3.2.1.3 Umur dan Lingkungan Pengendapan Umur
Satuan
Batupasir-Batulempung
berdasarkan
hasil
analisis
foraminifera kecil yaitu N17-N20 atau Miosen Akhir-Pliosen Tengah bagian bawah (Lampiran B). Sampel yang dianalisis terdiri dari lima sampel, berurutan dari tua ke muda yaitu sampel H.3.10, H.7.1, H.7.8, H.11.11, dan H.5.3. Pada sampel H.3.10 dijumpai kehadiran Globorotalia humerosa yang diketahui kemunculan awalnya (FAD) adalah pada umur N17 (Blow, 1969). Pada sampel H.7.1 dijumpai kemunculan akhir Globigerina venezuelana dan kemunculan awal Sphaeroidinella
dehiscens.
Berdasarkan
Blow
(1969)
diketahui
bahwa
kemunculan akhir (LAD) Globigerina venezuelana adalah pada umur N19 dan kemunculan awal (FAD) Sphaeroidinella dehiscens pada umur N19. Maka, umur sampel H.7.1 adalah N19. Oleh karena umur sampel H.7.1 tidak lebih tua daripada N19, maka umur sampel H.3.10 adalah N17-N18. Selanjutnya pada sampel H.7.8, H.11.11 dan H.5.3, tidak dijumpai kehadiran biomarker, tetapi pada sampel H.3.6b yang secara posisi stratigrafi di lapangan adalah lebih muda daripada sampel H.5.3, dijumpai kemunculan awal Globorotalia tosaensis tosaensis. Kemunculan awal (FAD) Globorotalia tosaensis tosaensis adalah pada umur N21 (Blow, 1969). Oleh karena umur sampel H.3.6b tidak lebih tua daripada umur N21 dan pada sampel H.7.8, H.11.11 dan H.5.3 tidak dijumpai kehadiran Globorotalia tosaensis tosaensis, maka umur untuk sampel H.7.8, H.11.11 dan H.5.3 adalah N20. Lingkungan pengendapan yang didapatkan untuk semua sampel yang dianalisis adalah neritik tengah bagian dalam (Rauwenda, dkk., 1985, Lampiran B). Pada sampel H.3.10 dijumpai asosiasi foraminifera benthonik berupa Nodosaria spp., Lenticulina sp., Lagena sp., Hyalinea balthica, Elphidium spp., Oolina sp., Bolivina sp., Amphistegina lesonii, Cassidulina sp., Dentalina sp., dengan rasio plantonik sebesar 40%, sehingga dapat disimpulkan lingkungan pengendapannya adalah neritik tengah bagian dalam dengan kedalaman 50-100 m. Pada sampel H.7.1dijumpai kehadiran asosiasi foraminifera benthonik berupa Bulimina sp., Lagena sp., Eggerela sp., dengan rasio planktonik sebesar 50%, sehingga dapat disimpulkan lingkungan pengendapannya adalah neritik tengah bagian dalam dengan kedalaman 50-100 m. Pada sampel H.7.8 dijumpai 29
kehadiran asosiasi foraminifera benthonik berupa Uvigerina sp., Bulimina sp., Lenticulina sp., Stillostomella sp., Elphidium spp., Astrononion sp., dengan rasio plantonik sebesar 40%, sehingga dapat disimpulkan lingkungan pengendapannya adalah neritik tengah bagian dalam dengan kedalaman 50-100 m. Pada sampel H.11.11 dijumpai kehadiran asosiasi foraminifera benthonik berupa Nodosaria sp., Lenticulina sp., Lagena sp., Astrononion sp., dengan rasio planktonik 45%, sehingga dapat disimpulkan lingkungan pengendapannya adalah neritik tengah bagian dalam dengan kedalaman 50-100 m. Pada sampel H.5.3 dijumpai kehadiran asosiasi foraminifera benthonik berupa Nodosaria sp., Uvigerina sp., Ammonia spp., Quinqueloculina sp., Lenticulina sp., Elphidium spp., Bolivina sp., Amphistegina lesonii, dengan rasio planktonik sebesar 40%, sehingga dapat disimpulkan lingkungan pengendapannya adalah neritik tengah bagian dalam dengan kedalaman 50-100 m. Dari hasil analisis lima sampel yang telah dijelaskan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa lingkungan pengendapan untuk Satuan BatupasirBatulempung Formasi Tapak adalah neritik tengah bagian dalam dengan kedalaman 50-100 m (Lampiran B). 3.2.1.4 Hubungan dan Kesebandingan Stratigrafi Berdasarkan penyebaran litologi dan hubungan stratigrafi berdasarkan stratigrafi regional menurut Djuri, dkk. (1996) pada peta geologi regional maka Satuan Batupasir-Batulempung ini disetarakan dengan Formasi Tapak. Setelah dilakukan analisis foraminifera kecil didapatkan revisi umur Satuan BatupasirBatulempung yaitu Miosen Tengah-Pliosen Awal (Djuri, dkk., 1996) menjadi Miosen Akhir-Pliosen Tengah bagian bawah (N17-N20). Hubungan satuan batuan ini dengan satuan batuan di bawahnya tidak dapat diketahui karena tidak tersingkap di daerah penelitian. Menurut Djuri, dkk. (1996), hubungan satuan batuan ini dengan satuan batuan di bawahnya (Formasi Kumbang) adalah tidak selaras. Berdasarkan posisi stratigrafi daerah penelitian, Satuan BatupasirBatulempung ini merupakan satuan batuan yang berumur paling tua.
