaporkan ke dalam dakwaan. Sumber penghasilan terdakwa yang telah dilaporkan pun sebagaimana termuat dalam laporan harta kekayaan dapat dijadikan bukti oleh terdakwa untuk meyakinkan hakim bahwa penambahan kekayaan yang diperolehnya bersumber dari penghasilan yang sah. Fungsi pelaporan harta kekayaan dalam konteks ini dapat dikatakan sebagai perisai bagi penyelenggara negara untuk melindungi harta kekayaannya dari perampasan atau bahkan melindungi diri dari sangkaan korupsi. Dari sisi jaksa penuntut umum, pelaporan harta kekayaan bila terdakwa adalah seorang penyelenggara negara juga dapat dijadikan dasar untuk mencantumkan dalam dakwaan mengenai harta kekayaan terdakwa yang ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi. Atas dasar pelaporan harta kekayaan, jaksa penuntut umum dapat menelusuri keakuratan bukti-bukti pendukung mengenai harta kekayaan yang dilaporkan oleh tersangka atau terdakwa. Di samping itu jaksa penuntut umum dapat menggunakan laporan harta kekayaan penyelenggara negara untuk menilai penghasilan atau sumber penambahan kekayaan terdakwa. Namun demikian, yang terpenting bagi jaksa penuntut umum menurut Mardjono Reksodiputro adalah jaksa penuntut umum tidak serta merta harus 164
Ibid., hal. 151.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
92
mempercayai laporan harta kekayaan yang dilaporkan oleh penyelenggara negara yang dituduh korupsi. Bahkan jaksa penuntut umum harus berpikir sebaliknya bahwa laporan harta kekayaan tersebut tidak dapat dipercaya sehingga jaksa penuntut umum harus menelusuri segala aset yang tidak dilaporkan dan kemudian mencantumkan harta kekayaan penyelenggara negara yang dituduh korupsi ke dalam dakwaan untuk kepentingan perampasan aset atau pengembalian hasil korupsi.165 Sedangkan bagi hakim, dengan dicantumkannya harta kekayaan dalam dakwaan, maka hal tersebut dapat dijadikan bahan pemeriksaan perkara dan sebagai dasar pertimbangan hukum dalam putusan untuk menetapkan amar putusan pidana perampasan terhadap harta benda terdakwa tersebut untuk negara (pidana perampasan barang). Pembuktian terhadap harta kekayaan yang termuat dalam dakwaan juga terdapat pada pasal 77 dan 78 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Selengkapnya, ketentuan mengenai pembuktian harta kekayaan yang didakwakan dalam perkara pencucian uang adalah sebagai berikut: “Pasal 77: Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. Pasal 78: (1) Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, hakim memerintahkan terdakwa agar membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). (2) Terdakwa membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan cara mengajukan alat bukti yang cukup.166 Bila dibandingkan dengan ketentuan pasal 37A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 165
Mardjono Reksodiputro, wawancara tanggal 10 Desember 2012.
166
Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, LN. Tahun 2010 No. 122, TLN. No. 5164, Pasal 77, 78.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
93
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ketentuan pasal 77 dan 78 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang ini lebih spesifik terkait dengan pembuktian hartaharta kekayaan terdakwa apakah diperoleh secara sah atau tidak di mana kewajiban membuktikannya ada pada terdakwa. Adapun ketentuan pada pasal 37A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi masih bersifat umum di mana pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa adalah menyangkut kesebandingan antara penghasilannya yang sah dengan harta kekayaan yang dimilikinya. Penerapan sistem pembalikan beban pembuktian terkait dengan tindak pidana pencucian uang ini telah diterapkan oleh pengadilan pertama kali dalam perkara Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang, perkara Nomor 1454 K/PID.SUS/2011
atas nama terdakwa Bahasyim Assifie bin Khalil Sarinoto.
