TUGAS KELOMPOK Mata Kuliah : Pengatahuan Bahan Agroindustri Dosen Pengampu : Arie Febrianto M. STP., MP.
Disusun Oleh: Syaifa Nuraini
135100300111007
Eky Kartiani
135100300111011
Noval Nazwanuril W.
135100300111060
Yumeina Hineno
135100300111110
Yunita Kusumastuti
135100301111073
Elni Insani
135100301111093 blog.ub.ac.id/novalwafi
JURUSAN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya akan Sumber Daya Alamnya, terutama pada sektor agrokompleks. Sektor agrokompleks tersebut meliputi pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, maupun perairan. Dalam perkembangannya, sektor peternakan merupakan salah satu sektor yang menjanjikan, salah satu contohnya adalah komoditas sapi. Potensi komoditas sapi di Indonesia dapat dilihat dari konsumsi dagingnya, dan pemanfaatan berbagai produk turunannya. Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Menrut Aberle et al (2001), Daging sapi merupakan salah satu sumber protein hewani yang paling disukai oleh konsumen karena lezat rasanya. Secara umum, komposisi daging terdiri atas air, lemak, protein, mineral dan karbohidrat. Kandungan gizi yang lengkap dan keanekaragaman produk olahannya menjadikan daging sebagai bahan pangan yang hampir tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Namun faktanya, laju peningkatan populasi dari komoditas sapi dinilai cukup lamban dalam memenuhi permintaan konsumsi daging sapi nasional, yaitu 4,23% (Direktorat Jenderal Peternakan 2007). Salah satu contoh produk turunan dari daging sapi adalah abon sapi. Abon sapi merupakan produk turunan yang kaya kan nutrisi, salah satunya adalah protein. Kandungan protein dalam abon sapi adalah 22,8% dari beratnya. Protein merupakan makro molekul yang berlimpah di dalam sel dan menyusun lebih dari setengah berat keringyang hampir pada semua organisme (Lehninger, 1998). Molekul protein terutama tersusun oleh atom karbon (51,0-55,0%), hidrogen (6,57,3%), oksigen (21,5-23,5%), nitrogen (15,5-18,0%) dan sebagian besar mengandung sulfur (0,5-2,0%) dan fosfor (0,0-1,5%) (Anggorodi, 1979). Berdasarkan uraian latar belakang di atas, pada bab selanjutnya akan dibahas lebih lanjut tentang potensi komoditas sapi (daging sapi) di Indonesia, pohon industrinya, dan perubahan protein pada salah satu produk (abon sapi) selama pasca panen, proses, dan pasca proses.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang dapat diambil adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana potensi komoditas kaya akan protein yaitu sapi (daging sapi) di Indonesia? 2. Apa sajakah produk-produk yang dihasilkan dari komoditas sapi baik produk utama maupun produk turunananya? 3. Bagaimana proses perubahan protein yang terjadi pada pembuatan salah satu produk berbahan baku sapi (daging sapi) yaitu abon sapi? 1.3 Tujuan Adapun tujuan dari paper ini adalah: 1. Mengetahui potensi komoditas kaya akan protein yaitu sapi (daging sapi) di Indonesia. 2. Mengetahui produk-produk yang dihasilkan dari komoditas sapi (daging sapi) baik produk utama maupun produk turunananya. 