30
3.2.2 Satuan Batulempung Formasi Kalibiuk 3.2.2.1 Penyebaran dan Ketebalan Satuan Batulempung Formasi Kalibiuk menempati bagian tengah yang menyebar hingga ke barat dan timur daerah penelitian. Satuan batuan ini menempati sekitar 45% luas daerah penelitian, pada peta geologi berwarna hijau. Satuan batuan ini tersingkap baik di daerah Karangasem, Kaliwotan, Kali Kuning, dengan jurus lapisan umumnya berarah barat-timur dan kemiringan lapisan berarah selatan, sedangkan di daerah lain singkapan ini ditemukan dengan kondisi masif tanpa jurus dan kemiringan dan dengan kondisi lapuk. Ketebalan satuan batuan ini berdasarkan rekonstruksi penampang geologi sekitar 1000 m.
Foto 3.17 Perselingan Batulempung-Batupasir (Lokasi H.9.2)
31
Foto 3.18 Fosil dalam Batulempung (Lokasi H.4.8)
Foto 3.19 Singkapan Batulempung (Lokasi H.4.12) 3.2.2.2 Ciri Litologi Satuan Batulempung Formasi Kalibiuk ini terdiri dari batulempung, perselingan
batulempung-batupasir
dan
batulempung
sisipan
batupasir.
Batulempung yang ditemukan dalam satuan ini berwarna abu-abu sampai abu-abu tua kebiruan, karbonatan, banyak mengandung fosil baik pecahan cangkang moluska maupun fosil foraminifera (Foto 3.17 dan Foto 3.19). Pada satu lokasi yaitu lokasi H.4.8 ditemukan fosil Asteroidea? di dalam batulempung (Foto 3.18). 32
Batupasir yang terdapat di dalam satuan ini memiliki ciri berwarna abuabu sampai abu-abu tua, karbonatan, pemilahan sedang, kemas tertutup, porositas sedang, besar butir pasir halus, kompak. Berdasarkan pengamatan pada analisis petrografi didapatkan jenis batupasir pada satuan ini adalah Feldsphatic Wacke (Gilbert, 1982, Lampiran A6) dengan komposisi butiran terdiri dari mineral fosil, plagioklas, kuarsa, hornblende, biotit, fragmen batuan, spinel dan glaukonit dengan komposisi matriks 17%. 3.2.2.3 Umur dan Lingkungan Pengendapan Umur Satuan Batulempung dari hasil analisis foraminifera kecil yaitu N21 bagian bawah atau Pliosen Tengah bagian atas (Lampiran B). Sampel yang dianalisis berjumlah empat buah, berurutan dari tua ke muda secara posisi stratigrafi di lapangan yaitu H.3.6b, H.4.12, H.4.10 dan H.4.7. Pada sampel H.3.6b dijumpai kemunculan awal Globorotalia tosaensis tosaensis. Menurut Blow (1969), kemunculan awal (FAD) Globorotalia tosaensis tosaensis adalah pada umur N21. Pada tiga sampel lainnya yaitu sampel H.4.12, H.4.10 dan H.4.7 tidak dijumpai kehadiran biomarker-biomarker penunjuk umur yang lebih muda daripada N21. Oleh karena itu umur Satuan Batulempung ini adalah N21 bagian bawah atau Pliosen Tengah bagian atas (Blow, 1969). Lingkungan
pengendapan
yang
didapatkan
dari
hasil
analisis
mikropaleontologi empat sampel di atas adalah neritik tengah bagian dalamdangkal (Rauwenda, dkk., 1985, Lampiran B). Pada sampel H.3.6b dijumpai kehadiran foraminifera benthonik berupa Nodosaria spp., Uvigerina sp., Bulimina sp., Ammonia spp., Quinqueloculina sp., Lagena sp., Oolina sp., Amphistegina lesonii, dengan rasio planktonik sebesar
45%, sehingga dapat disimpulkan