Pertimbangan Mahkamah Agung dalam putusan tersebut terkait dengan pembuktian harta kekayaan terdakwa adalah sebagai berikut: “…… bahwa seandainya predicate crime tidak terbukti sekalipun, maka Tindak Pidana Pencucian Uang tetap dapat diperiksa dan dibuktikan di persidangan, lagi pula Terdakwa dapat menggunakan pembuktian terbalik terhadap dakwaan Korupsi maupun Pencucian Uang khususnya dalam konteks ”Perampasan Harta Kekayaan”. Dengan Cara Terdakwa dapat membuktikan bahwa harta benda yang disita bukanlah hasil kejahatan. Pembuktian terbalik dapat dilakukan oleh Terdakwa saat mengajukan pledoi maupun saat diajukan risalah banding maupun risalah kasasi. Namun ternyata Terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta kekayaan yang disita bukanlah hasil dari korupsi…..”167 Dalam perkara Dhana Widyatmika, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta mengucapkan vonisnya pada tanggal 9 November 2012 dengan menghukum terdakwa selama 7 (tujuh) tahun penjara serta salah satu amarnya menyatakan perampasan harta kekayaan terdakwa yang telah disita. Majelis hakim dalam perkara ini juga menerapkan sistem pembalikan beban 167
Pertimbangan hukum putusan Mahkamah Agung RI dalam perkara No. 1454 K/PID.SUS/2011 atas nama terdakwa Bahasyim Assifie bin Khalil Sarinoto, diunduh dari situs http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/caf2c014d5dc09a128892fbd3d2fd3d5, diakses tanggal 15 Januari 2013.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
94
pembuktian terhadap harta kekayaan terdakwa yang telah disita. Pertimbangan majelis dalam putusan menjatuhkan pidana perampasan harta kekayaan terdakwa adalah bahwa majelis hakim menilai kalau Dhana tidak dapat membuktikan asalusul uang dalam rekening dan SDB tersebut kecuali dengan mengatakan bahwa uang itu merupakan warisan orangtua. Bukti-bukti foto, surat-surat, ataupun saksi meringankan yang dihadirkan Dhana dalam persidangan, menurut hakim, tidak cukup membuktikan kalau kepemilikan uang berasal dari sumber yang sah. Atas putusan majelis hakim tersebut, terdakwa menyatakan banding.168 4.3.2. Pembuktian Terhadap Harta Kekayaan Yang Tidak Termuat Dalam Dakwaan Sistem pembuktian terhadap harta kekayaan yang tidak termuat dalam dakwaan diatur dalam pasal 38B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selengkapnya dirumuskan sebagai berikut: (1) Setiap orang yang didakwa melakukan salah satu tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, wajib membuktikan sebaliknya terhadap harta benda miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi. (2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara. (3) Tuntutan perampasan harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diajukan oleh penuntut umum pada saat membacakan tuntutannya pada perkara pokok. (4) Pembuktian bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bukan berasal dari tindak pidana korupsi diajukan oleh terdakwa pada saat membacakan pembelaannya dalam perkara pokok dan dapat diulangi pada memori banding dan memori kasasi. (5) Hakim wajib membuka persidangan yang khusus untuk memeriksa pembuktian yang diajukan terdakwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4). 168
http://nasional.kompas.com/read/2012/11/09/18501174/Dhana.Widyatmika.Divonis. Tujuh.Tahun.Penjara., diakses tanggal 15 Januari 2012.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
95