3. Mengetahui proses perubahan protein yang terjadi pada pembuatan salah satu produk berbahan baku sapi (daging sapi) yaitu abon sapi. 1.4 Luaran Luaran yang diharapkan setelah disusunnya tugas ini adalah: 1. Mahasiswa mampu mengetahui, potensi salah satu komoditas yang kaya akan protein yaitu daging sapi, produk turunannya melalui pohon industri dari komoditas tersebut, serta perubahan protein yang terjadi pada salah satu contoh produk yang diambil yaitu abon sapi. 2. Sebagai bahan evaluasi dari materi perkuliahan dari Pengantar Bahan Agroindustri yang diberikan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Potensi dan Konsumsi Komoditas Sapi (daging sapi) di Indonesia Konsumsi daging sapi di Indonesia terus mengalami peningkatan. Namun peningkatan tersebut belum diimbangi dengan penambahan produksi yang memadai. Laju peningkatan populasi sapi potong relatif lamban, yaitu 4,23% pada tahun 2007 (Direktorat Jenderal Peternakan 2007). Kondisi tersebut menyebabkan sumbangan sapi potong terhadap produksi daging nasional rendah (Mersyah 2005; Santi 2008) sehingga terjadi kesenjangan yang makin lebar antara permintaan dan penawaran (Setiyono et al. 2007). Pada tahun 2006, tingkat konsumsi daging sapi diperkirakan 399.660 ton, atau setara dengan 1,702 juta ekor sapi potong . Sementara produksi hanya 288.430 ton. Pemerintah memproyeksikan tingkat konsumsi daging pada tahun 2010 sebesar 2,72 kg/kapita/tahun sehingga kebutuhan daging dalam negeri mencapai 654.400 ton dan rata-rata tingkat pertumbuhan konsumsi 1,49%/tahun (Badan Pusat Statistik 2005). Populasi sapi potong pada tahun 2007 tercatat 11,366 juta ekor (Direktorat Jenderal Peternakan 2007). Populasi tersebut belum mampu mengimbangi laju permintaan daging sapi yang terus meningkat. Untuk mengantisipasinya, pemerintah melakukan impor daging sapi dan sapi bakalan untuk digemukkan (Priyanti et al.1998). Kebijakan impor tersebut harus dilakukan walaupun akan menguras devisa negara, karena produksi daging sapi local belum mampu mengejar laju peningkatan permintaan di dalam negeri, baik kuantitas maupun kualitasnya (Priyanti et al. 1998;Yusdja et al. 2003). Data Direktorat Jenderal Peternakan (2006) menunjukkan bahwa impor sapi bibit pada tahun 2005 mencapai 4.600 ekor atau setara dengan US$1.921.600, bakalan 265.200 ekor (US$107.731.000), daging sapi 21.484.000 ton (US$ 603.812.700), dan hati sapi 34.436.000 ton (US$3.803.800). Dari total impor daging dan sapi bakalan tersebut, 30% di antaranya berasal dari Australia, Selandia Baru, dan Amerika Serikat. Pada tabel 1 disajikan data Produksi daging sapi di Indonesia.
Tabel 1. Produksi Daging Sapi (Ton) 2008-2013 Sapi Provinsi Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau Jambi Sumatera Selatan Kepulauan Bangka Belitung Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat Indonesia
2008
2009
2010
2011
2012
2013*
7322 16261 16026 6222 794 3558 9630 1658
7614 13261 18322 7294 579 3868 12482 2004
7914 14256 20442 10950 450 6349 12703 3024
8303 18299 20287 12658 532 6515 13601 3932
6569 24547 22638 11317 585 6507 14649 2917
7478 32171 23543 11473 592 8034 16114 3209
1905 10670 8562 70010 25882 45736 4628 85173 8356 6767 8134 6767 4898 5796 7147 4326 2892 2640 9504 1594 3555 1261 1110 2133 1594 392511
2411 10694 5657 70662 18728 48340 5384 107768 6283 6567 6486 6567 2564 5946 6729 4571 3063 3359 11323 1361 3737 1338 223 2427 1696 409308
2691 9527 6058 76066 20326 51001 5690 109016 6238 9287 4507 7074 5224 7058 7530 4386 3926 3672 9056 1795 3902 1420 243 2770 1899 436450
3276 10064 9413 78476 25806 60322 7657 112447 8081 10958 8668 10437 3116 8459 8240 4446 3985 3058 11026 3917 2709 1320 274 2737 2316 485335
3761 9833 12206 74312 36121 60893 8896 110762 8759 11228 13595 7263 4154 9610 8069 4501 4347 4250 12725 3053 3328 1496 578 2903 2533 508905
4183 9226 12847 81254 31914 62720 10408 118363 8832 11565 13595 13375 4322 9678 8473 4568 4419 5126 12979 3202 3428 1699 562 3116 3153 545621