lingkungan pengendapannya adalah neritik tengah bagian dalam dengan kedalaman 50-100 m. Pada sampel H.4.12 dijumpai kehadiran foraminifera benthonik berupa Ammonia spp., Lenticulina sp., Hyalinea balthica, dengan rasio planktonik sebesar 20%, sehingga dapat disimpulkan lingkungan pengendapannya adalah neritik tengah bagian dangkal dengan kedalaman 20-50 m. Pada sampel H.4.10 dijumpai kehadiran foraminifera benthonik berupa Nonion sp., Uvigerina sp., Bulimina sp., Ammonia spp., Quinqueloculina sp., Stillostomela sp., 33
Amphicorina scalaris, Hyalinea balthica, dengan rasio planktonik sebesar 30%, sehingga dapat disimpulkan lingkungan pengendapannya adalah neritik tengah bagian dangkal dengan kedalaman 20-50 m. Pada sampel H.4.7 dijumpai kehadiran foraminifera benthonik berupa Nodosaria spp., Nonion sp., Ammonia spp., Quinqueloculina sp., Lagena sp., Oolina sp., Amphistegina lesonii, dengan rasio planktonik sebesar 30%, sehingga dapat disimpulkan lingkungan pengendapannya adalah neritik tengah bagian dangkal 20-50 m. Dari hasil analisis empat sampel yang telah dijelaskan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa lingkungan pengendapan untuk Satuan Batulempung Formasi Kalibiuk adalah neritik tengah bagian dalam-dangkal dengan kedalaman 20-100 m (Lampiran B). 3.2.2.4 Hubungan dan Kesebandingan Stratigrafi Hubungan satuan batuan ini dengan satuan batuan di bawahnya bersifat selaras yang ditunjukkan dengan kemiringan lapisan yang relatif sama dan tidak adanya selang waktu pengendapan pada kedua satuan yang dibuktikan dengan analisis mikropaleontologi. Berdasarkan posisi stratigrafi dan ciri litologi yang khas dari satuan ini yang dapat dibedakan dengan satuan lain, maka satuan ini dapat disetarakan dengan Formasi Kalibiuk (Djuri, dkk., 1996). 3.2.3 Satuan Batupasir Formasi Kalibiuk 3.2.3.1 Penyebaran dan Ketebalan Satuan Batupasir Formasi Kalibiuk ini menempati bagian selatan yang menyebar hingga ke barat dan timur daerah penelitian. Satuan batuan ini menempati sekitar 12% luas daerah penelitian, pada peta geologi berwarna kuning muda. Satuan batuan ini tersingkap baik di Kali Tambra bagian selatan, Kali Wotan bagian selatan, pertemuan Kali Tambra dan Kali Wotan (Sidarame), dengan jurus lapisan umumnya berarah barat-timur dan kemiringan lapisan berarah utara dan selatan. Hal ini dikarenakan adanya struktur lipatan berupa sinklin yang menyebabkan kemiringan lapisan berarah utara dan selatan. Ketebalan satuan batuan ini berdasarkan rekonstruksi penampang geologi sekitar 312,5 m. 34
3.2.3.2 Ciri Litologi Satuan Batupasir Formasi Kalibiuk terdiri dari batupasir dan batupasir sisipan batulempung. dimana batupasir pada satuan ini umumnya masif tanpa kedudukan jurus dan kemiringan lapisan. Ketebalan batupasir pada batupasir sisipan batulempung sekitar 20-40 cm, sedangkan ketebalan batulempung sekitar 5-10 cm (Foto 3.22). Pada Satuan Batupasir ini, pada batupasir dan batulempungnya mengandung banyak cangkang moluska, baik yang masih utuh maupun yang sudah pecah dan fosil foraminifera (Foto 3.24). Pada beberapa tempat terdapat bioturbasi (Foto 3.23). Hal inilah yang menjadi pembeda Satuan Batupasir ini dengan Satuan Batupasir-Batulempung di bagian utara.