(6) Apabila terdakwa dibebaskan atau dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum dari perkara pokok, maka tuntutan perampasan harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus ditolak oleh hakim. Berbeda dengan ketentuan pada Pasal 37A, dalam Pasal 38B ini tidak terdapat anak kalimat yang merupakan terjemahan atau pengertian dari illicit enrichment, namun pada Pasal 38B ayat (1) terdapat anak kalimat “wajib membuktikan sebaliknya terhadap harta benda yang belum didakwakan”. Dengan demikian secara tegas ditentukan dalam pasal 38B ini bahwa pembuktian harta kekayaan terdakwa yang belum didakwakan mempergunakan sistem pembalikan beban pembuktian. Sistem pembalikan beban pembuktian dalam Pasal 38B ayat (1) dipertegas lagi atau dijelaskan lebih lanjut maknanya pada rumusan ayat (2) bahwa Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi. Menurut Adami Chazawi, objek harta benda yang tidak didakwakan dalam surat dakwaan tidak menyangkut langsung dengan unsur-unsur tindak pidana dakwaan. Artinya sistem pembalikan beban pembuktian dalam pasal 38B ini bukan untuk membuktikan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan, melainkan ditujukan untuk menolak tuntutan jaksa penuntut umum yang menuntut agar dijatuhkan pidana perampasan atas barang tersebut.169 Oleh karena itu, pada tahap akhir pembuktian terhadap dua objek yang berbeda (yang satu objek kekayaan yang belum didakwakan in casu sumbernya dan yang lain unsur-unsur tindak pidana korupsi dengan sistem pembuktian yang berbeda) mungkin akan menghasilkan sesuatu yang berbeda. Apabila misalnya terdakwa berhasil membuktikan sumber dari harta kekayaannya yang belum didakwakan adalah sumber yang halal namun di satu sisi perkara pokoknya juga terbukti, maka terdakwa tetap dihukum namun menyangkut harta yang dapat dibuktikan sumbernya halal tidak dapat dirampas.170
169
Adami Chazawi, op.cit., hal 141.
170
Ibid.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
96
Bisa pula terjadi terdakwa di satu sisi tidak berhasil membuktikan bahwa harta kekayaannya itu diperoleh bukan dengan jalan korupsi atau tidak berhasil membuktikan bahwa harta kekayaannya tersebut diperoleh dari sumber yang halal dan demikian pula jaksa tidak berhasil membuktikan tindak pidana yang didakwakan dalam perkara pokok. Maka di sini akibat hukumnya menjadi lain karena terdakwa dalam perkara pokok akan dibebaskan, tetapi dalam hal harta benda terdakwa yang belum didakwakan akan dijatuhkan pidana perampasan barang. Konstruksi putusan akhir
seperti ini secara jelas dilarang menurut
ketentuan Pasal 38B ayat (6) yang menegaskan bahwa
apabila terdakwa
dibebaskan atau dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum dari perkara pokok, maka tuntutan perampasan harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus ditolak oleh hakim. Logika yang dianut pasal ini menurut Chazawi adalah karena pidana perampasan barang merupakan pidana tambahan yang tidak boleh dijatuhkan tanpa adanya penjatuhan pidana pokok.171 Menurut penulis, adanya ketentuan pasal 38B ayat ini merupakan kelemahan untuk menerapkan tujuan yang ingin dicapai dengan adanya sistem pembalikan beban pembuktian. Latar belakang diterapkannya pembalikan beban pembuktian adalah untuk mengatasi adanya kesulitan pembuktian perkara korupsi misalnya suap sehingga beban pembuktian diberikan kepada terdakwa. Seharusnya meskipun dalam perkara pokok terdakwa dinyatakan tidak terbukti atau lepas, namun bila terdakwa tidak berhasil pula membuktikan bahwa hartanya diperoleh dari sumber yang halal maka sesuai dengan makna pembalikan beban pembuktian yang disebut secara tegas pada ayat (2) pasal ini, maka harta yang tidak dapat dibuktikan tersebut diperoleh dari tindak pidana korupsi, bisa jadi tindak pidana korupsi lain yang belum didakwakan. Sebagai jalan keluar mengatasi lemahnya ketentuan hukum mengenai perampasan harta benda atau kekayaan para pelaku korupsi yang terkait dengan pidana, maka diperkenalkan pula konsep perampasan aset tanpa pemidanaan atau yang lebih dikenal dengan istilah Non-Conviction Based (NCB) Asset Forfeiture. Dalam hal prosedur, perbedaan antara perampasan asset yang terkait pidana 171