(Sumber: www.bps.go.id)
Daging sapi merupakan salah satu sumber protein hewani yang paling disukai oleh konsumen karena lezat rasanya. Secara umum, komposisi daging terdiri atas air, lemak, protein, mineral dan karbohidrat. Kandungan gizi yang lengkap dan keanekaragaman produk olahannya menjadikan daging sebagai bahan pangan yang hampir tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, namun demikian kualitas daging yang beredar di masyarakat seringkali tidak terjamin dengan baik. Bagian terpenting yang menjadi acuan konsumen dalam pemilihan daging adalah sifat fisik. Sifat fisik memegang peranan penting dalam proses pengolahan dikarenakan sifat fisik menentukan kualitas serta jenis olahan yang akan dibuat. Sifat fisik sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor sebelum pemotongan dan setelah pemotongan. Faktor penting sebelum pemotongan adalah perlakuan istirahat yang dapat menentukan tingkat cekaman (stres) pada ternak. Menurut Aberle, et al (2001), ternak yang tidak diistirahatkan akan menghasilkan daging yang berwarna gelap, bertekstur keras, kering, memiliki nilai pH tinggi dan daya mengikat air tinggi. Faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging adalah metode pelayuan metode pemasakan, tingkat keasaman (pH) daging, bahan tambahan (termasuk enzim daging), lemak intramuskular (marbling), metode penyimpanan dan pengawetan macan otot daging, serta lokasi otot. Berikut disajikan data kandungan unsur gizi pada daging sapi pada tabel 2. Tabel 2. Kandungan unsur gizi daging sapi (per 100gr bahan) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Unsur Gizi Kalori (kal) Air (g) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Mineral (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Zat Besi (mg) Vitamin B1 (mg) Vitamin B2 (mg)
Sapi Muda Kurus Sedang Gemuk 168,00 184,00 219,00 69,00 64,00 64,00 19,60 19,10 18,80 10,00 12,00 16,00 1,40 0,90 1,20 11,00 11,00 10,00 201,00 193,00 200,00 2,90 2,90 2,20 6,00 12,00 12,00 0,08 0,14 0,13 (Sumber : Lies, 2003)
Kurus 168,00 69,00 19,60 10,00 1,40 11,00 181,00 2,90 6,00 0,08
Sapi Dewasa Sedang Gemuk 201,00 268,00 66,00 60,00 18,80 17,50 14,00 22,00 1,20 0,50 11,00 10,00 170,00 150,00 2,80 2,60 9,00 12,00 0,08 0,08
2.2 Pohon Industri dari Komoditas Sapi
Kulit
Kulit Samak
Industri Kerajinan
Kerupuk Kulit
Industri Makanan
Daging Segar
Industri Makanan
Daging Beku
Industri Makanan
Daging Daging Olahan
Dendeng
Industri Makanan
Daging Giling
Industri Makanan
Sosis
Industri Makanan
Abon
Industri Makanan
Daging kemasan
Industri Makanan
Daging Bakso
Industri Makanan
Sapi
Susu Segar
Industri Minuman
Susu Kemasan
Industri Minuman
Susu Sapi
Gelatin
Industri Farmasi
Serbuk Tulang
Industri Keramik, dan Industri Pakan Ternak
Pupuk
Industri Pertanian
Biogas
Industri Bioenergi
Tulang Sapi
Limbah Sapi
Kotoran Sapi
Jeroan Lemak Sapi
Industri Makanan Mentega
Industri Makanan
2.3 Perubahan Protein pada Abon (Daging Sapi) 2.3.1 Pra Proses Hewan-hewan yang akan disembelih untuk menghasilkan daging harus terlebih dahulu diperiksa kesehatannya oleh dokter hewan atau mantri hewan untuk mencegah kemungkinan terjadinya penularan penyakit dari daging kepada konsumen. Hewan-hewan yang menderita penyakit menular atau penyakit cacing yang dapat menulari manusia dilarang untuk disembelih. Penyembelihan adalah usaha untuk mengeluarkan darah hewan dengan memotong pembuluh darah pada bagian leher (vena jugularis). Dalam beberapa hal dilakukan pemingsanan hewan terlebih dahulu