Foto 3.20 Singkapan Batupasir (Menghadap ke Barat) (Lokasi H.6.1)
35
Foto 3.21 Singkapan Perselingan Batupasir-Batulempung (Lokasi H.8.2)
Foto 3.22 Bioturbasi Pada Batupasir (Menghadap ke Selatan) (Lokasi H.8.2)
36
Foto 3.23 Singkapan Batupasir Mengandung Cangkang Moluska (Lokasi H.8.2) Batupasir bewarna abu-abu sampai abu-abu tua, karbonatan, mengandung banyak cangkang moluska, baik yang masih utuh ataupun sudah pecah, pemilahan buruk, kemas terbuka, porositas sedang, kompak, besar butir pasir sedang-pasir halus. Di beberapa lokasi terdapat bioturbasi. Berdasarkan analisis petrografi, diketahui bahwa batupasir pada satuan ini merupakan Tuff Kristal (Schmid, 1981, Lampiran A7) dengan komposisi hornblenda, plagioklas, kuarsa, biotit, dengan persentase matriks sebesar 38%. 3.2.3.3 Umur dan Lingkungan Pengendapan Umur Satuan Batupasir dari hasil analisis foraminifera kecil yaitu N21 bagian atas atau Pliosen Akhir (Lampiran B). Sampel yang dianalisis berjumlah lima buah, berurutan dari tua ke muda secara posisi stratigrafi di lapangan yaitu H.6.1, H.8.1, H.8.6, H.10.3 dan H.8.2. Pada sampel H.6.1, H.10.3 dan H.8.2 dijumpai kehadiran Globigerinoides obliquus extremus. Oleh karena kemunculan akhir (LAD) dari Globigerinoides
37
obliquus extremus adalah pada umur N21 (Blow, 1969), dapat disimpulkan bahwa sampel H.6.1, H.8.1, H.8.6, H.10.3 dan H.8.2 berumur N21 bagian atas. Lingkungan pengendapan Satuan Batupasir dari hasil analisis lima sampel di atas adalah neritik tengah bagian dangkal dengan kedalaman 20-50 m (Rauwenda, dkk., 1985, Lampiran B). Pada sampel H.6.1 dijumpai kehadiran foraminifera benthonik Uvigerina sp., Bulimina sp., Ammonia spp., Lagena sp., dengan rasio
planktonik 30%
sehingga dapat
disimpulkan lingkungan
pengendapannya adalah neritik tengah bagian dangkal dengan kedalaman 20-50 m. Pada sampel H.8.1 dijumpai kehadiran foraminiferabenthonik berupa Nonion sp., Ammonia spp. (melimpah), dengan rasio planktonik sebesar 30%, sehingga dapat disimpulkan lingkungan pengendapannya adalah neritik tengah bagian dangkal dengan kedalaman 20-50 m. Pada sampel H.8.6 dijumpai kehadiran foraminifera benthonik berupa Nonion sp., Uvigerina sp., Ammonia spp. (melimpah), Quinqueloculina sp., Lagena sp., Stillostomella sp., dengan rasio planktonik sebesar 25%, sehingga dapat disimpulkan lingkungan pengendapannya adalah neritik tengah bagian dangkal dengan kedalaman 20-50 m. Pada sampel H.10.3 dijumpai kehadiran foraminifera benthonik berupa Nonion sp., Bulimina sp., Ammonia spp. (melimpah), Quinqueloculina sp., Lenticulina sp., Brizalina sp. (melimpah), dengan rasio planktonik sebesar 25%, sehingga dapat disimpulkan lingkungan pengendapannya adalah neritik tengah bagian dangkal dengan kedalaman 20-50 m. Pada sampel H.8.2 dijumpai kehadiran foraminifera benthonik berupa Nodosaria spp., Nonion sp., Uvigerina sp., Bulimina sp., Ammonia spp., dengan rasio planktonik sebesar 25%, sehingga dapat disimpulkan lingkungan pengendapannya adalah neritik tengah bagian dangkal dengan kedalaman 20-50 m. Dari hasil analisis lima sampel yang telah dijelaskan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa lingkungan pengendapan untuk Satuan Batupasir Formasi Kalibiuk adalah neritik tengah bagian dangkal dengan kedalaman 20-50 m (Lampiran B).