Ibid., hal. 142.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
97
dengan NCB adalah bahwa perampasan aset yang terkait pidana memerlukan pengadilan pidana dan penghukuman sebagaimana ketentuan pasal 38B tersebut di atas. Adapun perampasan aset NCB tidak terkait penuntutan perkara pidana sehingga
sistem
tidak
bersalahnya
terdakwa
tidak
menghalangi
untuk
dilakukannya perampasan aset. Perampasan aset NCB, yang juga disebut sebagai “perampasan perdata”, “perampasan in rem” atau “perampasan obyek” dalam beberapa yurisdiksi merupakan tindakan terhadap aset itu sendiri dan tidak terhadap seorang individu. Ini merupakan tindakan yang terpisah dari setiap proses peradilan pidana dan memerlukan bukti bahwa harta benda tersebut tercemar (yakni harta benda merupakan hasil atau instrumen suatu tindak kejahatan). Oleh karena tindakannya tidak terhadap seorang terdakwa individu melainkan terhadap harta benda, pemilik harta benda merupakan pihak ketiga yang berhak untuk mempertahankan harta benda tersebut.172 Perampasan aset NCB berguna dalam berbagai konteks, terutama ketika perampasan pidana tidak memungkinkan atau tidak tersedia misalnya dengan alasan pelanggar buron atau telah meninggal dunia, pelanggar sedemikian berkuasanya sehingga penyelidikan atau penuntutan pidana tidak realistis atau tidak memungkinkan, pelanggar tidak dikenal namun asetnya ditemukan, yang terkait dengan harta benda yang dipegang oleh pihak ketiga yang tidak dituntut dengan pelanggaran maupun kejahatan, ataupun karena tidak adanya bukti yang layak untuk melanjutkan penuntutan suatu perkara kejahatan.173
172
Theodore S. Greenberg et.al., Stolen Asset Recovery: Good Practice Guide Untuk Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan (Non-Conviction Based/NCB Asset Forfeiture), (Washington DC, Bank Dunia, 2009), hal. 14. 173
Ibid., hal. 15.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
75
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan 1. Pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara (asset declaration) telah diakui dan dipraktekkan oleh berbagai negara di dunia dalam upaya pemberantasan korupsi. Pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara merupakan perwujudan dari prinsip-prinsip good governance terutama prinsip transparansi dan akuntabilitas yang bertujuan untuk penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, demokratis dan bebas dari korupsi kolusi dan nepotisme. Sebagai salah satu instrumen pemberantasan korupsi, pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara berfungsi sebagai sarana untuk menguji integritas
penyelenggara
negara
atau
calon
penyelenggara
negara,
menanamkan sifat kejujuran, keterbukaan dan tanggung jawab di kalangan penyelenggara negara, mendeteksi potensi konflik kepentingan antara tugastugas publik penyelenggara negara dan kepentingan pribadinya, serta dapat digunakan untuk mendeteksi adanya illicit enrichment atau sebagai pintu masuk dan sebagai bukti pendukung penyelidikan dan penuntutan perkara korupsi. Selain itu, laporan harta kekayaan penyelenggara negara dapat dijadikan sebagai alat kontrol bagi masyarakat untuk memantau indikasi adanya tindakan korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara negara. 2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme sebagai payung hukum sistem pelaporan harta kekayaan di Indonesia masih mengandung beberapa kelemahan terutama yang terkait dengan kewenangan lembaga pengelola pelaporan dan lemahnya sanksi yang tercantum dalam undangundang. Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi sehubungan dengan pelaporan harta kekayaan menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi adalah melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara.