sebelum penyembelihan dengan cara memukul atau menembak daerah otak pada bagian kepala atau dengan menggunakan aliran listrik dengan tujuan agar hewan tidak meronta pada waktu penyembelihan. Untuk memperoleh daging yang berkualitas baik, faktor-faktor yang harus diperhatikan pada waktu penyembelihan hewan adalah sebagai berikut : a. Permukaan kulit hewan harus dalam keadaan bersih b. Hewan harus dalam kondisi prima, tidak lelah, tidak kelaparan dan tenang c. Pengeluaran darah harus berlangsung dengan cepat dan sempurna d. Perlakuan-perlakuan yang menyebabkan terjadinya memar dan luka pada jaringan otot harus dihindari e. Kontaminasi
dengan
mikroorganisme
harus
dihindari
dengan
menggunakan alat-alat yang bersih. Setelah penyembelihan, kepala dipisahkan pada batas tulang kepala dengan tulang leher pertama, kaki pertama dipotong pada persendian metetarsus, kaki belakang dipotong pada persendian metacarpus, jeroan dikeluarkan dengan membuka bagian bawah perut secara membujur dan kemudian dikuliti. Daging yang masih menempel pada tulang kerangka hasil dari penyiangan ini disebut karkas. Setelah penyiangan , dilakukan pemeriksaan pasca mortem terhadap karkas dan jeroan (hati, jantung, limpa, ginjal dan usus) untuk meyakinkan bahwa karkas tersebut tidak mengandung penyakit yang dapat ditularkan kepada konsumen melalui daging.
Pelayuan dari karkas yang dihasilkan setelah penyiangan bertujuan untuk memberikan kesempatan agar proses-proses biokimia yang terjadi pada daging setelah hewan mati dapat berlangsung secara sempurna sebelum daging tersebut dikonsumsi. Pelayuan ini harus dilakukan untuk memperoleh daging dengan keempukan dan cita rasa yang baik sebagai hasil dari proses-proses biokimia yang berlangsung selama pelayuan. Untuk mencegah terjadinya pembusukan, pelayuan sebaiknya dilakukan pada suhu rendah (3,6ºC – 4,4ºC) selama sekitar 24 – 48 jam untuk karkas hewan besar (sapi dan kerbau). Apabila pelayuan dilakukan pada suhu yang lebih tinggi, waktunya harus lebih singkat agar tidak terjadi pembusukan daging. 2.3.2 Saat Proses Abon merupakan produk kering dimana penggorengan merupakan salah satu tahap yang umumnya dilakukan dalam pengolahannya.Pengolahan abon, baik abon daging maupun abon ikan, dilakukan dengan menggoreng daging dan bumbu menggunakan banyak minyak (deep frying). Deef frying adalah proses penggorengan diamana bahan yang digoreng terendam semua dalam minyak. Pada proses penggorengan sistem deef frying, suhu yang digunakan adalah 1700C-2000C dengan lama penggorengan 5 menit, perbandingan bahan yang digoreng dengan minyak adalah 1:2, dengan cara ini, abon banyak mengandung minyak atau lemak yang akhir-akhir ini banyak dihindari dengan alasan kesehatan. Pembuatan abon meliputi pencucian, pengukusan, penghancuran daging, penggorengan dan pengeringan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah daging diolah menjadi secara nyata daya cerna proteinnya menurun dari semula sebesar 78,3% untuk daging mentah menjadi 31,2% untuk abon yang digoreng dalam minyak goreng dan 22,8% untuk abon yang digoreng dalam santan. Penurunan nilai gizi ini terutama disebabkan karena terjadinya reaksi pencoklatan selama proses pengolahan, protein (asam amino) daging bereaksi dengan gula (pereduksi) yang ditambahkan sebagai bumbu. Selain itu, penurunan kadar protein pada abon disebabkan juga oleh penggunaan minyak yang mengandung 98% lemak dan penggunaan santan. Persentase lemak yang meningkat menyebabkan persentase protein menurun.