38
3.2.3.4 Hubungan dan Kesebandingan Stratigrafi Hubungan satuan batuan ini dengan satuan batuan di bawahnya bersifat selaras yang ditunjukkan dengan kemiringan lapisan yang relatif sama dan tidak adanya selang waktu pengendapan pada kedua satuan batuan yang dibuktikan dengan analisis mikropaleontologi. Berdasarkan posisi stratigrafi dan penyebaran litologi pada peta geologi regional (Djuri, dkk., 1996) maka Satuan Batupasir ini dapat disetarakan dengan Formasi Kalibiuk. 3.2.4 Satuan Endapan Undak Sungai (Teras Sungai) 3.2.4.1 Penyebaran dan Ketebalan Endapan Teras Sungai atau Undak Sungai merupakan Endapan Aluvial yang telah mengalami pengangkatan dan proses erosi sehingga berada pada suatu ketinggian tertentu. Endapan ini terdiri dari fragmen batuan seperti andesit, batupasir, batulempung dan fragmen batuan lain dan sebagian dari material tersebut telah mengalami pelapukan dan berubah menjadi paleosoil. Pada umumnya endapan ini berada di ketinggian sekitar 100-150 m di atas permukaan laut dengan ketebalan 2-3 m. Penyebaran dari Endapan Teras Sungai ini sama halnya dengan Endapan Aluvial yaitu di sepanjang pinggir-pinggir sungai utama atau sungai besar, namun pada ketinggian yang berbeda (berada pada ketinggian yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan Endapan Aluvial biasa) dengan penyebaran sekitar 3% dari luas Satuan Endapan Aluvial. Satuan ini pada peta geologi (Lampiran E3) tidak ada, karena satuan ini tidak terpetakan di lapangan. 3.2.4.2 Ciri Litologi Satuan ini berupa endapan sungai dengan material-material penyusun yang tertanam dalam paleosoil, sudah lebih terkonsolidasi daripada Satuan Endapan Aluvial. Material ini berukuran kerikil sampai bongkah berupa fragmen batuan seperti andesit, batupasir, batulempung dan fragmen batuan lain dan sebagian dari material tersebut telah mengalami pelapukan dan berubah menjadi paleosoil. Kebundaran material ini sangat baik, yang menunjukkan bahwa material ini telah tertransport jauh dari sumbernya. Kemungkinan sumber dari material-material ini berasal dari Formasi Kumbang yang berada di sebelah utara daerah penelitian. 39
3.2.4.3 Umur, Lingkungan Pengendapan dan Hubungan Stratigrafi Satuan ini diperkirakan berumur Holosen Awal. Hal ini berdasarkan proses tektonik, yang melibatkan terjadinya pengangkatan daratan, yang terjadi pada Pliosen Akhir-Plistosen. Oleh karena endapan ini diasumsikan merupakan hasil dari proses pengangkatan yang terjadi, maka endapan ini terbentuk pasca Plistosen. Satuan Endapan Undak Sungai ini diendapkan pada lingkungan pengendapan darat dan merupakan hasil endapan sungai serta diendapkan secara tidak selaras di atas satuan batuan yang lebih tua. 3.2.5 Satuan Endapan Aluvial 3.2.5.1 Penyebaran dan Ketebalan Satuan Endapan Aluvial tersebar di sepanjang pinggir-pinggir sungai utama atau sungai besar, seperti halnya Kali Tambra. Satuan ini menempati sekitar 8% luas daerah penelitian, ditandai dengan warna abu-abu pada peta geologi. Sebagian satuan ini ada yang telah terbentuk sebagai undak sungai atau teras sungai. 3.2.4.2 Ciri Litologi Satuan ini berupa endapan sungai yang belum terkonsolidasi. Satuan ini terdiri dari material-material lepas berukuran kerikil sampai bongkah berupa batuan beku andesit, batupasir, dan batulempung. Material-material lepas ini memiliki kebundaran yang sangat baik yang menunjukkan bahwa material ini telah tertransport jauh dari sumbernya. Kemungkinan sumber dari material lepas ini berasal dari Formasi Kumbang yang berada di sebelah utara daerah penelitian. 3.2.4.3 Umur, Lingkungan Pengendapan dan Hubungan Stratigrafi Satuan ini berumur Holosen Akhir. Hal ini diketahui dari adanya proses pengendapan yang masih terus berlangsung sampai sekarang. Satuan ini diendapkan pada lingkungan pengendapan darat dan merupakan hasil endapan sungai dan diendapkan secara tidak selaras di atas satuan yang lebih tua.