98 Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
99
Dengan kewenangan sebatas itu, Komisi Pemberantasan Korupsi tidak bisa efektif untuk memastikan ketaatan dan kejujuran penyelenggara negara dalam melaporkan harta kekayaannya. Komisi Pemberantasan Korupsi semestinya diberikan pula kewenangan untuk memberikan sanksi seperti memberikan teguran, memberikan rekomendasi sanksi kepegawaian atau memberikan denda kepada penyelenggara negara yang lalai dan tidak jujur menyampaikan laporan harta kekayaan. 3. Meskipun Indonesia sudah meratifikasi United Nation Convention Against Corruption (UNCAC 2003), illicit enrichment sebagai suatu tindak pidana belum diadopsi dalam hukum positif Indonesia, dengan demikian adanya peningkatan harta kekayaan penyelenggara negara yang dilaporkan kemudian mengalami peningkatan yang tidak wajar tidak dapat dituntut sebagai sebuah kejahatan yang berdiri sendiri. Namun demikian dalam hal seorang terdakwa dituduh melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dalam UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi, maka harta kekayaan penyelenggara negara yang mengalami peningkatan yang tidak wajar harus dapat dibuktikan sebaliknya oleh terdakwa bahwa harta tersebut diperoleh bukan dari tindak pidana korupsi. 5.2. Saran 1. Untuk mengefektifkan pelaporan harta kekayaan (asset declaration) sebagai salah satu instrumen pencegahan maupun penindakan dalam kerangka pemberantasan korupsi, maka pemerintah bersama DPR perlu merevisi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Revisi tersebut meliputi: a.
pemberian wewenang yang lebih rinci dan lebih luas kepada Komisi Pemberantasan Korupsi untuk memastikan ketaatan dan kejujuran penyelenggara negara dalam melaporkan harta kekayaannya.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
100
b. perlu ditegaskan adanya sanksi pidana berupa kurungan maupun denda serta sanksi administratif terhadap penyelenggara negara yang dengan sengaja tidak menyampaikan laporan harta kekayaan atau tidak jujur dalam melaporkan harta kekayaan. 2. Adanya kecenderungan penyelenggara negara yang melakukan tindak pidana korupsi tidak melaporkan harta kekayaannya dengan jujur atau berusaha menyembunyikan harta kekayaannya yang diperoleh dari tindak pidana korupsi semestinya dijadikan pedoman bagi aparat penegak hukum untuk menggunakan pelaporan harta kekayaan sebagai pintu masuk untuk menyelidiki tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara negara, terutama dalam hal terdapat ketidakseimbangan harta kekayaan dengan penghasilan yang sah dari penyelenggara negara. Selain itu laporan harta kekayaan sebaiknya dijadikan bukti tambahan atau pelengkap dalam upaya penyidikan atau penuntutan tindak pidana korupsi. 3. Bagi penyelenggara negara, laporan harta kekayaan selain merupakan perwujudan integritas dan transparansi serta akuntabilitas, juga dapat digunakan sebagai perisai bagi penyelenggara negara untuk melindungi diri dari sangkaan korupsi atau setidaknya melindungi harta kekayaannya dari perampasan dalam hal seorang penyelenggara negara terkait dengan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu selayaknya bila setiap penyelenggara negara mematuhi kewajiban untuk menyampaikan laporan harta kekayaan dengan jujur.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
101
DAFTAR PUSTAKA A. Buku/Jurnal: Anshoruddin, H., Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif, Yogyakarta : Pustaka Pelajar 2004. Apostol, Pelagio S., The Experience of Asset Declaration in the Philippines, Office of the Ombudsman Republic of the Philippines Burdescu, Ruxandra, et.al., Income and Asset Declarations, Tools and Trade-Offs, Washington, D.C., The World Bank, 2009. Chazawi, Adami, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua, PT. Alumni, Bandung, 2008. CUI-ITB, Departemen Teknik Geologi ITB, Keterkaitan Akuntabilitas dan Transparansi dalam Pencapaian Good Governance, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol. 15 No. , 2004. Danil, Elwi, Korupsi: Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasannya, Jakarta: Rajawali Pers, 2011. Deputi Pencegahan dan Direktorat Penelitian dan Pengembangan Komisi Pemberantasan Korupsi, Memberdayakan Instrumen Pencegahan