Perlakuan yang beragam yang digunakan pada pengolahan menyebabkan denaturasi protein. Denaturasi merupakan suatu perubahan struktur sekunder, tersier, dan kuartener terhadap molekul protein tanpa terjadinya pemecahan ikatan kovalen. Denaturasi didefinisikan juga sebagai suatu proses terpecahnya ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik, ikatan garam, dan terbukanya lipatan molekul. Pengembangan atau pemekaran molekul protein yang terdenaturasi akan membuka gugus reaktif yang terdapat pada rantai polipeptida. Selanjutnya akan terjadi pengikatan kembali pada gugus reaksi yang sama atau berdekatan. Apabila unit ikatan yang terbentuk cukup banyak, sehingga protein tidak mampu terdispersi sebagai koloid, maka protein tersebut mengalami koagulasi. Selama pemanasan bahan pangan berprotein terjadi rasemisasi asam amino dan reaksi antar asam amino, rasemisasi asam amino yaitu terbentuknya ikatan L-D, D-L atau D-D. Rasemisasi asam amino adalah perubahan konfigurasi asam amino dari bentuk L ke bentuk D. Proses pemanasan dengan suhu tinggi dalam waktu yang lama serta perlakuan alkali menyebabkan terjadinya rasemisasi. Lisinoalanin merupakan reaksi antar asam amino yang ditemukan pada bahan pangan berprotein yang diberi perlakuan alkali dan pemanasan dalam waktu lama. Pembentukan lisinoalanin dapat berperan dalam penurunan daya cerna protein, karena apabila didegradasi senyawa tersebut tidak menghasilkan asam amino lisin dan alanin dan apabila diserap tubuh akan terbuang sebagai urin. Lantionin dibentuk dari reaksi dehidro alanin dengan sistein (Muchtadi,1993). Pembentukan lantionin juga terjadi pada kondisi dengan perlakuan panas dan alkali. Adanya pembentukan lantionin menyebabkan sistein yang tersedia pada bahan pangan berkurang separuhnya. Sumber utama penyebab menurunnya nilai gizi protein selama pengolahan dan penyimpanan adalah reaksi browning non enzimatis (reaksi Maillard), yaitu reaksi antara protein dengan gula pereduksi. Belitz and Grosch menyatakan bahwa reaksi ini berlangsung antara gula-gula pereduksi dengan gugus amino dari asam-asam amino atau protein (terutama e-amino dari lisin, dan α-amino dari asam amino N-terminal).
2.3.3 Pasca Proses Pengemasan
makanan
bertujuan
untuk
mempertahankan
kualitas,
menghindari kerusakan selama penyimpanan, memudahkan transportasi, dan memudahkan penanganan selanjutnya. Di samping itu, pengemasan makanan dapat mencegah penguapan air, masuknya gas oksigen, melindungi makanan terhadap debu dan kotoran lain, mencegah terjadinya penurunan berat, dan melindungi produk dari kontaminasi serangga dan mikrobia. Kondisi kemasan harus tertutup rapat agar abon tidak mudah teroksidasi yang dapat mengakibatkan ketengikan. Bahan kemasan harus tidak tembus air karena mengingat abon merupakan produk kering. Bahan yang paling sering digunakan untuk pengemasan abon adalah plastik. Ada dua jenis plastik yang populer digunakan untuk pengemasan abon, yaitu plastik polietilen (PE) dan plastik poliepropilene (PP). Kedua jenis plastik ini, selain harganya murah, mudah ditemukan di pasaran dan memiliki sifat umum yang hampir sama. Plastik polietilen tahan asam, basa, lemak, minyak, dan pelarut organik. Plastik polietilentidak menunjukkan perubahan pada suhu maksimum 930C -1210C dan suhu minimum -460C - -570 C. Tetapi platik polietilenmemiliki permeabilitas yang cukup tinggiterhadap gas-gas organik sehingga masih dapat teroksidasi apabila disimpan dalam jangka waktu yang terlalu lama. Kemasan lain yang dapat digunakan adalah alumunium foil dan kaleng yang sudah dilapisi timah, tetapi harga kemasan ini cukup mahal.
BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Potensi komoditas sapi di Indonesia dapat dilihat dari konsumsi dagingnya,
dan
pemanfaatan
berbagai
produk
turunannya.
Daging
didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Secara umum, komposisi daging terdiri atas air, lemak, protein, mineral dan karbohidrat. Salah satu contoh produk berbahan baku daging sapi adalah abon sapi. Abon sapi merupakan salah satu produk yang kaya akan kandungan protein, namun masih lebih rendah dibandingkan produk segarnya. Produk abon sapi tersebut mengalami perubahan kandungan protein, diantaranya pra proses, saat proses, dan pasca proses. Pada pra proses, setelah sapi disembelih, kepala dipisahkan pada batas tulang kepala dengan tulang leher pertama, kaki pertama dipotong pada persendian metetarsus, kaki belakang dipotong pada persendian metacarpus, jeroan dikeluarkan dengan membuka bagian bawah perut secara membujur dan kemudian dikuliti. Daging yang masih menempel pada tulang kerangka hasil dari penyiangan ini disebut karkas. Setelah penyiangan , dilakukan pemeriksaan pasca mortem terhadap karkas dan jeroan (hati, jantung, limpa, ginjal dan usus), kemudian dilakukan pelayuan. Pada saat proses, protein yang terdapat pada abon sapi mengalami denaturasi, koagulasi, resemisasi, dan menimbulkan reaksi browning non enzimatis. Sedangkan pada pasca proses, produk tersebut dilakukan pengemasan, dengan tujuan untuk mempertahankan kualitas dari produk abon sapi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA Aberle, E.D., J.C. Forrest, H.B. Hendrick, M.D. Judge dan R.A. Merkel. 2001. Principles of Meat Science. W.H. Freeman and Co., San Fransisco. Badan Pusat Statistik. 2005. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Direktorat Jenderal Peternakan. 2007. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan. Jakarta. Koran Tempo. 2008. Indonesia belum siap impor sapi Brazil. Edisi Senin, 13 Oktober 2008. Jakarta. Koswara, Sutrisno.2009. Teknologi Praktis Pengolahan Daging. Mersyah, R. 2005. Desain sistem budi daya sapi potong berkelanjutan untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten Bengkulu Selatan. Disertasi, Sekolah Pasca sarjana, Institut Pertanian Bogor. Muchtadi, D., Astawan, M. dan N. S Palupi. 1993. Metabolisme Zat Gizi Sumber, Fungsi dan Kebutuhan bagi Kebutuhan Manusia. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Nugroho, W. A. 2008. Produktivitas Karkas dan Kualitas Daging Sapi Sumba Ongole dengan Pakan yang Mengandung Probiotik, Kunyit dan Temulawak. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Perkins, E dan Errickson M. 1996. Deef Frying: Chemistry; Nutrition and Practical Aplication. AOCS Press. Dalam Jurnal Saintek Perikanan Vol. 6. No 1. 2011:6 – 11. Priyanti, A., T.D. Soedjana, R. Matondang, dan P. Sitepu. 1998. Estimasi sistem permintaan dan penawaran daging sapi di Provinsi Lampung. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 3(2): 71−77. Santi, W.P. 2008. Respons Penggemukan Sapi PO dan Persilangannya sebagai Hasil IB terhadap Pcmberian Jerami Padi Fermentasi dan Konsentrat di Kabupaten Blora. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Setiyono, P.B.W.H.E., Suryahadi, T. Torahmat, dan R. Syarief. 2007. Strategi suplementasi protein ransum sapi potong berbasis jerami dan dedak padi. Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Peternakan 30(3): 207−217. Soeparno, 2009. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Suprapti, Lies. 2003. Membuat Bakso Daging & Bakso Ikan. Yogyakarta: Kanisius Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia, Jakarta. www.bps.go.id. Diakses 07 oktober 2014 pukul 21.50 WIB. Yusdja, Y., N. Ilham, dan W.K. Sejati. 2003. Profil dan permasalahan peternakan. Forum Penelitian Agro-Ekonomi 21(1): 45−56.