40
Foto 3.24 Hubungan Stratigrafi Antara Satuan Endapan Aluvial dengan Satuan Yang Berumur Lebih Tua.
41
Gambar 3.2 Kolom Stratigrafi Daerah Penelitian
42
3.3 Struktur Geologi Daerah Penelitian Analisis struktur daerah penelitian didasarkan pada interpretasi peta topografi dan pengamatan langsung di lapangan mengenai indikasi struktur geologi di daerah penelitian. Pengamatan indikasi struktur geologi yang ditemukan di lapangan berupa shear fracture, zona hancuran atau longsoran dan adanya perubahan kedudukan lapisan yang mencolok. Struktur geologi yang terdapat pada daerah penelitian berupa struktur lipatan dan struktur sesar. Gejala-gejala struktur lipatan yang dapat diamati di lapangan berupa perubahan kedudukan perlapisan batuan yang berlawanan, sedangkan struktur sesar dapat diamati di lapangan dengan gejala-gejala shear fracture dan zona hancuran atau longsoran. Penamaan struktur diambil dari nama sungai, desa atau bukit tempat didapatkannya atau dilaluinya struktur tersebut. Peta penyebaran struktur geologi ditunjukkan dalam peta geologi (Lampiran E-3). Dalam interpretasi awal struktur geologi pada daerah penelitian, hal pertama yang dilakukan adalah menganalisis kelurusan-kelurusan pada daerah penelitian pada peta topografi (Gambar 3.3). Berdasarkan analisis kelurusan yang berupa diagram bunga atau roset diagram (Gambar 3.4), didapatkan dua arah struktur geologi yang dominan yaitu berarah NNE-SSW dan E-W. Kelurusan berarah NNE-SSW ini kemungkinan dikontrol oleh struktur sesar sedangkan kelurusan EW kemungkingan dikontrol oleh perlapisan (jurus dan kemiringan) di daerah penelitian.
43
109O25’06”
07O19’30”
07O16’00”
109O25’00”
Gambar 3.3 Kelurusan Pada Peta Topografi Daerah Penelitian
Gambar 3.4 Diagram Roset Kelurusan di daerah Penelitian 44
3.3.1 Struktur Lipatan (Sinklin Sidamulya) Struktur lipatan berupa sinklin yang terdapat di daerah penelitian dapat dikenali berdasarkan adanya perubahan kedudukan lapisan. Pola jurus perlapisan batuan pada daerah penelitian umumnya berarah barat-timur dengan pola kemiringan perlapisan berarah utara dan selatan. Kemiringan perlapisan pada daerah penelitian bervariasi yaitu berkisar antara 16o-60o. Struktur lipatan berupa sinklin yang ditemukan memiliki sumbu lipatan relatif berarah barat-timur. Pada daerah penelitian ditemui satu struktur lipatan yaitu Sinklin Sidamulya. Hasil analisis struktur geologi (Lampiran C) memperlihatkan gaya yang menyebabkan terbentuknya lipatan adalah gaya kompresi yang berarah relatif utara-selatan. Satuan batuan termuda yang terlibat dalam struktur lipatan ini adalah Satuan Batupasir yang berumur Pliosen Akhir (N21 bagian atas) sehingga dapat disimpulkan bahwa lipatan-lipatan tersebut mulai terbentuk pasca pengendapan Satuan Batupasir (setelah Pliosen Akhir). Berdasarkan interpretasi pada peta geologi dari perubahan kedudukan lapisan di lapangan, diketahui bahwa sumbu Sinklin Sidamulya berarah relatif barat-timur. Sayap-sayap lipatan ini memiliki kemiringan sekitar 54o-60o pada sayap utara dan 17o-20o pada sayap selatan. Berdasarkan hasil analisis struktur, sumbu sinklin berarah 18o, N355oE, pitch sebesar 4o dan kedudukan bidang sumbu N85oE/71oSE. Berdasarkan ketiga variabel tersebut (kedudukan bidang sumbu lipatan, pitch dan plunge sumbu lipatan) maka lipatan ini merupakan horizontal fold (Klasifikasi Rickard, 1971 op.cit. Harsolumakso, 2008). 3.3.2 Struktur Sesar (Sesar Kaliwotan) Struktur sesar yang ditemukan di daerah penelitian setelah dianalisis didapatkan hasil berupa sesar mendatar dengan pergerakan mengiri turun. Data struktur diambil di Kali Wotan (S07o18’45” E109o26’23”). Data sesar yang ditemukan hanya shear fracture, sedangkan gores garis yang ada bersifat minor, sehingga arah kedudukan bidang sesar ditentukan berdasarkan arah dominan kelurusan pada daerah yang diperkirakan dilalui sesar tersebut. Berdasarkan analisis geometri bidang sesar dan struktur penyerta dari
45
sesar tersebut didapatkan hasil Sesar Kaliwotan adalah Sesar mendatar dengan pergerakan mengiri turun dengan kedudukan bidang sesar N26oE/60o.