Korupsi: Studi Tentang Efektifitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia, Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2006. Executive Board of the United Nations Development Programme and of the United Nations Population Fund, The UNDP Accountability System: Accountability Framework And Oversight Policy, New York, United Nations, 2008. Greenberg, Theodore S. et.al., Stolen Asset Recovery: Good Practice Guide Untuk Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan (Non-Conviction Based/NCB Asset Forfeiture), Washington DC: Bank Dunia, 2009. Hadjon, Philipus M., Keterbukaan Pemerintahan dan Tanggung Gugat Pemerintah dalam Seminar Hukum Nasional Ke VII: Reformasi Hukum Menuju Masyarakat Madani, Jakarta, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman RI, 1999. Hamzah, Andi, Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara, Jakarta: Sinar Grafika, 2008. Guillermo Jorge, The Romanian Legal Framework On Illicit Enrichment, American Bar Asociation dan CEELI, 2007. Kamunde, Nelly Gacheri, The Crime Of Illicit Enrichment Under International Anti-Corruption Legal Regime, Kenya Law Report, 2012. Klitgaard, Robert, Membasmi Korupsi, diterjemahkan oleh Hermojo, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2005.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
102
-----------------, International Cooperation Against Corruption, Finance and Development Volume 35, (Maret 1998), Komnas HAM, HAM : Penyelenggaraan Negara Yang Baik & Masyarakat Warga, Jakarta, 2000. Komisi Pemberantasan Korupsi, Rencana Stratejik Komisi Pemberantasan Korupsi 2008-2011. ----------------, Panduan Menangani Konflik Kepentingan Penyelenggara Negara, Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2009. ----------------, Laporan Tahunan 2011. Lamintang P.A.F., dan Teo Lamintang, Delik-Delik Khusus: Kejahatan Terhadap Kepentingan Hukum Negara, Jakarta: Sinar Grafika, Cetakan Pertama 2010. Low, Lucinda A, Andrea K. Bjorklund, and Kathryn C. Atkinson. “The InterAmerican Convention against Corruption: A Comparison with the United States Foreign Corrupt Practices Act.” Virginia Journal of International Law Volume 38, 1998. Makarim, Edmon, Tanggung Jawab Hukum Penyelenggara Sistem Elektronik, Rajawali Pers, Jakarta, 2010. Manfroni, Carlos A., Convenciâon Interamericana Contra la Corrupciâon (The Inter-American Convention Against Corruption: annotated with commentary), diterjemahkan dalam Bahasa Inggris oleh Michael Ford, Maryland: Lexington Books, 2003. Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2010. Messick, Richard Income and Asset Declaration: Issues to Consider in Developing Disclosure Regime, Norway: U4 Anti-Corruption Resource Centre, 2009. Mulyadi, Lilik, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, PT. Alumni, Bandung, 2007. Muzila, Lindy, et. al. On the Take Criminalizing Illicit Enrichment to Fight Corruption, Washington DC: World Bank & UNODC, 2012. OECD, Asset Declarations for Public Officials: A Tool to Prevent Corruption, OECD Publishing, 2011. Pope, Jeremy, Strategi Memberantas Korupsi: Elemen Sistem Integritas Nasional, alih bahasa Masri Maris, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, Edisi Kedua, 2007. Reksodiputro, Mardjono Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana: Kumpulan Karangan, Buku Ketiga, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 2007. Seno Adji, Indriyanto, Korupsi dan Permasalahannya, Jakarta: Diadit Media, Cetakan I, Maret 2012.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
103
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 1984. Soesatyo,
Bambang Perang-Perangan Melawan Korupsi: Pemberantasan Korupsi di Bawah Pemerintahan SBY, Ufuk Press, Jakarta, 2011.
Vaissiere, Maud Perdriel, “The Accumulation of Unexplained Wealth by Public Official: Making the Offence of Illicit Enrichment Enforceable.” U4 BRIEF No. 1 (Januari 2012), Widodo, Joko Good Governance, Telaah Dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Insan Cendekia, Surabaya, 2001. B. Makalah: Koesnadi
Hardjasoemantri, Good Governance Dalam Pembangunan Berkelanjutan Di Indonesia, Makalah Untuk Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional ke VIII di Bali, tanggal 15 Juli 2003.
Loina Lalolo Krina P, Indikator dan Alat Ukur Prinsip Akuntabilitas, Transparansi dan Partisipasi, Sekretariat Good Public Governance Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Jakarta - Agustus 2003. Teguh Kurniawan, Hambatan dan Tantangan dalam Mewujudkan Good Governance Melalui E-Government di Indonesia, makalah yang disampaikan pada Konfrensi Nasional Sistem Informasi 2006, Jurusan Teknologi Informasi Universitas Pasundan dan ITB, Bandung, 18 Februari 2006. C. Peraturan Perundang-Undangan/Konvensi: Indonesia, Undang-Undang Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme, UU Nomor 28 Tahun 1999, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 1999, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851. Indonesia, Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Nomor 31 Tahun 1999, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 140 Tahun 1999, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874 sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Nomor 20 Tahun 2001, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4150. Indonesia, Undang-Undang Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, UU Nomor 30 Tahun 2002, LN. Nomor 137 Tahun 2002, TLN Nomor 4250. Indonesia, Undang-Undang Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, UU Nomor 8 Tahun 2010, LN. Nomor 122 Tahun 2010, TLN Nomor 5164.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
104
Keputusan
Surat
Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia Nomor:Kep.07/KPK/02/ 2005 Tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman Dan Pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara.
Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara SE/03/M.PAN/01/2005 tanggal 20 Januari 2005.
Nomor
United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003. Inter American Convention Against Corruption (IACAC). African Union Convention on the Prevention and Combating Corruption (AUCAC). D. Internet/Surat Kabar. Indonesia Peringkat ke 100 Indeks Persepsi Korupsi 2011, 12 Januari 2011 http://nasional.kompas.com/read/2011/12/01/17515759/, diakses tanggal 23 Februari 2012. Menpan
Minta Polri Usut Rekening Gendut PNS Muda. http://www.nasional.kompas.com//Menpan.minta.polri.usut.rekening .gendut.pns.muda., diakses tanggal 23 Februari 2012.
Dhana Widyatmika Cuma Laporkan Kekayaan Rp 12M http://www.tempo. co/read/news/2012/02/27/063386685/Dhana-Widyatmika-CumaLaporkan-Kekayaan-Rp-12M, diakses tanggal 1 Maret, 2012. Nurul
Huda/Rahmat/Krisiandi Sacawisastra, Ribuan Transaksi DPR Mencurigakan, Harian Seputar Indonesia tanggal 21 Februari 2012.
Timothy H M TONG, Building a Public Sector Integrity System for Effective Governance: the Hong Kong Experience, sebagaimana dimuat dalam situs:http://sc.icac.org.hk/gb/www.icac.hk/en/services_and_resource s /sa/bpsis/Index.html, diakses tanggal 10 November 2012 http://www.undp.org., diakses tanggal 1 Maret 2012. http://m.mediaindonesia.com/index.php/read/2011/05/13/225917/284/1/KY_Selid iki_Harta Kekayaan_Calon_Hakim_Agung, http://www.oge.gov/About/Mission-and-Responsibilities/Mission---Responsibilities/, diakses tanggal 12 Oktober 2012. http://www.gov.ph/the-philippine-constitutions/the-1987-constitution-of-therepublic-of-the-philippines/the-1987-constitution-of-the-republic-ofthe-philippines-article-xi/, diakses tanggal 1 November 2012. http://hklii4.cs.hku.hk/hk/legis/en/ord/201/s10.html, diakses tanggal 10 November 2012. http://www.transparency.org/country#HKG, diakses tanggal 10 November 2012. http://www.kpk.go.id/modules/edito/content_faq.php?id=16, diakses tanggal 6 Desember 2012 http://definitions.uslegal.com/s/shifting-the-burden-of-proof.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013
105
http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/caf2c014d5dc09a128892fbd3d2fd3 d5., diakses tanggal 15 Januari 2012. http://nasional.kompas.com/read/2012/11/09/18501174/Dhana.Widyatmika.Divon is.Tujuh.Tahun.Penjara., diakses tanggal 15 Januari 2012.
Universitas Indonesia
Pelaporan harta..., Hasanuddin, FH UI, 2013