Foto 3.25 Zona Hancuran (Lokasi Pengambilan Data Struktur)
Foto 3.26 Shear Fracture dalam Batulempung (Lokasi Pengambilan Data Struktur)
46
3.3.3 Proses Pembentukan Struktur Geologi Pada Daerah Penelitian Berdasarkan analisis kinematika data struktur di daerah penelitian, didapatkan dua struktur geologi yaitu (lipatan) sinklin dan sesar mendatar dengan pergerakan mengiri turun. Data struktur yang digunakan adalah shear fracture yang terekam dalam batulempung. struktur geologi yang lebih dahulu terbentuk adalah lipatan lalu kemudian terbentuk sesar. Hal ini diketahui berdasarkan adanya pergesaran sumbu lipatan akibat terpotong oleh sesar mendatar. Sesar mendatar ini diasumsikan terjadi akibat proses terjadinya lipatan yang telah melewati batas elastisitas.
Gambar 3.5 Model Pure Shear (Thomas, dkk., 1973 op. cit. Twiss and Moores, 1992) Analisis tegasan berdasarkan model pure shear (Gambar 3.5), arah tegasan yang menyebabkan terbentuknya lipatan yang relatif berarah barat-timur (Sinklin Sidamulya) dan sesar mendatar mengiri turun yang relatif berarah timur laut-barat daya (Sesar Kaliwotan) diinterpretasikan relatif berarah utara-selatan. Pola struktur berupa lipatan sinklin melibatkan satuan batuan termuda di daerah penelitian yaitu Satuan Batupasir yang berumur Pliosen Tengah-Pliosen Akhir. Bukti di lapangan menunjukkan adanya pembalikan kedudukan lapisan batuan, sehingga diperkirakan bahwa tegasan yang relatif berarah utara-selatan 47
tersebut berumur pasca Pliosen Akhir. Selanjutnya dengan tegasan yang sama terbentuk struktur sesar mendatar mengiri turun (Sesar Kaliwotan). Sesar mendatar ini juga melibatkan satuan batuan termuda di daerah penelitian, yaitu Satuan Batupasir, sehingga dapat diasumsikan juga struktur sesar mendatar ini juga terbentuk pasca Pliosen Akhir. Berdasarkan peta geologi regional daerah penelitian (Djuri, dkk., 1996), struktur geologi yang terdapat di daerah penelitian diasumsikan berumur Plistosen, hal ini dikarenakan struktur geologi ini melibatkan satuan batuan termuda pada peta geologi regional (Formasi Ligung).
Gambar 3.6 Urutan Struktur di Pulau Jawa berdasarkan Konsep Wrench fault Tectonics (Situmorang dkk, 1976) Berdasarkan arah sumbu lipatan dan tren arah bidang sesar dapat disimpulkan bahwa rezim tektonik yang berlangsung di daerah penelitian bersifat kompresi dengan arah utara-selatan dan merupakan struktur orde pertama (Gambar 3.6) berdasarkan konsep Wrench Fault Tectonics (Situmorang, dkk., 1976) yang mengakibatkan terbentuknya struktur geologi yang memiliki Pola Jawa. Arah tegasan yang relatif utara-selatan ini diasumsikan berasal dari subduksi Lempeng Indo-Australia ke bawah Lempeng Mikro Sunda. 48